Rabu, 19 Februari 2014

MENYIKAPI ALIRAN AHMADIYAH



MENYIKAPI ALIRAN AHMADIYAH

Oleh:

Hendy Herijanto

Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

hendyherijanto@gmail.com




ABSTRAK

Dalam rangka menyikapi aliran Ahmadiyah yang kontroversial, tulisan ini mencoba meneliti perbedaan antara konflik antar agama dengan kekerasan yang terjadi terhadap penganut aliran Ahmadiyah. Inti perbedaan terletak pada pengertian agama, apakah aliran yang menyerupai agama yang telah ada dapat dikatakan sebagai agama (yang sama). Untuk kepastian hukum, pengertian agama ini diperlukan dalam rangka mengkaji apakah agama yang demikian itu tercakup dalam ketentuan UUD 1945 dan Perubahannya, khususnya dalam kaitan dengan hak asasi manusia dalam hal melakukan praktik agama. Di samping itu, perlu ditentukan apakah perbuatan Ahmadiyah itu merupakan pelanggaran hukum atau tidak. Inti sari pandangan berbagai mazhab yang pernah ada setelah masa Nabi Besar Muhammad Saw juga dikemukakan untuk membandingkan dan memastikan dari segi keislaman apakah yang dilakukan oleh aliran Ahmadiyah dalam kaitan dengan keimanan Islam dapat diterima atau tidak.
Berdasarkan definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan pendapat dari Niels Mulder dan Emile Durkeim, dapat disimpulkan bahwa, untuk kepastian hukum, aliran Ahmadiyah bukan merupakan agama, atau pastinya bukan Agama Islam, karena telah merubah sistem keimanan Islam, dengan mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, dan mendopleng, merubah  serta mengganti ayat-ayat Al Qur’an asli, yang merupakan hak mutlak Allah Swt, demi kepentingan diri dan kelompok sendiri. Ahmadiyah telah menodai kesucian Al Qur’an, dan penghormatan yang tinggi dan diberikan oleh umat Islam di seluruh dunia terhadap Nabi Besar Muhammad Saw. Dari segi hukum, perbuatannya paling tidak telah melanggar hukum menurut ketentuan Yurisprudensi Indonesia mengenai pelanggaran hukum. 


Kata Kunci: Agama, sistem keimanan, plagiarisme, pelanggaran hukum, dan kepastian hukum.


  


ABSTRACT

In an effort to evaluate the practices done by the controversial Ahmadiyah group, this paper endevours to differentiate between  religious conflict with the violence done to this group by the moslem people. The main issue rests upon the definition of religion. For the sake of rule of law,  the exact definition is deemed important in view of the apllication of a certain article in the Indonesian Constitution governing the human right to undertake their religious belief. Besides, the next issue is then to determine whether or not what the group have been practicing are considered as a vilolation of law. The main views of various Islamic sects that existed after the era of the Prophet Muhammad Puh are also presented, as a base to judge whether or not the practices of the group in question can be considered as Islamic, or being a part of Islam as a religion.
Based on the definition and opinion about religion given by the Indonesian Langguage Dictionary, Niels Mulder and Emile Durkeim, it can be concluded that the Ahmadiyah Group can not be considered as a religion, particularly not the religion of Islam, because they have changed the system of Islamic faith, by officially claiming Mirza Gulam Ahmad as a prophet replacing the Prophet Muhammad,  and changing a large number of Qur’anic verses that essentially owned by the Almighty God, the main and only Author, for the sake of his and his group’s benefits. Obviously, Ahmadiyah has tainted the sanctity of the Holy Book Al Qur’an, and the sincere and high respect given by all the moslem  all over the world  to the Prophet Muhammad Puh. In the perspective of law, their practices have been violated at a minimum the Indonesian Yurisprudence concerning the violation of law.


Key words: Religion, faith system, plagiarism, violation of law, and rule  of law.





A.     PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang

Dari masa ke masa, Indonesia mengalami konflik agama. Konflik yang paling besar adalah antara kaum muslim dengan pihak komunis Indonesia di tahun 1965. Pada awal 1970, konflik yang dapat dianggap besar juga terjadi  antara masyarakat Muslim dengan kaum Kristiani, sehubungan dengan pendirian gereja-gereja di banyak tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam waktu 5 tahun semenjak 1965, misionaris Kristen telah berhasil membabtis 2000.000 orang muslim menjadi Kristen [1].
Sejak tahun 2010, terdapat 13 kali penyerangan oleh kaum muslim umumnya terhadap para anggota atau penganut aliran Ahmadiyah, yang juga mengaku sebagai orang Islam [2]. Dari seluruh kejadian ini, yang paling besar terjadi di Ciukesik dalam bulan Februari 2011; 2000 anggota Ahmadiyah diserang oleh masyarakat muslim lainnya [3]. Karena penyerangan ini berkaitan dengan unsur agama, banyak pihak menganggap kejadian ini juga merupakan konflik antar agama.
Penyelesaian kekerasan terhadap kasus Ahmadiyah tidak pernah tuntas. Agar kekerasan serupa tidak terulang, maka untuk menyelesaikannya, diperlukan sikap yang pasti terhadap aliran tersebut, dengan mengetahui apa sesungguhnya yang dilakukan oleh mereka.


2.      Tujuan Penulisan

 Tulisan ini mencoba untuk menelusuri perbedaan antara konflik antar agama dengan kekerasan yang terjadi terhadap penganut aliran Ahmadiyah. Pertanyaannya di sini adalah apakah Ahmadiyah merupakan agama yang berdiri atas dirinya sendiri. Dengan mengetahui secara jelas perbedaan antara konflik agama dan kekerasan tersebut, serta apakah Ahmadiyah tercakup dalam pengertian ‘agama’, maka dapat pula ditinjau bagaimana Pemerintah seharusnya bersikap terhadap kegiatan Ahmadiyah tersebut, sehubungan dengan ketentuan peraturan yang berlaku di Negara Indonesia.
Di samping itu, untuk menentukan sikap terhadap aliran Ahmadiyah ini, kajian singkat dilakukan untuk mengintisarikan berbagai aliran atau mazhab yang muncul dalam sejarah Islam, setelah masa Nabi Besar Saw. Dengan hasil perbadingan dari mazhab-mazab ini, ditambah dengan sikap formil dari berbagai negara terhadap aliran tersebut, kiranya dapat mendukung simpulan yang dapat diambil dari tulisan ini.  



B. KAJIAN LITERATUR: DASAR PENGKAJIAN

1.      Aliran-Aliran Terdahulu sebagai Pembanding [4]

Kajian singkat ini diharapkan dapat menyimpulkan unsur atau pandangan pokok yang membedakan antara aliran atau mazhab, dan mengambil kesimpulan apakah unsur atau pandangan yang dinyatakan dalam Aliran Ahmadiyah itu dapat ditoleril atau tidak. Jika tidak, apakah dapat disimpulkan bahwa perbedaan yang tidak dapat diterima itu juga berarti bahwa Ahmadiyah tidak dapat dikatakan bagian dari Islam, atau sebaliknya.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, keberagaman aliran atau mazhab dalam Islam berkaitan, antara lain, dengan dua aspek yang utama, yaitu aspek politik, dan aqidah.  Mazhab politik pada dasarnya berkaitan dengan persoalan kekhalifahan dengan puncak kepemimpinnya (al-imamah), tetapi juga menyangkut masalah keagamaan[5]. Dalam kaitan dengan aqidah, tidak terdapat perbedaan yang mendasar, terutama dilihat dari apa yang diyakini dan dipraktikkan oleh dua kelompok besar yang berbeda di masa Nabi Saw, yaitu kelompok Muhajirin dan Anshar. Mereka pada umumnya mengenal sifat-sifat yang layak dan tidak layak bagi Allah melalui ayat-ayat Al Qur’an. Karena bagian langsung dari bangsa Arab, dengan mudah mereka mengikuti dan mentaati sunah Rasul [6].    

a.      Mazhab Politik

Dalam mazhab politik, terdapat sejumlah aliran, yaitu terdiri dari Syiah dan Khawarij. Di sini, inti dari  persoalan mazhab  adalah siapa yang seharusnya menjadi khalifah setelah Nabi Saw wafat, sehubungan tidak adanya nash yang qathi atau petunjuk dari Nabi.  Aliran Syiah berpandangan dan sepakat bahwa Ali adalah khalifah pilihan Nabi Muhammad Saw, dan beliau dianggap orang yang paling utama (afdhal) di antara para sahabat. Kelompok Syiah berkembang menjadi sejumlah aliran, yang di antara nya bersifat ekstrim, dan keluar dari Islam karena dan ditolak oleh Syiah. Mereka adalah Saba’iyyah, Ghurabiyyah, Klasaniyah, Zaidiyyah, Imamiyyah Itsna ‘Asyariyah, Ismailiyyah, Hakimiyyah dan Druz, dan Nashiriyah. Pandangan ekstrim mereka dapat dikhtisarkan dalam tabel berikut  [7]:     


Tabel 1.: Aliran Syiah Ekstrim dengan Pandangannya yang Ekstrim

Aliran Syiah Ekstrim
Pandangan Ekstrim
Saba’iyyah
Nabi memilih penerima wasiat, dan Ali penerima wasiat terbaik; dan Nabi Saw akan kembali ke dunia.
Ghurabiyyah
Lebih memuliakan Ali dari pada Nabi Muhammad Saw. Risalah kenabian seharusnya jatuh kepada Ali.
Kalasniyah
Akidahnya tidak didasarkan pada ketuhanan para iman dari Ahlulbait, tetapi atas paham bahwa seorang imam adalah pribadi yang suci dan wajib dipatuhi.                                          
Zaidiyyah
Para  imam sebagai manusia paling utama setelah Nabi Saw.
Imamiyyah Itsna ‘Asyariyah              
Ali sebagai imam melalui penunjukkan Nabi Saw berdasarkan nash yang pasti dan tegas dari Nabi.
Ismailiyyah
Menerapkan nash yang diperoleh dari ayah Ismail, bernama Ja’far; ucapan-ucapan seorang imam sama dengan nash syara dan wajib dilaksanakan.
Hakimiyyah dan Druz                       
Allah bersemayam dalam diri imam, al Hakim bi Amrillah al Fathimi, dan mengajak orang untuk menyembahnya. Setelah dibunuh, orang meyakini dia masih hidup dalam keadaan bersembunyi, dan akan kembali. Drus menyembunyikan amalan dan kepercayaan mereka.
Nashiriyah                                          
Keluarga Ali diberi ilmu pengetahuan yang sempurna oleh Allah. Ali tidak mati, dan Ali adalah Tuhan atau mendekati Tuhan. Pengetahuan mengenai batin hanya dimiliki oleh                                                            imam, dan imam diberikan cahaya sehingga memahami hakikat syariah, baik lahir maupun batin.
Sumber: Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Tanggerang: Gaya Media Pratama,  2011, hlm. 40- 62.


Dari tabel di atas dapat dengan mudah dicermati alasan kenapa aliran yang disebutkan itu dianggap ekstrim, dan ditolak oleh kelompok Syiah. Pandangan ekstrim mereka degan jelas terlalu mengkultuskan Ali sebagai pemimpin, dan melebihi penghormatan kepada Nabi Besar Muahammad Saw, yang jelas-jelas dinyatakan sebagai Rasul Allah dalam Al Qur’an. Pandangan yang paling ekstrim dari kelompok ini mengatakan, bahwa Allah bersemayam di dalam diri seorang  imam, al Hakim bi Amrillah al Fathimi; sehingga, masyarakat diajak untuk menyembah imam itu. Sebagai penolakan keras terhadap pandangan ini, Imam tersebut dibunuh oleh masyarakat Islam lainnya.   
Kelompok kedua dari Mazhab politik adalah aliran Khawarij. Aliran ini paling militan dalam membela mazhab dan pendapatnya, ketat membela agama, tetapi suka menyerang pihak lain. Prinsip utama mereka adalah “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah”, yang tidak boleh dilanggar oleh seorang mukmin. Sifat mereka meliputi berpegang kuat terhadap lafaz-lafaz Al Qur’an, menebus tawanan perang, cinta mati, suka menghadapi risiko yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak prinsipil [8]. Prinsip   Khawarij yang lain adalah: a). pemilihan khalifah hanya secara bebas  oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi, b). semua bangsa memiliki hak yang sama untuk menjadi khalifah, c). pengangkatan imam hanya berdasarkan kemampuan, bukan berdasarkan syara, d). Orang yang berdosa dianggap kafir, dan ketentuan berdosa termasuk jika berpendapat yang tidak benar (Surat al An-am, QS, 6 : 33) [9].
 Di dalam mazhab Khawarij, terdapat sejumlah aliran, yang memiliki pandangan bertentangan dengan yang lain, sehingga menimbulkan perpecahan, tetapi jarang menimbulkan peperangan. Aliran dan pendapatnya dapat diikhtisarkan dalam tabel berikut:

Tabel 2. : Aliran Khawarij dengan Pendapat yang Bertentangan.

Aliran Khawarij
Pendapat yang Bertentangan
Azariqah
Perbedaan pendapat dengan mereka adalah musyrik, dan kekal di neraka, serta hahal diperangi sebagai musuh dan dapat dibunuh (dar al-harb); musuh itu dapat dirampas hartanya, menahan anak-anak dan perempuan, diperbudak jika tertangkap, dan dibunuh jika tidak mau berperang. Tidak mengakui rajam, dan hukum dera hanya bagi  perempuan pezina, bukan laki-lakinya, berdasarkan makna lahir dari Surat Al Nur (QS, 24 : 4). Nabi juga dapat berbuat dosa besar dan kecil.
Najdah
Halal untuk memerangi yang tidak ikut berperang. Imam diangkat karena kemaslahatan, bukan karena wajib. Taqiyyah, atau dapat mengaku termasuk bagian dari jama’i, yaitu bagian dari mayoritas Islam, agar tidak diserang dan dibunuh.
Shafriyyah
Muslim tidak boleh diperangi. Tidak boleh melecehkan anak-anak dan  perempuan. Perbedaan pendapat bukan merupakan zona perang. Perang hanya terhadap tentara pemerintah (bukan orang sipil).                                          
Ajaridah
Hanya penganut Khawarij yang bertaqwa, walaupun tidak ikut berperang,  dapat diangkat sebagai pemimpin. Mampu berperang wajib ikut berperang. Hanya yang menyerang Ajaridah yang boleh diperangi, dan boleh                                                dirampas hartanya.
Ibadhiyyah
Mukmin yang berbeda pendapat bukan sebagai orang musrik, tetapi sebagai bukan muk’min; dan kafir hanya karena khufur  nikmat, bukan dalam keyakinan, karena hanya lalai mendekat dengan Allah.Haram memerangi yang berbeda  pendapat karena masih berada dalam wilayah tauhid dan  Islam, kecuali wilayah pasukan pemerintah. Mereka yang berbeda pendapat dapat menjadi saksi, dapat  dinikahi, serta saling mewarisi.
Sumber: Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Tanggerang: Gaya Media Pratama,  2011, hlm. 78 - 84.

Tabel di atas menunjukkan bahwa aliran-aliran tersebut memiliki pandangan yang sangat kental terhadap ajaran Islam. Pandangan tersebut dapat saja diartikan sebagai kecintaannya yang dalam terhadap Islam; namun, penerapan syariatnya cenderung menciptakan kemudharatan bagi umat, atau menimbulkan pertentangan yang tidak perlu di antara umat. Kemudharatan yang ditimbulkan ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, secara keseluruhan, pandangan mereka itu tidak ada yang bersifat memutar balikkan ajaran Islam, tetapi hanya sejauh penafsiran syariat Islam yang berlebihan.
Lebih lanjut, Muhammad Abu Zahrah mengungkapkan paham-paham Khawarij, yang dianggap keluar dari Islam, karena pendapat-pendapatnya tidak sedikitpun merupakan bagian dari pendapat Islam yang mutawatir. Aliran ini adalah sebagai berikut.


Tabel 3. : Aliran Khawarij yang Dianggap Keluar dari Islam
dan Pendapat yang Bertentangan

Aliran
Pendapat yang Bertentangan
Yazidiyah
Allah akan mengutus seorang rasul dari kalangan luar Arab, dan diberi kitab untuk menggantikan syariat Nabi Saw.
Maimuniyyah
Boleh menikahi cucu perempuan dari anak laki-laki dan anak perempuan dari saudara laki-laki dan saudara                                       perempuan. Tidak mengakui surat Yusuf, karena dianggap kisah porno dan tidak pantas dinisbahkan kepada Allah.
Sumber: Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Tanggerang: Gaya Media Pratama,  2011, hlm. 84-85.

Kedua aliran di atas dengan jelas bertentangan dengan hakikat dari ayat-ayat Al Qur’an. Keyakinan dari umat Islam dari arus utama, dan berdasarkan tafsir yang benar terhadap Ayat-Ayat dan Hadits Nabi Saw terkait, Allah tidak akan mengutus rasul lagi, karena Nabi Muhammad Saw adalah yang terakhir; apalagi yang akan ditunjuk berasal dari kalangan di luar arab. Di samping itu, syariat yang di bawa oleh  Nabi Saw tidak akan pernah digantikan, dan Al Qur’an tidak akan pernah direvisi sampai kiamat datang.  


b.      Mazhab Akidah

Mazhab ini hanya berkaitan dengan masalah filosofis di luar kekuasaan Tuhan, keimanan Islam, dan ajaran Nabi Saw, yang tidak dapat diperdebatkan lagi. Masalah yang membedakan hanya berkisar pada kebebasan dan keterpaksaan manusia, dosa besar atau kecil, dan apakah Al Qur’an merupakan makhluk atau bukan makhluk[10]. Berikut ini adalah aliran-aliran yang dimaksud beserta dengan pandangannya.
Tabel 4. : Aliran-Aliran Mazhab Aqidah dan Pandangannya

Aliran
Pandangannya
Jabariyyah
Semua perbuatan manusia adalah ciptaaan Allah, karena manusia tidak mempunyai kemampuan, kesanggupan dan daya (Istihahah), kekuasaan, kehendak ataupun usaha sendiri; hanya memiliki keterpaksaan (majburah).  
Qadariyyah
Semua perbuatan manusia merupakan kehendaknya sendiri, bebas dari kehendak Tuhan. Tidak ada al qadr dalam arti al ilm dan al taqdir. “Semua urusan ditetapkan sekarang”.
Murjiah
Persoalan pelaku dosa besar diserahkan pada Allah pada hari kiamat.
Mutazilah
Penganut Mutazillah harus mengakui lima dasar (al Ushul al Khamsa), yaitu: pengesaan Tuhan (al tauhid), keadilan (al adl), janji dan ancaman (al wa’dwa al wa’id), al manzilah bain al manzilatin, dan menyuruh berbuat baik dan melarang kemukaran (al amr bi al ma’ruf wa al anby an al munkar).
Asyariyyah       
Umumnya, secara keseluruhan  mempercayai Al Qur’an dan Hadist Nabi Saw. Secara khusus, berpendapat bahwa orang yang saleh boleh jadi memperoleh kekuasaan dari Allah berupa kharamah, boleh bersedekah dan mendoakan orang yang meninggal, meyakini Hadits-Hadits ahad, mempercayai Allah mempunyai wajah dan tangan tetapi tidak menyerupai yang dimiliki makhluk-Nya, dan mempercayai imam Ahmad yang dianggap terkemuka, pandai dan arif.
Muturidiyyah
Kalam Allah merupakan makna yang berdiri pada zat-Nya, dan menyatu pada zat-Nya, dan kekal bersama kekalnya zat yang Agung. Allah dapat dilihat pada hari kiamat sebagai keadaan yang khusus, tetapi hanya Allah yang mengetahui bentuk dan sifatnya. Pelaku dosa besar tidak kekal dalam neraka, dan Allah boleh jadi dapat mengampuninya.
Salafiyyah
Keesaan Tuhan sebagai asas Islam yang pertama dan kebenarannya tidak diragukan lagi, serta tidak ada yang dapat menyerupai-Nya. Menetapkan segala sesuatu berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah baik berupa sifat, berita maupun keadaan. Contoh khusus, tidak boleh menziarai kubur orang yang saleh termasuk Nabi Saw untuk minta keberkatan, kecuali untuk mengambil pelajaran (i’tibar).
Sumber:  Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Tanggerang: Gaya Media Pratama,  2011, hlm. 120-246.
               

Aliran-aliran yang dimaksud di atas tidak ada yang berpandangan ekstrim seperti yang disebutkan sebelumnya. Pandangan mereka ini umumnya berkaitan dengan pengertian mengenai syariat Islam yang lebih konservatif, atau terkadang karena konservatifnya memberikan kesan bahwa pandangan itu bersifat tidak rasional. Namun, keseluruhan pandangan mereka ini dapat dikatakan, umumnya, masih sejalan dengan ketentuan Al Qur’an dan Hadits Nabi Saw, dan tidak bertentangan dengan hakikat syariat Islam yang baku.


c.       Aliran Modern

Di samping aliran-aliran tersebut di atas, Muhammad Abu Zahrah, juga mengungkapkan aliran-aliran yang dianggap modern, yaitu Wahabiyyah dan Baha’iyyah di samping Qaiyaniyyah yang merupakan aliran utama dari Ahmadiyah.  Dua yang pertama diuraikan secara ringkas di bawah ini.


Tabel 5. : Aliran Modern Menurut Muhammad Abu Zahrah

Aliran
Pandangan
Wahhabiyyah
Tidak cukup hanya ibadah sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, tetapi tradisi pun harus mengikuti ketentuan Islam. Mengharamkan merokok. Tidak cukup berdakwah, tetapi juga perlu  memerangi yang mungkar. Membatasi ziarah kubur. Pendapat mereka yang benar dan tidak mungkin salah, dan pendapat orang  lain sebaliknya.
Baha’iyyah             

Pada dasarnya mengingkari dan menyelewengkan ajaran Islam. Membuang semua ikatan keIslaman. Menentang Al Qur’an, dan menerbitkan buku nya Al Aqda sebagai wahyu yang diterimanya. Membatalkan semua ketentuan halal dan haram.
Sumber:  Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Tanggerang: Gaya Media Pratama,  2011, hlm. 250- 263.


Dari seluruh aliran yang disebutkan di atas, aliran Wahabiyyah adalah yang paling ekstrim, tetapi hanya yang berkaitan dengan mentafsirkan atau menerapkan ketentuan Al Qur’an dan Hadits Nabi Saw yang berlebihan. Pandangan mereka itu dapat pula  dikatakan bersifat sangat konservatif, tetapi berada dalan haluan kanan, karena tidak menentang ketentuan-ketentuan Tuhan; dan bahkan sebaliknya, mematuhinya secara ketat, sebagaiman halnya dengan aliran Salafiyyah.
Paham Baha’iyyah, di lain pihak, adalah aliran yang sangat bertentangan dengan pandangan Wahabiyyah; oleh karena itu, dapat dikatakan berhaluan ekstrim kiri, yang paling ekstrim, karena menentang ketentuan Al Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Peradilan Administrasi Mesir memutuskan bahwa aliran Baha’iyyah bukanlah agama samawi, dan bukan agama secara resmi yang diakui. Kementrian Dalam Negeri Mesir menyimpulkan bahwa aliran ini perusak agama Islam, dan tidak layak mendapat perlindungan. Aliran ini mendapat dukungan dana dari musuh-musuh Islam, dan berkembang  secara agresif pada masa propaganda kolonialisme, menjadi kuat setelah Perang Dunia II, dan bermarkas di Chicago Amerika [11].    


2.      Sikap Negara Lain Terhadap Ahmadiyah

Berikut ini adalah sejumlah ketetapan pemerintah di manca negara yang menunjukkan sikap mereka terhadap aliran Ahmadiyah, yaitu:

a).  Penjelasan Rabitah Alam Islami  mengenai Keputusan dan Rekomendasi Konperensi Organisasi-Organisasi Islam Dunia yang diadakan di Makkah Al Mukaramah, tanggal 14 s/d 18 Rabiul Awal 1394 H. Konferensi ini memutuskan bahwa Qadianiyah atau Ahmadiyah adalah bertujuan untuk menghancurkan Islam, dan merupakan anak emas Imperialis Inggris untuk perlindungan imperialis itu. Cara yang dilakukan Ahmadiyah, intinya, adalah dengan  mengakui pemimpinnya sebagai nabi, merubah teks-teks Al Qur’an, dan menyatakan jihad itu tidak ada. Muktamar ini juga menyatakan, antara lain, bahwa Ahmadiyah adalah kafir dan keluar dari Islam[12]. 
b).  Pemerintah Pakistan, melalui Undang-Undang Dasar Sementara Perintah Perubahan Tahun 1981 Perintah Penguasa Tertinggi Hukum Darurat No. 2 Tahun 1981, dan diberitakan dalam Berita Negara, tanggal 8 April 1981, di Islamabad,  menyebutkan bahwa: “Seorang yang bukan muslim berarti seseorang yang tidak beragama Islam, dan termasuk beragama parsi, juga seorang yang termasuk ke dalam kelompok Qadiani  atau kelompok Lahore (yang menamakan diri mereka Ahmadiyah, ataupun memakai nama lain apapun juga), atau seorang Bahai, dan setiap orang yang termasuk ke dalam kasta yang telah ditentukan”[13].
c).  Kerajaan Saudi Arabia, Pimpinan Dewan Riset, Fatwa, Dakwah, dan Iryad Kantor Atase Keagamaan, menyampaikan kepada Dirjen Bimas Islam dan Haji Kementrian Agama Republik Indonesia, bahwa: kegiatan yang dilakukan oleh kelompok Qadianiyah atau Ahmadiyah adalah bersifat destruktif, yang menjadikan Islam sebagai kedok untuk menutupi tujuan yang busuk, dan bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Qadianiyah berkerja sama dengan imperialisme dan zionisme, serta kekuatan-kekuatan yang menentang Islam. Pertentangan yang paling jelas adalah pengakuan pemimpinnya sebagai nabi, dan mengingkari Nabi Besar Muhammad Saw sebagai penutup kenabian, dan penyelewengan nash-nash Al Qur’an [14].   

3.      Ketentuan Perundang-undangan terkait di Indonesia.

Dalam menentukan sikap yang bagaimana yang perlu diberikan terhadap kelompok Ahmadiyah, perlu pula mengkaji ketentuan hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia, sebagai berikut.


1). Landasan Utama

Dalam konteks Indonesia, landasan utama dan bersifat filosofis bagi hukum yang berlaku di bawahnya adalah Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya. UUD 1945 ini mengatur tentang Hak Asasi Manusia Bab X A, dan Pasal 28 E Ayat (1) yang menyebutkan, bahwa: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. Selanjutnya, Bab XI mengatur tentang Agama, dan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) menyebutkan, bahwa: 1). Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan 2). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu [15].


2). Ketentuan Presiden Republik Indonesia

Dalam tahun 1965, Presiden Republik Indonesia, melalui Surat Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalah-Gunaan dan /atau Penodaaan Agama, menyebutkan bahwa: Pasal 1, “Bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama lain; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Lebih lanjut, diatur organisasi itu dapat dibubarkan (Pasal 2 Ayat 2); dan apabila pengurus atau orang itu masih melakukan hal-hal yang dimaksud, maka dapat dipidana selama lima tahun penjara [16].
Penetapan Presiden (Penpress) No. 1/PNPS/1965 junto Undang-Undang No. 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama dalam penjelasannya pasal demi pasal, dijelaskan bahwa agama-agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu [17].


3).  Ketentuan-Ketentuan di Bawahnya

Berikut ini adalah sejumlah ketentuan atau ketetapan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintahan atau pemerintahan daerah yang berada di bahwa Presiden atau UUD 1945 dan Perubahannya.

a).  Kajian Tim Pakem Pusat Untuk Rekomendasi Pelarangan Dan Pembubaran Jema’at Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Qadian) serta Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore) di seluruh Wilayah Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diikuti oeh Kejaksaan Agung RI, DEPAGRI, Mabes Polri, MUI dan DEPAG, tanggal 12 Mei 2005, menyimpulkan bahwa ajaran Ahmadiyah adalah ajaran sesat; dan untuk itu, Tim Pakem merekomendasikan agar golongan ini dilarang di seluruh wilayah NKRI [18].
b).  Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri No. 3  Tahun 2008, Nomor KEP -033/A/IA/6/2008, Nomor 199  tahun 2008 tentang peringatan dan perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, menyatakan bahwa para anggota atau pengurus Ahmadiyah yang tidak mengindahkan ketentuan yang dimaksud, yaitu melakukan kegiatan agama yang menyerupai agama lain, maka dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku [19]. 
c).  Gubernur Jawa Timur mengeluarkan Surat Keputusan No. 188/94/KPTS/2011 tentang Pembatasan Aktivitas Jamaah Ahmadiyah. Keputusan ini bukan untuk membubarkan, tetapi untuk membatasi aktivitas jemaat Ahmadiyah di Jatim, dalam rangka menjaga kemanan dan suasana yang kondusif[20].
d).  Gubernur Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 12 Tahun 2011 yang isinya melarang aktivitas Ahmadiyah. Tujuannya adalah untuk mencegah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh warga masyarakat sebagai akibat penyebaran paham keagamaan yang menyimpang[21].
e).  Gubernur Sulawesi Selatan mengeluarkan Surat Edaran Gubernur No. 223.2/803/Kesbang, yang isinya memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah (JAI), sepanjang mengaku Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran, dan kegiatan yang, menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam[22].
f).   Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 17 Tahun 2011, yang melarang secara resmi kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Sumatera Barat. Larangan ini merupakan perintah untuk menghentikan seluruh kegiatan Ahmadiyah beserta publikasi atributnya [23].    


4.      Pandangan Ulama Umumnya di Indonesia

Pada tahun 1980, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa mengenai Ahmadiyah Qadian sebagai aliran sesat, yang menunjukkan penolakan terhadap aliran tersebut. Fatwa ini ditandatangai oleh Buya Hamka[24]. Pada tahun 2005, MUI kembali mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah Lahore juga merupakan aliran yang menyesatkan[25].
Pada tanggal 8 Februari 2011, MUI Jawa Timur beserta Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) menuntut Pemerintah propinsi Jatim dan polisi membubarkan Ahmadiyah. Pada bulan yang sama, Front Pembela Islam (FPI) menggelar aksi demonstrasi, dan menuntut Gubernur Jatim segera menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang pembubaran Ahmadiyah[26].


5.      Pihak yang Membela dan Alasannya

Aliansi untuk Kerukunan Umat Beragama (AKUR), yang merupakan aliansi puluhan organisasi pemuda, mahasiswa, dan NGO lintas agama, menyayangkan Pergub Jawa Barat yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Alasannya adalah menganggap Pergub tersebut sebagai intervensi pemerintah yang tidak adil bagi Ahmadiyah. Menurut mereka, ideologi dan keyakinan tidak akan pernah dapat dikerangkeng[27].
Aliansi Masyarakat Jawa Barat (ALJABAR) berpendapat bahwa Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat mengenai pelarangan kegiatan Ahmadiyah itu tidak tepat. Menurut mereka, sebaiknya Gubernur terkait menunggu keputusan pemerintah pusat karena hal tersebut merupakan domain pemerintah pusat, dan tidak semua warga Jabar menginginkan Ahmadiyah dilarang. Tambahan pula, mereka berpendapat bahwa Pergub tersebut dapat melanggengkan praktik diskriminasi dan intoleransi dan bisa memicu konflik horizontal serta ketegangan di Jabar [28].  
Direktur Lembaga Hukum Bandung (LBHB) berpendapat bahwa Pergub Jawa Barat merupakan bentuk nyata adanya diskriminasi dan tindakan melanggar hak dasar manusia, sebagaimana yang dimaksud Pasal 18 ICCPR atau pasal 18 UU No. 12 Tahun 2005, dan Ketentuan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Beliau berpendapat, bahwa hal itu menunjukkan Negara tidak berdiri di atas semua golongan dan tidak melindungi semua golongan[29].   
Di samping itu, berbeda dengan sikap Gubernur yang disebutkan di atas, terdapat dua Gubernur propinsi yang secara tidak jelas mengutarakan sikapnya terhadap aliran Ahmadiyah. Pertama, adalah Gubernur Nusa Tenggara Barat, yang mengeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan, dan menyarankan penyelesaian masalah Ahmadiyah dilakukan melalui dakwah [30]; Kedua, Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono X mengatakan bahwa pihaknya tidak mempunyai kewenangan untuk membubarkan Ahmadiyah, karena hal tersebut berada dalam kewenangan pemerintah pusat. Pemerintahannya hanya mengendalikan penyebaran ajaran Ahmadiyah sesuai dengan Ketentuan dalam SKB 3 Menteri [31].  
Dalam kaitan dengan sikap terhadap aliran Ahmadiyah tersebut, informasi yang dihasilkan oleh survey berikut dapat dijadikan dasar untuk menilai pandangan masyarakat umumnya terhadap aliran tersebut. Suatu Survey Opini Publik, yang dilakukan di 10 propinsi, dengan responden hanya 20.4% berpendidikan SLTA dan akademi, serta 5.3% sarjana[32], menyimpulkan bahwa secara umum dan sebagian besar masyarakat, termasuk yang beragama Islam, kurang mengenal dan tidak mengetahui substansi ajaran Ahmadiyah [33]. Berdasarkan temuan ini, Survey juga menyimpulkan bahwa mayoritas responden tidak mampu memberikan penilaian terhadap latar belakang munculnya kebijakan terhadap Ahmadiyah. Namun, mereka menolak upaya-upaya untuk melakukan pembatasan, termasuk tindakan kekerasan, terhadap Ahmadiyah[34].


6.      Penyebab Kekerasan Terhadap Ahmadiyah

Menurut Hasibullah Sastrawi, kekerasan yang terjadi terhadap Ahmadiyah disebabkan karena beberapa hal. Pertama, ketidak tegasan pemerintah pusat dalam melindungi segenap anak bangsa, terlepas perbedaan agama dan keyakinannya; kedua, pemerintah daerah tidak berdaya menghadapi tekanan pihak-pihak tertentu untuk mendiskriminasi warganya sendiri atas nama perbedaan tertentu; ketiga, nihilnya politik kebangsaan, yang meniscayakan adanya komitmen untuk meletakkan kepentingan semua anak bangsa di atas segalanya, dengan menjadikan ketentuan konstitusi sebagai panglima [35].


7. Tafsir Tekstual dan Kontekstual

Dalam mengkaji apa yang dilakukan oleh aliran Ahmadiyah, perlu juga diutarakan secara ringkas mengenai pengertian tafsir, yang umumnya dilakukan oleh banyak pihak, sebagai standar yang diterima secara umum oleh para ulama Islam arus utama. Menurut istilah, tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan Kitab Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Besar Saw, berikut penjelasan maknanya, serta hikmah-hikmahnya. Pengertian yang lain adalah ilmu yang membahas tentang Al Qur’an al Karim dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia [36]. 
Secara etimologis, Abdul Mustaqim mengutip pendapat Muhammad Abdul ‘Azhim az-Zarqani, bahwa tafsir adalah al-kasyf atau menyingkap makna yang tersembunyi, dan al-ibanah atau menjelaskan [37]. Pada mulanya, yaitu masa setelah Nabi, tafsir dilakukan sesuai dengan hadis-hadis Rasulullah Saw [38], atau  berdasarkan pendekatan pada teks yang ada, atau bersifat tekstual [39]; yang hasilnya merupakan hitam atau putihnya ayat yang ditafsir [40].  Namun, karena masyarakat berkembang dengan segala kompleksitas sosialnya, Al-Qur’an, sebagai petunjuk Tuhan bagi pemecahan persoalan manusia di dunia, juga memerlukan pendekatan yang sesuai dengan tempat dan waktu di mana petunjuk itu diperlukan [41].  Tafsir dengan pendekatan kontekstual dapat dilakukan, tetapi kandungan inti diusahakan tetap dalam koridor yang sama [42]. Salah satu cara untuk melakukan tafsir kontekstual adalah dengan metode tematik, yaitu mengkaitkan ayat-ayat yang memiliki tema yang sama, dan menarik kesimpulan untuk mencapai makna dari seluruh ayat terkait. Menurut Umar Shihab, tafsir seperti itu dimungkinkan, karena Al Qur’an selalu membuka diri untuk dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan atau ditafsirkan dengan berbagai alat, metode, dan pendekatan untuk menguak inti sejatinya[43].
Namun, apapun pengertiannya, tafsir pada dasarnya adalah usaha untuk memaknai atau memahami ayat-ayat Al Qur’an yang asli dan utuh. Apa yang ditafsir adalah ayat-ayat Al Qur’an yang asli, bukan ayat-ayat yang telah dirubah oleh manusia. Bahkan, dalam kaitan ini, Allah Swt telah berfirman bahwa Allah lah yang membuat Al Qur’an itu sempurna dan komplit, sebagaimana yang disebutkan dalam  dalam Surat An’aam (QS, 06 : 38), ”.... Tidaklah Kami alpakan sesuatu apa pun di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an)”. Ini juga berarti bahwa Al Qur’an telah disempurnakan dan mengandung makna sebagai Buku Suci terakhir, dan berlaku sejak diturunkannya hingga nanti sampai waktu kiamat datang. Ini artinya Buku Suci ini tidak akan pernah direvisi, dirubah atau diganti oleh siapapun, sebagaimana Allah Swt telah berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya” (QS, 15 : 9).


C. SEJARAH DAN INTI PERMASALAHAN AHMADIYAH

1. Sejarah Ahmadiyah

Nenek moyang Mirza Ghulam Ahmad berasal dari suatu rumpun keluarga yang datang dari Samarkand, sebuat kota di Asia Tengah, dan hijrah ke Punjab, India, pada awal abad keenambelas. Mirza Ghulam Ahmad sendiri lahir di Qadian pada tahun 1835, dan meninggal tahun 1908 M. Dia tumbuh dari keluarga yang terkenal suka khianat kepada agama dan negara. Ia belajar bahasa Arab, Al Qur’an dan Hadist dari guru privat, serta penganut mazhab Hanafiah. Menurut pengakuannya, pada bulan Maret 1882, untuk pertama kali, Mirza Ghulam Ahmad memperoleh perintah dari Allah bahwa dia dijadikan Ma’mur minallah atau Utusan Allah, dan dia kemudian menyatakan dirinya sebagai Mujaddid. Wahyu tersebut dia terbitkan di dalam buku Barahiin Ahmadiyyah. Kemudian, dia menyatakan bahwa dirinya sebagai Mahdi Al Muntazhar dan Masih Al-Maud [44].  
Bermula dari gerakan orientalis bawah tanah yang dilakukan oleh Sayyid Ahmad Khan, yang menyebarkan pemikiran-pemikiran yang menyimpang. Inggis mengambil kesempatan ini. Pemerintah kolonial Inggris di India mendirikan Gerakan Ahmadiyah antara tahun 1889-1900, dengan tujuan menjauhkan kaum muslim dari agama Islam, dan dari kewajiban jihad, sehingga tidak lagi melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan nama Islam. Ketika dia mengaku sebagai nabi, pengikutnya menyibukkan diri dengan kegiatan Mirza Ghulam Ahmad, sehingga tidak melakukan perlawanan terhadap Inggris. Pengikutnya juga menunjukkan loyalitas dengan Inggris[45].
Ahmadiyah memiliki dua kelompok, yang pertama Ahmadiyah Qadian, dan kedua adalah Ahmadiyah Lahore: kedua-duanya mempercayai Mirza Ghulam Ahmad. Namun, yang pertama mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang nabi, tetapi tidak membawa syariat; sedangkan yang kedua mempercayai dia hanya sebagai Mujaddid dari ajaran Islam[46].
Diawali dengan tiga pemuda belajar di India dari pesantren di Sumatera Barat, kedua kelompok tersebut masuk ke Indonesia, yang pertama dengan nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau Ahmadiyah Qadian, dengan Badan Hukum SK Menteri Kehakiman RI No.JA 5/23/13 tanggal 13/3/1953; yang kedua bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia atau Ahmadiyah Lahore, dengan Badan Hukum Nomor 1 x tanggal 30 April 1930. Dalam ruang lingkup internasional, organisasi Ahmadiyah telah tersebar di 185 negara di dunia, dengan memiliki cabang di 174 negara, termasuk di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia, dan Eropa[47].


2. Inti Permasalahannya [48].

Permasalahan yang ditimbulkan oleh Aliran Ahmadiyah berasal dari dua pokok perkara yang utama, yaitu: pertama, menafsirkan ayat-ayat Al-Quran tidak berdasarkan kaidah yang berlaku atau yang umumnya diterima, tetapi dengan jelas dapat dilihat dan diarahkan untuk kepentingan diri atau kelompok sendiri; dan kedua,  merubah sejumlah ayat Al Qur’an dan dicantumkan ulang dalam buku sucinya berjudul Tadzkirah; kesemuanya dilakukan untuk kepentingan diri atau kelompok sendiri. Amin Djamaludin mengutip tafsir dan ayat-ayat yang digunakan dalam makalah ini diambilnya langsung dari Kitab Tadzkirah itu.


a.      Tafsir ke arah diri sendiri.

Dari sejumlah tafsir yang dilakukan oleh Ahmadiyah, berikut ini adalah tafsir yang paling penting dalam usaha menggambarkan apa yang dilakukan oleh aliran ini, yang jelas menyimpang dari tafsir yang berlaku bagi ayat-ayat Al Qur’an berikut [49]:


Pertama: Surat Ash Shaf (QS, 61 : 6, 9, 10), berbunyi:

1). (QS, 61 : 6)

...Dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”.

Tafsir Ahmadiyah

Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw, tetapi juga dapat pula dikenakan pada Pendiri Jemaat Ahmadiyah.

2). (QS, 61 : 9)

“Dialah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik benci”.

Tafsir Ahmadiyah

Kebanyakan ahli tafsir Al Qur’an sepakat bahwa ayat ini adalah untuk Almasih yang dijanjikan.

3). (QS, 61 : 10)

“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih”.

Tafsir Ahmadiyah

Ayat ini agaknya mengisyaratkan juga kepada zaman Hadhrat Maih Mau’ud as, ketika perniagaan dan perdagangan akan berkembang dengan subur.

Menurut Ahli Tafsir

Menurut Ibnu Katsir, ketiga Ayat itu hanya tertuju kepada Nabi Muhammad Saw, bukan kepada Mirza Gulam Ahmad [50].   

Kedua: Surat Al Ahzab (QS, 33 : 40), berbunyi:  

“Muhammad itu bukanlah bapak salah seorang di antara laki-lakimu, akan tetapi ia adalah utusan Allah dan penutup para nabi (khataman-nabiyyin) ”.

Terjemahan dan Tafsir Ahmadiyah

Ayat tersebut diterjemahkan oleh Ahmadiyah sebagai “Muhammad bukanlah bapak salah seorang di antara laki-lakimu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan meterai sekalian nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”[51]. Ahmadiyah berpendapat, bahwa yang dimaksud dalam frasa “khataman nabiyyin” adalah nabi yang paling sempurna, cincin para nabi[52]. Lebih lanjut, mereka berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw merupakan Nabi penutup pembawa syariat. Ini diartikan pula bahwa masih ada kemungkinan diutusnya nabi yang tidak membawa syariat, sesudah pengangkatan Nabi Muhammad Saw [53]. Tampaknya, atas dasar pengertian ini, mereka mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi.

Kajian Tafsir Tekstual dan Kontekstual
           
Secara tekstual, frasa  khataman nabiyyin diyakini mengandung arti sebagai nabi penutup atau terakhir; dalam kontekstual, diyakini tidak ada lagi nabi yang ditunjuk oleh Allah Swt setelah Nabi Besar Saw. Hal ini disebabkan karena  Tuhan YME telah berfirman bahwa telah disempurnakan ’Agamamu’ itu (QS, 05: 03). Disempurnakannya Agama Islam, dengan disempurnakannya Kitab Suci Al-Qur’an, yang diwahyukan kepada Nabi Besar Saw,  berarti bahwa Kitab Suci dan Nabi Saw adalah  yang terakhir, atau tidak ada lagi kitab suci dan nabi setelah itu.
Untuk mendukung tafsir tersebut di atas, seperti yang dilakukan pada masa awal  setelah Nabi Saw, dapat dikumpulkan sejumlah hadist Nabi Saw yang dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa arti dari khataman nabiyyin itu adalah nabi penutup, dan Nabi itu adalah Nabi Muhammad Saw.

Pertama, dari Jabir bin Mat’am r.a., Nabi Saw bersabda:

“Saya memiliki lima nama: Muhammad, Ahmad, al-Mahi (penghapus) yang denganku Allah menghapus kekufuran,al-Hasyir (penghimpun) di mana manusia dikumpulkan pada kakiku, dan al Aqib” (HR Syaikani dan Turmudzi).

Kedua, Abu Musa al-Asy’ari r.a. berkata Rasulullah Saw menamai dirinya dengan beberapa nama:

Saya adalah Muhammad, Ahmad, al-Muqaffi, al-Hasyr, Nabiyu at-Tawbih, dan Nabiyu ar-Rahmah” (HR Muslim).
  
Dari nama-nama tersebut di atas, dua nama  menunjukkan arti bahwa Nabi Saw adalah Nabi terakhir.  Al Aqib berarti ‘akhir para nabi’. Al Maqaffi berarti ‘tidak ada lagi nabi sesudahnya’[54].
Dari segi sejarah, dalam tahun 582 M, Muhammad mengikuti pamannya, Abu Thalib, berdagang ke Syam, Siria, dan sampai di Bosra, mereka bertemu dengan seorang pendeta Yahudi, bernama Buhaira. Buhaira mengatakan bahwa Muhammad adalah salah satu dari tiga manusia yang paling baik, dan akan menjadi Nabi Pamungkas atau khatam al nabiyyin[55].


b.      Merubah dan Menambah Text Al-Quran.

Kitab Tadzikirah merupakan kitab suci Aliran Ahmadiyah. Mirza Gulam Ahmad mengaku bahwa kitab ini berasal dari wahyu yang diterimanya dari Allah Swt. Dalam kaitan dengan wahyu ini, Tadzikirah menyebutkan sebagai berikut [56]:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Tadzkirah ini) di Qadiyah, dan Kami menurunkannya dengan sebenarnya, dan ia benar-benar telah turun, Maha Besar Allah dan Rasulnya, dan keputusan Allah pasti terlaksana”.

Ditilik dari redaksi Ayat di atas, dan dibandingkan dengan Ayat yang berkaitan dengan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an, maka dengan mudah dapat disimpulkan bahwa Ayat Tadzikiyah itu jelas merupakan bajakan dari Surat Al Qadar (QS, 97 : 1), dan mengandung potongan-potongan  dari Surat Al Isra (QS, 17 : 105),Surat Al Ahzab (QS, 33 : 22),  dan Surat An Nisa (QS, 4 : 47), yang aslinya berbunyi sebagai berikut [57]. 

Surat Al Qadar (QS, 97 : 1),berbunyi:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al Qur’an) pada malam kemuliaan”.

Surat Al Isra (QS, 17 : 105),berbunyi:

“Dan Kami turunkan (Al Qur’an itu) dengan sebenar-benarnya dan (Al Qur’an itu) telah turun dengan membawa kebenaran”.

Surat Al Ahzab (QS, 33 : 22), berbunyi:

“Mereka berkata: Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul Nya”.

Surat An Nisa (QS, 4 : 47), berbunyi:

“Dan ketetapan Allah pasti berlaku”.

Dalam bukunya, Amin Djamaludin menyebutkan bahwa terdapat 470 Ayat (sumber lain menyebutkan sekitar 800 ayat) di dalam Kitab Tadzikirah yang dirubah, dan sebagian besar merupakan bajakan dari Ayat terkait dalam Al Qur’an, dan hanya sebagian kecil lainnya merupakan karangan Mirza Ghulam Ahmad. Ayat-ayat yang dibajak, atau dirubah dan ditambah,  antara lain,  mulai dari Surat Al Anfaal, Ar Rahman, Yasin, An’am, Al Isra, Al Araf, Hud, Ash Shaf, Al Hajj, Al Hijr, Ali Imran, Al Muddatstsir, Al Furqan, Al Muminun, Az Zukruf, Al Baqarah, Al Fath, Al Qalam, Asy Syura, dan Al Anbiya [58]. Contoh perubahan dan penambahan yang dilakukan diberikan di bawah ini [59]:
Dalam Al Qur’an, Surat Al-Qadr (QS, 97 : 1) berbunyi:

“Sesungguhnya Kami yang telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan”.

Dalam Tadzkiran (Cetakan 1956, hlm. 564) berbunyi:     

Sesungguhnya Kami menurunkan (Tadzikirah ini) pada malam Lailatul Qadar, sesungguhnya Kami benar-benar menurunkannya”.
           
Dalam Al Qur’an, Surat Al Anbiya (QS, 21 : 107) berbunyi:.

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan  untuk (menjadi) rahmat bagi sekalian alam”.

Dalam Tadzkiran (Cetakan 1956, hlm. 403) berbunyi:

Sesungguhnya Kami mengutus Ahmad kepada kaumnya, akan tetapi mereka berpaling dan mereka berkata: seorang yang amat pendusta lagi sombong”.

Ditilik dari apa yang dilakukan, Ahmadiyah jelas melakukan pendomplengan Ayat Al Qur’an, dan membajak serta merubah kata-kata yang dipakai pada sejumlah besar ayat-ayat Al Qur’an. Dari segi hukum pidana khusus, yang berkaitan dengan UU Hak Cipta, perbuatan aliran Ahmadiyah itu dapat dianggap merupakan tindakan plagiarisme. Dari segi hukum perdata,  maka apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah itu jelas merupakan suatu pelanggaran. Menurut Sunaryati Hartono [60], pengertian perbuatan melanggar hukum telah diatur dalam Yurisprudensi di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:

“Suatu perbuatan atau kelalaian, yang atau melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan dengan sikap kehati-hatian yang perlu diperhatikan di dalam pergaulan masyarakat terhadap kepentingan lahiriah maupun milik orang lain”.
  
Menurut Prof. Man Suparman dari Fakultas Hukum Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, ketentuan perundang-undangan tersebut dapat diterapkan kepada kasus Ahmadiyah tersebut. Bahkan, pada hakikatnya, ayat-ayat Al Qur’an adalah kallamulah atau firman-firman Allah Swt. Jadi, Allah Swt adalah  sebagai Pencipta Utama dan Pertama serta Tunggal, yang berkuasa dan berhak penuh atas Ciptaannya [61]. Jika seorang manusia yang bernama Mirza Ghulam Ahmad merubah kallamulah, itu berarti dia tidak saja melanggar hukum pidana atau perdata; tetapi lebih dari itu, dia telah menodai kesucian Kitab Al Qur’an yang dianut oleh umat Nabi Besar Muhammad Saw di seluruh dunia.

Dalam kaitan dengan Al Qur’an

Bagi kaum muslim yang bertaqwa dan beriman, Al Qur’an adalah buku suci terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT. Kandungan Al Qur’an merupakan ayat-ayat yang diwahyukan melalui Nabi Besar Muhammad  SAW, sebagai Rasul yang terakhir.  Tuhan YME mengatakan bahwa telah disempurnakan ’Agamamu’ itu (QS, 05: 03). Ini dapat pula diartikan bahwa buku suci Al-Qur’an merupakan buku yang sempurna sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam mengarungi lautan kehidupan dunia, sekaligus sebagai persiapan dalam kehidupan di akhirat kemudian. Allah Swt berfirman, bahwa ”Malaikat Jibril menurunkan Al Qur’an ke dalam hati manusia seizin Allah, membenarkan apa yang sebelumnya dan menjadi petunjuk, serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman” (QS, 2 : 97).
Sebagai buku suci terakhir, yang sempurna dan komplit, yang ditujukan untuk keperluan manusia hidup di dunia, seyogianya mencakup seluruh hal ikhwal dalam konteks petunjuk yang diperlukan manusia. Buku petunjuk itu merupakan berita gembira bagi manusia. Dalam kaitan ini, Allah Swt telah berfirman dalam Surat An’aam (QS, 06 : 38), ”.... Tidaklah Kami alpakan sesuatu apa pun di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an)”. Sebagai buku suci terakhir, itu berarti berlaku sejak diturunkannya hingga nanti waktu kiamat datang. Ini artinya Buku Suci ini tidak akan direvisi, dirubah atau diganti oleh siapapun, karena Allah Swt telah berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya (QS, 15 : 9).  


D. PEMBAHASAN:  BAGAIMANA MENYIKAPINYA.

1. Analisis Terhadap Aliran Ahmadiyah.

Dalam mengkaji masalah yang berkaitan dengan Aliran Ahmadiyah ini, perlu menganalisis sejumlah unsur atau ketetapan yang dimaksud oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia. Kemudian, mengkaji inti persoalan yang ditimbulkan oleh Ahmadiyah – apakah hal tersebut masih sejalan dengan ketentuan Agama Islam dan apakah hal tersebut dimengerti oleh masyarakat umumnya. Hal yang terakhir perlu dikaji  bagaimana penerapan hukum seharusnya dilakukan dalam kaitan dengan kepastian hukum yang diperlukan.
Pertama, untuk menerapkan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar yang dimaksud dalam bagian terdahulu,  dirasakan perlu untuk mengkaji apa yang dimaksud dengan ‘agama’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan atau kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Menurut Emile Durkeim, agama adalah suatu sistem yang terpadu dan terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci [62]. Menurut Niels Mulder, yang dikutip oleh Afif Muhammad, agama dapat diartikan sebagai suatu doktrin dan ajaran yang termuat kitab suci, dan agama merupakan aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah [63]. Jadi, dari kedua pengertian dan pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa suatu agama memiliki suatu ajaran atau aturan mengenai keimanan terhadap Tuhan YME,  memiliki kitab suci tertentu, dan penerapannya dapat dilihat dari perjalanan agama itu dalam konteks sejarah.
Dari Pengertian tersebut, jika satu agama yang memiliki keimanan dan kitab suci tertentu; dan jika isi kitab suci atau sistem keimanannya itu dirubah oleh pihak lain, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa agama dengan ketentuan keimanan dan kitab suci yang dirubah itu sama seperti yang dimaksud oleh agama dalam pengertian yang pertama. Sebagai contoh, jika ada orang yang mengaku sebagai nabi untuk agama Kristen, dan bernama si Pacul, bukan Nabi Isa as, dan lahir bukan di Betlehem, serta di salib di tempat lain, katakanlah di Punjab, India; untuk itu, isi Kitab Suci Injil dirubah, pertanyaannya: apakah umat Kristiani dapat menerimanya? Atau apakah aliran ini dapat pula dikatakan sebagai agama kristen? Kaum Kristiani arus utama hampir dapat dipastikan sukar untuk menerimanya, atau paling tidak dikatakan mereka sebagai aliran yang sesat. Dengan analogi yang sama, agama dalam pengertian yang sistem keimanannya telah dirubah harus memiliki nama lain dan berbeda dari yang pertama, atau paling tidak dikatakan bukan merupakan agama dengan pengertian asalnya. Apabila agama yang memiliki nama tertentu, dan sistem keimanan dan isi kitab sucinya dirubah maka dapat disimpulkan bahwa hal itu merupakan penyimpangan terhadap hakikat dari agama pertama. Dalam konteks Yurisprudensi Indonesia yang telah diperluas, hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak atau kepentingan orang lain, dan merupakan pelanggaran hukum [64]; terlebih pendukung hak dalam hal ini adalah Tuhan Yang Maha Esa.   Oleh karena itu, untuk kepentingan kepastian hukum, definisi atau pengertian agama yang demikian, seperti yang disimpulkan di atas,  sebaiknya digunakan demi penerapan hukum yang baik, sehingga tidak menimbulkan ketidak pastian hukum yang akut.
Kedua, berdasarkan uraian pada butir pertama di atas, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa Ahmadiyah adalah suatu agama, atau  yang pasti bukan agama Islam. Agama Islam dalam pengertian yang utuh memiliki kitab suci tertentu, yaitu Al Qur’an, yang tidak pernah dirubah semenjak diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad Saw. Nabi Saw merupakan Nabi penutup, tidak saja berdasarkan ayat Al Qur’an, tetapi juga berdasarkan sejumlah Hadist. Al Qur’an diyakini pula tidak akan pernah dirubah hingga kiamat nanti. Dengan demikian, kekerasan yang terjadi bukanlah merupakan konflik antar agama, atau antara agama A dengan agama B, yang masing-masing mempunyai kitab suci atau sistem keimanan yang berbeda. Jadi, dalih yang menyebutkan bahwa Ahmadiyah harus dilindungi sehubungan dengan ketentuan UUD 1945 dan Perubahannya, yang khususnya terkait dengan hak azasi manusia, tidaklah relevan.  Jika Ahmadiyah mengaku bukan merupakan agama Islam, maka tampaknya umat Islam arus utama tidak akan bereaksi secara negatif. Namun,di sinilah masalahnya, dan Ahmadiyah tampaknya memiliki kepentingan dengan memakai nama agama Islam, tetapi keyakinan dan sistem keimanannya dirubah. Dari sini saja sudah terlihat, atau dapat diduga,  adanya motivasi tertentu di belakang gerakan Ahmadiyah tersebut.
 Ketiga, ditinjau dari apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah, yaitu mendompleng dan merubah sejumlah Ayat-ayat Al Qur’an, berdasarkan kajian hukum di muka, maka dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum atau plagiarisme. Masalah yang dilakukan Ahmadiyah itu adalah, pada intinya, mengganti ayat-ayat Al Qur’an dengan kata-kata yang dipilih sendiri, sehingga mendukung pengakuan diri Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, maka hal itu sudah merupakan penodaaan terhadap Kitab Suci Umat Nabi Besar Muhammad Saw, dan merusak Agama Islam secara keseluruhan. Di sisi lain,  seperti yang telah disebutkan di muka, bahwa umumnya masyarakat Indonesia tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah itu. Bahkan, suvey itu menyimpulkan bahwa para responden tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah. Kaum muslimin yang taat kepada agama Islam dengan Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi terakhir, dan memegang kesucian Al Qur’an yang utuh, tidak akan dapat menerima, jika mengetahui bahwa Nabi dan isi Al Qur’an nya telah dirubah, ditukar, didomplengi oleh dan demi kepentingan seseorang yang bernama Mirza Ghulam Ahmad.
Di masa lalu, seperti yang telah diuraikan di muka, mazhab-mazhab yang menyimpang dari keyakinan mazhab yang lebih besar dikeluarkan dari mazhab yang besar itu, atau ditolak sebagai bagian  Agama Islam. Pemimpin yang paling ekstrim pun ada yang dibunuh oleh kaum muslimin lainnya. Oleh karena itu, kekerasan yang terjadi terhadap Ahmadiyah yang dilakukan dari waktu ke waktu, oleh masyarakat muslim lainnya itu, adalah karena mereka menganggap bahwa Agama, Nabi dan Kitab Sucinya telah dinodai oleh Ahmadiyah. Jadi, sebenarnya, apa yang terjadi dari segi hukum adalah bahwa kepentingan mereka telah diselewengkan, atau jelas melanggar kepentingan mereka.      
Keempat, tambahan pula, hukum dapat juga diartikan sebagai norma-norma yang hidup di masyarakat, dan memiliki sanksi jika dilanggar. Sanksi ini dapat bersifat formil atau informil, dan dapat berupa kontrol sosial, seperti pengucilan oleh masyarakat terhadap pihak yang melanggar norma-norma tersebut. Dalam kasus Ahmadiyah, norma ini telah terbentuk dari sikap resmi masyarakat Islam, yang umumnya menentang keberadaan paham Ahmadiyah. Sikap ini diwakili oleh fatwa MUI sebagai wakil dari masyarakat Islam arus utama, dan pihak-pihak lainnya. Bahkan, sejumlah institusi hukum dan Kepala Daerah telah memutuskan untuk menghentikan seluruh kegiatan Ahmadiyah, dan/ atau merekomendasikan untuk membubarkan aliran ini.  Hanya saja, dalam menyikapi Ahmadiyah, “sanksi” yang diberikan oleh masyarakat berlebihan, karena yang dilakukannya itu  juga merupakan perbuatan melawan hukum yang lebih buruk  secara phisik, dengan merusak harta atau milik orang lain, dan dapat menghilangkan nyawa orang. Tampaknya, hal ini terjadi karena ketidak puasan masyarakat umumnya terhadap penegakan hukum di Indonesia, dan menunjukkan tiadanya kepastian hukum. Intinya, sanksi yang diberikan berada di luar koridor hukum terhadap norma yang berlaku. Di sini, jelas tampak bahwa penyelesaian masalah Ahmadiyah berkisar pada penerapan kepastian hukum yang lebih tegas.  


2. Penerapan Kepastian Hukum Yang Diperlukan.

Uraian di atas jelas menunjukkan adanya masalah hukum terhadap aliran Ahmadiyah. Menurut Gustav Radbruch, yang dikutip oleh Bambang Sutiyoso, suatu tujuan hukum yang ideal harus mencapai keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit), dan kemanfaatan (zweckmassigkeit) [65]. Namun, kedua pengertian pertama tersebut cenderung memasang jarak antara keduanya, yang perlu selalu diusahakan dapat berdekatan. Masalah keadilan tidak dapat terlepas dari masalah kepastian hukum. David Hume berpendapat bahwa, kebutuhan akan hukum adalah karena adanya dorongan pada preferensi akan keadilan[66].
Sebagai tujuan hukum [67], penciptaan kepastian hukum dan keadilan mempunyai penekanan yang berbeda. Menurut Jonker Sihombing, kepastian hukum menekankan bahwa hukum ditegakkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah ada, dan dijalankan secara benar tanpa adanya diskriminasi. Ini artinya bahwa hukum diterapkan secara konsisten, yaitu putusan yang sama diberikan terhadap perkara yang sama, similia similibus. Eksistensi dari kepastian hukum semakin terbentuk dengan adanya kodifikasi hukum yang lebih lengkap dan terkini. Hal ini sejalan dengan paham positivisme atau asas legisme, yang juga dianut oleh Indonesia [68].
Dalam kasus Ahmadiyah, masyarakat Islam arus utama menginginkan bahwa Agama dan  Kitab Suci Al Qur’an  tidak dibajak atau didompleng, dan Nabi-nya tidak diganti; secara alami umat Islam menentang perubahan-perubahan tersebut yang, bahkan, disebar luaskan untuk mempengaruhi umat Islam yang lain. Bagi pihak Ahmadiyah, jelas tidak dapat menerima adanya kekerasan yang dilakukan terhadap mereka. Di sisi lain, untuk kepastian hukum sudah terdapat ketentuan peraturan yang dikeluarkan, baik oleh pemerintah pusat, maupun oleh pemerintah daerah.
Dalam tahun 1965, Presiden Republik Indonesia, melalui Surat Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalah-Gunaan dan /atau Penodaaan Agama, menyebutkan bahwa: Pasal 1, “Bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Lebih lanjut, diatur bahwa organisasi itu dapat dibubarkan (Pasal 2 Ayat 2); dan apabila pengurus atau orang itu masih melakukan hal-hal yang dimaksud, maka dapat dipidana selama lima tahun penjara [69].
Dari pemerintah pusat, pertama, terdapat Kajian Tim Pakem Pusat yang diikuti oeh Kejaksaan Agung RI, DEPAGRI, Mabes Polri, MUI dan DEPAG, tanggal 12 Mei 2005. Tim ini menyimpulkan bahwa ajaran Ahmadiyah adalah ajaran sesat; dan untuk itu, dan Pakem merekomendasikan agar golongan ini dilarang di seluruh wilayah NKRI [70]. Kedua, Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri No. 3  Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/IA/6/2008, Nomor 199  tahun 2008. Keputusan ini  memberikan peringatan dan perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, bahwa melakukan kegiatan agama yang menyerupai agama lain, dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku [71]. 
Dari pemerintah Daerah, Gubernur Jawa Timur, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Sulawesi Selatan, dan Gubernur Sumatera Barat telah mengeluarkan masing-masing Surat Keputusan. Keputusan-keputusan ini bertujuan a). untuk membatasi aktivitas jemaat Ahmadiyah di Jatim, dalam rangka menjaga kemanan dan suasana yang kondusif[72], b). melarang aktivitas Ahmadiyah, sepanjang mengaku Islam, c). untuk menghentikan penyebaran penafsiran, dan d).  kegiatan yang, menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama Islam[73], dan perintah untuk menghentikan seluruh kegiatan Ahmadiyah beserta publikasi atributnya [74]. Keputusan ini sesungguhnya telah dilakukan atau diterapkan di negara lain, seperti Saudi Arabia, Pakistan, Malaysia dan Brunei [75].  Dari segi materi untuk kepastian hukum, ketentuan-ketentuan ini sudah dapat di formalisasikan ke dalam bentuk yang lebih tinggi, seperti memperkuat keputusan Presiden yang pernah dilakukan oleh Presiden Sukarno; atau bahkan dibuat UU tersendiri untuk memperkuat dan memperjelas ketentuan agama yang berlaku berjumlah enam, tetapi dijelaskan mengenai pengertian ‘agama”yang diperlukan, dan diartikan juga bukan menyerupai agama yang telah ada. Ketentuan pemerintah untuk membubarkan Badan Hukum Ahmadiyah itu; juga demi kemanfaatan hukum. Manfaat nya adalah masyarakat Islam arus utama akan tenang, dan tidak akan timbul kekerasan yang diakibatkan penodaaan Agama Islam.


E. PENUTUP

1.      Simpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa:

a).  Ahmadiyah merupakan aliran yang menyerupai agama Islam, tetapi bukan Agama Islam.
b).  Ahmadiyah telah berusaha menyebarkan pahamnya, dan mengganti Nabi Muhmmad Saw dengan Mirza Ghulam Ahmad, dan mendompleng, merubah, dan mengganti sejumlah Ayat-ayat Al Qur’an untuk kepentingan diri dan kelompok sendiri.
c).  Patut diduga bahwa di belakang digunakan nama agama Islam terdapat maksud-maksud untuk melumpuhkan agama Islam yang ada dalam bentuk asli dan  baku.
d).  Kekerasan yang terjadi adalah bukan konflik agama, tetapi reaksi negatif yang berlebihan dari umat Islam arus utama terhadap penodaan yang dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap kesucian Al Quran, dan pelecehan terhadap penghormatan yang tinggi kepada Nabi Besar Muhammad Saw.
e).  Aliran, yang menyerupai paham dan sistem keimanan yang ada dalam suatu agama yang telah diakui secara formil oleh Pemerintah, sebaiknya tidak dikatakan sebagai agama, baik baru maupun mengganti yang lama.


2. Saran

Sehubungan dengan Kesimpulan di atas, maka diajukan saran berikut.

a).  Untuk mencapai kepastian hukum yang lebih baik, dan sekaligus mencapai keadilan bagi pihak umat Islam arus utama dan bagi aliran Ahmadiyah, dan untuk mencegah agar kasus-kasus serupa tidak terjadi ulang, sangat diperlukan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan agama dalam ketentuan undang-undang yang berlaku, sesuai dengan pengertian yang dimaksud dalam kesimpulan e) di atas.
b).  Diperlukan untuk mengeluarkan ketentuan pemerintah yang lebih tinggi dan menyeluruh dari Mahkamah Agung, yaitu untuk mengkonkritkan norma yang telah terbentuk dan diwakili oleh MUI, dan menindak lanjuti Keputusan Aparat Hukum serta Keputusan sejumlah Gubernur Kepala Daerah, mengenai pembubaran badan hukum Aliran tersebut.



************** HHO **************


 


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporere, Yogyakarta: LkiS Group, 2010.
Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Tanggerang: Gaya Media Pratama, 2011.
Amin Djamaludin, M. Fakta dan Data Ahmadiyah Menodai Islam., Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2011.
Arif Muhammad, Agama & Konflik Sosial, Bandung: Penerbit Marja, 2013.
Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2010.
Bernard L. Tanya, (et.al), Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.
Hasibullah Sastrawi, Ahmadiyah dan KeIndonesian Kita, Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011.
Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana, Jakarta: Diadit Media, 2006.
Moosith Ghazali, Abd. Argumen Pluralisme Agama, Depok: KataKita, 2009.
Muchlis M. Hanafi, Menggugat Ahmadiyah, Mengungkap Ayat-Ayat Kontroversial dalam Tafsir Ahmadiyah, Tanggerag: Lentera Hati, 2011.
O.C. Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum Jilid 2, Bandung: Penerbit Alumni, 2007.
Quraish Shihab, M., Membumikan Al Qur’an. Bandung : Mizan Pustaka, 2007.
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Penerbit Alumni, 1991.
Thaha Abdullah Al-Afifi. Sifat dan Pribadi Muhammad. Jakarta : Senayan Publishing.
Umar Shihab, Kontekstualitas Al Qur’an, Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al Qur’an, Jakarta: Permadani, 2008.
Wawan H. Purwanto, Cikeusik Tragedy, A lesson From Ahmadiyah Case. Jakarta : CMB Press, 2011.

Literatur Lainnya

Abu Asiah, “Ahmadiyah Adalah Agama Pengekor Nabi Palsu”. [22/08/2012].
http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir.
Jodhi Yudono, ”Ahmadiyah Islam atau Bukan?”. <http://oase.kompas.com/read/2011/02/14/12050819> [14/02/2011]
Syarif Ahmad Lubis, MI, “Latar Belakang Berdirinya Jemaat Ahmadiyah”. <http://www.alislam.org/indonesia/latar.html> [1994].
Wikipedia Bahasa Indonesia, “Agama”, [13/05/2013].
Wikipedia Indonesia, “Ahmadiyah”, <http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyah> [25/03/2013] 



[1] Arif Muhammad, Agama & Konflik Sosial, Bandung: Penerbit Marja, 2013, hlm.110.
[2] Wawan H. Purwanto, Cikeusik Tragedy, A lesson From Ahmadiyah Case, Jakarta : CMB Press, 2011, hlm. 22- 25.
[3] Wawan H. Purwanto. Ibid,   hlm. 25.
[4] Sebagian besar uraian mengenai mazhab-mazhab ini merupakan inti sari dari buku Muhammad Abu Zahrah, yang berjudul  Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Tangerang: Gaya Media Pratama,  2011.
[5] Abu Zahrah, Muhammad, Ibid, hlm. 19.
[6] Abu Zahrah, Muhammad, Ibid, hlm. 113.
[7] Abu Zahrah, Muhammad, Ibid, hlm. 34.
[8] Abu Zahrah, Muhammad, Ibid, hlm. 64. 
[9] Abu Zahrah, Muhammad, Ibid, hlm.69-70.
[10] Abu Zahrah, Muhammad, Ibid, hlm.120.
[11] Abu Zahrah, Muhammad, Ibid, hlm.263.
[12] Amin Djamaludin, M. Fakta dan Data Ahmadiyah Menodai Islam., Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2011, hlm. 108-109.
[13] Amin Djamaludin, Ibid, hlm. 111-112.
[14] Amin Djamaludin, Ibid, hlm. 115-116.
[15] Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya.
[16] Amin Djamaludin, M. Ibid, hlm. 120-121.
[17] “Agama di Indonesia” [05/2013]
[18] Amin Djamaludin, M., Ibid, hlm. 138 -149
[19] Amin Djamaludin, M., Ibid, hlm.153-157.
[20] Hasibullah Sastrawi, Ahmadiyah dan Ke-Indonesian Kita, Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011,  hlm. 38
[21] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 41.
[22] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 45.
[23] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 46.
[24] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 24.
[25] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 26.
[26] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 37.
[27] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 43.
[28] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 43.
[29] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 44
[30] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 46.
[31] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 47.
[32] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 63-65.
[33] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 107.
[34] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 141.
[35] Hasibullah  Sastrawi, Ibid, hlm. 139.
[36] http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir.
[37] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporere, Yogyakarta: LkiS Group, 2010, hlm. 31.
[38] Quraish Shihab, M., Membumikan Al Qur’an, Bandung : Mizan Pustaka, 2007, hlm.46.
[39] Muhammad Abu Salma menyebutkan bahwa setiap penafsiran ayat diletakkan di bawah ayat yang ditafsir, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Jarir At Thobary, dan lainnya. Muhhamad Abu “Salma. Sejarah Tafsir dan Perkembangannya” [2009]
[40] Umar Shihab, Kontekstualitas Al Qur’an, Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al Qur’an, Jakarta: Permadani, 2008, hlm. xi.
[41] Menurut Quraish Shihab, berdasarkan beberapa ayat, Al Qur’an mengisyaratkan agar masyarakat berkembang ke arah yang positif; oleh karena itu, setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al Qur’an, terutama bagi hal-hal yang berkaitan dengan muamalah. Di sini, arti dam maksud perintah agama harus terlebih dahulu diperhatikan. Di samping itu, Al Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia pada setiap tempat dan waktu,;dan untuk itu, manusia harus menggunakan akal pikirannya, yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuannya. Quraish Shihab, Op.Cit, hlm, hlm. 80.  
[42] Quraish Shihab menyebutkan koridor ini sebagai kebebasan yang bertanggung jawab, dengan memperhatikan pembatasan tertentu dalam menafsirkan Al-Qur’an. Batasannya adalah, antara lain, a). yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka, b). yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya, c). yang tidak diketahui kecuali oleh ulama, dan c). yang tidak diketahui kecuali oleh Tuhan. Quraish Shihab, Op.Cit, hlm.72.
[43] Umar Shihab, Kontekstualitas Al Qur’an, Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al Qur’an, Jakarta: Permadani, 2008, hlm.  3.
[44] Syarif Ahmad Lubis, MI, “Latar Belakang Berdirinya Jemaat Ahmadiyah”, <http://www.alislam.org/indonesia/latar.html> [1994].
[45] Abu Asiah, “Ahmadiyah Adalah Agama Pengekor Nabi Palsu”, [22/08/2012].
[46] Jodhi Yudono, ”Ahmadiyah Islam atau Bukan?”. <http://oase.kompas.com/read/2011/02/14/12050819> [14/02/2011]
[47] Wikipedia Indonesia. “Ahmadiyah”, <http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyah> [ 25/03/2013]  
[48]Sebagian besar dari uraian mengenai Ahmadiyah ini merupakan ikhtisar yang dianggap paling penting dan diintisarikan serta dikutip dari buku M Amin Djamaludin, dari bukunya yang berjudul Fakta dan Data Ahmadiyah Menodai Islam., Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2011. Mengenai ayat-ayat yang dibajak oleh Ahmadiyah, penulis ini mengambil dan mengutip langsung dari Tadzkirah.  
[49] Amin Djamaludin, M., Fakta dan Data Ahmadiyah Menodai Islam., Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2011, hlm. 93-95.
[50] Amin Djamaludin, M. Ibid, hlm.93.
[51] Muchlis M. Hanafi, Menggugat Ahmadiyah, Mengungkap Ayat-Ayat Kontroversial dalam Tafsir Ahmadiyah, Tanggerag: Lentera Hati, 2011,  hlm. 19.
[52] Amin Djamaludin, M., Loc. Cit,  hlm. 76.
[53] Amin Djamaludin, M., Loc. Cit, hlm. 77
[54] Thaha Abdullah Al-Afifi, Sifat dan Pribadi Muhammad, Jakarta : Senayan Publishing, hlm. 3-4.
[55] Moosith Ghazali, Abd, Argumen Pluralisme Agama, Depok: KataKita, 2009 ,hlm. 81.
[56] Amin Djamaludin, M., Loc. Cit,  hlm. 39.
[57] Amin Djamaludin, M., Loc.Cit, hlm. 73.
[58] Amin Djamaludin, M., Loc Cit., hlm. 39-71.
[59] Amin Djamaludin, M., Loc Cit., hlm. 73-75.
[60] Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Penerbit Alumni, 1991, hlm. 128-129.
[61] Pendapat ini dijelaskan secara langsung oleh Prof. Man Suparman kepada penulis secara lisan pada tanggal  26 Juni 2013, di Kampus Imam Bonjol 21, Universitas Padjadjaran, Bandung.
[62] Wikipedia Bahasa Indonesia, “Agama”, [13/05/2013].
[63] Afif Muhammad, Agama & Konflik Sosial, Bandung: Penerbit Marja, 2013, hlm.17.
[64] Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana, Jakarta: Diadit Media, 2006, hlm. 77.
[65] Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2010, hlm. 9.
[66] Bernard L. Tanya, (et.al), Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm. 88.
[67] Kaligis, O.C., Antologi Tulisan Ilmu Hukum Jilid 2, Bandung: Penerbit Alumni, 2007, hlm. 58.
[68] Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 50.
[69] Amin Djamaludin, M., Loc. Cit, hlm. 120-121.
[70] Amin Djamaludin, M., Loc.Cit., hlm. 138 -149.
[71] Amin Djamaludin, M., Loc.Cit., hlm. 153-157.
[72] Hasibullah  Sastrawi, Loc.Cit., hlm. 38
[73] Hasibullah  Sastrawi, Loc.Cit., hlm. 45.
[74] Hasibullah  Sastrawi, Loc.Cit., hlm. 46.
[75] Ali Mustofa Akbar. “Kasus Ahmadiyah Bukan Soal Kebebasan Beragama, Tapi Penodaan Agama”   [02/2011]