Selasa, 10 September 2013

HILANGNYA NILAI-NILAI LUHUR KARENA UANG

HILANGNYA NILAI-NILAI LUHUR KARENA UANG

Oleh : Hendy Herijanto, IEF, Univ. Trisakti.


Dalam salah satu acara Kick Andi, Amin Rais menyatakan, bahwa beliau tidak tertarik untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2014 mendatang. Sebagai alasan utama, beliau menyimpulkan, bahwa masyarakat Indonesia tidak tertarik pada konsep, pemikiran, dan nilai-nilai yang dikampanyekan, tetapi lebih mementingkan hasil yang cepat, atau dalam bahasa beliau, quick yielding; maksudnya quick return. Dalam Pemilu yang lalu, hasil yang instan itu berupa pembayaran Rp. 20.000 per suara, yang tidak dapat disediakannya, kecuali pemikiran-pemikiran untuk memajukan Indonesia.

Pernyataan Amin Rais itu merupakan konfirmasi dari kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia, sehingga tidak memerlukan penelitian khusus untuk memastikan kebenarannya. Banyak orang yang ikut berpartisipasi dalam Pemilu Caleg yang lalu telah pula mengalaminya. Masyarakat lebih mementingkan uang tunai, dan suara digunakan sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Bahkan, penulis, seperti Caleg lainnya, menghadapi keadaan yang lebih parah. Memenuhi permintaan masyarakat untuk perbaikan jalan, perbaikan gedung pesantren, perbaikan jembatan desa, pengobatan gratis, atau bantuan sosial lainnya, tidak memiliki kekuatan dalam mempertahankan harapan untuk memperoleh suara, dibandingkan dengan pemberian uang tunai di akhir masa kampanye. Uang tampaknya merupakan kekuatan yang dahsyat untuk memperoleh sesuatu, walaupun yang bukan merupakan komoditas yang layak diperdagangkan,

Pengalaman di atas dapat pula menyimpulkan bahwa kepentingan pribadi dalam bentuk uang  dapat mengalahkan kepentingan akan public goods yang dibutuhkan masyarakat luas. Seyogianya, dan seharusnya, masyarakat memilih calon pemimpin, yang memiliki kemampuan dan kredibilitas, niat baik, konsep dan program, dan tidak melupakan public goods ini karena uang. Dalam transaksi ini, uang memang dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat dalam jangka pendek, tetapi merusak dan bahkan menghancurkan tata kehidupan bangsa di masa depan. Masyarakat harus menjunjung tinggi niat baik calon pemimpin untuk melakukan perbaikan dalam kehidupan bermasyarakat melalui konsep dan program-programnya. Masyarakat perlu pula menjaga, agar setelah mereka kelak menjadi pemimpin, konsep dan program itu benar-benar dijalankan.

Pemilihan calon pemimpin untuk legislative atau presiden atau kepala daerah lainnya, merupakan awal yang menentukan pemerintahan dan tata kehidupan masyarakat serta berbangsa yang baik di masa depan. Jika pemilihan pemimpin itu dilakukan dengan mengabaikan penilaian yang mengandung nilai-nilai luhur, seperti untuk memajukan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat, yang kemudian dikalahkan dengan pemberian/penerimaan uang, maka sudah dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan dalam masyarakat; bahkan, dapat mengarah pada kehancuran kehidupan masyarakat itu sendiri. Di lain pihak, janji-janji luhur ketika berkampanye cenderung dilupakan ketika telah terpilih, karena pemimpin yang terpilih harus memikirkan bagaimana mengembalikan dan menutup biaya yang telah dikeluarkan sebelumnya untuk membeli suara.

Kenyataan di atas juga terjadi di dilingkungan pegawai sipil dan yudikatif atau penegak hukum. Tanyalah pada para PNS baru di beberapa propinsi, yang diterima setelah Gubernur terpilih menjabat. Tanya pula kepada para penegak hukum bagaimana mereka dapat diterima dilingkungan institusinya, bagaimana mereka dapat ditempatkan di jabatan yang tidak kering, memperoleh pendidikan lanjutan demi perbaikan kepangkatan, dan seterusnya. Jawabannya akan sama. Masalah ini pula yang menyebabkan pelayanan publik berbiaya dengan mengkomersialkan jabatan, dan penegakkan hukum sebagai suatu nilai luhur mengalami kesulitan dalam menggapai kenyataan.

Kenyataan tersebut tidak saja terjadi di lingkungan pemerintahan dengan wawasan makro, tetapi juga terjadi di lingkungan swasta atau mikro tetapi dengan cakupan makro. Pada masa Paket Oktober 1987 (Pakto 1987), pemerintah mengijinkan pendirian bank baru dengan modal hanya Rp. 10 milyar. Para konglomerat yang akan mendirikan bank baru sibuk mencari tenaga ”profesional” untuk menjalankan banknya. Namun, kriteria yang digunakan lebih menekankan apakah calon bankir itu dapat bekerja sama dengan pemilik, dalam arti dapat mengikuti kehendak pemilik. Walaupun tidak perlu membayar dengan uang agar diterima, tetapi dari sejak awal  calon bankir itu telah menggadaikan intergritas dan profesionalismenya kepada pemilik bank. Sepuluh tahun kemudian, persisnya ketika Krisis Moneter terjadi di Indonesia tahun 1997/1998, hampir seluruh bank yang didirikan hasil Pakto 1987 terpaksa ditutup. Salah satu penyebabnya adalah pemberian kredit kepada grup pemilik yang besar dan kemudian macet.

Dalam Islam, uang digunakan terutama sebagai alat perantara dalam transaksi komersial, dan bagaikan cermin dari nilai yang dipertukarkan. Nilai yang dipertukarkan harus seimbang, demi mencapai keadilan dalam bertransaksi; karena jika tidak, akan bersifat ribawi, yang dilarang oleh Allah SWT. Barang, atau jasa, yang diperjualbelikan merupakan hasil karya produktif disektor riel. Kedudukan, jabatan, pangkat, jelas bukan komoditas yang dimaksud, dan tidak layak pula diperjualbelikan dengan uang.

Membeli jabatan dengan uang menunjukkan kecintaan yang sangat berlebihan terhadap jabatan. Tindakan mengkomersialisasikan jabatan sejak awal ini cenderung akan diikuti dengan tidakan komersialisasi berikutnya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Nabi SAW pernah bersabda kepada Abdurahman bin Samurah agar tidak meminta untuk menjadi pemimpin, karena tanggung jawab yang diberikan akan menjadi berat; tetapi sebaliknya, jika tidak diminta, tugas itu akan menjadi ringan. Hadist lain menyebutkan bahwa Nabi SAW tidak akan memberikan tugas kepada yang memintanya. Imam al-Gazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, yang dikutip oleh Sa’id Hawwa, menjelaskan bahwa jika hati seseorang telah dipenuhi dengan kecintaan terhadap jabatan, maka dia tidak akan terlalu memperhatikan kemaslahatan orang lain, kata dan perbuatannya akan berbeda, sehingga akan menimbulkan kemunafikan.

Al-Qur’an menyebutkan bahwa pemimpin yang baik adalah yang melaksanakan program kebaikan dan bermental baik, sesuai dengan perintah Allah SWT (QS 21 : 73; QS 32; 24). Pejabat, terutama di pemerintahan, seyogianya membawa dan menerapkan nilai-nilai luhur untuk kebajikan umatnya atau yang dipimpinnya, dengan pengorbanan pribadi, paling tidak dari segi waktu dan tenaga serta pikiran yang tulus. Tentunya, jabatan itu diperoleh tidak dengan menggunakan uang.


Tulisan ini telah diterbitkan pada Majalah Ekonomi Syariah Vol. 11, No. 3, 2012 M / 1433 H, dan di http://hho3.wordpress.com/2012/04/02/hilangnya-nilai-nilai-luhur-karena-uang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar