Selasa, 10 September 2013

Ringkasan Disertasi IEF Universitas Trisakti

Ringkasan Disertasi

 Pengaruh Kualifikasi Personal, Lingkungan Institusi, dan Lingkungan Proses serta Pengawasan dalam Pemberian Pinjaman/Pembiayaan terhadap Timbulnya NPL/NPF
Studi Komparatif di Bank Konvensional
dan Bank Syariah di Indonesia






Hendy Herijanto
NIM  :  222051204



PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI
JAKARTA
2011




Telah Diuji/dan Dinilai pada Ujian Tertutup
Tanggal 21 Juli 2011

TIM PENGUJI DISERTASI
Ketua                         :  Prof. Dr. Thoby Mutis
Sekretaris Sidang     :  Prof. Dr. Wahyudi Wisaksono
Promotor                   :  Prof. Dr. Sofyan Syafri Harahap, MSAc
Co-Promotor             :  – Prof. Dr. Fathurrahman Djamil
- Dr. Subarjo Joyosumarto
Anggota                  :  – Prof. Dr. Yuswar Zainul Basri, Ak. MBA
- Prof. Dr. Zulkifli Hasin
- Prof. Dr. Itjang D. Gunawan, Ak. MBA
- Prof. Dr. Farida Jasfar, ME, PhD
- Prof. Dr. Asep Hermawan, MSc
- Dr. Mustafa Edwin Nasution





UCAPAN TERIMA KASIH

Tak ada kata lain yang patut kami ucapkan selain syukur alhamdulilah kehadirat Allah SWT, Sang Pencipta langit dan bumi serta sekalian alam, atas karunia dan hidayah-Nya, perjalanan panjang di IEF Trisakti akhirnya dapat dilengkapi dengan Disertasi yang telah disidangkan dan penulis dinyatakan lulus, pada tanggal 21 Juli 2011, di hadapan Tim Penguji yang dipimpin oleh Rektor Universitas Trisakti, Bpk. Prof. Dr. Thoby Mutis. Dalam kesempatan ini, perkenankan kami mengucapkan rasa terima kasih yang dalam dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Yang Terhormat :
  1. Bapak Prof. Dr. Thoby Mutis, sebagai Ketua Tim Penguji, serta para anggota Tim Penguji : Bapak Prof. Dr. Wahyudi Wisaksono, Prof. Dr. Yuswar Basri, Prof. Dr. Zulkifli Husin, Prof. Dr. Wan Usman, Prof. Dr. Farida Jasfar, ME, Prof. Dr. Asep Hermawan, Dr. Mustafa Edwin Nasution, Prof. Dr. Itjang D. Gunawan, Ak. MBA.
  2. Bapak Prof. Dr. Sofyan Syafri Harahap, MSAc, SE, Ak, sebagai Promotor, Bapak Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, dan Bapak Dr. Subarjo Joyosumarto, masing-masing sebagai Co-Promotor, yang telah membimbing dan mengarahkan kami, sehingga penulisan Disertasi dapat dirampungkan dengan baik. Draft awal dari Disertasi ini semula berjumlah lebih dari seribu halaman; dan atas saran dan petunjuk Prof. Sofyan, diringkas menjadi lebih dari tiga ratus halaman.
  3. Pimpinan Program Pasca Sarjana, IEF, Universitas Trisakti, Bapak Prof. Dr. Sofyan Syafri Harahap MSAc, SE, Ak, beserta seluruh staf administrasi, yang telah banyak membantu penulis sehingga seluruh ujian yang diperlukan dapat terlaksana dengan baik.
  4. Prof. Dr. Masudul Alam Choudury, yang mengenalkan dan mengajarkan kami prinsip Ketauhidan melalui TSR dan IIE Process yang dikembangkannya. Ilmu yang diberikannya ini merupakan awal dan petunjuk yang terang dari segi pendekatan ilmiah terhadap ilmu Tuhan, yang telah mengantarkan kami pula untuk memperlajari ayat-ayat Al-Qur’an, dan sampai saat ini masih kami lakukan.
  5. Ustadz Sudjadi yang membimbing kami mulai dengan membaca Al-Qu’ran bahkan dari alif ba ta, sampai belajar tafsirnya ayat demi ayat.
  6. Dr. Peter Verhezen. Sebagai seorang akademisi tulen, sekaligus seorang moralis sejati, Peter, yang pertama kali, menjelaskan kepada kami filsafat dari Aristotle, Socrates, Plato, dan Kant serta lainnya. Karena Peter belajar bahasa latin, beliau pula yang menguraikan arti kata-kata latin, seperti eudaimonia, oikonomia, arete, dan daimon.
  7. Bapak Sutrisno Harisadono S.Si., MM. yang telah mengabdikan hidup dan karirnya di bidang stastistik, dan bekerja sampai pensiun di Biro Pusat Statistik. Bagi kami, beliau adalah seorang profesional sejati, di bidangnya, tetapi sikapnya sudah sangat langka diketemukan dalam masyarakat Indonesia saat ini. Beliau memberikan apa yang kami sangat perlukan untuk memastikan hasil penelitian ini bernilai ilmiah dengan segala kejujuran, bukan plagiat, bukan rekayasa, bukan membelokkan proses dan hasil perhitungan statistik, yang seharusnya bernilai positif dibuat menjadi negatif.
  8. Ibu Dwi Setiawati, yang telah mengkoordinir Timnya dalam menyebarkan kuesioner ke-58 bank konvensional dan syariah, serta mengumpulkan seluruh data yang diperlukan. Karena kepiawaian dan kewibawaan beliau, pengalamannya, hubungan yang baik dengan pihak bank, kami akui bahwa data yang diperoleh itu adalah hasil yang sungguh-sungguh dan secara jujur diberikan oleh para responden.
  9. Seluruh manajemen bank dan para responden yang telah membantu kami sehingga kuesioner dapat diisi dengan sempurna; tanpa bantuan mereka yang tulus itu, Disertasi ini tidak mungkin dapat diselesaikan.
  10. Khususnya, kepada Bank Muamalat dan Bank Syariah Mandiri, serta Bapak Firman Sofyan, kami sangat bersyukur dapat memperoleh percerahan mengenai praktik pelaksanaan prinsip syariah di lapangan, melalui kesempatan yang diberikan untuk berwawancara.
  11. Bapak-bapak dosen di Program Pasca Sarjana, IEF, Universitas Trisakti, yang telah membekali kami dengan ilmu pengetahuan selama mengikuti kuliah sebagai bekal yang sangat berguna dalam penyiapan penelitian dan penulisan Disertasi.
  12. Para staf PT. Asia Multidana, yang langsung atau tidak langsung, membantu paling tidak melalui dukungan moril.
  13. Nida dan kakaknya Adam, sebelumnya Sukma, kemudian Nur Fajriyah Mahfiroh Timas, S.Pd., telah banyak membantu penulis dalam mencari jurnal atau paper dari seluruh dunia melalui website, dan berhasil mengumpulkan tidak kurang dari seribu tulisan dalam kurun waktu empat tahun mulai tahun 2006. Diantaranya, tidak kurang dari empat ratus jurnal/paper digunakan sebagai referensi dalam Disertasi ini.
  14. Semua teman-teman yang ada di Program IEF, terutama rekan angkatan kedua yang sama-sama belajar dengan penulis, serta seluruh kerabat yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Last but not least, rasa terima kasih dan penghargaan kami sampaikan pula kepada istri dan anak-anak, serta sepupu Dewi Reni SE. AK, M.Si, atas pengorbanan dan pengertiannya, sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Kami panjatkan pula doa kepada Allah SWT bagi kedua orang tua dan adik kami tercinta yang telah mendahului kami, agar mereka selalu mendapat tempat yang baik di sisi Allah SWT. Adalah berkat jerih payah, pengorbanan, dan doa mereka semasa hidupnya, kami sampai ke titik pendidikan yang tinggi ini, tanpa semua itu mustahil kami dapat mencapainya.

Kami menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, dan oleh karena itu kami akan menerima dengan senang hati segala kritikan yang membangun. Semoga Disertasi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bagi lingkungan perbankan, baik bank syariah maupun bank konvensional, sehingga tingkat NPL/NPF dapat ditekan serendah mungkin.

Akhirul khalam, sekali lagi kami berterima kasih setulus-tulusnya kepada semua pihak, atas pengertian dan dukungan morilnya sehingga kami dapat meyelesaikan program di IEF dengan baik. Kami berdoa ke hadirat Allah SWT, Penguasa sekalian alam, dan salawat kami sampaikan kepada Junjungan kita Nabi Muhammad SAW, agar semua pihak tersebut selalu diberikan hidayah dan karunia-Nya yang setimpal. Amien ya robbal alamin.


Jakarta, 24 Juli 2011
H. Hendy Herijanto Oejoen Dt. Rajo Hitam



ABSTRACT
Many earlier studies as discussed in this Disertation prove that financial or banking crises, or individual bank failure, were attributable to the accumulation of Non Performing Loan or NPL, which is identical to Non Performing Financing or NPF for syariah or Islamic  banks.  In micro perspective, it is the bank through its internal management which process, approve and extend loans, and face the burden of the NPL. It is the internal management who actually control the quality of its loan or financing portefolio, whereas NPL/NPF is the proxy of the said quality. To do the job properly, the internal manangement needs a three set of group attributes, comprising the personnel qualifications, the institutional environment or qualification that could influence the decision making to approve or disapprove loan/financing, and the process and control environment needed in making the decision itself as well as to safeguard its proper implementaion. Hence, the objective of this study is to find out whether or not those attributes could affect the creation of NPL/NPF in conventional and syariah banks. The other objectives are to find out whether or not there is any difference of influence of those attributes as applied in syariah bank than in conventional bank, and what causes the difference, if any.

This study begins to approach the issue by applying the agency theory, moral hazard theory, and stakeholder theory, as well as the ‘Adverse Selection’ theory by Stiglitz and Weiss (1981) and ‘Bad Management’ by Berger and Young (1997). The last two theories mainly refer to the processing part of the matter to start with, but the last one uses a concept where it is the management (of a bank) that must be questioned how efficient they do their job. Management is a wide concept, and as such, which managerial factors that could affect the creation of NPL/NPF must be detailed. This study could breakdown the three group attributes above to constitute eleven factors, i.e. credit knowledge and skills, integrity and professionalism, spirituality level, moral leadership, organizational/corporate culture, hard budget policy, reward and penalty system, credit culture, reputation checking, due diligence and care, and credit supervision or audit.

Further, this study hypothesizes that these eleven factors could affect the creation of NPL/NPF, and the creation of NPF is lower in Islamic bank than that of NPL in conventional bank, because the application of those factors is hypothesized stronger or better in the first type of bank by its management than in the second, due to its philosophy and the laws that govern.

A research has been completed, employing statistical variance and F test on the data gathered from all the 28 Islamic banks/Banking Units in existence, and 28 conventional banks. The study has concluded that all the eleven factors of the internal management can influence the creation of NPL/ NPF in both banks. The study further proves that these factors, independently or as the combination of all, are applied better in syariah bank than in conventional bank, due to the fact that  the syariah concept itself not only applied in conducting the business, but also used as a moral reference in dayly working environment. As a result, the average level of NPF is lower in the bank syariah than the NPL level of the conventional bank under study.    

Keywords :  Internal management, NPL/NPF, the institutional environment affecting decision making, the personnel qualifications, the process and control environment.



DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………. i
PENGESAHAN…………………………………………………………………………. ii
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………………….. iii
ABSTRACT ……………………………………………………………………………… vi
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………. viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP / CV (Terlampir)
Halaman
1. . PENDAHULUAN ………………………………………………………………… 1
I.1.    Latar Belakang Penelitian ………………………………………………… 1
I.2.    Ruang Lingkup dan Perumusan Masalah Penelitian ………… 2
I.3.    Perumusan Masalah Penelitian ……………………………………….. 3
I.4.    Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………………….. 3
I.5.    Signifikansi Penelitian ……………………………………………………… 4
I.6.    Teknis Penelitian …………………………………………………………….. 4
I.7.    Sistematika Penelitian ……………………………………………………… 4
2. TINJAUAN LITERATUR : HAL IKHWAL DALAM  PEMBERIAN PINJAMAN / PEMBIAYAAN…………………………………………………… 6

2.1. Fungsi Bank dan Faktor Kegagalan…………………………. 6

2.1.1. Fungsi Bank……………………………………………………………………… 6
2.1.2. Faktor Kegagalan Bank…………………………………………………….. 6
2.1.2.1. Masalah dalam Kegiatan Pinjam-Meminjam Uang…………. 6
2.1.2.2. Masalah Lingkungan Operasional Bank…………………………. 8
2.1.2.3. Konsep Etika Bagi Pemroses Kredit………………………………. 10
2.2. Proses Pemberian Kredit……………………………………………………. 11
2.2.1. Risiko Kredit…………………………………………………………………….. 12
2.2.2. Masalah Jaminan atau Kolateral………………………………………. 13
2.2.3. Account Officer Sebagai Pemroses Kredit Utama……………. 13

2.2.4. Pentingnya  Trust dan Reputasi

          Pada Pemroses Kredit dan Debitor ………………………… 13

2.2.5. Pemutus Kredit………………………………………………………………… 14
2.2.6. Keputusan Kredit…………………………………………………………….. 14
2.3. Bank Konvensional Vs Bank Syariah…………………………………… 16
2.4. Tawhidi String Relation (TSR) dan Interactive, Integrative,
And Evolutionary Process (IIE Process)………………………………….. 21
3.   PENYEBAB TIMBULNYA NPL/NPF, KERANGKA PEMIKIRAN
DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS……………………………………… 24
3.1. Penyebab Timbulnya NPL/NPF……………………………………….. 24
3.1.1. Hakekat dari NPL/NPF………………………………………………….. 24
3.1.2. Ketentuan Kolektibilitas…………………………………………………. 24
3.1.3. Penyebab NPL/NPF………………………………………………………. 24
3.1.3.1. Dari Segi Waktu dan Tahapan……………………………………… 24
3.1.3.2. Proses Timbulnya NPL/NPF: Gradual atau Langsung.. 25
3.1.3.3. Faktor Mikro dan Makro…………………………………………….. 26
3.1.4. Konvergensi pada Faktor Mikro…………………………………….. 26
3.1.5. Faktor Mikro Paling Menentukan………………………………….. 27
3.1.6. Penyebab NPL/NPF: Faktor-Faktor Mikro…………………… 28
3.1.6.1. Masalah Manajemen Internal……………………………………… 28
3.1.6.2. Kebijakan Pemberian Kredit dan Canons of Lending…… 28
3.1.7. Penekanan pada Kualitas Institusi Perbankan……………….. 28
3.1.8. Masalah Kepemimpinan…………………………………………………. 28
3.1.9. The People, The Policy, and The Practice……………………… 29
3.1.10. Penyebab Pembiayaan Bermasalah (NPF)…………………… 29
3.1.11. Faktor-Faktor Mikro Lainnya………………………………………. 30
3.1.11.1. Penerapan Pengetahuan dan Keahlian Perkreditan……. 32
3.1.11.2. Profesionalisme dan Integritas…………………………………… 32
3.1.11.3. Tingkat Spiritualitas………………………………………………….. 33
3.1.11.4. Moral Leadership……………………………………………………… 33
3.1.11.5. Corporate Culture…………………………………………………….. 33
3.1.11.6. Hard Budget Constraint…………………………………………… 34
3.1.11.7. Reward & Penalty System……………………………………….. 34
3.1.11.8. Credit Culture………………………………………………………….. 35
3.1.11.9. Pengecekan Reputasi……………………………………………….. 35
3.1.11.10. Due Diligence dan Due Care…………………………………… 35
3.1.11.11. Pengawasan Kredit…………………………………………………. 36
3.1.12. Penggunaan Sejumlah Variabel Mikro
Pada Penelitian Terdahulu……………………………………………………… 36
3.1.13. Penerapan pada Chase Jakarta……………………………………. 36
3.2. Kerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis…………. 37
3.2.1. Kerangka Pemikiran……………………………………………………… 37
3.2.1.1. Model Pendekatan Manajemen Internal…………………….. 39
3.2.1.2. Bank sebagai Badan Hukum……………………………………….. 39
3.2.1.3. Organ Badan Hukum………………………………………………….. 40
3.2.1.4. Jiwa Badan Hukum…………………………………………………….. 40
3.2.1.5. Kehidupan yang Bermanfaat……………………………………….. 41
3.2.1.6. Hidup Atas Kemampuan……………………………………………… 41
3.2.1.7. Studi Teoritik : Teori Terdahulu………………………………….. 42
3.2.1.8. Penelitian Terakhir dengan Pendekatan Mikro:
Studi Empirik…………………………………………………………………………… 46
3.2.2. Pengembangan Hipotesis……………………………………………….. 47
3.2.2.1. Faktor-Faktor Manajemen Internal:
Penyebab NPL/NPF……………………………………………………………….. 47
3.2.2.2. Di Tingkat Individu: Personal Qualification……………….. 50
3.2.2.3. Pada Tingkat Institusi: Institutional Environment …….. 51
3.2.2.4. Di Tingkat Proses dan Pengawasan:
Process & Control Environment …………………………………………….. 53
4.    METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………. 56
4.1. Metode Penelitian…………………………………………………………….. 56
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………….. 56
4.3. Teknik Pengambilan Sampel…………………………………………….. 57
4.4. Instrumen Penelitian………………………………………………………… 57
4.5. Kalibrasi dan Uji Coba Instrumen Penelitian…………………….. 57
4.6. Teknik Pengumpulan Data……………………………………………….. 58
4.7. Teknik Analisis Data…………………………………………………………. 58
5.   PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN, KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………………………………………………….. 60
5.1. Deskripsi Data…………………………………………………………………. 60
5.1.1. Uji Prasyarat Hipotesis…………………………………………………. 60
5.1.1.1. Uji Normalitas Data……………………………………………………. 60
5.1.1.2. Uji Homogenitas Data………………………………………………… 60
5.1.2. Pengujian Hipotesis Penelitian……………………………………… 60
5.1.3. Pembahasan Hasil Penelitian………………………………………… 63
5.2. Kesimpulan……………………………………………………………………… 72
5.2.1. Implikasi………………………………………………………………………. 72
5.2.2. Keterbatasan Penelitian………………………………………………… 74
5.2.3. Implikasi Kebijakan………………………………………………………. 74
5.3. Saran Penelitian Berikutnya…………………………………………….. 75
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………. 76
Buku ……………………………………………………………………………………… 76
Jurnal/Artikel ……………………………………………………………………….. 82
Artikel Koran/Majalah…………………………………………………………… 93
Website …………………………………………………………………………………. 93
DAFTAR RIWAYAT HIDUP / CV



1. PENDAHULUAN

I.1.    Latar Belakang Penelitian

Krisis tahun 1997/1998 di Indonesia memang menimbulkan NPL baru yang besar. Tetapi, ternyata, sebelum krisis, perbankan Indonesia telah mengandung tingkat NPL yang tinggi, mencapai 50-70% (Gie, 1999 : 145-146). Negara-negara ASEAN lainnya mengalami hal yang sama (Alon dan Kellerman, 1999; dan lainnya). Krisis di Thailand, yang dianggap menular ke Indonesia, juga berawal dari masalah NPL (Menkhoff dan Suwanaporn, 2005; Lauridsen, 1998) bermula di lembaga keuangan Finance One dan Bangkok Bank of Commerce (BBC). Menurut Lauridsen (1998), kejadian ini merupakan skandal yang menciptakan NPL bernilai miliaran dolar, sebagai hasil rekayasa keuangan melalui perusahaan fiktif, dengan nilai jaminan yang di marked-up.

Lebih lanjut, Lauridsen (1998) berpendapat, bahwa akumulasi NPL yang besar di Thailand itu sebagai akibat dari kegiatan pinjam-meminjam yang sembrono. Pemberiannya mengabaikan prudential principles, dan juga terjadi di Amerika dan di banyak negara. Jika dilihat dari perspektif manajemen internal bank, di situ tersirat begitu banyak masalah. Tidak saja masalah penerapan pengetahuan atau keahlian yang lemah, atau profesionalisme dan integritas bankir yang diragukan, tetapi juga moralitas bankir yang dapat dipertanyakan.

Menurut Mukherjee (2003), masalah NPL sangat berperan terhadap krisis perbankan di negara-negara tersebut. Verma (1999) berkesimpulan bahwa tingkat NPL yang tinggi akan berakibat pada kegagalan bank, dan menggoncangkan kepercayaan publik, serta mencoreng kredibilitas sistem perbankan (Gupta, 1999). Bahkan, Kaufman (1998) berpendapat bahwa krisis perbankan mendahului permasalahan ekonomi makro atau krisis ekonomi.

NPL bank konvensional adalah setara dengan Non Performing Finance (NPF) bagi bank syariah. Jika debitor peminjam tidak dapat membayar bunga dan/atau angsuran yang telah diperjanjikan berturut-turut selama tiga bulan, maka bank mulai memiliki NPL.

NPF. Portofolio pembiayaan bank syariah terdiri dari dua macam, yaitu: pembayaran tunda yang berasal dari transaksi jual beli atau sewa, dan yang kedua merupakan investasi pada usaha dengan pola kerja sama. NPF akan timbul, jika nasabahnya tidak melakukan pembayaran angsuran dari harga pembelian atau sewa yang telah disepakati itu, atau tidak berhasil menghasilkan keuntungan seperti yang diharapkan.


I.2.    Ruang Lingkup dan Perumusan Masalah Penelitian

NPL akan mempengaruhi tingkat efisiensi bank, disebabkan karena pemberian pinjaman/pembiayaan tidak efektif, sehingga tidak menghasilkan pandapatan/keuntungan dan arus kas bagi bank.

Model Pendekatan Manajemen Internal. Efektifitas dan efisiensi, keberhasilan atau kegagalan dari suatu bank, sangat tergantung pada manajeman internalnya. Walaupun lingkungan eksternal seperti ekonomi makro dapat mempengaruhi perjalanan suatu bank, tetapi setiap perubahan yang mempengaruhi usaha bank perlu diantisipasi, disikapi, dan diatasi oleh manajemen bank. Dalam hal pemberian pinjaman/pembiayaan, manajemen internal menentukan calon debitor yang dapat diberikan dan/atau jenis usaha mana yang dapat disetujui.

Terdapat tiga kelompok faktor dari manajemen internal yang diduga dapat mempengaruhi, timbulnya NPL/NPF. Ketiga kelompok tersebut adalah yang berkaitan dengan kualifikasi personal atau SDM (personal qualifications), kualifikasi lingkungan institusi dalam kaitan dengan sikap atau kebijakan yang diperlukan (institutional environment/qualification), dan lingkungan proses serta pengawasan pemberian kredit/pinjaman (process and control environment).

Penelitian untuk  Disertasi ini dilakukan terhadap dua kelompok bank umum, yaitu bank konvensional dan bank syariah, dalam rangka memperkecil timbulnya NPL/NPF. Karena dasar filosofis dan hukumnya berbeda bagi kedua kelompok bank, maka dapat diduga bahwa, dari segi intensitas, penerapan setiap faktor manajemen internal yang dimaksud dapat pula berbeda, sehingga menghasilkan tingkat NPL/NPF yang berbeda.


I.3.   Perumusan Masalah Penelitian.

Pertama     :  Apakah terdapat pengaruh faktor personnel qualification, institutional environment dan process and control environment terhadap timbulnya NPL pada bank konvensional atau NPF pada bank syariah?

Kedua       : Apakah penerapan atau pengaruh dari setiap faktor-faktor yang berasal dari manajeman internal tersebut lebih baik pada bank syariah dibandingkan pada bank konvensional?

Ketiga       :  Apakah tingkat NPF bank syariah lebih rendah daripada tingkat NPL bank konvensional, sebagai akibat dari penerapan atau pengaruh setiap faktor dari manajemen internal yang lebih baik?

Keempat   :  Mengapa terjadi perbedaan penerapan atau pengaruh dari setiap faktor internal manajemen itu pada bank syariah dibandingkan pada bank konvensional, sehingga membuat timbulnya perbedaan antara tingkat NPL dan NPF tersebut?


I. 4.   Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.   Meneliti pengaruh faktor-faktor manajemen internal terhadap timbulnya NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah di perbankan Indonesia.

2.   Meneliti apakah terdapat perbedaan pengaruh faktor-faktor manajemen internal yang lebih baik pada bank syariah, dibandingkan pada bank konvensional.

3.   Mengetahui apakah tingkat NPF pada bank syariah lebih baik atau lebih rendah dibandingkan dengan tingkat NPL bank konvensional.

4.   Menganalisis penyebab mengapa terjadi perbedaan pengaruh penerapan setiap faktor manajemen internal yang dimaksud pada bank syariah dan bank konvensional.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berikut kepada masyarakat perbankan dan Otoritas Moneter, dalam rangka memperkecil tingkat NPL/NPF:

1.   Memperhatikan dengan lebih baik faktor-faktor yang berkaitan dengan manajemen internal bank.

2.   Menyarankan kebijakan yang diperlukan oleh Otoritas Moneter bagi bank konvensional maupun bank syariah.

3.   Lebih memperhatikan unsur moralitas dan spiritualitas.

4.   NPL/NPF yang besar dapat dihindari, dan bukan disebabkan karena faktor makro semata.


I. 5.   Signifikansi Penelitian
Jika timbulnya NPL/NPF dapat diperkecil, maka kegagalan bank atau krisis perbankan yang merugikan masyarakat, perekonomian dan industri perbankan, dapat dihindarkan.

Kontribusi ilmiah. Penelitian untuk Disertasi ini lebih memfokuskan diri pada pada faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan manajemen internal bank yang diperlukan, sehingga dapat memperkecil timbulnya NPL/NPF


I. 6.   Teknis Penelitian.        
Penelitian ini bersifat kuantitatif, dan menentukan perbedaan pengaruh dari masing-masing variabel bebas itu terhadap NPL/NPF, baik secara sendiri-sendiri, maupun secara gabungan. Untuk menjawab mengapa terdapat perbedaan pengaruh, pendekatan kualitatif digunakan melalui teori dan kajian literatur, ditambah metode wawancara terbatas dengan pihak yang dianggap dapat mewakili bank syariah.

1.7.   Sistematika Penelitian

Bab I berisikan Latar Belakang Penelitian, Ruang Lingkup Masalah Penelitian, Perumusan Masalah Penelitian, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Signifikansi Penelitian, Teknis Penelitian, dan Sistematika Penelitian.

Bab II berjudul ”Tinjauan Literatur: Hal Ikhwal Perbankan Umumnya, dan Pemberian Pinjaman/Pembiayaan Khususnya”, dan mencakup Fungsi dan Faktor Kegagalan bank, Masalah Dalam Kegiatan Pinjam-Meminjam, Proses Pemberian Kredit, hal-hal pokok yang berkaitan dengan Bank Konvensional dengan Bank Syariah, serta Perbandingan Bank Konvensional dan Bank Syariah; dan diakhiri dengan pembahasan mengenai Tawhidi String Relationship (TSR) dan IIE Process.

Bab III membahas mengenai Penyebab NPL, Kerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis. Kerangka pemikiran didekati melalui manajemen internal, berdasarkan Agency Theory, Moral Hazard Theory, Stakeholder Theory, Adverse Selection Theory dari Stiglitz dan Weiss (1981), dan Bad Management Hyphothesis dari Berger dan deYoung (1997), serta beberapa penelitian dengan pendekatan mikro. Hipotesa dibangun dari hasil kajian penyebab NPL dan teori tersebut, yang juga didukung oleh ayat- ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW tertentu.

Bab IV berjudul Metodologi Penelitan, yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan, termasuk Uji Validitas dan Reabilitas Instrumen Penelitian, definisi konseptual dan operasional beserta indikator dari setiap variabel penelitian yang digunakan, dan hasil Uji Coba Instrumen Penelitian.

Bab V membahas Hasil dan Analisis Penelitian, dan Kesimpulan serta Saran. Pembahasan meliputi Uji Prasyarat Hipotesis, Uji Normalitas, dan Uji Homogenitas Data beserta Pengujian Homogenitas Variabel Bebas terhadap Variabel Terikat, dilanjutkan dengan Pengujian Hipotesis, jawaban  terhadap empat pertanyaan penelitian, Implikasi Kebijakan dan Saran, Keterbatasan Penelitian, serta peluang bagi penelitian selanjutnya.


 2. TINJAUAN LITERATUR : HAL IKHWAL DALAM
PEMBERIAN PINJAMAN/PEMBIAYAAN

2.1. Fungsi Bank dan Faktor Kegagalan.

2.1.1. Fungsi Bank.

Bank sebagai perantara dalam alokasi modal yang efisien dalam perekonomian dapat meningkatkan pertumbuhan (Levine, 1997; Levine, et al, 2000 : 30). Menurut Scholtens dan Wensveen (2003), intermediasi keuangan merupakan proses penciptaan nilai atau value creation, yang didorong oleh adanya risiko dan kegiatan pengelolaan risiko. Tugas manajemen disini adalah meningkatkan arus kas atau cash flow saat ini dan di masa depan dengan mengeksploitasi setiap kesempatan pertumbuhan, tetapi tanpa menambah risiko secara menyeluruh bagi bank (Schroeck dan Gerhard, 2002 : 14). Konsep value creation ini perlu diterapkan dalam setiap hubungan dengan nasabah peminjam (Colquitt dan Joetta, 1993 : 6).

2.1.2. Faktor Kegagalan Bank.
2.1.2.1. Masalah dalam Kegiatan Pinjam-Meminjam Uang.

Bank menghadapi sejumlah masalah berikut yang harus diatasinya. Apabila tidak dapat mengatasinya, maka NPL/NPF dapat timbul.

Asymmetric Information. Informasi yang dimiliki oleh debitor dan kreditor tidak sama atau “symmetrical”. Olegario (2006) mengatakan bahwa keadaan yang simetrikal itu tidak akan pernah terjadi di dunia nyata. Sebaliknya, setiap pihak dari suatu kontrak atau transaksi yang sama tidak memiliki informasi yang sama (Mishkin, 1998).

Bank membutuhkan banyak informasi mengenai calon debitor/debitornya selama pinjaman belum terlunasi (Caprio Jr, 1996). Baik ex-ante maupun ex-post, calon debitor memiliki informasi yang jauh lebih baik mengenai masalah yang dihadapinya, dan bagaimana mengantisipasi dan mengatasi setiap perubahan lingkungan yang dihadapinya. Untuk menjembataninya, bank perlu lebih aktif untuk menggali informasi yang diperlukan, baik secara langsung dari calon debitor, dan dari lingkungannya seperti para pemasok atau para konsumen. Bank harus dapat memperkirakan apa yang dapat terjadi terhadap usaha debitor, dan mengikuti perkembangannya dari waktu ke waktu sampai pinjaman lunas.

Masalah Moralitas. Bertitik tolak pada dua hal. Pertama, bank konvensional mengelola uang masyarakat sebagai utang. Bagaimana dan untuk apa dana itu digunakan, hanya bank itu sendiri yang menentukannya. Kedua, dana masyarakat yang digunakan jauh lebih besar dari modal bank; sehingga terdapat peluang untuk menggunakan dana masyarakat untuk kepentingan pihak yang terkait dengan bank. Disini, moral hazard atau tindakan yang tersembunyi dapat terjadi, dan dilakukan oleh pihak pengurus atau pemilik bank, pada individu bank  atau industri perbankan. Pada bank, De George (1999 : 456) mengungkapkan kasus moral hazard pada Bank of Credit and Commerce International (BCCI), yang digunakan untuk kejahatan dan kepentingan para pemilik/pejabatnya; pada industri perbankan, terjadi pada Savings and Loans Associations (S&L) di Amerika, yang melibatkan sebagian besar institusi tersebut.

Bersifat Universal. Menurut Prasetiantono (2005 : 360-361), kecurangan atau skandal dalam lingkungan perbankan itu bersifat universal, dalam arti dapat terjadi dimana-mana, dapat terjadi pada bank yang memiliki reputasi yang tinggi di negara maju atau pada bank kecil di negara berkembang, di pusat keuangan dunia atau di kota kecil di negara berkembang.

Prudential, Prudence. Bank tidak terlepas dari bentuk-bentuk kerawanan atau risiko, sehingga bank harus selalu dikelola dengan baik, dengan mentaati prinsip kehati-hatian atau prudential principle. Menurut Smith (2000 : 311-316), prudence adalah kebajikan moral dan intelektual yang paling sempurna, dan sekaligus merupakan kebijakan dengan kebajikan yang paling sempurna. Smith menyebutkan prudent man, sebagai berikut:

Orang dengan sikap hati-hati selalu mempelajari secara serius dan sungguh-sungguh apa yang harus dipahaminya dari segi profesi, selalu tulus, dan hanya mengatakan yang benar, serta selalu bersikap hati-hati dalam setiap tindakannya, termasuk ketika berbicara. Ia selalu menghargai sesuatu yang tidak berlebihan dan kewajaran, penuh dengan diskresi dalam batas yang wajar, serta bertingkah laku baik. Sebagai reputasi bagi profesinya, ia selalu melakukan transaksi berdasarkan kemantapan dari pengetahuan dan kemampuannya”.

Walaupun prinsip kehati-hatian ini telah diketahui secara luas, tetapi tetap diabaikan dalam banyak  kasus perbankan di dunia, yang menyebabkan kegagalan bank dan kemudian krisis perbankan, serta menimbulkan biaya yang tidak sedikit bagi makro ekonomi dan masyarakat pembayar pajak (Ashcraft, 2005). Oleh karena itu, bank cum manajemen internalnya mutlak untuk menerapkan prinsip-prinsip moral seperti prinsip kehati-hatian tersebut.


2.1.2.2.  Masalah Lingkungan Operasional Bank.

Bank, pada dasarnya, harus berusaha untuk mengatasi aspek negatif dari faktor lingkungan (eksternal) berikut; sehingga dapat menekan timbulknya NPL/NPF.

Transparansi dan Keterbukaan atau Disclosure. Bank akan lebih mudah untuk melakukan tugasnya, jika calon debitor/debitor atau lingkungan usaha memiliki tingkat transparency yang tinggi. Ini artinya debitor dapat memberikan informasi yang benar dan tepat waktu, serta dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Florini (1999), transparansi sangat berdekatan dengan akuntabilitas, dan memiliki dimensi moral, serta dapat mengatasi masalah agen dan majikan atau the principal-agent problem, dimana bank merupakan prinsipal dan debitor sebagai agen.

Di Indonesia, keadaaan tingkat keterbukaan masih rendah, karena rasio jumlah perusahaan yang diaudit oleh akuntan publik rendah, yaitu 38.36%, dibandingkan Korea 59.97% (Jiangli, et al, 2004). Keadaan itu merupakan salah satu indikasi lemahnya penerapan tata kelola perusahaan (Sutojo dan Aldridge, 2005 : 32, 68, 69), dan memberikan peluang untuk terjadinya korupsi (Mustanoja, 2002). Krisis 1997/1998 mengungkapkan banyaknya NPL timbul sebelum krisis tanpa informasi keuangan yang benar, atau tidak pernah diteliti kebenarannya (Gie, 2006 : 13).

Good Corporate Governance (GCG). Di Indonesia, konsep ini mulai dirasakan perlu setelah krisis 1997/1998.

Pengambilan Keputusan. Menurut Jackson dan Nelson (2004 : 260), governance adalah mengenai kewenangan atau kekuasaan, dan bagaimana kewenangan didistribusikan dengan akuntabilitas, transparansi dan integritas yang menyertainya. Pada hakekatnya, governance adalah merupakan proses pengambilan keputusan dan bagaimana menerapkan keputusan yang diambil (Pieris dan Jim, 2007 : 131; Pound, 1995 : 79), dan sekaligus mengontrol pelaksanaannya (Shaw, 2003 : 23).

Menurut Pieris dan Jim (2007 : 143, 147), pelaksanaan konsep ini memerlukan sejumlah sarana pendukung, seperti: perumusan visi, misi dan tujuan perusahaan, struktur organisasi dengan tanggungjawab masing-masing, kewenangan serta mekanisme yang jelas, budaya dan etika perusahaan serta sistem pengendalian dan pengukuran kerja. Sebagian besar sarana ini tercakup dalam konsep budaya organisasi, sedangkan proses pengukuran kerja bermuara pada pemberian reward dan penalty.

Kepentingan Stakehoders. Apabila semua prinsip GCG dijalankan, maka berarti perusahaan atau bank bertanggungjawab terhadap lingkungan yang lebih luas, atau terhadap seluruh stakeholder termasuk para kreditor dan investor. Oleh karena itu, kekhawatiran terhadap pengabaian kepentingan para stakeholder dapat diperkecil.

Penerapan di Indonesia. Penerapan GCG masih lemah dan belum merata, karena beberapa alasan, antara lain, karena sebagian besar perusahaan di Indonesia adalah milik keluarga, dan dijalankan mengikuti kehendak pemilik pengendali (Surya dan Yustiavandana, 2006 : 56, 57; Lukviarman, 2004). Oleh karena itu, bank harus melakukan analisis kredit yang lebih cermat, termasuk menilai efektifitas organisasi usaha debitor.

Penegakkan Hukum. Bank akan dapat beroperasi lebih efisien, jika lingkungan dimana bank beroperasi memiliki sistem hukum yang melindungi hak-hak kekayaan individu atau property rights, dan hak kreditor (La Porta, et al, 1998; dan Levine, 1998). Namun, lingkungan ini di Indonesia masih lemah (Surya dan Yustiavandana, 2006 : 11), dan menyulitkan kreditor untuk mempertahankan haknya ketika mengeksekusi jaminan, atau menghadapi kasus penipuan (banking frauds). Kenyataan ini mendorong bank untuk lebih berhati-hati dalam menyeleksi calon debitor. 

Lingkungan Sosial dan Moralitas. Bank menghadapi lingkungan ini dalam tiga hal, pertama, ketika menghadapi debitor yang tidak menghormati perjanjian; kedua, ketika bank akan mempertahankan haknya melalui jalur hukum; dan ketiga, menjaga agar seluruh stafnya tidak terpengaruh dengan keadaan lingkungan sosial dan moralitas yang ada. Untuk mengatasi kedua masalah pertama, setiap dokumen hukum terutama yang berkaitan dengan debitor harus tetap diupayakan bernilai yuridis sempurna.

Berkaitan dengan yang ketiga, menurut ICW dan Bhakti, korupsi telah menjadi budaya dan suatu kewajaran serta terjadi baik di lingkungan pemerintah, swasta dan pendidikan; dimana disebutkan pula bahwa 60% kejahatan perbankan melibatkan orang dalam (Kompas, 6 Juni 2011).

Oleh karen itu, bank harus menciptakan sistem nilai di dalam kepemimpinan dan manajemen internalnya untuk menahan pengaruh buruk itu tidak menjalar ke dalam lingkungan bank.


2.1.2.3.  Konsep Etika Bagi Pemroses Kredit.

Etika dan Moralitas. Menurut Aristotle, etika adalah tujuan hidup, yaitu hidup yang baik yang mengandung kebajikan atau virtue (Vervezen, 2009 : 49). Bagi Kant, moralitas bersifat kewajiban, dan merupakan public goods; sedangkan etika adalah merupakan tugas dari setiap individu untuk menghasilkan moralitas atau public good itu, sehingga sifatnya lebih tinggi dari etika.

Etika dalam Perkreditan. Bank harus mengarahkan kegiatannya ke arah kebaikan, kebenaran, dan mematuhi ketentuan dan peraturan hukum, dan tidak berorientasi pada keburukan, ketidakbenaran, dan tidak melawan hukum atau ketentuan yang berlaku (Hongkong Monetary Authority 1999 : 71). Etika di perbankan merupakan sifat kejujuran, tidak memihak atau impartiality, dapat dipercaya, sesuai dengan regulasi perbankan, dan transparan (Longstaff, 1993).

Menurut Gbadamosi (2004), suatu dunia bisnis hanya dapat bermoral sejauh orang-orang di dalamnya bermoral. Bank hanya akan bermoral, apabila para bankir bermoral. Namun, terdapat suatu generalisasi, dimana jika banyak orang yang melakukan tindakan tidak etis, maka seolah-olah tindakan itu bukan merupakan pelanggaran. Dari perspektif manajerial, generalisasi tersebut harus dihapus dengan ketegasan dalam memberikan reward dan punishment kepada siapapun pelakunya, dengan meneliti faktor-faktor penyebab timbulnya pelanggaran, hingga kebijakan baru diciptakan sehingga tidak terulang kembali.

Masalah Karakter. Menurut Petersen and Rajan (1995), terdapat tiga macam kerusakan karakter yang terbesar pada para bankir, yaitu ketidakmampuan/incompetence, malas, dan ketidakjujuran. Dua kerusakan pertama akan berakibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh keuntungan, dan dapat membuat para debitor enggan membayar kewajibannya pada bank. Ketidakjujuran dapat membuat yang tidak jujur mencuri langsung atau tidak langsung dari bank dimana dia bekerja, atau secara tidak langsung dari debitor, sehingga merugikan reputasi bank.

Menurut Koford dan Tschoegl (1997), terdapat dua penyebab yang berkaitan dengan debitor: pertama, perusahaan debitor mengalami kesulitan; dan kedua, melakukan penyimpangan atau fraud.

Namun, jika pemberiannya dilakukan oleh bankir yang memiliki kerusakan karakter, maka pinjaman/pembiayaan yang diberikan bermungkinan besar akan bermasalah (menjadi NPL) di kemudian hari.


2.2. Proses Pemberian Kredit.

Pada masa Athena Kuno, kata yang maknanya berdekatan dengan kredit adalah pistis. Artinya meliputi kepercayaan atau trust dan belief, keyakinan atau  faith dan confidence dan assurance, kejujuran atau honesty, bukti atau proof, dan jaminan atau pledge (Lewis, 2002 : 7). Secara sempit, pistis diartikan sebagai kelayakan kredit atau creditworthiness, atau seseorang yang dikenal bankir dapat memperoleh pistis yang lebih besar dari kekayaannya.

Proses pemberian kredit/pinjaman pada hakekatnya meneliti dan memastikan bahwa terdapat unsur-unsur yang dikandung oleh kata pistis, credo dan truswothiness itu; atau untuk memastikan kelayakan suatu permohonan kredit, apakah dapat diterima atau ditolak (Kasmir, 2006 : 95).

Analisis Kredit

Hakekat analisis kredit. Hakekatnya adalah untuk membentuk keyakinan bahwa calon debitor akan mampu dan mau membayar pinjamannya sesuai yang diperjanjikan, sebagai jalan keluar yang utama atau first way out.

Kaitannya dengan etika. Menurut Dilley (2008 : 168), bankir memiliki beban etika yang tidak kecil; karena, masa depan masyarakat pemilik dana, masa pensiun, pendidikan anak-anak mereka, dan kualitas hidup mereka tergantung pada tindakan bankir dalam hal melakukan analisis kredit. Seyogianya, mereka berkewajiban untuk melindungi kepentingan para pemilik dana, dengan melakukan pekerjaan secara prudent dan bertanggungjawab. Oleh karenya, Green mengatakan, bahwa para bankir perlu memahami dan menerapkan “canons of lending”.

Unsur moralitas di belakang berhutang. Jumlah utang yang digunakan, dengan leverage atau debt equity ratio yang tinggi, dapat menunjukkan tingkat agresivitas seseorang terhadap risiko, dan bahkan dapat pula dikaitkan dengan unsur moralitas.

Pengambilan utang akan menambah risiko usaha bagi debitor, dan risiko kredit bagi kreditor. Menurut Chorafas (2000), orang yang menggunakan pinjaman yang berlebihan atau overgearing menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan praktik etika yang meragukan.

Merupakan pertimbangan atau bersifat judgemental. Ed Emmer menyatakan bahwa “credit analysis is an art, not a science” (Ganguin, 2005 : xi), dan  memerlukan pertimbangan atau judgement manusia. Namun, analisis kredit yang benar dan efektif harus mencerminkan keadaan dunia yang sesungguhnya; dan apabila tidak, berarti berlawanan dengan akal sehat atau common sense (Bathory, 1987 : 4).

Tanggung jawab moral bank. Karena tanggungjawab moral yang besar, bank harus bertindak secara hati-hati atau prudent, dan harus memastikan calon debitor mengambil pinjaman sesuai dengan kemampuan bayar, dan digunakan secara efektif.


2.2.1. Risiko Kredit.
Risiko kredit adalah perkiraan besar kecilnya kemungkinan, atau probabilita, calon debitor/debitor tidak dapat membayar kembali pinjamannya, berdasarkan perkiraan kemampuan dan tendensi dari karakternya.
Bersifat judgemental. Dalam mengukur risiko kredit tidak terlepas dari persepsi, intuisi dan pertimbangan individu, dan karenanya tidak selalu dapat diukur secara matematis. Namun, persepsi atau intuisi itu harus diupayakan sebagai hasil ekstrapolasi dari analisis dengan menggunakan lebih banyak data kuantitatif yang akurat dan mutakhir, dan dikombinasikan dengan informasi kualitatif

Keadaan yang ideal adalah apabila debitor mengetahui bahwa dia dapat mengatasi risiko bisnis yang dihadapi, sehingga mampu dan mau untuk membayar utangnya tepat waktu. Tugas kreditor disini  adalah memastikan adanya unsur endogenous ini pada (calon) debitor.


2.2.2. Masalah Jaminan (atau Kolateral).

Penetapan kolateral bersifat judgemental. Sumber utama pembayaran kembali suatu utang/pinjaman, atau first way out,  adalah dari keberhasilan usaha debitor yang tercermin dalam arus kas yang dapat direalisasikan, atau feasibilitas usaha yang dapat bertahan, sampai utang debitor terbayar lunas, bukan penekanan pada penjualan kolateral. Kolateral merupakan jalan kedua untuk keluar dari hubungan pinjam-meminjam atau sebagai second way out. Kolateral bagaikan asuransi bagi kreditor, tetapi realisasi pembayaran klaimnya bersifat tidak pasti, karena ditentukan oleh banyak faktor, seperti: jenis jaminan, tangible atau intangible, inside atau outside collateral, method penilaian atau appraisal dalam penentuan nilai, stabilitas harga, jenis pengikatan, dan lain sebagainya. Pada akhirnya, penentuan kecukupan kolateral dalam setiap pemberian kredit/pinjaman bersifat judgmental, dan tergantung pula pada keyakinan kreditor terhadap kelayakan kredit debitor atau borrower’s creditworthiness.


2.2.3.  Account Officer Sebagai Pemroses Kredit Utama.

Account officer adalah pelaku utama yang memulai dan menyelesaikan usulan persetujuan kredit. Intinya, ia adalah kunci dari kualitas kredit yang ditanganinya.

 

2.2.4.   Pentingnya Trust dan Reputasi Pada Pemroses Kredit dan Debitor.

Account Officer. Bagi bank, penunjukan seseorang sebagai account officer untuk menangani hubungan bank dengan nasabah merupakan kepercayaan tersendiri. Dari segi agency theory, kepercayaan ini harus dikontrol dari waktu-ke waktu, dan dapat dilakukan melalui evaluasi kinerja berkala bagi account officer, dan pengawasan kredit atau audit kredit, serta penerapan sistem hadiah dan hukuman (reward dan penalty system).  

Pihak debitor: Kepercayaan dan reputasi merupakan unsur yang paling penting dalam setiap pemberian kredit/ pembiayaan, terutama pada bank syariah. Pengecekan reputasi dari calon debitor, sebelum proses kredit dimulai, merupakan suatu kegiatan yang independen, sangat penting dan bersifat sentral dalam keputusan pemberian kredit, serta diyakini dapat mengurangi tingkat NPL.


2.2.5. Pemutus Kredit

Pemutus kredit adalah pihak yang berwenang untuk menyetujui atau menolak usulan kredit dengan jumlah tertentu. Kewenangan yang lebih tinggi berada pada tingkat direksi, dan yang tertinggi pada Presiden Direktur, beserta atau tanpa persetujuan Komisaris.

Penanggung Jawab Terakhir. Pemutus kredit merupakan tahap terakhir dari suatu proses pemberian kredit yang cukup panjang, yang paling bertanggungjawab terhadap kualitas kredit, dan segi moral. Disini, seluruh ketentuan yang berlaku dalam pemberian kredit dipastikan telah dipatuhi, maka pemutus kredit harus pula bermoral, seperti yang dikatakan oleh Gbadamosi (2004).


2.2.6. Keputusan Kredit.

Merupakan keputusan moral. Menurut Lehrer (2010 : 230), keputusan moral adalah keputusan unik, karena harus mempertimbangkan kepentingan orang lain. Orang lain yang tercakup dalam keputusan pemberian kredit dan  harus dipertimbangkan begitu banyak. Keputusan kredit yang tidak tepat berakibat pada timbulnya NPL/NPF, kegagalan bank dan bahkan krisis perbankan, sehingga merugikan masyarakat banyak.

Pengambilan Risiko Berlebihan Vs Kewajaran dan Etika. Pertimbangan kredit yang sehat berarti menghindarkan diri dari pengambilan risiko yang berlebihan, atau tanpa adanya batasan yang patut. Menurut Aristotle (Garvey, 2010 : 26-31), keutamaan manusia terletak pada kemampuan untuk menghadirkan tindakan-tindakan kemanusiaan dengan baik, dan merupakan pemikir yang sempurna. Keutamaan ini adalah keutamaan moral dan keutamaan intelektual. Keutamaan moral mengacu pada doktrin jalan tengah, menyangkut pilihan yang terletak di antara dua ekstrim, dilihat dari perbuatan dan akibatnya. Sikap jujur merupakan jalan tengah antara sombong dan rendah diri. Keutamaan intelektual terdiri dari dua aspek rasional daya pikir manusia, yaitu kalkulatif dan kontemplatif. Yang pertama artinya, tindakan yang didasarkan pemikiran yang sehat, dan yang kedua berkaitan dengan refleksi tentang kebenaran.

Pada hakekatnya, pemikiran Aristotle ini sesuai dengan proses dan substansi pengambilan keputusan kredit, yang merupakan refleksi dari keutamaan moral dan intelektual. Mengingat risiko yang dihadapi bank, dan tanggungjawab moral yang besar, bank tidak dapat bersifat agresif atau berlebihan, tetapi harus bersikap konservatif. Berdasarkan pandangan Aristotle itu, keputusan konservatif adalah jalan tengah, antara agresif dan tidak mengambil risiko sama sekali.

Pertimbangan dan keyakinan. Inti dari pengambilan keputusan kredit/pinjaman adalah membentuk keyakinan dalam menentukan kemampuan arus kas calon debitor untuk membayar utang dan bunga di masa depan, serta komitmen debitor untuk memenuhinya.

Wolfson (1996) menjelaskan bagaimana tingkat keyakinan masuk ke dalam proses pengambilan keputusan, yaitu dalam dua cara: pertama, jika keyakinan rendah, maka bank akan membebankan tingkat bunga yang lebih tinggi; kedua, jika di bawah tingkat keyakinan minimum, maka usulan kredit akan ditolak (Wolfson, 1996). Oleh karena itu, uraian di atas menunjukkan bahwa unsur keyakinan dari pemutus kredit berperan penting terhadap keputusan yang diambilnya bagi kepentingan bank.

Objektif dan tidak terpengaruh. Data-data empiris menunjukkan bahwa krisis perbankan dan atau kegagalan bank bermula pada pengambilan keputusan (kredit) yang lebih banyak dipengaruhi faktor-faktor exogenous, di antaranya keadaan lain atau sikap mental, seperti: sikap optimistik yang berlebihan atau overoptismistic, asymmetric expectation, reflexivity, gambling for resurrection hyphothesis, irrational exuberance, herd behaviour, the sixth C, dan moral hazard. Oleh karena itu, keputusan kredit harus bersifat objektif, dan tidak terpengaruh faktor dan sikap yang bersifat exogeneous.

Intuisi. Menurut Jankowicz dan Hisrich (1987), keputusan kredit komersial diambil sebagian berdasarkan intuisi. Intuisi yang digunakan seyogianya merupakan resultante dari  pemahaman dan pencernaan  seluruh data dan informasi dengan baik, dan dibarengi dengan pengalaman dalam menghadapi hal yang serupa sebagai pengontrol hasil upaya ini, dan mengimbangi unsur ketidakpastian yang umumnya ada terhadap sesuatu yang diharapkan di masa depan.

Pentingnya unsur agama. Menurut Gunther (2008), sebagian dari keputusan penting tidak dapat ditimbang hanya dari kepala, tetapi juga perlu ditimbang dari hati.

Dalam mengambil keputusan penting, seseorang perlu melihat ke dalam hatinya, dan bertanya pada dirinya unsur penting mana dalam agama yang dianutnya yang melandasi pengambilan keputusan itu? (Gunther, 2008 : 150-151).


2.3. Bank Konvensional Vs Bank Syariah.

Berikut ini adalah ikhtisar perbedaan karakteristik dan operasionalisasinya antara bank kovensional dan bank syariah.
                                                  
Bank Konvensional
Bank Syariah
Hukum atau Ketentuan yang Mengatur Hukum positif dan perbankan yang dirancang dan ditetapkan oleh manusia. -Hukum Tuhan yang dituangkan dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW yang berlaku secara umum dimana pun bank beroperasi-hukum positif dan perbankan yang berlaku dimana bank beroperasi.
Filosofi

(Perekonomian yang melatar belakanginya)Perekonomian yang bersifat kapitalistik, atau yang bersifat transisi.Perekonomian bersifat Islami, yang mengikuti ketentuan Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW.Fungsi UangBerfungsi untuk bertransaksi atau sebagai medium of exchange, untuk berjaga-jaga dan untuk berspekulasi.Terutama sebagai medium of exchange, tetapi juga dapat untuk berjaga-jaga melalui tabungan tetapi bukan bersifat ’hoarding’, karena uang harus masuk kedalam sirkulasi yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian demi kemaslahatan orang banyak/umat.Bunga-Uang sebagai komoditi, sehingga memiliki harga, atau bunga.
-Dari pinjaman yang diberikan bank memperoleh bunga, dan untuk dana masyarakat yang dihimpun bank harus membayar bunga.
-Bunga cenderung bersifat tetap/ditentukan di muka.-Uang bukan sebagai komoditi, sehingga tidak memiliki harga atau bunga.
- Dari pembiayaan yang dilakukan bank memperoleh keuntungan, dan untuk pengelolaan dana bank harus membagi keuntungan dengan pemilik dana.
-Keuntungan berfifat variabel, atau tidak tetap, tergantung dari hasil usaha riel/nominal.Sektor Keuangan Vs Sektor RielKarena sektor keuangan dan sektor riel tidak selalu bersatu, sehingga menimbulkan dikotomi bagi keduanya.Sektor keuangan melekat dengan sektor riel, sehingga tidak menimbulkan dikotomi seperti pada perbankan konvensional.Pendanaan

(Sifat Dana Masyarakat)Dana masyarakat yang dihimpun bersifat ’utang’ kepada masyarakat pemilik dana. Tingkat bunga bagi para deposan bersifat tetap/ditentukan di muka .Dana masyarakat yang dihimpun bukan bersifat utang, melainkan merupakan titipan, atau bersifat dana investasi dan harus dikelola bank sebagai ’manajer investasi’ atas persetujuan pemilik dana.Pemberian Pinjaman Vs Pemberian Pembiayaan- Melakukan pemberian pinjaman, dengan menghimpun dana masyarakat sebagai utang.
- Sifat hubungan merupakan kaitan antara debitor dan kreditor.
- Pemberian kredit dimungkinkan untuk membiayai kegiatan bukan dalam sektor riel, dan bahkan dapat digunakan untuk berspekulasi- Melakukan pembiayaan dengan mengelola dana masyarakat yang dihimpun.
- Bertindak sebagai manajer investasi, mitra atau shahibul mal, dan/atau kastodian dari dana.
- Tidak dapat digunakan untuk membiayai kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan sektor riel.
- Tidak dapat membiayai transaksi yang bersifat ribawi, gharar dan maysir, atau barang dan jasa yang dilarang.
- Pembiayaan pada sektor riel hanya dimungkinkan dengan bentuk pembiayaan yang berkaitan dengan transaksi jual beli (murabaha, istisna, dan salam), sewa menyewa (ijarah), atau kerja sama dalam usaha memproduksi barang dan jasa (musharakah, mudharabah).
- Sedangkan pinjam-meminjam uang bukan merupakan transaksi komersial, tetapi bersifat sosial karena hanya dapat diberlakukan untuk menolong sesama dan tanpa bunga (qard hasan).Penciptaan Kredit- Dengan konsep reserve requirement, bank menciptakan kredit lebih besar dari dana yang dihimpun ditinjau dari totalitas perbankan.
- Sedangkan dana yang digunakan lebih banyak berasal dari dana masyarakat yang bersifat utang, atau menggunakan konsep leverage.- Tidak menciptakan kredit seperti pada bank konvensional, karena dana yang dapat digunakan untuk pembiayaan adalah yang berjumlah sama dengan jumlah diperoleh dari masyarakat pemilik dana dan yang digunakan seijin pemilik dana.
- Karena dana masyarakat yang dihimpun bukan bersifat utang, maka tidak menggunakan prinsip leverage. Kedudukan dalam Berkontrak Hubungan debitor dan kreditor Sebagai sesama mitra, atau sebagai pengusaha dan pemodal

Hukum atau Ketentuan yang Mengatur. Bank syariah mengikuti ketentuan yang diturunkan oleh Allah SWT ke dalam Al-Qur’an, dan di praktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Bagi umat Islam, Allah SWT adalah Maha Pencipta langit dan bumi serta sekalian alam. Seluruh pengetahuan bersumber dari Ke-Esaan-Nya, yang dapat dipelajari melalui ciptaan-Nya yang merupakan manifestasi sebagai suatu sistem yang komplit. Seluruh ciptaan-Nya itu berkualitas paling tinggi, berdaya guna tinggi bagi kemaslahatan umat, dan tidak dapat ditandingi oleh manusia manapun juga. Manfaat yang dapat diperoleh sangat tergantung sejauh mana umat mempelajari dan menerapkannya, serta apakah sesuai dengan kadar yang dikehendaki oleh Pencipta-Nya. Untuk itu, salah satu pendekatan yang bersifat ilmiah untuk mempelajari, mengembangkan, dan menerapkan semua petunjuk itu adalah seperti yang ditunjukkan oleh Choudhury (2004) dengan Tawhidi String Relationship (TSR) dan IIE Process-nya di akhir bagian ini

Filosofi (perekonomian yang melatarbelakanginya). Perbankan syariah dibangun dengan alas yang menyeimbangkan antara kepentingan duniawi dan akhirati, kepentingan individu dan masyarakat banyak, keuntungan komersial dan tanggungjawab serta keadilan sosial, jangka pendek dan jangka panjang, serta menempatkan segala sesuatunya secara wajar dan pada tempat yang sebagaimana mestinya. Uang diletakkan pada tempat dimana difungsikan, dan hanya digunakan sebagai alat perantara bertransaksi, tanpa biaya atau bunga.

Kencenderungan Berspekulasi Vs Larangan Transaksi Bersifat Gharar. Dengan sistem FRB, reserve requirement dan leverage, penggunaan utang pada sisi aktiva dan pasiva neraca bank, tema sentral bank konvensional adalah penciptaan dan pemberian kredit/pinjaman, termasuk untuk tujuan spekulasi, dan tidak selalu berkaitan dengan barang dan jasa, sehingga mendorong pemberian kredit dengan pengambilan risiko yang berlebihan. Transaksi yang bersifat spekulatif, gharar, dan dengan risiko yang berlebihan, tanpa underlying transaction, dilarang pada bank syariah. Hal ini jelas menimbulkan perbedaan pada profil risiko kedua bank.

Bunga Vs Keuntungan. Kompensasi bunga pada bank konvensional bersifat tetap, sedangkan keuntungan pada akad bank syariah, terutama akad PLS, tergantung keuntungan riel yang dapat diperoleh  dari usaha yang dibiayai. Beban bunga menambah risiko pada usaha, yang berlawanan dengan konsep keuntungan dan ekuitas yang dapat mengembangkan perekonomian dan lapangan kerja yang lebih luas.

Pendanaan (Sifat Dana Masyarakat). Dana masyarakat pada bank syariah bukan sebagai utang bagi bank, dan hal ini mendorong stabilitas operasional yang lebih baik, dibandingkan dengan bank konvensional (Khan dan Mirakhor, 1987; Khan, 1991, Ahmed, 2002; Ali, 2006 dan 2007, Tahir, 2003; Karwowski, 2009; Al Jarhi, 2008, serta lainnya). Menurut Bryan (1980); Diamond dan Dybvig (1983), seperti yang dikutip oleh Ali (2006 dan 2007), ketidakstabilan pada bank konvensional ini berkontribusi terhadap timbulnya krisis perbankan konvensional. Kestabilan pada bank syariah disebabkan karena alasan berikut:

Pertama, secara teoritik, akad mudharabah (muqayadah) yang digunakan bank untuk menampung dana masyarakat  merupakan wadah bagi pemilik dana untuk ikut mengontrol pembiayaan yang dilakukan bank. Wadah ini dapat mendorong komunikasi yang lebih baik antara bank dan pemilik dana, menambah tranparansi, mengurangi asymmetric information (Karwowski, 2009), agent-principal problems, kemungkinan penyelewengan, dan pengambilan risiko yang berlebihan oleh bank. Kedua, para calon deposan akan mengikuti perkembangan dan kemampuan bank dalam menghasilkan keuntungan, sebelum menempatkan dananya di suatu bank syariah, dan memastikan bahwa dananya itu akan diinvestasikan dengan hati-hati; sehingga menciptakan disiplin pasar yang lebih baik (Chong dan Liu, 2007). Ketiga, secara makro, bank syariah mengalokasikan dana masyarakat secara efisien berdasarkan produktivitas dan viabilititas projek (Iqbal, 1997; Khan, 1986 dikutip oleh Chong dan Liu, 2007; Ahmad, 2000; Al-jarhi, 2008).

Keempat: antara keuntungan atas dana masyarakat dengan keuntungan yang diperoleh bank dari aset pembiayaan bank berkaitan secara endogeneous. Selain itu, para pemilik dana dengan bank juga berbagi risiko. Menurut Khan dan Mirakhor (1987), dan Ahmed (2002) seperti yang dikutip oleh Ali (2006 dan 2007), kaitan ini berfungsi sebagai alat yang dapat mendorong kedisiplinan bank dalam pengelolaan dana masyarakat dan mencapai efisiensi; Kelima: dana masyarakat dengan akad mudharabah memiliki jangka waktu tertentu; dan karena bersifat investasi dan kuasi ekuitas, dana itu hanya dapat dikembalikan ketika akad jatuh tempo, sehingga dapat mengurangi kerawanan likuiditas atau menahan penarikan dana secara serentak oleh para pemilik (”run on the bank”).

Risiko Pijaman Vs Risiko Pembiayaan. Pada bank konvensional, risiko yang dihadapi bank berasal dari risiko kredit, atau merupakan probabilita debitor tidak dapat mememenuhi kewajibannya. Bank syariah, di lain pihak, selain menghadapi risiko kredit, juga menghadapi risiko investasi. Risiko kredit berasal dari akad murabaha dengan pembayaran tunda, atau akad ijarah terhadap janji pembayaran sewa, atau dari akad salam atau istisna dimana pembayaran di muka telah dilakukan, tetapi barang pesanan belum diperoleh dalam bentuk dan waktu yang telah disepakati. Risiko investasi berasal dari akad mudharaba dan musyarakah, yaitu adanya kemungkinan investasi tidak menghasilkan keuntungan yang diharapkan, dalam jangka waktu yang telah diperhitungkan. Secara umum, risiko investasi ini lebih tinggi dari risiko kredit (Akkas, 2009; Rahman, 2007); dimana risiko yang pertama tidak memiliki kolateral. Namun, risiko pembiayaan pada akad PLS juga ditanggung oleh pemilik dana.

Hubungan Bank dan Nasabah: Sebagai Mitra. Berbeda dengan konsep kreditor- debitor pada bank konvensional, di dalam transaksi PLS, bank bertindak sebagai investor, manajer investasi, dan mitra dalam usaha (Ascarya, 2007 : 33). Hubungan ini lebih bersifat relasional karena adanya unsur kerja sama, dibandingkan dengan sifat transaksional khususnya dalam hubungan kreditor dan debitor, dan ekonomi kapitalis umumnya.  Menurut Choudhury dan Hoque (2004 : 78-79), dalam ekonomi dan sistem keuangan yang berbasis kerja sama, tidak terdapat dorongan untuk bersikap menutupi keterbukaan atau disclosure dan mengaburkan transparansi. Keterbukaan dan tansparansi akan mengurangi biaya transaksi berbisnis atau agency cost.

Kesetaraan dalam Berkontrak. Terutama pada akad PLS, setiap pihak memiliki kepentingan yang sama atau common interest, yaitu  keuntungan atau keberhasilan proyek yang sama.

Oleh karena itu, di dalam setiap interaksinya, paling tidak secara naluri, setiap pihak akan mendorong pihak lain untuk membantu atau mengawasi agar keberhasilan itu dapat dicapai. Agar tidak bersifat gharar, setiap pihak memiliki dorongan untuk mempelajari terlebih dahulu apa yang akan diperjanjikan, dan risiko apa yang akan dihadapi.

Sektor Keuangan Vs Sektor Riel. Prima kausa pada akad bank syariah adalah barang yang bersifat tangible atau usaha yang bersifat produktif. Akad muarabaha, salam, istisna, dan ijara, menjadikan suatu jenis barang yang telah ada atau yang akan diproduksi sebagai prima kausa akad; pada akad Mudharaba dan musharaka, adanya usaha atau bisnis tertentu di dalam sektor riel.

Kontrol penggunaan dana. Pada akad bank syariah, pada umumnya, penggunaan uang atau fund disbursement lebih jelas dan dapat dikontrol, karena mengikuti alur barang atau usaha. Kemungkinan wanprestasi akibat penggunaan dana yang menyimpang dapat diperkecil.

Monetary based economy Vs real (equty) based economy. Sebagai kesimpulan, ekonomi kapitalis modern dibangun berdasarkan monetary based economy, bukan real based economy seperti halnya pada perekonomian Islam (Harahap, 2003 : 19), dan terpisah dari unsur agama.  Kegiatan pinjam-meminjam uang bukan merupakan kegiatan utama dalam perekonomian Islam. Perbankan syariah bersandar pada unsur ekuitas bukan kredit, sehingga bersifat equity based. Karena pembiayaan bank syariah melekat pada sektor riel, maka pembiayaannya berorientasi pada aset atau kegiatan yang berada pada sektor riel, sehingga bersifat asset based. Perekonomian Islam dan pembiayaan syariah cenderung lebih stabil (Karwowski, 2009), dibandingkan dengan perekonomian kapitalis yang berbasis kredit dan bunga.

2.4. Tawhidi String Relation (TSR) dan Interactive, Integrative, and Evolutionary Process (IIE Process).

Tawhidi String Relationship (TSR).

Konsep teologi Islam, yang disebut oleh Choudhury sebagai Tauhidi principles, adalah bahwa Tuhan itu satu, yang menyatukan keragaman ciptaan-Nya, dan merupakan awal, sebagaimana Plato mengatakan sebagai Prima Kausa, dan akhir. Manusia dan alam semesta diciptakan oleh Tuhan YME sebagai awal, dan semua berakhir ketika kembali kepada-Nya.

Disini, antara awal dan akhir terdapat suatu hubungan atau terdapat kehidupan manusia dengan tujuan hidup, yang pada dasarnya untuk menjumpai Tuhan kembali (Asy’arie, 2010 : 249). Choudhury menyebutkan hubungan antara awal dan akhir ini sebagai Tauhidi String Relation (TSR).

Penerapannya. Aristotle berpendapat bahwa tujuan manusia hidup di dunia adalah untuk mencapai kebahagian. Dalam konteks Islam, kebahagiaan ini tidak saja bernilai duniawi, tetapi juga harus bernilai akhirati, dengan membawa segala catatan kebajikan dan keimanan. Aristotle juga berpendapat, bahwa dengan pengetahuan, orang akan dapat mengenali mana yang buruk dan mana yang baik, sehingga dapat menjauhkan diri dari tindakan yang tidak baik.

Interactive, Integrative, and Evolutionary Process (IIE Process). Pada dasarnya,  petunjuk yang ada dalam Al-Qur’an bersifat umum, karena Tuhan menciptakan sistem yang lebih besar. Untuk menerapkannya, diperlukan pengetahuan yang bersifat lebih tehnis dan pengembangan yang lebih rinci melalui pembahasan atau diskursus. Dengan diskursus dan penerapan yang berulang-ulang atau bersifat interactive, maka akan diperoleh suatu konsep dan teknik penerapan yang lebih tinggi dan lebih baik; sehingga merupakan evolusi dari keadaan yang dicapai sebelumnya. Prinsip Islam adalah bahwa hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan demikian seterusnya. Islam menghendaki partisipasi aktif dari umatnya dalam menjalani kehidupan di dunia melalui kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk kehidupan dan beribadah.

Setiap penerapan dan diskursus itu harus kembali mengkaji apa yang tersurat dan tersirat dari petunjuk yang ada itu,  seperti yang dimaknakan oleh Choudhury dengan istilah integrated dan interactivenya. Choudhury (2004a : 9; 2004b : 3) menyebutkan proses pengembangan dan penerapan pengetahuan ini sebagai interactive, integrated and evolutionary process atau IIE process, dan merupakan pendekatan ilmiah dan pengembangan dari Ihtijad.

Dari segi praktik, menurut Broom (2003 : 167), anggapan bahwa Tuhan Maha Tahu merupakan alat yang kuat, dan dapat mendorong orang untuk berlaku baik dan menjauhi diri dari tindakan yang tidak baik; sehingga jika orang sadar bahwa segala tindakannya diketahui oleh Tuhan, maka secara sadar atau tidak, tindakan yang tidak baik akan berkurang. Al-Qur’an (QS. 74 : 31) jelas mengatakan bahwa akan terdapat hukuman atau pahala bagi setiap tindakan manusia yang baik atau yang buruk.

Kant (1963 : 97) berpendapat bahwa  kesadaran akan adanya Tuhan dan rasa takut akan keadilan-Nya yang maha adil akan mendorong orang untuk memperhatikan secara sungguh-sunguh segala petunjuk yang diberikan-Nya. Bagi muslim, petunjuk-petunjuk itu dapat diketahui dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW. Menurut Wiroso (2009 : 91), hal tersebut dijadikan sebagai paradigma dasar dalam melakukan transaksi syariah, sehingga mencapai kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual. Paradigma ini menekankan pada nilai akuntabilitas, akhlak dan Illahiah, sehingga membentuk integritas pada setiap aktivitas manusia yang mendorong terbentuknya tata kelola yang baik atau good governance, dan disiplin pasar atau market discipline yang baik. Kedua unsur ini diperlukan dalam mencapai tingkat efisiensi yang lebih baik dalam manajemen internal bank. Menurut Algaoud dan Lewis (2001: 131), ideologi keagamaan yang Islami, jika diterapkan dengan baik akan dapat mengurangi timbulnya assymetric information dan moral hazard; sehingga dapat mengurangi inefisiensi yang mungkin terjadi pada transaksi keuangan.


3. PENYEBAB TIMBULNYA NPL/NPF, KERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

3.1. PENYEBAB TIMBULNYA NPL/NPF
3.1.1.  Hakekat dari NPL/NPF.

Sebelum menyetujui permohonan pinjaman/pembiayaan, manajemen internal  harus meyakini bahwa calon debitor mampu untuk membayar kembali pinjaman dan bunga pada bank konvensional, atau untuk membayar angsuran pembayaran tunda atau mampu menghasilkan keuntungan dari usaha yang dibiayai oleh bank syariah. Jika keyakinan ini tidak terbentuk, maka bank dapat menolak permohonan itu. Setelah pinjaman/pembiayaan diberikan, NPL/NPF akan terjadi jika keyakinan yang dimaksud tidak terealisir. Keyakinan ini bersifat institusional, karena diwakili oleh para pejabatnya yang diberi wewenang dan merupakan bagian dari manajemen internal untuk kepentingan bank.


3.1.2. Ketentuan Kolektibilitas.

NPL. Bank Indonesia menetapkan bahwa Penilaian Kualitas Aktiva Bank, atau tingkat kredit bermasalah atau NPL atau disebut sebagai penggolongan kolektibilitas, ditentukan oleh bank berdasarkan sejumlah kriteria; tetapi, yang paling utama berdasarkan kenyataan kelancaran pembayaran angsuran dan bunga. Penggolongan ini ditetapkan ke dalam 5 macam golongan kualitas atau kolektibilitas kredit, yaitu Lancar, Perhatian Khusus, Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.

NPF. Hal yang sama diberlakukan pada Bank Umum Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, dengan ketentuan yang kurang lebih serupa. Khusus untuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah, penilaian kualitas pembiayaan dilakukan berdasarkan kemampuan membayar yang mengacu pada ketepatan waktu pembayaran angsuran pokok dan/atau pencapaian rasio antara Realisasi Pendapatan atau RP dengan Proyeksi Pendapatan atau PP, atas kesepatan dengan nasabah.


3.1.3. Penyebab NPL/NPF
3.1.3.1. Dari Segi Waktu dan Tahapan.

Dari segi waktu. Suatu pinjaman/pembiayaan dapat berkembang menjadi bermasalah, setiap saat setelah diberikan sampai seluruhnya dibayar lunas. Kualitas pinjaman/pembiayaan yang diberikan sangat ditentukan pada tahap pertama, yaitu bagaimana permohonan pinjaman/pembiayaan diproses, dan disetujui di dalam bank. Pada tahap kedua, NPL/NPF dapat timbul setelah pinjaman/pembiayaan diberikan sebagai akibat dari masalah-masalah yang berada diluar proses internal bank, atau yang berkaitan dengan keberhasilan dan risiko usaha, karakter debitor, pengaruh perubahan lingkungan operasional termasuk perubahan  ekonomi makro terhadap usaha debitor. Untuk menjaga kualitas pinjaman/pembiayaan tetap baik, bank perlu melakukan tindakan pengawasan atau monitoring terhadap pinjaman/ pembiayaan yang telah diberikan hingga lunas.

Dari segi penyebabnya, keyakinan yang tidak terealisir disebabkan sesuatu yang terjadi pada dua tahap yang disebutkan di atas, yaitu:

Pada tahap pertama, atau pada tingkat kreditor. Antara lain adalah: analisis yang tidak cermat karena kurangnya pengetahuan atau keahlian, data yang diperlukan tidak selengkapnya dimiliki atau dikemukakan dalam analisis, terdapat faktor risiko yang tidak sengaja atau sengaja  tidak dibahas atau sama sekali tidak diketahui, kesimpulan yang diambil salah, dan seterusnya. Akhirnya, permohonan pinjaman/pembiayaan disetujui, yang seharusnya ditolak, sehingga terjadi apa yang disebut sebagai adverse selection. Kemungkinan lain adalah terdapat indikasi yang tidak baik, tetapi tidak ditindaklanjuti, atau persyaratan yang harus dimiliki tetapi tidak dipenuhi.

Pada tahap kedua atau pada tingkat debitor: NPL/NPF dapat terjadi karena moral hazard, jika debitor peminjam tidak merealisasi komitmennya; atau dia tidak berniat untuk melakukan pembayaran bunga atau pokok sama sekali, terlepas apakah dia mampu atau tidak. Selain itu, kemampuannya untuk membayar kembali ditentukan pula oleh kesuksesan dari usaha, perusahaan atau proyeknya dalam menghasilkan pendapatan dan keuntungan yang diharapkan. Kesuksesan ini dapat dihalangi oleh perubahan drastis yang tidak menguntungkan pada perekonomian, atau dalam lingkungan dimana ia berusaha. Risiko ini tidak sepenuhnya dapat diperkirakan atau diperhitungkan.


3.1.3.2. Proses Timbulnya NPL/NPF: Gradual  atau Langsung.

NPL Timbul Secara Gradual: Dari Segi Debitor. Apabila pinjaman/pembiayaan diproses secara wajar mengikuti prosedur yang ada, pinjaman/pembiayaan itu tidak akan bermasalah seketika. Walaupun keberhasilan usaha dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal, tetapi faktor itu tidak menghentikan kemampuan bayar debitor secara mendadak, kecuali jika terjadi bencana alam yang merusak alat produksi atau pasar debitor secara siknifikan. Biasanya, pinjaman/pembiayaan akan menunjukkan gejala-gejala awal terlebih dahulu sebelum bermasalah.

Langsung: Dari Segi Bank. Jika pinjaman/pembiayaan bermasalah seketika, dalam arti debitor mulai menunggak pembayaran bunga atau kewajibannya dan terjadi tidak lama setelah diberikan, maka berdasarkan pengalaman dapat disimpulkan, bahwa pemrosesan kredit mengandung penyimpangan yang serius, atau dilakukan dengan tidak wajar atau direkayasa, atau due diligence dilakukan dengan tidak seksama atau sembrono. Masalah ini terjadi akibat masalah pada pihak bank.

Pengambilan risiko yang berlebihan. NPL dapat terjadi karena mengambil risiko yang berlebihan, dan dapat dilihat dari berbagai indikator, seperti: kualitas portofolio yang rendah, konsentrasi pinjaman yang tinggi pada sektor, debitor, industri, wilayah, instrumen utang, jangka waktu tertentu, dan sikap optimisme yang berlebihan terhadap kulitas debitor (Keeton dan Morris, 1987; Clair, 1992; Honohan, 1997; Godlewski, 2004).


3.1.3.3.  Faktor Mikro dan Makro.

Masalah di tingkat mikro. Shen (2004) berpendapat bahwa kemungkinan kegagalan bank disebabkan terutama karena masalah pada tataran mikro, yaitu bagaimana bank melakukan usaha di dalam bank, atau pada tahapan pertama di atas.

Masalah di tingkat makro. Penyebab pinjaman/pembiayaan bermasalah disebabkan oleh masalah-masalah di luar internal bank, sebagai  akibat pengaruh perubahan ekonomi makro, lonjakan tingkat bunga yang tajam, dan penurunan tingkat laju ekonomi yang mendadak. Penyebab ini perlu diantisipasi dan dianalisis oleh loan officer, dan dipertimbangkan oleh para pemutus.


3.1.4. Konvergensi pada Faktor Mikro.

Kesimpulan dari Penelitian dengan pendekatan makro. Penelitian ini menyimpulkan bahwa krisis dimulai dari lemahnya institusi bank, karena NPL telah berakumulasi sebelum krisis  (Kwack, 2000; Wu et al, 2003). Ketika lending boom terjadi, bank tidak mempersiapkan keahlian dan pengetahuan yang diperlukan untuk menghadapi kompetisi, dan pengawasan yang lemah menimbulkan moral hazard (Demirguc-Kunt dan Detragiache, 1998). Penyebab lain adalah pemberian kredit yang berisiko tinggi dan optimisme yang berlebihan (Koford dan Tschoegl, 1997; Koford, et al, 1997), manajemen yang tidak kompeten (Kaufman, 2000, Caprio dan Klingebiel, 1996; Fuertes dan Espionola, 2006), pemberian kredit yang bersifat spekulatif dan sembrono (Kennedy, 1973), bank yang lemah (Fuertes dan Espionola, 2006), corporate culture (fofack, 2005), masalah SDM dan governance (Sgard, 2008), credit culture (Ahmed, 2006), pertumbuhan kredit yang berlebihan dan moral hazard (Vihriala, 1997; Caprio dan Klingebiel, 1996), sikap agresivitas (Soral, et al, 2006), dan internal control yang lemah (Bent Vale, 2004).

Kesimpulan dari Krisis Asia. Seluruh peneliti (Chan lau dan Chen, 1998; Radelet dan Sachs, 1998; Permerleano, 1999; IMF staff, 1998; Krugman, 1998; Caprio, 1998; Haggard dan McIntyre, 1999: Dean, 1999) melihat kegagalan bank atau Krisis Asia dari segi proses dan pelaku pemberi kredit. Dari segi proses, salah satu kunci penyebab adalah diabaikannya sikap hati-hati.Sebagai akibatnya, menimbulkan moral hazard, dan intermediasi keuangan menjadi tidak efisien. Dari segi pelaku, moral hazard  terjadi karena pemberian kredit merupakan insider’s dealing, berbau kolutif  dan koruptif, atau dipengaruhi oleh unsur politik.

Dari pengalaman NPL beberapa negara. Penyebab utamanya NPL adalah pengabaian prinsip kehati-hatian, dan moral hazard, atau pemberian kredit/ pinjaman yang tidak sehat. Seluruh kesimpulan di atas akhirnya mengarah pada manajemen internal bank yang lemah atau tidak kompeten (Batunanggar, 2002; Kennedy, 1973; Godlewski, 2004).


3.1.5. Faktor Mikro Paling Menentukan.

Caprio Jr dan Klingebiel (1996). Walaupun faktor ekonomi makro memberikan pengaruh yang kuat, tetapi akibatnya terhadap setiap subjek dapat berbeda, karena tergantung pada kekuatan yang ada pada setiap bank.

Variabel ekonomi mikro yang penting bagi ketahanan perbankan terhadap kejutan besar ekonomi makro: keahlian dan jumlah tenaga perbankan dan pengawas perbankan yang memadai, tingkat modal bank yang cukup, insentif bagi sikap prudential dan konservatif para pejabat bank, dan standar perkreditan yang baik yang perlu dipertahankan.


3.1.6.  Penyebab NPL/NPF: Faktor-Faktor Mikro.
3.1.6.1. Masalah Manajemen Internal.

Menurut Scott (2003), seluruh persoalan perbankan yang menimbulkan krisis, pada intinya, bermula pada pemberian kredit yang sembrono, dan kepada usaha yang tidak layak atau bersifat spekulatif.


3.1.6.2. Kebijakan Pemberian Kredit dan Canons of Lending.

Menurut Sergio (1996), seperti yang dikutip oleh Ranjan dan Dhaf (2003), tingkat risiko yang tinggi dari aset pinjaman terletak pada kebijakan pemberian kredit, yang berawal dari penilaian yang tidak hati-hati terhadap prospek sektor ekonomi dimana calon debitor beroperasi atau berusaha. Selain itu, secara empirik tidak dapat dibuktikan bahwa resesi ekonomi saja dapat menimbulkan NPL, kecuali kebijakan pemberian kredit yang dimaksud. Hubungan bank dengan debitor akan menjadi efektif, bukan karena berhasil mengatasi asymmetric information semata, tetapi lebih  banyak disebabkan karena penerapan canons of lending yang lemah.


3.1.7. Penekanan pada Kualitas Institusi Perbankan.

Breuer (2006) menekankan pentingnya kualitas institusi perbankan, karena adanya peran ganda, self interest dan moral hazard dari para pejabatnya, sehingga menimbulkan NPL. Breuer menyimpulkan bahwa praktik risk management, pengenaan sanksi terhadap pelanggaran internal dan diversifikasi aset berkorelasi secara negatif terhadap NPL.


3.1.8. Masalah Kepemimpinan

Alon dan Kellerman (1999). Krisis ekonomi adalah fungsi dari faktor ekonomi dan non-ekonomi. Salah satu dari dua penyebab NPL yang sudah ada sebelum krisis adalah : faktor-faktor sosial kultural, seperti collectivism, authoritarianism dan power distance. Faktor ini mempengaruhi kepemimpinan, dan khususnya pengambilan keputusan pemberian kredit, yang berakibat pada terciptanya NPL yang besar, dan meruntuhkan industri perbankan.


3.1.9. The People, The Policy, and The Practice.

Gamble (2003) berkesimpulan bahwa penyebab NPL terutama di Asia Tenggara dan China adalah bertumpu pada 3 pokok, yaitu: orangnya (the people), kebijakannya (the policy) dan praktiknya (the practice). Mengenai yang pertama, Gamble mengaitkan dengan konsep ‘relationship lending’, dimana pinjaman diberikan kepada pihak yang disukai oleh pejabat pemerintah, pemilik atau manajemen bank sendiri atau kroninya, kelompok keiretsu (Jepang), dan berdasarkan quanxi (China) atau ditentukan oleh Partai Komunis. Sebagai pokok kedua, pemberian kredit diberikan karena kebijakan, atau policy lending, atau yang di arahkan oleh pemerintah atau pemilik bank, dan tidak berdasarkan analisis risiko kredit, good corporate governance, prudent operations, dan transparency. Dari segi praktik, perolehan keuntungan tidak dipertimbangkan, pinjaman tidak selalu didokumentasikan, kolateral tidak diminta, pengikatan jaminan secara hukum tidak dilakukan.


3.1.10. Penyebab Pembiayaan Bermasalah (NPF).

Berikut ini adalah ringkasan penyebab NPF yang dapat dikumpulkan.

Pinjaman Pada Pihak Terkait (Moral Hazard)/Bank Islam Malaysia (BIM) Berhad. Menurut Setiawan (2009), NPF itu disebabkan adanya penyelewengan atau fraud, yang bertitik tolak pada masalah principal-agent.

Pengawasan Internal Bank Lemah dan Penyimpangan pada Pemberian Kredit/Dubai Islamic Bank (DIB). Menurut Warde (2000, 155), kejadian tersebut menunjukkan lemahnya pengawasan internal.

Adverse Selection dan Moral Hazard/Bank Islam Sudan. Menurut Ibrahim (2006), NPF ini disebabkan karena kinerja perkreditan yang buruk, dan nasabah besar melakukan wanprestasi; diduga karena adverse selection, akibat dari penilaian pembiayaan yang buruk, tanpa diversifikasi risiko yang layak.

Credit Culture dan Corporate (Governance) Culture Lemah/Bangladesh. Menurut Sarker (1998), dalam banyak kasus, bank tersebut tidak mampu untuk melakukan pengawasan pembiayaan, sehingga terjadi sidestreaming.

Turki, Mesir dan Afrika Selatan. Menurut Askari, et al (2010 : 198), kegagalan sejumlah bank syariah di negara ini adalah disebabkan karena manajemen yang buruk, kealpaan atau negligence, perilaku buruk, dan misrepresentasi.

Kemampuan dan Keahlian Perkereditan (Pembiayaan) Lemah serta Moral Hazard/Sukuk, Nakheel, Dubai World. Disimpulkan karena penilaian awal arus kas proyek yang kurang baik. Selain itu, berkemungkinan terjadi moral hazard, karena menganggap Pemerintah Arab Emirat dapat membantu Nakheel/Dubai World, jika debitor mengalami kesulitan keuangan. Namun, sebagai pemilik, Pemerintah Emirat Dubai menyatakan tidak bertanggungjawab terhadap masalah yang dihadapi debitor (Media Indonesia, 2/12/09).

Pengetahuan dan Keahlian Perkreditan (Pembiataan), Prinsip Kehati-hatian,  Intervensi Pemilik (Moral Hazard), dan Manajemen Internal Lemah/Ihlas Finans, Turki.  Menurut Ali (2006 dan 2007),  perbankan di Turki umumnya, memiliki akumulasi NPL yang besar, disebabkan karena: adanya pengaruh politik dalam pengambilan keputusan kredit, pemberian kredit kepada pihak terkait, korupsi, dan ekspansi kredit yang berlebihan. Khususnya pada Ihlas, masalahnya  berkaitan dengan corporate culture, dimana keputusan cenderung disentralisir pada pemilik saham pengendali, tanpa melibatkan direksi. Selain itu, senior executive berasal dari bank yang gagal, dan staf Ihlas kurang berpengalaman tanpa pelatihan yang memadai.


3.1.11. Faktor-Faktor Mikro Lainnya.
Berikut ini adalah ringkasan para ahli dan pengamat NPL mengenai penyebab NPL di Indonesia:
  1. Supramono (2009 : 83-85) melihat kredit bermasalah sebagai akibat dari masalah dalam manajemen internal bank.
  2. Susidarto (1997) berpendapat bahwa masalah NPL merupakan akibat kurang bekerjanya proses pendistribusian kredit secara benar, dan tidak mengindahkan aturan internal bank yang berlaku, serta merupakan penyimpangan baik yang disengaja maupun tidak.
  3. Fuady (2004 : 78) mengatakan bahwa masalah NPL adalah karena sikap kurang hati-hati atau berbau kolutif, dimana lebih dari 90% kejahatan bank dilakukan atas kerja sama dengan orang dalam.
  4. Kredit diberikan berdasarkan instruksi dari atas atau surat sakti atau katabelece (kredit komando), dan dipandang sebagai akibat suatu persekongkolan.
  5. Muhammad (2005) berpendapat bahwa sejak semula kredit diberikan, karena adanya kongkalikong antara bank sebagai kreditor dengan debitor, atau ditukangi sehingga menjadi macet.
  6. Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit atau rekayasa kredit merupakan hal yang bersifat sistemik, karena dilakukan dengan canggih, dimana orang awam sulit untuk mengetahui adanya penyimpangan. (Penyaluran Kredit, Antara Seni dan Peluang Permainan. Kompas, 12 Oktober 2005).
  7. Menurut Kurniantoro (2005), proses pemberian kredit terpengaruh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit.
  8. Himawan (2006 : 77) berpendapat untuk mengetahui penyebab utama suatu kredit macet, perlu diketahui terlebih dahulu apakah pemberian kredit dilakukan atas pertimbangan hukum atau non-hukum. Namun, dia berpendapat, bahwa pertimbangan non-hukum harus dibarengi dengan agunan yang cukup.
  9. Menurut Siahaan (2005 : 159), kejahatan perkreditan umumnya dilakukan oleh orang-orang yang sudah mengerti tentang seluk-beluk perbankan dan operasinya, termasuk dalam kejahatan ini adalah kredit fiktif.
  10. Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia, menyatakan bahwa “tidak ada masalah kalau dalam menyalurkan kredit, bankir memperhatikan prosedur operasional yang disepakati, melakukan penilaian secara profesional, tidak melanggar kebijakan Bank Indonesia dan kebijakan publik, serta aturan internal bank” (InfoBankNews.com. 5 Juni 2005 : 5).  
  11. Sutojo (2008 : 18-21) berpendapat terdapat sejumlah penyebab yang berasal dari internal bank yang dapat membuat timbulnya NPL, seperti: rendahnya kemampuan atau ketajaman bank melakukan analisis kelayakan kredit, dan lain sebagainya.
  12. Menurut Wijaya  (2005, 2010), penyimpangan yang menimbulkan NPL dari segi hukum dapat merupakan error omission atau error commission.
  13. Menurut Siahaan (2005), kredit macet, yang disebabkan adanya kongkalingkong atau persekongkolan, self dealing, atau yang berbau kolutif, dan terpengaruh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit, dapat mengakibatkan pada penilaian yang tidak jujur, tidak objektif, tidak cermat, dan tidak seksama, dan merupakan hasil kolusi antara pihak kreditor dengan debitor.
  14. Majalah “Info Bank” seperti yang dikutip oleh Ali (1999 :  80; 1999 : 87), Dhanuskodi (2006), Sathye, et al (2003: 390), dan Ali (2007), mengungkapkan suatu daftar penyebab kenapa krisis perbankan terjadi, yang pada intinya karena kualitas aset pinjaman yang buruk  atau NPL. NPL ini timbul karena sejumlah masalah yang berkaitan dengan proses pemberian kredit/pinjaman, dan dapat dikelompokan sebagai berikut: kebijakan yang tidak tepat, proses yang tidak sehat, dan fungsi pengawasan bank yang lemah, masalah moralitas, lemahnya monitoring terhadap debitor, dan lemahnya pengetahuan atau keahlian personel bank.
Seluruh penyebab NPL pada tataran ekonomi mikro di muka dapat dikelompokan ke dalam faktor penyebab berikut:


3.1.11.1. Penerapan Pengetahuan dan Keahlian Perkreditan.

Kurangnya pengalaman dan keahlian dalam menyeleksi calon debitor, memonitor kinerja debitor, dan prosedur dan administrasi perkreditan serta pengawasan internal yang buruk akan menyebabkan timbulnya NPL (Brownbridge, 1998; Sharma, 2004) dan kemudian kegagalan bank (Ascraft, 2005; Peterson dan Wadman, 2004).


3.1.11.2. Profesionalisme dan Integritas.

Krisis yang terjadi di Asia termasuk Indonedia tahun 1997/1998, pada intinya, disebabkan karena kadar integritas dan profesionalisme yang telah luntur, sehingga mengabaikan sikap dan tindakan prudential yang diperlukan (Haggard dan McIntyre, 1999; Mishkin, 1998; Vale, 2004; Mattson, 1993). Pemberian kredit melalui cara-cara yang tidak sehat merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip profesionalisme. Tetapi, jika pemberian kredit itu dilakukan demi kepentingan pihak tertentu, maka merupakan gangguan yang serius terhadap etika dan integritas, dan dapat berakibat pada pelanggaran hukum atau ketentuan yang berlaku.


3.1.11.3. Tingkat Spiritualitas

Pengalaman NPL di beberapa negara menunjukkan bahwa terjadinya NPL juga disebabkan karena adanya penyelewengan internal yang dibiarkan atau disengaja di dalam bank. Menurut Ghani (2005 : 31), penyelewengan tersebut terjadi karena manajemen yang tidak amanah; sedangkan menurut Harish (2003), karena tindakan yang tidak bertanggungjawab dari para eksekutif. Menurut Ghani (2005 : 32), orang perlu meningkatkan kesadaran akan tanggungjawabnya ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu yang bersifat rohani atau transcendental. Dalam konteks agama, terutama agama Islam, satu-satunya pemilik kepentingan atau stakeholder, bahkan shareholder (Ghani, 2005, 32 : 45) yang paling tinggi adalah Tuhan Yang Maha Esa; karena Tuhan merupakan pemilik mutlak dari apa yang ada di dunia (QS. 10 : 55).


3.1.11.4.  Moral Leadership

Streeter (1993) mengatakan bahwa unsur kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting, ia yang akan dapat membawa bank dari suatu keadaan ke keadaan lain, sekaligus merupakan role model bagi para manajer senior dalam jalur etika.. Menurut Husain (2005), kultur yang diperlukan bank dapat dipupuk, jika pimpinan bertindak sebagai role model, mengawal arah perjalanan bank (walks the talk), tidak bersikap standar ganda (double standards) dalam tindakannya, dan menangani seluruh pegawai secara adil tanpa ada yang dianak emaskan. Melihat besarnya tanggungjawab direksi bank yang dipimpin oleh seorang presiden direktur, dimana pemimpin harus merupakan penggerak utama ke arah kebaikan, maka bank memerlukan kepemimpinan yang bermoral.


3.1.11.5.  Corporate Culture

Penelitian Denison dan Mishra (1995), dan Carretta, et al (2008) menunjukkan adanya hubungan corporate culture dengan efektivitas atau keuntungan atau nilai pemegang saham yang tinggi. Efektivitas yang tinggi menunjukkan tingkat NPL yang rendah. Menurut Sharma (2005), NPL memiliki efek yang berbahaya bagi keuntungan secara signifikan dalam persamaan, yang merupakan perbedaan antara spread bunga dan beban biaya.


3.1.11.6.  Hard Budget Constraint/Policy.

Hard Budget Constraint, sebagai salah satu penyebab NPL, baru pertama kali di kemukakan dalam Disertasi ini. Pengertian istilah, yang awalnya diungkapkan oleh Kornai (2000), disini dikembangkan dalam aplikasi perkreditan, dan dikaitkan dengan masalah NPL, perkreditan, dan konsep forebearance policy.

Aplikasi Pada Perkreditan. Hard budget policy dapat pula diartikan sebagai kekuatan penilaian suatu transaksi kredit atas kemampuan transaksi itu dalam menghasilkan arus kas; dimana unsur ini merupakan hal yang penting dalam intermediasi keuangan (Scholtens dan Wensveen, 2001).

Hard Budget Constraint pada dasarnya adalah merupakan disiplin keuangan untuk menyeimbangkan antara pendapatan dan pengeluaran, dan mencatat kedua unsur ini berdasarkan perkiraan yang mendekati realita.

Dalam mengatasi masalah NPL yang besar di India, Narasimham Committee menyatakan bahwa awal permasalahannya terletak pada kurangnya norma prudential yang berkaitan dengan pengakuan pendapatan, klasifikasi pinjaman dan penyediaan cadangan piutang ragu-ragu (Mukherjee, 2003). Tindakan yang berbeda akan melahirkan forebearance policy, yang pada dasarnya merupakan penundaan untuk mengakui adanya kerugian atau kekurangan modal akibat NPL, dengan memberikan waktu bagi bank untuk menutup kerugian tersebut dari pendapatan yang sedang berjalan dan diharapkan  lebih baik (Calomiris, et al, 2004); dan menutupi masalah yang dihadapi dengan perolehan dana masyarakat dan memperbesar neraca (Caprio dan Klingebiel,1996).

Hard budget policy akan mendorong sikap yang lebih prudent bagi pejabat perkreditan, dan pada akhirnya akan mempengaruhi tinggi rendahnya NPL pada bank tersebut.


3.1.11.7. Reward & Penalty System.

Pentingnya Reward and Penalty System. Menurut Adam Smith (1723-1790), apapun yang tampaknya dapat menjadi objek sebagai dasar untuk berterima kasih, maka merupakan hal yang wajar untuk memperoleh hadiah atau reward. Apapun yang tampaknya dapat menjadi objek yang wajar untuk menimbulkan rasa kebencian, maka merupakan hal yang wajar untuk menerima hukuman atau punishment (Smith, 2000 : 94). Pemberian reward dan pengenaan hukuman atau punishment itu harus dilakukan dengan segera. Penegakkan hukum yang tegas dirasakan perlu, karena dari waktu ke waktu selalu terjadi penyimpangan dalam perbankan, dan sudah menjadi hal yang umum. Sebagai contoh, pengabaian prinsip-prinsip kehati-hatian, umumnya, cenderung bersifat disengaja.


3.1.11.8.  Credit Culture.

Menurut Ahmed (2006), credit culture atau kebijakan pemberian pinjaman yang tidak tepat merupakan pendorong utama timbulnya NPL. Dalam kasus di Indonesia, bank-bank pemerintah seperti Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, dan Bappindo sebelum krisis 1997/1998 telah mengandung tingkat NPL yang tinggi, dan disebabkan terutama karena credit culture yang lemah.


3.1.11.9.  Pengecekan Reputasi

Reputasi merupakan unsur yang efektif untuk meyakini bahwa debitor akan memenuhi kewajiban kontraktualnya dengan bank (Koford dan Tschoegl, 1997). McGoven (1993), yang juga dikutip oleh Ranjan dan Dhaf (2003), berpendapat bahwa masalah karakter merupakan faktor yang sangat penting dan determinan yang sangat menentukan dalam keputusan pemberian kredit. Oleh karena itu, menurut mereka, reputasi merupakan salah satu faktor dari mekanisme dorongan untuk membayar, selain kolateral dan sanksi hukum.


3.1.11.10.  Due Diligence dan Due Care.

Dalam lingkungan operasional bank yang kurang baik, analisis kredit perlu ditingkatkan menjadi due diligence yang dimaksud oleh Colquitt (Colquitt, 2007 : 8), disertai dengan due care yang lebih aktif. Pada intinya, due diligence berarti suatu kegiatan yang ditujukan untuk meneliti atau melakukan investigasi secara mendalam dan luas mengenai suatu bisnis atau perusahaan, serta menilainya, sebelum melakukan suatu tindakan terhadap usaha atau bisnis atau perusahaan itu.

Due Care. Kegiatan due care disini didasarkan pada teori keagenan atau agency theory. Intinya adalah kegiatan monitoring oleh prinsipal atau kreditor terhadap debitor atau agen dapat memperbaiki kualitas kontrak atau perjanjian, dan masalah yang mungkin timbul pada pinjaman/pembiayaan yang telah diberikan dapat diselesaikan dengan lebih baik (Diamond, 1996).


3.1.11.11. Pengawasan Kredit

Menurut Socrates, kehidupan yang tidak pernah diperiksa atau dipikirkan kembali, bukanlah kehidupan yang bernilai untuk dijalani (Preston, 2007 : 7). Orang perlu untuk memiliki pengetahuan terhadap diri dan refleksi dirinya sendiri, sehingga dapat melakukan penelaahan dan introspeksi terhadap dirinya sebagai jalan menuju kehidupan yang bernilai. Apa yang membuat hidup bernilai adalah merupakan hal yang sama untuk dipertahankan, dan bernilai pula walaupun harus menghadapi kematian. Dalam kasus Socrates ini, hal yang dimaksud bernilai itu adalah bahwa dia tetap memegang teguh prinsip moral yang dianggapnya baik di hadapan publik, walaupun dia harus menghadapi kematian dengan keharusan meminum racun hemlock.

Kegiatan pemeriksaan atau pengawasan atau audit ini perlu dilakukan secara reguler dalam rangka memastikan bahwa prinsip perkreditan yang sehat benar-benar telah diterapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menekan NPL menjadi lebih rendah, sehingga melanggengkan kehidupan bank.


3.1.12. Penggunaan Sejumlah Variabel Mikro Pada Penelitian Terdahulu 

Djohanputro & Kountur (2007). Penelitian ini pada dasarnya mirip dengan penelitian yang dilakukan untuk Disertasi ini. Persamaannya terletak pada tujuan dari penelitian, yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi NPL, tetapi pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR); sedangkan penelitian ini dilakukan untuk menentukan pengaruh faktor-faktor manajemen internal terhadap timbulnya NPL/NPF, tetapi pada bank konvensional dan bank syariah.


3.1.13. Penerapan pada Chase Jakarta.

Sebagian besar variabel-variabel mikro yang berasal dari manajemen internal tersebut di atas diterapkan di lingkungan Chase Manhattan Bank, Jakarta. Penerapan itu telah memberikan kekuatan pada manajemen internal bank secara menyeluruh pada kantor-kantor cabang di seluruh dunia. Orientasi dari manajemen Chase berpusat pada peningkatan dan mempertajam pengetahuan dan keahlian perkreditan (credit oriented), sedangkan Citibank lebih menekankan pada kegiatan pemasaran (marketing oriented) dengan konsep ”menjualnya”, seperti yang dikatakan oleh Viotti (2000).

Perbedaan kultur di atas disebabkan karena perbedaan filosofi dan budaya yang dianut oleh pemilik kedua bank tersebut, dan hasil nyatanya dapat dilihat dengan jelas dewasa ini. Ketika David Rockefeller menikmati hasil penjualan banknya, John Reed, pemilik dan CEO Citibank, di lain pihak, terus melakukan ekspansi dan memperbesar banknya. Pada krisis 2008, baru-baru ini, Citibank, di bawah naungan Citigroup, merupakan salah satu bank yang diselamatkan atau di bail out oleh pemerintahan Obama, karena terpuruk sebagai akibat dari pembiayaan subprime mortgage.


3.2.   KERANGKA PEMIKIRAN DAN PENGEMBANGAN  HIPOTESIS.
3.2.1. Kerangka Pemikiran

Penelitian untuk Disertasi ini adalah untuk menentukan pengaruh dari personnel qualification, institutional environment/qualification dan process and control environment yang berkaitan dengan manajemen internal bank terhadap timbulnya NPL/NPF. Model yang digunakan berdasarkan  bagaimana manajemen internal membuat keputusan pemberian pinjaman/pembiayaan yang baik, dan apa yang mempengaruhi, serta bagaimana pelaksanaan dari keputusan itu dijalankan sehingga dapat menekan timbulnya NPL/NPF. Untuk mendukung secara teoretis, bagian ini mengkaji agency theory, moral hazard theory dan stakeholders theory, beserta beberapa penelitian terdahulu. Dengan dipilihnya faktor-faktor manajemen internal tersebut sebagai variabel bebas, hipotesa-hipotesa penelitian diberikan beserta Diagram dari Kerangka Pemikiran di bawah ini:

Gambar: Kerangka Proses Berpikir dengan Menggunakan Model Pendekatan Manajemen Internal.





Teori Terdahulu/
Studi Teoritik
Penelitian Terakhir/Studi Empirik
 
Agency Theory
(Trontin dan Bejean, 2004, Eisenhardt, 1989; Jamison, 1998; Lago, 2002)
Moral Hazard Theory
(Mishkin, 1996; (Alon dan Kellerman, 1999;  Cho, 2002; Berger dan DeYoung, 1997; Collyns dan Senhadji, 2002)
Stakeholders Theory
(Beaucham dan Bowie (2001)
Adverse Selection
Theory
(Stiglitz dan Weiss, 1981)
Bad Management Hypothesis
(Berger dan DeYoung, 1997)
Peneliti
Penyebab NPL/Pembahasan Kesimpulan Studi
Gamble, 2003 The People, The Policy, dan The Practice.
Djohanputro & Kountur, 2007. Penyebab NPL: Sejumlah variabel mikro 
 
Breuer, 2006NPL tergantung pada kualitas institusi perbankan Soral, et al 2006Tindakan penipuan dan perampasan, ketika pengawasan dan penegakkan hukum lemah.Komatsu, 2007Moral Hazard dalam pemberian kredit, dan forebearance policy membiarkan NPL berakumulasi.Alon dan Kellerman, 1999 
Masalah Kepemimpinan.Ahmed  (2006)Overleverage Li (2003)Keahlian perkreditan dan Corporate CultureDean (1999)Relationship LendingScott ( 2003), dan sejumlah ahli lainnya 
Masalah Manajemen Internal





3.2.1.1. Model Pendekatan Manajemen Internal.

Baik bank konvensional maupun bank syariah melakukan pekerjaan utamanya melalui manajemen internal, yang menentukan keberhasilan atau kegagalan bank. Dalam mengelola risiko, manajemen internal menentukan arah dan perjalanan pemberian pinjaman/pembiayaan, dan dimanifestasikan ke dalam keputusan yang diambil, melalui bagaimana keputusan itu dibuat serta pengawasan terhadap pelaksanaannya.


3.2.1.2. Bank sebagai Badan Hukum.

Bank atau korporasi merupakan sekumpulan orang yang mengorganisir dirinya untuk bekerja bersama-sama dalam mencapai tujuan yang sama. Organisasi ini disebut sebagai recht person, atau badan hukum dalam bahasa Indonesia, karena dianggap sebagai orang layaknya atau naturlijk person. Anggapan ini diberikan oleh hukum, dan oleh karenanya menjadi ciptaan hukum. Karena ditetapkan oleh hukum, organisasi atau badan hukum itu memiliki hak dan kewajiban dalam melakukan kehidupannya. Hak itu adalah untuk menjaga atau menjalankan kepentingan atau tujuan yang telah didefinisikan secara jelas (Hegel, 1996 : 236); atau hak untuk menjalankan operasi usaha seperti yang diijinkan oleh undang-undang, dan hak membeli dan memiliki kekayaan atau aset. Kepemilikan korporasi atau bank atas harta atau aset dan juga utang, terpisah dari kepemilikan yang dipunyai oleh pemegang saham. Kewajibannya adalah harus mematuhi ketentuan dan undang-undang yang berlaku yang datang dari lingkungan dimana badan hukum itu berusaha, termasuk ketentuan yang tidak tertulis yang mencakup masalah etika atau moralitas. Tujuan korporasi atau bank sebagai organisasi pada akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya (Hegel, 1996 : 236).


3.2.1.3. Organ Badan Hukum.

Organ bagi badan hukum adalah seperangkat pengurus, yaitu dewan komisaris dan direksi yang dibantu oleh para staf dan pegawai. Kesatuan dari para pengurus dan para staf senior membentuk apa yang disebut ’manajemen internal’ dari badan hukum atau bank itu. Dalam operasinya, bank dipimpin oleh seorang presiden direktur sebagai pimpinan pelaksana puncak. Manajemen internal ini dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang menjamin bahwa segala sesuatunya dilakukan secara benar (Lukviarman, 2004) dalam rangka mengelola sumber daya.


3.2.1.4. Jiwa Badan Hukum.

Jackson dan Nelson (2004 : 301, 303, 304) berpendapat bahwa jiwa itu terletak pada atau berupa tujuan dari badan hukum; sedangkan keuntungan hanya merupakan alat, namun itu bukan tujuan akhir. Tujuan ini tidak akan dapat direalisir, jika organ-organ dari badan hukum itu tidak melakukan pengambilan keputusan. Keputusan perlu diambil dari waktu ke waktu untuk menjalankan roda manajemen, sehingga tujuan dapat dicapai dan dipertahankan. Oleh karena itu, akan lebih tepat jika dikatakan bahwa jiwa dari badan hukum itu terrefleksi pada pengambilan keputusan sehubungan dengan aktivitas utamanya, sekaligus sebagai antisipasi terhadap segala kemungkinan yang timbul  dari setiap perubahan yang dapat terjadi pada lingkungan usahanya. Pound (1995) juga berpendapat bahwa inti dari good corporate governance sesungguhnya terletak pada bagaimana memperoleh keyakinan agar keputusan yang diambil merupakan keputusan yang terbaik dan efektif. Keputusan yang diambil juga menentukan moralitas dari institusinya.

Agar bank bertindak sebagai agen yang bermoral, organisasi itu harus memiliki proses pengambilan keputusan yang bermoral (Monks dan Minow, 2004 : 17), dan berintegritas (De George, 1999 : 213). Dalam perspektif moralitas Kant (Bowie, 1998 : 90), pengambilan keputusan harus memperhatikan kepentingan dari seluruh stakeholders yang dapat terimbas oleh keputusan yang diambil.


3.2.1.5. Kehidupan yang Bermanfaat.

Bank merupakan anggota masyarakat yang bersifat sebagai institusi, dan keberadaannya bersandar pada masyarakat, karena masyarakat percaya bahwa keberadaannya membawa manfaat bagi kepentingan mereka. Kehidupan yang lebih panjang hanya dapat dicapai, apabila seperangkat manajemennya dapat memberikan manfaat pada masyarakat dari waktu ke waktu. Selain itu, kehidupan yang layak adalah memenuhi ketentuan yang berlaku, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, dan dilakukan dengan penuh kewajaran, atau tidak berlebihan. Dalam perspektif Aristotle, jika penekanan pada pencapaian keuntungan dilakukan secara berlebihan, maka kemungkinan keuntungan itu tidak dapat diperoleh sama sekali (Bowie, 1998, 132).


3.2.1.6. Hidup Atas Kemampuan.

Yunani Kuno mengenal konsep eudaimonia, yang berarti ”kehidupan yang terpenuhi”, yang tidak hanya berarti ’kebahagiaan’. Menurut Norton (1991 : 3), eudaimonia, sebagai tujuan dari kehidupan, tidak saja berarti perasaan, tetapi juga suatu kondisi, yang menunjukkan kehidupan berdasarkan kebenaran pada diri sendiri, atau daimons dari Socrates yang  menjadi penuntun dalam menjalankan kehidupan (Norton, 1991 : 83), atau kemampuan tertinggi atau arete yang ada secara ideal pada diri, menemukan diri dimana pengetahuan akan diri sendiri dimulai, kemudian mengaktulisasikan atau merealisasikan kemampuan itu. Bagi Aristotle, kebahagiaan adalah hasil yang dicapai dari usaha dalam merealisasikan kemampuan itu (Bowie, 1998 : 132).

Menurut Norton (1991 : 165), eudomonist atau manager kontemporer dari eudaimonia memiliki persyaratan yang sesuai dengan pendapat Plato, yaitu bahwa untuk menjadi manajer yang baik memerlukan pengetahuan mengenai hal-ikhwal atau ’the good’ yang menyeluruh dari organisasi yang dikelolanya; dan memerlukan manajer mengindentifikasi ’hal ikhwal’ diri sendiri sebagai ’hal ikhwal’ dari keseluruhan. Norton menjelaskan, bahwa menyatukan ‘hal ikhwal’ organisasi  dengan ‘hal ikhwal’ individu membentuk kebajikan atau virtue dari  objektivitas dari nilai-nilai yang akan dicapai oleh organisasi. Organisasi yang efektif adalah dimana setiap anggotanya dapat membedakan mana manajemen yang baik dan mana yang buruk, dan setiap anggota memiliki komitmen yang penuh terhadap nilai-nilai yang akan dicapai.


3.2.1.7. Studi Teoritik : Teori Terdahulu. 

Agency Theory

Dalam teori keagenan, terdapat dua pihak yang berbeda, yang pertama majikan, dan kedua, agen. Teori ini mendekati masalah dengan menganalisa hubungan dan interaksi antara dua individu ketika kewenangan, tindakan, kegiatan dari majikan didelegasikan kepada agen karena kompetensinya yang spesifik (Trontin dan Bejean, 2004). Dalam konteks perbankan, Lago (2002) mengatakan bahwa bank berfungsi atas dasar kaitan antara principal-agent yang kompleks diantara para stakeholders, termasuk dalam hubungan kreditor dan debitor. Namun, hubungan ini cenderung menimbulkan benturan kepentingan, karena adanya perbedaan dalam kepemilikan informasi, agen memiliki dorongan atau insentif yang berbeda (Mishkin, 1996), dan bertindak demi kepentingan pribadinya, bukan demi kepentingan majikannya (Eisenhardt, 1989), serta sikap yang berbeda terhadap risiko (Eisenhardt, 1989; Jamison, 1998).

Menurut pandangan positivis dari teori keagenan, benturan kepentingan juga dapat ditekan melalui mekanisme tata kelola atau governance yang baik, terutama dalam membuat pembatas bagi sikap oportunis dari agen (Eseinhardt, 1989). Cheng (2000) berpendapat, bahwa majikan dapat memotivasi atau mengawasi tindak tanduk agen. Dalam hal yang terakhir ini, Lago (2002) berpendapat, penegakkan hukum dapat mendorong agen untuk berusaha mencapai objektif bagi dirinya paling tidak sebanyak yang diharapkan oleh atasan atau majikannya.

Organisasi bank memerlukan suatu sistem yang dapat meciptakan governance yang dimaksud, dengan berpokok kepada pengambilan keputusan kredit yang baik. Bank perlu mempertahankan hidupnya, dengan menyeimbangkan antara pendapatan dengan risiko. Pengambilan keputusan yang tepat bagi bank dibentuk oleh tiga pilar, yang terdiri dari kualifikasi orangnya, kebijakan institusinya, dan proses yang spesifik yang harus dilakukan dalam melaksanakan keputusan yang dimaksud.
Menurut Trontin dan Bejean (2004), majikan mendelegasikan suatu pekerjaan atau kewenangan kepada agen karena kompetensinya yang spesifik, maka agen harus memiliki pengetahuan dan keahlian yang diperlukannya dalam melakukan pekerjaan tersebut.

Selain itu, karena lingkungan pemberian pinjaman/pembiayaan sangat rawan terhadap timbulnya moral hazard, maka tidak saja memerlukan unsur profesionalisme dan integritas, tetapi juga diperlukan unsur spriritualitas yang memadai. Hal ini yang ditekankan pada pilar pertama, yaitu kualifikasi orangnya.

Mengacu pada pendapat Eseinhardt (1989) mengenai pentingnya governance, faktor yang paling menentukan akan tegaknya setiap aturan main adalah adanya peran aktif dari pimpinan tertinggi. Bagi lingkungan pemberian pinjaman/pembiayaan, yang berhadapan dengan banyak risiko dan kerawanan, maka yang diperlukan adalah kepemimpinan yang bermoral. Kepemimpinan ini juga berfungsi untuk menciptakan corporate culture yang diperlukan, termasuk masalah disiplin keuangan.

Governance di atas meliputi nilai-nilai dalam credit culture yang harus diikuti oleh pejabat terkait. Hal ini merupakan kebijakan dalam pilar ketiga, yang dapat mempengaruhi proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan. Disamping itu, bagaimana pekerjaan dilakukan harus pula ditentukan dengan pasti, sehingga merupakan kontrak (sosial) seperti yang dimaksud oleh Lago (2002), dan harus diikuti ketika memproses pengambilan keputusan pemberian pinjaman/pembiayaan, termasuk pelaksanaan dan pengawasannya. Proses yang paling penting adalah pengecekan reputasi calon debitor, due diligence dan due care,  pengawasan pemberian pinjaman/pembiayaan atau audit kredit secara reguler dan konsisten. Hasil audit yang menemukan adanya penyimpangan, perlu ditindak lanjuti. Untuk itu, menurut Cheng (2000), kompensasi atau reward, atau insentif berupa hukuman atau sanksi yang tepat, atau penegakan hukum yang dimaksud oleh Lago (2002) juga diperlukan.

Moral Hazard Theory.

Sebagai teori, moral hazard atau tindakan yang tersembunyi merupakan suatu situasi pasar dimana salah satu pihak dari suatu transaksi merubah tingkah lakunya, dengan cara menyembunyikannya dari dan menimbulkan beban biaya bagi pihak yang lain dalam transaksi yang sama (Alon dan Kellerman, 1999 : 4). Pontell (2003) mengatakan, moral hazard adalah dimana terdapat insentif ekonomi yang buruk untuk suatu tingkah laku, dimana salah satu pihak memperoleh keuntungan tanpa atau sedikit risiko pribadi (Berger dan DeYoung, 1997; Collyns dan Senhadji, 2002).

Internal Bank. Kejadian munculnya moral hazard di lingkungan internal bank adalah merupakan yurisdiksi pimpinan tertinggi. Presiden direktur harus dapat mengontrol keadaan tersebut, dengan menghindari pengambilan risiko yang berlebihan, dan hanya menyetujui permohonan kredit/pijaman yang telah diseleksi dengan seksama. Untuk itu, corporate dan credit culture yang tepat dan sehat harus diciptakan, sehingga prinsip kehati-hatian dapat diterapkan dengan konsisten.

Debitor Vs Kreditor. Untuk mengatasi moral hazard yang mungkin terjadi pada tingkat calon debitor/debitor, bank harus melakukan langkah-langkah prinsip kehati-hatian semenjak awal suatu permohonan dari kredit/pembiayaan akan diproses, dan memenuhi serta manjalankan seluruh unsur dari ketiga pilar yang dimaksud di atas.

The Stakeholder Theory.

Korporasi atau bank memiliki sejumlah stakeholders. Beaucham dan Bowie (2001 : 66) mendefinisikan stakehoders ini sebagai individu atau kelompok individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian objektif dari organisasi tersebut. Bagi bank, stakeholder yang paling penting adalah para deposan, atau masyarakat pemilik dana yang disimpan dan digunakan bank untuk menjalankan usaha. Prinsip kehati-hatian dan diversikasi risiko yang harus diterapkan bank, pada dasarnya, adalah untuk melindungi kepentingan dan keamanan dana mereka.

Manajemen bank, terutama pimpinan puncaknya, memiliki tugas untuk menjaga tingkat kesehatan bank yang dikelolanya. Manajemen harus pula memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders yang terkait. Secara etika, manajemen harus menyeimbangkan seluruh kepentingan mereka, tanpa ada yang didahulukan kepentingannya, terutama ketika mengambil setiap keputusan. Namun, bagi bank, inti permasalahan adalah bagaimana mengambil keputusan kredit/pembiayaan yang baik. Dengan keputusan yang tepat, kemungkinan timbulnya NPL/NPF akan lebih kecil, sehingga kepentingan stakeholder yang paling vital akan terlindungi, demikian pula kepentingan stakeholder lainnya.

Adverse Selection Theory (Stiglitz dan Weiss, 1981).

Dasar teori “salah pilih” ini terletak pada 2 asumsi, yaitu: bahwa kreditor tidak dapat membedakan debitor dengan berbagai tingkat risiko yang berbeda; dan perjanjian pinjaman hanya mencakup tanggungjawab yang terbatas; misalnya, hasil dari suatu proyek kurang dari kewajiban utang yang harus dibayar, debitor tidak bertanggungjawab terhadap biaya-biaya di luar yang diperhitungkan.

Agar tidak terjadi salah pilih, bank harus meneliti kemampuan dan kemauan calon debitor untuk membayar kembali pinjamannya, atau untuk menghasilkan keuntungan. Untuk itu, bank sebagai suatu institusi harus memiliki seperangkat atribut atau perlengkapan yang diperlukan dalam mengambil keputusan, pelaksanaan dan pengawasan pemberian pinjaman/pembiayaan. Disini, diperlukan kualifikasi orangnya, kebijakan yang harus diikuti dan proses yang harus dilakukan termasuk pangawasannya.

Manajemen Bank yang Buruk atau Bad Management Hypothesis (Berger dan DeYoung, 1997).

Hipotesa ini menggunakan variabel ‘manajemen yang buruk’, yang artinya manajemen itu tidak melakukan analisis, memonitor dan mengawasi pinjaman secara memadai, sehingga menghasilkan efisiensi yang rendah sebagai indikasi dari kinerja manajemen yang buruk. Sebagai manajer yang tidak baik, mereka tidak memiliki keahlian dalam menyeleksi calon debitor, tidak kompeten dalam menilai kolateral, dan tidak cukup mengalokasikan sumber daya untuk pengawasan atau monitoring pinjaman setelah diberikan. Tingkah laku pemberian kredit/ pinjaman seperti ini membuat efisiensi biaya terukur menjadi rendah, karena timbulnya NPL yang lebih besar.

Dua faktor utama dalam hipotesa ini, kompentensi dan jumlah SDM yang cukup, perlu dijabarkan lebih lanjut. Untuk mencapai efisiensi dalam melakukan perkerjaan utama bank, terdapat sejumlah faktor lain, yaitu yang berkaitan dengan: Orangnya (the people), kebijakannya (the policy) dan prosesnya (the proces):


3.2.1.8. Penelitian Terakhir dengan Pendekatan Mikro: Studi Empirik.

Breuer (2006) menyimpulkan bahwa untuk menekan NPL diperlukan kualitas yang baik dari institusi perbankan, sehingga dapat menekan timbulnya moral hazard. Untuk itu, diperlukan penegakan hukum dan pengenaan sanksi terhadap manajemen dan direksi bank. Namun, menurut Cadbury Commitee, yang diperlukan adalah kualitas individunya  seperti kejujuran (Drennan, 2004), yang berfungsi sebagai soft control,  dan bahkan sebagai built in control. Dalam Disertasi ini, soft control dapat dicapai melalui moral leadership dari pimpinan tertinggi bank, karena dia akan menjadi role model bagi bawahannya  untuk mencapai objektif yang dimaksud oleh Breuer di atas. Built in control dapat diperkuat dengan melakukan audit kredit secara reguler, dalam rangka memastikan apa yang dikerjakan sebelumnya telah sesuai dengan standar perkreditan yang ditetapkan, dan juga merupakan alat untuk mencegah timbulnya penyimpangan dalam pemberian kredit.

Seperti halnya Breuer, Soral (2006) dan Komatsu (2007) menekankan masalah moral hazard dalam pemberian pinjaman, dan berpendapat bahwa untuk menekannya diperlukan penegakan hukum yang tegas. Komatsu (2007) mengatakan bahwa berakumulasinya NPL sebelum krisis terjadi adalah disebabkan karena adanya forebearance policy dari regulator. Artinya  suatu pengabaian disiplin keuangan, yang bertentangan dengan hard budget policy. NPL, jika tidak diselesaikan, akan membawa beban biaya yang mengurangi pendapatan bank, dan dalam jangka panjang, akan mempengaruhi tingkat kesehatan bank.

Alon dan Kellerman (1999) mengungkapkan masalah NPL yang ditimbulkan karena masalah kultural, seperti mempertahankan harmoni dan kolektifitas serta hirarki dan status, atau kebiasaan mengambil utang yang besar, dan sifat kepemimpinan yang otoriter, khususnya di masyarakat Asia Timur. Untuk mengatasinya, diperlukan unsur-unsur seperti keahlian dan pengalaman perkreditan, profesionalisme dan integritas, dan bahkan unsur spiritualisme.

Menurut Ahmed (2006), pemberian pinjaman kepada calon debitor yang telah memiliki utang yang besar atau overleverage harus dihindari, dengan menerapkan credit culture yang tepat. Li (2003) telah membuktikan adanya hubungan antara corporate culture dengan NPL.

Dean (1999) mengatakan bahwa pemberian kredit dapat dipengaruhi oleh semangat kolektivisme, sehingga keputusan kredit menjadi tidak sehat karena bersandar pada faktor hubungan semata atau relationship lending murni. Keputusan pemberian pinjaman yang sehat harus didasarkan pada pertimbangan yang profesional dibarengi integritas yang tinggi.


3.2.2.  Pengembangan Hipotesis

Seluruh faktor penyebab NPL, yang dikemukakan, pada umumnya bemuara pada majemen internal bank; secara khusus, berkaitan dengan proses dan pengambilan keputusan kredit, serta pengawasan terhadap proses dan pelaksanaan hasil keputusan itu. Keseluruhan faktor tersebut merupakan faktor mikro yang berkaitan erat dengan kebijakan, dan proses kerja, serta dapat ditentukan oleh manajemen internal bank.


3.2.2.1. Faktor-Faktor Manajemen Internal: Penyebab NPL/NPF.

Faktor-faktor yang telah disebutkan sebagai penyebab NPL digunakan sebagai variabel bebas untuk menjelaskan timbulnya NPL, dan dikelompokan ke dalam tiga bagian, yaitu 2 kelompok subjek dan 1 kelompok proses dan pengawasan yang diduga dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya NPL.

Pertama, di tingkat individu meliputi seluruh pejabat yang dimulai dari account officer, Komite Kredit dan Risk Management serta pemutus kredit, atau dalam pengelompokakan Gamble disebut orangnya (the people). Disini, yang diperlukan adalah kualifikasi untuk melakukan proses dan persetujuan serta pengawasan atau monitoring kredit/pembiayaan yang telah diberikan, atau disebut personnel qualification, yang meliputi: pengetahuan dan keahlian perkreditan/ pembiayaan, profesionalisme dan integritas,dan kadar spiritualisme.     

Kedua, di tingkat institusi adalah kebijakan dan/atau sikap dari institusi, yang dapat mempengaruhi kegiatan dan pengambilan keputusan di tingkat individu, atau disebut institutional environments; atau dalam pengelompokan Gamble disebut sebagai kebijakannya (the policy), dan terdiri dari: Moral leadership, Organizational/Corporate Culture, Hard budget policy, dan Reward and penalty system.

Ketiga, di tingkat proses dan pengawasan, dalam pengelompokan Gamble disebut sebagai praktiknya (the practice), yaitu:. credit culture, pengecekan reputasi, due diligence and care, dan pengawasan kredit Internal.

Berdasarkan uraian ini, maka variabel bebas yang dipilih dan diduga dapat mempengaruhi timbulnya NPL/NPF sebagai variabel terikat dapat digambarkan dalam skema sebagai model konseptual berikut:

Di Tingkat Individu: Personal Qualification
X1 1      = Credit knowledge and skills
X1 2      = Integritas dan profesionalisme
X1 3      = Kadar Spritualitas

Di Tingkat Institusi: Institutional Environment
X2 1      = Moral leadership
X2 2      = Organizational/Corporate Culture
X2 3      = Hard budget policy
X2 4      = Reward and penalty system

Di Tingkat Proses dan Pengawasan: Process & Control Environment
X3 1      = Credit culture
X3 2      = Pengecekan reputasi
X3 3      = Due diligence and Care
X3 4        = Pengawasan Kredit Internal

Gambar: Model Konseptual Penelitian



 Keterangan nomor gambar :

1. Ha 1       7. Ha 7               13. Ha 13             19. Ha 19           25. Ha 25         31. Ha 31
2. Ha 2       8. Ha 8               14. Ha 14             20. Ha 20           26. Ha 26         32. Ha 32
3. Ha 3       9. Ha 9               15. Ha 15             21. Ha 21           27. Ha 27         33. Ha 33
4. Ha 4       10. Ha 10           16. Ha 16             22. Ha 22           28. Ha 28         34. Ha 34
5. Ha 5       11. Ha 11           17. Ha 17             23. Ha 23           29. Ha 29         35. Ha 35
6. Ha 6       12. Ha 12           18. Ha 18             24. Ha 24           30. Ha 30         36. Ha 36

Dengan prinsip Ketauhidan atau TSR beserta IIE Process, atau ijtihad dalam bentuk yang sederhana, secara teori penerapan faktor manajemen internal tersebut seyogianya lebih baik pada bank syariah, jika dibandingkan pada bank konvensional. Penerapan yang lebih baik ini akan memberikan hasil yang lebih baik, atau tingkat NPF bank syariah lebih rendah, dibandingkan dengan tingkat NPL bank konvensional.

Variabel-variabel tersebut dengan dasar teoritik, beserta ayat-ayat dan/atau Hadist Nabi SAW yang mendukung, diberikan di bawah ini, diikuti dengan contoh hipotesa penelitian.


3.2.2.2. Di Tingkat Individu: Personal Qualification

Kualifikasi yang harus dimiliki oleh pejabat dalam melakukan proses pemberian persetujuan dan pelaksanaan pemberian  pinjaman/pembiayaan adalah sebagai berikut :

Variabel Pertama: Credit Knowledge and Skills (X1 1).

Tidak sedikit bank mengalami kegagalan, semata-mata karena standar analisis kredit yang buruk (Ascraft, 2005). Menurut Coleshaw (1989 : 2), penerapan keahlian atau pengetahuan perkreditan bersifat sentral terhadap reputasi dan keuntungan bank, dan tentunya dapat mempengaruhi tingkat NPL (Djohanputro dan Kountur, 2007).

Dalam perspektif Islam. Al-Qur’an mengatakan agar manusia tidak mengikuti atau mengerjakan  sesuatu yang tidak diketahuinya (QS. 17 : 36). Menurut hadist Nabi Muhammad SAW yang dikutip oleh H.R. Bukhari, jika suatu pekerjaan tetap dilakukan oleh orang yang tidak memiliki pengetahuan dan keahlian tentang pekerjaan itu, maka pekerjaan itu tidak akan selesai, bahkan akan menimbulkan malapetaka atau kehancuran (Sofyan, 2006 : 97).

Variabel Kedua: Integritas dan Profesionalisme (X1 2).

Berkurangnya kadar integritas dan profesionalisme membuat  para bankir mengabaikan sikap dan tindakan prudential yang diperlukan, sehingga menimbulkan krisis di Asia termasuk Indonedia tahun 1997/1998 (Haggard dan McIntyre, 1999; Mishkin, 1998; Vale, 2004; Mattson, 1993).

Dalam Perspektif Islam. Nabi SAW bersabda bahwa Allah sesungguhnya tidak memandang bentuk kamu, dan tidak pula kepada kebangsawanan kamu, dan tidak pula pada harta kamu, melainkan Allah memandang hati kamu dan perbuatan kamu; Allah menyukai orang yang bekerja, apabila dia bekerja dengan baik; kalau kamu suka disukai oleh Allah dan Rasulnya, maka penuhilah kewajiban kamu jika diberi kepercayaan (Ghani, 2005 : 45-47). Hadist yang lain menyebutkan (HR Baihaki), bahwa sesungguhnya Allah senang, jika salah seorang di antara kamu mengerjakan suatu pekerjaan yang dilakukan secara profesional (Muhammad, 2005 : 29).

Variabel Ketiga: Kadar Spiritualitas atau Keimanan dan Ketakwaan (X1 3).

Menurut Beekum (2004 : 39-40), untuk mengatasi masalah penyelewengan di lingkungan perbankan, sebagai kelemahan dari sistem kapitalisme, sistem homo islamicus yang dituntun oleh hukum atau petunjuk dari Allah SWT harus diterapkan agar orang bertindak secara etis.

Dalam Perspektif Islam. Dengan adanya keimanan (Shaleh, 2005: 31; QS.57 :19) dan ketaqwaan (Azizy, 2004: 96-97), orang akan cenderung bertingkah laku dengan menghasilkan kebajikan yang sesuai dengan tanggung jawab dan melakukan pekerjaaan sebaiknya, dengan memperhatikan kepentingan lingkungan yang ada, sekaligus menghindari diri dari tingkah laku yang tidak baik, atau yang bertentangan dengan petunjuk agama, hukum dan moralitas.


3.2.2.3.  Pada Tingkat Institusi:  Institutional Environment/Qualification

Pada intinya, kualitas portofolio bank ditentukan oleh kualitas pengambilan keputusan pemberian pinjaman/pembiayaan.

Pengambilan keputusan dapat dipengaruhi oleh kualitas kepemimpinan dan berbagai kebijakan seperti kultur organisasi, disiplin keuangan atau hard budget policy dan reward and penalty system. Oleh karena itu, dirancang hipotesa dengan menggunakan variabel-variabel tersebut:

Variabel Keempat:  Moral Leadership (X 2 1).

Streeter (1993) mengatakan bahwa unsur kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam perbankan, termasuk dalam hal etika (Barefoot, 2002). Bank perlu memiliki kepemimpinan yang bermoral, tidak saja untuk mengatasi masalah moralitas dan etika yang mungkin ada pada dirinya, tetapi lebih penting lagi untuk menjamin agar perjalanan kegiatan pemberian kredit pada bank yang dipimpinnya  tetap berada pada rel yang benar.

Dalam Perspektif Islam. Dalam perekonomian Islam, kegiatan ekonomi dengan unsur moralitas atau spiritualitas harus berjalan seiring sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, seperti yang telah dicontohkan oleh kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, seperti yang dikemukakan oleh Amartya Sen (2007 : 89): kesejahteraan ekonomi dapat secara signifikan diperkaya dengan lebih memperhatikan masalah etika.

Variabel Kelima: Organizational Culture/Corporate Culture (X2 2).

Menurut Denison dan Mishra (1995), dan Carretta, et al (2008),  corporate culture memiliki hubungan dengan efektivitas atau keuntungan atau nilai pemegang saham; atau menunjukkan tingkat NPL yang rendah, karena NPL memiliki efek yang berbahaya bagi keuntungan (Sharma, 2005).

Dalam Perspektif Islam. Budaya yang perlu dikembangkan seyogianya merupakan budaya yang merefleksikan nilai-nilai Islam, dan diterapkan dalam setiap hubungan dan perilaku, baik dalam hubungan internal, dengan nasabah, kebijakan dan prosedur, praktik bisnis, dalam menjalankan pekerjaan, sampai pada masalah pakaian dan tutur kata, sehingga merupakan jalan hidup yang lengkap (Algaoud dan Lewis, 2005 : 239), di jalan Allah SWT atau shirotul mustaqiem. Al-Qur’an menganjurkan manusia untuk bekerja sama dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan bukan tolong-menolong dalam berbuat dosa atau pelanggaran (QS. 5 : 2).

Variabel Keenam: Hard Budget Policy (X2 3).

Menurut Lago (2002), sistem keuangan atau bank yang sehat tergantung pada penerapan hard budget constraints, yang merupakan disiplin di bidang keuangan, yang mendorong sikap yang lebih prudent bagi pejabat perkreditan, dan pada akhirnya akan mempengaruhi tinggi rendahnya NPL/NPF pada bank tersebut.

Dalam Perspektif Islam. Dalam kaitannya dengan anggaran, Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebihan atau pemborosan (QS. 6 : 141; QS. 17 : 26), karena pemborosan itu adalah saudara setan yang ingkar pada Tuhannya (QS. 17 : 27), dan keseimbangan dalam membelanjakan harta (QS. 25 : 67).

Variabel Ketujuh: Reward and Penalty System (X 2 4).

Menurut Husain (2005), seluruh pihak di perbankan harus memiliki zero tolerance bagi mereka yang kurang memiliki integritas dan diketemukan bersalah, harus segera diganti dari jabatan atau pekerjaannya; bahkan, dituntut secara pidana, jika diketahui melakukan penggelapan dan pemalsuan.

Dalam Perspektif Islam. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa siapa yang melakukan amal yang saleh dan siapa yang melakukan perbuatan jahat sekecil apapun, maka ia sendiri yang akan menerima pahala atau balasannya (QS.  41 : 46; QS. 99 : 7-8). Nabi SAW bersabda agar para pekerja segera diberikan upahnya sebelum keringatnya kering (Hadist Sahih).


3.2.2.4.   Di Tingkat Proses dan Pengawasan: Process & Control Environment

Variabel-variabel berikut merupakan faktor yang paling penting dan berkaitan langsung dengan pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan. Credit culture adalah merupakan kebijakan yang memberikan arah pemrosesan pemberian pinjaman/pembiayaan, sedangkan pengecekan reputasi dan due diligence and care merupakan pekerjaan inti, dan pengawasan pinjaman/pembiayaan merupakan faktor untuk menjamin pelaksanaan pemberian pinjaman/pembiayaan  yang baik.

Variabel Kedelapan : Budaya Kredit atau Credit Culture atau Kultur Pembiayaan (X3 1).

Menurut  Boffey & Robson  (1995), keberhasilan dari manajemen bank akan tergantung pada kultur kredit yang kuat, yang  akan menghasilkan tingkat NPL yang rendah.

Dalam Perspektif Islam. Dalam Al-Qur’an, hal amanah terhadap yang berhak atau yang berpiutang sangat ditekankah untuk diperhatikan oleh para pelaksana (QS. 4 : 58; dan QS. 2 : 283). Nabi SAW bersabda seperti yang dikutip oleh HR Muslim, setiap hamba adalah pengembala atau pemelihara harta tuannya, sehingga dia bertanggungjawab penuh atas harta yang dikelolanya; tetapi sebaliknya, pengurus-pengurus atau para manajer perlu berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya, karena pengurus yang buruk akan disiksa (Arifin, 2005 : 90).

Variabel Kesembilan: Pengecekan Reputasi (X3 2).

Menurut Koford dan Tschoegl (1997), pengecekan reputasi merupakan unsur yang efektif untuk meyakini bahwa debitor akan memenuhi kewajiban kontraktualnya dengan bank.

Dalam Perspektif Islam. Reputasi pribadi Nabi Muhammad SAW merupakan contoh reputasi yang hakiki yang dimaksud dalam bagian ini. Dengan kualitas pribadi yang dimilikinya, antara lain, pribadi yang bertanggungjawab, jujur, profesional, teliti, empati, terbuka atau transparan,  hasil kerja yang memuaskan, dan lainnya, Nabi SAW dapat menempatkan dirinya sebagai money maker dan money magnet (Kamaluddin, 2007 : 16). Nabi SAW merupakan mudharib yang diincar oleh seluruh pemilik modal di jazirah Arab pada waktu itu; hampir semua pemilik modal ingin menitipkan barangnya untuk diperdagangkan oleh Nabi SAW (Antonio, 2007 : 66, 81-82). Sebagai debitor, Nabi SAW tidak pernah wanprestasi atau gagal bayar terhadap kreditornya, dan bahkan beliau sering membayar kewajibannya sebelum jatuh tempo (Kamaluddin, 2007 : 33-34).

Variabel Kesepuluh : Due diligence and Care (X3 3).

Jika kegiatan ini tidak dilakukan dengan baik, maka akan menyebabkan timbulnya NPL, kualitas portofolio bank rendah, dan bahkan dapat menimbulkan krisis perbankan (Sharma, 2001, 2005; Demyanyk dan Hasan, 2009; Mukherjee, 2003; Lahiri, 2002; Petersson dan Wadman, 2004, Lis, et al,  2000).

Dalam Perspektif Islam. HR Muslim mencatat sabda Nabi yang menyatakan bahwa Allah akan sangat senang, jika umatnya melakukan pekerjaannya dengan tekun dan bersungguh-sungguh (Kamaluddin, 2007 : 214).

Variabel Kesebelas : Pengawasan Kredit Internal (X3 4).

Menurut McGovern (2001), kaji ulang pinjaman atau loan review harus dilakukan untuk memonitor setiap penyimpangan dari kebijakan atau prinsip-prinsip pemberian pinjaman/pembiayaan yang sehat, termasuk setiap perkembangan negatif dari pinjaman yang diberikan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mencegah timbulnya NPL.

Dalam Perspektif Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW,  indentik dengan fungsi pengawasan internal ini adalah institusi publik hisbah yang melakukan hisab. Muhtasib sebagai pemeran utama dari kegiatan hisbah harus memiliki kompentensi yang diperlukan dalam melakukan pekerjaannya untuk mendorong yang bersifat makruf, dan mencegah yang mungkar, sehingga secara keseluruhan beriman kepada Allah SWT.

Hipotesa Penelitian.

Untuk setiap variabel bebas, dibuat hipotesa yang menyatakan terdapat pengaruh masing-masing variabel terhadap NPF dan NPL, serta terdapat perbedaan pengaruh dari masing-masing variabel, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungan,  terhadap NPF, dibandingkan terhadap NPL. Keseluruhan hipotesa menjadi tiga puluh enam, dengan contoh sebagai berikut.

Hipotesa Variabel Pertama:

Ha 1 :  Terdapat pengaruh kemampuan dan pengetahuan kredit dari petugas analis kredit atau pejabat yang terkait dengan perkreditan terhadap NPL pada bank konvensional.
Ha 2 :  Terdapat pengaruh kemampuan dan pengetahuan kredit dari petugas analis kredit/pembiayaan atau pejabat yang terkait dengan perkreditan/pembiayaan terhadap NPF bank syariah.
Ha 3 :  Terdapat perbedaan pengaruh antara kemampuan dan pengetahuan kredit dari petugas analis kredit/pembiayaan atau pejabat yang terkait dengan perkreditan/pembiayaan terhadap NPF pada bank syariah, dengan variabel yang sama terhadap NPL pada bank konvensional.


4. METODOLOGI PENELITIAN

4.1.      Metode Penelitian.

Penelitian ini menggunakan hipotesis dan metode survey melalui uji perbedaan, serta bersifat kuantitatif. Tujuannya adalah guna mengetahui derajat perbedaan dari pengaruh faktor manajemen internal yang disebutkan pada Bab terdahulu sebagai variabel bebas, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, terhadap timbulnya NPL bank konvensional dan NPF bank syariah.

Berdasarkan konsep, teori, dan berbagai pandangan para ahli mengenai setiap variabel bebas tersebut, dibangun suatu konstruk dan indikator. Indikator-indikator ini disusun menjadi butir-butir sebagai instrumen penelitian dan dirumuskan dalam bentuk kuesioner.

Seluruh kuesioner untuk variabel bebas dan terikat menggunakan score rating scale (skala bertingkat) dengan skala Likert. Skor yang digunakan adalah sebagai berikut: 5 untuk jawaban sangat setuju/sangat sering/sangat positif, skor 4 untuk jawaban setuju/sering/positif, skor 3 untuk jawaban ragu-ragu/kadang-kadang/netral, skor 2 untuk jawaban kurang setuju/hampir tidak pernah/negatif, dan skor 1 untuk jawaban tidak setuju/tidak pernah/sangat negatif.

Penelitian dilakukan dalam lingkungan alami organisasi dengan arus kerja yang normal dan intervensi minimum dari peneliti, serta merupakan field research.. Data hanya sekali dikumpulkan, atau cross-sectional (one shot), dan merupakan persepsi para pejabat kredit/pembiayaan tersebut terhadap variabel yang diteliti.


4.2.  Tempat dan Waktu Penelitian.

Dengan menggunakan instrumen penelitian yang valid dan reliabel sebagai hasil dari uji coba, penelitian ini dilaksanakan lebih kurang dalam waktu 4 (empat) bulan pada Tahun Akademik 2009/2010, dimulai dari bulan Mei 2010 sampai dengan akhir bulan Agustus 2010.


4.3.  Teknik Pengambilan Sampel. 

Pertama, menentukan institusi mana yang akan dijadikan target penelitian. Tetapi, karena jumlah bank syariah dan Unit Usaha Syariah /UUS hanya  berjumlah 28, maka bank konvensional yang dipilih juga  berjumlah 28 dari 128 dengan menggunakan purposive clustered sampling method.

Kedua, menentukan bagian mana yang akan dijadikan sasaran obyek penelitian, dan pejabat yang dipilih adalah di bagian marketing, risk management, remedial dan para pejabat senior dari masing-masing bank.

Ketiga, menentukan jumlah populasi sampel, yaitu sekitar 224 (dua ratus dua puluh empat) orang, dari Bagian yang dimasudkan di atas, berdasarkan teknik simple random sampling.


4.4.  Instrumen Penelitian.
Instrumen penelitian utama adalah kuesioner, dan bersifat langsung, dan dikirim kepada pejabat perkreditan/pembiayaan yang dimasudkan di atas.


4.5.  Kalibrasi dan Uji Coba Instrumen Penelitian.

Uji coba instrumen penelitian telah dilaksanakan pada Semester Ganjil Tahun Akademik 2009/2010, pada Kantor Pusat Bank Agro Bank dan Bank Muamalat di Jakarta. Setelah data hasil Uji Coba Instrumen dari setiap variabel penelitian dikumpulkan, dilakukan pengujian validitas dan realibilitas, agar memastikan bahwa setiap butir pertanyaan sudah valid dan reliabel. Prosedur pengujian data hasil Uji Coba Instrumen penelitian tiap-tiap variabel dilakukan sebagai berikut :

1.   Uji Validitas

Uji validitas menggunakan r kriteria 0,30 Kerlinger. Pengujian selanjutnya dilakukan terhadap pertanyaan yang valid; tetapi, pertanyaan yang tidak valid disisihkan, dengan menggunakan uji Alpha Bronsteed, dimana apabila :

Nilai alpha if item deleted > 0,3000 maka populasi dinyatakan valid, atau sebaliknya  (Nunnaly, , 1964 : 65).


2.   Uji Realibilitas

Pengujiannya dilakukan dengan membuang butir-butir pertanyaan yang dinyatakan tidak valid, sehingga akan diperoleh nilai Alpha setelah Uji Reliabilitas > 0.60. Hasilnya adalah butir-butir pertanyaan yang valid, reliabel dan konsisten.


4.6. Teknik Pengumpulan Data.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan membagikan kuesioner langsung kepada para pejabat yang dimaksud di atas.


4.7. Teknik Analisis Data.

Pertama, mengolah data mentah dari hasil penelitian menggunakan statistik deskriptif, dengan berbagai ukuran statistik. Sebelum menyusun regresi berganda, seluruh asumsi klasik akan dipenuhi.

Kedua, melakukan pengujian persyaratan analisis melalui uji normalitas, dengan parameter One Sample Kolmogorov Smirnov Test, terhadap variabel-variabel NPL (Y 2), NPF (Y 1), (X1 1), (X1 2), (X1 3), (X2 1), (X2 2), (X2 3), (X2 4), (X3 1), (X3 2), (X3 3), (X3 4), dengan cara membandingkan hasil pengujiannya. Apabila Asymp. Sig. (2-tailed) < 0,05, maka sebaran data berdistribusi normal, dan pengujian persyaratan analisis dapat dilanjutkan; atau sebaliknya. Setelah uji normalitas, dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan Leven Test Statistic.

Ketiga, melakukan pengujian hipotesis dimulai dengan menyusun hipotesis uji perbedaan dengan menggunakan Tabel ANOVA, dan kemudian diuji signifikansinya, dengan menggunakan Uji-F. Uji perbedaan ini adalah signifikan, apabila Fhitunglebih besar dari Ftabel,dengan menggunakan Program SPSS (Statistical Product and Services Solutions) versi 16.0 dan Minitab Versi 10.0.

Keempat, pengambilan keputusan apakah hipotesis diterima atau ditolak, berdasarkan analisis di atas.
Hipotesis yang diajukan terdiri dari 36, dan berikut adalah contoh dari hipotesis tersebut.

1.   Diduga terdapat pengaruh kemampuan dan pengetahuan kredit petugas/analis kredit terhadap NPF bank syariah.
Ho     :     ρ111    =    0
Ha     :     ρ111    ≠     0

2.   Diduga terdapat pengaruh kemampuan dan pengetahuan kredit petugas/analis kredit terhadap NPL bank konvensional.
Ho     :     ρ112    =    0
Ha     :     ρ112         0

3.  Diduga terdapat perbedaan pengaruh antara kemampuan dan pengetahuan kredit petugas/analis kredit terhadap Non Performing Finance/NPF bank syariah, dengan variabel yang sama terhadap NPL bank konvensional.
Ho     :     µ111    =   µ112
Ha     :     µ111    >    µ112



5. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN,
KESIMPULAN, DAN SARAN


5.1. Deskripsi Data.

Pengolahan data awal melalui berbagai perhitungan menyimpulkan bahwa data tersebut berdistribusi normal. Asumsi klasik untuk menentukan model regresi, seperti: rata-rata error 0 dan variansnya ∑e, sudah pula dipenuhi.


5.1.1. Uji Prasyarat Hipotesis.

Untuk uji hipotesis, data yang telah dideskripsikan di atas harus dinyatakan valid setelah memenuhi persyaratan bahwa data berdistribusi normal, dan bersifat relatif homogen. Untuk itu, dilakukan pengujian normalitas berikut.


5.1.1.1. Uji Normalitas Data.

Uji normalitas data (X) terhadap variabel NPF bank syariah (Y1), dan variabel NPL bank konvensional (Y2) menggunakan test normalitas Kolmogorov-Smirnov dan dinyatakan signifikan dengan nilai < 0,05. Berdasarkan perhitungan ini, seluruh variabel berdistribusi normal.


5.1.1.2. Uji Homogenitas Data.

Pengujian homogenitas dilakukan dengan alat uji Test of Homogeneity of Variance. yang menyatakan bahwa suatu data bersifat homogen, apabila hasil Sig. Levene Statistic > 0,05. Berdasarkan perhitungan ini, sebaran data seluruh variabel terhadap data variabel NPF (Y1) dan data NPL (Y2) mempunyai varians yang homogen.


5.1.2. Pengujian Hipotesis Penelitian.

Analisis hasil penelitian dapat dilakukan melalui pengujian data secara bertahap, sebagai berikut:

Pertama, dihitung masing-masing pengaruh semua variabel bebas :  X11, X12, X13, X21, X22, X23, X24, X31, X32, X33, dan X34, serta seluruh variabel bebas secara gabungan terhadap variabel terikatnya Y1.

Kedua, dihitung masing-masing pengaruh semua variabel bebas yaitu : X11, X12, X13, X21, X22, X23, X24, X31, X32, X33, dan X34, serta seluruh variabel bebas secara gabungan terhadap variabel terikatnya yaitu Y2.

Ketiga, menguji Hipotesis dengan cara membandingkan apakah terdapat perbedaan antara pengaruh masing-masing variabel bebas tersebut dan seluruh variabel bebas secara gabungan terhadap variabel Y1 dengan pengaruh masing-masing variabel bebas yang sama dan seluruh variabel bebas secara gabungan terhadap variabel Y2.

Keempat, membandingkan mana yang lebih besar di antara pengaruh masing-masing variabel bebas tersebut dan seluruh variabel bebas secara gabungan terhadap variabel Y1 dengan  pengaruh masing-masing variabel bebas itu dan secara gabungan terhadap variabel Y2.
Berdasarkan pengujian hipotesis I sampai XXXVI, dengan menggunakan analisis korelasi/regresi, dapat dikemukakan bahwa semua variabel bebas atau X dan gabungannya berpengaruh negatif terhadap variabel Y1 dan variabel Y2, dengan angka yang lebih signifikan untuk bank syariah (tingkat keyakinan 95%). Kesimpulan hasil pengujian hipotesis adalah menerima seluruh Ha, dan berikut adalah sebagian contoh dari perhitungan yang dimaksud.

Hipotesis I:  Terdapat Pengaruh Kemampuan dan Pengetahuan Kredit/ Credit Knowledge and Skills (X11) Terhadap Non Performing Finance/ NPF pada Bank Syariah (Y1).

1. Pengujian Keberartian Regresi.
Fhitung (23,838) > Ftabel(0,05(dof(1,103)) (3,94), dengan tingkat signifikansi (0,000) < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi Y1 = 55,853 – 0,345 X11 adalah signifikan, dan persamaan regresi dinilai mempunyai keberartian.

2. Koefisien Korelasi.
Dari hasil perhitungan diperoleh angka koefisien korelasi antara (X11) terhadap NPF (Y1)= -0,434, artinya pengaruh negatif yang kurang kuat antara (X11) terhadap NPF (Y1).

Hipotesis II: Terdapat Pengaruh Kemampuan dan Pengetahuan Kredit/Credit Knowledge and Skills (X11) Terhadap Non Performing Loan/NPL pada Bank Konvensional (Y2).

1. Pengujian Keberartian Regresi.
Fhitung (7,906) > Ftabel(0,05(dof(1,105)) (3.08), dengan tingkat signifikansi (0,004) < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa persamaan regresi Y2 = 57,778 – 0,722 X11 adalah signifikan, dan persamaan regresi dinilai mempunyai keberartian.

2. Koefisien Korelasi.
Dari hasil perhitungan diperoleh angka koefisien korelasi antara (X11) terhadap NPL (Y2)= -0,086, yang menunjukkan terdapat pengaruh negatif dan lemah antara (X11) terhadap NPL (Y2).

Hipotesis III: Terdapat Perbedaan Pengaruh antara Kemampuan dan Pengetahuan Kredit/Credit Knowledge and Skills (X11) Terhadap Non Performing Finance/NPF Pada Bank Syariah (Y1), dengan Kemampuan dan Pengetahuan Kredit/Credit Knowledge and Skills (X11) Terhadap Non Performing Loan/NPL pada bank konvensional (Y2).

Hipotesis ini diuji dengan melakukan perbandingan antara hipotesis I dengan Hipotesis II, dan menyimpulkan terdapat perbedaan pengaruh yang sangat signifikan antara pengaruh (X11) terhadap NPF (Y1), dengan pengaruh (X11) terhadap NPL (Y2), ditinjau dari perhitungan berikut:
Koefisien korelasi : -0,434 > -0.086
Fhitung                      : 23,838  > 7,906


Hipotesis XXXVI: Terdapat Perbedaan Pengaruh Antara seluruh variabel bebas terhadap NPF (Y1), dengan seluruh variabel bebas   terhadap (Y2).
Hipotesis ini diuji dengan membandingan hipotesis XXXIV dengan hipotesis XXXV, dan menyimpulkan terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara pengaruh seluruh variabel bebas diatas terhadap ((Y1), dengan seluruh variabel bebas tersebut terhadap (Y2), berdasarkan perhitungan berikut:

-     Koefisien korelasi :  – 0,886 > – 0,804
-     Nilai rata-rata NPF atau Y1 = 55, 469 < nilai rata-rata NPL atau Y2 = 74,745, sehingga perbedaan rata-rata sebesar 19,276.      
-     Kontribusi variabel bebas terhadap variasi Y1 sebesar 78% dan ada 22% dipengaruhi faktor-faktor lain. Kontribusi variabel bebas terhadap variasi Y2 sebesar 64,6% dan ada 35,4% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Ini artinya kemungkinan faktor-faktor lain yang mempengaruhi bank syariah itu adalah lebih kecil dibandingkan dengan bank konvensional.  

Kesimpulan terhadap tingkat NPF/NPL:

Pembuktian hipotesa di atas menunjukkan bahwa pengaruh seluruh variabel terhadap NPF lebih besar, dibandingkan dengan pengaruh variabel yang sama terhadap NPL. Jika seluruh variabel bebas tetap atau tidak ada perubahan, maka NPF atau Y1 adalah sebesar 55.469, yaitu lebih kecil dibandingkan dengan model bank konvensional dengan nilai Y2 sebesar 74, 745. Ini artinya tingkat NPF rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan tingkat NPL rata-rata.


5.1.3. Pembahasan Hasil Penelitian.

Analisis Teorititik/sebagai kekuatan manajemen internal. Penerapan seluruh faktor tersebut secara simultan akan merupakan kekuatan dari manajemen internal dalam mengatasi masalah yang selalu ada dalam pemberian kredit/pembiayaan, seperti: masalah assymetric information, dan moral hazard, dan keadaan lingkungan eksternal yang  harus dihadapi oleh bank di Indonesia.

Cakupan teori. Apabila seluruh faktor tersebut diterapkan secara simultan sebagai suatu kesatuan,  maka dapat diharapkan timbulnya NPF pada bank syariah dan NPL pada bank konvensional dapat diperkecil.

Penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Hasil analisis statistik juga menyimpulkan bahwa penerapan setiap faktor dari kesebelas faktor tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun secara gabungan, lebih baik pada bank syariah dibandingkan dengan penerapan faktor yang sama pada bank konvensional. Penerapan yang lebih baik ini, secara teori, disebabkan karena:

Pertama, karena ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW merupakan petunjuk yang bersifat umum, maka untuk menerapkannya umat dapat melakukan ihtijad atau diskursus dengan pihak yang lebih ahli atau berpengalaman. Secara ilmiah, Choudhury (2004) memperkenalkan konsep Ketauhidan atau TSR dengan proses IIE-nya.
Kedua, dengan meyakini bahwa Tuhan adalah Yang Maha Tahu dan Maha Melihat,  manusia akan menjauhkan diri dari tindakan yang tidak terpuji (Suseno, 1985).
Ketiga, Jika ketentuan yang berlaku bagi pembiayaan bank syariah diterapkan secara menyimpang, maka dapat dipandang sebagai penyimpangan terhadap ketentuan Tuhan. Hal tersebut dapat membawa konsekuensi mental yang berbeda, karena dianggap “tidak syariah”.

Hasil penelitian ini sejalan dengan dan melengkapi Bad Management Hypothesis dari Berger dan DeYoung (1997). Dua faktor utama dari hipotesa ini, yaitu tingkah laku atau keahlian dalam mengevaluasi usulan pinjaman yang memadai, dan sumber daya yang cukup untuk melakukan pengawasan atau monitoring pinjaman, merupakan faktor yang tidak berdiri sendiri, dan perlu dijabarkan lebih lanjut. Untuk mencapai efisiensi dalam melakukan perkerjaan utama bank, diperlukan sejumlah faktor lain yang juga berkaitan dengan manajemen internal.

Hasil penelitian ini memperluas Adverse Selection Theory dari Stiglitz dan Weiss (1981). Pada intinya, mereka berpendapat, bahwa untuk memperoleh pinjaman kembali, bank harus memiliki kemampuan untuk mengukur kekuatan debitor untuk membayar utangnya, dengan mempertimbangkan risiko yang berbeda. Penelitian mereka itu hanya menekankan pentingnya bank untuk memiliki pengetahuan dan keahlian perkreditan, sedangkan penelitian untuk Disertasi ini menambahkan faktor manajemen internal lainnya.

Tema sentral dari Disertasi ini adalah bahwa NPL/NPF terjadi terutama disebabkan karena masalah yang ada dalam lingkungan manajemen internal, dan berkaitan erat dengan masalah moralitas. Disini, intinya adalah bahwa agen tidak melakukan pekerjaan sebagaimana semestinya, yang tidak sesuai dengan kepentingan majikan dan/atau stakeholders utama. Di lain pihak, setiap pejabat yang terkait, terutama para pemutus kredit/pembiayaan, terekspose pada masalah yang berkaitan dengan nurani, atau kadar spiritualitasnya, yang diartikan dalam perspektif keagamaan sebagai keimanan dan ketaqwaan.

Diterimanya Hipotesa Ha. Analisis teoritik di atas, beserta kajian penelitian terdahulu dan pengalaman NPL/NPF pada Bab II dan III,  mendukung hasil analisis statistik penelitian di atas dengan menerima seluruh Ha, dengan uraian berikut :

Pengetahuan dan Keahlian di Bidang Perkreditan atau Pembiayaan.

Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Pengaruh Kemampuan dan Pengetahuan Kredit (Pembiayaan)/Credit (Financing) Knowledge and Skills terhadap NPF bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan pengaruh faktor yang sama terhadap NPL bank konvensional.

Pada umumnya, hal ini disebabkan karena kebutuhan SDM bank syariah bersumber dari bank konvensional. Pada dasarnya, pelatihan yang diberikan pada bank syariah merupakan penyesuaian materi sejalan dengan konsep syariah, diberikan on the job atau magang oleh pejabat yang lebih senior atau berpengalaman. Disini, diskursus atau ihtijad, atau IIE proses dalam bentuk yang sederhana dapat terjadi. Keterlibatan para senior atau yang lebih berpengalaman dalam proses analisis dan persetujuan usulan pembiayaan lebih terintegrasi dengan pekerjaan yang dilakukan oleh para financing officer.

Profesionalisme dan Integritas.

Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Juga disimpulkan bahwa kadar profesionalisme dan integritas pada bank syariah lebih tinggi, dibandingkan pada  bank konvensional, disebabkan karena:

Pertama, dengan adanya kesadaran bersama bahwa ketentuan syariah bersumber dari wahyu Tuhan YME dan Hadist Nabi SAW; dan dijadikan sebagai bentuk idealisme, mereka berusaha untuk lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya, dan takut salah dan malu jika menyimpang dari ketentuan itu;

Kedua, dalam melakukan pekerjaan secara berkelompok dan untuk kelompok, secara khusus dan jelas Al-Qur’an mengatakan kepada orang-orang yang beriman, agar bertaqwa bersama orang-orang yang benar (QS. 9 : 119). Ayat ini menganjurkan agar profesionalisme dan integritas harus dijaga secara bersama, dan untuk kepentingan bersama.

Ketiga, keberhasilan bank syariah dalam menjalankan usahanya bukan saja karena tututan tugas profesionalisme para eksekutifnya, melainkan juga merupakan tanggung jawab terhadap Tuhan YME.

Keempat, Nabi SAW bersabda melalui salah satu Hadistnya yang intinya menyetarakan pelaksanaan profesi sebagai amanah, karena Allah hanya memandang hati dan perbuatan manusia, menyukai orang yang bekerja dengan baik dan memenuhi kewajiban jika diberi kepercayaan (Ghani, 2005 : 45-47).

Kelima, jumlah bank syariah masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah bank konvensional. Kenyataan ini membuat para pejabat bank syariah harus bekerja lebih hati-hati atau lebih prudent, karena kesalahan apapun akan lebih jelas dan cepat diketahui oleh para stakeholders.

Keenam, budaya malu karena tidak “syariah“dapat menekan timbulnya kesalahan atau penyimpangan  dalam pekerjaan.

Ketujuh, pertumbuhan bank syariah yang pesat merupakan turunan dari pasar yang masih terbuka luas, dan membutuhkan tenaga profesional yang lebih banyak. Disini, kesempatan promosi dari dalam atau luar masih terbuka lebar; sehingga mereka berusaha mempertahankan integritas dan sikap profesionalisme yang lebih baik, dan menjaganya agar tidak menjadi cacat.

Kadar Spiritualitas, atau Keimanan dan Ketaqwaan.

Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah.

Suseno (1985 : 77-78) berpendapat bahwa setelah melalui proses pengambilan keputusan yang umum dan memadai, orang akan mengikuti suara hatinya, dimana keputusan itu dibuat seolah-olah dihadapan kehadiran Allah sebagai saksi, sehingga mengindahkan petunjuk-petunjuk yang telah ditetapkan atau diisyaratkan oleh agama. Orang yang menganut suatu agama cenderung lebih peduli terhadap standar moral, disiplin dan tanggungjawab yang lebih tinggi (Weibe dan Fleck, 2007), dan agama mendorong atau menolak tingkah laku sosial, dan merupakan institusi yang mengontrol kepercayaan dan tingkah laku (Kennedy dan Lawton, 1998). Dengan demikian, sebagai akibat dari kepercayaan bahwa Tuhan Maha Tahu, maka tindakan individu yang merugikan orang lain berkurang secara signifikan.

Karena mengacu pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW, sudah sepantasnya temuan bahwa kadar spritualitas, yang dimanifestasikan ke dalam iman dan taqwa, lebih tinggi pada bank syariah, dibandingkan pada bank konvensional; karena bank syariah lebih dekat dengan prinsip-prinsip Tauhid.

Kepemimpinan Bermoral/Moral Leadership.

Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Dengan makna syariah yang digunakan sebagai suatu bentuk  idealisme,  maka pimpinan tertinggi bank akan menjadi sorotan yang cukup tajam bagi banyak pihak, baik internal maupun eksternal. Mereka akan mempertanyakan apakah tingkah laku sang pemimpin sudah “syariah” atau belum. Bagi pihak internal bank, pimpinan tertinggi mau tidak mau menjadi panutan bagi para staf dan pegawai di lingkungan banknya. Pimpinan tertinggi harus mengatakan sesuatu yang dapat dilakukannya, seperti yang dikatakan Rhode (2006 : 309). Semuanya ini harus dimulai dan dicontohkan oleh pimpinan tertinggi, seperti yang dikatakan oleh Algaoud dan Lewis (2005 : 239). Secara teoretis, penerapan kepemimpinan bermoral yang lebih baik pada bank syariah didasari pada pengertian di atas, yang mengikuti petunjuk-pentunjuk yang ada pada Al-Qur’an, dan menteladani kepemimpinan yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Secara praktik, apabila pemimpin tertinggi bank syariah menunjukkan tingkah laku pribadi dan kepemimpinannya yang menyimpang dari harapan lingkungan, atau berbeda dengan impresi ”syariah”, maka secara langsung atau tidak langsung penyimpangan itu akan terlihat dengan jelas. Pemimpin tertinggi yang tidak ”syariah” itu tidak akan dapat memimpin secara efektif, dan akan merasa malu terhadap lingkungan yang dipimpinnya.

Budaya Perusahaan/Corporate atau Organizational  Culture.

Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Dengan pengaruh faktor ini terhadap NPF bank syariah yang lebih besar, maka dapat pula dikatakan bahwa bahwa Budaya Perusahaan/Corporate Culture bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan faktor yang sama pada bank konvensional. Pada bank syariah, faktor ini mengacu pada pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW, dan digunakan sebagai acuan etika, disamping sebagai acuan lainnya.

Hard Budget Policy.

Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Ini artinya disiplin keuangan bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan bank konvensional. Dalam hal pencatatan yang berkaitan dengan realisasi arus kas, dan penyelesaian pembiayaan bermasalah, disiplin keuangan pada bank syariah dijalankan dengan lebih baik, dengan penjelasan berikut:

Pertama, sebagai dasar filosofi penerapannya, Al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebihan atau pemborosan (QS. 6 : 141; QS. 17 : 26), karena pemborosan itu adalah saudara setan yang ingkar pada Tuhannya (QS. 17 : 27), dan merupakan ketidakseimbangan dalam membelanjakan harta (QS. 25 : 67);

Kedua, seluruh transaksi dari berbagai macam akad bank syariah mengacu pada perolehan keuntungan riel atau arus kas yang sesungguhnya;

Ketiga, secara regular realisasi pendapatan selalu harus  dibandingkan dengan ekspektasi, atau pengontrolan ini selalu dilakukan, walaupun kolektibilitas pembiayaan masih dalam kategori lancar;

Keempat, hasil wawancara dengan bank syariah tertentu menunjukkan bahwa sistem penagihan dilakukan lebih tegas dengan keputusan lebih jelas, yang mengacu pada perolehan kas yang lebih cepat dan/atau keberanian dalam mengambil sikap “cut loss”.

Reward and Penalty System.

Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Hal ini didasari atas isyarat yang ada pada Al-Qur’an bahwa siapa yang melakukan amal saleh, dan siapa melakukan perbuatan jahat sekecil apapun, maka ia sendiri yang akan menerima pahala atau dosa sebagai balasannya (QS.  41 : 46; QS. 99 : 7-8). Al-Qur’an juga menyatakan bahwa orang akan mendapat bagian dari apa yang telah dikerjakannya, karena Tuhan begitu cepat dalam melakukan perhitungan terhadap apa yang telah dilakukan itu (QS. 2 : 202). Dalam praktiknya, penerapan sistem ini dilaksanakan lebih jelas dan pasti pada bank syariah.

Budaya Kredit (Pembiayaan)/Credit (Financing) Culture.

Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Kultur kredit/pembiayaan yang lebih baik pada bank syariah dibandingkan pada bank konvensional disebabkan karena:

Pertama, secara teoritik, Chapra dan Ahmed (2008 : 85-86) berpendapat bahwa bank syariah menghadapi risiko pembiayaan yang lebih besar, sehingga pengelolaannya perlu lebih bijaksana yang memerlukan budaya manajemen risiko atau budaya kredit/pembiayaan  yang lebih efektif. Al-Qur’an (QS. 4 : 58; dan QS. 2 : 283) menekankan masalah amanah terhadap yang berhak atau yang berpiutang, agar benar-benar diperhatikan oleh para pelaksana.

Kedua, dari segi praktik, salah satu bank yang diwawancarai menyebutkan bahwa setiap officer harus memahami “kultur dari produk” terlebih dahulu, sebelum memahami kultur yang lebih luas. Itu berarti bahwa mereka harus benar-benar memahami seluruh seluk beluk mengenai seluruh produk, termasuk unsur risiko, beserta keuntungan yang dapat diharapkan, sehingga dapat diaplikasikan dengan benar. Ini artinya pendekatan yang digunakan lebih spesifik dan terarah.

Ketiga, terdapat perbedaan pendekatan awal dalam proses pemberian kredit antara bank konvensional dibandingkan dengan bank syariah. Pada bank syariah, seluruh calon nasabah dianggap baik, dan baru kemudian diteliti apakah calon nasabah tersebut memiliki unsur atau karakteristik yang tidak baik. Jika memiliki unsur atau karakteristik yang tidak baik, maka hal itu akan diteliti lebih jauh.
Jika hasilnya jelas positif, maka analisis pembiayaan dapat dilanjutkan. Pada bank  konvensional, dilain pihak, hubungan yang akan dibentuk itu merupakan hubungan kreditor – debitor. Sebagai konsekuensinya, pendekatan yang digunakan adalah untuk memperkirakan apakah calon debitor itu dapat dipercaya atau tidak, atau dalam kata lain, layak kredit atau tidak, dan umumnya menggunakan unsur “kedekatan”.

Pengecekan Reputasi.

Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Pengecekan reputasi disimpulkan lebih baik pada bank syariah dibandingkan pada bank konvensional. Dari segi teori, alasannya adalah sebagai berikut:

Pertama, bank syariah memerlukan unsur “human capital” dari calon nasabah yang dapat mendukung penciptaan keuntungan bagi pihak bank dan nasabah.

Kedua, secara hakiki reputasi pribadi Nabi Muhammad SAW merupakan contoh reputasi yang dimaksud. Dengan kualitas pribadi yang dimilikinya dan hasil kerja yang memuaskan (Kamaluddin, 2007 : 16), Nabi SAW merupakan mudharib yang berhasil dan dikenal baik  di jazirah Arab pada waktu itu (Antonio, 2007 : 66, 81-82); dan sebagai debitor, Nabi SAW selalu mementingkan pembayaran kewajibannya paling tidak tepat waktu (Kamaluddin, 2007 : 33-34). Hal ini yang mengilhami materi dari kegiatan pengecekan reputasi yang dilakukan pada bank syariah.

Due Diligence and Care

Pengaruh/penerapan yang lebih baik pada bank syariah. Due diligence dilakukan lebih baik pada bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional. Alasannya adalah:

Pertama: adanya sabda Nabi yang menyatakan bahwa Allah akan sangat senang, jika umatnya melakukan pekerjaannya dengan tekun dan bersungguh-sungguh (Kamaluddin, 2007 : 214).

Kedua, bank syariah harus meneliti lebih rinci, karena setiap pembiayaan harus diketahui secara pasti peruntukkan, atau underlying transaction, bisnis, dan debitornya.

Ahmed (2006 : 17) berpendapat bahwa bank syariah harus memastikan bahwa pembiayaan tidak berkaitan dengan spekulasi, tidak membiayai barang haram,  derivative, atau rekayasa keuangan yang tidak produktif.

Pada bank syariah, hubungan antara bank dan debitor tidak semata-mata bersifat transaksional, tetapi lebih pada relasional dengan waktu yang cenderung lebih panjang. Dalam kegiatan due care, bank syariah sebagai mitra atau shahibul mal perlu mengawasi dalam arti membimbing atau mengarahkan mitra lain, atau mudharib, dalam batas yang dimungkinkan, agar usaha yang dibiayai benar-benar dapat menghasilkan keuntungan.

Pengawasan Kredit (Pembiayaan) Internal

Faktor ini disimpulkan lebih baik pada bank syariah dibandingkan pada bank konvensional, disebabkan karena:

Pertama, terdapat acuan dalam ayat Al-Qur’an (QS. 21 : 61, dan QS. 49 : 6), yang mengindikasikan bahwa sesuatu temuan atau berita yang baru, harus diteliti terlebih dahulu kebenarannya. Jika benar, baru ditindaklanjuti.

Kedua, adanya kebutuhan informasi yang lebih rinci untuk underlying transaction yang akan dibiayai. Dalam hal pembiayaan mesin, misalnya, pemeriksaan dilakukan langsung ke lapangan untuk meneliti spesifikasi mesin.

Ketiga, audit atau pengawasan pinjaman/pembiayaan dilakukan dua kali, pertama dari segi bisnis dan kedua dari segi  syariah. Kedua macam audit ini melihat objek yang sama, tetapi dengan perspektif yang berbeda, namun kedua macam ketentuan harus dipenuhi. Kedua audit ini akan mendorong orang akan bekerja lebih berhati-hati.

Seluruh Faktor Secara Simultan.

Penjelasan yang paling logis mengenai pengaruh dan penerapan yang lebih baik pada bank syariah adalah bahwa makna syariah menyeimbangkan penerapan seluruh faktor tersebut secara bersamaan. Pada tataran individu, masalah spiritual atau keimanan berlaku tidak saja terhadap hubungan vertikal yaitu terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga berlaku secara horizontal yaitu antar sesama manusia dan antar manusia dengan perilakunya.

Pada tataran organisasi bank, pengaruh gabungan yang lebih besar pada bank syariah itu dapat pula disebabkan karena adanya keseimbangan penerapan antara ketiga kelompok faktor yang digunakan dalam penelitian ini. Kualifikasi personel yang ada, diimbangi dengan kualifikasi institusi dalam pengambilan keputusan kredit atau pemberian pinjaman/pembiayaan. Kontrol yang lebih konkrit terhadap seluruh proses lebih dipastikan melalui audit kredit. Hal ini diikuti dengan penerapan sistim hadiah atas kontribusi terhadap pencapaian target keuntungan dan penilain integritas, serta pengenaan sanksi yang lebih jelas dan pasti terhadap penyimpangan dalam pelaksanaan pekerjaan dan tingkah laku.

Tampaknya, keseimbangan antara ketiga kelompok faktor yang dimaksud, sering dapat dipertanyakan pada bank konvensional. Sering diberitakan adanya penyimpangan tingkah laku pimpinan tertinggi atau direksi, atau terjadinya tindak pidana korupsi di lingkungan bank. Kasus L/C fiktif besar yang pernah terjadi merupakan masalah dalam proses, dimana due diligence dan care tidak dilakukan, dan pengawasan kredit tidak berfungsi sebagaimana mestinya, serta sanksi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sebelumnya tidak selalu ditindaklanjuti dengan jelas, sehingga membuat orang lebih berani untuk melakukan penyimpangan yang lebih besar. Pelaku merupakan staf yang berpengalaman dan profesional, namun kadar keimanan yang lemah membawa unsur integritas menjadi suatu keraguan dalam dirinya. Dalam perbankan syariah nasional, berita sumbang yang serupa belum penah terdengar sampai saat ini.


5.2. Kesimpulan.

1.   Penelitian ini telah membuktikan pengaruh sebelas faktor manajemen internal terhadap timbulnya NPL bank konvensional dan NPF bank syariah.

2.   Penelitian ini telah pula membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pengaruh faktor-faktor manajemen internal tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungan, yang lebih baik terhadap NPF bank syariah, dibandingkan dengan pengaruh faktor-faktor yang sama terhadap NPL bank konvensional.

3.   Pengaruh yang lebih baik tersebut adalah karena substansi cakupan dan penerapan dari setiap faktor manajemen internal itu lebih baik, secara sendiri-sendiri dan gabungan, pada bank syariah dibandingkan pada bank konvensional, sehingga menghasilkan tingkat NPF bank syariah lebih rendah dibandingkan dengan tingkat NPL bank konvensional.

4.   Perbedaan pengaruh dan penerapan yang lebih baik pada bank syariah tersebut adalah karena, baik secara teori maupun praktik, prinsip syariah melekat pada sistem dan pelaksanaan perbankan syariah, yang mengacu pada ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW. Ketentuan tersebut tidak saja diterapkan dalam pemberian pembiayaan berdasarkan akad-akad yang disediakan, tetapi juga digunakan sebagai acuan dalam bertingkah laku paling tidak dalam lingkungan pekerjaan di dalam bank, melalui budaya malu jika tidak sejalan dengan impresi “syariah”.


5.2.1. Implikasi.

1.   Dapat dikatakan bahwa Tuhan menciptakan sistem yang diperlukan oleh umat manusia di dunia, termasuk sistem pembiayaan syariah. Namun, bagaimana sistem itu digunakan atau dimanfaatkan  ditentukan  oleh manusia itu sendiri. Hal ini sangat tergantung pada pengembangan pemikiran dan penerapan unsur-unsur yang penting dari sistem itu oleh para pelakunya.

2.   Setiap faktor dari manajemen internal tersebut berpengaruh lebih besar pada bank syariah adalah karena dilatarbelakangi oleh prinsip Ketauhidan, yang pada intinya mengacu kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Tahu dan Maha Kuasa, dan Yang Menyaksikan apa yang dikerjakan oleh manusia. Dengan prinsip Ketauhidan ini dan melekat pada sistem dan label “syariah”, orang akan merasa malu untuk melakukan sesuatu atau bertingkah laku yang menyimpang atau yang dianggap menyimpang atau tidak sesuai dengan makna kata ”syariah”. Di samping itu, mereka sadar bahwa Tuhan bersaksi terhadap apapun keputusan yang diambilnya dan bagaimana dia bertingkah laku, dimana lingkungan akan selalu memperhatikan dan mempertanyakan apakah yang dilakukannya itu telah sesuai dengan makna “syariah”.

Adanya rasa malu ini dapat di mantapkan oleh keteladanan yang dapat diberikan oleh pimpinan tertinggi dari bank, sebagai pimpinan yang bermoral yang seyogianya memiliki kadar moralitas yang lebih tinggi bagi lingkungan bank yang dipimpinnya.

3.   Seperti yang digambarkan oleh Adam Smith secara tidak langsung, urusan bisnis/usaha tidak dapat terlepas dari masalah moralitas. Khususnya di bidang perkreditan/pembiayaan, keputusan kredit/pembiayaan adalah keputusan moral, dan harus dilakukan dengan hati-hati, dengan memperhatikan peraturan dan ketentuan yang berlaku, dan mempertimbangkan  kepentingan para pemilik dana sebagai stakeholder yang utama. Karena juga menyangkut nurani dan keyakinan individu, pemutus kredit/pembiayaan harus memiliki unsur spiritualitas yang memadai, yang diartikan sebagai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kesaksian-Nya, orang dapat didorong untuk melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin bagi bank dan mengambil keputusan yang tidak merugikan stakeholders yang dimaksud, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dengan demikian, pengambilan keputusan yang dilakukan tidak menyelimuti kepentingan pihak lain, seperti pemilik bank, atau dengan pihak calon debitor, dengan mengenyampingkan  kepentingan bank dan/atau para  stakeholders.

4.   Agar menghasilkan manfaat yang optimal dalam menekan timbulnya NPL/NPF serendah mungkin, penerapan dari seluruh faktor-faktor manajemen internal tersebut harus dilakukan secara simultan, utuh dan terpadu.


5.2.2. Keterbatasan Penelitian.

Pertama: penelitian ini memotret keadaan pada suatu saat, atau bersifat cross sectional. Hasilnya akan lebih baik, jika dilakukan secara ulang. Karena keterbatasan waktu dan biaya, hal ini belum dapat dilakukan.

Kedua: Sampel diambil hanya dari kantor pusat  56 bank konvensional dan syariah, tetapi diyakini dapat mewakili keadaan yang sebenarnya. Kantor pusat merupakan lokasi utama dikeluarkan, dan sentral dari penerapan kebijakan manajemen internal masing-masing bank; sedangkan kantor cabang umumnya hanya mengikuti kantor pusat mereka.


5.2.3. Implikasi Kebijakan.
  1. Bagi bank syariah, sangat disarankan untuk memperkuat pemahaman Ketauhidan dan pencerahan yang bersifat spiritual secara formal, konsisten dan terus menerus sehingga dapat memperkuat penerapan label “syariah” dalam pelaksanaan pekerjaan sehari-hari baik dalam lingkungan pekerjaan  di dalam bank, maupun dalam kehidupan sehari-hari para staff dan pegawainya.
  2. Moralitas dari pimpinan tertinggi, para direksi dan para komisaris khususnya, dan para bankir umumnya,   merupakan salah satu unsur yang bersifat krusial dalam menerapkan secara simultan keseluruhan faktor-faktor manajemen internal yang dimaksud. Karena bank memiliki  tanggung jawab sosial dan moral yang begitu besar terhadap para pemilik dana khususnya, dan masyarakat luas umumnya,  maka perlu disarankan bahwa  unsur moralitas dan spiritualitas dari calon direksi dan komisaris bank, baik bank konvensional terlebih syariah, perlu dijadikan sebagai unsur yang dinilai dalam proses fit and proper test.
  3. Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF, bank syariah/UUS disarankan untuk mempertahankan atau meningkatkan penerapan seluruh faktor dari manajemen yang dimasud di atas dalam proses pemberian dan pengawasan pembiayaan oleh para pejabat yang berkaitan dengan pembiayaan secara simultan.
  4. Untuk mencegah atau memperkecil terjadinya NPL pada bank konvensional, disarankan untuk melakukan pencerahan unsur spiritualitas/moralitas secara konsisten sehingga dapat dipahami dan dihayati oleh para pegawai bank, menerapkan budaya malu yang dibarengi dengan penerapan reward and penalty system yang lebih tegas dan jelas, disamping meningkatkan penerapan setiap faktor manajemen internal yang dimaksud secara utuh.

 5.3. Saran Penelitian Berikutnya.

Peluang bagi penelitian berikutnya: faktor-faktor lain yang tidak diungkapkan dalam penelitian ini, dan memastikan perbedaan pengaruh sistem perbankan syariah terhadap timbulnya NPF, dengan pengaruh penerapan faktor-faktor yang dimaksud sebagai hasil kinerja pelakunya.


&&&&&&&&&& HHO &&&&&&&&&&





DAFTAR PUSTAKA


BUKU

Affandi, Nik Mohamed bin Nik Yusoff. (2002). Islam & Business. Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd, Selangor, Malaysia.
Ahamed, Liaquat. (2009). Lords of Finance, The Bankers Who Broke the World. Penguin Books, New York.
Ahmed, Salahuddin. (2006). Islamic Banking Finance and Insurance, A Global Overview. A.S. Noordeen, Gombak, Kuala Lumpur.
Ali, Achmad. (2005). Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya). Ghalia Indonesia, Bogor.
Ali, H. Masyud. (1999). Cermin Retak Perbankan, Refleksi Permasalahan dan Alternatif Solusi. PT. Elex Media Kompuntindo, Jakarta.
Algaoud, Latifa M. Mervyn K Lewis. (2001). Perbankan Syariah. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta. www.serambi.co.id. info@serambi.co.id.
Arifin, Zainul. (2005). Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah. Pustaka Alvabet, Ciputat, Jakarta. Pustaka_alvabet@yahoo.com.
Ascarya. (2007). Akad & Produk Bank Syariah. RajaGrafindo Persada, Jakarta. rajapers@indo.net.id. http://www.rajagrafindopersada.com.
Asy’arie, Musa. (2010). Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir. LESFI, Yogyakarta.
Askari, Hossein. Zamir Iqbal. Noureddine Krichene. Abbas Mirakhor. (2010). The Stability of Islamic Finance, Creating A Resilient Financial Environment For A Secure Future. John Wiley & Sons (Asia) Pte, Ltd., Singapore.
Banks, Erik. Richard Dunn. (2002). Practical Risk Management. An Executive Guide to Avoiding Surprises and Losses. John Wiley & Sons Ltd. The Atrium, Sothern Gate, Chichester, West Sussex PO 19 8SQ, England.
Beauchamp, Tom L. Norman E. Bowie. (2001). Ethical Theory and Business. Prentice Hall Inc., New Jersey.
Brewster, Mike. (2003). Unaccountable. How The Accounting Profession Forfeited A Public Trust. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
Broom, Donald M. (2003). The Evolution of Morality and Religion. Cambridge University Press, Cambridge, UK.
Chapra, M. Umer. Habib Ahmed. (2008). Corporate Governance, Lembaga Keuangan Islam. Bumi Aksara, Jakarta.
Chorafas, Dimitris. (2000). Managing Credit Risk. Analysing, Rating and Pricing The Probability of Default. Euromoney Books, Nestor House, Playhouse Yard, London EC4V 5EX.
Choudhury, Masudul Alam. (2004a). The Islamic World-system, A Study in Polity-Market Interaction. Routledge Curzon, London.
Choudhury, Masudul Alam. Mohammad Ziaul Hoque. (2004b). An Advanced Exposition of Islamic Economics and Finance. The Edwin Mellen Press, New York.
Choudhury, Masudul Alam. (2002). Explaining The Qur’an- A Socio-Scientific Inquiry. The Edwin Mellen Press, New York.
Coleshaw, John. (1989). Credit Analysis, How to Measure and Manage Credit Risk. Woodhead-Faulkner Limited, Simon & Schuster International Group, Fitzwilliam House, 32 Trumpington Street, Cambridge CB2 1QY, England.
Colley Jr, John L. Jacqueline l. Doyle. George W. Logan. Wallace Stettinius. (2005). What is Corporate Governance?. McGraw Hill, New York.
Colquitt, Joetta. (2007). Credit Risk Management. How to Avoid Lending Disasters and Maximize Earnings. McGraw-Hill, Two Penn Plaza, New York, NY 10121-2298.
De George, Richard T. (1999). Business Ethics. Prentice Hall, New Jersey.
Dilley, Deborah K. (2008). Essentials of Banking. John Wiley & Sons, Inc. Hoboken, New Jersey.
Djumhana, Muhammad. (1996). Hukum Perbankan di Indonesia. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Drennan, Lynn T. (2004). Ethics, Governance and Risk Management; Lesson From Mirror Group Newspapers and Barings Bank. Journal of Business Ethics 52 : 257- 266, ©2004 Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
Ganguin, Blaise. John Bilardello. (2005). Fundamentals of Corporate Credit Analysis.The MacGraw-Hill Companies, Inc. New York, Chicago, etc.
Ganguin, Blaise. John Bilardello. (2005). Fundamentals of Corporate Credit Analysis. TheMcGraw-Hill Companies, Inc. Two Penn Plaza, New York, NY 10011-2298.
Garvey, James. (2010). 20 Karya Filsafat Terbesar. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Ghani, Muhammad Abdul. (2005). The Spirituality in Business, Pencerahan Hati Bagi Pelaku Usaha. Pena Pundi Aksara, Jakarta. penerbitpena@telkom.net.
Gie, Kwik Kian. (September 1999) Ekonomi Indonesia dalam Krisis dan Trasisi Politik, Cetakan Kedua,  PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Gie, Kwik Kian. (November 2006). Pikiran yang Terkorupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Green, C.F. (1998). Business Ethics in Banking, Journal of Business Ethics, 1989. Kluwer Academic Publisher. Netherlands.
Gunther, Robert E. (2008). Making Smart Decisions. Pearson Education, Inc. Publishing as FT Press. Upper Saddle River, New Jersey 07458.
Harahap, Sofyan S. (2003). Pelajaran dari Krisis Asia, Edisi I. Pustaka Quantum, Jakarta, syafri@indo.net.id
Hegel, G. W. F. (1996). Philosophy of Right. Prometheus Books, Amherst, New York.
Himawan, Charles. (2006). Hukum Sebagai Panglima. Kompas. Jakarta.
Jackson, Ira A. Jane Nelson. (2004). Profits With Principles. Currency Doubleday, New York.
Kant, Immanuel. (1963). Lectures on Ethics. Harper & Row, Publishers, New York.
Kara, Muslimin. (2005). Bank Syariah di Indonesia, Analisis kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah. UII Press Yogyakarta. uiipress@uii.ac.id.
Kasmir. (2006). Manajemen Bank. RajaGrafindo Persada.
Kaufman, George G.ed. (1998). Research in Financial Services, Public and Private Policy. Jai Press Inc., London, England.
Kennedy, Susan Estabrook. (1973). The Banking Crisis of 1933. University Press of Kentucky. Lexington, Kentucky 40506.
Lehrer, Jonah. (2010). How We Decide, Kenali Cara Kerja Otak Agar Dapat Lebih Cerdas dan Tangkas Memutuskan Apa Saja. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta.
Lord, Carnes. (1984). Aristotele, The Politics. The University of Chicago Press, Chicago and London.
Muhammad. (2005). Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. UPP AMP YKPN, Yogyakarta.
Norton, David L. (1991). Democracy and Moral Development. University of California Press, Oxford, England.
Olegario, Rowena. (2006). A Culture of Credit, Embedding Trust and Transparency in American Business. Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, and London.
Pieris, John. Nizam Jim. (2007). Etika Bisnis & Good Corporate Governance. Pelangi Cendekia, Jakarta.
Prasetiantono, A. Tony. (2005). Rambu Rambu yang Diabaikan. Kompas, Jakarta.
Preston, Noel. (2007). Understanding Ethics. The Federation Press, Annandale, NSW, Australia.
Rakhmat, Ioanes. (2009). Socrates dalam Tetralogi Plato. Sebuah Pengantar dan Terjemahan Teks. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rivai, Veithzal. Andria Permata Veithzal. Ferry N. Idroes. (2007). Bank and Financial Institution Management, Conventional & Sharia System. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Sathye, Milind. James Bartle, Michael Vincent, Raymond Boffey. (2003). Credit Analysis & Lending Management. John Wiley & Sons Australia, Ltd. Sydney, Melbourne.
Schroeck, Gerhard. (2002). Risk Management and Value Creation in Financial Institutions. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
Scott, Roman. (2003). Credit Risk Management for Emerging Markets: Lessons from the Asian Crisis. In Gaeta’s (Ed) Frontier in Credit Risk. John Wiley & Sons (Asia)  Pte Ltd.
Sen, Amartya. (2007). On Ethics & Economics. Blackwell Publishing, Malden, USA.
Shaw, John C. (2003). Corporate Governance & Risk, A System Approach. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
Siahaan, N. H. T. (2005). Pencucian Uang & Kejahatan Perbankan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Smith, Adam. (2000). The Theory of Moral Sentiments. Prometheus Books, New York.
Sofyan, Ahmadi. (2006). Islam on Leadership. Lintas Pustaka, Jakarta.
Supramono, Gatot. (2009). Perbankan dan Masalah Kredit. Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis. Rineka Cipta, Jakarta.
Sutojo, Siswanto. (2008). Menangani Kredit Bermasalah, Konsep dan Kasus. Damar Mulia Pustaka, Jakarta.  
Sutojo, Siswanto. E. John Aldridge. (2005). Good Corporate Governance. Tata Kelola Perusahaan yang Sehat. Damar Mulia Pustaka, Jakarta.
Verhezen, Peter. (2009). Gifts, Corruption, Philantrophy, The Ambiguity of Gift Practice in Business. Peter Lang, Bern, Switzerland.
Warde, Ibrahim. (2001). Islamic Finance in the Global Economy. Edinburg University Press, Edinburg, Great Britain.
Wijaya, Krisna, Djoko Retnadi. (2005). Konsolidasi Perbankan Nasional, dari Rekapitalisasi Menuju Arsitektur Perbankan Indonesia (API), Cetakan Pertama, Mei 2005, Penerbit Masyarakat Profesional Madani, Jakarta.
Wijaya, Krisna.(2010). Analisis Kebijakan Perbankan Nasional. Kompas Gramedia, Jakarta.
Wiroso. (2009). Produk Perbankan Syariah. LPFE Usakti, Jakarta.


JURNAL/ARTIKEL

Ahmed, Syeda Zabeen. (2006). An Investigation of the Relationship Between Non Performing Loans, Macro Economics Factors, and Financial Factors in Context of Private Commercial Banks in Bangladesh.  Independent University, Bangladesh.
Akkas, S.M. Ali. (2009). Issues and Problems of Islamic Banking in Bangladesh. Akkas54@gmail.com. http://www.cdss.ingeniousbd.org.
Al-Jarhi. (2008). Islamic Finance: An Efficient & Equitable Option. The Islamic and Training Institute, The Islamic Development Bank, PO Box 9201, Jeddah, Saudi Arabia. http//: http://www.wfdd.org.uk/articles-talks/mabid.fdf.
Alon, Ilan. Edmund A Kellerman. (1999). Internal Antecedents to the 1997 Asian Economic Crisis. State University of New York College at Oneonta. Multinational Business Review, Fall 1999; 7, 2; ABI/INFORM Global.
Ali, Salman Syed. (2006 dan 2007). Financial Distress and Bank Failure: Lessons From Closure of Ihlas Finans in Turkey. Islamic Economic Studies, Vol. 14, No. 1 & 2, Agustus 2006 & Januari 2007.
Ashcraft, Adam B. (2005).  Are Banks Really Special? New Evidence From The FDIC- Induced Failure of Healthy Banks. The American Economic Review, Vol. 95, No. 5 (December, 2005), pp 1712-1730. http://www.jstor.org.
Barefoot, Jo Ann S. (2002). What You Can Learn From Enron? How to Know if You are Creating a Climate of Rule Breaking. American Bankers Association. ABA Banking Journal, August 2002; 94, 8; ABI/INFORM Global.
Bathory, Alexander. (1987). The Analysis of Credit, Foundations and Development of Corporate Credit Assessment. McGraw Hill Book Company (UK) Limited, Maidenhead, Berkshire, England.
Batunanggar, Sukarela. (2002). Indonesia’s Banking Crisis Resolution, Lessons and The Way Forward, (2 December 2002), presented at the Banking Crisis Resolution Conference, CCBS, Bank of  England, London.
Berger, Allen N. Robert De Young. (1997). Problem Loans and Cost Efficiency in Commercial Banks. Elsevier. Journal of Banking & Finance 21 (1997) 849-870.
Boffey, R. G.N. Robson. (1995). Bank Credit Risk Management. Managerial Finance., 1995; 21, 1; ABI/INFORM Global.
Bowie, Norman E. (1998). A Kantian Theory of Capitalism. Ruffin Series in Business Ethics, ABI/INFORM Global, pg 37.
Breuer, Janice Boucher. (2006). Problem Bank Loans, Conflicts of Interest,and institutions. ScienceDirect, Journal of Financial Stability 2 (2006) 266-285. http://www.elsevier.com/locate/jfstabil.
Brownbridge, Martin. (1998). The Causes of Financial Distress in Local Banks in Africa and Implication for Prudential Policy. UNCTAD/OSG/DP/132. Nicole.winch@unctad.org.
Calomiris, Charles W. Daniela Klingebiel. Luc Laeven. (August 2004). A Taxonomy of Financial Crisis Resolution Mechanism: Cross Country Experience. World Bank Policy Research Working Paper 3379.cc.374@columbia.edu, dklingebiel@worldbank.org,Laeven@worldbank.org.
Caprio, Gerald Jr. (1998). Banking on Crises: Expensive Lessons From Recent Financial Crisis. Development Research Group, The World Bank.
Caprio Jr, Gerald. Daniela Klingebiel. (1996). Bank Insolvency: Bad Luck, Bad Policy, or Bad Banking?. Annual World Bank Conference on Development Economics 1996, ©1997. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank.
Carretta, Alessandro. Farina, Vincenzo. Franco, Fiordelisi. Schwizer, Paola. (2008). Corporate Culture and Shareholder Value in Banking Industry. Munich Personal Repec Archive. http://mpra.ub.uni-muenchen.de/8304/. MPRA Paper No. 8304.
Chan-Lau, Jorge A. Zhaohui Chen. (August 1988). Financial Crisis and Credit Crunch as a Result of Inefficient Financial Intermediation- with reference to the Asian Financial Crisis. IMF Working Paper. International Monetary Fund, Research Department. jcchanlau@imf. org, zchen@imf.org.
Cheng, Harrison. (2000). Folk Theorem with One-Sided Moral Hazard: Necessary and Sufficient Conditions. Review of Economic Dynamics 3, 338-363 (2000). http:www.idealibrary.com.
Chong, Beng Soon. Ming –Hua Liu. (2007). Islamic Banking: Interest-Free or Interest Based? http://www.docstoc.com/docs/DownloadDoc.aspx?doc_id=3867212.
Clair, R.T. (1992). Loan Growthand Loan Quality: Some Preliminary Evidence from Texas Banks. Economic Review, Federal Reserve Bank of Dallas.
Collyns, Charles. Abdelhak Senhadji. January (2002). Lending Booms, Real Estate Bubbles and The Asian Crisis. IMF Working Paper, WP/02/20.©2002 International Monetary Fund. ccollyns@imf.org, asenhadji@imf.org.
Coyle, Brian. (2000). Corporate Credit Analysis. CIB Publishing, c/o The Chartered Institute of Bankers, Emmanuel House, 4-9 Burgate Lane, Caterbury, Kent, CT1 2Xj, United Kingdom.
Dean, Gary. October (1999). East Asia and the Roots of the Economic Crisis. http://www.okusi.net/garydean/works/eastasiancrisis.html
Dean, Gary. September (1999). Indonesia’s Economic Development in Comparison to South Korea and Taiwan. http://www.okusi.net/garydean/works/indEcdev.html.
Demyanyk, Yuliya. Iftekhar Hasan. (2009). Financial Crisis and Bank Failure: A Review of Prediction Methods. Federal Reserve Bank of Cleveland. http://www.clevelandfed.org/research/workpaper/2009/wp0904.pdf.
Denison, Daniel R. Aneil K. Mishra. (1995). Toward a Theory of Organizational Culture and Effectiveness. Organization Science, vol. 6, No. 2, March-April 1995. http://web.chungnam.ac.kr / Cnupa/way_board/db/pa-data2file/4434849.pdf.
Dhanuskodi, R. (2006). A Study on Non Performing Assets (NPAs) With Special Reference to Commercial Bankm of Ethiopia (CBE). D_kodiudt@yahoo.co.in
Diamond, D. (1984). Financial Intermediation and Delegated Monitoring. Rev. Econ. Stud. 51, 393-414.
Diamond, Douglas W. (1996). Financial Intermediation as Delegated Monitoring: A Simple Example. Federal Reserve Bank of Richmond, Economic Quartely Review, Volume 82/3 Summer 1996.
Djohanputro, Bramantyo. Ronny Kountur. Juli. (2007). Non Performing Loan (NPL), Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Laporan Penelitian, Kerjasama antara GTZ dan Bank Indonesia.
Eisenhardt, Kathleen M. (1989). Agency Theory: An Assessment and Review. Academy of Management Review, Jan 1989; 14, I; ABI/INFORM Global.
Florini, Ann M. (1999). Does the Invisible Hand Need a Transparent Glove? The Annual World Bank Conference on Development Economics, Washinton DC, April 28-30, 1999.
Fofack, Hippolyte. (2005). Nonperforming Loans in Sub-Saharan Africa: Causal Analysis and Macroeconomic Implications. IMF Working Paper, WP/04/129, International Monetary Fund.
Fuertes, Ana Maria. Zulma Espinola. (2006). Towards the Early Signalling of Banking Crises: the Case of Paraguay. Central Bank of Paraguay.
Gamble, William. (2003). Going Bust: Overcoming a Dysfunctional Credit System. Harvard International Review, Summer 2003, 25, 2; ABI/Inform Global.
Godlewski, Christophe J. (2004). Excess Credit Risk and Bank’s Default Risk an Application of Default Prediction’s Models to Banks from Emerging Market Economies. christophe.godlewski@urs.u-strasbg.fr.
Guseva, Alya. Akos Rona-Tas. (2001). Uncertainty, Risk, and Trust: Russian and American Credit Card Markets Compared. American Sociological Review, Oct 2001; 66, 5; ABI/INFORM Global.
Haggar, Stephan. Andrew McIntyre. (August 1999). The Politics of Moral Hazard: The Origins of Financial Crisis in Indonesia, Korea and Thailand. The International Centre for the Study of East Asian Development, Kitakyusu. Working Paper Series Vol. 99-14.
Harish, Janani. (2003). Value in Business. Spirituality and Prosperity Magazine. November-December 2003, p. 11-12. Kerala, India. lordsrikrishna@mail.com.
Honohan, P. (1997). Banking System Failures in Developing  and Transition Countries: Diagnosis and Predictions. BIS Working Paper 39.
Husain, Ishrat. (2005). Culture, Ethics, and Values in the Banking System. Presidential Address at the 55th Annual Meeting of the Institute of Bankers of Pakistan, Karachi, 17 September 2005.
Ibrahim, Badr El Din A. (2006). The ”missing links” between Islamic development objectives and the current practice of Islamic banking- the experience of the Sudanese Islamic banks (SIBs). Humanomics Vol. 22 No. 2, 2006, pp. 56-66. ÓEmerald Group Publishing Limited. http://www.emeraldinsight.com/0828-86666.htm.
IMF Staff. (June 1998). The Asian Crisis, Causes and Cures, Finance & Development.
Iqbal, Zamir. (1997). Islamic Financial Systems. http://www.imf.org/external/pvbs/ft/fandd/1997/06/pdf/iqbal.pdf.
Jamison, Mark A. (1998). Agency Problems in Industries Undergoing Fundamental Change: Application to Telecommunications. Public Utility Research Center, University of Florida.
Jankowiccz, A.D. R.D. Hisrich. (1987). Intuition in Small Business Lending Decisions. Journal of Small Business Management, Jul 1987; 25, 3; ABI/INFORM Global.
Jiangli, Wenying. Haluk Unal, Chiwon Yom. (September 2004). Relationship Lending, Accounting Disclosure, and Credit Availability during Crisis. wjiangli@fdic.gov, hunal@rhsmith.umd.edu, cyom@fdic.gov.
Karwowski, Ewa. (2009). Financial Stability: The Significance and Distinctiveness of Islamic Banking in Malaysia. University of London. ewa.karowski@yahoo.de.
Keeton, William R. CharlesS.Moris. (1987). Why Do Banks’Loan Losses Differ?. Federal Reserve Bankof Kansas City. Economic Review, May 1987.
Khan, M. Fahim. (1991). Comparative Economics of Some Islamic Financing Techniques. Islamic Development Bank,Jeddah, Saudi Arabia.
Kaufman, George G. Kenneth E. Scott. (2000). Does Bank Regulation Retard or Contribute to Systemic Risk? Revised Draft 11/29/00. Loyola University Chicago and Stanford Law School.
Koford, Kenneth, Adrian E. Tschoegl. (September 8, 1997). Problems of Bank Lending in Bulgaria: Information Asymmetry and Institutional Learning,. Wharton School, University of Pennsylvania.
Kornai, Janos. (2000).  Hardening The Budget Constraint: The Experience of the Post- Socialist Countries.  Harvard University, Cambridge. European Economic Review 45 (2001) 1573-1599. http://www.elsevier.com/locate/econbase.
Komatsu, Masaaki, (2007), Asian Financial Crisis and Its Lesson – Indonesia, Hiroshima University, www.rieti.com
Krugman, Paul. (1998). What Happened To Asia? http://webt.mit.edu/krugman/www/
Kwak, S.Y. (2000). An Empirical Analysis of the Factors Determining the Financial Crisis in Asia. Journal of Asian Economics, 11. 195-206.
Lago, Ricardo. (2002). The Financial Sector in Transition Economies Ten Years After: The Issues, The Record, and The Challenges. Tiger Working Paper Series No. 23, Warsaw. lagor@cbrd.com
Lahiri, Ashok K. (2002). Rising NPAs: Where ha all the money gone?. http://www.rediff.com/money/2002/aug/01spec.htm
Lauridsen, Laurids S., Roskilde University, Denmark. (1998). The Financial Crisis in Thailand: Causes, Conduct and Consequences? World Development Vol. 26, No. 8 pp 1575- 1591, Pergamon.
Levine, Ross. Norman Loayza, Thorsten Beck. (2000).   Finacial Intermediation and Growth: Causality and Causes. www.worldbank.org/html/dec/publications/workpapers/wps 2000 series/wps 2059/wps2059.pdf.
Li, Yang. (2003). The Asian Financial Crisis and Non-Performing Loans: Evidence From Commercial Banks in Taiwan, March 31, 2003, International Journal of Management Vol. 20, Issue 1, pp 69-74, International Journal of Management.
Lis, Santiago Fernandez de, Jorge Martinez Pages. Jesus Saurina. (2000). Credit Growth, Problem Loans and Credit Risk Provisioning in Spain.  Banco de Espana, Servicio de Estudios, Documento de Trabajo n. 0018.
Lukviarman, Niki.  (2004). Etika Bisnis Tak Berjalan di Indonesia: Ada Apa Dalam Corporate Governance? Jurnal Siasat  Bisnis No. 9 Vol. 2, Desember 2004.
McGovern, John. (2001) Why Bad Loans Happens to Good Banks. RMA Journal. http://findarticles.com/p/article/mi-m01TW/is-3-84/ai-n14897011.
Menkhoff, Lukas. Chodechai Suwanaporn. (2005). On the Rationale of Bank Lending in Pre-Crisis Thailand. Discussion Paper No. 326, ISSN 0949-9962.menkhoff@gif.uni_hannover.de
Mishkin, Frederic S. (May 1996). Understanding Financial Crisis: A Developing Country Prespective. Federal Reserve Bank of New York, 33 Liberty Street, New york, NY 10045.
Monks, Robert A.G. Nell Minow. (2004). Corporate Governance. Blackwell Publishing, Malden, USA.
Mukherjee, Paramita. (2003). Dealing with NPAs: Lessons from International Experiences. Icra Bulletin, Money & Finance, Jan-March 2003. http://www.icraratings.com/money_finance/janmarch2003internationalexp.pdf
Mustanoja, Leila. (2002). Transparency or High Risks?, A Profile in Public Information Disclosure in Export Credit Agencies, Published by the Finnish ECA Reform Campaign, Helsinki.
Negrin, Jose L. (2004). The Importance of Borrowers ’History on Credit Behavior: The Mexican Experience. Economic Studies, Banco de Mexico.jlnegrin@banxico.org.mx.
Petersson, Jessica. Isac Wadman. (2004). Non Performing Loans. The Markets of Italy and Sweden. www.diva-portal.org/diva/get Document?omn-nbn-se-uu-diva-7004.2-fulltext.pdf(d/w 14/4/2008).
Pontell, Henry N. (2003). Control Fraud, Gambling for Resurrection, and Moral Hazard: Accounting for White Collar Crime in the Savings and Loan Crisis. Department of Criminology, Law and Society, School of Social Ecology, University of California, Irvine, CA 92697-7080, USA. The Journal of Socio Economics 34 (2005) 756-770. http://www.elsevier.com/locate/enconbase. 
Pound, John. (1995). The Promiseof the Governed Corporation. In Harvard Business Review on Corporate Governance.Harvard Buisness School Press, Boston.
Radelet, Steven. Jeffrey Sachs. (April 1998). The East Asian Financial Crisis: Diagnosis, Remedies, Prospects. Harvard Institute for International Development.
Rahman, Abdul Rahim Abdul. (2007). Islamic Banking and Finance: Between Ideals and Realities. IIUM Journal of economics and Management 15, No. 2 (2007); 120-141.
Reyes, Juan Antonio Ibanez, Jose Roany Toc Bac, Lilun Huang. (tdk bertanggal) Mexico’s 1994 Financial Crisis.
Sarker, Md. Abdul Awwal.(1999). Islamic Banking in Bangladesh: Performance, Problems & Prospects. International Journal of Islamic Financial Services, Vol. 1, No. 3.
Scholtens, Bert. Dick van Wensveen. (2003). The Theory of Financial Intermediation: An Essay on What It Does (not) Explain. SUERF (SUERF Studies; 2003/1), ISBN 3-902109-15-7. ©2003 SUERF. The European Money and Finance Forum, Vienna.
Sergio, M. (1996). Non Performing Bank Loans: Cyclical Patterns and Sectoral Risk. Review of Economic Conditions in Italy, Rome. Jan-Jun 1996, Issue 1.
Setiawan, Chandra. (2009). Waspada terhadap kemerosotan kualitas Asset di Bank Syariah (Islam). http://data5.blog.de/media/672/2703672_9003a9ac20_d.pdf.
Sgard, Jerome. (July 2008). Credit Crisis and The Role of Banks During Transition: A Five-Country Comparison.   CEPPII, Document de travail No. 1996- 08 July. SGARD@CEPII.FR.
Shaleh, H.M. Ashraf, (2002). Takwa dalam Al Quan, Makna dan Hikmahnya. Penerbit Erlangga, Jakarta. http://www.erlangga.co.id.
Sharma, Meena. (2005). Problems of NPAs and Its Impact on Strategic Banking Variables. Finance India, Vol. XIX No. 3, Sept 2005; Pages 953-967. 19, 3; ABI/INFORM Global
Shen, Chung-Hua. Meng-Fen Hsieh. (2004). Prediction of Bank failures using Combined Micro and Macro Data. chshen@nccu.edu.tw, sndrah@cc.vit.edu.tw.
Shiong, Tan Tok. (2006). Why Bank Scandals Happened Frequently in Malaysia? Faculty of Economics & Administration, University of Malaya, http://www.fep.um.edu.my/working papers/2006/FEA-wp-2006-002.pdf.
Soral, H. Bartu. Tlan B. Iscan, Gregory Hebb. (2006). Fraud, Banking Crisis, and Regulatory Enforcement: Evidence From Micro-Level Transaction data. Eur J Law Econ (2006) 21 : 179-197. DOI 10.1007/s 1065-006-6649-y. Springer Science + Business Media, Inc.2006.
Stiglitz, J. A. Weiss. (1981). Credit Rationing in Markets with Imperfect Information. American Economic Review. 71, 393-410.
Streeter, William W. Editor. (1993). The Future of Banking is Already Here. American Bankers Association. ABA Banking Journal; Nov 1993; 85, 11; ABI/INFORM Global.
Tahir, Sayyid. (2003). Future of Islamic Banking. International Islamic University, Islamabad. http://www.docstoc.com/docs/DownloadDoc.aspx?doc_id=2456669.
Trontin, Christian. Sophie Bejean. (2004). Prevention of Occupational Injuries: Moral Hazard and Complex Agency Relationships. Safety Science 42 (2004) 121-141. http://www.elsevier.com/locate/ssci
Vale, Bent. (2004). The Norwegian Banking Crisis. Thorvald G. Moe, Jon A. Solheim, and Bent Vale (eds). The Norwegian Banking Crisis. Norges Bank, Occasional Papers, No. 33. 2004, Oslo.
Verschoor, Curtis C. (2004). Is Ethics Awareness Enough? Strategic Finance; Jun 2004; 85, 12; ABI/INFORM Global.
Vihriala, Vesa. (1997). Banks and the Finish Credit Cycle, 1986-1995. Suomen Pankki, Bank of Finland. Bank of Finland Studies E : 7 1997, Helsinki..
Viotti, Staffan. (2000). Dealing With Banking Crises- Proposal For a New Regulatory Framework. Economic Review 3/2000, pp 46-63.
Wolfson, Martin H. (1996). A Post Keynesian Theory of Credit Rationing. Journal of Post Keynesian Economics, Spring 1996; 18, 3; ABI/INFORM Global pg. 443.
Wu, Wen Chieh. Chin Oh Chang. Zekiye Selvili. (2003). Banking System, Real Estate Markets, and Nonperforming Loans.  International Real Estate Review, 2003 Vol. 6 No. 1, pp 43-62.


ARTIKEL KORAN

Dubai tidak Tanggungjawab Utang Dubai World. (2 Desember 2009). Media Indonesia.
Korupsi sampai sekolah. Koruptor sudah bermuka badak. (6 Juni 2011). Kompas.
Penyaluran Kredit, Antara Seni dan Peluang Permainan. Kompas, 12 Oktober 2005.


WEBSITE

Benang Kusut Kredit Macet. (25 Juli 1997). Susidarto. Kompas.
Kredit Macet, Sebuah Persoalan. Analisis Kwik Kian Gie. (4 Mei 1993). Kompas.


Tulisan ini diterbitkan di:
http://hho3.wordpress.com/2011/11/24/ringkasan-disertasi-ief-usakti/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar