STRATEGI BISNIS CHINA DI DUNIA INTERNASIONAL
Oleh: Hendy Herijanto
ABSTRACT
China, as a country, has been showing a very interesting
phenomenon. The country, with a huge population of no less than 1.2
billion people, previously governed under a fully communism centralized
system, has embarked to be the most successful country in the world,
particularly in terms of international trade. The country has
accumulated the largest foreign reserve amounting to US$ 3.3 trillion
presently, which has surpassed the most developed ones.
As seen from the success said above, there must be several
strategic factors that the country has been endowed, certain strategies
adopted, and strategic decisions that have been made. This brief paper
discusses the factors involved and the implied strategic decisions made.
Key words: Human resources work ethic, Kong Fu Chu cultural factors, educational importance.
LATAR BELAKANG
Negara dan bangsa Cina bagaikan suatu organisasi yang memiliki
kekuatan dan kelemahan sendiri. Sebagai organisasi yang besar dalam
bentuk negara atau pemerintahan, bangsa Cina harus menggunakan kekuatan
yang dimiliki, dan sekaligus mengatasi kelemahan yang ada atau yang
dapat ditimbulkannya. Jika ditilik dari kemajuan ekonomi, khususnya
dalam bidang bisnis internasional, yang telah dicapai saat ini,
pertanyaan akan timbul, yaitu faktor strategis apa yang dimiliki dan
digunakan Cina, sehingga dapat berhasil dalam perdagangan internasional,
seperti yang ditunjukkan oleh cadangan devisa yang telah dicapai
sebesar US$ 3.3 triliun.
Makalah ini akan menguraikan faktor-faktor strategis yang dimiliki
Cina, dan penerapannya, sehingga terlihat adanya sinkronisasi antara
faktor yang dimiliki dengan penerapan yang tepat, sehingga terlihat
adanya keputusan strategis yang secara efektif diambil oleh
pemerintahan Cina.
TEORI PERDAGANGAN/BISNIS INTERNASIONAL
Comparative Advantage dan Budaya (Etos Kerja)
Bisnis internasional adalah kegiatan bisnis yang menyebrangi batas
nasional negara, dan dapat berupa pergerakan barang, jasa, modal, atau
tenaga kerja, atau merupakan transfer tehnologi, informasi, data, atau
supervisi pegawai (Robock dan Simmons,1983 : 3). Pengertian bisnis ini
mencakup kegiatan perdagangan internasional, atau antar negara.
Dalam perdagangan internasional berlaku doktrin comparative advantage,
yang dikemukakan oleh David Ricardo. Doktrin ini menekankan pada
perbedaan biaya yang relatif, dan bukan pada biaya absolut. Ricardo
berpendapat bahwa biaya-biaya hanya ditentukan oleh jumlah waktu tenaga
kerja yang digunakan dikali jumlah produksi. Tetapi, kemudian
biaya-biaya yang diperhitungkan mencakup seluruh biaya-biaya yang
dikeluarkan, yang juga termasuk opportunity cost ((Robock dan Simmons,1983: 35).
Dalam menjelaskan perbedaan dalam comparative cost, Teorema Heckscher-Ohlin mengatakan bahwa perbedaan itu terletak pada perbedaan pada endowment factor (Robock
dan Simmons,1983: 35). Artinya, negara yang mengimpor suatu barang
adalah yang memiliki sumber daya yang langka untuk memproduksi barang
yang diimpor tersebut. Sebaliknya, dapat pula dikatakan bahwa negara
yang mengekspor suatu barang adalah negara yang memiliki sumber-daya
yang melimpah untuk memproduksi barang tersebut.
Jika factor endowment itu berupa sumber daya manusia yang banyak, maka pertanyaannya adalah apakah comparative advantage
itu hanya terletak pada jumlah tenaga kerja saja dan upah rendah yang
harus dibayar kepada tenaga kerja itu? Pertanyaan ini dirasakan sangat
penting untuk dijawab, karena comparative advantage dapat menjadi competitive adventage;
yaitu sesuatu yang dapat dilakukan secara lebih baik dari pesaing
(David, 2011 : 41). Dalam kenyataannya, banyak negara di dunia yang
memliki jumlah penduduk atau tenaga kerja yang banyak, namun
produktivitas mereka dapat berbeda. Oleh karena itu, dalam menjawab
pertanyaan tersebut, tampaknya perlu juga dikaji mengenai etos kerja
dari suatu masyarakat, dan hal ini tentunya berkaitan dengan kebiasaan
atau budaya masyarakat tersebut.
Dalam kaitan dengan budaya, S. Takdir Alisyahbana berpendapat bahwa
soal ekonomi tidak dapat dipisahkan dari soal kebudayaan. Setiap
perkembangan ekonomi memerlukan nilai-nilai budi atau kebudayaan, atau
paling tidak sekurang-kurangnya dibentuk dari nilai-nilai semu. Hanya
nilai-nilai ini yang akan dapat mendorong orang untuk berusaha dan
bekerja dengan teratur, sekaligus membentuk disiplin dalam bertingkah
laku. Menurut Hasbullah, nilai-nilai ini merupakan suatu ide yang telah
turun temurun, yang dianggap benar dan penting oleh anggota masyarakat.
Contohnya adalah prestasi, kerja keras, kompetisi dan lainnya
(Hasbullah, 2006 : 14).
Dalam berusaha, seringkali memerlukan sekelompok orang untuk mencapai
tujuan tertentu yang sama; dalam bisnis, tujuan ini adalah berbentuk
laba. Untuk mencapai laba, sekawanan kelompok usaha itu harus dalam
barisan yang teratur mengikuti kedisplinan yang diperlukan. Oleh karena
itu, Alihsyahbana menyimpulkan bahwa, sesungguhnya bekerja dan berusaha
dalam jangka panjang untuk mencapai kemakmuran, tidak dapat melupakan
nilai-nilai lahir dari kehidupan ekonomi, dan untuk itu harus tunduk
pada nilai-nilai atau kebudayaan.
Beliau menambahkan, bahwa kehidupan ekonomi modern tidak dapat
dilepaskan dari cara kehidupan orang-orangnya, dengan jalan pikirannya,
perasaannya, keinginannya serta adat kebiasaannya. Disini, yang paling
penting adalah sikap hidup dan cara berpikir dalam rangka memberikan
nilai-nilai dan noma-norma kehidupan kebudayaan, yang dapat
membangkitkan cita-cita maupun kegembiraan untuk bekerja sehingga dapat
mencapai kehidupan yang lebih baik (Kleden et.al, 1988 : 4-6).
Menurut Alisyahbana, kaum Cina pada umumnya memiliki suatu dasar
kekuatan ekonomi, yaitu etika yang menentukan tujuan hidup dan kelakuan
mereka sehari-hari. Kemajuan ekonomi dicapai melalui etos ekonomi (baca:
etos kerja), yang menyebabkan mereka berpikir ekonomis secara rasio,
bekerja keras dan efisien untuk membangun kedudukan ekonomi yang kuat
dalam perdagangan, industri dan bahkan pertanian (Kleden et.al, 1988 : 63).
Strategic Management Suatu Bangsa
Bagi perusahaan, strategic management bukanlah sesuatu yang asing. Menurut David (2011 : 31), strategic management
adalah suatu seni dan ilmu pegetahuan yang menformulasikan, menerapkan
dan mengevaluasi keputusan yang bersifat multifungsi, yang membuat
organisasi dapat mencapai tujuannya. Bagi operasionalisasi usaha
perusahaan, strategic management berarti pula menekankan pada
integrasi seluruh kegiatan yang bersifat fungsional secara terpadu dalam
rangka mencapai tujuannya. Dalam rangka melakukan keputusan yang
bersifat strategis, organisasi dapat menggunakan alat analisis yang
disebut sebagai SWOT analysis.
Kata strategic dan management, serta SWOT dapat
pula diterapkan pada setiap bentuk organisasi, atau bahkan dapat pula
digunakan bagi negara atau pemerintahan. Bagi bangsa Cina, misalnya,
negara harus mengkoordinir segala kekuatan yang dimiliki, dan sekaligus
mengatasi kelemahan yang ada, sehingga dapat melakukan keputusan
strategis dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyatnya. Bangsa Cina
memiliki kekuatan yang besar, yang sekaligus merupakan suatu kelemahan.
Kekuatan dan kelemahan ini adalah jumlah penduduk yang besar dan
mencapai 1,2 milyar orang.
Namun, jika jumlah penduduk ini dapat dikelola dengan baik, atau memiliki competitive advantage,
maka akan menjadi kekuatan yang sangat berarti. Namun, jika tidak, maka
faktor penduduk itu akan menjadi ancaman yang laten, terutama jika
pemerintahan Cina tidak dapat menyediakan lapangan kerja yang cukup.
Untuk itu, pemerintahan Cina harus memiliki pola manajemen yang tepat,
yang merupakan keputusan manajemen yang strategis, yang diartikan apakah
akan terus menggunakan pendekatan politik ekonomi yang bersandar pada
komunis sosialis murni, atau pola baru yang diperlukan.
UNSUR-UNSUR STRATEGIS CINA
Filosofi, Sikap, dan Kemampuan Sendiri
Ketika membahas mengenai strategi dalam melakukan bisnis atau
peradagangan di dunia internasional, unsur yang paling penting dalam
bangsa Cina umumnya, dan Cina daratan khususnya, adalah terletak dalam
diri bangsa itu sendiri. Unsur-unsur itu merupakan nilai budaya yang
secara filosofis dianutnya sampai saat ini, yang kemudian membentuk
sikap dan kemampuan yang dimiliki oleh bangsa Cina. Hal ini dapat
dilihat dari uraian berikut:
Pertama, secara filosofis, perkembangan Cina berakar
pada sejarahnya, dan bukan karena Cina mengutip pola barat. Alur yang
dijalani dalam menuju perkembangan ekonomi berbeda, misalnya dengan
Jepang (Jacques, 2011 : 77). Jepang berkembang setelah retorasi Meiji
dalam tahun 1868, umumnya meniru gaya barat. Cina, di lain pihak, salah
satu akar perkembangan Cina itu tertanam dalam nilai-nilai filosofis
yang telah berusia ribuan tahun yang berasal dari ajaran Kong Fu Chu.
Ajaran ini ditetapkan sebagai ajaran resmi dalam kerajaan Cina pada masa
Dinasti Han. Ajaran ini meletakkan dasar-dasar pemikiran mengenai
moral, sosial, politik, dengan menekankan pada pendidikan dan
kebudayaan.
Sampai saat ini, bahkan dalam kesehariannya, masyarakat Cina dipenuhi
oleh ajaran Kong Fu Chu (Hanaco, 2011 : 22). Ajaran itu juga masih
merupakan pegangan orang Cina dan yang berada diluar Cina. Jumlah mereka
saat ini telah mencapai 19% dari seluruh penduduk dunia. Sebagian besar
dari masyarakat Cina ini merupakan keturunan dari suku bangsa Han, dan
di seluruh dunia mereka berjumlah 1,3 milyar orang; dan umumnya, mereka
memiliki kepiawaian dalam berdagang (Sugiarto, 2012 : 36).
Kedua, salah satu ajaran yang paling penting adalah
yang diajarkan oleh Mencius (372-289), murid terkenal dari Kong Fu Chu,
yaitu bahwa manusia perlu bersifat optimis, dan mementingkan unsur
pendidikan. Anak harus dididik dengan cara yang benar, sehingga kemudian
orang akan memperoleh sikap, nilai-nilai dan disiplin yang benar.
Ketika belajar, orang harus selalu melihat pada sejarah, yaitu merujuk
pada pengalaman masa lalu. Teori merupakan hal yang penting, tetapi
pelatihan dan tehnik diberikan prioritas yang utama, sehingga orang
mencapai kompetensi yang tinggi bahkan pada usia dini.
Ketiga, Cina menganggap dirinya sebagai”negara
peradaban”, dengan pendekatan politik yang berbeda dengan negara
konvensional, karena menekankan pada peradaban. Dalam politik,
sentralitas negara tetap dipertahankan, dan kekuasaan tidak dialihkan
pada masyarakat sipil, seperti halnya di negara barat; tetapi negara
menjalankan tugas-tugasnya benar-benar untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat, dan tidak mengabaikan rule of law.
Dalam kaitan dengan penegakkan hukum, tampak dengan jelas bahwa
pemerintahan Cina sangat tegas dalam menindak para koruptor; dan sangat
efektif dalam mengontrol keluarnya devisa negara. Dalam sejarah
panjangnya, Cina telah berhasil mengangkat lebih dari 300 juta penduduk
miskin dalam kurun waktu 30 tahun terakhir (Walter dan Howie, 2011 :
23-24).
Dalam pertumbuhannya, Cina tampak dengan jelas tetap mengacu pada
ajaran Kong Fu Chu. Dalam manifestasinya, negara peradaban memberikan
dorongan pada penerimaan akan pluralitas.. Masa lalu digunakan sebagai
tolok ukur perkembangan, dan peradaban itu pula yang memberikan
identitas bagi kehidupan orang Cina. Sejarah disini diartikan sebagai
pengalaman. Untuk jangka panjang, Cina menggunakan nilai dengan persepsi
sikap dan asumsi untuk masa depan sejalan dengan tujuan yang ingin
dicapainya, tetapi tetap dengan mengacu pada ajaran yang telah dianutnya
selama ribuan tahun yang silam.
Dengan demikian, Cina tidak pernah melupakan kebudayaanya, dan
kebudayaan itu terus hidup dalam kehidupan orang Cina, sementara
kebudayaan lain telah punah, seperti hal yang terjadi pada kebudayaan
Mesir kuno, Aztec, dan lainnya. Unsur kebudayaan yang tinggi dapat pula
dilihat dari konsep menang dalam berperang yang dianut oleh Sun Tzu.
Beliau mengatakan bahwa menang dalam berperang adalah jika musuh dapat
ditaklukan, tanpa mengirimkan tentara yang banyak, dan tanpa adanya
korban di pihak kita.
Oleh karena itu pula, ketika Cina meraungi lautan luas untuk
berdagang semenjak awal tahun Masehi sampai pada Samudera India dan
Selat Malaka (Kleden, et al, 1988 : 44), hal itu dilakukan
tanpa nuansa untuk menjajah atau menaklukan daerah yang dikunjunginya.
Sejalan dengan konsep peradaban ini, sejak masa Deng Xiaoping, Cina
selalu berusaha memelihara lingkungan eksternal yang damai dan relatif
bebas, sehingga Cina dapat berkonsentrasi pada pembangunan ekonominya.
Dalam kaitan ini, Deng mengatakan, “Mengamati perkembangan dengan
cermat, mempertahankan posisi kita, menghadapai tantangan dengan tenang,
menyembunyikan kemampuan kita dan menunggu, selalu bebas dari ambisi,
dan jangan pernah menginginkan kepemimpinan” (Jacques, 2011: 386-387).
Oleh karena itu, Cina, ketika berhubungan dengan negara lain, selalu
melakukan dengan pendekatan perdamaian atau soft power, dan menekankan pada demokrasi di antara negara-negara dengan menghormati kedaulatan negara mereka.
Keempat, selain negara peradaban, Cina juga
mengangap dirinya sebagai “negara bangsa kesatuan” dengan kekuatan
sentralisme yang dominan. Menurut Jacques (2011: 87), komitmen kesatuan
ini memiliki tiga dimensi, yaitu: prioritas fundamental yang diberikan
bagi kesatuan oleh negara dan rakyat, peran sentral yang diharapkan pada
negara untuk memastikan agar kesatuan ini dipelihara, dan perasaan kuat
kesamaan identitas Cina yang menopang komitmen populer pada kesatuan.
Dalam konteks sejarah, negeri Cina masa lalu penuh dengan perang
antar kerajaan yang ada. Tetapi, kemudian, akhirnya mereka semua
bersatu. Salah satu faktor pendorong yang penting bagi prinsip kesatuan
ini adalah karena merupakan suatu kenyataan bahwa pada dasarnya bangsa
Cina adalah bangsa yang homogen, karena 91% berasal dari suku Han. Di
sisi lain, orang Cina menganggap dirinya sebagai ras tunggal, walaupun
dalam kenyataannya tidak (Jacques, 2011 : 468).
Faktor lain yang mendukung persatuan itu adalah karena faktor bahasa
dan makanan. Sebagian besar orang Cina dapat menggunakan atau, paling
tidak, mengerti bahasa Mandarin. Faktor-faktor ini yang menyebabkan
bangsa Cina daratan memiliki jiwa nasionalime yang tinggi. Bagi
masyarakat Cina di luar daratan Cina, mereka merasa masih memiliki
ikatan dengan masyarakat Cina secara keseluruhan, walaupun tidak secara
langsung.
Kelima, berdagang merupakan profesi yang penting
dalam masyarakat Cina. Perdagangan dengan dunia luar dimulai sejak
Dinasti Han, tahun 206 SM, yang dikenal sebagai ”silk road”,
sampai ke Asia Tengah melalui jalur laut. Jacques (2011: 81)
mengungkapkan bahwa sektor perdagangan semakin dominan pada masa Dinasti
Song mulai tahun 960 M. Bahkan, anak-anak diikut sertakan dalam
membantu orang tuanya dalam berdagang sejak usia dini. Terdapat beberapa
alasan logis kenapa mereka memilih untuk berdagang, yaitu (Hanaco, 2011
: 21, 22, 35, 36, 37):
- Berdagang tidak dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu.- Berdagang memberikan kesempatan bagi orang untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan, dan mengasah insting bisnis agar makin tajam.
- Berdagang adalah pekerjaan yang mandiri.
- Berdagang membutuhkan modal yang tidak besar, dan membuat uang cepat berkembang.
- Berdagang membuka banyak peluang.
- Dunia bisnis menjanjikan kesempatan untuk meraih kekayaan, kemewahan, kesenangan dan kemapanan, atau pada akhirnya mencapai kehidupan yang lebih baik.
Hanako menyimpulkan bahwa masyarakat Cina memiliki karakteristik yang
menonjol, dan ini diperlukan dalam berdagang atau berusaha. Masyarakat
Cina bersifat ulet, rajin dan tekun, tahan banting, jujur, inovatif,
tidak takut gagal, merencanakan dengan matang, memiliki kemampuan
pemasaran, dalam berdagang melibatkan seluruh keluarga, selalu berusaha
memperluas usaha, berhati hati, tidak mengenal gengsi, dan pandai
melihat dan menggunakan peluang (Hanaco, 2011: 40- 89).
Di samping itu, masyarakat China memiliki suatu faktor sosiologis, yang disebut ”quangxi”, dan mungkin jarang dimiliki, atau tidak begitu kuat diterapkan dalam bangsa lain. Quangxi
adalah seni dalam berhubungan dengan orang lain, yang dijalin
berdasarkan kewajiban dan keuntungan timbal balik (Fernandez dan
Underwood, 2006 : xxxi); dan juga menunjukkan bahwa hubungan lebih
banyak dibangun atas asas kekeluargaan, atau berdasarkan ikatan
keluarga. Asas ini pula yang membedakan dengan kebudayaan barat, yang
bersifat sangat individualistik dalam kadar yang ekstrim (Hefner, 2000 :
111) .
Keenam, Cina menganggap bahwa bangsanya sebagai
“bengkel dunia”, dan merupakan pasar dari seluruh pasar, sehubungan
dengan jumlah penduduk yang mencapai 1,2 milyar orang. Hal ini
disebabkan karena biaya per unit produk jauh lebih murah. Bukan karena
upah berbiaya rendah, tetapi lebih disebabkan karena tingkat
produktivitas yang tinggi, dan jumlah tenaga kerja yang sangat besar
dengan kadar pendidikan yang tidak pernah menurun. Kemampuan membuat
barang dengan harga murah, tetapi berkualitas, dan dibarengi dengan etos
kerja yang tinggi secara kultural adalah faktor yang tidak dimiliki
oleh banyak bangsa di dunia; dan bahkan dapat dikatakan sebagai sesuatu
yang agak unik, bagi bangsa Cina. Karena hal ini pula banyak produsen
manca negara berdatangan untuk membuka pabrik di Cina.
Ketujuh, masyarakat Cina tetap mempertahankan
kebiasaan menabungnya, yang sangat bertentangan dengan kebiasaan
masyarakat Amerika, yang cenderung menggunakan kredit jauh lebih banyak.
Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Amerika hidup atas utang,
dan sulit utuk keluar dari kebiasaan berutang. Masyarakat Cina, di lain
pihak, tetap memegang prinsip bahwa pengeluaran harus berada di bawah
pendapatan, dengan menerapkan disiplin keuangan yang lebih baik, dan
hidup dengan cara yang tidak berlebihan (Hanaco, 2011: 93-95). Di sektor
keuangan domestik Cina, Bank asing hanya menguasai 1.7% dari aset
keuangan yang ada (Walter dan Howie, 2011 : 207). Manifestasi di tingkat
makro adalah merupakan kenyataan bahwa Cina telah mencapai surplus yang
besar, sementara Amerika memiliki defisit yang luar biasa besarnya.
Penulis yakin bahwa faktor kebiasaan menabung dan jumlah utang yang
terkontrol atau rendah tersebut yang dapat menangkal padangan beberapa
pihak yang berpendapat bahwa Cina akan mengalami krisis keuangan di
negaranya. Di samping itu, Cina tidak mengikuti saran IMF untuk melepas
kendali mata uangnya terhadap dollar, ketika krisis terjadi di banyak
negara di Asia Tenggara. Saat ini, Cina telah menjadi kreditor yang
besar bagi Amerika.
Kedelapan, karena pertumbuhan ekonominya terus
menerus tinggi, kebutuhan akan bahan baku seperti bijih besi, tembaga
dan minyak sangat besar, sehingga Cina sangat menyadari bahwa hubungan
luar negeri harus diperkuat. Sejak 2001, Cina resmi memupuk hubungan
yang lebih erat dengan negara-negara produsen komoditas yang diperlukan
sebagai bahan baku bagi pertumbuhan ekonominya. Untuk itu, Cina
melakukan investasi yang besar di sejumlah negara seperti Brazil, Cile,
dan Afrika. Sebagai hasilnya, Brasil mengekspor bijih besi, kedelai,
kapas, kayu gelondongan ke Cina. Cile mengekspor tembaga, sedangkan
Venezuela dan Afrika menandatangani perjanjian pasokan minyak dalam
jangka panjang bagi Cina. Pada saat yang sama, orang Cina yang tinggal
dan berusaha di Afrika semakin banyak, dan umumnya mereka di sana
berdagang.
Tindakan strategis yang diterapkan
Sebelum adanya reformasi ekonomi tahun 1978, Cina berdagang dengan
dunia luar dalam skala yang sangat terbatas. Reformasi ekonomi yang
dilakukan adalah merubah sistem sosialis komunis dengan sepenuhnya
sentralisasi perencanaan menjadi yang disebut sebagai ”socialist planned commodity economy”,
yaitu gabungan sentralisasi perencanaan dengan mekanisme pasar. Dengan
desentralisasi institusi ekonomi pasar, peranan pasar bebas dalam
distribusi barang dan jasa, investasi serta perdagangan domestik dan
dengan dunia luar menjadi lebih luas.
Sejak tahun 1992, Deng Xiao Ping mendorong kegiatan ekspor negaranya,
yang ternyata sangat berhasil dan bermanfaat bagi perkembangan ekonomi
dan politik Cina (Chen dan Wolf, 2001 : 225). Sejak tahun 1952 sampai
pertengahan tahun 1993, ekspor dan impor Cina menunjukkan angka yang
hampir seimbang, namun impor cenderung melebihi ekspor. Dalam kurun
waktu 17 tahun itu, rata-rata ekspor mencapai US$ 30.87 milyar,
sedangkan impor mencapai US$ 34.76 milyar; jadi, defisit rata-rata
adalah sekitar US$ 3.89 milyar per tahun.
Namun, 16 tahun kemudian, yaitu dalam periode 1994-2009, ekspor
menjadi lebih tinggi mencapai rata-rata US$ 517.18 milyar, dan impor
berada dibawahnya, yaitu pada angka US$403.21 milyar, dengan surplus
rata-rata US$ 5.16 milyar per tahun. Dewasa ini, surplus ekspor telah
menjadi salah satu kekuatan ekonomi bagi Cina, yang telah mencapai angka
terbesar di dunia, yaitu US$ 3.3 triliun; dan sekaligus memberikan
lapangan kerja di dalam negeri yang sangat luas.
Salah satu tujuan ekspor, pada awalnya, adalah untuk menyediakan
cadangan valuta asing yang diperlukan untuk mengimpor mesin dan
tehnologi dalam rangka memodernisir perekonomiannya, di samping untuk
membiayai bahan bakar atau bahan mentah lainnya. Komponen impor umumnya
didominasi oleh peralatan dan mesin-mesin, tetapi pada tahun-tahun
belakangan ini, permesinan yang diimpor mengandung tehnologi yang lebih
tinggi.
Dewasa ini, produk yang dijual Cina pada dasarnya adalah produk
konsumen, seperti sepatu, mainan anak-anak, pakaian, CVD player,komputer
desktop, telepon genggam, televisi, stereo mobil, dan lain
sebagainya. Walaupun barang-barang ekspor menunjukkan kandungan
tehnologi yang lebih tinggi, seperti komputer dan lainnya, namun masih
dalam kategori produk konsumen. Cina sudah mulai memproduksi mobil,
seperti Geely, tetapi masih dalam tahap penetrasi pasar awal.
Namun, secara umum, dapat disimpulkan barang-barang yang diekspor telah
bergerak dari barang-barang yang mengandung sumber daya dan tenaga kerja
yang intensif, bernilai tambah rendah, dan bertehnologi rendah, ke arah
barang-barang yang mengandung tehnologi dan bernilai tambah yang lebih
tinggi.
Pasar yang dituju pada mulanya adalah pasar terbawah pasar global,
kemudian bergerak ke negara maju. Kemudian, pasar yang diprioritaskan
adalah Afrika, Timur Tengah, Asia, dan penekannya pada Amerika mulai
berkurang. Tampaknya, strategi pasar yang di anut adalah dengan harga
murah, atau serba murah, tetapi dengan barang yang berkualitas.
Pendekatan seperti ini juga menguntungkan negara lain dan masyarakatnya
sebagai mitra dagang Cina. Mereka dapat memperoleh barang yang murah dan
berkualitas, karena mereka tidak dapat memproduksinya dengan hasil dan
harga seperti itu. Jalur distribusi di negara mitra juga diuntungkan
dengan kemungkinan perolehan keuntungan yang lebih baik. Amerika,
contohnya, akan kehilangan barang-barang konsumen yang diperlukan oleh
masyarakatnya, jika pemerintahannya melarang masuknya barang Cina.
Barang-barang seperti itu tidak lagi dapat diproduksi di Amerika, karena
biaya buruh yang lebih tinggi, dengan etos kerja yang telah melemah,
dan jam kerja yang dibatasi pula oleh buruh Amerika itu sendiri.
Strategi menjual dengan harga murah tetapi barang yang berkualitas
menggambarkan kekuatan tenaga kerja Cina yang berjumlah besar, tetapi
dengan keahlian dan produktivitas yang tinggi. Karena faktor ini
bersifat endogen dalam masyarakat Cina, yang telah bersifat turun
menurun, maka sulit bagi masyarakat non Cina untuk menandinginya.
UNSUR POKOK DALAM STRATEGI BISNIS CHINA
Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kemampuan memproduksi
barang -barang dengan harga yang murah dan berkualitas adalah unsur
stategis utama yang dimiliki dan digunakan Cina dalam berdagang di pasar
domestik dan internasional. Unsur ini bersifat inheren, atau telah berakar pada budaya Cina, dan telah dianut selama ribuan tahun, serta masih diterapkan sampai sekarang.
Kemampuan tersebut yang digunakan sebagai unsur stategis tidak saja ketika mengekspor, tetapi juga untuk membuat foreign investment
menanamkan modalnya di Cina. Daya tarik ini terletak pada kualitas
tenaga kerja yang produktif, dan kepastian hukum yang baik, yang
terlihat dari rule of law yang diterapkan oleh permerintah Cina.
Reciprocal strategy, atau strategi timbal balik, juga
dilakukan. Cina menanamkan modalnya di negara seperti Afrika, Brasil,
Venezuela, dengan harapan secara timbal balik dapat memastikan pasokan
bahan baku, terutama bahan bakar minyak yang diperlukan di dalam negeri.
Hal yang sama juga tampak dari tindakan Cina memberikan pembiayaan
kepada Amerika; dan timbal baliknya adalah bahwa Amerika tetap membuka
pasarnya untuk barang-barang Cina.
Strategi lain yang digunakan adalah bahwa dalam berdagang, Cina juga
mempertimbangkan kekuatan politik jangka panjang suatu negara, terhadap
kelangsungan hubungan dagang dengan Cina. Strategi ini dilandasi dengan
prinsip damai yang menghargai kedaulatan negara mitra dagang. Stategi
ini digunakan dalam rangka menjamin tidak saja pasar yang terbuka bagi
produk Cina di negara-negara tersebut, tetapi juga untuk mengamankan
pasokan sumber bahan baku dan bahan bakar minyak yang diperlukan.
Selain itu, strategi lainnya adalah bahwa Cina menjual barang-barang
yang laku di pasar internasional, dan di negara yang tidak dapat
memproduksi barang yang sama dengan harga yang lebih murah. Pada awalnya
kebanyakan barang yang dipasarkan itu merupakan barang konsumen dengan
mengandung tehnologi dan bernilai tambah rendah; namun, dalam hal yang
terakhir ini telah bergerak pada barang dengan kandungan tehnologi dan
bernilai tambah yang lebih tinggi. Hal ini merupakan suatu langkah untuk
untuk menyesuaikan dengan permintaan pasar yang berlaku pada waktu
tertentu.
SIMPULAN
Keberhasilan Cina di dunia perdagangan internasional, dan dalam
negeri untuk menarik penanaman modal asing, adalah ditopang oleh unsur
utama yang bersifat strategis, yaitu jumlah tenaga kerja yang besar,
tetapi dapat menciptakan produktivitas yang tinggi, sehingga menciptakan
barang yang berharga murah tetapi, dengan kualitas yang baik. Di dalam
negeri , unsur strategis ini dibarengi dengan penegakan hukum yang baik.
Produktivitas yang tinggi tersebut berkaitan dengan etos kerja, yang
bersifat endogen dan dimiliki oleh masyarakat Cina, serta diterapkan
secara turun temurun hingga kini. Etos kerja ini merupakan bagian dari
ajaran Kong Fu Chu, yang menekankan pada pendidikan dan pelatihan sejak
usia dini.
Langkah-langkah stategis lainnya yang dilakukan dan mendukung
keberhasilan Cina dalam perdagangan internasional adalah: Pertama,
keputusan pemerintah Cina untuk menerapkan ”socialist planned commodity economy”,
yaitu gabungan sentralisasi perencanaan dengan mekanisme pasar. Kedua,
menerapkan pendekatan politik peradaban di dunia internasional, dan
menggunakan soft power, serta menghargai kedaulatan negara lain. Ketiga, menerapkan reciprocal strategy yang bersifat ”take and give”,
ketika berhubungan dengan negara lain, sehingga pertumbuhan
perdagangannya tidak terganggu, dan perolehan bahan baku dan bahan bakar
minyak yang diperlukan di dalam negeri tetap lancar.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Chen, Shuxun, dan Charles Wolf. (2001). China, The United States, and the Global Economy. Santa Monica, California : Rand.
David, Fred R. (2011). Strategic Management, Concepts and Cases. Singapore: Pearson.
Fernandez, Juan Antonio, dan Laurie Undewood. (2006). China CEO, Untaian Pengalaman 20 Pemimpin Bisnis Internasional di Dunia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Jacques, Martin. (2011). When China Rules the World. Jakarta: Kompas.
Chow, Gregory C., (2011). Memahami Dahsyatnya Ekonomi China, Jakarta: IKAPI.
Hanaco, Indah, (2011). Belajar Dagang dengan Orang Tionghoa, Jakarta: Agogos Publishing.
Hasbullah, Jousairi, Social Capital, Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia, Jakarta: MR-Unired Press, 2006.
Hefner, Robert W., (ed), (2000) Budaya Pasar, Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, Jakarta: LP3S.
Kleden, Ignas, et.al, (1988) Kebudayaan Sebagai Perjuangan, Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, Jakarta: Dian Rakyat.
Kristanto, Jajat. (2002). Manajemen Pemasaran Internasional, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Lawang, Robert MZ. (2005). Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik, Jakarta: FISIP UI Press.
Linkletter, Karen E., dan Joseph A. Maciariello. (2010). ”Manajemen Sebagai Sebuah Ilmu Budaya” , di dalam Drucker Diffrence, Pearce, Craig L., et.al, (eds), Jakarta: Ufuk Press.
Robock, Stefan H. Kenneth Simmonds. (1983). International Business and Multinational Enterprises. Illinois : Irwin.
Sugiarto, Ryan. (2012). Rahasia Sukses Bisnis Orang Cina. Yogyakarta: Jenius Publisher.
Walter, Carl E., dan Fraser JT Howie. (2011). Red Capitalism, The Fragile Financial Foundation of Chinas’s Extraordinary Rise. Singapore: John Willey & Sons.
Wang, Andri, (2012). The Wisdom of Confucius, Jakarta: Kompas Gramedia.
Website
Admin, Antisipasi Pelemahan Ekonomi Cina, <http://swa.co.id/my-article/antisipasi-pelemahan-ekonomi-cina>, [29/8/2012].
Economy, Elizabeth C., and Christopher Alessi, Challenging China’s Trade Practices, <http://www.cfr.org/united-states/challenging-chinas-trade-practices, <http://www.cfr.org/united-states/challenging-chinas-trade-practices/p27649>, [15/3/2002]
Economy Watch, China Trade, <http://www.economywatch.com/international-trade/china.html>, [ 30/6/2010].
Newswire, Ekonomi Cina Melambat, Mata Uang Asia Terus Tertekan, <http://www.bisnis.com/articles/ekonomi-china-melambat-mata-uang-asia-terus-tertekan>, [13/7/2012].
Qomariyah, Nurul, Cadangan Devisa China Melonjak Tembus Rp. 28.777 Triliun !, <http://finance.detik.com/read/2011/07/12/110944/1679416/5/cadangan-devisa-china-melonjak-tembus-rp-28777-triliun>,
[12/7/2011].
Tahir, Indra B., Artikel Ekonomi : Perbandingan Cadangan Devisa China, India dan Indonesia, artikelekonomidanbisnis.blogspot.com/2012/07/artikel-ekonomi-perbandingan-cadangan.html
>, [28/7/2012].
Tanpa Nama, Antisipasi Pelemahan Ekonomi China, <http://www.infobanknews.com/2012/07/antisipasi-pelemahan-ekonomi-china/>, [26/7/2012].
Tanpa Nama, Cadangan Devisa China Capai USD 2,13 T, <http://ekonomi-indonesia-bisnis.infogue.com/cadangan_devisa_china_capai_usd2_13_t>, [Tidak Bertanggal].
Tanpa Nama, China’s Exports & Imports, 1952-2009, <http://www.chinability.com/Trade.htm>, [Tidak Bertangga].
Tanpa Nama, China International Trade Review, <http://www.econgrapher.com/chinatrade10mar.html>, [Tidak Bertanggal].
Tanpa Nama, China – International Trade, <http://www.nationsencyclopedia.com/economies/Asia-and-the-Pacific/China-INTERNATIONAL-TRADE.html>, [Tidak Bertanggal].
Tanpa Nama, Data Perdagangan Cina Mengecewakan, Harga Minyak Mentah Turun, <http://www.seruu.com/energi–pertambangan/minyak–gas-bumi/artikel/data-perdagangan-cina-mengecewakan-harga-minyak-mentah-turun>, [11/8/2012].
Tempo, Surplus Perdagangan Cina Menyusut, <http://id.berita.yahoo.com/surplus-perdagangan-cina-menyusut-071838714–finance.html>, [10/8/2012].
Wikipedia, History of Trade of The People’s Republic of China, <http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_trade_of_the_People%27s_Republic_of_China>, [Tidak Bertanggal].
Wisanggeni, Irwan, Kapitalisme Global Versus Sistem Ekonomi Cina, <http://www.ipabionline.com/2012/03/kapitalisme-global-versus-sistem.html>, [29/3/2012].
Workman, Daniel, China Trade Statistics, <http://suite101.com/article/china-trade-statistics-2009-a205058>, [22/2/2010].
Worman, Daniel, Chinese Exports & Imports Soar, <http://suite101.com/article/chinas-top-trading-partners-a3413>, [26/6/2006].
Tulisan ini diterbitkan di Jurnal: Bisnis Indonesia, Vol. 7, No. 2, Desember 2012, dan di http://hho3.wordpress.com/2012/10/05/strategi-bisnis-china-di-dunia-internasional/
terima kasih infonya
BalasHapusterimakasih telah berbagi informasi seputar bisnis, semoga kita bisa meneladani hal-hal baiknya dengan tetap menyesuaikan dengan budaya kita..
BalasHapus~ Jika berkenan, silahkan kunjungi juga website saya di>>> Aplikasi Untuk Toko