2. Pertimbangan Pengadilan
Analisis berikut berupaya mengungkapkan unsur-unsur yang diperlukan
dalam mengambil keputusan kredit, sehingga dapat memperoleh perlindungan hukum.
Unsur-unsur tersebut di-harapkan dapat disimpulkan dari pertimbangan dan
keputusan pengadilan–seperti yang telah dipaparkan dalam Bab III.
a. Dalam
Putusan MARI No. 572 K/Pid/2003
Dari putusan Mahkamah Agung ini terlihat beberapa hal
yang dapat disimpulkan dalam kaitan dengan pengambilan keputusan, yaitu: pertama,
penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan dapat diartikan dalam pemberian
kredit sebagai pengambilan risiko kredit yang berlebihan, karena batasannya
adalah ‘asas umum pemerintahan yang baik’, yang dapat disetarakan dengan prudential principles, atau praktik
pemberian kredit yang sehat;
Kedua, pengadilan tampaknya tetap tidak mengkaji
keputusan secara substantif murni, tetapi terbatas; dalam arti mengkaji unsur
penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan, apakah mengandung unsur
melanggar hukum. Konsep marginale
toetsing setara dengan penerapan BJR di pengadilan, yaitu apabila ang-gapan
BJR dipenuhi, pengadilan tidak akan memeriksa substansi keputusan bisnis
direksi. Ditilik dari pertimbangan dan putusan Mahkamah, kalaupun pengadilan
mengkaji keputusan secara substantif, penekanannya bukan pada apakah keputusan
itu salah atau benar, tetapi tampaknya lebih pada apakah pengambilan keputusan
dalam arti prosesnya, dan hasil keputusan itu, melanggar hukum atau tidak;
Ketiga, dari segi proses, disebutkan bahwa
pengambilan keputusan untuk menunjuk pihak yang akan diberi pekerjaan, dalam
hal ini pengadaan dan penyaluran sembako, sudah melalui proses penelitian
kemampuan dan kesanggupan pihak itu dalam rapat yang diadakan untuk tujuan
tersebut. Sudah merupakan kewajaran yang telah diterima secara umum, bahwa
pengambilan keputusan yang dianggap penting dilakukan melalui pembahasan dalam
sebuah rapat yang diadakan untuk tujuan itu. Tentunya, rapat harus pula
dihadiri oleh pihak yang terkait dan berkepentingan, sehingga rapat juga
menunjukkan adanya proses berpikir secara kolegial dan memiliki unsur
transparansi.
Keempat, dari segi hasil, walaupun keputusan
penunjukan pihak untuk melakukan pekerjaan itu (pengadaan dan pembagian sembako
kepada masyarakat miskin) tidak membuahkan hasil yang diharapkan, karena pihak
yang ditunjuk tidak melakukan pekerjaan yang harus dilakukannya, Mahkamah tidak
memper-salahkan pihak yang mengambil keputusan. Pengambil keputusan dibebaskan
dari konsekuensi keputusannya, sejauh yang ber-sangkutan tidak ikut menikmati
hasil dari keputusannya itu, seperti halnya dalam konsep duty of loyalty. Oleh karena itu, pengambil keputusan tidak
terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dalam bahasa BJR, pengambil keputusan
tidak melakukan benturan kepentingan atau conflict
of interest.
b. Dalam Putusan MARI No. 1660 K/Pid.Sus/2010
Dari uraian mengenai kekebasan bertindak atau freies ermessen, diskresioner itu dapat
dilakukan, jika: Pertama, perundangan memberikan kebebasan untuk itu; kedua,
dilakukan untuk tujuan pelayanan; keempat, ketika tidak ada ketentuan
perundangan yang mengaturnya; kelima, untuk menangani masalah yang
tiba-tiba muncul; dan keenam, dapat dipertang-gungjawabkan
secara hukum dan moral.
Karena ruang lingkup pemberian kredit berbeda dengan
ruang lingkup tata usaha negara, sehingga tidak semua persyaratan tersebut
dapat diterapkan dalam pengambilan keputusan kredit. Dalam kaitan ini, syarat
yang dapat digunakan adalah unsur yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum
dan moral. Penerapannya dalam keputusan pemberian kredit adalah bahwa keputusan
itu dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan sejalan dengan tanggung
jawab moral pemutus kredit. Masalah hukum dan moral ini perlu diperhatikan
dalam melaksanakan ekonomi kerakyatan.
Tanggung jawab moral dapat pula diartikan sejalan dengan
asas kepatutan (zorgvuldigheid).
Keputusan kredit merupakan keputusan moral yang paling tinggi, karena
menyangkut kepentingan begitu banyak orang, termasuk para deposan yang
menyimpan dananya pada bank, dan dana mereka itu digunakan untuk pemberian
kredit. Berkait dengan teori besar (grand
theory) dalam hal meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak, tanggung jawab
moral berarti dana masyarakat itu tidak digunakan untuk pemberian kredit dengan
risiko berlebihan, atau risiko yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Risiko
yang berlebihan atau tidak diperhitungkan sebelumnya, dalam lingkungan
perbankan, merupakan kondisi yang tidak patut. Dalam kaitan dengan
pertanggungjawaban hukum, ketentuan mana yang berlaku dan harus dipatuhi akan
dapat dilihat dari analisis dalam bagian ini kemudian.
c. Dalam
Putusan MARI Regno. 275K/Pid/1983
Putusan ini dapat dianalisis untuk memperoleh berapa
simpulan yang dapat digunakan dalam keputusan pemberian kredit, yaitu:
Pertama, unsur melanggar hukum tidak saja
berlawanan dengan hukum positif, tetapi juga bertentangan dengan asas-asas
hukum tidak tertulis, dan asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan (zorgvuldigheid) dalam masyarakat,
termasuk kebijakan perkreditan direksi;
Kedua, pemberian kredit yang menyimpang dari
ketentuan tertulis Bank Indonesia dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan
tanpa kewenangan atau hak yang melekat. Perbuatan itu merupakan perbuatan
melanggar hukum.
Ketiga, direktur yang membawahi perkreditan bertanggung jawab terhadap pihak
yang ada di bawahnya, yang bertugas menganalisis dan memeriksa permohonan
kredit yang diaju-kannya.
Dari segi hukum, sebelum melakukan tindakan penyelamatan,
bank terkait harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia, karena
pemberian kredit ini pada awalnya telah melanggar ketentuan Bank Indonesia.
Dalam hal ini, kesalahan lebih banyak berada di pihak bank. Di samping itu,
persoalan hukum lainnya dan menjadi masalah untuk melakukan penye-lamatan
adalah adanya unsur suap dari pihak debitor kepada pejabat bank atau direksi
terkait. Hal ini membuat keputusan untuk melakukan tindakan penyelamatan
menjadi persoalan yang rumit. Persoalan ini bersifat sangat fundamental dari
teori pem-berian kredit, karena menyangkut masalah karakter
debitor. Debitor melanggar hukum melalui penyuapan itu. Namun, dari segi
penyelamatan kredit secara materiil, bank terkait dapat melakukan eksekusi
jaminan, dan melanjutkan proyek dengan pihak ketiga lainnya melalui salah satu
dari 3R, setelah menentukan prospek proyek.
d. Dalam
Putusan MARI No. 1916K/Pdt/1991
Inti putusan dan pertimbangan Mahkamah Agung adalah
adanya persekongkolan dan iktikad buruk, karena komisaris dan direksi bank
pemberi kredit atau kreditor adalah sama dengan komisaris dan direksi
perusahaan penerima kredit atau debitor. Pemberian kredit seperti ini juga
berkemungkinan merupakan pelanggaran BMPK. Oleh karena itu, iktikad buruk dalam
pemberian kredit dapat pula diartikan sebagai pemberian kredit kepada pihak
terkait dengan bank, yaitu yang melebihi batas yang diijinkan oleh ketentuan
Bank Indonesia.
e. Putusan
MARI No. 1144 K/Pid/2006
Putusan ini mengandung sejumlah unsur dalam ruang lingkup
pemberian kredit, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Mahkamah menetapkan bahwa kenyataan
keten-tuan Kebijakan Perkreditan Bank (internal) tidak
dilaksanakan merupakan perbuatan melanggar hukum. Sejalan dengan yuris-prudensi
Indonesia mengenai melanggar hukum yang diperluas, ketetapan Mahkamah itu
memberikan arti bahwa dalam pemberian kredit bank, ketentuan internal bank
disetarakan dengan hukum positif Indonesia. Pemutus kredit harus meme-nenuhi
norma-norma umum perbankan, asas-asas perkreditan yang sehat, mematuhi
ketentuan internal yang berlaku, penilaian yang jujur, objektif, cermat, dan
saksama, serta tanpa pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon
kredit. Dalam konteks BJR, pelanggaran prinsip kehati-hatian ini merupakan
pelanggaran fiduciary duty oleh
direksi, khususnya duty of care yang
sekaligus tidak menunjukkan adanya iktikad baik.
Kedua, pelaksanaan prinsip kehati-hatian
dilihat dari analisis yang mendalam untuk memperoleh keyakinan atas iktikad
baik, kemampuan, dan kesanggupan calon debitor untuk melunasi kredit sesuai
perjanjian, kecermatan atau ketakcermatan dalam meneliti kebenaran,
mengungkapkan dan menganalisis dengan cermat seluruh informasi, fakta, dan data
yang diperlukan.
Sesuai pendapat
Hermansyah,[1][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] penerapan prinsip kehati-hatian ini
terletak pada bagaimana pihak bank
membuat kebijaksanaan dan menjalankan kegiatan usahanya. Mereka wajib
menjalankan tugas dan wewenangnya secara cermat, teliti, dan profesional,
selalu mematuhi seluruh aturan perundang-undangan yang berlaku secara konsisten
dengan didasari dengan iktikad baik.
Ketiga, ketetapan mahkamah tersebut sejalan
dengan makna ketentuan Pasal 2 UU Perbankan, dan diterapkan pada hal-hal yang
bersifat substantif, tetapi juga yang bersifat administratif, serta dari segi
pengawasan kredit. Penerapan pada hal yang bersifat administratif dapat dilihat
dari tindakan yang tidak cermat dan keliru dalam mencantumkan nama pemenang
lelang. Ini artinya penerapan duty of
care tidak saja dilihat dari segi proses, tetapi lebih berkembang sampai
pada pengawasan hal-hal yang bersifat lebih teperinci. Ini artinya bahwa materi
yang digunakan dalam pengambilan keputusan harus pula telah diperiksa kebenaran
dan kelengkapannya.
Penerapan pada hal yang bersifat substantif dapat dilihat
dari sejumlah tindakan, yaitu: Tidak melakukan penilaian atas kelayakan jumlah
permohonan kredit, sehingga dapat meng-hindari praktik penggelembungan (mark up); tidak memastikan jumlah yang disediakan dari modal sendiri (self financing); tidak dipenuhinya ketentuan bahwa keputusan kredit harus
berdasar-kan analisis laporan keuangan calon debitor sesuai ketentuan internal
bank; serta berdasarkan daftar jaminan dan informasi yang lengkap. Hal yang
terakhir merupakan masalah pengawasan kredit, yaitu tindakan pencairan kredit
tidak didasarkan pada dokumen jaminan yang lengkap, sehingga memperlemah
kedudukan Bank Mandiri sebagai kreditor.
Keempat, jika ditilik lebih dalam, kelalaian
dalam penerapan duty of care tersebut
tampaknya karena direksi telah berniat untuk memberikan fasilitas tersebut
sebelum analisis kredit dilakukan, dan kemudian hanya dilakukan dalam waktu
yang sangat singkat. Dari segi teori, kelalaian dalam menerapkan duty of care dapat terjadi karena adanya
motif lain yang melatarbelakangi kelalaian itu; sehingga merupakan iktikad
buruk. Motif tersebut tidak saja dapat berupa adanya benturan kepentingan,
tetapi karena adanya niat untuk membantu pihak yang berkepentingan. Tampaknya,
hal ini yang membuat pengambil keputusan tidak menggunakan akal sehat dan
proses pengambilan keputusan yang umumnya telah berlaku dalam lingkungan Bank
Mandiri. Oleh karena itu, Mahkamah menyimpulkan bahwa keputusan pemutus kredit
telah dipengaruhi oleh kepentingan pemohon kredit. Di samping itu, adanya
pernyataan bahwa‚ fasilitas kredit harus segera “dilaksanakan“ bertentangan
dengan sikap kehati-hatian, yang seharusnya informasi yang diperlukan diteliti
kebenaran terlebih dahulu. Oleh karena itu, terlihat adanya unsur mengikuti
keinginan pihak debitor, sehingga melanggar duty
of loyalty.
Dalam mengkaji bagaimana seorang bankir senior seperti
E.C.W. Neloe dapat dipengaruhi dan mengikuti keinginan pihak debitor, uraian
berikut berusaha menjawabnya dengan mengembangkan teori “penyalahgunaan
keadaan” atau “undue influence”.
Mengutip intisari pendapat Ray D. Madoff, bahwa unsur yang penting untuk
membuktikan terjadinya “undue influence”,
antara lain, adalah adanya unsur kepercayaan terhadap orang yang melakukan ‘influence’, dan dipercaya untuk
memainkan peranan tertentu tetapi secara tidak langsung dalam perumusan,
persiapan atau pembuatan surat wasiat, atau perjanjian.[2][*************************]
Dalam hal adanya unconscionable dealing,
mengutip pendapat Andrew Sykes, unsur yang penting adalah seseorang menggunakan
secara berlebihan posisi tawarnya yang lebih kuat, sehingga merugikan pihak
lain yang berada di posisi yang kurang menguntungkan.[3][†††††††††††††††††††††††††]
Baik pendapat Ray D Madoff maupun Andrew Sykes itu
menunjukkan bahwa aplikasi kedua doktrin ini berfokus pada dua pihak dalam melakukan
perjanjian. Dalam kaitan ini, Kartini Mulyadi[4][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
dan Sutan Remy Syahdeini[5][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
berpendapat bahwa iktikad baik tidak saja berlaku bagi pihak-pihak yang
merupakan bagian dari perjanjian, dalam pembuatan maupun pelaksanaannya, tetapi
juga perlu diterapkan bagi pihak yang berada di luar perjanjian. Jika pendapat
ini diterapkan pada kasus Neloe Cs, pihak yang dimaksud sesungguhnya tidak
berada jauh di luar perjanjian itu. Mereka merupakan institusi yang diwakili
oleh salah satu pihak dalam perjanjian, yaitu Bank Mandiri, dan pihak lain yang
berkepentingan secara tidak langsung terhadap perjanjian tersebut adalah para
deposan. Oleh karena itu, penggunaan “influence”
tadi dapat juga dilihat tidak saja pada pihak lawan dalam perjanjian, tetapi
juga dapat mempertanyakan apakah merugikan pihak yang diwakili dan berada di
luar perjanjian. Dalam hal ini, Bank Mandiri adalah sebagai institusi yang
diwakili oleh salah satu pihak dan para penyandang dana atau para deposan di
pihak yang lain itu. Penjelasan ini dapat diilustrasikan dalam skema di bawah
ini:
Skema IV-1:
Hubungan antara Pengaruh dan Wewenang
(Undue
Influence) dalam Pemberian Kredit
Influence ~ Wewenang
Dalam Perjanjian Kredit
|
Kredit US $ 18.5 juta
Merugikan Menguntungkan
· Bank
· Para Deposan
Note: Pihak 1:
Bank Mandiri; Pihak 2: CGN
Sumber:
Penelitian Penulis Tahun 2011.
“Influence”
atau pengaruh yang dimiliki oleh pihak CGN setara dengan “wewenang” yang
dimiliki oleh para terdakwa ketika menjabat sebagai direksi Bank Mandiri.
Kewenangan ini yang digunakan sedemikian rupa sehingga CGN dapat diberikan
kredit US $18.5 juta untuk membeli aset Tahta Medan. Penggunaan wewenang[6][**************************] adalah bahwa
pelaksanaan pemberian kredit kepada CGN itu dilakukan dengan berbagai alasan
yang hubungannya dengan pemberian kredit itu dapat dipertanyakan, dan bersifat
tidak kuat. Alasannya mencakup bahwa Bank Mandiri perlu melakukan divestasi
Tahta Medan sehubungan Bank Mandiri akan melakukan IPO, adanya LoI antara
pemerintah Indonesia dengan IMF, dan seterusnya. Alasan ini bersifat terlalu
jauh, atau tidak berkaitan langsung dengan pemberian kredit dari Bank Mandiri,
sehingga terkesan mengada-ada. Dalam konteks BJR, alasan ini tidak menunjukkan
adanya tujuan bisnis yang rasional.
Bahkan, para staf Bank Mandiri termasuk para analis yang
terkait menyatakan dalam persidangan bahwa pemberian kredit kepada CGN tersebut
telah mengikuti prosedur, baik dari segi ketentuan internal Bank Mandiri (KPB
atau KPBM) maupun ketentuan perbankan lainnya. Pernyataan para analis tersebut,
bahwa seluruh prosedur telah diikuti, tampaknya hanya merupakan pemenuhan
formalitas belaka; tetapi, sesungguhnya secara substantif, ada sejumlah
penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang ada
seperti yang telah dikemukakan. Kenyataan ini jika ditinjau dari penerapan BJR
identik dengan apa yang disebut sebagai “rubber
stamped”, yaitu secara subtantif tidak melakukan penelitian yang saksama
terhadap apa yang diputuskan, tetapi asal tanda tangan, sebagai pemenuhan
kebutuhan yang bersifat formalitas belaka; sehingga melanggar duty of care.
Sejalan dengan teori “undue
influence”, skema tersebut menunjukkan bahwa para terdakwa melakukan pemberian
kredit tersebut dengan segala penyimpangan yang terjadi, karena adanya “influence” dari pihak CGN. “Influence” tersebut tentunya bersifat
signifikan, apalagi jika diingat bahwa para Terdakwa merupakan bankir senior
dengan perjalanan karir yang panjang, serta pencipta Kode Etik Bankir
Indonesia. CGN menggunakan “influence”
ini untuk memenuhi keinginannya dalam rangka memiliki atau menguasai aset Tahta
Medan, atau Hotel Tiara Medan–tanpa dukungan dana modal sendiri dari CGN,
kecuali dengan menggunakan kredit Bank Mandiri sepenuhnya melalui “wewenang”
para terdakwa. Keadaan ini juga dapat menunjukkan bahwa para direksi melanggar duty of loyalty terhadap bank, karena
dapat dipengaruhi oleh debitor sehingga memberikan kredit dengan cara melanggar
ketentuan hukum yang berlaku; atau dapat pula dikatakan melakukan penyelewengan
diskresi (abuse of discretion).
Kelima, pemberian fasilitas BL dan kredit refinacing dalam bentuk kredit investasi, yang belum diatur dalam ketentuan
perkreditan internal bank dan ketentuan Bank Indonesia, dinyatakan tidak
memenuhi norma-norma perbankan dan tidak sesuai dengan asas-asas perkreditan
yang sehat. Kedua fasilitas kredit ini belum diatur oleh ketentuan Bank
Indonesia dan ketentuan internal bank, dan baru diatur oleh terdakwa setelah
diberikan. Di sini, tindakan yang tidak atau belum diatur dapat diartikan
sebagai tot daden van beschikken, dan
belum berada dalam tataran tot daden van
beheeren. Ini menunjukkan bahwa pemberian kredit, yang belum diatur dalam
kedua ketentuan itu, seharusnya memperoleh persetujuan otoritas yang berwenang
terlebih dahulu, dalam hal ini pihak komisaris dan Bank Indonesia. Dalam
konteks BJR, tindakan direksi merupakan tindakan yang berada di luar
kewenangannya.
Keenam, setelah kredit diberikan ada sejumlah
tindakan yang harus dilakukan, tetapi tidak dipenuhi, antara lain, adalah:
tidak dibuatkan akta fidusia eigendom
overdraft secara notariel, atau pengikatan jaminan tidak dibuat secara
yuridis sempurna ber-dasarkan ketentuan bank. Dalam kenyataanya, debitor tidak
membayar kewajibannya sesuai perjanjian. Bahkan, sebaliknya debitor mengajukan
permohonan untuk melakukan novasi kredit dari CGN kepada Tahta Medan, dan
ternyata Tahta Medan juga tidak membayar kewajibannya pada bank, dan kemudian
mengajukan permohonan rescheduling.
Secara menyeluruh uraian ini menunjukkan direksi tidak menerapkan prinsip
kehati-hatian, atau melanggar duty of
care dan iktikad baik dalam perspektif BJR.
Ketujuh, Mahkamah Agung berpendapat bahwa para
terdakwa harus bertanggung jawab terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh
bawahannya, karena mereka memiliki wewenang untuk mengawasinya. Berdasarkan UU
PT, direksi bertanggung jawab atas segala operasional dari perseroan terbatas
atau kor-porasi. Oleh karena itu, direksi memiliki kewenangan melakukan
pengawasan dan pembinaan terhadap seluruh karyawan di segala lini, melalui
tataran dan jenjang pengawasan yang sistemik. Dalam hal ini, direksi harus pula
bertanggung jawab atas segala penyimpangan yang dilakukan oleh bawahannya, dan
ikut bertanggung jawab atas tidak diikatnya perjanjian jaminan secara yuridis
sempurna. Hal ini sejalan dengan pendapat Sundari Arie, bahwa berdasarkan hukum
perseroan dan hukum perbankan, pengurus bank, dalam hal ini direksi dan
komisaris, wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan operasional bank[7][††††††††††††††††††††††††††]
secara menyeluruh; termasuk memantau dan mengawasi kegiatan pemberian kredit.
Hal yang sama seperti pada butir di atas, direksi di sini melanggar duty of care dan iktikad baiknya.
Simpulan dari Putusan Mahkamah Agung tersebut umumnya
berdasarkan uraian Pertimbangan Pengadilan di bawahnya, yang secara teperinci
dianalisis dari segi ketentuan hukum dan perkreditan di bawah ini.
1) Dalam Kaitan
dengan Ketentuan Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 4 UU Perbankan.
Berdasarkan dua pasal tersebut, pemberian kredit
ditujukan untuk menyalurkan dana masyarakat dalam rangka mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional, sehingga dapat menunjang stabilitas nasional ke arah
peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Tema ini
sejalan dengan teori besar (grand theory), yaitu konsep negara kesejahteraan
Indonesia dengan keadilan sosialnya; bahkan, berkait dengan teori ekonomi
kerakyatan (Pancasila). Kedua pasal UU PT ini memihak pada kepentingan rakyat
banyak. Untuk itu, kredit harus disalurkan untuk kegiatan-kegiatan yang
bersifat produktif. Pemberian kredit kepada CGN untuk membeli aset kredit Tahta
Medan tidak menunjukkan ke arah yang dapat membantu pertumbuhan ekonomi.
Petumbuhan ekonomi
rakyat hanya dapat dicapai melalui pembukaan lapangan kerja baru atau
meningkatkan produktivitas. Untuk membuka tambahan lapangan kerja baru dan/atau
meningkatkan produktivitas, Tahta Medan harus terlebih dahulu melakukan
renovasi hotel yang diperlukan, dan harus berhasil dalam bisnis yang
dijalankannya. Untuk melakukan renovasi ini, Tahta Medan harus mengeluarkan
dana tambahan yang merupa-kan self
financing yang telah disepakati, tetapi tidak dipenuhi oleh pihak Tahta
Medan.
Jika ditinjau dari sejarah perkreditan, apa pun
alasannya, Tahta Medan telah mengakibatkan kredit macet dua kali, pertama
ketika kredit diperoleh dari Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII), dan kedua dari
BCA. Sebagai sebuah bisnis, Tahta Medan harus menyiapkan dana sendiri untuk
mengembangkan bisnis, karena pendanaan bisnis yang sehat tidak sepenuhnya
bersumber dari kredit bank. Jika unsur modal sendiri tidak memadai, ada dua
kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu: pada tingkat risiko bisnis tertentu,
selama bisnisnya berjalan, keuntungan yang dapat diakumulasikan akan tidak
memadai atau bahkan dapat merugi karena beban bunga yang besar.
Kemungkinan lain, pemilik saham tidak memiliki modal awal
yang diperlukan, sehingga komitmen terhadap bisnis yang di-tangani tidak begitu
kuat. Jika dilihat dari laporan keuangan Tahta Medan pada 31 Desember 2001 dan
2002, utang yang dimiliki Tahta Medan Rp272.8 miliar dan Rp233.7 miliar,
sedangkan jumlah modal yang dimiliki adalah angka negatif Rp121.6 miliar dan
negatif Rp49.9 miliar untuk masing-masing tanggal tersebut (informasi keuangan
ini tidak tersedia ketika akan menyetujui kredit BL).
Angka modal yang
negatif ini menunjukkan bahwa sampai tanggal laporan tersebut, operasi Tahta
Medan selalu merugi. Dengan demikian, sulit mengharapkan Tahta Medan dapat
ber-tahan dalam bisnis hotelnya itu, tanpa suntikan modal baru dari pemilik;
tidak pula bisa diharapkan hotel tersebut dapat membuka lapangan kerja baru.
Keadaan perusahaan seperti itu, dengan sejarah
perkreditan dan keadaan keuangan yang tidak kondusif, merefleksi pene- rapan
tata kelola perusahaan yang tidak baik, good corporate governance yang lemah. Tata kelola perusahaan yang
baik, pada esensinya, menggambarkan adanya wadah untuk pelaksanaan pengambilan
keputusan dalam perusahaan yang transparan dan bertanggung jawab dalam rangka
menepati janji terhadap para investor, kreditor, dan pemilik saham, dalam hal
menciptakan laba oleh perusahaan. Keadaan ini tidak dimiliki oleh CGN.
Pernyataan yang mengatakan bahwa Bank Mandiri
menye-lamatkan aset Tahta Medan dan memperoleh keuntungan dengan pemberian
kredit US $18.5 juta perlu dikaji ulang. Walaupun dari segi hukum perjanjian,
kredit harus dibayar kembali, tetapi uang tunai tidak sama dengan kredit. Bank
Mandiri memberikan kredit US $18.5 juta kepada CGN untuk membeli Tahta Medan,
dan pihak CGN sama sekali tidak mengeluarkan dana sendiri. Pemberian kredit ini
dapat dikatakan semata-mata berdasarkan laporan penilaian independen yang
dilakukan oleh PT. Inti Utama Cahaya Perkasa pada 20 Mei 2002.
Laporan tersebut menyatakan bahwa aset Tahta Medan
bernilai sekitar Rp182.1 miliar. Penilaian ini kemudian diperkuat dengan adanya
surat penawaran dari PT. Dian Cerah Sentosa pada 1 Desember 2005 untuk
membelinya dengan harga Rp195 miliar. Namun, hal ini baru berbentuk penawaran
dan penilaian, dan transaksi belum terjadi. Berapa besar pasar dapat membayar
tunai aset tersebut masih harus dibuktikan. Di daerah yang sama, transaksi
serupa untuk digunakan sebagai patokan yang lebih pasti belum pernah terjadi.
Untuk memberikan ilustrasi lebih me-nyeluruh, ada sebuah adagium yang tepat untuk menggambarkan
keadaan pemberian kredit kepada CGN, yaitu good
money is thrown at bad money, atau ‘kredit
baru’ diberikan kepada (debitor yang telah memiliki) ‘kredit macet’. Debitor
penerima kredit baru adalah perusahaan atau proyek (Tahta Medan qq Hotel Tiara
Medan) yang sebelumnya pernah menimbulkan kredit macet dua kali, dan dalam
keadaan terus merugi, serta dengan agunan yang nilainya masih diragukan.
Keadaan ini jelas menunjukkan sikap yang sangat tidak hati-hati, dan melanggar
asas-asas perkreditan yang sehat dan duty
of care.
Di lain pihak, Bank Mandiri masih harus menunggu
pelunasan kredit yang US $18.5 juta tersebut beberapa tahun ke depan. Karena
adanya risiko yang selalu melekat pada setiap kredit, ada kemungkinan Bank
Mandiri tidak dapat memperoleh kembali jumlah kredit US $18.5 juta ini secara
utuh. Jika agunan tersebut harus dieksekusi dan dilelang kembali oleh Bank
Mandiri, Bank Mandiri kemungkinan besar akan benar-benar mengalami kerugian.
Dengan gambaran seperti itu, sulit membayangkan bahwa pemberian kredit kepada
CGN dapat memenuhi harapan dua Pasal tersebut, dan bukan merupakan pertimbangan
bisnis yang rasional.
Dalam konteks
pertimbangan bisnis, direksi tidak berusaha mengambil keputusan yang tepat
dalam pemberian kredit sesuai Pasal 92 Ayat 2 UU PT, karena terlihat jelas
mengabaikan prinsip kehati-hatian tanpa ada alasan rasional. Latar belakang dan
catatan debitor dalam berhubungan dengan bank di masa lalu tidak diindahkan,
keadaan keuangan yang tecermin dalam laporan keuangan tidak dipelajari, dan
alasan pemberian kredit untuk menyelamatkan aset Tahta Medan bersifat
menyesatkan. Tindakan-tindakan ini tidak memenuhi kewajiban direksi terhadap duty of care, iktikad baik, dan tujuan
bisnis yang rasional, sehingga tidak bersifat untuk memajukan kesejahteraan
perusahaan atau bank.
2) Dalam Kaitan
dengan Pasal 2 dan Pasal 8 UU Perbankan
Dalam konteks perkreditan, apabila Tahta Medan memohon kredit
baru atau investor mengajukan permohonan kredit untuk membeli aset Tahta Medan
kepada bank, bank mempertanyakan aspek hukum kepemilikan dan kualitas aset yang
mendasari aset kredit itu (berupa Hotel Tiara Medan). Bank kemudian
memper-tanyakan sejauh mana hotel itu mampu menghasilkan arus kas. Biasanya, seorang pemutus kredit yang berpengalaman tidak bersedia
menyetujui usulan kredit dari calon debitor yang memiliki sejarah panjang di
pengadilan, apa pun sebabnya.
Kalaupun pemutus kredit tetap ingin membiayai investor,
syarat utama yang akan diajukan adalah investor harus memiliki modal sendiri
minimal 30% dari nilai pembelian (70% dari bank). Di samping itu, perlu ada
jaminan untuk kepentingan bank bahwa investor memiliki dana sendiri yang
diperlukan untuk melakukan renovasi hotel. Dana sendiri itu juga diperlukan
untuk menutup biaya yang membengkak (cost
overrun) yang mungkin
terjadi dalam melakukan pekerjaan renovasi tersebut. Untuk meyakinkan dirinya,
biasanya bank akan meminta investor untuk meletakkan sejumlah pembiayaan
sendiri itu dalam sebuah rekening khusus yang diawasi oleh bank (escrow account). Pihak bank
mengontrol penggunaan dana dari escrow
account ini.
Di samping itu, sebagai prosedur standar, bank tentu akan
meneliti fisibilitas proyek hotel tersebut. Bank terlebih dahulu akan
mempelajari faktor-faktor kegagalan hotel di masa lalu, dan menentukan tindakan
apa yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan hotel di masa depan. Dalam
proses persetujuan kredit BL, semua hal yang disebutkan ini tidak dilakukan
oleh Bank Mandiri.
Di lain pihak, sebagai sumber pelunasan kredit BL ini,
disebutkan bahwa kredit investasi yang akan diberikan oleh Bank Mandiri. Ini
artinya sudah dipastikan bahwa Bank Mandiri akan memberikan persetujuan untuk
kredit investasi sebagai sumber pelunasan BL. Kredit investasi merupakan
komitmen untuk menye-diakan dana berjangka waktu lebih panjang. Seyogianya,
faktor risiko yang berkait dengan komitmen jangka panjang ini harus dikaji
sebelum BL diberikan.[8][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Tindakan kehati-hatian dapat dilihat dari proses analisis
unsur-unsur 5C calon debitor. Analisis yang cermat dan jujur akan mem-berikan
bank keyakinan bahwa calon debitor memiliki niat dan kemampuan untuk membayar
utangnya. Apakah tindakan kehati-hatian dilakukan atau tidak ditentukan oleh
proses analisis, bukan oleh pernyataan para analis walau di bawah sumpah sekali
pun.
Nota Analisis 1 mengusulkan kredit BL tetapi sama sekali
tidak membahas unsur 5C. Bahkan, latar belakang pemilik dan reputasi CGN juga
tidak dikemukakan. Nota Analisis ini tidak memiliki informasi keuangan sama
sekali, baik yang berkait dengan CGN maupun Tahta Medan. Usulan kredit
tampaknya dibuat berdasar-kan agunan
semata, hanya berupa Tiara Convention Centre dan tiga unit rumah. Di samping
itu, disebutkan bahwa Bank Mandiri belum memperoleh nilai taksasi dari agunan
tersebut, tetapi staf Bank Mandiri memperkirakan hanya bernilai Rp52.4 miliar.
Selanjutnya, tindakan kehati-hatian dapat pula dilihat
apakah sebelum kredit dicairkan, bank telah melakukan pengikatan kredit dan
jaminan yuridis secara sempurna. Dalam kenyataannya, jauh setelah kredit
dikucurkan, 28 Oktober 2002 sampai tahun 2005, hak tanggungan (d/h hipotik)
atas jaminan utama tidak pernah dipasang. Bahkan, ada sejumlah persyaratan
kredit lainnya tidak dipenuhi oleh CGN. Kenyataan ini menunjukan bahwa
pengawasan kredit Bank Mandiri, baik sebelum maupun setelah kredit dikucurkan
sangat lemah, atau berkemungkinan ada unsur kesengajaan atau kelalaian sehingga
tidak diawasi. Di sini, direksi dengan jelas melanggar prinsip kehati-hatian
dan tidak memenuhi duty of care-nya.
Berdasarkan teori, sebelum fasilitas kredit talangan (bridging loan) diberikan, terutama
dalam jumlah besar, bank harus memas-tikan sumber pembayaran yang meyakinkan
untuk pelunasannya. Nota Analisis 1 menyebutkan bahwa sumber pelunasan BL
berasal dari kredit investasi yang akan diberikan Bank Mandiri. Namun, pihak
Bank Mandiri sendiri, dalam hal ini direktur manajemen risiko, menuliskan syarat bahwa “debitor harus
menyediakan dana untuk bunga karena saat ini EBITDA rendah”. Di samping syarat
ini tidak pernah dipatuhi, catatan tersebut jelas menunjukkan adanya pandangan
bahwa CGN atau Hotel Tiara Medan berkemungkinan tidak akan mampu membayar bunga
kredit, selain angsuran pokok.
Dengan
demikian, direksi tidak mengindahkan pendapat pihak komisaris sebagai pengawas
terhadap kebijakan direksi; sehingga dapat membuat direksi bertanggung jawab
secara pribadi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pertimbangan pemberian
kredit investasi tidak berdasarkan data dan fakta yang relevan yang diperlukan,
sehingga mengabaikan duty of care.
3) Dalam Kaitan
dengan Pasal 11 dan Pasal 29 Ayat 4 UU Perbankan
Pasal 11 UU Perbankan merupakan ketentuan mengenai batas maksimum
pemberian kredit (BMPK). Dalam kaitan ini, yang menjadi pertanyaan mendasar
adalah kenapa kredit diberikan pertama kali kepada CGN, kemudian baru dinovasi
ke Tahta Medan. Di sini dapat diduga bahwa pemberian kredit ini merupakan
bentuk lain dari pemberian kredit silang (cross
loan) atau penyimpangan
dari asas pemberian kredit yang sehat.
Dalam kasus Neloe Cs ini, pertanyaan tersebut merupakan
pertanyaaan kritis yang perlu diutarakan dalam mengkaji kasus ini lebih dalam,
dan perlu dicarikan jawabannya. Berdasarkan akta pendirian perusahaan, CGN
didirikan pada 23 April 2002. Kemudian, pada 9 Juli 2002, CGN memperoleh
pengesahan sebagai Perusahaan Terbatas dari Menteri Kehakiman. Bank Mandiri
menyetujui kredit bridging loan (BL) pada 23 Oktober 2002 dan cair 28
Oktober 2002. Selanjutnya, kredit investasi untuk CGN yang merupakan konversi
dari kredit BL disetujui pada 24 Januari 2003, dan kredit ini cair pada 28
Januari 2003 untuk melunasi kredit bridging
loan (BL).
Pada 10 Desember 2003, CGN memohon ke Bank Mandiri untuk
mengalihkan kredit investasi CGN (atau novasi) kepada Tahta Medan. Pada saat
itu, seperti yang telah diperjanjikan, belum seluruh saham Tahta Medan telah
beralih dari pemilik lama (anak perusahaan dan Dana Pensiun Bank Mandiri) ke
pemilik baru, yaitu Grup Domba Mas. Akta Novasi ditandatangani pada 19 Desember
2003. Setelah kredit BL cair dan dikonversi ke dalam kredit investasi, debitor
diganti dari CGN menjadi Tahta Medan. Dari uraian ini, jelas dapat dilihat
bahwa CGN didirikan khusus untuk membeli aset Tahta Medan dengan memperoleh
kredit dari Bank Mandiri untuk membiayai pembelian tersebut.
Pertanyaannya sekarang adalah kenapa pemberian kredit,
baik BL maupun kredit investasi, harus lewat CGN terlebih dahulu, tidak
langsung diberikan kepada Tahta Medan. Orang yang berkecim-pung dalam perbankan
mungkin dapat menjawab pertanyaan ini. Jawabannya adalah apabila kredit
diberikan kepada Tahta Medan pada waktu itu, pemilik lama masih terkait dengan
Bank Mandiri (yaitu anak perusahaan dan Dana Pensiun Bank Mandiri), sehingga
Bank Mandiri akan melanggar ketentuan BMPK. Hal ini tidak mungkin dilakukan
oleh Bank Mandiri, karena mengandung risiko yang sangat besar bagi pelakunya
(karena adanya ancaman pidana, lihat Pasal 49 ayat 2 huruf b UU Perbankan).
Penyimpangan ini akan mudah dideteksi, apalagi jika diingat bahwa pengawasan
Bank Indonesia terhadap ketentuan kehati-hatian atau prudential regulation
jauh lebih ketat dibandingkan semasa sebelum krisis 1997/1998.
Uraian ini dapat membawa kepada kesimpulan bahwa rencana
pemberian kredit ini telah dibahas oleh pihak calon debitor dengan petinggi
Bank Mandiri. Pembahasan itu diduga dilakukan jauh sebelum CGN melayangkan
surat resmi untuk permohonan kredit kepada Bank Mandiri, pada 23 Oktober 2002.
Hanya pihak bank yang dapat memahami masalah teknis pemberian kredit dengan
pola seperti ini. Pemberian kredit ini mirip dengan swap loan atau cross loan,
dengan tujuan untuk menghindari ketentuan BMPK.
Peraturan Bank Indonesia No. 7/3/PBI/2005 tentang BMPK,
menyebutkan bahwa bank dilarang memberikan penyediaan dana kepada pihak terkait
yang bertentangan dengan prosedur umum penyediaan dana yang berlaku (Pasal 5
Ayat 1), bank dilarang membeli aktiva berkualitas rendah dari pihak terkait
(Pasal 5 Ayat 3), dan apabila kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait
menurun menjadi kurang lancar dan seterusnya, bank harus menyelesaikannya untuk
memperbaiki keadaan tersebut (Pasal 5 Ayat 4).
Dengan adanya ketentuan tersebut, kecuali melalui CGN,
Bank Mandiri tidak dapat memberikan kredit langsung kepada Tahta Medan, atau
melunasi utang Tahta Medan, atau membeli aset kredit langsung dari BPPN. Pada
waktu itu, Tahta Medan sepenuhnya dimiliki oleh anak perusahaan dan Yayasan
Dana Pensiun Bank Mandiri, sehingga merupakan pihak terkait dengan Bank
Mandiri. Tambahan pula, Tahta Medan memiliki kredit macet US $31.5 juta
tercatat di BPPN, dan Laporan Keuangan Tahta Medan menunjukan keadaan yang
terus merugi sehingga modalnya menjadi negatif (keadaan ini tidak diungkap
ketika BL akan disetujui), sehingga memenuhi kriteria sebagai aset ber-kualitas
rendah.
Pasal 29 Ayat 4 UU Perbankan menyebutkan bahwa dalam
memberikan kredit, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan. Dari
uraian-uraian itu, pemberian kredit kepada CGN tidak memenuhi
ketentuan-ketentuan yang berlaku, sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi Bank
Mandiri. Alasan pemberian kredit kepada CGN disebutkan untuk melakukan
divestasi Tahta Medan, dalam rangka mempersiapkan IPO Bank Mandiri, memenuhi
LoI pemerintah dengan pihak IMF, dan berkonsentrasi pada bisnis utama
perbankan. Namun, sesungguhnya, Bank Mandiri dapat menempuh cara lain untuk
melakukan divestasi tersebut. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan prinsip BJR,
direksi dapat dikatakan tidak berusaha mencari alternatif terbaik dalam rangka
memajukan perseroan atau memberikan alasan yang menyesatkan, sehingga dapat
pula dikatakan melakukan penipuan manajerial (managerial fraud). Di sini, terlihat jelas bahwa direksi
mengambil keputusan secara tidak jujur dan tidak objektif, serta tidak untuk
bisnis yang rasional; sehingga melanggar prinsip dasar BJR.
4) Alternatif
Keputusan: Asset Settlement dengan Pemerintah
Dengan menggunakan konsep BJR, pengambilan keputusan
direksi adalah menggunakan proses tertentu yang logis untuk memilih alternatif
terbaik dari sejumlah alternatif, demi memaju-kan kesejahteraan perseroan. Jika
hal ini dilakukan, dapat dikatakan memenuhi ketentuan pengambilan keputusan
yang dianggap tepat sesuai Pasal 92 Ayat 2 UU PT. Uraian ini menunjukkan bahwa
dalam rangka menyelesaikan masalah kredit macet yang berkait dengan Hotel Tiara
Medan, sesungguhnya ada alternatif lain yang dapat dipilih. Pilihan ini dapat
menekan kerugian Bank Mandiri, dalam arti tidak perlu memberikan kredit baru
bagi kredit yang telah macet. Uraiannya sebagai berikut.
Tahta Medan dimiliki oleh anak perusahaan (PT. Pengelola
Investama Mandiri, disingkat PIM) dan Dana Pensiun Bank Mandiri (DPBM), dan itu
artinya secara tidak langsung dimiliki oleh pemerintah, karena pada waktu itu
seluruh saham Bank Mandiri dimiliki oleh pemerintah. Berdasarkan fakta ini, ada
cara lain yang dapat ditempuh. Cara ini jauh lebih mudah dan tidak memerlukan
dana sama sekali, atau tidak memerlukan pemberian kredit dari Bank Mandiri.
Jika Bank Mandiri benar-benar sadar bahwa Tahta Medan
dimiliki secara tidak langsung oleh pemerintah, sehingga untuk menyelamatkan
Tahta Medan dan sekaligus melakukan divestasi, Bank Mandiri dapat menulis surat
ke Menteri Keuangan. Bank Mandiri dapat meminta Menteri Keuangan agar BPPN
tidak melelang aset Tahta Medan, tetapi mengembalikannya ke pihak pemerintah.
Jika disetujui, BPPN kemudian akan mencatat bahwa aset yang dimilikinya telah
diserahkan kepada pemerintah, dan nilai aset kredit yang dimiliki menjadi
berkurang sejumlah yang sama (asset
settlement).
BPPN pernah melakukan hal yang serupa, yaitu ketika
menyerahkan Gedung Timor milik Humpus Group yang berada di Jalan Merdeka Timur,
Jakarta, kepada pihak pemerintah. BPPN melakukan set off tagihannya untuk jumlah yang sama. Tindakan ini dilakukan
karena Gedung Timor sulit untuk bisa terjual kepada pihak swasta, karena ada
ketentuan pemerintah yang mengatur bahwa kawasan Jalan Merdeka hanya
dipergunakan untuk per-kantoran pemerintah.
Jika BPPN melelang aset, itu artinya BPPN atau pemerintah
secara sadar atau tidak sadar telah bersedia menanggung sejumlah kerugian.[9][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Hal ini karena
dalam keadaan normal sekalipun, tidak ada kasus aset kredit yang dapat dijual
dengan harga 100%. Dalam keadaan perekonomian belum pulih dari krisis, hasil
penjualan yang dapat diperoleh selalu berada jauh di bawah 100%.
Dalam kasus Tahta Medan, aset kredit yang dicatat BPPN US
$31.5 juta. BPPN hanya dapat menjual dengan harga US $10.1 juta, atau
menimbulkan kerugian US $21.4 juta.
Pasar hanya
dapat memberikan harga US $10.1 juta untuk hotel tersebut. Aset hotel harus
direnovasi terlebih dahulu, dan masih harus dibuktikan apakah dapat memperoleh
arus kas yang memadai atau tidak. Masalah ini harus dipertimbangkan oleh
pembeli aset kredit tersebut.
Kerugian BPPN US
$21.4 juta itu merupakan bagian dari nilai obligasi pemerintah untuk membiayai
rekapitalisasi perbankan. Tetapi, kerugian tidak perlu terjadi, jika aset Tahta
Medan dikembalikan ke Kementerian Keuangan atau Kementerian BUMN melalui asset settlement dengan BPPN. Pihak
pemerintah yang menangani dapat mengelola aset yang berbentuk hotel itu
terlebih dahulu, sehingga kerugian tidak langsung terjadi. Namun, karena Bank
Mandiri memberikan kredit kepada CGN, pihak pemerintah mengalami kerugian dua
kali, yaitu: Pertama, ketika BPPN melelang aset kredit Tahta Medan yang
menimbulkan kerugian US $21.4 juta. Kedua, ketika Bank Mandiri
memberikan kredit sejumlah US $18.5 juta kepada CGN untuk membeli aset kredit
(harga awalnya US $10.5), sehingga menimbulkan biaya yang lebih besar sebanyak
US $8 juta. Total kerugian atau biaya yang tidak perlu bagi pihak pemerintah
menjadi US $29.4 juta.
Oleh karena itu, lebih baik bagi pemerintah jika Bank
Mandiri tidak memberikan kredit kepada CGN, yang merupakan pihak di luar
pemerintah. Sebagai alternatif lain, CGN diminta membeli aset Tahta Medan
dengan menggunakan dana dari pihak lain, bukan dari Bank Mandiri. Apabila aset
Tahta Medan dibeli dengan menggunakan dana pihak lain, pemerintah qq Bank
Mandiri tidak akan mengalami kerugian dua kali, dan terhindar dari risiko
kredit.
Transaksi keuangan yang dilakukan oleh BPPN dan Bank
Mandiri akhirnya bermuara pada APBN. Walau secara hukum PT. Bank Mandiri memiliki
kekayaan yang terpisah dari negara, tetapi secara ekonomis kerugian atau
keuntungan yang diciptakan Bank Mandiri dapat memperbesar atau memperkecil
modal pemerintah yang ada di neraca Bank Mandiri. Karena itu, pengambilan
keputusan tersebut tidak melalui pemilihan berbagai alternatif yang perlu
dipikirkan, sehingga bukan merupakan proses yang rasional, oleh karenanya
melanggar duty of care.
5) Dalam Kaitan dengan SK Dir No. 27/162/KEP/DIR
dan SE BI No. 27/7 UPPB, 31 Maret 1995, Mengenai KPB
KPB mensyaratkan bahwa dalam melakukan analisis kredit,
bank harus menggunakan pendekatan konsep hubungan total (total relationship concept).
Ini artinya pemberian kredit yang dilakukan kepada CGN harus mempertimbangkan
jumlah dan kualitas kredit yang sudah diberikan kepada perusahaan atau grup
terkait. Dalam kenyataannya, Nota
Analisis 1 (untuk persetujuan bridging
loan) dan 2 (untuk kredit investasi) sama sekali tidak menyebutkan bahwa
debitor, atau dalam hal ini CGN, adalah bagian dari Grup Domba Mas. Grup ini
merupakan nasabah Bank Mandiri yang cukup besar.
Untuk pertama kali, Tahta Medan disebutkan sebagai bagian
dari grup Domba Mas pada memo yang dibuat oleh Group Corporate Relationship I/Acquisition Dept., pada 14
Januari 2004, mengenai penarikan sebagian agunan. Grup ini memperoleh fasilitas
kredit Rp2.4 triliun dari Bank Mandiri dengan tunggakan pokok Rp35.4 miliar
(per 6 Januari 2004), dan tunggakan bunga Rp29.8 miliar (per 26 Mei 2004).
Jadi, ketika Nota Analisis 1 dibuat, berkemungkinan grup ini telah bermasalah
di Bank Mandiri, atau eksposur total Bank Mandiri terhadap grup ini sudah
terlalu besar. Hal inilah yang seharusnya ditemukan atau diungkapkan ketika me-review Nota Analisis 1 (23 Oktober 2002)
dan 2 (13 Januari 2003) oleh pihak Risk
Management yang dibawahi oleh I Wayan Pugeg. Hal ini menimbulkan pertanyaan
kenapa hal itu tidak dilakukan.
Dalam praktik yang umum di perbankan, nasabah yang telah
bermasalah atau eksposurnya sudah terlalu besar di sebuah bank, atau bahkan di
bank lain, akan sulit memperoleh tambahan kredit baru. Hal ini karena bank
harus menerapkan prinsip kehati-hatian atau direksi harus memenuhi kewajiban duty of carenya. Bahkan, KPB menyebutkan
bahwa pemberian kredit harus dihindari, jika debitor atau grupnya merupakan
debitor bermasalah, baik di bank yang sama atau di bank lain. Paling tidak,
bank yang akan mempertimbangkan pemberian tambahan kredit baru itu harus
meneliti lebih jauh alasan kenapa kredit yang ada tersebut bermasalah. Ini
adalah salah satu alasan kenapa total
relationship concept, konsep hubungan total, disyaratkan menjadi bagian
dari kebijakan bank, yang disebutkan dalam PPK dan KPB bank umum dan Bank
Mandiri khususnya.
Dengan adanya konsep tersebut, eksposur kredit bank akan
lebih terkontrol. Artinya, bahwa jumlah pemberian kredit, secara grup maupun
perusahaan individu yang ada dalam sebuah grup, tidak melebihi kemampuan mereka
untuk membayar, baik secara grup maupun secara sendiri-sendiri. Jika secara
grup, pembayaran bunga atau angsuran telah bermasalah atau mulai
tersendat-sendat, dapat dikatakan tidak prudent
bagi bank untuk tetap memberikan tambahan kredit baru kepada grup tersebut,
jika tanpa melakukan tambahan pengamanan yang berarti. Jika tambahan pengamanan
ini diperoleh, dapat dikatakan direksi telah berusaha memenuhi kewajiban duty of care-nya.
Ketika itu, pihak calon debitor, yaitu CGN, sesungguhnya
merupakan bagian dari Grup Domba Mas.
Edyson sebagai direksi CGN merupakan keponakan, memiliki talian darah dengan
pemilik Grup Domba Mas. Keterkaitan ini sesuai definisi Pasal 1 huruf l dan
dari Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/177/KEP/Dir tanggal 31
Desember 1998 mengenai BMPK. Dalam Nota Kredit yang dibuat untuk mengusulkan
kredit tersebut tidak disebutkan sama sekali mengenai keterkaitan antara CGN
dan Grup Domba Mas.[10][***************************] Pada waktu
itu, kolektibilitas Grup Domba Mas pada Bank Mandiri berkemungkinan lebih buruk
dari ‘lancar’. Berdasarkan kebijakan yang berlaku umum di banyak bank dan
ketentuan KPB, kredit baru tak dapat diberikan kepada calon debitor yang
terkait dengan grup dengan kolektibilitas tidak lancar. Dalam konteks BJR, jika
tindakan itu tetap dilakukan, berarti melanggar ketentuan, sehingga
perlindungan BJR tidak dapat diberikan.
Kebijakan
tersebut kemudian dipertegaskan dan diatur oleh Bank Indonesia melalui
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum.
Peraturan ini menyebutkan bahwa jika satu debitor memiliki kolektibilitas yang
rendah (misalnya 3) di sebuah bank, sehingga pinjaman debitor tersebut di bank
lain (sekalipun tercatat dengan kolektibilitas 1), harus mengikuti
kolektibilitas yang paling rendah, yaitu kolekti-bilitas 3 (Pasal 5). Tujuan ketentuan
ini, antara lain, untuk memini-malkan potensi kerugian, sehingga bank wajib
menjaga kualitas aktiva dan wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva.
Dari uraian itu, kasus kredit Bank Mandiri ini jelas
menunjukan adanya unsur error omission (melanggar
ketentuan yang ada) seperti diuraikan oleh Krisna Wijaya, yang
merupakan ketentuan yang harus diikuti tetapi tidak dipenuhi. Tetapi,
pendekatan konsep hubungan total yang diabaikan ini bukan merupakan
satu-satunya error omission yang
dilakukan dalam kasus Neloe Cs. Dengan demikian, dalam perspektif BJR,
perlindungan hukum tidak dapat diberikan kepada direksi yang melakukan hal
tersebut.
6) Proses
Pemberian Kredit CGN
Dari urutan proses persetujuan kredit pada kasus Neloe
Cs, dapat dilihat bahwa adalah Neloe yang membawa secara resmi bisnis
pembiayaan pembelian aset Tahta Medan ke dalam Bank Mandiri dengan tujuan
memberikan kredit investasi. CGN menulis surat pertama kali 23 Oktober 2002 dan
memohon kepada Bank Mandiri untuk memberikan pembiayaan pembelian aset Tahta
Medan, tetapi surat tersebut tidak menyebutkan jenis kredit yang diinginkan.
Melihat dari sifat pembiayaan yang diperlukan, pihak bank dapat memahami bahwa
yang diperlukan adalah kredit investasi. Surat ini tampaknya dibawa langsung
kepada Neloe, dan pada saat yang sama memanggil stafnya, Choirul, untuk datang
ke ruangannya.
Kemudian, Neloe menuliskan disposisi kepada Choirul di
atas surat CGN yang pertama itu dengan mengatakan “harap diproses melalui mekanisme bridging loan (fasilitas talangan).”
Karena untuk memproses kredit investasi umumnya memerlukan waktu yang lebih
panjang, adalah pihak bank dalam hal ini Neloe yang memberikan ide untuk
memberikan bridging loan terlebih
dahulu. Ide ini jelas terlihat pada disposisi Neloe pada 23 Oktober 2002, dan
langsung diikuti oleh CGN sebagai calon debitor. Pada waktu yang sama, 23
Oktober 2002, CGN menyampaikan surat kedua, dan sudah menyebutkan permintaan
fasilitas bridging loan.
Dari uraian tersebut, sifat top down dari special
transaction dalam pemberian bridging
loan kepada CGN ini jelas dapat dilihat. Instruksi Neloe yang disebutkan
itu mendorong pelaksanaan pemberian kredit itu, sejak diterimanya surat CGN
pertama kali tertanggal 23 Oktober 2002. Proses ini berlangsung sampai
keputusan persetujuan pemberian kredit bridging
loan dilakukan pada hari yang sama, pada 23 Oktober 2002. Ini artinya,
Neloe yang berinisiatif, mendorong dan mengontrol pemberian bridging loan, paling tidak sampai
persetujuan formal diberikan kepada pihak CGN. Dalam perspektif BJR, jika
pengambilan keputusan seperti itu dan dilakukan dalam sebuah rapat, dapat
dikatakan bahwa pengambilan keputusan itu hanya mengikuti arahan Neloe sebagai
presiden direktur, dan sebagai pemimpin rapat. Jadi, rapat bukan lagi merupakan
proses pengambilan keputusan yang independen. Direksi lainnya yang hadir dalam
rapat hanya mengikuti arahan pemimpin rapat, atau melakukan tindakan yang
disebut sebagai asal tanda tangan, dan sudah merupakan pemi-kiran grup (groupthink). Berarti proses pengambilan keputusan
seperti itu telah dinodai dengan iktikad buruk.
Dari korespondensi awal sampai persetujuan resmi
diberikan oleh Bank Mandiri untuk fasilitas bridging
loan, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi komunikasi sebelumnya antara
Neloe dan Edyson. Hal ini telah pula menjadi fakta dalam persidangan. Jika
dikaitkan dengan pembahasan yang menunjukkan bahwa CGN didirikan khusus untuk
membeli aset Tahta Medan dengan mem-peroleh kredit dari Bank Mandiri,
berkemungkinan besar pem-bicaraan Neloe dengan pihak Domba Mas mengenai rencana
itu sudah dimulai sebelum CGN didirikan, yaitu sebelum 23 April 2002.
Proses pemberian kredit secara prosedural, seperti yang
diungkapkan di persidangan, dikatakan sebagai proses dari bawah ke atas atau bottom up. Hal ini dilihat dari segi
urutan proses pembuatan memo analisis (Nota Analisis) yang disiapkan oleh staf
di bawah yang lebih junior, dan disalurkan kepada atasan yang lebih tinggi
sampai kepada pemutus kredit.
Akan tetapi,
dari segi pengarahan awal, Neloe yang meme-rintahkan Choirul untuk memproses
fasilitas talangan dan kredit investasi tersebut. Hal ini tidak pernah diungkap
dalam persidangan.
Nama Azalea Limited (merupakan BVI company) dan Century Sino Assets Limited baru disebutkan
ketika fasilitas talangan akan cair. Dalam Nota Analisis 1 sama sekali tidak
menyebutkan adanya dan keterlibatan Azalea Limited. Hanya pada pencairan
fasilitas talangan tahap pertama, nama Azalea baru muncul; sedangkan Century
Sino Assets Limited baru disebutkan pada pencairan fasilitas talangan tahap
terakhir. Dalam Nota Analisis 2, nama Azalea baru dikemukakan, tetapi nama
Century Sino tetap tidak disinggung sama sekali.
Dalam dunia perkreditan yang umum, keterkaitan pihak
ketiga selalu harus dibahas dan dianalisis karena merupakan bagian penting dari
analisis kredit, apalagi menyangkut aliran dana kredit. Hal ini dapat
memengaruhi tingkat risiko yang dihadapi bank, karena dapat menunjukkan ke arah
mana dana kredit akan digunakan, atau mengetahui siapa yang menikmati. Oleh
karena itu, hasil analisis kredit mengenai teknis pembayaran atau pencairan
kredit juga menentukan persyaratan (covenant)
atau klausul pembatas yang dimuat dalam perjanjian kredit, dan kemudian
menjadi bagian atau media bagi pengawasan kredit.
Jika sebuah kredit
diketahui sejak awal untuk membiayai pembelian sejenis barang misalnya, bank
harus mengetahui dari mana barang itu dibeli, dan sekaligus mengetahui kepada
siapa pembayaran harga barang harus dilakukan. Bahkan, bank sering-kali mensyaratkan,
penarikan dana kredit harus disalurkan ke dalam rekening debitor yang ada pada
bank terlebih dahulu, kemudian bank akan mengontrol pengiriman dana itu
langsung kepada penjual barang.
Tujuan pengawasan kredit seperti itu bagi bank untuk
meng-hindari kemungkinan timbulnya risiko yang tidak perlu terjadi, atau yang
sebelumnya tidak diperhitungkan. Sebagai contoh, barang yang akan dibeli oleh
debitor dan dibiayai oleh bank sudah diketahui kualitasnya karena dibeli dari
penjual dengan reputasi yang sudah dikenal, sehingga rencana penjualan dengan
keun-tungan debitor sebagai sumber pembayaran kredit dapat direalisir. Dari
contoh seperti ini, bank pemberi kredit akan mensyaratkan bahwa pembayaran akan
dilakukan langsung kepada penjual oleh bank dari pencairan kredit debitor,
sehingga tidak ada tuntutan di kemudian hari bahwa pembayaran barang yang
dibeli ternyata belum dilakukan debitor. Keseluruhan uraian ini pada dasarnya
merupakan tindakan kehati-hatian, dan tercakup pula dalam pengertian duty of care.
Di samping itu, bank dapat mengetahui pasti bahwa dana
kredit benar-benar digunakan untuk tujuan dan risiko yang telah diketahui bank.
Harga yang dibayar merupakan hasil kesepakatan semua pihak dan telah dikaji
oleh bank, sehingga kemungkinan penggelembungan (mark up) atau
penggunaan dana kredit untuk tujuan yang tidak diketahui bank dapat dicegah.
Jika hal ini dilakukan, itu berarti melanggar duty of care dan duty of
loyalty.
Terkadang, unsur teknis seperti yang disebutkan cenderung
dilupakan, bahkan sengaja tidak dibahas, atau dilewati begitu saja.
Sesungguhnya, titik klimaks proses persetujuan kredit adalah ketika kredit akan
dicairkan. Setelah kredit cair, tingkat kontrol yang dapat dilakukan bank
umumnya akan berkurang. Oleh karena itu, kontrol atas pencairan dana kredit
merupakan hal yang tidak kalah pentingnya, jika dibanding dengan pada saat akan
me-nentukan apakah kredit akan disetujui atau tidak, karena ke-duanya bersifat ex ante, dan merupakan bagian dari duty of care.
Sebagai bagian dari duty
of care, kontrol terhadap pencairan dana kredit akan menentukan perjalanan
kredit dengan risiko yang telah diperhitungkan atau tidak diantisipasi
sebelumnya, sehingga dapat memengaruhi apakah kredit dapat dilunasi atau tidak.
Karena, setelah itu, kontrol bank terhadap kredit bersifat ex post, dan pada dasarnya cenderung bersifat abstrak. Kontrol
bersifat ex post artinya pengawasan
dilakukan setelah kredit cair. Bank memonitor kinerja debitor dengan mengacu
pada covenants perjanjian kredit yang
telah disepakati, dan lebih banyak berdasarkan pada laporan tertulis maupun
lisan dari debitor.
Pengaturan mengenai pemberian fasilitas talangan baru
dimasukkan sebagai bagian dari KPBM, setelah para terdakwa memberikan kredit
BL. Persetujuan atas isi KPB atau tambahannya harus diberikan oleh seluruh
anggota direksi dan dewan komisaris, serta setiap perubahan harus dilaporkan
kepada Bank Indonesia. Selain itu, yang menjadi masalah dalam kasus Neloe Cs
ini bukan terletak pada pengaturan pemberian kredit BL, tetapi lebih banyak
pada ketentuan kehati-hatian yang disimpangi, atau pelanggaran duty of care dalam perspektif BJR.
Penambahan pengaturan pemberian kredit fasilitas talangan ke dalam KPBM tidak
menghapus penyimpangan yang telah terjadi.
7) Dalam Kaitan
dengan Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit mengandung syarat-syarat tangguh yang
disebut sebagai conditions precedent,
dan memiliki ciri khusus bagaimana kredit harus digunakan. Apabila tujuan
penggunaan kredit semula disimpangi, bank dapat mengakhirinya secara sepihak.
Di samping itu, perjanjian kredit juga berisi sejumlah klausul yang harus
dipatuhi (affirmative covenants), dan
klausul yang tidak boleh dilakukan oleh pihak debitor (negative covenants). Sama halnya jika debitor tidak melakukan
pembayaran bunga dan angsuran pokok; jika covenants
ini dilanggar, berarti debitor melakukan cedera janji atau wanprestasi. Untuk
itu, jika ketentuan itu tidak dipenuhi dan jika diperlukan, bank dapat secara
sepihak mengakhiri perjanjian kredit dengan pihak debitor terkait.
Dalam kasus CGN, ada sejumlah penyimpangan dari klausul
perjanjian kredit. Penyimpangan tersebut, tidak ditindak-lanjuti oleh pihak
Bank Mandiri. Jika penyimpangan itu ditindak lanjuti, seyogianya pemberian
kredit investasi tidak akan diberikan.
Jika kredit investasi itu telah diberikan, Bank Mandiri dapat meminta
pihak CGN untuk memenuhi ketentuan yang ada di dalam perjanjian kredit
tersebut. Jika tidak dipenuhi oleh pihak debitor, Bank Mandiri sebagai kreditor
dapat meminta debitor untuk melakukan pelunasan kreditnya sekaligus. Di sini,
direksi tidak melakukan aspek kontrol, yang bersifat substantif maupun
administratif. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap duty of care, bahkan sekaligus melanggar kewajiban iktikad baik
dari direksi. Direksi melalui bawahannya secara struktural wajib melakukan
fungsi kontrol tersebut.
Dalam kaitan dengan perjanjian kredit, iktikad baik
merupakan landasan moral yang penting dalam membentuk dan melak-sanakan
perjanjian. Iktikad baik bukan saja niat untuk tidak merugikan pihak lain dalam
sebuah perjanjian, tapi lebih dari itu, juga mencakup pihak yang berada di luar
perjanjian, bahkan masyarakat umum.[11][†††††††††††††††††††††††††††]
Dalam konteks perbankan, masyarakat umum secara khusus merupakan para pemilik
dana yang menyimpan uangnya di bank, dan adalah pihak Bank Mandiri itu sendiri.
Di sini, dapat disimpulkan bahwa direksi tidak memenuhi kewajiban iktikad
baiknya terhadap masyarakat pemilik dana dan juga Bank Mandiri, sehingga duty of loyalty-nya dipertanyakan.
Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang
menjadi motif para direksi untuk memberikan kredit BL, dan kemudian kredit
investasi kepada CGN. Sebagai pejabat kredit senior, yang sepanjang karirnya
berkecimpung di bank pemerintah, seyogianya mengetahui sejarah perkreditan
Hotel Tiara Medan qq pemiliknya, Tahta Medan. Tahta Medan sebagai proyek telah
menimbulkan dua kali kredit macet. Apa pun latar belakang pemberian kredit yang
dilakukan oleh direksi tersebut, adalah tidak wajar bagi mereka sebagai pejabat
senior yang berpengalaman untuk memberikan kredit sejumlah seratus persen untuk
membeli proyek (Hotel Tiara Medan) yang pernah bermasalah dua kali, tetapi
melalui calon pemilik baru sebagai debitor. Dalam hal ini, CGN didirikan secara
khusus untuk memperoleh kredit itu dari Bank Mandiri..
Direksi sepatutnya mengetahui, hotel yang dikelola oleh
tim manajemen dan dua pemilik yang berada langsung di bawah kontrol Bank
Mandiri tidak berhasil memperbaiki kinerja hotel. Jelas, di samping terjadi
sejumlah penyimpangan tindakan kehati-hatian yang lainnya, pemberian kredit
kepada proyek yang memiliki jejak rekam seperti itu tidak memenuhi asas
pemberian kredit yang sehat. Oleh karena itu, iktikad baik bagi para direksi
untuk melakukan perjanjian kredit dengan pihak CGN terhadap masyarakat pemilik
dana dan institusi yang diwakilkannya patut sekali dipertanyakan. Iktikad baik
adalah salah satu kewajiban hukum yang harus dipenuhi direksi ketika mengambil
keputusan kredit, kemudian yang diikuti pembuatan perjanjian kredit. Dengan
demikian, dapat dikatakan, direksi dalam mengambil keputusan tidak memiliki
informasi yang relevan dan cukup. Selain itu, dari segi proses pengambilan keputusan,
dapat pula dikatakan tidak dilakukan sepenuhnya menggunakan keahliannya dan pengetahuannya
dalam membuat pertimbangan bisnis terkait,
dan dilakukan tidak secara independen, karena telah dinodai oleh kepentingan lain selain kepentingan
terbaik Bank Mandiri. Karena itu, secara menyeluruh, direksi telah melanggar
iktikad baik, duty of care dan duty of loyalty-nya.
8) Adanya
Penyimpangan atau Pelanggaran
Pelanggaran ketentuan perundang-undangan secara
substantif telah dinyatakan oleh pengadilan tingkat pertama yang disebut
sebagai pelanggaran hukum, baik formal maupun materiil. Namun, Pengadilan ini
hanya menunjuk mengenai pelanggaran hukum pada fakta hukum, yaitu: para direksi
sebagai pihak yang bertanggung jawab atas segala operasional korporasi ternyata
tidak melakukan kontrol terhadap bawahannya, sehingga Bank Mandiri sebagai institusi
tidak melakukan pemasangan hak tanggungan (d/h hipotik), sejak diberi kuasa
pada 22 Oktober 2002 sampai tahun 2005.
Pemasangan hak
tanggungan ini merupakan hal yang sangat krusial dalam pemberian kredit,
terutama dalam kasus pemberian kredit kepada CGN. Dalam kasus CGN, jaminan yang
belum dipasang hak tanggungan merupakan landasan satu-satunya untuk membangun
keyakinan bank bahwa kredit dapat dibayar. Hak tanggungan merupakan lembaga
jaminan yang paling kuat dan paling dapat dieksekusi (executable), dibanding dengan lembaga jaminan lainnya. Pelanggaran
ini bersifat ex post, dan terjadi
setelah pengambilan keputusan pemberian dan pencairan kredit.
Di lain pihak, pengadilan tingkat pertama mengabaikan
fakta hukum lainnya dalam pertimbangan keputusannya, tetapi jauh lebih penting
karena bersifat ex ante, yaitu
pelanggaran yang terjadi sebelum mengambil keputusan pemberian kredit. Inti
pelanggaran ex ante adalah, para
terdakwa secara sengaja mengabaikan tindakan-tindakan prudential, tetapi sebenarnya merupakan kewajiban bagi mereka untuk
mengindahkannya. Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dapat juga
merupakan fakta hukum, antara lain sebagai berikut:
Pertama, yang paling krusial mengabaikan
pendekatan total relationship concept,
sehingga fakta keterkaitan dengan grup peminjam yang besar (grup Domba Mas) di
Bank Mandiri tidak diungkapkan, ketika kredit BL maupun kredit investasi
diberikan. Pada waktu itu, kemungkinan besar grup Domba Mas telah memiliki
tingkat kolektibilitas bukan lancar.
Kedua, pemberian kredit BL kepada CGN sama
sekali tidak berdasarkan informasi keuangan yang dipersyaratkan oleh KPB.
Menurut KPB, kredit tanpa informasi keuangan yang memadai harus dihindari.
Ketiga, para terdakwa memutuskan dan
memberikan kredit sejumlah seratus persen sesuai yang dimohonkan yakni US $18.5
juta kepada CGN dengan tujuan untuk membeli aset Tahta Medan. Baik secara
proyek maupun korporasi, Tahta Medan tidak memiliki jejak rekam yang baik. Oleh
karena itu, sudah sepatutnya dan seharusnya, pihak CGN lebih banyak menggunakan
modal sendiri atau ekuitas, atau
paling tidak sekitar 30% dari nilai pembelian (fakta ini dapat memperkuat
adanya unsur “memperkaya” CGN dan pihak-pihak tertentu lainnya).
Di lain pihak,
nilai kredit yang diberikan melebihi jumlah yang diperlukan untuk membeli aset
tersebut. Kelebihan pemberian kredit tersebut dimaksudkan untuk membantu CGN
dalam melakukan renovasi hotel, dan pembelian saham yang dimiliki oleh anak
perusahaan Bank Mandiri. Tetapi, dalam kenyataannya, sampai tuntutan dilakukan
oleh JPU, dua hal ini belum sepenuhnya dilakukan oleh pihak CGN.[12][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Bahkan, pihak
Bank Mandiri cenderung membiarkan penyimpangan tersebut.
Keempat, mengabaikan pembahasan unsur 5C secara materiil dalam usulan pemberian
kredit BL kepada CGN. Nota Analisis 1 sama sekali tidak menyinggung masalah
tindakan kehati-hatian ini dalam rangka memperoleh keyakinan atas niat dan
kemampuan debitor atau CGN untuk membayar utangnya.
Kelima, Nota Analisis 1
sama sekali tidak membahas sumber pembayaran kredit BL. Tetapi, Nota
menyebutkan bahwa kredit BL akan dilunasi dari kredit investasi yang akan
diberikan kepada CGN oleh Bank Mandiri. Pelunasan kredit investasi ini akan
diharapkan dari hasil usaha hotel dan tower yang masih harus diselesaikan
pembangunannya. Ini artinya apabila kredit BL telah dicairkan, secara gamblang
dapat dikatakan bahwa Bank Mandiri, walaupun secara internal, telah di-fait
accompli untuk memberikan komitmennya terhadap pemberian kredit investasi
tersebut kepada CGN–tanpa analisis kredit apa pun.[13][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Dalam keadaan
seperti itu, jika bank memberikan kredit yang lebih berisiko untuk waktu
pinjaman yang lebih panjang, seperti kredit investasi yang akan diberikan
kepada CGN, bank harus menganalisis kredit tersebut lebih mendalam.[14][****************************]
Keenam, uraian terdahulu jelas menunjukkan
bahwa CGN secara khusus didirikan untuk membeli aset kredit Tahta Medan, dan
dijadikan sebagai debitor awal untuk memperoleh kredit dari Bank Mandiri. Hal
ini dilakukan untuk menghindari BMPK, karena sebelum kredit dikucurkan, Tahta
Medan masih dimiliki oleh anak perusahaan dan dana pensiun Bank Mandiri.
Sebagian dari kucuran kredit tersebut akan digunakan pula untuk membeli saham
Tahta Medan, yang semula dimiliki oleh anak perusahan Bank Mandiri.
9) Wanprestasi:
Persyaratan Persetujuan Kredit tidak Dipenuhi tetapi Memohon Recsheduling dan
Penghapusan Denda
Sejumlah persyaratan kredit tidak dipenuhi oleh CGN, dan
terabaikan oleh bagian pengawasan kredit Bank Mandiri. Ditinjau dari segi
persyaratan kredit yang tidak dipenuhi, CGN telah melakukan sejumlah
wanprestasi. Berdasarkan teori perkreditan dan perjanjian kredit yang lazim
berlaku, Bank Mandiri berhak menegur lalu memberhentikan pemberian kredit
dengan meminta pembayaran kembali seluruh kredit yang outstanding atau terpakai (call
the loan). Tetapi, setelah melakukan novasi kredit dari CGN kepada Tahta
Medan pada 11 Desember 2003, CGN mengusulkan permohonan untuk memperoleh rescheduling pembayaran angsuran pokok
pinjaman pada 19 Maret 2004 (pada saat itu, status kredit CGN berada pada
tingkat kolektibilitas 3, atau ‘kurang lancar’). Rescheduling disetujui oleh direksi pada Juli 2004, dan hal ini jelas
menunjukan keberpihakan para direksi kepada CGN qq grup Domba Mas. Jadi,
tindakan penjadwalan kembali bukan merupakan tindakan bisnis yang rasional, dan
melanggar prinsip kehati-hatian karena tidak berdasarkan analisis yang dalam.
Setelah novasi dilakukan, kredit kembali menjadi bermasalah, dan kemudian
penjadwalan kembali dilakukan, tetapi kredit kembali menjadi macet. Dari segi
teori, tindakan rescheduling tidak
dapat dilakukan, karena pada dasarnya, prospek Hotel Tiara diragukan. Hotel ini
memerlukan renovasi menyeluruh, dan membutuhkan pembiayaan yang tidak berasal
dari utang bank semata. Hal tersebut
jelas melanggar duty of care dan duty of loyalty.
10) Syarat
yang Dikemukakan oleh Presiden Komisaris Binhadi Ketika Memberikan Persetujuan
Rescheduling
Karena persetujuan akhir untuk penjadwalan kembali atau
persetujuan berkait dengan kredit nasabah yang bermasalah harus diberikan oleh
Binhadi sebagai Komisaris Utama untuk memutus-kan persetujuannya atas
penjadwalan kembali tersebut dengan beberapa persyaratan khusus. Sebagai salah
satu persyaratan, Binhadi menyatakan bahwa “dalam rangka melakukan
restrukturi-sasi fasilitas grup Domba Mas secara menyeluruh, debitor (maksudnya
CGN) harus bersedia menandatangani pernyataan untuk menjual perusahaan beserta
asetnya selambat-lambatnya triwulan I tahun 2005”. Namun, seluruh pertimbangan
komisaris tidak diindahkan oleh direksi. Karena komisaris sebagai pengawas
kebijakan direksi mewakili pemegang saham, sehingga dapat pula dikatakan bahwa
direksi melanggar duty of loyalty.
11) Mengenai Agunan
Berdasarkan Pasal 2 dan 8 UU Perbankan,[15][††††††††††††††††††††††††††††]
keyakinan bahwa calon debitor dapat membayar pinjaman yang diberikan diperoleh dari
analisis yang mendalam, yang pada dasarnya menggunakan pendekatan 5C.
Pendekatan ini merupakan manifestasi dari penerapan prinsip kehati-hatian.
Dalam kaitan ini, seperti yang dikemukakan oleh para ahli di persidangan,
apabila unsur-unsur C lainnya telah memberikan keyakinan bahwa seorang debitor
telah memiliki niat dan kemampuan untuk melakukan pembayaran kembali utangnya,
C yang berarti agunan merupakan pelengkap untuk menjamin bahwa kredit akan
dilunasi, sehingga agunan bersifat relatif. Di lain pihak, jika empat C pertama
tidak meyakinkan, unsur C terakhir yang berarti agunan menjadi mutlak untuk
membangun keyakinan atas niat dan kemampuan debitor untuk melunasi
kewajibannya. Hal yang terakhir ini merupakan deskripsi dari kondisi kredit
terhadap CGN yang dihadapi oleh Bank Mandiri, dan 4C pertama tidak meyakinkan,
seperti yang diuraikan berikut:
a) CGN adalah perusahaan yang baru didirikan dan
tidak punya jejak rekam apa pun (capacity).[16][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
b) Tahta Medan yang mewakili aset yang akan
dibiayai untuk dibeli (Hotel Tiara Medan) telah menimbulkan kredit macet dua
kali, pertama di BEII dan kedua di BCA (character).
c) Dari segi kemampuan menghasilkan arus kas
atau penda-patan, bahkan ketika dikelola oleh pihak yang mewakili Bank Mandiri,
hotel tersebut tidak mampu meningkatkan kinerjanya (capacity). Pada saat Bank Mandiri menyetujui pemberian kredit BL
kepada CGN, para direksi tidak memiliki informasi keuangan apa pun, baik
mengenai calon debitor dalam hal ini CGN maupun informasi keuangan mengenai
operasi dari Hotel Tiara Medan.
d) Dari segi permodalan, sejak pertama
menimbulkan kredit macet di BEII, Tahta Medan atau pemilik sebelumnya tidak
memiliki modal sendiri yang memadai, sehingga bergantung sepenuhnya kepada
kredit perbankan (capital).[17][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Bahkan,
renovasi hotel yang dijanjikan belum dilaksanakan sampai saat perkara
disidangkan.
e) Dari segi kondisi ekonomi, Hotel Tiara
menghadapi banyak tantangan dalam menghadapi hotel-hotel baru yang bermun-culan di
sekitar Medan (the condition of economy).[18][*****************************]
Mengacu pada prinsip kehati-hatian yang ditetapkan dalam
Pasal 8 UU Perbankan, analisis yang mendalam untuk mendalami setiap C dalam
pendekatan 5C yang umum digunakan oleh perbankan, dan diaplikasikan terhadap
kondisi kredit yang sedang dihadapi. Dalam mengambil keputusan untuk menyetujui
usalan kredit, setiap C diberikan bobot yang sesuai. Dalam kaitan ini, ketika C
yang lain menunjukkan keadaan yang lemah bagi kreditor, seperti yang
dideskripsikan, C yang terakhir dan berarti ’collateral’
atau agunan merupakan hal yang bersifat krusial untuk benar-benar diperhatikan
dan diperkuat. Walaupun Pasal 1131 KUH Perdata telah memberikan jaminan secara
umum bagi setiap utang yang diambil oleh seorang debitor, tetapi pengikatan
lembaga jaminan harus dilakukan secara yuridis sempurna terhadap aset tertentu
yang diperoleh sebagai jaminan atau agunan. Dalam kasus Tahta Medan, agunan
kredit harus memiliki nilai yang berarti dengan lembaga jaminan harus yang
dapat dieksekusi. Jika salah satu dari kedua faktor ini tidak terpenuhi, barang jaminan sebagai agunan menjadi kurang
berarti. Nilai kredit yang diberikan US $18.5 juta dirasa lebih tinggi
dibanding dengan nilai jaminan yang mendasarinya, yaitu nilai properti yang berbentuk tanah dan bangunan hotel.
Nilai properti seperti ini sulit untuk dicarikan patokan harganya. Walaupun ada
laporan penilaian independen yang menyebutkan nilainya sekitar Rp182.1 miliar,
tetapi hal ini masih perlu dibuktikan pada harga pasar berapa transaksi jual
beli sesungguhnya dapat terjadi. Di lain pihak, properti yang sama ketika
dilelang oleh BPPN hanya menghasilkan nilai US $10.5 juta.
Di samping masalah nilai riil jaminan tersebut, kenyataan
lain menunjukkan bahwa agunan itu belum dipasang hak tang-gungannya. Masalah
ini menempatkan Bank Mandiri di posisi yang sangat lemah. Dalam keadaan seperti
itu, banyak hal negatif yang dapat dilakukan oleh pihak debitor, atau pihak
lainnya yang tidak beriktikad baik, terhadap agunan tersebut. Tindakan negatif
itu akan membuat Bank Mandiri tidak dapat mengeksekusi jaminan yang
dimilikinya, sehingga tidak dapat memperoleh pembayaran kembali atas kredit
yang telah diberikan. Menurut saya, itulah sebab substantif Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan menyatakan ada unsur melanggar hukum, karena hak tanggungan
yang kuasanya telah diberikan tidak dipasang dalam waktu yang lama. Padahal,
hanya hak tanggungan ini yang akan melindungi kredit Bank Mandiri kepada CGN.
Pembelian aset tersebut dibiayai sepenuhnya oleh
kredit Bank Mandiri. Selain itu,
sebagian dari jumlah kredit tersebut untuk membiayai tujuan tertentu lainnya,
sehingga agunan berupa tanah dan bangunan Hotel Tiara Medan dengan jumlah
kredit US $18.5 juta sudah dapat dipastikan memiliki nilai yang lebih tinggi
jika dibanding dengan kemungkinan kekuatan pasar dapat mem-bayarnya.
Sebagai
patokan, dapat pula digunakan kenyataan bahwa BPPN ketika melakukan lelang
hanya menghasilkan nilai US $10.5 juta untuk aset tersebut. Pihak pemenang
lelang (TMMP) berhasil menjual kepada CGN, tetapi dengan dukungan kredit
sepenuhnya dari Bank Mandiri, pada harga US $18.5 juta–tanpa adanya nilai
tambah apa pun yang dilakukan oleh TMMP terhadap properti itu.
Dari segi pertimbangan bisnis, keuntungan US $8 juta
(76%) hanya dari kenyataan properti itu berpindah tangan dirasa sangat tidak
logis. Apabila properti yang sama dijual kembali, besar kemungkinan tidak dapat
memperoleh harga setinggi itu (US $18.5 juta). Uraian ini jelas menunjukkan
bahwa Bank Mandiri telah mengalami kerugian, karena memberikan kredit sejumlah
US $18.5 juta, tetapi memiliki agunan yang nilainya lebih rendah. Terlebih lagi
jika diingat, Bank Mandiri masih harus menghadapi ‘risiko kredit’ yang mungkin
terjadi selama penantian, hingga kredit tersebut benar-benar dilunasi. Uraian
ini menunjukkan bahwa pemberian kredit tersebut dengan jelas melanggar
ketentuan Pasal 2 dan 8 UU Perbankan dan prinsip kehati-hatian.[19][†††††††††††††††††††††††††††††]
Bahkan, atas dasar perhitungan itu mengenai kerugian yang terjadi, keputusan bisnis yang dilakukan itu bersifat
sangat tidak rasional, sehingga diduga ada motivasi lain di belakang keputusan
pemberian kredit tersebut, atau bersifat tidak independen. Karena itu, dalam
konteks BJR, pengambilan keputusan yang melanggar hukum jelas tidak dapat
memperoleh perlindungan hukum, dan sekaligus melanggar iktikad baik, duty of care dan duty of loyalty.
f. Dalam
Putusan MARI Nomor 373 K/Pid.Sus/2011
Mahkamah Agung menyatakan,
bahwa para direksi bersalah, karena pencairan kredit yang dilakukan oleh mereka
dan para pejabat Bank Mandiri tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan
dalam aturan kredit. Akan tetapi, para direksi dan pejabat Bank Mandiri in casu tetap melaksanakan proses
pencairan kredit a quo.
Putusan ini kembali menyatakan bahwa pelanggaran terhadap
aturan kredit internal bank merupakan tindakan melanggar hukum, karena itu
pelakunya dinyatakan bersalah.
Dalam konteks
BJR, tindakan melanggar hukum menghilangkan perlindungan hukum bagi direksi
yang melakukannya.
[1][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta,
2007, hlm. 19.
[2][*************************] Ray D. Madoff, “Unmasking Undue
Influence”, Research Paper No. 1997-03,
<http://srrn.Com/abstract=751564> [1997].
[3][†††††††††††††††††††††††††] Andrew N. Sykes, “Unfair results and
unfair doctrine: Structuring the Application of the Equitable Doctrines of
Undue Influence and Unconscionable Doctrine”, Deakin University.
http://elaw.murdoch.edu.au/archives/issues/2006/1/eLaw_Sykes_13_2006_0.
pdf [Tidak Bertanggal].
[4][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 80.
[5][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Sutan Remy Syahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak
dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia”, Institut Bankir Indonesia,
Jakarta, 1993, hlm. 121-122.
[6][**************************] Indriyanto Seno Adji mengutip pendapat
dari Jean Rivero dan Waline mengenai pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam
Hukum Administrasi Negara (HAN), yaitu dalam tiga wujud: Pertama, penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk
menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Kedua, penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat
tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari
tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan
lain. Ketiga, penyalahgunaan
kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan
untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain sehingga
terlaksana. Indriyanto Seno Adji, ”Overheidsbeleid-Privaatrechtelijkheid
& Tindak Pidana Korupsi”, Prosiding
Seminar Tindak Pidana di Bidang Perbankan, op. cit., hlm. 63.
[7][††††††††††††††††††††††††††] Sundari Arie, ”Tindak Pidana di
Bidang Perbankan ditinjau dari Undang-undang Perbankan dan Peraturan
perundang-undangan terkait serta pemasalahan dalam Prakteknya”, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan,
op. cit., hlm. 24.
[8][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Hal yang
dimaksud ini kemudian diutarakan dalam Credit Memo yang dibuat 22 Januari 2003,
yang merupakan hasil review Bagian
Risk Management terhadap permohonan fasilitas KI untuk CGN, yang ditujukan pada
direktur utama / E.C.W. Neloe. Risk
Management menyatakan bahwa “bagi Bank Mandiri risiko kredit yang telah
diberikan kepada CGN sebenarnya telah terjadi pada saat diberikannya BL Rp160
miliar”, di samping itu disebutkan bahwa “BL tidak dicover oleh agunan yang memadai (hanya berupa bangunan Tiara
Convention Centre dan 3 unit bangunan senilai Rp52 miliar)”.
[9][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Indriyanto Seno Adji pada
intinya berpendapat, polah BPPN sesuai peraturan tertulis pemerintah dan telah
diikutinya. Seluruh proses harus diketahui dan disetujui oleh KKSK. Prosiding Seminar Tindak Pidana Perbankan,
op. cit., hlm. 141.
[10][***************************] Baik dalam Nota Analisa 1 untuk
memperoleh persetujuan BL maupun kredit investasi, hal keterkaitan ini tidak disebutkan. Dalam Nota Analisa 1,
disebutkan bahwa CGN dimiliki oleh Edyson (70%), dan Saipul (30%). Dalam Nota
Analisa 2 (13 Januari 2003), disebutkan bahwa Tahta Medan dimiliki oleh CGN
(66.35%) dan PT. Pengelola Investama Mandiri (33.65%), yang merupakan anak
perusahaan Bank Mandiri. Pada Memo 14 Januari 2004, Tahta Medan dimiliki oleh
CGN 92.97%, dan PT Pengelola Investama Mandiri 7.03%. Baru pada tanggal ini
disebutkan bahwa Tahta Medan dan CGN merupakan bagian grup Domba Mas. Direktur
utama Tahta Medan dan CGN adalah Edyson. Dengan demikian, kedua perusahaan ini
menjadi bagian dari grup Domba Mas adalah karena kehadiran Edyson. Dalam uraian
putusan No. 2068/Pidana Biasa/2005/PN Jakarta Selatan, disebutkan bahwa Edyson
adalah keponakan dari Susanto Liem, pemilik grup Domba Mas.
.
[11][†††††††††††††††††††††††††††] Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaja,
Perikatan yang Lahir dari Perjanjian,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 80,
[12][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Nota Analisis 2 untuk menyetujui
pemberian kredit investasi menyebutkan bahwa CGN akan menyediakan self financing untuk penyelesaian proyek
Tiara Tower dan renovasi hotel US $11.2 juta dan diperlukan adanya escrow account untuk menyediakan dana
yang diperlukan untuk pembayaran pokok dan bunga oleh Tahta Medan /CGN. Kedua
persyaratan kredit ini tidak dipenuhi bahkan sampai adanya surat dakwaan dari
JPU.
[13][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Hanya setelah kredit BL diberikan,
yaitu dalam Nota Analisis 2 untuk menyetujui kredit investasi, yang merupakan
konversi dari kredit BL, analisis kredit dilakukan dengan lebih komprehensif.
Tapi, banyak hal yang dikemukakan perlu diyakini kewajarannya atau kemungkinan
dapat benar-benar dilaksanakan. Di samping keraguan yang disampaikan oleh
Bagian Risk Management dalam Credit
Report pada 22 Januari 2002, Tahta Medan dalam 3 tahun terakhir mengalami
kerugian seperti yang ditunjukan oleh net
profit margin dengan angka negatif 97% pada tahun 2001, angka negatif 382%
untuk tahun 2000, dan angka positif 97% pada tahun 1999. Sedangkan untuk tahun
2002-2003 dan 2003-2004, misalnya, net income diproyeksikan 4% dan 17%. Ini merupakan angka yang
sangat optimis, yang akan dicapai dalam satu tahun berikutnya. Di samping itu, total revenue diproyeksikan US $7.4 juta
untuk tahun 2002-2003, dan US $12.8 juta untuk tahun 2003-2004, sedangkan untuk
tahun 2001 hanya dapat dicapai Rp19.4 miliar (atau hanya US $2 juta). Baik
pendapatan maupun keuntungan yang diproyeksikan menunjukan angka yang sangat
fantastis.
[14][****************************] Seperti yang telah
dicatat dalam catatan kaki sebelumnya, Risk Management Bank
Mandiri telah mengungkapkan hal ini dalam memonya pada 22 Januari 2003, kepada
E.C.W Neloe dan I Wayan Pugeg. Dalam memo disebutkan bahwa risiko kredit telah terjadi ketika BL
disetujui, dan kredit investasi diberikan karena: 1). Memperbaiki nilai agunan dari Rp52.4
miliar menjadi Rp182.1 miliar, dan 2). Jika kredit investasi tidak diberikan,
risiko Bank Mandiri terhadap kredit BL tidak terbayar pada waktu jatuh tempo
menjadi 100%; tetapi jika kredit investasi diberikan, risiko kredit yang
dihadapi Bank Mandiri akan menjadi lebih kecil, karena pembayaran kembali
kredit akan disesuaikan dengan kemampuan cash
flow perusahaan. Ini artinya, mau tidak mau, Bank Mandiri harus tetap memberikan KI, yang notabene
merupakan konversi dari kredit BL.
[15][††††††††††††††††††††††††††††] Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
[16][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Dalam Credit Report 22 Januari 2003, sebagai hasil review dari Bagian Risk Management terhadap usulan pemberian
kredit investasi kepada CGN, yang disampaikan kepada E.C.W. Neloe dan I Wayan
Pugeg, menyebutkan bahwa CGN adalah perusahaan baru dan pengurus sebelumnya
tidak berpengalaman di bidang hotel.
[17][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Credit Report yang sama seperti pada catatan kaki sebelumnya, juga
menyebutkan bahwa Nota Analisis 2 tidak membahas sumber-sumber pemenuhan self financing yang diperlukan untuk
menyelesaikan proyek Tiara Tower dan renovasi Hotel Tiara yang dapat menimbulkan
risiko tidak terselesaikannya proyek hingga akhirnya dapat menimbulkan risiko
kredit.
[18][*****************************] Dalam Credit Report yang sama seperti yang disebutkan pada catatan kaki
sebelumnya, Bagian Risk Management mengemukakan bahwa feasibility study tidak membahas akibat
Bom Bali yang menurunkan industri pariwisata di Indonesia, data statistik BPS
menunjukan bahwa tamu hotel di Sumatera Utara kebanyakan merupakan tamu lokal
dengan perbandingan 1709:331 sebagai tamu asing, sehingga hotel di sini
beraktifitas terutama di bisnis dan bukan untuk wisata. Karena itu, tarif hotel
sangat menentukan, karena proyeksi dalam feasibility
study menggunakan tingkat sewa kamar atau hotel rate yang lebih tinggi dibanding dengan hotel lainnya di
Medan. Kemudian disebutkan bahwa asumsi occupancy
rate yang digunakan dinilai terlalu optimis, yaitu 60% sedangkan rata-rata
industri hanya menunjukan angka 41% di tahun 2001 dan 40.37 di tahun 2002
(sampai September). Dalam bahasa yang sangat diplomatis disebutkan sebagai
konklusinya, bahwa: ”Dengan demikian apabila faktor-faktor ini diperhitungkan
dengan menambahkan analisa sensitivitas khususnya terhadap occupancy rate dan tarif hotel akan didapatkan kemampuan yang
sebenarnya dari hotel tersebut dalam memenuhi kewajibannya.”
[19][†††††††††††††††††††††††††††††] Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan.
Kesaksian !!! Kesaksian !!! kesaksian !!!
BalasHapusNama saya Endah Faridah, saya dari Indonesia, saya seorang Muslim yang taat Saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu semua orang mencari pinjaman untuk berhati-hati tentang scammers karena mereka setiap tempat, beberapa bulan yang lalu aku finansial turun, dan karena dari kebutuhan saya, putus asa dan kemiskinan, saya telah scammed oleh beberapa perusahaan bernama pemberi pinjaman online. Saya kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman dia sangat handal disebut ibu Lucy Smith yang meminjamkan Aman dan pinjaman tanpa jaminan dari $ 150,988USD dalam 24 jam tanpa tekanan, pada awalnya itu seperti mimpi bagi saya sampai aku melihat peringatan dari bank saya bahwa accout saya dikreditkan oleh Lucy Smith Pinjaman Perusahaan. Saya mendorong sesama Indonesia yang membutuhkan pinjaman untuk silahkan hubungi Ibu Lucy Smith melalui: lucysmithloanfirm@gmail.com
Awas! Anda juga dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut melalui: faridahendah007@gmail.com
MUNGKIN ALLAH DITERIMA Nama saya Humaira Kiyoraka, saya dari kota Jayapura, Indonesia. Saya ingin menggunakan media ini untuk menginformasikan semua dalam kelompok ini mencari uang pinjaman untuk berhati-hati, karena ada penipuan dimana-mana. Beberapa bulan yang lalu, saya mengalami kerugian finansial dan bank menolak memberikan pinjaman karena saya tidak memiliki jaminan sehingga saya memutuskan untuk mencari pinjaman dari Man di Malaysia dan saya tertipu oleh orang-orang di Malaysia. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya yang telah mengubah adik perempuan saya, Nyonya Mira Binti Menangis, yang menyebut saya sebagai pemberi pinjaman yang sangat andal dan terpercaya bernama Rossastanley, pemberi pinjaman pribadi, ketika dia memberi tahu saya tentang hal itu saya mencekiknya bagaimana mungkin untuk mendapatkan pinjaman dari internet, tapi dia tertawa dan mengatakan kepada saya bahwa, itulah yang dipikirkannya pada awalnya tapi dia memutuskan untuk menghubungi stanley Rossa dan bahwa ketika pinjaman tersebut disetujui dia tidak mempercayainya sampai ibu Rossa menjelaskan kepadanya bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah satu dukungan mereka secara finansial di lain untuk membantu orang-orang miskin dari ASIA jadi saya memutuskan untuk menghubungi ibu Rossa stanley pinjaman layanan pelanggan perusahaan melalui email dan segera mereka menjawab bagaimana mereka bisa membantu jadi saya mengatakan kepada mereka Nyonya Mira Binti Muhammad memberi saya kontak perusahaannya dan Saya mengisi formulir dan lihatlah pinjaman saya telah disetujui, bagian yang menakjubkan adalah suku bunga rendah hanya 2% jadi saya mengajukan pinjaman sebesar Rp250.000.000,00 dan lihatlah setelah melewati proses verifikasi, pinjaman saya Rp250.000.000,00 telah disetujui dan mereka meminta rincian bank saya, saya segera mengirimkan rincian rekening Bank Negara Indonesia (BNI) saya dan Lihatlah saya saya telah dipindahkan ke ACCOUNT saya, saya tidak dapat berterima kasih kepada ROSSA cukup dan saudara perempuan saya Mira Binti Muhammad dan juga United Nation untuk skema Kredit yang bagus ini, jadi saran saya untuk Anda semua adalah jangan hubungi semua pemberi pinjaman palsu ini, tetapi hubungi ibu perusahaan pinjaman rossa untuk memenuhi kebutuhan pinjaman cepat dan Anda akan bersaksi seperti saya juga email perawatan pelanggan perusahaan Rosunda adalah Rossastanleyloancompany@gmail.com, tapi jika Anda memerlukan bantuan dalam memproses kebutuhan pinjaman Anda jangan ragu untuk menulis saya di humairakiyoraka@gmail.com atau saudara perempuan tercinta di Mirabintimuhammed@gmail.com dan Anda pasti akan seperti kami yang sekarang bersaksi kepada ibu rossas bantuan keuangan yang besar,
BalasHapusCATATAN: Tidak ada biaya pendaftaran, asuransi atau biaya pajak seperti pemberi pinjaman palsu,
Semoga ALLAH memberkati kalian semua,
Apakah Anda ingin memenuhi impian Anda dengan dana? Dalam 24 jam, PERUSAHAAN PINJAMAN GLORIA (GLC) menyediakan semua jenis pinjaman Internasional / Lokal, mis. Pinjaman bisnis, pinjaman rumah, dan lain-lain Pinjaman dengan tingkat bunga 2%. Siapa pun yang tertarik harus menghubungi kami melalui email dengan informasi di bawah ini;
BalasHapusData pemohon:
1) Nama Lengkap:
2) Negara
3) Alamat:
4) Seks:
5) Bekerja:
6) nomor telepon:
7) Posisi saat ini di tempat kerja:
8 Penghasilan bulanan:
9) Jumlah pinjaman yang dibutuhkan:
10) Periode pinjaman:
11) Apakah Anda mendaftar sebelumnya:
12) Tanggal Lahir:
E-mail: (gloriasloancompany@gmail.com) ATAU Nomor Whatsapp: Nomor WhatsApp: +1 (361) 645-7557.
Terima kasih