PERDAGANGAN (JUAL-BELI) Vs RIBA: IMPLIKASINYA TERHADAP PEREKONOMIAN DAN
KEMASLAHATAN MASYARAKAT
Oleh:
Hendy Herijanto
Islamic Economics and
Finance (IEF)
Universitas Trisakti, Jakarta
ABSTRAK
Selain menjadi petunjuk
bagi manusia, Al-Quran juga mengandung pengetahuan (QS, 17 : 85) yang perlu
digali dan dikembangkan lebih jauh oleh umatnya. Beberapa ayat Al-Qur’an menyebutkan larangan terhadap praktik riba, dan
menghalalkan perdagangan. Ketentuan Ilahi ini secara universal merupakan
pedoman hidup untuk seluruh umat manusia. Islam adalah rahmat
lil ‘alamin, rahmat untuk sekalian alam. Tentunya, larangan itu untuk
kebaikan umat-Nya. Oleh karena itu, makalah kecil ini mencoba mengemukakan alasan-alasan
kenapa riba dilarang dan kenapa perdagangan diijinkan, serta melihat kenyataan
yang ada sebagai konsekuensi negatif dari riba, di dunia ekonomi kontemporer
dewasa ini.
Kata Kunci: Riba/bunga,
keuntungan, produksi barang dan jasa, sektor riel, dan kerja
ABSTRACT
Beside functioning as a guidance for all
human being, the Holy Book Al Qur’an contains only a fraction of knowledge (QS, 17 : 85) revealed by God the Almighty, which needs
to be comprehended and developed. Al Qur’an contains a number of verses which
essentially prohibits the practice of interest, but blessing trade activities.
Basically, Islam is for the benefits and prosperity for all God Creations, and
the guidance given in Al Qur’an is for their benefits. This paper, therefore,
tries to elaborate the reasons why interest is prohibited, and trade is
blessed, in the current context of contemporary economy.
Key words: Interest, profit, production of goods and services, real
sector, and work.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Allah Swt berfirman bahwa telah disempurnakan
’Agamamu’ itu (QS, 05: 03), dan ”.... Tidaklah
Kami alpakan sesuatu apa pun di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an)” (QS, 06 : 38).
Kedua ayat ini mengisyaratkan bahwa buku suci Al-Qur’an merupakan buku yang terakhir
dan sempurna sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia,
serta bernilai akhirati. Buku suci itu berlaku sejak diturunkannya hingga nanti
waktu kiamat datang; sehingga tidak akan direvisi, dirubah atau diganti oleh
siapapun, karena Allah Swt telah berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an, dan pasti Kami (pula)
yang memeliharanya” (QS, 15 : 9).
Jika dilihat
dari banyaknya halaman, dalam ukuran setengah kuarto, Al Qur’an memiliki sekitar 1300 halaman. Bahkan, dalam
ukuran folio sekalipun, dengan huruf atau fond
yang besar, jumlah halaman tidak melebihi 1500. Jumlah halaman ini tidak dapat dikatakan
banyak, jika dibandingkan dengan petunjuk yang diperlukan begitu amat banyak. Di
sini, dapat disimpulkan bahwa uraian yang terdapat dalam Al-Qur’an itu bersifat
sangat efektif dan efisien. Efektif
dalam arti mencapai sasaran yang diperlukan manusia, dan efisien dalam arti
tidak ada kalimat atau kata-kata yang sia-sia. Dalam kaitan ini, Allah Swt
telah berfirman melalui Surat Huud (QS, 11 : 01), ”Alif Raam Raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan
rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi Allah Yang
Mahabijaksana lagi Mahatahu”.
Penulis berkeyakinan, bahwa karena pemilihan kata
yang digunakan begitu efektif dan efisien, makna yang dikandungnya menjadi
dalam, dan berimplikasi begitu jauh terhadap kehidupan manusia. Namun, untuk
memahaminya, seperti yang sering disebutkan di banyak akhir ayat, Tuhan selalu
mengingatkan manusia, ’tidakkah mereka
berakal’. Pada dasarnya, manusia telah diberikan akal, maka Tuhan
memerintahkan gunakanlah akal itu dengan sebaik-baiknya dalam memahami Al
Qur’an (QS, 67 : 10).
Kandungan Al-Qur’an mencakup seluruh aspek
kehidupan umat manusia. Secara garis besar, kandungan Al Qur’an itu berkaitan
dengan dua hal utama. Pertama, yang berkaitan dengan bagaimana beribadah, yaitu
mengatur hubungan vertikal antar Tuhan dan manusia. Kedua, mengatur hubungan
horizontal yaitu antar manusia, atau kegiatan bermuamalah. Di dalam kegiatan
bermuamalah ini, terdapat pula kegiatan yang penting bagi manusia dalam mencari
nafkah, yaitu kegiatan ”tijarah”,
atau ”bay”, yang berarti jual beli,
atau juga disebut sebagai kegiatan perdagangan, perniagaan, atau bertransaksi
secara komersial. Setara dengan kata perdagangan itu, terdapat kata riba; namun,
kegiatan yang berkaitan dengan riba diharamkan oleh Allah Swt.
Khususnya yang berkaitan dengan bermuamalah,
ayat-ayat Al Qur’an bersifat universal, dan dapat dipikirkan dengan logika.
Tujuan dari ayat-ayat itu adalah agar manusia dapat berhasil di dunia dan di
akhirat. Pandangan ini sejalan dengan pengertian ”Rahmatan lil alamin”, yang
merupakan tugas utama bagi Nabi Besar Muhammad Saw yang ditunjuk sebagai Rasul
Allah. ”Rahmatan lil alamin” ini menjadi prinsip dasar sebagai
petujuk yang diwahyukan kepada Nabi Saw, dan berlaku bagi seluruh umat manusia
agar manusia bertindak sebagai pemakmur bagi sekalian alam, yang seluruhnya merupakan
ciptaan Tuhan, baik berupa tumbuh-tumbuhan ataupun hewan. Bagi Islam, manusia
yang beriman merupakan wakil Allah Swt di dunia untuk menjalankan kebajikan dan
menghindari kerusakan, ”amar ma’ruf nahi
munkar”. Perangkat yang diciptakan dan diberikan Allah Swt, termasuk ayat-ayat
Al Qur’an dan dipratikkan oleh Nabi Saw, juga bertujuan bagi manusia untuk
mencapai hal yang demikian.
Kata berdagang atau tijarah’ atau ”bay”, dan
riba, merupakan kata pilihan Allah Swt, sehingga merupakan kata yang sangat
penting bagi kehidupan manusia sebagai
anjuran dan larangan dalam hal bermuamalah.
2. Tujuan Penulisan
Pentingnya makna perdagangan dan riba bagi
kegiatan kehidupan ekonomi manusia berkaitan erat dengan kemashalatan umat,
atau kesejahteraan sosial masyarakat, yang merupakan maqasid al syariah. Penulis berusaha mengkaji makna dari Ayat ini,
dengan menguraikan arti dari kata ’berdagang’ dan ’riba’ dalam kaitan dengan
kesejahteraan sosial masyarakat.
Quraish Shihab berpendapat, bahwa dalam rangka
memahami hubungan antara Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan adalah dengan
melihat apakah Al Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan
atau mendorongnya lebih maju [1].
Al Qur’an pada dasarnya merupakan petujuk bagi ilmu pengetahuan, dan mendorong
agar ilmu pengetahuan berkembang. Beliau juga berpendapat bahwa, memahami arti
ayat-ayat Al Qur’an dengan berfikir secara kontemporer, dapat menggunakan
pendapat para cendekiawan dan ulama, hasil percobaan dan pengalaman para
ilmuwan, mengasah otak dalam mengadalkan ta’ammul
dan tadabbur [2].
Bahkan, Al Qur’an sendiri menganjurkan untuk mengadakan observasi dan
eksperimen (QS, 29: 20), dan menggunakan akal dan intuisi (QS, 16 : 78)[3].
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan pemahaman
dan kebenararn Al-Qur’an dengan menggunakan pendapat para cendekiawan, ahli
ekonomi dan ulama dalam kaitan dengan kegiatan perdagangan dan pelarangan riba,
serta mengkaji implikasinya terhadap kehidupan ekonomi dan kesejahteraan sosial
masyarakat.
B. SURAT AL BAQARAH (QS, 2 : 275)
Di samping
ayat-ayat riba[4] lainnya, acuan utama dari tulisan ini adalah Surat Al Baqarah
(QS, 2: 275), yang antara lain menyebutkan “Allah
telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. Karena diyakini bahwa pemilihan kata dalam Al
Qur’an begitu efisien dan efektif, serta tidak akan pernah dirubah, maka maknanya
berlaku sepanjang zaman dan di setiap waktu dan tempat, maka implikasi dari
makna kedua kata ‘berdagang’ dan riba’ dapat menjadi sangat luas.
1.
PERDAGANGAN
(JUAL-BELI)
a.
Hakikat
Perdagangan (Jual Beli)
Perdagangan
mengandung arti bahwa seseorang memiliki suatu barang yang dapat dijual kepada
pembeli. Jual-beli terjadi karena penjual sepakat menjual barangnya, sedangkan
pembeli setuju untuk membeli barang tersebut pada suatu tingkat harga yang
disetujui oleh kedua pihak: di sini, terjadi ijab dan qabul. Jika
secara tunai, si pembeli menerima barang dari penjual, sedangkan penjual
menerima uang pembayaran barang yang dijualnya. Jika tidak dengan tunai,
transaksi itu harus dicatat, dan dipersaksikan dengan dua orang saksi (QS,
2:282).
Perdagangan
adalah kegiatan komersial tertua manusia, sejak zaman primitif sampai masa
modern saat ini, hingga ke masa depan. Pada masyarakat yang masih sederhana, barang
dihasilkan dari hasil penangkapan, perburuan atau penggalian. Kelebihan barang
yang diperoleh melebihi kebutuhan cenderung ditukarkan dengan barang yang diinginkan
tetapi tidak dimiliki. Layaknya digambarkan oleh cerita Robinson Crusoe, ketika
jumlah orang bertambah, setelah kehadiran Friday, kelompok kecil itu mulai
melakukan kegiatan barter antar sesama mereka. Barter merupakan kegiatan
berdagang, ketika uang belum dikenal, dan dilakukan dalam rangka memenuhi
kebutuhan barang yang telah berkembang.
Perdagangan
tidak bersifat kontekstual, karena dapat dilakukan di mana saja, tanpa harus
dengan modal besar. Sejauh manusia hidup bermasyarakat, perdagangan terjadi di
setiap waktu, dalam lingkungan yang kecil, seperti di pedesaan. Dalam
lingkungan yang lebih luas, perdagangan telah berkembang sampai ke tingkat
global antar negara di dunia. Secara gamblang dapat pula dikatakan, bahwa
kegiatan perdagangan tidak akan pernah pupus dari kehidupan manusia. Kegiatan
perniagaan atau perdagangan akan selalu eksis dari masa ke masa.
Perdagangan
merupakan kegiatan awal dan akhir kegiatan produksi. Ketika kebutuhan barang
dan jasa telah berkembang, barang dagangan tidak hanya merupakan hasil
tangkapan atau buruan, atau hasil pertanian ataupun perkebunan. Ketika masyarakat
berkembang, dan kebutuhannya bertambah, mereka mulai memikirkan dan memproduksi
barang-barang atau jasa lain yang diperlukan. Produksi barang dan jasa pada akhirnya
bermuara kepada kegiatan penjualan atau perdagangan. Barang dagangan sudah harus dibuat atau
diproduksi terlebih dahulu, yang jelas melibatkan orang untuk bekerja dengan
memperoleh upah. Perdagangan adalah manifestasi dari kebutuhan masyarakat akan barang
(dan jasa). Jadi, jual-beli mendorong perdagangan, dan merangsang perniagaan
dan industri. Produksi yang
berkembang mendorong pembukaan lapangan kerja baru, yang merupakan kebajikan
dari kegiatan perdagangan.
Dalam kehidupan di dunia, firman Allah Swt melalui
Surat Al Jumuah (QS, 62 :10) menekankaan pada pentingnya untuk bekerja. ”Apabila telah menunaikan shalat maka
bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung”. Seperti halnya Al-Qur’an[5], Nabi Muhammad SAW juga mewajibkan setiap
muslim untuk bekerja[6].
Islam mewajibkan orang untuk bekerja keras untuk memperoleh rezki dan kekayaan
yang halal. Bekerja adalah kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi [7].
Di lain pihak, Thomas
Carlyle mengatakan, “A man willing to work, and unable
to find work, is perhaps
the saddest sight that fortunes’ inequality exhibits under the sun”. Terjemahan
bebasnya adalah, ketika seseorang ingin bekerja, tetapi tidak dapat menemukan
pekerjaan, mungkin hal ini merupakan ketidak seimbangan dalam keberuntungan
yang terjadi di bumi. Pentingnya kerja dan pembukaan lapangan kerja sangat
dipentingkan dalam Islam.
Dengan terbukanya lapangan kerja,
pendapatan masyarakat akan meningkat dan industri akan lebih berkembang. Menurut Nik Mohamed Affandi Bin Nik
Yusoff, perdagangan dapat berkontribusi langsung untuk meningkatkan standar
hidup, meningkatkan kekayaan bagi individu dan masyarakat; dan bagi yang kurang
berpendidikan, dapat berpartisipasi,
karena Islam menghendaki setiap orang memiliki sumber penghidupan
masing-masing [8]. Menurut Ibnu Chaldun,
bekerja merupakan unsur yang paling dominan bagi proses produksi dan merupakan
sebuah ukuran stándar dalam sebuah nilai. Bekerja adalah kekuatan penggerak
utama kegiatan ekonomi Islam (QS. Al-Baqarah 4 : 29) [9].
Perdagangan merupakan faktor penentu dalam
menggerakkan ekonomi. Perekonomian
suatu masyarakat terbentuk karena adanya kegiatan perdagangan dan produksi. Kata
berdagang mengandung unsur kebajikan yang berupa kegiatan utama dan diperlukan
bagi manusia dalam berkelompok, berbangsa dan bahkan bernegara. Perdagangan
jelas berada di sektor riel, yang berbeda dengan riba dan berkaitan dengan
pinjam meminjam uang, atau merupakan pilar utama dari sektor keuangan
konvensional. Ibnu Chaldun mengatakan bahwa kekayaan suatu bangsa tidak
ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki bangsa tersebut, tetapi ditentukan oleh
produksi barang dan jasa, serta neraca perdagangan yang sehat [10]
sebagai konsekuensi tingkat produksi yang tinggi. Mankiw mengatakan hal yang
senada dengan Ibnu Chaldun mengenai pentingnya produksi barang dan jasa oleh
suatu bangsa; karena menurut Mankiw, kemampuan berproduksi akan menentukan
standar hidup suatu negara[11].
Perdagangan
adalah inti dan dasar dari ekonomi Islam, dan bersandar pada perdagangan atau
produksi barang dan jasa, atau disebut sebagai real sector of the economy, atau
real based economy [12].
b. Keuntungan
dan Risiko
Karena riba diharamkan, keuntungan dari
perdagangan dihahalkan, sehingga keuntungan dapat menggantikan riba. Firman
Tuhan melalui Surat An-Nisaa (QS, 4 ; 33), “Hai
orang-orang yang beriman bíarlah di antara kamu berjalan
dan berdagang dengan cara yang
saling menguntungkan“. Ayat ini menganjurkan keuntungan yang timbal balik;
tidak saja bagi penjual, tetapi juga bagi pembeli. Berdagang tidak saja
terbatas pada satu transaksi jual beli, tetapi berdagang dapat terjadi
berulang-ulang, seperti yang diarahkan oleh kata ’berjalan’ di depan kata
’berdagang’. Ini artinya berdagang yang menguntungkan bagi setiap pihak
yang terkait akan membuat kegiatan jual-beli itu berlanjut dengan
transaksi-transaksi dagang berikutnya. Ini hanya dapat terjadi, jika setiap
pihak memperoleh kepuasan dalam bertransaksi.
Allah Swt berfirman untuk mencari rezeki dari perniagaan (QS, 2 :
198). Ini artinya mengambil keuntungan dihalalkan. Keuntungan yang diambil oleh
penjual merupakan jumlah yang dikandung dalam suatu harga yang disepakati oleh
pembeli. Pembeli setuju untuk membayar suatu harga pembelian terhadap suatu
barang, dengan pengertian baginya – barang yang dibeli memberikan nilai atau
manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya[13].
Harga dan nilai atau manfaat dari barang yang dijual harus seimbang, untuk itu
memerlukan kejujuran dari penjual. Penjual harus jujur terhadap kualitas dan
takaran atau timbangan barang dagangannya itu. Dalam hal kualitas, hanya
penjual yang mengetahui secara pasti. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw sangat
menghargai para pedagang yang jujur[14],
dengan tidak menyembunyikan kurma yang basah dari pandangan calon pembeli.
Bahkan, Nabi Saw bersabda bahwa pedagang yang jujur akan bersama Rasul dan
orang yang beriman, dan Syuhada di hari kiamat[15].
Berdagang
dengan memperoleh keuntungan merupakan pendorong untuk berproduksi lebih
banyak. Nabi Saw mendorong umatnya untuk melakukan bisnis, karena 99% rezeki
Allah ada di dalamnya[16].
Peningkatan produksi yang berkualitas akan memberikan lapangan pekerjaan yang
lebih luas. Immanuel Kant memberikan pendapat yang sama, yang akhirnya
menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat[17]. Keuntungan
merupakan kompensasi terhadap jerih payahnya dalam memproduksi, dan atau usaha
menjual, serta merupakan kompensasi terhadap inisiatif, kerja keras, dan usaha.
Inisiatif dan kerja keras ini membuahkan penciptaan suatu nilai, tetapi inisiatif
itu dibarengi dengan risiko yang dihadapi dan mungkin terjadi[18].
Keuntungan
merupakan nilai kesetaraan atau counter
value yang merupakan kandungan inti dari kerja atau usaha atau kasb, yang sekaligus mengandung unsur
risiko atau ghurmi, dan tanggungan
atau liabilitas atau dhaman.
Keuntungan yang diijinkan adalah keuntungan yang berkaitan dengan tanggungjawab
atau liabilitas atau disebut “al-kharaj
bi-al- dhaman”, atau keuntungan dapat diperoleh karena adanya risiko ”al-ghurmu bil ghunmi”. Ekspresi ini
diterjermahkan dan diartikan oleh Vogel dan Hayes III sebagai ”gain accompanies liabilities for loss”[19].
Keuntungan
yang dianggap wajar adalah yang tidak mengandung riba, atau tidak bersifat
eksploitatif. Allah Swt telah berfirman,”Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik” (QS, 2: 267).
Keuntungan yang hakiki adalah keuntungan yang diridhoi oleh Allah, dan membawa
berkah bagi dunia dan akhirat. Keuntungan dari perdagangan yang diridhoi sudah
pasti merupakan keuntungan yang baik, yang merupakan pemenuhan nafkah manusia,
dan dapat membawa berkah. Secara harfiah, berkah yang diciptakan sejalan dengan
manfaat yang diperoleh oleh banyak orang dari perdagangan yang baik. Tidak saja
penjual, dan pembeli, tetapi juga banyak pihak lain menerima manfaat dari
pedagangan yang baik dan berkembang. Paling tidak, perdagangan yang berkembang
akan dapat membuka lapangan kerja yang lebih luas untuk memproduksi barang yang
diperdagangkan.
Keuntungan di sini bukanlah masalah maksimum
atau tidak, tetapi lebih merupakan masalah legitimasi dan kewajaran, serta
berkaitan dengan moralitas atau kejujuran, atau diperoleh dalam jalan yang
benar sehingga bermuatan akhirati[20]. Aa
Gym dan Kartajaya mengartikan ’keuntungan’ dalam berbisnis adalah apabila
bisnis yang dilakukan bersifat amal atau kebajikan, didasarkan pada kebenaran,
dan dimulai dengan niat yang benar. Dalam melakukan bisnis, kualitas manusianya
semakin baik atau dapat lebih dipercaya, dapat menambah ilmu dan wawasan yang
lebih luas sehingga memperbaiki kemampuan yang ada, dan menambah silahturahmi
atau persaudaraan antar sesama [21].
Dengan demikian, keuntungan tidak dilihat dari
segi uang secara an sich, tetapi
mengandung substansi moral yang kental. Namun, masalah kejujuran dan moralitas
dalam memperoleh keuntungan bukan semata-mata merupakan produk Islam. Dalam
bukunya, Cicero membahas mengenai utilitas dalam kaitan dengan kekayaan dan
kenyamanan dalam hidup. Utilitas harus diperoleh dengan jujur, karena jika
melakukan sesuatu yang menguntungkan tetapi tidak jujur, maka akan berakibat
sebagai bahaya yang besar bagi hidup manusia[22].
Ellsworth berpendapat bahwa keuntungan memiliki
banyak fungsi, seperti: memberikan kemampuan bagi perusahaaan atau usaha dalam
menciptakan manfaat bagi masyarakat, merupakan ukuran dari efektivitas dan
efisiensi dalam mencapai manfaat itu, sebagai dasar bagi manajemen dalam
mengambil keputusan, dan untuk menciptakan nilai, dan seterusnya. Namun,
Ellsworth mengingatkan bahwa keuntungan bukan merupakan tujuan akhir, tetapi
sebagai alat untuk mencapai tujuan lain seperti posisi strategis perusahaan;
sehingga tidak dimaksimalkan dalam arti yang sempit [23]. Agaknya pandangan yang sempit ini
merupakan pendorong dari konsep maksimalisasi keuntungan oleh Milton Friedman [24],
sehingga menjadi isu yang berkaitan dengan masalah moralitas. Pandangan ini
bertitik tolak pada pertimbangan materialistik dan kepentingan pemilik modal
atau pemegang saham semata.
Sehubungan dengan ”apakah maksimalisasi kekayaan
pemegang saham itu bersifat imoral?” Dobson menjawabnya dengan memasukan unsur
moralitas ke dalam setiap pengambilan keputusan bisnis. Perusahaan perlu
mencapai keuntungan yang maksimal untuk mempertahankan kesehatan keuangan,
tetapi dengan mempertimbangkan kepentingan stakeholders
lainnya. Dobson berkesimpulan bahwa sebagai seorang profesional, orang tidak
dapat menghapus akal sehat, atas dasar pertimbangan dan dipengaruhi oleh
karakternya. Dalam melakukan pertimbangan, diperlukan kebajikan yang meliputi
sikap kehati-hatian, kearifan dan rasa belas kasihan pada orang lain. Perhatian
terhadap kepentingan para stakeholders lainnya
dapat mendukung kelanjutan kehidupan dari usaha atau perusahaan itu sendiri.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keuntungan hanyalah alat untuk mencapai
tujuan, tetapi tujuan yang sesungguhnya adalah lebih luas dari sekedar
keuntungan [25].
Menurut Hassan, kegiatan berusaha atau berbinis
merupakan bagian dari fard kifayah,
dimana tanggungjawab sosial harus didahulukan, dari pada memperkaya diri
sendiri [26]. Keuntungan pada
dasarnya dihasilkan dari kombinasi usaha atau kerja, modal dan risiko.
Keuntungan adalah merupakan refleksi dari jerih payah atau hasil ‘kerja’,
sekaligus merupakan tanggungan, dari pihak yang memproduksi barang dan usaha
dalam menjualnya, atau merupakan nilai yang terealisasi dari muatan tenaga
kerja seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun [27]. Selanjutnya,
beliau mengatakan bahwa peradaban yang besar menghasilkan laba yang besar
karena jumlah tenaga kerja yang banyak. Jumlah tenaga yang banyak inilah yang
merupakan penyebab laba [28]. Selain
itu, Benyamin Franklin mengatakan bahwa “No
nation was ever ruined by trade”. Perdagangan
tidak akan meruntuhkan negara manapun, justru sebaliknya seperti yang dikatakan
oleh Ibnu Chaldun.
Secara
menyeluruh, perdagangan dan keuntungan, seperti yang disebutkan dalam
Al-Qur’an, merupakan faktor penentu
dalam menggerakkan ekonomi, yang pada akhirnya akan menambah kamasalahatan
umat, atau kesejahteraan sosial masyarakat.
c. Nabi Saw Sebagai Pedagang
Perdagangan
juga merupakan Sunah Nabi Besar Muhamaamd Saw. Pada umur 12 tahun, Muhammad
mulai ikut berdagang mengikuti pamannya [29],
bahkan sampai ke Syiria[30]. Dari
pengalaman ini, Muhammad kemudian memilih bekerja sebagai pedagang dengan
menjual barang milik orang lain[31]
berdasarkan bagi hasil [32]. Muhammad
selalu menghasilkan keuntungan bagi para pemilik barang, atau para investor.
Tidak pernah rugi [33].
Sehingga, keahlian beliau dalam
perdagangan tidak diragukan lagi. Tambahan pula, beliau dikenal sebagai orang
yang paling dapat dipercaya atau Al Amin,
dan selalu berkata paling benar dan jujur atau Al Shadiq[34].
Pada akhirnya, Muhammad pada usia dewasa diangkat sebagai manajer di pusat
pardagangan Habsyah di Yaman oleh seorang investor besar Makkah, bernama
Khadijah[35].
d. Perdagangan: Kunci Keberhasilan
Cina
Perdagangan merupakan kata kunci keberhasilan
ekonomi Cina Daratan. Berdagang
merupakan profesi yang penting dalam masyarakat Cina. Bahkan, anak-anak diikut
sertakan dalam membantu orang tuanya dalam berdagang sejak usia dini. Terdapat
beberapa alasan logis kenapa mereka memilih untuk berdagang, yaitu: a). Berdagang
tidak dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu; b). Berdagang memberikan
kesempatan bagi orang untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan, dan
mengasah insting bisnis agar makin tajam;c). Berdagang adalah pekerjaan yang
mandiri; d). Berdagang membutuhkan modal yang tidak besar, dan membuat uang
cepat berkembang; e). Berdagang membuka banyak peluang; f). Dunia bisnis
menjanjikan kesempatan untuk meraih kekayaan, kemewahan, kesenangan dan
kemapanan, atau pada akhirnya mencapai kehidupan yang lebih baik[36].
Indah Hanaco menyimpulkan bahwa masyarakat Cina
memiliki karakteristik yang menonjol, yang diperlukan dalam berdagang atau berusaha.
Masyarakat Cina bersifat ulet, rajin dan tekun, tahan banting, jujur, inovatif,
tidak takut gagal, merencanakan dengan matang, memiliki kemampuan pemasaran,
dalam berdagang melibatkan seluruh keluarga, selalu berusaha memperluas usaha,
berhati hati, tidak mengenal gengsi, dan pandai melihat dan menggunakan peluang[37].
Pada awal 1980-an, sebagian besar masyarakat Cina
berada dalam keadaan miskin, dan tidak memiliki harta-benda yang berarti. Namun,
para pengusahanya membangun usaha secara praktis hanya dengan minat, bakat dan
kemauan untuk bekerja keras. Dalam
kaitan ini, pemerintah menyediakan infrastruktur dan seperangkat institusi
pasar agar para pengusaha dapat berkembang. Infrastruktur yang dimiliki saat
ini begitu maju dan baik. Jalan
dan jembatan, misalnya, tidak ada yang
rusak. Pemerintah bertanggung jawab untuk mendidik dan membantu masyarakat
untuk bekerja demi kebaikan negara. PDB untuk pendidikan ditingkatkan dari 3.4
% dalam tahun 1997 menjadi 5,2 % tahun 2002. Para pengusaha diberikan kebebasan
yang memadai dalam berusaha. Amandemen konstitusi mengenai kekayaan pribadi
yang paling penting dalam kaitan ini adalah bahwa ”kekayaan pribadi dari warga
negara yang diperoleh secara legal tidak boleh diganggu”[38].
Dewasa ini, Cina memiliki paling tidak 6 orang terkaya di dunia dalam daftar Forbes, yang memiliki kekayaan di atas
US$4 milyar, dan berusaha dalam bidang minuman, pakan ternak, eceran, baterai
dan mobil elektrik, dan ril estat[39].
Pekonomian Cina tumbuh selalu di atas 9% sejak
1978. Tahun 2008, Cina memproduksi mobil lebih dari 11 juta unit, dan telah
melebihi tingkat produksi Amerika. Pemerintah sedang memacu para ilmuwan untuk
mengembangkan sains dan tehnologi, khususnya tehnologi informasi dan bio teknologi[40]. Di dunia internasional, dengan berhasilnya
Cina menduduki peringkat ke-3 dalam perolehan devisa, tentunya ini jelas
menunjukkan bahwa Cina telah berhasil dalam perdangangan internasional. Hal ini
sekaligus menunjukkan bahwa secara global, Cina mengalami surplus dalam
perdagangannya dengan banyak negara di dunia.
Menurut Kristanto, meningkatnya produk China
masuk, misalnya ke Indonesia, adalah terutama karena faktor harga, yang lebih
murah dibandingkan dengan produk lokal. Hal ini dimungkinkan karena upah tenaga kerja relatif tidak mahal
dibandingkan dengan tingkat produktivitasnya. Jadi, upah yang mungkin tidak rendah
itu diimbangi dengan produktivitas yang lebih tinggi. Global Competitiveness Report 2009-2010, menunjukkan bahwa
efisiensi tenaga kerja China menduduki peringkat 32 dari 132 negara di dunia,
sementara Indonesia berada pada
peringkat 75 [41].
2. RIBA
a. Ayat-Ayat dan Hadist Riba
Ayat-ayat riba
diturunkan secara bertahap. Larangan terhadap riba pertama kali muncul dalam
Surat Ar-Ruum (QS, 30 ; 39), yang diturunkan
di Mekah. Kemudian, tiga Surat yang lain, yaitu An-Nisaa (QS, 4 ; 161),
Ali-‘Imran (QS, 3 ; 130-132), dan Al-Baqaráh (QS, 2 ; 275-281), diturunkan di
Madinah. Ketika Surat Ar-Ruum turun, kota Mekah dalam keadaan makmur. Selain
aktif dalam bidang perdagangan, warga Mekah memberikan pinjaman uang dengan bunga dan melakukan
transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif. Umumnya, utang telah merupakan
alat pemenuhan terhadap kebutuhan yang mendesak dari kaum yang secara ekonomi
kurang beruntung[42].
Surat kedua, An-Nisaa (QS, 4 ; 161) turun di kota
Madinah, karena pada waktu itu kegiatan
riba telah meluas, dan surat ini tidak semata-mata ditujukan untuk kaum Yahudi
di kota itu. Ayat ketiga, Ali-‘Imran (QS, 3 ; 130), diturunkan di Madinah pada
saat perang Uhud. Pihak musuh mempraktikan riba untuk membiayai tentaranya,
atau kemungkinan lain pihak muslim tergoda mempraktikkan riba untuk membiayai
perang[43].
Surat Al-Baqarah diturunkan di Thaqeef, ketika Nabi Muhammad SAW hampir
menyelesaikan misinya di situ, dan dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun
bentuk tambahan atas pinjaman.
Surat Al-Baqarah (QS, 2 ; 279) mengisyaratkan
bahwa apabila manusia tidak meninggalkan sisa-sisa riba maka “Allah dan
Rasul-Nya akan memerangi para pelaku riba”. Sebagai dasar pelarangan ini, riba memiliki unsur
kezaliman. Jika riba dihapuskan, maka kezaliman akan pula hapus, seperti
tersirat dalam kalimat ”Jika kamu
bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak
menganiaya dan tidak pula dianiaya” [44].
Larangan terhadap riba secara jelas nampak pada
ayat-ayat Al-Baqarah (QS, 2: 275-281), Ali-‘Imran (QS, 3: 129-130), An-Nisaa (QS,
4 : 161) dan Ar-Ruum (QS, 30 : 39), yang menyebutkan; walaupun keuntungan dari
perdagangan berbeda dengan dari riba, hanya keuntungan dari dagang diijinkan;
ketika meminjamkan uang, muslim hanya diijinkan untuk mengambil kembali pokok
pinjaman dan mengorbankan pokok tersebut jika peminjam tidak mampu membayar
kembali utangnya[45], atau si peminjam perlu diberi
keringanan; riba menghilangkan karunia Allah terhadap harta; riba dipersamakan
dengan penyisihan yang salah dari harta milik orang lain; muslim harus
menghindari riba demi untuk kesejahteraannya sendiri[46].
Nabi Muhammad SAW melaknat pemakan riba, karena
merupakan tindakan memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan risiko. Orang
kaya memperoleh kemudahan atas jerih payah orang miskin. Riba merusak semangat manusia untuk bekerja[47] mencari uang, dan dapat membinasakan
perorangan dan masyarakat, dunia dan akhirat. Riba dipersamakan dengan penyakit
masyarakat lainnya, seperti prostitusi, dan jika menyebar mengakibatkan
kemurkaan Allah[48].
a. Pengertian Riba
Riba adalah tambahan terhadap nilai pokok pinjaman
yang diberikan oleh seorang kepada orang lain, atau dari seorang kreditor ke
debitor. Dalam perekonomian modern, pinjam meminjam ini terutama
berkaitan dengan uang, sedangkan tambahan yang dimaksud berupa bunga. Filsuf Anthena kuno, Aristóteles,
berpendapat bahwa riba merupakan hasil yang tidak wajar, karena diperoleh dari
jerih payah orang lain. Beliau beranggapan, bahwa uang tidak bisa melahirkan
uang atau pecunia pecuniam non parit, karena uang
sepatutnya dapat dihasilkan dari kerja dan usaha[49]. Di zaman jahiliah, tambahan itu dikenakan kepada debitor
yang tidak mampu membayar utangnya tepat waktu. Jadi, tambahan itu sekaligus
bersifat penalti. Sehubungan dengan ketentuan riba dalam Al Qur’an, sejumlah
Hadist Nabi SAW sangat tidak menyarankan agar manusia tidak berutang, kecuali
dalam keadaan terdesak.
Surat
Al-Baqarah (QS, 2 ; 275) menyebutkan bahwa Allah Swt mengharamkan riba, yang
artinya bahwa pinjam meminjam uang atau lainnya tidak diperkenankan mengenakan
bunga bagi peminjam atau debitor. Itu sebabnya peminjam uang hanya bersifat
saling membantu, atau bersifat sosial. Karena bunga atau tambahan atau bunga
tidak boleh dibebankan kapada debitor, maka pinjam meminjam uang tidak dapat
dikomersialkan. Islam menetapkan, bahwa kegiatan pinjam meminjam uang merupakan
kegiatan sosial, tidak boleh memberikan imbalan atau tambahan pembayaran
terhadap pembayaran utang.
Telah
merupakan kesepakatan umum diantara para ahli, termasuk Umar Chapra, bahwa yang
dimaksudkan riba adalah bunga[50]
dalam segala bentuk[51].
Bunga bank, seperti yang dipahami banyak orang, yang memberikan kepastian
terhadap perolehannya, dan ditentukan di depan, yang berarti tanpa risiko,
tidak dibenarkan dalam Islam[52].
Adalah kombinasi dari usaha atau kerja, modal dan risiko yang menghasilkan return terhadap modal atau uang. Oleh
karena itu, keuntungan harus dibagi, demikian pula risiko[53].
Pengusaha berbagi keuntungan dengan pemilik modal sesuai dengan hasil yang
diharapkan bersama, tidak ditentukan di depan seperti bunga, tetapi ditetapkan
sesuai dengan perkembangan hasil usaha dalam waktu yang berjalan.
Di lain pihak,
riba cenderung bersifat tidak produktif, dan menambah risiko usaha dalam
perdagangan dan industri. Risiko bisnis bertambah karena pertama, bunga
ditetapkan di muka, terlepas dari naik turunnya pendapatan atau laba yang dapat
dihasilkan oleh bisnis yang dibiayai oleh utang yang berbunga itu. Kedua, dari
perhitungan break even point atau
yang lazim disebut BEP, pengusaha, yang membiayai produksinya dengan
menggunakan utang yang berbunga, harus dapat berproduksi dan menjual barang
dagangannya dengan kuantitas yang lebih banyak, agar mencapai titik impas; ini
jelas menambah kadar risiko bisnis. Bagi penerima bunga, kreditor memperoleh pendapatan tanpa kerja, dan atas
risiko bisnis yang ditanggung sendiri oleh debitor. Hal ini bertentangan dengan
Islam, yang mewajibkan orang bekerja keras untuk memperoleh rezeki, sebagai kekayaan
yang halal, serta berbagi risiko.
b.
Fungsi Uang Dalam Islam
Karena tambahan atas uang ketika dipinjamkan
dilarang, maka uang tidak dapat diperdagangkan, atau memiliki harga, seperti
bunga. Uang adalah nilai pembanding terhadap nilai barang atau jasa yang
dipertukarkan; menandingi counter value, atau
nilai atau manfaat barang dengan mana uang dipertukarkan. Uang[54] digunakan terutama sebagai médium of exchange, dan
jika diperlakukan sebagai komoditas
maka akan menjurus pada transaksi ribawi[55].
Berbeda dengan ekonomi Islam, di dunia barat atau ekonomi konvensional, uang merupakan
komoditas, dengan harga berupa bunga. Vogel mengatakan, bahwa “(In
Islam) Money is not treated
as a commodity, as in the
West…”[56].
Karena Islam
melarang adanya riba, dan menganjurkan untuk menjauhi utang (uang) bahkan dalam
perdagangan atau usaha, maka ekonomi Islam lebih menekankan pada unsur modal
sendiri atau modal bersama ketika berusaha atau berbisnis dalam bentuk
kemitraan. Modal bersama ini
merupakan dana investasi, yang menyerupai modal, atau bersifat equity based, dan dengan demikian
prinsip leverage tidak dapat
dipakai. Prinsip leverage atau gearing
dalam banyak kasus di dunia telah mendorong timbulnya kegiatan ekonomi yang
spekulatif. Di lain pihak, sistem
keuangan Islam yang terstruktur dengan baik tidak mengijinkan kegiatan
spekulatif atau untung-untungan[57].
Dilarangnya riba bukan berarti peminjaman uang sama sekali dilarang, tetapi
diminimalkan[58]. Nabi Saw diriwayatkan
memperingatkan umat Islam untuk tidak terlibat dalam utang, kecuali dalam
keadaan terpaksa[59].
Dalam Islam, uang adalah sarana untuk mencapai
tujuan dan bukan tujuan itu sendiri[60]. Islam menggunakan uang hanyalah sebagai
alat tukar, bukan sebagai komoditi seperti yang dianut oleh kaum kapitalis. Motif
permintaan akan uang adalah untuk memenuhi
kebutuhan bertransaksi[61], atau dalam bahasa Keynes untuk
bertransaksi dan berjaga-jaga, tidak untuk berspekulasi. Transaksi yang
bersifat spekulasi, gharar atau maysir, dilarang dalam Islam.
Oleh
karena itu, teori endogenous money dalam Islam pada hakekatnya berarti
permintaan uang adalah representasi dari seluruh kebutuhan transaksi dalam
sektor riel [62]. Masudul Choudhury berpendapat,
bahwa uang yang beredar hanya setara dengan yang dibutuhkan untuk bertransaksi
di sektor riel atau disebut sebagai uang endogen. Pendapat ini juga diungkapkan
oleh persamaan Irving Fischer, yaitu M . V = p . q. Permintaan akan uang meningkat, jika
kapasitas dan volume sektor riel meningkat. Teori ini tidak mendikotomikan
antara pertumbuhan uang di sektor moneter dan pertumbuhan nilai tambah uang di
sektor riel[63].
Imam
Ghazali menggambarkan uang sebagai alat perantara bagaikan kaca antara harta
dengan kerja, dan hanya merefleksikan nilai dari barang[64]. Karena uang bukan sebagai komoditi, maka
perbankan syariah tidak mengenal pinjam-meminjam uang dengan bunga dalam
transaksi komersial atau tijarah-nya.
Dalam Islam, pinjam meminjam uang merupakan transaksi yang bersifat sosial atau
tawa’un. Untuk tujuan ini, disediakan
suatu konsep qardu hasan atau
pinjaman tanpa bunga.
Uang hanya berpotensi untuk menjadi modal,
dan dikenal sebagai salah satu aspek dari produksi[65].
Supaya menjadi modal, uang dikonversi terlebih dahulu menjadi alat produksi,
untuk menghasilkan pendapatan atau keuntungan. Di lain pihak, riba cenderung
bersifat tidak produktif, dan menambah risiko bisnis dalam perdagangan dan
industri, dan berimplikasi bahwa orang memperoleh pendapatan tanpa kerja.
d. Implikasi
Riba Kontemporer
Konsep ekonomi
Islam, dengan melarang riba, lebih menekankan pada produksi barang dan jasa,
sehingga lebih produktif, dengan sejumlah kebajikan yang dapat dihasilkannya. Karena
keuntungan dari usaha atau berdagang diijinkan, maka tersirat bahwa ekonomi
Islam lebih menekankan pada sektor riel.
Faktor-faktor riel yang terkait, seperti perbaikan dalam teknologi, dan sumber
daya manusia, serta pembukaan lapangan kerja, akan mendorong peningkatan secara
bertahap dalam produksi atau kegiatan ekonomi[66].
Pengenaan bunga, di lain pihak,
dapat membuka peluang penggunaan utang untuk tujuan tidak produktif atau spekulasi,
atau tidak selalu berkaitan dengan produksi barang dan jasa, atau sektor riel. Terdapat
beberapa alasan logis kenapa riba
dilarang. Dalam perkonomian kontemporer, alasan ini, antara lain, dapat dikemukakan di bawah ini:
1). Menimbulkan Ketidakadilan
Alasan peminjaman uang terdiri dari 2 kemungkinan.
Pertama, peminjaman uang terpaksa dilakukan untuk kebutuhan pribadi yang
mendesak, dan umumnya orang dalam keadaan seperti ini tidak memiliki cadangan
uang atau tabungan. Tidaklah etis jika si peminjam dibebankan bunga. Kedua,
peminjaman uang diperlukan untuk usaha atau produksi barang atau jasa. Setiap usaha atau bisnis selalu mengandung
unsur ketidakpastian terlepas sehubungan dengan dimensi ruang dan waktu. Hasil
operasional dari suatu usaha apakah untung atau rugi tidak dapat dipastikan
pada awal usaha, kecuali hanya dapat diperkirakan. Ketidakpastian akan hasil
yang akan dapat diperoleh merupakan risiko bisnis, dan risiko ini bertambah besar
dengan adanya unsur bunga. Dalam kaitan pinjam meminjam, debitor yang
menjalankan usaha menanggung sendiri ketidakpastian tersebut dengan dua
kemungkinan; mengalami kerugian, atau memperoleh keuntungan. Di lain pihak,
kreditor dijamin memperoleh keuntungan yang pasti di awal transaksi, terlepas
apapun yang terjadi terhadap bisnis debitor yang dibiayai itu[67].
Dengan demikian, peminjam menanggung dan bertanggungjawab terhadap seluruh risiko
bisnis yang dibiayai. Pada saat yang sama, pemberi pinjaman tidak menanggung risiko
apa-apa dan bahkan dijamin memperoleh pendapatan yang telah dipastikan di awal
transaksi. Keadaan seperti ini tidak sesuai dengan sistem ekonomi Islam[68].
Dalam hal utang digunakan untuk membiayai barang
modal untuk berproduksi, ketidakadilan antara kreditor dengan debitor terjadi
karena; beban bunga berakumulasi tetap dari waktu ke waktu, sedangkan barang
modal yang dibiayai mengalami proses depresiasi menuju nol. Ketidakseimbangan
ini tentunya akan menimbulkan masalah lain bagi pengusaha, dan akhirnya juga
merupakan masalah bagi perekonomian dan masyarakat secara menyeluruh. Untuk
mengatasi masalah ini, Islam menyediakan fasilitas ijarah, yaitu penggunaan manfaat barang dengan sewa.
Nabi Muhammad SAW dalam salah satu sabdanya tidak
menganjurkan peminjaman uang, kecuali dalam keadaan sangat mendesak. Tampaknya,
sabda ini lebih diarahkan pada orang-perorang untuk keperluan konsumsi. Sedangkan untuk usaha, adalah sulit untuk
menemukan investor (muslim sekalipun) yang akan meminjamkan dananya dalam
bentuk pinjaman tanpa bunga[69].
Untuk tujuan itu, Islam menyediakan konsep pembiayaaan sesuai dengan syariah
seperti Mudharabah atau Musyarakah, dan riba diganti dengan
pembagian keuntungan. Di samping itu, utang hanya timbul karena pembelian
barang atau jasa dengan pembayaran secara tempo[70].
2). Membuat orang Kaya Bertambah Kaya
Riba juga dianggap eksploitatif, karena cenderung
menguntungkan si kaya, yang memiliki uang lebih di atas kebutuhannya, dengan memperoleh keuntungan atau tambahan
yang pasti, atas beban orang yang lemah yang menanggung seluruh risiko; sehingga,
kekayaan akan terkonsentrasi pada kelompok orang tertentu[71] atau untuk diri mereka sendiri[72].
Kameel Mydin Meera menambahkan, karena kaya, kelompok minoritas ini cenderung
memiliki marginal propensity to consume yang rendah,
sehingga uang dan kekayaan lebih terkonsentrasi di tangan mereka[73]. Keadaan ini tidak dikehendaki oleh Al-Qur’an,
seperti yang disebutkan dalam Surat Al-Hasyr (QS., 59 ; 7)[74], yaitu Islam menghendaki kekayaan
bersirkulasi dalam masyarakat seluas mungkin, sehingga perbedaan antara si
miskin dan si kaya secara alami mengecil[75]. Namun, apa yang terjadi dengan adanya
bunga, adalah yang sebaliknya, atau melebarkan kesenjangan sosial.
Maududi, seperti yang dikutip oleh Triyuwono,
mengatakan keadaan yang diuraikan di atas akan menimbulkan gangguan terhadap
alur kekayaan dalam masyarakat, dan mengalihkan aliran uang dari yang miskin ke
yang kaya, dan akhirnya membawa masyarakat ke arah kehancuran[76].
3). Bunga Menciptakan Inflasi
dan Dapat Menurunkan Standard of Living
Dalam sistem keuangan yang ada di dunia saat ini,
uang dan bunga merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Uang yang ada di
setiap negara merupakan fiat money atau ’uang atas unjuk’, dan dikeluarkan
karena adanya seigniorage[77],
yaitu hak ekslusif untuk
mencetak uang yang dimiliki oleh pemerintah pusat suatu negara. Dalam kaitan
dengan bunga, Kameel Mydin Meera menjelaskan sebagai berikut: jika saat ini
diasumsikan terdapat uang yang beredar atau money
supply dalam bentuk pinjaman sebanyak Rp 100 milyar, dan diberikan bunga
10% atau Rp 10 milyar, bukan berarti bahwa jumlah Rp 10 milyar sebagai bunga telah ada dalam
sistem keuangan atau masyarakat. Dari segi pemerintah, tambahan uang untuk
bunga ini perlu dicetak, dan kemudian disalurkan ke sistem. Jika dilihat dari segi debitor yang meminjam
uang, dua hal yang mungkin terjadi, tambahan uang diciptakan dalam bentuk
pinjaman untuk pembayaran bunga misalnya dalam rangka restrukturisasi atau reschedule
pinjaman, atau bank menyita jaminan yang ada dari debitor. Dalam hal yang
terakhir ini berarti kekayaan yang riel
berpindah tangan dari debitor ke bank, pada akhirnya kepada otoritas pencetak
uang[78].
Untuk menghindari inflasi atau mempertahankan
stabilitas harga, dengan mengacu pada persamaan Quantity Theory of Money
dari Fisher (1911), MV = PV[79], money supply yang terus
berkembang karena unsur bunga harus terus menerus diimbangi dengan pertumbuhan
dalam output riel. Jika pertumbuhan money
supply lebih cepat dari pertumbuhan sektor riel, maka selisihnya merupakan
tingkat inflasi[80]. Tingkat inflasi yang
tinggi atau hiperinflasi[81] akan menurunkan daya beli, memperburuk standard of living dan akhirnya
menghancurkan masyarakat[82]. Oleh karena itu, Kameel Mydin Meera
mengatakan bahwa fiat money dan seigniorage tidak dapat berfungsi
sebagai maqashid al-syariah, atau
mewujudkan kemashlahatan manusia di
dunia dan di akhirat[83].
4). Menimbulkan Dikotomi dalam Perekonomian.
Bunga sebagai konsep harga dari uang telah
menimbulkan dikotomi sektor keuangan dan sektor riel, yang masing-masing
berjalan terpisah berdasarkan kepentingannya yang berbeda. Dalam hal ini, Fathurrahman berpendapat,
“secara de facto, konsep interest rate ini di dunia telah memberi
jarak (gap/distorsi) dan tidak adanya keterkaitan langsung antara sektor
finansial yang berkembang pesat dan fantastis di satu pihak – dengan sektor
riel yang nyata-nyata telah memberikan nafas kehidupan bagi rakyat banyak di
lain pihak [84]. Kondisi inilah yang kemudian memunculkan pertumbuhan ekonomi yang
semu atau ”bubble economy”.
Pentingnya sektor riel terhadap kehidupan manusia seperti yang diutarakan oleh
Fathurahman juga merupakan kesimpulan Hernando De Soto terhadap pandangan Marx
mengenai uang. Ekonom dari Peru ini mengatakan bahwa Marx mengerti dengan jelas
bahwa “uang dan komoditas itu sendiri tidaklah mengandung lebih banyak capital dibanding dengan alat-alat
produksi dan subsistem yang ingin mereka transformasikan ke dalam kapital. Dia
juga memahami bahwa jika aset-aset dapat berubah menjadi komoditas dan
membuatnya berinteraksi di dalam pasar, mereka dapat mengeluarkan nilai yang
tidak terlihat indera, tetapi dapat digunakan untuk menghasilkan keuntungan” [85].
Peristiwa yang membuktikan adanya dikotomi antara
sektor riel dan sektor keuangan yang parah dapat dilihat dari sejumlah krisis keuangan,
yang terjadi di dunia, dan di Indonesia. Krisis ini terjadi karena penggunaan
utang uang (dengan bunga) yang berlebihan, yang melebihi pertumbuhan sektor
riel, dan digunakan untuk tujuan yang tidak jelas, atau bukan untuk pembiayaan
sektor riel, serta menimbulkan kredit macet dan kegagalan bank yang besar. Dari
seluruh Negara yang dilanda krisis pada tahun 1997-1998, seperti Thailand,
Korea, dan Malaysia, Indonesia mengalami akibat yang paling parah. Biaya fiskal
yang dikeluarkan Indonesia dalam mengatasi krisis mencapai lebih dari 100% dari
GDP [86]. Biaya ini merupakan beban yang
ditanggung pemerintah dalam rangka menyelamatkan sektor keuangan, yang
sesungguhnya merupakan kewajiban bank-bank swasta yang bermasalah. Di samping
itu, krisis ini menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang tidak kecil. Bagi
yang kaya, mereka kehilangan sebagian daya beli dan penurunan dalam harta yang
dimiliki. Bagi rakyat rata-rata, mereka kehilangan pekerjaan, dan penurunan
drastis dalam pendapatannya.
Bagi Indonesia
dan umat, krisis moneter yang terjadi tahun 1997-1998 tersebut membawa dampak
yang sangat menyedihkan, antara lain: menimbulkan kesengsaraan yang mendalam,
karena menambah jumlah rakyat miskin (menjadi 49,5 juta jiwa tahun 1998 dari
22,5 juta jiwa tahun 1996)[87]
dan persentase pengangguran terbuka (menjadi 5,46% di tahun 1998 dari 4,68% di
tahun 1997)[88],
serta menurunkan pendapatan per kapita masyarakat (menjadi US$ 482 per tahun 1998 dari US$ 1.075
per tahun 1997)[89].
Beban dari sisa kredit macet yang
terjadi akan terus ditanggung oleh masyarakat luas, yaitu dalam bentuk bunga
dari obligasi senilai kurang lebih Rp 400 triliun[90]. Jumlah ini tidak akan terlunasi, kecuali
di-write off oleh pemerintah, dan
dilupakan oleh masyarakat pembayar pajak.
C. PENUTUP
Ketentuan Al Qur’an merupakan petunjuk yang benar
dan berlaku untuk sepanjang masa. Kebenaran ini dapat disimak dari berlakunya
petunjuk tersebut dalam hal perdagangan dan riba, yang berlaku sejak
diturunkannya Al Qur’an hingga sekarang; dan keduanya mengacu kepada dua sektor
ekonomi yang berbeda, dengan penekanan dan manifestasi yang berbeda.
Perdagangan berorientasi pada sektor riel yang bermuara pada produksi barang
jasa dan pembukaan lapangan kerja, yang diperlukan oleh umat manusia dari waktu
ke waktu. Riba melekatkan diri pada sektor keuangan, dan cenderung berkembang
menjauhkan diri dari keterkaitannya dengan sektor riel; dengan menimbulkan dikotomi,
dan menunjukkan penggunaan utang atau uang sebagai komoditas yang berlebihan, yang
dapat berarti uang digunakan tanpa counter
value yang sepadan dalam bentuk barang dan jasa, sehingga menimbulkan
krisis keuangan di dunia dan Indonesia. Selain menimbulkan ketidak adilan,
menurunkan kesejahteraan sosial masyarakat, dan memperbesar ketimpangan sosial,
riba pada tingkat yang ekstrim menimbulkan krisis keuangan dan membawa kemudharatan
yang besar bagi masyarakat umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman
Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004.
Afzalurrahman, Muhammad Sebagai
Seorang Pedagang (Muhammad as a Trade),
Cetakan II, Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997.
Arifin, Zainul,
Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah,
Pustaka Alvabet, Ciputat, Jakarta: Pustaka_alvabet@yahoo.com, 2005.
Bowie,
Norman E., A Kantian Theory of
Capitalism, Ruffin Series in Business Ethics, ABI/INFORM Global, 1998.
Choudhury, Masudul Alam, Money in Islam, A Study in Islamic Political Economy. London: Routledge, 1997, hlm. 14; Suprayitno, 2005.
Chow, Gregory
C. Memahami Dahsyatnya Ekonomi China, Jakarta:
IKAPI, 2011.
De Soto,
Hernado, The Mystery of Capital, Rahasia Kejayaan Kapitalisme Barat, Qalam,
qalampress@yahoo.com, 2006.
Fathurrahman Jamil, Fiqh
Muamalah, Jakarta: Universitas
Trisakti.
DiVanna, Joseph A., Understanding
Islamic Banking, The Value Proposition That Transcends Cultures, Cambridge: Leonardo and
Francis Press, ltd, 2008.
Dobson, John, Is
Shareholder Wealth Maximation Immoral ? Financial Analysts Journal,
Sept/Oct 1999; 55, 5; ABI/INFORM Global, 1999.
Eko Suprayitno,
Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,
Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005.
El-Diwany,
Tarek, The Problem With Interest, Sistem Bunga Dan Permasalahannya,
Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Ellsworth, Ellsworth, Richard R., Tujuan
Perusahaan, In Craig L. Pearce, Joseph A. Marciariello, dan Hideki
Yamawaki, Drucker Difference, Jakarta: Ufuk Press, 2010.
Gymnastiar,
Abdullah, Hermawan Kartajaya, Berbisnis
dengan Hati, Jakarta: MarkPlus & Co, 2004.
Haron, Sudin, Islamic Bank, Rules
& Regulation, Petaling Jaya, Malaysia : Pelanduk Publications (M) Sdn
Bhd, 1997.
Hasan,
Zubair, ”Theory of Profit: The Islamic Viewpoint”, Res.Islamic.Econ.
Vo.1, No.1, pp 3-14, 1983.
Hassan, M.
Kabir, “Islamic Banking in Theory and Practice: The Experience of Bangladesh”,
Mangerial Finance, 25, 5 ; [1999].
Indah Hanaco, Belajar Dagang dengan Orang Tionghoa, Jakarta:
Agogos Publishing, 2011.
Lings, Martin, Muhammad, Kisah Hidup
Nabi Berdasarkan Sumber Klasik., Jakarta: Serambi, 2005.
Litan, Robert E., (et.al),
Financial Sector Governance, The Roles of
the Public and Private Sectors, Washington
DC: Brookings Institution Press,
2002.
M. Umer Chapra, The Islamic
Vision of Development in the Light of Maqasid Al-Shariah, Jeddah: Islamic
Research and Training Institute, Islamic Development Bank, 2007.
Majalah Ekonomi Syariah, Vol. 2 No. 4, EKABA-USAKTI, 2003.
Mankiw, N. Gregory, Teori Ekonomi Makro, Jakarta: Penerbit Salemba
Empat, 2004.
Meera, Ahmed Kameel Mydin, The Theft
of Nations, Returning to Gold. Subang Jaya, Malaysia: Pelanduk
Publications, 2004.
Muldrew, Craig, The Economy of
Obligation, The Culture of Credit and Social Relations in Early Modern England.
New York: Palgrave, 1998.
Nik Mohamed
Affandi Bin Nik Yusoff, Islam &
Buisness, Selangor: Publications (M) Sdn Bhd, 2002.
Obaidullah, Mohammed, Islamic
Financial Markets, Towards Greater Ethics & Efficiency. New Delhi: Institute
of Objective Studies, 2004.
Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an,
Bandung: Mizan Media Utama, 2007.
Qardhawi,
Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam.Jakarta: Gema Insani Press,
1997.
Rawzy, Sayed Al Asgher. Muammad
Rasulullah Saw., Jakarta: Pustaka
Saeed, Abdullah, Islamic
Banking and Interest, a Study of the Prohibition of Riba and Its Contemporary
Interpretation. New York:
E.J. Brillm, 1996.
Shirazi, Shirazi,
Habib, Islamic Banking Contracts,
Publication No. 6, Banking Training Center, Central Bank of The Islamic Republic of Iran, Teheran, 1988.
Sofyan S. Harahap, Akuntansi Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 2004.
Sofyan S. Harahap, Pelajaran dari
Krisis Asia, Jakarta: Pustaka Quantum, 2002.
Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, Badan Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia,
2005.
Triyuwono, Iwan,
Organisasi dan Akuntansi Syariah. Yogyakarta: LKiS,2000.
Usmani, Muhammad Imran Ashraf, Meezanbank’s
Guide to Islamic Banking, Darul-Ishaat, Karachi, 2002.
Ustadz Rich, dan Laode, Rasulullah’s
Business School, Jakarta: Ihwah, 2011.
Vogel, Frank E.
Samuel L. Hayes III, Islamic Law
and Finance, Religion, Risk and Return. London: Kluwer Law International, 1998.
Warde, Ibrahim, Islamic Finance in the Global Economy, Edinburg: Edinburg University
Press, 2001.
Zaid, Omar
Abdullah, Akuntansi Syariah, Kerangka Dasar & Sejarah Keuangan dalam Masyarakat Islam, Jakarta: LPFE Universitas Trisakti, 2004.
[1]
Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an, Bandung: Mizan Media
Utama, 2007, hlm. 59.
[2]
Quraish Shihab, Ibid, hlm. 57.
[3]
Quraish Shihab, Ibid, hlm. 63.
[4] Secara umum praktik bunga disebut riba al-qard, yang berhubungan dengan imbalan
yang melipatkan pinjaman, atau melibatkan pembebanan atas pinjaman dalam bentuk
apapun karena berlakunya waktu, atau disebut juga sebagai riba an–nasi’ah (bunga karena waktu). Dalam kondisi apapun,
penambahan nilai uang yang dipinjamkan harus dilakukan di samping pokok
pinjaman, dan ditentukan di awal transaksi. Riba ini juga sebagai riba
jahiliah, karena banyak dipraktekan pada jaman jahiliah. Riba al-buyu terjadi jika kualitas maupun kuantitas
dari jumlah yang dipertukarkan secara bersamaan tidak sesuai. El-Diwany, 2003,
hlm. 171. Menurut Syahdeini, riba An-Nasi’ah terkait dengan
tambahan bayaran yang dibebankan dalam transaksi pinjaman, sedangkan riba
Al-Fadhl bertalian dengan tambahan bayaran yang dibebankan dalam transaksi
penjualan. Syahdeini, 2005, hlm. 16. Karim dalam bukunya “Bank Islam”,
menguraikan tiga macam riba. Yang pertama, riba fadl, atau riba buyu,
yaitu yang timbul dari akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria
sama kualitasnya (mistan bi mistlin),
sama kuantitasnya (sawa-an bi
sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Yang kedua, riba nasi’ah,
atau riba duyun, yaitu yang timbul
akibat hutang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko
(al-ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama
biaya (al-kharaj bi dhaman). Nasi’ah adalah
penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasiah timbul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara
barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Atau
dalam kata lain, al- ghunmu (untung) tanpa al-ghurmi
(resiko), al-kharaj (hasil usaha) tanpa dhaman
(biaya); al-ghunmu dan al-kharaj
timbul hanya dengan berjalannya waktu. Ketiga, riba jahiliyah, yaitu
hutang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena peminjam tidak dapat
mengembalikannya pada saat jatuh tempo yang ditetapkan. Memberi pinjaman adalah
transaksi kebaikan (tabarru),
sedangkan meminta kompensasi adalah transaksi komersial (tijarah). Riba jahiliyah
dilarang karena terjadi pelanggaran kaídah “Kullu
Qardin Jarra Manfa’ah Fahuwa Riba” atau setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba. Adiwarman Karim, Bank Islam,
Analisis Fiqih dan Keuangan,
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 34.
[5] Surat Al-Mulk (QS, 67 ; 15) dan Al-Jumu’ah (QS, 62 ; 10).
[6]
Marthon, Said Sa’ad. Ekonomi
Islamm Di Tengah Krisis Ekonomi Global. Jakarta: Zikrul Hakim, 2004, hlm.
48.
[7] Eko Suprayitno, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,
Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005, hlm. 3.
[8] Nik Mohamed Affandi Bin
Nik Yusoff, Islam & Buisness,
Selangor: Publications (M) Sdn Bhd, 2002, hlm. 3.
[9] Eko Suprayitno, Loc.Cit. 2005, hlm. 3.
[10] Adiwarman Karim, Bank Islam,
Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi
Kedua, Cetakan Kedua, September 2004, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, hlm. 365.
[11] Mankiw, N. Gregory, Teori Ekonomi Makro,
Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2004, hlm. 56.
[12] Sofyan S. Harahap, Pelajaran dari Krisis Asia, Jakarta: Pustaka Quantum, 2002, hlm.
19.
[13] Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (Muhammad as a Trade), Cetakan II,
Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, 1997, hlm. 323 – 326.
[14] El-Diwany, Tarek, The Problem
With Interest, Sistem Bunga Dan Permasalahannya,
Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2003, hlm. 210.
[15] Sofyan S. Harahap mengutip dari Tirmizi
dan Mansor. Sofyan S. Harahap, Akuntansi
Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hlm. 210.
[16] Sofyan S. Harahap mengutip dari Tirmizi
dan Mansor. Idem.
[17] Bowie, Norman E., A Kantian Theory of Capitalism, Ruffin
Series in Business Ethics, ABI/INFORM Global, 1998, hlm. 37.
[18] A trade (with
or without deferment of payment of price) is a risky and permissible
investment. It is different from pure
riba based risk free debt. A seller in a trade, whether on spot or deferred
payment basis, is free to charge any price and the profit that accrues to him
is legitimate. Obaidullah,
Mohammed, Islamic Financial Markets, Toward Greater Ethics & Efficiency,
New Delhi: Institute of Objective
Studies, 2004, hlm. 23.
[19] Vogel, Frank E., Samuel L. Hayes III, Islamic Law and Finance, Religion, Risk And Return. Boston:
Kluwer Law International, 1998, hlm. 113.
[20] Hasan, Zubair, ”Theory of Profit:
The Islamic Viewpoint”, Res.Islamic.Econ. Vo. 1, No. 1, pp 3-14, 1983.
[22] Muldrew, Craig, The Economy of
Obligation, The Culture of Credit and Social Relations in Early Modern England.
New York: Palgrave, 1998, hlm. 140.
[23] Ellsworth, Richard R., “Tujuan Perusahaan”, In Craig L. Pearce, Joseph A. Marciariello, dan Hideki Yamawaki, Drucker Difference, Jakarta: Ufuk Press,
2010, hlm.
143.
[24] Sofyan
S. Harahap, Akutansi Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
2004, hlm. 171.
[25] Dobson, John, “Is Shareholder
Wealth Maximation Immoral ?”, Financial
Analysts Journal, [1999].
[26] Hassan, M. Kabir, “Islamic Banking in
Theory and Practice: The Experience of Bangladesh”, Mangerial Finance, 25, 5 ;
[1999].
[27] Adiwarman Karim, Loc.Cit, hlm. 365.
[28] Adiwarman Karim, Loc.Cit, hlm. 365.
[29] Ustadz Rich, dan Laode, Rasulullah’s Business School, Jakarta:
Ihwah, 2011, hlm. 177.
[30] Lings, Martin, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik., Jakarta:
Serambi, 2005, hlm. 43.
[31] Rawzy, Sayed Al Asgher, Muammad Rasulullah Saw, Jakarta: Pustaka
Zahra, 2004, hlm. 46.
[32] Ustadz Rich, dan Laode, Loc.Cit., hlm. 225.
[33] Ustadz Rich, dan Laode, Loc.Cit., hlm. 226.
[34] Lings, Martin, Muhammad, Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik., Jakarta: Serambi,
2005, hlm. 51.
[35] Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Jakarta: Swarna Bhumy,
1997, hlm. 7.
[36] Indah Hanaco, Belajar Dagang dengan Orang Tionghoa, Jakarta:
Agogos Publishing, 2011, hlm. 21, 22, 35, 36, 37.
[37] Indah Hanaco, Ibid, hlm. 40- 89.
[38] Chow, Gregory C, Memahami Dahsyatnya Ekonomi China, Jakarta:
IKAPI, 2011, hlm. 8.
[39] Chow, Gregory C, Ibid, hlm. 20-26.
[40] Chow, Gregory C, Ibid, hlm. 35, 50.
[41] Kristanto, 2002, hlm. 123- 125.
[42] Saeed, Abdullah, Islamic
Banking and Interest, a Study of the Prohibition of Riba and Its Contemporary
Interpretation, New YorkL: E.J. Brillm, 1996, hlm. 40.
[43] Haron, Sudin, Islamic Bank, Rules
& Regulation, Pelanduk Publications (M) Sdn Bhd, Petaling Jaya,
Malaysia, 1997,
hlm. 49.
[44] Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika
Ekonomi Islam, Cetakan I, Gema Insani Press, Jakarta, 1997, hlm. 183.
[45] Al-Baqaráh (2 ; 280); Kaum muslim diminta
untuk bersikap adil terhadap peminjam uang. Jika mereka tidak mampu membayar hutangnya,
2 alternatif yang dapat dilakukannya; pertama, memperpanjang masa pembayaran
kembali. Kedua, merubah pinjaman menjadi sedekah. Yang kedua merupakan
alternatif terbaik bagi muslim. Haron, Sudin, Loc. Cit, hlm. 56.
[46] Warde, Ibrahim, Islamic
Finance in the Global Economy, Edinburg
: Edinburg University Press, 2001, hlm. 58.
[47]
Kerja keras dan berpartisipasi dalam kegiatan kreatif ekonomi merupakan
kewajiban setiap muslim (QS. Al-Jumu’ah 62: 10). Warde, Ibrahim, Ibid, hlm. 62.
[48]
Qardhawi, Yusuf. Loc.Cit., hlm.184.
[50] Bunga juga ditentang oleh banyak pihak,
antara lain Aristoteles, Plato, Hukum Roma (Ius
Romanum), Kitab suci Yahudi, dan Perjanjian lama Kristen (K Berten, p 51). Pada saat penyebaran praktek bunga tidak
dapat dihindarkan dalam bisnis, pihak gereja melakukan kompromi dan menarik
sikap penentangannya secara terbuka. Tahun 1545, hukum Inggris memperbolehkan
pembebanan bunga sampai tingkat tertentu, dan jika lebih tinggi dianggap
pemerasan. El-Diwany, Tarek, Loc.Cit, hlm. 31.
[51] Abdullah Saeed, edited by Virginia
Hooker, hlm. 117.
[52] Vogel, Frank E. Samuel
L. Hayes III, Islamic Law and Finance, Religion, Risk and Return. London
: Kluwer Law International, 1998, hlm. 87-93.
[53] Abdullah Saeed, Virginia Hooker, hlm.
115.
[54] Menurut
Al-Gazali, fungsi utama uang adalah sebagai alat tukar yang merefleksikan nilai
sebuah komoditas, uang ibarat cermin yang tidak berwarna tetapi dapat
merefleksikan semua warna. Abu Bakar Siddiq menjelaskan dalam sistem ekonomi
Islam, uang mempunyai fungsi sebagai standar nilai dan satuan hitung, alat
pembayaran, alat menyimpan kekayaan dan bukan sebagai penimbun kekayaan, dan
sebagai alat pembayaran zakat dan kewajiban lainnya. Marthon, Said Sa’ad, Ekonomi Islam, Di Tengah
Krisis Ekonomi Global, Jakarta:
Penerbit Zikrul Hakim, 2004, hlm.
117.
[55] Marthon, Said
Sa’ad, Ibid, hlm 33.
[56] Vogel, Frank E., Samuel L. Hayes III, Loc.Cit, hlm. 2
[57] El-Diwany, Tarek. Loc.Cit, hlm. 201.
[58] Chapra, M. Umer, The Islamic Vision of
Development in the Light of Maqasid Al-Shariah, Jeddah : Islamic Development Bank, 2007, hlm. 299.
[59] Saeed, Abdulah, Menyoal Bank Syariah, Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo
Revivalis, Jakarta: Paramadina, 2004, hlm.
200
[60] El-Diwany, Tarek, Loc.Cit, hlm. 220.
[61] Arifin, Zainul, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2005, hlm. 16.
[62] Choudhury, Masudul Alam, Money in
Islam, A Study in Islamic Political Economy., London: Routledge, 1997, hlm. 14.
[64] Shirazi, Habib, Islamic Banking Contract, Teheran: The Central Bank Of The Islamic
Republic of Iran, 1998, hlm. 39.
[65] DiVanna, Joseph A., Understanding
Islamic Banking, The Value Proposition That Transcends Cultures. Cambridge: Leonardo and
Francis Press, ltd, 2008, hlm. 28.
[66] El-Diwany, Tarek, Loc.Cit, hlm. 217.
[67] Obaidullah, Mohammed, Islamic
Financial Markets, Towards Greater Ethics & Efficiency, New Delhi : Institute
of Objective Studies, 2004, hlm. 26.
[68] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf, Relevansinya Dengan Ekonomi
Kekinian, Yogyakarta:
PSEI, 2003,
hlm. 255
[69] El-Diwany, Tarek, Loc.Cit, hlm. 204.
[70] Zaid, Omar Abdullah, Akuntansi Syariah, Kerangka Dasar & Sejarah Keuangan dalam Masyarakat Islam, Jakarta:
LPFE Universitas Trisakti, 2004, hlm. 108.
[71] Riba is the curse in society, which
accumulates money around handful of people, and it results inevitably in
creating monopolies, opening doors for selfishness, greed, injustice and
oppression. Deceit and fraud prospers in the world of trade and business. Islam, on the other hand, primarily
encourages highest moral ethics such as universal brotherhood, collective
welfare and prosperity, social fairness and justice. Usmani, Muhammad Imran
Ashraf. Meeanbank’s Guide to Islamic Banking. Karachi, 2002, hlm. 14.
[72] Iwan Triyuwono, Organisasi
dan Akuntansi Syariah, Yogyakarta: LKiS,, 2000, hlm. 190.
[73] Meera, Ahmed Kameel
Mydin, the Theft of Nations, Returning to Gold, Subang Jaya, Malaysia : Pelanduk
Publications, 2004. hlm. 15.
[74] “Apa
saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal
dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya“ (QS. Al-Hasyr 59 : 7).
[76] Iwan Triyuwono. Loc. Cit., hlm. 190.
[77] Seigniorage berasal dari bahasa Perancis, seigneur, yang berarti ‘tuan tanah’. Di
abad pertengahan, tuan tanah yang memiliki hak eksklusif untuk mencetak uang .
Mankiw, N. Gregory, Teori Makro Ekonomi, Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2003, hlm. 85.
[78] Meera, Ahmed Kameel Mydin, The
Theft of Nations, Returning to Gold, Subang
Jaya, Malaysia
: Pelanduk Publications, 2004, hlm. 10-11.
[79] M= money supply, V= velocity of money, P=
tingkat harga, dan Y=the real output of goods and services. Sebelah kiri persamaan
adalah mewakili sektor keuangan, dan sebelah kanan mewakili sektor riel.
Apabila money supply meningkat tanpa
dibarengi dengan kenaikan produksi barang dan jasa, dengan asumsi V konstan,
maka tingkat harga akan naik atau dapat terjadi inflasi.
[81] Sebab hiperinflasi adalah karena pertumbuhan uang
yang beredar yang berlebihan, dan ini dapat disebabkan karena: defisit belanja
negara yang tidak dapat ditutup dari penghasilan pajak dan perolehan hutang,
maka pemerintah terpaksa mencetak uang, atau membiayai perang dengan mencetak
uang. Mankiw, N. Gregory, Loc. Cit. hlm.
85, 101.
[82] Melalui proses inflasi yang terus
menerus, pemerintah dapat mengambil ailh, secara rahasia dan tanpa jejak,
bagian penting dari kekayaan penduduknya. Pengambil alihan secara arbitrer ini
akan memiskinkan rakyat banyak, dan sebagian yang kaya menjadi kaya. Mankiw, N.
Gregory, Loc Cit, hlm. 97.
[83] Adiwarman Karim, Loc.Cit, hlm 319.
[84] Fathurrahman Jamil, Fiqh Muamalah,
Universitas Trisakti, Jakarta.
[85] De Soto, Hernado, The Mystery
of Capital, Rahasia Kejayaan Kapitalisme Barat, Qalam, qalampress@yahoo.com. 2006, hlm. 303.
[86] Litan, Robert E., (et.al), Financial Sector
Governance, The Roles of the Public and Private Sectors, Washington DC:
Brookings Institution Press, 2002, hlm. 4.
[87] Statistik
60 Tahun Indonesia Merdeka,
Badan Pusat Statistik, Jakarta,
Indonesia,
2005.
[89] Majalah Ekonomi Syariah, Vol. 2 No.
4, EKABA-USAKTI, 2003.
[90] Menurut Prof. Sofyan, Jumlah kredit macet
ini mencapai Rp 800 triliun, yang sebagian merupakan sumbangan terpaksa
masyarakat kepada para konglomerat dan para pejabat. Hanya Rp 140 triliun yang
dapat dikembalikan, dan sisanya menimbulkan bunga sebesar Rp 80 triliun per
tahun masuk ke dalam APBN. Sebagian dari sumbangan yang dimaksud dilarikan ke
luar negeri (capital flight), dan
diparkir antara lain di Singapura. Sofyan S. Harahap. Krisis Akutansi Konvensional: Menyoal Epistemologi Sekuler Dalam
Konteks Mencapai Kesejahteraan Umat Manusia. Jakarta : Trisakti, 2004, hlm.
11.
Tulisan ini diterbitkan di Jurnal QUALITY (Jurnal Manajemen dan Akuntansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM), Volume II, No. 11, Juli 2013.
ARTIKEL YG BAGUS. SMG BERMANFAAT BG BANGSA INI DAN UMAT MANUSIA..
BalasHapusPERTANYAANNYA: BGMN LANGKAH KT MEMULAI MERUBAH SISTEM TSB?
BalasHapusTERIMA KASIH ILMUNYA.
SALAM KENAL AHMAD FANANI - KEDIRI - JAWA TIMUR.
fanani.ahmad@gmail.com/081216122742
Adakah anda telah mencari bantuan kewangan segera? Anda memerlukan pinjaman segera untuk membayar hutang dan bil yang sedia ada? Sedang mencari perniagaan dari rumah dan pinjaman peribadi, sila hubungi kami sekarang dengan maklumat di bawah. Status: Pekerjaan: Jantina: Nombor Telefon Jumlah pinjaman: Nama anda Duration: Tujuan pinjaman? Nota: Semua jawapan hendaklah hadapan Hubungi kami sekarang di: anitacharlesloancompany@gmail.com atau anitacharlesloancompany@mail.com Terima kasih kerana datang.
BalasHapusHello, saya Encik Stahl, pemberi pinjaman pinjaman swasta yang memberikan pinjaman peluang masa hidup. Adakah anda memerlukan pinjaman segera untuk membayar hutang anda atau anda memerlukan pinjaman untuk meningkatkan perniagaan anda? Anda telah ditolak oleh bank-bank dan institusi kewangan lain? Adakah anda memerlukan pinjaman penyatuan atau gadai janji? mencari lebih banyak kerana kita berada di sini untuk membuat semua masalah kewangan anda satu perkara yang telah lalu. Kami memberi pinjaman wang kepada individu yang memerlukan bantuan kewangan, yang mempunyai kredit yang buruk atau yang memerlukan wang untuk membayar bil, untuk melabur di rumah pada kadar 2%. Saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu anda bahawa kami memberikan bantuan yang boleh dipercayai dan benefisiari dan akan bersedia untuk menawarkan pinjaman. Jadi hubungi kami hari ini oleh-
BalasHapusE-mel: stahlchristianloanfirm@gmail.com ...
Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi
BalasHapushingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun
profit,bergabung sekarang juga dengan kami
trading forex fbsasian.com
-----------------
Kelebihan Broker Forex FBS
1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL
Indonesia dan banyak lagi yang lainya
Buka akun anda di fbsasian.com
-----------------
Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
Tlp : 085364558922
BBM : fbs2009
Aku Widya Okta, saya ingin bersaksi pekerjaan yang baik dari Allah dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari untuk pinjaman di Asia dan bagian lain dari kata, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara. Apakah mereka orang yang mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman penipuan di sini di internet, tetapi mereka masih asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban dari suatu 6-kredit pemberi pinjaman penipuan, saya kehilangan begitu banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka. Aku hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari utang saya sendiri, sebelum aku rilis dari penjara dan teman yang saya saya menjelaskan situasi saya kemudian memperkenalkan saya ke perusahaan pinjaman dapat diandalkan yang SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya Rp900,000,000 dari SANDRAOVIALOANFIRM sangat mudah dalam 24 jam yang saya diterapkan, Jadi saya memutuskan untuk berbagi pekerjaan yang baik dari Allah melalui SANDRAOVIALOANFIRM dalam kehidupan keluarga saya. Saya meminta nasihat Anda jika Anda membutuhkan pinjaman Anda lebih baik kontak SANDRAOVIALOANFIRM. menghubungi mereka melalui email:. (Sandraovialoanfirm@gmail.com)
BalasHapusAnda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (widyaokta750@gmail.com) jika Anda merasa sulit atau ingin prosedur untuk memperoleh pinjaman.
Kami dari PT. HOKA HOKI INDONESIA memberitau bahwa perusahaan kami ingin bekerjasama dalam bidang pengurusan barang Import RESMI & BORONGAN
BalasHapusService Kami,
Customs Clearance Import sistem Resmi maupun Borongan
Penanganan secara Door to Door ASIA & EROPA
Penyediaan Legalitas Under-Name (Penyewaan Bendera)
Pengiriman Domestic antar pulau seluruh Indonesia laut dan Udara atau Darat.
Customs Clearance Port
Jakarta, Semarang, Surabaya, Belawan & Port Lain nya.
Dote :
Kami tidak menerima barang-barang larangan seperti Airsoft Gun, Obat-obatan terlarang.
Kami tidak bertanggung jawab/ tidak akan mengganti kerugia apabila didapati adanya barang-barang bahaya / Larangan tersebut, dan apabila diketahui barang membahayakan maka kami akan melapor kepada pihak yang berwajib.
Kami menerima barang-barang seperti Kimia, tetapi kimia yang ada disertai MSDS (Material Safety Data Sheet).
Terima kasih atas kepercayaan nya,semoga kami dan perusahaan bpk/ibu berjalan dengan lancar.
Jika ada yang ingin dipertayakan, silah kan hubungi kami di nomor (+62 21) 2906-8484
Hp wa. 081908060678 E-Mail : andijm.logistics@gmail.com, andijm@hokahokiindonesia.co.id
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
PT. HOKA HOKI INDONESIA
Shopping Arcade 2nd Floor B-03 Jakarta Garden City,
Jl. Raya Cakung Cilincing KM. 0,5 Jakarta Timur 13910 Indonesia
Phone : +62 21 29068484 Fax : +62 21 29068666
Email : andijm.logistics@gmail.com
Website : hokahoki.co.id
Mr. Andi JM BBM : D9CE63FD
Hp wa. 081908060678, 081385311679
Saya adalah Widya Okta dari SURABAYA, saya ingin memberi kesaksian tentang karya bagus Tuhan dalam hidup saya kepada orang-orang saya yang mencari pinjaman di Asia dan sebagian lain dari kata tersebut, karena ekonomi yang buruk di beberapa negara.
BalasHapusApakah mereka mencari pinjaman di antara kamu? Maka Anda harus sangat berhati-hati karena banyak perusahaan pinjaman yang curang di sini di internet, tapi mereka tetap asli sekali di perusahaan pinjaman palsu. Saya telah menjadi korban penipuan pemberi pinjaman 6-kredit, saya kehilangan banyak uang karena saya mencari pinjaman dari perusahaan mereka.
Saya hampir mati dalam proses karena saya ditangkap oleh orang-orang dari hutang saya sendiri, sebelum saya dibebaskan dari penjara dan teman saya yang saya jelaskan situasi saya, kemudian mengenalkan saya ke perusahaan pinjaman yang andal yaitu SANDRAOVIALOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya sebesar Rp900.000.000 dari SANDRAOVIALOANFIRM dengan tarif rendah 2% dalam 24 jam yang saya gunakan tanpa tekanan atau tekanan. Jika Anda membutuhkan pinjaman Anda dapat menghubungi dia melalui email: (sandraovialoanfirm@gmail.com)
Jika Anda memerlukan bantuan dalam melakukan proses pinjaman, Anda juga bisa menghubungi saya melalui email: (widyaokta750@gmail.com) dan beberapa orang lain yang juga mendapatkan pinjaman mereka Mrs. Jelli Mira, email: (jellimira750@gmail.com). Yang saya lakukan adalah memastikan saya tidak pernah terpenuhi dalam pembayaran cicilan bulanan sesuai kesepakatan dengan perusahaan pinjaman.
Jadi saya memutuskan untuk membagikan karya bagus Tuhan melalui SANDRAOVIALOANFIRM, karena dia mengubah hidup saya dan keluarga saya. Itulah alasan Tuhan Yang Mahakuasa akan selalu memberkatinya.
Saya ((Angga Annisa)) seorang dermawan dari ISKANDAR LESTARI LOAN FIRM Saya mengalami trauma ketika saya berulang kali melakukan scammed oleh perusahaan pinjaman online dan krisis keuangan saya semakin dalam ketika saya dilempar keluar dari apartemen yang saya sewa. Saya tidak punya pilihan selain mencari untuk pinjaman baik online maupun Bank tapi tidak berbuah saya mencoba mencari cara lain untuk melihat apakah saya bisa diselamatkan dari gejolak keuangan saya tapi tidak ada hasilnya sampai teman saya di BATAM mengenalkan saya kepada Ibu Iskandar via e : ((iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com)) pada awalnya saya meragukannya karena ini juga perusahaan online tapi saya diberi tahu untuk memasang trier yang saya lakukan beberapa jam setelah aplikasi dan pemrosesan pinjaman saya saya terkejut ketika pinjaman saya disetujui bahkan tanpa saya membawa jaminan keamanan dan juga pinjaman dihitung dengan tingkat bunga yang sangat rendah. Dorongan ibu membuat saya terus berjalan dan saya dapat membuktikannya segera setelah pinjaman saya dipindahkan ke rekening Bank saya melalui transfer e-banking. jaringan ch annel jadi saya sangat senang rencana pertamaku dieksekusi karena saya harus mendirikan bisnis sebuah supermarket installaments bulanan saya benar-benar mematuhi semua terima kasih kepada ISKANDAR LESTARI LOAN FIRM tolong hubungkan juga ke ibu melalui BBM INVITE-nya: {D8980E0B} dan juga Jika Anda ingin mendapatkan konfirmasi dari saya, jangan ragu untuk menghubungi saya melalui e saya: (anggaannisa1979@gmail.com)) pengalaman saya bersama Ibu Iskandar memang sukses karena saya sekarang memesan barang dari MALAYSIA supermarket saya sekarang booming ALLAH sangat bagus jangan ragu untuk menghubungi pemberi pinjaman ISKANDAR mereka bukan hanya perusahaan pinjaman online tapi sangat membebani orang-orang Asia dan AFRIKA sama seperti mereka memiliki banyak klien di INDONESIA sehingga Anda tidak perlu takut lagi tentang saya sekarang adalah bisnis yang kaya. wanita "" MASHALLAH ""
BalasHapusAdakah anda sedang mencari pinjaman? anda adalah tempat yang tepat untuk penyelesaian pinjaman anda di sini! Jaminan Jaminan Pinjaman memberikan pinjaman kepada syarikat dan individu pada kadar faedah yang rendah dan berpatutan sebanyak 2%. kepada semua kakitangan atau orang, sila hubungi kami untuk bantuan segera segera atau tekanan, kami bangga dengan komitmen kami kepada para pelanggan kami; Diakui, pinjaman peribadi, pinjaman mobil, pinjaman perniagaan / investasi, pinjaman jangka pendek untuk mula memikirkan tentang mendapatkan pinjaman? Anda serius memerlukan pinjaman kecemasan untuk memulakan perniagaan anda sendiri? Adakah anda dalam hutang? Ini adalah peluang anda untuk mencapai keinginan anda, kami memberi pinjaman peribadi, pinjaman perniagaan dan korporat dan apa-apa jenis pinjaman, anda boleh menghubungi Puan Loana George dan hanya log masuk dengan Puan Loana George melalui e-mel: loanageorge11@gmail.com. Anda juga boleh menghubungi saya melalui e-mel ini: sariwulan3600@gmail.com. jika anda mempunyai sebarang keraguan. sila dia satu-satunya yang boleh dipercayai dan boleh dipercayai.
BalasHapusSaya Ny. Samantha Brandon, pemberi pinjaman swasta, apakah Anda berhutang? Anda membutuhkan dorongan finansial? pinjaman untuk membangun bisnis baru, untuk memenuhi tagihan Anda, mengembangkan bisnis Anda di tahun ini dan juga untuk renovasi rumah Anda. Saya memberikan pinjaman kepada perusahaan lokal, internasional dan juga dengan tingkat bunga yang sangat rendah 2%. Anda dapat menghubungi kami melalui
BalasHapusEmail: samanthabrandonloanfinance@gmail.com
Situs web: https://theresafinance.org/.
Nomor telepon: +1 (281) 720-8403
Anda dipersilakan untuk bergabung dengan perusahaan pinjaman kami dan kami akan memberikan layanan terbaik untuk Anda.