Selasa, 10 September 2013

PENGARUH KULTUR TERHADAP KEBERHASILAN BISNIS INTERNASIONAL: STUDI KASUS CINA

Oleh:  Hendy Herijanto



ABSTRAK


Keberhasilan Cina dalam bisnis internasional, seperti yang ditunjukkan oleh posisi Cina pada peringkat ke 3, dengan perolehan devisa mencapai US$ 3.3 triliun, pada dasarnya tidak terlepas dari unsur budaya yang dimiliki oleh kebudayaan dan masyarakat Cina. Makalah mini  ini meneliti unsur apa yang dimiliki oleh kebudayaan Cina itu, sehingga mereka dapat menumbuhkan perekonomiannya secara konsisten pada tingkat yang tinggi, dalam kurun waktu yang begitu lama, dan berhasil pula dalam perdagangan internasionalnya.
Kata kunci: Perdagangan, etos ekonomis dan kerja, dan kualitas sumber daya manusia.


LATAR BELAKANG

Makalah mini ini mencoba untuk mengkaji secara ringkas mengenai keberhasilan Cina dalam perekonomian, khususnya dalam bisnis atau perdagangan internasional. Dalam kurun yang tidak terlalu lama, yaitu sekitar 34 tahun, setelah perekonomian sosialis komunisnya membuka diri, Cina saat ini telah berhasil mencapai devisa sebesar US$ 3.3 triliun. Terlepas bahwa suatu angka dapat bersifat relatif, berapa pun angka keberhasilan Cina ini, ukuran itu merupakan sesuatu yang fenomenal.

Ketika perekonomian masih bersifat tertutup, maka ketika itu Cina tidak berhubungan dengan pihak lain di luar negaranya. Tidak lah heran, jika ketika itu Cina disebut sebagai negara tirai bambu. Namun, dalam kurun waktu yang relatif singkat itu, Cina telah berhasil mencapai perolehan devisa sekitar nomor 3 di dunia, dan ini jelas merupakan hasil hubungan perdagangan dengan pihak luar di mancanegara.

Cina telah memiliki perusahaan besar, yang umumnya bergerak dalam bidang konstruksi, baja, perminyakan, tehnologi, penerbangan, otomotif, dan keuangan. Namun, sampai saat ini, Cina belum memiliki korporasi besar seperti IBM, McDonald, Coca Cola, dan sebagainya. Karena perdagangan yang dilakukannya telah menembus batas banyak negara, perusahaan-perusahaan seperti itu telah menjadi apa yang disebut sebagai korporasi transnasional. Cina belum memilikinya, tetapi baru merangkak ke arah itu. Namun, devisa yang dihasilkannya telah mencapai angka yang cukup besar, bahkan jika dilihat dari segi nominal. Lantas, jika demikian, suatu pertanyaan akan mucul, apa yang membuat Cina begitu berhasil dalam perdagangan internasionalnya itu.

Jika dilihat dari apa yang di ekspor Cina, maka dapat dikatakan secara umum, bahwa yang diekspor Cina belum merupakan produk-produk hitech. Ekspor otomotif Cina masih sangat terbatas. Secara mayoritas, Cina masih mengekspor produk-produk konsumen, seperti tekstil dan pakaian jadi, tetapi untuk merek-merek yang sudah dikenal luas di dunia. Maka tidaklah mengherankan, produk dengan merek Harley Davidson misalnya, ditulis ”Made in China”.

Jika dilihat dari produk yang diekspor, yang umumnya bukan merupakan produk hitech; kalaupun bersifat hitech, seperti ponsel, kamera dan mp3, tetapi bukan dilakukan oleh perusahaan transnasional Cina, karena China belum memilikinya. Sebaliknya, ekspor Cina itu bahkan diproduksi di Cina oleh perusahan-perusahaan kecil, atau perusahaan keluarga, di dalam negeri. Produk seperti ini tidak memerlukan manajemen yang canggih. Oleh karena itu, dari keberhasilan perdagangan internasional China itu tersirat bahwa  kekuatan yang dimiliki Cina berasal dari diri bangsa itu sendiri. Tentunya, kekuatan itu merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Cina. Namun, karena tema kebudayaan itu sendiri begitu luas dan abstrak, maka cukup menarik untuk diteliti faktor apa dari kebudayaan Cina yang membuat mereka berhasil dalam perdagangan internasional.

Penelitian ini sangat terbatas pada kajian literatur, dan bersifat kualitatif. Kesimpulan yang diambil hanya berdasarkan kenyataan yang ada, dan berdasarkan data sekunder. Hubungan kausalitas antara faktor kebudayaan yang diketemukan dengan keberhasilan Cina hanya dibangun berdasarkan penalaran logis, dan pendapat para ahli atau pengamat.

KAJIAN LITERATUR
Ekonomi dan Kebudayaan

Peter F. Drucker, seperti yang diungkapkan oleh Linkletter dan Maciariello, mengatakan bahwa ”Kita tidak tahu dengan pasti bagaimana menghubungkan ilmu budaya dan manajemen. Kita tidak tahu dampak apa yang diberikan oleh hubungan ini pada setiap pihak- dan pernikahan, bahkan yang buruk pun, selalu mengubah kedua orang menikah”. Disini, Drucker tampaknya mempertanyakan pengaruh ilmu budaya terhadap manajemen. Lebih lanjut, beliau menguraikan bahwa ”manajemen adalah ilmu yang oleh tradisi dulunya disebut dengan ilmu budaya. Budaya dalam hal ini adalah berkaitan erat dengan dasar ilmu pengetahuan, wawasan diri, kebijaksanaan dan kepemimpinan. Ilmu, di lain pihak, adalah hal yang bersifat praktis dan dapat diterapkan”.

Manajer, menurut Drucker, harus menguasai semua ilmu, dan wawasan mengenai ilmu manusia dan sosial, seperti psikologi, filosopi, ekonomi, dan sejarah, etika serta ilmu fisik. Namun, Drucker menekankan, bahwa para manajer itu harus memfokuskan ilmu pengetahuan ini pada efektivitas dan hasil, seperti membangun sebuah jembatan, atau merancang dan menjual sebuah program piranti lunak yang mudah dipakai (Linkletter dan Maciariello, 2010 : 11 ).

Pada jaman Yunani Kuno, ilmu budaya yang dimaksud oleh Drucker itu disebut sebagai artes liberales, yang dikemukakan oleh Cicero, dan dimulai sekitar abad pertama sebelum masehi. Artes liberales diartikan sebagai sebuah keahlian atau ketrampilan yang dijalankan oleh seorang warga negara bebas yang memiliki waktu dan cara untuk belajar. Artes liberales juga merupakan unsur pendidikan, yang menekankan pada pembentukan norma bertingkah laku, dan untuk mengetahui dan menguasai sekumpulan peraturan, menghormati nilai dan norma masyarakat, serta menghargai ilmu pengetahuan dan kebenaran. Walaupun waktu membuat sejumlah perubahan, tetapi menurut Linkletter dan Maciariello, terdapat unsur yang tetap dan tidak berubah, yaitu upaya untuk menanamkan serangkaian nilai yang disepakati bersama, atau keyakinan kebudayaan (Linkletter dan Maciariello, 2010 : 6).

Dalam kaitan dengan budaya yang dimasud oleh Drucker atau Cicero di atas, disini dapat pula dikemukakan pendapat dari S. Takdir Alisyahbana. Beliau melakukan pengamatan terhadap sejumlah masyarakat, baik yang primitif, masyarakat Pisangan di Pasar Minggu, Jakarta, hingga masyarakat modern lainnya. Beliau akhirnya berpendapat bahwa soal ekonomi tidak dapat dipisahkan dari soal kebudayaan. Setiap perkembangan ekonomi memerlukan nilai-nilai budi atau kebudayaan, atau paling tidak sekurang-kurangnya dibentuk dari nilai-nilai semu. Hanya nilai-nilai ini yang akan  dapat mendorong orang untuk berusaha dan bekerja dengan teratur, sekaligus membentuk disiplin dalam bertingkah laku. Menurut Hasbullah, nilai-nilai ini merupakan suatu ide yang telah turun temurun, yang dianggap benar dan penting oleh anggota masyarakat. Contohnya adalah prestasi, kerja keras, kompetisi dan lainnya (Hasbullah, 2006 : 14).

Dalam berusaha, seringkali memerlukan sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu yang sama; dalam bisnis, tujuan ini adalah berbentuk laba. Untuk mencapai laba, sekawanan kelompok usaha itu harus dalam barisan yang teratur mengikuti kedisplinan yang diperlukan. Oleh karena itu, Alihsayahbana menyimpulkan bahwa, sesungguhnya bekerja dan berusaha dalam jangka panjang untuk mencapai kemakmuran, tidak dapat melupakan nilai-nilai lahir dari kehidupan ekonomi, dan untuk itu harus tunduk pada niai-nilai atau kebudayaan.

Beliau menambahkan, bahwa kehidupan ekonomi modern tidak dapat dilepaskan dari cara kehidupan orang-orangnya, dengan jalan pikirannya, perasaannya, keinginannya serta adat kebiasaannya. Disini, yang paling penting adalah sikap hidup dan cara berpikir dalam rangka memberikan nilai-nilai dan noma-norma kehidupan kebudayaan, yang dapat membangkitkan cita-cita maupun kegembiraan untuk bekerja sehingga dapat mencapai kehidupan yang lebih baik (Kleden et.al, 1988 : 4-6).

Menurut Alisyahbana, kaum Cina pada umumnya memiliki suatu dasar kekuatan ekonomi, yaitu etika yang menentukan tujuan hidup dan kelakuan mereka sehari-hari. Kemajuan ekonomi dicapai melalui etos ekonomi, yang menyebabkan mereka berpikir ekonomis secara rasio, bekerja keras dan efisien untuk membangun kedudukan ekonomi yang kuat dalam perdagangan, industri dan bahkan pertanian (Ignas Kleden et.al, 1988 : 63).

Etos ekonomi juga diartikan sebagai kepandaian, kesanggupan atau kecakapan dalam melakukan pekerjaan atau jabatan. Jika tidak memiliki unsur-unsur ini, akibatnya begitu kejam. Kehidupan ekonomi merupakan perjuangan yang terus menerus. Jika terkalahkan dalam persaingan, akibatnya usaha akan mengalami kebangkrutan (Kleden et.al, 1988 : 69). Tampaknya, etos ini makin menguat, ketika pemerintah Cina tidak lagi menyediakan segala hal dalam kehidupan perekonomian sosialis mereka. Ketika Cina membuka diri pada dunia luar, dan mulai menerapkkan perekonomian kapitalis sampai batas-batas tertentu, rakyat Cina berlomba-lomba dengan sangat rajin dalam melakukan pekerjaan, dan meraih keuntungan ekonomi yang lebih banyak.

Alisyahbana menyimpulkan bahwa kaum Cina memiliki keistimewaan, yang berbentuk tenaga kreatif estetik yang kuat, dan ini sejalan dengan kecakapan menerima dan mensintesiskan konsep dan pikiran kebudayaan sendiri dengan kebudayaan-kebudayaan lain dalam suatu integrasi struktur dan penjelmanaan bentuk baru yang seimbang (Kleden et.al, 1988 : 55). Tampaknya, hal ini pula yang menyebabkan bangsa Cina memiliki daya adaptasi yang tinggi dalam pergaulan internasional.

Akar kebudayaan Cina

Etos ekonomi, yang berupa berpikir ekonomis secara rasio, bekerja keras dan efisien,  kepandaian, kesanggupan atau kecakapan dalam melakukan pekerjaan atau jabatan merupakan human capital. Menurut Lawang, human capital ini hanya dapat diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan/atau pengalaman (Lawang, 2004 : 13). Masalah pendidikan ini sangat ditekankan dalam keluarga Cina oleh Kong Fu Chu (551-479 SM).

Hanaco mengungkapkan bahwa, dalam keseharian, masyarakat Cina dipenuhi oleh nilai-nilai filosofis yang telah berusia ribuan tahun, dan dipengaruhi oleh ajaran Kong Fu Chu (Hanaco, 2011 : 22). Ajaran Kong Fu Chu, yang ditetapkan sebagai ajaran resmi dalam kerajaan Cina pada masa dinasti Han, dan sampai sekarang masih merupakan pegangan orang Cina dan yang berada diluar Cina; jumlah mereka saat ini telah mencapai 19% dari seluruh penduduk dunia. Sebagian besar dari masyarakat Cina ini merupakan keturunan dari suku bangsa Han, di seluruh dunia mereka berjumlah 1,3 milyar orang, dan umumnya memiliki kepiawaian dalam berdagang (Sugiarto, 2012 : 36).

Kong Fu Cu  meletakkan dasar struktur sosio politik yang besar dalam sejarah. Ajaran ini  berdasarkan kesetiaan anak kepada orang tua, dan rakyat kepada raja dan negara, tentang kerendahan hati, tentang realisme dan tentang sistem pendidikan pegawai negeri (Kleden et.al, 1988 : 42).  Beliau adalah juga guru yang paling terkenal dalam sejarah Cina, dan berpendapat bahwa mengajar bisa menjadi cara hidup dan semua laki-laki harus berpendidikan agar dunia menjadi lebih baik.

Dalam bukunya yang berjudul The Wisdom of Confucius, Wang meletakkan “Utamakan Belajar” sebagai Bab Pertama, dan ini mengindikasikan bahwa belajar atau pendidikan merupakan hal yang utama dan penting bagi kehidupan manusia di dunia, khususnya bagi masyarakat Cina. Kong Fu Chu mengatakan ”Belajar tanpa dicerna tidak ada gunanya. Hanya belajar tanpa dipraktikkan tidak ada manfaatnya”. Kemudian, beliau mengatakan bahwa pelajaran perlu diingat ulang kembali setiap hari agar tidak bisa lupa. Belajar adalah hal yang menyenangkan, karena jika teman datang untuk belajar bersama, itulah hal yang menyenangkan. Sebagai orang yang terpelajar dan bermoral, orang harus selalu berusaha keras meningkatkan kualitas kepribadiannya sebagai manusia, dan membangun dari dasar yang kokoh; (Wang, 2011 : 1-2).

Selain mengajarkan mengenai pendidikan dan kebijksanaan, Kong Fu Chu meletakkan dasar-dasar tradisi untuk memperkuat sikap mental, yang merupakan dasar bagi orang Cina untuk berdagang atau berusaha. Dalam kaitan ini, Kong Fu Chu juga menganjurkan agar menjadi pengusaha yang baik, dan untuk itu harus dapat dipercaya, serta menepati janji. Dalam kenyataannya, orang Cina telah melakukan perdagangan jauh dari daratan Cina, bahkan sampai ke Indonesia. Jadi, sesungguhnya, orang Cina telah melakukan kegiatan ’globalisasi’ jauh sebelum bangasa barat atau Eropa melakukannya. Negara barat melakukan ’globalisai’ ketika itu dibarengi dengan kekuasaan, atau dengan nuansa menjajah; bangsa China, di lain pihak, melakukan perdagangan dengan diplomasi dagang. Barang-barang ditawarkan dengan harga yang relatif murah, tetapi berkualitas dengan nilai seni yang tinggi (Hanaco, 2011 : 21)

Berdagang merupakan profesi yang penting dalam masyarakat Cina. Bahkan, anak-anak diikut sertakan dalam membantu orang tuanya dalam berdagang sejak usia dini. Terdapat beberapa alasan logis kenapa mereka memililh untuk berdagang, yaitu (Hanaco, 2011 : 21, 22, 35, 36, 37):
-         Berdagang tidak dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu.
-         Berdagang memberikan kesempatan bagi orang untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan, dan mengasah insting bisnis agar makin tajam.
-         Berdagang adalah pekerjaan yang mandiri.
-         Berdagang membutuhkan modal yang tidak besar, dan membuat uang cepat berkembang.
-         Berdagang membuka banyak peluang.
-         Dunia bisnis menjanjikan kesempatan untuk meraih kekayaan, kemewahan, kesenangan dan kemapanan, atau pada akhirnya mencapai kehidupan yang lebih baik.

Hanako menyimpulkan bahwa masyarakat Cina memiliki karakteristik yang menonjol, dan ini diperlukan dalam berdagang atau berusaha. Masyarakat Cina bersifat ulet, rajin dan tekun, tahan banting, jujur, inovatif, tidak takut gagal, merencanakan dengan matang, memiliki kemampuan pemasaran, dalam berdagang melibatkan seluruh keluarga, selalu berusaha memperluas usaha, berhati hati, tidak mengenal gengsi, dan pandai melihat dan menggunakan peluang (Hanaco, 2011: 40- 89).

Di samping itu, masyarakat China memiliki suatu faktor sosiologis, yang disebut ”quangxi”, dan mungkin jarang dimiliki, atau tidak begitu kuat diterapkan dalam bangsa lain. Quangxi adalah seni dalam berhubungan dengan orang lain, dan Ambrose King, yang dikutip oleh Hefner (1999 : 83), menjelaskannya sebagai berikut:

”Pembangunan quangxi berdasarkan atribut-atribut bersama seperti kekeluargaan, lokalitas, marga, dan sebagainya, yang merupakan blok-blok bangunan dibuat individu untuk membangun indentifikasi ”pluralistis” dengan individu-individu dan kelompok-kelompok ganda. Sesungguhnya, pembangunan jaringan digunakan (dengan sadar atau tidak sadar) oleh orang dewasa Cina sebagai suatu strategi budaya dalam memobilisasikan sumber-sumber sosial untuk pencapaian sasaran di berbagai bidang kehidupan sosial. Untuk tingkat kepentingan dinamika kultural pembangunan, quangxi adalah sumber vitalitas dalam masyarakat Cina”.

KEBERHASILAN CINA

Pada awal 1980-an, sebagian besar masyarakat Cina berada dalam keadaan miskin, dan tidak memiliki harta – benda yang berarti. Namun, para pengusahanya membangun usaha secara praktis hanya dengan minat, bakat dan kemauan  untuk bekerja keras. Dalam kaitan ini, pemerintah menyediakan infrastruktur dan seperangkat institusi pasar agar para pengusaha dapat berkembang.

Infrastruktur yang dimiliki saat ini begitu maju dan baik. Jalan dan jembatan, misalnya, tidak ada yang rusak. Pemerintah bertanggung jawab untuk mendidik dan membantu masyarakat untuk bekerja demi kebaikan negara. PDB untuk pendidikan ditingkatkan dari 3.4 % dalam tahun 1997 menjadi 5,2 % tahun 2002. Para pengusaha diberikan kebebasan yang memadai dalam berusaha. Amandemen konstitusi mengenai kekayaan pribadi yang paling penting dalam kaitan ini adalah bahwa ”kekayaan pribadi dari warga negara yang diperoleh secara legal tidak boleh diganggu” (Chow, 2011 : 8).

Dewasa ini, Cina memiliki paling tidak 6 orang terkaya di dunia dalam daftar Forbes, yang memiliki kekayaan di atas US$4 milyar, dan berusaha dalam bidang minuman, pakan ternak, eceran, baterai dan mobil elektrik, dan ril estat (Chow, 2011 : 20-26)

Pekonomian Cina tumbuh selalu di atas 9% sejak 1978. tahun 2008, Cina memproduksi mobil lebih dari 11 juta unit, dan telah melebihi tingkat produksi Amerika. Pemerintah sedang memacu para ilmuwan untuk mengembangkan sain dan tehnologi, khususnya teknologi informasi dan bio tehnologi (Chow, 2011 : 35, 50).
Di dunia internasional, dengan berhasilnya Cina menduduki peringkat ke-3 dalam perolehan devisa, tentunya ini jelas menunjukkan bahwa Cina telah berhasil dalam perdangangan internasional. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa secara global, Cina mengalami surplus dalam perdagangannya dengan banyak negara di dunia.

Menurut Kristanto, meningkatnya produk China masuk, misalnya ke Indonesia, adalah terutama karena faktor harga, yang lebih murah dibandingkan dengan produk lokal. Hal ini dimungkinkan karena upah tenaga kerja relatif tidak mahal dibandingkan dengan tingkat produktivitasnya. Jadi, upah yang mungkin rendah itu diimbangi dengan produktivitas yang lebih tinggi. Buruh Cina bekerja lebih ulet, telaten, dan memiliki  keahlian yang lebih memadai. Global Competitiveness Report 2009-2010, menunjukkan bahwa efisiensi tenaga kerja China menduduki peringkat 32 dari 132 negara di dunia, sementara  Indonesia berada pada peringkat 75 (Kristanto, 2002 : 123- 125).

KESIMPULAN         

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan Cina dalam membangun perekonomiannya dan dalam bisnis internasional, yang ditunjukkan oleh peringkat ke-3 dalam memperoleh devisa, disebabkan karena sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, termasuk para pengusaha yang cerdik dan tanggap, dengan para pekerja yang bekerja keras dan terampil.

Dengan kerja keras dan penuh ketrampilan, mereka dapat menghasilkan barang dengan harga murah, tetapi berkualitas, sehingga dapat memasuki pasar di dunia. Etos kerja keras ini, yang diajarkan oleh Kong Fu Chu, telah tertanam pada kultur Cina sejak ribuan tahun yang lalu, dan terus berlangsung turun temurun hingga kini.



REFERENSI

Chow, Gregory C., (2011). Memahami Dahsyatnya Ekonomi China, Jakarta: IKAPI.
Hanaco, Indah, (2011). Belajar Dagang dengan Orang Tionghoa, Jakarta: Agogos Publishing.
Hasbullah, Jousairi, Social Capital, Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia,  Jakarta: MR-Unired Press, 2006.
Hefner, Robert W., (ed), (2000) Budaya Pasar, Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, Jakarta: LP3S.
Kleden, Ignas,  et.al, (1988) Kebudayaan Sebagai Perjuangan, Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, Jakarta: Dian Rakyat.
Kristanto, Jajat. (2002). Manajemen Pemasaran Internasional, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Lawang, Robert MZ. (2005). Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik, Jakarta: FISIP UI Press.
Linkletter, Karen E., dan Joseph A. Maciariello. (2010).  ”Manajemen SebagaiSebuah Ilmu Budaya” , di dalam Drucker Diffrence, Pearce, Craig L., et.al, (eds), Jakarta: Ufuk Press.
Sugiarto, Ryan. (2012). Rahasia Sukses Bisnis Orang Cina. Yogyakarta: Jenius Publisher.
Wang, Andri, (2012).  The Wisdom of Confucius, Jakarta: Kompas Gramedia.



Tulisan ini diterbitkan di:
http://hho3.wordpress.com/2012/09/17/pengaruh-kultur-terhadap-keberhasilan-bisnis-internasional-studi-kasus-cina/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar