Jumat, 29 Juli 2016

PRINSIP KEPUTUSAN BISNIS: Pemberian Kredit Perbankan Dalam Hubungan Perlindungan Hukum (Bab 2 - Bagian 2)



1.   Menganalisis Secara Mendalam Sebelum Mengambil Keputusan
Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank yang berkaitan dengan fungsi bank dan berada dalam lalu lintas bisnis bank. Kegiatan tersebut merupakan tot daden van beheeren alias tindakan kepengurusan bagi direksi. Hemat saya, dalam keadaan normal, pemberian kredit tidak memerlukan persetujuan organ lain dari badan hukum, seperti tindakan yang bersifat tot daden van beschikken.
Menurut Veithzal Rivai dan Adria Permata Veithzal, ada dua fungsi yang saling berkaitan dengan kredit, yaitu keuntungan dan keamanan. Keuntungan diraih dari bunga yang harus dibayar oleh nasabah, sehingga kredit harus disalurkan kepada usaha-usaha nasabah yang diyakini mampu dan bersedia mengembalikan kredit yang telah diterimanya. Sedangkan keamanan merupakan prestasi atau fasilitas yang diberikan yang harus benar-benar terjamin sehingga tujuan ’keuntungan’ dapat tercapai tanpa hambatan yang berarti.[1][***]
Bank Indonesia melarang pemberian kredit tanpa surat perjanjian tertulis dan untuk usaha yang diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian. Ketentuan itu sesuai SK Direksi BI No. 27/162/KEP/DIR dan SEBI No. 27 UPB 31 Maret 1995, pada lampiran PPKPB angka 450. Larangan juga berlaku untuk kredit yang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau BMPK, sesuai SK Direksi BI No. 31/177/KEP/DIR 31 Desember 1998. Selain itu, Bank Indonesia melarang pemberian kredit untuk tujuan spekulatif, tanpa informasi keuangan yang cukup, atau yang memerlukan keahlian yang khusus tetapi tidak dimiliki oleh bank dan kepada kreditor bermasalah atau macet, sesuai lampiran SK Direksi BI No. 27/16/KEP/DIR dan SEBI No. 27/17/UPPB 31 Maret 1995 dalam PPKPB angka 4.[2][†††]
Proses pemberian kredit harus mengacu kepada UU Perbankan, terutama Pasal 2 dan Pasal 8 UU Perbankan. Setiap pemberian kredit harus memenuhi ketentuan perbankan dan sesuai dengan asas perkreditan yang sehat.[3][‡‡‡] Untuk itu, bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan (Pasal 8 Ayat 2 UU Perbankan); berkeyakinan bahwa setiap kredit yang diberikan dapat dibayar kembali oleh para debitor (Pasal 8 Ayat 1 UU Perbankan). Ketentuan ini berlaku untuk seluruh bank umum yang beroperasi di Indonesia, apapun jenis kepemilikannya.
Try Widiyono berpendapat, bahwa keyakinan adalah kesim-pulan nurani yang mendalam. Keyakinan merupakan interpretasi dan konklusi utuh melalui proses analisis fakta lahiriah dan olah data.[4][§§§] Try Widiyono mengatakan, keyakinan tanpa dukungan fakta dan data adalah kecerobohan.[5][****]
Analisis kredit merupakan inti dari proses pemberian kredit sekaligus penyeleksian. Hal itu sebagai salah satu cara terpenting untuk mengatasi masalah informasi yang tidak seimbang (asymmetric information) dan menghindari pilihan yang buruk (adverse selection). Analisis kredit dilakukan oleh seorang analis kredit untuk pengembilan keputusan pemberian pinjaman yang akan dilakukan oleh pemutus kredit.[6][††††]
Hal yang mendasar dalam analisis kredit adalah meneliti prospek usaha dan kemampuan keuangan calon debitor di masa depan. Analisis ini memerlukan  penelitian terhadap sifat usaha atau bisnis calon debitor dalam konteks industri bahwa dia berusaha; dan yang kedua, menganalisis kemampuan arus kas yang dihasilkan oleh usaha atau bisnisnya itu dari waktu ke waktu, atau umumnya disebut sebagai analisis keuangan.[7][‡‡‡‡]
Kreditor selalu ingin agar pinjaman yang diberikan dibayar oleh debitor tepat waktu, tanpa perlu proses hukum apapun untuk membuat debitor memenuhi kewajibannya. Keadaan yang ideal adalah apabila debitor mengetahui bahwa dia dapat mengatasi risiko bisnis yang dihadapi, sehingga mampu membayar utangnya, serta mau melakukan pembayaran tersebut. Keyakinan akan kemampuan dan kemauan tersebut seyogianya bersifat endogen dalam diri debitor. Tugas kreditor dalam kaitan ini adalah untuk memastikan adanya unsur endogen ini.
Menurut Deborah K. Dilley, bankir memiliki beban etika yang tidak kecil, karena masa depan masyarakat pemilik dana, masa pensiun, pendidikan anak-anak mereka, dan kualitas hidup mereka bergantung kepada tindakan para bankir tersebut dalam hal melakukan analisis kredit.[8][§§§§] Seyogianya, bank memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan mereka dengan melakukan peker-jaan yang diperlukan secara hati-hati atau prudent dan ber-tanggung jawab. Untuk keperluan itu, para bankir perlu memahami aturan “canons of lending ”:[9][*****] di dalamnya tercakup penerapan 5C. Di sini, unsur Character merupakan pertimbangan pertama, dan pertimbangan terhadap C dari 5C yang lain dapat dipengaruhi unsur karakter itu.[10][†††††]
Untuk menganalisis sebuah kredit, kreditor memerlukan banyak informasi,[11][‡‡‡‡‡] berkaitan dengan keuangan maupun non-keuangan, yang diperoleh dari debitor sendiri maupun dari berbagai pihak lain. Untuk memperoleh informasi yang diperlukan, kreditor perlu melakukan sebuah riset mengenai calon debitor.[12][§§§§§]  Riset ini akan mudah dilakukan, jika baik debitor maupun kreditor, memiliki pengetahuan dan jaringan informasi dapat diperoleh, sehingga verifikasi informasi dapat dilakukan.
Pemberian pinjaman yang baik dan ideal adalah apabila pinjaman itu dapat membuat seseorang mengelola usahanya menjadi lebih besar. Di lain pihak, pengambilan pinjaman atau utang akan menambah risiko usaha bagi debitor dan risiko kredit bagi kreditor.[13][******]
Menurut Dimitris Chorafas, pinjaman yang berlebihan (over-gearing) menunjukkan bahwa orang tersebut melakukan praktik etika yang meragukan.[14][††††††]
Utang yang berlebihan untuk industri tertentu membuat   usaha sangat rawan terhadap perubahan lingkungan usaha sekaligus menjadi penyebab utama kebangkrutan, wanprestasi  atau default.[15][‡‡‡‡‡‡] Karena itu, tugas bank sebagai calon kreditor adalah melakukan analisis yang cermat untuk menghindari kondisi   seperti itu.
Tujuan lain dari analisis kredit adalah memperkirakan besar-kecilnya risiko kredit yang dihadapi, berdasarkan perkiraan kemampuan dan tendensi karakter debitor. Menurut Dimitris Chorafas, risiko kredit merupakan kemungkinan pihak lain dalam sebuah transaksi, akan gagal memenuhi kewajibannya sesuai kondisi dan syarat-syarat kontrak atau perjanjian yang telah disepakati, karena masalah-masalah seperti kebangkrutan, keadaan yang tidak likuid, dan alasan-alasan lainnya.[16][§§§§§§] Gerhard Schroeck menekankan pada keadaan wanprestasi di pihak debitor adalah karena perubahan kualitas kredit yang dapat menimbulkan kerugian ekonomis bagi kreditor.[17][*******]
Joetta Colquitt menyebutkan bahwa risiko kredit bersumber dari masalah keuangan, bisnis, industri, dan manajemen.[18][†††††††] Menurut Erik Banks, risiko kredit tidak saja bersumber dari ketak-mampuan tetapi juga ketakmauan debitor untuk memenuhi kewajiban keuangan kepada kreditor.[19][‡‡‡‡‡‡‡] Ketakmauan ini merupa-kan salah satu bentuk moral hazard yang dihadapi bank.
Dalam mengukur risiko kredit tidak lepas dari persepsi, intuisi, dan pertimbangan individu, dan karenanya tidak selalu dapat diukur secara matematis. Informasi yang diperlukan tidak semua-nya dapat diperoleh dan tidak selalu berdasarkan informasi yang bersifat faktual, terkadang hanya bersifat perkiraan, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Namun, sebagian besar dari perkiraaan terhadap masa depan harus diupayakan agar meru-pakan ekstrapolasi dari analisis yang menggunakan lebih banyak data kuantitatif yang akurat dan mutakhir, serta dikombinasikan dengan informasi yang bersifat kualitatif.
Sebagai bagian yang terpenting dari 5C, yaitu character. Karakter, sebagai C yang pertama ini, mengukur kemauan debitor untuk membayar kewajibannya di masa depan jauh lebih sulit. Usaha ini lebih banyak menggunakan persepsi dan intuisi yang merupakan penalaran dari tingkah laku yang berkaitan dengan reputasi debitor, ketika mempertimbangkan pemberian kredit. Umumnya, pihak kreditor cenderung melihat catatan masa lam-pau calon debitor dalam hal pembayaran terhadap kewajiban keuangannya, sebagai dasar untuk menentukan karakter atau sikap terhadap kewajibannya di masa depan.
Untuk memperkecil risiko kredit, Colquitt mengatakan, bahwa risiko itu perlu dikelola dengan menggunakan pendekatan bottom-up semenjak awal dari sebuah transaksi baru.[20][§§§§§§§] Untuk itu, pihak yang memproses kredit atau para spesialis yang membidangi kredit perlu memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam proses seleksi kredit ex-ante dan perlu juga memiliki pengalaman dalam memonitoring perkembangan kualitas kredit ex-post, yaitu setelah kredit disetujui hingga dilunasi.
UU Perbankan menekankan bahwa bank harus memerhatikan jaminan pemberian kredit. Keyakinan bank atas iktikad dan ke-mampuan serta kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya. Keyakinan ini merupakan jaminan utama bagi bank.[21][********] Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan objek yang dibiayai, atau disebut sebagai agunan tambahan. Tampaknya, hal ini disebabkan karena, secara umum, masalah jaminan telah tercakup dalam Pasal 1131 KUH Perdata.
Ketentuan tersebut merupakan jawaban terhadap kritik ma-syarakat sebelum Perubahan UU Perbankan Tahun 1998. Ketika itu, masyarakat berpendapat bahwa hanya orang yang memiliki harta yang dapat dijadikan agunanlah yang dapat menikmati kredit bank, sehingga sulit bagi masyarakat untuk memperolehnya. Kenyataan yang ada menujukkan bahwa agunan memang dapat berfungsi sebagai sumber pelunasan utang debitor, dan men-dorong debitor benar-benar melaksanakan usaha yang dibiayai oleh kredit yang diberikan kreditor, serta mendorong debitor untuk memenuhi janjinya untuk membayar kembali utangnya sesuai perjanjian.[22][††††††††] Namun, agunan bukan faktor yang menentukan dalam pembayaran kembali sebuah pinjaman, dan bukan peng-ganti unsur karakter dalam pemberian kredit.[23][‡‡‡‡‡‡‡‡] Agunan berada pada prioritas secara komparatif lebih rendah kedudukannya dalam menentukan kelayakan sebuah kredit.[24][§§§§§§§§] Penentuan masalah dan kecukupan agunan bersifat judgemental dan ditentukan oleh keyakinan kreditor terhadap kelayakan kredit (borrower’s creditworthiness) yang dapat dibentuk atas dasar penilaian 4C yang lain selain Collateral.
Substansi utama dari proses persetujuan kredit yang melibatkan banyak pihak dalam struktur organisasi perkreditan adalah untuk meyakinkan bank sebagai sebuah institusi, bahwa kredit yang akan disetujuinya itu cukup layak untuk diberikan. Artinya, debitor diyakini mampu membayar bunga serta cicilan pokoknya kembali, sehingga kredit tersebut dapat diperkirakan dan tidak akan mengalami kemacetan. Jika pun kemudian macet, bank harus meyakini diri bahwa jaminan tambahan atau agunan yang dimiliki dapat membantu pelunasan kredit yang diberikan.
Keputusan kredit tidak saja mengandung unsur moral yang paling besar, tetapi sangat penting bagi kualitas portofolio pinjaman bank, juga bagi kelanjutan atau kelanggengan usaha bank. Keputusan kredit sangat bergantung kepada individu        pengambil keputusan. Dari segi tugas, keputusan kredit me-rupakan pilihan yang diambil dalam memastikan bahwa risiko kredit dapat diterima atau tidak, sekaligus menyelaraskan keseimbangan antara risiko dan perolehan laba (risk and return) dari sebuah transaksi perkreditan. Secara teoretis, semakin besar risiko bisnis, dalam hal ini risiko kredit sejauh dapat diterima oleh bank, semakin besar perolehan laba yang diperlukan untuk menerima dan memikul risiko tersebut.
Agar objektif dan rasional, pemutus kredit harus pula memer-hatikan atau mendiagnosa suasana atau lingkungan, sehingga tidak terpengaruh oleh hal-hal yang dapat mengurangi objektivitas pengambilan keputusan. Perkiraan di masa depan, yang mengan-dung ketakpastian (uncertainty) seyogianya merupakan ekstra-polasi konklusi dari informasi, data, dan fakta yang benar dan relevan, serta telah dipelajari. Hal ini harus diperhatikan secara saksama, tanpa dipengaruhi oleh suasana lingkungan.
Data empiris menunjukkan, krisis perbankan dan atau kegagalan bank bermula dari pengambilan keputusan kredit yang terpengaruh oleh faktor-faktor luar pengambilan keputusan (eksogen). Faktor-faktor tersebut berupa pengaruh psikologis  atau emosi, seperti sikap optimistik yang berlebih (overoptismistic) dari pemutus kredit; dan sikap lainnya, asymmetric expectation, reflexivity, gambling for resurrection hyphothesis, irrational exuberance, herd behaviour, the sixth C, dan moral hazard.
Keputusan kredit harus diupayakan bersifat terbukti dengan sendirinya (self evident), tertulis dengan baik, berdiri sendiri (on a stand alone basis). Selain itu, keputusan hanya mengacu kepada pertimbangan komersial, tanpa dipengaruhi oleh apapun, kecuali oleh informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan kredit. Keputusan kredit harus dibuat secara independen untuk setiap usulan kredit, untuk setiap calon debitor yang berbeda, atau  untuk debitor yang sama tetapi untuk proyek atau jaminan yang berbeda, atau untuk risiko kredit yang berbeda.
Keputusan kredit juga merupakan keputusan manajemen yang tidak saja meliputi aplikasi prosedur operasi standar, tetapi mencakup informasi, kepercayaan, kebijaksanaan, dan nilai yang dianut. Kombinasi semua hal itu semata-mata demi menghasil- kan keputusan berdasarkan informasi yang cukup (informed judgment).[25][*********] Namun, keputusan kredit mengandung pertim-bangan yang juga bersifat subjektif pada kadar tertentu, karena mengandung intuisi, pertimbangan, serta keyakinan individualistik para pemutus kredit.
Dalam konteks perbankan di Indonesia, persetujuan pem-berian kredit harus melalui proses pembahasan, dan disetujui oleh komite kredit (KK). Seluruh anggota KK ditunjuk oleh direksi berdasarkan surat kuasa, dengan demikian, bertanggung jawab kepada direksi. Secara umum, KK bertugas sebagai penjaga kualitas kredit.[26][†††††††††] Ketua KK umumnya bertindak sebagai pemutus kredit. Ia berwenang menolak atau menyetujui permohonan kredit yang berisi analisis kredit. Tingkat kewenangan untuk memutus ditentukan oleh direksi. Pemutus kredit yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi berada pada tingkat direksi, dan tertinggi berada pada presiden direktur, beserta atau tanpa persetujuan komisaris.
Di atas direksi, kewenangan pemutus kredit berada pada tingkat komisaris, tetapi biasanya hanya untuk kredit-kredit khusus, antara lain kredit yang dikategorikan kolektibilitas ”diragukan”, ”macet”, atau bermasalah. Karena komisaris tidak terlibat dalam kegiatan harian yang bersifat teknis, keterlibatan komisaris dalam mengkaji dan memberikan persetujuan kredit dengan klasifikasi ”bermasalah” itu karena memerlukan cadangan modal untuk piutang ragu-ragu yang lebih besar, sehingga memerlukan perhatian wakil dari pemegang saham. Risiko yang timbul dapat mengakibatkan bank harus melakukan penghapus- bukuan jumlah kredit terkait sebagian atau seluruhnya. Dan masalah ini jelas akan menjadi perhatian komisaris dan RUPS.
Pemutus kredit merupakan bagian dari ketentuan Kebijakan Perkreditan Bank (KPB) yang ditetapkan Bank Indonesia.[27][‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Pemutus kredit, yang merupakan otoritas yang paling tinggi dalam suatu komite kredit, adalah berdasarkan (KPB) yang digariskan oleh Bank Indonesia. Kewenangan ini diberikan oleh direksi, sebagai pelaksanaan tindakan kepengurusan (tot daden van beheren). Sebagai bagian dari fiduciary duty, khususnya duty of care, direksi berkewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya perseroan dengan baik,[28][§§§§§§§§§] sehingga pemberian kewe-nangan untuk memberikan persetujuan kredit ini harus pula diawasi oleh direksi. Pada akhirnya, tanggung jawab hukum      terhadap pemutus kredit ada di pundak direksi berdasarkan UU PT, dan sejalan dengan ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata.
Direksi bertanggung jawab terhadap perseroan dan mengabdi kepada kepentingan perseoan, dan pemutus kredit bertanggung jawab kepada direksi. Untuk itu, pemutus kredit harus mengambil keputusan secara independen dan mematuhi ketentuan per-kreditan internal bank, dan ketentuan perundangan yang berlaku. Mengambil keputusan kredit secara independen berarti pemutus kredit tidak dapat dipengaruhi oleh pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit, bahkan pemilik bank.
Pemutus kredit merupakan tahap terakhir dari sebuah proses pemberian kredit yang cukup panjang. Di situ keputusan diberikan, disetujui, atau ditolak. Dari segi moral, pemutus kredit memiliki tanggung jawab yang paling besar. Sebagai penanggung jawab terakhir terhadap kualitas kredit yang akan diberikan, pemutus kredit harus memastikan bahwa seluruh ketentuan yang berlaku dalam pemberian kredit telah dipenuhi. Dengan pertimbangan profesionalnya, persetujuan kredit diberikan atas keyakinannya bahwa kredit akan dapat dibayar kembali oleh debitor. Dengan demikian, pemutus kredit merupakan ujung tombak dari pene-rapan Pasal 8 UU Perbankan.


[1][***]     Muhamad Djumhana, op. cit., hlm. 261-262.
[2][†††]     Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Temprint, Jakarta,  2003,   hlm. 81-82.
[3][‡‡‡]     Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 255.
[4][§§§]     Try Widiyono, Agunan Kredit dalam Financial Engineering, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 3.
[5][****]   Ibid., hlm. 5.
[6][††††]   Brian Coyle, Corporate Credit Analysis, CIB Publishing, Caterbury, 2000, hlm. 1.
[7][‡‡‡‡]   Roger H. Hale, Credit Analysis, A Complete Guide, John Wiley & Sons, New York, 1983, hlm. 1.
[8][§§§§]   Deborah K. Dilley, Essentials of Banking, JohnWiley & Sons, Inc., New Jersey, 2008, hlm. 168.
[9][*****]                 Chorafas mengatakan, prinsip ini merupakan basic rules yang sudah berlaku berabad-abad yang perlu diperhatikan dalam megelola risiko. Dalam bahasa Chorafas, prinsip yang dimaksud adalah: “determine the purpose of credit, analyse quality and creditworthiness, research the underlying economics, evaluate whether risk and reward are acceptable, price the credit being taken, apply the appropriate covenants, collateral and guarantee; and keep on re-evaluating cerditwortiness until the contract is at  an end”. Pendapat Chorafas ini kurang lebih sama seperti yang diutarakan oleh Joetta Colquitt. Dimitris N. Chorafas, Managing Credit Risk, Analysis, Rating and Pricing, The Probability of Default, Euromoney Books, London, 2000, hlm. 70.
[10][†††††]               Pendapat Jopie Yusuf sama seperti pendapat Richard G. Brody dan Beaulieu. Jopie Jusuf, Analisis Kredit Untuk Account Officer, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm. 278.
[11][‡‡‡‡‡]               Wenying Jiangli menyatakan, informasi mengenai debitor sangat berguna karena akan mengurangi masalah adverse selection, dan ini telah dibuktikan oleh sejumlah penelitian, yaitu Bodenhorn (2003), Boot dan Thakor (1994), Cole (1998), Diamond (1991), Harhoff dan Korting (1998), dan Peterson dan Rajan (1995). Wenying Jiangli, (et.al), “Relationship Lending, Accounting Disclosure, and Credit Availability During Crisis”, [September 2004]
[12][§§§§§]               Jan Mattson menyebutkan, salah satu faktor utama yang menyebabkan krisis perbankan di Swedia tahun 1990-an karena bank umumnya tidak melakukan riset semacam ini mengenai calon debitornya, dan pertimbangan kredit lebih banyak ditentukan berdasarkan “personalisasi” calon debitor serta soft information yang bersifat verbal. Jan Mattson, “How Bank Loan Officers Evaluate Persons Applying for Credit”, The International Journal of Bank Marketing, Bradford Vol. 11, <http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1120806&sid=1&Fmt=3&clientld= 43309&RQT= 309&VName=PQD> [1993].
[13][******]             Semakin tinggi tingkat leverage atau semakin rendah tingkat modal dari suatu entitas, semakin sedikit adverse shock yang diperlukan bagi entitas itu untuk mengalami economic insolvency; ini berlaku baik bagi bank maupun non-bank.  George G. Kaufman, loc. cit.
[14][††††††]             Dari sisi lain, menurut Michael Jensen (1989), keadaan overgearing tidak akan berakibat pada kebangkrutan, karena kreditor akan berada dalam posisi yang lebih baik jika berusaha untuk melakukan renegosiasi. Namun, pendapat ini dibantah oleh Nakamura, dengan alasan bahwa pada perusahaan dengan leverage yang berlebihan, umumnya mereka memiliki margin yang sangat tipis dan tidak memiliki kolateral tambahan sebagai dasar untuk bernegosiasi. Leonard I. Nakamura, “Lessons on Lending and Borrowing in Hard Times”, Business Review- Federal Reserve Bank of Philadelphia, [July/August, 1991], hlm. 19. 
[15][‡‡‡‡‡‡]             Blaise Ganguin menyebutkan beberapa alasan usaha mengalami default, di antaranya karena terlalu banyak utang, yang lain karena model bisnis yang salah atau bisnis yang sulit, dan beberapa yang lain disebabkan oleh kombinasi dari kedua alasan tersebut; hanya sedikit di antaranya karena adanya internal atau external shocks. Blaise Ganguin dan John Bilardello, Fundamentals of Corporate Credit Analysis, The McGraw-Hill Companies, Inc., New York, 2005,   hlm. 268.
[16][§§§§§§]             Dimitris Chorafas, op. cit., hlm. 1.
[17][*******]           Gerhard Schroeck, op. cit., hlm. 171.
[18][†††††††]           Joetta Colquitt, op.cit.,  hlm. 129.
[19][‡‡‡‡‡‡‡]           Erik Banks dan Richard Dunn, Practical Risk Management, An Executive Guide to Avoid Surprises and Losses, John Wiley & Sons Ltd., Chichester, 2002, hlm. 19.
[20][§§§§§§§]           Joetta Colquitt, op. cit., hlm. 3.
[21][********]         Rachmadi Usman, op. cit., hlm. 282.
[22][††††††††]         Rachmadi Usman, ibid., hlm. 286.
[23][‡‡‡‡‡‡‡‡]         Jopie Yusuf, op. cit., hlm. 282.
[24][§§§§§§§§]         AD. Jankowicz dan RD. Hisrich, “Intuition in Small Business Lending Decision”, Journal of Small Business Management 25, 3, [July 1987].
[25][*********] Idem.
[26][†††††††††]       Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah, Konsep dan Kasus, Damar Mulia Pustaka, Jakarta, 2007, hlm. 81.
[27][‡‡‡‡‡‡‡‡‡]       Komite kredit memiliki dua peringkat: pertama, komite kredit tingkat manajer; kedua, tingkat dewan direksi. Keduanya lazim dibedakan berdasarkan jumlah kredit yang ditangani (penulis). Tugas komite kredit, antara lain, adalah mem-pelajari usulan kredit yang diajukan oleh tim staf bagian kredit, serta mengajukan pendapat dan saran tentang usulan kredit baru, perpanjangan kredit lama       atau tambahan pada kredit yang sudah ada kepada pemutus kredit atau kepada direksi atau yang lebih tinggi, meneliti seberapa jauh kredit yang diberikan telah memenuhi berbagai ketentuan yang digariskan dalam kebijaksanaan perkreditan bank dan peraturan pemerintah, dan memantau seberapa jauh para debitor telah mendapat layanan yang memuaskan dari para staf yang bersangkutan.     Siswanto Sutojo, The Management of Commercial Bank, Damar Mulia, Jakarta, 2007, hlm. 81.
[28][§§§§§§§§§]       O.C. Kaligis, op.cit., hlm. 304.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar