TUGAS MANDIRI (UNX)
KEPUTUSAN BISNIS DALAM UUPT
Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana
Disusun oleh:
Hendy Herijanto
1101.300.800.54
Promotor:
Prof. Dr. H. Man S Sastrawidjaja, SH., SU
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJAJARAN
Bandung
2 0 1 3
D A F T A R I S I
Halaman
Judul …………………………………………………………………………………………………….. iDaftar Isi ………………………………………………………………………………………………. ii
A.. Latar Belakang ………………………………………………………………………………….. 1
B.. Keputusan Bisnis ………………………………………………………………………………. 5
C.. Business Judgment Rule ……………………………………………………………………… 13
1… Latar Belakang BJR ……………………………………………………………………… 14
2… Pengertian Business Judgment Rule (BJR) ………………………………………. 15
3… Karakteristik BJR …………………………………………………………………………. 20
4… Persyaratan BJR …………………………………………………………………………… 21
5… Unsur-Unsur BJR………………………………………………………………………….. 23
6… Itikad Baik, Duty of Good Faith……………………………………………………… 25
7... Duty of Care ………………………………………………………………………………… 33
8... Duty of Loyalty …………………………………………………………………………….. 36
D.. Unsur-Unsur BJR dalam UUPT ………………………………………………………….. 37
1… Fiduciary Duty …………………………………………………………………………….. 37
a… Pengertian Umum …………………………………………………………………… 37
b... Fiduciary Duty dalam UUPT ……………………………………………………. 39
2… Diskresi untuk Membuat Keputusan Bisnis dalam UUPT ………………….. 42
3... Duties of Skill & Care, Loyalty and Candor …………………………………….. 46
a… Pengertian Duty of Skill & Care ………………………………………………… 46
b… Pengertian Duty of Loyalty ……………………………………………………….. 48
c... Pengertian Duty of Candor ………………………………………………………. 50
d… Duties of Skill & Care, Loyalty and Candor dalam UUPT ……………. 50
4… Itikad Baik (Good Faith) ………………………………………………………………. 53
a… Pengertian Itikad Baik …………………………………………………………….. 53
b… Itikad Baik dalam UUPT …………………………………………………………. 53
5… Perlindungan Hukum bagi Direksi dalam UUPT ………………………………. 55
E… Simpulan ………………………………………………………………………………………….. 60
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………………… 61
A.. Buku ………………………………………………………………………………………………… 61
B.. Website ……………………………………………………………………………………………. 62
KEPUTUSAN BISNIS DALAM UUPT
A. Latar Belakang
Dalam setiap pengambilan keputusan bisnis, terdapat sejumlah masalah
yang tidak dapat dipastikan hari ini. Salah satu dari masalah itu adalah
apakah asumsi sebagai dasar pengambilan keputusan akan berlangsung,
atau tetap berlaku di masa depan. Hampir di setiap khasanah pengambilan
keputusan selalu mengandung unsur ketidak-pastian. Dalam menghadapi
ketidak-pastian ini, orang yang mengambil keputusan cenderung
menggunakan naluri dan pertimbangan pribadinya. Kualitas dari
pertimbangan seseorang itu sangat ditentukan oleh pengetahuan dan
pengalamannya dalam bidang yang akan diputuskan, selain kematangannya
dalam berpikir. Oleh karena itu, keputusan atau pertimbangan seperti ini
tidak terlepas dari unsur subjektivitas. Namun, keterlibatan unsur
subjektivitas itu tidak selalu menghasilkan sesuatu yang dianggap
menyimpang.
Permasalahan akan timbul jika direksi mengambil suatu keputusan
bisnis ternyata salah, dan kemudian membawa kerugian. Tidak ada jaminan
bahwa keputusan yang diambil akan selalu membuahkan hasil yang
diharapkan, walaupun telah menerapkan sikap hati-hati sekalipun, dan
mematuhi seluruh ketentuan dan perundangan yang berlaku. Permasalahan
ini akan menjadi kasus hukum, jika pemegang saham, atau pemangku
kepentingan lainnya, merasa dirugikan, sehubungan adanya kerugian
tersebut. Salah satu faktor yang membuat hal itu menjadi kasus hukum
adalah karena pihak yang dirugikan cenderung menyalahkan direksi.
Pemegang saham atau pihak yang dirugikan dapat menganggap bahwa kerugian
itu terjadi, sebagai akibat ketidak mampuan direksi dalam membuat
keputusan yang dapat menciptakan keuntungan. Dengan menggunakan logika
yang sederhana, alasan tersebut dapat diterima, karena memang
pengambilan keputusan bisnis sering melibatkan unsur subjektivitas
seseorang.
Namun, tidak semua kerugian yang timbul merupakan akibat dari
pengambilan keputusan yang salah atau tidak tepat. Keputusan yang salah
tidak selalu disebabkan karena direksi dengan sengaja atau dengan niat
untuk menguntungkan atau memperkaya pribadi atau pihak lain, sehingga
pengambilan keputusan tidak dilakukan dengan cermat. Kemampuan yang
memadai sekalipun tidak selalu membuahkan hasil yang diharapkan. Oleh
karena itu, direksi memerlukan ruang lingkup atau latitude
tertentu, yang dapat memberikan keleluasaan baginya dalam membuat
kesalahan dalam batas tertentu, sebagai hasil dari keputusannya. Jika
direksi selalu dituntut secara hukum, karena adanya kerugian dan
anggapan bahwa keputusannya itu salah, maka direksi akan segan untuk
mengambil keputusan. Jika direksi tidak membuat keputusan bisnis, usaha
perseroan akan mengalami stagnasi; atau orang akan segan untuk diangkat
sebagai direksi.
Kerugian yang ditimbulkan karena pengambilan keputusan yang salah
atau tidak tepat tidak selalu bermuara, atau berkaitan dengan unsur
memperkaya diri sendiri atau pihak lain; atau tidak serta merta
merupakan tindak pidana korupsi. Karena jika pengadilan hanya memeriksa
hasil keputusan direksi, maka dapat saja menyimpulkan banyak hal;
terutama jika dilihat dari kerugian yang ditimbulkan semata. Kerugian
sudah terjadi, sehingga dengan mudah mencari siapa yang dapat
disalahkan. Untuk tidak menimbulkan dugaan yang tidak perlu, pemeriksaan
seyogianya tidak terfokus pada hasil keputusan; tetapi lebih tepat,
jika ditelaah lebih dalam dari masalah yang dapat terjadi di hulu, yaitu
ketika keputusan bisnis itu dibuat. Di situ perlu diteliti apakah
keputusan itu dilakukan secara menyimpang, atau dibuat berdasarkan
alasan-alasan atau dasar-dasar yang relevan dan benar, atau dibuat
karena adanya motivasi tertentu dibelakang pengambilan keputusan itu.
Motivasi ini yang perlu ditelaah lebih dalam, karena dapat membuat
tujuan pengambilan keputusan menjadi berbeda. Motivasi yang sebenarnya
dapat dibungkus dengan alasan, yang secara sepintas kelihatan rasional,
atau masuk diakal.
Dalam hukum korporasi terdapat doktrin business judgment rule (BJR), disamping prinsip duty of skills and care, dan doktrin lainnya, yang harus dijalankan dalam rangka memenuhi fiduciary duty oleh direksi perseroan terbatas. Menurut Abdul R Saliman, et.al, doktrin adalah merupakan salah satu sumber hukum [1],
dan dalam konteks hukum korporasi, harus pula diperhatikan oleh
direksi. Sejalan dengan diundangkannya UU Nomor 40 tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas (“UUPT”), yang merupakan transplantasi hukum Anglo Saxon
ke dalam hukum Indonesia, doktrin-doktrin modern tersebut juga
seyogianya dikandung di dalamnya. Jika memang doktrin ini dianut oleh
UUPT, maka kedua doktrin ini harus pula dipahami dan dijalankan oleh
direksi sebagai organ perseroan terbatas. Dengan demikian, masalah yang inheren ada dalam konteks pengambilan keputusan dapat dijawab dengan tepat.
BJR pada dasarnya merupakan tanggung jawab direksi terhadap para
pemegang saham atau pihak ketiga atau para pemangku kepentingan lainnya.
Menerapkan Doktrin ini berarti direksi memenuhi anggapan tertentu,
yaitu paling tidak, dalam melakukan pekerjaannya, direksi selalu
berusaha untuk memajukan perseroan untuk siapa mereka waliki dan
bekerja. Di balik itu semua, Doktrin ini di dalam sitem hukum di negara
asalnya dapat melindungi direksi dari tuntutan hukum, jika
ternyata keputusan bisnis yang diambilnya membawa konsekuensi kerugian
bagi korporasi, atau ada pihak yang merasa dirugikan. Perlindungan ini
dapat diberikan, jika dalam mengambil keputusan tersebut, direksi
memenuhi sejumlah persyaratan.
Menurut Hendra Setiawan Boen, BJR tidak sepenuhnya dapat diterapkan
di Indonesia. Alasannya adalah BJR dapat diterapkan, jika direksi
memiliki fiduciary duty. Dalam peseroan tertutup, kewenangan direksi ditentukan oleh pemegang saham, sehingga konsep fiduciary duty yang berlaku hanya bersifat statutory. Direksi perseroan terbuka berdasarkan UU No. 8 Tahun 1995 dan BUMN serta pejabat publik memiliki fiduciary duty, sehingga BJR dapat diterapkan [2].
Pendapat ini merupakan salah satu alasan pendorong, kenapa penelitian
ini dilakukan. Pertanyaannya adalah apakah benar, dari segi ilmu hukum,
bahwa doktrin ini tidak secara jelas dikandung dalam UUPT yang berlaku
di Indonesia.
Tambahan pula, senada dengan pendapat Hendra Setiawan Boen di atas, menurut Tri Budiyono, berbeda dengan doktrin piercing the corporate veil dan derivative action yang dikandung secara jelas, fiduciary duty dan BJR dirumuskan secara samar-samar dalam UUPT [3].
Masalah, yang dapat ditimbulkan apakah BJR benar-benar dikandung dalam
UUPT atau tidak, dapat berimplikasi terhadap tanggung jawab direksi.
Pada akhirnya, masalah tersebut dapat pula mempengaruhi kepastian dan
ketertiban hukum, yang diharapkan dari hukum korporasi di Indonesia.
Oleh karena itu, masalah kandungan BJR ini perlu ditelaah lebih jauh;
dan dipastikan bahwa UUPT yang saat ini berlaku mengandung secara penuh
dan pasti doktrin BJR tersebut [4].
B. Keputusan Bisnis
Menurut Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, bisnis atau business dalam
Bahasa Inggris diartikan sebagai suatu usaha dagang atau urusan atau
sebagai perusahaan komersial, profesi atau perdagangan yang didirikan
dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan [5].
Menurut Zaeni Asyhadie, secara luas, bisnis adalah kegiatan usaha
dijalankan oleh orang atau badan usaha atau perusahaan secara teratur
dan terus menerus, yang berupa kegiatan mengadakan barang atau jasa
maupun fasilitas untuk diperjualbelikan, atau disewakan dengan tujuan
memperoleh keuntungan [6]. Menurut Gunardi Endro, kriteria umum aktivitas dalam dunia bisnis adalah penyediaan barang dan jasa demi suatu pembayaran dengan uang, baik secara tunai maupun kredit [7].
Setiap bisnis merupakan ciptaan oleh yang mengusahakannya atau oleh
pengusaha atau pebinis, dan mereka menempatkan uangnya ke dalam bisnis
itu, serta mengambil risiko yang terkait dalam bisnis tersebut demi
memperoleh keuntungan yang diinginkan. Gunardi Endro menjabarkan
perkembangan bisnis, yang pada mulanya dalam bentuk sederhana, dan
dilakukan oleh orang perorang. Dalam perkembangannya, ketika menyadari
keterbatasan kemampuan individu dan manfaat untuk bekerja sama, semakin
banyak bisnis atau usaha dilakukan bersama-sama oleh sekelompok
individu, atau terkoordinasi dalam bentuk organisasi agar mencapai
tujuan atau keuntungan bersama [8].
Dalam rangka mengkoordinasi usaha bersama itu, timbulah konsep dan fungsi dasar manajemen, yang terdiri dari merencanakan atau planning, mengorganisasikan atau organizing, mengarahkan atau directing atau motivating, pengelolaan sumber daya manusia atau staffing, dan mengontrol atau controlling[9].
Manajemen yang efektif adalah yang dapat mencapai tujuannya melalui
seluruh kegiatan yang diperlukan secara kelompok yang kohesif, sehingga
terorganisir menjadi suatu entitas. Salah satu bentuk entitas itu adalah
perseroan terbatas [10].
Dalam menjalankan usahanya itu, pebinis atau perseroan harus
melakukan pengambilan keputusan dari waktu ke waktu. James M. Burns,
dalam terjemahan bebasnya, menjabarkan anatomi dari pengambilan
keputusan itu. Menurut beliau, pandangan klasik mengenai pengambilan
keputusan merupakan suatu proses yang teratur dan rasional. Persoalan
yang dihadapi didefinisikan dan diisolasi, informasi terkait
dikumpulkan, berbagai alternatif dikaji. Walaupun dalam mengambil
keputusan diperlukan sejumlah informasi, tetapi tidak seluruh informasi
yang diperlukan dapat diperoleh. Namun, secara filosofis dikatakan bahwa
“A man’s judgment cannot be better than the information on which he has based it”[11].
Oleh karena itu, keputusan hanya dapat diambil berdasarkan informasi
yang relevan dan cukup, yang harus diupayakan untuk diperoleh, dan
dicerna dalam rangka memilih alternatif yang terbaik. Keputusan yang
lebih baik dengan data yang lebih rinci akan dapat dicapai sebagai
akibat pengulangan keputusan yang pernah dibuat. Fungsi dari seorang
eksekutif (atau Direksi, pen) pada dasarnya merupakan spesialisasi dalam
pengambilan keputusan bagi organisasinya [12].
Tujuan pengusaha atau perseroan adalah untuk memaksimalkan
keuntungan, sejalan dengan tujuan dan usaha (perseroan). Namun, setiap
pencapaian keuntungan selalu dibayangi dengan risiko yang dihadapi.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan bisnis adalah identik dengan
mengambil risiko. Pada dasarnya, direksi memiliki tanggung jawab untuk
mengelola risiko itu [13].
Setiap usaha selalu mengandung risiko, baik risiko dalam memproduksi
barang atau jasa, atau berkaitan dengan struktur biaya produksi dan
harga penjualan, ataupun risiko yang ada dalam ruang lingkup berusaha,
seperti risiko pasar khususnya kompetisi yang harus dihadapi. Dari segi
makro, risiko bisnis juga tergantung pada arah perkembangan industri,
dan kemungkinan adanya perubahan perkembangan ekonomi di masa depan.
Risiko yang harus dihadapi, seperti kemungkinan adanya perubahan
dalam perekonomian di masa depan, menempatkan direksi untuk mengambil
keputusaan dalam keadaan ketidakpastian. Keterbatasan lain yang harus
dihadapi oleh direksi adalah masalah informasi yang tidak sempurna, dan
sumber daya yang terbatas. Bagi perseroan, direksi memiliki kewenangan
dalam menjalankan roda bisnis perusahaan. Direksi akan selalu
menghadapi masalah risiko bisnis yang dimaksud [14];
sehingga tidak ada jaminan bahwa keputusan yang diambilnya akan selalu
membuahkan hasil yang diharapkan. Di sini, risiko dapat diartikan
sebagai kemungkinan hasil yang diperoleh dari usaha atau bisnis atau
investasi yang dilakukan berbeda dengan yang diharapkan.
Esensi dari pertimbangan dan pengambilan keputusan bisnis adalah
menyeimbangan antara risiko yang akan dihadapi dengan pendapatan atau
keuntungan yang dapat diharapkan [15].
Dalam terjemahan bebasnya, Johneth Chongseo Park berpendapat bahwa
tujuan untuk memaksimalkan keuntungan harus mempertimbangan keuntungan
dengan risiko secara proporsional [16].
Risiko bisnis tidak selalu dapat diukur secara matematis, dan tidak
semata-mata berdasarkan informasi faktual baik yang bersifat kualitatif
maupun kuantitatif yang ada saat pengambilan keputusan. Orang yang
berpengalaman dalam suatu bisnis juga menggunakan nalurinya, atau hindsight dalam memahami besar kecilnya suatu risiko bisnis [17].
Kalaupun informasi yang diperlukan dapat diperoleh secara lengkap,
informasi tersebut perlu dipikirkan atau dicerna sebelum mengeluarkan
suatu sikap atau keputusan yang diperlukan.
Douglas M. Branson, dalam terjemahan bebasnya, berpendapat bahwa
keputusan bisnis sering menggunakan sentuhan dan perasaan yang tidak
dapat dibuktikan dengan analisis sistematik, dan sering tidak dapat
diraba atau tidak mudah dimengerti. Keputusan bisnis merupakan
penglihatan naluri atau yang menjelma menjadi perkiraan mengenai keadaan
kompetisi pasar, struktur biaya dan arah pertumbuhan industri dan
ekonomi. Pada akhirnya, beliau berpendapat bahwa keputusan bisnis
merupakan masalah sentuhan dan perasaan yang tidak mudah berpengaruh
terhadap analisis sistematik[18].
Stephen M. Bainbridge, dalam terjemahan bebasnya, menyebutkan bahwa
keputusan bisnis jarang sekali menyangkut persoalan yang bersifat hitam
atau putih. Tetapi, keputusan bisnis pada dasarnya berkaitan erat dengan
pertimbangan kehati-hatian di antara sejumlah alternatif yang dapat
diterima. Beliau menambahkan, sebagai tingkah laku dari bisnis, pilihan
yang diambil secara hati-hatipun di antara sejumlah alternatif yang ada
dapat membuahkan hasil yang buruk [19].
Walaupun seluruh ketentuan dan prosedur pengambilan keputusan telah
diikuti, tidak ada jaminan bahwa keputusan bisnis yang diambil seseorang
akan selalu membuahkan hasil yang positif, tetapi dapat juga
menimbulkan kerugian. S. Sundari Arie menyebut risiko seperti itu
sebagai risiko bisnis yang normal atau normal business risk [20].
Dalam perseroan terbatas, setiap keputusan yang diambil oleh direksi
merupakan keputusan perseroan, dan untuk kepentingan perseroan
semata-mata, serta sesuai dengan tujuan dan maksud perseroan sebagaimana
yang tertera atau berkaitan dengan anggaran dasar. Kewenangan direksi
ini tidak dapat diintervensi atau campurtangankan oleh para pemegang
saham atau pihak lainnya, karena unsur kepemilikan telah dipisah secara
jelas dengan kewenangan direksi.
Bahkan, keputusan itu harus dibuat secara independen, tanpa adanya
pengaruh dari siapapun, termasuk kepentingan setiap pribadi dari anggota
direksi. Karena UUPT menentukan bahwa tanggung jawab direksi bersifat
kolegial, maka keputusan direksi dapat dikatakan merupakan keputusan
kelompok, yang menunjukkan adanya konsensus dari seluruh anggota
direksi.
Sudah merupakan suatu kesimpulan umum bahwa keputusan yang diambil
oleh kelompok lebih baik dari keputusan yang dibuat secara individu.
Walaupun umumnya pengambil keputusan bersifat rasional, tetapi kemampuan
kognitif individu terbatas, atau disebut sebagai bounded rationality. Stephen
M. Bainbridge, dalam terjemahan bebasnya, mengemukakan hal ini
berdasarkan pengamatannya dari sejumlah penelitian, di antaranya yang
dilakukan oleh Blinder dan Morgan. Kesimpulannya adalah bahwa dua kepala
lebih baik dari satu kepala, sehingga lebih bijaksana untuk menugaskan
suatu komite untuk mengambil keputusan yang penting [21].
Alasannya adalah bahwa keputusan yang dibuat oleh kelompok dapat
mengatasi keterbatasan setiap individu dalam hal pengetahuan,
kepentingan, keahlian dan pengalaman; sehingga, dapat dikatakan bahwa
keputusan yang diambil merupakan hasil resultante, bahkan lebih
baik, dari jumlah yang dimiliki oleh seluruh anggota kelompok dalam
tersebut. Hal ini berlaku terutama bagi keputusan yang kompleks atau
rumit, dan memerlukan pertimbangan evaluatif. Alasan ini pula yang
menyebabkan Hukum Korporasi memberikan penekanan yang kuat pada
pengambilan keputusan secara kolektif [22].
Stephen M. Bainbridge, dalam terjemahan bebasnya, juga mengemukakan
penyimpangan atau bias yang dapat terjadi pada keputusan kelompok, yaitu
herd behavior atau sikap atau tingkah laku ikut-ikutan, dan groupthink
atau pendapat kelompok. Tingkah laku ikut-ikutan terjadi ketika
pengambil keputusan meniru tindakan yang diambil oleh sekelompok orang
lain, umumnya yang berada dalam suatu industri yang sama, pada suatu
saat tertentu. Keputusan ikut-ikutan ini mengabaikan informasi yang
dimiliki, dan pertimbangan sendiri yang berkaitan dengan baik-buruknya
keputusan yang diambil [23].
Pengambilan keputusan seperti ini pada dasarnya bersandar pada
keputusan orang banyak itu, atau dapat pula merupakan jawaban terhadap
adanya information asymmetries atau informasi yang tidak
seimbang, atau dalam menghadapi kompleksitas dan ketidakpastian yang di
hadapi terhadap masa depan. Walaupun keputusan itu membawa konsekuensi
yang tidak baik, tetapi beban reputasi terhadap pengambil keputusan akan
berkurang[24].
Menurut Stephen M. Bainbridge, dalam terjemahan bebasnya, keputusan
yang ikut-ikutan ini dapat dihindari, jika pengambil keputusan
menambahkan informasi baru dalam pertimbangannya, dan mengunakan
pengambilan keputusan kelompok, terutama jika dapat mengatasi masalah bounded rationality dengan lebih baik [25]. Keputusan kelompok juga dapat mengatasi kecenderungan individu yang memiliki keyakinan berlebihan atau overconfidence[26].
Stephen M. Bainbridge berpendapat, dalam terjemahan bebasnya, bahwa groupthink atau
pendapat kelompok terjadi dari keadaan kelompok yang sangat kompak,
atau ikatan sesama anggota yang sangat kohesive, dengan norma kerjasama
yang menilai konsensus lebih dari penilaian berbagai alternatif secara
realistik, sehingga merupakan jawaban terhadap ketegangan yang
ditimbulkan karena adanya tantangan terhadap solidaritas kelompok;
sehingga mendorong kelompok untuk memilih kebulatan suara, tetapi
mengorbankan kualitas pengambilan keputusan yang baik. Akibat terburuk
dari pendapat kelompok ini adalah gagal mengkaji alternatif yang ada,
gagal untuk memberikan kritik atau memberikan penilaian terhadap
pendapat anggota lainnya, dan dapat bersikap selektif terhadap informasi
yang akan digunakan [27].
Rapat di ruangan direksi cenderung menciptakan budaya groupthink,
karena pimpinan menggunakan wewenangnya untuk mengontrol arus
informasi, merestui konsensus, dan menjauhkan orang yang menimbulkan
masalah atau yang sering menunjukkan sikap yang tidak setuju terhadap
keputusan rapat. Masalah groupthink ini memerlukan kajian yang lebih dekat dari segi corporate governance [28].
Uraian di atas menunjukan bahwa dalam melakukan pengambilan keputusan
bisnis, direksi memerlukan suatu ruang lingkup di dalam mana
pertimbangan pribadi dapat dipergunakan, dalam rangka membuat keputusan
yang terbaik bagi perseoran.
C. Business Judgment Rule
Di dalam banyak literatur yang membahas mengenai Business Judgment Rule atau BJR, termasuk di dalam sistem hukum aslinya, common law atau anglo saxon, BJR itu disebut sebagai doktrin [29]. Doktrin adalah pendapat sarjana atau ahli hukum yang terkenal, dan digunakan sebagai salah satu sumber hukum [30]; dan yang besar pengaruhnya terhadap hakim dalam mengambil keputusan perkara [31].
Business Judgment Rule atau BJR sendiri diartikan sebagai
“keputusan bisnis”, dan bukan “pertimbangan bisnis” karena keputusan
identik dengan pertimbangan, tetapi pertimbangan mendahului suatu
keputusan. Tri Budiyono juga menterjemahkannya ke dalam pengertian yang
sama[32].
1. Latar Belakang BJR.
BJR merupakan suatu doktrin dari hukum korporasi, yang berawal dalam tahun 1829, di Supreme Court Louisiana dalam Sistem common law di Amerika. Dalam tahun 1853, Supreme Court Rhode Island menyatakan doktrin ini sebagai berikut [33]:
“We think a board of [d]irectors acting in good faith and with
reasonable care and diligence, who nevertheless falls into a mistake,
either as to law or fact, [is] not liable for a consequence of such
mistake”.
Doktrin ini merupakan jawaban terhadap risiko dan ketidakpastian yang
harus dihadapi direksi, ketika keputusan yang diambil dalam rangka
mengusahakan keuntungan bagi perseroan, kemudian ternyata tidak
membuahkan hasil yang diharapkan, atau menimbulkan kerugian bagi
perseroan. Jawaban ini memberikan ruang atau diskresi dalam membuat
kebijakan untuk menjalankan roda bisnis perusahaan dan membuat keputusan
yang diperlukan, dengan menggunakan kewenangan yang diberikan kepada
direksi berdasarkan anggaran dasar perusahaan. Eksistensi BJR adalah
untuk melindungi dan mempromosikan pelaksanaan yang bebas dan penuh dari
kewenangan pengelolaan yang diberikan kepada direksi, dalam Hukum
Korporasi Delaware [34].
Dalam sistem hukum tersebut, direksi bertanggung jawab untuk
mengawasi bisnis dan jalannya perusahaan. Untuk memenuhi tanggung jawab
itu, direksi berkewajiban untuk memenuhi fiduciary duty terhadap perusahaan dan konstituennya. Fiduacy duty ini terdiri dari duty of care, duty of loyalty, dan duty of good faith atau itikad baik.
2. Pengertian Business Judgment Rule (BJR)
Frasa BJR menggunakan kata judgment, bukan decision. Menurut Annette Greenhow, berbeda dengan kata decision, kata judgment
menunjukkan kandungan pengertian kolegalitas dari dewan direksi. Setiap
anggota direksi dapat memberikan pendapat atau pertimbangan terhadap
suatu usulan. Keputusan dari mayoritas anggota direksi adalah keputusan
direksi, dan keputusan satu orang anggota direksi tidak mengikat
perseroan. Setiap anggota direksi dapat menggunakan BJR, dan berhak
menyatakan tidak setuju terhadap keputusan direksi dengan mencatatnya
dalam notulen rapat [35].
Formulasi dari Business Judgment Rule (BJR) yang paling banyak
diterima oleh banyak negara bagian di Amerika adalah yang berasal dari
the American Law Institute, dan menyatakan bahwa [36]:
“A director or officer who makes a business judgment in good faith
fulfills the (duty of care) if the director or officer: 1). is not
interested in the subject of his business judgment; 2). is informed with
respect to the subject of the business judgment to the extent the
director or officer reasonably believes to be appropriate under
circumstances; and 3). rationally believes that the business judgment is
in the best interests of the corporation“.
Pada dasarnya, direksi adalah pihak yang dipilih untuk mewakili kepentingan pemegang saham, dan oleh karena itu memiliki fiduciary duty untuk kepentingan para pemegang saham [37]. Dalam kaitan ini, BJR berfungsi sebagai saringan untuk memastikan adanya atau tidak faktor kepentingan pribadi atau self dealing, atau penipuan [38]. Direksi, yang membuat keputusan bisnis dengan itikad baik dan memenuhi kewajiban untuk bertindak secara hati-hati atau duty of care, adalah
jika direksi yang bersangkutan tidak tertarik terhadap materi dari
pertimbangan bisnis itu, dan memiliki informasi yang memadai yang
diperlukan untuk pertimbangannya, serta secara rasional percaya bahwa
pertimbangan atau keputusan itu adalah yang terbaik bagi Perseroan, yang
terutama demi memaksimalkan keuntungan.
Black’s Law Dictionary memberikan definisi dari doktrin Keputusan Bisnis atau Business Judgment Rule (BJR), sebagai berikut [39]:
“The presumption that in making buisness decisions not involving
direct self interest or self dealing, corporate directors act on an
informed basis, in good faith, and in honest belief that their actions
are in the corporation’s best interest. The rule shields directors and
officers from liability for unprofitable or harmful corporate
transactions if the transactions were made in good faith, with due care,
and within the directors’ or officers’ authority”.
Pengertian di atas memberikan suatu titik tolak dari keberadaan BJR.
Titik tolak ini merupakan anggapan awal bahwa dalam membuat keputusan
bisnis, direksi tidak melibatkan kepentingan pribadi atau terkait dengan
self dealing, dan melakukannya berdasarkan informasi yang cukup,
dengan itikad baik, serta sejujurnya percaya bahwa direksi bertindak
demi semata-mata kepentingan perseroan (”anggapan BJR”). Ketentuan ini
memberikan perlindungan hukum bagi direksi yang bersangkutan, dari
tanggung jawab terhadap transaksi perseroan yang merugikan atau yang
berbahaya, sejauh direksi memenuhi tanggung jawab fiduciary atau fiduciary dutynya, dan dilakukan dengan itikad baik, berdasarkan informasi yang cukup, hati-hati atau due care, dan dalam kewenangan direksi [40].
Dalam perkara McMullin v Beran, 765 A.2d 910 (De, 2000), Mahkamah Agung Delaware berpendapat sebagai berikut [41]:
“The business judgment rule “operates as both a procedural guide
for litigants and a subtantive rule of law“. Procedurally, the initial
burden is on the shareholder plaintiff to rebut the presumption of the
business judgment rule. To meet that burden, the shareholder plaintiff
must effectively provide evidence that the defendant board of directors,
in reaching its challenged decision, breached any one of its “triad of
fiduciary duties, loyalty, good faith or due care“. Substantively, “if
the shareholder plaintiff fails to meet that evidentiary burden, the
business judgment rules attached“ and operates to protect the individual
director defendants from personal liability for making the board
decision at issue .
Pendapat di atas menjelaskan bahwa BJR berlaku sebagai hukum acara
untuk memberikan petunjuk bagaimana melakukan gugatan dan sebagai materi
kepastian hukum. Secara proseduril, beban awal berada pada pihak
pemegang saham penggugat untuk menolak adanya anggapan awal yang
dimaksud di atas. Untuk itu, pemegang saham penggugat harus
memberikan bukti bahwa direksi yang digugat, dalam membuat keputusan
yang sedang digugat, melanggar salah satu dari tiga serangkai fiduciary duties: loyalty, good faith, atau due care. Namun, dari segi materi atau secara substantive, jika
penggugat tidak berhasil memenuhi beban pembuktian yang diperlukan,
maka ketentuan BJR berlaku, dan dapat melindungi direksi yang digugat
dari tanggung jawab terhadap kerugian yang diakibatkan karena keputusan
yang diperkarakan itu.
Dalam Perkara Burt Vs Irvine Co, Pengadilan memberikan pernyataan yang lebih jelas berikut [42]:
“The rule exempting officers of corporations from liability for
mere mistakes and errors of judment does not apply where the loss is the
result of failure to exercise proper care, skill, and diligence.
Directors are not merely bound to be honest; they must also be diligent
and careful in performing the duties they have undertaken. They cannot
excuse imprudence on the ground of their ignogrance of inexperience, or
the honesty of their intentions; and, if they commit an error of
judgment through mere recklessness, or want of ordinary prudence and
skill, the corporation may hold them responsible for the consequence“.
Direksi dinyatakan bebas tidak bertanggungjawab terhadap kerugian,
yang ditimbulkan karena hanya melakukan kesalahan, tetapi tidak karena
kesalahan dalam membuat pertimbangan karena gagal menerapkan
kehati-hatian, keahlian dan sikap rajin. Direksi tetap bertanggungjawab
jika mereka melakukan kecerobohan, ketidak hati-hatian atas dasar lalai
karena tidak berpengalaman, seperti kehati-hatian dan keahlian yang
wajar diperlukan. Walaupun demikian, Pengadilan lebih lanjut menegaskan
bahwa [43]:
“Courts have properly decided to give Directors a wide latitude in
the management of the affairs of a corporation provided always that
judgment, and that means an honest, unbiased, is reasonably exercise by
them“.
Ruang lingkup kebebasan dalam mengelola bisnis perusahaan secara luas
diberikan oleh pengadilan kepada direksi, sejauh keputusan yang dibuat
mengandung kejujuran dan tidak bias, dan secara wajar dijalankan.
Pada intinya, pengadilan tidak memeriksa substansi dari keputusan
yang dibuat direksi dalam menjalankan bisnis perusahaan seperti yang
dinyatakan dalam kutipan berikut [44]:
“[W]here the money damages or equitable relief is sought, the
business judgment rule is a judicial policy of not reviewing the
subtantive merits of a board of directors’s business decisions for the
purpose of determining whether directors breached or fulfilled their
duty of care“.
Tetapi, sebaliknya, pengadilan akan memeriksa keputusan direksi yang digugat, dari sisi lain, yaitu [45]:
(a) Apakah keputusan itu mengandung penipuan, atau melanggar hukum, bersifat ultra vires, atau merupakan pemborosan atau waste.
(b) Dengan menggunakan standar pemeriksaan atau standard of review yang wajar, memastikan bahwa direksi memenuhi duty of care, apakah dilakukan dengan itikad baik; dan dilihat dari manfaat materiel, apakah keputusan itu berimplikasi pelanggaran duty of loyalty dari direksi.
Jika penggugat dapat membuktikan bahwa direksi seharusnya tidak
dapat diberikan perlindungan hukum BJR yaitu ketika, misalnya, direksi
memboroskan harta perseroan atau waste atau melanggar duty of care, atau mengambil uang perusahaan untuk kepentingan pribadi atau melanggar duty of loyalty, maka direksi harus membuktikan bahwa keputusannya itu dilakukan dengan itikad baik atau merupakan keputusan yang rasional [46].
3. Karakteristik BJR
BJR memiliki beberapa karakteristik, yaitu [47]:
Pertama, BJR diterapkan pada keputusan bisnis yang dibuat oleh
direksi dan pejabat korporasi, dengan menganggap apa yang mereka
lakukan adalah benar. Keputusan ini dibuat untuk kepentingan perusahaan
semata atau best interests of the corporation [48].
Kedua, BJR memerlukan pertimbangan atau keputusan.
Ketiga, BJR melindungi direksi dan pejabat korporasi dari
tanggung jawab jika melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan,
walaupun keputusan itu ternyata tidak sehat atau salah dan menjatuhkan.
Keempat, BJR memberikan batasan bagi pengadilan sehingga pengadilan akan bersifat netral, atau tidak melakukan dugaan kedua (second guess) atau mempertanyakan atau mempermasalahkan keputusan para direktur korporasi.
4. Persyaratan BJR
Pada dasarnya, BJR merupakan anggapan atau presumsi yang dapat
melindungi tindakan direksi (“anggapan BJR“) atau pejabat korporasi
sejauh syarat-syarat tertentu dipenuhi, yaitu[49]: pembuat keputusan bebas dari adanya benturan kepentingan (conflict of interest),
menerapkan kepedulian yang standar dengan menggunakan informasi
materiel yang memadai dalam membuat keputusan, dan memiliki dasar yang
rasional dalam mengambil keputusan tersebut.
Tambahan pula, keputusan yang diambil direksi harus masih berada dalam ruang lingkup kewenangannya dan tidak dinodai dengan managerial fraud atau self dealing[50], atau bukan merupakan gross negligent [51], atau sama sekali tidak terdapat faktor ketidakpedulian penuh atau a complete absence of care [52], tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan atau abuse of discretion [53], serta tidak melanggar hukum positif [54].
Mengenai gross negligence, Black’s Law Dictionary memberikan definisi berikut:
“(1) Lack of slight diligence or care, (2) A conscious,
voluntary act or omission in reckless disregard of a legal duty and of
the consequences to another party, who may typically recover exemplary
damages – Also termed reckless negligence, willful negligence, dstnya”.
Artinya tidak memiliki kepedulian yang sederhana, atau tindakan yang
dilakukan atas inisiatif sendiri dengan mengabaikan kewajiban hukum
sebagai konsekuensi terhadap pihak lain, yang umumnya dapat meminta
ganti rugi; juga dapat diartikan sebagai ketidakpedulian yang disengaja
atau ceroboh.
Menurut H. L. A. Hart, ketidakpedulian atau negligence akan bersifat keterlaluan atau gross,
apabila tindakan pencegahan yang harus diambil untuk mencegah kerugian
sangat sederhana; orang yang memiliki kapasitas mental atau phisik yang
kurang baik sekalipun dapat dengan mudah melakukannya [55].
5. Unsur-Unsur BJR
Di dalam sistem hukum asalnya [56], BJR disebutkan sebagai berikut:
“Business judgment rule is a specific application of this
directorial standard of conduct to the situation where, after a
reasonable investigation, disinterested directors adopt a course of
action which, in good faith, they honestly and reasonably will benefit
the corporation”[57].
Secara rinci, dalam BJR terdapat lima unsur pokok sebagai ukuran
untuk menentukan apakah perlindungan hukum dapat diberikan kepada
direksi atau tidak. Unsur pokok itu adalah sebagai berikut [58]:
1. Business Decision : BJR hanya dapat diterapkan dalam
konteks tindakan direksi, atau keputusan yang diambil merupakan tindakan
direksi, termasuk tidak mengambil keputusan sejauh keputusan untuk
tidak melakukan tindakan itu disadarinya.
2. Disinterestedness : Ketentuan BJR menekankan loyalitas
kepada perseroan yang tidak terbagi dan tidak mengandung kepentingan
pribadi, sehingga tidak terjadi konflik antara tugas dan kepentingan
pribadi. Dalam kata lain, syaratnya adalah “ketidaktertarikan” atau Disinterestedness. Untuk
menjaga integritas dari transaksi, direksi tidak boleh merasa tertarik,
atau tidak memiliki kepentingan keuangan pada transaksi yang akan
diputuskannya.
3. Due Care : Direksi harus melakukan usaha yang diperlukan
untuk memastikan dan mempertimbangkan seluruh informasi yang relevan.
BJR hanya melindungi “informed decision”, atau pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang relevan dan cukup. Di Delaware, ukuran yang dipakai adalah gross negligence.
4. Good Faith: Ini artinya bahwa motivasi dari tindakan
direksi secara murni, berdasarkan keinginan yang jujur dan dengan itikad
baik untuk menguntungkan pemegang saham perusahaan; tidak karena tujuan
lain seperti keuntungan pribadi. Tidak adanya kepentingan keuangan yang
signifikan menimbullkan anggapan adanya itikad baik. Namun, syarat
adanya itikad baik memerlukan penentuan secara ad hoc mengenai motif direksi dalam membuat keputusan bisnis yang kemudian dipersoalkan.
5. No Abuse of Discretion or Waste: Dipenuhinya seluruh
unsur di atas tidak berarti bawa pengadilan sama sekali dipinggirkan,
tetapi hakim tetap dapat memeriksa manfaat dari keputusan direksi, bukan
untuk menggantikannya; tetapi untuk semata-mata memastikan bahwa tidak
terdapat gross overreaching, atau an abuse of discretion, atau penyalahgunaan wewenang.
Seperti halnya dengan pengadilan lain di Amerika, pengadilan di Delaware juga menggunakan unsur-unsur yang sama tersebut [59]. Ditinjau dari pendapat Mahkamah Agung Delaware di atas, unsur-unsur ini dikelompokan menjadi tiga jenis dari fiduciary duty, yaitu loyalty, due care, dan good faith, dan disebut sebagai suatu tiga serangkai.
Ketiga unsur tersebut merupakan inti dari 5 unsur di atas; karena 2 unsur yang lain, yaitu Disinterestedness dan No Abuse of Discretion, kecuali Business Decision, berkaitan erat dengan fiduciaru duty, dan merupakan patokan tidak adanya benturan kepentingan atau conflict of interest, atau tidak adanya pengambilan kesempatan pribadi atau pelanggaran terhadap duty of loyalty. Jika salah satu dari unsur ini dilanggar, maka BJR tidak dapat digunakan untuk melindungi direksi.
Sebagai tambahan dalam perkembangan terakhir, Delaware menyatakan
bahwa direksi hanya bertanggungjawab untuk mempertimbangkan fakta-fakta
yang materil yang umumnya tersedia (reasonably available), bukan
fakta-fakta yang imateril yang berada di luar jangkauan direksi.
Sedangkan berapa banyak informasi yang dianggap cukup, dan bagaimana
informasi dikumpulkan apakah melalui mekanisme konsultan, komite, atau
laporan, juga merupakan pertimbangan bisnis[60]. Direksi berkewajiban dengan tingkat kepeduliannya (degree of care)
untuk mengumpulkan informasi, ketika dalam proses pengambilan
keputusan, yang membuat direksi dapat memilih alternatif menuju ke
keputusan yang akan diambilnya[61].
6. Itikad Baik, Duty of Good Faith
Menurut Andrew S, Gold, dalam terjemahan bebasnya, itikad baik atau duty of good faith merupakan konsep yang kabur, dan merupakan fitur dalam hubungan dengan hukum kontrak [62]. Namun, itikad baik dalam kaitan dengan fiduciary duty mengandung arti yang lebih luas. Sean J.Griffith berpendapat bahwa konsep itikad baik tidak terlepas dari pengertian duty of care atau duty of loyalty. Jika seseorang bekerja dengan baik dan memenuhi kewajiban fiduciarynya, maka dapat dikatakan orang itu bekerja dengan hati-hati atau secara prudent, dan berarti ia bekerja memenuhi duty of care-nya. Sebaliknya, jika orang itu bekerja dengan itikad baik, bukan mementingkan diri sendiri, maka dikatakan dia memenuhi duty of loyalty-nya [63].
Chancery Courts Delaware berpandangan bahwa itikad baik tidak dapat dipisahkan dari duty of loyalty, karena seseorang tidak dapat bertindak dengan itikad buruk, tetapi pada saat yang sama dia melakukan duty of loyalty
terhadap perusahaan dan para pemegang saham. Pemikirannya adalah bahwa
direksi tidak akan bertindak dengan kesetiaan terhadap perseroan,
kecuali bertindak dengan itikad baik dan tindakannya itu merupakan yang
terbaik bagi perusahaan. Pendapat lain mengatakan bahwa seorang fiduciary dapat bertindak dengan beritikad baik tetapi tidak loyal, dan dia tidak memiliki kepentingan keuangan dalam transaksi terkait [64]. Di sini, tidak loyal tidak selalu berarti terdapat kandungan kepentingan pribadi yang berkaitan dengan keuangan.
Itikad baik dapat pula dipandang sebagai komponen dari duty of care,
jika dilihat sebagai suatu kegagalan dari suatu proses. Ini artinya
perlu dilihat apa yang harus dilakukan, atau tidak dilakukan, dalam
rangka menghindari terjadinya kerugian [65].
Pendapat lain mengartikan itikad baik memiliki kandungan sikap
hati-hati, dan harus diartikan sebagai tindakan yang lebih dari
kecerobohan biasa, atau yang telah berdeviasi secara ekstrim dari norma
yang berlaku, sehingga telah merupakan gross negligence atau tindakan pemborosan atau waste [66].
Mahkamah Agung Delaware, dalam terjemahan bebasnya, menjelaskan pengertian itikad baik dalam 3 kategori perbuatan fiduciary atau fiduciary conduct, dan seluruhnya menyangkut perbuatan dengan itikad buruk, yaitu [67]:
Pertama, itikad buruk yang subjektif, yaitu perbuatan fiduciary
yang dilatarbelakangi dengan niat yang sesungguhnya untuk membahayakan
atau menimbulkan kerugian, dan Pengadilan menyimpulkan bahwa kategori
ini jelas merupakan pelanggaran terhadap kewajiban itikad baik atau duty of good faith;
Kedua, kategori ini menyangkut kurangnya sikap hati-hati atau duty of care – ’’suatu tindakan fiduciary yang dilakukan semata-mata karena sangat ceroboh atau gross negligence dan tanpa adanya niat jahat. Walaupun duty of care dan duty of loyalty berkaitan dan saling tumpang tindih, perbuatan yang sangat ceroboh atau grossly negligent conduct tidak berarti dan tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran fiduciary duty untuk berlaku dengan itikad baik; atau dalam kata lain, pelanggaran duty of care tidak secara otomatis merupakan suatu tindakan atau kealpaan atau omission yang berarti ’’tidak beritikad baik“. Walaupun duty of good faith berdempetan dengan duty of care dan loyalty, tetapi dalam pelaksanaan due care dan good faith harus dibedakan.
Ketiga, menyangkut penelantaran kewajiban yang disengaja, atau
mengabaikan kewajiban secara sadar, dan dapat dijelaskan melalui keadaan
berikut: ’’Direksi tidak memiliki benturan kepentingan, tetapi terkait
dengan tingkah laku buruk yang lebih bersifat jahat dan bukan merupakan
keadaan yang tidak memperhatikan atau gagal menggunakan informasi yang
mengandung kenyataan yang materiel yang diperlukan dalam pengambilan
keputusan.
Kewajiban untuk beritikad baik adalah tugas tambahan atau penunjang yang dikaitkan dengan duty of loyalty.
Pengadilan menjelaskan bahwa tanggung jawab berdasarkan itikad baik
adalah tidak langsung, yaitu kegagalan bertindak dengan itikad baik
tidak langsung dapat dikenakan pembebanan tanggung jawab. Namun, perlu
dimengerti bahwa duty of loyalty meliputi pengertian bahwa
seseorang gagal bertindak dengan itikad baik, walaupun seseorang tidak
memiliki benturan kepentingan keuangan atau yang dapat dilihat lainnya [68].
Pelanggaran terhadap duty of good faith, atau itikad buruk sebagai lawan dari itikad baik, terjadi jika direksi memiliki niat untuk melalaikan kewajiban atau duty-nya, atau secara sadar melalaikan kewajibannya. Dalam hal ini, itikad buruk terjadi, jika seorang fiduciary menyadari bahwa dia tidak bertindak demi kepentingan terbaik perusahaan, atau tidak konsisten dengan tanggungjawabnya [69].
Itikad buruk dapat juga diartikan sebagai tindakan yang menyetujui
suatu transaksi dengan tujuan bukan merupakan usaha yang murni untuk
memajukan kesejahteraan perseroan, atau ketika transaksi diketahui
melanggar hukum positif yang berlaku. Itikad buruk tidak dapat hanya
disebabkan karena kelalaian, tetapi mengabaikan tugas secara sistematis
dan terus menerus sudah dapat menunjukkan itikad buruk. Itikad buruk
juga dapat terjadi, jika direksi gagal secara sistematis dan terus
menerus melaksanakan tugas pengawasannya, dalam berupaya meyakini diri
adanya sistem pelaporan informasi secara memadai; namun, yang dilihat
disini hanya dari segi prosesnya, bukan substansi dari keputusan [70]. Lebih lanjut, Pengadilan dalam Perkara Disney menyatakan sebagai berikut [71]:
“Bad faith can be the result of any emotion [that] may cause a
director to [intentionally] place his own interests, preferences or
appetites before the welfare of the corporation, including greed,
hatred, lust, envy, revenge,…… shame or pride. Sloth could be certainly
be an appropriate addition to that incomplete list if it constitutes a
systematic or sustained shirking of duty”.
Menurut Hillary Sale, analisis dari itikad baik berfokus pada
pertanyaan akan niat, yang meragukan bahwa direksi bertindak dengan
itikad baik, ketika direksi tidak memperhatikan, menjungkirbalikkan,
mengabaikan, tanggung jawabnya, atau bertindak dengan sikap netral atau
tidak berpihak terhadap tanggungjawabnya [72]. Pendapat lain menambahkan bahwa tindakan yang sembrono merupakan batu ujian untuk menentukan pelanggaran duty of good faith;
atau tindakan dengan itikad buruk harus dikaitkan dengan adanya
motivasi yang tidak pantas atau tidak senonoh atau niat yang tidak halal
[73]. Salah satu kesimpulan dari Perkara Disney menyebutkan bahwa motivasi dari seorang fiduciary
untuk bertindak dengan itikad buruk dapat bersumber dari keserakahan,
kebencian, nafsu, rasa iri, pembalasan, rasa malu, atau rasa bangga.
Dari pengamatannya terhadap sejumlah keputusan pengadilan, dalam
terjemahan bebasnya, Douglas M. Bradson menyimpulkan, bahwa jika
direktur dengan sengaja menyimpan informasi materiel dan tidak
memberitahukannya kepada direksi lainnya, dengan tujuan menyesatkan
pemegang saham, dapat dianggap sebagai itikad buruk. Kesimpulan lain
yang beliau kemukakan adalah jika direksi hanya menyetujui, atau rubber stamped,
tanpa memberikan pertimbangan atau membuat keputusan terhadap keputusan
pemegang saham yang dominan, maka berarti direksi tidak berdiri secara
independen, dan oleh karenanya tidak memenuhi itikad baik yang
diperlukan [74].
Tindakan itikad buruk diartikan sebagai tindakan dengan niat tidak
untuk memajukan kepentingan perusahaan, tetapi untuk tujuan lain,
seperti bertindak dengan melanggar hukum positif, atau bertindak dengan
niat dihadapan tugas atau kewajiban yang diketahui untuk dilakukan yang
menunjukkan pengabaian terhadap kewajiban atau tugas itu. Tambahan pula,
jika seorang direktur tidak bertindak demi kepentingan terbaik
perusahaan, maka tidaklah relevan jika ia bertindak secara tidak patut.
Dalam keadaan seperti itu, dirasakan cukup untuk menyimpulkan bahwa
direksi memilih untuk tidak melayani perusahaan. Menurut Andrew S. Gold,
dalam terjemahan bebasnya, adanya tindakan itikad baik atau buruk
tergantung pada alam pemikiran subjektif dari direksi, yaitu
keyakinannya bahwa tindakannya adalah untuk kepentingan terbaik
perusahaan; direksi dengan hati yang bersih dan kepala yang kosong tidak
dipertanggungjawabkan berdasarkan formulasi di atas[75].
Menurut Andrew S. Gold, dalam terjemahan bebasnya, kategori tindakan
dengan itikad buruk meliputi menghindari semangat untuk melakukan
trasaksi atau kontrak yang adil, kurangnya sikap hati-hati, sombrono,
hanya menekankan kinerja yang “menonjol” atau hanya yang dapat dilihat,
menyalahgunakan kewenangan dalam memenuhi kepatuhan, melakukan
intervensi atau gagal untuk bekerja sama dengan pihak lain [76].
Dalam Perkara Caremark, formulasi yang dikemukakan oleh
Pengadilan mengenai adanya itikad buruk, jika terdapat kegagalan yang
sistematis atau terus menerus untuk melakukan tugas pengawasan sebagai
suatu kegagalan yang gamblang untuk meyakini adanya informasi yang
memadai dan sistem pelaporan yang diperlukan. Di sini, kembali yang
dilihat adalah proses yang digunakan direksi, yaitu keadaan mental yang
menunjukkan bahwa direksi tidak menggunakan proses pengumpulan informasi
yang memadai. Dalam Perkara ini, terdapat laporan dari konsultan
independen yang menyatakan bahwa Direksi AmSouth dalam berbagai
kesempatan telah mengeluarkan kebijakan dan prosedur, yang dirancang
untuk memastikan kepatuhan terhadap Hukum Kerahasian Bank dan Anti
Pencucian Uang. Oleh karena itu, Pengadilan berpendapat bahwa penggugat
tidak dapat menunjukkan adanya keraguan yang beralasan untuk
mempertanyakan apakah direksi telah bertindak dengan itikad baik [77].
Dalam perkembangan terakhir, dalam terjemahan bebasnya, Mahkamah Agung Delaware berpendirian bahwa itikad baik merupakan fiduciary duty yang berdiri sendiri, dan terlepas dari pengertian duty of care dan duty of loyalty. Di sini, pengertian itikad buruk mencakup keadaan seorang fiduciary bertindak sangat bodoh atau keterlaluan, sehingga merupakan tindakan yang lebih jauh dari gross negligence, tanpa harus memenuhi pengujian ada atau tidaknya benturan kepentingan. Gross negligence
sendiri menunjukkan adanya tindakan yang tidak rasional, dan juga
berimplikasi pengabaian terhadap tanggung jawab sebagai Direksi dan
bernilai kesengajaan.
Sebagai kesimpulan, Robert Sprague dan Aaron J. Lyttle dalam terjemahan bebasnya menegaskan, bahwa pelanggaran duty of good faith
secara khusus dapat ditunjukkan dengan: (1) adanya tindakan yang
disengaja dengan tujuan bukan demi kepentingan terbaik perusahaan, (2)
pelanggaran yang disengaja terhadap hukum yang berlaku, atau (3) dengan
sengaja gagal untuk bertindak dihadapan kewajiban yang diketahui untuk
bertindak, sehingga menunjukkan pengabaian terhadap kewajiban yang
disadari. Itikad buruk dapat ditunjukkan apabila seorang fiduciary
sengaja gagal untuk bertindak dihadapan kewajiban yang diketahui untuk
bertindak, sehingga menunjukkan pengabaian terhadap kewajibannya [78].
7. Duty of Care
Sebagai standar tingkah laku, due care merupakan prasyarat dari BJR, dan digunakan sebagai dasar pemeriksaan apakah direksi memenuhi standar tingkah laku [79].
Direksi yang bertindak dengan itikad baik diartikan tidak memiliki
kepentingan pribadi, dan tugas berikutnya adalah bertindak dengan
hati-hati [80]. Esensi yang penting dari duty of care adalah sikap hati-hati atau prudent, dengan ukuran bertindak seperti seorang biasa yang hati-hati dalam mengurus urusannya sendiri [81].
Menurut Douglas Bradson, dalam terjemahan bebasnya, standar
kehati-hatian yang digunakan tetap berupa kehati-hatian yang layak, due care. Dalam hukum Korporasi, due care ini adalah bahwa direksi harus melaksanakan tugas kewajiban atau duty itu
“dengan kehati-hatian sebagaimana orang biasa yang hati-hati di posisi
yang sama akan menerapkan dalam keadaan yang sama“. Ini artinya direksi
melakukan kontrol terhadap perusahaan dengan menerapkan kehati-hatian
yang digunakan oleh orang biasa dalam melaksanakan tindakannya sendiri [82].
Hal itu dapat pula berarti bahwa direksi bertindak secara proaktif,
dalam membuat pertimbangan atau keputusan, atau dengan keputusan yang
disadari untuk tidak melakukan tindakan apa-apa, sehingga jelas
betentangan dengan kelalaian penuh [83].
Duty atau kewajiban yang harus dilakukan oleh direksi dalam konteks standard of care meliputi tugas melakukan monitoring, tugas bertanya, tugas untuk mengambil keputusan yang wajar dan prudent
mengenai hal-hal dimana direksi wajib untuk memilih untuk bertindak,
dan tugas untuk menggunakan proses pengambilan keputusan yang wajar. Ini
artinya seseorang harus memilih berbagai alternative dari proses
pengambilan keputusan yang terbaik bagi dirinya. Dalam konteks hukum
korporasi, alternatif yang terbaik dipilih, jika menghasilkan manfaat
yang terbesar bagi perusahaan, atau dalam rangka memaksimalkan
keuntungan bagi perusahaan [84].
Jika proses pengambilan keputusan itu sehat, pengadilan akan
memeriksa keputusan bisnis dalam rangka melakukan verifikasi hubungan
antara proses dan hasil keputusan. Di sini, pengadilan melihat apakah
keputusan bersifat rasional sebagai hasil dari proses pengambilan
keputusan yang dilakukan, atau apakah terdapat hubungan yang rasional
antara proses pengambilan keputusan dengan keputusan yang dibuat. Jadi,
pengadilan tidak mengkaji substansi dari keputusan itu; tetapi jika
prosesnya tidak baik atau cacat, maka terlepas dari kualitas keputusan
yang dibuat, maka direksi dapat dinyatakan bertanggung jawab atas
kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat yang berdekatan dengan tindakan
yang tidak hati-hati itu [85].
Kewajiban untuk bertindak dengan hati-hati atau duty of care
menuntut direksi untuk membuat keputusan bisnis, melalui suatu proses
pengambilan keputusan, dengan tingkat kehati-hatian yang umumnya
digunakan oleh orang biasa dalam keadaan yang sama dengan
mempertimbangkan infomasi materiel yang tersedia secara wajar.
Menggunakan informasi yang cukup dalam pertimbangan untuk membuat suatu
keputusan merupakan usaha itikad baik yang diperlukan dalam melakukan duty of care [86].
Dalam hal ini, Douglas M. Bradson, dalam terjemahan bebasnya
berpendapat, bahwa direksi bertanggungjawab untuk mempertimbangkan
seluruh fakta materiel yang secara wajar tersedia, bukan infomasi yang
imaterial yang di luar jangkauan. Beliau mengatakan bahwa ketersediaan
informasi secara wajar itu tidak dapat bersifat subjektif secara
keseluruhan, tetapi juga bersifat objektif [87].
Mengenai informasi yang materiel yang digunakan, ukurannya adalah
bersifat subjektif, sejauh direksi dalam mengambil keputusan yakin bahwa
mereka memiliki informasi yang cukup, yang tergantung pada sifat dan
kompleksitas keputusan yang dibuat. Dari segi objektif, direksi perlu
mengetahui alasan untuk melakukan suatu transaksi bisnis, dampak dari
transaksi itu terhadap para pemangku kepentingan, pandangan manajemen
terhadap harga dan faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi harga, dan
kewajaran dari transaksi itu [88].
Jika penggugat dapat membuktikan bahwa direksi tidak bertindak dengan due care, dalam arti kelalaian atau nonfeasance atau penyalahgunaan wewenang atau misfeasance, maka sudah dapat dinyatakan melanggar duty of care.
Lebih lanjut, jika tidak dapat bebas dari tuntutan, maka direksi harus
bertanggungjawab terhadap seluruh ganti rugi sebagai akibat terdekat
atau proximately cause dari tindakan itu [89].
8. Duty of Loyalty
Kewajiban atau duty ini merupakan salah satu dari fiduciary duty dan, dalam formulasi yang sederhana, dapat diartikan sebagai kewajiban yang tidak mementingkan diri sendiri atau duty of unselfishness dan bukan merupakan self dealing. Dalam hal pengambilan keputusan, duty of loyalty
menuntut direksi untuk membuat keputusan atau bertindak demi
kepentingan pemegang saham, atau kepentingan konstituen, bukan untuk
diri pribadinya [90]. Contoh dari self dealing
adalah menyangkut direksi muncul di dua sisi dari suatu transaksi atau
menerima keuntungan pribadi dari suatu transaksi yang tidak diterima
oleh pemegang saham korporasi [91].
Secara tradisional, unsur duty of loyalty adalah tidak adanya
benturan kepentingan dalam bentuk manfaat keuangan. Jika benturan
kepentingan ini terjadi, maka yang digugat harus membuktikan bahwa
transaksi terkait yang dilakukannya itu bernilai jujur dan wajar [92]. Pelanggaran duty of loyalty bukan dilihat dari prosesnya, tetapi dari hasilnya[93]. Oleh karena itu, esensi yang utama dari duty of loyalty adalah kesetiaan terhadap perseroan, dengan ukuran meletakkan kepentingan perusahaan di atas kepentingan pribadi [94].
Sean J. Griffith, dalam terjemahan bebasnya, menjelaskan mengenai duty of loyalty lebih jauh. Kewajiban ini mulai dipertanyakan ketika muncul benturan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sebagai fiduciary,
yang berkaitan dengan mengarahkan arus kas atau kesempatan investasi,
atau penggunaan aset perusahaan dengan mengutamakan kepentingan atau
reputasi pribadi, bukan untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan.
Ketika direksi mengambil kesempatan ini untuk kepentingan pribadi,
sering dilakukan dengan menggunakan prosedur yang baku. Pada dasarnya, duty of loyalty ditentukan dengan menjawab pertanyaan apakah transaksi itu menguntungkan perusahaan, dan dilakukan secara terbuka, atau at arms length [95].
D. Unsur-Unsur BJR dalam UUPT
Untuk memastikan bahwa UUPT mengandung Keputusan Bisnis atau BJR,
perlu diperiksa dengan cermat apakah UUPT mengandung unsur-unsur BJR.
Berikut ini adalah pembahasan dalam rangka mengkaji adanya unsur-unsur
tersebut.
1. Fiduciary Duty
a. Pengertian Umum
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian duty dan fiduciary duty sebagai berikut [96]:
“Duty: A legal obligation that is owed or due to another and that
needs to be satisfied; an obligation for which somebody else has a
corresponding right”.
“Fiduciary duty: A duty of utmost good faith, trust, confidence,
and candor owed by a fiduciary (such as a lawyer or corporate officer)
to the beneficiary (such as a lawyer’s client or a shareholder); a duty
to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another
person and in the best interests of the other person (such as the duty
that one partner owes to another)”.
Kata fiduciary sendiri mengandung dua makna, yaitu kepercayaan dan keyakinan [97]. Pengertian di atas menunjukkan bahwa fiduciary duty
adalah suatu tugas atau kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh
seseorang untuk mana orang lain memiliki hak untuk itu, yang berdasarkan
atas itikad baik, kepercayaan, keyakinan dan kejujuran, yang paling
tulus yang harus diberikan oleh seorang yang dipercaya sepenuhnya demi
kepentingan pihak lain, yang memberikan kepercayaaan itu.
Fiduciary relationship dalam terjemahan bebasnya berarti bahwa
seseorang memiliki kewajiban untuk bertindak demi kepentingan pihak
lain, dalam hal-hal yang berkaitan dengan ruang lingkup hubungan itu.
Hubungan tersebut dapat muncul dari salah satu keadaan berikut: a).
ketika seseorang meletakkan kepercayaan berdasarkan integritas yang
tulus dari orang lain, yang sebagai akibatnya memiliki kelebihan atau
pengaruh terhadap yang pertama; b). ketika seseorang menjalankan
pengawasan dan tanggung jawab terhadap orang lain; c). ketika seseorang
memiliki kewajiban untuk memberikan nasehat kepada yang lain dalam
kaitan dengan hubungan itu; d). atau apabila adanya hubungan yang khusus
secara tradisional atau kebiasaan menyangkut adanya fiduciary duties [98].
Pada umumnya, fiduciary duty terbentuk, ketika suatu pihak
diberikan kewenangan diskresi yang berkaitan dengan properti atau sumber
daya yang penting dari pihak lain. Dalam pengertian yang lebih luas,
seorang fiduciary harus bertindak dengan tidak mementingkan diri sendiri, tetapi untuk kepentingan pihak lain itu atau beneficiary; dan dipandang sebagai implikasi dari ketentuan perjanjian yang mengatur diskresi untuk bertindak [99].
b. Fiduciary Duty dalam UUPT
UUPT menyebutkan bahwa direksi ditunjuk oleh perseroan melalui RUPS.
Keberadaan direksi sebagai organ badan hukum timbul karena terbentuknya
badan hukum itu. Direksi perseroan berwenang dan bertanggungjawab penuh
atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan (Pasal 1 dan
Pasal 92 Ayat 1 UUPT), dan berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana
dimaksud pada Pasal 92 ayat 1 UUPT, sesuai dengan kebijakan yang
dianggap tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UUPT atau anggaran
dasar (Pasal 92 ayat 2 UUPT). Pasal 98 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa
direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Seluruh ketentuan tersebut menunjukkan adanya ketergantungan
perseroan terhadap direksi. Antara direksi dan perseroan terdapat suatu
ikatan hubungan, karena tanpa direksi, maka maksud dan tujuan serta
usaha perseroan tidak akan tercapai. Sebaliknya, tanpa adanya perseroan,
direksi tidak akan ada. Menurut Fred B. G. Tumbuan, seperti yang
dikutip oleh Rachmadi Usman, hubungan kedua pihak ini merupakan hubungan
kepercayaan atau fiduciary relationship, yang melahirkan fiduciary duties bagi direksi [100].
Menurut Ridwan Khairandy, badan hukum PT dalam melakukan perbuatan hukum selalu harus melalui pengurus atau direksinya [101].
Badan hukum itu tidak dapat berfungsi tanpa keputusan yang diambil dan
tindakan yang dilakukan direksi dalam rangka mencapai tujuan perseroan;
sehingga perseroan sangat tergantung pada direksi tersebut. Secara
teoretis, penunjukan ini telah membentuk hubungan fiduciary
antara perseroan dengan direksi, sebagai salah satu keadaan yang
digambarkan dalam pengertian di atas. Direksi diberikan tanggung jawab
penuh untuk menjalankan usaha dan mengelola harta dan sumber daya
perseroan untuk kepentingan perseroan. Di sini jelas terlihat bahwa
direksi memiliki kapasitas dan tugas fidusia.
Secara langsung atau tidak langsung, tugas yang harus dilakukan oleh
direksi itu adalah untuk kepentingan perseroan, dan mengandung tingkat
kepercayaan yang tinggi yang dapat diberikan oleh perseroan, serta
secara tidak langsung oleh pemangku kepentingan. Selain itu, direksi
juga harus memperhatikan kewajiban hukumnya terhadap perseroan, dengan
mengambil keputusan dan bertindak secara hati-hati, sehingga tidak
merugikan perseroan atau pemangku kepentingan lainnya, dan menghindari
diri dari perbuatan yang melanggar hukum, atau tidak mengikat perusahaan
dalam perikatan yang tidak seimbang atau tidak adil.
Pasal 61 Ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa, “Setiap pemegang saham
berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan karena tindakan perseroan
yang dianggapnya tidak adil dan tanpa alasan yang wajar sebagai akibat
keputusan RUPS, direksi dan/atau dewan komisaris”. Direksi tidak dapat
melakukan kesalahan atau kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian bagi
perseroan seperti yang disebutkan dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT, atau
dapat pula diartikan sebagai keadaan yang merupakan salah urus atau mismanagement.
Untuk itu, direksi dituntut untuk memiliki tingkat integritas,
loyalitas, kejujuran, dan kemampuan profesionalisme di bidangnya yang
tinggi; sehingga direksi merupakan pihak yang bonafide bagi perseroan.
Karena direksi berada pada posisi untuk mengontrol aset perusahaan, direksi akan melanggar fiduciary duty,
jika: (a) menggunakan untuk kepentingan pribadi informasi yang
diperoleh dalam kapasitasnya sebagai direksi, (a) melepas aset
perusahaan pada harga yang rendah dengan tujuan lain dari menguntungkan
perusahaan, dan (c) mengambil kesempatan yang datang untuk perusahaan
untuk kepentingan pribadi [102].
Perbedaannya dengan konsep trustee terletak pada hukum trust, dan trustee tidak mengambil risiko. Tetapi, fiduciary
yang berlaku pada perusahaan atau bank, direksi mengambil risiko
bisnis, atau risiko kredit ketika memutuskan pemberian kredit bagi para
debitor. Derek French (et.al) menekankan bahwa masalah pengambilan risiko merupakan isu sentral dalam hukum trust (karena tidak mengambil risiko, pen), tetapi bukan pada hukum fiduciary. Dalam hukum fiduciary, yang penting bagi fiduciaries adalah menghindari diri dari penggunaan wewenang atau diskresi dalam cara yang merugikan untuk siapa dia bekerja, dan dari penyalahgunaan kepercayaan dan keyakinan yang diberikan kepadanya [103]. Setiap direktur perusahaan memiliki fiduciaries duties terhadap perusahaan dan pemegang sahamnya, yang meliputi itikad baik, duty of care, loyalty dan candor [104].
Try Widiyono berpendapat bahwa fiduciary duty menyangkut seluruh tugas direksi, untuk mana direksi harus mempunyai duty of care and skill, itikad baik, kejujuran, dan loyalitas kepada perseroan. Sedangkan duty of care mengharuskan direksi bersikap hati-hati, yang artinya mengikuti prosedur yang berlaku dengan pertimbangan rasional [105].
2. Diskresi untuk Membuat Keputusan Bisnis dalam UUPT.
Pasal berikut berkaitan erat dengan diskresi yang diberikan oleh UUPT kepada direksi.
Pasal 92 ayat (2) UUPT berbunyi:
“Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar“.
Berdasarkan Pasal di atas, Munir Fuady berpendapat bahwa doktrin
keputusan bisnis atau BJR secara lebih tegas diakui dalam UUPT. Menurut
beliau, pernyataan yang berbunyi bahwa direksi berwenang menjalankan
pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dipandangnya tepat, yang sesuai
dengan keahlian yang dimiliki, peluang yang tersedia, dan kelaziman
dalam dunia bisnis [106].
Frasa ‘kebijakan yang dianggap tepat’ menunjukkan bahwa dalam
menjalankan usaha perseroan, direksi memiliki diskresi yang diperlukan
dalam membuat keputusan sejauh masih dalam koridor hukum, dan sesuai
dengan yang ditentukan dalam anggaran dasar, yang antara lain sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan. Ini artinya unsur pertama BJR, yaitu
keputusan bisnis atau usaha, dipenuhi oleh UUPT.
Pasal 92 ayat (1) dengan jelas menyatakan mengenai kewenangan
direksi, bahwa dalam menjalankan pengurusan perseroan harus untuk
kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.
Untuk itu, Pasal 92 ayat (2) menyebutkan bahwa direksi berwenang
menjalankan pengurusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang ditentukan dalam
UUPT dan anggaran dasar.
Ayat ini memberikan kewenangan diskresi, yang merupakan ruang bagi
direksi dalam membuat pertimbangan dan keputusan yang dianggap tepat,
yang diperlukan dalam menjalankan kepengurusan perseroan. Menurut Nindyo
Pramono [107],
frasa “kebijakan yang dianggap tepat” adalah kebijakan yang antara lain
didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam
usaha yang sejenis. Kelaziman ini tidak memiliki ukuran yang standar,
kecuali melalui pendapat umum yang dapat diperoleh dari sesama pelaku
bisnis dalam bidang usaha yang sama. Di sini, Rudhi Prasetya
berpendapat, seperti yang dikutip oleh Neni Sri Imaniyati, bahwa ruang
lingkup kewenangan direksi itu dibatasi oleh asas kepantasan. Sejauh
kepengurusan dijalankan dalam batasan ini, direksi tidak dapat dikatakan
melanggar otonomi yang diberikan [108].
Menurut Nindyo Pramono, secara yuridis, ukuran kepantasan itu berarti
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, itikad baik,
kepatutan, kebiasaan atau undang-undang dan tidak melanggar hukum. Di
samping itu, Nindyo Pramono mengatakan bahwa kebijakan yang dipandang
tepat adalah kebijakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi
perseroan, kebijakan yang berguna bagi kepentingan perseroan [109].
Pendapat tersebut didukung oleh Ali Rido, yang mengatakan bahwa
kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh direksi dalam batas-batas
wewenangnya dan mengikat badan hukum, sejauh tindakan itu kemudian
menguntungkan badan hukum [110].
Menurut Nindyo Pramono lebih lanjut, UUPT sendiri memberikan
kelonggaran untuk menjabarkannya kepentingan praktik baik secara sempit
ataupun secara luas, sejauh hal itu sesuai dengan norma-norma kelaziman
dalam dunia usaha sejenis [111].
Walaupun direksi merupakan wakil dari badan hukum, tetapi menurut Ali Rido perwakilan itu bukan merupakan pemberian kuasa [112].
Menurut Pasal 1796 KUH Perdata, pemberian kuasa yang dirumuskan dalam
kata-kata umum hanya berlaku untuk perbuatan-perbuatan pengurusan atau
pengelolaan saja atau tot daden van beheer, dan tidak termasuk dalam perbuatan penguasaan atau tot daden van beschikken.
Pasal 1795 dan 1796 KUHPerdata tidak berlaku bagi perwakilan badan
hukum, dan bagi pengurusnya dapat melakukan kedua macam perbuatan
pengurusan itu, termasuk pengurusan penguasaan seperti menjual,
menyewakan, menggadaikan dan lain sebagainya, jika anggaran dasarnya
tidak mengandung ketentuan yang mengatur perbuatan tersebut [113]. Dalam hal penguasaan atau beschikking van daden,
biasanya dirumuskan dalam anggaran dasar dengan kaedah larangan; dan
apabila tidak dirumuskan di dalam anggaran dasar, maka itu berarti
merupakan perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup pengurusan, dan
biasa dilakukan sehari-hari oleh direksi [114].
Contoh untuk perbuatan beschikking van daden dapat dengan
jelas dilihat dari ketentuan Pasal 102 ayat (1), yang menetapkan
direksi wajib untuk meminta persetujuan RUPS, dalam hal: (1) mengalihkan
kekayaan perseroan, (2) menjadikan jaminan utang kekayaan perseroan,
yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih
perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu
sama lain maupun tidak.
Uraian di atas menunjukkan dua hal yang berkaitan antara yang satu
dengan yang lain, yaitu antara tanggung jawab dengan wewenang. Menurut
Winardi, seperti yang dikutip oleh Nindyo Pramono, tanggung jawab adalah
kewajiban seorang individu, atau dalam hal ini direksi, untuk
melaksanakan aktivitas yang ditugaskan kepadanya sebaik mungkin, sejalan
dengan kemampuannya, yang akan berlangsung terus sampai tugas itu
selesai dilaksanakan. Menurut Nindyo Pramono, kedua hal tersebut
memiliki tingkat yang sama, artinya wewenang diberikan dan dilaksanakan
dengan tanggung jawab penuh untuk melaksanakan pengurusan perseroan, dan
tanggung jawab diberikan sesuai dengan wewenang[115].
Dalam perseroan, wewenang direksi memberikan kepadanya kekuasaan
untuk membuat dan menjalankan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan
bidang tugasnya yang telah ditetapkan [116].
Tanggung jawab terhadap tugasnya itu menimbulkan kewajiban baginya
untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan menggunakan wewenang yang
ada untuk mencapai tujuan perseroan [117].
Hal ini tercakup dalam Pasal 97 ayat (1), dan ayat (2) menyebutkan
bahwa pengurusan yang dimaksud dilakukan dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab, dan seterusnya.
3. Duties of Skill & Care, Loyalty and Candor
a. Pengertian Duty of Skill & Care
Black’s Law Dictionary memberikan definisi dari duty of care berikut [118]:
“Under the law of negligence or of obligation, the conduct
demanded of a person in a given situation. Tipically, this involves a
person’s giving attention both to possible dangers, mistakes, and
pitfalls and to way of minimizing those risks”.
Pengertian di atas dalam terjemahaan bebasnya adalah bahwa standar
kehati-hatian mewajibkan seseorang untuk bertindak dalam keadaan
tertentu, untuk memperhatikan segala kemungkinan yang ada seperti
bahaya, kesalahan, dan perangkap sehingga dapat meminimalkan risiko yang
mungkin dihadapi [119].
Dari segi hukum, duty of care dikembangkan pada awalnya oleh
Lord Atkin dari perkara Donoghue Vs Stvenson, yang menyatakan bahwa
“anda harus melakukan kehati-hatian yang wajar agar menghindari tindakan
atau omission atau kealpaan yang dapat anda perkirakan akan membahayakan tentangga anda”. Duty of care
merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang untuk bertindak secara
hati-hati, sehingga tidak membahayakan atau merugikan pihak lain. Duty of care
dapat pula dianggap sebagai formalisasi dari tanggung jawab yang ada
berdasarkan kontrak, atau perjanjian, atau terhadap publik [120].
Sejalan dengan pernyataan dari Lord Atkin di atas, duty of care sebagai ex ante
berdasarkan prinsip perkiraan atau yang dapat diperkirakan, dan hanya
berlaku bagi orang yang berada secara dekat, dan secara langsung, dapat
merasakan akibat dari tindakan orang lain yang harus diperhitungkan
oleh pelaku. Jadi, kewajiban kehati-hatian atau duty of care
adalah unsur yang esensiel yang harus terlebih dahulu dipenuhi, sebelum
seseorang dapat dinyatakan bertanggung jawab atas kelalaiannya [121].
Arti dari ‘skills and care’ seperti yang dijelaskan oleh the Insolvency Act 1985 adalah pada intinya mengandung harapan yang sejalan dengan keahlian atau skill, kualifikasi, dan pengalaman dari suatu tingkat direktur tertentu. Oleh karena itu, tingkat skill
yang lebih tinggi diharapkan dari seorang direktur keuangan yang
profesional dibandingkan dengan direktur non eksekutif lainnya. Standar
yang digunakan mensyaratkan direksi, baik secara individu dan secara
kolektif, memperoleh dan memiliki pengetahuan dan pengertian yang cukup
mengenai bisnis dari perusahaan, sehingga mereka dapat menjalankan
tugas–tugasnya secara tepat sebagai direksi.Tingkat dari duty ini
tergantung pada posisi direksi yang bersangkutan di dalam rantai
manajemen dan tugas serta tanggung jawabnya dalam peranan tersebut [122].
b. Pengertian Duty of Loyalty.
Duty of loyalty merupakan bagian yang penting dari fiduciary duty, dan lebih penting dari duty of care [123]. Duty of loyalty mengharuskan seorang fiduciary
untuk selalu menyesuaikan tingkah lakunya secara terus menerus untuk
menghindari tingkah laku yang mementingkan diri sendiri, yang merupakan
tindakan yang salah terhadap beneficiary [124].
Duty of loyalty adalah kewajiban seseorang dalam kedudukannya sebagai seorang direksi untuk tidak terlibat dalam kegiatan yang merupakan self dealing, atau menggunakan kedudukannya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan untuk siapa dia bekerja. Intinya, duty of loyalty melarang adanya unsur ketidaksetiaan atau faithlessness, dan self dealing [125].
Duty of loyalty mengandung dimensi tanpa pengkhianatan dan
aspek pengabdian yang positif, yang bukan hanya menjaga untuk tidak
membahayakan perseroan, tetapi menuntut direksi untuk memajukan
perusahaan. Ini juga berarti duty of loyalty menjauhkan tindakan yang salah atau wrongdoing, benturan kepentingan, dan ketidakjujuran yang disengaja [126].
Dalam perkembangannya, dilihat dari keputusan pengadilan dalam Perkara Stone Vs Ritter, definisi dasar duty of loyalty adalah kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik dalam rangka mengutamakan kepentingan atau the best interest
dari perusahaan; juga dipandang sebagai kewajiban yang lebih luas dari
sekedar menghindar dari tindakan mengambil keuntungan pribadi [127].
Duty of loyalty juga berarti menghindar dari tindakan dengan
tujuan yang ilegal, yang memerlukan direksi berusaha dengan itikad baik
untuk mengawasi jalannya perusahaan sesuai dengan hukum. Pengadilan
dapat meminta pertanggungjawaban direksi yang independen yang dinyatakan
gagal dalam melakukan kewajiban pengawasannya, jika melanggar duty of loyalty karena gagal mengusahakan dengan itikad baik untuk memenuhi duty of care -nya [128].
c. Pengertian Duty of Candor
Duty of candor adalah kewajiban untuk membeberkan semua
fakta-fakta materiel, khususnya merupakan kewajiban seorang direktur
untuk membuka semua informasi yang diketahui yang bersifat materiel
kepada pemegang saham, ketika direktur itu meminta persetujuan pemegang
saham untuk melakukan suatu transaksi.
Duty of candor merupakan kewajiban dari fiduciaries
perusahaan, dalam hal ini para direksi, untuk membuka seluruh informasi
yang bersifat materiel yang berkaitan dengan keputusan yang diambil
perusahaan dari dalam mana direksi memperoleh manfaat pribadi.
d. Duties of Skill & Care, Loyalty and Candor dalam UUPT
Selain prinsip fiduciary duty, yang dikandung dalam Pasal 97
Ayat 1 dan 2 UUPT dan menyebutkan bahwa direksi wajib bertanggungjawab
atas kepengurusan perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
Frasa ‘penuh tanggung jawab’ merujuk pada prinsip kedua yang mengacu
pada kemampuan dan tindakan kehati-hatian direksi atau duties of skill and care [129].
Tanpa memiliki tingkat kemampuan dan kepedulian tertentu, maka direksi
tidak dapat melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.
Duties of skill and care secara jelas disebutkan dalam Pasal
93 ayat (1) UUPT, yaitu bahwa yang dapat diangkat menjadi anggota
direksi adalah orang yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum,
kecuali dalam 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah: (a)
dinyatakan pailit, (b) menjadi anggota direksi atau komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, (c)
dihukum melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan atau
yang berkaitan dengan sektor keuangan. Oleh karena itu, agar tetap dapat
diangkat sebagai anggota direksi, setiap orang ketika menjabat sebagai
anggota direksi harus melakukan pekerjaannya dengan suatu tingkat
keahlian atau kemampuan dan bertindak secara hati-hati, sehingga tidak
membuat perseroan yang dikelolanya mengalami kesulitan keuangan yang
kemudian dapat berakhir pada kepalilitan.
Pasal 97 Ayat (5) UUPT menyebutkan bahwa direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian perseroan (apabila
yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan
ketentuan yang dimaksud pada Ayat 2), apabila dapat membuktikan bahwa;
(a) kerugian tersebut bukan karena kesalahannya atau kelalaiannya, (b)
telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian, (c)
tidak mempunyai benturan kepentingan secara langsung maupun tidak secara
langsung, (d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya kerugian tersebut.
Agar tidak dapat dihukum karena kesalahan dan kelalaian, direksi
harus memiliki suatu tingkat kemampuan, sikap rajin, dan peduli atau diligent and care
yang diperlukan dalam mengelola perseroan, dan dilakukan dengan itikad
baik. Unsur itikad baik yang disertai dengan tidak adanya benturan
kepentingan secara langsung atau tidak langsung menunjukkan bahwa
direksi menempatkan kepentingan perseroan di atas kepentingan
pribadinya, sehingga merupakan pemenuhan duty of loyalty-nya kepada perseroan. Duty of loyalty
ini diperkuat dengan usaha yang dilakukan direksi untuk mencegah timbul
dan berlanjutnya kerugian yang dapat dialami oleh perseroan.
Manifestasi dari ketentuan untuk menempatkan kepentingan perusahaan
di atas kepentingan pribadi direksi dapat terlihat dengan jelas dari
kemungkinan timbulnya kesempatan untuk melakukan transaksi bisnis dengan
pihak ketiga, atau disebut sebagai corporate opportunity. Jika
kesempatan itu muncul, dan dalam keadaan seperti itu, direksi harus
mengutamakan perseroan bukan diri pribadinya untuk mengambil kesempatan
bisnis tersebut. Ini artinya direksi menempatkan kepentingan perseroan
di atas kepentingan pribadinya. Menurut Munir Fuady, tidak saja
kesempatan seperti itu merupakan milik perseroan, tetapi juga setiap hak
dan pengharapan yang berkaitan dengan perseroan adalah juga merupakan
kepunyaan perseroan [130].
Duty of candor dengan jelas dikandung dalam UUPT. Pasal 69
Ayat (3) UUPT menyebutkan bahwa apabila laporan keuangan yang disediakan
direksi ternyata tidak benar, atau menyesatkan, maka anggota direksi
dan anggota komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap
pihak yang dirugikan. Informasi keuangan berfungsi sebagai indikator
utama bagi kekuatan perseroan dalam melanjutkan kehidupan usahanya. Ini
artinya bahwa direksi dituntut agar melaporkan atau membeberkan
informasi atau keadaan keuangan yang sebenarnya, tidak saja kepada
pemegang saham, atau pihak yang terkait lainnya, tetapi terlebih kepada
pihak yang berkepentingan akan informasi itu.
4. Itikad Baik (Good Faith)
a. Pengertian Itikad Baik
Ridley Ann memberikan pengertian dalam konteks berikut: “Directors must act in good faith in what they believe to be the interest of the company” [131]. Melvyn A Eisenberg memberikan pengertian yang lebih mendasar mengenai good faith,
dalam terjemahan bebasnya, yakni: Itikad baik dalam Hukum Korporasi
merupakan konsepsi dasar yang dilandasi oleh kewajiban yang khusus, yang
terdiri dari 4 unsur, yaitu: kejujuran subjektif, atau ketulusan, tidak
ada pelanggaran terhadap standar kepatutan yang diterima secara umum
yang diterapkan dalam pelaksanaan bisnis, dan kesetiaan terhadap tempat
bekerja[132].
b. Itikad Baik dalam UUPT
UUPT menyebutkan mengenai itikad baik dalam Pasal berikut:
Pasal 97 ayat 2 UUPT berbunyi:
“Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab“.
Pasal 97 ayat 2 UUPT menyebutkan dengan secara jelas bahwa dalam
melakukan tugas pengurusan perseroan, direksi wajib melakukannya dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab. UUPT jelas mengandung unsur itikad
baik, yang diwajibkan pada direksi dalam menjalankan tugasnya untuk
mengurus usaha perseroan.
Pasal 97 Ayat (1) UUPT menentukan bahwa direksi bertanggungjawab atas
pengurusan perseroan sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 92 ayat (1)
di atas, dan untuk itu setiap anggota direksi wajib melaksanakan
kepengurusannya itu dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab (Ayat
2), dan bertanggungjawab penuh apabila yang bersangkutan bersalah atau
lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang dimaksud pada
Ayat 2 tersebut (Ayat 3).
Pasal 97 Ayat (5) UUPT lebih lanjut menyebutkan bahwa direksi tidak
dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian sebagaimana yang dimaksud
pada Ayat (3) apabila dapat membuktikan, bahwa: (a) kerugian tersebut
bukan kesalahan atau kelalaiannya, (b) telah melakukan pengurusan dengan
itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan
baik secara langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang
mengakibatkan kerugian, dan (d) telah mengambil tindakan untuk mencegah
timbul dan berlanjutnya kerugian tersebut.
UUPT tidak secara jelas mendefinisikan, atau tidak memberikan standar
ukuran, untuk unsur itikad baik. Namun, secara keseluruhan unsur itikad
baik dapat diartikan dan disimpulkan dari berbagai ayat yang dikandung
dalam UUPT. Berdasarkan ayat-ayat yang terkait, itikad baik dapat
diartikan sebagai: Pertama, sebagai tugas direksi yang dilakukan untuk
kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan
(Pasal 92 Ayat 91) UUPT). Kedua, sebagai pemenuhan tanggung jawab
direksi dalam melaksanakan tugasnya (Pasal 97 Ayat (2) UUPT). Ketiga,
sebagai keadaan yang tidak mengandung benturan kepentingan baik secara
langsung atau tidak langsung (Pasal 97 Ayat (5) huruf c dan Pasal 104
Ayat (4) huruf c). Keempat, tindakan yang diambil direksi untuk mencegah
terjadinya atau berlanjutnya kerugian atau kepailitan (Pasal 97 Ayat
(5) huruf d, dan Pasal 104 Ayat (4) huruf d).
5. Perlindungan Hukum bagi Direksi dalam UUPT
Pasal yang berkaitan dengan unsur perlindungan hukum bagi direksi adalah sebagai berikut:
Pasal 97 ayat (3) UUPT berbunyi:
“Setiap Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian
Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(2)“.
Pasal 97 ayat (5) UUPT berbunyi:
“Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: (a)
kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, (b) telah
melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, (c) tidak
mempunyai benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak
langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, (d) telah
mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian
tersebut“.
Pasal 97 Ayat (5) UUPT menyebutkan bahwa direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian perseroan, apabila
dapat membuktikan bahwa; (a) kerugian tersebut bukan karena kesalahannya
atau kelalaiannya, (b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik
dan kehati-hatian, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan secara
langsung maupun tidak secara langsung, (d) telah mengambil tindakan
untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Selain pasal tersebut, Pasal 104 ayat (4) UUPT menyebutkan bahwa
anggota direksi tidak dapat dipersalahkan atas kepailitan perseroan,
apabila dapat membuktikan bahwa kepailitan itu bukan karena kesalahan
atau kelalaianya (huruf a), telah melakukan pengurusan dengan itikad
baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan perseroan (huruf b), tidak mempunyai benturan kepentingan baik
secara langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang
dilakukan (huruf d), dan telah mengambil tindakan untuk mencegah
terjadinya kepailitan (huruf d).
Apapun tingkat kelalaiannya itu, sejauh adanya gugatan dari pihak
penggugat karena adanya kerugian, atau dari pihak yang dirugikan, maka
sudah cukup bagi direksi untuk membuktikannya di pengadilan, bahwa
kerugian itu bukan akibat karena adanya kelalaian atau kesalahan
direksi. Jadi, kerugian dan adanya tuntutan dari pihak yang dirugikan
dapat dijadikan ukuran bagi direksi untuk membuktikan bahwa kelalaian
atau kesalahan itu bukan milik mereka.
Ukuran kedua untuk menentukan kelalaian atau kesalahan direksi adalah
adanya keadaan pailit, sebagai patokan atas, apapun tingkat kelalaian
atau kesalahan itu harus dibuktikan oleh direksi di pengadilan. Di sini,
besar kecil kelalaian atau kesalahan itu tampaknya akan ditentukan oleh
pengadilan, tetapi yang pasti telah ada suatu keadaan untuk membuktikan
apakah itu kesalahan atau kelalaian direksi. Kalaupun kepailitan itu
disebabkan karena kelalaian atau kesalahan direksi, sejauh direksi telah
melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan itu,
berdasarkan redaksi pasal tersebut, maka direksi tidak dapat
dipersalahkan dan dimintakan pertanggung-jawabannya.
Dari uraian terakhir di atas, yang berkaitan dengan adanya usaha
direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan, tersirat adanya unsur
Keputusan Bisnis. Orang yang paling berpengalaman, dan keputusan yang
terbaik sekalipun, dapat membuahkan hasil yang tidak diharapkam. Hal ini
dapat ditinjau dari keadaan berikut. Jika direksi memang telah berusaha
dengan sunguh-sunguh untuk mencegah timbulnya kepailitan, maka keadaan
ini dapat diartikan bahwa keadaan yang mengarah menuju kepailitan itu,
dapat merupakan bagian dari sifat bisnis perseroan yang mengandung
risiko tertentu. Pada saat yang sama, bisnis itu harus menghadapi
keadaan yang tidak normal. Keadaan yang tidak normal ini biasanya sulit
untuk diperkirakan sebelumnya, walaupun karakteristik bisnisnya sendiri
yang berkaitan dengan risiko sudah dipahami secara penuh oleh direksi.
Dengan demikian, walaupun diteksi telah menerapkan sikap kehati-hatian
yang diperlukan, dan telah memiliki pengalaman yang panjang dalam bisnis
yang dikomandoinya, tidak ada jaminan bahwa direksi selalu akan
berhasil dalam menjalankan usaha itu dalam setiap keadaan yang mungkin
dapat terjadi.
Keadaan yang digambarkan tersebut di atas sesungguhnya sedang
berlangsung sampai saat ini. Industri yang mengalami keadaan seperti itu
adalah yang bergerak dalam pemintalan benang, Bahan baku utama yang
digunakan untuk membuat benang tersebut adalah kapas, yang hanya
dihasilkan oleh negara seperti Australia dan Amerika. Kapas hanya dapat
tumbuh dalam iklim yang bersifat subtropis. Benang yang dihasilkan dari
kapas itu dapat menghasilkan bahan tekstil yang dikategorikan sebagai fine cotton,
dan umumnya diekspor ke Amerika. Ketika krisis keuangan terjadi sebagai
akibat pembiayaan kredit perumahan di bawah prima bermasalah, maka
surat utang yang terkait menjadi bermasalah. Pembeli rumah dengan kredit
itu tidak mampu membayar bunga dan angsurannya, sehingga kewajiban
pembayaran bunga dan angsuran kepada pembeli surat utang menjadi
tertunggak pula. Sebagai akibatnya, pertumbuhan ekonomi Amerika menciut,
dan menimbulkan banyak pengangguran. Akibat lanjutannya adalah seluruh
penjualan barang-barang konsumen menjadi turun sampai lebih dari 50%, termasuk impor bahan tekstil dalam kategori fine cotton.
Ketika penurunan impor Amerika yang dimaksud sedang berlangsung,
produksi kapas baik di Amerika, maupun di Australia, sedang mengalami
penurunan secara drastis, karena adanya climate change di dunia.
Secara keseluruhan, seluruh pabrikan benang yang menggunakan bahan baku
kapas harus mengalami dua hal yang bersifat sangat negatif terhadap
perolehan pendapatan dan keuntungan, yaitu: Pertama, harga jual dan
permintaan akan barang jadi turun secara drastis, mencapai 50%: dan
kedua, harga bahan baku meningkat secara tajam, lebih dari dua kali
lipat. Hasil akhirnya adalah banyak pabrik di Indonesia, yang telah
dikelola oleh manajemen yang berpengalaman sekalipun, mengalami masa
sulit yang belum pernah dialami sebelumnya. Banyak di antara perusahaan
tersebut berada dalam keadaan menuju kepailitan.
Berbeda dengan konsep gross negligence yang berlaku dalam BJR,
dalam perundang-undangan di Indonesia dapat mengacu pada ketentuan
Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUHPerdata, Pasal 97 Ayat (5) dan Pasal 104
Ayat (4) UUPT. Sejalan dengan ketentuan Pasal-Pasal ini, yurisprudensi
Indonesia mengartikan bahwa kelalaian adalah pelanggaran terhadap hak
orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
bertentangan dengan sikap kehati-hatian di dalam pergaulan masyarakat,
terhadap kepentingan atau milik orang lain. Kewajiban hukum pelaku dapat
diartikan sebagai fiduciary duty dari direksi, dan memenuhi sikap kehati-hatian di dalam pergaulan masyarakat, atau duty of care seperti
yang diuraikan di atas, dalam hal melakukan pekerjaan; dan kepentingan
pihak lain diartikan sebagai kepentingan perseroan dan pemangku
kepentingan lainnya. Perbuatan melanggar hukum diartikan bertentangan
dengan kepentingan pihak-pihak tersebut, dan merupakan kesalahan atau
kelalaian atau sikap kurang hati-hati, sehingga menimbulkan kerugian
bagi perseroan atau pihak-pihak tersebut. Organ badan hukum harus
bertanggungjawab secara pribadi dengan melakukan ganti rugi secara
pribadi, apabila melakukan kesalahan-kesalahan pribadi karena lalai atau
kurang hati-hati yang merugikan badan hukum[133].
UUPT tidak secara jelas mendefinisikan kesalahan atau kelalaian yang
dimaksud dalam berbagai pasalnya. Namun, moral dari Pasal 45 KUHD dapat
pula digunakan sebagai acuan dalam menentukan apa yang dimaksud dengan
kesalahan (yang disengaja) atau kelalaian (yang tidak disengaja).
Ukurannya adalah‚ ’menunaikan sebaik-baiknya tugas yang diberikan kepada
mereka, dan tidak menyimpang dari ketentuan yang ada dalam anggaran
dasar atau perubahannya’. Setara dengan pengertian ini, maka kesalahan
atau kelalaian dalam UUPT dapat pula diartikan sebagai tidak
dilakukannya tugas pengurusan perseroan dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab, seperti yang diindikasikan oleh Pasal 97 Ayat (2) UUPT,
dan menyimpang dari ketentuan dalam anggaran dasar serta merupakan
tindakan dalam klasifikasi ultra vires.
Sejauh direksi memenuhi persyaratan atau kewajiban hukum yang
dimaksud dalam kedua Pasal UUPT tersebut, maka direksi tidak dapat
dipersalahkan. Di lain pihak, sejauh direksi dapat membuktikan bahwa
kerugian atau kepailitan itu bukan disebabkan karena kelalaian atau
kesalahannya, atau direksi telah berusaha untuk mencegahnya, maka
direksi tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban ganti kerugian secara
pribadi, dalam kata lain direksi dapat diberikan perlindungan hukum.
E. Simpulan
UUPT dengan jelas mengandung Keputusan Bisnis atau BJR, berdasarkan kandungan unsur-unsur yang diperlukan, yaitu: fiduciary duty ((Pasal 1, Pasal 92 Ayat 1, Pasal 92 Ayat (2), dan Pasal 98 Ayat (1) UUPT), keputusan bisnis direksi (Pasal 92 Ayat (2) UUPT), duty of loyalty (Pasal 97 Ayat (5) UUPT), duty of care (Pasal 97 Ayat (1) dan (2), Pasal 93 Ayat (1), dan Pasal 97 Ayat (5) UUPT), good faith atau itikad baik (Pasal 97 ayat 2, dan Pasal 97 Ayat (5) UUPT), serta perlindungan hukum bagi direksi (Pasal 97 Ayat (5), dan Pasal 104 ayat (4) UUPT).
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Teori & Contoh Kasus, Jakarta, Prenada Media Grup, Cetakan Kedua, 2006.
Ali Rido, R., Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung: Penerbit Alumni, 2004.
Ashraf, Zeeshan. Op.cit The Position of the Business judgment Rule in Different Corporate Cultures and Structures: a Study and Analysis.
Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam ekonomi & Bisnis, Jakarta: Mitra Kencana Media, 2010.
Block, Dennis J., (et.al), The Business Judgment Rule, Fiduciaries Duties of Corporate Directors, New Jersey: Prentice Hall Law & Business, 1989.
CFISEL. Tindak Pidana di Bidang Perbankan.
David, Fred R., Strategic Management, Concepts and Cases, Pearson Education Limited, England, 2011.
French, Derek, Company Law, New York: Oxford University Press, 2009.
Garner, Bryan A., (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, Minnesota: West Group, 1999.
Gunardi Endro, Redefinisi Bisnis, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1999.
Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgment Rule, Jakarta: Tatanusa, 2008.
James Macgregor Burns, Leadership, New York: Harper & Row, 2010.
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Munir Fuady, Hukum Perusahaan, Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002.
Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis, Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, Yogyakarta: Graha ilmu, 2009.
Park, Johneth Chongseo, (et.al), The Business Judgment Rule: A Missing Piece in the Developing Puzzle of Korean Corporate Governance Reform.
Professional Briefing – Law Case Review- Director in Breach of Fiduciary Duty. Accountancy. Vol. 128, Oct 1, 2001.
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Bandung: Penerbit Alumni, 2004.
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009.
Tri Budiyono, Transplantasi Hukum, Harmonisasi dan Potensi Benturan, Salatiga: Griya Media, 2009.
Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas.
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
B. Website
Bankers, “Corporate Governance, Business Judgment and Credit Crunch”, <www.instbankers.com/index.php?option=com.docmanm>.
Bainbridge, Stephen M., “Much Ado about Little? Directors’ Fiduciary
Duties in the Vicinity of Insolvency”, Social Science Research Network,
<http://papers.ssrn.com/sol3/papers,cfm?abstract_id=832504>, [25/10/2005].
Bainbridge, Stephen M. The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine.
Bainbridge, Stephen M, “The Importance of an ‘Esoteric’ Rule”,
, [03/02/2006].
Bainbridge, Stephen M., “Why a Board? Group Decisionmaking in
Corporate Governance”, Social Science Research Network, Vanderbilt Law
Review, Vol. 55, pp 1-55, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=266683>, [13/04/2001].
BFA, “[No. 21] The Duty of Loyalty Revisited”,
,
[21/03/2009]
Bowers, Helen M., “Fairness of Opinion and The Business Judgment
Rule: An empirical investigation of target firms’use of fairness of
opinions”, ,
[2002].
Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review Vol. 36, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080>, [2002].
Cunningham, Lawrence A., dan Yablon, Charles M., “Delaware Fiduciary
Duty Law after QVC and Technicolor: A Unified Standard (and the End of
Revlon Duties?)”, Boston College Law School, Research Paper 1994-03,
<http://ssrn.com/abstract=917120>, [01/01/1994].
Duty of Care: Corporate Liability, <http://www.amicus.iupindia.org/Corps DutyofCare ovw.asp>, [09/2008].
Eisenberg, Melvin A., “Whether The Business Judgment Rule should be Codified”, <http://www.clrc.ca.gov/pub/BKST-EisenbergBJR.pdf>, [05/1995].
Esenberg, Melvin A., The Duty of Good Faith in Corporate Law.
Gold, Andrew S., “A Decision Theory Approach to the Business Judgment
Rule: Reflection on Disney, Good Faith, and Judicial Uncertainty”,
Social Science Research Network, Maryland Law Review Vol, 66 p 398,
2007, <http://papers,ssrn.com/sol3/papers,cfm?abstract_id=965058>, [26/02/2007].
Gold, Andrew S., ”On the Elimination of Fiduciary Duties: A Theory of Good Faith for Unincorporated Firms”, <http://ssrn.com/abstract=965040>., [2006].
Greenhow, Annette, “The Statutory Business Judgment Rule: Putting the
Wind into Director’s Sails”. Bond Law Review Volume 11, Issues 1,
Article 4,
,
[1999].
Griffith, Sean J., “Good Faith Business Judgment: A Theory of
Rhetoric in Corporate Law Jurisprudence”,
, [2005].
Grossman, Nadelle, “Director Compliance with Elusive Fiduciary Duties
in a Climate of Corporate Governance Reform”, Fordham Journal of
Corporate & Financial Law, , [2007].
Johnson, Lyman, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer. Feb 2000;55,2; ABI/IFORM Global.
Johnson, Lyman P. Q., dan Millon, David, “Recalling Why Corporate
Officers are Fiduciaries”, Washington & Lee Public Law and Legal
Theory, Working Paper No. 04-13, <http://ssrn.com/abstract=557926>, [06/2004 ].
Kartyaeni, V., “Directors’ Care and Duty in Case of Breach”, <http://www.goforthelaw.com/articles/fromlawstu/article49.htm>, [Tidak bertanggal].
Smith, James E, “Risk Sharing, Fiduciary Duty, and Corporate Risk
Attitudes”, Decision Analysis, Vol. 1, No. 2, pp 114-127, <@2004
INFORMS>, [06/2004].
Sprague, Robert, “Directors Behaving Badly: 21st Century Corporate Governance Standards”, <http://www.alsb.org/Proceedings%20Files/2007/Sprague.pdf>, [2007].
Sprague, Robert, dan Lyttle, Aaron J, “Shareholder Primacy and
The Business Judgment Rule: Arguments for Expanded Corporate
Democracy“, Social Science Research Network, <http://ssrn,com/abstract=1647002>, [22/07/2010].
The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp, [Tidak bertanggal].
The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative litigation, <http://courts.delaware.gov/opi nion/(eOuerunegle3zfvugrjwev45)download.aspx?ID=118110)>, [24/02/2009].
The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp>, [Tidak bertanggal].
Triem, Fred W. Judicial Schizophrenia in Corporate Law: Confusing the standard of Care With The Business Judgment Rule. Alaska, 2007, <http://ssrn.com/abstract=975775>.
Wikipedia, “Business Judgmenet Rule”, <http://.en.wikipedia.org/wiki/Business_Judgment_rulew-Wikipedia,the freeencyclopedia>, [11/28/2011]
[1] Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Teori & Contoh Kasus, Jakarta, Prenada Media Grup, Cetakan Kedua, 2006, hlm. 15.
[2] Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgment Rule, Jakarta: Tatanusa, 2008, hlm. 221-222.
[3] Tri Budiyono, Transplantasi Hukum, Harmonisasi dan Potensi Benturan, Salatiga: Griya Media, 2009, hlm. 258.
[4] Menurut Munir Fuady, tidak ada tanda-tanda dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT lama – pen) untuk memberlakukan business judgment rule
yang dimaksud. Tambahan pula, Munir Fuady berpendapat bahwa UUPT (lama –
pen) tidak menyebut dengan jelas diberlakukannya prinsip fiduciary duty, tetapi secara tidak langsung memberlakukan asas-asasnya tetapi tidak secara penuh. Munir Fuady, Hukum Perusahaan, Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 4, 8.
[5] Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam ekonomi & Bisnis, Jakarta: Mitra Kencana Media, 2010, hlm. 3.
[6] Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 31.
[7] Gunardi Endro, Redefinisi Bisnis, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1999, hlm. 15.
[8] Gunardi Endro, Ibid.
[9] David, Fred R., Strategic Management, Concepts and Cases, Pearson Education Limited, England, 2011, hlm. 131.
[10] Gunardi Endro, Ibid.
[11]
Bowers, Helen M., “Fairness of Opinion and The Business Judgment Rule:
An empirical investigation of target firms’use of fairness of opinions”,
[2002].
[12] James Macgregor Burns, Leadership, New York: Harper & Row, 2010, hlm. 379
[13] Bankers, “Corporate Governance, Business Judgment and Credit Crunch”, <www.instbankers.com/index.php?option=com.docmanm>.
[14] Park, Johneth Chongseo, (et.al), The Business Judgment Rule: A Missing Piece in the Developing Puzzle of Korean Corporate Governance Reform, hlm. 15.
[15] The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative litigation, <http://courts.delaware.gov/opi nion/(eOuerunegle3zfvugrjwev45)download.aspx?ID=118110)> [24/02/2009].
[16] Park, Johneth Chongseo (et.al), Loc.Cit.
[17] Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review Vol. 36 http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080> [ 2002].
[18] Brandson, Douglas M., Idem.
[19] Bainbridge, Stephen M. The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine, hlm. 33.
[20] CFISEL. Tindak Pidana di Bidang Perbankan, hlm. 13.
[21]
Bainbridge, Stephen M., “Why a Board? Group Decisionmaking in Corporate
Governance”, Social Science Research Network, Vanderbilt Law Review,
Vo.55, pp 1-55, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=266683> [13/04/2001], hlm. 16.
[22] Bainbridge, Stephen M.. Ibid, hlm. 19.
[23] Bainbridge, Stephen M., Idem.
[24]
Bainbridge, Stephen M., “Why a Board? Group Decisionmaking in Corporate
Governance”, Social Science Research Network, Vanderbilt Law Review,
Vol. 55, pp 1-55, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=266683> [13/04/2001], hlm. 27-29.
[25] Bainbridge, Stephen M., Ibid, hlm. 29.
[26] Bainbridge, Stephen M., Ibid, hlm. 30.
[27] Bainbridge, Stephen M., Idem.
[28] Bainbridge, Stephen M., Idem.
[29] Kata ini digunakan antara lain dalam: Block, Dennis J (et.al), The Business Judgment Rule, Fiduciaries Duties of Corporate Directors, New Jersey: Prentice Hall Law & Business, 1989. Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
[30] Hendra Setiawan Boen, Op.Cit., hlm. 17.
[31] Abdul R. Saliman, (et.al.), Loc.Cit..
[32] Tri Budiyono, Loc.Cit..
[33] “The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp> [Tidak bertanggal].
[34]
Bainbridge, Stephen M., “Much Ado about Little? Directors’ Fiduciary
Duties in the Vicinity of Insolvency”, Social Science Research Network,
<http://papers.ssrn.com/sol3/papers,cfm?abstract_id=832504 > [25/10/2005].
[35]
Greenhow, Annette, “The Statutory Business Judgment Rule: Putting the
Wind into Director’s Sails”. Bond Law Review Volume 11, Issues 1,
Article 4,
[1999].
[36]
Grossman, Nadelle, “Director Compliance with Elusive Fiduciary Duties
in a Climate of Corporate Governance Reform”, Fordham Journal of
Corporate & Financial Law, [2007].
[37] Grossman, Nadelle, Ibid.
[39] Black’s Law Dictionary, Op.Cit., hlm. 212.
[40] Bainbridge, Stephen M.. Op.Cit., hlm. 13.
[41] Bainbridge, Stephen M., Loc.cit.
[42] Eisenberg, Melvin A., “Whether The Business Judgment Rule should be Codified”, <http://www.clrc.ca.gov/pub/BKST-EisenbergBJR.pdf> [05/1995].
[43] Eisenberg, Melvin A., Idem.
[44] Johnson, Lyman, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer. Feb 2000;55,2; ABI/IFORM Global, hlm. 625.
[45] Johnson, Lyman. Idem.
[46] Wikipedia, “Business Judgmenet Rule”, <http://.en.wikipedia.org/wiki/Business_Judgment_rulew-Wikipedia,the freeencyclopedia> [11/28/2011)
[47] Triem, Fred W. Judicial Schizophrenia in Corporate Law: Confusing the standard of Care With The Business Judgment Rule. Alaska, 2007, hlm. 26-27. <http://ssrn.com/abstract=975775>.
[48]
Tindakan ini tidak langsung berkaitan dengan pemilik saham, tetapi
menguntungkan mereka dalam jangka panjang karena tindakan dibuat untuk
kepentingan perusahaan semata. Ashraf, Zeeshan. The Position of The Business Judgment Rule in Different Corporate Cultures and Structures: A Study and Analysis, hlm. 18.
[49] Bradson, Douglas M. Op.cit., hlm. 634.
[50] Triem, Fred W., Op.cit., hlm. 27.
[51] Triem, Fred W., Op.cit., hlm. 33.
[52] Bradson, Douglas M., Op.cit., hlm. 636.
[53] Ashraf, Zeeshan, Op.cit The Position of the Business judgment Rule in Different Corporate Cultures and Structures: a Study and Analysis, hlm. 15.
[54] Ashraf, Zeeshan, Op.cit., hlm. 17.
[55] Hart, H.L.A., Op.Cit., hlm. 1062
[56] Sebagian besar dari materi pokok mengenai BJR diambil dari buku Block, Dennis J, (et.al), The Business Judgment Rule: Fiduciary Duties of Corporate, New York: Prentice Hall & Buisness, Loc.Cit.
[57] Block, Dennis J, (et.al), Op.Cit., hlm. 2.
[58] Block, Dennis J, (et.al), Op.Cit., hlm. 12-23.
[59] Bradson, Douglas M., Op.Cit., hlm. 635.
[60] Bradson, Douglas M., The RuleThat Isn’t a Rule – the Business Judgment Rule, hlm. 639.
[61] Ashraf, Zeeshan. The Position of the Business Judgment Rule in Different Corporate Cultures and Structures: A Study and Analysis, hlm. 17.
[62]
Gold, Andrew S., “A Decision Theory Approach to the Business Judgment
Rule: Reflection on Disney, Good Faith, and Judicial Uncertainty”,
Social Science Research Network, Maryland Law Review Vol, 66 p 398,
2007, <http://papers,ssrn.com/sol3/papers,cfm?abstract_id=965058> [26/02/2007].
[63]
Griffith, Sean J., “Good Faith Business Judgment: A Theory of Rhetoric
in Corporate Law Jurisprudence”,
[2005].
[64] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[65] Griffith, Sean J., Loc.Cit.
[66] Griffith, Sean J., Idem .
[67] Sprague, Robert, “Directors Behaving Badly: 21st Century Corporate Governance Standards”, <http://www.alsb.org/Proceedings%20Files/2007/Sprague.pdf> [2007].
[68] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[69] The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp> [Tidak bertanggal].
[70] Grossman, Nadelle, Loc.Cit.
[71] “The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp> [Tidak bertanggal].
[72] Griffith, Sean J., Loc.Cit.
[73] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[74] Brandson, Douglas M., Loc.Cit.
[75] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[76] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[77] Grossman, Nadelle, Loc.Cit.
[78] Sprague, Robert, dan Lyttle, Aaron J, “Shareholder
Primacy and The Business Judgment Rule: Arguments for Expanded
Corporate Democracy“, Social Science Research Network, <http://ssrn,com/abstract=1647002> [22/07/2010].
[79] Johnson, Lyman, Op.Cit.,, hlm. 625.
[80] Johnson, Lyman, Idem.
[81] Griffith, Sean J., Loc.Cit.
[82] Griffith, Sean J., Loc.Cit.
[83] Triem, Fred W. Loc.Cit.
[84] Triem, Fred W. Loc.Cit.
[85] Johnson, Lyman, Loc.Cit.
[86] Grossman, Nadelle, Loc.Cit.
[87] Brandson, Douglas M., Loc.Cit.
[88] Greenhow, Annette, Loc.Cit.
[89] Johnson, Lyman, Loc.Cit.
[90]
Smith, James E, “Risk Sharing, Fiduciary Duty, and Corporate Risk
Attitudes”, Decision Analysis, Vol. 1, No. 2, pp 114-127, <@2004
INFORMS> [06/2004].
[91] Grossman, Nadelle, Loc.Cit.
[92] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[93] Johnson, Lyman, Loc.Cit.
[94] Griffith, Sean J., Loc.Cit.
[95] Griffith, Sean J., Loc.Cit.
[96] Garner, Bryan A., (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, Minnesota: West Group, 1999.
[97] French, Derek (et.al), Company Law, New York: Oxford University Press, 2009, hlm. 469.
[98] Garner, Bryan A., Loc.cit.
[99] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[100] Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Bandung: Penerbit Alumni, 2004, hlm. 175.
[101] Ridwan Khairandy, Perseroan Terbata, Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009, hlm. 204-205.
[102] Kartyaeni, V., “Directors’ Care and Duty in Case of Breach”, <http://www.goforthelaw.com/articles/fromlawstu/article49.htm> [Tidak bertanggal].
[103] French, Derek, Company Law, New York: Oxford University Press, 2009, hlm. 471.
[104] Block, Dennis J., (et.al), Op.Cit., hlm. 1, 27.
[105] Try Widiyono, Op.Cit., hlm. 38.
[106] Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 193.
[107] Nindyo Pramono, Op.Cit., hlm. 19.
[108] Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis, telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, Yogyakarta: Graha ilmu, 2009, hlm. 206.
[109] Neni Sri Imaniyati, Ibid, hlm. 206.
[110] Ali Rido, R., Op.Cit, hlm. 19.
[111] Nindyo Pramono, Loc.Cit.
[112] Ali Rido, R., Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung: Penerbit Alumni, 2004, hlm. 18.
[113] Ali Rido, R., Loc.cit.,
[114] Nindyo Pramono, Op.Cit., hlm. 18.
[115] Nindyo Pramono, Loc.Cit.
[116] Nindyo Pramono, Op.Cit., hlm. 20.
[117] Nindyo Pramono, Op.Cit., hlm. 21.
[118] Garner A., Brian., Loc.Cit.
[119] Garner A., Brian., Op.Cit., hlm. 543.
[120] “Duty of Care: Corporate Liability, <http://www.amicus.iupindia.org/Corps DutyofCare ovw.asp> [09/2008].
[121] “Duty of Care: Corporate Liability, Loc. Cit.
[122] Professional Briefing – Law Case Review- Director in Breach of Fiduciary Duty. Accountancy. Vol. 128, Oct 1, 2001.
[123]
Cunningham, Lawrence A., dan Yablon, Charles M., “Delaware Fiduciary
Duty Law after QVC and Technicolor: A Unified Standard (and the End of
Revlon Duties?)”, Boston College Law School, Research Paper 1994-03,
<http://ssrn.com/abstract=917120> [01/01/1994].
[124] Block, Dennis J., (et.al), Op.Cit, hlm. 1.
[125] Block, Dennis J., (et.al), Op.Cit, hlm. 1
[126]
Johnson, Lyman P. Q., dan Millon, David, “Recalling Why Corporate
Officers are Fiduciaries”, Washington & Lee Public Law and Legal
Theory, Working Paper No. 04-13, <http://ssrn.com/abstract=557926> [06/2004 ].
[129] Chatamarrasjid Ais. Loc.Cit.
[130] Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 63.
[131] Ridley, Ann, Op.Cit., hlm. 66.
[132] Esenberg, Melvin A, Op.Cit., hlm. 1.
[133] Ali Rido, R., Op.Cit., hlm. 30.
Tulisan ini diterbitkan di"
http://hho3.wordpress.com/2013/02/01/keputusan-bisnis-dalam-uupt/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar