MENYIKAPI ALIRAN AHMADIYAH
Oleh:
Hendy Herijanto
Pasca Sarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
hendyherijanto@gmail.com
ABSTRAK
Dalam rangka menyikapi aliran Ahmadiyah yang
kontroversial, tulisan ini mencoba meneliti perbedaan antara konflik antar
agama dengan kekerasan yang terjadi terhadap penganut aliran Ahmadiyah. Inti
perbedaan terletak pada pengertian agama, apakah aliran yang menyerupai agama
yang telah ada dapat dikatakan sebagai agama (yang sama). Untuk kepastian hukum,
pengertian agama ini diperlukan dalam rangka mengkaji apakah agama yang demikian
itu tercakup dalam ketentuan UUD 1945 dan Perubahannya, khususnya dalam kaitan
dengan hak asasi manusia dalam hal melakukan praktik agama. Di samping itu, perlu
ditentukan apakah perbuatan Ahmadiyah itu merupakan pelanggaran hukum atau
tidak. Inti sari pandangan berbagai mazhab yang pernah ada setelah masa Nabi
Besar Muhammad Saw juga dikemukakan untuk membandingkan dan memastikan dari
segi keislaman apakah yang dilakukan oleh aliran Ahmadiyah dalam kaitan dengan
keimanan Islam dapat diterima atau tidak.
Berdasarkan definisi dari Kamus Besar Bahasa
Indonesia, dan pendapat dari Niels Mulder dan Emile Durkeim, dapat disimpulkan
bahwa, untuk kepastian hukum, aliran Ahmadiyah bukan merupakan agama, atau pastinya
bukan Agama Islam, karena telah merubah sistem keimanan Islam, dengan mengakui
Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi, dan mendopleng, merubah serta mengganti ayat-ayat Al Qur’an asli,
yang merupakan hak mutlak Allah Swt, demi kepentingan diri dan kelompok
sendiri. Ahmadiyah telah menodai kesucian Al Qur’an, dan penghormatan yang
tinggi dan diberikan oleh umat Islam di seluruh dunia terhadap Nabi Besar
Muhammad Saw. Dari segi hukum, perbuatannya paling tidak telah melanggar hukum
menurut ketentuan Yurisprudensi Indonesia mengenai pelanggaran hukum.
Kata Kunci: Agama, sistem keimanan, plagiarisme, pelanggaran hukum, dan
kepastian hukum.
ABSTRACT
In
an effort to evaluate the practices done by the controversial Ahmadiyah group,
this paper endevours to differentiate between religious conflict with the violence done to
this group by the moslem people. The main issue rests upon the definition of
religion. For the sake of rule of law, the exact definition is deemed important in
view of the apllication of a certain article in the Indonesian Constitution
governing the human right to undertake their religious belief. Besides, the
next issue is then to determine whether or not what the group have been
practicing are considered as a vilolation of law. The main views of various
Islamic sects that existed after the era of the Prophet Muhammad Puh are also
presented, as a base to judge whether or not the practices of the group in
question can be considered as Islamic, or being a part of Islam as a religion.
Based
on the definition and opinion about religion given by the Indonesian Langguage
Dictionary, Niels Mulder and Emile Durkeim, it can be concluded that the
Ahmadiyah Group can not be considered as a religion, particularly not the religion
of Islam, because they have changed the system of Islamic faith, by officially
claiming Mirza Gulam Ahmad as a prophet replacing the Prophet Muhammad, and changing a large number of Qur’anic verses
that essentially owned by the Almighty God, the main and only Author, for the
sake of his and his group’s benefits. Obviously, Ahmadiyah has tainted the sanctity
of the Holy Book Al Qur’an, and the sincere and high respect given by all the
moslem all over the world to the Prophet Muhammad Puh. In the perspective
of law, their practices have been violated at a minimum the Indonesian Yurisprudence
concerning the violation of law.
Key words: Religion, faith system, plagiarism, violation
of law, and rule of law.
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Dari masa ke masa, Indonesia mengalami konflik
agama. Konflik yang paling besar adalah antara kaum muslim dengan pihak komunis
Indonesia di tahun 1965. Pada awal 1970, konflik yang dapat dianggap besar juga
terjadi antara masyarakat Muslim dengan
kaum Kristiani, sehubungan dengan pendirian gereja-gereja di banyak tempat di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam waktu 5 tahun semenjak 1965, misionaris Kristen
telah berhasil membabtis 2000.000 orang muslim menjadi Kristen [1].
Sejak tahun 2010, terdapat 13 kali penyerangan
oleh kaum muslim umumnya terhadap para anggota atau penganut aliran Ahmadiyah,
yang juga mengaku sebagai orang Islam [2].
Dari seluruh kejadian ini, yang paling besar terjadi di Ciukesik dalam bulan
Februari 2011; 2000 anggota Ahmadiyah diserang oleh masyarakat muslim lainnya [3].
Karena penyerangan ini berkaitan dengan unsur agama, banyak pihak menganggap
kejadian ini juga merupakan konflik antar agama.
Penyelesaian kekerasan terhadap kasus Ahmadiyah
tidak pernah tuntas. Agar kekerasan serupa tidak terulang, maka untuk menyelesaikannya,
diperlukan sikap yang pasti terhadap aliran tersebut, dengan mengetahui apa
sesungguhnya yang dilakukan oleh mereka.
2. Tujuan Penulisan
Tulisan ini
mencoba untuk menelusuri perbedaan antara konflik antar agama dengan kekerasan
yang terjadi terhadap penganut aliran Ahmadiyah. Pertanyaannya di sini adalah
apakah Ahmadiyah merupakan agama yang berdiri atas dirinya sendiri. Dengan
mengetahui secara jelas perbedaan antara konflik agama dan kekerasan tersebut,
serta apakah Ahmadiyah tercakup dalam pengertian ‘agama’, maka dapat pula
ditinjau bagaimana Pemerintah seharusnya bersikap terhadap kegiatan Ahmadiyah
tersebut, sehubungan dengan ketentuan peraturan yang berlaku di Negara
Indonesia.
Di samping itu, untuk menentukan sikap terhadap
aliran Ahmadiyah ini, kajian singkat dilakukan untuk mengintisarikan berbagai
aliran atau mazhab yang muncul dalam sejarah Islam, setelah masa Nabi Besar Saw.
Dengan hasil perbadingan dari mazhab-mazab ini, ditambah dengan sikap formil
dari berbagai negara terhadap aliran tersebut, kiranya dapat mendukung simpulan
yang dapat diambil dari tulisan ini.
B. KAJIAN LITERATUR: DASAR PENGKAJIAN
1. Aliran-Aliran Terdahulu sebagai Pembanding [4]
Kajian singkat ini diharapkan dapat menyimpulkan
unsur atau pandangan pokok yang membedakan antara aliran atau mazhab, dan
mengambil kesimpulan apakah unsur atau pandangan yang dinyatakan dalam Aliran
Ahmadiyah itu dapat ditoleril atau tidak. Jika tidak, apakah dapat disimpulkan
bahwa perbedaan yang tidak dapat diterima itu juga berarti bahwa Ahmadiyah
tidak dapat dikatakan bagian dari Islam, atau sebaliknya.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, keberagaman aliran
atau mazhab dalam Islam berkaitan, antara lain, dengan dua aspek yang utama,
yaitu aspek politik, dan aqidah. Mazhab
politik pada dasarnya berkaitan dengan persoalan kekhalifahan dengan puncak
kepemimpinnya (al-imamah), tetapi
juga menyangkut masalah keagamaan[5].
Dalam kaitan dengan aqidah, tidak terdapat perbedaan yang mendasar, terutama
dilihat dari apa yang diyakini dan dipraktikkan oleh dua kelompok besar yang berbeda
di masa Nabi Saw, yaitu kelompok Muhajirin dan Anshar. Mereka pada umumnya mengenal
sifat-sifat yang layak dan tidak layak bagi Allah melalui ayat-ayat Al Qur’an.
Karena bagian langsung dari bangsa Arab, dengan mudah mereka mengikuti dan
mentaati sunah Rasul [6].
a.
Mazhab Politik
Dalam mazhab politik, terdapat sejumlah aliran,
yaitu terdiri dari Syiah dan Khawarij. Di sini, inti dari persoalan mazhab adalah siapa yang seharusnya menjadi khalifah
setelah Nabi Saw wafat, sehubungan tidak adanya nash yang qathi atau
petunjuk dari Nabi. Aliran Syiah berpandangan dan sepakat
bahwa Ali adalah khalifah pilihan Nabi Muhammad Saw, dan beliau dianggap orang
yang paling utama (afdhal) di antara
para sahabat. Kelompok Syiah berkembang menjadi sejumlah aliran, yang di antara
nya bersifat ekstrim, dan keluar dari Islam karena dan ditolak oleh Syiah. Mereka
adalah Saba’iyyah, Ghurabiyyah, Klasaniyah, Zaidiyyah, Imamiyyah Itsna
‘Asyariyah, Ismailiyyah, Hakimiyyah dan Druz, dan Nashiriyah. Pandangan ekstrim
mereka dapat dikhtisarkan dalam tabel berikut [7]:
Tabel 1.: Aliran Syiah
Ekstrim dengan Pandangannya yang Ekstrim
Aliran Syiah Ekstrim
|
Pandangan Ekstrim
|
Saba’iyyah
|
Nabi memilih penerima wasiat, dan Ali penerima wasiat terbaik; dan Nabi
Saw akan kembali ke dunia.
|
Ghurabiyyah
|
Lebih memuliakan Ali dari pada Nabi Muhammad Saw. Risalah kenabian
seharusnya jatuh kepada Ali.
|
Kalasniyah
|
Akidahnya tidak didasarkan pada ketuhanan para iman dari Ahlulbait,
tetapi atas paham bahwa seorang imam adalah pribadi yang suci dan wajib
dipatuhi.
|
Zaidiyyah
|
Para imam sebagai manusia paling
utama setelah Nabi Saw.
|
Imamiyyah Itsna
‘Asyariyah
|
Ali sebagai imam melalui penunjukkan Nabi Saw berdasarkan nash yang pasti dan tegas dari Nabi.
|
Ismailiyyah
|
Menerapkan nash yang diperoleh
dari ayah Ismail, bernama Ja’far; ucapan-ucapan seorang imam sama dengan nash syara dan wajib dilaksanakan.
|
Hakimiyyah dan
Druz
|
Allah bersemayam dalam diri imam, al Hakim bi Amrillah al Fathimi, dan
mengajak orang untuk menyembahnya. Setelah dibunuh, orang meyakini dia masih
hidup dalam keadaan bersembunyi, dan akan kembali. Drus menyembunyikan amalan
dan kepercayaan mereka.
|
Nashiriyah
|
Keluarga Ali diberi ilmu pengetahuan yang sempurna oleh Allah. Ali tidak
mati, dan Ali adalah Tuhan atau mendekati Tuhan. Pengetahuan mengenai batin
hanya dimiliki oleh imam,
dan imam diberikan cahaya sehingga memahami hakikat syariah, baik lahir maupun
batin.
|
Sumber:
Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Tanggerang: Gaya
Media Pratama, 2011, hlm. 40- 62.
|
Dari tabel di atas dapat dengan mudah dicermati alasan
kenapa aliran yang disebutkan itu dianggap ekstrim, dan ditolak oleh kelompok
Syiah. Pandangan ekstrim mereka degan jelas terlalu mengkultuskan Ali sebagai
pemimpin, dan melebihi penghormatan kepada Nabi Besar Muahammad Saw, yang jelas-jelas
dinyatakan sebagai Rasul Allah dalam Al Qur’an. Pandangan yang paling ekstrim
dari kelompok ini mengatakan, bahwa Allah bersemayam di dalam diri seorang imam, al Hakim bi Amrillah al Fathimi; sehingga,
masyarakat diajak untuk menyembah imam itu. Sebagai penolakan keras terhadap
pandangan ini, Imam tersebut dibunuh oleh masyarakat Islam lainnya.
Kelompok kedua dari Mazhab politik adalah aliran
Khawarij. Aliran ini paling militan dalam membela mazhab dan pendapatnya, ketat
membela agama, tetapi suka menyerang pihak lain. Prinsip utama mereka adalah “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah”, yang
tidak boleh dilanggar oleh seorang mukmin. Sifat mereka meliputi berpegang kuat
terhadap lafaz-lafaz Al Qur’an, menebus tawanan perang, cinta mati, suka
menghadapi risiko yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak prinsipil [8].
Prinsip Khawarij yang lain adalah: a).
pemilihan khalifah hanya secara bebas
oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi, b). semua bangsa memiliki hak
yang sama untuk menjadi khalifah, c). pengangkatan imam hanya berdasarkan
kemampuan, bukan berdasarkan syara, d). Orang yang berdosa dianggap kafir, dan
ketentuan berdosa termasuk jika berpendapat yang tidak benar (Surat al An-am,
QS, 6 : 33) [9].
Di dalam
mazhab Khawarij, terdapat sejumlah aliran, yang memiliki pandangan bertentangan
dengan yang lain, sehingga menimbulkan perpecahan, tetapi jarang menimbulkan
peperangan. Aliran dan pendapatnya dapat diikhtisarkan dalam tabel berikut:
Tabel 2. : Aliran Khawarij
dengan Pendapat yang Bertentangan.
Aliran Khawarij
|
Pendapat yang Bertentangan
|
Azariqah
|
Perbedaan pendapat dengan mereka adalah musyrik, dan kekal di neraka,
serta hahal diperangi sebagai musuh dan dapat dibunuh (dar al-harb); musuh itu dapat dirampas hartanya, menahan
anak-anak dan perempuan, diperbudak jika tertangkap, dan dibunuh jika tidak
mau berperang. Tidak mengakui rajam, dan hukum dera hanya bagi perempuan pezina, bukan laki-lakinya,
berdasarkan makna lahir dari Surat Al Nur (QS, 24 : 4). Nabi juga dapat
berbuat dosa besar dan kecil.
|
Najdah
|
Halal untuk memerangi yang tidak ikut berperang. Imam diangkat karena
kemaslahatan, bukan karena wajib. Taqiyyah,
atau dapat mengaku termasuk bagian dari jama’i,
yaitu bagian dari mayoritas Islam, agar tidak diserang dan dibunuh.
|
Shafriyyah
|
Muslim tidak boleh diperangi. Tidak boleh melecehkan anak-anak dan perempuan. Perbedaan pendapat bukan
merupakan zona perang. Perang hanya terhadap tentara pemerintah (bukan orang
sipil).
|
Ajaridah
|
Hanya penganut Khawarij yang bertaqwa, walaupun tidak ikut
berperang, dapat diangkat sebagai
pemimpin. Mampu berperang wajib ikut berperang. Hanya yang menyerang Ajaridah
yang boleh diperangi, dan boleh dirampas
hartanya.
|
Ibadhiyyah
|
Mukmin yang berbeda pendapat bukan sebagai orang musrik, tetapi sebagai
bukan muk’min; dan kafir hanya karena khufur
nikmat, bukan dalam keyakinan, karena hanya lalai mendekat dengan
Allah.Haram memerangi yang berbeda
pendapat karena masih berada dalam wilayah tauhid dan Islam, kecuali wilayah pasukan pemerintah.
Mereka yang berbeda pendapat dapat menjadi saksi, dapat dinikahi, serta saling mewarisi.
|
Sumber:
Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Tanggerang: Gaya
Media Pratama, 2011, hlm. 78 - 84.
|
Tabel di atas menunjukkan bahwa aliran-aliran
tersebut memiliki pandangan yang sangat kental terhadap ajaran Islam. Pandangan
tersebut dapat saja diartikan sebagai kecintaannya yang dalam terhadap Islam;
namun, penerapan syariatnya cenderung menciptakan kemudharatan bagi umat, atau
menimbulkan pertentangan yang tidak perlu di antara umat. Kemudharatan yang
ditimbulkan ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Namun, secara keseluruhan,
pandangan mereka itu tidak ada yang bersifat memutar balikkan ajaran Islam,
tetapi hanya sejauh penafsiran syariat Islam yang berlebihan.
Lebih lanjut, Muhammad Abu Zahrah mengungkapkan
paham-paham Khawarij, yang dianggap keluar dari Islam, karena pendapat-pendapatnya
tidak sedikitpun merupakan bagian dari pendapat Islam yang mutawatir. Aliran
ini adalah sebagai berikut.
Tabel 3. : Aliran Khawarij yang
Dianggap Keluar dari Islam
dan Pendapat yang Bertentangan
Aliran
|
Pendapat yang Bertentangan
|
Yazidiyah
|
Allah akan mengutus seorang rasul dari kalangan luar Arab, dan diberi
kitab untuk menggantikan syariat Nabi Saw.
|
Maimuniyyah
|
Boleh menikahi cucu perempuan dari anak laki-laki dan anak perempuan dari
saudara laki-laki dan saudara
perempuan. Tidak
mengakui surat Yusuf, karena dianggap kisah porno dan tidak pantas
dinisbahkan kepada Allah.
|
Sumber:
Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Tanggerang: Gaya
Media Pratama, 2011, hlm. 84-85.
|
Kedua aliran di atas dengan jelas bertentangan dengan
hakikat dari ayat-ayat Al Qur’an. Keyakinan dari umat Islam dari arus utama, dan
berdasarkan tafsir yang benar terhadap Ayat-Ayat dan Hadits Nabi Saw terkait,
Allah tidak akan mengutus rasul lagi, karena Nabi Muhammad Saw adalah yang
terakhir; apalagi yang akan ditunjuk berasal dari kalangan di luar arab. Di
samping itu, syariat yang di bawa oleh Nabi Saw tidak akan pernah digantikan, dan Al
Qur’an tidak akan pernah direvisi sampai kiamat datang.
b.
Mazhab Akidah
Mazhab ini hanya berkaitan dengan masalah
filosofis di luar kekuasaan Tuhan, keimanan Islam, dan ajaran Nabi Saw, yang
tidak dapat diperdebatkan lagi. Masalah yang membedakan hanya berkisar pada
kebebasan dan keterpaksaan manusia, dosa besar atau kecil, dan apakah Al Qur’an
merupakan makhluk atau bukan makhluk[10].
Berikut ini adalah aliran-aliran yang dimaksud beserta dengan pandangannya.
Tabel 4. : Aliran-Aliran Mazhab
Aqidah dan Pandangannya
Aliran
|
Pandangannya
|
Jabariyyah
|
Semua perbuatan manusia adalah ciptaaan Allah, karena manusia tidak
mempunyai kemampuan, kesanggupan dan daya (Istihahah), kekuasaan, kehendak ataupun usaha sendiri; hanya
memiliki keterpaksaan (majburah).
|
Qadariyyah
|
Semua perbuatan manusia merupakan kehendaknya sendiri, bebas dari
kehendak Tuhan. Tidak ada al qadr
dalam arti al ilm dan al taqdir. “Semua urusan ditetapkan
sekarang”.
|
Murjiah
|
Persoalan pelaku dosa besar diserahkan pada Allah pada hari kiamat.
|
Mutazilah
|
Penganut Mutazillah harus mengakui lima dasar (al Ushul al Khamsa), yaitu: pengesaan Tuhan (al tauhid), keadilan (al
adl), janji dan ancaman (al wa’dwa al wa’id), al manzilah bain al manzilatin, dan
menyuruh berbuat baik dan melarang kemukaran (al amr bi al ma’ruf wa al anby an al munkar).
|
Asyariyyah
|
Umumnya, secara keseluruhan
mempercayai Al Qur’an dan Hadist Nabi Saw. Secara khusus, berpendapat
bahwa orang yang saleh boleh jadi memperoleh kekuasaan dari Allah berupa kharamah, boleh bersedekah dan
mendoakan orang yang meninggal, meyakini Hadits-Hadits ahad, mempercayai
Allah mempunyai wajah dan tangan tetapi tidak menyerupai yang dimiliki
makhluk-Nya, dan mempercayai imam Ahmad yang dianggap terkemuka, pandai dan
arif.
|
Muturidiyyah
|
Kalam Allah merupakan makna yang berdiri pada zat-Nya, dan menyatu pada
zat-Nya, dan kekal bersama kekalnya zat yang Agung. Allah dapat dilihat pada
hari kiamat sebagai keadaan yang khusus, tetapi hanya Allah yang mengetahui
bentuk dan sifatnya. Pelaku dosa besar tidak kekal dalam neraka, dan Allah
boleh jadi dapat mengampuninya.
|
Salafiyyah
|
Keesaan Tuhan sebagai asas Islam yang pertama dan kebenarannya tidak
diragukan lagi, serta tidak ada yang dapat menyerupai-Nya. Menetapkan segala
sesuatu berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah baik berupa sifat, berita maupun
keadaan. Contoh khusus, tidak boleh menziarai kubur orang yang saleh termasuk
Nabi Saw untuk minta keberkatan, kecuali untuk mengambil pelajaran (i’tibar).
|
Sumber: Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan
Aqidah dalam Islam, Tanggerang: Gaya Media Pratama, 2011, hlm. 120-246.
|
Aliran-aliran yang dimaksud di atas tidak ada yang
berpandangan ekstrim seperti yang disebutkan sebelumnya. Pandangan mereka ini umumnya
berkaitan dengan pengertian mengenai syariat Islam yang lebih konservatif, atau
terkadang karena konservatifnya memberikan kesan bahwa pandangan itu bersifat tidak
rasional. Namun, keseluruhan pandangan mereka ini dapat dikatakan, umumnya,
masih sejalan dengan ketentuan Al Qur’an dan Hadits Nabi Saw, dan tidak
bertentangan dengan hakikat syariat Islam yang baku.
c.
Aliran Modern
Di samping aliran-aliran tersebut di atas, Muhammad
Abu Zahrah, juga mengungkapkan aliran-aliran yang dianggap modern, yaitu
Wahabiyyah dan Baha’iyyah di samping Qaiyaniyyah yang merupakan aliran utama
dari Ahmadiyah. Dua yang pertama diuraikan
secara ringkas di bawah ini.
Tabel 5. : Aliran Modern
Menurut Muhammad Abu Zahrah
Aliran
|
Pandangan
|
Wahhabiyyah
|
Tidak cukup hanya ibadah sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah, tetapi
tradisi pun harus mengikuti ketentuan Islam. Mengharamkan merokok. Tidak
cukup berdakwah, tetapi juga perlu
memerangi yang mungkar. Membatasi ziarah kubur. Pendapat mereka yang
benar dan tidak mungkin salah, dan pendapat orang lain sebaliknya.
|
Baha’iyyah
|
Pada dasarnya mengingkari dan menyelewengkan ajaran Islam. Membuang semua
ikatan keIslaman. Menentang Al Qur’an, dan menerbitkan buku nya Al Aqda sebagai wahyu yang
diterimanya. Membatalkan semua ketentuan halal dan haram.
|
Sumber: Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan
Aqidah dalam Islam, Tanggerang: Gaya Media Pratama, 2011, hlm. 250- 263.
|
Dari seluruh aliran yang disebutkan di atas, aliran
Wahabiyyah adalah yang paling ekstrim, tetapi hanya yang berkaitan dengan mentafsirkan
atau menerapkan ketentuan Al Qur’an dan Hadits Nabi Saw yang berlebihan.
Pandangan mereka itu dapat pula dikatakan bersifat sangat konservatif, tetapi
berada dalan haluan kanan, karena tidak menentang ketentuan-ketentuan Tuhan;
dan bahkan sebaliknya, mematuhinya secara ketat, sebagaiman halnya dengan aliran
Salafiyyah.
Paham Baha’iyyah, di lain pihak, adalah aliran
yang sangat bertentangan dengan pandangan Wahabiyyah; oleh karena itu, dapat
dikatakan berhaluan ekstrim kiri, yang paling ekstrim, karena menentang
ketentuan Al Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Peradilan Administrasi Mesir
memutuskan bahwa aliran Baha’iyyah bukanlah agama samawi, dan bukan agama
secara resmi yang diakui. Kementrian Dalam Negeri Mesir menyimpulkan bahwa
aliran ini perusak agama Islam, dan tidak layak mendapat perlindungan. Aliran
ini mendapat dukungan dana dari musuh-musuh Islam, dan berkembang secara agresif pada masa propaganda kolonialisme,
menjadi kuat setelah Perang Dunia II, dan bermarkas di Chicago Amerika [11].
2. Sikap Negara Lain Terhadap Ahmadiyah
Berikut ini adalah sejumlah ketetapan pemerintah
di manca negara yang menunjukkan sikap mereka terhadap aliran Ahmadiyah, yaitu:
a). Penjelasan Rabitah Alam Islami
mengenai Keputusan dan Rekomendasi Konperensi Organisasi-Organisasi
Islam Dunia yang diadakan di Makkah Al Mukaramah, tanggal 14 s/d 18 Rabiul Awal
1394 H. Konferensi ini memutuskan bahwa Qadianiyah atau Ahmadiyah adalah
bertujuan untuk menghancurkan Islam, dan merupakan anak emas Imperialis Inggris
untuk perlindungan imperialis itu. Cara yang dilakukan Ahmadiyah, intinya,
adalah dengan mengakui pemimpinnya
sebagai nabi, merubah teks-teks Al Qur’an, dan menyatakan jihad itu tidak ada.
Muktamar ini juga menyatakan, antara lain, bahwa Ahmadiyah adalah kafir dan
keluar dari Islam[12].
b). Pemerintah Pakistan, melalui Undang-Undang Dasar Sementara Perintah
Perubahan Tahun 1981 Perintah Penguasa Tertinggi Hukum Darurat No. 2 Tahun 1981,
dan diberitakan dalam Berita Negara, tanggal 8 April 1981, di Islamabad, menyebutkan bahwa: “Seorang yang bukan muslim
berarti seseorang yang tidak beragama Islam, dan termasuk beragama parsi, juga
seorang yang termasuk ke dalam kelompok Qadiani
atau kelompok Lahore (yang menamakan diri mereka Ahmadiyah, ataupun memakai
nama lain apapun juga), atau seorang Bahai, dan setiap orang yang termasuk ke
dalam kasta yang telah ditentukan”[13].
c). Kerajaan Saudi Arabia, Pimpinan Dewan Riset, Fatwa, Dakwah, dan
Iryad Kantor Atase Keagamaan, menyampaikan kepada Dirjen Bimas Islam dan Haji
Kementrian Agama Republik Indonesia, bahwa: kegiatan yang dilakukan oleh
kelompok Qadianiyah atau Ahmadiyah adalah bersifat destruktif, yang menjadikan
Islam sebagai kedok untuk menutupi tujuan yang busuk, dan bertentangan dengan
ajaran-ajaran Islam. Qadianiyah berkerja sama dengan imperialisme dan zionisme,
serta kekuatan-kekuatan yang menentang Islam. Pertentangan yang paling jelas
adalah pengakuan pemimpinnya sebagai nabi, dan mengingkari Nabi Besar Muhammad
Saw sebagai penutup kenabian, dan penyelewengan nash-nash Al Qur’an [14].
3. Ketentuan Perundang-undangan terkait di Indonesia.
Dalam menentukan sikap yang bagaimana yang perlu
diberikan terhadap kelompok Ahmadiyah, perlu pula mengkaji ketentuan hukum yang
berlaku di Negara Republik Indonesia, sebagai berikut.
1). Landasan Utama
Dalam konteks Indonesia, landasan utama dan
bersifat filosofis bagi hukum yang berlaku di bawahnya adalah Undang-Undang
Dasar 1945 dan Perubahannya. UUD 1945 ini mengatur tentang Hak Asasi Manusia
Bab X A, dan Pasal 28 E Ayat (1) yang menyebutkan, bahwa: “Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. Selanjutnya, Bab XI mengatur
tentang Agama, dan Pasal 29 Ayat (1) dan (2) menyebutkan, bahwa: 1). Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan 2). Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu [15].
2). Ketentuan Presiden Republik Indonesia
Dalam tahun 1965, Presiden Republik Indonesia,
melalui Surat Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1965 Tentang
Pencegahan Penyalah-Gunaan dan /atau Penodaaan Agama, menyebutkan bahwa: Pasal
1, “Bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan,
atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu
agama yang dianut di Indonesia, atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama lain; penafsiran dan kegiatan
mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Lebih lanjut, diatur
organisasi itu dapat dibubarkan (Pasal 2 Ayat 2); dan apabila pengurus atau
orang itu masih melakukan hal-hal yang dimaksud, maka dapat dipidana selama
lima tahun penjara [16].
Penetapan Presiden (Penpress) No. 1/PNPS/1965
junto Undang-Undang No. 5/1969 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan agama
dalam penjelasannya pasal demi pasal, dijelaskan bahwa agama-agama yang dianut
oleh sebagian besar penduduk Indonesia adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, dan Kong Hu Cu [17].
3). Ketentuan-Ketentuan di Bawahnya
Berikut ini adalah sejumlah ketentuan atau
ketetapan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintahan atau pemerintahan daerah
yang berada di bahwa Presiden atau UUD 1945 dan Perubahannya.
a). Kajian Tim Pakem Pusat Untuk Rekomendasi Pelarangan Dan Pembubaran
Jema’at Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Qadian) serta Gerakan Ahmadiyah
Indonesia (Ahmadiyah Lahore) di seluruh Wilayah Hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diikuti oeh Kejaksaan Agung RI, DEPAGRI, Mabes Polri, MUI dan
DEPAG, tanggal 12 Mei 2005, menyimpulkan bahwa ajaran Ahmadiyah adalah ajaran
sesat; dan untuk itu, Tim Pakem merekomendasikan agar golongan ini dilarang di
seluruh wilayah NKRI [18].
b). Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008, Nomor KEP -033/A/IA/6/2008, Nomor
199 tahun 2008 tentang peringatan dan
perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jamaah Ahmadiyah
Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat, menyatakan bahwa para anggota atau
pengurus Ahmadiyah yang tidak mengindahkan ketentuan yang dimaksud, yaitu
melakukan kegiatan agama yang menyerupai agama lain, maka dapat dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku [19].
c). Gubernur Jawa Timur mengeluarkan Surat Keputusan No. 188/94/KPTS/2011
tentang Pembatasan Aktivitas Jamaah Ahmadiyah. Keputusan ini bukan untuk
membubarkan, tetapi untuk membatasi aktivitas jemaat Ahmadiyah di Jatim, dalam
rangka menjaga kemanan dan suasana yang kondusif[20].
d). Gubernur Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 12 Tahun
2011 yang isinya melarang aktivitas Ahmadiyah. Tujuannya adalah untuk mencegah
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh warga masyarakat sebagai akibat penyebaran
paham keagamaan yang menyimpang[21].
e). Gubernur Sulawesi Selatan mengeluarkan Surat Edaran Gubernur No.
223.2/803/Kesbang, yang isinya memberi peringatan dan memerintahkan kepada
penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah (JAI), sepanjang
mengaku Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran, dan kegiatan yang, menyimpang
dari pokok-pokok ajaran agama Islam[22].
f). Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 17
Tahun 2011, yang melarang secara resmi kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di
Sumatera Barat. Larangan ini merupakan perintah untuk menghentikan seluruh
kegiatan Ahmadiyah beserta publikasi atributnya [23].
4. Pandangan Ulama Umumnya di Indonesia
Pada tahun 1980, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa mengenai Ahmadiyah Qadian sebagai aliran sesat, yang
menunjukkan penolakan terhadap aliran tersebut. Fatwa ini ditandatangai oleh
Buya Hamka[24]. Pada tahun 2005, MUI
kembali mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah Lahore juga merupakan aliran yang
menyesatkan[25].
Pada tanggal 8 Februari 2011, MUI Jawa Timur
beserta Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) menuntut Pemerintah propinsi Jatim dan
polisi membubarkan Ahmadiyah. Pada bulan yang sama, Front Pembela Islam (FPI)
menggelar aksi demonstrasi, dan menuntut Gubernur Jatim segera menerbitkan
Peraturan Gubernur (Pergub) tentang pembubaran Ahmadiyah[26].
5.
Pihak yang Membela dan Alasannya
Aliansi untuk Kerukunan Umat Beragama (AKUR), yang
merupakan aliansi puluhan organisasi pemuda, mahasiswa, dan NGO lintas agama,
menyayangkan Pergub Jawa Barat yang melarang aktivitas Ahmadiyah. Alasannya
adalah menganggap Pergub tersebut sebagai intervensi pemerintah yang tidak adil
bagi Ahmadiyah. Menurut mereka, ideologi dan keyakinan tidak akan pernah dapat dikerangkeng[27].
Aliansi Masyarakat Jawa Barat (ALJABAR)
berpendapat bahwa Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat mengenai pelarangan
kegiatan Ahmadiyah itu tidak tepat. Menurut mereka, sebaiknya Gubernur terkait
menunggu keputusan pemerintah pusat karena hal tersebut merupakan domain
pemerintah pusat, dan tidak semua warga Jabar menginginkan Ahmadiyah dilarang.
Tambahan pula, mereka berpendapat bahwa Pergub tersebut dapat melanggengkan
praktik diskriminasi dan intoleransi dan bisa memicu konflik horizontal serta
ketegangan di Jabar [28].
Direktur Lembaga Hukum Bandung (LBHB) berpendapat
bahwa Pergub Jawa Barat merupakan bentuk nyata adanya diskriminasi dan tindakan
melanggar hak dasar manusia, sebagaimana yang dimaksud Pasal 18 ICCPR atau
pasal 18 UU No. 12 Tahun 2005, dan Ketentuan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM. Beliau berpendapat, bahwa hal itu menunjukkan Negara tidak berdiri di atas
semua golongan dan tidak melindungi semua golongan[29].
Di samping itu, berbeda dengan sikap Gubernur yang
disebutkan di atas, terdapat dua Gubernur propinsi yang secara tidak jelas
mengutarakan sikapnya terhadap aliran Ahmadiyah. Pertama, adalah Gubernur Nusa
Tenggara Barat, yang mengeluarkan kebijakan berupa Surat Keputusan, dan menyarankan
penyelesaian masalah Ahmadiyah dilakukan melalui dakwah [30];
Kedua, Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono X mengatakan bahwa pihaknya tidak
mempunyai kewenangan untuk membubarkan Ahmadiyah, karena hal tersebut berada
dalam kewenangan pemerintah pusat. Pemerintahannya hanya mengendalikan
penyebaran ajaran Ahmadiyah sesuai dengan Ketentuan dalam SKB 3 Menteri [31].
Dalam kaitan dengan sikap terhadap aliran Ahmadiyah
tersebut, informasi yang dihasilkan oleh survey berikut dapat dijadikan dasar
untuk menilai pandangan masyarakat umumnya terhadap aliran tersebut. Suatu
Survey Opini Publik, yang dilakukan di 10 propinsi, dengan responden hanya
20.4% berpendidikan SLTA dan akademi, serta 5.3% sarjana[32],
menyimpulkan bahwa secara umum dan sebagian besar masyarakat, termasuk yang
beragama Islam, kurang mengenal dan tidak mengetahui substansi ajaran Ahmadiyah
[33].
Berdasarkan temuan ini, Survey juga menyimpulkan bahwa mayoritas responden
tidak mampu memberikan penilaian terhadap latar belakang munculnya kebijakan
terhadap Ahmadiyah. Namun, mereka menolak upaya-upaya untuk melakukan
pembatasan, termasuk tindakan kekerasan, terhadap Ahmadiyah[34].
6.
Penyebab Kekerasan Terhadap Ahmadiyah
Menurut Hasibullah Sastrawi, kekerasan yang
terjadi terhadap Ahmadiyah disebabkan karena beberapa hal. Pertama, ketidak
tegasan pemerintah pusat dalam melindungi segenap anak bangsa, terlepas
perbedaan agama dan keyakinannya; kedua, pemerintah daerah tidak berdaya
menghadapi tekanan pihak-pihak tertentu untuk mendiskriminasi warganya sendiri
atas nama perbedaan tertentu; ketiga, nihilnya politik kebangsaan, yang meniscayakan
adanya komitmen untuk meletakkan kepentingan semua anak bangsa di atas
segalanya, dengan menjadikan ketentuan konstitusi sebagai panglima [35].
7. Tafsir Tekstual dan Kontekstual
Dalam mengkaji apa yang dilakukan oleh aliran
Ahmadiyah, perlu juga diutarakan secara ringkas mengenai pengertian tafsir,
yang umumnya dilakukan oleh banyak pihak, sebagai standar yang diterima secara umum
oleh para ulama Islam arus utama. Menurut istilah, tafsir adalah ilmu yang
mempelajari kandungan Kitab Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Besar Saw,
berikut penjelasan maknanya, serta hikmah-hikmahnya. Pengertian yang lain
adalah ilmu yang membahas tentang Al Qur’an al Karim dari segi pengertiannya
terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia [36].
Secara etimologis, Abdul Mustaqim mengutip
pendapat Muhammad Abdul ‘Azhim az-Zarqani, bahwa tafsir adalah al-kasyf atau menyingkap makna yang
tersembunyi, dan al-ibanah atau menjelaskan
[37].
Pada mulanya, yaitu masa setelah Nabi, tafsir dilakukan sesuai dengan
hadis-hadis Rasulullah Saw [38],
atau berdasarkan pendekatan pada teks
yang ada, atau bersifat tekstual [39];
yang hasilnya merupakan hitam atau putihnya ayat yang ditafsir [40]. Namun, karena masyarakat berkembang dengan
segala kompleksitas sosialnya, Al-Qur’an, sebagai petunjuk Tuhan bagi pemecahan
persoalan manusia di dunia, juga memerlukan pendekatan yang sesuai dengan
tempat dan waktu di mana petunjuk itu diperlukan [41].
Tafsir dengan pendekatan kontekstual
dapat dilakukan, tetapi kandungan inti diusahakan tetap dalam koridor yang sama
[42].
Salah satu cara untuk melakukan tafsir kontekstual adalah dengan metode
tematik, yaitu mengkaitkan ayat-ayat yang memiliki tema yang sama, dan menarik
kesimpulan untuk mencapai makna dari seluruh ayat terkait. Menurut Umar Shihab,
tafsir seperti itu dimungkinkan, karena Al Qur’an selalu membuka diri untuk
dianalisis, dipersepsi, dan diinterpretasikan atau ditafsirkan dengan berbagai
alat, metode, dan pendekatan untuk menguak inti sejatinya[43].
Namun, apapun pengertiannya, tafsir pada dasarnya
adalah usaha untuk memaknai atau memahami ayat-ayat Al Qur’an yang asli dan
utuh. Apa yang ditafsir adalah ayat-ayat Al Qur’an yang asli, bukan ayat-ayat
yang telah dirubah oleh manusia. Bahkan, dalam kaitan ini, Allah Swt telah
berfirman bahwa Allah lah yang membuat Al Qur’an itu sempurna dan komplit,
sebagaimana yang disebutkan dalam dalam
Surat An’aam (QS, 06 : 38), ”.... Tidaklah
Kami alpakan sesuatu apa pun di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an)”. Ini juga
berarti bahwa Al Qur’an telah disempurnakan dan mengandung makna sebagai Buku Suci
terakhir, dan berlaku sejak diturunkannya hingga nanti sampai waktu kiamat
datang. Ini artinya Buku Suci ini tidak akan pernah direvisi, dirubah atau
diganti oleh siapapun, sebagaimana Allah Swt telah berfirman, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al
Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya” (QS, 15 : 9).
C. SEJARAH DAN INTI PERMASALAHAN AHMADIYAH
1. Sejarah Ahmadiyah
Nenek moyang
Mirza Ghulam Ahmad berasal dari suatu rumpun keluarga yang datang dari
Samarkand, sebuat kota di Asia Tengah, dan hijrah ke Punjab, India, pada awal
abad keenambelas. Mirza Ghulam Ahmad sendiri lahir di Qadian pada tahun 1835,
dan meninggal tahun 1908 M. Dia tumbuh dari keluarga yang terkenal suka khianat
kepada agama dan negara. Ia belajar bahasa Arab, Al Qur’an dan Hadist dari guru
privat, serta penganut mazhab Hanafiah. Menurut pengakuannya, pada bulan Maret
1882, untuk pertama kali, Mirza Ghulam Ahmad memperoleh perintah dari Allah
bahwa dia dijadikan Ma’mur minallah atau Utusan Allah, dan dia kemudian
menyatakan dirinya sebagai Mujaddid. Wahyu tersebut dia terbitkan di dalam buku
Barahiin Ahmadiyyah. Kemudian, dia menyatakan bahwa dirinya sebagai Mahdi Al
Muntazhar dan Masih Al-Maud [44].
Bermula dari gerakan orientalis bawah tanah yang
dilakukan oleh Sayyid Ahmad Khan, yang menyebarkan pemikiran-pemikiran yang
menyimpang. Inggis mengambil kesempatan ini. Pemerintah kolonial Inggris di
India mendirikan Gerakan Ahmadiyah antara tahun 1889-1900, dengan tujuan
menjauhkan kaum muslim dari agama Islam, dan dari kewajiban jihad, sehingga
tidak lagi melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan nama Islam. Ketika dia
mengaku sebagai nabi, pengikutnya menyibukkan diri dengan kegiatan Mirza Ghulam
Ahmad, sehingga tidak melakukan perlawanan terhadap Inggris. Pengikutnya juga
menunjukkan loyalitas dengan Inggris[45].
Ahmadiyah memiliki dua kelompok, yang pertama
Ahmadiyah Qadian, dan kedua adalah Ahmadiyah Lahore: kedua-duanya mempercayai
Mirza Ghulam Ahmad. Namun, yang pertama mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai
seorang nabi, tetapi tidak membawa syariat; sedangkan yang kedua mempercayai
dia hanya sebagai Mujaddid dari ajaran Islam[46].
Diawali dengan tiga pemuda belajar di India dari
pesantren di Sumatera Barat, kedua kelompok tersebut masuk ke Indonesia, yang
pertama dengan nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau Ahmadiyah Qadian, dengan
Badan Hukum SK Menteri Kehakiman RI No.JA 5/23/13 tanggal 13/3/1953; yang kedua
bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia atau Ahmadiyah Lahore, dengan Badan Hukum
Nomor 1 x tanggal 30 April 1930. Dalam ruang lingkup internasional, organisasi
Ahmadiyah telah tersebar di 185 negara di dunia, dengan memiliki cabang di 174
negara, termasuk di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia,
dan Eropa[47].
2. Inti Permasalahannya [48].
Permasalahan yang ditimbulkan oleh Aliran
Ahmadiyah berasal dari dua pokok perkara yang utama, yaitu: pertama, menafsirkan
ayat-ayat Al-Quran tidak berdasarkan kaidah yang berlaku atau yang umumnya
diterima, tetapi dengan jelas dapat dilihat dan diarahkan untuk kepentingan
diri atau kelompok sendiri; dan kedua,
merubah sejumlah ayat Al Qur’an dan dicantumkan ulang dalam buku sucinya
berjudul Tadzkirah; kesemuanya dilakukan untuk kepentingan diri atau kelompok sendiri.
Amin Djamaludin mengutip tafsir dan ayat-ayat yang digunakan dalam makalah ini
diambilnya langsung dari Kitab Tadzkirah itu.
a. Tafsir ke arah diri sendiri.
Dari sejumlah tafsir yang dilakukan oleh Ahmadiyah,
berikut ini adalah tafsir yang paling penting dalam usaha menggambarkan apa
yang dilakukan oleh aliran ini, yang jelas menyimpang dari tafsir yang berlaku
bagi ayat-ayat Al Qur’an berikut [49]:
Pertama: Surat Ash Shaf (QS, 61 : 6, 9, 10),
berbunyi:
1). (QS, 61 : 6)
“...Dan
memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang
sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)”.
Tafsir Ahmadiyah
Ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw, tetapi juga dapat pula
dikenakan pada Pendiri Jemaat Ahmadiyah.
2). (QS, 61 : 9)
“Dialah
yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia
memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik benci”.
Tafsir Ahmadiyah
Kebanyakan ahli tafsir Al Qur’an sepakat bahwa ayat ini adalah untuk
Almasih yang dijanjikan.
3). (QS, 61 : 10)
“Hai
orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang
dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih”.
Tafsir Ahmadiyah
Ayat ini agaknya mengisyaratkan juga kepada zaman Hadhrat Maih Mau’ud as,
ketika perniagaan dan perdagangan akan berkembang dengan subur.
Menurut Ahli Tafsir
Menurut Ibnu Katsir, ketiga Ayat itu hanya tertuju kepada Nabi Muhammad
Saw, bukan kepada Mirza Gulam Ahmad [50].
Kedua: Surat
Al Ahzab (QS, 33 : 40), berbunyi:
“Muhammad
itu bukanlah bapak salah seorang di antara laki-lakimu, akan tetapi ia adalah
utusan Allah dan penutup para nabi (khataman-nabiyyin) ”.
Terjemahan dan
Tafsir Ahmadiyah
Ayat tersebut diterjemahkan oleh Ahmadiyah sebagai
“Muhammad bukanlah bapak salah seorang di
antara laki-lakimu, akan tetapi ia adalah Rasul Allah dan meterai sekalian
nabi, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”[51].
Ahmadiyah berpendapat, bahwa yang dimaksud dalam frasa “khataman nabiyyin” adalah nabi yang paling sempurna, cincin para
nabi[52].
Lebih lanjut, mereka berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw merupakan Nabi penutup
pembawa syariat. Ini diartikan pula bahwa masih ada kemungkinan diutusnya nabi yang
tidak membawa syariat, sesudah pengangkatan Nabi Muhammad Saw [53].
Tampaknya, atas dasar pengertian ini, mereka mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad
sebagai nabi.
Kajian Tafsir
Tekstual dan Kontekstual
Secara tekstual, frasa khataman nabiyyin diyakini
mengandung arti sebagai nabi penutup atau terakhir; dalam kontekstual, diyakini
tidak ada lagi nabi yang ditunjuk oleh Allah Swt setelah Nabi Besar Saw. Hal
ini disebabkan karena Tuhan YME telah
berfirman bahwa telah disempurnakan ’Agamamu’ itu (QS, 05: 03). Disempurnakannya
Agama Islam, dengan disempurnakannya Kitab Suci Al-Qur’an, yang diwahyukan
kepada Nabi Besar Saw, berarti bahwa Kitab
Suci dan Nabi Saw adalah yang terakhir,
atau tidak ada lagi kitab suci dan nabi setelah itu.
Untuk mendukung tafsir tersebut di atas, seperti
yang dilakukan pada masa awal setelah
Nabi Saw, dapat dikumpulkan sejumlah hadist Nabi Saw yang dapat digunakan sebagai
petunjuk bahwa arti dari khataman
nabiyyin itu adalah nabi penutup, dan Nabi itu adalah Nabi Muhammad Saw.
Pertama, dari Jabir bin Mat’am r.a., Nabi Saw bersabda:
“Saya
memiliki lima nama: Muhammad, Ahmad, al-Mahi (penghapus) yang denganku Allah
menghapus kekufuran,al-Hasyir (penghimpun) di mana manusia dikumpulkan pada
kakiku, dan al Aqib” (HR Syaikani dan Turmudzi).
Kedua, Abu Musa al-Asy’ari r.a. berkata Rasulullah
Saw menamai dirinya dengan beberapa nama:
“Saya adalah
Muhammad, Ahmad, al-Muqaffi, al-Hasyr, Nabiyu at-Tawbih, dan Nabiyu ar-Rahmah” (HR
Muslim).
Dari nama-nama tersebut di atas, dua nama menunjukkan arti bahwa Nabi Saw adalah Nabi
terakhir. Al Aqib berarti ‘akhir para nabi’. Al Maqaffi berarti ‘tidak ada lagi nabi sesudahnya’[54].
Dari segi sejarah, dalam tahun 582 M, Muhammad
mengikuti pamannya, Abu Thalib, berdagang ke Syam, Siria, dan sampai di Bosra,
mereka bertemu dengan seorang pendeta Yahudi, bernama Buhaira. Buhaira
mengatakan bahwa Muhammad adalah salah satu dari tiga manusia yang paling baik,
dan akan menjadi Nabi Pamungkas atau
khatam al nabiyyin[55].
b. Merubah dan Menambah Text Al-Quran.
Kitab Tadzikirah merupakan kitab suci Aliran
Ahmadiyah. Mirza Gulam Ahmad mengaku bahwa kitab ini berasal dari wahyu yang
diterimanya dari Allah Swt. Dalam kaitan dengan wahyu ini, Tadzikirah menyebutkan
sebagai berikut [56]:
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Tadzkirah ini) di Qadiyah, dan Kami menurunkannya
dengan sebenarnya, dan ia benar-benar telah turun, Maha Besar Allah dan
Rasulnya, dan keputusan Allah pasti terlaksana”.
Ditilik dari redaksi Ayat di atas, dan
dibandingkan dengan Ayat yang berkaitan dengan ayat-ayat yang terdapat dalam Al
Qur’an, maka dengan mudah dapat disimpulkan bahwa Ayat Tadzikiyah itu jelas merupakan
bajakan dari Surat Al Qadar (QS, 97 : 1), dan mengandung potongan-potongan dari Surat Al Isra (QS, 17 : 105),Surat Al Ahzab
(QS, 33 : 22), dan Surat An Nisa (QS, 4
: 47), yang aslinya berbunyi sebagai berikut [57].
Surat Al Qadar
(QS, 97 : 1),berbunyi:
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan (Al Qur’an) pada malam kemuliaan”.
Surat Al Isra
(QS, 17 : 105),berbunyi:
“Dan
Kami turunkan (Al Qur’an itu) dengan sebenar-benarnya dan (Al Qur’an itu) telah
turun dengan membawa kebenaran”.
Surat Al Ahzab
(QS, 33 : 22), berbunyi:
“Mereka
berkata: Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah
Allah dan Rasul Nya”.
Surat An Nisa
(QS, 4 : 47), berbunyi:
“Dan
ketetapan Allah pasti berlaku”.
Dalam bukunya, Amin Djamaludin menyebutkan bahwa
terdapat 470 Ayat (sumber lain menyebutkan sekitar 800 ayat) di dalam Kitab
Tadzikirah yang dirubah, dan sebagian besar merupakan bajakan dari Ayat terkait
dalam Al Qur’an, dan hanya sebagian kecil lainnya merupakan karangan Mirza
Ghulam Ahmad. Ayat-ayat yang dibajak, atau dirubah dan ditambah, antara lain,
mulai dari Surat Al Anfaal, Ar Rahman, Yasin, An’am, Al Isra, Al Araf,
Hud, Ash Shaf, Al Hajj, Al Hijr, Ali Imran, Al Muddatstsir, Al Furqan, Al
Muminun, Az Zukruf, Al Baqarah, Al Fath, Al Qalam, Asy Syura, dan Al Anbiya [58].
Contoh perubahan dan penambahan yang dilakukan diberikan di bawah ini [59]:
Dalam Al
Qur’an, Surat Al-Qadr (QS, 97 : 1) berbunyi:
“Sesungguhnya
Kami yang telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan”.
Dalam
Tadzkiran (Cetakan 1956, hlm. 564) berbunyi:
“Sesungguhnya
Kami menurunkan (Tadzikirah ini) pada malam Lailatul Qadar, sesungguhnya Kami
benar-benar menurunkannya”.
Dalam Al
Qur’an, Surat Al Anbiya (QS, 21 : 107) berbunyi:.
“Dan
tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi sekalian alam”.
Dalam
Tadzkiran (Cetakan 1956, hlm. 403) berbunyi:
“Sesungguhnya
Kami mengutus Ahmad kepada kaumnya, akan tetapi mereka berpaling dan mereka
berkata: seorang yang amat pendusta lagi sombong”.
Ditilik dari apa yang dilakukan, Ahmadiyah jelas
melakukan pendomplengan Ayat Al Qur’an, dan membajak serta merubah kata-kata yang
dipakai pada sejumlah besar ayat-ayat Al Qur’an. Dari segi hukum pidana khusus,
yang berkaitan dengan UU Hak Cipta, perbuatan aliran Ahmadiyah itu dapat
dianggap merupakan tindakan plagiarisme. Dari segi hukum perdata, maka apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah itu jelas
merupakan suatu pelanggaran. Menurut Sunaryati Hartono [60],
pengertian perbuatan melanggar hukum telah diatur dalam Yurisprudensi di
Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:
“Suatu perbuatan atau kelalaian, yang atau
melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan
kesusilaan, atau bertentangan dengan sikap kehati-hatian yang perlu
diperhatikan di dalam pergaulan masyarakat terhadap kepentingan lahiriah maupun
milik orang lain”.
Menurut Prof. Man Suparman
dari Fakultas Hukum Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran,
ketentuan perundang-undangan tersebut dapat diterapkan kepada kasus Ahmadiyah
tersebut. Bahkan, pada hakikatnya, ayat-ayat Al Qur’an adalah kallamulah atau firman-firman Allah Swt.
Jadi, Allah Swt adalah sebagai Pencipta
Utama dan Pertama serta Tunggal, yang berkuasa dan berhak penuh atas Ciptaannya
[61].
Jika seorang manusia yang bernama Mirza Ghulam Ahmad merubah kallamulah, itu berarti dia tidak saja
melanggar hukum pidana atau perdata; tetapi lebih dari itu, dia telah menodai
kesucian Kitab Al Qur’an yang dianut oleh umat Nabi Besar Muhammad Saw di
seluruh dunia.
Dalam kaitan dengan Al Qur’an
Bagi kaum muslim yang bertaqwa dan beriman, Al
Qur’an adalah buku suci terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT. Kandungan Al
Qur’an merupakan ayat-ayat yang diwahyukan melalui Nabi Besar Muhammad SAW, sebagai Rasul yang terakhir. Tuhan YME mengatakan bahwa telah
disempurnakan ’Agamamu’ itu (QS, 05: 03). Ini dapat pula diartikan bahwa buku
suci Al-Qur’an merupakan buku yang sempurna sebagai petunjuk bagi umat manusia
dalam mengarungi lautan kehidupan dunia, sekaligus sebagai persiapan dalam
kehidupan di akhirat kemudian. Allah Swt berfirman, bahwa ”Malaikat Jibril menurunkan Al Qur’an ke dalam hati manusia seizin
Allah, membenarkan apa yang sebelumnya dan menjadi petunjuk, serta berita
gembira bagi orang-orang yang beriman” (QS, 2 : 97).
Sebagai buku suci terakhir, yang sempurna dan
komplit, yang ditujukan untuk keperluan manusia hidup di dunia, seyogianya
mencakup seluruh hal ikhwal dalam konteks petunjuk yang diperlukan manusia.
Buku petunjuk itu merupakan berita gembira bagi manusia. Dalam kaitan ini,
Allah Swt telah berfirman dalam Surat An’aam (QS, 06 : 38), ”.... Tidaklah Kami alpakan sesuatu apa pun di
dalam Al-Kitab (Al-Qur’an)”. Sebagai buku suci terakhir, itu berarti
berlaku sejak diturunkannya hingga nanti waktu kiamat datang. Ini artinya Buku
Suci ini tidak akan direvisi, dirubah atau diganti oleh siapapun, karena Allah
Swt telah berfirman, “Sesungguhnya
Kamilah yang menurunkan Al Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya” (QS, 15 : 9).
D. PEMBAHASAN:
BAGAIMANA MENYIKAPINYA.
1. Analisis Terhadap Aliran Ahmadiyah.
Dalam mengkaji masalah yang berkaitan dengan
Aliran Ahmadiyah ini, perlu menganalisis sejumlah unsur atau ketetapan yang dimaksud
oleh undang-undang yang berlaku di Indonesia. Kemudian, mengkaji inti persoalan
yang ditimbulkan oleh Ahmadiyah – apakah hal tersebut masih sejalan dengan ketentuan
Agama Islam dan apakah hal tersebut dimengerti oleh masyarakat umumnya. Hal
yang terakhir perlu dikaji bagaimana
penerapan hukum seharusnya dilakukan dalam kaitan dengan kepastian hukum yang
diperlukan.
Pertama, untuk menerapkan ketentuan dalam Undang-Undang
Dasar yang dimaksud dalam bagian terdahulu, dirasakan perlu untuk mengkaji apa yang
dimaksud dengan ‘agama’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa,
agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan atau kepercayaan dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa, serta kaidah yang berhubungan dengan
pergaulan manusia dan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Menurut Emile
Durkeim, agama adalah suatu sistem yang terpadu dan terdiri atas kepercayaan
dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci [62].
Menurut Niels Mulder, yang dikutip oleh Afif Muhammad, agama dapat diartikan
sebagai suatu doktrin dan ajaran yang termuat kitab suci, dan agama merupakan
aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah [63].
Jadi, dari kedua pengertian dan pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa suatu
agama memiliki suatu ajaran atau aturan mengenai keimanan terhadap Tuhan
YME, memiliki kitab suci tertentu, dan
penerapannya dapat dilihat dari perjalanan agama itu dalam konteks sejarah.
Dari Pengertian tersebut, jika satu agama yang
memiliki keimanan dan kitab suci tertentu; dan jika isi kitab suci atau sistem
keimanannya itu dirubah oleh pihak lain, maka tidaklah dapat dikatakan bahwa
agama dengan ketentuan keimanan dan kitab suci yang dirubah itu sama seperti
yang dimaksud oleh agama dalam pengertian yang pertama. Sebagai contoh, jika
ada orang yang mengaku sebagai nabi untuk agama Kristen, dan bernama si Pacul,
bukan Nabi Isa as, dan lahir bukan di Betlehem, serta di salib di tempat lain,
katakanlah di Punjab, India; untuk itu, isi Kitab Suci Injil dirubah,
pertanyaannya: apakah umat Kristiani dapat menerimanya? Atau apakah aliran ini
dapat pula dikatakan sebagai agama kristen? Kaum Kristiani arus utama hampir
dapat dipastikan sukar untuk menerimanya, atau paling tidak dikatakan mereka
sebagai aliran yang sesat. Dengan analogi yang sama, agama dalam pengertian
yang sistem keimanannya telah dirubah harus memiliki nama lain dan berbeda dari
yang pertama, atau paling tidak dikatakan bukan merupakan agama dengan pengertian
asalnya. Apabila agama yang memiliki nama tertentu, dan sistem keimanan dan isi
kitab sucinya dirubah maka dapat disimpulkan bahwa hal itu merupakan
penyimpangan terhadap hakikat dari agama pertama. Dalam konteks Yurisprudensi
Indonesia yang telah diperluas, hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak
atau kepentingan orang lain, dan merupakan pelanggaran hukum [64];
terlebih pendukung hak dalam hal ini adalah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh
karena itu, untuk kepentingan kepastian hukum, definisi atau pengertian agama
yang demikian, seperti yang disimpulkan di atas, sebaiknya digunakan demi penerapan hukum yang
baik, sehingga tidak menimbulkan ketidak pastian hukum yang akut.
Kedua, berdasarkan uraian pada butir pertama di atas,
maka tidaklah dapat dikatakan bahwa Ahmadiyah adalah suatu agama, atau yang pasti bukan agama Islam. Agama Islam
dalam pengertian yang utuh memiliki kitab suci tertentu, yaitu Al Qur’an, yang
tidak pernah dirubah semenjak diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad Saw. Nabi
Saw merupakan Nabi penutup, tidak saja berdasarkan ayat Al Qur’an, tetapi juga
berdasarkan sejumlah Hadist. Al Qur’an diyakini pula tidak akan pernah dirubah
hingga kiamat nanti. Dengan demikian, kekerasan yang terjadi bukanlah merupakan
konflik antar agama, atau antara agama A dengan agama B, yang masing-masing
mempunyai kitab suci atau sistem keimanan yang berbeda. Jadi, dalih yang
menyebutkan bahwa Ahmadiyah harus dilindungi sehubungan dengan ketentuan UUD
1945 dan Perubahannya, yang khususnya terkait dengan hak azasi manusia,
tidaklah relevan. Jika Ahmadiyah mengaku
bukan merupakan agama Islam, maka tampaknya umat Islam arus utama tidak akan bereaksi
secara negatif. Namun,di sinilah masalahnya, dan Ahmadiyah tampaknya memiliki
kepentingan dengan memakai nama agama Islam, tetapi keyakinan dan sistem keimanannya
dirubah. Dari sini saja sudah terlihat, atau dapat diduga, adanya motivasi tertentu di belakang gerakan
Ahmadiyah tersebut.
Ketiga,
ditinjau dari apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah, yaitu mendompleng dan merubah
sejumlah Ayat-ayat Al Qur’an, berdasarkan kajian hukum di muka, maka dapat
dikatakan bahwa tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum atau plagiarisme.
Masalah yang dilakukan Ahmadiyah itu adalah, pada intinya, mengganti ayat-ayat
Al Qur’an dengan kata-kata yang dipilih sendiri, sehingga mendukung pengakuan
diri Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, maka hal itu sudah merupakan penodaaan
terhadap Kitab Suci Umat Nabi Besar Muhammad Saw, dan merusak Agama Islam
secara keseluruhan. Di sisi lain, seperti
yang telah disebutkan di muka, bahwa umumnya masyarakat Indonesia tidak
mengetahui apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah itu. Bahkan, suvey itu
menyimpulkan bahwa para responden tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh
Ahmadiyah. Kaum muslimin yang taat kepada agama Islam dengan Nabi Muhammad Saw
sebagai Nabi terakhir, dan memegang kesucian Al Qur’an yang utuh, tidak akan
dapat menerima, jika mengetahui bahwa Nabi dan isi Al Qur’an nya telah dirubah,
ditukar, didomplengi oleh dan demi kepentingan seseorang yang bernama Mirza
Ghulam Ahmad.
Di masa lalu, seperti yang telah diuraikan di
muka, mazhab-mazhab yang menyimpang dari keyakinan mazhab yang lebih besar
dikeluarkan dari mazhab yang besar itu, atau ditolak sebagai bagian Agama Islam. Pemimpin yang paling ekstrim pun
ada yang dibunuh oleh kaum muslimin lainnya. Oleh karena itu, kekerasan yang
terjadi terhadap Ahmadiyah yang dilakukan dari waktu ke waktu, oleh masyarakat
muslim lainnya itu, adalah karena mereka menganggap bahwa Agama, Nabi dan Kitab
Sucinya telah dinodai oleh Ahmadiyah. Jadi, sebenarnya, apa yang terjadi dari
segi hukum adalah bahwa kepentingan mereka telah diselewengkan, atau jelas
melanggar kepentingan mereka.
Keempat, tambahan
pula, hukum dapat juga diartikan
sebagai norma-norma yang hidup di masyarakat, dan memiliki sanksi jika
dilanggar. Sanksi ini dapat bersifat formil atau informil, dan dapat berupa
kontrol sosial, seperti pengucilan oleh masyarakat terhadap pihak yang
melanggar norma-norma tersebut. Dalam kasus Ahmadiyah, norma ini telah terbentuk
dari sikap resmi masyarakat Islam, yang umumnya menentang keberadaan paham
Ahmadiyah. Sikap ini diwakili oleh fatwa MUI sebagai wakil dari masyarakat Islam
arus utama, dan pihak-pihak lainnya. Bahkan, sejumlah institusi hukum dan
Kepala Daerah telah memutuskan untuk menghentikan seluruh kegiatan Ahmadiyah,
dan/ atau merekomendasikan untuk membubarkan aliran ini. Hanya saja, dalam menyikapi Ahmadiyah, “sanksi”
yang diberikan oleh masyarakat berlebihan, karena yang dilakukannya itu juga merupakan perbuatan melawan hukum yang
lebih buruk secara phisik, dengan merusak
harta atau milik orang lain, dan dapat menghilangkan nyawa orang. Tampaknya,
hal ini terjadi karena ketidak puasan masyarakat umumnya terhadap penegakan
hukum di Indonesia, dan menunjukkan tiadanya kepastian hukum. Intinya, sanksi
yang diberikan berada di luar koridor hukum terhadap norma yang berlaku. Di
sini, jelas tampak bahwa penyelesaian masalah Ahmadiyah berkisar pada penerapan
kepastian hukum yang lebih tegas.
2. Penerapan Kepastian Hukum Yang Diperlukan.
Uraian di atas jelas menunjukkan adanya masalah
hukum terhadap aliran Ahmadiyah. Menurut Gustav Radbruch, yang dikutip oleh
Bambang Sutiyoso, suatu tujuan hukum yang ideal harus mencapai keadilan (gerechtigkeit),
kepastian hukum (rechtssicherheit), dan kemanfaatan (zweckmassigkeit) [65]. Namun, kedua pengertian pertama tersebut
cenderung memasang jarak antara keduanya, yang perlu selalu diusahakan dapat
berdekatan. Masalah keadilan tidak dapat terlepas dari masalah kepastian hukum.
David Hume berpendapat bahwa, kebutuhan akan hukum adalah karena adanya
dorongan pada preferensi akan keadilan[66].
Sebagai tujuan
hukum [67], penciptaan kepastian
hukum dan keadilan mempunyai penekanan yang berbeda. Menurut Jonker
Sihombing, kepastian hukum menekankan bahwa hukum ditegakkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang telah ada, dan dijalankan secara benar tanpa
adanya diskriminasi. Ini artinya bahwa hukum diterapkan secara konsisten, yaitu
putusan yang sama diberikan terhadap perkara yang sama, similia similibus. Eksistensi dari kepastian hukum semakin
terbentuk dengan adanya kodifikasi hukum yang lebih lengkap dan terkini. Hal
ini sejalan dengan paham positivisme atau asas legisme, yang juga dianut oleh
Indonesia [68].
Dalam kasus Ahmadiyah, masyarakat Islam arus
utama menginginkan bahwa Agama dan Kitab
Suci Al Qur’an tidak dibajak atau
didompleng, dan Nabi-nya tidak diganti; secara alami umat Islam menentang perubahan-perubahan
tersebut yang, bahkan, disebar luaskan untuk mempengaruhi umat Islam yang lain.
Bagi pihak Ahmadiyah, jelas tidak dapat menerima adanya kekerasan yang
dilakukan terhadap mereka. Di sisi lain, untuk kepastian hukum sudah terdapat
ketentuan peraturan yang dikeluarkan, baik oleh pemerintah pusat, maupun oleh
pemerintah daerah.
Dalam tahun 1965, Presiden Republik Indonesia,
melalui Surat Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1965 Tentang
Pencegahan Penyalah-Gunaan dan /atau Penodaaan Agama, menyebutkan bahwa: Pasal
1, “Bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran
tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia, atau melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari
agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama itu”. Lebih lanjut, diatur bahwa organisasi itu dapat dibubarkan (Pasal 2
Ayat 2); dan apabila pengurus atau orang itu masih melakukan hal-hal yang
dimaksud, maka dapat dipidana selama lima tahun penjara [69].
Dari pemerintah pusat, pertama, terdapat Kajian
Tim Pakem Pusat yang diikuti oeh Kejaksaan Agung RI, DEPAGRI, Mabes Polri, MUI
dan DEPAG, tanggal 12 Mei 2005. Tim ini menyimpulkan bahwa ajaran Ahmadiyah
adalah ajaran sesat; dan untuk itu, dan Pakem merekomendasikan agar golongan
ini dilarang di seluruh wilayah NKRI [70].
Kedua, Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/IA/6/2008, Nomor 199 tahun 2008. Keputusan ini memberikan peringatan dan perintah kepada
Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI)
dan Warga Masyarakat, bahwa melakukan kegiatan agama yang menyerupai agama
lain, dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku [71].
Dari pemerintah Daerah, Gubernur Jawa Timur,
Gubernur Jawa Barat, Gubernur Sulawesi Selatan, dan Gubernur Sumatera Barat
telah mengeluarkan masing-masing Surat Keputusan. Keputusan-keputusan ini
bertujuan a). untuk membatasi aktivitas jemaat Ahmadiyah di Jatim, dalam rangka
menjaga kemanan dan suasana yang kondusif[72],
b). melarang aktivitas Ahmadiyah, sepanjang mengaku Islam, c). untuk
menghentikan penyebaran penafsiran, dan d). kegiatan yang, menyimpang dari pokok-pokok
ajaran agama Islam[73],
dan perintah untuk menghentikan seluruh kegiatan Ahmadiyah beserta publikasi
atributnya [74]. Keputusan ini
sesungguhnya telah dilakukan atau diterapkan di negara lain, seperti Saudi Arabia,
Pakistan, Malaysia dan Brunei [75]. Dari segi materi untuk kepastian hukum,
ketentuan-ketentuan ini sudah dapat di formalisasikan ke dalam bentuk yang
lebih tinggi, seperti memperkuat keputusan Presiden yang pernah dilakukan oleh
Presiden Sukarno; atau bahkan dibuat UU tersendiri untuk memperkuat dan memperjelas
ketentuan agama yang berlaku berjumlah enam, tetapi dijelaskan mengenai
pengertian ‘agama”yang diperlukan, dan diartikan juga bukan menyerupai agama
yang telah ada. Ketentuan pemerintah untuk membubarkan Badan Hukum Ahmadiyah
itu; juga demi kemanfaatan hukum. Manfaat nya adalah masyarakat Islam arus
utama akan tenang, dan tidak akan timbul kekerasan yang diakibatkan penodaaan
Agama Islam.
E. PENUTUP
1.
Simpulan
Berdasarkan
uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa:
a). Ahmadiyah merupakan aliran yang menyerupai agama Islam, tetapi
bukan Agama Islam.
b). Ahmadiyah telah berusaha menyebarkan pahamnya, dan mengganti Nabi
Muhmmad Saw dengan Mirza Ghulam Ahmad, dan mendompleng, merubah, dan mengganti
sejumlah Ayat-ayat Al Qur’an untuk kepentingan diri dan kelompok sendiri.
c). Patut diduga bahwa di belakang digunakan nama agama Islam terdapat
maksud-maksud untuk melumpuhkan agama Islam yang ada dalam bentuk asli dan baku.
d). Kekerasan yang terjadi adalah bukan konflik agama, tetapi reaksi
negatif yang berlebihan dari umat Islam arus utama terhadap penodaan yang
dilakukan oleh Ahmadiyah terhadap kesucian Al Quran, dan pelecehan terhadap
penghormatan yang tinggi kepada Nabi Besar Muhammad Saw.
e). Aliran, yang menyerupai paham dan sistem keimanan yang ada dalam
suatu agama yang telah diakui secara formil oleh Pemerintah, sebaiknya tidak
dikatakan sebagai agama, baik baru maupun mengganti yang lama.
2. Saran
Sehubungan dengan
Kesimpulan di atas, maka diajukan saran berikut.
a). Untuk mencapai kepastian hukum yang lebih baik, dan sekaligus
mencapai keadilan bagi pihak umat Islam arus utama dan bagi aliran Ahmadiyah,
dan untuk mencegah agar kasus-kasus serupa tidak terjadi ulang, sangat
diperlukan penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan agama dalam ketentuan
undang-undang yang berlaku, sesuai dengan pengertian yang dimaksud dalam kesimpulan
e) di atas.
b). Diperlukan untuk mengeluarkan ketentuan pemerintah yang lebih
tinggi dan menyeluruh dari Mahkamah Agung, yaitu untuk mengkonkritkan norma
yang telah terbentuk dan diwakili oleh MUI, dan menindak lanjuti Keputusan
Aparat Hukum serta Keputusan sejumlah Gubernur Kepala Daerah, mengenai pembubaran
badan hukum Aliran tersebut.
************** HHO **************
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011.
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporere, Yogyakarta:
LkiS Group, 2010.
Abu Zahrah, Muhammad, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Tanggerang:
Gaya Media Pratama, 2011.
Amin Djamaludin, M. Fakta dan Data Ahmadiyah Menodai Islam.,
Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2011.
Arif Muhammad, Agama & Konflik Sosial, Bandung:
Penerbit Marja, 2013.
Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di
Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2010.
Bernard L. Tanya, (et.al), Teori Hukum, Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing,
2010.
Hasibullah Sastrawi, Ahmadiyah dan KeIndonesian Kita,
Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2011.
Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara &
Hukum Pidana, Jakarta: Diadit Media, 2006.
Moosith Ghazali, Abd. Argumen Pluralisme Agama, Depok:
KataKita, 2009.
Muchlis M. Hanafi, Menggugat Ahmadiyah, Mengungkap Ayat-Ayat Kontroversial
dalam Tafsir Ahmadiyah, Tanggerag: Lentera Hati, 2011.
O.C. Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum Jilid 2,
Bandung: Penerbit Alumni, 2007.
Quraish Shihab, M., Membumikan Al Qur’an. Bandung : Mizan
Pustaka, 2007.
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Bandung: Penerbit Alumni, 1991.
Thaha Abdullah Al-Afifi. Sifat dan Pribadi Muhammad. Jakarta :
Senayan Publishing.
Umar Shihab, Kontekstualitas Al Qur’an, Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam
Al Qur’an, Jakarta: Permadani, 2008.
Wawan H. Purwanto, Cikeusik Tragedy, A lesson From Ahmadiyah
Case. Jakarta : CMB Press, 2011.
Literatur Lainnya
Abu Asiah, “Ahmadiyah
Adalah Agama Pengekor Nabi Palsu”.
[22/08/2012].
http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir.
Jodhi Yudono, ”Ahmadiyah
Islam atau Bukan?”. <http://oase.kompas.com/read/2011/02/14/12050819> [14/02/2011]
Syarif Ahmad Lubis, MI,
“Latar Belakang Berdirinya Jemaat Ahmadiyah”. <http://www.alislam.org/indonesia/latar.html>
[1994].
Wikipedia Bahasa
Indonesia, “Agama”, [13/05/2013].
Wikipedia Indonesia,
“Ahmadiyah”, <http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyah>
[25/03/2013]
[1] Arif Muhammad, Agama &
Konflik Sosial, Bandung:
Penerbit Marja, 2013, hlm.110.
[2] Wawan H. Purwanto, Cikeusik Tragedy, A lesson From Ahmadiyah Case, Jakarta : CMB
Press, 2011, hlm. 22- 25.
[4] Sebagian besar uraian mengenai
mazhab-mazhab ini merupakan inti sari dari buku Muhammad Abu Zahrah, yang
berjudul Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Tangerang: Gaya Media
Pratama, 2011.
[5] Abu Zahrah, Muhammad, Ibid, hlm. 19.
[6] Abu Zahrah, Muhammad, Ibid, hlm. 113.
[12] Amin Djamaludin, M. Fakta dan Data
Ahmadiyah Menodai Islam., Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam,
2011, hlm. 108-109.
[15] Undang-Undang Dasar 1945 dan
Perubahannya.
[17] “Agama di Indonesia”
[05/2013]
[20] Hasibullah Sastrawi, Ahmadiyah dan Ke-Indonesian Kita, Jakarta: Pustaka Masyarakat
Setara, 2011, hlm. 38
[36] http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir.
[38] Quraish Shihab, M., Membumikan Al Qur’an, Bandung : Mizan Pustaka, 2007, hlm.46.
[39] Muhammad Abu Salma menyebutkan bahwa
setiap penafsiran ayat diletakkan di bawah ayat yang ditafsir, seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Jarir At Thobary, dan lainnya. Muhhamad Abu “Salma. Sejarah
Tafsir dan Perkembangannya” [2009]
[40] Umar Shihab, Kontekstualitas Al Qur’an, Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam
Al Qur’an, Jakarta: Permadani, 2008, hlm. xi.
[41] Menurut Quraish Shihab, berdasarkan
beberapa ayat, Al Qur’an mengisyaratkan agar masyarakat berkembang ke arah yang
positif; oleh karena itu, setiap perubahan sosial dapat dijadikan dasar
pertimbangan dalam menarik kesimpulan pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al
Qur’an, terutama bagi hal-hal yang berkaitan dengan muamalah. Di sini, arti dam
maksud perintah agama harus terlebih dahulu diperhatikan. Di samping itu, Al
Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia pada setiap tempat dan waktu,;dan untuk
itu, manusia harus menggunakan akal pikirannya, yang sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuannya. Quraish Shihab,
Op.Cit, hlm, hlm. 80.
[42] Quraish Shihab menyebutkan koridor ini
sebagai kebebasan yang bertanggung jawab, dengan memperhatikan pembatasan
tertentu dalam menafsirkan Al-Qur’an. Batasannya adalah, antara lain, a). yang
dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan
bahasa mereka, b). yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya,
c). yang tidak diketahui kecuali oleh ulama, dan c). yang tidak diketahui
kecuali oleh Tuhan. Quraish Shihab,
Op.Cit, hlm.72.
[43] Umar Shihab, Kontekstualitas Al Qur’an, Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam
Al Qur’an, Jakarta: Permadani, 2008, hlm.
3.
[44] Syarif Ahmad Lubis, MI, “Latar Belakang
Berdirinya Jemaat Ahmadiyah”, <http://www.alislam.org/indonesia/latar.html>
[1994].
[46] Jodhi Yudono, ”Ahmadiyah Islam atau Bukan?”. <http://oase.kompas.com/read/2011/02/14/12050819>
[14/02/2011]
[47] Wikipedia Indonesia. “Ahmadiyah”, <http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyah>
[ 25/03/2013]
[48]Sebagian besar dari uraian mengenai
Ahmadiyah ini merupakan ikhtisar yang dianggap paling penting dan diintisarikan
serta dikutip dari buku M Amin Djamaludin, dari bukunya yang berjudul Fakta dan Data Ahmadiyah Menodai Islam.,
Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, 2011. Mengenai ayat-ayat yang
dibajak oleh Ahmadiyah, penulis ini mengambil dan mengutip langsung dari
Tadzkirah.
[49] Amin Djamaludin, M., Fakta dan Data
Ahmadiyah Menodai Islam., Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam,
2011, hlm. 93-95.
[51] Muchlis M. Hanafi, Menggugat Ahmadiyah, Mengungkap Ayat-Ayat Kontroversial dalam Tafsir
Ahmadiyah, Tanggerag: Lentera Hati, 2011,
hlm. 19.
[52] Amin Djamaludin, M., Loc. Cit, hlm. 76.
[55] Moosith Ghazali, Abd, Argumen Pluralisme Agama, Depok:
KataKita, 2009 ,hlm. 81.
[58] Amin Djamaludin, M., Loc Cit., hlm. 39-71.
[60] Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung: Penerbit
Alumni, 1991, hlm. 128-129.
[61] Pendapat ini dijelaskan secara langsung
oleh Prof. Man Suparman kepada penulis secara lisan pada tanggal 26 Juni 2013, di Kampus Imam Bonjol 21,
Universitas Padjadjaran, Bandung.
[62] Wikipedia Bahasa Indonesia, “Agama”,
[13/05/2013].
[63] Afif Muhammad, Agama & Konflik Sosial, Bandung: Penerbit Marja, 2013, hlm.17.
[64] Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara &
Hukum Pidana, Jakarta: Diadit Media, 2006, hlm. 77.
[65] Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Yogyakarta:
UII Press, 2010, hlm. 9.
[66] Bernard L. Tanya, (et.al), Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010, hlm. 88.
[67] Kaligis, O.C., Antologi Tulisan Ilmu Hukum Jilid 2, Bandung: Penerbit Alumni,
2007, hlm. 58.
[68] Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011, hlm. 50.
[75] Ali Mustofa Akbar. “Kasus Ahmadiyah Bukan
Soal Kebebasan Beragama, Tapi Penodaan Agama”
[02/2011]
Hahahah pendidikannya msh cetek
BalasHapus