Kamis, 07 Agustus 2014

RIBA: BUKAN BESAR KECILNYA



RIBA: BUKAN BESAR KECILNYA

Oleh: Hendy Herijanto, Dosen IEF, Universitas Trisakti


Tulisan ini menguraikan kenapa riba (baca: bunga) dilarang; bukan karena besar kecilnya, melainkan prinsip dan mudharatnya. Lima mazhab fiqih, dan pakar ekonomi Islam, sepakat bahwa riba dan usury berarti sama (El-Diwany, 2003 : 172; Saeed, 2004 : 73). Tingkat bagi hasil bank syariah, lebih tinggi dari suku bunga bank konvensional, tidak bersifat ribawi, tetapi karena pengaruh operasional dan kompetisi dengan bank konvensional.

Sejarah Pengenaan Bunga
Aristóteles berpendapat bahwa riba merupakan hasil yang tidak wajar, karena diperoleh dari jerih payah orang lain. Uang tidak bisa melahirkan uang atau pecunia pecuniam non parit; uang sepatutnya dihasilkan dari kerja dan usaha (Qardhawi, 1997: 184). Menurut Plato,  konsep bunga merupakan eksploitasi  orang kaya terhadap orang miskin (El-Diwany, 2003 : 32). Baik Aristoteles ataupun Plato tidak mengaitkan bunga dari segi besar-kecilnya. Larangan terhadap bunga telah berlangsung lama, terutama oleh agama samawi, sampai awal masa Kristen. Eropa di abad pertengahan juga melarang riba (Warde, 2001: 64 -65).  
Ketika reformasi Protestan berkonsentrasi pada inovasi di bidang politik ekonomi dan uang, Martin Luther (1483-1546) menganjurkan orang untuk berpartisipasi penuh di dunia dan menentang pendapat gereja. John Calvin (1509-64) menganjurkan usury dilakukan pada hal-hal dan dalam kondisi tertentu. Karena penyebaran praktik bunga tidak dapat dihindari, kalangan gereja merubah sikapnya secara terbuka (El-Diwany, 2003 : 31).
Sejalan dengan masa industrialisasi dan kemenangan ideologi kapitalis, tahun 1545, Inggris mengeluarkan undang-undang yang melegalisir bunga, sampai batas maksimum 10%, dan ketentuan ini menjadi permanen tahun 1571. Jeremy Bentham (1787) membelanya dan menentang hukum anti usury (Warde, 2001 : 65- 67).

Pandangan Menurut Ketentuan Islam
Al Qur’an menyebutkan ”Perdagangan dihahalkan dan riba diharamkan” (Qs, 2 : 275). Ayat lain menentukan bahwa, walaupun keuntungan dari perdagangan sama seperti dari riba, tetapi hanya yang pertama diijinkan.
Perdagangan merupakan kegiatan komersial tertua manusia, sejak zaman primitif dengan sistem barter, berlangsung sampai masa modern saat ini dengan perantaraan uang, dan tetap berlangsung hingga masa depan. Perdagangan merupakan kegiatan awal dan akhir dari kegiatan produksi. Pada awalnya, barang yang diperdagangkan berupa hasil tangkapan atau pertanian, dan kemudian berkembang dengan membuat barang-barang yang diperlukan (Herijanto, 2013).
Perdagangan tidak bersifat kontekstual, karena dapat dilakukan di mana saja dengan hakikat dan mekanisme yang sama, tanpa terkait dengan tempat, waktu, dan modal besar (Herijanto, 2013; Hanaco, 2011). Menurut Nik Mohamed Affandi (2002), perdagangan dapat meningkatkan standar hidup, meningkatkan kekayaan bagi individu dan masyarakat; dan bagi yang kurang berpendidikan, dapat berpartisipasi. Islam menghendaki setiap orang memiliki sumber penghidupan.
Ekonomi Islam menekankan pada sektor riel, yang memerlukan pengembangan teknologi dan sumber daya manusia, (El-Diwany, 2003 : 217). Perdagangan yang berkembang mendorong produksi barang dan jasa, dan membuka lapangan kerja baru. Menurut Mankiw (2006 : 56), kemampuan berproduksi menentukan standar hidup suatu negara. Kekayaan negara terletak pada besarnya tingkat produksi dan surplus neraca pembayaran, bukan karena banyaknya uang; dan peradaban yang besar menghasilkan laba yang besar karena banyaknya tenaga kerja, demikian kata Ibnu Khaldun (Suprayitno, : 203: Karim, 2004 : 365). Benyamin Franklin mengatakan, “No nation was ever ruined by trade”.
Riba. Riba dianggap sebagai tindakan memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan risiko, karena ditetapkan di muka, dan kreditor, atau pemilik modal, memperolehnya tanpa harus bekerja. Debitor atau pengusaha, di lain pihak, harus bekerja lebih keras untuk mengembalikan pokok pinjaman beserta bunga. Rugi atau untung, bunga tetap di bayar; sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi pengusaha.
Bunga membuat titik impas lebih tinggi, dan menambah risiko bisnis. Menurut Umer Chapra, jika utang meningkat, beban bunga juga meningkat, tetapi barang modal yang dibiayai dengan utang berdepresiasi menuju nol. Keadaan ini menimbulkan banyak masalah bagi pengusaha, dan bagi perekonomian dan masyarakat (Chapra, 2000 : 276).
Dalam Islam, uang bukan merupakan komoditas dengan bunga sebagai harga, tetapi berfungsi sebagai perantara untuk memudahkan jual-beli. Uang menandingi nilai barang atau jasa yang dipertukarkan.Uang adalah cerminan dari barang”, kata Imam Ghazali (Hakim, 2011: 99). Di samping itu, uang baru menjadi modal setelah dibelikan barang untuk memproduksi barang dan jasa.
Nabi Saw menganjurkan agar manusia menghindari utang, kecuali dalam keadaan terdesak.Namun, untuk kegiatan sosial, perekonomian Islam menyediakan konsep pinjaman tanpa bunga atau ”qard hassan”. Untuk transaksi komersial, Islam menyediakan konsep pembiayaan dengan keuntungan yang dibagi melalui akad mudharabah dan musharakah. Pembiayaan ini tidak bersifat utang, tetapi merupakan dana investasi yang dikelola untuk keuntungan bersama.
Perekonomian kapitalis, di lain pihak, identik dengan utang dan bunga. Konsep leverage menggunakan utang untuk meningkatkan penjualan atau usaha, tetapi mengandung sejumlah kemudharatan, terutama karena ketidakdisiplinan dan utang digunakan tanpa batas, sehingga over leverage. Chorafas (2000) berpendapat bahwa sikap moral seperti itu patut diragukan. Sistem ini memusatkan kekayaan dan kekuasaan pada segelintir orang. Implikasi negatif lainnya adalah:
Pertama, pengenaan bunga menambah persediaan uang dalam masyarakat, sehingga menciptakan inflasi, yang menurunkan daya beli masyarakat (Meera, 2004 : 10-11).
Kedua, pasar kredit diarahkan bagi yang memiliki  kekayaan atau bisnis yang mapan. Moulton (2003) dan Muhammad Yunus (2007) berpendapat, walaupun pemberian kredit seperti itu wajar dan rasional, tetapi bersifat diskriminasi terhadap pihak yang tidak memiliki modal atau kaum miskin.
Ketiga, pemberian kredit yang difokuskan pada sektor tertentu menimbulkan “economic bubbles”, yang kemudian mengempis secara drastis, dan menciptakan kredit macet yang besar di perbankan, seperti di Jepang 1980-1990, Thailand 1997/98, dan Amerika 2008.
Keempat, penggunaan utang, tanpa kedisiplinan atau mengabaikan prudential principles, menimbulkan krisis keuangan, dan menciptakan lending boom; kemudian menimbulkan kredit macet/NPL yang besar. Akibatnya, sejumlah bank ditutup dan menggoncangkan sistem perbankan, seperti di Argentina (2001), Mexico (1994-1995), Jepang (1991), Thailand (1997-1998), Indonesia (1997-1998), Malaysia (1997-1998), dan Korea (1997-1998).
Kelima, utang menimbulkan transfer of wealth dan tidak adil. Penciptaan uang dalam bentuk pemberian kredit timbul karena proses akunting pada pihak bank kreditor, atau dengan mencetak uang di negara kreditor (Meera, 2004 : 10-11). Dalam konteks antar negara, negara debitor harus membayar dengan ekspor sumber daya alamnya kepada negara kreditor. Di sini, manfaat yang diperoleh harus memperhitungkan kerusakan alam yang terjadi.
Keenam, Hadis Nabi Besar Saw mengatakan bahwa orang yang memiliki utang yang besar cenderung berbohong dan mengingkari janji. Ini terjadi pada Yunani, yang merekayasa rating surat utangnya dan melanggar pagu yang ditentukan oleh Uni Eropa.
Keuntungan Pengganti Riba. Keuntungan ribawi bersifat intertemporal, tetapi keuntungan jual beli bersifat pasti dan final. Harga termasuk keuntungan berdasarkan ijab dan kabul. Secara implisit, pembeli menerima harga yang dibayar setara kualitas dan manfaat barang yang dibeli. Penjual memperoleh keuntungan, sebagai jerih payahnya dalam memproduksi dan/atau usahanya menjual, serta merupakan kompensasi terhadap risiko.  Harga yang dibayar secara angsur telah mencakup unsur menunggu sampai pembayaran lunas.  Kehalalannya terletak pada tanggungjawab atau “al-kharaj bi-al- dhaman”, atau ”al-ghurmu bil ghurmi”, karena adanya risiko, atau ”gain accompanies liabilities for loss”. Keuntungan terhadap modal atau uang hanya dapat diperoleh dari kombinasi usaha atau kerja, modal dan risiko. Oleh karena itu, pengusaha berbagi keuntungan dan risiko dengan pemilik modal sesuai dengan hasil yang diharapkan bersama  (Vogel dan Hayes III, 1998 : 113).
Pada intinya, Islam mementingkan lapangan kerja bagi setiap orang, sebagai langkah dasar menuju maqasid al syariah, atau kesejahteraan sosial. Perekonomian tanpa konsep bunga menodorong sektor keuangan melekat dengan sektor riel, sehingga perekonomian menjadi lebih stabil.