Selasa, 10 September 2013

PENINGKATAN KEKAYAAN JIWA SEBAGAI FAKTOR UTAMA PEMBERANTASAN KEMISKINAN EKONOMIS

PENINGKATAN KEKAYAAN JIWA SEBAGAI FAKTOR UTAMA PEMBERANTASAN KEMISKINAN EKONOMIS

Hendy Herijanto
IEF, Universitas Trisakti



Isu kemiskinan merupakan masalah sentral dari pembangunan bangsa Indonesia saat ini, dan merupakan persoalan yang sangat kompleks sifatnya, berkaitan dengan persoalan kultural dan multidimensi serta multi disiplin. Tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh salah satu hadith Nabi SAW, inti permasalan sesungguhnya terletak pada kekayaan jiwa.

Salah satu Hadith Nabi SAW dari HR al-Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa “kekayaan bukanlah dengan banyaknya materi, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa”. Melalui Hadith ini, Nabi SAW menganjurkan pada umatnya agar tidak menjadi miskin jiwa, walaupun mengalami kemiskinan harta atau kemiskinan ekonomis. Ini berarti Tuhan melalui Hadith Nabi SAW dan juga Al-Qur’an  menunjukan betapa pentingnya jiwa, namun juga tidak berarti  menganjurkan orang untuk menjadi miskin, bahkan sebaliknya. Justru dengan akal dan jiwanya, umat Islam sangat dianjurkan untuk bekerja keras dengan menguras keringat mencari nafkah di bumi yang luas ini seusai menunaikan sholat. Umat Islam harus memiliki kemampuan ekonomis (baca ‘kekayaan’) yang mencukupi sehingga dapat menunaikan ibadah haji, membayar zakat dan shadaqah. Semakin kaya manusia, semakin banyak zakat harta yang harus dibayarnya, dan semakin banyak pula pihak yang kurang berkemampuan dapat dibantu. Manusia diberi akal dan jiwa agar dapat bekerja  dalam mengarungi kehidupan di dunia dan bermanfaat untuk akhirat. Dalam Al-Qur’an, jiwa juga diartikan sebagai hati, dan hati yang kotor akan menghalangi keimanan dan masuknya pelajaran yang berguna bagi dirinya.


Kekayaan Jiwa Pribadi

Jiwa atau hati dapat diartikan dari berbagai peran dalam  kehidupan setiap individu manusia, diantaranya adalah:

Pertama, jiwa yang bersih akan mengatakan yang benar jika benar, dan mengatakan salah jika salah, serta akan berusaha sekuat tenaga untuk menegakkan kebenaran. Hal ini bersifat imperatif bagi para penegak hukum, karena mereka harus menegakkan kebenaran, yang akan membawa keadilan.

Kedua, hati atau jiwa yang baik akan menentukan gerak tubuh manusia untuk mempelajari apa yang diperlukan guna mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jiwa atau hati yang baik ini merupakan pendorong utama bagi setiap orang dalam menciptakan kemauan dalam dirinya untuk maju dan belajar, siap untuk menerima setiap petunjuk yang baik dalam menangani setiap pekerjaan, dan siap pula dalam menghadapi setiap tantangan yang ada dalam kehidupan. Semua ini merupakan kekayaan jiwa bagi dirinya.

Sudah banyak contoh yang diberikan oleh lingkungan masyarakat dimana banyak orang tua yang lemah secara ekonomis, tetapi berhasil menciptakan keluarga yang bahagia dengan anak-anaknya yang berhasil mencapai pendidikan yang tinggi; dan bahkan, berkecukupan secara ekonomis. Banyak orang yang phisiknya tidak sempurna, namun mampu mencapai tingkat keberhasilan yang melebihi orang yang memiliki phisik yang lebih sempurna. Hal tersebut telah ditayangkan dalam beberapa episode Kick Andi, di Metro TV, dan merupakan manifestasi dari sebagian kecil contoh kekayaan jiwa yang dimaksud. Orang-orang yang berhasil itu umumnya telah berkecukupan, dan pasti tidak miskin secara ekonomis. Karena kepada hati atau jiwa yang bersih, Tuhan memberikan petujukNya sehingga mempermudah jalan kehidupan bagi mereka yang memiliki kekayaan jiwa.

Ketiga, hati atau jiwa yang baik merupakan hati yang menjauhkan dirinya dari tindakan yang tidak terpuji, tidak mementingkan diri sendiri, tetapi juga memperhatikan kepentingan orang lain. Meletakkan kepentingan diri sendiri diatas kepentingan orang lain mendorong orang itu untuk melakukan segala sesuatunya hanya demi kepentingan diri sendiri atau kepentingan kelompoknya. Tidak jarang terjadi karena kepentingan pribadi yang begitu kuat membuat orang untuk cenderung melanggar hukum dan kaidah sosial yang berlaku. Tindak pidana korupsi merupakan manisfestasi yang sangat kuat dari keberadaan kepentingan pribadi yang secara ekstrim berlebihan, karena korupsi adalah tindakan memakan hak orang lain atau hak masyarakat luas.

Kekayaan Jiwa Kolektif

Kumpulan jiwa yang bersih dalam diri masyarakat, menjadi kekayaan bagi mereka. Francis Fukuyama (1996) menyebutkan kekayaan itu sebagai modal sosial yang dapat menciptakan kepercayaan atau trust. Bagi Indonesia, neraca modal sosialnya menunjukkan angka negatif yang sangat besar. Hal ini secara gamblang dapat dirasakan oleh masyarakat umumnya. Korupsi masih merajalela, bahkan dengan adanya otorisasi daerah, telah meluas sampai ke daerah-daerah. Penegakkan hukum yang sering diucapkan hanya merupakan dalih untuk menutupi panggang yang jauh dari api. Tingkat moralitas dan etika para pemimpin rakyat sangat rendah, tetapi ditutupi dengan pencitraan melalui kata-kata yang indah namun kosong makna dan komitmen. Bagaikan para penegak hukum yang berucap demi hukum, para wakil rakyat selalu berdalih demi rakyat; tetapi secara subtantif, mementingkan diri pribadi dan kelompok tertentu. Jadi, apa yang salah pada neraca sosial tersebut? Kembali, jawabannya adalah  kemiskinan jiwa, yaitu karena:

Pertama, sudah menjadi rahasia umum, tetapi cenderung tidak ditanggapi secara terbuka, bahwa APBN mengalami kebocoran atau disalurkan tetapi dengan hasil yang tidak efektif. Media tertentu pernah menyebutkan kebocoran ini mencapai 30%. Bahkan sebuah buku yang ditulis oleh Fuad Bawazier (2007 : 160) menyebutkan angka ini mencapai 50%. Karena APBN merupakan pembiayaan  yang diperlukan oleh pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan dalam rangka melayani rakyatnya, maka jika penyalurannya itu tidak dilakukan secara efektif, itu artinya pemerintah tidak dapat melayani rakyatnya dengan baik, atau tidak memperhatikan kepentingan rakyat banyak. Pemborosan itu jelas merupakan pengejawantahan dari mementingkan kepentingan diri sendiri, individu atau  kelompok tertentu. Ini karena ada pihak yang menikmati pemborosan itu alias memakan hak masyarakat luas.

Kedua, untuk memupuk terciptanya jiwa yang baik secara kolektif di masyarakat diperlukan faktor pendidikan bagi masyarakat luas, dan penegakkan hukum yang tegas dalam masyarakat. Kedua hal ini merupakan sebagian dari public goods, yang harus disediakan pemerintah kepada pemilik hak, yaitu rakyatnya. Bagaimana mungkin masyarakat dapat memperoleh pendidikan yang baik tetapi murah dan sesuai dengan kemampuannya, jika anggaran negara untuk pendidikan, misalnya, tidak tepat sasaran alias tidak efektif (baca, dikorupsi) ? Pertanyaan yang sama juga dapat dikemukakan bagi penegakkan hukum, bagaimana mungkin hukum dapat ditegakkan, jika para penegak hukum itu tidak memperoleh sarana dan fasilitas yang dibutuhkan.

Soerjono Soekanto (2005) berpendapat bahwa salah satu faktor penting untuk penegakkan hukum adalah pemenuhan sarana dan fasilitas yang memadai yang diperlukan oleh para penegak hukum. Gaji yang tidak mencukupi, peralatan dan biaya operasional yang tidak memadai, seleksi masuk, penempatan dan kenaikan pangkat yang memerlukan biaya pribadi adalah sebagian contoh sarana dan fasilitas yang tidak memadai itu. Karena didorong untuk menjalankan tugas, serta untuk memenuhi kepentingan kehidupan keluarga, gaji dan anggaran operasional  yang tidak mecukupi itu terpaksa harus ditutupi dari sumber lain yang mungkin dapat diperoleh para penegak hukum. Sumber ini hanya dapat direalisasikan, jika ada orang-orang tertentu yang terkena masalah hukum, atau yang ingin berurusan dengan hukum membayar sejumlah besar uang ke para penegak hukum, guna memperoleh manfaat atau fasilitas khusus/tertentu dari aparat pemerintah ini melalui penggunaan wewenangan atau kekuasaan mereka. Untuk itu, mereka terpaksa harus membengkokan peraturan atau UU yang berlaku.

Ketiga, kemiskinan jiwa secara kolektif juga dapat dilihat dari bagaimana cara kekuasaan politik diperoleh. Sudah menjadi rahasia umum, dan bahkan telah dibuktikan oleh sebuah penelitian baru-baru ini (Media Indonesia, 23 Agustus 2010), bahwa masyarakat pemilih memilih calon pimpinan daerah atau wakil rakyat lebih banyak karena politik uang. Bukan karena lebih mengutamakan apakah calon yang dipilihnya itu akan dapat menciptakan perubahan bagi masyarakat ke arah yang lebih baik. Dengan demikian bagi calon pemimpin daerah atau calon wakil rakyat yang punya dana berlebih, walaupun mereka tidak punya kompetensi, dapat memperoleh kursi berkat politik uang. Bagi mereka, transaksi perolehan suara itu, yang membutuhkan biaya yang sangat besar dari kocek pribadi atau dari sponsor tetentu, membuat transaksi itu menjadi transaksi komersial, dan tidak lagi bersifat sosial yang  menghasilkan kebajikan maupun kebijakan yang benar.

Karena menganut prinsip tidak ada makan siang yang gratis, maka sudah barang tentu yang dipentingkan terlebih dahulu, setelah memperoleh kursi atau kekuasaan adalah, bagaimana mengembalikan dana yang telah dikeluarkan sebelumnya, agar balik modal. Tentunya, secara logika sederhana, setelah modal dapat dikembalikan, target berikutnya adalah memikirkan bagaimana keuntungan yang diinginkan dapat diperoleh. Jadi, tidaklah mengherankan setelah duduk dengan manis pada kursi kewenangan atau kekuasaan, selalu mencari peluang untuk meningkatkan utilitas pribadi dalam rangka meningkatkan neraca keuntungan, termasuk kenikmatan atau manfaat bagi diri pribadi baik secara langsung atau mapun tidak langsung. Akhirnya, kepentingan pribadi itu akan  mengesampingkan kepentingan masyarakat luas yang harus diperjuangkan.

Keempat, tindak korupsi, yang telah dicanangkan sebagai kejahatan luar biasa dan masih berlangsung saat ini diperkirakan akan tetap berlanjut, disebabkan karena  penegakan hukum  yang sangat lemah atau separuh hati. Nampaknya terdapat faktor pembiaran disitu. Hukuman yang diberikan tidak menghasilkan efek jera yang berarti. Para pelaku utama dihukum sangat ringan. Namun, setiap tindak pidana korupsi tidak dilakukan oleh seorang diri. Selain pemberi dan penerima suap, selalu ada free riders, yaitu orang yang ikut memperoleh manfaat tetapi selalu berhasil menghindar dari tanggung jawab. Jika pelaku utama hanya dihukum secara ringan, maka para free riders akan lebih bebas bergentanyangan. Para free riders ini adalah para penikmat, yang umumnya berfungsi untuk memperlancar jalannya suap, sebagai penghubung dalam berkomunikasi, membantu menutupi fakta atau menghilangakan bukti, atau membantu memperlemah penuntutan jaksa atau vonis hakim; atau bahkan tidak mustahil akan membantu penundaan terciptanya UU yang tegas.

Dengan menggunakan economic analysis of law oleh Posner (1998), undang- undang dengan hukuman yang tidak efektif itu menunjukkan analisa efektifitas hukum yang lemah dari segi ekonomi. Kenapa tidak? Jika seseorang berhasil melakukan korupsi dengan nilai uang katakan sejumlah Rp 800 miliar, kemudian dia dihukum selama 8 tahun. Maka dengan menjalankan dua pertiga, dikurangi dengan remisi, dia akan bebas dalam waktu paling lama katakan 4-5 tahun. Jika misalkan dalam berpekara dan memperoleh keringanan hukum dan remisi itu, dia harus mengeluarkan separoh dari nilai yang dikorupsi; maka, setelah bebas, dia akan menikmati sisa hidupnya tanpa harus bekerja dengan sisa hasil korupsi sebesar Rp. 400 miliar; tanpa celaan apapun dari masyarakat karena fungsi kontrol sosial informal juga telah lemah.

Dengan hukuman seperti ini jelas tidak menghasilkan efek jera, bahkan sebaliknya. Jadi janganlah heran melihat kenapa korupsi tetap merajalela. Bandingkan, dengan kejadian korupsi atau penipuan uang masyarakat di Amerika yang dilakukan oleh Charles Ponzi (1920),  Charles Keating (1990) dari Lincoln Savings and Loan, Kenneth Lay dari Enron dan Bernard L.Madoff (2008) dari Bernard L Madoff Investment Securities LLC. Karena menipu  masyarakat sejumlah uang $ 15 juta, Ponzi di hukum selama 5 tahun penjara yang kemudian ditambah dengan 9 tahun. Dari segi lama hukuman ini masih dapat diperdebatkan, tetapi hal yang pasti adalah suatu kenyataan bahwa  Ponzi meninggal dalam keadaan miskin dalam tahun 1949. Charles Keating dituntut melakukan penipuan investasi melalui bank tabungan nya, dan dihukum 10 dan 12 tahun di pengadilan yang berbeda. Walaupun setelah menjalankan hukuman selama 4.5 tahun dia dibebaskan, tetapi Keating mengalami kebangkrutan disamping harus membuat pernyataan jika terdapat harta yang lain miliknya diketemukan dapat disita.  Karena melakukan penipuan investasi  melalui rekayasa keuangan dan akal-akalan akunting, Jeffrey Skilling sebagai mantan Direktur Eksekutifnya dihukum 24 tahun dan 4 bulan penjara, ditambah denda $ 45 juta; sedangkan, mantan CEOnya, Kenneth Lay dihukum 45 tahun penjara. Namun, dia meninggal dunia dalam tahun 2006 sebelum menjalankan hukumannya.  Madoff melakukan  penipuan investasi senilai $ 65 miliar di pasar uang dan modal, dan dihukum selama 150 tahun penjara dengan denda $170 miliar. Ketika dijatuhkan hukuman itu, ia telah berumur 71. Walhasil, penegakan hukum yang lemah menyuburkan kemiskinan jiwa, yang akhirnya kepentingan masyarakat banyak tidak dijadikan sebagai target utama yang harus diperhatikan. Kepentingan masyarakat yang diabaikan sudah barang tentu akan menambah tingkat kemiskinan ekonomis secara langsung atau tidak langsung.

Oleh karena itu, jika setiap orang tidak mementingkan diri sendiri atau kelompok, dan pemerintah mendorong terciptanya kekayaan jiwa kolektif di masyarakat melalui peningkatan efektifitas APBN dengan mengutamakan kepentingan masyarakat luas, termasuk meningkatkan pendidikan dan penegakan hukum secara tegas, tidak mustahil tingkat kemiskinan di Indonesia akan berkurang secara signifikan. Insya Allah.


Tulisan ini telah dimuat pada Majalah Ekonomi Syariah, Vol. 9 No. 6 / 1431 H, dan di http://hho3.wordpress.com/2011/11/24/28/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar