Rabu, 30 April 2014

RINGKASAN BUKU “STUDI ISLAM KOMPREHENSIF” (Oleh Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.)

RINGKASAN BUKU
“STUDI ISLAM KOMPREHENSIF”
 Oleh Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.

Diringkas oleh: Hendy Herijanto

Buku ini menunjukkan, antara lain, relasi Islam dengan berbagai aspek kehidupan manusia, menjelaskan pesan moral yang dikandung dalam berbagai cabang studi Islam, dan merespons dinamika kehidupan manusia dengan dasar ajaran Islam. Metode yang digunakan bersifat deskriptif analitik, dan normatif teologis, di samping filosofis, historis, dan kultural, dengan merujuk pada Al Qur’an, Al Sunnah, para filsuf, ulama, dan para peneliti keIslaman di Timur dan di Barat.
            Islam sebagai agama yang sempurna diturunkan Allah Swt melalui Nabi Besar Muhammad Saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam; serta menyangkut berbagai aspek kehidupan menuju kesejahteraan lahir dan bathin.
Sumber ajaran Islam adalah Al Qur’an, dan Al Sunah, di samping al rayu, dan fakta sejarah sebagai pelengkap sejauh tidak bertentangan dengan dua pertama. Al rayu dapat berbentuk qiyas, urf, al maslahat al mursalah, istishan, qaul al sahabat, ijma al ulama, dan syar’un man qablana. Fakta sejarah merupakan peninggalan masa lalu, yang berbentuk bangunan phisik, lukisan, photo, dan sebagainya.
Prinsip ajaran Islam meliputi: a). sesuai dengan fitrah manusia (muthabaqah li al-fitrah al-nas), b). keseimbangan (al tawazun), c). sesuai dengan keadaan zaman dan tempat (shalihun li kulli zaman wa makan), d). Tidak menyusahkan manusia (la tu’shshir al-naas), e).sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi (muth-abaqah li ilm wa technologiya), f). berbasis pada penelitian (muwaqqaf li hashil al tabayyun), g). berorientasi pada masa depan (muwajjihun li al-zaman al-atiyah), h). kesederajatan (al musawwa), i). keadilan (al-adl), j). musyawarah, k). persaudaraan (al ukhuwah), dan l). keterbukaan (ifatiyah).Inti dari seluruh prinsip ini adalah akhlak mulia dalam arti yang seluas-luasnya.
            Tujuan ajaran Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan umat, menjadi rahmat bagi sekalian alam, melalui pemeliharaan agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan manusia.
            Karakteristik ajaran Islam meliputi komprehensif (al Syumuliah), kritis, humanis, militansi moderat, dinamis, toleran, responsif, progresif dan inovatif, serta rasional. Karakteristik, di sini, diartikan sebagai sifat atau watak yang khusus, yang berbeda dengan yang lain.
            Pokok ajaran Islam adalah tentang iman atau teologis, ibadah, dan Ihsan. Unsur-unsur ini merupakan tiga serangkai yang berkaitan satu sama lain, yaitu dengan keimanan atau percaya kepada Tuhan, manusia akan mengikuti seluruh perintahNya, sehingga selalu berbuat baik.
            Ilmu-ilmu Al Qur’an adalah ilmu yang berkaitan dengan pembahasan tentang hal ikhwal Al Qur’an, atau disebut juga sebagai ulum Al Quran yang sejajar dengan ulum al-tafsir. Mengenai Al Qur’an sendiri yang dibahas meliputi sebab turunnya Al Qur’an, nasikh mansukh, muhkam mutasyabih, mutlak muqayyad, i’jaz Al Qur’an, qira’at, al gharib dan seterusnya. Metode tafsir meliputi tahlily, maudhuiy, komparasi, dan analisis.
            Ilmu hadis membahas mengenai hal yang berkaitan dengan hadis. Secara garis besar terdiri dari Ilmu Hadis Riwayah, dan Ilmu Hadis Dirayah, yang dari keduanya melahirkan cabang-cabang Ilmu Hadis, seperti Ilmu Rijal al Hadis, dan Ilmu Jarh wa al Ta’dil. Ilmu ini membedakan antara hadis mutawatir dengan hadis ahad, serta hadis dhaif.
            Ilmu pendidikan Islam membahas berbagai aspek pendidikan yang berlandaskan pada nilai-nilai ajaran Islam, dengan corak normatif perenialis, filosofis, historis dan aplikatif. Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan.
            Ilmu dakwah Islam adalah kegiatan ajakan terhadap ajaran agama Islam, atau pendidikan agama yang bersifat non formal. Prinsipnya terdiri dari: a). sukarela tanpa paksaan, b). bijaksana, lemah lembut, dan beradab, c). sesuai dengan tingkatan masyarakat, d). memberikan kemudahan, e). mengembirakan, f). saling, menghargai dan toleransi.
            Fikih adalah ilmu yang membahas tentang hukum syariat yang berhubungan dengan mukalaf yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Fikih lahir dari ilmu fikih dan ushul fikih yang mengandung kaidah-kaidah untuk menetapkan hukum. Dalil yang digunakan berasal dari Al Qur’an, Al Sunah, Ijma, Qiyas, Maslahah Mursalah, Istihsan, urf dan seterusnya.
            Ilmu kalam bertitik tolak dari keyakinan yang kuat terhadap Tuhan, dan meyakini hal-hal yang pokok dalam agama. Ilmu ini dimulai dengan argumentasi yang rasional, sehingga mencapai landasan yang kuat; kemudian, baru mengkaji atau dibandingkan dengan dalil yang setara dalam Al Qur’an. Terdapat beberapa aliran dalam Islam, seperti Jabariah atau Qadariyah; namun, apa yang diperdebatkan hanyalah bersifat cabang atau furu’iyah.
            Filsafat Islam adalah sebuah upaya berpikir secara sistematis, mendalam, radikal, dan universal tentang segala sesuatu dalam batas yang diijinkan oleh Islam. Berbeda dengan filsafat barat yang liberal, filsafat Islam bertujuan untuk memperkuat akidah, ibadah, dan akhlak. Berfilsafat sangat di anjurkan dalam Islam karena berkaitan dengan perintah Tuhan dan Sunah Nabi Saw agar manusia menggunakan akalnya.  
            Paham tasawuf dan tarekat berkembang karena adanya motivasi yang kuat untuk dekat dengan Tuhan dalam rangka mengimbangi kecenderungan manusia terhadap keduniawian, seperti materialistik, hedonistik, pragmatis, dan kapitalis.
            Sejarah Islam berupaya untuk mengkonstruksi dan menceritakan kembali kejadian masa lalu, untuk dijadikan pelajaran, bahan renungan, dan peringatan dalam menatap ke  masa depan. Dengan mengamalkan ajarannya, Islam mengalami kemajuan yang pesat sebelum diambil alih oleh Eropa dan Barat; mengalami kemunduran karena tidak lagi berpegang pada ajaran Al Qur’an dan Al Sunah.  
            Kedokteran Islam, pada dasarnya, sama dengan kedokteran umum, dan perbedaannya terletak pada nilai-nilai moral dan akhlak dalam mengembangkan dan menggunakan ilmu tersebut, sesuai dengan tuntutan ajaran Islam.
            Ekonomi Islam dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam untuk mencapai ‘rahmat bagi sekalian alam’, dan mensejahterahkan masyarakat secara seimbang; bersifat antroposentris dan teosentris, karena memadukan usaha dan kreativitas manusia berdasarkan nilai-nilai Islam.
            Sosial dan politik dalam Islam berkaitan dengan istilah ummat, qaum, syu’ub, dan qabail untuk yang pertama; untuk yang kedua, uli al amr, muluk, khalifah, wali,  dan ra’in. Islam tidak menentukan bentuk dan sistem politik, tetapi lebih mementingkan moral, etika, dan aspek spiritual dari sosial dan politik Prinsipnya, antara lain, egaliter, keadilan, saling,menghormati,  dan manusiawi.
            Psikologi Islam didasarkan pada ajaran Islam terutama tentang manusia sebagai makluk yang utuh, ditentukan dari dalam dan luar dirinya dengan berbagai potensi kejiwaaan; dan diperlukan untuk mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Objek kajiannya meliputi al nafs, al qalb, al ruh, dan seterusnya.
             Islam yang dipraktikkan di bumi tampil dengan berbagai ragam dengan dampak positif dan negatifnya; dan dalam tataran empirik terdiri dari 31 macam, yang antara lain, adalah Islam normatif, politik, formalistik, dogmatik, fundamentalis, dan lainnya. Keberagaman ini perlu dihargai sebagai hasil ijtihad, dan dianggap sebagai suatu kekuatan setelah dikurangi kelemahannya, agar dapat menuju ‘rahmat bagi sekalian alam’.
            Perbedaan pendapat dalam Islam disebabkan adanya ayat Al Qur’an yang bersifat dzanni, Hadis Ahad, dan penyebab lainnya, yang harus dipelajari dengan memandangnya sebagai suatu keniscayaan, dan perlu dikelola dengan arif bijaksana, dan secara dewasa.
            Terlepas dari tujuan Barat  mempelajari Islam, belajar ke Barat dapat dilakukan sehubungan dengan kaidah jalbu al-mashalih wa dar’u al-mafasid.
            Sebagai simpulan, Islam komprehensif didasarkan pandangan yang utuh, sesuai dengan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi Saw, yufassiru ba’dhuhu ba’dhan, memiliki visi, misi dan tujuan yang saling berkaitan, berdimensi teologis, ritualistik, moralitas, humanis theocentris, tidak mengenal dikotomi antara Tuhan dan ilmu pengetahuan, akal dan wahyu, dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, individu dan masyarakat dan seterusnya, tidak memberikan tempat bagi yang bersifat radikal, dan menuju ‘rahmat sekalian alam’.





DAFTAR PUSTAKA
  
Nata, Abuddin. (2011). Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana Pranada Media Grup.


Senin, 21 April 2014

RESUME CHAPTER 11: PROBLEMS OF ISLAMIC RESEARCH IN POLITICAL SCIENCE




RESUME
CHAPTER  11:  PROBLEMS OF ISLAMIC RESEARCH IN POLITICAL SCIENCE

BY MUHAMMAD NEJATULLAH SIDDIQI[1]




Diresume oleh:

Hendy Herijanto



Untuk melakukan riset Islam secara serius dan sistematis dalam ilmu politik, kita perlu mempertimbangkan berbagai aspek dari kehidupan, dan menemukan persoalan utama yang memerlukan perhatian. Sehubungan dengan alasan-alasan historis, kita perlu untuk memulainya dengan persoalan yang sangat mendasar, sehingga dapat meformulasikan konsepsi yang jelas mengenai pendekatan Islam terhadap berbagai aspek dari kehidupan politik manusia. Sudah menjadi suatu kebiasaan untuk memberikan perhatian khusus pada “sistem politik Islam” atau “sistem ekonomi Islam”, tetapi kita tidak dapat mengerti hal ini kecuali jika kita pertama kali berusaha untuk mengerti pendekatan atau filosopi Islam yang berkaitan dengan aspek kehidupan manusia ini.

Pembahasan teoritis yang rinci mengenai pendekatan fundamental Islam terhadap kehidupan politik, misalnya, diperlukan sebelum mengerti sistem politik Islam seperti halnya dalam situasi kontemporer. Sebagai suatu kenyataan, prinsip yang mendasar telah diberikan Islam agar sistem itu dapat diformulasikan dalam konteks ruang dan waktu. Dengan demikian adanya, periset Islam haruslah memberikan prioritas utama pada masalah-masalah filosofis dan teoretis mengenai kehidupan politik atau ekonomi.

Untuk memulainya, kami mengusulkan untuk membahas  aspek politik terlebih dahulu. Kita perlu mengenal persoalan-persoalan penting dalam kaitan dengan teori politik Islam. Telah dikatakan bahwa ilmu politik dimulai dan berakhir pada Negara. Dari segi pandangan Islam, persoalan kita adalah mengenai teori negara.

Sumber-sumber Islam sangat jelas dalam hal perlunya organisasi politik dan sifatnya. Pada saat yang sama terdapat ruangan yang cukup untuk berspekulasi dan melakukan riset murni mengenai asal-usul historis dari organisasi politik dalam masyarakat manusia. Pentingnya masalah ini bagi manusia modern tidaklah perlu diperdebatkan lagi. Justifikasi rasional adanya negara terletak pada tujuan dan fungsinya, dan ke arah ini pula perhatian kita  harus ditujukan. Hal kedua yang penting adalah sifat negara yang dipikirkan oleh Islam. Pada dasarnya, fungsi negara adalah tidak lain dan tidak bukan merupakan refleksi dari tujuan negara dalam kaitan dengan kondisi kehidupan tertentu. Dapatlah dikatakan bahwa sifat dan tujuan negara adalah yang perlu ditentukan terlebih dahulu oleh pandangan Islam.   

Pembahasan mengenai sifat dari negara menimbulkan pertanyaan mengenai kedaulatan ke permukaan. Dari pandangan Islam, hal tersebut menjadi topik yang sangat kritis dari teori politik. Tidak ada hal lain yang menimbulkan divergensi yang esensil antara pendekatan Islam dengan pendekatan yang lain terhadap masalah politik selain masalah kedaulatan.

Islam meletakkan kedaulatan absolut pada Allah Swt. Ini menimbulkan sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara jelas arti dari pernyataan ini dan implikasinya. Sesungguhnya, kehendak Allah adalah yang paling utama, final, dan tidak terbagi, komprehensif, dan absolut. Kenabian yang datang kemudian, hukum syariah,  yang tercakup dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi Saw – merupakan sumber yang utama dan tidak ada yang lain untuk mengetahui Kehendak dari yang Berdaulat. Di luar sumber ini, tidak ada lagi sumber lain dalam abad apapun yang akan datang. Jelaslah, bahwa kenyataan ini memiliki implikasi yang penting terhadap ruang lingkup dan sifat dari kedaulatan ini. Dilihat dari sudut pandang teori ilmu politik, isu ini bersifat unik di samping rumit bagi konsepsi kedaulatan dan memerlukan pintu masuk yang terus menerus, sehingga kehendak itu dapat bekerja menurut keperluan dari keadaan yang ada. Jika kita berbicara mengenai “Kedaulatan” Allah Swt, kita harus mendefinisikan kembali “Kedaulatan” dalam kaitan dengan sifat dan ruang lingkupnya.

Dalam kata lain, Kedaulatan Allah, yang berimplikasi tidak lain tidak bukan, adalah kedaulatan hukum Syariah - hukum Islam. Hal ini, pada tingkat yang langsung, menimbulkan persoalan interpretasi. Untuk menangani persoalan negara, hukum syariah memerlukan interpretasi dan inferen. Siapa yang berhak untuk melakukan hal tersebut? Dan interpretasi siapa yang dapat digunakan, untuk kepentingan praktis, yang sesuai dengan kehendak Yang Berdaulat? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan memperjelas sejauh  mana Islam sama atau berbeda dari “teokrasi” seperti yang telah kita ketahui. Dari pandangan praktis, rakyat dapat dianggap sebagai otoritas akhir untuk menerima atau menolak interpretasi khusus apapun dari syariah. Rakyat dapat menyetujui atau menolak penunjukkan ulama untuk tugas itu. Jelaslah, akan terdapat perbedaan pendapat mengenai dua dari tiga alternatif yang disebutkan di atas. Pilihan dalam kaitan ini akan memberikan implikasi yang jauh sehubungan dengan sifat dari negara dan bentuk pemerintahan yang muncul.

Apakah melalui aplikasi langsung atau melalui interpretasi atau inferens, hukum syariah tidak mencakup seluruh persoalan dari negara modern. Seperti yang kita ketahui pula, tidak pernah dimaksudkan demikian. Hukum syariah sendiri memberikan ruang yang cukup untuk pembentukkan hukum manusia dalam semangat yang sama, seperti halnya dalam hukum syariah. Negara Islam modern memerlukan legislasi syariah tambahan untuk mengatur persoalan-persoalan manusia dan untuk memastikan tujuannya. Kembali, di sini, kita dihadapkan dengan pertanyaan, siapa yang dianggap dapat bertindak sebagai otoritas akhir untuk tugas itu. Jika hal ini ditangani oleh rakyat, seperti biasanya, bagaimana prosedurnya untuk membuat keputusan? Haruskah dengan metode demokratis atau ditentukan oleh Amir, kepala negara Islam – yang menikmati kewenangan khusus untuk bertindak sebagai legislator?

Pada umumnya, negara Islam dianggap menyukai metode demokratis., tetapi kemudian, sejauh mana demokrasi ini diterapkan haruslah didefinisikan. Karena itu akan memberikan bobot yang signifikan pada bentuk pemerintahan, haruslah dibicarakan bentuk demokrasi yang bagaimana dari sejumlah bentuk organisasi demokrasi politik yang ada, dan yang sesuai dengan pandangan syura dari Islam.                       

Orang dapat berargumentasi bahwa rakyat, yang menggunakan metode demokrasi, dapat membuat undang-undang mengenai hal-hal yang tidak diputuskan oleh syariah, dan juga dapat bertindak sebagai otoritas akhir untuk menerima atau menolak setiap interpretasi khusus dari syariah. Pandangan ini membawa kita kembali pada pertanyaan pertama mengenai kedaulatan dalam Islam. Apakah itu berarti bahwa, dalam ikatan yang ditentukan oleh syariah, adalah rakyat yang sesungguhnya berdaulat dalam negara Islam?  Karena, hal itu dapat diperdebatkan, bahwa idea dari Kedaulatan utamanya adalah mengeluarkan kepatuhan kepada kehendak manusia. Bahwa rakyat, dengan menggunakan kehendak bebasnya, telah memutuskan untuk tunduk pada hukum syariah, dan membatasi diri mereka pada bingkai, yang selanjutnya, ditentukan oleh hal itu, yang sama sekali tidak mempengaruhi posisi mereka sebagai yang berdaulat.

Tugas untuk menentukan posisi Islam mengenai kedaulatan, oleh karenanya, menjadi sangat rumit dan kompleks. Di sisi lain, kita harus menyadari setiap keterangan dari posisi ini dapat melemahkan tempat yang sebenarnya dari hukum syariah  dalam kaitan dengan negara Islam. Di pihak lain, kita harus bersikap cukup realistik untuk mengerti posisi itu tanpa harus bersifat sentimentil atau merasa gelap.

Pada tahap ini, kita cukup puas dengan pertanyaan yang mendasar mengenai sifat dari negara Islam. Masih harus ditambahkan bahwa justifikasi rasional dari teori yang khusus ini juga merupakan tugas yang harus dicakup oleh periset Islam. Kepentingan kita adalah mengerti pendekatan Islam dan menempatkannya pada posisi yang meyakinkan.   

Masih terdapat sejumlah pertanyaan mengenai sifat dari negara Islam. Dalam teori kedaulatan Islam, orang dapat berargumentasi bahwa negara Islam merupakan institusi berdasarkan prinsip-prinsip perintah Tuhan dan tradisi Kenabian yang ditentukan oleh perintah Tuhan. Dapatkah kita mengatakan bahwa terdapat unsur Tuhan dan kesuciannya dilekatkan pada negara Islam? Apakah perintahnya memiliki karakter Tuhan karena hal itu? Atau apakah kita dapat beranggapan bahwa hanya hukum Islam seperti yang dikandung dalam Al Qur’an yang bersifat wahyu, dan negara sendiri tidak mengandung unsur itu? Dalam hal ini, penemuan kita akan menentukan sifat dari pemerintahan, karakteristik dari perintahnya, dan juga terhadap kewenangan dari negara Islam.   

Dalam kaitan dengan tujuan dari negara Islam, orang dapat kembali berargumentasi bahwa adalah suatu perangkat dan agen yang mempertahankan keseimbangan dalam berbagai kepentingan, untuk menetapkan keadilan dalam masyarakat, dan memastikan bahwa berbagai keperluan dari kemanusiaan dipenuhi dalam cara yang seimbang dan harmonis. Kepada sistem itu pula dipercayakan tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual dan material dari masyarakat. Tujuan ini dan tujuan yang lain dari negara dalam Islam memerlukan penjelasan dan eksposisi dalam kaitan dengan konteks kontemporer. Perhatian khusus harus diberikan pada aspek dari tujuan-tujuan ini yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Apa yang dimaksud dengan  kesejahteraan komprehensif dari Islam? Sejauh apa perbaikan ekonomi dan kesejahteraan materi membentuk bagian dari tujuan Islam?  Tujuan-tujuan ini memerlukan penelitian analitis menuju pada penilaian fungsi ekonomi dan kesejahteraan yang realistik dari negara Islam dalam keadaan kontemporer. Dalam hal ini, kita harus membedakan antara fungsi yang langsung mengalir  dari idea mengenai tujuan-tujuan itu seperti yang dinyatakan dalam hukum syariah dan fungsi-fungsi yang dapat atau tidak dapat dilaksanakan oleh negara yang sesuai dengan kehendak rakyat.
Pada umumnya, terdapat anggapan bahwa Islam menempatkan individu dan masyarakat pada tempat yang lebih penting, dan negara tunduk pada kepentingan mereka. Jika kita menerima pandangan ini, dan memandang negara Islam sebagai alat menuju jaminan dan perkembangan individu, maka kita harus mengikuti implikasi dari pandangan ini terhadap hak-hak individu dan statusnya dalam kaitan dengan negara. Dalam melakukannya, kita harus mendefinisikan jiwa dari “individualisme” Islam dan batasannya yang jelas.
Setelah kita membahas secara saksama sifat, tujuan, dan kewenangan dari negara Islam, berdasarkan justifikasi rasional dan analisis sosiologis dari kesimpulan yang diperoleh, maka kita telah sampai pada jarak yang dekat dengan garis besar dari teori negara Islam. Seperti yang telah dikemukakan di awal tulisan, teori inilah yang memberikan justifikasi dan perlunya negara Islam.
Di samping teori negara Islam, terdapat sejumlah besar masalah yang dihadapi oleh periset Islam dalam ilmu politik misalnya bentuk pemerintahan, berbagai organ dari negara dan fungsinya. Terdapat juga pertanyaan mengenai cabang pemerintahan dan sifat dari pemilihan umum dan persoalan partai politik. Kemudian sifat ideologis dari negara Islam melekatkan signifikasi yang khusus pada pertanyaan mengenai minoritas, hak-hak mereka dan status mereka dalam kaitan dengan negara dan pemerintahan. Hak-hak dan status perempuan juga memerlukan pertimbangan politis. Ini dan persoalan yang lain dari teori politik memberikan ide yang jelas mengenai tugas dari periset islam. Tetapi, karena kurangnya ruang untuk bergerak, kita membatasi diri hanya pada teori negara.
 Penelitian terhadap persoalan dari teori negara Islam di atas memerlukan perhatian dari kolega yang tertarik pada topik ini. Pertama-tama, kita akan memaklumi jika ada hal-hal yang mungkin terlewati dalam membahas topik yang telah dikemukakan. Kedua, agaknya lebih tepat untuk mengkonsentrasikan perhatian pada metodologi riset Islam mengenai topik yang sedang dibicarakan. Ketiga, agaknya bukan  tidak tepat jika beberapa pembaca menawarkan sejumlah daftar pustaka dari karya-karya yang komprehensif yang harus diketahui oleh periset Islam selama melakukan penelitian mengenai topik yang dimaksud. Daftar pustaka ini seyogianya mencakup keduanya penulis modern dan Islam dari masa lalu dan dewasa ini. Dengan keinginan ini, dapat menghasilkan pembahasan yang berguna dan dapat kami tawarkan kepada para pembaca.  





DAFTAR PUSTAKA

Siddiqi, Muhammad Nejatullah. 1995. “Problems of Islamic Research in Political Science”, dalam Conceptual and Methodological Issues in Islamic Research: A Few Milestones. Muhammad Mumtaz Ali (ed). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
















[1] Siddiqi, Muhammad Nejatullah. 1995. “Problems of Islamic Research in Political Science”, dalam Conceptual and Methodological Issues in Islamic Research: A Few Milestones.  Muhammad Mumtaz Ali (ed). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hal. 177-182.

Rabu, 16 April 2014

TIDAK MEMBERIKANNYA KEPADA YANG MEMINTA

TIDAK MEMBERIKANNYA KEPADA YANG MEMINTA

Nabi Besar Muhammad Saw, yang juga diikuti oleh Khalifah Umar Bin Khatab, tidak memberikan pekerjaan publik kepada yang meminta; bahkan, berdasarkan tafsir dari Surat Al Qashas (QS, 28:26) oleh Buya Hamka, dan Hadis Nabi Saw, menyebutkan bahwa ketika terdapat orang yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan, tetapi orang itu tidak dipilih, maka tindakan itu disamakan sebagai suatu tindakan yang mengkhianati Allah Swt dan RasulNya (Hamka, 2008:121).

Lantas, bagaimana dengan keadaan sekarang, jabatan publik yang tidak terlepas dari money politics?



Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto?ref=tn_tnmn

MONEY POLITICS: EVEN STRONGER

MONEY POLITICS: EVEN STRONGER

Memang makin vulgar, lebih berani, dan transparan.

Baru duduk untuk bersosialisasi, ucapan, seperti "Pak, masyarakat di sini, tidak akan nyoblos kalau tidak ada uangnya", sudah sering di dengar secara langsung, di hadapan orang banyak yang hadir dalam banyak pertemuan.

Pada malam sebelum hari "H", banyak orang datang ke rumah Tim Sukses untuk menawarkan suara dengan serangan fajar.

Ini lebih buruk dari tahun 2009, karena saya mengalami sendiri, yang juga telah di konfirmasi dari berbagai laporan dan liputan Metro TV.

SAYA TIDAK PERNAH MEMBAYAR APAPUN UNTUK MEMPEROLEH PEKERJAAN KOMERSIAL DI SWASTA, KENAPA SAYA HARUS BAYAR UNTUK JABATAN PUBLIK?

PERTANYAAN INI MEMERLUKAN JAWABAN.



Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto?ref=tn_tnmn

Rabu, 09 April 2014

SELAMAT PAK PRABOWO; As an Indonesian, I am very proud of you.

SELAMAT PAK PRABOWO

As an Indonesian, I am very proud of you.

Anda satu-satunya tokoh dari Indonesia, non pemerintah, yang sungguh-sungguh mengikuti, mendorong, membantu, memberikan tambahan pengacara lokal, dan menghadiri sidang di Malaysia, sampai seorang wanita muda Indonesia, yang sangat lugu dan berasal dari daerah terpencil, dan bagian keluarga yang ekstra sederhana, BEBAS DARI HUKUMAN MATI di negeri orang.

Anda juga amanah, karena anda telah menunaikan pesan ayahanda Wilfrieda, yang disampaikan oleh beliau kepada anda sebelum meninggal.

Tindakan itu sangat manusiawi, tetapi bernilai sarat akhirati; dan juga menggambarkan jiwa dari seorang perwira yang sejati. Itu juga merupakan ibadah kepada Allah Swt.

LUAR BIASA, BAGI SEORANG INDONESIA MASA KINI.



Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto?ref=tn_tnmn

DEMOKRASI YANG KEBABLASAN

DEMOKRASI YANG KEBABLASAN

Seorang teman dari Thailand memberikan suatu definisi tambahan pada kata "demokrasi". Kata ini memang terdengar sangat mulia, tetapi mengandung kelemahan yang harus diwaspadai, yaitu "legitimized by few, approved by many".

Maknanya dapat disimak dari apa yang telah terjadi di negara kita.

Perubahan ke empat dari UUD 45 telah menghilangkan tugas MPR untuk menetapkan "Garis-garis haluan negara". Ini artinya presiden dan DPR dapat menentukan arah negara, sesuai dengan kebutuhan per lima tahun, atau bersifat jangka pendek. Kepentingan jangka pendek biasanya mengalahkan kepentingan jangka panjang.

Contoh lain, yang baru terjadi, adalah usaha untuk merubah KUHAP dan KUHP, yang tampak dengan jelas merupakan usaha untuk memperlemah peran KPK, yang sangat diperlukan oleh bangsa Indonesia secara menyeluruh. Sejarah menunjukkan, bahwa penindakan korupsi sejak zaman Bung Hatta, sampai masa Orde Baru, tidak pernah berhasil secara signifikan. Bahkan, semakin parah sejak Otda diterapkan. Hanya, dewasa ini, KPK dapat menunjukkan hasil secara umum yang lumayan; dan para hakim pun telah memperberat hukuman bagi para koruptor, dan mulai memiskinkan mereka.

Jangan heran kalau Freeport, yang ternyata mengandung deposit emas terbesar di dunia, yang dulu dikatakan "tembaga", dengan kontrak yang terlalu panjang, dan telah diperpanjang pula, hanya memberikan bangsa Indonesia kepemilikan di perusahaan itu sebagai minoritas, dengan saham sekitar 15% - juga merupakan hasil usaha "mendemokrasikan" Indonesia secara liberal.

Tanyalah pada rakyat Singapura, atau paling tidak dengan para supir taksi di sana, bagaimana demokrasi diterapkan di negara itu. Koran Wallstreet Journal pernah dibredel, dan peredarannya sangat dibatasi. Bisnis, "yang menghasilkan dan untuk kepentingan rakyat banyak", dikuasai negara, walaupun ada di antara supir taksi itu yang mengeluh.

Seorang jendral AD dari Taiwan juga memberikan komentar yang sama. Demokrasi di sana juga ada batasnya. Tampaknya, juga di Korea.

OLEH KARENA ITU, RENUNGKAN KEMBALI APA YANG TELAH KITA LAKUKAN BUAT BANGSA INI, DALAM KAITAN DENGAN KONSEP "DEMOKRASI".



Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto?ref=tn_tnmn