Ringkasan Disertasi
Pengaruh Kualifikasi Personal, Lingkungan
Institusi, dan Lingkungan Proses serta Pengawasan dalam Pemberian
Pinjaman/Pembiayaan terhadap Timbulnya NPL/NPF
Studi Komparatif di Bank Konvensional
dan Bank Syariah di Indonesia
Hendy Herijanto
NIM : 222051204
PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI
JAKARTA
2011
Telah Diuji/dan Dinilai pada Ujian Tertutup
Tanggal 21 Juli 2011
TIM PENGUJI DISERTASI
Ketua : Prof. Dr. Thoby Mutis
Sekretaris Sidang : Prof. Dr. Wahyudi Wisaksono
Promotor : Prof. Dr. Sofyan Syafri Harahap, MSAc
Co-Promotor : – Prof. Dr. Fathurrahman Djamil
- Dr. Subarjo Joyosumarto
Anggota : – Prof. Dr. Yuswar Zainul Basri, Ak. MBA
- Prof. Dr. Zulkifli Hasin
- Prof. Dr. Itjang D. Gunawan, Ak. MBA
- Prof. Dr. Farida Jasfar, ME, PhD
- Prof. Dr. Asep Hermawan, MSc
- Dr. Mustafa Edwin Nasution
UCAPAN TERIMA KASIH
Tak ada kata lain yang patut kami ucapkan selain syukur alhamdulilah
kehadirat Allah SWT, Sang Pencipta langit dan bumi serta sekalian alam,
atas karunia dan hidayah-Nya, perjalanan panjang di IEF Trisakti
akhirnya dapat dilengkapi dengan Disertasi yang telah disidangkan dan
penulis dinyatakan lulus, pada tanggal 21 Juli 2011, di hadapan Tim
Penguji yang dipimpin oleh Rektor Universitas Trisakti, Bpk. Prof. Dr.
Thoby Mutis. Dalam kesempatan ini, perkenankan kami mengucapkan rasa
terima kasih yang dalam dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
Yang Terhormat :
- Bapak Prof. Dr. Thoby Mutis, sebagai Ketua Tim Penguji, serta para anggota Tim Penguji : Bapak Prof. Dr. Wahyudi Wisaksono, Prof. Dr. Yuswar Basri, Prof. Dr. Zulkifli Husin, Prof. Dr. Wan Usman, Prof. Dr. Farida Jasfar, ME, Prof. Dr. Asep Hermawan, Dr. Mustafa Edwin Nasution, Prof. Dr. Itjang D. Gunawan, Ak. MBA.
- Bapak Prof. Dr. Sofyan Syafri Harahap, MSAc, SE, Ak, sebagai Promotor, Bapak Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, dan Bapak Dr. Subarjo Joyosumarto, masing-masing sebagai Co-Promotor, yang telah membimbing dan mengarahkan kami, sehingga penulisan Disertasi dapat dirampungkan dengan baik. Draft awal dari Disertasi ini semula berjumlah lebih dari seribu halaman; dan atas saran dan petunjuk Prof. Sofyan, diringkas menjadi lebih dari tiga ratus halaman.
- Pimpinan Program Pasca Sarjana, IEF, Universitas Trisakti, Bapak Prof. Dr. Sofyan Syafri Harahap MSAc, SE, Ak, beserta seluruh staf administrasi, yang telah banyak membantu penulis sehingga seluruh ujian yang diperlukan dapat terlaksana dengan baik.
- Prof. Dr. Masudul Alam Choudury, yang mengenalkan dan mengajarkan kami prinsip Ketauhidan melalui TSR dan IIE Process yang dikembangkannya. Ilmu yang diberikannya ini merupakan awal dan petunjuk yang terang dari segi pendekatan ilmiah terhadap ilmu Tuhan, yang telah mengantarkan kami pula untuk memperlajari ayat-ayat Al-Qur’an, dan sampai saat ini masih kami lakukan.
- Ustadz Sudjadi yang membimbing kami mulai dengan membaca Al-Qu’ran bahkan dari alif ba ta, sampai belajar tafsirnya ayat demi ayat.
- Dr. Peter Verhezen. Sebagai seorang akademisi tulen, sekaligus seorang moralis sejati, Peter, yang pertama kali, menjelaskan kepada kami filsafat dari Aristotle, Socrates, Plato, dan Kant serta lainnya. Karena Peter belajar bahasa latin, beliau pula yang menguraikan arti kata-kata latin, seperti eudaimonia, oikonomia, arete, dan daimon.
- Bapak Sutrisno Harisadono S.Si., MM. yang telah mengabdikan hidup dan karirnya di bidang stastistik, dan bekerja sampai pensiun di Biro Pusat Statistik. Bagi kami, beliau adalah seorang profesional sejati, di bidangnya, tetapi sikapnya sudah sangat langka diketemukan dalam masyarakat Indonesia saat ini. Beliau memberikan apa yang kami sangat perlukan untuk memastikan hasil penelitian ini bernilai ilmiah dengan segala kejujuran, bukan plagiat, bukan rekayasa, bukan membelokkan proses dan hasil perhitungan statistik, yang seharusnya bernilai positif dibuat menjadi negatif.
- Ibu Dwi Setiawati, yang telah mengkoordinir Timnya dalam menyebarkan kuesioner ke-58 bank konvensional dan syariah, serta mengumpulkan seluruh data yang diperlukan. Karena kepiawaian dan kewibawaan beliau, pengalamannya, hubungan yang baik dengan pihak bank, kami akui bahwa data yang diperoleh itu adalah hasil yang sungguh-sungguh dan secara jujur diberikan oleh para responden.
- Seluruh manajemen bank dan para responden yang telah membantu kami sehingga kuesioner dapat diisi dengan sempurna; tanpa bantuan mereka yang tulus itu, Disertasi ini tidak mungkin dapat diselesaikan.
- Khususnya, kepada Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri, serta Bapak Firman Sofyan, kami sangat bersyukur dapat memperoleh percerahan mengenai praktik pelaksanaan prinsip syariah di lapangan, melalui kesempatan yang diberikan untuk berwawancara.
- Bapak-bapak dosen di Program Pasca Sarjana, IEF, Universitas Trisakti, yang telah membekali kami dengan ilmu pengetahuan selama mengikuti kuliah sebagai bekal yang sangat berguna dalam penyiapan penelitian dan penulisan Disertasi.
- Para staf PT. Asia Multidana, yang langsung atau tidak langsung, membantu paling tidak melalui dukungan moril.
- Nida dan kakaknya Adam, sebelumnya Sukma, kemudian Nur Fajriyah Mahfiroh Timas, S.Pd., telah banyak membantu penulis dalam mencari jurnal atau paper dari seluruh dunia melalui website, dan berhasil mengumpulkan tidak kurang dari seribu tulisan dalam kurun waktu empat tahun mulai tahun 2006. Diantaranya, tidak kurang dari empat ratus jurnal/paper digunakan sebagai referensi dalam Disertasi ini.
- Semua teman-teman yang ada di Program IEF, terutama rekan angkatan kedua yang sama-sama belajar dengan penulis, serta seluruh kerabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Last but not least, rasa terima kasih dan penghargaan kami
sampaikan pula kepada istri dan anak-anak, serta sepupu Dewi Reni SE.
AK, M.Si, atas pengorbanan dan pengertiannya, sehingga Disertasi ini
dapat diselesaikan. Kami panjatkan pula doa kepada Allah SWT bagi kedua
orang tua dan adik kami tercinta yang telah mendahului kami, agar mereka
selalu mendapat tempat yang baik di sisi Allah SWT. Adalah berkat jerih
payah, pengorbanan, dan doa mereka semasa hidupnya, kami sampai ke
titik pendidikan yang tinggi ini, tanpa semua itu mustahil kami dapat
mencapainya.
Kami menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, dan oleh karena
itu kami akan menerima dengan senang hati segala kritikan yang
membangun. Semoga Disertasi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya bagi lingkungan perbankan, baik bank syariah
maupun bank konvensional, sehingga tingkat NPL/NPF dapat ditekan
serendah mungkin.
Akhirul khalam, sekali lagi kami berterima kasih
setulus-tulusnya kepada semua pihak, atas pengertian dan dukungan
morilnya sehingga kami dapat meyelesaikan program di IEF dengan baik.
Kami berdoa ke hadirat Allah SWT, Penguasa sekalian alam, dan salawat
kami sampaikan kepada Junjungan kita Nabi Muhammad SAW, agar semua pihak
tersebut selalu diberikan hidayah dan karunia-Nya yang setimpal. Amien ya robbal alamin.
Jakarta, 24 Juli 2011
H. Hendy Herijanto Oejoen Dt. Rajo Hitam
ABSTRACT
Many earlier studies as discussed in this Disertation prove that
financial or banking crises, or individual bank failure, were
attributable to the accumulation of Non Performing Loan or NPL, which is
identical to Non Performing Financing or NPF for
syariah or Islamic banks. In micro perspective, it is the bank through
its internal management which process, approve and extend loans, and
face the burden of the NPL. It is the internal management who actually
control the quality of its loan or financing portefolio, whereas NPL/NPF
is the proxy of the said quality. To do the job properly, the internal
manangement needs a three set of group attributes, comprising the
personnel qualifications, the institutional environment or qualification
that could influence the decision making to approve or disapprove
loan/financing, and the process and control environment needed in making
the decision itself as well as to safeguard its proper implementaion.
Hence, the objective of this study is to find out whether or not those
attributes could affect the creation of NPL/NPF in conventional and
syariah banks. The other objectives are to find out whether or not there
is any difference of influence of those attributes as applied in
syariah bank than in conventional bank, and what causes the difference,
if any.
This study begins to approach the issue by applying the agency
theory, moral hazard theory, and stakeholder theory, as well as the
‘Adverse Selection’ theory by Stiglitz and Weiss (1981) and ‘Bad
Management’ by Berger and Young (1997). The last two theories mainly
refer to the processing part of the matter to start with, but the last
one uses a concept where it is the management (of a bank) that must be
questioned how efficient they do their job. Management is a wide
concept, and as such, which managerial factors that could affect the
creation of NPL/NPF must be detailed. This study could breakdown the
three group attributes above to constitute eleven factors, i.e.
credit knowledge and skills, integrity and professionalism, spirituality
level, moral leadership, organizational/corporate culture, hard budget
policy, reward and penalty system, credit culture, reputation checking,
due diligence and care, and credit supervision or audit.
Further, this study hypothesizes that these eleven factors could
affect the creation of NPL/NPF, and the creation of NPF is lower in
Islamic bank than that of NPL in conventional bank, because the
application of those factors is hypothesized stronger or better in the
first type of bank by its management than in the second, due to its
philosophy and the laws that govern.
A research has been completed, employing statistical variance and
F test on the data gathered from all the 28 Islamic banks/Banking Units
in existence, and 28 conventional banks. The study has concluded that
all the eleven factors of the internal management can influence the
creation of NPL/ NPF in both banks. The study further proves that these
factors, independently or as the combination of all, are applied better
in syariah bank than in conventional bank, due to the fact that the
syariah concept itself not only applied in conducting the business, but
also used as a moral reference in dayly working environment. As a
result, the average level of NPF is lower in the bank syariah than the
NPL level of the conventional bank under study.
Keywords : Internal management, NPL/NPF, the institutional
environment affecting decision making, the personnel qualifications, the
process and control environment.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………. iPENGESAHAN…………………………………………………………………………. ii
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………………….. iii
ABSTRACT ……………………………………………………………………………… vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………. viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP / CV (Terlampir)
Halaman
1. . PENDAHULUAN ………………………………………………………………… 1I.1. Latar Belakang Penelitian ………………………………………………… 1
I.2. Ruang Lingkup dan Perumusan Masalah Penelitian ………… 2
I.3. Perumusan Masalah Penelitian ……………………………………….. 3
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………………….. 3
I.5. Signifikansi Penelitian ……………………………………………………… 4
I.6. Teknis Penelitian …………………………………………………………….. 4
I.7. Sistematika Penelitian ……………………………………………………… 4
2. TINJAUAN LITERATUR : HAL IKHWAL DALAM PEMBERIAN PINJAMAN / PEMBIAYAAN…………………………………………………… 6
2.1. Fungsi Bank dan Faktor Kegagalan…………………………. 6
2.1.1. Fungsi Bank……………………………………………………………………… 62.1.2. Faktor Kegagalan Bank…………………………………………………….. 6
2.1.2.1. Masalah dalam Kegiatan Pinjam-Meminjam Uang…………. 6
2.1.2.2. Masalah Lingkungan Operasional Bank…………………………. 8
2.1.2.3. Konsep Etika Bagi Pemroses Kredit………………………………. 10
2.2. Proses Pemberian Kredit……………………………………………………. 11
2.2.1. Risiko Kredit…………………………………………………………………….. 12
2.2.2. Masalah Jaminan atau Kolateral………………………………………. 13
2.2.3. Account Officer Sebagai Pemroses Kredit Utama……………. 13
2.2.4. Pentingnya Trust dan Reputasi
Pada Pemroses Kredit dan Debitor ………………………… 13
2.2.5. Pemutus Kredit………………………………………………………………… 142.2.6. Keputusan Kredit…………………………………………………………….. 14
2.3. Bank Konvensional Vs Bank Syariah…………………………………… 16
2.4. Tawhidi String Relation (TSR) dan Interactive, Integrative,
And Evolutionary Process (IIE Process)………………………………….. 21
3. PENYEBAB TIMBULNYA NPL/NPF, KERANGKA PEMIKIRAN
DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS……………………………………… 24
3.1. Penyebab Timbulnya NPL/NPF……………………………………….. 24
3.1.1. Hakekat dari NPL/NPF………………………………………………….. 24
3.1.2. Ketentuan Kolektibilitas…………………………………………………. 24
3.1.3. Penyebab NPL/NPF………………………………………………………. 24
3.1.3.1. Dari Segi Waktu dan Tahapan……………………………………… 24
3.1.3.2. Proses Timbulnya NPL/NPF: Gradual atau Langsung.. 25
3.1.3.3. Faktor Mikro dan Makro…………………………………………….. 26
3.1.4. Konvergensi pada Faktor Mikro…………………………………….. 26
3.1.5. Faktor Mikro Paling Menentukan………………………………….. 27
3.1.6. Penyebab NPL/NPF: Faktor-Faktor Mikro…………………… 28
3.1.6.1. Masalah Manajemen Internal……………………………………… 28
3.1.6.2. Kebijakan Pemberian Kredit dan Canons of Lending…… 28
3.1.7. Penekanan pada Kualitas Institusi Perbankan……………….. 28
3.1.8. Masalah Kepemimpinan…………………………………………………. 28
3.1.9. The People, The Policy, and The Practice……………………… 29
3.1.10. Penyebab Pembiayaan Bermasalah (NPF)…………………… 29
3.1.11. Faktor-Faktor Mikro Lainnya………………………………………. 30
3.1.11.1. Penerapan Pengetahuan dan Keahlian Perkreditan……. 32
3.1.11.2. Profesionalisme dan Integritas…………………………………… 32
3.1.11.3. Tingkat Spiritualitas………………………………………………….. 33
3.1.11.4. Moral Leadership……………………………………………………… 33
3.1.11.5. Corporate Culture…………………………………………………….. 33
3.1.11.6. Hard Budget Constraint…………………………………………… 34
3.1.11.7. Reward & Penalty System……………………………………….. 34
3.1.11.8. Credit Culture………………………………………………………….. 35
3.1.11.9. Pengecekan Reputasi……………………………………………….. 35
3.1.11.10. Due Diligence dan Due Care…………………………………… 35
3.1.11.11. Pengawasan Kredit…………………………………………………. 36
3.1.12. Penggunaan Sejumlah Variabel Mikro
Pada Penelitian Terdahulu……………………………………………………… 36
3.1.13. Penerapan pada Chase Jakarta……………………………………. 36
3.2. Kerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis…………. 37
3.2.1. Kerangka Pemikiran……………………………………………………… 37
3.2.1.1. Model Pendekatan Manajemen Internal…………………….. 39
3.2.1.2. Bank sebagai Badan Hukum……………………………………….. 39
3.2.1.3. Organ Badan Hukum………………………………………………….. 40
3.2.1.4. Jiwa Badan Hukum…………………………………………………….. 40
3.2.1.5. Kehidupan yang Bermanfaat……………………………………….. 41
3.2.1.6. Hidup Atas Kemampuan……………………………………………… 41
3.2.1.7. Studi Teoritik : Teori Terdahulu………………………………….. 42
3.2.1.8. Penelitian Terakhir dengan Pendekatan Mikro:
Studi Empirik…………………………………………………………………………… 46
3.2.2. Pengembangan Hipotesis……………………………………………….. 47
3.2.2.1. Faktor-Faktor Manajemen Internal:
Penyebab NPL/NPF……………………………………………………………….. 47
3.2.2.2. Di Tingkat Individu: Personal Qualification……………….. 50
3.2.2.3. Pada Tingkat Institusi: Institutional Environment …….. 51
3.2.2.4. Di Tingkat Proses dan Pengawasan:
Process & Control Environment …………………………………………….. 53
4. METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………. 56
4.1. Metode Penelitian…………………………………………………………….. 56
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………….. 56
4.3. Teknik Pengambilan Sampel…………………………………………….. 57
4.4. Instrumen Penelitian………………………………………………………… 57
4.5. Kalibrasi dan Uji Coba Instrumen Penelitian…………………….. 57
4.6. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………….. 58
4.7. Teknik Analisis Data…………………………………………………………. 58
5. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN, KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………………………………………….. 60
5.1. Deskripsi Data…………………………………………………………………. 60
5.1.1. Uji Prasyarat Hipotesis…………………………………………………. 60
5.1.1.1. Uji Normalitas Data……………………………………………………. 60
5.1.1.2. Uji Homogenitas Data………………………………………………… 60
5.1.2. Pengujian Hipotesis Penelitian……………………………………… 60
5.1.3. Pembahasan Hasil Penelitian………………………………………… 63
5.2. Kesimpulan……………………………………………………………………… 72
5.2.1. Implikasi………………………………………………………………………. 72
5.2.2. Keterbatasan Penelitian………………………………………………… 74
5.2.3. Implikasi Kebijakan………………………………………………………. 74
5.3. Saran Penelitian Berikutnya…………………………………………….. 75
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………. 76
Buku ……………………………………………………………………………………… 76
Jurnal/Artikel ……………………………………………………………………….. 82
Artikel Koran/Majalah…………………………………………………………… 93
Website …………………………………………………………………………………. 93
DAFTAR RIWAYAT HIDUP / CV
1. PENDAHULUAN
Krisis tahun 1997/1998 di Indonesia memang menimbulkan NPL baru yang
besar. Tetapi, ternyata, sebelum krisis, perbankan Indonesia telah
mengandung tingkat NPL yang tinggi, mencapai 50-70% (Gie, 1999 :
145-146). Negara-negara ASEAN lainnya mengalami hal yang sama (Alon dan
Kellerman, 1999; dan lainnya). Krisis di Thailand, yang dianggap menular
ke Indonesia, juga berawal dari masalah NPL (Menkhoff dan Suwanaporn,
2005; Lauridsen, 1998) bermula di lembaga keuangan Finance One dan Bangkok Bank of Commerce (BBC).
Menurut Lauridsen (1998), kejadian ini merupakan skandal yang
menciptakan NPL bernilai miliaran dolar, sebagai hasil rekayasa keuangan
melalui perusahaan fiktif, dengan nilai jaminan yang di marked-up.
Lebih lanjut, Lauridsen (1998) berpendapat, bahwa akumulasi NPL yang
besar di Thailand itu sebagai akibat dari kegiatan pinjam-meminjam yang sembrono. Pemberiannya mengabaikan prudential principles,
dan juga terjadi di Amerika dan di banyak negara. Jika dilihat dari
perspektif manajemen internal bank, di situ tersirat begitu banyak
masalah. Tidak saja masalah penerapan pengetahuan atau keahlian yang
lemah, atau profesionalisme dan integritas bankir yang diragukan, tetapi
juga moralitas bankir yang dapat dipertanyakan.
Menurut Mukherjee (2003), masalah NPL sangat berperan terhadap krisis
perbankan di negara-negara tersebut. Verma (1999) berkesimpulan bahwa
tingkat NPL yang tinggi akan berakibat pada kegagalan bank, dan
menggoncangkan kepercayaan publik, serta mencoreng kredibilitas sistem
perbankan (Gupta, 1999). Bahkan, Kaufman (1998) berpendapat bahwa krisis
perbankan mendahului permasalahan ekonomi makro atau krisis ekonomi.
NPL bank konvensional adalah setara dengan Non Performing Finance (NPF) bagi
bank syariah. Jika debitor peminjam tidak dapat membayar bunga dan/atau
angsuran yang telah diperjanjikan berturut-turut selama tiga bulan,
maka bank mulai memiliki NPL.
NPF. Portofolio pembiayaan bank syariah terdiri dari
dua macam, yaitu: pembayaran tunda yang berasal dari transaksi jual
beli atau sewa, dan yang kedua merupakan investasi pada usaha dengan
pola kerja sama. NPF akan timbul, jika nasabahnya tidak melakukan
pembayaran angsuran dari harga pembelian atau sewa yang telah disepakati
itu, atau tidak berhasil menghasilkan keuntungan seperti yang
diharapkan.
I.2. Ruang Lingkup dan Perumusan Masalah Penelitian
NPL akan mempengaruhi tingkat efisiensi bank, disebabkan karena
pemberian pinjaman/pembiayaan tidak efektif, sehingga tidak menghasilkan
pandapatan/keuntungan dan arus kas bagi bank.
Model Pendekatan Manajemen Internal. Efektifitas dan
efisiensi, keberhasilan atau kegagalan dari suatu bank, sangat
tergantung pada manajeman internalnya. Walaupun lingkungan eksternal
seperti ekonomi makro dapat mempengaruhi perjalanan suatu bank, tetapi
setiap perubahan yang mempengaruhi usaha bank perlu diantisipasi,
disikapi, dan diatasi oleh manajemen bank. Dalam hal pemberian
pinjaman/pembiayaan, manajemen internal menentukan calon debitor yang
dapat diberikan dan/atau jenis usaha mana yang dapat disetujui.
Terdapat tiga kelompok faktor dari manajemen internal yang diduga
dapat mempengaruhi, timbulnya NPL/NPF. Ketiga kelompok tersebut adalah
yang berkaitan dengan kualifikasi personal atau SDM (personal qualifications), kualifikasi lingkungan institusi dalam kaitan dengan sikap atau kebijakan yang diperlukan (institutional environment/qualification), dan lingkungan proses serta pengawasan pemberian kredit/pinjaman (process and control environment).
Penelitian untuk Disertasi ini dilakukan terhadap dua kelompok bank
umum, yaitu bank konvensional dan bank syariah, dalam rangka memperkecil
timbulnya NPL/NPF. Karena dasar filosofis dan hukumnya berbeda bagi
kedua kelompok bank, maka dapat diduga bahwa, dari segi intensitas,
penerapan setiap faktor manajemen internal yang dimaksud dapat pula
berbeda, sehingga menghasilkan tingkat NPL/NPF yang berbeda.
I.3. Perumusan Masalah Penelitian.
Pertama : Apakah terdapat pengaruh faktor personnel qualification, institutional environment dan process and control environment terhadap timbulnya NPL pada bank konvensional atau NPF pada bank syariah?
Kedua : Apakah penerapan atau pengaruh dari setiap
faktor-faktor yang berasal dari manajeman internal tersebut lebih baik
pada bank syariah dibandingkan pada bank konvensional?
Ketiga : Apakah tingkat NPF bank syariah lebih rendah
daripada tingkat NPL bank konvensional, sebagai akibat dari penerapan
atau pengaruh setiap faktor dari manajemen internal yang lebih baik?
Keempat : Mengapa terjadi perbedaan penerapan atau
pengaruh dari setiap faktor internal manajemen itu pada bank syariah
dibandingkan pada bank konvensional, sehingga membuat timbulnya
perbedaan antara tingkat NPL dan NPF tersebut?
I. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Meneliti pengaruh faktor-faktor manajemen internal terhadap
timbulnya NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah di
perbankan Indonesia.
2. Meneliti apakah terdapat perbedaan pengaruh faktor-faktor
manajemen internal yang lebih baik pada bank syariah, dibandingkan pada
bank konvensional.
3. Mengetahui apakah tingkat NPF pada bank syariah lebih baik atau
lebih rendah dibandingkan dengan tingkat NPL bank konvensional.
4. Menganalisis penyebab mengapa terjadi perbedaan pengaruh
penerapan setiap faktor manajemen internal yang dimaksud pada bank
syariah dan bank konvensional.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berikut kepada
masyarakat perbankan dan Otoritas Moneter, dalam rangka memperkecil
tingkat NPL/NPF:
1. Memperhatikan dengan lebih baik faktor-faktor yang berkaitan dengan manajemen internal bank.
2. Menyarankan kebijakan yang diperlukan oleh Otoritas Moneter bagi bank konvensional maupun bank syariah.
3. Lebih memperhatikan unsur moralitas dan spiritualitas.
4. NPL/NPF yang besar dapat dihindari, dan bukan disebabkan karena faktor makro semata.
I. 5. Signifikansi Penelitian
Jika timbulnya NPL/NPF dapat diperkecil, maka kegagalan bank atau
krisis perbankan yang merugikan masyarakat, perekonomian dan industri
perbankan, dapat dihindarkan.
Kontribusi ilmiah. Penelitian untuk Disertasi ini
lebih memfokuskan diri pada pada faktor-faktor yang berkaitan langsung
dengan manajemen internal bank yang diperlukan, sehingga dapat
memperkecil timbulnya NPL/NPF
I. 6. Teknis Penelitian.
Penelitian ini bersifat kuantitatif, dan menentukan perbedaan
pengaruh dari masing-masing variabel bebas itu terhadap NPL/NPF, baik
secara sendiri-sendiri, maupun secara gabungan. Untuk menjawab mengapa
terdapat perbedaan pengaruh, pendekatan kualitatif digunakan melalui
teori dan kajian literatur, ditambah metode wawancara terbatas dengan
pihak yang dianggap dapat mewakili bank syariah.
1.7. Sistematika Penelitian
Bab I berisikan Latar Belakang Penelitian, Ruang
Lingkup Masalah Penelitian, Perumusan Masalah Penelitian, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, Signifikansi Penelitian, Teknis Penelitian, dan
Sistematika Penelitian.
Bab II berjudul ”Tinjauan Literatur: Hal Ikhwal
Perbankan Umumnya, dan Pemberian Pinjaman/Pembiayaan Khususnya”, dan
mencakup Fungsi dan Faktor Kegagalan bank, Masalah Dalam Kegiatan
Pinjam-Meminjam, Proses Pemberian Kredit, hal-hal pokok yang berkaitan
dengan Bank Konvensional dengan Bank Syariah, serta Perbandingan Bank
Konvensional dan Bank Syariah; dan diakhiri dengan pembahasan mengenai Tawhidi String Relationship (TSR) dan IIE Process.
Bab III membahas mengenai Penyebab NPL, Kerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis. Kerangka pemikiran didekati melalui manajemen internal, berdasarkan Agency Theory, Moral Hazard Theory, Stakeholder Theory, Adverse Selection Theory dari Stiglitz dan Weiss (1981), dan Bad Management Hyphothesis
dari Berger dan deYoung (1997), serta beberapa penelitian dengan
pendekatan mikro. Hipotesa dibangun dari hasil kajian penyebab NPL dan
teori tersebut, yang juga didukung oleh ayat- ayat Al-Qur’an dan Hadist
Nabi SAW tertentu.
Bab IV berjudul Metodologi Penelitan, yang membahas
hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, termasuk Uji
Validitas dan Reabilitas Instrumen Penelitian, definisi konseptual dan
operasional beserta indikator dari setiap variabel penelitian yang
digunakan, dan hasil Uji Coba Instrumen Penelitian.
Bab V membahas Hasil dan Analisis Penelitian, dan
Kesimpulan serta Saran. Pembahasan meliputi Uji Prasyarat Hipotesis, Uji
Normalitas, dan Uji Homogenitas Data beserta Pengujian Homogenitas
Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat, dilanjutkan dengan Pengujian
Hipotesis, jawaban terhadap empat pertanyaan penelitian, Implikasi
Kebijakan dan Saran, Keterbatasan Penelitian, serta peluang bagi
penelitian selanjutnya.
2. TINJAUAN LITERATUR : HAL IKHWAL DALAM
PEMBERIAN PINJAMAN/PEMBIAYAAN
2.1. Fungsi Bank dan Faktor Kegagalan.
2.1.1. Fungsi Bank.
Bank sebagai perantara dalam alokasi modal yang efisien dalam
perekonomian dapat meningkatkan pertumbuhan (Levine, 1997; Levine, et al, 2000 : 30). Menurut Scholtens dan Wensveen (2003), intermediasi keuangan merupakan proses penciptaan nilai atau value creation, yang didorong oleh adanya risiko dan kegiatan pengelolaan risiko. Tugas manajemen disini adalah meningkatkan arus kas atau cash flow
saat ini dan di masa depan dengan mengeksploitasi setiap kesempatan
pertumbuhan, tetapi tanpa menambah risiko secara menyeluruh bagi bank
(Schroeck dan Gerhard, 2002 : 14). Konsep value creation ini perlu diterapkan dalam setiap hubungan dengan nasabah peminjam (Colquitt dan Joetta, 1993 : 6).
2.1.2. Faktor Kegagalan Bank.
2.1.2.1. Masalah dalam Kegiatan Pinjam-Meminjam Uang.
Bank menghadapi sejumlah masalah berikut yang harus diatasinya. Apabila tidak dapat mengatasinya, maka NPL/NPF dapat timbul.
Asymmetric Information. Informasi yang dimiliki oleh debitor dan kreditor tidak sama atau “symmetrical”.
Olegario (2006) mengatakan bahwa keadaan yang simetrikal itu tidak akan
pernah terjadi di dunia nyata. Sebaliknya, setiap pihak dari suatu
kontrak atau transaksi yang sama tidak memiliki informasi yang sama
(Mishkin, 1998).
Bank membutuhkan banyak informasi mengenai calon debitor/debitornya selama pinjaman belum terlunasi (Caprio Jr, 1996). Baik ex-ante maupun ex-post,
calon debitor memiliki informasi yang jauh lebih baik mengenai masalah
yang dihadapinya, dan bagaimana mengantisipasi dan mengatasi setiap
perubahan lingkungan yang dihadapinya. Untuk menjembataninya, bank perlu
lebih aktif untuk menggali informasi yang diperlukan, baik secara
langsung dari calon debitor, dan dari lingkungannya seperti para pemasok
atau para konsumen. Bank harus dapat memperkirakan apa yang dapat
terjadi terhadap usaha debitor, dan mengikuti perkembangannya dari waktu
ke waktu sampai pinjaman lunas.
Masalah Moralitas. Bertitik tolak pada dua hal. Pertama,
bank konvensional mengelola uang masyarakat sebagai utang. Bagaimana
dan untuk apa dana itu digunakan, hanya bank itu sendiri yang
menentukannya. Kedua, dana masyarakat yang
digunakan jauh lebih besar dari modal bank; sehingga terdapat peluang
untuk menggunakan dana masyarakat untuk kepentingan pihak yang terkait
dengan bank. Disini, moral hazard atau tindakan yang
tersembunyi dapat terjadi, dan dilakukan oleh pihak pengurus atau
pemilik bank, pada individu bank atau industri perbankan. Pada bank, De
George (1999 : 456) mengungkapkan kasus moral hazard pada Bank
of Credit and Commerce International (BCCI), yang digunakan untuk
kejahatan dan kepentingan para pemilik/pejabatnya; pada industri
perbankan, terjadi pada Savings and Loans Associations (S&L) di Amerika, yang melibatkan sebagian besar institusi tersebut.
Bersifat Universal. Menurut Prasetiantono (2005 :
360-361), kecurangan atau skandal dalam lingkungan perbankan itu
bersifat universal, dalam arti dapat terjadi dimana-mana, dapat terjadi
pada bank yang memiliki reputasi yang tinggi di negara maju atau pada
bank kecil di negara berkembang, di pusat keuangan dunia atau di kota
kecil di negara berkembang.
Prudential, Prudence. Bank tidak terlepas
dari bentuk-bentuk kerawanan atau risiko, sehingga bank harus selalu
dikelola dengan baik, dengan mentaati prinsip kehati-hatian atau prudential principle. Menurut Smith (2000 : 311-316), prudence adalah
kebajikan moral dan intelektual yang paling sempurna, dan sekaligus
merupakan kebijakan dengan kebajikan yang paling sempurna. Smith
menyebutkan prudent man, sebagai berikut:
”Orang dengan sikap hati-hati selalu mempelajari secara serius
dan sungguh-sungguh apa yang harus dipahaminya dari segi profesi, selalu
tulus, dan hanya mengatakan yang benar, serta selalu bersikap hati-hati
dalam setiap tindakannya, termasuk ketika berbicara. Ia selalu
menghargai sesuatu yang tidak berlebihan dan kewajaran, penuh dengan
diskresi dalam batas yang wajar, serta bertingkah laku baik. Sebagai
reputasi bagi profesinya, ia selalu melakukan transaksi berdasarkan kemantapan dari pengetahuan dan kemampuannya”.
Walaupun prinsip kehati-hatian ini telah diketahui secara luas,
tetapi tetap diabaikan dalam banyak kasus perbankan di dunia, yang
menyebabkan kegagalan bank dan kemudian krisis perbankan, serta
menimbulkan biaya yang tidak sedikit bagi makro ekonomi dan masyarakat
pembayar pajak (Ashcraft, 2005). Oleh karena itu, bank cum manajemen internalnya mutlak untuk menerapkan prinsip-prinsip moral seperti prinsip kehati-hatian tersebut.
2.1.2.2. Masalah Lingkungan Operasional Bank.
Bank, pada dasarnya, harus berusaha untuk mengatasi aspek negatif
dari faktor lingkungan (eksternal) berikut; sehingga dapat menekan
timbulknya NPL/NPF.
Transparansi dan Keterbukaan atau Disclosure. Bank akan lebih mudah untuk melakukan tugasnya, jika calon debitor/debitor atau lingkungan usaha memiliki tingkat transparency yang tinggi. Ini
artinya debitor dapat memberikan informasi yang benar dan tepat waktu,
serta dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Florini (1999), transparansi
sangat berdekatan dengan akuntabilitas, dan memiliki dimensi moral,
serta dapat mengatasi masalah agen dan majikan atau the principal-agent problem, dimana bank merupakan prinsipal dan debitor sebagai agen.
Di Indonesia, keadaaan tingkat keterbukaan masih rendah, karena rasio
jumlah perusahaan yang diaudit oleh akuntan publik rendah, yaitu
38.36%, dibandingkan Korea 59.97% (Jiangli, et al, 2004).
Keadaan itu merupakan salah satu indikasi lemahnya penerapan tata kelola
perusahaan (Sutojo dan Aldridge, 2005 : 32, 68, 69), dan memberikan
peluang untuk terjadinya korupsi (Mustanoja, 2002). Krisis 1997/1998
mengungkapkan banyaknya NPL timbul sebelum krisis tanpa informasi
keuangan yang benar, atau tidak pernah diteliti kebenarannya (Gie, 2006 : 13).
Good Corporate Governance (GCG). Di Indonesia, konsep ini mulai dirasakan perlu setelah krisis 1997/1998.
Pengambilan Keputusan. Menurut Jackson dan Nelson (2004 : 260), governance
adalah mengenai kewenangan atau kekuasaan, dan bagaimana kewenangan
didistribusikan dengan akuntabilitas, transparansi dan integritas yang
menyertainya. Pada hakekatnya, governance adalah merupakan proses pengambilan keputusan dan bagaimana menerapkan keputusan yang diambil (Pieris dan Jim, 2007 : 131; Pound, 1995 : 79), dan sekaligus mengontrol pelaksanaannya (Shaw, 2003 : 23).
Menurut Pieris dan Jim (2007 : 143, 147), pelaksanaan konsep ini
memerlukan sejumlah sarana pendukung, seperti: perumusan visi, misi dan
tujuan perusahaan, struktur organisasi dengan tanggungjawab
masing-masing, kewenangan serta mekanisme yang jelas, budaya dan etika
perusahaan serta sistem pengendalian dan pengukuran kerja. Sebagian
besar sarana ini tercakup dalam konsep budaya organisasi, sedangkan proses pengukuran kerja bermuara pada pemberian reward dan penalty.
Kepentingan Stakehoders. Apabila semua
prinsip GCG dijalankan, maka berarti perusahaan atau bank
bertanggungjawab terhadap lingkungan yang lebih luas, atau terhadap
seluruh stakeholder termasuk para kreditor dan investor. Oleh karena itu, kekhawatiran terhadap pengabaian kepentingan para stakeholder dapat diperkecil.
Penerapan di Indonesia. Penerapan GCG masih lemah
dan belum merata, karena beberapa alasan, antara lain, karena sebagian
besar perusahaan di Indonesia adalah milik keluarga, dan dijalankan
mengikuti kehendak pemilik pengendali (Surya dan Yustiavandana, 2006 :
56, 57; Lukviarman, 2004). Oleh karena itu, bank harus melakukan
analisis kredit yang lebih cermat, termasuk menilai efektifitas
organisasi usaha debitor.
Penegakkan Hukum. Bank akan dapat beroperasi lebih
efisien, jika lingkungan dimana bank beroperasi memiliki sistem hukum
yang melindungi hak-hak kekayaan individu atau property rights, dan hak kreditor (La Porta, et al,
1998; dan Levine, 1998). Namun, lingkungan ini di Indonesia masih lemah
(Surya dan Yustiavandana, 2006 : 11), dan menyulitkan kreditor untuk
mempertahankan haknya ketika mengeksekusi jaminan, atau menghadapi kasus
penipuan (banking frauds). Kenyataan ini mendorong bank untuk lebih berhati-hati dalam menyeleksi calon debitor.
Lingkungan Sosial dan Moralitas. Bank menghadapi lingkungan ini dalam tiga hal, pertama, ketika menghadapi debitor yang tidak menghormati perjanjian; kedua, ketika bank akan mempertahankan haknya melalui jalur hukum; dan ketiga,
menjaga agar seluruh stafnya tidak terpengaruh dengan keadaan
lingkungan sosial dan moralitas yang ada. Untuk mengatasi kedua masalah
pertama, setiap dokumen hukum terutama yang berkaitan dengan debitor
harus tetap diupayakan bernilai yuridis sempurna.
Berkaitan dengan yang ketiga, menurut ICW dan Bhakti, korupsi telah
menjadi budaya dan suatu kewajaran serta terjadi baik di lingkungan
pemerintah, swasta dan pendidikan; dimana disebutkan pula bahwa 60%
kejahatan perbankan melibatkan orang dalam (Kompas, 6 Juni 2011).
Oleh karen itu, bank harus menciptakan sistem nilai di dalam kepemimpinan dan manajemen internalnya untuk menahan pengaruh buruk itu tidak menjalar ke dalam lingkungan bank.
2.1.2.3. Konsep Etika Bagi Pemroses Kredit.
Etika dan Moralitas. Menurut Aristotle, etika adalah tujuan hidup, yaitu hidup yang baik yang mengandung kebajikan atau virtue (Vervezen, 2009 : 49). Bagi Kant, moralitas bersifat kewajiban, dan merupakan public goods; sedangkan etika adalah merupakan tugas dari setiap individu untuk menghasilkan moralitas atau public good itu, sehingga sifatnya lebih tinggi dari etika.
Etika dalam Perkreditan. Bank harus mengarahkan
kegiatannya ke arah kebaikan, kebenaran, dan mematuhi ketentuan dan
peraturan hukum, dan tidak berorientasi pada keburukan, ketidakbenaran,
dan tidak melawan hukum atau ketentuan yang berlaku (Hongkong Monetary Authority 1999 : 71). Etika di perbankan merupakan sifat kejujuran, tidak memihak atau impartiality, dapat dipercaya, sesuai dengan regulasi perbankan, dan transparan (Longstaff, 1993).
Menurut Gbadamosi (2004), suatu dunia bisnis hanya dapat bermoral
sejauh orang-orang di dalamnya bermoral. Bank hanya akan bermoral,
apabila para bankir bermoral. Namun, terdapat suatu generalisasi, dimana
jika banyak orang yang melakukan tindakan tidak etis, maka seolah-olah
tindakan itu bukan merupakan pelanggaran. Dari perspektif manajerial,
generalisasi tersebut harus dihapus dengan ketegasan dalam memberikan reward dan punishment kepada siapapun pelakunya, dengan meneliti faktor-faktor penyebab timbulnya pelanggaran, hingga kebijakan baru diciptakan sehingga tidak terulang kembali.
Masalah Karakter. Menurut Petersen and Rajan (1995), terdapat tiga macam kerusakan karakter yang terbesar pada para bankir, yaitu ketidakmampuan/incompetence,
malas, dan ketidakjujuran. Dua kerusakan pertama akan berakibat
hilangnya kesempatan untuk memperoleh keuntungan, dan dapat membuat para
debitor enggan membayar kewajibannya pada bank. Ketidakjujuran dapat
membuat yang tidak jujur mencuri langsung atau tidak langsung dari bank
dimana dia bekerja, atau secara tidak langsung dari debitor, sehingga
merugikan reputasi bank.
Menurut Koford dan Tschoegl (1997), terdapat dua penyebab yang berkaitan dengan debitor: pertama, perusahaan debitor mengalami kesulitan; dan kedua, melakukan penyimpangan atau fraud.
Namun, jika pemberiannya dilakukan oleh bankir yang memiliki
kerusakan karakter, maka pinjaman/pembiayaan yang diberikan bermungkinan
besar akan bermasalah (menjadi NPL) di kemudian hari.
2.2. Proses Pemberian Kredit.
Pada masa Athena Kuno, kata yang maknanya berdekatan dengan kredit adalah pistis. Artinya meliputi kepercayaan atau trust dan belief, keyakinan atau faith dan confidence dan assurance, kejujuran atau honesty, bukti atau proof, dan jaminan atau pledge (Lewis, 2002 : 7). Secara sempit, pistis diartikan sebagai kelayakan kredit atau creditworthiness, atau seseorang yang dikenal bankir dapat memperoleh pistis yang lebih besar dari kekayaannya.
Proses pemberian kredit/pinjaman pada hakekatnya meneliti dan memastikan bahwa terdapat unsur-unsur yang dikandung oleh kata pistis, credo dan truswothiness itu; atau untuk memastikan kelayakan suatu permohonan kredit, apakah dapat diterima atau ditolak (Kasmir, 2006 : 95).
Analisis Kredit
Hakekat analisis kredit. Hakekatnya adalah untuk
membentuk keyakinan bahwa calon debitor akan mampu dan mau membayar
pinjamannya sesuai yang diperjanjikan, sebagai jalan keluar yang utama
atau first way out.
Kaitannya dengan etika. Menurut Dilley (2008 : 168),
bankir memiliki beban etika yang tidak kecil; karena, masa depan
masyarakat pemilik dana, masa pensiun, pendidikan anak-anak mereka, dan
kualitas hidup mereka tergantung pada tindakan bankir dalam hal
melakukan analisis kredit. Seyogianya, mereka berkewajiban untuk
melindungi kepentingan para pemilik dana, dengan melakukan pekerjaan
secara prudent dan bertanggungjawab. Oleh karenya, Green mengatakan, bahwa para bankir perlu memahami dan menerapkan “canons of lending”.
Unsur moralitas di belakang berhutang. Jumlah utang yang digunakan, dengan leverage atau debt equity ratio
yang tinggi, dapat menunjukkan tingkat agresivitas seseorang terhadap
risiko, dan bahkan dapat pula dikaitkan dengan unsur moralitas.
Pengambilan utang akan menambah risiko usaha bagi debitor, dan risiko kredit bagi kreditor. Menurut Chorafas (2000), orang yang menggunakan pinjaman yang berlebihan atau overgearing menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan praktik etika yang meragukan.
Merupakan pertimbangan atau bersifat judgemental. Ed Emmer menyatakan bahwa “credit analysis is an art, not a science” (Ganguin, 2005 : xi), dan memerlukan pertimbangan atau judgement
manusia. Namun, analisis kredit yang benar dan efektif harus
mencerminkan keadaan dunia yang sesungguhnya; dan apabila tidak, berarti
berlawanan dengan akal sehat atau common sense (Bathory, 1987 : 4).
Tanggung jawab moral bank. Karena tanggungjawab moral yang besar, bank harus bertindak secara hati-hati atau prudent, dan harus memastikan calon debitor mengambil pinjaman sesuai dengan kemampuan bayar, dan digunakan secara efektif.
2.2.1. Risiko Kredit.
Risiko kredit adalah perkiraan besar kecilnya kemungkinan, atau
probabilita, calon debitor/debitor tidak dapat membayar kembali
pinjamannya, berdasarkan perkiraan kemampuan dan tendensi dari
karakternya.
Bersifat judgemental. Dalam mengukur risiko
kredit tidak terlepas dari persepsi, intuisi dan pertimbangan individu,
dan karenanya tidak selalu dapat diukur secara matematis. Namun,
persepsi atau intuisi itu harus diupayakan sebagai hasil ekstrapolasi
dari analisis dengan menggunakan lebih banyak data kuantitatif yang
akurat dan mutakhir, dan dikombinasikan dengan informasi kualitatif
Keadaan yang ideal adalah apabila debitor mengetahui bahwa dia dapat
mengatasi risiko bisnis yang dihadapi, sehingga mampu dan mau untuk
membayar utangnya tepat waktu. Tugas kreditor disini adalah memastikan adanya unsur endogenous ini pada (calon) debitor.
2.2.2. Masalah Jaminan (atau Kolateral).
Penetapan kolateral bersifat judgemental. Sumber utama pembayaran kembali suatu utang/pinjaman, atau first way out, adalah
dari keberhasilan usaha debitor yang tercermin dalam arus kas yang
dapat direalisasikan, atau feasibilitas usaha yang dapat bertahan,
sampai utang debitor terbayar lunas, bukan penekanan pada penjualan
kolateral. Kolateral merupakan jalan kedua untuk keluar dari hubungan
pinjam-meminjam atau sebagai second way out. Kolateral bagaikan
asuransi bagi kreditor, tetapi realisasi pembayaran klaimnya bersifat
tidak pasti, karena ditentukan oleh banyak faktor, seperti: jenis
jaminan, tangible atau intangible, inside atau outside collateral, method penilaian atau appraisal
dalam penentuan nilai, stabilitas harga, jenis pengikatan, dan lain
sebagainya. Pada akhirnya, penentuan kecukupan kolateral dalam setiap
pemberian kredit/pinjaman bersifat judgmental, dan tergantung pula pada keyakinan kreditor terhadap kelayakan kredit debitor atau borrower’s creditworthiness.
2.2.3. Account Officer Sebagai Pemroses Kredit Utama.
Account officer adalah pelaku utama yang
memulai dan menyelesaikan usulan persetujuan kredit. Intinya, ia adalah
kunci dari kualitas kredit yang ditanganinya.
2.2.4. Pentingnya Trust dan Reputasi Pada Pemroses Kredit dan Debitor.
Account Officer. Bagi bank, penunjukan seseorang sebagai account officer untuk menangani hubungan bank dengan nasabah merupakan kepercayaan tersendiri. Dari segi agency theory, kepercayaan ini harus dikontrol dari waktu-ke waktu, dan dapat dilakukan melalui evaluasi kinerja berkala bagi account officer, dan pengawasan kredit atau audit kredit, serta penerapan sistem hadiah dan hukuman (reward dan penalty system).
Pihak debitor: Kepercayaan dan reputasi merupakan
unsur yang paling penting dalam setiap pemberian kredit/ pembiayaan,
terutama pada bank syariah. Pengecekan reputasi dari calon debitor,
sebelum proses kredit dimulai, merupakan suatu kegiatan yang
independen, sangat penting dan bersifat sentral dalam keputusan
pemberian kredit, serta diyakini dapat mengurangi tingkat NPL.
2.2.5. Pemutus Kredit
Pemutus kredit adalah pihak yang berwenang untuk menyetujui atau
menolak usulan kredit dengan jumlah tertentu. Kewenangan yang lebih
tinggi berada pada tingkat direksi, dan yang tertinggi pada Presiden
Direktur, beserta atau tanpa persetujuan Komisaris.
Penanggung Jawab Terakhir. Pemutus kredit merupakan
tahap terakhir dari suatu proses pemberian kredit yang cukup panjang,
yang paling bertanggungjawab terhadap kualitas kredit, dan segi moral.
Disini, seluruh ketentuan yang berlaku dalam pemberian kredit dipastikan
telah dipatuhi, maka pemutus kredit harus pula bermoral, seperti yang
dikatakan oleh Gbadamosi (2004).
2.2.6. Keputusan Kredit.
Merupakan keputusan moral. Menurut Lehrer (2010 :
230), keputusan moral adalah keputusan unik, karena harus
mempertimbangkan kepentingan orang lain. Orang lain yang tercakup dalam
keputusan pemberian kredit dan harus dipertimbangkan begitu banyak.
Keputusan kredit yang tidak tepat berakibat pada timbulnya NPL/NPF,
kegagalan bank dan bahkan krisis perbankan, sehingga merugikan
masyarakat banyak.
Pengambilan Risiko Berlebihan Vs Kewajaran dan Etika.
Pertimbangan kredit yang sehat berarti menghindarkan diri dari
pengambilan risiko yang berlebihan, atau tanpa adanya batasan yang
patut. Menurut Aristotle (Garvey, 2010 : 26-31), keutamaan manusia
terletak pada kemampuan untuk menghadirkan tindakan-tindakan kemanusiaan
dengan baik, dan merupakan pemikir yang sempurna. Keutamaan ini adalah
keutamaan moral dan keutamaan intelektual. Keutamaan moral mengacu pada
doktrin jalan tengah, menyangkut pilihan yang terletak di antara dua
ekstrim, dilihat dari perbuatan dan akibatnya. Sikap jujur merupakan
jalan tengah antara sombong dan rendah diri. Keutamaan intelektual
terdiri dari dua aspek rasional daya pikir manusia, yaitu kalkulatif dan
kontemplatif. Yang pertama artinya, tindakan yang didasarkan pemikiran
yang sehat, dan yang kedua berkaitan dengan refleksi tentang kebenaran.
Pada hakekatnya, pemikiran Aristotle ini sesuai dengan proses dan
substansi pengambilan keputusan kredit, yang merupakan refleksi dari
keutamaan moral dan intelektual. Mengingat risiko yang dihadapi bank,
dan tanggungjawab moral yang besar, bank tidak dapat bersifat agresif
atau berlebihan, tetapi harus bersikap konservatif. Berdasarkan
pandangan Aristotle itu, keputusan konservatif adalah jalan tengah,
antara agresif dan tidak mengambil risiko sama sekali.
Pertimbangan dan keyakinan. Inti dari pengambilan
keputusan kredit/pinjaman adalah membentuk keyakinan dalam menentukan
kemampuan arus kas calon debitor untuk membayar utang dan bunga di masa
depan, serta komitmen debitor untuk memenuhinya.
Wolfson (1996) menjelaskan bagaimana tingkat keyakinan masuk ke dalam proses pengambilan keputusan, yaitu dalam dua cara: pertama, jika keyakinan rendah, maka bank akan membebankan tingkat bunga yang lebih tinggi; kedua,
jika di bawah tingkat keyakinan minimum, maka usulan kredit akan
ditolak (Wolfson, 1996). Oleh karena itu, uraian di atas menunjukkan
bahwa unsur keyakinan dari pemutus kredit berperan penting terhadap
keputusan yang diambilnya bagi kepentingan bank.
Objektif dan tidak terpengaruh. Data-data empiris
menunjukkan bahwa krisis perbankan dan atau kegagalan bank bermula pada
pengambilan keputusan (kredit) yang lebih banyak dipengaruhi
faktor-faktor exogenous, di antaranya keadaan lain atau sikap mental, seperti: sikap optimistik yang berlebihan atau overoptismistic, asymmetric expectation, reflexivity, gambling for resurrection hyphothesis, irrational exuberance, herd behaviour, the sixth C, dan moral hazard. Oleh karena itu, keputusan kredit harus bersifat objektif, dan tidak terpengaruh faktor dan sikap yang bersifat exogeneous.
Intuisi. Menurut Jankowicz dan Hisrich (1987),
keputusan kredit komersial diambil sebagian berdasarkan intuisi. Intuisi
yang digunakan seyogianya merupakan resultante dari pemahaman
dan pencernaan seluruh data dan informasi dengan baik, dan dibarengi
dengan pengalaman dalam menghadapi hal yang serupa sebagai pengontrol
hasil upaya ini, dan mengimbangi unsur ketidakpastian yang umumnya ada
terhadap sesuatu yang diharapkan di masa depan.
Pentingnya unsur agama. Menurut Gunther (2008), sebagian dari keputusan penting tidak dapat ditimbang hanya dari kepala, tetapi juga perlu ditimbang dari hati.
Dalam mengambil keputusan penting, seseorang perlu melihat ke dalam hatinya, dan bertanya pada dirinya unsur penting mana dalam agama yang dianutnya yang melandasi pengambilan keputusan itu? (Gunther, 2008 : 150-151).
2.3. Bank Konvensional Vs Bank Syariah.
Berikut ini adalah ikhtisar perbedaan karakteristik dan operasionalisasinya antara bank kovensional dan bank syariah.
Bank Konvensional
|
Bank Syariah
|
|
Hukum atau Ketentuan yang Mengatur | Hukum positif dan perbankan yang dirancang dan ditetapkan oleh manusia. | -Hukum Tuhan yang dituangkan dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW yang berlaku secara umum dimana pun bank beroperasi-hukum positif dan perbankan yang berlaku dimana bank beroperasi. |
Filosofi |
(Perekonomian yang melatar belakanginya)Perekonomian
yang bersifat kapitalistik, atau yang bersifat transisi.Perekonomian
bersifat Islami, yang mengikuti ketentuan Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW.Fungsi UangBerfungsi untuk bertransaksi atau sebagai medium of exchange, untuk berjaga-jaga dan untuk berspekulasi.Terutama sebagai medium of exchange, tetapi juga dapat untuk berjaga-jaga melalui tabungan tetapi bukan bersifat ’hoarding’, karena uang harus masuk kedalam sirkulasi yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian demi kemaslahatan orang banyak/umat.Bunga-Uang sebagai komoditi, sehingga memiliki harga, atau bunga.
-Dari pinjaman yang diberikan bank memperoleh bunga, dan untuk dana masyarakat yang dihimpun bank harus membayar bunga.
-Bunga cenderung bersifat tetap/ditentukan di muka.-Uang bukan sebagai komoditi, sehingga tidak memiliki harga atau bunga.
- Dari pembiayaan yang dilakukan bank memperoleh keuntungan, dan
untuk pengelolaan dana bank harus membagi keuntungan dengan pemilik
dana.
-Keuntungan berfifat variabel, atau tidak tetap, tergantung dari hasil usaha riel/nominal.Sektor Keuangan Vs Sektor RielKarena
sektor keuangan dan sektor riel tidak selalu bersatu, sehingga
menimbulkan dikotomi bagi keduanya.Sektor keuangan melekat dengan sektor
riel, sehingga tidak menimbulkan dikotomi seperti pada perbankan
konvensional.Pendanaan
(Sifat Dana Masyarakat)Dana masyarakat yang dihimpun
bersifat ’utang’ kepada masyarakat pemilik dana. Tingkat bunga bagi
para deposan bersifat tetap/ditentukan di muka .Dana masyarakat yang
dihimpun bukan bersifat utang, melainkan merupakan titipan, atau
bersifat dana investasi dan harus dikelola bank sebagai ’manajer
investasi’ atas persetujuan pemilik dana.Pemberian Pinjaman Vs Pemberian Pembiayaan- Melakukan pemberian pinjaman, dengan menghimpun dana masyarakat sebagai utang.
- Sifat hubungan merupakan kaitan antara debitor dan kreditor.
- Pemberian kredit dimungkinkan untuk membiayai kegiatan bukan dalam
sektor riel, dan bahkan dapat digunakan untuk berspekulasi- Melakukan
pembiayaan dengan mengelola dana masyarakat yang dihimpun.
- Bertindak sebagai manajer investasi, mitra atau shahibul mal, dan/atau kastodian dari dana.
- Tidak dapat digunakan untuk membiayai kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan sektor riel.
- Tidak dapat membiayai transaksi yang bersifat ribawi, gharar dan maysir, atau barang dan jasa yang dilarang.
- Pembiayaan pada sektor riel hanya dimungkinkan dengan bentuk pembiayaan yang berkaitan dengan transaksi jual beli (murabaha, istisna, dan salam), sewa menyewa (ijarah), atau kerja sama dalam usaha memproduksi barang dan jasa (musharakah, mudharabah).
- Sedangkan pinjam-meminjam uang bukan merupakan transaksi komersial,
tetapi bersifat sosial karena hanya dapat diberlakukan untuk menolong
sesama dan tanpa bunga (qard hasan).Penciptaan Kredit- Dengan konsep reserve requirement, bank menciptakan kredit lebih besar dari dana yang dihimpun ditinjau dari totalitas perbankan.
- Sedangkan dana yang digunakan lebih banyak berasal dari dana masyarakat yang bersifat utang, atau menggunakan konsep leverage.-
Tidak menciptakan kredit seperti pada bank konvensional, karena dana
yang dapat digunakan untuk pembiayaan adalah yang berjumlah sama dengan
jumlah diperoleh dari masyarakat pemilik dana dan yang digunakan seijin
pemilik dana.
- Karena dana masyarakat yang dihimpun bukan bersifat utang, maka tidak menggunakan prinsip leverage. Kedudukan dalam Berkontrak Hubungan debitor dan kreditor Sebagai sesama mitra, atau sebagai pengusaha dan pemodal
Hukum atau Ketentuan yang Mengatur. Bank syariah
mengikuti ketentuan yang diturunkan oleh Allah SWT ke dalam Al-Qur’an,
dan di praktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bagi umat Islam, Allah SWT
adalah Maha Pencipta langit dan bumi serta sekalian alam. Seluruh
pengetahuan bersumber dari Ke-Esaan-Nya, yang dapat dipelajari melalui
ciptaan-Nya yang merupakan manifestasi sebagai suatu sistem yang
komplit. Seluruh ciptaan-Nya itu berkualitas paling tinggi, berdaya guna
tinggi bagi kemaslahatan umat, dan tidak dapat ditandingi oleh manusia
manapun juga. Manfaat yang dapat diperoleh sangat tergantung sejauh mana
umat mempelajari dan menerapkannya, serta apakah sesuai dengan kadar
yang dikehendaki oleh Pencipta-Nya. Untuk itu, salah satu pendekatan
yang bersifat ilmiah untuk mempelajari, mengembangkan, dan menerapkan
semua petunjuk itu adalah seperti yang ditunjukkan oleh Choudhury (2004)
dengan Tawhidi String Relationship (TSR) dan IIE Process-nya di akhir bagian ini
Filosofi (perekonomian yang melatarbelakanginya). Perbankan
syariah dibangun dengan alas yang menyeimbangkan antara kepentingan
duniawi dan akhirati, kepentingan individu dan masyarakat banyak,
keuntungan komersial dan tanggungjawab serta keadilan sosial, jangka
pendek dan jangka panjang, serta menempatkan segala sesuatunya secara
wajar dan pada tempat yang sebagaimana mestinya. Uang diletakkan pada
tempat dimana difungsikan, dan hanya digunakan sebagai alat perantara
bertransaksi, tanpa biaya atau bunga.
Kencenderungan Berspekulasi Vs Larangan Transaksi Bersifat Gharar. Dengan sistem FRB, reserve requirement dan leverage,
penggunaan utang pada sisi aktiva dan pasiva neraca bank, tema sentral
bank konvensional adalah penciptaan dan pemberian kredit/pinjaman,
termasuk untuk tujuan spekulasi, dan tidak selalu berkaitan dengan
barang dan jasa, sehingga mendorong pemberian kredit dengan pengambilan
risiko yang berlebihan. Transaksi yang bersifat spekulatif, gharar, dan dengan risiko yang berlebihan, tanpa underlying transaction, dilarang pada bank syariah. Hal ini jelas menimbulkan perbedaan pada profil risiko kedua bank.
Bunga Vs Keuntungan. Kompensasi bunga pada bank
konvensional bersifat tetap, sedangkan keuntungan pada akad bank
syariah, terutama akad PLS, tergantung keuntungan riel yang dapat
diperoleh dari usaha yang dibiayai. Beban bunga menambah risiko pada
usaha, yang berlawanan dengan konsep keuntungan dan ekuitas yang dapat
mengembangkan perekonomian dan lapangan kerja yang lebih luas.
Pendanaan (Sifat Dana Masyarakat). Dana masyarakat
pada bank syariah bukan sebagai utang bagi bank, dan hal ini mendorong
stabilitas operasional yang lebih baik, dibandingkan dengan bank
konvensional (Khan dan Mirakhor, 1987; Khan, 1991, Ahmed, 2002; Ali,
2006 dan 2007, Tahir, 2003; Karwowski, 2009; Al Jarhi, 2008, serta
lainnya). Menurut Bryan (1980); Diamond dan Dybvig (1983), seperti yang
dikutip oleh Ali (2006 dan 2007), ketidakstabilan pada bank konvensional
ini berkontribusi terhadap timbulnya krisis perbankan konvensional.
Kestabilan pada bank syariah disebabkan karena alasan berikut:
Pertama, secara teoritik, akad mudharabah (muqayadah)
yang digunakan bank untuk menampung dana masyarakat merupakan wadah
bagi pemilik dana untuk ikut mengontrol pembiayaan yang dilakukan bank.
Wadah ini dapat mendorong komunikasi yang lebih baik antara bank dan
pemilik dana, menambah tranparansi, mengurangi asymmetric information (Karwowski, 2009), agent-principal problems, kemungkinan penyelewengan, dan pengambilan risiko yang berlebihan oleh bank. Kedua, para
calon deposan akan mengikuti perkembangan dan kemampuan bank dalam
menghasilkan keuntungan, sebelum menempatkan dananya di suatu bank
syariah, dan memastikan bahwa dananya itu akan diinvestasikan dengan
hati-hati; sehingga menciptakan disiplin pasar yang lebih baik (Chong
dan Liu, 2007). Ketiga, secara makro, bank
syariah mengalokasikan dana masyarakat secara efisien berdasarkan
produktivitas dan viabilititas projek (Iqbal, 1997; Khan, 1986 dikutip
oleh Chong dan Liu, 2007; Ahmad, 2000; Al-jarhi, 2008).
Keempat: antara keuntungan atas dana masyarakat dengan keuntungan yang diperoleh bank dari aset pembiayaan bank berkaitan secara endogeneous. Selain itu, para pemilik dana dengan bank juga berbagi risiko. Menurut
Khan dan Mirakhor (1987), dan Ahmed (2002) seperti yang dikutip oleh
Ali (2006 dan 2007), kaitan ini berfungsi sebagai alat yang dapat
mendorong kedisiplinan bank dalam pengelolaan dana masyarakat dan
mencapai efisiensi; Kelima: dana masyarakat dengan akad mudharabah memiliki
jangka waktu tertentu; dan karena bersifat investasi dan kuasi ekuitas,
dana itu hanya dapat dikembalikan ketika akad jatuh tempo, sehingga
dapat mengurangi kerawanan likuiditas atau menahan penarikan dana secara
serentak oleh para pemilik (”run on the bank”).
Risiko Pijaman Vs Risiko Pembiayaan. Pada bank
konvensional, risiko yang dihadapi bank berasal dari risiko kredit, atau
merupakan probabilita debitor tidak dapat mememenuhi kewajibannya. Bank
syariah, di lain pihak, selain menghadapi risiko kredit, juga
menghadapi risiko investasi. Risiko kredit berasal dari akad murabaha dengan pembayaran tunda, atau akad ijarah terhadap janji pembayaran sewa, atau dari akad salam atau istisna
dimana pembayaran di muka telah dilakukan, tetapi barang pesanan belum
diperoleh dalam bentuk dan waktu yang telah disepakati. Risiko investasi
berasal dari akad mudharaba dan musyarakah, yaitu
adanya kemungkinan investasi tidak menghasilkan keuntungan yang
diharapkan, dalam jangka waktu yang telah diperhitungkan. Secara umum,
risiko investasi ini lebih tinggi dari risiko kredit (Akkas, 2009;
Rahman, 2007); dimana risiko yang pertama tidak memiliki kolateral.
Namun, risiko pembiayaan pada akad PLS juga ditanggung oleh pemilik
dana.
Hubungan Bank dan Nasabah: Sebagai Mitra. Berbeda dengan
konsep kreditor- debitor pada bank konvensional, di dalam transaksi
PLS, bank bertindak sebagai investor, manajer investasi, dan mitra dalam
usaha (Ascarya, 2007 : 33). Hubungan ini lebih bersifat relasional
karena adanya unsur kerja sama, dibandingkan dengan sifat transaksional
khususnya dalam hubungan kreditor dan debitor, dan ekonomi kapitalis
umumnya. Menurut Choudhury dan Hoque (2004 : 78-79), dalam ekonomi dan
sistem keuangan yang berbasis kerja sama, tidak terdapat dorongan untuk
bersikap menutupi keterbukaan atau disclosure dan mengaburkan transparansi. Keterbukaan dan tansparansi akan mengurangi biaya transaksi berbisnis atau agency cost.
Kesetaraan dalam Berkontrak. Terutama pada akad PLS, setiap pihak memiliki kepentingan yang sama atau common interest, yaitu keuntungan atau keberhasilan proyek yang sama.
Oleh karena itu, di dalam setiap interaksinya, paling tidak secara
naluri, setiap pihak akan mendorong pihak lain untuk membantu atau
mengawasi agar keberhasilan itu dapat dicapai. Agar tidak bersifat gharar,
setiap pihak memiliki dorongan untuk mempelajari terlebih dahulu apa
yang akan diperjanjikan, dan risiko apa yang akan dihadapi.
Sektor Keuangan Vs Sektor Riel. Prima kausa pada akad bank syariah adalah barang yang bersifat tangible atau usaha yang bersifat produktif. Akad muarabaha, salam, istisna, dan ijara, menjadikan suatu jenis barang yang telah ada atau yang akan diproduksi sebagai prima kausa akad; pada akad Mudharaba dan musharaka, adanya usaha atau bisnis tertentu di dalam sektor riel.
Kontrol penggunaan dana. Pada akad bank syariah, pada umumnya, penggunaan uang atau fund disbursement
lebih jelas dan dapat dikontrol, karena mengikuti alur barang atau
usaha. Kemungkinan wanprestasi akibat penggunaan dana yang menyimpang
dapat diperkecil.
Monetary based economy Vs real (equty) based economy. Sebagai kesimpulan, ekonomi kapitalis modern dibangun berdasarkan monetary based economy, bukan real based economy seperti
halnya pada perekonomian Islam (Harahap, 2003 : 19), dan terpisah dari
unsur agama. Kegiatan pinjam-meminjam uang bukan merupakan kegiatan
utama dalam perekonomian Islam. Perbankan syariah bersandar pada unsur
ekuitas bukan kredit, sehingga bersifat equity based. Karena
pembiayaan bank syariah melekat pada sektor riel, maka pembiayaannya
berorientasi pada aset atau kegiatan yang berada pada sektor riel,
sehingga bersifat asset based. Perekonomian Islam dan
pembiayaan syariah cenderung lebih stabil (Karwowski, 2009),
dibandingkan dengan perekonomian kapitalis yang berbasis kredit dan
bunga.
2.4. Tawhidi String Relation (TSR) dan Interactive, Integrative, and Evolutionary Process (IIE Process).
Tawhidi String Relationship (TSR).
Konsep teologi Islam, yang disebut oleh Choudhury sebagai Tauhidi principles,
adalah bahwa Tuhan itu satu, yang menyatukan keragaman ciptaan-Nya, dan
merupakan awal, sebagaimana Plato mengatakan sebagai Prima Kausa, dan
akhir. Manusia dan alam semesta diciptakan oleh Tuhan YME sebagai awal,
dan semua berakhir ketika kembali kepada-Nya.
Disini, antara awal dan akhir terdapat suatu hubungan atau terdapat
kehidupan manusia dengan tujuan hidup, yang pada dasarnya untuk
menjumpai Tuhan kembali (Asy’arie, 2010 : 249). Choudhury menyebutkan
hubungan antara awal dan akhir ini sebagai Tauhidi String Relation (TSR).
Penerapannya. Aristotle berpendapat bahwa tujuan
manusia hidup di dunia adalah untuk mencapai kebahagian. Dalam konteks
Islam, kebahagiaan ini tidak saja bernilai duniawi, tetapi juga harus
bernilai akhirati, dengan membawa segala catatan kebajikan dan keimanan.
Aristotle juga berpendapat, bahwa dengan pengetahuan, orang akan dapat
mengenali mana yang buruk dan mana yang baik, sehingga dapat menjauhkan
diri dari tindakan yang tidak baik.
Interactive, Integrative, and Evolutionary Process (IIE Process). Pada
dasarnya, petunjuk yang ada dalam Al-Qur’an bersifat umum, karena
Tuhan menciptakan sistem yang lebih besar. Untuk menerapkannya,
diperlukan pengetahuan yang bersifat lebih tehnis dan pengembangan yang
lebih rinci melalui pembahasan atau diskursus. Dengan diskursus dan
penerapan yang berulang-ulang atau bersifat interactive, maka
akan diperoleh suatu konsep dan teknik penerapan yang lebih tinggi dan
lebih baik; sehingga merupakan evolusi dari keadaan yang dicapai
sebelumnya. Prinsip Islam adalah bahwa hari ini harus lebih baik dari
hari kemarin, dan demikian seterusnya. Islam menghendaki partisipasi
aktif dari umatnya dalam menjalani kehidupan di dunia melalui
kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk kehidupan dan beribadah.
Setiap penerapan dan diskursus itu harus kembali mengkaji apa yang
tersurat dan tersirat dari petunjuk yang ada itu, seperti yang
dimaknakan oleh Choudhury dengan istilah integrated dan interactivenya. Choudhury (2004a : 9; 2004b : 3) menyebutkan proses pengembangan dan penerapan pengetahuan ini sebagai interactive, integrated and evolutionary process atau IIE process, dan merupakan pendekatan ilmiah dan pengembangan dari Ihtijad.
Dari segi praktik, menurut Broom (2003 : 167), anggapan bahwa Tuhan
Maha Tahu merupakan alat yang kuat, dan dapat mendorong orang untuk
berlaku baik dan menjauhi diri dari tindakan yang tidak baik; sehingga
jika orang sadar bahwa segala tindakannya diketahui oleh Tuhan, maka
secara sadar atau tidak, tindakan yang tidak baik akan berkurang.
Al-Qur’an (QS. 74 : 31) jelas mengatakan bahwa akan terdapat hukuman
atau pahala bagi setiap tindakan manusia yang baik atau yang buruk.
Kant (1963 : 97) berpendapat bahwa kesadaran akan adanya Tuhan dan
rasa takut akan keadilan-Nya yang maha adil akan mendorong orang untuk
memperhatikan secara sungguh-sunguh segala petunjuk yang diberikan-Nya.
Bagi muslim, petunjuk-petunjuk itu dapat diketahui dari ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW. Menurut Wiroso (2009 : 91), hal tersebut
dijadikan sebagai paradigma dasar dalam melakukan transaksi syariah,
sehingga mencapai kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual.
Paradigma ini menekankan pada nilai akuntabilitas, akhlak dan Illahiah,
sehingga membentuk integritas pada setiap aktivitas manusia yang
mendorong terbentuknya tata kelola yang baik atau good governance, dan disiplin pasar atau market discipline
yang baik. Kedua unsur ini diperlukan dalam mencapai tingkat efisiensi
yang lebih baik dalam manajemen internal bank. Menurut Algaoud dan Lewis
(2001: 131), ideologi keagamaan yang Islami, jika diterapkan dengan
baik akan dapat mengurangi timbulnya assymetric information dan moral hazard; sehingga dapat mengurangi inefisiensi yang mungkin terjadi pada transaksi keuangan.
3. PENYEBAB TIMBULNYA NPL/NPF, KERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
3.1. PENYEBAB TIMBULNYA NPL/NPF
3.1.1. Hakekat dari NPL/NPF.
Sebelum menyetujui permohonan pinjaman/pembiayaan, manajemen
internal harus meyakini bahwa calon debitor mampu untuk membayar
kembali pinjaman dan bunga pada bank konvensional, atau untuk membayar
angsuran pembayaran tunda atau mampu menghasilkan keuntungan dari usaha
yang dibiayai oleh bank syariah. Jika keyakinan ini tidak terbentuk,
maka bank dapat menolak permohonan itu. Setelah pinjaman/pembiayaan
diberikan, NPL/NPF akan terjadi jika keyakinan yang dimaksud tidak
terealisir. Keyakinan ini bersifat institusional, karena diwakili oleh
para pejabatnya yang diberi wewenang dan merupakan bagian dari manajemen
internal untuk kepentingan bank.
3.1.2. Ketentuan Kolektibilitas.
NPL. Bank Indonesia menetapkan bahwa Penilaian
Kualitas Aktiva Bank, atau tingkat kredit bermasalah atau NPL atau
disebut sebagai penggolongan kolektibilitas, ditentukan oleh bank
berdasarkan sejumlah kriteria; tetapi, yang paling utama berdasarkan
kenyataan kelancaran pembayaran angsuran dan bunga. Penggolongan ini
ditetapkan ke dalam 5 macam golongan kualitas atau kolektibilitas
kredit, yaitu Lancar, Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan dan
Macet.
NPF. Hal yang sama diberlakukan pada Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dengan
ketentuan yang kurang lebih serupa. Khusus untuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah, penilaian
kualitas pembiayaan dilakukan berdasarkan kemampuan membayar yang
mengacu pada ketepatan waktu pembayaran angsuran pokok dan/atau
pencapaian rasio antara Realisasi Pendapatan atau RP dengan Proyeksi
Pendapatan atau PP, atas kesepatan dengan nasabah.
3.1.3. Penyebab NPL/NPF
3.1.3.1. Dari Segi Waktu dan Tahapan.
Dari segi waktu. Suatu pinjaman/pembiayaan dapat
berkembang menjadi bermasalah, setiap saat setelah diberikan sampai
seluruhnya dibayar lunas. Kualitas pinjaman/pembiayaan yang diberikan
sangat ditentukan pada tahap pertama, yaitu bagaimana permohonan pinjaman/pembiayaan diproses, dan disetujui di dalam bank. Pada tahap kedua,
NPL/NPF dapat timbul setelah pinjaman/pembiayaan diberikan sebagai
akibat dari masalah-masalah yang berada diluar proses internal bank,
atau yang berkaitan dengan keberhasilan dan risiko usaha, karakter
debitor, pengaruh perubahan lingkungan operasional termasuk perubahan
ekonomi makro terhadap usaha debitor. Untuk menjaga kualitas
pinjaman/pembiayaan tetap baik, bank perlu melakukan tindakan pengawasan
atau monitoring terhadap pinjaman/ pembiayaan yang telah diberikan hingga lunas.
Dari segi penyebabnya, keyakinan yang tidak terealisir disebabkan
sesuatu yang terjadi pada dua tahap yang disebutkan di atas, yaitu:
Pada tahap pertama, atau pada tingkat kreditor. Antara
lain adalah: analisis yang tidak cermat karena kurangnya pengetahuan
atau keahlian, data yang diperlukan tidak selengkapnya dimiliki atau
dikemukakan dalam analisis, terdapat faktor risiko yang tidak sengaja
atau sengaja tidak dibahas atau sama sekali tidak diketahui, kesimpulan
yang diambil salah, dan seterusnya. Akhirnya, permohonan
pinjaman/pembiayaan disetujui, yang seharusnya ditolak, sehingga terjadi
apa yang disebut sebagai adverse selection. Kemungkinan lain
adalah terdapat indikasi yang tidak baik, tetapi tidak ditindaklanjuti,
atau persyaratan yang harus dimiliki tetapi tidak dipenuhi.
Pada tahap kedua atau pada tingkat debitor: NPL/NPF dapat terjadi karena moral hazard, jika
debitor peminjam tidak merealisasi komitmennya; atau dia tidak berniat
untuk melakukan pembayaran bunga atau pokok sama sekali, terlepas apakah
dia mampu atau tidak. Selain itu, kemampuannya untuk membayar kembali
ditentukan pula oleh kesuksesan dari usaha, perusahaan atau proyeknya
dalam menghasilkan pendapatan dan keuntungan yang diharapkan. Kesuksesan
ini dapat dihalangi oleh perubahan drastis yang tidak menguntungkan
pada perekonomian, atau dalam lingkungan dimana ia berusaha. Risiko ini
tidak sepenuhnya dapat diperkirakan atau diperhitungkan.
3.1.3.2. Proses Timbulnya NPL/NPF: Gradual atau Langsung.
NPL Timbul Secara Gradual: Dari Segi Debitor. Apabila
pinjaman/pembiayaan diproses secara wajar mengikuti prosedur yang ada,
pinjaman/pembiayaan itu tidak akan bermasalah seketika. Walaupun
keberhasilan usaha dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal, tetapi
faktor itu tidak menghentikan kemampuan bayar debitor secara mendadak,
kecuali jika terjadi bencana alam yang merusak alat produksi atau pasar
debitor secara siknifikan. Biasanya, pinjaman/pembiayaan akan
menunjukkan gejala-gejala awal terlebih dahulu sebelum bermasalah.
Langsung: Dari Segi Bank. Jika pinjaman/pembiayaan
bermasalah seketika, dalam arti debitor mulai menunggak pembayaran bunga
atau kewajibannya dan terjadi tidak lama setelah diberikan, maka
berdasarkan pengalaman dapat disimpulkan, bahwa pemrosesan kredit
mengandung penyimpangan yang serius, atau dilakukan dengan tidak wajar
atau direkayasa, atau due diligence dilakukan dengan tidak seksama atau sembrono. Masalah ini terjadi akibat masalah pada pihak bank.
Pengambilan risiko yang berlebihan. NPL dapat
terjadi karena mengambil risiko yang berlebihan, dan dapat dilihat dari
berbagai indikator, seperti: kualitas portofolio yang rendah,
konsentrasi pinjaman yang tinggi pada sektor, debitor, industri,
wilayah, instrumen utang, jangka waktu tertentu, dan sikap optimisme
yang berlebihan terhadap kulitas debitor (Keeton dan Morris, 1987;
Clair, 1992; Honohan, 1997; Godlewski, 2004).
3.1.3.3. Faktor Mikro dan Makro.
Masalah di tingkat mikro. Shen (2004) berpendapat
bahwa kemungkinan kegagalan bank disebabkan terutama karena masalah pada
tataran mikro, yaitu bagaimana bank melakukan usaha di dalam bank, atau
pada tahapan pertama di atas.
Masalah di tingkat makro. Penyebab
pinjaman/pembiayaan bermasalah disebabkan oleh masalah-masalah di luar
internal bank, sebagai akibat pengaruh perubahan ekonomi makro,
lonjakan tingkat bunga yang tajam, dan penurunan tingkat laju ekonomi
yang mendadak. Penyebab ini perlu diantisipasi dan dianalisis oleh loan officer, dan dipertimbangkan oleh para pemutus.
3.1.4. Konvergensi pada Faktor Mikro.
Kesimpulan dari Penelitian dengan pendekatan makro. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa krisis dimulai dari lemahnya institusi bank,
karena NPL telah berakumulasi sebelum krisis (Kwack, 2000; Wu et al, 2003). Ketika lending boom
terjadi, bank tidak mempersiapkan keahlian dan pengetahuan yang
diperlukan untuk menghadapi kompetisi, dan pengawasan yang lemah
menimbulkan moral hazard (Demirguc-Kunt dan Detragiache, 1998).
Penyebab lain adalah pemberian kredit yang berisiko tinggi dan
optimisme yang berlebihan (Koford dan Tschoegl, 1997; Koford, et al,
1997), manajemen yang tidak kompeten (Kaufman, 2000, Caprio dan
Klingebiel, 1996; Fuertes dan Espionola, 2006), pemberian kredit yang
bersifat spekulatif dan sembrono (Kennedy, 1973), bank yang lemah
(Fuertes dan Espionola, 2006), corporate culture (fofack, 2005), masalah SDM dan governance (Sgard, 2008), credit culture (Ahmed, 2006), pertumbuhan kredit yang berlebihan dan moral hazard (Vihriala, 1997; Caprio dan Klingebiel, 1996), sikap agresivitas (Soral, et al, 2006), dan internal control yang lemah (Bent Vale, 2004).
Kesimpulan dari Krisis Asia. Seluruh peneliti (Chan
lau dan Chen, 1998; Radelet dan Sachs, 1998; Permerleano, 1999; IMF
staff, 1998; Krugman, 1998; Caprio, 1998; Haggard dan McIntyre, 1999:
Dean, 1999) melihat kegagalan bank atau Krisis Asia dari segi proses dan
pelaku pemberi kredit. Dari segi proses, salah satu kunci penyebab adalah diabaikannya sikap hati-hati.Sebagai akibatnya, menimbulkan moral hazard, dan intermediasi keuangan menjadi tidak efisien. Dari segi pelaku, moral hazard terjadi karena pemberian kredit merupakan insider’s dealing, berbau kolutif dan koruptif, atau dipengaruhi oleh unsur politik.
Dari pengalaman NPL beberapa negara. Penyebab utamanya NPL adalah pengabaian prinsip kehati-hatian, dan moral hazard, atau
pemberian kredit/ pinjaman yang tidak sehat. Seluruh kesimpulan di atas
akhirnya mengarah pada manajemen internal bank yang lemah atau tidak
kompeten (Batunanggar, 2002; Kennedy, 1973; Godlewski, 2004).
3.1.5. Faktor Mikro Paling Menentukan.
Caprio Jr dan Klingebiel (1996). Walaupun faktor ekonomi makro memberikan pengaruh yang kuat, tetapi akibatnya terhadap setiap subjek dapat berbeda, karena tergantung pada kekuatan yang ada pada setiap bank.
Variabel ekonomi mikro yang penting bagi ketahanan perbankan terhadap kejutan besar ekonomi makro: keahlian dan jumlah tenaga perbankan dan pengawas perbankan yang memadai, tingkat modal bank yang cukup, insentif bagi sikap prudential dan konservatif para pejabat bank, dan standar perkreditan yang baik yang perlu dipertahankan.
3.1.6. Penyebab NPL/NPF: Faktor-Faktor Mikro.
3.1.6.1. Masalah Manajemen Internal.
Menurut Scott (2003), seluruh persoalan perbankan yang menimbulkan
krisis, pada intinya, bermula pada pemberian kredit yang sembrono, dan
kepada usaha yang tidak layak atau bersifat spekulatif.
3.1.6.2. Kebijakan Pemberian Kredit dan Canons of Lending.
Menurut Sergio (1996), seperti yang dikutip oleh Ranjan dan Dhaf
(2003), tingkat risiko yang tinggi dari aset pinjaman terletak pada
kebijakan pemberian kredit, yang berawal dari penilaian yang tidak
hati-hati terhadap prospek sektor ekonomi dimana calon debitor
beroperasi atau berusaha. Selain itu, secara empirik tidak dapat
dibuktikan bahwa resesi ekonomi saja dapat menimbulkan NPL, kecuali
kebijakan pemberian kredit yang dimaksud. Hubungan bank dengan debitor
akan menjadi efektif, bukan karena berhasil mengatasi asymmetric information semata, tetapi lebih banyak disebabkan karena penerapan canons of lending yang lemah.
3.1.7. Penekanan pada Kualitas Institusi Perbankan.
Breuer (2006) menekankan pentingnya kualitas institusi perbankan, karena adanya peran ganda, self interest dan moral hazard dari para pejabatnya, sehingga menimbulkan NPL. Breuer menyimpulkan bahwa praktik risk management, pengenaan sanksi terhadap pelanggaran internal dan diversifikasi aset berkorelasi secara negatif terhadap NPL.
3.1.8. Masalah Kepemimpinan
Alon dan Kellerman (1999). Krisis ekonomi adalah
fungsi dari faktor ekonomi dan non-ekonomi. Salah satu dari dua penyebab
NPL yang sudah ada sebelum krisis adalah : faktor-faktor sosial
kultural, seperti collectivism, authoritarianism dan power distance. Faktor ini mempengaruhi
kepemimpinan, dan khususnya pengambilan keputusan pemberian kredit,
yang berakibat pada terciptanya NPL yang besar, dan meruntuhkan industri
perbankan.
3.1.9. The People, The Policy, and The Practice.
Gamble (2003) berkesimpulan bahwa penyebab NPL terutama di Asia Tenggara dan China adalah bertumpu pada 3 pokok, yaitu: orangnya (the people), kebijakannya (the policy) dan praktiknya (the practice). Mengenai yang pertama, Gamble mengaitkan dengan konsep ‘relationship lending’,
dimana pinjaman diberikan kepada pihak yang disukai oleh pejabat
pemerintah, pemilik atau manajemen bank sendiri atau kroninya, kelompok keiretsu (Jepang), dan berdasarkan quanxi (China) atau ditentukan oleh Partai Komunis. Sebagai pokok kedua, pemberian kredit diberikan karena kebijakan, atau policy lending, atau yang di arahkan oleh pemerintah atau pemilik bank, dan tidak berdasarkan analisis risiko kredit, good corporate governance, prudent operations, dan transparency.
Dari segi praktik, perolehan keuntungan tidak dipertimbangkan, pinjaman
tidak selalu didokumentasikan, kolateral tidak diminta, pengikatan
jaminan secara hukum tidak dilakukan.
3.1.10. Penyebab Pembiayaan Bermasalah (NPF).
Berikut ini adalah ringkasan penyebab NPF yang dapat dikumpulkan.
Pinjaman Pada Pihak Terkait (Moral Hazard)/Bank Islam Malaysia (BIM) Berhad. Menurut Setiawan (2009), NPF itu disebabkan adanya penyelewengan atau fraud, yang bertitik tolak pada masalah principal-agent.
Pengawasan Internal Bank Lemah dan Penyimpangan pada Pemberian Kredit/Dubai Islamic Bank (DIB). Menurut Warde (2000, 155), kejadian tersebut menunjukkan lemahnya pengawasan internal.
Adverse Selection dan Moral Hazard/Bank Islam Sudan. Menurut
Ibrahim (2006), NPF ini disebabkan karena kinerja perkreditan yang
buruk, dan nasabah besar melakukan wanprestasi; diduga karena adverse selection, akibat dari penilaian pembiayaan yang buruk, tanpa diversifikasi risiko yang layak.
Credit Culture dan Corporate (Governance) Culture Lemah/Bangladesh. Menurut Sarker (1998), dalam banyak kasus, bank tersebut tidak mampu untuk melakukan pengawasan pembiayaan, sehingga terjadi sidestreaming.
Turki, Mesir dan Afrika Selatan. Menurut Askari, et al (2010 : 198), kegagalan sejumlah bank syariah di negara ini adalah disebabkan karena manajemen yang buruk, kealpaan atau negligence, perilaku buruk, dan misrepresentasi.
Kemampuan dan Keahlian Perkereditan (Pembiayaan) Lemah serta Moral Hazard/Sukuk, Nakheel, Dubai World. Disimpulkan karena penilaian awal arus kas proyek yang kurang baik. Selain itu, berkemungkinan terjadi moral hazard,
karena menganggap Pemerintah Arab Emirat dapat membantu Nakheel/Dubai
World, jika debitor mengalami kesulitan keuangan. Namun, sebagai
pemilik, Pemerintah Emirat Dubai menyatakan tidak bertanggungjawab
terhadap masalah yang dihadapi debitor (Media Indonesia, 2/12/09).
Pengetahuan dan Keahlian Perkreditan (Pembiataan), Prinsip Kehati-hatian, Intervensi Pemilik (Moral Hazard), dan Manajemen Internal Lemah/Ihlas Finans, Turki. Menurut Ali
(2006 dan 2007), perbankan di Turki umumnya, memiliki akumulasi NPL
yang besar, disebabkan karena: adanya pengaruh politik dalam pengambilan
keputusan kredit, pemberian kredit kepada pihak terkait, korupsi, dan
ekspansi kredit yang berlebihan. Khususnya pada Ihlas, masalahnya
berkaitan dengan corporate culture, dimana keputusan cenderung disentralisir pada pemilik saham pengendali, tanpa melibatkan direksi. Selain itu, senior executive berasal dari bank yang gagal, dan staf Ihlas kurang berpengalaman tanpa pelatihan yang memadai.
3.1.11. Faktor-Faktor Mikro Lainnya.
Berikut ini adalah ringkasan para ahli dan pengamat NPL mengenai penyebab NPL di Indonesia:
- Supramono (2009 : 83-85) melihat kredit bermasalah sebagai akibat dari masalah dalam manajemen internal bank.
- Susidarto (1997) berpendapat bahwa masalah NPL merupakan akibat kurang bekerjanya proses pendistribusian kredit secara benar, dan tidak mengindahkan aturan internal bank yang berlaku, serta merupakan penyimpangan baik yang disengaja maupun tidak.
- Fuady (2004 : 78) mengatakan bahwa masalah NPL adalah karena sikap kurang hati-hati atau berbau kolutif, dimana lebih dari 90% kejahatan bank dilakukan atas kerja sama dengan orang dalam.
- Kredit diberikan berdasarkan instruksi dari atas atau surat sakti atau katabelece (kredit komando), dan dipandang sebagai akibat suatu persekongkolan.
- Muhammad (2005) berpendapat bahwa sejak semula kredit diberikan, karena adanya kongkalikong antara bank sebagai kreditor dengan debitor, atau ditukangi sehingga menjadi macet.
- Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit atau rekayasa kredit merupakan hal yang bersifat sistemik, karena dilakukan dengan canggih, dimana orang awam sulit untuk mengetahui adanya penyimpangan. (Penyaluran Kredit, Antara Seni dan Peluang Permainan. Kompas, 12 Oktober 2005).
- Menurut Kurniantoro (2005), proses pemberian kredit terpengaruh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit.
- Himawan (2006 : 77) berpendapat untuk mengetahui penyebab utama suatu kredit macet, perlu diketahui terlebih dahulu apakah pemberian kredit dilakukan atas pertimbangan hukum atau non-hukum. Namun, dia berpendapat, bahwa pertimbangan non-hukum harus dibarengi dengan agunan yang cukup.
- Menurut Siahaan (2005 : 159), kejahatan perkreditan umumnya dilakukan oleh orang-orang yang sudah mengerti tentang seluk-beluk perbankan dan operasinya, termasuk dalam kejahatan ini adalah kredit fiktif.
- Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia, menyatakan bahwa “tidak ada masalah kalau dalam menyalurkan kredit, bankir memperhatikan prosedur operasional yang disepakati, melakukan penilaian secara profesional, tidak melanggar kebijakan Bank Indonesia dan kebijakan publik, serta aturan internal bank” (InfoBankNews.com. 5 Juni 2005 : 5).
- Sutojo (2008 : 18-21) berpendapat terdapat sejumlah penyebab yang berasal dari internal bank yang dapat membuat timbulnya NPL, seperti: rendahnya kemampuan atau ketajaman bank melakukan analisis kelayakan kredit, dan lain sebagainya.
- Menurut Wijaya (2005, 2010), penyimpangan yang menimbulkan NPL dari segi hukum dapat merupakan error omission atau error commission.
- Menurut Siahaan (2005), kredit macet, yang disebabkan adanya kongkalingkong atau persekongkolan, self dealing, atau yang berbau kolutif, dan terpengaruh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit, dapat mengakibatkan pada penilaian yang tidak jujur, tidak objektif, tidak cermat, dan tidak seksama, dan merupakan hasil kolusi antara pihak kreditor dengan debitor.
- Majalah “Info Bank” seperti yang dikutip oleh Ali (1999 : 80; 1999 : 87), Dhanuskodi (2006), Sathye, et al (2003: 390), dan Ali (2007), mengungkapkan suatu daftar penyebab kenapa krisis perbankan terjadi, yang pada intinya karena kualitas aset pinjaman yang buruk atau NPL. NPL ini timbul karena sejumlah masalah yang berkaitan dengan proses pemberian kredit/pinjaman, dan dapat dikelompokan sebagai berikut: kebijakan yang tidak tepat, proses yang tidak sehat, dan fungsi pengawasan bank yang lemah, masalah moralitas, lemahnya monitoring terhadap debitor, dan lemahnya pengetahuan atau keahlian personel bank.
Seluruh penyebab NPL pada tataran ekonomi mikro di muka dapat dikelompokan ke dalam faktor penyebab berikut:
3.1.11.1. Penerapan Pengetahuan dan Keahlian Perkreditan.
Kurangnya pengalaman dan keahlian dalam menyeleksi calon debitor,
memonitor kinerja debitor, dan prosedur dan administrasi perkreditan
serta pengawasan internal yang buruk akan menyebabkan timbulnya NPL
(Brownbridge, 1998; Sharma, 2004) dan kemudian kegagalan bank (Ascraft,
2005; Peterson dan Wadman, 2004).
3.1.11.2. Profesionalisme dan Integritas.
Krisis yang terjadi di Asia termasuk Indonedia tahun 1997/1998, pada
intinya, disebabkan karena kadar integritas dan profesionalisme yang
telah luntur, sehingga mengabaikan sikap dan tindakan prudential
yang diperlukan (Haggard dan McIntyre, 1999; Mishkin, 1998; Vale, 2004;
Mattson, 1993). Pemberian kredit melalui cara-cara yang tidak sehat
merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip profesionalisme.
Tetapi, jika pemberian kredit itu dilakukan demi kepentingan pihak
tertentu, maka merupakan gangguan yang serius terhadap etika dan
integritas, dan dapat berakibat pada pelanggaran hukum atau ketentuan
yang berlaku.
3.1.11.3. Tingkat Spiritualitas
Pengalaman NPL di beberapa negara menunjukkan bahwa terjadinya NPL
juga disebabkan karena adanya penyelewengan internal yang dibiarkan atau
disengaja di dalam bank. Menurut Ghani (2005 : 31), penyelewengan
tersebut terjadi karena manajemen yang tidak amanah; sedangkan menurut
Harish (2003), karena tindakan yang tidak bertanggungjawab dari para
eksekutif. Menurut Ghani (2005 : 32), orang perlu meningkatkan kesadaran
akan tanggungjawabnya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu yang bersifat
rohani atau transcendental. Dalam konteks agama, terutama agama Islam, satu-satunya pemilik kepentingan atau stakeholder, bahkan shareholder (Ghani, 2005, 32 : 45) yang paling tinggi adalah Tuhan Yang Maha Esa; karena Tuhan merupakan pemilik mutlak dari apa yang ada di dunia (QS. 10 : 55).
3.1.11.4. Moral Leadership
Streeter (1993) mengatakan bahwa unsur kepemimpinan merupakan faktor
yang sangat penting, ia yang akan dapat membawa bank dari suatu keadaan
ke keadaan lain, sekaligus merupakan role model bagi para
manajer senior dalam jalur etika.. Menurut Husain (2005), kultur yang
diperlukan bank dapat dipupuk, jika pimpinan bertindak sebagai role model, mengawal arah perjalanan bank (walks the talk), tidak bersikap standar ganda (double standards)
dalam tindakannya, dan menangani seluruh pegawai secara adil tanpa ada
yang dianak emaskan. Melihat besarnya tanggungjawab direksi bank yang
dipimpin oleh seorang presiden direktur, dimana pemimpin harus merupakan
penggerak utama ke arah kebaikan, maka bank memerlukan kepemimpinan
yang bermoral.
3.1.11.5. Corporate Culture
Penelitian Denison dan Mishra (1995), dan Carretta, et al (2008) menunjukkan adanya hubungan corporate culture
dengan efektivitas atau keuntungan atau nilai pemegang saham yang
tinggi. Efektivitas yang tinggi menunjukkan tingkat NPL yang rendah.
Menurut Sharma (2005), NPL memiliki efek yang berbahaya bagi keuntungan
secara signifikan dalam persamaan, yang merupakan perbedaan antara spread bunga dan beban biaya.
3.1.11.6. Hard Budget Constraint/Policy.
Hard Budget Constraint, sebagai salah satu
penyebab NPL, baru pertama kali di kemukakan dalam Disertasi ini.
Pengertian istilah, yang awalnya diungkapkan oleh Kornai (2000), disini
dikembangkan dalam aplikasi perkreditan, dan dikaitkan dengan masalah
NPL, perkreditan, dan konsep forebearance policy.
Aplikasi Pada Perkreditan. Hard budget policy
dapat pula diartikan sebagai kekuatan penilaian suatu transaksi kredit
atas kemampuan transaksi itu dalam menghasilkan arus kas; dimana unsur
ini merupakan hal yang penting dalam intermediasi keuangan (Scholtens
dan Wensveen, 2001).
Hard Budget Constraint pada dasarnya adalah merupakan disiplin keuangan untuk menyeimbangkan antara pendapatan dan pengeluaran, dan mencatat kedua unsur ini berdasarkan perkiraan yang mendekati realita.
Dalam mengatasi masalah NPL yang besar di India, Narasimham Committee menyatakan bahwa awal permasalahannya terletak pada kurangnya norma prudential yang berkaitan dengan pengakuan pendapatan, klasifikasi pinjaman dan penyediaan cadangan piutang ragu-ragu (Mukherjee, 2003). Tindakan yang berbeda akan melahirkan forebearance policy, yang
pada dasarnya merupakan penundaan untuk mengakui adanya kerugian atau
kekurangan modal akibat NPL, dengan memberikan waktu bagi bank untuk
menutup kerugian tersebut dari pendapatan yang sedang berjalan dan
diharapkan lebih baik (Calomiris, et al, 2004); dan menutupi
masalah yang dihadapi dengan perolehan dana masyarakat dan memperbesar
neraca (Caprio dan Klingebiel,1996).
Hard budget policy akan mendorong sikap yang lebih prudent bagi pejabat perkreditan, dan pada akhirnya akan mempengaruhi tinggi rendahnya NPL pada bank tersebut.
3.1.11.7. Reward & Penalty System.
Pentingnya Reward and Penalty System.
Menurut Adam Smith (1723-1790), apapun yang tampaknya dapat menjadi
objek sebagai dasar untuk berterima kasih, maka merupakan hal yang wajar
untuk memperoleh hadiah atau reward. Apapun yang tampaknya
dapat menjadi objek yang wajar untuk menimbulkan rasa kebencian, maka
merupakan hal yang wajar untuk menerima hukuman atau punishment (Smith, 2000 : 94). Pemberian reward dan pengenaan hukuman atau punishment
itu harus dilakukan dengan segera. Penegakkan hukum yang tegas
dirasakan perlu, karena dari waktu ke waktu selalu terjadi penyimpangan
dalam perbankan, dan sudah menjadi hal yang umum. Sebagai contoh,
pengabaian prinsip-prinsip kehati-hatian, umumnya, cenderung bersifat
disengaja.
3.1.11.8. Credit Culture.
Menurut Ahmed (2006), credit culture atau kebijakan
pemberian pinjaman yang tidak tepat merupakan pendorong utama timbulnya
NPL. Dalam kasus di Indonesia, bank-bank pemerintah seperti Bank Bumi
Daya, Bank Dagang Negara, dan Bappindo sebelum krisis 1997/1998 telah
mengandung tingkat NPL yang tinggi, dan disebabkan terutama karena credit culture yang lemah.
3.1.11.9. Pengecekan Reputasi
Reputasi merupakan unsur yang efektif untuk meyakini bahwa debitor
akan memenuhi kewajiban kontraktualnya dengan bank (Koford dan Tschoegl,
1997). McGoven (1993), yang juga dikutip oleh Ranjan dan Dhaf (2003),
berpendapat bahwa masalah karakter merupakan faktor yang sangat penting
dan determinan yang sangat menentukan dalam keputusan pemberian kredit.
Oleh karena itu, menurut mereka, reputasi merupakan salah satu faktor
dari mekanisme dorongan untuk membayar, selain kolateral dan sanksi
hukum.
3.1.11.10. Due Diligence dan Due Care.
Dalam lingkungan operasional bank yang kurang baik, analisis kredit perlu ditingkatkan menjadi due diligence yang dimaksud oleh Colquitt (Colquitt, 2007 : 8), disertai dengan due care yang lebih aktif. Pada intinya, due diligence berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk meneliti atau melakukan investigasi secara mendalam dan luas
mengenai suatu bisnis atau perusahaan, serta menilainya, sebelum
melakukan suatu tindakan terhadap usaha atau bisnis atau perusahaan itu.
Due Care. Kegiatan due care disini didasarkan pada teori keagenan atau agency theory. Intinya adalah kegiatan monitoring
oleh prinsipal atau kreditor terhadap debitor atau agen dapat
memperbaiki kualitas kontrak atau perjanjian, dan masalah yang mungkin
timbul pada pinjaman/pembiayaan yang telah diberikan dapat diselesaikan
dengan lebih baik (Diamond, 1996).
3.1.11.11. Pengawasan Kredit
Menurut Socrates, kehidupan yang tidak pernah diperiksa atau
dipikirkan kembali, bukanlah kehidupan yang bernilai untuk dijalani
(Preston, 2007 : 7). Orang perlu untuk memiliki pengetahuan terhadap
diri dan refleksi dirinya sendiri, sehingga dapat melakukan penelaahan
dan introspeksi terhadap dirinya sebagai jalan menuju kehidupan yang
bernilai. Apa yang membuat hidup bernilai adalah merupakan hal yang sama
untuk dipertahankan, dan bernilai pula walaupun harus menghadapi
kematian. Dalam kasus Socrates ini, hal yang dimaksud bernilai itu
adalah bahwa dia tetap memegang teguh prinsip moral yang dianggapnya
baik di hadapan publik, walaupun dia harus menghadapi kematian dengan
keharusan meminum racun hemlock.
Kegiatan pemeriksaan atau pengawasan atau audit ini perlu dilakukan
secara reguler dalam rangka memastikan bahwa prinsip perkreditan yang
sehat benar-benar telah diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menekan NPL menjadi lebih rendah,
sehingga melanggengkan kehidupan bank.
3.1.12. Penggunaan Sejumlah Variabel Mikro Pada Penelitian Terdahulu
Djohanputro & Kountur (2007). Penelitian ini
pada dasarnya mirip dengan penelitian yang dilakukan untuk Disertasi
ini. Persamaannya terletak pada tujuan dari penelitian, yaitu untuk
mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi NPL, tetapi pada Bank
Perkreditan Rakyat (BPR); sedangkan penelitian ini dilakukan untuk
menentukan pengaruh faktor-faktor manajemen internal terhadap timbulnya
NPL/NPF, tetapi pada bank konvensional dan bank syariah.
3.1.13. Penerapan pada Chase Jakarta.
Sebagian besar variabel-variabel mikro yang berasal dari manajemen
internal tersebut di atas diterapkan di lingkungan Chase Manhattan Bank,
Jakarta. Penerapan itu telah memberikan kekuatan pada manajemen
internal bank secara menyeluruh pada kantor-kantor cabang di seluruh
dunia. Orientasi dari manajemen Chase berpusat pada peningkatan dan
mempertajam pengetahuan dan keahlian perkreditan (credit oriented), sedangkan Citibank lebih menekankan pada kegiatan pemasaran (marketing oriented) dengan konsep ”menjualnya”, seperti yang dikatakan oleh Viotti (2000).
Perbedaan kultur di atas disebabkan karena perbedaan filosofi dan
budaya yang dianut oleh pemilik kedua bank tersebut, dan hasil nyatanya
dapat dilihat dengan jelas dewasa ini. Ketika David Rockefeller
menikmati hasil penjualan banknya, John Reed, pemilik dan CEO Citibank,
di lain pihak, terus melakukan ekspansi dan memperbesar banknya. Pada
krisis 2008, baru-baru ini, Citibank, di bawah naungan Citigroup,
merupakan salah satu bank yang diselamatkan atau di bail out oleh pemerintahan Obama, karena terpuruk sebagai akibat dari pembiayaan subprime mortgage.
3.2. KERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS.
3.2.1. Kerangka Pemikiran
Penelitian untuk Disertasi ini adalah untuk menentukan pengaruh dari personnel qualification, institutional environment/qualification dan process and control environment
yang berkaitan dengan manajemen internal bank terhadap timbulnya
NPL/NPF. Model yang digunakan berdasarkan bagaimana manajemen internal
membuat keputusan pemberian pinjaman/pembiayaan yang baik, dan apa yang
mempengaruhi, serta bagaimana pelaksanaan dari keputusan itu dijalankan
sehingga dapat menekan timbulnya NPL/NPF. Untuk mendukung secara
teoretis, bagian ini mengkaji agency theory, moral hazard theory dan stakeholders theory,
beserta beberapa penelitian terdahulu. Dengan dipilihnya faktor-faktor
manajemen internal tersebut sebagai variabel bebas, hipotesa-hipotesa
penelitian diberikan beserta Diagram dari Kerangka Pemikiran di bawah
ini:
Gambar: Kerangka Proses Berpikir dengan Menggunakan Model Pendekatan Manajemen Internal.
Teori Terdahulu/
Studi Teoritik
|
Penelitian Terakhir/Studi Empirik
|
(Trontin dan Bejean, 2004, Eisenhardt, 1989; Jamison, 1998; Lago, 2002)
Moral Hazard Theory
(Mishkin, 1996; (Alon dan Kellerman, 1999; Cho, 2002; Berger dan DeYoung, 1997; Collyns dan Senhadji, 2002)
Stakeholders Theory
(Beaucham dan Bowie (2001)
Adverse Selection
Theory
(Stiglitz dan Weiss, 1981)
Bad Management Hypothesis
(Berger dan DeYoung, 1997)
Peneliti
|
Penyebab NPL/Pembahasan Kesimpulan Studi
|
Gamble, 2003 | The People, The Policy, dan The Practice. |
Djohanputro & Kountur, 2007. | Penyebab NPL: Sejumlah variabel mikro |
Masalah Kepemimpinan.Ahmed (2006)Overleverage Li (2003)Keahlian perkreditan dan Corporate CultureDean (1999)Relationship LendingScott ( 2003), dan sejumlah ahli lainnya
Masalah Manajemen Internal
3.2.1.1. Model Pendekatan Manajemen Internal.
Baik bank konvensional maupun bank syariah melakukan pekerjaan
utamanya melalui manajemen internal, yang menentukan keberhasilan atau
kegagalan bank. Dalam mengelola risiko, manajemen internal menentukan
arah dan perjalanan pemberian pinjaman/pembiayaan, dan dimanifestasikan
ke dalam keputusan yang diambil, melalui bagaimana keputusan itu dibuat
serta pengawasan terhadap pelaksanaannya.
3.2.1.2. Bank sebagai Badan Hukum.
Bank atau korporasi merupakan sekumpulan orang yang mengorganisir
dirinya untuk bekerja bersama-sama dalam mencapai tujuan yang sama.
Organisasi ini disebut sebagai recht person, atau badan hukum dalam bahasa Indonesia, karena dianggap sebagai orang layaknya atau naturlijk person.
Anggapan ini diberikan oleh hukum, dan oleh karenanya menjadi ciptaan
hukum. Karena ditetapkan oleh hukum, organisasi atau badan hukum itu
memiliki hak dan kewajiban dalam melakukan kehidupannya. Hak itu adalah
untuk menjaga atau menjalankan kepentingan atau tujuan yang telah
didefinisikan secara jelas (Hegel, 1996 : 236); atau hak untuk
menjalankan operasi usaha seperti yang diijinkan oleh undang-undang, dan
hak membeli dan memiliki kekayaan atau aset. Kepemilikan korporasi atau
bank atas harta atau aset dan juga utang, terpisah dari kepemilikan
yang dipunyai oleh pemegang saham. Kewajibannya adalah harus mematuhi
ketentuan dan undang-undang yang berlaku yang datang dari lingkungan
dimana badan hukum itu berusaha, termasuk ketentuan yang tidak tertulis
yang mencakup masalah etika atau moralitas. Tujuan korporasi atau bank
sebagai organisasi pada akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pada umumnya (Hegel, 1996 : 236).
3.2.1.3. Organ Badan Hukum.
Organ bagi badan hukum adalah seperangkat pengurus, yaitu dewan
komisaris dan direksi yang dibantu oleh para staf dan pegawai. Kesatuan
dari para pengurus dan para staf senior membentuk apa yang disebut
’manajemen internal’ dari badan hukum atau bank itu. Dalam operasinya,
bank dipimpin oleh seorang presiden direktur sebagai pimpinan pelaksana
puncak. Manajemen internal ini dapat diartikan sebagai suatu mekanisme
yang menjamin bahwa segala sesuatunya dilakukan secara benar
(Lukviarman, 2004) dalam rangka mengelola sumber daya.
3.2.1.4. Jiwa Badan Hukum.
Jackson dan Nelson (2004 : 301, 303, 304) berpendapat bahwa jiwa itu
terletak pada atau berupa tujuan dari badan hukum; sedangkan keuntungan
hanya merupakan alat, namun itu bukan tujuan akhir. Tujuan ini tidak
akan dapat direalisir, jika organ-organ dari badan hukum itu tidak
melakukan pengambilan keputusan. Keputusan perlu diambil dari waktu ke
waktu untuk menjalankan roda manajemen, sehingga tujuan dapat dicapai
dan dipertahankan. Oleh karena itu, akan lebih tepat jika dikatakan
bahwa jiwa dari badan hukum itu terrefleksi pada pengambilan keputusan
sehubungan dengan aktivitas utamanya, sekaligus sebagai antisipasi
terhadap segala kemungkinan yang timbul dari setiap perubahan yang
dapat terjadi pada lingkungan usahanya. Pound (1995) juga berpendapat
bahwa inti dari good corporate governance sesungguhnya terletak
pada bagaimana memperoleh keyakinan agar keputusan yang diambil
merupakan keputusan yang terbaik dan efektif. Keputusan yang diambil
juga menentukan moralitas dari institusinya.
Agar bank bertindak sebagai agen yang bermoral, organisasi itu harus
memiliki proses pengambilan keputusan yang bermoral (Monks dan Minow,
2004 : 17), dan berintegritas (De George, 1999 : 213). Dalam perspektif
moralitas Kant (Bowie, 1998 : 90), pengambilan keputusan harus
memperhatikan kepentingan dari seluruh stakeholders yang dapat terimbas oleh keputusan yang diambil.
3.2.1.5. Kehidupan yang Bermanfaat.
Bank merupakan anggota masyarakat yang bersifat sebagai institusi,
dan keberadaannya bersandar pada masyarakat, karena masyarakat percaya
bahwa keberadaannya membawa manfaat bagi kepentingan mereka. Kehidupan
yang lebih panjang hanya dapat dicapai, apabila seperangkat manajemennya
dapat memberikan manfaat pada masyarakat dari waktu ke waktu. Selain
itu, kehidupan yang layak adalah memenuhi ketentuan yang berlaku, baik
secara tertulis maupun tidak tertulis, dan dilakukan dengan penuh
kewajaran, atau tidak berlebihan. Dalam perspektif Aristotle, jika
penekanan pada pencapaian keuntungan dilakukan secara berlebihan, maka
kemungkinan keuntungan itu tidak dapat diperoleh sama sekali (Bowie,
1998, 132).
3.2.1.6. Hidup Atas Kemampuan.
Yunani Kuno mengenal konsep eudaimonia, yang berarti ”kehidupan yang terpenuhi”, yang tidak hanya berarti ’kebahagiaan’. Menurut Norton (1991 : 3), eudaimonia,
sebagai tujuan dari kehidupan, tidak saja berarti perasaan, tetapi juga
suatu kondisi, yang menunjukkan kehidupan berdasarkan kebenaran pada
diri sendiri, atau daimons dari Socrates yang menjadi penuntun dalam menjalankan kehidupan (Norton, 1991 : 83), atau kemampuan tertinggi atau arete yang
ada secara ideal pada diri, menemukan diri dimana pengetahuan akan diri
sendiri dimulai, kemudian mengaktulisasikan atau merealisasikan
kemampuan itu. Bagi Aristotle, kebahagiaan adalah hasil yang dicapai
dari usaha dalam merealisasikan kemampuan itu (Bowie, 1998 : 132).
Menurut Norton (1991 : 165), eudomonist atau manager kontemporer dari eudaimonia
memiliki persyaratan yang sesuai dengan pendapat Plato, yaitu bahwa
untuk menjadi manajer yang baik memerlukan pengetahuan mengenai
hal-ikhwal atau ’the good’ yang menyeluruh dari
organisasi yang dikelolanya; dan memerlukan manajer mengindentifikasi
’hal ikhwal’ diri sendiri sebagai ’hal ikhwal’ dari keseluruhan. Norton
menjelaskan, bahwa menyatukan ‘hal ikhwal’ organisasi dengan ‘hal
ikhwal’ individu membentuk kebajikan atau virtue dari
objektivitas dari nilai-nilai yang akan dicapai oleh organisasi.
Organisasi yang efektif adalah dimana setiap anggotanya dapat membedakan
mana manajemen yang baik dan mana yang buruk, dan setiap anggota
memiliki komitmen yang penuh terhadap nilai-nilai yang akan dicapai.
3.2.1.7. Studi Teoritik : Teori Terdahulu.
Agency Theory
Dalam teori keagenan, terdapat dua pihak yang berbeda, yang pertama
majikan, dan kedua, agen. Teori ini mendekati masalah dengan menganalisa
hubungan dan interaksi antara dua individu ketika kewenangan, tindakan,
kegiatan dari majikan didelegasikan kepada agen karena kompetensinya
yang spesifik (Trontin dan Bejean, 2004). Dalam konteks perbankan, Lago
(2002) mengatakan bahwa bank berfungsi atas dasar kaitan antara principal-agent yang kompleks diantara para stakeholders,
termasuk dalam hubungan kreditor dan debitor. Namun, hubungan ini
cenderung menimbulkan benturan kepentingan, karena adanya perbedaan
dalam kepemilikan informasi, agen memiliki dorongan atau insentif yang
berbeda (Mishkin, 1996), dan bertindak demi kepentingan pribadinya,
bukan demi kepentingan majikannya (Eisenhardt, 1989), serta sikap yang
berbeda terhadap risiko (Eisenhardt, 1989; Jamison, 1998).
Menurut pandangan positivis dari teori keagenan, benturan kepentingan juga dapat ditekan melalui mekanisme tata kelola atau governance
yang baik, terutama dalam membuat pembatas bagi sikap oportunis dari
agen (Eseinhardt, 1989). Cheng (2000) berpendapat, bahwa majikan dapat
memotivasi atau mengawasi tindak tanduk agen. Dalam hal yang terakhir
ini, Lago (2002) berpendapat, penegakkan hukum dapat mendorong agen
untuk berusaha mencapai objektif bagi dirinya paling tidak sebanyak yang
diharapkan oleh atasan atau majikannya.
Organisasi bank memerlukan suatu sistem yang dapat meciptakan governance
yang dimaksud, dengan berpokok kepada pengambilan keputusan kredit yang
baik. Bank perlu mempertahankan hidupnya, dengan menyeimbangkan antara
pendapatan dengan risiko. Pengambilan keputusan yang tepat bagi bank
dibentuk oleh tiga pilar, yang terdiri dari kualifikasi orangnya,
kebijakan institusinya, dan proses yang spesifik yang harus dilakukan
dalam melaksanakan keputusan yang dimaksud.
Menurut Trontin dan Bejean (2004), majikan mendelegasikan suatu
pekerjaan atau kewenangan kepada agen karena kompetensinya yang
spesifik, maka agen harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang
diperlukannya dalam melakukan pekerjaan tersebut.
Selain itu, karena lingkungan pemberian pinjaman/pembiayaan sangat rawan terhadap timbulnya moral hazard,
maka tidak saja memerlukan unsur profesionalisme dan integritas, tetapi
juga diperlukan unsur spriritualitas yang memadai. Hal ini yang
ditekankan pada pilar pertama, yaitu kualifikasi orangnya.
Mengacu pada pendapat Eseinhardt (1989) mengenai pentingnya governance,
faktor yang paling menentukan akan tegaknya setiap aturan main adalah
adanya peran aktif dari pimpinan tertinggi. Bagi lingkungan pemberian
pinjaman/pembiayaan, yang berhadapan dengan banyak risiko dan kerawanan,
maka yang diperlukan adalah kepemimpinan yang bermoral. Kepemimpinan
ini juga berfungsi untuk menciptakan corporate culture yang diperlukan, termasuk masalah disiplin keuangan.
Governance di atas meliputi nilai-nilai dalam credit culture
yang harus diikuti oleh pejabat terkait. Hal ini merupakan kebijakan
dalam pilar ketiga, yang dapat mempengaruhi proses pengambilan dan
pelaksanaan keputusan. Disamping itu, bagaimana pekerjaan dilakukan
harus pula ditentukan dengan pasti, sehingga merupakan kontrak (sosial)
seperti yang dimaksud oleh Lago (2002), dan harus diikuti ketika
memproses pengambilan keputusan pemberian pinjaman/pembiayaan, termasuk
pelaksanaan dan pengawasannya. Proses yang paling penting adalah
pengecekan reputasi calon debitor, due diligence dan due care,
pengawasan pemberian pinjaman/pembiayaan atau audit kredit secara
reguler dan konsisten. Hasil audit yang menemukan adanya penyimpangan,
perlu ditindak lanjuti. Untuk itu, menurut Cheng (2000), kompensasi atau reward, atau insentif berupa hukuman atau sanksi yang tepat, atau penegakan hukum yang dimaksud oleh Lago (2002) juga diperlukan.
Moral Hazard Theory.
Sebagai teori, moral hazard atau tindakan yang tersembunyi
merupakan suatu situasi pasar dimana salah satu pihak dari suatu
transaksi merubah tingkah lakunya, dengan cara menyembunyikannya dari
dan menimbulkan beban biaya bagi pihak yang lain dalam transaksi yang
sama (Alon dan Kellerman, 1999 : 4). Pontell (2003) mengatakan, moral hazard adalah
dimana terdapat insentif ekonomi yang buruk untuk suatu tingkah laku,
dimana salah satu pihak memperoleh keuntungan tanpa atau sedikit risiko
pribadi (Berger dan DeYoung, 1997; Collyns dan Senhadji, 2002).
Internal Bank. Kejadian munculnya moral hazard
di lingkungan internal bank adalah merupakan yurisdiksi pimpinan
tertinggi. Presiden direktur harus dapat mengontrol keadaan tersebut,
dengan menghindari pengambilan risiko yang berlebihan, dan hanya
menyetujui permohonan kredit/pijaman yang telah diseleksi dengan
seksama. Untuk itu, corporate dan credit culture yang tepat dan sehat harus diciptakan, sehingga prinsip kehati-hatian dapat diterapkan dengan konsisten.
Debitor Vs Kreditor. Untuk mengatasi moral hazard
yang mungkin terjadi pada tingkat calon debitor/debitor, bank harus
melakukan langkah-langkah prinsip kehati-hatian semenjak awal suatu
permohonan dari kredit/pembiayaan akan diproses, dan memenuhi serta
manjalankan seluruh unsur dari ketiga pilar yang dimaksud di atas.
The Stakeholder Theory.
Korporasi atau bank memiliki sejumlah stakeholders. Beaucham dan Bowie (2001 : 66) mendefinisikan stakehoders
ini sebagai individu atau kelompok individu yang dapat mempengaruhi
atau dipengaruhi oleh pencapaian objektif dari organisasi tersebut. Bagi
bank, stakeholder yang paling penting adalah para deposan,
atau masyarakat pemilik dana yang disimpan dan digunakan bank untuk
menjalankan usaha. Prinsip kehati-hatian dan diversikasi risiko yang
harus diterapkan bank, pada dasarnya, adalah untuk melindungi
kepentingan dan keamanan dana mereka.
Manajemen bank, terutama pimpinan puncaknya, memiliki tugas untuk
menjaga tingkat kesehatan bank yang dikelolanya. Manajemen harus pula
memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders yang terkait.
Secara etika, manajemen harus menyeimbangkan seluruh kepentingan mereka,
tanpa ada yang didahulukan kepentingannya, terutama ketika mengambil
setiap keputusan. Namun, bagi bank, inti permasalahan adalah bagaimana
mengambil keputusan kredit/pembiayaan yang baik. Dengan keputusan yang
tepat, kemungkinan timbulnya NPL/NPF akan lebih kecil, sehingga
kepentingan stakeholder yang paling vital akan terlindungi, demikian pula kepentingan stakeholder lainnya.
Adverse Selection Theory (Stiglitz dan Weiss, 1981).
Dasar teori “salah pilih” ini terletak pada 2 asumsi, yaitu: bahwa
kreditor tidak dapat membedakan debitor dengan berbagai tingkat risiko
yang berbeda; dan perjanjian pinjaman hanya mencakup tanggungjawab yang
terbatas; misalnya, hasil dari suatu proyek kurang dari kewajiban utang
yang harus dibayar, debitor tidak bertanggungjawab terhadap biaya-biaya
di luar yang diperhitungkan.
Agar tidak terjadi salah pilih, bank harus meneliti kemampuan dan
kemauan calon debitor untuk membayar kembali pinjamannya, atau untuk
menghasilkan keuntungan. Untuk itu, bank sebagai suatu institusi harus
memiliki seperangkat atribut atau perlengkapan yang diperlukan dalam
mengambil keputusan, pelaksanaan dan pengawasan pemberian
pinjaman/pembiayaan. Disini, diperlukan kualifikasi orangnya, kebijakan
yang harus diikuti dan proses yang harus dilakukan termasuk
pangawasannya.
Manajemen Bank yang Buruk atau Bad Management Hypothesis (Berger dan DeYoung, 1997).
Hipotesa ini menggunakan variabel ‘manajemen yang buruk’, yang
artinya manajemen itu tidak melakukan analisis, memonitor dan mengawasi
pinjaman secara memadai, sehingga menghasilkan efisiensi yang rendah
sebagai indikasi dari kinerja manajemen yang buruk. Sebagai manajer yang
tidak baik, mereka tidak memiliki keahlian dalam menyeleksi calon
debitor, tidak kompeten dalam menilai kolateral, dan tidak cukup
mengalokasikan sumber daya untuk pengawasan atau monitoring
pinjaman setelah diberikan. Tingkah laku pemberian kredit/ pinjaman
seperti ini membuat efisiensi biaya terukur menjadi rendah, karena
timbulnya NPL yang lebih besar.
Dua faktor utama dalam hipotesa ini, kompentensi dan jumlah SDM yang
cukup, perlu dijabarkan lebih lanjut. Untuk mencapai efisiensi dalam
melakukan perkerjaan utama bank, terdapat sejumlah faktor lain, yaitu
yang berkaitan dengan: Orangnya (the people), kebijakannya (the policy) dan prosesnya (the proces):
3.2.1.8. Penelitian Terakhir dengan Pendekatan Mikro: Studi Empirik.
Breuer (2006) menyimpulkan bahwa untuk menekan NPL diperlukan kualitas yang baik dari institusi perbankan, sehingga dapat menekan timbulnya moral hazard. Untuk itu, diperlukan penegakan hukum dan pengenaan sanksi terhadap manajemen dan direksi bank. Namun, menurut Cadbury Commitee, yang diperlukan adalah kualitas individunya seperti kejujuran (Drennan, 2004), yang berfungsi sebagai soft control, dan bahkan sebagai built in control. Dalam Disertasi ini, soft control dapat dicapai melalui moral leadership dari pimpinan tertinggi bank, karena dia akan menjadi role model bagi bawahannya untuk mencapai objektif yang dimaksud oleh Breuer di atas. Built in control dapat
diperkuat dengan melakukan audit kredit secara reguler, dalam rangka
memastikan apa yang dikerjakan sebelumnya telah sesuai dengan standar
perkreditan yang ditetapkan, dan juga merupakan alat untuk mencegah
timbulnya penyimpangan dalam pemberian kredit.
Seperti halnya Breuer, Soral (2006) dan Komatsu (2007) menekankan masalah moral hazard dalam pemberian pinjaman, dan berpendapat bahwa untuk menekannya diperlukan penegakan hukum yang tegas. Komatsu (2007) mengatakan bahwa berakumulasinya NPL sebelum krisis terjadi adalah disebabkan karena adanya forebearance policy dari regulator. Artinya suatu pengabaian disiplin keuangan, yang bertentangan dengan hard budget policy.
NPL, jika tidak diselesaikan, akan membawa beban biaya yang mengurangi
pendapatan bank, dan dalam jangka panjang, akan mempengaruhi tingkat
kesehatan bank.
Alon dan Kellerman (1999) mengungkapkan masalah NPL
yang ditimbulkan karena masalah kultural, seperti mempertahankan harmoni
dan kolektifitas serta hirarki dan status, atau kebiasaan mengambil
utang yang besar, dan sifat kepemimpinan yang otoriter, khususnya di
masyarakat Asia Timur. Untuk mengatasinya, diperlukan
unsur-unsur seperti keahlian dan pengalaman perkreditan, profesionalisme
dan integritas, dan bahkan unsur spiritualisme.
Menurut Ahmed (2006), pemberian pinjaman kepada calon debitor yang telah memiliki utang yang besar atau overleverage harus dihindari, dengan menerapkan credit culture yang tepat. Li (2003) telah membuktikan adanya hubungan antara corporate culture dengan NPL.
Dean (1999) mengatakan bahwa pemberian kredit dapat
dipengaruhi oleh semangat kolektivisme, sehingga keputusan kredit
menjadi tidak sehat karena bersandar pada faktor hubungan semata atau relationship lending murni. Keputusan pemberian pinjaman yang sehat harus didasarkan pada pertimbangan yang profesional dibarengi integritas yang tinggi.
3.2.2. Pengembangan Hipotesis
Seluruh faktor penyebab NPL, yang dikemukakan, pada umumnya bemuara
pada majemen internal bank; secara khusus, berkaitan dengan proses dan
pengambilan keputusan kredit, serta pengawasan terhadap proses dan
pelaksanaan hasil keputusan itu. Keseluruhan faktor tersebut merupakan
faktor mikro yang berkaitan erat dengan kebijakan, dan proses kerja,
serta dapat ditentukan oleh manajemen internal bank.
3.2.2.1. Faktor-Faktor Manajemen Internal: Penyebab NPL/NPF.
Faktor-faktor yang telah disebutkan sebagai penyebab NPL digunakan
sebagai variabel bebas untuk menjelaskan timbulnya NPL, dan dikelompokan
ke dalam tiga bagian, yaitu 2 kelompok subjek dan 1 kelompok proses dan
pengawasan yang diduga dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya NPL.
Pertama, di tingkat individu meliputi seluruh pejabat yang dimulai dari account officer, Komite Kredit dan Risk Management serta pemutus kredit, atau dalam pengelompokakan Gamble disebut orangnya (the people). Disini, yang diperlukan adalah kualifikasi untuk melakukan proses dan persetujuan serta pengawasan atau monitoring kredit/pembiayaan yang telah diberikan, atau disebut personnel qualification, yang meliputi: pengetahuan dan keahlian perkreditan/ pembiayaan, profesionalisme dan integritas,dan kadar spiritualisme.
Kedua, di tingkat
institusi adalah kebijakan dan/atau sikap dari institusi, yang dapat
mempengaruhi kegiatan dan pengambilan keputusan di tingkat individu,
atau disebut institutional environments; atau dalam pengelompokan Gamble disebut sebagai kebijakannya (the policy), dan terdiri dari: Moral leadership, Organizational/Corporate Culture, Hard budget policy, dan Reward and penalty system.
Ketiga, di tingkat proses dan pengawasan, dalam pengelompokan Gamble disebut sebagai praktiknya (the practice), yaitu:. credit culture, pengecekan reputasi, due diligence and care, dan pengawasan kredit Internal.
Berdasarkan uraian ini, maka variabel bebas yang dipilih dan diduga
dapat mempengaruhi timbulnya NPL/NPF sebagai variabel terikat dapat
digambarkan dalam skema sebagai model konseptual berikut:
Di Tingkat Individu: Personal Qualification
X1 1 = Credit knowledge and skills
X1 2 = Integritas dan profesionalisme
X1 3 = Kadar Spritualitas
Di Tingkat Institusi: Institutional Environment
X2 1 = Moral leadership
X2 2 = Organizational/Corporate Culture
X2 3 = Hard budget policy
X2 4 = Reward and penalty system
Di Tingkat Proses dan Pengawasan: Process & Control Environment
X3 1 = Credit culture
X3 2 = Pengecekan reputasi
X3 3 = Due diligence and Care
X3 4 = Pengawasan Kredit Internal
Gambar: Model Konseptual Penelitian
1. Ha 1 7. Ha 7 13. Ha 13 19. Ha 19 25. Ha 25 31. Ha 31
2. Ha 2 8. Ha 8 14. Ha 14 20. Ha 20 26. Ha 26 32. Ha 32
3. Ha 3 9. Ha 9 15. Ha 15 21. Ha 21 27. Ha 27 33. Ha 33
4. Ha 4 10. Ha 10 16. Ha 16 22. Ha 22 28. Ha 28 34. Ha 34
5. Ha 5 11. Ha 11 17. Ha 17 23. Ha 23 29. Ha 29 35. Ha 35
6. Ha 6 12. Ha 12 18. Ha 18 24. Ha 24 30. Ha 30 36. Ha 36
Dengan prinsip Ketauhidan atau TSR beserta IIE Process, atau ijtihad
dalam bentuk yang sederhana, secara teori penerapan faktor manajemen
internal tersebut seyogianya lebih baik pada bank syariah, jika
dibandingkan pada bank konvensional. Penerapan yang lebih baik ini akan
memberikan hasil yang lebih baik, atau tingkat NPF bank syariah lebih
rendah, dibandingkan dengan tingkat NPL bank konvensional.
Variabel-variabel tersebut dengan dasar teoritik, beserta ayat-ayat
dan/atau Hadist Nabi SAW yang mendukung, diberikan di bawah ini, diikuti
dengan contoh hipotesa penelitian.
3.2.2.2. Di Tingkat Individu: Personal Qualification
Kualifikasi yang harus dimiliki oleh pejabat dalam melakukan proses
pemberian persetujuan dan pelaksanaan pemberian pinjaman/pembiayaan
adalah sebagai berikut :
Variabel Pertama: Credit Knowledge and Skills (X1 1).
Tidak sedikit bank mengalami kegagalan, semata-mata karena standar
analisis kredit yang buruk (Ascraft, 2005). Menurut Coleshaw (1989 : 2),
penerapan keahlian atau pengetahuan perkreditan bersifat sentral
terhadap reputasi dan keuntungan bank, dan tentunya dapat mempengaruhi
tingkat NPL (Djohanputro dan Kountur, 2007).
Dalam perspektif Islam. Al-Qur’an
mengatakan agar manusia tidak mengikuti atau mengerjakan sesuatu yang
tidak diketahuinya (QS. 17 : 36). Menurut hadist Nabi Muhammad SAW yang
dikutip oleh H.R. Bukhari, jika suatu pekerjaan tetap dilakukan oleh
orang yang tidak memiliki pengetahuan dan keahlian tentang pekerjaan
itu, maka pekerjaan itu tidak akan selesai, bahkan akan menimbulkan
malapetaka atau kehancuran (Sofyan, 2006 : 97).
Variabel Kedua: Integritas dan Profesionalisme (X1 2).
Berkurangnya kadar integritas dan profesionalisme membuat para bankir mengabaikan sikap dan tindakan prudential
yang diperlukan, sehingga menimbulkan krisis di Asia termasuk Indonedia
tahun 1997/1998 (Haggard dan McIntyre, 1999; Mishkin, 1998; Vale, 2004;
Mattson, 1993).
Dalam Perspektif Islam. Nabi SAW bersabda bahwa
Allah sesungguhnya tidak memandang bentuk kamu, dan tidak pula kepada
kebangsawanan kamu, dan tidak pula pada harta kamu, melainkan Allah
memandang hati kamu dan perbuatan kamu; Allah menyukai orang yang
bekerja, apabila dia bekerja dengan baik; kalau kamu suka disukai oleh
Allah dan Rasulnya, maka penuhilah kewajiban kamu jika diberi
kepercayaan (Ghani, 2005 : 45-47). Hadist yang lain menyebutkan
(HR Baihaki), bahwa sesungguhnya Allah senang, jika salah seorang di
antara kamu mengerjakan suatu pekerjaan yang dilakukan secara
profesional (Muhammad, 2005 : 29).
Variabel Ketiga: Kadar Spiritualitas atau Keimanan dan Ketakwaan (X1 3).
Menurut Beekum (2004 : 39-40), untuk mengatasi masalah penyelewengan
di lingkungan perbankan, sebagai kelemahan dari sistem kapitalisme,
sistem homo islamicus yang dituntun oleh hukum atau petunjuk dari Allah SWT harus diterapkan agar orang bertindak secara etis.
Dalam Perspektif Islam. Dengan adanya keimanan
(Shaleh, 2005: 31; QS.57 :19) dan ketaqwaan (Azizy, 2004: 96-97), orang
akan cenderung bertingkah laku dengan menghasilkan kebajikan yang sesuai
dengan tanggung jawab dan melakukan pekerjaaan sebaiknya, dengan
memperhatikan kepentingan lingkungan yang ada, sekaligus menghindari
diri dari tingkah laku yang tidak baik, atau yang bertentangan dengan
petunjuk agama, hukum dan moralitas.
3.2.2.3. Pada Tingkat Institusi: Institutional Environment/Qualification
Pada intinya, kualitas portofolio bank ditentukan oleh kualitas pengambilan keputusan pemberian pinjaman/pembiayaan.
Pengambilan keputusan dapat dipengaruhi oleh kualitas kepemimpinan
dan berbagai kebijakan seperti kultur organisasi, disiplin keuangan atau hard budget policy dan reward and penalty system. Oleh karena itu, dirancang hipotesa dengan menggunakan variabel-variabel tersebut:
Variabel Keempat: Moral Leadership (X 2 1).
Streeter (1993) mengatakan bahwa unsur kepemimpinan merupakan faktor
yang sangat penting dalam perbankan, termasuk dalam hal etika (Barefoot,
2002). Bank perlu memiliki kepemimpinan yang bermoral, tidak saja untuk
mengatasi masalah moralitas dan etika yang mungkin ada pada dirinya,
tetapi lebih penting lagi untuk menjamin agar perjalanan kegiatan
pemberian kredit pada bank yang dipimpinnya tetap berada pada rel yang
benar.
Dalam Perspektif Islam. Dalam perekonomian Islam,
kegiatan ekonomi dengan unsur moralitas atau spiritualitas harus
berjalan seiring sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
seperti yang telah dicontohkan oleh kepemimpinan Nabi Muhammad SAW,
seperti yang dikemukakan oleh Amartya Sen (2007 : 89): kesejahteraan
ekonomi dapat secara signifikan diperkaya dengan lebih memperhatikan
masalah etika.
Variabel Kelima: Organizational Culture/Corporate Culture (X2 2).
Menurut Denison dan Mishra (1995), dan Carretta, et al (2008), corporate culture
memiliki hubungan dengan efektivitas atau keuntungan atau nilai
pemegang saham; atau menunjukkan tingkat NPL yang rendah, karena NPL
memiliki efek yang berbahaya bagi keuntungan (Sharma, 2005).
Dalam Perspektif Islam. Budaya yang perlu
dikembangkan seyogianya merupakan budaya yang merefleksikan nilai-nilai
Islam, dan diterapkan dalam setiap hubungan dan perilaku, baik dalam
hubungan internal, dengan nasabah, kebijakan dan prosedur, praktik
bisnis, dalam menjalankan pekerjaan, sampai pada masalah pakaian dan
tutur kata, sehingga merupakan jalan hidup yang lengkap (Algaoud dan
Lewis, 2005 : 239), di jalan Allah SWT atau shirotul mustaqiem.
Al-Qur’an menganjurkan manusia untuk bekerja sama dalam mengerjakan
kebajikan dan taqwa, dan bukan tolong-menolong dalam berbuat dosa atau
pelanggaran (QS. 5 : 2).
Variabel Keenam: Hard Budget Policy (X2 3).
Menurut Lago (2002), sistem keuangan atau bank yang sehat tergantung pada penerapan hard budget constraints, yang merupakan disiplin di bidang keuangan, yang mendorong sikap yang lebih prudent bagi pejabat perkreditan, dan pada akhirnya akan mempengaruhi tinggi rendahnya NPL/NPF pada bank tersebut.
Dalam Perspektif Islam. Dalam kaitannya dengan
anggaran, Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah tidak menyukai sesuatu yang
berlebihan atau pemborosan (QS. 6 : 141; QS. 17 : 26), karena pemborosan
itu adalah saudara setan yang ingkar pada Tuhannya (QS. 17 : 27), dan
keseimbangan dalam membelanjakan harta (QS. 25 : 67).
Variabel Ketujuh: Reward and Penalty System (X 2 4).
Menurut Husain (2005), seluruh pihak di perbankan harus memiliki zero tolerance
bagi mereka yang kurang memiliki integritas dan diketemukan bersalah,
harus segera diganti dari jabatan atau pekerjaannya; bahkan, dituntut
secara pidana, jika diketahui melakukan penggelapan dan pemalsuan.
Dalam Perspektif Islam. Al-Qur’an mengisyaratkan
bahwa siapa yang melakukan amal yang saleh dan siapa yang melakukan
perbuatan jahat sekecil apapun, maka ia sendiri yang akan menerima
pahala atau balasannya (QS. 41 : 46; QS. 99 : 7-8). Nabi SAW bersabda
agar para pekerja segera diberikan upahnya sebelum keringatnya kering (Hadist Sahih).
3.2.2.4. Di Tingkat Proses dan Pengawasan: Process & Control Environment
Variabel-variabel berikut merupakan faktor yang paling penting dan
berkaitan langsung dengan pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan. Credit culture adalah merupakan kebijakan yang memberikan arah pemrosesan pemberian pinjaman/pembiayaan, sedangkan pengecekan reputasi dan due diligence and care merupakan
pekerjaan inti, dan pengawasan pinjaman/pembiayaan merupakan faktor
untuk menjamin pelaksanaan pemberian pinjaman/pembiayaan yang baik.
Variabel Kedelapan : Budaya Kredit atau Credit Culture atau Kultur Pembiayaan (X3 1).
Menurut Boffey & Robson (1995), keberhasilan dari manajemen
bank akan tergantung pada kultur kredit yang kuat, yang akan
menghasilkan tingkat NPL yang rendah.
Dalam Perspektif Islam. Dalam Al-Qur’an, hal amanah
terhadap yang berhak atau yang berpiutang sangat ditekankah untuk
diperhatikan oleh para pelaksana (QS. 4 : 58; dan QS. 2 : 283). Nabi SAW
bersabda seperti yang dikutip oleh HR Muslim, setiap hamba adalah
pengembala atau pemelihara harta tuannya, sehingga dia bertanggungjawab
penuh atas harta yang dikelolanya; tetapi sebaliknya, pengurus-pengurus
atau para manajer perlu berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya,
karena pengurus yang buruk akan disiksa (Arifin, 2005 : 90).
Variabel Kesembilan: Pengecekan Reputasi (X3 2).
Menurut Koford dan Tschoegl (1997), pengecekan reputasi merupakan
unsur yang efektif untuk meyakini bahwa debitor akan memenuhi kewajiban
kontraktualnya dengan bank.
Dalam Perspektif Islam. Reputasi pribadi Nabi
Muhammad SAW merupakan contoh reputasi yang hakiki yang dimaksud dalam
bagian ini. Dengan kualitas pribadi yang dimilikinya, antara lain,
pribadi yang bertanggungjawab, jujur, profesional, teliti, empati,
terbuka atau transparan, hasil kerja yang memuaskan, dan lainnya, Nabi
SAW dapat menempatkan dirinya sebagai money maker dan money magnet (Kamaluddin, 2007 : 16). Nabi SAW merupakan mudharib
yang diincar oleh seluruh pemilik modal di jazirah Arab pada waktu itu;
hampir semua pemilik modal ingin menitipkan barangnya untuk
diperdagangkan oleh Nabi SAW (Antonio, 2007 : 66, 81-82). Sebagai
debitor, Nabi SAW tidak pernah wanprestasi atau gagal bayar terhadap
kreditornya, dan bahkan beliau sering membayar kewajibannya sebelum
jatuh tempo (Kamaluddin, 2007 : 33-34).
Variabel Kesepuluh : Due diligence and Care (X3 3).
Jika kegiatan ini tidak dilakukan dengan baik, maka akan menyebabkan
timbulnya NPL, kualitas portofolio bank rendah, dan bahkan dapat
menimbulkan krisis perbankan (Sharma, 2001, 2005; Demyanyk dan Hasan,
2009; Mukherjee, 2003; Lahiri, 2002; Petersson dan Wadman, 2004, Lis, et al, 2000).
Dalam Perspektif Islam. HR Muslim mencatat sabda
Nabi yang menyatakan bahwa Allah akan sangat senang, jika umatnya
melakukan pekerjaannya dengan tekun dan bersungguh-sungguh (Kamaluddin,
2007 : 214).
Variabel Kesebelas : Pengawasan Kredit Internal (X3 4).
Menurut McGovern (2001), kaji ulang pinjaman atau loan review
harus dilakukan untuk memonitor setiap penyimpangan dari kebijakan atau
prinsip-prinsip pemberian pinjaman/pembiayaan yang sehat, termasuk
setiap perkembangan negatif dari pinjaman yang diberikan. Tujuan dari
kegiatan ini adalah untuk mencegah timbulnya NPL.
Dalam Perspektif Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW, indentik dengan fungsi pengawasan internal ini adalah institusi publik hisbah yang melakukan hisab. Muhtasib sebagai pemeran utama dari kegiatan hisbah harus
memiliki kompentensi yang diperlukan dalam melakukan pekerjaannya untuk
mendorong yang bersifat makruf, dan mencegah yang mungkar, sehingga
secara keseluruhan beriman kepada Allah SWT.
Hipotesa Penelitian.
Untuk setiap variabel bebas, dibuat hipotesa yang menyatakan terdapat
pengaruh masing-masing variabel terhadap NPF dan NPL, serta terdapat
perbedaan pengaruh dari masing-masing variabel, baik secara
sendiri-sendiri maupun gabungan, terhadap NPF, dibandingkan terhadap
NPL. Keseluruhan hipotesa menjadi tiga puluh enam, dengan contoh sebagai
berikut.
Hipotesa Variabel Pertama:
Ha 1 : Terdapat pengaruh kemampuan dan
pengetahuan kredit dari petugas analis kredit atau pejabat yang terkait
dengan perkreditan terhadap NPL pada bank konvensional.
Ha 2 : Terdapat pengaruh kemampuan dan
pengetahuan kredit dari petugas analis kredit/pembiayaan atau pejabat
yang terkait dengan perkreditan/pembiayaan terhadap NPF bank syariah.
Ha 3 : Terdapat perbedaan pengaruh
antara kemampuan dan pengetahuan kredit dari petugas analis
kredit/pembiayaan atau pejabat yang terkait dengan
perkreditan/pembiayaan terhadap NPF pada bank syariah, dengan variabel
yang sama terhadap NPL pada bank konvensional.
4. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Metode Penelitian.
Penelitian ini menggunakan hipotesis dan metode survey melalui uji
perbedaan, serta bersifat kuantitatif. Tujuannya adalah guna mengetahui
derajat perbedaan dari pengaruh faktor manajemen internal yang
disebutkan pada Bab terdahulu sebagai variabel bebas, baik secara
sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, terhadap timbulnya NPL bank
konvensional dan NPF bank syariah.
Berdasarkan konsep, teori, dan berbagai pandangan para ahli mengenai
setiap variabel bebas tersebut, dibangun suatu konstruk dan indikator.
Indikator-indikator ini disusun menjadi butir-butir sebagai instrumen
penelitian dan dirumuskan dalam bentuk kuesioner.
Seluruh kuesioner untuk variabel bebas dan terikat menggunakan score rating scale (skala bertingkat) dengan skala Likert.
Skor yang digunakan adalah sebagai berikut: 5 untuk jawaban sangat
setuju/sangat sering/sangat positif, skor 4 untuk jawaban
setuju/sering/positif, skor 3 untuk jawaban
ragu-ragu/kadang-kadang/netral, skor 2 untuk jawaban kurang
setuju/hampir tidak pernah/negatif, dan skor 1 untuk jawaban tidak
setuju/tidak pernah/sangat negatif.
Penelitian dilakukan dalam lingkungan alami organisasi dengan arus
kerja yang normal dan intervensi minimum dari peneliti, serta merupakan field research.. Data hanya sekali dikumpulkan, atau cross-sectional (one shot), dan merupakan persepsi para pejabat kredit/pembiayaan tersebut terhadap variabel yang diteliti.
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian.
Dengan menggunakan instrumen penelitian yang valid dan reliabel sebagai
hasil dari uji coba, penelitian ini dilaksanakan lebih kurang dalam
waktu 4 (empat) bulan pada Tahun Akademik 2009/2010, dimulai dari bulan
Mei 2010 sampai dengan akhir bulan Agustus 2010.
4.3. Teknik Pengambilan Sampel.
Pertama, menentukan institusi mana yang
akan dijadikan target penelitian. Tetapi, karena jumlah bank syariah dan
Unit Usaha Syariah /UUS hanya berjumlah 28, maka bank konvensional
yang dipilih juga berjumlah 28 dari 128 dengan menggunakan purposive clustered sampling method.
Kedua, menentukan bagian mana yang akan dijadikan sasaran obyek penelitian, dan pejabat yang dipilih adalah di bagian marketing, risk management, remedial dan para pejabat senior dari masing-masing bank.
Ketiga, menentukan jumlah populasi
sampel, yaitu sekitar 224 (dua ratus dua puluh empat) orang, dari
Bagian yang dimasudkan di atas, berdasarkan teknik simple random sampling.
4.4. Instrumen Penelitian.
Instrumen penelitian utama adalah kuesioner, dan bersifat langsung,
dan dikirim kepada pejabat perkreditan/pembiayaan yang dimasudkan di
atas.
4.5. Kalibrasi dan Uji Coba Instrumen Penelitian.
Uji coba instrumen penelitian telah dilaksanakan pada Semester Ganjil
Tahun Akademik 2009/2010, pada Kantor Pusat Bank Agro Bank dan Bank
Muamalat di Jakarta. Setelah data hasil Uji Coba Instrumen dari setiap
variabel penelitian dikumpulkan, dilakukan pengujian validitas dan
realibilitas, agar memastikan bahwa setiap butir pertanyaan sudah valid dan reliabel. Prosedur pengujian data hasil Uji Coba Instrumen penelitian tiap-tiap variabel dilakukan sebagai berikut :
1. Uji Validitas
Uji validitas menggunakan r kriteria 0,30 Kerlinger. Pengujian
selanjutnya dilakukan terhadap pertanyaan yang valid; tetapi, pertanyaan
yang tidak valid disisihkan, dengan menggunakan uji Alpha Bronsteed, dimana apabila :
Nilai alpha if item deleted > 0,3000 maka populasi dinyatakan valid, atau sebaliknya (Nunnaly, , 1964 : 65).
2. Uji Realibilitas
Pengujiannya dilakukan dengan membuang butir-butir pertanyaan yang
dinyatakan tidak valid, sehingga akan diperoleh nilai Alpha setelah Uji
Reliabilitas > 0.60. Hasilnya adalah butir-butir pertanyaan yang
valid, reliabel dan konsisten.
4.6. Teknik Pengumpulan Data.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan membagikan kuesioner langsung kepada para pejabat yang dimaksud di atas.
4.7. Teknik Analisis Data.
Pertama, mengolah data mentah dari hasil
penelitian menggunakan statistik deskriptif, dengan berbagai ukuran
statistik. Sebelum menyusun regresi berganda, seluruh asumsi klasik akan
dipenuhi.
Kedua, melakukan pengujian persyaratan analisis melalui uji normalitas, dengan parameter One Sample Kolmogorov Smirnov Test, terhadap variabel-variabel NPL (Y 2), NPF (Y 1), (X1 1), (X1 2), (X1 3), (X2 1), (X2 2), (X2 3), (X2 4), (X3 1), (X3 2), (X3 3), (X3 4), dengan cara membandingkan hasil pengujiannya. Apabila Asymp. Sig. (2-tailed)
< 0,05, maka sebaran data berdistribusi normal, dan pengujian
persyaratan analisis dapat dilanjutkan; atau sebaliknya. Setelah uji
normalitas, dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan Leven Test Statistic.
Ketiga, melakukan pengujian hipotesis
dimulai dengan menyusun hipotesis uji perbedaan dengan menggunakan Tabel
ANOVA, dan kemudian diuji signifikansinya, dengan menggunakan Uji-F. Uji perbedaan ini adalah signifikan, apabila Fhitunglebih besar dari Ftabel,dengan menggunakan Program SPSS (Statistical Product and Services Solutions) versi 16.0 dan Minitab Versi 10.0.
Keempat, pengambilan keputusan apakah hipotesis diterima atau ditolak, berdasarkan analisis di atas.
Hipotesis yang diajukan terdiri dari 36, dan berikut adalah contoh dari hipotesis tersebut.1. Diduga terdapat pengaruh kemampuan dan pengetahuan kredit petugas/analis kredit terhadap NPF bank syariah.
Ho : ρ111 = 0
Ha : ρ111 ≠ 0
2. Diduga terdapat pengaruh kemampuan dan pengetahuan kredit petugas/analis kredit terhadap NPL bank konvensional.
Ho : ρ112 = 0
Ha : ρ112 ≠ 0
3. Diduga terdapat perbedaan pengaruh antara kemampuan dan pengetahuan kredit petugas/analis kredit terhadap Non Performing Finance/NPF bank syariah, dengan variabel yang sama terhadap NPL bank konvensional.
Ho : µ111 = µ112
Ha : µ111 > µ112
5. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN,
KESIMPULAN, DAN SARAN
5.1. Deskripsi Data.
Pengolahan data awal melalui berbagai perhitungan menyimpulkan bahwa
data tersebut berdistribusi normal. Asumsi klasik untuk menentukan
model regresi, seperti: rata-rata error 0 dan variansnya ∑e, sudah pula dipenuhi.
5.1.1. Uji Prasyarat Hipotesis.
Untuk uji hipotesis, data yang telah dideskripsikan di atas harus
dinyatakan valid setelah memenuhi persyaratan bahwa data berdistribusi
normal, dan bersifat relatif homogen. Untuk itu, dilakukan pengujian
normalitas berikut.
5.1.1.1. Uji Normalitas Data.
Uji normalitas data (X) terhadap variabel NPF bank syariah (Y1), dan variabel NPL bank konvensional (Y2)
menggunakan test normalitas Kolmogorov-Smirnov dan dinyatakan
signifikan dengan nilai < 0,05. Berdasarkan perhitungan ini, seluruh
variabel berdistribusi normal.
5.1.1.2. Uji Homogenitas Data.
Pengujian homogenitas dilakukan dengan alat uji Test of Homogeneity of Variance. yang menyatakan bahwa suatu data bersifat homogen, apabila hasil Sig. Levene Statistic > 0,05. Berdasarkan perhitungan ini, sebaran data seluruh variabel terhadap data variabel NPF (Y1) dan data NPL (Y2) mempunyai varians yang homogen.
5.1.2. Pengujian Hipotesis Penelitian.
Analisis hasil penelitian dapat dilakukan melalui pengujian data secara bertahap, sebagai berikut:
Pertama, dihitung masing-masing pengaruh semua variabel bebas : X11, X12, X13, X21, X22, X23, X24, X31, X32, X33, dan X34, serta seluruh variabel bebas secara gabungan terhadap variabel terikatnya Y1.
Kedua, dihitung masing-masing pengaruh semua variabel bebas yaitu : X11, X12, X13, X21, X22, X23, X24, X31, X32, X33, dan X34, serta seluruh variabel bebas secara gabungan terhadap variabel terikatnya yaitu Y2.
Ketiga, menguji Hipotesis dengan cara
membandingkan apakah terdapat perbedaan antara pengaruh masing-masing
variabel bebas tersebut dan seluruh variabel bebas secara gabungan
terhadap variabel Y1 dengan pengaruh masing-masing variabel bebas yang sama dan seluruh variabel bebas secara gabungan terhadap variabel Y2.
Keempat, membandingkan mana yang lebih
besar di antara pengaruh masing-masing variabel bebas tersebut dan
seluruh variabel bebas secara gabungan terhadap variabel Y1 dengan pengaruh masing-masing variabel bebas itu dan secara gabungan terhadap variabel Y2.
Berdasarkan pengujian hipotesis I sampai XXXVI, dengan menggunakan
analisis korelasi/regresi, dapat dikemukakan bahwa semua variabel bebas
atau X dan gabungannya berpengaruh negatif terhadap variabel Y1 dan variabel Y2,
dengan angka yang lebih signifikan untuk bank syariah (tingkat
keyakinan 95%). Kesimpulan hasil pengujian hipotesis adalah menerima
seluruh Ha, dan berikut adalah sebagian contoh dari perhitungan yang
dimaksud.
Hipotesis I: Terdapat Pengaruh Kemampuan dan Pengetahuan Kredit/ Credit Knowledge and Skills (X11) Terhadap Non Performing Finance/ NPF pada Bank Syariah (Y1).
1. Pengujian Keberartian Regresi.
Fhitung (23,838) > Ftabel(0,05(dof(1,103)) (3,94), dengan tingkat signifikansi (0,000) < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi Y1 = 55,853 – 0,345 X11 adalah signifikan, dan persamaan regresi dinilai mempunyai keberartian.
2. Koefisien Korelasi.
Dari hasil perhitungan diperoleh angka koefisien korelasi antara (X11) terhadap NPF (Y1)= -0,434, artinya pengaruh negatif yang kurang kuat antara (X11) terhadap NPF (Y1).
Hipotesis II: Terdapat Pengaruh Kemampuan dan Pengetahuan Kredit/Credit Knowledge and Skills (X11) Terhadap Non Performing Loan/NPL pada Bank Konvensional (Y2).
1. Pengujian Keberartian Regresi.
Fhitung (7,906) > Ftabel(0,05(dof(1,105)) (3.08), dengan tingkat signifikansi (0,004) < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi Y2 = 57,778 – 0,722 X11 adalah signifikan, dan persamaan regresi dinilai mempunyai keberartian.
2. Koefisien Korelasi.
Dari hasil perhitungan diperoleh angka koefisien korelasi antara (X11) terhadap NPL (Y2)= -0,086, yang menunjukkan terdapat pengaruh negatif dan lemah antara (X11) terhadap NPL (Y2).
Hipotesis III: Terdapat Perbedaan Pengaruh antara Kemampuan dan Pengetahuan Kredit/Credit Knowledge and Skills (X11) Terhadap Non Performing Finance/NPF Pada Bank Syariah (Y1), dengan Kemampuan dan Pengetahuan Kredit/Credit Knowledge and Skills (X11) Terhadap Non Performing Loan/NPL pada bank konvensional (Y2).
Hipotesis ini diuji dengan melakukan perbandingan antara hipotesis I
dengan Hipotesis II, dan menyimpulkan terdapat perbedaan pengaruh yang
sangat signifikan antara pengaruh (X11) terhadap NPF (Y1), dengan pengaruh (X11) terhadap NPL (Y2), ditinjau dari perhitungan berikut:
Koefisien korelasi : -0,434 > -0.086Fhitung : 23,838 > 7,906
Hipotesis XXXVI: Terdapat Perbedaan Pengaruh Antara seluruh variabel bebas terhadap NPF (Y1), dengan seluruh variabel bebas terhadap (Y2).
Hipotesis ini diuji dengan membandingan hipotesis XXXIV dengan
hipotesis XXXV, dan menyimpulkan terdapat perbedaan yang sangat
signifikan antara pengaruh seluruh variabel bebas diatas terhadap ((Y1), dengan seluruh variabel bebas tersebut terhadap (Y2), berdasarkan perhitungan berikut:
- Koefisien korelasi : – 0,886 > – 0,804
- Nilai rata-rata NPF atau Y1 = 55, 469 < nilai rata-rata NPL atau Y2 = 74,745, sehingga perbedaan rata-rata sebesar 19,276.
- Kontribusi variabel bebas terhadap variasi Y1 sebesar 78% dan ada 22% dipengaruhi faktor-faktor lain. Kontribusi variabel bebas terhadap variasi Y2 sebesar 64,6% dan ada 35,4% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Ini artinya kemungkinan faktor-faktor lain yang mempengaruhi bank syariah itu adalah lebih kecil dibandingkan dengan bank konvensional.
Kesimpulan terhadap tingkat NPF/NPL:
Pembuktian hipotesa di atas menunjukkan bahwa pengaruh seluruh
variabel terhadap NPF lebih besar, dibandingkan dengan pengaruh variabel
yang sama terhadap NPL. Jika seluruh variabel bebas tetap atau tidak
ada perubahan, maka NPF atau Y1 adalah sebesar 55.469, yaitu lebih kecil dibandingkan dengan model bank konvensional dengan nilai Y2 sebesar 74, 745. Ini artinya tingkat NPF rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan tingkat NPL rata-rata.
5.1.3. Pembahasan Hasil Penelitian.
Analisis Teorititik/sebagai kekuatan manajemen internal. Penerapan
seluruh faktor tersebut secara simultan akan merupakan kekuatan dari
manajemen internal dalam mengatasi masalah yang selalu ada dalam
pemberian kredit/pembiayaan, seperti: masalah assymetric information, dan moral hazard, dan keadaan lingkungan eksternal yang harus dihadapi oleh bank di Indonesia.
Cakupan teori. Apabila seluruh faktor tersebut
diterapkan secara simultan sebagai suatu kesatuan, maka dapat
diharapkan timbulnya NPF pada bank syariah dan NPL pada bank
konvensional dapat diperkecil.
Penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Hasil
analisis statistik juga menyimpulkan bahwa penerapan setiap faktor dari
kesebelas faktor tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun secara
gabungan, lebih baik pada bank syariah dibandingkan dengan penerapan
faktor yang sama pada bank konvensional. Penerapan yang lebih baik ini,
secara teori, disebabkan karena:
Pertama, karena ketentuan yang ada
dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW merupakan petunjuk yang bersifat
umum, maka untuk menerapkannya umat dapat melakukan ihtijad
atau diskursus dengan pihak yang lebih ahli atau berpengalaman. Secara
ilmiah, Choudhury (2004) memperkenalkan konsep Ketauhidan atau TSR
dengan proses IIE-nya.
Kedua, dengan meyakini bahwa Tuhan adalah
Yang Maha Tahu dan Maha Melihat, manusia akan menjauhkan diri dari
tindakan yang tidak terpuji (Suseno, 1985).
Ketiga, Jika ketentuan yang berlaku bagi
pembiayaan bank syariah diterapkan secara menyimpang, maka dapat
dipandang sebagai penyimpangan terhadap ketentuan Tuhan. Hal tersebut
dapat membawa konsekuensi mental yang berbeda, karena dianggap “tidak syariah”.
Hasil penelitian ini sejalan dengan dan melengkapi Bad Management Hypothesis dari Berger dan DeYoung (1997).
Dua faktor utama dari hipotesa ini, yaitu tingkah laku atau keahlian
dalam mengevaluasi usulan pinjaman yang memadai, dan sumber daya yang
cukup untuk melakukan pengawasan atau monitoring pinjaman,
merupakan faktor yang tidak berdiri sendiri, dan perlu dijabarkan lebih
lanjut. Untuk mencapai efisiensi dalam melakukan perkerjaan utama bank,
diperlukan sejumlah faktor lain yang juga berkaitan dengan manajemen
internal.
Hasil penelitian ini memperluas Adverse Selection Theory dari Stiglitz dan Weiss (1981). Pada
intinya, mereka berpendapat, bahwa untuk memperoleh pinjaman kembali,
bank harus memiliki kemampuan untuk mengukur kekuatan debitor untuk
membayar utangnya, dengan mempertimbangkan risiko yang berbeda.
Penelitian mereka itu hanya menekankan pentingnya bank untuk memiliki
pengetahuan dan keahlian perkreditan, sedangkan penelitian untuk
Disertasi ini menambahkan faktor manajemen internal lainnya.
Tema sentral dari Disertasi ini adalah bahwa NPL/NPF terjadi terutama
disebabkan karena masalah yang ada dalam lingkungan manajemen internal,
dan berkaitan erat dengan masalah moralitas. Disini, intinya adalah
bahwa agen tidak melakukan pekerjaan sebagaimana semestinya, yang tidak
sesuai dengan kepentingan majikan dan/atau stakeholders utama.
Di lain pihak, setiap pejabat yang terkait, terutama para pemutus
kredit/pembiayaan, terekspose pada masalah yang berkaitan dengan nurani,
atau kadar spiritualitasnya, yang diartikan dalam perspektif keagamaan
sebagai keimanan dan ketaqwaan.
Diterimanya Hipotesa Ha. Analisis teoritik di atas,
beserta kajian penelitian terdahulu dan pengalaman NPL/NPF pada Bab II
dan III, mendukung hasil analisis statistik penelitian di atas dengan
menerima seluruh Ha, dengan uraian berikut :
Pengetahuan dan Keahlian di Bidang Perkreditan atau Pembiayaan.
Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Pengaruh Kemampuan dan Pengetahuan Kredit (Pembiayaan)/Credit (Financing) Knowledge and Skills terhadap NPF bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan pengaruh faktor yang sama terhadap NPL bank konvensional.
Pada umumnya, hal ini disebabkan karena kebutuhan SDM bank syariah
bersumber dari bank konvensional. Pada dasarnya, pelatihan yang
diberikan pada bank syariah merupakan penyesuaian materi sejalan dengan
konsep syariah, diberikan on the job atau magang oleh pejabat yang lebih senior atau berpengalaman. Disini, diskursus atau ihtijad,
atau IIE proses dalam bentuk yang sederhana dapat terjadi. Keterlibatan
para senior atau yang lebih berpengalaman dalam proses analisis dan
persetujuan usulan pembiayaan lebih terintegrasi dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh para financing officer.
Profesionalisme dan Integritas.
Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah.
Juga disimpulkan bahwa kadar profesionalisme dan integritas pada bank
syariah lebih tinggi, dibandingkan pada bank konvensional, disebabkan
karena:
Pertama, dengan adanya kesadaran bersama
bahwa ketentuan syariah bersumber dari wahyu Tuhan YME dan Hadist Nabi
SAW; dan dijadikan sebagai bentuk idealisme, mereka berusaha untuk lebih
berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya, dan takut salah dan malu
jika menyimpang dari ketentuan itu;
Kedua, dalam melakukan pekerjaan secara
berkelompok dan untuk kelompok, secara khusus dan jelas Al-Qur’an
mengatakan kepada orang-orang yang beriman, agar bertaqwa bersama
orang-orang yang benar (QS. 9 : 119). Ayat ini menganjurkan agar
profesionalisme dan integritas harus dijaga secara bersama, dan untuk
kepentingan bersama.
Ketiga, keberhasilan bank
syariah dalam menjalankan usahanya bukan saja karena tututan tugas
profesionalisme para eksekutifnya, melainkan juga merupakan tanggung
jawab terhadap Tuhan YME.
Keempat, Nabi SAW bersabda melalui
salah satu Hadistnya yang intinya menyetarakan pelaksanaan profesi
sebagai amanah, karena Allah hanya memandang hati dan perbuatan manusia,
menyukai orang yang bekerja dengan baik dan memenuhi kewajiban jika
diberi kepercayaan (Ghani, 2005 : 45-47).
Kelima, jumlah bank syariah masih jauh
lebih kecil dibandingkan dengan jumlah bank konvensional. Kenyataan ini
membuat para pejabat bank syariah harus bekerja lebih hati-hati atau
lebih prudent, karena kesalahan apapun akan lebih jelas dan cepat diketahui oleh para stakeholders.
Keenam, budaya malu karena tidak “syariah“dapat menekan timbulnya kesalahan atau penyimpangan dalam pekerjaan.
Ketujuh, pertumbuhan bank syariah yang
pesat merupakan turunan dari pasar yang masih terbuka luas, dan
membutuhkan tenaga profesional yang lebih banyak. Disini, kesempatan
promosi dari dalam atau luar masih terbuka lebar; sehingga mereka
berusaha mempertahankan integritas dan sikap profesionalisme yang lebih
baik, dan menjaganya agar tidak menjadi cacat.
Kadar Spiritualitas, atau Keimanan dan Ketaqwaan.
Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah.
Suseno (1985 : 77-78) berpendapat bahwa setelah melalui proses
pengambilan keputusan yang umum dan memadai, orang akan mengikuti suara
hatinya, dimana keputusan itu dibuat seolah-olah dihadapan kehadiran
Allah sebagai saksi, sehingga mengindahkan petunjuk-petunjuk yang telah
ditetapkan atau diisyaratkan oleh agama. Orang yang menganut suatu agama
cenderung lebih peduli terhadap standar moral, disiplin dan
tanggungjawab yang lebih tinggi (Weibe dan Fleck, 2007), dan agama
mendorong atau menolak tingkah laku sosial, dan merupakan institusi yang
mengontrol kepercayaan dan tingkah laku (Kennedy dan Lawton, 1998).
Dengan demikian, sebagai akibat dari kepercayaan bahwa Tuhan Maha Tahu,
maka tindakan individu yang merugikan orang lain berkurang secara
signifikan.
Karena mengacu pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW, sudah sepantasnya
temuan bahwa kadar spritualitas, yang dimanifestasikan ke dalam iman dan
taqwa, lebih tinggi pada bank syariah, dibandingkan pada bank
konvensional; karena bank syariah lebih dekat dengan prinsip-prinsip
Tauhid.
Kepemimpinan Bermoral/Moral Leadership.
Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Dengan
makna syariah yang digunakan sebagai suatu bentuk idealisme, maka
pimpinan tertinggi bank akan menjadi sorotan yang cukup tajam bagi
banyak pihak, baik internal maupun eksternal. Mereka akan mempertanyakan
apakah tingkah laku sang pemimpin sudah “syariah” atau belum. Bagi
pihak internal bank, pimpinan tertinggi mau tidak mau menjadi panutan
bagi para staf dan pegawai di lingkungan banknya. Pimpinan tertinggi
harus mengatakan sesuatu yang dapat dilakukannya, seperti yang dikatakan
Rhode (2006 : 309). Semuanya ini harus dimulai dan dicontohkan oleh
pimpinan tertinggi, seperti yang dikatakan oleh Algaoud dan Lewis (2005 :
239). Secara teoretis, penerapan kepemimpinan bermoral yang lebih baik
pada bank syariah didasari pada pengertian di atas, yang mengikuti
petunjuk-pentunjuk yang ada pada Al-Qur’an, dan menteladani kepemimpinan
yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Secara praktik, apabila pemimpin
tertinggi bank syariah menunjukkan tingkah laku pribadi dan
kepemimpinannya yang menyimpang dari harapan lingkungan, atau berbeda
dengan impresi ”syariah”, maka secara langsung atau tidak langsung
penyimpangan itu akan terlihat dengan jelas. Pemimpin tertinggi yang
tidak ”syariah” itu tidak akan dapat memimpin secara efektif, dan akan
merasa malu terhadap lingkungan yang dipimpinnya.
Budaya Perusahaan/Corporate atau Organizational Culture.
Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Dengan pengaruh faktor ini terhadap NPF bank syariah yang lebih besar, maka dapat pula dikatakan bahwa bahwa Budaya Perusahaan/Corporate Culture
bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan faktor yang sama pada bank
konvensional. Pada bank syariah, faktor ini mengacu pada pada Al-Qur’an
dan Hadist Nabi SAW, dan digunakan sebagai acuan etika, disamping
sebagai acuan lainnya.
Hard Budget Policy.
Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah.
Ini artinya disiplin keuangan bank syariah lebih baik, dibandingkan
dengan bank konvensional. Dalam hal pencatatan yang berkaitan dengan
realisasi arus kas, dan penyelesaian pembiayaan bermasalah, disiplin
keuangan pada bank syariah dijalankan dengan lebih baik, dengan
penjelasan berikut:
Pertama, sebagai dasar
filosofi penerapannya, Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah tidak menyukai
sesuatu yang berlebihan atau pemborosan (QS. 6 : 141; QS. 17 : 26),
karena pemborosan itu adalah saudara setan yang ingkar pada Tuhannya
(QS. 17 : 27), dan merupakan ketidakseimbangan dalam membelanjakan harta
(QS. 25 : 67);
Kedua, seluruh transaksi dari berbagai
macam akad bank syariah mengacu pada perolehan keuntungan riel atau arus
kas yang sesungguhnya;
Ketiga, secara regular realisasi pendapatan
selalu harus dibandingkan dengan ekspektasi, atau pengontrolan ini
selalu dilakukan, walaupun kolektibilitas pembiayaan masih dalam
kategori lancar;
Keempat, hasil wawancara
dengan bank syariah tertentu menunjukkan bahwa sistem penagihan
dilakukan lebih tegas dengan keputusan lebih jelas, yang mengacu pada
perolehan kas yang lebih cepat dan/atau keberanian dalam mengambil sikap
“cut loss”.
Reward and Penalty System.
Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Hal
ini didasari atas isyarat yang ada pada Al-Qur’an bahwa siapa yang
melakukan amal saleh, dan siapa melakukan perbuatan jahat sekecil
apapun, maka ia sendiri yang akan menerima pahala atau dosa sebagai
balasannya (QS. 41 : 46; QS. 99 : 7-8). Al-Qur’an juga menyatakan bahwa
orang akan mendapat bagian dari apa yang telah dikerjakannya, karena
Tuhan begitu cepat dalam melakukan perhitungan terhadap apa yang telah
dilakukan itu (QS. 2 : 202). Dalam praktiknya, penerapan sistem ini
dilaksanakan lebih jelas dan pasti pada bank syariah.
Budaya Kredit (Pembiayaan)/Credit (Financing) Culture.
Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Kultur kredit/pembiayaan yang lebih baik pada bank syariah dibandingkan pada bank konvensional disebabkan karena:
Pertama, secara teoritik, Chapra
dan Ahmed (2008 : 85-86) berpendapat bahwa bank syariah menghadapi
risiko pembiayaan yang lebih besar, sehingga pengelolaannya perlu lebih
bijaksana yang memerlukan budaya manajemen risiko atau budaya
kredit/pembiayaan yang lebih efektif. Al-Qur’an (QS. 4 : 58; dan QS. 2 :
283) menekankan masalah amanah terhadap yang berhak atau yang
berpiutang, agar benar-benar diperhatikan oleh para pelaksana.
Kedua, dari segi praktik, salah satu bank yang diwawancarai menyebutkan bahwa setiap officer
harus memahami “kultur dari produk” terlebih dahulu, sebelum memahami
kultur yang lebih luas. Itu berarti bahwa mereka harus benar-benar
memahami seluruh seluk beluk mengenai seluruh produk, termasuk unsur
risiko, beserta keuntungan yang dapat diharapkan, sehingga dapat
diaplikasikan dengan benar. Ini artinya pendekatan yang digunakan lebih
spesifik dan terarah.
Ketiga, terdapat perbedaan pendekatan awal
dalam proses pemberian kredit antara bank konvensional dibandingkan
dengan bank syariah. Pada bank syariah, seluruh calon nasabah dianggap
baik, dan baru kemudian diteliti apakah calon nasabah tersebut memiliki
unsur atau karakteristik yang tidak baik. Jika memiliki unsur atau
karakteristik yang tidak baik, maka hal itu akan diteliti lebih jauh.
Jika hasilnya jelas positif, maka analisis pembiayaan dapat
dilanjutkan. Pada bank konvensional, dilain pihak, hubungan yang akan
dibentuk itu merupakan hubungan kreditor – debitor. Sebagai
konsekuensinya, pendekatan yang digunakan adalah untuk memperkirakan
apakah calon debitor itu dapat dipercaya atau tidak, atau dalam kata
lain, layak kredit atau tidak, dan umumnya menggunakan unsur
“kedekatan”.Pengecekan Reputasi.
Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah.
Pengecekan reputasi disimpulkan lebih baik pada bank syariah
dibandingkan pada bank konvensional. Dari segi teori, alasannya adalah
sebagai berikut:
Pertama, bank syariah memerlukan unsur “human capital” dari calon nasabah yang dapat mendukung penciptaan keuntungan bagi pihak bank dan nasabah.
Kedua, secara hakiki
reputasi pribadi Nabi Muhammad SAW merupakan contoh reputasi yang
dimaksud. Dengan kualitas pribadi yang dimilikinya dan hasil kerja yang
memuaskan (Kamaluddin, 2007 : 16), Nabi SAW merupakan mudharib
yang berhasil dan dikenal baik di jazirah Arab pada waktu itu
(Antonio, 2007 : 66, 81-82); dan sebagai debitor, Nabi SAW selalu
mementingkan pembayaran kewajibannya paling tidak tepat waktu
(Kamaluddin, 2007 : 33-34). Hal ini yang mengilhami materi dari kegiatan
pengecekan reputasi yang dilakukan pada bank syariah.
Due Diligence and Care
Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Due diligence dilakukan lebih baik pada bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional. Alasannya adalah:
Pertama: adanya sabda Nabi yang menyatakan
bahwa Allah akan sangat senang, jika umatnya melakukan pekerjaannya
dengan tekun dan bersungguh-sungguh (Kamaluddin, 2007 : 214).
Kedua, bank syariah harus meneliti lebih rinci, karena setiap pembiayaan harus diketahui secara pasti peruntukkan, atau underlying transaction, bisnis, dan debitornya.
Ahmed (2006 : 17) berpendapat bahwa bank syariah harus memastikan
bahwa pembiayaan tidak berkaitan dengan spekulasi, tidak membiayai
barang haram, derivative, atau rekayasa keuangan yang tidak produktif.
Pada bank syariah, hubungan antara bank dan debitor tidak semata-mata
bersifat transaksional, tetapi lebih pada relasional dengan waktu yang
cenderung lebih panjang. Dalam kegiatan due care, bank syariah sebagai mitra atau shahibul mal perlu mengawasi dalam arti membimbing atau mengarahkan mitra lain, atau mudharib, dalam batas yang dimungkinkan, agar usaha yang dibiayai benar-benar dapat menghasilkan keuntungan.
Pengawasan Kredit (Pembiayaan) Internal
Faktor ini disimpulkan lebih baik pada bank syariah dibandingkan pada bank konvensional, disebabkan karena:
Pertama, terdapat acuan
dalam ayat Al-Qur’an (QS. 21 : 61, dan QS. 49 : 6), yang mengindikasikan
bahwa sesuatu temuan atau berita yang baru, harus diteliti terlebih
dahulu kebenarannya. Jika benar, baru ditindaklanjuti.
Kedua, adanya kebutuhan informasi yang lebih rinci untuk underlying transaction
yang akan dibiayai. Dalam hal pembiayaan mesin, misalnya, pemeriksaan
dilakukan langsung ke lapangan untuk meneliti spesifikasi mesin.
Ketiga, audit atau pengawasan
pinjaman/pembiayaan dilakukan dua kali, pertama dari segi bisnis dan
kedua dari segi syariah. Kedua macam audit ini melihat objek yang sama,
tetapi dengan perspektif yang berbeda, namun kedua macam ketentuan
harus dipenuhi. Kedua audit ini akan mendorong orang akan bekerja lebih
berhati-hati.
Seluruh Faktor Secara Simultan.
Penjelasan yang paling logis mengenai pengaruh dan penerapan yang
lebih baik pada bank syariah adalah bahwa makna syariah menyeimbangkan
penerapan seluruh faktor tersebut secara bersamaan. Pada tataran
individu, masalah spiritual atau keimanan berlaku tidak saja terhadap
hubungan vertikal yaitu terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga
berlaku secara horizontal yaitu antar sesama manusia dan antar manusia
dengan perilakunya.
Pada tataran organisasi bank, pengaruh gabungan yang lebih besar pada
bank syariah itu dapat pula disebabkan karena adanya keseimbangan
penerapan antara ketiga kelompok faktor yang digunakan dalam penelitian
ini. Kualifikasi personel yang ada, diimbangi dengan kualifikasi
institusi dalam pengambilan keputusan kredit atau pemberian
pinjaman/pembiayaan. Kontrol yang lebih konkrit terhadap seluruh proses
lebih dipastikan melalui audit kredit. Hal ini diikuti dengan penerapan
sistim hadiah atas kontribusi terhadap pencapaian target keuntungan dan
penilain integritas, serta pengenaan sanksi yang lebih jelas dan pasti
terhadap penyimpangan dalam pelaksanaan pekerjaan dan tingkah laku.
Tampaknya, keseimbangan antara ketiga kelompok faktor yang dimaksud,
sering dapat dipertanyakan pada bank konvensional. Sering diberitakan
adanya penyimpangan tingkah laku pimpinan tertinggi atau direksi, atau
terjadinya tindak pidana korupsi di lingkungan bank. Kasus L/C fiktif
besar yang pernah terjadi merupakan masalah dalam proses, dimana due diligence dan care
tidak dilakukan, dan pengawasan kredit tidak berfungsi sebagaimana
mestinya, serta sanksi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi
sebelumnya tidak selalu ditindaklanjuti dengan jelas, sehingga membuat
orang lebih berani untuk melakukan penyimpangan yang lebih besar. Pelaku
merupakan staf yang berpengalaman dan profesional, namun kadar keimanan
yang lemah membawa unsur integritas menjadi suatu keraguan dalam
dirinya. Dalam perbankan syariah nasional, berita sumbang yang serupa
belum penah terdengar sampai saat ini.
5.2. Kesimpulan.
1. Penelitian ini telah membuktikan pengaruh sebelas faktor
manajemen internal terhadap timbulnya NPL bank konvensional dan NPF bank
syariah.
2. Penelitian ini telah pula membuktikan bahwa terdapat perbedaan
yang signifikan antara pengaruh faktor-faktor manajemen internal
tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungan, yang lebih baik
terhadap NPF bank syariah, dibandingkan dengan pengaruh faktor-faktor
yang sama terhadap NPL bank konvensional.
3. Pengaruh yang lebih baik tersebut adalah karena substansi
cakupan dan penerapan dari setiap faktor manajemen internal itu lebih
baik, secara sendiri-sendiri dan gabungan, pada bank syariah
dibandingkan pada bank konvensional, sehingga menghasilkan tingkat NPF
bank syariah lebih rendah dibandingkan dengan tingkat NPL bank
konvensional.
4. Perbedaan pengaruh dan penerapan yang lebih baik pada bank
syariah tersebut adalah karena, baik secara teori maupun praktik,
prinsip syariah melekat pada sistem dan pelaksanaan perbankan syariah,
yang mengacu pada ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Al-Qur’an dan
Hadist Nabi SAW. Ketentuan tersebut tidak saja diterapkan dalam
pemberian pembiayaan berdasarkan akad-akad yang disediakan, tetapi juga
digunakan sebagai acuan dalam bertingkah laku paling tidak dalam
lingkungan pekerjaan di dalam bank, melalui budaya malu jika tidak
sejalan dengan impresi “syariah”.
5.2.1. Implikasi.
1. Dapat dikatakan bahwa Tuhan menciptakan sistem yang diperlukan
oleh umat manusia di dunia, termasuk sistem pembiayaan syariah. Namun,
bagaimana sistem itu digunakan atau dimanfaatkan ditentukan oleh
manusia itu sendiri. Hal ini sangat tergantung pada pengembangan
pemikiran dan penerapan unsur-unsur yang penting dari sistem itu oleh
para pelakunya.
2. Setiap faktor dari manajemen internal tersebut berpengaruh lebih
besar pada bank syariah adalah karena dilatarbelakangi oleh prinsip
Ketauhidan, yang pada intinya mengacu kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa,
Yang Maha Tahu dan Maha Kuasa, dan Yang Menyaksikan apa yang dikerjakan
oleh manusia. Dengan prinsip Ketauhidan ini dan melekat pada sistem dan
label “syariah”, orang akan merasa malu untuk melakukan sesuatu atau
bertingkah laku yang menyimpang atau yang dianggap menyimpang atau tidak
sesuai dengan makna kata ”syariah”. Di samping itu, mereka sadar bahwa
Tuhan bersaksi terhadap apapun keputusan yang diambilnya dan bagaimana
dia bertingkah laku, dimana lingkungan akan selalu memperhatikan dan
mempertanyakan apakah yang dilakukannya itu telah sesuai dengan makna
“syariah”.
Adanya rasa malu ini dapat di mantapkan oleh keteladanan yang dapat
diberikan oleh pimpinan tertinggi dari bank, sebagai pimpinan yang
bermoral yang seyogianya memiliki kadar moralitas yang lebih tinggi bagi
lingkungan bank yang dipimpinnya.
3. Seperti yang digambarkan oleh Adam Smith secara tidak langsung,
urusan bisnis/usaha tidak dapat terlepas dari masalah moralitas.
Khususnya di bidang perkreditan/pembiayaan, keputusan kredit/pembiayaan
adalah keputusan moral, dan harus dilakukan dengan hati-hati, dengan
memperhatikan peraturan dan ketentuan yang berlaku, dan
mempertimbangkan kepentingan para pemilik dana sebagai stakeholder yang
utama. Karena juga menyangkut nurani dan keyakinan individu, pemutus
kredit/pembiayaan harus memiliki unsur spiritualitas yang memadai, yang
diartikan sebagai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan kesaksian-Nya, orang dapat didorong untuk melakukan pekerjaan
dengan sebaik mungkin bagi bank dan mengambil keputusan yang tidak
merugikan stakeholders yang dimaksud, baik dalam jangka pendek
maupun panjang. Dengan demikian, pengambilan keputusan yang dilakukan
tidak menyelimuti kepentingan pihak lain, seperti pemilik bank, atau
dengan pihak calon debitor, dengan mengenyampingkan kepentingan bank
dan/atau para stakeholders.
4. Agar menghasilkan manfaat yang optimal dalam menekan timbulnya
NPL/NPF serendah mungkin, penerapan dari seluruh faktor-faktor manajemen
internal tersebut harus dilakukan secara simultan, utuh dan terpadu.
5.2.2. Keterbatasan Penelitian.
Pertama: penelitian ini memotret keadaan pada suatu saat, atau bersifat cross sectional. Hasilnya akan lebih baik, jika dilakukan secara ulang. Karena keterbatasan waktu dan biaya, hal ini belum dapat dilakukan.
Kedua: Sampel diambil
hanya dari kantor pusat 56 bank konvensional dan syariah, tetapi
diyakini dapat mewakili keadaan yang sebenarnya. Kantor pusat merupakan
lokasi utama dikeluarkan, dan sentral dari penerapan kebijakan manajemen
internal masing-masing bank; sedangkan kantor cabang umumnya hanya
mengikuti kantor pusat mereka.
5.2.3. Implikasi Kebijakan.
- Bagi bank syariah, sangat disarankan untuk memperkuat pemahaman Ketauhidan dan pencerahan yang bersifat spiritual secara formal, konsisten dan terus menerus sehingga dapat memperkuat penerapan label “syariah” dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari baik dalam lingkungan pekerjaan di dalam bank, maupun dalam kehidupan sehari-hari para staff dan pegawainya.
- Moralitas dari pimpinan tertinggi, para direksi dan para komisaris khususnya, dan para bankir umumnya, merupakan salah satu unsur yang bersifat krusial dalam menerapkan secara simultan keseluruhan faktor-faktor manajemen internal yang dimaksud. Karena bank memiliki tanggung jawab sosial dan moral yang begitu besar terhadap para pemilik dana khususnya, dan masyarakat luas umumnya, maka perlu disarankan bahwa unsur moralitas dan spiritualitas dari calon direksi dan komisaris bank, baik bank konvensional terlebih syariah, perlu dijadikan sebagai unsur yang dinilai dalam proses fit and proper test.
- Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF, bank syariah/UUS disarankan untuk mempertahankan atau meningkatkan penerapan seluruh faktor dari manajemen yang dimasud di atas dalam proses pemberian dan pengawasan pembiayaan oleh para pejabat yang berkaitan dengan pembiayaan secara simultan.
- Untuk mencegah atau memperkecil terjadinya NPL pada bank konvensional, disarankan untuk melakukan pencerahan unsur spiritualitas/moralitas secara konsisten sehingga dapat dipahami dan dihayati oleh para pegawai bank, menerapkan budaya malu yang dibarengi dengan penerapan reward and penalty system yang lebih tegas dan jelas, disamping meningkatkan penerapan setiap faktor manajemen internal yang dimaksud secara utuh.
5.3. Saran Penelitian Berikutnya.
Peluang bagi penelitian berikutnya: faktor-faktor lain yang tidak
diungkapkan dalam penelitian ini, dan memastikan perbedaan pengaruh
sistem perbankan syariah terhadap timbulnya NPF, dengan pengaruh
penerapan faktor-faktor yang dimaksud sebagai hasil kinerja pelakunya.
&&&&&&&&&& HHO &&&&&&&&&&
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Affandi, Nik Mohamed bin Nik Yusoff. (2002). Islam & Business. Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd, Selangor, Malaysia.
Ahamed, Liaquat. (2009). Lords of Finance, The Bankers Who Broke the World. Penguin Books, New York.
Ahmed, Salahuddin. (2006). Islamic Banking Finance and Insurance, A Global Overview. A.S. Noordeen, Gombak, Kuala Lumpur.
Ali, Achmad. (2005). Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Ghalia Indonesia, Bogor.
Ali, H. Masyud. (1999). Cermin Retak Perbankan, Refleksi Permasalahan dan Alternatif Solusi. PT. Elex Media Kompuntindo, Jakarta.
Algaoud, Latifa M. Mervyn K Lewis. (2001). Perbankan Syariah. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta. www.serambi.co.id. info@serambi.co.id.
Arifin, Zainul. (2005). Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Pustaka Alvabet, Ciputat, Jakarta. Pustaka_alvabet@yahoo.com.
Ascarya. (2007). Akad & Produk Bank Syariah. RajaGrafindo Persada, Jakarta. rajapers@indo.net.id. http://www.rajagrafindopersada.com.
Asy’arie, Musa. (2010). Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir. LESFI, Yogyakarta.
Askari, Hossein. Zamir Iqbal. Noureddine Krichene. Abbas Mirakhor. (2010). The Stability of Islamic Finance, Creating A Resilient Financial Environment For A Secure Future. John Wiley & Sons (Asia) Pte, Ltd., Singapore.
Banks, Erik. Richard Dunn. (2002). Practical Risk Management. An Executive Guide to Avoiding Surprises and Losses. John Wiley & Sons Ltd. The Atrium, Sothern Gate, Chichester, West Sussex PO 19 8SQ, England.
Beauchamp, Tom L. Norman E. Bowie. (2001). Ethical Theory and Business. Prentice Hall Inc., New Jersey.
Brewster, Mike. (2003). Unaccountable. How The Accounting Profession Forfeited A Public Trust. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
Broom, Donald M. (2003). The Evolution of Morality and Religion. Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Chapra, M. Umer. Habib Ahmed. (2008). Corporate Governance, Lembaga Keuangan Islam. Bumi Aksara, Jakarta.
Chorafas, Dimitris. (2000). Managing Credit Risk. Analysing, Rating and Pricing The Probability of Default. Euromoney Books, Nestor House, Playhouse Yard, London EC4V 5EX.
Choudhury, Masudul Alam. (2004a). The Islamic World-system, A Study in Polity-Market Interaction. Routledge Curzon, London.
Choudhury, Masudul Alam. Mohammad Ziaul Hoque. (2004b). An Advanced Exposition of Islamic Economics and Finance. The Edwin Mellen Press, New York.
Choudhury, Masudul Alam. (2002). Explaining The Qur’an- A Socio-Scientific Inquiry. The Edwin Mellen Press, New York.
Coleshaw, John. (1989). Credit Analysis, How to Measure and Manage Credit Risk.
Woodhead-Faulkner Limited, Simon & Schuster International Group,
Fitzwilliam House, 32 Trumpington Street, Cambridge CB2 1QY, England.
Colley Jr, John L. Jacqueline l. Doyle. George W. Logan. Wallace Stettinius. (2005). What is Corporate Governance?. McGraw Hill, New York.
Colquitt, Joetta. (2007). Credit Risk Management. How to Avoid Lending Disasters and Maximize Earnings. McGraw-Hill, Two Penn Plaza, New York, NY 10121-2298.
De George, Richard T. (1999). Business Ethics. Prentice Hall, New Jersey.
Dilley, Deborah K. (2008). Essentials of Banking. John Wiley & Sons, Inc. Hoboken, New Jersey.
Djumhana, Muhammad. (1996). Hukum Perbankan di Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Drennan, Lynn T. (2004). Ethics, Governance and Risk Management; Lesson From Mirror Group Newspapers and Barings Bank. Journal of Business Ethics 52 : 257- 266, ©2004 Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Ganguin, Blaise. John Bilardello. (2005). Fundamentals of Corporate Credit Analysis.The MacGraw-Hill Companies, Inc. New York, Chicago, etc.
Ganguin, Blaise. John Bilardello. (2005). Fundamentals of Corporate Credit Analysis. TheMcGraw-Hill Companies, Inc. Two Penn Plaza, New York, NY 10011-2298.
Garvey, James. (2010). 20 Karya Filsafat Terbesar. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Ghani, Muhammad Abdul. (2005). The Spirituality in Business, Pencerahan Hati Bagi Pelaku Usaha. Pena Pundi Aksara, Jakarta. penerbitpena@telkom.net.
Gie, Kwik Kian. (September 1999) Ekonomi Indonesia dalam Krisis dan Trasisi Politik, Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Gie, Kwik Kian. (November 2006). Pikiran yang Terkorupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Green, C.F. (1998). Business Ethics in Banking, Journal of Business Ethics, 1989. Kluwer Academic Publisher. Netherlands.
Gunther, Robert E. (2008). Making Smart Decisions. Pearson Education, Inc. Publishing as FT Press. Upper Saddle River, New Jersey 07458.
Harahap, Sofyan S. (2003). Pelajaran dari Krisis Asia, Edisi I. Pustaka Quantum, Jakarta, syafri@indo.net.id
Hegel, G. W. F. (1996). Philosophy of Right. Prometheus Books, Amherst, New York.
Himawan, Charles. (2006). Hukum Sebagai Panglima. Kompas. Jakarta.
Jackson, Ira A. Jane Nelson. (2004). Profits With Principles. Currency Doubleday, New York.
Kant, Immanuel. (1963). Lectures on Ethics. Harper & Row, Publishers, New York.
Kara, Muslimin. (2005). Bank Syariah di Indonesia, Analisis kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah. UII Press Yogyakarta. uiipress@uii.ac.id.
Kasmir. (2006). Manajemen Bank. RajaGrafindo Persada.
Kaufman, George G.ed. (1998). Research in Financial Services, Public and Private Policy. Jai Press Inc., London, England.
Kennedy, Susan Estabrook. (1973). The Banking Crisis of 1933. University Press of Kentucky. Lexington, Kentucky 40506.
Lehrer, Jonah. (2010). How We Decide, Kenali Cara Kerja Otak Agar Dapat Lebih Cerdas dan Tangkas Memutuskan Apa Saja. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.
Lord, Carnes. (1984). Aristotele, The Politics. The University of Chicago Press, Chicago and London.
Muhammad. (2005). Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Norton, David L. (1991). Democracy and Moral Development. University of California Press, Oxford, England.
Olegario, Rowena. (2006). A Culture of Credit, Embedding Trust and Transparency in American Business. Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, and London.
Pieris, John. Nizam Jim. (2007). Etika Bisnis & Good Corporate Governance. Pelangi Cendekia, Jakarta.
Prasetiantono, A. Tony. (2005). Rambu Rambu yang Diabaikan. Kompas, Jakarta.
Preston, Noel. (2007). Understanding Ethics. The Federation Press, Annandale, NSW, Australia.
Rakhmat, Ioanes. (2009). Socrates dalam Tetralogi Plato. Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rivai, Veithzal. Andria Permata Veithzal. Ferry N. Idroes. (2007). Bank and Financial Institution Management, Conventional & Sharia System. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Sathye, Milind. James Bartle, Michael Vincent, Raymond Boffey. (2003). Credit Analysis & Lending Management. John Wiley & Sons Australia, Ltd. Sydney, Melbourne.
Schroeck, Gerhard. (2002). Risk Management and Value Creation in Financial Institutions. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
Scott, Roman. (2003). Credit Risk Management for Emerging Markets: Lessons from the Asian Crisis. In Gaeta’s (Ed) Frontier in Credit Risk. John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Sen, Amartya. (2007). On Ethics & Economics. Blackwell Publishing, Malden, USA.
Shaw, John C. (2003). Corporate Governance & Risk, A System Approach. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
Siahaan, N. H. T. (2005). Pencucian Uang & Kejahatan Perbankan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Smith, Adam. (2000). The Theory of Moral Sentiments. Prometheus Books, New York.
Sofyan, Ahmadi. (2006). Islam on Leadership. Lintas Pustaka, Jakarta.
Supramono, Gatot. (2009). Perbankan dan Masalah Kredit. Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis. Rineka Cipta, Jakarta.
Sutojo, Siswanto. (2008). Menangani Kredit Bermasalah, Konsep dan Kasus. Damar Mulia Pustaka, Jakarta.
Sutojo, Siswanto. E. John Aldridge. (2005). Good Corporate Governance. Tata Kelola Perusahaan yang Sehat. Damar Mulia Pustaka, Jakarta.
Verhezen, Peter. (2009). Gifts, Corruption, Philantrophy, The Ambiguity of Gift Practice in Business. Peter Lang, Bern, Switzerland.
Warde, Ibrahim. (2001). Islamic Finance in the Global Economy. Edinburg University Press, Edinburg, Great Britain.
Wijaya, Krisna, Djoko Retnadi. (2005). Konsolidasi Perbankan Nasional, dari Rekapitalisasi Menuju Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Cetakan Pertama, Mei 2005, Penerbit Masyarakat Profesional Madani, Jakarta.
Wijaya, Krisna.(2010). Analisis Kebijakan Perbankan Nasional. Kompas Gramedia, Jakarta.
Wiroso. (2009). Produk Perbankan Syariah. LPFE Usakti, Jakarta.
JURNAL/ARTIKEL
Ahmed, Syeda Zabeen. (2006). An Investigation of the Relationship
Between Non Performing Loans, Macro Economics Factors, and Financial
Factors in Context of Private Commercial Banks in Bangladesh. Independent University, Bangladesh.
Akkas, S.M. Ali. (2009). Issues and Problems of Islamic Banking in Bangladesh. Akkas54@gmail.com. http://www.cdss.ingeniousbd.org.
Al-Jarhi. (2008). Islamic Finance: An Efficient & Equitable Option. The Islamic and Training Institute, The Islamic Development Bank, PO Box 9201, Jeddah, Saudi Arabia. http//: http://www.wfdd.org.uk/articles-talks/mabid.fdf.
Alon, Ilan. Edmund A Kellerman. (1999). Internal Antecedents to the 1997 Asian Economic Crisis. State University of New York College at Oneonta. Multinational Business Review, Fall 1999; 7, 2; ABI/INFORM Global.
Ali, Salman Syed. (2006 dan 2007). Financial Distress and Bank Failure: Lessons From Closure of Ihlas Finans in Turkey. Islamic Economic Studies, Vol. 14, No. 1 & 2, Agustus 2006 & Januari 2007.
Ashcraft, Adam B. (2005). Are Banks Really Special? New Evidence From The FDIC- Induced Failure of Healthy Banks. The American Economic Review, Vol. 95, No. 5 (December, 2005), pp 1712-1730. http://www.jstor.org.
Barefoot, Jo Ann S. (2002). What You Can Learn From Enron? How to Know if You are Creating a Climate of Rule Breaking. American Bankers Association. ABA Banking Journal, August 2002; 94, 8; ABI/INFORM Global.
Bathory, Alexander. (1987). The Analysis of Credit, Foundations and Development of Corporate Credit Assessment. McGraw Hill Book Company (UK) Limited, Maidenhead, Berkshire, England.
Batunanggar, Sukarela. (2002). Indonesia’s Banking Crisis Resolution, Lessons and The Way Forward, (2 December 2002), presented at the Banking Crisis Resolution Conference, CCBS, Bank of England, London.
Berger, Allen N. Robert De Young. (1997). Problem Loans and Cost Efficiency in Commercial Banks. Elsevier. Journal of Banking & Finance 21 (1997) 849-870.
Boffey, R. G.N. Robson. (1995). Bank Credit Risk Management. Managerial Finance., 1995; 21, 1; ABI/INFORM Global.
Bowie, Norman E. (1998). A Kantian Theory of Capitalism. Ruffin Series in Business Ethics, ABI/INFORM Global, pg 37.
Breuer, Janice Boucher. (2006). Problem Bank Loans, Conflicts of Interest,and institutions. ScienceDirect, Journal of Financial Stability 2 (2006) 266-285. http://www.elsevier.com/locate/jfstabil.
Brownbridge, Martin. (1998). The Causes of Financial Distress in Local Banks in Africa and Implication for Prudential Policy. UNCTAD/OSG/DP/132. Nicole.winch@unctad.org.
Calomiris, Charles W. Daniela Klingebiel. Luc Laeven. (August 2004). A Taxonomy of Financial Crisis Resolution Mechanism: Cross Country Experience. World Bank Policy Research Working Paper 3379.cc.374@columbia.edu, dklingebiel@worldbank.org,Laeven@worldbank.org.
Caprio, Gerald Jr. (1998). Banking on Crises: Expensive Lessons From Recent Financial Crisis. Development Research Group, The World Bank.
Caprio Jr, Gerald. Daniela Klingebiel. (1996). Bank Insolvency: Bad Luck, Bad Policy, or Bad Banking?.
Annual World Bank Conference on Development Economics 1996, ©1997. The
International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank.
Carretta, Alessandro. Farina, Vincenzo. Franco, Fiordelisi. Schwizer, Paola. (2008). Corporate Culture and Shareholder Value in Banking Industry. Munich Personal Repec Archive. http://mpra.ub.uni-muenchen.de/8304/. MPRA Paper No. 8304.
Chan-Lau, Jorge A. Zhaohui Chen. (August 1988). Financial Crisis
and Credit Crunch as a Result of Inefficient Financial Intermediation-
with reference to the Asian Financial Crisis. IMF Working Paper. International Monetary Fund, Research Department. jcchanlau@imf. org, zchen@imf.org.
Cheng, Harrison. (2000). Folk Theorem with One-Sided Moral Hazard: Necessary and Sufficient Conditions. Review of Economic Dynamics 3, 338-363 (2000). http:www.idealibrary.com.
Chong, Beng Soon. Ming –Hua Liu. (2007). Islamic Banking: Interest-Free or Interest Based? http://www.docstoc.com/docs/DownloadDoc.aspx?doc_id=3867212.
Clair, R.T. (1992). Loan Growthand Loan Quality: Some Preliminary Evidence from Texas Banks. Economic Review, Federal Reserve Bank of Dallas.
Collyns, Charles. Abdelhak Senhadji. January (2002). Lending Booms, Real Estate Bubbles and The Asian Crisis. IMF Working Paper, WP/02/20.©2002 International Monetary Fund. ccollyns@imf.org, asenhadji@imf.org.
Coyle, Brian. (2000). Corporate Credit Analysis. CIB
Publishing, c/o The Chartered Institute of Bankers, Emmanuel House, 4-9
Burgate Lane, Caterbury, Kent, CT1 2Xj, United Kingdom.
Dean, Gary. October (1999). East Asia and the Roots of the Economic Crisis. http://www.okusi.net/garydean/works/eastasiancrisis.html
Dean, Gary. September (1999). Indonesia’s Economic Development in Comparison to South Korea and Taiwan. http://www.okusi.net/garydean/works/indEcdev.html.
Demyanyk, Yuliya. Iftekhar Hasan. (2009). Financial Crisis and Bank Failure: A Review of Prediction Methods. Federal Reserve Bank of Cleveland. http://www.clevelandfed.org/research/workpaper/2009/wp0904.pdf.
Denison, Daniel R. Aneil K. Mishra. (1995). Toward a Theory of Organizational Culture and Effectiveness. Organization Science, vol. 6, No. 2, March-April 1995. http://web.chungnam.ac.kr / Cnupa/way_board/db/pa-data2file/4434849.pdf.
Dhanuskodi, R. (2006). A Study on Non Performing Assets (NPAs) With Special Reference to Commercial Bankm of Ethiopia (CBE). D_kodiudt@yahoo.co.in
Diamond, D. (1984). Financial Intermediation and Delegated Monitoring. Rev. Econ. Stud. 51, 393-414.
Diamond, Douglas W. (1996). Financial Intermediation as Delegated Monitoring: A Simple Example. Federal Reserve Bank of Richmond, Economic Quartely Review, Volume 82/3 Summer 1996.
Djohanputro, Bramantyo. Ronny Kountur. Juli. (2007). Non Performing Loan (NPL), Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Laporan Penelitian, Kerjasama antara GTZ dan Bank Indonesia.
Eisenhardt, Kathleen M. (1989). Agency Theory: An Assessment and Review. Academy of Management Review, Jan 1989; 14, I; ABI/INFORM Global.
Florini, Ann M. (1999). Does the Invisible Hand Need a Transparent Glove? The Annual World Bank Conference on Development Economics, Washinton DC, April 28-30, 1999.
Fofack, Hippolyte. (2005). Nonperforming Loans in Sub-Saharan Africa: Causal Analysis and Macroeconomic Implications. IMF Working Paper, WP/04/129, International Monetary Fund.
Fuertes, Ana Maria. Zulma Espinola. (2006). Towards the Early Signalling of Banking Crises: the Case of Paraguay. Central Bank of Paraguay.
Gamble, William. (2003). Going Bust: Overcoming a Dysfunctional Credit System. Harvard International Review, Summer 2003, 25, 2; ABI/Inform Global.
Godlewski, Christophe J. (2004). Excess Credit Risk and Bank’s
Default Risk an Application of Default Prediction’s Models to Banks from
Emerging Market Economies. christophe.godlewski@urs.u-strasbg.fr.
Guseva, Alya. Akos Rona-Tas. (2001). Uncertainty, Risk, and Trust: Russian and American Credit Card Markets Compared. American Sociological Review, Oct 2001; 66, 5; ABI/INFORM Global.
Haggar, Stephan. Andrew McIntyre. (August 1999). The Politics of Moral Hazard: The Origins of Financial Crisis in Indonesia, Korea and Thailand. The International Centre for the Study of East Asian Development, Kitakyusu. Working Paper Series Vol. 99-14.
Harish, Janani. (2003). Value in Business. Spirituality and Prosperity Magazine. November-December 2003, p. 11-12. Kerala, India. lordsrikrishna@mail.com.
Honohan, P. (1997). Banking System Failures in Developing and Transition Countries: Diagnosis and Predictions. BIS Working Paper 39.
Husain, Ishrat. (2005). Culture, Ethics, and Values in the Banking System. Presidential Address at the 55th Annual Meeting of the Institute of Bankers of Pakistan, Karachi, 17 September 2005.
Ibrahim, Badr El Din A. (2006). The ”missing links” between
Islamic development objectives and the current practice of Islamic
banking- the experience of the Sudanese Islamic banks (SIBs). Humanomics Vol. 22 No. 2, 2006, pp. 56-66. ÓEmerald Group Publishing Limited. http://www.emeraldinsight.com/0828-86666.htm.
IMF Staff. (June 1998). The Asian Crisis, Causes and Cures, Finance & Development.
Iqbal, Zamir. (1997). Islamic Financial Systems. http://www.imf.org/external/pvbs/ft/fandd/1997/06/pdf/iqbal.pdf.
Jamison, Mark A. (1998). Agency Problems in Industries Undergoing Fundamental Change: Application to Telecommunications. Public Utility Research Center, University of Florida.
Jankowiccz, A.D. R.D. Hisrich. (1987). Intuition in Small Business Lending Decisions. Journal of Small Business Management, Jul 1987; 25, 3; ABI/INFORM Global.
Jiangli, Wenying. Haluk Unal, Chiwon Yom. (September 2004). Relationship Lending, Accounting Disclosure, and Credit Availability during Crisis. wjiangli@fdic.gov, hunal@rhsmith.umd.edu, cyom@fdic.gov.
Karwowski, Ewa. (2009). Financial Stability: The Significance and Distinctiveness of Islamic Banking in Malaysia. University of London. ewa.karowski@yahoo.de.
Keeton, William R. CharlesS.Moris. (1987). Why Do Banks’Loan Losses Differ?. Federal Reserve Bankof Kansas City. Economic Review, May 1987.
Khan, M. Fahim. (1991). Comparative Economics of Some Islamic Financing Techniques. Islamic Development Bank,Jeddah, Saudi Arabia.
Kaufman, George G. Kenneth E. Scott. (2000). Does Bank Regulation Retard or Contribute to Systemic Risk? Revised Draft 11/29/00. Loyola University Chicago and Stanford Law School.
Koford, Kenneth, Adrian E. Tschoegl. (September 8, 1997). Problems of Bank Lending in Bulgaria: Information Asymmetry and Institutional Learning,. Wharton School, University of Pennsylvania.
Kornai, Janos. (2000). Hardening The Budget Constraint: The Experience of the Post- Socialist Countries. Harvard University, Cambridge. European Economic Review 45 (2001) 1573-1599. http://www.elsevier.com/locate/econbase.
Komatsu, Masaaki, (2007), Asian Financial Crisis and Its Lesson – Indonesia, Hiroshima University, www.rieti.com
Krugman, Paul. (1998). What Happened To Asia? http://webt.mit.edu/krugman/www/
Kwak, S.Y. (2000). An Empirical Analysis of the Factors Determining the Financial Crisis in Asia. Journal of Asian Economics, 11. 195-206.
Lago, Ricardo. (2002). The Financial Sector in Transition Economies Ten Years After: The Issues, The Record, and The Challenges. Tiger Working Paper Series No. 23, Warsaw. lagor@cbrd.com
Lahiri, Ashok K. (2002). Rising NPAs: Where ha all the money gone?. http://www.rediff.com/money/2002/aug/01spec.htm
Lauridsen, Laurids S., Roskilde University, Denmark. (1998). The Financial Crisis in Thailand: Causes, Conduct and Consequences? World Development Vol. 26, No. 8 pp 1575- 1591, Pergamon.
Levine, Ross. Norman Loayza, Thorsten Beck. (2000). Finacial Intermediation and Growth: Causality and Causes. www.worldbank.org/html/dec/publications/workpapers/wps 2000 series/wps 2059/wps2059.pdf.
Li, Yang. (2003). The Asian Financial Crisis and Non-Performing Loans: Evidence From Commercial Banks in Taiwan, March 31, 2003, International Journal of Management Vol. 20, Issue 1, pp 69-74, International Journal of Management.
Lis, Santiago Fernandez de, Jorge Martinez Pages. Jesus Saurina. (2000). Credit Growth, Problem Loans and Credit Risk Provisioning in Spain. Banco de Espana, Servicio de Estudios, Documento de Trabajo n. 0018.
Lukviarman, Niki. (2004). Etika Bisnis Tak Berjalan di Indonesia: Ada Apa Dalam Corporate Governance? Jurnal Siasat Bisnis No. 9 Vol. 2, Desember 2004.
McGovern, John. (2001) Why Bad Loans Happens to Good Banks. RMA Journal. http://findarticles.com/p/article/mi-m01TW/is-3-84/ai-n14897011.
Menkhoff, Lukas. Chodechai Suwanaporn. (2005). On the Rationale of Bank Lending in Pre-Crisis Thailand. Discussion Paper No. 326, ISSN 0949-9962.menkhoff@gif.uni_hannover.de
Mishkin, Frederic S. (May 1996). Understanding Financial Crisis: A Developing Country Prespective. Federal Reserve Bank of New York, 33 Liberty Street, New york, NY 10045.
Monks, Robert A.G. Nell Minow. (2004). Corporate Governance. Blackwell Publishing, Malden, USA.
Mukherjee, Paramita. (2003). Dealing with NPAs: Lessons from International Experiences. Icra Bulletin, Money & Finance, Jan-March 2003. http://www.icraratings.com/money_finance/janmarch2003internationalexp.pdf
Mustanoja, Leila. (2002). Transparency or High Risks?, A Profile in Public Information Disclosure in Export Credit Agencies, Published by the Finnish ECA Reform Campaign, Helsinki.
Negrin, Jose L. (2004). The Importance of Borrowers ’History on Credit Behavior: The Mexican Experience. Economic Studies, Banco de Mexico.jlnegrin@banxico.org.mx.
Petersson, Jessica. Isac Wadman. (2004). Non Performing Loans. The Markets of Italy and Sweden. www.diva-portal.org/diva/get Document?omn-nbn-se-uu-diva-7004.2-fulltext.pdf(d/w 14/4/2008).
Pontell, Henry N. (2003). Control Fraud, Gambling for Resurrection, and Moral Hazard: Accounting for White Collar Crime in the Savings and Loan Crisis. Department
of Criminology, Law and Society, School of Social Ecology, University
of California, Irvine, CA 92697-7080, USA. The Journal of Socio
Economics 34 (2005) 756-770. http://www.elsevier.com/locate/enconbase.
Pound, John. (1995). The Promiseof the Governed Corporation. In Harvard Business Review on Corporate Governance.Harvard Buisness School Press, Boston.
Radelet, Steven. Jeffrey Sachs. (April 1998). The East Asian Financial Crisis: Diagnosis, Remedies, Prospects. Harvard Institute for International Development.
Rahman, Abdul Rahim Abdul. (2007). Islamic Banking and Finance: Between Ideals and Realities. IIUM Journal of economics and Management 15, No. 2 (2007); 120-141.
Reyes, Juan Antonio Ibanez, Jose Roany Toc Bac, Lilun Huang. (tdk bertanggal) Mexico’s 1994 Financial Crisis.
Sarker, Md. Abdul Awwal.(1999). Islamic Banking in Bangladesh: Performance, Problems & Prospects. International Journal of Islamic Financial Services, Vol. 1, No. 3.
Scholtens, Bert. Dick van Wensveen. (2003). The Theory of Financial Intermediation: An Essay on What It Does (not) Explain. SUERF (SUERF Studies; 2003/1), ISBN 3-902109-15-7. ©2003 SUERF. The European Money and Finance Forum, Vienna.
Sergio, M. (1996). Non Performing Bank Loans: Cyclical Patterns and Sectoral Risk. Review of Economic Conditions in Italy, Rome. Jan-Jun 1996, Issue 1.
Setiawan, Chandra. (2009). Waspada terhadap kemerosotan kualitas Asset di Bank Syariah (Islam). http://data5.blog.de/media/672/2703672_9003a9ac20_d.pdf.
Sgard, Jerome. (July 2008). Credit Crisis and The Role of Banks During Transition: A Five-Country Comparison. CEPPII, Document de travail No. 1996- 08 July. SGARD@CEPII.FR.
Shaleh, H.M. Ashraf, (2002). Takwa dalam Al Quan, Makna dan Hikmahnya. Penerbit Erlangga, Jakarta. http://www.erlangga.co.id.
Sharma, Meena. (2005). Problems of NPAs and Its Impact on Strategic Banking Variables. Finance India, Vol. XIX No. 3, Sept 2005; Pages 953-967. 19, 3; ABI/INFORM Global
Shen, Chung-Hua. Meng-Fen Hsieh. (2004). Prediction of Bank failures using Combined Micro and Macro Data. chshen@nccu.edu.tw, sndrah@cc.vit.edu.tw.
Shiong, Tan Tok. (2006). Why Bank Scandals Happened Frequently in Malaysia? Faculty of Economics & Administration, University of Malaya, http://www.fep.um.edu.my/working papers/2006/FEA-wp-2006-002.pdf.
Soral, H. Bartu. Tlan B. Iscan, Gregory Hebb. (2006). Fraud, Banking Crisis, and Regulatory Enforcement: Evidence From Micro-Level Transaction data. Eur J Law Econ (2006) 21 : 179-197. DOI 10.1007/s 1065-006-6649-y. Springer Science + Business Media, Inc.2006.
Stiglitz, J. A. Weiss. (1981). Credit Rationing in Markets with Imperfect Information. American Economic Review. 71, 393-410.
Streeter, William W. Editor. (1993). The Future of Banking is Already Here. American Bankers Association. ABA Banking Journal; Nov 1993; 85, 11; ABI/INFORM Global.
Tahir, Sayyid. (2003). Future of Islamic Banking. International Islamic University, Islamabad. http://www.docstoc.com/docs/DownloadDoc.aspx?doc_id=2456669.
Trontin, Christian. Sophie Bejean. (2004). Prevention of Occupational Injuries: Moral Hazard and Complex Agency Relationships. Safety Science 42 (2004) 121-141. http://www.elsevier.com/locate/ssci
Vale, Bent. (2004). The Norwegian Banking Crisis. Thorvald
G. Moe, Jon A. Solheim, and Bent Vale (eds). The Norwegian Banking
Crisis. Norges Bank, Occasional Papers, No. 33. 2004, Oslo.
Verschoor, Curtis C. (2004). Is Ethics Awareness Enough? Strategic Finance; Jun 2004; 85, 12; ABI/INFORM Global.
Vihriala, Vesa. (1997). Banks and the Finish Credit Cycle, 1986-1995. Suomen Pankki, Bank of Finland. Bank of Finland Studies E : 7 1997, Helsinki..
Viotti, Staffan. (2000). Dealing With Banking Crises- Proposal For a New Regulatory Framework. Economic Review 3/2000, pp 46-63.
Wolfson, Martin H. (1996). A Post Keynesian Theory of Credit Rationing. Journal of Post Keynesian Economics, Spring 1996; 18, 3; ABI/INFORM Global pg. 443.
Wu, Wen Chieh. Chin Oh Chang. Zekiye Selvili. (2003). Banking System, Real Estate Markets, and Nonperforming Loans. International Real Estate Review, 2003 Vol. 6 No. 1, pp 43-62.
ARTIKEL KORAN
Dubai tidak Tanggungjawab Utang Dubai World. (2 Desember 2009). Media Indonesia.
Korupsi sampai sekolah. Koruptor sudah bermuka badak. (6 Juni 2011). Kompas.
Penyaluran Kredit, Antara Seni dan Peluang Permainan. Kompas, 12 Oktober 2005.
WEBSITE
Benang Kusut Kredit Macet. (25 Juli 1997). Susidarto. Kompas.
Kredit Macet, Sebuah Persoalan. Analisis Kwik Kian Gie. (4 Mei 1993). Kompas.
Tulisan ini diterbitkan di:
http://hho3.wordpress.com/2011/11/24/ringkasan-disertasi-ief-usakti/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar