Jumat, 06 September 2013

PRINSIP DAN UNSUR-UNSUR POKOK EKONOMI ISLAM



PRINSIP DAN UNSUR-UNSUR  POKOK EKONOMI ISLAM

Oleh:


Hendy Herijanto
Islamic Economics and Finance (IEF)
Universitas Trisakti, Jakarta




ABSTRAK

Selain menjadi petunjuk bagi manusia, Al-Quran juga mengandung pengetahuan yang perlu digali dan dikembangkan, dengan tujuan mencapai kemaslahatan bersama. Petunjuk dan pengetahuan ini juga berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan bersifat universal, karena merupakan pedoman bagi seluruh umat manusia. Makalah kecil ini berusaha untuk mengkaji Prinsip Dasar dan Prinsip Utama dari ekonomi Islam, serta unsur-unsur pokoknya, yang antara lain, adalah: Moral dan etika, pengetahuan dan keahlian, kerja, perdagangan, tanpa riba, maysir atau gharar, dan amanah.

Kata Kunci: Allah Swt, Akal, Kerja, Pengetahuan, Keadilan, Maslahah, Perdagangan, Keuntungan, dan Amanah.




ABSTRACT

Beside functioning as a guidance for all human being, the Holy Book Al Qur’an also contains knowledge as revealed by God the Almighty, which needs to be comprehended and developed. These guidance and knowledge, which also concerning economic activities, are universal in nature. This paper tries to discuss about the basic and main principles of the Islamic economy, with its important factors, such as: Moral and ethics, knowledge and skills, work element, emphazising on trade, without interest, maysir or gharar, trust and keeping the sanctity of contract.    

Key words: God The Almighty, Human Mind, Work, Knowledge, Fairness, Prosperity, Trade, profit, and trust.





A.     PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang

Allah Swt berfirman bahwa telah disempurnakan ’Agamamu’ (QS, 05: 03), dan ”.... Tidaklah Kami alpakan sesuatu apa pun di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an)” (QS, 06 : 38). Kedua ayat ini mengisyaratkan bahwa buku suci Al-Qur’an merupakan buku yang terakhir dan sempurna sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia, serta bernilai akhirati. Buku suci itu berlaku sejak diturunkannya hingga nanti waktu kiamat datang; sehingga tidak akan direvisi, dirubah atau diganti oleh siapapun, karena Allah Swt telah berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya” (QS, 15 : 9).
Secara garis besar, kandungan Al Qur’an itu berkaitan dengan dua hal utama. Pertama, yang berkaitan bagaimana beribadah, yaitu mengatur hubungan vertikal antara Tuhan dan manusia, baik yang merupakan ibadah murni ataupun ibadah umum. Ibadah murni mencakup melakukan shalat, membayar zakat dan sebagainya; sedangkan ibadah umum merupakan kegiatan yang menimbulkan kebaikan atau kemaslahatan. Kedua, mengatur hubungan horizontal yaitu antar sesama manusia, atau kegiatan bermuamalah, yang termasuk kegiatan ekonomi. Agar kegiatan ini bernilai ibadah umum sehingga bernilai akhirati, manusia harus memperhatikan petunjuk dalam Al Qur’an.
Khususnya yang berkaitan dengan bermuamalah, ayat-ayat Al Qur’an bersifat universal, dan dapat dipikirkan dengan logika. Allah Swt menjelaskan dalam firmanNya bahwa “Sesungguhnya (Al Qur’an itu) adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu” (QS, 29 : 49), dan “…Supaya orang-orang berakal dapat mengerti” (QS, 38 : 28). Akal merupakan pilar penyangga agama, dan dengan akal, manusia dapat mengenal Tuhan (Yusufian dan Shafiri, 2011: 242). Dalam kajian ini, kata-kata penting Al Qur’an adalah Allah, akal, pengetahuan dan keadilan [1].
  
2.   Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan: Pertama, untuk menggali petunjuk yang ada di dalam Al Qur’an yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Kedua, berusaha untuk membedakan petunjuk tersebut sebagai prinsip dasar dan prinsip pokok. Prinsip dasar diartikan sebagai sandaran utama yang lebih bersifat filosofis, dan merupakan latar belakang dari penciptaan manusia dan diturunkannya Al Qur’an. Prinsip pokok, di lain pihak, merupakan jiwa dari setiap kegiatan yang dilakukan manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia, sehingga bernilai akhirati. Ketiga, menterjemahkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam unsur-unsur pokok ekonomi Islam sebagai manifestasi dari prinsip-prinsip tersebut. Pendekatan yang dilakukan dalam kajian ini bersifat kualitatif, dan kepustakaan. Data primer yang digunakan bersumber dari Al Qur’an, dan data sekunder berasal dari Hadis Nabi Saw serta dari sejumlah literatur.   


B.     EKONOMI ISLAM
1.   Pengertian

Sistem ekonomi Islam adalah suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam, dan bersumber dari Al Quran dan Sunnah Nabi Saw, serta dikembangkan berdasarkan ijma dan qiyas; bertujuan akhir kepada Allah, dengan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Islam (Qardhawi, 1997 : 31). Ekonomi sendiri adalah suatu ilmu yang mempelajari manusia dalam segi kehidupan sehari-hari, dan bertindak dalam proses produksi, konsumsi, alokasi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan sumber yang terbatas. Namun, menurut Ash Shadr, ekonomi Islam adalah sebuah doktrin, dan bukan ilmu pengetahuan, karena merupakan cara bagaimana mengenjar kehidupan ekonomi; dan belum merupakan penafsiran untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ekonomi, serta hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Doktrin ini merupakan kumpulan teori dasar yang dipakai untuk memecahkan masalah dalam kehidupan ekonomi (Ash Shadr, 2006 : 84, 94). Pakar ekonomi Islam lainnya, seperti Abdullah, menyebutkannya sebagai prinsip (Abdullah, 2006 : 131).
Menurut Afzalur Rahman, ekonomi Islam menggunakan prinsip-prinsip,  yang merupakan jalan tengah antara ekonomi kapitalis dan sosialis; yang mengandung kebaikan dan membuang keburukan dari keduanya (Rahman, 2000 : 182). Nabi Saw bersabda untuk mengambil jalan tengah itu agar manusia berbahagia, dan ini diartikan sebagai suatu konsepsi pemenuhan kebutuhan ekonomi, sebagai prasyarat untuk meningkatkan kehidupan rohani dan moral manusia (Rahman, 2000 : 188, 192).
Bertujuan akhir pada Allah [2], atau yang disebut sebagai bernilai akhirati, adalah yang dapat menciptakan kemaslahatan, manfaat, atau kebaikan, bagi diri sendiri dan orang lain, masyarakat, atau kepentingan publik (Kamali, 2013 : 43); bukan sebaliknya. Tujuan yang sebaliknya adalah hanya menekankan pada kepentingan pribadi, atau bersifat individualistis semata seperti halnya ekonomi kapitalis’; atau hanya menekankan pada kepentingan sosial, seperti dalam ekonomi sosialis. Dalam Islam, tujuan tersebut disebut sebagai Maqasyid al Syariah. Syariah artinya “jalan menuju sumber air”. Al Syatibi menyebutkan bahwa “Sesungguhnya syariah bertujuan mewujudkan kebaikan atau kemaslahatan (mashlahah) seluruh umat manusia di dunia dan akhirat” (Kamali, 2013 : 43). Lebih lanjut, Al Syatibi mengatakan bahwa mashlahah berkaitan dengan tegaknya kehidupan manusia, terpenuhinya kebutuhan manusia yang diperlukan oleh sifat emosional dan intelektual dalam pengertian yang mutlak (Azmi, 2005: 186). Arti lain dari mashlahah adalah segala bentuk keadaan, baik material amupun non material, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia; di dalamnya mengandung pengertian kemanfataan duniawi dan akhirati (P3EI, 2008 : 5). Dalam konteks yang lebih luas, mashlahah atau kemaslahatan diartikan sebagai kepentingan publik, yang merupakan kewajiban sosial, atau bersifat fardh kifayah. Tanggung jawab pelaksanaannya terletak pada seluruh individu atau masyarakat secara keseluruhan, atau pada akhirnya menjadi kewajiban  negara, dengan sasaran kebaikan bagi seluruh manusia (Azmi, 2005 : 186-188). Menurut Al Ghazali, mashlahah berkaitan dengan maqasid al syariah atau objek hukum yang meliputi perlindungan terhadap: agama, jiwa atau kehidupan, akal, keturunan dan harta (Karim, 2004: 319).


2.  Prinsip Dasar Ekonomi Islam: Rahmat Bagi Sekalian Alam
Dalam mengkaji prinsip dasar dari ekonomi Islam, dirasakan perlu terlebih dahulu untuk meninjau alasan diturunkannya Buku Suci Islam ke dunia. Al Qur’an, sebagai wahyu dari Allah Swt melalui Nabi Besar Muhammad Saw, merupakan bagian yang integral dari keseluruhan ajaran Islam dan bersifat komprehensif. Dalam Surat Al Maidah (QS, 5 : 3), Allah Swt berirman bahwa Agama Islam itu telah disempurnakan dan telah dicukupkan nikmat sebagai ajaran yang sempurna bagi umat manusia [3]. Nikmat yang dicukupi mencakup nikmat jasmani sebagai sifat Rahman atau kasih, dan nikmat rohani sebagai sifat Rohim atau sayang dari Allah Swt; dengan aplikasinya terhadap dua hal, yaitu hubungan antara manusia dengan Penciptanya yang merupakan tali agama atau hablum minnallah, dan hubungan manusia dengan sesamanya atau tali perjanjian dengan manusia atau hablum minanas (Orgianus, 2012 : 185).
Dalam salah satu Ayat yang paling penting, bagi kehidupan manusia di dunia dari segi kegiatan ekonomi, dan bersifat sangat filosofis dan aplikatif, adalah pernyataan Allah Swt, bahwa ”Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin)” (QS, 21 : 107).  Ini artinya bahwa Nabi Muhammad Saw ditunjuk menjadi Rasul Allah untuk memberikan petunjuk, bimbingan, contoh, pelajaran, membentuk hukum dan kepatuhan, bagi semua umat manusia di dunia, sehingga membawa nikmat, maslahah atau kesejahteraan bagi seluruh makhluk dan ciptaaan Tuhan.
Sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia di dunia, yang bernilai kebajikan bagi sesama, atau yang juga disebut bernilai akhirati,  tujuan dari ayat-ayat Al Quran itu adalah agar manusia berhasil di dunia dan di akhirat. Hal ini sejalan dengan pengertian ”Rahmatan lil alamin”, yang merupakan tugas utama Nabi Muhammad Saw sebagai Rasul Allah. ”Rahmatan lil alamin ini menjadi prinsip dasar yang berlaku bagi seluruh umat manusia, agar manusia bertindak sebagai pemakmur (QS, 11 : 61) bagi sekalian ciptaan Tuhan, termasuk seluruh umat manusia, tumbuh-tumbuhan dan hewan  (Al Qarny, 2010 : 84), serta alam semesta atau lingkungan hidup manusia. Dalam kaitan dengan hewan, Nabi Besar Saw mengajarkan untuk memberikan hak binatang yang dikendarai, memberi makan kucing atau melepaskannya agar dapat mencari makanan sendiri, dan memberikan minum anjing yang kehausan; dan jika tidak, dianggap berdosa dan Tuhan memasukan yang tidak mengindahkan seruan itu ke neraka (Shihab, Quraish, 2013 : 28-29). Bagi Islam, manusia yang beriman merupakan wakil Allah Swt di dunia untuk menjalankan kebajikan dan menghindari kerusakan, ”amar ma’ruf nahi munkar”. Perangkat yang diciptakan dan diberikan Allah Swt, termasuk ayat-ayat Al Qur’an dan dipraktikan oleh Nabi Saw, juga bertujuan bagi manusia untuk mencapai hal yang demikian.
Makna rahmatan lil alamin sejalan dengan pengertian maqasid al syariah, yang intinya menciptakan kemaslahatan atau al silah dan menghindari kemudharatan atau kerusakan. Tuhan YME memerintahkan manusia melalui Surat Al Araf (QS, 7: 56, 85) yang berbunyi, antara lain, ”Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi”. Dalam arti luas, kerusakan diartikan sebagai lawan dari harmoni, sehingga kerusakan itu tidak saja menimbulkan ketidakseimbangan terhadap alam, tetapi juga antar hubungan manusia. Pertengkaran antar manusia pada akhirnya bermuara pada kerusakan, sehingga menimbulkan distorsi terhadap perdamaian, dan berakibat berkurang atau hilangnya harta benda atau produktivitas manusia.
Dalam kaitan dengan alam, Nabi Besar Saw menganjurkan agar manusia bersahabat dengan alam, sehingga dapat menjaga kelestarian lingkungan (Shihab, Quraish, 2013 : 29). Menurut Umar Shihab, manusia telah melakukan penyimpangan dari hukum alam, dengan melakukan pemanfataan yang tanpa batas terhadap sumber alam yang telah disediakan oleh Tuhan. Tindakan ini membuat kehidupan ekonomi menjadi tidak harmonis dengan lingkungan sosial dan alam. Secara empirik, kerusakan lingkungan telah terjadi di mana-mana termasuk di Indonesia sebagai akibat perilaku manusia; dan, bahkan, Allah Swt telah pula berfirman bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia (QS, 30 : 41). Penyebabnya adalah karena alam dianggap sebagai objek penguasaan, bukan sebagai sahabat di mana manusia  hidup berdampingan, sehingga kemasalahatan tidak tercapai. Lebih lanjut, beliau mengatakan, bahwa penyimpangan ini bertentangan dengan kepentingan peribatan kepada Tuhan yang Maha Esa (Shihab, 2008 : 307), atau dalam bahasa lain disebut sebagai  ’tidak bernilai akhirati’, sehubungan dengan perintah Tuhan yang dimaksud.


3.   Prinsip-Prinsip Utama Ekonomi Islam

Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berketuhanan, yang bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Islam (Qardhawi, 1997: 31). Pengertian ini dilandasi, antara lain, oleh 4 prinsip utama, yaitu Tauhid (atau unity, atau Keesaan Tuhan), Khilafah (vicegerency, atau wakil) dan Adalah (justice, atau keadilan), Taskiyah (keseimbangan material dan spiritual), dengan uraian sebagai berikut:


a).  Tauhid (Unity, Keesaan Tuhan)

Tauhid atau Keesaan Tuhan merupakan prinsip utama dan paling utama bagi kehidupan manusia di dunia, dan berfungsi sebagai fondasi keimanan Islam. Allah Swt tidak diperanakkan, atau tidak pula beranak. Sebagai pencipta langit dan bumi serta segala isinya, Allah Swt merupakan awal dari segalanya. Tuhan Yang Maha Kuasa, yang bersifat esa dan unik, mendesain dan menciptakan alam semesta secara sungguh-sungguh, dan tidak terjadi secara kebetulan atau aksiden (Chapra, 2000 : 204). Alam semesta diciptakan dengan tujuan yang memberikan arti dan signifikasi bagi eksistensi jagat raya, di mana manusia merupakan salah satu bagiannya [4]. Segala sesuatunya berasal dari Allah; dan semua akan kembali ke Allah Swt (QS, 57 : 3).
Tauhid merupakan suatu prinsip lengkap yang menembus seluruh dimensi dan mengatur seluruh aktivitas manusia, dalam bentuk kesatuan yang mengitari prinsip ini, seperti kesatuan alam raya, agama, ilmu, kebenaran dan seterusnya; dan mengarah kepada hakikat Tauhid (Shihab, Quraish, 2013 : 69 : 70). Keesaan Tuhan merupakan awal dari segalanya, dituangkan ke dalam Buku Suci Al Qur’an sebagai wahyu melalui Nabi Besar Muhammad Saw, merupakan awal dari segala pengetahuan Dari segi teori, penjabaran petunjuk-petunjuk dalam Al Qur’an berasal dari konsep unity of knowledge, yang merupakan kajian etimologis dari konsep Tauhid, atau Keesaan Tuhan YME. Choudhury (2004ª : 11-12) menjelaskan bahwa unitas pengetahuan ini berawal dari Tuhan YME, karena Tuhan menciptakan dunia ini dan segala isinya (QS, 92 : 13). Keesaan Tuhan merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan yang meliputi segala sesuatu yang berada dalam langit dan bumi (QS, 18 : 109; QS, 2 : 33; QS, 22 : 70; QS, 15 : 24). Oleh karena itu, Choudhury (2002 : 7) menyebutkan Al Qur’an sebagai buku pengetahuan dari Tuhan, yang bersifat mutlak, sempurna dan lengkap; karena Tuhan yang menciptakan dan mengatur seluruh alam semesta sebagai suatu sistem yang sempurna. Dari segi filsafat, Socrates mengungkapkan dalam Apologi 23a bahwa Allah merupakan sumber nikmat dan pengetahuan (Rakhmat, 2009 : 21).
Choudhury (2002 : 8) menjelaskan lebih lanjut, bahwa keberadaan primal dari kumpulan pengetahuan Tuhan menciptakan sekalian alam adalah tetap berada pada premis unity of knowledge. Dari sini timbul dunia yang menginspirasikan pengetahuan, termasuk entitas, sistim, ruang lingkup dan relasi-relasi pengetahuan itu. Kerangka ini pada akhirnya dituangkan ke dalam epistemologi Ketauhidan sebagai esensi dari kesempurnaan Ketauhidan itu sendiri, kelengkapan dan sifat absolut dari pengetahuan Tuhan tersebut. Al Qur’an mengandung petunjuk-petunjuk yang merupakan pengetahuan yang diperlukan oleh manusia dalam kehidupannya di dunia dan yang bermanfaat untuk  di akhirat, sehingga meliputi semua bidang kehidupan seperti sosial atau kemasyarakatan, ekonomi, pembiayaan, hukum, politik  dan agama (Beekum, 2004 : 33; Asy’arie, 2010 : 191). Oleh karena itu, konsep teologi Islam, yang disebut oleh Choudhury sebagai Tauhidi principles, adalah bahwa Tuhan itu satu, yang menyatukan keragaman ciptaan-Nya, dan merupakan awal, sebagaimana Plato mengatakan sebagai Prima Kausa, dan akhir. Manusia dan alam semesta diciptakan oleh Tuhan YME sebagai awal, yang semua akan berakhir ketika kembali kepada-Nya.
Tujuan hidup pada dasarnya adalah untuk mencapai perjumpaan kembali dengan Tuhan (Asy’arie, 2010 : 249), dan memiliki dua bagian. Bagian pertama adalah di antara awal dan akhir itu terdapat dunia di mana manusia hidup, dan hidup seyogianya menggunakan petunjuk yang diberikan Tuhan melalui ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi SAW, dan di sini berarti menjumpai Tuhan melalui penerapan petunyuk-petunjuk-Nya. Di dunia ini, dengan petunjuk-petunjuk tersebut,  manusia berfungsi sebagai khalifah Tuhan, yang dituntut untuk berkarya seoptimal  mungkin dan perlu dicapai sebelum memasuki bagian kedua. Di dalam masa itu, karya yang dilakukan harus bermanfaat bagi peradapan manusia, dengan mensejahterakan diri dan orang lain, sehingga setiap kegiatan itu bernilai ibadah (Aa Gym dan Kartajaya, 2004). Hal ini dijelaskan oleh Surat Al-Hadid (QS, 57 : 20), bahwa kehidupan seorang muslim di dunia adalah perjuangan untuk meraih kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan akhirat, sebagai kehidupan yang berkesinambungan di akhirat, yang diukur dari kehidupan di di dunia (Shihab, Quraish, 2012 : 186).  Pada bagian kedua, dengan petunjuk atau pengetahuan itu, manusia dapat mengumpulkan seluruh catatan kebajikan dan keimanan selama hidup di dunia  yang akan dibawa ketika kembali berjumpa dengan Tuhan.
Aristoteles berpendapat bahwa tujuan manusia hidup di dunia adalah untuk mencapai kebahagian. Dalam konteks Islam, kebahagiaan ini tidak saja bernilai duniawi, tetapi juga harus bernilai akhirati, dengan membawa segala catatan kebajikan dan keimanan tadi. Aristoteles juga berpendapat, bahwa dengan pengetahuan orang akan dapat mengenali mana yang buruk dan mana yang baik, sehingga dapat menjauhkan diri dari tindakan yang tidak baik. Dengan petunjuk yang ada dan berkaitan dengan bidang yang diperlukan, manusia perlu mengkaji ayat Al Qur’an tertentu, mempelajari atau melakukan diskursus, dan kemudian menerapkannya. Dengan diskursus dan penerapan yang berulang-ulang, maka akan diperoleh suatu konsep yang lebih tinggi dan lebih baik dari sebelumnya. Prinsip Islam adalah bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan demikian seterusnya. Untuk itu, Choudhury (2004a : 9; 2004b : 3) berpendapat bahwa pengetahuan yang diberikan Al Qur’an harus dikembangkan dari waktu ke waktu, melalui  proses evolusi bartahap.
Ditinjau dari segi praktik, untuk memperjelas dasar manfaat dari  proses yang dimaksud Choudhury tersebut, adalah bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Adil merupakan dasar bagi manusia untuk bertingkah-laku, berdasarkan petunjuk yang diberikan-Nya. Menurut Broom (2003 : 167), anggapan bahwa Tuhan Maha Tahu merupakan alat yang kuat, dan dapat mendorong orang untuk berlaku baik dan menjauhi diri dari tindakan yang tidak baik; sehingga jika orang sadar bahwa segala tindakannya diketahui oleh Tuhan, maka secara sadar atau tidak, tindakan yang tidak baik akan berkurang. Immanuel Kant (1963 : 97) berpendapat bahwa  kesadaran akan adanya Tuhan, dan rasa takut akan keadilan-Nya yang maha adil, akan mendorong orang untuk memperhatikan secara sungguh-sunguh segala petunjuk yang diberikan-Nya. Bagi muslim, petunjuk-petunjuk itu dapat diketahui melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadith Nabi SAW. Menurut Wiroso (2009 : 91), hal ini yang dijadikan sebagai paradigma dasar dalam melakukan transaksi syariah, atau dalam hal bermuamalah termasuk kegiatan ekonomi, sehingga mencapai kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi tidak dapat bersifat netral, dipisahkan dari agama, atau etika. Bahkan, setiap kegiatan manusia di dunia selalu dikaitkan dengan keimanan terhadap Tuhan, sehingga bernilai ibadah.
Sebagai kesimpulan, tauhid dapat diartikan sebagai suatu hubungan dengan yang Satu, yang berbeda dengan yang lainnya, dan sebagai satu-satunya sumber bagi nilai yang harus dianut dan bagi penjabaran pengetahuan yang diperlukan oleh manusia. Tauhid merupakan komitmen manusia terhadap Allah Swt, sekaligus sebagai penghormatan dan rasa terima kasih bagi Sang Khaliq (Agil dan Ghazali, 2005 : 2).


b).  Manusia Sebagai Khalifah Allah di Bumi (Vicegerency)

Manusia diciptakan Allah untuk menjadi ‘khalifah fi al-ard’ (QS, 2 : 30; QS, 6 : 165), atau dapat diartikan sebagai wakil Tuhan, dan berperan sebagai penguasa atau pemimpin di bumi. Untuk itu, Allah telah melebihkan kepada manusia secara sempurna di atas semua ciptaanNya (QS, 17 : 70), karena Tuhan telah memberikan manusia akal, sehingga manusia dikatakan ciptaan yang berakal atau hayawan an-nathiq (Mufid, 2010 : 112). Surat Ali Imran menyebutkan bahwa manusia adalah umat yang terbaik, dan diperintahkan untuk melakukan yang baik atau makruf, dan mencegah yang buruk atau munkar (QS, 3 : 110). Ini dapat diartikan bahwa  manusia telah dibekali dengan semua karakteristik mental dan spiritual, serta material untuk memungkinkan hidup dan mengemban misinya secara efektif. Sejalan dengan tugas sebagai khalifah ini, tujuan manusia diciptakan  adalah untuk menyembah Allah Swt (QS, 51 : 56). Ini artinya apa yang dilakukan oleh manusia harus mengikuti ketentuan atau ketetapan Tuhan YME.
Untuk keperluan hidup di bumi, Tuhan telah mencukupkan segala sesuatu yang diperlukan manusia di dunia. Allah Swt berfirman, “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya” (QS, 15 : 19-20). Lebih lanjut, Surat Al Baqarah (QS, 2 : 29) menyebutkan bahwa Allah menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu, manusia. Surat al Mulk (QS, 67 : 15) menyebutkan pula bahwa Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki Nya dan hanya kepada Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. Kedua Ayat ini menyiratkan suatu amanah dari Allah Swt, yang menugaskan manusia untuk menggunakan segala yang ada di bumi sebaik-baiknya untuk kesejahteraan seluruh manusia (Hakim, 2012 : 2). Misi ini diperkuat dengan Surat Hud (QS, 11: 61), yang secara jelas menyebutkan bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi pemakmurNya di bumi; dan hal ini harus dilakukan  dengan menggunakan ilmu dan amal. Kata ’memakmurkan’ dapat diartikan  memelihara, mensejahterakan, meramaikan, melestarikan, dan seterusnya. Kata ’amal’ diartikan sebagai perbuatan, tindakan, aktifitas, kerja, pekerjaan, dan produktivitas di dunia, ; sedangkan di akhirat, merupakan hasil, konsekuensi atau akibat dari perbuatan di dunia tadi (Azizi, 2004 : 46). Quraish Shihab menegaskan lebih lanjut, bahwa manusia dalam kedudukannya sebagai khalifah ditugasi untuk membangun bumi (Shihab, Quraish, 2012 : 690), dan tidak untuk merusaknya. Memakmurkan atau membangun bumi menyiratkan perintah Tuhan bagi manusia untuk bekerja dan berpartisipasi aktif dalam mengelola apa yang telah diciptakan dan disediakan Tuhan dalam bentuk sumber daya di bumi. Sumber-sumber daya, sebagai amanat, yang disediakan akan mencukupi, hanya jika dipergunakan secara efisien dan adil [5], tidak dengan pemborosan atau pengrusakan. Al Qur’an menyebutkan bahwa sifat pemboros adalah setara dengan sifat syaitan, dan syaitan itu sangat ingkar kepada Tuhannya (QS, 17 : 27).
Namun, di balik itu semua,  Allah SWT  merupakan pemilik mutlak dari seluruh yang ada di bumi dan di langit, semua yang di antara keduanya, serta semua yang ada dibawah tanah (QS, 20 : 6). Kepemilikan pribadi tetap diakui sampai batas-batas tertentu, tetapi hanya bersifat sementara, sejauh diperoleh dengan cara yang sah, yaitu diperoleh sebagai hasil kerja, jual beli, atau merupakan hibah dari orang lain. Hasil kerja merupakan manifestasi dari ilmu yang dimiliki,  sehingga dapat bekerja dan kemudian  menghasilkan harta (Al Qashash, 28 : 78). Sifat kepemilikan sementara adalah karena setiap harta memiliki fungsi sosial di dalamnya, yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Dari harta harus dikeluarkan zakat; dan ketika seseorang meninggal, hartanya kembali ke Allah, karena kemudian dibagikan kepada ahli waris berdasarkan ketentuan Tuhan. Pada akhirnya, harta yang dimiliki harus dipertanggung jawabkan kepada Allah Swt, ketika manusia kembali ke haribaanNya dan dibangkitkan kembali (QS, 67 : 15). Menurut Quraish Shibab, sebagai tafsirnya terhadap Surat Hud (QS, 11 : 57), manusia dapat melepas tanggung jawab itu, dengan tampil sesuai dengan kemampuannya untuk melaksanakan amar makruf dan nahi munkar, atau menciptakan kebaikan dan menjauhi keburukan (Shihab, Quraish, 2012 : 687).    


c).  Adalah (Keadilan): Kejujuran dan Keadilan Sosial

Allah Swt berfirman bahwa rasul-rasul di utus berserta diturunkan kitab suci dan neraca keadilan, agar manusia menegakkan keadilan (QS, 57: 25). Quraish Shihab menguraikan ayat ini, bahwa wahyu yang ditulis dalam kitab suci mengandung hukum dan hikmat, dan manusia harus menggunakan akalnya untuk menegakkan keadilan antar sesama. Neraca yang dimaksud adalah untuk mengukur keharmonisan hubungan sesama manusia, yang ditandai oleh kejujuran, termasuk ketika berinteraksi jual beli, atau bermuamalah (Shihab, Quraish, 2012 : 199-190). Menurut Umar Shihab, kata yang dipakai dalam Ayat tersebut adalah al qist yang memiliki ruang lingkup penerapan terhadap diri sendiri, orang tua, kerabat, orang lain dan anak yatim, sehingga menyangkut hubungan antar sesama. Hal ini diperjelas oleh Surat An Nahl (QS, 16 : 90) ”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. Keadilan juga harus diterapkan dalam melakukan takaran dan timbangan, sehingga tidak merugikan hak-hak orang lain (QS, 11 : 84-85).
Dalam kegiatan ekonomi, pembangunan harus diusahakan untuk meratakan kekayaan dan pendapatan yang adil (Masyuri, 2005: 45). Hukum ekonomi  harus ditegakkan berdasarkan nilai-nilai moral, dan bersumber dari ajaran Al Qur’an; sehingga memiliki aksiologis pada kehidupan akhirat (Shihab, 2008 : 309-310). Menurut Umer Chapra, keadilan merupakan isi pokok maqasid al syariah, yang tegas menghapus semua bentuk kezaliman, atau semua bentuk ketidakadilan, ketidakmerataan, eksploitasi, penindasan.atau menjauhkan hak atau kewajiban terhadap orang lain (Chapra, 2000 : 211). Dalam kaitan ini, isi pokok dari maqashid al-syariah, antara lain, adalah:  pemenuhan kebutuhan pokok, sumber pendapatan yang terhormat, distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, dan  pertumbuhan dan stabilitas [6].
Uraian di atas menunjukkan bahwa Islam mementingkan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat atau sosial. Sumber daya merupakan amanah, dan pemanfaatannya tidak saja untuk diri sendiri tetapi juga bagi orang lain, dan dipertanggungjawabkan di akhirat. Berdasarkan sejumlah hadis, Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya dialokasikan untuk kepentingan orang banyak, seperti air, padang rumput, dan api. Allah berfirman bahwa “Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta) (QS, 70 : 24-25). Namun, pengertian miskin dalam Islam adalah orang yang telah berusaha atau bekerja, tetapi dia tidak dapat menemukan hasil atau harta yang mencukupinya, sementara orang lain tidak tahu mengenai hal ini, dan dia menerima sedekah tanpa diminta (Hr Muslim; Orgianus, 2012: 169).  Pembayaran zakat, infak dan shadakah merupakan alat bantu sosial mandiri, yang menjadi kewajiban moral untuk membantu sesama[7], dan merupakan salah satu alat untuk menyembatani antara yang kaya dan miskin (Masyuri, 2005 : 46). Bagi yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, dianggap mendustakan agama (QS, 107 : 1-3). Nabi Saw pun bersabda siapa saja yang tidur kekenyangan, sementara tetangganya dia ketahui sedang kelaparan, maka orang itu dianggap tidak beriman kepada Rasul (Al Bazzar, dari Anas ra). Dalam kaitan dengan masyarakat yang lebih luas, Hadis lain menyebutkan, bahwa ”Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Swt telah terlepas dari mereka” (HR Ahmad). Tujuannya adalah tidak saja untuk saling membantu, tetapi agar masyarakat muslim bersatu, seperti yang disebutkan oleh Hadis berikut, “Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya” (Shahih Muslim).
Allah telah menentukan bahwa ”Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain” (QS,  43 : 32). Ini artinya dalam kehidupan, setiap orang memiliki perbedaan kedudukan dan kemampuan, sehingga saling membutuhkan. Karena itu, usaha perolehan harta harus diberikan kepada semua orang,  bukan hanya segelintir orang saja (QS, 59 : 7), dan sumber daya yang diciptakan Tuhan  harus dimanfaatkan secara adil bagi kesejahteraan bersama.
   

d).     Taskiyah, Keseimbangan Dunia dan Akhirat (Material dan Spiritual)

Setelah menunaikan shalat, Allah memerintahkan manusia untuk bekerja dan mencari rezeki  (QS, 62 : 9, 10). Tuhan telah menetapkan bahwa manusia di dunia tidak boleh melupakan kenikmatan duniawi, dan berbuat baik kepada orang lain, serta tidak membuat kerusakan di muka bumi, dan Allah menganugrahkan kebahagian negeri akhirat (QS, 28 : 77). Membuat kerusakan di muka bumi dapat diartikan tidak mengingat hari akhirat (QS, 76 : 27). Untuk itu, manusia harus berusaha, dan berdoa untuk mencapai keseimbangan antara kebaikan dunia dan kebaikan akhirat (QS, 2 : 201). Ayat-ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa kegiatan ekonomi harus dibangun dengan menyeimbangkan antara nilai duniawi dan nilai akhirati. Nilai duniawi pada dasarnya berkaitan dengan nilai-nilai materiel, yang memang diperlukan bagi manusia untuk hidup di dunia. Islam tidak menghendaki umatnya untuk menjadi miskin; tetapi justru sebaliknya, karena dengan bekerja sebaik-baiknya dalam memperoleh harta atau penghasilan yang cukup, umat manusia dapat membayar zakat, infak dan shadakah, serta menunaikan ibadah haji, yang pada akhirnya dapat membangun kemaslahatan masyarakat dan negeri. Namun, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan nilai-nilai akhirati, yang diartikan sebagai kegiatan yang dapat menciptakan kebajikan, kemasalahatan, dan menghindari pengrusakkan, ketidak adilan, eksploitasi, kezaliman, atau perbuatan yang semena-mena.
Dua nilai tersebut, yaitu nilai duniawi dan akhirati, tersirat dalam Surat Al Araf, yang menyebutkan ’untuk memakai pakaian yang indah-indah ketika memasuki mesjid’ (QS, 7 : 31). Secara filosofis, dapat dikatakan bahwa keindahan, yang merupakan hasil kerja yang terefleksi dari pakaian yang indah, digunakan untuk beribadah di jalan yang telah ditentukan oleh Tuhan. Tindakan ini juga sekaligus merupakan penghormatan terhadap Rumah Tuhan, dan berarti juga menghormati Allah Swt sebagai Tuan Rumah. Untuk meyakinkan dan mendorong umat manusia untuk mencapai keseimbangan ini, maka Tuhan YME akan memeriksa keseimbangan tersebut, dengan mengatakan ” Masing-masing dirimu diberikan balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakan” (QS, 2 : 281), dan ini mengandung unsur  pertanggung jawaban di akhirat kelak.



C. UNSUR-UNSUR POKOK EKONOMI ISLAM

Berdasarkan uraian mengenai Prinsip Dasar dan Prinsip Utama di atas, dapatlah kiranya diuraikan unsur-unsur pokok yang dikandung oleh ekonomi Islam, sebagai berikut:  

1.   Unsur Spriritualitas, Moralitas dan Etika.  

Dengan Prinsip Tauhid di atas, ekonomi Islam mengandung unsur spiritualitas, sehingga bersifat transendental, tetapi tetap bertema sentral pada fitrah manusia yang memerlukan unsur materi untuk kehidupan yang sejahtera secara bersama dengan masyarakat yang lebih luas, dalam rangka mencapai mashlahah bagi  seluruh umat manusia. Bersifat transedental berarti pembangunan ekonomi Islam tidak semata-mata bersandarkan kepada kemampuan intelektual manusia, tetapi dilaksanakan dengan menggunakan hukum-hukum yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa (Masyuri, 2005 : 47). Unsur sprititualitas ini menjadi faktor pembeda dengan ekonomi konvensional atau kapitalis, yang bersifat sekuler tanpa ada kaitan dengan agama, berorientasi hanya kepada duniawi, positivisme, dan cenderung pragmatis; sehingga melepaskan kaitannya dengan etika dan nilai-nilai moral (Pramono, 2003 : 4). Ekonomi konvensional bersifat positivisme, atau berdasarkan pengalaman dan kajian empirik, bebas nilai, sehingga ilmu ekonominya bersifat netral (Hasan, 2011 : 18). Ekonomi Islam, di lain pihak, bersifat sarat akan nilai. Etika yang dipakai adalah kewajiban untuk menerapkan ketentuan-ketentuan Tuhan, yang pada dasarnya adalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri, dan tanpa melanggar hak manusia lainnya (Hasan, 2011 : 12-13). Unsur moralitasnya adalah, antara lain, tidak membuat kerusakan, dan tidak menimbulkan distosi keharmonisan hubungan sesama manusia, dengan lingkungan alam, yang pada akhirnya beribadah kepada Tuhan.
Ekonomi Islam tidak bersifat egoistik, seperti halnya dengan ekonomi kapitalis, yang menekankan pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya hanya bagi pemilik modal. Konsekwensi dari penekanan di sini adalah bahwa unsur manusia dijadikan sebagai bagian dari faktor produksi atau alat dalam menciptakan produktivitas. Dalam Islam, unsur manusia merupakan tujuan, bukan alat. Penekanan yang berlebihan pada unsur materi, tanpa adanya kaitan dengan agama, telah menimbulkan degradasi, baik pada moralitas atau etika manusia, tetapi juga dalam lingkungan sosial dan alam. Ekonomi Islam bersifat altuistik, karena harta memiliki fungsi sosial dan digunakan sebagian untuk membayar zakat, dan kemudian diwariskan berdasarkan ketentuan Tuhan kepada ahli waris ketika pemiliknya meninggal. Sebaliknya, dalam ekonomi kapitalis, otoritas perorangan atas kekayaan pribadi menentukan kepada siapa harta warisan akan diberikan (Ash Shadr, 2006 : 353) . Dengan demikian, ekonomi Islam sarat akan nilai, atau value laden, dan tidak netral terhadap nilai persaudaraan, kebenaran dan keadilan, material dan spiritual [8]; dan menyeimbangkan kepentingan individu dan masyarakat, dan antara unsur material dengan unsur spiritual, demi kemaslahatan kolektif.    


2.   Unsur Pengelolaan yang Efektif dan Efisien

Ketika manusia ditempatkan di muka bumi, Tuhan telah menyediakan bagi manusia sumber penghidupan” (QS, 7 : 10). Kemudian ditegaskan kembali, bahwa Tuhan telah memberikan kekayaan dan memberikan kecukupan (QS, 53 : 48), dan manusia diperintahkan untuk memakan yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di dunia (QS, 2 : 168). Ini semua menyiratkan bahwa manusia telah diberikan sumber daya yang cukup, yang diperlukan dalam menjalakan kehidupan di dunia. Oleh karena itu, ayat-ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa masalah ekonomi bukan masalah kelangkaan, seperti halnya dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional. Namun, kelangkaan di sini hanya diartikan sebagai ‘kelangkaan relatif’ dan jangka pendek. Isu sentral dari kecukupan tersebut terletak pada dua hal yang berkaitan, yaitu: pertama, bagaimana mengelola dan menggunakan sumber daya alam yang telah tersedia secara efisien dan efektif; dan, kedua, bagaimana menyeimbangkan antara satu daerah dengan daerah lain dalam hal alokasi yang diperlukan oleh satu daerah yang berkekurangan, dengan yang berkelebihan. Dalam jangka panjang, dengan pengetahuan yang dimiliki dan dikembangkan, sumber daya alam yang tidak terbarukan perlu dicarikan barang substitusi nya, seperti halnya dengan enerji bio gas dan sinar matahari (P3EI, 2008 : 8).
Kelangkaan relative tersebut disebabkan, terutama, karena tingkah laku manusia, yang antara lain berupa sikap yang berlebihan terhadap materi, atau pencarian keuntungan individu yang sebesar-besarnya, tetapi dengan mengorbankan kepentingan masyarakat luas dalam jangka panjang. Meningkatkan kesejahteraan duniawi, dengan mengabaikan kesejahteraan akhirati, konsumsi yang berlebihan, cara-cara pemanfaatan sumber daya alam yang merusak lingkungan, mempercepat proses habisnya sumber alam yang telah disediakan Tuhan, yang dewasa ini telah terjadi (P3EI, 2008 : 9-10). Keadaan ini jelas menunjukkan adanya pemborosan; dan menurut Henry Ford, pemborosan adalah suatu aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah (Orgianus, 2012 : 74), atau tidak menghasilkan atau tidak efektif, dan bertentangan dengan ajaran Islam (QS, 17: 27). 


3.   Unsur Pengetahuan dan Keahlian

Islam sangat mementingkan unsur pengetahuan dan keahlian. Ketika Ayat Al Qur’an pertama kali diturunkan, Allah Swt melalui malaikat Jibril memerintahkan kepada Nabi Saw untuk”iqra”atau membaca sampai beberapa kali, walaupun Nabi Saw pada waktu itu tidak pandai membaca atau menulis (QS, 29 : 48). Kata ‘membaca’ merupakan kata yang teramat penting bagi manusia sebagai kunci pembuka ke jalan kebahagiaan duniawi dan akhirati. Membaca dengan ikhlas, bacaan yang baik, yang tidak bertentangan dengan “nama Allah”, dapat mengantarkan manusia mencapai derajat yang sempurna, yang merupakan syarat utama untuk membangun peradaban (Shihab, Quraish, 2013 : 261-267). Firman Tuhan menyebutkan, “Allah menganugrahkan al hikmat (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmat itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak”.
Dengan kepandaian membaca dan menulis, manusia dengan menggunakan akalnya dapat mengembangkan pengetahuan dan ilmu yang diperlukan dalam kehidupan. Hanya orang-orang yang berakallah dan beriman yang dapat mengambil pelajaran dari firman Allah (QS, 2 : 269). Dalam berhubungan dengan sesama manusia dan alam, manusia sebagai khalifah fi al-ard, perlu mengembangkan kearifan melalui membaca, dalam arti yang luas dalam rangka mengenal dan memahami sifat alam. Dengan ilmu dan pengetahuan, manusia dapat mengerti akan Keesaan Tuhan, dan menikmati karunia Tuhan lahir dan bathin (QS, 31 : 20).  Ayat lain menyebutkan bahwa “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat” (QS, 58 : 11). Dalam kaitan dengan kegiatan ekonomi, Al Qur’an menyebutkan bahwa harta dapat diperoleh karena ilmu yang dimiliki manusia (QS, 28  : 78).
Sejumlah Hadis juga menegingatkan akan pentingnya pengetahuan. Nabi bersabda, ”Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga” (Hr Muslim). ”Boleh jadi, rezeki yang kau peroleh itu karena berkah ilmu dan doa yang dilakukannya” (Hr.At-Tirmizi dan Malik). Untuk memberikan pengertian yang lebih luas terhadap pentingnya pengetahuan, Hadis yang lain menyebutkan bahwa, “Jika anak Adam telah mati, maka terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali tiga perkara yang tidak putus: Sedakah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya”. Ilmu yang bermanfaat yang dikembangkan oleh anak yang saleh, dapat menjadi amal jariah. Ilmu yang dikembangkan secara estafet lebih lanjut dapat mengembangkan kemashalahatan umat manusia di dunia.  Akal digunakan untuk mengembangkan pengetahuan, penerapan pengetahuan membuat orang bisa bekerja, sehingga mencapai keahlian. Bekerja selanjutnya dapat mengembangkan pengetahuan. Namun, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR Bukhari dan Abu Hurairah).


4.   Unsur Kerja atau Usaha

Berbeda dengan ekonomi kapitalis yang terutama bersandar pada unsur modal (Rusyidiana, (et.al), 2009 : 38),  unsur kerja bersifat sentral dalam perekonomian Islam; penunjang utama untuk mencapai maqasid al syariah. Allah swt berfirman, ”Dan Kami jadikan siang untuk kamu untuk mencari kehidupan” (QS,  78 : 11); dan, ”Maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya (QS, 67 : 15), dan ”Buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya dan kerjakan amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat yang kamu kerjakan” (QS, 34 : 10-11). Bekerja adalah unsur utama dalam memperoleh materi atau harta atau hak. Bekerja adalah bagian dari ibadah dan jihad, jika sang pekerja bersikap konsisten terhadap peraturan Allah, suci niatnya dan tidak melupakan Tuhan (Qardhawi, 1997: 107). Tujuan diwajibkan untuk bekerja adalah untuk mecukupi kebutuhan hidup, untuk kemaslahatan keluarga dan masyarakat, dan untuk memakmurkan bumi (Qardhawi, 1997 : 111).
Tuhan YME menyaratkan umatnya untuk bekerja keras, atau berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi atau berproduktivitas (QS 62 : 10; QS 37 : 61), dan bahkan mendorong untuk menjadi pengusaha yang baik. Usaha yang dimaksud di sini adalah bekerja untuk mencari nafkah yang  baik (QS 17 : 66; QS 2 : 267; QS 84 : 6). Hasil kerja, kerja, atau ’labour’ merupakan dasar dari hak kepemilikan yang sah (Taliqani, 1982); Allah berfirman, ”Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS, 53 : 39). Dalam kaitan ini, John Locke mengatakan bahwa “Tuhan telah menciptakan bumi dengan segala isinya untuk manusia demi kemaslahatan manusia, dan melalui kerja keras maka manusia dapat membuat barang-barang yang diperlukannya” (Muldrew, 1998 : 17).
Pada dasarnya, bekerja dan berusaha bagi seseorang mukmin merupakan perwujudan keimanan kepada Tuhan YME (Imanuddin, 2009). Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan itu, lalu kepada manusia dikembalikan apa yang telah dikerjakannya (QS, 9 : 105). Harta atau aset yang baik adalah harta yang merupakan hasil lebih atau surplus dari  kerja keras manusia di dunia yang tidak digunakan untuk konsumsi melainkan dijadikan tabungan, atau merupakan manifestasi hasil kerja yang lebih dari yang diperlukan untuk hidup. Harta yang diperoleh seperti ini merupakan hak milik dari orang yang telah menghasilkannya sebagai khalifah harta, dan cara inilah yang terutama diridhoi oleh Tuhan YME (QS 5 : 35).
Soddy (1983) mengutarakan bahwa tenaga manusia adalah merupakan sumber atau bahan baku untuk menciptakan harta. Tenaga manusia, atau ”labour” yang telah maju atau belum, adalah merupakan kenyataan dalam kehidupan dan sejalan dengan hukum phisik yang mengatur produksi atau penciptaan harta, dan bahkan diperlukan untuk mempertahankan kehidupan bangsa (Shoddy, 1983 : 35). Menurut Ibnu Khaldun: “Sebuah peradaban akan melahirkan keuntungan yang besar (pendapatan) akibat besarnya kekuatan tenaga kerja, itulah yang menyebabkan keuntungan”. Tenaga kerja meningkatkan produktivitas dan pertukaran produk di pasar besar merupakan alasan utama kesejahteraan (dan kemakmuran sebuah bangsa) [9]. Lebih lanjut, Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di suatu negara, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca perdagangan yang positif [10].
Dalam kehidupan di dunia, firman Allah Swt melalui Surat Al Jumuah (QS, 62 : 10) menekankan pentingnya untuk bekerja: ”Apabila telah menunaikan shalat maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. Seperti halnya Al-Qur’an[11], Nabi Muhammad SAW juga mewajibkan setiap muslim untuk bekerja[12]. Islam mewajibkan orang untuk bekerja keras untuk memperoleh rezki dan kekayaan yang halal. Bekerja adalah kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi [13]. Di lain pihak, Thomas Carlyle mengatakan, “A man willing to work, and unable to find work, is perhaps the saddest sight that fortunes’ inequality exhibits under the sun”. Pentingnya kerja dan pembukaan lapangan kerja sangat ditekankan dalam Islam.


5.   Unsur Perdagangan dan Produksi Barang dan Jasa.

Kegiatan ekonomi yang disebut berulang-ulang dalam Al Qur’an adalah kata tijarah, bay, syira dan dain, yang artinya berkisar pada jual beli, berdagangan atau berniaga, dan Islam memang menekankan pada perdagangan dan melarang Riba (QS, 2 : 275). Allah Swt berfirman,  Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu” (QS, 2 : 198). Perdagangan mengandung arti bahwa seseorang memiliki suatu barang yang dapat dijual kepada pembeli. Jual-beli terjadi karena penjual sepakat menjual barangnya, sedangkan pembeli setuju untuk membeli barang tersebut pada suatu tingkat harga yang disetujui oleh kedua pihak: di sini, terjadi ijab dan qabul. Jika secara tunai, si pembeli menerima barang dari penjual, sedangkan penjual menerima uang pembayaran barang yang dijualnya. Jika tidak dengan tunai, transaksi itu harus dicatat, dan dipersaksikan dengan dua orang saksi (QS, 2 : 282). Di sini terjadi pembiayaan Islami, yang berbeda dengan pemberian kredit dalam bank konvensional.  
Perdagangan adalah kegiatan komersial tertua manusia, sejak zaman primitif sampai masa modern saat ini, hingga ke masa depan. Pada masyarakat yang masih sederhana,  barang dihasilkan dari hasil penangkapan, perburuan atau penggalian. Kelebihan barang yang diperoleh melebihi kebutuhan cenderung ditukarkan dengan barang yang diinginkan tetapi tidak dimiliki. Layaknya digambarkan oleh cerita Robinson Crusoe, ketika jumlah orang bertambah, setelah kehadiran Friday, kelompok kecil itu mulai melakukan kegiatan barter antar sesama mereka. Barter merupakan kegiatan berdagang, ketika uang belum dikenal, dan dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan barang yang telah berkembang.
Perdagangan tidak bersifat kontekstual, karena dapat dilakukan di mana saja, tanpa harus dengan modal besar. Sejauh manusia hidup bermasyarakat, perdagangan terjadi di setiap waktu, dalam lingkungan yang kecil, seperti di pedesaan. Dalam lingkungan yang lebih luas, perdagangan telah berkembang sampai ke tingkat global antar negara di dunia. Secara gamblang dapat pula dikatakan, bahwa kegiatan perdagangan tidak akan pernah pupus dari kehidupan manusia. Kegiatan perniagaan atau perdagangan akan selalu eksis dari masa ke masa.
Perdagangan merupakan kegiatan awal dan akhir dari suatu kegiatan produksi. Ketika kebutuhan barang dan jasa telah berkembang, barang dagangan tidak hanya merupakan hasil tangkapan atau buruan, atau hasil pertanian ataupun perkebunan. Ketika masyarakat berkembang, dan kebutuhannya bertambah, mereka mulai memikirkan dan memproduksi barang-barang atau jasa lain yang diperlukan. Produksi barang dan jasa pada akhirnya bermuara kepada kegiatan penjualan atau perdagangan.  Barang dagangan sudah harus dibuat atau diproduksi terlebih dahulu, yang jelas melibatkan orang untuk bekerja dengan memperoleh upah. Perdagangan adalah manifestasi dari kebutuhan masyarakat akan barang (dan jasa). Jadi, jual-beli mendorong perdagangan, dan merangsang perniagaan dan industri. Produksi yang berkembang mendorong pembukaan lapangan kerja baru, yang merupakan kebajikan dari kegiatan perdagangan.
Dengan terbukanya lapangan kerja, pendapatan masyarakat akan meningkat, dan industri akan lebih berkembang. Menurut Nik Mohamed Affandi Bin Nik Yusoff, perdagangan dapat berkontribusi langsung untuk meningkatkan standar hidup, meningkatkan kekayaan bagi individu dan masyarakat; dan bagi yang kurang berpendidikan, dapat pula berpartisipasi,  karena Islam menghendaki setiap orang memiliki sumber penghidupan masing-masing [14]. Menurut Ibnu Chaldun, bekerja merupakan unsur yang paling dominan bagi proses produksi dan merupakan sebuah ukuran stándar dalam sebuah nilai. Bekerja adalah kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi Islam (QS. Al-Baqarah 4 : 29) [15].
Perdagangan merupakan faktor penentu dalam menggerakkan ekonomi. Perekonomian suatu masyarakat terbentuk karena adanya kegiatan perdagangan dan produksi. Kata berdagang mengandung unsur kebajikan yang berupa kegiatan utama dan diperlukan bagi manusia dalam berkelompok, berbangsa dan bahkan bernegara. Perdagangan jelas berada di sektor riel, yang berbeda dengan riba dan berkaitan dengan pinjam meminjam uang, atau merupakan pilar utama dari sektor keuangan konvensional. Ibnu Chaldun mengatakan bahwa kekayaan suatu bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki bangsa tersebut, tetapi ditentukan oleh produksi barang dan jasa, serta neraca perdagangan yang sehat [16] sebagai konsekuensi tingkat produksi yang tinggi. Menurut Mankiw, kemampuan berproduksi akan menentukan standar hidup suatu negara[17].
Perdagangan juga merupakan Sunah Nabi Besar Muhammad Saw. Pada umur 12 tahun, Muhammad mulai ikut berdagang mengikuti pamannya [18], bahkan sampai ke Syiria[19]. Dari pengalaman ini, Muhammad kemudian memilih bekerja sebagai pedagang dengan menjual barang milik orang lain[20] berdasarkan bagi hasil [21].  Muhammad selalu menghasilkan keuntungan bagi para pemilik barang, atau para investor. Tidak pernah rugi [22], sehingga keahlian beliau dalam perdagangan tidak diragukan lagi. Tambahan pula, beliau dikenal sebagai orang yang paling dapat dipercaya atau Al Amin, dan selalu berkata paling benar dan jujur atau Al Shadiq[23]. Pada akhirnya, Muhammad pada usia dewasa diangkat sebagai manajer di pusat pardagangan Habsyah di Yaman oleh seorang investor besar Makkah, bernama Khadijah[24].
Perdagangan adalah inti dari ekonomi Islam, dan bersandar pada produksi barang dan jasa, atau disebut sebagai real sector of the economy, atau real based economy [25]. Namun, negara Islam atau masyarakat Islam masih tertinggal jauh dalam keberhasilan berdagang dibandingkan dengan Cina.


b. Unsur Keuntungan Pengganti Riba

Karena riba diharamkan, keuntungan dari perdagangan dihalalkan, sehingga keuntungan berfungsi menggantikan riba. Firman Tuhan melalui Surat An-Nisa (QS,  ; 33), “Hai orang-orang yang beriman bíarlah di antara kamu berjalan dan berdagang dengan cara yang saling menguntungkan“. Ayat ini menganjurkan keuntungan yang timbal balik; tidak saja bagi penjual, tetapi juga bagi pembeli. Berdagang tidak saja terbatas pada satu transaksi jual beli, tetapi berdagang dapat terjadi berulang-ulang, seperti yang diarahkan oleh kata ’berjalan’ di depan kata ’berdagang’. Ini artinya berdagang yang menguntungkan bagi setiap pihak yang terkait akan membuat kegiatan jual-beli itu berlanjut dengan transaksi-transaksi dagang berikutnya. Ini hanya dapat terjadi, jika setiap pihak memperoleh kepuasan dalam bertransaksi, sehingga menciptakan harmoni bagi setiap pihak.
Allah Swt telah berfirman untuk mencari rezeki dari perniagaan (QS, 2 : 198). Keuntungan yang diambil oleh penjual merupakan jumlah yang dikandung dalam suatu harga yang disepakati oleh pembeli. Pembeli setuju untuk membayar suatu harga pembelian terhadap suatu barang, dengan pengertian baginya – barang yang dibeli memberikan nilai atau manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya[26]. Harga dan nilai atau manfaat dari barang yang dijual harus seimbang, untuk itu memerlukan kejujuran dari penjual. Penjual harus jujur terhadap kualitas dan takaran atau timbangan barang dagangannya itu. Dalam hal kualitas, hanya penjual yang mengetahui secara pasti. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw sangat menghargai para pedagang yang jujur[27], dengan tidak menyembunyikan kurma yang basah dari pandangan calon pembeli. Bahkan, Nabi Saw bersabda bahwa pedagang yang jujur akan bersama Rasul dan orang yang beriman, dan Syuhada di hari kiamat[28].
Berdagang dengan memperoleh keuntungan merupakan pendorong untuk berproduksi lebih banyak. Nabi Saw mendorong umatnya untuk melakukan bisnis, karena 99% rezeki Allah ada di dalamnya[29]. Peningkatan produksi yang berkualitas akan memberikan lapangan pekerjaan yang lebih luas. Immanuel Kant memberikan pendapat yang sama, yang akhirnya menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat[30]. Keuntungan merupakan kompensasi terhadap jerih payahnya dalam memproduksi, dan atau usaha menjual, serta merupakan kompensasi terhadap inisiatif, kerja keras, dan usaha. Inisiatif dan kerja keras ini membuahkan penciptaan suatu nilai, tetapi inisiatif itu dibarengi dengan risiko yang dihadapi dan mungkin terjadi[31].
Keuntungan merupakan nilai kesetaraan atau counter value yang merupakan kandungan inti dari kerja atau usaha atau kasb, yang sekaligus mengandung unsur risiko atau ghurmi, dan tanggungan atau liabilitas atau dhaman. Keuntungan yang diijinkan adalah keuntungan yang berkaitan dengan tanggungjawab atau liabilitas atau disebut “al-kharaj bi-al- dhaman”, atau keuntungan dapat diperoleh karena adanya risiko ”al-ghurmu bil ghunmi”. Ekspresi ini diterjermahkan dan diartikan oleh Vogel dan Hayes III sebagai ”gain accompanies liabilities for loss[32].
Keuntungan yang dianggap wajar adalah yang tidak mengandung riba, atau tidak bersifat eksploitatif. Allah Swt telah berfirman,”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik” (QS, 2 : 267). Keuntungan yang hakiki adalah keuntungan yang diridhoi oleh Allah, dan membawa berkah bagi dunia dan akhirat. Keuntungan dari perdagangan yang diridhoi sudah pasti merupakan keuntungan yang baik, yang merupakan pemenuhan nafkah manusia, dan dapat membawa berkah. Secara harfiah, berkah yang diciptakan sejalan dengan manfaat yang diperoleh oleh banyak orang dari perdagangan yang baik. Tidak saja penjual, dan pembeli, tetapi juga banyak pihak lain menerima manfaat dari pedagangan yang baik dan berkembang. Paling tidak, perdagangan yang berkembang akan dapat membuka lapangan kerja yang lebih luas untuk memproduksi barang yang diperdagangkan.
 Keuntungan di sini bukanlah masalah maksimum atau tidak, tetapi lebih merupakan masalah legitimasi dan kewajaran, serta berkaitan dengan moralitas atau kejujuran, atau diperoleh dalam jalan yang benar sehingga bermuatan akhirati[33]. Aa Gym dan Kartajaya mengartikan ’keuntungan’ dalam berbisnis adalah apabila bisnis yang dilakukan bersifat amal atau kebajikan, didasarkan pada kebenaran, dan dimulai dengan niat yang benar. Dalam melakukan bisnis, kualitas manusianya semakin baik atau dapat lebih dipercaya, dapat menambah ilmu dan wawasan yang lebih luas sehingga memperbaiki kemampuan yang ada, dan menambah silahturahmi atau persaudaraan antar sesama [34].
Dengan demikian, keuntungan tidak dilihat dari segi uang secara an sich, tetapi mengandung substansi moral yang kental. Namun, masalah kejujuran dan moralitas dalam memperoleh keuntungan bukan semata-mata merupakan produk Islam. Dalam bukunya, Cicero membahas mengenai utilitas dalam kaitan dengan kekayaan dan kenyamanan dalam hidup. Utilitas harus diperoleh dengan jujur, karena jika melakukan sesuatu yang menguntungkan tetapi tidak jujur, maka akan berakibat sebagai bahaya yang besar bagi hidup manusia[35].
Ellsworth berpendapat bahwa keuntungan memiliki banyak fungsi, seperti: memberikan kemampuan bagi perusahaaan atau usaha dalam menciptakan manfaat bagi masyarakat, merupakan ukuran dari efektivitas dan efisiensi dalam mencapai manfaat itu, sebagai dasar bagi manajemen dalam mengambil keputusan, dan untuk menciptakan nilai, dan seterusnya. Namun, Ellsworth mengingatkan bahwa keuntungan bukan merupakan tujuan akhir, tetapi sebagai alat untuk mencapai tujuan lain seperti posisi strategis perusahaan; sehingga tidak dimaksimalkan dalam arti yang sempit [36]. Agaknya pandangan yang sempit ini merupakan pendorong dari konsep maksimalisasi keuntungan oleh Milton Friedman [37], sehingga menjadi isu yang berkaitan dengan masalah moralitas. Pandangan ini bertitik tolak pada pertimbangan materialistik dan kepentingan pemilik modal atau pemegang saham semata.
Menurut Hassan, kegiatan berusaha atau berbinis merupakan bagian dari fard kifayah, dan tanggungjawab sosial harus didahulukan, dari pada memperkaya diri sendiri [38]. Keuntungan pada dasarnya dihasilkan dari kombinasi usaha atau kerja, modal dan risiko. Keuntungan adalah merupakan refleksi dari jerih payah atau hasil ‘kerja’, sekaligus merupakan tanggungan, dari pihak yang memproduksi barang dan usaha dalam menjualnya, atau merupakan nilai yang terealisasi dari muatan tenaga kerja seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun [39]. Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa peradaban yang besar menghasilkan laba yang besar karena jumlah tenaga kerja yang banyak. Jumlah tenaga yang banyak inilah yang merupakan penyebab laba [40]. Selain itu, Benyamin Franklin mengatakan bahwa “No nation was ever ruined by trade”. Perdagangan tidak akan meruntuhkan negara manapun, justru sebaliknya seperti yang dikatakan oleh Ibnu Chaldun.
Secara menyeluruh, perdagangan dan keuntungan, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an, merupakan faktor penentu dalam menggerakkan ekonomi, yang pada akhirnya akan menambah kamasalahatan umat, atau kesejahteraan sosial masyarakat.


6. Unsur Larangan: Produksi Barang Jasa yang Haram
Untuk menjaga kemaslahatan masyarakat umumnya, Islam mengharamkan sejumlah barang dan kegiatan jasa tertentu. Makanan, seperti minuman keras atau yang berasal dari hewan babi, yang dapat merusak kesehatan jiwa atau phisik; dan kegiatan seperti judi dan prostitusi,  yang merupakan penyakit masyarakat, sangat dihindarkan. Tidak saja konsumsi atau kegiatannya diharamkan, tetapi perdagangannya juga di larang, karena kemudharatan yang ditimbulkan lebih banyak dari manfaat yang dapat  dihasilkan. 


7. Unsur Larangan: Riba

Larangan terhadap riba secara jelas nampak pada ayat-ayat Al-Baqarah (QS, 2 : 275-281), dan
dan menyebutkan bahwa hanya keuntungan dari perniagaan dihalalkan. Ketika meminjamkan uang, muslim hanya diijinkan untuk mengambil kembali pokok pinjaman, dan mengorbankan pokok tersebut jika peminjam tidak mampu membayar kembali utangnya
[41]; atau si peminjam perlu diberi keringanan. Riba menghilangkan karunia Allah terhadap harta; riba dipersamakan dengan penyisihan yang salah dari harta milik orang lain; muslim harus menghindari riba untuk kesejahteraannya sendiri[42].
Nabi Muhammad SAW melaknat pemakan riba, karena merupakan tindakan memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan risiko. Riba, pada dasrnya, memperoleh keuntungan tanpa kerja. Orang kaya memperoleh kemudahan atas jerih payah orang miskin. Riba merusak semangat manusia untuk bekerja[43], mencari uang, dan dapat membinasakan perorangan dan masyarakat, dunia dan akhirat. Riba dipersamakan dengan penyakit masyarakat lainnya, seperti prostitusi, dan jika menyebar mengakibatkan kemurkaan Allah[44].
Riba adalah tambahan terhadap nilai pokok pinjaman yang diberikan oleh seorang kepada orang lain, atau dari seorang debitor ke kreditor. Dalam perekonomian modern, pinjam-meminjam ini berkaitan dengan uang, sedangkan tambahan yang dimaksud berupa bunga. Filsuf Anthena kuno, Aristóteles, berpendapat bahwa riba merupakan hasil yang tidak wajar, karena diperoleh dari jerih payah orang lain. Beliau beranggapan, bahwa uang tidak bisa melahirkan uang atau pecunia pecuniam non parit, karena uang sepatutnya dapat dihasilkan dari kerja dan usaha[45]. Di zaman jahiliah, tambahan itu dikenakan kepada debitor yang tidak mampu membayar utangnya tepat waktu. Jadi, tambahan itu sekaligus bersifat penalti. Sehubungan dengan ketentuan riba dalam Al Qur’an, sejumlah Hadist Nabi SAW sangat tidak menyarankan agar manusia tidak berutang, kecuali dalam keadaan terdesak.
Surat Al-Baqarah (QS, 2 ; 275) menyebutkan bahwa Allah Swt mengharamkan riba, yang artinya bahwa pinjam meminjam uang atau lainnya tidak diperkenankan mengenakan bunga bagi peminjam atau debitor. Karena bunga atau tambahan atau bunga tidak boleh dibebankan kapada debitor, maka pinjam meminjam uang tidak dapat dikomersialkan, seperti halnya dalam perekonomian konvensional yang bersifat monetary based. Islam menetapkan, bahwa kegiatan pinjam meminjam uang merupakan kegiatan sosial, tidak boleh memberikan imbalan atau tambahan terhadap pembayaran utang.
Telah merupakan kesepakatan umum di antara para ahli, termasuk Umar Chapra, bahwa yang dimaksudkan riba adalah bunga[46] dalam segala bentuk[47]. Bunga bank, seperti yang dipahami banyak orang, yang memberikan kepastian terhadap perolehannya, dan ditentukan di depan, yang berarti tanpa risiko, tidak dibenarkan dalam Islam[48]. Adalah kombinasi dari usaha atau kerja, modal dan risiko yang menghasilkan return terhadap modal atau uang. Oleh karena itu, keuntungan harus dibagi, demikian pula risiko[49]. Pengusaha berbagi keuntungan dengan pemilik modal sesuai dengan hasil yang diharapkan bersama, tidak ditentukan di depan seperti bunga, tetapi diperhitungkan sesuai dengan perkembangan hasil usaha dalam waktu yang berjalan.
Di lain pihak, riba cenderung bersifat tidak produktif, dan menambah risiko usaha dalam perdagangan dan industri. Risiko bisnis bertambah karena: Pertama, bunga ditetapkan di muka, terlepas dari naik turunnya pendapatan atau laba yang dapat dihasilkan oleh bisnis yang dibiayai oleh utang yang berbunga itu. Kedua, dari perhitungan break even point atau yang lazim disebut BEP, pengusaha, yang membiayai produksinya dengan menggunakan utang yang berbunga, harus dapat berproduksi dan menjual barang dagangannya dengan kuantitas yang lebih banyak, agar mencapai titik impas; ini jelas menambah kadar risiko bisnis. Bagi penerima bunga, kreditor itu memperoleh pendapatan tanpa kerja, dan atas risiko bisnis yang ditanggung sendiri oleh debitor. Hal ini bertentangan dengan Islam, yang mewajibkan orang bekerja keras untuk memperoleh rezki dan kekayaan yang halal.


8.  Unsur Larangan: Judi atau Maysir.

Unsur yang bersifat spekulatif akan membawa kepada situasi untung-untungan atau maysir atau judi. Judi dilarang oleh Al-Qur’an (QS 5 : 90, 91), karena pada intinya judi merupakan usaha untuk memperoleh harta tanpa kerja, dan memiliki sifat bahwa pada dasarnya mudharat yang diciptakan akan lebih besar dari manfaat yang diperoleh, baik bagi individu maupun masyarakat secara menyeluruh. Judi, pada intinya menjauhkan orang untuk bekerja dan dari penciptaan lapangan kerja; segala bentuk usaha atau bisnis yang berkaitan dengan spekulasi juga dilarang.  Sejalan dengan pengertian ini, bank dilarang untuk melakukan jual beli risiko keuangan atau financial risk, karena ini menyerupai judi atau maysir (Cihak dan Hesse, 2008).


9.  Unsur Larangan: Gharar

Agar menghindar dari kemudharatan atau ketidak harmonisan, Nabi Saw melarang transaksi yang bersifat gharar, atau yang mengandung risiko yang berlebihan atau ketidakpastian mengenai objek atau kondisi dari suatu kontrak pada awal bertransaksi (Saeed, 2004 : 114). Sole (2007) menyebutkannya gharar sebagai ketidakjelasan dalam berkontrak. Gharar berarti terdapat sesuatu yang tidak jelas atau hazard, atau sesuatu yang tersembunyi, atau informasi yang tidak terungkap atau tidak diungkapkan, dengan membawa konsekuensi yang tidak pasti, atau menimbulkan ketidakpastian yang berlebihan (Elgari, 2003 : 17). Dalam praktik, gharar dapat merupakan sesuatu yang bersifat ambigu, atau ketidakjelasan yang berkaitan dengan pihak lain dalam suatu transaksi seperti penjual dan pembeli, objek atau harga objek dari transaksi itu (Rosly, 2005 : 75); atau merupakan praktik-praktik desepsi atau misrepresentasi mengenai kualitas, harga, jenis dan spesifikasi barang (Rahman, 2010 : 43).
Keseluruhan faktor tersebut akan membuat salah satu pihak berada pada posisi yang tidak seimbang, karena dihadapkan pada unsur-unsur transaksi yang tidak jelas. Untuk menghindari unsur gharar, diperlukan keterbukaan informasi yang lengkap dan hal ini akan mendorong transparansi yang lebih baik, sehingga asymmetric information dapat diperkecil (Gait dan Worthington, 2007).


10. Unsur Modal dan Menjauhi Utang.

Secara umum, Nabi SAW menganjurkan agar manusia tidak menggunakan utang, jika tidak terpaksa. Beliau  pernah berdoa: “Ya, Allah, jauhkanlah saya dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan, kebodohan dan kebathilan, keberatan utang, serta tekanan dan paksaan orang” (HR Muttafaqun Alaihi dari Anas; Sihab, Quraish, 2013 : 237).  Dari doa ini terlihat bahwa keberatan utang disetarakan dengan kesedihan dan kelemahan, yang dapat menimbulkan tekanan atau paksaan agar utang dibayar. Sabda Nabi Saw yang lain menyebutkan bahwa “Jika orang berutang, ia tidak segan-segan berbohong, dan mengingkari janji” (HR muslim dan Abdullah bin Umar). Karena memiliki utang, orang cenderung meninggalkan sifat-sifat yang baik pada dirinya.
Umumnya, utang muncul atas keperluan konsumsi atau untuk keperluan sehari-hari yang mendesak (Ishaat, : 151), sehingga bagi yang dapat memberikan piutang, tindakan itu merupakan kegiatan sosial atau tabarru, atau berdasarkan asas tolong menolong. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles mengatakan bahwa sudah merupakan tugas seseorang untuk menebus teman atau keluarga terdekat; karena pada waktu itu utang yang dikenal di Anthena umumnya adalah untuk konsumsi atau pinjaman non produktif, termasuk melepaskan seseorang dari perbudakan (Millet, 2002 :). Oleh karena itu, dalam hal terpaksa karena keadaan, berutang diperkenankan, asalkan tidak menjadi kebiasaan; dan tidaklah etis, jika diberikan beban tambahan berupa bunga, ketika dibayar.
Dewasa ini, dengan adanya fasilitas kartu kredit, berutang, pada esensinya, merupakan tindakan konsumtif yang menggunakan penghasilan di masa depan yang masih dalam bentuk harapan. Pada saat mengambil utang, pihak yang berutang ini sesungguhnya belum memiliki kemampuan untuk melakukan konsumsi dengan utang yang diambil (Bonner dan Wiggin, 2006 : 276). Dengan adanya konsep impulsive buying, yang diterapkan di banyak pertokoan modern,  orang cenderung menggunakan ketersediaan fasiltas kredit itu untuk membeli barang-barang yang mungkin tidak terlalu diperlukan. Utang menjadi beban riel yang harus ditanggulangi, jika pendapatan yang diharapkan di masa depan tidak terrealisir, sehingga membuat utang menjadi berat dan menimbulkan tekanan terhadap orang yang berutang, seperti yang dimaksud oleh Nabi Saw di atas.
Nabi SAW menyarankan untuk tidak membiasakan diri mengambil utang sehingga  menjadi besar, karena beliau menyamakan kekafiran dengan utang yang besar. Jika orang memiliki utang yang besar, ada kecendrungan jika berbicara dia akan berdusta, dan jika berjanji dia tidak menepati [50] (Taufik, 2004 : 145). Kemudharatan akibat berutang dapat pula dilihat di zaman modern dewasa ini. Didorong oleh rating surat utang yang baik, Yunani terlalu banyak menggunakan utang di masa lalu. Dewasa ini, utang Yunani telah mencapai 115%  dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB)-nya, atau berjumlah AS$ 429 milyar. Agar tetap memperoleh utang dari tahun ke tahun, Yunani melakukan rekayasa pelaporan keuangan atau manipulasi pembukuan.
Khusus yang terkini mengenai mudharatnya utang yang besar terjadi di Amerika baru-baru ini. Pudarnya Pusat Industri Otomotif AS, Ford dan GM di Detroit, disebabkan karena terbelengu utang berjumlah $ 18.5 miliar (Rp 188 triliun), sehingga mengajukan Chapter 9, atau perlindungan kebangkrutan ke pengadilan pada haris kemis (18/7). Ini merupakan kebangkrutan terbesar sebuah kota dari 60 kota yang pernah mengajukan kebangkrutan, sejak 1950. Sebagai akibat krisis keuangan 2009, sebelumnya GM dan Chrysler pernah mengajukan kebangkrutan dalam tahun yang sama (Kompas, 20 Juli 2013). Khan (1986), Ahmad (1952), dan Mannan (1970, 1986), seperti yang dikutip oleh Algaoud dan Lewis (2001 : 12), dan Iqbal dan Mirakhor (2007 : 21) berpendapat, bahwa meningkatnya utang, yang berakibat pada meningkatnya beban bunga dan biaya produksi, juga akan menurunkan penciptaan lapangan kerja, atau cenderung akan menghalangi terjadinya lapangan kerja penuh atau full employment.
Nabi Saw menekankan bahwa, utang harus dibayar; dan bahkan harus dilunasi sebelum seseorang meninggal dunia, karena utang memiliki konsekuensi yang sangat berat, jika tidak dibayar. Nabi Saw enggan untuk menyembayangi seseorang ketika meninggal membawa utang yang belum dibayar [51]. Sabda Nabi Saw menyebutkan, bahwa “Bagi para syuhada akan dihapuskan segala dosa mereka kecuali utang- piutang (yang belum mereka bayar” (HR muslim dan Abdullah bin Umar). Sifat sakral atas pembayaran utang sebelum seseorang meninggal juga dijumpai pada kasus Socrates. Dia meminta seorang temannya, Crito, untuk membayarkan utang yang dimilikinya dalam bentuk ayam jantan, sebelum meminum racun hemlock atas perintah penguasa sebagai hukuman baginya. Di sisi lain, Al Qur’an memerintahkan agar yang berpiutang memberikan kelonggaran, ketika yang berutang belum mampu membayarnya. Nabi Saw bersabda, di lain pihak,  Pengangguhan pembayaran utang bagi yang mampu merupakan penganiayaan” (HR Al Bukhari dan Muslim; Shihab,Quraish, 2013 : 237).
Karena penggunaan utang tidak dianjurkan, untuk membiayai bisnis dengan tujuan komersial, Islam menyediakan fasilitas pembiayaan dengan akad mudharabah atau musyarakah. Akad ini merupakan bentuk kerja sama dalam berusaha, yaitu yang pertama antara pemilik modal atau shahibul mal dengan pengusaha atau mudharib; dan kedua antara sesama mitra, yang sama-sama memasukan modal ke dalam suatu usaha, dan dikelola secara bersama. Dalam kedua akad,  dana yang digunakan bukan bersifat utang, tetapi lebih bersifat modal investasi.


11. Unsur Kerja Sama dan Risk Sharing

Allah Swt berfirman, ”Tolong menolong lah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS, 5 : 2). Kerja sama dalam kebajikan, atau kerja,  sangat dianjurkan oleh Islam. Makna ’berjamaah’ lebih diutamakan dari pada kata ’sendirian’, sejauh untuk kebaikan. Nabi Saw memberikan contoh, ketika akan makan bersama. Masing-masing orang yang ada ketika itu mengambil bagian untuk bergotong royong melakukan pekerjaan, agar makanan dapat tersedia untuk bersama. Ada yang mencari kambing, ada yang menyembelihnya, ada yang mengulitinya, ada yang memasaknya, dan ada pula yang mencari kayu bakar (Shihab, Quraish, 2013 : 310).
Dalam menjaga keharmonisan, tolong menolong dalam menghadapi risiko atau berbagi risiko  merupakan tema yang penting dalam kehidupan sehari-hari, kecuali yang telah ditentukan dalam akad-akad. Hak dan tanggung jawab dari setiap pihak dalam akad telah ditentukan sejak semula. Di luar akad yang telah ditentukan, kerja sama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan untuk mencapai suatu keberhasilan merupakan kewajiban setiap muslim, karena bersifat fardhu kifayah (Amrin, 2011: 74) [52]. Nabi Saw bersabda, ”Siapa yang memenuhi hajat saudaranya, maka Allah akan memenuhi hajatnya” (Hr. Bukhari, Muslim dan Abu Daud).


12.    Unsur Amanah: Kesucian Kontrak dan Menepati Janji
              
Unsur yang paling penting dalam kerja dan berusaha adalah amanah, kejujuran, dan menepati janji atau memenuhi kontrak sehingga kesuciannya terjaga. Allah Swt berfirman, ”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil ” (QS,  4 : 58). Amanah juga dapat diartikan untuk tidak mengambil hak orang lain, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu” (QS, 4 : 29).
Menurut Orgianus (2012 : 92), amanah menyangkut segala hak, yaitu hak milik Allah atau hak perseorangan, yang harus dipertanggungjawabkan dan diemban oleh seseorang. Hak perseroangan dapat berupa pekerjaan, perkataan ataupun kepercayaan orang lain kepada si pengemban amanah tersebut. Untuk dapat memenuhi amanah yang diemban, pemegang amanah harus memiliki kemampuan, atau keahlian, untuk menjalankan atau memenuhi amanah itu. Pemegang amanah haruslah yang benar-benar dapat dipercaya, dengan keimanan yang kuat, dan bersedia meninggalkan keraguan, agar tetap memegang kesucian agamanya (Orgianus, 2012: 93-95).
Amanah juga berarti kepercayaan atau trust. Beberapa ahli atau para filsuf memberikan definisi atau pengertian dari trust atau kepercayaan secara umum, dan terlepas dari masalah janji. Dalam arti yang sederhana, trust identik dengan kepercayaan atau confidence. Menurut Shaw (1997 : 21), trust dalam bahasa Jerman, trost, berarti ’nyaman’, dan merupakan penilaian awal terhadap kemampuan karakter seseorang atau suatu institusi atau organisasi, tidak selalu dibentuk dari pengalaman; tetapi sebagian dibentuk atas kepercayaan atau faith. Shaw menyimpulkan, bahwa trust adalah bahwa seseorang atau suatu institusi selalu menunjukkan hasil, bertindak dengan integritas, serta menunjukkan perhatian terhadap orang lain.
Menurut Bloomgarden (2007 : 13), terdapat empat unsur yang dapat membentuk trust, yaitu memberikan hasil yang nyata, bertindak dalam norma-norma etika, mendengarkan apa yang harus disampaikan oleh orang lain, dan bersikap terbuka atau transparan dalam apa yang dilakukan. Menurut Shaw (1997 : 21), trust atau kepercayaan adalah suatu kepercayaan yang diberikan pada seseorang atau suatu institusi yang dapat memenuhi harapan orang atau pihak yang memberikan kepercayaan. Menurut Muldrew (1998, 148), trust atau kepercayaan merupakan ikatan sosial yang penting, yang berarti suatu reputasi yang baik dan menggambarkan kejujuran dan realibilitas dalam kaitan dengan kewajiban.
Menurut O’ Hara (2004 : 71), trust atau kepercayaan dibentuk dan didukung oleh reputasi; dalam hal ini reputasi yang baik, karena reputasi juga dapat bersifat negatif. O’Hara lebih lanjut berpendapat, bahwa reputasi adalah mengandung informasi yang dapat menjawab pertanyaan mengenai dasar reaksi dari aksi yang akan dilakukan, ketika berhadapan atau berhubungan dengan seseorang atau institusi. Reputasi merupakan jaminan, substansi dan fondasi dari trust atau kepercayaan, dan sekaligus merupakan prediktor terhadap apa yang akan terjadi. Reputasi adalah bahan dasar atas pembentukan trust.
Fukuyama (1995 : 26) berpendapat, bahwa trust atau kepercayaan merupakan suatu harapan yang muncul dalam masyarakat dari tingkah laku yang biasa jujur, dan dapat bekerja sama berdasarkan norma yang biasa dianut oleh sebagian dari masyarakat. Norma yang dimaksud dapat berasal dari nilai agama atau ketuhanan yang dalam, tapi juga dapat berasal dari standar tingkah laku tertentu yang berlaku untuk kelompok tertentu. Bagi Fukuyama (Baum, 2004 : 231), trust akan membangun kerjasama yang saling mempercayai dalam koridor etika yang umum, sehingga membentuk modal sosial di dalam masyarakat. Modal sosial ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi industrial dan inovasi pada tingkat organisasi yang lebih baik, dan sekaligus membentuk banyak hubungan sosial dan menurunkan biaya dalam bertransaksi. Dalam kaitan ini, menurut Immanuel Kant (1724- 1804), trust atau kepercayaan merupakan ikatan sosial, dimana dia menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat bermoral, yang memiliki pandangan yang kuat terhadap ide adanya tugas yang menyangga pengertian mengenai trust (O’Hara, 2004 : 48). Bagi Kant, manusia mampu untuk diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan moral, dan ketentuan itu harus bersifat universal, yang artinya bahwa ketentuan itu harus berlaku pada setiap orang secara merata, sehingga wajar dan tepat secara moral.
Allah memerintahkan manusia untuk menepati janjinya, karena ”Barang siapa yang melanggar janji, niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar”. (QS, 48 : 10). Surat lain menyebutkan, ”Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu........” (QS, 5 : 1). Tuhan telah pula menetapkan bahwa ”...Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabnya” (QS, 17 : 34). Berdasarkan Surat Al Baqarah (QS, 2: 177), Qodri Azizi berpendapat bahwa taqwa juga diartikan sebagai tindakan menepati janji, dan disetarakan dengan beriman kepada Allah sebagai suatu kebajikan, seperti melakukan shalat, menunaikan zakat, dan seterusnya (Azizi, 2004: 97). Ditegaskan kembali bahwa janji adalah utang atau al wa’du daynun (Azizi, 2004: 102).
Al Qur’an menetapkan bahwa orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janji-janjinya adalah yang mewarisi surga Firdaus, dan kekal di dalamnya serta dimuliakan (QS, 23 : 8-11; QS, 70 : 32-35).


C.     PENUTUP: KARAKTERISTIK EKONOMI ISLAM

Secara menyeluruh, dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam berorientasi kepada kemaslahatan manusia atau masyarakat berdasarkan Keesaan Tuhan, melalui prinsip perwakilan di bumi, kejujuran dan keadilan,  serta keseimbangan antara material dan spiritual, atau duniawi dan akhirati. Prinsip ini menyimpulkan sejumlah unsur pokoknya, yang terdiri dari; unsur moral dan etika, kerja dan usaha, menjauhkan utang dan berdasarkan modal usaha (bersama); tanpa unsur riba, maysir, dan gharar, serta barang dan jasa yang dilarang, menekankan pada perdagangan, dengan keuntungan yang wajar, serta bersifat amanah dan menghormati perjanjian. Kesimpulan ini dapat menunjukkan karaktersitik dari ekonomi Islam, yaitu, a). Bertujuan untuk kemaslahatan umat (kesejahteraan sosial), bersifat altruistik bukan egoistik, atau bersifat umat atau society based. b). Sarat akan nilai, atau value laden. c). Berorientasi pada real sector, bukan pada monetary sector. d). Menghargai hak milik individu, tetapi dengan batasan tertentu sehubungan dengan tanggung jawab sosial dan kemaslahatan bersama.


 


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M.Yatimin, Studi Islam Kontemporer, Jakarta: Amzah, 2006.
Adiwarman Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, September 2004, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (Muhammad as a Trade), Cetakan II, Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997.
Agil, Syed Omar Syed, Aidit Ghazali, Readings in the Concept and Metodology of Islamic Economics, Kuala Lumpur: CERT Publications, 2005.
Al Qarny, Aidh Abdullah, Islam, Rahmatan Iil Alamin, Jakarta: Cakra Lintas Media, 2010. 
Amrin, Abdullah, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011.
Ash Shadr, Muhammad Baqir, Iqtishaduna, Ekonomi Islam, Jakarta: Zahra, 2006.
Azizi, A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. 
Azmi, Sabahuddin, Menimbang Ekonomi Islam, Bandung: Nuansa, 2005.
Bowie, Norman E., A Kantian Theory of Capitalism, Ruffin Series in Business Ethics, ABI/INFORM Global, 1998.
Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam, Tangerang Selatan: Penerbit Shuhuf Media Insani, 2011.
Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani, 2000.
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005.
El-Diwany, Tarek, The Problem With Interest, Sistem Bunga Dan Permasalahannya, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003.
Ellsworth, Richard R., “Tujuan Perusahaan”, In Craig L. Pearce, Joseph A. Marciariello, dan Hideki Yamawaki, Drucker Difference, Jakarta: Ufuk Press, 2010.
Gymnastiar, Abdullah, Hermawan Kartajaya, Berbisnis dengan Hati, MarkPlus & Co, Jakarta, 2004.
Hakim, Lukman, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Jakarta: Erlangga, 2012.
Hasan, Hasbi, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, Depok: Gramata, 2011.
Hassan, M. Kabir, “Islamic Banking in Theory and Practice: The Experience of Bangladesh”, Mangerial Finance, 25, 5 ; [1999].
Hasan, Zubair, ”Theory of Profit: The Islamic Viewpoint”, Res.Islamic.Econ. Vo.1, No.1, pp 3-14, 1983.
Kahf, Monzer, “Islamic Economic System- A Review, Dalam Syed Omar Syed Agil, Aidit Gazali (Eds), The Concept and Methology of Islamic Economics, Kuala Lumpur : CERT Publication.
Kamali, Mohammad Hashim, Membumikan Syariah, Jakarta: Mizan, 2013.
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah pemikiran Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Lings, Martin, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Jakarta: Serambi, 2005.
Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Surakarta: Penerbit Erlangga, 2012.
Mankiw, N. Gregory, Teori Ekonomi Makro, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2004. 
Marthon, Said Sa’ad, Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.
Masyuri, Teori Ekonomi Dalam Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Mufid, Sofyan Anwar, Islam & Ekologi Manusia, Bandung: Nuansa, 2010.
Muldrew, Craig, The Economy of Obligation, The Culture of Credit and Social Relations in Early Modern England. New York: Palgrave, 1998.
Mustafa Edwin Nasution, (et.al), Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006.
Nik Mohamed Affandi Bin Nik Yusoff, Islam & Buisness, Selangor: Publications (M) Sdn Bhd, 2002
Obaidullah, Mohammed, Islamic Financial Markets, Toward Greater Ethics & Efficiency, New Delhi: Institute of Objective Studies, 2004.
Orgianus, Yan, Moralitas Islam Dalam Ekonomi & Bisnis, Bandung: Marja, 2012.
P3EI, Ekonomi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008.
Pramono, Sigit, “Kebijakan Publik, Keadilan Ekonomi, dan Maqasid Syariah”, Dalam Supriyanto, Bambang (ed), Ekonomi Islam:Ekonomi Alternatif ?, Jakarta: STAI-PTDII.
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Rahman, Afzalur, Al Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Rawzy, Sayed Al Asgher, Muammad Rasulullah Saw, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004.
Rusydiana, Aam Slamet, (et.al), Ekonomi Islam Substantif, Bogor: LPPM, 2009. 
Shihab, Quraish, Al Lubab, Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati, 2012.
Shihab, Quraish, Lentera Al Qur’an, Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 2013.
Shihab, Quraish, Membumikan Al Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 2013.
Shihab, Quraish, Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al Qur’an, Bandung: Mizan, 2013.
Shihab, Umar, Kontekstualitas Al Qur’an, Jakarta: Penamadani, 2008.
Sofyan S. Harahap, Akuntansi Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hlm. 210.
Sofyan S. Harahap, Pelajaran dari Krisis Asia, Jakarta: Pustaka Quantum, 2002.
Surat Al-Mulk (QS, 67 : 15) Supriyanto, Eko, Ekonomi Islam, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005.
Surat Al-Jumu’ah (QS, 62 : 10).
Ustadz Rich, dan Laode, Rasulullah’s Business School, Jakarta: Ihwah, 2011.
Vogel, Frank E., Samuel L. Hayes III, Islamic Law and Finance, Religion, Risk And Return. Boston: Kluwer Law International, 1998.
Warde, Ibrahim, Islamic Finance in the Global Economy, Edinburg : Edinburg University Press, 2001.
Yusufian, Hasan, dan Ahmad Husain Shafiri, Akal dan Wahyu, Jakarta: Sadra Press, 2011.




              [1] Kahf, Monzer, “Islamic Economic System- A Review, Dalam Syed Omar Syed Agil, Aidit Gazali (Eds), The Concept and Methology of Islamic Economics, Kuala Lumpur : CERT Publication, hlm. 86.
[2] Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonmi Islam, Jakarta : Gema Insani Press, 1995, hlm. 31.
[3] Mustafa Edwin Nasution, (et.al), Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm. 11.
[4] Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani, 2000, hlm. 204-205.
[5] Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani, 2000, hlm. 209-210.
[6] Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani, 2000, hlm. 212-215.
[7] Supriyanto, Eko, Ekonomi Islam, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005, hlm. 25
[8]  Kahf, Monzer, “Islamic Economic System- A Review, Dalam Syed Omar Syed Agil, Aidit Gazali (Eds), The Concept and Methology of Islamic Economics, Kuala Lumpur: CERT Publication, hlm. 84.
[9] Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam, Tangerang Selatan: Penerbit Shuhuf Media Insani, 2011, hlm. 209.
[10] Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Surakarta: Penerbit Erlangga, 2012, hlm. 37.
[11] Surat Al-Mulk (QS, 67 : 15) dan Al-Jumu’ah (QS, 62 : 10).
[12] Marthon, Said Sa’ad, Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004, hlm. 48.
[13] Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005, hlm.  3.
[14] Nik Mohamed Affandi Bin Nik Yusoff, Islam & Buisness, Selangor: Publications (M) Sdn Bhd, 2002, hlm. 3.
[15] Eko Suprayitno, Loc.Cit. 2005, hlm. 3.
[16] Adiwarman Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, September 2004, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 365.
[17] Mankiw, N. Gregory, Teori Ekonomi Makro, Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2004, hlm. 56. 
[18] Ustadz Rich, dan Laode, Rasulullah’s Business School, Jakarta: Ihwah, 2011, hlm. 177.
[19] Lings, Martin, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Jakarta: Serambi, 2005, hlm. 43.
[20] Rawzy, Sayed Al Asgher, Muammad Rasulullah Saw, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004, hlm. 46.
[21] Ustadz Rich, dan Laode, Loc.Cit., hlm. 225.
[22] Ustadz Rich, dan Laode, Loc.Cit., hlm. 226.
[23] Lings, Martin, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik., Jakarta: Serambi, 2005, hlm. 51.
[24] Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Jakarta: Swarna Bhumy, 1997, hlm. 7.
[25] Sofyan S. Harahap, Pelajaran dari Krisis Asia, Jakarta: Pustaka Quantum, 2002, hlm. 19.
[26] Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (Muhammad as a Trade), Cetakan II, Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997, hlm. 323 – 326.
[27] El-Diwany, Tarek, The Problem With Interest, Sistem Bunga Dan Permasalahannya, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003, hlm. 210.
[28] Sofyan S. Harahap mengutip dari Tirmizi dan Mansor. Sofyan S. Harahap, Akuntansi Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hlm. 210.
[29] Sofyan S. Harahap mengutip dari Tirmizi dan Mansor. Idem.
[30] Bowie, Norman E., A Kantian Theory of Capitalism, Ruffin Series in Business Ethics, ABI/INFORM Global, 1998, hlm. 37.
[31] A trade (with or without deferment of payment of price) is a risky and permissible investment.  It is different from pure riba based risk free debt. A seller in a trade, whether on spot or deferred payment basis, is free to charge any price and the profit that accrues to him is legitimate. Obaidullah, Mohammed, Islamic Financial Markets, Toward Greater Ethics & Efficiency, New Delhi: Institute of Objective Studies, 2004, hlm. 23.
[32] Vogel, Frank E., Samuel L. Hayes III, Islamic Law and Finance, Religion, Risk And Return. Boston: Kluwer Law International, 1998, hlm. 113.
[33] Hasan, Zubair, ”Theory of Profit: The Islamic Viewpoint”, Res.Islamic.Econ. Vo. 1, No. 1, pp 3-14, 1983.
[34] Gymnastiar, Abdullah, Hermawan Kartajaya, Berbisnis dengan Hati, MarkPlus & Co, Jakarta, 2004.
[35] Muldrew, Craig, The Economy of Obligation, The Culture of Credit and Social Relations in Early Modern England. New York: Palgrave, 1998, hlm. 140.
[36] Ellsworth, Richard R., “Tujuan Perusahaan”, In Craig L. Pearce, Joseph A. Marciariello, dan Hideki Yamawaki, Drucker Difference, Jakarta: Ufuk Press, 2010, hlm. 143.
[37] Sofyan S. Harahap, Akutansi Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hlm. 171.
[38] Hassan, M. Kabir, “Islamic Banking in Theory and Practice: The Experience of Bangladesh”, Mangerial Finance, 25, 5; [1999].
[39] Adiwarman Karim, Loc.Cit, hlm. 365.
[40] Adiwarman Karim, Loc.Cit, hlm. 365.
[41] Al-Baqaráh (2 ; 280); Kaum muslim diminta untuk bersikap adil terhadap peminjam uang. Jika mereka tidak mampu membayar hutangnya, 2 alternatif yang dapat dilakukannya; pertama, memperpanjang masa pembayaran kembali. Kedua, merubah pinjaman menjadi sedekah. Yang kedua merupakan alternatif terbaik bagi muslim. Haron, Sudin, Loc. Cit, hlm. 56.
[42] Warde, Ibrahim, Islamic Finance in the Global Economy, Edinburg : Edinburg University Press, 2001, hlm. 58.
[43] Kerja keras dan berpartisipasi dalam kegiatan kreatif ekonomi merupakan kewajiban setiap muslim (QS. Al-Jumu’ah, 62 : 10). Warde, Ibrahim, Ibid, hlm. 62.
[44] Qardhawi, Yusuf. Loc.Cit., hlm.184.
[45] Qardhawi, Yusuf. Loc.Cit., hlm 184.
[46] Bunga juga ditentang oleh banyak pihak, antara lain Aristoteles, Plato, Hukum Roma (Ius Romanum), Kitab suci Yahudi, dan Perjanjian lama Kristen (K Berten, p 51). Pada saat penyebaran praktek bunga tidak dapat dihindarkan dalam bisnis, pihak gereja melakukan kompromi dan menarik sikap penentangannya secara terbuka. Tahun 1545, hukum Inggris memperbolehkan pembebanan bunga sampai tingkat tertentu, dan jika lebih tinggi dianggap pemerasan. El-Diwany, Tarek, Loc.Cit, hlm. 31.
[47] Abdullah Saeed, edited by Virginia Hooker, hlm. 117.
[48] Vogel, Frank E. Samuel L. Hayes III, Islamic Law and Finance, Religion, Risk and Return, London : Kluwer Law International, 1998, hlm. 87-93.
[49] Abdullah Saeed, Virginia Hooker, hlm. 115.
[50]  Apa yang disampaikan Nabi SAW ini, beberapa ratus tahun kemudian juga diutarakan melalui ungkapan “if you loan a man too much money, you turn a good man into a bad man” (Warde, 2000 : 163)
[51] Abu Huraira menyebutkan bahwa “ jika seseorang menerima barang orang lain dengan niat untuk mengembalikannya maka Allah akan membayarkan untuk dia. Tetapi, jika dia menerima barang itu dengan niat untuk memboroskannya, Allah akan menghancurkan hartanya”. Suhaibul Khair mengungkapkan ucapan Nabi SAW, “ jika seseorang meminjam suatu jumlah dari orang lain dan dia tidak berniat untuk membayar kembali, maka dia akan bertemu dengan Allah sebagai pencuri” (Ishaat, : 162-163).
[52] Amrin, Abdullah, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011, hlm. 74.




Tulisan ini diterbitkan di Jurnal QUALITY (Jurnal Manajemen dan Akuntansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM), Volume II, No. 11, Juli 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar