Jumat, 29 Juli 2016

PRINSIP KEPUTUSAN BISNIS: Pemberian Kredit Perbankan Dalam Hubungan Perlindungan Hukum (Bab 4)



BAB  4
Pemeriksaan Pengadilan
di Amerika dan Jepang




4

A
merika dan Jepang merupakan dua negara yang layak dijadikan bahan perbandingan. Uniknya, Jepang baru menerapkan hukum korporasi berkait dengan prinsip BJR lebih serius dan teperinci setelah negara itu dilanda krisis ekonomi pada tahun 1995.
D.   RAGAM KASUS DI NEGARA PAMAN SAM
1.   Perkara Non-Kredit
Penulis akan mengemukakan sejumlah perkara yang berkait dengan penerapan BJR di pengadilan Delaware, Amerika Serikat. Meski terbilang ringkas, tetapi pembahasan setiap perkara semoga dapat menunjukkan unsur-unsur yang digunakan, sehingga dapat dilihat apakah unsur-unsur tersebut merupakan faktor yang men-dukung pemberian perlindungan BJR kepada direksi.
a.   Shlensky vs. Wrigley                                                                     
Pada 1888, pengadilan Tinggi New York mengeluarkan per-nyataan yang juga menjelaskan prinsip BJR klasik dengan lebih jelas. Sebagai doktrin abstensi, pengadilan tidak akan mencampuri urusan direksi, kecuali jika direksi menjalankan kewenangannya secara ilegal atau sewenang-wenang; atau adanya tindakan yang bersifat penipuan, kolusi, dan merusak hak-hak pemegang saham. Pertimbangan kesalahan semata tidaklah cukup.”[1][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Ketentuan BJR klasik tersebut mengandung anggapan yang kuat terhadap tuntutan duty of care yang harus diperiksa pengadilan. Untuk itu, penggugat harus membuktikan agar dapat mematahkan anggapan itu, sehingga pengadilan akan memeriksa faedah substantif keputusan direksi.
Penjelasan mengenai prinsip BJR ini dipakai oleh hakim dalam kasus Shlensky berikut:
Wrigley merupakan pemegang saham mayoritas dan Presiden the Chicago League Ball Club Inc. Perusahaan ini didirikan di Delaware, dimiliki oleh Chicago Cubs dan dikelola oleh Wrigley Field. Shlensky adalah pemegang saham minoritas di Chicago Cubs. Sepanjang 1961 hingga 1965 Cubs merugi. Karena itu, Shlensky menuntut, berdasarkan perhitungannya, kerugian ini disebabkan Wrigley tidak mau memasang lampu pada malam hari. Sebagai akibatnya, tidak ada permainan yang kemudian mengakibatkan kunjungan menjadi rendah pada malam hari.[2][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Tanggapan pengadilan sebagai berikut:[3][***************************]
By these thoughts we do not mean to say that we have decided that the decision of the directors was a correct one. That is beyond our jurisdiction and ability. We are merely saying that the decision is one properly before directors and the motives alleged in the amended complaint showed no fraud, illegality or conflict of interest in their making of that decision“.

(Terjemahan bebas: Dengan pemikiran ini, kami tidak berniat mengatakan, kami memutuskan bahwa keputusan direksi benar. Hal ini di luar yuris-diksi dan kemampuan kami. Kami hanya mengatakan, keputusan itu wajar bagi direksi, sementara motif yang diadukan dalam gugatan yang telah diubah karena menunjukkan tidak ada pe-nipuan, pelanggaran, atau konflik kepentingan dalam membuat keputusan).
Lebih lanjut, Pengadilan menyatakan pendapat:[4][†††††††††††††††††††††††††††]
In purely business corporation, the authority of the directors in the conduct of the business of the corporation must be regarded as absolute when they act within the law, and the court is without authority to substitute its judgment for that of the directors“.

(Terjemahan bebas: Dalam korporasi bisnis murni, kewenangan direksi dalam melakukan bisnis korporasi harus dianggap sebagai sesuatu yang mutlak ketika mereka bertindak dalam koridor hukum, dan pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk menggantikan pertimbangan direksi itu).
Intinya, kewenangan direksi dalam menjalankan bisnis per-usahaan harus dianggap absolut, sejauh dilakukan dalam koridor hukum. Pengadilan tidak punya wewenang mengubah keputusan itu.
b.   Smith vs. Van Gorkom
Menurut Carlos Andres Laguado Giraldo dan Maria Paula Diaz Canon, dalam perkara yang terjadi pada 1985 ini, pengadilan menggunakan pendekatan kedua, yaitu tidak melalui tuntutan adanya penipuan, iktikad buruk, atau self dealing, tetapi memeriksa prosedur, apakah keputusan yang diambil sudah dilandasi oleh informasi yang cukup.[5][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Stephen M. Bainbridge mengulas perkara ini dengan teperinci. Pada 1980, Van Gorkom, chairman Trans Union Corporation, melakukan negosiasi kontrak merger dengan sebuah perusahaan yang dikontrol oleh Pritzer. Direksi dan pemegang saham menyetujui transaksi itu. Salah satu pemegang saham, Smith, menggugat direksi Trans Union dengan menyatakan keputusan direksi menyetujui merger tersebut menyimpang dari duty of care.
Pengadilan memerhatikan proses pengambilan keputusan yang dilakukan direksi. Dalam proses tersebut, direksi tidak melakukan upaya penentuan besaran biaya kontrol yang dilakukan oleh Pritzer, misal seruan melakukan penilaian harga saham; karena tanpa penilaian ini tidak ada dasar untuk menentukan bahwa harga penjualan saham itu wajar atau tidak.
Dalam keadaan seperti itu, direksi wajib menanyakan hal tersebut dalam rangka memenuhi duty of inquiry, dan seharusnya menekan Van Gorkom untuk menjelaskan secara teperinci mengenai kesepakatan kontrak itu, sehingga tidak secara buta menerima pernyataan Van Gorkom bahwa harga penjualan saham tersebut adalah wajar. Dalam hal ini, Van Gorkom gagal memberikan informasi yang diperlukan.
Direksi gagal untuk menanyakan secara memadai dalam rangka memperoleh informasi kunci bahwa transaksi itu ternyata tidak cukup menarik, setelah diteliti lebih jauh.
Mahkamah Agung Delaware menyatakan bahwa direksi hanya hadir dalam rapat untuk melakukan voting, tanpa menyiapkan   diri melakukan pekerjaan rumah yang diperlukan. Sebaliknya, direksi harus bertindak lebih aktif, atau dengan diligence, untuk membahas keputusan yang akan diambil, dan menggunakan pertimbangan yang kritis atau tajam, apalagi keputusan itu berkaitan dengan corporate action yang besar.
Intinya, seharusnya direksi dapat menunjukkan bukti yang tepercaya, bahwa pada saat itu mereka mengetahui apa yang mereka lakukan. Jika hal ini dapat dibuktikan, direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya, sekalipun jika ternyata kepu-tusannya itu salah.[6][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Peter Ling menyimpulkan, yang menjadi masalah adalah unsur informasi yang cukup dalam mengambil keputusan. Direksi gagal memperoleh atau tidak memiliki penilaian harga yang independen, gagal mempelajari dokumen yang diperlukan mengenai merger yang diusulkan, gagal menilai apakah harganya wajar atau tidak. Bahkan, presiden direktur tidak membaca perjanjian merger sama sekali. Dengan demikian, direksi melanggar kewajiban yang harus dilakukan, dan pengadilan menyatakan bahwa direksi melakukan gross negligence, keputusan dilakukan dengan mata tertutup dan mengarah ke iktikad buruk,[7][****************************] sehingga melanggar duty of care.
Helen M. Bowers melakukan kajian keputusan pengadilan Van Gorkom di atas, dalam menentukan unsur “memiliki informasi yang cukup“ dalam kaitan dengan bentuk “the fairness of opinion”, kejujuran pendapat. Bentuk kewajaran pendapat biasanya diberikan dalam bentuk surat kepada direksi, yang dikeluarkan oleh pihak yang memberikan pendapat mengenai kejujuran atau kepatutan dari persyaratan keuangan sebuah usulan transaksi.
Pengadilan menekankan pada penilaian yang independen terhadap usulan merger, maka muncul anggapan bahwa adanya opini tersebut dapat memenuhi unsur “memiliki informasi yang cukup”, sehingga dapat memperoleh perlindungan BJR. Pengadilan sendiri menyatakan bahwa hukum tidak meminta adanya opini yang independen itu sebagai dasar untuk memberikan perlin-dungan BJR. Namun, banyak pengamat yang menyimpulkan bahwa hal itu perlu untuk membuktikan bahwa direksi memiliki informasi yang cukup untuk mengambil keputusan, seperti yang dikatakan dalam kutipan berikut:[8][††††††††††††††††††††††††††††]
Although van Gorkom did not create new legal requirement that boards get an external valuation, the decision made obtainment of a fairness opinion essential to demonstrate that a corporate board had acted in an informed manner“.
(Terjemahan bebas: Walaupun van Gorkom tidak menciptakan ketentuan hukum yang baru bahwa direksi memerlukan penilaian eksternal, kepu-tusan direksi memerlukan pendapat yang jujur dan esensial untuk menunjukkan bahwa direksi korporasi telah bertindak atas informasi yang cukup).
Menurut Stephen M. Bainbridge, Pengadilan ini memusatkan perhatiannya pada proses yang dilakukan direksi dalam membuat keputusan, yang menunjukkan sejumlah kesalahan dan penyim-pangan prosedural. Di sini, pengadilan menciptakan persyaratan dan due care yang diperlukan dalam pelaksanaan prosedur, dalam rangka mempertanyakan perlindungan BJR.[9][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
c.   Cinerama Inc. vs. Technicolor
Menurut pandangan Stephen M. Bainbridge, penanganan perkara yang terjadi pada 1995 ini menggambarkan pergerakan penerapan BJR ke arah yang modern, yaitu meninjau keputusan direksi secara substantif, dan melihat ruang lingkup tanggung jawab direksi.[10][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Pemegang saham Cinerama Inc. dan Cede Co, menggugat bahwa direksi melanggar duty of care karena menetapkan harga saham perusahaan dengan tidak tepat dan tidak hati-hati. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan tanpa informasi yang cukup–sehingga melanggar duty of care–ketika menyetujui perjanjian merger dengan MAF. Chancery Court menolak tuntutan ini dengan menyimpulkan, bahwa walaupun direksi melanggar duty of care, penggugat tidak dapat membukti-kan terjadinya kerugian.
Namun, kemudian Mahkamah Agung Delaware memutuskan bahwa direksi melanggar duty of care dengan dasar yang lebih maju, yaitu seharusnya bertindak lebih aktif dalam mencari alternatif dan mengikuti proses penjualan saham perusahaan dari awal sampai akhir terjadinya transaksi.[11][*****************************]
Secara khusus, Mahkamah Agung menemukan sejumlah bukti yang menunjukkan gross negligence yang dilakukan direksi:
Pertama, direksi gagal mencari alternatif secara prudent sebelum menyetujui perjanjian merger;
Kedua, ketika perjanjian merger ditandatangani, direksi tidak memiliki dasar yang rasional untuk memercayai kemungkinan adanya penawaran yang lebih kompetitif;
Ketiga, kebanyakan direksi hanya memiliki sedikit informasi tentang merger dan persyaratannya sebelum menyetujui;
Keempat, MAF mengunci transaksi itu melalui stock options yang diberikan oleh perseroan dan dua pemegang saham utama;
Kelima, direksi tidak cukup memiliki informasi sebelum menyetujui perjanjian merger.
Dalam kesimpulannya, pengadilan menyatakan, penggugat Cinerama memenuhi bukti dalam rangka mematahkan adanya anggapan BJR, dengan menunjukkan bahwa pihak tergugat tidak menggunakan seluruh informasi materiil yang tersedia secara wajar sebelum menyetujui perjanjian merger.
Artinya, pengadilan tidak menggunakan BJR sebagai doktrin abstensi, tetapi memeriksa prosedur pengambilan keputusan secara substantif.[12][†††††††††††††††††††††††††††††]
d.   Aronson vs. Lewis
Dalam perkara yang terjadi pada 1984 ini, pada dasarnya pengadilan Delaware menunjukkan adanya anggapan bahwa dalam membuat keputusan bisnis direksi secara pribadi tidak tertarik pada transaksi terkait, dan dilakukannya demi perusahaan. Untuk itu, direksi telah menggunakan informasi yang cukup, dengan iktikad baik, sejalan dengan tujuan bisnis yang rasional, dengan kehati-hatian, dan yakin bahwa keputusan yang diambil-nya itu terbaik bagi kepentingan perusahaan. Anggapan ini berlaku, jika tidak terdapat bukti adanya penipuan, iktikad buruk, atau self dealing pada pihak direksi.[13][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Pengadilan menghargai jika keputusan itu tidak mengandung penyalahgunaan wewenang atau diskresi.
Beban pembuktian berada pada pihak yang menolak adanya anggapan yang berlaku dalam BJR, yaitu pihak yang menuntut direksi atau penggugat harus mengemukakan pernyataan dengan bukti khusus yang menyebabkan timbulnya keraguan:[14][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Pertama, bahwa direksi tertarik pada transaksi terkait atau tindakannya itu dapat memenuhi persyaratan BJR. Terkait dengan ketertarikan, artinya direksi tidak tampak berada dalam kedua sisi dari transaksi, tidak mengharapkan adanya manfaat keuangan bagi pribadinya atau self dealing, yang seharusnya diserahkan kepada perusahaan dan pemegang saham umumnya. Jika ada kepentingan direksi, dan transaksi itu tidak disetujui olah ma-yoritas direksi yang tidak memiliki kepentingan dalam transaksi itu, berarti BJR tidak dapat diterapkan.
Kedua, untuk mempertanyakan apakah direksi dapat dilin-dungi oleh BJR, direksi wajib menggunakan informasi materiil yang tersedia secara wajar sebelum mengambil keputusan bisnis.     Jika telah menggunakan informasi yang tersedia, direksi harus ber-tindak dengan kehati-hatian yang diperlukan dalam melaksanakan tugasnya. Di sini, standar kehati-hatian yang digunakan adalah konsep gross negligence.
e.   Citigroup Inc. Sharehoder Derivative Litigation
Akin Gump Strauss Hauer mengungkapkan perkara yang terjadi pada Februari 2009 ini berkait dengan Krisis Hipotik Subprima (subprime mortgage) di Amerika. Berikut ini uraian ringkasannya.[15][******************************]
Direksi Citigroup dituntut melanggar fiduciary duty karena gagal memonitor dan mengelola risiko berkait pemberian kredit subprime mortgage. Direksi tidak mengindahkan pemberitaan media massa yang mewartakan keadaan industri tersebut yang sangat mengkhawatirkan, sehingga Citigroup mengalami kerugian yang sangat besar. Penggugat menuntut tanggung jawab pribadi direksi atas kerugian karena tidak melakukan pekerjaan penga-wasannya (duty of oversight) dengan baik.
Akin Gump Strauss Hauer menjelaskan mengenai duty of oversight dan oversight of business risk yang diperlukan dalam mengkaji perkara Citigroup ini. Dalam Hukum Delaware, kegagalan melakukan pengawasan merupakan pelanggaran terhadap duty of loyalty. Direksi tidak dapat dilindungi ketentuan anggaran dasar dan membebaskan diri dari pertanggungan pribadi karena telah melanggar duty of care. Direksi wajib melakukan tindakan pengawasan terhadap pertanggungan perseroan akibat kegiatan usahanya. Duty of oversight ini didasarkan pada konsep iktikad baik yang dikandung dalam duty of loyalty, sehingga unsur iktikad buruk merupakan syarat yang diperlukan.
Perkara Citigroup berbeda dengan Caremarkyang bakal penulis paparkan pula. Dalam Caremark dapat dilihat bahwa:    
(a) Direksi gagal total dalam menerapkan sistim informasi, pelaporan, pengawasan, atau (b) dengan adanya sistem yang dimaksud, direksi secara sadar gagal mengikuti atau mengawasi kegunaannya, sehingga tidak mengunakan informasi yang ada untuk melakukan tindakan yang diperlukan. Dengan kata lain, direksi mengetahui bahwa mereka tidak melaksanakan kewajiban fidusianya. Intinya, ketika direksi gagal melakukan tindakan pada saat harus bertindak, di situ direksi menunjukkan pengabaian dalam keadaan sadar terhadap kewajibannya, sehingga melanggar duty of loyalty karena gagal melaksanakan tanggung jawab fidusianya dengan iktikad baik.
Dalam perkara Citigroup, pengadilan Delaware menjelaskan masalah kegagalan direksi dalam mengawasi risiko bisnis (business risk) yang berbeda dengan perkara Caremark. Dalam Caremark, direksi gagal memastikan adanya sistem pelaporan informasi yang dapat digunakan untuk mengawasi adanya tingkah laku pegawai yang menyimpang, pelanggaran hukum, penipuan, atau tindak pidana, sehingga direksi dapat melakukan intervensi atau tindakan pencegahan agar perseroan terhindar dari risiko atau kerugian.
Kegiatan usaha Citigroup adalah melakukan investasi dengan mengambil dan mengelola risiko. Pengadilan menekankan, peng-ambilan risiko merupakan jantung keputusan bisnis. Kenyataaan gamblang yang menunjukkan perusahaan mengambil risiko bisnis kemudian mengalami kerugian sebagai akibatnya bukanlah menunjukkan adanya iktikad buruk. Untuk mengenakan pertang-gungan pengawasan direksi terhadap risiko yang besar atau berlebihan, berarti pengadilan harus melakukan evaluasi secara nurani terhadap keputusan direksi sebagai inti dari BJR.
Tugas pengawasan dalam Hukum Delaware tidak dirancang bagi direksi, atau bahkan direksi ahli, untuk bertanggung jawab secara pribadi terhadap kegagalan melakukan evaluasi risiko secara memadai, atau meramalkan apa yang akan terjadi di masa depan.
Pengadilan menyatakan bahwa penggugat akan mengalami keadaan yang sulit sekali untuk menyatakan atau membuktikan tuntutan terhadap direksi secara pribadi, karena kegagalan melihat sejauh apa risiko bisnis yang dihadapi perusahaan.
Pengadilan menolak tuntutan penggugat dan menyatakan di-reksi tetap dilindungi oleh BJR, berdasarkan beberapa kesimpulan berikut:[16][††††††††††††††††††††††††††††††]
1)   Duty of oversight tidak dirancang untuk membuat direksi bertanggung jawab secara pribadi karena kegagalannya me-ramalkan masa depan dan mengevaluasi risiko bisnis secara memadai. Tuntutan pelanggaran duty of care tidak dapat ditransformasikan menjadi tuntutan duty of oversight, karena hanya menyatakan bahwa direksi gagal mengamati risiko bisnis secara memadai.
2)   Penggugat menghadapi beban yang sangat berat untuk mem-buktikan bahwa direksi harus bertanggung jawab secara pribadi karena kegagalannya mengevaluasi risiko bisnis per-usahaan.
3)   Untuk menyatakan tuntutan terhadap pertangunggan penga-wasan direksi, penggugat harus mengemukakan fakta yang pasti untuk menunjukkan bahwa direksi bertindak dengan iktikad buruk.
4)   Untuk menentukan adanya iktikad buruk, harus menunjukkan apakah direksi tahu bahwa mereka tidak melakukan kewajiban fidusianya, atau direksi menunjukkan pengabaian secara sadar terhadap tanggung jawabnya. Jika hanya karena kenyataan bahwa perusahaan mengambil risiko bisnis, kemudian meng-alami kerugian, bahkan kerugian itu sangat besar sekalipun, tidak dapat menentukan bahwa direksi beriktikad buruk.
Menurut James Bowers, apabila direksi dan manajemen telah membentuk sistem internal kontrol yang kuat dalam rangka mengelola risiko, sudah dapat dinyatakan bahwa mereka bertindak dengan iktikad baik.[17][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dari perkara dan keputusan pengadilan itu, disimpulkan bahwa Citigroup mengalami kerugian yang besar sebagian diakibatkan karena masalah subprime mortgage dalam perekonomian Amerika.
Dapat dimengerti bahwa para investor berusaha menemukan pihak yang bertanggung jawab atas kerugian itu. Dalam hal ini, sulit membedakan antara menuduh seseorang dan keinginan memaksa orang yang bertanggung jawab untuk memikulnya sebagai akibat kesalahan mereka.
Namun, hukum yang ada menyediakan petunjuk untuk memecahkan masalah melalui prinsip yang mengatur kewajiban direksi dalam hukum korporasi Delaware. Hukum ini telah digunakan dan diperbaiki sejak ratusan tahun, sehingga tidak tepat jika kehilangan pegangan semata-mata karena ingin menuntut orang atas kerugian yang dilakukannya, dan melupakan hukum yang ada itu yang seyogianya digunakan.[18][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Lebih lanjut, pengadilan mengatakan bahwa sejauh direksi memiliki informasi yang mereka butuhkan manajemen untuk membuat keputusan dan beriktikad baik, sulit bagi pengadilan untuk mempertanyakan keputusan yang dibuat direksi, sekalipun pertimbangannya ternyata salah.[19][*]
Argumentasi yang melandasi hal tersebut adalah bahwa direksi dan para manajer diberikan diskresi untuk memaksimalkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan mengambil risiko tanpa harus menimbulkan ketakutan yang akan melemahkan mereka karena akan dituntut secara pribadi, ketika perusahaan mengalami kerugian. Artinya, sekalipun perusahaan mengalami kerugian, pemegang saham tidak dapat menuntut direksi untuk bertanggung jawab secara pribadi.[20][†]
Untuk menghilangkan rasa takut terhadap kemungkinan akan dituntut secara pribadi, James Bowers berpendapat bahwa direksi harus meyakini diri bahwa proses pegambilan keputusan tidak cacat. Untuk itu, Bowers merekomendasikan hal berikut kepada direksi:[21][‡]
1)   Bersikap aktif atau rajin mencari informasi yang bersifat sentral terhadap pengambilan keputusan bisnis. Jika tidak cukup me-miliki informasi yang diperlukan, nyatakan hal itu dan lakukan langkah-langkah untuk mengatasi persoalan kekurangan informasi tersebut.
2)   Bertindak independen. Ketika sulit memahami rencana bisnis atau manajemen belum mendapat informasi yang diperlukan, direksi dapat memakai jasa konsultan.
3)   Direksi perlu mengemukakan pertanyaan yang tajam dengan kadar skeptisme yang sehat; bersikap agresif dan tegas dalam menjalankan bisnis.
f.    Stanziale vs. Nachtomi
Wendell H Adair et.al. menguraikan perkara yang terjadi pada 2001 ini secara ringkas sebagai berikut:[22][§]
Tower Air yang didirikan pada 1982 di Delaware merupakan perusahaan penerbangan yang menyewakan pesawat. Pada perte-ngahan 1990, Tower Air mengalami kerugian dan kesulitan keuangan, sehingga pada tahun 2000 dipaksa mendaftarkan perlindungan kepailitan berdasarkan Chapter 11 Bankruptcy Code.
Charles Stanziale sebagai trustee Chapter 11 dan 7 dari Tower Air, Inc. menggugat direksi Tower Air dengan 7 tuntutan.    Charles Stanziale menganggap direksi Tower Air melanggar fiduciary duty, dan melakukan gross negligence, dan corporate waste yang mengakibatkan likuidasi perusahaan. Nama yang digugat adalah Morris Nactomi, pendiri dan chairman, CEO, direktur dan presiden Tower Air dalam tahun 1980-2001. Morris Nachtomi memiliki mayoritas saham dan memegang kendali manajemen dan operasi perusahaan.
Tahun 1996, Tower Air mengalami kerugian US $20 juta. Maskapai penerbangan ini menambah rute baru ke Santo Domingo, Republik Dominika, yang tidak pernah menguntungkan. Menurut Charles Stanziale, penambahan rute ini untuk memenuhi permintaan anak perempuan Morris Nachtomi dengan memotong harga tiket, sehingga setiap penerbangan mengalami kerugian walaupun penumpangnya penuh.
Di samping itu, kantor cabang di Tel Aviv dijalankan tanpa pengawasan, sehingga memiliki utang yang besar sebelum terpaksa ditutup. Tower Air pun melakukan kanibalisasi pesawat yang rusak guna mengambil sukucadang yang diperlukan untuk pesawat lain. Dan, meminjam jutaan dolar untuk membeli     mesin baru–yang seharusnya diperbaiki–tanpa perhitungan yang bijaksana.
Charles Stanziale menyatakan,  direksi dan pejabat Tower Air melanggar fiduciary duty dan to act in good faith karena telah melakukan sejumlah kesalahan manajemen, terutama: direksi tidak pernah mempertimbangkan melakukan reparasi mesin yang lebih tua, tetapi memutuskan menggunakan pembiayaan leasing untuk membeli mesin baru yang bernilai jutaan dolar. Trustee menyatakan hal ini merupakan “gross negligence“ dan “corporate waste“.
Pada tahun 2004, pengadilan Delaware menolak semua tuntutan Charles Stanziale dengan dasar tuntutan itu tidak cukup mengalahkan anggapan yang berlaku bagi BJR, yaitu: keputusan bisnis yang dilakukan direksi tidak mengandung kepentingan pribadi (self interest), didasarkan informasi yang cukup (act on informed basis), dengan iktikad baik, dan percaya dengan kejujuran bahwa tindakan mereka sepenuhnya demi kepentingan korporasi.
Pengadilan menyatakan, jika unsur kepentingan pribadi tidak dapat dibuktikan, penggugat harus membuktikan bahwa kepu-tusan bisnis yang diperkarakan bukanlah produk dari pertim-bangan bisnis yang valid. Karena itu, Hakim Jordan membebaskan tuduhan tersebut secara menyeluruh.[23][**]
g.   Kamin vs. American Express Company [24][††]
Perkara ini menyangkut tuntutan derivative para pemegang saham terhadap direksi American Express Co. karena telah menyetujui pemberian dividen dalam bentuk saham di perusahaan lain, Donaldson, Lufken & Janrette (DJL). Saham ini dibeli beberapa tahun sebelumnya dan nilainya telah merosot tajam.
Penggugat menyatakan, saham tersebut seharusnya telah di-jual walaupun menimbulkan kerugian, dan tidak dibagikan kepada pemegang saham American Express Co. Jika dijual, perusahaan mengalami kerugian US $25 juta. Di lain pihak, dapat memberikan pengurangan pajak US $8 juta dalam bentuk tax saving.
Dalam keputusannya, pengadilan menyatakan, ditinjau dari BJR tindakan direksi dapat diterima. Walaupun perusahaan mengalami kerugian jutaan dolar, tetapi dapat memperbaiki pen-dapatan dalam laporan keuangan, sehingga dapat memper-tahankan harga saham dalam perdagangan. Tindakan direksi itu dapat dikatakan dilakukan untuk memajukan kepentingan per-usahaan.[25][‡‡]
Stephen M. Bainbridge berpendapat, keputusan pengadilan ini menunjukkan penerapan BJR sebagai doktrin abstensi yang lebih kuat dibandingkan dalam perkara Shlensky. Walaupun terlihat jelas bahwa keputusan itu salah, pengadilan tidak menggunakan BJR sebagai standar pertanggungjawaban (standard of liability).
Namun, pendekatan dengan doktrin abstensi ini harus memenuhi prasyarat tertentu, yaitu: pertama, keputusan direksi dibuat secara sadar yang artinya tidak menghalangi pengadilan untuk memeriksa pengawasan yang wajar dari manajemen perusahaan; kedua, direksi memiliki iktikad baik dan tidak tertarik pada manfaat dari transaksi yang dilakukan; bahkan, berbagai pengadilan tidak melindungi keputusan yang tidak masuk diakal. Jika prasyarat ini terpenuhi, pengadilan tidak akan memeriksa substansi keputusan direksi.[26][§§]
h.   Litwin vs. Guaranty Trust Company
Dalam perkara ini, pengadilan menyatakan, direksi Guaranty Trust Company harus bertanggung jawab atas pembelian debentures senilai US $3 juta. Masalahnya tidak saja karena nilai debentures turun sehingga perusahaan merugi, tetapi dalam kontrak pembelian direksi memberikan opsi kepada penjual untuk membeli kembali debenture itu dengan harga yang sama dalam waktu 6 bulan. Artinya, perusahaan tidak dapat memperoleh atau kemungkinan untuk memperoleh keuntungan (capital gain) ketika harga naik; dan ketika harga turun, perusahaan akan mengalami kerugian.
Keputusan perusahaan menutup kontrak seperti itu menempat-kan perusahaan dalam keadaan yang selalu tidak menguntungkan. Pengadilan menyatakan, direksi melanggar duty of care karena melakukan lebih dari sekadar kelalaian atau negligence.[27][***]
i.      Gottfried vs. Gottfried
Dalam perkara ini, para pemegang saham menuntut direksi karena menolak untuk membayar dividen. Gottfried Baking Corporation adalah perusahaan tertutup. Pemegang sahamnya adalah anak-anak dan istri pendiri perusahaan. Selama masa depresi besar, perusahan tidak dapat membayar dividen. Akan tetapi, setelah Perang Dunia II berakhir, prospek perusahaan membaik.
Para pemegang saham minoritas menuntut direksi untuk mem-bayar dividen, dan menuduh direksi menolak untuk membayarnya. Tujuannya, menekan mereka untuk menjual saham yang di-milikinya. Pengadilan memutuskan untuk membebaskan direksi karena tidak cukup bukti adanya iktikad buruk pihak direksi.[28][†††]
j.    McMullin vs. Beran[29][‡‡‡]
Pemegang saham minoritas ARCO Chemical Company (ACC) menuntut direktur Chemical karena mendelegasikan negosiasi penjualan saham ACC kepada pemegang saham mayoritas, yaitu ARCO. Dalam hal ini, direktur Chemical tidak melindungi kepen-tingan pemegang saham minoritas. Mahkamah Agung Delaware menyatakan, pengadilan yang lebih rendah tidak tepat menolak perkara ini. Karena jika benar penggugat McMullin memiliki fakta sebagai bahan gugatan, hal itu akan dapat digunakan untuk membantah anggapan yang berlaku pada BJR.
McMullin menyatakan, direksi ACC gagal melakukan due care dengan membiarkan ARCO melakukan negosiasi tanpa ada pengaman prosedural yang melindungi kepentingan pemegang saham minoritas, dan ARCO menentukan penawaran dengan syarat pembayaran sendiri. Dalam membahas usulan penjualan, direksi ACC hanya bertemu sekali, dan langsung menyetujui transaksi itu berdasarkan presentasi penasihat keuangan ARCO. Dalam kaitan ini, McMullin menuduh direktur Chemical tidak melakukan pertimbangan yang diperlukan dan langsung menye-tujui (rubber stamped), sehingga pemegang saham minoritas mengalami kerugian.
Mahkamah Agung menerima gugatan itu. MA mengangap, dengan menyetujui merger tersebut tanpa informasi yang cukup untuk menyetujuinya, berarti direktur Chemical melanggar duty of care. Direktur Chemical pun tidak menentukan apakah pertim-bangan merger itu sama atau melebihi nilai appraisal ACC sebagai going concern.
Dari segi duty of loyalty, anggapan BJR dalam perkara ini ditolak, karena ada pengaruh yang tidak patut pada diri direksi, sehingga melakukan kompromi terhadap kemampuannya dalam mengevaluasi penjualan saham secara independen. Pengadilan yang lebih tinggi menyatakan, direksi ACC memiliki duty of loyalty yang tidak dapat dikompromikan terhadap pemegang saham minoritas. Dalam konteks induk dan anak perusahaan, seharusnya tidak ada delusi dalam kewajibannya sebagai wakil dari ARCO dan sebagai direksi ACC. Pemegang saham penggugat menuduh bahwa enam direksi ACC diangkat oleh ARCO dan dua berasal dari ARCO, dan tidak seorang pun yang tidak menyetujui penjualan saham itu.
Di samping itu, pengadilan menyatakan bahwa due care, duty of loyalty, dan iktikad baik mewajibkan direksi ACC untuk membuka seluruh informasi yang material yang berkait dengan penjualan saham itu kepada seluruh pemegang saham. Namun, komunikasi yang penting ini tidak diketemukan oleh pengadilan.



k.   Walt Disney Derivative Litigation, Brehm vs. Eisner
Robert Sprague membahas perkara 2003 ini dari segi BJR dan pemborosan korporasi (corporate waste):[30][§§§]
Mahkamah Agung Delaware mencatat bahwa anggaran dasar perusahaan menyerahkan tanggung jawab kepada direksi untuk menyeleksi dan menerima para manajer, menugaskan Komite Kompensasi untuk menentukan dan menyetujui gaji, serta kom-pensasi lainnya termasuk stock option kepada CEO dan presiden. Sesuai ketentuan ini, direksi menyeleksi dan menerima Michael Ovits (“Ovits“) sebagai presiden. Komite Kompensasi, pada Agustus 1995, menyetujui perjanjian kerja dengan Ovits – yang juga berisi syarat-syarat yang dikenakan bagi Ovits – termasuk kompensasi yang diberikan padanya.
Salah satu pemegang saham Walt Disney menggugat direksi karena Komite Kompensasi dianggap gagal memenuhi kewajiban kehati-hatiannya dalam menyetujui perjanjian kerja dengan Ovits. Ketika diberhentikan bekerja pada Januari 1997, dan baru bekerja selama 16 bulan dengan kinerja yang kurang baik, Ovits diberikan kompensasi besar berjumlah US $130 juta. Komite Kompensasi digugat karena menyetujui pembayaran pesangon itu untuk Ovits, dan gagal memperoleh informasi berapa banyak yang seharusnya dibayarkan kepada Ovits, sehingga dianggap melanggar fiduciary duty dan melakukan corporate waste.
Mahkamah Agung Delaware sependapat dengan pengadilan di bawahnya, Court of Chancery, bahwa Komite Kompensasi gagal mempertimbangkan dan menyetujui perjanjian kerja dengan Ovits dengan mengikuti best practices atau praktik terbaik yang berlaku, tetapi keputusan itu telah dibuatnya dengan informasi yang cukup dan perlu diketahui. Walaupun uang pesangon yang dibayarkan itu begitu besar, tetapi jika penggugat tidak dapat mengemukakan fakta yang khusus, yang dapat mengalahkan anggapan yang ber-laku pada BJR, keputusan direksi itu tidak dapat diganggu gugat. Fakta-fakta khusus yang dimaksud adalah, misalnya, direksi melakukan tindakan koruptif, atau membuat keputusan itu secara tidak jujur dan tidak independen, dan bukan untuk kepentingan perusahaan yang terbaik.[31][****]
Terkait pengertian iktikad baik, untuk melindungi kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya, perbuatan fidusia yang tidak menyangkut masalah loyalitas tetapi secara kualitatif lebih jahat daripada kecerobohan yang berlebihan (gross negligence), seharusnya dikeluarkan dari perlindungan hukum. Dalam kaitan ini, Mahkamah Agung Delaware sependapat dengan Court of Chancery, bahwa keadaan tidak bertindak dan netral yang disengaja di hadapan kewajiban hukum untuk bertindak adalah tindakan yang jelas merupakan ketaksetiaan terhadap korporasi. Hal itu merupakan lambang tindakan ketaksetiaan.
Mahkamah Agung Delaware menyimpulkan, Court of Chancery telah menetapkan secara tepat. Keputusan pihak Walt Disney yang digugat karena menyetujui pembayaran pesangon Ovits, untuk menerima Ovits sebagai presiden dan memberhentikan dia dengan kompensasi yang telah disepakati, dilindungi oleh BJR. Keputusan itu tidak melanggar fiduciary duty.
Pengadilan juga mempertimbangkan masalah keputusan di-reksi yang memberhentikan Ovits tanpa kesalahan yang berarti, kecuali karena kinerjanya yang kurang baik. Pengadilan menyadari hal ini cukup sulit, karena jika Ovits diteruskan sebagai presiden, tindakan ini bukan merupakan pilihan yang memuaskan. Namun, apabila diberhentikan karena alasan tertentu, direksi harus menemukan alasan, seperti melakukan tindakan kecerobohon (gross negligence) atau perbuatan jahat, dan kedua hal ini tidak dapat diketemukan dalam perkara ini.[32][††††]
Penggugat lebih lanjut menyatakan, bahwa walaupun dilin-dungi oleh BJR, pembayaran pesangon yang besar itu merupakan pemborosan (corporate waste). Tuntutan melalui pemborosan ini berakar pada doktrin yang menunjukkan, bahwa jika penggugat gagal mengalahkan adanya anggapan BJR, tidak berhak atas ganti kerugian, kecuali jika merupakan pemborosan.[33][‡‡‡‡] Dalam hal ini, pengadilan mengutip keputusan kanselir Allen dalam perkara Vogelstein berikut:[34][§§§§]
“The judicial standard for determination of corporate waste is well developed. Roughly, a waste entails an exchange of corporate assets for consideration so disproportionately small as to lie beyond the range at which any reasonable person might be willing to trade. Most often the claim is associated with a transfer of corporate assets that serves no corporate purpose; or for which no consideration at all is received. Such transfer is in effect is a gift. If, however, there is a substantial consideration received by the corporation, and if there is good faith judgment that in the circumstances the transaction is worthwile, there should be no finding of waste, even if the fact finder would conclude ex post that the transaction was unreasonably risky. Any other rule would deter corporate board from the optimal rational acceptance of risk, for reasons explained elsewhere. Courts are ill fitted to attempt to weigh the „adequacy“ of consideration under the waste standard or, ex post, to judge appropriate degree of business risk.
(Terjemahan bebas: Standar hukum untuk menentukan pemborosan korporasi telah berkembang. Secara umum, dapat dikatakan bahwa sebuah pemborosan menghasilkan pertukaran yang menyangkut aset perusahaan berdasarkan pertimbangan yang begitu kecil, tidak proporsional, dan berada di luar batas yang wajar, yang dapat diterima bagi orang umumnya, ketika ingin melakukan per-tukaran. Gugatannya sering berkaitan dengan pemindahan harta perusahaan yang tidak berhubungan dengan tujuan korporasi atau tidak ada pertimbangan yang menyangkut kepentingan perusahaan. Secara esensiel, pemindahan aset seperti itu meru-pakan pemberian. Akan tetapi, jika kepentingan perusahaan dipertimbangan secara substansial dan ada iktikad baik bahwa kondisi transaksi itu dapat dipertimbangkan, seyogianya tidak dapat diketemukan pemborosan sekalipun jika orang yang menemukan fakta menyimpulkan setelah kejadian, bahwa transaksi itu sangat berisiko. Setiap ketentuan yang lain akan menghalangi direksi untuk menerima risiko rasional yang optimal atas alasan yang dijelaskan di tempat lain. Pengadilan tidak cocok untuk berusaha menimbang mengenai kecukupan pertim-bangan berdasarkan standar pemborosan atau setelah kejadian mempertimbangkan tingkat risiko bisnis).  
Berdasarkan pendapat tersebut, penggugat mesti membukti-kan bahwa transaksi yang menimbulkan pemborosan itu bersifat sangat sepihak, sehingga tidak ada pengusaha biasa dengan pertimbangan yang sehat menyimpulkan bahwa kepentingan perusahaan telah diperhitungkan secara memadai. Gugatan pemborosan timbul dari keadaan yang langka dan ketakpatutan; direksi memboroskan dan membagikan aset perusahaan secara tidak masuk akal. Mahkamah menolak tuntutan tersebut, dengan pertimbangan bahwa pembayaran pesangon yang diributkan itu memiliki dasar bisnis yang rasional, yaitu jumlah tersebut yang membuat Ovits menerima tawaran kerja di Walt Disney; dan tanpa itu, akan menimbulkan biaya yang besar baginya untuk mening-galkan pekerjaan yang lama.
Robert Sprague menyimpulkan, sejauh direksi tidak mem-peroleh keuntungan finansial, direksi tidak dapat dinyatakan bersalah karena perbuatan yang buruk, kecuali perbuatan itu dilatarbelakangi niat yang jelas untuk menimbulkan bahaya atau kerugian, atau merupakan keteledoran yang keterlaluan (gross negligence), atau menyangkut pengabaian secara sadar terhadap tanggung jawab, tetapi di luar dari sekadar kurangnya perhatian atau gagal menggunakan informasi dengan seluruh fakta materiil. Menurut E. Norman Veasey, dalam hal tersebut pengadilan mem-berikan perhatian pada proses yang digunakan direksi dalam mengambil keputusan, tetapi tetap tidak memeriksa substansi keputusan itu sendiri.[35][*****] Pengadilan menyatakan hal berikut:[36][†††††]
Courts do not measure, weigh or quantify directors judgments. We do not even decide if they are reasonable in this context. Due care in the decision making context is process due care only....“.

(Terjemahan bebas: Pengadilan tidak mengukur, menimbang, atau mengantisipasi keputusan direksi. Bahkan, kami tidak memutuskan apakah mereka itu bertindak secara wajar. Due care dalam pengambilan keputusan adalah kehati-hatian yang sepatutnya hanya dalam proses).
Dengan itu, pengadilan tidak mengukur atau menilai pertim-bangan direksi, bahkan tidak memastikan bahwa keputusan itu wajar atau tidak. Due care dalam konteks pengambilan keputusan hanya due care dalam prosesnya saja. Jadi, keputusan direksi akan dihormati oleh pengadilan, kecuali jika direksi tertarik pada transaksi terkait: tidak independen terhadap keputusan, tidak beriktikad baik, bertindak dengan cara yang tidak mendukung tujuan bisnis yang rasional, atau membuat keputusan dengan proses yang merupakan gross negligence, termasuk gagal menggunakan seluruh informasi materiil yang tersedia secara wajar.[37][‡‡‡‡‡]
Dalam perkara ini, pengadilan kembali menggunakan for-mulasi tradisional BJR yang dimulai dengan adanya anggapan BJR, bahwa dalam mengambil keputusan bisnis, direksi telah bertindak berdasarkan informasi yang cukup, dengan iktikad baik, dan keyakinan yang jujur bahwa tindakan itu dilakukan demi kepentingan yang terbaik bagi perusahaan.[38][§§§§§]     
l.    Stroud vs. Grace
Hukum Delaware membebankan untuk mengungkapkan se-luruh fakta materiil secara jujur dan utuh yang ada di bawah kontrolnya. Fiduciary duty akan menentukan secara signifikan suara atau keputusan pemegang saham (duty of candor). Dalam perkara yang terjadi pada 1992 ini, Mahkamah Agung menyatakan bahwa pelanggaran duty of candor ini akan mengakibatkan penalti ekonomi yang berat bagi direksi yang melanggarnya. Dalam case law, hukum dan kebijakan yang ada telah berkembang menjadi ketentuan yang mengabulkan ganti kerugian bagi direksi yang melanggar fiduciary duty of disclosure.[39][******] 
m. Alaska Plastics
Dalam perkara ini, pemilik saham menuntut direksi karena menganggap mereka lalai dalam mengasuransikan pabrik yang ada di Fairbanks, Alaska, dan mereka menyimpan jumlah uang tunai yang besar dalam rekening tanpa bunga di bank, serta menyatakan bahwa direksi telah melanggar duty of care. Pengadilan menolak argumen ini dengan menyatakan: bahwa direksi memiliki diskresi mengenai asuransi dan praktik perbankan, dan pengadilan seyogianya menghormati diskresi itu, karena para hakim bukan merupakan ahli bisnis.[40][††††††]
2.   Perkara Kredit Macet/Kasus Perbankan
BJR diterapkan pertama kali dalam perkara yang berkait dengan bank di Amerika oleh Mahkamah Agung Louisiana, pada tahun 1829. Mulanya, standar duty of care yang diterapkan pada direksi bank sama seperti pada direksi perusahaan lain, setara dengan tingkat kehati-hatian yang diterapkan oleh orang biasa, ketika yang bersangkutan mengelola bisnismya sendiri. Direksi bank hanya digugat ketika melakukan gross negligence.
Dalam perkara Percy vs. Millaudon, pemegang saham The Planters Bank menuntut tiga direkturnya atas kerugian akibat pemberian pinjaman yang tidak wajar kepada presiden dan kasir bank itu. Namun, pengadilan menyatakan bahwa direksi adalah agen pemegang saham, memusatkan perhatian pada analisis tugas sebagai agen dalam keadaaan tersebut. Pengadilan secara khusus menyatakan, direksi tidak diharapkan menggunakan seluruh waktu dan perhatiannya kepada institusi, lain halnya bagi mereka yang diberikan kompensasi untuk menggunakan seluruh waktunya kepada bank.
Akhirnya, pengadilan tidak menemukan bukti tindakan direksi atas kerugian itu dan membebaskan direksi dari tuntutan terkait.[41][‡‡‡‡‡‡]
Dalam perbankan modern, pemberian kredit secara tidak wajar merupakan pelanggaran atas ketentuan “batas pemberian kredit” (legal lending limit, disingkat LLL), atau sama dengan ketentuan BMPK di Indonesia.
Sejak terjadi depresi besar tahun 1929, pengadilan mulai memperketat standar penilaian duty of care terhadap direksi bank. Hal ini dapat dilihat dari keputusan pengadilan pada tahun 1938 yang mengatakan:[42][§§§§§§]
The directors are required... to use ordinary diligence: and by ordinary diligence is meant, that the degree of care demanded by the circumstances... They must keep in mind that a national bank is not a private corporation in which stockholders alone is interested ..... [One] of its principal purposes among others is to hold and safe the money of its depositors”.
(Terjemahan bebas: Direksi dituntut... menggunakan kepedulian yang biasa: kepe-dulian biasa yang dimaksud adalah tingkat kehati-hatian yang dituntut oleh keadaan yang dihadapi... Mereka harus tetap ingat bahwa bank nasional adalah bukan korporasi swasta dan hanya pemegang saham saja yang berkepentingan... Salah satu tujuan utamanya antara lain adalah untuk menangani secara aman uang para deposannya).
Dengan begitu, duty of care yang diperlukan adalah disesuai-kan dengan keadaan yang dihadapi. Hal ini perlu diingat karena bank bukan korporasi biasa dan bukan hanya pemegang saham saja yang berkepentingan. Salah satu tujuannya adalah untuk menyimpan dan mengamankan uang para deposan.
 Setelah Krisis Bank Tabungan (Saving & Loan Association) tahun 1980-an, Jon Canfield[43][*******] juga mencatat adanya evolusi penerapan BJR ke arah yang lebih ketat dalam ruang lingkup bank. Titik tolak evolusi ini dimulai dari formulasi yang diberikan oleh Mahkamah Agung Amerika, dari perkara Briggs vs. Spaulding, dengan menyatakan bahwa direksi bank harus memenuhi pengertian berikut: 
Ordinary care and prudence in the administration of the affairs of a bank, and that this includes something more than officiating as figure heads. [Bank directors] are entitled under the law to commit the banking business, as defined, to their duly-authorized officers, but this does not absolve them from the duty of reasonable supervisions, nor ought they [ ] be permitted to be shielded from liability because of want of knowledge of wrong doing, if that ignorance is the result of gross inattention”.
(Terjemahan bebas: Kehati-hatian dan kepedulian yang biasa dalam administrasi perbankan mencakup lebih dari sekadar melembagakan figur pemimpin. Berdasarkan undang-undang, direktur bank merupa-kan jabatan berpayung hukum untuk melaksanakan bisnis perbankan, seperti yang didefinisikan, bagi mereka yang memang layak diberikan wewenang. Akan tetapi, hal ini tidak berarti mereka bebas dari kewajiban pengawasan yang wajar. Dan seharusnya mereka tidak diizinkan ditamengi dari kewajiban mengganti kerugian karena tidak mengetahui adanya tindakan yang salah, jika ketaktahuan itu merupakan hasil dari tidak adanya perhatian yang memadai). 
Penerapan BJR yang lebih ketat dapat dilihat dari keputusan pengadilan pada 1980-an dan awal 1990. Pengadilan mulai memeriksa keputusan lembaga keuangan yang berkaitan dengan pemberian pinjaman, yang sebelumnya tidak pernah dipertanya-kan, dan dapat dilihat dari perkara-perkara berikut:[44][†††††††]







Keputusan Pengadilan Amerika dalam Perkara
Kredit Macet Menurut Jon Canfield

No.
Perkara
Inti Keputusan Pengadilan
1.
Warren vs. Century Bankcorporation Inc., Oklahoma (1987).
Direksi bank tidak memperoleh perlin-dungan hukum karena mendirikan perusahaan pinjaman saingan dan memperoleh fee dari perusahaan pinjaman itu.
2.
Saving & Loan di Texas.
BJR melindungi direksi yang tidak memiliki kepentingan, kecuali jika transaksi merupakan ultra vires, atau telah dinodai penipuan atau fraud.
3.
Hun vs. Cary
Direksi dinyatakan melanggar kese-tiaan, kehati-hatian, dan diligence, karena memutuskan untuk mendirikan gedung kantor pusat baru ketika bank dalam keadaan tidak solvable.
Keputusan tidak ada hubungan secara rasional terhadap potensi keuntungan.
4.
Litwin vs. Allen
Direksi memutuskan untuk membeli surat utang jangka panjang (deben-ture) pada tingkat bunga tetap. Alleghany Corporation menandatangani kontrak call option untuk enam bulan, tetapi Guaranty Trust tidak menutup-nya dengan kontrak put option untuk menjaga kemungkinan harga akan turun dalam kurun waktu enam bulan yang sama. Akibatnya, ketika harga turun, Alleghany tidak dapat meng-eksekusi  call  option   tersebut,  dan menyebabkan Guaranty mengalami kerugian terhadap modalnya, tanpa dapat ditutup dari capital gain.
Direksi bertanggung jawab dan lalai, karena gagal membeli put option yang diperlukan, sehingga BJR tidak dapat melindunginya.

dilanjutkan
lanjutan . . .
5.
FDIC vs. Robertson
Direksi bank lalai karena memberikan kredit kepada bisnis baru tanpa di-dasarkan pada jejak rekam bahwa usaha itu telah menghasilkan keun-tungan, tidak memiliki laporan ke-uangan yang akurat, dan tidak dida-sarkan pada rencana pembayaran kembali.
6.
FDIC vs. Stanley
Direksi tidak bertanggung jawab walaupun telah memberikan kredit kepada bisnis baru tanpa adanya bukti telah menghasilkan keuntungan, sejauh pinjaman memiliki jaminan dan kea-daan keuangan debitor menunjukkan perbaikan.
7.
FDIC vs. Wheat
Direksi bertanggung jawab karena lalai, melanggar kontrak, dan melanggar fiduciary duty, sehubungan dengan memberikan pinjaman hanya atas dasar jaminan pribadi untuk pembayaran kembali.
8.
FDIC vs. Stanley
Direksi bertanggung jawab karena memberikan fasilitas sewa guna dengan jaminan di luar daerah geografis bank.
9.
RTC vs. Hess

Direksi tetap dilindungi dari gugatan melanggar fiduciary duty dan lalai, tidak dapat membatasi pemberian pin-jaman ke daerah geografis tertentu.
10.
Noble vs. Baum

Direksi memberikan pinjaman tanpa modal ekuitas dari debitor, tetap dilin-dungi BJR.
11.
Broderick vs. Marcus

Direksi bank bertanggung jawab untuk melakukan pertimbangan yang lebih hati-hati daripada direksi dari perusa-haan bisnis lain, karena direksi bank harus bertanggung jawab mengawasi dana deposan agar dikelola dengan baik dan aman.
12.
Atherton vs. Anderson

Direksi harus dapat mendeteksi adanya tindakan fraud, jika mereka membaca materi yang didistribusikan dalam rapat direksi.
dilanjutkan . . .
lanjutan…
13.
FDIC vs. Bierman, Stanley

Direksi harus melakukan fungsi penga-wasan yang wajar terhadap operasi bank dan fungsi pemberian pinjaman.
14.
Starrels vs. National Bank of Chicago
Direksi berada dalam batas ketentuan BJR walaupun memberikan pinjaman dengan jaminan yang kurang.
Sumber:    Jon Canfield, “The Evolution of a More Strigent Business Judgment Rule in Banking, The Minimilization of Director Deference”,
                 <http://blj.ucdavis,edu/article.asp?id=589> [01/05/2006].
Perkembangan berikutnya, pada 1993, pengadilan memper-jelas tanggung jawab direksi bank, dalam mengontrol dan mengawasi kondisi bisnis bank. Direksi harus memenuhi tingkat kepedulian (duty of care) yang biasa dilakukan oleh orang yang hati-hati (prudent) dan kepedulian (diligent) dalam situasi yang sama. Hal itu sangat bergantung kepada keadaaan dan ditentukan oleh keseluruhan keadaan. Pengadilan menyatakan, direksi tidak boleh hanya bersandar pada pertimbangan bawahan ketika ada petunjuk mengenai kesalahan manajemen dan investasi yang berisiko tinggi. Dalam keadaan seperti itu, pengadilan mengakui perlunya peningkatan tanggung jawab bagi direksi yang mengetahui bahwa sesuatu yang menyimpang sedang terjadi.  Jika ada kecurigaan mengenai sesuatu yang salah terjadi, karena direksi bertanggung jawab terhadap pihak ketiga yang berhu-bungan dengan bank, direksi harus meluangkan waktu dan tenaga yang cukup untuk mempelajari apa yang sesungguhnya terjadi. Tanggung jawab ini tidak dapat didelegasikan ke pihak lain.[45][‡‡‡‡‡‡‡]

B.   BEBERAPA KASUS DI JEPANG
Hampir seluruh uraian mengenai BJR dan pertimbangan pengadilan di Jepang berasal dari Mitsuru Misawa, pakar BJR terkemuka di Jepang. Mitsuru Misawa mengungkapkan, bahwa sebelum tahun 1995, perbankan di Jepang hampir tidak pernah mengalami kegagalan.
Akan tetapi, ketika ekonomi balon meletus, perekonomian Jepang mengalami krisis dan banyak bank mengalami kegagalan. Pemerintah Jepang kemudian mendirikan Resolution and Collection Corporation (RCC), BPPN di Indonesia. Salah satu tugas RCC adalah menuntut para direksi bank yang gagal, atas dasar pelanggaran duty of care menurut Hukum Dagang Jepang. Dari 122 perkara, 12 perkara menyangkut kerugian sebesar ¥2 miliar.[46][§§§§§§§]
Namun, perkembangan konsep duty of care di Jepang ter-kebelakang dibandingkan Amerika. Hukum Dagang di Jepang diperkenalkan oleh Jerman pada 1899 saat periode Meiji, sebagai bagian dari proses akseptasi hukum barat. Pada masa pendudukan, Hukum Dagang direformasi dengan mengadopsi pendekatan hukum Anglo American, hanya saja konseps duty of care tidak tersentuh.
1.   Prinsip Duty of Care
Berdasarkan uraian Mitsuru Misawa, hubungan antara direksi dengan perusahaan adalah berdasarkan ketentuan pemberian kepercayaan (rules of entrustment) dan diatur dalam kontrak kepercayaan (entrusting contract). Rule of entrusment berlaku pada hubungan antara perusahaan dan direksi. Direksi wajib melaksanakan tugas dengan kepedulian yang tepat (with proper care) sebagai pejabat bonafide. Menurut Hukum Dagang (Civil Code) Jepang, kontrak ini melahirkan duty of care sebagai manajer yang bonafide, baik untuk direksi maupun representative director. Menurut Civil Code Jepang, bonafide manager’s duty of care sebagai berikut:
Merupakan kewajiban hukum bagi seorang direktur untuk mela-kukan pekerjaan dengan saksama demi manfaat bagi perseroan, dengan menghormati hukum dan peraturan, anggaran dasar dan resolusi rapat pemegang saham, yang secara keseluruhan disebut sebagai duty of loyalty dari direksi.[47][********]
Berdasarkan definisi ini, tugas kepedulian mewajibkan direksi melakukan kepedulian yang diperlukan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perusahaan sesuai pekerjaan direksi.
Duty of care adalah tugas melaksanakan kepedulian terhadap perusahaan sesuai dengan pekerjaan, yaitu melakukan pekerjaan secara tulus untuk kepentingan perusahaan, menghormati keten-tuan dan hukum yang berlaku, anggaran dasar perusahan, dan keputusan rapat pemegang saham. Tugas ini secara kolektif disebut duty of loyalty.
Duty of loyalty mewajibkan direksi tidak melakukan tindakan untuk kepentingan diri sendiri atau pihak ketiga dengan mengor-bankan manfaat bagi perusahaan. Di samping itu, direksi wajib melakukan monitoring dan pengawasan pelaksanaan pekerjaan direksi yang lain, disebut duty of monitoring.[48][††††††††]
Sebagai direksi, para direktur seharusnya mengerti bisnis perusahaan dengan baik, berpartisipasi dalam pelaksanaan bisnis perusahaan yang tepat berdasarkan bonafide manager’s duty of care, duty of loyalty, dan duty of monitoring.[49][‡‡‡‡‡‡‡‡]
2.   Prinsip Keputusan Manajemen[50][§§§§§§§§]
Mitsuru Misawa berpendapat, dalam mengkaji keputusan manajemen, teori yang dapat digunakan adalah bahwa seorang direktur tidak dapat dituntut karena pertimbangan manajemen yang salah, kecuali jika dengan jelas dapat dilihat bahwa keputusan itu tidak masuk akal dari kacamata kemampuan manajerial yang umum. Teori ini disebut sebagai the judgment principle concerning the rationality of management, yang dikem-bangkan dari BJR Amerika.
Salah satu bentuk pelanggaran terhadap duty of care dari manajemen yang bonafide adalah management judgment error, yang merupakan perbuatan buruk (misconduct) yang terjadi apabila seorang manajer menimbulkan kerugian yang besar, walaupun tidak ada undang-undang yang dilanggar.[51][*********] Contoh, pinjaman yang diberikan kepada perusahaan afiliasi, dan ternyata perusahaan ini mengalami kegagalan sehingga pinjaman tidak dapat dibayar kembali. Atau, pinjaman diberikan kepada perusa-han baru berdiri, dan karena kerugian yang terus-menerus, akhirnya pinjaman yang diberikan tidak dapat dikembalikan.
Apabila pinjaman yang besar diberikan tanpa uji tuntas (due dilligent) tanpa agunan sehingga terlalu riskan bagi seorang wajar atau ”reasonable person”, maka keputusan manajemen seperti itu akan dianggap sebagai tindakan yang tidak wajar (unreasonable conduct), dan menunjukkan kurangnya tingkat kepedulian atau ketakhati-hatian (lack of due care).
Jika keputusan manajemen didasarkan pada investigasi dan analisis yang wajar, tidaklah beralasan dan tidak tepat untuk menilai manajemen mengambil keputusan yang salah. Tidaklah mungkin memberikan kredit tanpa risiko, karena manajemen selalu menghadapi ketakpastian, terutama yang berkait dengan masa depan. Pemegang saham mempercayakan tanggung jawab manajemen kepada kemampuan direksi sebagai pertanda mene-rima suatu tingkat ketakpastian.[52][†††††††††]
3.   Perkara Kredit Macet
a.   Perkara Chunkyo Bank[53][‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Chukyo Bank memberikan pinjaman ke perusahaan A ber-jumlah ¥2,7 miliar, yang terdiri atas tiga pinjaman sejak 1988 hingga 1990. Pada 1991, perusahaan A bangkrut. Agunan untuk pinjaman pertama berupa bangunan di Amerika, yang tidak dipelihara dengan baik sehingga susah untuk dijual. Agunan untuk pinjaman kedua dan ketiga adalah kupon obligasi pemerintah  yang mereka terima, dan pada saat itu sudah diketahui bahwa perusahaan A sudah berada dalam kesulitan.
Seluruh direktur bank yang hadir dalam rapat saat menyetujui pinjaman tersebut digugat dengan dasar melanggar bonafide manager’s duty of care, karena menerima agunan yang tidak bisa dijual dan tidak tepat karena berupa kupon obligasi pemerintah. Direksi yang tidak hadir ketika itu juga digugat, karena dianggap lalai tidak membentuk sistem pengawasan terhadap keputusan direksi yang lain dan gagal mempertanyakan keputusan mereka. Tambahan pula, pinjaman terakhir tersebut diberikan pada saat perusahaan mulai mengalami kesulitan.

Apakah direksi melanggar bonafide manager’s duty of care didasarkan pada kesalahan atau kegagalan yang tidak dapat dimaafkan sebagai ”seorang korporat biasa” (ordinary corporate person) dalam melaksanakan tugasnya. Secara khusus, hal ter-sebut dilihat dari proses mengumpulkan fakta, yang menjadi dasar pengambilan keputusan, atau dalam proses pengambilan kepu-tusan itu sendiri, sehingga keputusan manajemen melanggar ruang lingkup wewenang diskresi yang diberikan kepada direksi.
Walaupun pinjaman menjadi macet, keputusan memberikan pinjaman itu tidak secara otomatis menentukan adanya pelang-garan. Akan tetapi, perihal yang harus dipertimbangkan adalah apakah direksi melakukan pelanggaran sehingga membuat ke-salahan atau kegagalan yang tidak dapat dimaafkan sebagai seorang ordinary corporate person.
Kesalahan tersebut dilihat dari segi persyaratan pinjaman, isi dan rencana pembayaran, ada atau kurangnya isi agunan, keadaan manajemen dan harta kekayaan debitor, dan berbagai situasi lainnya. Mengenai perkara a quo, jaminan yang diterima bukan tidak tepat, atau nilainya lebih rendah dibandingkan dengan jumlah pinjaman yang diberikan, tetapi, hal tersebut karena situasi bisnis debitor yang sedang berkembang, dan memerlukan tambahan utang, dengan konsekuensi keuntungannya berkurang. Keadaan seperti itu bukan tidak biasa bagi perusahaan yang melakukan investasi dalam mengantisipasi perkembangan bisnis di masa depan. Penyebab utama kebangkrutan usaha debitor adalah kebijaksanaan uang ketat pemerintah yang diberlakukan pada semester kedua tahun 1990, yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya oleh bank.
Walaupun diketahui bahwa jaminan yang diterima tidak cukup, direksi membuat keputusan tersebut karena ha-hal lain, seperti: kinerja bisnis debitor, catatan transaksi yang telah terjadi, potensi perkembangan masa depan, dan kerja sama debitor selama bertransaksi dalam kaitan dengan obligasi pemerintah. Karena itu, tidak mungkin dapat melihat adanya kesalahan yang tidak dapat dimaafkan sebagai ordinary corporate person dalam proses peng-ambilan keputusan. Dengan demikian, tidak mungkin menemukan pelanggaran bonafide manager’s duty of care pada anggota direksi yang hadir dalam rapat direksi.
Akhirnya, tidak ada direksi yang dinyatakan melanggar bonafide manager’s duty of care.
b.   Perkara Long Term Credit Bank of Japan[54][§§§§§§§§§]
Shinsei Bank (dahulu bernama Long Term Credit Bank) menuntut ganti rugi sebesar ¥100 juta (US $1 juta) kepada mantan vice president-nya karena kredit macet.
Gugatan yang diajukan adalah melanggar duty of care karena memberikan tambahan pinjaman kepada proyek pembangunan fasilitas resort di Hatsushima, daerah administrasi Shizuoka, Jepang. Bank Shinsei menggugat mantan pejabat bank tersebut tidak mengumpulkan informasi yang cukup dan tidak menganalisis informasi secara cermat, dan gagal melakukan penilaian untuk mengetahui manfaat dan kerugian, jika tambahan pinjaman diberikan.
Sesungguhnya, pada saat pinjaman yang besar itu diberikan, sudah dapat diperhitungkan bahwa kredit tersebut tidak akan dapat ditagih kembali. Dengan seluruh alasan ini, tindakan memberikan pinjaman tambahan tersebut menyebabkan kerugian bagi pihak penggugat. Lebih lanjut, penggugat menyatakan bahwa yang digugat tidak meneliti proyeksi penjualan keanggotaan beberapa tahun ke depan, dan gagal mengumpulkan informasi untuk mengetahui apakah penggugat akan mengalami masalah sosial atau kredibilitas jika pinjaman tambahan tidak diberikan.
Oleh karena itu, yang bersangkutan dinyatakan bertanggung jawab atas kelalaiannya. Walaupun tergugat menyatakan bahwa sebagai direktur bank yang besar dapat mengambil keputusan berdasarkan laporan dan analisis yang dibuat oleh bawahan   (right of reliance), yang bersangkutan tidak dapat bersandar    pada laporan yang dibuat oleh direktur lain atau bawahannya    jika terdapat “keadaan yang memberikan signal peringatan” (circumstances that raise warnings), atau terdapat fakta yang tidak normal. Dengan demikian, direktur tersebut tidak dapat dimaafkan karena tidak melakukan pengumpulan informasi yang cukup untuk melakukan penelitian yang memadai.

Pengadilan mengetahui bahwa penggugat mengalami kerugian ¥6.1 miliar karena pinjaman macet tersebut, dan memerintahkan tergugat untuk membayar ganti rugi ¥100 juta. Inti dari pertim-bangan pengadilan itu adalah bahwa direksi dinyatakan gagal dalam melakukan analisis dan menilai risiko, yang menunjukkan kemungkinan untuk memperoleh pinjaman itu kembali adalah kecil, dibandingkan dengan kemungkinan kerugian sebagai akibat tidak diberikannya pinjaman tambahan.

C.   MENGANALISIS VONIS KEPUTUSAN BISNIS
1.   Pengadilan di Amerika
a.   Perkara Non-Kredit
Intisari seluruh pertimbangan pengadilan di Amerika yang berkait dengan perkara nonkredit, sebagaimana telah diutarakan, adalah bahwa perlindungan BJR tidak dapat diberikan jika tidak memiliki informasi yang cukup untuk mengambil keputusan, sehingga melanggar duty of care, atau melakukan gross negli-gence, yang dapat mengarah kepada iktikad buruk. Tidak memiliki informasi yang cukup, atau melakukan gross negligence, dilihat dari keadaan berikut:
1)   Direksi hanya hadir dalam rapat untuk melakukan voting, tanpa mempelajari terlebih dahulu dokumen merger yang akan diputuskan. Tidak berusaha untuk mengetahui apakah harga saham yang akan dijual itu wajar atau tidak, atau tidak melakukan penilaian secara independen.
2)   Tidak memiliki dasar yang rasional dalam memilih alternatif, karena tidak mencari alternatif lain secara prudent, sehingga tidak mengetahui pilihan yang diambil kompetitif atau tidak. Akibatnya merugikan pemegang saham.
3)   Melakukan tindakan secara hati-hati berarti mengunakan informasi yang secara materiil diperlukan untuk mengambil keputusan. Jika tidak, itu artinya melakukan gross negligence.
4)   Tidak mempertimbangkan sebuah transaksi secara lengkap karena tidak mempertimbangkan kemungkinan kerugian dan keuntungan secara seimbang pada saat yang sama. Menutup kontrak penjualan debentures dengan opsi membeli kembali dalam waktu tertentu dengan harga yang sama, menimbulkan kerugian ketika harga turun; sekaligus menutup kemungkinan untuk memperoleh tambahan atas modal (capital gain) ketika harga naik.
5)   Tidak mempelajari terlebih dahulu usulan penasihat keuangan dan langsung menyetujui penjualan saham. Hal itu disebut sebagai tindakan asal tanda tangan (rubber stamped).
Selain itu, perlindungan BJR tidak dapat diberikan jika me-langgar duty of loyalty, melakukan perbuatan yang merupakan self dealing, dan melanggar duty of candor, dilihat dari keadaan berikut:
1)   Melanggar duty of loyalty diartikan sebagai: Adanya pengaruh yang tidak patut dalam diri direksi, sehingga melakukan kompromi terhadap kemampuannya untuk mengevaluasi penjualan saham secara independen. Tidak membuka seluruh informasi yang penting yang berkaitan dengan penjualan saham kepada seluruh pemegang saham sehingga tidak memenuhi duty of loyalty, due care, dan iktikad baik.
2)   Melakukan perbuatan yang merupakan self dealing, jika direksi tampak dalam dua sisi dari sebuah transaksi, atau meng-harapkan manfaat keuangan untuk pribadi yang seharusnya merupakan hak perseroan.
3)   Melanggar duty of candor, yang diartikan tidak mengung-kapkan fakta materiil secara jujur yang ada dalam kontrol direksi dalam proses pengambilan keputusan. Keadaan ini juga merupakan pelanggaran fiduciary duty of disclosure sebagai dasar untuk menuntut ganti kerugian ekonomis yang berat dari direksi.
Namun, perlindungan BJR tetap diberikan, dalam hal direksi membuat keputusan bisnis, seperti: tidak menyalakan lampu di malam hari (perkara Shlenky vs. Wrigley), mengambil fasilitas leasing dan tidak mengambil alternatif untuk memperbaiki pesawat yang ada (perkara Stanziale vs. Nachtomi), membagikan dividen dalam bentuk saham dari perusahaan lain (perkara Kamin vs. American Express Company), tidak membayar dividen (perkara Gottfried vs. Gottfreid), memberikan pesangon yang besar (perkara Walt Disney), dan tidak mengasuransikan pabrik (perkara Alaska Plastic). Perlindungan tetap diberikan sejauh direksi dalam proses pengambilan keputusan menggunakan informasi yang cukup, dan memenuhi anggapan BJR yang berlaku. Keputusan itu bersifat rasional dilihat dari proses pengambilan keputusan itu sendiri. Pengadilan menolak gugatan, walaupun keputusan itu ternyata membawa kerugian, atau direksi dipersalahkan karena tidak mengambil alternatif lain. Hal itu bukan merupakan kesa-lahan direksi, tetapi semata-mata sifat pengambilan keputusan yang mengandung risiko tertentu.
b.   Berkait dengan Bank dan Kredit
Penerapan BJR pada perkara yang berkaitan dengan bank tampak lebih ketat. Sebagai latar belakangnya, bank dianggap bukan sebagai korporasi biasa. Sebagai pengelola dana masya-rakat, bank bertindak untuk kepentingan masyarakat luas yang dapat mempengaruhi perekonomian nasional. Karena itu, dalam fungsi tersebut, bank dapat dikatakan mewakili pemerintah. Dalam pertimbangannya, pengadilan mulai menyebutkan mengenai kepentingan para deposan, dan salah satu tujuan bank yang utama adalah untuk mengamankan uang para deposan itu. Kepentingan para deposan terhadap keamanan uang mereka yang disimpan pada bank secara khusus ditekankan dalam perkara Broderick vs. Marcus. Direksi harus bertanggung jawab atas pengelolaan dana tersebut secara baik dan aman.
Oleh karena itu, direksi harus bertanggung jawab atas penga-wasan pelaksanaan pekerjaan yang berkait dengan pengelolaan dana itu, dengan metode tertentu yang diperlukan (perkara FDIC vs. Bierman, Stanley); dan harus dapat mendeteksi adanya penyimpangan atau penipuan (perkara Atherton vs. Anderson). Direksi bertanggung jawab atas pengawasan terhadap bawahan-nya (perkara Briggs vs. Spaulding).
Pada mulanya, pertimbangan dan keputusan pengadilan sama seperti yang dilakukan oleh pengadilan yang berkait dengan bukan bank di atas. Direksi tidak dapat diberikan perlindungan BJR karena telah membuat perusahaan pinjaman saingan, dan telah pula menerima kompensasi dalam bentuk fee (perkara Warren vs. Century Bankcorporation Inc). Walapun banyak institusi S&L gagal, direksi yang tidak dilindungi BJR memiliki kepentingan pribadi, melakukan tindakan ultra vires, atau dengan noda penipuan (perkara Saving & Loan).
Dalam perkara tersebut, jelas perlindungan BJR tidak dapat diberikan karena ada kepentingan pribadi, di luar kewenangan direksi, dan adanya penipuan.
Dari Perkara Citicorp Inc. Shareholder Derivative Litigation, disimpulkan bahwa direksi tidak dapat disalahkan karena meng-ambil risiko yang besar dalam kaitan dengan kerugian yang timbul, akibat pembiayaan subprime mortgage yang dilakukan Citicorp. Pembiayaan ini membuat industri keuangan Amerika mengalami krisis, yang berdampak negatif terhadap keuangan dunia. Dari segi perkreditan, masalah utama yang menyebabkan krisis ini bermula pada pemberian kredit perumahan kepada para debitor. Mereka tidak memiliki kemampuan keuangan yang layak diperlukan.       Di samping itu, tidak ada institusi di Amerika yang mengawasi sektor pembiayaan perumahan, yang dilakukan oleh mortgage companies. Penyebab ini hanya disadari oleh masyarakat luas setelah krisis terjadi.
Dalam kaitan dengan krisis tersebut, direksi juga digugat oleh pemegang saham karena tidak mengikuti berita di media massa mengenai masalah pembiayaan di bawah prima ini. Namun, pengadilan mengatakan bahwa pengambilan risiko adalah inti keputusan bisnis, dan duty of oversight tidak dirancang untuk me-ramalkan masa depan dan mengevaluasi risiko secara memadai. Tuntutan duty of care tidak dapat ditransformasikan menjadi tuntutan duty of oversight. Direksi dapat dikatakan memiliki iktikad baik, sejauh telah memiliki sistem kontrol internal dalam mengelola risiko. Berbeda dengan perkara Caremark, direksi dipersalahkan karena gagal memastikan adanya sistem pelaporan untuk mengawasi tingkah laku pegawai yang menyimpang, sehingga direksi dapat melakukan intervensi agar perseroan tidak mengalami kerugian.
Namun, dalam pengadilan berikut ada perbedaan, penerapan BJR tampak lebih ketat. Pengadilan menyatakan direksi harus bertanggung jawab karena dalam keadaan tidak solvable, direksi memutuskan untuk mendirikan gedung kantor pusat baru, sehingga melumpuhkan bank (perkara Hun & Cary). Pengadilan menyatakan direksi melakukan tindakan negligent, karena tidak menutup kontrak put option ketika menanda-tangani kontrak call option, sehingga bank mengalami kerugian (perkara Litwin vs. Allen).
Jika dianalisis, dari dua perkara tersebut dapat dikatakan, pertimbangan direksi tidak lengkap. Ketika mengambil keputusan, direksi tidak mempertimbangkan keadaan (keuangan) atau kon-sekuensi yang bakal timbul. Konsekuensi itu bukan merupakan perkiraan yang terjadi di masa depan, tetapi dapat diperhitungkan pada saat keputusan dibuat.
Pada perkara pertama (perkara Hun & Cary), dalam keadaan tidak solvable, keputusan mendirikan gedung baru jelas bukan keputusan yang tepat. Dalam keadaan seperti itu, sumber dana pembangunan gedung pasti bukan dari modal sendiri; paling tidak dari dana masyarakat yang disimpan di bank. Kalaupun dari modal para pemegang saham, penggunaannya dapat dialokasikan untuk kegiatan yang lebih produktif atau memperbaiki keadaan ke-uangan bank. Pendirian gedung baru tidak secara langsung dapat memperbaiki pendapatan atau keuntungan bank, malah mem-bebankan bank dengan pendanaan dan biaya pemeliharaan gedung yang lebih besar, akhirnya dapat melumpuhkan bank. Dalam hal ini, mungkin ada pemikiran di belakang pendirian gedung itu bahwa dengan adanya gedung kantor yang megah, para deposan yakin bahwa bank itu tetap dapat dipercaya, sehingga tetap menambah simpanannya. Namun, keadaan bank yang tidak solvable adalah keadaan bank yang tidak mampu lagi menghasilkan pendapatan atau keuntungan secara memadai. Keberadaan gedung baru tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan atau keuntungan, kecuali menimbulkan biaya yang lebih besar.
Pada perkara kedua (perkara Litwin vs. Allen), ketika menutup call option, seharusnya kontrak put option juga dilakukan. Jika tidak, perseroan akan mengalami short the option. Ketika harga turun, perseroan mengalami kerugian karena tidak melakukan hedging. Di sini terlihat bahwa kemungkinan kerugian dengan  jelas dapat diperhitungkan. Dalam kasus ini, tidak komplitnya pertimbangan direksi dapat langsung merupakan kelalaian. Tampaknya, hal ini yang membuat pengadilan menyatakan direksi bersalah, dan perlindungan BJR tidak dapat diberikan.
Pertimbangan atau keputusan pengadilan yang berkait dengan kegiatan pemberian kredit adalah sebagai berikut: direksi dianggap lalai karena memberikan pinjaman kepada bisnis baru tanpa laporan keuangan dan rencana pembayaran kembali; dengan risiko yang besar, walaupun keuntungan yang bakal diperoleh mungkin besar (perkara FDIC & Robertson). Namun, tidak semua pengadilan menyatakan bahwa direksi bertanggung jawab jika memberikan pinjaman kepada bisnis baru. Faktor penentunya adalah apakah memiliki jaminan atau tidak, dan memiliki petunjuk keadaan keuangan debitor mengalami perbaikan (perkara FDIC vs. Stanley).
Di lain pihak, direksi dianggap lalai karena memberikan pinjaman hanya atas jaminan pribadi (perkara FDIC vs. Wheat). Jika agunan kurang, direksi tetap diberikan perlindungan BJR (perkara Starrels vs. National Bank of Chicago). Direksi ber-tanggung jawab karena memberikan pinjaman dan agunan di luar daerah geografis bank (perkara FDIC vs. Stanley). Namun, dalam kasus lain, gugatan pelanggaran fiduciary duty dan kelalaian ditolak pengadilan, karena direksi tidak dapat membatasi pem-berian kredit ke daerah geografis tertentu (perkara RTC vs. Hess).
Dalam kasus kredit yang pertama (perkara FDIC & Robertson), pemberian kredit kepada bisnis baru, lazim disebut sebagai start ups, mengandung risiko yang lebih tinggi. Umumnya, pebisnis akan memulai bisnis karena petunjuk yang ia yakini bahwa    bisnis itu menjanjikan keuntungan yang besar (perkara FDIC & Robertson). Namun, bisnis dengan pengelolanya belum memiliki rekam jejak yang dapat digunakan untuk menganalisis keber-hasilannya di masa depan. Karenanya lebih sulit memperoleh keyakinan akan kemampuan dan kesanggupan untuk membayar pinjamannya. Pemberian kredit seperti itu, jika tetap diberikan, pada akhirnya akan bersandar lebih banyak kepada agunan.    Nilai agunan itu harus dapat diperkirakan dengan lebih pasti, terutama ketika harus dijual ketika bisnis itu wanprestasi.
Karena bisnis masih baru, syarat pemenuhan laporan keuangan menjadi relatif, karena pada umumnya bisnis pemula seperti itu belum memiliki laporan keuangan. Namun, sebuah bisnis perlu memiliki rencana keuangan, di dalamnya dapat dilihat rencana pembayaran dari pinjaman yang akan diperoleh. Jika dalam perjalanan singkatnya, bisnis baru telah menunjukkan bukti membuahkan keuntungan yang diharapkan (perkara FDIC vs. Stanley), bukti ini dapat digunakan sebagai unsur pertimbangan yang lebih berarti dalam mengambil keputusan pemberian kredit. Tampaknya, pertimbangan pengadilan dalam perkara ini bertitik tolak pada informasi yang diperlukan, dan dianggap cukup dalam membuat keputusan. Terutama untuk bisnis pemula, pengambilan keputusan untuk pemberian kredit memerlukan informasi yang lebih banyak, tidak saja yang bersifat kuantitatif, tetapi juga yang bersifat kualitatif.
Dari segi agunan, pengadilan menganggap direksi lalai jika memberikan kredit hanya berdasarkan jaminan pribadi (perkara FDIC vs. Wheat). Ketika bank mempertimbangkan akan meng-ambil jaminan pribadi dari calon debitor sebagai dasar pemberian kreditnya, bank harus memiliki daftar yang pasti dan berisikan berapa banyak dan perincian harta yang dimilikinya. Di samping itu, perlu pula diketahui berapa banyak utang yang telah dimiliki.  Pada umumnya, daftar seperti ini sulit diperoleh; kalaupun dapat, sulit untuk memastikan kebenarannya.
Di sisi lain, pengadilan tetap memberikan perlindungan BJR kepada direksi, jika memberikan pinjaman dengan jaminan yang kurang (perkara Starrels vs. National Bank of Chicago). Moral putusan ini adalah bahwa walaupun jaminan kurang, sehingga mengandung risiko yang lebih tinggi, tanpa pengambilan risiko seperti ini, pendapatan bank tidak dapat bertambah. Tidak semua bisnis yang bankable memiliki jaminan yang penuh. Namun, direksi harus bertanggung jawab jika memberikan pinjaman dan agunan di luar daerah geografis bank (perkara FDIC vs. Stanley). Tampaknya, hal ini lebih didasarkan pada ketentuan yang berlaku bagi bank, baik ketentuan internal ataupun pihak regulator.
Pemberian kredit yang tidak dibatasi pada daerah geografis tertentu bukan merupakan pelanggaran fiduciary duty (perkara RTC vs. Hess); dan tampaknya kembali hal ini dianggap sebagai diskresi bank, walaupun mengandung risiko yang lebih tinggi, tetapi dapat dianggap sebagai usaha untuk memperbesar porto-folio pinjaman bank, dalam rangka memajukan perseroan.
Uraian tersebut dapat menunjukkan penerapan prinsip BJR yang lebih ketat pada direksi bank. Secara khusus, direksi bank memiliki tanggung jawab kepercayaan yang tinggi, terutama dalam menyalurkan dana masyarakat secara aman. Untuk itu, sebagai spesialis, direksi harus memiliki standar duty of care yang lebih dari sekadar ordinary care. Kepeduliannya harus mencakup pengawasan yang lebih aktif, sehingga dapat mengantisipasi penyimpangan yang dilakukan oleh bawahan. Untuk risiko yang relatif tinggi, direksi tidak dapat semata-mata bersandar pada pertimbangan bawahannya.
Tanggung jawab direksi bersifat kolegial, memerlukan duty of diligence yang lebih tinggi. Pinjaman yang berkembang menjadi tidak lancar harus ditindaklanjuti lebih dini, sehingga tidak men-jadi lebih buruk. Ketika kerugian besar terjadi, karena pinjaman diberikan untuk tujuan spekulatif dan tanpa jaminan, direksi bertanggung jawab untuk itu. Di sini, bukan lagi merupakan ke-salahan pertimbangan yang jujur, karena sudah merupakan gross negligence, seperti yang ditunjukkan oleh kerugian yang besar.
2.   Pengadilan di Jepang[55][**********]
Dari perkara Chukyo Bank, pengadilan Jepang memutuskan untuk membebaskan gugatan bahwa direksi bank melanggar tugas kehati-hatian manajer yang bonafide atau bonafide manager’s duty of care, karena menerima jaminan yang tidak wajar. Jaminan berupa gedung berlokasi di Amerika yang tidak terawat sehingga sulit dijual. Jaminan yang lain adalah kupon bunga dari obligasi pemerintah.[56][††††††††††]
Gugatan hanya dapat diterima jika direksi melanggar bonafide manager’s duty of care, dalam hal ini melakukan kesalahan atau kegagalan yang tidak dapat dimaafkan sebagai orang korporasi yang umum (ordinary corporate person), dalam rangka melakukan perkerjaannya. Hal ini secara khusus dilihat dari proses mengum-pulkan fakta sebagai dasar pengambilan keputusan, atau dari proses pengambilan keputusan itu sendiri. Dari dasar atau proses pengambilan keputusan itu dapat dilihat apakah direksi melanggar ruang lingkup kewenangan diskresi yang dipercayakan kepada direksi.[57][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Pengadilan tidak melihat adanya masalah dalam jaminan, walaupun nilainya lebih rendah dari pinjaman yang diberikan. Namun, pengadilan melihat bahwa walaupun utangnya bertambah dan keuntungannya berkurang, tetapi bisnisnya berkembang. Dalam keadaan bisnis yang berkembang, tidaklah merupakan hal yang tidak biasa, jika perusahaan menambah investasinya. Menurut pengadilan, direksi telah mempertimbangkan kinerja bisnis debitor, catatan transaksi debitor dengan bank, potensi berkembang di masa depan, dan sikap koperatif debitor dengan bank. Pengadilan berkesimpulan bahwa penyebab kepailitan yang dialami debitor adalah karena adanya kebijakan uang ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada tahun 1990, yang tidak dapat diramalkan oleh perbankan. Hal itu tidak ada hubungan langsung dengan jaminan yang berupa kupon bunga pemerintah itu.[58][§§§§§§§§§§]
Mitsuru Misawa berpendapat, direksi dapat dinilai melanggar bonafide manager’s duty of care jika terbukti lalai – dalam arti gagal – melakukan tindakan yang diperlukan. Atau, ia gagal menilai keadaan sehingga dengan mudah menyimpulkan bahwa keadaan tertentu tidak layak untuk diberikan kredit. Namun, lanjut Mitsuru Misawa, hal itu tidak mudah dilakukan, karena bank memberikan pinjaman atas dasar pertumbuhan perusahaan di masa depan. Walaupun kondisi keuangan perusahaan menurun, bank tetap dapat memberikan pinjaman dengan pertimbangan, pinjaman itu menambah potensi perusahaan dalam memperbaiki keuangannya.[59][***********]
Dalam perkara Long Term Credit Bank of Japan, pengadilan menuntut pejabat kredit yang memberikan kredit kemudian ma- cet untuk membayar ganti rugi ¥100 juta atas kerugian bank ¥6.1 miliar. Pengadilan menyimpulkan, direksi gagal menghimpun informasi yang diperlukan secara wajar sekaligus tidak melakukan analisis karena tetap memberikan pinjaman dalam jumlah besar walaupun sangat kecil potensi dibayar kembali. Bahkan, jika tetap diberikan, kerugian akan tetap besar. Karena itu, dalam hal ini, pengadilan memutuskan bahwa pejabat itu melanggar bonafide manager’s duty of care, yang melebihi batas diskresi yang diberikan. Berkaitan dengan perkara ini, Mitsuru Misawa ber-pendapat, bahwa direksi tidak dapat bersandar sepenuhnya pada laporan dan analisis yang disediakan oleh direksi lain atau bawahannya, jika terdapat adanya fakta-fakta yang tidak normal.[60][†††††††††††]
3.   Perbandingan dengan Indonesia
Pertimbangan pengadilan di Amerika kurang lebih sama seperti di pengadilan di Jepang. Kedua pengadilan lebih condong ke arah pertimbangan bisnis, berdasarkan kinerja bisnis debitor, catatan transaksi debitor dengan bank, potensi untuk berkembang di masa depan, dan sikap koperatif debitor dengan bank, walaupun utangnya bertambah dan keuntungannya berkurang. Namun, direksi dipersalahkan jika keputusan tidak mengindahkan faktor risiko berdasarkan informasi yang menyatakan kemungkinan pembayaran utang sangat kecil.
Dari analisis terdahulu mengenai putusan pengadilan di Amerika dan Jepang, dapat dibandingkan dengan putusan Mah-kamah Agung di Indonesia dalam kaitan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kredit (macet), sebagai berikut:

Perbandingan Putusan Pengadilan Amerika dan Jepang dengan Indonesia dalam Perkara Kredit Macet
Mengenai
Putusan Pengadilan
Amerika/Jepang
Putusan Mahkamah Agung RI
Undang-undang yang melandasi
Penerapan Prinsip kehati-hatian




UU Korporasi (Amerika)
Hukum Dagang (Jepang)
Lebih banyak menggunakan prinsip BJR dalam kaitan de-ngan UU Korporasi. Dalam keputusan pengadilan, tidak pernah disinggung mengenai keberadaan UU Perbankan.

UU Perbankan

Lebih berdasarkan pada Ke-tentuan Perkreditan Internal bank, Ketentuan Bank Indo-nesia, dan UU Perbankan.

Prinsip ini disebutkan dalam beberapa Pasal UU Perban-kan; dan juga diatur dalam UU PT.
Penekanan pada bisnis vs. risiko



Cenderung lebih menekan-kan pertimbangan bisnis dari pada risiko. Terlihat dalam perkara Citigroup (Amerika); dan Perkara Chunkyo Bank (Jepang)
Paling  tidak  cenderung lebih seimbang dalam memper-timbangkan unsur bisnis dan risiko kredit. Dalam kaitan  dengan risiko  kredit,  penen-tuan jumlah kredit yang dibe-rikan, kelengkapan dokumen, kecermatan terhadap kualitas informasi, data dan fakta, ser-ta pengawasan kredit, mem-peroleh perhatian yang lebih serius.
dilanjutkan . . .
lanjutan . . .
Persepsi terhadap besar kecil risiko kredit



Lebih bersifat relatif, karena sejauh bisnis menunjukkan perbaikan, kredit tetap dibe-rikan, walaupun utang yang dimiliki sudah besar (perkara Chunkyo Bank, Jepang; per-kara Citigroup, FDIC & Stanley, Amerika).
Dalam hal tertentu risiko kredit lebih diperhatikan, se-hubungan dengan ketentuan Bank Indonesia (SEBI No. 27/17/UPPB Tanggal 31 Maret 1995)

Inti dasar pengambilan keputusan kredit



Sikap terhadap agunan
Pertimbangan direksi terha-dap bisnis dan persepsi risiko tampak lebih jelas, diiban-dingkan dengan penekanan pada proses dan analisis/ad-ministrasi/pengawasan kredit .
Lebih bersifat relatif atau opsional, atau lebih bersifat pemenuhan formalitas
Dasar utama pertimbangan direksi adalah pemenuhan ke-tentuan proses, analisis kre-dit, ketentuan administrasi, serta pengawasan kredit.

Tidak bersifat mutlak, tetapi merupakan bagian penting dalam pertimbangan kredit
Fungsi pengawasan direksi

Tidak terlalu tegas, kecuali dalam keadaan yang tidak normal (Jepang); atau tugas oversight  dibatasi sampai hal-hal yang melawan hukum dan tidak mempertimbangkan per-kembangan eksternal yang negatif (Amerika).
Tampak jelas dan ditegaskan di pengadilan, yang mencakup pengawasan kredit secara menyeluruh.

Pemeriksaan pengadilan terhadap substansi keputusan
Faktor yang meniadakan perlindungan hukum dari segi duty of care

Informasi yang diperlukan



Sesuai dengan konsep BJR




Gross negligence





Terbatas pada pengertian ‘yang tersedia secara wajar’.




Menerapkan konsep marginale toetsing.



Pengertian kelalaian dan kesa-lahan sesuai dengan UU Per-bankan, UU PT, dan Yurispru-densi Indonesia mengenai melanggar hukum yang diper-luas.
Perlu dicari, digali, dan di-dalami sehingga memperoleh keyakinan yang diperlukan, atas dasar analisis yang men-dalam.


dilanjutkan...
lanjutan . . .
Kemampuan dan Keahlian yang diperlukan






Unsur melanggar hukum
Diperlukan lebih tinggi, tetapi hanya tersirat secara umum.








Tidak memeriksa kualitas keputusan, tetapi mengaitkan rasionalitas hubungan antara proses dan keputusan yang dibuat.

Diperlukan lebih tinggi se-kaligus merupakan kenisca-yaan, karena direksi harus mampu memperoleh keya-kinan, sehingga harus mampu membedakan analisis yang mendalam atau tidak. Standar umumnya adalah lulus uji kemampuan dan kepatutan Bank Indonesia.
Sama, tetapi juga menerapkan marginale toetsing dan terlihat dalam menentukan jumlah kredit yang diberikan, apakah mengandung penggelembungan (mark up) atau tidak.
Sumber: penelitian penulis 2013.

q



[1][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]       Stephen M. Bainbridge, The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine,       loc. cit., hlm. 16.
[2][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]       Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine”.   loc. cit,. hlm. 14.
[3][***************************]     Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine”.  loc. cit., hlm. 16.
[4][†††††††††††††††††††††††††††]     Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine”,  loc. cit.
[5][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]     Carlos Andres Laguado Giraldo dan Maria Paula Diaz Canon, “Modern Conception of Business Judgment Rule: A Case Study on Delaware Jurisprudence”, International Law, <http://redalyc,uaemex/redalyc/pdf/824/82400501.pdf> [2005].
[6][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]     Stephen M. Bainbridge, “Why a Board?, Group Decisionmaking in Corporate Governance”, Vanderbilt Law Review, Vol. 55, pp. 1-66, (2002), hlm. 51-53.
[7][****************************]   Peter Ling, “The Satutory Business Jugdment Rule”, [22/07/2009].
[8][††††††††††††††††††††††††††††]   Helen M. Bowers, “Fairness of Opinions and the Business Judgment Rule,             An Empirical Investigation of Target Firm’s Use of Fairness of Opinions”,
[4/4/2002].
[9][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]   Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine”,  loc. cit..
[10][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]                 Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine”,  loc. cit.
[11][*****************************]               Carlos Andres Laguado Giraldo dan Maria Paula Diaz Canon, “Modern Conception of Business Judgment Rule: A Case Study on Delaware Jurisprudence”, International Law, <http://redalyc,uaemex/redalyc/pdf/824/82400501.pdf> [2005].
[12][†††††††††††††††††††††††††††††]               Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine”,  loc. cit.
[13][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]               D.A. Jeremy Telma, “The Business Judgment Rule, Disclosure and The Excutive Compensation”, Social Science Research Network, Tulane Law Review, Vol. 81m, 2007, <http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=893348>
[13/04/2006].
[14][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]               Supreme Court of Delaware, 1984, “Excerpts from Aronson Vs Lewia 473 A.2d 805”,
[Tidak bertanggal].
[15][******************************]             Akin Gump Strauss Hauer, ”Risk Management: Delaware Court Affirms Protection of Business Judgment Rule in Current Financial Crisis”, <@2009 Akin Gump Strauss Hauer & Feld LLP> [11/03/2009].
[16][††††††††††††††††††††††††††††††]             Akin Gump Strauss Hauer, ”Risk Management: Delaware Court Affirms Protection of Business Judgment Rule in Current Financial Crisis“, Idem.
[17][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]             Jaclyn Jaeger, “Delaware Court Upholds Business Judgment Rule”, [17/03/2009].
[18][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]             “The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citigroup Inc, Shareholder Litigation”, Civil Act No. 3338-CC,
[19][*]       “The Court of Chancery of The State of Delaware, in Re Citigroup Inc, Shareholder Litigation”, Civil Act No. 3338-CC, Idem.
[20][†]       Jaclyn Jaeger, “Delaware Court Upholds Business Judgment Rule”. loc. cit.
[21][‡]       Jaclyn Jaeger, “Delaware Court Upholds Business Judgment Rule”, loc. cit.
[22][§]       Wendell H Adair Jr (et.al), “Surviving Dismissal: The Business Judgment Rule Revisited”, The Journal of Corporate Renewal (November 2005).
[23][**]     Randall W. Bodner, (et.al.), “The Business Judgment Rule Under Seige: Tower Air, IT Group, and Notice Pleading in Federal Court”, hlm. 26.
[24][††]     Kartyaeni, V., “Directors’ Care and Duty in Case of Breach”, <http://www.goforthelaw.com/articles/fromlawstu/article49.htm> [Undated].
[25][‡‡]     Franklin A. Gevurtz, “Earning Management and The Business Judgment Rule:      An Essay on Recent Corporate Scandals”,
[26][§§]     Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine”,   loc. cit.
[27][***]   Franklin A. Gevurtz, “Earning Management and The Business Judgment Rule: An Essay on Recent Corporate Scandals”, loc. cit.
[28][†††]   Franklin A. Gevurtz, “Earning Management and The Business Judgment Rule: An Essay on Recent Corporate Scandals”, loc. cit.
[29][‡‡‡]   Kartyaeni, V., “Directors’ Care and Duty in Case of Breach”, loc. cit.
[30][§§§]   Robert Sprague, “Directors Behaving Badly: 21st Century Corporate Governance Standards”, loc. cit.
[31][****]                 Joseph E. Bachelder, “Disney: Severance and the Business Judgment Rule”, New York Law Journal, <http://www.jebachelder.com/articles/981229.html>
[29/12/1998].
[32][††††]                 Joseph E. Bachelder, “Disney: Severance and the Business Judgment Rule”, New York Law Journal, <http://www.jebachelder.com/articles/981229.html>
[29/12/1998].
[33][‡‡‡‡]                 The Supreme Court of The State of Delaware, “The Walt Disney Company Derivative Litigation”, <http://courts.delaware.gov/opinions/
[34][§§§§]                 The Supreme Court of The State of Delaware, “The Walt Disney Company Derivative Litigation”, No. 469, 1998, Idem.
[35][*****]               Carlos Andres Laguado Giraldo dan Maria Paula Diaz Canon, “Modern Conception of Business Judgment Rule: A Case Study on Delaware Jurisprudence”, International Law, <http://redalyc,uaemex/redalyc/pdf/824/82400501.pdf>
[2005].
[36][†††††]               Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine”,  loc. cit.
[37][‡‡‡‡‡]               Stephen M. Bainbridge, “The Business Judgment Rule as Abstention Doctrine”,   loc. cit.
[38][§§§§§]               Meredith M. Brown dan William D. Regner, “What’s Happening to the Business Judgment Rule?”, Insights: the Corporate & Securities Law Advisor, Englewood Cliffs, August 2003, Vol. 17, iss. 8, pg. 2.
<///C:/Documents%20and%20Settings/Administrator/Desktop/p…> [07/11/2007].
[39][******]             Meredith M. Brown dan William D. Regner, “What’s Happening to the Business Judgment Rule?”. Ibid, hlm. 15.
[40][††††††]             Fred W. Triem, “Judicial Schizophrenia in Corporate Law: Confusing The Standard of Care With The Business Judgment Rule”, op. cit., hlm. 29.
[41][‡‡‡‡‡‡]             Robert Sprague dan Aaron J. Lyttle, “Shareholder Primacy and The Business Judgment Rule: Arguments for Expanded Corporate Democracy“, Social Science Research Network, <http://ssrn,com/abstract=1647002> [22/07/2010].
[42][§§§§§§]             Mitsuru Misawa, “Bank Directors’Decisions on Bad Loans: A Comparative Study of US and Japanese Standards of Required Care”, op. cit., hlm.451.
[43][*******]           Jon Canfield, “The Evolution of a More Strigent Business Judgment Rule in Banking, The Minimilization of Director Deference”,
[44][†††††††]           Jon Canfield, “The Evolution of a More Strigent Business Judgment Rule in Banking, The Minimilization of Director Deference”,
[45][‡‡‡‡‡‡‡]           Mitsuru Misawa, “Bank Directors’Decisions on Bad Loans: A Comparative Study of US and Japanese Standards of Required Care”, op. cit., hlm. 449-455.
[46][§§§§§§§]           Mitsuru Misawa, “Bank Directors’Decisions on Bad Loans: A Comparative Study of US and Japanese Standards of Required Care”, loc. cit.
[47][********]         Mitsuru Misawa, “Bank Directors’Decisions on Bad Loans: A Comparative Study of US and Japanese Standards of Required Care”, loc. cit.
[48][††††††††]         Mitsuru Misawa, loc. cit.
[49][‡‡‡‡‡‡‡‡]         Mitsuru Misawa, loc. cit.
[50][§§§§§§§§]         Mitsuru Misawa, op. cit., hlm. 433-435.
[51][*********]       Mitsuru Misawa, loc. cit.
[52][†††††††††]       Mitsuru Misawa, loc. cit.
[53][‡‡‡‡‡‡‡‡‡]       Mitsuru Misawa, loc. cit.
[54][§§§§§§§§§]       Mitsuru Misawa, loc. cit.
[55][**********]     Mitsuru Misawa, loc. cit.
[56][††††††††††]     Mitsuru Misawa, loc. cit.
[57][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]     Mitsuru Misawa, loc. cit.,
[58][§§§§§§§§§§]     Mitsuru Misawa, loc. cit.
[59][***********]   Mitsuru Misawa, loc. cit.
[60][†††††††††††]   Mitsuru Misawa, loc. cit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar