Minggu, 09 Maret 2014

PK oleh MK

TAMPAKNYA, KITA MEMANG MEMILIKI MASALAH DALAM PROSES BERPIKIR, YAITU SULIT MEMBUAT PUTUSAN PUBLIK YANG TEPAT. MEMANG, PUTUSAN YANG TEPAT GUNA, PERLU DIEVALUASI SETELAH DIPUTUSKAN.

Lihatlah apa yang telah diputuskan oleh MK.

MK menganulir Pasal 268 (3) KUHAP, sehingga membuka peluang untuk mengajukan PK berkali-kali. Dasar putusan adalah Pasal 28 D (1) UUD'45, yang mengacu pada unsur 'keadilan'. Namun, Gustav Radbruch mengatakan, bahwa putusan yang ideal adalah yang mencakup tidak saja keadilan atau gerechtigheit, tetapi juga mengandung kepastian hukum atau rechtssicherheit (Pasal 28 D ayat 1 UUD'45), dan kemanfaatan atau zwecckmassigheit). Sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD'45), Indonesia tentunya juga harus menciptakan kemanfaatan hukum.

PK yang dapat diajukan berkali-kali dapat menunda putusan yang tetap atau inkracht. Dengan demikian, jika hal itu berkaitan dengan koruptor yang pejabat, maka sang pejabat akan tetap menjabat sampai putusan inkracht diperoleh, yang tidak tahu kapan. Ketika itu terjadi, kwalitas kepemimpinan sang koruptor menjadi tanda tanya yang sangat besar, terutama dalam lingkungan sosial yang sangat akut dengan penyakit korupsi.

PUTUSAN MENGENAI OTDA YANG BERJALAN TANPA EVALUASI FORMIL

Otda memang diperlukan sehubungan dengan kejadian masa lalu yang menimbulkan pemberontakan di banyak daerah, karena ketidak adilan dalam hal kue pembangunan yang hanya dinikmati oleh Pemerintah Pusat. Namun, Otda saat ini telah memperluas dan memperdalam tindak pidana korupsi, di semua lapisan, dan sampai ke pelosok. Ternyata, kue pembangunan juga tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat banyak.

Tidak saja hal itu, Otda dan pemilihan langsung telah pula meningkatkan biaya politik, dan mendorong maraknya korupsi. Pilkada dapat terjadi setiap hari di Indonesia, karena jumlah kabupaten telah hampir sama dengan jumah hari kalender dalam setahun. Pemilihan langsung yang berbiaya besar bagi petarung politik akan merobah orientasi pemikiran dan tingkah lakunya yang mementingkan diri dan kelompoknya sendiri.

Itu sebabnya, apa yang terjadi pada Akil Muchtar sesungguhnya merupakan keniscayaan. Kenapa tidak? Seorang petarung politik yang telah menghabiskan puluhan milyar tidak akan tinggal diam, ketika hasil pemilihan diperkarakan. Seyogianya, dia akan mengusahakan apapun agar menang dalam pilkada; dia akan menyediakan dana tambahan untuk menang. Logika ini berlaku bagi kedua belah pihak, yaitu baik yang berpotensi untuk menang dan kalah.

WALHASIL: MUDHARAT YANG DIHASILKAN LEBIH BANYAK DARI MANFAATNYA.

PERTANYAANNYA SEKARANG:

PERTAMA: APAKAH INDONESIA TIDAK MEMILIKI ORANG PINTAR YANG BIJAK UNTUK MEMBUAT KEPUTUSAN YANG TEPAT.

KEDUA: KENAPA KITA ABAI TIDAK MENGOREKSI PUTUSAN PUBLIK YANG TIDAK TEPAT.

Jawabannya, saya serahkan kepada sahabat-sahabat yang saya hormati, sekalian.



LIHAT JUGA:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar