Senin, 21 April 2014

RESUME CHAPTER 11: PROBLEMS OF ISLAMIC RESEARCH IN POLITICAL SCIENCE




RESUME
CHAPTER  11:  PROBLEMS OF ISLAMIC RESEARCH IN POLITICAL SCIENCE

BY MUHAMMAD NEJATULLAH SIDDIQI[1]




Diresume oleh:

Hendy Herijanto



Untuk melakukan riset Islam secara serius dan sistematis dalam ilmu politik, kita perlu mempertimbangkan berbagai aspek dari kehidupan, dan menemukan persoalan utama yang memerlukan perhatian. Sehubungan dengan alasan-alasan historis, kita perlu untuk memulainya dengan persoalan yang sangat mendasar, sehingga dapat meformulasikan konsepsi yang jelas mengenai pendekatan Islam terhadap berbagai aspek dari kehidupan politik manusia. Sudah menjadi suatu kebiasaan untuk memberikan perhatian khusus pada “sistem politik Islam” atau “sistem ekonomi Islam”, tetapi kita tidak dapat mengerti hal ini kecuali jika kita pertama kali berusaha untuk mengerti pendekatan atau filosopi Islam yang berkaitan dengan aspek kehidupan manusia ini.

Pembahasan teoritis yang rinci mengenai pendekatan fundamental Islam terhadap kehidupan politik, misalnya, diperlukan sebelum mengerti sistem politik Islam seperti halnya dalam situasi kontemporer. Sebagai suatu kenyataan, prinsip yang mendasar telah diberikan Islam agar sistem itu dapat diformulasikan dalam konteks ruang dan waktu. Dengan demikian adanya, periset Islam haruslah memberikan prioritas utama pada masalah-masalah filosofis dan teoretis mengenai kehidupan politik atau ekonomi.

Untuk memulainya, kami mengusulkan untuk membahas  aspek politik terlebih dahulu. Kita perlu mengenal persoalan-persoalan penting dalam kaitan dengan teori politik Islam. Telah dikatakan bahwa ilmu politik dimulai dan berakhir pada Negara. Dari segi pandangan Islam, persoalan kita adalah mengenai teori negara.

Sumber-sumber Islam sangat jelas dalam hal perlunya organisasi politik dan sifatnya. Pada saat yang sama terdapat ruangan yang cukup untuk berspekulasi dan melakukan riset murni mengenai asal-usul historis dari organisasi politik dalam masyarakat manusia. Pentingnya masalah ini bagi manusia modern tidaklah perlu diperdebatkan lagi. Justifikasi rasional adanya negara terletak pada tujuan dan fungsinya, dan ke arah ini pula perhatian kita  harus ditujukan. Hal kedua yang penting adalah sifat negara yang dipikirkan oleh Islam. Pada dasarnya, fungsi negara adalah tidak lain dan tidak bukan merupakan refleksi dari tujuan negara dalam kaitan dengan kondisi kehidupan tertentu. Dapatlah dikatakan bahwa sifat dan tujuan negara adalah yang perlu ditentukan terlebih dahulu oleh pandangan Islam.   

Pembahasan mengenai sifat dari negara menimbulkan pertanyaan mengenai kedaulatan ke permukaan. Dari pandangan Islam, hal tersebut menjadi topik yang sangat kritis dari teori politik. Tidak ada hal lain yang menimbulkan divergensi yang esensil antara pendekatan Islam dengan pendekatan yang lain terhadap masalah politik selain masalah kedaulatan.

Islam meletakkan kedaulatan absolut pada Allah Swt. Ini menimbulkan sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara jelas arti dari pernyataan ini dan implikasinya. Sesungguhnya, kehendak Allah adalah yang paling utama, final, dan tidak terbagi, komprehensif, dan absolut. Kenabian yang datang kemudian, hukum syariah,  yang tercakup dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi Saw – merupakan sumber yang utama dan tidak ada yang lain untuk mengetahui Kehendak dari yang Berdaulat. Di luar sumber ini, tidak ada lagi sumber lain dalam abad apapun yang akan datang. Jelaslah, bahwa kenyataan ini memiliki implikasi yang penting terhadap ruang lingkup dan sifat dari kedaulatan ini. Dilihat dari sudut pandang teori ilmu politik, isu ini bersifat unik di samping rumit bagi konsepsi kedaulatan dan memerlukan pintu masuk yang terus menerus, sehingga kehendak itu dapat bekerja menurut keperluan dari keadaan yang ada. Jika kita berbicara mengenai “Kedaulatan” Allah Swt, kita harus mendefinisikan kembali “Kedaulatan” dalam kaitan dengan sifat dan ruang lingkupnya.

Dalam kata lain, Kedaulatan Allah, yang berimplikasi tidak lain tidak bukan, adalah kedaulatan hukum Syariah - hukum Islam. Hal ini, pada tingkat yang langsung, menimbulkan persoalan interpretasi. Untuk menangani persoalan negara, hukum syariah memerlukan interpretasi dan inferen. Siapa yang berhak untuk melakukan hal tersebut? Dan interpretasi siapa yang dapat digunakan, untuk kepentingan praktis, yang sesuai dengan kehendak Yang Berdaulat? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan memperjelas sejauh  mana Islam sama atau berbeda dari “teokrasi” seperti yang telah kita ketahui. Dari pandangan praktis, rakyat dapat dianggap sebagai otoritas akhir untuk menerima atau menolak interpretasi khusus apapun dari syariah. Rakyat dapat menyetujui atau menolak penunjukkan ulama untuk tugas itu. Jelaslah, akan terdapat perbedaan pendapat mengenai dua dari tiga alternatif yang disebutkan di atas. Pilihan dalam kaitan ini akan memberikan implikasi yang jauh sehubungan dengan sifat dari negara dan bentuk pemerintahan yang muncul.

Apakah melalui aplikasi langsung atau melalui interpretasi atau inferens, hukum syariah tidak mencakup seluruh persoalan dari negara modern. Seperti yang kita ketahui pula, tidak pernah dimaksudkan demikian. Hukum syariah sendiri memberikan ruang yang cukup untuk pembentukkan hukum manusia dalam semangat yang sama, seperti halnya dalam hukum syariah. Negara Islam modern memerlukan legislasi syariah tambahan untuk mengatur persoalan-persoalan manusia dan untuk memastikan tujuannya. Kembali, di sini, kita dihadapkan dengan pertanyaan, siapa yang dianggap dapat bertindak sebagai otoritas akhir untuk tugas itu. Jika hal ini ditangani oleh rakyat, seperti biasanya, bagaimana prosedurnya untuk membuat keputusan? Haruskah dengan metode demokratis atau ditentukan oleh Amir, kepala negara Islam – yang menikmati kewenangan khusus untuk bertindak sebagai legislator?

Pada umumnya, negara Islam dianggap menyukai metode demokratis., tetapi kemudian, sejauh mana demokrasi ini diterapkan haruslah didefinisikan. Karena itu akan memberikan bobot yang signifikan pada bentuk pemerintahan, haruslah dibicarakan bentuk demokrasi yang bagaimana dari sejumlah bentuk organisasi demokrasi politik yang ada, dan yang sesuai dengan pandangan syura dari Islam.                       

Orang dapat berargumentasi bahwa rakyat, yang menggunakan metode demokrasi, dapat membuat undang-undang mengenai hal-hal yang tidak diputuskan oleh syariah, dan juga dapat bertindak sebagai otoritas akhir untuk menerima atau menolak setiap interpretasi khusus dari syariah. Pandangan ini membawa kita kembali pada pertanyaan pertama mengenai kedaulatan dalam Islam. Apakah itu berarti bahwa, dalam ikatan yang ditentukan oleh syariah, adalah rakyat yang sesungguhnya berdaulat dalam negara Islam?  Karena, hal itu dapat diperdebatkan, bahwa idea dari Kedaulatan utamanya adalah mengeluarkan kepatuhan kepada kehendak manusia. Bahwa rakyat, dengan menggunakan kehendak bebasnya, telah memutuskan untuk tunduk pada hukum syariah, dan membatasi diri mereka pada bingkai, yang selanjutnya, ditentukan oleh hal itu, yang sama sekali tidak mempengaruhi posisi mereka sebagai yang berdaulat.

Tugas untuk menentukan posisi Islam mengenai kedaulatan, oleh karenanya, menjadi sangat rumit dan kompleks. Di sisi lain, kita harus menyadari setiap keterangan dari posisi ini dapat melemahkan tempat yang sebenarnya dari hukum syariah  dalam kaitan dengan negara Islam. Di pihak lain, kita harus bersikap cukup realistik untuk mengerti posisi itu tanpa harus bersifat sentimentil atau merasa gelap.

Pada tahap ini, kita cukup puas dengan pertanyaan yang mendasar mengenai sifat dari negara Islam. Masih harus ditambahkan bahwa justifikasi rasional dari teori yang khusus ini juga merupakan tugas yang harus dicakup oleh periset Islam. Kepentingan kita adalah mengerti pendekatan Islam dan menempatkannya pada posisi yang meyakinkan.   

Masih terdapat sejumlah pertanyaan mengenai sifat dari negara Islam. Dalam teori kedaulatan Islam, orang dapat berargumentasi bahwa negara Islam merupakan institusi berdasarkan prinsip-prinsip perintah Tuhan dan tradisi Kenabian yang ditentukan oleh perintah Tuhan. Dapatkah kita mengatakan bahwa terdapat unsur Tuhan dan kesuciannya dilekatkan pada negara Islam? Apakah perintahnya memiliki karakter Tuhan karena hal itu? Atau apakah kita dapat beranggapan bahwa hanya hukum Islam seperti yang dikandung dalam Al Qur’an yang bersifat wahyu, dan negara sendiri tidak mengandung unsur itu? Dalam hal ini, penemuan kita akan menentukan sifat dari pemerintahan, karakteristik dari perintahnya, dan juga terhadap kewenangan dari negara Islam.   

Dalam kaitan dengan tujuan dari negara Islam, orang dapat kembali berargumentasi bahwa adalah suatu perangkat dan agen yang mempertahankan keseimbangan dalam berbagai kepentingan, untuk menetapkan keadilan dalam masyarakat, dan memastikan bahwa berbagai keperluan dari kemanusiaan dipenuhi dalam cara yang seimbang dan harmonis. Kepada sistem itu pula dipercayakan tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual dan material dari masyarakat. Tujuan ini dan tujuan yang lain dari negara dalam Islam memerlukan penjelasan dan eksposisi dalam kaitan dengan konteks kontemporer. Perhatian khusus harus diberikan pada aspek dari tujuan-tujuan ini yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Apa yang dimaksud dengan  kesejahteraan komprehensif dari Islam? Sejauh apa perbaikan ekonomi dan kesejahteraan materi membentuk bagian dari tujuan Islam?  Tujuan-tujuan ini memerlukan penelitian analitis menuju pada penilaian fungsi ekonomi dan kesejahteraan yang realistik dari negara Islam dalam keadaan kontemporer. Dalam hal ini, kita harus membedakan antara fungsi yang langsung mengalir  dari idea mengenai tujuan-tujuan itu seperti yang dinyatakan dalam hukum syariah dan fungsi-fungsi yang dapat atau tidak dapat dilaksanakan oleh negara yang sesuai dengan kehendak rakyat.
Pada umumnya, terdapat anggapan bahwa Islam menempatkan individu dan masyarakat pada tempat yang lebih penting, dan negara tunduk pada kepentingan mereka. Jika kita menerima pandangan ini, dan memandang negara Islam sebagai alat menuju jaminan dan perkembangan individu, maka kita harus mengikuti implikasi dari pandangan ini terhadap hak-hak individu dan statusnya dalam kaitan dengan negara. Dalam melakukannya, kita harus mendefinisikan jiwa dari “individualisme” Islam dan batasannya yang jelas.
Setelah kita membahas secara saksama sifat, tujuan, dan kewenangan dari negara Islam, berdasarkan justifikasi rasional dan analisis sosiologis dari kesimpulan yang diperoleh, maka kita telah sampai pada jarak yang dekat dengan garis besar dari teori negara Islam. Seperti yang telah dikemukakan di awal tulisan, teori inilah yang memberikan justifikasi dan perlunya negara Islam.
Di samping teori negara Islam, terdapat sejumlah besar masalah yang dihadapi oleh periset Islam dalam ilmu politik misalnya bentuk pemerintahan, berbagai organ dari negara dan fungsinya. Terdapat juga pertanyaan mengenai cabang pemerintahan dan sifat dari pemilihan umum dan persoalan partai politik. Kemudian sifat ideologis dari negara Islam melekatkan signifikasi yang khusus pada pertanyaan mengenai minoritas, hak-hak mereka dan status mereka dalam kaitan dengan negara dan pemerintahan. Hak-hak dan status perempuan juga memerlukan pertimbangan politis. Ini dan persoalan yang lain dari teori politik memberikan ide yang jelas mengenai tugas dari periset islam. Tetapi, karena kurangnya ruang untuk bergerak, kita membatasi diri hanya pada teori negara.
 Penelitian terhadap persoalan dari teori negara Islam di atas memerlukan perhatian dari kolega yang tertarik pada topik ini. Pertama-tama, kita akan memaklumi jika ada hal-hal yang mungkin terlewati dalam membahas topik yang telah dikemukakan. Kedua, agaknya lebih tepat untuk mengkonsentrasikan perhatian pada metodologi riset Islam mengenai topik yang sedang dibicarakan. Ketiga, agaknya bukan  tidak tepat jika beberapa pembaca menawarkan sejumlah daftar pustaka dari karya-karya yang komprehensif yang harus diketahui oleh periset Islam selama melakukan penelitian mengenai topik yang dimaksud. Daftar pustaka ini seyogianya mencakup keduanya penulis modern dan Islam dari masa lalu dan dewasa ini. Dengan keinginan ini, dapat menghasilkan pembahasan yang berguna dan dapat kami tawarkan kepada para pembaca.  





DAFTAR PUSTAKA

Siddiqi, Muhammad Nejatullah. 1995. “Problems of Islamic Research in Political Science”, dalam Conceptual and Methodological Issues in Islamic Research: A Few Milestones. Muhammad Mumtaz Ali (ed). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
















[1] Siddiqi, Muhammad Nejatullah. 1995. “Problems of Islamic Research in Political Science”, dalam Conceptual and Methodological Issues in Islamic Research: A Few Milestones.  Muhammad Mumtaz Ali (ed). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hal. 177-182.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar