1. Menganalisis
Secara Mendalam Sebelum Mengambil Keputusan
Pemberian
kredit merupakan kegiatan utama bank yang berkaitan dengan fungsi bank dan berada dalam lalu lintas bisnis
bank. Kegiatan
tersebut merupakan tot daden van beheeren
alias
tindakan kepengurusan bagi direksi. Hemat saya, dalam keadaan normal, pemberian
kredit tidak memerlukan persetujuan organ lain dari badan hukum, seperti
tindakan yang bersifat tot daden van
beschikken.
Menurut Veithzal Rivai dan Adria Permata Veithzal, ada
dua fungsi yang saling berkaitan dengan kredit, yaitu keuntungan dan keamanan.
Keuntungan diraih dari bunga yang harus dibayar oleh nasabah, sehingga kredit
harus disalurkan kepada usaha-usaha nasabah yang diyakini mampu dan bersedia
mengembalikan kredit yang telah diterimanya. Sedangkan keamanan merupakan
prestasi atau fasilitas yang diberikan yang harus benar-benar terjamin sehingga
tujuan ’keuntungan’ dapat tercapai tanpa hambatan yang berarti.[1][***]
Bank Indonesia melarang pemberian kredit tanpa surat
perjanjian tertulis dan untuk usaha yang diperhitungkan kurang sehat dan akan
membawa kerugian. Ketentuan itu sesuai SK Direksi BI No. 27/162/KEP/DIR dan
SEBI No. 27 UPB 31 Maret 1995, pada lampiran PPKPB angka 450. Larangan juga
berlaku untuk kredit yang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau BMPK,
sesuai SK Direksi BI No. 31/177/KEP/DIR 31 Desember 1998. Selain itu, Bank Indonesia melarang
pemberian kredit untuk tujuan spekulatif, tanpa informasi keuangan yang cukup,
atau yang memerlukan keahlian yang khusus tetapi tidak dimiliki oleh bank dan
kepada kreditor bermasalah atau macet, sesuai lampiran SK Direksi BI No. 27/16/KEP/DIR
dan SEBI No. 27/17/UPPB 31 Maret 1995 dalam PPKPB angka 4.[2][†††]
Proses pemberian kredit harus mengacu kepada UU Perbankan, terutama Pasal 2 dan Pasal 8
UU Perbankan. Setiap pemberian kredit harus memenuhi
ketentuan perbankan dan sesuai dengan asas perkreditan yang sehat.[3][‡‡‡] Untuk itu,
bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan
(Pasal 8 Ayat 2 UU Perbankan); berkeyakinan bahwa
setiap kredit yang diberikan dapat dibayar kembali oleh para debitor (Pasal 8
Ayat 1 UU Perbankan). Ketentuan ini berlaku untuk seluruh bank umum
yang beroperasi di Indonesia, apapun jenis kepemilikannya.
Try Widiyono berpendapat, bahwa keyakinan adalah
kesim-pulan nurani yang mendalam. Keyakinan merupakan interpretasi dan
konklusi utuh melalui proses analisis fakta lahiriah dan olah data.[4][§§§] Try Widiyono
mengatakan, keyakinan tanpa dukungan fakta dan data adalah kecerobohan.[5][****]
Analisis kredit merupakan inti dari proses pemberian
kredit sekaligus penyeleksian. Hal itu sebagai salah satu cara
terpenting untuk mengatasi masalah informasi yang
tidak seimbang (asymmetric
information) dan menghindari
pilihan yang buruk (adverse
selection). Analisis
kredit dilakukan oleh seorang analis kredit untuk pengembilan keputusan
pemberian pinjaman yang akan dilakukan oleh pemutus kredit.[6][††††]
Hal yang mendasar dalam analisis kredit adalah meneliti
prospek usaha dan kemampuan keuangan calon debitor di masa depan. Analisis ini
memerlukan penelitian terhadap sifat
usaha atau bisnis calon debitor dalam konteks industri bahwa dia berusaha; dan
yang kedua, menganalisis kemampuan arus kas yang dihasilkan oleh usaha atau
bisnisnya itu dari waktu ke waktu,
atau umumnya disebut sebagai analisis keuangan.[7][‡‡‡‡]
Kreditor selalu ingin agar pinjaman yang diberikan
dibayar oleh debitor tepat waktu, tanpa perlu proses hukum apapun untuk membuat
debitor memenuhi kewajibannya. Keadaan yang ideal adalah apabila debitor
mengetahui bahwa dia dapat mengatasi risiko bisnis yang dihadapi, sehingga
mampu membayar utangnya, serta mau melakukan pembayaran tersebut. Keyakinan
akan kemampuan dan kemauan tersebut seyogianya bersifat endogen dalam diri
debitor. Tugas kreditor dalam kaitan ini adalah untuk memastikan adanya unsur endogen
ini.
Menurut Deborah K. Dilley, bankir memiliki beban etika
yang tidak kecil, karena masa depan masyarakat pemilik dana, masa pensiun,
pendidikan anak-anak mereka, dan kualitas hidup mereka bergantung kepada
tindakan para bankir tersebut dalam hal melakukan analisis kredit.[8][§§§§] Seyogianya,
bank memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan mereka dengan melakukan
peker-jaan yang diperlukan secara hati-hati atau prudent dan ber-tanggung jawab. Untuk keperluan itu, para bankir
perlu memahami aturan “canons of lending ”:[9][*****] di dalamnya
tercakup penerapan 5C. Di sini, unsur Character
merupakan pertimbangan pertama, dan pertimbangan terhadap C dari 5C yang lain
dapat dipengaruhi unsur karakter itu.[10][†††††]
Untuk menganalisis sebuah kredit, kreditor memerlukan
banyak informasi,[11][‡‡‡‡‡] berkaitan
dengan keuangan maupun non-keuangan, yang diperoleh dari debitor sendiri maupun
dari berbagai pihak lain. Untuk memperoleh informasi yang diperlukan, kreditor
perlu melakukan sebuah riset mengenai calon debitor.[12][§§§§§] Riset ini akan mudah dilakukan, jika baik
debitor maupun kreditor, memiliki pengetahuan dan jaringan informasi dapat
diperoleh, sehingga verifikasi informasi dapat dilakukan.
Pemberian pinjaman yang baik dan ideal adalah apabila
pinjaman itu dapat membuat seseorang mengelola usahanya menjadi lebih besar. Di
lain pihak, pengambilan pinjaman atau utang akan menambah risiko usaha bagi
debitor dan risiko kredit bagi kreditor.[13][******]
Menurut
Dimitris Chorafas, pinjaman yang berlebihan (over-gearing) menunjukkan bahwa orang tersebut
melakukan praktik etika yang meragukan.[14][††††††]
Utang yang berlebihan untuk industri tertentu
membuat usaha sangat rawan terhadap
perubahan lingkungan usaha sekaligus menjadi penyebab utama kebangkrutan, wanprestasi
atau default.[15][‡‡‡‡‡‡] Karena itu,
tugas bank sebagai calon kreditor adalah melakukan analisis yang cermat untuk
menghindari kondisi seperti itu.
Tujuan lain dari analisis kredit adalah memperkirakan
besar-kecilnya risiko kredit yang dihadapi, berdasarkan perkiraan kemampuan dan
tendensi karakter debitor. Menurut Dimitris Chorafas, risiko kredit merupakan
kemungkinan pihak lain dalam sebuah transaksi, akan gagal memenuhi kewajibannya
sesuai kondisi dan syarat-syarat kontrak atau perjanjian yang telah disepakati,
karena masalah-masalah seperti kebangkrutan, keadaan yang tidak likuid, dan
alasan-alasan lainnya.[16][§§§§§§]
Gerhard Schroeck menekankan pada keadaan wanprestasi di pihak debitor adalah
karena perubahan kualitas kredit yang dapat menimbulkan kerugian ekonomis bagi
kreditor.[17][*******]
Joetta Colquitt menyebutkan bahwa risiko kredit bersumber
dari masalah keuangan, bisnis, industri, dan manajemen.[18][†††††††]
Menurut Erik Banks, risiko kredit tidak saja bersumber dari ketak-mampuan
tetapi juga ketakmauan debitor untuk memenuhi kewajiban keuangan kepada
kreditor.[19][‡‡‡‡‡‡‡]
Ketakmauan ini merupa-kan salah satu bentuk moral
hazard yang dihadapi bank.
Dalam mengukur risiko kredit tidak lepas dari persepsi, intuisi,
dan pertimbangan individu, dan karenanya tidak selalu dapat diukur secara
matematis. Informasi yang diperlukan tidak semua-nya dapat diperoleh dan tidak
selalu berdasarkan informasi yang bersifat faktual, terkadang hanya bersifat
perkiraan, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Namun, sebagian
besar dari perkiraaan terhadap masa depan harus diupayakan agar meru-pakan
ekstrapolasi dari analisis yang menggunakan lebih banyak data kuantitatif yang
akurat dan mutakhir, serta dikombinasikan dengan informasi yang bersifat
kualitatif.
Sebagai bagian yang terpenting dari 5C, yaitu character. Karakter, sebagai C yang pertama ini, mengukur kemauan debitor
untuk membayar kewajibannya di masa depan jauh lebih sulit. Usaha ini lebih
banyak menggunakan persepsi dan intuisi yang merupakan penalaran dari tingkah
laku yang berkaitan dengan reputasi debitor, ketika mempertimbangkan pemberian
kredit. Umumnya, pihak kreditor cenderung melihat catatan masa lam-pau calon
debitor dalam hal pembayaran terhadap kewajiban keuangannya, sebagai dasar
untuk menentukan karakter atau sikap terhadap kewajibannya di masa depan.
Untuk memperkecil risiko kredit, Colquitt mengatakan,
bahwa risiko itu perlu dikelola dengan menggunakan pendekatan bottom-up semenjak awal dari sebuah
transaksi baru.[20][§§§§§§§] Untuk itu,
pihak yang memproses kredit atau para spesialis yang membidangi kredit perlu
memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam proses seleksi kredit ex-ante dan perlu juga memiliki
pengalaman dalam memonitoring perkembangan kualitas kredit ex-post, yaitu setelah kredit disetujui hingga dilunasi.
UU Perbankan menekankan bahwa bank harus memerhatikan
jaminan pemberian kredit. Keyakinan bank atas iktikad dan ke-mampuan serta
kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya. Keyakinan ini merupakan
jaminan utama bagi bank.[21][********] Bank tidak
wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan objek
yang dibiayai, atau disebut sebagai agunan tambahan. Tampaknya, hal ini
disebabkan karena, secara umum, masalah jaminan telah tercakup dalam Pasal 1131
KUH Perdata.
Ketentuan tersebut merupakan jawaban terhadap kritik
ma-syarakat sebelum Perubahan UU Perbankan Tahun 1998. Ketika itu, masyarakat
berpendapat bahwa hanya orang yang memiliki harta yang dapat dijadikan
agunanlah yang dapat menikmati kredit bank, sehingga sulit bagi masyarakat
untuk memperolehnya. Kenyataan yang ada menujukkan bahwa agunan memang dapat
berfungsi sebagai sumber pelunasan utang debitor, dan men-dorong debitor
benar-benar melaksanakan usaha yang dibiayai oleh kredit yang diberikan
kreditor, serta mendorong debitor untuk memenuhi janjinya untuk membayar
kembali utangnya sesuai perjanjian.[22][††††††††] Namun, agunan
bukan faktor yang menentukan dalam pembayaran kembali sebuah pinjaman, dan
bukan peng-ganti unsur karakter dalam pemberian kredit.[23][‡‡‡‡‡‡‡‡] Agunan berada
pada prioritas secara komparatif lebih rendah kedudukannya dalam menentukan
kelayakan sebuah kredit.[24][§§§§§§§§] Penentuan
masalah dan kecukupan agunan bersifat
judgemental dan ditentukan oleh keyakinan kreditor terhadap kelayakan
kredit (borrower’s creditworthiness)
yang dapat dibentuk atas dasar penilaian 4C yang lain selain Collateral.
Substansi utama dari proses persetujuan kredit yang
melibatkan banyak pihak dalam struktur organisasi perkreditan adalah untuk
meyakinkan bank sebagai sebuah institusi, bahwa kredit yang akan disetujuinya
itu cukup layak untuk diberikan. Artinya, debitor diyakini mampu membayar bunga
serta cicilan pokoknya kembali, sehingga kredit tersebut dapat diperkirakan dan
tidak akan mengalami kemacetan. Jika pun kemudian macet, bank harus meyakini
diri bahwa jaminan tambahan atau agunan yang dimiliki dapat membantu pelunasan
kredit yang diberikan.
Keputusan kredit tidak saja mengandung unsur moral yang paling
besar, tetapi sangat penting bagi kualitas portofolio pinjaman bank, juga bagi
kelanjutan atau kelanggengan usaha bank. Keputusan kredit sangat bergantung
kepada individu pengambil
keputusan. Dari segi tugas, keputusan kredit me-rupakan pilihan yang diambil
dalam memastikan bahwa risiko kredit dapat diterima atau tidak, sekaligus
menyelaraskan keseimbangan antara risiko dan perolehan laba (risk and
return) dari sebuah
transaksi perkreditan. Secara teoretis, semakin besar risiko bisnis, dalam hal
ini risiko kredit sejauh dapat diterima oleh bank, semakin besar perolehan laba
yang diperlukan untuk menerima dan memikul risiko tersebut.
Agar objektif dan rasional, pemutus kredit harus pula
memer-hatikan atau mendiagnosa suasana atau lingkungan, sehingga tidak
terpengaruh oleh hal-hal yang dapat mengurangi objektivitas pengambilan
keputusan. Perkiraan di masa depan, yang mengan-dung ketakpastian (uncertainty) seyogianya merupakan ekstra-polasi konklusi dari informasi,
data, dan fakta yang benar dan relevan, serta telah dipelajari. Hal ini harus
diperhatikan secara saksama, tanpa dipengaruhi oleh suasana lingkungan.
Data empiris menunjukkan, krisis perbankan dan atau
kegagalan bank bermula dari pengambilan keputusan kredit yang terpengaruh oleh faktor-faktor
luar pengambilan keputusan (eksogen). Faktor-faktor tersebut berupa pengaruh
psikologis atau emosi, seperti sikap
optimistik yang berlebih (overoptismistic) dari pemutus kredit; dan sikap
lainnya, asymmetric expectation, reflexivity, gambling for resurrection
hyphothesis, irrational exuberance, herd behaviour, the sixth C, dan moral hazard.
Keputusan kredit harus diupayakan bersifat terbukti
dengan sendirinya (self evident), tertulis dengan baik, berdiri
sendiri (on a stand alone basis). Selain itu, keputusan hanya
mengacu kepada pertimbangan komersial, tanpa dipengaruhi oleh apapun, kecuali
oleh informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan kredit. Keputusan kredit harus dibuat secara
independen untuk setiap usulan kredit, untuk setiap calon debitor yang berbeda,
atau untuk debitor yang sama tetapi
untuk proyek atau jaminan yang berbeda, atau untuk risiko kredit yang berbeda.
Keputusan kredit juga merupakan keputusan manajemen yang
tidak saja meliputi aplikasi prosedur operasi standar, tetapi mencakup
informasi, kepercayaan, kebijaksanaan, dan nilai yang dianut. Kombinasi semua
hal itu semata-mata demi menghasil- kan keputusan berdasarkan
informasi yang cukup (informed
judgment).[25][*********] Namun,
keputusan kredit mengandung pertim-bangan yang juga bersifat subjektif pada
kadar tertentu, karena mengandung intuisi, pertimbangan, serta
keyakinan individualistik para pemutus kredit.
Dalam konteks perbankan di Indonesia, persetujuan
pem-berian kredit harus melalui proses pembahasan, dan disetujui
oleh komite kredit (KK). Seluruh anggota KK ditunjuk oleh direksi berdasarkan
surat kuasa, dengan demikian, bertanggung jawab kepada direksi. Secara
umum, KK bertugas sebagai penjaga kualitas kredit.[26][†††††††††] Ketua KK
umumnya bertindak sebagai pemutus kredit. Ia berwenang
menolak atau menyetujui permohonan kredit yang berisi analisis kredit. Tingkat
kewenangan untuk memutus ditentukan oleh direksi. Pemutus kredit yang memiliki kewenangan
yang lebih tinggi berada pada tingkat direksi, dan tertinggi berada
pada presiden direktur, beserta atau tanpa persetujuan komisaris.
Di atas direksi, kewenangan pemutus kredit berada pada
tingkat komisaris, tetapi biasanya hanya untuk kredit-kredit khusus, antara
lain kredit yang dikategorikan kolektibilitas ”diragukan”, ”macet”, atau
bermasalah. Karena komisaris tidak terlibat dalam kegiatan harian yang bersifat
teknis, keterlibatan komisaris dalam mengkaji dan memberikan persetujuan kredit
dengan klasifikasi ”bermasalah” itu karena memerlukan cadangan modal untuk piutang
ragu-ragu yang lebih besar, sehingga memerlukan perhatian wakil dari pemegang
saham. Risiko yang timbul dapat mengakibatkan bank harus melakukan penghapus-
bukuan jumlah kredit terkait sebagian atau seluruhnya. Dan masalah ini
jelas akan menjadi perhatian komisaris dan RUPS.
Pemutus kredit merupakan bagian dari ketentuan Kebijakan
Perkreditan Bank (KPB) yang ditetapkan Bank Indonesia.[27][‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Pemutus
kredit, yang merupakan otoritas yang paling tinggi dalam suatu komite kredit,
adalah berdasarkan (KPB) yang digariskan oleh Bank Indonesia. Kewenangan ini
diberikan oleh direksi, sebagai pelaksanaan tindakan kepengurusan (tot daden van beheren). Sebagai bagian dari fiduciary
duty, khususnya duty of care, direksi
berkewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya
perseroan dengan baik,[28][§§§§§§§§§] sehingga
pemberian kewe-nangan untuk memberikan persetujuan kredit ini harus pula
diawasi oleh direksi. Pada akhirnya, tanggung jawab hukum terhadap pemutus kredit ada di pundak direksi
berdasarkan UU PT, dan sejalan dengan ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata.
Direksi bertanggung jawab terhadap perseroan dan mengabdi
kepada kepentingan perseoan, dan pemutus kredit bertanggung jawab kepada
direksi. Untuk itu, pemutus kredit harus mengambil keputusan secara independen
dan mematuhi ketentuan per-kreditan internal bank, dan ketentuan perundangan
yang berlaku. Mengambil keputusan kredit secara independen berarti pemutus
kredit tidak dapat dipengaruhi oleh pihak yang berkepentingan dengan pemohon
kredit, bahkan pemilik bank.
Pemutus kredit merupakan tahap terakhir dari sebuah
proses pemberian kredit yang cukup panjang. Di situ keputusan diberikan,
disetujui, atau ditolak. Dari segi moral, pemutus kredit memiliki tanggung
jawab yang paling besar. Sebagai penanggung jawab terakhir terhadap kualitas
kredit yang akan diberikan, pemutus kredit harus memastikan bahwa seluruh
ketentuan yang berlaku dalam pemberian kredit telah dipenuhi. Dengan
pertimbangan profesionalnya, persetujuan kredit diberikan atas keyakinannya
bahwa kredit akan dapat dibayar kembali oleh debitor. Dengan demikian, pemutus
kredit merupakan ujung tombak dari pene-rapan Pasal 8 UU Perbankan.
[2][†††] Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Temprint, Jakarta, 2003,
hlm. 81-82.
[3][‡‡‡] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm.
255.
[4][§§§] Try Widiyono, Agunan Kredit dalam Financial Engineering, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2009, hlm. 3.
[7][‡‡‡‡] Roger H. Hale, Credit Analysis, A Complete Guide, John
Wiley & Sons, New York, 1983, hlm. 1.
[8][§§§§] Deborah K. Dilley, Essentials of Banking, JohnWiley
& Sons, Inc., New Jersey, 2008, hlm. 168.
[9][*****] Chorafas
mengatakan, prinsip ini merupakan basic rules
yang sudah berlaku berabad-abad yang perlu diperhatikan
dalam megelola risiko. Dalam
bahasa Chorafas, prinsip yang dimaksud adalah: “determine the purpose of credit, analyse quality and creditworthiness,
research the underlying economics, evaluate whether risk and reward are
acceptable, price the credit being taken, apply the appropriate covenants,
collateral and guarantee; and keep on re-evaluating cerditwortiness until the
contract is at an end”. Pendapat
Chorafas ini kurang lebih sama seperti yang diutarakan oleh Joetta Colquitt.
Dimitris N. Chorafas, Managing Credit
Risk, Analysis, Rating and Pricing, The Probability of Default, Euromoney
Books, London, 2000, hlm. 70.
[10][†††††] Pendapat Jopie Yusuf sama seperti pendapat Richard G. Brody dan Beaulieu. Jopie Jusuf, Analisis Kredit Untuk Account Officer,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm. 278.
[11][‡‡‡‡‡] Wenying Jiangli menyatakan,
informasi mengenai debitor sangat berguna karena akan mengurangi masalah adverse selection, dan ini telah
dibuktikan oleh sejumlah penelitian, yaitu Bodenhorn (2003), Boot dan Thakor
(1994), Cole (1998), Diamond (1991), Harhoff dan Korting (1998), dan Peterson
dan Rajan (1995). Wenying Jiangli, (et.al), “Relationship Lending, Accounting
Disclosure, and Credit Availability During Crisis”,
[September 2004]
[12][§§§§§] Jan Mattson menyebutkan, salah
satu faktor utama yang menyebabkan krisis perbankan di Swedia tahun 1990-an
karena bank umumnya tidak melakukan riset semacam ini mengenai calon
debitornya, dan pertimbangan kredit lebih banyak ditentukan berdasarkan
“personalisasi” calon debitor serta soft
information yang bersifat verbal. Jan Mattson, “How Bank Loan Officers
Evaluate Persons Applying for Credit”, The
International Journal of Bank Marketing, Bradford Vol. 11, <http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1120806&sid=1&Fmt=3&clientld=
43309&RQT= 309&VName=PQD> [1993].
[13][******] Semakin tinggi tingkat leverage
atau semakin rendah tingkat modal dari suatu entitas, semakin sedikit adverse shock yang diperlukan bagi
entitas itu untuk mengalami economic
insolvency; ini berlaku baik bagi bank maupun non-bank. George G. Kaufman, loc. cit.
[14][††††††] Dari sisi lain, menurut
Michael Jensen (1989), keadaan
overgearing tidak akan berakibat pada kebangkrutan, karena kreditor akan
berada dalam posisi yang lebih baik jika berusaha untuk melakukan renegosiasi.
Namun, pendapat ini dibantah oleh Nakamura, dengan alasan bahwa pada perusahaan
dengan leverage yang berlebihan,
umumnya mereka memiliki margin yang sangat tipis dan tidak memiliki kolateral
tambahan sebagai dasar untuk bernegosiasi. Leonard I. Nakamura, “Lessons on
Lending and Borrowing in Hard Times”, Business
Review- Federal Reserve Bank of Philadelphia, [July/August, 1991], hlm. 19.
[15][‡‡‡‡‡‡] Blaise Ganguin
menyebutkan beberapa alasan usaha mengalami default,
di antaranya karena terlalu banyak utang, yang lain karena model bisnis yang
salah atau bisnis yang sulit, dan beberapa yang lain disebabkan oleh kombinasi
dari kedua alasan tersebut; hanya sedikit di antaranya karena adanya internal atau external shocks. Blaise Ganguin dan
John Bilardello, Fundamentals of
Corporate Credit Analysis, The McGraw-Hill Companies, Inc., New York,
2005, hlm. 268.
[19][‡‡‡‡‡‡‡] Erik Banks dan Richard Dunn, Practical Risk Management, An Executive
Guide to Avoid Surprises and Losses, John Wiley & Sons Ltd.,
Chichester, 2002, hlm. 19.
[24][§§§§§§§§] AD. Jankowicz dan RD. Hisrich,
“Intuition in Small Business Lending Decision”, Journal of Small Business Management 25, 3, [July 1987].
[26][†††††††††] Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Konsep dan
Kasus, Damar Mulia Pustaka, Jakarta, 2007, hlm. 81.
[27][‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Komite kredit memiliki dua peringkat: pertama,
komite kredit tingkat manajer; kedua,
tingkat dewan direksi. Keduanya lazim dibedakan berdasarkan jumlah kredit yang
ditangani (penulis). Tugas komite kredit, antara lain, adalah mem-pelajari
usulan kredit yang diajukan oleh tim staf bagian kredit, serta mengajukan
pendapat dan saran tentang usulan kredit baru, perpanjangan kredit lama atau tambahan pada kredit yang sudah ada
kepada pemutus kredit atau kepada direksi atau yang lebih tinggi, meneliti
seberapa jauh kredit yang diberikan telah memenuhi berbagai ketentuan yang
digariskan dalam kebijaksanaan perkreditan bank dan peraturan pemerintah, dan
memantau seberapa jauh para debitor telah mendapat layanan yang memuaskan dari
para staf yang bersangkutan. Siswanto Sutojo, The Management of Commercial Bank, Damar
Mulia, Jakarta, 2007, hlm. 81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar