Rabu, 08 Januari 2014

BAI AL INNAH DAN TAWARRUG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM



 BAI AL INNAH DAN TAWARRUG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM


ABSTRACT

This paper tries to elaborate the meaning of bai al inah and tawarrug in the domain of Islamic economic and finance in the perpective of Islamic law and ethics. There has been a lot of opinions from Islamic jurists as discussed in this paper, representing them either as advocates or opponents in the existing literature, based on which it appeared that bai al inah had not been allowed since the earlier time of Islamic history by the classical jurists. For tawarrug, on the other hand, it posed itself to remain in a debate with regard to be allowed or  prohibited, as seen it being used in the international, global,  market. Nonetheless, the Fiqh Academy in Jeddah finally agreed to prohibit tawarrug in 2003.
Besides using the arguments made by the classical jurists and contemporary experts, this paper also approaches the issue by using the Qur’anic Verse, ie, Al Baqarah (QS, 2 : 275), stipulating that “trade is allowable, and riba or interest is prohibited”, and several Hadiths of The Prophet Muhammad puh suggesting to discourage the use of debt. Based on these two main sources of law, this paper concludes that both contracts are deemed to be abandoned, or otherwise allowing debt market to grow and the financial sector of the economy  would depart from the real sector.

Key words: trade, interest, debt, real sector of the economy, Al Qur’an and Hadith. 


A.  PENDAHULUAN
Makalah ini berkaitan dengan kegiatan pembiayaan Islam, yang merupakan sub sektor dari perekonomian Islam. Hukum untuk pembiayaan Islam berasal dari petunjuk yang diwahyukan oleh Allah Swt melalui Nabi Besar Muhammad Saw, dan dituliskan ke dalam ayat-ayat Al Qur’an, serta dijelaskan oleh Sunnah Rasul. Dalam pembiayaan Islam, petunjuk dan atau ketetapan Tuhan ini dikembangkan oleh para ulama atau fukaha dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan sosiologis dan ekonomis masyarakat dari waktu ke waktu. Jenis-jenis pembiayaan yang diijinkan dalam Islam adalah yang telah dikaji dan dikembangkan oleh para ulama atau fukaha. Hasil dari pengkajian ini dimanifestaikan ke dalam akad-akad pembiayaan Islami. Bai al inah dan tawarruq adalah dua jenis pembiayaan yang terdapat dalam ranah ekonomi Islam. Namun, tawarruq tampaknya masih dalam perdebatan apakah diperbolehkan atau dilarang, sedangkan bai al inah dilarang karena adanya nash hadis yang dengan jelas melarangnya.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memperjelas pembahasan dari para ulama jumhur dalam menentukan apakah bai al innah dan tawarrug tersebut diijinkan untuk diterapkan dalam pembiayaan Islam, yang tentunya harus bersandar pada ketentuan Hukum Islam. Untuk mencapai tujuan ini, penulis berusaha memaknai ayat utama yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi atau pembiayaan yang ditetapkan dalam Al Qur’an dan disunahkan oleh Nabi Besar Saw. Untuk tujuan perbandingan, penulis juga berusaha untuk menyimpulkan substansi dari akad-akad yang telah diijinkan dalam pembiayaan Islam, dan mengunakan substansinya dalam mengkaji apakah bai al innah dan tawarrug memiliki dasar yang sama untuk diterapkan dalam rangka mencapai kemaslahatan bagi umat, atau masyarakat, dalam perekonomian Islam. Pengkajian ini berusaha untuk mengungkapkan dengan lebih jelas  pendapat para ulama dari berbagai mazab yang telah ada, ditambah dengan pendapat kontemporer yang terdapat dalam berbagai literatur.
Sejalan dengan latar belakang di atas, pendekatan metodologis penulisan makalah ini bersifat kualitatif, dengan mengambil substansi yang terkait dari ayat Al Qur’an, hadis Nabi Saw, pendapat para fukaha dari sejumlah mazhab, pendapat para ahli masa kini, dan substansi dari  akad pembiayaan Islami. Penelitian ini dilakukan murni bersifat kepustakaan, dan bahan yang digunakan hampir seluruhnya merupakan kutipan dari penulis yang telah ada dalam ranah ekonomi dan pembiayaan Islam, ushul figih, fiqih klasik dan kotemporer beserta pendapat para pakar terkait.

B.  EKONOMI DAN PEMBIAYAAN DALAM HUKUM ISLAM
1.   Pendekatan Hukum Islam
Secara epistemologi, hukum Islam atau syariat berasal dari wahyu Allah Swt yang diwujudkan ke dalam ayat-ayat Al Qur’an, dan diperjelas serta dipraktikkan oleh Nabi Saw dalam bentuk sunah dan hadis. Kedua sumber merupakan petunjuk atau dalil utama dari Hukum Allah [1]. Syariat itu sendiri merupakan ketetapan Allah dan Rasulnya berisikan ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat global, kekal, dan universal, yang berlaku bagi seluruh hamba-Nya [2]. Syariat adalah pewujudan kehendak Tuhan, sehingga ketaatan manusia kepada syariat merupakan bukti ketaatannya kepada Allah Swt[3]. Menurut ahli Hukum Islam dari Mesir, Abd al Majid Muhammad al Khalafi, sebagai sumber atau dalil fikih yang disepakati, selain Al Qur’an dan Sunnah Rasul, adalah ijma dan qiyas [4], seperti yang termaktub dalam Surat an Nisa (QS, 4 : 59). Fiqih sendiri diartikan sebagai pemahaman mendalam para ulama tentang hukum syara yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqih, syariat, atau hukum adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi peraturan hidup bagi masyarakat yang bersifat mengendalikan, mencegah, mengikat, dan memaksa [5].
Karena hukum Islam berasal dari wahyu, maka hukum Islam itu disepakati bersifat relijius [6], yang mengajarkan baik dan buruk berdasarkan ajaran Allah dan Sunnah Rasul, sesuai dengan fitrah manusia dan akal pikiran yang lurus dan benar [7]. Bahkan, menurut Muhammad Khalid Masud, para pakar hukum Islam sepakat dalam berpendapat bahwa hukum Islam merupakan sistem ketentuan etika atau moral [8]. Etika, di sini, dimaksudkan bukanlah etika pragmatis, tetapi merupakan etika pembebasan manusia, yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan kemandirian [9].
 Pada tataran teori, pendapat tersebut tampaknya memperoleh dukungan dari H.A.R. Gibb, seperti yang dikutip oleh Muhammad Khalid Masud, dan mengatakan bahwa hukum Islam adalah sebuah sistem etika, dan berbeda dengan sistem hukum (positif-pen), berdasarkan argumen berikut: pertama, klasifikasi dan kategori tindakan dalam hukum Islam bersifat moral dan etis, bukan yuridis, dilihat dari kategori hukum, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram; kedua, hukum Islam berbicara mengenai ‘kewajiban’ bukan ‘hak’, karena hak terdiri dari dua, hak Allah, dan hak manusia; ketiga, hukum Islam bersifat relijius dan moral,  karena penekanan pada akhirnya yang berhak menentukan hukuman adalah Allah [10].
Namun, pendapat Gibb di atas memberikan impresi bahwa seolah-olah hukum Islam hanya merupakan sistem moral dan etika belaka. Hukum dan moral tidak dapat dipisahkan, bahkan dalam praktik begitulah adanya. Dalam keadaan minimum, ketika hakim menghadapi perkara yang sulit, tugas hakim adalah satu, yaitu membuat putusan moral terbaik atas isu-isu moral yang harus dihadapi nya[11]. Terlebih di Indonesia, hakim tidak dapat menolak untuk mengadili suatu perkara, dengan dalih tidak ada UU yang mengaturnya. Hakim dapat menggunakan doktrin freier ermessen, atau menggunakan diskresinya untuk memutus perkara seperti itu, berdasarkan penilaian terbatas atau marginale toetsing, sejauh tidak melakukan penyalahgunaan wewenang atau abuse of power, dan kesewenang-wenangan atau willekeur. Ketiga konsep terakhir  ini berkaitan erat dengan masalah moralitas.       
Dalam kaitan dengan pendapat Gibb di atas, Fathurrahman Djamil mengutip pendapat dari Hazairin, M. Muslehuddin, Immanuel Kant, dan Friedman, yang menyimpulkan secara umum bahwa hukum dan moral itu bersatu, dan tidak dapat dipisahkan. Menurut Hazairin, hukum tanpa moral adalah kezaliman. Menurut M. Muslehudin, hukum tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum yang dapat bertahan lama. Menurut Kant, hukum moral adalah hukum yang sebenarnya, dan yang terakhir Friedman mengatakan, bahwa tidak ada dan tidak pernah ada pemisahan total hukum dari moralitas[12]. Seluruh pendapat ini tampaknya dapat diperjelas oleh pendapat Rabruch. Beliau berpendapat bahwa hukum yang valid adalah yang sejalan dengan moralitas; sebaliknya, yang tidak sejalan dengan moralitas tidak dapat disebut sebagai hukum [13]. Bahkan, jika ditilik lebih dalam, moralitas atau etika bersifat lebih tinggi dari hukum (positif), karena hukum positif bersifat tidak universal, tetapi lokal, dan nasional [14].
Menurut Gunawan Setiarja, moral adalah pengaturan perbuatan manusia sebagai manusia ditinjau dari segi baik-buruknya, dan dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia berdasarkan hukum kodrati [15]; sehingga moral berbeda dengan hukum. Sebagai perbedaannya dengan hukum yang bersifat memaksa, moral tidak dapat dipaksakan, tetapi menuntut kepatuhan dan ketaatan secara mutlak. Hukum mengabaikan sikap bathin manusia, tetapi moral menuntut keduanya, perbuatan lahir  dan sikap bathin manusia. Hukum bersifat heteronom, karena manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat; tetapi, moral manusia bersifat teonom, yaitu mengacu pada hukum yang abadi, karena tunduk pada kehendak Illahi, yang mengarahkan segala ciptaan-Nya ke arah tujuan mereka sebagai landasan terdalam dari segala hukum dan peraturan. Dari segi sanksi, hukum memiliki sanksi lahiriah, tetapi sanksi moral bersifat bathiniah. Dari segi tujuan, hukum bertujuan untuk mencapai ketertiban, dan mengatur struktur kehidupan sosial masyarakat tertentu; sedangkan tujuan moral adalah untuk mengatur hidup manusia sebagai manusia, tanpa pandang bulu atau perbedaan suku, agama, dan keadaan sosial [16].
Pada dasarnya, Al Qur’an mengandung petunjuk bagi manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia agar bernilai akhirati. Al Qur’an mengandung tiga ajaran pokok, yaitu[17]: pertama, berkaitan dengan akidah atau keimanan dan wajib diyakini, seperti masalah ketauhidan dan kenabian. Kedua, berkaitan dengan akhlak sebagai perhiasan diri agar mendekatkan diri kepada sifat keutamaan dengan sekaligus menjauhi sifat kehinaan. Ketiga berkaitan dengan perbuatan mukalaf sebagai hukum amaliyah, dan merupakan perkembangannya ilmu fiqih. Hukum amaliyah ini terdiri dari dua, yaitu hukum ibadah dan hukum muamalat. Hukum yang pertama mengatur hubungan antar manusia dengan Allah dan bersifat taabud dengan tidak melihat pada nilai dan hikmah; dan yang kedua mengatur hubungan manusia dengan manusia dengan melihat pada nilai dan hikmah[18].
 Masalah perekonomian seperti jual beli, utang piutang, hukum perjanjian diatur dalam yang kedua, yaitu hukum muamalat. Namun, hukum muamalat dalam Al Qur’an tidak dijelaskan secara rinci, karena hanya memberikan prinsip-prinsip dasar [19]. Contohnya adalah Surat An Nisa (QS, 3 : 29), yang melarang manusia untuk memakan harta sesama secara bathil, kecuali berdasarkan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara sesama; di sini, apa yang dimaksud dengan memakan harta sesama secara bathil memerlukan penjelasan lebih lanjut. Apakah ‘secara bathil’ berarti mengambil keuntungan dari perniagaan atau jual beli yang bukan didasarkan pada keadaan suka sama suka? Seperti halnya dengan ajaran Islam secara menyeluruh, ayat ini mengandung kadar etika yang sangat kental.
Hamka menjelaskan bahwa kata bathil diartikan sebagai jalan yang salah, atau tidak sewajarnya. Perniagaan sendiri berarti sangat luas, yang termasuk kegiatan upah mengupah dan berkaitan dengan peredaran harta benda. Menurut Hamka lebih lanjut, pokok utama agar tidak bersifat bathil adalah keridaan kedua pihak yang terkait dalam suatu transaksi (niaga) [20]; yang satu rida dalam menerima kualitas dan kuantitas prestasi dari salah satu pihak dengan melakukan kontra prestasi terhadap dan diridai oleh pihak lain yang melakukan prestasi tersebut. Keridaan di sini diartikan bahwa prestasi dan kontra prestasi berada dalam keadaan seimbang, karena telah diterima atau diridai oleh masing-masing pihak. 
Sebagai sifatnya yang alami secara sosiologis, masyarakat selalu berkembang dan perkembangan ini menimbulkan kompleksitas hubungan antar sesama manusia dan kepentingan yang lebih luas. Namun, dari sisi lain, sumber utama hukum Islam tidak berubah, karena bersifat kekal. Dalam rangka megimbangi perkembangan masyarakat, terdapat sejumlah kaidah yang dapat diikuti dalam menentukan hukum yang diperlukan. Dalam kaitan dengan ibadah, kaidah utama yang dapat digunakan adalah yang menyebutkan bahwa segala urusan ibadah bersifat terlarang atau haram dilakukan, apabila ada dalil yang melarangnya atau al- asl fi al-ibadah buthlanun hatta yaquma dalil ‘ala al-amr. Bagi kegiatan muamalat, kaidahnya adalah segala sesuatu yang bersifat duniawi diperbolehkan, sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya atau al-asl fi al-asya-i al - ibahah hatta yaquma al- dalilu a’la al-buthlani au a’la at-tahrim [21].
Untuk lebih lanjut menemukan hukum yang diperlukan, sumber hukum itu perlu dikaji dengan mengeluarkan makna, dan maksud serta hukum yang ada dalam Al Qur’an dan Hadis Nabi Saw. Hukum yang tidak ditegaskan secara langsung oleh nash atau text dalam Al Qur’an atau hadis Nabi, atau mengandung penafsiran atau penakwilan [22], diperjelas melalui lembaga ijtihad [23]. Para ulama yang kompeten atau mujtahid melakukan ijtihad tertentu[24], dengan menghasilkan suatu konsensus hukum berupa ijma atau qiyas atau analogi [25]. Dalam kaitan dengan qiyas, terdapat metode yang disebut sebagai al-maslahah al- mursalah. Metode ini menitik beratkan pembahasannya terhadap kasus-kasus hukum yang belum jelas terdapat teks atau nash dalam Al Qur’an atau Hadis, dan digunakan untuk menjawab masalah-masalah hukum yang berkembang dalam masyarakat. Unsur yang diperhatikan dalam menentukan hukum adalah apakah secara rasional dapat mencapai kebaikan atau maslahah, atau menghindari keburukan atau kemudharatan. Kedua unsur ini menentukan apakah suatu hukum dapat diterima atau ditolak. Bagi yang menerima metode ini [26], mereka berpendapat bahwa penemuan maslahah dan menghindari kemudharatan merupakan tujuan dari hukum Islam, atau maqasid al syariah [27].
Menurut Al Ghazali, Maqasid al syariah yang ingin dicapai dari manusia terdiri dari 5, yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta; sedangkan maslahah adalah setiap tujuan dari hukum yang mengandung kelima unsur tersebut [28]. Maslahah ini bersifat universal, sejati, duniawi dan akhirati, lahir dan bathin, material dan spiritual, individual dan kolektif, untuk hari ini dan masa depan [29]; sejauh bertujuan untuk memelihara syara’ atau hukum Islam, tidak ada dalil tertentu yang menunjukkan, dan tidak berlawanan dengan Al Qur’an, sunnah, atau ijma [30]. Untuk mencapai kesejahteraan yang bersifat duniawi, masyarakat perlu menjalankan segala segi dari kehidupannya secara tertib. Agar bernilai akhirati, kesejahteraan itu harus mengikuti hukum Allah Swt atau syariat Islam, atau yang disepakati dalam fiqih para ulama jumhur.

2.   Ketentuan Dasar dalam Al Qur’an dan Hadis Nabi Saw
Petunjuk utama tentang perekonomian Islam, khususnya pembiayaan Islam, adalah Surat Al Baqarah (QS, 2 : 275) berikut, dan Hadis Nabi Saw yang dikemukakan kemudian dalam bagian ini.
Surat Al Baqarah (QS, 2 : 275) berbunyi sebagai berikut:


“Alladziina ya/kuluuna alrribaa laa yaquumuuna illaa kamaa yaquumu alladzii yatakhabbathuhu alsysyaythaanu mina almassi dzaalika bi-annahum qaaluu innamaa albay'u mitslu alrribaa wa-ahalla allaahu albay'a waharrama alrribaa faman jaa-ahu maw'izhatun min rabbihi faintahaa falahu maa salafa wa-amruhu ilaa allaahi waman 'aada faulaa-ika ash-haabu alnnaari hum fiihaa khaaliduuna”

Artinya : [2:275]Orang-orang yang makan (mengambil) riba174 tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila175. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu176 (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Frasa yang digarisbawahi di sini adalah “jual beli dihalalkan, dan riba diharamkan”. Sebagai suatu unsur etika, substansi yang membedakan antara perdagangan dengan riba, adalah: pada perdagangan, manfaat yang diperoleh oleh pembeli dan penjual harus seimbang, dan keseimbangan ini dinyatakakan pada kesepakatan atau keridaan mereka untuk melakukan transaksi jual beli itu, seperti yang telah dikemukakan oleh Hamka di atas. Kesepakatan yang dicapai untuk melakukan jual-beli menunjukkan keadaan suka sama suka antara penjual dan pembeli, dan dimanifestasikan ke dalam ijab dan qabul sebagai rukun pokoknya [31]. Dalam barter, manfaat yang diperoleh dari apa yang diinginkan harus setara dengan manfaat dari barang yang ditukarkan atau dikorbankan; bahkan, kesetaraan manfaat ini harus dianggap seimbang bagi kedua pihak yang melakukan barter.
Ketika uang sudah dikenal, maka nilai uang yang dikorbankan untuk memperoleh manfaat dari barang atau jasa yang dibeli haruslah dianggap setara oleh pembeli; atau manfaat dari barang atau jasa itu dianggap memiliki ‘counter value’ yang sama dengan uang yang dikorbankannya. Bagi penjual, sebaliknya, uang yang diterima sebagai harga dari barang atau jasa yang dijualnya haruslah dapat dianggap setara dengan jerih payah dalam menyediakan barang atau jasa yang dijualnya itu. Riba, di lain pihak, tidak mengandung kesetaraan manfaat [32], dan bahkan tidak menimbulkan risiko yang seimbang bagi kedua belah pihak yang bertransaksi, atau bagi debitor dan kreditor. Tampaknya, hal ini dapat digunakan sebagai penjelasan dan sekaligus sebagai  sanggahan terhadap  frasa “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba”, yang sesunguhnya tidak sama, tetapi berbeda dilihat dari substansi manfaat dan risiko yang dimaksud.
Lebih lanjut, perdagangan adalah kegiatan komersial tertua manusia, sejak zaman primitif, masa modern saat ini, hingga ke masa depan. Pada masyarakat yang masih sederhana, barang dihasilkan dari hasil penangkapan, perburuan atau penggalian. Kelebihan barang yang diperoleh melebihi kebutuhan cenderung ditukarkan dengan barang yang diinginkan, tetapi tidak dimiliki. Layaknya digambarkan oleh cerita Robinson Crusoe, ketika jumlah orang bertambah, setelah kehadiran Friday, kelompok kecil itu mulai melakukan kegiatan barter antar sesama mereka. Barter merupakan kegiatan berdagang, ketika uang belum dikenal, dan dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan barang yang telah berkembang [33].
Perdagangan cenderung tidak bersifat kontekstual, karena pada dasarnya mengandung makna yang sama, dan  dapat dilakukan di mana saja, tanpa harus dengan modal besar. Sejauh manusia hidup bermasyarakat, perdagangan terjadi di setiap waktu, dalam lingkungan yang kecil sekalipun, seperti di pedesaan. Dalam lingkungan yang lebih luas, perdagangan telah berkembang sampai ke tingkat global antar negara di dunia. Secara gamblang dapat pula dikatakan, bahwa kegiatan perdagangan tidak akan pernah pupus dari kehidupan manusia. Kegiatan perniagaan atau perdagangan akan selalu eksis dari masa ke masa [34].
Perdagangan merupakan kegiatan awal dan akhir kegiatan produksi. Ketika kebutuhan barang dan jasa telah berkembang, barang dagangan tidak hanya merupakan hasil kegiatan primer tersebut. Masyarakat mulai memikirkan dan memproduksi barang atau jasa lain yang diperlukan. Barang dagangan sudah harus diproduksi terlebih dahulu, yang jelas melibatkan orang untuk bekerja dengan memperoleh upah. Jadi, jual-beli mendorong perdagangan, dan merangsang perniagaan dan industri. Selain memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa, produksi yang berkembang mendorong pembukaan lapangan kerja baru, yang merupakan kebajikan dari kegiatan perdagangan[35].
Pentingnya kerja dan pembukaan lapangan kerja sangat diutamakan dalam Islam. Dengan terbukanya lapangan kerja, pendapatan masyarakat akan meningkat dan industri akan lebih berkembang. Menurut Nik Mohamed Affandi Bin Nik Yusoff, perdagangan dapat berkontribusi langsung untuk meningkatkan standar hidup, meningkatkan kekayaan bagi individu dan masyarakat; dan bagi yang kurang berpendidikan, dapat berpartisipasi,  karena Islam menghendaki setiap orang memiliki sumber penghidupan masing-masing[36]. Menurut Ibnu Chaldun, bekerja merupakan unsur yang paling dominan bagi proses produksi, dan merupakan sebuah ukuran stándar dalam sebuah nilai. Bekerja adalah kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi Islam (QS, Al-Baqarah 4 : 29)[37]. Perdagangan merupakan faktor penentu dalam menggerakkan ekonomi. Perekonomian suatu masyarakat terbentuk karena adanya kegiatan perdagangan dan produksi. Kata berdagang mengandung unsur kebajikan yang berupa kegiatan utama dan diperlukan bagi manusia dalam berkelompok, berbangsa dan bahkan bernegara. Perdagangan jelas berada di sektor riel.
Ibnu Chaldun mengatakan bahwa kekayaan suatu bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki bangsa itu, tetapi ditentukan oleh produksi barang dan jasa, serta neraca perdagangan yang sehat[38]. Sebagai konsekuensi tingkat produksi yang tinggi, Mankiw mengatakan hal yang senada dengan Ibnu Chaldun mengenai pentingnya produksi barang dan jasa oleh suatu bangsa. Menurut Mankiw, kemampuan berproduksi akan menentukan standar hidup suatu bangsa [39]. Oleh karena itu, perdagangan adalah inti dan dasar dari ekonomi Islam, dan mengacu pada produksi barang dan jasa, atau disebut sebagai real sector of the economy, atau real based economy[40]. Dengan perdagangan, kemaslahatan masyarakat dapat dicapai lebih baik, dan sekaligus dapat menekan kerusakan.
Riba, di lain pihak,  adalah tambahan terhadap nilai pokok pinjaman yang diberikan oleh peminjam atau debitor ke pemberi pinjaman atau kreditor. Dalam perekonomian modern, pinjam meminjam ini berkaitan dengan uang, dan tambahan berupa bunga. Filsuf Anthena kuno, Aristóteles, berpendapat bahwa riba merupakan hasil yang tidak wajar, karena diperoleh dari jerih payah orang lain. Beliau beranggapan, bahwa uang tidak bisa melahirkan uang, atau pecunia pecuniam non parit, karena uang sepatutnya dapat dihasilkan dari kerja dan usaha[41]. Di zaman jahiliah, tambahan itu dikenakan kepada debitor yang tidak mampu membayar utangnya tepat waktu. Jadi, tambahan itu sekaligus bersifat penalti. Riba berkaitan dengan pinjam meminjam uang, atau merupakan pilar utama dari sektor keuangan konvensional. Penekanan pada sektor keuangan yang berlebihan, dengan mengabaikan sektor riel, terbukti telah menciptakan kerusakan dari waktu ke waktu; dan dapat dilihat dari berulangnya krisis keuangan yang terjadi di dunia.  
Karena riba dilarang, maka itu berarti bahwa kegiatan utang piutang tidak dapat dikomersialkan, karena riba juga diartikan sebagai keuntungan atau tambahan pembayaran terhadap pokok utang. Dalam kaitan ini, terdapat sejumlah hadis yang jelas menunjukkan bahwa Nabi Saw sangat menyarankan agar manusia tidak berutang, kecuali dalam keadaan terdesak. Salah satu Hadis Nabi menyebutkan sebagai berikut  [42]:
“Berhati-hatilah dalam berutang. Sesungguhnya, berutang itu suatu kesedihan pada malam hari dan kerendahan diri (kehinaan) di siang hari” (HR Ibnu dan Al Baihaqi).
Menurut Quraish Shihab, Surat Al Baqarah (QS, 2 : 282) mengisyaratkan bahwa ketika berutang harus ditentukan kapan melakukan pelunasannya. Hal ini dapat dipahami dari frasa “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan transaksi tidak secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya” (QS, 2 : 282). Pengertian yang dapat dipahami dari frasa, “untuk waktu yang ditentukan”, tampaknya sejalan dengan Hadis di atas, yang menyebutkan agar manusia berhati-hati ketika akan mengambil utang,  karena utang merupakan beban tambahan dan mutlak harus dibayar. Ketika berutang, orang yang akan berutang sudah harus tahu bagaimana dapat membayarnya [43]. Untuk membayar utang, orang harus bekerja dua kali lebih banyak, yaitu untuk memperoleh pendapatan normal untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, dan sekaligus untuk memperoleh tambahan pendapatan untuk membayar utang. Di sisi lain, utang memberikan konsekuensi yang sangat berat, jika tidak dibayar. Dalam kaitan ini Nabi Saw bersabda, “Diampuni bagi syahid semua dosanya, kecuali utang” (HR Muslim dari Amr bin Ash); dan Nabi enggan untuk menyembahyangi mayat yang berutang tanpa ada yang menjamin utangnya (HR Abu Dawud dan Al Nasa’i)[44].
Karena beratnya beban utang, maka Nabi Muhammad Saw pernah berdoa: “Ya, Allah, jauhkanlah saya dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan, kebodohan dan kebathilan, keberatan utang, serta tekanan dan paksaan orang” (HR Muttafaqun Alaihi dari Anas)[45]. Doa ini menunjukkan bahwa keberatan utang disetarakan dengan kesedihan dan kelemahan, yang dapat menimbulkan tekanan atau paksaan agar utang dibayar. Di lain pihak, Sabda Nabi Saw menyebutkan bahwa “Jika orang berutang, ia tidak segan-segan berbohong, dan mengingkari janji” (HR Muslim dan Abdullah bin Umar). Nabi Saw menyarankan untuk tidak membiasakan diri mengambil utang, sehingga menjadi besar, karena beliau menyamakan kekafiran dengan lilitan utang. Jika demikian halnya, ada kecendrungan jika berbicara dia akan berdusta, dan jika berjanji dia tidak menepati [46]. Sabda Nabi ini didukung oleh pendapat masa kini. Graeber, misalnya, mengatakan sebagai kesimpulan dari uraiannya yang panjang mengenai “utang”, yaitu pada akhirnya tidak semua orang benar-benar dapat membayar utangya; sehingga, beliau menyimpulkan bahwa utang adalah pembalikan atau kemurdatan dari suatu janji [47].

3.   Substansi dari Pembiayaan Syariah
Uraian di atas menunjukkan dua hal utama. Pertama, bahwa ekonomi Islam, identik dengan produksi barang dan jasa; hal ini sejalan dengan pendapat Yan Orgianus, bahwa salah satu (tambahan dari pen) tujuan ekonomi Islam adalah terpenuhinya kebutuhan yang bersangkut paut dengan penciptaan barang dan jasa, sehingga kelaparan, ketakutan dan perbudakan dapat dihilangkan di muka bumi[48]. Ekonomi sendiri diartikan sebagai kegiatan langsung berkaitan dengan usaha memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia, dalam kaitan dengan kebutuhan pokok sehari-hari [49]. Kedua, ekonomi Islam tidak dapat bersandar kepada utang (uang). Di sini, uang tidak berfungsi sebagai komoditi, yang dapat diperjual-belikan dengan harga, berupa bunga.
Dalam konteks makro, perekonomian Islam tidak dapat bersandar pada industri keuangan yang bersifat ribawi, dan jika tidak ada kaitannya dengan kegiatan perdagangan atau usaha di dalam sektor ekonomi riel. Ekonomi Islam lebih bersandar kepada transaksi jual beli, atau perdagangan, barang dan jasa di sektor riel. Kegiatan perdagangan merupakan pilar yang penting dalam ekonomi Islam, karena dapat memberikan kebajikan yang lebih banyak, dibandingkan dengan kegiatan utang piutang yang berbunga.  
Manisfestasi dari pembiayaan Islami dapat dilihat dari  substansi akad-akad atau kontrak pembiayaan yang digunakan oleh bank syariah. Akad-akad ini menunjukkan karakteristik dari pembiayaan bank syariah, dilihat dari perspektif bank itu sendiri. Prima kausa akad adalah barang yang bersifat tangible atau usaha yang bersifat produktif, dan merupakan ”underlying” atau sebagai dasar dari transaksi yang berkaitan dengan masing-masing akad. Barang  jasa atau usaha tersebut jelas berada di sektor riel.
Akad muarabaha, salam, istisna, dan ijara, menjadikan suatu jenis barang yang telah ada, atau yang akan diproduksi, sebagai prima kausa akad. Transaksi yang dapat dilakukan hanya berkaitan dengan jual beli dengan akad murabaha, pemesanan barang dengan akad salam atau ishtisna, penyewaan barang dengan akad ijarah, dan kerja sama dalam melakukan suatu usaha dengan akad mudharabah atau musyarakah. Prima kausa dari masing-masing akad adalah barang yang dijualbelikan tetapi dapat dengan pembayaran tunda (muarabaha/biathaman bin ajil), barang yang dipesan dengan uang muka penuh atau sebagian (salam/ishtihna), penyewaan barang dengan pembayaran sewa secara berkala (ijarah), atau usaha/bisnis yang diharapkan dapat menghasilkan keuntungan yang dibiayai oleh pemilik modal atau shahibul mal dengan pengusaha atau mudharib (mudharabah), atau sesama mitra (musharaka).
Walaupun murabaha dapat dilakukan dengan pembayaran tangguh, tetapi pada intinya, transaksi itu dilakukan dengan latar belakang bahwa pembeli membutuhkan barang umumnya untuk konsumsi, tetapi tidak memiliki uang tunai[50], sehingga diperkenankan untuk mengangsur atau membayarnya kemudian. Untuk membiayai bisnis dengan tujuan komersial, Islam menyediakan fasilitas pembiayaan dengan akad mudharabah atau musyarakah. Akad Mudharaba dan musharaka terjadi karena adanya usaha atau bisnis tertentu di dalam sektor riel sebagai titik tolak terjadinya akad. Akad ini merupakan bentuk kerja sama dalam berusaha, yaitu yang pertama antara pemilik modal atau shahibul mal dengan pengusaha atau mudharib; dan kedua antara sesama mitra, yang sama-sama memasukan modal ke dalam suatu usaha, dan dikelola secara bersama. Dalam kedua akad, dana yang digunakan bukan merupakan utang, tetapi lebih bersifat modal investasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembiayaan bank syariah melekat pada sektor riel, atau tidak dapat menjauh dari sektor produksi barang dan jasa, sehingga tidak menimbulkan dikotomi antara sektor ekonomi riel dengan sektor keuangan. Penyatuan kedua sektor ini memberikan manfaat berupa pengembangan usaha, yang bermuara pada peningkatan perdagangan, dan pembukaan lapangan kerja; sehingga kemaslahatan umat atau masyarakat dapat meningkat dari waktu ke waktu.




4.   Etika Islam dalam Jual beli/Perdagangan
Menurut Yusuf Al Qaradhawi, ketika Nabi Besar Muhammad Saw ditunjuk sebagai Rasulullah, jazirah Arab telah menjalankan sistem tukar menukar barang dan jual beli. Nabi Saw tidak melarang transaksi seperti itu, sejauh tidak bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini disebabkan karena Allah memang menciptakan manusia dalam keadaan saling membutuhkan. Setiap orang tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, dan tidak semua yang dimiliki adalah yang diperlukannya. Keadaan ini mendorong orang untuk melakukan jual beli, sehingga kehidupan mereka dapat berjalan sebagaimana mestinya. Secara menyeluruh, kegiatan jual beli mendorong  mesin kehidupan masyarakat dapat bergerak dan sekaligus meningkatkan produktivitas masyarakat yang lebih baik [51].
Namun, Nabi Saw menetapkan sejumlah ketentuan jual beli yang sesuai dengan syariat Islam. Jika diteliti lebih dalam, hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan jual beli mengandung etika Islam yang sangat kental. Pada intinya, hadis-hadis tersebut, antara lain, menyebutkan bahwa setiap perbuatan termasuk dalam melakukan bisnis atau jual beli harus dimulai dengan niat yang baik (Bukhari dan Muslim) [52]. Nabi Saw melarang transaksi jual beli barang-barang yang diharamkan (muttafag ‘alaihi), yang mengandung ketidak jelasan baik harga maupun jenis barang atau gharar (HR Bukhari),  adanya eksploitasi dan penipuan (HR Bukhari), dan adanya pengurangan takaran dan timbangan (Al-An’aam: 152, Al Israa: 35) [53]. Barang yang dijual harus jelas keberadaan, dan kepemilikannya. Nabi melarang menjual barang yang belum diterima (diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas ra), tidak boleh menjual barang untuk kedua kalinya, jika belum diterima secara sempurna sebagai hasil pembelian sebelumnya (diriwayatkan oleh Ibn Umar ra) [54]. Dari segi formil, Nabi Saw melarang dua kali akad dalam satu barang (HR al-Tirmidzi)[55].
Islam menghendaki pedagang yang jujur; untuk itu dihargai setara dengan para nabi dan para syuhada (HR at Tirmidzi dan Ibn Majah)[56], tidak menyembunyikan cacat barang (diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam ra) [57]. Etika ini telah dipraktikan oleh Nabi Saw. Nabi sangat berhasil dalam usahanya, dan tidak pernah mengalami kerugian ketika  berdagang dengan mengunakan modal dari para shahibul mal. Nabi, pada intinya, bukan menjual barang atau jasa, tetapi ‘menjual’ kejujuran, keadilan dan menjaga hubungan baik[58].
Islam menghargai kekuatan pasar yang alami dan wajar. Harga yang wajar ditetapkan secara alami, bukan hasil rekayasa (HR Muslim),   intervensi para tengkulak, atau intervensi artifisial dalam pasar untuk menetapkan harga yang tinggi (HR Muslim, dan HR Ahmad), bukan dengan cara menimbun barang (HR  Ahmad dan Ibnu Majah) [59], atau karena kekuatan monopoli yang dilaknat oleh Allah (HR Ahmad, Hakim, Ibnu Abi Syaibah, dan Al Bazaar), atau karena adanya rekayasa atau permainan harga (HR Ahmad, Abu Daud, dan at Tirmidzi), atau dengan cara mencegat pedagang masuk pasar (Abu Hurairah ra)[60] .
Etika yang sangat kental tersebut di atas mutlak diperlukan dalam perdagangan. Menurut Ibnu Khaldun, berdagang adalah usaha manusia untuk meningkatkan pendapatan dengan mengembangkan properti yang dimilikinya, dengan cara membeli barang dengan harga yang murah dan menjualnya dengan harga yang tinggi. Banyak cara untuk dapat menjual dengan harga tinggi, antara lain, menyimpan barang dan menunggu kondisi pasar membaik, atau melakukan praktik monopoli, menjual ke tempat lain yang sangat membutuhkan atau memanfaatkan perbedaan utilitas tempat, menjual dengan kredit, melakukan tawar menawar dalam hal menentukan harga, dan seterusnya. Beliau mengatakan bahwa kejujuran hanya sedikit terdapat dalam masyarakat, sehingga menjurus pada penipuan, pengurangan takaran dan timbangan, atau pembeli tidak mengakui utang yang harus dibayarnya. Hal ini semua menuntut pedagang untuk melakukan trik dan rekayasa atau mukayasah, atau menarik perhatian konsumen, yang menyebabkan para saudagar memiliki sifat yang jauh dari sifat keperwiraan dan kejujuran, yang seyogianya harus dimiliki oleh para penguasa dan pejabat. Ibnu Khaldun menyimpulkan, bahwa pedagang dengan kedua sifat itu telah jarang ada, dan hampir dapat dikatakan tidak ada [61].    

C.    BAI AL INAH DAN HADIS YANG MELARANGNYA
1.   Pengertian Bai al Inah
Wahbah Al-Zuhaiyli menjelaskan mekanisme dari bai al inah, yaitu seseorang atau A menjual suatu barang kepada B dengan harga tangguh, misalnya Rp 100, dan kemudian membelinya kembali dengan harga tunai yang lebih rendah atau senilai Rp 80 dari B. A memperoleh barangnya kembali dari B, dan B menerima uang tunai senilai Rp 80, tetapi B masih memiliki utang yang harus dibayarkan di masa depan sebesar Rp 100 (ilustrasi A dan B, serta nilai uang tambahan dari pen).  Menurut beliau, disebut sebagai inah adalah karena pembeli (kedua) menerima suatu objek berbentuk ayn yang merupakan uang, dan bukan barang. Perbedaan antara harga pertama dengan yang kedua merupakan bunga terselubung atau bersifat riba bagi pemilik barang yang diperjual belikan. Oleh karena itu, beliau menyimpulkan bahwa transaksi ini merupakan rekayasa atau hilah untuk meminjam uang yang mengandung riba [62].

2.   Hadis Yang Melarangnya  
Sebagian besar ulama melarang bai al inah ini, berdasarkan dalil berikut[63]:
Pertama, Hadis Nabi Saw melarang dengan mengancam para pelakunya, Ibnu Umar berkata: Aku mendengar Rasullulah Saw bersabda: “Jika kamu sudah melakukan jual beli secara inah, lalu kamu hanya sibuk mengurus sapi-sapi, kamu puas dengan hasil pertanian, lalu kamu meninggalkan kewajiban jihad, maka Allah Swt akan melimpahkan kehinaan kepada kalian sampai kalian kembali ke agama kalian (HR Abu Daud).
Kedua, ketika Ummu Ghulam Zaid bin Arqam melaporkan pada Aisyah ra, dengan berkata ’Aku telah menjual seorang  budak pada Zaid bin Arqam dengan harga 800 dirham sampai penyerahan, lalu aku kembali membelinya dari Zaid seharga 600 dirham”, Aisyah ra menjawab: “Sungguh buruk apa yang kamu beli, sungguh buruk pembelianmu sampaikan pada Zaid bin Arqam bahwa akad ini berarti ia telah menghapus pahala jihadnya bersama Rasullulah Saw, kecuali jika ia bertobat” (HR ad-Daruquthni).

3.   Pandangan Yang Melarangnya
Menurut kalangan Malikiyah dan Hanabilah, bai al inah dilarang karena lebih banyak dilihat dari akibat suatu perbuatan, tidak hanya dilihat dari bentuk formalnya. Jual beli seperti itu menimbulkan kecurigaan bahwa tujuan yang tidak jelas atau disembunyikan, dan dapat berarti menghindari riba secara formal. Demikian pula, menurut kalangan Hanafiah, jual beli seperti itu bersifat fasid atau merusak hukum; dengan dasar, bahwa transaksi yang dilakukan oleh  pihak penjual untuk membeli kembali barang yang telah dijualnya sebelum pembeli melunasi harganya bersifat tidak sah [64].
Pendapat lain mengatakan bahwa “setiap utang yang mendatangkan keuntungan adalah riba” [65]. Pada dasarnya, transaksi inah mengunakan atau rekayasa atau hilah akad-akad sah untuk melakukan riba, dengan tujuan mengekploitasi kelemahan orang lain. Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi berpendapat bahwa perbuatan seperti yang dimaksud merupakan usaha penipuan dan mempermainkan tujuan-tujuan atau spirit syariat; dan tidak diragukan lagi tentang keharamannya karena jalannya menuju keharaman, dan perbuatan manusia diukur sesuai dengan niatnya [66].

4.   Pandangan Yang Mengijinkannya
Wabah Al-Zuhayli mengungkapkan pandangan kalangan Syafi’iyah, bahwa bai al inah adalah sah, tetapi tidak disukai[67]. Pertimbanganya adalah sahnya suatu akad ditentukan oleh rukunnya. Sejauh rukun akad  dipenuhi, maka akad sah adanya, terlepas dari tujuan yang tersembunyi di balik lahiriah dari kedua belah pihak yang tidak dapat dipastikan, sehingga tidak berpengaruh terhadap syahnya suatu akad [68]. Jadi, status dari suatu kontrak ditentukan oleh karakteristiknya yang tampak, sementara niat yang buruk Tuhan yang akan menentukan[69]. Namun, tampaknya pendapat ini bertentangan dengan Hadis Nabi Saw di muka, yang menyebutkan bahwa perbuatan ditentukan oleh niatnya.
Dalam transaksi bai al inah, pihak ketiga dapat berperan sebagai perantara setelah seseorang, yang ingin meminjam uang,  membeli suatu barang dengan harga tangguh, dan barang yang sama dijual ke perantara dengan harga tunai; kemudian perantara itu menjualnya kembali ke penjual pertama dengan harga yang sama. Di sini, Wabah Al-Zuhayli mengungkapkan pandangan Abu Hanifa, yaitu jika tidak terdapat perantara dalam transaksi tersebut, maka akad tidak sah.  Namun, Wabah Al-Zuhayli mengangap bahwa pandangan ini menyimpang dari Hadis yang berkaitan dengan Zaid ibn Arqam di atas. Pertimbanganya adalah bahwa sejauh harga tangguh belum dilunasi oleh pembeli, maka jual-beli terkait itu belum selesai. Karena penjualan kedua terjadi dari yang pertama, penjual pertama tidaklah dapat membeli barang dari seseorang yang belum memiliki barang itu karena dia belum membayar harga tangguh tadi, sehingga penjualan kedua tidak sah [70].

D.    TAWARRUG
1.   Pengertian Tawarrug
Transaksi tawarrug dimulai jika seseorang membeli suatu barang atau komoditas dari penjual (pertama) berdasarkan pembayaran tangguh atau tidak tunai, dengan pengertian bahwa pembeli tersebut akan membayar harga yang telah disepakati secara angsuran,  atau dibayar secara penuh sekaligus di masa depan. Tawarrug terjadi, ketika barang itu telah dibeli, dan pembeli itu langsung menjualnya kembali ke pihak ketiga tetapi bukan penjual pertama dengan harga tunai, yang lebih rendah dari harga beli semula [71]. Tawarrug turun dari kata warig, yang berarti perak; sesorang membeli barang dengan tujuan mendapatkan uang tunai dari penjualan tersebut kepada pihak lain [72].Tawarrug mirip dengan bai al inah, tetapi berbeda. Pada bai inah, penjualannya kembali dilakukan kepada penjual yang sama, sedangkan pada tawarrug kepada pihak ketiga.   
Terdapat dua macam tawarrug: Pertama, organized tawarrug atau tawarrug munazzam, dengan menunjuk pihak ketiga sebagai agen; pembeli tidak menerima barang dagangannya dan tidak terkait dengan kegiatan penjualannya kembali, karena dilakukan oleh seorang agen dan pembayaran diberikan kepada pembeli awal. Umar Azka merinci karakteristik dari tawarrug ini: dilakukan oleh 4 pihak, ada perjanjian di muka untuk membeli suatu komoditi, tidak ada perjanjian untuk membeli dari nasabah (mutawarriq), melibatkan perjanjian bersama atu MoU yang harus sesuai prosedur, adanya penunjukkan bank sebagai wakil dari nasabah untuk menjual komoditi kepada pihak lainnya, dan tidak terjadi pemindahan fisik dari komoditi yang diperdagangkan dan hanya sebatas penandatanganan akad jual beli [73].   
Tawarrug munazam berlaku di pasar internasional. Bank syariah membeli komoditi di pasar internasional dengan pembayaran tunai, dan menjual ke nasabahnya dengan akad murabahah dengan harga yang lebih tinggi; lalu bank atas nama nasabahnya menjual kembali komoditi itu ke pihak ketiga dengan harga yang lebih tinggi dan diangsur sesuai dengan perjanjian di muka. Proses ini biasanya melibatkan pihak ke empat, yaitu sebagai broker dengan memperoleh fee, di pasar komoditi internasional. Menurut ulama yang membolehkan tawarrug ini, alasannya adalah seluruh transaksi berdasarkan prinsip syariah, yaitu: (a). bank membeli komoditi dari pasar komoditi dan secara konstruktif memiliki komoditi tersebut, melalui beberapa klausul dalam dokumen transaksi atas dasar janji untuk membeli dari nasabah, (b). bank menjual komoditi itu dengan prinsip murabaha dan hak kepemilikan pindah kepada nasabah, (c). nasabah menunjuk bank sebagai wakil untuk menjual kembali komoditi tersebut, (4). Bank kemudian menjual kembali komoditi tersebut kepada pihak ketiga, (d). Bank memberikan dana hasil penjualan kepada nasabah [74].
 Kedua, dalam real tawarrug, yaitu tapa pengaturan terlebih dahulu, dan pembeli memiliki dua opsi, yaitu menyimpan barang yang telah dibeli, atau menjualnya kembali, dan karena barang iru sudah berada di tangannya, maka dia dapat melakukan apa saja terhadap barangnya itu[75]. Menurut Umar Azka, karakteristik dari real tawarrug adalah: dilakukan oleh 3 pihak, tidak ada perjanjian untuk membeli, hanya ada 2 dasar jual beli, tidak ada MoU, nasabah menjual sendiri komoditinya, dan adanya pemindahan komoditi secara phisik setiap kali terjadinya akad jual beli [76].
Tawarrug pada dasarnya menyangkut dua akad. Akad pertama adalah akad untuk pembelian dengan pembayaran secara tunda. Akad kedua merupakan penjualan kepada pihak lain dengan pembayaran tunai tetapi dengan harga lebih rendah[77]. Transaksi tawarrug  itu memberi peluang atau berimplikasi terhadap kesempatan untuk meminjam uang dengan menggunakan akad syariah yang diijinkan. Menurut Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, dalam konteks keuangan, mekanisme yang terjadi dapat diartikan sebagai pemberian pinjaman dengan zero coupon, dan tingkat bunga pinjaman disamakan dengan tingkat bunga seperti yang ditentukan oleh penjual awal untuk pembayaran tangguh [78].
Wahbah Al Zuhaili menegaskan karakteristik dari tawarrug, yaitu: tujuannya bukan untuk memperoleh komoditi tetapi digunakan untuk menutupi niat memperoleh likuiditas, tawarrug dan inah pada dasarnya sama sebagai praktik riba. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa para ulama sepakat untuk melarang transaksi itu, jika terlihat tanda-tanda bahwa mereka berniat untuk melakukan riba; namun, mereka berbeda pendapat, jika tidak ada tanda-tanda yang bermaksud untuk tujuan riba [79]. Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa illah yang ditemukan dalam tawarrug adalah bertambahnya biaya menjual dan membeli suatu komoditas, dan kerugian yang terjadi dalam penjualan. Menurut beliau lebih lanjut, hukum syara tidak mengijinkan kerugian yang kecil, ketika pada saat yang sama menginjinkan kerugian yang lebih besar [80].  
    
2.   Pandangan Klasik  Terhadap Tawarrug.
Menurut Adiwarman Karim, hampir semua kitab fiqih mengijinkan transaksi tawarrug, dan yang melarangnya hanya Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim dari mazhab Hanbali [81]. Ulama yang mengijinkan dan pihak yang menolak transaki tawarrug ini, yaitu [82]:
a.      Kebanyakan ulama mengijinkan [83] dan di antaranya adalah  Muhammad bin Utsmain dari  Hanbali tetapi dengan syarat tertentu [84], dan Iyas bin Mu’awiyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, diperkuat oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy dan Syaik Abdul Aziz bin Baz dalam Taudhihul Ahkam, dan seterusnya. Pendapat ini berdasarkan kaidah umum bahwa jual beli adalah halal yang bersandar pada Surat Al Baqarah (QS, 2 : 275), dan didukung dengan surat  Al Maidah (QS, 5 : 1), Al Baqarah (QS, 2 : 280). Hadist Nabi Saw yang membolehkannya adalah seperti yang diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim. Intinya adalah bahwa Nabi Saw melarang seorang petani untuk menukar kurma yang baik dari Khaybar sebanyak satu kilo dengan kualitas yang lebih rendah sebanyak 3 kilo. Sebaliknya, Nabi Saw menyarankan untuk menjual kurma kualitas rendah terlebih dahulu untuk mendapatkan uang tunai, dan menggunakan uang tersebut untuk membeli kurma yang berkualitas lebih bagus. Berdasarkan hadis ini, para ulama tersebut berpendapat bahwa media tawarrug dapat digunakan untuk memperoleh likuiditas yang diperlukan [85]. Syaikh Ibnu Utsaimin menambahkan syarat, yaitu: bahwa orang yang melakukan transaksi itu memiliki kebutuhan yang jelas, dia tidak dapat memperoleh kebutuhannya melalui Al Qard, as Salam atau lainnya, dan barang yang terkait telah dipegang dan dikuasai oleh penjual. Sebelum barang itu dijual kembali, ia sudah menerima barang itu secara legal [86].
b.      Pendapat yang melarangnya adalah dari mazab Hanbali, Abu Hanifah, Asy Syafi’i [87], dan  Maliki [88], Umar bin Abdul Aziz dan didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari mazab Hanbali, Ibn Qoyim, dan fatwa Al Lajnah Ad-Da-imah Saudi Arabia. Abdullah bin Abdul Wahab dari Hanbali berpendapat bahwa tawarrug hukumnya makruh, jika target pembeli adalah uang tunai atau dirham melalui pembelian dengan harga seratus dengan kredit, kemudian menjualnya tujuh puluh secara tunai. An Nasafi dalam Thalabah Ath Thalabah menyatakan bahwa tawarrug termasuk kategori bai al inah, karena mengalihkan praktik utang ke penjualan barang. Ibnu Hajar Al Haitami dalam Tuffatul Muhtaj dari Asy Syafi’i mengatakan bahwa kadang-kadang praktik jual beli bersifat makruh, yaitu seperti pada bai ’al inah, dan semua bentuk jual beli dengan kehalalan yang masih diperselisihkan karena sama seperti untuk menghindari praktik riba [89]. Ulama Maliki melarangnya, dengan alasan bahwa tawarrug dapat dipersamakan dengan bai al inah, karena perbedaannya hanya pada keadaan barang yang kembali pada bai al inah, dan tidak kembali pada tawarrug [90]. Ibn Qoyim, murid dari Ibn Taymiyya, mengatakan bahwa gurunya tidak pernah mengijinkan tawarrug, karena substansi ekonomis yang pasti berupa riba dikandung oleh akad tersebut, dan biaya transaksi bertambah ketika dibeli dan dijual dengan kerugian; syariah tidak melarang kerugian kecil dan mengijinkan kerugian besar [91].

Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa tawarrug adalah bagian dari riba. Tawarrug munazam memberikan indikasi bahwa tujuannya adalah untuk memperoleh dana segar dari utang yang dibayar secara mengangsur, dan mengandung hilah atau rekayasa untuk melakukan apa yang dilarang [92]. Hadist yang digunakan sebagai dasar untuk melarangnya adalah sama seperti di atas, yaitu dari HR Abu Daud, karena Tawarrug tidak jauh berbeda dengan inah [93]. Sebagian mazab Hanafi juga menyamakankan dengan bai al inah [94]. Perbedaanya sedikit sekali, yaitu terletak kepada siapa penjualan kembali barang dilakukan. Pada bai al inah, barang dijual kepada penjual pertama, sedangkan pada tawarrug kepada pihak ketiga.

3.   Penjelasan dan Kajian Fiqih Kontemporer
Stella Cox berpendapat bahwa perkembangan produk keuangan berbasis tawarrug merupakan pergerakan yang kuat. Pada umumnya, bank syariah mengalokasikan likuiditas jangka pendek untuk membiayai transaksi jangka pendek melalui murabaha. Untuk mengimbanginya, diperlukan kebalikan dari pembiayaan murabaha dari mitra atau counterparties di pasar internasional. Namun, Cox mengatakan bahwa struktur yang tepat perlu dirancang untuk menangkap kebutuhan di tingkat global, sehubungan dengan berkembangnya jumlah bank Islam dengan pesat[95]. Pada saat yang sama, penggunaan akad tawarrug telah berlangsung secara aktif di negara-negara GCC (Gulf Cooperation Council)[96].
 Dalam kaitan ini, Fiqh Academy OIC di Jedah telah mengkaji struktur dan prosedur secara penuh, dan telah pula menetapkan bahwa struktur dan prosedur dalam menjalankan kontrak yang diperlukan harus secara jelas menyebutkan adanya pelaku riel, tidak hanya sebagai agen, sehingga terdapat pengawasan langsung terhadap aset dan arus kas. Prosedur administrative dan operasional terus diperbaiki, tetapi standardisasi masih menunggu persetujuan Fiqh Academy [97].
Secara tehnis, dari segi pandangan syariah, transaksi tersebut sah untuk dilakukan. Menurut Yusuf Al Subaily, Dosen Pasca Sarjana Universitas Islam Imam Muhammad Saud Riyadh, berdasarkan pendapat banyak ulama, hukum tawarrug adalah mubah, karena tidak ada dalil yang mengharamkam. Transaksi tawarrug berbeda dengan inah, karena barang tidak dijual kepada penjual pertama [98]. Namun, banyak juga pendapat yang menentangnya. Alasan utama yang tidak menyetujui tawarrug adalah bahwa transaksi ini membuka pintu untuk meminjam uang dengan riba, dan tidak menciptakan kegiatan ekonomi riel, karena barang atau komoditi yang sama dijual kepada  peminjam; dan peminjam uang ini  menjual kembali barangnya ke pihak ketiga [99].
Pendapat lain yang tidak menyetujui tawarrug adalah berasal dari Iraj Toutouchian. Beliau menjelaskan bahwa transaksi tawarrug pada dasarnya merupakan transaksi uang atau M kembali ke uang atau M, tetapi dengan menggunakan komoditi atau C secara dibuat-buat atau tidak riel. Oleh karena itu, motivasi atau niat yang sesungguhnya di belakang transaksi ini dengan mudah dapat dilihat. Niatnya bukan untuk membeli dan menjual barang atau komoditi yang dimaksud, melainkan memperoleh uang  melalui barang. Iraj Toutouchian menekankan bahwa seluruh transaksi jual beli oleh pembeli dan penjual yang bukan merupakan pihak yang meminta dan memerlukan barang itu adalah bersifat spekulatif. Menurut beliau lebih lanjut, transaksi serupa itu sebaiknya ditinggalkan karena merupakan alat yang menyesatkan, dan menganggapnya sebagai pengaturan alamiah yang wajar; di sinilah letaknya kegagalan ekonomi kapitalis yang telah gagal mengukur permintaan barang dan jasa suatu bangsa [100].
Pendapat yang lebih mendasar terhadap penolakan penggunaan tawarrug berasal dari Nyazee dan Siddiqui, seperti yang dikutip oleh Umar F.Moghul. Nyazee mengkaitkan pembahasan mengenai masalah tawarrug dengan tujuan dari hukum Islam. Nyazee mengatakan bahwa memenuhi tujuan manusia dan prinsip utilitas sebagai alasan manusiawi bukanlah yang dimaksud oleh maslahah; dan tujuan yang ditentukan oleh syariah oleh pencipta undang-undang dapat atau tidak dapat sejalan dengan nilai-nilai yang ditentukan oleh alasan manusiawi. Dengan demikian, penalaran berdasarkan prinsip utilitas atau analisis ekonomi dapat kadang-kadang sesuai dengan prinsip syariah, tetapi dapat juga bertentangan dan ditolak dari waktu-ke waktu, ketika terdapat pertentangan nilai [101].
Penjelasan dari Nyazee di atas tampaknya dapat diperjelas oleh pendapat dan analisis oleh Siddiqui, yang mengkaitkan konsekuensi ekonomi dengan hal-hal khusus yang berkaitan dengan hukum. Beliau menyimpulkan apakah dan kenapa pelaksanaan sesuatu yang khusus dapat menimbulkan kegagalan dalam menghasilkan sesuatu yang bersifat universal. Beliau menunjukkan bahwa penggunaan tawarruq secara reguler akan menciptakan pasar utang. Di sini, beliau mengingatkan bahwa pasar utang tidak berkaitan dengan penciptaan kewajiban yang sederhana. Hal ini disebabkan karena dalam menciptakan tambahan atau kekayaan baru, penciptaan utang adalah tidak efisien dan tidak seimbang, karena ditentukan kepada siapa yang dapat dipercaya, bukan kepada proyek yang lebih menjanjikan untuk meciptakan kekayaan baru. Hal tersebut juga bersifat tidak seimbang, karena penciptaan utang itu mendistribusikan kekayaan bagi penyedia modal atau pembiayaan, terlepas dari masalah produktivitas riel dari penggunaan pembiayaan yang diberikan [102].   
Berdasarkan uraian dari Nyazee dan Siddiqui tersebut, Umar F. Moghul berpendapat, bahwa tawarrug menciptakan pasar berbasis utang, dan menyuburkan utang serta memperluas cakupan untuk berspekulasi. Tawarrug dapat juga digunakan untuk melakukan hedging untuk mengatasi fluktuasi kurs mata uang[103]. Pembiayaan yang difasilitasi oleh tawarrug, seperti yang terjadi pada kredit bank konvensional, adalah bebas dari dan tidak selalu melekat pada sektor ekonomi riel [104].
Pendapat lain yang menentang tawarrug adalah dari Sami Alo-Suwailem dan M.Kabir Hassan. Mereka membandingkan dengan konsep murabahah. Tujuan dari akad ini adalah untuk menyediakan barang bagi konsumen, tetapi kemudian dengan cara pembayaran tangguh. Karena tujuannya adalah menjual barang, maka transaki itu sah adanya. Tujuan dari tawarrug, di lain pihak, adalah untuk memperoleh likuiditas, dan konsumen pada akhirnya memperoleh uang tunai sebagai pengganti utang yang jumlahnya lebih besar. Dengan demikian, menurut mereka, baik tawarrug, maupun bai al innah, mengandung tujuan yang sama seperti riba [105].
 Oleh karena itu, Organisasi Konferensi Islam dan Fiqh Academy di Jeddah yang terkemuka di dunia menyatakan bahwa tawarrug tidak sejalan dengan konsep syariah[106]. Pertimbangannya adalah sebagai berikut: pertama, menyerupai bai al inah, karena penjual berkewajiban untuk bertindak sebagai agen pembeli untuk menjualkan barang ke pembeli yang lain, terlepas apakah kewajiban itu diuraikan dalam akad secara eksplisit atau ditentukan oleh praktik kebiasaan; kedua, dalam banyak kasus, transaksi serupa tidak berakhir dengan kondisi penerimaan  (barang-pen) yang memuaskan seperti yang diperlukan untuk sahnya transaksi; ketiga, transaksi tersebut dalam kenyataannya merupakan pemberian pembiayaan kepada pihak yang dikarakteristikkan sebagai konsumen tawarrug, sedangkan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh bank hanyalah merupakan alat penampilan di permukaan, namun dalam kenyataan adalah untuk menyediakan tambahan kompensasi bagi bank sehubungan pembiayaan yang diberikannya [107].
Sebelumnya, Fiqih Academy ke 15 di Makkah mengeluarkan pendapat bahwa akad tawarrug diijinkan, dengan syarat konsumen tidak menjual komoditi ke penjual awal. Namun, Fiqh Academy Jeddah ke 17 dalam bulan Desember 2003, menyatakan bahwa tawarrug dilarang, dengan alasan bahwa bank secara rutin menjual komoditi di pasar global secara kredit kepada konsumen, dan di dalamnya bank terikat dengan suatu kontrak atau konvensi- untuk menjual komoditi itu kepada pembeli lain secara tunai, dan bank menyerahkan barang itu ke konsumen [108].
Sejalan Fiqh Academy Jeddah ke 17 di atas, DSN-MUI juga melarang transaksi tawarrug. Alasannya adalah: pertama, transaksi tawarrug munazzam bukan transaksi jual beli riel dan hanya merupakan rekayasa untuk memperoleh uang tunai; kedua, transaksi itu tidak bersifat transparan, dan mengandung unsur penipuan atau syubhat; ketiga, manfaatnya lebih kecil dari pada mafsadahnya bagi masyarakat banyak [109].        




E.  KESIMPULAN
Baik bai al inah maupun tawarrug tidak bertujuan untuk mendapatkan barang atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi pembeli, atau tidak juga untuk mengembangkan perdagangan lebih lanjut dengan menggunakan perbedaan utilitas tempat. Namun, dengan jelas dapat dilihat di belakang transaksi terkait adanya motive atau niat tertentu yang berbeda dari yang umumnya terjadi. Motive yang dimaksud adalah untuk mendapatkan dana tunai melalui mekanisme jual beli dan utang. Motive ini bertentangan dengan surat Al Baqarah (QS, 2 : 275) yang menekankan pada perdagangan, dan Hadis Nabi Saw yang menganjurkan umatnya untuk tidak menggunakan utang. Sebagai akibatnya, jika dilaksanakan, perdagangan riel tidak berkembang, dan sektor keuangan akan menjauh dari sektor riel, atau dapat menimbulkan dikotomi dari keduanya.




DAFTAR  PUSTAKA

Abd. Shomad. 2010. Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Abu Muawiah. “Masalah At -Tawarrug”. [http://al-atsariyyah-com/masalah-at-tawarrug-html] <15>.
Adiwarman Karim. 2004. Bank Islam, Analisis Fikih dan Keuangan. Edisi Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Affandi, Nik Mohamed bin Nik Yusoff. 2002. Islam & Business. Selangor, Malaysia: Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd.
Ahmad Al Raysuni, dan Muhammad Jamal Barut. 2002. Ijtihad, antara teks, realitas, dan kemaslahatan sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ahmad Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”. [http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html] <02>.
Ahmad Munir Suratman, 2002. Filsafat Hukum Islam Al Ghazali. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Akmad Munif Suratmaputra. 2013. Filsafat Hukum Islam, Al Ghazali, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Amir Syarifuddin. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Angie Cyntia. ”Konsep Tawarrug”. [http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.
Bello, Petrus C.K.L. 2012. Hukum & Moralitas, Tinjauan Filsafat Hukum. Jakarta: Erlangga.
Cholis Nafis, M. 2011. Teori Hukum Ekonomi Islam.Jakarta: UI Press.
Cox, Stella. 2007. “The Role of Capital Markets in Ensuring Islamic Financial Liquidity”.  Dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds). Islamic Finance, The Regulatory Challenge. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Dedi Ismatullah. 2011. Sejarah Sosial Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Duscik Ceolah. “Hukum Tawarrug Berdasarkan Kajian Fiqih Terpadu”. [http://duscikceolah.wordpress.com/2009/08/03/hukum.tawarruq-berdasarkan-kajian-fiqih-terpadu/] <03>.
Eko Suprayitno. 2005. Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi  Makro Islam dan Konvensional, Hak Cipta @ 2005 pada Penulis, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Fathurrahman Djamil. 1997. Filsafat Hukum Islam.. Ciputat: Logos Wacana Ilmu
Gunawan Setiarja, A. 1990. Dialektika Hukum dan Moral, Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. . Yogyakarta: Kanisius.
Graeber, David. 2011. Debt., The First 5000 Years. New York: Melville House. 
Hamka.1983. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas.
Hendy Herijanto.2013.  “Perdagangan (Jual Beli) Vs Riba: Implikasinya
          TerhadapPerekonomian dan Kemaslahatan Masyarakat”. Quality,
           Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM,
          Vol.II No. 11, Juli 2013.
Hendy Herijanto. 2013.”Prinsip dan Unsur-Unsur Pokok Ekonomi Islam”.
           Quality, Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas
           SDM, Vol. II No. 11, Juli 2013.
Ibnu Khaldun. 2001. Mukadimah. Beirut: Dar-Al Kitab Al’Arabi.
Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor. 2007.  An Introduction to Islamic Finance, Theory and Practice. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Karim Adiwarman. “Raja Henry VIII dan Tawarrug”.
Kautsar Azhari Noer. 1995. Ibn Al Arabi, Wahdat al- Wujud dalam Perdebtan. Jakarta: Paramadina.
Mankiw, N. Gregory. 2003. Harvard University, Teori Makroekonomi, Edisi Kelima, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Mahmoud A. El-Gamal. 2009. Islamic Finance, Law, Economics and Practice. New York: Cambridge University Press.
Moghul, Umar F. 2013. “Stepping Forward, Backward, or Just Standing Still? A Case Study in Shifting Islamic Financial Structures Offshore”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Muhammad Abduh Tuasikal. “Menjual Barang yang Masih Utangan”. [http://pengusahamuslim.com/menjual-barang-yang masih-utangan] < 26/12/2010>.
Muhammad Al Amine, Muhammad Al Bashir. 2013. “Risk and Derivatives in Islamic Finance”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Muhammad Faiz Almath. 1991. 1100 Hadits Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad. Jakarta: Gema Insani.
Muhammad Khalid Masud. 1996. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.
Muhammad Khalid Masud. 2005.Shatibi’s Philoshophy of Islamic Law. Kuala Lumpur: Islamic Research Institute.
Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. 2008. Problematika Investasi Pada Bank Islam, Solusi Ekonomi Islam. Jakarta: Migunani.
Musa Asy’arie. 2002. Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI.
Quraish Shihab. 2013. Secercah Cahaya Al Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka.
Salam Izhar. “Tawarrug in Islamic Banking System” [http:salamizhar.blogspot.com/2011/01/tawarrug-in-islamic-banking-system;html] <12 .01="">
Satria Effendi, dan M. Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Grup.
Sofyan S. Harahap. 2004. Akuntansi Islam. Cetakan Keempat. Jakarta: Bumi Aksara.
Suwailem, Sami Alo, dan M.Kabir Hassan. 2011. “An Islamic Perspective of Financial Engineering”. Dalam M. Kabir Hassan dan Michael Mahlknecht (Eds), Islamic Capital Markets, Products and Strategies. Chichester, West Sussex : John Wiley & Sons Ltd.
Suyanto, M. 2008. Muhammad Business Strategy and Ethics. Yogyakarta: Andi.
Toutounchian, Iraj. 2009. Islamic Money & Banking, Integrating Money in Capital Theory. Singapore: John Wiley & Sons (Asia) Pte.Ltd.
Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”. [http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html] <14>.
Ustadz Rich, dan Laode. 2011. Rasulullah Business School. Jakarta: Ihwah.
Wahbah Al-Zuhaili. “Tawarrug, Its Essence and Its Types: Mainstream Tawarrug and Organized Tawarrug”. [www.kantakji.com/fiqh/Files/Markets/a(65).pdf] . 
Widiyastini. 2008. Filsafat Islam. Yogyakarta: Kepel Press.
Yan Orgianus. 2012. Moralitas Islam Dalam Ekonomi dan Bisnis.Bandung: Marja.
Yusuf Al Qaradhawi. 2005.Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Yusuf Al Subaily. “Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya Dalam Perekonomian Modern”. [istyn.staff.uns.ac.id/files/2012/09/copy-of-fqh-muamalah-kontemporer] <09>.
Yusuf Al Qaradhawi. 2005. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Yusuf Qardhawi. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Cetakan I, Jakarta: Gema Insani Press.
Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri. 2008. Ringkasan Shahih Muslim. Bandung: Mizan Media Utama. 




[1] Satria Effendi, dan M.Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Grup, hlm. 77.
[2] Dedi Ismatullah. 2011. Sejarah Sosial Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia., hlm. 35-36.
[3] Kautsar Azhari Noer. 1995. Ibn Al Arabi, Wahdat al- Wujud dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina, hlm. 140.
[4] Satria Effendi, dan M. Zein. Ibid, hlm. 78.
[5] Dedi Ismatullah. Op Cit, hlm. 37.
[6] Muhammad Khalid Masud.1996. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, hlm. 14.
[7] Widiyastini. 2008. Filsafat Islam. Yogyakarta: Kepel Press, hlm. 19.
[8]  Muhammad Khalid Masud. 2005.Shatibi’s Philoshophy of Islamic Law. Kuala Lumpur: Islamic Research Institute, hlm. 7.
[9] Musa Asy’arie. 2002. Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI, hlm. 85.
[10] Muhammad Khalid Masud. Op.Cit, hlm. 10-11.
[11] Bello, Petrus C.K.L. 2012. Jakarta: Erlangga, hlm.69.
[12] Fathurrahman Djamil. 1997. Filsafat Hukum Islam. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, hlm. 151.
[13] Bello, Petrus C.K.L. Op.Cit., hlm. 53.
[14] Gunawan Setiarja, A. 1990. Dialektika Hukum dan Moral, Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 101.
[15]  Menurut L.A. Hart, hukum kodrat minimum adalah tujuan manusia untuk bertahan hidup. Hukum kodrat klasik, di lain pihak,  bersandar pada asumsi teologis mengenai alam, yang memahami bahwa semua yang ada di alam raya, baik makhluk hidup maupun benda mati, bergerak menuju keadaan optimum tertentu, atau telos, yang sesuai dengan makhluk tersebut. Bello, Petrus C.K.L. Op.Cit, hlm. 44   
[16] Gunawan Setiarja, A. Ibid, hlm. 113-115.
[17] Satria Effendi, dan M. Zein. Ibid, hlm. 92-93.
[18] Fathurrahman Djamil. Op.Cit., hlm. 41.
[19] Satria Effendi, dan M. Zein. Ibid, hlm. 97.
[20] Hamka. 1983. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas, hlm. 25-26.
[21] Dedi Ismatullah. Op.Cit, hlm. 41.
[22] Ahmad Munir Suratman, 2002. Filsafat Hukum Islam Al Ghazali. Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 20.
[23] Akmad Munif Suratmaputra. 2013. Filsafat Hukum Islam, Al Ghazali, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 17.
[24]  Dedi Ismatullah. Op.Cit, hlm. 36-37.
[25] Ahmad Al Raysuni, dan Muhammad Jamal Barut. 2002. Ijtihad, antara teks, realitas, dan kemaslahatan sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm. 3.
[26] Menurut Wahbah Zuhaili, ulama yang menolak maslahah al mursalah adalah Zahiriyah, Syi’ah, mayoritas Syafi’iyah, dan Ibn al-Najib dari Malikiyah; dan yang menerima adalah Malikiyah, Hanabilah, dan hanafiyah. Ahmad Munif Suratmaputra. Ibd, hlm. 76.   
[27] Cholis Nafis, M. 2011. Teori Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: UI Press, hlm. 44-45.
[28] Ahmad Munif Suratmaputra. Ibid, hlm. 28.  
[29] Ahmad Munir Suratman. Op.Cit, hlm. 59.
[30] Ahmad Munir Suratman. Op.Cit, hlm. 66.
[31]Amir Syarifuddin. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm.195.
[32] Abd. Shomad. 2010. Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm. 165.
[33] Hendy Herijanto.2013.  “Perdagangan (Jual Beli) Vs Riba: Implikasinya TerhadapPerekonomian dan Kemaslahatan Masyarakat”. Quality, Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM, Vo.IINo. 11, Juli 2013.
[34] Hendy Herijanto. 2013.”Prinsip dan Unsur-Unsur Pokok Ekonomi Islam”. Quality, Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM, Vo.IINo. 11, Juli 2013.
[35] Hendy Herijanto. Idem.
[36] Affandi, Nik Mohamed bin Nik Yusoff. 2002. Islam & Business. Selangor, Malaysia: Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd, hlm. 3.
[37] Eko Suprayitno. 2005. Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi  Makro Islam dan Konvensional, Hak Cipta @ 2005 pada Penulis, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu. hlm. 3.
[38] Adiwarman Karim. 2004. Bank Islam, Analisis Fikih dan Keuangan. Edisi Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada. hlm. 365.
[39] Mankiw, N. Gregory. 2003. Harvard University, Teori Makroekonomi, Edisi Kelima, Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm. 56.
[40] Sofyan S. Harahap. 2004. Akuntansi Islam. Cetakan Keempat. Jakarta: Bumi Aksara.  hlm. 19.
[41] Qardhawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Cetakan I, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 184.
[42] Muhammad Faiz Almath. 1991. 1100 Hadits Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad. Jakarta: Gema Insani, hlm. 197.
[43] Quraish Shihab. 2013. Secercah Cahaya Al Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka, hlm. 237.
[44] Quraish Shihab. Idem.
[45] Quraish Shihab. Idem.
[46] Apa yang disampaikan Nabi SAW ini, beberapa ratus tahun kemudian juga diutarakan melalui ungkapan “if you loan a man too much money, you turn a good man into a bad man” (Warde, 2000 : 163).
[47] Graeber, David. 2011. Debt., The First 5000 Years. New York: Melville House, hlm. 391.  
[48] Yan Orgianus. 2012. Moralitas Islam Dalam Ekonomi dan Bisnis. Bandung: Marja, hlm. 186.
[49] Musa Asy’arie. Op.Cit, hlm.103.
[50] Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. 2008. Problematika Investasi Pada Bank Islam, Solusi Ekonomi Islam. Jakarta: Migunani, hlm. 456.
[51]  Yusuf Al Qaradhawi. 2005. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, hlm. 318.
[52] Suyanto, M. 2008. Muhammad Business Strategy and Ethics. Yogyakarta: Andi, hlm. 184.
[53] Yusuf Al Qaradhawi. Ibid, hlm. 319-330.
[54] Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri. 2008. Ringkasan Shahih Muslim. Bandung: Mizan Media Utama, hlm. 497, 498. 
[55] Cholil Nafis. 2011. Teori Hukum Syariah. Jakarta: UII Press, hlm. 175.
[56] Muhammad Faiz Almath. 1991. 1100 Hadits terpilih, Sinar Ajaran Muhammad. Jakarta: Gema Insani, hlm. 194.
[57] Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri. Op.Cit, hlm. 509.
[58] Ustadz Rich, dan Laode. 2011. Rasulullah Business School. Jakarta: Ihwah, hlm. 195.
[59] Muhammad Faiz Almath. Ibid.,  hlm. 196.
[60] Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri. Op.Cit., hlm. 509.
[61] Ibnu Khaldun. 2001. Mukadimah. Beirut: Dar-Al Kitab Al’Arabi, hlm. 712- 719.
[62] Wahbah Al-Zuhayli. 2003. Financial Transactions in Islamic Jurisprudence, Vol. 1. Dasmascus; Dar al – Fikr, hlm. 115.
[63] Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. 2008. Problematika Investasi Pada Bank Islam, Solusi Ekonomi Islam. Jakarta: Migunani,  hlm. 278.
[64] Satria Effendi, dan M. Zein. Loc.Cit, hlm. 174-175.
[65] Muhammad Abduh Tuasikal. “Menjual Barang yang Masih Utangan”. [http://pengusahamuslim.com/menjual-barang-yang masih-utangan] <26>
[66] Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. Op. Cit, hlm. 277, 283.
[67] Wahbah Al-Zuhayli. Op.Cit, hlm.115.
[68] Satria Effendi, dan M. Zein. Loc.Cit, hlm. 174-175.
[69] Wahbah Al-Zuhayli. Op.Cit, hlm.115. 
[70] Wahbah Al-Zuhayli. Idem.
[71] Wahbah Al-Zuhayli. Op.Cit, hlm. 117.
[72] Yusuf Al Subaily. “Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya Dalam Perekonomian Modern”. [istyn.staff.uns.ac.id/files/2012/09/copy-of-fqh-muamalah-kontemporer] <09>. hlm. 45.
[73] Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”. [http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html] <14>.
[74] Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”. [http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.
[75] Salam Izhar. “Tawarrug in Islamic Banking System” [http:salamizhar.blogspot.com/2011/01/tawarrug-in-islamic-banking-system;html] <12 .01="">
[76] Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”. [http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html] <14>.
[77] Ahmad Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”. [http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html] <02>.
[78] Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor. 2007.  An Introduction to Islamic Finance, Theory and Practice. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd , hlm. 91.
[79] Satria Effendi, dan M. Zein. Op.Cit,  hlm. 174-175.
[80] Wahbah Al-Zuhaili. “Tawarrug, Its Essence and Its Types: Mainstream Tawarrug and Organized Tawarrug”. [www.kantakji.com/fiqh/Files/Markets/a(65).pdf]. 
[81] Karim Adiwarman. “Raja Henry VIII dan Tawarrug”.
[82] Abu Muawiah. “Masalah At -Tawarrug”. [http://al-atsariyyah-com/masalah-at-tawarrug-html] <15>.
[83] Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”. [http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.
[84]  Ahmad Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”. [http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html] <02>.
[85] Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”. [http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.
[86]  Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”. [http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html] <14>.
[87] Ahmad Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”. [http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html] <02>.  
[88]  Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”. [http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.
[89] Ahmad Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”. [http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html] <02>.
[90] Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. Op.Cit, hlm. 456.
[91] Mahmoud A. El-Gamal. 2009. Islamic Finance, Law, Economics and Practice. New York: Cambridge University Press, hlm. 71.
[92] Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”. [http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html] <14>.
[93]  Angie Cyntia. ”Konsep Tawarrug”. [http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.
[94] Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”. [http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.
[95] Cox, Stella. 2007. “The Role of Capital Markets in Ensuring Islamic Financial Liquidity”.  Dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds). Islamic Finance, The Regulatory  Challenge. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd, hlm. 278-279.
[96] Mahmoud A. El-Gamal. Op.Cit. hlm. 69.
[97] Cox, Stella. 2007. “The Role of Capital Markets in Ensuring Islamic Financial Liquidity”. Dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds). Islamic Finance, The Regulatory  Challenge. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd, hlm. 278-279.
[98]  Yusuf Al Subaily. “Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya Dalam Perekonomian Modern”. [istyn.staff.uns.ac.id/files/2012/09/copy-of-fqh-muamalah-kontemporer] <09>. hlm. 46.
[99] Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor. 2007. An Introduction to Islamic Finance, Theory and Practice. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd, hlm. 91.
[100] Toutounchian, Iraj. 2009. Islamic Money & Banking, Integrating Money in Capital Theory. Singapore: John Wiley & Sons (Asia) Pte.Ltd. hlm. 292.
 [101] Moghul, Umar F. 2013. “Stepping Forward, Backward, or Just Standing Still? A Case Study in Shifting Islamic Financial Structures Offshore”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., hlm. 276.
[102] Moghul, Umar F. 2013. Op.Cit.., hlm. 276-277. 
[103]  Muhammad Al Amine, Muhammad Al Bashir. 2013. “Risk and Derivatives in Islamic Finance”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc., hlm. 347.
[104] Moghul,  Umar F. Op.Cit., hlm 277.
[105]  Suwailem, Sami Alo, dan M.Kabir Hassan. 2011. “An Islamic Perspective of Financial Engineering”. Dalam M. Kabir Hassan dan Michael Mahlknecht (Eds), Islamic Capital Markets, Products and Strategies. Chichester, West Sussex : John Wiley & Sons Ltd., hlm. 394.
[106]  Suwailem, Sami Alo, dan M.Kabir Hassan. 2011.  Idem.
[107] Mahmoud A. El-Gamal. 2009. Islamic Finance, Law, Economics, and Practice. New York: Cambridge University Press, hlm. 72.
[108] Mahmoud A. El-Gamal. Idem.
[109] Umar Azka. Ibid. 


Paper ini Diterbitkan pada Jurnal QUALITY (Jurnal Manajemen dan Akuntansi Untuk Meningkatkan Kualitas SDM), Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Vol. III, No. 13, Januari 2014.