3. Unsur Keputusan yang Diperlukan
Dari putusan Mahkamah Agung, saya merangkum unsur-unsur
pertimbangan bisnis, sebagai berikut:
a) Prinsip kehati-hatian diartikan sebagai
tindakan memperoleh keyakinan atas iktikad baik, kemampuan, dan kesanggupan
calon debitor, berdasarkan analisis yang mendalam, untuk melunasi kredit yang
akan diberikan sesuai perjanjian yang akan dibuat. Penerapan prinsip ini
dilihat dari kecermatan atau ketakcermatan dalam menganalisis dan pengungkapan
data dan fakta yang ada, serta meneliti dengan cermat kebenaran seluruh
informasi, fakta dan data tersebut. Penerapan prudential principles dapat diartikan sebagai pengambilan risiko
yang tidak berlebihan. Dari segi BJR, ini berarti bahwa pengambilan keputusan
harus berdasarkan informasi, fakta dan data yang telah dicek kebenarannya. Dari
segi jumlah informasi, data dan fakta yang diperlukan dan memadai harus diukur
dan disesuaikan dengan kebutuhan dalam membuat analisis yang mendalam, sehingga
memperoleh keyakinan bahwa calon debitor memiliki iktikad baik, kemampuan dan
kasanggupan untuk membayar utangnya.
b) Keputusan kredit harus berdasarkan analisis
(laporan) keuangan calon debitor sesuai ketentuan internal bank, penilaian atas
kelayakan jumlah permohonan kredit dibanding dengan proyek atau kegiatan usaha
yang akan dibiayai, dan daftar jaminan yang lengkap. Artinya, dalam mengambil
keputusan, terutama dalam menentukan jumlah kredit yang diberikan, pemutus
kredit harus mengkaji kebutuhan kredit debitor secara subtantif, dengan
mengkaji berapa yang sebenarnya diperlukan oleh proyek, atau kegiatan usaha
yang akan dibiayai, sehingga tidak terjadi kemungkinan kelebihan pemberian kredit
atau dalam bentuk mark up.
c) Berdasarkan Pasal 8 Ayat 1 UU Perbankan,
keyakinan atas iktikad baik, dan kemampuan, serta kesanggupan nasabah debitor
berdasarkan analisis yang mendalam untuk melunasi utangnya. Dapat diartikan
sebagai penilaian yang jujur, objektif, cermat, dan saksama, serta terlepas
dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit. Telah pula
memastikan bahwa kredit yang akan diberikan dapat dilunasi pada waktunya dan
tidak menjadi kredit bermasalah. Dalam konteks BJR, penilaian ini berkait
dengan kewajiban direksi untuk memenuhi duty
of care, duty of loyalty, dan duty of
candor, dan juga unsur iktikad baik.
d) Keputusan bisnis tidak dikaji substantif
murni dalam arti benar atau salah, tetapi lebih banyak dilihat dari proses
pengambilan keputusan. Dalam kaitan antara proses dan hasil keputusan,
pertanyaannya adakah unsur melanggar hukum atau tidak. Di samping itu, dari segi proses,
materi yang mendasari pengambilan keputusan harus dipelajari dan dibahas secara
saksama. Pengambil keputusan dibebaskan dari konsekuensi hasil keputusan yang
dibuat dari proses yang rasional dan wajar serta mengikuti ketentuan
perkreditan internal bank, sejauh tidak bertujuan melanggar hukum, tidak ada
benturan kepentingan, atau tidak bersifat koruptif.
e) Dalam pemberian kredit, unsur melanggar hukum
tidak saja melanggar hukum positif, ketentuan perkreditan internal bank,
ketentuan Bank Indonesia, tetapi juga bertentangan dengan asas-asas hukum tidak
tertulis, dan dapat diartikan sebagai asas yang bersifat umum menurut kepatutan
(zorgvuldigheid) dalam masyarakat,
termasuk kebijakan perkreditan direksi dan prosedur pencairan kredit yang telah
ditetapkan oleh bank. Tanggung jawab moral dapat pula diartikan sejalan dengan
asas kepatutan (zorgvuldigheid)
dan sebagai pemberian kredit dengan risiko yang tidak berlebihan atau telah
diperhitungkan sebelumnya.
f) Pemberian fasilitas yang belum diatur dalam
ketentuan perkreditan internal bank dan ketentuan Bank Indonesia adalah tidak
memenuhi norma-norma perbankan dan tidak sesuai asas-asas perkreditan yang
sehat. Jika diterjemahkan ke dalam perspektif BJR, tindakan pemberian kredit
tanpa dilandasi ketentuan yang tersedia merupakan tindakan di luar kewenangan
direksi.
g) Direksi
memiliki kewenangan melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap seluruh
karyawan di segala lini. Oleh karena itu, direksi harus bertanggung jawab atas
pelaksanaan operasional bank[1][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
secara menyeluruh, termasuk memantau dan mengawasi kegiatan pemberian kredit.
Hal ini merupakan bagian dari duty of
care.
C. FAKTOR YANG
MEMENGARUHI KEPUTUSAN
Uraian berikut merupakan jawaban terhadap identifikasi
masalah ketiga, yaitu faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemberian kredit agar
memenuhi “prinsip keputusan bisnis” sehingga direksi bank mendapat perlindungan
hukum. Rangkuman unsur-unsur yang disebutkan dalam seluruh putusan pengadilan
yang telah diuraikan dapat dianalisis untuk menghasilkan faktor-faktor sebagai
berikut.
1. Menyelaraskan Pertimbangan Bisnis
Dalam pemberian kredit, ada
sejumlah faktor yang meme-ngaruhi pertimbangan bisnis. Agar tidak menyimpang
dari ketentuan perundangan dan ketentuan perkreditan bank, faktor yang dapat
memengaruhi pertimbangan bisnis itu perlu disela-raskan dengan unsur-unsur yang
ada dalam seluruh pertimbangan dan keputusan Mahkamah Agung yang berkait dengan
perkara yang telah dianalisis. Dalam rangka penyelarasan ini, pertim-bangan dan
keputusan Mahkamah Agung itu dianalisis sehingga dapat mengiktisarkan
unsur-unsur yang diperlukan, sebagai berikut:
a. Proses Pengambilan Keputusan Berpatokan pada
Ketentuan Kredit Internal, Bank Indonesia dan Pasal 8 UU Perbankan
Mahkamah lebih menekankan
pemeriksaan pada proses pengambilan keputusan sampai pada proses pencairan
kredit, dengan menggunakan acuan kepada ketentuan yang berlaku, terutama
ketentuan perkreditan internal bank, ketentuan Bank Indonesia, dan Pasal 8 UU
Perbankan. Proses tersebut untuk memperoleh dan menjaga keyakinan dalam rangka
memberikan kredit sehingga kredit dapat dikembalikan pada waktunya.
b. Pemeriksaan Proses Pengambilan Keputusan
Men-cakup Seluruh Tahapan Termasuk yang Bersifat Teknis Hingga Pencairan Kredit
Dari segi proses, mahkamah
memeriksa mulai dari proses pengambilan keputusan, seperti rapat untuk membahas
kepu-tusan, sampai hal-hal yang bersifat lebih teperinci dan teknis, misalnya
bagaimana proses pencairan kredit, atau pengikatan jaminan. Standar
pemeriksaaan menggunakan acuan ketentuan perkreditan internal bank, yang
umumnya mengatur secara teknis dan teperinci tata cara proses pemberian,
pencairan, dan penga-wasan kredit.
c. Tidak Memenuhi Ketentuan Perkreditan Termasuk
yang Bersifat Teknis Merupakan Perbuatan Melanggar Hukum
Penyimpangan dari ketentuan
perkreditan intenal bank dan Bank Indonesia, dan penilaian yang tidak dilakukan
berdasarkan penilaian yang jujur, objektif, cermat dan saksama, dan
dipe-ngaruhi oleh pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit; tidak
memenuhi norma-norma perbankan, tidak sesuai asas-asas perkreditan yang sehat,
dan prinsip kehati-hatian, dinyatakan sebagai perbuatan melanggar hukum. Di
samping itu, perbuatan yang menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia juga
dinyatakan sebagai perbuatan tanpa kewenangan atau hak yang melekat.
d. Penilaian yang Jujur, Objektif, Cermat dan
Saksama Dilihat tidak saja dari Segi Administratif, tetapi juga Secara
Substantif serta dari Segi Pengawasan Kredit
Dari segi administratif,
informasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan harus sama seperti keadaan yang
sebenarnya, bahkan bukan merupakan kesalahan penulisan. Dari segi sub-stantif,
jumlah kredit yang akan diberikan telah dilakukan peni-laian kelayakan
jumlahnya dengan teliti dan saksama terhadap objek atau proyek yang dibiayai,
sehingga dapat menghilangkan kemungkinan adanya penggelembungan jumlah kredit.
Dari segi pengawasan kredit, pencairan kredit harus sesuai aturan perkreditan
internal bank, dan berdasarkan kelengkapan dokumen jaminan yang diikat secara
yuridis sempurna.
e. Penekanan pada Rasionalitas Hubungan Antara
Proses dan Hasil Keputusan, yang Bebas dari Sifat Koruptif dan Benturan
Kepentingan
Mahkamah tidak memeriksa
substansi atau kualitas keputusan itu sendiri, tetapi memeriksa rasionalitas
hubungan antara proses dan hasil keputusan, dalam hal apakah terdapat unsur
pelang-garan hukum dalam hubungan itu. Walaupun keputusan itu salah, mahkamah
tidak mempersoalkannya, sejauh hasil keputusan itu tidak bersifat koruptif,
atau tidak digunakan untuk mengambil keuntungan pribadi, dan hal ini sejalan
dengan konsep duty of loyalty.
f. Tanggung Jawab Hukum dan Moral Terhadap
Pemilik Dana dari Segi Kepatutan dalam Menilai Besar Kecil Risiko
Batasan yang dapat
dipergunakan dalam mengambil keputusan dengan diskresi yang diberikan oleh
undang-undang adalah yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral.
Dari segi tanggung jawab moral, ukuran yang dipakai adalah asas-asas hukum
tidak tertulis atau asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan (zorgvuldigheid) dalam masyarakat. Dalam hal perkreditan, asas kepatutan yang
berlaku adalah norma-norma perbankan dan asas-asas perkreditan dan praktik
pemberian kredit yang sehat yang berlaku secara umum di lingkungan perbankan.
Karena pemutus kredit memiliki tanggung jawab moral yang paling tinggi, pemberian
kredit yang sejalan dengan asas zorvuldigheid
adalah pemberian kredit yang risikonya telah diperhitungkan, atau dengan risiko
yang tidak berlebihan. Dalam hal ini, kredit dengan risiko berlebihan diartikan
sebagai kredit yang sudah diketahui, bahwa kredit itu tidak akan dapat
dikembalikan oleh debitor.
Namun, dari segi diskresi
dalam pemberian kredit, sehubungan dengan risiko yang dihadapi bank, ada
perbedaan mendasar dengan keputusan pengadilan di Amerika dan di Jepang. Dalam kaitan
dengan pemberian kredit pada bisnis pemula atau tanpa anggunan penuh, dan
perkara Citicorp di Amerika, serta pengadilan Chukyo Bank di Jepang, kedua
pengadilan tidak mempersoalkan pemberian kredit yang berisiko tinggi tersebut.
Tampaknya, pertimbangan yang digunakan adalah masih adanya indikasi bahwa
bisnis debitor berkembang dan bank masih dapat mengharapkan untuk memperoleh
pendapatan atau keuntungan dari pemberian kredit tersebut. Di sini, terlihat
unsur risiko yang dapat menghilangkan kemungkinan perolehan keuntungan itu
sedikit dikesampingkan. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan pengadilan yang
hanya menggunakan konsep due care
yang berlaku dalam hukum korporasi. Di Indonesia, konsep kehati-hatian
disebutkan dua kali, yaitu kehati-hatian atau “duty of care“ dalam UU PT dan prinsip kehati-hatian yang secara
khusus disebutkan dalam Pasal 2 UU Perbankan–di samping dalam Pasal-Pasal yang lain. Ini dapat diartikan bahwa aturan
perundangan di Indonesia lebih menekankan pada konsep kehati-hatian. Ini pula,
mengapa BJR dalam sistem hukum common law
menggunakan ukuran gross negligence
sebagai pelanggaran terhadap kewajiban hukum duty of care.
2.
Perlindungan Hukum atas Keputusan Kredit
Bebeda dengan doktrin pengambilan keputusan kredit, ada
sejumlah faktor yang dapat memengaruhi perlindungan hukum bagi direksi bank.
Faktor-faktor ini sebagai berikut:
a. Banyaknya
Informasi tidak Sebatas yang Tersedia, dan Proses Pengambilan Keputusan yang
Cenderung Bersifat Baku.
Dalam kaitan dengan duty
of care BJR, direksi wajib dengan tingkat kepeduliannya (degree of care) untuk mengumpulkan
informasi, sehingga dapat memilih alternatif menuju ke keputusan yang akan
diambil.[2][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Namun, berdasarkan perkembangan terakhir di Delaware dan didukung oleh pendapat
Douglas M. Bradson, direksi hanya bertanggung jawab untuk mempertimbangkan
fakta-fakta materiil yang umumnya tersedia (reasonably
available), baik secara subjektif ataupun objektif, bukan fakta-fakta yang
imateril yang berada di luar jangkauan direksi.[3][******************************]
Di lain pihak,
berapa banyak informasi yang dianggap cukup dan bagaimana informasi dikumpulkan
juga merupakan pertimbangan bisnis.[4][††††††††††††††††††††††††††††††]
Berbeda dengan pengertian dalam
BJR tersebut, duty of care dalam
pemberian kredit lebih ketat dibanding untuk korporasi non-bank. Bagi direksi
bank, tingkat kepedulian dan kehati-hatian tidak sekadar memenuhi kewajiban
menggunakan kepedulian atau kehati-hatian yang wajar. Kadarnya berbeda dengan
orang lain dalam posisi yang sama menggunakan tingkat kepedulian, tingkat
keahlian atau kemampuan yang wajar, demi kepentingan per-seroan non–bank, serta
bertindak berdasarkan informasi yang cukup. Di lain pihak, duty of care dalam pemberian kredit, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, memerlukan informasi, data serta fakta sebanyak yang diperlukan dan
telah dipastikan kebenarannya.
Dalam mengambil keputusan
kredit dan untuk memenuhi duty of care direksi wajib mengikuti ketentuan yang ditetapkan dalam kebijakan
perkreditan internal bank, yang mengatur tentang proses pengambilan keputusan,
pencairan kredit, sampai pada pengawasan kredit. Dari segi proses pengambilan
keputusan kredit, melalui bawahannya, direksi wajib mengumpulkan dan menggali
informasi yang diperlukan dalam membuat analisis yang mendalam. Analisis ini
dilakukan untuk memperoleh keyakinan bahwa calon debitor memiliki iktikad baik,
kemampuan dan kesanggupan untuk membayar utangnya. Keyakinan tanpa adanya
dukungan fakta dan data adalah kecerobohan.[5][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dalam kaitan
dengan informasi, dalam pemberian kredit, jumlah yang dianggap cukup seyogianya
ditentukan oleh keper-luan dalam membuat analisis yang mendalam, sehingga
memper-oleh keyakinan mengenai iktikad baik, kemampuan dan kesang-gupan calon
debitor. Termasuk dalam pengertian informasi yang dianggap cukup adalah
kemampuan bank untuk memahami bisnis atau proyek yang akan dibiayainya. Bank
Indonesia melarang pemberian kredit untuk tujuan spekulatif, tanpa informasi
ke-uangan yang cukup, atau yang memerlukan keahlian yang khusus tetapi tidak
dimiliki oleh bank, dan kepada kreditor bermasalah atau macet (Lampiran SK
Direksi BI No. 27/16/KEP/DIR dan SEBI No. 27/17/UPPB tanggal 31 Maret 1995
dalam PPKPB angka 4).[6][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Dengan demikian, informasi meliputi data dan fakta yang diper-lukan adalah
berkait dengan debitor dan usahanya serta jejak rekam dari keduanya, dalam
menjalankan usahanya dan dalam hal berhubungan dengan pihak lain, terutama para
kreditor lainnya.
Keyakinan mengenai iktikad baik, kemampuan dan kesang-gupan tersebut
dapat diperoleh dari analisis kredit dan keuangan yang diperlukan. Analisis ini
menyimpulkan bahwa bisnis debitor dapat berkembang dan menghasilkan keuntungan
yang diharap-kan, dan sesuai kebutuhan untuk membayar utangnya beserta bunga.
Analisis tersebut dilakukan melalui proses yang cenderung baku. Hasil dari
analisis itu digunakan sebagai alat utama untuk mendukung rekomendasi bagi
pemutus kredit, apakah per-mohonan dapat disetujui atau ditolak. Informasi
mengenai iktikad baik calon debitor didasarkan pada reputasi, kebiasaan
membayar kewajibannya kepada kreditor lainnya, dan didukung oleh kesimpulan
bahwa bisnis debitor dapat berkembang di masa depan.
Dalam memenuhi duty
of care, direksi tidak saja wajib melakukan tugas monitoring dan tugas
bertanya secara proaktif dalam rangka mengambil keputusan yang wajar, tetapi
juga wajib memastikan hal-hal berikut, yaitu: setiap kredit yang diberikan
telah memenuhi norma-norma umum perbankan dan sesuai asas-asas perkreditan yang
sehat, termasuk prinsip kehati-hatian. Direksi juga harus memastikan bahwa
seluruh ketentuan kebijakan perkreditan internal bank dan ketentuan Bank
Indonesia telah dipenuhi. Selain itu, yang tidak kalah penting, penilaian telah
dilakukan secara jujur, objektif, cermat dan saksama, dan tidak terpengaruh
oleh pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit. Dengan demikian, dapat
diyakini bahwa kredit yang akan diberikan tidak akan berkembang menjadi
bermasalah. Prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan termasuk pada
kecermatan dalam meneliti kebenaran seluruh informasi, fakta dan data yang
digunakan, dalam menganalisis dan pengungkapannya.
b. Kemampuan
dan Keahlian Khusus Perkreditan yang Lebih Tinggi
Sejalan dengan pendapat Hikmahanto Juwana, dalam
pem-berian kredit, kewajiban fiduciary
duty dan duty of skill and care bagi
direksi bank jauh lebih besar terhadap kepercayaan yang diberikan oleh
masyarakat pemilik dana kepada bank qq direksi bank.[7][*] Intinya
mengharuskan direksi untuk mengelola bank sebagai orang yang ahli dan jujur
dengan segenap kemam-puannya,[8][†]
sehingga pemberian kredit dapat mencapai hasil yang optimal, tanpa mengorbankan
kepentingan para pemilik dana. Pada akhirnya, hasil yang optimal ini dapat
mendukung pemenuhan konsep negara kesejahteraan sebagai teori besar (grand theory), sekaligus memerhatikan unsur moral yang diper-lukan dalam
konsep ekonomi Pancasila pada tataran penerapan (applied theory).
Standar umum tingkat kemampuan dan keahlian direksi ditentukan apakah calon
direksi telah lulus uji kemampuan dan kepatutan yang diselenggarakan oleh Bank
Indonesia.
Simpulan yang diambil direksi apakah kredit dapat diberikan
atau ditolak adalah berdasarkan hasil analisis yang mendalam, yang dilakukan
oleh bagian di bawahnya. Namun, direksi khususnya pemutus kredit bertanggung
jawab penuh atas kualitas analisis tersebut. Karena itu, kemampuan dan keahlian
direksi sebagai pemutus kredit harus lebih tinggi dari kemampuan dan keahlian
bawahan, paling tidak dalam hal menganalisis pemberian kredit serta dalam hal
mengawasinya. Direksi harus mampu mem-baca, menginterpretasikan, dan melakukan
ekstrapolasi analisis, dalam menentukan iktikad baik, kemampuan dan kesanggupan
calon debitor di masa depan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa debitor itu akan
mampu membayar kewajibannya. Bahkan, dalam BJR sekalipun, Dennis J Block (et.al) menekankan, bahwa kurangnya
pengalaman bisnis atau keahlian atau kualifikasi dan lainnya tidak membebaskan
direktur yang bersangkutan untuk menggunakan akal sehat, kebijaksanaan praktis
dan melakukan pertimbangan dengan menggunakan informasi yang memadai,
sebagaimana orang biasa yang hati-hati.”[9][‡]
c. Kelalaian
Versus Gross Negligence
Lawan due care
adalah kelalaian (negligenge).
Dalam BJR, pengadilan tidak akan mempertanyakan keputusan direksi jika
direksi menggunakan proses yang rasional dan mempertim-bangkan seluruh
informasi materiil yang ada secara wajar. Standar yang digunakan adalah konsep gross negligence,[10][§] atau
kelalaian yang keterlaluan, yang menunjukkan adanya tindakan yang tidak
rasional, dan berimplikasi terhadap pengabaian tanggung jawab sebagai direksi
dan bernilai kesengajaan.
Konsep gross
negligence berbeda dengan pengertian yang diperlukan dalam ketentuan yang
berlaku. Kelalaian atau negligence
merupakan isu sentral dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata, serta Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104 Ayat 4 UU PT. Dalam kaitan
dengan Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata, perbuatan melanggar hukum diartikan
sebagai bertentangan dengan ketentuan yang berlaku (onrechtmatige daad).
Dalam hal ini, ketentuan yang berlaku diartikan sebagai ketentuan kebijakan
perkreditan internal bank atau kesalahan, kelalaian, dan sikap kurang
hati-hati, sehingga menimbulkan kerugian pihak lain. Ali Rido berpendapat,
dalam badan hukum organ harus bertanggung jawab dengan melakukan ganti kerugian
secara pribadi, apabila melakukan kesalahan-kesalahan pribadi karena lalai atau
kurang hati-hati yang merugikan badan hukum, dan hal ini dianggap sebagai
perbuatan melanggar hukum.[11][**]
Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata bersifat umum. Kedua Pasal ini ditujukan bagi siapa saja yang merugikan
orang atau badan hukum. Nuansanya merupakan peringatan bagi setiap orang, agar
tidak melakukan kelalaian atau kesalahan yang menimbulkan kerugian orang lain.
Orang yang dirugikan itu dapat menuntut ganti kerugian terhadap orang yang
merugikan. Artinya, Pasal tersebut lebih cenderung melindungi pihak yang
dirugikan, dengan cara diberi kesempatan hukum untuk menuntut ganti kerugian.
Dari segi lex spesialis,
ketentuan yang sama dapat pula dilihat dalam UU PT, yang mengatur mengenai
kelalaian atau kesalahan direksi, namun dengan nuansa yang berbeda.
Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104
Ayat 4 UU PT berkait dengan kerugian dan kepailitan. Berbeda dengan nuansa
Pasal 1365 KUH Perdata, perlindungan hukum bagi direksi tampak lebih jelas,
karena direksi diberikan kesempatan lebih dulu untuk mem-buktikan bahwa mereka
tidak bersalah atau lalai, agar tidak dituntut untuk melakukan ganti kerugian
secara pribadi dan renteng. Kepailitan dapat terjadi jika bank terus-menerus
meng-alami kerugian, akibat kredit macet yang besar relatif terhadap jumlah
total portofolio pinjaman. Direksi dibebaskan dari tanggung jawab ganti
kerugian jika dapat membuktikan bahwa kerugian atau kepailitan yang terjadi
bukan kesalahan atau kelalaiannya; paling tidak yang bersangkutan telah
berusaha menghindarinya.
Berdasarkan
yurisprudensi Indonesia, kelalaian adalah pelang-garan terhadap hak orang lain,
atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan
sikap kehati-hatian dalam pergaulan masyarakat, terhadap kepentingan atau milik
orang lain. Kewajiban hukum pelaku dapat diartikan sebagai fiduciary duty direksi, dan memenuhi sikap kehati-hatian dalam
pergaulan masyarakat (due care). Due care wajib dipenuhi dalam hal melakukan pekerjaan terhadap
kepentingan perseroan atau bank dalam bentuk badan hukum. Dalam bahasa L.E.H
Rutten, perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan
keharusan untuk memerhatikan kepentingan orang lain, atau tanpa pertimbangan
yang cukup untuk bertindak secara hati-hati, baik dari segi lahiriah ataupun
milik orang lain, dan dalam hal ini dapat diartikan sebagai kepentingan dan hak
milik bank.[12][††]
L.E.H. Rutten menjelaskan, bila orang tidak hati-hati
mem-pertimbangkan atau memerhatikan kepentingan atau hak orang lain yang
dianggap wajar atau secara umum diterima, tindakan orang itu tidak sah dari
kaca mata hukum atau melanggar hukum. Sebaliknya, direksi wajib memerhatikan
kepentingan bank, dan para pemilik yang dananya digunakan dalam pemberian
kredit yang diputuskannya.
Direksi sebagai
pemutus kredit wajib mempertimbangkan ke-amanan dana milik masyarakat, sehingga
dapat kembali secara utuh beserta bunga.
Kelalaian atau kurangnya sikap hati-hati adalah jika
keputusan kredit tidak diambil berdasarkan analisis yang mendalam, dengan informasi,
data serta fakta yang cukup dan benar. Kelalaian atau ketidak hati-hatian dapat
pula diartikan bahwa keputusan dibuat berdasarkan saran yang buruk atau tidak
pernah mempertim-bangkan keadaan yang memerlukan perhatian khusus, sehingga
dapat menghindari kemungkinan kerugian. Selain itu, kelalaian dapat disetarakan
sebagai sebuah kegagalan dalam memonitor atau melakukan pengawasan, atau
mengusahakan sistem pela-poran dan informasi yang sistematik yang diperlukan.
d. Kepatutan dalam Pemberian Kredit
Norma dan ketentuan yang
berlaku adalah apabila direksi atau pemutus kredit telah mempertimbangkan
seluruh informasi, data dan fakta yang diperlukan, dan disajikan dalam bentuk
analisis yang utuh oleh analis secara objektif. Berdasarkan penalarannya terhadap
simpulan analisis ini, dibarengi dengan intuisi berdasar-kan pengalamannya,
direksi atau pemutus kredit menyetujui atau menolak usulan kredit yang diajukan
kepadanya. Jika hal ini dilakukan, berarti direksi atau pemutus kredit telah
memenuhi unsur kepatutan (zorgvuldigheid), dan dalam konteks BJR telah
memenuhi unsur informed decision atau informed basis, atau keputusan diambil
berdasarkan informasi yang cukup.
Hal tersebut sejalan dengan moral Pasal 47 KUHD, yang
terletak pada iktikad baik pengurus. Pengurus yang beriktikad baik adalah jika
tidak menyembunyikan keadaan keuangan perseroan yang sebenarnya kepada pihak
ketiga, sehingga tidak menimbul-kan kerugian baginya dalam bertransaksi dengan
perseroan. Kemudian, pasal itu diganti dengan Pasal 69 Ayat 4 UU PT, yang
menyebutkan bahwa direksi dan komisaris bertanggung jawab secara renteng jika
menyediakan laporan keuangan yang tidak benar dan/atau menyesatkan. Dalam
kaitan dengan pengambilan keputusan kredit, seluruh informasi, data dan fakta
yang berkait dengan kualitas calon debitor harus diungkap setransparan mungkin,
sehingga seluruh risiko yang berkait dengan pembia-yaan usaha dan debitor dapat
dianalisis dengan secara jelas. Dalam BJR, tindakan ini berkait dengan due care, duty of loyalty, dan iktikad
baik.
e. Bebas
dari Pengaruh Pihak yang Berkepentingan dengan Pemohon Kredit
Duty of loyalty adalah
kewajiban melayani perseroan dan pemegang saham tanpa ada kepentingan lain atau
pengaruh (influence) dari pihak yang
berkepentingan dengan pemohon kredit. Dengan demikian, keputusan tidak
mengandung benturan kepentingan dalam bentuk manfaat keuangan (self dealing), tidak menggunakan kesempatan atau kewenangan untuk
kepentingan pribadi (corporate
opportunity).
Dalam hukum korporasi, iktikad baik adalah konsepsi dasar
yang dilandasi pada kejujuran subjektif, tidak ada pelanggaran terhadap standar
kepatutan yang diterima secara umum dan kesetiaan pada tempat bekerja. Unsur
iktikad baik tidak terlepas dari duty of care
dan duty of loyalty. Dalam kaitan
dengan duty of care, iktikad baik
berarti seseorang bekerja secara hati-hati atau prudent. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan atau kegagalan
sebuah proses pengambilan keputusan dalam rangka menghindari terjadinya
kerugian. Karena itu, jika direksi sering melakukan kesalahan membuat keputusan
kredit dan membawa kerugian bagi bank, dapat disimpulkan bahwa direksi yang
bersangkutan tidak memiliki sifat kehati-hatian atau prudent.
Dalam kaitan dengan duty
of loyalty, iktikad baik berarti tidak mementingkan diri sendiri, tetapi
dengan niat subjektif menge-depankan kepentingan terbaik perseroan, dan dengan
nilai objektif meliputi norma-norma yang berlaku. Iktikad baik dapat pula
dilihat dari kegiatan memonitor atau melakukan pengawasan, atau mengusahakan
sistem pelaporan dan informasi yang sistematik. Unsur iktikad baik dapat
dipertanyakan jika direksi mengambil keputusan yang tidak masuk diakal, dan
dapat dipergunakan untuk menguji unsur pemborosan (waste).
Di samping itu, keputusan itu
harus dilakukan secara independen dan objektif. Sebagai “persona standi in judicio”, berdasarkan
Pasal 7 Ayat 4 UU PT, badan hukum sebagai subjek hukum memiliki tanggung jawab
hukum yang independen. Untuk itu, keputusan kredit harus bersifat self evident, atau bukti yang berdiri
sendiri, tertulis dengan baik, serta berdiri sendiri dengan hanya pertimbangan
komersial tanpa pengaruh apa pun, berdasarkan informasi, data dan fakta yang
benar. Karena itu, keputusan direksi
sebagai pengemban tugas korporasi harus bersifat independen dan tidak dapat
dipengaruhi oleh kepentingan lain selain kepentingan perseroan. Pasal 49 Ayat 2 huruf UU Perbankan juga menetapkan
demikian.
Selain tanpa ada pengaruh (influence) pihak yang berkepen-tingan dengan pemohon kredit, sifat objektif ini dapat pula diartikan sebagai sebuah keadaaan yang
tidak dipengaruhi oleh faktor tertentu. Keadaan ini mencakup tingkat
emosional dan sikap optismistik yang berlebihan, faktor kegembiraan yang
berlebihan (irrational exuberance),
mengikuti keputusan yang dilakukan oleh pihak lain (herd behavior), atau dinodai moral
hazard. Bukti empirik telah
menunjukkan bahwa pemberian kredit yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut
telah mengakibatkan timbulnya NPL yang besar, dan krisis keuangan di banyak
negara. Keadaan ini sangat bertentangan dengan harapan yang diinginkan dari
konsep negara kesejahteraan. Dalam kaitan ini, ada larangan Bank Indonesia
untuk tidak memberikan kredit yang akan membawa kerugian bagi bank.
f. Prinsip Kehati-hatian dan
Risiko
Prinsip BJR tidak menyebutkan
secara khusus prinsip kehati-hatian, kecuali menekankan kewajiban hukum melalui
due care. Pengambilan keputusan
kredit, di lain pihak, harus pula memer-hatikan ketentuan perundang-undangan, khususnya prinsip kehati-hatian
sesuai Pasal 2 UU Perbankan. Sejalan dengan pendapat Jonker
Sihombing, jika setiap bankir bekerja dengan berpegang teguh pada ketentuan
yang digariskan dalam manual atau kebijakan perkreditan, kredit bermasalah
dapat ditekan.[13][‡‡]
Tidak saja hal ini dapat dilihat dari kasus E.C.W. Neloe, dan senada dengan
pendapat para ahli mengenai penyebab mikro di Indonesia, penelitian empiris di
banyak negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa kegagalan bank dan krisis
keuangan terutama karena pengabaian sikap hati-hati standar yang diperlukan
dalam umumnya perbankan di dunia.
Penerapan prinsip
kehati-hatian juga berarti bahwa bank harus menghindari diri dari risiko yang
berlebihan, sehingga kemung-kinan perolehan keuntungan bagi bank dari pemberian
kredit menjadi lebih kecil karena ada risiko yang tinggi. Salah satu cara
mengurangi risiko kredit yang besar adalah menutupnya dengan agunan tambahan
yang memadai. Namun, hal ini tidak selalu dapat diperoleh, mengingat kompetisi
pasar yang dihadapi bank. Usaha yang dilakukan oleh direksi untuk menghindar
dari kerugian, bagi bank perseroan atau bank, merupakan unsur dari iktikad baik
direksi, dan sejalan dengan ketentuan Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104 Ayat 4 UU
PT.
Risiko kredit yang akan dihadapi telah dipelajari dan
tidak menunjukkan ada indikasi, bahwa kredit akan langsung ber-masalah jika
diberikan. Bank Indonesia jelas melarang, antara lain, pemberian kredit kepada
usaha yang sejak semula dapat diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa
kerugian (SK Direksi BI No. 27/162/KEP/DIR dan SEBI No. 27 UPB tanggal 31 Maret
1995, pada lampiran PPKPB angka 450). Dalam kaitan dengan BJR, Hakim Agung
Litwin menyatakan bahwa konsepsi dasar praktik kehati-hatian yang berlaku pada
perbankan mewajibkan direksi bank untuk mempertimbangkan masalah yang dapat
muncul di masa depan, seperti sangat berisiko, sangat tidak biasa, dan sangat
tidak perlu. Jika risiko dianggap tinggi, bank wajib menutup sebagian risiko
dengan agunan tambahan yang diperlukan.
Faktor-faktor yang memengaruhi
perlindungan hukum atas keputusan kredit secara keseluruhan membentuk konsep
BJR untuk keputusan kredit, yang merupakan temuan teoritis kajian ini.
3. Konsep BJR yang Memberi Perlindungan
Keputusan bisnis dalam pemberian kredit bank adalah
keputusan kredit, dan bersifat rasional, independen, dan objektif, sesuai
ketentuan kebijakan perkreditan internal bank dan ketentuan Bank Indonesia.
Keputusan kredit juga bersifat subjektif sampai batas tertentu, karena
mengandung intuisi pribadi dari pemutus kredit. Namun, intuisi ini harus
diusahakan sebagai hasil resultante dari analisis terhadap berbagai informasi,
data dan fakta yang benar dan relevan, yang diektrapolasikan ke masa depan.
Sebagai penerapan prinsip kehati-hatian, keputusan kredit
juga merupakan hasil resultante yang memberikan keyakinan bagi pemutus kredit
sebagai wakil bank, bahwa calon debitor beriktikad baik, mampu, dan sanggup
membayar pinjaman atau utang sesuai perjanjian, sehingga kredit diperkirakan
tidak akan bermasalah. Keputusan kredit bebas dari pengaruh yang berkepentingan
dengan pihak pemohon kredit dan bebas dari pengaruh lainnya. Unsur risiko
kredit terkait telah dipertimbangkan dalam keputusan, dan risiko itu telah ditutup
dengan jaminan tambahan yang diperlukan.
Ditinjau dari pengertian keputusan kredit tersebut, ada
perbe-daaan dalam hal ketentuan yang berkait dengan perlindungan hukum BJR dan
persyaratan yang diperlukan agar keputusan kredit dapat memberikan perlindungan
hukum. Dibanding dengan persyaratan BJR, perbedaannya terletak pada hal-hal
berikut–dan merupakan bagian dari konsepsi yang dibangun untuk keputusan
kredit:
Secara menyeluruh, bahwa konsep BJR
pada dasarnya memerlukan penerapan keseluruhan fiduciary duty atau
kewajiban hukum oleh direksi bank, yaitu duty of care, duty of loyalty, dan
iktikad baik. Di samping memenuhi unsur fiduciary
duty dengan tiga serangkainya, faktor-faktor yang diperlukan dalam konsep
BJR untuk keputusan kredit adalah sebagai berikut:
a. Memenuhi
Kewajiban Kepedulian (Due Care) yang Lebih Luas dan Seluruh Ketentuan
Perkreditan Internal dan Bank Indonesia
Dibanding dengan konten dalam prinsip BJR dan untuk
korporasi non-bank, duty of skill and
care dalam pemberian kredit jauh lebih ketat. Hal ini merupakan kebutuhan,
sehubungan dengan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat pemilik dana
kepada bank qq direksi bank jauh lebih besar.[14][§§] Untuk memenuhi duty of care, direksi wajib
melakukan tugas monitoring dan tugas bertanya secara proaktif dalam rangka
mengambil keputusan kredit yang diperlukan. Di samping itu, direksi juga wajib
memastikan hal-hal berikut, yaitu setiap kredit yang diberikan memenuhi
norma-norma umum perbankan, sesuai asas-asas perkreditan yang sehat atau
prinsip kehati-hatian. Setiap penilaian yang terkait harus dilakukan secara
jujur, objektif, cermat, saksama, dan independen. Artinya, keputusan tidak
terpengaruh dengan pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit, tidak
berdasarkan emosional, keyakinan yang berlebihan, mengikuti herd behavior, atau lainnya. Secara
keseluruhan, direksi harus memastikan bahwa keputusannya telah memenuhi
ketentuan kebijakan perkreditan internal bank yang mengatur tentang proses pengambilan keputusan, pencairan kredit,
sampai pengawasan kredit, di samping ketentuan Bank Indonesia. Dengan
demikian, secara keseluruhan, dapat dipastikan bahwa kredit yang akan diberikan
tidak bermasalah.
Tingkat kepedulian yang lebih luas tidak saja
mempertim-bangan kepentingan para pemangku kepentingan, terutama masyarakat
pemilik dana, tetapi juga berkait dengan kepentingan masyarakat yang lebih
luas. Apabila kepentingan masyarakat pemilik dana diperhatikan, dalam arti dana
mereka yang disimpan dan disalurkan oleh bank secara aman, bank dapat berkembang
menjalankan usahanya dengan menekan timbulnya kredit berma-salah seminimal
mungkin, serta menciptakan laba. Dalam keadaan seperti ini, kepentingan para
pemangku kepentingan lainnya dapat terjaga dengan baik.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 UU
Perbankan,[15][***]
bank harus menjalankan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dan bertindak
sebagai agen pembangunan. Dalam konteks demokrasi ekonomi, bank harus
menyalurkan dana masyarakat kepada semua pihak dalam masyarakat, berdasarkan
kriteria yang sama dan berlaku umum. Namun, kriteria ini tentu harus merupakan
ukuran yang dapat menyelamatkan bank dari risiko-risiko kredit yang harus
dihadapi bank. Kriteria ini merupa-kan penerapan due care.
Penerapan due care
memerlukan informasi, data dan fakta dalam rangka menyeleksi calon debitor yang
layak diberikan kredit. Informasi, data dan fakta merupakan bahan baku dalam
menganalisis, menggunakan pendekatan 5C, dalam rangka mem-peroleh keyakinan
bahwa calon debitor dapat membayar utangnya.
Apabila setiap debitor
dapat mengembalikan utangnya pada bank beserta bunga, tingkat risiko kredit
berkurang, sekaligus mening-katkan tingkat solvabilitas bank. Sehingga tingkat
kesehatan bank dapat mencapai tingkat yang prima.
Dengan menerapkan due
care yang baik, bank dapat menerapkan prinsip demokrasi ekonomi sekaligus
bertindak sebagai agen pembangunan secara efektif seperti yang ditentukan oleh
dua pasal tersebut. Dalam konteks teori menengah (middle range theory),
jika dua hal itu terpenuhi dengan baik, per-tumbuhan ekonomi lebih baik dan
masyarakat lebih sejahtera. Secara langsung atau tidak, bank dapat dikatakan
mendukung konsep negara kesejahteraan, khususnya kesejahteraan sosial bagi
rakyat yang lebih banyak.
Sebagai agen pembangunan, bank harus dapat menyalurkan
dana masyarakat ke dalam kegiatan ekonomi yang produktif. Untuk mencapai tujuan
ini, bank kembali harus menerapkan due
care. Apabila bank dari waktu ke waktu dapat meningkatkan kegiatan ekonomi
yang produktif, melalui penyaluran dana yang efektif, berarti dapat menunjang
pengembangan usaha calon debitor. Berkembangnya usaha debitor dapat memberikan
kesempatan bagi tenaga kerja baru dan memiliki andil dalam pertumbuhan ekonomi,
sehingga kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik. Pada saat yang sama, dapat
pula dikatakan bahwa bank dalam menjalankan usahanya telah memerhatikan asas
kekeluargaan demi kepentingan bersama.
Bank tidak saja memerhatikan kepentingan calon debitor
individu, tetapi–dengan menerapkan due
care yang baik berarti bank juga–memerhatikan kepentingan kesejahteraan
masyarakat yang lebih luas. Pemberian kredit yang tidak mengindahkan due care dapat menimbulkan kredit macet
yang besar, kemudian dapat bermuara pada terjadinya krisis perbankan atau
keuangan. Secara empirik, krisis seperti ini telah terbukti menurunkan tingkat
kesejahteraan masyarakat banyak. Karena itu, pembaruan materi hukum dalam
bentuk due care yang diperluas berorientasi pada kepentingan rakyat banyak.
Dengan demikian, berkait dengan teori terapan (applied theory), dapat disimpulkan bahwa bank mendukung
konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi Pancasila dalam menjalankan usahanya.
Dalam hal ini, ekonomi Pancasila diterapkan dan dijadikan sebagai
ideologi substansial, bukan dogmatis belaka.[16][†††]
b. Melengkapi
Informasi, Data dan Fakta yang Diperlukan dan Ditentukan oleh Analisis yang
Mendalam untuk Memperoleh Keyakinan atas Niat Baik, Kesanggupan dan Kemampuan
Calon Debitor yang Diperlukan
Dari segi informasi yang dianggap cukup, duty of care dalam keputusan pemberian
kredit memerlukan informasi, data dan fakta yang wajib dikumpulkan dan digali sebanyak yang diperlukan, dalam rangka membuat analisis yang mendalam, untuk memper-oleh keyakinan bahwa
calon debitor memiliki iktikad baik, kemam-puan dan kesanggupan untuk membayar
utangnya. Informasi, data, dan fakta yang diperlukan itu adalah bersifat pokok
tentang perusahaan, bidang usaha, kondisi keuangannya, dan yang berkait dengan
karakter debitor, serta jejak rekam dalam menjalankan usahanya, dan dalam
berhubungan dengan pihak lain, terutama terhadap para kreditor lainnya. Seluruh
informasi berikut data dan fakta tersebut telah pula dipastikan kebenarannya.
Kajian mengenai iktikad baik calon debitor menuntut
adanya informasi atau proxy yang
menunjukkan adanya niat baik, faktor pendukung adanya iktikad baik itu, dan
yang dapat memper-tahankan unsur tersebut di masa depan. Dalam banyak kasus,
iktikad baik di masa lalu ditunjukkan oleh catatan pembayaran kewajibannya
terhadap kreditor atau pihak ketiga lainnya. Sedangkan unsur utama yang dapat
mempertahankannya di masa depan adalah prospek bisnis atau proyek yang masih
menjanjikan keuntungan yang diharapkannya.
c. Memenuhi Proses Pengambilan Keputusan
(Kredit) yang Cenderung Standar dan Baku
Dari segi proses, yang berbeda
dengan prinsip BJR, peng-ambilan keputusan kredit dilakukan melalui rapat
komite kredit, berdasarkan analisis kredit dan keuangan yang
mendalam, dan prosesnya cenderung baku. Analisis yang dilakukan sebuah bank
cenderung sama dengan bank lain, terutama dalam hal melakukan analisis
keuangan, yang merupakan bagian dari analisis kredit. Analisis tersebut berkait dengan keadaan
keuangan calon debitor dan prospek usahanya, yang menyimpulkan bahwa bisnis
debitor dapat berkembang dan menghasilkan keuntungan yang diharap-kan di masa
depan dan sesuai kebutuhan untuk membayar utang serta bunga. Analisis ini
mendukung rekomendasi bagi pemutus kredit, apakah permohonan dapat disetujui
atau ditolak. Informasi mengenai iktikad baik calon debitor didasarkan pada
reputasi dan kebiasaan membayar kewajibannya kepada kreditor lainnya, dan
didukung oleh kesimpulan bahwa bisnis debitor dapat berkembang di masa
depan.
d. Menerapkan
Prinsip Kehati-hatian dengan Saksama.
Sebagai penerapan prinsip kehati-hatian, bank wajib melaku-kan
analisis mendalam atas kelayakan dan prospek usaha debitor, faktor-faktor yang
memengaruhi usaha debitor (misalnya makro ekonomi), menganalisis risiko yang
mungkin timbul dan faktor-faktor yang dapat meminimalkan risiko.[17][‡‡‡]
Hal penting lainnya adalah melakukan mitigasi terhadap risiko-risiko tersebut
dengan menerapkan persyaratan yang wajib dipenuhi oleh calon debitor.[18][§§§]
Dengan demikian, analisis yang dilakukan tidak menunjukkan adanya indikasi bahwa
kredit akan langsung bermasalah jika diberikan, sehingga kemungkinan kerugian
dapat dihindari. Bagi perseroan atau bank,
upaya menghindari kerugian merupakan unsur dari iktikad baik direksi, sejalan
dengan ketentuan Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104 Ayat 4 UU PT.
e. Memenuhi
Konsep Duty of Loyalty yang lebih luas
Dalam BJR, konsep duty
of loyalty merupakan kewajiban terutama untuk melayani perseroan dan
pemegang saham, tanpa ternodai oleh benturan kepentingan atau ketidaksetiaaan
lainnya. Di samping itu, duty of loyalty juga diukur dari
kenyataan apakah direksi mengambil manfaat pribadi dari hasil keputusan yang
dibuat, yang menjadikan keputusannya itu bersifat koruptif. Dalam pemberian
kredit, keputusan harus dibuat secara independen dan hanya berdasarkan
informasi, data, dan fakta yang diperlukan, atau bersifat endogen, dalam rangka
menghasilkan keyakinan yang diperlukan.
Di samping
mendukung konsep perseroan terbatas sebagai “persona standi in judicio”, keputusan yang diambil secara
independen dapat menghindari pengaruh dari pihak yang ber-kepentingan dengan
pemohon kredit. Sebagaimana sejumlah ahli seperti Supramono dan NHT Siahaan
berpendapat, keputusan kredit yang tidak independen itu membuat penilaian
menjadi tidak jujur, tidak cermat, tidak objektif dan tidak saksama.[19][****]
Bukti empirik menujukkan, keputusan seperti itu mengabaikan prinsip
kehatian-hatian, sehingga kredit cenderung menjadi macet. Kredit macet yang
berakumulasi dalam jumlah besar di sektor perbankan akan mendorong terjadinya
krisis perbankan. Jika hal ini terjadi, akan merugikan masyarakat pemilik dana.
Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan kredit, tugas
kesetiaan yang diperlukan tidak saja terhadap para pemegang saham, tetapi juga
para pemangku kepentingan, terutama masyarakat penyimpan dana. Jika kepentingan
pemilik dana diperhatikan, kepentingan pemangku kepentingan lain akan ter-lindungi.
f. Tidak Mengambil Risiko yang Berlebihan
Menerapkan prinsip
kehati-hatian[20][††††]
berarti tidak memberikan kredit untuk tujuan spekulasi, usaha perjudian,
pornografi, bertentangan dengan norma kesusilaan, narkotika, dan sektor-sektor
yang telah dilarang oleh Bank Indonesia, kredit kepada kreditor yang bermasalah
di bank lain, kredit untuk perusahaan yang pengurusnya atau pemiliknya masuk
dalam daftar hitam, kredit macet SID BI, dan daftar cekal, atau melakukan
perbuatan tercela di bidang perbankan, kredit untuk proyek atau usaha yang
secara nyata membahayakan lingkungan, kredit lain yang tidak sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku.[21][‡‡‡‡] Pemberian kredit yang berisiko tinggi itu memerlukan
keputusan dari pemutus kredit yang lebih tinggi. Risiko akan bersifat tinggi
jika tidak dapat mengontrolnya dan tidak dapat memitigasinya.[22][§§§§]
g. Memiliki Kemampuan dan Keahlian (Perkreditan)
yang Lebih Tinggi
Dari segi kemampuan dan keahlian yang diperlukan untuk
memenuhi duty of care, direksi bank
sebagai pemutus kredit wajib memiliki kemampuan dan keahlian yang lebih tinggi,
dalam hal menganalisis pemberian kredit serta dalam hal mengawasinya, karena
bertanggung jawab penuh atas kualitas analisis yang disiapkan oleh bagian di
bawahnya. Pada tataran yang lebih tinggi, direksi wajib mengelola bank sebagai
orang yang ahli dan jujur dengan segenap kemampuannya,[23][*****] dan
pemberian kredit dapat mencapai hasil yang optimal, tanpa mengorbankan
kepentingan para pemilik dana. Direksi memiliki pengetahuan yang baik atas
sektor industri yang akan dibiayai dan mampu mengolah informasi, data dan
fakta, sehingga dapat membuat kebijakan yang tepat, dapat menyalurkan dana
masyarakat ke pasar yang progresif, untuk digunakan pada kegiatan-kegiatan yang
produktif dan menghasilkan.[24][†††††]
h. Menghindari Pengertian Kelalaian menurut
Hukum Indonesia
Berbeda dengan konsep gross negligence yang berlaku dalam BJR,
dalam pemberian kredit berlaku konsep kelalaian atau kesalahan yang
menghilangkan perlindungan hukum bagi direksi yang mengambil keputusan kredit, sesuai hukum
Indonesia yang berlaku, yaitu ketentuan Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata, Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104 Ayat 4 UU PT. Sejalan dengan ketentuan
pasal-pasal ini, yurisprudensi Indonesia mengartikan bahwa kelalaian
adalah pelanggaran terhadap hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku, atau berten-tangan dengan sikap kehati-hatian dalam pergaulan
masyarakat, terhadap kepentingan atau milik orang lain. Kewajiban hukum pelaku
dapat diartikan sebagai fiduciary duty
direksi dan memenuhi sikap kehati-hatian dalam pergaulan masyarakat atau duty of care dalam hal melakukan
pekerjaan; kepentingan pihak lain diartikan sebagai kepentingan bank. Perbuatan
melanggar hukum diartikan bertentangan dengan ketentuan kebijakan perkreditan
internal bank dan merupakan kesalahan, kelalaian, atau sikap kurang hati-hati,
sehingga menimbulkan kerugian pihak bank. Organ badan hukum harus bertanggung
jawab secara pribadi dengan melakukan ganti kerugian secara pribadi, apabila
melakukan kesalahan pribadi karena lalai atau kurang hati-hati yang merugikan
badan hukum.[25][‡‡‡‡‡]
i. Perlindungan
Hukum dalam UU Perbankan Perlu Diperjelas
Dalam hal BJR, perlindungan hukum lebih jelas terlihat
dan tersedia, dan penerapan dalam sejumlah pengadilan di negara asalnya telah
mengonkretkan konsep BJR dari segi teori dan praktik, yang tidak berbeda tetapi
telah diperhalus dari waktu ke waktu. Dalam UU Perbankan, perlindungan hukum
hanya dapat diperoleh jika direksi dalam menjalankan usaha bank, tidak
melakukan perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana (khusus). Nuansa yang
tersirat dalam UU Perbankan ini untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat
banyak, atau publik, atau dalam hal ini masyarakat pemilik dana, yang uangnya
digunakan bank untuk pemberian kredit. Pada saat yang sama, ketentuan itu
berfungsi untuk memperingatkan direksi agar tidak melanggar ketentuan perbankan
yang ada sanksi pidananya.
Perlindungan hukum bagi direksi hanya dapat dilihat pada Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104 Ayat 4 UU PT. Dua pasal itu
menyebutkan bahwa jika direksi dapat membuktikan bahwa ke-rugian atau
kepailitan bukan karena kelalaian atau kesalahannya, sehingga direksi
dibebaskan dari gugatan ganti rugi secara pribadi. Jadi, perlindungan hukum
bagi direksi bank lebih banyak mengacu kepada UU PT. Selain itu, bagaimana
ketentuan-ketentuan ini diterapkan dalam pengadilan belum ada petunjuk yang
jelas. Manifestasi dari ketidakjelasan ini dapat membuat para praktisi
perbankan atau bankir pemberi kredit menjadi ragu dalam menjalankan fungsi
pekerjaan.
Dalam perspektif teori menengah (middle range theory), yaitu teori kepastian hukum,
keragu-raguan akan adanya perlin- dungan
hukum bagi direksi bank seyogianya dihilangkan, sehingga mereka tetap bekerja
dalam koridor hukum yang lebih pasti. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi bagi
masyarakat dapat terjaga dengan baik, dan kesejahteraan khalayak menjadi lebih
baik. Dalam konteks teori besar (grand
theory) dan teori terapan (applied theory), secara menyeluruh, kepastian hukum tersebut dapat mendukung
penerapan ekonomi Pancasila dan pelaksanaan negara kesejahteraan. Bahkan, kepastian
hukum yang diciptakan dapat mendukung teori ekonomi pembangunan Mochtar
Kusuma-atmadja, karena akan mendorong para bankir untuk bekerja dan membuat
keputusan berdasarkan koridor hukum yang dapat memberikan perlindungan hukum.
Karena itu, UU Perbankan sebagai lex
spesialis perlu memperjelas unsur perlindungan hukum bagi direksi yang
membuat keputusan kredit yang sejalan dengan konsep baru ini.
Perlunya memperjelas kepastian hukum yang dapat
melindungi direksi bank dari konsekuensi tanggung jawab pribadi akibat
mengambil keputusan pemberian kredit, saya menyarankan untuk menambahkan Pasal
8 UU Perbankan. Tambahan ayat dapat berbunyi: “Anggota direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian yang diakibatkan karena timbulnya kredit
bermasalah sejauh telah memenuhi dengan kejujuran dan iktikad baik seluruh
kebijakan dan ketentuan perkreditan internal bank, Bank Indonesia, dan
perundang-undangan yang berlaku, dan apabila dapat membuktikan tidak memiliki
benturan kepentingan dan telah mengambil tindakan pengawasan serta berusaha
mencegah terjadinya kerugian bagi bank.”
Frasa “tidak dapat dipertanggungjawabkan atas
kerugian” merupakan inti dari perlindungan hukum yang dapat diberikan. Pada
dasarnya, nuansa frasa ini dan pemakaian kata-katanya kurang lebih sama seperti
yang ada dalam Pasal 97 Ayat 5 dan 104 Ayat 4 UU PT. Pasal pertama menyebutkan
bahwa “anggota direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian
sebagai-mana dimaksud pada Ayat 3 apabila dapat membuktikan.....”. Pasal kedua
menyebutkan bahwa “Anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan
perseroan sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 apabila dapat membuktikan
.....“. Namun, jika diperhatikan
lebih jauh, nuansa yang diciptakan oleh dua pasal ini tampaknya berbeda.
Perbedaan
tersebut dapat dilihat dari frasa “tidak dipertang-gungjawabkan” dalam Pasal
104 Ayat 4 UU PT, dan frasa “tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Frasa dalam
Pasal 104 Ayat 4 UU PT tampak lebih tegas, dibanding dengan frasa dalam Pasal
97 Ayat 5 UU PT. Hal ini dapat dimengerti, karena kata ”kepailitan“ merupakan
keadaan yang cenderung pasti dan hanya dapat diputus oleh pengadilan, dan tidak
dapat diperdebatkan lagi kecuali adanya proses banding ke tingkat pengadilan
yang lebih tinggi. Dari segi kerugian, keadaan pailit sudah menunjukkan
kerugian yang cenderung besar dan sulit untuk diperdebatkan lagi. Di samping
itu, proses banding umumnya hanya berkait dengan kemampuan atau kesediaan
perseroan dalam membayar kewa-jibannya kepada
para kreditor. Frasa dalam Pasal 97 Ayat
5 UU PT, di lain pihak, yaitu “tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
apabila.... ”, lebih menunjukkan pada proses, dan kata ‘kerugian’ masih harus
dibuktikan.
Baik
Pasal 97 Ayat 5 UU PT ataupun Pasal 104
Ayat 4 UU PT bertitik tolak pada kesalahan atau kelalaian direksi. Dalam saran
penambahan ayat tersebut, kesalahan dan kelalaian diukur dari seluruh kebijakan
dan ketentuan perkreditan internal bank, ketentuan Bank Indonesia, dan
perundang-undangan. Ukuran ini digunakan berdasarkan pertimbangan dan keputusan
Mahkamah Agung, karena penyimpangan dari ketentuan perkreditan internal saja
sudah merupakan tindakan melanggar hukum. Penggunaan frasa ‘kejujuran dan
iktikad baik’ merupakan penekanan yang menyiratkan bahwa mematuhi ketentuan
perkreditan, baik yang bersifat internal maupun eksternal, seperti ketentuan
Bank Indonesia, harus dilakukan secara substantif. Hal ini karena ruang lingkup
perkreditan bersifat sangat teknis, dan orang awam di luar bidang perkreditan
tidak selalu dapat mengerti apa yang dilakukan oleh direksi di belakang
keputusan kredit yang dibuatnya.
Bagian
terakhir dari saran tambahan ayat tersebut menyebut-kan anak kalimat “apabila
dapat membuktikan tidak mempunyai benturan kepentingan dan telah mengambil
tindakan pengawasan serta berusaha mencegah terjadinya kerugian bagi
bank“. Dari segi BJR, frasa
‘kejujuran dan iktikad baik’ merupakan unsur yang penting dan sekaligus
menunjukkan tidak adanya benturan kepentingan. Namun, dalam konteks
perkreditan, benturan kepen-tingan dapat mengarah pada adanya unsur suap atau
gratifikasi.
Karena itu, frasa ini kembali disebutkan sebagai unsur
penekanan agar dihindari oleh para bankir. Pada bagian akhir anak kalimat
menyebutkan ‘tindakan pengawasan” dan “usaha untuk mencegah terjadinya kerugian
bagi bank’. Pertimbangan dan Keputusan Mahkamah Agung, terutama Putusan MARI
No. 114K/Pid/2006, menyebutkan bahwa pengabaian pengawasan dan kepatuhan
terhadap ketentuan perkreditan internal merupakan pelanggaran hukum. Tambahan pula,
dari segi perkreditan, pengawasan terhadap perkembangan kualitas kredit, dalam
rangka menganti-sipasi setiap risiko yang dapat terjadi, sehingga kerugian
dapat diperkecil, mutlak harus dilakukan ex
ante.
4. Konsepsi BJR untuk Keputusan Kredit
dalam Kaitan dengan Grand dan Middle Range Theory, serta Applied Theory
Dalam konteks negara kesejahteraan, sebagai teori
besar (grand theory),
negara aktif mengatur segala aspek kehidupan rakyatnya.[26][§§§§§] Dalam
hal itu, Jeremy Bentham menekankan bahwa negara tidak dapat membiarkan
ketimpangan sosial terjadi, tetapi harus menciptakan persamaan di antara
masyarakat dalam hal kesejahteraan. Negara menjamin kesejahteraan masyarakat
demi terciptanya ketertiban umum dan sosial dengan mengorganisir dan melembagakan
tujuan ini dalam ketentuan perundang-undangan dan pelaksanaannya.
Sebagai filsafat yang mendasari penelitian ini, ”negara
kesejahteraan” Indonesia, termaktub dalam Pembukaan dan Pasal 33 Ayat 1 dan
Ayat 2 UUD 1945 dan Perubahannya[27][******]
dan Pancasila. Penjelasan Pasal 33 dengan judul “Kesejahteraan Sosial“
menyebutkan bahwa dasar demokrasi berupa produksi dikerjakan semua, untuk semua
di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Lebih lanjut
disebutkan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran
orang-per-orang. Oleh karena itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.[28][††††††]
Dalam kaitan ini, bank memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian,
yang juga dapat memengaruhi kehidupan masyarakat luas. Definisi mengenai bank
yang telah dikemukakan dengan jelas menyebutkan bahwa penyaluran dana, dalam
bentuk kredit atau lainnya, bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Peningkatan taraf hidup rakyat banyak sejalan dengan tujuan negara umumnya, khususnya Indonesia,
yaitu untuk menyejahterakan atau menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya.
Bentham menyebutkannya sebagai kebahagiaan ter-besar dari jumlah orang yang
paling banyak.[29][‡‡‡‡‡‡]
Pada dasarnya, para bankir atau pemutus kredit, selain bertanggung jawab
terhadap profesi dan pekerjaannya, mereka juga harus bertang-gung jawab pada
ruang lingkup yang lebih luas, yaitu para stakeholders.
Dalam kaitan ini, menurut Noel
Preston, secara umum, peranan profesi seseorang tidak dapat dipisahkan dengan
tanggung jawab sosial dan akibatnya pada kehidupan keluarga, lingkungan hidup
atau sosial, dan keadilan sosial.[30][§§§§§§]
Dalam kaitan dengan perbankan khususnya perkreditan, tanggung
jawab sosial terhadap masyarakat yang lebih luas dapat dilihat dari kasus-kasus
perbankan dan perkreditan dari waktu ke waktu. Dengan mengabaikan prinsip
pemberian kredit yang sehat dan prinsip kehati-hatian pengalokasian modal
menjadi tidak efisien dan tidak mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan. Sebaliknya, pengabaian prinsip-prinsip tersebut dapat menimbulkan
NPL yang besar, sehingga bank menjadi bangkrut. Jika hal itu terjadi secara
umum dalam sektor perbankan, dapat menimbulkan krisis keuangan atau perbankan.
Penutupan sejumlah bank dalam waktu yang relatif sama berpengaruh secara
negatif terhadap proses pembangunan ekonomi nasional. Sebagai contoh, beban
akibat pembayaran bunga terhadap obligasi pemerintah pasca krisis moneter 1997/1998
masih berlangsung dan tetap ditanggung oleh APBN hingga kini. Hal ini jelas
menunjukkan sebuah kesalahan pihak swasta dalam perkreditan ditanggung oleh
pemerintah, dan akhirnya oleh para pembayar pajak, atau dalam kata lain oleh
masyarakat Indonesia umumnya. Beban ini langsung atau tidak mengurangi tingkat
kesejahteraan masyarakat.
Sebagai teori besar (grand
theory), teori negara hukum kesejahteraan mengandung dua unsur pokok,
yaitu penyeleng-garaan negara dalam koridor hukum dan pemenuhan hak dasar
manusia.[31][*******]
Menurut Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, tujuan hukum adalah kesejahteraan
yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat,
dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari
proses penerapan hukum.[32][†††††††]
Sejalan dengan teori utility Jeremy
Bentham, Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi menyarankan agar pembentuk
undang-undang hendaknya merefleksikan keadilan bagi semua individu, sehingga
menciptakan kebahagiaan yang terbesar bagi masyarakat yang lebih luas.[33][‡‡‡‡‡‡‡]
Sedangkan keadilan merupakan conditio
sine qua non dalam hukum. Pengertian ’keadilan’ dalam konteks Indonesia,
berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan Perubahannya serta sila kelima Pancasila,
sebagai rechtsidee dan rechtsphilosophie dari hukum yang
berlaku di Indonesia, adalah keadilan sosial yang berakar pada kolektivitas.[34][§§§§§§§]
Keadilan sosial dalam konteks hukum ekonomi sosial adalah pembagian hasil
pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata sesuai hak asasi manusia
Indonesia,[35][********]
dan menyeimbangkan antara kepen-tingan individu dengan kepentingan masyarakat
secara umum. Namun, untuk mencapai keadilan sosial tidak lepas dari kepastian
hukum.
Dalam kaitan dengan teori menengah (middle range theory),
yaitu teori kepastian hukum, karena
hukum harus bersifat dinamis, pembaharuan materi hukum merupakan upaya untuk
membuat kepastian hukum tidak tertinggal, di belakang kepentingan manusia yang
selalu berkembang, seperti yang dikatakan oleh Sudikno Mertokusumo.[36][††††††††]
Penemuan konsep BJR dalam pemberian kredit tersebut merupakan langkah awal
dalam pembaruan materi hukum dan
bagian dari pembangunan hukum dan
sejalan dengan salah satu tujuan hukum, yaitu menciptakan kepastian hukum (rechtssicherheit).[37][‡‡‡‡‡‡‡‡] Sejalan dengan paham positivisme atau asas
legisme yang dianut oleh Indonesia,[38][§§§§§§§§] eksistensi kepastian hukum semakin terbentuk
dengan adanya kodifikasi hukum yang lebih lengkap dan mutakhir.
Konsep BJR dalam membuat keputusan
pemberian kredit merupakan petunjuk terhadap bagaimana membuat keputusan kredit
yang sejalan dengan konsep BJR. Hal itu pun disesuaikan dengan kebutuhan materi
pengambilan keputusan kredit, selaras Pasal 2 dan 8 UU Perbankan, sehingga
memperoleh perlindungan hukum. UU Perbankan ini menyaratkan analisis yang
mendalam sebagai dasar untuk memperoleh keyakinan terhadap iktikad baik,
kemampuan dan kesanggupan debitor dalam membayar utang. Untuk itu, diperlukan
informasi yang memadai dalam membuat analisis yang mendalam dan jelas harus
dari berbagai sumber, tidak terbatas hanya debitor. Proses pengambilan
keputusan dengan analisis yang mendalam bersifat sangat teknis dan men-detail,
cenderung bersifat baku, dan umumnya telah dipraktikkan oleh perbankan di
Indonesia.
Kaitan hukum dengan ekonomi, khususnya dalam rangka
penemuan konsepsi tersebut dalam penelitian ini, sebagai bagian dari
pembangunan hukum, dan pada tataran penerapan (applied), didasarkan pada teori Mochtar
Kusumaatmadja. Menurut beliau, hukum harus membantu proses perubahan yang
biasanya terjadi lebih cepat, yaitu ketika masyarakat sedang melakukan
pem-bangunan, sehingga hukum berguna sebagai alat perubahan sosial.[39][*********]
Pembentukan konsep BJR tersebut kiranya dapat digunakan sebagai alat dalam
pembangunan seperti maksud Mochtar Kusumaatmadja. Konsepsi ini harus pula
memerhatikan dan berorientasi pada
kepentingan rakyat banyak sebagai ideologi substansial.[40][†††††††††]
Konsepsi tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk mem-buat keputusan
kredit. Karena dapat memberikan perlindungan hukum, konsepsi itu dapat pula
mengarahkan para pengambil keputusan kredit untuk tetap bekerja dalam koridor
yang benar, dengan adanya kepastian hukum yang lebih jelas. Penerapan konsepsi
tersebut secara konsisten oleh pihak perbankan akan memperkecil kemungkinan
timbulnya NPL, menghindari ke-gagalan bank, bahkan krisis perbankan. Dalam
keadaan seperti itu, sudah diperkirakan pembangunan yang dilakukan masyarakat
akan tetap berlanjut; digunakan dalam mendukung ekonomi kerakyatan (Pancasila)
dengan menempatkan kepentingan rakyat banyak sebagai acuan utama. Dengan
demikian, paling tidak kesejahteraan masyarakat tetap terpelihara.
Dalam kaitan dengan konsep economic analysis of law, Richard A
Posner pada intinya mengatakan bahwa hukum dan ekonomi sama-sama menempatkan
dirinya pada tataran ilmiah yang setara. Dalam membangun teori, hipotesis dapat
dikemukakan dari teori yang lebih dulu ada, dan dengan pengujian empiris
akhirnya hipotesa itu dapat dinyatakan kebenarannya.[41][‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Untuk membentuk konsepsi yang diketemukan,
saya melakukan kajian kepustakaan mengenai BJR dalam sistem yang berlaku di
negara asalnya.
Ada pendapat dan pertimbangan
Mahkamah Agung yang mengatakan bahwa BJR perlu diterapkan dalam pengambilan
keputusan bisnis (kredit). Pertimbangan Mahkamah Agung dalam Putusan No.
1865 K/Pdt/2010 menyatakan bahwa direksi dapat melakukan improvisasi dari
maksud dan tujuan perusahaan sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan
tersebut, dan untuk itu dapat menggunakan prinsip “business judgement rule”. Sejumlah ahli hukum berpendapat bahwa
konsep BJR perlu diterapkan dalam pemberian kredit, sehingga masalah kredit
macet tidak selalu dibawa ke ranah tindak pidana korupsi, seperti halnya kasus
E.C.W. Neloe. Paling tidak para ahli hukum seperti, Ahmad Fikri Assegaf dan
Indra Safitri, berpendapat bahwa untuk memberikan kepastian hukum di masa depan
doktrin BJR perlu diterapkan dalam menilai dan mengukur tindakan direksi bank,
dan lebih lanjut dimasukan secara tegas ke dalam hukum perbankan.[42][§§§§§§§§§]
Teori Richard A Posner
mengatakan bahwa sebuah aturan hukum dikatakan efektif jika direspons secara
presisi oleh individu terkait, karena kepatuhannya terhadap aturan tersebut
akan memberikan insentif ekonomi.[43][**********] Sejalan dengan pendapat ini, pendapat Robert
Cooter dan Thomas Ulen,[44][††††††††††] Louis Kaplov mengatakan bahwa aturan hukum
yang direspons secara ex ante akan
memberikan dampak ekonomi yang menguntungkan bagi masyarakat.[45][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dalam kaitan dengan pandangan
tersebut, masalah kredit macet atau NPL yang besar merupakan awal dari
kegagalan bank dan krisis perbankan. Masalah ini terutama karena pengabaian
prinsip kehati-hatian. Tugas yang juga dikandung dalam duty of care yang harus dipenuhi oleh direksi bank dalam
menjalankan tugas mengambil keputusan. Dengan kejelasan duty of care dalam mengambil keputusan kredit, sekaligus memberikan
perlindungan hukum bagi para bankir, diharapkan keengganan mereka untuk
melakukan pekerjaan sehari-harinya itu dapat disingkirkan. Dengan adanya
kepastian hukum yang lebih baik, pemberian kredit akan tetap berlangsung dalam
koridor hukum yang dapat diikuti dengan jelas, sehingga ekonomi rakyat tetap
tumbuh, dan ketertiban masyarakat terjaga, sejalan dengan teori hukum
pem-bangunan Mochtar Kusumaatmadja dan teori ekonomi kerakyatan.
5. Globalisasi, RJPM, dan Kebutuhan Hukum
Kebutuhan hukum di dunia internasional tidak terlepas
dari kebutuhan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi di luar batas-batas negara.
Dalam keadaan itu, perubahan yang terjadi di dunia tidak dapat diabaikan. Arah
perubahan masa depan tampaknya masih berkisar pada perbedaan negara maju dan
negara berkem-bang. Tekanan yang lebih besar terhadap negara berkembang
diperkirakan terjadi sehubungan dengan, antara lain, kemajuan tehnologi
komunikasi, kekuatan ekonomi dan keuangan, serta kualitas SDM di negara
berkembang.[46][§§§§§§§§§§]
Dalam kaitan ini, ruang lingkup hukum yang perlu diperhatikan dan diwaspadai
adalah yang berhubungan dengan sektor perdagangan, investasi, dan keuangan.
Khusus di bidang perdagangan dan keuangan, dunia
me-lahirkan organisasi seperti WTO dan IMF, yang merupakan manifestasi
penerapan paham liberalisme ekonomi dunia, menggunakan alat utama melalui
deregulasi dan privatisasi.[47][***********]
Penggunaan dua alat itu pada akhirnya memarjinalkan peranan pemerintah yang
kemudian dimainkan oleh pihak swasta, terutama oleh korporasi multinasional.
Joel Bakan berpendapat, bahwa dalam hal tersebut, perlu
diwaspadai agar kebebasan yang ingin dicapai tidak dieksploitasi untuk
praktik-praktik yang merugikan pemerintah dan masyarakat setempat.[48][†††††††††††]
Bahkan, menurut George Stiglitz, peranan IMF dalam banyak kasus tidak
menghasilkan perbaikan, justru memperburuk keadaan sebuah negara atau
menimbulkan krisis ekonomi global. Hal ini karena IMF menggunakan pendekatan
yang homogen, tanpa memperhitungkan perbedaan-perbedaan nasional.[49][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dalam konteks Indonesia, pembeda utama yang harus
diperhatikan adalah ketentuan yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 dan
Perubahannya. Intinya, perekonomian dijalankan berdasarkan usaha bersama dengan
asas kekeluargaan. Asas ini merupakan substansi ekonomi Pancasila, yang sangat
berbeda dengan sistem ekonomi yang berlandaskan liberalisme dan individualisme.[50][§§§§§§§§§§§]
Tujuannya untuk menjaga efisiensi, kemandirian, keseimbangan kemajuan, dan
kesatuan ekonomi nasional. Keseimbangan kemajuan tersebut adalah kemajuan di
bidang ekonomi yang merata di seluruh Indonesia, sekaligus menghapus
ketimpangan ekonomi dan sosial.[51][************]
Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan, bukan kemakmuran orang-per-orang.[52][††††††††††††]
Karena itu, eksploitasi kebebasan versi George Stiglitz harus diantisipasi dan
dicegah dengan ketentuan formal melalui perundangan yang diperlukan.
Dalam perspektif Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional Tahun 2005–2025, pembangunan hukum di Indonesia diarahkan untuk
meciptakan kesejahteraan masyarakat di masa depan dan mencapai Indonesia yang
mandiri, maju, adil dan makmur, seperti yang dikandung dalam Pembukaan UUD 1945
dan Perubahannya. Untuk itu, daya saing bangsa harus diperkuat melalui, antara
lain, pelaksanaan reformasi hukum dan birokrasi. Termasuk dalam tujuan ini
adalah menciptakan kepastian hukum, penegakkan dan perlindungan hukum yang
lebih baik. Bank merupakan bagian dari perkonomian rakyat karena melibatkan
kepentingan orang banyak. Direksi bank dalam pengambilan keputusan pemberian
kredit berperan sentral terhadap kelanjutan usaha bank. Efektivitas dan efisensi
dalam pengambilan kepu-tusannya menunjang pertumbuhan ekonomi, yang juga
merupa-kan politik hukum pemerintah.[53][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Karena itu, penemuan konsep BJR untuk pengambilan keputusan pemberian kredit
dalam karya ini dapat dikatakan merupakan bagian pembaruan materi hukum yang
diperlukan.
Lebih lanjut,
konsep BJR ini dapat pula dikatakan sebagai pembaruan materi hukum yang tepat dan sesuai tujuan pemba-ngunan hukum
tersebut, sekaligus untuk memecahkan masalah perkreditan yang ada dan berkait dengan
perkonomian. Memerhatikan masalah perekonomian yang merupakan kepen-tingan
orang banyak berarti pula memerhatikan teori (hukum) ekonomi kerakyatan,
seperti yang disampaikan oleh Mubyarto dan Bernhard Limbong (di Bab I).
Pemihakan ekonomi kepada rakyat dengan menghindari tingkat kredit bermasalah
yang besar agar krisis keuangan atau perbankan tidak terulang paling tidak akan
mempertahankan tingkat kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini yang
sesungguhnya dituntut oleh ekonomi Pancasila.
Tabel V.2 dalam Bab V menunjukkan persamaan
dan per-bedaan antara UU PT dan UU Perbankan dalam hal unsur-unsur yang
tersurat dan tersirat. Perbedaan yang dikemukakan lebih berkait dengan
kenyataan bahwa UU Perbankan mengatur lebih teperinci dan teknis mengenai pemberian
kredit. Untuk memenuhi ketentuan Pasal 8 UU Perbankan, direksi bank harus
melakukan sejumlah penggalian informasi dan investigasi yang sunguh-sunguh
terhadap kebenaran informasi, fakta dan data yang digunakan, serta mengolahnya
melalui analisis yang mendalam, sehingga memperoleh keyakinan terhadap iktikad
baik, kemam-puan dan kesanggupan bahwa debitor dapat membayar utangnya. Dalam
perspektif RPJM, perbedaan yang mendasar ini perlu diangkat ke permukaan dan
diatur dengan ketentuan perlindungan hukum yang sesuai, sehingga dapat menutup
kekurangan materi dalam perlindungan hukum yang ada kini. Pembaruan materi
hukum ini lebih menjamin pencapaian pertumbuhan ekonomi yang diharapkan,
sekaligus menghindari terulangnya krisis keuangan atau perbankan.
Dalam hal penanaman modal asing di Indonesia, UU No. 1
Tahun 1967 menentukan bahwa perusahaan yang sebagian atau seluruh usahanya
dijalankan di Indonesia harus berbentuk badan hukum menurut hukum Indonesia,
dan berkedudukan di Indonesia. Bahkan, berdasarkan asas kedaulatan negara dalam
hukum internasional, bagi badan hukum asing yang berusaha di Indonesia harus
tunduk pada hukum Indonesia.[54][§§§§§§§§§§§§]
Prinsip BJR berasal dari sistem common law, dirasa perlu untuk mengkaji aplikasi BJR dalam
pengambilan keputusan kredit di lingkungan perbankan, yang juga merupakan
sektor yang meme-ngaruhi hidup orang banyak. Dalam kaitan ini, konsep gross negligence tidak dapat digunakan
di Indonesia, karena UU Perbankan yang berlaku lebih menekankan prinsip
kehati-hatian dan keyakinan atas dibayarnya kembali setiap kredit yang
diputuskan untuk diberikan.
Selain itu, informasi yang diperlukan tidak hanya
terbatas yang dapat diperoleh secara wajar, tetapi mencakup informasi, data dan
fakta yang telah dipastikan kebenarannya dan harus dicari, digali, dan
diekstrapolasikan ke depan dalam rangka memperoleh keyakinan yang bersifat
perkiraan di masa depan itu, sebagaimana yang dituntut oleh undang-undang dan
ketentuan perkreditan internal bank. Dari segi proses, pengambilan keputusan kredit
bersifat lebih panjang, dimulai dari bawah, melibatkan banyak pihak, dan
mengikuti prosedur baku yang berlaku bagi setiap bank. Jadi, tidak terbatas
hanya pada rapat direksi, sebagaimana yang berlaku pada BJR dalam ruang lingkup
asalnya.
Untuk itu, konsep BJR dalam pengambilan keputusan kredit
merupakan jawaban bagi kebutuhan yang merupakan faktor pembeda dari konsep BJR
di negara asalnya.q
[1][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Sundari Arie, ”Tindak Pidana di
Bidang Perbankan ditinjau dari Undang-undang Perbankan dan Peraturan
perundang-undangan terkait serta pemasalahan dalam Prakteknya”, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan,
Penggunaan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak
Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta, 2007, hlm. 24.
[2][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Zeeshan Ashraf, The Position of the Business Judgment Rule
in Different Corporate Cultures and Structures: A Study and Analysis, op. cit., hlm. 17.
[3][******************************] Douglas M. Branson, “The Rule That
Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, loc. cit.
[4][††††††††††††††††††††††††††††††] Douglas M. Branson, “The RuleThat Isn’t a Rule – the Business
Judgment Rule”, op. cit., hlm.
639.
[6][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Temprint,
Jakarta, 2003, hlm. 81-82.
[8][†] Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah, op.
cit., hlm. 30.
[10][§] “The Court of Chancery of The State of
Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative litigation”,
[13][‡‡] Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah, op. cit., hlm. 5-6.
[23][*****] Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit
Macet Nasabah, op. cit., hlm. 30.
[28][††††††] Yasir Arafat. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 & Perubahannya.
Permata Press. hlm. 57-58.
[30][§§§§§§] Noel Preston, Understanding Ethics, Annandale, NSW, Australia: The Federation
Press, 2007, hlm. 13.
[32][†††††††] Lili Rasjidi dan I. B. Wiyasa
Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, op. cit., hlm. 117-118.
[37][‡‡‡‡‡‡‡‡] O.C. Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum Jilid 2,
Penerbit Alumni, Bandung, 2007, hlm. 58.
[39][*********] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum, dalam Pembangunan,
Penerbit Alumni, Bandung, 2006, hlm. 13-14.
[41][‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics, Massachusets: Addison
– Wesley Educational Publishers Incm., 1997, hlm. 1.
[42][§§§§§§§§§] Indra Safitri, “Tindak Pidana Perbankan
& Penerapan Undang-undang Korupsi dalam Kasus-kasus Perbankan“, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan,
Jakarta, 2007, hlm. 191.
[46][§§§§§§§§§§] F.X. Soediyana, et al, Ekonomi Pembangunan Indonesia (Tinjauan Aspek Hukum), Universitas
Atma Jaya, Yohyakarta, 2008, hlm. 41- 44.
[47][***********] Joel Bakan, The Corporation, Pengejaran
Patologis Terhadap Harta dan Tahta, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2002, hlm.
175.
[48][†††††††††††] Joel Bakan, The Corporation, Pengejaran
Patologis Terhadap Harta dan Tahta, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2002, hlm.
105.
[49][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] George Ritzer, The Globalization of Nothing, Universitas Atmajaya, Yogyakarta,
2006, hlm. 101.
[53][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit
Macet Nasabah, Penerbit Alumni, Bandung, 2009, hlm. 21.
[54][§§§§§§§§§§§§] Sidik Suraputra, Hukum Internasional, dan Berbagai
Permasalahannya, Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm. 57.
Am ibu Lucy, pemberi pinjaman "Mengelola solusi Direktur Kredit, saya bersedia untuk meminjamkan pinjaman dengan tingkat bunga 2%, Kami menawarkan pinjaman kepada badan-badan komersial dan swasta mulai dari $ 5,000.00 dolar untuk maksimal $ 5.000.000,00 dolar dengan jangka waktu pinjaman dari 1 25 tahun, Kami menawarkan pinjaman pada tingkat bunga rendah dan tidak ada pemeriksaan kredit, kami menawarkan pinjaman pribadi, pinjaman konsolidasi utang, modal ventura, pinjaman usaha, pinjaman pendidikan, kredit rumah atau "pinjaman untuk Alasan The! Namun, metode kami, menawarkan Anda kesempatan untuk menyatakan pinjaman jumlah yang dibutuhkan dan juga durasi yang Anda mampu, kami sangat bersertifikat dan terdaftar, kami berdua diasuransikan keamanan maksimum pinjaman prioritas utama kami, Kami menggunakan transfer bank dalam pengiriman pinjaman untuk banyak klien kami dan itu akan mengambil jangka waktu maksimum 12 JAM kerja dan Anda menjamin untuk mendapatkan didanai, Jika Anda tertarik, silakan isi keluar Peminjam pinjaman Aplikasi dan mengirimkannya kembali kepada kami untuk Proses lebih lanjut. email: Lucysmithloanfirm@gmail.com
BalasHapusPeminjam Informasi (Information diperlukan bidang muncul dalam cetak tebal).
Nama Lengkap (s):
Usia:
Alamat jalan:
negara:
Nomor kontak:
Jumlah Pinjaman Diminta:
Pinjaman Tujuan:
Durasi Pinjaman:
Status Pekerjaan:
Kami berharap untuk mendengar dari Anda segera.
Hormat kami
Lucyloancompany
Hubungi kami melalui email kami Lucysmithloanfirm@gmail.com