BAB 1
Beberapa
Hal dalam Hubungan dengan Kredit Macet
1
A. KREDIT MACET dan latar belakangnya
1. Kasus Neloe sebagai Cermin
E
|
dward Cornelis William (ECW) Neloe, direktur utama Bank
Mandiri 2000-2005 mengalami kenyataan pahit. Pada 2007, ia – dan dua direktur
Bank Mandiri lainnya – divonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 6
bulan oleh Mahkamah Agung (MA). Mahkamah Agung mendakwa, Bridging Loan (Kredit
Talangan) yang ia keluarkan untuk sebuah peru-sahaan tidak sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia maupun aturan internal Bank Mandiri.
Sebelumnya, pada 2006, Kejaksaan Agung menuntut
Neloe – dan dua direktur Bank Mandiri
lainnya – 20 tahun penjara atas dakwaan merugikan negara karena pengucuran
kredit ke PT Cipta Graha Nusantara sejumlah Rp160 miliar. Akan tetapi, hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus-bebaskan Neloe dengan pertimbangan
tidak adanya bukti merugikan negara dalam kasus tersebut. Kejaksaan Agung yang
meyakini bahwa Neloe bersalah lalu membuka kasus lain, yakni kredit macet
sejumlah perusahaan selama periode kepemimpinan Neloe.
Kasus ECW Neloe memang unik. Mulanya ia didakwa
merugi-kan negara lantaran kredit macet. Namun, vonis 10 tahun penjaranya bukan
karena itu, melainkan pelanggaran terhadap aturan BI dan ketentuan internal
Bank Mandiri atas keputusan yang dia ambil karena di luar “kebiasaan”.
Di Indonesia, kasus kredit macet secara masif terjadi
pada 1997-1998. Akumulasi kredit macet itulah yang membuat Indo-nesia dilanda
krisis moneter. Perbankan nasional menanggung beban kredit macet (non
performing loan/NPL) yang tidak sedikit, terutama di bank pemerintah,
seperti Bapindo, BBD, BDN, dan bank swasta seperti BDNI.[1][**]
Besar atau kecil kredit macet selalu merugikan bank. Dan,
jika terakumulasi dalam jumlah besar, dapat mengakibatkan kebang-krutan bank.
Karena itulah, tidak lama setelah krisis, sejumlah bank di Indonesia, termasuk
bank pemerintah tutup. Penutupan tersebut mengakibatkan kerugian bagi pemilik
saham beserta para stakeholders, yang pada akhirnya ditanggung oleh pembayar pajak di
Indonesia.
Manifestasi dari beban yang ditanggung pembayar pajak itu
adalah bunga sebesar 12-13% per tahun[2][††] yang melekat
pada obligasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah senilai Rp650 triliun.[3][‡‡] Obligasi ini
digunakan untuk mengambil alih seluruh Non-Performing Loan (NPL) yang
ada di perbankan Indonesia pada 1997/1998 dari Bank Indonesia yang ditangani
oleh BPPN. Tidak banyak orang tahu bahwa sebagian besar obligasi itu, atau
sekitar 72%, tidak akan pernah terbayar kembali, karena BPPN selama berdirinya
hanya dapat mengembalikan sebesar 28%.[4][§§]
Selain kasus ECW Neloe tersebut, jarang sekali kasus
kredit macet yang menimbulkan kerugian bagi bank di bawa ke meja hijau oleh
pihak yang berkepentingan terhadap bank, terutama pihak pemilik yang mengeluh
atas kerugian itu. Bahkan, terdapat sejumlah bank yang harus ditutup karena
kredit macet yang besar, tetapi
tampaknya direksi bank terkait tidak pernah diperkarakan.
2. Pengabaian Prinsip Kehati-hatian, Moral Hazard, dan
Risiko Bisnis
Penyebab kredit
macet sangat bervariasi.[5][***] Berdasarkan
evaluasi umum pasca krisis, banyak NPL terjadi karena bank pemberi kredit
kurang hati-hati dan masalah moral hazard.
Atau, berawal dari kolusi antara pejabat bank dan debitor.[6][†††] Kolusi ini
menimbulkan malpraktik yang dilakukan oleh pihak perbankan,[7][‡‡‡] dalam hal ini
para direksi atau para staf di bawahnya. Sebelum krisis pun telah terjadi
perbuatan-perbuatan tercela, baik oleh orang dalam (internal) maupun anggota
masyarakat tertentu (eksternal),[8][§§§] tetapi umumnya
kedua belah pihak berkolusi. Moral hazard seperti ini telah menjadi
fenomena umum semenjak liberalisasi perbankan pada Oktober 1988, atau disebut
Pakto 1988.[9][****] Beberapa
istilah seperti ‘kredit komando ’, ‘plafondering ’,[10][††††] atau ‘crowny lending ’ muncul dalam
kaitan dengan kredit macet itu, yang kemudian dikenal luas oleh masyarakat.
Kerugian besar
di sektor perbankan karena kredit macet akhirnya menjadi kerugian negara. Akan
tetapi, jarang sekali masalah perkreditan seperti ini menjadi suatu perkara
hukum yang disidangkan dengan menuntut pejabat bank terkait, baik sebelum
maupun setelah krisis moneter 1997/1998.
Menurut catatan penulis, hanya ada sejumlah
kecil kasus kredit macet yang diperkarakan dengan menuntut pejabat kredit
pengambil keputusan atau yang berwenang.
Kasus Bank Bumi
Daya vs. Natalegawa pada 1980 merupakan kasus pertama. Kemudian, pada awal
1990-an, muncul kasus Eddy Tansil atau Golden
Key, yang membuat direksi Bank Bapindo, Subekti Ismaun dan lainnya,
mendekam di penjara. Kasus yang paling akhir terjadi pada bank BUMN adalah pada
2006-2007, yang melibatkan ECW Neloe. Penuntutan kasus tersebut umumnya
dilakukan melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pidana Korupsi, atau
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(”UUPTPK”), karena bank terkait merupakan bank pemerintah.
Ketika Neloe
diperkarakan karena kredit macet, timbul ke-khawatiran di lingkungan perbankan,
terutama bank pemerintah. Mereka khawatir akan mengalami nasib seperti Neloe,
jika kredit yang mereka berikan macet. Kekhawatiran ini membuat mereka segan
untuk memproses dan menyetujui pemberian kredit. Bahkan, ada pandangan di
masyarakat, bahwa kredit macet selalu berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Dalam kaitan ini, Mar’ie Muhammad mempertanyakan: “Apakah semua kredit macet
otomatis merupakan kejahatan perbankan, atau bahkan dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana korupsi?”[11][‡‡‡‡]
Kekhawatiran
itu menunjukkan, seolah-olah para direksi bank atau pejabat kredit tidak
memiliki perlindungan hukum yang membentengi kerjanya. Padahal, mengambil
keputusan kredit di lingkungan perbankan identik dengan keputusan bisnis di
bidang usaha lain. Keputusan bisnis tidak selalu menghasilkan keun-tungan,
terkadang membawa risiko kerugian.
Kredit
bermasalah tidak selalu karena pejabat pemberi kredit tidak hati-hati atau
kurang cermat dalam memproses pemberian kredit, bukan pula karena karakter
debitor yang tidak baik, tetapi kredit yang diputuskan hari ini, kelancaran
pembayaran bunga dan angsuran pokoknya masih harus dibuktikan di masa yang akan
datang. Dengan kata lain, penyebabnya adalah faktor eksternal yang tidak selalu
dapat diperkirakan[12][§§§§] dan umumnya
berada di luar kontrol kreditor maupun debitor.
Sebagai contoh,
sewaktu-waktu lingkungan bisnis dapat berubah drastis yang memengaruhi
timbulnya risiko operasional dan risiko pasar.[13][*****] Asumsi yang
dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan bisa jadi tidak berakhir sama
dengan kenyataan yang muncul dalam perjalanan kredit tersebut, sehingga kredit
menjadi bermasalah atau macet. Secara keseluruhan, ini merupakan risiko kredit
qq risiko bisnis yang harus dihadapi.
Permasalahan
akan timbul jika direksi mengambil keputusan bisnis atau kredit ternyata salah,
dan membawa kerugian bagi korporasi atau bank. Tidak ada jaminan bahwa
keputusan yang diambil akan membuahkan hasil yang diharapkan, walaupun telah
mempertimbangkan segalanya dengan hati-hati, termasuk mema-tuhi ketentuan dan
perundangan yang berlaku. Permasalahan ini akan menjadi kasus hukum, jika
pemilik bank atau pihak lain yang berkepentingan merasa dirugikan, karena pihak
yang mengambil keputusan atau direksi bank mengambil keputusan yang dianggap
salah karena menimbulkan kerugian.
3. Kerugian yang Terjadi Tidak Selalu Identik dengan Kejahatan
Kerugian yang
timbul itu adalah muara dari pengambilan keputusan yang tidak tepat. Pada kasus
ECW Neloe, penuntutan dilakukan melalui UUPTPK, karena bank terkait adalah bank
pemerintah. Di sini disebut sebagai tindak pidana korupsi adalah karena direksi
sebagai pengambil keputusan melakukan tindakan yang merugikan atau membahayakan
keuangan negara, dan memberikan keuntungan bagi atau memperkaya dirinya
atau pihak lain.
Namun, tidak
semua kerugian itu akibat dari pengambilan keputusan yang salah, karena niat
menguntungkan atau mem-perkaya pribadi pengambil keputusan atau pihak lain.
Walaupun hal itu terjadi di bank pemerintah. Hal yang sama dapat pula terjadi
di bank swasta nasional. Karena orang takut salah mengambil keputusan, dan
kesalahan itu dianggap sebagai tindak pidana korupsi, maka direksi yang
berwenang segan mengambil keputusan. Di lingkungan bank pemerintah, keseganan
seperti itu terjadi pasca Neloe
disidangkan.
Kerugian
lantaran pengambilan keputusan yang salah tidak selalu bermuara atau berkaitan
dengan unsur memperkaya diri sendiri atau pihak lain; tidak pula serta
merta merupakan tindak pidana korupsi. Perlu penelaahan yang lebih dalam ten-
tang masalah yang terjadi di hulu, ketika keputusan bisnis atau kredit dibuat.
Apakah keputusan dilakukan secara menyimpang atau berdasarkan alasan/dasar yang
menyimpang, atau karena ada motivasi di belakang pengambilan keputusan itu.[14][†††††]
4. Sumber Hukum Keputusan Bisnis
Dalam hukum
korporasi terdapat Prinsip Business
Judgment Rule (BJR), di samping
Prinsip duty of skills and care yang
harus dijalankan dalam rangka memenuhi fiduciary
duty oleh Direksi Perseroan Terbatas. Beberapa penulis, seperti halnya
Munir Fuady berikut menyebutkan konsep-konsep tersebut sebagai doktrin. Saya
akan menjelaskan mengenai perbedaan prinsip dengan doktrin, di bab ini
kemudian. Abdul R Saliman dalam Hukum
Bisnis untuk Perusahaan, Teori & Contoh Kasus mengatakan, doktrin adalah merupakan salah satu sumber hukum.
Dalam perspektif Munir Fuady dalam Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, sejalan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun
2007 Tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang diperbarui, yang merupakan
transplantasi hukum Anglo Saxon ke
dalam hukum Indonesia, prinsip-prinsip tersebut dalam corporate law juga
seyogianya dikandung dalam UUPT. Jika memang prinsip ter- sebut dianut oleh
UUPT, kedua prinsip itu harus pula diterapkan oleh direksi bank sebagai organ
perseroan terbatas, selain me-merhatikan UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (“UU Perbankan”).
Di samping UU
Perbankan, antara bank dan masyarakat ada hubungan hukum antar-subjek hukum. Try
Widiyono dalam Direksi Perseroan Terbatas mengatakan,
sebagai subyek hukum, bank harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan yang
berkaitan dengan hukum korporasi (corporate
law). Penjelasan ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 21 UU
Perbankan yang menyebutkan, bahwa bentuk hukum sebuah bank umum dapat berupa
perseroan terbatas. Karena itu, bank umum yang berbentuk perseroan terbatas
harus pula tunduk pada UUPT atau hukum korporasi.
Prinsip Business
Judgment Rule (BJR) di negara asalnya
dapat melindungi direksi dari tuntutan hukum, meski ternyata keputusan
bisnis yang diambil berimbas kerugian korporasi. Perlindungan dapat diberikan
jika dalam pengambilan keputusan tersebut direksi memenuhi sejumlah
persyaratan. Persyaratan itu antara lain: tidak ada benturan kepentingan dan
keputusan yang dibuat adalah untuk kepentingan korporasi semata (to the best interest of the corporation).
Hal yang perlu dipastikan: Apakah UUPT yang saat ini berlaku telah memenuhi
Prinsip BJR?[15][‡‡‡‡‡]
Karena UUPT merupakan lex
generalis, masalah yang perlu dikaji berikutnya adalah bagaimana UU
Perbankan sebagai lex spesialis
menentukan hal-hal yang berkaitan dengan pengambilan keputusan bisnis.
Keputusan bisnis di dalam usaha bank adalah keputusan kredit, yang merupakan
keputusan moral dan bersifat sangat teknis. Agar direksi memperoleh
perlindungan hukum jika keputusan yang diambil salah, berarti ia perlu tahu
syarat yang harus dipenuhi. Sementara itu, untuk memastikan kredit macet
terjadi karena penyimpangan, dibutuhkan pengetahuan spesifik yang umumnya
dimiliki oleh pihak yang berkecimpung di bidang perkreditan.
UU Perbankan merupakan lex spesialis, dan aturannya bersifat spesifik dan teknis. Pasal 8
UU Perbankan menyatakan, dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atas iktikad baik dan kemampuan serta ke-sanggupan nasabah debitor
untuk melunasi atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan. Frasa “analisis mendalam mengenai iktikad baik, kemampuan, dan
kesanggupan nasabah debitor dalam membayar kembali pin-jamannya” perlu
digarisbawahi. Penjelasan Pasal 8 UU Perbankan itu menyebutkan, bank harus
melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan
prospek usaha nasabah debitor. Seluruh informasi, data, dan fakta yang
berkaitan dengan unsur-unsur tersebut, baik yang bersifat kualitatif maupun
kuantitatif yang diperlukan untuk melakukan analisis tersebut, harus diperoleh
dari berbagai sumber, termasuk dari debitor.
B. Law in Book, Law in Action
Dari segi
hukum, uraian di atas menunjukkan adanya masalah. Di satu sisi, penuntutan
kasus kredit macet yang pernah diadili, seperti kasus ECW Neloe, dilakukan
menggunakan UUPTPK. Di sisi lain, tindakan pengambilan keputusan pemberian
kredit oleh direksi bank ada di ranah hukum perdata. Sebagai badan hukum
perseroan terbatas bank secara khusus diatur oleh UUPT. Pengambilan keputusan
sehari-hari sebagai pelaksana perseroan merupakan wewenang dan tanggung jawab
direksi juga diatur dalam UUPT. Keputusan direksi yang menimbulkan kerugian dan
mengakibatkan perseroan pailit atas kesalahan atau kelalaiannya diatur oleh UU
Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(UU KPKPU).
Dengan
demikian, tampak ada kesenjangan di aspek hukum, dan menimbulkan polemik di
masyarakat.[16][§§§§§] Law in book berbeda dengan law in action, karena penerapan hukum
yang tidak tepat pada sebuah perkara, antara hukum perdata dengan hukum pidana,
atau secara khusus antara UUPT dan UU Perbankan dalam ranah hukum bisnis dengan
UUPTPK dalam hukum publik. Kesenjangan dalam bentuk lain adalah antara das sein dengan das
sollen, atau ketentuan mengenai BJR dalam hukum kor- porasi memerlukan penyesuaian agar dapat
diterapkan dalam pemberian kredit di bawah naungan UU Perbankan.
Literatur yang
berkaitan dengan topik penelitian ini sangat terbatas. Penulis belum menemukan
kajian keputusan pemberian kredit macet dalam perspektif BJR di Indonesia;
kecuali yang dilakukan oleh Mitsuru Misawa di Jepang, selain yang ada di
Amerika. Mengenai originalitas dari penelitian ini, sejauh yang penulis
ketahui, penelitian terhadap masalah ini secara khusus belum pernah dilakukan.
Berdasarkan penelitian kepustakaan yang dilakukan di beberapa Universitas,[17][******] pada tingkat disertasi, belum
terdapat judul yang sama dengan judul awal dari penelitian ini.
Judul
Disertasi, yang telah ada di Universitas tersebut, hanya berkaitan dengan
debitor, kepailitan dan UUPT yang baru.[18][††††††] Di tingkat tesis, di lain
pihak, telah terdapat sejumlah penelitian dengan menggunakan ”Business Judgment Rule ” sebagai salah satu kata kunci di
Universitas yang sama. Tesis yang dimaksud adalah:
1. Analisis Pemahaman Konsep Business Judgment
Rule Menurut Hukum Indonesia Terhadap Tanggung jawab Direksi Per-seroan Terbatas, oleh Kristanto, Universitas
Indonesia, tahun 2010. Kristanto lebih menekankan pada pemahaman Doktrin ini
dalam kaitannya dengan Pasal 97 ayat (5) UU PT, dan mengkaji dampaknya apabila
diterapkan di Indonesia.
2. Penerapan Business Judgment Rule Sebagai Wujud
Per-lindungan Bagi Direksi dalam Pengurusan Perseron Terbatas di Indonesia, oleh Kanya Candria K,
Universitas Indonesia, tahun 2009. Pada
intinya, tesis ini membahas BJR dalam hubungannya dengan tugas kepercayaan atau
fiduciary duty pada direksi dalam
menjalankan kepengurusan perseroan terbatas, dan mengklasifikasikan
permasalahan yang mem-bawa kerugian sebagai hasil keputusannya.
3. Pembebasan Anggota Direksi Bank BUMN dari
Tanggung Jawab Pribadi dengan Pemberian Fasilitas Kredit Berdasar- kan Business Judgment Rule, oleh Ferdy
Fardian Hidayat, Universitas Indonesia, tahun 2009. Penulis ini
memper-masalahkan ’konsep pemisahan kekayaan badan hukum’ sebagaimana yang
diatur dalam UU BUMN dan UU PT, yang tidak selaras dengan ’konsep pencampuran
kekayaan pada negara’ sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 huruf g UU Keuangan
Negara. Menurut Ferdy Hidayat, pembelaan ter-hadap direksi ketika digugat
melalui tindak pidana korupsi oleh KPK
dapat dilakukan melalui Pasal 97 ayat (5) UUPT disertai asumsi positif hakim
terhadap Direksi yang mengambil keputusan ditarik sebagai tergugat.
4. Pengaturan
Doktrin Business Judgment Rule dalam UUPT dan Penerapannya Sebagai Upaya
Perlindungan terhadap Direksi, oleh I Gede Mahatma, Universitas Gajah Mada,
tahun 2011.
5. Penerapan
Business Judgment Rule dalam Pertanggung-jawaban Direksi Bank yang Berbadan
Hukum Perseroan Terbatas Berdasarkan UUPT, oleh Deny Adrianus, Universitas
Gajah Mada, tahun 2010. Deny Adrianus menekankan bahwa akar atau dasar prinsip Business Judgment Rule adalah
pengambilan keputusan dengan iktikad baik. Namun, penulis ini berpendapat bahwa
terdapat kekurangan dan kelemahan yang menyebabkan prinsip ini belum dapat
diterapkan dengan baik sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (5) UUPT,
sehubungan dengan Pasal 69 ayat (4), Pasal 104 ayat (4 ) dan Pasal 117 ayat
(2).
6. Perlindungan
Hukum bagi Pemegang Saham Terhadap Pelanggaran Standar Keputusan Bisnis
(Business Judgment Rule) yang Dilakukan oleh Direksi Perseoran Terbatas,
oleh Yohanes Robert Prayoko, Universitas Gajah Mada, tahun 2006. Tesis ini,
menurut penulisnya, berusaha mengembangkan suatu pandangan yang lebih up to date untuk mengatasi
kelemahan-kelemahan yang terjadi di dalam teori-teori hukum perusahaan negara
bersistem civil law khususnya tentang
standar yang dipakai sebagai dasar untuk memutuskan suatu kasus hukum berkaitan
dengan BJR.
7. Penerapan
Business Judgment Rule dalam Penerapan Per-tanggungjawaban Direksi Bank yang
Berbadan Hukum Perseroan Terbatas, oleh Rudi Dogar Harahap, Universitas
Sumatera Utara, tahun 2008. Tesis ini menganalisis jawaban terhadap masalah
bagaimana pengelolaan bank dikaitkan dengan manajemen risiko dan bagaimana
batasan penerapan Business Judgment Rule
dalam pengeloaan perseroan ter-batas oleh direksi, serta bagaimana penerapan
prinsip-prinsip Business Judgment Rule
dalam pertanggungjawaban direktur bank.
8. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Business
Judgment Rule dalam Perseroan Terbatas,
oleh Asep Tomi, Universitas Islam Negeri Kalijaga Yogyakarta, tahun 2009.
Tesis ini memapar-kan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Business Judgment Rule, dan menyimpulkan
bahwa doktrin ini tidak sesuai dengan hukum Islam, karena Direksi harus
bertanggung jawab atas seluruh keputusan bisnis yang dibuatnya.
Namun, setelah
penelitian ini dilakukan dan menjelang buku
ini diterbitkan, pada 21 September 2013, Prasetio dari Univer- sitas Gajah Mada mempertahankan Disertasinya
yang berjudul “Penerapan Business
Judgment Rule dalam Restrukturisasi Transaksi Komersial PT (Persero)
Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”. Jelas, terlihat
bahwa Prasetio meneliti penerapan BJR dalam konteks keputusan bisnis dalam
lingkungan perusahaan BUMN.
C. MENGACU PADA KONSEP NEGARA
KESEJAHTERAAN
Kajian yuridis tentang keputusan bisnis menelaah Business Judgment Rule (BJR) dalam praktik pemberian kredit
perbankan, sehingga dapat menemukan konsepsi keputusan bisnis yang dapat
memberikan perlindungan hukum bagi direksi bank. Berikut ini adalah Kerangka
Pemikiran dari kajian ini.
Dalam konteks Indonesia, landasan filosofis bagi
pemba-ngunan hukum adalah mengacu pada Pasal
33 UUD 1945 dan Perubahannya. Pasal ini menentukan, bahwa perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas keke-luargaan (Ayat 1).
Cabang-cabang Produksi yang penting bagi negara yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara
(Ayat 2). Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan diperguna- kan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Ayat 3). Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan,
efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
men-jaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (Ayat 4).
Khususnya Ayat 4 ini merupakan susbstansi utama bagi sistem ekonomi Pancasila.[19][‡‡‡‡‡‡]
Pada tataran teori, landasan yang digunakan dalam
mela-kukan pengkajian yuridis dari hakikat pengambilan keputusan pemberian
kredit perbankan adalah teori negara kesejahteraan (Indonesia) sebagai teori
besarnya (grand theory), teori
kepastian hukum sebagai teori menengah
(middle range theory), dan teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja
sebagai teori terapannya (applied theory);
yang kemudian didukung dengan teori hukum ekonomi kerakyatan atau ekonomi
Pancasila.
Menurut Mochamad Isnaeni Ramdhan, teori besar atau grand theory identik dengan weltanschauung atau grand design, yang merupakan kerangka berpikir untuk menentukan
model pem-bentukan suatu konsep, nilai atau norma secara konsisten, sehingga
merefleksikan perumusan model, konsep, nilai itu secara sistematik.[20][§§§§§§] Hans Kelsen
berpendapat sama dalam Allgemeine
Staatslehre, bahwa setiap norma hukum berlaku atas kekuatan norma yang
lebih tinggi dan seterusnya, yang berhenti pada norma yang paling tinggi atau grundnorm. [21][*******]
Penjenjangan
norma ini berlaku sebagai tertib hukum dalam proses pembentukan hukum yang
hierarkis dan dinamis.[22][†††††††]
Ketentuan perundang-undangan di Indonesia pada dasarnya
mengacu kepada konsep negara kesejahteraan atau negara hukum. Menurut Miriam
Budiardjo, dalam konsep itu, pemerintah bertanggungjawab atas kesejahteraan
seluruh rakyat atau bo- num publicum
atau common wealth, dengan
menyelenggarakan perencanaan perkembangan ekonomi dan sosial secara
menye-luruh, tidak saja sebagai bagian dari pemisahaan kekuasaan menurut
Montesquieu.[23][‡‡‡‡‡‡‡] Utrecht
memberikan pengertian konsep negara hukum modern, yang juga disebut sebagai
negara ke-sejahteraan, seperti yang dikutip oleh Jonker Sihombing berikut:[24][§§§§§§§]
”Pemerintah
sebuah negara hukum modern bertugas menjaga keamanan dalam arti seluas-luasnya
yaitu keamanan sosial di segala lapangan masyarakat. Dalam suatu welfare state, masa ekonomi liberal
telah lampau dan ekonomi liberal itu telah diganti oleh suatu ekonomi yang
lebih dipimpin oleh pusat atau centraal
geleide economie ”.
Jonker
Sihombing mengutarakan bahwa, dalam negara kesejahteraan, negara aktif untuk mengatur
segala aspek kehidupan rakyatnya, tidak hanya sekedar penjaga malam atau nachtwakkerstaat, atau hanya bertugas
membuat dan mem-pertahankan hukum. Namun, karena negara kesejahteraan dengan
kebebasan tidak membuahkan hasil yang diinginkan, dan hanya menciptakan
kebahagiaan pada sejumlah kecil masyarakat. Dalam kaitan ini, Jeremy Bentham
menekankan bahwa negara tidak dapat membiarkan ketimpangan sosial yang terjadi,
tetapi harus menciptakan persamaan di antara masyarakat dalam hal
kese-jahteraan. Negara menjamin kesejahteraan masyarakat demi terciptanya
ketertiban umum dan sosial dengan mengorganisir dan melembagakan tujuan ini
dalam ketentuan perundang-undangan dan pelaksanaannya.[25][********]
Klasifikasi
negara, seperti negara kesejahteraan, identik dengan tujuannya, karena tanpa
adanya tujuan, negara tidak akan ada.[26][††††††††] Sejalan dengan
pendapat Aristoteles, Abdul Aziz Hakim[27][‡‡‡‡‡‡‡‡] dan penulis
lainnya,[28][§§§§§§§§] tujuan negara
adalah untuk menyejah-terakan, atau menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya; dan
bagi Bentham, kesejahteraan itu adalah yang terbesar bagi orang yang banyak”.[29][*********] Dalam konteks
Indonesia, konsep kesejahteraan Indonesia yang dicitakan oleh para pendiri
bangsa tercermin dalam pidato yang disampaikan oleh Presiden Soekarno pada
tanggal 1 Juni 1945, yang antara lain mengatakan bahwa:[30][†††††††††]
”Kita
bersama-sama mencari persatuan philosofische
grondslag, mencari satu Weltanschauung
yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin
setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi
setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui,
pendeknya kita semua mencari satu modus”.
Yudi Latif
berpendapat, bahwa para pendiri bangsa meng-hendaki penjelmaan negara Republik
Indonesia sebagai ”negara kesejahteraan”, yang diartikan sebagai basis
legitimasi ke-sejahteraan,[31][‡‡‡‡‡‡‡‡‡] seperti yang
ditentukan dalam Pembukaan UUD 1945 dan
Perubahannya, khususnya Pasal 33 Ayat 1 sampai 4 UUD 1945 dan Perubahannya,
yang telah disebutkan di atas. Pasal ini memposisikan negara sebagai pengatur
dan penjamin kese-jahteraan, dan kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya
ke-makmuran rakyat, dan tetap dapat dikendalikan oleh Negara.[32][§§§§§§§§§]
Uraian di atas
jelas menunjukkan bahwa tema kesejahteraan berkaitan dengan hukum, sedangkan
kesejahteraan itu sendiri berkaitan dengan masalah ekonomi. Dari segi
kesejahteraan, manusia cenderung mengarahkan tingkah lakunya kepada kebahagiaan
yang mungkin dapat diperoleh, yang sekaligus berarti mengurangi ’ketaksenangan’
atau rasa sakit, seperti yang dikatakan Bentham di atas. Dalam kaitan ini, Lili
Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra berpendapat, bahwa tujuan hukum adalah
kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi
seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang
dihasilkan dari proses penerapan hukum.[33][**********]
Mengacu pada
Teori Jeremy Bentham, Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi menyarankan agar
pembentuk undang-undang hendaknya dapat merefleksikan keadilan bagi semua
individu, sehingga menciptakan kebahagiaan yang terbesar bagi masya-rakat yang
lebih luas.[34][††††††††††] Pengertian
’keadilan’ dalam konteks Indonesia dapat ditelaah dari Pembukaan UUD 1945 dan
Peru-bahannya serta Sila Kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial, yang
merupakan rechtsidee dan rechtsphilosophie dari hukum yang
berlaku di Indonesia. Keadilan ini berakar pada kolektivitas; dan bukan
merupakan perlindungan individual yang termaktub dalam konsep keadilan dalam rule of law di Eropa.[35][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Oleh karena
itu, konsep keadilan yang berlaku di Indonesia adalah keadilan sosial.
Masalah
keadilan tidak dapat terlepas dari masalah kepastian hukum. David Hume
berpendapat bahwa, kebutuhan akan hukum adalah karena adanya dorongan pada
preferensi akan keadilan.[36][§§§§§§§§§§] Muara dari
seluruh ketentuan hukum adalah pada putusan hakim. Menurut Gustav Radbruch,
yang dikutip oleh Bambang Sutiyoso, suatu putusan yang ideal harus mengandung
keadilan (ge-rechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit), dan
kemanfaatan (zweckmassigkeit).[37][***********] Namun, kedua
pengertian pertama tersebut cenderung memasang jarak antara keduanya, yang
perlu selalu diusahakan dapat berdekatan. Oleh karena itu, teori yang di-gunakan
dalam tataran teori menengah adalah teori kepastian hukum, yang disampaikan
oleh Jonker Sihombing.
Sebagai tujuan hukum,[38][†††††††††††] penciptaan kepastian hukum dan keadilan mempunyai penekanan yang
berbeda. Menurut Jonker Sihombing, kepastian hukum menekankan bahwa hukum
ditegakkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah ada, dan
dijalankan secara benar tanpa adanya diskriminasi. Ini artinya bahwa hukum
diterapkan secara konsisten, yaitu putusan yang sama diberikan terhadap perkara
yang sama, similia similibus.
Eksistensi dari kepastian hukum semakin terbentuk dengan adanya kodifikasi
hukum yang lebih lengkap dan terkini. Hal ini sejalan dengan paham positivisme
atau asas legisme, yang juga dianut oleh Indonesia.[39][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Namun, ungkapan summun ius summa
injuria menunjukkan bahwa semakin lengkap, terperinci atau ketat peraturan
hukum yang ada, sehingga keadilan makin terdesak.[40][§§§§§§§§§§§] Keadilan, di lain pihak mempunyai makna yang dinamis, dan ketentuan
per-undang-undangan akan selalu tertinggal di belakang rasa kea- dilan, [41][************] yang berkembang di masyarakat.
Oleh karena itu, Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa keadilan harus
didahulukan dari kepastian hukum. Itu
pula sebabnya, di setiap keputusan pengadilan, terdapat irah-irah yang berbunyi
”Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[42][††††††††††††]
Agar unsur kepastian hukum tidak terlalu lama tertinggal karena
masyarakat dengan kepentingannya yang terus ber-kembang, dari waktu ke waktu
pembaruan materi hukum perlu selalu dilakukan. Sudikno Mertokusumo mengatakan
bahwa hukum merupakan perlindungan kepentingan manusia, dan kepentingan manusia
itu selalu berkembang. Oleh karena itu, hukum harus pula dinamis mengikuti
perkembangan masyarakat, karena hukum memang merupakan fenomena sejarah, historisch bestimmt.[43][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Untuk itu, pembangunan hukum
harus selalu dikaitkan dengan realitas sosial yang diusahakan untuk
dipengaruhi,[44][§§§§§§§§§§§§] sehingga mengarah kepada
keadaan sosial yang lebih baik.
Uraian terakhir
di atas menunjukkan bahwa agar kepastian hukum tidak tertinggal, berarti materi
hukum perlu diperbarui. Pembaruan materi hukum ini selanjutnya akan memperbaiki
usaha untuk lebih mendekati keadilan yang berkembang di masyarakat.
Persoalannya sekarang materi hukum mana yang perlu diperbaiki; dan untuk
mengetahuinya, diperlukan konsep tertentu untuk men-dekati persoalan itu.
Kaitan hukum dengan ekonomi, khususnya dalam rangka penemuan konsepsi yang
dimaksud dalam penelitian ini, sebagai bagian dari pembangunan hukum, dan pada
tataran terapan, dapat didekati
secara umum dengan menggunakan Teori yang diberikan oleh Mochtar Kusumaatmadja.
Pendekatan yang lebih khusus dapat menggunakan Teori Ekonomi Kerakyatan.
Untuk tahap
yang pertama, Mochtar Kusumaatmadja berpen-dapat bahwa hukum harus dapat
membantu proses perubahan yang biasanya terjadi lebih cepat, yaitu ketika
masyarakat sedang melakukan pembangunan, seperti yang dimaksud oleh Roscoe
Pound dengan istilahnya law as a tool of
social engineering. Dalam kaitan ini, hukum dapat digunakan sebagai alat
untuk mewujudkan perubahan-perubahan di bidang sosial, sehingga mengesankan
bahwa hukum dalam masyarakat memainkan peranan yang progresif. Dalam konteks
negara kesejahteraan, hukum diletakkan di depan. Negara Indonesia memerlukan
pembangunan hukum yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan di masa
depan, dalam arti mengambil tindakan-tindakan dan membuat peraturan-peraturan
guna memajukan atau mempertinggi kemakmuran rakyatnya, bukan saja kesejahteraan
seluruh rakyat, tetapi juga dari masing-masing kepala.[45][*************]
Pembangunan
hukum di Indonesia untuk meciptakan ke-sejahteraan masyarakat di masa depan
telah dicakup dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun
2005–2025. Rencana ini telah ditetapkan dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2007, yang memberikan visi, misi dan arahan mengenai
pembangunan. Tujuan pembangunan nasional tahun 2005 dan 2025 adalah mencapai Indonesia
yang mandiri, maju, adil dan makmur, seperti yang dikandung dalam Pembukaan UUD
1945 dan Perubahannya.
Dalam mencapai
Indonesia yang diinginkan, dan memperkuat daya saing bangsa, telah ditetapkan
pula untuk melaksanakan, antara lain, reformasi hukum dan birokrasi. Untuk itu,
pemba-ngunan hukum diarahkan untuk mewujudkan pertumbuhan eko-nomi yang
berkelanjutan, mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama
dunia usaha dan dunia industri; serta menciptakan kepastian investasi, terutama
penegakan dan per-lindungan hukum. Dalam kaitan ini, bank merupakan institusi
yang berperan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, dan merupa-kan politik hukum
pemerintah,[46][†††††††††††††] berarti
pembangunan hukum seyogiyanya mencakup hukum perbankan.
Untuk mencapai pembaruan materi hukum yang tepat, dan sesuai dengan
tujuan pembangunan hukum yang dimaksud, sekaligus untuk memecahkan masalah yang
ada dan berkaitan dengan perkonomian, Mubyarto dan Bernhard Limbong mena-warkan
Teori Hukum Ekonomi Kerakyatan. Teori yang diberikan oleh kedua pakar ini
sesungguhnya mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 dan Perubahannya, khususnya Ayat
(2). Ayat ini memberikan dorongan ke arah sosialisme, yang diartikan oleh
beliau sebagai ekonomi kerakyatan.
Pengembangan sistem ekonomi
dilakukan dengan pemi- hakan kepada ekonomi rakyat, dengan upaya penanggulangan
kemiskinan dan menghapus ketimpangan ekonomi dan sosial. Konsep ini sejalan
dengan pengertian Ekonomi Pancasila, yang digerakkan oleh rangsangan-rangsangan
ekonomi, sosial dan moral.[47][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Rangsangan sosial mempertimbangkan kepentingan sosial dan memerhatikan
keadilan sosial. Rangsangan moral berupa usaha bersama yang berasaskan
kekeluargaan. Pengejaran ke-pentingan pribadi harus diimbangi dengan ambisi
untuk mening-katkan kesejahteraan umum masyarakat.[48][§§§§§§§§§§§§§]
Oleh karena
itu, dalam kaitan dengan pembangunan materi hukum, Bernhard Limbong
berpendapat, bahwa dasar setiap pembuatan regulasi dan kebijakan harus
berorientasi pada kepentingan rakyat banyak, yang dijadikan sebagai ideologis
substansial, bukan sebagai ideologis dogmatis belaka.[49][**************]
Penelitian ini berlandaskan Konsep Economic Analysys of Law dari Richard A. Posner. Pada
intinya, beliau mengatakan bahwa hukum dapat didekati dengan penelitian ilmiah
yang umumnya digunakan oleh ilmu ekonomi.[50][††††††††††††††] Dasar pemikirannya adalah bahwa sebuah aturan hukum dikatakan efektif,
jika aturan hukum itu direspon secara presisi oleh setiap individu terkait, karena
kepatuhannya terhadap aturan tersebut akan memberikan insentif ekonomi.[51][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Bahkan, menurut Louis Kaplov, seperti yang dikutip oleh Johny Ibrahim,
aturan hukum yang direspon secara ex ante
akan memberikan dampak ekonomi yang menguntungkan bagi masyarakat.[52][§§§§§§§§§§§§§§]
D. Rasionalitas
Demi Kepentingan Diri dan Kepentingan Hukum Ekonomi Publik
Seiring dengan pendapat di atas, Robert Cooter dan Thomas Ulen
berpendapat bahwa, ilmu ekonomi menyediakan suatu teori tingkah laku untuk memperkirakan
bagaimana individu merespon perubahan hukum.[53][***************] Dalam disiplin ekonomi, terdapat pandangan bahwa pada hakikatnya tiap
manusia akan bertindak secara rasional demi kepentingan diri sendiri, atau
diistilahkan sebagai utility, yang
merupakan gabungan kepuasan baik psikologis maupun keuangan yang dihasilkan
dari keterlibatannya dalam kegiatan tertentu.[54][†††††††††††††††]
Teori Richard A. Posner tersebut menunjukkan dengan jelas, persinggungan
yang sangat dekat antara ilmu ekonomi dengan hukum. Persinggungan ini sangat
penting artinya bagi penelitian ini, karena isu sentral yang diteliti adalah
keputusan pemberian kredit yang diberikan oleh bank; tetapi yang ingin
diketemukan adalah faktor-faktor yang diperlukan dalam pengambilan kepu-tusan
yang dapat memberikan perlindungan hukum bagi direksi bank itu. Secara keseluruhan, penelitian ini sangat berkaitan dengan pembangunan hukum ekonomi.
Sumantoro
mengutip definisi Rochmat Soemitro mengenai Hukum Ekonomi, yaitu keseluruhan
norma-norma yang dibuat pemerintah atau penguasa sebagai satu pesonifikasi dari
masya-rakat yang mengatur kehidupan ekonomi bahwa kepentingan individu dan
kepentingan masyarakat berhadapan.[55][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Menurut
Soedjito Sostrodihardjo,[56][§§§§§§§§§§§§§§§] Hukum ekonomi
merupakan hukum publik yang khususnya mengatur persoalan-persoalan ekonomi,
demi kepentingan umum dan kelangsungan hidup negara, yaitu Negara Republik
Indonesia. Untuk itu, Hukum Ekonomi harus dapat melindungi
kepentingan-kepentingan umum, baik kepen-tingan yang ada sekarang, maupun
kepentingan dalam waktu yang akan datang.
Dalam
pembangunan ekonomi, Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji berpendapat, bahwa hukum harus mampu
menciptakan stability, preditability dan
fairness. Fungsi stabilitas diartikan
sebagai potensi hukum untuk menyeimbangkan dan mengako-modasi
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Fungsi prediktabilitas adalah
untuk meramalkan akibat dari langkah-langkah yang diambil, karena hal ini
penting khususnya bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali
me-masuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang
tradisional. Fungsi keadilan merupakan perlakuan yang sama dan standar pola
laku pemerintah diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar, dan mencegah
birokrasi yang berlebihan.[57][****************] Khususnya, fungsi yang pertama dan ketiga mendukung konsep kepastian
hukum yang disampaikan oleh Jonker Sihombing di atas.
Hukum ekonomi merupakan hukum netral, dan berbeda dengan hukum non netral
yang dipengaruhi oleh budaya dan agama, seperti hukum perkawinan. Sebagai
contoh dari hukum ekonomi adalah UU Perseroan Terbatas dan UU Perbankan. Hukum
ekonomi, seperti Hukum Perbankan, yang berkaitan dengan pemberian kredit, harus
bersifat netral, independen, dan bebas dari pengaruh politik praktis. Sifat ini
merupakan suatu kebutuhan, dan sejalan dengan paham yang diberikan oleh Hans
Kelsen. Paham Rheine Rechslehre dari
Hans Kelsen ini merupakan des recht
dalam bentuk murni dan terlepas dari pengaruh meta-juridisch dalam kaitannya dengan keberadaan negara dan
pe-ristiwa hukum, serta bebas dari kandungan politik, sosiologi dan lainnya.[58][††††††††††††††††] Namun, hukum
ekonomi dalam kaitan dengan ekonomi kerakyatan tidak seluruhnya bersifat
netral. Perekonomian Pancasila atau kerakyatan harus memerhatikan kepentingan
masyarakat banyak, keadilan sosial, dan untuk meningkatkan kesejahteraan umum
masyarakat; sehingga digerakkan juga oleh rangsangan-rangsangan sosial dan
moral
Kegiatan ekonomi dalam rangka pencapaian pertumbuhan yang diinginkan dan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat seperti yang diamanatkan oleh UUD’45
memerlukan pengaturan hukum, terutama terhadap subjek hukum. Salah satu subjek
hukum, di samping orang-perorang, manusia biasa, atau natuurlijke persoon, adalah badan hukum atau rechts persoon. Perseroan terbatas, sebagai salah satu dari badan
hukum, adalah yang berkaitan erat dengan topik penelitian ini. Menurut Agus Budiarto,
pembangunan ekonomi nasional yang digalakkan sekitar tahun 1967, mendorong peningkatan
jumlah dari badan hukum ini.[59][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Badan hukum tersebut memang merupakan salah satu kendaraan untuk dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan yang diinginkan.
Institusi bank juga merupakan
badan hukum dan dapat ber-bentuk perseroan terbatas, karena undang-undang
menetapkan demikian (Pasal 21 UU Perbankan). Penelitian ini hanya dilakukan
terutama terhadap bank yang berbadan hukum PT.
Lembaga keuangan seperti bank memiliki peran yang sangat
penting dalam perekonomian, karena bertindak sebagai perantara dalam bidang
keuangan atau financial intermediaries.
Intermediaries atau alokasi modal
yang efisien dalam perekonomian akan meningkatkan pertumbuhan.[60][§§§§§§§§§§§§§§§§] UUPerbankan[61][*****************] menyebutkan
bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan menggunakan prinsip kehati-hatian (Pasal 2 UUPerbankan). Tujuannya
adalah untuk menunjang pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejah-teraan nasional (Pasal 4 UUPerbankan). Dengan demikian, pembaharuan
materi hukum ekonomi yang berkaitan dengan perbankan atau kegiatan pemberian kredit harus memerhatikan
kepentingan masyarakat banyak, khususnya masyarakat pemilik dana, yang dananya
digunakan dalam pemberian kredit. Prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan
oleh bank, pada dasar- nya, adalah
untuk memerhatikan kepentingan masyarakat pemilik dana yang
dimaksud. Ini berarti juga memerhatikan kepentingan kesejahteraan orang banyak
dalam masyarakat, khususnya para pemangku kepentingan.
E. ELABORASI ATURAN KEPUTUSAN BISNIS
Dalam UU Perbankan, terdapat beberapa pasal yang mengatur
kegiatan usaha bank, khususnya berkaitan dengan pengambilan keputusan pemberian
kredit. Pasal-pasal yang berkaitan erat dan penting untuk penelitian ini
adalah, antara lain, Pasal 2 dan Pasal 8 UU Perbankan.[62][†††††††††††††††††] Pasal 2 UU
Perbankan itu menyebutkan bahwa bank dalam melakukan usahanya harus berdasarkan
demokrasi ekonomi, dengan menggunakan prinsip kehati-hatian, atau pru-dential principles., karena bank
tidak terlepas dari bentuk-bentuk kerawanan atau risiko.
Untuk memastikan penerapan sikap kehati-hatian itu,
per-bankan perlu diatur, sehingga bersifat highly
regulated.[63][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] UU Perbankan
mengatur kegiatan pemberian pinjaman/pembiayaan, di samping ketentuan lain
mengenai permodalan, likuiditas, diversifikasi, larangan terhadap kegiatan
tertentu, keterbukaan informasi, perizinan, dan ketentuan akuntansi.
Tujuan utama
pengaturan itu adalah untuk menjamin bahwa keadaan keuangan setiap bank tetap
sehat, memiliki struktur manajemen yang baik, dan melindungi kepentingan para
pemilik dana,[64][§§§§§§§§§§§§§§§§§] sehingga dapat
mencegah kerusakan bank disebabkan manajemen yang buruk.[65][******************] Namun demikian,
manajemen yang baik atau yang buruk juga pada dasarnya ditentukan bagaimana
bank atau direksinya melakukan pengambilan keputusan, atau dapat pula dilihat
dari kualitas keputusan yang diambil.
Dalam kaitan
dengan pertimbangan atau keputusan bisnis direksi, terdapat sejumlah kata dan
frasa, yang terkait dan dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, dalam banyak
literatur yang membahas mengenai Business
Judgment Rule atau BJR, khususnya di dalam sistem hukum aslinya, civil law atau anglo saxon, BJR itu disebut sebagai doktrin.[66][††††††††††††††††††] Dalam konteks
hukum, doktrin adalah pendapat sarjana atau ahli hukum yang terkenal, dan
digunakan sebagai salah satu sumber hukum;[67][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] dan yang besar
pengaruhnya terhadap hakim dalam mengambil keputusan perkara.[68][§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Namun, doktrin
tidak mengikat dan tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.[69][*******************] BJR di negara
asalnya disebut sebagai doktrin, dan selalu dite-rapkan sebagai ‘prinsip’ sehubungan dengan sifat judge made law dari sistem yang dianut;
dan hakim pengadilan berikutnya yang mengadili perkara yang sama wajib
menerapkan doktrin atau hukum yang sama.
Dalam
penelitian dari buku ini, BJR disebut sebagai asas atau prinsip. Asas atau
prinsip hukum merupakan sarana yang mem-buat hukum itu hidup, tetap ada dan
melahirkan suatu peraturan selanjutnya. Menurut Meuwissen, prinsip hukum
memberikan makna hukumnya kepada hukum positif, mengandung kriterium yang
dengan kualitas dari hukum dapat dinilai, dan hukum dapat dipahami dengan
berlatar belakang suatu asas yang melandasi.[70][†††††††††††††††††††] Menurut
Satjipto Rahardjo, prinsip hukum merupakan rasio
legis dan jantungnya peraturan hukum, karena merupakan landasan yang paling
luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum; dan se-kaligus berarti bahwa
peraturan hukum itu dapat dikembalikan kepada asas-asasnya. Beliau menambahkan,
bahwa prinsip hukum dengan kandungan tuntutan etisnya merupakan jembatan antara
peraturan-peraturan dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakat.[71][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Karena itu,
prinsip hukum dengan sifat penggu-
naannya dalam menemukan hukum oleh hakim di pengadilan berbeda dengan
doktrin. Sebagai sumber hukum, doktrin bersifat opsional, sedangkan asas atau
prinsip harus diterapkan oleh hakim dalam penemuan hukum yang berkaitan dengan
ketentuan yang belum jelas terhadap materi hukum tertentu, ketika perkara akan
diputuskan.[72][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Di sisi lain,
hakim tidak dapat melanggar isi dan falsafah peraturan perundang-undangan yang
sudah ada.[73][********************]
Tujuan dari
penelitian ini adalah menemukan konsepsi prinsip BJR yang dapat diaplikasikan
kepada keputusan pemberian kredit dari bank berbadan hukum PT. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, konsepsi adalah rancangan atau cita-cita dan lain
sebagainya yang telah ada dalam pikiran. Business
Judgment Rule atau BJR sendiri diartikan sebagai “Keputusan Bisnis”, dan
bukan “pertimbangan bisnis” karena keputusan identik dengan per-timbangan,
tetapi pertimbangan mendahului suatu keputusan. Tri Budiyono juga menerjemahkannya ke dalam
pengertian yang sama.[74][††††††††††††††††††††]
Kedua, Business Judgment Rule berkaitan erat
dan bersandar pada fuduciary duty
dari direksi perseroan, dan tanggung jawab fidusia ini meliputi tugas
kehati-hatian atau duty of care,
tugas kesetiaan atau duty of loyaty,
dan itikad baik, dan semuanya merupakan prinsip yang harus dipenuhi oleh
direksi perseroan. Duty of care dalam
konteks hukum perbankan di Indonesia di sebut sebagai prinsip atau sikap
kehati-hatian, atau prudential
principles.
Ketiga, agar
memperoleh perlindungan hukum dalam me-lakukan tindakan atau keputusan bisnis
itu, terdapat lima unsur pokok yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:[75][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
1. Business Decision, atau keputusan bisnis: Keputusan itu
me-rupakan keputusan bisnis direksi.
2. Disinterestedness, atau ketaktertarikan:
Keputusan yang diambil melambangkan loyalitas penuh direksi terhadap perseroan,
dan dimanifestasikan dalam bentuk “ketaktertarikan”, dari segi manfaat keuangan terhadap apa yang akan diputuskan.
3. Due Care, atau kehati-hatian yang layak:
Keputusan yang diambil merupakan “informed
decision” atau berdasarkan informasi yang cukup, dengan memastikan dan
mempertimbangkan seluruh informasi yang relevan dan cukup. Di Delaware, ukuran yang dipakai adalah gross negligence.
4. Good Faith, atau iktikad baik: Keputusan
dibuat berdasarkan keinginan yang jujur untuk menguntungkan pemegang saham
perusahaan, dan bukan untuk tujuan lain.
5. No
Abuse of Discretion or Waste, atau bukan merupakan penyalahgunaan diskresi
atau pemborosan. Hakim tetap dapat memeriksa manfaat dari keputusan dan bukan
untuk meng-gantikannya.
Keempat, eksistensi BJR
dan fiduciary duty khususnya dalam
UUPT, perlu dipastikan, sehubungan dengan adanya pendapat yang berbeda. Menurut
Tri Budiyono, fiduciary duty dan BJR
dirumuskan secara samar-samar dalam UUPT.[76][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Hendra
Setiawan Boen berpendapat, bahwa BJR tidak sepenuhnya dapat diterapkan di
Indonesia. Dalam peseroan tertutup, kewenangan direksi ditentukan oleh pemegang
saham, sehingga konsep fiduciary duty
yang berlaku hanya bersifat statutory .[77][*********************]
Kelima, keputusan
bisnis direksi perseroan harus dibuat dengan kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang, khu-susnya anggaran dasar perusahaan, dan bersifat intra vires, bukan ultra vires. Dalam hal wewenang, menurut Pasal 1796 KUH Perdata,
pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi
perbuatan-perbuatan pengurusan atau pengelolaan saja, atau tot daden van beheeren, dan tidak ter-masuk perbuataan penguasaan
atau tot daden van beschikken. [78][†††††††††††††††††††††]
Keenam, dalam konteks
perundang-undangan di Indonesia, BJR perlu dikaji lebih lanjut, sehubungan
dengan pengambilan keputusan yang dapat memberikan perlindungan hukum.
Pelindungan hukum tidak dapat diberikan, jika dilakukan dengan cara melanggar
hukum atau onrechtmatige daad (KUHPerdata
Pasal 1365), atau bertentangan dengan kesusilaan dengan sikap hati-hati yang
dituntut dalam pergaulan masyarakat.[79][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Seperti dalam
hal berkontrak, jika terdapat hubungan yang tidak seim-bang, tidak wajar dan
tidak adil sebagai praktik yang tidak sah, karena kontrak mempunyai suatu kausa
yang tidak sah atau tidak dapat diterima atau ongeoorloofde oorzaak, atau kausa yang tidak wajar atau onreselijke oorzak, atau tidak mempunyai
landasan hukum atau onbreken van een
rechtvaardigingsgrond, maka dapat dikualifikasi sebagai tindakan melanggar
hukum, atau melanggar asas kepatutan atau zorgvuldigheid,
yang berarti kelalaian yang bertentangan dengan sikap hati-hati.[80][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Demikian pula
halnya, jika keputusan dibuat karena adanya pengaruh penyalahgunaan ke-adaan
atau misbruik van omstandigheden.[81][**********************]
Ketujuh, jika bank sebagai
badan hukum itu dimiliki oleh negara atau BUMN, apakah pengambilan keputusan
pemberian kredit itu termasuk dalam klasifikasi tot daden van beheeren, sehingga tindakan direksi itu tidak
memerlukan persetujuan organ lain.
Kedelapan, kerugian bank
dapat terjadi karena kredit yang diberikan menjadi bermasalah atau macet, atau
disebut sebagai Non Performing Loan (NPL).
Disadari atau
tidak, keputusan pemberian kredit adalah keputusan moral, karena menyangkut
kepentingan dari begitu banyak pihak di belakangnya, terutama masyarakat
pemilik yang dananya disalurkan ke dalam pemberian kredit. Oleh karena itu,
pengam- bil keputusan harus juga mempertanggungjawabkannya secara moral.
Standar moral harus dituangkan dalam aturan-aturan hukum yang diberikan sanksi,
dan negara dapat berperan dalam pengaturannya.[82][††††††††††††††††††††††]
Kesembilan, menurut Nindyo
Pramono, UUPT yang berlaku sekarang lebih berorientasi pada para pemangku
kepentingan atau para stakeholders,
karena UUPT dirumuskan dengan “untuk kepentingan perseroan”,[83][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] yang
menyangkut banyak pemangku kepentingan. Pemegang saham adalah juga pemangku
kepen-tingan, tetapi tidak semua pemangku kepentingan merupakan pemegang saham;
dan dalam judul asli disebutkan keduanya. Oleh karena itu, pengertian wewenang
dan tanggung jawab direksi dan komisaris dalam kepengurusan terhadap pihak
ketiga perlu dikaji kedudukannya, sesuai dengan yang dikehendaki oleh ketentuan
UUPT dan anggaran dasar perseroan. Di samping itu, Pasal 1366 KUH Perdata telah
menentukan bahwa setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena per-buatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Kesepuluh, seperti yang
disebutkan di atas, tanggung jawab fidusia merupakan akar dari tata kelola
perusahaan atau corporate governance,[84][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] sedangkan BJR
merupakan standar pengambilan keputusan dalam ketentuan hukum korporasi. Jika corporate governance dan BJR dalam
konteks UUPerbankan diterapkan dalam ruang lingkup pengambilan keputusan
pemberian kredit, berarti akan memberikan perlindungan materiil bagi pihak
ketiga atau para pemangku kepentingan, seperti masyarakat pemilik dana atau
para deposan.
Uraian Kerangka
Pemikiran di atas mengantarkan kepada penemuan konsepsi BJR yang dapat
diaplikasi ke dalam ruang lingkup pemberian kredit, yang secara lebih teknis
diatur oleh UU Perbankan. Sejalan dengan pandangan Lawrence M. Friedman,
penemuan konsepsi ini merupakan komponen substansial dari sistem hukum
Indonesia, tetapi di sini digunakan dalam komponen struktural dan kultural yang
ada. Penemuan ini diperlukan khu-susnya bagi masyarakat perbankan, sehingga
dapat menciptakan suasana dan iklim ketertiban dan kepastian hukum yang
berintikan keadilan,[85][***********************] sehingga hukum
dapat berperan secara responsif, kalaupun belum bersifat progresif yang
mengandung makna segala perbuatan yang menciptakan keadilan yang substantive.[86][†††††††††††††††††††††††]
Pada tingkat pembentukan
doktrin Ilmu Hukum, Jimly Assiddiqie
berpendapat, bahwa pendapat hukum di kalangan ahli hukum atau akademisi
hukum dapat pula berkembang menjadi norma hukum tersendiri, terutama jika
pendapat itu diikuti oleh orang lain. Jimly Asshidiqie menjelaskan lebih
lanjut, bahwa pendapat ilmiah tentang hukum dari seseorang dapat berasal dari
abstraksi yang diambil dari pengalaman dan pendapat ilmiah dari luar kesadaran masyarakat
bersangkutan. Pendapat ini akan menjadi pendapat umum, ketika pendapat itu
dimasyarakatkan dan diikuti oleh orang lain, sehingga akhirnya menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari pengertian masyarakat mengenai hukum sebagai
pedoman perilaku bersama.[87][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Jimly
Assiddiqie menyatakan, bahwa proses pembentukan hukum tidak hanya dipahami dari
pengertian yang sempit, atau hanya terpusat pada proses-proses politik di
lingkungan parlemen semata. Pandangan Jimly Assiddiqie ini tampaknya sejalan
dengan pendapat Von Savigny dan Ter Haar, yang menyatakan bahwa suatu kaidah
hukum harus diakui terlebih dahulu sebagai suatu kebiasaan di dalam masyarakat,
karena lebih sesuai dengan keasadaran hukum masyarakat, yang mencerminkan
kehidupan masyarakat, baru kemudian ditingkatkan menjadi peraturan
per-undang-undangan sebagai bagian dari hukum positif.[88][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Uraian dari
pendapat Jimly Assiddiqie itu sesungguhnya didukung dengan apa yang tersirat
dalam Pasal 1 ayat (11) UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal yang dimaksud diberikan di bawah ini. Pengertiannya adalah bahwa hasil
penelitian akademik di bidang hukum
dapat dijadikan bahan untuk membuat Rancangan Undang-undang, dalam rangka
memberikan solusi terhadap permasalahan dan
kebutuhan masyarakat.
“Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian hukum dan hasil penelitian
lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan tersebut dalam suatu Rancangan Undang-undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota se-bagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum
masyarakat”.
Walaupun
konsepsi yang akan diketemukan itu tidak memiliki kekuatan yang sama dengan
undang-undang yang tertulis, seperti yang dikehendaki oleh prinsip-prinsip
dasar Positivisme Hukum atau sebagai a
command of the Lawgiver, penerapannya dapat dilakukan oleh hakim karena
sejalan dengan konsep penemuan hukum yang digariskan oleh undang-undang, dan
merupakan usaha mencarikan atau menemukan hukum untuk peristiwa hukum konkret,
dalam rangka memecahkan persoalan hukum
atau problem solving.[89][************************]
Pada awalnya, Pasal 20 Algemene Berpalingen atau AB menyebutkan bahwa “Hakim harus
mengadili menurut undang-undang”. Kemudian, Pasal 21 AB menyebutkan bahwa
“Hakim dilarang, berdasarkan peraturan umum, penetapan atau peraturan memutus
perkara tergantung padanya”.[90][††††††††††††††††††††††††] Kedua
ketentuan ini telah diubah oleh Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 yang
menentukan bahwa:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”.
Kutipan di atas
menunjukkan bahwa hakim dapat dan harus menemukan hukum atau rechtsvinding, karena Pasal 10 ayat (1)
UU Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan, bahwa:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Tujuan penemuan hukum oleh hakim, pada dasarnya adalah
untuk mencapai putusan yang ideal, yang mengandung ketiga unsur dan dikemukakan
oleh Gustav Radbruch.[91][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Dalam
me-nemukan hukum, Ahmad Rifai mengutip pendapat Ahmad Ali, bahwa selain
undang-undang sebagai sumber hukum, hakim dapat menggunakan kebiasaan, traktat,
yurisprudensi, doktrin, hukum agama dan keyakinan hukum yang dianut oleh
masyarakat.[92][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Walaupun Indonesia tidak menganut sistem stare decisis et quita non movere yang
mengacu pada judge made law yang
mengikat, menurut Sudikno Mertokusumo, yurisprudensi terutama yang berkaitan
dengan putusan pengadilan yang lebih tinggi da-pat dipakai secara persuasif.[93][*************************] Dalam
menggunakan sumber-sumber hukum tersebut, hakim memiliki freies ermessen atau
diskresionare, yaitu suatu sarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat
atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus
terikat sepenuhnya pada undang-undang.[94][†††††††††††††††††††††††††]
Istilah atau kata-kata tertentu yang digunakan dalam penelitian ini
diberikan batasan atau definisi sebagai berikut:
1. Keputusan
Bisnis (Business Judgment): Menurut Annette Greenhow, keputusan bisnis adalah setiap keputusan untuk
bertindak atau tidak bertindak sehubungan dengan suatu hal yang berkaitan
dengan pengoperasian bisnis atau usaha perusahaan atau korporasi.[95][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
2. Yuridis: Berarti berdasarkan hukum, atau mengandung nilai-nilai hukum;[96][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] tetapi,
dalam penelitian ini, hukum yang di-maksud adalah hukum yang tertulis.
3. Praktik Pemberian Kredit: Adalah
ukuran-ukuran yang secara umum digunakan oleh perbankan di Indonesia dalam
melakukan analisis yang mendalam dalam rangka menen-tukan kelayakan suatu
kredit, sehingga memperoleh keya-kinan terhadap itikad dan kemampuan serta
kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya atau mengem-balikan
pembiayaan sesuai dengan yang diperjanjikan.[97][**************************]
4. Perlindungan hukum: Bernhard
Nainggolan berpendapat bahwa, perlindungan hukum menunjukkan fungsi hukum
sebagai sarana perlindungan kepentingan manusia, dan tu-juan hukum untuk
menciptakan ketertiban dan keseim-bangan.[98][††††††††††††††††††††††††††]
5. Pemegang
Saham: Adalah seseorang atau badan hukum yang secara sah
memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan, dan para pemegang saham adalah
pemilik dari perusahaan tersebut.[99][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
6. Stakeholders: Menurut Tom L.
Beaucham dan Norman E. Bowie,[100][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] stakeholders atau pemangku kepentingan[101][***************************] adalah
kelompok atau individu perorangan yang memperoleh manfaat atau dapat mengalami
kerugian, atau pihak yang haknya dilanggar atau dihormati oleh tindakan yang
dilakukan oleh korporasi atau perusahaan.
7. Kerugian: Adalah
berkurangnya harta kekayaan materiil pihak yang satu, yang disebabkan oleh
perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.[102][†††††††††††††††††††††††††††]
F. PENDEKATAN YURIDIS-NORMATIF
Penelitian ini
disusun dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif termasuk metode
perbandingan. Pendekatan ini dilakukan melalui studi dokumen terhadap bahan
hukum primer berupa ketentuan yang berkaitan dengan pengurusan perseroan dalam
KUHPerdata dan KUHDagang, hukum korporasi, peraturan undang-undang perbankan,
dan beberapa prinsip dalam hukum korporasi. Kemudian, dalam kaitannya dengan
penerapan konsep yang diteliti dalam kedua ranah teori dan praktik, penelitian
lapangan dilakukan untuk memperoleh data mengenai pemberian kredit dan
pertimbangan pengadilan.
Untuk
pengumpulan data mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan
pertimbangan dan pengambilan keputusan kredit, atau perkembangan konsep yang
berlaku dalam perbankan, survei lapangan dilakukan melalui teknik wawancara
dengan 5 responden, dan
pengumpulan angket sejumlah 20 dari bank yang berbeda. Menurut Syamsudin,
angket adalah salah satu alat pengumpulan data, dengan salah satu tujuannya
adalah untuk memperoleh pengetahuan yang mendalam mengenai suatu gejala dan
mampu menjelaskan gejala itu.[103][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Pemilihan
sampel tersebut diyakini dapat mewakili perbankan secara keseluruhan di
Indonesia, yang terdiri atas bank peme-rintah daerah (BPD DKI), bank BUMN (BTN,
Bank BNI, Bank Mandiri), bank swasta nasional (Panin Bank, BII, Bank Permata,
Bank Mega, Bank Commonwealth, BCA, Bank Kesawan, Bank Pundi, Bank Harda
International, Bank Bukopin, dan Bank Danamon Tbk), bank asing campuran (CIMB Niaga, OCBC NISP,
Bank UOB Buana, Bank DBS Indonesia), dan cabang bank asing (Standard Chartered
Bank). Wawancara dilakukan dengan salah satu Direksi, atau Pejabat Senior yang
mewakili direksi, dari Bank Danamon, Bank BTPN, Bank Permata, Bank BRI, dan
Bank Mandiri. Keseluruhan bank ini berbadan hukum PT, kecuali cabang bank asing
yang beroperasi di Indonesia. Umumnya,
induk bank dari cabang bank asing itu berbentuk limited liability di negara asalnya. Walaupun klasifikasi bank ini
menunjukkan perbedaan kepemilikan dari masing-masing bank, tetapi tidak
memengaruhi proses pengambilan keputusan kredit yang diatur oleh ketentuan
perundang-undangan. Kalaupun terdapat perbedaan dalam peng-ambilan keputusan
kredit, perbedaan ini umumnya berkaitan dengan tingkat agresivitas atau
konservatisme dalam pengambilan risiko, kebijakan perkreditan, kekhususan
pemberian kredit ke sektor-sektor perekonomian tertentu, dan tingkat kemampuan
dan keahlian perkreditan bank sebagai institusi. Seluruh bank yang beroperasi
di Indonesia harus tunduk pada ketentuan perkreditan yang sama dan ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
Dari segi
penerapan dalam pengadilan, penelitian bersifat studi dokumen sebagai bahan
hukum primer dengan mengkaji hasil keputusan Mahkamah Agung, sebagai law in action,[104][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] terhadap
kasus-kasus kredit macet yang bertitik tolak di sekitar per-timbangan dan
pengambilan keputusan kredit dari keputusan pengadilan yang berkaitan dengan
penelitian ini.
Kedua
pendekatan di atas bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai fakta dan
perkembangan konsep yang berlaku dalam praktik perbankan, disertai analisis
terhadap penerapan perundang-undangan dikaitkan dengan teori-teori hukum dan
praktik dalam melakukan pertimbangan dan pengambil keputusan kredit yang hidup
dalam perbankan dan dalam pengadilan.
Spesifikasi
penelitian yang akan digunakan adalah bersifat deskriptif analitis, yang akan
memberikan paparan mengenai Keputusan Bisnis (Business Judgment Rule) dalam Praktik Pemberian Kredit Perbankan
Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Direksi Terhadap Gugatan Pemegang Saham/Stakeholders Atas Kerugian yang
Ditimbulkan. Analisis dilakukan secara yuridis dengan mempelajari asas-asas dan
teori hukum yang relevan untuk menemukan Konsepsi Business Judgment Rule yang dapat digunakan di lapangan pemberian
kredit bank, untuk memperoleh perlindungan hukum sebagaimana yang diberikan
oleh konsep BJR dalam konteks UUPT.
Penelitian
dilakukan dalam 2 tahap, yakni penelitian kepus-takaan dan
penelitian lapangan. Penelitian
kepustakaan dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer, sekunder dan
tersier. Bahan hukum primer terdiri atas keputusan hakim, dan peraturan perundang-undangan
tentang perbankan dan perseroan terbatas, khususnya tentang keputusan bisnis
dalam pengambilan ke-putusan kredit dalam konteks BJR yang berlaku di
Indonesia. Untuk materi yang sama serta segala sesuatu yang berkaitan dengan
masalah yang akan diteliti juga diperoleh dari bahan-bahan hukum sekunder
berupa buku-buku teks dan hasil penelitian serta karya tulis ilmiah lainnya dan dari kamus hukum, majalah, buletin
serta hasil-hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini sebagai sumber
hukum tersier. Pengumpulan bahan-bahan ini dilakukan dalam rangka menelusuri
identifikasi unsur, ciri dan sifat
keputusan bisnis atau kredit, sehingga diperoleh kejelasan landasan pemikiran,
esensi, hak dan tanggung jawab pihak-pihak yang terkait dalam melakukan pertimbangan
dan keputusan kredit yang dilakukan dalam pemberian kredit per-bankan di
Indonesia.
Penelitian lapangan dimaksudkan untuk mendukung data, dan
bukan untuk melakukan validasi data, yang merupakan masukan berpikir reflektif
sebagai sarana teori. Penelitian lapangan akan dilakukan melalui teknik
wawancara dan angket dengan para direksi yang merupakan pemutus dalam pemberian
kredit bank.
Di samping itu, penelitian juga dilakukan dengan cara
mela-kukan studi banding sebagai upaya untuk menggali pengalaman, penerapan,
pemikiran dan praktik dari sistem hukum
common law atau anglo saxon. Untuk melengkapinya, studi
banding juga dilakukan dalam hal
penerapan prinsip-prinsip yang telah diterapkan di luar Amerika, yaitu di
Jepang. Jepang merupakan bagian dari negara di Asia, yang telah mengembangkan
prinsip-prinsip hukum korporasi yang dimaksud dan telah menerapkannya dalam
industri perbankannya, khususnya dalam kredit macet.
Data yang diperoleh berupa bahan hukum primer, sekunder
dan tersier, dianalisis secara kualitatif normatif dalam pengertian disusun
secara sistematis dan lengkap. Kemudian, data yang terkumpul tersebut dikaji
dan dianalisis dalam bentuk deskripsi tanpa menggunakan rumus matematis, dengan
menggunakan kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini.
Selanjutnya,
analisis diungkapkan ke dalam konstruksi pemba-hasan yang logis, sistematis,
filosofis, dan praktis.
Data sekunder
diperoleh di beberapa lokasi, antara lain, di Perpustakaan Universitas
Padjajaran, Bandung, Universitas Indo-nesia, Depok, Jakarta, Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, dan Universitas Sumatra Utara, Medan. Penelitian lapangan
dengan menggunakan teknik wawancara dan angket yang dimaksudkan di atas di
lakukan di Jakarta, karena umumnya Jakarta merupakan lokasi kantor pusat bank
dan sebagai pusat kebijakan.
Untuk
perbandingan konsep dan penerapan BJR, studi banding dilakukan melalui
penelitian kepustakaan dengan sistem anglo
saxon /common law. Terutama mengenai materi
yang berkaitan dengan BJR lebih banyak diambil dari Delaware, Amerika, yang
menganut sistem hukum anglo saxon /common
law. Delaware khususnya dipilih karena memiliki sistem hukum korporasi yang
lebih maju. Sebagian besar dari 200 perusahaan terbesar di Amerika didirikan di
sana. Mengenai penerapan BJR dalam kasus hukum yang berkaitan dengan kredit
macet, studi banding dilakukan dengan Jepang. Negara ini telah menerapkan BJR
dalam mengadili kasus kredit macet setelah terjadinya krisis ekonomi, yaitu
setelah meletusnya gelembung ekonomi di sana menjelang akhir tahun 1980-an.
G. IDENTIFIKASI MASALAH DAN TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan
pemaparan permasalahan yang diutarakan di atas, masalah penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan UUPT memenuhi Prinsip Keputusan Bisnis atau BJR dalam
rangka melindungi direksi perusahaan?
2. Bagaimana keputusan bisnis diterapkan dalam praktik
pem-berian kredit di Indonesia sehingga dapat memenuhi seluruh Prinsip Keputusan Bisnis?
3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh dalam pemberian
kredit agar memenuhi Prinsip Keputusan Bisnis, sehingga dapat memperoleh
perlindungan hukum kepada direksi bank?
Sejalan dengan Identifikasi Masalah di
atas, penelitian ini berusaha untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu sebagai
berikut:
1. Untuk memastikan bagaimana UUPT
memenuhi Prinsip Kepu-tusan Bisnis atau BJR, dan dapat memberikan perlindungan
bagi direksi.
2. Untuk memastikan bagaimana praktik pemberian kredit di
Indonesia telah menerapkan dan memenuhi Prinsip Keputusan Bisnis yang berlaku.
3. Untuk menemukan faktor yang diperlukan dalam pengambilan
keputusan kredit untuk memenuhi Konsep Keputusan Bisnis, sehingga dapat
memperoleh perlindungan hukum bagi direksi bank.
q
1 Perkiraan Kwik Kian Gie, kredit macet di bank
BUMN mencapai 70%, atau senilai Rp343.7 triliun. Ditambah di bank swasta Rp100
triliun. Keseluruhannya Rp443.7 triliun. Kwik Kian Gie, Ekonomi Indonesia dalam Krisis dan Transisi Politik. 1999, hlm. 146. Berdasarkan data Michael Backman, dalam
rentang 1986-1987: Bapindo memiliki
kredit bermasalah tidak kurang dari 60%. Sementara BDNI, 76% dari portofolio
kredit bank ini diberikan kepada perusahaan grup sendiri, sehingga merupakan
pelanggaran BMPK yang sangat serius. Michael Backman, Asian Eclipse, John Wiley
& Sons (asia) Pte. Ltd., Singapore, 2001, hlm. 66.
[2][††] Djoko Retnadi, Obligasi Rekapitulasi Perbankan, Geneologi
Masalah dan Solusi, Masyarakat Profesional Madani, Jakarta, 2005, hlm. 96.
[3][‡‡] Deni Ahmad Daruri dan Djony
Edward, BPPN Garbage In Garbage Out,
Center for Banking Crisis, Jakarta, 2004, hlm. xxii.
[5][***] Masyhud Ali menyebutkan, tidak kurang dari delapan unsur
penyebab kredit macet: praktik pemberian kredit liberal (85%), mengandung
banyak pengecualian dalam laporan keuangan (79%), pemberian kredit yang
berlebihan (73%), pengi-katan agunan yang longgar (67%), pemberian kredit
semata-mata berdasarkan agunan (55%), pertumbuhan kredit yang tidak sejalan
dengan kebijakan di bidang manajemen, staf, sistem, dan pendanaan (52%),
pemberian kredit yang terpusat pada nasabah yang terbatas (37%), serta
praktik-praktik pemberian kredit yang tidak normal (23%). Masyhud Ali, Cermin
Retak Perbankan, Refleksi Perma-salahan & Alternatif Solusi, Elex Media Komputindo, Jakarta,
1999, hlm. 243-244.
6 Faisal Basri,
Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan
bagi Kebangkitan Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2002,
hlm. 199.
[7][‡‡‡] Malpraktik ini meliputi: mark up biaya proyek, kolusi, nepotisme,
korupsi, dan disebut-sebut sebagai penyebab kredit macet sebelum krisis
moneter. Mashyud Ali, op.cit., hlm.
12
[8][§§§] Leden Marpaung, Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana terhadap Perbankan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2005, hlm. 10.
[9][****] Zulkarnaen Sitompul, Problematika Perbankan,
Books Terace & Library, Bandung, 2006, hlm. 152.
[12][§§§§] Faktor eksternal ini mencakup
perubahan-perubahan yang kemudian terjadi
di lingkungan politik, hukum atau perundang-undangan dan ekonomi, serta
deregulasi sektor riil atau keuangan, dan terjadinya bencana alam. Veithzal
Rivai, Credit Management Handbook,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 479.
[13][*****] Ryan Kiryanto, “Kasus Kredit Macet
dan Prospek Bank Pelat Merah”, InfoBankNews.com, 30 Agustus 2005.
[14][†††††] Dwi A. Prianto
menekankan, bahwa yang perlu dilihat dalam hal kredit macet adalah prosesnya,
bukan hasil akhir kredit telah macet. Kalau hanya dilihat sebagai hasil akhir,
dapat saja kredit macet itu dianggap sebagai bentuk kejahatan, dan bahkan tidak
jarang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Frans Winarta, ”Kredit Macet
Bukan Korupsi”, diakses 11 Desember 2012
di:
http://www.riaupeople.com/589/frans-winarta-kredit-macet-bukan-korupsi
[15][‡‡‡‡‡] Menurut Munir Fuady
dalam Hukum Perusahaan, dalam Paradigma Hukum Bisnis, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002, tidak ada tanda-tanda dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas (UUPT lama–pen.) untuk memberlakukan business judgment rule. UUPT (lama–pen.) tidak menyebut dengan
jelas diberlakukannya prinsip fiduciary
duty, tetapi, secara taklangsung dan tidak secara penuh memberlakukan
asas-asasnya.
[16][§§§§§] Salah satu artikel
terkait adalah “Pemidanaan di balik Kredit Macet mengundang Pro dan Kontra”.
[17][******] Universitas yang dimaksud
adalah Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Trisakti.
Perlu dicatat bahwa program pascasarjana S3 di Trisakti baru menghasilkan
beberapa Doktor, jadi jumlah Disertasi yang dihasilkan masih sangat sedikit.
18 Di
Universitas Padjadjaran: Kajian Hukum
Atas Akta Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Melalui Media Elektronik dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik, oleh Denny Haspada, tahun 2010; Perlindungan Hukum Hak Kreditor Kongruen Sebagai Pemohon Kepailitan
terhadap Hak Istimewa Kreditor Pemegang Hak Jaminan Kebendaan Berdasarkan Asas
Keadilan dalam Hukum Kepailitan Indonesia, oleh Zulfahmi, tahun 2010; Perbuatan Melawan Hukum Bagi Organ Perseroan
pada Perusahaan Kelompok dalam Kepemilikan Silang atas Saham Ditinjau dari Tata
Kelola Perusahaan yang Baik Sebagai Upaya Pembangunan Perekonomian Indonesia, oleh
Ratna Januarita, tahun 2010; Kajian Atas
Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Dihubungkan
dengan Asas Kepastian Hukum Sebagai Upaya Pengembangan Sistem Peradilan
Indonesia, oleh Asep Iwan Iriawan, tahun 2010. Di Universitas Indonesia: Perlindungan Kepentingan Kreditor dan
Debitor dalam Hukum Kepalitan di Indonesia, oleh Siti Anisah, tahun 2008; Perlindungan Dana Nasabah Bank: Pemikiran
Tentang Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia, oleh Zulkarnaen
Sitompul, tahun 2002; Kepastian, Keadian,
dan Manfaat Undang-Undang Kepailitan Indonesia bagi Debitor dan Kreditor,
oleh Arhijata, tahun 2009. Di Universitas Gajah Mada: Peralihan Hak atas Saham Melalui Pemindahanbukuan untuk Meningkatkan
Efisiensi dan Keamanan Transaksi di Bursa Efek, oleh Nyoman Tjager, tahun
2003.
[19][‡‡‡‡‡‡] Adi Sulistiyono, Muhammad
Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai
Panglima, Mas-media Buana Pustaka,
Sidoarjo, 2009, hlm. 39.
[20][§§§§§§] Satya Arinanto, dan Ninuk
Triyanti (ed), Memahami Hukum, dari
Konstruksi sampai Implementasi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm.
232.
[21][*******] Darji Darmodiharjo, dan Shidarta,
Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm. 212.
[22][†††††††] Bahder
Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2011, hlm. 123.
[23][‡‡‡‡‡‡‡] Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hlm. 286.
[24][§§§§§§§] Jonker Sihombing, Peran dan Aspek Hukum dalam Pembangunan
Ekonomi, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm. 88-89.
[27][‡‡‡‡‡‡‡‡] Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm. 120.
[28][§§§§§§§§] Luthfi J. Kurniawan, dan
Mustafa Lutfi, Perihal Negara, Hukum
& Kebijakan Publik, Setara Press, Malang, 2011, hlm. 47.
[29][*********] Muhamad
Edwin, Filsafat Hukum, Refleksi Kritis
Terhadap Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 181-182.
[30][†††††††††] Yudi Latief, Negara Paripurna, Historisitas,
Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2011, hlm. 15.
[32][§§§§§§§§§] Pan Mohamad Faiz, “Penafsiran
Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 Dan Putusan Mahkamah
Konstitusi”,
PENAFSIRAN-KONSEP-PENGUASAAN-NEGARA.pdf> [04/2011].
[33][**********] Lili Rasjidi, dan I. B. Wiyasa
Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem,
Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 117-118.
[34][††††††††††] Lili Rasjidi, dan Ira Thania
Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar
Maju, Bandung, 2007, hlm. 60-61.
[35][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Garuda Wiko, “Pembangunan Sistem
Hukum Berkeadilan”, dalam: Satya Arinanto, dan Ninuk Triyanti (eds), Memahami Hukum dari Konstruksi Sampai
Implementasi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 12.
[36][§§§§§§§§§§] Bernard L. Tanya, (et.al), Teori Hukum, Strategi
Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta,
2010, hlm. 88.
[37][***********] Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2010,
hlm. 9.
[38][†††††††††††] O.C. Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum Jilid 2, Penerbit PT. Alumni, Bandung,
2007, hlm. 58.
[39][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Abdul Aziz Hakim, Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm. 50.
[40][§§§§§§§§§§§] Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Universitas Atmajaya,
Yogyakarta, 2011, hlm. 24.
[41][************] Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet
Nasabah, Penerbit PT. Alumni,
Bandung, 2009, hlm. 135.
[44][§§§§§§§§§§§§] Hari Purwadi,
“Reformasi Hukum nasional: Problem dan Prospeknya”, dalam: Satya Arinanto,
Ninuk Triyanti, (eds), Memahami Hukum
dari Konstruksi Sampai Implementasi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 62.
[45][*************] Hadi Soesatro (eds), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di
Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
2005, hlm. 47.
[47][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Adi Sulistiyono, dan
Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai
Panglima, Masmedia Buana Pustaka, Sidoarjo, 2009, hlm. 40-41.
[48][§§§§§§§§§§§§§] Bernhard Limbong, Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi,
Pustaka Margaretha, Jakarta, 2011, hlm. 30-31.
[50][††††††††††††††] Cooter, Robert, dan Ulen,
Thomas, Law and Economics,: Addison –
Wesley Educational Publishers Inc., Massachusets, 1997, hlm. 1.
[51][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Johnny Ibrahim, Pendekatan Ekonomi Terhadap Hukum, Putra
Media Nusantara, Surabaya, 2009, hlm. 68.
[53][***************] Cooter, Robert, dan Ulen,
Thomas, Law and Economics, Addison –
Wesley Edu-cational Publishers, Massachusets, 1997, hlm. 3.
[54][†††††††††††††††] Pranoto Iskandar dan Yudi Junadi, Memahami
Hukum di Indonesia, Sebuah Korelasi antara Politik, Filsafat dan Globalisasi,
IMR Press, Cianjur, 2011, hlm. 83.
[58][††††††††††††††††] Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia, Konstitusi
Press dan Citra Media, Jakarta dan Yogyakarta, 2006, hlm. xii.
[59][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Agus Budiarto, Kedudukan Hukum, Tanggung Jawab Pendiri
Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 8.
[60][§§§§§§§§§§§§§§§§] Levine, Ross, Norman Loayza, Thorsten Beck, Financial Intermediation and Growth, Causality and Causes, <www.worldbank.org/html/dec/publications/
work-papers/wps2000series/ wps2059.pdf>, hlm. 30.
[62][†††††††††††††††††] Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 Tentang Perbankan.
[64][§§§§§§§§§§§§§§§§§] Elgari, Mohamed Ali, “Credit
Risk in Islamic Banking and Finance”, Islamic
Eco-nomic Studies, Vol. 10, No. 2, March 2003.
[65][******************] Sunarsip, “Analisis atas
Deregulasi, Krisis, dan Restrukturisasi Perbankan di Indonesia”, Pendekatan
Teori Polizato dan William E. Alexander, Jurnal
Keuangan Publik, Vol. 1/No. 1, 2003.
[66][††††††††††††††††††] Kata ini digunakan antara lain
dalam: Block, Dennis J, (et.al), The Business Judgment Rule, Fiduciaries
Duties of Corporate Directors, Prentice Hall Law & Business, New
Jersey, 1989. Munir Fuady, Doktrin-Doktrin
Modern dalam Cor-porate Law, Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002. Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.
[67][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Hendra Setiawan Boen, Bianglala Business Judgment Rule,
Tatanusa, Jakarta, 2008, hlm. 17.
[68][§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Abdul R. Saliman, (et.al), Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2006, hlm. 15.
[69][*******************] ”Keputusan Pengadilan, Pendapat
Sarjana, dan Keputusan Organisasi Interna-sional”.
[Tidak
Bertanggal].
[70][†††††††††††††††††††] Damang, ”Prinsip-Prinsip Hukum”,
<http://www.negarahukum.com/hukum/prinsip
-prinsip-hukum.html> [06/12/2011].
[71][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Dion Thohiron, ”Hakikat Prinsip
Hukum”, <http://id.shvoong.com/law-and-poli-tics/2266488-hakekat-prinsip-hukum/> [24/02/2012].
[72][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Penjelasan oleh Isis Ikhwansyah
dalam pembahasan Seminar Hasil Penelitian pada tanggal 11 Maret 2013, di Unpad.
[73][********************] Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, dalam Perspektif
Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 129.
[74][††††††††††††††††††††] Tri Budiyono, Transplantasi Hukum, Harmonisasi dan Potensi
Benturan, Griya Me-dia, Salatiga, 2009, hlm. 258.
[78][†††††††††††††††††††††] R. Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum
Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Penerbit PT Alumni,
Bandung, 2004, hlm. 18.
[79][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Penerbit PT Alumni, Bandung, 1991, hlm. 128-129.
[81][**********************] H.P. Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan Baru
Untuk Pemba-talan Perjanjian, Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm. 47.
[83][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Nindyo Pramono, “Tanggung
Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank) Menurut UU No. 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas”, Buletin Hukum
Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 5 Nomor 3 (2007).
[85][***********************] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana
Prenada Media, Jakarta, 2009, hlm. 5
[87][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar
Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 11-12.
[88][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Jonker Sihombing, Peran dan Aspek Hukum dalam Pembangunan
Ekonomi, op. cit., hlm. 67.
[89][************************] Lili Rasjidi, dan Ira Thania
Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, op. cit., hlm. 56.
[90][††††††††††††††††††††††††] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah Pengantar,
Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2004, hlm. 40-41.
[93][*************************] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah Pengantar, op. cit.,
hlm. 59.
[94][†††††††††††††††††††††††††] Nomensen Simano, Hukum Administrasi Negara, Permata
Aksara, Jakarta, 2010, hlm. 55.
[95][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Greenhow, Annette, “The
Statutory Business Judgment Rule: Putting the Wind into Directors’s Sails”, Bond Law Review, Volume 11, Issue 1, Article 4, ePublication@bond,
1999, hlm. 4.
[97][**************************] Pengertian ini mengacu pada
ketentuan Pasal 8 UU Perbankan yang mengatur bahwa pemberian kredit harus
memiliki keyakinan yang dimaksud berdasarkan analisis yang mendalam. Namun,
perlu diperjelas ukuran-ukuran substantif yang dipakai secara universal dalam
perbankan di Indonesia. Kasmir menyebutkan bahwa prosedur pemberian kredit
adalah merupakan tahapan dalam pemberian kredit, dan dalam setiap tahapan
mencakup penilaian yang mendalam. Kasmir, Manajemen
Perbankan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 95.
[98][††††††††††††††††††††††††††] Bernard Nainggolan, Perlindungan Hukum Seimbang Debitor,
Kreditor dan Pihak-Pihak
Berkepentingan dalam Kepailitan, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2011, hlm. 26.
[99][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Dikutip dari Wikipedia Bahasa Indonesia,
<http://id.wikipedia.org/wiki/Pemegang_saham>.
[100][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Beauchamp, Tom L. dan Bowie, Norman
E., Ethical Theory and Business,
Prentice Hall, Inc, New Jersey, 2001.
[101][***************************] Merupakan terjemahan
dari stakeholders ke dalam Bahasa
Indonesia oleh Wiki-pedia Bahasa Indonesia.
[103][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Syamsudin, M., Operasionalisasi Penelitian Hukum,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 102.
[104][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Peter Mahmud Marzuki,
Penelitian Hukum, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2006, hlm. 52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar