Jumat, 29 Juli 2016

PRINSIP KEPUTUSAN BISNIS: Pemberian Kredit Perbankan Dalam Hubungan Perlindungan Hukum (Bab 2 - Bagian 1)

BAB  2
Menelaah
Undang-undang Perseroan


2

B.    KEHATI-HATIAN DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN
B
isnis adalah kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang, badan usaha, atau perusahaan secara teratur dan terus-menerus. Wujudnya berupa pengadaan barang, jasa, maupun fasilitas untuk diperjual-belikan atau disewakan dengan tujuan memperoleh keuntungan. Pembayarannya secara tunai maupun kredit.[1][****************************]
Pada mulanya, bisnis dilakukan oleh orang-perorang, pengu-saha atau pebisnis dalam bentuk investasi ke sebuah bisnis. Pebisnis bersedia mengambil risiko demi memperoleh keuntungan. Perkembangannya, ketika orang tersadar bahwa ada keterbatasan kemampuan individu dan manfaat bekerja sama, banyak bisnis atau usaha dijalani bersama oleh kelompok, atau terkoordinasi dalam organisasi, dengan tujuan mencapai keuntungan bersama.
Untuk mengoordinasikan usaha bersama itu, lahirlah konsep dan fungsi dasar manajemen yang terdiri atas perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (directing atau motivating), pengelolaan sumber daya manusia (staffing), dan pengawasan (controlling).[2][††††††††††††††††††††††††††††] Manajemen yang efektif adalah yang dapat mencapai tujuannya melalui seluruh kegiatan yang diperlukan secara kelompok yang kohesif, sehingga terorganisasi menjadi suatu entitas. Salah satu bentuk entitas itu adalah perseroan terbatas.[3][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dalam menjalankan usahanya, pebisnis atau perseroan harus mengambil kebijakan dari waktu ke waktu, mencakup keputusan untuk memilih dan melakukan bisnis tertentu. Fungsi seorang pebisnis atau eksekutif (atau direksi, pen.) pada dasarnya merupa-kan spesialisasi dalam pengambilan keputusan bagi organisasinya.[4][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Seringkali keputusan untuk melakukan bisnis dimanifestasikan    ke dalam perjanjian dengan pihak lain. Menurut James M. Burns, pandangan klasik mengenai pengambilan keputusan merupakan sebuah proses yang teratur dan rasional. Mendefinisikan dan mengisolasi persoalan yang dihadapi, menghimpun informasi yang relevan, mengkaji berbagai alternatif. Kendati dalam mengambil keputusan diperlukan sejumlah informasi, tidak seluruh informasi yang diperlukan dapat diperoleh. Keputusan dapat diambil berdasarkan informasi yang relevan dan cukup, dalam rangka memilih alternatif terbaik; sehingga secara filosofis dikatakan bahwa “A man’s judgment cannot be better than the information on which he has based it.[5][*****************************] Artinya, pertimbangan seseorang tidak lebih baik daripada informasi yang mendasari pertimbangannya.
Sudah mafhum bahwa tujuan perusahaan atau perseroan tidak lain adalah untuk memaksimalkan keuntungan. Di sisi lain, setiap upaya meraih keuntungan selalu dibayang-bayangi oleh risiko. Maka wajar jika dikatakan bahwa tujuan bisnis adalah identik dengan risiko. Salah satunya adalah ekonomi masa depan yang mungkin meleset dari perkiraan. Hal ini akan membuat bimbang direksi saat hendak mengambil keputusan. Direksi bertugas membuat setiap keputusan yang diperlukan untuk menjalankan roda bisnis perusahaan, sehingga selalu menghadapi masalah risiko bisnis.[6][†††††††††††††††††††††††††††††] Karena itu, keputusan yang diambil tidak selalu membuahkan hasil, terkadang malah mengakibatkan kerugian.
Pada umumnya, lembaga keuangan seperti bank dapat dika-takan memperoleh keuntungan dari pengambilan risiko (kredit).
Semakin besar risiko yang diambil, semakin besar hasil yang dapat diharapkan. Esensi dari pertimbangan dan pengambilan keputusan bisnis adalah menyeimbangkan antara risiko yang dihadapi dengan pendapatan atau keuntungan yang diharapkan.[7][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Karena itu, Johneth Chongseo berpendapat bahwa tujuan untuk memaksimal-kan keuntungan harus mempertimbangan keuntungan dengan risiko secara proporsional.[8][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Risiko bisnis tidak selalu dapat diukur secara matematis, dan tidak semata-mata berdasarkan informasi faktual, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, yang ada saat pengambilan keputusan. Orang yang berpengalaman dalam sebuah bisnis juga menggunakan nalurinya atau hindsight dalam memahami besar kecilnya suatu risiko bisnis.[9][******************************] Pendapat Douglas M. Branson, me-ngatakan bahwa keputusan bisnis sering menggunakan sentuhan dan perasaan yang tidak dapat dibuktikan dengan analisis siste-matik, dan merupakan penglihatan naluri atau yang menjelma menjadi perkiraan mengenai keadaan kompetisi pasar, struktur biaya dan arah pertumbuhan industri dan ekonomi.[10][††††††††††††††††††††††††††††††]
Stephen M. Bainbridge, menambahkan bahwa keputusan bisnis pada dasarnya berkaitan erat dengan pertimbangan kehati-hatian di antara sejumlah alternatif yang dapat diterima. Sebagai tingkah laku dari bisnis, pilihan yang diambil secara hati-hati pun di antara sejumlah alternatif yang ada dapat membuahkan hasil yang buruk.[11][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Karena itu, walaupun seluruh ketentuan dan prosedur pengambilan keputusan telah diikuti, tidak ada jaminan bahwa keputusan yang diambil akan selalu membuahkan hasil yang positif, tetapi dapat juga menimbulkan kerugian.
Risiko seperti ini disebut sebagai risiko bisnis yang normal atau normal business risk.[12][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Kegiatan bisnis tidak dapat dipisahkan dari hukum. Pentingnya dasar hukum untuk melaksanakan kegiatan bisnis dapat dilihat dari pendapat berikut. Menurut Sunaryati Hartono,[13][*] paham Pancasila dan Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 dan Perubahannya[14][†] tidak dapat menerima atau bertentangan dengan praktik bisnis yang bersifat destruktif, bahkan tidak sehat dan tidak adil, karena dapat menimbulkan akibat ekonomi dan sosial yang bertentangan dengan ketertiban dan kepentingan umum.
Salah satu semboyan hukum berbunyi, “Juris praecepta sunt haec; honeste vivere, alterum non ladere, suum cuique tribuere”.[15][‡] Artinya hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan mem-berikan orang lain haknya. Semboyan ini menimbulkan tanggung jawab hukum bagi setiap orang dalam pergaulan di masyarakat.
1.   Tanggung Jawab dan Perlindungan Hukum dalam Hukum Dagang
Pasal 36 sampai 56 KUHD (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) yang mengatur mengenai perseroan terbatas telah diganti oleh UU PT. Ketentuan yang berkait dengan tanggung jawab pengurus atau yang dapat diartikan sebagai direksi pada mulanya adalah sebagai berikut:
Pasal 44 KUHD berbunyi:
“Perseroan itu diurus oleh para pengurus atau lain-lainnya yang diangkat oleh para persero, dengan atau tanpa upah, dengan atau tanpa pengawasan komisaris. Para pengurus tidak dapat diangkat dengan cara yang tidak dapat ditarik kembali“.
Pasal 45 KUHD berbunyi:
“Para pengurus tidak bertanggung jawab lebih daripada untuk menunaikan sebaik-baiknya tugas yang diberikan kepada mereka; mereka tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga atas perikatan perseroan. Akan tetapi, bila mereka melanggar suatu ketentuan dalam akta atau perubahan syarat-syaratnya yang ditentukan kemudian, maka mereka ter-hadap pihak ketiga bertanggung jawab masing-masing secara tanggung renteng untuk keseluruhannya untuk kerugian-kerugian yang diderita oleh pihak ketiga karenanya”.
Pasal 47 KUHD berbunyi:
“Bila nyata bagi pengurus, bahwa telah diderita kerugian sebesar lima puluh persen dari modal perseroan, sehingga mereka berkewajiban untuk mengumumkannya dalam sebuah register yang diselenggarakan untuk itu pada kepanite-raan raad van justitie, dan demikian pula dalam surat kabar resmi. Bila kerugian itu berjumlah tujuh puluh lima persen maka perseroan itu demi hukum bubar, dan para pengurus bertanggung jawab terhadap pihak ketiga atas perjanjian-perjanjian yang telah mereka adakan setelah mereka tahu atau harus mereka tahu tentang kerugian itu”.     
Pasal 45 KUHD menyebutkan, bahwa pengurus diberikan per-lindungan hukum terhadap kemungkinan tuntutan pihak ketiga, jika pengurus melakukan perikatan untuk perseroan yang ke-mudian menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga; sejauh para pengurus berupaya melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Melakukan perikatan adalah merupakan bagian dari tugas sebagai pengurus perseroan, dan di dalamnya terkait dengan keputusan yang diambil, dalam rangka menjalankan roda usaha atau bisnis perseroan.
Frasa “melakukan perikatan dan menunaikan sebaik-baiknya tugas yang diberikan kepada mereka” dalam Pasal 45 KUHD dapat pula diartikan, bahwa perikatan atau tugas dilakukan dengan iktikad baik. Karena keputusan mendahului perikatan, maka frasa itu dapat pula diartikan bahwa para pengurus harus melakukan pengambilan keputusan itu dengan sebaik-baiknya, atau meyakini diri bahwa keputusan yang diambil itu adalah yang terbaik bagi perseroan.
Pasal 45 KUHD tersebut juga menyebutkan frasa “melanggar suatu ketentuan dalam akta atau perubahan syarat-syaratnya yang ditentukan kemudian”. Penulis berkeyakinan bahwa akta yang dimaksud itu adalah akta pendirian atau anggaran dasar perusa-haan, atau perubahannya. Jika pengambilan keputusan melang-gar anggaran dasar atau perubahannya, pengurus tidak dapat diberikan perlindungan hukum. Artinya, kerugian yang terjadi pada pihak ketiga dapat dibebankan kepada pengurus itu secara pribadi.
Pasal 47 KUHD mengandung frasa “akibat tidak mengetahui kondisi perseroan”. Latar belakangnya adalah kemungkinan per-seroan telah mengalami kerugian yang terus menerus, sehingga mengakibatkan berkurangnya modal perseroan hingga lebih dari 50%. Dalam keadaan seperti itu, jika perseroan dalam hal ini pengurus tidak melaporkan keadaan keuangan itu dalam sebuah register kepaniteraan PN dan dalam surat kabar resmi, tanggung jawabnya dibebankan kepada pengurus. Jika pihak ketiga yang melakukan perikatan dengan perseroan merugi, sebagai akibat tidak mengetahui keadaaan tersebut, pengurus bertanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga itu.
Moral dari Pasal tersebut terletak pada iktikad baik. Pengurus didorong atau berkewajiban untuk tidak menyembunyikan       keadaan keuangan perseroan yang sebenarnya[16][§] kepada pihak  ketiga, ketika mengadakan perikatan untuk perseroan; karena          dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Hal itu akan mem-        buat keadaan menjadi tidak seimbang, dan dapat diklasifikasikan sebagai kesesatan atau dwaling, yang merupakan salah satu alasan pembatalan perjanjian dengan syarat-syarat tertentu.[17][**] Setara dengan alasan itu adalah ancaman atau bedreiging, tipuan atau bedrog.[18][††]

2.   Mengenali Teori Badan Hukum
Teori organ Otto von Gierke mengatakan, badan hukum itu laksana manusia yang menjelma dalam pergaulan hukum.[19][‡‡] Badan hukum adalah sebuah organisme nyata yang hidup dan bekerja seperti manusia, sehingga merupakan realitas sesungguhnya, sama seperti sifat kepribadian alam manusia di dalam pergaulan hukum.[20][§§] Seperti manusia, badan hukum punya kepentingan sendiri, dan dapat melakukan aksi, dalam arti mempertahankan kepentingannya.[21][***] Badan hukum digerakkan oleh organnya, yaitu pengurus atau direksi.
Menurut Ali Rido,[22][†††] hukum adalah tidak lain dari pemberian hak-hak kepada subjek dalam hubungan hukum dengan subjek lain. Kebalikan dari hak adalah kewajiban dari subjek lain; pendukung hak adalah subjek hukum. Karena ditetapkan oleh hukum, organisasi atau badan hukum memiliki hak dan kewajiban dalam melakukan kehidupannya. GWF Hegel mengatakan, hak itu adalah untuk menjaga kepentingan atau tujuan;[23][‡‡‡] atau hak untuk menjalankan operasi usaha seperti yang diizinkan oleh undang-undang, dan hak membeli dan memiliki kekayaan atau aset.
Dengan kata lain, teori organ itu kumpulan orang yang meng-organisasi diri sebagai sebuah kesatuan untuk mencapai tujuan dan kepentingan bersama dalam bentuk perseroan terbatas atau PT, atau bank berbentuk PT sebagai korporasi di bidang keuangan. Perseroan merupakan recht person (badan hukum), karena dianggap sebagai orang layaknya atau naturlijk person. Badan hukum itu merupakan persekutuan modal; dan sebagai PT, didirikan berdasarkan perjanjian untuk melakukan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham.
Umumnya, korporasi modern memiliki manajemen untuk me-maksimumkan keuntungan. Namun, keuntungan yang ingin di-capai harus dalam batas kewajaran. Dalam perspektif Aristoteles, jika penekanan pada pencapaian keuntungan dilakukan secara berlebihan, kemungkinan keuntungan itu tidak dapat diperoleh sama sekali.[24][§§§]
3.   Tanggung Jawab Atas Kelalaian, Kurang Hati-hati, Kesalahan, dan Perbuatan Melanggar Hukum
Teori badan hukum termuat dalam Pasal 1654 KUHPerdata yang berbunyi:
“Semua perkumpulan yang sah adalah seperti halnya dengan orang-orang preman, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan umum, dalam mana kekuasaan itu telah diubah, dibatasi atau ditun-dukkan pada acara-acara tertentu”.
Terkait dengan tanggung jawab seseorang terhadap orang lain, pasal 1365 KUHPerdata menentukan sebagai berikut:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Pasal 1366 KUHPerdata berbunyi:
“Setiap orang harus bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Dalam Putusan No. 1855 K/Pdt/2010, Mahkamah Agung men-jelaskan bahwa, terdapat empat unsur perbuatan melanggar hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, yaitu: (1). Ada per-buatan melawan hukum, misalnya yang bertentangan dengan undang-undang, (2). Ada kesalahan, (3). Mengakibatkan kerugian, (4) Terdapat hubungan sebab akibat antara kesalahan dengan kerugian. Unsur-unsur ini bersifat kumulatif, yaitu apabila salah satu unsur tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum.
Frasa ‘melanggar hukum’ dalam Pasal 1365 KUHPerdata menunjukkan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi orang lain, karena kesalahan atau kelalaian seseorang.[25][****] Berdasarkan Schutznormtheorie, pihak yang terkena pelanggaran itu hanya dapat menuntut ganti rugi, jika terdapat norma yang dilanggar  dan bertujuan untuk melindungi kepentingan hukum dari orang yang terkena pelanggaran itu.[26][††††]
Kelalaian atau negligence dalam Black’s Law Dictionary diartikan sebagai berikut:[27][‡‡‡‡]
The failure to exercise the standard of care that a reasonably prudent person would have exercised in a similar situation; any conduct that falls below the legal standard established to protect others against unreasonable risk or harm, except for the conduct that is intentionally, wantonly, or willfully disregardful of others‘ rights”.
(Terjemahan bebas: Kegagalan dalam melaksanakan standar kehati-hatian yang wajar orang lakukan dalam situasi yang sama; setiap tindakan yang berada di bawah standar hukum yang telah ditentukan untuk melindungi orang lain terhadap risiko atau bahaya yang tidak wajar, kecuali tindakan itu dilakukan dengan niat, secara sengaja, dengan ceroboh, mengabaikan hak orang lain).  
Berbeda dengan kesengajaan, kelalaian sebagai perbuatan melanggar hukum harus mengandung unsur-unsur:[28][§§§§] Adanya per-buatan atau mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan, adanya kewajiban hati-hati, tidak dijalankannya kewajiban kehati-hatian itu, adanya kerugian pihak lain, dan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul. Di sini, unsur yang penting adalah sikap lahiriah dan perbuatan yang dilakukan, tanpa terlalu memikirkan apa yang ada dalam pemikiran pelaku mengenai akibat dari tindakan itu. Dalam kesengajaan, unsur yang dominan adalah niat atau sikap mental dalam diri pelaku untuk me-nimbulkan kerugian tertentu bagi pihak lain atau selaku korban; atau paling tidak, pelaku dapat mengetahui secara lebih pasti bahwa akibat perbuatannya akan terjadi.[29][*****]
Ada ukuran tentang perbuatan atau kelalaian yang berten-tangan dengan kehati-hatian atau zorgvuldigheid terhadap kepen-tingan orang lain. Mengutip L.E.H. Rutten, Sunaryati Hartono berpendapat,[30][†††††] walaupun seseorang tidak melanggar nilai-nilai moral atau hukum, bahkan tidak melanggar hak orang lain, jika   ia tidak hati-hati mempertimbangkan atau memerhatikan kepen-tingan atau hak-hak orang lain yang dianggap wajar atau secara umum diterima, maka orang itu dianggap melakukan tindakan yang tidak sah dari kacamata hukum atau melanggar hukum.[31][‡‡‡‡‡] Kehati-hatian berkait dengan kebijaksanaan seseorang berda-   sarkan pertimbangan yang cukup untuk bertindak; dan di dunia profesi ukurannya adalah standar profesi tertentu.[32][§§§§§]
50

Istilah zorgvuldigheid diartikan sebagai carefullness dalam bahasa sehari-hari, atau prudence dalam hukum. Istilah zorgvul-digheid juga merupakan asas kepatutan, dan perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap kehati-hatian yang harus dimiliki oleh seseorang dalam pergaulan dengan warga masyarakat, atau terhadap benda orang lain.[33][******]
Sunaryati Hartono berpendapat,[34][††††††] seseorang atau sebuah badan hukum dapat dianggap bersalah melakukan perbuatan melanggar hukum, sekalipun tidak melanggar undang-undang atau melanggar hak orang lain, adalah: apabila ia tidak cukup menun-jukkan sikap hati-hati dan tenggang rasa terhadap kepentingan orang lain di masyarakat, atau apabila kontrak tidak berdasarkan kausa yang sah, acceptable cause, geoorloofde oorzak, unreason-able cause, onredelijke oorzaak, sehingga tidak mempunyai landasan hukum atau ontbreken van een rechtvaardigingsgrond.
Pengertian melanggar hukum, yang semula berarti onwet-matige daad, diperluas oleh putusan Hoge Raad pada 1919, setelah adanya kasus De Jutphense Juffrouw Arrest pada 10 Juni 1910, dan Cohen-Lindenbaum Arrest pada 31 Januari 1919, sehingga menjadi onrechtmatige daad, yang berbunyi sebagai berikut:[35][‡‡‡‡‡‡]
“Dengan suatu perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai perbuatan atau kelalaian yang menimbulkan pelanggaran ter-hadap hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban Hukum Pelaku atau kesusilaan yang baik dan kepatutan yang ada dalam masyarakat”.
Putusan dalam perkara Cohen-Lindenbaum menunjukkan empat kriteria perbuatan melanggar hukum: Pertama, berten-tangan dengan kewajiban hukum si pelaku; kedua, melanggar hak subjektif orang lain; ketiga, melanggar kaidah tatasusila; keempat, bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam per-gaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Empat kriteria tersebut berdiri sendiri, tidak bersifat kumulatif. Kriteria keempat menunjukkan adanya hu-bungan kebergantungan antara satu dengan pihak yang lain; dan berhubungan dengan ketentuan yang tidak tertulis, seperti halnya kriteria ketiga.[36][§§§§§§]
Menurut Sunaryati Hartono,[37][*******] pengertian perbuatan melanggar hukum tersebut telah diikuti pula oleh yurisprudensi di Indonesia, yang berbunyi sebagai berikut:
“Suatu perbuatan atau kelalaian, yang atau melanggar hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan kesusilaan, atau bertentangan dengan sikap kehati-hatian yang perlu diperhatikan di dalam pergaulan masyarakat terhadap kepentingan lahiriah maupun milik orang lain”.
Kedua pasal di atas juga berlaku bagi badan hukum. Sebagai alter ego dari perusahaan, direksi perseroan tetap tunduk pada ketentuan Pasal 1365 jo Pasal 1366 KUHPerdata. Dalam hal ini,   Ali Rido berpendapat, bahwa apabila pengurus sebagai kualitas organ bertindak dalam batas wewenangnya berdasarkan undang-undang, anggaran dasar dan hakikat tujuan dari tindakan itu, badan hukum terikat karenanya dan bertanggung jawab untuk itu.[38][†††††††] Bahkan, apabila tindakan itu merupakan tindakan melang- gar hukum, tetapi dilakukan oleh organ sebagai pelaksana     tugas dalam batas wewenangnya, dan bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk mempertahankan hak-hak badan hukum, badan hukum terikat dan bertanggung jawab atas tindakan organ yang demikian itu.
Menurut Ali Rido,[39][‡‡‡‡‡‡‡] organ harus bertanggung jawab secara pribadi dengan mengganti rugi secara pribadi, apabila melakukan kesalahan-kesalahan pribadi yang merugikan badan hukum, dan merupakan perbuatan melanggar hukum. Kesalahan pribadi ini mencakup tindakan organ yang lalai atau kurang hati-hati. Organ akan bertanggung jawab secara pribadi, apabila: (1) melakukan perbuatan melanggar hukum di luar batas-batas wewenangnya, (2) apabila perbuatan itu berada di luar wewenangnya, dan tidak disahkan oleh organ yang lebih tinggi, atau perbuatan itu tidak menguntungkan badan hukum.[40][§§§§§§§]

B.   DEDIKASI DAN KEJUJURAN DIREKSI
Sebagai penanggung jawab penuh terhadap kepengurusan perseroan, direksi bertugas untuk membuat keputusan dan perikatan. Dalam rangka itu, direksi berkewajiban pula untuk memiliki iktikad baik, dan memenuhi tugas fidusia (fiduciary duty), tugas kesetiaan (duty of loyaly), tugas kehati-hatian (duty of care), dan lainnya. Lebih lanjut, uraian berikut ini menunjukkan bahwa ketentuan undang-undang dan ruang lingkup pekerjaannya menuntut tidak saja dedikasi penuh dari direksi, tetapi juga kejujurannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dedikasi adalah pengorbanan tenaga, pikiran, dan waktu demi keberhasilan suatu usaha atau tujuan mulia.
1.   Berpegang Teguh pada Sejumlah Prinsip
Prinsip iktikad baik dikandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata Ayat 3. Iktikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya ataupun tidak merugikan kepentingan umum. Niat bersifat abstrak yang berada dalam batin seseorang. Setiap orang selalu harus bertanggung jawab pula kepada masyarakat, maka niat yang dimaksud juga merupakan niat untuk tidak merugikan masyarakat banyak dan kepentingan umum.[41][********] Iktikad baik dapat pula diartikan sebagai niat untuk tidak merugikan pihak lain yang berkaitan secara langsung atau taklangsung terhadap suatu kontrak. Kontrak, dalam hal ini, dapat pula disetarakan dengan sebuah pekerjaan, atau tugas yang harus dilakukan untuk pihak lain yang terkait.
Menurut Subekti, Pasal 1338 Ayat 3 KUHPerdata berarti bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan,[42][††††††††] atau pelaksanaannya telah berjalan di atas rel yang benar. Jika dilihat dari arti kata, kepatutan berarti juga kepantasan, kelayakan, kesesuaian, dan kecocokan; sedangkan kesusilaan merupakan nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan, dan beradab dan nilai ini  yang dikendaki bersama oleh masing-masing pihak yang berjanji.[43][‡‡‡‡‡‡‡‡] Dari pendapat Subekti ini, dapat pula disimpulkan bahwa iktikad baik harus pula dilihat dari proses pelaksanaan suatu pekerjaan yang tidak menyimpang dari kepatutan.
Setiap bentuk kekhilafan, paksaan, dan penipuan memberikan alasan pembatalan perjanjian.[44][§§§§§§§§] Penyalahgunaan keadaan (undue influence, atau misbruik van omstandigheden) adalah tambahan alasan baru untuk membatalkan suatu perjanjian,[45][*********] termasuk klausula-klausula dalam perjanjian kredit baku yang tidak se-imbang,[46][†††††††††] di samping menggunakan pengertian hukum klasik seperti iktikad baik, patut, dan adil.[47][‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dapat digolongkan sebagai cacat dalam menentukan kehendak (wilgebrek), atau tidak bebas menentukan kehendaknya dalam memberikan persetujuan;[48][§§§§§§§§§] atau karena adanya syarat-syarat yang tidak masuk akal, tidak patut, atau bertentangan dengan peri-kemanusiaan (onredelijke contracts-voorwaarden, atau unfair contract terms); [49][**********] dan terjadi karena adanya keunggulan ekonomi (economische overwicht) atau psikologis[50][††††††††††] atau keunggulan lainnya. Salah satu pihak memiliki keunggulan, dan pihak lain terdesak untuk melakukan perjanjian.[51][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Jika ia menanggung beban yang sangat merugikan, karena tekanan keadaan yang tidak adil, perjanjian itu dapat dinyatakan mengandung klausula yang tidak halal (ongeoorloofde oorzak).[52][§§§§§§§§§§] Setingkat dengan doktrin undue influence, ada doktrin lain yang disebut unconscionable dealing [53][***********]

. Seluruh unsur-unsur yang dapat membatalkan perjanjian ini dapat diartikan sebagai iktikad buruk yang bernilai kesengajaan.
Selain iktikad baik, hukum korporasi mengenal prinsip fiduciary duty, duty of loyaly, duty of care, dan lainnya. Black’s Law Dictionary memberi pengertian duty dan fiduciary duty sebagai berikut:[54][†††††††††††]
Duty: A legal obligation that is owed or due to another and that needs to be satisfied; an obligation for which somebody else has a corresponding right”.
(Terjemahan bebas: Tugas adalah sebuah kewajiban hukum yang harus dipenuhi terhadap orang lain; sebentuk kewajiban berupa hak terkait orang lain).
Fiduciary duty: A duty of utmost good faith, trust, confidence, and candor owed by a fiduciary (such as a lawyer or corporate officer) to the beneficiary (such as a lawyer’s client or a shareholder); a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests of the other person (such as the duty that one partner owes to another)”.
(Terjemahan bebas:Tugas fidusia adalah sebuah tugas dengan iktikad baik yang tulus, kepercayaan, keyakinan, dan kejujuran yang harus dipenuhi oleh seorang fidusia (seperti pengacara atau pejabat korporasi) terhadap penerima manfaat (seperti klien atau pe-megang saham); sebuah tugas untuk bertindak dengan kadar kejujuran dan loyalitas yang tinggi terhadap orang lain dan demi kepentingan terbaik dari orang lain itu (seperti tugas yang harus dilakukan oleh seorang mitra usaha terhadap mitra yang lain).
Kata fiduciary sendiri berasal dari kata latin “fiduciarus” yang berasal dari kata fides atau faith [55][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] berarti kepercayaan,[56][§§§§§§§§§§§] dan mengandung  dua  konotasi,  yaitu  kepercayaan  dan keyakinan.[57][************]
Kepercayaan atau trust diartikan sebagai sebuah harapan, pihak lain akan bertindak sesuai harapan seseorang.[58][††††††††††††] Fiduciary duty adalah sebuah tugas atau kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh seseorang untuk orang lain yang memiliki hak untuk itu, berdasarkan atas iktikad baik, kepercayaan, keyakinan, dan kejujuran yang paling tulus yang harus diberikan oleh seorang yang dipercaya sepenuhnya demi kepentingan pihak lain yang memberikan kepercayaaan itu. Sebagai fidusia, direksi pada dasar-nya merupakan pengambil keputusan[59][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] yang harus menggunakan wewenangnya dalam menjalankan fungsi direksi dengan iktikad baik, demi kepentingan perseroan.[60][§§§§§§§§§§§§] Tugas-tugas ini tercakup dalam pengertian tot daden van beheeren.[61][*************] Untuk itu, direksi memiliki wewenang diskresioner secara unilateral memengaruhi kepentingan perseroan; dan perseroan secara wajar menyerahkan kepada fidusia untuk menggunakan wewenang itu demi kepen-tingan perseroan.[62][†††††††††††††]
Dalam penerapannya, kepentingan perseroan harus di atas kepentingan pribadi. Seorang fidusia, atau yang dipercaya, harus membebaskan diri dari sikap mementingkan diri sendiri. Sikap     ini adalah sikap yang salah terhadap pihak yang memberikan kepercayaan atau beneficiary, jika pihak fidusia itu sedang meng-gunakan diskresinya dalam kaitan dengan sumber daya yang terbatas milik beneficiary.[63][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Fiduciary duty ini timbul dari adanya hubungan fidusia. Black’s Law Dictionary memberikan difinisi berikut:[64][§§§§§§§§§§§§§]
A relationship in which one person under a duty to act for the benefit of the other on matters within the scope of the relationship. Fiduciary relationship usually arises in one of the four situations: (1) when one person places a trust in the faithful intergrity of another, who as a result gains superiority or influence over the first, (2) when one person assumes control and responsibility over another, (3) when a person has a duty to act for give advice to another falling within the scope of the relationship,  or  (4) when there is a specific relationship that has traditionally been recognized as involving fiduciary duties”.
(Terjemahan bebas: Seseorang memiliki kewajiban untuk bertindak demi kepen-tingan pihak lain dalam hal-hal yang berkaitan dengan ruang lingkup hubungan itu; dan dapat muncul dari salah satu keadaan berikut: Pertama, ketika seseorang meletakkan kepercayaan berdasarkan integritas yang tulus dari orang lain, yang sebagai akibatnya memiliki kelebihan atau pengaruh terhadap yang pertama, ketika seseorang menjalankan pengawasan dan tanggung jawab terhadap orang lain; ketiga, ketika seseorang memiliki kewajiban untuk memberikan nasihat kepada yang lain dalam kaitan dengan hubungan itu; atau apabila adanya hubungan yang khusus secara tradisional atau kebiasaan menyangkut adanya fiduciary duties).
Prinsip berikutnya adalah Duties of Skill & Care, Loyalty, and Candor. Black’s Law Dictionary memberikan definisi duty of care berikut:
Under the law of negligence or of obligation, the conduct demanded of a person in a given situation. Tipically, this involves a person’s giving attention both to possible dangers, mistakes, and pitfalls and to way of minimizing those risks”.
(Terjemahan bebas: Hukum kelalaian mewajibkan seseorang untuk bertindak dalam keadaan tertentu, untuk memerhatikan segala kemungkinan yang ada seperti bahaya, kesalahan, dan perangkap, sehingga dapat meminimalkan risiko yang mungkin dihadapi).
Menurut Insolvency Act 1985, arti dari ‘skills and care,’ adalah mengandung harapan yang sejalan dengan keahlian atau skill, kualifikasi, dan pengalaman dari suatu tingkat direktur tertentu. Oleh karena itu, tingkat skill yang lebih tinggi diharapkan dari seorang direktur keuangan yang profesional dibandingkan dengan direktur non eksekutif lainnya. Standarnya adalah bahwa direksi, secara individu dan kolektif, memiliki pengetahuan dan pengertian yang cukup mengenai bisnis perusahaan, sehingga mereka dapat menjalankan tugasnya secara tepat. Tingkat duty bergantung kepada posisi sang direksi di rantai manajemen dan tugas serta tanggung jawabnya dalam peranan tersebut.[65][**************]


Duty of loyalty merupakan bagian penting dari fiduciary duty, lebih penting dari duty of care.[66][††††††††††††††] Duty of loyalty mengharuskan seorang fidusia selalu menyesuaikan tingkah laku agar terhindar dari mementingkan diri sendiri sebagai tindakan yang salah ter-hadap beneficiary.[67][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Duty of loyalty adalah kewajiban seseorang sebagai direktur untuk tidak terlibat dalam kegiatan self dealing, atau meng-gunakan kedudukannya untuk kepentingan pribadi, bukan dalam kapasitasnya sebagai pekerja. Intinya, duty of loyalty melarang unsur ketaksetiaan (faithlessness) dan self dealing.[68][§§§§§§§§§§§§§§] Tugas ini mengandung dimensi kesetiaan dan pengabdian yang positif, bukan hanya menjaga untuk tidak membahayakan perseroan tetapi menuntut direksi untuk memajukan perusahaan.
Duty of loyalty menjauhkan tindakan yang salah (wrong doing), benturan kepentingan, dan ketakjujuran yang disengaja.[69][***************]
Duty of loyalty juga berarti menghindarkan diri dari tindakan yang bertujuan ilegal, direksi mesti memiliki iktikad baik untuk mengawasi jalannya perusahaan sesuai dengan hukum. Pengadilan dapat meminta pertanggungjawaban direksi yang independen yang dinyatakan gagal dalam melakukan kewajiban pengawasannya, jika melanggar duty of loyalty karena gagal mengusahakan dengan iktikad baik untuk memenuhi duty of   care-nya.[70][†††††††††††††††]
Duty of candor adalah kewajiban untuk membeberkan semua fakta-fakta materiil, khususnya kewajiban seorang direktur untuk membuka semua informasi yang diketahui yang bersifat materiil kepada pemegang saham, ketika direktur itu meminta persetujuan pemegang saham untuk melakukan sebuah transaksi.[71][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
2.   Melaksanakan Tugas Sesuai Aturan Terkait
Karena Pasal 1 Ayat 5 UU PT[72][§§§§§§§§§§§§§§§] menyebutkan frasa “untuk kepentingan perseroan”, sehingga keberadaan korporasi adalah untuk kepentingan perseroan atau korporasi itu sendiri.[73][****************] Menurut Nindyo Pramono, kepentingan yang dimaksud adalah kepentingan bagi pihak yang lebih luas, yaitu para pemangku kepentingan termasuk kepentingan karyawan, kreditor dan negara; sehingga sesuai dengan asas kekeluargaan yang dituntut oleh UUD 1945 dan Perubahannya. Perseroan tunduk pada UU PT, anggaran dasar dan ketentuan perundang-undangan lainnya.[74][††††††††††††††††] Nindyo Pramono menerjemahkan frasa “ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya” sebagai semua aturan perundang-undangan yang ber-kaitan dengan keberadaan dan jalannya perseroan, termasuk peraturan pelaksanaannya, antara lain peraturan perbankan.[75][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Yahya Harahap berpendapat, bahwa perseroan harus pula tunduk pada ‘asas iktikad baik’, ‘asas kepatutan’, dan prinsip     tata kelola perseroan yang baik[76][§§§§§§§§§§§§§§§§] (good corporate governance). UU PT juga menekankan masalah tanggung jawab sosial, yang merupakan komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat umum. Tujuan korporasi atau bank sebagai organisasi pada akhirnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum.[77][*****************]
3.   Berpedoman pada Maksud dan Tujuan dalam Anggaran Dasar
Berdasarkan Pasal 7 Ayat 4 UU PT,[78][†††††††††††††††††] badan hukum sebagai subjek hukum memiliki tanggung jawab hukum sendiri, yang terpisah dari pemiliknya, atau disebut sebagai “Persona standi in judicio ”. Dalam kaitan ini, pemegang saham hanya bertanggung jawab, atau membatasi diri terhadap tanggung jawab hukum    dari perseroan sebatas modal yang telah disetornya. Batasan ini disebut sebagai ‘tabir perusahaan’ atau corporate veil, yang menutupi perseroan dari tanggung jawab pribadi pemegang saham ataupun pengurus atau direksinya. Tabir ini ditembus, atau “piercing the corporate veil ” terjadi, jika memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Pasal 3 Ayat 2 UU PT.[79][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Pasal 18 UU PT[80][§§§§§§§§§§§§§§§§§] menyebutkan bahwa perseroan harus punya maksud dan tujuan yang dicantumkan di anggaran dasar, sesuai ketentuan perundang-undangan, termasuk tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam Putusan No. 1865 K/Pdt/2010, Mahkamah Agung menyatakan:
“Bahwa berdasarkan keterangan ahli Teti Marsaulina, S.H., LL.M, fungsi dan maksud tujuan kegiatan usaha dalam anggaran dasar suatu perusahaan adalah sebagai pedoman umum bagi direksi dalam menjalankan perusahaan. Oleh karena itu, biasanya dalam anggaran dasar hanya disebutkan hal-hal yang umum saja dan tidak secara mendetail. Selain itu, hal tersebut juga dimaksud-kan agar direksi perusahaan dapat melakukan improvisasi dalam menjalankan maksud dan tujuan perusahaan, sepanjang tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan perusahaan yang telah tercantum dalam anggaran dasar. Dalam hukum perseroan, hal ini dikenal dengan doctrine business judgment rule”.
Menurut Yahya Harahap,[81][******************] di samping berguna bagi pihak luar, pencantuman maksud dan tujuan tersebut menentukan kewe-nangan dan merupakan batasan bagi direksi dalam mengurus dan mengelola perseroan. Menurut hemat penulis, sejalan dengan kutipan di atas, kewenangan direksi termasuk di dalamnya ruang lingkup pengambilan keputusan untuk menentukan macam bisnis yang dapat dijalankan oleh direksi, yang sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Karena maksud dan tujuan dalam anggaran dasar disebutkan secara umum, Mahkamah Agung dalam kutipan di atas berpendapat, direksi dapat melakukan improvisasi dalam melaksanakan maksud dan tujuan perusahaan, dengan meng-gunakan Prinsip BJR. Ini artinya direksi diberikan keleluasaan dalam menentukan bisnis yang dianggap berkait dengan maksud dan tujuan itu. Namun, pelaksanaan tugas di luar kewenangan ini, atau disebut sebagai tindakan ultra vires, akan berakibat hukum bagi pengurus.

4.   Bertindak sebagai Organ Badan Hukum Sesuai Kewe-nangan demi Kepentingan Perseroan
Pasal 1 Ayat 2 UU PT[82][††††††††††††††††††] menyebutkan, bahwa organ perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), direksi, dan dewan komisaris. Pada dasarnya, RUPS berfungsi untuk membela kepentingan pemegang saham.[83][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Keputusan-keputusan yang menyangkut struktur organisasi perseroan dan kepentingan pemegang saham berada dalam kewenangan RUPS. Contohnya meliputi perubahan anggaran dasar, permohonan pernyataan pailit, pembubaran perseroan, penambahan modal, penggunaan saham baru, dan penggunaan laba perseroan.[84][§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Dewan komisaris bertugas melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada direksi (Pasal 1 Ayat 6 UU PT).
Pengawasan dan pemberian nasihat itu dilakukan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.[85][*******************] Namun, pengawasan ini bukanlah terhadap tindakan teknis dari kepengurusan direksi melainkan mengawasi kebijak-sanaan PT, sehingga tidak setiap tindakan direksi harus meminta izin komisaris. Selain itu, komisaris memberikan nasihat kepada direksi, agar kepengurusan tidak dilakukan secara sembrono.[86][†††††††††††††††††††]
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 5 UU PT,[87][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] direksi memiliki tugas dan wewenang dengan penuh tanggung jawab dan untuk kepentingan perseroan terhadap dua hal: melaksanakan kepengurusan dan mewakili perseroan. Bismar Nasution menambahkan, bahwa keberadaan PT adalah yang menyebabkan keberadaan direksi, sehingga direksi harus selamanya wajib mengabdi kepada kepentingan PT, sebagai wakil PT selaku persona standi in judicio.[88][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Kewenangan direksi bukan karena pengangkatan oleh RUPS, melainkan berasal dari Pasal 1 Ayat 5, Pasal 92 Ayat 1, dan Pasal 97 Ayat 1 UU PT,[89][********************] yakni demi kepentingan serta maksud dan tujuan perseroan. Fred B.G. Tumbuan berpendapat, bahwa loyalitas direksi hanya mengacu kepada kepentingan perseroan, bukan kepada pihak lain termasuk para pemegang saham.  Dengan kaidah ini, direksi dapat mengabaikan keputusan RUPS, jika keputusan itu bertentangan dengan kepentingan perseroan.[90][††††††††††††††††††††] Untuk itu, setiap anggota direksi wajib melaksanakan kepengu-rusannya itu dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab (Pasal 97 Ayat 2 UU PT [91][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]); dan bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugas sesuai ketentuan yang dimaksud pada Ayat 2 tersebut   (Pasal 97 Ayat 3 UU PT).[92][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Berdasarkan Pasal 92 Ayat 1 UU PT,[93][*********************] Nindyo Pramono ber-pendapat, bahwa tugas, wewenang, dan tanggung jawab direksi tersebut adalah berkaitan dengan mengurus perseroan sehari-hari, atau tot daden van beheeren, yaitu setiap perbuatan yang diperlukan dan termasuk golongan perbuatan untuk mengurus atau memelihara perserikatan perdata, termasuk perseroan ter-batas. UU PT sendiri memberi kelonggaran untuk menjabarkannya mengenai kepentingan dalam praktik, baik secara sempit ataupun luas, sejauh hal itu sesuai dengan norma-norma kelaziman dalam dunia usaha sejenis.[94][†††††††††††††††††††††] Dalam kaitan ini, Ali Rido berpendapat, bahwa kebijakan atau tindakan direksi tidak lepas dari batas wewenangnya, sejauh tindakan menguntungkan badan hukum.[95][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Pendapat Ali Rido itu merefleksi pertimbangan direksi dalam menentukan apakah tindakan atau keputusannya termasuk dalam wewenang yang diberikan kepadanya. Namun, syarat yang lebih jelas untuk menentukannya adalah yang dapat menguntungkan badan hukum.
Walaupun direksi merupakan wakil dari badan hukum, tetapi, menurut Ali Rido, perwakilan itu bukan merupakan pemberian kuasa.[96][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Menurut Pasal 1796 KUH Perdata, pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum hanya berlaku untuk per-buatan-perbuatan pengurusan atau pengelolaan saja (tot daden van beheeren), tidak termasuk dalam perbuatan penguasaan (tot daden van beschikken).
Pasal 1795 dan 1796 KUH Perdata tidak berlaku bagi per-wakilan badan hukum dan bagi pengurusnya melakukan dua macam perbuatan pengurusan, termasuk pengurusan penguasaan seperti menjual, menyewakan, menggadaikan, dan lain sebagai-nya, jika anggaran dasarnya tidak mengandung ketentuan yang mengatur perbuatan tersebut.[97][**********************]
Dalam hal penguasaan (tot daden van beschikken), biasanya dirumuskan dalam anggaran dasar dengan kaidah larangan. Apabila tidak dirumuskan dalam anggaran dasar, itu berarti merupakan perbuatan yang termasuk dalam ruang lingkup pengurusan, dan biasa dilakukan sehari-hari oleh direksi.[98][††††††††††††††††††††††]
Contoh perbuatan tot daden van beschikken dapat dilihat dari ketentuan Pasal 102 Ayat 1 yang menetapkan direksi wajib meminta persetujuan RUPS dalam hal:
(1) mengalihkan kekayaan perseroan;
(2)  menjadikan jaminan utang kekayaan perseroan, yang meru-pakan lebih dari 50% (lima puluh persen) jumlah kekayaan bersih perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak.
Pasal 92 Ayat 2 UU PT menyebutkan, direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 sesuai kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang ditentu-kan dalam UU PT dan anggaran dasar. Menurut O.C. Kaligis,[99][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] apabila di kemudian hari terbukti bahwa kewenangan diskresi      itu membawa kerugian bagi perseroan akibat kelalaian atau kesalahannya, maka direksi bertanggung jawab secara pribadi, atau secara renteng jika direksi terdiri atas dua orang atau lebih, sesuai Pasal 97 Ayat 3 dan Ayat 4 UU PT.
Menurut Nindyo Pramono,[100][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] frasa “kebijakan yang dianggap tepat” dalam Pasal 92 Ayat 2 UU PT[101][***********************] adalah kebijakan yang antara lain didasarkan pada keahlian, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam usaha yang sejenis. Kelaziman ini tidak memiliki standar ukuran, kecuali melalui pendapat umum yang dapat diperoleh dari sesama pelaku bisnis dalam bidang usaha yang sama. Di sini, Rudhi Prasetya berpendapat, seperti dikutip oleh Neni Sri Imaniyati, bahwa ruang lingkup kewenangan direksi dibatasi oleh asas kepantasan.
Sejauh kepengurusan dijalankan dalam batasan ini, direksi tidak dapat dikatakan melanggar otonomi yang diberikan.[102][†††††††††††††††††††††††]
Dalam ruang Hukum Administrasi Negara, kebijakan yang dianggap tepat ini merupakan diskresi atau freies ermessen. Kebebasan yang diberikan kepada pejabat penguasa untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri, asalkan tidak melanggar undang-undang.[103][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Pendapat tersebut dibuat ber-dasarkan urgensi dan situasi atau kondisi yang dihadapi, baik dalam bentuk pengaturan secara tertulis atau lisan, tetapi harus selaras dengan maksud penetapan kewenangan atau sesuai dengan tujuan akhir kewenangan itu.[104][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Dalam kaitan ini, prinsip ”Marginale Toetsing” berlaku, bahwa masalah kebijaksanaan tidak menjadi wewenang pengadilan untuk menilai, kecuali terdapat pelanggaran asas kepatutan dari penguasa dalam menjalankan kebijaksanaan tersebut.[105][************************]
Menurut Nindyo Pramono, secara yuridis, ukuran kepantasan itu berarti tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesu-    silaan, iktikad baik, kepatutan, kebiasaan atau undang-undang, dan tidak melanggar hukum.[106][††††††††††††††††††††††††] Di samping itu, Nindyo Pramono mengatakan bahwa kebijakan yang dipandang tepat adalah kebijakan yang dapat mendatangkan keuntungan bagi perseroan, atau yang berguna bagi kepentingan perseroan. Pendapat Nindyo Pramono sejalan dengan kesimpulan yang diambil itu sehubungan dengan tindakan yang dapat dianggap termasuk dalam kewe-nangan direksi. Namun, ukuran yang pasti adalah yang dapat mendatangkan manfaat bagi kepentingan perseroan.
Di perseroan, direksi memiliki kekuasaan untuk membuat dan menjalankan keputusan yang berkait dengan bidang tugas yang telah ditetapkan.[107][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Tanggung jawab terhadap tugas itu membuat ia wajib untuk melaksanakan tugasnya dengan menggunakan wewenang yang ada untuk mencapai tujuan perseroan.[108][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]         Hal ini tercakup dalam Pasal 97 Ayat 1 dan 2 UU PT, bahwa pengurusan yang dimaksud dilakukan dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab.
Pasal 97 Ayat 5 UU PT menyebutkan, direksi tidak bertanggung jawab atas kerugian sebagaimana yang dimaksud pada Ayat 3 apabila dapat membuktikan, bahwa:
(a) kerugian tersebut bukan kesalahan atau kelalaiannya,
(b) telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan,
(c) tidak mempunyai benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang meng-akibatkan kerugian, dan
(d)  telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul dan ber-lanjutnya kerugian tersebut.
Selain organ di atas, terdapat sebuah fungsi yang berkait dengan korporasi, yang disebut corporate secretary. Tanggung jawabnya bersifat administratif,[109][*************************] pengawasan kepatuhan ter-hadap ketentuan yang berlaku,[110][†††††††††††††††††††††††††] dan komunikatif,[111][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] dalam hubungan antara korporasi atau direksi dengan pihak luar atau para investor. Karena itu, tugas corporate secretary tidak langsung berhubungan dengan masalah perkreditan substantif dalam bank dan dengan para debitor.
5.   Menerapkan Good Corporate Governance (GCG)
Menurut Jackson dan Nelson, governance adalah tentang bagaimana kewenangan atau kekuasaan didistribusikan dengan akuntabilitas, transparansi, dan integritas yang menyertainya.[112][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Pada hakikatnya, governance merupakan proses pengambilan keputusan yang didasari, antara lain, oleh kultur organisasi, etika, proses, kebijakan, dan struktur; dan bagaimana menerapkan keputusan yang diambil sekaligus mengontrol pelaksanaannya.[113][**************************] GCG bertujuan untuk mempercepat dan meningkatkan kesejah-teraan bisnis, melalui pengelolaan sumber daya dan risiko yang efektif, dan merupakan pertanggungjawaban terhadap para peme-gang saham dan pemangku kepentingan.[114][††††††††††††††††††††††††††] Menurut Jonathan R. Macey, tujuan GCG adalah untuk membujuk dan memengaruhi atau memotivasi direksi dan para manajer untuk menepati janji kepada para investor. Dengan kata lain, GCG bertujuan untuk mengurangi deviasi yang dilakukan dalam pengelolaan perusahaan oleh korporasi dari apa yang diharapkan oleh para investor,[115][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] sehingga dapat memberikan keyakinan bahwa korporasi dapat menghasilkan laba. 
Pada dasarnya, GCG adalah bagaimana keputusan dibuat oleh direksi atau manajemen dari sebuah perusahaan. Dalam kerangka besarnya, tugas manajemen terbagi ke beberapa fungsi: planning, organizing, motivating, staffing, dan controlling.[116][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Untuk itu, direksi harus membuat keputusan yang diperlukan sampai organisasi manajemen terbentuk. Dari segi bisnis, direksi harus merencana-kan apa yang akan dilakukan, kemudian membuat keputusan bisnis yang diperlukan.
Aktualisasi dari GCG dalam UU PT dalam hal pembagian kewenangan di antara para organ badan hukum PT dapat dilihat dari hal-hal berikut:
Pertama, adanya pembagian kekuasaan dan fungsi kepada organ-organ, seperti RUPS, komisaris, dan direksi. Direksi bertugas memimpin kegiatan sehari-hari perseroan secara otonom (tot daden van beheeren) dalam rangka mencapai tujuan perseroan.
Kedua, setiap organ perseroan memiliki kedudukan yang bersifat otonom dan sederajat. Kepentingan yang paling tinggi yang harus diperhatikan oleh organ, khususnya oleh direksi adalah kepen-tingan perseroan secara keseluruhan dengan mengacu kepada tujuan perseroan.[117][***************************]
Ketiga, dalam hal tot daden van beschikking, kewenangan tertentu atau bukan yang berkaitan dengan pengurusan sehari-hari, hanya dapat dilakukan oleh direksi atas dasar persetujuan dari RUPS atau komisaris seperti yang disebutkan dalam anggaran dasar. Patokan normatif pelaksanaannya adalah ketertiban umum dan kesusilaan, iktikad baik, (Pasal 1338 KUH Perdata, dan Pasal 97 Ayat 2 UU PT), kehati-hatian (Pasal 97 Ayat 5 huruf b UU PT), dan kebijakan yang dianggap tepat (Pasal 92 Ayat 2 UU PT), serta ukuran ekonominya terletak pada manajemen yang baik.[118][†††††††††††††††††††††††††††]
Keempat, Pasal 120 Ayat 1 UU PT menentukan anggaran dasar perseroan dapat mengatur adanya seorang atau lebih komisaris independen dan seorang komisaris utusan, dalam rangka me-nyeimbangkan berbagai kepentingan dari berbagai pihak atau stakeholders.[119][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Penerapan GCG di lingkungan perbankan dianjurkan oleh  Basle Committee on Banking Supervision (1999), di Indonesia ditetapkan oleh Bank Indonesia. Basle Committee menetapkan sejumlah standar terbaik untuk industri perbankan, yang antara lain, adalah: bahwa bank harus menetapkan sasaran strategik dan serangkaian nilai-nilai perusahaan yang dikomunikasikan dalam organisasi, menetapkan tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan, dan memastikan bahwa pengurus bank memiliki kompentensi yang memadai dengan integritas yang tinggi, serta memahami peranannya dalam mengelola bank yang sehat dan tidak terpengaruh oleh pihak eksternal.[120][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]


C.   MENGHINDARI  KEGAGALAN ATAU KEPAILITAN
UU Perbankan menyebutkan bahwa bank adalah:
”Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Menurut Pasal 21 UU Perbankan, bentuk badan hukum se-buah bank umum dapat berupa perseroan, perusahaan daerah, koperasi, dan perseroan terbatas. Dalam karya ini, saya hanya melakukan kajian terhadap bank yang berbadan hukum PT. 
Bank memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian dan bertindak sebagai perantara dalam bidang keuangan atau financial intermediaries. Bank menyalurkan dana dari yang ber-kelebihan kepada yang membutuhkan, tetapi penekanannya pada kegiatan produktif. Alokasi modal yang efisien dalam perekono-mian akan meningkatkan pertumbuhan.[121][****************************]
Menurut Bert Scholtens dan Dick van Wensveen, intermediasi keuangan merupakan proses penciptaan nilai atau value creation, yang didorong oleh adanya risiko dan kegiatan pengelolaan risiko yang tercakup dalam manajemen risiko atau risk management.[122][††††††††††††††††††††††††††††] Bisnis bank selalu berkaitan dengan risiko, sehingga dapat pula dikatakan bahwa bisnis perbankan adalah bisnis risiko. Jadi, nilai yang diciptakan diharapkan dapat memberikan keuntungan, dibalik pengambilan risiko yang perlu diminimalkan walaupun tidak dapat dihilangkan sama sekali. R. Boffey dan GN Robson menegaskan bahwa kemampuan menyerap risiko sangat bergantung kepada perolehan keuntungan dari pemberian pinjaman dan besar kecilnya modal yang dimiliki bank.[123][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dalam konteks penciptaan nilai, tugas manajemen adalah meningkatkan arus kas saat ini dan di masa depan dengan mengeksploitasi setiap kesempatan pertumbuhan, tetapi tanpa menambah risiko secara menyeluruh bagi bank.[124][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Konsep pencip-taan nilai ini perlu diterapkan dalam setiap hubungan dengan nasabah debitor. Setiap kredit/pinjaman yang diberikan harus menghasilkan tingkat keuntungan bagi bank, yang sesuai dengan objektif portofolio secara menyeluruh dan target keuntungan terhadap modal bank[125][*****************************] tanpa menambah risiko portofolio bank.
Karena bank menghadapi berbagai risiko, terutama risiko kredit, dan berpengaruh luas terhadap sektor ekonomi makro dan kesejahteraan rakyat, sektor perbankan harus diatur secara ketat (highly regulated).[126][†††††††††††††††††††††††††††††] Tujuan pengaturan ini, antara lain, adalah untuk melindungi kepentingan para pemilik dana[127][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] dan mencegah kerusakan bank disebabkan oleh manajemen yang buruk[128][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] atau tidak kompeten dalam mengelola risiko.
Dalam proses pemberian kredit, salah satu masalah yang harus diatasi oleh bank adalah mengenai informasi yang tidak seimbang (asymmetric information). Masalah ini merupakan salah satu krakteristik dari pembiayaan[129][******************************] atau pemberian kredit yang harus diatasi bank. Karena jika tidak, dapat menimbulkan kredit bermasalah (non performing loan).
Asymmetric Information atau informasi yang tidak seimbang berarti bahwa informasi yang dimiliki oleh debitor dan kreditor tidak sama atau “asymmetrical”. Rowena Olegario mengatakan, keadaan yang simetrikal itu tidak akan pernah terjadi di dunia nyata.[130][††††††††††††††††††††††††††††††] Setiap pihak dari suatu kontrak atau transaksi yang sama tidak memiliki informasi yang sama.[131][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Di lain pihak, bank membu-tuhkan banyak informasi mengenai calon debitor/debitornya selama pinjaman belum terlunasi. Baik ex-ante maupun ex-post, calon debitor/debitor memiliki informasi yang jauh lebih baik mengenai masalah yang dihadapinya, serta bagaimana menganti-sipasi dan mengatasi setiap perubahan lingkungan yang terjadi. Untuk menjembataninya, bank perlu lebih aktif untuk menggali informasi yang diperlukan, baik secara langsung ataupun tidak langsung dari calon debitor.
Bank adalah sebuah lembaga “kepercayaan”, sehingga  masya-rakat merasa aman untuk menyimpan uang di lembaga tersebut. Kata ‘aman’ berarti adanya anggapan masyarakat bahwa setiap saat mereka dapat memperoleh kembali uang beserta bunga yang dijanjikan secara utuh. Antara bank dan nasabah penyimpan dana terdapat hubungan fidusia.[132][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Itu sebabnya, direksi bank memiliki fiduciary duty, duty of loyalty, dan duty of skill and care terhadap bank. 
Sebagai pihak yang dipercaya untuk mengelola bank, khu-susnya mengelola risiko, direksi berkewajiban bertindak dengan sebaik-baiknya demi kepentingan bank dan pemegang sahamnya. Untuk itu, direksi juga memiliki sumpah setia terhadap bank dan menempatkan kepentingan bank dan pemegang saham di atas kepentingan pribadi. Dua tugas ini mengandung unsur integritas, kompetensi, dan profesionalisme.[133][*] Menurut Chapra dan Ahmad, profesionalisme, kompetensi, dan integritas merupakan faktor yang penting bagi manajemen bank.[134][†]
Menurut Hikmahanto Juwana, dari segi fiduciary duty, khususnya dalam pemberian kredit, direksi bank memiliki beban tanggung jawab yang jauh lebih besar terhadap kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat pemilik dana kepada bank, qq direksi bank.[135][‡] Direksi berkewajiban memenuhi duty of skill and care, yang mengharuskan direksi untuk mengelola bank sebagai orang yang ahli dan jujur dengan segenap kemampuannya.[136][§] Untuk itu, direksi harus pula meyakini bahwa bank memiliki tata cara pem-berian kredit yang baik dan efektif, sehingga dapat mencapai hasil yang optimal, tanpa mengorbankan kepentingan para pemilik dana.
Dari segi hukum perseroan, perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber alam, wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (Pasal 74 Ayat 1 UU PT).[137][**] Secara taklangsung, direksi bank harus memerhatikan ketentuan ini tidak saja dalam pelaksanaan operasi bank, tetapi juga ketika mempertimbangkan usulan kredit. Kredit untuk membiayai usaha yang dapat merusak lingkungan hidup harus dicegah. Dari segi hukum perbankan, Sundari Arie ber-pendapat, bahwa pengurus bank, dalam hal ini direksi dan komisaris, wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan operasional bank[138][††] secara menyeluruh. Ini artinya direksi berkewajiban melakukan fungsi pengawasan melalui sistem yang dibangun untuk memantau dan mengawasi seluruh kegiatan operasional, khususnya dalam hal pemberian kredit. Kecenderungan timbulnya kredit yang bermasalah harus menjadi perhatian khusus, terutama bagi direksi. Timbulnya kredit bermasalah yang meluas akan meng-ganggu pertumbuhan ekonomi dan memengaruhi kesejahteraan masyarakat luas. Di lain pihak, peran komisaris adalah mengawasi kebijakan yang diambil direksi. Dalam hal ini, komisaris dapat mempertanyakan apakah direksi telah membuat kebijakan dan sistem pengawasan kredit yang diperlukan.
Asas yang paling penting dalam kegiatan pemberian kredit adalah prinsip kehati-hatian atau prudential principle. Asas ini wajib diterapkan dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank.[139][‡‡] Prinsip ini dikandung dalam Pasal 2 dan Pasal 8 UU Perbankan, yang penerapannya didukung oleh Pasal 49 Ayat 2 (b) UU Perbankan.
Penerapan prinsip tersebut sesungguhnya telah dimulai   ketika bank akan menunjuk seseorang menjadi direktur bank. Berdasarkan PBI Nomor 12/23PBI/2010 tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan, pihak yang dapat ditunjuk sebagai direktur bank adalah yang telah lulus Uji Kemampuan dan Kepatutan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. Tujuan ketentuan ini adalah untuk memantapkan sistem perbankan dengan mengarah kepada praktik good corporate governance dan pemenuhan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, diperlukan sumberdaya manusia yang memiliki integritas dan kemampuan yang tinggi, pengalaman dan keahlian yang sesuai, serta memiliki reputasi keuangan yang baik. Kemampuan yang dimaksud termasuk untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian, keuangan dan perbankan, serta menginterpretasikan visi-misi bank dan analisis situasi industri perbankan. Persyaratan yang ditentukan tidak memberikan ruang bagi pihak yang melakukan tindakan yang diindikasikan tidak memenuhi persyaratan dan kepatutan.[140][§§]    
Ketentuan tersebut perlu diterapkan tanpa pengecualian, dan itu berarti bahwa Bank Indonesia telah membentuk standar umum yang sama bagi setiap orang yang dapat diangkat sebagai direktur bank. Sekalipun pemilik dapat bertanggung jawab terhadap ke-mampuan dan kepatutan calon direksi, risiko direksi gagal dalam mengelola bank dapat menimbulkan kegagalan bank dan bersifat sistemik. Pada dasarnya, risiko kegagalan bank tidak dapat ditanggung sendiri oleh pemilik, mengingat modal yang ditempat-kan pada bank jauh lebih kecil dibandingkan dengan dana masyarakat yang digunakan dalam usaha bank.
Prinsip kehati-hatian juga diatur oleh sejumlah ketentuan Bank Indonesia, yang antara lain: SK Dir Bank Indonesia No. 27/162/ KEP/DIR dan SE Bank Indonesia No. 27/2/UPPB tentang Kewajiban Penyusunan Kebijakan Perkreditan bagi Bank Umum (KPB) dan Peraturan Bank Indonesia No. 7/3/Peraturan Bank Indonesia tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.
Prudential principle atau prinsip kehati-hatian bertitik tolak pada kata prudence. Menurut Adam Smith, prudence adalah kebajikan moral dan intelektual yang sempurna sekaligus ke-      bijakan dengan kebajikan yang sempurna pula. Adam Smith memberikan sejumlah karakteristik dari orang yang memiliki sikap kehati-hatian atau prudent man. Dari sejumlah atribut yang dikemukakan oleh Adam Smith, berikut ini sebagiannya:
”Orang dengan sikap hati-hati selalu mempelajari secara serius dan sungguh-sungguh apa yang harus dipahaminya dari segi profesi, selalu tulus, dan hanya mengatakan yang benar, serta selalu bersikap hati-hati dalam setiap tindakannya, termasuk ketika berbicara. Ia selalu menghargai sesuatu yang tidak berlebihan dan kewajaran, penuh dengan diskresi dalam batas yang wajar, serta bertingkah laku baik. Sebagai reputasi bagi profesinya, ia selalu melakukan transaksi berdasarkan keman-tapan dari pengetahuan dan kemampuannya”.
Menurut Hermansyah, penerapan prinsip kehati-hatian dapat dilihat dari bagaimana bank dan orang-orang yang terlibat di dalamnya membuat kebijaksanaan dan menjalankan kegiatan usahanya. Mereka wajib menjalankan tugas dan wewenang masing-masing secara cermat, teliti, dan profesional; selalu mematuhi seluruh aturan perundang-undangan yang berlaku secara konsisten dengan didasari oleh iktikad baik.


[1][****************************]   Lihat: Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 31; dan Gunardi Endro, Redefinisi Bisnis, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1999, hlm. 15.
[2][††††††††††††††††††††††††††††]   Fred R. David, Strategic Management, Concepts and Cases, Pearson Education Limited, England, 2011, hlm. 131.
[3][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]   Gunardi Endro, op. cit., hlm. 17.
[4][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]   James Macgregor Burns, Leadership, Harper & Row, New York, 2010, hlm. 379.
[5][*****************************]                 Helen M. Bowers, “Fairness of Opinion and The Business Judgment Rule: An Empirical Investigation of Target Firms’ Use of Fairness of Opinions”,
[2002].
[6][†††††††††††††††††††††††††††††]                 Johneth Chongseo Park, (et.al), “The Business Judgment Rule: A Missing Piece in the Developing Puzzle of Korean Corporate Governance Reform”, Journal of Korean Law, Vol. 3, (2 November 2003), hlm. 15.
[7][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]                 The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative litigation, [24/02/2009].
[8][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]                 Johneth Chongseo Park (et.al), op. cit., hlm. 15.
[9][******************************]               Douglas M. Branson, “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, Valparaiso University Law Review, Vol. 36,
[10][††††††††††††††††††††††††††††††]             Idem.
[11][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]             Stephen M. Bainbridge,The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine”, <Bainbridge@law.ucla.edu.310.206.1599> [Tidak bertanggal].
[12][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]             Sundari Arie, “Tindak Pidana di Bidang Perbankan Ditinjau dari Undang-Undang Perbankan dan Peraturan Perundang-undangan Terkait serta Permasalahan dalam Praktiknya”, Prosiding Seminar Tindak Pidana Perbankan, Jakarta, 2007, hlm. 13.
[13][*]       Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 1991, hlm. 121, 128.
[14][†]       Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan Perubahannya.
[15][‡]       Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kotemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 2.
[16][§]       Menurut pendapat penulis, keadaan ini merupakan duty of candor, dalam konteks BJR.
[17][**]     HP. Pangabean, mengutip ringkasan dari Nieuwenhuis, bahwa untuk menentukan apakah tuntutan atas dasar kesesatan dapat berhasil, maka harus dapat menjawab seluruh pertanyaan berikut: (1) apakah keputusan untuk membuat perjanjian dipengaruhi oleh adanya salah anggapan mengenai masalah itu;        (2) apakah salah anggapan itu menyangkut keadaan-keadaan yang sangat pen-ting bagi yang mengalami kesesatan tersebut, dengan kriteria apakah perjanjian   tanpa kesesatan tidak akan ditutup dengan persyaratan yang sama; (3) apakah kesesatan memenuhi Pasal 6:228 NBW; (4) apakah pihak lawan mengetahui bahwa keadaan-keadaan yang berkaitan dengan kesesatan merupakan arti yang sangat memukul pihak yang tersesat. HP. Pangabean, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) Sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Per-   janjian, Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm. 45.
[18][††]     Ibid., hlm. 41-47. 
[19][‡‡]     Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgment, Tata Nusa, Jakarta, 2008, hlm. 13-14.
[20][§§]     R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2004, hlm. 8.
[21][***]   Ibid., hlm. 6.
[22][†††]   Ibid., hlm. 2.
[23][‡‡‡]   G.W.F. Hegel, Philosophy of Right, Prometheus Books, Nerw York, 1996, hlm. 236.
[24][§§§]   Norman E. Bowie, Business Ethics, a Kantian Perspective, Blackwell Publisher, Minneapolis, 1998, hlm. 132.
[25][****]                 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Penerbit PT Alumni, Bandung, 1992, hlm. 245.
[26][††††]                 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm. 46-47.
[27][‡‡‡‡]                 Bryan A. Garner, Black ’s Law Dictionary, West Publishing Co., St. Paul, 2004, hlm. 1061.
[28][§§§§]                 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010. hlm. 73.
[29][*****]               Ibid., hlm. 72.
[30][†††††]               Sunaryati Hartono, op. cit., hlm. 129-130.
[31][‡‡‡‡‡]               Idem.
[32][§§§§§]               Setiawan, op. cit., hlm. 285-286.
[33][******]             Indriyanto Seno Adji, op. cit., hlm. 51.
[34][††††††]             Sunaryati Hartono, op. cit., hlm. 130.
[35][‡‡‡‡‡‡]             Indriyanto Seno Adji, op. cit., hlm. 77.
[36][§§§§§§]             Setiawan, op. cit., hlm. 251.
[37][*******]           Sunaryati Hartono, op. cit., hlm. 128-129.
[38][†††††††]           R. Ali Rido, op. cit., hlm. 28.
[39][‡‡‡‡‡‡‡]           Ibid., hlm. 30.
[40][§§§§§§§]           Ibid., hlm. 31.
[41][********]         Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 121-122.
[42][††††††††]         Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2005, hlm. 139.
[43][‡‡‡‡‡‡‡‡]         Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 235.
[44][§§§§§§§§]         Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 80.
[45][*********]       H.P. Pangabean, op. cit., hlm. 87-90.
[46][†††††††††]       Dalam hukum Inggris, undue influence dapat membatalkan kontrak dalam arti dianggap tidak pernah ada atau disebut “rescinded”, seperti yang dapat disimak dalam kutipan berikut: “By contrast, a voidable contract is one by which a party is entitled to rescind, or to have set aside by the court, by reason of some external vitiating factor (deceit, misrepresentation, duress, undue influence, mistakes as to identity induced by a fraudulent misrepresentation in face to face dealings), but which is valid and binding until rescinded”. Mengenai pembatalan kontrak dengan pengertian dianggap tidak pernah ada dapat disimpulkan dari uraian berikut: “Rescission cancels the contract from the beginning, so that each party is obliged to return the benefits he has received and, so far as possible, the parties are restored to the position they would have occupied had no contract been entered into”. Goode, Roy, Commercial Law, Penguin Books, London, 2004, hlm. 78.
[47][‡‡‡‡‡‡‡‡‡]       Putusan-putusan yang dimaksud adalah: Putusan MA tanggal 14 Maret 1987     No. 3431K/Pdt/1985 (Ny. Busono dan R. Busono melawan Sri Setianingsih), MARI No. 2230K/Pdt1985 (Adamson melawan BSN), MARI No. 2450/Pdt/Sip/1982 (Hotel Tiara Medan d/h Hotel Medan Utama melawan Bank Eksim), MARI No. 2464 K/Pdt/ 1986 (Santo Liusman melawan Bintang Kosmos Motors), MARI No. 2216/K/ Pdt/1988 (Putri Kayangan melawan Bank Bumi Daya), dan MARI No. 2563K/ Pdt/1988 (Parengkuan melawan Bank Pacific). Sutan Remi Sjahdeini, op. cit., hlm. 124-125.
[48][§§§§§§§§§]       Menurut Salim HS, cacat kehendak (wilsgebreken) adalah kecurangan dalam kehendak orang atau orang-orang yang melakukan perbuatan yang menghalangi terjadinya persesuaian kehendak dari pihak dalam perjanjian. Cacat kehendak terdiri dari 4 macam: dwaling (kekhilafan), dwang (paksaan), bedrog (penipuan), dan undue influence (penyalahgunaan kesempatan, ekonomis, atau psikologis). Cacat kehendak merupakan salah satu dari penyebab timbulnya pembatalan perikatan berdasarkan Pasal 1446-1456 KUHPerdata. Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 198-199.
[49][**********]     Cacat kehendak yang lain adalah: tampak atau ternyata pihak debitor dalam kondisi tertekan (dwang positie), keadaan debitor tidak punya pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian a quo dengan syarat-syarat yang memberatkan, dan nilai dari hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang jika dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak, Salim HS, ibid., hlm. 283.
[50][††††††††††]     Syaratnya adalah adanya kebergantungan dari pihak yang lemah yang disalah-gunakan oleh pihak yang memiliki keunggulan psikologis, dan adanya kesukaan psikologis yang luar biasa antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Perancangan Kontrak, RajaGrafindo Persada, Jakarta,   2007, hlm. 50.
[51][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]     Ahmadi Miru, ibid., hlm. 49-50.
[52][§§§§§§§§§§]     Kasus ini berkaitan dengan seseorang yang bernama Mozes dan mereparasi mobilnya di Uiting & Smith yang merupakan anggota perkumpulan reparasi mobil “Bovag”. Mozes menandatangani perjanjian yang di dalamnya terdapat klausula penjamin dalam vrijwaring setiap kerugian dan pertanggungjawaban yang timbul terhadap pihak ketiga. Mozes berkeberatan untuk mengganti rugi, karena klausula tersebut tidak pernah dijelaskan pada saat menyerahkan mobilnya kepada Uiting  & Smiths. H.P. Pangabean, Himpunan Putusan Mahkamah Agung Mengenai Per-janjian Kredit Perbankan, Jilid 2, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm. 273-276.
[53][***********]   Black’s Law Dictionary memberikan definisi berikut: 1. (Of a person) having no conscience, unscrupulous (an unconscionable used car salesman), 2. (Of an act or transaction) showing no regard for conscience, affronting the sense of justice, decency, or resonableness (the contract is void as unconsconsionable), Bryan A. Garner, op. cit., hlm. 1561.
[54][†††††††††††]   Bryan A. Garner, op. cit., hlm. 543.
[55][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]   Wikipedia, The Free Encyclopedia, <http://en.wikipedia.org/wiki/Fiduciary>.
[56][§§§§§§§§§§§]   Bruce S. Butcher, Directors’ Duties, A New Millennium, A New Approach? Kluwer Law International, London, 2000, hlm. 18. 
[57][************]                 Derek French (et.al), Company Law, Oxford University Press, New York, 2009, hlm. 469.
[58][††††††††††††]                 David J. Seipp, “Trust and Fiduciary Duty in the Early Common Law”, Boston University Law Review, Vol. 91:1011,
[1012], hlm. 1011.
[59][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]                 William F. Griffin Jr., “Fiduciary Duties of Officers, Directors and Business Owners”, [January 2011] , hlm.2
[60][§§§§§§§§§§§§]                 Walter Geach, “Statutory, Common Law and Other Duties of Directors”, Papers for CIS Corporate Governance Conference,
<www.icsa.co.za./documents/speakers Press/Walter Geach/GeachStatutory Com-mon  LawAndOtherDutiesOfDirectors.pdf> [10 September 2009], hlm. 10
[61][*************]               Katharina Pistor dan Chenggang Xu, “Fiduciary Duty in Transitional Civil Law Jurisdictions”, Law Working Paper, N 01/2002,
[October 2002], hlm. 11.
[62][†††††††††††††]               Caroline L. Helbronner, “Fiduciary Duties, An Overview”, Federated Press Con-    ference, [10 December 2007], hlm.3
[63][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]               Michael Ottley, Company Law, Routledge, Cavendish, New York, 2008, hlm. 94, 95, 122,
[64][§§§§§§§§§§§§§]               Bryan A. Garner, op. cit., hlm. 1315.
[65][**************]             “Professional Briefing – Law Case Review- Director in Breach of Fiduciary Duty”. Journal of Accountancy. Vol. 128, Oct 1 (2001).
[66][††††††††††††††]             Lawrence A. Cunningham, dan Yablon, Charles M., “Delaware Fiduciary Duty Law after QVC and Technicolor, A Unified Standard (and the End of Revlon Duties?)”, Boston College Law School, Research Paper 1994-03,
[67][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]             Dennis J. Block, (et.al), The Business Judgment Rule, Fiduciaries Duties of Corporate Directors, Prentice Hall Law & Business, New Jersey, 1989,  hlm. 1.
[68][§§§§§§§§§§§§§§]             Idem.
[69][***************]           Lyman P Q Johnson dan David Millon, “Recalling Why Corporate Officers are Fiduciaries”, Washington & Lee Public Law and Legal Theory, Working Paper     No. 04-13, <http://ssrn.com/abstract=557926> [06/2004].
[70][†††††††††††††††]           BFA, “[No. 21] The Duty of Loyalty Revisited”,
[21/03/2009].
[71][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]           Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co.,Texas, 2004, hlm. 544.
[72][§§§§§§§§§§§§§§§]           Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
[73][****************]         Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, Griya Media, Salatiga, 2011, hlm. 14-15.
[74][††††††††††††††††]         Pasal 4 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 
[75][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]         Nindyo Pramono, “Tanggung Jawab dan Kewaijiban Pengurus PT (Bank) Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas”, Buletin Hukum dan Kebanksentralan, Volume 5 Nomor 3, (Desember 2007), hlm. 28.
[76][§§§§§§§§§§§§§§§§]         Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 84.
[77][*****************]       G.W.F. Hegel, Philosophy of Right, loc. cit.
[78][†††††††††††††††††]       Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 
[79][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]       Idem.
[80][§§§§§§§§§§§§§§§§§]       Idem.
[81][******************]     Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, op. cit., hlm. 61-62.
[82][††††††††††††††††††]     Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[83][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]     Fred B.G. Tumbuan, “Organ-Organ pada Perseroan Terbatas: Kewenangan dan Tanggung Jawabnya”, Prosiding Perseroan Terbatas dan Good Corporate Governance, Jakarta, 2004, hlm. 195.
[84][§§§§§§§§§§§§§§§§§§]     Ibid., hlm. 214.
[85][*******************]   Pasal 108 Ayat 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[86][†††††††††††††††††††]   Partomuan Pohan, “Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum”, Prosiding Perseroan Terbatas dan Good Corporate Governance, Jakarta, 2004, hlm. 229.
[87][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 
[88][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]   Bismar Nasution, “Pertanggungjawaban Direksi: Pertanggungjawaban Direksi dalam Pengelolaan Perseroan”, [Tidak bertanggal].
[89][********************]                 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[90][††††††††††††††††††††]                 Fred B.G. Tumbuan, “Mencermati Kewenangan dan Tanggung Jawab Direksi, Komisaris, dan Pemegang Saham Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1995”, hlm. 213.
[91][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]                 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[92][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]                 Idem.
[93][*********************]               Idem.
[94][†††††††††††††††††††††]               Nindyo Pramono, op. cit., hlm. 18.
[95][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]               R. Ali Rido, op. cit., hlm. 19.
[96][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]               Ibid., hlm. 18.
[97][**********************]             Idem.
[98][††††††††††††††††††††††]             Nindyo Pramono, op. cit., hlm. 18.
[99][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]             O.C. Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum, Jilid 6, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2011, hlm. 276.
[100][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]           Nindyo Pramono, op. cit., hlm. 19.
[101][***********************]         Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 
[102][†††††††††††††††††††††††]         Neni Sri Imaniyati, Hukum Bisnis, Telaah tentang Pelaku dan Kegiatan Ekonomi, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009, hlm. 206.
[103][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]         Pipin Syarifin, dan Dedah Jubaedah, Hukum Dagang di Indonesia, Pustaka Setia, Bandung, 2012, hlm. 33.
[104][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]         Indriyanto Seno Adji, op. cit., hlm. 58-59.
[105][************************]       Ibid., hlm. 55- 56.
[106][††††††††††††††††††††††††]       Neni Sri Imaniyati, op. cit., hlm. 206.
[107][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]       Nindyo Pramono, op. cit., hlm. 20.
[108][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]       Ibid., hlm. 21.
[109][*************************]     Company and Association Law Dictionary,
[110][†††††††††††††††††††††††††]     Wikipedia, “Company Secretary”,
[111][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]     Mas Ahmad Daniri dan Dadi Krismanto, “Peran Corporate Secretary sebagai Penjaga Gawang Good Corporate Governance”, <http://www,madani-ri.com/ 2007/12/25/peran-corporate-secretary-sebagai-penjaga-gawang-good-corporate-governance> [25/12/2007].
[112][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]     Ira A. Jackson dan Jane Nelson, Profits with Principles, Currency Doubleday, New York, 2004, hlm. 260.
[113][**************************]   John Pieris dan Nizam Jim, Etika Bisnis & Good Corporate Governance, Pelangi Cendekia, Jakarta, 2007, hlm. 131.
[114][††††††††††††††††††††††††††]   John Shaw, Corporate Governance & Risk, A System Approach, Wiley & Son, New Jersey, 2003, hlm. 23.
[115][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]   Jonathan R. Macey, Corporate Governance, Princeton University Press, Oxford, 2008,   hlm. 1.
[116][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]   Fred R. David, Strategic Management, Concepts and Cases, Pearson Education Limited, Edinburg, 2011, hlm. 131-132.
[117][***************************] Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 80-81.
[118][†††††††††††††††††††††††††††]                 Ibid., hlm. 81.
[119][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]                 Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 252.
[120][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]                 Viraguna Bagus Oka, “Good Corporate Governance pada Perbankan”, Prosiding Perseroan Terbatas dan Good Corporate Governance, Jakarta, 2004, hlm. 75.
[121][****************************]               Ross Levine, (et.al), “Financial Intermediation and Growth: Causality and Causes”, [2000], hlm. 30.
[122][††††††††††††††††††††††††††††]               Bert Scholtens dan Dick van Wensveen, “The Theory of Financial Intermediation: An Essay on What It Does (not) Explain”, SUERF (SuerF Studies; 2003/1), ISBN   3-902109-15-7 ©2003, The European Money and Finance Forum, Viena,
[2003].
[123][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] R Boffey dan GN Robson, “Bank Credit Management”, Managerial Finance  1995;21,1 [1995].
[124][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]               Gerhard Schroeck, Risk Management and Value Creation in Financial Institutions, John Wiley & Sons Inc, New Jersey, 2002, hlm. 14.
[125][*****************************]             Joetta Colquitt, Credit Risk Management, How to Avoid Lending Disasters and Maximize Earnings, McGraw-Hill, New York, 2007, hlm. 6
[126][†††††††††††††††††††††††††††††]             George G. Kaufman, “Macro-Economic Stability and Bank Soundness”,
[2001].
[127][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]             Mohamed Ali Elgari, “Credit Risk in Islamic Banking and Finance”, Islamic Eco-nomic Studies, Vol. 10, No. 2 (March 2003).
[128][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]             Sunarsip, “Analisis atas Deregulasi, Krisis, dan Restrukturisasi Perbankan di Indonesia, Pendekatan Teori Polizato dan William E. Alexander”, Jurnal Keuangan Publik, Vol. 1/No. 1 (2003).
[129][******************************]           Karakteristik yang lain dari pembiayaan adalah intertemporal trade, dan some demandable debts. Caprio Jr., Gerald, dan Daniela Klingebiel, “Bank Insolvency: Bad Luck, Bad Policy, or Bad Banking?”, Annual World Bank Conference on Development Economics, IBRD/World Bank, 1996, hlm.  3.
[130][††††††††††††††††††††††††††††††]           Rowena Olegario, A Culture of Credit, Embedding Trust and Transparency in American Business, Harvard University Press, London, 2006, hlm. 76.
[131][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]           Frederic S. Mishkin, “A Lesson From The Asian Crisis”, Journal of International Money and Finance 18 (1999) 709-723, <www.elsevier.com/locate/jimofin> [1999].
[132][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]           Nindyo Pramono, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, op. cit., hlm. 244.
[133][*]     John L. Colley Jr., (et.al), What is Corporate Governance? McGraw Hill, New York, 2005, hlm. 10.
[134][†]     M. Umer Chapra dan Habib Ahmed, Corporate Governance, Lembaga Keuangan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 45.
[135][‡]     Muhamad Djumhana, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm. 29.
[136][§]     Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2009, hlm. 30.
[137][**]   Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[138][††]   Sundari Arie, ”Tindak Pidana di Bidang Perbankan Ditinjau dari Undang-undang Perbankan dan Peraturan Perundang-undangan terkait serta pemasalahan dalam Praktiknya”, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Penggunaan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta, 2007, hlm. 24.
[139][‡‡]   Arus Akbar Silondae dan Andi Fariana, Aspek Hukum dalam Ekonomi & Bisnis, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2010, hlm. 49.
[140][§§]   Penjelasan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor: 12/23/PBI/2010 Tentang Uji Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar