Kasus Bank Century: Krisis Global, Sistemik, dan Dasar Keputusan Penyelamatan.
Oleh:
Hendy Herijanto
IEF (Islamic Economics and Finance)
Universitas Trisakti, Jakarta.
Banyak pemberitaan dan penjelasan dari pelbagai pihak menyebutkan
bahwa penyelamatan Bank Century (BC) harus dilakukan. Hal ini mengingat
bahwa kasus BC dianggap bersifat sistemik. Pada waktu itu terjadi
krisis global yang bermula di Amerika, dikhawatirkan jika BC dibiarkan,
secara keseluruhan akan dapat menimbulkan krisis perbankan seperti yang
terjadi pada tahun 1997/1998. Namun, sesungguhnya, krisis global yang
terjadi dalam tahun 2007 sangat berbeda sifatnya dengan krisis moneter
yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998, dan tentunya akan
memberikan akibat yang berbeda pada perekonomian dan perbankan kita.
Disamping itu, masalah BC dapat dikatakan berdiri sendiri, dan tidak
dapat dianggap bahwa ditutupnya BC akan mempengaruhi bank lain atau
perbankan pada umumnya. Oleh karena itu, sulit untuk dapat mengatakan
bahwa kasus BC bersifat sistemik. Kedua hal ini merupakan materi yang
harus dikaji lebih dalam, dan kemudian mempertanyakan apakah tindakan
penyelamatan itu secara proseduril telah memenuhi ketentuan perundangan
yang ada?
Krisis Global 2007 Vs Krismon 1997/1998.
Krisis Global 2007. Inti permasalahan krisis global
bermula dari masalah pemberian kredit perumahan di Amerika berdasarkan
hipotik berkualitas rendah, dan dengan uang muka rendah hanya berkisar
6-12%, atau yang disebut sebagai subprime mortgage.. Kualitas
yang rendah itu disebabkan karena permohonan kredit tidak diseleksi
dengan baik, karena memang tidak dilakukan pengecekan kemampuan keuangan
dari pemohon. Kredit seperti ini disebut juga sebagai no doc loan atau alt loan,
yang artinya pinjaman tanpa didukung dengan bukti-bukti atau dokumen
penghasilan atau kemampuan keuangan si pemohon, seperti layaknya pada
permohonan kredit perorangan umumnya. Fakta lain yang perlu diketahui,
selama hampir 30 tahun tingkat bunga di Amerika berada di tingkat yang
paling rendah mencapai 1% per tahun. Selama periode itu, banyak bank di
Amerika termasuk perusahaan hipotik, yaitu yang khusus memberikan kredit
perumahan atas hipotik, begitu gencar memberikan kredit perumahan.
Akibat dari kesediaan dana kredit perumahan ini, dan mudah diperoleh,
dengan tingkat bunga yang rendah dan stabil, animo masyarakat yang
berpenghasilan pas-pasan atau bahkan kurang terdorong meningkat untuk
membeli rumah sendiri secara kredit. Hampir setiap orang Amerika memang
selalu mengidam-idamkan untuk memiliki rumah sendiri. Faktor-faktor
yang disebutkan ini akhirnya mendorong penawaran dan permintaan
perumahan bergerak keatas. Sebagai akibat lanjutannya, interaksi jual
beli yang aktif tadi mendorong harga-harga rumah terus naik, atau
mengalami apresiasi dari waktu ke waktu.
Setelah atau pada saat kredit diberikan, setiap bank atau perusahana
hipotik tersebut mengelompokkan sejumlah nilai kredit gabungan dari
sejumlah nasabah. Atas gabungan nilai nominal kredit ini, bank atau
perusahaan hipotik itu mengeluarkan surat hutang atau sekuritas dengan
meletakkan rumah-rumah yang dibiayai sebagai jaminan pada surat hutang
tersebut. Surat hutang ini, disebut juga sebagai CDO atau collateralized debt obligation atau MBO atau mortgage backed security,
dijual keseluruh dunia, terutama disekitar eropa termasuk Inggris. Ini
artinya para pembeli dari surat hutang ini memberikan pinjaman kepada
bank-bank atau perusahaan hipotik di Amerika, dibuktikan dengan surat
hutang tersebut, dengan bersandar pada rumah-rumah yang dijaminkan
tersebut.
Apa yang terjadi setelah itu, dalam tahun 2004-2005, tingkat bunga di
Amerika naik sebanyak 17 kali menjadi 5.25% pertahun. Sebagai
akibatnya, pembeli rumah dengan kredit yang memang berpenghasilan
pas-pas tadi menjadi tidak mampu untuk membayar cicilan bulanan dan
bunga kredit. Umumnya, tanpa adanya kredit rumah tersebut, hampir
setiap rumah tangga di Amerika telah memiliki kewajiban untuk membayar
cicilan kredit yang sudah besar pula. Setiap keperluan sehari-hari
dibayar dengan kartu kredit. Menurut suatu sumber yang dapat dipercaya,
dalam tahun 2008, jumlah cicilan kredit rata-rata untuk setiap rumah
tangga telah mencapai 90% dari penghasilan bulanan mereka. Ini artinya
mereka telah menggadaikan pendapatan mereka di masa depan, yang ternyata
hanya merupakan harapan karena banyak perusahaan harus merumahkan para
karyawannya yang dimulai di sektor perbankan. Akhirnya, sebagian besar
kredit perumahan itu menjadi macet, dan bank menyita banyak rumah yang
dibiayai atau closure yang kemudian tidak dapat dijual dengan
harga yang sebelumnya berlaku. Harga rata-rata perumahan pertama kali
selama 30 tahun mengalami penurunan atau depresiasi. Akibat
dari gagal bayar dari sebagian besar pembeli rumah dengan kredit, bank
yang mengeluarkan CDO atau MBS tadi tidak mampu membayar angsuran dan
bunga kepada pembeli dari sekuritas tersebut. Mayoritas dari pembeli
sekuritas dalam jumlah yang besar mengalami penurunan pendapatan yang
tajam dan merusak tingkat solvabilitas yang mereka miliki, dan menggangu
kelangsungan usaha mereka. Sebagian dari bank tersebut mengalami
masalah solvabilitas yang serius, dan terpaksa ditutup terutama di
Amerika, dan juga di negara lain seperti di Inggris. Akhirnya, singkat
cerita, krisis subprime mortgage itu membawa dampak pada timbulnya krisis ditingkat global, artinya di banyak negara.
Apa pengaruh kejadian tersebut pada Indonesia? Hampir tidak ada,
kecuali ekspor Indonesia ke Amerika menurun, karena menurunnya daya beli
rata-rata rakyat Amerika. Banyak perusahaan di Amerika terpaksa harus
mengurangi kegiatannya atau tutup sama sekali, sehingga meningkatkan
jumlah pengangguran. Epicentrum dari krisis global ini berada di
Amerika. Indonesia tidak pernah menjadi pembeli dari sekuritas tersebut.
Bahkan, sebaliknya, Indonesia selama ini hanya menjadi penghutang
bersih, atau net borrower, bukan net lender.
Krismon 1997/1998. Sifat dari krisis global
tersebut sangat berbeda dengan Krisis Moneter 1997/1998. Epicentrum dari
krismon ini ada di Indonesia. Hanya saja faktor pendorongnya datang
sebagai penularan dari penyakit yang sama di Thailand. Masalah yang ada
di epicentrum itu adalah kandungan kredit macet yang besar di Indonesia,
terutama di bank pemerintah seperti Bappindo, BDN, dan BBD. Tambahan
pula, sebagian besar bank yang didirikan pada Oktober 1978 (“Pakto
1978”), juga mengandung kredit macet yang tidak kecil, dan umumnya
kredit itu diberikan kepada pemilik bank. Tetapi, kredit macet ini
tidak terlihat di permukaan, karena memang ditutupi. Pada waktu itu,
pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia tidak seketat dan secermat
sekarang ini. Namun, karena pertumbuhan ekonomi terlihat stabil, pada
saat yang sama pemerintah menganut kebijakan kurs tetap, banyak pihak
swasta dan perbankan Indonesia termasuk pemerintahannya menggunakan
pinjaman jangka pendek dari luar negeri. Pinjaman-pinjaman ini pada
dasarnya digunakan tidak untuk tujuan jangka pendek.
Hal yang sama terjadi di Thailand, dimana negara ini juga memiliki
kandungan kredit macet yang besar di sektor keuangan non bank, dan juga
memiliki pinjaman jangka pendek yang besar dari luar negeri. Ketika
publik mengetahui bahwa terdapat jumlah pinjaman yang sangat besar
berpotensi bermasalah di Bangkok Bank of Commerce dan Finance One,
dibarengi dengan keadaan politik yang tidak stabil, para kreditor
jangka pendek tersebut menarik pinjamannya secara sert merta dari
Thailand. Ini membuat permintaan akan dolar Amerika meningkat, karena
umumnya mereka harus mgembalikan pinjaman dalam bentuk dolar yang sama
dalam waktu yang relative singkat. Karena likuiditas dolar Amerika tidak
tersedia di pasar, antara lain juga karena ekspor Thailand pada waktu
itu mengalami penurunan, sehinga supply valuta asing itupun menipis. Apa
yang terjadi adalah terjadinya depresiasi mata uang bath, atau dalam
kata lain harga valuta asing tersebut dalam mata uang bath menjadi
meningkat atau mahal. Maka terjadilah krisis keuangan atau mata uang di
Thailand.
Hal yang sama kemudian terjadi di Indonesia. Karena kepercayaan
terhadap pemerintahan Soeharto menurun, demo terjadi dimana-mana,
terdapat kekhawatiran yang sama yang diilhami oleh kejadian di Thailand,
para kreditur luar negeri yang memberikan pinjaman jangka pendek ke
Indonesia tidak bersedia memperpanjang pinjamannya. Maka, terjadilah rush
pada perbankan Indonesia secara merata, karena harus membayar kembali
pinjamannya, yang kemudian mengakibatkan mata uang Rupiah
terdepresiaisi dengan tajam dalam waktu yang relatif pendek. Cerita
selanjutnya adalah ditutupnya sejumlah bank, dan diketahui sebagian
besar bank yang ada telah mengandung pinjaman macet yang cukup besar,
bukan karena kejadian awal dari krisis tersebut, tetapi sudah ada
sebelumnya. Karena sebagian besar perbankan Indonesia mengalami masalah,
dan mata uang Rupiah terdepresiasi dari Rp 2000 menjadi lebih dari Rp
10.000 per dolar Amerika, ini semua membuat daya beli masyarakat
rata-rata menjadi turun secara drastis.
Sistemik Vs Non Sistemik
Suatu bank dikatakan bersifat sistemik, apabila penutupannya akan
mempengaruhi kelangsungan hidup bank lainnya, sehingga dapat
menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan. Krisis
perbankan akan terjadi jika terdapat sejumlah bank mengalami kesulitan
likuiditas pada saat yang relative sama. Kesulitan likuiditas dapat
terjadi karena kredit macet yang banyak, dan para deposan menarik
uangnya secara mendadak dan bersama-sama dalam waktu yang singkat pula.
Satu bank yang bermasalah dapat mempengaruhi kelangsungan hidap bank
lain, pada dasarnya, karena dua hal. Pertama, bank itu memiliki pinjaman
antar bank yang besar dari sejumlah bank lain dalam sektor perbankan
yang sama. Kedua, sejumlah besar nasabah bank pertama memberikan
instruksi pembayaran, baik melalui transfer maupun cek, untuk pihak lain
di bank lain. Tetapi, karena bank pertama mengalami masalah dalam
likuiditas akibat kredit macet yang dialami, atau sebab lain, maka bank
lain itu tidak dapat memperoleh pembayaran yang semula harus
diterimanya. Jika jumlah ini besar, maka bank tersebut akan mengalami
masalah likuiditas yang sama, yang akan mempengaruhi bank berikutnya
karena hal yang sama.
Dalam kasus BC, pinjaman antar bank berjumlah Rp 750 milyar, atau
hanya 4.8% dari total asset yang berjumlah Rp 15.4 triliun. Nasabah dana
pihak ketiga berjumlah 65.000 atau hanya 0.1 % dari jumlah keselurahan
penyimpan dana di perbankan Indonesia. Dari penyimpan dana di BC,
sejumlah total Rp 9 triliun diwakili oleh 10 deposan besar. Kemudian,
total aset BC hanya berjumlah sekitar Rp 15.4 triliun atau jauh dibawah 5
% dari total nilai aset seluruh perbankan Indonesia. Berdasarkan
angka-angka ini saja, sulit untuk mengatakan bahwa kalau BC ditutup,
akan berakibat negative terhadap kelangsungan hidup bank lain yang ada
di Indonesia. BC terlalu kecil, untuk mempengaruhi bank lain baik secara
materiel maupun secara psikologis. Ingatkah kita, ketika bank Pacifik
ditutup? Masyarakat nampaknya tidak menyadari dengan jelas bahwa bank
itu telah ditutup sebelum krismon. Atau bank IFI yang ditutup baru-baru
ini. Tidak ada gejolak apa-apa, kecuali para deposan menuntut uangnya
kembali, tetapi kemudian menghening tanpa bekas..
Dasar Pengambilan Keputusan
Pada dasarnya terdapat dua UU yang berkaitan dengan tindakan
penyelamatan BC. Pertama, UU nomor 24 Tahun 2004 mengenai Lembaga
Penjamin Simpanan (LPS). UU ini menetapkan pendirian LPS, mengatur
tugas-tugas LPS, dan menjabarkan struktur internal LPS, serta hak dan
kewajiban dari organ struktur LPS. Rincian bagaimana keputusan
penyelamatan dan siapa yang berhak untuk menentukan pengambilan
keputusan penyelamatan diuraikan lebih rinci pada Peraturan Pemerintah
Pengganti UU Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008 (“Perpu”). Disini,
disebutkan pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KSSK
(pasal 7), yang terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua sekaligus
merangkap anggota dan Gubernur BI sebagai anggota (pasal 5). Keputusan
KSSK diambil secara mufakat (pasal 10 ayat 2), tetapi jika mufakat tidak
tercapai maka Ketua dapat menetapkan keputusan (Pasal 10 ayat 3).
Keputusan mengenai dampak sistemik atau tidak didasarkan pada data yang
diberikan oleh BI, tetapi KSSK dapat menetapkan keputusannya (pasal 11
ayat 1, dan pasal 18 ayat 1). Bank yang bermasalah ditangani oleh LPS
(pasal 18 ayat 2). Jadi, kewenangan memutus akhir berada pada ketua atau
menteri keuangan, berdasarkan masukan dari BI.
Yang menjadi masalah adalah bahwa Perpu diatas telah diundangkan pada
tanggal 15 Oktober 2008, dan masuk kedalam Lembaran Negara RI Tahun
2008 Nomor 149, tetapi ditolak oleh DPR RI pada tanggal 24 Desember
2008. Sehingga, dengan demikian, keberadaan KSSK dan keputusannya yang
diambil secara menyeluruh tidak memiliki payung hukum yang jelas.
Disamping itu, dana penyelamatan yang disetujui oleh DPR RI hanya
berjumlah Rp 1.3 triliun, sedangkan yang telah dikeluarkan pemerintah qq
LPS telah mencapai Rp 7.2 triliun. Dalam kaitan ini, perlu disebukan
bahwa berdasarkan UU no. 4/2008, nilai simpanan yang dijamin untuk
setiap nasabah dapat diubah (ayat 11), jika terjadi penrikan dana
perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan (ayat 1), tetapi perubahan
ini dikonsultasikan dengan DPR RI (ayat 3). Hal ini nampaknya tidak
dilakukan oleh pemerintah.
Jadi, pertanyaannya sekarang kenapa pemerintah tetap besikukuh untuk
melakukan penyelamatan BC, dimana data diatas menunjukan bahwa BC tidak
bersifat sistemik, dan tidak ada hubungan langsung dengan krisis global,
walaupun tidak secara keseluruhan di setujui oleh DPR terutama mengenai
jumlah yang dikeluarkan. Jawabanya, mari kita bersama-sama menyimak
data-data dari PPATK mengenai kemana dana penyelamatan itu bermuara,
jika itu benar-benar dapat dibuka secara transparan dan utuh. Wallahualam..
Telah diterbitkan pada surat kabar harian Radar Pekalongan dan di http://hho3.wordpress.com/2010/09/23/10/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar