Jumat, 29 Juli 2016

PRINSIP KEPUTUSAN BISNIS: Pemberian Kredit Perbankan Dalam Hubungan Perlindungan Hukum (Bab 5 - Bagian 2)



2.   Pertimbangan Pengadilan
Analisis berikut berupaya mengungkapkan unsur-unsur yang diperlukan dalam mengambil keputusan kredit, sehingga dapat memperoleh perlindungan hukum. Unsur-unsur tersebut di-harapkan dapat disimpulkan dari pertimbangan dan keputusan pengadilan–seperti yang telah dipaparkan dalam Bab III.
a.   Dalam Putusan MARI No. 572 K/Pid/2003
Dari putusan Mahkamah Agung ini terlihat beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam kaitan dengan pengambilan keputusan, yaitu: pertama, penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan dapat diartikan dalam pemberian kredit sebagai pengambilan risiko kredit yang berlebihan, karena batasannya adalah ‘asas umum pemerintahan yang baik’, yang dapat disetarakan dengan prudential principles, atau praktik pemberian kredit yang sehat;
Kedua, pengadilan tampaknya tetap tidak mengkaji keputusan secara substantif murni, tetapi terbatas; dalam arti mengkaji unsur penyalahgunaan wewenang dan kesewenang-wenangan, apakah mengandung unsur melanggar hukum. Konsep marginale toetsing setara dengan penerapan BJR di pengadilan, yaitu apabila ang-gapan BJR dipenuhi, pengadilan tidak akan memeriksa substansi keputusan bisnis direksi. Ditilik dari pertimbangan dan putusan Mahkamah, kalaupun pengadilan mengkaji keputusan secara substantif, penekanannya bukan pada apakah keputusan itu salah atau benar, tetapi tampaknya lebih pada apakah pengambilan keputusan dalam arti prosesnya, dan hasil keputusan itu, melanggar hukum atau tidak;
Ketiga, dari segi proses, disebutkan bahwa pengambilan keputusan untuk menunjuk pihak yang akan diberi pekerjaan, dalam hal ini pengadaan dan penyaluran sembako, sudah melalui proses penelitian kemampuan dan kesanggupan pihak itu dalam rapat yang diadakan untuk tujuan tersebut. Sudah merupakan kewajaran yang telah diterima secara umum, bahwa pengambilan keputusan yang dianggap penting dilakukan melalui pembahasan dalam sebuah rapat yang diadakan untuk tujuan itu. Tentunya, rapat harus pula dihadiri oleh pihak yang terkait dan berkepentingan, sehingga rapat juga menunjukkan adanya proses berpikir secara kolegial dan memiliki unsur transparansi. 
Keempat, dari segi hasil, walaupun keputusan penunjukan pihak untuk melakukan pekerjaan itu (pengadaan dan pembagian sembako kepada masyarakat miskin) tidak membuahkan hasil yang diharapkan, karena pihak yang ditunjuk tidak melakukan pekerjaan yang harus dilakukannya, Mahkamah tidak memper-salahkan pihak yang mengambil keputusan. Pengambil keputusan dibebaskan dari konsekuensi keputusannya, sejauh yang ber-sangkutan tidak ikut menikmati hasil dari keputusannya itu, seperti halnya dalam konsep duty of loyalty. Oleh karena itu, pengambil keputusan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Dalam bahasa BJR, pengambil keputusan tidak melakukan benturan kepentingan atau conflict of interest.
b.   Dalam Putusan MARI No. 1660 K/Pid.Sus/2010
Dari uraian mengenai kekebasan bertindak atau freies ermessen, diskresioner itu dapat dilakukan, jika: Pertama, perundangan memberikan kebebasan untuk itu; kedua, dilakukan untuk tujuan pelayanan; keempat, ketika tidak ada ketentuan perundangan yang mengaturnya; kelima, untuk menangani masalah yang tiba-tiba muncul; dan keenam, dapat dipertang-gungjawabkan secara hukum dan moral.
Karena ruang lingkup pemberian kredit berbeda dengan ruang lingkup tata usaha negara, sehingga tidak semua persyaratan tersebut dapat diterapkan dalam pengambilan keputusan kredit. Dalam kaitan ini, syarat yang dapat digunakan adalah unsur yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Penerapannya dalam keputusan pemberian kredit adalah bahwa keputusan itu dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku, dan sejalan dengan tanggung jawab moral pemutus kredit. Masalah hukum dan moral ini perlu diperhatikan dalam melaksanakan ekonomi kerakyatan.
Tanggung jawab moral dapat pula diartikan sejalan dengan asas kepatutan (zorgvuldigheid). Keputusan kredit merupakan keputusan moral yang paling tinggi, karena menyangkut kepentingan begitu banyak orang, termasuk para deposan yang menyimpan dananya pada bank, dan dana mereka itu digunakan untuk pemberian kredit. Berkait dengan teori besar (grand theory) dalam hal meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak, tanggung jawab moral berarti dana masyarakat itu tidak digunakan untuk pemberian kredit dengan risiko berlebihan, atau risiko yang tidak diperhitungkan sebelumnya. Risiko yang berlebihan atau tidak diperhitungkan sebelumnya, dalam lingkungan perbankan, merupakan kondisi yang tidak patut. Dalam kaitan dengan pertanggungjawaban hukum, ketentuan mana yang berlaku dan harus dipatuhi akan dapat dilihat dari analisis dalam bagian ini kemudian.
c.   Dalam Putusan MARI Regno. 275K/Pid/1983
Putusan ini dapat dianalisis untuk memperoleh berapa simpulan yang dapat digunakan dalam keputusan pemberian kredit, yaitu:
Pertama, unsur melanggar hukum tidak saja berlawanan dengan hukum positif, tetapi juga bertentangan dengan asas-asas hukum tidak tertulis, dan asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan (zorgvuldigheid) dalam masyarakat, termasuk kebijakan perkreditan direksi;
Kedua, pemberian kredit yang menyimpang dari ketentuan tertulis Bank Indonesia dianggap sebagai perbuatan yang dilakukan tanpa kewenangan atau hak yang melekat. Perbuatan itu merupakan perbuatan melanggar hukum.
 Ketiga, direktur yang membawahi perkreditan bertanggung jawab terhadap pihak yang ada di bawahnya, yang bertugas menganalisis dan memeriksa permohonan kredit yang diaju-kannya.
Dari segi hukum, sebelum melakukan tindakan penyelamatan, bank terkait harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia, karena pemberian kredit ini pada awalnya telah melanggar ketentuan Bank Indonesia. Dalam hal ini, kesalahan lebih banyak berada di pihak bank. Di samping itu, persoalan hukum lainnya dan menjadi masalah untuk melakukan penye-lamatan adalah adanya unsur suap dari pihak debitor kepada pejabat bank atau direksi terkait. Hal ini membuat keputusan untuk melakukan tindakan penyelamatan menjadi persoalan yang rumit. Persoalan ini bersifat sangat fundamental dari teori pem-berian kredit, karena menyangkut masalah karakter debitor. Debitor melanggar hukum melalui penyuapan itu. Namun, dari segi penyelamatan kredit secara materiil, bank terkait dapat melakukan eksekusi jaminan, dan melanjutkan proyek dengan pihak ketiga lainnya melalui salah satu dari 3R, setelah menentukan prospek proyek.
d.   Dalam Putusan MARI No. 1916K/Pdt/1991
Inti putusan dan pertimbangan Mahkamah Agung adalah adanya persekongkolan dan iktikad buruk, karena komisaris dan direksi bank pemberi kredit atau kreditor adalah sama dengan komisaris dan direksi perusahaan penerima kredit atau debitor. Pemberian kredit seperti ini juga berkemungkinan merupakan pelanggaran BMPK. Oleh karena itu, iktikad buruk dalam pemberian kredit dapat pula diartikan sebagai pemberian kredit kepada pihak terkait dengan bank, yaitu yang melebihi batas yang diijinkan oleh ketentuan Bank Indonesia.
e.   Putusan MARI No. 1144 K/Pid/2006
Putusan ini mengandung sejumlah unsur dalam ruang lingkup pemberian kredit, yaitu sebagai berikut:
Pertama, Mahkamah menetapkan bahwa kenyataan keten-tuan Kebijakan Perkreditan Bank (internal) tidak dilaksanakan merupakan perbuatan melanggar hukum. Sejalan dengan yuris-prudensi Indonesia mengenai melanggar hukum yang diperluas, ketetapan Mahkamah itu memberikan arti bahwa dalam pemberian kredit bank, ketentuan internal bank disetarakan dengan hukum positif Indonesia. Pemutus kredit harus meme-nenuhi norma-norma umum perbankan, asas-asas perkreditan yang sehat, mematuhi ketentuan internal yang berlaku, penilaian yang jujur, objektif, cermat, dan saksama, serta tanpa pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit. Dalam konteks BJR, pelanggaran prinsip kehati-hatian ini merupakan pelanggaran fiduciary duty oleh direksi, khususnya duty of care yang sekaligus tidak menunjukkan adanya iktikad baik.
Kedua, pelaksanaan prinsip kehati-hatian dilihat dari analisis yang mendalam untuk memperoleh keyakinan atas iktikad baik, kemampuan, dan kesanggupan calon debitor untuk melunasi kredit sesuai perjanjian, kecermatan atau ketakcermatan dalam meneliti kebenaran, mengungkapkan dan menganalisis dengan cermat seluruh informasi, fakta, dan data yang diperlukan.
Sesuai pendapat Hermansyah,[1][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] penerapan prinsip kehati-hatian ini terletak pada bagaimana pihak bank membuat kebijaksanaan dan menjalankan kegiatan usahanya. Mereka wajib menjalankan tugas dan wewenangnya secara cermat, teliti, dan profesional, selalu mematuhi seluruh aturan perundang-undangan yang berlaku secara konsisten dengan didasari dengan iktikad baik.
Ketiga, ketetapan mahkamah tersebut sejalan dengan makna ketentuan Pasal 2 UU Perbankan, dan diterapkan pada hal-hal yang bersifat substantif, tetapi juga yang bersifat administratif, serta dari segi pengawasan kredit. Penerapan pada hal yang bersifat administratif dapat dilihat dari tindakan yang tidak cermat dan keliru dalam mencantumkan nama pemenang lelang. Ini artinya penerapan duty of care tidak saja dilihat dari segi proses, tetapi lebih berkembang sampai pada pengawasan hal-hal yang bersifat lebih teperinci. Ini artinya bahwa materi yang digunakan dalam pengambilan keputusan harus pula telah diperiksa kebenaran dan kelengkapannya.
Penerapan pada hal yang bersifat substantif dapat dilihat dari sejumlah tindakan, yaitu: Tidak melakukan penilaian atas kelayakan jumlah permohonan kredit, sehingga dapat meng-hindari praktik penggelembungan (mark up); tidak memastikan jumlah yang disediakan dari modal sendiri (self financing); tidak dipenuhinya ketentuan bahwa keputusan kredit harus berdasar-kan analisis laporan keuangan calon debitor sesuai ketentuan internal bank; serta berdasarkan daftar jaminan dan informasi yang lengkap. Hal yang terakhir merupakan masalah pengawasan kredit, yaitu tindakan pencairan kredit tidak didasarkan pada dokumen jaminan yang lengkap, sehingga memperlemah kedudukan Bank Mandiri sebagai kreditor.
Keempat, jika ditilik lebih dalam, kelalaian dalam penerapan duty of care tersebut tampaknya karena direksi telah berniat untuk memberikan fasilitas tersebut sebelum analisis kredit dilakukan, dan kemudian hanya dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Dari segi teori, kelalaian dalam menerapkan duty of care dapat terjadi karena adanya motif lain yang melatarbelakangi kelalaian itu; sehingga merupakan iktikad buruk. Motif tersebut tidak saja dapat berupa adanya benturan kepentingan, tetapi karena adanya niat untuk membantu pihak yang berkepentingan. Tampaknya, hal ini yang membuat pengambil keputusan tidak menggunakan akal sehat dan proses pengambilan keputusan yang umumnya telah berlaku dalam lingkungan Bank Mandiri. Oleh karena itu, Mahkamah menyimpulkan bahwa keputusan pemutus kredit telah dipengaruhi oleh kepentingan pemohon kredit. Di samping itu, adanya pernyataan bahwa‚ fasilitas kredit harus segera “dilaksanakan“ bertentangan dengan sikap kehati-hatian, yang seharusnya informasi yang diperlukan diteliti kebenaran terlebih dahulu. Oleh karena itu, terlihat adanya unsur mengikuti keinginan pihak debitor, sehingga melanggar duty of loyalty.
Dalam mengkaji bagaimana seorang bankir senior seperti E.C.W. Neloe dapat dipengaruhi dan mengikuti keinginan pihak debitor, uraian berikut berusaha menjawabnya dengan mengembangkan teori “penyalahgunaan keadaan” atau “undue influence”. Mengutip intisari pendapat Ray D. Madoff, bahwa unsur yang penting untuk membuktikan terjadinya “undue influence”, antara lain, adalah adanya unsur kepercayaan terhadap orang yang melakukan ‘influence’, dan dipercaya untuk memainkan peranan tertentu tetapi secara tidak langsung dalam perumusan, persiapan atau pembuatan surat wasiat, atau perjanjian.[2][*************************] Dalam hal adanya unconscionable dealing, mengutip pendapat Andrew Sykes, unsur yang penting adalah seseorang menggunakan secara berlebihan posisi tawarnya yang lebih kuat, sehingga merugikan pihak lain yang berada di posisi yang kurang menguntungkan.[3][†††††††††††††††††††††††††]
Baik pendapat Ray D Madoff maupun Andrew Sykes itu menunjukkan bahwa aplikasi kedua doktrin ini berfokus pada dua pihak dalam melakukan perjanjian. Dalam kaitan ini, Kartini Mulyadi[4][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] dan Sutan Remy Syahdeini[5][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] berpendapat bahwa iktikad baik tidak saja berlaku bagi pihak-pihak yang merupakan bagian dari perjanjian, dalam pembuatan maupun pelaksanaannya, tetapi juga perlu diterapkan bagi pihak yang berada di luar perjanjian. Jika pendapat ini diterapkan pada kasus Neloe Cs, pihak yang dimaksud sesungguhnya tidak berada jauh di luar perjanjian itu. Mereka merupakan institusi yang diwakili oleh salah satu pihak dalam perjanjian, yaitu Bank Mandiri, dan pihak lain yang berkepentingan secara tidak langsung terhadap perjanjian tersebut adalah para deposan. Oleh karena itu, penggunaan “influence” tadi dapat juga dilihat tidak saja pada pihak lawan dalam perjanjian, tetapi juga dapat mempertanyakan apakah merugikan pihak yang diwakili dan berada di luar perjanjian. Dalam hal ini, Bank Mandiri adalah sebagai institusi yang diwakili oleh salah satu pihak dan para penyandang dana atau para deposan di pihak yang lain itu. Penjelasan ini dapat diilustrasikan dalam skema di bawah ini:
Skema IV-1:
Hubungan antara Pengaruh dan Wewenang
(Undue Influence) dalam Pemberian Kredit
Influence ~ Wewenang
Dalam Perjanjian Kredit


 


Kredit US $ 18.5 juta




Merugikan                                           Menguntungkan
·     Bank
·     Para Deposan
Note: Pihak 1: Bank Mandiri; Pihak 2: CGN

Sumber: Penelitian Penulis Tahun 2011.
Influence” atau pengaruh yang dimiliki oleh pihak CGN setara dengan “wewenang” yang dimiliki oleh para terdakwa ketika menjabat sebagai direksi Bank Mandiri. Kewenangan ini yang digunakan sedemikian rupa sehingga CGN dapat diberikan kredit US $18.5 juta untuk membeli aset Tahta Medan. Penggunaan wewenang[6][**************************] adalah bahwa pelaksanaan pemberian kredit kepada CGN itu dilakukan dengan berbagai alasan yang hubungannya dengan pemberian kredit itu dapat dipertanyakan, dan bersifat tidak kuat. Alasannya mencakup bahwa Bank Mandiri perlu melakukan divestasi Tahta Medan sehubungan Bank Mandiri akan melakukan IPO, adanya LoI antara pemerintah Indonesia dengan IMF, dan seterusnya. Alasan ini bersifat terlalu jauh, atau tidak berkaitan langsung dengan pemberian kredit dari Bank Mandiri, sehingga terkesan mengada-ada. Dalam konteks BJR, alasan ini tidak menunjukkan adanya tujuan bisnis yang rasional.
Bahkan, para staf Bank Mandiri termasuk para analis yang terkait menyatakan dalam persidangan bahwa pemberian kredit kepada CGN tersebut telah mengikuti prosedur, baik dari segi ketentuan internal Bank Mandiri (KPB atau KPBM) maupun ketentuan perbankan lainnya. Pernyataan para analis tersebut, bahwa seluruh prosedur telah diikuti, tampaknya hanya merupakan pemenuhan formalitas belaka; tetapi, sesungguhnya secara substantif, ada sejumlah penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang ada seperti yang telah dikemukakan. Kenyataan ini jika ditinjau dari penerapan BJR identik dengan apa yang disebut sebagai “rubber stamped”, yaitu secara subtantif tidak melakukan penelitian yang saksama terhadap apa yang diputuskan, tetapi asal tanda tangan, sebagai pemenuhan kebutuhan yang bersifat formalitas belaka; sehingga melanggar duty of care.
Sejalan dengan teori “undue influence”, skema tersebut menunjukkan bahwa para terdakwa melakukan pemberian kredit tersebut dengan segala penyimpangan yang terjadi, karena adanya “influence” dari pihak CGN. “Influence” tersebut tentunya bersifat signifikan, apalagi jika diingat bahwa para Terdakwa merupakan bankir senior dengan perjalanan karir yang panjang, serta pencipta Kode Etik Bankir Indonesia. CGN menggunakan “influence” ini untuk memenuhi keinginannya dalam rangka memiliki atau menguasai aset Tahta Medan, atau Hotel Tiara Medan–tanpa dukungan dana modal sendiri dari CGN, kecuali dengan menggunakan kredit Bank Mandiri sepenuhnya melalui “wewenang” para terdakwa. Keadaan ini juga dapat menunjukkan bahwa para direksi melanggar duty of loyalty terhadap bank, karena dapat dipengaruhi oleh debitor sehingga memberikan kredit dengan cara melanggar ketentuan hukum yang berlaku; atau dapat pula dikatakan melakukan penyelewengan diskresi (abuse of discretion).
Kelima, pemberian fasilitas BL dan kredit refinacing dalam bentuk kredit investasi, yang belum diatur dalam ketentuan perkreditan internal bank dan ketentuan Bank Indonesia, dinyatakan tidak memenuhi norma-norma perbankan dan tidak sesuai dengan asas-asas perkreditan yang sehat. Kedua fasilitas kredit ini belum diatur oleh ketentuan Bank Indonesia dan ketentuan internal bank, dan baru diatur oleh terdakwa setelah diberikan. Di sini, tindakan yang tidak atau belum diatur dapat diartikan sebagai tot daden van beschikken, dan belum berada dalam tataran tot daden van beheeren. Ini menunjukkan bahwa pemberian kredit, yang belum diatur dalam kedua ketentuan itu, seharusnya memperoleh persetujuan otoritas yang berwenang terlebih dahulu, dalam hal ini pihak komisaris dan Bank Indonesia. Dalam konteks BJR, tindakan direksi merupakan tindakan yang berada di luar kewenangannya.
Keenam, setelah kredit diberikan ada sejumlah tindakan yang harus dilakukan, tetapi tidak dipenuhi, antara lain, adalah: tidak dibuatkan akta fidusia eigendom overdraft secara notariel, atau pengikatan jaminan tidak dibuat secara yuridis sempurna ber-dasarkan ketentuan bank. Dalam kenyataanya, debitor tidak membayar kewajibannya sesuai perjanjian. Bahkan, sebaliknya debitor mengajukan permohonan untuk melakukan novasi kredit dari CGN kepada Tahta Medan, dan ternyata Tahta Medan juga tidak membayar kewajibannya pada bank, dan kemudian mengajukan permohonan rescheduling. Secara menyeluruh uraian ini menunjukkan direksi tidak menerapkan prinsip kehati-hatian, atau melanggar duty of care dan iktikad baik dalam perspektif BJR.
Ketujuh, Mahkamah Agung berpendapat bahwa para terdakwa harus bertanggung jawab terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh bawahannya, karena mereka memiliki wewenang untuk mengawasinya. Berdasarkan UU PT, direksi bertanggung jawab atas segala operasional dari perseroan terbatas atau kor-porasi. Oleh karena itu, direksi memiliki kewenangan melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap seluruh karyawan di segala lini, melalui tataran dan jenjang pengawasan yang sistemik. Dalam hal ini, direksi harus pula bertanggung jawab atas segala penyimpangan yang dilakukan oleh bawahannya, dan ikut bertanggung jawab atas tidak diikatnya perjanjian jaminan secara yuridis sempurna. Hal ini sejalan dengan pendapat Sundari Arie, bahwa berdasarkan hukum perseroan dan hukum perbankan, pengurus bank, dalam hal ini direksi dan komisaris, wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan operasional bank[7][††††††††††††††††††††††††††] secara menyeluruh; termasuk memantau dan mengawasi kegiatan pemberian kredit. Hal yang sama seperti pada butir di atas, direksi di sini melanggar duty of care dan iktikad baiknya.
Simpulan dari Putusan Mahkamah Agung tersebut umumnya berdasarkan uraian Pertimbangan Pengadilan di bawahnya, yang secara teperinci dianalisis dari segi ketentuan hukum dan perkreditan di bawah ini.
1)   Dalam Kaitan dengan Ketentuan Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 4 UU Perbankan.
Berdasarkan dua pasal tersebut, pemberian kredit ditujukan untuk menyalurkan dana masyarakat dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, sehingga dapat menunjang stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Tema ini sejalan dengan teori besar (grand theory), yaitu konsep negara kesejahteraan Indonesia dengan keadilan sosialnya; bahkan, berkait dengan teori ekonomi kerakyatan (Pancasila). Kedua pasal UU PT ini memihak pada kepentingan rakyat banyak. Untuk itu, kredit harus disalurkan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif. Pemberian kredit kepada CGN untuk membeli aset kredit Tahta Medan tidak menunjukkan ke arah yang dapat membantu pertumbuhan ekonomi.
 Petumbuhan ekonomi rakyat hanya dapat dicapai melalui pembukaan lapangan kerja baru atau meningkatkan produktivitas. Untuk membuka tambahan lapangan kerja baru dan/atau meningkatkan produktivitas, Tahta Medan harus terlebih dahulu melakukan renovasi hotel yang diperlukan, dan harus berhasil dalam bisnis yang dijalankannya. Untuk melakukan renovasi ini, Tahta Medan harus mengeluarkan dana tambahan yang merupa-kan self financing yang telah disepakati, tetapi tidak dipenuhi oleh pihak Tahta Medan.
Jika ditinjau dari sejarah perkreditan, apa pun alasannya, Tahta Medan telah mengakibatkan kredit macet dua kali, pertama ketika kredit diperoleh dari Bank Ekspor Impor Indonesia (BEII), dan kedua dari BCA. Sebagai sebuah bisnis, Tahta Medan harus menyiapkan dana sendiri untuk mengembangkan bisnis, karena pendanaan bisnis yang sehat tidak sepenuhnya bersumber dari kredit bank. Jika unsur modal sendiri tidak memadai, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu: pada tingkat risiko bisnis tertentu, selama bisnisnya berjalan, keuntungan yang dapat diakumulasikan akan tidak memadai atau bahkan dapat merugi karena beban bunga yang besar.
Kemungkinan lain, pemilik saham tidak memiliki modal awal yang diperlukan, sehingga komitmen terhadap bisnis yang di-tangani tidak begitu kuat. Jika dilihat dari laporan keuangan Tahta Medan pada 31 Desember 2001 dan 2002, utang yang dimiliki Tahta Medan Rp272.8 miliar dan Rp233.7 miliar, sedangkan jumlah modal yang dimiliki adalah angka negatif Rp121.6 miliar dan negatif Rp49.9 miliar untuk masing-masing tanggal tersebut (informasi keuangan ini tidak tersedia ketika akan menyetujui kredit BL).
 Angka modal yang negatif ini menunjukkan bahwa sampai tanggal laporan tersebut, operasi Tahta Medan selalu merugi. Dengan demikian, sulit mengharapkan Tahta Medan dapat ber-tahan dalam bisnis hotelnya itu, tanpa suntikan modal baru dari pemilik; tidak pula bisa diharapkan hotel tersebut dapat membuka lapangan kerja baru.
Keadaan perusahaan seperti itu, dengan sejarah perkreditan dan keadaan keuangan yang tidak kondusif, merefleksi pene- rapan tata kelola perusahaan yang tidak baik, good corporate governance yang lemah. Tata kelola perusahaan yang baik, pada esensinya, menggambarkan adanya wadah untuk pelaksanaan pengambilan keputusan dalam perusahaan yang transparan dan bertanggung jawab dalam rangka menepati janji terhadap para investor, kreditor, dan pemilik saham, dalam hal menciptakan laba oleh perusahaan. Keadaan ini tidak dimiliki oleh CGN.
Pernyataan yang mengatakan bahwa Bank Mandiri menye-lamatkan aset Tahta Medan dan memperoleh keuntungan dengan pemberian kredit US $18.5 juta perlu dikaji ulang. Walaupun dari segi hukum perjanjian, kredit harus dibayar kembali, tetapi uang tunai tidak sama dengan kredit. Bank Mandiri memberikan kredit US $18.5 juta kepada CGN untuk membeli Tahta Medan, dan pihak CGN sama sekali tidak mengeluarkan dana sendiri. Pemberian kredit ini dapat dikatakan semata-mata berdasarkan laporan penilaian independen yang dilakukan oleh PT. Inti Utama Cahaya Perkasa pada 20 Mei 2002.
Laporan tersebut menyatakan bahwa aset Tahta Medan bernilai sekitar Rp182.1 miliar. Penilaian ini kemudian diperkuat dengan adanya surat penawaran dari PT. Dian Cerah Sentosa pada 1 Desember 2005 untuk membelinya dengan harga Rp195 miliar. Namun, hal ini baru berbentuk penawaran dan penilaian, dan transaksi belum terjadi. Berapa besar pasar dapat membayar tunai aset tersebut masih harus dibuktikan. Di daerah yang sama, transaksi serupa untuk digunakan sebagai patokan yang lebih pasti belum pernah terjadi.
Untuk memberikan ilustrasi lebih me-nyeluruh, ada sebuah adagium yang tepat untuk menggambarkan keadaan pemberian kredit kepada CGN, yaitu good money is thrown at bad money, atau ‘kredit baru’ diberikan kepada (debitor yang telah memiliki) ‘kredit macet’. Debitor penerima kredit baru adalah perusahaan atau proyek (Tahta Medan qq Hotel Tiara Medan) yang sebelumnya pernah menimbulkan kredit macet dua kali, dan dalam keadaan terus merugi, serta dengan agunan yang nilainya masih diragukan. Keadaan ini jelas menunjukkan sikap yang sangat tidak hati-hati, dan melanggar asas-asas perkreditan yang sehat dan duty of care.
Di lain pihak, Bank Mandiri masih harus menunggu pelunasan kredit yang US $18.5 juta tersebut beberapa tahun ke depan. Karena adanya risiko yang selalu melekat pada setiap kredit, ada kemungkinan Bank Mandiri tidak dapat memperoleh kembali jumlah kredit US $18.5 juta ini secara utuh. Jika agunan tersebut harus dieksekusi dan dilelang kembali oleh Bank Mandiri, Bank Mandiri kemungkinan besar akan benar-benar mengalami kerugian. Dengan gambaran seperti itu, sulit membayangkan bahwa pemberian kredit kepada CGN dapat memenuhi harapan dua Pasal tersebut, dan bukan merupakan pertimbangan bisnis yang rasional.
Dalam konteks pertimbangan bisnis, direksi tidak berusaha mengambil keputusan yang tepat dalam pemberian kredit sesuai Pasal 92 Ayat 2 UU PT, karena terlihat jelas mengabaikan prinsip kehati-hatian tanpa ada alasan rasional. Latar belakang dan catatan debitor dalam berhubungan dengan bank di masa lalu tidak diindahkan, keadaan keuangan yang tecermin dalam laporan keuangan tidak dipelajari, dan alasan pemberian kredit untuk menyelamatkan aset Tahta Medan bersifat menyesatkan. Tindakan-tindakan ini tidak memenuhi kewajiban direksi terhadap duty of care, iktikad baik, dan tujuan bisnis yang rasional, sehingga tidak bersifat untuk memajukan kesejahteraan perusahaan atau bank.
2)   Dalam Kaitan dengan Pasal 2 dan Pasal 8 UU Perbankan
Dalam konteks perkreditan, apabila Tahta Medan memohon kredit baru atau investor mengajukan permohonan kredit untuk membeli aset Tahta Medan kepada bank, bank mempertanyakan aspek hukum kepemilikan dan kualitas aset yang mendasari aset kredit itu (berupa Hotel Tiara Medan). Bank kemudian memper-tanyakan sejauh mana hotel itu mampu menghasilkan arus kas. Biasanya, seorang pemutus kredit yang berpengalaman tidak bersedia menyetujui usulan kredit dari calon debitor yang memiliki sejarah panjang di pengadilan, apa pun sebabnya.
Kalaupun pemutus kredit tetap ingin membiayai investor, syarat utama yang akan diajukan adalah investor harus memiliki modal sendiri minimal 30% dari nilai pembelian (70% dari bank). Di samping itu, perlu ada jaminan untuk kepentingan bank bahwa investor memiliki dana sendiri yang diperlukan untuk melakukan renovasi hotel. Dana sendiri itu juga diperlukan untuk menutup biaya yang membengkak (cost overrun) yang mungkin terjadi dalam melakukan pekerjaan renovasi tersebut. Untuk meyakinkan dirinya, biasanya bank akan meminta investor untuk meletakkan sejumlah pembiayaan sendiri itu dalam sebuah rekening khusus yang diawasi oleh bank (escrow account). Pihak bank mengontrol penggunaan dana dari escrow account ini.
Di samping itu, sebagai prosedur standar, bank tentu akan meneliti fisibilitas proyek hotel tersebut. Bank terlebih dahulu akan mempelajari faktor-faktor kegagalan hotel di masa lalu, dan menentukan tindakan apa yang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan hotel di masa depan. Dalam proses persetujuan kredit BL, semua hal yang disebutkan ini tidak dilakukan oleh Bank Mandiri.
Di lain pihak, sebagai sumber pelunasan kredit BL ini, disebutkan bahwa kredit investasi yang akan diberikan oleh Bank Mandiri. Ini artinya sudah dipastikan bahwa Bank Mandiri akan memberikan persetujuan untuk kredit investasi sebagai sumber pelunasan BL. Kredit investasi merupakan komitmen untuk menye-diakan dana berjangka waktu lebih panjang. Seyogianya, faktor risiko yang berkait dengan komitmen jangka panjang ini harus dikaji sebelum BL diberikan.[8][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Tindakan kehati-hatian dapat dilihat dari proses analisis unsur-unsur 5C calon debitor. Analisis yang cermat dan jujur akan mem-berikan bank keyakinan bahwa calon debitor memiliki niat dan kemampuan untuk membayar utangnya. Apakah tindakan kehati-hatian dilakukan atau tidak ditentukan oleh proses analisis, bukan oleh pernyataan para analis walau di bawah sumpah sekali pun.
Nota Analisis 1 mengusulkan kredit BL tetapi sama sekali tidak membahas unsur 5C. Bahkan, latar belakang pemilik dan reputasi CGN juga tidak dikemukakan. Nota Analisis ini tidak memiliki informasi keuangan sama sekali, baik yang berkait dengan CGN maupun Tahta Medan. Usulan kredit tampaknya dibuat berdasar-kan agunan semata, hanya berupa Tiara Convention Centre dan tiga unit rumah. Di samping itu, disebutkan bahwa Bank Mandiri belum memperoleh nilai taksasi dari agunan tersebut, tetapi staf Bank Mandiri memperkirakan hanya bernilai Rp52.4 miliar.
Selanjutnya, tindakan kehati-hatian dapat pula dilihat apakah sebelum kredit dicairkan, bank telah melakukan pengikatan kredit dan jaminan yuridis secara sempurna. Dalam kenyataannya, jauh setelah kredit dikucurkan, 28 Oktober 2002 sampai tahun 2005, hak tanggungan (d/h hipotik) atas jaminan utama tidak pernah dipasang. Bahkan, ada sejumlah persyaratan kredit lainnya tidak dipenuhi oleh CGN. Kenyataan ini menunjukan bahwa pengawasan kredit Bank Mandiri, baik sebelum maupun setelah kredit dikucurkan sangat lemah, atau berkemungkinan ada unsur kesengajaan atau kelalaian sehingga tidak diawasi. Di sini, direksi dengan jelas melanggar prinsip kehati-hatian dan tidak memenuhi duty of care-nya.
Berdasarkan teori, sebelum fasilitas kredit talangan (bridging loan) diberikan, terutama dalam jumlah besar, bank harus memas-tikan sumber pembayaran yang meyakinkan untuk pelunasannya. Nota Analisis 1 menyebutkan bahwa sumber pelunasan BL berasal dari kredit investasi yang akan diberikan Bank Mandiri. Namun, pihak Bank Mandiri sendiri, dalam hal ini direktur manajemen risiko, menuliskan syarat bahwa “debitor harus menyediakan dana untuk bunga karena saat ini EBITDA rendah”. Di samping syarat ini tidak pernah dipatuhi, catatan tersebut jelas menunjukkan adanya pandangan bahwa CGN atau Hotel Tiara Medan berkemungkinan tidak akan mampu membayar bunga kredit, selain angsuran pokok.
Dengan demikian, direksi tidak mengindahkan pendapat pihak komisaris sebagai pengawas terhadap kebijakan direksi; sehingga dapat membuat direksi bertanggung jawab secara pribadi. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pertimbangan pemberian kredit investasi tidak berdasarkan data dan fakta yang relevan yang diperlukan, sehingga mengabaikan duty of care.
3)   Dalam Kaitan dengan Pasal 11 dan Pasal 29 Ayat 4 UU Perbankan
Pasal 11 UU Perbankan merupakan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Dalam kaitan ini, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah kenapa kredit diberikan pertama kali kepada CGN, kemudian baru dinovasi ke Tahta Medan. Di sini dapat diduga bahwa pemberian kredit ini merupakan bentuk lain dari pemberian kredit silang (cross loan) atau penyimpangan dari asas pemberian kredit yang sehat.
Dalam kasus Neloe Cs ini, pertanyaan tersebut merupakan pertanyaaan kritis yang perlu diutarakan dalam mengkaji kasus ini lebih dalam, dan perlu dicarikan jawabannya. Berdasarkan akta pendirian perusahaan, CGN didirikan pada 23 April 2002. Kemudian, pada 9 Juli 2002, CGN memperoleh pengesahan sebagai Perusahaan Terbatas dari Menteri Kehakiman. Bank Mandiri menyetujui kredit bridging loan (BL) pada 23 Oktober 2002 dan cair 28 Oktober 2002. Selanjutnya, kredit investasi untuk CGN yang merupakan konversi dari kredit BL disetujui pada 24 Januari 2003, dan kredit ini cair pada 28 Januari 2003 untuk melunasi kredit bridging loan (BL).
Pada 10 Desember 2003, CGN memohon ke Bank Mandiri untuk mengalihkan kredit investasi CGN (atau novasi) kepada Tahta Medan. Pada saat itu, seperti yang telah diperjanjikan, belum seluruh saham Tahta Medan telah beralih dari pemilik lama (anak perusahaan dan Dana Pensiun Bank Mandiri) ke pemilik baru, yaitu Grup Domba Mas. Akta Novasi ditandatangani pada 19 Desember 2003. Setelah kredit BL cair dan dikonversi ke dalam kredit investasi, debitor diganti dari CGN menjadi Tahta Medan. Dari uraian ini, jelas dapat dilihat bahwa CGN didirikan khusus untuk membeli aset Tahta Medan dengan memperoleh kredit dari Bank Mandiri untuk membiayai pembelian tersebut.
Pertanyaannya sekarang adalah kenapa pemberian kredit, baik BL maupun kredit investasi, harus lewat CGN terlebih dahulu, tidak langsung diberikan kepada Tahta Medan. Orang yang berkecim-pung dalam perbankan mungkin dapat menjawab pertanyaan ini. Jawabannya adalah apabila kredit diberikan kepada Tahta Medan pada waktu itu, pemilik lama masih terkait dengan Bank Mandiri (yaitu anak perusahaan dan Dana Pensiun Bank Mandiri), sehingga Bank Mandiri akan melanggar ketentuan BMPK. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Bank Mandiri, karena mengandung risiko yang sangat besar bagi pelakunya (karena adanya ancaman pidana, lihat Pasal 49 ayat 2 huruf b UU Perbankan). Penyimpangan ini akan mudah dideteksi, apalagi jika diingat bahwa pengawasan Bank Indonesia terhadap ketentuan kehati-hatian atau prudential regulation jauh lebih ketat dibandingkan semasa sebelum krisis 1997/1998.
Uraian ini dapat membawa kepada kesimpulan bahwa rencana pemberian kredit ini telah dibahas oleh pihak calon debitor dengan petinggi Bank Mandiri. Pembahasan itu diduga dilakukan jauh sebelum CGN melayangkan surat resmi untuk permohonan kredit kepada Bank Mandiri, pada 23 Oktober 2002. Hanya pihak bank yang dapat memahami masalah teknis pemberian kredit dengan pola seperti ini. Pemberian kredit ini mirip dengan swap loan atau cross loan, dengan tujuan untuk menghindari ketentuan BMPK.
Peraturan Bank Indonesia No. 7/3/PBI/2005 tentang BMPK, menyebutkan bahwa bank dilarang memberikan penyediaan dana kepada pihak terkait yang bertentangan dengan prosedur umum penyediaan dana yang berlaku (Pasal 5 Ayat 1), bank dilarang membeli aktiva berkualitas rendah dari pihak terkait (Pasal 5 Ayat 3), dan apabila kualitas penyediaan dana kepada pihak terkait menurun menjadi kurang lancar dan seterusnya, bank harus menyelesaikannya untuk memperbaiki keadaan tersebut (Pasal 5 Ayat 4).
Dengan adanya ketentuan tersebut, kecuali melalui CGN, Bank Mandiri tidak dapat memberikan kredit langsung kepada Tahta Medan, atau melunasi utang Tahta Medan, atau membeli aset kredit langsung dari BPPN. Pada waktu itu, Tahta Medan sepenuhnya dimiliki oleh anak perusahaan dan Yayasan Dana Pensiun Bank Mandiri, sehingga merupakan pihak terkait dengan Bank Mandiri. Tambahan pula, Tahta Medan memiliki kredit macet US $31.5 juta tercatat di BPPN, dan Laporan Keuangan Tahta Medan menunjukan keadaan yang terus merugi sehingga modalnya menjadi negatif (keadaan ini tidak diungkap ketika BL akan disetujui), sehingga memenuhi kriteria sebagai aset ber-kualitas rendah.
Pasal 29 Ayat 4 UU Perbankan menyebutkan bahwa dalam memberikan kredit, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan. Dari uraian-uraian itu, pemberian kredit kepada CGN tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku, sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi Bank Mandiri. Alasan pemberian kredit kepada CGN disebutkan untuk melakukan divestasi Tahta Medan, dalam rangka mempersiapkan IPO Bank Mandiri, memenuhi LoI pemerintah dengan pihak IMF, dan berkonsentrasi pada bisnis utama perbankan. Namun, sesungguhnya, Bank Mandiri dapat menempuh cara lain untuk melakukan divestasi tersebut. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan prinsip BJR, direksi dapat dikatakan tidak berusaha mencari alternatif terbaik dalam rangka memajukan perseroan atau memberikan alasan yang menyesatkan, sehingga dapat pula dikatakan melakukan penipuan manajerial (managerial fraud). Di sini, terlihat jelas bahwa direksi mengambil keputusan secara tidak jujur dan tidak objektif, serta tidak untuk bisnis yang rasional; sehingga melanggar prinsip dasar BJR.
4)   Alternatif Keputusan: Asset Settlement dengan Pemerintah
Dengan menggunakan konsep BJR, pengambilan keputusan direksi adalah menggunakan proses tertentu yang logis untuk memilih alternatif terbaik dari sejumlah alternatif, demi memaju-kan kesejahteraan perseroan. Jika hal ini dilakukan, dapat dikatakan memenuhi ketentuan pengambilan keputusan yang dianggap tepat sesuai Pasal 92 Ayat 2 UU PT. Uraian ini menunjukkan bahwa dalam rangka menyelesaikan masalah kredit macet yang berkait dengan Hotel Tiara Medan, sesungguhnya ada alternatif lain yang dapat dipilih. Pilihan ini dapat menekan kerugian Bank Mandiri, dalam arti tidak perlu memberikan kredit baru bagi kredit yang telah macet. Uraiannya sebagai berikut.
Tahta Medan dimiliki oleh anak perusahaan (PT. Pengelola Investama Mandiri, disingkat PIM) dan Dana Pensiun Bank Mandiri (DPBM), dan itu artinya secara tidak langsung dimiliki oleh pemerintah, karena pada waktu itu seluruh saham Bank Mandiri dimiliki oleh pemerintah. Berdasarkan fakta ini, ada cara lain yang dapat ditempuh. Cara ini jauh lebih mudah dan tidak memerlukan dana sama sekali, atau tidak memerlukan pemberian kredit dari Bank Mandiri.
Jika Bank Mandiri benar-benar sadar bahwa Tahta Medan dimiliki secara tidak langsung oleh pemerintah, sehingga untuk menyelamatkan Tahta Medan dan sekaligus melakukan divestasi, Bank Mandiri dapat menulis surat ke Menteri Keuangan. Bank Mandiri dapat meminta Menteri Keuangan agar BPPN tidak melelang aset Tahta Medan, tetapi mengembalikannya ke pihak pemerintah. Jika disetujui, BPPN kemudian akan mencatat bahwa aset yang dimilikinya telah diserahkan kepada pemerintah, dan nilai aset kredit yang dimiliki menjadi berkurang sejumlah yang sama (asset settlement).
BPPN pernah melakukan hal yang serupa, yaitu ketika menyerahkan Gedung Timor milik Humpus Group yang berada di Jalan Merdeka Timur, Jakarta, kepada pihak pemerintah. BPPN melakukan set off tagihannya untuk jumlah yang sama. Tindakan ini dilakukan karena Gedung Timor sulit untuk bisa terjual kepada pihak swasta, karena ada ketentuan pemerintah yang mengatur bahwa kawasan Jalan Merdeka hanya dipergunakan untuk per-kantoran pemerintah.
Jika BPPN melelang aset, itu artinya BPPN atau pemerintah secara sadar atau tidak sadar telah bersedia menanggung sejumlah kerugian.[9][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Hal ini karena dalam keadaan normal sekalipun, tidak ada kasus aset kredit yang dapat dijual dengan harga 100%. Dalam keadaan perekonomian belum pulih dari krisis, hasil penjualan yang dapat diperoleh selalu berada jauh di bawah 100%.
Dalam kasus Tahta Medan, aset kredit yang dicatat BPPN US $31.5 juta. BPPN hanya dapat menjual dengan harga US $10.1 juta, atau menimbulkan kerugian US $21.4 juta.
Pasar hanya dapat memberikan harga US $10.1 juta untuk hotel tersebut. Aset hotel harus direnovasi terlebih dahulu, dan masih harus dibuktikan apakah dapat memperoleh arus kas yang memadai atau tidak. Masalah ini harus dipertimbangkan oleh pembeli aset kredit tersebut.
 Kerugian BPPN US $21.4 juta itu merupakan bagian dari nilai obligasi pemerintah untuk membiayai rekapitalisasi perbankan. Tetapi, kerugian tidak perlu terjadi, jika aset Tahta Medan dikembalikan ke Kementerian Keuangan atau Kementerian BUMN melalui asset settlement dengan BPPN. Pihak pemerintah yang menangani dapat mengelola aset yang berbentuk hotel itu terlebih dahulu, sehingga kerugian tidak langsung terjadi. Namun, karena Bank Mandiri memberikan kredit kepada CGN, pihak pemerintah mengalami kerugian dua kali, yaitu: Pertama, ketika BPPN melelang aset kredit Tahta Medan yang menimbulkan kerugian US $21.4 juta. Kedua, ketika Bank Mandiri memberikan kredit sejumlah US $18.5 juta kepada CGN untuk membeli aset kredit (harga awalnya US $10.5), sehingga menimbulkan biaya yang lebih besar sebanyak US $8 juta. Total kerugian atau biaya yang tidak perlu bagi pihak pemerintah menjadi US $29.4 juta.
Oleh karena itu, lebih baik bagi pemerintah jika Bank Mandiri tidak memberikan kredit kepada CGN, yang merupakan pihak di luar pemerintah. Sebagai alternatif lain, CGN diminta membeli aset Tahta Medan dengan menggunakan dana dari pihak lain, bukan dari Bank Mandiri. Apabila aset Tahta Medan dibeli dengan menggunakan dana pihak lain, pemerintah qq Bank Mandiri tidak akan mengalami kerugian dua kali, dan terhindar dari risiko kredit.
Transaksi keuangan yang dilakukan oleh BPPN dan Bank Mandiri akhirnya bermuara pada APBN. Walau secara hukum PT. Bank Mandiri memiliki kekayaan yang terpisah dari negara, tetapi secara ekonomis kerugian atau keuntungan yang diciptakan Bank Mandiri dapat memperbesar atau memperkecil modal pemerintah yang ada di neraca Bank Mandiri. Karena itu, pengambilan keputusan tersebut tidak melalui pemilihan berbagai alternatif yang perlu dipikirkan, sehingga bukan merupakan proses yang rasional, oleh karenanya melanggar duty of care.
5)   Dalam Kaitan dengan SK Dir No. 27/162/KEP/DIR dan SE BI No. 27/7 UPPB, 31 Maret 1995, Mengenai KPB
KPB mensyaratkan bahwa dalam melakukan analisis kredit, bank harus menggunakan pendekatan konsep hubungan total (total relationship concept). Ini artinya pemberian kredit yang dilakukan kepada CGN harus mempertimbangkan jumlah dan kualitas kredit yang sudah diberikan kepada perusahaan atau grup terkait. Dalam kenyataannya, Nota Analisis 1 (untuk persetujuan bridging loan) dan 2 (untuk kredit investasi) sama sekali tidak menyebutkan bahwa debitor, atau dalam hal ini CGN, adalah bagian dari Grup Domba Mas. Grup ini merupakan nasabah Bank Mandiri yang cukup besar.
Untuk pertama kali, Tahta Medan disebutkan sebagai bagian dari grup Domba Mas pada memo yang dibuat oleh Group Corporate Relationship I/Acquisition Dept., pada 14 Januari 2004, mengenai penarikan sebagian agunan. Grup ini memperoleh fasilitas kredit Rp2.4 triliun dari Bank Mandiri dengan tunggakan pokok Rp35.4 miliar (per 6 Januari 2004), dan tunggakan bunga Rp29.8 miliar (per 26 Mei 2004). Jadi, ketika Nota Analisis 1 dibuat, berkemungkinan grup ini telah bermasalah di Bank Mandiri, atau eksposur total Bank Mandiri terhadap grup ini sudah terlalu besar. Hal inilah yang seharusnya ditemukan atau diungkapkan ketika me-review Nota Analisis 1 (23 Oktober 2002) dan 2 (13 Januari 2003) oleh pihak Risk Management yang dibawahi oleh I Wayan Pugeg. Hal ini menimbulkan pertanyaan kenapa hal itu tidak dilakukan.
Dalam praktik yang umum di perbankan, nasabah yang telah bermasalah atau eksposurnya sudah terlalu besar di sebuah bank, atau bahkan di bank lain, akan sulit memperoleh tambahan kredit baru. Hal ini karena bank harus menerapkan prinsip kehati-hatian atau direksi harus memenuhi kewajiban duty of carenya. Bahkan, KPB menyebutkan bahwa pemberian kredit harus dihindari, jika debitor atau grupnya merupakan debitor bermasalah, baik di bank yang sama atau di bank lain. Paling tidak, bank yang akan mempertimbangkan pemberian tambahan kredit baru itu harus meneliti lebih jauh alasan kenapa kredit yang ada tersebut bermasalah. Ini adalah salah satu alasan kenapa total relationship concept, konsep hubungan total, disyaratkan menjadi bagian dari kebijakan bank, yang disebutkan dalam PPK dan KPB bank umum dan Bank Mandiri khususnya.
Dengan adanya konsep tersebut, eksposur kredit bank akan lebih terkontrol. Artinya, bahwa jumlah pemberian kredit, secara grup maupun perusahaan individu yang ada dalam sebuah grup, tidak melebihi kemampuan mereka untuk membayar, baik secara grup maupun secara sendiri-sendiri. Jika secara grup, pembayaran bunga atau angsuran telah bermasalah atau mulai tersendat-sendat, dapat dikatakan tidak prudent bagi bank untuk tetap memberikan tambahan kredit baru kepada grup tersebut, jika tanpa melakukan tambahan pengamanan yang berarti. Jika tambahan pengamanan ini diperoleh, dapat dikatakan direksi telah berusaha memenuhi kewajiban duty of care-nya.
Ketika itu, pihak calon debitor, yaitu CGN, sesungguhnya merupakan bagian dari Grup Domba Mas. Edyson sebagai direksi CGN merupakan keponakan, memiliki talian darah dengan pemilik Grup Domba Mas. Keterkaitan ini sesuai definisi Pasal 1 huruf l dan dari Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/177/KEP/Dir tanggal 31 Desember 1998 mengenai BMPK. Dalam Nota Kredit yang dibuat untuk mengusulkan kredit tersebut tidak disebutkan sama sekali mengenai keterkaitan antara CGN dan Grup Domba Mas.[10][***************************] Pada waktu itu, kolektibilitas Grup Domba Mas pada Bank Mandiri berkemungkinan lebih buruk dari ‘lancar’. Berdasarkan kebijakan yang berlaku umum di banyak bank dan ketentuan KPB, kredit baru tak dapat diberikan kepada calon debitor yang terkait dengan grup dengan kolektibilitas tidak lancar. Dalam konteks BJR, jika tindakan itu tetap dilakukan, berarti melanggar ketentuan, sehingga perlindungan BJR tidak dapat diberikan.
Kebijakan tersebut kemudian dipertegaskan dan diatur oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum. Peraturan ini menyebutkan bahwa jika satu debitor memiliki kolektibilitas yang rendah (misalnya 3) di sebuah bank, sehingga pinjaman debitor tersebut di bank lain (sekalipun tercatat dengan kolektibilitas 1), harus mengikuti kolektibilitas yang paling rendah, yaitu kolekti-bilitas 3 (Pasal 5). Tujuan ketentuan ini, antara lain, untuk memini-malkan potensi kerugian, sehingga bank wajib menjaga kualitas aktiva dan wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva.
Dari uraian itu, kasus kredit Bank Mandiri ini jelas menunjukan adanya unsur error omission (melanggar ketentuan yang ada) seperti diuraikan oleh Krisna Wijaya, yang merupakan ketentuan yang harus diikuti tetapi tidak dipenuhi. Tetapi, pendekatan konsep hubungan total yang diabaikan ini bukan merupakan satu-satunya error omission yang dilakukan dalam kasus Neloe Cs. Dengan demikian, dalam perspektif BJR, perlindungan hukum tidak dapat diberikan kepada direksi yang melakukan hal tersebut.
6)   Proses Pemberian Kredit CGN
Dari urutan proses persetujuan kredit pada kasus Neloe Cs, dapat dilihat bahwa adalah Neloe yang membawa secara resmi bisnis pembiayaan pembelian aset Tahta Medan ke dalam Bank Mandiri dengan tujuan memberikan kredit investasi. CGN menulis surat pertama kali 23 Oktober 2002 dan memohon kepada Bank Mandiri untuk memberikan pembiayaan pembelian aset Tahta Medan, tetapi surat tersebut tidak menyebutkan jenis kredit yang diinginkan. Melihat dari sifat pembiayaan yang diperlukan, pihak bank dapat memahami bahwa yang diperlukan adalah kredit investasi. Surat ini tampaknya dibawa langsung kepada Neloe, dan pada saat yang sama memanggil stafnya, Choirul, untuk datang ke ruangannya.
Kemudian, Neloe menuliskan disposisi kepada Choirul di atas surat CGN yang pertama itu dengan mengatakan “harap diproses melalui mekanisme bridging loan (fasilitas talangan).” Karena untuk memproses kredit investasi umumnya memerlukan waktu yang lebih panjang, adalah pihak bank dalam hal ini Neloe yang memberikan ide untuk memberikan bridging loan terlebih dahulu. Ide ini jelas terlihat pada disposisi Neloe pada 23 Oktober 2002, dan langsung diikuti oleh CGN sebagai calon debitor. Pada waktu yang sama, 23 Oktober 2002, CGN menyampaikan surat kedua, dan sudah menyebutkan permintaan fasilitas bridging loan.
Dari uraian tersebut, sifat top down dari special transaction dalam pemberian bridging loan kepada CGN ini jelas dapat dilihat. Instruksi Neloe yang disebutkan itu mendorong pelaksanaan pemberian kredit itu, sejak diterimanya surat CGN pertama kali tertanggal 23 Oktober 2002. Proses ini berlangsung sampai keputusan persetujuan pemberian kredit bridging loan dilakukan pada hari yang sama, pada 23 Oktober 2002. Ini artinya, Neloe yang berinisiatif, mendorong dan mengontrol pemberian bridging loan, paling tidak sampai persetujuan formal diberikan kepada pihak CGN. Dalam perspektif BJR, jika pengambilan keputusan seperti itu dan dilakukan dalam sebuah rapat, dapat dikatakan bahwa pengambilan keputusan itu hanya mengikuti arahan Neloe sebagai presiden direktur, dan sebagai pemimpin rapat. Jadi, rapat bukan lagi merupakan proses pengambilan keputusan yang independen. Direksi lainnya yang hadir dalam rapat hanya mengikuti arahan pemimpin rapat, atau melakukan tindakan yang disebut sebagai asal tanda tangan, dan sudah merupakan pemi-kiran grup (groupthink). Berarti proses pengambilan keputusan seperti itu telah dinodai dengan iktikad buruk.
Dari korespondensi awal sampai persetujuan resmi diberikan oleh Bank Mandiri untuk fasilitas bridging loan, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi komunikasi sebelumnya antara Neloe dan Edyson. Hal ini telah pula menjadi fakta dalam persidangan. Jika dikaitkan dengan pembahasan yang menunjukkan bahwa CGN didirikan khusus untuk membeli aset Tahta Medan dengan mem-peroleh kredit dari Bank Mandiri, berkemungkinan besar pem-bicaraan Neloe dengan pihak Domba Mas mengenai rencana itu sudah dimulai sebelum CGN didirikan, yaitu sebelum 23 April 2002.
Proses pemberian kredit secara prosedural, seperti yang diungkapkan di persidangan, dikatakan sebagai proses dari bawah ke atas atau bottom up. Hal ini dilihat dari segi urutan proses pembuatan memo analisis (Nota Analisis) yang disiapkan oleh staf di bawah yang lebih junior, dan disalurkan kepada atasan yang lebih tinggi sampai kepada pemutus kredit.
Akan tetapi, dari segi pengarahan awal, Neloe yang meme-rintahkan Choirul untuk memproses fasilitas talangan dan kredit investasi tersebut. Hal ini tidak pernah diungkap dalam persidangan.
Nama Azalea Limited (merupakan BVI company) dan Century Sino Assets Limited baru disebutkan ketika fasilitas talangan akan cair. Dalam Nota Analisis 1 sama sekali tidak menyebutkan adanya dan keterlibatan Azalea Limited. Hanya pada pencairan fasilitas talangan tahap pertama, nama Azalea baru muncul; sedangkan Century Sino Assets Limited baru disebutkan pada pencairan fasilitas talangan tahap terakhir. Dalam Nota Analisis 2, nama Azalea baru dikemukakan, tetapi nama Century Sino tetap tidak disinggung sama sekali.
Dalam dunia perkreditan yang umum, keterkaitan pihak ketiga selalu harus dibahas dan dianalisis karena merupakan bagian penting dari analisis kredit, apalagi menyangkut aliran dana kredit. Hal ini dapat memengaruhi tingkat risiko yang dihadapi bank, karena dapat menunjukkan ke arah mana dana kredit akan digunakan, atau mengetahui siapa yang menikmati. Oleh karena itu, hasil analisis kredit mengenai teknis pembayaran atau pencairan kredit juga menentukan persyaratan (covenant) atau klausul pembatas yang dimuat dalam perjanjian kredit, dan kemudian menjadi bagian atau media bagi pengawasan kredit.
 Jika sebuah kredit diketahui sejak awal untuk membiayai pembelian sejenis barang misalnya, bank harus mengetahui dari mana barang itu dibeli, dan sekaligus mengetahui kepada siapa pembayaran harga barang harus dilakukan. Bahkan, bank sering-kali mensyaratkan, penarikan dana kredit harus disalurkan ke dalam rekening debitor yang ada pada bank terlebih dahulu, kemudian bank akan mengontrol pengiriman dana itu langsung kepada penjual barang.
Tujuan pengawasan kredit seperti itu bagi bank untuk meng-hindari kemungkinan timbulnya risiko yang tidak perlu terjadi, atau yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Sebagai contoh, barang yang akan dibeli oleh debitor dan dibiayai oleh bank sudah diketahui kualitasnya karena dibeli dari penjual dengan reputasi yang sudah dikenal, sehingga rencana penjualan dengan keun-tungan debitor sebagai sumber pembayaran kredit dapat direalisir. Dari contoh seperti ini, bank pemberi kredit akan mensyaratkan bahwa pembayaran akan dilakukan langsung kepada penjual oleh bank dari pencairan kredit debitor, sehingga tidak ada tuntutan di kemudian hari bahwa pembayaran barang yang dibeli ternyata belum dilakukan debitor. Keseluruhan uraian ini pada dasarnya merupakan tindakan kehati-hatian, dan tercakup pula dalam pengertian duty of care.
Di samping itu, bank dapat mengetahui pasti bahwa dana kredit benar-benar digunakan untuk tujuan dan risiko yang telah diketahui bank. Harga yang dibayar merupakan hasil kesepakatan semua pihak dan telah dikaji oleh bank, sehingga kemungkinan penggelembungan (mark up) atau penggunaan dana kredit untuk tujuan yang tidak diketahui bank dapat dicegah. Jika hal ini dilakukan, itu berarti melanggar duty of care dan duty of loyalty.
Terkadang, unsur teknis seperti yang disebutkan cenderung dilupakan, bahkan sengaja tidak dibahas, atau dilewati begitu saja. Sesungguhnya, titik klimaks proses persetujuan kredit adalah ketika kredit akan dicairkan. Setelah kredit cair, tingkat kontrol yang dapat dilakukan bank umumnya akan berkurang. Oleh karena itu, kontrol atas pencairan dana kredit merupakan hal yang tidak kalah pentingnya, jika dibanding dengan pada saat akan me-nentukan apakah kredit akan disetujui atau tidak, karena ke-duanya bersifat ex ante, dan merupakan bagian dari duty of care.
Sebagai bagian dari duty of care, kontrol terhadap pencairan dana kredit akan menentukan perjalanan kredit dengan risiko yang telah diperhitungkan atau tidak diantisipasi sebelumnya, sehingga dapat memengaruhi apakah kredit dapat dilunasi atau tidak. Karena, setelah itu, kontrol bank terhadap kredit bersifat ex post, dan pada dasarnya cenderung bersifat abstrak. Kontrol bersifat ex post artinya pengawasan dilakukan setelah kredit cair. Bank memonitor kinerja debitor dengan mengacu pada covenants perjanjian kredit yang telah disepakati, dan lebih banyak berdasarkan pada laporan tertulis maupun lisan dari debitor.
Pengaturan mengenai pemberian fasilitas talangan baru dimasukkan sebagai bagian dari KPBM, setelah para terdakwa memberikan kredit BL. Persetujuan atas isi KPB atau tambahannya harus diberikan oleh seluruh anggota direksi dan dewan komisaris, serta setiap perubahan harus dilaporkan kepada Bank Indonesia. Selain itu, yang menjadi masalah dalam kasus Neloe Cs ini bukan terletak pada pengaturan pemberian kredit BL, tetapi lebih banyak pada ketentuan kehati-hatian yang disimpangi, atau pelanggaran duty of care dalam perspektif BJR. Penambahan pengaturan pemberian kredit fasilitas talangan ke dalam KPBM tidak menghapus penyimpangan yang telah terjadi.
7)   Dalam Kaitan dengan Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit mengandung syarat-syarat tangguh yang disebut sebagai conditions precedent, dan memiliki ciri khusus bagaimana kredit harus digunakan. Apabila tujuan penggunaan kredit semula disimpangi, bank dapat mengakhirinya secara sepihak. Di samping itu, perjanjian kredit juga berisi sejumlah klausul yang harus dipatuhi (affirmative covenants), dan klausul yang tidak boleh dilakukan oleh pihak debitor (negative covenants). Sama halnya jika debitor tidak melakukan pembayaran bunga dan angsuran pokok; jika covenants ini dilanggar, berarti debitor melakukan cedera janji atau wanprestasi. Untuk itu, jika ketentuan itu tidak dipenuhi dan jika diperlukan, bank dapat secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dengan pihak debitor terkait.
Dalam kasus CGN, ada sejumlah penyimpangan dari klausul perjanjian kredit. Penyimpangan tersebut, tidak ditindak-lanjuti oleh pihak Bank Mandiri. Jika penyimpangan itu ditindak lanjuti, seyogianya pemberian kredit investasi tidak akan diberikan.  Jika kredit investasi itu telah diberikan, Bank Mandiri dapat meminta pihak CGN untuk memenuhi ketentuan yang ada di dalam perjanjian kredit tersebut. Jika tidak dipenuhi oleh pihak debitor, Bank Mandiri sebagai kreditor dapat meminta debitor untuk melakukan pelunasan kreditnya sekaligus. Di sini, direksi tidak melakukan aspek kontrol, yang bersifat substantif maupun administratif. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap duty of care, bahkan sekaligus melanggar kewajiban iktikad baik dari direksi. Direksi melalui bawahannya secara struktural wajib melakukan fungsi kontrol tersebut. 
Dalam kaitan dengan perjanjian kredit, iktikad baik merupakan landasan moral yang penting dalam membentuk dan melak-sanakan perjanjian. Iktikad baik bukan saja niat untuk tidak merugikan pihak lain dalam sebuah perjanjian, tapi lebih dari itu, juga mencakup pihak yang berada di luar perjanjian, bahkan masyarakat umum.[11][†††††††††††††††††††††††††††] Dalam konteks perbankan, masyarakat umum secara khusus merupakan para pemilik dana yang menyimpan uangnya di bank, dan adalah pihak Bank Mandiri itu sendiri. Di sini, dapat disimpulkan bahwa direksi tidak memenuhi kewajiban iktikad baiknya terhadap masyarakat pemilik dana dan juga Bank Mandiri, sehingga duty of loyalty-nya dipertanyakan.
Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menjadi motif para direksi untuk memberikan kredit BL, dan kemudian kredit investasi kepada CGN. Sebagai pejabat kredit senior, yang sepanjang karirnya berkecimpung di bank pemerintah, seyogianya mengetahui sejarah perkreditan Hotel Tiara Medan qq pemiliknya, Tahta Medan. Tahta Medan sebagai proyek telah menimbulkan dua kali kredit macet. Apa pun latar belakang pemberian kredit yang dilakukan oleh direksi tersebut, adalah tidak wajar bagi mereka sebagai pejabat senior yang berpengalaman untuk memberikan kredit sejumlah seratus persen untuk membeli proyek (Hotel Tiara Medan) yang pernah bermasalah dua kali, tetapi melalui calon pemilik baru sebagai debitor. Dalam hal ini, CGN didirikan secara khusus untuk memperoleh kredit itu dari Bank Mandiri..
Direksi sepatutnya mengetahui, hotel yang dikelola oleh tim manajemen dan dua pemilik yang berada langsung di bawah kontrol Bank Mandiri tidak berhasil memperbaiki kinerja hotel. Jelas, di samping terjadi sejumlah penyimpangan tindakan kehati-hatian yang lainnya, pemberian kredit kepada proyek yang memiliki jejak rekam seperti itu tidak memenuhi asas pemberian kredit yang sehat. Oleh karena itu, iktikad baik bagi para direksi untuk melakukan perjanjian kredit dengan pihak CGN terhadap masyarakat pemilik dana dan institusi yang diwakilkannya patut sekali dipertanyakan. Iktikad baik adalah salah satu kewajiban hukum yang harus dipenuhi direksi ketika mengambil keputusan kredit, kemudian yang diikuti pembuatan perjanjian kredit. Dengan demikian, dapat dikatakan, direksi dalam mengambil keputusan tidak memiliki informasi yang relevan dan cukup. Selain itu,      dari segi proses pengambilan keputusan, dapat pula dikatakan tidak dilakukan sepenuhnya menggunakan keahliannya dan pengetahuannya dalam membuat pertimbangan bisnis terkait,   dan dilakukan tidak secara independen, karena telah dinodai    oleh kepentingan lain selain kepentingan terbaik Bank Mandiri. Karena itu, secara menyeluruh, direksi telah melanggar iktikad baik, duty of care dan duty of loyalty-nya. 
8)   Adanya Penyimpangan atau Pelanggaran
Pelanggaran ketentuan perundang-undangan secara substantif telah dinyatakan oleh pengadilan tingkat pertama yang disebut sebagai pelanggaran hukum, baik formal maupun materiil. Namun, Pengadilan ini hanya menunjuk mengenai pelanggaran hukum pada fakta hukum, yaitu: para direksi sebagai pihak yang bertanggung jawab atas segala operasional korporasi ternyata tidak melakukan kontrol terhadap bawahannya, sehingga Bank Mandiri sebagai institusi tidak melakukan pemasangan hak tanggungan (d/h hipotik), sejak diberi kuasa pada 22 Oktober 2002 sampai tahun 2005.
 Pemasangan hak tanggungan ini merupakan hal yang sangat krusial dalam pemberian kredit, terutama dalam kasus pemberian kredit kepada CGN. Dalam kasus CGN, jaminan yang belum dipasang hak tanggungan merupakan landasan satu-satunya untuk membangun keyakinan bank bahwa kredit dapat dibayar. Hak tanggungan merupakan lembaga jaminan yang paling kuat dan paling dapat dieksekusi (executable), dibanding dengan lembaga jaminan lainnya. Pelanggaran ini bersifat ex post, dan terjadi setelah pengambilan keputusan pemberian dan pencairan kredit.
Di lain pihak, pengadilan tingkat pertama mengabaikan fakta hukum lainnya dalam pertimbangan keputusannya, tetapi jauh lebih penting karena bersifat ex ante, yaitu pelanggaran yang terjadi sebelum mengambil keputusan pemberian kredit. Inti pelanggaran ex ante adalah, para terdakwa secara sengaja mengabaikan tindakan-tindakan prudential, tetapi sebenarnya merupakan kewajiban bagi mereka untuk mengindahkannya. Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dapat juga merupakan fakta hukum, antara lain sebagai berikut:
Pertama, yang paling krusial mengabaikan pendekatan total relationship concept, sehingga fakta keterkaitan dengan grup peminjam yang besar (grup Domba Mas) di Bank Mandiri tidak diungkapkan, ketika kredit BL maupun kredit investasi diberikan. Pada waktu itu, kemungkinan besar grup Domba Mas telah memiliki tingkat kolektibilitas bukan lancar.
Kedua, pemberian kredit BL kepada CGN sama sekali tidak berdasarkan informasi keuangan yang dipersyaratkan oleh KPB. Menurut KPB, kredit tanpa informasi keuangan yang memadai harus dihindari.
Ketiga, para terdakwa memutuskan dan memberikan kredit sejumlah seratus persen sesuai yang dimohonkan yakni US $18.5 juta kepada CGN dengan tujuan untuk membeli aset Tahta Medan. Baik secara proyek maupun korporasi, Tahta Medan tidak memiliki jejak rekam yang baik. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dan seharusnya, pihak CGN lebih banyak menggunakan modal sendiri atau ekuitas, atau paling tidak sekitar 30% dari nilai pembelian (fakta ini dapat memperkuat adanya unsur “memperkaya” CGN dan pihak-pihak tertentu lainnya).
 Di lain pihak, nilai kredit yang diberikan melebihi jumlah yang diperlukan untuk membeli aset tersebut. Kelebihan pemberian kredit tersebut dimaksudkan untuk membantu CGN dalam melakukan renovasi hotel, dan pembelian saham yang dimiliki oleh anak perusahaan Bank Mandiri. Tetapi, dalam kenyataannya, sampai tuntutan dilakukan oleh JPU, dua hal ini belum sepenuhnya dilakukan oleh pihak CGN.[12][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Bahkan, pihak Bank Mandiri cenderung membiarkan penyimpangan tersebut.
 Keempat, mengabaikan pembahasan unsur 5C secara materiil dalam usulan pemberian kredit BL kepada CGN. Nota Analisis 1 sama sekali tidak menyinggung masalah tindakan kehati-hatian ini dalam rangka memperoleh keyakinan atas niat dan kemampuan debitor atau CGN untuk membayar utangnya.
Kelima, Nota Analisis 1 sama sekali tidak membahas sumber pembayaran kredit BL. Tetapi, Nota menyebutkan bahwa kredit BL akan dilunasi dari kredit investasi yang akan diberikan kepada CGN oleh Bank Mandiri. Pelunasan kredit investasi ini akan diharapkan dari hasil usaha hotel dan tower yang masih harus diselesaikan pembangunannya. Ini artinya apabila kredit BL telah dicairkan, secara gamblang dapat dikatakan bahwa Bank Mandiri, walaupun secara internal, telah di-fait accompli untuk memberikan komitmennya terhadap pemberian kredit investasi tersebut kepada CGN–tanpa analisis kredit apa pun.[13][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Dalam keadaan seperti itu, jika bank memberikan kredit yang lebih berisiko untuk waktu pinjaman yang lebih panjang, seperti kredit investasi yang akan diberikan kepada CGN, bank harus menganalisis kredit tersebut lebih mendalam.[14][****************************]
Keenam, uraian terdahulu jelas menunjukkan bahwa CGN secara khusus didirikan untuk membeli aset kredit Tahta Medan, dan dijadikan sebagai debitor awal untuk memperoleh kredit dari Bank Mandiri. Hal ini dilakukan untuk menghindari BMPK, karena sebelum kredit dikucurkan, Tahta Medan masih dimiliki oleh anak perusahaan dan dana pensiun Bank Mandiri. Sebagian dari kucuran kredit tersebut akan digunakan pula untuk membeli saham Tahta Medan, yang semula dimiliki oleh anak perusahan Bank Mandiri.
9)   Wanprestasi: Persyaratan Persetujuan Kredit tidak Dipenuhi tetapi Memohon Recsheduling dan Penghapusan Denda
Sejumlah persyaratan kredit tidak dipenuhi oleh CGN, dan terabaikan oleh bagian pengawasan kredit Bank Mandiri. Ditinjau dari segi persyaratan kredit yang tidak dipenuhi, CGN telah melakukan sejumlah wanprestasi. Berdasarkan teori perkreditan dan perjanjian kredit yang lazim berlaku, Bank Mandiri berhak menegur lalu memberhentikan pemberian kredit dengan meminta pembayaran kembali seluruh kredit yang outstanding atau terpakai (call the loan). Tetapi, setelah melakukan novasi kredit dari CGN kepada Tahta Medan pada 11 Desember 2003, CGN mengusulkan permohonan untuk memperoleh rescheduling pembayaran angsuran pokok pinjaman pada 19 Maret 2004 (pada saat itu, status kredit CGN berada pada tingkat kolektibilitas 3, atau ‘kurang lancar’). Rescheduling disetujui oleh direksi pada Juli 2004, dan hal ini jelas menunjukan keberpihakan para direksi kepada CGN qq grup Domba Mas. Jadi, tindakan penjadwalan kembali bukan merupakan tindakan bisnis yang rasional, dan melanggar prinsip kehati-hatian karena tidak berdasarkan analisis yang dalam. Setelah novasi dilakukan, kredit kembali menjadi bermasalah, dan kemudian penjadwalan kembali dilakukan, tetapi kredit kembali menjadi macet. Dari segi teori, tindakan rescheduling tidak dapat dilakukan, karena pada dasarnya, prospek Hotel Tiara diragukan. Hotel ini memerlukan renovasi menyeluruh, dan membutuhkan pembiayaan yang tidak berasal dari utang bank semata.  Hal tersebut jelas melanggar duty of care dan duty of loyalty.
10)  Syarat yang Dikemukakan oleh Presiden Komisaris Binhadi Ketika Memberikan Persetujuan Rescheduling
Karena persetujuan akhir untuk penjadwalan kembali atau persetujuan berkait dengan kredit nasabah yang bermasalah harus diberikan oleh Binhadi sebagai Komisaris Utama untuk memutus-kan persetujuannya atas penjadwalan kembali tersebut dengan beberapa persyaratan khusus. Sebagai salah satu persyaratan, Binhadi menyatakan bahwa “dalam rangka melakukan restrukturi-sasi fasilitas grup Domba Mas secara menyeluruh, debitor (maksudnya CGN) harus bersedia menandatangani pernyataan untuk menjual perusahaan beserta asetnya selambat-lambatnya triwulan I tahun 2005”. Namun, seluruh pertimbangan komisaris tidak diindahkan oleh direksi. Karena komisaris sebagai pengawas kebijakan direksi mewakili pemegang saham, sehingga dapat pula dikatakan bahwa direksi melanggar duty of loyalty.
11) Mengenai Agunan
Berdasarkan Pasal 2 dan 8 UU Perbankan,[15][††††††††††††††††††††††††††††] keyakinan bahwa calon debitor dapat membayar pinjaman yang diberikan diperoleh dari analisis yang mendalam, yang pada dasarnya menggunakan pendekatan 5C. Pendekatan ini merupakan manifestasi dari penerapan prinsip kehati-hatian. Dalam kaitan ini, seperti yang dikemukakan oleh para ahli di persidangan, apabila unsur-unsur C lainnya telah memberikan keyakinan bahwa seorang debitor telah memiliki niat dan kemampuan untuk melakukan pembayaran kembali utangnya, C yang berarti agunan merupakan pelengkap untuk menjamin bahwa kredit akan dilunasi, sehingga agunan bersifat relatif. Di lain pihak, jika empat C pertama tidak meyakinkan, unsur C terakhir yang berarti agunan menjadi mutlak untuk membangun keyakinan atas niat dan kemampuan debitor untuk melunasi kewajibannya. Hal yang terakhir ini merupakan deskripsi dari kondisi kredit terhadap CGN yang dihadapi oleh Bank Mandiri, dan 4C pertama tidak meyakinkan, seperti yang diuraikan berikut:
a)   CGN adalah perusahaan yang baru didirikan dan tidak punya jejak rekam apa pun (capacity).[16][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
b)   Tahta Medan yang mewakili aset yang akan dibiayai untuk dibeli (Hotel Tiara Medan) telah menimbulkan kredit macet dua kali, pertama di BEII dan kedua di BCA (character).
c)   Dari segi kemampuan menghasilkan arus kas atau penda-patan, bahkan ketika dikelola oleh pihak yang mewakili Bank Mandiri, hotel tersebut tidak mampu meningkatkan kinerjanya (capacity). Pada saat Bank Mandiri menyetujui pemberian kredit BL kepada CGN, para direksi tidak memiliki informasi keuangan apa pun, baik mengenai calon debitor dalam hal ini CGN maupun informasi keuangan mengenai operasi dari Hotel Tiara Medan.
d)   Dari segi permodalan, sejak pertama menimbulkan kredit macet di BEII, Tahta Medan atau pemilik sebelumnya tidak memiliki modal sendiri yang memadai, sehingga bergantung sepenuhnya kepada kredit perbankan (capital).[17][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Bahkan, renovasi hotel yang dijanjikan belum dilaksanakan sampai saat perkara disidangkan.
e)   Dari segi kondisi ekonomi, Hotel Tiara menghadapi banyak tantangan dalam menghadapi hotel-hotel baru yang bermun-culan di sekitar Medan (the condition of economy).[18][*****************************]
Mengacu pada prinsip kehati-hatian yang ditetapkan dalam Pasal 8 UU Perbankan, analisis yang mendalam untuk mendalami setiap C dalam pendekatan 5C yang umum digunakan oleh perbankan, dan diaplikasikan terhadap kondisi kredit yang sedang dihadapi. Dalam mengambil keputusan untuk menyetujui usalan kredit, setiap C diberikan bobot yang sesuai. Dalam kaitan ini, ketika C yang lain menunjukkan keadaan yang lemah bagi kreditor, seperti yang dideskripsikan, C yang terakhir dan berarti ’collateral’ atau agunan merupakan hal yang bersifat krusial untuk benar-benar diperhatikan dan diperkuat. Walaupun Pasal 1131 KUH Perdata telah memberikan jaminan secara umum bagi setiap utang yang diambil oleh seorang debitor, tetapi pengikatan lembaga jaminan harus dilakukan secara yuridis sempurna terhadap aset tertentu yang diperoleh sebagai jaminan atau agunan. Dalam kasus Tahta Medan, agunan kredit harus memiliki nilai yang berarti dengan lembaga jaminan harus yang dapat dieksekusi. Jika salah satu dari kedua faktor ini tidak terpenuhi,  barang jaminan sebagai agunan menjadi kurang berarti. Nilai kredit yang diberikan US $18.5 juta dirasa lebih tinggi dibanding dengan nilai jaminan yang mendasarinya, yaitu nilai properti   yang berbentuk tanah dan bangunan hotel. Nilai properti seperti ini sulit untuk dicarikan patokan harganya. Walaupun ada laporan penilaian independen yang menyebutkan nilainya sekitar Rp182.1 miliar, tetapi hal ini masih perlu dibuktikan pada harga pasar berapa transaksi jual beli sesungguhnya dapat terjadi. Di lain pihak, properti yang sama ketika dilelang oleh BPPN hanya menghasilkan nilai US $10.5 juta.
Di samping masalah nilai riil jaminan tersebut, kenyataan lain menunjukkan bahwa agunan itu belum dipasang hak tang-gungannya. Masalah ini menempatkan Bank Mandiri di posisi yang sangat lemah. Dalam keadaan seperti itu, banyak hal negatif yang dapat dilakukan oleh pihak debitor, atau pihak lainnya yang tidak beriktikad baik, terhadap agunan tersebut. Tindakan negatif itu akan membuat Bank Mandiri tidak dapat mengeksekusi jaminan yang dimilikinya, sehingga tidak dapat memperoleh pembayaran kembali atas kredit yang telah diberikan. Menurut saya, itulah sebab substantif Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan ada unsur melanggar hukum, karena hak tanggungan yang kuasanya telah diberikan tidak dipasang dalam waktu yang lama. Padahal, hanya hak tanggungan ini yang akan melindungi kredit Bank Mandiri kepada CGN.
Pembelian aset tersebut dibiayai sepenuhnya oleh kredit    Bank Mandiri. Selain itu, sebagian dari jumlah kredit tersebut untuk membiayai tujuan tertentu lainnya, sehingga agunan berupa tanah dan bangunan Hotel Tiara Medan dengan jumlah kredit US $18.5 juta sudah dapat dipastikan memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibanding dengan kemungkinan kekuatan pasar dapat mem-bayarnya.
Sebagai patokan, dapat pula digunakan kenyataan bahwa BPPN ketika melakukan lelang hanya menghasilkan nilai US $10.5 juta untuk aset tersebut. Pihak pemenang lelang (TMMP) berhasil menjual kepada CGN, tetapi dengan dukungan kredit sepenuhnya dari Bank Mandiri, pada harga US $18.5 juta–tanpa adanya nilai tambah apa pun yang dilakukan oleh TMMP terhadap properti itu.
Dari segi pertimbangan bisnis, keuntungan US $8 juta (76%) hanya dari kenyataan properti itu berpindah tangan dirasa sangat tidak logis. Apabila properti yang sama dijual kembali, besar kemungkinan tidak dapat memperoleh harga setinggi itu (US $18.5 juta). Uraian ini jelas menunjukkan bahwa Bank Mandiri telah mengalami kerugian, karena memberikan kredit sejumlah US $18.5 juta, tetapi memiliki agunan yang nilainya lebih rendah. Terlebih lagi jika diingat, Bank Mandiri masih harus menghadapi ‘risiko kredit’ yang mungkin terjadi selama penantian, hingga kredit tersebut benar-benar dilunasi. Uraian ini menunjukkan bahwa pemberian kredit tersebut dengan jelas melanggar ketentuan Pasal 2 dan 8 UU Perbankan dan prinsip kehati-hatian.[19][†††††††††††††††††††††††††††††] Bahkan, atas dasar perhitungan itu mengenai kerugian yang terjadi,  keputusan bisnis yang dilakukan itu bersifat sangat tidak rasional, sehingga diduga ada motivasi lain di belakang keputusan pemberian kredit tersebut, atau bersifat tidak independen. Karena itu, dalam konteks BJR, pengambilan keputusan yang melanggar hukum jelas tidak dapat memperoleh perlindungan hukum, dan sekaligus melanggar iktikad baik, duty of care dan duty of loyalty.
f.    Dalam Putusan MARI Nomor 373 K/Pid.Sus/2011
 Mahkamah Agung menyatakan, bahwa para direksi bersalah, karena pencairan kredit yang dilakukan oleh mereka dan para pejabat Bank Mandiri tidak memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan dalam aturan kredit. Akan tetapi, para direksi dan pejabat Bank Mandiri in casu tetap melaksanakan proses pencairan kredit a quo.
Putusan ini kembali menyatakan bahwa pelanggaran terhadap aturan kredit internal bank merupakan tindakan melanggar hukum, karena itu pelakunya dinyatakan bersalah.
Dalam konteks BJR, tindakan melanggar hukum menghilangkan perlindungan hukum bagi direksi yang melakukannya.


[1][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]           Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2007, hlm. 19.
[2][*************************]         Ray D. Madoff, “Unmasking Undue Influence”, Research Paper No. 1997-03, <http://srrn.Com/abstract=751564> [1997].
[3][†††††††††††††††††††††††††]         Andrew N. Sykes, “Unfair results and unfair doctrine: Structuring the Application of the Equitable Doctrines of Undue Influence and Unconscionable Doctrine”, Deakin University.
[4][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]         Kartini Mulyadi dan Gunawan Wijaya, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 80.
[5][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]         Sutan Remy Syahdeni, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia”, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 121-122.
[6][**************************]       Indriyanto Seno Adji mengutip pendapat dari Jean Rivero dan Waline mengenai pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi Negara (HAN), yaitu dalam tiga wujud: Pertama, penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan. Kedua, penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan lain. Ketiga, penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain sehingga terlaksana. Indriyanto Seno Adji, ”Overheidsbeleid-Privaatrechtelijkheid & Tindak Pidana Korupsi”, Prosiding Seminar Tindak Pidana di Bidang Perbankan, op. cit., hlm. 63.
[7][††††††††††††††††††††††††††]       Sundari Arie, ”Tindak Pidana di Bidang Perbankan ditinjau dari Undang-undang Perbankan dan Peraturan perundang-undangan terkait serta pemasalahan dalam Prakteknya”, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan, op. cit., hlm. 24.
[8][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]       Hal yang dimaksud ini kemudian diutarakan dalam Credit Memo yang dibuat 22 Januari 2003, yang merupakan hasil review Bagian Risk Management terhadap permohonan fasilitas KI untuk CGN, yang ditujukan pada direktur utama / E.C.W. Neloe. Risk Management menyatakan bahwa “bagi Bank Mandiri risiko kredit yang telah diberikan kepada CGN sebenarnya telah terjadi pada saat diberikannya BL Rp160 miliar”, di samping itu disebutkan bahwa “BL tidak dicover oleh agunan yang memadai (hanya berupa bangunan Tiara Convention Centre dan 3 unit bangunan senilai Rp52 miliar)”.
[9][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]       Indriyanto Seno Adji pada intinya berpendapat, polah BPPN sesuai peraturan tertulis pemerintah dan telah diikutinya. Seluruh proses harus diketahui               dan disetujui oleh KKSK. Prosiding Seminar Tindak Pidana Perbankan, op. cit.,    hlm. 141.
[10][***************************]   Baik dalam Nota Analisa 1 untuk memperoleh persetujuan BL maupun kredit investasi, hal keterkaitan ini tidak disebutkan. Dalam Nota Analisa 1, disebutkan bahwa CGN dimiliki oleh Edyson (70%), dan Saipul (30%). Dalam Nota Analisa 2 (13 Januari 2003), disebutkan bahwa Tahta Medan dimiliki oleh CGN (66.35%) dan PT. Pengelola Investama Mandiri (33.65%), yang merupakan anak perusahaan Bank Mandiri. Pada Memo 14 Januari 2004, Tahta Medan dimiliki oleh CGN 92.97%, dan PT Pengelola Investama Mandiri 7.03%. Baru pada tanggal ini disebutkan bahwa Tahta Medan dan CGN merupakan bagian grup Domba Mas. Direktur utama Tahta Medan dan CGN adalah Edyson. Dengan demikian, kedua perusahaan ini menjadi bagian dari grup Domba Mas adalah karena kehadiran Edyson. Dalam uraian putusan No. 2068/Pidana Biasa/2005/PN Jakarta Selatan, disebutkan bahwa Edyson adalah keponakan dari Susanto Liem, pemilik grup Domba Mas. .
[11][†††††††††††††††††††††††††††]   Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm. 80,
[12][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]   Nota Analisis 2 untuk menyetujui pemberian kredit investasi menyebutkan bahwa CGN akan menyediakan self financing untuk penyelesaian proyek Tiara Tower dan renovasi hotel US $11.2 juta dan diperlukan adanya escrow account untuk menyediakan dana yang diperlukan untuk pembayaran pokok dan bunga oleh Tahta Medan /CGN. Kedua persyaratan kredit ini tidak dipenuhi bahkan sampai adanya surat dakwaan dari JPU.
[13][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]   Hanya setelah kredit BL diberikan, yaitu dalam Nota Analisis 2 untuk menyetujui kredit investasi, yang merupakan konversi dari kredit BL, analisis kredit dilakukan dengan lebih komprehensif. Tapi, banyak hal yang dikemukakan perlu diyakini kewajarannya atau kemungkinan dapat benar-benar dilaksanakan. Di samping keraguan yang disampaikan oleh Bagian Risk Management dalam Credit Report pada 22 Januari 2002, Tahta Medan dalam 3 tahun terakhir mengalami kerugian seperti yang ditunjukan oleh net profit margin dengan angka negatif 97% pada tahun 2001, angka negatif 382% untuk tahun 2000, dan angka positif 97% pada tahun 1999. Sedangkan untuk tahun 2002-2003 dan 2003-2004, misalnya, net income diproyeksikan 4% dan 17%. Ini merupakan angka yang sangat optimis, yang akan dicapai dalam satu tahun berikutnya. Di samping itu, total revenue diproyeksikan US $7.4 juta untuk tahun 2002-2003, dan US $12.8 juta untuk tahun 2003-2004, sedangkan untuk tahun 2001 hanya dapat dicapai Rp19.4 miliar (atau hanya US $2 juta). Baik pendapatan maupun keuntungan yang diproyeksikan menunjukan angka yang sangat fantastis.
[14][****************************]                 Seperti yang telah dicatat dalam catatan kaki sebelumnya, Risk Management Bank Mandiri telah mengungkapkan hal ini dalam memonya pada 22 Januari 2003, kepada E.C.W Neloe dan I Wayan Pugeg. Dalam memo disebutkan bahwa risiko        kredit telah terjadi ketika BL disetujui, dan kredit investasi diberikan karena:       1). Memperbaiki nilai agunan dari Rp52.4 miliar menjadi Rp182.1 miliar, dan 2). Jika kredit investasi tidak diberikan, risiko Bank Mandiri terhadap kredit BL tidak terbayar pada waktu jatuh tempo menjadi 100%; tetapi jika kredit investasi diberikan, risiko kredit yang dihadapi Bank Mandiri akan menjadi lebih kecil, karena pembayaran kembali kredit akan disesuaikan dengan kemampuan cash flow perusahaan. Ini artinya, mau tidak mau, Bank Mandiri harus tetap memberikan KI, yang notabene merupakan konversi dari kredit BL.
[15][††††††††††††††††††††††††††††]                 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
[16][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]                 Dalam Credit Report 22 Januari 2003, sebagai hasil review dari Bagian Risk Management terhadap usulan pemberian kredit investasi kepada CGN, yang disampaikan kepada E.C.W. Neloe dan I Wayan Pugeg, menyebutkan bahwa CGN adalah perusahaan baru dan pengurus sebelumnya tidak berpengalaman di bidang hotel.
[17][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]                 Credit Report yang sama seperti pada catatan kaki sebelumnya, juga menyebutkan bahwa Nota Analisis 2 tidak membahas sumber-sumber pemenuhan self financing yang diperlukan untuk menyelesaikan proyek Tiara Tower dan renovasi Hotel Tiara yang dapat menimbulkan risiko tidak terselesaikannya proyek hingga akhirnya dapat menimbulkan risiko kredit.
[18][*****************************]               Dalam Credit Report yang sama seperti yang disebutkan pada catatan kaki sebelumnya, Bagian Risk Management mengemukakan bahwa feasibility study tidak membahas akibat Bom Bali yang menurunkan industri pariwisata di Indonesia, data statistik BPS menunjukan bahwa tamu hotel di Sumatera Utara kebanyakan merupakan tamu lokal dengan perbandingan 1709:331 sebagai tamu asing, sehingga hotel di sini beraktifitas terutama di bisnis dan bukan untuk wisata. Karena itu, tarif hotel sangat menentukan, karena proyeksi dalam feasibility study menggunakan tingkat sewa kamar atau hotel rate yang lebih tinggi dibanding dengan hotel lainnya di Medan. Kemudian disebutkan bahwa asumsi occupancy rate yang digunakan dinilai terlalu optimis, yaitu 60% sedangkan rata-rata industri hanya menunjukan angka 41% di tahun 2001 dan 40.37 di tahun 2002 (sampai September). Dalam bahasa yang sangat diplomatis disebutkan sebagai konklusinya, bahwa: ”Dengan demikian apabila faktor-faktor ini diperhitungkan dengan menambahkan analisa sensitivitas khususnya terhadap occupancy rate dan tarif hotel akan didapatkan kemampuan yang sebenarnya dari hotel tersebut dalam memenuhi kewajibannya.”
[19][†††††††††††††††††††††††††††††]               Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

3 komentar:

  1. Kesaksian !!! Kesaksian !!! kesaksian !!!
    Nama saya Endah Faridah, saya dari Indonesia, saya seorang Muslim yang taat Saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu semua orang mencari pinjaman untuk berhati-hati tentang scammers karena mereka setiap tempat, beberapa bulan yang lalu aku finansial turun, dan karena dari kebutuhan saya, putus asa dan kemiskinan, saya telah scammed oleh beberapa perusahaan bernama pemberi pinjaman online. Saya kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman dia sangat handal disebut ibu Lucy Smith yang meminjamkan Aman dan pinjaman tanpa jaminan dari $ 150,988USD dalam 24 jam tanpa tekanan, pada awalnya itu seperti mimpi bagi saya sampai aku melihat peringatan dari bank saya bahwa accout saya dikreditkan oleh Lucy Smith Pinjaman Perusahaan. Saya mendorong sesama Indonesia yang membutuhkan pinjaman untuk silahkan hubungi Ibu Lucy Smith melalui: lucysmithloanfirm@gmail.com
    Awas! Anda juga dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut melalui: faridahendah007@gmail.com

    BalasHapus
  2. MUNGKIN ALLAH DITERIMA Nama saya Humaira Kiyoraka, saya dari kota Jayapura, Indonesia. Saya ingin menggunakan media ini untuk menginformasikan semua dalam kelompok ini mencari uang pinjaman untuk berhati-hati, karena ada penipuan dimana-mana. Beberapa bulan yang lalu, saya mengalami kerugian finansial dan bank menolak memberikan pinjaman karena saya tidak memiliki jaminan sehingga saya memutuskan untuk mencari pinjaman dari Man di Malaysia dan saya tertipu oleh orang-orang di Malaysia. Saya hampir kehilangan harapan sampai seorang teman saya yang telah mengubah adik perempuan saya, Nyonya Mira Binti Menangis, yang menyebut saya sebagai pemberi pinjaman yang sangat andal dan terpercaya bernama Rossastanley, pemberi pinjaman pribadi, ketika dia memberi tahu saya tentang hal itu saya mencekiknya bagaimana mungkin untuk mendapatkan pinjaman dari internet, tapi dia tertawa dan mengatakan kepada saya bahwa, itulah yang dipikirkannya pada awalnya tapi dia memutuskan untuk menghubungi stanley Rossa dan bahwa ketika pinjaman tersebut disetujui dia tidak mempercayainya sampai ibu Rossa menjelaskan kepadanya bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah satu dukungan mereka secara finansial di lain untuk membantu orang-orang miskin dari ASIA jadi saya memutuskan untuk menghubungi ibu Rossa stanley pinjaman layanan pelanggan perusahaan melalui email dan segera mereka menjawab bagaimana mereka bisa membantu jadi saya mengatakan kepada mereka Nyonya Mira Binti Muhammad memberi saya kontak perusahaannya dan Saya mengisi formulir dan lihatlah pinjaman saya telah disetujui, bagian yang menakjubkan adalah suku bunga rendah hanya 2% jadi saya mengajukan pinjaman sebesar Rp250.000.000,00 dan lihatlah setelah melewati proses verifikasi, pinjaman saya Rp250.000.000,00 telah disetujui dan mereka meminta rincian bank saya, saya segera mengirimkan rincian rekening Bank Negara Indonesia (BNI) saya dan Lihatlah saya saya telah dipindahkan ke ACCOUNT saya, saya tidak dapat berterima kasih kepada ROSSA cukup dan saudara perempuan saya Mira Binti Muhammad dan juga United Nation untuk skema Kredit yang bagus ini, jadi saran saya untuk Anda semua adalah jangan hubungi semua pemberi pinjaman palsu ini, tetapi hubungi ibu perusahaan pinjaman rossa untuk memenuhi kebutuhan pinjaman cepat dan Anda akan bersaksi seperti saya juga email perawatan pelanggan perusahaan Rosunda adalah Rossastanleyloancompany@gmail.com, tapi jika Anda memerlukan bantuan dalam memproses kebutuhan pinjaman Anda jangan ragu untuk menulis saya di humairakiyoraka@gmail.com atau saudara perempuan tercinta di Mirabintimuhammed@gmail.com dan Anda pasti akan seperti kami yang sekarang bersaksi kepada ibu rossas bantuan keuangan yang besar,

    CATATAN: Tidak ada biaya pendaftaran, asuransi atau biaya pajak seperti pemberi pinjaman palsu,
    Semoga ALLAH memberkati kalian semua,

    BalasHapus
  3. Apakah Anda ingin memenuhi impian Anda dengan dana? Dalam 24 jam, PERUSAHAAN PINJAMAN GLORIA (GLC) menyediakan semua jenis pinjaman Internasional / Lokal, mis. Pinjaman bisnis, pinjaman rumah, dan lain-lain Pinjaman dengan tingkat bunga 2%. Siapa pun yang tertarik harus menghubungi kami melalui email dengan informasi di bawah ini;

    Data pemohon:
    1) Nama Lengkap:
    2) Negara
    3) Alamat:
    4) Seks:
    5) Bekerja:
    6) nomor telepon:
    7) Posisi saat ini di tempat kerja:
    8 Penghasilan bulanan:
    9) Jumlah pinjaman yang dibutuhkan:
    10) Periode pinjaman:
    11) Apakah Anda mendaftar sebelumnya:
    12) Tanggal Lahir:
    E-mail: (gloriasloancompany@gmail.com) ATAU Nomor Whatsapp: Nomor WhatsApp: +1 (361) 645-7557.
    Terima kasih

    BalasHapus