PENGARUH KULTUR TERHADAP KEBERHASILAN BISNIS INTERNASIONAL: STUDI KASUS CINA
Oleh: Hendy Herijanto
ABSTRAK
Keberhasilan Cina dalam bisnis internasional, seperti yang
ditunjukkan oleh posisi Cina pada peringkat ke 3, dengan perolehan
devisa mencapai US$ 3.3 triliun, pada dasarnya tidak terlepas dari unsur
budaya yang dimiliki oleh kebudayaan dan masyarakat Cina. Makalah mini
ini meneliti unsur apa yang dimiliki oleh kebudayaan Cina itu, sehingga
mereka dapat menumbuhkan perekonomiannya secara konsisten pada tingkat
yang tinggi, dalam kurun waktu yang begitu lama, dan berhasil pula dalam
perdagangan internasionalnya.
Kata kunci: Perdagangan, etos ekonomis dan kerja, dan kualitas sumber daya manusia.LATAR BELAKANG
Makalah mini ini mencoba untuk mengkaji secara ringkas mengenai
keberhasilan Cina dalam perekonomian, khususnya dalam bisnis atau
perdagangan internasional. Dalam kurun yang tidak terlalu lama, yaitu
sekitar 34 tahun, setelah perekonomian sosialis komunisnya membuka diri,
Cina saat ini telah berhasil mencapai devisa sebesar US$ 3.3 triliun.
Terlepas bahwa suatu angka dapat bersifat relatif, berapa pun angka
keberhasilan Cina ini, ukuran itu merupakan sesuatu yang fenomenal.
Ketika perekonomian masih bersifat tertutup, maka ketika itu Cina
tidak berhubungan dengan pihak lain di luar negaranya. Tidak lah heran,
jika ketika itu Cina disebut sebagai negara tirai bambu. Namun, dalam
kurun waktu yang relatif singkat itu, Cina telah berhasil mencapai
perolehan devisa sekitar nomor 3 di dunia, dan ini jelas merupakan hasil
hubungan perdagangan dengan pihak luar di mancanegara.
Cina telah memiliki perusahaan besar, yang umumnya bergerak dalam
bidang konstruksi, baja, perminyakan, tehnologi, penerbangan, otomotif,
dan keuangan. Namun, sampai saat ini, Cina belum memiliki korporasi
besar seperti IBM, McDonald, Coca Cola, dan sebagainya. Karena
perdagangan yang dilakukannya telah menembus batas banyak negara,
perusahaan-perusahaan seperti itu telah menjadi apa yang disebut sebagai
korporasi transnasional. Cina belum memilikinya, tetapi baru merangkak
ke arah itu. Namun, devisa yang dihasilkannya telah mencapai angka yang
cukup besar, bahkan jika dilihat dari segi nominal. Lantas, jika
demikian, suatu pertanyaan akan mucul, apa yang membuat Cina begitu
berhasil dalam perdagangan internasionalnya itu.
Jika dilihat dari apa yang di ekspor Cina, maka dapat dikatakan
secara umum, bahwa yang diekspor Cina belum merupakan produk-produk hitech.
Ekspor otomotif Cina masih sangat terbatas. Secara mayoritas, Cina
masih mengekspor produk-produk konsumen, seperti tekstil dan pakaian
jadi, tetapi untuk merek-merek yang sudah dikenal luas di dunia. Maka
tidaklah mengherankan, produk dengan merek Harley Davidson misalnya,
ditulis ”Made in China”.
Jika dilihat dari produk yang diekspor, yang umumnya bukan merupakan produk hitech; kalaupun bersifat hitech, seperti ponsel, kamera dan mp3, tetapi
bukan dilakukan oleh perusahaan transnasional Cina, karena China belum
memilikinya. Sebaliknya, ekspor Cina itu bahkan diproduksi di Cina oleh
perusahan-perusahaan kecil, atau perusahaan keluarga, di dalam negeri.
Produk seperti ini tidak memerlukan manajemen yang canggih. Oleh karena
itu, dari keberhasilan perdagangan internasional China itu tersirat
bahwa kekuatan yang dimiliki Cina berasal dari diri bangsa itu sendiri.
Tentunya, kekuatan itu merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Cina.
Namun, karena tema kebudayaan itu sendiri begitu luas dan abstrak, maka
cukup menarik untuk diteliti faktor apa dari kebudayaan Cina yang
membuat mereka berhasil dalam perdagangan internasional.
Penelitian ini sangat terbatas pada kajian literatur, dan bersifat
kualitatif. Kesimpulan yang diambil hanya berdasarkan kenyataan yang
ada, dan berdasarkan data sekunder. Hubungan kausalitas antara faktor
kebudayaan yang diketemukan dengan keberhasilan Cina hanya dibangun
berdasarkan penalaran logis, dan pendapat para ahli atau pengamat.
KAJIAN LITERATUR
Ekonomi dan Kebudayaan
Peter F. Drucker, seperti yang diungkapkan oleh Linkletter dan
Maciariello, mengatakan bahwa ”Kita tidak tahu dengan pasti bagaimana
menghubungkan ilmu budaya dan manajemen. Kita tidak tahu dampak apa yang
diberikan oleh hubungan ini pada setiap pihak- dan pernikahan, bahkan
yang buruk pun, selalu mengubah kedua orang menikah”. Disini, Drucker
tampaknya mempertanyakan pengaruh ilmu budaya terhadap manajemen. Lebih
lanjut, beliau menguraikan bahwa ”manajemen adalah ilmu yang oleh
tradisi dulunya disebut dengan ilmu budaya. Budaya dalam hal ini adalah
berkaitan erat dengan dasar ilmu pengetahuan, wawasan diri,
kebijaksanaan dan kepemimpinan. Ilmu, di lain pihak, adalah hal yang
bersifat praktis dan dapat diterapkan”.
Manajer, menurut Drucker, harus menguasai semua ilmu, dan wawasan
mengenai ilmu manusia dan sosial, seperti psikologi, filosopi, ekonomi,
dan sejarah, etika serta ilmu fisik. Namun, Drucker menekankan, bahwa
para manajer itu harus memfokuskan ilmu pengetahuan ini pada efektivitas
dan hasil, seperti membangun sebuah jembatan, atau merancang dan
menjual sebuah program piranti lunak yang mudah dipakai (Linkletter dan
Maciariello, 2010 : 11 ).
Pada jaman Yunani Kuno, ilmu budaya yang dimaksud oleh Drucker itu disebut sebagai artes liberales, yang dikemukakan oleh Cicero, dan dimulai sekitar abad pertama sebelum masehi. Artes liberales
diartikan sebagai sebuah keahlian atau ketrampilan yang dijalankan oleh
seorang warga negara bebas yang memiliki waktu dan cara untuk belajar. Artes liberales juga
merupakan unsur pendidikan, yang menekankan pada pembentukan norma
bertingkah laku, dan untuk mengetahui dan menguasai sekumpulan
peraturan, menghormati nilai dan norma masyarakat, serta menghargai ilmu
pengetahuan dan kebenaran. Walaupun waktu membuat sejumlah perubahan,
tetapi menurut Linkletter dan Maciariello, terdapat unsur yang tetap dan
tidak berubah, yaitu upaya untuk menanamkan serangkaian nilai yang
disepakati bersama, atau keyakinan kebudayaan (Linkletter dan
Maciariello, 2010 : 6).
Dalam kaitan dengan budaya yang dimasud oleh Drucker atau Cicero di
atas, disini dapat pula dikemukakan pendapat dari S. Takdir Alisyahbana.
Beliau melakukan pengamatan terhadap sejumlah masyarakat, baik yang
primitif, masyarakat Pisangan di Pasar Minggu, Jakarta, hingga
masyarakat modern lainnya. Beliau akhirnya berpendapat bahwa soal
ekonomi tidak dapat dipisahkan dari soal kebudayaan. Setiap perkembangan
ekonomi memerlukan nilai-nilai budi atau kebudayaan, atau paling tidak
sekurang-kurangnya dibentuk dari nilai-nilai semu. Hanya nilai-nilai ini
yang akan dapat mendorong orang untuk berusaha dan bekerja dengan
teratur, sekaligus membentuk disiplin dalam bertingkah laku. Menurut
Hasbullah, nilai-nilai ini merupakan suatu ide yang telah turun temurun,
yang dianggap benar dan penting oleh anggota masyarakat. Contohnya
adalah prestasi, kerja keras, kompetisi dan lainnya (Hasbullah, 2006 :
14).
Dalam berusaha, seringkali memerlukan sekelompok orang untuk mencapai
tujuan tertentu yang sama; dalam bisnis, tujuan ini adalah berbentuk
laba. Untuk mencapai laba, sekawanan kelompok usaha itu harus dalam
barisan yang teratur mengikuti kedisplinan yang diperlukan. Oleh karena
itu, Alihsayahbana menyimpulkan bahwa, sesungguhnya bekerja dan berusaha
dalam jangka panjang untuk mencapai kemakmuran, tidak dapat melupakan
nilai-nilai lahir dari kehidupan ekonomi, dan untuk itu harus tunduk
pada niai-nilai atau kebudayaan.
Beliau menambahkan, bahwa kehidupan ekonomi modern tidak dapat
dilepaskan dari cara kehidupan orang-orangnya, dengan jalan pikirannya,
perasaannya, keinginannya serta adat kebiasaannya. Disini, yang paling
penting adalah sikap hidup dan cara berpikir dalam rangka memberikan
nilai-nilai dan noma-norma kehidupan kebudayaan, yang dapat
membangkitkan cita-cita maupun kegembiraan untuk bekerja sehingga dapat
mencapai kehidupan yang lebih baik (Kleden et.al, 1988 : 4-6).
Menurut Alisyahbana, kaum Cina pada umumnya memiliki suatu dasar
kekuatan ekonomi, yaitu etika yang menentukan tujuan hidup dan kelakuan
mereka sehari-hari. Kemajuan ekonomi dicapai melalui etos ekonomi, yang
menyebabkan mereka berpikir ekonomis secara rasio, bekerja keras dan
efisien untuk membangun kedudukan ekonomi yang kuat dalam perdagangan,
industri dan bahkan pertanian (Ignas Kleden et.al, 1988 : 63).
Etos ekonomi juga diartikan sebagai kepandaian, kesanggupan atau
kecakapan dalam melakukan pekerjaan atau jabatan. Jika tidak memiliki
unsur-unsur ini, akibatnya begitu kejam. Kehidupan ekonomi merupakan
perjuangan yang terus menerus. Jika terkalahkan dalam persaingan,
akibatnya usaha akan mengalami kebangkrutan (Kleden et.al, 1988
: 69). Tampaknya, etos ini makin menguat, ketika pemerintah Cina tidak
lagi menyediakan segala hal dalam kehidupan perekonomian sosialis
mereka. Ketika Cina membuka diri pada dunia luar, dan mulai menerapkkan
perekonomian kapitalis sampai batas-batas tertentu, rakyat Cina
berlomba-lomba dengan sangat rajin dalam melakukan pekerjaan, dan meraih
keuntungan ekonomi yang lebih banyak.
Alisyahbana menyimpulkan bahwa kaum Cina memiliki keistimewaan, yang
berbentuk tenaga kreatif estetik yang kuat, dan ini sejalan dengan
kecakapan menerima dan mensintesiskan konsep dan pikiran kebudayaan
sendiri dengan kebudayaan-kebudayaan lain dalam suatu integrasi struktur
dan penjelmanaan bentuk baru yang seimbang (Kleden et.al, 1988
: 55). Tampaknya, hal ini pula yang menyebabkan bangsa Cina memiliki
daya adaptasi yang tinggi dalam pergaulan internasional.
Akar kebudayaan Cina
Etos ekonomi, yang berupa berpikir ekonomis secara rasio, bekerja
keras dan efisien, kepandaian, kesanggupan atau kecakapan dalam
melakukan pekerjaan atau jabatan merupakan human capital. Menurut Lawang, human capital
ini hanya dapat diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan/atau
pengalaman (Lawang, 2004 : 13). Masalah pendidikan ini sangat ditekankan
dalam keluarga Cina oleh Kong Fu Chu (551-479 SM).
Hanaco mengungkapkan bahwa, dalam keseharian, masyarakat Cina
dipenuhi oleh nilai-nilai filosofis yang telah berusia ribuan tahun, dan
dipengaruhi oleh ajaran Kong Fu Chu (Hanaco, 2011 : 22). Ajaran Kong Fu
Chu, yang ditetapkan sebagai ajaran resmi dalam kerajaan Cina pada masa
dinasti Han, dan sampai sekarang masih merupakan pegangan orang Cina
dan yang berada diluar Cina; jumlah mereka saat ini telah mencapai 19%
dari seluruh penduduk dunia. Sebagian besar dari masyarakat Cina ini
merupakan keturunan dari suku bangsa Han, di seluruh dunia mereka
berjumlah 1,3 milyar orang, dan umumnya memiliki kepiawaian dalam
berdagang (Sugiarto, 2012 : 36).
Kong Fu Cu meletakkan dasar struktur sosio politik yang besar dalam
sejarah. Ajaran ini berdasarkan kesetiaan anak kepada orang tua, dan
rakyat kepada raja dan negara, tentang kerendahan hati, tentang realisme
dan tentang sistem pendidikan pegawai negeri (Kleden et.al,
1988 : 42). Beliau adalah juga guru yang paling terkenal dalam sejarah
Cina, dan berpendapat bahwa mengajar bisa menjadi cara hidup dan semua
laki-laki harus berpendidikan agar dunia menjadi lebih baik.
Dalam bukunya yang berjudul The Wisdom of Confucius, Wang
meletakkan “Utamakan Belajar” sebagai Bab Pertama, dan ini
mengindikasikan bahwa belajar atau pendidikan merupakan hal yang utama
dan penting bagi kehidupan manusia di dunia, khususnya bagi masyarakat
Cina. Kong Fu Chu mengatakan ”Belajar tanpa dicerna tidak ada gunanya.
Hanya belajar tanpa dipraktikkan tidak ada manfaatnya”. Kemudian, beliau
mengatakan bahwa pelajaran perlu diingat ulang kembali setiap hari agar
tidak bisa lupa. Belajar adalah hal yang menyenangkan, karena jika
teman datang untuk belajar bersama, itulah hal yang menyenangkan.
Sebagai orang yang terpelajar dan bermoral, orang harus selalu berusaha
keras meningkatkan kualitas kepribadiannya sebagai manusia, dan
membangun dari dasar yang kokoh; (Wang, 2011 : 1-2).
Selain mengajarkan mengenai pendidikan dan kebijksanaan, Kong Fu Chu
meletakkan dasar-dasar tradisi untuk memperkuat sikap mental, yang
merupakan dasar bagi orang Cina untuk berdagang atau berusaha. Dalam
kaitan ini, Kong Fu Chu juga menganjurkan agar menjadi pengusaha yang
baik, dan untuk itu harus dapat dipercaya, serta menepati janji. Dalam
kenyataannya, orang Cina telah melakukan perdagangan jauh dari daratan
Cina, bahkan sampai ke Indonesia. Jadi, sesungguhnya, orang Cina telah
melakukan kegiatan ’globalisasi’ jauh sebelum bangasa barat atau Eropa
melakukannya. Negara barat melakukan ’globalisai’ ketika itu dibarengi
dengan kekuasaan, atau dengan nuansa menjajah; bangsa China, di lain
pihak, melakukan perdagangan dengan diplomasi dagang. Barang-barang
ditawarkan dengan harga yang relatif murah, tetapi berkualitas dengan
nilai seni yang tinggi (Hanaco, 2011 : 21)
Berdagang merupakan profesi yang penting dalam masyarakat Cina.
Bahkan, anak-anak diikut sertakan dalam membantu orang tuanya dalam
berdagang sejak usia dini. Terdapat beberapa alasan logis kenapa mereka
memililh untuk berdagang, yaitu (Hanaco, 2011 : 21, 22, 35, 36, 37):
- Berdagang tidak dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu.- Berdagang memberikan kesempatan bagi orang untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan, dan mengasah insting bisnis agar makin tajam.
- Berdagang adalah pekerjaan yang mandiri.
- Berdagang membutuhkan modal yang tidak besar, dan membuat uang cepat berkembang.
- Berdagang membuka banyak peluang.
- Dunia bisnis menjanjikan kesempatan untuk meraih kekayaan, kemewahan, kesenangan dan kemapanan, atau pada akhirnya mencapai kehidupan yang lebih baik.
Hanako menyimpulkan bahwa masyarakat Cina memiliki karakteristik yang
menonjol, dan ini diperlukan dalam berdagang atau berusaha. Masyarakat
Cina bersifat ulet, rajin dan tekun, tahan banting, jujur, inovatif,
tidak takut gagal, merencanakan dengan matang, memiliki kemampuan
pemasaran, dalam berdagang melibatkan seluruh keluarga, selalu berusaha
memperluas usaha, berhati hati, tidak mengenal gengsi, dan pandai
melihat dan menggunakan peluang (Hanaco, 2011: 40- 89).
Di samping itu, masyarakat China memiliki suatu faktor sosiologis, yang disebut ”quangxi”, dan mungkin jarang dimiliki, atau tidak begitu kuat diterapkan dalam bangsa lain. Quangxi adalah seni dalam berhubungan dengan orang lain, dan Ambrose King, yang dikutip oleh Hefner (1999 : 83), menjelaskannya sebagai berikut:
”Pembangunan quangxi berdasarkan atribut-atribut bersama
seperti kekeluargaan, lokalitas, marga, dan sebagainya, yang merupakan
blok-blok bangunan dibuat individu untuk membangun indentifikasi
”pluralistis” dengan individu-individu dan kelompok-kelompok ganda.
Sesungguhnya, pembangunan jaringan digunakan (dengan sadar atau tidak
sadar) oleh orang dewasa Cina sebagai suatu strategi budaya dalam
memobilisasikan sumber-sumber sosial untuk pencapaian sasaran di
berbagai bidang kehidupan sosial. Untuk tingkat kepentingan dinamika
kultural pembangunan, quangxi adalah sumber vitalitas dalam masyarakat Cina”.
KEBERHASILAN CINA
Pada awal 1980-an, sebagian besar masyarakat Cina berada dalam
keadaan miskin, dan tidak memiliki harta – benda yang berarti. Namun,
para pengusahanya membangun usaha secara praktis hanya dengan minat,
bakat dan kemauan untuk bekerja keras. Dalam kaitan ini, pemerintah
menyediakan infrastruktur dan seperangkat institusi pasar agar para
pengusaha dapat berkembang.
Infrastruktur yang dimiliki saat ini begitu maju dan baik. Jalan dan
jembatan, misalnya, tidak ada yang rusak. Pemerintah bertanggung jawab
untuk mendidik dan membantu masyarakat untuk bekerja demi kebaikan
negara. PDB untuk pendidikan ditingkatkan dari 3.4 % dalam tahun 1997
menjadi 5,2 % tahun 2002. Para pengusaha diberikan kebebasan yang
memadai dalam berusaha. Amandemen konstitusi mengenai kekayaan pribadi
yang paling penting dalam kaitan ini adalah bahwa ”kekayaan pribadi dari
warga negara yang diperoleh secara legal tidak boleh diganggu” (Chow,
2011 : 8).
Dewasa ini, Cina memiliki paling tidak 6 orang terkaya di dunia dalam daftar Forbes,
yang memiliki kekayaan di atas US$4 milyar, dan berusaha dalam bidang
minuman, pakan ternak, eceran, baterai dan mobil elektrik, dan ril estat
(Chow, 2011 : 20-26)
Pekonomian Cina tumbuh selalu di atas 9% sejak 1978. tahun 2008, Cina
memproduksi mobil lebih dari 11 juta unit, dan telah melebihi tingkat
produksi Amerika. Pemerintah sedang memacu para ilmuwan untuk
mengembangkan sain dan tehnologi, khususnya teknologi informasi dan bio
tehnologi (Chow, 2011 : 35, 50).
Di dunia internasional, dengan berhasilnya Cina menduduki peringkat
ke-3 dalam perolehan devisa, tentunya ini jelas menunjukkan bahwa Cina
telah berhasil dalam perdangangan internasional. Hal ini sekaligus
menunjukkan bahwa secara global, Cina mengalami surplus dalam
perdagangannya dengan banyak negara di dunia.
Menurut Kristanto, meningkatnya produk China masuk, misalnya ke
Indonesia, adalah terutama karena faktor harga, yang lebih murah
dibandingkan dengan produk lokal. Hal ini dimungkinkan karena upah
tenaga kerja relatif tidak mahal dibandingkan dengan tingkat
produktivitasnya. Jadi, upah yang mungkin rendah itu diimbangi dengan
produktivitas yang lebih tinggi. Buruh Cina bekerja lebih ulet, telaten,
dan memiliki keahlian yang lebih memadai. Global Competitiveness Report
2009-2010, menunjukkan bahwa efisiensi tenaga kerja China menduduki
peringkat 32 dari 132 negara di dunia, sementara Indonesia berada pada
peringkat 75 (Kristanto, 2002 : 123- 125).
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan Cina dalam
membangun perekonomiannya dan dalam bisnis internasional, yang
ditunjukkan oleh peringkat ke-3 dalam memperoleh devisa, disebabkan
karena sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, termasuk para
pengusaha yang cerdik dan tanggap, dengan para pekerja yang bekerja
keras dan terampil.
Dengan kerja keras dan penuh ketrampilan, mereka dapat menghasilkan
barang dengan harga murah, tetapi berkualitas, sehingga dapat memasuki
pasar di dunia. Etos kerja keras ini, yang diajarkan oleh Kong Fu Chu,
telah tertanam pada kultur Cina sejak ribuan tahun yang lalu, dan terus
berlangsung turun temurun hingga kini.
REFERENSI
Chow, Gregory C., (2011). Memahami Dahsyatnya Ekonomi China, Jakarta: IKAPI.
Hanaco, Indah, (2011). Belajar Dagang dengan Orang Tionghoa, Jakarta: Agogos Publishing.
Hasbullah, Jousairi, Social Capital, Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia, Jakarta: MR-Unired Press, 2006.
Hefner, Robert W., (ed), (2000) Budaya Pasar, Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, Jakarta: LP3S.
Kleden, Ignas, et.al, (1988) Kebudayaan Sebagai Perjuangan, Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, Jakarta: Dian Rakyat.
Kristanto, Jajat. (2002). Manajemen Pemasaran Internasional, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Lawang, Robert MZ. (2005). Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik, Jakarta: FISIP UI Press.
Linkletter, Karen E., dan Joseph A. Maciariello. (2010). ”Manajemen SebagaiSebuah Ilmu Budaya” , di dalam Drucker Diffrence, Pearce, Craig L., et.al, (eds), Jakarta: Ufuk Press.
Sugiarto, Ryan. (2012). Rahasia Sukses Bisnis Orang Cina. Yogyakarta: Jenius Publisher.
Wang, Andri, (2012). The Wisdom of Confucius, Jakarta: Kompas Gramedia.
Tulisan ini diterbitkan di:
http://hho3.wordpress.com/2012/09/17/pengaruh-kultur-terhadap-keberhasilan-bisnis-internasional-studi-kasus-cina/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar