Minggu, 03 Januari 2010

KENAPA RIBA DILARANG ?(part 2)


Konsekuensi adanya riba dalam perekonomian modern.


1. Bunga menciptakan inflasi dan dapat menurunkan standard of living;

Uang yang ada di setiap negara merupakan fiat money atau ‘uang atas unjuk’, dan dikeluarkan karena adanya seigniorage. Seigniorage berasal dari bahasa Perancis, seigneur, yang berarti ‘tuan tanah’. Di abad pertengahan, tuan tanah ini memiliki hak eksklusif untuk mencetak uang. Jika pertumbuhan uang beredar yang berlebihan (money supply) lebih cepat dari pertumbuhan real sector, maka selisihnya merupakan tingkat inflasi. Keadaan ini dapat pula disebabkan karena: defisit belanja negara yang tidak dapat ditutup dari penghasilan pajak dan perolehan hutang, maka pemerintah terpaksa mencetak uang dan nantinya hal tersebut akan mengakibatkan inflasi yang berdampak pada penurunan daya beli, memperburuk standard of living dan akhirnya menghancurkan masyarakat. Oleh karena itu, Prof. Kameel mengatakan bahwa fiat money dan seigniorage tidak dapat berfungsi sebagai maqashid al-syariah, atau mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan di akhirat.

2. Dengan fiat money dan fraction reserve banking (FRB), akan selalu ada hutang di masyarakat;

Penciptaan uang ini terlaksana ketika bank memberikan pinjaman kepada nasabahnya, dan semata-mata karena pencatatan pada accounting entries tanpa adanya pergerakan uang kertas secara fisik. Dalam sistem FRB ini, pemberian pinjaman atau hutang merupakan salah satu kegiatan operasional utama, dan bunga merupakan sebagai faktor pendapatan sekaligus faktor biaya. Perbedaan dari kedua macam bunga merupakan keuntungan kotor bank. Dengan demikian, selama sistem FRB ini berjalan, selama itu pula terdapat hutang masyarakat terhadap perbankan, atau pada akhirnya hutang kepada pihak yang memiliki seigniorage. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Tarik El-Diwany, “the banking system creates money for lending at interest, but it does not create sufficient money for its loan to be repaid in aggregate. Old debt can be therefore repaid in aggregate only by means of further borrowing from the banking system. Therefore, debt levels have shown persistent growth in every major economy over the last 50 years”

Berikut ini adalah beberapa konsekuensi lanjutan, yang cenderung bersifat negatif, dari sistem perbankan ini

a. Cenderung menimbulkan Non Performing Loan (NPL);

Bank merupakan bisnis kepercayaan, dimana nasabah deposan mempercayai bahwa uangnya aman di tangan bank (T1). Di lain pihak, masalah yang selalu dihadapi bank adalah bagaimana meyakini bahwa nasabah peminjam dapat dipercaya akan mengembalikan pinjamannya (T2), hal ini ditinjau dari kemampuan, kemauan atau karakternya di kemudian hari. Untuk itu, supaya bank terproteksi terhadap kemungkinan resiko yang muncul dari masalah ini (kredit macet), bank umumnya meminta ‘collateral’ tertentu atau ‘guarantee’ sebagai tambahan jaminan. Tujuan dari usaha bank ini, dalam kata lain adalah dalam rangka menyamakan nilai T1 dengan nilai T2 (T1=T2), dimana dalam kenyataan keadaan ini sulit diperkirakan untuk selalu dapat tercapai. Oleh karena itu, dari waktu ke waktu, bank akan menghadapi masalah NPL ini.

b. Cenderung menciptakan transaksi (keuangan) spekulatif dan menambah resiko kredit;

Dalam sistem perbankan dengan FRB, pemberian pinjaman atau kredit merupakan kegiatan operasional utama. Uang atau kredit merupakan komoditi, dengan suatu tingkat harga berupa bunga. Dengan demikian, bank akan selalu berusaha menyediakan liquiditas berupa ‘loanable fund’. Dengan tersedianya liquiditas ini, orang cenderung berusaha menggunakannya termasuk untuk tujuan spekulatif, dan bank sering tergelincir ke dalam ekspansi kredit yang kemudian baru disadari berlebihan; karena bank tidak selalu dapat mengontrol penggunaan dana kredit yang diberikannya. Ini merupakan rentetan yang telah mengakibatkan besarnya kredit macet dan membuat bank harus ditutup, atau menggoncangkan sistem perbankan di negara terkait. Hal-hal inilah yang mendasari terjadinya krisis moneter di beberapa negara antara lain, Argentina (2001), Mexico (1994-1995), Jepang (1991)1, Thailand (1997-1998), Indonesia (1997-1998), Malaysia (1997-1998), dan Korea (1997-1998).

Bagi umat di Indonesia, krisis moneter yang terjadi tahun 1997-1998 tersebut membawa dampak yang sangat menyedihkan, antara lain: menimbulkan kesengsaraan yang mendalam, karena menambah jumlah rakyat miskin (menjadi 49,5 juta jiwa tahun 1998 dari 22,5 juta jiwa tahun 1996)2 dan persentase pengangguran terbuka (menjadi 5,46% di tahun 1998 dari 4,68% di tahun 1997)3, serta menurunkan pendapatan per kapita masyarakat (menjadi US$ 482 per tahun 1998 dari US$ 1.075 per tahun 1997) . Beban dari sisa kredit macet yang terjadi akan terus ditanggung oleh masyarakat luas, yaitu dalam bentuk bunga dari obligasi senilai kurang lebih Rp 400 triliun dan sebagian dari sumbangan yang dimaksud (Red- Hutang yang disebabkan oleh obligor macet) dilarikan ke luar negeri (capital flight) antara lain di Singapura. Jumlah ini tidak akan terlunasi, kecuali di-write off oleh pemerintah, dan dilupakan oleh masyarakat pembayar pajak.

c.Menimbulkan transaksi derivative;

Pasar derivative ini menggunakan instrumen bunga sebagai harga dari produk-produknya, dan tidak berdasarkan motif transaksi riel sepenuhnya tetapi mengandung unsur spekulatif. Karena uang diperlakukan sebagai komoditi, maka berkembanglah pasar uang dan kemudian pasar derivative yang merupakan turunan dari pasar uang. Dari data Morgan Stanley, seperti yang dikutip Prof. Sofyan, nilai kredit derivative hanya berjumlah Rp 500 triliun pada tahun 1988, yang kemudian meningkat mencapai Rp 24.000 triliun tahun 2002, dengan kenaikan 4700 kali lipat. Transaksi ini bersifat spekulasi dimana mengharapkan keuntungan dari perubahan harga dari suatu unsur keuangan, dan sama sekali tidak berkaitan dengan sektor riel. Ini adalah satu faktor yang mengakibatkan timbulnya bubble economy.

d.Dapat mengakibatkan adanya transfer of wealth, atau menciptakan manfaat yang tidak seimbang;

Uraian di atas menunjukan bahwa penciptaan uang (money creation) dalam bentuk pemberian kredit semata-mata timbul karena proses accounting pada pihak bank pemberi kredit. Jika debitur mengalami wanprestasi, dimana dia tidak dapat membayar hutangnya kembali, maka bank akan melakukan eksekusi jaminan yang berupa fixed asset. Jika bank berhasil memperoleh fixed asset tersebut, maka disini telah terjadi suatu ‘transfer of wealth’ dari debitur ke kreditur. Noreena Hertz, dalam bukunya “The Debt Threat”, memberikan contoh-contoh konkrit mengenai manfaat yang tidak seimbang akibat dari pemberian hutang ke negara sedang berkembang oleh negara maju. Salah satu contoh yang cukup menonjol adalah kasus Mexico, dimana hutangnya meningkat dari US$ 80 milyar pada tahun 1980 menjadi US$ 112 milyar tahun 1988. Karena Mexico tidak mampu membayarnya, dibuat Brady Plan, dimana hutang dipotong menjadi 80%, dan sisa hutang ini dijamin oleh World Bank dan IMF dan dikonversi menjadi Brady Bonds, sebagian dijamin oleh US Treasury. Brady Bonds diperdagangkan di secondary markets, dan nilainya mencapai US$ 170 milyar. Sebagai kompensasi atas jaminan IMF dan World Bank, Mexico harus mengikuti keinginan kreditur terhadap kontrol kebijaksanaan ekonomi, perpajakan, budget dan kepemilikan industri yang ada. Hertz juga mengungkapkan karena harus membayar hutang yang besar, negara-negara berkembang cenderung mengeksploitir sumber-sumber alam yang mereka miliki. Hubungan yang jelas dapat dilihat antara jumlah hutang dengan kerusakan hutan yang telah terjadi, yang saat ini mengakibatkan timbulnya global warming, yang telah mencapai 25%. Contoh lain, kerusakan pada hutan bakau yang terjadi di beberapa negara seperti Thailand, Indonesia, Ecuador, Bangladesh, Nigeria, Ghana, Malawi, dan lainnya – adalah disebabkan karena adanya proyek tambak udang yang dibiayai oleh World Bank.

Meskipun pada mulanya ketiga agama samawi mengutuk riba namun dengan perkembangan jaman dan kebutuhan, pandangan Kristen mengenai riba berubah-ubah, dan tidak selalu berpegang teguh pada doktrin awal kitab sucinya. Perubahan pandangan ini mengikuti pendapat para sarjana kristen yang ada pada jamannya diantaranya John Calvin (1509) yang secara drastis merubah pandangan kristen yang kemudian mengijinkan riba, sejalan dengan berkembangnya paham kapitalisme.

Di lain pihak, Islam secara konsisten berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW, yang sampai saat ini tetap melarang riba. Dari implikasi dan konsekuensinya, hutang jika beriring dengan riba selain membawa manfaat, juga menimbulkan mudharat yang cukup besar.

Pada akhirnya, bunga sebagai konsep harga dari uang telah menimbulkan dikotomi sektor keuangan dan sektor riel, yang masing-masing berjalan terpisah berdasarkan kepentingannya yang berbeda. Dalam hal ini, Prof. Fathurrahman berpendapat, “secara de facto, konsep interest rate ini di dunia telah memberi jarak (gap/distorsi) dan tidak adanya keterkaitan langsung antara sektor finansial yang berkembang pesat dan fantastis di satu pihak – dengan sector riel yang nyata-nyata telah memberikan nafas kehidupan bagi rakyat banyak di lain pihak. Kondisi ini yang juga kemudian memunculkan pertumbuhan ekonomi yang semu (bubble economy)”.

Dari skala antar negara, dapat dilihat dan dirasakan kerusakan lingkungan yang terjadi di negara debitur, dan transfer of wealth dari negara berkembang ke negara yang memiliki seigniorage, yang secara langsung atau tidak langsung telah diakibatkan oleh riba. Konsep bunga dan uang sebagai komoditi telah membuat divergensi dikotomi sektor keuangan dan sektor riel melebar.Namun, nampaknya keadaan yang diuraikan diatas akan tetap berlangsung selama fractional reserve banking dengan fiat money beserta seigniorage-nya tetap mendominir kehidupan ekonomi umat.

footnote
1). Kasus Jepang agak berbeda dengan lainnya. Lending boom di Jepang didorong oleh hasil positif yang besar dari di foreign direct investement di luar negeri dan ekspornya. Bank umumnya memberikan pinjaman atas jaminan fixed asset (tanah dan bangunan), karena adanya liquiditas baik di perbankan maupun di masyarakat, harga property cenderung terus menerus mengalami kenaikan, begitu pula kredit perbankan. Dalam keadaan seperti itu, bank cenderung bersifat agresif dalam memberikan pinjaman dan cenderung melupakan prudential principles, sehingga menimbulkan apa yang disebut “bubble economy”. Pada saat perekonomian di Asia Pasifik melemah, kemudian juga berdampak pada perekonomian Jepang, bubble economy yang dimaksud meledak atau pecah, dan kejadian ini menambah besarnya kredit macet di negara itu.
2). Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, Badan Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia, 2005.
3). Ibid.