Rabu, 11 September 2013

Cover Buku "Selamatkan Perbankan!"









TEORI DAN PRAKTIK PROSES KEPUTUSAN PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN YANG BERSANDAR PADA PRINSIP KEHATI-HATIAN

TUGAS MANDIRI (UNX)
TEORI DAN PRAKTIK PROSES KEPUTUSAN PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN
YANG BERSANDAR PADA PRINSIP KEHATI-HATIAN

Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana


Promotor:
Prof. Dr. H. Nen Amran, SE., MEc



Disusun oleh:
Hendy Herijanto
1101.300.800.54



PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJAJARAN
Bandung
2 0 1 3





D  A  F  T  A  R      I  S  I

Halaman
A.. Latar Belakang …………………………………………………………………………………….  1
B.. Keputusan Bisnis…………………………………………………………………………………. 8
C.. Prinsip Kehati-Hatian ………………………………………………………………………….  16
D.. Teori Pemberian Kredit dengan Prinsip Kehati-Hatian ……………………………  20
1… Kredit dan Pemberian Kredit ………………………………………………………….  20
2… Ketentuan UU Perbankan yang Berkaitan dengan Pemberian Kredit …….  22
3… Proses Pemberian Kredit ………………………………………………………………..  27
4… Analisis Kredit ……………………………………………………………………………..  31
5… Risiko Kredit ………………………………………………………………………………..  41
6… Masalah Jaminan  Kredit /Agunan …………………………………………………..  44
7… Keputusan Kredit ………………………………………………………………………….  45
8… Pemutus Kredit dan Ketentuan UU Perbankan …………………………………  48
E… Praktik Pemberian Kredit dengan Prinsip Kehati-Hatian …………………………  50
1… Praktik Pemberian Kredit Perbankan ……………………………………………….  50
2… Prinsip Kehati-Hatian dalam Pertimbangan dan Keputusan MA …………  57
a.   Pertimbangan Mahkamah Agung  Perkara RS Natalegawa,
Putusan MARI Regno. 275K/Pid/1983 ………………………………………  57
b.   Pertimbangan Mahkamah Agung dalam Putusan MARI dalam
Perkara PT Bank Perkembangan Asia Vs PT Djaja Tunggal,
No. 1916K/Pdt/1991 ………………………………………………………………..  59
c.   Pertimbangan Mahkamah Agung Dalam Putusan MARI Nomor
979 K/Pid /2004 ………………………………………………………………………  59
d.   Pertimbangan Mahkamah Agung  dalam Perkara Neloe Cs,
MARI No. 1144 K/Pid/2006, Tanggal 13 September 2007 …………..  60
F. Simpulan …………………………………………………………………………………………….  61
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………………..  62
A.. Buku ……………………………………………………………………………………………  62
B.. Jurnal / Artikel ………………………………………………………………………………  65
C.. Website ……………………………………………………………………………………….  66
D.. Peraturan Bank Indonesia ………………………………………………………………  67





TEORI DAN PRAKTIK PROSES KEPUTUSAN PEMBERIAN KREDIT PERBANKAN
YANG BERSANDAR PADA PRINSIP KEHATI-HATIAN
  

A.      Latar Belakang

Dalam setiap pengambilan keputusan bisnis, terdapat sejumlah masalah yang tidak dapat dipastikan hari ini. Sebagai salah satu dari masalah tersebut, pertanyaannya adalah apakah asumsi sebagai dasar pengambilan keputusan itu akan berlangsung, atau tetap berlaku di masa depan. Karena itu, maka hampir di setiap khasanah pengambilan keputusan selalu mengandung unsur ketidak-pastian. Dalam menghadapi ketidak-pastian ini, orang yang mengambil keputusan cenderung untuk bersikap hati-hati. Salah satu cara mengatasinya, orang tersebut cenderung menggunakan naluri dan pertimbangan pribadinya. Kualitas dari pertimbangan seseorang itu sangat ditentukan oleh pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang yang akan diputuskan, selain kematangannya dalam berpikir. Kematangan ini pula yang juga menentukan kualitas sikap hati-hatinya itu.

Permasalahan akan timbul jika direksi mengambil suatu keputusan bisnis ternyata salah, dan kemudian membawa kerugian. Tidak ada jaminan bahwa keputusan yang diambil akan selalu membuahkan hasil yang diharapkan, walaupun telah menerapkan sikap hati-hati sekalipun, dan mematuhi seluruh ketentuan dan perundangan yang berlaku. Permasalahan ini akan menjadi kasus hukum, jika pemegang saham, atau pemangku kepentingan lainnya, merasa dirugikan, sehubungan adanya kerugian tersebut. Salah satu faktor yang membuat hal itu menjadi kasus hukum adalah karena pihak yang dirugikan cenderung menyalahkan direksi. Pemegang saham atau pihak yang dirugikan dapat menganggap bahwa kerugian itu terjadi, sebagai akibat ketidak mampuan direksi dalam membuat keputusan yang dapat menciptakan keuntungan. Bahkan, direksi dapat disalahkan, karena anggapan bahwa direksi mengambil keputusan itu tidak dengan hati-hati. Dengan menggunakan logika yang sederhana, alasan tersebut cenderung diterima, karena memang pengambilan keputusan bisnis sering melibatkan unsur subjektivitas seseorang, yang tidak memiliki ukuran yang pasti. Di samping itu, unsur kehati-hatian merupakan konsep yang abstrak, dan tidak secara konkrit dan seragam diketahui oleh orang awam.

Namun, tidak semua kerugian yang timbul merupakan akibat dari pengambilan keputusan yang salah atau tidak tepat. Keputusan yang salah  tidak selalu disebabkan karena direksi dengan sengaja, atau dengan niat untuk menguntungkan atau memperkaya pribadi atau pihak lain, sehingga pengambilan keputusan tidak dilakukan dengan cermat. Kemampuan yang memadai dengan sikap hati-hati  sekalipun tidak selalu membuahkan hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, direksi memerlukan ruang lingkup atau latitude tertentu, yang dapat memberikan keleluasaan baginya dalam membuat kesalahan dalam batas tertentu, sebagai hasil dari keputusannya. Jika direksi selalu dituntut secara hukum, karena adanya kerugian dan anggapan bahwa keputusannya itu salah, maka direksi akan segan untuk mengambil keputusan. Orang yang bertindak secara hati-hati pun dapat dikenai tuntutan. Di lain pihak, jika direksi tidak membuat keputusan bisnis, usaha perseroan akan mengalami stagnasi; atau orang akan segan untuk diangkat sebagai direksi.

Kerugian yang ditimbulkan karena pengambilan keputusan yang salah atau tidak tepat tidak selalu bermuara, atau berkaitan dengan unsur memperkaya diri sendiri atau pihak lain; atau tidak serta merta merupakan tindak pidana korupsi. Karena jika pengadilan hanya memeriksa hasil keputusan direksi, maka dapat saja menyimpulkan banyak hal; terutama jika dilihat dari kerugian yang ditimbulkan semata. Kerugian sudah terjadi, sehingga dengan mudah mencari siapa yang dapat disalahkan; dan dapat pula dikatakan bahwa pengambilan keputusan dilakukan  dengan tidak hati-hati. Untuk tidak menimbulkan dugaan yang tidak perlu, pemeriksaan seyogianya tidak terfokus pada hasil keputusan; tetapi lebih tepat, jika ditelaah lebih dalam dari masalah yang dapat terjadi di hulu, yaitu ketika keputusan bisnis itu dibuat.

Di situ perlu diteliti apakah keputusan itu dilakukan secara menyimpang, atau dibuat berdasarkan alasan-alasan atau dasar-dasar yang relevan dan benar, atau dibuat karena adanya motivasi tertentu dibelakang pengambilan keputusan itu. Motivasi ini yang perlu ditelaah lebih dalam, karena dapat membuat tujuan pengambilan keputusan menjadi berbeda. Motivasi yang sebenarnya dapat dibungkus dengan alasan, yang secara sepintas kelihatan rasional, atau masuk diakal. Namun, jika keputusan itu dibuat secara hati-hati, maka unsur kehati-hatian yang berlaku itu akan dapat digunakan untuk menangkis seluruh dugaan tersebut.

Dalam dunia perbankan, keputusan bisnis adalah identik dengan keputusan kredit. Pemberian kredit adalah kegiatan bisnis utama bagi hampir setiap bank. Dalam kenyataan, kredit dapat pula bermasalah bukan disebabkan oleh pejabat pemberi kredit yang tidak hati-hati, atau kurang cermat dalam proses pemberian kredit, atau bahkan bukan karena disebabkan karakter debitor yang tidak baik. Tetapi, kredit yang diputuskan hari ini, kelancaran pembayaran bunga dan angsuran pokoknya masih harus dibuktikan di masa yang akan datang.

Dalam hal ini, penyebab lain dari timbulnya kredit macet adalah faktor eksternal[1], yang umumnya berada di luar kontrol kreditor maupun debitor, dan tidak selalu dapat diperkirakan sebelumnya. Penyebab yang dimaksud adalah, misalnya, adanya perubahan lingkungan bisnis yang drastis, dan berpengaruh pada timbulnya risiko operasional dan risiko pasar[2]. Dengan adanya kejadian seperti itu, asumsi yang dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan dapat saja tidak berakhir sama dengan kenyataan yang muncul dalam perjalanan kredit tersebut, sehingga kredit menjadi bermasalah, atau macet.

Dalam pengambilan keputusan bisnis atau kredit, terdapat sejumlah masalah yang tidak dapat dipastikan hari ini, yaitu apakah asumsi sebagai dasar pengambil keputusan akan berlangsung atau tetap berlaku di masa depan. Di samping itu, hampir di setiap khasanah pengambilan keputusan kredit selalu mengandung unsur yang tidak dapat dipastikan akibatnya di masa depan, tanpa adanya pertimbangan pribadi seseorang, dalam hal ini pihak pemutus kredit. Seperti halnya dengan keputusan bisnis, keputusan atau pertimbangan seperti ini tidak terlepas dari unsur subjektivitas, tetapi tidak selalu dapat dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang.

Permasalahan akan timbul jika direksi mengambil suatu keputusan bisnis atau kredit ternyata salah, dan membawa kerugian bagi korporasi atau bank. Tidak ada jaminan bahwa keputusan yang diambil akan membuahkan hasil yang diharapkan, walaupun telah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan hati-hati sekalipun, termasuk mematuhi seluruh ketentuan dan perundangan yang berlaku. Permasalahan ini akan menjadi kasus hukum, jika pemilik bank atau pihak lain yang berkepentingan merasa dirugikan, karena pihak yang mengambil keputusan atau direksi bank telah mengambil keputusan yang dianggap salah, karena ternyata kemudian menimbulkan kerugian.

Kerugian yang timbul dapat berasal dari kegiatan pengambil keputusan yang salah atau tidak tepat. Namun, tidak semua kerugian yang timbul akibat pengambilan keputusan yang salah, karena dengan sengaja atau dengan niat untuk menguntungkan atau memperkaya pribadi pengambil keputusan atau pihak lainnya. Tidak semua kesalahan dalam pengambilan keputusan merupakan pelanggaran hukum. Karena orang takut salah dalam mengambil keputusan, dan kemudian kesalahan itu di anggap sebagai tindak pidana korupsi, maka sebagai akibatnya, direksi yang berwenang segan untuk mengambil keputusan. Keseganan ini sesungguhnya terjadi di lingkungan bank pemerintah, pasca E.C.W. Neloe sebagai mantan Presiden Direktur Bank Mandiri disidangkan.

Dalam hukum korporasi terdapat doktrin business judgment rule (BJR), bersamaan dengan prinsip duty of skills and care, dan doktrin lainnya. Doktrin ini harus dijalankan dalam rangka memenuhi fiduciary duty oleh direksi perseroan terbatas. Menurut Abdul R Saliman, et.al, doktrin adalah merupakan salah satu sumber hukum [3], dan dalam konteks hukum korporasi, harus pula diperhatikan oleh direksi. Sejalan dengan diundangkannya UU Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), yang merupakan transplantasi hukum Anglo Saxon ke dalam hukum Indonesia, doktrin-doktrin modern tersebut juga dikandung di dalamnya. Oleh karena itu, kedua doktrin ini harus pula dipahami dan dijalankan oleh direksi sebagai organ perseroan terbatas; sehingga, masalah yang inheren ada dalam konteks pengambilan keputusan dapat dijawab dengan lebih tepat.

BJR pada dasarnya merupakan tanggung jawab direksi terhadap para pemegang saham, atau pihak ketiga atau para pemangku kepentingan lainnya. Menerapkan Doktrin ini berarti direksi memenuhi anggapan tertentu, yaitu paling tidak, dalam melakukan pekerjaannya, direksi selalu berusaha untuk memajukan perseroan untuk siapa mereka wakili dan bekerja. Doktrin ini, di negara asalnya, dapat melindungi direksi dari tuntutan hukum, jika ternyata keputusan bisnis yang diambilnya membawa konsekuensi kerugian bagi korporasinya. Perlindungan ini dapat diberikan, jika dalam mengambil keputusan tersebut, direksi memenuhi sejumlah persyaratan. Salah satu dari persyaratan ini adalah penerapan sikap kehati-hatian atau duty of care, sebagaimana yang dikandung oleh UUPT.

Antara bank dan masyarakat terdapat hubungan hukum antar subyek hukum[4]. Menurut Try Widiyono, sebagai subyek hukum, bank harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hukum korporasi. Penjelasan Tri Widiyono ini berkaitan dengan ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 21 UU Perbankan, yang menyebutkan bahwa bentuk hukum suatu bank umum dapat berupa perseroan terbatas. Oleh karena itu, bank umum yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas harus pula tunduk pada UUPT, atau hukum korporasi yang dimaksudkan oleh Try Widiyono.

Mengingat ketentuan pada UUPT merupakan lex generalis, masalah berikutnya yang perlu dikaji adalah bagaimana UU Nomor 10 Tahun 1998  Tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan  (”UUPerbankan”) sebagai lex spesialis menentukan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan bisnis yang dimaksud. Keputusan bisnis di dalam usaha bank adalah keputusan kredit, yang merupakan keputusan moral dan bersifat sangat teknis, sehingga perlu diketahui persyaratan apa yang harus dipenuhi direksi agar memperoleh perlindungan hukum ketika keputusan yang diambilnya salah. Keputusan kredit dengan jelas diatur dalam Pasal 2 dan  Pasal 8 UU Perbankan.

Ditilik dari Doktrin BJR yang dikandung UUPT, hukum yang berlaku menyaratkan penerapan duty of care, dalam pengambilan keputusan bisnis oleh direksi perseroan. Lebih lanjut, bagi perseroan yang berbentuk bank, UUPerbankan menegaskan bahwa perbankan dalam melakukan usahanya harus menerapkan prinsip kehati-hatian. Dari Pasal 8 UUPerbankan, dapat disimpulkan apa yang dimaksud dengan penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, yang secara ringkas diartikan sebagai berikut.

Prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit adalah bahwa bank harus mempunyai keyakinan akan itikad baik, kemampuan, dan kesanggupan calon debitor untuk melunasinya utangnya. Keyakinan ini diperoleh dari analisis yang mendalam mengenai ketiga unsur itu, yaitu itikad baik, kemampuan dan kesanggupan dari calon debitor. Makalah ini lebih lanjut menguraikan mengenai prinsip kehati-hatian dalam proses pemberian kredit, baik secara teori maupun praktik.

B.     Keputusan Bisnis

Menurut Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, bisnis atau business dalam Bahasa Inggris diartikan sebagai suatu usaha dagang atau urusan atau sebagai perusahaan komersial, profesi atau perdagangan yang didirikan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan [5]. Menurut Zaeni Asyhadie, secara luas, bisnis adalah kegiatan usaha dijalankan oleh orang atau badan usaha atau perusahaan secara teratur dan terus menerus, yang berupa kegiatan mengadakan barang atau jasa maupun fasilitas untuk diperjualbelikan, atau disewakan dengan tujuan memperoleh keuntungan [6]. Menurut Gunardi Endro, kriteria umum aktivitas dalam dunia bisnis adalah penyediaan barang dan jasa demi suatu pembayaran dengan uang, baik secara tunai maupun kredit [7].

Setiap bisnis merupakan ciptaan oleh yang mengusahakannya atau oleh pengusaha atau pebinis. Mereka menempatkan uangnya ke dalam bisnis itu, dan mengambil risiko yang terkait dalam bisnis tersebut demi memperoleh keuntungan yang diinginkan. Gunardi Endro menjabarkan perkembangan bisnis, yang pada mulanya dalam bentuk sederhana, dan dilakukan oleh orang perorang. Dalam perkembangannya, ketika menyadari keterbatasan kemampuan individu dan manfaat untuk bekerja sama, semakin banyak bisnis atau usaha dilakukan secara bersama-sama oleh sekelompok individu, atau terkoordinasi dalam bentuk organisasi agar mencapai tujuan atau keuntungan bersama [8].

Dalam rangka mengkoordinasi usaha bersama itu, timbulah konsep dan fungsi dasar manajemen, yang terdiri dari merencanakan atau planning, mengorganisasikan atau organizing, mengarahkan atau directing atau motivating,  pengelolaan sumber daya manusia atau staffing, dan mengontrol atau controlling[9]. Manajemen yang efektif diukur dalam hal pencapaian tujuannya melalui seluruh kegiatan yang diperlukan secara kelompok yang kohesif, sehingga terorganisir menjadi suatu entitas. Salah satu bentuk entitas itu adalah perseroan terbatas [10].

Dalam menjalankan usahanya itu, pebinis atau perseroan harus melakukan pengambilan keputusan dari waktu ke waktu. James M. Burns, dalam terjemahan bebasnya, menjabarkan anatomi dari pengambilan keputusan itu. Menurut beliau, pandangan klasik mengenai pengambilan keputusan merupakan suatu proses yang teratur dan rasional. Persoalan yang dihadapi didefinisikan dan diisolasi, informasi terkait dikumpulkan, berbagai alternatif dikaji. Walaupun dalam mengambil keputusan diperlukan sejumlah informasi, tetapi tidak seluruh informasi yang diperlukan dapat diperoleh. Namun, secara filosofis dikatakan bahwa “A man’s judgment cannot be better than the information on which he has based it[11].

Oleh karena itu, keputusan hanya dapat diambil berdasarkan informasi yang relevan dan cukup, yang harus diupayakan untuk diperoleh, dan dicerna dalam rangka memilih alternatif yang terbaik. Keputusan yang lebih baik dengan data yang lebih rinci akan dapat dicapai sebagai akibat pengulangan keputusan yang pernah dibuat. Fungsi dari seorang eksekutif (atau direksi, pen) pada dasarnya merupakan spesialisasi dalam pengambilan keputusan bagi organisasinya [12].

Tujuan pengusaha atau perseroan adalah untuk memaksimalkan keuntungan, sejalan dengan tujuan dan usaha (perseroan). Namun, setiap pencapaian keuntungan selalu dibayangi dengan risiko yang dihadapi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan bisnis adalah identik dengan mengambil risiko. Pada dasarnya, direksi memiliki tanggung jawab untuk mengelola risiko itu [13]. Setiap usaha selalu mengandung risiko, baik risiko dalam memproduksi barang atau jasa, atau berkaitan dengan struktur biaya produksi dan harga penjualan, ataupun risiko yang ada dalam ruang lingkup berusaha, seperti risiko pasar khususnya kompetisi yang harus dihadapi. Dari segi makro, risiko bisnis juga tergantung pada arah perkembangan industri, dan kemungkinan adanya perubahan perkembangan ekonomi di masa depan.

Risiko yang harus dihadapi, seperti kemungkinan adanya perubahan dalam perekonomian di masa depan, menempatkan direksi untuk mengambil keputusan dalam keadaan ketidakpastian. Keterbatasan lain yang harus dihadapi oleh direksi adalah masalah informasi yang tidak sempurna, dan sumber daya yang terbatas. Bagi perseroan, direksi memiliki kewenangan dalam menjalankan roda bisnis perusahaan. Direksi  akan selalu menghadapi masalah risiko bisnis yang dimaksud [14]; sehingga tidak ada jaminan bahwa keputusan yang diambilnya akan selalu membuahkan hasil yang diharapkan. Di sini, risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan hasil yang diperoleh dari usaha atau bisnis atau investasi yang dilakukan berbeda dengan yang diharapkan.

Esensi dari pertimbangan dan pengambilan keputusan bisnis adalah menyeimbangan antara risiko yang akan dihadapi dengan pendapatan atau keuntungan yang dapat diharapkan [15]. Dalam terjemahan bebasnya, Johneth Chongseo Park berpendapat, bahwa tujuan untuk memaksimalkan keuntungan harus mempertimbangan keuntungan dengan risiko secara proporsional [16].

Risiko bisnis tidak selalu dapat diukur secara matematis, dan tidak semata-mata berdasarkan informasi faktual baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang ada saat pengambilan keputusan. Orang yang berpengalaman dalam suatu bisnis juga menggunakan nalurinya, atau hindsight dalam memahami besar kecilnya suatu risiko bisnis [17]. Kalaupun informasi yang diperlukan dapat diperoleh secara lengkap, informasi tersebut perlu dipikirkan atau dicerna sebelum mengeluarkan suatu sikap atau keputusan yang diperlukan.

Douglas M. Branson, dalam terjemahan bebasnya, berpendapat bahwa keputusan bisnis sering menggunakan sentuhan dan perasaan yang tidak dapat dibuktikan dengan analisis sistematik, dan sering tidak dapat diraba atau tidak mudah dimengerti. Keputusan bisnis merupakan penglihatan naluri atau yang menjelma menjadi perkiraan mengenai keadaan kompetisi pasar, struktur biaya dan arah pertumbuhan industri dan ekonomi. Pada akhirnya, beliau berpendapat bahwa keputusan bisnis merupakan masalah sentuhan dan perasaan yang tidak mudah berpengaruh terhadap analisis sistematik[18].

Stephen M. Bainbridge, dalam terjemahan bebasnya, menyebutkan bahwa keputusan bisnis jarang sekali menyangkut persoalan yang bersifat hitam atau putih. Tetapi, keputusan bisnis pada dasarnya berkaitan erat dengan pertimbangan kehati-hatian di antara sejumlah alternatif yang dapat diterima. Beliau menambahkan, sebagai tingkah laku dari bisnis, pilihan yang diambil secara hati-hati pun di antara sejumlah alternatif yang ada dapat membuahkan hasil yang buruk [19]. Walaupun seluruh ketentuan dan prosedur pengambilan keputusan telah diikuti, tidak ada jaminan bahwa keputusan bisnis yang diambil seseorang akan selalu membuahkan hasil yang positif. Tetapi, keputusan itu dapat juga menimbulkan kerugian. S. Sundari Arie menyebut risiko seperti itu sebagai risiko bisnis yang normal, atau normal business risk [20].

Dalam perseroan terbatas, setiap keputusan yang diambil oleh direksi merupakan keputusan perseroan, dan untuk kepentingan perseroan semata-mata, serta sesuai dengan tujuan dan maksud perseroan, sebagaimana yang tertera atau ditentukan dalam anggaran dasar. Kewenangan direksi ini tidak dapat diintervensi atau campurtangankan oleh para pemegang saham atau pihak lainnya, karena unsur kepemilikan telah dipisah secara jelas dengan kewenangan direksi.

Bahkan, keputusan itu harus dibuat secara independen, tanpa adanya pengaruh dari siapapun, termasuk kepentingan setiap pribadi dari anggota direksi. Karena UUPT menentukan bahwa tanggung jawab direksi bersifat kolegial, maka keputusan direksi dapat dikatakan merupakan keputusan kelompok, yang menunjukkan adanya konsensus dari seluruh anggota direksi.

Sudah merupakan suatu kesimpulan umum bahwa keputusan yang diambil oleh kelompok lebih baik dari keputusan yang dibuat secara individu. Walaupun umumnya pengambil keputusan bersifat rasional, tetapi kemampuan kognitif individu terbatas, atau disebut sebagai bounded rationality. Stephen M. Bainbridge, dalam terjemahan bebasnya, mengemukakan hal ini berdasarkan pengamatannya dari sejumlah penelitian, di antaranya yang dilakukan oleh Blinder dan Morgan. Kesimpulannya adalah bahwa dua kepala lebih baik dari satu kepala, sehingga lebih bijaksana untuk menugaskan suatu komite untuk mengambil keputusan yang penting [21].

Alasannya adalah bahwa keputusan yang dibuat oleh kelompok dapat mengatasi keterbatasan setiap individu dalam hal pengetahuan, kepentingan, keahlian dan pengalaman; sehingga, dapat dikatakan bahwa keputusan yang diambil merupakan hasil resultante, bahkan lebih baik, dari jumlah yang dimiliki oleh seluruh anggota kelompok dalam tersebut. Hal ini berlaku terutama bagi keputusan yang kompleks atau rumit, dan memerlukan pertimbangan evaluatif. Alasan ini pula yang menyebabkan Hukum Korporasi memberikan penekanan yang kuat pada pengambilan keputusan secara kolektif [22].

Stephen M. Bainbridge, dalam terjemahan bebasnya, juga mengemukakan penyimpangan atau bias yang dapat terjadi pada keputusan kelompok, yaitu herd behavior atau sikap atau tingkah laku ikut-ikutan, dan groupthink atau pikiran kelompok. Tingkah laku ikut-ikutan terjadi ketika pengambil keputusan meniru tindakan yang diambil oleh sekelompok orang lain, umumnya yang berada dalam suatu industri yang sama, pada suatu saat tertentu. Keputusan ikut-ikutan ini mengabaikan informasi yang dimiliki, dan pertimbangan sendiri yang berkaitan dengan baik-buruknya keputusan yang diambil [23].

Pengambilan keputusan seperti ini pada dasarnya bersandar pada keputusan orang banyak itu, atau dapat pula merupakan jawaban terhadap adanya information asymmetries atau informasi yang tidak seimbang, atau dalam menghadapi kompleksitas dan ketidakpastian yang di hadapi terhadap masa depan. Walaupun keputusan itu membawa konsekuensi yang tidak baik, tetapi beban reputasi terhadap pengambil keputusan akan berkurang[24].

Menurut Stephen M. Bainbridge, dalam terjemahan bebasnya, keputusan yang ikut-ikutan ini dapat dihindari, jika pengambil keputusan menambahkan informasi baru dalam pertimbangannya, dan mengunakan pengambilan keputusan kelompok, terutama jika dapat mengatasi masalah bounded rationality dengan lebih baik [25]. Keputusan kelompok juga dapat mengatasi kecenderungan individu yang memiliki keyakinan berlebihan atau over confidence[26].

Stephen M. Bainbridge berpendapat, dalam terjemahan bebasnya, bahwa groupthink atau pikiran kelompok terjadi dari keadaan kelompok yang sangat kompak, atau ikatan sesama anggota yang sangat kohesive, dengan norma kerjasama yang menilai konsensus lebih dari penilaian berbagai alternatif secara realistik, sehingga merupakan jawaban terhadap ketegangan yang ditimbulkan, karena adanya tantangan terhadap solidaritas kelompok; sehingga mendorong kelompok untuk memilih kebulatan suara, tetapi mengorbankan kualitas pengambilan keputusan yang baik. Akibat terburuk dari pendapat kelompok ini adalah gagal mengkaji alternatif yang ada, gagal untuk memberikan kritik atau memberikan penilaian terhadap pendapat anggota lainnya, dan dapat bersikap selektif terhadap informasi yang akan digunakan [27].

Rapat di ruangan direksi cenderung menciptakan budaya groupthink, karena pimpinan menggunakan wewenangnya untuk mengontrol arus informasi, merestui konsensus, dan menjauhkan orang yang menimbulkan masalah atau yang sering menunjukkan sikap yang tidak setuju terhadap keputusan rapat. Masalah groupthink ini memerlukan kajian yang lebih dekat dari segi corporate governance [28].
Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam melakukan pengambilan keputusan bisnis, direksi memerlukan suatu ruang lingkup di dalam mana pertimbangan pribadi dapat dipergunakan, dalam rangka membuat keputusan yang terbaik bagi perseoran.

C.    Prinsip Kehati-Hatian

Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat, kegiatan perbankan perlu dilandasi dengan asas atau prinsip hukum. Menurut Bruggink, asas atau prinsip hukum adalah nilai-nilai yang melandasi norma hukum [29]. Asas hukum merupakan ratio legis bagi dibentuknya suatu norma hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Itu berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Asas hukum yang berkaitan dengan kegiatan perbankan meliputi asas demokrasi ekonomi, asas kepercayaan atau fiduciary principle, asas kerahasiaan atau confidentiality principle, dan asas kehati-hatian atau prudential principle [30].

Karena bank tidak terlepas dari bentuk-bentuk kerawanan atau risiko, terutama dalam kegiatan pemberian kredit, asas yang paling penting adalah prinsip kehati-hatian atau prudential principle. Asas ini wajib diterapkan dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank  [31]. Prinsip ini ditekankan pada Pasal 2 dan 8  UU Pebankan yang telah disebutkan di muka. Prinsip ini ditekankankan kembali dalam Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan, yang menyebutkan bahwa bank wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam kaitan dengan ketentuan ini, Pasal 49 ayat 2 (b) UU Perbankan menetapkan bahwa anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank harus melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam UU Perbankan atau ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank; karena jika tidak, akan dikenakan sanksi pidana.

Prinsip kehati-hatian juga diatur oleh ketentuan-ketentuan Bank Indonesia, yang antara lain: SK Dir Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR dan SE Bank Indonesia No. 27/2/UPPB tentang Kewajiban Penyusunan Kebijakan Perkreditan bagi Bank Umum (PPKPB), dan Peraturan Bank Indonesia No. 7/3/Peraturan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum. Pada dasarnya, prinsip kehati-hatian merupakan prinsip yang perlu diterapkan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, agar selalu sesuai dengan ketentuan-ketentuan perbankan yang berlaku, sehingga dapat menghindari diri dari penyimpangan-penyimpangan yang merupakan praktik perbankan yang tidak sehat, dan sekaligus memperkecil kemungkinan timbulnya kerugian.

Frasa prudential principle, atau prinsip kehati-hatian, bertitik tolak pada kata prudence. Menurut Adam Smith, prudence adalah kebajikan moral dan intelektual yang paling sempurna, dan sekaligus merupakan kebijakan dengan kebajikan yang paling sempurna pula. Adam Smith memberikan sejumlah karakteristik dari orang yang memiliki sikap kehati-hatian atau prudent man. Dari sejumlah atribut yang dikemukakan oleh Adam Smith, sebagian adalah sebagai berikut [32]:

”Orang dengan sikap hati-hati selalu mempelajari secara serius dan sungguh-sungguh apa yang harus dipahaminya dari segi profesi, selalu tulus, dan hanya mengatakan yang benar, serta selalu bersikap hati-hati dalam setiap tindakannya, termasuk ketika berbicara. Ia selalu menghargai sesuatu yang tidak berlebihan dan kewajaran, penuh dengan diskresi dalam batas yang wajar, serta bertingkah laku baik. Sebagai reputasi bagi profesinya, ia selalu melakukan transaksi berdasarkan kemantapan dari pengetahuan dan kemampuannya”.

Sebagai dalam suatu badan hukum, seperti bank, tugas direksi sebagai organ badan hukum adalah untuk memaksimalkan keuntungan. Namun, dalam perspektif Aristotle, dan sejalan dengan pendapat Adam Smith di atas, jika penekanan pada pencapaian keuntungan dilakukan secara berlebihan, maka berkemungkinan keuntungan itu tidak dapat diperoleh sama sekali [33]. Hal ini sangat jelas berlaku pada bank. Bagi bank, keuntungan dan risiko selalu berdampingan. Keuntungan yang tidak wajar dapat berarti, atau berkaitan, dengan risiko yang besar atau berlebihan. Penekanan yang berlebihan pada keuntungan, tanpa memperhatikan risiko, akhirnya akan menciptakan kerugian.

Menurut Hermansyah [34], penerapan prinsip kehati-hatian dapat dilihat dari bagaimana bank dan orang-orang yang terlibat di dalamnya membuat kebijaksanaan dan menjalankan kegiatan usahanya. Dalam menjalankan usaha itu, mereka wajib menjalankan tugas dan wewenang masing-masing secara cermat, teliti, dan profesional, selalu mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku secara konsisten, dengan didasari dengan itikad baik. Dengan menjalankan kegiatan usaha seperti itu, diharapkan bank dapat menghindari diri dari praktik yang tidak sehat, dan meminimalkan kerugian yang mungkin dapat terjadi [35]. Ini berarti bank melindungi kepentingan masyarakat pemilik dana, sehingga dengan demikian dapat memperoleh kepercayaan masyarakat.

Walaupun prinsip kehati-hatian ini telah diketahui secara luas, tetapi tampaknya diabaikan dalam banyak kasus perbankan di dunia, yang menyebabkan kegagalan bank dan kemudian krisis perbankan. Kedua hal ini menimbulkan biaya yang tidak sedikit bagi makro ekonomi dan masyarakat pembayar pajak [36]. Oleh karena itu, bank cum manajemen internalnya mutlak untuk menerapkan prinsip-prinsip moral seperti prinsip kehati-hatian tersebut, sehingga terhindar dari sanksi hukum karena pelanggaran terhadap prinsip tersebut.

D.    Teori Pemberian Kredit dengan Prinsip Kehati-Hatian
1.   Kredit dan Pemberian Kredit

Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank, dan sekaligus merupakan sumber pendapatan untuk menutup biaya bunga yang dibayarkan kepada para deposan atau masyarakat penyimpan dana dan biaya-biaya operasional; sedangkan kelebihannya merupakan keuntungan bagi bank. Oleh karena itu, pemberian kredit merupakan kegiatan bisnis bagi bank, dan berada dalam lalu lintas bisnis bagi bank [37]; dan merupakan tot daden van beheeren, atau tindakan kepengurusan bagi direksinya.

Pada masa Athena kuno, kata yang maknanya berdekatan dengan kredit adalah pistis. Arti yang dikandungnya meliputi kepercayaan atau trust dan belief, keyakinan atau faith dan confidence dan assurance, kejujuran atau honesty, bukti atau proof, dan jaminan atau pledge[38]. Dalam arti yang sempit, pistis diartikan sebagai kelayakan kredit atau creditworthiness, dengan makna bahwa seseorang yang dikenal oleh seorang bankir dapat memperoleh pistis yang lebih besar dari harta miliknya.

Pada abad ke-17, kata latin credo, atau credere muncul, yang berarti mempercayai atau kepercayaan, sehingga pengertian kredit berkembang menjadi suatu pengertian bahwa seseorang bersedia mempercayai orang lain dan ia, orang itu, dapat membayar kembali apa yang dipinjamnya. Kemudian, kata kredit creditworthiness berkembang dan memiliki arti dengan referensi pada reputasi yang dimiliki seseorang, yang merupakan suatu estimasi bahwa orang itu akan dapat mempertahankan karakternya dan reputasinya, sehingga dapat dipercaya [39]. Jadi, intinya, kredit berarti kepercayaan. Dalam konteks yang lebih besar, unsur kepercayaan bersifat sangat sensitif dalam perbankan, sehingga isu negatif yang timbul dalam suatu bank dapat menciptakan citra buruk bagi perbankan secara keseluruhan [40].

Black’s Law Dictionary memberikan definisi mengenai kredit, yaitu [41]: “One’s ability to borrow money; the faith in one’s ability to pay debts”. Dalam dunia bisnis, kata kredit diartikan sebagai kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak [42]. Menurut Edy Putra Tje’Aman, dari sudut ekonomi, kredit diartikan sebagai penundaan pembayaran, atau maksudnya adalah penerimaan uang dan/atau barang tidak dilakukan bersamaan, tetapi pengembaliannya dilakukan pada masa tertentu yang akan datang [43]. UU Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah:

”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Menurut Veithzal Rivai dan Adria Permata Veithzal, terdapat dua fungsi yang saling berkaitan dengan kredit. Pertama, tingkat keuntungan, yaitu tujuan untuk memperoleh hasil dari kredit berupa keuntungan yang diraih dari bunga yang harus dibayar oleh nasabah. Oleh karena itu, bank hanya akan menyalurkan kredit kepada usaha-usaha nasabah yang diyakini mampu dan mau mengambalikan kredit yang telah diterimanya. Kedua, keamanan, yaitu keamanan dari prestasi atau fasilitas yang diberikan harus benar-benar terjamin, sehingga tujuan ’keuntungan’ dapat benar-benar tercapai tanpa hambatan yang berarti [44].

Dasar hukum pemberian kredit meliputi [45]: (1) perjanjian (kredit) antara para pihak, dengan mengacu pada Pasal 1338 KUHPerdata, (2) UUPerbankan, (3). Peraturan Pelaksanaan dari Undang-undang Perbankan, (4). Yurisprudensi, (5). Kebiasaan dalam praktik perbankan, (6) Peraturan perundang-undangan terkait lainnya, atau Ketentuan Bank Indonesia tentang perkreditan. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen utama dalam pemberian kredit adalah perjanjian kredit, yang merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang antara bank dengan pihak lain, dalam hal ini nasabahnya, sebagai subjek hukum.

2. Ketentuan UU Perbankan yang Berkaitan dengan Pemberian Kredit.

Dalam UUPerbankan, terdapat 6 pasal yang berkaitan dengan keputusan pemberian kredit:

Pertama, Pasal 2 UU Perbankan, yang menyebutkan bahwa bank dalam melakukan usahanya harus berdasarkan demokrasi ekonomi, dengan menggunakan prinsip kehati-hatian, atau prudential principles.  Penerapan prinsip ini memerlukan perhatian terhadap proses dan kandungan risiko dalam membuat keputusan kredit. Dalam kaitan dengn risiko, Siswanto Sutojo berpendapat, suatu pemberian kredit dapat dikategorikan sebagai kredit yang berisiko tinggi, apabila termasuk dalam salah satu atau lebih dari kriteria berikut [46]: (1). Kredit akan digunakan untuk tujuan berspekulasi, misalnya untuk membeli tanah dengan harapan untuk memperoleh keuntungan atau capital gain di kemudian hari; (2). Calon debitor tidak dapat memberikan data dan informasi pokok tentang perusahaan, bidang usaha dan kondisi keuangannya; (3). Kredit akan digunakan untuk membiayai bidang usaha atau proyek yang memerlukan keahlian khusus yang tidak dimengerti oleh bank; (4). Kredit akan digunakan untuk melunasi kredit bermasalah pada bank atau kreditor lainnya. Namun, di pihak lain, setiap penutupan bank yang telah terjadi selalu diakibatkan karena kredit macet yang besar, pinjaman yang melalui batas yang wajar bagi setiap debitor, atau over leverage, atau over extended, yang tidak sepadan dengan kemampuan keuangan debitor, atau pemberian pinjaman kepada pihak terkait melebihi ketentuan BMPK atau LLL (Pasal 11 UUPerbankan).

Kedua, Pasal 4 UU Perbankan menetapkan bahwa bank bertindak sebagai agent of development. Secara substantif, Pasal ini menuntut agar dana masyarakat harus disalurkan melalui kredit untuk tujuan-tujuan produktif dalam rangka menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, membantu peningkatan tingkat laju dan pemerataan pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat luas. Pada dasarnya, pasal ini menunjukkan bahwa para bankir atau pemutus kredit, selain bertanggungjawab terhadap profesi dan pekerjaannya, mereka juga harus bertanggungjawab pada ruang lingkup yang lebih luas itu. Menurut Preston, secara umum, peranan profesi seseorang tidak dapat dipisahkan dengan tanggung jawab sosial dan akibatnya pada kehidupan keluarga, lingkungan hidup atau sosial, dan keadilan sosial [47].

Jika ketentuan dari Pasal 4 UU Perbankan  ini dilaksanakan ex-ante, dengan memperhatikan pemberian kredit yang sehat, dapat menunjang pengembangan usaha calon debitor. Apabila hal ini tercapai, maka pembayaran utang pokok beserta bunga akan menjadi lebih pasti; sehingga tingkat risiko kredit berkurang; dan sekaligus meningkatkan tingkat solvabilitas bank. Berkembangnya usaha debitor memberikan kesempatan bagi tenaga kerja baru. Sebaliknya, pemberian kredit yang berisiko tinggi dalam jumlah yang relatif besar dapat berakibat pada kegagalan bank. Penutupan bank akan berpengaruh secara negatif terhadap proses pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, dengan memperhatikan prinsip pemberian kredit yang sehat itu saja sudah dapat menunjang pemenuhan dari tujuan dari ketentuan Pasal 4 tersebut.

Ketiga, Pasal 8 UUPerbankan menentukan bahwa bank, dalam hal ini diwakili oleh pemutus kredit, harus meyakini diri bahwa debitor memiliki itikad baik, kemampuan dan kesanggupan berdasarkan analisis yang mendalam dan seksama, sehingga kredit yang akan diberikan dapat dibayar oleh debitor sesuai dengan perjanjian. Frasa ‘analisis yang mendalam’ menunjukkan substansi dari pasal ini yang menekankan pada dua hal, yaitu: proses pengambilan keputusan, dan bahan baku dari pengambilan keputusan, yaitu berupa informasi, data dan fakta yang diperlukan. Ini artinya bahwa analisis kredit yang disajikan oleh analis kredit, atau pihak yang berada di bawah pemutus kredit, telah mengumpulkan dan berhasil menyajikan seluruh informasi, data dan fakta itu. Jumlah informasi, data dan fakta yang diperlukan sangat ditentukan oleh hasil yang ingin dicapai, yaitu keyakinan terhadap itikad baik, kemampuan dan kesanggupan untuk melunasi utangnya. Kajian mengenai itikad baik calon debitor menuntut adanya informasi atau proxy yang menunjukkan adanya niat baik itu, dan faktor pendukung adanya itikad baik itu, dan yang dapat mempertahankan unsur ini di masa depan. Dalam banyak kasus, itikad baik di masa lalu ditunjukkan oleh catatan pembayaran kewajibannya terhadap kreditor atau pihak ketiga lainnya; sedangkan unsur utama yang dapat mempertahankannya di masa depan adalah prospek bisnis atau proyek yang masih menjanjikan keuntungan yang diharapkannya. Sejumlah literatur dan Bab terdahulu menunjukkan bahwa analisis kredit yang sangat tehnis itu umumnya dilakukan oleh perbankan cenderung bersifat  standar dan baku. Di samping itu, pasal ini juga menyiratkan bahwa pemutus kredit bertanggungjawab atas kualitas akhir dari analisis kredit yang disajikan oleh pihak di bawahnya. Tanggung jawab ini tidak saja terbatas pada proses dan jumlah informasi, data dan fakta yang diperlukan, tetapi juga kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Keempat, Pasal 29 Ayat (3) UUPerbankan menyebutkan bahwa dalam dalam menjalankan usaha, bank wajib untuk menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, yang mempercayakan dananya kepada bank. Ini artinya dalam menjalankan usaha bank, yang mencakup pemberian kredit, dan termasuk  pengambilan keputusan kredit, bank dalam hal ini pemutus kredit harus memastikan bahwa tidak ada peraturan perundangan atau ketentuan internal bank yang dilanggar. Selain itu, pemutus kredit juga harus memperhatikan cara- cara yang tidak berimplikasi negatif terhadap kepentingan  bank dan nasabah pemilik dana. Kamus Besar Indonesia menterjemahkan ‘cara’ sebagai usaha atau ikhtiar, sedangkan ‘cara-cara’ dapat berarti adanya berbagai cara yang dapat ditempuh. Oleh karena itu, ‘cara’ cenderung lebih bersifat rinci atau lebih spesifif, dan merupakan bagian yang lebih rinci dari proses. Frasa ‘cara-cara’ memberikan implikasi adanya proses pemilihan cara yang akan dipakai, dan cara ini harus tidak merugikan kepentingan bank atau para pemilik dana.    

Kelima,  Pasal 29 Ayat (2) menyebutkan bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan usaha itu sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Secara menyeluruh, Ayat ini menekankan kembali, bahwa dalam menjalankan usahanya, bank wajib mentaati prinsip kehati-hatian, yang harus diterapkan terhadap seluruh aspek pelaksanaan usaha itu, sehingga bank dapat memelihara tingkat kesehatannya.

Keenam, Pasal 49 UUPerbankan, terutama Ayat 2 (a), menyebutkan bahwa seluruh anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank tidak dapat meminta, menerima, mengizinkan, atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, dan seterusnya, dalam rangka memberikan persetujuan untuk menarik dana yang melebihi batas kredit yang disetujui. Pemberian imbalan seperti ini dapat terjadi ketika mengajukan permohonan kredit dengan tujuan kreditnya segera diproses, atau selama proses agar dicarikan jalan keluar dalam rangka memproleh persetujuan, atau setelah kredit cair sebagai gratifikasi. Pemutus kredit tercakup sebagai pihak yang tercakup dalam pasal ini. Oleh karena itu, pemutus kredit tidak boleh mengambil manfaat keuangan dari keputusan yang diambilnya. Secara batiniah, ketentuan ini dapat mendorong independensi pemutus kredit dalam melakukan pekerjaannya.

3. Proses Pemberian Kredit

Proses pemberian kredit/pinjaman pada hakekatnya meneliti dan memastikan bahwa terdapat unsur-unsur yang dikandung oleh kata pistis, credo dan trusworthiness itu; atau untuk memastikan kelayakan suatu permohonan kredit, apakah dapat diterima atau ditolak [48]. Proses tersebut dimulai ketika permohonan dari calon debitor kepada bagian marketing, dan ditangani oleh account/loan officer. Tugas mereka adalah mengumpulkan data/informasi dan dokumen yang diperlukan untuk memproses permohonan kredit, melakukan analisis kredit, memperoleh persetujuan pinjaman/pembiayaan internal, dan menangani serta memonitoring pinjaman/pembiayaan yang diberikan.

Pemrosesan permohonan kredit mencakup sejumlah aspek yang perlu dianalisis oleh bagian marketing, dengan melibatkan bagian lain seperti yang ditunjukkan dalam kurung berikut: 1. Pengecekan daftar hitam atau kredit macet, apakah calon debitor termasuk di dalamnya (account officer). 2. Aspek yuridis, dari legalitas badan hukum dan legalitas usaha (account officer/bagian hukum) 3. Mengenai usaha debitor, ditinjau dari aspek marketing, aspek keuangan, aspek teknik/produksi, aspek manajemen (marketing/account officer). 4. Aspek jaminan kredit dan pengikatan barang-barang jaminan (account officer/bagian hukum), 5. Kajian ulang permohonan atau persetujuan permohonan fasilitas kredit (risk management), 6. Cara pengikatan kredit (bagian hukum), 7. Penandatanganan surat perjanjian kredit (bagian hukum dan bagian operasional)[49]. Menurut Kasmir, prosedur dan penilaian kredit secara umum bagi setiap bank tidak jauh berbeda; yang berbeda hanyalah pada persyaratan dan ukuran penilaian dengan pertimbangan masing-masing bank [50].

Untuk memproses suatu permohonan kredit, account officer mengumpulkan informasi atau data mengenai calon debitor, antara lain meliputi laporan keuangan perusahaan debitor, jenis usaha, latar belakang usaha dan pemilik, track record dari perusahaan dan pemilik, tujuan dari pinjaman, jaminan yang dapat diberikan, dan seterusnya[51]. Setelah memproleh informasi yang diperlukan, account officer harus melakukan analisis dan penilaian yang berkaitan dengan sifat dari calon debitor (charácter), modal yang dimiliki (capital), kemampuan akan membayar kembali (capacity), jaminan yang akan diberikan untuk mendukung kredit yang akan diberikan (collateral), kemudian apakah kondisi ekonomi akan menunjang usaha si debitor sehingga dia dapat mengembalikan kreditnya (condition of the economy), serta meneliti kegunaan kredit yang dimintakannya[52].

Semenjak terjadinya krisis moneter tahun 1997-1998, berdasarkan Surat Edaran BI No.5/21/DPDN tanggal 29 September 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, bank di Indonesia diwajibkan untuk memiliki bagian yang disebut risk management[53]. Dari segi perkreditan, bagian ini bersifat independen yang bertugas sebagai filter dan melakukan ‘check and balance’ terhadap, dalam hal ini, bagian marketing. Memo usulan persetujuan kredit yang dibuat oleh account officer (bagian marketing) akan direview ulang oleh bagian risk management dengan tujuan untuk memastikan bahwa, dari segi risiko, usulan tersebut layak diteruskan, memenuhi kriteria standar perkreditan internal bank, serta sesuai dengan ketentuan-ketentuan perbankan yang berlaku. Dari segi hukum, risiko yang harus dikaji adalah, antara lain, kemungkinan timbulnya masalah atau tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung secara memadai, atau kelemahan perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna [54].

Apabila hasil review risk management membuahkan hasil yang positif, maka usulan tersebut dapat diteruskan kepada pihak pemutus kredit sesuai dengan tingkat kewenangannya. Pemutus kredit, atau pihak yang dapat memberikan persetujuan kredit, berdasarkan ketentuan KPB yang ditetapkan Bank Indonesia, merupakan bagian dari suatu kredit komite (KK) [55]. Untuk jumlah kredit yang besar tertentu, KK memiliki anggota dan ketua yang terdiri dari direksi.

Sering terjadi di antara anggota komite kredit ada yang tidak setuju atas suatu pemberian kredit yang sedang diusulkan, dan untuk itu yang bersangkutan perlu menuliskan alasan kenapa tidak setuju. Pihak pemutus, biasanya direksi, akan mempertimbangkan catatan ini. Tetapi, jika menurut direksi alasan itu tidak begitu kuat, maka berdasarkan pertimbangannya persetujuan dapat terus diberikan.

Setelah komite kredit yang terdiri dari direksi ini menyetujuinya, dan jika jumlah tertentu memerlukan persetujuan komisaris bank, maka langkah terakhir harus pula memperoleh persetujuan komisaris ini. Setelah itu, persetujuan kredit yang telah diperoleh disampaikan secara resmi kepada debitor. Jika debitor menerima syarat-syarat kredit yang disetujui bank, bagian hukum bank akan mempersiapkan penandatanganan perjanjian kredit beserta perjanjian jaminan lainnya. Apabila seluruh dokumentasi yang diperlukan telah dipenuhi, bagian operasi bank akan mengijinkan pencairan kredit sesuai yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

4.   Analisis Kredit

Analisis kredit adalah bagian inti dari proses pemberian kredit. Melakukan analisis kredit adalah cara utama untuk mengatasi masalah asymmetric information dan menghindari adverse selection, dan merupakan unsur utama dalam melakukan penyeleksian atau screening.

Coyle menyebutkan bahwa analisis kredit merupakan suatu proses investigasi dan penilaian yang terstruktur mengenai risiko potensil dari seorang calon debitor, yang dilakukan oleh seorang analis kredit untuk pengambilan keputusan pemberian pinjaman yang akan dilakukan oleh pemutus kredit [56].

Bathory berpendapat bahwa analisis kredit adalah usaha penilaian mengenai kemampuan dan kemauan untuk memenuhi kewajiban pembayaran yang tertunda [57]. Sejalan dengan pendapat Bathory ini, risiko potensil yang dimaksudkan oleh Coyle dapat diartikan sebagai kemungkinan calon debitor tidak dapat atau tidak mau membayar kewajibannya, ketika jatuh tempo di masa depan.

Hal yang mendasar dalam analisis kredit adalah meneliti prospek usaha dan kemampuan keuangan calon debitor di masa depan. Analisis ini memerlukan  penelitian terhadap sifat dari usaha atau bisnis si calon debitor dalam konteks industri dimana dia berusaha atau beroperasi; dan yang kedua, menganalisis kemampuan arus kas yang dihasilkan oleh usaha atau bisnisnya itu [58] dari waktu ke waktu. Kedua hal ini mengarah langsung kepada kemampuan bayar calon debitor, atau mengidentifikasi sumber dari pembayaran kembali, dan mengkaji apa yang membuat sumber tersebut dapat terealisasi.

Kemampuan membayar kembali tidak menjamin bahwa debitor akan benar-benar membayar kembali pinjamannya. Di lain pihak, kreditor selalu ingin agar pinjaman yang diberikan dibayar oleh debitor tepat waktu, tanpa diperlukan adanya proses hukum apapun untuk membuat debitor memenuhi kewajibannya. Dalam keadaan yang umum, perangkat hukum memang dapat mendorong orang membayar kewajiban atau utangnya. Namun, penyelesaian melalui proses hukum akan membutuhkan waktu dan berbiaya. Oleh karena itu, keadaan yang ideal adalah jika debitor mengetahui bahwa dia dapat mengatasi resiko bisnis yang dihadapi, sehingga mampu untuk membayar hutangnya, serta mau untuk melakukan pembayaran tersebut.

Keyakinan akan kemampuan dan kemauan tersebut seyogianya bersifat endogen dalam diri debitor, dan tugas kreditor dalam kaitan ini adalah untuk memastikan adanya unsur endogen ini. Calon kreditor harus meyakinkan diri bahwa unsur ini memang berada dalam diri calon debitor; sehingga dapat diharapkan bahwa unsur itu dapat mendorong debitor tersebut untuk menggunakannya, ketika terdapat masalah dalam bisnisnya yang berkembang ke arah yang tidak baik.

Green  meninjau masalah analisis kredit ini dari segi etika. Dia mengatakan bahwa masyarakat menempatkan atau ‘meminjamkan’ uangnya kepada bank, karena mereka memiliki keyakinan atau confidence dan percaya atau trust terhadap bank [59]. Menurut Dilley, bankir memiliki beban etika yang tidak kecil; karena, masa depan masyarakat pemilik dana, masa pensiun, pendidikan anak-anak mereka, dan kualitas hidup mereka tergantung pada tindakan para bankir tersebut dalam hal melakukan analisis kredit [60].
Seyogianya, bank memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan mereka, dengan melakukan pekerjaan yang diperlukan secara prudent dan bertanggungjawab. Untuk keperluan itu, Green mengatakan, bahwa para bankir perlu memahami aturan “canons of lending[61] , yang ia jabarkan sebagai berikut:
Pertama, perlu dikaji tujuan penggunaan dana yang akan dipinjam (Amount dan Purpose dari CAMPARI). Unsur etika dari tujuan peminjaman ini harus dimengerti, dan dikaitkan dengan integritas dan kemampuan bisnis dari peminjam (Character dan Means dari CAMPARI).

Kedua, jika kajian ini menghasilkan kesimpulan yang memuaskan, kreditor perlu melihat berapa banyak bagian modal yang dapat disediakan oleh calon debitor, karena ini merupakan “komitmen” dari yang bersangkutan terhadap jumlah yang diperlukan secara menyeluruh (Means dari CAMPARI atau Capital dari 5 C).

Ketiga, kreditor baru meneliti kemampuan calon debitor untuk membayar kembali pinjamannya (Repayment dari CAMPARI, atau Capacity dari 5 C). Jika semua hal ini dapat dijawab dengan baik, maka kreditor dapat mengkaji besar-kecilnya risiko yang dihadapi, dan kemudian menentukan bentuk atau besar jaminan yang diperlukan (Insurance dari ICE atau Collateral dan Condition dari 5 C).

Keempat, setelah itu, kreditor baru dapat menentukan kompensasi yang sesuai dengan risiko yang dihadapi (Interest dan Commission dari ICE). Pada dasarnya Green dan Chorafas [62] mengemukakan prinsip yang sama; tetapi, Chorafas menambahkan bahwa penilaian masalah kelayakan kredit atau creditworthiness tetap dilakukan dari waktu ke waktu, sampai kontrak selesai atau pinjaman dilunasi. Di sini, tampak bahwa Chorafas  juga menekankan masalah kontrol atau pengawasan kredit, termasuk menentukan dan mencantumkan serta mengontrol pelaksanaan covenants yang diperlukan dalam kontrak atau perjanjian kredit [63].

Untuk menganalisis suatu kredit, kreditor memerlukan banyak informasi [64] baik yang berkaitan dengan keuangan maupun non-keuangan, baik yang diperoleh dari debitor sendiri, maupun dari berbagai pihak lainnya. Untuk memperoleh informasi yang diperlukan, kreditor perlu melakukan suatu bentuk riset mengenai calon debitor [65]; riset ini akan mudah dilakukan jika, baik debitor maupun kreditor, memiliki pengetahuan dan jaringan dari mana informasi dapat diperoleh; sehingga, verifikasi informasi sekaligus dapat dilakukan.

De Satins menyatakan bahwa debitor memiliki dua persyaratan. Syarat yang pertama yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu seseorang seharusnya mengambil dan menerima pinjaman sebanyak yang dia ketahui, bahwa dia akan mampu untuk membayarnya [66]. Di jaman Athena kuno, seseorang bernama Aristarchus mengaku pada Socrates, bahwa dia tidak akan merasa lega untuk mengambil pinjaman untuk keperluan produktif; dan tidak akan mengambil pinjaman itu, jika dia tahu ia tidak akan dapat membayarnya [67].

Syarat yang kedua, adalah yang berkaitan dengan efisiensi atau tujuan akhir untuk apa pinjaman dilakukan [68]. Kembali pada masa Athena kuno, dalam kaitannya dengan pinjaman non-produktif, Plutarch mengatakan mengenai kemampuan membayar kembali seperti yang dimaksud oleh Aristarchus, bahwa orang jangan melakukan pinjaman, jika tidak mempunyai apa-apa atau tidak memiliki sumber daya yang berkembang [69].

Peminjaman yang baik dan ideal dapat dilakukan, apabila pinjaman itu membuat seseorang dapat melakukan usahanya dengan lebih besar dan lebih cepat. Perkembangan ini seyogianya akan membantu perkembangan dirinya melalui keberhasilan proyek atau bisnis yang diusahakan dan ditekuninya. Dari kedua syarat ini disimpulkan bahwa debitor harus yakin dapat mencapai tujuannya itu, sehingga dia pun dapat membayar kembali utangnya. Dari sisi lain, jika debitor dapat berkembang secara pribadi, misalnya melalui keberhasilan proyeknya, maka masyarakat luas dapat pula memperoleh manfaat dari keberhasilan proyek itu.

Di lain pihak, pengambilan pinjaman atau utang akan menambah risiko usaha bagi debitor, dan risiko kredit bagi kreditor [70]. Menurut Chorafas, orang yang menggunakan pinjaman atau utang yang berlebihan atau overgearing [71] menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan praktik etika yang meragukan. Dalam kaitan ini, yang diperlukan adalah hubungan mengenai berapa banyak utang yang dapat digunakan dengan kemampuan dalam jangka panjang untuk membayar kembali. Utang yang berlebihan untuk ukuran industri tertentu atau overgearing membuat usaha menjadi sangat rawan terhadap perubahan lingkungan usaha, dan sekaligus merupakan penyebab utama kenapa usaha mengalami kebangkrutan atau wanprestasi atau  default [72].

Oleh karena itu, jika calon debitor tidak menyadari berapa banyak pinjaman yang dapat atau mampu dibayarnya kemudian, atau berapa besar risiko yang dihadapinya, bank sebagai calon kreditor perlu melakukan fungsi kontrol untuk mengatasi situasi calon debitor seperti ini. Namun, apa yang disebutkan ini hanya merupakan suatu asumsi atau harapan, karena banyak kreditor sesungguhnya sadar akan kemampuan bayar seorang debitor, tetapi tetap menambah pemberian kredit. Sumber pembayaran kredit yang diberikan sering bukan berasal dari kemampuan debitor dalam menghasilkan pendapatan dan keuntungan dari usaha yang dijalankannya.

Mengingat peranan bank dalam masyarakat, bank memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk bertindak secara hati-hati atau prudent, dan berkewajiban untuk memastikan dan meyakini diri bahwa calon debitor memenuhi dua syarat yang disebutkan De Satins di atas. Kedua syarat itu adalah bahwa bank mengetahui dengan jelas bahwa calon debitor mengambil dan menerima pinjaman sebanyak yang dia ketahui dia akan mampu untuk membayarnya, dan pengambilan pinjaman itu digunakan secara efektif untuk pengembangan usahanya. Kedua hal ini dikaji dan dipastikan dengan menggunakan analisis kredit untuk mengambil keputusan yang tepat dalam pemberian pinjaman.

Jika kemudian kreditor dan debitor tidak dapat mencapai titik temu dalam kedua hal tersebut, menurut Chorafas, kreditor seharusnya tidak melakukan hubungan bisnis dengan debitor seperti itu [73]. Dalam kata lain, permohonan kreditnya tidak dapat disetujui atau perlu ditolak. Sebagai alternatif jalan tengah, bank dapat memutuskan untuk melakukan credit rationing, dengan memperkecil jumlah pinjaman, memperketat syarat pinjaman, meminta tambahan kolateral, dan memperbesar tingkat bunga, atau kombinasi dari keputusan ini[74].

Analisis kredit bukanlah merupakan ilmu yang pasti [75]. Ed Emmer menyatakan bahwa “credit analysis is an art, not a science[76].  Namun, analisis kredit yang benar dan efektif harus mencerminkan keadaan dunia yang sesungguhnya. Apabila hasil analisis gagal mencapai pencerminan ini berarti berlawanan dengan akal sehat atau common sense [77]. Di sisi lain, seluruh proses dalam analisis kredit memerlukan pertimbangan atau judgement manusia[78].

Pada hakikatnya, mempertimbangkan sesuatu adalah merupakan suatu proses menilai suatu situasi atau kenyataan dalam rangka mencapai suatu kesimpulan. Kesimpulan yang diambil merupakan hasil pertimbangan nilai dan bersifat kontekstual, sehingga yang tidak terlepas dari ketidak-berpihakkan. Terutama dalam penentuan masalah kriteria pertama, yaitu karakter, memerlukan pertimbangan yang besar, dan tidak lepas dari masalah subjektivitas [79]. Namun, karakter merupakan pertimbangan pertama, dimana pertimbangan terhadap C yang lain dapat dipengaruhi unsur karakter itu [80].

Jika calon debitor tidak memiliki karakter yang baik, maka kualitas informasi dari C yang lain akan terpengaruhi. Seseorang yang tidak memiliki kejujuran dalam berbisnis misalnya, akan menerbitkan laporan keuangan dengan kualitas kebenaran yang dapat diragukan, dan oleh karenanya wajib dipertanyakan.
Lebih lanjut, Brody mengungkapkan bahwa analis kredit atau loan officer atau pihak lain dalam proses pemberian kredit menghadapi begitu banyak informasi yang perlu dicerna dan dianalisis[81]. Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak terlepas dari pertimbangan yang bersifat pribadi; dan bahkan tidak luput dari kesalahan dalam melakukan pertimbangan, atau lalai untuk mengkaji atau melakukan pertimbangan terhadap informasi tertentu.

Dalam keadaan seperti ini, analis kredit atau loan officer dapat memberikan pengaruh pribadi atau kontribusi terhadap kesimpulan analisis kredit yang mengarah pada persetujuan pemberian kredit. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan yang netral dan terlepas dari unsur emosional, yang dikontrol oleh nurani yang paling dalam atau individual conscience, dengan menggunakan akal sehat, tetapi harus diusahakan sebanyak mungkin berdasarkan pada ekstrapolasi dari data atau informasi yang faktual.

Uraian di atas menunjukan bahwa analisis kredit merupakan hal yang sangat penting dilakukan. Analisis ini menentukan perjalanan kreditor dengan setiap debitor yang dipilihnya untuk mempertahankan pinjaman yang diberikan dalam portofolio pinjaman bank. Analisis kredit seyogianya akan dapat membedakan antara kredit atau debitor yang baik dari yang buruk, sehingga merupakan bagian utama dari masalah perkreditan. Di lain pihak, keahlian dalam pelaksanaan perkreditan merupakan isu sentral terhadap reputasi dan tingkat keuntungan bank [82].

Tidak sedikit bank mengalami kegagalan, semata-mata karena standar analisis kredit atau yang disebut sebagai underwriting standards mereka yang buruk[83]. Dalam kaitan ini, Sathye menyimpulkan bahwa banyak masalah NPL dapat dihindari dengan memiliki dan mentaati prosedur dan kebijakan pemberian pinjaman atau kredit yang lebih baik [84]. Pendapat yang dikemukakan Sathye ini berdasarkan penyebab-penyebab NPL yang dikemukakan Golin, yang bersumber lebih banyak pada institusi pemberi kredit itu sendiri [85]; yang didukung pula oleh pendapat Thomas yang dikutip oleh Esbitt sebagai berikut [86]:

The Secret of sussessful banking lies almost completely in the honesty and good faith of the management and its ability to distinguish between good and bad loans and investments. Naturally, a good loan or investment is one that will be of value even in bad times. Bad times only serve to accentuate the difference between the good and the bad which prosperous times so frequently conceal”.

5.   Risiko Kredit

Salah satu tujuan melakukan analisis kredit adalah memperkirakan berapa besar risiko kredit yang akan dihadapi, berdasarkan perkiraan kemampuan dan tendensi dari karakter debitor. Menurut Chorafas (2000 : 1), risiko kredit merupakan kemungkinan pihak lain dalam suatu transaksi, atau menyangkut suatu instrumen keuangan, akan gagal memenuhi kewajibannya sesuai dengan kondisi dan syarat-syarat dari kontrak atau perjanjian yang telah disepakati, karena masalah-masalah seperti kebangkrutan, keadaan yang tidak likuid, dan alasan-alasan lainnya [87]. Schroeck menekankan pada keadaan wanprestasi di pihak debitor, karena perubahan kualitas kredit yang dapat menimbulkan kerugian ekonomis bagi kreditor [88].

Colquitt menyebutkan bahwa risiko kredit bersumber dari masalah keuangan, bisnis, industri, dan manajemen [89]. Menurut Banks, risiko kredit tidak saja bersumber dari ketidakmampuan, tetapi juga ketidakmauan debitor untuk memenuhi kewajiban keuangan kepada kreditor [90]. Ketidakmauan ini merupakan salah satu bentuk moral hazard yang dihadapi bank. Jadi, risiko kredit adalah perkiraan besar kecilnya kemungkinan, atau probabilita, calon debitor/debitor tidak dapat membayar kembali pinjamannya, berdasarkan perkiraan kemampuan dan tendensi dari karakternya.

Mengukur risiko kredit tidak terlepas dari persepsi, intuisi dan pertimbangan individu, dan karenanya tidak selalu dapat diukur secara matematis. Informasi yang diperlukan tidak semuanya dapat diperoleh, dan tidak selalu berdasarkan informasi yang bersifat faktual, terkadang hanya bersifat perkiraan, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Namun, sebagian besar dari perkiraaan terhadap masa depan ini harus diupayakan agar merupakan ekstrapolasi dari analisis yang menggunakan lebih banyak data kuantitatif yang akurat dan mutakhir, dan dikombinasikan dengan informasi yang bersifat kualitatif. Sebaliknya, untuk mengukur kemauan debitor untuk membayar kewajibannya di masa depan jauh lebih sulit, dan akan lebih banyak menggunakan persepsi dan intuisi yang merupakan penalaran dari karakter dan reputasi debitor ketika mempertimbangkan pemberian kredit/pinjaman.

Untuk memperkecil risiko kredit, Colquitt mengatakan, bahwa risiko kredit perlu dikelola dengan menggunakan pendekatan bottom-up, semenjak perolehan awal dari suatu transaksi baru [91]. Untuk itu, merupakan hal yang sangat penting bagi para pemroses kredit atau para spesialis yang membidangi kredit memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam proses seleksi kredit ex-ante; mereka juga perlu memiliki pengalaman dalam memonitoring perkembangan kualitas kredit ex-post, yaitu setelah kredit disetujui hingga dilunasi. Selain itu, mereka juga perlu memiliki integritas dan moralitas yang tinggi.

Pada akhirnya, seperti halnya dalam bisnis, orang yang berpengalaman dalam suatu bisnis juga menggunakan nalurinya dalam memahami besar kecilnya suatu risiko bisnis[92] yang sedang dihadapinya.

6.   Masalah Jaminan Kredit /Agunan

Berdasarkan UUPerbankan, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, angunan, dan prospek usaha dari debitor. Jaminan utama bank adalah keyakinan bank bahwa kredit yang diberikan dapat dibayar kembali oleh calon debitor. Keyakinan ini diperoleh dari penilaian yang saksama tersebut.  Agunan dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan, dan bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai, atau disebut sebagai agunan tambahan.

Namun, agunan terutama yang bersifat tambahan bukan faktor yang menentukan dalam pembayaran kembali suatu pinjaman, dan bukan pengganti unsur karakter dalam pemberian kredit [93]. Agunan merupakan syarat yang cukup penting untuk dipenuhi, dan mutlak harus diperhatikan dan dipertimbangkan oleh kreditor, tetapi berada pada prioritas secara komparatif lebih rendah kedudukannya dalam menentukan kelayakan suatu kredit [94]. Sumber utama pembayaran kembali suatu pinjaman atau utang adalah berasal dari keberhasilan usaha debitor, yang tercermin dalam arus kas dan dapat direalisasikan, atau feasibilitas usaha yang dapat bertahan sampai utang debitor lunas terbayar, bukan pada penekanan penjualan agunan. Keyakinan bank atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya merupakan jaminan utama bagi bank [95].

Penentuan masalah dan kecukupan agunan dalam setiap situasi pemberian pinjaman atau kredit merupakan sesuatu yang bersifat judgmental, dan ditentukan pula oleh keyakinan kreditor terhadap kelayakan kredit debitor atau borrower’s creditworthiness. Pertimbangan mengenai agunan ini merupakan bagian dari prinsip kehati-hatian.

7.   Keputusan Kredit

Substansi utama dari proses persetujuan kredit, yang melibatkan banyak pihak dalam struktur organisasi perkreditan suatu bank, adalah untuk meyakinkan bank sebagai suatu institusi bahwa kredit yang akan disetujuinya itu cukup layak untuk diberikan. Cukup layak artinya debitor diyakini akan mampu untuk membayar bunga serta cicilan pokoknya kembali, sehingga kredit tersebut dapat diperkirakan tidak akan mengalami kemacetan.

Kalaupun kemacetan terjadi di kemudian hari, maka bank harus meyakini diri bahwa jaminan tambahan atau agunan yang dimiliki dapat dijadikan sebagai sumber pelunasan kredit yang diberikan. Agunan tambahan ini harus dibahas dalam komite kredit, ditetapkan dan diterima di awal perjanjian kredit; sedangkan nilai dan bentuknya, harus dikaitkan dengan persepsi tingkat risiko kredit yang dihadapi.

Keputusan kredit mengandung unsur moral yang paling besar, karena menyangkut begitu banyak kepentingan orang lain. Menurut Lehrer, keputusan moral adalah keputusan unik, karena harus mempertimbangkan kepentingan orang lain [96]. Orang lain yang tercakup dalam keputusan pemberian kredit dan harus dipertimbangkan begitu banyak. Pihak yang banyak itu mewakili begitu banyak kepentingan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Mereka adalah mulai dari masyarakat pemilik dana yang disimpan pada bank,  debitor dan calon debitor yang mewakili kepentingan pertumbuhan usaha dan para pekerja dibelakangnya, para stakeholders di belakang usaha yang dibiayai, sampai pada para pemilik dan para stakeholders yang berkaitan dengan bank itu sendiri, disamping para pegawai dan keluarganya.

Apabila keputusan kredit yang diambil tidak tepat, maka akan berakibat pada timbulnya kredit bermasalah atau NPL, dan seterusnya akan berakibat pula pada kegagalan bank, dan kemudian pada krisis perbankan. Apabila hal ini terjadi, seluruh pihak yang dikemukakan tadi akan merasakan akibat negatifnya.

Pengambilan keputusan kredit ini sangat penting artinya tidak saja bagi kualitas portofolio pinjaman bank bagi institusi pemberi pinjaman, tetapi juga bagi kelanjutan atau kelanggengan usaha bank. Dari segi pemikiran deontologi, pendekatan terhadap masalah etika berporos pada konsep tugas atau duty, dan tugas seseorang adalah untuk melakukan apa yang benar secara moral, dan menghindari diri dari yang buruk. Individu pada dasarnya merupakan unit etika, sehingga diperlukan agen yang bermoral.

Oleh karena itu, keputusan kredit sangat tergantung pada individunya, yang akan mengambil keputusan yang benar, dan bermoral karena menyangkut begitu banyak kepentingan orang lain. Dari segi tugas, keputusan kredit merupakan pilihan yang diambil dalam memastikan bahwa suatu risiko kredit dapat diterima atau tidak, dan sekaligus menyelaraskan keseimbangan antara risiko dan perolehan laba, atau risk and return dari suatu transaksi perkreditan. Secara teoretis, semakin besar suatu risiko bisnis dalam hal ini risiko kredit sejauh yang dapat diterima oleh bank, semakin besar perolehan laba yang diperlukan untuk menerima dan memikul risiko tersebut.

Pertimbangan kredit merupakan proses dari pengolahan seluruh informasi yang terkait dan berinteraksi secara bersamaan meliputi unsur keuangan, ekonomi, dan manajemen. Pada akhirnya, pertimbangan ini merupakan pemilihan keputusan yang terbaik, dan dikaitkan dengan arahan yang harus diikuti. Dalam konteks organisasi bank, arahan ini merupakan ketentuan dari perkreditan yang harus diikuti dan ditaati.

Dengan demikian, apakah keputusan kredit itu benar atau tidak, atau disetujui atau ditolak, harus didukung dengan alasan-alasan yang benar, yang mucul dari hasil analisis yang menggunakan informasi, data dan fakta yang relevan dan mutakhir. Putusan moral bukan berdasarkan suka atau tidak suka, tidak ditentukan oleh emosi atau selera, tetapi lebih memerlukan penalaran yang objektif.

8.   Pemutus Kredit dan Ketentuan UU Perbankan

Karena persetujuan kredit diberikan oleh pemutus kredit, maka itu berarti bahwa pemutus kredit harus memastikan bahwa seluruh ketentuan yang berlaku dalam pemberian kredit telah dipenuhi. Keputusan yang diambil oleh pemutus kredit itu didasarkan pada masukan dan analisis yang dilakukan oleh account officer, dan telah dikaji ulang secara seksama oleh bagian risk management. Seperti halnya yang diminta UU Perbankan, pemutus kredit harus yakin bahwa kredit yang disetujuinya akan dapat dibayar kembali oleh debitor. Oleh karena itu, untuk memperoleh keyakinan ini, pemutus kredit harus pula meyakini diri bahwa   analisis yang dilakukan oleh account officer itu, dan kajian dari risk management tersebut, telah memenuhi standar perkreditan yang dianut oleh bank.

Dari segi moral, pemutus kredit memiliki tanggung jawab yang paling besar dalam urutan proses pemberian kredit. Keputusannya itu akan menentukan perjalanan kehidupan bank di masa depan, dan mengandung tanggung jawab yang besar terhadap para stakeholders; terutama masyarakat para pemilik dana yang menitipkan uangnya pada bank. Bank dan pemutus kredit harus memastikan bahwa bahwa uang masyarakat yang akan dipinjamkan pada calon debitor itu mutlak harus dapat dikembalikan dengan utuh beserta bunga yang dijanjikan.

Harapan masyarakat sebagai pemilik dana atas kelanjutan kehidupan mereka di masa depan, dengan suatu tingkat kesejahteraan tertentu yang diharapkan, berada pada titik proses pengambilan keputusan oleh pemutus kredit itu. Secara menyeluruh, masayarakat luas juga berharap bahwa pengelolaan bank dilakukan secara efektif, sehingga dapat menunjang pertumbuhan ekonomi dan akhirnya menciptakan kesejahteraan masyarakat secara lebih luas. Pada dasarnya, seluruh harapan ini ditentukan pada saat ketika pemutus kredit memutuskan untuk menyetujui suatu usulan kredit, berdasarkan keyakinan dirinya terhadap kemampuan dan kesangupan calon debitor untuk mengembalikan kredit atau pinjamannya kepada bank.

Jika pemutus tidak yakin, tetapi tetap memutuskan pemberian suatu kredit, atau keyakinannya tidak memenuhi harapan, sehingga ternyata kredit kemudian bermasalah, atau tidak dapat dikembalikan oleh debitor, maka NPL akan tercipta. NPL yang besar dapat menimbulkan masalah besar bagi bank, sehingga dapat ditutup oleh pemerintah jika tidak terdapat dana talangan. Dalam keadaan seperti itu, dana masyarakat yang dipakai untuk pemberian kredit yang diputuskan oleh pemutus kredit dapat tidak kembali kepada pemiliknya, seperti yang semula diharapkan.

Penerapan prinsip kehati-hatian menuntut pemutus kredit untuk tidak memberikan kredit yang berisiko tinggi. Menurut Siswanto Sutojo, suatu pemberian kredit dapat dikategorikan sebagai kredit yang berisiko tinggi, apabila termasuki dalam salah satu atau lebih dari kriteria berikut [97]: (1). kredit akan digunakan untuk tujuan berspekulasi, misalnya untuk membeli tanah dengan harapan untuk memperoleh keuntungan atau capital gain di kemudian hari; (2). Calon debitor tidak dapat memberikan data dan informasi pokok tentang perusahaan, bidang usaha dan kondisi keuangannya; (3). Kredit akan digunakan untuk membiayai bidang usaha atau proyek yang memerlukan keahlian khusus yang tidak dimengerti oleh bank; (4). Kredit akan digunakan untuk melunasi kredit bermasalah pada bank atau kreditor lainnya.

Pada hakekatnya, pemutus kredit merupakan pejabat yang terakhir dari pihak bank yang mengontrol tanggung jawab bank yang besar terhadap para stakeholders, terutama masyarakat pemilik dana. Seorang pemutus kredit sekaligus merupakan pemimpin terakhir dalam proses pemberian kredit; ia harus memiliki kearifan yang dibangun oleh argumen yang kuat, berdasarkan pemikiran sebagai olah intelektual. Dia harus tunduk kepada kearifan ini, dan sekaligus mampu mengendalikan, dan mendisiplinkan dirinya terhadap berbagai macam dorongan terhadap raga. Hal ini tidak saja diterapkan pada dirinya, tetapi sekaligus merupakan pemberian contoh bagi pihak lain dalam proses pemberian kredit yang panjang itu.

E.  Praktik Pemberian Kredit dengan Prinsip Kehati-Hatian
1.   Praktik Pemberian Kredit Perbankan

Penelitian ini akan mengunakan angket dan wawancara sebagai instrumen penelitian. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah unsur-unsur yang disebutkan di atas digunakan dalam praktik pemberian kredit perbankan.

Angket yang akan digunakan berjumlah dua puluh, dan dikirim kepada Bagian Kredit/Hukum, sebagai obyek dari penelitian, dari dua puluh bank. Bank-bank ini terdiri dari bank pemerintah, bank swasta nasional, bank patungan, dan bank asing. Jawaban dari angket dituangkan dalam bentuk Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Ragu-Ragu (RR), Kurang Setuju (KS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Wawancara dilakukan dengan lima anggota direksi yang membawahi bidang kredit dan hukum dari kategori bank yang berbeda, seperti halnya pada angket.

Hasil dari angket menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden menyatakan Sangat Setuju atau Setuju terhadap pertanyaan yang diajukan. Hasil angket ini mendukung hasil wawancara, yang intisarinya adalah sebagai berikut.

Praktik pemberian kredit harus mengacu pada Pasal 2 dan 8 UUPerbankan, yang intinya harus memenuhi prinsip kehati-hatian dan ketentuan kebijakan perkreditan internal bank dan ketentuan Bank Indonesia [98]. Hasil wawancara menyimpulkan pengertian dan pelaksanaan prinsip kehati-hatian berikut.

Prinsip kehati-hatian mewajibkan bank untuk selalu menjaga tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset, tingkat likuiditas, ketahanan manajemen, dan aspek lainnya terkait dengan usaha bank; sehubungan dengan tanggung jawab bank yang besar terhadap dana nasabah yang dikelolanya [99]. Prinsip ini merupakan kepatuhan bank terhadap ketentuan atau aturan-aturan perkreditan, atau perundang-undangan secara benar, konsekuen, dan dapat dipertanggung jawabkan; serta diikuti oleh  seluruh pihak yang terkait dengan pemberian kredit. Namun, masalah kehati-hatian menyangkut masalah lebih luas, yaitu berkaitan dengan masalah moral, ketika berhadapan dengan sesuatu yang belum di atur; atau melakukan pembiayaan yang dapat merusak komunitas perbankan, sehingga berakibat pada risiko reputasional [100].

Dalam pemberian kredit, penerapan prinsip ini dimulai dengan melakukan analisis yang mendalam atas kelayakan dan prospek usaha dari debitor, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi usaha debitor (misalnya faktor makro ekonomi), serta mengantisipasi dan menganalisis risiko yang mungkin timbul dan meminimalkan risiko tersebut [101], dengan menerapkan persyaratan-persyaratan yang wajib dipenuhi oleh calon debitor [102]. Untuk dapat melakukan analisis ini dengan baik, pihak bank harus mempunyai pengetahuan dan keahlian serta pengalaman  yang baik yang diperlukan.

Keputusan pemberian kredit memerlukan pertimbangan, berdasarkan informasi, data dan fakta yang bersifat pokok tentang perusahaan, bidang usaha dan kondisi keuangannya; dan kemampuan untuk mengolah informasi, data dan fakta, sehingga dapat menyalurkan dana yang dititipkan oleh masyarakat ke dalam pasar yang progresif, yaitu untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang produktif dan menghasilkan; tanpa harus semata-mata berdasarkan jaminan tambahan. Dengan demikian, kebijakan yang tepat adalah kemampuan untuk menyalurkan kredit untuk membiayai kegiatan yang produktif dan menghasilkan[103].

Penerapan prinsip kehati-hatian dimulai dari proses pemberian keputusan kredit,  pencairan kredit, sampai pada pengawasan kredit, hingga kredit dilunasi oleh debitor. Proses awal sampai kredit dilunasi memerlukan internal control, untuk memastikan tidak ada peraturan yang dilanggar, memperhatikan ketentuan BMPK, dan Good Corporate Governance, dan anti money laundering[104], dan menghindar diri dari benturan kepentingan.

Pelanggaran prinsip kehati-hatian adalah apabila pemberian kredit dilakukan untuk tujuan spekulasi, usaha perjudian, pornografi, bertentangan dengan norma kesusilaan, narkotika, dan sektor-sektor yang telah dilarang oleh Bank Indonesia, kredit kepada kreditor yang bermasalah pada bank lain, kredit untuk perusahaan yang pengurusnya atau pemiliknya tercatat dalam daftar hitam, kredit macet SID BI, dan daftar cekal, atau melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan [105], kredit untuk proyek atau usaha yang secara nyata membahayakan lingkungan, kredit lain yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku [106]. Pemberian kredit yang berisiko tinggi memerlukan keputusan dari pemutus kredit yang lebih tinggi. Risiko akan bersifat tinggi, jika tidak dapat mengontrol dan tidak dapat memitigasinya [107].

Unsur itikad baik dapat ditentukan oleh karakter dari calon debitor/debitor itu sendiri, yaitu. watak, moral, kebiasaan-kebiasaan, cara hidup, keadaan dan latar belakang keluarga dan usaha [108]. Sifat-sifat pribadi dari calon debitor dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha, rasa tanggung jawab yang baik dan sikap kooperatif [109]. Reputasi debitor dalam hal pembayaran kewajibannya terhadap kreditor atau pihak lain, tidak terlibat dalam perkara hukum, tidak pernah memiliki kredit macet, tidak termasuk dalam daftar hitam BI, kinerja calon debitor dinilai baik oleh para supplier dan distributornya [110], dan transparansi data dan informasi yang diberikan ke bank [111].

Penilaian kemampuan didasarkan pada analisis yang mendalam untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya, dengan mengumpulkan informasi, data dan fakta mengenai calon debitor, yang cukup, antara lain, meliputi informasi mengenai keadaan keuangan perusahaan atau debitor, jenis usaha, latar belakang usaha dan pemilik, tujuan dari pinjaman, jaminan yang dapat diberikan, informasi mengenai reputasi calon debitor, dan dan seterusnya. Calon debitor/debitor perlu memiliki reputasi dari segi keberhasilan dalam usahanya yang diketahui secara langsung atau tidak langsung oleh lingkungan dimana dia berusaha.

Analisis harus dilakukan untuk mengetahui berapa banyak usaha debitor dapat menghasilkan arus kas dari kegiatan penjualan, dengan memperoleh laba bersih tertentu, sebagai sumber utama untuk melakukan pembayaran kembali utang berserta bunga. Bank perlu memastikan berapa besar jumlah kredit yang diperlukan dan dikaitkan dengan untuk apa kredit akan digunakan. Bank perlu menganalisis seberapa jauh jumlah kredit yang diperlukan tersebut akan dapat meningkatkan pendapatan, laba dan arus kas dari usaha debitor. Bank perlu menelaah pengalaman, keahlian, dan komitmen debitor, sebagai perusahaan atau individu, agar dapat berhasil dalam bidang usahanya.

Kemampuan calon debitor dapat dilihat dari tingkat pendidikan, pengalaman mengelola usaha atau business record, dan sejarah perusahaan yang pernah dikelola, apakah pernah mengalami masa sulit, dan bagaimana mengatasinya [112]. Untuk mengetahui kemampuan calon debitor, bank harus memeriksa laporan keuangan secara komprehensif, dengan sekaligus menganalisis kemampuannya, beserta pengecekan fisik terhadap aktivitas usaha calon debitor itu [113]. Faktor yang digunakan untuk menentukan kemampuan calon debitor adalah, antara lain, analisis finansial, analisis pasar, track record, pengalaman usaha calon debitor, dan lainnya [114]. Pengukuran kemampuan ini pada dasarnya mengukur repayment capacity, dan dilakukan melalui analisis historis dan proyeksi dengan berbagai pendekatan, antara lain: (a). melalui evaluasi laporan keuangan, dalam beberapa periode dan diproyeksikan ke depan, mengukur likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, dan aktivitas. (b). pedekatan profesionalisme atau track record dalam menjalankan usahanya, (c). pendekatan yuridis, (d). pendekatan manajerial, dan (e). pendekatan teknis [115].

Kesanggupan dari calon debitor dapat dinilai dari kondisi aset atau cash flow dari perusahaan yang dikelolanya; dan dari situ dianalisis keuangannya melalui neraca dan laporan rugi laba, struktur permodalan, rasio-rasio keuntungan, seperti return on equity atau return on asset. Dari analisis ini, dapat diketahui apakah calon debitor layak memperoleh kredit, dan berapa besar plafon yang dapat diberikan. Kesanggupan calon debitor adalah merupakan gabungan unsur antara kemampuan dengan unsur itikad baik, seperti yang telah diuraikannya di atas [116]. Kesanggupan calon debitor dapat dilihat dari kinerja keuangan dan likuiditas dari calon debitor [117]. Namun, kesanggupan ini diyakini melalui hal-hal berikut: (a). Melalui data historis kredit, seperti daftar hitam dan IDI BI, serta informasi dari trade checking, (b). Kesediaan calon debitor untuk memenuhi seluruh ketentuan bank, (c). Komitmen calon debitor untuk memenuhi self financing[118]. Kemampuan juga dilihat dari pendapatan, sedangkan kesanggupan dilihat dari pendapatan setelah dikurangi dengan kebutuhan nasabah [119].

Bank perlu melakukan analisis terhadap kondisi ekonomi dalam rangka menentukan apakah kondisi itu  akan menunjang usaha debitor, sehingga berhasil berusaha, dan dapat menghasilkan arus kas dari penciptaan pendapatan dengan laba, sehingga mampu dan sanggup membayar kembali utangnya kepada bank.

Penilaian yang dilakukan oleh bank  harus bersifat objektif dan independen. Ini artinya bahwa penilaian merupakan kesimpulan dari analisis yang dilakukan mengenai character, capacity, capital, collateral dan condition of economy, serta jumlah dan kegunaan kredit akan menentukan apakah kredit dapat diberikan atau tidak; didasarkan informasi, data dan fakta  yang relevan, benar, dan cukup. Di samping itu, penilaian juga tidak dipengaruhi oleh pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit, tingkat emosional dan sikap optimistik yang berlebihan, atau faktor entusiasme yang tidak rasional (irrational exurbearance)[120], atau mengikuti keputusan yang dilakukan oleh pihak lain (herd behavior), atau telah dinodai dengan unsur moral hazard.

2.   Prinsip Kehati-hatian dalam Pertimbangan dan Keputusan Mahkamah Agung.

Kasus kecil kredit macet yang dibawa ke pengadilan berjumlah tidak banyak. Walaupun Mahkamah Agung tidak menggunakan UU Perbankan, tetapi sebagian dari pertimbangan-pertimbangan Mahkamah Agung tersebut dapat digunakan untuk makalah ini ini, yaitu yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dan perkreditan. Pertimbangannya adalah sebagai berikut:

a.   Pertimbangan Mahkamah Agung Perkara RS Natalegawa, Putusan MARI Regno. 275K/Pid/1983.

Dalam kaitan dengan kebijakan perkreditan, Mahkamah Agung menyatakan hal berikut:

“Bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan “melawan hukum“ tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi, yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai dengan pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat“ [121].

“Menimbang, bahwa penggunaan kekuasaan serta wewenang secara menyimpang oleh Terdakwa, menurut pertimbangan Pengadilan Negeri selaku judex facti dalam perkara ini pun dianggap terbukti seperti pemberian kredit terhadap real estate adanya overdraft, adanya perpanjangan kredit dan sebagainya, yang merupakan tanggung jawab Terdakwa Raden Sonson Natalegawa selaku Direktur Bank Bumi Daya yang membidangi/membawahi perkreditan dengan tugas menganalisis atau memeriksa permohonan kredit yang diajukan oleh urusan atau bagian kredit kepada Terdakwa, perbuatan mana merupakan penyimpangan dari kebijakan tertulis dari Bank Indonesia, yang menurut Mahkamah Agung harus dianggap sebagai suatu perbuatan yang dilakukan tanpa kewenangan yang melekat padanya, ataupun tanpa dia berhak melakukan demikian, dan perbuatan yang demikian itu adalah juga merupakan perbuatan melawan hukum“[122].

Dari Pertimbangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberian kredit yang menyimpang dari kebijakan perkreditan direksi dan kebijakan kredit tertulis Bank Indonesia merupakan tindakan melanggar hukum. Dengan demikian, tindakan melanggar hukum merupakan juga pelanggaran prinsip kehati-hatian. Kebijakan prekreditan direksi dianggap sebagai indikator terhadap asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.

b. Pertimbangan Mahkamah Agung dalam Putusan MARI dalam Perkara PT Bank Perkembangan Asia Vs PT Djaja Tunggal, No. 1916K/Pdt/1991.

Mahkamah Agung menyatakan, adalah merupakan fakta, bahwa yang menjadi pengurus dari Tergugat I adalah bersama pula dengan pengurus dari Penggugat sebelum Penggugat sebagai Bank Perkembangan Asia yang diambil alih Bank Indonesia. Jadi, pada saat perjanjian kredit ditanda-tangani dan direalisasikan Direksi dan Dewan Komisaris dari Penggugat dan Tergugat bersatu dalam gugatan tersebut. Dalam kaitan tersebut, dapat diduga adanya persengkongkolan dan itikad buruk para diri Tergugat; dan oleh karena itu, menghukum seluruh Tergugat untuk membayar utang tersebut secara renteng [123].

Dari Pertimbangan di atas, dapat disimpulkan bahwa persekongkolan dan itikad buruk merupakan tindakan melanggar hukum; dan ini jelas merupakan pelanggaran dari prinsip kehati-hatian.

c.   Pertimbangan Mahkamah Agung Dalam Putusan MARI Nomor 979 K/Pid /2004.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemberian fasilitas saldo debet kepada bank-bank yang mengalami saldo debet melanggar prinsip kehati-hatian atau prudential principle, sebagaimana ditentukan antara lain oleh pasal 2 UUPerbankan. Pemberian fasilitas tersebut tidak memakai permohonan, pengikatan dan jaminan. Dari segi pengawasan, terdapat kesulitan dan ketidakmampuan Pengawas dalam mengawasi dan memantau penggunaan fasilitas saldo debet.

Seharusnya, pemberian bantuan kepada bank-bank yang sedang mengalami saldo negatif dilakukan melalui pemberian fasilitas diskonto. Syarat-syarat, prosedur dan mekanisme untuk fasilitas diskonto diatur dalam Surat Keputusan Direksi BI tanggal 20 Januari 1984 No. 16/53/Kep/Dir jo Surat Keputusan BI tanggal 20 Februari 1991 No. 231/84/Dir, dan Surat Edaran yang mengatur petunjuk pelaksanaannya.

d.   Pertimbangan Mahkamah Agung  dalam Perkara Neloe Cs, MARI No. 1144 K/Pid/2006, Tanggal 13 September 2007.

Sesuai dengan Artikel 520 Kebijakan Perkreditan Bank Mandiri (KPBM) Februari 2000, yang berbunyi, “Mengingat tanggung jawab pemutus kredit tersebut di atas berkaitan erat dengan kemungkinan suatu debitur menjadi tetap lancar atau menjadi bermasalah, kepada officer pemutus kredit diminta melaksanakan hal-hal berikut: Memastikan bahwa setiap kredit yang diberikan telah memenuhi norma-norma umum perbankan, dan telah sesuai dengan asas-asas perkreditan yang sehat, yaitu:

(1). Memastikan bahwa pelaksanaan pemberian kredit telah sesuai dengan ketentuan dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Kredit (PPK).

(2). Memastikan bahwa pemberian kredit telah didasarkan pada penilaian yang jujur, objektif, cermat dan seksama, serta terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit.

(3). Meyakini bahwa kredit yang akan diberikan dapat dilunasi pada waktunya, dan tidak akan berkembang menjadi kredit bermasalah”.

Berdasarkan ketentuan tersebut, seharusnya para Terdakwa selaku pemutus kredit sebelum menyetujui pemberian kredit haruslah mempunyai keyakinan, berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud, sesuai yang diperjanjikan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) UU Perbankan.

Dari Pertimbangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pelanggaran terhadap Ketentuan Perkreditan Internal Bank dan Ketentuan pasal 8 Ayat (1) UUPerbankan merupakan pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian, dan sekaligus merupakan pelanggaran hukum.  


F. Simpulan

Makalah ini menyimpulkan bahwa teori dan praktik pemberian kredit mengandung pengertian prinsip kehati-hatian yang sama. Dalam pemberian kredit, prinsip kehati-hatian adalah melakukan analisis yang mendalam untuk memperoleh keyakinan terhadap itikad baik, kemampuan dan kesanggupan calon debitor untuk membayar utangnya kembali. Perbuatan yang menyimpang dari ketentuan kebijakan perkreditan internal bank,dan ketentuan tertulis Bank Indonesia, serta UUPerbankan, merupakan pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dan hukum.






DAFTAR PUSTAKA

A.  Buku
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Teori & Contoh Kasus, Jakarta, Prenada Media Grup, Cetakan Kedua, 2006.
Andi Hamzah, Komentar terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia terbaru mengenai Korupsi, Jakarta: Ind-Hill-Co, 1986.
Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam ekonomi & Bisnis, Jakarta: Mitra Kencana Media, 2010.
Bathory, Alexander, The Analysis of Credit, Foundations and Development of Corporate Credit Assessment, Maidenhead, Berkshire. England: McGraw Hill Book Company (UK) Limited, 1987.
Burns, James Macgregor, Leadership, New York:  Harper & Row, 2010.
Chorafas, Dimitris, Managing Credit Risk. Analysing, Rating and Pricing The Probability of Default. Euromoney Books, Nestor House, Playhouse Yard, London EC4V 5EX, 2000.
Coleshaw, John, Credit Analysis, How to Measure and Manage Credit Risk, England: Woodhead-Faulkner Limited, 1989.
Colquitt, dan Joetta, Credit Risk Management, How to Avoid Lending Disasters and Maximize Earnings, New York: McGraw-Hill, 2007.
Coyle, Brian, Corporate Credit Analysis, United Kingdom: CIB Publishing, 2000.
David, Fred R., Strategic Management, Concepts and Cases, Pearson Education Limited, England, 2011.
Dilley, Deborah K., Essentials of Banking, Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2008
Edy Putra The’Aman, Mgs., Kredit Perbankan, Suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta: Liberty, 1989.
Frans Hendra Winarta, “Penggunaan Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Menangani Tindak Pidana Perbankan: Perspektif Penegakan Hukum”, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta: CFISEL,  2007
Ganguin, Blaise, dan John Bilardello, Fundamentals of Corporate Credit Analysis, New York : The McGraw-Hill Companies, Inc., 2005.
Ganguin, Blaise dan John Bilardello, Fundamentals of Corporate Credit Analysis. New York : The MacGraw-Hill Companies, Inc., 2005.
Garner, Bryan A., Black’s Law Dictionary, Texas: West Publihing, 2004.
Gunardi Endro, Redefinisi Bisnis, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1999.
Hadi Subhan, M., Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.
Hale, Roger H, Credit Analysis, A Complete Guide, New York: John Wiley & Sons, Inc., 1983.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2007.
Jopie Jusuf, Analisis Kredit untuk Account Officer, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Kasmir, Manajemen Bank, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Lewis, Hunter, Where Keynes Went Wrong, and Why World Governments Keep Creating Inflation, Bubbles, and Busts. Mount Jackson, VA: Axios Press, 2009.
Muhamad Djumhana, Asas – Asas Hukum Perbankan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.
Muldrew, Craig, The Economy of Obligation. The Culture of Credit and Social Relations in Early Modern England. Palgrave, Houndmills, Basingstoke, Hampshire RG21 6XS and 175 Fifth Avenue, New York, NY 10010, 1998,
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002a.
O.C. Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum, Jilid 6, Bandung: Penerbit Alumni, 2011.
Park, Johneth Chongseo, (et.al), The Business Judgment Rule: A Missing Piece in the Developing Puzzle of Korean Corporate Governance Reform.
Preston, Noel, Understanding  Ethics, Annandale, NSW, Australia: The Federation Press, 2007.
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Ryan Kiryanto, Kasus Kredit Macet dan Prospek Bank Pelat Merah. InfoBankNews.com. 30 Agustus 2005.
Sathye, Milind. James Bartle, Michael Vincent, Raymond Boffey, Credit Analysis & Lending Management, Sydney, Melbourne: John Wiley & Sons Australia, Ltd., 2003.
Schroeck, Gerhard, Risk Management and Value Creation in Financial Institutions, Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2002.
Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Konsep dan Kasus, Jakarta: Damar Mulia Pustaka, 2008.
Siswanto Sutojo, The Management of Commercial Bank, Jakarta: Damar Mulia, 2007.
Smith, Adam, The Theory of Moral Sentiment, New York: Prometheus Books, 2000.
Sundari Arie, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan Ditinjau daru Undang-Undang Perbankan dan Peraturan Perundang-Undangan Terkait serta Permasalahan dalam Prakteknya”, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Penggunaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta, 2007.
Tri Widiyuwono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009.
Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005.
Veithzal Rivai, Credit Management Handbook, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.

B.  Jurnal / Artikel

Ashcraft, Adam B.,  “Are Banks Really Special? New Evidence From The FDIC- Induced Failure of Healthy Banks”, The American Economic Review, Vol. 95, No. 5 (December, 2005), pp 1712-1730, <http://www.jstor.org> [2005].
Bainbridge, Stephen M., “Why a Board? Group Decisionmaking in Corporate Governance”, Social Science Research Network, Vanderbilt Law Review, Vol. 55, pp 1-55,  <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=266683> [13/04/2001].
Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review. Vol. 36, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080> [2002].
Brody, Richard G. Kimberly E. Frank, “The Sixth C of Credit”, The Journal of Bank Cost & Management Accounting, 11, 3; ABI/INFORM Global, 1998.
Esbitt, Milton, “Bank Portfolios and Bank Failures During the Great Depression: Chicago”, Journal of Economic History, Vol. XLVI, No. 2, 1986.
Green, C.F., Business Ethics in Banking, Journal of Business Ethics, Netherlands: Kluwer Academic Publisher, 1989.
Jankowicz, A.D., R.D. Hisrich, “Intuition in Small Business Lending Decisions”, Journal of Small Business Management, Jul 1987; 25, 3; ABI/INFORM Global, 1987.
Mattson, Jan, “How Bank Loan Officers Evaluate Persons Applying For Credit”, The International Journal of Bank Marketing Bradford Vol. 11, <http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1120806sid=Fmt=3&client1d=43309&RQT=309&VName=PQD> [1993]
Satins, Antoine De, “Does Finance Have a Soul?, Semaines Sociales de France, Paris”, Review of Business, Summer 1998, 19, 4; ABI/INFORM Global, 1998.
Schreft, Stacey L. Anne P. Villamil, “Credit Rationing by Loan Size in Commercial Loan Markets”, Economic Review; May/June 1992; 78, 3; ABI/INFORM Global
Wolfson, Martin H., “A Post Keynesian Theory of Credit Rationing“, Journal of Post Keynes Economics 18.3, [1996].

C.  Website

Bankers, “Corporate Governance, Business Judgment and Credit Crunch”, <www.instbankers.com/index.php?option=com.docmanm> [2009].
Bowers, Helen M., “Fairness of Opinion and The Business Judgment Rule: An empirical investigation of target firms’use of fairness of opinions”, [2002].
Kaufman, George G., Macro Economic Stability and Bank Soundness, [2001].
McDowell, Banks, Ethics and Excuses, The Crisis in Professional Responsibility, Quorum Books, Westport, Connecticut, London, <www.quorumbooks.com> [2002].
Petersson, Jessica dan Isac Wadman, Non Performing Loans. The Markets of Italy and Sweden, <www.diva-portal.org/diva/get Document?omn-nbn-se-uu-diva-7004.2-fulltext.pdf(d/w 14/4/2008)> [2004[.
The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative litigation, <http://courts.delaware.gov/opi nion/(eOuerunegle3zfvugrjwev45)download.aspx?ID=118110)> [24/02/2009].
D.  Peraturan Bank Indonesia
Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 dan No. 8/9/PBI/2006 serta Surat Edaran No. 5/21/DPNP yang keduanya berkaitan dengan kewajiban untuk menerapkan prinsip-prinsip manajemen risiko di seluruh macam kegiatan bank terekspos dengan suatu macam risiko tertentu.

[1]  Faktor eksternal ini mencakup perubahan-perubahan yang kemudian terjadi di lingkungan politik, hukum atau perundang-undangan dan ekonomi, serta deregulasi sektor riel atau keuangan, dan terjadinya bencana alam. Veithzal Rivai, Credit Management Handbook, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 479.
[2]  Ryan Kiryanto, Kasus Kredit Macet dan Prospek Bank Pelat Merah. InfoBankNews.com. 30 Agustus 2005.
[3] Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Teori & Contoh Kasus, Jakarta, Prenada Media Grup, 2006, hlm. 15.
[4] Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Bogor : Ghalia Indonesia, 2005, hlm. 6.
[5] Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam ekonomi & Bisnis, Jakarta: Mitra Kencana Media, 2010, hlm. 3.
[6] Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 31.
[7] Gunardi Endro, Redefinisi Bisnis,  Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1999, hlm. 15.
[8] Gunardi Endro, Ibid.
[9] David, Fred R., Strategic Management, Concepts and Cases, Pearson Education Limited, England, 2011, hlm. 131.
[10] Gunardi Endro, Loc.Cit.
[11] Bowers, Helen M., “Fairness of Opinion and The Business Judgment Rule: An empirical investigation of target firms’use of fairness of opinions”, [2002].
[12] James Macgregor Burns, Leadership, New York: Harper & Row, 2010, hlm. 379
[13] Bankers, “Corporate Governance, Business Judgment and Credit Crunch”, <www.instbankers.com/index.php?option=com.docmanm>.
[14]  Park, Johneth Chongseo, (et.al), The Business Judgment Rule: A Missing Piece in the Developing Puzzle of Korean Corporate Governance Reform, hlm. 15.
[15] The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative litigation, <http://courts.delaware.gov/opi nion/(eOuerunegle3zfvugrjwev45)download.aspx?ID=118110)> [24/02/2009].
[16] Park, Johneth Chongseo (et.al), Loc.Cit.
[17] Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review, Vol. 36, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080> [2002].
[18] Brandson, Douglas M., Idem.
[19] Bainbridge, Stephen M. The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine <Bainbridge@law.ucla.edu.310.206.1599> [Tidak Bertanggal], hlm. 33.
[20] Sundari arie, ”Tindak Pidana di Bidang Perbankan ditinjau dari Undang-Undang Perbankan dan Peraturan Perundang-undangan terkait serta Permasalahan dalam Prakteknya”, dalam: Wahyuni Bahar et al,(eds.), Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta: CFISEL, 2007,  hlm. 13.
[21] Bainbridge, Stephen M., “Why a Board? Group Decisionmaking in Corporate Governance”, Social Science Research Network, Vanderbilt Law Review, Vol. 55, pp 1-55, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=266683> [13/04/2001], hlm. 16.
[22] Bainbridge, Stephen M.. Ibid, hlm. 19.
[23] Bainbridge, Stephen M., Idem.
[24] Bainbridge, Stephen M., “Why a Board? Group Decisionmaking in Corporate Governance”, Social Science Research Network, Vanderbilt Law Review, Vol. 55, pp 1-55,  <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=266683> [13/04/2001], hlm. 27-29.
[25] Bainbridge, Stephen M., Op.Cit, hlm. 29.
[26] Bainbridge, Stephen M., Op.Cit, hlm. 30.
[27] Bainbridge, Stephen M., Loc.Cit.
[28] Bainbridge, Stephen M., Loc.Cit.
[29] Hadi Subhan, M., Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008, hlm. 25.
[30] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 14-19.
[31] Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi & Bisnis, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2010, hlm. 49.
[32] Adam Smith, The Theory of Moral Sentiment, New York: Prometheus Books, 2000, hlm. 311-316.
[33] Bowie, Norman, E., A Kantian Theory of Capitalism,  Ruffin Series in Business Ethics, < ABI/INFORM Global> [1998], hlm. 132.
[34] Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media, 2007, hlm. 19.
.
[35] Sundari Arie, Op.Cit., hlm. 38.
[36] Ashcraft, Adam B.,  “Are Banks Really Special? New Evidence From The FDIC- Induced Failure of Healthy Banks”, The American Economic Review, Vol. 95, No. 5 (December, 2005), pp 1712-1730, <http://www.jstor.org> [2005].
[37] Kaligis, O. C., Antologi Tulisan Ilmu Hukum, Jilid 6, Bandung: Penerbit Alumni, 2011, hlm. 282.
[38] Lewis, Hunter, Where Keynes Went Wrong, and Why World Governments Keep Creating Inflation, Bubbles, and Busts. Mount Jackson, VA: Axios Press, 2009, hlm. 7.
[39] Muldrew, Craig, The Economy of Obligation. The Culture of Credit and Social Relations in Early Modern England. Palgrave, Houndmills, Basingstoke, Hampshire RG21 6XS and 175 Fifth Avenue, New York, NY 10010, 1998, hlm. 3.
[40] Frans Hendra Winarta, “Penggunaan Undang-Undang Pemberantasan Tipikor Dalam Menangani Tindak Pidana Perbankan: Perspektif Penegakan Hukum”, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta: CFISEL,  2007, hlm. 147.
[41] Garner, Bryan A., Black’s Law Dictionary, Texas: West Publihing, 2004.
[42] Frans Hendra Winarta, Op.Cit, hlm. 146.
[43] Edy Putra The’Aman, Mgs., Kredit Perbankan, Suatu Tinjauan Yuridis, Yogyakarta: Liberty, 1989, hlm. 1.
[44] Muhamad Djumhana, Asas – Asas Hukum Perbankan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, hlm. 261-262.
[45] Frans Hendra Winarta, Op.Cit., hlm. 146-147.
[46] Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Konsep dan Kasus, Jakarta: Damar Mulia Pustaka, 2008, hlm. 230-231.
[47] Preston, Noel, Understanding  Ethics, Annandale, NSW, Australia: The Federation Press, 2007, hlm. 13.
[48] Kasmir, Manajemen Bank, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 95.
[49] Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002a,  hlm. 107.
[50] Kasmir, Op.Cit, hlm. 95.
[51] Secara rinci, uraian dari pemrosesan suatu usulan kredit mencakup sejumlah aspek yang perlu dianalisis yang dilakukan oleh bagian marketing, dan hasil pemrosesan harus pula melibatkan bagian lain yang terkait seperti yang ditunjukkan dalam kurung, sebagai berikut: 1. Pengecekan daftar hitam atau kredit macet, apakah calon debitor termasuk didalamnya. 2. Aspek yuridis, dari legalitas badan hukum dan legalitas usaha. 3. Mengenai usaha debitor, ditinjau dari aspek marketing, aspek keuangan, aspek teknik/produksi, aspek manajemen, 4. Aspek jaminan kredit dan pengikatan barang-barang jaminan (bagian hukum), 5. Penolakan permohonan atau persetujuan permohonan fasilitas kredit (risk management), 6. Cara pengikatan kredit (bag. hukum), 7. Penandatanganan surat perjanjian kredit (bagian hukum dan bagian operaional). Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, hlm. 107.
[52] Kasmir menyebutkan bahwa tujuan dari proses atau prosedur pemberian kredit adalah untuk memastikan kelayakan dari suatu usulan atau permohonan kredit, apakah akan diterima atau ditolak. Kasmir juga mengatakan bahwa prosedur dan penilaian kredit oleh dunia perbankan secara umum antar bank yang satu dengan bank yang lain tidak jauh berbeda, yang berbeda adalah pada persyaratan dan ukuran penilaian yang diterapkan oleh bank dengan pertimbangan masing-masing.  Kasmir. Op.Cit., hlm. 95.
[53] Hal ini diperkuat dengan Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 dan No. 8/9/PBI/2006 serta Surat Edaran No. 5/21/DPNP yang keduanya berkaitan dengan kewajiban untuk menerapkan prinsip-prinsip manajemen risiko di seluruh macam kegiatan bank terekspos dengan suatu macam risiko tertentu.
[54] Tri Widiyuwono, Agunan Kredit Dalam Financial Engineering, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 9.
[55] Komite Kredit terdapat dua peringkat, peringkat pertama komite kredit tingkat manajer, dan yang kedua tingkat dewan Direksi, dan umumnya dibedakan berdasarkan jumlah kredit yang ditangani (penulis). Tugas komite kredit antara lain adalah mempelajari usulan kredit yang diajukan oleh tim staf bagian kredit, serta mengajukan pendapat dan saran tentang usulan kredit baru, perpanjangan kredit lama atau tambahan pada kredit yang sudah ada kepada pemutus kredit atau kepada Direksi atau yang lebih tinggi, meneliti seberapa jauh kredit yang telah diberikan telah memenuhi berbagai ketentuan yang telah digariskan dalam kebijaksanaan perkreditan bank dan peraturan pemerintah, dan memantau seberapa jauh para debitor telah mendapat layanan yang memuaskan dari para staf yang bersangkutan. Sutojo, Siswanto, The Management of Commercial Bank, Jakarta: Damar Mulia, 2007, hlm. 81.
[56] Coyle, Brian, Corporate Credit Analysis, Caterbury, Kent, United Kingdom: CIB Publishing, 2000, hlm. 1.
[57] Bathory, Alexander, The Analysis of Credit, Foundations and Development of Corporate Credit Assessment, Berkshire, England: McGraw Hill Book Company (UK) Limited, 1987, hlm. 3.
[58] Hale, Roger H, Credit Analysis, A Complete Guide, New York: John Wiley & Sons, Inc., 1983, hlm. 1.
[59] Green, C.F., Business Ethics in Banking, Journal of Business Ethics, Netherlands: Kluwer Academic Publisher, [1989].
[60] Dilley, Deborah K., Essentials of Banking, Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., 2008, hlm. 168.
[61] Chorafas mengatakan bahwa prinsip ini merupakan basic rules yang sudah berlaku berabad-abad lamanya yang perlu diperhatikan dalam megelola resiko. Dalam bahasa Chorafas, prinsip yang dimaksud adalah: “determine the purpose of credit, analyse quality and creditworthiness, research the underlying economics, evaluate whether risk and reward are acceptable, price the credit being taken, apply the appropriate covenants, collateral and guarantee; and keep on re-evaluating cerditwortiness until the contract is at  an end”. Pendapat Chorafas ini kurang-lebih sama seperti yang diutarakan oleh Colquitt (2007 :  19). Chorafas, Dimitris, Managing Credit Risk. Analysing, Rating and Pricing The Probability of Default. London: Euromoney Books, 2000, hlm. 70.
[62] Chorafas, Dimitris, Idem.
[63] Chorafas, Dimitris, Idem.
[64] Jiangli  menyatakan bahwa informasi mengenai debitor sangat berguna karena akan mengurangi masalah adverse selection, dan ini telah dibuktikan oleh sejumlah penelitian, yaitu Bodenhorn (2003), Boot dan Thakor (1994), Cole (1998), Diamond (1991), Harhoff dan Korting (1998), dan Peterson dan Rajan (1995). Jiangli, Wenying, et al, ”Relationship Lending, Accounting Disclosure, and Credit Availability during Crisis”. [September 2004]
[65] Mattson menyebutkan bahwa salah satu faktor utama yang menyebabkan krisis perbankan di Swedia tahun 1990-an disebabkan karena bank umumnya tidak melakukan riset semacam ini mengenai calon debitornya, dan pertimbangan kredit lebih banyak ditentukan berdasarkan “personalisasi” dari calon debitor serta soft information  yang bersifat verbal. Mattson, Jan, ”How Bank Loan Officers Evaluate Persons Applying for Credit”,The International Journal of Bank Marketing. <http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1120806&sid=1&Fmt=3&clientld=43309&RQT=309&VName=PQD&gt; [1993]
[66] Satins, Antoine De, Does Finance Have a Soul?, Semaines Sociales de France, Paris. Review of Business; Summer 1998; 19, 4; ABI/INFORM Global, 1998.
[67] Lewis, Op.Cit, hlm. 74.
[68] De Satins, 1998.
[69] Lewis, Op.Cit, hlm. 74.
[70] Semakin tinggi tingkat leverage atau semakin rendah tingkat modal dari suatu entitas, semakin sedikit adverse shock yang diperlukan bagi entitas itu untuk mengalami economic insolvency; dan ini berlaku baik bagi bank maupun non-bank. Kaufman, Goerge.G., “Macro Economic Stability and Bank Soundness”. [2001].
[71] Dari sisi lain, menurut Michael Jensen (1989), keadaan overgearing tidak akan berakibat pada kebangkrutan, karena kreditor akan berada dalam posisi yang lebih baik jika berusaha untuk melakukan renegosiasi. Namun, pendapat ini dibantah oleh Nakamura (1991 : 19), dengan alasan bahwa pada perusahaan dengan leverage yang berlebihan, umumnya mereka memiliki margin yang sangat tipis, dan tidak memiliki kolateral tambahan, sebagai dasar untuk bernegosiasi.
[72] Ganguin menyebutkan beberapa alasan kenapa usaha mengalami default: beberapa diantaranya hanya karena terlalu banyak hutang, yang lain karena model bisnis yang salah atau bisnis yang sulit, dan beberapa yang lain disebabkan kombinasi dari kedua alasan yang disebutkan tersebut; hanya sedikit diantaranya disebabkan oleh karena adanya internal atau external shocks Ganguin, Blaise. John Bilardello. Fundamentals of Corporate Credit Analysis, New York: The McGraw-Hill Companies, Inc., 2005, hlm. 268.
[73] Chorafas, Dimitris, Loc.Cit.
[74] Schreft, Stacey L. Anne P. Villamil, “Credit Rationing by Loan Size in Commercial Loan Markets”. Economic Review; May/June 1992; 78, 3 [1992].
[75] Coyle, Brian, Corporate Credit Analysis, Kent, United Kingdom: CIB Publishing, 2000, hlm. 2.
[76] Ganguin, Blaise dan John Bilardello, Op.Cit., 2005, hlm. xi.
[77]  Bathory, Alexander, The Analysis of Credit, Foundations and Development of Corporate Credit Assessment, Maidenhead, Berkshire, England: McGraw Hill Book Company (UK) Limited, 1987, hlm. 4.
[78] Dalam kaitan dengan masalah pertimbangan ini, Sathye mengatakan bahwa peranan bankir tradisional masih seluruhnya penting, karena terdapat banyak faktor dalam penentuan pemberian pinjaman yang memerlukan pertimbangan. Pada saat yang sama, tidak dimungkinkan adanya ruangan untuk kesalahan dalam melakukan pertimbangan. Walaupun proses pengambilan keputusan dapat dibantu dengan menggunakan sistem credit scoring dengan komputer, sehingga kesalahan dapat ditekan karena sistem ini dapat digunakan sebagai alat kontrol dan mendukung pengambilan keputusan, tetapi keputusan yang diambil tetap memerlukan pertimbangan seperti halnya dalam penilaian kredit dengan cara tradisional (Sathye, 2003 : 28). Sebagai tambahan, dikatakan bahwa sejauh yang diketahui, proses analisis kredit ini sering merupakan hasil suatu pertimbangan murni dan penyimpangan yang dikandungnya sering digunakan untuk praktek pengukuran resiko kredit. Colquitt, Op.Cit, hlm.  66)
[79] Brody, Richard G. Kimberly E. Frank, “The Sixth C of Credit”, The Journal of Bank Cost & Management Accounting. 11, 3; [1998].
[80] Brody, 1998; Beaulieu, 1996; Jopie Jusuf, Analisis Kredit untuk Account Officer, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm. 278.
[81]  Brody, Richard G. Kimberly E. Frank. ”The Sixth C of Credit”. The Journal of Bank Cost & Management Accounting, 11,3, [1998].
[82] Coleshaw, John, Credit Analysis, How to Measure and Manage Credit Risk, Cambridge, England: Woodhead-Faulkner Limited, 1989, hlm. 2.
[83] Sebagai contoh, Peterson mengajak untuk meninjau kembali apa yang terjadi pada krisis yang terjadi pada tahun 1990, pada perbankan di Italia dan Swedia. Menurut Peter, perbankan tersebut menderita disebabkan oleh instrumen analisis kredit yang inferior dan pelaksanaan due diligence yang sembrono. Para bankir di Italia melakukan pemberian kredit berdasarkan hubungan atau mereka disebut sebagai relationship bankers. Bukan hal yang aneh bagi mereka jika kredit diberikan hanya berdasarkan pertemanan. Peterson mengamati bahwa disana pemberian pinjaman dilakukan tanpa melakukan investigasi apapun. Peterson, Jessica,  dan Isac Wadman, “Non Performing Loans. The Markets of Italy and Sweden, <www.diva-portal.org/diva/get Document?omn-nbn-se-uu-diva-7004.2-fulltext.pdf> [2004].
[84] Sathye, Milind. James Bartle, Michael Vincent, Raymond Boffey, Credit Analysis & Lending Management, Sydney, Melbourne : John Wiley & Sons Australia, Ltd., 2003.
[85] Alasan yang di kutip Sathye (2002) dari Golin (2001) meliputi: lack of compliance with loan policies, lack of clear standards and excessively lax loan terms, inadequate controls over loan officers, overconcentration of bank lending, loan growth in excess of the bank’s ability to manage, inadequate systems for identifying loan problems, insufficient knowledge about customers’s finance, lending outside the market with which the bank is familiar. Sathye, Bartle, Vincent, dan Boffey, Ibid, hlm 390).).
[86] Esbitt, Milton, “Bank Portfolios and Bank Failures During the Great Depression: Chicago, Journal of Economic History, Vol. XLVI, No. 2, 1986.
[87] Chorafas, Op.Cit, hlm. 1.
[88] Schroeck, Gerhard, Risk Management and Value Creation in Financial Institutions, Hoboken, New Jersey : John Wiley & Sons, Inc., 2002, hlm. 171.
[89] Colquitt, Op.Cit, hlm. 1, 129.
[90] McDowell, Banks, Ethics and Excuses, The Crisis in Professional Responsibility, Quorum Books, Westport, Connecticut, London, <www.quorumbooks.com> [2002], hlm. 19.
[91] Colquitt, Joetta, Credit Risk Management. How to Avoid Lending Disasters and Maximize Earnings, New York : McGraw-Hill,  2007, hlm. 3.
[92] Douglas M. Branson menyebutkan hal ini sebagai ”business decisions often come down to matters of touch and feel not susceptible to systematic analysis, often involving intagibles, intuitive insights or surmises as to business matters such as competitive outlook, cost structure, and economic and industry trends”.  Brandson, Douglas M., Op.Cit, hlm. 636.
[93] Jopie Yusuf, Op.Cit, hlm. 282.
[94] Jankowicz, A.D., R.D. Hisrich, “Intuition in Small Business Lending Decisions”, Journal of Small Business Management,; 25, 3, [July 1987].
[95] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 282.
[96] Lehrer, Jonah, How We Decide, Kenali Cara Kerja Otak Agar Bisa Lebih Cerdas dan Tangkas Memutuskan Apa Saja, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010, hlm. 230.
[97] Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Konsep dan Kasus, Jakarta: Damar Mulia Pustaka, 2008,  hlm. 230-231.
[98] Hasil wawancara dengan Roy Arfandi, Direktur Wholesale Banking, PT Bank Permata Pusat, Jakarta, 11 Oktober 2012.
[99] Hasil wawancara dengan Roy Arfandi, Ibid.
[100] Hasil wawancara dengan Anika Faisal, Loc.Cit.
[101] Hasil wawancara dengan Roy Arfandi, Loc.Cit.
[102] Hasil wawancara dengan Roy Arfandi, Loc.Cit.
[103] Hasil wawancara dengan Anika Faisal, Loc.Cit .
[104] Hasil wawancara dengan Sentot A. Sentausa, Direktur Risk Management, Bank Mandiri Pusat, Jakarta, 24 Oktober 2012.
[105] Hasil wawancara dengan Anika Faisal, Loc.Cit.
[106] Hasil wawancara dengan Sentot A. Sentausa, Loc.Cit.
[107] Hasil wawancara dengan Sentot A. Sentausa, Loc.Cit.
[108] Hasil wawancara dengan Muhammad Ali, Corsec, Bank BRI Pusat, Jakarta, 27 September 2012.
[109] Hasil wawancara dengan Sentot A. Sentausa, Loc.Cit.
[110] Hasil wawancara dengan Lista Irna, Policy and Portfolio Head, Bank Danamon Pusat, 2 November 2012.
[111] Hasil wawancara dengan Roy Arfandi, Loc.Cit.
[112] Hasil wawancara dengan Muhammad Ali, Loc.Cit.
[113] Hasil wawancara dengan Lista Irna, Loc.Cit.
[114] Hasil wawancara dengan Roy Arfandi, Loc.Cit.
[115] Hasil wawancara dengan Sentot A. Sentausa, Loc.Cit.
[116] Hasil wawancara dengan Lista Irna, Loc.Cit.
[117] Hasil wawancara dengan Roy Arfandi, Loc.Cit.
[118] Hasil wawancara dengan Sentot A. Sentausa, Loc.Cit.
[119] Hasil wawancara dengan Anika Faisal, Loc.Cit.
[120] Diterjemahkan secara bebas sebagai sikap entusiasme yang tidak rasional, yang dapat membuat pertimbangan menjadi salah. Robert J. Shiller mengutip istilah ini, yang pertama kali diucapkan oleh Alan Greenspan, dan dapat diartikan sebagai sikap optimistik dari para investor pasar modal terhadap perkembangan pasar dari satu jenis aset, seperti saham, yang tidak didasarkan pada informasi yang berkaitan dengan unsur-unsur  fundamental dari aset itu. Shiller, Robert J., Irrational Exurbearance, New York: Broadway Books, 2005, hlm. xi-xii.
[121] Andi Hamzah, Komentar terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia terbaru mengenai Korupsi, Jakarta: Ind-Hill-Co, 1986, hlm. 37.
[122] Andi Hamzah, Idem, hlm. 38.
[123] Ridwan Khairandy, Ibid. 




Tulisan ini diterbitkan di:
http://hho3.wordpress.com/2013/02/01/teori-dan-praktik-proses-keputusan-pemberian-kredit-perbankan-yang-bersandar-pada-prinsip-kehati-hatian/