Senin, 28 Desember 2009

KENAPA RIBA DILARANG?(part 1)


Allah SWT, Maha Besar, Maha Mengetahui, serta Maha Benar diyakini umat Islam telah memberikan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Al-Quran banyak mengandung secercah ilmu pengetahuan sehingga perlu digali dan dikembangkan lebih jauh oleh umatnya. Beberapa ayat Al-Qur’an menyebutkan larangan terhadap praktek riba dan menghalalkan perdagangan. Ketentuan Ilahi Sang Pencipta ini secara universal adalah pedoman hidup untuk seluruh umat. Islam adalah Rahmat lil ‘alamin, rahmat untuk seluruh alam. Sudah barang tentu, larangan itu untuk kebaikan umat-Nya.


Antara riba dan usury tidak dibedakan dalam Islam, dan para pakar secara umum sepakat kedua kata ini berarti sama. Dalam hal ini, riba diartikan sebagai bunga dalam segala bentuk dan untuk semua tujuan. Riba yang dimaksud hanya berkaitan dengan peminjaman uang dan dikenakan “tambahan” atau bunga dimana The Council of Islamic Studies, Universitas Al-Azhar, Mesir, tahun 1965, mengeluarkan rekomendasi yang menekankan secara terbuka dan pasti bahwa seluruh bentuk bunga atas pinjaman, sedikit, banyak atau usury, adalah merupakan riba.

Agar menghindari diri dari berhutang, Islam menganjurkan umatnya untuk menyeimbangkan pendapatan dan pengeluaran. Oleh karena itu, seperti yang disebutkan oleh Surat Al-Maidah (5 ; 87), dan Hadits Ibnu Muslim dari Abdullah bin Umar 1887 yang menyatakan: “Bagi para syuhada akan dihapuskan seluruh dosa mereka kecuali utang piutang (yang belum mereka bayar)”. Sejalan dengan diharamkannya riba, Nabi Muhammad SAW menganjurkan kepada umatnya untuk tidak berhutang, kecuali benar-benar dalam keadaan mendesak bahkan diriwayatkan, beliau enggan menshalati orang yang meninggal dengan meninggalkan hutang, tanpa ada warisan harta untuk membayarnya atau orang yang menjamin pelunasannya; dan bahkan dalam do’anya beliau sentiasa meminta kepada Allah SWT untuk menjauhi dirinya dari ‘keberatan hutang’. Untuk itu Rasulullah mengajarkan kita untuk mengambil berat persoalan ini sebab hutang berhubungan dengan muamalah, hubungan manusia antar manusia yang semestinya telah diselesaikan di dunia.


NON MUSLIM MEMANDANG RIBA


Kegiatan pinjam meminjam uang dengan bunga sudah dilakukan oleh para pemuka agama dan tempat beribadah ketika kebudayaan Simerian, Babylonia, Mesopotamia. Keadaan ini berlangsung sampai awal masa Kristen hingga kemudian para majelis agama melarang dan mengutuk kegiatan riba ini, dan di antara mereka adalah; Majelis Elvira (306 AD), Arles (314 AD), Laodicea (325 AD), Nice (325 AD), Carthage (345 AD), dan Arles Kedua (443 AD).

Sedang di India kuno, kitab Weda, kitab suci tertua agama Hindu pun mengutuk riba sebagai dosa besar dan Aristóteles dan Plato pun berpendapat bahwa riba merupakan hasil yang tidak wajar, karena diperoleh dari jerih payah orang lain. Aristoteles beranggapan bahwa uang tidak bisa melahirkan uang atau pecunia pecuniam nonparit, karena uang sepatutnya dapat dihasilkan dari kerja dan usaha, karenanya Plato menyebutkan bahwa konsep bunga ini adalah suatu cara eksploitasi orang kaya terhadap orang miskin

Bila dirujuk dalam Perjanjian baru lewat Lukas (6: 34-35) tidak menyebutkan masalah riba dengan jelas, dan ini yang mengakibatkan timbulnya perbedaan dalam tanggapan dan sikap mengenai boleh atau tidaknya pengambilan bunga (Antonio, 2001, p 45). Menurut Latifa M Algoud, dalam Perjanjian Baru terdapat tiga rujukan mengenai riba Matius (25: 14-30), Lukman (19: 12-27), dan Lukam (6 : 35) dan semua menunjukan sikap ambigú terhadap riba

IMPLIKASI
DAN KONSEKUENSI ADANYA RIBA

Dalam artikel ini, arti dari ‘implikasi’ dan ‘konsekuensi’ dibedakan.
Yang pertama memberikan pengertian ‘suatu akibat’ yang cenderung bersifat abstrak dan merupakan akibat langsung dari suatu kausa, dalam hal ini riba. Sedangkan, ‘konsekuensi’ bermakna lebih konkrit dan sebagai akibat yang bersifat turunan atau derivatif dari kausa utama. Berikut ini adalah beberapa implikasi dari riba yang dikaji dengan sudut pandang Islam.

Dalam artikel ini, arti dari ‘implikasi’ dan ‘konsekuensi’ dibedakan.
Yang pertama memberikan pengertian ‘suatu akibat’ yang cenderung bersifat abstrak dan merupakan akibat langsung dari suatu kausa, dalam hal ini riba. Sedangkan, ‘konsekuensi’ bermakna lebih konkrit dan sebagai akibat yang bersifat turunan atau derivatif dari kausa utama. Berikut ini adalah beberapa implikasi dari riba yang dikaji dengan sudut pandang Islam.

1. Menimbulkan ketidakadilan;

Peminjaman uang terpaksa dilakukan untuk kebutuhan yang mendesak, rasanya tidak etis jika si peminjam dibebankan bunga sebab pastinya sipeminjam tidak memiliki cukup uang. Apalagi bila peminjaman uang diperlukan untuk usaha, produksi barang atau jasa. Setiap usaha atau bisnis akan selalu mengandung unsur ketidakpastian terlepas dari dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian, peminjam menanggung dan bertanggung jawab terhadap seluruh resiko proyek yang dibiayai. Pada saat yang sama, pemberi pinjaman tidak menanggung resiko apa-apa dan bahkan dijamin memperoleh pendapatan yang telah dipastikan di awal transaksi. Sistem ekonomi Islam menentang ketidakadilan ini. Untuk itu, dalam salah satu sabdanya Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkan peminjaman uang, kecuali dalam keadaan sangat mendesak. Dan nampaknya, sabda ini lebih diarahkan pada orang-perorang untuk keperluan konsumsi. Sedangkan untuk usaha, adalah sulit untuk menemukan investor (muslim sekalipun) yang akan meminjamkan dananya dalam bentuk pinjaman tanpa bunga (El-Diwany, 2003, p 204). Untuk tujuan itu, Islam menyediakan konsep pembiayaaan sesuai dengan syariah seperti Mudharabah atau Musyarakah, dimana riba diganti dengan pembagian keuntungan. Disini, hutang hanya timbul karena pembelian barang atau jasa dengan pembayaran secara tempo (Zaid, 2004)


2.
Perdagangan Vs Riba, dengan membawa implikasi yang berbeda;

No nation was never ruined by trade” (Benyamin Franklin). “…berdagang dengan cara yangsaling menguntungkan“ (QS. An-Nisaa 4 : 33). Al-Qur’an menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah 2 : 275). Ketentuan Ilahi ini tentunya memiliki alasan yang kuat mengapa ada demikian. Larangan terhadap riba secara jelas nampak pada ayat-ayat Al-Baqarah (2: 275-281), Ali-‘Imran (3: 129-130), An-Nisaa (4 : 161) dan Ar-Ruum (30 : 39), yang menyebutkan: walaupun keuntungan dari perdagangan berbeda dengan dari riba, hanya keuntungan dari dagang diijinkan; ketika meminjamkan uang, muslim hanya diijinkan untuk mengambil kembali pokok pinjaman dan mengorbankan pokok tersebut jika peminjam tidak mampu membayar kembali hutangnya sesuai dalam surat Al-Baqaráh (2 ; 280) dimana kaum muslim diminta untuk bersikap adil, jika sipeminjam tidak mampu membayar hutangnya, 2 alternatif yang dapat dilakukannya: pertama, memperpanjang masa pembayaran kembali dan kedua, merubah pinjaman menjadi sedekah atau dilakukan dengan memberi keringanan pembayaran. Riba dapat menghilangkan karunia Allah terhadap harta sedang dalam berdagang sebaliknya. “kamu harus melaksanakan kegiatan bisnis karena 99% dari rejeki Allah adadidalamnya”; dimana Nabi SAW pun bersabda “Sesungguhnya pedagang yang jujur akanbersama Rasul dan orang beriman, dan Syuhada di hari Kiamat “(Tirmidzi 12 : 4). Riba dipersamakan dengan penyisihan yang salah dari harta milik orang lain; muslim harus menghindari riba demi untuk kesejahteraannya sendiri serta tidak mendzholimi sesama mahluk Tuhan.

3. Membuat
orang kaya bertambah kaya

Orang kaya memperoleh kemudahan atas jerih payah orang miskin. Riba juga dianggap eksploitatif, karena cenderung menguntungkan si kaya. Nabi Muhammad SAW melaknat pemakan riba, karena merupakan tindakan memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan resiko. Sehingga, kekayaan akan terkonsentrasi pada kelompok orang tertentu atau untuk diri mereka sendiri.


Ini adalah sebagian kecil dari beberapa implikasi riba yang dikaji dengan sudut pandang Islam adapun konsenkuensi riba dalam perekonomian modern akan dibahas selanjutnya pada part 2