Selasa, 10 September 2013

Kasus Bank Century: Krisis Global, Sistemik, dan Dasar Keputusan Penyelamatan

Kasus Bank Century: Krisis Global, Sistemik, dan Dasar Keputusan Penyelamatan.

Oleh:
Hendy Herijanto
IEF (Islamic Economics and Finance)
Universitas Trisakti, Jakarta.


Banyak pemberitaan dan penjelasan dari pelbagai pihak menyebutkan bahwa penyelamatan Bank Century (BC) harus dilakukan. Hal ini  mengingat bahwa kasus BC dianggap bersifat sistemik.  Pada waktu itu terjadi krisis global yang bermula di Amerika, dikhawatirkan jika BC dibiarkan,  secara keseluruhan akan dapat menimbulkan krisis perbankan seperti yang terjadi pada tahun 1997/1998. Namun, sesungguhnya, krisis global yang terjadi dalam tahun 2007 sangat berbeda sifatnya dengan krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997/1998, dan tentunya akan memberikan akibat yang berbeda pada perekonomian dan perbankan kita. Disamping itu,  masalah BC dapat dikatakan berdiri sendiri, dan tidak dapat dianggap bahwa ditutupnya BC akan mempengaruhi bank lain atau perbankan pada umumnya. Oleh karena itu,  sulit untuk dapat mengatakan bahwa kasus BC bersifat sistemik. Kedua hal ini merupakan materi yang harus dikaji lebih dalam, dan kemudian mempertanyakan apakah tindakan penyelamatan itu secara proseduril telah memenuhi ketentuan perundangan yang ada?


Krisis Global 2007 Vs Krismon 1997/1998.

Krisis Global 2007. Inti permasalahan krisis global bermula dari masalah pemberian kredit perumahan di Amerika berdasarkan hipotik berkualitas rendah, dan dengan uang muka rendah hanya berkisar 6-12%,  atau yang disebut sebagai subprime mortgage.. Kualitas yang rendah itu disebabkan karena permohonan kredit tidak diseleksi dengan baik, karena memang tidak dilakukan pengecekan kemampuan keuangan dari pemohon. Kredit seperti ini disebut juga sebagai no doc loan atau alt loan, yang artinya pinjaman tanpa didukung dengan bukti-bukti atau dokumen penghasilan atau kemampuan keuangan si pemohon, seperti layaknya pada permohonan kredit perorangan umumnya. Fakta lain yang perlu diketahui, selama hampir 30 tahun tingkat bunga di Amerika berada di tingkat yang paling rendah mencapai 1% per tahun. Selama periode itu, banyak bank di Amerika termasuk perusahaan hipotik, yaitu yang khusus memberikan kredit perumahan atas hipotik,  begitu gencar memberikan kredit perumahan. Akibat dari kesediaan dana kredit perumahan ini, dan mudah diperoleh, dengan tingkat bunga yang rendah dan stabil,  animo masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan atau bahkan kurang terdorong meningkat untuk membeli rumah sendiri secara kredit. Hampir setiap orang Amerika memang selalu mengidam-idamkan untuk memiliki rumah sendiri.  Faktor-faktor yang disebutkan ini akhirnya mendorong penawaran dan permintaan perumahan bergerak keatas. Sebagai akibat lanjutannya,  interaksi jual beli yang aktif tadi mendorong harga-harga rumah terus naik, atau mengalami apresiasi dari waktu ke waktu.

Setelah atau pada saat kredit diberikan, setiap bank atau perusahana hipotik tersebut mengelompokkan sejumlah nilai kredit gabungan dari sejumlah nasabah. Atas gabungan nilai nominal kredit ini, bank atau perusahaan hipotik itu mengeluarkan surat hutang atau sekuritas dengan meletakkan rumah-rumah yang dibiayai sebagai jaminan pada surat hutang tersebut.  Surat hutang ini, disebut juga sebagai CDO atau collateralized debt obligation atau MBO atau mortgage backed security, dijual keseluruh dunia, terutama disekitar eropa termasuk Inggris. Ini artinya para pembeli dari surat hutang ini memberikan pinjaman kepada bank-bank  atau perusahaan hipotik di Amerika, dibuktikan dengan surat hutang tersebut, dengan bersandar pada rumah-rumah yang dijaminkan tersebut.

Apa yang terjadi setelah itu, dalam tahun 2004-2005, tingkat bunga di Amerika naik sebanyak 17 kali menjadi 5.25% pertahun. Sebagai akibatnya, pembeli rumah dengan kredit yang memang berpenghasilan pas-pas tadi menjadi tidak mampu untuk membayar cicilan bulanan dan bunga  kredit. Umumnya, tanpa adanya kredit rumah tersebut, hampir setiap rumah tangga di Amerika telah memiliki kewajiban untuk membayar cicilan kredit yang sudah besar pula. Setiap keperluan sehari-hari dibayar dengan kartu kredit. Menurut suatu sumber yang dapat dipercaya, dalam tahun 2008, jumlah cicilan kredit rata-rata untuk setiap rumah tangga telah mencapai 90% dari penghasilan bulanan mereka. Ini artinya mereka telah menggadaikan pendapatan mereka di masa depan, yang ternyata hanya merupakan harapan karena banyak perusahaan harus merumahkan para karyawannya yang dimulai di sektor perbankan. Akhirnya, sebagian besar kredit perumahan itu menjadi macet, dan bank menyita banyak rumah yang dibiayai atau closure yang kemudian tidak dapat dijual dengan harga yang sebelumnya berlaku. Harga rata-rata perumahan pertama kali selama 30 tahun mengalami penurunan atau depresiasi. Akibat dari gagal bayar dari sebagian besar pembeli rumah dengan kredit, bank yang mengeluarkan CDO atau MBS tadi tidak mampu membayar angsuran dan bunga kepada pembeli dari sekuritas tersebut. Mayoritas dari pembeli sekuritas dalam jumlah yang besar mengalami penurunan pendapatan yang tajam dan merusak tingkat solvabilitas yang mereka miliki, dan menggangu kelangsungan usaha mereka. Sebagian dari bank tersebut mengalami masalah solvabilitas yang serius, dan terpaksa ditutup terutama di Amerika, dan juga di negara lain seperti di Inggris. Akhirnya, singkat cerita, krisis subprime mortgage itu membawa dampak pada timbulnya krisis ditingkat global, artinya di banyak negara.

Apa pengaruh kejadian tersebut pada Indonesia? Hampir tidak ada, kecuali ekspor Indonesia ke Amerika menurun, karena menurunnya daya beli rata-rata rakyat Amerika. Banyak perusahaan di Amerika terpaksa harus mengurangi kegiatannya atau tutup sama sekali, sehingga meningkatkan jumlah pengangguran.  Epicentrum dari krisis global ini berada di Amerika. Indonesia tidak pernah menjadi pembeli dari sekuritas tersebut. Bahkan, sebaliknya, Indonesia selama ini hanya menjadi penghutang bersih, atau net borrower, bukan net lender.

Krismon 1997/1998. Sifat dari krisis global tersebut sangat berbeda dengan Krisis Moneter 1997/1998. Epicentrum dari krismon ini ada di Indonesia. Hanya saja faktor pendorongnya datang sebagai penularan dari penyakit yang sama di Thailand. Masalah yang ada di epicentrum itu adalah kandungan kredit macet yang besar di Indonesia, terutama di bank pemerintah seperti Bappindo, BDN, dan BBD. Tambahan pula, sebagian besar bank yang didirikan pada Oktober 1978 (“Pakto 1978”), juga mengandung kredit macet yang tidak kecil, dan umumnya kredit itu diberikan kepada pemilik bank.  Tetapi, kredit macet ini tidak terlihat di permukaan, karena memang ditutupi. Pada waktu itu, pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia tidak seketat dan secermat sekarang ini. Namun, karena pertumbuhan ekonomi terlihat stabil, pada saat yang sama pemerintah menganut kebijakan kurs tetap, banyak pihak swasta dan perbankan Indonesia termasuk pemerintahannya menggunakan pinjaman jangka pendek dari luar negeri. Pinjaman-pinjaman ini pada dasarnya digunakan tidak untuk tujuan jangka pendek.

Hal yang sama terjadi di Thailand, dimana negara ini juga memiliki kandungan kredit macet yang besar di sektor keuangan non bank, dan juga memiliki pinjaman jangka pendek yang besar dari luar negeri. Ketika publik mengetahui bahwa terdapat jumlah pinjaman yang sangat besar berpotensi bermasalah di Bangkok Bank of Commerce dan Finance One,  dibarengi dengan keadaan politik yang tidak stabil, para kreditor jangka pendek tersebut menarik pinjamannya secara sert merta dari Thailand. Ini membuat permintaan akan dolar Amerika meningkat, karena umumnya mereka harus mgembalikan pinjaman dalam bentuk dolar yang sama dalam waktu yang relative singkat. Karena likuiditas dolar Amerika tidak tersedia di pasar, antara lain juga karena ekspor Thailand pada waktu itu mengalami penurunan, sehinga supply valuta asing itupun menipis. Apa yang terjadi adalah terjadinya depresiasi mata uang bath, atau dalam kata lain  harga valuta asing tersebut dalam mata uang bath menjadi meningkat atau mahal. Maka terjadilah krisis keuangan atau mata uang di Thailand.

Hal yang sama kemudian terjadi di Indonesia. Karena kepercayaan terhadap pemerintahan Soeharto menurun, demo terjadi dimana-mana, terdapat kekhawatiran yang sama yang diilhami oleh kejadian di Thailand, para kreditur luar negeri yang memberikan pinjaman jangka pendek ke Indonesia tidak bersedia memperpanjang pinjamannya. Maka, terjadilah rush pada perbankan Indonesia secara merata, karena harus membayar kembali pinjamannya,  yang kemudian mengakibatkan mata uang Rupiah terdepresiaisi dengan tajam dalam waktu yang relatif pendek. Cerita selanjutnya adalah ditutupnya sejumlah bank, dan diketahui sebagian besar bank yang ada telah mengandung pinjaman macet yang cukup besar, bukan karena kejadian awal dari krisis tersebut, tetapi sudah ada sebelumnya. Karena sebagian besar perbankan Indonesia mengalami masalah, dan mata uang Rupiah terdepresiasi dari Rp 2000 menjadi lebih dari Rp 10.000 per dolar Amerika, ini semua membuat daya beli masyarakat rata-rata menjadi turun secara drastis.


Sistemik Vs Non Sistemik

Suatu bank dikatakan bersifat sistemik, apabila penutupannya akan mempengaruhi kelangsungan hidup bank lainnya, sehingga dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan. Krisis perbankan akan terjadi jika terdapat sejumlah bank mengalami kesulitan likuiditas pada saat yang relative sama. Kesulitan likuiditas dapat terjadi karena kredit macet yang banyak, dan para deposan menarik uangnya secara mendadak dan bersama-sama dalam waktu yang singkat pula. Satu bank yang bermasalah dapat mempengaruhi kelangsungan hidap bank lain, pada dasarnya, karena dua hal. Pertama, bank itu memiliki pinjaman antar bank yang besar dari sejumlah bank lain dalam sektor perbankan yang sama. Kedua, sejumlah besar nasabah bank pertama memberikan instruksi pembayaran, baik melalui transfer maupun cek, untuk pihak lain di  bank lain. Tetapi, karena bank pertama mengalami masalah dalam likuiditas akibat kredit macet yang dialami, atau sebab lain, maka bank lain itu tidak dapat memperoleh pembayaran yang semula harus diterimanya. Jika jumlah ini besar, maka bank tersebut akan mengalami masalah likuiditas yang sama, yang akan mempengaruhi bank berikutnya karena hal yang sama.

Dalam kasus BC, pinjaman antar bank  berjumlah Rp 750 milyar, atau hanya 4.8% dari total asset yang berjumlah Rp 15.4 triliun. Nasabah dana pihak ketiga berjumlah 65.000 atau hanya 0.1 % dari jumlah keselurahan penyimpan dana di perbankan Indonesia. Dari penyimpan dana di BC, sejumlah total Rp 9 triliun diwakili oleh 10 deposan besar. Kemudian, total aset BC hanya berjumlah sekitar Rp 15.4 triliun atau jauh dibawah 5 % dari total nilai aset seluruh perbankan Indonesia.    Berdasarkan angka-angka ini saja,  sulit untuk mengatakan bahwa kalau BC ditutup, akan berakibat negative terhadap kelangsungan hidup bank lain yang ada di Indonesia. BC terlalu kecil, untuk mempengaruhi bank lain baik secara materiel maupun secara psikologis. Ingatkah kita, ketika bank Pacifik ditutup? Masyarakat nampaknya tidak menyadari dengan jelas bahwa bank itu telah ditutup sebelum krismon. Atau bank IFI yang ditutup baru-baru ini. Tidak ada gejolak apa-apa, kecuali para deposan menuntut uangnya kembali, tetapi kemudian menghening tanpa bekas..


Dasar Pengambilan Keputusan

Pada dasarnya terdapat dua UU yang berkaitan dengan tindakan penyelamatan BC. Pertama, UU nomor 24 Tahun 2004 mengenai Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). UU ini menetapkan pendirian LPS, mengatur tugas-tugas LPS, dan menjabarkan struktur internal LPS, serta hak dan kewajiban dari organ struktur LPS. Rincian bagaimana keputusan penyelamatan dan siapa yang berhak untuk menentukan pengambilan keputusan penyelamatan diuraikan lebih rinci pada Peraturan Pemerintah Pengganti UU Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2008 (“Perpu”). Disini, disebutkan pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan atau KSSK (pasal 7), yang terdiri dari Menteri Keuangan sebagai ketua sekaligus merangkap anggota dan Gubernur BI sebagai anggota (pasal 5). Keputusan KSSK diambil secara mufakat (pasal 10 ayat 2), tetapi jika mufakat tidak tercapai maka Ketua dapat menetapkan keputusan (Pasal 10 ayat 3). Keputusan mengenai dampak sistemik atau tidak didasarkan pada data yang diberikan oleh BI, tetapi KSSK dapat menetapkan keputusannya (pasal 11 ayat 1, dan pasal 18 ayat 1). Bank yang bermasalah ditangani oleh LPS (pasal 18 ayat 2). Jadi, kewenangan memutus akhir berada pada ketua atau menteri keuangan, berdasarkan masukan dari BI.

Yang menjadi masalah adalah bahwa Perpu diatas telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2008, dan masuk kedalam Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 149, tetapi ditolak oleh DPR RI pada tanggal 24 Desember 2008. Sehingga, dengan demikian, keberadaan KSSK dan keputusannya yang diambil secara menyeluruh tidak memiliki payung hukum yang jelas. Disamping itu, dana penyelamatan yang disetujui oleh DPR RI hanya berjumlah Rp 1.3 triliun, sedangkan yang telah dikeluarkan pemerintah qq LPS telah mencapai Rp 7.2 triliun. Dalam kaitan ini, perlu disebukan bahwa berdasarkan UU no. 4/2008, nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah dapat diubah (ayat 11), jika terjadi penrikan dana perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan (ayat 1), tetapi perubahan ini dikonsultasikan dengan DPR RI (ayat 3). Hal ini nampaknya tidak dilakukan oleh pemerintah.

Jadi, pertanyaannya sekarang kenapa pemerintah tetap besikukuh untuk melakukan penyelamatan BC, dimana data diatas menunjukan bahwa BC tidak bersifat sistemik, dan tidak ada hubungan langsung dengan krisis global, walaupun tidak secara keseluruhan di setujui oleh DPR terutama mengenai jumlah yang dikeluarkan. Jawabanya, mari kita bersama-sama menyimak data-data dari PPATK mengenai kemana dana penyelamatan itu bermuara, jika itu benar-benar dapat dibuka secara transparan dan utuh. Wallahualam..       

Telah diterbitkan pada surat kabar harian Radar Pekalongan dan di  http://hho3.wordpress.com/2010/09/23/10/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar