PRINSIP, KETENTUAN, DAN KARAKTERISTIK
PEMBIAYAAN (BANK) SYARIAH
Oleh:
Hendy Herijanto
Sekolah Tinggi Ekonomi
Syariah Islamic Village
Tangerang
ABSTRAK
Karakteristik pembiayaan syariah
atau Islam mengikuti ketentuan bermuamalah dalam Al Qur’an dan Hadis Nabi Besar
Muhammmad Saw. Ini artinya epistemologi Ekonomi Islam adalah Tauhid atau
Keesaan Tuhan, dan berbeda dengan epistemologi ekonomi dan perkreditan
konvensional yang mengacu pada kebudayaan dan pemikiran dunia barat. Prinsipnya
adalah untuk menciptakan kemaslahatan atau kesejahteraan masyarakat dan bukan hanya
individu, dengan berpatokan pada prisip pokok yang terdiri dari Keesaan Tuhan,
konsep khalifah Tuhan, keadilan dan keseimbangan material dan spiritual atau
duniawi dengan akhirati. Secara khusus, pembiayaan Islam ditentukan oleh
ayat-ayat Al Qur’an, yang menghalalkan perdagangan, mengaharamkan riba (QS, 2 :
275), serta memerintahkan manusia untuk tolong menolong dalam kebajikan (QS, 5
: 2). Prinsip dan ketentuan ini membawa makna yang dalam dengan implikasi yang
jauh terhadap pencapaian kemaslahatan duniawi masyarakat dan bernilai akhirati.
Sebagai intinya, pembiayaan Islam harus menyatu dengan sektor ekonomi riel.
Agar dapat menciptakan kemaslahatan
masyarakat, pembiayaan Islam hanya dapat dilaksanakan berdasarkan akad-akad
yang disediakan, tanpa riba, gharar,
dan maysir, bertujuan untuk memperoleh
hasil kerja non ribawi dan keuntungan bersama, menggunakan dana ekuitas
(bersama) bukan utang, berbagi risiko, dan dilaksanakan dengan penuh amanah serta
menepati janji. Pada saat yang sama, uang difungsikan secara hakiki, yaitu
sebagai alat untuk bertransaksi dan pengukur terhadap counter value berupa nilai barang, jasa, dan usaha.
Kata kunci: Tauhid, kemaslahatan, non riba, non
gharar, non maysir, barang dan jasa, dan amanah.
ABSTRACT
The characteristics of Islamic financing must follow the governing
Qur’anic verses and the Hadith of the Prophet Muhammad Puh. This means that the
epistemology derives from the Tauhidi Principle, being different from the one
of the conventional economy and banking that is deriving from the western
culture and purely rational thinking. Their basic and main principles are for
the creation of both, the individual and collective well being of the society, consisting
of Tauhidi Principle, vicegerency, justice, and material and spiritual
balances. These principles can be fulfilled by adhering to the Qur’anic
stipulations, ie, emphasizing on trade and doing no ribawi transactions (QS, 2 : 275), and working on cooperative basis (QS, 5 : 2). These stipulations bring about a deep and wide significance and implication.
For creating the collective well being of the society, Islamic financing
can only be implemented by using the existing contracts, without riba, non gharar,
non maysir, aiming on non ribawi work results, common profit, using quasi
equity and not purely money loan, risk sharing concept, being trustworthy, and keeping promises
religiously. Consequently, money is put in its basic function that is as a medium
of exchange and as a measure of the counter value being goods, services, and productive
business in the real sector of the economy.
Key words: Tauhidi
principles, the well being of the society, non interest, non gharar, non
maysir, goods and sevices, and trusworthy.
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Berbeda dengan perkreditan bank
konvensional, pembiayaan syariah atau Islam merupakan bagian dari ekonomi
Islam, yang sarat dengan nilai atau value
laden. Epistemologi ekonomi dan pembiayaan Islam adalah prinsip Tauhid,
atau Keesaan Tuhan. Karena ekonomi Islam merupakan kegiatan yang berkaitan
dengan hubungan antara sesama manusia, atau hubungan muammalah, maka pembiayaan
Islam juga harus mengacu ke pada ketentuan bermuammalah yang ada dalam Al
Qur’an sebagai kalam Allah, dan Hadis
Nabi Besar Muhammad Saw.
Oleh karena itu, dalam Islam, kegiatan
ekonomi dan pembiayaan (bank) tidak terlepas dari unsur etika dan moralitas,
karena tujuan manusia untuk hidup di dunia adalah untuk menyembah Allah Swt,
dalam arti untuk mencapai kebahagiaan duniawi dan akhirati, serta untuk
mencapai kemaslahatan atau kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Epistemologi
ekonomi dan perkreditan konvensional, di lain pihak, bersumber pada kebudayaan
dan pemikiran manusia di bagian barat dunia.
2.
Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk menguraikan
secara ringkas mengenai hal ikhwal ekonomi Islam, terutama mengenai Prinsip
Dasar dan Prinsip Pokoknya, yang juga merupakan dasar bagi pembiayaan Islam. Makalah
ini lebih lanjut menguraikan secara ringkas mengenai ketentuan utama yang mendasari
pembiayaan Islam. Berdasarkan Prinsip-Prinsip dan Ketentuan yang dimaksud,
dapat diuraikan karakteristik dari pembiayaan Islam.
B. PRINSIP DAN KETENTUAN YANG
MENGATUR
Kegiatan pembiayaan (bank) syariah
atau Islam adalah sub sektor dari Ekonomi Islam, yang diartikan sebagai ekonomi
yang berketuhanan, bertitik tolak dari Allah, dan bertujuan akhir kepada Allah,
serta menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Islam (Qardhawi, 1997 :
31). Di dalamnya, terdapat tiga kata terkait erat satu sama lain, yaitu
kehidupan, manusia dan Tuhan (Agil dan Ghazali, 2005 : 81).
1. Prinsip
Dasar dan Pokok Ekonomi Islam
a). Prinsip Dasar: Rahmat Bagi Sekalian Alam
Buku Suci Al Qur’an, diturunkan ke dunia
sebagai wahyu dari Allah Swt melalui Nabi Besar Muhammad Saw, merupakan bagian
integral dari keseluruhan ajaran Islam dan bersifat komprehensif. Al Qur’an
berisikan petunjuk yang sempurna dan lengkap (QS, 5 : 3) untuk manusia hidup di
dunia, dan bernilai akhirati, dengan aplikasinya terhadap dua hal, yaitu:
Pertama, hubungan antara manusia dengan Penciptanya yang merupakan tali agama
atau hablum minnallah; dan kedua,
hubungan manusia dengan sesamanya atau tali perjanjian dengan manusia atau hablum minanas (Orgianus, 2012 : 185). Salah
satu Ayat yang paling penting, bagi kehidupan manusia, dan bersifat sangat
filosofis dan aplikatif, adalah yang berbunyi, ”Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin)” (QS, 21 : 107).
Tujuan dari ayat-ayat Al Quran itu adalah
agar manusia berhasil di dunia dan di akhirat. Hal ini sejalan dengan
pengertian ”Rahmatan lil alamin”, yang merupakan tugas utama Nabi
Muhammad Saw sebagai Rasul Allah. ”Rahmatan
lil alamin” ini menjadi prinsip
dasar yang berlaku bagi seluruh umat manusia, agar manusia bertindak sebagai
pemakmur (QS, 11 : 61) bagi sekalian ciptaan Tuhan, termasuk seluruh umat
manusia, tumbuh-tumbuhan dan hewan (Al
Qarny, 2010 : 84), serta alam semesta atau lingkungan hidup manusia. Bagi
Islam, manusia yang beriman merupakan wakil Allah Swt di dunia untuk
menjalankan kebajikan dan menghindari kerusakan, ”amar ma’ruf nahi munkar”. Makna rahmatan
lil alamin sejalan dengan pengertian maqasid
al syariah, yang intinya menciptakan kemaslahatan atau al silah dan menghindari kemudharatan atau kerusakan. Jadi, tugas
manusia di dunia adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh manusia dan
segala ciptaaan Tuhan, dan menghindari kerusakkan.
b). Prinsip Pokok
Seluruh kegiatan manusia harus mengacu
kepada 4 prinsip pokok, yaitu Tauhid (atau unity,
atau Keesaan Tuhan), Khilafah (vicegerency,
atau wakil) dan Adalah (justice,
atau keadilan), Taskiyah (keseimbangan
material dan spiritual), dengan uraian sebagai berikut:
1). Tauhid atau Keesaan Tuhan.
Tauhid atau Keesaan Tuhan merupakan prinsip inti
bagi kehidupan manusia di dunia, dan berfungsi sebagai fondasi keimanan Islam.
Sebagai pencipta langit dan bumi serta segala isinya, Allah Swt merupakan awal
dari segalanya. Tuhan Yang Mahakuasa, yang bersifat esa dan unik, mendesain dan
menciptakan alam semesta secara sungguh-sungguh, dan tidak terjadi secara
kebetulan atau aksiden (Chapra, 2000 : 204). Tujuan penciptaanya adalah untuk memberikan
arti dan signifikasi bagi eksistensi jagat raya, dan manusia merupakan salah
satu bagiannya (Chapra, 2000 : 204-206).
Tauhid adalah suatu prinsip lengkap yang menembus
seluruh dimensi dan mengatur seluruh aktivitas manusia, dalam bentuk kesatuan
yang mengitari prinsip ini, seperti kesatuan alam raya, agama, ilmu, kebenaran
dan seterusnya; dan mengarah kepada hakikat Tauhid (Shihab, Quraish, 2013 : 69 :
70). Tujuan hidup pada dasarnya adalah untuk mencapai perjumpaan kembali dengan
Tuhan (Asy’arie, 2010 : 249), dan memiliki dua bagian. Bagian pertama adalah di
antara awal dan akhir itu terdapat dunia di mana manusia hidup, dan hidup
seyogianya menggunakan petunjuk yang diberikan Tuhan melalui ayat-ayat Al
Qur’an dan Hadis Nabi SAW, dan di sini berarti menjumpai Tuhan melalui
penerapan petunyuk-petunjuk-Nya.
2). Khalifah Tuhan
Manusia berfungsi sebagai khalifah Tuhan, yang
dituntut untuk berkarya seoptimal
mungkin dan perlu dicapai sebelum memasuki bagian kedua. Di dalam masa
ini, karya yang dikembangkan harus bermanfaat bagi peradapan manusia, dengan
mensejahterakan diri dan orang lain, sehingga setiap kegiatan itu bernilai
ibadah (Aa Gym dan Kartajaya, 2004). Hal ini dijelaskan oleh Surat Al-Hadid
(QS, 57 : 20), bahwa kehidupan seorang muslim di dunia adalah perjuangan untuk
meraih kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan akhirat, sebagai kehidupan yang
berkesinambungan di akhirat, yang diukur dari kehidupan di dunia (Shihab,
Quraish, 2012 : 186). Pada bagian kedua, dengan petunjuk atau pengetahuan itu,
manusia dapat mengumpulkan seluruh catatan kebajikan dan keimanan selama hidup
di dunia yang akan dibawa ketika kembali berjumpa dengan Tuhan. Segala
sesuatunya berasal dari Allah; dan semua akan kembali ke Allah Swt (QS, 57 :
3).
Manusia diciptakan Allah untuk menjadi ‘khalifah fi al-ard’ (QS, 2 : 30; QS, 6 :
165), atau dapat diartikan sebagai wakil Tuhan, dan berperan sebagai penguasa
atau pemimpin di bumi. Untuk itu, Allah melebihkan manusia secara sempurna di
atas semua ciptaanNya (QS, 17 : 70), karena Tuhan telah memberikan manusia akal
(Mufid, 2010 : 112). Surat Ali Imran menyebutkan bahwa manusia adalah umat yang
terbaik, dan diperintahkan untuk melakukan yang baik atau makruf, dan mencegah yang buruk atau munkar (QS, 3 : 110). Ini dapat diartikan bahwa manusia telah dibekali dengan semua karakteristik
mental dan spiritual, serta material untuk memungkinkan hidup dan mengemban
misinya secara efektif. Sejalan dengan tugas sebagai khalifah ini, tujuan
manusia diciptakan adalah untuk menyembah Allah Swt (QS, 51 : 56). Ini artinya apa yang dilakukan oleh manusia
harus mengikuti ketentuan atau ketetapan Tuhan YME.
Quraish Shihab menegaskan lebih lanjut, bahwa
manusia dalam kedudukannya sebagai khalifah ditugasi untuk membangun bumi
(Shihab, Quraish, 2012 : 690)[1], dan tidak untuk merusaknya. Memakmurkan atau
membangun bumi menyiratkan perintah Tuhan bagi manusia untuk bekerja dan
berpartisipasi aktif dalam mengelola apa yang telah diciptakan dan disediakan
Tuhan dalam bentuk sumber daya di bumi. Sumber-sumber daya, sebagai amanat, yang
disediakan dengan cukup, dan harus dimanfaatkan secara efisien dan adil (Chapra, 2000 : 209-210), tidak dengan pemborosan atau
pengrusakan. Al Qur’an menyebutkan bahwa sifat pemboros adalah setara dengan
sifat syaitan, dan syaitan itu sangat ingkar kepada Tuhannya (QS, 17 : 27)
3). Adalah (Keadilan)
Allah Swt berfirman bahwa rasul-rasul di utus
berserta diturunkan kitab suci dan neraca keadilan, agar manusia menegakkan
keadilan (QS, 57 : 25). Quraish Shihab menguraikan ayat ini, bahwa wahyu yang
ditulis dalam kitab suci mengandung hukum dan hikmat, dan manusia harus
menggunakan akalnya untuk menegakkan keadilan antar sesama. Neraca yang
dimaksud adalah mengukur keharmonisan hubungan sesama manusia, berdasarkan kejujuran,
termasuk ketika berinteraksi jual beli, atau bermuamalah (Shihab, Quraish, 2012
: 199-190). Dalam kegiatan
ekonomi, pembangunan harus diusahakan untuk meratakan kekayaan dan pendapatan
yang adil (Masyuri, 2005 : 45). Hukum ekonomi
harus ditegakkan berdasarkan nilai-nilai moral, dan bersumber dari
ajaran Al Qur’an; sehingga memiliki aksiologis pada kehidupan akhirat (Shihab,
2008 : 309-310).
Menurut Umer Chapra, keadilan merupakan isi pokok maqasid al syariah, yang tegas menghapus
semua bentuk kezaliman, atau semua bentuk ketidakadilan, ketidakmerataan,
eksploitasi, penindasan.atau menjauhkan hak atau kewajiban terhadap orang lain
(Chapra, 2000 : 211). Dalam kaitan ini, isi pokok dari maqashid al-syariah, antara lain, adalah: pemenuhan kebutuhan pokok, sumber pendapatan
yang terhormat, distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, dan pertumbuhan
dan stabilitas (Chapra, 2000 : 212-215).
Uraian ini menunjukkan bahwa Islam mementingkan keseimbangan
kepentingan individu dan masyarakat atau sosial. Sumber daya merupakan amanah,
dan pemanfaatannya tidak saja untuk diri sendiri tetapi juga bagi orang lain,
dan dipertanggungjawabkan di akhirat.
4). Taskiyah,
Keseimbangan Dunia dan Akhirat (Material dan Spiritual)
Allah memerintahkan manusia untuk bekerja
dan mencari rezeki (QS, 62 : 9, 10). Manusia
di dunia tidak boleh melupakan kenikmatan duniawi, dan berbuat baik kepada
orang lain, serta tidak membuat kerusakan di muka bumi, dan Allah
menganugrahkan kebahagian negeri akhirat (QS, 28 : 77). Membuat kerusakan di
muka bumi dapat diartikan tidak mengingat hari akhirat (QS, 76 : 27). Untuk
itu, manusia harus berusaha, dan berdoa untuk mencapai keseimbangan antara
kebaikan dunia dan kebaikan akhirat (QS, 2 : 201). Ayat-ayat ini menunjukkan
dengan jelas bahwa kegiatan ekonomi harus dibangun dengan menyeimbangkan antara
nilai duniawi dan nilai akhirati.
Nilai duniawi pada dasarnya berkaitan
dengan nilai-nilai materiel, yang memang diperlukan bagi manusia untuk hidup di
dunia. Islam tidak menghendaki umatnya untuk menjadi miskin; tetapi justru
sebaliknya. Dengan bekerja sebaik-baiknya dalam memperoleh harta atau
penghasilan yang cukup, umat manusia dapat membayar zakat, infak dan shadakah,
serta menunaikan ibadah haji, yang pada akhirnya dapat membangun kemaslahatan
masyarakat dan negeri. Namun, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan
nilai-nilai akhirati, yang diartikan sebagai kegiatan yang dapat menciptakan
kebajikan, kemasalahatan, dan menghindari pengrusakkan, ketidak adilan,
eksploitasi, kezaliman, atau perbuatan yang semena-mena.
Untuk meyakinkan dan mendorong umat
manusia untuk mencapai keseimbangan ini, maka Tuhan YME akan memeriksa
keseimbangan tersebut, dengan mengatakan ”Masing-masing
dirimu diberikan balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakan” (QS,
2 : 281), dan ini mengandung unsur pertanggung
jawaban di akhirat kelak.
2. Ketentuan
Utama
Ketentuan utama yang mengatur mengenai pembiayaan
Islam adalah: Pertama, Surat Al Baqarah (QS, 2 : 275), yang antara lain
menyebutkan, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”. Kedua, Surat Al-Maidah
(QS, 5 : 2) yang berbunyi, “Dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.....”. Di samping itu,
ketentuan bermuamalah, atau dalam hubungan antar sesama manusia, atau
berdagang, adalah diijinkan sejauh tidak ada ketentuan yang melarangnya. Bank
syariah harus memperhatikan larangan tersebut. Transaksi tidak boleh mengandung
riba, gharar, dan maysir, di samping dilarang membiayai
barang atau jasa yang diharamkan.
Pemilihan kata dalam Al Qur’an diyakini sangat
efisien dan efektif, dan tidak akan pernah dirubah. Maknanya berlaku sepanjang
zaman dan di setiap waktu dan tempat, maka implikasi dari makna kedua kata
‘berdagang’, ’riba’ dan ’tolong menolong
dalam kebajikan’ dapat menjadi luas. Makna yang dimaksud dapat diuraikan dalam
bagian berikut.
a). Menghalalkan
Perdagangan
Perdagangan mengandung arti bahwa
seseorang memiliki suatu barang yang dapat dijual kepada pembeli. Jual-beli
terjadi karena penjual sepakat menjual barangnya, sedangkan pembeli setuju
untuk membeli barang tersebut pada suatu tingkat harga yang disetujui oleh
kedua pihak: di sini, terjadi ijab
dan qabul. Jika secara tunai, si
pembeli menerima barang dari penjual, sedangkan penjual menerima uang pembayaran
barang yang dijualnya. Jika tidak dengan tunai, transaksi itu harus dicatat,
dan dipersaksikan dengan dua orang saksi (QS, 2 : 282). Transaksi ini merupakan
salah satu awal dari pembiayaan syariah.
Perdagangan adalah kegiatan komersial
tertua manusia, sejak zaman primitif sampai masa modern saat ini, hingga ke
masa depan. Pada masyarakat yang masih sederhana, barang dihasilkan dari hasil
penangkapan, perburuan atau penggalian. Kelebihan barang yang diperoleh
melebihi kebutuhan cenderung ditukarkan dengan barang yang diinginkan tetapi
tidak dimiliki. Layaknya digambarkan oleh cerita Robinson Crusoe, ketika jumlah
orang bertambah, setelah kehadiran Friday, kelompok kecil itu mulai melakukan
kegiatan barter antar sesama mereka. Barter merupakan kegiatan berdagang,
ketika uang belum dikenal, dan dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan barang
yang telah berkembang.
Perdagangan tidak bersifat kontekstual,
karena dapat dilakukan di mana saja, tanpa harus dengan modal besar. Sejauh
manusia hidup bermasyarakat, perdagangan terjadi di setiap waktu, dalam
lingkungan yang kecil, seperti di pedesaan. Dalam lingkungan yang lebih luas,
perdagangan telah berkembang sampai ke tingkat global antar negara di dunia.
Secara gamblang dapat pula dikatakan, bahwa kegiatan perdagangan tidak akan
pernah pupus dari kehidupan manusia. Kegiatan perniagaan atau perdagangan akan
selalu eksis dari masa ke masa.
Perdagangan merupakan kegiatan awal dan
akhir kegiatan produksi. Ketika kebutuhan barang dan jasa telah berkembang,
barang dagangan tidak hanya merupakan hasil tangkapan, buruan, pertanian,
ataupun perkebunan. Masyarakat mulai memikirkan dan memproduksi barang atau
jasa lain yang diperlukan. Produksi barang dan jasa pada akhirnya bermuara
kepada kegiatan penjualan atau perdagangan. Barang dagangan sudah harus
diproduksi terlebih dahulu, yang jelas melibatkan orang untuk bekerja dengan
memperoleh upah. Jadi, jual-beli mendorong perdagangan, dan merangsang
perniagaan dan industri. Produksi yang berkembang mendorong pembukaan lapangan
kerja baru, yang merupakan kebajikan dari kegiatan perdagangan.
Pentingnya kerja dan pembukaan lapangan kerja
sangat dipentingkan dalam Islam. Dengan
terbukanya lapangan kerja, pendapatan masyarakat akan meningkat dan industri
akan lebih berkembang. Menurut Nik Mohamed Affandi Bin Nik Yusoff, perdagangan
dapat berkontribusi langsung untuk meningkatkan standar hidup, meningkatkan
kekayaan bagi individu dan masyarakat; dan bagi yang kurang berpendidikan,
dapat berpartisipasi, karena Islam
menghendaki setiap orang memiliki sumber penghidupan masing-masing (Nik Yusoff, 2002 : 3). Menurut Ibnu Chaldun, bekerja merupakan unsur
yang paling dominan bagi proses produksi dan merupakan sebuah ukuran stándar
dalam sebuah nilai. Bekerja adalah kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi
Islam (QS, Al-Baqarah 4 : 29) (Suprayitno, 2005 : 3).
Perdagangan merupakan faktor penentu dalam
menggerakkan ekonomi. Perekonomian suatu masyarakat terbentuk karena adanya
kegiatan perdagangan dan produksi. Kata berdagang mengandung unsur kebajikan
yang berupa kegiatan utama dan diperlukan bagi manusia dalam berkelompok,
berbangsa dan bahkan bernegara. Perdagangan jelas berada di sektor riel. Riba,
di lain pihak, berkaitan dengan pinjam meminjam uang, atau merupakan pilar
utama dari sektor keuangan konvensional. Penekanan pada sektor keuangan yang
berlebihan, dengan mengabaikan sektor riel, terbukti telah meciptakan kerusakan
dari waktu ke waktu; dan dapat dilihat dari berulangnya krisis keuangan yang terjadi
di dunia. Dalam kaitan dengan sektor keuangan, Ibnu Chaldun mengatakan bahwa
kekayaan suatu bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki bangsa itu,
tetapi ditentukan oleh produksi barang dan jasa, serta neraca perdagangan yang
sehat (Karim, 2004 : 365). Sebagai konsekuensi tingkat produksi yang tinggi.
Mankiw mengatakan hal yang senada dengan Ibnu Chaldun mengenai pentingnya
produksi barang dan jasa oleh suatu bangsa; karena menurut Mankiw (2004 : 56),
kemampuan berproduksi akan menentukan standar hidup suatu.
Perdagangan
adalah inti dan dasar dari ekonomi Islam, dan mengacu pada produksi barang dan
jasa, atau disebut sebagai real sector of
the economy, atau real based economy (Harahap, 2002 : 19). Dengan perdagangan, kemashlahatan masyarakat
dapat dicapai lebih baik, dan sekaligus dapat menekan kerusakan.
b). Mengharamkan Riba
Riba adalah tambahan terhadap nilai pokok pinjaman
yang diberikan oleh peminjam atau debitor ke pemberi pinjaman atau kreditor.
Dalam perekonomian modern, pinjam meminjam ini berkaitan dengan uang, dan tambahan
berupa bunga. Filsuf Anthena kuno, Aristóteles, berpendapat bahwa riba
merupakan hasil yang tidak wajar, karena diperoleh dari jerih payah orang lain.
Beliau beranggapan, bahwa uang tidak bisa melahirkan uang, atau pecunia pecuniam non parit, karena uang sepatutnya dapat
dihasilkan dari kerja dan usaha (Qardhawi, 1997 : 184.). Di
zaman jahiliah, tambahan itu dikenakan kepada debitor yang tidak mampu membayar
utangnya tepat waktu. Jadi, tambahan itu sekaligus bersifat penalti. Tambahan
pula, sejumlah Hadist Nabi SAW sangat menyarankan agar manusia tidak berutang,
kecuali dalam keadaan terdesak.
Karena Allah Swt mengharamkan riba, maka peminjam
uang hanya bersifat saling membantu, atau bersifat sosial. Untuk itu,
disediakan qard hassan, suatu konsep
pemberian pinjaman tanpa bunga untuk tujuan sosial. Karena bunga tidak boleh
dibebankan ke pada debitor, maka pinjam meminjam uang tidak dapat
dikomersialkan. Jika tidak dapat dikomersialkan, maka kegiatan pinjam-meminjam
tidak dapat dijadikan sebagai kegiatan atau profesi untuk mencari nafkah secara
komersial. Dalam konteks makro, perekonomian Islam tidak dapat bersandar pada
industri keuangan yang bersifat ribawi,
dan jika tidak ada kaitannya dengan kegiatan perdagangan atau usaha di dalam
sektor ekonomi riel.
Telah merupakan kesepakatan umum di antara
para ahli, termasuk Umar Chapra, bahwa yang dimaksudkan riba adalah bunga (El-Diwany, 2003 : 31)[2] dalam segala bentuk (Saeed, 2004 : 117). Bunga bank, seperti yang dipahami banyak orang, yang memberikan kepastian
terhadap perolehannya, dan ditentukan di depan, dan berarti tanpa risiko, tidak
dibenarkan dalam Islam[3]; karena menimbulkan ketidak adilan bagi
debitor. Di lain pihak, riba cenderung bersifat tidak produktif, dan menambah
risiko usaha dalam perdagangan dan industri. Risiko bisnis bertambah karena
pertama, bunga ditetapkan di muka, terlepas dari naik turunnya pendapatan atau
laba yang dapat dihasilkan oleh bisnis yang dibiayai oleh utang yang berbunga
itu. Kedua, dari perhitungan break even
point atau yang lazim disebut BEP, pengusaha, yang membiayai produksinya
dengan menggunakan utang yang berbunga, harus dapat berproduksi dan menjual
barang dagangannya dengan kuantitas yang lebih banyak, agar mencapai titik
impas; ini jelas menambah kadar risiko bisnis. Bagi penerima bunga, kreditor
memperoleh pendapatan tanpa kerja, dan atas risiko bisnis yang ditanggung
sendiri oleh debitor. Hal ini bertentangan dengan Islam, yang mewajibkan orang
bekerja keras untuk memperoleh rezeki, sebagai kekayaan yang halal, serta
berbagi risiko.
c). Tolong
Menolong Dalam Kebajikan
Allah Swt berfirman, ”Tolong menolong lah kamu dalam mengerjakan
kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran” (QS, 5 : 2). Kerja sama dalam kebajikan, atau kerja, sangat dianjurkan oleh Islam. Makna
’berjamaah’ lebih diutamakan dari pada kata ’sendirian’, sejauh untuk kebaikan.
Nabi Saw memberikan contoh, ketika akan makan bersama. Masing-masing orang yang
ada ketika itu mengambil bagian untuk bergotong royong melakukan pekerjaan,
agar makanan dapat tersedia untuk semua. Ada yang mencari kambing, ada yang
menyembelihnya, ada yang mengulitinya, ada yang memasaknya, dan ada pula yang
mencari kayu bakar (Shihab, Quraish, 2013 : 310).
Konsep kerja sama seperti
ini memberikan setiap umat, atau anggota masyarakat, untuk berpartisipasi dalam
setiap segi kehidupan (bersama). Secara umum, uraian ini diartikan bahwa dalam
kehidupan manusia harus ditopang dengan dengan asas saling menolong, atau
berkerja sama, dalam melakukan perkerjaan yang bernuansa kebajikan, kebaikan,
kebenaran, demi kemaslahatan bersama.
d). Pencatatan Transaksi Tidak Secara Tunai
Surat Al Baqarah juga memperingatkan
manusia, ”apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar……., dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada utangnya” (QS, 2 : 282). Peringatan ini diberikan, karena Tuhan mengetahui sifat manusia
yang lemah, yang cenderung cepat lupa tentang apa yang telah dikerjakannya.
Ayat tersebut tampaknya tidak saja menekankan pentingnya
suatu pencatatan, tetapi lebih dari itu. Makna penting lainnya adalah bahwa
utang tidak dapat dilupakan, dan harus dibayar oleh yang berutang. Kata ’utang’
memiliki makna yang dalam, yang tidak sekedar menunjukkan adanya hubungan utang
piutang. Seseorang, yang dapat meminjamkan sesuatu kepada orang lain, adalah
karena orang itu memiliki kelebihan dari apa yang dimilikinya itu, yang belum
digunakan untuk konsumsi. Apa yang dimiliki oleh seseorang merupakan hasil
kerja atau jerih payah, yang telah dilakukannya, sehingga memperoleh kelebihan
itu. Kelebihan tersebut jelas merupakan haknya.
Dalam Islam, hak dapat diperoleh melalui tiga
cara, yaitu: dengan bekerja, melalui transaksi jual beli, dan adanya hibah.
Seluruh cara perolehan hak ini pada dasarnya adalah merupakan manifestasi
kerja. Harta manusia dapat diperoleh dari kerja. Barang yang dapat dijual
adalah hasil kerja atau produksi seseorang. Barang yang dapat dihibahkan adalah
juga berasal dari buah kerja seseorang. Oleh karena itu, jika seseorang
meminjamkan sesuatu kepada orang lain, itu artinya sama dengan meminjamkan hak
orang pertama kepada orang kedua. Hak itu merupakan hasil jerih payahnya;
dengan konsekuensi, hak yang dipinjamkan itu harus dikembalikan secara utuh
dengan magnitud yang sama. Dengan mengingatkan utang piutang harus dicatat,
dapat pula diartikan sebagai peringatan Tuhan bahwa utang harus dibayar
kembali. Makna dari
peringatan ini sekaligus merupakan penghargaan yang tinggi terhadap hasil kerja
seseorang.
Di masa abad pertengahan, para
juri enggan untuk mengakui adanya janji lisan terhadap suatu kontrak, karena
mereka mengangap janji dengan kata-kata lisan seperti itu berupa nudum pactum, bagaikan angin yang cepat
hilang dan keberadaannya sulit untuk dibuktikan (Muldrew, 1998 : 157). Seperti
halnya dalam bank konvensional, transaksi perbankan umumnya berkaitan dengan
masalah utang-piutang, atau mengandung unsur kewajiban dan tanggung jawab keuangan
yang harus dipenuhi. Untuk itu, setiap transaksi yang mengandung janji untuk
membayar dengan waktu tunda harus dicatat dan dipersaksikan, sehingga tidak
menimbulkan masalah pembuktian di kemudian hari.
C. KARAKTERISTIK PEMBIAYAAN SYARIAH
1. Non Ribawi:
Pendapatan yang setara dengan hasil kerja
Secara umum, riba dimengerti sebagai tambahan yang
diberikan atas pinjaman uang, atau disebut bunga. Dalam arti lain, riba dapat
timbul karena pertukaran barang atau barter yang tidak sepadan, baik dalam takaran,
timbangan, ataupun kualitas barang. Dalam pertukaran barang yang sejenis,
seperti emas dengan emas, perbedaan kadarnya tidak bisa diukur dengan akurat,
atau tidak serta merta dapat diketahui; di sini, tambahan tidak diperbolehkan.
Tetapi, tambahan pada pertukaran barang dengan jenis yang berbeda, seperti
kurma dengan gandum, diijinkan; tambahan di sini berfungsi sebagai penyeimbang
dari perbedaan nilai dari kedua barang. Dari pertukaran seperti ini, dapat
disimpulkan bahwa setiap pihak dalam transaksi itu jelas mengetahui dan
menyadari perbedaan barang yang ditukarkan, sekaligus dapat mengukur tambahan
yang seimbang. Pada dasarnya, pertukaran atau jual beli dengan counter value yang tidak seimbang adalah
juga riba.
Hadith Nabi Saw yang diriwayatkan oleh HR Abu
Dawud dan HR Baihaki menyatakan bahwa ketidakjujuran atau penipuan penjual
terhadap pembeli adalah termasuk perbuatan ribawi. Nabi SAW juga bersabda bahwa
memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan risiko merupakan tindakan
ribawi, bahkan disetarakan dengan penyakit masyarakat seperti menjual
kehormatan. Al-Qur’an menyebutkan bahwa memakan harta benda orang dengan jalan
yang bathil adalah riba (QS, 4 : 161). Menurut Abu Zaid (2010), makna qiyas
terhadap kata riba itu adalah memakan harta orang lain dengan cara yang tidak
benar.
Salah satu akibat dari riba adalah mendorong orang
untuk memperoleh hasil yang instan tanpa bekerja, sehingga menjadi malas atau
tidak produktif. Itulah sebabnya Allah SWT telah menghalalkan perdagangan, dan
mengharamkan riba, walaupun pada
dasarnya perdagangan dan riba serupa, dalam hal memperoleh keuntungan bagi yang
pertama dan tambahan bagi yang kedua. Namun, implikasi perdagangan jauh lebih
positif dan luas. Perdagangan adalah hilir dan hulu dari kegiatan produksi; apabila
meningkat, akan mendorong produksi barang dan jasa yang lebih banyak. Produksi
yang bertambah membuka lapangan kerja, dan menciptakan kesejahteraan umat.
Keuntungan adalah panen dari kerja dan usaha di ladang produksi dan
perdagangan, dan merupakan manifestasi kerja, usaha, dan risiko, sehingga tidak
dapat diperoleh secara instan. Oleh karena itu, Ibnu Chaldun mengatakan bahwa
kekayaan suatu negara terletak pada berapa banyak barang dan jasa yang
dihasilkannya, bukan pada jumlah uang yang dimilikinya.
Jadi, peminjaman uang dengan tambahan, pertukaran
yang tidak seimbang dalam takaran dan timbangan serta kadar barang, atau
transaksi pertukaran dengan counter value
yang tidak sepadan, atau tambahan yang diperoleh tanpa kerja, usaha, atau risiko,
tidak produktif, atau memakan harta orang dengan cara yang bathil, merupakan
transaksi ribawi. Semua hal ini tidak berujung pada peningkatan produksi barang
dan jasa, yang dapat memberikan lapangan kerja produktif bagi umat; serta tidak
mendorong terciptanya nilai-nilai kebajikan, seperti keadilan dan kejujuran. Pembiayaan
Islam tidak terlepas dari tema kerja, produksi barang dan jasa, mengembangkan
usaha, tidak bersifat ribawi, dan untuk kemasalahatan bersama.
2. Fungsi
Uang Sebagai Penyetara Nilai
a). Uang Merupakan Cerminan dari
Barang
Dalam Islam, uang berfungsi sebagai medium of exchange. Uang hanya merupakan
sarana untuk mencapai suatu tujuan tetapi bukan merupakan tujuan itu sendiri
(El-Diwany, 2003 : 220). Al Ghazali, seperti yang dikutip oleh Habib Shirazi, menjelaskan
uang sebagai “an ‘intermediary’ between assets, and works
‘like a mirror’, and only reflects
the value of goods…”. Dia juga mengatakan, “Money should not be created
just because its very existence
should create demand for it,
but rather it should be used for the procurement of other goods…” (Shirazi, 1988 : 39). Uang adalah nilai pembanding terhadap
nilai barang atau jasa yang dipertukarkan; menandingi counter value.
Kutipan di
atas jelas menunjukkan bahwa uang bukanlah alat produksi yang menghasilkan barang
dan jasa, tetapi hanya merupakan alat ukur terhadap nilai dari barang dan jasa,
atau hasil kerja. Hanya produksi barang dan jasa yang meningkat dapat membuka
lapangan kerja, sehingga setiap anggota masyarakat mendapat peluang yang sama
untuk bekerja. Semakin banyak anggota masyarakat yang bekerja, semakin
meningkat tingkat kesejahteraan masyarakat. Ini adalah tema sentral dari
ekonomi dan pembiayaan Islam, yang sejalan dengan maqasid al syariah dan Prinsip Dasar ‘Rahmatan lil alamin’.
b). Uang
bukan sebagai komoditas dengan harga berupa bunga
Jika uang[4] diperlakukan sebagai komoditas
maka akan menjurus pada transaksi ribawi (Marthon, 2004 : 33). Karena
tambahan atas uang ketika dipinjamkan dilarang, ini artinya bahwa uang tidak
dapat diperdagangkan, atau memiliki harga, seperti bunga. Vogel (1998 :
2) mengatakan bahwa, “(In Islam)
Money is not treated as a commodity, as in
the West…”. Uang bukan sebagai komoditi, maka perbankan syariah tidak
mengenal pinjam-meminjam uang dalam transaksi komersial atau tijarahnya. Pengertian ini berlaku sebagai
dasar pembiayaan syariah.
Karena uang
berfungsi terutama sebagai medium of
exchange, dan penyetara nilai terhadap counter
value seperti halnya dalam pertukaran atau jual beli, pembiayaan syariah harus
didahului dengan transaksi yang memiliki counter
value itu. Counter value ini merupaka
nilai yang diperlukan untuk membiayai jual beli barang, penyewaan barang, atau
untuk membiayai suatu usaha di sektor riel.
Dengan
demikian, uang tidak berjalan sendiri, tanpa ada kaitan dengan barang, jasa
atau usaha. Esensi yang penting dalam pembiayaan syariah bukan pinjam meminjam
uang, yang menimbulkan utang dan berasal hanya dari peminjaman uang.
c). Uang Merupakan Potensi Modal
Aristoteles tidak menyetujui kegiatan pemberian pinjaman dikenakan
bunga, karena tidak bersifat alami dan melanggar kebajikan (Green, 2009 : 68).
Uang pada dirinya sendiri tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan apa-apa,
atau tidak dapat beranak; sehingga tidak memiliki produktivitas. Karena tidak dapat menghasilkan apa-apa,
maka tidak dapat memperoleh kompensasi. Uang juga bukan langsung berarti modal
karena uang hanya berpotensi untuk menjadi modal; dalam Islam, modal dikenal
sebagai salah satu faktor produksi (DiVanna, 2008 : 28).
Supaya menjadi modal, uang dikonversi terlebih
dahulu menjadi salah satu faktor, dan digabungkan dengan faktor produksi yang
lain agar produktif, sehingga menghasilkan barang dan jasa, menimbulkan
perdagangan, menghasilkan pendapatan dan
keuntungan, menciptakan lapangan kerja, dan akhirnya meningkatkan kemaslahatan
masyarakat.
d). Uang Endogen Islami Menekan inflasi
Islam menggunakan uang terutama sebagai
alat tukar atau sarana, bukan sebagai komoditi seperti yang dianut oleh kaum
kapitalis; dan uang bukan merupakan tujuan itu sendiri (El-Diwany, 2003 : 220).
Sejalan dengan hal ini, motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan bertransaksi (Arifin, 2005
: 16), atau dalam bahasa Keynes untuk bertransaksi dan berjaga-jaga
(Toutounchian, 2009 : 69); tetapi dalam Islam, tidak untuk berspekulasi.
Transaksi yang bersifat spekulatif dilarang dalam Islam. Islam menggunakan
teori uang endogen atau endogenous money yang berbeda.
Menurut
Shakespeare (2007 : 117-128), endogen berarti datang atau berkembang dari
dalam, atau berasal atau diproduksi di dalam suatu organisme, tisu atau sel. Dalam
ekonomi konvensional, uang endogen adalah uang yang berbunga berasal dari bank
sentral sebagai asal organisme yang dimaksud; kemudian mengalokasikannya secara
efektif untuk menciptakan pertumbuhan. Tetapi, Shakespeare menganggap pandangan
ini sebagai justifikasi ekonomi neo klaisik yang tidak tepat, karena: pertama,
bank komersial bukan merupakan pusat dari masyarakat, sehingga tidak
mengherankan jika bank sentral tidak memiliki moralitas berupa kewajiban
terhadap masyarakat; kedua, uang endogen konvensional tidak mengalokasikan
sumber daya secara efisien, tetapi mendorong harga-harga aset naik, dan membuat
dunia tetap memiliki utang yang terus bertambah, sehingga jumlah keseluruhan
internal dan eksternal melebihi jumlah uang yang ada; ketiga, uang yang
berbunga itu memiliki efek yang merusak. Di mana pun ada riba, akan merusak orang,
perusahaan, kota,
bangsa, dan perekonomian, yang mendorong dunia menuju bencana lingkungan.
Oleh karena itu, Shakespeare (2007 : 125)
memberikan definisi uang endogen yang lain, yaitu: pinjaman tanpa bunga yang
berasal dari bank sentral dan diberikan kepada pemerintah untuk modal proyek
lingkungan pemerintah atau publik. Proyek semacam ini dapat pula dimiliki oleh swasta,
atau dikelola oleh sistem perbankan, atau dikeluarkan untuk sektor swasta, atau
untuk memulai bisnis baru, termasuk untuk perusahaan besar dan menengah, jika
kepemilikan modal diperluas. Pinjaman tanpa bunga untuk keperluan publik semacam
ini telah digunakan di masa lalu, misalnya, pada proyek-proyek di Channel Island,
Guernsey, proyek konstruksi di Malaysia, dan skim hydropower di New Zealand (Shakespeare, 2007 : 126).
Menurut
Choudhury (1997), di lain pihak, dalam Islam, pengertian uang endogen adalah
sebagai berikut. Pada masa Nabi
Besar Muhammad Saw, emas dan perak digunakan sebagai standar nilai uang. Sejalan
dengan perintah Tuhan dan Hadis Nabi, pemecahan nilai uang emas dan perak ke
dalam nilai yang lebih rendah sangat dilarang (Choudhury, 1997 : 7). Pemecahan
itu dapat terjadi karena timbulnya kekurangan atau kelebihan penawaran. Kondisi
ini dapat timbul karena ketidak stabilan akibat dari tingkat bunga dan ketidak
pastian, adanya spekulasi, atau penggunaan modal yang fisibilitasnya tidak
dapat diukur dengan ukuran yang biasa digunakan dalam sektor riel (Choudhury, 1997
: 7).
Oleh karena itu, Choudhury menyimpulkan bahwa
sifat uang endogen dalam Islam adalah seperti yang dimaksud oleh Nabi Saw,
yaitu menggunakan emas dan perak untuk keperluan transaksi pasar. Dalam hal
ini, mata uang diciptakan sebagai perantara untuk memberikan nilai bagi harga-harga
komoditas, atau barang dan jasa (Choudhury, 1997 : 39). Menurut beliau lebih
lanjut, teori uang endogen adalah Md=Ms=M (X, Y, O) (Choudhury, 1997 : 41)[5]. Md adalah tingkat pengeluaran dalam
ekonomi politik Islam. Ms merupakan penawaran uang, dan mewakili penyediaan
mata uang dalam logam berharga untuk memenuhi keperluan pengeluaran. Ini
artinya Ms meuangkan harga-harga, atau monetizes
prices” (Choudhury, 1997 : 41). Dalam
definisi konvensional, seperti yang telah disebutkan di atas, uang endogen
didefinsikan sebagai uang yang berbunga dan berasal dari bank sentral. Di lain
pihak, Islam mendefinisikannya sebagai mata uang dalam bentuk logam berharga;
dan signifikasinya adalah bahwa uang endogen mewakili nilai emas dan perak, atau
di dukung oleh keduanya.
Pada hakekatnya, uang endogen berarti permintaan
uang merupakan representasi dari seluruh kebutuhan transaksi dalam sektor riel
(Choudhury, 1997 : 14; Suprayitno, 2005 : 209). Permintaan akan uang meningkat,
jika kapasitas dan volume sektor riel meningkat. Choudhury (1997 : 14) menjelaskan bahwa uang
yang beredar hanya setara dengan yang dibutuhkan untuk bertransaksi di sektor
riel, seperti yang digambarkan oleh persamaan Irving Fischer, yaitu m. v = p.
q. Uang yang beredar dikalikan dengan tingkat perputaran uang atau velocity of money harus setara dengan
nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu masyarakat negara. Uang yang
beredar dapat dikontrol oleh bank sentral suatu negara. Teori ini tidak
mendikotomikan antara pertumbuhan uang di sektor moneter dan pertumbuhan nilai
tambah uang di sektor riel (Suprayitno, 2005 : 209).
Di samping itu, perbankan Islam tidak mengenal
penciptaan kredit atau credit creation
seperti dalam bank konvensional, sehingga uang yang beredar dibatasi sebanyak
yang diciptakan bank sentral. Dalam perbankan Islam, dana pihak ketiga atau
deposit masyarakat dalam giro, tabungan, dan deposito bukanlah merupakan utang
bagi bank; tetapi, berfungsi sebagai titipan dengan akad wadiah, dan berupa dana investasi dengan akad mudharabah. Dana investasi sepenuhnya disalurkan untuk investasi
dengan nasabah bank lainnya, sehingga menekan terciptanya uang lewat kredit, yang
berbeda dengan bank konvensional dengan fractional
reserve banking-nya. Karena dana dalam akad wadiah hanya merupakan titipan, dan bank tidak dapat mempergunakannya,
sehingga hanya disimpan di dalam reserve
secara keseluruhan, maka bank Islam juga disebut sebagai 100% reserve banking.
Uang endogen yang dimaksud oleh Choudhury (1997),
dan digambarkan oleh persamaan Irving Fischer pada hakekatnya menghindari
pertumbuhan uang yang beredar melebihi nilai produksi barang dan jasa, atau
pertumbuhan sektor riel. Inflasi terjadi, jika uang yang beredar lebih besar
dari yang diperlukan untuk transaksi di sektor riel. Inflasi menurunkan daya
beli, dan menegatifkan kemaslahatan masyarakat, yang bertentangan dengan maqasid al syariah.
4. Keuntungan Pengganti Riba
Karena riba
dilarang, penggantinya adalah ‘keuntungan’. Berbeda dengan riba, yang bersifat
tetap, keuntungan bersifat variatif dan dapat lebih besar dari riba, karena
sangat tergantung pada kemampuan dalam berusaha. Jadi, keuntungan pada dirinya
dapat memberikan upside potential.
Oleh karena itu, Toutounchian (2009 : 331) berpendapat bahwa hal tersebut
merupakan salah satu faktor yang dapat membantu pemerataan distribusi pendapat,
dan merupakan kondisi yang diperlukan untuk pertumbuhan yang berkelanjutan atau
sustained growth.
Banyak ayat Al Qur’an menyebutkan mengenai ’keuntungan’.
Salah satu ayat menyatakan bahwa perolehan
keuntungan dari perniagaan adalah halal. Tuhan berfirman kepada orang-orang
beriman agar berjalan dan berdagang dengan cara yang saling menguntungkan (QS,
4 : 33). Dalam perspektif itu, keuntungan tidak dilihat dari segi uang secara an sich. Menurut Aa Gym dan Kartajaya
(2004), ’keuntungan’ bisnis adalah apabila bisnis yang dilakukan itu bersifat
amal atau kebajikan, atau yang didasarkan pada kebenaran, yang dimulai dengan
niat yang benar; dalam melakukan bisnis itu, kualitas manusianya semakin baik
atau dapat lebih dipercaya, dapat menambah ilmu dan wawasan yang lebih luas
sehingga memperbaiki kemampuan yang ada, dan menambah silahturahmi atau
persaudaraan antara sesama.
Keuntungan pada dasarnya dihasilkan dari kombinasi
usaha atau kerja, modal dan risiko; modal diartikan sebagai barang dagangan
atau faktor produksi, sedangkan uang merupakan potensi modal yang dapat
dikonversi ke dalam salah satu atau keduanya. Ellsworth (2010 : 143)
berpendapat bahwa keuntungan memiliki banyak fungsi, yaitu meliputi: memberikan
kemampuan bagi perusahaaan atau usaha dalam rangka menciptakan manfaat bagi
masyarakat, merupakan ukuran dari efektivitas dan efisiensi dalam melakukan
manfaat itu, sebagai dasar bagi manajemen dalam mengambil keputusan, sebagai
panduan untuk menciptakan nilai, dan seterusnya. Namun, Ellsworth mengingatkan
bahwa keuntungan bukan merupakan tujuan akhir, tetapi sebagai alat untuk
mencapai tujuan lain seperti posisi strategis perusahaan; sehingga tidak
dimaksimalkan dalam arti yang sempit. Pandangan yang sempit terhadap
maksimalisasi keuntungan adalah karena hanya berdasarkan dari segi pertimbangan
materialistik dan bertumpu pada kepentingan pemegang saham semata. Agaknya
pandangan yang sempit ini merupakan pendorong dari konsep maksimalisasi
keuntungan yang disuarakan oleh Milton Friedman, sehingga menjadi isu yang
berkaitan dengan masalah moralitas. Hal ini pula yang mungkin membuat Aristoteles
berpandangan bahwa kegiatan ”commerce”
itu merupakan kegiatan yang lebih rendah sifatnya dari ”politics” atau ”philosophy”,
di samping mungkin bahwa kedua konsep terakhir ini lebih mendasar dan dapat
mencapai lebih jauh.
Terhadap pertanyaan ”apakah maksimalisasi kekayaan
pemegang saham itu bersifat imoral?”, Dobson (1999) memberikan jawaban dengan
memasukan unsur moralitas ke dalam setiap pengambilan keputusan dalam berusaha.
Tujuan memaksimalkan keuntungan dalam rangka mempertahankan kesehatan keadaan
keuangan perusahaan perlu dijalankan dengan mempertimbangkan kepentingan stakeholders lainnya. Perhatian yang
lebih luas ini dapat mendukung kehidupan usaha atau perusahaan itu sendiri.
Dalam kesimpulannya, Dobson mengatakan bahwa sebagai seorang profesional, orang
tidak dapat menghapus akal sehat moral, dan di situ berperan karakter dan
pertimbangannya. Dalam melakukan pertimbangan, kebajikan diperlukan dan ini
meliputi sikap kehati-hatian, kearifan dan rasa belas kasihan pada orang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
keuntungan hanyalah alat untuk mencapai tujuan, tetapi tujuan yang sesungguhnya
adalah lebih luas dari sekedar keuntungan. Menurut pandangan Immanuel Kant
(Bowie, 1998), tujuan itu mencakup pemberian pekerjaan yang berarti bagi
masyarakat, memproduksi barang atau jasa yang berkualitas, dan akhirnya
menciptakan kesejahteraan bagi orang yang lebih banyak. Dengan mencapai tujuan
yang lebih luas ini, kepentingan stakeholders
lainnya dapat dipenuhi dan juga dapat melanggengkan usaha itu sendiri.
Penekanan pada masimalisasi keuntungan dalam arti
materiel semata dapat berarti adanya pengurangan terhadap kepentingan para stakeholders. Secara menyeluruh,
keuntungan merupakan faktor penentu dalam menggerakkan ekonomi, karena keuntungan
mendorong orang untuk berproduksi dengan menghadapi risiko. Untuk berproduksi,
diperlukan tenaga kerja, sehingga menciptakan lapangan kerja. Keuntungan
merupakan kompensasi dari hasil kerja yang baik
dan penanganan risiko yang dihadapi. Oleh karena itu, dalam berusaha
atau berproduksi, keuntungan perlu dibagi, demikian pula risiko (Vogel dan
Hayes III, 1998 : 235). Pengusaha berbagi keuntungan dengan pemilik modal
sesuai dengan hasil yang secara riel diperoleh bersama. Keuntungan yang dibagi
adalah bersifat riel, tetapi tidak tetap atau bervariabel karena tergantung
dari hasil usaha yang dapat berbeda dari waktu ke waktu, dan bukan keuntungan
akunting atau keuntungan gelembung (Lewis, 2009 : 297).
Tanpa adanya bunga yang bersifat tetap, risiko yang
dapat dihadapi dalam berusaha atau berproduksi akan lebih kecil. Dengan beban
biaya lebih rendah, keuntungan akan lebih besar, sehingga perekonomian akan
mendorong lebih banyak kegiatan produksi. Karena keuntungan dari usaha atau
berdagang diijinkan, maka ekonomi Islam lebih menekankan pada sektor riel.
Faktor-faktor riel yang terkait, seperti perbaikan dalam teknologi dan sumber
daya manusia, akan mendorong peningkatan secara bertahap dalam produksi atau
kegiatan ekonomi (El-Diwany, 2003 : 217).
Adalah kombinasi dari usaha atau kerja, modal dan
risiko yang menghasilkan return
terhadap modal atau uang. Oleh karena itu, keuntungan harus dibagi, demikian
pula risiko. Pengusaha berbagi keuntungan dengan pemilik modal sesuai dengan
hasil yang diharapkan bersama, tidak ditentukan di depan seperti bunga, tetapi
ditetapkan sesuai dengan perkembangan hasil usaha dalam waktu yang berjalan.
5. Non Gharar
Sunah Nabi menunjukkan contoh-contoh yang melarang
transaksi bersifat tidak pasti, atau excessive
speculative risk (Saeed, 2004 : 114) atau gharar.
“It refers to a number of transactions characterized by risk or uncertainty
at their inception”,
misalnya jangan membeli ikan yang masih berada di laut, karena itu adalah gharar (Hooker, 2004 : 87-88).
Gharar berarti
sesuatu yang tidak jelas, atau dapat bersifat tipu daya atau desepsi atau
berupa hazard, atau sesuatu yang
tersembunyi, atau informasi yang tidak terungkap atau tidak diungkapkan, dengan
membawa konsekuensi yang tidak pasti, atau menimbulkan ketidakpastian yang berlebihan (Elgari, 2003
: 17). Dalam praktik, Gharar dapat
merupakan sesuatu yang bersifat ambigu, atau ketidak-jelasan yang berkaitan
dengan pihak-pihak dalam suatu transaksi seperti penjual dan pembeli, objek atau harga objek
dari transaksi itu (Rosly, 2005 : 75); atau merupakan praktik-praktik desepsi
atau misrepresentasi mengenai kualitas, harga, jenis dan spesifikasi barang
(Rahman, 2010 : 43). Keseluruhan faktor ini akan membuat salah satu pihak
berada pada posisi yang tidak seimbang karena dihadapkan pada unsur-unsur
transaksi yang tidak jelas. Sole (2007) menyebutkannya gharar sebagai ketidakjelasan dalam berkontrak.
Untuk menghindari unsur gharar dalam berkontrak, diperlukan
keterbukaan informasi yang lengkap dan hal ini akan mendorong timbulnya
transparansi yang lebih baik, sehingga asymmetric
information dapat diperkecil (Gait dan Worthington, 2007). Gharar juga diartikan sebagai sesuatu yang memiliki konsekuensi
yang belum diketahui atau majhul al aqiba,
atau sesuatu yang tidak ada atau habal
al-habala, atau sesuatu yang tidak dapat diberikan atau diserahkan seperti
kuda yang telah lepas, atau sesuatu yang tidak diketahui sama sekali atau majhul mutlaq, atau sesuatu yang dapat
disebut tetapi tetap tidak diketahui jenis atau kualitasnya (Ebrahim dan Joo,
2001), seperti ikan di laut.
Dalam penerapannya, gharar juga dapat berarti melaksanakan
suatu usaha tanpa memiliki pengetahuan yang memadai (Siddiqi, 2006), atau usaha
yang mengandung risiko yang berlebihan, dan tidak perlu atau bersifat spekulatif.
Risiko yang dimaksud di sini bukan risiko bisnis normal yang muncul dari
keadaan pasar atau systematic risk atau
atau dari keadaan keuangan atau disebut sebagai unsystemic risk. Risiko
yang pertama berkaitan dengan harga, peraturan, tenaga kerja, sifat suatu
industri, keadaan penawaran dan permintaan dan lain sebagainya; sedangkan yang
kedua berkaitan masalah likuiditas, kredit, mata uang, ketersediaan kredit dan
sebagainya. Pada dasarnya, kedua macam risiko ini memang selalu ada ketika berhadapan dalam suatu bisnis atau transaksi. Menurut
Vogel, risiko atau ketidak pastian dalam gharar
adalah risiko yang bersifat spekulatif murni, dengan manfaat masa depan yang
tidak diketahui, hasil yang tidak jelas, dan tidak teliti atau tidak cermat
(Warde, 2000 : 60). Gharar yang
berlebihan berarti risiko tidak dapat dikontrol, sehingga mengarah pada
spekulasi dan judi (Abullah dan Chee, 2010 : 54) atau tindakan yang bersifat
untung-untungan. Jadi, gharar
bukanlah risiko yang dimaksud dalam ”al-ghurmu
bil ghunmi”, karena keuntungan yang diperoleh dari transaksi yang
mengandung unsur yang bersifat gharar
adalah tidak halal.
Sesungguhnya, konsep gharar ini berusaha untuk menekan asymmetric information sebanyak mungkin,
yang merupakan masalah utama dalam intermediasi keuangan. Sebagai salah satu
dari karakteristik dari pembiayaan atau finance
(Caprio Jr, 1996 : 3)[6], asymmetric information ini merupakan keadaan karena pasar keuangan
tidak memiliki informasi yang sempurna; artinya setiap pihak yang terkait dalam
suatu transaksi keuangan tidak memiliki informasi yang sama atau seimbang. Di
lain pihak, menurut Caprio Jr (1996), sebagai information intensive nature of banking, bank membutuhkan banyak
informasi terutama mengenai calon debitor, atau debitornya selama pinjaman
belum dilunasi. Bank sebagai calon kreditor, dan salah satu pihak dalam
perjanjian kredit yang dibuat, tidak memiliki informasi yang sama seperti pihak
lainnya, yaitu calon debitor atau debitor peminjam. Bank, dan calon debitor,
memiliki persepsi dan sikap terhadap risiko yang berbeda. Atas keperluannya
masing-masing, bank harus lebih berhati-hati terhadap risiko, sedangkan calon
debitor bersikap lebih berani dalam mengambil risiko. Baik ex ante maupun ex post,
calon debitor memiliki informasi yang jauh lebih baik mengenai dirinya,
perkembangan usaha, dan masalah yang dihadapinya. Sebelum pinjaman disetujui,
calon debitor cenderung memberikan informasi yang lebih baik, yang dapat
menambah kemungkinan permohonannya disetujui bank. Kecendrungan ini harus diimbangi
oleh bank dengan mendeteksi perbedaan dengan kenyataan yang sebenarnya, dan
memastikan fakta yang sesungguhnya.
Islam menghendaki umatnya agar bertabayyun, temasuk ketika akan melakukan transaksi
komersial. Pihak bank, misalnya, harus mempelajari secara saksama transaksi dan
kualitas pihak dengan mana transaksi itu akan dilakukan. Bahan baku utamanya
adalah informasi, yang menyangkut sifat, objek, subjek dari transaksi, di
samping keuntungan yang dapat diperoleh dan risiko yang dihadapi. Konsep tabayyun mengendaki untuk mempelajari
kebenaran setiap informasi yang diterima. Baik dalam sektor keuangan konvensional atau syariah,
masalah asymmetric information selalu
ada, dan harus diatasi oleh pihak bank. Dalam pembiayaan, informasi yang
diperlukan tidak saja bersifat kuantitatif, tetapi juga bersifat kualitatif,
karena penekanan pada informasi kuantitatif semata akan menyesatkan.
6. Non Maysir
Al-Qur’an mengutuk judi atau maysir, atau “games of chance, that invokes enmity and distracts the faithful
from worship” (Vogel, (et.al),
1998 : 64). Kata maysir dalam bahasa
Arab secara harfiah adalah memperoleh sesuatu atau keuntungan dengan mudah
tanpa kerja, atau dapat disebut judi (Amrin, 2006 : 59). Unsur yang bersifat
spekulatif membawa kepada situasi untung-untungan atau maysir atau judi. Judi dilarang oleh Al-Qur’an (QS, 5 : 90, 91),
karena pada intinya judi merupakan usaha untuk memperoleh harta tanpa kerja,
dan memiliki sifat yang menimbulkan mudharat yang lebih besar dari manfaat yang
dapat diperoleh, baik bagi individu maupun masyarakat. Judi, pada intinya
menjauhkan orang pada unsur kerja dan penciptaan lapangan kerja; segala bentuk
usaha yang mengandung unsur spekulasi juga dilarang. Dalam kaitan ini, bank
dilarang untuk melakukan jual beli risiko keuangan atau financial risk, karena ini menyerupai judi atau maysir (Cihak dan Hesse,
2008). Kegiatan yang bersifat spekulatif menganggu stabilitas, yang cenderung
menimbulkan distorsi terhadap kedamaian dan kemaslahatan masyarakat, sehingga bertentangan
dengan maqasid al syariah.
7. Penekanan
Pembiayaan Bukan Pada Utang (Uang).
Karena Islam melarang adanya riba, dan
Nabi Saw menganjurkan untuk tidak mengambil utang (Abdulah Saeed, 2004b : 200).
Ekonomi Islam lebih menekankan pada modal bersama atau equity based, dan konsep leverage
tidak dapat dipakai. Prinsip leverage atau gearing dalam banyak kasus di dunia telah mendorong timbulnya
kegiatan ekonomi yang spekulatif; dan jika digunakan secara berlebihan (Chapra,
2000 : 299), telah terbukti menimbulkan krisis keuangan dari waktu ke waktu. Di lain pihak, sistem keuangan Islam yang
terstruktur dengan baik tidak mencakup kegiatan spekulatif (El-Diwany, 2003 :
201).
Dalam perbankan syariah, utang yang
ditimbulkan dari pinjam-meminjam murni dibedakan dengan utang yang ditimbulkan
karena perniagaan, usaha, atau investasi; yang terakhir ini disebut sebagai
“pembiayaan”. Bagian berikut membahas secara umum mengenai perbedaan keduanya,
dan secara khusus mengenai pembiayaan. Setiap, barang yang dapat dijual, dapat
menjadi pinjaman atau di pinjamkan, contohnya emas dan perak, serta barang
dagangan; di samping uang. Utang atau pinjaman dalam Islam dibagi menjadi 2
macam berdasarkan kegunaan atau sumber keperluannya.
Pertama: Utang, loan,
atau qard. Utang di sini merupakan pinjam meminjam
sesuatu yang berharga dari yang berkelebihan kepada yang membutuhkan. Ketika
uang telah dikenal, maka utang di sini berarti ’money lending and borrowing’ atau ‘loan’ dengan dasar ada sejumlah uang yang dipinjamkan. Menurut
Muldrew (2001 : 134), utang semacam ini baru muncul di pertengahan Abad XVI.
Umumnya, utang ini muncul atas keperluan konsumsi atau untuk keperluan
sehari-hari yang mendesak, sehingga merupakan suatu kegiatan sosial atau tabarru. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles mengatakan bahwa sudah merupakan
tugas seseorang untuk menebus teman atau keluarga terdekat; karena pada waktu
itu utang yang dikenal di Anthena umumnya adalah untuk konsumsi atau pinjaman
non produktif, termasuk melepaskan seseorang dari perbudakan (Millet, 2002 :
59). Utang yang bersifat non produktif ini biasanya terjadi dalam kaitan
ketidak-beruntungan, atau kejadian yang muncul di luar dugaan seperti kematian
atau membayar uang tebusan, serta dapat terjadi pada semua orang dari semua
golongan sosial. Di samping itu, terdapat utang non produktif tetapi yang
diperlukan dalam kaitan keperluan prestise, seperti untuk pembelian
persenjataan atau barang-barang mewah; tetapi utang macam ini hanya berkaitan
dengan segelintir orang, yang berada pada tingkat sosial yang lebih tinggi.
Walaupun bersifat sosial, utang atau
pinjaman ini harus dibayar kembali, karena merupakan pemindahan hak seseorang
kepada orang yang meminjamnya untuk sementara. Karena bersifat sosial,
pembayaran kembali hak tersebut harus dilakukan tanpa tambahan, keuntungan,
atau riba (Iqbal dan Mirakhor, 2007 : 63;
Nawawi, 2009 : 147). Walaupun utang seperti ini, dengan akad yang bersifat
sosial, Nabi Muhammad Saw sangat menganjurkan agar umatnya tidak mengambil atau
menggunakan utang, kecuali jika terpaksa (Saeed, 2004 : 200).
Kedua: Pembiayaan. Macam utang yang kedua bersumber dari transaksi komersial, atau
berkaitan dengan perdagangan, atau investasi dengan tujuan produktif. Menurut
Muldrew (2001 : 95), umumnya, sebelum Abad XVIII, istilah kredit merupakan
utang yang timbul dan berkaitan dengan transaksi jual beli. Di sini, utang
berarti sebagai ‘debt’, atau
kewajiban membayar tangguh terhadap suatu transaksi komersial atau jual beli
yang telah terjadi. Pembayarannya diperjanjikan untuk dilakukan dalam waktu
yang ditentukan. Oleh karena itu, dalam terminologi bank syariah, ‘pinjaman’
atau penggunaan uang pihak lain yang terjadi dalam kaitan dengan suatu
transaksi komersial disebut sebagai “pembiayaan”.
8. Transaksi Keuangan Hanya dengan Akad-Akad
Yang Disediakan
Secara filosofis, jika seorang calon nasabah
datang kepada bankir konvensional, pertama kali akan menanyakan “ berapa besar
pinjamannya?”, karena prima kausa dari perjanjian kredit adalah uang. Tetapi, jika
datang kepada bankir syariah, maka pertanyaan adalah “apa transaksinya” atau
“untuk pembiayaan apa”? Hal ini disebabkan karena perjanjian atau akad bank
syariah bertitik tolak pada underlying
transaction, yang merupakan prima
kausa akad, dan bukan pada peminjanan uang. Underlying
ini akan terlihat dari akad-akad yang disediakan.
a). Akad-Akad
dan Prima Kausa Akad: Barang, Jasa atau Usaha
Akad-akad pembiayaan utama dikelompokan menjadi
tiga, yaitu: Kelompok Jual Beli, Sewa, dan Kerja Sama atau Bagi Hasil, sebagai
berikut.
Kelompok akad : Jual Beli.
Jenis Transaksi :
Murabaha : Murabaha merupakan kontrak untuk jual beli biasa;
harga jual terdiri dari harga pembelian ditambah dengan suatu marjin dengan
persentase, mark-up, atau cost plus tertentu, sebagai keuntungan
penjual. Harga pokok harus diketahui oleh pembeli. Akad muarabaha tidak dapat diperpanjang, tetapi waktu pembayaran dapat
ditunda sampai waktu yang disepakati, tetapi tanpa tambahan harga; pengaturan ulang
pembelian barang yang telah dijual tidak diperbolehkan (Lobo dan Bonello,
2005).
Dalam hubungan dengan bank, transaksi murabaha harus berkaitan dengan kegiatan
jual beli. Bank dapat membelikan barang
yang diperlukan oleh nasabahnya dengan membayar tunai kepada penjual. Kemudian,
barang yang sama dijual, dengan tambahan marjin sebagai keuntungan bagi bank,
kepada nasabah tersebut dengan cara tanggung atau diangsur. Pembiayaan seperti ini
disebut sebagai bai’ bithaman ajil; tetapi
di sini, pembeli tidak harus mengetahui harga pokok.
Secara teoretis, dari segi pembiayaan,
bank tidak memberikan uang kepada nasabah untuk membeli barang, tetapi bank
membelikannya terlebih dahulu, dan kemudian menyerahkan barang itu kepada
nasabah dengan pembayaran tangguh. Di sini, bank menghadapi risiko kredit, karena
pembeli dengan bayar angsur gagal melakukan pembayaran.
Asalkan bank telah memiliki pembeli untuk barang
yang dibeli, maka bank tidak menghadapi risiko gagal jual. Jika terjadi gagal
bayar, penyelesaiannya cenderung bersifat self
liquidating, karena sumber penyelesaiannya berasal dari transaksi atau
barang itu sendiri; barang yang sama dapat digunakan sebagai jaminan [7]. Menurut Ebrahim dan Joo (2001), dan juga
penulis lainnya seperti Algoud dan Lewis (2001 : 222), barang yang telah dijual
dimiliki oleh pembeli, tetapi karena pembayarannya tangguh atau diangsur,
barang yang sama dapat dijadikan jaminan bagi bank. Jaminan akan dilepas pada
saat pembayaran angsuran terakhir dilakukan.
Keuntungan yang diperoleh dari transaksi
ini bersifat tetap, dan merupakan kompensasi terhadap pelayanan yang diberikan,
dan risiko yang ada selama masa angsuran. Karena harga jual diangsur kepada
bank, maka di sini terdapat unsur pemerataan pendapatan selama masa angsuran, atau
disebut sebagai payment atau income
smoothing (Honohan, 2001).
Namun, banyak pihak berpendapat bahwa
unsur mark up atau marjin tersebut
setara dengan unsur bunga, hanya saja dengan nomenklatur yang berbeda. Jika
ditinjau dari substansi apa yang dibiayai, kiranya pendapat ini tidak tepat.
Akad murabaha bukan akad yang
memberikan pinjaman uang, melainkan akad jual beli barang tangible, dengan pembayarannya ditunda atau diangsur (bai’ bithaman ajil). Jadi, prima kausa akadnya bukan uang seperti halnya dalam
perjanjian kredit bank konvensional,
melainkan barang, yang merupakan hasil dari produksi ekonomi riel.
Menurut Gieraths, seperti yang dikutip
oleh Kamali (2006 : 110), mark up tidak
sama dengan bunga. Mark up berkaitan
dengan jual-beli barang, sedangkan bunga merupakan produk dari transaksi
keuangan. Akkas (2009) memberikan alasan tambahan: Pertama, mark up atau marjin adalah hasil
kesepakatan dari kedua pihak yang bertransaksi, sedangkan bunga cenderung
ditetapkan secara sepihak oleh pemberi pinjaman. Kedua, sebelum dijual oleh
bank ke nasabah, barang yang diperdagangkan sudah menjadi milik bank, atau secara
phisik atau berdasarkan hukum, berada di bawah pengawasan bank. Di sini, bank
tetap menghadapi risiko barang tidak terjual, yang merupakan dasar untuk
memperoleh keuntungan dalam konsep ”al-ghurmu
bil ghunmi”. Ketiga, transaksi pertama antara penjual dengan bank merupakan
transaksi yang terpisah dengan transaksi kedua, yaitu antara bank dengan
pembeli. Masing-masing transaksi berdiri sendiri.
Ditinjau dari harga yang berbeda antara
harga jual atas pembayaran tunai, dengan harga yang lebih tinggi atas
pembayaran tangguh atau diangsur, perbedaan harga ini dinilai bukan bersifat
bunga atau riba, karena beberapa pertimbangan. Pertama, hal tersebut terjadi
atas jual beli suatu barang berdasarkan
kesepatan kedua belah pihak, pembeli dan penjual; pembeli memperoleh barang
yang diperlukan tanpa langsung membayar barang tersebut, sedangkan penjual
melepas barangnya tanpa memperoleh pembayaran seketika, tetapi harus menunggu
beberapa saat kemudian. Harga yang lebih tinggi itu dianggap sebagai kompensasi
terhadap kemungkinan adanya risiko yang harus dihadapi penjual. Kedua, pembeli
menerima barang sebelum membayar merupakan suatu bentuk keuntungan atau profit opportunity; perbedaan harga
tunai dengan harga kredit merupakan faktor peyeimbang bagi penjual untuk
menutupi risiko yang harus ditanggung oleh penjual. Keuntungan ini kemudian
diangsur sejalan dengan angsuran dari harga pokok barang yang dibeli; dan
menurut Kahf dan Khan (1409H), berasal dari kegiatan pasar komersiel, dan bukan
dari tindakan kemanusiaan seperti halnya bunga pada peminjaman uang. Di samping
itu, dengan berjalannya waktu, jumlah yang harus dibayar secara angsur itu
tidak bertambah, sebagaimana yang terjadi jika jumlah awal tersebut mengandung
bunga.
Salam dan Istishna: Keduanya merupakan akad jual beli dengan pembayaran
penuh, atau sebagian dilakukan di muka, untuk barang hasil produksi sesuai
pesanan, asalkan kuantitas dan kualitas dapat ditentukan dengan tepat; dan barang disediakan dan diserahkan pada waktu
yang ditentukan.
Dalam transaksi salam, pembayaran dilakukan secara penuh di muka. Nabi Muhammad Saw
menetapkan syarat bahwa ukuran, berat, dan tanggal penyerahan harus jelas
(Ibn-ul human, Fath-ul-Qadir v5, p 211, dikuti oleh Usmani, 2005 : 189). Pada masa
Nabi Saw, pembiayaan salam digunakan
untuk barang-barang hasil pertanian, agar petani atau pedagang kecil dapat
memperoleh pembiayaan modal kerja. Petani sebagai penjual dapat memperoleh
modal kerja, yang diperlukan untuk menanam (Rosly, 2005 : 98-99; Usmani, 2005 :
186). Untuk tujuan ini, kolateral tidak dapat dipersyaratkan.
Dari segi jangka waktu, para ahli fiqih
berdebat mengenai jangka waktu minimum pembiayaan salam (Ascarya, 2007 : 93-94). Di antaranya mengatakan, jika
kurang dari sebulan sampai waktu penyerahan barang, maka salam tidak syah. Namun, karena Nabi Muhammad Saw tidak menentukannya,
kesimpulan yang diambil adalah berdasarkan asas manfaat bagi penjual, sesuai
dengan misi dan pembiayaan salam.
Keperluan menciptakan manfaat berbeda dari tempat ke tempat dalam waktu yang
berbeda. Tambahan pula, karena misi dari pembiayaan ini adalah untuk membantu
pihak penjual dalam menyiapkan barang dagangannya, maka salam tidak dapat digunakan untuk barang-barang yang dapat disediakan
langsung. Menurut ketentuan syariah, pertukaran barang-barang yang tersedia
langsung harus dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan (Ascarya, 2007 : 93).
Sebagai kompensasi terhadap pembayaran penuh di muka, pemesan atau pembeli
dapat memperoleh harga yang lebih baik. Salam
dapat digunakan tidak saja untuk produk pertanian, tetapi juga untuk
barang-barang industri (Gait dan Worhtington, 2007).
Pembiayaan istishna, serupa dengan pembiayaan salam, tetapi digunakan untuk barang-barang non pertanian atau
barang-barang hasil proses pembuatan, manufaktur, atau konstruksi, atas pesanan. Pembayaran
tidak harus dilakukan di muka, tetapi dapat dilakukan dengan angsuran, atau
sesuai dengan progres dari pesanan atau pekerjaan, atau bahkan dapat ditunda
(Zarqa, 1997 : 68) berdasarkan kesepakatan para pihak. Jika penjual gagal untuk
menyerahkan atau mengirimkan barang yang dipesan dalam waktu yang disepakati,
harga dapat dikurangi sejumlah tertentu per hari berdasarkan kesepakatan (Lobo
dan Bonello, 2005). Jika barang yang dikirim tidak sesuai dengan pesanan, maka
pemesan dapat membatalkan akad (Iqbal dan Mirakhor, 2007 : 86) .
Bank
dapat melakukan kedua pembiayaan salam
atau istishna untuk melakukan pesanan
barang, dan kemudian menjual barang tersebut dengan akad murabaha ke pada yang membutuhkan; atau melakukan akad salam kedua dengan calon pembeli.
Kelompok Akad: Sewa
Jenis Transaksi.
Ijara: Bagi bank,
transaksinya mencakup pembelian barang atas pesanan nasabah, kemudian
menyewakannya atas asas manfaat kepada nasabah tersebut, untuk jumlah dan
jangka waktu tertentu. Sejalan dengan prinsip syariah, aset yang dapat
disewakan adalah yang dapat menghasilkan utilitas atau produktivitas (Masood
Khan, 2006 : 8). Kepemilikan dari barang, yang sekaligus merupakan jaminan bagi
bank, tetap berada pada bank, demikian pula tanggung jawab kepemilikannya;
dengan alasan bahwa manfaat kepemilikan tetap berada pada pemilik. Tanggung
jawab kepemilikan meliputi biaya asuransi, pajak, pemeliharaan, dan biaya-biaya
lain, dan tidak dapat dipindahkan ke pada penyewa. Pada leasing konvensional, tanggung jawab pemeliharaan berada pada pihak
penyewa atau lessee, dan biaya-biaya
lainnya sering dipindahkan pada penyewa secara langsung atau tidak langsung.
Ijarah Muntahiya bi Tamblik (IMBT), atau nama lain Ijara Wa Iqtina [8]. Dengan akad ijara, pemilik barang menanda tangani
perjanjian terpisah yang menyatakan bahwa, di akhir masa sewa, penyewa dapat
membeli barang yang disewa dengan harga ditentukan lebih dahulu, atau pemilik
barang dapat menghibahkan barang tersebut ketika penyewa telah melunasi seluruh
biaya sewa. Janji ini bersifat unilateral, dan tidak bilateral, dan hanya
mengikat pemilik barang; karena jika mengikat kedua belah pihak secara efektif akad itu menjadi
akad jual beli untuk sesuatu di masa depan (Usmani, 2002 : 161).
Asas yang mendasari konsep kerja sama ini adalah Sabda
Nabi Saw melalui sebuah Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah,
yang berbunyi,”Aku adalah pihak ketiga
dari dua orang yang bersyarikat, selama salah satunya tidak mengkhianati yang
lain” (Rivai dan Andria, 2008 : 46). Sabda ini menunjukkan karakteristik
ekonomi Islam bahwa nilai moral harus dimanifestasikan ke dalam kegiatan
ekonomi, dan gabungan antara uang sebagai potensi modal dan modal sebagai
properti produktif, merupakan alat sosial untuk mencapai tujua-tujuan sosial
(Al-Harran, 1995 : viii).
Akad PLS ini serupa dengan pembiayaan ekuitas, dan
bertujuan untuk memperoleh keuntungan atas risiko atau tanggung jawab yang
terkait dengan perolehan keuntungan itu. Seperti yang tersirat dalam Al-Qur’an
(QS, 5 : 2), Islam mendorong konsep kerja sama atas kepercayaan atau amanah,
dengan membagi risiko risk sharing
bagi pihak yang berpartisipasi dalam suatu bentuk usaha.
Jenis Transaksi:
Mudharabah: Mudharabah, atau kemitraan
pasif, adalah kontrak untuk pembiayaan dengan struktur persekutuan atau kongsi.
Pemilik modal, atau shahibul mal sebagai
mitra pasif, menanamkan modalnya pada suatu atau beberapa bentuk usaha yang
ditentukan (muqayyadah atau restricted) atau tidak ditentukan (mutlaqah atau unrestricted), dengan pihak lain yang merupakan pengusaha sebagai
pengelola modal, atau disebut sebagai mudharib.
Terhadap harta shahibul mal, mudharib bertindak sebagai wakil atas
dasar trust atau kepercayaan;
sedangkan menghasilkan keuntungan, mudharib berfungsi sebagai mitra (Algoud
dan Lewis, 2001 : 67). Pengertian ini menunjukkan bahwa status dana untuk
dijadikan modal dari shahibul mal dipersamakan
dengan modal yang ada pada manusia atau human
capital, yang berupa keahlian berbinis dari mudharib. Keahlian berbinis ini meliputi pengetahuan, pengalaman,
ide yang kreatif, yang semuanya tercatat dalam suatu jejak rekam yang berkaitan
pada suatu jenis bisnis atau usaha. Modal harus disetor tunai atau tidak boleh
diutang oleh shahibul mal, sedangkan mudharib memberikan kontribusinya dalam
bentuk usaha dan keahlian berbinisnya. Mudharib
memiliki kebebasan mutlak dalam mengelola usaha yang dibiayai (Errico dan
Farahbaksh, 1998).
Keuntungan dibagi atas nisbi yang disepakati
oleh para pihak. Shahibul mal memperoleh keuntungan atas risiko bisnis ke dalam
mana dananya di tanam. Mudharib menyediakan
waktu dan menggunakan keahlian bisnisnya. Selama menjalankan usaha, mudharib tidak dapat memperoleh apa-apa.
Karena itu, mudharib harus memiliki
kemampuan keuangan untuk membiayai kehidupan diri dan keluarganya, karena tidak
memperoleh gaji. Pada saat
yang sama, pelaksanaan usaha menuntut pemenuhan komitmen profesionalitasnya
secara penuh. Kerugian, di lain pihak, yang merupakan akibat dari risiko bisnis
normal ditanggung oleh shahibul mal
sebatas modal yang ditanamkannya; dan bagi mudharib,
kehilangan tenaga dan waktu yang telah dicurahkannya. Kerugian karena kelalaian
atau kesalahan pihak mudharib ditanggung
oleh yang bersangkutan. Untuk itu, shahibul
mal dapat meminta suatu bentuk jaminan dari mudharib (Saeed, 2004b : 103).
Akad mudharabah
dapat dibuat untuk jangka waktu tertentu, dan dapat diakhiri setiap saat oleh
salah satu pihak dengan memberitahukan terlebih dahulu. Dengan akad mudharabah, bank bertindak sebagai mudharib dalam menjalankan usaha (bank),
ketika menerima dana dari masyarakat, dan nasabahnya ini bertindak sebagai shahibul mal. Pada bank konvensional, dana
masyarakat ditempatkan sebagai dana giro, tabungan dan deposito. Sebaliknya, bank
dapat pula bertindak sebagai shahibul mal,
dengan menyediakan modal bagi suatu usaha, bagi nasabah sebagai mudharib.
Substansi penting dari pembiayaan mudharabah adalah misi yang menyatukan
pihak yang memiliki modal tetapi tidak memiliki keahlian usaha atau prospek
usaha, dengan pihak yang memiliki keahlian usaha atau prospek usaha, tetapi
tidak memiliki modal. Keahlian
dan prospek usaha merupakan prima kausa dari akad ini. Penyatuan kedua unsur
usaha ini, modal dan keahlian termasuk tenaga kerja ke dalam kegiatan di sektor
ekonomi riel yang berhasil, memberikan kontribusi terhadap perkembangan ekonomi,
pembukaan lapangan kerja baru[10] (Alam, 2009); termasuk pengembangan
kewiraswastaan masyarakat. Namun, keuntungan bagi shahibul mal sangat tergantung pada keberhasilan usaha mudharib, dan dapat dipengaruhi oleh
karakter dan keahliannya.
Dari segi penggunaan dana, akad mudharabah secara implisit memberikan
peluang bagi mudharib untuk
sepenuhnya penggunaan dana modal yang diberikan. Shahibul mal tidak dapat ikut mengelola usaha, kecuali menerima
laporan hasil usaha. Penggunaan dana modal dari shahibul mal lebih terkontrol, pada akad mudharabah muqayadah; dan
apabila sejak awal sebagian modal langsung dibelikan barang dagangan atau mesin
yang digunakan untuk berproduksi. Ketika siklus bisnis berulang-ulang, maka
sulit bagi shahibul mal untuk
langsung mengontrol arus kas usaha usaha. Karena alasan ini, beberapa literatur
menyebutkan jenis pembiayaan ini sebagai ’pembiayaan atas kepercayaan’ atau trust financing.
Musharakah: Musharakah adalah pembiayaan ekuitas melalui kerja sama atu joint venture menyerupai venture capital pada pembiayaan
konvensional; dan dilakukan untuk
jangka waktu tertentu, dan dapat diperpanjang jika dikendaki oleh para pihak.
Perbedaan dengan akad mudharabah
adalah pada akad musharakah, setiap
pihak yang terdiri dari dua atau lebih pengusaha masing-masing memberikan
kontribusi, dalam modal, aspek manajemen, dan pengawasan, baik dalam porsi yang
berbeda maupun sama, atas kesepakatan awal. Para mitra memiliki hak suara
secara proporsional berdasarkan modal masing-masing, dan setiap wakil dapat
duduk dalam pengelolaan usaha. Setiap mitra berkerja sama atas ”kepercayaan”,
dan tidak dapat meminta jaminan dari mitra lainnya (Saeed, 2004b : 110). Pengambilan
keputusan usaha dilakukan bersama, atas dasar kontribusi modal masing-masing. Keuntungan
dibagi berdasarkan kesepakatan, tetapi kerugian selalu dibagi berdasarkan dan
terbatas pada partisipasi modal masing-masing (Usmani, 2005 : 38; Iqbal dan
Mirakhor, 2007 : 93). Menurut Gait dan Worthington (2007), akad musharaka sangat cocok untuk pembiayaan
proyek atau project financing.
Musharakah Mutanaqisah: Akad ini merupakan
pembiayaan untuk perumahan melalui kerjasama pembiayaan berdasarkan musharakah, antara bank sebagai financier dengan nasabah pembeli rumah.
Masing-masing pihak memasukan modalnya, misalkan bank 80% dan calon nasabah
20%, ke dalam pembelian rumah yang diinginkan nasabah. Berdasarkan modal ini,
bank dan nasabah memiliki rumah secara bersama, dengan porsi masing-masing. Sebagai
fitur yang penting dari akad ini, porsi kepemilikan bank berangsur-angsur
berkurang sejalan dengan pembayaran angsuran yang dilakukan oleh nasabah. Angsuran
ini terdiri dari porsi yang digunakan untuk membeli bagian kepemilikan bank,
dan porsi yang digunakan sebagai biaya sewa kepada bank. Porsi ekuitas nasabah
terus bertambah, dan ekuitas bank berkurang, yang pada akhirnya nasabah akan
memiliki rumah tersebut sepenuhnya.
Perbedaan antara akad ini dengan
pembiayaan perumahan konvensional adalah sebagai berikut: Pertama, prima kausa
dari akad ini adalah rumah yang dibiayai yang merupakan produk sektor riel; yang
pada pembiayaan konvensional berupa uang atau kredit sebagai unsur utama sektor
keuangan konvensional. Kedua, rumah yang dibeli merupakan jaminan atas kredit
yang diberikan untuk membeli rumah tersebut, dengan pengikatan hak tanggungan atau
mortgage; sedangkan pada yang
pertama, rumah itu merupakan milik bersama antara bank dan nasabah, dan bukan sebagai
jaminan an sich atau terlepas dari
kepemilikan bersama. Ketiga, pada bank konvensional, kepemilikan rumah dibentuk
dari perolehan kredit bank sebagai utang atau loan; sedangkan pada bank syariah, kepemilikan rumah dibangun dari
dana ekuitas secara bersama oleh bank dan nasabah; sehingga di sini terlihat
bahwa konsep pembiayaan bank syariah bersifat equity based.
b). Pembiayaan
Melekat Pada Sektor Ekonomi Riel.
Seluruh akad di atas seperti muarabaha, salam, istisna, dan ijara, menjadikan suatu jenis barang
yang telah ada atau yang akan diproduksi sebagai prima kausa akad, dengan dasar
transaksi jual beli atau sewa. Akad Mudharabah
dan musharakah terjadi karena adanya
usaha tertentu di dalam sektor riel sebagai titik tolak terjadinya akad, dengan
dasar transaksi pembiayaan bersama. Pada dasarnya, akad-akad ini bukan seperti
perjanjian kredit pada bank konvensional, dan di dalamnya, uang merupakan inti
dari perjanjian. Jual beli, sewa, atau pembiayaan bersama merupakan underlying transaction bagi pembiayaan
Islam.
Oleh karena
itu, jika ditinjau dari kedua hal tersebut, yaitu obyek dari suatu akad dan
bagaimana dana digunakan untuk masing-masing akad, dapat dikatakan bahwa akad-
akad bank syariah melekat erat pada sektor ekonomi riel. Kedekatan ini membuat
sistem keuangan Islam lebih stabil, karena sektor keuangan dan sektor riel
menyatu, dan tidak menimbulkan dikotomi dari keduanya.
c). Uang Mengikuti Alur Barang dan Jasa.
Dalam
Islam, utang atau piutang tidak dapat
diperdagangkan seperti halnya pada perbankan konvensional [11],
baik secara langsung melalui sekuritisasi. Salah satu alasannya adalah, dalam
perbankan syariah, uang mengikuti alur barang atau jasa. Jika ditinjau dari
transaksi yang terkait dengan penjualan utang atau piutang itu, maka terdapat
dua macam transaksi yang perlu diuraikan. Pada transaksi pertama, umumnya,
merupakan transaksi jual beli suatu barang dengan pembayaran tangguh atau
dengan kredit, sehingga menciptakan utang dan piutang bagi masing-masing pihak dalam
transaksi. Kemudian, pada transaksi kedua, yaitu ketika piutang itu dijual,
maka di sini tidak ada lagi alur barang yang mengimbanginya.
Dengan menggunakan pendekatan lain, penjualan
utang ini dapat dijelaskan sebagai suatu penukaran uang dengan jumlah uang yang
berbeda di masa depan, sehingga tidak membawa manfaat yang berkaitan langsung
dengan produktivitas (Siddiqi, 2006). Dengan demikian, transaksi kedua tersebut
bukan lagi transaksi yang berkaitan dengan barang, atau melekat pada sektor
riel, tetapi merupakan transaksi sektor keuangan yang bergerak menjauhi sektor
riel. Menurut para ahli, hal inilah yang menyebabkan dikotomi antara sektor
riel dengan sektor keuangan, dan sekaligus menimbulkan ketidakstabilan paling
tidak pada sektor keuangan itu sendiri (Al-Jarhi, 2008 : 10).
d). Penggunaan
Dana Lebih Terkontrol.
Pada umumnya, penggunaan uang atau fund disbursement lebih jelas dapat
dilihat atau dikontrol, karena mengikuti alur barang atau usaha. Kemungkinan
penyimpangan dalam penggunaan dana, atau kemungkinan wanprestasi akibat dari
penyimpangan penggunaan dana dari yang telah disepakati, dapat diperkecil.
Tambahan pula, praktik penggunaan dana untuk tujuan spekulasi tidak
dimungkinkan, karena pembiayaan yang mengandung unsur gharar atau maysir memang
dilarang dalam ekonomi Islam atau perbankan Syariah.
Pada akad murabahah
dan ijarah, dana digunakan langsung
untuk membeli barang yang diperlukan nasabah. Pada akad salam atau istishna, dana
diberikan pada nasabah untuk menanam barang pertanian atau memproduksi barang
tertentu dalam sektor riel. Pengawasan penggunanan dana lebih terkontrol pada istishna, karena pembayaran dapat tidak
dilakukan sekaligus tetapi bertahap berdasarkan progres. Pada akad salam, di lain pihak, pembayaran untuk pembelian
barang harus dilakukan sekaligus di muka, dalam rangka meringankan beban petani
untuk menanam komoditas pertanian yang diperlukan, sekaligus untuk keperluan
hidupnya selama musim tanam hingga panen. Ditinjau dari sifat nasabah seperti
ini, kemungkinan terjadinya penyimpangan penggunaan dana secara intuitif
dirasakan tidak besar. Umumnya, para petani hanya memiliki pengetahuan dan
keahlian sebagai petani, dan mereka
sebagai petani sangat berkepentingan dengan usaha tanam dan memperoleh
panen berlanjut dari waktu ke waktu.
Namun, hal ini tidak dapat dilakukan pada akad mudharabah berdasarkan beberapa dasar
pemikiran tertentu. Pertama, sebagian besar para ahli mengatakan bahwa modal
yang dimaksudkan dalam akad mudharabah
haruslah berbentuk modal uang, karena jika tidak, nilai modal awal hanya dapat
diperkirakan, atau dapat bersifat gharar;
dan hal ini akan menyulitkan pembagian keuntungan, sehingga dapat menimbulkan
perselisihan di kemudian hari (Al- Zuhayli’s, 2003 : 493-494). Kedua, uang
dapat digunakan untuk berbagai tujuan dalam rangka membentuk dan menjalankan
usaha sesuai dengan keahlian dan kemampuan mudharib;
sedangkan jika berbentuk barang, maka akan membatasi ruang gerak atau
fleksibilitas mudharib dalam berusaha
(Al-Zuhayli’s, 2003 : 495).
Pada akad musharakah,
setiap mitra dapat melakukan pengontrolan pengelolaan dana secara langsung.
Seluruh mitra menjadi pengelola dari suatu usaha, dan tidak ada dari mereka
yang hanya menjadi penonton seperti halnya pihak kreditor dalam perjanjian
kredit bank konvensional. Dengan ikutnya pemodal atau bank sebagai mitra
pengelolaan usaha, kemungkinan terjadinya moral
hazard dan adverse selection
dalam pemilihan usaha dan pengelolaan dana dapat dihindarkan (Al-Jarhi, 2008 : 11). Setiap partner cenderung memperoleh
informasi dengan kualitas yang cenderung sama. Ini artinya asymmetric information juga dapat diperkecil.
e). Menggunakan Dana Quasi Equity Untuk Investasi: Bukan Utang.
Secara umum, Nabi Saw menganjurkan agar
manusia tidak menggunakan utang, jika tidak terpaksa. Beliau pernah berdoa: “Ya, Allah, jauhkanlah saya dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan
kemalasan, kebodohan dan kebathilan, keberatan utang, serta tekanan dan paksaan
orang” (HR Muttafaqun Alaihi dari Anas; Sihab, Quraish, 2013 : 237). Dari doa ini terlihat bahwa keberatan
utang disetarakan dengan kesedihan dan kelemahan, yang dapat menimbulkan
tekanan atau paksaan agar utang dibayar. Sabda Nabi Saw yang lain menyebutkan
bahwa “Jika orang berutang, ia tidak
segan-segan berbohong, dan mengingkari janji” (HR muslim dan Abdullah bin
Umar). Jika orang memiliki utang yang besar, ada kecendrungan jika berbicara
dia akan berdusta, dan jika berjanji dia tidak menepati [12] (Taufik, 2004 : 145). Karena
memiliki utang, orang cenderung meninggalkan sifat-sifat yang baik pada
dirinya.
Ditinjau dari substansi akad-akad, dapat
dilihat bahwa pembiayaan syariah tidak menggunakan utang uang secara an sich. Pada akad murabaha, salam, ishtisna, dan ijara,
kewajiban membayar atau ‘debt’ adalah
berkaitan dengan jual-beli dengan pembayaran tangguh, pemesanan, dan penyewaan
barang. Dalam hal ini, pembiayaan Islam disebut sebagai asset based. Dana dalam akad mudharabah
dan musyarakah merupakan dana
investasi, yang bersifat sebagai quasi
equity, atau menyerupai dana ekuitas, bukan bersifat sebagai utang,
sehingga juga disebut sebagai equity
based. Oleh karena itu, pembiayaan Islam tidak mengenal konsep leverage, yang diartikan sebagai
penggunaan utang uang sebagai pengungkit perolehan pendapatan dan keuntungan.
Di belakang penggunaan leverage ini, terdapat risiko yang besar
dan serius, jika terjadi sesuatu yang salah (Moriss, 2008 : 50). Pengambilan utang
yang berlebihan atau over leverage
merupakan salah satu sebab, yang menimbulkan ketidakstabilan dan menambah besarnya
risiko sistemik (Askari, Iqbal, Krichene, dan Mirakhor, 2010 : 23, 154). Rasio leverage yang tinggi dapat menunjukkan
tingkat agresivitas seseorang terhadap risiko, dan bahkan dapat pula dikaitkan
dengan unsur moralitas [13]. Pengambilan pinjaman atau utang menambah
risiko usaha bagi debitor, dan risiko kredit bagi kreditor [14]. Menurut Chorafas (2000), orang yang
menggunakan pinjaman atau utang yang berlebihan atau over leverage [15] menunjukan bahwa orang tersebut melakukan
praktik etika yang meragukan. Konsep over
leverage, penggunaan utang uang yang berlebihan, bertentangan dengan karakteristik
pembiayaan Islam.
Dalam perhitungan Debt Equity Ratio atau DER,
dari neraca nasabah atau debitor, kewajiban membayar yang berkaitan dengan murabahah adalah setara dengan utang
dagang atau account payables, yang
merupakan pembiayaan yang diperoleh dari kegiatan dalam perdagangan; bukan
merupakan ‘pinjaman uang’ dari bank, walaupun pembiayaannya berasal dari bank.
Untuk akad salam atau ishtisna, pembayaran di muka dicatat di
bagian aktiva neraca, yang merupakan aset dari nasabah. Karena bersifat sebagai
quasi equity, dana yang diperoleh
dari akad mudharabah dan musharakah tidak dapat dikategorikan
sebagai liabilitas atau kewajiban. Jumlah ini lebih condong dimasukan sebagai
bagian mendekati ekuitas. Dalam keadaan yang paling buruk, kewajiban ini
dibayar setelah seluruh kewajiban lain dilunasi, atau bersifat ‘residual’.
Oleh karena itu, cara perhitungan DER harus disesuaikan, demikian pula cara
membacanya.
9. Bersifat
Berbagi Risiko/Risk Sharing, Bukan Risk Transfer
Dalam menjaga
keharmonisan, tolong menolong dalam menghadapi risiko atau berbagi risiko merupakan
tema yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Hak dan tanggung jawab dari
setiap pihak dalam akad telah ditentukan sejak semula. Namun, kerja sama sangat
diperlukan untuk mencapai kepentingan bersama, dan menyelesaikan berbagai
permasalahan. Mencapai keberhasilan bersama merupakan kewajiban setiap muslim,
karena bersifat fardhu kifayah (Amrin,
2011 : 74). Nabi Saw bersabda, ”Siapa
yang memenuhi hajat saudaranya, maka Allah akan memenuhi hajatnya” (Hr.
Bukhari, Muslim dan Abu Daud).
Konsep berbagi risiko
dapat dilihat dalam akad PLS, atas dasar kepentingan bersama dalam mencapai
keuntungan. Pada akad mudharabah,
risiko bisnis ditanggung oleh pemilik modal atau shahibul mal, dengan konsekuensi modalnya dapat terkikis karena kerugian
yang mungkin timbul. Dalam keadaan rugi, mudharib
kehilangan kesempatan untuk berbagi hasil, karena memang sejak awal mudharib tidak memiliki modal, kecuali
waktu, tenaga dan keahliannya. Ini merupakan kerugian baginya, karena telah
memberikan kontribusi berupa waktu, tenaga, dan keahlian.
Pada akad musharakah, karena masing-masing mitra
memiliki dan berkontribusi modal usaha, maka setiap mitra menanggung kerugian, atas
dasar berbagi keuntungan secara bersama. Seperti yang tersirat dalam Al-Qur’an
(QS, 5 : 2), Islam mendorong dan mempromosikan konsep kerja sama berdasarkan
kepercayaan atau amanah dengan membagi risiko yang dihadapi, atau risk sharing bagi pihak yang
berpartisipasi dalam suatu bentuk usaha. Dalam pembiayaan konvensional, risiko
usaha dipindahkan ke pihak lain, atau merupakan risk transfer. Dalam kaitan dengan riba, debitor menanggung risiko
usaha dengan dibebankan bunga yang ditetapkan di awal perjanjian. Terlepas
bagaimana perjalanan usaha yang dibiayai, kreditor menerima bunga yang
pembayarannya bersifat pasti.
Di samping itu, jual beli
utang-piutang, seperti menjual surat utang atau sekuritas, atau menjual piutang
atau factoring, merupakan kegiatan
yang umum dan wajar dalam pembiayaan konvensional. Al-Haddad dan Timol (2008)
berpendapat, bahwa secara teoretis, perdagangan utang itu merupakan tindakan
penyebaran risiko di antara sejumlah bank yang berbeda, sehingga mengurangi risiko
bagi setiap bank yang terkait. Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Nagaoka
(2009), penyebaran risiko yang dimaksud oleh Al-Haddad dan Timol itu lebih
cenderung berarti risk scattering,
bukan risk sharing. Seperti yang
dikatakan oleh Otaki (2008 : 109), Nagaoka berpendapat bahwa suatu transaksi
sekuritas bersifat sebagai penyebaran risiko atau risk scattering, apabila pemindahan risiko atau risk transfer, dari bank kepada para investor atau para individu, lebih banyak berpotensi untuk menimbulkan
akibat yang merugikan pada tingkat ekonomi makro, bagi seluruh pihak yang
terkait.
Akibat negatif itu timbul
karena pemindahan risiko tersebut, yaitu berasal dari pihak yang memiliki cukup
pengetahuan dalam mengelola risiko kepada pihak yang tidak memiliki pengetahuan
tentang risiko yang dihadapi; sehingga, transaksi keuangan itu menimbulkan
masalah information asymmetric yang
lebih besar. Pihak yang memiliki piutang, atau yang memberikan utang pertama
kali atau kreditor awal, lebih mengetahui sifat dan kualitas debitornya. Pihak
yang membeli piutang itu tidak memiliki pengetahuan sebaik kreditor pertama
mengenai sifat dan kualitas debitor itu. Di sini Nagaoka menekankan, bahwa
penjualan Collateralized Debt Obligation
atau CDO dari subprime mortgage, misalnya, adalah merupakan risk scattering, bukan risk
sharing. Namun, masalah information asymmetric
tersebut dijembatani oleh rating yang
dikeluarkan oleh para rating agencies.
Para investor atau para individu pembeli CDO, yang merupakan paket atau pool yang terdiri dari prime dan subprime mortgage (al-Haddad dan Timol, 2008), mengambil keputusan untuk membeli sekuritas itu semata-mata
berdasarkan rating tersebut.
Ternyata, kemudian diketahui bahwa rating
tersebut mengandung masalah karena adanya unsur rekayasa.
10. Wajib Bersifat Amanah dan Menepati Janji
Islam berusaha untuk membangun masyarakat
berdasarkan kejujuran dan keadilan (QS, 2 : 239), yang merupakan dasar pokok dalam
bermuamalah. Al Qur’an memerintahkan
manusia untuk bersifat amanah, ”Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil (QS, 4 : 58). Amanat yang dimaksud
adalah taklif, tanggung jawab dan hukum. Artinya, kehidupan manusia harus
dibangun atas dasar tugas dan tanggung jawabnya. Hukum dapat diberlakukan hanya
kepada manusia dan dalam kehidupannya (Muthahhari, 2011: 17).
Amanat adalah mengembalikan setiap hak
kepada pemiliknya, tidak
mengambil hak orang lain, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya,
dan tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga atau upah (QS, 4 : 29). Dalam berdagang dikenal istilah ’menjual
dengan amanat’ seperti dalam murabahah.
Maksudnya, penjual menjelaskan ciri-ciri, kualitas, dan harga barang dagangan
kepada pembeli yang berhak menerimanya. Dalam berserikat dengan akad mudharabah dan musharakah lebih penting lagi. Pihak yang dipercaya dan memegang
janji demi kemaslahatan bersama. Jika salah satu pihak menjalankannya hanya demi
kemaslahatan pihaknya saja, maka ia telah berkianat (Qardhawi, 1997 : 177).
Menurut Orgianus (2012 : 92), amanah
menyangkut segala hak, yaitu hak milik Allah atau hak perseorangan, yang harus
dipertanggungjawabkan dan diemban oleh seseorang. Hak perseroangan dapat berupa
pekerjaan, perkataan ataupun kepercayaan orang lain kepada si pengemban amanah
tersebut. Untuk dapat memenuhi amanah yang diemban, pemegang amanah harus
memiliki kemampuan, atau keahlian, untuk menjalankan atau memenuhi amanah itu.
Pemegang amanah haruslah yang benar-benar dapat dipercaya, dengan keimanan yang
kuat, dan bersedia meninggalkan keraguan, agar tetap memegang kesucian agamanya
(Orgianus, 2012 : 93-95).
Amanah juga berarti kepercayaan atau trust. Beberapa ahli atau para filsuf memberikan
definisi atau pengertian dari kepercayaan secara umum, dan terlepas dari
masalah janji. Dalam arti yang sederhana, trust
identik dengan kepercayaan atau confidence.
Menurut Shaw (1997 : 21), trust
dalam bahasa Jerman, trost, berarti
’nyaman’, dan merupakan penilaian awal terhadap kemampuan karakter seseorang
atau suatu institusi atau organisasi, tidak selalu dibentuk dari pengalaman;
tetapi sebagian dibentuk atas kepercayaan atau faith. Shaw menyimpulkan, bahwa trust
adalah bahwa seseorang atau suatu institusi selalu menunjukkan hasil, bertindak
dengan integritas, serta menunjukkan perhatian terhadap orang lain.
Menurut Bloomgarden (2007 : 13), terdapat
empat unsur yang dapat membentuk trust,
yaitu memberikan hasil yang nyata, bertindak dalam norma-norma etika,
mendengarkan apa yang harus disampaikan oleh orang lain, dan bersikap terbuka
atau transparan dalam apa yang dilakukan. Menurut Shaw (1997 : 21), trust adalah suatu kepercayaan yang
diberikan pada seseorang atau suatu institusi yang dapat memenuhi harapan orang
atau pihak yang memberikan kepercayaan. Menurut Muldrew (1998, 148), trust merupakan ikatan sosial yang
penting, yang berarti suatu reputasi yang baik dan menggambarkan kejujuran dan
realibilitas dalam kaitan dengan kewajiban.
Menurut O’ Hara (2004 : 71), trust dibentuk dan didukung oleh
reputasi; dalam hal ini reputasi yang baik, karena reputasi juga dapat bersifat
negatif. O’Hara lebih lanjut berpendapat, bahwa reputasi adalah mengandung
informasi yang dapat menjawab pertanyaan mengenai dasar reaksi dari aksi yang
akan dilakukan, ketika berhadapan atau berhubungan dengan seseorang atau
institusi. Reputasi merupakan jaminan, substansi dan fondasi dari kepercayaan,
dan sekaligus merupakan prediktor terhadap apa yang akan terjadi. Reputasi
adalah bahan dasar atas pembentukan trust.
Fukuyama (1995 : 26) berpendapat, bahwa trust merupakan suatu harapan yang
muncul dalam masyarakat dari tingkah laku yang biasa jujur, dan dapat bekerja
sama berdasarkan norma yang biasa dianut oleh sebagian dari masyarakat. Norma
yang dimaksud dapat berasal dari nilai agama atau ketuhanan yang dalam, tapi
juga dapat berasal dari standar tingkah laku tertentu yang berlaku untuk
kelompok tertentu. Bagi Fukuyama (Baum, 2004 : 231), trust akan membangun kerjasama yang saling mempercayai dalam
koridor etika yang umum, sehingga membentuk modal sosial di dalam masyarakat.
Modal sosial ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi industrial dan inovasi pada
tingkat organisasi yang lebih baik, dan sekaligus membentuk banyak hubungan
sosial dan menurunkan biaya dalam bertransaksi.
Menurut Immanuel Kant (1724-1804), trust merupakan ikatan sosial, dan menekankan
bahwa manusia adalah makhluk yang sangat bermoral, yang memiliki pandangan yang
kuat terhadap ide adanya tugas yang menyangga pengertian mengenai trust (O’Hara, 2004 : 48). Bagi Kant,
manusia mampu untuk diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan moral, dan ketentuan
itu harus bersifat universal, yang artinya bahwa ketentuan itu harus berlaku
pada setiap orang secara merata, sehingga wajar dan tepat secara moral.
Seperti halnya dalam perjanjian
konvensional, apa yang telah diperjanjikan atau disepakati harus ditepati atau
dipenuhi (QS, 2 : 283). Allah memerintahkan manusia untuk menepati janjinya,
karena ”Barang siapa yang melanggar
janji, niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan
barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala
yang besar”. (QS, 48 : 10). Surat lain menyebutkan, ”Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu........” (QS,
5 : 1). Tuhan telah pula menetapkan bahwa ”... Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabnya” (QS, 17
: 34). Berdasarkan Surat Al Baqarah (QS, 2: 177), Qodri Azizi berpendapat bahwa
taqwa juga diartikan sebagai tindakan menepati janji, dan disetarakan dengan
beriman kepada Allah sebagai suatu kebajikan, seperti melakukan shalat,
menunaikan zakat, dan seterusnya (Azizi, 2004 : 97).
Al Qur’an menetapkan bahwa orang-orang
yang memelihara amanat-amanat dan janji-janjinya adalah yang mewarisi surga
Firdaus, dan kekal di dalamnya serta dimuliakan (QS, 23 : 8-11; QS, 70 :
32-35). Salah satu Hadith Nabi Saw menyebutkan bahwa janji adalah utang, al-wa’du daynun (Azizy, 2004 : 102), dan
memiliki konsekwensi duniawi dan akhirati (QS, 17 : 34; QS 65 : 8, 9, 10). Nabi Saw menyatakan bahwa utang harus
dibayar; dan bahkan harus dilunasi sebelum seseorang meninggal dunia, karena
utang memiliki konsekuensi yang sangat berat, jika tidak dibayar (Akram Khan, tidak bertanggal : 162-163). Nabi
Saw enggan untuk menyembayangi seseorang ketika meninggal membawa utang yang
belum dibayar (Akram Khan,
tidak bertanggal : 162-163).
Sabda Nabi Saw menyebutkan, bahwa “Bagi
para syuhada akan dihapuskan segala dosa mereka kecuali utang- piutang yang
belum mereka bayar” (HR muslim
dan Abdullah bin Umar). Sifat sakral atas pembayaran utang sebelum seseorang
meninggal juga dijumpai pada kasus Socrates. Dia meminta seorang temannya,
Crito, untuk membayarkan utang yang dimilikinya dalam bentuk ayam jantan, sebelum
meminum racun hemlock atas perintah
penguasa sebagai hukuman baginya. Di sisi lain, Al Qur’an memerintahkan agar
yang berpiutang memberikan kelonggaran, ketika yang berutang belum mampu
membayarnya. Nabi Saw bersabda, di lain pihak, ”Pengangguhan pembayaran utang bagi yang mampu merupakan penganiayaan” (HR Al Bukhari dan Muslim; Shihab, Quraish,
2013 : 237).
Dalam Islam, pemenuhan kewajiban bersifat
amanah dan menepati janji harus dilakukan dengan khidmad, penuh dengan
kejujuran dan ketulusan (Nawawi, 2009: 51), karena bukan saja merupakan
ketentuan hukum positif, tetapi juga merupakan perintah Tuhan (QS 5: 1). Nabi
Saw bersabda, ”Tiga golongan yang
termasuk munafik meskipun ia berpuasa, shalat, dan mengaku muslim yaitu jika
berbicara ia berbohong, jika berjanji ia tidak menepati, jika diamanatkan ia
berkhianat” (HR Abu Daud 3383 dan
Hakim 2/25 dari Abu Hurairah). Kegagalan atau kelalaian dari masing-masing
pihak untuk memenuhi kewajiban atau komitmen ini menimbulkan risiko bagi salah
satu pihak. Bagi bank, risiko yang timbul dari pihak nasabah yang tidak memenuhi
kewajiban, atau komitmennya berdasarkan suatu akad, merupakan bentuk risiko
termasuk risiko kredit atau pembiayaan yang harus dikaji dan dihadapi. Jika
ketentuan Tuhan dipenuhi (QS, 23 : 8-11;
QS, 70 : 32-35), maka risiko yang dimaksud dapat diperkecil, dan transaksi
bisnis atau bermuamalah dapat dilakukan lebih efektif dan efisisen.
D. PENUTUP
Prinsip dasar dari ekonomi dan pembiayaan Islam
adalah untuk menciptakan kemaslahatan atau kesejahteraan masyarakat, dengan
berpatokan pada prisip pokok yang terdiri dari Keesaan Tuhan, konsep Kalifah
Tuhan di bumi, keadilan dan keseimbangan material dan spiritual atau duniawi
dengan akhirati. Prinsip-prinsip ini dapat dipenuhi dengan mengikuti ketentuan
dasar pembiayaan, yaitu melalui kegiatan perdagangan dan menjauhi riba, serta
kerja sama antar sesama.
Ketentuan ini membawa makna yang dalam dengan
implikasi yang jauh terhadap pencapaian kemaslahatan duniawi masyarakat yang
bernilai akhirati. Perdagangan merupakan kegiatan hulu dan hilir dari sektor
ekonomi riel, dan menciptakan kebajikan yang luas. Pelarangan riba, di lain
pihak, menunjukkan bahwa kegiatan pinjam-meminjam (uang) tidak dapat
dikomersialkan, sehingga sektor keuangan tidak dapat berjalan sendiri, tanpa dilekatkan
pada sektor riel.
Agar dapat menciptakan kemaslahatan
masyarakat, pembiayaan Islam hanya dapat dilaksanakan berdasarkan akad-akad
yang disediakan, tanpa riba, gharar, dan maysir, bertujuan untuk memperoleh hasil kerja non ribawi dan keuntungan
bersama, menggunakan dana ekuitas (bersama) bukan utang, berbagi risiko, dan
dilaksanakan dengan penuh amanah serta menepati janji. Pada saat yang sama,
uang difungsikan secara hakiki, yaitu sebagai alat untuk bertransaksi dan
pengukur terhadap counter value
berupa nilai barang, jasa, dan usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amrin, 2006, Asuransi
Syariah, Jakarta: Elex Media Komputindo.
_________, 2011, Meraih Berkah
Melalui Asuransi Syariah, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Adiwarman
Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, September 2004, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Agil, Syed Omar Syed, dan Aidit Ghazali, 2005, Readings in the Concept and Metodology of Islamic Economics, Kuala
Lumpur: CERT Publications.
Akkas, S.M. Ali, 2009, Issues and Problems of Islamic Banking in Bangladesh, Akkas54@gmail.com, www.cdss.ingeniousbd.org.
Akram Khan. Tidak Bertanggal. Economic Teachings of Prophet Muhammad. Karachi: Darul Ishaat.
Algaoud, Latifa M. Mervyn K Lewis, 2001, Perbankan Syariah, Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, www.serambi.co.id.
info@serambi.co.id.
Al-Haddad, Haitham, Bashir Timol, 2008, The Credit Crunch: An Islamic Perspective,
www.islam21c.com, www.1stethical.com.
Al-Harran, Saad, 1995, Leading Issues in Islamic Banking and
Finance, Petaling Jaya,
Malaysia: Pelanduk
Publications (M).
Al-Jarhi, 2008, Islamic Finance: An Efficient & Equitable Option, The Islamic
and Training Institute, The Islamic Development Bank, PO Box 9201, Jeddah,
Saudi Arabia, http//: www.wfdd.org.uk/articles-talks/mabid.fdf.
Al-Qarny, Aidh Abdullah, 2010, Islam,
Rahmatan Iil Alamin, Jakarta: Cakra Lintas Media.
Al-Zuhayli’s, Wabbah, 2003, Financial
Transactions in Islamic Jurisprudence, Vol.1. Dar al Fikr, Damascus, Syria.
http://www.fikr.com.
fikr@fikr.com.
Anshori, Abdul Ghofur, 2002, Perkembangan
Hukum Perbankan di Indonesia, dalam Kapita Selekta Perbankan Syariah di
Indonesia, Abdul Ghofur Anshori (ed). UII Press, Yogyakarta.
Arifin, Zainul, 2005, Dasar-Dasar
Manajemen Bank Syariah, Pustaka Alvabet, Ciputat, Jakarta:
Pustaka_alvabet@yahoo.com.
Azizi, A. Qodri, 2004, Membangun
Fondasi Ekonomi Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baum, Herb, 2004, The Transparent
Leadership, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Bloomgarden, Kathy, 2007, Trust, The Secret Weapon of Effective
Business Leaders, New York: St. Martin’s Press.
Bowie, Norman E., 1998, A Kantian Theory of Capitalism, Ruffin
Series in Business Ethics, ABI/INFORM Global, pg 37.
_________, 1998, Business
Ethics, A Kantian Perpective, Blackwell Publishers, Minneapolis.
Caprio Jr, Gerald. Daniela Klingebiel, 1996,
Bank Insolvency: Bad Luck, Bad Policy, or
Bad Banking?, Annual World Bank Conference on Development Economics 1996,
©1997, The International Bank for Reconstruction and Development/The World
Bank.
Chapra, M. Umer. Habib Ahmed, 2008, Corporate Governance, Lembaga Keuangan
Islam, Jakarta:
Bumi Aksara.
Chapra, M. Umer, 2000, Islam dan Tantangan Ekonomi, Cetakan
Pertama, Jakarta:
Gema Insani, http://www.gemainsani.co.id,
gipnet@indosat.net.id.
_________, 2007, The Islamic
Vision of Development in the Light of Maqasid Al-Shariah, Islamic Research
and Training Institute, Islamic Development Bank, Jeddah.
Chorafas, Dimitris, 2000, Managing Credit Risk. Analysing, Rating and
Pricing The Probability of Default, Euromoney Books, Nestor House,
Playhouse Yard, London
EC4V 5EX.
Choudhury, Masudul Alam, 1997, Money in Islam, A Study in Islamic Political
Economy, Routledge, London and New York.
Cihak, Martin. Heiko Hesse, 2008, Islamic Banks and Financial Stability: An
Empirical Analysis, IMF Working Paper, International Monetary Fund,
http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2008/wp018.pdf.
DiVanna, Joseph A., 2008, Understanding Islamic Banking, The Value
Proposition That Transcends Cultures, Cambridge,
United Kingdom:
Leonardo and Francis Press, ltd.
Dobson, John, 1999, Is Shareholder Wealth Maximation Immoral ? Financial Analysts
Journal, Sept/Oct 1999; 55, 5; ABI/INFORM Global.
Ebrahim, M. Shahid. Tan Kai Joo, 2001, Islamic Banking in Brunei Darussalam, International
Journal of Social Economics, Vol. 28, Ko 4, pp 314-337, MCM University
Press. http://www.emerald-library.com/ft.
Eko Suprayitno,
2005, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,
Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
El-Diwany,
Tarek, Juni 2003, The Problem with Interest, Sistem Bunga dan Permasalahannya,
Cetakan Pertama, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, akmed@cbn.net.id
Ellsworth, Richard R.,2010, Tujuan
Perusahaan, In Craig L. Pearce, Joseph A. Marciariello, dan Hideki
Yamawaki, Drucker Difference, Jakarta: Ufuk Press.
Errico, Luca. Mitra Farahbaksh, 1998, Islamic Banking: Issues in Prudential
Regulation and Supervision, IMF Working Paper, WP/98/30, leriico@imf.org, mfarahbaksh@imf.org.
Fukuyama,
Francis, 1996, Trust, The Social Virtues and The Creation
of Prosperity, Copyright © 1995 by Francis Fukuyama, First Free Press
Paperback Edition 1996, Simon & Schuter Inc., New York.
Gait, A. A. C. Worthington, 2007, A Primer on Islamic Finance: Definitions,
Sources, Principles and Methods, Faculty of Commerce–Papers, University of Wollongong,
http://www.scribd.com/doc/8027728/A-primer-on-Islamic-finances-sources-principles-andmethods.
Green, Stephen, 2009, Good Value, Reflection on Money, Morality,
and Uncertain World London:
Alan Lane,
Penguin Books.
Gymnastiar, Abdullah, Hermawan Kartajaya,
2004, Berbisnis dengan Hati, Jakarta: MarkPlus &
Co.
Honohan, Patrick, 2001, Islamic Financial Intermediation: Economic
and Prudential Considerations, Development Reseach Group and Financial
Sector Strategy and Policy Department, The World Bank.
Iqbal, Zamir. Abbas Mirakhor, 2007, An Introduction to Islamic Finance, Theory
and Practice, Singapore:
John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Kamali, Mohammad Hashim, 2006, Equity and Fairness in Islam, The
Islamic Texts Society, Cambridge U.K., Kuala
Lumpur: Ilmiah Publishers.
Lewis, Hunter, 2009, Where Keynes
Went Wrong, And Why World Governments Keep Creating Inflation, Bubbles, and
Busts, Axios Press, Mount Jackson, VA.
Lobo, Isobel, Frank Bonello, 2005, Islamic Banking Meets “Conventional”
Banking: A Survey of Recent Developments in Banking In Pakistan, AIB-SE
(USA) 2005 Annual Meeting, Charleston, SC. www.aibse.org/Proceedings/../Islamic%20banking.doc.
Mankiw, N. Gregory, Teori Ekonomi Makro, Jakarta: Penerbit Salemba
Empat, 2004.
Marthon, Said Saad, 2004, Ekonomi
Islam, di Tengah Krisis Ekonomi Global, Jakarta: Zikrul Hakim.
Masood Khan, Waqar, 2006, Transition To A Riba Free Economy, New Delhi: Adam Publishers
& Distributors, apd@bol.net.in,
adam2@sify.com.
Masyuri, 2005, Teori Ekonomi Dalam
Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Millet, Paul, 2002, Lending and Borrowing in Ancient Athens,
Cambridge, United
Kingdom: Cambridge
University Press.
Morris, Charles R., 2008, The Two Trillion Dollar Meltdown, Easy Money, High Rollers, and The
Great Credit Crash, New York:
PublicAffairs.
Muldrew, Craig, 1998, The Economy of Obligation, The Culture of
Credit and Social Relations in Early Modern England.,
New York: Palgrave.
Mufid, Sofyan Anwar, 2010, Islam
& Ekologi Manusia, Bandung: Nuansa.
Muldrew, Craig, 1998, The Economy of Obligation, The Culture of
Credit and Social Relations in Early Modern England. Palgrave, Houndmills,
Basingstoke, Hampshire RG21 6XS and 175 Fifth Avenue, New York, NY 10010.
Muthahhari, Ayatullah Murtadha, 2011,
Islam & Tantangan Zaman, Jakarta:
Sadra International Institute.
Nagaoka, Shinsuke, 2009, Reconsidering Mudaraba Contracts in Islamic
Finance: What is the Economic Wisdom (Hikma) of Partnership-based Instruments?
Kyoto Working papers on Area Studies No. 42 (G-COE Series 40).
http://www.humanosphere.cseas.kyoto.u.ac.jp/images/libraryimage/workingpaper/40_nagaoka.pdf.
Nakamura, Leonard I, 1991, Lessons on Lending and Borrowing in Hard
Times, Business Review–Federal reserve Bank of Philadelphia, July/August
1991; ABI/INFORM Global.
Nawawi, Razali HJ., 2009, Islamic Law on Commercial Transaction, Kuala Lumpur: CERT
Publications.
Nik Mohamed
Affandi Bin Nik Yusoff, 2002, Islam &
Buisness, Selangor: Publications (M) Sdn Bhd.
Orgianus, Yan, 2012, Moralitas Islam
Dalam Ekonomi & Bisnis, Bandung: Marja.
O’Hara, Kieron, 2004, Trust from Socrates to Spin, Cambridge, United
Kingdom: Icon Books.
Qardhawi, Yusuf, 1997, Norma dan
Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Rivai, Veithzal, Adria Permata Veithzal, 2008, Islamic Financial Management, Teori, Konsep, dan Aplikasi Panduan
Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi, dan Mahasiswa, Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Rosly, Saiful Azhar, 2005, Critical Issues on Islamic Banking and
Financial Markets, Kuala Lumpur,
Malaysia:
Dinamas Publishing, drsaiful99@hotmail.co.
Saeed, Abdullah, 2004b, Bank Islam dan Bunga, Studi Kritis dan
Interpretasi Kontemporer Tentang Riba dan Bunga, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, pustakapelajar@telkom.net.
_________, 2004,
Menyoal Bank Syariah, Kritik atas
Interpretasi Bunga Bank, Kaum Neo Revivalis, Jakarta: Paramadina.
Marthon, Said Sa’ad, 2004, Ekonomi
Islam Di Tengah Krisis Ekonomi Global, Jakarta:
Shakespeare, Rodney, 2007, The
Modern Universal Paradigm,
Jakarta: LPFE
Trisakti.
Shaw, Robert Bruce, 1997, Trust in
Balance, Building Successful Organizations on Results, Intergrity and Concern, San Fransisco, California:
Jossey Bass Inc.
Shihab, Quraish, 2012, Al Lubab,
Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah Al-Qur’an, Tangerang: Lentera
Hati.
_________, 2013, Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al
Qur’an, Bandung: Mizan.
Shihab, Umar, 2008, Kontekstualitas
Al Qur’an, Jakarta: Penamadani.
Shirazi, Habib, 1988, Islamic Banking Contracts, Publication
No. 6, Banking Training Center, Central Bank of The Islamic republic of Iran,
Teheran.
Siddiqi, Mohammad Nejatullah, 2006, Islamic Banking and Finance Theory and
Practice: A Survey of State of the Art, Islamic Economic Studies, Vol. 13,
No. 2, February, 2006.
Sofyan S. Harahap, Pelajaran dari
Krisis Asia, Jakarta: Pustaka Quantum, 2002.
Toutounchian, Iraj,
2009, Islamic Money & Banking,
Integrating Money in Capital Theory, Singapore : John Wiley & Sons
(Asia) Pte.Ltd.
Usmani, Muhammad Taqi, 2005, An
Introduction to Islamic Finance, Karachi, Pakistan: Maktaba Ma’ariful
Qur’an.
Vogel, Frank E.
Samuel L. Hayes III, 1998, Islamic Law and Finance, Religion, Risk and
Return, London : Kluwer Law International.
Warde, Ibrahim, 2001, Islamic
Finance in the Global Economy, Edinburg
University Press, Edinburg, Great Britain.
Zarqa, Muhammad Anas, May 1997, Istisna ‘Financing of Infrastructure
Projects, Islamic Economic Studies, Vol. 4, No. 2.
[1] Shihab, Quraish, 2012, Al-Lubab, Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari
Surah-Surah Al Qur’an, Tangerang: Lentera Hati, hlm. 690.
[2] Bunga juga ditentang oleh banyak pihak,
antara lain Aristoteles, Plato, Hukum Roma (Ius
Romanum), Kitab suci Yahudi, dan Perjanjian lama Kristen (K Berten, p 51). Pada
saat penyebaran praktek bunga tidak dapat dihindarkan dalam bisnis, pihak
gereja melakukan kompromi dan menarik sikap penentangannya secara terbuka.
Tahun 1545, hukum Inggris memperbolehkan pembebanan bunga sampai tingkat
tertentu, dan jika lebih tinggi dianggap pemerasan. El-Diwany, Tarek, Loc.Cit, hlm. 31.
[3] Vogel, Frank E. Samuel
L. Hayes III, Islamic Law
and Finance, Religion, Risk and Return.
London : Kluwer
Law International, 1998, hlm. 87-93.
[4] Menurut Al-Gazali, fungsi utama uang
adalah sebagai alat tukar yang merefleksikan nilai sebuah komoditas, uang
ibarat cermin yang tidak berwarna tetapi dapat merefleksikan semua warna. Abu
Bakar Siddiq menjelaskan dalam sistem ekonomi Islam, uang mempunyai fungsi
sebagai standar nilai dan satuan hitung, alat pembayaran, alat menyimpan
kekayaan dan bukan sebagai penimbun kekayaan, dan sebagai alat pembayaran zakat
dan kewajiban lainnya (Said Sa’ad Marthon, p 117).
[5] M adalah jumlah uang yang diperlukan dan
ditentukan oleh X, Y,Ө. X= variabel sosio ekonomi, Y= variabel kebijakan, dan Ө
= variabel pengetahuan; teori uang endogen adalah juga X= x (p) (Ө), p merupakan tingkat harga yang
berkaitan dengan variabel sosio ekonomi x, dan nilai x dan p dipengaruhi oleh
Ө. Keadaan X= x (p) (Ө) yang tergantung pada fungsi tingkat keuntungan (p) (Ө)
mempengaruhi permintaan akan uang sebagai penggerak pengeluaran dan pertukaran (Choudhury,
1997 : 41).
[6] Caprio Jr (1996) menyebutkan 3
karakteristik dari keuangan atau finance,
yaitu: information asymmetric,
intertemporal trade, dan some
demandable debts.
[7] Berdasarkan ketentuan Pasal 9 PBI
No.7/46/PBI/2005, bank dapat meminta agunan tambahan selain barang yang
dibiayai bank.
[8] Merupakan bentuk lain dari Ijarah Muntahiya bi Tamblik (IMBT), yang
merupakan rangkaian 2 akad, akad jual beli atau al bai dengan akad ijarah,
dan menunjukkan adanya 2 transaksi yaitu
sewa menyewa dengan jual beli atau hibah di akhir masa sewa (Anshori,
2002 : 56).
[9] Banyak literatur menyebutkan akad ini
sebagai “profit and loss sharing atau
PLS agreement”.
[10] Beberapa pihak mengatakan bahwa hal ini
belum didukung dengan data atau penelitian empirik. Namun, dalam penelitian
yang terbatas pada perbankan di Malaysia, Hatta, Aliyu, Mustan dan Ismail
(2007), menyimpulkan bahwa pembiayaan Syariah mempengaruhi pertumpuhan GDP
secara positif. Namun, secara sendiri-sendiri, pengaruh asuransi Syariah tidak
signifikan, karena dominasi asuransi konvensional dan sistim ganda perbankan di
Malaysia.
[11] Menurut Usmani (2002 : 221), jual-
beli piutang diijinkan di Malaysia
berdasarkan ketentuan dari mazab Shafai; tetapi, menurut Usmani, mereka tidak
menyadari bahwa penjualan tersebut harus dilakukan berdasarkan nilai par. Rosly
(2005 : 437) berpendapat bahwa penjualan utang dari kreditor ke pihak ketiga
atau bay’al-dayn lil ghairil mad’ine
dilarang, karena penjualan seperti ini menyangkut adanya premiun atau diskon;
tetapi, bay’al-dayn tertentu, atau
berasal dari transaksi murabaha
dengan pembayaran tunda, emas kawin yang tertunda, pembayaran sewa yang harus
dibayar setiap akhir bulan, dengan syarat dijual pada harga par, dan utang itu
telah dipastikan adanya-diperbolehkan.
[12]
Apa yang disampaikan Nabi SAW ini, beberapa ratus tahun kemudian juga
diutarakan melalui ungkapan “if you loan
a man too much money, you turn a good man into a bad man” (Warde, 2000 :
163)
[13] Dalam kaitan dengan moralitas, Chorafas
berpendapat bahwa negara yang memiliki utang lebih dari 100% dari GDP
tahunannya berarti memberikan beban bagi generasi berikutnya di negara
tersebut; beban mana dapat berakibat buruk bagi generasi tersebut (Chorafas,
2000 : 66).
[14] Semakin tinggi tingkat leverage atau semakin rendah tingkat
modal dari suatu entitas, semakin sedikit adverse
shock yang diperlukan bagi entitas itu untuk mengalami economic insolvency; dan ini berlaku baik bagi bank maupun non-bank (Kaufman, 2001).
[15] Dari sisi lain, menurut Michael Jensen
(1989), keadaan overgearing tidak
akan berakibat pada kebangkrutan, karena kreditur akan berada dalam posisi yang
lebih baik jika berusaha untuk melakukan renegosiasi. Namun, pendapat ini
dibantah oleh Nakamura (1991 : 19), dengan alasan bahwa pada perusahaan dengan leverage yang berlebihan, umumnya mereka
memiliki margin yang sangat tipis, dan tidak memiliki kolateral tambahan, sebagai
dasar untuk bernegosiasi.
Tulisan ini akan diterbitkan pada Jurnal Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah (STES) Islamic Village, Karawaci, Tangerang.
KABAR BAIK!!
BalasHapusNama saya Yula Falentina dari Surabaya dan saat ini tinggal di Malaysia. terima kasih kepada REBACCA ALMA LOAN COMPANY yang memberi saya pinjaman RM760.000 dengan tingkat bunga yang sangat rendah sekitar 2%.
Saya ditipu oleh penipu online bulan lalu, terima kasih kepada Tuhan yang menggunakan Rebecca Alma untuk mengakhiri semua kecurigaan saya dalam hidup saya, saya tidak pernah percaya saya bisa mendapatkan perusahaan pinjaman yang asli, jadi saya mencari pinjaman tanpa sejarah kredit dan saya punya banyak bank dan perusahaan keuangan untuk menghentikan saya, tetapi semua menolak.
Saya melihat halaman di internet dan saya melihat seorang wanita yang membagikan kesaksiannya tentang bagaimana dia mendapatkan pinjaman dari REBECCA ALMA LOAN COMPANY. Saya menghubungi ibu Rebecca dengan percaya diri dan dalam waktu 2 jam, saya mendapat pinjaman, kemudian saya menyadari bahwa tidak semua perusahaan pinjaman di blog itu benar-benar palsu karena semua hutang saya dibayar. Saya berjanji kepada Tuhan untuk membagikan kesaksian hidup saya karena mereka memberi saya harapan lagi. Harap berhati-hati ketika mencari perusahaan pinjaman karena ada perusahaan pinjaman palsu yang akan menipu Anda dari uang Anda namun Anda tidak akan mendapatkan pinjaman. Hubungi ibu Rebecca melalui email: rebaccaalmaloancompany@gmail.com atau Anda masih dapat menghubungi ibu Rebacca melalui nomor whatsapp: +14052595662.
Anda masih dapat menghubungi saya melalui alamat email saya: yulafalentina944@gmail.com
Semoga Tuhan memberkati Anda semua saat Anda mendapatkan pinjaman dari Rebacca Alma Loan Company dan juga membagikan kabar baik sehingga orang tidak akan jatuh cinta pada perusahaan palsu di mana pun.
Kami di sini untuk memberikan pinjaman mulai dari $ 10.000,00 minimum hingga $ 10.000.000,00 maksimum yaitu ketika Anda ingin mengajukan permohonan dalam Dolar juga jika Anda berasal dari Indonesia Anda bebas untuk mengajukan pinjaman minimal Rp.100 juta minimum maksimum Rp.25 miliar demikian juga jika Anda dari Malaysia Anda bebas untuk mengajukan pinjaman minimum Rm30k dan Rm850k sebagai maksimum Anda juga dapat mengajukan dalam mata uang lain yang tidak disebutkan di atas, kami selalu di sini untuk menyediakan pinjaman yang Anda butuhkan untuk memenuhi semua pengeluaran keuangan Anda pada tingkat yang sangat rendah karena kami telah melakukan ini selama bertahun-tahun dan telah berhasil dan bermanfaat bagi pemberi pinjaman dan peminjam itu sebabnya kami memiliki kesaksian di mana-mana <<<< >> >> Kesaksian terakhir adalah Farouk dari Malaysia dengan jumlah Rm2.3juta dan juga Indra dari Indonesia dengan jumlah Rp.570juta jadi tolong jangan ketinggalan dalam transaksi yang sangat ramah pelanggan ini <<<<< >>> >>>>
BalasHapusDi bawah ini adalah Informasi kontak
Company Name:ISKANDAR LESTARI LOAN COMPANY
☎::::::::::::>+62 822-7404-5059
W/A:::::::>+62 822-7404-5059
e_mail::>[iskandalestari.kreditpersatuan@gmail.com]