BAB 4
Pemeriksaan Pengadilan
di Amerika dan Jepang
4
A
|
merika dan Jepang merupakan dua negara yang layak
dijadikan bahan perbandingan. Uniknya, Jepang baru menerapkan hukum korporasi
berkait dengan prinsip BJR lebih serius dan teperinci setelah negara itu
dilanda krisis ekonomi pada tahun 1995.
D. RAGAM KASUS DI NEGARA PAMAN SAM
1. Perkara
Non-Kredit
Penulis akan mengemukakan sejumlah perkara yang berkait
dengan penerapan BJR di pengadilan Delaware, Amerika Serikat. Meski terbilang ringkas,
tetapi pembahasan setiap perkara semoga dapat menunjukkan unsur-unsur yang
digunakan, sehingga dapat dilihat apakah unsur-unsur tersebut merupakan faktor
yang men-dukung pemberian perlindungan BJR kepada direksi.
a. Shlensky vs. Wrigley
Pada 1888, pengadilan Tinggi New York mengeluarkan
per-nyataan yang juga menjelaskan prinsip BJR klasik dengan lebih jelas.
Sebagai doktrin abstensi, pengadilan tidak akan mencampuri urusan direksi,
kecuali jika direksi menjalankan kewenangannya secara ilegal atau
sewenang-wenang; atau adanya tindakan yang bersifat penipuan, kolusi, dan merusak hak-hak pemegang
saham. Pertimbangan kesalahan semata tidaklah cukup.”[1][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Ketentuan BJR klasik tersebut mengandung anggapan yang
kuat terhadap tuntutan duty of care
yang harus diperiksa pengadilan. Untuk itu, penggugat harus membuktikan agar
dapat mematahkan anggapan itu, sehingga pengadilan akan memeriksa faedah
substantif keputusan direksi.
Penjelasan
mengenai prinsip BJR ini dipakai oleh hakim dalam kasus Shlensky berikut:
Wrigley merupakan pemegang saham mayoritas dan Presiden
the Chicago League Ball Club Inc. Perusahaan ini didirikan di Delaware,
dimiliki oleh Chicago Cubs dan dikelola oleh Wrigley Field. Shlensky adalah
pemegang saham minoritas di Chicago Cubs. Sepanjang 1961 hingga 1965 Cubs
merugi. Karena itu, Shlensky menuntut, berdasarkan perhitungannya, kerugian ini
disebabkan Wrigley tidak mau memasang lampu pada malam hari. Sebagai akibatnya,
tidak ada permainan yang kemudian mengakibatkan kunjungan menjadi rendah pada
malam hari.[2][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Tanggapan pengadilan sebagai berikut:[3][***************************]
“By these thoughts we do not mean to say that we have
decided that the decision of the directors was a correct one. That is beyond
our jurisdiction and ability. We are merely saying that the decision is one
properly before directors and the motives alleged in the amended complaint
showed no fraud, illegality or conflict of interest in their making of that
decision“.
(Terjemahan bebas: Dengan pemikiran
ini, kami tidak berniat mengatakan, kami memutuskan bahwa keputusan direksi
benar. Hal ini di luar yuris-diksi dan kemampuan kami. Kami hanya mengatakan,
keputusan itu wajar bagi direksi, sementara motif yang diadukan dalam gugatan
yang telah diubah karena menunjukkan tidak ada pe-nipuan, pelanggaran, atau
konflik kepentingan dalam membuat keputusan).
Lebih lanjut,
Pengadilan menyatakan pendapat:[4][†††††††††††††††††††††††††††]
“In
purely business corporation, the authority of the directors in the conduct of
the business of the corporation must be regarded as absolute when they act
within the law, and the court is without authority to substitute its judgment
for that of the directors“.
(Terjemahan bebas: Dalam korporasi
bisnis murni, kewenangan direksi dalam melakukan bisnis korporasi harus
dianggap sebagai sesuatu yang mutlak ketika mereka bertindak dalam koridor
hukum, dan pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk menggantikan pertimbangan
direksi itu).
Intinya, kewenangan direksi dalam menjalankan bisnis
per-usahaan harus dianggap absolut, sejauh dilakukan dalam koridor hukum.
Pengadilan tidak punya wewenang mengubah keputusan itu.
b. Smith vs. Van
Gorkom
Menurut Carlos Andres Laguado Giraldo dan Maria Paula
Diaz Canon, dalam perkara yang terjadi pada 1985 ini, pengadilan menggunakan
pendekatan kedua, yaitu tidak melalui tuntutan adanya penipuan, iktikad buruk,
atau self dealing, tetapi memeriksa
prosedur, apakah keputusan yang diambil sudah dilandasi oleh informasi yang
cukup.[5][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Stephen M. Bainbridge mengulas perkara ini dengan
teperinci. Pada 1980, Van Gorkom, chairman
Trans Union Corporation, melakukan negosiasi kontrak merger dengan sebuah perusahaan yang dikontrol oleh Pritzer. Direksi dan pemegang saham
menyetujui transaksi itu. Salah satu pemegang saham, Smith, menggugat direksi
Trans Union dengan menyatakan keputusan direksi menyetujui merger tersebut menyimpang dari duty of care.
Pengadilan memerhatikan proses pengambilan keputusan yang
dilakukan direksi. Dalam proses tersebut, direksi tidak melakukan upaya
penentuan besaran biaya kontrol yang dilakukan oleh Pritzer, misal seruan
melakukan penilaian harga saham; karena tanpa penilaian ini tidak ada dasar
untuk menentukan bahwa harga penjualan saham itu wajar atau tidak.
Dalam keadaan seperti itu, direksi wajib menanyakan hal
tersebut dalam rangka memenuhi duty of
inquiry, dan seharusnya menekan Van Gorkom untuk menjelaskan secara
teperinci mengenai kesepakatan kontrak itu, sehingga tidak secara buta menerima
pernyataan Van Gorkom bahwa harga penjualan saham tersebut adalah wajar. Dalam
hal ini, Van Gorkom gagal memberikan informasi yang diperlukan.
Direksi gagal
untuk menanyakan secara memadai dalam rangka memperoleh informasi kunci bahwa
transaksi itu ternyata tidak cukup menarik, setelah diteliti lebih jauh.
Mahkamah Agung Delaware menyatakan bahwa direksi hanya
hadir dalam rapat untuk melakukan voting,
tanpa menyiapkan diri melakukan
pekerjaan rumah yang diperlukan. Sebaliknya, direksi harus bertindak lebih
aktif, atau dengan diligence, untuk
membahas keputusan yang akan diambil, dan menggunakan pertimbangan yang kritis
atau tajam, apalagi keputusan itu berkaitan dengan corporate action yang besar.
Intinya, seharusnya direksi dapat menunjukkan bukti yang
tepercaya, bahwa pada saat itu mereka mengetahui apa yang mereka lakukan. Jika
hal ini dapat dibuktikan, direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya,
sekalipun jika ternyata kepu-tusannya itu salah.[6][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Peter Ling menyimpulkan, yang menjadi masalah adalah
unsur informasi yang cukup dalam mengambil keputusan. Direksi gagal memperoleh
atau tidak memiliki penilaian harga yang independen, gagal mempelajari dokumen
yang diperlukan mengenai merger yang
diusulkan, gagal menilai apakah harganya wajar atau tidak. Bahkan, presiden
direktur tidak membaca perjanjian merger
sama sekali. Dengan demikian, direksi melanggar kewajiban yang harus dilakukan,
dan pengadilan menyatakan bahwa direksi melakukan gross negligence, keputusan dilakukan dengan mata tertutup dan
mengarah ke iktikad buruk,[7][****************************]
sehingga melanggar duty of care.
Helen M. Bowers melakukan kajian keputusan pengadilan Van Gorkom di atas, dalam menentukan unsur “memiliki informasi yang cukup“
dalam kaitan dengan bentuk “the fairness
of opinion”, kejujuran pendapat. Bentuk kewajaran pendapat biasanya
diberikan dalam bentuk surat kepada direksi, yang dikeluarkan oleh pihak yang
memberikan pendapat mengenai kejujuran atau kepatutan dari persyaratan keuangan
sebuah usulan transaksi.
Pengadilan menekankan pada penilaian yang independen
terhadap usulan merger, maka muncul
anggapan bahwa adanya opini tersebut dapat memenuhi unsur “memiliki informasi
yang cukup”, sehingga dapat memperoleh perlindungan BJR. Pengadilan sendiri
menyatakan bahwa hukum tidak meminta adanya opini yang independen itu sebagai
dasar untuk memberikan perlin-dungan BJR. Namun, banyak pengamat yang menyimpulkan
bahwa hal itu perlu untuk membuktikan
bahwa direksi memiliki informasi yang cukup untuk mengambil keputusan, seperti
yang dikatakan dalam kutipan berikut:[8][††††††††††††††††††††††††††††]
“Although
van Gorkom did not create new legal requirement that boards get an external
valuation, the decision made obtainment of a fairness opinion essential to
demonstrate that a corporate board had acted in an informed manner“.
(Terjemahan bebas: Walaupun van Gorkom
tidak menciptakan ketentuan hukum yang baru bahwa direksi memerlukan penilaian
eksternal, kepu-tusan direksi memerlukan pendapat yang jujur dan esensial untuk
menunjukkan bahwa direksi korporasi telah bertindak atas informasi yang cukup).
Menurut Stephen M. Bainbridge, Pengadilan ini memusatkan
perhatiannya pada proses yang dilakukan direksi dalam membuat keputusan, yang
menunjukkan sejumlah kesalahan dan penyim-pangan prosedural. Di sini,
pengadilan menciptakan persyaratan dan due
care yang diperlukan dalam pelaksanaan prosedur, dalam rangka mempertanyakan
perlindungan BJR.[9][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
c. Cinerama
Inc. vs. Technicolor
Menurut pandangan Stephen M. Bainbridge, penanganan
perkara yang terjadi pada 1995 ini menggambarkan pergerakan penerapan BJR ke
arah yang modern, yaitu meninjau keputusan direksi secara substantif, dan
melihat ruang lingkup tanggung jawab direksi.[10][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Pemegang saham Cinerama Inc. dan Cede Co, menggugat bahwa
direksi melanggar duty of care karena
menetapkan harga saham perusahaan dengan tidak tepat dan tidak hati-hati. Hal
ini terjadi sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan tanpa informasi yang
cukup–sehingga melanggar duty of care–ketika
menyetujui perjanjian merger dengan
MAF. Chancery Court menolak tuntutan
ini dengan menyimpulkan, bahwa walaupun direksi melanggar duty of care, penggugat tidak dapat membukti-kan terjadinya
kerugian.
Namun, kemudian Mahkamah Agung Delaware memutuskan bahwa
direksi melanggar duty of care dengan
dasar yang lebih maju, yaitu seharusnya bertindak lebih aktif dalam mencari
alternatif dan mengikuti proses penjualan saham perusahaan dari awal sampai
akhir terjadinya transaksi.[11][*****************************]
Secara khusus, Mahkamah Agung menemukan sejumlah bukti
yang menunjukkan gross negligence yang
dilakukan direksi:
Pertama, direksi gagal mencari alternatif
secara prudent sebelum menyetujui
perjanjian merger;
Kedua, ketika perjanjian merger ditandatangani, direksi tidak memiliki dasar yang rasional
untuk memercayai kemungkinan adanya penawaran yang lebih kompetitif;
Ketiga, kebanyakan direksi hanya memiliki
sedikit informasi tentang merger dan
persyaratannya sebelum menyetujui;
Keempat, MAF mengunci transaksi itu melalui stock options yang diberikan oleh
perseroan dan dua pemegang saham utama;
Kelima, direksi tidak cukup memiliki informasi
sebelum menyetujui perjanjian merger.
Dalam kesimpulannya, pengadilan menyatakan, penggugat
Cinerama memenuhi bukti dalam rangka mematahkan adanya anggapan BJR, dengan
menunjukkan bahwa pihak tergugat tidak menggunakan seluruh informasi materiil
yang tersedia secara wajar sebelum menyetujui perjanjian merger.
Artinya,
pengadilan tidak menggunakan BJR sebagai doktrin abstensi, tetapi memeriksa
prosedur pengambilan keputusan secara substantif.[12][†††††††††††††††††††††††††††††]
d. Aronson
vs. Lewis
Dalam perkara yang terjadi pada 1984 ini, pada dasarnya
pengadilan Delaware menunjukkan adanya anggapan bahwa dalam membuat keputusan
bisnis direksi secara pribadi tidak tertarik pada transaksi terkait, dan
dilakukannya demi perusahaan. Untuk itu, direksi telah menggunakan informasi
yang cukup, dengan iktikad baik, sejalan dengan tujuan bisnis yang rasional,
dengan kehati-hatian, dan yakin bahwa keputusan yang diambil-nya itu terbaik
bagi kepentingan perusahaan. Anggapan ini berlaku, jika tidak terdapat bukti
adanya penipuan, iktikad buruk, atau self
dealing pada pihak direksi.[13][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Pengadilan menghargai jika keputusan itu tidak mengandung penyalahgunaan
wewenang atau diskresi.
Beban pembuktian berada pada pihak yang menolak adanya
anggapan yang berlaku dalam BJR, yaitu pihak yang menuntut direksi atau
penggugat harus mengemukakan pernyataan dengan bukti khusus yang menyebabkan
timbulnya keraguan:[14][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Pertama, bahwa direksi tertarik pada transaksi
terkait atau tindakannya itu dapat memenuhi persyaratan BJR. Terkait dengan
ketertarikan, artinya direksi tidak tampak berada dalam kedua sisi dari
transaksi, tidak mengharapkan adanya manfaat keuangan bagi pribadinya atau self dealing, yang seharusnya diserahkan
kepada perusahaan dan pemegang saham umumnya. Jika ada kepentingan direksi, dan
transaksi itu tidak disetujui olah ma-yoritas direksi yang tidak memiliki
kepentingan dalam transaksi itu, berarti BJR tidak dapat diterapkan.
Kedua, untuk mempertanyakan apakah direksi
dapat dilin-dungi oleh BJR, direksi wajib menggunakan informasi materiil yang
tersedia secara wajar sebelum mengambil keputusan bisnis. Jika telah menggunakan informasi yang
tersedia, direksi harus ber-tindak dengan kehati-hatian yang diperlukan dalam
melaksanakan tugasnya. Di sini, standar kehati-hatian yang digunakan adalah konsep
gross negligence.
e. Citigroup
Inc. Sharehoder Derivative Litigation
Akin Gump Strauss Hauer mengungkapkan perkara yang
terjadi pada Februari 2009 ini berkait dengan Krisis Hipotik Subprima (subprime mortgage) di Amerika. Berikut
ini uraian ringkasannya.[15][******************************]
Direksi Citigroup dituntut melanggar fiduciary duty karena gagal memonitor dan mengelola risiko berkait
pemberian kredit subprime mortgage. Direksi
tidak mengindahkan pemberitaan media massa yang mewartakan keadaan industri
tersebut yang sangat mengkhawatirkan, sehingga Citigroup mengalami kerugian
yang sangat besar. Penggugat menuntut tanggung jawab pribadi direksi atas
kerugian karena tidak melakukan pekerjaan penga-wasannya (duty of oversight) dengan baik.
Akin Gump Strauss Hauer menjelaskan mengenai duty of oversight dan oversight of business risk yang
diperlukan dalam mengkaji perkara Citigroup ini. Dalam Hukum Delaware,
kegagalan melakukan pengawasan merupakan pelanggaran terhadap duty of loyalty. Direksi tidak dapat
dilindungi ketentuan anggaran dasar dan membebaskan diri dari pertanggungan
pribadi karena telah melanggar duty of
care. Direksi wajib melakukan tindakan pengawasan terhadap pertanggungan
perseroan akibat kegiatan usahanya. Duty
of oversight ini didasarkan pada konsep iktikad baik yang dikandung dalam duty of loyalty, sehingga unsur iktikad
buruk merupakan syarat yang diperlukan.
Perkara Citigroup berbeda dengan Caremark–yang bakal
penulis paparkan pula. Dalam Caremark dapat dilihat bahwa:
(a) Direksi
gagal total dalam menerapkan sistim informasi, pelaporan, pengawasan, atau (b)
dengan adanya sistem yang dimaksud, direksi secara sadar gagal mengikuti atau
mengawasi kegunaannya, sehingga tidak mengunakan informasi yang ada untuk
melakukan tindakan yang diperlukan. Dengan kata lain, direksi mengetahui bahwa
mereka tidak melaksanakan kewajiban fidusianya. Intinya, ketika direksi gagal
melakukan tindakan pada saat harus bertindak, di situ direksi menunjukkan
pengabaian dalam keadaan sadar terhadap kewajibannya, sehingga melanggar duty of loyalty karena gagal
melaksanakan tanggung jawab fidusianya dengan iktikad baik.
Dalam perkara Citigroup, pengadilan Delaware menjelaskan
masalah kegagalan direksi dalam mengawasi risiko bisnis (business risk) yang berbeda dengan perkara Caremark. Dalam Caremark, direksi gagal memastikan adanya sistem pelaporan informasi yang
dapat digunakan untuk mengawasi adanya tingkah laku pegawai yang menyimpang,
pelanggaran hukum, penipuan, atau tindak pidana, sehingga direksi dapat
melakukan intervensi atau tindakan pencegahan agar perseroan terhindar dari
risiko atau kerugian.
Kegiatan usaha Citigroup adalah melakukan investasi dengan
mengambil dan mengelola risiko. Pengadilan menekankan, peng-ambilan risiko merupakan
jantung keputusan bisnis. Kenyataaan gamblang yang menunjukkan perusahaan
mengambil risiko bisnis kemudian mengalami kerugian sebagai akibatnya bukanlah
menunjukkan adanya iktikad buruk. Untuk mengenakan pertang-gungan pengawasan
direksi terhadap risiko yang besar atau berlebihan, berarti pengadilan harus
melakukan evaluasi secara nurani terhadap keputusan direksi sebagai inti dari
BJR.
Tugas pengawasan dalam Hukum Delaware tidak dirancang bagi
direksi, atau bahkan direksi ahli, untuk bertanggung jawab secara pribadi
terhadap kegagalan melakukan evaluasi risiko secara memadai, atau meramalkan
apa yang akan terjadi di masa depan.
Pengadilan menyatakan bahwa penggugat akan mengalami
keadaan yang sulit sekali untuk menyatakan atau membuktikan tuntutan terhadap
direksi secara pribadi, karena kegagalan melihat sejauh apa risiko bisnis yang
dihadapi perusahaan.
Pengadilan menolak tuntutan penggugat dan menyatakan
di-reksi tetap dilindungi oleh BJR, berdasarkan beberapa kesimpulan berikut:[16][††††††††††††††††††††††††††††††]
1) Duty
of oversight tidak dirancang untuk membuat direksi bertanggung jawab secara
pribadi karena kegagalannya me-ramalkan masa depan dan mengevaluasi risiko
bisnis secara memadai. Tuntutan pelanggaran duty
of care tidak dapat ditransformasikan menjadi tuntutan duty of oversight, karena hanya menyatakan bahwa direksi gagal
mengamati risiko bisnis secara memadai.
2) Penggugat menghadapi beban yang sangat berat
untuk mem-buktikan bahwa direksi harus bertanggung jawab secara pribadi karena
kegagalannya mengevaluasi risiko bisnis per-usahaan.
3) Untuk menyatakan tuntutan terhadap
pertangunggan penga-wasan direksi, penggugat harus mengemukakan fakta yang
pasti untuk menunjukkan bahwa direksi bertindak dengan iktikad buruk.
4) Untuk menentukan adanya iktikad buruk, harus
menunjukkan apakah direksi tahu bahwa mereka tidak melakukan kewajiban
fidusianya, atau direksi menunjukkan pengabaian secara sadar terhadap tanggung
jawabnya. Jika hanya karena kenyataan bahwa perusahaan mengambil risiko bisnis,
kemudian meng-alami kerugian, bahkan kerugian itu sangat besar sekalipun, tidak
dapat menentukan bahwa direksi beriktikad buruk.
Menurut James Bowers, apabila direksi dan manajemen telah
membentuk sistem internal kontrol yang kuat dalam rangka mengelola risiko,
sudah dapat dinyatakan bahwa mereka bertindak dengan iktikad baik.[17][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dari perkara dan keputusan pengadilan itu, disimpulkan
bahwa Citigroup mengalami kerugian yang besar sebagian diakibatkan karena
masalah subprime mortgage dalam
perekonomian Amerika.
Dapat
dimengerti bahwa para investor berusaha menemukan pihak yang bertanggung jawab
atas kerugian itu. Dalam hal ini, sulit membedakan antara menuduh seseorang dan
keinginan memaksa orang yang bertanggung jawab untuk memikulnya sebagai akibat
kesalahan mereka.
Namun, hukum yang ada menyediakan petunjuk untuk
memecahkan masalah melalui prinsip yang mengatur kewajiban direksi dalam hukum
korporasi Delaware. Hukum ini telah digunakan dan diperbaiki sejak ratusan
tahun, sehingga tidak tepat jika kehilangan pegangan semata-mata karena ingin
menuntut orang atas kerugian yang dilakukannya, dan melupakan hukum yang ada
itu yang seyogianya digunakan.[18][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Lebih lanjut, pengadilan mengatakan bahwa sejauh direksi
memiliki informasi yang mereka butuhkan manajemen untuk membuat keputusan dan
beriktikad baik, sulit bagi pengadilan untuk mempertanyakan keputusan yang
dibuat direksi, sekalipun pertimbangannya ternyata salah.[19][*]
Argumentasi yang melandasi hal tersebut adalah bahwa
direksi dan para manajer diberikan diskresi untuk memaksimalkan nilai pemegang
saham dalam jangka panjang dengan mengambil risiko tanpa harus menimbulkan
ketakutan yang akan melemahkan mereka karena akan dituntut secara pribadi,
ketika perusahaan mengalami kerugian. Artinya, sekalipun perusahaan mengalami
kerugian, pemegang saham tidak dapat menuntut direksi untuk bertanggung jawab
secara pribadi.[20][†]
Untuk menghilangkan rasa takut terhadap kemungkinan akan
dituntut secara pribadi, James Bowers berpendapat bahwa direksi harus meyakini
diri bahwa proses pegambilan keputusan tidak cacat. Untuk itu, Bowers
merekomendasikan hal berikut kepada direksi:[21][‡]
1) Bersikap aktif
atau rajin mencari informasi yang bersifat sentral terhadap pengambilan
keputusan bisnis. Jika tidak cukup me-miliki informasi yang diperlukan,
nyatakan hal itu dan lakukan langkah-langkah untuk mengatasi persoalan
kekurangan informasi tersebut.
2) Bertindak independen. Ketika sulit memahami
rencana bisnis atau manajemen belum mendapat informasi yang diperlukan, direksi
dapat memakai jasa konsultan.
3) Direksi perlu mengemukakan pertanyaan yang
tajam dengan kadar skeptisme yang sehat; bersikap agresif dan tegas dalam
menjalankan bisnis.
f. Stanziale
vs. Nachtomi
Wendell H Adair et.al.
menguraikan perkara yang terjadi pada 2001 ini secara ringkas sebagai berikut:[22][§]
Tower Air yang didirikan pada 1982 di Delaware merupakan
perusahaan penerbangan yang menyewakan pesawat. Pada perte-ngahan 1990, Tower
Air mengalami kerugian dan kesulitan keuangan, sehingga pada tahun 2000 dipaksa
mendaftarkan perlindungan kepailitan berdasarkan Chapter 11 Bankruptcy
Code.
Charles Stanziale sebagai trustee Chapter 11 dan 7 dari Tower Air, Inc. menggugat direksi
Tower Air dengan 7 tuntutan. Charles
Stanziale menganggap direksi Tower Air melanggar fiduciary duty, dan melakukan
gross negligence, dan corporate waste
yang mengakibatkan likuidasi perusahaan. Nama yang digugat adalah Morris
Nactomi, pendiri dan chairman, CEO, direktur dan presiden Tower Air dalam tahun
1980-2001. Morris Nachtomi memiliki mayoritas saham dan memegang kendali
manajemen dan operasi perusahaan.
Tahun 1996, Tower Air mengalami kerugian US $20 juta.
Maskapai penerbangan ini menambah rute baru ke Santo Domingo, Republik
Dominika, yang tidak pernah menguntungkan. Menurut Charles Stanziale,
penambahan rute ini untuk memenuhi permintaan anak perempuan Morris Nachtomi
dengan memotong harga tiket, sehingga setiap penerbangan mengalami kerugian
walaupun penumpangnya penuh.
Di samping itu, kantor cabang di Tel Aviv dijalankan
tanpa pengawasan, sehingga memiliki utang yang besar sebelum terpaksa ditutup.
Tower Air pun melakukan kanibalisasi pesawat yang rusak guna mengambil
sukucadang yang diperlukan untuk pesawat lain. Dan, meminjam jutaan dolar untuk
membeli mesin baru–yang seharusnya
diperbaiki–tanpa perhitungan yang bijaksana.
Charles Stanziale menyatakan, direksi dan pejabat Tower Air melanggar fiduciary duty dan to act in good faith karena telah melakukan sejumlah kesalahan
manajemen, terutama: direksi tidak pernah mempertimbangkan melakukan reparasi
mesin yang lebih tua, tetapi memutuskan menggunakan pembiayaan leasing untuk membeli mesin baru yang
bernilai jutaan dolar. Trustee
menyatakan hal ini merupakan “gross
negligence“ dan “corporate waste“.
Pada tahun 2004, pengadilan Delaware menolak semua
tuntutan Charles Stanziale dengan dasar tuntutan itu tidak cukup mengalahkan
anggapan yang berlaku bagi BJR, yaitu: keputusan bisnis yang dilakukan direksi
tidak mengandung kepentingan pribadi (self
interest), didasarkan informasi yang cukup (act on informed basis),
dengan iktikad baik, dan percaya dengan kejujuran bahwa tindakan mereka sepenuhnya
demi kepentingan korporasi.
Pengadilan menyatakan, jika unsur kepentingan pribadi
tidak dapat dibuktikan, penggugat harus membuktikan bahwa kepu-tusan bisnis
yang diperkarakan bukanlah produk dari pertim-bangan bisnis yang valid. Karena
itu, Hakim Jordan membebaskan tuduhan tersebut secara menyeluruh.[23][**]
Perkara ini menyangkut tuntutan derivative para pemegang saham terhadap direksi American Express
Co. karena telah menyetujui pemberian dividen dalam bentuk saham di perusahaan
lain, Donaldson, Lufken & Janrette (DJL). Saham ini dibeli beberapa tahun
sebelumnya dan nilainya telah merosot tajam.
Penggugat menyatakan, saham tersebut seharusnya telah
di-jual walaupun menimbulkan kerugian, dan tidak dibagikan kepada pemegang
saham American Express Co. Jika dijual, perusahaan mengalami kerugian US $25
juta. Di lain pihak, dapat memberikan pengurangan pajak US $8 juta dalam bentuk
tax saving.
Dalam keputusannya, pengadilan menyatakan, ditinjau dari
BJR tindakan direksi dapat diterima. Walaupun perusahaan mengalami kerugian
jutaan dolar, tetapi dapat memperbaiki pen-dapatan dalam laporan keuangan,
sehingga dapat memper-tahankan harga saham dalam perdagangan. Tindakan direksi
itu dapat dikatakan dilakukan untuk memajukan kepentingan per-usahaan.[25][‡‡]
Stephen M. Bainbridge berpendapat, keputusan pengadilan
ini menunjukkan penerapan BJR sebagai doktrin abstensi yang lebih kuat
dibandingkan dalam perkara Shlensky.
Walaupun terlihat jelas bahwa keputusan itu salah, pengadilan tidak menggunakan
BJR sebagai standar pertanggungjawaban (standard
of liability).
Namun, pendekatan dengan doktrin abstensi ini harus
memenuhi prasyarat tertentu, yaitu: pertama, keputusan direksi dibuat secara
sadar yang artinya tidak menghalangi pengadilan untuk memeriksa pengawasan yang
wajar dari manajemen perusahaan; kedua, direksi memiliki iktikad baik
dan tidak tertarik pada manfaat dari transaksi yang dilakukan; bahkan, berbagai
pengadilan tidak melindungi keputusan yang tidak masuk diakal. Jika prasyarat
ini terpenuhi, pengadilan tidak akan memeriksa substansi keputusan direksi.[26][§§]
h. Litwin
vs. Guaranty Trust Company
Dalam perkara ini, pengadilan menyatakan, direksi
Guaranty Trust Company harus bertanggung jawab atas pembelian debentures senilai US $3 juta.
Masalahnya tidak saja karena nilai debentures
turun sehingga perusahaan merugi, tetapi dalam kontrak pembelian direksi
memberikan opsi kepada penjual untuk membeli kembali debenture itu dengan harga yang sama dalam waktu 6 bulan. Artinya,
perusahaan tidak dapat memperoleh atau kemungkinan untuk memperoleh keuntungan
(capital gain) ketika harga naik; dan
ketika harga turun, perusahaan akan mengalami kerugian.
Keputusan perusahaan menutup kontrak seperti itu menempat-kan perusahaan dalam keadaan yang selalu tidak
menguntungkan. Pengadilan menyatakan, direksi melanggar duty of care karena melakukan lebih dari sekadar kelalaian atau negligence.[27][***]
i. Gottfried vs.
Gottfried
Dalam perkara ini, para pemegang saham menuntut direksi
karena menolak untuk membayar dividen. Gottfried
Baking Corporation adalah perusahaan tertutup. Pemegang sahamnya adalah
anak-anak dan istri pendiri perusahaan. Selama masa depresi besar, perusahan tidak
dapat membayar dividen. Akan tetapi, setelah Perang Dunia II berakhir, prospek
perusahaan membaik.
Para pemegang saham minoritas menuntut direksi untuk
mem-bayar dividen, dan menuduh direksi menolak untuk membayarnya. Tujuannya, menekan mereka untuk menjual
saham yang di-milikinya. Pengadilan memutuskan untuk membebaskan direksi karena
tidak cukup bukti adanya iktikad buruk pihak direksi.[28][†††]
Pemegang saham minoritas ARCO Chemical Company (ACC)
menuntut direktur Chemical karena
mendelegasikan negosiasi penjualan saham ACC kepada pemegang saham mayoritas,
yaitu ARCO. Dalam hal ini, direktur Chemical
tidak melindungi kepen-tingan pemegang saham minoritas. Mahkamah Agung Delaware
menyatakan, pengadilan yang lebih rendah tidak tepat menolak perkara ini.
Karena jika benar penggugat McMullin
memiliki fakta sebagai bahan gugatan, hal itu akan dapat digunakan untuk
membantah anggapan yang berlaku pada BJR.
McMullin menyatakan,
direksi ACC gagal melakukan due care dengan
membiarkan ARCO melakukan negosiasi tanpa ada pengaman prosedural yang
melindungi kepentingan pemegang saham minoritas, dan ARCO menentukan penawaran
dengan syarat pembayaran sendiri. Dalam membahas usulan penjualan, direksi ACC
hanya bertemu sekali, dan langsung menyetujui transaksi itu berdasarkan
presentasi penasihat keuangan ARCO. Dalam kaitan ini, McMullin menuduh
direktur Chemical tidak melakukan pertimbangan yang diperlukan dan langsung
menye-tujui (rubber stamped), sehingga pemegang saham minoritas
mengalami kerugian.
Mahkamah Agung menerima gugatan itu. MA mengangap, dengan
menyetujui merger tersebut tanpa
informasi yang cukup untuk menyetujuinya, berarti direktur Chemical melanggar duty of care. Direktur Chemical pun
tidak menentukan apakah pertim-bangan merger
itu sama atau melebihi nilai appraisal ACC
sebagai going concern.
Dari segi duty of
loyalty, anggapan BJR dalam perkara ini ditolak, karena ada pengaruh yang
tidak patut pada diri direksi, sehingga melakukan kompromi terhadap
kemampuannya dalam mengevaluasi penjualan saham secara independen. Pengadilan
yang lebih tinggi menyatakan, direksi ACC memiliki duty of loyalty yang tidak dapat dikompromikan terhadap pemegang
saham minoritas. Dalam konteks induk dan anak perusahaan, seharusnya tidak ada
delusi dalam kewajibannya sebagai wakil dari ARCO dan sebagai direksi ACC.
Pemegang saham penggugat menuduh bahwa enam direksi ACC diangkat oleh ARCO dan
dua berasal dari ARCO, dan tidak seorang pun yang tidak menyetujui penjualan
saham itu.
Di samping itu, pengadilan menyatakan bahwa due care, duty of loyalty, dan iktikad
baik mewajibkan direksi ACC untuk membuka seluruh informasi yang material yang
berkait dengan penjualan saham itu kepada seluruh pemegang saham. Namun,
komunikasi yang penting ini tidak diketemukan oleh pengadilan.
k. Walt Disney
Derivative Litigation, Brehm vs. Eisner
Robert Sprague membahas perkara 2003 ini dari segi BJR
dan pemborosan korporasi (corporate waste):[30][§§§]
Mahkamah Agung Delaware mencatat bahwa anggaran dasar perusahaan
menyerahkan tanggung jawab kepada direksi untuk menyeleksi dan menerima para
manajer, menugaskan Komite Kompensasi untuk menentukan dan menyetujui gaji,
serta kom-pensasi lainnya termasuk stock
option kepada CEO dan presiden. Sesuai ketentuan ini, direksi menyeleksi
dan menerima Michael Ovits (“Ovits“) sebagai presiden. Komite Kompensasi, pada
Agustus 1995, menyetujui perjanjian kerja dengan Ovits – yang juga berisi
syarat-syarat yang dikenakan bagi Ovits – termasuk kompensasi yang diberikan padanya.
Salah satu pemegang saham Walt Disney menggugat direksi
karena Komite Kompensasi dianggap gagal memenuhi kewajiban kehati-hatiannya
dalam menyetujui perjanjian kerja dengan Ovits. Ketika diberhentikan bekerja
pada Januari 1997, dan baru bekerja selama 16 bulan dengan kinerja yang kurang
baik, Ovits diberikan kompensasi besar berjumlah US $130 juta. Komite
Kompensasi digugat karena menyetujui pembayaran pesangon itu untuk Ovits, dan
gagal memperoleh informasi berapa banyak yang seharusnya dibayarkan kepada
Ovits, sehingga dianggap melanggar fiduciary
duty dan melakukan corporate waste.
Mahkamah Agung Delaware sependapat dengan pengadilan di
bawahnya, Court of Chancery, bahwa
Komite Kompensasi gagal mempertimbangkan dan menyetujui perjanjian kerja dengan
Ovits dengan mengikuti best practices
atau praktik terbaik yang berlaku, tetapi keputusan itu telah dibuatnya dengan
informasi yang cukup dan perlu diketahui. Walaupun uang pesangon yang
dibayarkan itu begitu besar, tetapi jika penggugat tidak dapat mengemukakan
fakta yang khusus, yang dapat mengalahkan anggapan yang ber-laku pada BJR,
keputusan direksi itu tidak dapat diganggu gugat. Fakta-fakta khusus yang
dimaksud adalah, misalnya, direksi melakukan tindakan koruptif, atau membuat
keputusan itu secara tidak jujur dan tidak independen, dan bukan untuk
kepentingan perusahaan yang terbaik.[31][****]
Terkait pengertian iktikad baik, untuk melindungi
kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya, perbuatan fidusia yang tidak
menyangkut masalah loyalitas tetapi secara kualitatif lebih jahat daripada
kecerobohan yang berlebihan (gross
negligence), seharusnya
dikeluarkan dari perlindungan hukum. Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung Delaware
sependapat dengan Court of Chancery,
bahwa keadaan tidak bertindak dan netral yang disengaja di hadapan kewajiban
hukum untuk bertindak adalah tindakan yang jelas merupakan ketaksetiaan
terhadap korporasi. Hal itu merupakan lambang tindakan ketaksetiaan.
Mahkamah Agung Delaware menyimpulkan, Court of Chancery telah menetapkan
secara tepat. Keputusan pihak Walt Disney yang digugat karena menyetujui
pembayaran pesangon Ovits, untuk menerima Ovits sebagai presiden dan
memberhentikan dia dengan kompensasi yang telah disepakati, dilindungi oleh
BJR. Keputusan itu tidak melanggar fiduciary
duty.
Pengadilan juga mempertimbangkan masalah keputusan
di-reksi yang memberhentikan Ovits tanpa kesalahan yang berarti, kecuali karena
kinerjanya yang kurang baik. Pengadilan menyadari hal ini cukup sulit, karena
jika Ovits diteruskan sebagai presiden, tindakan ini bukan merupakan pilihan
yang memuaskan. Namun, apabila diberhentikan karena alasan tertentu, direksi
harus menemukan alasan, seperti melakukan tindakan kecerobohon (gross negligence) atau perbuatan jahat, dan kedua hal ini tidak dapat diketemukan
dalam perkara ini.[32][††††]
Penggugat lebih lanjut menyatakan, bahwa walaupun
dilin-dungi oleh BJR, pembayaran pesangon yang besar itu merupakan pemborosan (corporate waste). Tuntutan melalui pemborosan ini berakar pada doktrin yang
menunjukkan, bahwa jika penggugat gagal mengalahkan adanya anggapan BJR, tidak
berhak atas ganti kerugian, kecuali jika merupakan pemborosan.[33][‡‡‡‡]
Dalam hal ini, pengadilan mengutip keputusan kanselir Allen dalam perkara Vogelstein berikut:[34][§§§§]
“The judicial
standard for determination of corporate waste is well developed. Roughly, a
waste entails an exchange of corporate assets for consideration so
disproportionately small as to lie beyond the range at which any reasonable
person might be willing to trade. Most often the claim is associated with a
transfer of corporate assets that serves no corporate purpose; or for which no
consideration at all is received. Such transfer is in effect is a gift. If,
however, there is a substantial consideration received by the corporation, and
if there is good faith judgment that in the circumstances the transaction is
worthwile, there should be no finding of waste, even if the fact finder would
conclude ex post that the transaction was unreasonably risky. Any other rule
would deter corporate board from the optimal rational acceptance of risk, for
reasons explained elsewhere. Courts are ill fitted to attempt to weigh the
„adequacy“ of consideration under the waste standard or, ex post, to judge
appropriate degree of business risk”.
(Terjemahan bebas: Standar hukum untuk
menentukan pemborosan korporasi telah berkembang. Secara umum, dapat dikatakan
bahwa sebuah pemborosan menghasilkan pertukaran yang menyangkut aset perusahaan
berdasarkan pertimbangan yang begitu kecil, tidak proporsional, dan berada di
luar batas yang wajar, yang dapat diterima bagi orang umumnya, ketika ingin
melakukan per-tukaran. Gugatannya sering berkaitan dengan pemindahan harta
perusahaan yang tidak berhubungan dengan tujuan korporasi atau tidak ada
pertimbangan yang menyangkut kepentingan perusahaan. Secara esensiel, pemindahan aset seperti itu meru-pakan
pemberian. Akan tetapi, jika kepentingan perusahaan dipertimbangan secara
substansial dan ada iktikad baik bahwa kondisi transaksi itu dapat dipertimbangkan, seyogianya tidak dapat diketemukan
pemborosan sekalipun jika orang yang menemukan fakta menyimpulkan setelah
kejadian, bahwa transaksi itu sangat berisiko. Setiap ketentuan yang lain akan
menghalangi direksi untuk menerima risiko rasional yang optimal atas alasan
yang dijelaskan di tempat lain. Pengadilan tidak cocok untuk berusaha menimbang
mengenai kecukupan pertim-bangan berdasarkan standar pemborosan atau setelah
kejadian mempertimbangkan tingkat risiko bisnis).
Berdasarkan pendapat tersebut, penggugat mesti
membukti-kan bahwa transaksi yang menimbulkan pemborosan itu bersifat sangat
sepihak, sehingga tidak ada pengusaha biasa dengan pertimbangan yang sehat
menyimpulkan bahwa kepentingan perusahaan telah diperhitungkan secara memadai. Gugatan
pemborosan timbul dari keadaan yang langka dan ketakpatutan; direksi
memboroskan dan membagikan aset perusahaan secara tidak masuk akal. Mahkamah
menolak tuntutan tersebut, dengan pertimbangan bahwa pembayaran pesangon yang
diributkan itu memiliki dasar bisnis yang rasional, yaitu jumlah tersebut yang
membuat Ovits menerima tawaran kerja di Walt Disney; dan tanpa itu, akan
menimbulkan biaya yang besar baginya untuk mening-galkan pekerjaan yang lama.
Robert Sprague menyimpulkan, sejauh direksi tidak mem-peroleh
keuntungan finansial, direksi tidak dapat dinyatakan bersalah karena perbuatan
yang buruk, kecuali perbuatan itu dilatarbelakangi niat yang jelas untuk
menimbulkan bahaya atau kerugian, atau merupakan keteledoran yang keterlaluan (gross negligence), atau menyangkut
pengabaian secara sadar terhadap tanggung jawab, tetapi di luar dari sekadar
kurangnya perhatian atau gagal menggunakan informasi dengan seluruh fakta
materiil. Menurut E. Norman Veasey, dalam hal tersebut pengadilan mem-berikan
perhatian pada proses yang digunakan direksi dalam mengambil keputusan, tetapi
tetap tidak memeriksa substansi keputusan itu sendiri.[35][*****]
Pengadilan menyatakan hal berikut:[36][†††††]
“Courts
do not measure, weigh or quantify directors judgments. We do not even decide if
they are reasonable in this context. Due care in the decision making context is
process due care only....“.
(Terjemahan bebas: Pengadilan tidak
mengukur, menimbang, atau mengantisipasi keputusan direksi. Bahkan, kami tidak
memutuskan apakah mereka itu bertindak secara wajar. Due care dalam pengambilan keputusan adalah kehati-hatian yang
sepatutnya hanya dalam proses).
Dengan itu, pengadilan tidak mengukur atau menilai pertim-bangan
direksi, bahkan tidak memastikan bahwa keputusan itu wajar atau tidak. Due care dalam konteks pengambilan
keputusan hanya due care dalam
prosesnya saja. Jadi, keputusan direksi akan dihormati oleh pengadilan, kecuali
jika direksi tertarik pada transaksi terkait: tidak independen terhadap
keputusan, tidak beriktikad baik, bertindak dengan cara yang tidak mendukung
tujuan bisnis yang rasional, atau membuat keputusan dengan proses yang
merupakan gross negligence, termasuk
gagal menggunakan seluruh informasi materiil yang tersedia secara wajar.[37][‡‡‡‡‡]
Dalam perkara ini, pengadilan kembali menggunakan
for-mulasi tradisional BJR yang dimulai dengan adanya anggapan BJR, bahwa dalam
mengambil keputusan bisnis, direksi telah bertindak berdasarkan informasi yang
cukup, dengan iktikad baik, dan keyakinan yang jujur bahwa tindakan itu
dilakukan demi kepentingan yang terbaik bagi perusahaan.[38][§§§§§]
l. Stroud
vs. Grace
Hukum Delaware membebankan untuk mengungkapkan se-luruh fakta
materiil secara jujur dan utuh yang ada di bawah kontrolnya. Fiduciary duty akan menentukan secara
signifikan suara atau keputusan pemegang saham (duty of candor). Dalam perkara yang terjadi pada 1992 ini, Mahkamah
Agung menyatakan bahwa pelanggaran duty
of candor ini akan mengakibatkan penalti ekonomi yang berat bagi direksi
yang melanggarnya. Dalam case law,
hukum dan kebijakan yang ada telah berkembang menjadi ketentuan yang
mengabulkan ganti kerugian bagi direksi yang melanggar fiduciary duty of disclosure.[39][******]
m. Alaska
Plastics
Dalam perkara ini, pemilik saham menuntut direksi karena
menganggap mereka lalai dalam mengasuransikan pabrik yang ada di Fairbanks,
Alaska, dan mereka menyimpan jumlah uang tunai yang besar dalam rekening tanpa
bunga di bank, serta menyatakan bahwa direksi telah melanggar duty of care. Pengadilan menolak argumen
ini dengan menyatakan: bahwa direksi memiliki diskresi mengenai asuransi dan
praktik perbankan, dan pengadilan seyogianya menghormati diskresi itu, karena para
hakim bukan merupakan ahli bisnis.[40][††††††]
2. Perkara
Kredit Macet/Kasus Perbankan
BJR diterapkan pertama kali dalam perkara yang berkait
dengan bank di Amerika oleh Mahkamah Agung Louisiana, pada tahun 1829. Mulanya,
standar duty of care yang diterapkan
pada direksi bank sama seperti pada direksi perusahaan lain, setara dengan
tingkat kehati-hatian yang diterapkan oleh orang biasa, ketika yang
bersangkutan mengelola bisnismya sendiri. Direksi bank hanya digugat ketika
melakukan gross negligence.
Dalam perkara Percy
vs. Millaudon, pemegang saham The Planters Bank menuntut tiga
direkturnya atas kerugian akibat pemberian pinjaman yang tidak wajar kepada
presiden dan kasir bank itu. Namun, pengadilan menyatakan bahwa direksi adalah
agen pemegang saham, memusatkan perhatian pada analisis tugas sebagai agen
dalam keadaaan tersebut. Pengadilan secara khusus menyatakan, direksi tidak
diharapkan menggunakan seluruh waktu dan perhatiannya kepada institusi, lain
halnya bagi mereka yang diberikan kompensasi untuk menggunakan seluruh waktunya
kepada bank.
Akhirnya, pengadilan tidak
menemukan bukti tindakan direksi atas kerugian itu dan membebaskan direksi dari
tuntutan terkait.[41][‡‡‡‡‡‡]
Dalam perbankan modern, pemberian kredit secara tidak
wajar merupakan pelanggaran atas ketentuan “batas pemberian kredit” (legal lending limit, disingkat LLL), atau sama dengan ketentuan BMPK di Indonesia.
Sejak terjadi depresi besar tahun 1929, pengadilan mulai
memperketat standar penilaian duty of
care terhadap direksi bank. Hal ini dapat dilihat dari keputusan pengadilan
pada tahun 1938 yang mengatakan:[42][§§§§§§]
“The
directors are required... to use ordinary diligence: and by ordinary diligence
is meant, that the degree of care demanded by the circumstances... They must
keep in mind that a national bank is not a private corporation in which
stockholders alone is interested ..... [One] of its principal purposes among
others is to hold and safe the money of its depositors”.
(Terjemahan bebas: Direksi dituntut...
menggunakan kepedulian yang biasa: kepe-dulian biasa yang dimaksud adalah
tingkat kehati-hatian yang dituntut oleh keadaan yang dihadapi... Mereka harus
tetap ingat bahwa bank nasional adalah bukan korporasi swasta dan hanya
pemegang saham saja yang berkepentingan... Salah satu tujuan utamanya antara
lain adalah untuk menangani secara aman uang para deposannya).
Dengan begitu, duty
of care yang diperlukan adalah disesuai-kan dengan keadaan yang dihadapi.
Hal ini perlu diingat karena bank bukan korporasi biasa dan bukan hanya
pemegang saham saja yang berkepentingan. Salah satu tujuannya adalah untuk
menyimpan dan mengamankan uang para deposan.
Setelah Krisis
Bank Tabungan (Saving & Loan
Association) tahun 1980-an, Jon Canfield[43][*******] juga
mencatat adanya evolusi penerapan BJR ke arah yang lebih ketat dalam ruang
lingkup bank. Titik tolak evolusi ini dimulai dari formulasi yang diberikan
oleh Mahkamah Agung Amerika, dari perkara Briggs vs. Spaulding, dengan menyatakan bahwa direksi bank harus
memenuhi pengertian berikut:
“Ordinary
care and prudence in the administration of the affairs of a bank, and that this
includes something more than officiating as figure heads. [Bank directors] are
entitled under the law to commit the banking business, as defined, to their
duly-authorized officers, but this does not absolve them from the duty of
reasonable supervisions, nor ought they [ ] be permitted to be shielded from
liability because of want of knowledge of wrong doing, if that ignorance is the
result of gross inattention”.
(Terjemahan bebas: Kehati-hatian dan
kepedulian yang biasa dalam administrasi perbankan mencakup lebih dari sekadar
melembagakan figur pemimpin. Berdasarkan undang-undang, direktur bank
merupa-kan jabatan berpayung hukum untuk melaksanakan bisnis perbankan, seperti
yang didefinisikan, bagi mereka yang memang layak diberikan wewenang. Akan
tetapi, hal ini tidak berarti mereka bebas dari kewajiban pengawasan yang
wajar. Dan seharusnya mereka tidak diizinkan ditamengi dari kewajiban mengganti
kerugian karena tidak mengetahui adanya tindakan yang salah, jika ketaktahuan
itu merupakan hasil dari tidak adanya perhatian yang memadai).
Penerapan BJR yang lebih ketat dapat dilihat dari
keputusan pengadilan pada 1980-an dan awal 1990. Pengadilan mulai memeriksa
keputusan lembaga keuangan yang berkaitan dengan pemberian pinjaman, yang
sebelumnya tidak pernah dipertanya-kan, dan dapat dilihat dari perkara-perkara
berikut:[44][†††††††]
Keputusan Pengadilan Amerika dalam
Perkara
Kredit Macet Menurut Jon Canfield
No.
|
Perkara
|
Inti Keputusan Pengadilan
|
1.
|
Warren vs. Century
Bankcorporation Inc., Oklahoma (1987).
|
Direksi bank
tidak memperoleh perlin-dungan hukum karena mendirikan perusahaan pinjaman
saingan dan memperoleh fee dari
perusahaan pinjaman itu.
|
2.
|
Saving & Loan di Texas.
|
BJR
melindungi direksi yang tidak memiliki kepentingan, kecuali jika transaksi
merupakan ultra vires, atau telah
dinodai penipuan atau fraud.
|
3.
|
Hun vs. Cary
|
Direksi
dinyatakan melanggar kese-tiaan, kehati-hatian, dan diligence, karena memutuskan untuk mendirikan gedung kantor pusat
baru ketika bank dalam keadaan tidak solvable.
Keputusan
tidak ada hubungan secara rasional terhadap potensi keuntungan.
|
4.
|
Litwin vs. Allen
|
Direksi memutuskan untuk membeli
surat utang jangka panjang (deben-ture) pada tingkat bunga tetap. Alleghany Corporation menandatangani
kontrak call option untuk enam
bulan, tetapi Guaranty Trust tidak menutup-nya dengan kontrak put option untuk menjaga kemungkinan
harga akan turun dalam kurun waktu enam bulan yang sama. Akibatnya, ketika
harga turun, Alleghany tidak dapat meng-eksekusi call option tersebut, dan menyebabkan Guaranty mengalami kerugian
terhadap modalnya, tanpa dapat ditutup dari capital gain.
Direksi
bertanggung jawab dan lalai, karena gagal membeli put option yang diperlukan, sehingga BJR tidak dapat
melindunginya.
|
dilanjutkan
lanjutan . . .
5.
|
FDIC vs. Robertson
|
Direksi bank lalai karena memberikan kredit kepada bisnis baru tanpa
di-dasarkan pada jejak rekam bahwa usaha itu telah menghasilkan keun-tungan,
tidak memiliki laporan ke-uangan yang akurat, dan tidak dida-sarkan pada
rencana pembayaran kembali.
|
6.
|
FDIC vs. Stanley
|
Direksi tidak bertanggung jawab walaupun telah memberikan kredit kepada
bisnis baru tanpa adanya bukti telah menghasilkan keuntungan, sejauh pinjaman
memiliki jaminan dan kea-daan keuangan debitor menunjukkan perbaikan.
|
7.
|
FDIC vs. Wheat
|
Direksi bertanggung jawab karena lalai, melanggar kontrak, dan melanggar fiduciary duty, sehubungan dengan
memberikan pinjaman hanya atas dasar jaminan pribadi untuk pembayaran
kembali.
|
8.
|
FDIC vs. Stanley
|
Direksi bertanggung jawab karena memberikan fasilitas sewa guna dengan
jaminan di luar daerah geografis bank.
|
9.
|
RTC vs. Hess
|
Direksi tetap dilindungi dari gugatan melanggar fiduciary duty dan lalai, tidak dapat membatasi pemberian
pin-jaman ke daerah geografis tertentu.
|
10.
|
Noble vs. Baum
|
Direksi memberikan pinjaman tanpa
modal ekuitas dari debitor, tetap dilin-dungi BJR.
|
11.
|
Broderick
vs. Marcus
|
Direksi bank bertanggung jawab untuk melakukan pertimbangan yang lebih
hati-hati daripada direksi dari perusa-haan bisnis lain, karena direksi bank
harus bertanggung jawab mengawasi dana deposan agar dikelola dengan baik dan
aman.
|
12.
|
Atherton
vs. Anderson
|
Direksi harus dapat mendeteksi adanya tindakan fraud, jika mereka membaca materi yang didistribusikan dalam
rapat direksi.
|
dilanjutkan . . .
lanjutan…
13.
|
FDIC vs. Bierman, Stanley
|
Direksi harus
melakukan fungsi penga-wasan yang wajar terhadap operasi bank dan fungsi
pemberian pinjaman.
|
14.
|
Starrels vs. National Bank of Chicago
|
Direksi
berada dalam batas ketentuan BJR walaupun memberikan pinjaman dengan jaminan
yang kurang.
|
Sumber: Jon
Canfield, “The Evolution of a More Strigent Business Judgment Rule in
Banking, The Minimilization of Director Deference”,
|
Perkembangan berikutnya, pada 1993, pengadilan
memper-jelas tanggung jawab direksi bank, dalam mengontrol dan mengawasi kondisi
bisnis bank. Direksi harus memenuhi tingkat kepedulian (duty of care) yang
biasa dilakukan oleh orang yang hati-hati
(prudent) dan
kepedulian (diligent) dalam situasi yang sama. Hal itu sangat
bergantung kepada keadaaan dan ditentukan oleh keseluruhan keadaan. Pengadilan
menyatakan, direksi tidak boleh hanya bersandar pada pertimbangan bawahan
ketika ada petunjuk mengenai kesalahan manajemen dan investasi yang berisiko
tinggi. Dalam keadaan seperti itu, pengadilan mengakui perlunya peningkatan
tanggung jawab bagi direksi yang mengetahui bahwa sesuatu yang menyimpang
sedang terjadi. Jika ada kecurigaan
mengenai sesuatu yang salah terjadi, karena direksi bertanggung jawab terhadap
pihak ketiga yang berhu-bungan dengan bank, direksi harus meluangkan waktu dan
tenaga yang cukup untuk mempelajari apa yang sesungguhnya terjadi. Tanggung
jawab ini tidak dapat didelegasikan ke pihak lain.[45][‡‡‡‡‡‡‡]
B. BEBERAPA KASUS DI JEPANG
Hampir seluruh uraian mengenai BJR dan pertimbangan
pengadilan di Jepang berasal dari Mitsuru Misawa, pakar BJR terkemuka di
Jepang. Mitsuru Misawa mengungkapkan, bahwa sebelum tahun 1995, perbankan di
Jepang hampir tidak pernah mengalami kegagalan.
Akan tetapi,
ketika ekonomi balon meletus, perekonomian Jepang mengalami krisis dan banyak
bank mengalami kegagalan. Pemerintah Jepang kemudian mendirikan Resolution and Collection Corporation
(RCC), BPPN di Indonesia. Salah satu tugas RCC adalah menuntut para direksi
bank yang gagal, atas dasar pelanggaran duty
of care menurut Hukum Dagang Jepang. Dari 122 perkara, 12 perkara
menyangkut kerugian sebesar ¥2 miliar.[46][§§§§§§§]
Namun, perkembangan konsep duty of care di Jepang ter-kebelakang dibandingkan Amerika. Hukum
Dagang di Jepang diperkenalkan oleh Jerman pada 1899 saat periode Meiji,
sebagai bagian dari proses akseptasi hukum barat. Pada masa pendudukan, Hukum Dagang direformasi
dengan mengadopsi pendekatan hukum Anglo
American, hanya saja konseps duty of
care tidak tersentuh.
1. Prinsip Duty of Care
Berdasarkan uraian Mitsuru Misawa, hubungan antara
direksi dengan perusahaan adalah berdasarkan ketentuan pemberian kepercayaan (rules of entrustment)
dan diatur dalam kontrak kepercayaan (entrusting contract). Rule
of entrusment berlaku pada hubungan antara perusahaan dan direksi. Direksi
wajib melaksanakan tugas dengan kepedulian yang tepat (with proper care) sebagai pejabat bonafide. Menurut Hukum Dagang (Civil Code) Jepang, kontrak ini melahirkan duty of care sebagai manajer yang bonafide, baik untuk direksi
maupun representative director.
Menurut Civil Code Jepang, bonafide manager’s duty of care sebagai
berikut:
Merupakan kewajiban hukum bagi seorang direktur untuk
mela-kukan pekerjaan
dengan saksama demi manfaat bagi perseroan, dengan menghormati hukum dan
peraturan, anggaran dasar dan resolusi rapat pemegang saham, yang secara
keseluruhan disebut sebagai duty of
loyalty dari direksi.[47][********]
Berdasarkan definisi ini, tugas kepedulian mewajibkan direksi
melakukan kepedulian yang diperlukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
perusahaan sesuai pekerjaan direksi.
Duty of care adalah tugas
melaksanakan kepedulian terhadap perusahaan sesuai dengan pekerjaan, yaitu
melakukan pekerjaan secara tulus untuk kepentingan perusahaan, menghormati
keten-tuan dan hukum yang berlaku, anggaran dasar perusahan, dan keputusan
rapat pemegang saham. Tugas ini secara kolektif disebut duty of loyalty.
Duty of loyalty mewajibkan
direksi tidak melakukan tindakan untuk kepentingan diri sendiri atau pihak
ketiga dengan mengor-bankan manfaat bagi perusahaan. Di samping itu, direksi
wajib melakukan monitoring dan
pengawasan pelaksanaan pekerjaan direksi yang lain, disebut duty of monitoring.[48][††††††††]
Sebagai direksi, para direktur seharusnya mengerti bisnis
perusahaan dengan baik, berpartisipasi dalam pelaksanaan bisnis perusahaan yang
tepat berdasarkan bonafide manager’s duty
of care, duty of loyalty, dan duty of
monitoring.[49][‡‡‡‡‡‡‡‡]
Mitsuru Misawa berpendapat, dalam mengkaji keputusan
manajemen, teori yang dapat digunakan adalah bahwa seorang direktur tidak dapat
dituntut karena pertimbangan manajemen yang salah, kecuali jika dengan jelas
dapat dilihat bahwa keputusan itu tidak masuk akal dari kacamata kemampuan
manajerial yang umum. Teori ini disebut sebagai the judgment principle concerning the rationality of management,
yang dikem-bangkan dari
BJR Amerika.
Salah satu bentuk pelanggaran terhadap duty of care dari manajemen yang
bonafide adalah management judgment
error, yang merupakan perbuatan buruk (misconduct)
yang terjadi apabila seorang manajer menimbulkan kerugian yang besar, walaupun
tidak ada undang-undang yang dilanggar.[51][*********]
Contoh, pinjaman yang diberikan kepada perusahaan afiliasi, dan ternyata
perusahaan ini mengalami kegagalan sehingga pinjaman tidak dapat dibayar
kembali. Atau, pinjaman diberikan kepada perusa-han baru berdiri, dan karena
kerugian yang terus-menerus, akhirnya pinjaman yang diberikan tidak dapat
dikembalikan.
Apabila pinjaman yang besar diberikan tanpa uji tuntas (due dilligent) tanpa agunan sehingga terlalu riskan bagi seorang wajar atau ”reasonable person”, maka keputusan
manajemen seperti itu akan dianggap sebagai tindakan yang tidak wajar (unreasonable conduct), dan menunjukkan
kurangnya tingkat kepedulian atau ketakhati-hatian (lack of due care).
Jika keputusan manajemen didasarkan pada investigasi dan
analisis yang wajar, tidaklah beralasan dan tidak tepat untuk menilai manajemen
mengambil keputusan yang salah. Tidaklah mungkin memberikan kredit tanpa
risiko, karena manajemen selalu menghadapi ketakpastian, terutama yang berkait
dengan masa depan. Pemegang saham mempercayakan tanggung jawab manajemen kepada
kemampuan direksi sebagai pertanda mene-rima suatu tingkat ketakpastian.[52][†††††††††]
3. Perkara Kredit
Macet
a. Perkara Chunkyo Bank[53][‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Chukyo Bank memberikan pinjaman ke perusahaan A ber-jumlah
¥2,7 miliar, yang terdiri atas tiga pinjaman sejak 1988 hingga 1990. Pada 1991,
perusahaan A bangkrut. Agunan untuk pinjaman pertama berupa bangunan di
Amerika, yang tidak dipelihara dengan baik sehingga susah untuk dijual. Agunan
untuk pinjaman kedua dan ketiga adalah kupon obligasi pemerintah yang mereka terima, dan pada saat itu sudah
diketahui bahwa perusahaan A sudah berada dalam kesulitan.
Seluruh direktur bank yang hadir dalam rapat saat
menyetujui pinjaman tersebut digugat dengan dasar melanggar bonafide manager’s duty of care, karena
menerima agunan yang tidak bisa dijual dan tidak tepat karena berupa kupon
obligasi pemerintah. Direksi yang tidak hadir ketika itu juga digugat, karena
dianggap lalai tidak membentuk sistem pengawasan terhadap keputusan direksi
yang lain dan gagal mempertanyakan keputusan mereka. Tambahan pula, pinjaman
terakhir tersebut diberikan pada saat perusahaan mulai mengalami kesulitan.
Apakah direksi melanggar bonafide manager’s duty of care didasarkan pada kesalahan atau
kegagalan yang tidak dapat dimaafkan sebagai ”seorang korporat biasa” (ordinary corporate person) dalam melaksanakan tugasnya. Secara
khusus, hal ter-sebut dilihat dari proses mengumpulkan fakta, yang menjadi
dasar pengambilan keputusan, atau dalam proses pengambilan kepu-tusan itu
sendiri, sehingga keputusan manajemen melanggar ruang lingkup wewenang diskresi
yang diberikan kepada direksi.
Walaupun pinjaman menjadi macet, keputusan memberikan
pinjaman itu tidak secara otomatis menentukan adanya pelang-garan. Akan tetapi,
perihal yang harus dipertimbangkan adalah apakah direksi melakukan pelanggaran
sehingga membuat ke-salahan atau kegagalan yang tidak dapat dimaafkan sebagai
seorang ordinary corporate person.
Kesalahan tersebut dilihat dari segi persyaratan
pinjaman, isi dan rencana pembayaran, ada atau kurangnya isi agunan, keadaan
manajemen dan harta kekayaan debitor, dan berbagai situasi lainnya. Mengenai
perkara a quo, jaminan yang diterima
bukan tidak tepat, atau nilainya lebih rendah dibandingkan dengan jumlah
pinjaman yang diberikan, tetapi, hal tersebut karena situasi bisnis debitor
yang sedang berkembang, dan memerlukan tambahan utang, dengan konsekuensi
keuntungannya berkurang. Keadaan seperti itu bukan tidak biasa bagi perusahaan
yang melakukan investasi dalam mengantisipasi perkembangan bisnis di masa
depan. Penyebab utama kebangkrutan usaha debitor adalah kebijaksanaan uang
ketat pemerintah yang diberlakukan pada semester kedua tahun 1990, yang tidak
dapat diperkirakan sebelumnya oleh bank.
Walaupun diketahui bahwa jaminan yang diterima tidak
cukup, direksi membuat keputusan tersebut karena ha-hal lain, seperti: kinerja
bisnis debitor, catatan transaksi yang telah terjadi, potensi perkembangan masa
depan, dan kerja sama debitor selama bertransaksi dalam kaitan dengan obligasi
pemerintah. Karena itu, tidak mungkin dapat melihat adanya kesalahan yang tidak
dapat dimaafkan sebagai ordinary
corporate person dalam proses peng-ambilan keputusan. Dengan demikian,
tidak mungkin menemukan pelanggaran
bonafide manager’s duty of care pada anggota direksi yang hadir dalam rapat
direksi.
Akhirnya, tidak
ada direksi yang dinyatakan melanggar bonafide
manager’s duty of care.
Shinsei Bank (dahulu bernama Long Term Credit Bank)
menuntut ganti rugi sebesar ¥100 juta (US $1 juta) kepada mantan vice
president-nya karena kredit macet.
Gugatan yang diajukan adalah melanggar duty of care karena memberikan tambahan
pinjaman kepada proyek pembangunan fasilitas resort di Hatsushima, daerah administrasi Shizuoka, Jepang. Bank Shinsei menggugat mantan pejabat bank
tersebut tidak mengumpulkan informasi yang cukup dan tidak menganalisis
informasi secara cermat, dan gagal melakukan penilaian untuk mengetahui manfaat
dan kerugian, jika tambahan pinjaman diberikan.
Sesungguhnya, pada saat pinjaman yang besar itu
diberikan, sudah dapat diperhitungkan bahwa kredit tersebut tidak akan dapat
ditagih kembali. Dengan seluruh alasan ini, tindakan memberikan pinjaman
tambahan tersebut menyebabkan kerugian bagi pihak penggugat. Lebih lanjut,
penggugat menyatakan bahwa yang digugat tidak meneliti proyeksi penjualan
keanggotaan beberapa tahun ke depan, dan gagal mengumpulkan informasi untuk
mengetahui apakah penggugat akan mengalami masalah sosial atau kredibilitas
jika pinjaman tambahan tidak diberikan.
Oleh karena itu, yang bersangkutan dinyatakan bertanggung
jawab atas kelalaiannya. Walaupun tergugat menyatakan bahwa sebagai direktur
bank yang besar dapat mengambil keputusan berdasarkan laporan dan analisis yang
dibuat oleh bawahan (right of reliance), yang bersangkutan
tidak dapat bersandar pada laporan
yang dibuat oleh direktur lain atau bawahannya jika terdapat “keadaan yang memberikan
signal peringatan” (circumstances that
raise warnings), atau terdapat fakta yang tidak normal. Dengan demikian,
direktur tersebut tidak dapat dimaafkan karena tidak melakukan pengumpulan
informasi yang cukup untuk melakukan penelitian yang memadai.
Pengadilan mengetahui bahwa penggugat mengalami kerugian
¥6.1 miliar karena pinjaman macet tersebut, dan memerintahkan tergugat untuk
membayar ganti rugi ¥100 juta. Inti dari pertim-bangan pengadilan itu adalah
bahwa direksi dinyatakan gagal dalam melakukan analisis dan menilai risiko,
yang menunjukkan kemungkinan untuk memperoleh pinjaman itu kembali adalah
kecil, dibandingkan dengan kemungkinan kerugian sebagai akibat tidak
diberikannya pinjaman tambahan.
C. MENGANALISIS VONIS KEPUTUSAN BISNIS
1. Pengadilan di
Amerika
a. Perkara
Non-Kredit
Intisari seluruh pertimbangan pengadilan di Amerika yang
berkait dengan perkara nonkredit, sebagaimana telah diutarakan, adalah bahwa
perlindungan BJR tidak dapat diberikan jika tidak memiliki informasi yang cukup
untuk mengambil keputusan, sehingga melanggar duty of care, atau melakukan gross
negli-gence, yang dapat mengarah kepada iktikad buruk. Tidak memiliki
informasi yang cukup, atau melakukan
gross negligence, dilihat dari keadaan berikut:
1) Direksi hanya hadir dalam rapat untuk
melakukan voting, tanpa mempelajari
terlebih dahulu dokumen merger yang akan diputuskan. Tidak berusaha
untuk mengetahui apakah harga saham yang akan dijual itu wajar atau tidak, atau
tidak melakukan penilaian secara independen.
2) Tidak memiliki dasar yang rasional dalam
memilih alternatif, karena tidak mencari alternatif lain secara prudent, sehingga tidak mengetahui
pilihan yang diambil kompetitif atau tidak. Akibatnya merugikan pemegang saham.
3) Melakukan tindakan secara hati-hati berarti
mengunakan informasi yang secara materiil diperlukan untuk mengambil keputusan.
Jika tidak, itu artinya melakukan gross
negligence.
4) Tidak mempertimbangkan sebuah transaksi
secara lengkap karena tidak mempertimbangkan kemungkinan kerugian dan
keuntungan secara seimbang pada saat yang sama. Menutup kontrak penjualan debentures dengan opsi membeli kembali
dalam waktu tertentu dengan harga yang sama, menimbulkan kerugian ketika harga
turun; sekaligus menutup kemungkinan untuk memperoleh tambahan atas modal (capital gain) ketika harga naik.
5) Tidak mempelajari terlebih dahulu usulan
penasihat keuangan dan langsung menyetujui penjualan saham. Hal itu disebut
sebagai tindakan asal tanda tangan (rubber
stamped).
Selain itu, perlindungan BJR tidak dapat diberikan jika
me-langgar duty of loyalty, melakukan
perbuatan yang merupakan self dealing,
dan melanggar duty of candor, dilihat
dari keadaan berikut:
1) Melanggar duty
of loyalty diartikan sebagai: Adanya pengaruh yang tidak patut dalam diri
direksi, sehingga melakukan kompromi terhadap kemampuannya untuk mengevaluasi
penjualan saham secara independen. Tidak membuka seluruh informasi yang penting
yang berkaitan dengan penjualan saham kepada seluruh pemegang saham sehingga
tidak memenuhi duty of loyalty, due care,
dan iktikad baik.
2) Melakukan
perbuatan yang merupakan self dealing,
jika direksi tampak dalam dua sisi dari sebuah transaksi, atau meng-harapkan
manfaat keuangan untuk pribadi yang seharusnya merupakan hak perseroan.
3) Melanggar duty of candor, yang diartikan tidak
mengung-kapkan fakta materiil secara jujur yang ada dalam kontrol direksi dalam
proses pengambilan keputusan. Keadaan ini juga merupakan pelanggaran fiduciary duty of disclosure sebagai
dasar untuk menuntut ganti kerugian ekonomis yang berat dari direksi.
Namun, perlindungan BJR tetap diberikan, dalam hal
direksi membuat keputusan bisnis, seperti: tidak menyalakan lampu di malam hari
(perkara Shlenky vs. Wrigley),
mengambil fasilitas leasing dan tidak
mengambil alternatif untuk memperbaiki pesawat yang ada (perkara Stanziale vs. Nachtomi), membagikan
dividen dalam bentuk saham dari perusahaan lain (perkara Kamin vs. American Express Company),
tidak membayar dividen (perkara
Gottfried vs. Gottfreid), memberikan pesangon yang besar (perkara Walt Disney), dan tidak
mengasuransikan pabrik (perkara Alaska
Plastic). Perlindungan tetap diberikan sejauh direksi dalam proses
pengambilan keputusan menggunakan informasi yang cukup, dan memenuhi anggapan
BJR yang berlaku. Keputusan itu bersifat rasional dilihat dari proses
pengambilan keputusan itu sendiri. Pengadilan menolak gugatan, walaupun
keputusan itu ternyata membawa kerugian, atau direksi dipersalahkan karena
tidak mengambil alternatif lain. Hal itu bukan merupakan kesa-lahan direksi,
tetapi semata-mata sifat pengambilan keputusan yang mengandung risiko tertentu.
b. Berkait
dengan Bank dan Kredit
Penerapan BJR pada perkara yang berkaitan dengan bank
tampak lebih ketat. Sebagai latar belakangnya, bank dianggap bukan sebagai
korporasi biasa. Sebagai pengelola dana masya-rakat, bank bertindak untuk
kepentingan masyarakat luas yang dapat mempengaruhi perekonomian nasional.
Karena itu, dalam fungsi tersebut, bank dapat dikatakan mewakili pemerintah.
Dalam pertimbangannya, pengadilan mulai menyebutkan mengenai kepentingan para
deposan, dan salah satu tujuan bank yang utama adalah untuk mengamankan uang
para deposan itu. Kepentingan para deposan terhadap keamanan uang mereka yang
disimpan pada bank secara khusus ditekankan dalam perkara Broderick vs. Marcus. Direksi harus
bertanggung jawab atas pengelolaan dana tersebut secara baik dan aman.
Oleh karena itu, direksi harus bertanggung jawab atas
penga-wasan pelaksanaan pekerjaan yang berkait dengan pengelolaan dana itu, dengan
metode tertentu yang diperlukan (perkara FDIC
vs. Bierman, Stanley); dan harus dapat mendeteksi adanya penyimpangan
atau penipuan (perkara Atherton vs.
Anderson). Direksi bertanggung jawab atas pengawasan terhadap
bawahan-nya (perkara Briggs vs. Spaulding).
Pada mulanya, pertimbangan dan keputusan pengadilan sama
seperti yang dilakukan oleh pengadilan yang berkait dengan bukan bank di atas.
Direksi tidak dapat diberikan perlindungan BJR karena telah membuat perusahaan pinjaman
saingan, dan telah pula menerima kompensasi dalam bentuk fee (perkara Warren vs.
Century Bankcorporation Inc). Walapun banyak institusi S&L gagal,
direksi yang tidak dilindungi BJR memiliki kepentingan pribadi, melakukan
tindakan ultra vires, atau dengan
noda penipuan (perkara Saving &
Loan).
Dalam perkara
tersebut, jelas perlindungan BJR tidak dapat diberikan karena ada kepentingan
pribadi, di luar kewenangan direksi, dan adanya penipuan.
Dari Perkara Citicorp Inc. Shareholder Derivative Litigation, disimpulkan bahwa direksi tidak
dapat disalahkan karena meng-ambil risiko yang besar dalam kaitan dengan
kerugian yang timbul, akibat pembiayaan subprime
mortgage yang dilakukan Citicorp. Pembiayaan ini membuat industri keuangan
Amerika mengalami krisis, yang berdampak negatif terhadap keuangan dunia. Dari
segi perkreditan, masalah utama yang menyebabkan krisis ini bermula pada
pemberian kredit perumahan kepada para debitor. Mereka tidak memiliki kemampuan
keuangan yang layak diperlukan. Di
samping itu, tidak ada institusi di Amerika yang mengawasi sektor pembiayaan
perumahan, yang dilakukan oleh mortgage
companies. Penyebab ini hanya disadari oleh masyarakat luas setelah krisis
terjadi.
Dalam kaitan dengan krisis tersebut, direksi juga digugat
oleh pemegang saham karena tidak mengikuti berita di media massa mengenai
masalah pembiayaan di bawah prima ini. Namun, pengadilan mengatakan bahwa
pengambilan risiko adalah inti keputusan bisnis, dan duty of oversight tidak dirancang untuk me-ramalkan masa depan dan
mengevaluasi risiko secara memadai. Tuntutan duty of care tidak dapat ditransformasikan menjadi tuntutan duty of oversight. Direksi dapat
dikatakan memiliki iktikad baik, sejauh telah memiliki sistem kontrol internal
dalam mengelola risiko. Berbeda dengan perkara Caremark, direksi
dipersalahkan karena gagal memastikan adanya sistem pelaporan untuk mengawasi
tingkah laku pegawai yang menyimpang, sehingga direksi dapat melakukan
intervensi agar perseroan tidak mengalami kerugian.
Namun, dalam pengadilan berikut ada perbedaan, penerapan
BJR tampak lebih ketat. Pengadilan menyatakan direksi harus bertanggung jawab
karena dalam keadaan tidak solvable, direksi memutuskan untuk mendirikan
gedung kantor pusat baru, sehingga melumpuhkan bank (perkara Hun & Cary). Pengadilan
menyatakan direksi melakukan tindakan negligent,
karena tidak menutup kontrak put option
ketika menanda-tangani kontrak call
option, sehingga bank mengalami kerugian (perkara Litwin vs. Allen).
Jika dianalisis, dari dua perkara tersebut dapat
dikatakan, pertimbangan direksi tidak lengkap. Ketika mengambil keputusan,
direksi tidak mempertimbangkan keadaan (keuangan) atau kon-sekuensi yang bakal
timbul. Konsekuensi itu bukan merupakan perkiraan yang terjadi di masa depan,
tetapi dapat diperhitungkan pada saat keputusan dibuat.
Pada perkara pertama (perkara Hun & Cary), dalam keadaan tidak solvable, keputusan
mendirikan gedung baru jelas bukan keputusan yang tepat. Dalam keadaan seperti
itu, sumber dana pembangunan gedung pasti bukan dari modal sendiri; paling
tidak dari dana masyarakat yang disimpan di bank. Kalaupun dari modal para
pemegang saham, penggunaannya dapat dialokasikan untuk kegiatan yang lebih
produktif atau memperbaiki keadaan ke-uangan bank. Pendirian gedung baru tidak
secara langsung dapat memperbaiki pendapatan atau keuntungan bank, malah
mem-bebankan bank dengan pendanaan dan biaya pemeliharaan gedung yang lebih
besar, akhirnya dapat melumpuhkan bank. Dalam hal ini, mungkin ada pemikiran di
belakang pendirian gedung itu bahwa dengan adanya gedung kantor yang megah,
para deposan yakin bahwa bank itu tetap dapat dipercaya, sehingga tetap
menambah simpanannya. Namun, keadaan bank yang tidak solvable adalah
keadaan bank yang tidak mampu lagi menghasilkan pendapatan atau keuntungan
secara memadai. Keberadaan gedung baru tidak langsung dapat meningkatkan
pendapatan atau keuntungan, kecuali menimbulkan biaya yang lebih besar.
Pada perkara kedua (perkara Litwin vs. Allen),
ketika menutup call option, seharusnya
kontrak put option juga dilakukan. Jika tidak, perseroan akan mengalami short the option. Ketika harga turun,
perseroan mengalami kerugian karena tidak melakukan hedging. Di sini terlihat bahwa kemungkinan kerugian dengan jelas dapat diperhitungkan. Dalam kasus ini,
tidak komplitnya pertimbangan direksi dapat langsung merupakan kelalaian.
Tampaknya, hal ini yang membuat pengadilan menyatakan direksi bersalah, dan
perlindungan BJR tidak dapat diberikan.
Pertimbangan atau keputusan pengadilan yang berkait
dengan kegiatan pemberian kredit adalah sebagai berikut: direksi dianggap lalai
karena memberikan pinjaman kepada bisnis baru tanpa laporan keuangan dan
rencana pembayaran kembali; dengan risiko yang besar, walaupun keuntungan yang
bakal diperoleh mungkin besar (perkara FDIC
& Robertson). Namun, tidak semua pengadilan menyatakan bahwa direksi
bertanggung jawab jika memberikan pinjaman kepada bisnis baru. Faktor
penentunya adalah apakah memiliki jaminan atau tidak, dan memiliki petunjuk
keadaan keuangan debitor mengalami perbaikan (perkara FDIC vs. Stanley).
Di lain pihak, direksi dianggap lalai karena memberikan
pinjaman hanya atas jaminan pribadi (perkara FDIC vs. Wheat). Jika agunan kurang, direksi tetap diberikan
perlindungan BJR (perkara Starrels vs.
National Bank of Chicago). Direksi ber-tanggung jawab karena memberikan
pinjaman dan agunan di luar daerah geografis bank (perkara FDIC vs. Stanley).
Namun, dalam kasus lain, gugatan pelanggaran fiduciary duty dan kelalaian ditolak pengadilan, karena direksi
tidak dapat membatasi pem-berian kredit ke daerah geografis tertentu (perkara RTC vs. Hess).
Dalam kasus kredit yang pertama (perkara FDIC & Robertson), pemberian
kredit kepada bisnis baru, lazim disebut sebagai start ups, mengandung risiko yang lebih tinggi. Umumnya, pebisnis
akan memulai bisnis karena petunjuk yang ia yakini bahwa bisnis itu menjanjikan keuntungan yang
besar (perkara FDIC & Robertson).
Namun, bisnis dengan pengelolanya belum memiliki rekam jejak yang dapat
digunakan untuk menganalisis keber-hasilannya di masa depan. Karenanya lebih
sulit memperoleh keyakinan akan kemampuan dan kesanggupan untuk membayar
pinjamannya. Pemberian kredit seperti itu, jika tetap diberikan, pada akhirnya
akan bersandar lebih banyak kepada agunan.
Nilai agunan itu harus dapat diperkirakan dengan lebih pasti, terutama
ketika harus dijual ketika bisnis itu wanprestasi.
Karena bisnis masih baru, syarat pemenuhan laporan
keuangan menjadi relatif, karena pada umumnya bisnis pemula seperti itu belum
memiliki laporan keuangan. Namun, sebuah bisnis perlu memiliki rencana
keuangan, di dalamnya dapat dilihat rencana pembayaran dari pinjaman yang akan
diperoleh. Jika dalam perjalanan singkatnya, bisnis baru telah menunjukkan
bukti membuahkan keuntungan yang diharapkan (perkara FDIC vs. Stanley), bukti ini dapat digunakan sebagai unsur
pertimbangan yang lebih berarti dalam mengambil keputusan pemberian kredit.
Tampaknya, pertimbangan pengadilan dalam perkara ini bertitik tolak pada
informasi yang diperlukan, dan dianggap cukup dalam membuat keputusan. Terutama
untuk bisnis pemula, pengambilan keputusan untuk pemberian kredit memerlukan
informasi yang lebih banyak, tidak saja yang bersifat kuantitatif, tetapi juga
yang bersifat kualitatif.
Dari segi agunan, pengadilan menganggap direksi lalai
jika memberikan kredit hanya berdasarkan jaminan pribadi (perkara FDIC vs. Wheat). Ketika bank
mempertimbangkan akan meng-ambil jaminan pribadi dari calon debitor sebagai
dasar pemberian kreditnya, bank harus memiliki daftar yang pasti dan berisikan
berapa banyak dan perincian harta yang dimilikinya. Di samping itu, perlu pula
diketahui berapa banyak utang yang telah dimiliki. Pada umumnya, daftar seperti ini sulit
diperoleh; kalaupun dapat, sulit untuk memastikan kebenarannya.
Di sisi lain, pengadilan tetap memberikan perlindungan
BJR kepada direksi, jika memberikan pinjaman dengan jaminan yang kurang
(perkara Starrels vs. National Bank of
Chicago). Moral putusan ini adalah bahwa walaupun jaminan kurang,
sehingga mengandung risiko yang lebih tinggi, tanpa pengambilan risiko seperti
ini, pendapatan bank tidak dapat bertambah. Tidak semua bisnis yang bankable memiliki jaminan yang penuh.
Namun, direksi harus bertanggung jawab jika memberikan pinjaman dan agunan di
luar daerah geografis bank (perkara FDIC vs. Stanley). Tampaknya, hal ini
lebih didasarkan pada ketentuan yang berlaku bagi bank, baik ketentuan internal
ataupun pihak regulator.
Pemberian kredit yang tidak dibatasi pada daerah geografis
tertentu bukan merupakan pelanggaran fiduciary
duty (perkara RTC vs. Hess); dan tampaknya kembali hal ini dianggap
sebagai diskresi bank, walaupun mengandung risiko yang lebih tinggi, tetapi
dapat dianggap sebagai usaha untuk memperbesar porto-folio pinjaman bank, dalam
rangka memajukan perseroan.
Uraian tersebut dapat menunjukkan penerapan prinsip BJR
yang lebih ketat pada direksi bank. Secara khusus, direksi bank memiliki
tanggung jawab kepercayaan yang tinggi, terutama dalam menyalurkan dana masyarakat
secara aman. Untuk itu, sebagai spesialis, direksi harus memiliki standar duty of care yang lebih dari sekadar ordinary care. Kepeduliannya harus
mencakup pengawasan yang lebih aktif, sehingga dapat mengantisipasi
penyimpangan yang dilakukan oleh bawahan. Untuk risiko yang relatif tinggi,
direksi tidak dapat semata-mata bersandar pada pertimbangan bawahannya.
Tanggung jawab direksi bersifat kolegial, memerlukan duty of diligence yang lebih tinggi.
Pinjaman yang berkembang menjadi tidak lancar harus ditindaklanjuti lebih dini,
sehingga tidak men-jadi lebih buruk. Ketika kerugian besar terjadi, karena
pinjaman diberikan untuk tujuan spekulatif dan tanpa jaminan, direksi
bertanggung jawab untuk itu. Di sini, bukan lagi merupakan ke-salahan pertimbangan
yang jujur, karena sudah merupakan gross
negligence, seperti yang ditunjukkan oleh kerugian yang besar.
Dari perkara Chukyo Bank, pengadilan Jepang memutuskan
untuk membebaskan gugatan bahwa direksi bank melanggar tugas kehati-hatian
manajer yang bonafide atau bonafide
manager’s duty of care, karena menerima jaminan yang tidak wajar. Jaminan
berupa gedung berlokasi di Amerika yang tidak terawat sehingga sulit dijual.
Jaminan yang lain adalah kupon bunga dari obligasi pemerintah.[56][††††††††††]
Gugatan hanya dapat diterima jika direksi melanggar bonafide manager’s duty of care, dalam
hal ini melakukan kesalahan atau kegagalan yang tidak dapat dimaafkan sebagai
orang korporasi yang umum (ordinary
corporate person), dalam rangka melakukan perkerjaannya.
Hal ini secara khusus dilihat dari proses mengum-pulkan fakta sebagai dasar
pengambilan keputusan, atau dari proses pengambilan keputusan itu sendiri. Dari
dasar atau proses pengambilan keputusan itu dapat dilihat apakah direksi
melanggar ruang lingkup kewenangan diskresi yang dipercayakan kepada direksi.[57][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Pengadilan tidak melihat adanya masalah dalam jaminan,
walaupun nilainya lebih rendah dari pinjaman yang diberikan. Namun, pengadilan
melihat bahwa walaupun utangnya bertambah dan keuntungannya berkurang, tetapi
bisnisnya berkembang. Dalam keadaan bisnis yang berkembang, tidaklah merupakan
hal yang tidak biasa, jika perusahaan menambah investasinya. Menurut
pengadilan, direksi telah mempertimbangkan kinerja bisnis debitor, catatan
transaksi debitor dengan bank, potensi berkembang di masa depan, dan sikap
koperatif debitor dengan bank. Pengadilan berkesimpulan bahwa penyebab
kepailitan yang dialami debitor adalah karena adanya kebijakan uang ketat yang
diterapkan oleh pemerintah pada tahun 1990, yang tidak dapat diramalkan oleh
perbankan. Hal itu tidak ada hubungan langsung dengan jaminan yang berupa kupon
bunga pemerintah itu.[58][§§§§§§§§§§]
Mitsuru Misawa berpendapat, direksi dapat dinilai
melanggar bonafide manager’s duty of care
jika terbukti lalai – dalam arti gagal – melakukan tindakan yang diperlukan.
Atau, ia gagal menilai keadaan sehingga dengan mudah menyimpulkan bahwa keadaan
tertentu tidak layak untuk diberikan kredit. Namun, lanjut Mitsuru Misawa, hal
itu tidak mudah dilakukan, karena bank memberikan pinjaman atas dasar
pertumbuhan perusahaan di masa depan. Walaupun kondisi keuangan perusahaan menurun, bank tetap dapat memberikan pinjaman dengan
pertimbangan, pinjaman itu menambah potensi perusahaan dalam memperbaiki
keuangannya.[59][***********]
Dalam perkara Long
Term Credit Bank of Japan, pengadilan menuntut pejabat kredit yang
memberikan kredit kemudian ma- cet untuk membayar ganti rugi ¥100 juta atas
kerugian bank ¥6.1 miliar. Pengadilan menyimpulkan, direksi gagal menghimpun
informasi yang diperlukan secara wajar sekaligus tidak melakukan analisis
karena tetap memberikan pinjaman dalam jumlah besar walaupun sangat kecil
potensi dibayar kembali. Bahkan, jika tetap diberikan, kerugian akan tetap besar.
Karena itu, dalam hal ini, pengadilan memutuskan bahwa pejabat itu melanggar bonafide manager’s duty of care, yang
melebihi batas diskresi yang diberikan. Berkaitan dengan perkara ini, Mitsuru
Misawa ber-pendapat, bahwa direksi tidak dapat bersandar sepenuhnya pada
laporan dan analisis yang disediakan oleh direksi lain atau bawahannya, jika
terdapat adanya fakta-fakta yang tidak normal.[60][†††††††††††]
3. Perbandingan dengan Indonesia
Pertimbangan pengadilan di Amerika kurang lebih sama
seperti di pengadilan di Jepang. Kedua pengadilan lebih condong ke arah
pertimbangan bisnis, berdasarkan kinerja bisnis debitor, catatan transaksi
debitor dengan bank, potensi untuk berkembang di masa depan, dan sikap
koperatif debitor dengan bank, walaupun utangnya bertambah dan keuntungannya
berkurang. Namun, direksi dipersalahkan jika keputusan tidak mengindahkan
faktor risiko berdasarkan informasi yang menyatakan kemungkinan pembayaran
utang sangat kecil.
Dari analisis terdahulu mengenai putusan pengadilan di
Amerika dan Jepang, dapat dibandingkan dengan putusan Mah-kamah Agung di
Indonesia dalam kaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kredit (macet),
sebagai berikut:
Perbandingan Putusan Pengadilan Amerika dan Jepang dengan
Indonesia dalam Perkara Kredit Macet
Mengenai
|
Putusan Pengadilan
Amerika/Jepang
|
Putusan Mahkamah Agung RI
|
Undang-undang
yang melandasi
Penerapan
Prinsip kehati-hatian
|
UU Korporasi (Amerika)
Hukum Dagang (Jepang)
Lebih banyak menggunakan prinsip BJR dalam kaitan de-ngan
UU Korporasi. Dalam keputusan pengadilan, tidak pernah disinggung mengenai
keberadaan UU Perbankan.
|
UU Perbankan
Lebih berdasarkan pada Ke-tentuan Perkreditan Internal
bank, Ketentuan Bank Indo-nesia, dan UU Perbankan.
Prinsip ini disebutkan dalam beberapa Pasal UU
Perban-kan; dan juga diatur dalam UU PT.
|
Penekanan
pada bisnis vs. risiko
|
Cenderung lebih menekan-kan pertimbangan bisnis dari
pada risiko. Terlihat dalam perkara Citigroup
(Amerika); dan Perkara Chunkyo Bank (Jepang)
|
Paling
tidak cenderung lebih seimbang
dalam memper-timbangkan unsur bisnis dan risiko kredit. Dalam kaitan dengan risiko kredit,
penen-tuan jumlah kredit yang dibe-rikan, kelengkapan dokumen,
kecermatan terhadap kualitas informasi, data dan fakta, ser-ta pengawasan
kredit, mem-peroleh perhatian yang lebih serius.
|
dilanjutkan . .
.
lanjutan . . .
Persepsi
terhadap besar kecil risiko kredit
|
Lebih bersifat relatif, karena sejauh bisnis menunjukkan
perbaikan, kredit tetap dibe-rikan, walaupun utang yang dimiliki sudah besar
(perkara Chunkyo Bank, Jepang; per-kara Citigroup, FDIC & Stanley,
Amerika).
|
Dalam hal tertentu risiko kredit lebih diperhatikan, se-hubungan
dengan ketentuan Bank Indonesia (SEBI No. 27/17/UPPB Tanggal 31 Maret 1995)
|
Inti dasar pengambilan keputusan kredit
Sikap terhadap agunan
|
Pertimbangan direksi terha-dap bisnis dan persepsi
risiko tampak lebih jelas, diiban-dingkan dengan penekanan pada proses dan
analisis/ad-ministrasi/pengawasan kredit .
Lebih bersifat relatif atau opsional, atau lebih
bersifat pemenuhan formalitas
|
Dasar utama pertimbangan direksi adalah pemenuhan ke-tentuan
proses, analisis kre-dit, ketentuan administrasi, serta
pengawasan kredit.
Tidak bersifat mutlak, tetapi merupakan bagian penting
dalam pertimbangan kredit
|
Fungsi pengawasan direksi
|
Tidak terlalu tegas, kecuali dalam keadaan yang tidak
normal (Jepang); atau tugas oversight dibatasi sampai hal-hal yang
melawan hukum dan tidak mempertimbangkan per-kembangan eksternal yang negatif
(Amerika).
|
Tampak jelas dan ditegaskan di pengadilan, yang
mencakup pengawasan kredit secara menyeluruh.
|
Pemeriksaan pengadilan terhadap substansi keputusan
Faktor yang meniadakan perlindungan hukum dari segi duty of care
Informasi yang diperlukan
|
Sesuai dengan konsep BJR
Gross negligence
Terbatas pada pengertian ‘yang tersedia secara wajar’.
|
Menerapkan konsep marginale
toetsing.
Pengertian kelalaian dan kesa-lahan sesuai dengan UU
Per-bankan, UU PT, dan Yurispru-densi Indonesia mengenai melanggar hukum yang
diper-luas.
Perlu dicari, digali, dan di-dalami sehingga memperoleh
keyakinan yang diperlukan, atas dasar analisis yang men-dalam.
|
dilanjutkan...
lanjutan . . .
Kemampuan dan Keahlian yang diperlukan
Unsur melanggar hukum
|
Diperlukan lebih tinggi, tetapi hanya tersirat secara
umum.
Tidak memeriksa kualitas keputusan, tetapi mengaitkan
rasionalitas hubungan antara proses dan keputusan yang dibuat.
|
Diperlukan lebih tinggi se-kaligus merupakan
kenisca-yaan, karena direksi harus mampu memperoleh keya-kinan, sehingga
harus mampu membedakan analisis yang mendalam atau tidak. Standar umumnya
adalah lulus uji kemampuan dan kepatutan Bank Indonesia.
Sama, tetapi juga menerapkan marginale toetsing dan terlihat dalam menentukan jumlah kredit
yang diberikan, apakah mengandung penggelembungan (mark up) atau
tidak.
|
Sumber:
penelitian penulis 2013.
|
q
[1][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Stephen M. Bainbridge, The Business Judgment Rule as Abstention
Doctrine, loc. cit., hlm. 16.
[2][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention
Doctrine”. loc. cit,. hlm. 14.
[3][***************************] Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention
Doctrine”. loc. cit., hlm. 16.
[4][†††††††††††††††††††††††††††] Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention
Doctrine”, loc. cit.
[5][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Carlos Andres Laguado Giraldo dan
Maria Paula Diaz Canon, “Modern Conception of Business Judgment Rule: A Case
Study on Delaware Jurisprudence”, International
Law, <http://redalyc,uaemex/redalyc/pdf/824/82400501.pdf> [2005].
[6][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Stephen M. Bainbridge, “Why a Board?, Group
Decisionmaking in Corporate Governance”, Vanderbilt
Law Review, Vol. 55, pp. 1-66, (2002), hlm. 51-53.
[8][††††††††††††††††††††††††††††] Helen M. Bowers, “Fairness of Opinions and the Business Judgment Rule, An Empirical Investigation of
Target Firm’s Use of Fairness of Opinions”,
[9][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine”, loc.
cit..
[10][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention
Doctrine”, loc. cit.
[11][*****************************] Carlos Andres Laguado Giraldo dan
Maria Paula Diaz Canon, “Modern Conception of Business Judgment Rule: A Case
Study on Delaware Jurisprudence”, International Law,
<http://redalyc,uaemex/redalyc/pdf/824/82400501.pdf> [2005].
[12][†††††††††††††††††††††††††††††] Stephen M. Bainbridge, “The
Business Judgment Rule as Abstention Doctrine”,
loc. cit.
[13][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] D.A. Jeremy Telma, “The Business
Judgment Rule, Disclosure and The Excutive Compensation”, Social Science Research Network, Tulane Law Review, Vol. 81m, 2007,
<http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=893348>
[13/04/2006].
[14][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Supreme Court of Delaware, 1984,
“Excerpts from Aronson Vs Lewia 473 A.2d 805”,
[Tidak bertanggal].
[15][******************************] Akin Gump Strauss Hauer, ”Risk
Management: Delaware Court Affirms Protection of Business Judgment Rule in
Current Financial Crisis”, <@2009 Akin Gump Strauss Hauer & Feld LLP>
[11/03/2009].
[16][††††††††††††††††††††††††††††††] Akin Gump Strauss Hauer, ”Risk
Management: Delaware Court Affirms Protection of Business Judgment Rule in
Current Financial Crisis“, Idem.
[17][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Jaclyn Jaeger, “Delaware Court
Upholds Business Judgment Rule”,
[17/03/2009].
[18][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] “The Court of Chancery of The State
of Delaware, in Re Citigroup Inc, Shareholder Litigation”, Civil Act No. 3338-CC,
[19][*] “The Court of Chancery of The State of
Delaware, in Re Citigroup Inc, Shareholder Litigation”, Civil Act No. 3338-CC, Idem.
[22][§] Wendell H Adair Jr (et.al), “Surviving Dismissal: The Business Judgment Rule
Revisited”, The Journal of Corporate
Renewal (November 2005).
[23][**] Randall W. Bodner, (et.al.), “The Business
Judgment Rule Under Seige: Tower Air, IT Group, and Notice Pleading in Federal
Court”, hlm. 26.
[24][††] Kartyaeni, V., “Directors’ Care and Duty in
Case of Breach”, <http://www.goforthelaw.com/articles/fromlawstu/article49.htm> [Undated].
[25][‡‡] Franklin A. Gevurtz, “Earning Management and
The Business Judgment Rule: An Essay
on Recent Corporate Scandals”,
[27][***] Franklin A. Gevurtz, “Earning Management and
The Business Judgment Rule: An Essay on Recent Corporate Scandals”, loc. cit.
[28][†††] Franklin A. Gevurtz, “Earning Management and
The Business Judgment Rule: An Essay on Recent Corporate Scandals”, loc. cit.
[30][§§§] Robert Sprague, “Directors Behaving Badly:
21st Century Corporate Governance Standards”, loc. cit.
[31][****] Joseph E. Bachelder, “Disney:
Severance and the Business Judgment Rule”,
New York Law Journal, <http://www.jebachelder.com/articles/981229.html>
[29/12/1998].
[32][††††] Joseph E. Bachelder, “Disney:
Severance and the Business Judgment Rule”,
New York Law Journal, <http://www.jebachelder.com/articles/981229.html>
[29/12/1998].
[33][‡‡‡‡] The Supreme Court of The State
of Delaware, “The Walt Disney Company Derivative Litigation”, <http://courts.delaware.gov/opinions/
(45roesjwwgsnq245gludgrnz/download.aspx?ID=77400> [08/06/2006].
[34][§§§§] The Supreme Court of The State
of Delaware, “The Walt Disney Company Derivative Litigation”, No. 469, 1998, Idem.
[35][*****] Carlos Andres Laguado Giraldo dan
Maria Paula Diaz Canon, “Modern Conception of Business Judgment Rule: A Case
Study on Delaware Jurisprudence”, International
Law, <http://redalyc,uaemex/redalyc/pdf/824/82400501.pdf>
[2005].
[38][§§§§§] Meredith M. Brown dan William D.
Regner, “What’s Happening to the Business Judgment Rule?”, Insights: the Corporate & Securities Law Advisor, Englewood
Cliffs, August 2003, Vol. 17, iss. 8, pg. 2.
<///C:/Documents%20and%20Settings/Administrator/Desktop/p…>
[07/11/2007].
[39][******] Meredith M. Brown dan William D.
Regner, “What’s Happening to the Business Judgment Rule?”. Ibid, hlm. 15.
[40][††††††] Fred W. Triem, “Judicial
Schizophrenia in Corporate Law: Confusing The Standard of Care With The
Business Judgment Rule”, op. cit., hlm.
29.
[41][‡‡‡‡‡‡] Robert Sprague dan Aaron J. Lyttle, “Shareholder Primacy and The Business
Judgment Rule: Arguments for Expanded Corporate Democracy“, Social Science Research Network, <http://ssrn,com/abstract=1647002> [22/07/2010].
[42][§§§§§§] Mitsuru Misawa, “Bank
Directors’Decisions on Bad Loans: A Comparative Study of US and Japanese
Standards of Required Care”, op. cit.,
hlm.451.
[43][*******] Jon Canfield, “The Evolution of a More
Strigent Business Judgment Rule in Banking, The Minimilization of Director
Deference”,
[44][†††††††] Jon Canfield, “The Evolution of a More
Strigent Business Judgment Rule in Banking, The Minimilization of Director
Deference”,
[45][‡‡‡‡‡‡‡] Mitsuru Misawa, “Bank
Directors’Decisions on Bad Loans: A Comparative Study of US and Japanese
Standards of Required Care”, op. cit.,
hlm. 449-455.
[46][§§§§§§§] Mitsuru Misawa, “Bank
Directors’Decisions on Bad Loans: A Comparative Study of US and Japanese
Standards of Required Care”, loc. cit.
[47][********] Mitsuru Misawa, “Bank
Directors’Decisions on Bad Loans: A Comparative Study of US and Japanese
Standards of Required Care”, loc. cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar