4. Sifat Piutang
Bank BUMN dan Kepailitan pada Bank
Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, ketika negara
mendirikan BUMN/Persero di hadapan notaris, dan menjadi pemegang saham, dengan
menyetor sejumlah modal, negara menundukkan diri pada hukum perdata. Negara sebagai pemegang
saham memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemegang saham lain- nya, dan menjadi subjek hukum perdata biasa
tanpa imunitas publiknya.[1][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Pasal 4 Ayat 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN me-nyebutkan, pembinaaan dan pengelolaan kekayaan
tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, tetapi didasarkan pada prinsip-prinsip
perusahaan yang sehat.[2][********************] Bank BUMN
tercakup dalam ketentuan tersebut, sehingga piutang bank BUMN bukan lagi
merupakan piutang negara, dan harus diselesaikan mengikuti mekanisme yang
berlaku bagi perusahaan swasta.[3][††††††††††††††††††††] Hal ini telah
diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia No.
77/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa Pasal 12 Ayat 1 UU No. 49 tentang PUPN Tahun 1960 adalah bertentangan
dengan UUD 1945 dan Perubahannya, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Ini berarti bahwa penyelesaian kredit macet melalui lelang negara atau Panitia
Urusan Piutang Negara (PUPN) tidak lagi menjadi keharusan dan tidak mengikat,
sehingga hanya menjadi pilihan.
Bank dengan sahamnya juga dimiliki oleh negara, dan jika
berbadan hukum PT, maka bank BUMN itu tunduk pada UU PT dan UUPerbankan,
seperti layaknya bank swasta lainnya.[4][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Oleh karena
itu, penulis berpendapat bahwa tindakan pemberian kredit pada umumnya merupakan
tindakan kepengurusan atau tot daden van
beheeren, bukan tot daden van
beschikken, dan tidak memerlukan persetujuan organ badan hukum lainnya,
kecuali anggaran dasar menentukan lain, atau tidak terdapat kesepakatan atau
pengaturan lainnya di antara direksi dengan dewan komisaris. Dalam kaitan
dengan Ketentuan Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, berdasarkan prinsip lex
specialist derogat legi generali, seyogianya BUMN tunduk pada UU PT
yang berlaku. Hal ini juga didukung oleh
pendapat Arifin P. Soeria Atmadja.
Bagian akhir ini meninjau secara ringkas mengenai keadaan
pailit pada bank. Menurut Man Suparman, pailit adalah suatu keadaan bahwa
debitor berada dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya kepada
kreditor, sesuai dengan yang telah diperjanjikan, karena ketidakmauan atau
ketidakmampuan.[5][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Keadaan
seperti ini dapat terjadi pada bank, jika sebagian yang cukup signifikan dari
portofolio aset kreditnya mengalami kemacetan, atau rasio NPL-nya cukup tinggi,
atau jauh di atas 5%. Apabila bank tidak lagi dapat diselamatkan, umumnya
karena tingkat NPL-nya sudah terlalu tinggi, biasanya pihak Bank Indonesia akan
menutup atau melikuidasi bank tersebut dengan terlebih dahulu mencabut izin
usahanya.
Pasal 2 Ayat 3 UU No. 37 Tahun 2007 (”UU Kepailitan dan
PKPU”) menyebutkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap bank hanya dapat
diajukan oleh Bank Indonesia. Namun, hampir tidak pernah terjadi di Indonesia,
bank ditutup melalui jalur kepailitan.
D. PRINSIP
BJR: MEMENUHI FIDUCIARY DUTY DEMI
PERLINDUNGAN HUKUM
Dalam hukum internasional, khususnya yang menganut sistem
common law, prinsip keputusan bisnis atau BJR telah dikenal
cukup luas. Bagian ini menguraikan inti sari prinsip tersebut.
1. Berlaku Sebagai Hukum Acara
BJR merupakan sebuah prinsip hukum korporasi yang muncul
pada 1829 di Supreme Court Louisiana
dalam Sistem common law di Amerika.
Prinsip ini merupakan jawaban terhadap risiko dan ketakpastian yang harus
dihadapi direksi ketika keputusan yang diambil–dalam rangka mengusahakan
keuntungan bagi perseroan–ternyata tidak sesuai harapan, atau menimbulkan
kerugian bagi perseroan. Dengan kewenangan anggaran dasar, jawaban ini
memberikan diskresi untuk membuat kebijakan dan keputusan yang diperlukan. Dalam hukum
korporasi Delaware, BJR me-lindungi dan mempromosikan pelaksanaan yang bebas
dan penuh kewenangan pengelolaan yang diberikan kepada direksi.[6][*********************] Untuk itu, direksi berkewajiban untuk
memenuhi fiduciary duty, yang terdiri
dari duty of care, duty of loyalty, dan duty of good faith atau iktikad baik.
Pada dasarnya, direksi mewakili kepentingan para pemegang
saham, dengan fiduciary duty untuk
kepentingan mereka.[7][†††††††††††††††††††††] Dalam kaitan
ini, BJR berfungsi sebagai saringan untuk memasti-kan ada-tidaknya faktor
kepentingan pribadi atau self dealing, atau penipuan.[8][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
“The presumption that in making business
decisions not involving direct self interest or self dealing, corporate
directors act on an informed basis, in good faith, and in honest belief that
their actions are in the corporation’s best interest. The rule shields
directors and officers from liability for unprofitable or harmful corporate
transactions if the transactions were made in good faith, with due care, and
within the directors’ or officers’ authority”.
(Terjemahan bebas: Anggapan bahwa dalam
membuat keputusan bisnis tidak me-libatkan kepentingan pribadi atau berdagang sendiri,
direksi korporasi bertindak berdasarkan informasi yang cukup, dan dalam
keyakinan yang jujur bahwa tindakan mereka adalah demi kepentingan terbaik
korporasi. Ketentuan (BJR) membentengi direksi dan pejabatnya dari tanggung
jawab atas transaksi yang berbahaya atau tidak menguntungkan, jika transaksi
itu di-lakukan dengan iktikad baik, dengan hati-hati yang layak, dan dalam kewenangan
direksi atau pejabat itu).
Pengertian tersebut memberikan sebuah titik tolak
keberadaan BJR. Titik tolak ini merupakan ’anggapan awal’ bahwa dalam membuat
keputusan bisnis, direksi tidak melibatkan kepentingan pribadi atau terkait
dengan self dealing, dan melakukannya
berdasarkan informasi yang cukup, dengan iktikad baik, serta sejujurnya percaya
bahwa direksi bertindak demi kepentingan perseroan (”anggapan BJR”) semata. BJR
memberikan perlin-dungan hukum bagi direksi, dari tanggung jawab terhadap
transaksi perseroan yang merugikan atau yang berbahaya, apabila memenuhi fiduciary duty dan sesuai kewenangannya.
Dalam perkara McMullin
vs. Beran, 765
A.2d 910 (De, 2000), Mahkamah Agung Delaware berpendapat sebagai berikut:[10][**********************]
“The business judgment rule “operates as both
a procedural guide for litigants and a subtantive rule of law“. Procedurally, the initial burden is
on the shareholder plaintiff to rebut the presumption of the business judgment
rule. To meet that burden, the shareholder plaintiff must effectively provide
evidence that the defendant board of directors, in reaching its challenged
decision, breached any one of its “triad of fiduciary duties, loyalty, good
faith or due care“. Substantively, “if the shareholder plaintiff fails to meet
that evidentiary burden, the business judgment rules attached“ and operates to
protect the individual director defendants from personal liability for making
the board decision at issue”.
(Terjemahan
bebas: BJR beroperasi kedua-duanya sebagai petunjuk prosedural untuk beracara
dan sebagai ketentuan hukum substantif. Secara prosedur, beban awal berada pada
pemegang saham penggugat untuk mematahkan anggapan BJR. Untuk memenuhi beban
itu, pemegang saham penggugat harus secara efektif menyediakan bukti bahwa
direksi tergugat, dalam membuat keputusan yang digugat, melanggar salah satu
dari tiga serangkai tugas fidusia [fiduciary duties], kesetiaan [loyalty], iktikad
baik, atau kehati-hatian [due care]. Secara substantif, jika pemegang saham penggugat
gagal memenuhi beban pembuktian itu, maka BJR mengikuti dan beroperasi untuk
melindungi direksi individu tergugat dari tanggung jawab ganti kerugian secara
pribadi karena membuat keputusan yang diperkarakan).
Artinya, BJR juga
berlaku sebagai hukum acara untuk mem-berikan petunjuk bagaimana melakukan
gugatan dan sebagai materi kepastian hukum.
Secara prosedural, beban awal berada pada pihak
pemegang saham penggugat untuk menolak adanya anggapan awal. Untuk itu,
pemegang saham penggugat harus
memberikan bukti bahwa direksi yang digugat, dalam membuat keputusan yang
sedang digugat, melanggar salah satu dari tiga serangkai fiduciary duties. Namun, jika penggugat tidak berhasil membuktikan
gugatan itu secara substansial, ketentuan BJR ber-laku, dan dapat melindungi
direksi dari tanggung jawab terhadap kerugian sebagai akibat keputusan yang
diperkarakan itu.
Dalam Perkara Burt vs. Irvine Co,
Pengadilan memberikan pernyataan yang lebih jelas berikut:[11][††††††††††††††††††††††]
“The rule
exempting officers of corporations from liability for mere mistakes and errors
of judment does not apply where the loss is the result of failure to exercise
proper care, skill, and diligence.
diligent and careful in performing the duties they have undertaken. They
cannot excuse imprudence on the ground of their ignogrance of inexperience, or
the honesty of their intentions; and, if they commit an error of judgment
through mere recklessness, or want of ordinary prudence and skill, the
corporation may hold them responsible for the consequence”.
(Terjemahan bebas: Ketentuan untuk membebaskan pejabat
korporasi dari tanggung jawab ganti rugi semata-mata karena kesalahan dan
pertim-bangan yang salah tidak berlaku, ketika kerugian merupakan akibat
kegagalan dalam menerapkan kehati-hatian, keahlian, dan kepedulian yang wajar
dalam melakukan tugas yang telah di-laksanakan. Mereka tidak dapat beralasan
tidak hati-hati atas dasar ketaktahuan karena tidak berpengalaman, atau
kejujuran dari niatnya, atau berkeinginan memiliki keahlian dan kehati-hatian
yang biasa, korporasi dapat meminta mereka untuk bertanggung jawab terhadap
akibatnya).
Direksi tetap bertanggung jawab jika mereka melakukan
kecerobohan, ketakhati-hatian atas dasar lalai karena tidak memiliki pengalaman
atau keahlian yang wajar diperlukan. Walaupun demikian, Pengadilan lebih lanjut
menegaskan bahwa:
“Courts
have properly decided to give Directors a wide latitude in the management of
the affairs of a corporation provided always that judgment, and that means an
honest, unbiased, is reasonably exercised by them“.
(Terjemahan bebas: Pengadilan telah
memutuskan secara wajar untuk memberikan direksi ruang gerak yang cukup lebar
untuk mengelola urusan korporasi, asalkan
pengambilan keputusan yang jujur, tidak bias, selalu mereka terapkan).
Intinya, pengadilan tidak memeriksa
substansi keputusan yang dibuat direksi dalam menjalankan bisnis perusahaan
seperti yang dinyatakan dalam kutipan berikut:[12][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
“[W]here
the money damages or equitable relief is sought, the business judgment rule is
a judicial policy of not reviewing the subtantive merits of a board of
directors’s business decisions for the purpose of determining whether directors
breached or fulfilled their duty of care“.
(Terjemahan bebas: Ketika kerugian
uang atau ganti kerugian yang setara sedang dituntut, BJR merupakan kebijakan
hukum untuk tidak meme-riksa faedah substantif keputusan bisnis direksi dengan
tujuan untuk menentukan apakah direksi melanggar atau memenuhi tugas
kehati-hatian atau duty of care).
Akan tetapi, sebaliknya, pengadilan akan memeriksa
kepu-tusan direksi yang digugat, dari sisi lain, yaitu:[13][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
a. Apakah keputusan itu mengandung penipuan,
melanggar hukum, bersifat ultra vires,
atau pemborosan atau waste.
b. Dengan
menggunakan standar pemeriksaan (standard of review) yang wajar, memastikan bahwa direksi memenuhi duty of
care, apakah dilakukan dengan iktikad baik; dan dilihat dari manfaat materiil, apakah
keputusan itu berimplikasi pelanggaran duty
of loyalty.
Jika penggugat dapat membuktikan bahwa direksi
seharusnya tidak dapat diberikan perlindungan hukum BJR, misalnya
ketika direksi memboroskan harta perseroan (waste), melanggar duty
of care, mengambil uang perusahaan untuk kepentingan pribadi, atau
melanggar duty of loyalty, direksi
harus membuktikan bahwa keputusannya itu dilakukan dengan iktikad baik atau
merupakan keputusan yang rasional.[14][***********************]
2. Anggapan BJR
Pada dasarnya,
BJR merupakan anggapan yang dapat melin-dungi tindakan direksi (’anggapan BJR’)
atau pejabat korporasi sejauh syarat-syarat tertentu dipenuhi, yaitu:[15][†††††††††††††††††††††††] pembuat kepu-tusan bebas dari
benturan kepentingan, menerapkan kepedulian standar dengan menggunakan
informasi materiil
yang memadai atau due care, dan
memiliki dasar yang rasional dalam mengambil keputusan tersebut.
Keputusan itu
pun harus berada dalam ruang lingkup
kewenangannya, dan tidak dinodai oleh penipuan manajerial, managerial fraud, self dealing,[16][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] bukan merupakan gross negligent,[17][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] atau sama sekali tidak terdapat faktor ketakpedulian penuh (a complete absence of care)[18][************************] tidak merupakan penyalah-gunaan
kewenangan (abuse of discretion),[19][††††††††††††††††††††††††] serta tidak melanggar hukum positif.
Menurut Dennis
J. Block, di Delaware, standar yang diper-gunakan untuk mengukur bahwa
keputusan dibuat berdasarkan informasi yang memadai (informed decision) atau due
care adalah gross negligence.[20][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Menurut Block, kelalaian yang
sederhana saja tidak cukup untuk menuntut ganti kerugian terhadap direksi.[21][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Putusan pengadilan dalam Perkara Smith vs. Van Gorkom menya-takan bahwa
konsep gross negligence juga
merupakan standar yang tepat untuk menentukan apakah keputusan bisnis direksi
dibuat berdasarkan informasi yang memadai atau merupakan informed decision.[22][*************************] Dalam perkara ini, Van Gorkom tidak mengetahui substansi
yang dia bicarakan, karena tidak memiliki informasi yang diperlukan.[23][†††††††††††††††††††††††††]
Mengenai gross
negligence, Black’s Law Dictionary memberikan definisi berikut:[24][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
“(1) Lack of slight diligence or care, (2) A conscious, voluntary act or omission in reckless disregard
of a legal duty and of the consequences to another party, who may typically
recover exemplary damages - Also termed reckless negligence, willful negligence,
dstnya”.
(Terjemahan
bebas: (1) Tidak cukup hati-hati atau peduli, (2) tindakan sendiri yang
disadari atau kealpaan berupa pengabaian yang ceroboh ter-hadap kewajiban hukum dan konsekuensi terhadap pihak lain, yang khususnya
dapat memperoleh ganti kerugian sebagai contoh - Juga diartikan sebagai
kelalaian yang sembrono, kelalaian yang disadari, dan seterusnya).
Artinya, tidak memiliki cukup kepedulian atau tindakan
yang dilakukan atas inisiatif sendiri dengan mengabaikan kewajiban hukum
terhadap pihak lain, yang umumnya dapat meminta ganti kerugian. Dapat diartikan
pula sebagai ketakpedulian yang disengaja atau ceroboh. Direksi yang sama
sekali tertidur atau sama sekali tidak menerapkan kepedulian tidak dapat dilindungi
oleh BJR.[25][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Tercakup dalam
pengertian ini adalah kelalaian atas dasar kurang mengetahui, tidak
berpengalaman, niat yang tak-jujur; dan jika membuat keputusan yang salah
karena semata-mata lalai.[26][**************************]
3. Unsur-unsur Pokok BJR
BJR memiliki lima unsur pokok, yaitu:[27][††††††††††††††††††††††††††]
Keputusan bisnis (business
decision), ketaktertarikan
(disinterestednedness),
kehati-hatian (due care)
dan keputusan berdasarkan informasi yang memadai (informed decision), iktikad baik (good faith), tidak ada penyalahgunaan diskresi atau
pemborosan (no abuse of discretion or
waste), atau tidak terdapat tindakan yang keterlaluan (gross overreaching). Pengadilan Delaware juga menggunakan
unsur-unsur yang sama, seperti pertimbangan atau keputusan, tingkat kepedulian
(due care), good faith, bebas dari conflicts of interest, atau bad motive.[28][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Unsur-unsur
ini dapat dikelompokan menjadi tiga jenis dari fiduciary duty, yaitu: loyalty,
due care, dan good faith, disebut sebagai tiga serangkai.
Tiga hal tersebut merupakan inti dari lima unsur, karena
dua unsur yang lain, yaitu disinterestedness
dan no abuse of dis-cretion, kecuali business decision, berkait erat dengan fiduciary duty, dan merupakan patokan
tidak adanya benturan kepentingan,
atau tidak adanya pengambilan kesempatan pribadi atau pelang-garan terhadap duty of loyalty. Jika salah satu dari
unsur ini ada, BJR tidak dapat digunakan untuk melindungi direksi.
Perkembangan mutakhir, Delaware menyatakan bahwa direksi
hanya bertanggung jawab untuk mempertimbangkan fakta-fakta yang materiil yang
umumnya tersedia (reasonably available),
bukan fakta-fakta yang imateriil yang berada di luar jangkauan direksi. Berapa
banyak informasi yang dianggap memadai atau cukup; bagaimana informasi
dikumpulkan, apakah melalui meka-nisme konsultan, komite, atau laporan, juga
merupakan pertim-bangan bisnis.[29][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Direksi wajib
dengan tingkat kepeduliannya atau
kehati-hatiannya (degree of care)
untuk menghimpun informasi, ketika dalam proses pengambilan keputusan, yang
membuat direksi dapat memilih alternatif menuju keputusan yang akan diambilnya.[30][***************************]
4. Rasionalitas Keputusan
Dalam kaitan dengan rasionalitas keputusan dalam BJR,
Dennis J Block (et.al) memberikan
pendapat berikut:[31][†††††††††††††††††††††††††††]
“The
business judgment rule is a presumption
protecting conduct by directors that can be attributed to any rational business
purpose. In order to plead and prove a claim, a plaintiff must plead and prove
facts overcoming this presumption. Where the presumption is overcome, directors
bear the burden of proving the fairness of the challenged conduct. The
difference between these two levels of judicial scrutiny–a presumption in a
favor of the directors that protects conduct that is rational, versus a burden
of proving fainess- frequently is outcome determinative”.
(Terjemahan bebas: BJR adalah sebuah
anggapan yang melindungi tindakan direksi yang disebabkan adanya setiap tujuan
bisnis yang rasional. Agar dapat berperkara dan membuktikan gugatan, penggugat
harus menyatakan dan membuktikan fakta untuk mengatasi anggapan itu. Ketika
anggapan itu dipatahkan, direksi menanggung beban untuk membuktikan kejujuran
tindakan yang diperkarakan. Perbedaan dari kedua tingkat pemeriksaan hukum
ini–anggapan yang menguntungkan direksi dan melindungi adalah tindakan yang
rasional, lawan beban untuk membuktikan kejujuran– seringkali menghasilkan
akibat yang menentukan).
Anggapan tersebut adalah bahwa keputusan harus berasal
dari tujuan bisnis yang rasional. Penggugat harus membuktikan fakta yang dapat
mengalahkan anggapan (”anggapan BJR”) itu. Ketika anggapan itu dikalahkan,
direksi menanggung beban untuk mem-buktikan kewajaran dari keputusan yang
digugat itu. Pengadilan akan memeriksa apakah keputusan itu bersifat rasional
di satu sisi dibandingkan dengan masalah kewajaran di sisi lain, dan
menen-tukannya dari hasil perbandingan ini.
Stephen M. Bainbridge, berpendapat bahwa prasyarat yang
penting bagi berlakunya BJR dari segi Doktrin Abstensi adalah adanya
‘ketakrasionalan’.[32][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Dalam perkara Sinclair Oil Corp vs. Levien, Mahkamah Agung Delaware
menyatakan bahwa “sejauh keputusan direksi dapat dianggap sebagai akibat dari
tujuan bisnis yang rasional, BJR menghalangi pengadilan untuk menggantikan
pertimbangan mengenai baik-buruknya keputusan yang diambil direksi”. Dalam Brehm vs. Eisner, dinyatakan bahwa “BJR
tidak dapat digunakan jika direksi telah bertindak tidak sesuai dengan tujuan
bisnis yang rasional”.
Stephen M. Bainbridge lebih lanjut berpendapat, bahwa
‘tujuan bisnis yang rasional’ tidak menuntut adanya kajian baik-buruknya secara
hakiki dari keputusan yang diambil.[33][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Untuk itu,
beliau mengutip pendapat Michael Dooley yang menyatakan, pengertian rasional di
sini dapat disamakan dengan pengertian dapat dibayangkan atau dapat
dikhayalkan. Pengadilan tidak akan melihat pertimbangan direksi lebih dekat,
sejauh kemungkinan adanya alasan bisnis yang sah, sehingga tidak perlu
membuktikan alasan yang rasional dari keputusannya.
”What should be understood, but may
not widely be understood by courts or commentators who are not often required
to face such questions, is compliance with a director’s duty of care can never
appropriately be judicially determined by reference to the contend of the board decision that leads to a corporate
loss, apart from consideration of the good faith or rationality of the process
employed. That is, whether a judge or jury considering the matter after the
fact, believes a decision substantively wrong, or degrees of wrong extending
through ”stupid” to ”egregious” or ”irrational”, provides no ground for
director liability, so long the court determines that the process employed was
either rational or employed in a good faith effort to advance company
interests. To employ a different rule–one that permitted an “objective”
evaluation of the the decision– would expose
directors to substantive second guessing but ill-equipped judges or juries,
which would, in the long run, be injurious to investor interests. Thus, the
business judgment rule is process oriented and informed by a deep respect for
all good faith board decisions”.
(Terjemahan bebas: Apa yang harus
dimengerti, tetapi mungkin tidak
dimengerti secara luas oleh pengadilan atau para pengamat yang tidak
sering menghadapi pertanyaan yang dimaksud, adalah bahwa pemenuhan terhadap duty of care direksi tidak pernah dapat
secara tepat ditentukan hukum dengan mengacu pada isi dari keputusan direksi
yang mengakibatkan kerugian korporasi, selain pertimbangan mengenai iktikad
baik atau rasionalitas dari proses yang digunakan: yaitu, apakah hakim atau
juri mempertimbang-kan kenyataan setelah kejadian, percaya bahwa suatu
keputusan salah secara substansial, atau tingkat kesalahan dari “bodoh” sampai
“keterlaluan” atau “tidak masuk diakal”, tidak memberi-kan dasar untuk tanggung jawab direksi untuk ganti kerugian,
sejauh pengadilan menetapkan bahwa proses yang digunakan apakah tidak masuk
diakal atau digunakan dengan menggunakan usaha iktikad baik untuk memajukan
kepentingan perusahaan. Untuk menggunakan ketentuan yang berbeda–yaitu
ketentuan yang mengizinkan penilaian objektif terhadap keputusan–akan
menempatkan direksi secara substansial pada penilaian duga kedua tetapi hakim
atau juri yang kurang dibekali dalam jangka panjang akan melukai kepentingan
investor. Jadi, BJR berorien-tasi pada proses dan atas informasi yang sangat
menghargai seluruh keputusan direksi yang beriktikad baik).
Dengan begitu, duty
of care direksi tidak pernah secara tepat dapat ditentukan secara hukum
dengan merujuk isi keputusan yang menimbulkan kerugian, kecuali menggunakan
pertimbangan iktikad baik atau rasionalitas proses pengambilan keputusan. Jika
halnya tidak demikian, penilaian yang dapat dilakukan pengadilan terhadap isi
keputusan yang telah diambil direksi akan bersifat menduga-duga (second guessing). Di sisi lain, hakim tidak di-lengkapi dengan pengetahuan
mengenai bisnis, sehingga jika hal itu
dilakukan, maka dalam jangka panjang, campur tangan hakim terhadap keputusan
bisnis direksi akan melukai kepentingan para investor. Jadi, BJR
berorientasi pada proses dan memberikan penghormatan yang dalam terhadap
seluruh keputusan direksi yang beriktikad baik.
Karena itu, Stephen
M. Bainbridge, menambahkan bahwa walaupun seorang hakim atau juri meyakini
bahwa keputusan itu secara substantive
salah, atau kesalahan itu dapat dianggap sebagai kebodohan, benar-benar
‘bebal’, tidak masuk akal, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai landasan
untuk menuntut pertanggungan direksi, sejauh pengadilan dapat
memastikan bahwa proses dalam mengambil keputusan itu merupakan upaya dengan
iktikad baik untuk memajukan kepentingan perseroan.[35][††††††††††††††††††††††††††††]
Uraian tersebut menunjukkan
bahwa masalah rasionalitas sebuah keputusan yang
diambil direksi, atau yang dapat dianggap sebagai sesuatu yang bodoh atau tidak
masuk akal, adalah masalah yang sangat rumit dan tidak dapat dianggap sesuatu
yang konklusif, sehingga tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut
pertanggungan direksi. Namun, untuk menjawab persoalan ini, Stephen M.
Bainbridge menyimpulkan dari perkara Parnes
vs. Bally Entertainment Corp, bahwa
penyelidikan mengenai rasionalitas sebuah keputusan
adalah juga merupakan penyelidikan apakah keputusan itu telah dinodai oleh
kepentingan pribadi.
Secara
keseluruhan, setelah mengungkapkan perkara-perkara yang lain dari ringkasan, yang berkait
dengan masalah rasionalitas keputusan bisnis atau tujuan bisnis direksi, Stephen
M. Bainbridge menyimpulkan, bahwa:[36][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Pertama, walaupun keputusan direksi tidak
rasional dan sama sekali tidak masuk akal, tidaklah berarti bahwa BJR akan
mengisolir direksi itu dari pemeriksaan hukum. Hal itu karena, menurut Bainbridge,
syarat mutlak rasionalitas dapat mengikis syarat mutlak adanya kewajaraan,
sehingga pengadilan harus memerhatikan hal tersebut dengan hati-hati.
Kedua, untuk menilai sebuah keputusan itu
tidak masuk akal harus didekati dengan memeriksa proses due care-nya, apakah cacat dan tidak masuk akal. Hakim Agung
Chandler tidak mem-persoalkan baik-buruk keputusan direksi, tetapi pemeriksaan
lebih ditekankan pada bagaimana keputusan itu dibuat, atau prosedurnya, hingga
Chandler menemukan prosedurnya secara mendasar cacat, dan perlindungan BJR
tidak dapat diberikan.
Ketiga, pemeriksaaan terhadap rasionalitas
keputusan direksi dapat pula didekati dengan pendekatan pada iktikad baik yang
diperlukan dalam Prinsip BJR.
Menurut
Chandler, pemeriksaan mengenai rasionalitas sebuah keputusan dapat
mempertanyakan pencarian unsur benturan kepentingan dan self dealing yang dapat
melandasinya.
Dalam perkara yang sama, dari pernyataan Hakim Agung
Chandler, Stephen M. Bainbridge menyimpulkan, adanya kronisme dan backroom deal sehingga pertimbangan
untuk menyelamatkan ‘muka’ seseorang lebih dipentingkan daripada kepentingan
per-seroan. Hal ini yang membuat hakim Agung Chandler memperoleh petunjuk dari
‘evaluasi secara objektif keputusan yang dibuat direksi’, sehingga menimbulkan pertanyaan
mengenai ada atau tidaknya alasan untuk tidak memercayai unsur iktikad baik
dari direksi yang membuat kesimpulan yang tidak rasional.
Dalam mengkaji objektivitas sebuah keputusan, Hukum
Korporasi Delaware mendekatinya melalui ketentuan berikut:[37][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
“In making business decision, the
directors are presumed to have acted independently, in an informed basis and in
good faith that the decision is in the best interest of the corporation. The
business decision will be sustained unless the presumption is rebutted in
either two ways: (a) the process, independence, or good faith of the director
is compromised, or (b) the decision cannot be attibuted to rational business
purposes”.
(Dalam membuat keputusan bisnis,
direksi dianggap telah bertindak independen, berdasarkan informasi yang cukup
dan iktikad baik bahwa keputusan itu adalah untuk kepentingan terbaik
perusahaan.
Keputusan bisnis dipertahankan, kecuali jika anggapan tersebut dipatahkan dalam
salah satu dari dua cara berikut: (a) proses, independensi, iktikad baik
direktur telah dikompromikan, atau (b) keputusan tidak disebabkan oleh tujuan
bisnis yang rasional).
Ungkapan tersebut menunjukkan perbedaan yang lebih mene-kankan pada proses
pengambilan keputusan. Intinya adalah: keputusan bisnis tidak dapat dipertahankan jika proses
peng-ambilan keputusan itu, atau independensi direksi pengambil keputusan, tidak sebagaimana mestinya, atau telah dikompro-mikan, di
samping keputusan itu bukan sebagai akibat adanya tujuan bisnis yang rasional.
Masalah proses dan independensi ini disetarakan dengan unsur iktikad baik.
Artinya,
jika direksi mengambil keputusan tidak secara independen, atau proses
pengambilan keputusan tidak sebagaimana biasanya, keadaan itu dapat menyimpulkan adanya unsur iktikad
buruk.
5. Iktikad Baik, Duty of Care, dan Duty of Loyalty
Mahakamah Agung Delaware menjelaskan, pengertian iktikad
baik dalam tiga kategori perbuatan fidusia (fiduciary
conduct), dan seluruhnya menyangkut
perbuatan dengan iktikad buruk, yaitu:[38][*****************************]
Pertama, iktikad buruk yang subjektif. Inilah perbuatan fiduciary yang dilatarbelakangi oleh niat yang
sesungguhnya untuk membahayakan atau
menimbulkan kerugian. Pengadilan menyimpulkan bahwa kategori ini jelas
merupakan pelanggaran terhadap kewajiban iktikad baik (duty of good faith);
Kedua, kategori ini menyangkut kurangnya
sikap hati-hati atau duty of care–
“sebuah tindakan fiduciary yang
dilakukan semata-mata karena sangat ceroboh (gross negligence) dan tanpa adanya niat jahat. Walaupun duty of care dan duty of loyalty berkaitan dan saling tumpang tindih, perbuatan yang
sangat ceroboh atau grossly negligent
conduct tidak berarti dan tidak dapat dianggap pelanggaran fiduciary duty untuk berlaku dengan
iktikad baik. Dalam kata lain, pelanggaran duty
of care tidak otomatis merupakan sebuah tindakan kealpaan atau omission yang berarti “tidak beriktikad
baik”. Walaupun duty of good faith bersandingan
dengan duty of care dan loyalty, tetapi dalam pelaksanaan due care dan good faith mesti dibedakan.
Ketiga, menyangkut penelantaran kewajiban yang
disengaja, atau mengabaikan kewajiban secara sadar, dan dapat dijelaskan
melalui keadaan berikut: ’’Direksi tidak memiliki benturan kepen-tingan, tetapi
terkait dengan tingkah laku buruk yang lebih bersifat jahat, dan bukan
merupakan keadaan yang tidak memerhatikan atau gagal menggunakan informasi yang
mengandung kenyataan yang materiil yang diperlukan dalam pengambilan
keputusan”.
Pelanggaran terhadap duty
of good faith atau iktikad buruk terjadi jika seorang fiduciary menyadari bahwa dia tidak
bertindak demi kepentingan terbaik perusahaan, atau tidak konsisten dengan
tanggung jawabnya. Chancellor
Chandler menyatakan hal berikut:[39][†††††††††††††††††††††††††††††]
“The
concept of intentional dereliction of duty, a conscious disregard for one’s
responsibilities, is an appropriate (although not the only) standard for
determining whether fiduciaries have acted in good faith. Deliberate indifference
and inaction in the face of a duty to act is .... conduct that is clearly
disloyal to the corporation. It is the epitome of faithless conduct. To act in
good faith, a director must act at all times with an honesty of purpose and in
the best interest and welfare of the corporation”.
(Terjemahan bebas: Konsep penelantaran
tugas yang disengaja, pengabaian yang disadari terhadap tanggung jawab,
merupakan standar yang tepat–walaupun bukan merupakan satu-satunya ukuran–untuk
menentukan apakah seorang fidusia telah bertindak dengan iktikad baik.
Ketakpedulian dan sengaja tidak beraksi ketika mesti bertindak adalah . . .
tingkah yang jelas merupakan ketaksetiaan terhadap perusahaan. Hal itu
merupakan contoh tindakan yang tidak setia. Untuk bertindak dengan iktikad
baik, seorang direktur harus selalu bertindak dengan kejujuran tujuan, demi
kepen-tingan terbaik, dan untuk kesejahteraan perusahaan).
Pengabaian secara sadar terhadap tanggung jawab merupakan
ukuran, walaupun bukan satu-satunya untuk menentukan apakah seorang fidusia
telah bertindak dengan iktikad baik. Sikap tidak peduli dan sengaja tidak
bertindak di hadapan kewajiban hukum untuk bertindak adalah jelas merupakan
tindakan yang tidak loyal terhadap perseroan. Hal itu merupakan intisari tindakan
yang tidak setia atau berkhianat. Untuk
bertindak dengan iktikad baik, direksi harus selalu bertindak di setiap waktu
dengan tujuan yang jujur, demi
kepentingan dan kesejahteraan yang terbaik perseroan.
Contoh iktikad buruk seperti persetujuan terhadap sebuah
transaksi yang bukan untuk kemajuan perseroan. Atau ketika transaksi melanggar
hukum positif. Iktikad buruk tidak hanya karena kelalaian, tetapi juga
pengabaian terhadap tugas secara sistematis dan terus menerus. Iktikad buruk
juga tersemat jika direksi gagal secara sistematis dan berkelanjutan
melaksanakan tugas pengawasannya untuk meyakini diri akan adanya sistem
pelaporan informasi secara memadai. Namun, yang dilihat di sini hanya segi
prosesnya, bukan substansi dari keputusan.[40][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dari pengamatannya terhadap sejumlah keputusan
pengadilan, Douglas M. Branson menyimpulkan, bahwa jika direktur dengan sengaja
menyimpan informasi materiil dan tidak memberitahukan kepada direksi lainnya,
dengan tujuan menyesatkan pemegang saham, dapat dianggap sebagai iktikad buruk.
Kesimpulan lain yang Branson kemukakan adalah jika direksi hanya menyetujui
secara rubber stamped, tanpa
memberikan pertimbangan atau membuat keputusan terhadap keputusan pemegang
saham yang dominan, berarti direksi tidak independen, dan tidak memenuhi
iktikad baik yang diperlukan.[41][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Menurut Douglas Branson, standar kehati-hatian yang
digunakan tetap berupa kehati-hatian yang layak (due care). Dalam hukum korporasi, due care ini adalah bahwa direksi harus
melaksanakan tugas kewajiban alias duty itu
“dengan kehati-hatian sebagaimana orang biasa yang hati-hati di posisi
yang sama akan menerapkan dalam keadaan
yang sama”. Artinya, direksi melakukan kontrol terhadap perusahaan dengan
mene-rapkan kehati-hatian yang digunakan oleh orang biasa dalam melaksanakan
tindakannya sendiri.[42][******************************] Hal itu dapat
pula berarti bahwa direksi bertindak secara proaktif dalam membuat
pertim-bangan atau keputusan, atau dengan keputusan yang disadari untuk tidak
melakukan tindakan apa pun, sehingga jelas bertentangan dengan kelalaian murni.[43][††††††††††††††††††††††††††††††] Hal ini sangat
berbeda dengan ketentuan UU PT di Indonesia, karena tidak menjelaskan secara
terperinci mengenai standar kehati-hatian yang perlu diper-hatikan direksi.
Masalah ini akan saya ulas pada bab kelima.
Kewajiban direksi dalam konteks standard of care meliputi pengawasan, tugas bertanya, tugas
mengambil keputusan yang wajar, prudent
mengenai hal-hal ketika direksi wajib memilih untuk bertindak, dan tugas
menggunakan proses pengambilan keputusan yang wajar.[44][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Dengan begitu,
seseorang harus memilih berbagai alternatif dari proses pengambilan keputusan
yang terbaik bagi dirinya. Dalam konteks hukum korporasi, alternatif yang
terbaik dipilih, jika menghasilkan manfaat yang terbesar bagi perusahaan, atau
dalam rangka memaksimalkan keuntungan bagi perusahaan.
Jika proses pengambilan keputusan itu sehat, pengadilan
akan memeriksa keputusan bisnis dalam rangka melakukan verifikasi hubungan
antara proses dan hasil keputusan. Pengadilan melihat apakah keputusan bersifat
rasional sebagai hasil dari proses peng-ambilan keputusan yang dilakukan, atau
apakah ada hubungan yang rasional antara proses pengambilan keputusan dengan
keputusan yang dibuat. Jadi, pengadilan tidak mengkaji substansi keputusan.
Namun, jika prosesnya tidak baik atau cacat, terlepas dari kualitas keputusan
yang dibuat, sehingga direksi dapat dinyatakan bertanggung jawab atas kerugian
yang ditimbulkan sebagai akibat yang berdekatan dengan tindakan yang tidak hati-hati itu.[45][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Kewajiban untuk bertindak dengan hati-hati (duty of care) menuntut direksi untuk membuat keputusan bisnis, dengan
mempertimbangkan informasi materiil yang tersedia secara wajar. Menggunakan
informasi yang cukup dalam pertimbangan
untuk membuat sebuah keputusan merupakan usaha iktikad baik yang diperlukan dalam
melakukan duty of care.[46][*] Dalam hal ini,
Douglas M. Branson berpendapat, bahwa direksi bertanggung jawab untuk
mempertimbangkan seluruh fakta materiil yang secara wajar tersedia, bukan
infomasi yang imateriil yang di luar jangkauan. Beliau mengatakan bahwa
ketersediaan informasi secara wajar itu tidak dapat bersifat subjektif secara
keseluruhan, tetapi juga bersifat objektif.[47][†]
Mengenai informasi materiil yang digunakan, ukurannya
adalah bersifat subjektif, sejauh direksi dalam mengambil keputusan yakin bahwa
mereka memiliki informasi yang cukup, yang bergantung kepada sifat dan
kompleksitas keputusan yang dibuat. Dari segi objektif, direksi perlu
mengetahui alasan untuk melakukan
sebuah transaksi bisnis, dampak dari transaksi itu terhadap para
pemangku kepentingan, pandangan manajemen terhadap harga dan faktor-faktor yang
dapat memengaruhi harga, dan kewajaran dari transaksi itu.[48][‡]
Dalam hal pengambilan keputusan, duty of loyalty menuntut direksi untuk membuat keputusan atau bertindak
demi kepen-tingan pemegang saham, atau kepentingan konstituen, bukan untuk diri
pribadinya.[49][§] Contoh self dealing adalah menyangkut direksi
muncul di dua sisi dari suatu transaksi atau menerima keuntungan pribadi dari
sebuah transaksi yang tidak diterima
oleh pemegang saham korporasi.[50][**]
Secara tradisional, unsur duty of loyalty adalah tidak adanya benturan kepentingan dalam
bentuk manfaat keuangan. Jika benturan kepentingan ini terjadi, yang digugat
harus membuktikan bahwa transaksi yang dilakukannya itu bernilai jujur dan
wajar.[51][††] Pelanggaran duty of loyalty bukan dilihat dari
prosesnya, tetapi dari hasilnya.[52][‡‡] Oleh karena
itu, esensi yang utama dari duty of loyalty adalah kesetiaan terhadap
perseroan, dengan ukuran meletakkan kepentingan perusahaan di atas kepentingan
pribadi.[53][§§]
6. Ukuran Iktikad Baik
Meredith M. Brown dan William D. Regner, menyimpulkan
bahwa direksi menghadapi risiko yang lebih besar untuk bertang-gung jawab
secara pribadi, ketika tindakannya tidak mengandung iktikad baik atau
menyangkut tingkah laku yang salah dan disengaja. Untuk itu, mereka berpendapat
bahwa diperlukan sejumlah tindakan untuk menunjukkan adanya iktikad baik dan
pengambilan keputusan yang berdasarkan informasi yang cukup, atau proses pengambilan
keputusan yang lebih baik, yang antara lain adalah sebagai berikut:[54][***]
Pertama, direksi harus memusatkan perhatian dan
memutus-kan hal-hal yang penting. Pengadilan tidak akan mempertanyakan
pertimbangan bisnis direksi lebih mendetail, sejauh direksi telah mengkaji
pertanyaan itu dan menggunakan pertimbangan bisnis tersebut ketika membuat
keputusan. Seperti halnya dalam Perkara Disney, jika direksi menutup mata
terhadap hal yang besar dan mereka mengetahuinya, kecuali mereka bergulat
dengan masalah itu, keadaan ini tidak akan dapat membantu direksi dalam
memperoleh perlindungan BJR.
Kedua, melakukan identifikasi dan
meminimalkan timbulnya benturan kepentingan. Pengambil keputusan tidak dapat
memiliki kepentingan materiil yang dapat menimbulkan benturan kepen-tingan
dengan perusahaan. Identifikasi benturan harus dilakukan secara penuh dan
pengkajiannya harus dilakukan secara inde-penden oleh direksi.
Ketiga, mengambil keputusan berdasarkan
informasi yang tersedia. Pengadilan Delaware menjelaskan bahwa direksi harus
bertindak, setelah mempertimbangkan fakta yang materiil yang tersedia secara
wajar. Dalam perkara Disney, direksi tidak peduli untuk membaca naskah kontrak
penerimaan pegawai atau perjanjian pemutusan hubungan kerja.
Keempat, meminta pendapat ahli jika diperlukan.
Hal ini merupakan bagian dari pengambilan keputusan
berdasarkan informasi yang diperlukan. Hukum korporasi melindungi direksi
yang melakukan kewajibannya dengan iktikad baik, berdasarkan informasi yang
diberikan kepada perusahaan, oleh pihak yang dipercaya direksi, dan memiliki kompetensi
profesional yang diperlukan.
Secara
menyeluruh, uraian inti sari dari Prinsip BJR di atas dapat diungkapkan kembali
ke dalam bahasa yang sederhana, yaitu: Dalam menjalankan tugas pengambilan
keputusan, direksi wajib menjalankan niat baiknya terhadap kepentingan
perseroan dengan saksama, agar memperoleh perlindungan hukum baginya.
7. Dalam Kaitan dengan Hukum Pidana
Dalam kaitan dengan keputusan bisnis, kajian mengenai
pengenaan sanksi menurut KHUP bertitik tolak pada pengertian perbuatan melawan
hukum yang dapat dipidana. Apabila mela-kukan perbuatan
yang mengandung materieel wederrechttelijk, perlu ditentukan
apakah menggunakan fungsi positif atau negatif dari materieel wederrechttelijk.
Indriyanto Seno Adji menyarankan agar fungsi positif materieel wederrechttelijkheid dipertimbangkan
untuk diterapkan secara kondisional, situasional, dan kasuistis, pada tipologi
kejahatan-kejahatan yang tidak terdeteksi dan terantisipasi oleh aturan perundang-undangan
ataupun hukum, seperti kasus korupsi. Ajaran fungsi positif ini telah
diterapkan pada: pertama, kasus Logika Sanggraha di Bali, melalui Pasal 5 Ayat 3
UU Darurat No. 1/DRT/1951; kedua,
dalam Putusan Mahkamah Agung RI No.
275K/Pid/1983, 29 Desember 1983 sehubungan dengan perkara drs. R. S.
Natalegawa.[55][†††]
q
[1][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 404.
[4][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Pengertian yang berbeda terhadap keuangan negara adalah
disebabkan karena Pasal 2 huruf g UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
yang me-nyebutkan bahwa “Keuangan Negara yang dimaksud dalam
Pasal 1 angka 1, meliputi (g) kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau
oleh atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta
hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara/ perusahaan daerah”. Pasal ini menentukan bahwa,
walaupun kekayaan yang telah dipisahkan, masih tetap dianggap sebagai kekayaan
negara atau daerah.
[5][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Man S.
Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2010,
hlm. 17.
[6][*********************] Stephen M. Bainbridge, “Much Ado
about Little? Directors’ Fiduciary Duties in the Vicinity of Insolvency”,
Social Science Research Network,
[7][†††††††††††††††††††††] Nadelle Grossman, “Director
Compliance with Elusive Fiduciary Duties in a Climate of Corporate Governance
Reform”, Fordham Journal of Corporate
& Financial Law, [2007].
[8][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Stephen M. Bainbridge,
“The Importance of an ‘Esoteric’ Rule”,
[03/02/2006].
[10][**********************] Stephen M. Bainbridge, The Business Judgment Rule as Abstention
Doctrine, op. cit., hlm. 13.
[11][††††††††††††††††††††††] Melvin A. Eisenberg, “Whether The Business Judgment Rule should
be Codified”, <http://www.clrc.ca.gov/pub/BKST-EisenbergBJR.pdf> [05/1995].
[12][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Lyman Johnson, “The Modest Business Judgment Rule“, The Business Lawyer, 55,2; [Feb 2000], hlm. 625.
[16][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Fred W. Triem, “Judicial
Schizoprenia in Corporate Law: Confusing The Standard of Care With The Business
Judgment Rule”, hlm. 27,
[19][††††††††††††††††††††††††] Zeeshan Ashraf, “The Position of the
Business Judgment Rule in Different Cor-porate Cultures and Structures: a Study
and Analysis”,
[26][**************************] Melvin A. Eisenberg,”Whether
the Business-Judgement Rule Should be Codified”,
[May 1995], hlm.
39.
[32][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Stephen M. Bainbridge, “Substantive Due Care
and Business Judgment Rule in Corporate Fiduciary Duty Law”,
Judgment+Rule,htm>
[30/06/1996].
[38][*****************************] Robert Sprague, “Directors
Behaving Badly: 21st Century Corporate Governance Standards”, <http://www.alsb.org/Proceedings%20Files/2007/Sprague.pdf>
[2007].
[39][†††††††††††††††††††††††††††††] The Business Judgment Rule amid
the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp> [Tidak
bertanggal].
[40][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Nadelle Grossman, op. cit., “Director Compliance with
Elusive Fiduciary Duties in a Climate
of Corporate Governance Reform”, Fordham
Journal of Corporate & Financial Law,
[2007].
[42][******************************] Sean J. Griffith, “Good Faith
Business Judgment: A Theory of Rhetoric in Corporate Law Jurisprudence”,
[48][‡] Annette Greenhow, “The Statutory Business
Judgment Rule: Putting the Wind into Director’s Sails”, Bond Law Review Volume 11, Issues 1, Article 4, [1999].
[49][§] James E. Smith, “Risk Sharing, Fiduciary
Duty, and Corporate Risk Attitudes”, Decision
Analysis, Vol. 1, No. 2, pp 114-127, <@2004 INFORMS> [06/2004].
[51][††] Andrew S. Gold, “A Decision Theory Approach
to the Business Judgment Rule: Reflection on Disney, Good Faith, and Judicial
Uncertainty”, Social Science Research Network, Maryland Law Review Vol. 66, p 398, 2007,
[54][***] Meredith M. Brown dan William D. Regner,
“What’s Happening to the Business Judgment Rule?”, Insights: the Corporate & Securities Law Advisor, Englewood
Cliffs, August 2003, Vol. 17, iss. 8, pg. 2.
<///C:/Documents%20and%20Settings/Administrator/Desktop/p…>
[07/11/2007].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar