BAB 2
Menelaah
Undang-undang
Perseroan
2
B. KEHATI-HATIAN DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN
B
|
isnis adalah kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang,
badan usaha, atau perusahaan secara teratur dan terus-menerus. Wujudnya berupa
pengadaan barang, jasa, maupun fasilitas untuk diperjual-belikan atau disewakan
dengan tujuan memperoleh keuntungan. Pembayarannya secara tunai maupun kredit.[1][****************************]
Pada mulanya, bisnis dilakukan oleh orang-perorang,
pengu-saha atau pebisnis dalam bentuk investasi ke sebuah bisnis. Pebisnis bersedia
mengambil risiko demi memperoleh keuntungan. Perkembangannya, ketika orang
tersadar bahwa ada keterbatasan kemampuan individu dan manfaat bekerja sama,
banyak bisnis atau usaha dijalani bersama oleh kelompok, atau terkoordinasi
dalam organisasi, dengan tujuan mencapai keuntungan bersama.
Untuk mengoordinasikan usaha bersama itu, lahirlah konsep
dan fungsi dasar manajemen yang terdiri atas perencanaan (planning),
pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing atau motivating), pengelolaan sumber daya manusia (staffing), dan
pengawasan (controlling).[2][††††††††††††††††††††††††††††] Manajemen yang
efektif adalah yang dapat mencapai tujuannya melalui seluruh kegiatan yang
diperlukan secara kelompok yang kohesif, sehingga terorganisasi menjadi suatu
entitas. Salah satu bentuk entitas itu adalah perseroan terbatas.[3][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dalam menjalankan usahanya, pebisnis atau perseroan harus
mengambil kebijakan dari waktu ke waktu, mencakup keputusan untuk memilih dan
melakukan bisnis tertentu. Fungsi seorang pebisnis atau eksekutif (atau
direksi, pen.) pada dasarnya merupa-kan spesialisasi dalam pengambilan
keputusan bagi organisasinya.[4][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Seringkali
keputusan untuk melakukan bisnis dimanifestasikan ke dalam perjanjian dengan pihak lain.
Menurut James M. Burns, pandangan klasik mengenai pengambilan keputusan
merupakan sebuah proses yang teratur dan rasional. Mendefinisikan dan
mengisolasi persoalan yang dihadapi, menghimpun informasi yang relevan, mengkaji berbagai
alternatif. Kendati dalam mengambil keputusan diperlukan sejumlah informasi,
tidak seluruh informasi yang diperlukan dapat diperoleh. Keputusan dapat
diambil berdasarkan informasi yang relevan dan cukup, dalam rangka memilih
alternatif terbaik; sehingga secara filosofis dikatakan bahwa “A man’s judgment cannot be better than the
information on which he has based it.”[5][*****************************] Artinya,
pertimbangan seseorang tidak lebih baik daripada informasi yang mendasari
pertimbangannya.
Sudah mafhum bahwa tujuan perusahaan atau perseroan tidak
lain adalah untuk memaksimalkan keuntungan. Di sisi lain, setiap upaya meraih
keuntungan selalu dibayang-bayangi oleh risiko. Maka wajar jika dikatakan bahwa
tujuan bisnis adalah identik dengan risiko. Salah satunya adalah ekonomi masa
depan yang mungkin meleset dari perkiraan. Hal ini akan membuat bimbang direksi
saat hendak mengambil keputusan. Direksi bertugas membuat setiap keputusan yang
diperlukan untuk menjalankan roda bisnis perusahaan, sehingga selalu menghadapi
masalah risiko bisnis.[6][†††††††††††††††††††††††††††††] Karena itu,
keputusan yang diambil tidak selalu membuahkan hasil, terkadang malah
mengakibatkan kerugian.
Pada umumnya, lembaga keuangan seperti bank dapat dika-takan
memperoleh keuntungan dari pengambilan risiko (kredit).
Semakin besar
risiko yang diambil, semakin besar hasil yang dapat diharapkan. Esensi dari
pertimbangan dan pengambilan keputusan bisnis adalah menyeimbangkan antara
risiko yang dihadapi dengan pendapatan atau keuntungan yang diharapkan.[7][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Karena itu,
Johneth Chongseo berpendapat bahwa tujuan untuk memaksimal-kan keuntungan harus
mempertimbangan keuntungan dengan risiko secara proporsional.[8][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Risiko bisnis tidak selalu dapat diukur secara matematis,
dan tidak semata-mata berdasarkan informasi faktual, baik yang bersifat
kualitatif maupun kuantitatif, yang ada saat pengambilan keputusan. Orang yang
berpengalaman dalam sebuah bisnis juga menggunakan nalurinya atau hindsight dalam memahami besar kecilnya
suatu risiko bisnis.[9][******************************] Pendapat
Douglas M. Branson, me-ngatakan bahwa keputusan bisnis sering menggunakan
sentuhan dan perasaan yang tidak dapat dibuktikan dengan analisis siste-matik,
dan merupakan penglihatan naluri atau yang menjelma menjadi perkiraan mengenai
keadaan kompetisi pasar, struktur biaya dan arah pertumbuhan industri dan
ekonomi.[10][††††††††††††††††††††††††††††††]
Stephen M. Bainbridge, menambahkan bahwa keputusan bisnis
pada dasarnya berkaitan erat dengan pertimbangan kehati-hatian di antara
sejumlah alternatif yang dapat diterima. Sebagai tingkah laku dari bisnis,
pilihan yang diambil secara hati-hati pun di antara sejumlah alternatif yang
ada dapat membuahkan hasil yang buruk.[11][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Karena itu,
walaupun seluruh ketentuan dan prosedur pengambilan keputusan telah diikuti,
tidak ada jaminan bahwa keputusan yang diambil akan selalu membuahkan hasil
yang positif, tetapi dapat juga menimbulkan kerugian.
Risiko seperti
ini disebut sebagai risiko bisnis yang normal atau normal business risk.[12][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Kegiatan bisnis tidak dapat dipisahkan dari hukum.
Pentingnya dasar hukum untuk melaksanakan kegiatan bisnis dapat dilihat dari
pendapat berikut. Menurut Sunaryati Hartono,[13][*] paham
Pancasila dan Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 dan Perubahannya[14][†] tidak dapat
menerima atau bertentangan dengan praktik bisnis yang bersifat destruktif,
bahkan tidak sehat dan tidak adil, karena dapat menimbulkan akibat ekonomi dan
sosial yang bertentangan dengan ketertiban dan kepentingan umum.
Salah satu semboyan hukum berbunyi, “Juris praecepta sunt haec; honeste vivere, alterum non ladere, suum
cuique tribuere”.[15][‡]
Artinya hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan mem-berikan orang
lain haknya. Semboyan ini menimbulkan tanggung jawab hukum bagi setiap orang
dalam pergaulan di masyarakat.
1. Tanggung
Jawab dan Perlindungan Hukum dalam Hukum Dagang
Pasal 36 sampai 56 KUHD (Kitab Undang-undang Hukum
Dagang) yang mengatur mengenai perseroan terbatas telah diganti oleh UU PT.
Ketentuan yang berkait dengan tanggung jawab pengurus atau yang dapat diartikan
sebagai direksi pada mulanya adalah sebagai berikut:
Pasal 44 KUHD berbunyi:
“Perseroan itu diurus oleh para
pengurus atau lain-lainnya yang diangkat oleh para persero, dengan atau tanpa
upah, dengan atau tanpa pengawasan komisaris. Para pengurus tidak dapat
diangkat dengan cara yang tidak dapat ditarik kembali“.
Pasal 45 KUHD berbunyi:
“Para pengurus tidak bertanggung jawab lebih daripada untuk menunaikan sebaik-baiknya
tugas yang diberikan kepada mereka; mereka tidak bertanggung jawab secara
pribadi terhadap pihak ketiga atas perikatan perseroan. Akan tetapi, bila
mereka melanggar suatu ketentuan dalam akta atau perubahan syarat-syaratnya
yang ditentukan kemudian, maka mereka ter-hadap pihak ketiga bertanggung jawab
masing-masing secara tanggung renteng untuk keseluruhannya untuk
kerugian-kerugian yang diderita oleh pihak ketiga karenanya”.
Pasal 47 KUHD berbunyi:
“Bila nyata bagi pengurus, bahwa telah
diderita kerugian sebesar lima puluh persen dari modal perseroan, sehingga mereka berkewajiban untuk
mengumumkannya dalam sebuah register yang diselenggarakan untuk itu pada
kepanite-raan raad van justitie, dan
demikian pula dalam surat kabar resmi. Bila kerugian itu berjumlah tujuh
puluh lima persen maka perseroan itu demi hukum bubar, dan para pengurus
bertanggung jawab terhadap pihak ketiga atas perjanjian-perjanjian yang telah
mereka adakan setelah mereka tahu atau harus mereka tahu tentang kerugian
itu”.
Pasal 45 KUHD menyebutkan, bahwa pengurus diberikan
per-lindungan hukum terhadap kemungkinan tuntutan pihak ketiga, jika pengurus
melakukan perikatan untuk perseroan yang ke-mudian menimbulkan kerugian bagi
pihak ketiga; sejauh para pengurus berupaya melakukan tugasnya dengan
sebaik-baiknya. Melakukan perikatan adalah merupakan bagian dari tugas sebagai
pengurus perseroan, dan di dalamnya terkait dengan keputusan yang diambil,
dalam rangka menjalankan roda usaha atau bisnis perseroan.
Frasa “melakukan perikatan dan menunaikan sebaik-baiknya
tugas yang diberikan kepada mereka” dalam Pasal 45 KUHD dapat pula diartikan,
bahwa perikatan atau tugas dilakukan dengan iktikad baik. Karena keputusan
mendahului perikatan, maka frasa itu dapat pula diartikan bahwa para pengurus
harus melakukan pengambilan keputusan itu dengan sebaik-baiknya, atau meyakini
diri bahwa keputusan yang diambil itu adalah yang terbaik bagi perseroan.
Pasal 45 KUHD tersebut juga menyebutkan frasa “melanggar
suatu ketentuan dalam akta atau perubahan syarat-syaratnya yang ditentukan
kemudian”. Penulis berkeyakinan bahwa akta yang dimaksud itu adalah akta
pendirian atau anggaran dasar perusa-haan, atau perubahannya. Jika pengambilan
keputusan melang-gar anggaran dasar atau perubahannya, pengurus tidak dapat
diberikan perlindungan hukum. Artinya, kerugian yang terjadi pada pihak ketiga
dapat dibebankan kepada pengurus itu secara pribadi.
Pasal 47 KUHD mengandung frasa “akibat tidak mengetahui
kondisi perseroan”. Latar belakangnya adalah kemungkinan per-seroan telah
mengalami kerugian yang terus menerus, sehingga mengakibatkan berkurangnya
modal perseroan hingga lebih dari 50%. Dalam keadaan seperti itu, jika
perseroan dalam hal ini pengurus tidak melaporkan keadaan keuangan itu dalam
sebuah register kepaniteraan PN dan dalam surat kabar resmi, tanggung jawabnya
dibebankan kepada pengurus. Jika pihak ketiga yang melakukan perikatan dengan perseroan
merugi, sebagai akibat tidak mengetahui keadaaan tersebut, pengurus bertanggung
jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga itu.
Moral dari Pasal tersebut terletak pada iktikad baik.
Pengurus didorong atau berkewajiban untuk tidak menyembunyikan keadaan keuangan perseroan yang sebenarnya[16][§]
kepada pihak ketiga, ketika mengadakan
perikatan untuk perseroan; karena
dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Hal itu akan mem- buat keadaan menjadi tidak seimbang,
dan dapat diklasifikasikan sebagai kesesatan atau dwaling, yang merupakan salah satu alasan pembatalan perjanjian
dengan syarat-syarat tertentu.[17][**]
Setara dengan alasan itu adalah ancaman atau bedreiging, tipuan atau bedrog.[18][††]
2. Mengenali Teori Badan Hukum
Teori organ Otto von Gierke mengatakan, badan hukum itu
laksana manusia yang menjelma dalam pergaulan hukum.[19][‡‡] Badan hukum
adalah sebuah organisme nyata yang hidup dan bekerja seperti manusia, sehingga
merupakan realitas sesungguhnya, sama seperti sifat kepribadian alam manusia di
dalam pergaulan hukum.[20][§§]
Seperti manusia, badan hukum punya kepentingan sendiri, dan dapat melakukan
aksi, dalam arti mempertahankan kepentingannya.[21][***] Badan
hukum digerakkan oleh organnya, yaitu pengurus atau direksi.
Menurut Ali Rido,[22][†††] hukum
adalah tidak lain dari pemberian hak-hak kepada subjek dalam hubungan hukum
dengan subjek lain. Kebalikan dari hak adalah kewajiban dari subjek lain;
pendukung hak adalah subjek hukum. Karena ditetapkan oleh hukum, organisasi atau
badan hukum memiliki hak dan kewajiban dalam melakukan kehidupannya. GWF Hegel
mengatakan, hak itu adalah untuk menjaga kepentingan atau tujuan;[23][‡‡‡]
atau hak untuk menjalankan operasi usaha seperti yang diizinkan oleh
undang-undang, dan hak membeli dan memiliki kekayaan atau aset.
Dengan kata lain, teori organ itu kumpulan orang yang
meng-organisasi diri sebagai sebuah kesatuan untuk mencapai tujuan dan
kepentingan bersama dalam bentuk perseroan terbatas atau PT, atau bank
berbentuk PT sebagai korporasi di bidang keuangan. Perseroan merupakan recht person (badan hukum), karena
dianggap sebagai orang layaknya atau naturlijk
person. Badan hukum itu merupakan persekutuan modal; dan sebagai PT,
didirikan berdasarkan perjanjian untuk melakukan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham.
Umumnya, korporasi modern memiliki manajemen untuk
me-maksimumkan keuntungan. Namun, keuntungan yang ingin di-capai harus dalam
batas kewajaran. Dalam perspektif Aristoteles, jika penekanan pada pencapaian
keuntungan dilakukan secara berlebihan, kemungkinan keuntungan itu tidak dapat
diperoleh sama sekali.[24][§§§]
3. Tanggung Jawab Atas
Kelalaian, Kurang Hati-hati, Kesalahan, dan Perbuatan Melanggar
Hukum
Teori badan hukum termuat dalam Pasal 1654 KUHPerdata yang
berbunyi:
“Semua perkumpulan yang sah adalah
seperti halnya dengan orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan
perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan
itu telah diubah, dibatasi atau ditun-dukkan pada acara-acara tertentu”.
Terkait dengan tanggung jawab seseorang terhadap orang
lain, pasal 1365 KUHPerdata menentukan sebagai berikut:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Pasal 1366 KUHPerdata berbunyi:
“Setiap orang harus bertanggung jawab
tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga
karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Dalam Putusan No. 1855 K/Pdt/2010, Mahkamah Agung
men-jelaskan bahwa, terdapat empat unsur perbuatan melanggar hukum berdasarkan
Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu: (1). Ada per-buatan melawan
hukum, misalnya yang bertentangan dengan undang-undang, (2). Ada kesalahan,
(3). Mengakibatkan kerugian, (4) Terdapat hubungan sebab akibat antara
kesalahan dengan kerugian. Unsur-unsur ini bersifat kumulatif, yaitu apabila
salah satu unsur tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai perbuatan melanggar hukum.
Frasa ‘melanggar hukum’ dalam Pasal 1365 KUHPerdata
menunjukkan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, karena
kesalahan atau kelalaian seseorang.[25][****]
Berdasarkan Schutznormtheorie, pihak
yang terkena pelanggaran itu hanya dapat menuntut ganti rugi, jika terdapat
norma yang dilanggar dan bertujuan untuk
melindungi kepentingan hukum dari orang yang terkena pelanggaran itu.[26][††††]
Kelalaian atau negligence
dalam Black’s Law Dictionary
diartikan sebagai berikut:[27][‡‡‡‡]
“The
failure to exercise the standard of care that a reasonably prudent person would
have exercised in a similar situation; any conduct that falls below the legal
standard established to protect others against unreasonable risk or harm, except
for the conduct that is intentionally, wantonly, or willfully disregardful of
others‘ rights”.
(Terjemahan bebas: Kegagalan dalam
melaksanakan standar kehati-hatian yang wajar orang lakukan dalam situasi yang
sama; setiap tindakan yang berada di bawah standar hukum yang telah ditentukan
untuk melindungi orang lain terhadap risiko atau bahaya yang tidak wajar,
kecuali tindakan itu dilakukan dengan niat, secara sengaja, dengan ceroboh,
mengabaikan hak orang lain).
Berbeda dengan kesengajaan, kelalaian sebagai perbuatan
melanggar hukum harus mengandung unsur-unsur:[28][§§§§] Adanya
per-buatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan, adanya kewajiban
hati-hati, tidak dijalankannya kewajiban kehati-hatian itu, adanya kerugian
pihak lain, dan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak
melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul. Di sini, unsur yang penting
adalah sikap lahiriah dan perbuatan yang dilakukan, tanpa terlalu memikirkan
apa yang ada dalam pemikiran pelaku mengenai akibat dari tindakan itu. Dalam
kesengajaan, unsur yang dominan adalah niat atau sikap mental dalam diri pelaku
untuk me-nimbulkan kerugian tertentu bagi pihak lain atau selaku korban; atau
paling tidak, pelaku dapat mengetahui secara lebih pasti bahwa akibat perbuatannya
akan terjadi.[29][*****]
Ada ukuran tentang perbuatan atau kelalaian yang
berten-tangan dengan kehati-hatian atau zorgvuldigheid
terhadap kepen-tingan orang lain. Mengutip L.E.H. Rutten, Sunaryati Hartono
berpendapat,[30][†††††]
walaupun seseorang tidak melanggar nilai-nilai moral atau hukum, bahkan tidak
melanggar hak orang lain, jika ia tidak
hati-hati mempertimbangkan atau memerhatikan kepen-tingan atau hak-hak orang
lain yang dianggap wajar atau secara umum diterima, maka orang itu dianggap
melakukan tindakan yang tidak sah dari kacamata hukum atau melanggar hukum.[31][‡‡‡‡‡]
Kehati-hatian berkait dengan kebijaksanaan seseorang berda- sarkan pertimbangan yang cukup untuk
bertindak; dan di dunia profesi ukurannya adalah standar profesi tertentu.[32][§§§§§]
50
|
Istilah zorgvuldigheid
diartikan sebagai carefullness
dalam bahasa sehari-hari, atau prudence
dalam hukum. Istilah zorgvul-digheid
juga merupakan asas kepatutan, dan perbuatan yang bertentangan dengan
kepatutan, ketelitian dan sikap kehati-hatian yang harus dimiliki oleh
seseorang dalam pergaulan dengan warga masyarakat, atau terhadap benda orang
lain.[33][******]
Sunaryati Hartono berpendapat,[34][††††††] seseorang
atau sebuah badan hukum dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melanggar
hukum, sekalipun tidak melanggar undang-undang atau melanggar hak orang lain,
adalah: apabila ia tidak cukup menun-jukkan sikap hati-hati dan tenggang rasa
terhadap kepentingan orang lain di masyarakat, atau apabila kontrak tidak
berdasarkan kausa yang sah, acceptable
cause, geoorloofde oorzak,
unreason-able cause, onredelijke
oorzaak, sehingga tidak mempunyai landasan hukum atau ontbreken van een rechtvaardigingsgrond.
Pengertian melanggar hukum, yang semula berarti onwet-matige daad, diperluas oleh
putusan Hoge Raad pada 1919, setelah
adanya kasus De Jutphense Juffrouw Arrest pada 10 Juni 1910, dan
Cohen-Lindenbaum Arrest pada 31 Januari 1919, sehingga menjadi onrechtmatige daad, yang berbunyi
sebagai berikut:[35][‡‡‡‡‡‡]
“Dengan suatu perbuatan melanggar hukum
diartikan sebagai perbuatan atau kelalaian yang menimbulkan pelanggaran
ter-hadap hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban Hukum Pelaku atau
kesusilaan yang baik dan kepatutan yang ada dalam masyarakat”.
Putusan dalam perkara Cohen-Lindenbaum menunjukkan empat
kriteria perbuatan melanggar hukum: Pertama, berten-tangan dengan
kewajiban hukum si pelaku; kedua, melanggar hak subjektif orang
lain; ketiga, melanggar kaidah tatasusila; keempat, bertentangan
dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya
dimiliki seseorang dalam per-gaulan dengan sesama warga masyarakat atau
terhadap harta benda orang lain. Empat kriteria tersebut berdiri sendiri, tidak
bersifat kumulatif. Kriteria keempat menunjukkan adanya hu-bungan
kebergantungan antara satu dengan pihak yang lain; dan berhubungan dengan
ketentuan yang tidak tertulis, seperti halnya kriteria ketiga.[36][§§§§§§]
Menurut Sunaryati Hartono,[37][*******]
pengertian perbuatan melanggar hukum tersebut telah diikuti pula oleh
yurisprudensi di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:
“Suatu perbuatan atau kelalaian, yang
atau melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan
kesusilaan, atau bertentangan dengan sikap kehati-hatian yang perlu
diperhatikan di dalam pergaulan masyarakat terhadap kepentingan lahiriah maupun
milik orang lain”.
Kedua pasal di atas juga berlaku bagi badan hukum. Sebagai
alter ego dari perusahaan, direksi
perseroan tetap tunduk pada ketentuan Pasal 1365 jo Pasal 1366 KUHPerdata. Dalam hal ini, Ali Rido berpendapat, bahwa apabila pengurus
sebagai kualitas organ bertindak dalam batas wewenangnya berdasarkan
undang-undang, anggaran dasar dan hakikat tujuan dari tindakan itu, badan hukum
terikat karenanya dan bertanggung jawab untuk itu.[38][†††††††]
Bahkan, apabila tindakan itu merupakan tindakan melang- gar hukum, tetapi
dilakukan oleh organ sebagai pelaksana
tugas dalam batas wewenangnya, dan bukan untuk kepentingan pribadi,
tetapi untuk mempertahankan hak-hak badan hukum, badan hukum terikat dan
bertanggung jawab atas tindakan organ yang demikian itu.
Menurut Ali Rido,[39][‡‡‡‡‡‡‡] organ
harus bertanggung jawab secara pribadi dengan mengganti rugi secara pribadi,
apabila melakukan kesalahan-kesalahan pribadi yang merugikan badan hukum, dan
merupakan perbuatan melanggar hukum. Kesalahan pribadi ini mencakup tindakan
organ yang lalai atau kurang hati-hati. Organ akan bertanggung jawab secara
pribadi, apabila: (1) melakukan perbuatan melanggar hukum di luar batas-batas
wewenangnya, (2) apabila perbuatan itu berada di luar wewenangnya, dan tidak
disahkan oleh organ yang lebih tinggi, atau perbuatan itu tidak menguntungkan
badan hukum.[40][§§§§§§§]
B. DEDIKASI DAN KEJUJURAN DIREKSI
Sebagai
penanggung jawab penuh terhadap kepengurusan perseroan, direksi bertugas untuk
membuat keputusan dan perikatan. Dalam rangka itu, direksi berkewajiban pula
untuk memiliki iktikad baik, dan memenuhi tugas fidusia (fiduciary duty), tugas kesetiaan (duty
of loyaly), tugas kehati-hatian (duty of care), dan lainnya. Lebih lanjut, uraian berikut ini menunjukkan bahwa
ketentuan undang-undang dan ruang lingkup pekerjaannya menuntut tidak saja
dedikasi penuh dari direksi, tetapi juga kejujurannya. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, dedikasi adalah pengorbanan tenaga, pikiran, dan waktu demi
keberhasilan suatu usaha atau tujuan mulia.
1. Berpegang Teguh
pada Sejumlah Prinsip
Prinsip iktikad
baik dikandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata Ayat 3. Iktikad baik adalah niat
dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra
janjinya ataupun tidak merugikan kepentingan umum. Niat bersifat abstrak yang
berada dalam batin seseorang. Setiap orang selalu harus bertanggung jawab pula
kepada masyarakat, maka niat yang dimaksud juga merupakan niat untuk tidak
merugikan masyarakat banyak dan kepentingan umum.[41][********] Iktikad baik
dapat pula diartikan sebagai niat untuk tidak merugikan pihak lain yang
berkaitan secara langsung atau taklangsung terhadap suatu kontrak. Kontrak,
dalam hal ini, dapat pula disetarakan dengan sebuah pekerjaan, atau tugas yang
harus dilakukan untuk pihak lain yang terkait.
Menurut Subekti, Pasal 1338 Ayat 3 KUHPerdata berarti
bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan
kepatutan dan keadilan,[42][††††††††] atau
pelaksanaannya telah berjalan di atas rel yang benar. Jika dilihat dari arti
kata, kepatutan berarti juga kepantasan, kelayakan, kesesuaian, dan kecocokan;
sedangkan kesusilaan merupakan nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok,
sopan, dan beradab dan nilai ini yang
dikendaki bersama oleh masing-masing pihak yang berjanji.[43][‡‡‡‡‡‡‡‡] Dari pendapat
Subekti ini, dapat pula disimpulkan bahwa iktikad baik harus pula dilihat dari
proses pelaksanaan suatu pekerjaan yang tidak menyimpang dari kepatutan.
Setiap bentuk kekhilafan, paksaan, dan penipuan memberikan
alasan pembatalan perjanjian.[44][§§§§§§§§] Penyalahgunaan
keadaan (undue influence, atau misbruik van omstandigheden) adalah
tambahan alasan baru untuk membatalkan suatu perjanjian,[45][*********]
termasuk klausula-klausula dalam perjanjian kredit baku yang tidak se-imbang,[46][†††††††††] di samping
menggunakan pengertian hukum klasik seperti iktikad baik, patut, dan adil.[47][‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Penyalahgunaan
keadaan (misbruik van omstandigheden)
dapat digolongkan sebagai cacat dalam menentukan kehendak (wilgebrek), atau tidak bebas menentukan kehendaknya dalam
memberikan persetujuan;[48][§§§§§§§§§] atau karena
adanya syarat-syarat yang tidak masuk akal, tidak patut, atau bertentangan dengan peri-kemanusiaan (onredelijke contracts-voorwaarden, atau unfair contract terms); [49][**********] dan terjadi
karena adanya keunggulan ekonomi (economische overwicht) atau psikologis[50][††††††††††] atau keunggulan lainnya. Salah satu pihak memiliki
keunggulan, dan pihak lain terdesak untuk melakukan perjanjian.[51][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Jika ia menanggung
beban yang sangat merugikan, karena tekanan keadaan yang tidak adil, perjanjian
itu dapat dinyatakan mengandung klausula yang tidak halal (ongeoorloofde oorzak).[52][§§§§§§§§§§] Setingkat
dengan doktrin undue influence, ada
doktrin lain yang disebut unconscionable
dealing [53][***********]
. Seluruh
unsur-unsur yang dapat membatalkan perjanjian ini dapat diartikan sebagai
iktikad buruk yang bernilai kesengajaan.
Selain iktikad baik, hukum korporasi mengenal prinsip fiduciary duty, duty of loyaly, duty of
care, dan lainnya. Black’s Law
Dictionary memberi pengertian duty dan
fiduciary duty sebagai berikut:[54][†††††††††††]
“Duty:
A legal obligation that is owed or due to another and that needs to be
satisfied; an obligation for which somebody else has a corresponding right”.
(Terjemahan bebas: Tugas adalah sebuah
kewajiban hukum yang harus dipenuhi terhadap orang lain; sebentuk kewajiban
berupa hak terkait orang lain).
“Fiduciary
duty: A duty of utmost good faith, trust, confidence, and candor owed by a
fiduciary (such as a lawyer or corporate officer) to the beneficiary (such as a
lawyer’s client or a shareholder); a duty to act with the highest degree of
honesty and loyalty toward another person and in the best interests of the
other person (such as the duty that one partner owes to another)”.
(Terjemahan bebas:Tugas fidusia adalah
sebuah tugas dengan iktikad baik yang tulus, kepercayaan, keyakinan, dan
kejujuran yang harus dipenuhi oleh seorang fidusia (seperti pengacara atau
pejabat korporasi) terhadap penerima manfaat (seperti klien atau pe-megang
saham); sebuah tugas untuk bertindak dengan kadar kejujuran dan loyalitas yang
tinggi terhadap orang lain dan demi kepentingan terbaik dari orang lain itu
(seperti tugas yang harus dilakukan oleh seorang mitra usaha terhadap mitra
yang lain).
Kata fiduciary sendiri
berasal dari kata latin “fiduciarus”
yang berasal dari kata fides atau faith [55][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] berarti kepercayaan,[56][§§§§§§§§§§§] dan
mengandung dua konotasi,
yaitu kepercayaan dan keyakinan.[57][************]
Kepercayaan
atau trust diartikan sebagai sebuah
harapan, pihak lain akan bertindak sesuai harapan seseorang.[58][††††††††††††] Fiduciary duty adalah sebuah tugas atau kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh
seseorang untuk orang lain yang memiliki hak untuk itu, berdasarkan atas
iktikad baik, kepercayaan, keyakinan, dan kejujuran yang paling tulus yang
harus diberikan oleh seorang yang dipercaya sepenuhnya demi kepentingan pihak
lain yang memberikan kepercayaaan itu. Sebagai
fidusia, direksi pada dasar-nya merupakan pengambil keputusan[59][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
yang harus menggunakan wewenangnya dalam menjalankan fungsi direksi dengan
iktikad baik, demi kepentingan perseroan.[60][§§§§§§§§§§§§] Tugas-tugas ini
tercakup dalam pengertian tot daden van
beheeren.[61][*************] Untuk itu,
direksi memiliki wewenang diskresioner secara unilateral memengaruhi
kepentingan perseroan; dan perseroan secara wajar menyerahkan kepada fidusia
untuk menggunakan wewenang itu demi kepen-tingan perseroan.[62][†††††††††††††]
Dalam penerapannya, kepentingan perseroan harus di atas
kepentingan pribadi. Seorang fidusia, atau yang dipercaya, harus membebaskan
diri dari sikap mementingkan diri sendiri. Sikap ini adalah sikap yang salah terhadap pihak
yang memberikan kepercayaan atau beneficiary,
jika pihak fidusia itu sedang meng-gunakan diskresinya dalam kaitan dengan
sumber daya yang terbatas milik beneficiary.[63][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Fiduciary duty ini timbul dari
adanya hubungan fidusia. Black’s Law Dictionary memberikan difinisi berikut:[64][§§§§§§§§§§§§§]
“A
relationship in which one person under a
duty to act for the benefit of the other on matters within the scope of the
relationship. Fiduciary relationship usually arises in one of the four
situations: (1) when one person places a trust in the faithful intergrity of
another, who as a result gains superiority or influence over the first, (2)
when one person assumes control and responsibility over another, (3) when a
person has a duty to act for give advice to another falling within the scope of
the relationship, or (4) when there is a specific relationship
that has traditionally been recognized as
involving fiduciary duties”.
(Terjemahan bebas: Seseorang memiliki
kewajiban untuk bertindak demi kepen-tingan pihak lain dalam hal-hal yang
berkaitan dengan ruang lingkup hubungan itu; dan dapat muncul dari salah satu
keadaan berikut: Pertama, ketika seseorang meletakkan kepercayaan berdasarkan
integritas yang tulus dari orang lain, yang sebagai akibatnya memiliki
kelebihan atau pengaruh terhadap yang pertama, ketika seseorang menjalankan
pengawasan dan tanggung jawab terhadap orang lain; ketiga, ketika seseorang
memiliki kewajiban untuk memberikan nasihat kepada yang lain dalam kaitan
dengan hubungan itu; atau apabila adanya hubungan yang khusus secara
tradisional atau kebiasaan menyangkut adanya fiduciary duties).
Prinsip berikutnya adalah Duties of Skill & Care, Loyalty, and Candor. Black’s Law
Dictionary memberikan definisi duty of
care berikut:
“Under the law of negligence or of
obligation, the conduct demanded of a person in a given situation. Tipically,
this involves a person’s giving attention both to possible dangers, mistakes,
and pitfalls and to way of minimizing those risks”.
(Terjemahan
bebas: Hukum kelalaian mewajibkan seseorang untuk bertindak dalam keadaan
tertentu, untuk memerhatikan segala kemungkinan yang ada seperti bahaya,
kesalahan, dan perangkap, sehingga dapat meminimalkan risiko yang mungkin
dihadapi).
Menurut Insolvency
Act 1985, arti dari ‘skills and care,’ adalah mengandung
harapan yang sejalan dengan keahlian atau skill,
kualifikasi, dan pengalaman dari suatu tingkat direktur tertentu. Oleh karena
itu, tingkat skill yang lebih tinggi
diharapkan dari seorang direktur keuangan yang profesional dibandingkan dengan
direktur non eksekutif lainnya. Standarnya adalah bahwa direksi, secara
individu dan kolektif, memiliki pengetahuan dan pengertian yang cukup mengenai
bisnis perusahaan, sehingga mereka dapat menjalankan tugasnya secara tepat.
Tingkat duty bergantung kepada posisi
sang direksi di rantai manajemen dan tugas serta tanggung jawabnya dalam
peranan tersebut.[65][**************]
|
Duty of loyalty merupakan
bagian penting dari fiduciary duty,
lebih penting dari duty of care.[66][††††††††††††††]
Duty of loyalty mengharuskan seorang
fidusia selalu menyesuaikan tingkah laku agar terhindar dari mementingkan diri
sendiri sebagai tindakan yang salah ter-hadap beneficiary.[67][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Duty of loyalty adalah
kewajiban seseorang sebagai direktur untuk tidak terlibat dalam kegiatan self dealing, atau meng-gunakan
kedudukannya untuk kepentingan pribadi, bukan dalam kapasitasnya sebagai
pekerja. Intinya, duty of loyalty
melarang unsur ketaksetiaan (faithlessness) dan self dealing.[68][§§§§§§§§§§§§§§] Tugas ini
mengandung dimensi kesetiaan dan pengabdian yang positif, bukan hanya menjaga
untuk tidak membahayakan perseroan tetapi menuntut direksi untuk memajukan
perusahaan.
Duty of loyalty menjauhkan
tindakan yang salah (wrong doing),
benturan kepentingan, dan ketakjujuran yang disengaja.[69][***************]
Duty of loyalty juga berarti
menghindarkan diri dari tindakan yang bertujuan ilegal, direksi mesti memiliki
iktikad baik untuk mengawasi jalannya perusahaan sesuai dengan hukum.
Pengadilan dapat meminta pertanggungjawaban direksi yang independen yang
dinyatakan gagal dalam melakukan kewajiban pengawasannya, jika melanggar duty of loyalty karena gagal
mengusahakan dengan iktikad baik untuk memenuhi duty of care-nya.[70][†††††††††††††††]
Duty of candor adalah
kewajiban untuk membeberkan semua fakta-fakta materiil, khususnya kewajiban
seorang direktur untuk membuka semua informasi yang diketahui yang bersifat
materiil kepada pemegang saham, ketika direktur itu meminta persetujuan
pemegang saham untuk melakukan sebuah transaksi.[71][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
2. Melaksanakan
Tugas Sesuai Aturan Terkait
Karena Pasal 1 Ayat 5 UU PT[72][§§§§§§§§§§§§§§§]
menyebutkan frasa “untuk kepentingan perseroan”, sehingga keberadaan korporasi
adalah untuk kepentingan perseroan atau korporasi itu sendiri.[73][****************] Menurut Nindyo
Pramono, kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan bagi pihak yang lebih
luas, yaitu para pemangku kepentingan termasuk kepentingan karyawan, kreditor
dan negara; sehingga sesuai dengan asas kekeluargaan yang dituntut oleh UUD
1945 dan Perubahannya. Perseroan tunduk pada UU PT, anggaran dasar dan
ketentuan perundang-undangan lainnya.[74][††††††††††††††††]
Nindyo Pramono menerjemahkan frasa “ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya” sebagai semua aturan perundang-undangan yang ber-kaitan dengan
keberadaan dan jalannya perseroan, termasuk peraturan pelaksanaannya, antara
lain peraturan perbankan.[75][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Yahya Harahap berpendapat, bahwa perseroan harus pula
tunduk pada ‘asas iktikad baik’, ‘asas kepatutan’, dan prinsip tata kelola perseroan yang baik[76][§§§§§§§§§§§§§§§§] (good corporate governance). UU PT juga menekankan masalah
tanggung jawab sosial, yang merupakan komitmen perseroan untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan
dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas
setempat, maupun masyarakat umum. Tujuan korporasi atau bank sebagai organisasi
pada akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum.[77][*****************]
3. Berpedoman pada
Maksud dan Tujuan dalam Anggaran Dasar
Berdasarkan Pasal 7 Ayat 4 UU PT,[78][†††††††††††††††††]
badan hukum sebagai subjek hukum memiliki tanggung jawab hukum sendiri, yang
terpisah dari pemiliknya, atau disebut sebagai “Persona standi in judicio ”. Dalam kaitan
ini, pemegang saham hanya bertanggung jawab, atau membatasi diri terhadap
tanggung jawab hukum dari perseroan
sebatas modal yang telah disetornya. Batasan ini disebut sebagai ‘tabir
perusahaan’ atau corporate veil, yang
menutupi perseroan dari tanggung jawab pribadi pemegang saham ataupun pengurus
atau direksinya. Tabir ini ditembus, atau “piercing
the corporate veil ” terjadi, jika
memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Pasal 3 Ayat 2 UU PT.[79][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Pasal 18 UU PT[80][§§§§§§§§§§§§§§§§§]
menyebutkan bahwa perseroan harus punya maksud dan tujuan yang dicantumkan di
anggaran dasar, sesuai ketentuan perundang-undangan, termasuk tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam Putusan No. 1865 K/Pdt/2010,
Mahkamah Agung menyatakan:
“Bahwa berdasarkan keterangan ahli Teti
Marsaulina, S.H., LL.M, fungsi dan maksud tujuan kegiatan usaha dalam anggaran
dasar suatu perusahaan adalah sebagai pedoman umum bagi direksi dalam
menjalankan perusahaan. Oleh karena itu, biasanya dalam anggaran dasar hanya
disebutkan hal-hal yang umum saja dan tidak secara mendetail. Selain itu, hal
tersebut juga dimaksud-kan agar direksi perusahaan dapat melakukan improvisasi
dalam menjalankan maksud dan tujuan perusahaan, sepanjang tidak bertentangan
dengan maksud dan tujuan perusahaan yang telah tercantum dalam anggaran dasar.
Dalam hukum perseroan, hal ini dikenal dengan doctrine business judgment rule”.
Menurut Yahya Harahap,[81][******************] di samping
berguna bagi pihak luar, pencantuman maksud dan tujuan tersebut menentukan
kewe-nangan dan merupakan batasan bagi direksi dalam mengurus dan mengelola
perseroan. Menurut hemat penulis, sejalan dengan kutipan di atas, kewenangan
direksi termasuk di dalamnya ruang lingkup pengambilan keputusan untuk
menentukan macam bisnis yang dapat dijalankan oleh direksi, yang sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan. Karena maksud dan tujuan dalam anggaran dasar disebutkan
secara umum, Mahkamah Agung dalam kutipan di atas berpendapat, direksi dapat
melakukan improvisasi dalam melaksanakan maksud dan tujuan perusahaan, dengan
meng-gunakan Prinsip BJR. Ini artinya direksi diberikan keleluasaan dalam
menentukan bisnis yang dianggap berkait dengan maksud dan tujuan itu. Namun,
pelaksanaan tugas di luar kewenangan ini, atau disebut sebagai tindakan ultra vires, akan berakibat hukum bagi
pengurus.
4. Bertindak sebagai Organ Badan Hukum Sesuai Kewe-nangan
demi Kepentingan Perseroan
Pasal 1 Ayat 2 UU PT[82][††††††††††††††††††]
menyebutkan, bahwa organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
direksi, dan dewan komisaris. Pada dasarnya, RUPS berfungsi untuk membela
kepentingan pemegang saham.[83][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Keputusan-keputusan yang menyangkut struktur organisasi perseroan dan
kepentingan pemegang saham berada dalam kewenangan RUPS. Contohnya meliputi
perubahan anggaran dasar, permohonan pernyataan pailit, pembubaran perseroan,
penambahan modal, penggunaan saham baru, dan penggunaan laba perseroan.[84][§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Dewan komisaris bertugas melakukan pengawasan atas
kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan
maupun usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada direksi (Pasal 1 Ayat 6 UU
PT).
Pengawasan dan
pemberian nasihat itu dilakukan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan
maksud dan tujuan perseroan.[85][*******************] Namun,
pengawasan ini bukanlah terhadap tindakan teknis dari kepengurusan direksi
melainkan mengawasi kebijak-sanaan PT, sehingga tidak setiap
tindakan direksi harus meminta izin komisaris. Selain itu, komisaris memberikan
nasihat kepada direksi, agar kepengurusan tidak dilakukan secara sembrono.[86][†††††††††††††††††††]
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 5 UU PT,[87][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
direksi memiliki tugas dan wewenang dengan penuh tanggung jawab dan untuk
kepentingan perseroan terhadap dua hal: melaksanakan kepengurusan dan mewakili
perseroan. Bismar Nasution menambahkan, bahwa keberadaan PT adalah yang
menyebabkan keberadaan direksi, sehingga direksi harus selamanya wajib mengabdi
kepada kepentingan PT, sebagai wakil PT selaku persona standi in judicio.[88][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Kewenangan direksi bukan karena pengangkatan oleh RUPS,
melainkan berasal dari Pasal 1 Ayat 5, Pasal 92 Ayat 1, dan Pasal 97 Ayat 1 UU
PT,[89][********************]
yakni demi kepentingan serta maksud dan tujuan perseroan. Fred B.G. Tumbuan
berpendapat, bahwa loyalitas direksi hanya mengacu kepada kepentingan perseroan,
bukan kepada pihak lain termasuk para pemegang saham. Dengan kaidah ini, direksi dapat mengabaikan
keputusan RUPS, jika keputusan itu bertentangan dengan kepentingan perseroan.[90][††††††††††††††††††††]
Untuk itu, setiap anggota direksi wajib melaksanakan kepengu-rusannya itu
dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab (Pasal 97 Ayat 2 UU PT [91][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]);
dan bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah
atau lalai menjalankan tugas sesuai ketentuan yang dimaksud pada Ayat 2
tersebut (Pasal 97 Ayat 3 UU PT).[92][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Berdasarkan Pasal 92 Ayat 1 UU PT,[93][*********************]
Nindyo Pramono ber-pendapat, bahwa tugas, wewenang, dan tanggung jawab direksi
tersebut adalah berkaitan dengan mengurus perseroan sehari-hari, atau tot daden van beheeren, yaitu setiap
perbuatan yang diperlukan dan termasuk golongan perbuatan untuk mengurus atau
memelihara perserikatan perdata, termasuk perseroan ter-batas. UU PT sendiri
memberi kelonggaran untuk menjabarkannya mengenai kepentingan dalam praktik,
baik secara sempit ataupun luas, sejauh hal itu sesuai dengan norma-norma
kelaziman dalam dunia usaha sejenis.[94][†††††††††††††††††††††]
Dalam kaitan ini, Ali Rido berpendapat, bahwa kebijakan atau tindakan direksi
tidak lepas dari batas wewenangnya, sejauh tindakan menguntungkan badan hukum.[95][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Pendapat Ali Rido itu merefleksi pertimbangan direksi dalam menentukan apakah
tindakan atau keputusannya termasuk dalam wewenang yang diberikan kepadanya. Namun,
syarat yang lebih jelas untuk menentukannya adalah yang dapat menguntungkan
badan hukum.
Walaupun direksi merupakan wakil dari badan hukum,
tetapi, menurut Ali Rido, perwakilan itu bukan merupakan pemberian kuasa.[96][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Menurut Pasal 1796 KUH Perdata, pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata
umum hanya berlaku untuk per-buatan-perbuatan pengurusan atau pengelolaan saja
(tot daden van beheeren), tidak termasuk dalam perbuatan
penguasaan (tot daden van beschikken).
Pasal 1795 dan 1796 KUH Perdata tidak berlaku bagi
per-wakilan badan hukum dan bagi pengurusnya melakukan dua macam perbuatan
pengurusan, termasuk pengurusan penguasaan seperti menjual, menyewakan, menggadaikan, dan lain sebagai-nya, jika anggaran dasarnya
tidak mengandung ketentuan yang mengatur perbuatan tersebut.[97][**********************]
Dalam hal
penguasaan (tot daden van beschikken), biasanya dirumuskan dalam anggaran
dasar dengan kaidah larangan. Apabila tidak dirumuskan dalam anggaran dasar,
itu berarti merupakan perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup pengurusan,
dan biasa dilakukan sehari-hari oleh direksi.[98][††††††††††††††††††††††]
Contoh perbuatan tot
daden van beschikken dapat dilihat dari ketentuan Pasal 102 Ayat 1 yang
menetapkan direksi wajib meminta persetujuan RUPS dalam hal:
(1) mengalihkan
kekayaan perseroan;
(2) menjadikan jaminan utang kekayaan perseroan,
yang meru-pakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih
perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama
lain maupun tidak.
Pasal 92 Ayat 2 UU PT menyebutkan, direksi berwenang
menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 sesuai kebijakan yang
dianggap tepat, dalam batas yang ditentu-kan dalam UU PT dan anggaran dasar.
Menurut O.C. Kaligis,[99][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
apabila di kemudian hari terbukti bahwa kewenangan diskresi itu membawa kerugian bagi perseroan
akibat kelalaian atau kesalahannya, maka direksi bertanggung jawab secara
pribadi, atau secara renteng jika direksi terdiri atas dua orang atau lebih,
sesuai Pasal 97 Ayat 3 dan Ayat 4 UU PT.
Menurut Nindyo Pramono,[100][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
frasa “kebijakan yang dianggap tepat” dalam Pasal 92 Ayat 2 UU PT[101][***********************]
adalah kebijakan yang antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang
tersedia, dan kelaziman dalam usaha yang sejenis. Kelaziman ini tidak memiliki
standar ukuran, kecuali melalui pendapat umum yang dapat diperoleh dari sesama
pelaku bisnis dalam bidang usaha yang sama. Di sini, Rudhi Prasetya
berpendapat, seperti dikutip oleh Neni Sri Imaniyati, bahwa ruang lingkup
kewenangan direksi dibatasi oleh asas kepantasan.
Sejauh
kepengurusan dijalankan dalam batasan ini, direksi tidak dapat dikatakan
melanggar otonomi yang diberikan.[102][†††††††††††††††††††††††]
Dalam ruang Hukum Administrasi Negara, kebijakan yang
dianggap tepat ini merupakan diskresi atau freies
ermessen. Kebebasan yang diberikan kepada pejabat penguasa untuk mengambil keputusan
menurut pendapatnya sendiri, asalkan tidak melanggar undang-undang.[103][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Pendapat
tersebut dibuat ber-dasarkan urgensi dan situasi atau kondisi yang dihadapi,
baik dalam bentuk pengaturan secara tertulis atau lisan, tetapi harus selaras
dengan maksud penetapan kewenangan atau sesuai dengan tujuan akhir kewenangan
itu.[104][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Dalam kaitan ini, prinsip ”Marginale
Toetsing” berlaku, bahwa masalah kebijaksanaan tidak menjadi wewenang
pengadilan untuk menilai, kecuali terdapat pelanggaran asas kepatutan dari
penguasa dalam menjalankan kebijaksanaan tersebut.[105][************************]
Menurut Nindyo Pramono, secara yuridis, ukuran kepantasan
itu berarti tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesu- silaan, iktikad baik, kepatutan, kebiasaan
atau undang-undang, dan tidak melanggar hukum.[106][††††††††††††††††††††††††]
Di samping itu, Nindyo Pramono mengatakan bahwa kebijakan yang dipandang tepat
adalah kebijakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi perseroan, atau yang
berguna bagi kepentingan perseroan. Pendapat Nindyo Pramono sejalan dengan
kesimpulan yang diambil itu sehubungan dengan tindakan yang dapat dianggap
termasuk dalam kewe-nangan direksi. Namun, ukuran yang pasti adalah yang dapat
mendatangkan manfaat bagi kepentingan perseroan.
Di perseroan, direksi memiliki kekuasaan untuk membuat
dan menjalankan keputusan yang berkait dengan bidang tugas yang telah
ditetapkan.[107][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Tanggung jawab terhadap tugas itu membuat ia wajib untuk melaksanakan tugasnya
dengan menggunakan wewenang yang ada untuk mencapai tujuan perseroan.[108][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Hal ini tercakup dalam Pasal 97 Ayat 1
dan 2 UU PT, bahwa pengurusan yang dimaksud dilakukan dengan iktikad baik dan
penuh tanggung jawab.
Pasal 97 Ayat 5 UU PT menyebutkan, direksi tidak bertanggung
jawab atas kerugian sebagaimana yang dimaksud pada Ayat 3 apabila dapat
membuktikan, bahwa:
(a) kerugian tersebut bukan kesalahan atau
kelalaiannya,
(b) telah
melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan
dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan,
(c) tidak
mempunyai benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang meng-akibatkan kerugian, dan
(d) telah mengambil tindakan untuk mencegah
timbul dan ber-lanjutnya kerugian tersebut.
Selain organ di atas, terdapat sebuah fungsi yang berkait
dengan korporasi, yang disebut corporate
secretary. Tanggung jawabnya bersifat administratif,[109][*************************]
pengawasan kepatuhan ter-hadap ketentuan yang berlaku,[110][†††††††††††††††††††††††††]
dan komunikatif,[111][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
dalam hubungan antara korporasi atau direksi dengan pihak luar atau para
investor. Karena itu, tugas corporate
secretary tidak langsung berhubungan dengan masalah perkreditan substantif
dalam bank dan dengan para debitor.
5. Menerapkan Good Corporate Governance (GCG)
Menurut Jackson dan Nelson, governance adalah tentang bagaimana kewenangan atau kekuasaan
didistribusikan dengan akuntabilitas, transparansi, dan integritas yang
menyertainya.[112][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Pada
hakikatnya, governance merupakan
proses pengambilan keputusan yang didasari, antara lain, oleh kultur
organisasi, etika, proses, kebijakan, dan struktur; dan bagaimana menerapkan
keputusan yang diambil sekaligus mengontrol pelaksanaannya.[113][**************************] GCG bertujuan
untuk mempercepat dan meningkatkan kesejah-teraan bisnis, melalui pengelolaan
sumber daya dan risiko yang efektif, dan merupakan pertanggungjawaban terhadap
para peme-gang saham dan pemangku kepentingan.[114][††††††††††††††††††††††††††] Menurut
Jonathan R. Macey, tujuan GCG adalah untuk membujuk dan memengaruhi atau
memotivasi direksi dan para manajer untuk menepati janji kepada para investor.
Dengan kata lain, GCG bertujuan untuk mengurangi deviasi yang dilakukan dalam
pengelolaan perusahaan oleh korporasi dari apa yang diharapkan oleh para
investor,[115][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
sehingga dapat memberikan keyakinan bahwa korporasi dapat menghasilkan
laba.
Pada dasarnya, GCG adalah bagaimana keputusan dibuat oleh
direksi atau manajemen dari sebuah perusahaan. Dalam kerangka besarnya, tugas
manajemen terbagi ke beberapa fungsi: planning,
organizing, motivating, staffing, dan controlling.[116][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Untuk itu, direksi
harus membuat keputusan yang diperlukan sampai organisasi manajemen terbentuk.
Dari segi bisnis, direksi harus merencana-kan apa yang akan dilakukan, kemudian
membuat keputusan bisnis yang diperlukan.
Aktualisasi dari GCG dalam UU PT dalam hal pembagian
kewenangan di antara para organ badan hukum PT dapat dilihat dari hal-hal
berikut:
Pertama, adanya
pembagian kekuasaan dan fungsi kepada organ-organ, seperti RUPS, komisaris, dan
direksi. Direksi bertugas memimpin kegiatan sehari-hari perseroan secara otonom
(tot daden van beheeren) dalam rangka mencapai tujuan
perseroan.
Kedua, setiap organ
perseroan memiliki kedudukan yang bersifat otonom dan sederajat. Kepentingan yang
paling tinggi yang harus diperhatikan oleh organ, khususnya oleh direksi adalah
kepen-tingan perseroan secara keseluruhan dengan mengacu kepada tujuan
perseroan.[117][***************************]
Ketiga, dalam hal tot daden van beschikking, kewenangan
tertentu atau bukan yang berkaitan dengan pengurusan sehari-hari, hanya dapat
dilakukan oleh direksi atas dasar persetujuan dari RUPS atau komisaris seperti
yang disebutkan dalam anggaran dasar. Patokan normatif pelaksanaannya adalah
ketertiban umum dan kesusilaan, iktikad baik, (Pasal 1338 KUH Perdata, dan
Pasal 97 Ayat 2 UU PT), kehati-hatian (Pasal 97 Ayat 5 huruf b UU PT), dan
kebijakan yang dianggap tepat (Pasal 92 Ayat 2 UU PT), serta ukuran ekonominya
terletak pada manajemen yang baik.[118][†††††††††††††††††††††††††††]
Keempat, Pasal 120 Ayat
1 UU PT menentukan anggaran dasar perseroan dapat mengatur adanya seorang atau
lebih komisaris independen dan seorang komisaris utusan, dalam rangka
me-nyeimbangkan berbagai kepentingan dari berbagai pihak atau stakeholders.[119][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Penerapan GCG di lingkungan perbankan dianjurkan
oleh Basle
Committee on Banking Supervision (1999), di Indonesia ditetapkan oleh Bank
Indonesia. Basle Committee menetapkan
sejumlah standar terbaik untuk industri perbankan, yang antara lain, adalah:
bahwa bank harus menetapkan sasaran strategik dan serangkaian nilai-nilai
perusahaan yang dikomunikasikan dalam organisasi, menetapkan tanggung jawab
yang jelas pada setiap jenjang jabatan, dan memastikan bahwa pengurus bank
memiliki kompentensi yang memadai dengan integritas yang tinggi, serta memahami
peranannya dalam mengelola bank yang sehat dan tidak terpengaruh oleh pihak
eksternal.[120][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
C.
MENGHINDARI KEGAGALAN ATAU KEPAILITAN
UU Perbankan menyebutkan bahwa bank
adalah:
”Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan
atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak”.
Menurut Pasal
21 UU Perbankan, bentuk badan hukum se-buah bank umum dapat berupa perseroan,
perusahaan daerah, koperasi, dan perseroan terbatas. Dalam karya ini, saya
hanya melakukan kajian terhadap bank yang berbadan hukum PT.
Bank memiliki peran
yang sangat penting dalam perekonomian dan bertindak sebagai perantara dalam
bidang keuangan atau financial
intermediaries. Bank menyalurkan dana dari yang ber-kelebihan kepada yang
membutuhkan, tetapi penekanannya pada kegiatan produktif. Alokasi modal
yang efisien dalam perekono-mian akan meningkatkan pertumbuhan.[121][****************************]
Menurut Bert
Scholtens dan Dick van Wensveen, intermediasi keuangan merupakan proses
penciptaan nilai atau value creation,
yang didorong oleh adanya risiko dan kegiatan pengelolaan risiko yang tercakup
dalam manajemen risiko atau risk
management.[122][††††††††††††††††††††††††††††] Bisnis bank
selalu berkaitan dengan risiko, sehingga dapat pula dikatakan bahwa bisnis
perbankan adalah bisnis risiko. Jadi, nilai yang diciptakan diharapkan dapat
memberikan keuntungan, dibalik pengambilan risiko yang perlu diminimalkan
walaupun tidak dapat dihilangkan sama sekali. R. Boffey dan GN Robson
menegaskan bahwa kemampuan menyerap risiko sangat bergantung kepada perolehan
keuntungan dari pemberian pinjaman dan besar kecilnya modal yang dimiliki bank.[123][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dalam konteks
penciptaan nilai, tugas manajemen adalah meningkatkan arus kas saat ini dan di
masa depan dengan mengeksploitasi setiap kesempatan pertumbuhan, tetapi tanpa
menambah risiko secara menyeluruh bagi bank.[124][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Konsep
pencip-taan nilai ini perlu diterapkan dalam setiap hubungan dengan nasabah
debitor. Setiap kredit/pinjaman yang diberikan harus menghasilkan tingkat
keuntungan bagi bank, yang sesuai dengan objektif portofolio secara menyeluruh
dan target keuntungan terhadap modal bank[125][*****************************] tanpa menambah
risiko portofolio bank.
Karena bank menghadapi berbagai risiko, terutama risiko
kredit, dan berpengaruh luas terhadap sektor ekonomi makro dan kesejahteraan
rakyat, sektor perbankan harus diatur secara ketat (highly regulated).[126][†††††††††††††††††††††††††††††] Tujuan
pengaturan ini, antara lain, adalah untuk melindungi kepentingan para pemilik
dana[127][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] dan mencegah
kerusakan bank disebabkan oleh manajemen yang buruk[128][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] atau tidak
kompeten dalam mengelola risiko.
Dalam proses pemberian kredit, salah satu masalah yang
harus diatasi oleh bank adalah mengenai informasi yang tidak seimbang (asymmetric information). Masalah ini
merupakan salah satu krakteristik dari pembiayaan[129][******************************]
atau pemberian kredit yang harus diatasi bank. Karena jika
tidak, dapat menimbulkan kredit bermasalah (non performing loan).
Asymmetric Information atau informasi
yang tidak seimbang berarti bahwa informasi yang dimiliki oleh debitor dan
kreditor tidak sama atau “asymmetrical”.
Rowena Olegario mengatakan, keadaan yang simetrikal itu tidak akan
pernah terjadi di dunia nyata.[130][††††††††††††††††††††††††††††††]
Setiap pihak dari suatu kontrak atau transaksi yang sama tidak memiliki
informasi yang sama.[131][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Di lain pihak, bank membu-tuhkan banyak informasi mengenai calon
debitor/debitornya selama pinjaman belum terlunasi. Baik ex-ante maupun ex-post,
calon debitor/debitor memiliki informasi yang jauh lebih baik mengenai masalah
yang dihadapinya, serta bagaimana menganti-sipasi dan mengatasi setiap
perubahan lingkungan yang terjadi. Untuk menjembataninya, bank perlu lebih
aktif untuk menggali informasi yang diperlukan, baik secara langsung ataupun
tidak langsung dari calon debitor.
Bank adalah sebuah lembaga “kepercayaan”, sehingga masya-rakat merasa
aman untuk menyimpan uang di lembaga tersebut. Kata ‘aman’ berarti adanya
anggapan masyarakat bahwa setiap saat mereka dapat memperoleh kembali uang
beserta bunga yang dijanjikan secara utuh. Antara bank dan nasabah penyimpan
dana terdapat hubungan fidusia.[132][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Itu sebabnya,
direksi bank memiliki fiduciary duty,
duty of loyalty, dan duty of skill and care terhadap bank.
Sebagai pihak yang dipercaya untuk mengelola bank,
khu-susnya mengelola risiko, direksi berkewajiban bertindak dengan
sebaik-baiknya demi kepentingan bank dan pemegang sahamnya. Untuk itu, direksi
juga memiliki sumpah setia terhadap bank dan menempatkan kepentingan bank dan
pemegang saham di atas kepentingan pribadi. Dua tugas ini mengandung unsur
integritas, kompetensi, dan profesionalisme.[133][*] Menurut
Chapra dan Ahmad, profesionalisme, kompetensi, dan integritas merupakan faktor yang penting bagi
manajemen bank.[134][†]
Menurut Hikmahanto Juwana, dari segi fiduciary duty, khususnya dalam pemberian kredit, direksi bank
memiliki beban tanggung jawab yang jauh lebih besar terhadap kepercayaan yang
diberikan oleh masyarakat pemilik dana kepada bank, qq direksi bank.[135][‡]
Direksi berkewajiban memenuhi duty of
skill and care, yang mengharuskan direksi untuk mengelola bank sebagai
orang yang ahli dan jujur dengan segenap kemampuannya.[136][§] Untuk itu,
direksi harus pula meyakini bahwa bank memiliki tata cara pem-berian kredit
yang baik dan efektif, sehingga dapat mencapai hasil yang optimal, tanpa mengorbankan kepentingan para pemilik dana.
Dari segi hukum
perseroan, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau
berkaitan dengan sumber alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan (Pasal 74 Ayat 1 UU PT).[137][**] Secara
taklangsung, direksi bank harus memerhatikan ketentuan ini tidak saja dalam
pelaksanaan operasi bank, tetapi juga ketika mempertimbangkan usulan kredit.
Kredit untuk membiayai usaha yang dapat merusak lingkungan hidup harus dicegah.
Dari segi hukum perbankan, Sundari Arie ber-pendapat, bahwa pengurus bank,
dalam hal ini direksi dan komisaris, wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan
operasional bank[138][††]
secara menyeluruh. Ini artinya direksi berkewajiban melakukan fungsi pengawasan
melalui sistem yang dibangun untuk memantau dan mengawasi seluruh kegiatan
operasional, khususnya dalam hal pemberian kredit. Kecenderungan timbulnya
kredit yang bermasalah harus menjadi perhatian khusus, terutama bagi direksi. Timbulnya kredit bermasalah yang meluas akan meng-ganggu pertumbuhan ekonomi dan
memengaruhi kesejahteraan masyarakat luas. Di lain pihak, peran komisaris
adalah mengawasi kebijakan yang diambil direksi. Dalam hal ini, komisaris dapat
mempertanyakan apakah direksi telah membuat kebijakan dan sistem pengawasan
kredit yang diperlukan.
Asas yang
paling penting dalam kegiatan pemberian kredit adalah prinsip kehati-hatian
atau prudential principle. Asas ini
wajib diterapkan dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan
kepada bank.[139][‡‡]
Prinsip ini dikandung dalam Pasal 2 dan Pasal 8 UU Perbankan, yang penerapannya
didukung oleh Pasal 49 Ayat 2 (b) UU Perbankan.
Penerapan prinsip tersebut sesungguhnya telah
dimulai ketika bank akan menunjuk seseorang
menjadi direktur bank. Berdasarkan PBI Nomor 12/23PBI/2010 tentang Uji
Kemampuan dan Kepatutan, pihak yang dapat ditunjuk sebagai direktur bank adalah
yang telah lulus Uji Kemampuan dan Kepatutan yang diselenggarakan oleh Bank
Indonesia. Tujuan ketentuan ini adalah untuk memantapkan sistem perbankan
dengan mengarah kepada praktik good
corporate governance dan pemenuhan prinsip kehati-hatian. Untuk itu,
diperlukan sumberdaya manusia yang memiliki integritas dan kemampuan yang
tinggi, pengalaman dan keahlian yang sesuai, serta memiliki reputasi keuangan
yang baik. Kemampuan yang dimaksud termasuk untuk mengantisipasi
perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, serta menginterpretasikan
visi-misi bank dan analisis situasi industri perbankan. Persyaratan
yang ditentukan tidak memberikan ruang bagi pihak yang melakukan tindakan yang
diindikasikan tidak memenuhi persyaratan dan kepatutan.[140][§§]
Ketentuan tersebut perlu diterapkan tanpa pengecualian,
dan itu berarti bahwa Bank Indonesia telah membentuk standar umum yang sama
bagi setiap orang yang dapat diangkat sebagai direktur bank. Sekalipun pemilik
dapat bertanggung jawab terhadap ke-mampuan dan kepatutan calon direksi, risiko
direksi gagal dalam mengelola bank dapat menimbulkan kegagalan bank dan
bersifat sistemik. Pada dasarnya, risiko kegagalan bank tidak dapat ditanggung
sendiri oleh pemilik, mengingat modal yang ditempat-kan pada bank jauh lebih
kecil dibandingkan dengan dana masyarakat yang digunakan dalam usaha bank.
Prinsip kehati-hatian juga diatur oleh sejumlah ketentuan
Bank Indonesia, yang antara lain: SK Dir Bank Indonesia No. 27/162/ KEP/DIR dan
SE Bank Indonesia No. 27/2/UPPB tentang Kewajiban Penyusunan Kebijakan
Perkreditan bagi Bank Umum (KPB) dan Peraturan Bank Indonesia No. 7/3/Peraturan
Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.
Prudential principle atau prinsip
kehati-hatian bertitik tolak pada kata prudence.
Menurut Adam Smith, prudence adalah
kebajikan moral dan intelektual yang sempurna sekaligus ke- bijakan dengan kebajikan yang sempurna
pula. Adam Smith memberikan sejumlah karakteristik dari orang yang memiliki
sikap kehati-hatian atau prudent man.
Dari sejumlah atribut yang dikemukakan oleh Adam Smith, berikut ini
sebagiannya:
”Orang dengan sikap hati-hati selalu
mempelajari secara serius dan sungguh-sungguh apa yang harus dipahaminya dari
segi profesi, selalu tulus, dan hanya mengatakan yang benar, serta selalu
bersikap hati-hati dalam setiap tindakannya, termasuk ketika berbicara. Ia selalu
menghargai sesuatu yang tidak berlebihan dan kewajaran, penuh dengan diskresi
dalam batas yang wajar, serta bertingkah laku baik. Sebagai reputasi bagi
profesinya, ia selalu melakukan transaksi berdasarkan keman-tapan dari
pengetahuan dan kemampuannya”.
Menurut Hermansyah,
penerapan prinsip kehati-hatian
dapat dilihat dari bagaimana bank dan orang-orang yang terlibat di dalamnya
membuat kebijaksanaan dan menjalankan kegiatan usahanya. Mereka wajib
menjalankan tugas dan wewenang masing-masing secara cermat, teliti, dan
profesional; selalu mematuhi seluruh aturan perundang-undangan yang berlaku
secara konsisten dengan didasari oleh iktikad baik.
[1][****************************] Lihat: Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di
Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 31; dan Gunardi Endro,
Redefinisi Bisnis, Pustaka Binaman
Pressindo, Jakarta, 1999, hlm. 15.
[2][††††††††††††††††††††††††††††] Fred R. David, Strategic Management, Concepts and Cases, Pearson Education
Limited, England, 2011, hlm. 131.
[4][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] James Macgregor Burns, Leadership, Harper & Row, New York, 2010,
hlm. 379.
[5][*****************************] Helen M. Bowers,
“Fairness of Opinion and The Business Judgment Rule: An Empirical Investigation
of Target Firms’ Use of Fairness of Opinions”,
[6][†††††††††††††††††††††††††††††] Johneth
Chongseo Park, (et.al), “The Business
Judgment Rule: A Missing Piece in the Developing Puzzle of Korean Corporate
Governance Reform”, Journal of Korean Law, Vol. 3, (2
November 2003), hlm. 15.
[7][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] The Court of Chancery of The
State of Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative litigation,
[24/02/2009].
[9][******************************] Douglas M. Branson,
“The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review, Vol.
36,
[11][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as
Abstention Doctrine”, <Bainbridge@law.ucla.edu.310.206.1599> [Tidak bertanggal].
[12][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Sundari Arie, “Tindak
Pidana di Bidang Perbankan Ditinjau dari Undang-Undang Perbankan dan Peraturan
Perundang-undangan Terkait serta Permasalahan dalam Praktiknya”, Prosiding Seminar Tindak Pidana Perbankan,
Jakarta, 2007, hlm. 13.
[13][*] Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit PT.
Alumni, Bandung, 1991, hlm. 121, 128.
[15][‡] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kotemporer, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010, hlm. 2.
[17][**] HP. Pangabean, mengutip ringkasan dari
Nieuwenhuis, bahwa untuk menentukan apakah tuntutan atas dasar kesesatan dapat berhasil,
maka harus dapat menjawab seluruh pertanyaan berikut: (1) apakah keputusan
untuk membuat perjanjian dipengaruhi oleh adanya salah anggapan mengenai
masalah itu; (2) apakah salah
anggapan itu menyangkut keadaan-keadaan yang sangat pen-ting bagi yang
mengalami kesesatan tersebut, dengan kriteria apakah perjanjian tanpa kesesatan tidak akan ditutup dengan
persyaratan yang sama; (3) apakah kesesatan memenuhi Pasal 6:228 NBW; (4)
apakah pihak lawan mengetahui bahwa keadaan-keadaan yang berkaitan dengan
kesesatan merupakan arti yang sangat memukul pihak yang tersesat. HP. Pangabean, Penyalahgunaan Keadaan
(Misbruik van Omstandigheden) Sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Per- janjian, Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm.
45.
[20][§§] R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2004, hlm. 8.
[24][§§§] Norman E. Bowie, Business Ethics, a Kantian Perspective, Blackwell Publisher,
Minneapolis, 1998, hlm. 132.
[25][****] Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan
Hukum Acara Perdata, Penerbit PT Alumni, Bandung, 1992, hlm. 245.
[26][††††] Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara &
Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm. 46-47.
[27][‡‡‡‡] Bryan A. Garner, Black ’s Law Dictionary, West Publishing
Co., St. Paul, 2004, hlm. 1061.
[28][§§§§] Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan
Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010. hlm. 73.
[41][********] Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia,
Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 121-122.
[43][‡‡‡‡‡‡‡‡] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2000, hlm. 235.
[44][§§§§§§§§] Kartini Mulyadi dan Gunawan
Widjaja, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 80.
[46][†††††††††] Dalam hukum Inggris, undue influence dapat membatalkan kontrak dalam arti dianggap tidak
pernah ada atau disebut “rescinded”,
seperti yang dapat disimak dalam kutipan berikut: “By contrast, a voidable contract is one by which a party is entitled
to rescind, or to have set aside by the court, by reason of some external
vitiating factor (deceit, misrepresentation, duress, undue influence, mistakes
as to identity induced by a fraudulent misrepresentation in face to face
dealings), but which is valid and binding until rescinded”. Mengenai
pembatalan kontrak dengan pengertian dianggap tidak pernah ada dapat
disimpulkan dari uraian berikut: “Rescission
cancels the contract from the beginning, so that each party is obliged to
return the benefits he has received and, so far as possible, the parties are
restored to the position they would have occupied had no contract been entered
into”. Goode, Roy, Commercial Law, Penguin
Books, London, 2004, hlm. 78.
[47][‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Putusan-putusan yang dimaksud adalah:
Putusan MA tanggal 14 Maret 1987 No.
3431K/Pdt/1985 (Ny. Busono dan R. Busono melawan Sri Setianingsih), MARI No.
2230K/Pdt1985 (Adamson melawan BSN), MARI No. 2450/Pdt/Sip/1982 (Hotel Tiara
Medan d/h Hotel Medan Utama melawan Bank Eksim), MARI No. 2464 K/Pdt/ 1986 (Santo
Liusman melawan Bintang Kosmos Motors), MARI No. 2216/K/ Pdt/1988 (Putri
Kayangan melawan Bank Bumi Daya), dan MARI No. 2563K/ Pdt/1988 (Parengkuan
melawan Bank Pacific). Sutan Remi Sjahdeini, op. cit., hlm. 124-125.
[48][§§§§§§§§§] Menurut Salim HS, cacat kehendak (wilsgebreken) adalah kecurangan dalam
kehendak orang atau orang-orang yang melakukan perbuatan yang menghalangi
terjadinya persesuaian kehendak dari pihak dalam perjanjian. Cacat kehendak
terdiri dari 4 macam: dwaling (kekhilafan),
dwang (paksaan), bedrog (penipuan), dan undue
influence (penyalahgunaan kesempatan, ekonomis, atau psikologis). Cacat kehendak merupakan salah satu dari penyebab timbulnya pembatalan
perikatan berdasarkan Pasal 1446-1456 KUHPerdata. Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),
Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 198-199.
[49][**********] Cacat kehendak yang lain adalah:
tampak atau ternyata pihak debitor dalam kondisi tertekan (dwang positie), keadaan debitor tidak punya pilihan lain kecuali mengadakan
perjanjian a quo dengan syarat-syarat
yang memberatkan, dan nilai dari hasil perjanjian tersebut sangat tidak
seimbang jika dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak, Salim
HS, ibid., hlm. 283.
[50][††††††††††] Syaratnya adalah adanya
kebergantungan dari pihak yang lemah yang disalah-gunakan oleh pihak yang
memiliki keunggulan psikologis, dan adanya kesukaan psikologis yang luar biasa
antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2007, hlm. 50.
[52][§§§§§§§§§§] Kasus ini berkaitan dengan
seseorang yang bernama Mozes dan mereparasi mobilnya di Uiting & Smith yang
merupakan anggota perkumpulan reparasi mobil “Bovag”. Mozes menandatangani
perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula penjamin dalam vrijwaring setiap kerugian dan
pertanggungjawaban yang timbul terhadap pihak ketiga. Mozes berkeberatan untuk mengganti rugi,
karena klausula tersebut tidak pernah dijelaskan pada saat menyerahkan mobilnya
kepada Uiting & Smiths. H.P.
Pangabean, Himpunan Putusan Mahkamah
Agung Mengenai Per-janjian Kredit Perbankan, Jilid 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 273-276.
[53][***********] Black’s
Law Dictionary memberikan definisi berikut: 1. (Of a person) having no
conscience, unscrupulous (an
unconscionable used car salesman), 2. (Of
an act or transaction) showing no
regard for conscience, affronting the sense of justice, decency, or
resonableness (the contract is void as unconsconsionable), Bryan A. Garner, op. cit., hlm. 1561.
[56][§§§§§§§§§§§] Bruce S. Butcher, Directors’ Duties, A New Millennium, A New Approach? Kluwer Law
International, London, 2000, hlm. 18.
[57][************] Derek French (et.al), Company Law, Oxford University Press, New York, 2009, hlm. 469.
[58][††††††††††††] David J. Seipp, “Trust and Fiduciary Duty in the Early Common Law”, Boston University Law Review, Vol. 91:1011,
[59][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] William F. Griffin
Jr., “Fiduciary Duties of Officers, Directors and Business Owners”,
[January 2011] , hlm.2
[60][§§§§§§§§§§§§] Walter Geach,
“Statutory, Common Law and Other Duties of Directors”, Papers for CIS Corporate Governance Conference,
<www.icsa.co.za./documents/speakers Press/Walter Geach/GeachStatutory Com-mon
LawAndOtherDutiesOfDirectors.pdf> [10 September 2009], hlm. 10
[61][*************] Katharina Pistor dan
Chenggang Xu, “Fiduciary Duty in Transitional Civil Law Jurisdictions”, Law Working Paper, N 01/2002,
[62][†††††††††††††] Caroline L. Helbronner,
“Fiduciary Duties, An Overview”, Federated
Press Con- ference,
[10 December 2007], hlm.3
[63][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Michael Ottley, Company Law, Routledge,
Cavendish, New
York, 2008, hlm. 94, 95, 122,
[65][**************] “Professional Briefing – Law Case Review- Director in Breach of Fiduciary Duty”.
Journal of Accountancy. Vol. 128, Oct
1 (2001).
[66][††††††††††††††] Lawrence A. Cunningham, dan Yablon,
Charles M., “Delaware Fiduciary Duty Law after QVC and Technicolor, A Unified
Standard (and the End of Revlon Duties?)”, Boston
College Law School, Research Paper 1994-03,
[67][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Dennis J. Block, (et.al), The Business Judgment Rule, Fiduciaries Duties of Corporate Directors, Prentice
Hall Law & Business, New Jersey, 1989,
hlm. 1.
[69][***************] Lyman P Q Johnson dan David Millon,
“Recalling Why Corporate Officers are Fiduciaries”, Washington & Lee Public Law and Legal Theory, Working
Paper No. 04-13, <http://ssrn.com/abstract=557926> [06/2004].
[71][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Bryan A. Garner, Black’s Law
Dictionary, West
Publishing Co.,Texas,
2004,
hlm. 544.
[72][§§§§§§§§§§§§§§§] Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
[74][††††††††††††††††] Pasal 4 Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
[75][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Nindyo Pramono, “Tanggung Jawab dan
Kewaijiban Pengurus PT (Bank) Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas”, Buletin Hukum dan
Kebanksentralan, Volume 5 Nomor 3, (Desember 2007), hlm. 28.
[76][§§§§§§§§§§§§§§§§] Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika,
Jakarta, 2011, hlm. 84.
[78][†††††††††††††††††] Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[82][††††††††††††††††††] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[83][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Fred B.G. Tumbuan, “Organ-Organ
pada Perseroan Terbatas: Kewenangan dan Tanggung Jawabnya”, Prosiding Perseroan Terbatas dan Good
Corporate Governance, Jakarta, 2004, hlm. 195.
[85][*******************] Pasal 108 Ayat 1 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[86][†††††††††††††††††††] Partomuan Pohan, “Perseroan Terbatas Sebagai
Badan Hukum”, Prosiding Perseroan
Terbatas dan Good Corporate Governance, Jakarta, 2004, hlm. 229.
[87][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas.
[88][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Bismar Nasution,
“Pertanggungjawaban
Direksi:
Pertanggungjawaban
Direksi dalam Pengelolaan Perseroan”,
[Tidak
bertanggal].
[89][********************] Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[90][††††††††††††††††††††] Fred B.G. Tumbuan, “Mencermati
Kewenangan dan Tanggung Jawab Direksi, Komisaris, dan Pemegang Saham Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1995”, hlm. 213.
[91][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[99][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] O.C. Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu
Hukum, Jilid 6, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2011, hlm. 276.
[101][***********************] Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[102][†††††††††††††††††††††††] Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis, Telaah tentang Pelaku dan
Kegiatan Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, hlm. 206.
[103][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Pipin Syarifin, dan Dedah
Jubaedah, Hukum Dagang di Indonesia,
Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 33.
[111][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Mas Ahmad Daniri dan Dadi
Krismanto, “Peran Corporate Secretary sebagai Penjaga Gawang Good Corporate
Governance”, <http://www,madani-ri.com/
2007/12/25/peran-corporate-secretary-sebagai-penjaga-gawang-good-corporate-governance> [25/12/2007].
[112][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Ira A. Jackson dan Jane Nelson, Profits with Principles, Currency
Doubleday, New York, 2004, hlm. 260.
[113][**************************] John Pieris dan Nizam Jim, Etika Bisnis & Good Corporate Governance, Pelangi Cendekia,
Jakarta, 2007, hlm. 131.
[114][††††††††††††††††††††††††††] John Shaw, Corporate
Governance & Risk, A System Approach, Wiley & Son, New Jersey,
2003, hlm. 23.
[115][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Jonathan R. Macey, Corporate Governance, Princeton University Press, Oxford,
2008, hlm. 1.
[116][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Fred R. David, Strategic Management, Concepts and Cases, Pearson Education
Limited, Edinburg, 2011, hlm. 131-132.
[117][***************************] Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 80-81.
[119][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan
Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2009,
hlm. 252.
[120][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Viraguna Bagus Oka, “Good
Corporate Governance pada Perbankan”, Prosiding
Perseroan Terbatas dan Good Corporate Governance, Jakarta, 2004, hlm. 75.
[121][****************************] Ross Levine, (et.al), “Financial Intermediation and Growth: Causality and
Causes”,
[2000], hlm. 30.
[122][††††††††††††††††††††††††††††] Bert Scholtens dan Dick van
Wensveen, “The Theory of Financial Intermediation: An Essay on What It Does
(not) Explain”, SUERF (SuerF Studies; 2003/1), ISBN 3-902109-15-7 ©2003, The European Money and
Finance Forum, Viena,
[123][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] R Boffey dan GN
Robson, “Bank Credit Management”, Managerial Finance 1995;21,1 [1995].
[124][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Gerhard Schroeck, Risk Management and Value Creation in
Financial Institutions, John Wiley & Sons Inc, New Jersey, 2002, hlm.
14.
[125][*****************************] Joetta Colquitt, Credit Risk Management, How to Avoid Lending
Disasters and Maximize Earnings, McGraw-Hill, New York, 2007, hlm. 6
[126][†††††††††††††††††††††††††††††] George G. Kaufman, “Macro-Economic
Stability and Bank Soundness”,
[127][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Mohamed Ali Elgari,
“Credit Risk in Islamic Banking and Finance”, Islamic Eco-nomic Studies, Vol. 10, No. 2 (March 2003).
[128][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Sunarsip, “Analisis
atas Deregulasi, Krisis, dan Restrukturisasi Perbankan di Indonesia, Pendekatan
Teori Polizato dan William E. Alexander”, Jurnal
Keuangan Publik, Vol. 1/No. 1 (2003).
[129][******************************] Karakteristik yang lain dari pembiayaan adalah intertemporal trade, dan some demandable debts. Caprio Jr.,
Gerald, dan Daniela Klingebiel, “Bank Insolvency: Bad Luck, Bad Policy, or Bad
Banking?”, Annual World Bank Conference
on Development Economics, IBRD/World Bank, 1996, hlm. 3.
[130][††††††††††††††††††††††††††††††] Rowena Olegario, A Culture of Credit, Embedding Trust and Transparency in American
Business, Harvard University Press, London, 2006, hlm. 76.
[131][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Frederic S. Mishkin, “A Lesson From
The Asian Crisis”, Journal of
International Money and Finance 18 (1999) 709-723, <www.elsevier.com/locate/jimofin> [1999].
[132][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, op. cit., hlm. 244.
[133][*] John L. Colley Jr., (et.al), What is Corporate Governance? McGraw
Hill, New York, 2005, hlm. 10.
[134][†] M. Umer Chapra dan Habib Ahmed, Corporate Governance, Lembaga Keuangan
Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 45.
[135][‡] Muhamad Djumhana, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm. 29.
[136][§] Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit
Macet Nasabah, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2009, hlm. 30.
[138][††] Sundari Arie, ”Tindak Pidana di
Bidang Perbankan Ditinjau dari Undang-undang Perbankan dan Peraturan
Perundang-undangan terkait serta pemasalahan dalam Praktiknya”, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan,
Penggunaan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak
Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta, 2007, hlm. 24.
[139][‡‡] Arus Akbar Silondae dan Andi
Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi &
Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, hlm. 49.
[140][§§] Penjelasan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 12/23/PBI/2010 Tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar