RESUME
CHAPTER 11: PROBLEMS OF ISLAMIC RESEARCH IN POLITICAL
SCIENCE
BY MUHAMMAD NEJATULLAH SIDDIQI[1]
Diresume oleh:
Hendy Herijanto
Untuk melakukan riset Islam
secara serius dan sistematis dalam ilmu politik, kita perlu mempertimbangkan
berbagai aspek dari kehidupan, dan menemukan persoalan utama yang memerlukan
perhatian. Sehubungan dengan alasan-alasan historis, kita perlu untuk memulainya
dengan persoalan yang sangat mendasar, sehingga dapat meformulasikan konsepsi
yang jelas mengenai pendekatan Islam terhadap berbagai aspek dari kehidupan
politik manusia. Sudah menjadi suatu kebiasaan untuk memberikan perhatian
khusus pada “sistem politik Islam” atau “sistem ekonomi Islam”, tetapi kita
tidak dapat mengerti hal ini kecuali jika kita pertama kali berusaha untuk
mengerti pendekatan atau filosopi Islam yang berkaitan dengan aspek kehidupan
manusia ini.
Pembahasan teoritis yang rinci
mengenai pendekatan fundamental Islam terhadap kehidupan politik, misalnya,
diperlukan sebelum mengerti sistem politik Islam seperti halnya dalam situasi
kontemporer. Sebagai suatu kenyataan, prinsip yang mendasar telah diberikan
Islam agar sistem itu dapat diformulasikan dalam konteks ruang dan waktu.
Dengan demikian adanya, periset Islam haruslah memberikan prioritas utama pada
masalah-masalah filosofis dan teoretis mengenai kehidupan politik atau ekonomi.
Untuk memulainya, kami
mengusulkan untuk membahas aspek politik
terlebih dahulu. Kita perlu mengenal persoalan-persoalan penting dalam kaitan
dengan teori politik Islam. Telah dikatakan bahwa ilmu politik dimulai dan
berakhir pada Negara. Dari segi pandangan Islam, persoalan kita adalah mengenai
teori negara.
Sumber-sumber Islam sangat
jelas dalam hal perlunya organisasi politik dan sifatnya. Pada saat yang sama
terdapat ruangan yang cukup untuk berspekulasi dan melakukan riset murni
mengenai asal-usul historis dari organisasi politik dalam masyarakat manusia. Pentingnya
masalah ini bagi manusia modern tidaklah perlu diperdebatkan lagi. Justifikasi
rasional adanya negara terletak pada tujuan dan fungsinya, dan ke arah ini pula
perhatian kita harus ditujukan. Hal
kedua yang penting adalah sifat negara yang dipikirkan oleh Islam. Pada
dasarnya, fungsi negara adalah tidak lain dan tidak bukan merupakan refleksi
dari tujuan negara dalam kaitan dengan kondisi kehidupan tertentu. Dapatlah
dikatakan bahwa sifat dan tujuan negara adalah yang perlu ditentukan terlebih
dahulu oleh pandangan Islam.
Pembahasan mengenai sifat dari
negara menimbulkan pertanyaan mengenai kedaulatan ke permukaan. Dari pandangan
Islam, hal tersebut menjadi topik yang sangat kritis dari teori politik. Tidak
ada hal lain yang menimbulkan divergensi yang esensil antara pendekatan Islam
dengan pendekatan yang lain terhadap masalah politik selain masalah kedaulatan.
Islam meletakkan kedaulatan
absolut pada Allah Swt. Ini menimbulkan sejumlah pertanyaan yang harus dijawab
secara jelas arti dari pernyataan ini dan implikasinya. Sesungguhnya, kehendak
Allah adalah yang paling utama, final, dan tidak terbagi, komprehensif, dan
absolut. Kenabian yang datang kemudian, hukum syariah, yang tercakup dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi
Saw – merupakan sumber yang utama dan tidak ada yang lain untuk mengetahui
Kehendak dari yang Berdaulat. Di luar sumber ini, tidak ada lagi sumber lain
dalam abad apapun yang akan datang. Jelaslah, bahwa kenyataan ini memiliki
implikasi yang penting terhadap ruang lingkup dan sifat dari kedaulatan ini.
Dilihat dari sudut pandang teori ilmu politik, isu ini bersifat unik di samping
rumit bagi konsepsi kedaulatan dan memerlukan pintu masuk yang terus menerus,
sehingga kehendak itu dapat bekerja menurut keperluan dari keadaan yang ada. Jika
kita berbicara mengenai “Kedaulatan” Allah Swt, kita harus mendefinisikan
kembali “Kedaulatan” dalam kaitan dengan sifat dan ruang lingkupnya.
Dalam kata lain, Kedaulatan
Allah, yang berimplikasi tidak lain tidak bukan, adalah kedaulatan hukum Syariah
- hukum Islam. Hal ini, pada tingkat yang langsung, menimbulkan persoalan
interpretasi. Untuk menangani persoalan negara, hukum syariah memerlukan
interpretasi dan inferen. Siapa yang berhak untuk melakukan hal tersebut? Dan
interpretasi siapa yang dapat digunakan, untuk kepentingan praktis, yang sesuai
dengan kehendak Yang Berdaulat? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan
memperjelas sejauh mana Islam sama atau
berbeda dari “teokrasi” seperti yang telah kita ketahui. Dari pandangan
praktis, rakyat dapat dianggap sebagai otoritas akhir untuk menerima atau
menolak interpretasi khusus apapun dari syariah. Rakyat dapat menyetujui atau
menolak penunjukkan ulama untuk tugas itu. Jelaslah, akan terdapat perbedaan
pendapat mengenai dua dari tiga alternatif yang disebutkan di atas. Pilihan
dalam kaitan ini akan memberikan implikasi yang jauh sehubungan dengan sifat
dari negara dan bentuk pemerintahan yang muncul.
Apakah melalui aplikasi
langsung atau melalui interpretasi atau inferens, hukum syariah tidak mencakup
seluruh persoalan dari negara modern. Seperti yang kita ketahui pula, tidak
pernah dimaksudkan demikian. Hukum syariah sendiri memberikan ruang yang cukup untuk
pembentukkan hukum manusia dalam semangat yang sama, seperti halnya dalam hukum
syariah. Negara Islam modern memerlukan legislasi syariah tambahan untuk
mengatur persoalan-persoalan manusia dan untuk memastikan tujuannya. Kembali,
di sini, kita dihadapkan dengan pertanyaan, siapa yang dianggap dapat bertindak
sebagai otoritas akhir untuk tugas itu. Jika hal ini ditangani oleh rakyat,
seperti biasanya, bagaimana prosedurnya untuk membuat keputusan? Haruskah
dengan metode demokratis atau ditentukan oleh Amir, kepala negara Islam – yang
menikmati kewenangan khusus untuk bertindak sebagai legislator?
Pada umumnya, negara Islam
dianggap menyukai metode demokratis., tetapi kemudian, sejauh mana demokrasi
ini diterapkan haruslah didefinisikan. Karena itu akan memberikan bobot yang
signifikan pada bentuk pemerintahan, haruslah dibicarakan bentuk demokrasi yang
bagaimana dari sejumlah bentuk organisasi demokrasi politik yang ada, dan yang
sesuai dengan pandangan syura dari
Islam.
Orang dapat berargumentasi
bahwa rakyat, yang menggunakan metode demokrasi, dapat membuat undang-undang
mengenai hal-hal yang tidak diputuskan oleh syariah, dan juga dapat bertindak
sebagai otoritas akhir untuk menerima atau menolak setiap interpretasi khusus
dari syariah. Pandangan ini membawa kita kembali pada pertanyaan pertama
mengenai kedaulatan dalam Islam. Apakah itu berarti bahwa, dalam ikatan yang
ditentukan oleh syariah, adalah rakyat yang sesungguhnya berdaulat dalam negara
Islam? Karena, hal itu dapat
diperdebatkan, bahwa idea dari Kedaulatan utamanya adalah mengeluarkan
kepatuhan kepada kehendak manusia. Bahwa rakyat, dengan menggunakan kehendak
bebasnya, telah memutuskan untuk tunduk pada hukum syariah, dan membatasi diri
mereka pada bingkai, yang selanjutnya, ditentukan oleh hal itu, yang sama
sekali tidak mempengaruhi posisi mereka sebagai yang berdaulat.
Tugas untuk menentukan posisi
Islam mengenai kedaulatan, oleh karenanya, menjadi sangat rumit dan kompleks.
Di sisi lain, kita harus menyadari setiap keterangan dari posisi ini dapat melemahkan
tempat yang sebenarnya dari hukum syariah
dalam kaitan dengan negara Islam. Di pihak lain, kita harus bersikap
cukup realistik untuk mengerti posisi itu tanpa harus bersifat sentimentil atau
merasa gelap.
Pada tahap ini, kita cukup
puas dengan pertanyaan yang mendasar mengenai sifat dari negara Islam. Masih
harus ditambahkan bahwa justifikasi rasional dari teori yang khusus ini juga
merupakan tugas yang harus dicakup oleh periset Islam. Kepentingan kita adalah
mengerti pendekatan Islam dan menempatkannya pada posisi yang meyakinkan.
Masih terdapat sejumlah
pertanyaan mengenai sifat dari negara Islam. Dalam teori kedaulatan Islam,
orang dapat berargumentasi bahwa negara Islam merupakan institusi berdasarkan
prinsip-prinsip perintah Tuhan dan tradisi Kenabian yang ditentukan oleh
perintah Tuhan. Dapatkah kita mengatakan bahwa terdapat unsur Tuhan dan
kesuciannya dilekatkan pada negara Islam? Apakah perintahnya memiliki karakter
Tuhan karena hal itu? Atau apakah kita dapat beranggapan bahwa hanya hukum
Islam seperti yang dikandung dalam Al Qur’an yang bersifat wahyu, dan negara
sendiri tidak mengandung unsur itu? Dalam hal ini, penemuan kita akan
menentukan sifat dari pemerintahan, karakteristik dari perintahnya, dan juga
terhadap kewenangan dari negara Islam.
Dalam kaitan dengan tujuan
dari negara Islam, orang dapat kembali berargumentasi bahwa adalah suatu perangkat
dan agen yang mempertahankan keseimbangan dalam berbagai kepentingan, untuk
menetapkan keadilan dalam masyarakat, dan memastikan bahwa berbagai keperluan
dari kemanusiaan dipenuhi dalam cara yang seimbang dan harmonis. Kepada sistem
itu pula dipercayakan tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual
dan material dari masyarakat. Tujuan ini dan tujuan yang lain dari negara dalam
Islam memerlukan penjelasan dan eksposisi dalam kaitan dengan konteks
kontemporer. Perhatian khusus harus diberikan pada aspek dari tujuan-tujuan ini
yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Apa yang dimaksud
dengan kesejahteraan komprehensif dari
Islam? Sejauh apa perbaikan ekonomi dan kesejahteraan materi membentuk bagian
dari tujuan Islam? Tujuan-tujuan ini
memerlukan penelitian analitis menuju pada penilaian fungsi ekonomi dan
kesejahteraan yang realistik dari negara Islam dalam keadaan kontemporer. Dalam
hal ini, kita harus membedakan antara fungsi yang langsung mengalir dari idea mengenai tujuan-tujuan itu seperti
yang dinyatakan dalam hukum syariah dan fungsi-fungsi yang dapat atau tidak
dapat dilaksanakan oleh negara yang sesuai dengan kehendak rakyat.
Pada umumnya, terdapat anggapan
bahwa Islam menempatkan individu dan masyarakat pada tempat yang lebih penting,
dan negara tunduk pada kepentingan mereka. Jika kita menerima pandangan ini, dan
memandang negara Islam sebagai alat menuju jaminan dan perkembangan individu,
maka kita harus mengikuti implikasi dari pandangan ini terhadap hak-hak
individu dan statusnya dalam kaitan dengan negara. Dalam melakukannya, kita
harus mendefinisikan jiwa dari “individualisme” Islam dan batasannya yang
jelas.
Setelah kita membahas secara
saksama sifat, tujuan, dan kewenangan dari negara Islam, berdasarkan
justifikasi rasional dan analisis sosiologis dari kesimpulan yang diperoleh,
maka kita telah sampai pada jarak yang dekat dengan garis besar dari teori
negara Islam. Seperti yang telah dikemukakan di awal tulisan, teori inilah yang
memberikan justifikasi dan perlunya negara Islam.
Di samping teori negara Islam,
terdapat sejumlah besar masalah yang dihadapi oleh periset Islam dalam ilmu
politik misalnya bentuk pemerintahan, berbagai organ dari negara dan fungsinya.
Terdapat juga pertanyaan mengenai cabang pemerintahan dan sifat dari pemilihan
umum dan persoalan partai politik. Kemudian sifat ideologis dari negara Islam
melekatkan signifikasi yang khusus pada pertanyaan mengenai minoritas, hak-hak mereka
dan status mereka dalam kaitan dengan negara dan pemerintahan. Hak-hak dan
status perempuan juga memerlukan pertimbangan politis. Ini dan persoalan yang
lain dari teori politik memberikan ide yang jelas mengenai tugas dari periset
islam. Tetapi, karena kurangnya ruang untuk bergerak, kita membatasi diri hanya
pada teori negara.
Penelitian terhadap persoalan dari teori
negara Islam di atas memerlukan perhatian dari kolega yang tertarik pada topik
ini. Pertama-tama, kita akan memaklumi jika ada hal-hal yang mungkin terlewati dalam
membahas topik yang telah dikemukakan. Kedua, agaknya lebih tepat untuk
mengkonsentrasikan perhatian pada metodologi riset Islam mengenai topik yang
sedang dibicarakan. Ketiga, agaknya bukan tidak tepat jika beberapa pembaca menawarkan
sejumlah daftar pustaka dari karya-karya yang komprehensif yang harus diketahui
oleh periset Islam selama melakukan penelitian mengenai topik yang dimaksud.
Daftar pustaka ini seyogianya mencakup keduanya penulis modern dan Islam dari
masa lalu dan dewasa ini. Dengan keinginan ini, dapat menghasilkan pembahasan
yang berguna dan dapat kami tawarkan kepada para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Siddiqi, Muhammad
Nejatullah. 1995. “Problems of Islamic Research in Political Science”, dalam Conceptual and Methodological Issues in
Islamic Research: A Few Milestones. Muhammad Mumtaz Ali (ed). Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
[1] Siddiqi, Muhammad
Nejatullah. 1995. “Problems of Islamic Research in Political Science”, dalam Conceptual and Methodological Issues in
Islamic Research: A Few Milestones.
Muhammad Mumtaz Ali (ed). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hal.
177-182.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar