RIBA: BUKAN BESAR KECILNYA
Oleh: Hendy Herijanto, Dosen IEF, Universitas
Trisakti
Tulisan ini menguraikan kenapa riba (baca: bunga) dilarang;
bukan karena besar kecilnya, melainkan prinsip dan mudharatnya. Lima mazhab
fiqih, dan pakar ekonomi Islam, sepakat bahwa riba dan usury berarti
sama (El-Diwany, 2003 : 172; Saeed, 2004 : 73). Tingkat bagi hasil bank
syariah, lebih tinggi dari suku bunga bank konvensional, tidak bersifat ribawi,
tetapi karena pengaruh operasional dan kompetisi dengan bank konvensional.
Sejarah Pengenaan Bunga
Aristóteles berpendapat bahwa riba merupakan hasil
yang tidak wajar, karena diperoleh dari jerih payah orang lain. Uang tidak bisa
melahirkan uang atau pecunia pecuniam non parit; uang
sepatutnya dihasilkan dari kerja dan usaha (Qardhawi, 1997: 184). Menurut Plato,
konsep bunga merupakan eksploitasi orang kaya terhadap orang miskin (El-Diwany,
2003 : 32). Baik Aristoteles ataupun Plato tidak mengaitkan bunga dari segi besar-kecilnya.
Larangan terhadap bunga telah berlangsung lama, terutama oleh agama samawi, sampai
awal masa Kristen. Eropa di abad pertengahan juga melarang riba (Warde, 2001: 64
-65).
Ketika reformasi Protestan berkonsentrasi pada
inovasi di bidang politik ekonomi dan uang, Martin Luther (1483-1546) menganjurkan
orang untuk berpartisipasi penuh di dunia dan menentang pendapat gereja. John
Calvin (1509-64) menganjurkan usury dilakukan pada hal-hal dan dalam
kondisi tertentu. Karena penyebaran praktik bunga tidak dapat dihindari, kalangan
gereja merubah sikapnya secara terbuka (El-Diwany, 2003 : 31).
Sejalan dengan masa industrialisasi dan kemenangan
ideologi kapitalis, tahun 1545, Inggris mengeluarkan undang-undang yang
melegalisir bunga, sampai batas maksimum 10%, dan ketentuan ini menjadi
permanen tahun 1571. Jeremy Bentham (1787) membelanya dan menentang hukum anti usury
(Warde, 2001 : 65- 67).
Pandangan Menurut Ketentuan Islam
Al Qur’an menyebutkan ”Perdagangan dihahalkan dan riba diharamkan” (Qs, 2 : 275). Ayat
lain menentukan bahwa, walaupun keuntungan dari perdagangan sama seperti dari
riba, tetapi hanya yang pertama diijinkan.
Perdagangan merupakan
kegiatan komersial tertua manusia, sejak zaman primitif dengan sistem barter, berlangsung
sampai masa modern saat ini dengan perantaraan uang, dan tetap berlangsung hingga
masa depan. Perdagangan merupakan
kegiatan awal dan akhir dari kegiatan produksi. Pada awalnya, barang yang
diperdagangkan berupa hasil tangkapan atau pertanian, dan kemudian berkembang
dengan membuat barang-barang yang diperlukan (Herijanto, 2013).
Perdagangan tidak bersifat kontekstual, karena
dapat dilakukan di mana saja dengan hakikat dan mekanisme yang sama, tanpa
terkait dengan tempat, waktu, dan modal besar (Herijanto, 2013; Hanaco, 2011). Menurut
Nik Mohamed Affandi (2002), perdagangan dapat meningkatkan standar hidup,
meningkatkan kekayaan bagi individu dan masyarakat; dan bagi yang kurang berpendidikan,
dapat berpartisipasi. Islam menghendaki setiap orang memiliki sumber
penghidupan.
Ekonomi Islam menekankan pada sektor riel, yang memerlukan
pengembangan teknologi dan sumber daya manusia, (El-Diwany, 2003 : 217). Perdagangan
yang berkembang mendorong produksi barang dan jasa, dan membuka lapangan kerja
baru. Menurut Mankiw (2006 : 56), kemampuan berproduksi menentukan standar hidup
suatu negara. Kekayaan negara terletak pada besarnya tingkat produksi dan
surplus neraca pembayaran, bukan karena banyaknya uang; dan peradaban yang
besar menghasilkan laba yang besar karena banyaknya tenaga kerja, demikian kata
Ibnu Khaldun (Suprayitno, : 203: Karim, 2004 : 365). Benyamin Franklin mengatakan, “No nation
was ever ruined by trade”.
Riba.
Riba dianggap sebagai tindakan
memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan risiko, karena ditetapkan di
muka, dan kreditor, atau pemilik modal, memperolehnya tanpa harus bekerja. Debitor atau pengusaha, di lain pihak, harus
bekerja lebih keras untuk mengembalikan pokok pinjaman beserta bunga. Rugi atau
untung, bunga tetap di bayar; sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi pengusaha.
Bunga membuat titik impas lebih tinggi, dan
menambah risiko bisnis. Menurut Umer Chapra, jika utang meningkat, beban bunga
juga meningkat, tetapi barang modal yang dibiayai dengan utang berdepresiasi
menuju nol. Keadaan ini menimbulkan banyak masalah bagi pengusaha, dan bagi
perekonomian dan masyarakat (Chapra, 2000 : 276).
Dalam Islam, uang bukan merupakan komoditas
dengan bunga sebagai harga, tetapi berfungsi sebagai perantara untuk memudahkan
jual-beli. Uang menandingi nilai barang atau jasa yang dipertukarkan. ”Uang
adalah cerminan dari barang”, kata
Imam Ghazali (Hakim, 2011: 99). Di samping itu, uang baru menjadi modal
setelah dibelikan barang untuk memproduksi barang dan jasa.
Nabi Saw menganjurkan agar manusia menghindari
utang, kecuali dalam keadaan terdesak.Namun, untuk kegiatan sosial, perekonomian
Islam menyediakan konsep pinjaman tanpa bunga atau ”qard hassan”. Untuk transaksi komersial, Islam menyediakan konsep pembiayaan
dengan keuntungan yang dibagi melalui akad mudharabah
dan musharakah. Pembiayaan ini tidak
bersifat utang, tetapi merupakan dana investasi yang dikelola untuk keuntungan
bersama.
Perekonomian kapitalis, di lain pihak, identik
dengan utang dan bunga. Konsep leverage
menggunakan utang untuk meningkatkan penjualan atau usaha, tetapi mengandung sejumlah
kemudharatan, terutama karena ketidakdisiplinan dan utang digunakan tanpa batas,
sehingga over leverage. Chorafas
(2000) berpendapat bahwa sikap moral seperti itu patut diragukan. Sistem ini
memusatkan kekayaan dan kekuasaan pada segelintir orang. Implikasi negatif
lainnya adalah:
Pertama, pengenaan bunga menambah persediaan uang dalam masyarakat, sehingga menciptakan inflasi,
yang menurunkan daya beli masyarakat (Meera, 2004 : 10-11).
Kedua, pasar kredit diarahkan bagi yang memiliki kekayaan atau bisnis yang mapan. Moulton
(2003) dan Muhammad Yunus (2007) berpendapat, walaupun pemberian kredit seperti
itu wajar dan rasional, tetapi bersifat diskriminasi terhadap pihak yang tidak
memiliki modal atau kaum miskin.
Ketiga, pemberian kredit yang difokuskan pada sektor
tertentu menimbulkan “economic bubbles”,
yang kemudian mengempis secara drastis, dan menciptakan kredit macet yang besar
di perbankan, seperti di Jepang 1980-1990, Thailand 1997/98, dan Amerika 2008.
Keempat, penggunaan utang, tanpa kedisiplinan atau
mengabaikan prudential principles, menimbulkan
krisis keuangan, dan menciptakan lending
boom; kemudian menimbulkan kredit macet/NPL yang besar. Akibatnya, sejumlah
bank ditutup dan menggoncangkan sistem perbankan, seperti di Argentina (2001),
Mexico (1994-1995), Jepang (1991), Thailand (1997-1998), Indonesia (1997-1998),
Malaysia (1997-1998), dan Korea (1997-1998).
Kelima, utang menimbulkan transfer of wealth dan tidak adil. Penciptaan uang dalam bentuk
pemberian kredit timbul karena proses akunting pada pihak bank kreditor, atau
dengan mencetak uang di negara kreditor (Meera, 2004 : 10-11). Dalam konteks
antar negara, negara debitor harus membayar dengan ekspor sumber daya alamnya
kepada negara kreditor. Di sini, manfaat yang diperoleh harus memperhitungkan kerusakan
alam yang terjadi.
Keenam, Hadis Nabi Besar Saw mengatakan bahwa orang
yang memiliki utang yang besar cenderung berbohong dan mengingkari janji. Ini
terjadi pada Yunani, yang merekayasa rating
surat utangnya dan melanggar pagu yang ditentukan oleh Uni Eropa.
Keuntungan Pengganti Riba. Keuntungan ribawi bersifat intertemporal,
tetapi keuntungan jual beli bersifat pasti dan final. Harga termasuk keuntungan
berdasarkan ijab dan kabul. Secara
implisit, pembeli menerima harga yang dibayar setara kualitas dan manfaat
barang yang dibeli. Penjual memperoleh keuntungan, sebagai jerih payahnya dalam
memproduksi dan/atau usahanya menjual, serta merupakan kompensasi terhadap
risiko. Harga yang dibayar secara angsur
telah mencakup unsur menunggu sampai pembayaran lunas. Kehalalannya terletak pada tanggungjawab atau “al-kharaj bi-al- dhaman”, atau ”al-ghurmu bil ghurmi”, karena
adanya risiko, atau ”gain accompanies liabilities for loss”. Keuntungan
terhadap modal atau uang hanya dapat diperoleh dari kombinasi usaha atau kerja,
modal dan risiko. Oleh karena itu, pengusaha berbagi keuntungan dan risiko dengan
pemilik modal sesuai dengan hasil yang diharapkan bersama (Vogel dan Hayes III, 1998 : 113).
Pada intinya, Islam mementingkan lapangan kerja bagi setiap orang,
sebagai langkah dasar menuju maqasid al
syariah, atau kesejahteraan sosial. Perekonomian tanpa konsep bunga menodorong sektor keuangan melekat dengan
sektor riel, sehingga perekonomian menjadi lebih stabil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar