TAMPAKNYA,
KITA MEMANG MEMILIKI MASALAH DALAM PROSES BERPIKIR, YAITU SULIT
MEMBUAT PUTUSAN PUBLIK YANG TEPAT. MEMANG, PUTUSAN YANG TEPAT GUNA,
PERLU DIEVALUASI SETELAH DIPUTUSKAN.
Lihatlah apa yang telah diputuskan oleh MK.
MK menganulir Pasal 268 (3) KUHAP, sehingga membuka peluang untuk
mengajukan PK berkali-kali. Dasar putusan adalah Pasal 28 D (1) UUD'45,
yang mengacu pada unsur 'keadilan'.
Namun, Gustav Radbruch mengatakan, bahwa putusan yang ideal adalah yang
mencakup tidak saja keadilan atau gerechtigheit, tetapi juga mengandung
kepastian hukum atau rechtssicherheit (Pasal 28 D ayat 1 UUD'45), dan
kemanfaatan atau zwecckmassigheit). Sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3
UUD'45), Indonesia tentunya juga harus menciptakan kemanfaatan hukum.
PK yang dapat diajukan berkali-kali dapat menunda putusan yang tetap
atau inkracht. Dengan demikian, jika hal itu berkaitan dengan koruptor
yang pejabat, maka sang pejabat akan tetap menjabat sampai putusan
inkracht diperoleh, yang tidak tahu kapan. Ketika itu terjadi, kwalitas
kepemimpinan sang koruptor menjadi tanda tanya yang sangat besar,
terutama dalam lingkungan sosial yang sangat akut dengan penyakit
korupsi.
PUTUSAN MENGENAI OTDA YANG BERJALAN TANPA EVALUASI FORMIL
Otda memang diperlukan sehubungan dengan kejadian masa lalu yang
menimbulkan pemberontakan di banyak daerah, karena ketidak adilan dalam
hal kue pembangunan yang hanya dinikmati oleh Pemerintah Pusat. Namun,
Otda saat ini telah memperluas dan memperdalam tindak pidana korupsi, di
semua lapisan, dan sampai ke pelosok. Ternyata, kue pembangunan juga
tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat banyak.
Tidak saja
hal itu, Otda dan pemilihan langsung telah pula meningkatkan biaya
politik, dan mendorong maraknya korupsi. Pilkada dapat terjadi setiap
hari di Indonesia, karena jumlah kabupaten telah hampir sama dengan
jumah hari kalender dalam setahun. Pemilihan langsung yang berbiaya
besar bagi petarung politik akan merobah orientasi pemikiran dan tingkah
lakunya yang mementingkan diri dan kelompoknya sendiri.
Itu
sebabnya, apa yang terjadi pada Akil Muchtar sesungguhnya merupakan
keniscayaan. Kenapa tidak? Seorang petarung politik yang telah
menghabiskan puluhan milyar tidak akan tinggal diam, ketika hasil
pemilihan diperkarakan. Seyogianya, dia akan mengusahakan apapun agar
menang dalam pilkada; dia akan menyediakan dana tambahan untuk menang.
Logika ini berlaku bagi kedua belah pihak, yaitu baik yang berpotensi
untuk menang dan kalah.
WALHASIL: MUDHARAT YANG DIHASILKAN LEBIH BANYAK DARI MANFAATNYA.
PERTANYAANNYA SEKARANG:
PERTAMA: APAKAH INDONESIA TIDAK MEMILIKI ORANG PINTAR YANG BIJAK UNTUK MEMBUAT KEPUTUSAN YANG TEPAT.
KEDUA: KENAPA KITA ABAI TIDAK MENGOREKSI PUTUSAN PUBLIK YANG TIDAK TEPAT.
Jawabannya, saya serahkan kepada sahabat-sahabat yang saya hormati, sekalian.
LIHAT JUGA:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar