Rabu, 11 September 2013

KEPUTUSAN BISNIS DALAM UUPT

TUGAS MANDIRI (UNX)

KEPUTUSAN BISNIS DALAM  UUPT
Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana


Disusun oleh:
Hendy Herijanto
1101.300.800.54


Promotor:
Prof. Dr. H. Man S Sastrawidjaja, SH., SU


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJAJARAN
Bandung
2 0 1 3





D  A  F  T  A  R      I  S  I

Halaman
Judul ……………………………………………………………………………………………………..     i
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………………….    ii
A.. Latar Belakang …………………………………………………………………………………..    1
B.. Keputusan Bisnis ……………………………………………………………………………….    5
C.. Business Judgment Rule ………………………………………………………………………  13
1… Latar Belakang BJR ………………………………………………………………………  14
2… Pengertian Business Judgment Rule (BJR) ……………………………………….  15
3… Karakteristik BJR ………………………………………………………………………….  20
4… Persyaratan BJR ……………………………………………………………………………  21
5… Unsur-Unsur BJR………………………………………………………………………….. 23
6… Itikad Baik, Duty of Good Faith……………………………………………………… 25
7... Duty of Care …………………………………………………………………………………  33
8... Duty of Loyalty ……………………………………………………………………………..  36
D.. Unsur-Unsur BJR dalam UUPT …………………………………………………………..  37
1… Fiduciary Duty ……………………………………………………………………………..  37
a… Pengertian Umum ……………………………………………………………………  37
b... Fiduciary Duty dalam UUPT …………………………………………………….  39
2… Diskresi untuk Membuat Keputusan Bisnis dalam UUPT …………………..  42
3... Duties of Skill & Care, Loyalty and Candor ……………………………………..  46
a… Pengertian Duty of Skill & Care …………………………………………………  46
b… Pengertian Duty of Loyalty ………………………………………………………..  48
c... Pengertian Duty of Candor ……………………………………………………….  50
d… Duties of Skill & Care, Loyalty and Candor dalam UUPT …………….  50
4… Itikad Baik (Good Faith) ……………………………………………………………….  53
a… Pengertian Itikad Baik ……………………………………………………………..  53
b… Itikad Baik dalam UUPT ………………………………………………………….  53
5… Perlindungan Hukum bagi Direksi dalam UUPT ……………………………….  55
E… Simpulan …………………………………………………………………………………………..  60
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………………  61
A.. Buku …………………………………………………………………………………………………  61
B.. Website …………………………………………………………………………………………….  62



KEPUTUSAN BISNIS DALAM  UUPT

A.  Latar Belakang

Dalam setiap pengambilan keputusan bisnis, terdapat sejumlah masalah yang tidak dapat dipastikan hari ini. Salah satu dari masalah itu adalah apakah asumsi sebagai dasar pengambilan keputusan akan berlangsung, atau tetap berlaku di masa depan. Hampir di setiap khasanah pengambilan keputusan selalu mengandung unsur ketidak-pastian. Dalam menghadapi ketidak-pastian ini, orang yang mengambil keputusan cenderung menggunakan naluri dan pertimbangan pribadinya. Kualitas dari pertimbangan seseorang itu sangat ditentukan oleh pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang yang akan diputuskan, selain kematangannya dalam berpikir. Oleh karena itu, keputusan atau pertimbangan seperti ini tidak terlepas dari unsur subjektivitas. Namun, keterlibatan unsur subjektivitas itu tidak selalu menghasilkan sesuatu yang dianggap menyimpang.

Permasalahan akan timbul jika direksi mengambil suatu keputusan bisnis ternyata salah, dan kemudian membawa kerugian. Tidak ada jaminan bahwa keputusan yang diambil akan selalu membuahkan hasil yang diharapkan, walaupun telah menerapkan sikap hati-hati sekalipun, dan mematuhi seluruh ketentuan dan perundangan yang berlaku. Permasalahan ini akan menjadi kasus hukum, jika pemegang saham, atau pemangku kepentingan lainnya, merasa dirugikan, sehubungan adanya kerugian tersebut. Salah satu faktor yang membuat hal itu menjadi kasus hukum adalah karena pihak yang dirugikan cenderung menyalahkan direksi. Pemegang saham atau pihak yang dirugikan dapat menganggap bahwa kerugian itu terjadi,  sebagai akibat ketidak mampuan direksi dalam membuat keputusan yang dapat menciptakan keuntungan. Dengan menggunakan logika yang sederhana, alasan tersebut dapat diterima, karena memang pengambilan keputusan bisnis sering melibatkan unsur subjektivitas seseorang.

Namun, tidak semua kerugian yang timbul merupakan akibat dari pengambilan keputusan yang salah atau tidak tepat. Keputusan yang salah  tidak selalu disebabkan karena direksi dengan sengaja atau dengan niat untuk menguntungkan atau memperkaya pribadi atau pihak lain, sehingga pengambilan keputusan tidak dilakukan dengan cermat. Kemampuan yang memadai sekalipun tidak selalu membuahkan hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, direksi memerlukan ruang lingkup atau latitude tertentu, yang dapat memberikan keleluasaan baginya dalam membuat kesalahan dalam batas tertentu, sebagai hasil dari keputusannya. Jika direksi selalu dituntut secara hukum, karena adanya kerugian dan anggapan bahwa keputusannya itu salah, maka direksi akan segan untuk mengambil keputusan. Jika direksi tidak membuat keputusan bisnis, usaha perseroan akan mengalami stagnasi; atau orang akan segan untuk diangkat sebagai direksi.

Kerugian yang ditimbulkan karena pengambilan keputusan yang salah atau tidak tepat tidak selalu bermuara, atau berkaitan dengan unsur memperkaya diri sendiri atau pihak lain; atau tidak serta merta merupakan tindak pidana korupsi. Karena jika pengadilan hanya memeriksa hasil keputusan direksi, maka dapat saja menyimpulkan banyak hal; terutama jika dilihat dari kerugian yang ditimbulkan semata. Kerugian sudah terjadi, sehingga dengan mudah mencari siapa yang dapat disalahkan. Untuk tidak menimbulkan dugaan yang tidak perlu, pemeriksaan seyogianya tidak terfokus pada hasil keputusan; tetapi lebih tepat, jika ditelaah lebih dalam dari masalah yang dapat terjadi di hulu, yaitu ketika keputusan bisnis itu dibuat. Di situ perlu diteliti apakah keputusan itu dilakukan secara menyimpang, atau dibuat berdasarkan alasan-alasan atau dasar-dasar yang relevan dan benar, atau dibuat karena adanya motivasi tertentu dibelakang pengambilan keputusan itu. Motivasi ini yang perlu ditelaah lebih dalam, karena dapat membuat tujuan pengambilan keputusan menjadi berbeda. Motivasi yang sebenarnya dapat dibungkus dengan alasan, yang secara sepintas kelihatan rasional, atau masuk diakal.

Dalam hukum korporasi terdapat doktrin business judgment rule (BJR), disamping prinsip duty of skills and care, dan doktrin lainnya, yang harus dijalankan dalam rangka memenuhi fiduciary duty oleh direksi perseroan terbatas. Menurut Abdul R Saliman, et.al, doktrin adalah merupakan salah satu sumber hukum [1], dan dalam konteks hukum korporasi, harus pula diperhatikan oleh direksi. Sejalan dengan diundangkannya UU Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”), yang merupakan transplantasi hukum Anglo Saxon ke dalam hukum Indonesia, doktrin-doktrin modern tersebut juga seyogianya dikandung di dalamnya. Jika memang doktrin ini dianut oleh UUPT, maka kedua doktrin ini harus pula dipahami dan dijalankan oleh direksi sebagai organ perseroan terbatas. Dengan demikian, masalah yang inheren ada dalam konteks pengambilan keputusan dapat dijawab dengan tepat.

BJR pada dasarnya merupakan tanggung jawab direksi terhadap para pemegang saham atau pihak ketiga atau para pemangku kepentingan lainnya. Menerapkan Doktrin ini berarti direksi memenuhi anggapan tertentu, yaitu paling tidak, dalam melakukan pekerjaannya, direksi selalu berusaha untuk memajukan perseroan untuk siapa mereka waliki dan bekerja. Di balik itu semua, Doktrin ini di dalam sitem hukum di negara asalnya dapat melindungi direksi dari tuntutan hukum, jika ternyata keputusan bisnis yang diambilnya membawa konsekuensi kerugian bagi korporasi, atau ada pihak yang merasa dirugikan. Perlindungan ini dapat diberikan, jika dalam mengambil keputusan tersebut, direksi memenuhi sejumlah persyaratan.

Menurut Hendra Setiawan Boen, BJR tidak sepenuhnya dapat diterapkan di Indonesia. Alasannya adalah BJR dapat diterapkan, jika direksi memiliki fiduciary duty. Dalam peseroan tertutup, kewenangan direksi ditentukan oleh pemegang saham, sehingga konsep fiduciary duty yang berlaku hanya bersifat statutory. Direksi perseroan terbuka berdasarkan UU No. 8 Tahun 1995 dan BUMN serta  pejabat publik memiliki fiduciary duty, sehingga BJR dapat diterapkan [2]. Pendapat ini merupakan salah satu alasan pendorong, kenapa penelitian ini dilakukan. Pertanyaannya adalah apakah benar, dari segi ilmu hukum, bahwa doktrin ini tidak secara jelas dikandung dalam UUPT yang berlaku di Indonesia.

Tambahan pula, senada dengan pendapat Hendra Setiawan Boen di atas, menurut Tri Budiyono, berbeda dengan doktrin piercing the corporate veil dan derivative action yang dikandung secara jelas, fiduciary duty dan BJR dirumuskan secara samar-samar dalam UUPT [3]. Masalah, yang dapat ditimbulkan apakah BJR benar-benar dikandung dalam UUPT atau tidak, dapat berimplikasi terhadap tanggung jawab direksi. Pada akhirnya, masalah tersebut dapat pula mempengaruhi kepastian dan ketertiban hukum, yang diharapkan dari hukum korporasi di Indonesia. Oleh karena itu, masalah kandungan BJR ini perlu ditelaah lebih jauh; dan dipastikan bahwa UUPT yang saat ini berlaku mengandung secara penuh dan pasti doktrin BJR tersebut [4].

B.  Keputusan Bisnis

Menurut Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, bisnis atau business dalam Bahasa Inggris diartikan sebagai suatu usaha dagang atau urusan atau sebagai perusahaan komersial, profesi atau perdagangan yang didirikan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan [5]. Menurut Zaeni Asyhadie, secara luas, bisnis adalah kegiatan usaha dijalankan oleh orang atau badan usaha atau perusahaan secara teratur dan terus menerus, yang berupa kegiatan mengadakan barang atau jasa maupun fasilitas untuk diperjualbelikan, atau disewakan dengan tujuan memperoleh keuntungan [6]. Menurut Gunardi Endro, kriteria umum aktivitas dalam dunia bisnis adalah penyediaan barang dan jasa demi suatu pembayaran dengan uang, baik secara tunai maupun kredit [7].

Setiap bisnis merupakan ciptaan oleh yang mengusahakannya atau oleh pengusaha atau pebinis, dan mereka menempatkan uangnya ke dalam bisnis itu, serta mengambil risiko yang terkait dalam bisnis tersebut demi memperoleh keuntungan yang diinginkan. Gunardi Endro menjabarkan perkembangan bisnis, yang pada mulanya dalam bentuk sederhana, dan dilakukan oleh orang perorang. Dalam perkembangannya, ketika menyadari keterbatasan kemampuan individu dan manfaat untuk bekerja sama, semakin banyak bisnis atau usaha dilakukan bersama-sama oleh sekelompok individu, atau terkoordinasi dalam bentuk organisasi agar mencapai tujuan atau keuntungan bersama [8].

Dalam rangka mengkoordinasi usaha bersama itu, timbulah konsep dan fungsi dasar manajemen, yang terdiri dari merencanakan atau planning, mengorganisasikan atau organizing, mengarahkan atau directing atau motivating,  pengelolaan sumber daya manusia atau staffing, dan mengontrol atau controlling[9]. Manajemen yang efektif adalah yang dapat mencapai tujuannya melalui seluruh kegiatan yang diperlukan secara kelompok yang kohesif, sehingga terorganisir menjadi suatu entitas. Salah satu bentuk entitas itu adalah perseroan terbatas [10].

Dalam menjalankan usahanya itu, pebinis atau perseroan harus melakukan pengambilan keputusan dari waktu ke waktu. James M. Burns, dalam terjemahan bebasnya, menjabarkan anatomi dari pengambilan keputusan itu. Menurut beliau, pandangan klasik mengenai pengambilan keputusan merupakan suatu proses yang teratur dan rasional. Persoalan yang dihadapi didefinisikan dan diisolasi, informasi terkait dikumpulkan, berbagai alternatif dikaji. Walaupun dalam mengambil keputusan diperlukan sejumlah informasi, tetapi tidak seluruh informasi yang diperlukan dapat diperoleh. Namun, secara filosofis dikatakan bahwa “A man’s judgment cannot be better than the information on which he has based it[11].

Oleh karena itu, keputusan hanya dapat diambil berdasarkan informasi yang relevan dan cukup, yang harus diupayakan untuk diperoleh, dan dicerna dalam rangka memilih alternatif yang terbaik. Keputusan yang lebih baik dengan data yang lebih rinci akan dapat dicapai sebagai akibat pengulangan keputusan yang pernah dibuat. Fungsi dari seorang eksekutif (atau Direksi, pen) pada dasarnya merupakan spesialisasi dalam pengambilan keputusan bagi organisasinya [12].

Tujuan pengusaha atau perseroan adalah untuk memaksimalkan keuntungan, sejalan dengan tujuan dan usaha (perseroan). Namun, setiap pencapaian keuntungan selalu dibayangi dengan risiko yang dihadapi. Karena itu,  dapat dikatakan bahwa tujuan bisnis adalah identik dengan mengambil risiko. Pada dasarnya, direksi memiliki tanggung jawab untuk mengelola risiko itu [13]. Setiap usaha selalu mengandung risiko, baik risiko dalam memproduksi barang atau jasa, atau berkaitan dengan struktur biaya produksi dan harga penjualan, ataupun risiko yang ada dalam ruang lingkup berusaha, seperti risiko pasar khususnya kompetisi yang harus dihadapi. Dari segi makro, risiko bisnis juga tergantung pada arah perkembangan industri, dan kemungkinan adanya perubahan perkembangan ekonomi di masa depan.

Risiko yang harus dihadapi, seperti kemungkinan adanya perubahan dalam perekonomian di masa depan, menempatkan direksi untuk mengambil keputusaan dalam keadaan ketidakpastian. Keterbatasan lain yang harus dihadapi oleh direksi adalah masalah informasi yang tidak sempurna, dan sumber daya yang terbatas. Bagi perseroan, direksi memiliki kewenangan dalam menjalankan roda bisnis perusahaan. Direksi  akan selalu menghadapi masalah risiko bisnis yang dimaksud [14]; sehingga tidak ada jaminan bahwa keputusan yang diambilnya akan selalu membuahkan hasil yang diharapkan. Di sini, risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan hasil yang diperoleh dari usaha atau bisnis atau investasi yang dilakukan berbeda dengan yang diharapkan.

Esensi dari pertimbangan dan pengambilan keputusan bisnis adalah menyeimbangan antara risiko yang akan dihadapi dengan pendapatan atau keuntungan yang dapat diharapkan [15]. Dalam terjemahan bebasnya, Johneth Chongseo Park berpendapat bahwa tujuan untuk memaksimalkan keuntungan harus mempertimbangan keuntungan dengan risiko secara proporsional [16].

Risiko bisnis tidak selalu dapat diukur secara matematis, dan tidak semata-mata berdasarkan informasi faktual baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang ada saat pengambilan keputusan. Orang yang berpengalaman dalam suatu bisnis juga menggunakan nalurinya, atau hindsight dalam memahami besar kecilnya suatu risiko bisnis [17]. Kalaupun informasi yang diperlukan dapat diperoleh secara lengkap, informasi tersebut perlu dipikirkan atau dicerna sebelum mengeluarkan suatu sikap atau keputusan yang diperlukan.

Douglas M. Branson, dalam terjemahan bebasnya, berpendapat bahwa keputusan bisnis sering menggunakan sentuhan dan perasaan yang tidak dapat dibuktikan dengan analisis sistematik, dan sering tidak dapat diraba atau tidak mudah dimengerti. Keputusan bisnis merupakan penglihatan naluri atau yang menjelma menjadi perkiraan mengenai keadaan kompetisi pasar, struktur biaya dan arah pertumbuhan industri dan ekonomi. Pada akhirnya, beliau berpendapat bahwa keputusan bisnis merupakan masalah sentuhan dan perasaan yang tidak mudah berpengaruh terhadap analisis sistematik[18].

Stephen M. Bainbridge, dalam terjemahan bebasnya, menyebutkan bahwa keputusan bisnis jarang sekali menyangkut persoalan yang bersifat hitam atau putih. Tetapi, keputusan bisnis pada dasarnya berkaitan erat dengan pertimbangan kehati-hatian di antara sejumlah alternatif yang dapat diterima. Beliau menambahkan, sebagai tingkah laku dari bisnis, pilihan yang diambil secara hati-hatipun di antara sejumlah alternatif yang ada dapat membuahkan hasil yang buruk [19]. Walaupun seluruh ketentuan dan prosedur pengambilan keputusan telah diikuti, tidak ada jaminan bahwa keputusan bisnis yang diambil seseorang akan selalu membuahkan hasil yang positif, tetapi dapat juga menimbulkan kerugian. S. Sundari Arie menyebut risiko seperti itu sebagai risiko bisnis yang normal atau normal business risk [20].

Dalam perseroan terbatas, setiap keputusan yang diambil oleh direksi merupakan keputusan perseroan, dan untuk kepentingan perseroan semata-mata, serta sesuai dengan tujuan dan maksud perseroan sebagaimana yang tertera atau berkaitan dengan anggaran dasar. Kewenangan direksi ini tidak dapat diintervensi atau campurtangankan oleh para pemegang saham atau pihak lainnya, karena unsur kepemilikan telah dipisah secara jelas dengan kewenangan direksi.

Bahkan, keputusan itu harus dibuat secara independen, tanpa adanya pengaruh dari siapapun, termasuk kepentingan setiap pribadi dari anggota direksi. Karena UUPT menentukan bahwa tanggung jawab direksi bersifat kolegial, maka keputusan direksi dapat dikatakan merupakan keputusan kelompok, yang menunjukkan adanya konsensus dari seluruh anggota direksi.

Sudah merupakan suatu kesimpulan umum bahwa keputusan yang diambil oleh kelompok lebih baik dari keputusan yang dibuat secara individu. Walaupun umumnya pengambil keputusan bersifat rasional, tetapi kemampuan kognitif individu terbatas, atau disebut sebagai bounded rationality. Stephen M. Bainbridge, dalam terjemahan bebasnya, mengemukakan hal ini berdasarkan pengamatannya dari sejumlah penelitian, di antaranya yang dilakukan oleh Blinder dan Morgan. Kesimpulannya adalah bahwa dua kepala lebih baik dari satu kepala, sehingga lebih bijaksana untuk menugaskan suatu komite untuk mengambil keputusan yang penting [21].

Alasannya adalah bahwa keputusan yang dibuat oleh kelompok dapat mengatasi keterbatasan setiap individu dalam hal pengetahuan, kepentingan, keahlian dan pengalaman; sehingga, dapat dikatakan bahwa keputusan yang diambil merupakan hasil resultante, bahkan lebih baik, dari jumlah yang dimiliki oleh seluruh anggota kelompok dalam tersebut. Hal ini berlaku terutama bagi keputusan yang kompleks atau rumit, dan memerlukan pertimbangan evaluatif. Alasan ini pula yang menyebabkan Hukum Korporasi memberikan penekanan yang kuat pada pengambilan keputusan secara kolektif [22].

Stephen M. Bainbridge, dalam terjemahan bebasnya, juga mengemukakan penyimpangan atau bias yang dapat terjadi pada keputusan kelompok, yaitu herd behavior atau sikap atau tingkah laku ikut-ikutan, dan groupthink atau pendapat kelompok. Tingkah laku ikut-ikutan terjadi ketika pengambil keputusan meniru tindakan yang diambil oleh sekelompok orang lain, umumnya yang berada dalam suatu industri yang sama, pada suatu saat tertentu. Keputusan ikut-ikutan ini mengabaikan informasi yang dimiliki, dan pertimbangan sendiri yang berkaitan dengan baik-buruknya keputusan yang diambil [23].

Pengambilan keputusan seperti ini pada dasarnya bersandar pada keputusan orang banyak itu, atau dapat pula merupakan jawaban terhadap adanya information asymmetries atau informasi yang tidak seimbang, atau dalam menghadapi kompleksitas dan ketidakpastian yang di hadapi terhadap masa depan. Walaupun keputusan itu membawa konsekuensi yang tidak baik, tetapi beban reputasi terhadap pengambil keputusan akan berkurang[24].

Menurut Stephen M. Bainbridge, dalam terjemahan bebasnya, keputusan yang ikut-ikutan ini dapat dihindari, jika pengambil keputusan menambahkan informasi baru dalam pertimbangannya, dan mengunakan pengambilan keputusan kelompok, terutama jika dapat mengatasi masalah bounded rationality dengan lebih baik [25]. Keputusan kelompok juga dapat mengatasi kecenderungan individu yang memiliki keyakinan berlebihan atau overconfidence[26].

Stephen M. Bainbridge berpendapat, dalam terjemahan bebasnya, bahwa groupthink atau pendapat kelompok terjadi dari keadaan kelompok yang sangat kompak, atau ikatan sesama anggota yang sangat kohesive, dengan norma kerjasama yang menilai konsensus lebih dari penilaian berbagai alternatif secara realistik, sehingga merupakan jawaban terhadap ketegangan yang ditimbulkan karena adanya tantangan terhadap solidaritas kelompok; sehingga mendorong kelompok untuk memilih kebulatan suara, tetapi mengorbankan kualitas pengambilan keputusan yang baik. Akibat terburuk dari pendapat kelompok ini adalah gagal mengkaji alternatif yang ada, gagal untuk memberikan kritik atau memberikan penilaian terhadap pendapat anggota lainnya, dan dapat bersikap selektif terhadap informasi yang akan digunakan [27].

Rapat di ruangan direksi cenderung menciptakan budaya groupthink, karena pimpinan menggunakan wewenangnya untuk mengontrol arus informasi, merestui konsensus, dan menjauhkan orang yang menimbulkan masalah atau yang sering menunjukkan sikap yang tidak setuju terhadap keputusan rapat. Masalah groupthink ini memerlukan kajian yang lebih dekat dari segi corporate governance [28].

Uraian di atas menunjukan bahwa dalam melakukan pengambilan keputusan bisnis, direksi memerlukan suatu ruang lingkup di dalam mana pertimbangan pribadi dapat dipergunakan, dalam rangka membuat keputusan yang terbaik bagi perseoran.

C.  Business Judgment Rule

Di dalam banyak literatur yang membahas mengenai Business Judgment Rule atau BJR, termasuk di dalam sistem hukum aslinya, common law atau anglo saxon, BJR itu disebut sebagai doktrin [29]. Doktrin adalah pendapat sarjana atau ahli hukum yang terkenal, dan digunakan sebagai salah satu sumber hukum [30]; dan yang besar pengaruhnya terhadap hakim dalam mengambil keputusan perkara [31].

Business Judgment Rule atau BJR sendiri diartikan sebagai “keputusan bisnis”, dan bukan “pertimbangan bisnis” karena keputusan identik dengan pertimbangan, tetapi pertimbangan mendahului suatu keputusan. Tri Budiyono juga menterjemahkannya ke dalam pengertian yang sama[32].

1.   Latar Belakang BJR.

BJR merupakan suatu doktrin dari hukum korporasi, yang berawal dalam tahun 1829, di Supreme Court Louisiana dalam Sistem common law di Amerika. Dalam tahun 1853, Supreme Court Rhode Island menyatakan doktrin ini sebagai berikut [33]:

“We think a board of [d]irectors acting in good faith and with reasonable care and diligence, who nevertheless falls into a mistake, either as to law or fact, [is] not liable  for a consequence of such mistake”.

Doktrin ini merupakan jawaban terhadap risiko dan ketidakpastian yang harus dihadapi direksi, ketika keputusan yang diambil dalam rangka mengusahakan keuntungan bagi perseroan, kemudian ternyata tidak membuahkan hasil yang diharapkan, atau menimbulkan kerugian bagi perseroan. Jawaban ini memberikan ruang atau diskresi dalam membuat kebijakan untuk menjalankan roda bisnis perusahaan dan membuat keputusan yang diperlukan, dengan menggunakan kewenangan yang diberikan kepada direksi berdasarkan anggaran dasar perusahaan. Eksistensi BJR adalah untuk melindungi dan mempromosikan pelaksanaan yang bebas dan penuh dari kewenangan pengelolaan yang diberikan kepada direksi, dalam Hukum Korporasi Delaware [34].

Dalam sistem hukum tersebut, direksi bertanggung jawab untuk mengawasi bisnis dan jalannya perusahaan. Untuk memenuhi tanggung jawab itu, direksi berkewajiban untuk memenuhi fiduciary duty terhadap perusahaan dan konstituennya. Fiduacy duty ini terdiri dari duty of care, duty of loyalty, dan duty of good faith atau itikad baik.

2.  Pengertian Business Judgment Rule (BJR)

Frasa BJR menggunakan kata judgment, bukan decision. Menurut Annette Greenhow, berbeda dengan kata decision, kata judgment menunjukkan kandungan pengertian kolegalitas dari dewan direksi. Setiap anggota direksi dapat memberikan pendapat atau pertimbangan terhadap suatu usulan. Keputusan dari mayoritas anggota direksi adalah keputusan direksi, dan keputusan satu orang anggota direksi tidak mengikat perseroan. Setiap anggota direksi dapat menggunakan BJR, dan berhak menyatakan tidak setuju terhadap keputusan direksi dengan mencatatnya dalam notulen rapat [35].

Formulasi dari Business Judgment Rule (BJR) yang paling banyak diterima oleh banyak negara bagian di Amerika adalah yang berasal dari the American Law Institute, dan menyatakan bahwa [36]:

A director or officer who makes a business judgment in good faith fulfills the (duty of care) if the director or officer: 1). is not interested in the subject of his business judgment; 2). is informed with respect to the subject of the business judgment to the extent the director or officer reasonably believes to be appropriate under circumstances; and 3). rationally believes that the business judgment is in the best interests of the corporation“.

Pada dasarnya, direksi adalah pihak yang dipilih untuk mewakili kepentingan pemegang saham, dan oleh karena itu memiliki fiduciary duty untuk kepentingan para pemegang saham [37]. Dalam kaitan ini, BJR berfungsi sebagai saringan untuk memastikan adanya atau tidak faktor kepentingan pribadi atau self dealing, atau penipuan [38]. Direksi, yang membuat keputusan bisnis dengan itikad baik dan memenuhi kewajiban untuk bertindak secara hati-hati atau duty of care, adalah jika direksi yang bersangkutan tidak tertarik terhadap materi dari pertimbangan bisnis itu, dan memiliki informasi yang memadai yang diperlukan untuk pertimbangannya, serta secara rasional percaya bahwa pertimbangan atau keputusan itu adalah yang terbaik bagi Perseroan, yang terutama demi memaksimalkan keuntungan.

Black’s Law Dictionary memberikan definisi dari doktrin Keputusan Bisnis atau Business Judgment Rule (BJR), sebagai berikut [39]:

The presumption that in making buisness decisions not involving direct self interest or self dealing, corporate directors act on an informed basis, in good faith, and in honest belief that their actions are in the corporation’s best interest. The rule shields directors and officers from liability for unprofitable or harmful corporate transactions if the transactions were made in good faith, with due care, and within the directors’ or officers’ authority”.

Pengertian di atas memberikan suatu titik tolak dari keberadaan BJR. Titik tolak ini merupakan anggapan awal bahwa dalam membuat keputusan bisnis, direksi tidak melibatkan kepentingan pribadi atau terkait dengan self dealing, dan melakukannya berdasarkan informasi yang cukup, dengan itikad baik, serta sejujurnya percaya bahwa direksi bertindak demi semata-mata kepentingan perseroan (”anggapan BJR”). Ketentuan ini memberikan perlindungan hukum bagi direksi yang bersangkutan, dari tanggung jawab terhadap transaksi perseroan yang merugikan atau yang berbahaya, sejauh direksi memenuhi tanggung jawab fiduciary atau fiduciary dutynya, dan  dilakukan dengan itikad baik, berdasarkan informasi yang cukup, hati-hati atau due care, dan dalam kewenangan direksi [40].

Dalam perkara McMullin v Beran, 765 A.2d 910 (De, 2000), Mahkamah Agung Delaware berpendapat sebagai berikut [41]:

“The business judgment rule “operates as both a procedural guide for litigants and a subtantive rule of law“. Procedurally, the initial burden is on the shareholder plaintiff to rebut the presumption of the business judgment rule. To meet that burden, the shareholder plaintiff must effectively provide evidence that the defendant board of directors, in reaching its challenged decision, breached any one of its “triad of fiduciary duties, loyalty, good faith or due care“. Substantively, “if the shareholder plaintiff fails to meet that evidentiary burden, the business judgment rules attached“ and operates to protect the individual director defendants from personal liability for making the board decision at issue .

Pendapat di atas menjelaskan bahwa BJR berlaku sebagai hukum acara untuk memberikan petunjuk bagaimana melakukan gugatan dan sebagai materi kepastian hukum. Secara proseduril, beban awal berada pada pihak pemegang saham penggugat untuk menolak adanya anggapan awal yang dimaksud di atas. Untuk itu, pemegang saham penggugat harus memberikan bukti bahwa direksi yang digugat, dalam membuat keputusan yang sedang digugat, melanggar salah satu dari tiga serangkai fiduciary duties: loyalty, good faith, atau due care. Namun, dari segi materi atau secara substantive, jika penggugat tidak berhasil memenuhi beban pembuktian yang diperlukan, maka ketentuan BJR berlaku, dan dapat melindungi direksi yang digugat dari tanggung jawab terhadap kerugian yang diakibatkan karena keputusan yang diperkarakan itu.

Dalam Perkara Burt Vs Irvine Co, Pengadilan memberikan pernyataan yang lebih jelas berikut [42]:

“The rule exempting officers of corporations from liability for mere mistakes and errors of judment does not apply where the loss is the result of failure to exercise proper care, skill, and diligence. Directors are not merely bound to be honest; they must also be diligent and careful in performing the duties they have undertaken. They cannot excuse imprudence on the ground of their ignogrance of inexperience, or the honesty of their intentions; and, if they commit an error of judgment through mere recklessness, or want of ordinary prudence and skill, the corporation may hold them responsible for the consequence“.

Direksi dinyatakan bebas tidak bertanggungjawab terhadap kerugian, yang ditimbulkan karena hanya melakukan kesalahan, tetapi tidak karena kesalahan dalam membuat pertimbangan karena gagal menerapkan kehati-hatian, keahlian dan sikap rajin. Direksi tetap bertanggungjawab jika mereka melakukan kecerobohan, ketidak hati-hatian atas dasar lalai karena tidak berpengalaman, seperti kehati-hatian dan keahlian yang wajar diperlukan. Walaupun demikian, Pengadilan lebih lanjut menegaskan bahwa [43]:

“Courts have properly decided to give Directors a wide latitude in the management of the affairs of a corporation provided always that judgment, and that means an honest, unbiased, is reasonably exercise by them“.

Ruang lingkup kebebasan dalam mengelola bisnis perusahaan secara luas diberikan oleh pengadilan kepada direksi, sejauh keputusan yang dibuat  mengandung kejujuran dan tidak bias, dan secara wajar dijalankan.

Pada intinya, pengadilan tidak memeriksa substansi dari keputusan yang dibuat direksi dalam menjalankan bisnis perusahaan seperti yang dinyatakan dalam kutipan berikut [44]:

[W]here the money damages or equitable relief is sought, the business judgment rule is a judicial policy of not reviewing the subtantive merits of a board of directors’s business decisions for the purpose of determining whether directors breached or fulfilled their duty of care“.

Tetapi, sebaliknya, pengadilan akan memeriksa keputusan direksi yang digugat, dari sisi lain, yaitu [45]:

(a)  Apakah keputusan itu mengandung penipuan, atau melanggar hukum, bersifat ultra vires, atau merupakan pemborosan atau waste.

(b)  Dengan menggunakan standar pemeriksaan atau standard of review yang wajar, memastikan bahwa direksi memenuhi duty of care, apakah dilakukan dengan itikad baik; dan dilihat dari manfaat materiel, apakah keputusan itu berimplikasi pelanggaran duty of loyalty dari direksi.

Jika penggugat dapat membuktikan bahwa  direksi seharusnya tidak dapat diberikan perlindungan hukum BJR yaitu ketika, misalnya, direksi memboroskan harta perseroan atau waste atau melanggar duty of care, atau mengambil uang perusahaan untuk kepentingan pribadi atau melanggar duty of loyalty, maka direksi harus membuktikan bahwa keputusannya itu dilakukan dengan itikad baik atau merupakan keputusan yang rasional [46].

3. Karakteristik BJR

BJR memiliki beberapa karakteristik, yaitu [47]:

Pertama, BJR diterapkan pada keputusan bisnis yang dibuat oleh direksi dan pejabat korporasi, dengan menganggap apa yang mereka lakukan adalah benar. Keputusan ini dibuat untuk kepentingan perusahaan semata atau best interests of the corporation [48].

Kedua, BJR memerlukan pertimbangan atau keputusan.

Ketiga, BJR melindungi direksi dan pejabat korporasi dari tanggung jawab jika melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan, walaupun keputusan itu ternyata tidak sehat atau salah dan menjatuhkan.

Keempat, BJR memberikan batasan bagi pengadilan sehingga pengadilan akan bersifat netral, atau tidak melakukan dugaan kedua (second guess) atau mempertanyakan atau mempermasalahkan keputusan para direktur korporasi.

4.  Persyaratan BJR

Pada dasarnya, BJR merupakan anggapan atau presumsi yang dapat melindungi tindakan direksi (“anggapan BJR“) atau pejabat korporasi sejauh syarat-syarat tertentu dipenuhi, yaitu[49]: pembuat keputusan bebas dari adanya benturan kepentingan (conflict of interest), menerapkan kepedulian yang standar dengan menggunakan informasi materiel yang memadai dalam membuat keputusan, dan memiliki dasar yang rasional dalam mengambil keputusan tersebut.

Tambahan pula, keputusan yang diambil direksi harus masih berada dalam ruang lingkup kewenangannya dan tidak dinodai dengan managerial fraud atau self dealing[50], atau bukan merupakan gross negligent [51], atau sama sekali tidak terdapat faktor ketidakpedulian penuh atau a complete absence of care [52], tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan atau abuse of discretion [53], serta tidak melanggar hukum positif [54].

Mengenai gross negligence, Black’s Law Dictionary memberikan definisi berikut:

“(1) Lack of slight diligence or care, (2) A conscious, voluntary act or omission in reckless disregard of a legal duty and of the consequences to another party, who may typically recover exemplary damages – Also termed reckless negligence, willful negligence, dstnya”.

Artinya tidak memiliki kepedulian yang sederhana, atau tindakan yang dilakukan atas inisiatif sendiri dengan mengabaikan kewajiban hukum sebagai konsekuensi terhadap pihak lain, yang umumnya dapat meminta ganti rugi; juga dapat diartikan sebagai ketidakpedulian yang disengaja atau ceroboh.

Menurut H. L. A. Hart, ketidakpedulian atau negligence akan bersifat keterlaluan atau gross, apabila tindakan pencegahan yang harus diambil untuk mencegah kerugian sangat sederhana; orang yang memiliki kapasitas mental atau phisik yang kurang baik sekalipun dapat dengan mudah melakukannya [55].     

5. Unsur-Unsur BJR

Di dalam sistem hukum asalnya [56], BJR disebutkan sebagai berikut:

“Business judgment rule is a specific application of this directorial standard of conduct to the situation where, after a reasonable investigation, disinterested directors adopt a course of action which, in good faith, they honestly and reasonably will benefit the corporation”[57].

Secara rinci, dalam BJR terdapat lima unsur pokok sebagai ukuran untuk menentukan apakah perlindungan hukum dapat diberikan kepada direksi atau tidak. Unsur pokok itu adalah sebagai berikut [58]:

1.   Business Decision : BJR hanya dapat diterapkan dalam konteks tindakan direksi, atau keputusan yang diambil merupakan tindakan direksi, termasuk tidak mengambil keputusan sejauh keputusan untuk tidak melakukan tindakan itu disadarinya.

2.   Disinterestedness : Ketentuan BJR menekankan loyalitas kepada perseroan  yang tidak terbagi dan tidak mengandung kepentingan pribadi, sehingga tidak terjadi konflik antara tugas dan kepentingan pribadi. Dalam kata lain, syaratnya adalah “ketidaktertarikan” atau Disinterestedness. Untuk menjaga integritas dari transaksi, direksi tidak boleh merasa tertarik, atau tidak memiliki kepentingan keuangan pada transaksi yang akan diputuskannya.

3.   Due Care : Direksi harus melakukan usaha yang diperlukan untuk memastikan dan mempertimbangkan seluruh informasi yang relevan. BJR hanya melindungi “informed decision”, atau pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang relevan dan cukup. Di Delaware, ukuran yang dipakai adalah gross negligence.

4.  Good Faith: Ini artinya bahwa motivasi dari tindakan direksi secara murni, berdasarkan keinginan yang jujur dan dengan itikad baik untuk menguntungkan pemegang saham perusahaan; tidak karena tujuan lain seperti keuntungan pribadi. Tidak adanya kepentingan keuangan yang signifikan menimbullkan anggapan adanya itikad baik. Namun, syarat adanya itikad baik memerlukan penentuan secara ad hoc mengenai motif direksi dalam membuat keputusan bisnis yang kemudian dipersoalkan.

5.   No Abuse of Discretion or Waste: Dipenuhinya seluruh unsur di atas tidak berarti bawa pengadilan sama sekali dipinggirkan, tetapi hakim tetap dapat memeriksa manfaat dari keputusan direksi, bukan untuk menggantikannya; tetapi untuk semata-mata memastikan bahwa tidak terdapat gross overreaching, atau an abuse of discretion, atau penyalahgunaan wewenang.

Seperti halnya dengan pengadilan lain di Amerika, pengadilan di Delaware juga menggunakan unsur-unsur yang sama tersebut [59]. Ditinjau dari  pendapat Mahkamah Agung Delaware di atas, unsur-unsur ini dikelompokan menjadi tiga jenis dari fiduciary duty, yaitu loyalty, due care, dan good faith, dan disebut sebagai suatu tiga serangkai.

Ketiga unsur tersebut merupakan inti dari 5 unsur di atas; karena 2 unsur yang lain, yaitu Disinterestedness dan No Abuse of Discretion, kecuali Business Decision, berkaitan erat dengan fiduciaru duty, dan merupakan patokan tidak adanya benturan kepentingan atau conflict of interest, atau tidak adanya pengambilan kesempatan pribadi atau pelanggaran terhadap duty of loyalty. Jika salah satu dari unsur ini dilanggar, maka BJR tidak dapat digunakan untuk melindungi direksi.

Sebagai tambahan dalam perkembangan terakhir, Delaware menyatakan bahwa direksi hanya bertanggungjawab untuk mempertimbangkan fakta-fakta yang materil yang umumnya tersedia (reasonably available), bukan fakta-fakta yang imateril yang berada  di luar jangkauan direksi. Sedangkan berapa banyak informasi yang dianggap cukup, dan bagaimana informasi dikumpulkan apakah melalui mekanisme konsultan, komite, atau laporan, juga merupakan pertimbangan bisnis[60]. Direksi berkewajiban dengan tingkat kepeduliannya (degree of care) untuk mengumpulkan informasi, ketika dalam proses pengambilan keputusan, yang membuat direksi dapat memilih alternatif menuju ke keputusan yang akan diambilnya[61].

6. Itikad Baik, Duty of Good Faith

Menurut Andrew S, Gold, dalam terjemahan bebasnya, itikad baik atau duty of good faith merupakan konsep yang kabur, dan merupakan fitur dalam hubungan dengan hukum kontrak [62]. Namun, itikad baik dalam kaitan dengan fiduciary duty mengandung arti yang lebih luas. Sean J.Griffith berpendapat bahwa konsep itikad baik tidak terlepas dari pengertian duty of care atau duty of loyalty. Jika seseorang bekerja dengan baik dan memenuhi kewajiban fiduciarynya, maka dapat dikatakan orang itu bekerja dengan hati-hati atau secara prudent, dan berarti ia bekerja memenuhi duty of care-nya. Sebaliknya, jika orang itu bekerja dengan itikad baik, bukan mementingkan diri sendiri, maka dikatakan dia memenuhi duty of loyalty-nya [63].

Chancery Courts Delaware berpandangan bahwa itikad baik tidak dapat dipisahkan dari duty of loyalty, karena  seseorang tidak dapat bertindak dengan itikad buruk, tetapi pada saat yang sama dia melakukan duty of loyalty terhadap perusahaan dan para pemegang saham. Pemikirannya adalah bahwa direksi tidak akan bertindak dengan kesetiaan terhadap perseroan, kecuali bertindak dengan itikad baik dan tindakannya itu merupakan yang terbaik bagi perusahaan. Pendapat lain mengatakan bahwa seorang fiduciary dapat bertindak dengan beritikad baik tetapi tidak loyal, dan dia tidak memiliki kepentingan keuangan dalam transaksi terkait [64]. Di sini, tidak loyal tidak selalu berarti terdapat kandungan kepentingan pribadi yang berkaitan dengan keuangan.

Itikad baik dapat pula dipandang sebagai komponen dari duty of care,  jika dilihat sebagai suatu kegagalan dari suatu proses. Ini artinya perlu dilihat apa yang harus dilakukan, atau tidak dilakukan, dalam rangka menghindari terjadinya kerugian [65]. Pendapat lain mengartikan itikad baik memiliki kandungan sikap hati-hati, dan harus diartikan sebagai tindakan yang lebih dari kecerobohan biasa, atau yang telah berdeviasi secara ekstrim dari norma yang berlaku, sehingga telah merupakan gross negligence atau tindakan pemborosan atau waste [66].

Mahkamah Agung Delaware, dalam terjemahan bebasnya, menjelaskan pengertian itikad baik dalam 3 kategori perbuatan fiduciary atau fiduciary conduct, dan seluruhnya menyangkut perbuatan dengan itikad buruk, yaitu [67]:

Pertama, itikad buruk yang subjektif, yaitu perbuatan fiduciary yang dilatarbelakangi dengan niat yang sesungguhnya untuk membahayakan atau menimbulkan kerugian, dan Pengadilan menyimpulkan bahwa kategori ini jelas merupakan pelanggaran terhadap kewajiban itikad baik atau duty of good faith;

Kedua, kategori ini menyangkut kurangnya sikap hati-hati atau duty of care – ’’suatu tindakan fiduciary yang dilakukan semata-mata karena sangat ceroboh atau gross negligence dan tanpa adanya niat jahat. Walaupun duty of care dan duty of loyalty berkaitan dan saling tumpang tindih, perbuatan yang sangat ceroboh atau grossly negligent conduct tidak berarti dan tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran fiduciary duty untuk berlaku dengan itikad baik; atau dalam kata lain, pelanggaran duty of care tidak secara otomatis merupakan suatu tindakan atau kealpaan atau omission yang berarti ’’tidak beritikad baik“. Walaupun duty of good faith berdempetan dengan duty of care dan loyalty, tetapi dalam pelaksanaan due care dan good faith harus dibedakan.

Ketiga, menyangkut penelantaran kewajiban yang disengaja, atau mengabaikan kewajiban secara sadar, dan dapat dijelaskan melalui keadaan berikut: ’’Direksi tidak memiliki benturan kepentingan, tetapi terkait dengan tingkah laku buruk yang lebih bersifat jahat dan bukan merupakan keadaan yang tidak memperhatikan atau gagal menggunakan informasi yang mengandung kenyataan yang materiel yang diperlukan dalam pengambilan keputusan.

Kewajiban untuk beritikad baik adalah tugas tambahan atau penunjang yang dikaitkan dengan duty of loyalty. Pengadilan menjelaskan bahwa tanggung jawab berdasarkan itikad baik adalah tidak langsung, yaitu kegagalan bertindak dengan itikad baik tidak langsung dapat dikenakan pembebanan tanggung jawab. Namun, perlu dimengerti bahwa duty of loyalty meliputi pengertian bahwa seseorang gagal bertindak dengan itikad baik, walaupun seseorang tidak memiliki benturan kepentingan keuangan atau yang dapat dilihat lainnya [68].

Pelanggaran terhadap duty of good faith, atau itikad buruk sebagai lawan dari itikad baik, terjadi jika direksi memiliki niat untuk melalaikan kewajiban atau duty-nya, atau secara sadar melalaikan kewajibannya. Dalam hal ini, itikad buruk terjadi, jika seorang fiduciary menyadari bahwa dia tidak bertindak demi kepentingan terbaik perusahaan, atau tidak konsisten dengan tanggungjawabnya [69].

Itikad buruk dapat juga diartikan sebagai tindakan yang menyetujui suatu transaksi dengan tujuan bukan merupakan usaha yang murni untuk memajukan kesejahteraan perseroan, atau ketika transaksi diketahui melanggar hukum positif yang berlaku. Itikad buruk tidak dapat hanya disebabkan karena kelalaian, tetapi mengabaikan tugas secara sistematis dan terus menerus sudah dapat menunjukkan itikad buruk. Itikad buruk juga dapat terjadi, jika direksi gagal secara sistematis dan terus menerus melaksanakan tugas pengawasannya, dalam berupaya meyakini diri adanya sistem pelaporan informasi secara memadai; namun, yang dilihat disini hanya dari segi prosesnya, bukan substansi dari keputusan [70]. Lebih lanjut, Pengadilan dalam Perkara Disney menyatakan sebagai berikut [71]:

“Bad faith can be the result of any emotion [that] may cause a director to [intentionally] place his own interests, preferences or appetites before the welfare of the corporation, including greed, hatred, lust, envy, revenge,…… shame or pride. Sloth could be certainly be an appropriate addition to that incomplete list if it constitutes a systematic or sustained shirking of duty”.   

Menurut Hillary Sale, analisis dari itikad baik berfokus pada pertanyaan akan niat, yang meragukan bahwa direksi bertindak dengan itikad baik, ketika direksi tidak memperhatikan, menjungkirbalikkan, mengabaikan, tanggung jawabnya, atau bertindak dengan sikap netral atau tidak berpihak terhadap tanggungjawabnya [72]. Pendapat lain menambahkan bahwa tindakan yang sembrono merupakan batu ujian untuk menentukan pelanggaran duty of good faith; atau tindakan dengan itikad buruk harus dikaitkan dengan adanya motivasi yang tidak pantas atau tidak senonoh atau niat yang tidak halal [73]. Salah satu kesimpulan dari Perkara Disney menyebutkan bahwa motivasi dari seorang fiduciary untuk bertindak dengan itikad buruk dapat bersumber dari keserakahan, kebencian, nafsu, rasa iri, pembalasan, rasa malu, atau rasa bangga.

Dari pengamatannya terhadap sejumlah keputusan pengadilan, dalam terjemahan bebasnya, Douglas M. Bradson menyimpulkan, bahwa jika direktur dengan sengaja menyimpan informasi materiel dan tidak memberitahukannya kepada direksi lainnya, dengan tujuan menyesatkan pemegang saham, dapat dianggap sebagai itikad buruk. Kesimpulan lain yang beliau kemukakan adalah jika direksi hanya menyetujui, atau rubber stamped, tanpa memberikan pertimbangan atau membuat keputusan terhadap keputusan pemegang saham yang dominan, maka berarti direksi tidak berdiri secara independen, dan oleh karenanya tidak memenuhi itikad baik yang diperlukan [74].

Tindakan itikad buruk diartikan sebagai tindakan dengan niat tidak untuk memajukan kepentingan perusahaan, tetapi untuk tujuan lain, seperti bertindak dengan melanggar hukum positif, atau bertindak dengan niat dihadapan tugas atau kewajiban yang diketahui untuk dilakukan yang menunjukkan pengabaian terhadap kewajiban atau tugas itu. Tambahan pula, jika seorang direktur tidak bertindak demi kepentingan terbaik perusahaan, maka tidaklah relevan jika ia bertindak secara tidak patut. Dalam keadaan seperti itu, dirasakan cukup untuk menyimpulkan bahwa direksi memilih untuk tidak melayani perusahaan. Menurut Andrew S. Gold, dalam terjemahan bebasnya, adanya tindakan itikad baik atau buruk tergantung pada alam pemikiran subjektif dari direksi, yaitu keyakinannya bahwa tindakannya adalah untuk kepentingan terbaik perusahaan; direksi dengan hati yang bersih dan kepala yang kosong tidak dipertanggungjawabkan berdasarkan formulasi di atas[75].

Menurut Andrew S. Gold, dalam terjemahan bebasnya, kategori tindakan dengan itikad buruk meliputi menghindari semangat untuk melakukan trasaksi atau kontrak yang adil, kurangnya sikap hati-hati, sombrono, hanya menekankan kinerja yang “menonjol” atau hanya yang dapat dilihat, menyalahgunakan kewenangan dalam memenuhi kepatuhan, melakukan intervensi atau gagal untuk bekerja sama dengan pihak lain [76].

Dalam Perkara Caremark, formulasi yang dikemukakan oleh Pengadilan mengenai adanya itikad buruk, jika terdapat kegagalan yang sistematis atau terus menerus untuk melakukan tugas pengawasan sebagai suatu  kegagalan yang gamblang untuk meyakini adanya informasi yang memadai dan sistem pelaporan yang diperlukan. Di sini, kembali yang dilihat adalah proses yang digunakan direksi, yaitu keadaan mental yang menunjukkan bahwa direksi tidak menggunakan proses pengumpulan informasi yang memadai. Dalam Perkara ini, terdapat laporan dari konsultan independen yang menyatakan bahwa Direksi AmSouth dalam berbagai kesempatan telah mengeluarkan kebijakan dan prosedur, yang dirancang untuk memastikan kepatuhan terhadap Hukum Kerahasian Bank dan Anti Pencucian Uang. Oleh karena itu, Pengadilan berpendapat bahwa penggugat tidak dapat menunjukkan adanya keraguan yang beralasan untuk mempertanyakan apakah direksi telah bertindak dengan itikad baik [77].

Dalam perkembangan terakhir, dalam terjemahan bebasnya, Mahkamah Agung Delaware berpendirian bahwa itikad baik merupakan fiduciary duty yang berdiri sendiri, dan terlepas dari pengertian duty of care dan duty of loyalty. Di sini, pengertian itikad buruk mencakup keadaan seorang fiduciary bertindak sangat bodoh atau keterlaluan, sehingga merupakan tindakan yang lebih jauh dari gross negligence, tanpa harus memenuhi pengujian ada atau tidaknya benturan kepentingan. Gross negligence sendiri menunjukkan adanya tindakan yang tidak rasional, dan juga berimplikasi pengabaian terhadap tanggung jawab sebagai Direksi dan bernilai kesengajaan.

Sebagai kesimpulan, Robert Sprague dan Aaron J. Lyttle dalam terjemahan bebasnya menegaskan, bahwa pelanggaran duty of good faith secara khusus dapat ditunjukkan dengan: (1) adanya tindakan yang disengaja dengan tujuan bukan demi kepentingan terbaik perusahaan, (2) pelanggaran yang disengaja terhadap hukum yang berlaku, atau (3) dengan sengaja gagal untuk bertindak dihadapan kewajiban yang diketahui untuk bertindak, sehingga menunjukkan pengabaian terhadap kewajiban yang disadari. Itikad buruk dapat ditunjukkan apabila seorang fiduciary sengaja gagal untuk bertindak dihadapan kewajiban yang diketahui untuk bertindak, sehingga menunjukkan pengabaian terhadap kewajibannya [78].

7.   Duty of Care

Sebagai standar tingkah laku, due care merupakan prasyarat dari BJR, dan digunakan sebagai dasar pemeriksaan apakah direksi memenuhi standar tingkah laku [79]. Direksi yang bertindak dengan itikad baik diartikan tidak memiliki kepentingan pribadi, dan tugas berikutnya adalah bertindak dengan hati-hati [80]. Esensi yang penting dari duty of care adalah sikap hati-hati atau prudent, dengan ukuran bertindak seperti seorang biasa yang hati-hati dalam mengurus urusannya sendiri [81].

Menurut Douglas  Bradson, dalam terjemahan bebasnya, standar kehati-hatian yang digunakan tetap berupa kehati-hatian yang layak, due care. Dalam hukum Korporasi, due care ini adalah bahwa direksi harus melaksanakan tugas kewajiban atau duty itu “dengan kehati-hatian sebagaimana orang biasa yang hati-hati di posisi yang sama akan menerapkan dalam keadaan yang sama“. Ini artinya direksi melakukan kontrol terhadap perusahaan dengan menerapkan kehati-hatian yang digunakan oleh orang biasa dalam melaksanakan tindakannya sendiri [82]. Hal itu dapat pula berarti bahwa direksi  bertindak secara proaktif, dalam membuat pertimbangan atau keputusan, atau dengan keputusan yang disadari untuk tidak melakukan tindakan apa-apa, sehingga jelas betentangan dengan kelalaian penuh [83].

Duty atau kewajiban yang harus dilakukan oleh direksi dalam konteks standard of care meliputi tugas melakukan monitoring, tugas bertanya, tugas untuk mengambil keputusan yang wajar dan prudent mengenai hal-hal dimana direksi wajib untuk memilih untuk bertindak, dan tugas untuk menggunakan proses pengambilan keputusan yang wajar. Ini artinya seseorang harus memilih berbagai alternative dari proses pengambilan keputusan yang terbaik bagi dirinya. Dalam konteks hukum korporasi, alternatif yang terbaik dipilih, jika menghasilkan manfaat yang terbesar bagi perusahaan, atau dalam rangka memaksimalkan keuntungan bagi perusahaan [84].

Jika proses pengambilan keputusan itu sehat, pengadilan akan memeriksa keputusan bisnis dalam rangka melakukan verifikasi hubungan antara proses dan hasil keputusan. Di sini, pengadilan melihat apakah keputusan bersifat rasional sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan yang dilakukan, atau apakah terdapat hubungan yang rasional antara proses pengambilan keputusan dengan keputusan yang dibuat. Jadi, pengadilan tidak mengkaji substansi dari keputusan itu; tetapi jika prosesnya tidak baik atau cacat, maka terlepas dari kualitas keputusan yang dibuat, maka direksi dapat dinyatakan bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat yang berdekatan dengan tindakan yang tidak hati-hati itu [85].

Kewajiban untuk bertindak dengan hati-hati atau duty of care menuntut direksi untuk membuat keputusan bisnis, melalui suatu proses pengambilan keputusan, dengan tingkat kehati-hatian yang umumnya digunakan oleh orang biasa dalam keadaan yang sama dengan mempertimbangkan infomasi materiel yang tersedia secara wajar. Menggunakan informasi yang cukup dalam  pertimbangan untuk membuat suatu keputusan merupakan usaha itikad baik yang diperlukan dalam melakukan duty of care [86]. Dalam hal ini, Douglas M. Bradson, dalam terjemahan bebasnya berpendapat, bahwa direksi bertanggungjawab untuk mempertimbangkan seluruh fakta materiel yang secara wajar tersedia, bukan infomasi yang imaterial yang di luar jangkauan. Beliau mengatakan bahwa ketersediaan informasi secara wajar itu tidak dapat bersifat subjektif secara keseluruhan, tetapi juga bersifat objektif [87].

Mengenai informasi yang materiel yang digunakan, ukurannya adalah bersifat subjektif, sejauh direksi dalam mengambil keputusan yakin bahwa mereka memiliki informasi yang cukup, yang tergantung pada sifat dan kompleksitas keputusan yang dibuat. Dari segi objektif, direksi perlu mengetahui alasan untuk melakukan suatu transaksi bisnis, dampak dari transaksi itu terhadap para pemangku kepentingan, pandangan manajemen terhadap harga dan faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi harga,  dan kewajaran dari transaksi itu [88].

Jika penggugat dapat membuktikan bahwa direksi tidak bertindak dengan due care, dalam arti kelalaian atau nonfeasance atau penyalahgunaan wewenang atau misfeasance, maka sudah dapat dinyatakan melanggar duty of care. Lebih lanjut, jika tidak dapat bebas dari tuntutan, maka direksi harus bertanggungjawab terhadap seluruh ganti rugi sebagai akibat terdekat atau proximately cause dari tindakan itu [89].

8.   Duty of Loyalty

Kewajiban atau duty ini merupakan salah satu dari fiduciary duty dan, dalam formulasi yang sederhana, dapat diartikan sebagai kewajiban yang tidak mementingkan diri sendiri atau duty of unselfishness dan bukan merupakan self dealing. Dalam hal pengambilan keputusan, duty of loyalty menuntut direksi untuk membuat keputusan atau bertindak demi kepentingan pemegang saham, atau kepentingan konstituen, bukan untuk diri pribadinya [90]. Contoh dari self dealing adalah menyangkut direksi muncul di dua sisi dari suatu transaksi atau menerima keuntungan pribadi dari suatu transaksi yang tidak diterima oleh pemegang saham korporasi [91].

Secara tradisional, unsur duty of loyalty adalah tidak adanya benturan kepentingan dalam bentuk manfaat keuangan. Jika benturan kepentingan ini terjadi, maka yang digugat harus membuktikan bahwa transaksi terkait yang dilakukannya itu bernilai jujur dan wajar [92]. Pelanggaran duty of loyalty bukan dilihat dari prosesnya, tetapi dari hasilnya[93]. Oleh karena itu, esensi yang utama dari duty of loyalty adalah kesetiaan terhadap perseroan, dengan ukuran meletakkan kepentingan perusahaan di atas kepentingan pribadi [94].

Sean J. Griffith, dalam terjemahan bebasnya, menjelaskan mengenai duty of loyalty lebih jauh. Kewajiban ini mulai dipertanyakan ketika muncul benturan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sebagai fiduciary, yang berkaitan dengan mengarahkan arus kas atau kesempatan investasi, atau penggunaan aset perusahaan dengan mengutamakan kepentingan atau reputasi pribadi, bukan untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan. Ketika direksi mengambil kesempatan ini untuk kepentingan pribadi, sering dilakukan dengan menggunakan prosedur yang baku. Pada dasarnya, duty of loyalty ditentukan dengan menjawab pertanyaan apakah transaksi itu menguntungkan perusahaan, dan dilakukan secara terbuka, atau at arms length [95].

D.  Unsur-Unsur BJR dalam UUPT

Untuk memastikan bahwa UUPT mengandung Keputusan Bisnis atau BJR, perlu diperiksa dengan cermat apakah UUPT mengandung unsur-unsur BJR. Berikut ini adalah pembahasan dalam rangka mengkaji adanya unsur-unsur tersebut.

1.  Fiduciary Duty
a.  Pengertian Umum

Black’s Law Dictionary memberikan pengertian duty dan fiduciary duty sebagai berikut [96]:

“Duty: A legal obligation that is owed or due to another and that needs to be satisfied; an obligation for which somebody else has a corresponding right”.

“Fiduciary duty: A duty of utmost good faith, trust, confidence, and candor owed by a fiduciary (such as a lawyer or corporate officer) to the beneficiary (such as a lawyer’s client or a shareholder); a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests of the other person (such as the duty that one partner owes to another)”.

Kata fiduciary sendiri mengandung dua makna, yaitu kepercayaan dan keyakinan [97]. Pengertian di atas menunjukkan bahwa fiduciary duty adalah suatu tugas atau kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh seseorang untuk mana orang lain memiliki hak untuk itu, yang berdasarkan atas itikad baik, kepercayaan, keyakinan dan kejujuran, yang paling tulus yang harus diberikan oleh seorang yang dipercaya sepenuhnya demi kepentingan pihak lain, yang memberikan kepercayaaan itu.

Fiduciary relationship dalam terjemahan bebasnya berarti bahwa seseorang memiliki kewajiban untuk bertindak demi kepentingan pihak lain, dalam hal-hal yang berkaitan dengan ruang lingkup hubungan itu. Hubungan tersebut dapat muncul dari salah satu keadaan berikut: a). ketika seseorang meletakkan kepercayaan berdasarkan integritas yang tulus dari orang lain, yang sebagai akibatnya memiliki kelebihan atau pengaruh terhadap yang pertama; b). ketika seseorang menjalankan pengawasan dan tanggung jawab terhadap orang lain; c). ketika seseorang memiliki kewajiban untuk memberikan nasehat kepada yang lain dalam kaitan dengan hubungan itu; d). atau apabila adanya hubungan yang khusus secara tradisional atau kebiasaan menyangkut adanya fiduciary duties  [98].

Pada umumnya, fiduciary duty terbentuk, ketika suatu pihak diberikan kewenangan diskresi yang berkaitan dengan properti atau sumber daya yang penting dari pihak lain. Dalam pengertian yang lebih luas, seorang fiduciary harus bertindak dengan tidak mementingkan diri sendiri, tetapi untuk kepentingan pihak lain itu atau beneficiary; dan dipandang sebagai implikasi dari ketentuan perjanjian yang mengatur diskresi untuk bertindak [99].

b.  Fiduciary Duty dalam UUPT

UUPT menyebutkan bahwa direksi ditunjuk oleh perseroan melalui  RUPS. Keberadaan direksi sebagai organ badan hukum timbul karena terbentuknya badan hukum itu. Direksi perseroan berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan (Pasal 1 dan Pasal 92 Ayat 1 UUPT), dan berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada  Pasal 92 ayat 1 UUPT, sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UUPT atau anggaran dasar (Pasal 92 ayat 2 UUPT). Pasal 98 ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa direksi mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Seluruh ketentuan tersebut menunjukkan adanya ketergantungan perseroan terhadap direksi. Antara direksi dan perseroan terdapat suatu ikatan hubungan, karena tanpa direksi, maka maksud dan tujuan serta usaha perseroan tidak akan tercapai. Sebaliknya, tanpa adanya perseroan, direksi tidak akan ada. Menurut Fred B. G. Tumbuan, seperti yang dikutip oleh Rachmadi Usman, hubungan kedua pihak ini merupakan hubungan kepercayaan atau fiduciary relationship, yang melahirkan fiduciary duties bagi direksi [100].

Menurut Ridwan Khairandy, badan hukum PT dalam melakukan perbuatan hukum selalu harus melalui pengurus atau direksinya [101]. Badan hukum itu tidak dapat berfungsi tanpa keputusan yang diambil dan tindakan yang dilakukan direksi dalam rangka mencapai tujuan perseroan; sehingga perseroan sangat tergantung pada direksi tersebut. Secara teoretis, penunjukan ini telah membentuk hubungan fiduciary antara perseroan dengan direksi, sebagai salah satu keadaan yang digambarkan dalam pengertian di atas. Direksi diberikan tanggung jawab penuh untuk menjalankan usaha dan mengelola harta dan sumber daya perseroan untuk kepentingan perseroan. Di sini jelas terlihat bahwa direksi memiliki kapasitas dan tugas fidusia.

Secara langsung atau tidak langsung, tugas yang harus dilakukan oleh direksi itu adalah untuk kepentingan perseroan, dan mengandung tingkat kepercayaan yang tinggi yang dapat diberikan oleh perseroan, serta secara tidak langsung oleh pemangku kepentingan. Selain itu, direksi juga harus memperhatikan kewajiban hukumnya terhadap perseroan, dengan mengambil keputusan dan bertindak secara hati-hati, sehingga tidak merugikan perseroan atau pemangku kepentingan lainnya, dan menghindari diri dari perbuatan yang melanggar hukum, atau tidak mengikat perusahaan dalam perikatan yang tidak seimbang atau tidak adil.

Pasal 61 Ayat (1) UUPT menyebutkan bahwa, “Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan karena tindakan perseroan yang dianggapnya tidak adil dan tanpa alasan yang wajar sebagai akibat keputusan RUPS, direksi dan/atau dewan komisaris”. Direksi tidak dapat melakukan kesalahan atau kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian bagi perseroan seperti yang disebutkan dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT, atau dapat pula diartikan sebagai keadaan yang merupakan salah urus atau mismanagement. Untuk itu, direksi dituntut untuk memiliki tingkat integritas, loyalitas, kejujuran, dan kemampuan profesionalisme di bidangnya yang tinggi; sehingga direksi merupakan pihak yang bonafide bagi perseroan.

Karena direksi berada pada posisi untuk mengontrol aset perusahaan, direksi akan melanggar fiduciary duty, jika: (a) menggunakan untuk kepentingan pribadi informasi yang diperoleh dalam kapasitasnya sebagai direksi, (a) melepas aset perusahaan pada harga yang rendah dengan tujuan lain dari menguntungkan perusahaan, dan (c) mengambil kesempatan yang datang untuk perusahaan untuk kepentingan pribadi [102].

Perbedaannya dengan konsep trustee terletak pada hukum trust, dan trustee tidak mengambil risiko. Tetapi, fiduciary yang berlaku pada perusahaan atau bank, direksi mengambil risiko bisnis, atau risiko kredit ketika memutuskan pemberian kredit bagi para debitor. Derek French (et.al) menekankan bahwa masalah pengambilan risiko merupakan isu sentral dalam hukum trust (karena tidak mengambil risiko, pen), tetapi bukan pada hukum fiduciary. Dalam hukum fiduciary, yang penting bagi fiduciaries adalah menghindari diri dari penggunaan wewenang atau diskresi dalam cara yang merugikan untuk siapa dia bekerja, dan dari penyalahgunaan kepercayaan dan keyakinan yang diberikan kepadanya [103]. Setiap direktur perusahaan memiliki fiduciaries duties terhadap perusahaan dan pemegang sahamnya, yang meliputi itikad baik, duty of care, loyalty dan candor [104].

Try Widiyono berpendapat bahwa fiduciary duty menyangkut seluruh tugas direksi, untuk mana direksi harus mempunyai duty of care and skill, itikad baik, kejujuran, dan loyalitas kepada perseroan. Sedangkan duty of care mengharuskan direksi bersikap hati-hati, yang artinya mengikuti prosedur yang berlaku dengan pertimbangan rasional [105].

2.   Diskresi untuk Membuat Keputusan Bisnis dalam UUPT.

Pasal berikut berkaitan erat dengan diskresi yang diberikan oleh UUPT kepada direksi.

Pasal 92 ayat (2) UUPT berbunyi:

“Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar“.

Berdasarkan Pasal di atas, Munir Fuady berpendapat bahwa doktrin keputusan bisnis atau BJR secara lebih tegas diakui dalam UUPT. Menurut beliau, pernyataan yang berbunyi bahwa direksi berwenang menjalankan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dipandangnya tepat, yang sesuai dengan keahlian yang dimiliki, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia bisnis [106]. Frasa ‘kebijakan yang dianggap tepat’ menunjukkan bahwa dalam menjalankan usaha perseroan, direksi memiliki diskresi yang diperlukan dalam membuat keputusan sejauh masih dalam koridor hukum, dan sesuai dengan yang ditentukan dalam anggaran dasar, yang antara lain sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Ini artinya unsur pertama BJR, yaitu keputusan bisnis atau usaha, dipenuhi oleh UUPT.

Pasal 92 ayat (1) dengan jelas menyatakan mengenai kewenangan direksi, bahwa dalam menjalankan pengurusan perseroan harus untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Untuk itu, Pasal 92 ayat (2) menyebutkan bahwa direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang ditentukan dalam UUPT dan anggaran dasar.

Ayat ini memberikan kewenangan diskresi, yang merupakan ruang bagi direksi dalam membuat pertimbangan dan keputusan yang dianggap tepat, yang diperlukan dalam menjalankan kepengurusan perseroan. Menurut Nindyo Pramono [107], frasa “kebijakan yang dianggap tepat” adalah kebijakan yang antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam usaha yang sejenis. Kelaziman ini tidak memiliki ukuran yang standar, kecuali melalui pendapat umum yang dapat diperoleh dari sesama pelaku bisnis dalam bidang usaha yang sama. Di sini, Rudhi Prasetya berpendapat, seperti yang dikutip oleh Neni Sri Imaniyati, bahwa ruang lingkup kewenangan direksi itu dibatasi oleh asas kepantasan. Sejauh kepengurusan dijalankan dalam batasan ini, direksi tidak dapat dikatakan melanggar otonomi yang diberikan [108].

Menurut Nindyo Pramono, secara yuridis, ukuran kepantasan itu berarti tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, itikad baik, kepatutan, kebiasaan atau undang-undang dan tidak melanggar hukum. Di samping itu, Nindyo Pramono mengatakan bahwa kebijakan yang dipandang tepat adalah kebijakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi perseroan, kebijakan yang berguna bagi kepentingan perseroan [109].

Pendapat tersebut didukung oleh Ali Rido, yang mengatakan bahwa kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh direksi dalam batas-batas wewenangnya dan mengikat badan hukum, sejauh tindakan itu kemudian menguntungkan badan hukum [110]. Menurut Nindyo Pramono lebih lanjut, UUPT sendiri memberikan kelonggaran untuk menjabarkannya kepentingan praktik baik secara sempit ataupun secara luas, sejauh hal itu sesuai dengan norma-norma kelaziman dalam dunia usaha sejenis [111].

Walaupun direksi merupakan wakil dari badan hukum, tetapi menurut Ali Rido perwakilan itu bukan merupakan pemberian kuasa [112]. Menurut Pasal 1796 KUH Perdata, pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum hanya berlaku untuk perbuatan-perbuatan pengurusan atau pengelolaan saja atau tot daden van beheer, dan tidak termasuk dalam perbuatan penguasaan atau tot daden van beschikken.

Pasal 1795 dan 1796 KUHPerdata tidak berlaku bagi perwakilan badan hukum, dan bagi pengurusnya dapat melakukan kedua macam perbuatan pengurusan itu, termasuk pengurusan penguasaan seperti menjual, menyewakan, menggadaikan dan lain sebagainya, jika anggaran dasarnya tidak mengandung ketentuan yang mengatur perbuatan tersebut [113]. Dalam hal penguasaan atau beschikking van daden, biasanya dirumuskan dalam anggaran dasar dengan kaedah larangan; dan apabila tidak dirumuskan di dalam anggaran dasar, maka itu berarti merupakan perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup pengurusan, dan biasa dilakukan sehari-hari oleh direksi [114].

Contoh untuk perbuatan beschikking van daden dapat dengan jelas dilihat dari ketentuan Pasal 102 ayat (1), yang  menetapkan direksi wajib untuk meminta persetujuan RUPS, dalam hal: (1) mengalihkan kekayaan perseroan, (2) menjadikan jaminan utang kekayaan perseroan, yang merupakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.

Uraian di atas menunjukkan dua hal yang berkaitan antara yang satu dengan yang lain, yaitu antara tanggung jawab dengan wewenang. Menurut Winardi, seperti yang dikutip oleh Nindyo Pramono, tanggung jawab adalah kewajiban seorang individu, atau dalam hal ini direksi, untuk melaksanakan aktivitas yang ditugaskan kepadanya sebaik mungkin, sejalan dengan kemampuannya, yang akan berlangsung terus sampai tugas itu selesai dilaksanakan. Menurut Nindyo Pramono, kedua hal tersebut memiliki tingkat yang sama, artinya wewenang diberikan dan dilaksanakan dengan tanggung jawab penuh untuk melaksanakan pengurusan perseroan, dan tanggung jawab diberikan sesuai dengan wewenang[115].

Dalam perseroan, wewenang direksi memberikan kepadanya kekuasaan untuk membuat dan menjalankan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan bidang tugasnya yang telah ditetapkan [116]. Tanggung jawab terhadap tugasnya itu menimbulkan kewajiban baginya untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut dengan menggunakan wewenang yang ada untuk mencapai tujuan perseroan [117]. Hal ini tercakup dalam Pasal 97 ayat (1), dan ayat (2) menyebutkan bahwa pengurusan yang dimaksud dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, dan seterusnya.

3.   Duties of Skill & Care, Loyalty and Candor
a.   Pengertian Duty of Skill & Care

Black’s Law Dictionary memberikan definisi dari duty of care berikut [118]:

Under the law of negligence or of obligation, the conduct demanded of a person in a given situation. Tipically, this involves a person’s giving attention both to possible dangers, mistakes, and pitfalls and to way of minimizing those risks”.

Pengertian di atas dalam terjemahaan bebasnya adalah bahwa standar kehati-hatian mewajibkan seseorang untuk bertindak dalam keadaan tertentu, untuk memperhatikan segala kemungkinan yang ada seperti bahaya, kesalahan, dan perangkap sehingga dapat meminimalkan risiko yang mungkin dihadapi [119].

Dari segi hukum, duty of care dikembangkan pada awalnya oleh Lord Atkin dari perkara Donoghue Vs Stvenson, yang menyatakan bahwa “anda harus melakukan kehati-hatian yang wajar agar menghindari tindakan atau omission atau kealpaan yang dapat anda perkirakan akan membahayakan tentangga anda”. Duty of care merupakan kewajiban hukum bagi setiap orang untuk bertindak secara hati-hati, sehingga tidak membahayakan atau merugikan pihak lain. Duty of care dapat pula dianggap sebagai formalisasi dari tanggung jawab yang ada berdasarkan kontrak, atau perjanjian, atau terhadap publik [120].

Sejalan dengan pernyataan dari Lord Atkin di atas, duty of care sebagai ex ante berdasarkan prinsip perkiraan atau yang dapat diperkirakan, dan hanya berlaku bagi orang yang berada secara dekat, dan secara langsung, dapat merasakan akibat dari  tindakan orang lain yang harus diperhitungkan oleh pelaku. Jadi, kewajiban kehati-hatian atau duty of care adalah unsur yang esensiel yang harus terlebih dahulu dipenuhi, sebelum seseorang dapat dinyatakan bertanggung jawab atas kelalaiannya [121].

Arti dari ‘skills and care’ seperti yang dijelaskan oleh the Insolvency Act 1985 adalah pada intinya mengandung harapan yang sejalan dengan keahlian atau skill, kualifikasi, dan pengalaman dari suatu tingkat direktur tertentu. Oleh karena itu, tingkat skill yang lebih tinggi diharapkan dari seorang direktur keuangan yang profesional dibandingkan dengan direktur non eksekutif lainnya. Standar yang digunakan mensyaratkan direksi, baik secara individu dan secara kolektif, memperoleh dan memiliki pengetahuan dan pengertian yang cukup mengenai bisnis dari perusahaan, sehingga mereka dapat menjalankan tugas–tugasnya secara tepat sebagai direksi.Tingkat dari duty ini tergantung pada posisi direksi yang bersangkutan di dalam rantai manajemen dan tugas serta tanggung jawabnya dalam peranan tersebut [122].

b.   Pengertian Duty of Loyalty.

Duty of loyalty merupakan bagian yang penting dari fiduciary duty, dan lebih penting dari duty of care [123]. Duty of loyalty mengharuskan seorang fiduciary untuk selalu menyesuaikan tingkah lakunya secara terus menerus untuk menghindari tingkah laku yang mementingkan diri sendiri, yang merupakan tindakan yang salah terhadap beneficiary [124].

Duty of loyalty adalah kewajiban seseorang dalam kedudukannya sebagai seorang direksi untuk tidak terlibat dalam kegiatan yang merupakan self dealing, atau menggunakan kedudukannya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan untuk siapa dia bekerja. Intinya, duty of loyalty melarang adanya unsur ketidaksetiaan atau faithlessness, dan self dealing [125].

Duty of loyalty mengandung dimensi tanpa pengkhianatan dan aspek pengabdian yang positif, yang bukan hanya menjaga untuk tidak membahayakan perseroan, tetapi menuntut direksi untuk memajukan perusahaan. Ini juga berarti duty of loyalty menjauhkan tindakan yang salah atau wrongdoing, benturan kepentingan, dan ketidakjujuran yang disengaja [126].

Dalam perkembangannya, dilihat dari keputusan pengadilan dalam Perkara Stone Vs Ritter, definisi dasar duty of loyalty adalah kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik dalam rangka mengutamakan kepentingan atau the best interest dari  perusahaan; juga dipandang sebagai kewajiban yang lebih luas dari sekedar menghindar dari tindakan mengambil keuntungan pribadi [127].

Duty of loyalty juga berarti menghindar dari tindakan dengan tujuan yang ilegal, yang memerlukan direksi berusaha dengan itikad baik untuk mengawasi jalannya perusahaan sesuai dengan hukum. Pengadilan dapat meminta pertanggungjawaban direksi yang independen yang dinyatakan gagal dalam melakukan kewajiban pengawasannya, jika melanggar duty of loyalty karena gagal mengusahakan dengan itikad baik untuk memenuhi duty of care -nya [128].

c. Pengertian Duty of Candor

Duty of candor adalah kewajiban untuk membeberkan semua fakta-fakta materiel, khususnya merupakan kewajiban seorang direktur untuk membuka semua informasi yang diketahui yang bersifat materiel kepada pemegang saham, ketika direktur itu meminta persetujuan pemegang saham untuk melakukan suatu transaksi.

Duty of candor merupakan kewajiban dari fiduciaries perusahaan, dalam hal ini para direksi, untuk membuka seluruh informasi yang bersifat materiel yang berkaitan dengan keputusan yang diambil perusahaan dari dalam mana direksi memperoleh manfaat pribadi.

d.  Duties of  Skill & Care, Loyalty and Candor dalam UUPT

Selain prinsip fiduciary duty, yang dikandung dalam Pasal 97 Ayat 1 dan 2 UUPT dan menyebutkan bahwa direksi wajib bertanggungjawab atas kepengurusan perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Frasa ‘penuh tanggung jawab’ merujuk pada prinsip kedua yang mengacu pada kemampuan dan tindakan kehati-hatian direksi atau duties of skill and care [129]. Tanpa memiliki tingkat kemampuan dan kepedulian tertentu, maka direksi tidak dapat melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.

Duties of skill and care secara jelas disebutkan dalam Pasal 93 ayat (1) UUPT, yaitu bahwa yang dapat diangkat menjadi anggota direksi adalah orang yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum, kecuali dalam 5 (lima) tahun sebelum pengangkatannya pernah: (a) dinyatakan pailit, (b) menjadi anggota direksi atau komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, (c) dihukum melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan atau yang berkaitan dengan sektor keuangan. Oleh karena itu, agar tetap dapat diangkat sebagai anggota direksi, setiap orang ketika menjabat sebagai anggota direksi harus melakukan pekerjaannya dengan suatu tingkat keahlian atau kemampuan dan bertindak secara hati-hati, sehingga tidak membuat perseroan yang dikelolanya mengalami kesulitan keuangan yang kemudian dapat berakhir pada kepalilitan.

Pasal 97 Ayat (5) UUPT menyebutkan bahwa direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian perseroan (apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang dimaksud pada Ayat 2), apabila dapat membuktikan bahwa; (a) kerugian tersebut bukan karena kesalahannya atau kelalaiannya, (b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan secara langsung maupun tidak secara langsung, (d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Agar tidak dapat dihukum karena kesalahan dan kelalaian, direksi harus memiliki suatu tingkat kemampuan, sikap rajin, dan peduli atau diligent and care yang diperlukan dalam mengelola perseroan, dan dilakukan dengan itikad baik. Unsur itikad baik yang disertai dengan tidak adanya benturan kepentingan secara langsung atau tidak langsung menunjukkan bahwa direksi menempatkan kepentingan perseroan di atas kepentingan pribadinya, sehingga merupakan pemenuhan duty of loyalty-nya kepada perseroan. Duty of loyalty ini diperkuat dengan usaha yang dilakukan direksi untuk mencegah timbul dan berlanjutnya kerugian yang dapat dialami oleh perseroan.

Manifestasi dari ketentuan untuk menempatkan kepentingan perusahaan di atas kepentingan pribadi direksi dapat terlihat dengan jelas dari kemungkinan timbulnya kesempatan untuk melakukan transaksi bisnis dengan pihak ketiga, atau disebut sebagai corporate opportunity. Jika kesempatan itu muncul, dan dalam keadaan seperti itu, direksi harus mengutamakan perseroan bukan diri pribadinya untuk mengambil kesempatan bisnis tersebut. Ini artinya direksi menempatkan kepentingan perseroan di atas kepentingan pribadinya. Menurut Munir Fuady, tidak saja kesempatan seperti itu merupakan milik perseroan, tetapi juga setiap hak dan pengharapan yang berkaitan dengan perseroan adalah juga merupakan kepunyaan perseroan [130].

Duty of candor dengan jelas dikandung dalam UUPT. Pasal 69 Ayat (3) UUPT menyebutkan bahwa apabila laporan keuangan yang disediakan direksi ternyata tidak benar, atau menyesatkan, maka anggota direksi dan anggota komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan. Informasi keuangan berfungsi sebagai indikator utama bagi kekuatan perseroan dalam melanjutkan kehidupan usahanya. Ini artinya bahwa direksi dituntut agar melaporkan atau membeberkan informasi atau keadaan keuangan yang sebenarnya, tidak saja kepada pemegang saham, atau pihak yang terkait lainnya, tetapi terlebih kepada pihak yang berkepentingan akan informasi itu.

4. Itikad Baik (Good Faith)
a.   Pengertian Itikad Baik

Ridley Ann memberikan pengertian dalam konteks berikut: “Directors must act in good faith in what they believe to be the interest of the company” [131]. Melvyn A Eisenberg memberikan pengertian yang lebih mendasar mengenai good faith, dalam terjemahan bebasnya, yakni: Itikad baik dalam Hukum Korporasi merupakan konsepsi dasar yang dilandasi oleh kewajiban yang khusus, yang terdiri dari 4 unsur, yaitu: kejujuran subjektif, atau ketulusan, tidak ada pelanggaran terhadap standar kepatutan yang diterima secara umum yang diterapkan dalam pelaksanaan bisnis, dan kesetiaan terhadap tempat bekerja[132].

b. Itikad Baik dalam UUPT

UUPT menyebutkan mengenai itikad baik dalam Pasal berikut:

Pasal 97 ayat 2 UUPT berbunyi:

“Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab“.
Pasal 97 ayat 2 UUPT menyebutkan dengan secara jelas bahwa dalam melakukan tugas pengurusan perseroan, direksi wajib melakukannya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. UUPT jelas mengandung unsur itikad baik, yang diwajibkan pada direksi dalam menjalankan tugasnya untuk mengurus usaha perseroan.

Pasal 97 Ayat (1) UUPT menentukan bahwa direksi bertanggungjawab atas pengurusan perseroan sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 92 ayat (1) di atas, dan untuk itu setiap anggota direksi wajib melaksanakan kepengurusannya itu dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab (Ayat 2), dan bertanggungjawab penuh apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang dimaksud pada Ayat 2 tersebut (Ayat 3).

Pasal 97 Ayat (5) UUPT lebih lanjut menyebutkan bahwa direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (3) apabila dapat membuktikan, bahwa: (a) kerugian tersebut bukan kesalahan atau kelalaiannya, (b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, dan (d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul dan berlanjutnya kerugian tersebut.

UUPT tidak secara jelas mendefinisikan, atau tidak memberikan standar ukuran, untuk unsur itikad baik. Namun, secara keseluruhan unsur itikad baik dapat diartikan dan disimpulkan dari berbagai ayat yang dikandung dalam UUPT. Berdasarkan ayat-ayat yang terkait, itikad baik dapat diartikan sebagai: Pertama, sebagai tugas direksi yang dilakukan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan (Pasal 92 Ayat 91) UUPT). Kedua, sebagai pemenuhan tanggung jawab direksi dalam melaksanakan tugasnya (Pasal 97 Ayat (2) UUPT). Ketiga, sebagai keadaan yang tidak mengandung benturan kepentingan baik secara langsung atau tidak langsung (Pasal 97 Ayat (5) huruf c dan Pasal 104 Ayat (4) huruf c). Keempat, tindakan yang diambil direksi untuk mencegah terjadinya atau berlanjutnya kerugian atau kepailitan (Pasal 97 Ayat (5) huruf d, dan Pasal 104 Ayat (4) huruf d).

5.   Perlindungan Hukum bagi Direksi dalam UUPT

Pasal yang berkaitan dengan unsur perlindungan hukum bagi direksi adalah sebagai berikut:

Pasal 97 ayat (3) UUPT berbunyi:

“Setiap Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2)“.

Pasal 97 ayat (5) UUPT berbunyi:

“Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan: (a) kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, (b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian, (d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut“.

Pasal 97 Ayat (5) UUPT menyebutkan bahwa direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi atas kerugian perseroan, apabila dapat membuktikan bahwa; (a) kerugian tersebut bukan karena kesalahannya atau kelalaiannya, (b) telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian, (c) tidak mempunyai benturan kepentingan secara langsung maupun tidak secara langsung, (d) telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Selain pasal tersebut, Pasal 104 ayat (4) UUPT menyebutkan bahwa anggota direksi tidak dapat dipersalahkan atas kepailitan perseroan, apabila dapat membuktikan bahwa kepailitan itu bukan karena kesalahan atau kelalaianya (huruf a), telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan (huruf b), tidak mempunyai benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan (huruf d), dan telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan (huruf d).

Apapun tingkat kelalaiannya itu, sejauh adanya gugatan dari pihak penggugat karena adanya kerugian, atau dari pihak yang dirugikan, maka sudah cukup bagi direksi untuk membuktikannya di pengadilan, bahwa kerugian itu bukan akibat karena adanya kelalaian atau kesalahan direksi. Jadi, kerugian dan adanya tuntutan dari pihak yang dirugikan dapat dijadikan ukuran bagi direksi untuk membuktikan bahwa kelalaian atau kesalahan itu bukan milik mereka.

Ukuran kedua untuk menentukan kelalaian atau kesalahan direksi adalah adanya keadaan pailit, sebagai patokan atas, apapun tingkat kelalaian atau kesalahan itu harus dibuktikan oleh direksi di pengadilan. Di sini, besar kecil kelalaian atau kesalahan itu tampaknya akan ditentukan oleh pengadilan, tetapi yang pasti telah ada suatu keadaan untuk membuktikan apakah itu kesalahan atau kelalaian direksi. Kalaupun kepailitan itu disebabkan karena kelalaian atau kesalahan direksi, sejauh direksi telah melakukan tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan itu, berdasarkan redaksi pasal tersebut, maka direksi tidak dapat dipersalahkan dan dimintakan pertanggung-jawabannya.

Dari uraian terakhir di atas, yang berkaitan dengan  adanya usaha direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan, tersirat adanya unsur Keputusan Bisnis. Orang yang paling berpengalaman, dan keputusan yang terbaik sekalipun, dapat membuahkan hasil yang tidak diharapkam. Hal ini dapat ditinjau dari keadaan berikut. Jika direksi memang telah berusaha dengan sunguh-sunguh untuk mencegah timbulnya kepailitan, maka keadaan ini dapat diartikan bahwa keadaan yang mengarah menuju kepailitan itu, dapat merupakan bagian dari sifat bisnis perseroan yang mengandung risiko tertentu. Pada saat yang sama, bisnis itu harus menghadapi keadaan yang tidak normal. Keadaan yang tidak normal ini biasanya sulit untuk diperkirakan sebelumnya, walaupun karakteristik bisnisnya sendiri yang berkaitan dengan risiko sudah dipahami secara penuh oleh direksi. Dengan demikian, walaupun diteksi telah menerapkan sikap kehati-hatian yang diperlukan, dan telah memiliki pengalaman yang panjang dalam bisnis yang dikomandoinya, tidak ada jaminan bahwa direksi selalu akan berhasil dalam menjalankan  usaha itu dalam setiap keadaan yang mungkin dapat terjadi.

Keadaan yang digambarkan tersebut di atas sesungguhnya sedang berlangsung sampai saat ini. Industri yang mengalami keadaan seperti itu adalah yang bergerak dalam pemintalan benang, Bahan baku utama yang digunakan untuk membuat benang tersebut adalah kapas, yang hanya dihasilkan oleh negara seperti Australia dan Amerika. Kapas hanya dapat tumbuh dalam iklim yang bersifat subtropis. Benang yang dihasilkan dari kapas itu dapat menghasilkan bahan tekstil yang dikategorikan sebagai fine cotton, dan umumnya diekspor ke Amerika. Ketika krisis keuangan terjadi sebagai akibat pembiayaan kredit perumahan di bawah prima bermasalah, maka surat utang yang terkait menjadi bermasalah. Pembeli rumah dengan kredit itu tidak mampu membayar bunga dan angsurannya, sehingga kewajiban pembayaran bunga dan angsuran kepada pembeli surat utang  menjadi tertunggak pula. Sebagai akibatnya, pertumbuhan ekonomi Amerika menciut, dan menimbulkan banyak pengangguran. Akibat lanjutannya adalah seluruh penjualan barang-barang konsumen menjadi turun sampai lebih dari 50%, termasuk impor bahan tekstil dalam kategori fine cotton.

Ketika penurunan impor Amerika yang dimaksud sedang berlangsung, produksi kapas baik di Amerika, maupun di Australia, sedang mengalami penurunan secara drastis, karena adanya climate change di dunia. Secara keseluruhan, seluruh pabrikan benang yang menggunakan bahan baku kapas harus mengalami dua hal yang bersifat sangat negatif terhadap perolehan pendapatan dan keuntungan, yaitu: Pertama, harga jual dan permintaan akan barang jadi turun secara drastis, mencapai 50%: dan kedua, harga bahan baku meningkat secara tajam, lebih dari dua kali lipat.  Hasil akhirnya adalah banyak pabrik di Indonesia, yang telah dikelola oleh manajemen yang berpengalaman sekalipun, mengalami masa sulit yang belum pernah dialami sebelumnya. Banyak di antara perusahaan tersebut berada dalam keadaan menuju kepailitan.

Berbeda dengan konsep gross negligence yang berlaku dalam BJR, dalam perundang-undangan di Indonesia dapat mengacu pada ketentuan Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUHPerdata, Pasal 97 Ayat (5) dan Pasal 104 Ayat (4) UUPT. Sejalan dengan ketentuan Pasal-Pasal ini, yurisprudensi Indonesia mengartikan bahwa kelalaian adalah pelanggaran terhadap hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan sikap kehati-hatian di dalam pergaulan masyarakat, terhadap kepentingan atau milik orang lain. Kewajiban hukum pelaku dapat diartikan sebagai fiduciary duty dari direksi, dan memenuhi sikap kehati-hatian di dalam pergaulan masyarakat, atau duty of  care seperti yang diuraikan di atas, dalam hal melakukan pekerjaan; dan kepentingan pihak lain diartikan sebagai kepentingan perseroan dan pemangku kepentingan lainnya. Perbuatan melanggar hukum diartikan bertentangan dengan kepentingan pihak-pihak tersebut, dan  merupakan kesalahan atau kelalaian atau sikap kurang hati-hati, sehingga menimbulkan kerugian bagi perseroan atau pihak-pihak tersebut. Organ badan hukum harus bertanggungjawab secara pribadi dengan melakukan ganti rugi secara pribadi, apabila melakukan kesalahan-kesalahan pribadi karena lalai atau kurang hati-hati yang merugikan badan hukum[133].

UUPT tidak secara jelas mendefinisikan kesalahan atau kelalaian yang dimaksud dalam berbagai pasalnya. Namun, moral dari Pasal 45 KUHD dapat pula digunakan sebagai acuan dalam menentukan apa yang dimaksud dengan kesalahan (yang disengaja) atau kelalaian (yang tidak disengaja). Ukurannya adalah‚ ’menunaikan sebaik-baiknya tugas yang diberikan kepada mereka, dan tidak menyimpang dari ketentuan yang ada dalam anggaran dasar atau perubahannya’. Setara dengan pengertian ini, maka kesalahan atau kelalaian dalam UUPT dapat pula diartikan sebagai tidak dilakukannya tugas pengurusan perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab, seperti yang diindikasikan oleh Pasal 97 Ayat (2) UUPT, dan menyimpang dari ketentuan dalam anggaran dasar serta merupakan tindakan dalam klasifikasi ultra vires.

Sejauh direksi memenuhi persyaratan atau kewajiban hukum yang dimaksud dalam kedua Pasal UUPT tersebut, maka direksi tidak dapat dipersalahkan. Di lain pihak, sejauh direksi dapat membuktikan bahwa kerugian atau kepailitan itu bukan disebabkan karena kelalaian atau kesalahannya, atau direksi telah berusaha untuk mencegahnya, maka direksi tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban ganti kerugian secara pribadi, dalam kata lain direksi dapat diberikan perlindungan hukum.

E. Simpulan

UUPT dengan jelas mengandung Keputusan Bisnis atau BJR, berdasarkan kandungan unsur-unsur yang diperlukan, yaitu: fiduciary duty ((Pasal 1, Pasal 92 Ayat 1, Pasal 92 Ayat (2), dan Pasal 98 Ayat (1) UUPT), keputusan bisnis direksi (Pasal 92 Ayat (2) UUPT), duty of loyalty (Pasal 97 Ayat (5) UUPT), duty of care (Pasal 97 Ayat (1) dan (2), Pasal 93 Ayat (1), dan Pasal 97 Ayat (5) UUPT), good faith atau itikad baik (Pasal  97 ayat 2, dan Pasal 97 Ayat (5) UUPT), serta perlindungan hukum bagi direksi (Pasal 97 Ayat (5), dan Pasal 104 ayat (4) UUPT).



DAFTAR PUSTAKA

A.  Buku
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Teori & Contoh Kasus, Jakarta, Prenada Media Grup, Cetakan Kedua, 2006.
Ali Rido, R., Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung: Penerbit Alumni, 2004.
Ashraf, Zeeshan. Op.cit The Position of the Business judgment Rule in Different Corporate Cultures and Structures: a Study and Analysis.
Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam ekonomi & Bisnis, Jakarta: Mitra Kencana Media, 2010.
Block, Dennis J., (et.al), The Business Judgment Rule, Fiduciaries Duties of Corporate Directors, New Jersey: Prentice Hall Law & Business, 1989.
CFISEL. Tindak Pidana di Bidang Perbankan.
David, Fred R., Strategic Management, Concepts and Cases, Pearson Education Limited, England, 2011.
French, Derek, Company Law, New York: Oxford University Press, 2009.
Garner, Bryan A., (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, Minnesota: West Group, 1999.
Gunardi Endro, Redefinisi Bisnis,  Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1999.
Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgment Rule, Jakarta: Tatanusa, 2008.
James Macgregor Burns, Leadership, New York:  Harper & Row, 2010.
Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Munir Fuady, Hukum Perusahaan, Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002.
Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis, Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, Yogyakarta: Graha ilmu, 2009.
Park, Johneth Chongseo, (et.al), The Business Judgment Rule: A Missing Piece in the Developing Puzzle of Korean Corporate Governance Reform.
Professional Briefing – Law Case Review- Director in Breach of Fiduciary Duty. Accountancy. Vol. 128, Oct 1, 2001.
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Bandung: Penerbit Alumni, 2004.
Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009.
Tri Budiyono, Transplantasi Hukum, Harmonisasi dan Potensi Benturan, Salatiga: Griya Media, 2009.
Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas.
Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.


B.  Website

Bankers, “Corporate Governance, Business Judgment and Credit Crunch”, <www.instbankers.com/index.php?option=com.docmanm>.
Bainbridge, Stephen M., “Much Ado about Little? Directors’ Fiduciary Duties in the Vicinity of Insolvency”, Social Science Research Network, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers,cfm?abstract_id=832504&gt;, [25/10/2005].
Bainbridge, Stephen M. The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine.
Bainbridge, Stephen M, “The Importance of an ‘Esoteric’ Rule”, , [03/02/2006].
Bainbridge, Stephen M., “Why a Board? Group Decisionmaking in Corporate Governance”, Social Science Research Network, Vanderbilt Law Review, Vol. 55, pp 1-55,  <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=266683>, [13/04/2001].
BFA, “[No. 21] The Duty of Loyalty Revisited”, , [21/03/2009]
Bowers, Helen M., “Fairness of Opinion and The Business Judgment Rule: An empirical investigation of target firms’use of fairness of opinions”, , [2002].
Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review Vol. 36, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080>, [2002].
Cunningham, Lawrence A., dan Yablon, Charles M., “Delaware Fiduciary Duty Law after QVC and Technicolor: A Unified Standard (and the End of Revlon Duties?)”, Boston College Law School, Research Paper 1994-03, <http://ssrn.com/abstract=917120>, [01/01/1994].
Duty of Care: Corporate Liability, <http://www.amicus.iupindia.org/Corps DutyofCare ovw.asp>, [09/2008].
Eisenberg, Melvin A., “Whether The Business Judgment Rule should be Codified”, <http://www.clrc.ca.gov/pub/BKST-EisenbergBJR.pdf>, [05/1995].
Esenberg, Melvin A., The Duty of Good Faith in Corporate Law.
Gold, Andrew S., “A Decision Theory Approach to the Business Judgment Rule: Reflection on Disney, Good Faith, and Judicial Uncertainty”, Social Science Research Network, Maryland Law Review Vol, 66 p 398, 2007, <http://papers,ssrn.com/sol3/papers,cfm?abstract_id=965058>, [26/02/2007].
Gold, Andrew S., ”On the Elimination of Fiduciary Duties: A Theory of Good Faith for Unincorporated Firms”, <http://ssrn.com/abstract=965040&gt;., [2006].
Greenhow, Annette, “The Statutory Business Judgment Rule: Putting the Wind into Director’s Sails”. Bond Law Review Volume 11, Issues 1, Article 4, , [1999].
Griffith, Sean J., “Good Faith Business Judgment: A Theory of Rhetoric in Corporate Law Jurisprudence”, , [2005].
Grossman, Nadelle, “Director Compliance with Elusive Fiduciary Duties in a Climate of Corporate Governance Reform”, Fordham Journal of Corporate & Financial Law, , [2007].
Johnson, Lyman, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer. Feb 2000;55,2; ABI/IFORM Global.
Johnson, Lyman P. Q., dan Millon, David, “Recalling Why Corporate Officers are Fiduciaries”, Washington & Lee Public Law and Legal Theory, Working Paper No. 04-13, <http://ssrn.com/abstract=557926>, [06/2004 ].
Kartyaeni, V., “Directors’ Care and Duty in Case of Breach”, <http://www.goforthelaw.com/articles/fromlawstu/article49.htm>, [Tidak bertanggal].
Smith, James E, “Risk Sharing, Fiduciary Duty, and Corporate Risk Attitudes”, Decision Analysis, Vol. 1, No. 2, pp 114-127, <@2004 INFORMS>, [06/2004].
Sprague, Robert, “Directors Behaving Badly: 21st Century Corporate Governance Standards”, <http://www.alsb.org/Proceedings%20Files/2007/Sprague.pdf>, [2007].
Sprague, Robert, dan Lyttle, Aaron J, “Shareholder Primacy and The Business Judgment Rule: Arguments for Expanded Corporate Democracy“, Social Science Research Network, <http://ssrn,com/abstract=1647002>, [22/07/2010].
The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp, [Tidak bertanggal].
The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative litigation, <http://courts.delaware.gov/opi nion/(eOuerunegle3zfvugrjwev45)download.aspx?ID=118110)>, [24/02/2009].
The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp>, [Tidak bertanggal].
Triem, Fred W. Judicial Schizophrenia in Corporate Law: Confusing the standard of Care With The Business Judgment Rule. Alaska, 2007, <http://ssrn.com/abstract=975775&gt;.
Wikipedia, “Business Judgmenet Rule”, <http://.en.wikipedia.org/wiki/Business_Judgment_rulew-Wikipedia,the freeencyclopedia>, [11/28/2011]

[1] Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan, Teori & Contoh Kasus, Jakarta, Prenada Media Grup, Cetakan Kedua, 2006, hlm. 15.
[2] Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgment Rule, Jakarta: Tatanusa, 2008, hlm. 221-222.
[3] Tri Budiyono, Transplantasi Hukum, Harmonisasi dan Potensi Benturan, Salatiga: Griya Media, 2009, hlm. 258.
[4] Menurut Munir Fuady, tidak ada tanda-tanda dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT lama – pen) untuk memberlakukan business judgment rule yang dimaksud. Tambahan pula, Munir Fuady berpendapat bahwa UUPT (lama – pen) tidak menyebut dengan jelas diberlakukannya prinsip fiduciary duty, tetapi secara tidak langsung memberlakukan asas-asasnya tetapi tidak secara penuh. Munir Fuady, Hukum Perusahaan, Dalam Paradigma Hukum Bisnis, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 4, 8.
[5] Arus Akbar Silondae, dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam ekonomi & Bisnis, Jakarta: Mitra Kencana Media, 2010, hlm. 3.
[6] Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 31.
[7] Gunardi Endro, Redefinisi Bisnis,  Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1999, hlm. 15.
[8] Gunardi Endro, Ibid.
[9] David, Fred R., Strategic Management, Concepts and Cases, Pearson Education Limited, England, 2011, hlm. 131.
[10] Gunardi Endro, Ibid.
[11] Bowers, Helen M., “Fairness of Opinion and The Business Judgment Rule: An empirical investigation of target firms’use of fairness of opinions”, [2002].
[12] James Macgregor Burns, Leadership, New York:  Harper & Row, 2010, hlm. 379
[13] Bankers, “Corporate Governance, Business Judgment and Credit Crunch”, <www.instbankers.com/index.php?option=com.docmanm>.
[14]  Park, Johneth Chongseo, (et.al), The Business Judgment Rule: A Missing Piece in the Developing Puzzle of Korean Corporate Governance Reform, hlm. 15.
[15] The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative litigation, <http://courts.delaware.gov/opi nion/(eOuerunegle3zfvugrjwev45)download.aspx?ID=118110)> [24/02/2009].
[16] Park, Johneth Chongseo (et.al), Loc.Cit.
[17] Brandson, Douglas M., “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review Vol. 36  http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=346080> [ 2002].
[18] Brandson, Douglas M., Idem.
[19] Bainbridge, Stephen M. The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine, hlm. 33.
[20] CFISEL. Tindak Pidana di Bidang Perbankan, hlm. 13.
[21] Bainbridge, Stephen M., “Why a Board? Group Decisionmaking in Corporate Governance”, Social Science Research Network, Vanderbilt Law Review, Vo.55, pp 1-55,  <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=266683> [13/04/2001], hlm. 16.
[22] Bainbridge, Stephen M.. Ibid, hlm. 19.
[23] Bainbridge, Stephen M., Idem.
[24] Bainbridge, Stephen M., “Why a Board? Group Decisionmaking in Corporate Governance”, Social Science Research Network, Vanderbilt Law Review, Vol. 55, pp 1-55,  <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=266683> [13/04/2001], hlm. 27-29.
[25] Bainbridge, Stephen M., Ibid, hlm. 29.
[26] Bainbridge, Stephen M., Ibid, hlm. 30.
[27] Bainbridge, Stephen M., Idem.
[28] Bainbridge, Stephen M., Idem.
[29] Kata ini digunakan antara lain dalam: Block, Dennis J (et.al), The Business Judgment Rule, Fiduciaries Duties of Corporate Directors, New Jersey: Prentice Hall Law & Business, 1989. Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
[30] Hendra Setiawan Boen, Op.Cit., hlm. 17.
[31] Abdul R. Saliman, (et.al.), Loc.Cit..
[32] Tri Budiyono, Loc.Cit..
[33] “The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp> [Tidak bertanggal].
[34] Bainbridge, Stephen M., “Much Ado about Little? Directors’ Fiduciary Duties in the Vicinity of Insolvency”, Social Science Research Network, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers,cfm?abstract_id=832504 > [25/10/2005].
[35] Greenhow, Annette, “The Statutory Business Judgment Rule: Putting the Wind into Director’s Sails”. Bond Law Review Volume 11, Issues 1, Article 4, [1999].
[36] Grossman, Nadelle, “Director Compliance with Elusive Fiduciary Duties in a Climate of Corporate Governance Reform”, Fordham Journal of Corporate & Financial Law, [2007].
[37] Grossman, Nadelle, Ibid.
[38] Bainbridge, Stephen M, “The Importance of an ‘Esoteric’ Rule”, [03/02/2006].
[39] Black’s Law Dictionary, Op.Cit., hlm. 212.
[40] Bainbridge, Stephen M.. Op.Cit., hlm. 13.
[41] Bainbridge, Stephen M., Loc.cit.
[42] Eisenberg, Melvin A., “Whether The Business Judgment Rule should be Codified”, <http://www.clrc.ca.gov/pub/BKST-EisenbergBJR.pdf> [05/1995].
[43]  Eisenberg, Melvin A., Idem.
[44] Johnson, Lyman, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer. Feb 2000;55,2; ABI/IFORM Global, hlm. 625.
[45] Johnson, Lyman. Idem.
[46] Wikipedia, “Business Judgmenet Rule”, <http://.en.wikipedia.org/wiki/Business_Judgment_rulew-Wikipedia,the freeencyclopedia> [11/28/2011)
[47] Triem, Fred W. Judicial Schizophrenia in Corporate Law: Confusing the standard of Care With The Business Judgment Rule. Alaska, 2007, hlm. 26-27. <http://ssrn.com/abstract=975775&gt;.
[48] Tindakan ini tidak langsung berkaitan dengan pemilik saham, tetapi menguntungkan mereka dalam jangka panjang karena tindakan dibuat untuk kepentingan perusahaan semata. Ashraf, Zeeshan. The Position of The Business Judgment Rule in Different Corporate Cultures and Structures: A Study and Analysis, hlm. 18.
[49] Bradson, Douglas M. Op.cit., hlm. 634.
[50]  Triem, Fred W., Op.cit., hlm. 27.
[51] Triem, Fred W., Op.cit., hlm. 33.
[52] Bradson, Douglas M., Op.cit., hlm. 636.
[53] Ashraf, Zeeshan, Op.cit The Position of the Business judgment Rule in Different Corporate Cultures and Structures: a Study and Analysis, hlm. 15.
[54] Ashraf, Zeeshan, Op.cit., hlm. 17.
[55] Hart, H.L.A., Op.Cit., hlm. 1062
[56] Sebagian besar dari materi pokok mengenai BJR diambil dari buku Block, Dennis J, (et.al), The Business Judgment Rule: Fiduciary Duties of Corporate, New York: Prentice Hall & Buisness, Loc.Cit.
[57] Block, Dennis J, (et.al), Op.Cit., hlm. 2.
[58] Block, Dennis J, (et.al), Op.Cit., hlm. 12-23.
[59] Bradson, Douglas M., Op.Cit., hlm. 635.
[60] Bradson, Douglas M., The RuleThat Isn’t a Rule – the Business Judgment Rule, hlm. 639.
[61] Ashraf, Zeeshan. The Position of the Business Judgment Rule in Different Corporate Cultures and Structures: A Study and Analysis, hlm. 17.
[62] Gold, Andrew S., “A Decision Theory Approach to the Business Judgment Rule: Reflection on Disney, Good Faith, and Judicial Uncertainty”, Social Science Research Network, Maryland Law Review Vol, 66 p 398, 2007, <http://papers,ssrn.com/sol3/papers,cfm?abstract_id=965058> [26/02/2007].
[63] Griffith, Sean J., “Good Faith Business Judgment: A Theory of Rhetoric in Corporate Law Jurisprudence”, [2005].
[64] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[65] Griffith, Sean J., Loc.Cit.
[66] Griffith, Sean J., Idem .
[67] Sprague, Robert, “Directors Behaving Badly: 21st Century Corporate Governance Standards”, <http://www.alsb.org/Proceedings%20Files/2007/Sprague.pdf> [2007].
[68] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[69] The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp> [Tidak bertanggal].
[70] Grossman, Nadelle, Loc.Cit.
[71] “The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp> [Tidak bertanggal].
[72] Griffith, Sean J., Loc.Cit.
[73] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[74] Brandson, Douglas M., Loc.Cit.
[75] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[76] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[77] Grossman, Nadelle, Loc.Cit.
[78] Sprague, Robert, dan Lyttle, Aaron J, “Shareholder Primacy and The Business Judgment Rule: Arguments for Expanded Corporate Democracy“, Social Science Research Network, <http://ssrn,com/abstract=1647002> [22/07/2010].
[79] Johnson, Lyman, Op.Cit.,, hlm. 625.
[80] Johnson, Lyman, Idem.
[81] Griffith, Sean J., Loc.Cit.
[82] Griffith, Sean J., Loc.Cit.
[83] Triem, Fred W. Loc.Cit.
[84] Triem, Fred W. Loc.Cit.
[85] Johnson, Lyman, Loc.Cit.
[86] Grossman, Nadelle, Loc.Cit.
[87] Brandson, Douglas M., Loc.Cit.
[88] Greenhow, Annette, Loc.Cit.
[89] Johnson, Lyman, Loc.Cit.
[90] Smith, James E, “Risk Sharing, Fiduciary Duty, and Corporate Risk Attitudes”, Decision Analysis, Vol. 1, No. 2, pp 114-127, <@2004 INFORMS> [06/2004].
[91] Grossman, Nadelle, Loc.Cit.
[92] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[93] Johnson, Lyman, Loc.Cit.
[94] Griffith, Sean J., Loc.Cit.
[95] Griffith, Sean J., Loc.Cit.
[96] Garner, Bryan A., (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, Minnesota: West Group, 1999.
[97] French, Derek (et.al), Company Law, New York: Oxford University Press, 2009, hlm. 469.
[98] Garner, Bryan A., Loc.cit.
[99] Gold, Andrew S., Loc.Cit.
[100] Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Bandung: Penerbit Alumni, 2004, hlm. 175.
[101] Ridwan Khairandy, Perseroan Terbata, Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan, dan Yurisprudensi, Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2009, hlm. 204-205.
[102] Kartyaeni, V., “Directors’ Care and Duty in Case of Breach”, <http://www.goforthelaw.com/articles/fromlawstu/article49.htm> [Tidak bertanggal].
[103] French, Derek, Company Law, New York: Oxford University Press, 2009, hlm. 471.
[104] Block, Dennis J., (et.al), Op.Cit., hlm. 1, 27.
[105] Try Widiyono, Op.Cit., hlm. 38.
[106] Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 193.
[107] Nindyo Pramono, Op.Cit., hlm. 19.
[108] Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis, telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, Yogyakarta: Graha ilmu, 2009, hlm. 206.
[109] Neni Sri Imaniyati, Ibid, hlm. 206.
[110] Ali Rido, R., Op.Cit, hlm. 19.
[111] Nindyo Pramono, Loc.Cit.
[112] Ali Rido, R., Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Bandung: Penerbit Alumni, 2004, hlm. 18.
[113] Ali Rido, R., Loc.cit.,
[114] Nindyo Pramono, Op.Cit., hlm. 18.
[115] Nindyo Pramono, Loc.Cit.
[116] Nindyo Pramono, Op.Cit., hlm. 20.
[117] Nindyo Pramono, Op.Cit., hlm. 21.
[118] Garner A., Brian., Loc.Cit.
[119] Garner A., Brian., Op.Cit., hlm. 543.
[120] “Duty of Care: Corporate Liability, <http://www.amicus.iupindia.org/Corps DutyofCare ovw.asp> [09/2008].
[121] “Duty of Care: Corporate Liability, Loc. Cit.
[122] Professional Briefing – Law Case Review- Director in Breach of Fiduciary Duty. Accountancy. Vol. 128, Oct 1, 2001.
[123] Cunningham, Lawrence A., dan Yablon, Charles M., “Delaware Fiduciary Duty Law after QVC and Technicolor: A Unified Standard (and the End of Revlon Duties?)”, Boston College Law School, Research Paper 1994-03, <http://ssrn.com/abstract=917120> [01/01/1994].
[124] Block, Dennis J., (et.al), Op.Cit, hlm. 1.
[125] Block, Dennis J., (et.al), Op.Cit, hlm. 1
[126] Johnson, Lyman P. Q., dan Millon, David, “Recalling Why Corporate Officers are Fiduciaries”, Washington & Lee Public Law and Legal Theory, Working Paper No. 04-13, <http://ssrn.com/abstract=557926> [06/2004 ].
[127]  BFA, “[No. 21] The Duty of Loyalty Revisited”, [21/03/2009]
[128] BFA, “[No. 21] The Duty of Loyalty Revisited”, [21/03/2009]
[129] Chatamarrasjid Ais. Loc.Cit.
[130] Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 63.
[131] Ridley, Ann, Op.Cit., hlm. 66.
[132] Esenberg, Melvin A, Op.Cit., hlm. 1.
[133] Ali Rido, R., Op.Cit., hlm. 30.


Tulisan ini diterbitkan di"
http://hho3.wordpress.com/2013/02/01/keputusan-bisnis-dalam-uupt/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar