Jumat, 29 Juli 2016

PRINSIP KEPUTUSAN BISNIS: Pemberian Kredit Perbankan Dalam Hubungan Perlindungan Hukum (Bab 2 - Bagian 4)

4.   Sifat Piutang Bank BUMN  dan Kepailitan pada  Bank
Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, ketika negara mendirikan BUMN/Persero di hadapan notaris, dan menjadi pemegang saham, dengan menyetor sejumlah modal, negara menundukkan diri   pada hukum perdata. Negara sebagai pemegang saham memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemegang saham lain-  nya, dan menjadi subjek hukum perdata biasa tanpa imunitas publiknya.[1][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Pasal 4 Ayat 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN me-nyebutkan, pembinaaan dan pengelolaan kekayaan tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, tetapi didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.[2][********************] Bank BUMN tercakup dalam ketentuan tersebut, sehingga piutang bank BUMN bukan lagi merupakan piutang negara, dan harus diselesaikan mengikuti mekanisme yang berlaku bagi perusahaan swasta.[3][††††††††††††††††††††] Hal ini telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No. 77/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa Pasal 12 Ayat 1 UU     No. 49 tentang PUPN Tahun 1960 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan Perubahannya, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ini berarti bahwa penyelesaian kredit macet melalui lelang negara atau Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) tidak lagi menjadi keharusan dan tidak mengikat, sehingga hanya menjadi pilihan.
Bank dengan sahamnya juga dimiliki oleh negara, dan jika berbadan hukum PT, maka bank BUMN itu tunduk pada UU PT dan UUPerbankan, seperti layaknya bank swasta lainnya.[4][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa tindakan pemberian kredit pada umumnya merupakan tindakan kepengurusan atau tot daden van beheeren, bukan tot daden van beschikken, dan tidak memerlukan persetujuan organ badan hukum lainnya, kecuali anggaran dasar menentukan lain, atau tidak terdapat kesepakatan atau pengaturan lainnya di antara direksi dengan dewan komisaris. Dalam kaitan dengan Ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, berdasarkan prinsip lex specialist derogat legi generali, seyogianya BUMN tunduk pada UU PT yang  berlaku. Hal ini juga didukung oleh pendapat Arifin P. Soeria Atmadja. 
Bagian akhir ini meninjau secara ringkas mengenai keadaan pailit pada bank. Menurut Man Suparman, pailit adalah suatu keadaan bahwa debitor berada dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya kepada kreditor, sesuai dengan yang telah diperjanjikan, karena ketidakmauan atau ketidakmampuan.[5][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Keadaan seperti ini dapat terjadi pada bank, jika sebagian yang cukup signifikan dari portofolio aset kreditnya mengalami kemacetan, atau rasio NPL-nya cukup tinggi, atau jauh di atas 5%. Apabila bank tidak lagi dapat diselamatkan, umumnya karena tingkat NPL-nya sudah terlalu tinggi, biasanya pihak Bank Indonesia akan menutup atau melikuidasi bank tersebut dengan terlebih dahulu mencabut izin usahanya.
Pasal 2 Ayat 3 UU No. 37 Tahun 2007 (”UU Kepailitan dan PKPU”) menyebutkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap bank hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia. Namun, hampir tidak pernah terjadi di Indonesia, bank ditutup melalui jalur kepailitan.

D. PRINSIP BJR: MEMENUHI FIDUCIARY DUTY DEMI PERLINDUNGAN HUKUM
Dalam hukum internasional, khususnya yang menganut sistem common law, prinsip keputusan bisnis atau BJR telah dikenal cukup luas. Bagian ini menguraikan inti sari prinsip tersebut.
1.   Berlaku Sebagai Hukum Acara
BJR merupakan sebuah prinsip hukum korporasi yang muncul pada 1829 di Supreme Court Louisiana dalam Sistem common law di Amerika. Prinsip ini merupakan jawaban terhadap risiko dan ketakpastian yang harus dihadapi direksi ketika keputusan yang diambil–dalam rangka mengusahakan keuntungan bagi perseroan–ternyata tidak sesuai harapan, atau menimbulkan kerugian bagi perseroan. Dengan kewenangan anggaran dasar, jawaban ini memberikan diskresi untuk membuat kebijakan dan keputusan yang diperlukan. Dalam hukum korporasi Delaware, BJR me-lindungi dan mempromosikan pelaksanaan yang bebas dan penuh kewenangan pengelolaan yang diberikan kepada direksi.[6][*********************]    Untuk itu, direksi berkewajiban untuk memenuhi fiduciary duty, yang terdiri dari duty of care, duty of loyalty, dan duty of good faith atau iktikad baik.
Pada dasarnya, direksi mewakili kepentingan para pemegang saham, dengan fiduciary duty untuk kepentingan mereka.[7][†††††††††††††††††††††] Dalam kaitan ini, BJR berfungsi sebagai saringan untuk memasti-kan ada-tidaknya faktor kepentingan pribadi atau self dealing,  atau penipuan.[8][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Black’s Law Dictionary memberikan definisi BJR sebagai berikut:[9][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
The presumption that in making business decisions not involving direct self interest or self dealing, corporate directors act on an informed basis, in good faith, and in honest belief that their actions are in the corporation’s best interest. The rule shields directors and officers from liability for unprofitable or harmful corporate transactions if the transactions were made in good faith, with due care, and within the directors’ or officers’ authority”.
(Terjemahan bebas: Anggapan bahwa dalam membuat keputusan bisnis tidak me-libatkan kepentingan pribadi atau berdagang sendiri, direksi korporasi bertindak berdasarkan informasi yang cukup, dan dalam keyakinan yang jujur bahwa tindakan mereka adalah demi kepentingan terbaik korporasi. Ketentuan (BJR) membentengi direksi dan pejabatnya dari tanggung jawab atas transaksi yang berbahaya atau tidak menguntungkan, jika transaksi itu di-lakukan dengan iktikad baik, dengan hati-hati yang layak, dan dalam kewenangan direksi atau pejabat itu). 
Pengertian tersebut memberikan sebuah titik tolak keberadaan BJR. Titik tolak ini merupakan ’anggapan awal’ bahwa dalam membuat keputusan bisnis, direksi tidak melibatkan kepentingan pribadi atau terkait dengan self dealing, dan melakukannya berdasarkan informasi yang cukup, dengan iktikad baik, serta sejujurnya percaya bahwa direksi bertindak demi kepentingan perseroan (”anggapan BJR”) semata. BJR memberikan perlin-dungan hukum bagi direksi, dari tanggung jawab terhadap transaksi perseroan yang merugikan atau yang berbahaya, apabila memenuhi fiduciary duty dan sesuai kewenangannya.
Dalam perkara McMullin vs. Beran, 765 A.2d 910 (De, 2000), Mahkamah Agung Delaware berpendapat sebagai berikut:[10][**********************]
The business judgment rule “operates as both a procedural guide for litigants and a subtantive rule of law“. Procedurally, the initial burden is on the shareholder plaintiff to rebut the presumption of the business judgment rule. To meet that burden, the shareholder plaintiff must effectively provide evidence that the defendant board of directors, in reaching its challenged decision, breached any one of its “triad of fiduciary duties, loyalty, good faith or due care“. Substantively, “if the shareholder plaintiff fails to meet that evidentiary burden, the business judgment rules attached“ and operates to protect the individual director defendants from personal liability for making the board decision at issue.
(Terjemahan bebas: BJR beroperasi kedua-duanya sebagai petunjuk prosedural untuk beracara dan sebagai ketentuan hukum substantif. Secara prosedur, beban awal berada pada pemegang saham penggugat untuk mematahkan anggapan BJR. Untuk memenuhi beban itu, pemegang saham penggugat harus secara efektif menyediakan bukti bahwa direksi tergugat, dalam membuat keputusan yang digugat, melanggar salah satu dari tiga serangkai tugas fidusia [fiduciary duties], kesetiaan [loyalty], iktikad baik, atau kehati-hatian [due care]. Secara substantif, jika pemegang saham penggugat gagal memenuhi beban pembuktian itu, maka BJR mengikuti dan beroperasi untuk melindungi direksi individu tergugat dari tanggung jawab ganti kerugian secara pribadi karena membuat keputusan yang diperkarakan).      
Artinya, BJR juga berlaku sebagai hukum acara untuk mem-berikan petunjuk bagaimana melakukan gugatan dan sebagai materi kepastian hukum. Secara prosedural, beban awal berada pada pihak pemegang saham penggugat untuk menolak adanya anggapan awal. Untuk itu, pemegang saham penggugat harus memberikan bukti bahwa direksi yang digugat, dalam membuat keputusan yang sedang digugat, melanggar salah satu dari tiga serangkai fiduciary duties. Namun, jika penggugat tidak berhasil membuktikan gugatan itu secara substansial, ketentuan BJR ber-laku, dan dapat melindungi direksi dari tanggung jawab terhadap kerugian sebagai akibat keputusan yang diperkarakan itu.
Dalam Perkara Burt vs. Irvine Co, Pengadilan memberikan pernyataan yang lebih jelas berikut:[11][††††††††††††††††††††††]
The rule exempting officers of corporations from liability for mere mistakes and errors of judment does not apply where the loss is the result of failure to exercise proper care, skill, and diligence.  diligent and careful in performing the duties they have undertaken. They cannot excuse imprudence on the ground of their ignogrance of inexperience, or the honesty of their intentions; and, if they commit an error of judgment through mere recklessness, or want of ordinary prudence and skill, the corporation may hold them responsible for the consequence”.
(Terjemahan bebas: Ketentuan untuk membebaskan pejabat korporasi dari tanggung jawab ganti rugi semata-mata karena kesalahan dan pertim-bangan yang salah tidak berlaku, ketika kerugian merupakan akibat kegagalan dalam menerapkan kehati-hatian, keahlian, dan kepedulian yang wajar dalam melakukan tugas yang telah di-laksanakan. Mereka tidak dapat beralasan tidak hati-hati atas dasar ketaktahuan karena tidak berpengalaman, atau kejujuran dari niatnya, atau berkeinginan memiliki keahlian dan kehati-hatian yang biasa, korporasi dapat meminta mereka untuk bertanggung jawab terhadap akibatnya).  
Direksi tetap bertanggung jawab jika mereka melakukan kecerobohan, ketakhati-hatian atas dasar lalai karena tidak memiliki pengalaman atau keahlian yang wajar diperlukan. Walaupun demikian, Pengadilan lebih lanjut menegaskan bahwa:
Courts have properly decided to give Directors a wide latitude in the management of the affairs of a corporation provided always that judgment, and that means an honest, unbiased, is reasonably exercised by them“.
(Terjemahan bebas: Pengadilan telah memutuskan secara wajar untuk memberikan direksi ruang gerak yang cukup lebar untuk mengelola urusan  korporasi, asalkan pengambilan keputusan yang jujur, tidak bias, selalu mereka terapkan).
Intinya, pengadilan tidak memeriksa substansi keputusan yang dibuat direksi dalam menjalankan bisnis perusahaan seperti yang dinyatakan dalam kutipan berikut:[12][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
[W]here the money damages or equitable relief is sought, the business judgment rule is a judicial policy of not reviewing the subtantive merits of a board of directors’s business decisions for the purpose of determining whether directors breached or fulfilled their duty of care“.
(Terjemahan bebas: Ketika kerugian uang atau ganti kerugian yang setara sedang dituntut, BJR merupakan kebijakan hukum untuk tidak meme-riksa faedah substantif keputusan bisnis direksi dengan tujuan untuk menentukan apakah direksi melanggar atau memenuhi tugas kehati-hatian atau duty of care).  
Akan tetapi, sebaliknya, pengadilan akan memeriksa kepu-tusan direksi yang digugat, dari sisi lain, yaitu:[13][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
a.   Apakah keputusan itu mengandung penipuan, melanggar hukum, bersifat ultra vires, atau pemborosan atau waste.
b.   Dengan menggunakan standar pemeriksaan (standard of review) yang wajar, memastikan bahwa direksi memenuhi  duty of care, apakah dilakukan dengan iktikad baik; dan dilihat dari manfaat materiil, apakah keputusan itu berimplikasi pelanggaran duty of loyalty.
Jika penggugat dapat membuktikan bahwa direksi seharusnya tidak dapat diberikan perlindungan hukum BJR, misalnya ketika direksi memboroskan harta perseroan (waste), melanggar duty of care, mengambil uang perusahaan untuk kepentingan pribadi, atau melanggar duty of loyalty, direksi harus membuktikan bahwa keputusannya itu dilakukan dengan iktikad baik atau merupakan keputusan yang rasional.[14][***********************]
2.   Anggapan BJR
Pada dasarnya, BJR merupakan anggapan yang dapat melin-dungi tindakan direksi (’anggapan BJR’) atau pejabat korporasi sejauh syarat-syarat tertentu dipenuhi, yaitu:[15][†††††††††††††††††††††††] pembuat kepu-tusan bebas dari benturan kepentingan, menerapkan kepedulian standar dengan menggunakan informasi materiil yang memadai atau due care, dan memiliki dasar yang rasional dalam mengambil keputusan tersebut.
Keputusan itu pun harus berada dalam ruang lingkup          kewenangannya, dan tidak dinodai oleh penipuan manajerial, managerial fraud, self dealing,[16][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] bukan merupakan gross          negligent,[17][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] atau sama sekali tidak terdapat faktor ketakpedulian penuh (a complete absence of care)[18][************************] tidak merupakan penyalah-gunaan kewenangan (abuse of discretion),[19][††††††††††††††††††††††††] serta tidak melanggar hukum positif.
Menurut Dennis J. Block, di Delaware, standar yang diper-gunakan untuk mengukur bahwa keputusan dibuat berdasarkan informasi yang memadai (informed decision) atau due care adalah gross negligence.[20][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Menurut Block, kelalaian yang sederhana saja tidak cukup untuk menuntut ganti kerugian terhadap direksi.[21][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Putusan pengadilan dalam Perkara Smith vs. Van Gorkom menya-takan bahwa konsep gross negligence juga merupakan standar yang tepat untuk menentukan apakah keputusan bisnis direksi dibuat berdasarkan informasi yang memadai atau merupakan informed decision.[22][*************************] Dalam perkara ini, Van Gorkom tidak mengetahui substansi yang dia bicarakan, karena tidak memiliki informasi yang diperlukan.[23][†††††††††††††††††††††††††] Mengenai gross negligence, Black’s Law Dictionary memberikan definisi berikut:[24][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
“(1) Lack of slight diligence or care, (2) A conscious, voluntary act or omission in reckless disregard of a legal duty and of the consequences to another party, who may typically recover exemplary damages - Also termed reckless negligence, willful negligence, dstnya”.
(Terjemahan bebas: (1) Tidak cukup hati-hati atau peduli, (2) tindakan sendiri yang disadari atau kealpaan berupa pengabaian yang ceroboh ter-hadap kewajiban hukum dan konsekuensi terhadap pihak lain, yang khususnya dapat memperoleh ganti kerugian sebagai contoh - Juga diartikan sebagai kelalaian yang sembrono, kelalaian yang disadari, dan seterusnya). 
Artinya, tidak memiliki cukup kepedulian atau tindakan yang dilakukan atas inisiatif sendiri dengan mengabaikan kewajiban hukum terhadap pihak lain, yang umumnya dapat meminta ganti kerugian. Dapat diartikan pula sebagai ketakpedulian yang disengaja atau ceroboh. Direksi yang sama sekali tertidur atau sama sekali tidak menerapkan kepedulian tidak dapat dilindungi oleh BJR.[25][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Tercakup dalam pengertian ini adalah kelalaian atas dasar kurang mengetahui, tidak berpengalaman, niat yang tak-jujur; dan jika membuat keputusan yang salah karena semata-mata lalai.[26][**************************]   
3.   Unsur-unsur Pokok BJR
BJR memiliki lima unsur pokok, yaitu:[27][††††††††††††††††††††††††††] Keputusan bisnis (business decision), ketaktertarikan (disinterestednedness), kehati-hatian (due care) dan keputusan berdasarkan informasi yang memadai (informed decision), iktikad baik (good faith), tidak ada penyalahgunaan diskresi atau pemborosan (no abuse of discretion or waste), atau tidak terdapat tindakan yang keterlaluan (gross overreaching). Pengadilan Delaware juga menggunakan unsur-unsur yang sama, seperti pertimbangan atau keputusan, tingkat kepedulian (due care), good faith, bebas dari conflicts of interest, atau bad motive.[28][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Unsur-unsur ini dapat dikelompokan menjadi tiga jenis dari fiduciary duty, yaitu: loyalty, due care, dan good faith, disebut sebagai tiga serangkai.
Tiga hal tersebut merupakan inti dari lima unsur, karena dua unsur yang lain, yaitu disinterestedness dan no abuse of dis-cretion, kecuali business decision, berkait erat dengan fiduciary duty, dan merupakan patokan tidak adanya benturan kepentingan, atau tidak adanya pengambilan kesempatan pribadi atau pelang-garan terhadap duty of loyalty. Jika salah satu dari unsur ini ada, BJR tidak dapat digunakan untuk melindungi direksi.
Perkembangan mutakhir, Delaware menyatakan bahwa direksi hanya bertanggung jawab untuk mempertimbangkan fakta-fakta yang materiil yang umumnya tersedia (reasonably available), bukan fakta-fakta yang imateriil yang berada di luar jangkauan direksi. Berapa banyak informasi yang dianggap memadai atau cukup; bagaimana informasi dikumpulkan, apakah melalui meka-nisme konsultan, komite, atau laporan, juga merupakan pertim-bangan bisnis.[29][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Direksi wajib dengan tingkat kepeduliannya   atau kehati-hatiannya (degree of care) untuk menghimpun informasi, ketika dalam proses pengambilan keputusan, yang membuat direksi dapat memilih alternatif menuju keputusan yang akan diambilnya.[30][***************************]
4.   Rasionalitas Keputusan
Dalam kaitan dengan rasionalitas keputusan dalam BJR, Dennis J Block (et.al) memberikan pendapat berikut:[31][†††††††††††††††††††††††††††]
The business judgment rule is a presumption protecting conduct by directors that can be attributed to any rational business purpose. In order to plead and prove a claim, a plaintiff must plead and prove facts overcoming this presumption. Where the presumption is overcome, directors bear the burden of proving the fairness of the challenged conduct. The difference between these two levels of judicial scrutiny–a presumption in a favor of the directors that protects conduct that is rational, versus a burden of proving fainess- frequently is outcome determinative”.

(Terjemahan bebas: BJR adalah sebuah anggapan yang melindungi tindakan direksi yang disebabkan adanya setiap tujuan bisnis yang rasional. Agar dapat berperkara dan membuktikan gugatan, penggugat harus menyatakan dan membuktikan fakta untuk mengatasi anggapan itu. Ketika anggapan itu dipatahkan, direksi menanggung beban untuk membuktikan kejujuran tindakan yang diperkarakan. Perbedaan dari kedua tingkat pemeriksaan hukum ini–anggapan yang menguntungkan direksi dan melindungi adalah tindakan yang rasional, lawan beban untuk membuktikan kejujuran– seringkali menghasilkan akibat yang menentukan).
Anggapan tersebut adalah bahwa keputusan harus berasal dari tujuan bisnis yang rasional. Penggugat harus membuktikan fakta yang dapat mengalahkan anggapan (”anggapan BJR”) itu. Ketika anggapan itu dikalahkan, direksi menanggung beban untuk mem-buktikan kewajaran dari keputusan yang digugat itu. Pengadilan akan memeriksa apakah keputusan itu bersifat rasional di satu sisi dibandingkan dengan masalah kewajaran di sisi lain, dan menen-tukannya dari hasil perbandingan ini.
Stephen M. Bainbridge, berpendapat bahwa prasyarat yang penting bagi berlakunya BJR dari segi Doktrin Abstensi adalah adanya ‘ketakrasionalan’.[32][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Dalam perkara Sinclair Oil Corp        vs. Levien, Mahkamah Agung Delaware menyatakan bahwa “sejauh keputusan direksi dapat dianggap sebagai akibat dari tujuan bisnis yang rasional, BJR menghalangi pengadilan untuk menggantikan pertimbangan mengenai baik-buruknya keputusan yang diambil direksi”. Dalam Brehm vs. Eisner, dinyatakan bahwa “BJR tidak dapat digunakan jika direksi telah bertindak tidak sesuai dengan tujuan bisnis yang rasional”.
Stephen M. Bainbridge lebih lanjut berpendapat, bahwa ‘tujuan bisnis yang rasional’ tidak menuntut adanya kajian baik-buruknya secara hakiki dari keputusan yang diambil.[33][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Untuk itu, beliau mengutip pendapat Michael Dooley yang menyatakan, pengertian rasional di sini dapat disamakan dengan pengertian dapat dibayangkan atau dapat dikhayalkan. Pengadilan tidak akan melihat pertimbangan direksi lebih dekat, sejauh kemungkinan adanya alasan bisnis yang sah, sehingga tidak perlu membuktikan alasan yang rasional dari keputusannya.
Hakim Agung Allen dari Delaware, mengatakan:[34][****************************]
”What should be understood, but may not widely be understood by courts or commentators who are not often required to face such questions, is compliance with a director’s duty of care can never appropriately be judicially determined by reference to the contend of  the board decision that leads to a corporate loss, apart from consideration of the good faith or rationality of the process employed. That is, whether a judge or jury considering the matter after the fact, believes a decision substantively wrong, or degrees of wrong extending through ”stupid” to ”egregious” or ”irrational”, provides no ground for director liability, so long the court determines that the process employed was either rational or employed in a good faith effort to advance company interests. To employ a different rule–one that permitted an “objective” evaluation of the the decision would expose directors to substantive second guessing but ill-equipped judges or juries, which would, in the long run, be injurious to investor interests. Thus, the business judgment rule is process oriented and informed by a deep respect for all good faith board decisions”.

(Terjemahan bebas: Apa yang harus dimengerti, tetapi mungkin tidak  dimengerti secara luas oleh pengadilan atau para pengamat yang tidak sering menghadapi pertanyaan yang dimaksud, adalah bahwa pemenuhan terhadap duty of care direksi tidak pernah dapat secara tepat ditentukan hukum dengan mengacu pada isi dari keputusan direksi yang mengakibatkan kerugian korporasi, selain pertimbangan mengenai iktikad baik atau rasionalitas dari proses yang digunakan: yaitu, apakah hakim atau juri mempertimbang-kan kenyataan setelah kejadian, percaya bahwa suatu keputusan salah secara substansial, atau tingkat kesalahan dari “bodoh” sampai “keterlaluan” atau “tidak masuk diakal”, tidak memberi-kan dasar untuk tanggung jawab direksi untuk ganti kerugian, sejauh pengadilan menetapkan bahwa proses yang digunakan apakah tidak masuk diakal atau digunakan dengan menggunakan usaha iktikad baik untuk memajukan kepentingan perusahaan. Untuk menggunakan ketentuan yang berbeda–yaitu ketentuan yang mengizinkan penilaian objektif terhadap keputusan–akan menempatkan direksi secara substansial pada penilaian duga kedua tetapi hakim atau juri yang kurang dibekali dalam jangka panjang akan melukai kepentingan investor. Jadi, BJR berorien-tasi pada proses dan atas informasi yang sangat menghargai seluruh keputusan direksi yang beriktikad baik).
Dengan begitu, duty of care direksi tidak pernah secara tepat dapat ditentukan secara hukum dengan merujuk isi keputusan yang menimbulkan kerugian, kecuali menggunakan pertimbangan iktikad baik atau rasionalitas proses pengambilan keputusan. Jika halnya tidak demikian, penilaian yang dapat dilakukan pengadilan terhadap isi keputusan yang telah diambil direksi akan bersifat menduga-duga (second guessing). Di sisi lain, hakim tidak di-lengkapi dengan pengetahuan mengenai bisnis, sehingga jika    hal itu dilakukan, maka dalam jangka panjang, campur tangan hakim terhadap keputusan bisnis direksi akan melukai kepentingan para investor. Jadi, BJR berorientasi pada proses dan memberikan penghormatan yang dalam terhadap seluruh keputusan direksi yang beriktikad baik.
Karena itu, Stephen M. Bainbridge, menambahkan bahwa walaupun seorang hakim atau juri meyakini bahwa keputusan itu secara substantive salah, atau kesalahan itu dapat dianggap sebagai kebodohan, benar-benar ‘bebal’, tidak masuk akal, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai landasan untuk menuntut pertanggungan direksi, sejauh pengadilan dapat memastikan bahwa proses dalam mengambil keputusan itu merupakan upaya dengan iktikad baik untuk memajukan kepentingan perseroan.[35][††††††††††††††††††††††††††††]
Uraian tersebut menunjukkan bahwa masalah rasionalitas sebuah keputusan yang diambil direksi, atau yang dapat dianggap sebagai sesuatu yang bodoh atau tidak masuk akal, adalah masalah yang sangat rumit dan tidak dapat dianggap sesuatu yang konklusif, sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungan direksi. Namun, untuk menjawab persoalan ini, Stephen M. Bainbridge menyimpulkan dari perkara Parnes vs. Bally Entertainment Corp, bahwa penyelidikan mengenai rasionalitas sebuah keputusan adalah juga merupakan penyelidikan apakah keputusan itu telah dinodai oleh kepentingan pribadi.
Secara keseluruhan, setelah mengungkapkan perkara-perkara yang lain dari ringkasan, yang berkait dengan masalah rasionalitas keputusan bisnis atau tujuan bisnis direksi, Stephen M. Bainbridge menyimpulkan, bahwa:[36][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Pertama, walaupun keputusan direksi tidak rasional dan sama sekali tidak masuk akal, tidaklah berarti bahwa BJR akan mengisolir direksi itu dari pemeriksaan hukum. Hal itu karena, menurut Bainbridge, syarat mutlak rasionalitas dapat mengikis syarat mutlak adanya kewajaraan, sehingga pengadilan harus memerhatikan hal tersebut dengan hati-hati.
Kedua, untuk menilai sebuah keputusan itu tidak masuk akal harus didekati dengan memeriksa proses due care-nya, apakah cacat dan tidak masuk akal. Hakim Agung Chandler tidak mem-persoalkan baik-buruk keputusan direksi, tetapi pemeriksaan lebih ditekankan pada bagaimana keputusan itu dibuat, atau prosedurnya, hingga Chandler menemukan prosedurnya secara mendasar cacat, dan perlindungan BJR tidak dapat diberikan.
Ketiga, pemeriksaaan terhadap rasionalitas keputusan direksi dapat pula didekati dengan pendekatan pada iktikad baik yang diperlukan dalam Prinsip BJR.
Menurut Chandler, pemeriksaan mengenai rasionalitas sebuah keputusan dapat mempertanyakan pencarian unsur benturan kepentingan dan self dealing   yang dapat melandasinya.
Dalam perkara yang sama, dari pernyataan Hakim Agung Chandler, Stephen M. Bainbridge menyimpulkan, adanya kronisme dan backroom deal sehingga pertimbangan untuk menyelamatkan ‘muka’ seseorang lebih dipentingkan daripada kepentingan per-seroan. Hal ini yang membuat hakim Agung Chandler memperoleh petunjuk dari ‘evaluasi secara objektif keputusan yang dibuat direksi’, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai ada atau tidaknya alasan untuk tidak memercayai unsur iktikad baik dari direksi yang membuat kesimpulan yang tidak rasional.
Dalam mengkaji objektivitas sebuah keputusan, Hukum Korporasi Delaware mendekatinya melalui ketentuan berikut:[37][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
“In making business decision, the directors are presumed to have acted independently, in an informed basis and in good faith that the decision is in the best interest of the corporation. The business decision will be sustained unless the presumption is rebutted in either two ways: (a) the process, independence, or good faith of the director is compromised, or (b) the decision cannot be attibuted to rational business purposes”.    
(Dalam membuat keputusan bisnis, direksi dianggap telah bertindak independen, berdasarkan informasi yang cukup dan iktikad baik bahwa keputusan itu adalah untuk kepentingan terbaik perusahaan. Keputusan bisnis dipertahankan, kecuali jika anggapan tersebut dipatahkan dalam salah satu dari dua cara berikut: (a) proses, independensi, iktikad baik direktur telah dikompromikan, atau (b) keputusan tidak disebabkan oleh tujuan bisnis yang rasional).
Ungkapan tersebut menunjukkan perbedaan yang lebih mene-kankan pada proses pengambilan keputusan. Intinya adalah: keputusan bisnis tidak dapat dipertahankan jika proses peng-ambilan keputusan itu, atau independensi direksi pengambil keputusan, tidak sebagaimana mestinya, atau telah dikompro-mikan, di samping keputusan itu bukan sebagai akibat adanya tujuan bisnis yang rasional. Masalah proses dan independensi ini disetarakan dengan unsur iktikad baik. Artinya, jika direksi mengambil keputusan tidak secara independen, atau proses pengambilan keputusan tidak sebagaimana biasanya, keadaan    itu dapat menyimpulkan adanya unsur iktikad buruk.
5.   Iktikad Baik, Duty of Care, dan Duty of Loyalty
Mahakamah Agung Delaware menjelaskan, pengertian iktikad baik dalam tiga kategori perbuatan fidusia (fiduciary conduct), dan seluruhnya menyangkut perbuatan dengan iktikad buruk, yaitu:[38][*****************************]
Pertama, iktikad buruk yang subjektif. Inilah perbuatan fiduciary yang dilatarbelakangi oleh niat yang sesungguhnya  untuk membahayakan atau menimbulkan kerugian. Pengadilan menyimpulkan bahwa kategori ini jelas merupakan pelanggaran terhadap kewajiban iktikad baik (duty of good faith);
Kedua, kategori ini menyangkut kurangnya sikap hati-hati atau duty of care– “sebuah tindakan fiduciary yang dilakukan semata-mata karena sangat ceroboh (gross negligence) dan tanpa adanya niat jahat. Walaupun duty of care dan duty of loyalty berkaitan dan saling tumpang tindih, perbuatan yang sangat ceroboh atau grossly negligent conduct tidak berarti dan tidak dapat dianggap pelanggaran fiduciary duty untuk berlaku dengan iktikad baik. Dalam kata lain, pelanggaran duty of care tidak otomatis merupakan sebuah tindakan kealpaan atau omission yang berarti “tidak beriktikad baik”. Walaupun duty of good faith bersandingan dengan duty of care dan loyalty, tetapi dalam pelaksanaan due care dan good faith mesti dibedakan.
Ketiga, menyangkut penelantaran kewajiban yang disengaja, atau mengabaikan kewajiban secara sadar, dan dapat dijelaskan melalui keadaan berikut: ’’Direksi tidak memiliki benturan kepen-tingan, tetapi terkait dengan tingkah laku buruk yang lebih bersifat jahat, dan bukan merupakan keadaan yang tidak memerhatikan atau gagal menggunakan informasi yang mengandung kenyataan yang materiil yang diperlukan dalam pengambilan keputusan”.
Pelanggaran terhadap duty of good faith atau iktikad buruk terjadi jika seorang fiduciary menyadari bahwa dia tidak bertindak demi kepentingan terbaik perusahaan, atau tidak konsisten dengan tanggung jawabnya. Chancellor Chandler menyatakan hal berikut:[39][†††††††††††††††††††††††††††††]
The concept of intentional dereliction of duty, a conscious disregard for one’s responsibilities, is an appropriate (although not the only) standard for determining whether fiduciaries have acted in good faith. Deliberate indifference and inaction in the face of a duty to act is .... conduct that is clearly disloyal to the corporation. It is the epitome of faithless conduct. To act in good faith, a director must act at all times with an honesty of purpose and in the best interest and welfare of the corporation”.

(Terjemahan bebas: Konsep penelantaran tugas yang disengaja, pengabaian yang disadari terhadap tanggung jawab, merupakan standar yang tepat–walaupun bukan merupakan satu-satunya ukuran–untuk menentukan apakah seorang fidusia telah bertindak dengan iktikad baik. Ketakpedulian dan sengaja tidak beraksi ketika mesti bertindak adalah . . . tingkah yang jelas merupakan ketaksetiaan terhadap perusahaan. Hal itu merupakan contoh tindakan yang tidak setia. Untuk bertindak dengan iktikad baik, seorang direktur harus selalu bertindak dengan kejujuran tujuan, demi kepen-tingan terbaik, dan untuk kesejahteraan perusahaan). 
Pengabaian secara sadar terhadap tanggung jawab merupakan ukuran, walaupun bukan satu-satunya untuk menentukan apakah seorang fidusia telah bertindak dengan iktikad baik. Sikap tidak peduli dan sengaja tidak bertindak di hadapan kewajiban hukum untuk bertindak adalah jelas merupakan tindakan yang tidak loyal terhadap perseroan. Hal itu merupakan intisari tindakan yang  tidak setia atau berkhianat. Untuk bertindak dengan iktikad baik, direksi harus selalu bertindak di setiap waktu dengan tujuan    yang jujur, demi kepentingan dan kesejahteraan yang terbaik perseroan.
Contoh iktikad buruk seperti persetujuan terhadap sebuah transaksi yang bukan untuk kemajuan perseroan. Atau ketika transaksi melanggar hukum positif. Iktikad buruk tidak hanya karena kelalaian, tetapi juga pengabaian terhadap tugas secara sistematis dan terus menerus. Iktikad buruk juga tersemat jika direksi gagal secara sistematis dan berkelanjutan melaksanakan tugas pengawasannya untuk meyakini diri akan adanya sistem pelaporan informasi secara memadai. Namun, yang dilihat di sini hanya segi prosesnya, bukan substansi dari keputusan.[40][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dari pengamatannya terhadap sejumlah keputusan pengadilan, Douglas M. Branson menyimpulkan, bahwa jika direktur dengan sengaja menyimpan informasi materiil dan tidak memberitahukan kepada direksi lainnya, dengan tujuan menyesatkan pemegang saham, dapat dianggap sebagai iktikad buruk. Kesimpulan lain yang Branson kemukakan adalah jika direksi hanya menyetujui secara rubber stamped, tanpa memberikan pertimbangan atau membuat keputusan terhadap keputusan pemegang saham yang dominan, berarti direksi tidak independen, dan tidak memenuhi iktikad baik yang diperlukan.[41][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Menurut Douglas Branson, standar kehati-hatian yang digunakan tetap berupa kehati-hatian yang layak (due care). Dalam hukum korporasi, due care ini adalah bahwa direksi harus melaksanakan tugas kewajiban alias duty itu “dengan kehati-hatian sebagaimana orang biasa yang hati-hati di posisi yang  sama akan menerapkan dalam keadaan yang sama”. Artinya, direksi melakukan kontrol terhadap perusahaan dengan mene-rapkan kehati-hatian yang digunakan oleh orang biasa dalam melaksanakan tindakannya sendiri.[42][******************************] Hal itu dapat pula berarti bahwa direksi bertindak secara proaktif dalam membuat pertim-bangan atau keputusan, atau dengan keputusan yang disadari untuk tidak melakukan tindakan apa pun, sehingga jelas bertentangan dengan kelalaian murni.[43][††††††††††††††††††††††††††††††] Hal ini sangat berbeda dengan ketentuan UU PT di Indonesia, karena tidak menjelaskan secara terperinci mengenai standar kehati-hatian yang perlu diper-hatikan direksi. Masalah ini akan saya ulas pada bab kelima.
Kewajiban direksi dalam konteks standard of care meliputi pengawasan, tugas bertanya, tugas mengambil keputusan yang wajar, prudent mengenai hal-hal ketika direksi wajib memilih untuk bertindak, dan tugas menggunakan proses pengambilan keputusan yang wajar.[44][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Dengan begitu, seseorang harus memilih berbagai alternatif dari proses pengambilan keputusan yang terbaik bagi dirinya. Dalam konteks hukum korporasi, alternatif yang terbaik dipilih, jika menghasilkan manfaat yang terbesar bagi perusahaan, atau dalam rangka memaksimalkan keuntungan bagi perusahaan.
Jika proses pengambilan keputusan itu sehat, pengadilan akan memeriksa keputusan bisnis dalam rangka melakukan verifikasi hubungan antara proses dan hasil keputusan. Pengadilan melihat apakah keputusan bersifat rasional sebagai hasil dari proses peng-ambilan keputusan yang dilakukan, atau apakah ada hubungan yang rasional antara proses pengambilan keputusan dengan keputusan yang dibuat. Jadi, pengadilan tidak mengkaji substansi keputusan. Namun, jika prosesnya tidak baik atau cacat, terlepas dari kualitas keputusan yang dibuat, sehingga direksi dapat dinyatakan bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan sebagai akibat yang berdekatan dengan tindakan yang tidak    hati-hati itu.[45][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Kewajiban untuk bertindak dengan hati-hati (duty of care) menuntut direksi untuk membuat keputusan bisnis, dengan mempertimbangkan informasi materiil yang tersedia secara wajar. Menggunakan informasi yang cukup dalam  pertimbangan untuk membuat sebuah keputusan merupakan usaha iktikad baik yang diperlukan dalam melakukan duty of care.[46][*] Dalam hal ini, Douglas M. Branson berpendapat, bahwa direksi bertanggung jawab untuk mempertimbangkan seluruh fakta materiil yang secara wajar tersedia, bukan infomasi yang imateriil yang di luar jangkauan. Beliau mengatakan bahwa ketersediaan informasi secara wajar itu tidak dapat bersifat subjektif secara keseluruhan, tetapi juga bersifat objektif.[47][†]
Mengenai informasi materiil yang digunakan, ukurannya adalah bersifat subjektif, sejauh direksi dalam mengambil keputusan yakin bahwa mereka memiliki informasi yang cukup, yang bergantung kepada sifat dan kompleksitas keputusan yang dibuat. Dari segi objektif, direksi perlu mengetahui alasan untuk melakukan         sebuah transaksi bisnis, dampak dari transaksi itu terhadap para pemangku kepentingan, pandangan manajemen terhadap harga dan faktor-faktor yang dapat memengaruhi harga, dan kewajaran dari transaksi itu.[48][‡]
Dalam hal pengambilan keputusan, duty of loyalty menuntut direksi untuk membuat keputusan atau bertindak demi kepen-tingan pemegang saham, atau kepentingan konstituen, bukan untuk diri pribadinya.[49][§] Contoh self dealing adalah menyangkut direksi muncul di dua sisi dari suatu transaksi atau menerima keuntungan pribadi dari sebuah transaksi yang tidak diterima   oleh pemegang saham korporasi.[50][**]
Secara tradisional, unsur duty of loyalty adalah tidak adanya benturan kepentingan dalam bentuk manfaat keuangan. Jika benturan kepentingan ini terjadi, yang digugat harus membuktikan bahwa transaksi yang dilakukannya itu bernilai jujur dan wajar.[51][††] Pelanggaran duty of loyalty bukan dilihat dari prosesnya, tetapi dari hasilnya.[52][‡‡] Oleh karena itu, esensi yang utama dari duty       of loyalty adalah kesetiaan terhadap perseroan, dengan ukuran meletakkan kepentingan perusahaan di atas kepentingan pribadi.[53][§§]
6.   Ukuran Iktikad Baik
Meredith M. Brown dan William D. Regner, menyimpulkan bahwa direksi menghadapi risiko yang lebih besar untuk bertang-gung jawab secara pribadi, ketika tindakannya tidak mengandung iktikad baik atau menyangkut tingkah laku yang salah dan disengaja. Untuk itu, mereka berpendapat bahwa diperlukan sejumlah tindakan untuk menunjukkan adanya iktikad baik dan pengambilan keputusan yang berdasarkan informasi yang cukup, atau proses pengambilan keputusan yang lebih baik, yang antara lain adalah sebagai berikut:[54][***]
Pertama, direksi harus memusatkan perhatian dan memutus-kan hal-hal yang penting. Pengadilan tidak akan mempertanyakan pertimbangan bisnis direksi lebih mendetail, sejauh direksi telah mengkaji pertanyaan itu dan menggunakan pertimbangan bisnis tersebut ketika membuat keputusan. Seperti halnya dalam Perkara Disney, jika direksi menutup mata terhadap hal yang besar dan mereka mengetahuinya, kecuali mereka bergulat dengan masalah itu, keadaan ini tidak akan dapat membantu direksi dalam memperoleh perlindungan BJR.
Kedua, melakukan identifikasi dan meminimalkan timbulnya benturan kepentingan. Pengambil keputusan tidak dapat memiliki kepentingan materiil yang dapat menimbulkan benturan kepen-tingan dengan perusahaan. Identifikasi benturan harus dilakukan secara penuh dan pengkajiannya harus dilakukan secara inde-penden oleh direksi.
Ketiga, mengambil keputusan berdasarkan informasi yang tersedia. Pengadilan Delaware menjelaskan bahwa direksi harus bertindak, setelah mempertimbangkan fakta yang materiil yang tersedia secara wajar. Dalam perkara Disney, direksi tidak peduli untuk membaca naskah kontrak penerimaan pegawai atau perjanjian pemutusan hubungan kerja.
Keempat, meminta pendapat ahli jika diperlukan. Hal ini merupakan bagian dari pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang diperlukan. Hukum korporasi melindungi direksi yang melakukan kewajibannya dengan iktikad baik, berdasarkan informasi yang diberikan kepada perusahaan, oleh pihak yang dipercaya direksi, dan memiliki kompetensi profesional yang diperlukan.

Secara menyeluruh, uraian inti sari dari Prinsip BJR di atas dapat diungkapkan kembali ke dalam bahasa yang sederhana, yaitu: Dalam menjalankan tugas pengambilan keputusan, direksi wajib menjalankan niat baiknya terhadap kepentingan perseroan dengan saksama, agar memperoleh perlindungan hukum baginya.

7. Dalam Kaitan dengan Hukum Pidana
Dalam kaitan dengan keputusan bisnis, kajian mengenai pengenaan sanksi menurut KHUP bertitik tolak pada pengertian perbuatan melawan hukum yang dapat dipidana. Apabila mela-kukan perbuatan yang mengandung materieel wederrechttelijk, perlu ditentukan apakah menggunakan fungsi positif atau negatif dari materieel wederrechttelijk.
Indriyanto Seno Adji menyarankan agar fungsi positif materieel wederrechttelijkheid dipertimbangkan untuk diterapkan secara kondisional, situasional, dan kasuistis, pada tipologi kejahatan-kejahatan yang tidak terdeteksi dan terantisipasi oleh aturan perundang-undangan ataupun hukum, seperti kasus korupsi. Ajaran fungsi positif ini telah diterapkan pada: pertama, kasus Logika Sanggraha di Bali, melalui Pasal 5 Ayat 3 UU Darurat      No. 1/DRT/1951; kedua, dalam Putusan Mahkamah Agung RI  No. 275K/Pid/1983, 29 Desember 1983 sehubungan dengan perkara drs. R. S. Natalegawa.[55][†††]  q


[1][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]     Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 404.
[2][********************]   Ibid., hlm. 399.
[3][††††††††††††††††††††]   Ibid., hlm. 404.
[4][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Pengertian yang berbeda terhadap keuangan negara adalah disebabkan karena Pasal 2 huruf g UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang me-nyebutkan bahwa “Keuangan Negara yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi (g) kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah”. Pasal ini menentukan bahwa, walaupun kekayaan yang telah dipisahkan, masih tetap dianggap sebagai kekayaan negara atau daerah.
[5][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm. 17.
[6][*********************]                 Stephen M. Bainbridge, “Much Ado about Little? Directors’ Fiduciary Duties in the Vicinity of Insolvency”, Social Science Research Network,
[25/10/2005].
[7][†††††††††††††††††††††]                 Nadelle Grossman, “Director Compliance with Elusive Fiduciary Duties in a Climate of Corporate Governance Reform”, Fordham Journal of Corporate & Financial Law, [2007].
[8][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]                 Stephen M. Bainbridge, “The Importance of an ‘Esoteric’ Rule”, [03/02/2006].
[9][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]                 Brian A. Garner, op. cit., hlm. 212.
[10][**********************]             Stephen M. Bainbridge, The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine,      op. cit., hlm. 13.
[11][††††††††††††††††††††††]             Melvin A. Eisenberg, “Whether The Business Judgment Rule should be Codified”, <http://www.clrc.ca.gov/pub/BKST-EisenbergBJR.pdf> [05/1995].
[12][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]             Lyman Johnson, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer, 55,2; [Feb 2000], hlm. 625.
[13][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]             Idem.
[14][***********************]           Wikipedia, “Business Judgment Rule”,
[15][†††††††††††††††††††††††]           Douglas M. Branson, op.cit., hlm. 634.
[16][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]           Fred W. Triem, “Judicial Schizoprenia in Corporate Law: Confusing The Standard of Care With The Business Judgment Rule, hlm. 27,
[16/04/2007] hlm. 27
[17][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]           Ibid., hlm. 33.
[18][************************]         Douglas M. Branson, op. cit., hlm. 636.
[19][††††††††††††††††††††††††]         Zeeshan Ashraf, “The Position of the Business Judgment Rule in Different Cor-porate Cultures and Structures: a Study and Analysis”,
[2001], hlm. 15.
[20][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]         Dennis J. Block, (et.al), op. cit., hlm. 17.
[21][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]         Ibid., hlm. 37.  
[22][*************************]       Douglas M. Branson, op. cit., hlm. 638.
[23][†††††††††††††††††††††††††]       Dennis J. Block, (et.al), op. cit., hlm. 70.
[24][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]       Bryan A. Garner, op. cit., hlm. 1062.
[25][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]       Douglas M. Branson, op. cit. hlm. 636.
[26][**************************]     Melvin A. Eisenberg,”Whether the Business-Judgement Rule Should be Codified”, [May 1995], hlm. 39.
[27][††††††††††††††††††††††††††]     Dennis J. Block, (et.al), op. cit, hlm. 12-23.
[28][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]     Douglas M. Branson, op. cit., hlm. 1039, 1040.
[29][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]     Ibid., hlm. 639.
[30][***************************]   Zeeshan Ashraf, op. cit. hlm. 17.
[31][†††††††††††††††††††††††††††]   Bryan A. Garner, op. cit., hlm. 212.
[32][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]   Stephen M. Bainbridge, “Substantive Due Care and Business Judgment Rule in Corporate Fiduciary Duty Law”,
[33][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]   Idem.
[34][****************************]                 Idem.
[35][††††††††††††††††††††††††††††]                 Idem.
[36][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]                 Idem.
[37][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Australian Policy & Advocacy, “Business Judgment Rule”,
Judgment+Rule,htm> [30/06/1996]. 
[38][*****************************]               Robert Sprague, “Directors Behaving Badly: 21st Century Corporate Governance Standards”, <http://www.alsb.org/Proceedings%20Files/2007/Sprague.pdf>
[2007].
[39][†††††††††††††††††††††††††††††]               The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp> [Tidak bertanggal].
[40][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]               Nadelle Grossman, op. cit., “Director Compliance with Elusive Fiduciary Duties in   a Climate of Corporate Governance Reform”, Fordham Journal of Corporate & Financial Law, [2007]. 
[41][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]               Douglas M. Branson, loc. cit.
[42][******************************]             Sean J. Griffith, “Good Faith Business Judgment: A Theory of Rhetoric in Corporate Law Jurisprudence”,
[2005]
[43][††††††††††††††††††††††††††††††]             Fred W. Triem, loc. cit.
[44][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]             Idem.
[45][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]             Lyman Johnson, loc. cit.
[46][*]       Nadelle Grossman, loc. cit.
[47][†]       Douglas M. Branson, loc. cit.
[48][‡]       Annette Greenhow, “The Statutory Business Judgment Rule: Putting the Wind into Director’s Sails”, Bond Law Review Volume 11, Issues 1, Article 4, [1999].
[49][§]       James E. Smith, “Risk Sharing, Fiduciary Duty, and Corporate Risk Attitudes”, Decision Analysis, Vol. 1, No. 2, pp 114-127, <@2004 INFORMS> [06/2004]. 
[50][**]     Nadelle Grossman, loc. cit.
[51][††]     Andrew S. Gold, “A Decision Theory Approach to the Business Judgment Rule: Reflection on Disney, Good Faith, and Judicial Uncertainty”, Social Science Research Network, Maryland Law Review Vol. 66, p 398, 2007,
[52][‡‡]     Lyman Johnson, loc. cit.
[53][§§]     Sean J. Griffith, loc. cit.
[54][***]   Meredith M. Brown dan William D. Regner, “What’s Happening to the Business Judgment Rule?”, Insights: the Corporate & Securities Law Advisor, Englewood Cliffs, August 2003, Vol. 17, iss. 8, pg. 2.
<///C:/Documents%20and%20Settings/Administrator/Desktop/p…> [07/11/2007].
[55][†††]   Indriyanto Seno Adji, op. cit., hlm. 469-474.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar