PENINGKATAN KEKAYAAN JIWA SEBAGAI FAKTOR UTAMA PEMBERANTASAN KEMISKINAN EKONOMIS
Hendy Herijanto
IEF, Universitas Trisakti
Isu kemiskinan merupakan masalah sentral dari pembangunan bangsa
Indonesia saat ini, dan merupakan persoalan yang sangat kompleks
sifatnya, berkaitan dengan persoalan kultural dan multidimensi serta
multi disiplin. Tetapi, seperti yang ditunjukkan oleh salah satu hadith
Nabi SAW, inti permasalan sesungguhnya terletak pada kekayaan jiwa.
Salah satu Hadith Nabi SAW dari HR al-Bukhari dan Muslim menyebutkan bahwa “kekayaan bukanlah dengan banyaknya materi, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa”.
Melalui Hadith ini, Nabi SAW menganjurkan pada umatnya agar tidak
menjadi miskin jiwa, walaupun mengalami kemiskinan harta atau kemiskinan
ekonomis. Ini berarti Tuhan melalui Hadith Nabi SAW dan juga Al-Qur’an
menunjukan betapa pentingnya jiwa, namun juga tidak berarti
menganjurkan orang untuk menjadi miskin, bahkan sebaliknya. Justru
dengan akal dan jiwanya, umat Islam sangat dianjurkan untuk bekerja
keras dengan menguras keringat mencari nafkah di bumi yang luas ini
seusai menunaikan sholat. Umat Islam harus memiliki kemampuan ekonomis
(baca ‘kekayaan’) yang mencukupi sehingga dapat menunaikan ibadah haji,
membayar zakat dan shadaqah. Semakin kaya manusia, semakin banyak zakat
harta yang harus dibayarnya, dan semakin banyak pula pihak yang kurang
berkemampuan dapat dibantu. Manusia diberi akal dan jiwa agar dapat
bekerja dalam mengarungi kehidupan di dunia dan bermanfaat untuk
akhirat. Dalam Al-Qur’an, jiwa juga diartikan sebagai hati, dan hati
yang kotor akan menghalangi keimanan dan masuknya pelajaran yang berguna
bagi dirinya.
Kekayaan Jiwa Pribadi
Jiwa atau hati dapat diartikan dari berbagai peran dalam kehidupan setiap individu manusia, diantaranya adalah:
Pertama, jiwa yang bersih akan mengatakan yang benar
jika benar, dan mengatakan salah jika salah, serta akan berusaha sekuat
tenaga untuk menegakkan kebenaran. Hal ini bersifat imperatif bagi para
penegak hukum, karena mereka harus menegakkan kebenaran, yang akan
membawa keadilan.
Kedua, hati atau jiwa yang baik akan menentukan
gerak tubuh manusia untuk mempelajari apa yang diperlukan guna mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jiwa atau hati yang baik ini
merupakan pendorong utama bagi setiap orang dalam menciptakan kemauan
dalam dirinya untuk maju dan belajar, siap untuk menerima setiap
petunjuk yang baik dalam menangani setiap pekerjaan, dan siap pula dalam
menghadapi setiap tantangan yang ada dalam kehidupan. Semua ini
merupakan kekayaan jiwa bagi dirinya.
Sudah banyak contoh yang diberikan oleh lingkungan masyarakat dimana
banyak orang tua yang lemah secara ekonomis, tetapi berhasil menciptakan
keluarga yang bahagia dengan anak-anaknya yang berhasil mencapai
pendidikan yang tinggi; dan bahkan, berkecukupan secara ekonomis. Banyak
orang yang phisiknya tidak sempurna, namun mampu mencapai tingkat
keberhasilan yang melebihi orang yang memiliki phisik yang lebih
sempurna. Hal tersebut telah ditayangkan dalam beberapa episode Kick
Andi, di Metro TV, dan merupakan manifestasi dari sebagian kecil contoh
kekayaan jiwa yang dimaksud. Orang-orang yang berhasil itu umumnya telah
berkecukupan, dan pasti tidak miskin secara ekonomis. Karena kepada
hati atau jiwa yang bersih, Tuhan memberikan petujukNya sehingga
mempermudah jalan kehidupan bagi mereka yang memiliki kekayaan jiwa.
Ketiga, hati atau jiwa yang baik merupakan hati yang
menjauhkan dirinya dari tindakan yang tidak terpuji, tidak mementingkan
diri sendiri, tetapi juga memperhatikan kepentingan orang lain.
Meletakkan kepentingan diri sendiri diatas kepentingan orang lain
mendorong orang itu untuk melakukan segala sesuatunya hanya demi
kepentingan diri sendiri atau kepentingan kelompoknya. Tidak jarang
terjadi karena kepentingan pribadi yang begitu kuat membuat orang untuk
cenderung melanggar hukum dan kaidah sosial yang berlaku. Tindak pidana
korupsi merupakan manisfestasi yang sangat kuat dari keberadaan
kepentingan pribadi yang secara ekstrim berlebihan, karena korupsi
adalah tindakan memakan hak orang lain atau hak masyarakat luas.
Kekayaan Jiwa Kolektif
Kumpulan jiwa yang bersih dalam diri masyarakat, menjadi kekayaan
bagi mereka. Francis Fukuyama (1996) menyebutkan kekayaan itu sebagai
modal sosial yang dapat menciptakan kepercayaan atau trust.
Bagi Indonesia, neraca modal sosialnya menunjukkan angka negatif yang
sangat besar. Hal ini secara gamblang dapat dirasakan oleh masyarakat
umumnya. Korupsi masih merajalela, bahkan dengan adanya otorisasi
daerah, telah meluas sampai ke daerah-daerah. Penegakkan hukum yang
sering diucapkan hanya merupakan dalih untuk menutupi panggang yang jauh
dari api. Tingkat moralitas dan etika para pemimpin rakyat sangat
rendah, tetapi ditutupi dengan pencitraan melalui kata-kata yang indah
namun kosong makna dan komitmen. Bagaikan para penegak hukum yang
berucap demi hukum, para wakil rakyat selalu berdalih demi rakyat;
tetapi secara subtantif, mementingkan diri pribadi dan kelompok
tertentu. Jadi, apa yang salah pada neraca sosial tersebut? Kembali,
jawabannya adalah kemiskinan jiwa, yaitu karena:
Pertama, sudah menjadi rahasia umum, tetapi
cenderung tidak ditanggapi secara terbuka, bahwa APBN mengalami
kebocoran atau disalurkan tetapi dengan hasil yang tidak efektif. Media
tertentu pernah menyebutkan kebocoran ini mencapai 30%. Bahkan sebuah
buku yang ditulis oleh Fuad Bawazier (2007 : 160) menyebutkan angka ini
mencapai 50%. Karena APBN merupakan pembiayaan yang diperlukan oleh
pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan dalam rangka melayani
rakyatnya, maka jika penyalurannya itu tidak dilakukan secara efektif,
itu artinya pemerintah tidak dapat melayani rakyatnya dengan baik, atau
tidak memperhatikan kepentingan rakyat banyak. Pemborosan itu jelas
merupakan pengejawantahan dari mementingkan kepentingan diri sendiri,
individu atau kelompok tertentu. Ini karena ada pihak yang menikmati
pemborosan itu alias memakan hak masyarakat luas.
Kedua, untuk memupuk terciptanya jiwa yang baik
secara kolektif di masyarakat diperlukan faktor pendidikan bagi
masyarakat luas, dan penegakkan hukum yang tegas dalam masyarakat. Kedua
hal ini merupakan sebagian dari public goods, yang harus
disediakan pemerintah kepada pemilik hak, yaitu rakyatnya. Bagaimana
mungkin masyarakat dapat memperoleh pendidikan yang baik tetapi murah
dan sesuai dengan kemampuannya, jika anggaran negara untuk pendidikan,
misalnya, tidak tepat sasaran alias tidak efektif (baca, dikorupsi) ?
Pertanyaan yang sama juga dapat dikemukakan bagi penegakkan hukum,
bagaimana mungkin hukum dapat ditegakkan, jika para penegak hukum itu
tidak memperoleh sarana dan fasilitas yang dibutuhkan.
Soerjono Soekanto (2005) berpendapat bahwa salah satu faktor penting
untuk penegakkan hukum adalah pemenuhan sarana dan fasilitas yang
memadai yang diperlukan oleh para penegak hukum. Gaji yang tidak
mencukupi, peralatan dan biaya operasional yang tidak memadai, seleksi
masuk, penempatan dan kenaikan pangkat yang memerlukan biaya pribadi
adalah sebagian contoh sarana dan fasilitas yang tidak memadai itu.
Karena didorong untuk menjalankan tugas, serta untuk memenuhi
kepentingan kehidupan keluarga, gaji dan anggaran operasional yang
tidak mecukupi itu terpaksa harus ditutupi dari sumber lain yang mungkin
dapat diperoleh para penegak hukum. Sumber ini hanya dapat
direalisasikan, jika ada orang-orang tertentu yang terkena masalah
hukum, atau yang ingin berurusan dengan hukum membayar sejumlah besar
uang ke para penegak hukum, guna memperoleh manfaat atau fasilitas
khusus/tertentu dari aparat pemerintah ini melalui penggunaan wewenangan
atau kekuasaan mereka. Untuk itu, mereka terpaksa harus membengkokan
peraturan atau UU yang berlaku.
Ketiga, kemiskinan jiwa secara kolektif juga dapat
dilihat dari bagaimana cara kekuasaan politik diperoleh. Sudah menjadi
rahasia umum, dan bahkan telah dibuktikan oleh sebuah penelitian
baru-baru ini (Media Indonesia, 23 Agustus 2010), bahwa masyarakat
pemilih memilih calon pimpinan daerah atau wakil rakyat lebih banyak
karena politik uang. Bukan karena lebih mengutamakan apakah calon yang
dipilihnya itu akan dapat menciptakan perubahan bagi masyarakat ke arah
yang lebih baik. Dengan demikian bagi calon pemimpin daerah atau calon
wakil rakyat yang punya dana berlebih, walaupun mereka tidak punya
kompetensi, dapat memperoleh kursi berkat politik uang. Bagi mereka,
transaksi perolehan suara itu, yang membutuhkan biaya yang sangat besar
dari kocek pribadi atau dari sponsor tetentu, membuat transaksi itu
menjadi transaksi komersial, dan tidak lagi bersifat sosial yang
menghasilkan kebajikan maupun kebijakan yang benar.
Karena menganut prinsip tidak ada makan siang yang gratis, maka sudah
barang tentu yang dipentingkan terlebih dahulu, setelah memperoleh
kursi atau kekuasaan adalah, bagaimana mengembalikan dana yang telah
dikeluarkan sebelumnya, agar balik modal. Tentunya, secara logika
sederhana, setelah modal dapat dikembalikan, target berikutnya adalah
memikirkan bagaimana keuntungan yang diinginkan dapat diperoleh. Jadi,
tidaklah mengherankan setelah duduk dengan manis pada kursi kewenangan
atau kekuasaan, selalu mencari peluang untuk meningkatkan utilitas
pribadi dalam rangka meningkatkan neraca keuntungan, termasuk kenikmatan
atau manfaat bagi diri pribadi baik secara langsung atau mapun tidak
langsung. Akhirnya, kepentingan pribadi itu akan mengesampingkan
kepentingan masyarakat luas yang harus diperjuangkan.
Keempat, tindak korupsi, yang telah dicanangkan
sebagai kejahatan luar biasa dan masih berlangsung saat ini diperkirakan
akan tetap berlanjut, disebabkan karena penegakan hukum yang sangat
lemah atau separuh hati. Nampaknya terdapat faktor pembiaran disitu.
Hukuman yang diberikan tidak menghasilkan efek jera yang berarti. Para
pelaku utama dihukum sangat ringan. Namun, setiap tindak pidana korupsi
tidak dilakukan oleh seorang diri. Selain pemberi dan penerima suap,
selalu ada free riders, yaitu orang yang ikut memperoleh
manfaat tetapi selalu berhasil menghindar dari tanggung jawab. Jika
pelaku utama hanya dihukum secara ringan, maka para free riders akan lebih bebas bergentanyangan. Para free riders
ini adalah para penikmat, yang umumnya berfungsi untuk memperlancar
jalannya suap, sebagai penghubung dalam berkomunikasi, membantu menutupi
fakta atau menghilangakan bukti, atau membantu memperlemah penuntutan
jaksa atau vonis hakim; atau bahkan tidak mustahil akan membantu
penundaan terciptanya UU yang tegas.
Dengan menggunakan economic analysis of law oleh Posner
(1998), undang- undang dengan hukuman yang tidak efektif itu menunjukkan
analisa efektifitas hukum yang lemah dari segi ekonomi. Kenapa tidak?
Jika seseorang berhasil melakukan korupsi dengan nilai uang katakan
sejumlah Rp 800 miliar, kemudian dia dihukum selama 8 tahun. Maka dengan
menjalankan dua pertiga, dikurangi dengan remisi, dia akan bebas dalam
waktu paling lama katakan 4-5 tahun. Jika misalkan dalam berpekara dan
memperoleh keringanan hukum dan remisi itu, dia harus mengeluarkan
separoh dari nilai yang dikorupsi; maka, setelah bebas, dia akan
menikmati sisa hidupnya tanpa harus bekerja dengan sisa hasil korupsi
sebesar Rp. 400 miliar; tanpa celaan apapun dari masyarakat karena
fungsi kontrol sosial informal juga telah lemah.
Dengan hukuman seperti ini jelas tidak menghasilkan efek jera, bahkan
sebaliknya. Jadi janganlah heran melihat kenapa korupsi tetap
merajalela. Bandingkan, dengan kejadian korupsi atau penipuan uang
masyarakat di Amerika yang dilakukan oleh Charles Ponzi (1920), Charles
Keating (1990) dari Lincoln Savings and Loan, Kenneth Lay dari Enron
dan Bernard L.Madoff (2008) dari Bernard L Madoff Investment Securities
LLC. Karena menipu masyarakat sejumlah uang $ 15 juta, Ponzi di hukum
selama 5 tahun penjara yang kemudian ditambah dengan 9 tahun. Dari segi
lama hukuman ini masih dapat diperdebatkan, tetapi hal yang pasti adalah
suatu kenyataan bahwa Ponzi meninggal dalam keadaan miskin dalam tahun
1949. Charles Keating dituntut melakukan penipuan investasi melalui
bank tabungan nya, dan dihukum 10 dan 12 tahun di pengadilan yang
berbeda. Walaupun setelah menjalankan hukuman selama 4.5 tahun dia
dibebaskan, tetapi Keating mengalami kebangkrutan disamping harus
membuat pernyataan jika terdapat harta yang lain miliknya diketemukan
dapat disita. Karena melakukan penipuan investasi melalui rekayasa
keuangan dan akal-akalan akunting, Jeffrey Skilling sebagai mantan
Direktur Eksekutifnya dihukum 24 tahun dan 4 bulan penjara, ditambah
denda $ 45 juta; sedangkan, mantan CEOnya, Kenneth Lay dihukum 45 tahun
penjara. Namun, dia meninggal dunia dalam tahun 2006 sebelum menjalankan
hukumannya. Madoff melakukan penipuan investasi senilai $ 65 miliar
di pasar uang dan modal, dan dihukum selama 150 tahun penjara dengan
denda $170 miliar. Ketika dijatuhkan hukuman itu, ia telah berumur 71.
Walhasil, penegakan hukum yang lemah menyuburkan kemiskinan jiwa, yang
akhirnya kepentingan masyarakat banyak tidak dijadikan sebagai target
utama yang harus diperhatikan. Kepentingan masyarakat yang diabaikan
sudah barang tentu akan menambah tingkat kemiskinan ekonomis secara
langsung atau tidak langsung.
Oleh karena itu, jika setiap orang tidak mementingkan diri sendiri
atau kelompok, dan pemerintah mendorong terciptanya kekayaan jiwa
kolektif di masyarakat melalui peningkatan efektifitas APBN dengan
mengutamakan kepentingan masyarakat luas, termasuk meningkatkan
pendidikan dan penegakan hukum secara tegas, tidak mustahil tingkat
kemiskinan di Indonesia akan berkurang secara signifikan. Insya Allah.
Tulisan ini telah dimuat pada Majalah Ekonomi Syariah, Vol. 9 No. 6 / 1431 H, dan di http://hho3.wordpress.com/2011/11/24/28/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar