TUGAS MANDIRI (UNX)
PERBANDINGAN UNSUR-UNSUR BUSINESS JUDGMENT RULE DENGAN KETENTUAN PERTIMBANGAN KREDIT BERDASARKAN UU PERBANKAN
Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana
Disusun oleh:
Hendy Herijanto
1101.300.800.54
Promotor:
Dr. Hj. Lastuti Abubakar, SH., MH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJAJARAN
Bandung
2 0 1 2
PERBANDINGAN UNSUR-UNSUR BUSINESS JUDGMENT RULE DENGAN KETENTUAN PERTIMBANGAN KREDIT BERDASARKAN UU PERBANKAN
- A. Latar Belakang
Dalam lingkungan peradilan di Indonesia, terdapat suatu fenomena
bahwa kasus kredit macet yang dibawa ke meja hijau, dengan menuntut
pihak direksi bank, merupakan peristiwa hukum yang jarang terjadi.
Bahkan, masyarakat luas baru menyadari fenomena ini ketika Direksi Bank
Mandiri, E. C. W Neloe dan dua Direktur lainnya di bawa ke meja hijau,
di dalam tahun 2006-2007.
Menurut catatan penulis, hanya terdapat sejumlah kecil kasus kredit
macet yang disidangkan dengan menuntut pejabat kredit pengambil
keputusan. Kasus Bank Bumi Daya Vs Natalegawa pada tahun 1980 merupakan
kasus yang pertama, dan kemudian, pada awal tahun1990-an, kasus Eddy
Tansil atau Golden Key muncul, yang membuat Direksi Bank Bapindo,
Subekti Ismaun dan lainnya, mendekam di penjara.
Kasus yang paling akhir, juga terjadi pada bank BUMN, yang
melibatkan E. C. W Neloe tersebut di atas. Penuntutan pada kasus-kasus
tersebut dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang
Pidana Korupsi, atau Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (”UUTindak Pidana Korupsi”). Hal ini
dilakukan karena hasil akhir dari tindakan yang dilakukan oleh para
Direksi itu bermuara pada kerugian atau membahayakan keuangan negara.
Kenyataan bahwa Neloe diperkarakan karena kredit macet menimbulkan
gejolak di lingkungan perbankan terutama bank pemerintah. Mereka
khawatir akan mengalami nasib yang sama seperti yang dialami Neloe, jika
kredit yang mereka berikan menjadi macet. Kekhawatiran ini membuat
mereka segan untuk memproses dan menyetujui pemberian kredit. Bahkan,
terdapat suatu pandangan di masyarakat bahwa kredit macet selalu
berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Kekhawatiran itu menunjukkan seolah-olah para direksi bank atau
pejabat kredit tidak memiliki perlindungan hukum dalam melakukan
pekerjaannya, Mereka sehari-hari mengambil keputusan kredit, yang
identik dengan keputusan bisnis dalam usaha umum lainnya. Seperti halnya
keputusan bisnis dapat berakhir pada kerugian, keputusan kredit dapat
berujung pada kredit macet atau Non Performing Loan, atau disingkat NPL.
Dalam pengambilan keputusan bisnis atau kredit, terdapat sejumlah
masalah yang tidak dapat dipastikan hari ini, yaitu apakah asumsi
sebagai dasar pengambil keputusan akan berlangsung atau tetap berlaku di
masa depan. Di samping itu, hampir di setiap khasanah pengambilan
keputusan kredit selalu mengandung unsur yang tidak dapat dipastikan
akibatnya di masa depan. Di lain pihak, keputusan kredit melibatkan
pertimbangan pribadi seseorang, dalam hal ini pihak pemutus kredit.
Keputusan atau pertimbangan seperti ini tidak terlepas dari unsur
subjektivitas, tetapi tidak selalu dapat dianggap sebagai sesuatu yang
menyimpang, ketika keputusan itu ternyata kemudian salah, karena
menimbulkan kerugian.
Setiap keputusan bisnis tidak memiliki jaminan untuk selalu
membuahkan hasil yang diharapkan. Hal itu dapat terjadi, sekalipun telah
mempertimbangkan segala sesuatunya dengan hati-hati, termasuk mematuhi
seluruh ketentuan dan perundangan yang berlaku. Permasalahan ini akan
menjadi kasus hukum, jika pemilik yang terkait merasa dirugikan, atas
keputusan yang membawa kerugian itu.
Dalam hukum korporasi terdapat Doktrin Business Judgment Rule (BJR), disamping prinsip duty of skills and care, yang harus dijalankan dalam rangka memenuhi fiduciary duty oleh direksi perseroan terbatas. Menurut Abdul R Saliman, et.al, doktrin adalah merupakan salah satu sumber hukum [1].
Sejalan dengan diundangkannya Undang-Undang No.40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas (UUPT), doktrin-doktrin modern tersebut juga
dikandung dalamnya[2].
Dengan demikian, kedua doktrin ini harus pula dijalankan oleh direksi
bank sebagai organ dari suatu perseroan terbatas, selain Undang Undang
Nomor 10 Perbankan Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan (“UU Perbankan”).
Doktrin ‘Business Judgment Rule (BJR)’, di dalam sistem common law,dapat
melindungi direksi dari tuntutan hukum, jika ternyata keputusan bisnis
yang diambilnya membawa konsekuensi kerugian bagi perusahaannya. Dalam
hal ini, pengadilan tidak memeriksa kualitas dari keputusan itu, yang
setara dengan konsep marginale toestsing. Perlindungan ini dapat
diberikan, jika dalam mengambil keputusan tersebut, direksi memenuhi
sejumlah persyaratan. Persyaratan ini, antara lain, adalah tidak adanya
benturan kepentingan atau conflict of interest, dan keputusan itu dibuat demi kepentingan korporasi semata atau ‘to the best interest of the corporation’.
Disini, tampak bahwa persyaratan untuk berlakunya Doktrin BJR ini
bersifat umum, dan tidak menyentuh substansi dari keputusan yang
diambil.
Mengingat ketentuan pada UUPT merupakan lex generalis, masalah berikutnya yang perlu dikaji adalah bagaimana UUPerbankan sebagai lex spesialis
menentukan mengenai pengambilan keputusan bisnis yang dimaksud.
Keputusan bisnis di dalam usaha bank adalah keputusan kredit, dan diatur
khususnya dalam Pasal 2 dan Pasal 8 UUPerbankan. Karena bersifat lex spesialis, maka sudah seyogianya dapat diperkirakan pengaturannya bersifat lebih spesifik dan lebih teknis.
Secara sepintas, uraian ini menunjukkan adanya perbedaan unsur yang harus dipenuhi dalam Doktrin BJR yang dikandung UUPT, dengan ketentuan Pasal 2 dan 8 UUPerbankan. Pada yang pertama, persyaratannya bersifat lebih umum, sedangkan pada yang kedua bersifat lebih teknis. UNX ini mencoba untuk menguraikannya.
B. Pengertian Keputusan Bisnis
Menurut Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana [3], bisnis atau business dalam
Bahasa Inggris diartikan sebagai suatu usaha dagang atau urusan atau
sebagai perusahaan komersial, profesi atau perdagangan yang didirikan
dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Menurut Zaeni Asyhadie,
secara luas, bisnis adalah kegiatan usaha dijalankan oleh orang atau
badan usaha atau perusahaan secara teratur dan terus menerus, yang
berupa kegiatan mengadakan barang atau jasa maupun fasilitas untuk
diperjual belikan, atau disewakan dengan tujuan memperoleh keuntungan [4].
Setiap bisnis merupakan ciptaan oleh yang mengusahakannya atau
pengusaha atau pebinis, dan mereka menempatkan uangnya ke dalam bisnis
itu, serta mengambil risiko yang terkait dalam bisnis tersebut demi
memperoleh keuntungan yang diinginkan. Gunardi Endro menjabarkan
perkembangan bisnis, yang pada mulanya dalam bentuk sederhana, dan
dilakukan oleh orang perorang[5].
Dalam perkembangannya, ketika menyadari keterbatasan kemampuan individu
dan manfaat untuk bekerja sama, semakin banyak bisnis atau usaha
dilakukan bersama-sama oleh sekelompok individu, atau terkoordinir dalam
bentuk organisasi agar mencapai tujuan atau keuntungan bersama.
Dalam menjalankan usahanya itu, pebinis atau Perseroan harus
melakukan pengambilan keputusan dari waktu ke waktu. James M. Burns
menjabarkan anatomi dari pengambilan keputusan itu sendiri. Menurut
beliau, pandangan klasik mengenai pengambilan keputusan merupakan suatu
proses yang teratur dan rasional. Persoalan yang dihadapi didefinisikan
dan diisolasi, informasi terkait dikumpulkan, berbagai alternatif
dikaji. Walaupun dalam mengambil keputusan diperlukan sejumlah
informasi, tetapi tidak seluruh informasi yang diperlukan dapat
diperoleh. Namun, secara filosofis dikatakan bahwa “A man’s judgment cannot be better than the information on which he has based it”[6].
Oleh karena itu, keputusan hanya dapat diambil berdasarkan informasi
yang relevan dan cukup, yang harus diupayakan untuk diperoleh, dan
dicerna dalam rangka memilih alternatif yang terbaik. Fungsi dari
seorang eksekutif (atau Direksi, pen) pada dasarnya merupakan
spesialisasi dalam pengambilan keputusan bagi organisasinya [7].
Tujuan pengusaha atau Perseroan adalah untuk memaksimalkan perolehan
keuntungan, sejalan dengan tujuan dan usaha (perseroan). Namun, setiap
pencapaian keuntungan selalu dibayangi dengan risiko yang dihadapi, dan
untuk itu dikatakan bahwa tujuan bisnis adalah identik dengan mengambil
risiko; sedangkan direksi memiliki tanggung jawab untuk mengelola risiko
itu [8].
Risiko yang harus dihadapi, seperti kemungkinan adanya perubahan
dalam perekonomian di masa depan, menempatkan direksi untuk mengambil
keputusaan pada saat ini dalam keadaan ketidakpastian atau uncertainty.
Keterbatasan lain yang harus diahapi oleh direksi adalah kesediaan
masalah informasi yang tidak sempurna dan sumber daya. Bagi perseroan,
direksi yang memiliki kewenangan dalam menjalankan roda bisnis
perusahaan akan selalu menghadapi masalah risiko bisnis yang dimaksud [9],
sehingga tidak ada jaminan bahwa keputusan yang diambil akan selalu
membuahkan hasil yang diharapkan. Disini, risiko dapat diartikan sebagai
kemungkinan hasil yang diperoleh dari usaha atau bisnis atau investasi
yang dilakukan berbeda dengan yang diharapkan. Esensi dari pertimbangan
dan pengambilan keputusan bisnis adalah menyeimbangan antara risiko yang
akan dihadapi dengan pendapatan atau keuntungan yang dapat diharapkan [10].
Johneth Chongseo berpendapat bahwa tujuan untuk memaksimalkan
keuntungan harus mempertimbangan keuntungan dengan risiko secara
proporsional [11].
Risiko bisnis tidak selalu dapat diukur secara matematis, dan tidak
semata-mata berdasarkan informasi faktual baik yang bersifat kualitatif
maupun kuantitatif yang ada saat pengambilan keputusan. Orang yang
berpengalaman dalam suatu bisnis juga menggunakan nalurinya atau hindsight dalam memahami besar kecilnya suatu risiko bisnis [12].
Douglas M. Branson berpendapat bahwa keputusan bisnis sering
menggunakan sentuhan dan perasaan yang tidak dapat dibuktikan dengan
analisis sistematik, sering tidak dapat diraba atau tidak mudah
dimengerti, dan merupakan penglihatan naluri atau yang menjelma menjadi
perkiraan mengenai keadaan kompetisi pasar, struktur biaya dan arah
pertumbuhan industri dan ekonomi. Pada akhirnya, beliau berpendapat
bahwa keputusan bisnis merupakan masalah sentuhan dan perasaan yang
tidak mudah berpengaruh terhadap analisis sistematik[13].
Stephen M. Bainbridge menyebutkan bahwa keputusan bisnis jarang
sekali menyangkut persoalan yang bersifat hitam atau putih, tetapi
keputusan bisnis pada dasarnya berkaitan erat dengan pertimbangan
kehati-hatian di antara sejumlah alternatif yang dapat diterima. Beliau
menambahkan, sebagai tingkah laku dari bisnis, pilihan yang diambil
secara hati-hatipun di antara sejumlah alternatif yang ada dapat
membuahkan hasil yang buruk [14].
Walaupun seluruh ketentuan dan prosedur pengambilan keputusan telah
diikuti, tidak ada jaminan bahwa keputusan bisnis yang diambil seseorang
akan selalu membuahkan hasil yang positif tetapi dapat juga menimbulkan
kerugian. S. Sundari Arie menyebut risiko seperti itu sebagai risiko
bisnis yang normal atau normal business risk [15].
Dalam perseroan terbatas, setiap keputusan yang diambil oleh direksi
merupakan keputusan perseroan, dan untuk kepentingan perseroan
semata-mata, serta sesuai dengan tujuan dan maksud perseroan sebagaimana
yang tertera atau berkaitan dengan anggaran dasar. Kewenangan direksi
ini tidak dapat diintervensi atau campurtangankan oleh para pemegang
saham atau pihak lainnya, karena unsur kepemilikan telah dipisah secara
jelas dengan kewenangan direksi. Bahkan, keputusan itu harus dibuat
secara independen, tanpa adanya pengaruh dari siapapun, termasuk
kepentingan setiap pribadi dari anggota direksi. Karena UUPT menentukan
bahwa tanggung jawab dfireksi bersifat kolegial, maka keputusan direksi
dapat dikatakan merupakan keputusan kelompok, yang menunjukkan adanya
konsensus dari seluruh anggota direksi.
Uraian di atas menunjukan bahwa dalam melakukan pengambilan keputusan
bisnis, seseorang atau direksi memerlukan suatu ruang lingkup untuk
menggunakan pertimbangan pribad. Dalam rangka membuat keputusan yang
terbaik bagi Perseoran, Pasal 92 UUPT memberikan peluang untuk melakukan
pertimbangan pribadi ini. Pasal ini menyebutkan bahwa untuk menjalankan
pengurusan Perseroan, untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan Perseroan (Ayat 1), direksi berwenang menjalankan
pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang
ditentukan dalam UUPT dan/atau anggaran dasar (Ayat 2).
C. Konsep Business Judgment Rule
Dalam hukum korporasi di Delaware, direksi perusahaan bertanggung
jawab untuk mengawasi bisnis dan jalannya perusahaan. Untuk memenuhi
tanggung jawab itu, direksi berkewajiban untuk memenuhi fiduciary duty terhadap perusahaan dan konstituennya. Fiduacy duty ini terdiri dari duty of good faith atau itikad baik ,duty of care, dan duty of loyalty.
1. Pengertian Business Judgment Rule (BJR)
Black’s Law Dictionary memberikan definisi dari Doktrin Keputusan Bisnisatau Business Judgment Rule (BJR), sebagai berikut [16]:
“The presumption that in making buisness decisions not involving
direct self interest or self dealing, corporate directors act on an
informed basis, in good faith, and in honest belief that their actions
are in the corporation’s best interest. The rule shields directors and
officers from liability for unprofitable or harmful corporate
transactions if the transactions were made in good faith, with due care,
and within the directors’ or officers’ authority”.
Pengertian di atas memberikan suatu titik tolak dari keberadaan BJR.
Titik tolak ini merupakan anggapan awal bahwa dalam membuat keputusan
bisnis, direksi tidak melibatkan kepentingan pribadi atau terkait dengan
self dealing, dan melakukannya berdasarkan informasi yang cukup,
dengan itikad baik, serta sejujurnya percaya bahwa direksi bertindak
demi semata-mata kepentingan perseroan (”anggapan BJR”). Ketentuan ini
memberikan perlindungan hukum bagi direksi yang bersangkutan, dari
tanggung jawab terhadap transaksi perseroan yang merugikan atau yang
berbahaya, sejauh direksi memenuhi anggapan BJR itu, dan dalam kewenangan direksi.
Dalam perkara McMullin v Beran, 765 A.2d 910 (De, 2000), Mahkamah Agung Delaware berpendapat sebagai berikut [17]:
“The business judgment rule “operates as both a procedural guide
for litigants and a subtantive rule of law“. Procedurally, the initial
burden is on the shareholder plaintiff to rebut the presumption of the
business judgment rule. To meet that burden, the shareholder plaintiff
must effectively provide evidence that the defendant board of directors,
in reaching its challenged decision, breached any one of its “triad of
fiduciary duties, loyalty, good faith or due care“. Substantively, “if
the shareholder plaintiff fails to meet that evidentiary burden, the
business judgment rules attached“ and operates to protect the individual
director defendants from personal liability for making the board
decision at issue.“
Pendapat di atas menjelaskan bahwa BJR berlaku sebagai hukum acara
untuk memberikan petunjuk bagaimana melakukan penuntutan, dan sebagai
materi kepastian hukum.Secara proseduril, beban awal berada pada pihak
pemegang saham penggugat untuk menolak adanya anggapan awal yang
dimaksud di atas. Untuk itu, pemegang sahampenggugat harus memberikan
bukti bahwa direksi yang digugat, dalam membuat keputusan yang sedang
digugat, melanggar salah satu dari tiga serangkai fiduciary duties: loyalty, good faith, atau due care. Namun, dari segi materi atau secara substantive, jika
penggugat tidak berhasil memenuhi beban pembuktian yang diperlukan,
maka ketentuan BJR berlaku, dan dapat melindungi direksi yang digugat
dari tanggung jawab terhadap kerugian yang diakibatkan karena keputusan
yang diperkarakan itu.
Dalam Perkara Burt Vs Irvine Co, Pengadilan memberikan pernyataan yang lebih jelas berikut [18]:
“The rule exempting officers of corporations from liability for
mere mistakes and errors of judment does not apply where the loss is the
result of failure to exercise proper care, skill, and diligence.
Directors are not merely bound to be honest; they must also be diligent
and careful in performing the duties they have undertaken. They cannot
excuse imprudence on the ground of their ignogrance of inexperience, or
the honesty of their intentions; and, if they commit an error of
judgment through mere recklessness, or want of ordinary prudence and
skill, the corporation may hold them responsible for the consequence“.
Direksi dinyatakan bebas tidak bertanggungjawab terhadap kerugian,
yang ditimbulkan karena hanya melakukan kesalahan, tetapi tidak karena
kesalahan dalam membuat pertimbangan karena gagal menerapkan
kehati-hatian, keahlian dan sikap rajin. Direksi tetap bertanggungjawab,
jika mereka melakukan kecerobohan, ketidak hati-hatian atas dasar lalai
karena tidak berpengalaman, seperti kehati-hatian dan keahlian yang
wajar diperlukan. Walaupun demikian, Pengadilan lebih lanjut menegaskan
bahwa:
“Courts have properly decided to give Directors a wide latitude in
the management of the affairs of a corporation provided always that
judgment, and that means an honest, unbiased, is reasonably exercise by
them“.
Ruang lingkup kebebasan dalam mengelola bisnis perusahaan secara luas
diberikan oleh pengadilan kepada direksi, sejauh keputusan yang dibuat
mengandung kejujuran dan tidak bias, dan secara wajar dijalankan [19].
Pada intinya, pengadilan tidak memeriksa substansi dari keputusan
yang dibuat direksi dalam menjalankan bisnis perusahaan seperti yang
dinyatakan dalam kutipan berikut [20]:
“[W]here the money damages or equitable relief is sought, the
business judgment rule is a judicial policy of not reviewing the
subtantive merits of a board of directors’s business decisions for the
purpose of determining whether directors breached or fulfilled their
duty of care“.
Tetapi, sebaliknya, pengadilan akan memeriksa keputusan direksi yang dituntut, dari sisi lain, yaitu [21]:
(a) Apakah keputusan itu mengandung penipuan, atau melanggar hukum, bersifat ultra vires, atau merupakan pemborosan atau waste.
(b) Dengan menggunakan standar pemeriksaan atau standard of review yang wajar, memastikan bahwa direksi memenuhi duty of care, apakah dilakukan dengan itikad baik; dan dilihat dari manfaat materiel, apakah keputusan itu berimplikasi pelanggaran duty of loyalty dari direksi.
Jika penggugat dapat membuktikan bahwa direksi seharusnya tidak
dapat diberikan perlindungan hukum BJR yaitu ketika, misalnya, direksi
memboroskan harta perseroan atau waste atau melanggar duty of care, atau mengambil uang perusahaan untuk kepentingan pribadi atau melanggar duty of loyalty, maka direksi harus membuktikan bahwa keputusannya itu dilakukan dengan itikad baik atau merupakan keputusan yang rasional [22].
2. Persyaratan BJR
Pada dasarnya, BJR merupakan anggapan atau presumsi yang dapat
melindungi tindakan direksi (anggapan BJR) atau pejabat korporasi sejauh
syarat-syarat tertentu dipenuhi, yaitu[23]: pembuat keputusan bebas dari adanya benturan kepentingan (conflict of interest),
menerapkan kepedulian yang standar dengan menggunakan informasi
materiel yang memadai dalam membuat keputusan, dan memiliki dasar yang
rasional dalam mengambil keputusan tersebut.
Tambahan pula, keputusan yang diambil direksi harus masih berada dalam ruang lingkup kewenangannya dan tidak dinodai dengan managerial fraud atau self dealing [24],atau bukanmerupakan gross negligent [25],atau sama sekali tidak terdapat faktor ketidakpedulian penuh atau a complete absence of care [26], tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan atau abuse of discretion [27], serta tidak melanggar hukum positif [28].
Mengenai gross negligence, Black’s Law Dictionary memberikan definisi berikut:
(1) Lack of slight diligence or care, (2) A conscious,
voluntary act or omission in reckless disregard of a legal duty and of
the consequences to another party, who may typically recover exemplary
damages – Also termed reckless negligence, willful negligence, dstnya.
Artinya tidak memiliki kepedulian yang sederhana, atau tindakan yang
dilakukan atas inisiatif sendiri dengan mengabaikan kewajiban hukum
sebagai konsekuensi terhadap pihak lain, yang umumnya dapat meminta
ganti rugi; juga dapat diartikan sebagai ketidakpedulian yang disengaja
atau ceroboh.
3. Unsur-Unsur BJR
BJR memiliki 5 unsur pokok, yaitu [29]:
(a) BJR hanya dapat diaplikasikan pada keputusan atau tindakan direksi atau merupakan keputusan bisnis atau Business Decision;
(b) Direksi tidak tertarik pada keputusan yang diambilnya, karena tidak ingin menarik manfaat pribadi dari keputusan itu atau disinterestednedness, karena BJR memerlukan loyalitas yang utuh terhadap Perseroan;
(c) Menerapkan due care, keputusan diambil berdasarkan informasi yang relevan dan cukup atau“informed decision”;
(d) Good faith, motivasi dari tindakan direksi secara murni
berdasarkan keinginan yang jujur dan dengan itikad baik untuk
menguntungkan perusahaan, tidak karena tujuan lain seperti keuntungan
pribadi;
(e) No Abuse of Discretion or Waste, atau tidak terdapat gross overreaching atau an abuse of discretion, atau penyalahgunaan wewenang, dan hal ini yang harus dipastikan oleh Hakim.
Sebagai tambahan dalam perkembangan terakhir, Delaware menyatakan
bahwa direksi hanya bertanggungjawab untuk mempertimbangkan fakta-fakta
yang materil yang umumnya tersedia (reasonably available), bukan
fakta-fakta yang imateril yang berada di luar jangkauan direksi.
Sedangkan berapa banyak informasi yang dianggap cukup, dan bagaimana
informasi dikumpulkan apakah melalui mekanisme konsultan, komite, atau
laporan, juga merupakan pertimbangan bisnis[30]. Direksi berkewajiban dengan tingkat kepeduliannya (degree of care)
untuk mengumpulkan informasi, ketika dalam proses pengambilan
keputusan, yang membuat direksi dapat memilih alternatif menuju ke
keputusan yang akan diambilnya[31].
4. Itikad Baik, Duty of Good Faith
Itikad baik dalam kaitan dengan fiduciary duty mengandung arti yang lebih luas. Sean J.Griffith berpendapat bahwa konsep itikad baik tidak terlepas dari pengertian duty of care atau duty of loyalty. Jika seseorang bekerja dengan baik dan memenuhi kewajiban fiduciary-nya, maka dapat dikatakan orang itu bekerja dengan hati-hati atau secara prudent, dan berarti ia bekerja memenuhi duty of care-nya. Sebaliknya, jika orang itu bekerja dengan itikad baik, bukan mementingkan diri sendiri, maka dikatakan dia memenuhi duty of loyalty-nya [32].
Itikad baik dimengerti umumnya sebagai tindakan yang mewajibkan
direksi dengan tujuan yang jujur dalam memenuhi kepentingan terbaik dari
perusahaan, atau niat subjektif untuk mengedepankan kepentingan terbaik
perusahaan. Terkandung dalam pengertian ini adanya unsur objektif, yang
meliputi norma-norma yang berlaku dalam melakukan tindakan korporasi.
Direksi tidak memiliki kepentingan pribadi materiel, dan bertindak
secara rasional dengan menggunakan informasi yang relevan, tersedia
secara wajar, demi kepentingan perseroan semata; namun, jika melakukan
tindakan menghindari pajak, maka karena melanggar kebijakan publik,
tidak dapat memperoleh perlindungan BJR [33]. Disini, penilaian terhadap “kepentingan terbaik perusahaan” digunakan sebagai standar pemeriksaan atau standard of review oleh pengadilan, dan merupakan prasyarat utama BJR [34], dalam memeriksa tindakan untuk menentukan tanggung jawabdireksi.
Chancery Courts Delaware berpandangan bahwa itikad baik tidak dapat dipisahkan dari duty of loyalty, karena seseorang tidak dapat bertindak dengan itikad buruk, tetapi pada saat yang sama dia melakukan duty of loyalty
terhadap perusahaan dan para pemegang saham. Pemikirannya adalah bahwa
direksi tidak akan bertindak dengan kesetiaan terhadap perseroan,
kecuali bertindak dengan itikad baik dan tindakannya itu merupakan yang
terbaik bagi perusahaan. Pendapat lain mengatakan bahwa seorang fiduciary dapat bertindak dengan beritikad baik tetapi tidak loyal, dan dia tidak memiliki kepentingan keuangan dalam transaksi terkait [35]. Disini, tidak loyal tidak selalu berarti terdapat kandungan kepentingan pribadi yang berkaitan dengan keuangan.
Itikad baik dapat pula dipandang sebagai komponen dari duty of care,
jika dilihat sebagai suatu kegagalan dari suatu proses. Ini artinya
perlu dilihat apa yang harus dilakukan, atau tidak dilakukan, dalam
rangka menghindari terjadinya kerugian [36].
Pendapat lain mengartikan itikad baik memiliki kandungan sikap
hati-hati, dan harus diartikan sebagai tindakan yang lebih dari
kecerobohan biasa, atau yang telah berdeviasi secara ekstrim dari norma
yang berlaku, sehingga telah merupakan gross negligence atau tindakan pemborosan atau waste [37].
Mahakamah Agung Delaware menjelaskan pengertian itikad baik dalam 3 kategori perbuatan fiduciary atau fiduciary conduct, dan seluruhnya menyangkut perbuatan dengan itikad buruk, yaitu [38]:
Pertama, itikad buruk yang subjektif, yaitu perbuatan fiduciary
yang dilatarbelakangi dengan niat yang sesungguhnya untuk membahayakan
atau menimbulkan kerugian. Pengadilan menyimpulkan bahwa kategori ini
jelas merupakan pelanggaran terhadap kewajiban itikad baik atau duty of good faith;
Kedua, kategori ini menyangkut kurangnya sikap hati-hati atau duty of care – ’’suatu tindakan fiduciary yang dilakukan semata-mata karena sangat ceroboh atau gross negligence dan tanpa adanya niat jahat. Walaupun duty of care dan duty of loyalty berkaitan dan saling tumpang tindih, perbuatan yang sangat ceroboh atau grossly negligent conduct tidak berarti dan tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran fiduciary duty untuk berlaku dengan itikad baik; atau dalam kata lain, pelanggaran duty of care tidak secara otomatis merupakan suatu tindakan atau kealpaan atau omission yang berarti ’’tidak beritikad baik“. Walaupun duty of good faith berdempetan dengan duty of care dan loyalty, tetapi dalam pelaksanaan due care dan good faith harus dibedakan.
Nadelle Grossman mengungkapkan perbedaan antara gross negligence
dengan itikad baik dari contoh yang diberikan pengadilan. Apabila
direksi secara subjektif bersikap tidak baik terhadap perusahaan, dan
tidak menggunakan informasi yang cukup ketika mengambil keputusan, maka
sikap yang tidak baik secara subjektif itu dapat diartikan sebagai
itikad buruk. Gross negligence di lain pihak adalah dalam menentukan apakah terdapat petunjuk yang mengarah kepada adanya pelangaran terhadap duty of care [39].
Justice Jacobs menjelaskan mengenai mengenai pelanggaran
itikad baik dengan menggunakan suatu rentang perbandingan. Di titik
paling kiri adalah itikad baik subjektif, dan di titik paling kanan
adalah gross negligence. Titik paling kanan itu berarti adanya pelanggaran duty of due care,
dan tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran itikad baik. Di antara
kedua titik ini adalah merupakan daerah standar itikad baik yang
dimaksud oleh Chancellor Chandler. Namun,unsur gross negligence
saja tidak pernah cukup untuk mencabut perlindungan BJR. Bahkan,
walaupun pelanggaran itikad baik dapat dirinci secara jelas, penggugat
masih harus menangkis adanya anggapan BJR. Penggugat hanya dapat
menangkis adanya anggapan BJR ini, jika direksi secara sengaja bertindak
untuk mementingkan kepentingan bukan kepentingan para pemegang saham,
melanggar hukum positif, dan gagal bertindak sesuai dengan kedua tugas
ini (duty of care dan itikad baik) [40].
Ketiga, menyangkut penelantaran kewajiban yang disengaja, atau
mengabaikan kewajiban secara sadar, dan dapat dijelaskan melalui
keadaan berikut, ’’Direksi tidak memiliki benturan kepentingan, tetapi
terkait dengan tingkah laku buruk yang lebih bersifat jahat, dan bukan
merupakan keadaan yang tidak memperhatikan atau gagal menggunakan
informasi yang mengandung kenyataan yang materiel yang diperlukan dalam
pengambilan keputusan“.
Dalam Perkara Stone vs Ritter, Pengadilan menyatakan hal berikut [41]:
“……………Where directors fail to act in the face of a known duty to
act, thereby demonstrating a conscious disregard for their
responsibilities, they breach their duty of loyalty by failing to
discharge that duty obligation in good faith”.
Kewajiban untuk beritikad baik adalah tugas tambahan atau penunjang yang dikaitkan dengan duty of loyalty.
Pengadilan menjelaskan bahwa tanggung jawab berdasarkan itikad baik
adalah tidak langsung, yaitu kegagalan bertindak dengan itikad baik
tidak langsung dapat dikenakan pembebanan tanggung jawab. Namun, perlu
dimengerti bahwa duty of loyalty meliputi pengertian bahwa
seseorang gagal bertindak dengan itikad baik, walaupun seseorang tidak
memiliki benturan kepentingan keuangan atau yang dapat dilihat lainnya [42].
Dalam keputusannya yang berkaitan dengan Perkara Disney, Mahkamah
Agung Delaware, memberikan definisi pelanggaran kewajiban itikad baik
atau duty of good faith dengan formulasi berikut:
“Intentional dereliction of duty, [or] a conscious diregard for ones’s responsibilties“.
Pelanggaran terhadap duty of good faith, atauitikad buruk sebagai lawan dari itikad baik, terjadi jika direksi memiliki niat untuk melalaikan kewajiban atau duty-nya, atau secara sadar melalaikan kewajibannya. Dalam hal ini, itikad buruk terjadi, jika seorang fiduciary menyadari bahwa dia tidak bertindak demi kepentingan terbaik perusahaan, atau tidak konsisten dengan tanggungjawabnya. Chancellor Chandler menyatakan hal berikut [43]:
“[T]he concept of intentional dereliction of duty, a conscious
disregard for one’s responsibilities, is an appropriate (although not
the only) standard for determining whether fiduciaries have acted in
good faith. Deliberate indifference and inaction in the face of a duty
to act is….conduct that is clearly disloyal to the corporation. It is
the epitome of faithless conduct. To act in good faith, a director must
act at all times with an honesty of purpose and in the best interest and
welfare of the corporation”.
Itikad buruk dapat juga diartikan sebagai tindakan, yang menyetujui
suatu transaksi dengan tujuan bukan merupakan usaha yang murni untuk
memajukan kesejahteraan perseroan; atau ketika transaksi diketahui
melanggar hukum positif yang berlaku. Itikad buruk tidak dapat hanya
disebabkan karena kelalaian, tetapi mengabaikan tugas secara sistematis,
dan terus menerus sudah dapat menunjukkan itikad buruk. Itikad buruk
juga dapat terjadi, jika direksi gagal secara sistematis dan terus
menerus melaksanakan tugas pengawasannya, dalam berupaya meyakini diri
adanya sistem pelaporan informasi secara memadai; namun, yang dilihat
disini hanya dari segi prosesnya, bukan substansi dari keputusan [44]. Lebih lanjut, Pengadilan dalam Perkara Disney menyatakan sebagai berikut [45]:
“Bad faith can be the result of any emotion [that] may cause a
director to [intentionally] place his own interests, preferences or
appetites before the welfare of the corporation, including greed,
hatred, lust, envy, revenge,…… shame or pride. Sloth could be certainly
be an appropriate addition to that incomplete list if it constitutes a
systematic or sustained shirking of duty”.
Menurut Hillary Sale, analisis dari itikad baik berfokus pada
pertanyaan akan niat, yang meragukan bahwa direksi bertindak dengan
itikad baik, ketika Direksi tidak memperhatikan, menjungkir-balikkan,
mengabaikan, tanggungjawabnya, atau bertindak dengan sikap netral atau
tidak berpihak terhadap tanggungjawabnya; dan mengutarakan pendapatnya
berikut [46]:
“Good faith based liability….. moves the bar from negligent
behavior to deliberately indifferent, egregious, subversive, or knowing
behavior, and thereby raises issues related to the motives of the
actors…… Two of the cases… that discuss good faith indicate that a
breach of the duty requires motive-based allegations of severely
reckless or seemingly intentional behavior. Situations involving
deliberate indifference or abdication would also cross the line”.
Pendapat lain menambahkan bahwa tindakan yang sembrono merupakan batu ujian untuk menentukan pelanggaran duty of good faith;
atau tindakan dengan itikad buruk harus dikaitkan dengan adanya
motivasi yang tidak pantas atau tidak senonoh atau niat yang tidak halal
[47]. Salah satu kesimpulan dari Perkara Disney menyebutkan bahwa motivasi dari seorang fiduciary
untuk bertindak dengan itikad buruk dapat bersumber dari keserakahan,
kebencian, nafsu, rasa iri, pembalasan, rasa malu, atau rasa bangga.
Dari pengamatannya terhadap sejumlah keputusan pengadilan, Douglas
M. Bradson menyimpulkan, bahwa jika direktur dengan sengaja menyimpan
informasi materiel dan tidak memberitahukannya kepada direksi lainnya,
dengan tujuan menyesatkan pemegang saham, dapat dianggap sebagai itikad
buruk. Kesimpulan lain yang beliau kemukakan adalah jika direksi hanya
menyetujui, atau rubber stamped, tanpa memberikan pertimbangan
atau membuat keputusan terhadap keputusan pemegang saham yang dominan,
maka berarti direksi tidak berdiri secara independen, dan oleh karenanya
tidak memenuhi itikad baik yang diperlukan [48].
Dalam kaitan dengan itikad buruk, Mahkamah Agung Delaware, menyatakan berikut [49]:
“A failure to act in good faith may be shown, for instance, where
the fiduciary intentionally acts with a purpose other than that of
advancing the best interests of the corporation,where the fiduciary acts
with the intent to violate applicable positive law, or where the
fiduciary intentionally fails to act in the face of a known duty to act,
demonstrating disregard for his duties”.
Tindakan itikad buruk diartikan sebagai tindakan dengan niat tidak
untuk memajukan kepentingan perusahaan; tetapi untuk tujuan lain,
seperti bertindak dengan melanggar hukum positif, atau bertindak dengan
niat dihadapan tugas atau kewajiban yang diketahui untuk dilakukan yang
menunjukkan pengabaian terhadap kewajiban atau tugas itu. Tambahan pula,
jika seorang direktur tidak bertindak demi kepentingan terbaik
perusahaan, maka tidaklah relevan jika ia bertindak secara tidak patut.
Dalam keadaan seperti itu, dirasakan cukup untuk menyimpulkan bahwa
direksi memilih untuk tidak melayani perusahaan. Menurut Andrew S. Gold,
adanya tindakan itikad baik atau buruk tergantung pada alam pemikiran
subjektif dari direksi, yaitu keyakinannya bahwa tindakannya adalah
untuk kepentingan terbaik perusahaan; direksi dengan hati yang bersih
dan kepala yang kosong tidak dipertanggungjawabkan berdasarkan formulasi
di atas[50].
Menurut Andrew S. Gold, kategori tindakan dengan itikad buruk
meliputi menghindari semangat untuk melakukan trasaksi atau kontrak yang
adil, kurangnya sikap hati-hati, sombrono, hanya menekankan kinerja
yang “menonjol” atau hanya yang dapat dilihat, menyalahgunakan
kewenangan dalam memenuhi kepatuhan, melakukan intervensi atau gagal
untuk bekerja sama dengan pihak lain.
Dalam Perkara Caremark,formulasi yang dikemukakan oleh
Pengadilan mengenai adanya itikad buruk, jika terdapat kegagalan yang
sistematis atau terus menerus untuk melakukan tugas pengawasan, sebagai
suatu kegagalan yang gamblang untuk meyakini adanya informasi, yang
memadai dan sistem pelaporan yang diperlukan. Disini, kembali yang
dilihat adalah proses yang digunakan direksi, yaitu keadaan mental yang
menunjukkan bahwa direksi tidak menggunakan proses pengumpulan informasi
yang memadai. Dalam Perkara ini, terdapat laporan dari konsultan
independen yang menyatakan bahwa direksi AmSouth dalam berbagai
kesempatan telah mengeluarkan kebijakan dan prosedur, yang dirancang
untuk memastikan kepatuhan terhadap Hukum Kerahasian Bank dan Anti
Pencucian Uang. Oleh karena itu, Pengadilan berpendapat bahwa penggugat
tidak dapat menunjukkan adanya keraguan yang beralasan untuk
mempertanyakan apakah direksi telah bertindak dengan itikad baik [51].
Dalam perkembangan terakhir, Mahkamah Agung Delaware berpendirian bahwa itikad baik merupakan fiduciary duty yang berdiri sendiri, dan terlepas dari pengertian duty of care dan duty of loyalty. Disini, pengertian itikad baik mencakup keadaan seorang fiduciary bertindak sangat bodoh atau keterlaluan, sehingga merupakan tindakan yang lebih jauh dari gross negligence, tanpa harus memenuhi pengujian ada atau tidaknya benturan kepentingan. Gross negligence
sendiri menunjukkan adanya tindakan yang tidak rasional, dan juga
berimplikasi pengabaian terhadap tanggung jawab sebagai direksi dan
bernilai kesengajaan.
Sebagai kesimpulan, Robert Sprague dan Aaron J. Lyttle menegaskan, bahwa pelanggaran duty of good faith
secara khusus dapat ditunjukkan dengan: (1) adanya tindakan yang
disengaja dengan tujuan bukan demi kepentingan terbaik perusahaan, (2)
pelanggaran yang disengaja terhadap hukum yang berlaku, atau (3) dengan
sengaja gagal untuk bertindak dihadapan kewajiban yang diketahui untuk
bertindak, sehingga menunjukkan pengabaian terhadap kewajiban yang
disadari. Itikad buruk dapat ditunjukkan apabila seorang fiduciary
sengaja gagal untuk bertindak dihadapan kewajiban yang diketahui untuk
bertindak, sehingga menunjukkan pengabaian terhadap kewajibannya [52].
5. Duty of Care
Sebagai standar tingkah laku, due care merupakan prasyarat dari BJR, dan digunakan sebagai dasar pemeriksaan apakah direksi memenuhi standar tingkah laku [53].
Direksi yang bertindak dengan itikad baik diartikan tidak memiliki
kepentingan pribadi, dan tugas berikutnya adalah bertindak dengan
hati-hati [54]. Esensi yang penting dari duty of care adalah sikap hati-hati atau prudent, dengan ukuran bertindak seperti seorang biasa yang hati-hati dalam mengurus urusannya sendiri [55].
Menurut Douglas Bradson, standar kehati-hatian yang digunakan tetap berupa kehati-hatian yang layak, due care. Dalam hukum Korporasi, due care ini adalah bahwa direksi harus melaksanakan tugas kewajiban atau duty itu
“dengan kehati-hatian sebagaimana orang biasa yang hati-hati di posisi
yang sama akan menerapkan dalam keadaan yang sama“. Ini artinya direksi
melakukan kontrol terhadap perusahaan dengan menerapkan kehati-hatian
yang digunakan oleh orang biasa dalam melaksanakan tindakannya sendiri [56].
Duty atau kewajiban yang harus dilakukan oleh direksi dalam konteks standard of care meliputi tugas melakukan monitoring, tugas bertanya, tugas untuk mengambil keputusan yang wajar dan prudent
mengenai hal-hal dimana direksi wajib untuk memilih untuk bertindak,
dan tugas untuk menggunakan proses pengambilan keputusan yang wajar[57].
Ini artinya seseorang harus memilih berbagai alternatif dari proses
pengambilan keputusan yang terbaik bagi dirinya. Dalam konteks hukum
korporasi, alternatif yang terbaik dipilih, jika menghasilkan manfaat
yang terbesar bagi perusahaan, atau dalam rangka memaksimalkan
keuntungan bagi perusahaan.
Jika proses pengambilan keputusan itu sehat, pengadilan akan
memeriksa keputusan bisnis dalam rangka melakukan verifikasi hubungan
antara proses dan hasil keputusan. Disini, pengadilan melihat apakah
keputusan bersifat rasional sebagai hasil dari proses pengambilan
keputusan yang dilakukan, atau apakah terdapat hubungan yang rasional
antara proses pengambilan keputusan dengan keputusan yang dibuat. Jadi,
pengadilan tidak mengkaji substansi dari keputusan itu. Tetapi, jika
prosesnya tidak baik atau cacat, maka terlepas dari kualitas keputusan
yang dibuat, maka direksi dapat dinyatakan bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat yang berdekatan dengan tindakan
yang tidak hati-hati itu [58].
Menurut Douglas M. Bradson, sebagai standar tingkah laku, sikap kehati-hatian yag diperlukan dalam BJR adalah due care, atau kehati-hatian yang patut, yang merupakan tingkah laku bersifat de facto,
atau proaktif dalam membuat pertimbangan atau keputusan, atau secara
sengaja untuk tidak mengambil tindakan apa-apa, sebagai lawan
darikelalaian untuk melakukan sesuatu yang harus dijalankanatau nonfeasance.
Beliau menyimpulkan, bahwa pengadilan hanya memerlukan suatu tingkat
kehati-hatian, dan tidak perlu memeriksa proses pengambilan keputusan
secara lengkap [59].
Seorang yang prudent walaupun hanya memiliki pengetahuan
rata-rata ternyata melakukan kesalahan, maka dia tidak dapat dimintakan
tanggung jawabnya, kecuali jika dia melakukan kesalahan yang bersifat gross negligent. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Mahkamah Agung Louisiana, pada tahun 1829, dalam perkara Percy V. Millaudon [60], berikut ini:
“(T)he occurence of difficulties …. Which offer only a choice of
measures, the adoption of a course from which loss ensues cannot make
the (director) responsible, if the error was one into which a prudent
man might have fallen. The contrary doctrine seems to us to suppose the
possesion, and require the exercise of perfect wisdom in fallible
beings. No man would undertake to render a service to another on such
severe conditions. The test of responsibility therefore should be, not
the certainty of wisdom in other, but the possesion of ordinary
knowledge; and by showing that the error of the (director) is of so
gross a kind that a man of common sense, and ordinary attention, would
not have fallent into it“.
Kewajiban untuk bertindak dengan hati-hati atau duty of care
menuntut direksi untuk membuat keputusan bisnis, melalui suatu proses
pengambilan keputusan, dengan tingkat kehati-hatian yang umumnya
digunakan oleh orang biasa dalam keadaan yang sama dengan
mempertimbangkan infomasi materiel yang tersedia secara wajar.
Menggunakan informasi yang cukup dalam pertimbangan untuk membuat suatu
keputusan merupakan usaha itikad baik yang diperlukan dalam melakukan duty of care [61].
Dalam hal ini, Douglas M. Bradson, berpendapat, bahwa direksi
bertanggungjawab untuk mempertimbangkan seluruh fakta materiel yang
secara wajar tersedia, bukan infomasi yang imaterial yang di luar
jangkauan. Beliau mengatakan bahwa ketersediaan informasi secara wajar
itu tidak dapat bersifat subjektif secara keseluruhan, tetapi juga
bersifat objektif [62].
Mengenai informasi yang materiel yang digunakan, ukurannya adalah
bersifat subjektif, sejauh direksi dalam mengambil keputusan yakin bahwa
mereka memiliki informasi yang cukup, yang tergantung pada sifat dan
kompleksitas keputusan yang dibuat. Dari segi objektif, direksi perlu
mengetahui alasan untuk melakukan suatu transaksi bisnis, dampak dari
transaksi itu terhadap para pemangku kepentingan, pandangan manajemen
terhadap harga dan faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi harga, dan
kewajaran dari transaksi itu [63].
Dari segi pengambilan keputusan itu sendiri, di dalam BJR, yang
diperlukan adalah untuk melihat bagaimana suatu keputusan itu di buat,
dalam kata lain proses yang digunakan dalam mencapai pengambilan
keputusan, dan bukan dilihat dari substansi dari keputusan itu sendiri [64]. Jadi, pelanggaran due care dilihat dari prosesnya, bukan dari hasilnya [65].
Namun, jika pengambilan keputusan telah dinodai dengan motif yang
tidak sah atau tidak halal, selain benturan kepentingan keuangan,
seperti balas dendam, dengki, kecemburuan, atau lainnya yang
melatarbelakangi suatu keputusan; jika demikian halnya, maka akan lebih
tepat jika proses seperti itu dikaji melalui kajian unsur itikad baik [66].
6. Duty of Loyalty
Dalam hal pengambilan keputusan, duty of loyalty menuntut
direksi untuk membuat keputusan atau bertindak demi kepentingan pemegang
saham, atau kepentingan konstituen, bukan untuk diri pribadinya [67]. Contoh dari self dealing
adalah menyangkut direksi muncul di dua sisi dari suatu transaksi atau
menerima keuntungan pribadi dari suatu transaksi yang tidak diterima
oleh pemegang saham korporasi [68].
Secara tradisional, unsur duty of loyalty adalah tidak adanya
benturan kepentingan dalam bentuk manfaat keuangan. Jika benturan
kepentingan ini terjadi, maka yang digugat harus membuktikan bahwa
transaksi terkait yang dilakukannya itu bernilai jujur dan wajar [69]. Pelanggaran duty of loyalty bukan dilihat dari prosesnya, tetapi dari hasilnya[70]. Oleh karena itu, esensi yang utama dari duty of loyalty adalah kesetiaan terhadap perseroan, dengan ukuran meletakkan kepentingan perusahaan di atas kepentingan pribadi [71].
Sean J. Griffith menjelaskan mengenai duty of loyalty lebih jauh. Kewajiban ini mulai dipertanyakan ketika muncul benturan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sebagai fiduciary,
yang berkaitan dengan mengarahkan arus kas atau kesempatan investasi,
atau penggunaan aset perusahaan dengan mengutamakan kepentingan atau
reputasi pribadi, bukan untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan.
Ketika direksi mengambil kesempatan ini untuk kepentingan pribadi,
sering dilakukan dengan menggunakan prosedur yang baku. Pada dasarnya, duty of loyalty ditentukan dengan menjawab pertanyaan apakah transaksi itu menguntungkan perusahaan, dan dilakukan secara terbuka, atau at arms length [72].
Annette Greenhow berpendapat, bahwa jika direksi mengambil keputusan
berdasarkan informasi yang cukup, maka sudah dapat dikatakan bahwa
keputusan itu memiliki dasar yang rasional. Tetapi, jika keputusan itu
sama sekali tidak masuk diakal, maka persyaratan yang diperlukan tidak
dapat dipenuhi. Sebagai contohnya, jika penjualan suatu aset, yang telah
dikaji oleh direksi, ditetapkan dengan harga yang sangat rendah, dan
tidak masuk diakal, maka dapat disimpulkan bahwa telah terdapat benturan
kepentingan, atau tidak adanya itikad baik [73].
Dalam mengkaji objektivitas dari suatu keputusan, Hukum Korporasi Delaware mendekatinya melalui ketentuan berikut [74]:
“In making business decision, the directors are presumed to have
acted independently, in an informed basis and in good faith that the
decision is in the best interest of the corporation. The business
decision will be sustained unless the presumption is rebutted in either
two ways: (a) the process, independence, or good faith of the director
is compromised, or (b) the decision cannot be attibuted to rational
busniness purposes”.
Kutipan di atas menunjukkan perbedaan yang lebih menekankan pada
proses pengambilan keputusan. Keputusan bisnis tidak dapat
dipertahankan, jika proses pengambilan keputusan itu, atau independensi
dari direksi pengambil keputusan bukan lagi bagaimana seharusnya, atau
telah di kompromikan, di samping keputusan itu bukan sebagai akibat
adanya tujuan bisnis yang rasional. Masalah proses ini dan independensi
disetarakan dengan unsur itikad baik. Artinya jika direksi mengambil
keputusan tidak secara independen, atau proses pengambilan keputusannya
tidak sebagaimana biasanya, maka keadaan itu dapat menyimpulkan adanya
unsur itikad buruk.
D. PEMBERIAN KREDIT BANK
1. Pengertian Prinsip Kehati-Hatian / Prudential Principle.
Dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat, kegiatan
perbankan perlu dilandasi dengan asas atau prinsip hukum. Asas hukum
yang berkaitan dengan kegiatan perbankan meliputi asas demokrasi
ekonomi, asas kepercayaan atau fiduciary principle, asas kerahasiaan atau confidentiality principle, dan asas kehati-hatian atau prudential principle [75].
Karena bank tidak terlepas dari bentuk-bentuk kerawanan atau risiko,
terutama dalam kegiatan pemberian kredit, asas yang paling penting
adalah prinsip kehati-hatian atau prudential principle. Asas ini wajib diterapkan dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank [76].
Frasa prudential principle, atau prinsip kehati-hatian, bertitik tolak pada kata prudence. Menurut Adam Smith, prudence adalah
kebajikan moral dan intelektual yang paling sempurna, dan sekaligus
merupakan kebijakan dengan kebajikan yang paling sempurna pula. Adam
Smith memberikan sejumlah karakteristik dari orang yang memiliki sikap
kehati-hatian atau prudent man. Dari sejumlah atribut yang dikemukakan oleh Adam Smith, sebagian adalah sebagai berikut [77]:
”Orang dengan sikap hati-hati selalu mempelajari secara serius dan
sungguh-sungguh apa yang harus dipahaminya dari segi profesi, selalu
tulus, dan hanya mengatakan yang benar, serta selalu bersikap hati-hati
dalam setiap tindakannya, termasuk ketika berbicara. Ia selalu
menghargai sesuatu yang tidak berlebihan dan kewajaran, penuh dengan
diskresi dalam batas yang wajar, serta bertingkah laku baik. Sebagai
reputasi bagi profesinya, ia selalu melakukan transaksi berdasarkan kemantapan dari pengetahuan dan kemampuannya”.
Menurut Hermansyah [78],
penerapan prinsip kehati-hatian dapat dilihat dari bagaimana bank dan
orang-orang yang terlibat di dalamnya membuat kebijaksanaan dan
menjalankan kegiatan usahanya. Dalam menjalankan usahanya, mereka wajib
menjalankan tugas dan wewenang masing-masing secara cermat, teliti, dan
profesional, selalu mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang
berlaku secara konsisten dengan didasari dengan itikad baik. Dengan
menjalankan kegiatan usaha seperti itu, diharapkan bank dapat
menghindari diri dari praktik yang tidak sehat dan meminimalkan kerugian
yang mungkin dapat terjadi [79].
Ini berarti bank melindungi kepentingan masyarakat pemilik dana,
sehingga dengan demikian dapat memperoleh kepercayaan masyarakat.
2. Proses Pemberian Kredit
Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank, dan sekaligus
merupakan sumber pendapatan untuk menutup biaya bunga yang dibayarkan
kepada para deposan atau masyarakat penyimpan dana dan biaya-biaya
operasional, sedangkan kelebihannya merupakan keuntungan bagi bank. UU
Perbankan menyebutkan bahwa kredit adalah:
”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Menurut Veithzal Rivai dan Adria Permata Veithzal, terdapat dua
fungsi yang saling berkaitan dengan kredit. Pertama, tingkat keuntungan,
yaitu tujuan untuk memperoleh hasil dari kredit berupa keuntungan yang
diraih dari bunga yang harus dibayar oleh nasabah. Oleh karena itu, bank
hanya akan menyalurkan kredit kepada usaha-usaha nasabah yang diyakini
mampu dan mau mengambalikan kredit yang telah diterimanya. Kedua,
keamanan, yaitu keamanan dari prestasi atau fasilitas yang diberikan
harus benar-benar terjamin sehingga tujuan ’keuntungan’ dapat
benar-benar tercapai tanpa hambatan yang berarti [80].
Proses pemberian kredit/pinjaman pada hakekatnya meneliti dan memastikan bahwa terdapat unsur-unsur yang dikandung oleh kata pistis, credo dan trusworthiness
itu; atau untuk memastikan kelayakan suatu permohonan kredit, apakah
dapat diterima atau ditolak (Kasmir, 2006 : 95). Proses tersebut dimulai
ketika permohonan dari calon debitor kepada bagian marketing, dan ditangani oleh account/loan officer.
Tugas mereka adalah mengumpulkan data/informasi dan dokumen yang
diperlukan untuk memproses permohonan kredit, melakukan analisis kredit,
memperoleh persetujuan pinjaman/pembiayaan internal, dan menangani
serta memonitoring pinjaman/pembiayaan yang diberikan.
Pemrosesan permohonan kredit mencakup sejumlah aspek yang perlu
dianalisis oleh bagian marketing, dengan melibatkan bagian lain seperti
yang ditunjukkan dalam kurung berikut: 1. Pengecekan daftar hitam atau
kredit macet, apakah calon debitor termasuk di dalamnya (account officer). 2. Aspek yuridis, dari legalitas badan hukum dan legalitas usaha (account officer/bagian
hukum) 3. Mengenai usaha debitor, ditinjau dari aspek marketing, aspek
keuangan, aspek teknik/produksi, aspek manajemen (marketing/account officer). 4. Aspek jaminan kredit dan pengikatan barang-barang jaminan (account officer/bagian hukum), 5. Kajian ulang permohonan atau persetujuan permohonan fasilitas kredit (risk management),
6. Cara pengikatan kredit (bagian hukum), 7. Penandatanganan surat
perjanjian kredit (bagian hukum dan bagian operasional) (Fuady, 2002a :
107). Menurut Kasmir (2006 : 95), prosedur dan penilaian kredit secara
umum bagi setiap bank tidak jauh berbeda; yang berbeda hanyalah pada
persyaratan dan ukuran penilaian dengan pertimbangan masing-masing bank.
Untuk memproses suatu permohonan kredit, account officer
mengumpulkan informasi atau data mengenai calon debitor, antara lain
meliputi laporan keuangan perusahaan debitor, jenis usaha, latar
belakang usaha dan pemilik, track record dari perusahaan dan pemilik, tujuan dari pinjaman, jaminan yang dapat diberikan, dan seterusnya[81]. Setelah memproleh informasi yang diperlukan, account officer harus melakukan analisis dan penilaian yang berkaitan dengan sifat dari calon debitor (charácter), modal yang dimiliki (capital), kemampuan akan membayar kembali (capacity), jaminan yang akan diberikan untuk mendukung kredit yang akan diberikan (collateral), kemudian apakah kondisi ekonomi akan menunjang usaha si debitor sehingga dia dapat mengembalikan kreditnya (condition of the economy), serta meneliti kegunaan kredit yang dimintakannya[82].
Apabila hasil review risk management membuahkan hasil yang
positif, maka usulan tersebut dapat diteruskan kepada pihak pemutus
kredit sesuai dengan tingkat kewenangannya. Pemutus kredit, atau pihak
yang dapat memberikan persetujuan kredit, berdasarkan ketentuan KPB yang
ditetapkan Bank Indonesia, merupakan bagian dari suatu kredit komite
(KK) [83]; dan untuk jumlah kredit yang besar tertentu memiliki anggota dan ketua yang terdiri dari Direksi.
Setelah komite kredit yang terdiri dari Direksi ini menyetujuinya,
dan jika jumlah tertentu memerlukan persetujuan komisaris bank, maka
langkah terakhir harus pula memperoleh persetujuan komisaris ini.
Setelah itu, persetujuan kredit yang telah diperoleh disampaikan secara
resmi kepada debitor. Jika debitor menerima syarat-syarat kredit yang
disetujui bank, bagian hukum bank akan mempersiapkan penandatanganan
perjanjian kredit beserta perjanjian jaminan lainnya. Apabila seluruh
dokumentasi yang diperlukan telah dipenuhi, bagian operasi bank akan
mengijinkan pencairan kredit sesuai yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak.
3. Analisis Kredit
Melakukan analisis kredit adalah bagian untama dalam memproses kredit, dan cara utama untuk mengatasi masalah asymmetric information dan menghindari adverse selection, dan merupakan unsur utama dalam melakukan penyeleksian atau screening.
Coyle (2000 : 1) menyebutkan bahwa analisis kredit merupakan suatu
proses investigasi dan penilaian yang terstruktur mengenai risiko
potensil dari seorang calon debitor peminjam, yang dilakukan oleh
seorang analis kredit untuk pengambilan keputusan pemberian pinjaman
yang akan dilakukan oleh pemutus kredit.
Hal yang mendasar dalam analisis kredit adalah meneliti prospek usaha
dan kemampuan keuangan calon debitor di masa depan. Analisis prospek
usaha dan kemampuan keuangan di masa depan ini memerlukan penelitian
terhadap sifat dari usaha atau bisnis si calon debitor dalam
konteks industri dimana dia berusaha atau beroperasi; dan yang kedua,
menganalisis kemampuan arus kas yang dihasilkan oleh usaha atau
bisnisnya itu[84]dari
waktu ke waktu. Kedua hal ini mengarah langsung kepada kemampuan bayar
calon debitor, atau mengidentifikasi sumber dari pembayaran kembali dan
mengkaji apa yang membuat sumber tersebut dapat terealisasi.
Keyakinan akan kemampuan dan kemauan tersebut seyogianya bersifat
endogen dalam diri debitor, dan tugas kreditor dalam kaitan ini adalah
untuk memastikan adanya unsur endogen ini. Calon kreditor harus
meyakinkan diri bahwa unsur ini memang berada dalam diri calon debitor;
sehingga dapat diharapkan bahwa unsur itu dapat mendorong debitor
tersebut untuk menggunakannya, ketika terdapat masalah dalam bisnisnya
yang berkembang ke arah yang tidak baik. Seyogianya, bank memiliki
kewajiban untuk melindungi kepentingan para pemilik dana dengan
melakukan pekerjaan yang diperlukan secara prudent dan bertanggungjawab. Untuk keperluan itu, Green mengatakan, bahwa para bankir perlu memahami aturan “canons of lending”[85].
Untuk menganalisa suatu kredit, kreditor memerlukan banyak informasi [86]
baik yang berkaitan dengan keuangan maupun non-keuangan, baik yang
diperoleh dari debitor sendiri, maupun dari berbagai pihak lainnya.
Untuk memperoleh informasi yang diperlukan, kreditor perlu melakukan
suatu bentuk riset mengenai calon debitor [87];
riset ini akan mudah dilakukan jika, baik debitor maupun kreditor,
memiliki pengetahuan dan jaringan dari mana informasi dapat diperoleh;
sehingga, verifikasi informasi sekaligus dapat dilakukan.
Peminjaman yang baik dan ideal dapat dilakukan, apabila pinjaman itu
membuat seseorang dapat melakukan usahanya dengan lebih besar dan lebih
cepat. Perkembangan ini seyogianya akan membantu perkembangan dirinya
melalui keberhasilan proyek atau bisnis yang diusahakan dan ditekuninya.
Dari kedua syarat ini disimpulkan bahwa debitor harus yakin dapat
mencapai tujuannya itu, sehingga dia pun dapat membayar kembali
hutangnya. Dari sisi lain, jika debitor dapat berkembang secara pribadi,
misalnya melalui keberhasilan proyeknya, maka masyarakat luas dapat
pula memperoleh manfaat dari keberhasilan proyek itu.
Di lain pihak, pengambilan pinjaman atau hutang akan menambah resiko usaha bagi debitor, dan resiko kredit bagi kreditor [88]. Menurut Chorafas, orang yang menggunakan pinjaman atau hutang yang berlebihan atau overgearing menunjukan bahwa orang tersebut melakukan praktik etika yang meragukan [89].
Dalam kaitan ini, yang diperlukan adalah hubungan mengenai berapa
banyak utang yang dapat digunakan dengan kemampuan dalam jangka panjang
untuk membayar kembali. Hutang yang berlebihan untuk ukuran industri
tertentu atau overgearing membuat usaha menjadi sangat rawan
terhadap perubahan lingkungan usaha, dan sekaligus merupakan penyebab
utama kenapa usaha mengalami kebangkrutan atau wanprestasi atau default [90].
Mengingat peranan bank dalam masyarakat, bank memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk bertindak secara hati-hati atau prudent, dan
berkewajiban untuk memastikan dan meyakini diri bahwa calon debitor
memenuhi dua syarat menurut De Satins. Kedua syarat itu adalah bahwa
bank mengetahui dengan jelas bahwa calon debitor mengambil dan menerima
pinjaman sebanyak yang dia ketahui dia akan mampu untuk membayarnya, dan
pengambilan pinjaman itu digunakan secara efektif untuk pengembangan
usahanya. Kedua hal ini dikaji dan dipastikan dengan menggunakan
analisis kredit untuk mengambil keputusan yang tepat dalam pemberian
pinjaman.
Jika kemudian kreditor dan debitor tidak dapat mencapai titik temu
dalam kedua hal tersebut, menurut Chorafas, kreditor seharusnya tidak
melakukan hubungan bisnis dengan debitor seperti itu [91].
Dalam kata lain, permohonan kreditnya tidak dapat disetujui atau perlu
ditolak. Sebagai alternatif jalan tengah, bank dapat memutuskan untuk
melakukan credit rationing, dengan memperkecil jumlah pinjaman,
memperketat syarat pinjaman, meminta tambahan kolateral, dan memperbesar
tingkat bunga, atau kombinasi dari keputusan ini [92].
Analisis kredit bukanlah merupakan ilmu yang pasti [93]. Ed Emmer menyatakan bahwa “credit analysis is an art, not a science” [94].
Namun, analisis kredit yang benar dan efektif harus mencerminkan
keadaan dunia yang sesungguhnya, dan apabila hasil analisis gagal
mencapai pencerminan ini berarti berlawanan dengan akal sehat atau common sense [95]. Di sisi lain, seluruh proses dalam analisis kredit memerlukan pertimbangan atau judgement manusia[96].
Pada hakikatnya, mempertimbangkan sesuatu adalah merupakan suatu
proses menilai suatu situasi atau kenyataan dalam rangka mencapai suatu
kesimpulan. Kesimpulan yang diambil merupakan hasil pertimbangan nilai
dan bersifat kontekstual, sehingga yang tidak terlepas dari ketidak
berpihakkan. Terutama dalam penentuan masalah kriteria pertama, yaitu
karakter, memerlukan pertimbangan yang besar, dan tidak lepas dari
masalah subjektivitas[97]. Namun, karakter merupakan pertimbangan pertama, dimana pertimbangan terhadap C yang lain dapat dipengaruhi unsur karakter itu[98] .
Jika calon debitor tidak memiliki karakter yang baik, maka kualitas
informasi dari C yang lain akan terpengaruhi. Seseorang yang tidak
memiliki kejujuran dalam berbisnis misalnya, akan menerbitkan laporan
keuangan dengan kualitas kebenaran yang dapat diragukan, dan oleh
karenanya wajib dipertanyakan.
Analisis kredit merupakan hal yang sangat penting dilakukan, dan
menentukan perjalanan kreditor dengan setiap debitor yang dipilihnya
dalam mempertahankan pinjaman yang diberikan dalam portofolio pinjaman
bank. Analisis kredit seyogianya akan dapat membedakan antara kredit
atau debitor yang baik dari yang buruk, sehingga merupakan bagian utama
dari masalah perkreditan. Sedangkan, keahlian dalam pelaksanaan
perkreditan merupakan isu sentral terhadap reputasi dan tingkat
keuntungan bank [99].
4. Keputusan Kredit
Walaupun pengambilan keputusan itu secara proseduril telah benar
dilakukan, tidak ada jaminan bahwa keputusan kredit itu akan selalu
memenuhi harapan. Keputusan kredit juga merupakan suatu keputusan
bisnis, tetapi menurut Bainbridge, keputusan bisnis meliputi
pertimbangan kehati-hatian di antara sejumlah alternatif yang mungkin
dapat diterima. Namun, sifat bisnis yang kadang-kadang tidak menentu,
sehingga keputusan yang diambil dengan hati-hati sekalipun dapat
membuahkan hasil yang buruk[100].
Substansi utama dari proses persetujuan kredit yang melibatkan banyak
pihak dalam struktur organisasi perkreditan suatu bank adalah untuk
meyakinkan bank sebagai suatu institusi bahwa kredit yang akan
disetujuinya itu cukup layak untuk diberikan. Cukup layak artinya
debitor diyakini akan mampu untuk membayar bunga serta cicilan pokoknya
kembali, sehingga kredit tersebut dapat diperkirakan tidak akan
mengalami kemacetan.
Kalaupun kemacetan terjadi juga di kemudian hari, maka bank harus
meyakini diri bahwa jaminan tambahan atau agunan yang dimiliki dapat
dijadikan sebagai sumber pelunasan kredit yang diberikan. Agunan
tambahan ini harus dibahas dalam Komite Kredit, ditetapkan dan diterima
di awal perjanjian kredit. Sedangkan nilai dan bentuknya, harus
dikaitkan dengan persepsi tingkat risiko kredit yang dihadapi.
Keputusan kredit adalah yang mengandung unsur moral yang paling
besar, karena menyangkut begitu banyak kepentingan orang lain. Menurut
Lehrer, keputusan moral adalah keputusan unik, karena harus
mempertimbangkan kepentingan orang lain [101].
Orang lain yang tercakup dalam keputusan pemberian kredit dan harus
dipertimbangkan begitu banyak. Pihak yang banyak itu mewakili begitu
banyak kepentingan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Mulai dari
masyarakat pemilik dana yang disimpan pada bank, debitor dan calon
debitor yang mewakili kepentingan pertumbuhan usaha dan para pekerja
dibelakangnya, para stakeholders di belakang usaha yang dibiayai, sampai pada para pemilik dan para stakeholders yang berkaitan dengan bank itu sendiri, disamping para pegawai dan keluarganya.
Apabila keputusan kredit yang diambil tidak tepat, maka akan
berakibat pada timbulnya kredit bermasalah atau NPL, dan seterusnya akan
berakibat pula pada kegagalan bank dan kemudian pada krisis perbankan. Apabila hal ini terjadi, seluruh pihak yang dikemukakan tadi akan
merasakan akibat negatifnya.
Pengambilan keputusan kredit ini sangat penting artinya tidak saja
bagi kualitas portofolio pinjaman bank bagi institusi pemberi pinjaman,
tetapi juga bagi kelanjutan atau kelanggengan usaha bank. Dari segi
pemikiran deontologi, pendekatan terhadap masalah etika berporos pada
konsep tugas atau duty, dimana tugas seseorang adalah untuk
melakukan apa yang benar secara moral, dan menghindari diri dari yang
buruk. Individu pada dasarnya merupakan unit etika, sehingga diperlukan
agen yang bermoral.
Oleh karena itu, keputusan kredit sangat tergantung pada individunya,
yang akan mengambil keputusan yang benar, dan bermoral karena
menyangkut begitu banyak kepentingan orang lain. Dari segi tugas,
keputusan kredit merupakan pilihan yang diambil dalam memastikan bahwa
suatu risiko kredit dapat diterima atau tidak, dan sekaligus
menyelaraskan keseimbangan antara resiko dan perolehan laba, atau risk and return dari suatu transaksi perkreditan.
Pertimbangan merupakan proses dari pengolahan seluruh informasi yang
terkait dan berinteraksi secara bersamaan meliputi unsur keuangan,
ekonomi, dan manjemen. Terakhir, keputusan merupakan pemilihan keputusan
yang terbaik, dan dikaitkan dengan arahan yang harus diikuti. Dalam
konteks organisasi bank, arahan ini merupakan ketentuan dari perkreditan
yang harus diikuti dan ditaati.
Dengan demikian, apakah keputusan kredit itu benar atau tidak, atau
disetujui atau ditolak, harus didukung dengan alasan-alasan yang benar,
yang mucul dari hasil analisis yang menggunakan fakta dan informasi yang
relevan dan mutakhir. Putusan moral bukan berdasarkan suka atau tidak
suka, tidak ditentukan oleh emosi atau selera, tetapi lebih memerlukan
penalaran yang objektif.
Keputusan kredit yang bersifat komersial menyangkut hard information atau informasi yang khusus dan dapat dikuantifisir termasuk laporan keuangan, proyeksi keuangan dan data jaminan, dan soft information
yang telah dipertimbangkan secara objektif. Dua kelompok informasi ini
tercakup didalam pendekatan 5 C. Menurut Wolfson, kondisi keuangan
debitor secara menyeluruh merupakan perhatian sentral dari pertimbangan
bank dalam rangka memperkirakan kemampuan debitor untuk membayar
pinjamannya kembali, dan mengkaitkan pengkajian ini dengan keadaan
ekonomi di masa depan yang dapat mempengaruhi kemampuan ini [102].
Menurut Wolfson lebih jauh, kemampuan itu akan menurun ketika putaran
usaha akan mencapai puncaknya. Terutama dalam pendekatan terhadap
pinjaman non-korporasi, analisa kredit lebih ditekankan pada jejak rekam
calon debitor dalam hal kemampuannya dalam memproduksi atau
memperdagangkan suatu barang dengan memperoleh suatu tingkat keuntungan.
Kemampuan mengelola produksi dan pemasaran dalam bentuk sederhana harus
dapat terlihat dan dirasakan ketika keputusan kredit akan dibuat; dan
hal ini harus didukung oleh bukti yang dapat dipercaya.
Inti dari pengambilan keputusan adalah membentuk keyakinan dalam menentukan kemampuan arus kas atau cash flow
calon debitor untuk membayar hutang dan bunga di masa depan, dan
komitmen debitor untuk melakukannya. Untuk itu, kreditor harus
mengestimasikan sesuatu yang belum pasti. Ketidakpastian yang lain
timbul dari sulitnya mengestimasikan bahwa debitor akan membuat
keputusan untuk membayar hutangnya [103].
Menurut Wolfson, pada dasarnya ketidakpastian atau uncertainty
merupakan suatu pemikiran bahwa masa depan tidak dapat dipersempit ke
dalam perhitungan probabilita aktuaria, baik secara subjektif maupun
objektif [104].
Dalam kaitan ini, baik kreditor maupun debitor menghadapi masalah
ketidakpastian dalam masa depan. Wolfson mengungkapkan pandangan Keynes [105], bahwa untuk mengambil keputusan dalam ketidakpastian itu, orang akan mendasari tindakannya berdasarkan kesepakatan atau convensions [106]; yang digunakan seiring dengan berbagai tingkat keyakinan atau confidence..
Keputusan kredit harus dilakukan secara independen, berdasarkan
data-data dan informasi yang telah diverikasi, dan telah dianalisis
secara mendalam, diekstrapolasi ke depan, ditambah dengan keyakinan yang
telah terbentuk berdasarkan analisis, pengamatan yang seksama diiringi
oleh intuisi yang menghasilkan keyakinan orang-perorang terhadap
kelangsungan usaha dan arus kas debitor di masa depan, dimana kekuatan
arus kas yang dibarengi dengan usaha yang prospektif akan mendorong
calon debitor untuk membayar kewajibannya kepada bank.
Keputusan kredit harus pula diupayakan merupakan self evident, dan tertulis dengan baik, serta berdiri sendiri atau on a stand alone basis,
dengan hanya pertimbangan komersial tanpa dipengaruhi oleh apapun,
kecuali oleh informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan kredit.
Keputusan kredit harus dibuat secara independen untuk setiap usulan
kredit dan untuk setiap calon debitor yang berbeda, atau untuk debitor
yang sama tetapi untuk proyek atau jaminan yang berbeda, atau untuk
resiko kredit yang berbeda.
Keputusan kredit juga merupakan keputusan manajemen, tidak saja
meliputi aplikasi prosedur operasi stándar, tetapi juga mencakup
informasi, kepercayaan, kebijaksanaan, dan nilai yang dianut, yang
keseluruhannya dikombinasikan dalam menghasilkan informed judgment[107],
melalui proses yang juga bersifat subjektif pada kadar tertentu.
Bersifat subjektif karena mengandung intuisi, pertimbangan serta
keyakinan individualistik dari para pemutus kredit. Walaupun secara umum
intuisi merupakan gerak hati yang paling dalam, bersifat spiritual dan
personal, dan tanpa sentuhan indra serta olahan akal [108],
tetapi intuisi dalam pemberian kredit harus mengacu pada pengalaman
sebelumnya yang dapat dijelaskan secara logis, dan berdasarkan olahan
rasional dari data-data yang perlu dikumpulkan.
Secara keseluruhan, uraian ini menunjukan bahwa keyakinan harus
dibangun berdasarkan begitu banyak data dan informasi serta upaya,
ditambah dengan intuisi, sehingga unsur subjektifitas dapat dikurangi;
dan bukan semata-mata karena unsur keyakinan seperti yang tersirat dari
pendapat Ogden Mills, ”What is credit but confidence?”[109].
Namun, keyakinan yang diperlukan dalam pemberian kredit adalah
didasarkan pada penalaran terhadap data-data yang relevan dan perlu
dikumpulkan dan diolah dengan akal secara rasional.
5. Pemutus Kredit dan Ketentuan UU Perbankan
Karena persetujuan kredit diberikan oleh Pemutus Kredit, maka itu
berarti bahwa Pemutus Kredit harus memastikan bahwa seluruh ketentuan
yang berlaku dalam pemberian kredit telah dipenuhi. Keputusan yang
diambil oleh pemutus kredit itu didasarkan pada masukan dan analisis
yang dilakukan oleh account officer, dan telah dikaji ulang secara seksama oleh bagian risk management.
Seperti halnya yang diminta UU Perbankan, pemutus kredit harus yakin
bahwa kredit yang akan disetujuinya akan dapat dibayar kembali oleh
debitor. Oleh karena itu, untuk memperoleh keyakinan ini, pemutus kredit
harus pula meyakini diri bahwa analisis yang dilakukan oleh account officer itu dan kajian dari risk management tersebut telah memenuhi standar perkreditan yang dianut oleh bank.
Dari segi moral, pemutus kredit memiliki tanggung jawab yang paling
besar dalam urutan proses pemberian kredit. Keputusannya itu akan
menentukan perjalanan kehidupan bank di masa depan, dan mengandung
tanggung jawab yang besar terhadap para stakeholders; terutama
masyarakat para pemilik dana yang menitipkan uangnya pada bank. Bank dan
pemutus kredit harus memastikan bahwa bahwa uang masyarakat yang akan
dipinjamkan pada calon debitor itu mutlak harus dapat dikembalikan
dengan utuh beserta bunga yang dijanjikan.
Jika pemutus tidak yakin, tetapi tetap memutuskan pemberian suatu
kredit, atau keyakinannya tidak memenuhi harapan, sehingga ternyata
kredit kemudian bermasalah, atau tidak dapat dikembalikan oleh debitor,
maka NPL akan tercipta. NPL yang besar dapat menimbulkan masalah besar
bagi bank, sehingga dapat ditutup oleh pemerintah jika tidak terdapat
dana talangan. Dalam keadaan seperti itu, dana masyarakat yang dipakai
untuk pemberian kredit yang diputuskan oleh Pemutus Kredit dapat tidak
kembali kepada pemiliknya seperti yang semula diharapkan.
Dalam UU Perbankan, terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan pemutus kredit:
Pertama, Pasal 2 UUPerbankan, yang menyebutkan
bahwa bank dalam melakukan usahanya harus berdasarkan demokrasi ekonomi,
dengan menggunakan prinsip kehati-hatian, atau prudential principles. Prinsip
ini mutlak harus dihayati, dijalankan dan dipenuhi oleh pemutus kredit,
mengingat bank memiliki karakteristik yang sangat rawan terhadap risiko
kredit. Oleh karena itu, pemutus kredit perlu memahami makna dari kata prudential atau prudence ini..
Kedua, Pasal 4 UUPerbankan menetapkan bank sebagai agent of development,
yang secara substantif menuntut agar dana masyarakat harus disalurkan
melalui kredit untuk tujuan-tujuan produktif dalam rangka menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dan membantu peningkatan tingkat laju
dan pemerataan pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah
peningkatan kesejahteraan masyarakat luas. Pada dasarnya, pasal ini
menunjukkan bahwa para bankir atau pemutus kredit, selain
bertanggungjawab terhadap profesi dan pekerjaannya, mereka juga harus
bertanggungjawab pada ruang lingkup yang lebih luas. Menurut
Preston, secara umum, peranan profesi seseorang tidak dapat dipisahkan
dengan tanggung jawab sosial dan akibatnya pada kehidupan keluarga,
lingkungan hidup atau sosial, dan keadilan sosial [110].
Ketiga, Pasal 8 UUPerbakan menentukan pihak
pemutus kredit harus meyakini diri, bahwa seluruh unsur yang berkaitan
dengan calon debitor telah dikaji berdasarkan analisis yang mendalam dan
seksama, dan calon debitor memiliki itikad dan kemampuan serta
kesanggupan untuk melunasi utangnya. Tersirat dalam ketentuan ini adalah
bahwa pemutus kredit bertanggungjawab atas kualitas akhir dari analisis
kredit yang disajikan oleh pihak di bawahnya.
Selain itu, pemutus kredit harus memastikan tidak ada peraturan
perundangan atau ketentuan internal bank yang dilanggar. Dalam hal ini,
pemutus kredit juga diwajibkan untuk memperhatikan Pasal 27 ayat (3)
UUPerbankan. Pasal ini menyebutkan bahwa dalam pemberian kredit atau
dalam menjalankan usaha, bank wajib untuk menempuh cara-cara yang tidak
merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada
bank.
Keempat, Pasal 49 UUPerbankan tidak saja berlaku
bagi pemutus kredit, tetapi juga bagi seluruh pihak internal bank
termasuk anggota dewan komisaris, Direksi atau pegawai bank. Pasal ini,
terutama ayat 2 (b), menyebutkan bahwa seluruh pihak internal bank
yang disebutkan itu tidak dapat meminta, menerima, mengizinkan, atau
menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan,
pelayanan, dan seterusnya, dalam rangka memberikan persetujuan untuk
menarik dana yang melebihi batas kredit yang disetujui.
E. UNSUR YANG DIPERLUKAN DALAM BJR DAN DALAM PASAL 2 DAN PASAL 8 UUPERBANKAN.
Berdasarkan uraian di muka, di bawah ini dikemukakan unsur-unsur yang
diperlukan dalam BJR, sehingga direksi dapat memperoleh perlindungan
hukum terhadap keputusan bisnis yang diambilnya. Di samping itu,
unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam membuat keputusan kredit, yang
ditentukan berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 8 UUPerbankan, juga dikemukakan
sebagai bahan perbandingan.
Tabel E1
Perbandingan Unsur-Unsur BJR dengan Unsur-Unsur yang Diperlukan
Dalam Pasal 2 dan 8 UU Perbankan
BJR | PASAL 2 DAN PASAL 8 |
Dasar kewenangan bertindak
Aplikasi
Dasar pemberian perlindungan hukum
Ruang lingkup pemeriksaan pengadilan
Faktor yang meniadakan perlindungan hukum secara kusus
Faktor yang meniadakan perlindungan hukum secara umum
Informasi yang diperlukan
Wadah pengambilan keputusanUUPT
Berdasarkan anggaran dasar perseroan, dan pembagian tugas direksi
Keputusan bisnis direksi.
Memenuhi 3 serangkai fiduciary duty: itikad baik, duty of care, duty of loyalty; dan keputusan dibuat hanya untuk kepentingan perseroan.
Tidak memeriksa kualitas keputusan; tetapi mengkaitkan rasionalitas hubungan antara proses dan keputusan yang dibuat.
Melanggar tiga serangkai dari fiduciary duty: itikad baik, duty of care (bukan merupakan gross negligence), dan duty of loyalty (tidak ada benturan kepentingan); keputusan yang rasional.
Self dealing, penipuan, melanggar hukum positif, dan ketentuan anggaran dasar, ultra vires, pemborosan, korupsi, dan suap
Informasi yang relevan, tersedia secara wajar dan memadai; tetapi bersifat relatif tergantung komplexitas masalah yang dihadapi.
Umumnya dalam rapat direksiUUPerbankan
Berdasarkan anggaran dasar bank sebagai badan hukum,dan penunjukan direksi sebagai pemutus kredit dan anggota komite kredit.
Keputusan kredit direksi dan pemutus kredit
Tidak secara jelas disebutkan; tetapi pada dasarnya, harus memenuhi prinsip kehati-hatian, dan analisis yang mendalam untuk memperoleh keyakinan mengenai itikad baik, kemampuan, dan kesanggupan debitor untuk membayar utangnya.
Pasal 49 Ayat (2) UUPerbankan menyebutkan bahwa komisaris, direksi, dan pegawai bank wajib melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan UUPerbankan dan lainnya.
Cenderung sama, dilihat dari kosep marginale toetsing.
Tidak secara jelas dinyatakan dalam UU terkait; tetapi dalam praktik pengadilan, perlindungn hukum tidak diberikan ketika melanggar prinsip kehati-hatian, ketentuan perkreditan internal bank, dan ketentuan Bank Indonesia.
Cenderung sama dalam arti melawan hukum
Informasi yang diperlukan harus dicari dan digali dari berbagai sumber, secara menyeluruh, untuk analisis dalam koteks 5C’s, termasuk laporan keuangan debitor, dan informasi yang diperlukan lainnya, seperti informasi mengenai reputasi calon debitor, dan catatan pembayaran terhadap kreditor lain yang (pernah) ada, dalam rangka membuat analisis keuangan dan kredit, yang dapat menghasilkan keyakinan yang ditetapkan dalam Pasal 8 UUPerbankan, sebagai dasar untuk membuat rekomendasi apakah pinjaman dapat diberikan atau tidak, dan untuk diputuskan oleh pemutus kredit.
Analisis kredit merupakan proses investigasi yang terstruktur dan rinci, dan gabungan data kualitatif dan kuantitatif, serta intuisi pemutus kredit.
Umumnya dalam rapat komite kredit bank
Sumber: UNX berjudul “Perbandingan Unsur-Unsur Business Judgement Rule dengan Ketentuan Keputusan Kredit berdasatrkan UU Perbankan“, oleh Hendy Herijanto.
Tabel di atas menunjukkan bahwa, secara umum, unsur yang diperlukan
atau berkaitan dengan Doktrin BJR identik dengan yang diminta oleh
Pasal 2 dan Pasal 8 UUPerbankan. Namun, perbedaannya terletak pada
informasi yang diperlukan dan proses mengolah informasi dalam membuat
keputusan.. Untuk BJR, informasi yang diperlukan bersifat relatif,
tergantung dari kompleksitas masalah yang dihadapi, dan yang umumnya
tersedia secara wajar. Namun, untuk memenuhi yang diminta secara khusus
oleh Pasal 8 Pasal UUPerbankan, informasi yang diperlukan diperoleh dan
digali baik dari debitor yang terkait, maupun dari sumber lain yang
mengetahui mengenai debitor dan usahanya.
Dari segi proses, pengolahan data dalam membuat analisis kredit dan
keuangan bersifat sangat tehnis dan rinci. Rekomendasi untuk membuat
keputusan kredit merupakan kesimpulan dari hasil analisis kredit dan
keuangan calon debitor, yang dibuat oleh analis kredit atau bagian di
bawah direksi. Rekomendasi ini masih harus dikaji ulang dan dicerna
oleh pemutus kredit, dengan menggunakan intuisi pribadinya. Proses
pengambilan keputusan oleh direksi dalam konteks BJR pada umumnya sama
dengan bagaimana pemutus kredit dalam membuat keputusan kredit. Tetapi,
pemutus kredit harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan perkreditan, khususnya UUPerbankan.
F. SIMPULAN
Perbedaan antara unsur yang diperlukan dalam Doktrin BJR dengan Pasal
2 dan Pasal 8 UUPerbankan terletak secara spesifik pada jumlah dan
proses pengolahan informasi, dalam membuat keputusan kredit bagi dan
oleh pemutus kredit. Namun, simpulan ini dibuat lebih banyak didasarkan
pada kajian literatur, atau semata-mata berdasarkan teori yang ada.
Simpulan ini dapat diperbaiki atau disesuaikan dengan keputusan dan
pertimbangan Mahkamah Agung, dalam rangka melakukan penelitian terkait.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Buku
Arie, Sundari, ”Tindak Pidana Perbankan”, Prosiding Seminar Tindak Pidana di bidang Perbanka, Jakarta, 2007.
Ashraf, Zeeshan, The Position of the Business Judgment Rule in Different Corporate Cultures and Structures: a Study and Analysis.
Asyhadie, Zaeni, Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Bainbridge, Stephen M., The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine.
Bathory, Alexander. The Analysis of Credit, Foundations and Development of Corporate Credit Assesment. Berkshire, UK: McGraw Hill Book Company (UK), 1987.
Bradson, Douglas M., The Rule Isn’t a Rule – the Business Judgment Rule.
Burns, James Macgregor, Leadership, New York: Harper & Row, 2010.
Chorafas, Dimitris. Managing Credit Risk, Analysing, Rating and Pricing, The Probability of Default. London: Euromoney Books. 2000.
Coleshaw, John. Credit Analysis, How to Measure and Manage Credit Risk. Cambridge: Woodhead-Faulkner ltd., 1989.
Colquitt, Joetta. Credit Risk Management, How to Avoid Lending Disasters and Maximize Earnings. New York: McGraw Hill, 2007m.
Coyle, Brian. Corporate Credit Analysis. Kent, UK: CIB Publishing, 2000.
Endro, Gunardi, Redefinisi Bisnis, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1999.
Fuady, Munir, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Fuady, Munir. Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002.
Ganguin, Blaise. John Bilardello. Fundamentals of Corporate Credit Analysis. New York: TheMcGraw-Hill Companies, Inc. 2005.
Guseva, Alya. Akos Rona-Tas. “Uncertainty, Risk, and Trust: Russian and American Credit Card Markets Compared “. American Sociological Review. , [10/2001].
Hale, Roger H. Credit Analysis, A Complete Guide, New York: John Wiley & Sons, Inc. 1983.
Johnson, Lyman, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer. Feb 2000;55,2; ABI/IFORM Global.
Jusuf, Jopie. Analisis Kredit untuk Account Officer. Jakrta: Gramedia Pustaka Utama, 2010.
Kasmir. Manajemen Perbankan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
Kennedy, E. J. L. Lawton. “Religiousness and Business Ethics“. Journal of Business Ethics. [1998].
Lehrer, Jonah. How to Decide, Kenali Kerja Otak Agar Bisa Lebih Cerdas dan Tangkas Memutuskan Apa Saja. Jakarta: Serambi Ilmu, 2010.
Muhamad Djumhana, Asas – Asas Hukum Perbankan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008.
Preston, Noel. Understanding Ethics. Annandale: The Federation Press, 2007/
Saliman, Abdul R., Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Teori & Contoh Kasus, Jakarta: Prenada Media Grup, Cetakan Kedua, 2006.
Silondae, Arus Akbar dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam ekonomi & Bisnis, Jakarta: Mitra Kencana Media, 2010.
Smith, Adam The Theory of Moral Sentiment, New York: Prometheus Books, 2000.
Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, hlm. 62.
Sutojo, Siswanto. The Management of Commercial Bank, Jakarta: Damar Mulia Perkasa.2007.
Triem, Fred W., Judicial Schizoprenia in Corporate Law: Confusing The Standard of Care With The Business Judgment Rule.
Usman, Rachmadi Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Wolfson, Martin H. “A Post Keynesian, Theory of Credit Rationing”. Journal of Post Keynesian Economics, [1994].
Website
Australian Policy & Advocacy, “Business Judgment Rule”,
,
[30/06/1996].
Bankers, “Corporate Governance, Business Judgment and Credit Crunch”, <www.instbankers.com/index.php?option=com.docmanm>, [2009].
Bowers, Helen M., “Fairness of Opinion and The Business Judgment
Rule: An empirical investigation of target firms’use of fairness of
opinions”,
[2002].
Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review Vol. 36, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080>, [2002].
Brody, Richard G. Kimberly E. Frank. “The Sixth C of Credit”. The Journal of Bank Cost & Mangement Accounting. 11, 3. [1998].
Eisenberg, Melvin A., “Whether The Business Judgment Rule should be Codified”, <http://www.clrc.ca.gov/pub/BKST-EisenbergBJR.pdf>, [05/1995].
Gold, Andrew S., “A Decision Theory Approach to the Business Judgment
Rule: Reflection on Disney, Good Faith, and Judicial Uncertainty”,
Social Science Research Network, Maryland Law Review Vol, 66 p 398,
2007, <http://papers,ssrn.com/sol3/papers,cfm?abstract_id=965058>, [26/02/2007].
Greenhow, Annette, “The Statutory Business Judgment Rule: Putting the
Wind into Director’s Sails”. Bond Law Review Volume 11, Issues 1,
Article 4,
,
[1999].
Griffith, Sean J., “Good Faith Business Judgment: A Theory of
Rhetoric in Corporate Law Jurisprudence”,
, [2005].
Grossman, Nadelle, “Director Compliance with Elusive Fiduciary Duties
in a Climate of Corporate Governance Reform”, Fordham Journal of
Corporate & Financial Law, , [2007].
Johnson, Lyman, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer. Feb 2000;55,2; ABI/IFORM Global.
Kaufman, George G. “Macro-Economic Stability and Bank Soundness”.
, [2001].
Mattson, “How Bank Loan Officers Evaluate Persons Applying for
Credit”. The International Journal of Bank Marketing. Vol. 11, Iss.2,
pg.25,10pgs. <http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1120806&sid=1&Fmt=3&clientld=43309&RQT=309&VName=PQD>, [Jan 1993].
Park, Johneth Chongseo, (et.al), The Business Judgment Rule: A Missing Piece in the Developing Puzzle of Korean Corporate Governance Reform, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=651704>, [2003].
Powell, Wendi J., “Corporate Governance and Fiduciary Duty: The
Mickey Mouse or Legal Consistency, Protection of Shareholder
Expectations, and Balanced Director Autonomy”, <www.georgemasonlawreview.org/doc/14-3_Powell.pdf >, [2007].
Schreft, Stacey dan Anne, P. Villamil, “Credit Rationing by Loan Size in Commercial Loan Market”. Economic Review [ABI/INFORMGlobal] .
Smith, James E, “Risk Sharing, Fiduciary Duty, and Corporate Risk
Attitudes”, Decision Analysis, Vol. 1, No. 2, pp 114-127, <@2004
INFORMS>, [06/2004].
Sprague, Robert, “Directors Behaving Badly: 21st Century Corporate Governance Standards”, <http://www.alsb.org/Proceedings%20Files/2007/Sprague.pdf>, [2007].
Sprague, Robert, dan Lyttle, Aaron J,“Shareholder Primacy and The
Business Judgment Rule: Arguments for Expanded Corporate Democracy“,
Social Science Research Network, <http://ssrn,com/abstract=1647002>, [22/07/2010].
The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp>, [Tidak bertanggal].
The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative litigation, <http://courts.delaware.gov/opinion/(eOuerunegle3zfvugrjwev45)download.aspx?ID=118110>, [24/02/2009].
Triem, Fred W. “Judicial Schizophrenia in Corporate Law: Confusing The Stándard of Care With The Business Judgment Rule”, <http://ssrn.com/abstract=975775>, [16/04/2007].
[1] Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Teori & Contoh Kasus, Jakarta, Prenada Media Grup, Cetakan Kedua, 2006, hlm. 15.
[2] Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 205.
[3] Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam ekonomi & Bisnis, Jakarta: Mitra Kencana Media, 2010, hlm. 3.
[4] Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 31.
[5] Gunardi Endro, Redefinisi Bisnis, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1999, hlm. 15.
[6]
Bowers, Helen M., “Fairness of Opinion and The Business Judgment Rule:
An empirical investigation of target firms’use of fairness of opinions”,
[2002].
[7] James Macgregor Burns, Leadership, New York: Harper & Row, 2010, hlm. 379
[8] Bankers, “Corporate Governance, Business Judgment and Credit Crunch”, <www.instbankers.com/index.php?option=com.docmanm> [2009].
[9] Park, Johneth Chongseo, (et.al), The Business Judgment Rule: A Missing Piece in the Developing Puzzle of Korean Corporate Governance Reform, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=651704> [2003], hlm. 15.
[10] The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative litigation, <http://courts.delaware.gov/opi nion/(eOuerunegle3zfvugrjwev45)download.aspx?ID=118110), [24/02/2009].
[11] Park, Johneth Chongseo (et.al), The Business Judgment Rule: A Missing Piece in the Developing Puzzle of Korean Corporate Governance Reform, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=651704> [2003], hlm. 15.
[12] Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review Vol. 36, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080> [2002].
[13] Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review Vol. 36, <.http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080> [2002].
[14] Bainbridge, Stephen M. The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine, hlm. 33.
[15] Sundari Arie, ”Tindak Pidana Perbankan”. Prosiding Seminar Tindak Pidana di bidang Perbanka. Jakarta, 2007. hlm. 13.
[16] Black’s Law Dictionary, Op.Cit, hlm. 212.
[17] Bainbridge, Stephen M., The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine, hlm. 13.
[18] Eisenberg, Melvin A., “Whether The Business Judgment Rule should be Codified”, <http://www.clrc.ca.gov/pub/BKST-EisenbergBJR.pdf> [05/1995].
[19] Eisenberg, Melvin A., “Whether The Business Judgment Rule should be Codified”, <http://www.clrc.ca.gov/pub/BKST-EisenbergBJR.pdf,> [05/1995].
[20] Johnson, Lyman, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer. Feb 2000;55,2; ABI/IFORM Global, hlm. 625.
[21] Johnson, Lyman, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer. Feb 2000;55,2; ABI/IFORM Global, hlm. 625.
[22] Wikipedia, “Business Judgmenet Rule”, <http://.en.wikipedia.org/wiki/Business_Judgment_rulew-Wikipedia,the freeencyclopedia> [11/28/2011)
[23] Bradson, Douglas M. The Rule That Isn’t A Rule – The Business Judgment Rule, hlm. 634.
[24] Triem, Fred W. Judicial Schizoprenia in Corporate Law: Confusing The Standard of Care With The Business Judgment Rule, hlm. 27.
[25] Triem, Fred W. Ibid, hlm. 33.
[26] Bradson, Douglas M., The Rule Isn’t a Rule – the Business Judgment Rule, hlm. 636.
[27] Ashraf, Zeeshan. The Position of the Business judgment Rule in Different Corporate Cultures and Structures: a Study and Analysis, hlm. 15.
[28] Triem, Fred W .Ibid, hlm. 17.
[29] Block, Dennis J., (et.al), Idem, hlm. 12-23.
[30] Bradson, Douglas M., The RuleThat Isn’t a Rule – the Business Judgment Rule, hlm. 639.
[31] Ashraf, Zeeshan. The Position of the Business Judgment Rule in Different Corporate Cultures and Structures: A Study and Analysis, hlm. 17.
[32]
Griffith, Sean J., “Good Faith Business Judgment: A Theory of Rhetoric
in Corporate Law Jurisprudence”,
[2005].
[33]
Greenhow, Annette, “The Statutory Business Judgment Rule: Putting the
Wind into Director’s Sails”. Bond Law Review Volume 11, Issues 1,
Article 4,
[1999].
[34] Greenhow, Ibid.
[35]
Gold, Andrew S., “A Decision Theory Approach to the Business Judgment
Rule: Reflection on Disney, Good Faith, and Judicial Uncertainty”,
Social Science Research Network, Maryland Law Review Vol, 66 p 398,
2007, <http://papers,ssrn.com/sol3/papers,cfm?abstract_id=965058> [26/02/2007].
[36]
Griffith, Sean J., “Good Faith Business Judgment: A Theory of Rhetoric
in Corporate Law Jurisprudence”,
[2005].
[37] Griffith, Sean J., Ibid.
[38] Sprague, Robert, “Directors Behaving Badly: 21st Century Corporate Governance Standards”, <http://www.alsb.org/Proceedings%20Files/2007/Sprague.pdf> [2007].
[39]
Grossman, Nadelle, “Director Compliance with Elusive Fiduciary Duties
in a Climate of Corporate Governance Reform”, Fordham Journal of
Corporate & Financial Law, [2007].
[40]
Powell, Wendi J., “Corporate Governance and Fiduciary Duty: The Mickey
Mouse or Legal Consistency, Protection of Shareholder Expectations, and
Balanced Director Autonomy”, <www.georgemasonlawreview.org/doc/14-3_Powell.pdf > [2007].
[41] The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative Litigation, <http://courts.delaware.gov/opi nion/(eOuerunegle3zfvugrjwev45)download.aspx?ID=118110> [24/02/2009].
[42]
Gold, Andrew S., “A Decision Theory Approach to the Business Judgment
Rule: Reflection on Disney, Good Faith, and Judicial Uncertainty”,
Social Science Research Network, Maryland Law Review Vol, 66 p 398,
2007, <http://papers,ssrn.com/sol3/papers,cfm?abstract_id=965058> [26/02/2007].
[43] The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp> [Tidak bertanggal].
[44]
Grossman, Nadelle, “Director Compliance with Elusive Fiduciary Duties
in a Climate of Corporate Governance Reform”, Fordham Journal of
Corporate & Financial Law, [2007].
[45] “The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp> [Tidak bertanggal].
[46]
Griffith, Sean J., “Good Faith Business Judgment: A Theory of Rhetoric
in Corporate Law Jurisprudence”,
[2005].
[47] Gold, Andrew S., Loc. Cit.
[48] Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review Vol. 36, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080> [2002].
[49] The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative litigation, <http://courts.delaware.gov/opinion/(eOuerunegle3zfvugrjwev45)download.aspx?ID=118110> [24/02/2009].
[50] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[51] Grossman, Nadelle, Loc.Cit.
[52]
Sprague, Robert, dan Lyttle, Aaron J,“Shareholder Primacy and The
Business Judgment Rule: Arguments for Expanded Corporate Democracy“,
Social Science Research Network, <http://ssrn,com/abstract=1647002> [22/07/2010].
[53] Johnson, Lyman, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer. Feb 2000;55,2; ABI/IFORM Global, hlm. 625.
[54] Johnson, Lyman, Ibid.
[55]
Griffith, Sean J., “Good Faith Business Judgment: A Theory of Rhetoric
in Corporate Law Jurisprudence”,
[2005].
[56] Griffith, Sean J., Ibid.
[57]
Triem, Fred W. “Judicial Schizophrenia in Corporate Law: Confusing The
Stándard of Care With The Business Judgment Rule”, < http://ssrn.com/abstract=975775> [ 16/04/2007].
[58] Johnson, Lyman, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer. Feb 2000;55,2; ABI/IFORM Global, hlm. 625.
[59] Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review Vol. 36, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080> [2002].
[60] Ashraf, Zeeshan. The Position of the Business Judgment Rule in Different Corporate Cultures and Structures: A Study and Analysis, hlm. 6.
[61]
Grossman, Nadelle, “Director Compliance with Elusive Fiduciary Duties
in a Climate of Corporate Governance Reform”, Fordham Journal of
Corporate & Financial Law, [2007].
[62] Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review Vol. 36, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080> [2002].
[63]
Greenhow, Annette, “The Statutory Business Judgment Rule: Putting the
Wind into Director’s Sails”. Bond Law Review Volume 11, Issues 1,
Article 4,
[1999].
[64]
Gold, Andrew S., “A Decision Theory Approach to the Business Judgment
Rule: Reflection on Disney, Good Faith, and Judicial Uncertainty”,
Social Science Research Network, Maryland Law Review Vol. 66 p. 398,
2007, <http://papers,ssrn.com/sol3/papers,cfm?abstract_id=965058> [26/02/2007].
[65] Johnson, Lyman, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer. Feb 2000;55,2; ABI/IFORM Global, hlm. 625.
[66] Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review Vol. 36, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080> [2002].
[67]
Smith, James E, “Risk Sharing, Fiduciary Duty, and Corporate Risk
Attitudes”, Decision Analysis, Vol. 1, No. 2, pp 114-127, <@2004
INFORMS> [06/2004].
[68]
Grossman, Nadelle, “Director Compliance with Elusive Fiduciary Duties
in a Climate of Corporate Governance Reform”, Fordham Journal of
Corporate & Financial Law, [2007].
[69] Gold, Andrew S., Loc. Cit..
[70] Johnson, Lyman, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer. Feb 2000;55,2; ABI/IFORM Global, hlm. 625.
[71]
Griffith, Sean J., “Good Faith Business Judgment: A Theory of Rhetoric
in Corporate Law Jurisprudence”,
[2005].
[72] Griffith, Sean J., Ibid.
[73] Greenhow, Annette, Loc. Cit.
[75] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 14-19.
[76] Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi & Bisnis, Jakarta: Mitra Wacana Media, 2010, hlm. 49.
[77] Adam Smith, The Theory of Moral Sentiment, New York: Prometheus Books, 2000 : hlm. 311-316.
[79]
Sundari Arie. “Tindak Pidana di bidang Perbankan ditinjau dari
Undang-Undang Perbankan dan Peraturan Perundang-undangan terkait serta
Permasalan dalam Praktiknya”, Prosiding Seminar Tindak Pidana di bidang Perbankan. Jakarta, 2007, hlm. 38.
[80] Muhamad Djumhana, Asas – Asas Hukum Perbankan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, hlm. 261-262.
[81]
Secara rinci, uraian dari pemrosesan suatu usulan kredit mencakup
sejumlah aspek yang perlu dianalisis yang dilakukan oleh bagian
marketing, dan hasil pemrosesan harus pula melibatkan bagian lain yang
terkait seperti yang ditunjukkan dalam kurung, sebagai berikut: 1.
Pengecekan daftar hitam atau kredit macet, apakah calon debitor termasuk
didalamnya. 2. Aspek yuridis, dari legalitas badan hukum dan legalitas
usaha. 3. Mengenai usaha debitor, ditinjau dari aspek marketing, aspek
keuangan, aspek teknik/produksi, aspek manajemen, 4. Aspek jaminan
kredit dan pengikatan barang-barang jaminan (bagian hukum), 5. Penolakan
permohonan atau persetujuan permohonan fasilitas kredit (risk
management), 6. Cara pengikatan kredit (bag. hukum), 7. Penandatanganan
surat perjanjian kredit (bagian hukum dan bagian operaional). Fuady,
Munir. Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 107.
[82]
Kasmir menyebutkan bahwa tujuan dari proses atau prosedur pemberian
kredit adalah untuk memastikan kelayakan dari suatu usulan atau
permohonan kredit, apakah akan diterima atau ditolak. Kasmir juga
mengatakan bahwa prosedur dan penilaian kredit oleh dunia perbankan
secara umum antar bank yang satu dengan bank yang lain tidak jauh
berbeda, yang berbeda adalah pada persyaratan dan ukuran penilaian yang
diterapkan oleh bank dengan pertimbangan masing-masing. Kasmir. Manajemen Perbankan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. hlm. 95.
[83]
Komite Kredit terdapat dua peringkat, peringkat pertama komite kredit
tingkat manajer, dan yang kedua tingkat dewan Direksi, dan umumnya
dibedakan berdasarkan jumlah kredit yang ditangani (penulis). Tugas
komite kredit antara lain adalah mempelajari usulan kredit yang diajukan
oleh tim staf bagian kredit, serta mengajukan pendapat dan saran
tentang usulan kredit baru, perpanjangan kredit lama atau tambahan pada
kredit yang sudah ada kepada pemutus kredit atau kepada Direksi atau
yang lebih tinggi, meneliti seberapa jauh kredit yang telah diberikan
telah memenuhi berbagai ketentuan yang telah digariskan dalam
kebijaksanaan perkreditan bank dan peraturan pemerintah, dan memantau
seberapa jauh para debitor telah mendapat layanan yang memuaskan dari
para staf yang bersangkutan. Sutojo, Siswanto. The Management of Commercial Bank, Jakarta: Damar Mulia Perkasa.2007. hlm. 81.
[84] Hale, Roger H. Credit Analysis, A Complete Guide, New York: John Wiley & Sons, Inc. 1983.
[85] Chorafas mengatakan bahwa prinsip ini merupakan basic rules
yang sudah berlaku berabad-abad lamanya yang perlu diperhatikan dalam
megelola resiko. Dalam bahasa Chorafas, prinsip yang dimaksud adalah: “determine
the purpose of credit, analyse quality and creditworthiness, research
the underlying economics, evaluate whether risk and reward are
acceptable, price the credit being taken, apply the appropriate
covenants, collateral and guarantee; and keep on re-evaluating
cerditwortiness until the contract is at an end”. Pendapat Chorafas
ini kurang-lebih sama seperti yang diutarakan oleh Colquitt, 2007, hlm.
19. Chorafas, Dimitris, Managing Credit Risk, Rating and Pricing, The
Probability of Default, London: Euromoney Books, 2000, hlm. 70.
[86] Jiangli menyatakan bahwa informasi mengenai debitor sangat berguna karena akan mengurangi masalah adverse selection,
dan ini telah dibuktikan oleh sejumlah penelitian, yaitu Bodenhorn
(2003), Boot dan Thakor (1994), Cole (1998), Diamond (1991), Harhoff dan
Korting (1998), dan Peterson dan Rajan (1995). Jiangli, Wenying, et al, ”Relationship Lending, Accounting Disclosure, and Credit Availability during Crisis”. <wjiangli@fdic.gov> [september 2004].
[87]
Mattson (1993) menyebutkan bahwa salah satu faktor utama yang
menyebabkan krisis perbankan di Swedia tahun 1990-an disebabkan karena
bank umumnya tidak melakukan riset semacam ini mengenai calon
debitornya, dan pertimbangan kredit lebih banyak ditentukan berdasarkan
“personalisasi” dari calon debitor serta soft information yang
bersifat verbal. Mattson, “How Bank Loan Officers Evaluate Persons
Applying for Credit”. The International Journal of Bank Marketing. Vol.
11, Iss.2, pg. 25, 10pgs. <http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1120806&sid=1&Fmt=3&clientld=43309&RQT=309&VName=PQD> [Jan. 1993].
[88] Semakin tinggi tingkat leverage atau semakin rendah tingkat modal dari suatu entitas, semakin sedikit adverse shock yang diperlukan bagi entitas itu untuk mengalami economic insolvency;
dan ini berlaku baik bagi bank maupun non-bank .Kaufman, George G.
“Macro-Economic Stability and Bank Soundness”.
[2001].
[89] Dari sisi lain, menurut Michael Jensen (1989), keadaan overgearing tidak
akan berakibat pada kebangkrutan, karena kreditor akan berada dalam
posisi yang lebih baik jika berusaha untuk melakukan renegosiasi. Namun,
pendapat ini dibantah oleh Nakamura (1991 : 19), dengan alasan bahwa
pada perusahaan dengan leverage yang berlebihan, umumnya mereka
memiliki margin yang sangat tipis, dan tidak memiliki kolateral
tambahan, sebagai dasar untuk bernegosiasi. Chorafas, Dimitris, Op.Cit.
[90] Ganguin menyebutkan beberapa alasan kenapa usaha mengalami default:
beberapa diantaranya hanya karena terlalu banyak hutang, yang lain
karena model bisnis yang salah atau bisnis yang sulit, dan beberapa yang
lain disebabkan kombinasi dari kedua alasan yang disebutkan tersebut;
hanya sedikit diantaranya disebabkan oleh karena adanya internal atau external shocks. Ganguin, Blaise. John Bilardello. Fundamentals of Corporate credit Analysis. New York: TheMcGraw-Hill Companies, Inc. 2005, hlm. 268.
[91] Chorafas, Dimitris. Managing Credit Risk, Analysing, Rating and Pricing, The Probability of Default. London: Euromoney Books. 2000.
[92] Schreft, Stacey dan Anne, P. Villamil, “Credit Rationing by Loan Size in Commercial Loan Market”. Economic Review [ABI/INFORMGlobal], .
[93] Coyle, Brian. Corporate Credit Analysis. Kent, UK: CIB Publishing, 2000, hlm. 2.
[94] Ganguin, Blaise. John Billardello. Fundamentals of Corporate Credit Analysis. New York: The MacGraw –Hill Companies, Inc. 2005, hlm. xi.
[95] Bathory, Alexander. The Analysis of Credit, Foundations and Development of Corporate Credit Assesment. Berkshire, UK: McGraw Hill Book Company (UK), 1987, hlm. 4.
[96]
Dalam kaitan dengan masalah pertimbangan ini, Sathye mengatakan bahwa
peranan bankir tradisional masih seluruhnya penting, karena terdapat
banyak faktor dalam penentuan pemberian pinjaman yang memerlukan
pertimbangan. Pada saat yang sama, tidak dimungkinkan adanya ruangan
untuk kesalahan dalam melakukan pertimbangan. Walaupun proses
pengambilan keputusan dapat dibantu dengan menggunakansistem credit scoring dengan
komputer, sehingga kesalahan dapat ditekan karena sistem ini dapat
digunakan sebagai alat kontrol dan mendukung pengambilan keputusan,
tetapi keputusan yang diambil tetap memerlukan pertimbangan seperti
halnya dalam penilaian kredit dengan cara tradisional (Millind Sathye, et al.
Credit Analysis & Lending Management. Sydney: John Wiley & Sons
Australia Ltd, 2003, hlm. 28). Sebagai tambahan, dikatakan bahwa
sejauh yang diketahui, proses analisis kredit ini sering merupakan hasil
suatu pertimbangan murni dan penyimpangan yang dikandungnya sering
digunakan untuk praktek pengukuran resiko kredit. Colquitt, Joetta.
Credit Risk Management, How to Avoid Lending Disasters and Maximize
Earnings. New York: McGraw Hill, 2007m, hlm. 66.
[97] Brody, Richard G. Kimberly E. Frank. “The Sixth C of Credit”. The Journal of Bank Cost & Mangement Accounting. 11,3. [1998].
[98] Jusuf, Jopie. Analisis Kredit untuk Account Officer. Jakrta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, hlm. 278.
[99]Coleshaw, John. Credit Analysis, How to Measure and Manage Credit Risk. Cambridge: Woodhead-Faulkner ltd., 1989, hlm. 2.
[100],Bainbridge, Stephen M. Op.Cit. hlm. 33.
[101] Lehrer , Jonah. How to Decide, Kenali Kerja Otak Agar Bisa Lebih Cerdas dan Tangkas Memutuskan Apa Saja. Jakarta: Serambi Ilmu, 2010, hlm. 230.
[102] Wolfson, Martin H. “A Post Keynesian, Theory of Credit Rationing”. Journal of Post Keynesian Economics, [1994]. hlm. 153-159.
[103] Guseva, Alya. Akos Rona-Tas. “Uncertainty, Risk, and Trust: Russian and American Credit Card Markets Compared“. American Sociological Review. [10/2001].
[104]
Pendapat lain mengatakan bahwa ketidakpastian dapat dikurangi sampai
pada tingkat resiko yang dapat diperhitungkan dengan membentuk
pertimbangan probabilita subjektif (Arrow 1968, Friedman dan Savage
1948). Kedua pendapat ini pada intinya bermakna sama, karena tidak semua
faktor resiko dapat diperhitungkan, dan masalah cara yang bersifat
subjektif itu sendiri akan membawa sesuatu ketidakpastian juga, karena
setiap orang memiliki hasil pertimbangan yang berbeda. Wolfson, Martin
H. Loc.Cit.
[105]
Wolfson mengatakan bahwa pengambilan keputusan kredit sama halnya
mengambil keputusan dalam keadaan tidak pasti, seperti yang diutarakan
oleh Keynes, dalam analysis of decision making under uncertainty. Seperti
yang dikutip oleh Wolfson dari Keynes (1933), investasi lebih banyak
ditentukan oleh tingkat keyakinan, yang sebaliknya tergantung pada
pandangan debitor mengenai tingkat hasil dari suatu proyek dan keadaan
kredit; yang semua ini menurut Keynes, bersifat mudah berubah atau volatile. Wolfson, Martin H. Loc.Cit.
[106] Wolfson menerangkan lebih lanjut, bahwa convensions
merupakan suatu pengertian yang telah diterima, dan terletak pada
anggapan bahwa keadaan yang ada sekarang akan berlangsung terus menerus
dengan tidak terbatas, kecuali terdapat alasan yang khusus yang membuat
adanya harapan bahwa keadaan itu akan berubah. Sebagai contoh yang
diberikan, adalah bahwa valuasi pasar dihitung secara benar, tetapi
secara philosopi, hal itu tidak mungkin benar karena pengetahuan yang
ada tidak memberikan dasar yang cukup untuk menghitung harapan secara
pasti (Keynes, 1936 : 152). Wolfson, Martin H. Loc.Cit.
[107] Jankowicz, A.D. dan R.D. Hisrich, „Intuition in Small Business Lending Decision“. Journal of Small Business Management. [7/1987].
[108] Suhartono, Suparlan. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, hlm. 62.
[109] Kennedy, E. J. L. Lawton. “Religiousness and Business Ethics“. Journal of Business Ethics. [1998], hlm. 35.
[110] Preston, Noel. Understanding Ethics. Annandale: The Federation Press, 2007, hlm. 13.
Tulisan ini diterbitkan di:
http://hho3.wordpress.com/2012/11/27/perbandingan-unsur-unsur-business-judgment-rule-dengan-ketentuan-pertimbangan-kredit-berdasarkan-uu-perbankan/
Hallo all dëst ass wéi ech en Dréngende Kreditt vu € 30.000 bannen innerhalb 24hours hunn fir eegent Geschäft ze starten aus internationale Kredit Online-Servicer kontaktéieren d'E-Mail vum Firma fir Är Kreditveraarbechtung wann Dir interesséiert sidd:
BalasHapusE-Mail: atlasloan83@gmail.com
WhatsApp: 1 (443) -345-9339