Rabu, 11 September 2013

STRATEGI BISNIS CHINA DI DUNIA INTERNASIONAL

STRATEGI BISNIS CHINA DI DUNIA INTERNASIONAL
Oleh: Hendy Herijanto



ABSTRACT

China, as a country, has been showing a very interesting phenomenon. The country, with a huge population of no less than 1.2 billion people, previously governed under a fully communism centralized system, has embarked to be the most successful country in the world, particularly in terms of international trade. The country has accumulated the largest foreign reserve amounting to US$ 3.3 trillion presently, which has surpassed the most developed ones.

As seen from the success said above, there must be several strategic factors that the country has been endowed, certain strategies adopted, and strategic decisions that have been made. This brief paper discusses the factors involved and the implied strategic decisions made.    

Key words: Human resources work ethic, Kong Fu Chu cultural factors, educational importance.
 

LATAR BELAKANG 

Negara dan bangsa Cina bagaikan suatu organisasi yang memiliki kekuatan dan kelemahan sendiri. Sebagai organisasi yang besar dalam bentuk negara atau pemerintahan, bangsa Cina harus menggunakan kekuatan yang dimiliki, dan sekaligus mengatasi kelemahan yang ada atau yang dapat ditimbulkannya. Jika ditilik dari kemajuan ekonomi, khususnya dalam bidang bisnis internasional, yang telah dicapai saat ini, pertanyaan akan timbul, yaitu  faktor strategis apa yang dimiliki dan digunakan Cina, sehingga dapat berhasil dalam perdagangan internasional, seperti yang ditunjukkan oleh cadangan devisa yang telah dicapai sebesar US$ 3.3 triliun.

Makalah ini akan menguraikan faktor-faktor strategis yang dimiliki Cina, dan penerapannya, sehingga terlihat adanya sinkronisasi antara faktor yang dimiliki dengan penerapan yang tepat, sehingga terlihat adanya keputusan strategis yang secara efektif  diambil oleh pemerintahan Cina.


TEORI PERDAGANGAN/BISNIS INTERNASIONAL

Comparative Advantage dan Budaya (Etos Kerja)

Bisnis internasional adalah kegiatan bisnis yang menyebrangi batas nasional negara, dan dapat berupa pergerakan barang, jasa, modal, atau tenaga kerja, atau merupakan transfer tehnologi, informasi, data, atau supervisi pegawai (Robock dan Simmons,1983 : 3). Pengertian bisnis ini mencakup kegiatan perdagangan internasional, atau antar negara.

Dalam perdagangan internasional berlaku doktrin comparative advantage, yang dikemukakan oleh David Ricardo. Doktrin ini menekankan pada perbedaan biaya yang relatif, dan bukan pada biaya absolut. Ricardo berpendapat bahwa biaya-biaya hanya ditentukan oleh jumlah waktu tenaga kerja yang digunakan dikali jumlah produksi. Tetapi, kemudian biaya-biaya yang diperhitungkan mencakup seluruh biaya-biaya yang dikeluarkan, yang juga termasuk opportunity cost ((Robock dan Simmons,1983: 35).

Dalam menjelaskan perbedaan dalam comparative cost, Teorema Heckscher-Ohlin mengatakan bahwa perbedaan itu terletak pada perbedaan pada endowment factor (Robock dan Simmons,1983: 35). Artinya, negara yang mengimpor suatu barang adalah yang memiliki sumber daya yang langka untuk memproduksi barang yang diimpor tersebut. Sebaliknya, dapat pula dikatakan bahwa negara yang mengekspor suatu barang adalah negara yang memiliki sumber-daya yang melimpah untuk memproduksi barang tersebut.

Jika factor endowment itu berupa sumber daya manusia yang banyak, maka pertanyaannya adalah apakah comparative advantage itu hanya terletak pada jumlah tenaga kerja saja dan upah rendah yang harus dibayar kepada tenaga kerja itu? Pertanyaan ini dirasakan sangat penting untuk dijawab, karena comparative advantage dapat menjadi competitive adventage; yaitu sesuatu yang dapat dilakukan secara lebih baik dari pesaing (David, 2011 : 41). Dalam kenyataannya, banyak negara di dunia yang memliki jumlah penduduk atau tenaga kerja yang banyak, namun produktivitas mereka dapat berbeda. Oleh karena itu, dalam menjawab pertanyaan tersebut, tampaknya perlu juga dikaji mengenai etos kerja dari suatu masyarakat, dan hal ini tentunya berkaitan dengan kebiasaan atau budaya masyarakat tersebut.

Dalam kaitan dengan budaya, S. Takdir Alisyahbana berpendapat bahwa soal ekonomi tidak dapat dipisahkan dari soal kebudayaan. Setiap perkembangan ekonomi memerlukan nilai-nilai budi atau kebudayaan, atau paling tidak sekurang-kurangnya dibentuk dari nilai-nilai semu. Hanya nilai-nilai ini yang akan dapat mendorong orang untuk berusaha dan bekerja dengan teratur, sekaligus membentuk disiplin dalam bertingkah laku. Menurut Hasbullah, nilai-nilai ini merupakan suatu ide yang telah turun temurun, yang dianggap benar dan penting oleh anggota masyarakat. Contohnya adalah prestasi, kerja keras, kompetisi dan lainnya (Hasbullah, 2006 : 14).

Dalam berusaha, seringkali memerlukan sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu yang sama; dalam bisnis, tujuan ini adalah berbentuk laba. Untuk mencapai laba, sekawanan kelompok usaha itu harus dalam barisan yang teratur mengikuti kedisplinan yang diperlukan. Oleh karena itu, Alihsyahbana menyimpulkan bahwa, sesungguhnya bekerja dan berusaha dalam jangka panjang untuk mencapai kemakmuran, tidak dapat melupakan nilai-nilai lahir dari kehidupan ekonomi, dan untuk itu harus tunduk pada nilai-nilai atau kebudayaan.

Beliau menambahkan, bahwa kehidupan ekonomi modern tidak dapat dilepaskan dari cara kehidupan orang-orangnya, dengan jalan pikirannya, perasaannya, keinginannya serta adat kebiasaannya. Disini, yang paling penting adalah sikap hidup dan cara berpikir dalam rangka memberikan nilai-nilai dan noma-norma kehidupan kebudayaan, yang dapat membangkitkan cita-cita maupun kegembiraan untuk bekerja sehingga dapat mencapai kehidupan yang lebih baik (Kleden et.al, 1988 : 4-6).

Menurut Alisyahbana, kaum Cina pada umumnya memiliki suatu dasar kekuatan ekonomi, yaitu etika yang menentukan tujuan hidup dan kelakuan mereka sehari-hari. Kemajuan ekonomi dicapai melalui etos ekonomi (baca: etos kerja), yang menyebabkan mereka berpikir ekonomis secara rasio, bekerja keras dan efisien untuk membangun kedudukan ekonomi yang kuat dalam perdagangan, industri dan bahkan pertanian (Kleden et.al, 1988 : 63).

Strategic Management Suatu Bangsa

Bagi perusahaan, strategic management bukanlah sesuatu yang asing. Menurut David (2011 : 31), strategic management adalah suatu seni dan ilmu pegetahuan yang menformulasikan, menerapkan dan mengevaluasi keputusan yang bersifat multifungsi, yang membuat organisasi dapat mencapai tujuannya. Bagi operasionalisasi usaha perusahaan, strategic management berarti pula menekankan pada integrasi seluruh kegiatan yang bersifat fungsional secara terpadu dalam rangka mencapai tujuannya. Dalam rangka melakukan keputusan yang bersifat strategis, organisasi dapat menggunakan alat analisis yang disebut sebagai SWOT analysis.

Kata strategic dan management, serta SWOT dapat pula diterapkan pada setiap bentuk organisasi, atau bahkan dapat pula digunakan bagi negara atau pemerintahan. Bagi bangsa Cina, misalnya, negara harus mengkoordinir segala kekuatan yang dimiliki, dan sekaligus mengatasi kelemahan yang ada, sehingga dapat melakukan keputusan strategis dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyatnya. Bangsa Cina memiliki kekuatan yang besar, yang sekaligus merupakan suatu kelemahan. Kekuatan dan kelemahan ini  adalah jumlah penduduk yang besar dan mencapai 1,2 milyar orang.

Namun, jika jumlah penduduk ini dapat dikelola dengan baik, atau memiliki competitive advantage, maka akan menjadi kekuatan yang sangat berarti. Namun, jika tidak, maka faktor penduduk itu  akan menjadi ancaman yang laten, terutama jika pemerintahan Cina tidak dapat menyediakan lapangan kerja yang cukup. Untuk itu, pemerintahan Cina harus memiliki pola manajemen yang tepat, yang merupakan keputusan manajemen yang strategis, yang diartikan apakah akan terus menggunakan pendekatan politik ekonomi yang bersandar pada komunis sosialis murni, atau pola baru yang diperlukan.

UNSUR-UNSUR STRATEGIS CINA

Filosofi, Sikap, dan Kemampuan Sendiri

Ketika membahas mengenai strategi dalam melakukan bisnis atau peradagangan di dunia internasional, unsur yang paling penting dalam bangsa Cina umumnya, dan Cina daratan khususnya, adalah terletak dalam diri bangsa itu sendiri. Unsur-unsur itu merupakan nilai budaya yang secara filosofis dianutnya sampai saat ini, yang kemudian membentuk sikap dan kemampuan yang dimiliki oleh bangsa Cina. Hal ini dapat dilihat dari uraian berikut:

Pertama, secara filosofis, perkembangan Cina berakar pada sejarahnya, dan bukan karena Cina mengutip pola barat. Alur yang dijalani dalam menuju perkembangan ekonomi berbeda, misalnya dengan Jepang (Jacques, 2011 : 77). Jepang berkembang setelah retorasi Meiji dalam tahun 1868, umumnya meniru gaya barat. Cina, di lain pihak,  salah satu akar perkembangan Cina itu tertanam dalam nilai-nilai filosofis yang telah berusia ribuan tahun yang berasal dari ajaran Kong Fu Chu. Ajaran ini ditetapkan sebagai ajaran resmi dalam kerajaan Cina pada masa Dinasti Han. Ajaran ini meletakkan dasar-dasar pemikiran mengenai moral, sosial, politik, dengan menekankan  pada pendidikan dan kebudayaan.

Sampai saat ini, bahkan dalam kesehariannya, masyarakat Cina dipenuhi oleh ajaran Kong Fu Chu  (Hanaco, 2011 : 22). Ajaran itu juga masih merupakan pegangan orang Cina dan yang berada diluar Cina. Jumlah mereka saat ini telah mencapai 19% dari seluruh penduduk dunia. Sebagian besar dari masyarakat Cina ini merupakan keturunan dari suku bangsa Han, dan di seluruh dunia mereka berjumlah 1,3 milyar orang; dan umumnya, mereka memiliki kepiawaian dalam berdagang (Sugiarto, 2012 : 36).

Kedua, salah satu ajaran yang paling penting adalah yang diajarkan oleh Mencius (372-289), murid terkenal dari Kong Fu Chu, yaitu bahwa manusia perlu bersifat optimis, dan mementingkan unsur pendidikan. Anak harus dididik dengan cara yang benar, sehingga kemudian orang akan memperoleh sikap, nilai-nilai dan disiplin yang benar. Ketika belajar,  orang harus selalu melihat pada sejarah, yaitu merujuk pada pengalaman masa lalu. Teori merupakan hal yang penting, tetapi pelatihan dan tehnik diberikan prioritas yang utama, sehingga orang mencapai kompetensi yang tinggi bahkan pada usia dini.

Ketiga, Cina menganggap dirinya sebagai”negara peradaban”, dengan pendekatan politik yang berbeda dengan negara konvensional, karena menekankan pada peradaban. Dalam politik, sentralitas negara tetap dipertahankan, dan kekuasaan tidak dialihkan pada masyarakat sipil, seperti halnya di negara barat; tetapi negara menjalankan tugas-tugasnya benar-benar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan tidak mengabaikan rule of law.

Dalam kaitan dengan penegakkan hukum, tampak dengan jelas bahwa pemerintahan Cina sangat tegas dalam menindak para koruptor; dan sangat efektif dalam mengontrol keluarnya devisa negara. Dalam sejarah panjangnya, Cina telah berhasil mengangkat lebih dari 300 juta penduduk miskin dalam kurun waktu 30 tahun terakhir (Walter dan Howie, 2011 : 23-24).

Dalam pertumbuhannya, Cina tampak dengan jelas tetap mengacu pada ajaran Kong Fu Chu. Dalam manifestasinya, negara peradaban memberikan dorongan pada penerimaan akan pluralitas.. Masa lalu digunakan sebagai tolok ukur perkembangan, dan peradaban itu pula yang memberikan identitas bagi kehidupan orang Cina. Sejarah disini diartikan sebagai pengalaman. Untuk jangka panjang, Cina menggunakan nilai dengan persepsi sikap dan asumsi untuk masa depan sejalan dengan tujuan yang ingin dicapainya, tetapi tetap dengan mengacu pada ajaran yang telah dianutnya selama ribuan tahun yang silam.

Dengan demikian, Cina tidak pernah melupakan kebudayaanya, dan kebudayaan itu terus hidup dalam kehidupan orang Cina, sementara kebudayaan lain telah punah, seperti hal yang terjadi pada kebudayaan Mesir kuno, Aztec, dan lainnya. Unsur kebudayaan yang tinggi dapat pula dilihat dari konsep menang dalam berperang yang dianut oleh Sun Tzu. Beliau mengatakan bahwa menang dalam berperang adalah jika musuh dapat ditaklukan, tanpa mengirimkan tentara yang banyak, dan tanpa adanya korban di pihak kita.

Oleh karena itu pula, ketika Cina meraungi lautan luas untuk berdagang semenjak awal tahun Masehi sampai pada Samudera India dan Selat Malaka (Kleden, et al, 1988 : 44), hal itu dilakukan tanpa nuansa untuk menjajah atau menaklukan daerah yang dikunjunginya. Sejalan dengan konsep peradaban ini, sejak masa Deng Xiaoping, Cina selalu berusaha memelihara lingkungan eksternal yang damai dan relatif bebas, sehingga Cina dapat berkonsentrasi pada pembangunan ekonominya. Dalam kaitan ini, Deng mengatakan, “Mengamati perkembangan dengan cermat, mempertahankan posisi kita, menghadapai tantangan dengan tenang, menyembunyikan kemampuan kita dan menunggu, selalu bebas dari ambisi, dan jangan pernah menginginkan kepemimpinan” (Jacques, 2011: 386-387). Oleh karena itu, Cina, ketika berhubungan dengan negara lain, selalu melakukan dengan pendekatan perdamaian atau soft power, dan menekankan pada demokrasi di antara negara-negara dengan menghormati kedaulatan negara mereka.

Keempat, selain negara peradaban, Cina juga mengangap dirinya sebagai “negara bangsa kesatuan” dengan kekuatan sentralisme yang dominan. Menurut Jacques (2011: 87), komitmen kesatuan ini memiliki tiga dimensi, yaitu: prioritas fundamental yang diberikan bagi kesatuan oleh negara dan rakyat, peran sentral yang diharapkan pada negara untuk memastikan agar kesatuan ini dipelihara, dan perasaan kuat kesamaan identitas Cina yang menopang komitmen populer pada kesatuan.

Dalam konteks sejarah, negeri Cina masa lalu penuh dengan perang antar kerajaan yang ada. Tetapi, kemudian, akhirnya mereka semua  bersatu. Salah satu faktor pendorong yang penting bagi prinsip kesatuan ini adalah karena merupakan suatu kenyataan bahwa pada dasarnya bangsa Cina adalah bangsa yang homogen, karena 91% berasal dari suku Han. Di sisi lain, orang Cina menganggap dirinya sebagai ras tunggal, walaupun dalam kenyataannya tidak (Jacques, 2011 : 468).

Faktor lain yang mendukung persatuan itu adalah karena faktor bahasa dan makanan. Sebagian besar orang Cina dapat menggunakan atau, paling tidak, mengerti bahasa Mandarin. Faktor-faktor ini yang menyebabkan bangsa Cina daratan memiliki jiwa nasionalime yang tinggi. Bagi masyarakat Cina di luar daratan Cina, mereka merasa masih memiliki ikatan dengan masyarakat Cina secara keseluruhan, walaupun tidak secara langsung.

Kelima, berdagang merupakan profesi yang penting dalam masyarakat Cina. Perdagangan dengan dunia luar dimulai sejak Dinasti Han, tahun 206 SM, yang dikenal sebagai ”silk road”, sampai ke Asia Tengah melalui jalur laut. Jacques (2011: 81) mengungkapkan bahwa sektor perdagangan semakin dominan pada masa Dinasti Song mulai tahun 960 M. Bahkan, anak-anak diikut sertakan dalam membantu orang tuanya dalam berdagang sejak usia dini. Terdapat beberapa alasan logis kenapa mereka memilih untuk berdagang, yaitu (Hanaco, 2011 : 21, 22, 35, 36, 37):
-         Berdagang tidak dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu.
-         Berdagang memberikan kesempatan bagi orang untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan, dan mengasah insting bisnis agar makin tajam.
-         Berdagang adalah pekerjaan yang mandiri.
-         Berdagang membutuhkan modal yang tidak besar, dan membuat uang cepat berkembang.
-         Berdagang membuka banyak peluang.
-         Dunia bisnis menjanjikan kesempatan untuk meraih kekayaan, kemewahan, kesenangan dan kemapanan, atau pada akhirnya mencapai kehidupan yang lebih baik.

Hanako menyimpulkan bahwa masyarakat Cina memiliki karakteristik yang menonjol, dan ini diperlukan dalam berdagang atau berusaha. Masyarakat Cina bersifat ulet, rajin dan tekun, tahan banting, jujur, inovatif, tidak takut gagal, merencanakan dengan matang, memiliki kemampuan pemasaran, dalam berdagang melibatkan seluruh keluarga, selalu berusaha memperluas usaha, berhati hati, tidak mengenal gengsi, dan pandai melihat dan menggunakan peluang (Hanaco, 2011: 40- 89).

Di samping itu, masyarakat China memiliki suatu faktor sosiologis, yang disebut ”quangxi”, dan mungkin jarang dimiliki, atau tidak begitu kuat diterapkan dalam bangsa lain. Quangxi adalah seni dalam berhubungan dengan orang lain, yang dijalin berdasarkan kewajiban dan keuntungan timbal balik (Fernandez dan Underwood, 2006 : xxxi); dan juga menunjukkan bahwa hubungan lebih banyak dibangun atas asas kekeluargaan, atau berdasarkan ikatan keluarga. Asas ini pula yang membedakan dengan kebudayaan barat, yang bersifat  sangat individualistik dalam kadar yang ekstrim (Hefner, 2000 : 111) .

Keenam, Cina menganggap bahwa bangsanya sebagai “bengkel dunia”, dan merupakan pasar dari seluruh pasar, sehubungan dengan jumlah penduduk yang mencapai 1,2 milyar orang. Hal ini disebabkan karena biaya per unit produk jauh lebih murah. Bukan karena upah berbiaya rendah, tetapi lebih disebabkan karena tingkat produktivitas yang tinggi, dan jumlah tenaga kerja yang sangat besar dengan kadar pendidikan yang tidak pernah menurun. Kemampuan membuat barang dengan harga murah, tetapi berkualitas, dan dibarengi dengan etos kerja yang tinggi secara kultural adalah faktor yang tidak dimiliki oleh banyak bangsa di dunia; dan bahkan dapat dikatakan sebagai sesuatu yang agak unik, bagi bangsa Cina. Karena hal ini pula banyak produsen manca negara berdatangan untuk membuka pabrik di Cina.

Ketujuh, masyarakat Cina tetap mempertahankan kebiasaan menabungnya, yang sangat bertentangan dengan kebiasaan masyarakat Amerika, yang cenderung menggunakan kredit jauh lebih banyak. Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat Amerika hidup atas utang, dan  sulit utuk keluar dari kebiasaan berutang. Masyarakat Cina, di lain pihak, tetap memegang prinsip bahwa pengeluaran harus berada di bawah pendapatan, dengan menerapkan disiplin keuangan yang lebih baik, dan hidup dengan cara yang tidak berlebihan (Hanaco, 2011: 93-95). Di sektor keuangan domestik Cina, Bank asing hanya menguasai 1.7% dari aset keuangan yang ada (Walter dan Howie, 2011 : 207). Manifestasi di tingkat makro adalah merupakan kenyataan bahwa Cina telah mencapai surplus yang besar, sementara Amerika memiliki defisit yang  luar biasa besarnya.

Penulis yakin bahwa faktor kebiasaan menabung dan jumlah utang yang terkontrol atau rendah tersebut yang dapat menangkal padangan beberapa pihak yang berpendapat bahwa Cina akan mengalami krisis keuangan di negaranya. Di samping itu, Cina tidak mengikuti saran IMF untuk melepas kendali mata uangnya terhadap dollar, ketika krisis terjadi di banyak negara di Asia Tenggara. Saat ini, Cina telah menjadi kreditor yang besar bagi Amerika.

Kedelapan, karena pertumbuhan ekonominya terus menerus tinggi, kebutuhan akan bahan baku seperti bijih besi, tembaga dan minyak sangat besar, sehingga Cina sangat menyadari bahwa hubungan luar negeri harus diperkuat. Sejak 2001, Cina resmi memupuk hubungan yang lebih erat dengan negara-negara produsen komoditas yang diperlukan sebagai bahan baku bagi pertumbuhan ekonominya. Untuk itu,  Cina melakukan investasi yang besar di sejumlah negara seperti Brazil, Cile, dan Afrika. Sebagai hasilnya, Brasil mengekspor bijih besi, kedelai, kapas, kayu gelondongan ke Cina. Cile mengekspor tembaga, sedangkan Venezuela dan Afrika menandatangani perjanjian pasokan minyak dalam jangka panjang bagi Cina. Pada saat yang sama, orang Cina yang tinggal dan berusaha di Afrika semakin banyak, dan umumnya mereka di sana berdagang.

Tindakan strategis yang diterapkan

Sebelum adanya reformasi ekonomi tahun 1978, Cina berdagang dengan dunia luar dalam skala yang sangat terbatas. Reformasi ekonomi yang dilakukan adalah merubah sistem sosialis komunis dengan sepenuhnya sentralisasi perencanaan menjadi yang disebut sebagai ”socialist planned commodity economy”, yaitu gabungan sentralisasi perencanaan dengan mekanisme pasar.  Dengan desentralisasi institusi ekonomi pasar, peranan pasar bebas dalam distribusi barang dan jasa, investasi serta perdagangan domestik dan dengan dunia luar menjadi lebih luas.

Sejak tahun 1992, Deng Xiao Ping mendorong kegiatan ekspor negaranya, yang ternyata sangat berhasil dan bermanfaat bagi perkembangan ekonomi dan politik Cina (Chen dan Wolf, 2001 : 225).  Sejak tahun 1952 sampai pertengahan tahun 1993, ekspor dan impor Cina menunjukkan angka yang hampir seimbang, namun impor cenderung melebihi ekspor. Dalam kurun waktu 17 tahun itu, rata-rata ekspor mencapai US$ 30.87 milyar, sedangkan impor mencapai US$ 34.76 milyar; jadi,  defisit rata-rata adalah sekitar US$ 3.89 milyar per tahun.

Namun, 16 tahun kemudian, yaitu dalam periode 1994-2009, ekspor menjadi lebih tinggi mencapai rata-rata US$ 517.18 milyar, dan impor berada dibawahnya, yaitu pada angka US$403.21 milyar, dengan surplus rata-rata US$ 5.16 milyar per tahun. Dewasa ini, surplus ekspor telah menjadi salah satu kekuatan ekonomi bagi Cina, yang telah mencapai angka terbesar di dunia, yaitu US$ 3.3 triliun; dan sekaligus memberikan lapangan kerja di dalam negeri yang sangat luas.

Salah satu tujuan ekspor, pada awalnya,  adalah untuk menyediakan cadangan valuta asing yang diperlukan untuk mengimpor mesin dan tehnologi dalam rangka memodernisir perekonomiannya, di samping untuk membiayai bahan bakar atau bahan mentah lainnya. Komponen impor umumnya didominasi oleh peralatan dan mesin-mesin, tetapi pada tahun-tahun belakangan ini, permesinan yang diimpor mengandung tehnologi yang lebih tinggi.

Dewasa ini, produk yang dijual Cina pada dasarnya adalah produk konsumen, seperti sepatu, mainan anak-anak, pakaian, CVD player,komputer desktop, telepon genggam, televisi, stereo mobil, dan lain sebagainya. Walaupun barang-barang ekspor menunjukkan kandungan tehnologi yang lebih tinggi, seperti komputer dan lainnya, namun masih dalam kategori produk konsumen. Cina sudah mulai memproduksi mobil, seperti Geely, tetapi masih dalam tahap penetrasi pasar awal. Namun, secara umum, dapat disimpulkan barang-barang yang diekspor telah bergerak dari barang-barang yang mengandung sumber daya dan tenaga kerja yang intensif, bernilai tambah rendah, dan bertehnologi rendah, ke arah barang-barang yang mengandung tehnologi dan bernilai tambah yang lebih tinggi.

Pasar yang dituju pada mulanya adalah pasar terbawah pasar global, kemudian bergerak ke negara maju. Kemudian, pasar yang diprioritaskan adalah Afrika, Timur Tengah, Asia, dan penekannya pada Amerika mulai berkurang. Tampaknya, strategi pasar yang di anut adalah dengan harga murah, atau serba murah, tetapi dengan barang yang berkualitas. Pendekatan seperti ini juga menguntungkan negara lain dan masyarakatnya sebagai mitra dagang Cina. Mereka dapat memperoleh barang yang murah dan berkualitas, karena mereka tidak dapat memproduksinya dengan hasil dan harga seperti itu. Jalur distribusi di negara mitra juga diuntungkan dengan kemungkinan perolehan keuntungan yang lebih baik. Amerika, contohnya, akan kehilangan barang-barang konsumen yang diperlukan oleh masyarakatnya, jika pemerintahannya melarang masuknya barang Cina. Barang-barang seperti itu tidak lagi dapat diproduksi di Amerika, karena biaya buruh yang lebih tinggi, dengan etos kerja yang telah melemah, dan jam kerja yang dibatasi pula oleh buruh Amerika itu sendiri.

Strategi menjual dengan harga murah tetapi barang yang berkualitas menggambarkan kekuatan tenaga kerja Cina yang berjumlah besar, tetapi dengan keahlian dan produktivitas yang tinggi. Karena faktor ini bersifat endogen dalam masyarakat Cina, yang telah bersifat turun menurun, maka sulit bagi masyarakat non Cina untuk menandinginya.

UNSUR POKOK DALAM STRATEGI BISNIS CHINA

Dari uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kemampuan memproduksi barang -barang dengan harga yang murah dan berkualitas adalah unsur stategis utama yang dimiliki dan digunakan Cina dalam berdagang di pasar domestik dan internasional. Unsur ini bersifat inheren, atau telah berakar pada budaya Cina, dan telah dianut selama ribuan tahun, serta masih diterapkan sampai sekarang.

Kemampuan tersebut yang digunakan sebagai unsur stategis tidak saja ketika mengekspor, tetapi juga untuk membuat foreign investment menanamkan modalnya di Cina. Daya tarik ini terletak pada kualitas tenaga kerja yang produktif, dan kepastian hukum yang baik, yang terlihat dari rule of law yang diterapkan oleh permerintah Cina.

Reciprocal strategy, atau strategi timbal balik, juga dilakukan. Cina menanamkan modalnya di negara seperti Afrika, Brasil, Venezuela, dengan harapan secara timbal balik dapat memastikan pasokan bahan baku, terutama bahan bakar minyak yang diperlukan di dalam negeri. Hal yang sama juga tampak dari tindakan Cina memberikan pembiayaan kepada Amerika; dan timbal baliknya adalah bahwa Amerika tetap membuka pasarnya untuk barang-barang Cina.

Strategi lain yang digunakan adalah bahwa dalam berdagang, Cina juga mempertimbangkan kekuatan politik jangka panjang suatu negara, terhadap kelangsungan hubungan dagang dengan Cina. Strategi ini dilandasi dengan prinsip damai yang menghargai kedaulatan negara mitra dagang. Stategi ini digunakan dalam rangka menjamin tidak saja pasar yang terbuka bagi produk Cina di negara-negara tersebut, tetapi juga untuk mengamankan pasokan sumber bahan baku dan bahan bakar minyak yang diperlukan.

Selain itu, strategi lainnya adalah bahwa Cina menjual barang-barang yang laku di pasar internasional, dan di negara yang tidak dapat memproduksi barang yang sama dengan harga yang lebih murah. Pada awalnya kebanyakan barang yang dipasarkan itu merupakan barang konsumen dengan mengandung tehnologi dan bernilai tambah rendah; namun, dalam hal yang terakhir ini telah bergerak pada barang dengan kandungan tehnologi dan bernilai tambah yang lebih tinggi. Hal ini merupakan suatu langkah untuk untuk menyesuaikan dengan permintaan pasar yang berlaku pada waktu tertentu.

SIMPULAN  

Keberhasilan Cina di dunia perdagangan internasional, dan dalam negeri untuk menarik penanaman modal asing, adalah ditopang oleh unsur utama yang bersifat strategis, yaitu jumlah tenaga kerja yang besar, tetapi dapat menciptakan produktivitas yang tinggi, sehingga menciptakan barang yang berharga murah tetapi, dengan kualitas yang baik. Di dalam negeri , unsur strategis ini dibarengi dengan penegakan hukum yang baik. Produktivitas yang tinggi tersebut berkaitan dengan etos kerja, yang bersifat endogen dan dimiliki oleh masyarakat Cina, serta diterapkan secara turun temurun hingga kini. Etos kerja ini merupakan bagian dari ajaran Kong Fu Chu, yang menekankan pada pendidikan dan pelatihan sejak usia dini.

Langkah-langkah stategis lainnya yang dilakukan dan mendukung keberhasilan Cina dalam perdagangan internasional adalah: Pertama, keputusan pemerintah Cina untuk menerapkan ”socialist planned commodity economy”, yaitu gabungan sentralisasi perencanaan dengan mekanisme pasar. Kedua, menerapkan pendekatan politik peradaban di dunia internasional, dan menggunakan soft power, serta menghargai kedaulatan negara lain. Ketiga, menerapkan reciprocal strategy yang bersifat ”take and give”, ketika berhubungan dengan negara lain, sehingga pertumbuhan perdagangannya tidak terganggu, dan perolehan bahan baku dan bahan bakar minyak yang diperlukan di dalam negeri tetap lancar.



DAFTAR PUSTAKA

Buku

Chen, Shuxun, dan Charles Wolf. (2001). China, The United States, and the Global Economy. Santa Monica, California : Rand.
David, Fred R. (2011). Strategic Management, Concepts and Cases. Singapore: Pearson.
Fernandez, Juan Antonio, dan Laurie Undewood. (2006). China CEO, Untaian Pengalaman 20 Pemimpin Bisnis Internasional di Dunia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Jacques, Martin. (2011). When China Rules the World. Jakarta: Kompas.
Chow, Gregory C., (2011). Memahami Dahsyatnya Ekonomi China, Jakarta: IKAPI.
Hanaco, Indah, (2011). Belajar Dagang dengan Orang Tionghoa, Jakarta: Agogos Publishing.
Hasbullah, Jousairi, Social Capital, Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia,  Jakarta: MR-Unired Press, 2006.
Hefner, Robert W., (ed), (2000) Budaya Pasar, Masyarakat dan Moralitas dalam Kapitalisme Asia Baru, Jakarta: LP3S.
Kleden, Ignas,  et.al, (1988) Kebudayaan Sebagai Perjuangan, Perkenalan dengan Pemikiran S. Takdir Alisjahbana, Jakarta: Dian Rakyat.
Kristanto, Jajat. (2002). Manajemen Pemasaran Internasional, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Lawang, Robert MZ. (2005). Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik, Jakarta: FISIP UI Press.
Linkletter, Karen E., dan Joseph A. Maciariello. (2010).  ”Manajemen Sebagai Sebuah Ilmu Budaya” , di dalam Drucker Diffrence, Pearce, Craig L., et.al, (eds), Jakarta: Ufuk Press.
Robock, Stefan H. Kenneth Simmonds. (1983). International Business and Multinational Enterprises. Illinois : Irwin.
Sugiarto, Ryan. (2012). Rahasia Sukses Bisnis Orang Cina. Yogyakarta: Jenius Publisher.
Walter, Carl E., dan Fraser JT Howie. (2011). Red Capitalism, The Fragile Financial Foundation of Chinas’s Extraordinary Rise. Singapore: John Willey & Sons.
Wang, Andri, (2012).  The Wisdom of Confucius, Jakarta: Kompas Gramedia.

Website

Admin, Antisipasi Pelemahan Ekonomi Cina, <http://swa.co.id/my-article/antisipasi-pelemahan-ekonomi-cina&gt;, [29/8/2012].
Economy Watch, China Trade, <http://www.economywatch.com/international-trade/china.html>, [ 30/6/2010].
Newswire, Ekonomi Cina Melambat, Mata Uang Asia Terus Tertekan, <http://www.bisnis.com/articles/ekonomi-china-melambat-mata-uang-asia-terus-tertekan&gt;, [13/7/2012].
Tahir, Indra B., Artikel Ekonomi : Perbandingan Cadangan Devisa China, India dan Indonesia, artikelekonomidanbisnis.blogspot.com/2012/07/artikel-ekonomi-perbandingan-cadangan.html
>, [28/7/2012].
Tanpa Nama, Antisipasi Pelemahan Ekonomi China, <http://www.infobanknews.com/2012/07/antisipasi-pelemahan-ekonomi-china/>, [26/7/2012].
Tanpa Nama, Cadangan Devisa China Capai USD 2,13 T, <http://ekonomi-indonesia-bisnis.infogue.com/cadangan_devisa_china_capai_usd2_13_t>, [Tidak Bertanggal].
Tanpa Nama, China’s Exports & Imports, 1952-2009, <http://www.chinability.com/Trade.htm>, [Tidak Bertangga].
Tanpa Nama, China International Trade Review, <http://www.econgrapher.com/chinatrade10mar.html>, [Tidak Bertanggal].
Tanpa Nama, China – International Trade, <http://www.nationsencyclopedia.com/economies/Asia-and-the-Pacific/China-INTERNATIONAL-TRADE.html>, [Tidak Bertanggal].
Tanpa Nama, Data Perdagangan Cina Mengecewakan, Harga Minyak Mentah Turun, <http://www.seruu.com/energi–pertambangan/minyak–gas-bumi/artikel/data-perdagangan-cina-mengecewakan-harga-minyak-mentah-turun>, [11/8/2012].
Tempo, Surplus Perdagangan Cina Menyusut, <http://id.berita.yahoo.com/surplus-perdagangan-cina-menyusut-071838714–finance.html>, [10/8/2012].
Wikipedia, History of Trade of The People’s Republic of China, <http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_trade_of_the_People%27s_Republic_of_China>, [Tidak Bertanggal].
Wisanggeni, Irwan, Kapitalisme Global Versus Sistem Ekonomi Cina, <http://www.ipabionline.com/2012/03/kapitalisme-global-versus-sistem.html>, [29/3/2012].
Workman, Daniel, China Trade Statistics, <http://suite101.com/article/china-trade-statistics-2009-a205058>, [22/2/2010].
Worman, Daniel, Chinese Exports & Imports Soar, <http://suite101.com/article/chinas-top-trading-partners-a3413>, [26/6/2006].



Tulisan ini diterbitkan di Jurnal: Bisnis Indonesia, Vol. 7, No. 2, Desember 2012, dan di http://hho3.wordpress.com/2012/10/05/strategi-bisnis-china-di-dunia-internasional/

2 komentar:

  1. terimakasih telah berbagi informasi seputar bisnis, semoga kita bisa meneladani hal-hal baiknya dengan tetap menyesuaikan dengan budaya kita..

    ~ Jika berkenan, silahkan kunjungi juga website saya di>>> Aplikasi Untuk Toko

    BalasHapus