PRINSIP DAN UNSUR-UNSUR POKOK EKONOMI ISLAM
Oleh:
Hendy Herijanto
Islamic Economics and
Finance (IEF)
Universitas Trisakti, Jakarta
ABSTRAK
Selain
menjadi petunjuk bagi manusia, Al-Quran juga mengandung pengetahuan yang perlu
digali dan dikembangkan, dengan tujuan mencapai kemaslahatan bersama. Petunjuk
dan pengetahuan ini juga berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan bersifat universal,
karena merupakan pedoman bagi seluruh umat manusia. Makalah kecil ini berusaha
untuk mengkaji Prinsip Dasar dan Prinsip Utama dari ekonomi Islam, serta
unsur-unsur pokoknya, yang antara lain, adalah: Moral dan etika, pengetahuan
dan keahlian, kerja, perdagangan, tanpa riba, maysir atau gharar, dan
amanah.
Kata Kunci: Allah Swt, Akal, Kerja, Pengetahuan, Keadilan, Maslahah, Perdagangan, Keuntungan, dan
Amanah.
ABSTRACT
Beside functioning as a guidance for all
human being, the Holy Book Al Qur’an also contains knowledge as revealed by God
the Almighty, which needs to be comprehended and developed. These guidance and
knowledge, which also concerning economic activities, are universal in nature.
This paper tries to discuss about the basic and main principles of the Islamic
economy, with its important factors, such as: Moral and ethics, knowledge and
skills, work element, emphazising on trade, without interest, maysir or gharar,
trust and keeping the sanctity of contract.
Key words: God The Almighty, Human Mind, Work, Knowledge, Fairness, Prosperity,
Trade, profit, and trust.
A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Allah Swt berfirman bahwa telah disempurnakan
’Agamamu’ (QS, 05: 03), dan ”.... Tidaklah
Kami alpakan sesuatu apa pun di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an)” (QS, 06 : 38).
Kedua ayat ini mengisyaratkan bahwa buku suci Al-Qur’an merupakan buku yang
terakhir dan sempurna sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam menjalankan
kehidupan di dunia, serta bernilai akhirati. Buku suci itu berlaku sejak
diturunkannya hingga nanti waktu kiamat datang; sehingga tidak akan direvisi,
dirubah atau diganti oleh siapapun, karena Allah Swt telah berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al
Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya” (QS, 15 : 9).
Secara garis
besar, kandungan Al Qur’an itu berkaitan dengan dua hal utama. Pertama, yang
berkaitan bagaimana beribadah, yaitu mengatur hubungan vertikal antara Tuhan
dan manusia, baik yang merupakan ibadah murni ataupun ibadah umum. Ibadah murni
mencakup melakukan shalat, membayar zakat dan sebagainya; sedangkan ibadah umum
merupakan kegiatan yang menimbulkan kebaikan atau kemaslahatan. Kedua, mengatur
hubungan horizontal yaitu antar sesama manusia, atau kegiatan bermuamalah, yang
termasuk kegiatan ekonomi. Agar kegiatan ini bernilai ibadah umum sehingga
bernilai akhirati, manusia harus memperhatikan petunjuk dalam Al Qur’an.
Khususnya yang
berkaitan dengan bermuamalah, ayat-ayat Al Qur’an bersifat universal, dan dapat
dipikirkan dengan logika. Allah Swt menjelaskan dalam firmanNya bahwa “Sesungguhnya (Al Qur’an itu) adalah
ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang berilmu” (QS, 29 : 49),
dan “…Supaya orang-orang berakal dapat
mengerti” (QS, 38 : 28). Akal merupakan pilar penyangga agama, dan dengan
akal, manusia dapat mengenal Tuhan (Yusufian dan Shafiri, 2011: 242). Dalam
kajian ini, kata-kata penting Al Qur’an adalah Allah, akal, pengetahuan dan
keadilan [1].
2. Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan: Pertama, untuk menggali
petunjuk yang ada di dalam Al Qur’an yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Kedua,
berusaha untuk membedakan petunjuk tersebut sebagai prinsip dasar dan prinsip
pokok. Prinsip dasar diartikan sebagai sandaran utama yang lebih bersifat
filosofis, dan merupakan latar belakang dari penciptaan manusia dan diturunkannya
Al Qur’an. Prinsip pokok, di lain pihak, merupakan jiwa dari setiap kegiatan
yang dilakukan manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia, sehingga bernilai
akhirati. Ketiga, menterjemahkan prinsip-prinsip tersebut ke dalam unsur-unsur
pokok ekonomi Islam sebagai manifestasi dari prinsip-prinsip tersebut.
Pendekatan yang dilakukan dalam kajian ini bersifat kualitatif, dan
kepustakaan. Data primer yang digunakan bersumber dari Al Qur’an, dan data
sekunder berasal dari Hadis Nabi Saw serta dari sejumlah literatur.
B.
EKONOMI ISLAM
1. Pengertian
Sistem ekonomi Islam adalah suatu sistem ekonomi
yang didasarkan pada ajaran dan nilai-nilai Islam, dan bersumber dari Al Quran
dan Sunnah Nabi Saw, serta dikembangkan berdasarkan ijma dan qiyas; bertujuan
akhir kepada Allah, dengan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat
Islam (Qardhawi, 1997 : 31). Ekonomi sendiri adalah suatu ilmu yang mempelajari
manusia dalam segi kehidupan sehari-hari, dan bertindak dalam proses produksi,
konsumsi, alokasi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan
sumber yang terbatas. Namun, menurut Ash Shadr, ekonomi Islam adalah sebuah
doktrin, dan bukan ilmu pengetahuan, karena merupakan cara bagaimana mengenjar
kehidupan ekonomi; dan belum merupakan penafsiran untuk menjelaskan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ekonomi, serta hukum-hukum
yang berlaku di dalamnya. Doktrin ini merupakan kumpulan teori dasar yang
dipakai untuk memecahkan masalah dalam kehidupan ekonomi (Ash Shadr, 2006 : 84,
94). Pakar ekonomi Islam lainnya, seperti Abdullah, menyebutkannya sebagai
prinsip (Abdullah, 2006 : 131).
Menurut Afzalur Rahman, ekonomi Islam menggunakan
prinsip-prinsip, yang merupakan jalan
tengah antara ekonomi kapitalis dan sosialis; yang mengandung kebaikan dan
membuang keburukan dari keduanya (Rahman, 2000 : 182). Nabi Saw bersabda untuk
mengambil jalan tengah itu agar manusia berbahagia, dan ini diartikan sebagai
suatu konsepsi pemenuhan kebutuhan ekonomi, sebagai prasyarat untuk
meningkatkan kehidupan rohani dan moral manusia (Rahman, 2000 : 188, 192).
Bertujuan akhir pada Allah [2],
atau yang disebut sebagai bernilai akhirati, adalah yang dapat menciptakan
kemaslahatan, manfaat, atau kebaikan, bagi diri sendiri dan orang lain,
masyarakat, atau kepentingan publik (Kamali, 2013 : 43); bukan sebaliknya.
Tujuan yang sebaliknya adalah hanya menekankan pada kepentingan pribadi, atau
bersifat individualistis semata seperti halnya ekonomi kapitalis’; atau hanya
menekankan pada kepentingan sosial, seperti dalam ekonomi sosialis. Dalam
Islam, tujuan tersebut disebut sebagai Maqasyid
al Syariah. Syariah artinya
“jalan menuju sumber air”. Al Syatibi menyebutkan bahwa “Sesungguhnya syariah bertujuan mewujudkan kebaikan atau kemaslahatan (mashlahah)
seluruh umat manusia di dunia dan akhirat” (Kamali, 2013 : 43). Lebih
lanjut, Al Syatibi mengatakan bahwa mashlahah berkaitan dengan tegaknya
kehidupan manusia, terpenuhinya kebutuhan manusia yang diperlukan oleh sifat
emosional dan intelektual dalam pengertian yang mutlak (Azmi, 2005: 186). Arti
lain dari mashlahah adalah segala
bentuk keadaan, baik material amupun non material, yang mampu meningkatkan
kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia; di dalamnya mengandung
pengertian kemanfataan duniawi dan akhirati (P3EI, 2008 : 5). Dalam konteks
yang lebih luas, mashlahah atau kemaslahatan diartikan sebagai kepentingan publik, yang merupakan
kewajiban sosial, atau bersifat fardh
kifayah. Tanggung jawab pelaksanaannya terletak pada seluruh individu atau
masyarakat secara keseluruhan, atau pada akhirnya menjadi kewajiban negara, dengan sasaran kebaikan bagi seluruh
manusia (Azmi, 2005 : 186-188). Menurut Al Ghazali, mashlahah berkaitan dengan maqasid
al syariah atau objek hukum yang meliputi perlindungan terhadap: agama,
jiwa atau kehidupan, akal, keturunan dan harta (Karim, 2004: 319).
2. Prinsip Dasar Ekonomi Islam:
Rahmat Bagi Sekalian Alam
Dalam mengkaji prinsip dasar dari ekonomi Islam,
dirasakan perlu terlebih dahulu untuk meninjau alasan diturunkannya Buku Suci
Islam ke dunia. Al Qur’an, sebagai
wahyu dari Allah Swt melalui Nabi Besar Muhammad Saw, merupakan bagian yang
integral dari keseluruhan ajaran Islam dan bersifat komprehensif. Dalam Surat
Al Maidah (QS, 5 : 3), Allah Swt berirman bahwa Agama Islam itu telah
disempurnakan dan telah dicukupkan nikmat sebagai ajaran yang sempurna bagi
umat manusia [3]. Nikmat yang dicukupi mencakup nikmat
jasmani sebagai sifat Rahman atau kasih, dan nikmat rohani sebagai sifat Rohim
atau sayang dari Allah Swt; dengan aplikasinya terhadap dua hal, yaitu hubungan
antara manusia dengan Penciptanya yang merupakan tali agama atau hablum minnallah, dan hubungan manusia
dengan sesamanya atau tali perjanjian dengan manusia atau hablum minanas (Orgianus, 2012 : 185).
Dalam salah satu Ayat yang paling penting, bagi
kehidupan manusia di dunia dari segi kegiatan ekonomi, dan bersifat sangat
filosofis dan aplikatif, adalah pernyataan Allah Swt, bahwa ”Kami tidak mengutus engkau (Muhammad)
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin)”
(QS, 21 : 107). Ini artinya bahwa Nabi Muhammad
Saw ditunjuk menjadi Rasul Allah untuk memberikan petunjuk, bimbingan, contoh,
pelajaran, membentuk hukum dan kepatuhan, bagi semua umat manusia di dunia,
sehingga membawa nikmat, maslahah
atau kesejahteraan bagi seluruh makhluk dan ciptaaan Tuhan.
Sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia di dunia,
yang bernilai kebajikan bagi sesama, atau yang juga disebut bernilai
akhirati, tujuan dari ayat-ayat Al Quran
itu adalah agar manusia berhasil di dunia dan di akhirat. Hal ini sejalan
dengan pengertian ”Rahmatan lil alamin”, yang merupakan tugas utama Nabi
Muhammad Saw sebagai Rasul Allah. ”Rahmatan
lil alamin” ini menjadi prinsip
dasar yang berlaku bagi seluruh umat manusia, agar manusia bertindak sebagai
pemakmur (QS, 11 : 61) bagi sekalian ciptaan Tuhan, termasuk seluruh umat
manusia, tumbuh-tumbuhan dan hewan (Al
Qarny, 2010 : 84), serta alam semesta atau lingkungan hidup manusia. Dalam
kaitan dengan hewan, Nabi Besar Saw mengajarkan untuk memberikan hak binatang
yang dikendarai, memberi makan kucing atau melepaskannya agar dapat mencari
makanan sendiri, dan memberikan minum anjing yang kehausan; dan jika tidak,
dianggap berdosa dan Tuhan memasukan yang tidak mengindahkan seruan itu ke
neraka (Shihab, Quraish, 2013 : 28-29). Bagi Islam, manusia yang beriman
merupakan wakil Allah Swt di dunia untuk menjalankan kebajikan dan menghindari
kerusakan, ”amar ma’ruf nahi munkar”.
Perangkat yang diciptakan dan diberikan Allah Swt, termasuk ayat-ayat Al Qur’an
dan dipraktikan oleh Nabi Saw, juga bertujuan bagi manusia untuk mencapai hal
yang demikian.
Makna rahmatan
lil alamin sejalan dengan pengertian maqasid
al syariah, yang intinya menciptakan kemaslahatan atau al silah dan menghindari kemudharatan atau kerusakan. Tuhan YME memerintahkan manusia melalui
Surat Al Araf (QS, 7: 56, 85) yang berbunyi, antara lain, ”Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi”. Dalam arti luas,
kerusakan diartikan sebagai lawan dari harmoni, sehingga kerusakan itu tidak
saja menimbulkan ketidakseimbangan terhadap alam, tetapi juga antar hubungan
manusia. Pertengkaran antar manusia pada akhirnya bermuara pada kerusakan,
sehingga menimbulkan distorsi terhadap perdamaian, dan berakibat berkurang atau
hilangnya harta benda atau produktivitas manusia.
Dalam kaitan dengan alam, Nabi Besar Saw
menganjurkan agar manusia bersahabat dengan alam, sehingga dapat menjaga
kelestarian lingkungan (Shihab, Quraish, 2013 : 29). Menurut Umar Shihab,
manusia telah melakukan penyimpangan dari hukum alam, dengan melakukan
pemanfataan yang tanpa batas terhadap sumber alam yang telah disediakan oleh
Tuhan. Tindakan ini membuat kehidupan ekonomi menjadi tidak harmonis dengan
lingkungan sosial dan alam. Secara empirik, kerusakan lingkungan telah terjadi
di mana-mana termasuk di Indonesia sebagai akibat perilaku manusia; dan, bahkan,
Allah Swt telah pula berfirman bahwa telah tampak kerusakan di darat dan di
laut akibat perbuatan manusia (QS, 30 : 41). Penyebabnya adalah karena alam
dianggap sebagai objek penguasaan, bukan sebagai sahabat di mana manusia hidup berdampingan, sehingga kemasalahatan
tidak tercapai. Lebih lanjut, beliau mengatakan, bahwa penyimpangan ini
bertentangan dengan kepentingan peribatan kepada Tuhan yang Maha Esa (Shihab,
2008 : 307), atau dalam bahasa lain disebut sebagai ’tidak bernilai akhirati’, sehubungan dengan
perintah Tuhan yang dimaksud.
3. Prinsip-Prinsip Utama Ekonomi Islam
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang
berketuhanan, yang bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan
menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Islam (Qardhawi, 1997: 31). Pengertian ini dilandasi, antara lain,
oleh 4 prinsip utama, yaitu Tauhid (atau unity,
atau Keesaan Tuhan), Khilafah (vicegerency,
atau wakil) dan Adalah (justice,
atau keadilan), Taskiyah
(keseimbangan material dan spiritual), dengan uraian sebagai berikut:
a). Tauhid (Unity, Keesaan Tuhan)
Tauhid atau Keesaan Tuhan merupakan
prinsip utama dan paling utama bagi kehidupan manusia di dunia, dan berfungsi sebagai
fondasi keimanan Islam. Allah Swt tidak diperanakkan, atau tidak pula beranak. Sebagai pencipta langit dan bumi serta
segala isinya, Allah Swt merupakan awal dari segalanya. Tuhan Yang Maha Kuasa,
yang bersifat esa dan unik, mendesain dan menciptakan alam semesta secara sungguh-sungguh,
dan tidak terjadi secara kebetulan atau aksiden (Chapra, 2000 : 204). Alam
semesta diciptakan dengan tujuan yang memberikan arti dan signifikasi bagi
eksistensi jagat raya, di mana manusia merupakan salah satu bagiannya [4]. Segala sesuatunya berasal dari Allah;
dan semua akan kembali ke Allah Swt (QS, 57 : 3).
Tauhid merupakan suatu prinsip lengkap
yang menembus seluruh dimensi dan mengatur seluruh aktivitas manusia, dalam
bentuk kesatuan yang mengitari prinsip ini, seperti kesatuan alam raya, agama, ilmu,
kebenaran dan seterusnya; dan mengarah kepada hakikat Tauhid (Shihab, Quraish,
2013 : 69 : 70). Keesaan Tuhan merupakan awal dari segalanya, dituangkan ke dalam
Buku Suci Al Qur’an sebagai wahyu melalui Nabi Besar Muhammad Saw, merupakan
awal dari segala pengetahuan Dari segi teori, penjabaran petunjuk-petunjuk dalam
Al Qur’an berasal dari konsep unity of
knowledge, yang merupakan kajian etimologis dari konsep Tauhid, atau
Keesaan Tuhan YME. Choudhury (2004ª : 11-12) menjelaskan bahwa unitas
pengetahuan ini berawal dari Tuhan YME, karena Tuhan menciptakan dunia ini dan
segala isinya (QS, 92 : 13). Keesaan Tuhan merupakan sumber dari segala ilmu
pengetahuan yang meliputi segala sesuatu yang berada dalam langit dan bumi (QS,
18 : 109; QS, 2 : 33; QS, 22 : 70; QS, 15 : 24). Oleh karena itu, Choudhury
(2002 : 7) menyebutkan Al Qur’an sebagai buku pengetahuan dari Tuhan, yang
bersifat mutlak, sempurna dan lengkap; karena Tuhan yang menciptakan dan
mengatur seluruh alam semesta sebagai suatu sistem yang sempurna. Dari segi
filsafat, Socrates mengungkapkan dalam Apologi
23a bahwa Allah merupakan sumber nikmat dan pengetahuan (Rakhmat, 2009 :
21).
Choudhury (2002 : 8) menjelaskan lebih
lanjut, bahwa keberadaan primal dari kumpulan pengetahuan Tuhan menciptakan
sekalian alam adalah tetap berada pada premis unity of knowledge. Dari sini timbul dunia yang menginspirasikan
pengetahuan, termasuk entitas, sistim, ruang lingkup dan relasi-relasi
pengetahuan itu. Kerangka ini pada akhirnya dituangkan ke dalam epistemologi
Ketauhidan sebagai esensi dari kesempurnaan Ketauhidan itu sendiri, kelengkapan
dan sifat absolut dari pengetahuan Tuhan tersebut. Al Qur’an mengandung
petunjuk-petunjuk yang merupakan pengetahuan yang diperlukan oleh manusia dalam
kehidupannya di dunia dan yang bermanfaat untuk
di akhirat, sehingga meliputi semua bidang kehidupan seperti sosial atau
kemasyarakatan, ekonomi, pembiayaan, hukum, politik dan agama (Beekum, 2004 : 33; Asy’arie, 2010
: 191). Oleh karena itu, konsep teologi Islam, yang disebut oleh Choudhury
sebagai Tauhidi principles, adalah
bahwa Tuhan itu satu, yang menyatukan keragaman ciptaan-Nya, dan merupakan
awal, sebagaimana Plato mengatakan sebagai Prima Kausa, dan akhir. Manusia dan
alam semesta diciptakan oleh Tuhan YME sebagai awal, yang semua akan berakhir
ketika kembali kepada-Nya.
Tujuan hidup pada dasarnya adalah untuk mencapai
perjumpaan kembali dengan Tuhan (Asy’arie, 2010 : 249), dan memiliki dua
bagian. Bagian pertama adalah di antara awal dan akhir itu terdapat dunia di mana
manusia hidup, dan hidup seyogianya menggunakan petunjuk yang diberikan Tuhan
melalui ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi SAW, dan di sini berarti menjumpai
Tuhan melalui penerapan petunyuk-petunjuk-Nya. Di dunia ini, dengan petunjuk-petunjuk
tersebut, manusia berfungsi sebagai
khalifah Tuhan, yang dituntut untuk berkarya seoptimal mungkin dan perlu dicapai sebelum memasuki
bagian kedua. Di dalam masa itu, karya yang dilakukan harus bermanfaat bagi
peradapan manusia, dengan mensejahterakan diri dan orang lain, sehingga setiap
kegiatan itu bernilai ibadah (Aa Gym dan Kartajaya, 2004). Hal ini dijelaskan
oleh Surat Al-Hadid (QS, 57 : 20), bahwa kehidupan seorang muslim di dunia
adalah perjuangan untuk meraih kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan
akhirat, sebagai kehidupan yang berkesinambungan di akhirat, yang diukur dari
kehidupan di di dunia (Shihab, Quraish, 2012 : 186). Pada bagian kedua, dengan petunjuk atau
pengetahuan itu, manusia dapat mengumpulkan seluruh catatan kebajikan dan keimanan
selama hidup di dunia yang akan dibawa
ketika kembali berjumpa dengan Tuhan.
Aristoteles berpendapat bahwa tujuan
manusia hidup di dunia adalah untuk mencapai kebahagian. Dalam konteks Islam, kebahagiaan ini tidak saja
bernilai duniawi, tetapi juga harus bernilai akhirati, dengan membawa segala
catatan kebajikan dan keimanan tadi. Aristoteles juga berpendapat, bahwa dengan
pengetahuan orang akan dapat mengenali mana yang buruk dan mana yang baik,
sehingga dapat menjauhkan diri dari tindakan yang tidak baik. Dengan petunjuk
yang ada dan berkaitan dengan bidang yang diperlukan, manusia perlu mengkaji
ayat Al Qur’an tertentu, mempelajari atau melakukan diskursus, dan kemudian
menerapkannya. Dengan diskursus dan penerapan yang berulang-ulang, maka akan diperoleh
suatu konsep yang lebih tinggi dan lebih baik dari sebelumnya. Prinsip Islam
adalah bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan demikian
seterusnya. Untuk itu, Choudhury (2004a : 9; 2004b : 3) berpendapat bahwa pengetahuan
yang diberikan Al Qur’an harus dikembangkan dari waktu ke waktu, melalui proses evolusi bartahap.
Ditinjau dari segi praktik, untuk
memperjelas dasar manfaat dari proses
yang dimaksud Choudhury tersebut, adalah bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Tahu dan Maha Adil merupakan dasar bagi manusia untuk bertingkah-laku, berdasarkan
petunjuk yang diberikan-Nya. Menurut Broom (2003 : 167), anggapan bahwa Tuhan
Maha Tahu merupakan alat yang kuat, dan dapat mendorong orang untuk berlaku
baik dan menjauhi diri dari tindakan yang tidak baik; sehingga jika orang sadar
bahwa segala tindakannya diketahui oleh Tuhan, maka secara sadar atau tidak,
tindakan yang tidak baik akan berkurang. Immanuel Kant (1963 : 97) berpendapat
bahwa kesadaran akan adanya Tuhan, dan
rasa takut akan keadilan-Nya yang maha adil, akan mendorong orang untuk
memperhatikan secara sungguh-sunguh segala petunjuk yang diberikan-Nya. Bagi
muslim, petunjuk-petunjuk itu dapat diketahui melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan
Hadith Nabi SAW. Menurut Wiroso (2009 : 91), hal ini yang dijadikan sebagai
paradigma dasar dalam melakukan transaksi syariah, atau dalam hal bermuamalah
termasuk kegiatan ekonomi, sehingga mencapai kesejahteraan hakiki secara
material dan spiritual. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi tidak dapat bersifat
netral, dipisahkan dari agama, atau etika. Bahkan, setiap kegiatan manusia di
dunia selalu dikaitkan dengan keimanan terhadap Tuhan, sehingga bernilai
ibadah.
Sebagai kesimpulan, tauhid dapat diartikan
sebagai suatu hubungan dengan yang Satu, yang berbeda dengan yang lainnya, dan
sebagai satu-satunya sumber bagi nilai yang harus dianut dan bagi penjabaran pengetahuan
yang diperlukan oleh manusia. Tauhid merupakan komitmen manusia terhadap Allah
Swt, sekaligus sebagai penghormatan dan rasa terima kasih bagi Sang Khaliq
(Agil dan Ghazali, 2005 : 2).
b). Manusia
Sebagai Khalifah Allah di Bumi (Vicegerency)
Manusia diciptakan Allah untuk menjadi ‘khalifah fi al-ard’ (QS, 2 : 30; QS, 6 :
165), atau dapat diartikan sebagai wakil Tuhan, dan berperan sebagai penguasa
atau pemimpin di bumi. Untuk itu, Allah telah melebihkan kepada manusia secara
sempurna di atas semua ciptaanNya (QS, 17 : 70), karena Tuhan telah memberikan
manusia akal, sehingga manusia dikatakan ciptaan yang berakal atau hayawan an-nathiq (Mufid, 2010 : 112). Surat
Ali Imran menyebutkan bahwa manusia adalah umat yang terbaik, dan diperintahkan
untuk melakukan yang baik atau makruf,
dan mencegah yang buruk atau munkar
(QS, 3 : 110). Ini dapat
diartikan bahwa manusia telah dibekali
dengan semua karakteristik mental dan spiritual, serta material untuk memungkinkan
hidup dan mengemban misinya secara efektif. Sejalan dengan tugas sebagai
khalifah ini, tujuan manusia diciptakan
adalah untuk menyembah Allah Swt (QS, 51 : 56). Ini artinya apa yang dilakukan oleh manusia harus
mengikuti ketentuan atau ketetapan Tuhan YME.
Untuk keperluan hidup di bumi, Tuhan telah
mencukupkan segala sesuatu yang diperlukan manusia di dunia. Allah Swt berfirman,
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan
menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu
menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan
hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan
pemberi rezki kepadanya” (QS, 15 : 19-20). Lebih lanjut, Surat Al Baqarah
(QS, 2 : 29) menyebutkan bahwa Allah menjadikan segala yang ada di bumi untuk
kamu, manusia. Surat al Mulk (QS, 67 : 15) menyebutkan pula bahwa “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi
kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki
Nya dan hanya kepada Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. Kedua Ayat
ini menyiratkan suatu amanah dari Allah Swt, yang menugaskan manusia untuk
menggunakan segala yang ada di bumi sebaik-baiknya untuk kesejahteraan seluruh
manusia (Hakim, 2012 : 2). Misi ini diperkuat dengan Surat Hud (QS, 11: 61), yang
secara jelas menyebutkan bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi pemakmurNya
di bumi; dan hal ini harus dilakukan dengan menggunakan ilmu dan amal. Kata ’memakmurkan’
dapat diartikan memelihara,
mensejahterakan, meramaikan, melestarikan, dan seterusnya. Kata ’amal’
diartikan sebagai perbuatan, tindakan, aktifitas, kerja, pekerjaan, dan
produktivitas di dunia, ; sedangkan di akhirat, merupakan hasil, konsekuensi
atau akibat dari perbuatan di dunia tadi (Azizi, 2004 : 46). Quraish Shihab menegaskan
lebih lanjut, bahwa manusia dalam kedudukannya sebagai khalifah ditugasi untuk
membangun bumi (Shihab, Quraish, 2012 : 690), dan tidak untuk merusaknya. Memakmurkan atau membangun bumi
menyiratkan perintah Tuhan bagi manusia untuk bekerja dan berpartisipasi aktif
dalam mengelola apa yang telah diciptakan dan disediakan Tuhan dalam bentuk
sumber daya di bumi. Sumber-sumber daya, sebagai amanat, yang disediakan akan
mencukupi, hanya jika dipergunakan secara efisien dan adil [5],
tidak dengan pemborosan atau pengrusakan. Al Qur’an menyebutkan bahwa sifat pemboros
adalah setara dengan sifat syaitan, dan syaitan itu sangat ingkar kepada
Tuhannya (QS, 17 : 27).
Namun, di balik itu semua, Allah SWT merupakan pemilik mutlak dari seluruh yang ada
di bumi dan di langit, semua yang di antara keduanya, serta semua yang ada
dibawah tanah (QS, 20 : 6). Kepemilikan
pribadi tetap diakui sampai batas-batas tertentu, tetapi hanya bersifat
sementara, sejauh diperoleh dengan cara yang sah, yaitu diperoleh sebagai hasil
kerja, jual beli, atau merupakan hibah dari orang lain. Hasil kerja merupakan
manifestasi dari ilmu yang dimiliki,
sehingga dapat bekerja dan kemudian menghasilkan harta (Al Qashash, 28 : 78). Sifat
kepemilikan sementara adalah karena setiap harta memiliki fungsi sosial di
dalamnya, yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Dari harta harus dikeluarkan
zakat; dan ketika seseorang meninggal, hartanya kembali ke Allah, karena kemudian
dibagikan kepada ahli waris berdasarkan ketentuan Tuhan. Pada akhirnya, harta
yang dimiliki harus dipertanggung jawabkan kepada Allah Swt, ketika manusia
kembali ke haribaanNya dan dibangkitkan kembali (QS, 67 : 15). Menurut Quraish Shibab,
sebagai tafsirnya terhadap Surat Hud (QS, 11 : 57), manusia dapat melepas
tanggung jawab itu, dengan tampil sesuai dengan kemampuannya untuk melaksanakan
amar makruf dan nahi munkar, atau menciptakan kebaikan dan menjauhi keburukan
(Shihab, Quraish, 2012 : 687).
c). Adalah
(Keadilan): Kejujuran dan Keadilan Sosial
Allah Swt berfirman bahwa rasul-rasul di utus
berserta diturunkan kitab suci dan neraca keadilan, agar manusia menegakkan
keadilan (QS, 57: 25). Quraish
Shihab menguraikan ayat ini, bahwa wahyu yang ditulis dalam kitab suci
mengandung hukum dan hikmat, dan manusia harus menggunakan akalnya untuk
menegakkan keadilan antar sesama. Neraca yang dimaksud adalah untuk mengukur
keharmonisan hubungan sesama manusia, yang ditandai oleh kejujuran, termasuk
ketika berinteraksi jual beli, atau bermuamalah (Shihab, Quraish, 2012 :
199-190). Menurut Umar Shihab, kata yang dipakai dalam Ayat tersebut adalah al qist yang memiliki ruang lingkup
penerapan terhadap diri sendiri, orang tua, kerabat, orang lain dan anak yatim,
sehingga menyangkut hubungan antar sesama. Hal ini diperjelas oleh Surat An Nahl
(QS, 16 : 90) ”Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Keadilan juga harus diterapkan dalam melakukan takaran dan timbangan, sehingga tidak
merugikan hak-hak orang lain (QS, 11 : 84-85).
Dalam kegiatan ekonomi, pembangunan harus
diusahakan untuk meratakan kekayaan dan pendapatan yang adil (Masyuri, 2005:
45). Hukum ekonomi harus ditegakkan
berdasarkan nilai-nilai moral, dan bersumber dari ajaran Al Qur’an; sehingga memiliki
aksiologis pada kehidupan akhirat (Shihab, 2008 : 309-310). Menurut Umer
Chapra, keadilan merupakan isi pokok maqasid
al syariah, yang tegas menghapus semua bentuk kezaliman, atau semua bentuk
ketidakadilan, ketidakmerataan, eksploitasi, penindasan.atau menjauhkan hak
atau kewajiban terhadap orang lain (Chapra, 2000 : 211). Dalam kaitan ini, isi
pokok dari maqashid al-syariah, antara
lain, adalah: pemenuhan kebutuhan pokok,
sumber pendapatan yang terhormat, distribusi pendapatan dan kekayaan yang
merata, dan pertumbuhan dan stabilitas [6].
Uraian di atas menunjukkan bahwa Islam
mementingkan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat atau sosial. Sumber
daya merupakan amanah, dan pemanfaatannya tidak saja untuk diri sendiri tetapi
juga bagi orang lain, dan dipertanggungjawabkan di akhirat. Berdasarkan
sejumlah hadis, Islam menjamin kepemilikan masyarakat, dan penggunaannya
dialokasikan untuk kepentingan orang banyak, seperti air, padang rumput, dan
api. Allah berfirman bahwa “Dan
orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin)
yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)
(QS, 70 : 24-25). Namun, pengertian
miskin dalam Islam adalah orang yang telah berusaha atau bekerja, tetapi dia
tidak dapat menemukan hasil atau harta yang mencukupinya, sementara orang lain
tidak tahu mengenai hal ini, dan dia menerima sedekah tanpa diminta (Hr Muslim;
Orgianus, 2012: 169). Pembayaran zakat, infak dan shadakah
merupakan alat bantu sosial mandiri, yang menjadi kewajiban moral untuk membantu
sesama[7], dan merupakan salah satu alat untuk
menyembatani antara yang kaya dan miskin (Masyuri, 2005 : 46). Bagi yang menghardik
anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, dianggap
mendustakan agama (QS, 107 : 1-3). Nabi Saw pun bersabda siapa saja yang tidur
kekenyangan, sementara tetangganya dia ketahui sedang kelaparan, maka orang itu
dianggap tidak beriman kepada Rasul (Al Bazzar, dari Anas ra). Dalam kaitan
dengan masyarakat yang lebih luas, Hadis lain menyebutkan, bahwa ”Siapa saja yang menjadi penduduk suatu
daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka
perlindungan Allah Swt telah terlepas dari mereka” (HR Ahmad). Tujuannya
adalah tidak saja untuk saling membantu, tetapi agar masyarakat muslim bersatu,
seperti yang disebutkan oleh Hadis berikut, “Seorang
Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti bangunan yang saling menguatkan satu sama
lainnya” (Shahih Muslim).
Allah telah menentukan bahwa ”Kami telah meninggikan sebagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain” (QS, 43 : 32).
Ini artinya dalam kehidupan, setiap orang memiliki perbedaan kedudukan dan
kemampuan, sehingga saling membutuhkan. Karena itu, usaha perolehan harta harus
diberikan kepada semua orang, bukan
hanya segelintir orang saja (QS, 59 : 7), dan sumber daya yang diciptakan Tuhan
harus dimanfaatkan secara adil bagi
kesejahteraan bersama.
d). Taskiyah,
Keseimbangan Dunia dan Akhirat (Material dan Spiritual)
Setelah menunaikan shalat, Allah
memerintahkan manusia untuk bekerja dan mencari rezeki (QS, 62 : 9, 10). Tuhan telah menetapkan
bahwa manusia di dunia tidak boleh melupakan kenikmatan duniawi, dan berbuat
baik kepada orang lain, serta tidak membuat kerusakan di muka bumi, dan Allah
menganugrahkan kebahagian negeri akhirat (QS, 28 : 77). Membuat kerusakan di
muka bumi dapat diartikan tidak mengingat hari akhirat (QS, 76 : 27). Untuk
itu, manusia harus berusaha, dan berdoa untuk mencapai keseimbangan antara kebaikan
dunia dan kebaikan akhirat (QS, 2 : 201). Ayat-ayat ini menunjukkan dengan
jelas bahwa kegiatan ekonomi harus dibangun dengan menyeimbangkan antara nilai
duniawi dan nilai akhirati. Nilai duniawi pada dasarnya berkaitan dengan
nilai-nilai materiel, yang memang diperlukan bagi manusia untuk hidup di dunia.
Islam tidak menghendaki umatnya untuk menjadi miskin; tetapi justru sebaliknya,
karena dengan bekerja sebaik-baiknya dalam memperoleh harta atau penghasilan
yang cukup, umat manusia dapat membayar zakat, infak dan shadakah, serta menunaikan
ibadah haji, yang pada akhirnya dapat membangun kemaslahatan masyarakat dan negeri.
Namun, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan nilai-nilai akhirati, yang
diartikan sebagai kegiatan yang dapat menciptakan kebajikan, kemasalahatan, dan
menghindari pengrusakkan, ketidak adilan, eksploitasi, kezaliman, atau perbuatan
yang semena-mena.
Dua nilai tersebut, yaitu nilai duniawi
dan akhirati, tersirat dalam Surat Al Araf, yang menyebutkan ’untuk memakai pakaian yang indah-indah
ketika memasuki mesjid’ (QS, 7 : 31). Secara filosofis, dapat dikatakan
bahwa keindahan, yang merupakan hasil kerja yang terefleksi dari pakaian yang
indah, digunakan untuk beribadah di jalan yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Tindakan ini juga sekaligus merupakan penghormatan terhadap Rumah Tuhan, dan
berarti juga menghormati Allah Swt sebagai Tuan Rumah. Untuk meyakinkan dan
mendorong umat manusia untuk mencapai keseimbangan ini, maka Tuhan YME akan
memeriksa keseimbangan tersebut, dengan mengatakan ” Masing-masing dirimu diberikan balasan yang sempurna terhadap apa yang
telah dikerjakan” (QS, 2 : 281), dan ini mengandung unsur pertanggung jawaban di akhirat kelak.
C. UNSUR-UNSUR POKOK EKONOMI ISLAM
Berdasarkan uraian mengenai Prinsip
Dasar dan Prinsip Utama di atas, dapatlah kiranya diuraikan unsur-unsur pokok
yang dikandung oleh ekonomi Islam, sebagai berikut:
1. Unsur
Spriritualitas, Moralitas dan Etika.
Dengan Prinsip Tauhid di atas,
ekonomi Islam mengandung unsur spiritualitas, sehingga bersifat transendental,
tetapi tetap bertema sentral pada fitrah manusia yang memerlukan unsur materi
untuk kehidupan yang sejahtera secara bersama dengan masyarakat yang lebih luas,
dalam rangka mencapai mashlahah bagi seluruh umat manusia. Bersifat transedental
berarti pembangunan ekonomi Islam tidak semata-mata bersandarkan kepada kemampuan
intelektual manusia, tetapi dilaksanakan dengan menggunakan hukum-hukum yang
diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa (Masyuri, 2005 : 47). Unsur sprititualitas
ini menjadi faktor pembeda dengan ekonomi konvensional atau kapitalis, yang
bersifat sekuler tanpa ada kaitan dengan agama, berorientasi hanya kepada
duniawi, positivisme, dan cenderung pragmatis; sehingga melepaskan kaitannya
dengan etika dan nilai-nilai moral (Pramono, 2003 : 4). Ekonomi konvensional
bersifat positivisme, atau berdasarkan pengalaman dan kajian empirik, bebas
nilai, sehingga ilmu ekonominya bersifat netral (Hasan, 2011 : 18). Ekonomi Islam, di lain pihak, bersifat
sarat akan nilai. Etika yang dipakai adalah kewajiban untuk menerapkan
ketentuan-ketentuan Tuhan, yang pada dasarnya adalah untuk kemaslahatan manusia
itu sendiri, dan tanpa melanggar hak manusia lainnya (Hasan, 2011 : 12-13).
Unsur moralitasnya adalah, antara lain, tidak membuat kerusakan, dan tidak menimbulkan
distosi keharmonisan hubungan sesama manusia, dengan lingkungan alam, yang pada
akhirnya beribadah kepada Tuhan.
Ekonomi Islam tidak bersifat egoistik,
seperti halnya dengan ekonomi kapitalis, yang menekankan pencarian keuntungan
yang sebesar-besarnya hanya bagi pemilik modal. Konsekwensi dari penekanan di
sini adalah bahwa unsur manusia dijadikan sebagai bagian dari faktor produksi
atau alat dalam menciptakan produktivitas. Dalam Islam, unsur manusia merupakan
tujuan, bukan alat. Penekanan yang berlebihan pada unsur materi, tanpa adanya
kaitan dengan agama, telah menimbulkan degradasi, baik pada moralitas atau
etika manusia, tetapi juga dalam lingkungan sosial dan alam. Ekonomi Islam
bersifat altuistik, karena harta memiliki fungsi sosial dan digunakan sebagian
untuk membayar zakat, dan kemudian diwariskan berdasarkan ketentuan Tuhan
kepada ahli waris ketika pemiliknya meninggal. Sebaliknya, dalam ekonomi kapitalis, otoritas perorangan
atas kekayaan pribadi menentukan kepada siapa harta warisan akan diberikan (Ash
Shadr, 2006 : 353) . Dengan demikian, ekonomi Islam sarat akan nilai, atau value laden, dan tidak netral terhadap
nilai persaudaraan, kebenaran dan keadilan, material dan spiritual [8]; dan menyeimbangkan kepentingan individu
dan masyarakat, dan antara unsur material dengan unsur spiritual, demi
kemaslahatan kolektif.
2. Unsur
Pengelolaan yang Efektif dan Efisien
Ketika manusia ditempatkan di muka bumi, Tuhan
telah menyediakan bagi manusia sumber penghidupan” (QS, 7 : 10). Kemudian ditegaskan kembali, bahwa
Tuhan telah memberikan kekayaan dan memberikan
kecukupan (QS, 53 : 48), dan manusia diperintahkan untuk memakan yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di dunia (QS, 2 : 168). Ini semua menyiratkan
bahwa manusia telah diberikan sumber daya yang cukup, yang diperlukan dalam
menjalakan kehidupan di dunia. Oleh karena itu, ayat-ayat ini secara jelas
menunjukkan bahwa masalah ekonomi bukan masalah kelangkaan, seperti halnya
dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional. Namun, kelangkaan di sini hanya
diartikan sebagai ‘kelangkaan relatif’ dan jangka pendek. Isu sentral dari
kecukupan tersebut terletak pada dua hal yang berkaitan, yaitu: pertama, bagaimana
mengelola dan menggunakan sumber daya alam yang telah tersedia secara efisien
dan efektif; dan, kedua, bagaimana menyeimbangkan antara satu daerah dengan
daerah lain dalam hal alokasi yang diperlukan oleh satu daerah yang
berkekurangan, dengan yang berkelebihan. Dalam jangka panjang, dengan
pengetahuan yang dimiliki dan dikembangkan, sumber daya alam yang tidak
terbarukan perlu dicarikan barang substitusi nya, seperti halnya dengan enerji
bio gas dan sinar matahari (P3EI, 2008 : 8).
Kelangkaan relative tersebut
disebabkan, terutama, karena tingkah laku manusia, yang antara lain berupa sikap
yang berlebihan terhadap materi, atau pencarian keuntungan individu yang
sebesar-besarnya, tetapi dengan mengorbankan kepentingan masyarakat luas dalam
jangka panjang. Meningkatkan kesejahteraan duniawi, dengan mengabaikan
kesejahteraan akhirati, konsumsi yang berlebihan, cara-cara pemanfaatan sumber
daya alam yang merusak lingkungan, mempercepat proses habisnya sumber alam yang
telah disediakan Tuhan, yang dewasa ini telah terjadi (P3EI, 2008 : 9-10).
Keadaan ini jelas menunjukkan adanya pemborosan; dan menurut Henry Ford,
pemborosan adalah suatu aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah (Orgianus,
2012 : 74), atau tidak menghasilkan atau tidak efektif, dan bertentangan dengan
ajaran Islam (QS, 17: 27).
3. Unsur
Pengetahuan dan Keahlian
Islam sangat mementingkan unsur pengetahuan
dan keahlian. Ketika Ayat Al Qur’an pertama kali diturunkan, Allah Swt melalui
malaikat Jibril memerintahkan kepada Nabi Saw untuk”iqra”atau membaca sampai beberapa kali, walaupun Nabi Saw pada
waktu itu tidak pandai membaca atau menulis (QS, 29 : 48). Kata ‘membaca’
merupakan kata yang teramat penting bagi manusia sebagai kunci pembuka ke jalan
kebahagiaan duniawi dan akhirati. Membaca dengan ikhlas, bacaan yang baik, yang
tidak bertentangan dengan “nama Allah”, dapat mengantarkan manusia mencapai
derajat yang sempurna, yang merupakan syarat utama untuk membangun peradaban
(Shihab, Quraish, 2013 : 261-267). Firman Tuhan menyebutkan, “Allah menganugrahkan al hikmat (kefahaman
yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki.
Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmat itu, ia benar-benar telah dianugrahi
karunia yang banyak”.
Dengan kepandaian membaca dan
menulis, manusia dengan menggunakan akalnya dapat mengembangkan pengetahuan dan
ilmu yang diperlukan dalam kehidupan. Hanya orang-orang yang berakallah dan
beriman yang dapat mengambil pelajaran dari firman Allah (QS, 2 : 269). Dalam berhubungan dengan sesama manusia dan alam,
manusia sebagai khalifah fi al-ard, perlu
mengembangkan kearifan melalui membaca, dalam arti yang luas dalam rangka mengenal
dan memahami sifat alam. Dengan ilmu dan pengetahuan, manusia dapat mengerti
akan Keesaan Tuhan, dan menikmati karunia Tuhan lahir dan bathin (QS, 31 : 20). Ayat lain menyebutkan bahwa “Allah akan meninggikan derajat orang-orang
yang beriman dan berilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat” (QS,
58 : 11). Dalam kaitan dengan kegiatan ekonomi, Al Qur’an menyebutkan bahwa
harta dapat diperoleh karena ilmu yang dimiliki manusia (QS, 28 : 78).
Sejumlah Hadis juga menegingatkan akan
pentingnya pengetahuan. Nabi bersabda, ”Barangsiapa
merintis jalan mencari ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga”
(Hr Muslim). ”Boleh jadi, rezeki yang kau
peroleh itu karena berkah ilmu dan doa yang dilakukannya” (Hr.At-Tirmizi
dan Malik). Untuk memberikan pengertian yang lebih luas terhadap pentingnya
pengetahuan, Hadis yang lain menyebutkan bahwa, “Jika anak Adam telah mati, maka terputuslah semua amal perbuatannya,
kecuali tiga perkara yang tidak putus: Sedakah jariah, ilmu yang bermanfaat,
dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya”. Ilmu yang bermanfaat yang
dikembangkan oleh anak yang saleh, dapat menjadi amal jariah. Ilmu yang
dikembangkan secara estafet lebih lanjut dapat mengembangkan kemashalahatan umat
manusia di dunia. Akal digunakan untuk mengembangkan
pengetahuan, penerapan pengetahuan membuat orang bisa bekerja, sehingga
mencapai keahlian. Bekerja selanjutnya dapat mengembangkan pengetahuan. Namun, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada
orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR Bukhari dan Abu
Hurairah).
4. Unsur
Kerja atau Usaha
Berbeda dengan ekonomi kapitalis yang terutama
bersandar pada unsur modal (Rusyidiana, (et.al),
2009 : 38), unsur kerja bersifat sentral
dalam perekonomian Islam; penunjang utama untuk mencapai maqasid al syariah. Allah swt berfirman, ”Dan Kami jadikan siang untuk kamu untuk mencari kehidupan”
(QS, 78 : 11); dan, ”Maka berjalanlah di segala penjurunya, dan
makanlah sebagian dari rezeki-Nya (QS, 67 : 15), dan ”Buatlah baju besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya dan kerjakan
amalan yang saleh. Sesungguhnya Aku melihat yang kamu
kerjakan” (QS, 34 :
10-11). Bekerja adalah unsur utama dalam memperoleh materi atau harta atau hak.
Bekerja adalah bagian dari ibadah dan jihad, jika sang pekerja bersikap
konsisten terhadap peraturan Allah, suci niatnya dan tidak melupakan Tuhan
(Qardhawi, 1997: 107). Tujuan diwajibkan untuk bekerja adalah untuk mecukupi
kebutuhan hidup, untuk kemaslahatan keluarga dan masyarakat, dan untuk
memakmurkan bumi (Qardhawi, 1997 : 111).
Tuhan YME menyaratkan umatnya untuk bekerja keras,
atau berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi atau berproduktivitas (QS 62 : 10;
QS 37 : 61), dan bahkan mendorong untuk menjadi pengusaha yang baik. Usaha yang
dimaksud di sini adalah bekerja untuk mencari nafkah yang baik (QS 17 : 66; QS 2 : 267; QS 84 : 6). Hasil
kerja, kerja, atau ’labour’ merupakan
dasar dari hak kepemilikan yang sah (Taliqani, 1982); Allah berfirman, ”Dan bahwasanya seorang manusia tiada
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS, 53 : 39). Dalam kaitan ini, John Locke mengatakan
bahwa “Tuhan telah menciptakan bumi dengan segala isinya untuk manusia demi
kemaslahatan manusia, dan melalui kerja keras maka manusia dapat membuat
barang-barang yang diperlukannya” (Muldrew, 1998 : 17).
Pada dasarnya, bekerja dan berusaha bagi
seseorang mukmin merupakan perwujudan keimanan kepada Tuhan YME (Imanuddin, 2009).
Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan itu, lalu
kepada manusia dikembalikan apa yang telah dikerjakannya (QS, 9 : 105). Harta
atau aset yang baik adalah harta yang merupakan hasil lebih atau surplus
dari kerja keras manusia di dunia yang
tidak digunakan untuk konsumsi melainkan dijadikan tabungan, atau merupakan
manifestasi hasil kerja yang lebih dari yang diperlukan untuk hidup. Harta yang
diperoleh seperti ini merupakan hak milik dari orang yang telah menghasilkannya
sebagai khalifah harta, dan cara inilah yang terutama diridhoi oleh Tuhan YME
(QS 5 : 35).
Soddy (1983) mengutarakan bahwa tenaga
manusia adalah merupakan sumber atau bahan baku untuk menciptakan harta. Tenaga
manusia, atau ”labour” yang telah
maju atau belum, adalah merupakan kenyataan dalam kehidupan dan sejalan dengan
hukum phisik yang mengatur produksi atau penciptaan harta, dan bahkan
diperlukan untuk mempertahankan kehidupan bangsa (Shoddy, 1983 : 35). Menurut Ibnu
Khaldun: “Sebuah peradaban akan
melahirkan keuntungan yang besar (pendapatan) akibat besarnya kekuatan tenaga
kerja, itulah yang menyebabkan keuntungan”. Tenaga kerja meningkatkan produktivitas dan
pertukaran produk di pasar besar merupakan alasan utama kesejahteraan (dan
kemakmuran sebuah bangsa) [9]. Lebih lanjut, Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa kekayaan suatu negara tidak
ditentukan oleh banyaknya uang di suatu negara, tetapi ditentukan oleh tingkat
produksi negara tersebut dan neraca perdagangan yang positif [10].
Dalam kehidupan di dunia, firman Allah Swt melalui
Surat Al Jumuah (QS, 62 : 10) menekankan pentingnya untuk bekerja: ”Apabila telah menunaikan shalat maka
bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung”. Seperti halnya Al-Qur’an[11], Nabi Muhammad SAW juga mewajibkan setiap
muslim untuk bekerja[12]. Islam mewajibkan orang untuk bekerja
keras untuk memperoleh rezki dan kekayaan yang halal. Bekerja adalah kekuatan
penggerak utama kegiatan ekonomi [13]. Di lain pihak, Thomas Carlyle
mengatakan, “A man willing to work, and unable
to find work, is perhaps
the saddest sight that fortunes’ inequality exhibits under the sun”. Pentingnya
kerja dan pembukaan lapangan kerja sangat ditekankan dalam Islam.
5. Unsur Perdagangan dan
Produksi Barang dan Jasa.
Kegiatan ekonomi yang disebut berulang-ulang dalam
Al Qur’an adalah kata tijarah, bay, syira dan dain, yang artinya berkisar pada jual beli, berdagangan atau
berniaga, dan Islam memang menekankan pada perdagangan dan melarang Riba (QS, 2
: 275). Allah Swt berfirman, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
(rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu” (QS, 2 : 198). Perdagangan
mengandung arti bahwa seseorang memiliki suatu barang yang dapat dijual kepada
pembeli. Jual-beli terjadi karena penjual sepakat menjual barangnya, sedangkan
pembeli setuju untuk membeli barang tersebut pada suatu tingkat harga yang
disetujui oleh kedua pihak: di sini, terjadi ijab dan qabul. Jika
secara tunai, si pembeli menerima barang dari penjual, sedangkan penjual
menerima uang pembayaran barang yang dijualnya. Jika tidak dengan tunai, transaksi
itu harus dicatat, dan dipersaksikan dengan dua orang saksi (QS, 2 : 282). Di
sini terjadi pembiayaan Islami, yang berbeda dengan pemberian kredit dalam bank
konvensional.
Perdagangan adalah kegiatan komersial
tertua manusia, sejak zaman primitif sampai masa modern saat ini, hingga ke
masa depan. Pada masyarakat yang masih sederhana, barang dihasilkan dari hasil penangkapan,
perburuan atau penggalian. Kelebihan barang yang diperoleh melebihi kebutuhan
cenderung ditukarkan dengan barang yang diinginkan tetapi tidak dimiliki.
Layaknya digambarkan oleh cerita Robinson Crusoe, ketika jumlah orang
bertambah, setelah kehadiran Friday, kelompok kecil itu mulai melakukan
kegiatan barter antar sesama mereka. Barter merupakan kegiatan berdagang,
ketika uang belum dikenal, dan dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan barang
yang telah berkembang.
Perdagangan tidak bersifat kontekstual,
karena dapat dilakukan di mana saja, tanpa harus dengan modal besar. Sejauh
manusia hidup bermasyarakat, perdagangan terjadi di setiap waktu, dalam
lingkungan yang kecil, seperti di pedesaan. Dalam lingkungan yang lebih luas,
perdagangan telah berkembang sampai ke tingkat global antar negara di dunia.
Secara gamblang dapat pula dikatakan, bahwa kegiatan perdagangan tidak akan pernah
pupus dari kehidupan manusia. Kegiatan perniagaan atau perdagangan akan selalu
eksis dari masa ke masa.
Perdagangan merupakan kegiatan awal dan
akhir dari suatu kegiatan produksi. Ketika kebutuhan barang dan jasa telah
berkembang, barang dagangan tidak hanya merupakan hasil tangkapan atau buruan,
atau hasil pertanian ataupun perkebunan. Ketika masyarakat berkembang, dan
kebutuhannya bertambah, mereka mulai memikirkan dan memproduksi barang-barang
atau jasa lain yang diperlukan. Produksi barang dan jasa pada akhirnya bermuara
kepada kegiatan penjualan atau perdagangan.
Barang dagangan sudah harus dibuat atau diproduksi terlebih dahulu, yang
jelas melibatkan orang untuk bekerja dengan memperoleh upah. Perdagangan adalah
manifestasi dari kebutuhan masyarakat akan barang (dan jasa). Jadi, jual-beli
mendorong perdagangan, dan merangsang perniagaan dan industri. Produksi yang
berkembang mendorong pembukaan lapangan kerja baru, yang merupakan kebajikan
dari kegiatan perdagangan.
Dengan terbukanya lapangan kerja, pendapatan
masyarakat akan meningkat, dan industri akan lebih berkembang. Menurut Nik
Mohamed Affandi Bin Nik Yusoff, perdagangan dapat berkontribusi langsung untuk
meningkatkan standar hidup, meningkatkan kekayaan bagi individu dan masyarakat;
dan bagi yang kurang berpendidikan, dapat pula berpartisipasi, karena Islam menghendaki setiap orang
memiliki sumber penghidupan masing-masing [14].
Menurut Ibnu Chaldun, bekerja merupakan unsur yang paling dominan bagi proses
produksi dan merupakan sebuah ukuran stándar dalam sebuah nilai. Bekerja adalah
kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi Islam (QS. Al-Baqarah 4 : 29) [15].
Perdagangan merupakan faktor penentu dalam
menggerakkan ekonomi. Perekonomian suatu masyarakat terbentuk karena adanya
kegiatan perdagangan dan produksi. Kata berdagang mengandung unsur kebajikan
yang berupa kegiatan utama dan diperlukan bagi manusia dalam berkelompok,
berbangsa dan bahkan bernegara. Perdagangan jelas berada di sektor riel, yang
berbeda dengan riba dan berkaitan dengan pinjam meminjam uang, atau merupakan
pilar utama dari sektor keuangan konvensional. Ibnu Chaldun mengatakan bahwa
kekayaan suatu bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki bangsa
tersebut, tetapi ditentukan oleh produksi barang dan jasa, serta neraca
perdagangan yang sehat [16] sebagai konsekuensi tingkat produksi yang
tinggi. Menurut Mankiw, kemampuan berproduksi akan menentukan standar hidup
suatu negara[17].
Perdagangan juga merupakan Sunah Nabi Besar
Muhammad Saw. Pada umur 12 tahun, Muhammad mulai ikut berdagang mengikuti
pamannya [18], bahkan sampai ke Syiria[19]. Dari pengalaman ini, Muhammad kemudian
memilih bekerja sebagai pedagang dengan menjual barang milik orang lain[20] berdasarkan bagi hasil [21].
Muhammad selalu menghasilkan keuntungan bagi para pemilik barang, atau
para investor. Tidak pernah rugi [22], sehingga keahlian beliau dalam
perdagangan tidak diragukan lagi. Tambahan pula, beliau dikenal sebagai orang
yang paling dapat dipercaya atau Al Amin,
dan selalu berkata paling benar dan jujur atau Al Shadiq[23]. Pada akhirnya, Muhammad pada usia dewasa
diangkat sebagai manajer di pusat pardagangan Habsyah di Yaman oleh seorang
investor besar Makkah, bernama Khadijah[24].
Perdagangan adalah inti dari ekonomi Islam, dan
bersandar pada produksi barang dan jasa, atau disebut sebagai real sector of the economy, atau real based economy [25]. Namun, negara Islam atau masyarakat
Islam masih tertinggal jauh dalam keberhasilan berdagang dibandingkan dengan
Cina.
b. Unsur Keuntungan Pengganti Riba
Karena riba diharamkan, keuntungan dari
perdagangan dihalalkan, sehingga keuntungan berfungsi menggantikan riba. Firman
Tuhan melalui Surat An-Nisa (QS, ; 33),
“Hai orang-orang yang beriman bíarlah di antara kamu berjalan dan berdagang
dengan cara yang saling menguntungkan“. Ayat ini menganjurkan keuntungan yang timbal balik;
tidak saja bagi penjual, tetapi juga bagi pembeli. Berdagang tidak saja
terbatas pada satu transaksi jual beli, tetapi berdagang dapat terjadi
berulang-ulang, seperti yang diarahkan oleh kata ’berjalan’ di depan kata
’berdagang’. Ini artinya berdagang yang menguntungkan bagi setiap pihak yang
terkait akan membuat kegiatan jual-beli itu berlanjut dengan
transaksi-transaksi dagang berikutnya. Ini hanya dapat terjadi, jika setiap
pihak memperoleh kepuasan dalam bertransaksi, sehingga menciptakan harmoni bagi
setiap pihak.
Allah Swt telah berfirman
untuk mencari rezeki dari perniagaan (QS, 2 : 198). Keuntungan yang diambil oleh penjual merupakan jumlah yang
dikandung dalam suatu harga yang disepakati oleh pembeli. Pembeli setuju untuk
membayar suatu harga pembelian terhadap suatu barang, dengan pengertian baginya
– barang yang dibeli memberikan nilai atau manfaat yang setara dengan harga
yang dibayarkannya[26]. Harga dan nilai atau manfaat dari barang
yang dijual harus seimbang, untuk itu memerlukan kejujuran dari penjual.
Penjual harus jujur terhadap kualitas dan takaran atau timbangan barang
dagangannya itu. Dalam hal kualitas, hanya penjual yang mengetahui secara
pasti. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw sangat menghargai para pedagang yang
jujur[27], dengan tidak menyembunyikan kurma yang
basah dari pandangan calon pembeli. Bahkan, Nabi Saw bersabda bahwa pedagang
yang jujur akan bersama Rasul dan orang yang beriman, dan Syuhada di hari
kiamat[28].
Berdagang dengan memperoleh keuntungan merupakan
pendorong untuk berproduksi lebih banyak. Nabi Saw mendorong umatnya untuk
melakukan bisnis, karena 99% rezeki Allah ada di dalamnya[29]. Peningkatan produksi yang berkualitas
akan memberikan lapangan pekerjaan yang lebih luas. Immanuel Kant memberikan
pendapat yang sama, yang akhirnya menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat[30]. Keuntungan merupakan kompensasi terhadap
jerih payahnya dalam memproduksi, dan atau usaha menjual, serta merupakan
kompensasi terhadap inisiatif, kerja keras, dan usaha. Inisiatif dan kerja
keras ini membuahkan penciptaan suatu nilai, tetapi inisiatif itu dibarengi
dengan risiko yang dihadapi dan mungkin terjadi[31].
Keuntungan merupakan nilai kesetaraan atau counter value yang merupakan kandungan
inti dari kerja atau usaha atau kasb,
yang sekaligus mengandung unsur risiko atau ghurmi,
dan tanggungan atau liabilitas atau dhaman.
Keuntungan yang diijinkan adalah keuntungan yang berkaitan dengan tanggungjawab
atau liabilitas atau disebut “al-kharaj
bi-al- dhaman”, atau keuntungan dapat diperoleh karena adanya risiko ”al-ghurmu bil ghunmi”. Ekspresi ini
diterjermahkan dan diartikan oleh Vogel dan Hayes III sebagai ”gain accompanies liabilities for loss”[32].
Keuntungan yang dianggap wajar adalah yang tidak
mengandung riba, atau tidak bersifat eksploitatif. Allah Swt telah berfirman,”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah
(di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik” (QS, 2 : 267). Keuntungan yang hakiki adalah
keuntungan yang diridhoi oleh Allah, dan membawa berkah bagi dunia dan akhirat.
Keuntungan dari perdagangan yang diridhoi sudah pasti merupakan keuntungan yang
baik, yang merupakan pemenuhan nafkah manusia, dan dapat membawa berkah. Secara
harfiah, berkah yang diciptakan sejalan dengan manfaat yang diperoleh oleh
banyak orang dari perdagangan yang baik. Tidak saja penjual, dan pembeli,
tetapi juga banyak pihak lain menerima manfaat dari pedagangan yang baik dan
berkembang. Paling tidak, perdagangan yang berkembang akan dapat membuka
lapangan kerja yang lebih luas untuk memproduksi barang yang diperdagangkan.
Keuntungan
di sini bukanlah masalah maksimum atau tidak, tetapi lebih merupakan masalah
legitimasi dan kewajaran, serta berkaitan dengan moralitas atau kejujuran, atau
diperoleh dalam jalan yang benar sehingga bermuatan akhirati[33]. Aa Gym dan Kartajaya mengartikan
’keuntungan’ dalam berbisnis adalah apabila bisnis yang dilakukan bersifat amal
atau kebajikan, didasarkan pada kebenaran, dan dimulai dengan niat yang benar.
Dalam melakukan bisnis, kualitas manusianya semakin baik atau dapat lebih
dipercaya, dapat menambah ilmu dan wawasan yang lebih luas sehingga memperbaiki
kemampuan yang ada, dan menambah silahturahmi atau persaudaraan antar sesama [34].
Dengan demikian, keuntungan tidak dilihat dari
segi uang secara an sich, tetapi
mengandung substansi moral yang kental. Namun, masalah kejujuran dan moralitas
dalam memperoleh keuntungan bukan semata-mata merupakan produk Islam. Dalam
bukunya, Cicero membahas mengenai utilitas dalam kaitan dengan kekayaan dan
kenyamanan dalam hidup. Utilitas harus diperoleh dengan jujur, karena jika
melakukan sesuatu yang menguntungkan tetapi tidak jujur, maka akan berakibat
sebagai bahaya yang besar bagi hidup manusia[35].
Ellsworth berpendapat bahwa keuntungan memiliki
banyak fungsi, seperti: memberikan kemampuan bagi perusahaaan atau usaha dalam
menciptakan manfaat bagi masyarakat, merupakan ukuran dari efektivitas dan
efisiensi dalam mencapai manfaat itu, sebagai dasar bagi manajemen dalam
mengambil keputusan, dan untuk menciptakan nilai, dan seterusnya. Namun,
Ellsworth mengingatkan bahwa keuntungan bukan merupakan tujuan akhir, tetapi
sebagai alat untuk mencapai tujuan lain seperti posisi strategis perusahaan;
sehingga tidak dimaksimalkan dalam arti yang sempit [36]. Agaknya pandangan yang sempit ini
merupakan pendorong dari konsep maksimalisasi keuntungan oleh Milton Friedman [37],
sehingga menjadi isu yang berkaitan dengan masalah moralitas. Pandangan ini
bertitik tolak pada pertimbangan materialistik dan kepentingan pemilik modal
atau pemegang saham semata.
Menurut Hassan, kegiatan berusaha atau berbinis
merupakan bagian dari fard kifayah,
dan tanggungjawab sosial harus didahulukan, dari pada memperkaya diri sendiri [38].
Keuntungan pada dasarnya dihasilkan dari kombinasi usaha atau kerja, modal dan
risiko. Keuntungan adalah merupakan refleksi dari jerih payah atau hasil
‘kerja’, sekaligus merupakan tanggungan, dari pihak yang memproduksi barang dan
usaha dalam menjualnya, atau merupakan nilai yang terealisasi dari muatan
tenaga kerja seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun [39]. Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa
peradaban yang besar menghasilkan laba yang besar karena jumlah tenaga kerja
yang banyak. Jumlah tenaga yang banyak inilah yang merupakan penyebab laba [40]. Selain itu, Benyamin Franklin mengatakan
bahwa “No nation was ever ruined
by trade”. Perdagangan tidak akan meruntuhkan negara manapun, justru
sebaliknya seperti yang dikatakan oleh Ibnu Chaldun.
Secara menyeluruh, perdagangan dan keuntungan,
seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an,
merupakan faktor penentu dalam menggerakkan ekonomi, yang pada akhirnya
akan menambah kamasalahatan umat, atau kesejahteraan sosial masyarakat.
6. Unsur Larangan: Produksi Barang Jasa yang Haram
Untuk menjaga kemaslahatan masyarakat umumnya, Islam
mengharamkan sejumlah barang dan kegiatan jasa tertentu. Makanan, seperti
minuman keras atau yang berasal dari hewan babi, yang dapat merusak kesehatan
jiwa atau phisik; dan kegiatan seperti judi dan prostitusi, yang merupakan penyakit masyarakat, sangat
dihindarkan. Tidak saja konsumsi atau kegiatannya diharamkan, tetapi
perdagangannya juga di larang, karena kemudharatan yang ditimbulkan lebih
banyak dari manfaat yang dapat dihasilkan.
7. Unsur Larangan: Riba
Larangan terhadap riba secara jelas nampak pada
ayat-ayat Al-Baqarah (QS, 2 : 275-281), dan
dan menyebutkan bahwa hanya keuntungan dari perniagaan dihalalkan. Ketika meminjamkan uang, muslim hanya diijinkan untuk mengambil kembali pokok pinjaman, dan mengorbankan pokok tersebut jika peminjam tidak mampu membayar kembali utangnya[41]; atau si peminjam perlu diberi keringanan. Riba menghilangkan karunia Allah terhadap harta; riba dipersamakan dengan penyisihan yang salah dari harta milik orang lain; muslim harus menghindari riba untuk kesejahteraannya sendiri[42].
dan menyebutkan bahwa hanya keuntungan dari perniagaan dihalalkan. Ketika meminjamkan uang, muslim hanya diijinkan untuk mengambil kembali pokok pinjaman, dan mengorbankan pokok tersebut jika peminjam tidak mampu membayar kembali utangnya[41]; atau si peminjam perlu diberi keringanan. Riba menghilangkan karunia Allah terhadap harta; riba dipersamakan dengan penyisihan yang salah dari harta milik orang lain; muslim harus menghindari riba untuk kesejahteraannya sendiri[42].
Nabi Muhammad SAW melaknat pemakan riba, karena
merupakan tindakan memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan risiko. Riba,
pada dasrnya, memperoleh keuntungan tanpa kerja. Orang kaya memperoleh
kemudahan atas jerih payah orang miskin. Riba merusak semangat manusia untuk bekerja[43], mencari uang, dan dapat membinasakan
perorangan dan masyarakat, dunia dan akhirat. Riba dipersamakan dengan penyakit masyarakat
lainnya, seperti prostitusi, dan jika menyebar mengakibatkan kemurkaan Allah[44].
Riba adalah tambahan terhadap nilai pokok pinjaman
yang diberikan oleh seorang kepada orang lain, atau dari seorang debitor ke kreditor.
Dalam perekonomian modern, pinjam-meminjam ini berkaitan dengan uang, sedangkan
tambahan yang dimaksud berupa bunga. Filsuf Anthena kuno, Aristóteles,
berpendapat bahwa riba merupakan hasil yang tidak wajar, karena diperoleh dari
jerih payah orang lain. Beliau beranggapan, bahwa uang tidak bisa melahirkan
uang atau pecunia pecuniam non parit, karena uang
sepatutnya dapat dihasilkan dari kerja dan usaha[45]. Di
zaman jahiliah, tambahan itu dikenakan kepada debitor yang tidak mampu membayar
utangnya tepat waktu. Jadi, tambahan itu sekaligus bersifat penalti. Sehubungan
dengan ketentuan riba dalam Al Qur’an, sejumlah Hadist Nabi SAW sangat tidak
menyarankan agar manusia tidak berutang, kecuali dalam keadaan terdesak.
Surat Al-Baqarah (QS, 2 ; 275) menyebutkan bahwa
Allah Swt mengharamkan riba, yang artinya bahwa pinjam meminjam uang atau
lainnya tidak diperkenankan mengenakan bunga bagi peminjam atau debitor. Karena
bunga atau tambahan atau bunga tidak boleh dibebankan kapada debitor, maka
pinjam meminjam uang tidak dapat dikomersialkan, seperti halnya dalam perekonomian
konvensional yang bersifat monetary based.
Islam menetapkan, bahwa kegiatan pinjam meminjam uang merupakan kegiatan
sosial, tidak boleh memberikan imbalan atau tambahan terhadap pembayaran utang.
Telah merupakan kesepakatan umum di antara
para ahli, termasuk Umar Chapra, bahwa yang dimaksudkan riba adalah bunga[46] dalam segala bentuk[47]. Bunga bank, seperti yang dipahami
banyak orang, yang memberikan kepastian terhadap perolehannya, dan ditentukan
di depan, yang berarti tanpa risiko, tidak dibenarkan dalam Islam[48].
Adalah kombinasi dari usaha atau kerja, modal dan risiko yang menghasilkan return terhadap modal atau uang. Oleh
karena itu, keuntungan harus dibagi, demikian pula risiko[49].
Pengusaha berbagi keuntungan dengan pemilik modal sesuai dengan hasil yang
diharapkan bersama, tidak ditentukan di depan seperti bunga, tetapi diperhitungkan
sesuai dengan perkembangan hasil usaha dalam waktu yang berjalan.
Di lain pihak,
riba cenderung bersifat tidak produktif, dan menambah risiko usaha dalam
perdagangan dan industri. Risiko bisnis bertambah karena: Pertama, bunga
ditetapkan di muka, terlepas dari naik turunnya pendapatan atau laba yang dapat
dihasilkan oleh bisnis yang dibiayai oleh utang yang berbunga itu. Kedua, dari
perhitungan break even point atau
yang lazim disebut BEP, pengusaha, yang membiayai produksinya dengan menggunakan
utang yang berbunga, harus dapat berproduksi dan menjual barang dagangannya
dengan kuantitas yang lebih banyak, agar mencapai titik impas; ini jelas
menambah kadar risiko bisnis. Bagi
penerima bunga, kreditor itu memperoleh pendapatan tanpa kerja, dan atas risiko
bisnis yang ditanggung sendiri oleh debitor. Hal ini bertentangan dengan Islam,
yang mewajibkan orang bekerja keras untuk memperoleh rezki dan kekayaan yang
halal.
8. Unsur Larangan: Judi atau
Maysir.
Unsur yang bersifat spekulatif akan membawa kepada
situasi untung-untungan atau maysir
atau judi. Judi dilarang oleh Al-Qur’an (QS 5 : 90, 91), karena pada intinya
judi merupakan usaha untuk memperoleh harta tanpa kerja, dan memiliki sifat bahwa
pada dasarnya mudharat yang diciptakan akan lebih besar dari manfaat yang
diperoleh, baik bagi individu maupun masyarakat secara menyeluruh. Judi, pada
intinya menjauhkan orang untuk bekerja dan dari penciptaan lapangan kerja;
segala bentuk usaha atau bisnis yang berkaitan dengan spekulasi juga dilarang. Sejalan dengan pengertian ini, bank dilarang
untuk melakukan jual beli risiko keuangan atau financial risk, karena ini menyerupai judi atau maysir (Cihak dan Hesse, 2008).
9. Unsur Larangan: Gharar
Agar menghindar dari kemudharatan atau ketidak harmonisan,
Nabi Saw melarang transaksi yang bersifat gharar,
atau yang mengandung risiko yang berlebihan atau ketidakpastian mengenai objek
atau kondisi dari suatu kontrak pada awal bertransaksi (Saeed, 2004 : 114). Sole
(2007) menyebutkannya gharar sebagai
ketidakjelasan dalam berkontrak. Gharar berarti
terdapat sesuatu yang tidak jelas atau hazard,
atau sesuatu yang tersembunyi, atau informasi yang tidak terungkap atau
tidak diungkapkan, dengan membawa konsekuensi yang tidak pasti, atau
menimbulkan ketidakpastian yang berlebihan (Elgari, 2003 : 17). Dalam praktik, gharar dapat merupakan sesuatu yang
bersifat ambigu, atau ketidakjelasan yang berkaitan dengan pihak lain dalam
suatu transaksi seperti penjual dan pembeli, objek atau harga objek dari
transaksi itu (Rosly, 2005 : 75); atau merupakan praktik-praktik desepsi atau
misrepresentasi mengenai kualitas, harga, jenis dan spesifikasi barang (Rahman,
2010 : 43).
Keseluruhan faktor tersebut akan membuat salah
satu pihak berada pada posisi yang tidak seimbang, karena dihadapkan pada
unsur-unsur transaksi yang tidak jelas. Untuk menghindari unsur gharar, diperlukan keterbukaan informasi
yang lengkap dan hal ini akan mendorong transparansi yang lebih baik, sehingga asymmetric information dapat diperkecil
(Gait dan Worthington, 2007).
10. Unsur Modal dan Menjauhi Utang.
Secara umum, Nabi SAW menganjurkan agar manusia
tidak menggunakan utang, jika tidak terpaksa. Beliau pernah berdoa: “Ya, Allah, jauhkanlah saya dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan
dan kemalasan, kebodohan dan kebathilan, keberatan utang, serta tekanan dan
paksaan orang” (HR Muttafaqun Alaihi dari Anas; Sihab, Quraish, 2013 : 237). Dari doa ini terlihat bahwa keberatan utang
disetarakan dengan kesedihan dan kelemahan, yang dapat menimbulkan tekanan atau
paksaan agar utang dibayar. Sabda Nabi Saw yang lain menyebutkan bahwa “Jika orang berutang, ia tidak segan-segan
berbohong, dan mengingkari janji” (HR muslim dan Abdullah bin Umar). Karena
memiliki utang, orang cenderung meninggalkan sifat-sifat yang baik pada
dirinya.
Umumnya, utang muncul atas keperluan konsumsi atau
untuk keperluan sehari-hari yang mendesak (Ishaat, : 151), sehingga bagi yang
dapat memberikan piutang, tindakan itu merupakan kegiatan sosial atau tabarru, atau berdasarkan asas tolong
menolong. Dalam Nicomachean Ethics,
Aristoteles mengatakan bahwa sudah merupakan tugas seseorang untuk menebus
teman atau keluarga terdekat; karena pada waktu itu utang yang dikenal di
Anthena umumnya adalah untuk konsumsi atau pinjaman non produktif, termasuk
melepaskan seseorang dari perbudakan (Millet, 2002 :). Oleh karena itu, dalam
hal terpaksa karena keadaan, berutang diperkenankan, asalkan tidak menjadi
kebiasaan; dan tidaklah etis, jika diberikan beban tambahan berupa bunga,
ketika dibayar.
Dewasa ini, dengan adanya fasilitas kartu kredit,
berutang, pada esensinya, merupakan tindakan konsumtif yang menggunakan
penghasilan di masa depan yang masih dalam bentuk harapan. Pada saat mengambil
utang, pihak yang berutang ini sesungguhnya belum memiliki kemampuan untuk
melakukan konsumsi dengan utang yang diambil (Bonner dan Wiggin, 2006 : 276).
Dengan adanya konsep impulsive buying,
yang diterapkan di banyak pertokoan modern,
orang cenderung menggunakan ketersediaan fasiltas kredit itu untuk membeli
barang-barang yang mungkin tidak terlalu diperlukan. Utang menjadi beban riel
yang harus ditanggulangi, jika pendapatan yang diharapkan di masa depan tidak
terrealisir, sehingga membuat utang menjadi berat dan menimbulkan tekanan
terhadap orang yang berutang, seperti yang dimaksud oleh Nabi Saw di atas.
Nabi SAW menyarankan untuk tidak membiasakan diri
mengambil utang sehingga menjadi besar,
karena beliau menyamakan kekafiran dengan utang yang besar. Jika orang memiliki
utang yang besar, ada kecendrungan jika berbicara dia akan berdusta, dan jika
berjanji dia tidak menepati [50] (Taufik, 2004 : 145). Kemudharatan akibat
berutang dapat pula dilihat di zaman modern dewasa ini. Didorong oleh rating surat utang yang baik, Yunani
terlalu banyak menggunakan utang di masa lalu. Dewasa ini, utang Yunani telah
mencapai 115% dari Pendapatan Domestik
Bruto (PDB)-nya, atau berjumlah AS$ 429 milyar. Agar tetap memperoleh utang
dari tahun ke tahun, Yunani melakukan rekayasa pelaporan keuangan atau
manipulasi pembukuan.
Khusus yang terkini mengenai mudharatnya utang
yang besar terjadi di Amerika baru-baru ini. Pudarnya Pusat Industri Otomotif
AS, Ford dan GM di Detroit, disebabkan
karena terbelengu utang berjumlah $
18.5 miliar (Rp 188 triliun), sehingga mengajukan Chapter 9, atau perlindungan
kebangkrutan ke pengadilan pada haris kemis (18/7). Ini merupakan kebangkrutan
terbesar sebuah kota dari 60 kota yang pernah mengajukan kebangkrutan, sejak
1950. Sebagai akibat krisis keuangan 2009, sebelumnya GM dan Chrysler pernah mengajukan
kebangkrutan dalam tahun yang sama (Kompas, 20 Juli 2013). Khan (1986), Ahmad (1952), dan Mannan (1970, 1986), seperti yang
dikutip oleh Algaoud dan Lewis (2001 : 12), dan Iqbal dan Mirakhor (2007 : 21)
berpendapat, bahwa meningkatnya utang, yang berakibat pada meningkatnya beban
bunga dan biaya produksi, juga akan menurunkan penciptaan lapangan kerja, atau
cenderung akan menghalangi terjadinya lapangan kerja penuh atau full employment.
Nabi Saw menekankan bahwa, utang harus dibayar;
dan bahkan harus dilunasi sebelum seseorang meninggal dunia, karena utang
memiliki konsekuensi yang sangat berat, jika tidak dibayar. Nabi Saw enggan
untuk menyembayangi seseorang ketika meninggal membawa utang yang belum dibayar
[51]. Sabda Nabi Saw menyebutkan, bahwa “Bagi para syuhada akan dihapuskan segala
dosa mereka kecuali utang- piutang (yang belum mereka bayar” (HR muslim dan
Abdullah bin Umar). Sifat sakral atas pembayaran utang sebelum seseorang
meninggal juga dijumpai pada kasus Socrates. Dia meminta seorang temannya,
Crito, untuk membayarkan utang yang dimilikinya dalam bentuk ayam jantan,
sebelum meminum racun hemlock atas
perintah penguasa sebagai hukuman baginya. Di sisi lain, Al Qur’an
memerintahkan agar yang berpiutang memberikan kelonggaran, ketika yang berutang
belum mampu membayarnya. Nabi Saw bersabda, di lain pihak, ”Pengangguhan
pembayaran utang bagi yang mampu merupakan penganiayaan” (HR Al Bukhari dan
Muslim; Shihab,Quraish, 2013 : 237).
Karena penggunaan utang tidak dianjurkan, untuk
membiayai bisnis dengan tujuan komersial, Islam menyediakan fasilitas
pembiayaan dengan akad mudharabah
atau musyarakah. Akad ini merupakan
bentuk kerja sama dalam berusaha, yaitu yang pertama antara pemilik modal atau shahibul mal dengan pengusaha atau mudharib; dan kedua antara sesama mitra,
yang sama-sama memasukan modal ke dalam suatu usaha, dan dikelola secara
bersama. Dalam kedua akad, dana yang
digunakan bukan bersifat utang, tetapi lebih bersifat modal investasi.
11. Unsur Kerja Sama dan Risk Sharing
Allah Swt berfirman, ”Tolong menolong lah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan
jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS, 5 : 2). Kerja sama dalam kebajikan, atau
kerja, sangat dianjurkan oleh Islam.
Makna ’berjamaah’ lebih diutamakan dari pada kata ’sendirian’, sejauh untuk
kebaikan. Nabi Saw memberikan contoh, ketika akan makan bersama. Masing-masing
orang yang ada ketika itu mengambil bagian untuk bergotong royong melakukan
pekerjaan, agar makanan dapat tersedia untuk bersama. Ada yang mencari kambing,
ada yang menyembelihnya, ada yang mengulitinya, ada yang memasaknya, dan ada
pula yang mencari kayu bakar (Shihab, Quraish, 2013 : 310).
Dalam menjaga keharmonisan, tolong
menolong dalam menghadapi risiko atau berbagi risiko merupakan tema yang penting dalam kehidupan
sehari-hari, kecuali yang telah ditentukan dalam akad-akad. Hak dan tanggung
jawab dari setiap pihak dalam akad telah ditentukan sejak semula. Di luar akad
yang telah ditentukan, kerja sama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan
untuk mencapai suatu keberhasilan merupakan kewajiban setiap muslim, karena
bersifat fardhu kifayah (Amrin, 2011:
74) [52].
Nabi Saw bersabda, ”Siapa yang memenuhi
hajat saudaranya, maka Allah akan memenuhi hajatnya” (Hr. Bukhari, Muslim
dan Abu Daud).
12. Unsur
Amanah: Kesucian Kontrak dan Menepati Janji
Unsur yang paling penting dalam kerja dan
berusaha adalah amanah, kejujuran, dan menepati janji atau memenuhi kontrak
sehingga kesuciannya terjaga. Allah Swt berfirman, ”Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil ” (QS, 4 : 58). Amanah juga
dapat diartikan untuk tidak mengambil hak orang lain, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
suka sama suka di antara kamu” (QS, 4 : 29).
Menurut Orgianus (2012 : 92), amanah menyangkut
segala hak, yaitu hak milik Allah atau hak perseorangan, yang harus
dipertanggungjawabkan dan diemban oleh seseorang. Hak perseroangan dapat berupa
pekerjaan, perkataan ataupun kepercayaan orang lain kepada si pengemban amanah
tersebut. Untuk dapat memenuhi amanah yang diemban, pemegang amanah harus
memiliki kemampuan, atau keahlian, untuk menjalankan atau memenuhi amanah itu.
Pemegang amanah haruslah yang benar-benar dapat dipercaya, dengan keimanan yang
kuat, dan bersedia meninggalkan keraguan, agar tetap memegang kesucian agamanya
(Orgianus, 2012: 93-95).
Amanah juga berarti kepercayaan atau trust. Beberapa ahli atau para filsuf
memberikan definisi atau pengertian dari trust
atau kepercayaan secara umum, dan terlepas dari masalah janji. Dalam arti yang
sederhana, trust identik dengan
kepercayaan atau confidence. Menurut
Shaw (1997 : 21), trust dalam bahasa
Jerman, trost, berarti ’nyaman’, dan
merupakan penilaian awal terhadap kemampuan karakter seseorang atau suatu
institusi atau organisasi, tidak selalu dibentuk dari pengalaman; tetapi
sebagian dibentuk atas kepercayaan atau faith.
Shaw menyimpulkan, bahwa trust adalah
bahwa seseorang atau suatu institusi selalu menunjukkan hasil, bertindak dengan
integritas, serta menunjukkan perhatian terhadap orang lain.
Menurut Bloomgarden (2007 : 13), terdapat
empat unsur yang dapat membentuk trust,
yaitu memberikan hasil yang nyata, bertindak dalam norma-norma etika,
mendengarkan apa yang harus disampaikan oleh orang lain, dan bersikap terbuka
atau transparan dalam apa yang dilakukan. Menurut Shaw (1997 : 21), trust atau kepercayaan adalah suatu
kepercayaan yang diberikan pada seseorang atau suatu institusi yang dapat
memenuhi harapan orang atau pihak yang memberikan kepercayaan. Menurut Muldrew (1998, 148), trust atau kepercayaan merupakan ikatan
sosial yang penting, yang berarti suatu reputasi yang baik dan menggambarkan
kejujuran dan realibilitas dalam kaitan dengan kewajiban.
Menurut O’ Hara (2004 : 71), trust atau kepercayaan dibentuk dan
didukung oleh reputasi; dalam hal ini reputasi yang baik, karena reputasi juga
dapat bersifat negatif. O’Hara lebih lanjut berpendapat, bahwa reputasi adalah
mengandung informasi yang dapat menjawab pertanyaan mengenai dasar reaksi dari
aksi yang akan dilakukan, ketika berhadapan atau berhubungan dengan seseorang
atau institusi. Reputasi
merupakan jaminan, substansi dan fondasi dari trust atau kepercayaan, dan sekaligus merupakan prediktor terhadap
apa yang akan terjadi. Reputasi adalah bahan dasar atas pembentukan trust.
Fukuyama (1995 : 26) berpendapat, bahwa trust atau kepercayaan merupakan suatu
harapan yang muncul dalam masyarakat dari tingkah laku yang biasa jujur, dan
dapat bekerja sama berdasarkan norma yang biasa dianut oleh sebagian dari
masyarakat. Norma yang dimaksud dapat berasal dari nilai agama atau ketuhanan
yang dalam, tapi juga dapat berasal dari standar tingkah laku tertentu yang
berlaku untuk kelompok tertentu. Bagi Fukuyama (Baum, 2004 : 231), trust akan membangun kerjasama yang
saling mempercayai dalam koridor etika yang umum, sehingga membentuk modal
sosial di dalam masyarakat. Modal sosial ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi
industrial dan inovasi pada tingkat organisasi yang lebih baik, dan sekaligus
membentuk banyak hubungan sosial dan menurunkan biaya dalam bertransaksi. Dalam
kaitan ini, menurut Immanuel Kant (1724- 1804), trust atau kepercayaan merupakan ikatan sosial, dimana dia
menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat bermoral, yang memiliki
pandangan yang kuat terhadap ide adanya tugas yang menyangga pengertian mengenai
trust (O’Hara, 2004 : 48). Bagi Kant,
manusia mampu untuk diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan moral, dan ketentuan
itu harus bersifat universal, yang artinya bahwa ketentuan itu harus berlaku
pada setiap orang secara merata, sehingga wajar dan tepat secara moral.
Allah memerintahkan manusia untuk menepati
janjinya, karena ”Barang siapa yang
melanggar janji, niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya
sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan
memberinya pahala yang besar”. (QS, 48 : 10). Surat lain menyebutkan, ”Hai orang-orang yang beriman penuhilah
akad-akad itu........” (QS, 5 : 1). Tuhan telah pula menetapkan bahwa ”...Sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggung jawabnya” (QS, 17 : 34). Berdasarkan Surat Al Baqarah (QS, 2:
177), Qodri Azizi berpendapat bahwa taqwa juga diartikan sebagai tindakan
menepati janji, dan disetarakan dengan beriman kepada Allah sebagai suatu
kebajikan, seperti melakukan shalat, menunaikan zakat, dan seterusnya (Azizi, 2004:
97). Ditegaskan kembali bahwa janji adalah utang atau al wa’du daynun (Azizi, 2004: 102).
Al Qur’an menetapkan bahwa orang-orang
yang memelihara amanat-amanat dan janji-janjinya adalah yang mewarisi surga
Firdaus, dan kekal di dalamnya serta dimuliakan (QS, 23 : 8-11; QS, 70 :
32-35).
C.
PENUTUP: KARAKTERISTIK EKONOMI ISLAM
Secara menyeluruh, dapat disimpulkan bahwa ekonomi
Islam berorientasi kepada kemaslahatan manusia atau masyarakat berdasarkan
Keesaan Tuhan, melalui prinsip perwakilan di bumi, kejujuran dan keadilan, serta keseimbangan antara material dan
spiritual, atau duniawi dan akhirati. Prinsip ini menyimpulkan sejumlah unsur
pokoknya, yang terdiri dari; unsur moral dan etika, kerja dan usaha, menjauhkan
utang dan berdasarkan modal usaha (bersama); tanpa unsur riba, maysir, dan gharar, serta barang dan jasa yang dilarang, menekankan pada perdagangan,
dengan keuntungan yang wajar, serta bersifat amanah dan menghormati perjanjian.
Kesimpulan ini dapat menunjukkan karaktersitik dari ekonomi Islam, yaitu, a). Bertujuan
untuk kemaslahatan umat (kesejahteraan sosial), bersifat altruistik bukan
egoistik, atau bersifat umat atau society
based. b). Sarat akan nilai, atau value
laden. c). Berorientasi pada real
sector, bukan pada monetary sector.
d). Menghargai hak milik individu, tetapi dengan batasan tertentu sehubungan
dengan tanggung jawab sosial dan kemaslahatan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.Yatimin, Studi Islam
Kontemporer, Jakarta: Amzah, 2006.
Adiwarman Karim,
Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, September 2004, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai
Seorang Pedagang (Muhammad as a Trade),
Cetakan II, Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997.
Agil, Syed Omar Syed, Aidit Ghazali, Readings
in the Concept and Metodology of Islamic Economics, Kuala Lumpur: CERT
Publications, 2005.
Al Qarny, Aidh Abdullah, Islam,
Rahmatan Iil Alamin, Jakarta: Cakra Lintas Media, 2010.
Amrin, Abdullah, Meraih Berkah Melalui
Asuransi Syariah, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011.
Ash Shadr, Muhammad Baqir, Iqtishaduna,
Ekonomi Islam, Jakarta: Zahra, 2006.
Azizi, A. Qodri, Membangun Fondasi
Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Azmi, Sabahuddin, Menimbang Ekonomi
Islam, Bandung: Nuansa, 2005.
Bowie, Norman E., A Kantian Theory of
Capitalism, Ruffin Series in Business Ethics, ABI/INFORM Global, 1998.
Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah
Ekonomi Islam, Tangerang Selatan: Penerbit Shuhuf Media Insani, 2011.
Chapra, Umer, Islam dan Tantangan
Ekonomi, Jakarta: Gema Insani, 2000.
Eko
Suprayitno, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Penerbit Graha
Ilmu, 2005.
El-Diwany,
Tarek, The Problem With Interest, Sistem Bunga Dan Permasalahannya,
Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003.
Ellsworth, Richard R., “Tujuan Perusahaan”, In Craig L. Pearce, Joseph A. Marciariello, dan Hideki Yamawaki, Drucker Difference, Jakarta: Ufuk Press,
2010.
Gymnastiar,
Abdullah, Hermawan Kartajaya, Berbisnis
dengan Hati, MarkPlus & Co, Jakarta, 2004.
Hakim, Lukman, Prinsip-Prinsip
Ekonomi Islam, Jakarta: Erlangga, 2012.
Hasan, Hasbi, Pemikiran dan
Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, Depok:
Gramata, 2011.
Hassan, M. Kabir, “Islamic Banking in Theory and Practice: The Experience
of Bangladesh”, Mangerial Finance, 25, 5 ; [1999].
Hasan, Zubair, ”Theory of Profit: The Islamic Viewpoint”, Res.Islamic.Econ. Vo.1, No.1, pp 3-14, 1983.
Kahf, Monzer, “Islamic Economic System- A Review, Dalam Syed Omar Syed
Agil, Aidit Gazali (Eds), The Concept and
Methology of Islamic Economics, Kuala Lumpur : CERT Publication.
Kamali, Mohammad Hashim, Membumikan
Syariah, Jakarta: Mizan, 2013.
Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah
pemikiran Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Lings, Martin, Muhammad, Kisah Hidup
Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Jakarta: Serambi, 2005.
Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi
Islam, Surakarta: Penerbit Erlangga, 2012.
Mankiw, N. Gregory, Teori Ekonomi Makro, Jakarta: Penerbit Salemba
Empat, 2004.
Marthon, Said Sa’ad, Ekonomi Islam Di
Tengah Krisis Ekonomi Global, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.
Masyuri, Teori Ekonomi Dalam Islam,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Mufid, Sofyan Anwar, Islam &
Ekologi Manusia, Bandung: Nuansa, 2010.
Muldrew, Craig, The Economy of Obligation, The Culture of Credit and Social Relations
in Early Modern England.
New York:
Palgrave, 1998.
Mustafa Edwin Nasution, (et.al),
Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta
: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Nik Mohamed
Affandi Bin Nik Yusoff, Islam &
Buisness, Selangor: Publications (M) Sdn Bhd, 2002
Obaidullah,
Mohammed, Islamic Financial Markets, Toward Greater Ethics & Efficiency,
New Delhi: Institute of Objective
Studies, 2004.
Orgianus, Yan, Moralitas Islam Dalam
Ekonomi & Bisnis, Bandung: Marja, 2012.
P3EI, Ekonomi Islam, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2008.
Pramono, Sigit, “Kebijakan Publik, Keadilan Ekonomi, dan Maqasid Syariah”,
Dalam Supriyanto, Bambang (ed), Ekonomi
Islam:Ekonomi Alternatif ?, Jakarta: STAI-PTDII.
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika
Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Rahman, Afzalur, Al Qur’an Sumber
Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
Rawzy, Sayed Al Asgher, Muammad
Rasulullah Saw, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004.
Rusydiana, Aam Slamet, (et.al), Ekonomi Islam Substantif, Bogor: LPPM,
2009.
Shihab, Quraish, Al Lubab, Makna,
Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an, Tangerang: Lentera Hati,
2012.
Shihab, Quraish, Lentera Al Qur’an,
Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 2013.
Shihab, Quraish, Membumikan Al
Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, 2013.
Shihab, Quraish, Secercah Cahaya
Ilahi, Hidup Bersama Al Qur’an, Bandung: Mizan, 2013.
Shihab, Umar, Kontekstualitas Al
Qur’an, Jakarta: Penamadani, 2008.
Sofyan S. Harahap, Akuntansi Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hlm. 210.
Sofyan S. Harahap, Pelajaran dari
Krisis Asia, Jakarta: Pustaka Quantum, 2002.
Surat Al-Mulk (QS, 67 : 15) Supriyanto, Eko, Ekonomi Islam, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005.
Surat Al-Jumu’ah (QS, 62 : 10).
Ustadz Rich, dan Laode, Rasulullah’s
Business School, Jakarta: Ihwah, 2011.
Vogel, Frank E., Samuel L. Hayes III, Islamic Law and Finance, Religion, Risk And Return. Boston: Kluwer Law International, 1998.
Warde, Ibrahim, Islamic Finance in the Global Economy, Edinburg
: Edinburg University Press, 2001.
Yusufian, Hasan, dan Ahmad Husain Shafiri, Akal dan Wahyu, Jakarta: Sadra Press, 2011.
[2] Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonmi Islam, Jakarta : Gema Insani Press, 1995, hlm.
31.
[3] Mustafa Edwin Nasution, (et.al), Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006, hlm. 11.
[4] Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani, 2000, hlm.
204-205.
[5] Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani, 2000, hlm.
209-210.
[6] Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: Gema Insani, 2000, hlm.
212-215.
[7] Supriyanto, Eko, Ekonomi Islam, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005, hlm. 25
[8] Kahf, Monzer, “Islamic Economic System- A
Review, Dalam Syed Omar Syed Agil, Aidit Gazali (Eds), The Concept and Methology of Islamic Economics, Kuala Lumpur: CERT
Publication, hlm. 84.
[9] Cecep Maskanul Hakim, Belajar Mudah Ekonomi Islam, Tangerang
Selatan: Penerbit Shuhuf Media Insani, 2011,
hlm. 209.
[10] Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Surakarta: Penerbit Erlangga, 2012, hlm.
37.
[11] Surat Al-Mulk (QS, 67 : 15) dan
Al-Jumu’ah (QS, 62 : 10).
[12] Marthon, Said Sa’ad, Ekonomi Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Jakarta: Zikrul
Hakim, 2004, hlm. 48.
[13] Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,
Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005, hlm.
3.
[14] Nik Mohamed Affandi Bin
Nik Yusoff, Islam & Buisness,
Selangor: Publications (M) Sdn Bhd, 2002, hlm. 3.
[15] Eko Suprayitno, Loc.Cit. 2005, hlm. 3.
[16] Adiwarman Karim, Bank Islam,
Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi
Kedua, Cetakan Kedua, September 2004, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 365.
[17] Mankiw, N. Gregory, Teori Ekonomi Makro,
Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2004, hlm. 56.
[18] Ustadz Rich, dan Laode, Rasulullah’s Business School, Jakarta:
Ihwah, 2011, hlm. 177.
[19] Lings, Martin, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik, Jakarta:
Serambi, 2005, hlm. 43.
[20] Rawzy, Sayed Al Asgher, Muammad Rasulullah Saw, Jakarta: Pustaka
Zahra, 2004, hlm. 46.
[21] Ustadz Rich, dan Laode, Loc.Cit., hlm. 225.
[22] Ustadz Rich, dan Laode, Loc.Cit., hlm. 226.
[23] Lings, Martin, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik., Jakarta:
Serambi, 2005, hlm. 51.
[24] Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Jakarta: Swarna Bhumy, 1997,
hlm. 7.
[25] Sofyan S. Harahap, Pelajaran dari Krisis Asia, Jakarta: Pustaka Quantum, 2002, hlm.
19.
[26] Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (Muhammad as a Trade), Cetakan II,
Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997, hlm. 323 – 326.
[27] El-Diwany, Tarek, The Problem
With Interest, Sistem Bunga Dan Permasalahannya,
Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003, hlm. 210.
[28] Sofyan S. Harahap mengutip dari Tirmizi
dan Mansor. Sofyan S. Harahap, Akuntansi
Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hlm. 210.
[29] Sofyan S. Harahap mengutip dari Tirmizi
dan Mansor. Idem.
[30] Bowie, Norman E., A Kantian Theory of Capitalism, Ruffin
Series in Business Ethics, ABI/INFORM Global, 1998, hlm. 37.
[31] A trade (with or
without deferment of payment of price) is a risky and permissible
investment. It is different from pure
riba based risk free debt. A seller in a trade, whether on spot or deferred
payment basis, is free to charge any price and the profit that accrues to him
is legitimate. Obaidullah,
Mohammed, Islamic Financial Markets, Toward Greater Ethics & Efficiency,
New Delhi: Institute of Objective
Studies, 2004, hlm. 23.
[32] Vogel, Frank E., Samuel L. Hayes III, Islamic Law and Finance, Religion, Risk And Return. Boston:
Kluwer Law International, 1998, hlm. 113.
[33] Hasan, Zubair, ”Theory of Profit:
The Islamic Viewpoint”, Res.Islamic.Econ. Vo. 1, No. 1, pp 3-14, 1983.
[35] Muldrew, Craig, The Economy of
Obligation, The Culture of Credit and Social Relations in Early Modern England.
New York: Palgrave,
1998, hlm.
140.
[36] Ellsworth, Richard R., “Tujuan Perusahaan”, In Craig L. Pearce, Joseph A. Marciariello, dan Hideki Yamawaki, Drucker Difference, Jakarta: Ufuk Press,
2010, hlm.
143.
[37]
Sofyan S. Harahap, Akutansi Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
2004, hlm. 171.
[38] Hassan, M. Kabir, “Islamic Banking in
Theory and Practice: The Experience of Bangladesh”, Mangerial Finance, 25, 5;
[1999].
[39] Adiwarman Karim, Loc.Cit, hlm. 365.
[40] Adiwarman Karim, Loc.Cit, hlm. 365.
[41] Al-Baqaráh (2 ; 280); Kaum muslim diminta
untuk bersikap adil terhadap peminjam uang. Jika mereka tidak mampu membayar hutangnya,
2 alternatif yang dapat dilakukannya; pertama, memperpanjang masa pembayaran
kembali. Kedua, merubah pinjaman menjadi sedekah. Yang kedua merupakan
alternatif terbaik bagi muslim. Haron, Sudin, Loc. Cit, hlm. 56.
[42] Warde, Ibrahim, Islamic
Finance in the Global Economy, Edinburg
: Edinburg University Press, 2001, hlm. 58.
[43] Kerja keras dan berpartisipasi dalam
kegiatan kreatif ekonomi merupakan kewajiban setiap muslim (QS. Al-Jumu’ah, 62 :
10). Warde, Ibrahim, Ibid, hlm. 62.
[44] Qardhawi, Yusuf. Loc.Cit., hlm.184.
[45] Qardhawi, Yusuf. Loc.Cit., hlm 184.
[46] Bunga juga ditentang oleh banyak pihak,
antara lain Aristoteles, Plato, Hukum Roma (Ius
Romanum), Kitab suci Yahudi, dan Perjanjian lama Kristen (K Berten, p 51). Pada
saat penyebaran praktek bunga tidak dapat dihindarkan dalam bisnis, pihak
gereja melakukan kompromi dan menarik sikap penentangannya secara terbuka.
Tahun 1545, hukum Inggris memperbolehkan pembebanan bunga sampai tingkat
tertentu, dan jika lebih tinggi dianggap pemerasan. El-Diwany, Tarek, Loc.Cit, hlm. 31.
[47] Abdullah Saeed, edited by Virginia
Hooker, hlm. 117.
[48] Vogel, Frank E. Samuel
L. Hayes III, Islamic Law
and Finance, Religion, Risk and Return,
London : Kluwer Law International, 1998, hlm. 87-93.
[49] Abdullah Saeed, Virginia Hooker, hlm.
115.
[50]
Apa yang disampaikan Nabi SAW ini, beberapa ratus tahun kemudian juga
diutarakan melalui ungkapan “if you loan
a man too much money, you turn a good man into a bad man” (Warde, 2000 : 163)
[51] Abu Huraira menyebutkan bahwa “ jika seseorang menerima barang orang lain
dengan niat untuk mengembalikannya maka Allah akan membayarkan untuk dia.
Tetapi, jika dia menerima barang itu dengan niat untuk memboroskannya, Allah
akan menghancurkan hartanya”. Suhaibul Khair mengungkapkan ucapan Nabi SAW,
“ jika seseorang meminjam suatu jumlah dari
orang lain dan dia tidak berniat untuk membayar kembali, maka dia akan bertemu
dengan Allah sebagai pencuri” (Ishaat, : 162-163).
[52] Amrin, Abdullah, Meraih Berkah Melalui Asuransi Syariah, Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2011, hlm. 74.
Tulisan ini diterbitkan di Jurnal QUALITY (Jurnal Manajemen dan Akuntansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM), Volume II, No. 11, Juli 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar