Jumat, 29 Juli 2016

PRINSIP KEPUTUSAN BISNIS: Pemberian Kredit Perbankan Dalam Hubungan Perlindungan Hukum (Bab 5 - Bagian 3)



3.   Unsur Keputusan yang Diperlukan
Dari putusan Mahkamah Agung, saya merangkum unsur-unsur pertimbangan bisnis, sebagai berikut:
a)   Prinsip kehati-hatian diartikan sebagai tindakan memperoleh keyakinan atas iktikad baik, kemampuan, dan kesanggupan calon debitor, berdasarkan analisis yang mendalam, untuk melunasi kredit yang akan diberikan sesuai perjanjian yang akan dibuat. Penerapan prinsip ini dilihat dari kecermatan atau ketakcermatan dalam menganalisis dan pengungkapan data dan fakta yang ada, serta meneliti dengan cermat kebenaran seluruh informasi, fakta dan data tersebut. Penerapan prudential principles dapat diartikan sebagai pengambilan risiko yang tidak berlebihan. Dari segi BJR, ini berarti bahwa pengambilan keputusan harus berdasarkan informasi, fakta dan data yang telah dicek kebenarannya. Dari segi jumlah informasi, data dan fakta yang diperlukan dan memadai harus diukur dan disesuaikan dengan kebutuhan dalam membuat analisis yang mendalam, sehingga memperoleh keyakinan bahwa calon debitor memiliki iktikad baik, kemampuan dan kasanggupan untuk membayar utangnya.
b)   Keputusan kredit harus berdasarkan analisis (laporan) keuangan calon debitor sesuai ketentuan internal bank, penilaian atas kelayakan jumlah permohonan kredit dibanding dengan proyek atau kegiatan usaha yang akan dibiayai, dan daftar jaminan yang lengkap. Artinya, dalam mengambil keputusan, terutama dalam menentukan jumlah kredit yang diberikan, pemutus kredit harus mengkaji kebutuhan kredit debitor secara subtantif, dengan mengkaji berapa yang sebenarnya diperlukan oleh proyek, atau kegiatan usaha yang akan dibiayai, sehingga tidak terjadi kemungkinan kelebihan pemberian kredit atau dalam bentuk mark up. 
c)   Berdasarkan Pasal 8 Ayat 1 UU Perbankan, keyakinan atas iktikad baik, dan kemampuan, serta kesanggupan nasabah debitor berdasarkan analisis yang mendalam untuk melunasi utangnya. Dapat diartikan sebagai penilaian yang jujur, objektif, cermat, dan saksama, serta terlepas dari pengaruh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit. Telah pula memastikan bahwa kredit yang akan diberikan dapat dilunasi pada waktunya dan tidak menjadi kredit bermasalah. Dalam konteks BJR, penilaian ini berkait dengan kewajiban direksi untuk memenuhi duty of care, duty of loyalty, dan duty of candor, dan juga unsur iktikad baik.
d)   Keputusan bisnis tidak dikaji substantif murni dalam arti benar atau salah, tetapi lebih banyak dilihat dari proses pengambilan keputusan. Dalam kaitan antara proses dan hasil keputusan, pertanyaannya adakah unsur melanggar hukum atau tidak.    Di samping itu, dari segi proses, materi yang mendasari pengambilan keputusan harus dipelajari dan dibahas secara saksama. Pengambil keputusan dibebaskan dari konsekuensi hasil keputusan yang dibuat dari proses yang rasional dan wajar serta mengikuti ketentuan perkreditan internal bank, sejauh tidak bertujuan melanggar hukum, tidak ada benturan kepentingan, atau tidak bersifat koruptif.     
e)   Dalam pemberian kredit, unsur melanggar hukum tidak saja melanggar hukum positif, ketentuan perkreditan internal bank, ketentuan Bank Indonesia, tetapi juga bertentangan dengan asas-asas hukum tidak tertulis, dan dapat diartikan sebagai asas yang bersifat umum menurut kepatutan (zorgvuldigheid) dalam masyarakat, termasuk kebijakan perkreditan direksi dan prosedur pencairan kredit yang telah ditetapkan oleh bank. Tanggung jawab moral dapat pula diartikan sejalan dengan asas kepatutan (zorgvuldigheid) dan sebagai pemberian kredit dengan risiko yang tidak berlebihan atau telah diperhitungkan sebelumnya.
f)    Pemberian fasilitas yang belum diatur dalam ketentuan perkreditan internal bank dan ketentuan Bank Indonesia adalah tidak memenuhi norma-norma perbankan dan tidak sesuai asas-asas perkreditan yang sehat. Jika diterjemahkan ke dalam perspektif BJR, tindakan pemberian kredit tanpa dilandasi ketentuan yang tersedia merupakan tindakan di luar kewenangan direksi.
g)   Direksi memiliki kewenangan melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap seluruh karyawan di segala lini. Oleh karena itu, direksi harus bertanggung jawab atas pelaksanaan operasional bank[1][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] secara menyeluruh, termasuk memantau dan mengawasi kegiatan pemberian kredit. Hal ini merupakan bagian dari duty of care.
C.   FAKTOR YANG MEMENGARUHI KEPUTUSAN
Uraian berikut merupakan jawaban terhadap identifikasi masalah ketiga, yaitu faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemberian kredit agar memenuhi “prinsip keputusan bisnis” sehingga direksi bank mendapat perlindungan hukum. Rangkuman unsur-unsur yang disebutkan dalam seluruh putusan pengadilan yang telah diuraikan dapat dianalisis untuk menghasilkan faktor-faktor sebagai berikut.
1.    Menyelaraskan Pertimbangan Bisnis
Dalam pemberian kredit, ada sejumlah faktor yang meme-ngaruhi pertimbangan bisnis. Agar tidak menyimpang dari ketentuan perundangan dan ketentuan perkreditan bank, faktor yang dapat memengaruhi pertimbangan bisnis itu perlu disela-raskan dengan unsur-unsur yang ada dalam seluruh pertimbangan dan keputusan Mahkamah Agung yang berkait dengan perkara yang telah dianalisis. Dalam rangka penyelarasan ini, pertim-bangan dan keputusan Mahkamah Agung itu dianalisis sehingga dapat mengiktisarkan unsur-unsur yang diperlukan, sebagai berikut:
a.   Proses Pengambilan Keputusan Berpatokan pada Ketentuan Kredit Internal, Bank Indonesia dan Pasal 8 UU Perbankan
Mahkamah lebih menekankan pemeriksaan pada proses pengambilan keputusan sampai pada proses pencairan kredit, dengan menggunakan acuan kepada ketentuan yang berlaku, terutama ketentuan perkreditan internal bank, ketentuan Bank Indonesia, dan Pasal 8 UU Perbankan. Proses tersebut untuk memperoleh dan menjaga keyakinan dalam rangka memberikan kredit sehingga kredit dapat dikembalikan pada waktunya.
b.   Pemeriksaan Proses Pengambilan Keputusan Men-cakup Seluruh Tahapan Termasuk yang Bersifat Teknis Hingga Pencairan Kredit
Dari segi proses, mahkamah memeriksa mulai dari proses pengambilan keputusan, seperti rapat untuk membahas kepu-tusan, sampai hal-hal yang bersifat lebih teperinci dan teknis, misalnya bagaimana proses pencairan kredit, atau pengikatan jaminan. Standar pemeriksaaan menggunakan acuan ketentuan perkreditan internal bank, yang umumnya mengatur secara teknis dan teperinci tata cara proses pemberian, pencairan, dan penga-wasan kredit.
c.   Tidak Memenuhi Ketentuan Perkreditan Termasuk yang Bersifat Teknis Merupakan Perbuatan Melanggar Hukum
Penyimpangan dari ketentuan perkreditan intenal bank dan Bank Indonesia, dan penilaian yang tidak dilakukan berdasarkan penilaian yang jujur, objektif, cermat dan saksama, dan dipe-ngaruhi oleh pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit; tidak memenuhi norma-norma perbankan, tidak sesuai asas-asas perkreditan yang sehat, dan prinsip kehati-hatian, dinyatakan sebagai perbuatan melanggar hukum. Di samping itu, perbuatan yang menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia juga dinyatakan sebagai perbuatan tanpa kewenangan atau hak yang melekat.
d.   Penilaian yang Jujur, Objektif, Cermat dan Saksama Dilihat tidak saja dari Segi Administratif, tetapi juga Secara Substantif serta dari Segi Pengawasan Kredit
Dari segi administratif, informasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan harus sama seperti keadaan yang sebenarnya, bahkan bukan merupakan kesalahan penulisan. Dari segi sub-stantif, jumlah kredit yang akan diberikan telah dilakukan peni-laian kelayakan jumlahnya dengan teliti dan saksama terhadap objek atau proyek yang dibiayai, sehingga dapat menghilangkan kemungkinan adanya penggelembungan jumlah kredit. Dari segi pengawasan kredit, pencairan kredit harus sesuai aturan perkreditan internal bank, dan berdasarkan kelengkapan dokumen jaminan yang diikat secara yuridis sempurna.
e.   Penekanan pada Rasionalitas Hubungan Antara Proses dan Hasil Keputusan, yang Bebas dari Sifat Koruptif dan Benturan Kepentingan
Mahkamah tidak memeriksa substansi atau kualitas keputusan itu sendiri, tetapi memeriksa rasionalitas hubungan antara proses dan hasil keputusan, dalam hal apakah terdapat unsur pelang-garan hukum dalam hubungan itu. Walaupun keputusan itu salah, mahkamah tidak mempersoalkannya, sejauh hasil keputusan itu tidak bersifat koruptif, atau tidak digunakan untuk mengambil keuntungan pribadi, dan hal ini sejalan dengan konsep duty of loyalty.
f.    Tanggung Jawab Hukum dan Moral Terhadap Pemilik Dana dari Segi Kepatutan dalam Menilai Besar Kecil Risiko
Batasan yang dapat dipergunakan dalam mengambil keputusan dengan diskresi yang diberikan oleh undang-undang adalah yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan moral. Dari segi tanggung jawab moral, ukuran yang dipakai adalah asas-asas hukum tidak tertulis atau asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan (zorgvuldigheid) dalam masyarakat. Dalam hal perkreditan, asas kepatutan yang berlaku adalah norma-norma perbankan dan asas-asas perkreditan dan praktik pemberian kredit yang sehat yang berlaku secara umum di lingkungan perbankan. Karena pemutus kredit memiliki tanggung jawab moral yang paling tinggi, pemberian kredit yang sejalan dengan asas zorvuldigheid adalah pemberian kredit yang risikonya telah diperhitungkan, atau dengan risiko yang tidak berlebihan. Dalam hal ini, kredit dengan risiko berlebihan diartikan sebagai kredit yang sudah diketahui, bahwa kredit itu tidak akan dapat dikembalikan oleh debitor.   
Namun, dari segi diskresi dalam pemberian kredit, sehubungan dengan risiko yang dihadapi bank, ada perbedaan mendasar dengan keputusan pengadilan di Amerika dan di Jepang. Dalam kaitan dengan pemberian kredit pada bisnis pemula atau tanpa anggunan penuh, dan perkara Citicorp di Amerika, serta pengadilan Chukyo Bank di Jepang, kedua pengadilan tidak mempersoalkan pemberian kredit yang berisiko tinggi tersebut. Tampaknya, pertimbangan yang digunakan adalah masih adanya indikasi bahwa bisnis debitor berkembang dan bank masih dapat mengharapkan untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan dari pemberian kredit tersebut. Di sini, terlihat unsur risiko yang dapat menghilangkan kemungkinan perolehan keuntungan itu sedikit dikesampingkan. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan pengadilan yang hanya menggunakan konsep due care yang berlaku dalam hukum korporasi. Di Indonesia, konsep kehati-hatian disebutkan dua kali, yaitu kehati-hatian atau “duty of care“ dalam UU PT dan prinsip kehati-hatian yang secara khusus disebutkan dalam Pasal 2 UU Perbankandi samping dalam Pasal-Pasal yang lain. Ini dapat diartikan bahwa aturan perundangan di Indonesia lebih menekankan pada konsep kehati-hatian. Ini pula, mengapa BJR dalam sistem hukum common law menggunakan ukuran gross negligence sebagai pelanggaran terhadap kewajiban hukum duty of care.
2.    Perlindungan Hukum atas Keputusan Kredit
Bebeda dengan doktrin pengambilan keputusan kredit, ada sejumlah faktor yang dapat memengaruhi perlindungan hukum bagi direksi bank. Faktor-faktor ini sebagai berikut:
a.   Banyaknya Informasi tidak Sebatas yang Tersedia, dan Proses Pengambilan Keputusan yang Cenderung Bersifat Baku.
Dalam kaitan dengan duty of care BJR, direksi wajib dengan tingkat kepeduliannya (degree of care) untuk mengumpulkan informasi, sehingga dapat memilih alternatif menuju ke keputusan yang akan diambil.[2][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Namun, berdasarkan perkembangan terakhir di Delaware dan didukung oleh pendapat Douglas M. Bradson, direksi hanya bertanggung jawab untuk mempertimbangkan fakta-fakta materiil yang umumnya tersedia (reasonably available), baik secara subjektif ataupun objektif, bukan fakta-fakta yang imateril yang berada di luar jangkauan direksi.[3][******************************]
Di lain pihak, berapa banyak informasi yang dianggap cukup dan bagaimana informasi dikumpulkan juga merupakan pertimbangan bisnis.[4][††††††††††††††††††††††††††††††]
Berbeda dengan pengertian dalam BJR tersebut, duty of care dalam pemberian kredit lebih ketat dibanding untuk korporasi non-bank. Bagi direksi bank, tingkat kepedulian dan kehati-hatian tidak sekadar memenuhi kewajiban menggunakan kepedulian atau kehati-hatian yang wajar. Kadarnya berbeda dengan orang lain dalam posisi yang sama menggunakan tingkat kepedulian, tingkat keahlian atau kemampuan yang wajar, demi kepentingan per-seroan non–bank, serta bertindak berdasarkan informasi yang cukup. Di lain pihak, duty of care dalam pemberian kredit, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, memerlukan informasi, data serta fakta sebanyak yang diperlukan dan telah dipastikan kebenarannya.
Dalam mengambil keputusan kredit dan untuk memenuhi duty of care direksi wajib mengikuti ketentuan yang ditetapkan dalam kebijakan perkreditan internal bank, yang mengatur tentang proses pengambilan keputusan, pencairan kredit, sampai pada pengawasan kredit. Dari segi proses pengambilan keputusan kredit, melalui bawahannya, direksi wajib mengumpulkan dan menggali informasi yang diperlukan dalam membuat analisis yang mendalam. Analisis ini dilakukan untuk memperoleh keyakinan bahwa calon debitor memiliki iktikad baik, kemampuan dan kesanggupan untuk membayar utangnya. Keyakinan tanpa adanya dukungan fakta dan data adalah kecerobohan.[5][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
 Dalam kaitan dengan informasi, dalam pemberian kredit, jumlah yang dianggap cukup seyogianya ditentukan oleh keper-luan dalam membuat analisis yang mendalam, sehingga memper-oleh keyakinan mengenai iktikad baik, kemampuan dan kesang-gupan calon debitor. Termasuk dalam pengertian informasi yang dianggap cukup adalah kemampuan bank untuk memahami bisnis atau proyek yang akan dibiayainya. Bank Indonesia melarang pemberian kredit untuk tujuan spekulatif, tanpa informasi ke-uangan yang cukup, atau yang memerlukan keahlian yang khusus tetapi tidak dimiliki oleh bank, dan kepada kreditor bermasalah atau macet (Lampiran SK Direksi BI No. 27/16/KEP/DIR dan SEBI No. 27/17/UPPB tanggal 31 Maret 1995 dalam PPKPB angka 4).[6][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Dengan demikian, informasi meliputi data dan fakta yang diper-lukan adalah berkait dengan debitor dan usahanya serta jejak rekam dari keduanya, dalam menjalankan usahanya dan dalam hal berhubungan dengan pihak lain, terutama para kreditor lainnya.
Keyakinan mengenai iktikad baik, kemampuan dan kesang-gupan tersebut dapat diperoleh dari analisis kredit dan keuangan yang diperlukan. Analisis ini menyimpulkan bahwa bisnis debitor dapat berkembang dan menghasilkan keuntungan yang diharap-kan, dan sesuai kebutuhan untuk membayar utangnya beserta bunga. Analisis tersebut dilakukan melalui proses yang cenderung baku. Hasil dari analisis itu digunakan sebagai alat utama untuk mendukung rekomendasi bagi pemutus kredit, apakah per-mohonan dapat disetujui atau ditolak. Informasi mengenai iktikad baik calon debitor didasarkan pada reputasi, kebiasaan membayar kewajibannya kepada kreditor lainnya, dan didukung oleh kesimpulan bahwa bisnis debitor dapat berkembang di masa depan.
Dalam memenuhi duty of care, direksi tidak saja wajib melakukan tugas monitoring dan tugas bertanya secara proaktif dalam rangka mengambil keputusan yang wajar, tetapi juga wajib memastikan hal-hal berikut, yaitu: setiap kredit yang diberikan telah memenuhi norma-norma umum perbankan dan sesuai asas-asas perkreditan yang sehat, termasuk prinsip kehati-hatian. Direksi juga harus memastikan bahwa seluruh ketentuan kebijakan perkreditan internal bank dan ketentuan Bank Indonesia telah dipenuhi. Selain itu, yang tidak kalah penting, penilaian telah dilakukan secara jujur, objektif, cermat dan saksama, dan tidak terpengaruh oleh pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit. Dengan demikian, dapat diyakini bahwa kredit yang akan diberikan tidak akan berkembang menjadi bermasalah. Prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan termasuk pada kecermatan dalam meneliti kebenaran seluruh informasi, fakta dan data yang digunakan, dalam menganalisis dan pengungkapannya.
b.   Kemampuan dan Keahlian Khusus Perkreditan yang Lebih Tinggi
Sejalan dengan pendapat Hikmahanto Juwana, dalam pem-berian kredit, kewajiban fiduciary duty dan duty of skill and care bagi direksi bank jauh lebih besar terhadap kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat pemilik dana kepada bank qq direksi bank.[7][*] Intinya mengharuskan direksi untuk mengelola bank sebagai orang yang ahli dan jujur dengan segenap kemam-puannya,[8][†] sehingga pemberian kredit dapat mencapai hasil yang optimal, tanpa mengorbankan kepentingan para pemilik dana. Pada akhirnya, hasil yang optimal ini dapat mendukung pemenuhan konsep negara kesejahteraan sebagai teori besar (grand theory), sekaligus memerhatikan unsur moral yang diper-lukan dalam konsep ekonomi Pancasila pada tataran penerapan (applied theory). Standar umum tingkat kemampuan dan keahlian direksi ditentukan apakah calon direksi telah lulus uji kemampuan dan kepatutan yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia. 
Simpulan yang diambil direksi apakah kredit dapat diberikan atau ditolak adalah berdasarkan hasil analisis yang mendalam, yang dilakukan oleh bagian di bawahnya. Namun, direksi khususnya pemutus kredit bertanggung jawab penuh atas kualitas analisis tersebut. Karena itu, kemampuan dan keahlian direksi sebagai pemutus kredit harus lebih tinggi dari kemampuan dan keahlian bawahan, paling tidak dalam hal menganalisis pemberian kredit serta dalam hal mengawasinya. Direksi harus mampu mem-baca, menginterpretasikan, dan melakukan ekstrapolasi analisis, dalam menentukan iktikad baik, kemampuan dan kesanggupan calon debitor di masa depan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa debitor itu akan mampu membayar kewajibannya. Bahkan, dalam BJR sekalipun, Dennis J Block (et.al) menekankan, bahwa kurangnya pengalaman bisnis atau keahlian atau kualifikasi dan lainnya tidak membebaskan direktur yang bersangkutan untuk menggunakan akal sehat, kebijaksanaan praktis dan melakukan pertimbangan dengan menggunakan informasi yang memadai, sebagaimana orang biasa yang hati-hati.”[9][‡]
c.   Kelalaian Versus Gross Negligence
Lawan due care adalah kelalaian (negligenge). Dalam BJR, pengadilan tidak akan mempertanyakan keputusan direksi jika direksi menggunakan proses yang rasional dan mempertim-bangkan seluruh informasi materiil yang ada secara wajar. Standar yang digunakan adalah konsep gross negligence,[10][§] atau kelalaian yang keterlaluan, yang menunjukkan adanya tindakan yang tidak rasional, dan berimplikasi terhadap pengabaian tanggung jawab sebagai direksi dan bernilai kesengajaan.
Konsep gross negligence berbeda dengan pengertian yang diperlukan dalam ketentuan yang berlaku. Kelalaian atau negligence merupakan isu sentral dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata, serta Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104 Ayat 4 UU PT. Dalam kaitan dengan Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata, perbuatan melanggar hukum diartikan sebagai bertentangan dengan ketentuan yang berlaku (onrechtmatige daad). Dalam hal ini, ketentuan yang berlaku diartikan sebagai ketentuan kebijakan perkreditan internal bank atau kesalahan, kelalaian, dan sikap kurang hati-hati, sehingga menimbulkan kerugian pihak lain. Ali Rido berpendapat, dalam badan hukum organ harus bertanggung jawab dengan melakukan ganti kerugian secara pribadi, apabila melakukan kesalahan-kesalahan pribadi karena lalai atau kurang hati-hati yang merugikan badan hukum, dan hal ini dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum.[11][**]
Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata bersifat umum. Kedua Pasal ini ditujukan bagi siapa saja yang merugikan orang atau badan hukum. Nuansanya merupakan peringatan bagi setiap orang, agar tidak melakukan kelalaian atau kesalahan yang menimbulkan kerugian orang lain. Orang yang dirugikan itu dapat menuntut ganti kerugian terhadap orang yang merugikan. Artinya, Pasal tersebut lebih cenderung melindungi pihak yang dirugikan, dengan cara diberi kesempatan hukum untuk menuntut ganti kerugian.
Dari segi lex spesialis, ketentuan yang sama dapat pula dilihat dalam UU PT, yang mengatur mengenai kelalaian atau kesalahan direksi, namun dengan nuansa yang berbeda.
Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104 Ayat 4 UU PT berkait dengan kerugian dan kepailitan. Berbeda dengan nuansa Pasal 1365 KUH Perdata, perlindungan hukum bagi direksi tampak lebih jelas, karena direksi diberikan kesempatan lebih dulu untuk mem-buktikan bahwa mereka tidak bersalah atau lalai, agar tidak dituntut untuk melakukan ganti kerugian secara pribadi dan renteng. Kepailitan dapat terjadi jika bank terus-menerus meng-alami kerugian, akibat kredit macet yang besar relatif terhadap jumlah total portofolio pinjaman. Direksi dibebaskan dari tanggung jawab ganti kerugian jika dapat membuktikan bahwa kerugian atau kepailitan yang terjadi bukan kesalahan atau kelalaiannya; paling tidak yang bersangkutan telah berusaha menghindarinya.
 Berdasarkan yurisprudensi Indonesia, kelalaian adalah pelang-garan terhadap hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan dengan sikap kehati-hatian dalam pergaulan masyarakat, terhadap kepentingan atau milik orang lain. Kewajiban hukum pelaku dapat diartikan sebagai fiduciary duty direksi, dan memenuhi sikap kehati-hatian dalam pergaulan masyarakat (due care). Due care wajib dipenuhi dalam hal melakukan pekerjaan terhadap kepentingan perseroan atau bank dalam bentuk badan hukum. Dalam bahasa L.E.H Rutten, perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang bertentangan dengan keharusan untuk memerhatikan kepentingan orang lain, atau tanpa pertimbangan yang cukup untuk bertindak secara hati-hati, baik dari segi lahiriah ataupun milik orang lain, dan dalam hal ini dapat diartikan sebagai kepentingan dan hak milik bank.[12][††]
L.E.H. Rutten menjelaskan, bila orang tidak hati-hati mem-pertimbangkan atau memerhatikan kepentingan atau hak orang lain yang dianggap wajar atau secara umum diterima, tindakan orang itu tidak sah dari kaca mata hukum atau melanggar hukum. Sebaliknya, direksi wajib memerhatikan kepentingan bank, dan para pemilik yang dananya digunakan dalam pemberian kredit yang diputuskannya.
Direksi sebagai pemutus kredit wajib mempertimbangkan ke-amanan dana milik masyarakat, sehingga dapat kembali secara utuh beserta bunga.
Kelalaian atau kurangnya sikap hati-hati adalah jika keputusan kredit tidak diambil berdasarkan analisis yang mendalam, dengan informasi, data serta fakta yang cukup dan benar. Kelalaian atau ketidak hati-hatian dapat pula diartikan bahwa keputusan dibuat berdasarkan saran yang buruk atau tidak pernah mempertim-bangkan keadaan yang memerlukan perhatian khusus, sehingga dapat menghindari kemungkinan kerugian. Selain itu, kelalaian dapat disetarakan sebagai sebuah kegagalan dalam memonitor atau melakukan pengawasan, atau mengusahakan sistem pela-poran dan informasi yang sistematik yang diperlukan.
d.   Kepatutan dalam Pemberian Kredit
Norma dan ketentuan yang berlaku adalah apabila direksi atau pemutus kredit telah mempertimbangkan seluruh informasi, data dan fakta yang diperlukan, dan disajikan dalam bentuk analisis yang utuh oleh analis secara objektif. Berdasarkan penalarannya terhadap simpulan analisis ini, dibarengi dengan intuisi berdasar-kan pengalamannya, direksi atau pemutus kredit menyetujui atau menolak usulan kredit yang diajukan kepadanya. Jika hal ini dilakukan, berarti direksi atau pemutus kredit telah memenuhi unsur kepatutan (zorgvuldigheid), dan dalam konteks BJR telah memenuhi unsur informed decision atau informed basis, atau keputusan diambil berdasarkan informasi yang cukup.
Hal tersebut sejalan dengan moral Pasal 47 KUHD, yang terletak pada iktikad baik pengurus. Pengurus yang beriktikad baik adalah jika tidak menyembunyikan keadaan keuangan perseroan yang sebenarnya kepada pihak ketiga, sehingga tidak menimbul-kan kerugian baginya dalam bertransaksi dengan perseroan. Kemudian, pasal itu diganti dengan Pasal 69 Ayat 4 UU PT, yang menyebutkan bahwa direksi dan komisaris bertanggung jawab secara renteng jika menyediakan laporan keuangan yang tidak benar dan/atau menyesatkan. Dalam kaitan dengan pengambilan keputusan kredit, seluruh informasi, data dan fakta yang berkait dengan kualitas calon debitor harus diungkap setransparan mungkin, sehingga seluruh risiko yang berkait dengan pembia-yaan usaha dan debitor dapat dianalisis dengan secara jelas. Dalam BJR, tindakan ini berkait dengan due care, duty of loyalty, dan iktikad baik.
e.   Bebas dari Pengaruh Pihak yang Berkepentingan dengan Pemohon Kredit
Duty of loyalty adalah kewajiban melayani perseroan dan pemegang saham tanpa ada kepentingan lain atau pengaruh (influence) dari pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit. Dengan demikian, keputusan tidak mengandung benturan kepentingan dalam bentuk manfaat keuangan (self dealing), tidak menggunakan kesempatan atau kewenangan untuk kepentingan pribadi (corporate opportunity).
Dalam hukum korporasi, iktikad baik adalah konsepsi dasar yang dilandasi pada kejujuran subjektif, tidak ada pelanggaran terhadap standar kepatutan yang diterima secara umum dan kesetiaan pada tempat bekerja. Unsur iktikad baik tidak terlepas dari duty of care dan duty of loyalty. Dalam kaitan dengan duty of care, iktikad baik berarti seseorang bekerja secara hati-hati atau prudent. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan atau kegagalan sebuah proses pengambilan keputusan dalam rangka menghindari terjadinya kerugian. Karena itu, jika direksi sering melakukan kesalahan membuat keputusan kredit dan membawa kerugian bagi bank, dapat disimpulkan bahwa direksi yang bersangkutan tidak memiliki sifat kehati-hatian atau prudent. 
Dalam kaitan dengan duty of loyalty, iktikad baik berarti tidak mementingkan diri sendiri, tetapi dengan niat subjektif menge-depankan kepentingan terbaik perseroan, dan dengan nilai objektif meliputi norma-norma yang berlaku. Iktikad baik dapat pula dilihat dari kegiatan memonitor atau melakukan pengawasan, atau mengusahakan sistem pelaporan dan informasi yang sistematik. Unsur iktikad baik dapat dipertanyakan jika direksi mengambil keputusan yang tidak masuk diakal, dan dapat dipergunakan untuk menguji unsur pemborosan (waste).
Di samping itu, keputusan itu harus dilakukan secara independen dan objektif. Sebagai persona standi in judicio”, berdasarkan Pasal 7 Ayat 4 UU PT, badan hukum sebagai subjek hukum memiliki tanggung jawab hukum yang independen. Untuk itu, keputusan kredit harus bersifat self evident, atau bukti yang berdiri sendiri, tertulis dengan baik, serta berdiri sendiri dengan hanya pertimbangan komersial tanpa pengaruh apa pun, berdasarkan informasi, data dan fakta yang benar. Karena itu, keputusan direksi sebagai pengemban tugas korporasi harus bersifat independen dan tidak dapat dipengaruhi oleh kepentingan lain selain kepentingan perseroan. Pasal 49 Ayat 2 huruf UU Perbankan juga menetapkan demikian.
Selain tanpa ada pengaruh (influence) pihak yang berkepen-tingan dengan pemohon kredit, sifat objektif ini dapat pula diartikan sebagai sebuah keadaaan yang tidak dipengaruhi oleh faktor tertentu. Keadaan ini mencakup tingkat emosional dan sikap optismistik yang berlebihan, faktor kegembiraan yang berlebihan (irrational exuberance), mengikuti keputusan yang dilakukan oleh pihak lain (herd behavior), atau dinodai moral hazard. Bukti empirik telah menunjukkan bahwa pemberian kredit yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut telah mengakibatkan timbulnya NPL yang besar, dan krisis keuangan di banyak negara. Keadaan ini sangat bertentangan dengan harapan yang diinginkan dari konsep negara kesejahteraan. Dalam kaitan ini, ada larangan Bank Indonesia untuk tidak memberikan kredit yang akan membawa kerugian bagi bank.
f.    Prinsip Kehati-hatian dan Risiko
Prinsip BJR tidak menyebutkan secara khusus prinsip kehati-hatian, kecuali menekankan kewajiban hukum melalui due care. Pengambilan keputusan kredit, di lain pihak, harus pula memer-hatikan ketentuan perundang-undangan, khususnya prinsip kehati-hatian sesuai Pasal 2 UU Perbankan. Sejalan dengan pendapat Jonker Sihombing, jika setiap bankir bekerja dengan berpegang teguh pada ketentuan yang digariskan dalam manual atau kebijakan perkreditan, kredit bermasalah dapat ditekan.[13][‡‡] Tidak saja hal ini dapat dilihat dari kasus E.C.W. Neloe, dan senada dengan pendapat para ahli mengenai penyebab mikro di Indonesia, penelitian empiris di banyak negara, termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa kegagalan bank dan krisis keuangan terutama karena pengabaian sikap hati-hati standar yang diperlukan dalam umumnya perbankan di dunia.
Penerapan prinsip kehati-hatian juga berarti bahwa bank harus menghindari diri dari risiko yang berlebihan, sehingga kemung-kinan perolehan keuntungan bagi bank dari pemberian kredit menjadi lebih kecil karena ada risiko yang tinggi. Salah satu cara mengurangi risiko kredit yang besar adalah menutupnya dengan agunan tambahan yang memadai. Namun, hal ini tidak selalu dapat diperoleh, mengingat kompetisi pasar yang dihadapi bank. Usaha yang dilakukan oleh direksi untuk menghindar dari kerugian, bagi bank perseroan atau bank, merupakan unsur dari iktikad baik direksi, dan sejalan dengan ketentuan Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104 Ayat 4 UU PT.
Risiko kredit yang akan dihadapi telah dipelajari dan tidak menunjukkan ada indikasi, bahwa kredit akan langsung ber-masalah jika diberikan. Bank Indonesia jelas melarang, antara lain, pemberian kredit kepada usaha yang sejak semula dapat diperhitungkan kurang sehat dan akan membawa kerugian (SK Direksi BI No. 27/162/KEP/DIR dan SEBI No. 27 UPB tanggal 31 Maret 1995, pada lampiran PPKPB angka 450). Dalam kaitan dengan BJR, Hakim Agung Litwin menyatakan bahwa konsepsi dasar praktik kehati-hatian yang berlaku pada perbankan mewajibkan direksi bank untuk mempertimbangkan masalah yang dapat muncul di masa depan, seperti sangat berisiko, sangat tidak biasa, dan sangat tidak perlu. Jika risiko dianggap tinggi, bank wajib menutup sebagian risiko dengan agunan tambahan yang diperlukan.
Faktor-faktor yang memengaruhi perlindungan hukum atas keputusan kredit secara keseluruhan membentuk konsep BJR untuk keputusan kredit, yang merupakan temuan teoritis kajian ini.
3.    Konsep BJR yang Memberi Perlindungan
Keputusan bisnis dalam pemberian kredit bank adalah keputusan kredit, dan bersifat rasional, independen, dan objektif, sesuai ketentuan kebijakan perkreditan internal bank dan ketentuan Bank Indonesia. Keputusan kredit juga bersifat subjektif sampai batas tertentu, karena mengandung intuisi pribadi dari pemutus kredit. Namun, intuisi ini harus diusahakan sebagai hasil resultante dari analisis terhadap berbagai informasi, data dan fakta yang benar dan relevan, yang diektrapolasikan ke masa depan.
Sebagai penerapan prinsip kehati-hatian, keputusan kredit juga merupakan hasil resultante yang memberikan keyakinan bagi pemutus kredit sebagai wakil bank, bahwa calon debitor beriktikad baik, mampu, dan sanggup membayar pinjaman atau utang sesuai perjanjian, sehingga kredit diperkirakan tidak akan bermasalah. Keputusan kredit bebas dari pengaruh yang berkepentingan dengan pihak pemohon kredit dan bebas dari pengaruh lainnya. Unsur risiko kredit terkait telah dipertimbangkan dalam keputusan, dan risiko itu telah ditutup dengan jaminan tambahan yang diperlukan.
Ditinjau dari pengertian keputusan kredit tersebut, ada perbe-daaan dalam hal ketentuan yang berkait dengan perlindungan hukum BJR dan persyaratan yang diperlukan agar keputusan kredit dapat memberikan perlindungan hukum. Dibanding dengan persyaratan BJR, perbedaannya terletak pada hal-hal berikut–dan merupakan bagian dari konsepsi yang dibangun untuk keputusan kredit:
Secara menyeluruh, bahwa konsep BJR pada dasarnya memerlukan penerapan keseluruhan fiduciary duty atau kewajiban hukum oleh direksi bank, yaitu duty of care, duty of loyalty, dan iktikad baik. Di samping memenuhi unsur fiduciary duty dengan tiga serangkainya, faktor-faktor yang diperlukan dalam konsep BJR untuk keputusan kredit adalah sebagai berikut:
a.   Memenuhi Kewajiban Kepedulian (Due Care) yang Lebih Luas dan Seluruh Ketentuan Perkreditan Internal dan Bank Indonesia
Dibanding dengan konten dalam prinsip BJR dan untuk korporasi non-bank, duty of skill and care dalam pemberian kredit jauh lebih ketat. Hal ini merupakan kebutuhan, sehubungan dengan kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat pemilik dana kepada bank qq direksi bank jauh lebih besar.[14][§§] Untuk memenuhi duty of care, direksi wajib melakukan tugas monitoring dan tugas bertanya secara proaktif dalam rangka mengambil keputusan kredit yang diperlukan. Di samping itu, direksi juga wajib memastikan hal-hal berikut, yaitu setiap kredit yang diberikan memenuhi norma-norma umum perbankan, sesuai asas-asas perkreditan yang sehat atau prinsip kehati-hatian. Setiap penilaian yang terkait harus dilakukan secara jujur, objektif, cermat, saksama, dan independen. Artinya, keputusan tidak terpengaruh dengan pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit, tidak berdasarkan emosional, keyakinan yang berlebihan, mengikuti herd behavior, atau lainnya. Secara keseluruhan, direksi harus memastikan bahwa keputusannya telah memenuhi ketentuan kebijakan perkreditan internal bank yang mengatur tentang proses pengambilan keputusan, pencairan kredit, sampai pengawasan kredit, di samping ketentuan Bank Indonesia. Dengan demikian, secara keseluruhan, dapat dipastikan bahwa kredit yang akan diberikan tidak bermasalah.
Tingkat kepedulian yang lebih luas tidak saja mempertim-bangan kepentingan para pemangku kepentingan, terutama masyarakat pemilik dana, tetapi juga berkait dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Apabila kepentingan masyarakat pemilik dana diperhatikan, dalam arti dana mereka yang disimpan dan disalurkan oleh bank secara aman, bank dapat berkembang menjalankan usahanya dengan menekan timbulnya kredit berma-salah seminimal mungkin, serta menciptakan laba. Dalam keadaan seperti ini, kepentingan para pemangku kepentingan lainnya dapat terjaga dengan baik.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 4 UU Perbankan,[15][***] bank harus menjalankan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dan bertindak sebagai agen pembangunan. Dalam konteks demokrasi ekonomi, bank harus menyalurkan dana masyarakat kepada semua pihak dalam masyarakat, berdasarkan kriteria yang sama dan berlaku umum. Namun, kriteria ini tentu harus merupakan ukuran yang dapat menyelamatkan bank dari risiko-risiko kredit yang harus dihadapi bank. Kriteria ini merupa-kan penerapan due care.
Penerapan due care memerlukan informasi, data dan fakta dalam rangka menyeleksi calon debitor yang layak diberikan kredit. Informasi, data dan fakta merupakan bahan baku dalam menganalisis, menggunakan pendekatan 5C, dalam rangka mem-peroleh keyakinan bahwa calon debitor dapat membayar utangnya.
Apabila setiap debitor dapat mengembalikan utangnya pada bank beserta bunga, tingkat risiko kredit berkurang, sekaligus mening-katkan tingkat solvabilitas bank. Sehingga tingkat kesehatan bank dapat mencapai tingkat yang prima.
Dengan menerapkan due care yang baik, bank dapat menerapkan prinsip demokrasi ekonomi sekaligus bertindak sebagai agen pembangunan secara efektif seperti yang ditentukan oleh dua pasal tersebut. Dalam konteks teori menengah (middle range theory), jika dua hal itu terpenuhi dengan baik, per-tumbuhan ekonomi lebih baik dan masyarakat lebih sejahtera. Secara langsung atau tidak, bank dapat dikatakan mendukung konsep negara kesejahteraan, khususnya kesejahteraan sosial bagi rakyat yang lebih banyak.
Sebagai agen pembangunan, bank harus dapat menyalurkan dana masyarakat ke dalam kegiatan ekonomi yang produktif. Untuk mencapai tujuan ini, bank kembali harus menerapkan due care. Apabila bank dari waktu ke waktu dapat meningkatkan kegiatan ekonomi yang produktif, melalui penyaluran dana yang efektif, berarti dapat menunjang pengembangan usaha calon debitor. Berkembangnya usaha debitor dapat memberikan kesempatan bagi tenaga kerja baru dan memiliki andil dalam pertumbuhan ekonomi, sehingga kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik. Pada saat yang sama, dapat pula dikatakan bahwa bank dalam menjalankan usahanya telah memerhatikan asas kekeluargaan demi kepentingan bersama.
Bank tidak saja memerhatikan kepentingan calon debitor individu, tetapi–dengan menerapkan due care yang baik berarti bank juga–memerhatikan kepentingan kesejahteraan masyarakat yang lebih luas. Pemberian kredit yang tidak mengindahkan due care dapat menimbulkan kredit macet yang besar, kemudian dapat bermuara pada terjadinya krisis perbankan atau keuangan. Secara empirik, krisis seperti ini telah terbukti menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat banyak. Karena itu, pembaruan materi hukum dalam bentuk due care yang diperluas berorientasi pada kepentingan rakyat banyak. Dengan demikian, berkait dengan teori terapan (applied theory), dapat disimpulkan bahwa bank mendukung konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi Pancasila dalam menjalankan usahanya.
Dalam hal ini, ekonomi Pancasila diterapkan dan dijadikan sebagai ideologi substansial, bukan dogmatis belaka.[16][†††]
b.   Melengkapi Informasi, Data dan Fakta yang Diperlukan dan Ditentukan oleh Analisis yang Mendalam untuk Memperoleh Keyakinan atas Niat Baik, Kesanggupan dan Kemampuan Calon Debitor yang Diperlukan
Dari segi informasi yang dianggap cukup, duty of care dalam keputusan pemberian kredit memerlukan informasi, data dan fakta yang wajib dikumpulkan dan digali sebanyak yang diperlukan, dalam rangka membuat analisis yang mendalam, untuk memper-oleh keyakinan bahwa calon debitor memiliki iktikad baik, kemam-puan dan kesanggupan untuk membayar utangnya. Informasi, data, dan fakta yang diperlukan itu adalah bersifat pokok tentang perusahaan, bidang usaha, kondisi keuangannya, dan yang berkait dengan karakter debitor, serta jejak rekam dalam menjalankan usahanya, dan dalam berhubungan dengan pihak lain, terutama terhadap para kreditor lainnya. Seluruh informasi berikut data dan fakta tersebut telah pula dipastikan kebenarannya.
Kajian mengenai iktikad baik calon debitor menuntut adanya informasi atau proxy yang menunjukkan adanya niat baik, faktor pendukung adanya iktikad baik itu, dan yang dapat memper-tahankan unsur tersebut di masa depan. Dalam banyak kasus, iktikad baik di masa lalu ditunjukkan oleh catatan pembayaran kewajibannya terhadap kreditor atau pihak ketiga lainnya. Sedangkan unsur utama yang dapat mempertahankannya di masa depan adalah prospek bisnis atau proyek yang masih menjanjikan keuntungan yang diharapkannya.
c.   Memenuhi Proses Pengambilan Keputusan (Kredit) yang Cenderung Standar dan Baku
Dari segi proses, yang berbeda dengan prinsip BJR, peng-ambilan keputusan kredit dilakukan melalui rapat komite kredit, berdasarkan analisis kredit dan keuangan yang mendalam, dan prosesnya cenderung baku. Analisis yang dilakukan sebuah bank cenderung sama dengan bank lain, terutama dalam hal melakukan analisis keuangan, yang merupakan bagian dari analisis kredit.  Analisis tersebut berkait dengan keadaan keuangan calon debitor dan prospek usahanya, yang menyimpulkan bahwa bisnis debitor dapat berkembang dan menghasilkan keuntungan yang diharap-kan di masa depan dan sesuai kebutuhan untuk membayar utang serta bunga. Analisis ini mendukung rekomendasi bagi pemutus kredit, apakah permohonan dapat disetujui atau ditolak. Informasi mengenai iktikad baik calon debitor didasarkan pada reputasi dan kebiasaan membayar kewajibannya kepada kreditor lainnya, dan didukung oleh kesimpulan bahwa bisnis debitor dapat berkembang di masa depan. 
d.   Menerapkan Prinsip Kehati-hatian dengan Saksama.
Sebagai penerapan prinsip kehati-hatian, bank wajib melaku-kan analisis mendalam atas kelayakan dan prospek usaha debitor, faktor-faktor yang memengaruhi usaha debitor (misalnya makro ekonomi), menganalisis risiko yang mungkin timbul dan faktor-faktor yang dapat meminimalkan risiko.[17][‡‡‡] Hal penting lainnya adalah melakukan mitigasi terhadap risiko-risiko tersebut dengan menerapkan persyaratan yang wajib dipenuhi oleh calon debitor.[18][§§§] Dengan demikian, analisis yang dilakukan tidak menunjukkan adanya indikasi bahwa kredit akan langsung bermasalah jika diberikan, sehingga kemungkinan kerugian dapat dihindari. Bagi perseroan atau bank, upaya menghindari kerugian merupakan unsur dari iktikad baik direksi, sejalan dengan ketentuan Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104 Ayat 4 UU PT.
e.   Memenuhi Konsep Duty of Loyalty yang lebih luas  
Dalam BJR, konsep duty of loyalty merupakan kewajiban terutama untuk melayani perseroan dan pemegang saham, tanpa ternodai oleh benturan kepentingan atau ketidaksetiaaan lainnya. Di samping itu, duty of loyalty juga diukur dari kenyataan apakah direksi mengambil manfaat pribadi dari hasil keputusan yang dibuat, yang menjadikan keputusannya itu bersifat koruptif. Dalam pemberian kredit, keputusan harus dibuat secara independen dan hanya berdasarkan informasi, data, dan fakta yang diperlukan, atau bersifat endogen, dalam rangka menghasilkan keyakinan yang diperlukan.
Di samping mendukung konsep perseroan terbatas sebagai “persona standi in judicio”, keputusan yang diambil secara independen dapat menghindari pengaruh dari pihak yang ber-kepentingan dengan pemohon kredit. Sebagaimana sejumlah ahli seperti Supramono dan NHT Siahaan berpendapat, keputusan kredit yang tidak independen itu membuat penilaian menjadi tidak jujur, tidak cermat, tidak objektif dan tidak saksama.[19][****] Bukti empirik menujukkan, keputusan seperti itu mengabaikan prinsip kehatian-hatian, sehingga kredit cenderung menjadi macet. Kredit macet yang berakumulasi dalam jumlah besar di sektor perbankan akan mendorong terjadinya krisis perbankan. Jika hal ini terjadi, akan merugikan masyarakat pemilik dana.
Oleh karena itu, dalam mengambil keputusan kredit, tugas kesetiaan yang diperlukan tidak saja terhadap para pemegang saham, tetapi juga para pemangku kepentingan, terutama masyarakat penyimpan dana. Jika kepentingan pemilik dana diperhatikan, kepentingan pemangku kepentingan lain akan ter-lindungi. 
f.    Tidak Mengambil Risiko yang Berlebihan
Menerapkan prinsip kehati-hatian[20][††††] berarti tidak memberikan kredit untuk tujuan spekulasi, usaha perjudian, pornografi, bertentangan dengan norma kesusilaan, narkotika, dan sektor-sektor yang telah dilarang oleh Bank Indonesia, kredit kepada kreditor yang bermasalah di bank lain, kredit untuk perusahaan yang pengurusnya atau pemiliknya masuk dalam daftar hitam, kredit macet SID BI, dan daftar cekal, atau melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan, kredit untuk proyek atau usaha yang secara nyata membahayakan lingkungan, kredit lain yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku.[21][‡‡‡‡] Pemberian kredit yang berisiko tinggi itu memerlukan keputusan dari pemutus kredit yang lebih tinggi. Risiko akan bersifat tinggi jika tidak dapat mengontrolnya dan tidak dapat memitigasinya.[22][§§§§]

g.   Memiliki Kemampuan dan Keahlian (Perkreditan) yang Lebih Tinggi
Dari segi kemampuan dan keahlian yang diperlukan untuk memenuhi duty of care, direksi bank sebagai pemutus kredit wajib memiliki kemampuan dan keahlian yang lebih tinggi, dalam hal menganalisis pemberian kredit serta dalam hal mengawasinya, karena bertanggung jawab penuh atas kualitas analisis yang disiapkan oleh bagian di bawahnya. Pada tataran yang lebih tinggi, direksi wajib mengelola bank sebagai orang yang ahli dan jujur dengan segenap kemampuannya,[23][*****] dan pemberian kredit dapat mencapai hasil yang optimal, tanpa mengorbankan kepentingan para pemilik dana. Direksi memiliki pengetahuan yang baik atas sektor industri yang akan dibiayai dan mampu mengolah informasi, data dan fakta, sehingga dapat membuat kebijakan yang tepat, dapat menyalurkan dana masyarakat ke pasar yang progresif, untuk digunakan pada kegiatan-kegiatan yang produktif dan menghasilkan.[24][†††††]
h.   Menghindari Pengertian Kelalaian menurut Hukum Indonesia
Berbeda dengan konsep gross negligence yang berlaku dalam BJR, dalam pemberian kredit berlaku konsep kelalaian atau kesalahan yang menghilangkan perlindungan hukum bagi direksi yang mengambil keputusan kredit, sesuai hukum Indonesia yang berlaku, yaitu ketentuan Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata, Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104 Ayat 4 UU PT. Sejalan dengan ketentuan pasal-pasal ini, yurisprudensi Indonesia mengartikan bahwa kelalaian adalah pelanggaran terhadap hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau berten-tangan dengan sikap kehati-hatian dalam pergaulan masyarakat, terhadap kepentingan atau milik orang lain. Kewajiban hukum pelaku dapat diartikan sebagai fiduciary duty direksi dan memenuhi sikap kehati-hatian dalam pergaulan masyarakat atau duty of care dalam hal melakukan pekerjaan; kepentingan pihak lain diartikan sebagai kepentingan bank. Perbuatan melanggar hukum diartikan bertentangan dengan ketentuan kebijakan perkreditan internal bank dan merupakan kesalahan, kelalaian, atau sikap kurang hati-hati, sehingga menimbulkan kerugian pihak bank. Organ badan hukum harus bertanggung jawab secara pribadi dengan melakukan ganti kerugian secara pribadi, apabila melakukan kesalahan pribadi karena lalai atau kurang hati-hati yang merugikan badan hukum.[25][‡‡‡‡‡]
i.    Perlindungan Hukum dalam UU Perbankan Perlu Diperjelas
Dalam hal BJR, perlindungan hukum lebih jelas terlihat dan tersedia, dan penerapan dalam sejumlah pengadilan di negara asalnya telah mengonkretkan konsep BJR dari segi teori dan praktik, yang tidak berbeda tetapi telah diperhalus dari waktu ke waktu. Dalam UU Perbankan, perlindungan hukum hanya dapat diperoleh jika direksi dalam menjalankan usaha bank, tidak melakukan perbuatan yang dapat dikenakan sanksi pidana (khusus). Nuansa yang tersirat dalam UU Perbankan ini untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat banyak, atau publik, atau dalam hal ini masyarakat pemilik dana, yang uangnya digunakan bank untuk pemberian kredit. Pada saat yang sama, ketentuan itu berfungsi untuk memperingatkan direksi agar tidak melanggar ketentuan perbankan yang ada sanksi pidananya.
Perlindungan hukum bagi direksi hanya dapat dilihat pada Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104 Ayat 4 UU PT. Dua pasal itu menyebutkan bahwa jika direksi dapat membuktikan bahwa ke-rugian atau kepailitan bukan karena kelalaian atau kesalahannya, sehingga direksi dibebaskan dari gugatan ganti rugi secara pribadi. Jadi, perlindungan hukum bagi direksi bank lebih banyak mengacu kepada UU PT. Selain itu, bagaimana ketentuan-ketentuan ini diterapkan dalam pengadilan belum ada petunjuk yang jelas. Manifestasi dari ketidakjelasan ini dapat membuat para praktisi perbankan atau bankir pemberi kredit menjadi ragu dalam menjalankan fungsi pekerjaan.
Dalam perspektif teori menengah (middle range theory), yaitu teori kepastian hukum, keragu-raguan akan adanya perlin-  dungan hukum bagi direksi bank seyogianya dihilangkan, sehingga mereka tetap bekerja dalam koridor hukum yang lebih pasti. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat dapat terjaga dengan baik, dan kesejahteraan khalayak menjadi lebih baik. Dalam konteks teori besar (grand theory) dan teori terapan (applied theory), secara menyeluruh, kepastian hukum tersebut dapat mendukung penerapan ekonomi Pancasila dan pelaksanaan negara kesejahteraan. Bahkan, kepastian hukum yang diciptakan dapat mendukung teori ekonomi pembangunan Mochtar Kusuma-atmadja, karena akan mendorong para bankir untuk bekerja dan membuat keputusan berdasarkan koridor hukum yang dapat memberikan perlindungan hukum. Karena itu, UU Perbankan sebagai lex spesialis perlu memperjelas unsur perlindungan hukum bagi direksi yang membuat keputusan kredit yang sejalan dengan konsep baru ini.
Perlunya memperjelas kepastian hukum yang dapat melindungi direksi bank dari konsekuensi tanggung jawab pribadi akibat mengambil keputusan pemberian kredit, saya menyarankan untuk menambahkan Pasal 8 UU Perbankan. Tambahan ayat dapat berbunyi: “Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang diakibatkan karena timbulnya kredit bermasalah sejauh telah memenuhi dengan kejujuran dan iktikad baik seluruh kebijakan dan ketentuan perkreditan internal bank, Bank Indonesia, dan perundang-undangan yang berlaku, dan apabila dapat membuktikan tidak memiliki benturan kepentingan dan telah mengambil tindakan pengawasan serta berusaha mencegah terjadinya kerugian bagi bank.” 
 Frasa “tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian” merupakan inti dari perlindungan hukum yang dapat diberikan. Pada dasarnya, nuansa frasa ini dan pemakaian kata-katanya kurang lebih sama seperti yang ada dalam Pasal 97 Ayat 5 dan 104 Ayat 4 UU PT. Pasal pertama menyebutkan bahwa “anggota direksi tidak dapat dipertanggung jawabkan atas kerugian sebagai-mana dimaksud pada Ayat 3 apabila dapat membuktikan.....”. Pasal kedua menyebutkan bahwa “Anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 apabila dapat membuktikan .....“.     Namun, jika diperhatikan lebih jauh, nuansa yang diciptakan oleh dua pasal ini tampaknya berbeda.
                        Perbedaan tersebut dapat dilihat dari frasa “tidak dipertang-gungjawabkan” dalam Pasal 104 Ayat 4 UU PT, dan frasa “tidak dapat dipertanggungjawabkan”. Frasa dalam Pasal 104 Ayat 4 UU PT tampak lebih tegas, dibanding dengan frasa dalam Pasal 97 Ayat 5 UU PT. Hal ini dapat dimengerti, karena kata ”kepailitan“ merupakan keadaan yang cenderung pasti dan hanya dapat diputus oleh pengadilan, dan tidak dapat diperdebatkan lagi kecuali adanya proses banding ke tingkat pengadilan yang lebih tinggi. Dari segi kerugian, keadaan pailit sudah menunjukkan kerugian yang cenderung besar dan sulit untuk diperdebatkan lagi. Di samping itu, proses banding umumnya hanya berkait dengan kemampuan atau kesediaan perseroan dalam membayar kewa-jibannya kepada para kreditor. Frasa dalam Pasal  97 Ayat 5 UU PT, di lain pihak, yaitu “tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian apabila.... ”, lebih menunjukkan pada proses, dan kata ‘kerugian’ masih harus dibuktikan.
                        Baik Pasal  97 Ayat 5 UU PT ataupun Pasal 104 Ayat 4 UU PT bertitik tolak pada kesalahan atau kelalaian direksi. Dalam saran penambahan ayat tersebut, kesalahan dan kelalaian diukur dari seluruh kebijakan dan ketentuan perkreditan internal bank, ketentuan Bank Indonesia, dan perundang-undangan. Ukuran ini digunakan berdasarkan pertimbangan dan keputusan Mahkamah Agung, karena penyimpangan dari ketentuan perkreditan internal saja sudah merupakan tindakan melanggar hukum. Penggunaan frasa ‘kejujuran dan iktikad baik’ merupakan penekanan yang menyiratkan bahwa mematuhi ketentuan perkreditan, baik yang bersifat internal maupun eksternal, seperti ketentuan Bank Indonesia, harus dilakukan secara substantif. Hal ini karena ruang lingkup perkreditan bersifat sangat teknis, dan orang awam di luar bidang perkreditan tidak selalu dapat mengerti apa yang dilakukan oleh direksi di belakang keputusan kredit yang dibuatnya.
                        Bagian terakhir dari saran tambahan ayat tersebut menyebut-kan anak kalimat “apabila dapat membuktikan tidak mempunyai benturan kepentingan dan telah mengambil tindakan pengawasan serta berusaha mencegah terjadinya kerugian bagi bank“.        Dari segi BJR, frasa ‘kejujuran dan iktikad baik’ merupakan unsur yang penting dan sekaligus menunjukkan tidak adanya benturan kepentingan. Namun, dalam konteks perkreditan, benturan kepen-tingan dapat mengarah pada adanya unsur suap atau gratifikasi.
Karena itu, frasa ini kembali disebutkan sebagai unsur penekanan agar dihindari oleh para bankir. Pada bagian akhir anak kalimat menyebutkan ‘tindakan pengawasan” dan “usaha untuk mencegah terjadinya kerugian bagi bank’. Pertimbangan dan Keputusan Mahkamah Agung, terutama Putusan MARI No. 114K/Pid/2006, menyebutkan bahwa pengabaian pengawasan dan kepatuhan terhadap ketentuan perkreditan internal merupakan pelanggaran hukum. Tambahan pula, dari segi perkreditan, pengawasan terhadap perkembangan kualitas kredit, dalam rangka menganti-sipasi setiap risiko yang dapat terjadi, sehingga kerugian dapat diperkecil, mutlak harus dilakukan ex ante.
4.    Konsepsi BJR untuk Keputusan Kredit dalam Kaitan dengan Grand dan Middle Range Theory, serta Applied Theory
Dalam konteks negara kesejahteraan, sebagai teori besar (grand theory), negara aktif mengatur segala aspek kehidupan rakyatnya.[26][§§§§§] Dalam hal itu, Jeremy Bentham menekankan bahwa negara tidak dapat membiarkan ketimpangan sosial terjadi, tetapi harus menciptakan persamaan di antara masyarakat dalam hal kesejahteraan. Negara menjamin kesejahteraan masyarakat demi terciptanya ketertiban umum dan sosial dengan mengorganisir dan melembagakan tujuan ini dalam ketentuan perundang-undangan dan pelaksanaannya.
Sebagai filsafat yang mendasari penelitian ini, ”negara kesejahteraan” Indonesia, termaktub dalam Pembukaan dan Pasal 33 Ayat 1 dan Ayat 2 UUD 1945 dan Perubahannya[27][******] dan Pancasila. Penjelasan Pasal 33 dengan judul “Kesejahteraan Sosial“ menyebutkan bahwa dasar demokrasi berupa produksi dikerjakan semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Lebih lanjut disebutkan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-per-orang. Oleh karena itu, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara.[28][††††††] Dalam kaitan ini, bank memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian, yang juga dapat memengaruhi kehidupan masyarakat luas. Definisi mengenai bank yang telah dikemukakan dengan jelas menyebutkan bahwa penyaluran dana, dalam bentuk kredit atau lainnya, bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Peningkatan taraf hidup rakyat banyak sejalan dengan tujuan negara umumnya, khususnya Indonesia, yaitu untuk menyejahterakan atau menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya. Bentham menyebutkannya sebagai kebahagiaan ter-besar dari jumlah orang yang paling banyak.[29][‡‡‡‡‡‡] Pada dasarnya, para bankir atau pemutus kredit, selain bertanggung jawab terhadap profesi dan pekerjaannya, mereka juga harus bertang-gung jawab pada ruang lingkup yang lebih luas, yaitu para stakeholders. Dalam kaitan ini, menurut Noel Preston, secara umum, peranan profesi seseorang tidak dapat dipisahkan dengan tanggung jawab sosial dan akibatnya pada kehidupan keluarga, lingkungan hidup atau sosial, dan keadilan sosial.[30][§§§§§§]
Dalam kaitan dengan perbankan khususnya perkreditan, tanggung jawab sosial terhadap masyarakat yang lebih luas dapat dilihat dari kasus-kasus perbankan dan perkreditan dari waktu ke waktu. Dengan mengabaikan prinsip pemberian kredit yang sehat dan prinsip kehati-hatian pengalokasian modal menjadi tidak efisien dan tidak mencapai sasaran pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Sebaliknya, pengabaian prinsip-prinsip tersebut dapat menimbulkan NPL yang besar, sehingga bank menjadi bangkrut. Jika hal itu terjadi secara umum dalam sektor perbankan, dapat menimbulkan krisis keuangan atau perbankan. Penutupan sejumlah bank dalam waktu yang relatif sama berpengaruh secara negatif terhadap proses pembangunan ekonomi nasional. Sebagai contoh, beban akibat pembayaran bunga terhadap obligasi pemerintah pasca krisis moneter 1997/1998 masih berlangsung dan tetap ditanggung oleh APBN hingga kini. Hal ini jelas menunjukkan sebuah kesalahan pihak swasta dalam perkreditan ditanggung oleh pemerintah, dan akhirnya oleh para pembayar pajak, atau dalam kata lain oleh masyarakat Indonesia umumnya. Beban ini langsung atau tidak mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat. 
Sebagai teori besar (grand theory), teori negara hukum kesejahteraan mengandung dua unsur pokok, yaitu penyeleng-garaan negara dalam koridor hukum dan pemenuhan hak dasar manusia.[31][*******] Menurut Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum.[32][†††††††] Sejalan dengan teori utility Jeremy Bentham, Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi menyarankan agar pembentuk undang-undang hendaknya merefleksikan keadilan bagi semua individu, sehingga menciptakan kebahagiaan yang terbesar bagi masyarakat yang lebih luas.[33][‡‡‡‡‡‡‡] Sedangkan keadilan merupakan conditio sine qua non dalam hukum. Pengertian ’keadilan’ dalam konteks Indonesia, berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan Perubahannya serta sila kelima Pancasila, sebagai rechtsidee dan rechtsphilosophie dari hukum yang berlaku di Indonesia, adalah keadilan sosial yang berakar pada kolektivitas.[34][§§§§§§§] Keadilan sosial dalam konteks hukum ekonomi sosial adalah pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata sesuai hak asasi manusia Indonesia,[35][********] dan menyeimbangkan antara kepen-tingan individu dengan kepentingan masyarakat secara umum. Namun, untuk mencapai keadilan sosial tidak lepas dari kepastian hukum.
Dalam kaitan dengan teori menengah (middle range theory), yaitu teori kepastian hukum, karena hukum harus bersifat dinamis, pembaharuan materi hukum merupakan upaya untuk membuat kepastian hukum tidak tertinggal, di belakang kepentingan manusia yang selalu berkembang, seperti yang dikatakan oleh Sudikno Mertokusumo.[36][††††††††] Penemuan konsep BJR dalam pemberian kredit tersebut merupakan langkah awal dalam pembaruan materi hukum dan bagian dari pembangunan hukum dan sejalan dengan salah satu tujuan hukum, yaitu menciptakan kepastian hukum (rechtssicherheit).[37][‡‡‡‡‡‡‡‡] Sejalan dengan paham positivisme atau asas legisme yang dianut oleh Indonesia,[38][§§§§§§§§] eksistensi kepastian hukum semakin terbentuk dengan adanya kodifikasi hukum yang lebih lengkap dan mutakhir.
Konsep BJR dalam membuat keputusan pemberian kredit merupakan petunjuk terhadap bagaimana membuat keputusan kredit yang sejalan dengan konsep BJR. Hal itu pun disesuaikan dengan kebutuhan materi pengambilan keputusan kredit, selaras Pasal 2 dan 8 UU Perbankan, sehingga memperoleh perlindungan hukum. UU Perbankan ini menyaratkan analisis yang mendalam sebagai dasar untuk memperoleh keyakinan terhadap iktikad baik, kemampuan dan kesanggupan debitor dalam membayar utang. Untuk itu, diperlukan informasi yang memadai dalam membuat analisis yang mendalam dan jelas harus dari berbagai sumber, tidak terbatas hanya debitor. Proses pengambilan keputusan dengan analisis yang mendalam bersifat sangat teknis dan men-detail, cenderung bersifat baku, dan umumnya telah dipraktikkan oleh perbankan di Indonesia.
Kaitan hukum dengan ekonomi, khususnya dalam rangka penemuan konsepsi tersebut dalam penelitian ini, sebagai bagian dari pembangunan hukum, dan pada tataran penerapan (applied), didasarkan pada teori Mochtar Kusumaatmadja. Menurut beliau, hukum harus membantu proses perubahan yang biasanya terjadi lebih cepat, yaitu ketika masyarakat sedang melakukan pem-bangunan, sehingga hukum berguna sebagai alat perubahan sosial.[39][*********] Pembentukan konsep BJR tersebut kiranya dapat digunakan sebagai alat dalam pembangunan seperti maksud Mochtar Kusumaatmadja. Konsepsi ini harus pula memerhatikan dan berorientasi pada kepentingan rakyat banyak sebagai ideologi substansial.[40][†††††††††]    
Konsepsi tersebut dapat digunakan sebagai petunjuk mem-buat keputusan kredit. Karena dapat memberikan perlindungan hukum, konsepsi itu dapat pula mengarahkan para pengambil keputusan kredit untuk tetap bekerja dalam koridor yang benar, dengan adanya kepastian hukum yang lebih jelas. Penerapan konsepsi tersebut secara konsisten oleh pihak perbankan akan memperkecil kemungkinan timbulnya NPL, menghindari ke-gagalan bank, bahkan krisis perbankan. Dalam keadaan seperti itu, sudah diperkirakan pembangunan yang dilakukan masyarakat akan tetap berlanjut; digunakan dalam mendukung ekonomi kerakyatan (Pancasila) dengan menempatkan kepentingan rakyat banyak sebagai acuan utama. Dengan demikian, paling tidak kesejahteraan masyarakat tetap terpelihara.
Dalam kaitan dengan konsep economic analysis of law, Richard A Posner pada intinya mengatakan bahwa hukum dan ekonomi sama-sama menempatkan dirinya pada tataran ilmiah yang setara. Dalam membangun teori, hipotesis dapat dikemukakan dari teori yang lebih dulu ada, dan dengan pengujian empiris akhirnya hipotesa itu dapat dinyatakan kebenarannya.[41][‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Untuk membentuk konsepsi yang diketemukan, saya melakukan kajian kepustakaan mengenai BJR dalam sistem yang berlaku di negara asalnya.
Ada pendapat dan pertimbangan Mahkamah Agung yang mengatakan bahwa BJR perlu diterapkan dalam pengambilan keputusan bisnis (kredit). Pertimbangan Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1865 K/Pdt/2010 menyatakan bahwa direksi dapat melakukan improvisasi dari maksud dan tujuan perusahaan sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan tersebut, dan untuk itu dapat menggunakan prinsip “business judgement rule”. Sejumlah ahli hukum berpendapat bahwa konsep BJR perlu diterapkan dalam pemberian kredit, sehingga masalah kredit macet tidak selalu dibawa ke ranah tindak pidana korupsi, seperti halnya kasus E.C.W. Neloe. Paling tidak para ahli hukum seperti, Ahmad Fikri Assegaf dan Indra Safitri, berpendapat bahwa untuk memberikan kepastian hukum di masa depan doktrin BJR perlu diterapkan dalam menilai dan mengukur tindakan direksi bank, dan lebih lanjut dimasukan secara tegas ke dalam hukum perbankan.[42][§§§§§§§§§]
Teori Richard A Posner mengatakan bahwa sebuah aturan hukum dikatakan efektif jika direspons secara presisi oleh individu terkait, karena kepatuhannya terhadap aturan tersebut akan memberikan insentif ekonomi.[43][**********] Sejalan dengan pendapat ini, pendapat Robert Cooter dan Thomas Ulen,[44][††††††††††] Louis Kaplov mengatakan bahwa aturan hukum yang direspons secara ex ante akan memberikan dampak ekonomi yang menguntungkan bagi masyarakat.[45][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dalam kaitan dengan pandangan tersebut, masalah kredit macet atau NPL yang besar merupakan awal dari kegagalan bank dan krisis perbankan. Masalah ini terutama karena pengabaian prinsip kehati-hatian. Tugas yang juga dikandung dalam duty of care yang harus dipenuhi oleh direksi bank dalam menjalankan tugas mengambil keputusan. Dengan kejelasan duty of care dalam mengambil keputusan kredit, sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi para bankir, diharapkan keengganan mereka untuk melakukan pekerjaan sehari-harinya itu dapat disingkirkan. Dengan adanya kepastian hukum yang lebih baik, pemberian kredit akan tetap berlangsung dalam koridor hukum yang dapat diikuti dengan jelas, sehingga ekonomi rakyat tetap tumbuh, dan ketertiban masyarakat terjaga, sejalan dengan teori hukum pem-bangunan Mochtar Kusumaatmadja dan teori ekonomi kerakyatan.

5.    Globalisasi, RJPM, dan Kebutuhan Hukum
Kebutuhan hukum di dunia internasional tidak terlepas dari kebutuhan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi di luar batas-batas negara. Dalam keadaan itu, perubahan yang terjadi di dunia tidak dapat diabaikan. Arah perubahan masa depan tampaknya masih berkisar pada perbedaan negara maju dan negara berkem-bang. Tekanan yang lebih besar terhadap negara berkembang diperkirakan terjadi sehubungan dengan, antara lain, kemajuan tehnologi komunikasi, kekuatan ekonomi dan keuangan, serta kualitas SDM di negara berkembang.[46][§§§§§§§§§§] Dalam kaitan ini, ruang lingkup hukum yang perlu diperhatikan dan diwaspadai adalah yang berhubungan dengan sektor perdagangan, investasi, dan keuangan.
Khusus di bidang perdagangan dan keuangan, dunia me-lahirkan organisasi seperti WTO dan IMF, yang merupakan manifestasi penerapan paham liberalisme ekonomi dunia, menggunakan alat utama melalui deregulasi dan privatisasi.[47][***********] Penggunaan dua alat itu pada akhirnya memarjinalkan peranan pemerintah yang kemudian dimainkan oleh pihak swasta, terutama oleh korporasi multinasional.
Joel Bakan berpendapat, bahwa dalam hal tersebut, perlu diwaspadai agar kebebasan yang ingin dicapai tidak dieksploitasi untuk praktik-praktik yang merugikan pemerintah dan masyarakat setempat.[48][†††††††††††] Bahkan, menurut George Stiglitz, peranan IMF dalam banyak kasus tidak menghasilkan perbaikan, justru memperburuk keadaan sebuah negara atau menimbulkan krisis ekonomi global. Hal ini karena IMF menggunakan pendekatan yang homogen, tanpa memperhitungkan perbedaan-perbedaan nasional.[49][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dalam konteks Indonesia, pembeda utama yang harus diperhatikan adalah ketentuan yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Perubahannya. Intinya, perekonomian dijalankan berdasarkan usaha bersama dengan asas kekeluargaan. Asas ini merupakan substansi ekonomi Pancasila, yang sangat berbeda dengan sistem ekonomi yang berlandaskan liberalisme dan individualisme.[50][§§§§§§§§§§§] Tujuannya untuk menjaga efisiensi, kemandirian, keseimbangan kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. Keseimbangan kemajuan tersebut adalah kemajuan di bidang ekonomi yang merata di seluruh Indonesia, sekaligus menghapus ketimpangan ekonomi dan sosial.[51][************] Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan, bukan kemakmuran orang-per-orang.[52][††††††††††††] Karena itu, eksploitasi kebebasan versi George Stiglitz harus diantisipasi dan dicegah dengan ketentuan formal melalui perundangan yang diperlukan.
Dalam perspektif Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025, pembangunan hukum di Indonesia diarahkan untuk meciptakan kesejahteraan masyarakat di masa depan dan mencapai Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur, seperti yang dikandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan Perubahannya. Untuk itu, daya saing bangsa harus diperkuat melalui, antara lain, pelaksanaan reformasi hukum dan birokrasi. Termasuk dalam tujuan ini adalah menciptakan kepastian hukum, penegakkan dan perlindungan hukum yang lebih baik. Bank merupakan bagian dari perkonomian rakyat karena melibatkan kepentingan orang banyak. Direksi bank dalam pengambilan keputusan pemberian kredit berperan sentral terhadap kelanjutan usaha bank. Efektivitas dan efisensi dalam pengambilan kepu-tusannya menunjang pertumbuhan ekonomi, yang juga merupa-kan politik hukum pemerintah.[53][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Karena itu, penemuan konsep BJR untuk pengambilan keputusan pemberian kredit dalam karya ini dapat dikatakan merupakan bagian pembaruan materi hukum yang diperlukan.
 Lebih lanjut, konsep BJR ini dapat pula dikatakan sebagai pembaruan materi hukum yang tepat dan sesuai tujuan pemba-ngunan hukum tersebut, sekaligus untuk memecahkan masalah perkreditan yang ada dan berkait dengan perkonomian. Memerhatikan masalah perekonomian yang merupakan kepen-tingan orang banyak berarti pula memerhatikan teori (hukum) ekonomi kerakyatan, seperti yang disampaikan oleh Mubyarto dan Bernhard Limbong (di Bab I). Pemihakan ekonomi kepada rakyat dengan menghindari tingkat kredit bermasalah yang besar agar krisis keuangan atau perbankan tidak terulang paling tidak akan mempertahankan tingkat kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini yang sesungguhnya dituntut oleh ekonomi Pancasila. 
 Tabel V.2 dalam Bab V menunjukkan persamaan dan per-bedaan antara UU PT dan UU Perbankan dalam hal unsur-unsur yang tersurat dan tersirat. Perbedaan yang dikemukakan lebih berkait dengan kenyataan bahwa UU Perbankan mengatur lebih teperinci dan teknis mengenai pemberian kredit. Untuk memenuhi ketentuan Pasal 8 UU Perbankan, direksi bank harus melakukan sejumlah penggalian informasi dan investigasi yang sunguh-sunguh terhadap kebenaran informasi, fakta dan data yang digunakan, serta mengolahnya melalui analisis yang mendalam, sehingga memperoleh keyakinan terhadap iktikad baik, kemam-puan dan kesanggupan bahwa debitor dapat membayar utangnya. Dalam perspektif RPJM, perbedaan yang mendasar ini perlu diangkat ke permukaan dan diatur dengan ketentuan perlindungan hukum yang sesuai, sehingga dapat menutup kekurangan materi dalam perlindungan hukum yang ada kini. Pembaruan materi hukum ini lebih menjamin pencapaian pertumbuhan ekonomi yang diharapkan, sekaligus menghindari terulangnya krisis keuangan atau perbankan.  
Dalam hal penanaman modal asing di Indonesia, UU No. 1 Tahun 1967 menentukan bahwa perusahaan yang sebagian atau seluruh usahanya dijalankan di Indonesia harus berbentuk badan hukum menurut hukum Indonesia, dan berkedudukan di Indonesia. Bahkan, berdasarkan asas kedaulatan negara dalam hukum internasional, bagi badan hukum asing yang berusaha di Indonesia harus tunduk pada hukum Indonesia.[54][§§§§§§§§§§§§]
Prinsip BJR berasal dari sistem common law, dirasa perlu untuk mengkaji aplikasi BJR dalam pengambilan keputusan kredit di lingkungan perbankan, yang juga merupakan sektor yang meme-ngaruhi hidup orang banyak. Dalam kaitan ini, konsep gross negligence tidak dapat digunakan di Indonesia, karena UU Perbankan yang berlaku lebih menekankan prinsip kehati-hatian dan keyakinan atas dibayarnya kembali setiap kredit yang diputuskan untuk diberikan.
Selain itu, informasi yang diperlukan tidak hanya terbatas yang dapat diperoleh secara wajar, tetapi mencakup informasi, data dan fakta yang telah dipastikan kebenarannya dan harus dicari, digali, dan diekstrapolasikan ke depan dalam rangka memperoleh keyakinan yang bersifat perkiraan di masa depan itu, sebagaimana yang dituntut oleh undang-undang dan ketentuan perkreditan internal bank. Dari segi proses, pengambilan keputusan kredit bersifat lebih panjang, dimulai dari bawah, melibatkan banyak pihak, dan mengikuti prosedur baku yang berlaku bagi setiap bank. Jadi, tidak terbatas hanya pada rapat direksi, sebagaimana yang berlaku pada BJR dalam ruang lingkup asalnya.
Untuk itu, konsep BJR dalam pengambilan keputusan kredit merupakan jawaban bagi kebutuhan yang merupakan faktor pembeda dari konsep BJR di negara asalnya.q



[1][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]                 Sundari Arie, ”Tindak Pidana di Bidang Perbankan ditinjau dari Undang-undang Perbankan dan Peraturan perundang-undangan terkait serta pemasalahan dalam Prakteknya”, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Penggunaan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta, 2007, hlm. 24.
[2][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]                 Zeeshan Ashraf, The Position of the Business Judgment Rule in Different Corporate Cultures and Structures: A Study and Analysis, op. cit., hlm. 17.
[3][******************************]               Douglas M. Branson, “The Rule That Isn’t A Rule – The Bussiness Judgment Rule”, loc. cit.
[4][††††††††††††††††††††††††††††††]               Douglas M. Branson, “The RuleThat Isn’t a Rule – the Business Judgment Rule”, op. cit., hlm. 639.
[5][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]               Try Widiyono, op. cit., hlm. 5.
[6][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]               Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Temprint, Jakarta, 2003,  hlm. 81-82.
[7][*]         Muhamad Djumhana, Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia, op. cit., hlm. 29.
[8][†]         Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah,    op. cit., hlm. 30.
[9][‡]         Dennis J. Block, (et.al), op. cit., hlm. 31.
[10][§]       “The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citicorp Inc, Shareholder Derivative litigation”,
[24/02/2009].
[11][**]     Ali Rido, R., op. cit., hlm. 30.
[12][††]     Sunaryati Hartono, op. cit., hlm. 130.
[13][‡‡]     Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah,   op. cit., hlm. 5-6.
[14][§§]     Muhamad Djumhana, op. cit., hlm. 29.
[15][***]   Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
[16][†††]   Bernhard Limbong, Ibid, hlm. 730.
[17][‡‡‡]   Wawancara dengan Roy Arfandi, loc. cit.
[18][§§§]   Wawancara dengan Roy Arfandi, loc. cit.
[19][****]                 NHT Siahaan, op. cit, hlm. 159.
[20][††††]                 Wawancara dengan Anika Faisal, loc. cit.
[21][‡‡‡‡]                 Wawancara dengan Sentot A. Sentausa, loc. cit.
[22][§§§§]                 Wawancara dengan Sentot A. Sentausa, loc. cit.
[23][*****]               Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah,     op. cit., hlm. 30.
[24][†††††]               Wawancara dengan Anika Faisal, loc. cit.
[25][‡‡‡‡‡]               R. Ali Rido, op. cit., hlm. 30.
[26][§§§§§]               Jonker Sihombing, Peran dan Aspek Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, op. cit, hlm. 86-89.
[27][******]             Yudi Latif, op. cit., hlm. 493.
[28][††††††]             Yasir Arafat. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 & Perubahannya. Permata Press. hlm. 57-58.
[29][‡‡‡‡‡‡]             Muhamad Edwin, op. cit., hlm. 181-182.
[30][§§§§§§]             Noel Preston, Understanding Ethics, Annandale, NSW, Australia: The Federation Press, 2007, hlm. 13.
[31][*******]           Luthfi J, Kurniawan dan Mustafa Lutfi, op. cit., hlm. 48.
[32][†††††††]           Lili Rasjidi dan I. B. Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, op. cit., hlm. 117-118.
[33][‡‡‡‡‡‡‡]           Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, op. cit., hlm. 60-61.
[34][§§§§§§§]           Garuda Wiko, op. cit., hlm. 12.
[35][********]         Sumantoro, op. cit., hlm. 17.
[36][††††††††]         Sudikno Mertokusumo, op. cit., hlm. 26.
[37][‡‡‡‡‡‡‡‡]         O.C. Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum Jilid 2, Penerbit Alumni, Bandung, 2007, hlm. 58. 
[38][§§§§§§§§]         Abdul Aziz Hakim, op. cit., hlm. 50.
[39][*********]       Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum, dalam Pembangunan, Penerbit Alumni, Bandung, 2006, hlm. 13-14.
[40][†††††††††]  Bernhard Limbong, Ibid, hlm. 730.
[41][‡‡‡‡‡‡‡‡‡]       Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics, Massachusets: Addison – Wesley Educational Publishers Incm., 1997, hlm. 1.
[42][§§§§§§§§§]       Indra Safitri, “Tindak Pidana Perbankan & Penerapan Undang-undang Korupsi dalam Kasus-kasus Perbankan“, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta, 2007, hlm. 191.
[43][**********]     Johnny Ibrahim, op. cit., hlm. 68.
[44][††††††††††]     Robert Cooter dan Thomas Ulen, op. cit., hlm. 3.
[45][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]     Johnny Ibrahim, op. cit., hlm. 69.
[46][§§§§§§§§§§]     F.X. Soediyana, et al, Ekonomi Pembangunan Indonesia (Tinjauan Aspek Hukum), Universitas Atma Jaya, Yohyakarta, 2008, hlm. 41- 44.
[47][***********]   Joel Bakan, The Corporation, Pengejaran Patologis Terhadap Harta dan Tahta, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2002, hlm. 175.
[48][†††††††††††]   Joel Bakan, The Corporation, Pengejaran Patologis Terhadap Harta dan Tahta, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2002, hlm. 105.
[49][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]   George Ritzer, The Globalization of Nothing, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2006, hlm. 101.
[50][§§§§§§§§§§§]   Adi Sulistiyono, Muhammad Rustamaji. Op. cit., hlm. 39.
[51][************]                 Adi Sulistiyono, Muhammad Rusatamaji. op. cit.,  hlm. 39- 41.
[52][††††††††††††]                 Yasir Arafat. op. cit., hlm.57-58.
[53][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]                 Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah, Penerbit Alumni, Bandung, 2009, hlm. 21.
[54][§§§§§§§§§§§§]                 Sidik Suraputra, Hukum Internasional, dan Berbagai Permasalahannya, Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm. 57.

1 komentar:

  1. Am ibu Lucy, pemberi pinjaman "Mengelola solusi Direktur Kredit, saya bersedia untuk meminjamkan pinjaman dengan tingkat bunga 2%, Kami menawarkan pinjaman kepada badan-badan komersial dan swasta mulai dari $ 5,000.00 dolar untuk maksimal $ 5.000.000,00 dolar dengan jangka waktu pinjaman dari 1 25 tahun, Kami menawarkan pinjaman pada tingkat bunga rendah dan tidak ada pemeriksaan kredit, kami menawarkan pinjaman pribadi, pinjaman konsolidasi utang, modal ventura, pinjaman usaha, pinjaman pendidikan, kredit rumah atau "pinjaman untuk Alasan The! Namun, metode kami, menawarkan Anda kesempatan untuk menyatakan pinjaman jumlah yang dibutuhkan dan juga durasi yang Anda mampu, kami sangat bersertifikat dan terdaftar, kami berdua diasuransikan keamanan maksimum pinjaman prioritas utama kami, Kami menggunakan transfer bank dalam pengiriman pinjaman untuk banyak klien kami dan itu akan mengambil jangka waktu maksimum 12 JAM kerja dan Anda menjamin untuk mendapatkan didanai, Jika Anda tertarik, silakan isi keluar Peminjam pinjaman Aplikasi dan mengirimkannya kembali kepada kami untuk Proses lebih lanjut. email: Lucysmithloanfirm@gmail.com

    Peminjam Informasi (Information diperlukan bidang muncul dalam cetak tebal).
    Nama Lengkap (s):
    Usia:
    Alamat jalan:
    negara:
    Nomor kontak:
    Jumlah Pinjaman Diminta:
    Pinjaman Tujuan:
    Durasi Pinjaman:
    Status Pekerjaan:

    Kami berharap untuk mendengar dari Anda segera.
    Hormat kami
    Lucyloancompany

    Hubungi kami melalui email kami Lucysmithloanfirm@gmail.com

    BalasHapus