HILANGNYA NILAI-NILAI LUHUR KARENA UANG
Oleh : Hendy Herijanto, IEF, Univ. Trisakti.
Dalam salah satu acara Kick Andi, Amin Rais menyatakan, bahwa beliau
tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2014 mendatang. Sebagai
alasan utama, beliau menyimpulkan, bahwa masyarakat Indonesia tidak
tertarik pada konsep, pemikiran, dan nilai-nilai yang dikampanyekan,
tetapi lebih mementingkan hasil yang cepat, atau dalam bahasa beliau, quick yielding; maksudnya quick return.
Dalam Pemilu yang lalu, hasil yang instan itu berupa pembayaran Rp.
20.000 per suara, yang tidak dapat disediakannya, kecuali
pemikiran-pemikiran untuk memajukan Indonesia.
Pernyataan Amin Rais itu merupakan konfirmasi dari kenyataan yang ada
dalam masyarakat Indonesia, sehingga tidak memerlukan penelitian khusus
untuk memastikan kebenarannya. Banyak orang yang ikut berpartisipasi
dalam Pemilu Caleg yang lalu telah pula mengalaminya. Masyarakat lebih
mementingkan uang tunai, dan suara digunakan sebagai komoditas yang
diperjualbelikan. Bahkan, penulis, seperti Caleg lainnya, menghadapi
keadaan yang lebih parah. Memenuhi permintaan masyarakat untuk perbaikan
jalan, perbaikan gedung pesantren, perbaikan jembatan desa, pengobatan
gratis, atau bantuan sosial lainnya, tidak memiliki kekuatan dalam
mempertahankan harapan untuk memperoleh suara, dibandingkan dengan
pemberian uang tunai di akhir masa kampanye. Uang tampaknya merupakan
kekuatan yang dahsyat untuk memperoleh sesuatu, walaupun yang bukan
merupakan komoditas yang layak diperdagangkan,
Pengalaman di atas dapat pula menyimpulkan bahwa kepentingan pribadi dalam bentuk uang dapat mengalahkan kepentingan akan public goods
yang dibutuhkan masyarakat luas. Seyogianya, dan seharusnya, masyarakat
memilih calon pemimpin, yang memiliki kemampuan dan kredibilitas, niat
baik, konsep dan program, dan tidak melupakan public goods ini
karena uang. Dalam transaksi ini, uang memang dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapi masyarakat dalam jangka pendek, tetapi merusak dan
bahkan menghancurkan tata kehidupan bangsa di masa depan. Masyarakat
harus menjunjung tinggi niat baik calon pemimpin untuk melakukan
perbaikan dalam kehidupan bermasyarakat melalui konsep dan
program-programnya. Masyarakat perlu pula menjaga, agar setelah mereka
kelak menjadi pemimpin, konsep dan program itu benar-benar dijalankan.
Pemilihan calon pemimpin untuk legislative atau presiden atau kepala
daerah lainnya, merupakan awal yang menentukan pemerintahan dan tata
kehidupan masyarakat serta berbangsa yang baik di masa depan. Jika
pemilihan pemimpin itu dilakukan dengan mengabaikan penilaian yang
mengandung nilai-nilai luhur, seperti untuk memajukan kehidupan bangsa
dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, yang kemudian
dikalahkan dengan pemberian/penerimaan uang, maka sudah dapat dipastikan
akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat; bahkan, dapat mengarah
pada kehancuran kehidupan masyarakat itu sendiri. Di lain pihak,
janji-janji luhur ketika berkampanye cenderung dilupakan ketika telah
terpilih, karena pemimpin yang terpilih harus memikirkan bagaimana
mengembalikan dan menutup biaya yang telah dikeluarkan sebelumnya untuk
membeli suara.
Kenyataan di atas juga terjadi di dilingkungan pegawai sipil dan
yudikatif atau penegak hukum. Tanyalah pada para PNS baru di beberapa
propinsi, yang diterima setelah Gubernur terpilih menjabat. Tanya pula
kepada para penegak hukum bagaimana mereka dapat diterima dilingkungan
institusinya, bagaimana mereka dapat ditempatkan di jabatan yang tidak
kering, memperoleh pendidikan lanjutan demi perbaikan kepangkatan, dan
seterusnya. Jawabannya akan sama. Masalah ini pula yang menyebabkan
pelayanan publik berbiaya dengan mengkomersialkan jabatan, dan
penegakkan hukum sebagai suatu nilai luhur mengalami kesulitan dalam
menggapai kenyataan.
Kenyataan tersebut tidak saja terjadi di lingkungan pemerintahan
dengan wawasan makro, tetapi juga terjadi di lingkungan swasta atau
mikro tetapi dengan cakupan makro. Pada masa Paket Oktober 1987 (Pakto
1987), pemerintah mengijinkan pendirian bank baru dengan modal hanya Rp.
10 milyar. Para konglomerat yang akan mendirikan bank baru sibuk
mencari tenaga ”profesional” untuk menjalankan banknya. Namun, kriteria
yang digunakan lebih menekankan apakah calon bankir itu dapat bekerja
sama dengan pemilik, dalam arti dapat mengikuti kehendak pemilik.
Walaupun tidak perlu membayar dengan uang agar diterima, tetapi dari
sejak awal calon bankir itu telah menggadaikan intergritas dan
profesionalismenya kepada pemilik bank. Sepuluh tahun kemudian,
persisnya ketika Krisis Moneter terjadi di Indonesia tahun 1997/1998,
hampir seluruh bank yang didirikan hasil Pakto 1987 terpaksa ditutup.
Salah satu penyebabnya adalah pemberian kredit kepada grup pemilik yang
besar dan kemudian macet.
Dalam Islam, uang digunakan terutama sebagai alat perantara dalam
transaksi komersial, dan bagaikan cermin dari nilai yang dipertukarkan.
Nilai yang dipertukarkan harus seimbang, demi mencapai keadilan dalam
bertransaksi; karena jika tidak, akan bersifat ribawi, yang dilarang
oleh Allah SWT. Barang, atau jasa, yang diperjualbelikan merupakan hasil
karya produktif disektor riel. Kedudukan, jabatan, pangkat, jelas bukan
komoditas yang dimaksud, dan tidak layak pula diperjualbelikan dengan
uang.
Membeli jabatan dengan uang menunjukkan kecintaan yang sangat
berlebihan terhadap jabatan. Tindakan mengkomersialisasikan jabatan
sejak awal ini cenderung akan diikuti dengan tidakan komersialisasi
berikutnya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Nabi SAW
pernah bersabda kepada Abdurahman bin Samurah agar tidak meminta untuk
menjadi pemimpin, karena tanggung jawab yang diberikan akan menjadi
berat; tetapi sebaliknya, jika tidak diminta, tugas itu akan menjadi
ringan. Hadist lain menyebutkan bahwa Nabi SAW tidak akan memberikan
tugas kepada yang memintanya. Imam al-Gazali dalam kitab Ihya Ulumuddin,
yang dikutip oleh Sa’id Hawwa, menjelaskan bahwa jika hati seseorang
telah dipenuhi dengan kecintaan terhadap jabatan, maka dia tidak akan
terlalu memperhatikan kemaslahatan orang lain, kata dan perbuatannya
akan berbeda, sehingga akan menimbulkan kemunafikan.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa pemimpin yang baik adalah yang
melaksanakan program kebaikan dan bermental baik, sesuai dengan perintah
Allah SWT (QS 21 : 73; QS 32; 24). Pejabat, terutama di pemerintahan,
seyogianya membawa dan menerapkan nilai-nilai luhur untuk kebajikan
umatnya atau yang dipimpinnya, dengan pengorbanan pribadi, paling tidak
dari segi waktu dan tenaga serta pikiran yang tulus. Tentunya, jabatan
itu diperoleh tidak dengan menggunakan uang.
Tulisan ini telah diterbitkan pada Majalah Ekonomi Syariah Vol. 11, No. 3, 2012 M / 1433 H, dan di http://hho3.wordpress.com/2012/04/02/hilangnya-nilai-nilai-luhur-karena-uang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar