NPF BANK SYARIAH
Oleh: Hendy Herijanto
Non Performing Financing atau NPF, seperti halnya Non Performing Loan
/NPL bank konvensional, timbul karena masalah yang terjadi dalam proses
persetujuan pembiayaan di internal bank, atau setelah pembiayaan
diberikan. Namun, NPF dan NPL terjadi pada sistim yang berbeda. Sistim
perbankan syariah memiliki faktor fundamental yang dapat menahan
timbulya NPF agar tidak meluas; tetapi, sistim perbankan konvensional
memberikan peluang yang lebih besar untuk terjadinya NPL.
Faktor fundamental yang melandasi transaksinya adalah sebagai
berikut. Dari sisi aktiva neraca, bank syariah hanya mengenal kata
“pembiayaan” sebagai kegiatan utamanya, dan tidak memberi pinjaman uang
seperti pada bank konvensional. Pemberian pinjaman uang pada bank
syariah bersifat sosial, dan tidak berbunga. Transaksi komersialnya
dilaksanakan melalui jual-beli dengan akad murabaha, sewa-menyewa dengan akad ijarah, dan kerja sama menjalankan suatu bentuk usaha/bisnis dengan mudharabah atau musyarakah.
Pembiayaan tidak boleh mengandung riba, bersifat gharar dan maysir.
Riba atau bunga, yang ditetapkan di muka terlepas apakah usaha
menguntungkan atau merugi, jelas manambah risiko bisnis. Risiko yang
lebih besar akan mendorong timbulnya NPL. Sebagai pengganti bunga, bank
syariah mengfokuskan diri pada perolehan keuntungan dari transaksi
bersama nasabahnya. Keuntungan dari usaha tidak ditetapkan di muka,
tetapi tergantung pada realisasi nominal yang sesungguhnya. Pada akad muarabaha,
misalnya, bank membelikan barang yang dibutuhkan, dan kemudian
menjualnya kembali kepada nasabah dengan tambahan harga sebagai
keuntungan bank. Nasabah dapat mengangsur pembeliannya itu kepada bank.
Pada akad ijarah, bank menyewakan barang yang dibeli kepada nasabahnya. Pada akad mudharabah, bank sebagai shahibul mal menyediakan modal untuk membiayai usaha yang dijalankan oleh nasabah sebagai mudharib. Pada akad musharakah, bank dan nasabah membiayai dan menjalankan suatu usaha bersama-sama. Pada akad ini, perolehan keuntungan merupakan common interest
bagi bank dan nasabah, yang kemudian akan dibagi berdasarkan nisbah
yang ditentukan pada awal hendak bekerja sama. Kepentingan bersama ini
dapat mendorong transparansi informasi yang lebih terbuka, dan
mengurangi timbulnya moral hazard, bagi setiap pihak dalam
bertransaksi, sehingga mengurangi risiko bisnis atau risiko
pembiayaan/kredit bagi para pihak. Setiap akad tersebut mengandung unsur
keadilan, yaitu keuntungan yang dihalalkan dan dibagi adalah yang
merupakan kompensasi terhadap risiko usaha yang ditanggung bersama.
Prima kausa dari akad-akad tersebut adalah bukan uang, tetapi barang yang diperjual-belikan pada murabaha , atau barang yang disewakan pada ijarah, atau usaha di sektor riel yang diusahakan bersama pada mudharaba/musharakah. Prima kausa ini merupakan underlying transaction,
namun bukan yang dilarang seperti alkohol atau makanan yang diharamkan.
Prima kausa seperti itu membuat penggunaan dana bank dapat lebih
terkontrol, dan dapat menekan risiko sidestreaming dana bank. Uang bersifat fungiable,
atau bagaikan air, dan dapat dialirkan sekehendak debitor, dengan
menyimpangi perjanjian kredit bank konvensional. Pada akad bank syariah,
barang dan jasa/usaha harus dipastikan sejak awal, dan dana bank
mengikuti alur barang dan jasa itu.
Gharar adalah sifat transaksi yang tidak jelas keberadaan
atau karakteristik dari prima kausa-nya, seperti ikan di laut, atau
memiliki risiko yang tidak perlu, atau salah satu pihak tidak memiliki
pengetahuan yang cukup terhadap prima kausa atau transaksi itu; sehingga
membuat kedudukan para pihak menjadi tidak seimbang. Maysir
adalah sifat transaksi yang untung-untungan, atau bersifat judi.
Perjudian sangat dilarang. Pembiayaan dengan prima kausa yang di luar
sektor riel, seperti produk derivative, cenderung bersifat maysir; sekaligus
menambah risiko menjadi lebih besar. Di tahun 1929-1930, pembiayaan
(pembelian) saham yang meluas di Amerika merupakan penyebab utama
timbulnya Depresi Besar di Negara itu. Harga saham bersifat fluktuatif
dengan turun-naik secara random, atau disebut random walk, sehingga
bersifat spekulatif. Tidaklah heran hal tersebut dapat terjadi, karena
menurut Keynes, uang memang dapat digunakan untuk berspekulasi, selain
untuk bertransaksi dan berjaga-jaga.
Di sisi pasiva neraca bank, dana masyarakat bukan berupa utang, melainkan titipan dengan akad wadiah, atau dana investasi dengan akad mudharabah.
Dana masyarakat pada bank konvensional, di lain pihak, bersifat utang.
Disini terlihat, bahwa bank syariah tidak mengunakan konsep leverage,
yaitu menggunakan utang untuk memperbesar keuntungan; tetapi, menambah
risiko bisnis atau kredit. Karena dana investasi selalu berjangka,
kemungkinan run on the bank lebih kecil. Di lain pihak, bank dapat mensinkronisasikan risiko dan tingkat keuntungan antara akad mudharabah dengan pemilik dana atau shahibul mal (disini, bank bertindak sebagai mudharib), di sisi pasiva, dengan akad mudharabah dengan nasabah yang diberikan pembiayaan sebagai mudharib (bank sebagai shahibul mal), di sisi aktiva. Sinkronisasi ini dapat mengurangi risiko atau kerawanan bank.
Pada tataran makro, konsep fractional banking pada perbankan
konvensional mendorong terciptanya “likuiditas akunting” atau kredit
yang lebih besar. Likuiditas atau kredit ini, jika tidak dikontrol
penggunaannya, dapat menyebabkan kegagalan bank, atau krisis
perbankan/keuangan. Banyak krisis keuangan di dunia dimulai dengan
liberalisasi keuangan demi menciptakan likuiditas yang lebih besar,
untuk memperbesar pertumbuhan ekonomi; tetapi, kemudian mendorong
terjadinya lending boom dan NPL yang besar pula. Pada akhirnya,
setiap krisis itu menurunkan pertumbuhan ekonomi, dan menimbulkan
pengangguran, utang yang menumpuk, serta beban keuangan yang besar bagi
pembayar pajak. Oleh karena itu, dapat dikatakan pertumbuhan dengan
memperbesar keran kredit cenderung menciptakan pertumbuhan yang semu.
Uang pada perekonomian Islam hanya sebagai alat perantara, bukan
sebagai komoditas dengan harga berbentuk bunga seperti pada perekonomian
kapitalistik. Uang pun hanya untuk memenuhi kebutuhan bertransaksi di
sektor riel seperti yang wakilkan oleh persamaan Irving Fisher, atau
disebut endogeneous money, dan tidak ditambah dengan jumlah
kredit (uang). Perekonomian Islam menekankan pada perdagangan, karena
Tuhan SAW menghalalkannya. Perdagangan meningkatkan produksi barang dan
jasa, yang menciptakan lapangan kerja, dan kesejahteraan bagi umat. Bank
syariah menekanan ‘pembiayaan’ prima kausa di atas, sehingga mendukung
pertumbuhan sektor riel yang lebih hakiki.
Bank syariah berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadith Nabi SAW,
sehingga dapat dikatakan sistim di mana NPF terjadi merupakan turunan
dari ciptaan Tuhan SAW, yang tidak ada tandingannya. Namun, bagaimana
sistim itu digunakan sangat tergantung pada para pelakunya. Penyebab
NPF/NPL dari segi internal bank adalah sama, yaitu berkaitan dengan
faktor pengetahuan/keahlian pembiayaan/kredit, profesionalisme dan
integritas , dan kadar spiritualitas dari pejabat nya, corporate culture, credit/financing culture yang ada di institusinya, moralitas para pemimpinnya (moral leadership), serta reward & penalty system yang tepat. Dari segi proses, perlu melakukan pengecekan reputasi calon konsumen, due diligence & care,
dan pengawasan pembiayaan/kredit internal. Penyebab terjadinya NPF/NPL
setelah pembiayaan/kredit diberikan berada pada tataran nasabah, yang
berkaitan dengan masalah kejujuran dan kepercayaan, kepiawaian dalam
berbisnis, komitmen terhadap bisnis yang dijalani, dan komitment moral
untuk menepati janji. Semua ini harus ditelaah sejak awal, baik oleh
bank konvensional ataupun bank syariah, dengan menggunakan faktor
internal tersebut.
Jika faktor internal itu diterapkan dengan intensitas yang sama di kedua kelompok bank, ceteris paribus,
maka dengan sistim perbankan syariah, NPF cenderung terjadi lebih
kecil, di bandingkan dengan NPL bank konvensional. Namun, jika
faktor-faktor tersebut diterapkan dengan kadar Ketauhidan yang kental
(pada bank syariah), NPF akan lebih rendah lagi (hho, 20/11/2011).
Tulisan ini telah diterbitkan pada Majalah Ekonomi Syariah Vol. 11, No. 2, 2012 M / 1433 H, dan di http://hho3.wordpress.com/2011/11/24/npf-bank-syariah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar