Jumat, 29 Juli 2016

PRINSIP KEPUTUSAN BISNIS: Pemberian Kredit Perbankan Dalam Hubungan Perlindungan Hukum (Bab 5 - Bagian 1)

BAB  5
Keputusan Pemberian Kredit
yang Memberikan
Perlindungan Hukum


5

P
ada bab ini, saya akan menganalisis sejumlah ma-    salah, berdasarkan data yang telah terpapar pada bab sebelum ini, dengan perincian sebagai berikut:

Tabel V.1.
Materi Penelitian dan Sumber Data
No.
Materi Penelitian     (Ketentuan dan Pengertian)
Sumber Data
1.
Fiduciary duty
Pasal 1, Pasal 92 Ayat 1 dan Ayat 2 UU PT, Pasal 98 Ayat 1 UU PT. Pasal 118 Ayat 2 UU PT
2.
Iktikad baik
Pasal 1338 Ayat 3 KUH Perdata, Pasal 97 Ayat 2 UU PT. Pasal 1 angka 5 UU PT. Pasal 97 Ayat 5 huruf b. Pasal 92 Ayat 1 UU PT. Pasal 97 Ayat 2 UU PT. Pasal 97 Ayat 5 huruf c. Pasal 104 Ayat 4 huruf c. Pasal 97 Ayat 5   huruf d
3.
Duty of (skill and) care
Pasal 93 Ayat 1 UU PT, Pasal 97 Ayat 5 UU PT huruf b. Pasal 104 Ayat 4  UU PT
4.
Duty of loyalty
Pasal 97 Ayat 5 UU PT huruf c. Pasal 97 Ayat 3 UU PT.
5.
Duty of candor
Pasal 47 KUHD. Pasal 69 Ayat 3 UU PT
6.
Keputusan Bisnis
Informasi yang dianggap cukup
Pasal 92 Ayat 2 UU PT.
Pasal 92 Ayat 2, Pasal 97 Ayat 5 huruf b.
7.
Perlindungan hukum bagi direksi
Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata. Pasal 45 KUHD. Pasal 97 Ayat 5 UU PT. Pasal 104 Ayat 4 UU PT.
dilanjutkan . . .
lanjutan…
8.
Pengertian kelalaian dan kesalahan
Pasal 35 KUHD. Pasal 97 Ayat 3 UU PT. Pasal 97 Ayat 5UU PT huruf a. Pasal 104 Ayat 4 huruf a dan d.
9.
Pengertian prinsip kehati-hatian
Pasal 2 dan Pasal 8 UU Perbankan. SK Dir No. 27/KEP/DIR dan SEBI No. 27/7 UPPB 31 Maret 1995 mengenai KPB. SK Dir BI No. 31/177/KEP/Dir tgl 31 Des 1998 mengenai BMPK. SK Dir BI No. 27/16/KEP/Dir dan SEBI No. 27/17/UPPB tanggal 31 Maret 1995 dalam PPKPB mengenai larangan pemberian kredit untuk spekulasi, tanpa informasi dan keahlian yang cukup dan kepada debitor yang bermasalah. PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum.
10.
Keyakinan, kemampuan, dan kesanggupan (calon) debitor.
Pasal 8 UU Perbankan. Pasal 29 Ayat 4 UU Perbankan.
11.
Analisis yang mendalam, Risiko yang berlebihan.
Pasal 8 UU Perbankan. Putusan MARI No. 1144 K/Pid/2006. SK Dir No. 27/KEP/DIR dan SEBI No. 27/7 UPPB 31 Maret 1995 mengenai KPB.
12.
Melanggar hukum
Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Per-data. Putusan MARI No. 1855 K/Pdt/ 2010, Cohen-Lindebaum Arrest tgl. 31/01/1919/Yurisprudensi Indonesia. Putusan MARI No. 1144 K/Pid/2006.
13.
Keputusan bisnis dalam dalam praktik pemberian kredit
Pasal 1, Pasal 2,  Pasal 4, Pasal 8 Pasal 29 Ayat 3, Pasal 49 UU Perbankan

14.

Keputusan bisnis dalam pertimbangan dan putusan pengadilan.
Putusan MARI No. 572 K/Pid.2003. Putusan MARI No. 1660 K/Pid.Sus/ 2010. Putusan MARI Regno. 275K/ Pid/1983. Putusan MARI. Putusan MARI No. 1916K/Pdt/1991. No. 1144/ Pid/2006. Putusan MARI No. 373 K/Pid.Sus/2011.
Sumber:   Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dan Keputusan Mahkamah Agung RI.
A.   KEPUTUSAN BISNIS DALAM UU PT
Sebuah pertanyaan pokok akan kita telaah: bagaimana UU PT memenuhi prinsip keputusan bisnis dalam rangka melindungi direksi perusahaan. Bagian ini menganalisis dan memastikan bahwa UU PT mengatur tugas fidusia (fiduciary duty), tugas kesetiaan (duty of loyalty), dan tugas kehati-hatian (duty of care), dan iktikad baik. Bagian ini juga mengulas apakah UU PT mengatur prinsip keputusan bisnis (business judgment rule [BJR]) dan memberikan perlindungan hukum.
Sebelum melakukan analisis, terlebih dahulu saya akan membahas kaitan antara fiduciary duty dengan teori besar (grand theory)  dan  teori  menengah  (middle  range  theory). Hal ini dirasa perlu, karena pada intinya pemenuhan fiduciary duty mendukung kesejahteraan sosial. Saya yakin, secara das sollen, upaya memperbaiki materi hukum yang lebih sesuai dan diperlukan dalam pengambilan keputusan pemberian kredit, memberikan kepastian hukum yang lebih baik.
Upaya memperbaiki hukum perlu dilakukan agar para bankir memiliki panduan dasar hukum dalam mengambil keputusan pemberian kredit. Panduan yang dibarengi perlindungan hukum membuat bankir bekerja lebih baik. Inilah alasan utama masalah kepastian dan perlindungan hukum di lingkup pengambilan keputusan bidang perkreditan menjadi kajian utama buku ini.
1.   Fiduciary Duty dan Dua Teori
Sesungguhnya, fiduciary duty berkaitan dengan ruang lingkup yang lebih luas, atau bersifat makro. Sebagai teori yang pertama, hal ini dapat didekati melalui peranan badan hukum terhadap kepentingan para pemangku kepentingan dalam negara kesejah-teraan. Dalam konteks ini, hukum dikerucutkan ke penyelengaraan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh badan hukum seperti perseroan terbatas. Badan hukum ini menggerakkan kegiatan ekonomi secara terorganisasi, dengan komando yang jelas yang berdampak besar terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar. Perseroan yang berhasil secara ekonomi akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan pemangku kepentingan. Di sisi lain, perseroan harus memerhatikan tanggung jawab sosial terhadap lingkungan hidup. Direksi harus berupaya memperkecil kerusakan lingkungan akibat kegiatan usahanya, sesuai ketentuan Pasal 33 UUD 1945 Ayat 4 dan Perubahannya. Ayat 4 Pasal 33 UUD 1945 dan Perubahannya menyebutkan, perekonomian nasional harus berwawasan lingkungan. Salah satu cara untuk menjamin tujuan itu tercapai, terutama oleh perseroan terbatas, direksi mesti menerapkan good corporate governance.
Pada tataran berikutnya, dari segi mikro sebagai teori kedua, pergerakkan kegiatan ekonomi itu dikomandoi oleh direksi, karena memang direksi diberi wewenang sebagai alter ego perusahaan.[1][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Sebagai tugas fidusia, direksi menggerakkan kegiatan ekonomi dengan mengambil keputusan bisnis yang diperlukan. Kegiatan ini mengandung risiko bisnis yang dapat terjadi tanpa kelalaian atau kesalahan direksi. Batasan yang menentukan kelalaian atau kesalahan direksi merupakan ketentuan yang tercakup dalam kewajiban hukum yang harus dilakukan direksi. Kewajiban hukum tersebut tercakup dalam pengertian tugas fidusia (fiduciary duty), dengan tiga serangkainya, yaitu iktikad baik, tugas kesetiaan, dan tugas kehati-hatian.[2][§§§§§§§§§§§]
 Apa yang dapat terjadi pada tataran yang lebih luas ditentukan oleh apa yang terjadi pada tataran mikro. Dalam hal ini, jika direksi senantiasa mengambil keputusan, kegiatan bisnis perseroan berarti berjalan dan perekonomian pun tumbuh. Dalam konteks yang lebih luas, jika perekonomian tumbuh, menghadirkan kesejahteraan masyarakat luas dan kebaikan bagi para pemangku kepentingan. Untuk itu, jika seluruh tugas fidusia dijalankan dengan baik, direksi memerlukan kepastian hukum yang lebih jelas, sehingga memperoleh perlindungan hukum. Perlindungan diperlukan karena setiap keputusan bisnis mengandung risiko.  Jika risiko terjadi, perseroan mengalami kerugian. Pembentukan hukum yang memayungi pengambilan keputusan bisnis menjadi petunjuk untuk memenuhi tugas fidusia.
Bagian berikutnya menganalisis apakah tugas fidusia ini diatur dalam UU PT. Apakah juga UU PT memberikan perlindungan hukum bagi direksi dalam melakukan tugasnya, mengambil keputusan bisnis dalam rangka mencapai tujuan perseroan. 

2.   Fiduciary Duty dalam UU PT
Seluruh ketentuan terkait direksi dan perseroan di Pasal-pasal UU PT menunjukkan kebergantungan perseroan terhadap direksi. Badan hukum PT dalam melakukan perbuatan hukum selalu melalui direksi.[3][************] Badan hukum tidak berfungsi tanpa keputusan dan tindakan direksi dalam rangka mencapai tujuan perseroan; sehingga perseroan sangat bergantung pada direksi. Antara direksi dan perseroan seperti lepat dan daun, hubungannya sangat erat, karena tanpa direksi maksud dan tujuan serta usaha perseroan tidak akan tercapai. Sebaliknya, tanpa perseroan, direksi tidak akan ada.[4][††††††††††††] Direksi sepenuhnya mewakili perseroan, di luar dan    di dalam pengadilan, untuk kepentingan dan tujuan perseroan.    Di sini terlihat, direksi adalah identik dengan perseroan, dan keduanya tidak dapat dipisahkan.[5][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Sejalan dengan teori badan hukum, perseroan memper-cayakan pengelolaan sumber daya dan usahanya kepada direksi agar berkembang dan demi kemajuan perseroan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa perseroan menyatu dengan direksinya. Karena direksi mengontrol dan bertanggung jawab terhadap perseroan, antara perseroan dan direksi terbentuk hubungan. Perseroan mempercayakan sumber daya dan hidupnya kepada direksi, yang membentuk hubungan atas kepercayaan. Oleh karena itu, di sini terbentuk hubungan fidusia (fiduciary relationship).
Setiap hubungan fidusia melahirkan tugas atau kewajiban hukum yang harus dilakukan oleh salah satu pihak, untuk kepentingan atau manfaat pihak lain. Direksi diberikan wewenang penuh untuk mengelola sumber daya demi kepentingan perseroan, sesuai maksud dan tujuan perseroan. Berarti direksi wajib melakukan tugas-tugas kepercayaan tersebut, dengan wewenang yang diberikan perseroan melalui anggaran dasar. Berdasarkan definisi Kamus Black’s Law dan Mike Ottley, tugas kepercayaan berarti, pihak yang mempercayakan yakin terhadap kemampuan pihak yang dipercaya; percaya terhadap kejujuran pihak yang diberi kepercayaan untuk menjaga kepentingannya.
Tugas fidusia mengharuskan direksi untuk mengurus perseroan yang dipercayakan kepadanya dengan baik, jujur, dan bertanggung jawab.[6][§§§§§§§§§§§§] Direksi harus melakukan pengelolaan sumber daya dan usaha perseroan untuk mencapai tujuan perseroan. Untuk itu, direksi harus memiliki kemampuan yang diperlukan dan menggunakannya. Ketika perseroan mengangkat seorang direktur, secara tidak langsung pihak perseroan sampai batas tertentu meyakini diri, bahwa pihak yang ditunjuk sebagai direksi memiliki kemampuan dan keahlian yang diperlukan. Agar mencapai tujuan, tugas itu tidak dapat dilakoni dengan sembrono, tetapi harus memenuhi prinsip kehati-hatian dengan kualitas kepedulian yang cukup (duty skill and care).[7][*************] Jika sebuah tugas dijalani tanpa pengetahuan atau kecakapan yang memadai, atau dilakukan secara ceroboh, sulit mencapai tujuan.
Dengan fiduciary duty, direksi dapat bertindak atau berbuat yang hakikatnya memberikan perlindungan bagi kepentingan pemegang saham, para pemangku kepentingan, dan perseroan. Para pihak tersebut tidak dapat melindungi kepentingannya sendiri tanpa keputusan dan tindakan direksi, yang sesuai dan telah digariskan oleh maksud dan tujuan perseroan, khususnya dalam memajukan perseroan, memperoleh keuntungan yang dikehen-daki, dan meningkatkan nilai pemegang saham. Semua itu akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan bagi lingkungan perseroan yang lebih luas, yang sesuai dengan negara kesejah-teraan sebagai teori besar (grand theory).
Secara langsung, tugas yang harus dilakukan oleh direksi untuk kepentingan perseroan, mengandung tingkat kepercayaan yang tinggi dan diberikan oleh perseroan, serta secara tidak langsung oleh para pemangku kepentingan. Untuk itu, direksi juga harus memerhatikan kewajiban hukumnya terhadap perseroan. Ketika mengambil keputusan, direksi harus bertindak secara hati-hati, dengan mengikuti prosedur disertai pertimbangan yang rasional;[8][†††††††††††††] serta menghindari diri dari perbuatan melanggar hukum, atau tidak mengikat perusahaan dalam perikatan yang tidak seimbang atau tidak adil, atau dengan kausa yang membatalkan perjanjian.
Pasal 61 Ayat 1 UU PT[9][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] memberikan peluang bagi pemegang saham untuk mengajukan gugatan terhadap perseroan karena keputusan direksi yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan yang wajar. Direksi tidak dapat melakukan kesalahan atau kelalaian sehingga merugikan perseroan seperti yang disebutkan dalam Pasal 97 Ayat 5 UU PT,[10][§§§§§§§§§§§§§] atau diartikan sebagai keadaan salah urus (mismanagement). Untuk itu, direksi dituntut untuk memiliki tingkat integritas, loyalitas, kejujuran, dan kemampuan profesio-nalisme di bidangnya, sehingga direksi merupakan pihak yang bonafide bagi perseroan.
Menurut Munir Fuady, direksi hanya bertindak sebagai agen, yang wajib mengabdi sepenuhnya dan sebaik-baiknya kepada perseroan.[11][**************] Menurut Rachmadi Usman, menurut konsep trust dalam common law system, direksi bertindak menurut standar tertentu sebagai trustee, seolah-olah direksi sebagai pemilik perusahaan. Sebaliknya, dalam civil law system, direksi bertindak mengikuti atau menuruti aturan dan ketentuan yang ditetapkan dalam anggaran dasar, karena dirinya hanya bertindak sebagai penerima kuasa dari perseroan.[12][††††††††††††††]
Dalam kaitan dengan konsep trust, Munir Fuady mengatakan bahwa UU PT belum sepenuhnya mengandung fiduciary duty, baru sebagai semi fiduciary duty, dalam arti bahwa direksi belum bertindak sebagai trustee, dengan tanggung jawab yang tinggi.[13][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Pendapat beliau ini didasarkan pada Pasal 85 UU PT lama (Pasal 97 Ayat 1 dan 2 UU PT) yang menunjukkan bahwa direksi wajib dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan.[14][§§§§§§§§§§§§§§]
Lebih lanjut Munir Fuady mengatakan, Pasal 85 UU PT (lama) menunjukkan adanya fiduciary duty, tetapi baru semi fiduciary duty, karena belum menempatkan direksi di posisi “trustee” yaitu dengan tanggung jawab yang tinggi. Di lain pihak, Munir Fuady berpendapat, bahwa Pasal 85 UU PT lama menunjukkan bahwa tanggung jawab direksi lebih dari sekadar “tugas kepedulian biasa (duty of care)”.[15][***************] Di lain pihak, Gunawan Wijaya juga berpendapat bahwa direksi adalah ‘trustee’ bagi perseroan yang harus memiliki duty of loyalty dan good faith, dan merupakan agen bagi perseroan dalam mencapai tujuan dan kepentingannya, sehingga perlu memiliki duty of care and skill.[16][†††††††††††††††] Meskipun demikian, antara hukum trust dan hukum fidusia terdapat perbedaan.
Perbedaannya terletak pada hukum trust, dan trustee tidak mengambil risiko. Tetapi, dalam fiduciary yang berlaku di perusahaan atau bank, direksi mengambil risiko bisnis, atau risiko kredit ketika memutuskan pemberian kredit bagi para debitor. Derek French et.al menekankan bahwa masalah pengambilan risiko merupakan isu sentral dalam hukum trust (karena tidak mengambil risiko, pen), tetapi bukan pada hukum fiduciary.  Dalam hukum fidusia, yang penting bagi pelaksana fidusia adalah menghindari diri dari penggunaan wewenang atau diskresi yang merugikan untuk siapa dia bekerja, dan dari penyalahgunaan kepercayaan dan keyakinan yang diberikan kepadanya.[17][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Menengahi beberapa pendapat yang berbeda tentang trustee, Mike Ottley mengungkapkan, dari perkara Regal (Hastings) Ltd vs. Gulliver (1942), bahwa “Direksi, diyakini, bukan merupakan trustees, tetapi direksi menduduki posisi fidusia terhadap perusa-haan dan keberadaan mereka untuk kepentingan perusahaan. Sebagai seorang fidusia, direktur secara individu tunduk kepada tugas yang sama, tugas-tugas fidusia, yang menuntutnya meng-gunakan wewenang yang berkait dengan kepentingan pemberi tugas dan tidak menyalahgunakan kepercayaan dan pengaruhnya dalam perusahaan.[18][§§§§§§§§§§§§§§§]
Mike Ottley menyimpulkan, bahwa tugas fidusia yang umum terdiri dari kewajiban untuk bertindak secara bonafide, jujur, dan bertindak wajar dalam menjalankan perusahaan. Hal itu berarti dia tidak melanggar tugasnya dan kewenangannya digunakan untuk tujuan yang baik bagi perusahaan. Karena direktur harus membuat keputusan berdasarkan keyakinan yang jujur untuk kebaikan perusahaan, sehingga merupakan pelanggaran terhadap kewa-jiban atau tugasnya jika ia tidak menggunakan wewenangnya.[19][****************]
Ketentuan lain ialah, seorang direktur harus menggunakan kewenangannya tidak saja secara jujur, tetapi juga sesuai tujuan pemberian kewenangannya itu.[20][††††††††††††††††] Di samping kewajiban yang umum tersebut, seorang direktur harus pula tunduk terhadap ketentuan bahwa yang bersangkutan harus menempatkan kepen-tingan perusahaan di atas kepentingan pribadinya.[21][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Ini artinya, bahwa untuk memenuhi tugas fidusia, direksi harus menempatkan dirinya tidak di posisi yang menimbulkan benturan kepentingan dengan kepentingan perseroan.
Manifestasi dari ketentuan untuk menempatkan kepentingan perusahaan di atas kepentingan pribadi direksi terlihat jelas dari kemungkinan timbulnya kesempatan untuk melakukan transaksi bisnis dengan pihak ketiga, corporate opportunity alias kesem-patan bisnis bagi korporasi. Ketika kesempatan muncul untuk melakukan bisnis dengan pihak ketiga, dan dalam keadaan seperti itu, direksi harus mengutamakan perseroan bukan diri pribadinya untuk mengambil kesempatan bisnis tersebut. Direksi dapat mengambil kesempatan itu, tetapi harus meyakini diri bahwa hal itu dilakukan demi kepentingan dan manfaatnya diberikan sepenuhnya kepada perusahaan. Ini artinya direksi tidak muncul dalam sisi manapun dalam transaksi terkait dari segi manfaat yang diperoleh dari transaksi itu, sehingga menempatkan kepentingan perseroan di atas kepentingan pribadi. Menurut Munir Fuady, tidak saja kesempatan seperti itu merupakan milik perseroan, tetapi juga setiap hak dan pengharapan yang berkait dengan perseroan adalah juga merupakan kepunyaan perseroan.[22][§§§§§§§§§§§§§§§§]


Chatamarrasjid Ais berpendapat bahwa UU PT mengatur tentang fiduciary duty, dengan mengacu pada Pasal 85 Ayat 1 UU PT lama (Pasal 97 Ayat 2 UU PT)[23][*****************], dan Pasal 90 UU PT lama (Pasal 104 Ayat 4 UU PT)[24][†††††††††††††††††]. Pasal 85 Ayat 1 UU PT lama menyebutkan bahwa setiap anggota direksi wajib dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Pasal 90 Ayat 2 UU PT lama (Pasal 104 Ayat 4 UU PT) menyebutkan bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi, dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu. Dari pasal-pasal ini, ia menyimpulkan, UU PT mengandung asas fiduciary duty yang bertolak pada asas duty of skills and care.[25][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Menurut Rai Widjaya, fiduciary duty adalah tugas yang dijalankan oleh direktur dengan penuh tanggung jawab untuk kepentingan perseroan.[26][§§§§§§§§§§§§§§§§§] Try Widiyono berpendapat bahwa fiduciary duty menyangkut seluruh tugas direksi, dan untuk itu direksi harus memiliki duty of care and skill, iktikad baik, kejujuran, dan loyalitas kepada perseroan.[27][******************] Keberadaan fiduciary duty lebih diperjelas oleh Pasal 118 Ayat 2 UU PT. Ayat ini menyebutkan bahwa pengurusan perseroan hanya dilakukan oleh direksi. Kedudukan direksi tidak dapat diganti atau diisi oleh siapa pun. Hanya dalam keadaan tertentu, dan direksi tidak ada, undang-undang memberikan wewenang kepada komisaris untuk meng-gantikannya, tetapi hanya untuk jangka waktu tertentu.


3.         Unsur-unsur Pokok BJR dalam UUPT
Pasal 97 ayat 2 UU PT menyebutkan dengan jelas bahwa dalam melakukan tugas pengurusan perseroan, direksi wajib melakukannya dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab.   Di sini terlihat bahwa UU PT mengatur unsur iktikad baik, yang diwajibkan pada direksi dalam menjalankan tugasnya untuk meng-urus usaha perseroan. Prinsip iktikad baik dan penuh tanggung jawab menunjukkan prinsip yang mengacu pada kemampuan dan tindakan kehati-hatian direksi (duties of skill and care).
Duties of skill and care tercakup dengan jelas dalam Pasal 93 Ayat 1 UU PT. Ayat ini menyebutkan bahwa yang dapat diangkat menjadi anggota direksi adalah orang yang dianggap cakap melakukan perbuatan hukum, dengan pengecualian tertentu. Dalam kaitan dengan perbankan, direksi dapat diangkat oleh pemegang saham adalah apabila telah lulus uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Oleh karena itu, agar tetap dapat diangkat sebagai anggota direksi, setiap orang ketika menjabat sebagai anggota direksi harus melakukan pekerjaannya dengan tingkat keahlian atau kemampuan dan bertindak secara hati-hati, sehingga tidak membuat perseroan yang dikelolanya mengalami kesulitan keuangan yang kemudian berakhir pada kepalilitan. Tampaknya, ditinjau dari ketentuan UU PT ini, tingkat keahlian atau kemampuan dan sikap hati-hati yang diperlukan di sini bersifat umum, dan batas maksimumnya adalah tidak sampai membuat perseroan menjadi pailit. Hal ini dapat dimengerti, karena UU PT berlaku untuk segala jenis usaha, dan untuk berbagai bentuk kepemilikan, seperti perusahaan terbuka, tertutup, atau dimiliki oleh badan hukum lainnya. Namun, bagi calon direksi bank, uji kepantasan dan kepatutan oleh Bank Indonesia pada dasarnya merupakan seleksi atas kemampuan dan keahlian calon dalam kaitan dengan bidang perbankan. 
Mengacu Pasal 97 Ayat 5 UU PT, agar tidak dapat dihukum karena kesalahan dan kelalaian, direksi harus memiliki tingkat kemampuan dan sikap rajin dan peduli (diligent and care) yang diperlukan dalam mengelola perseroan, yang dilakukan dengan iktikad baik dan menerapkan sikap kehati-hatian, penuh tanggung jawab demi kepentingan perseroan (Pasal 1 angka 5 UU PT). Unsur iktikad baik yang disertai dengan tidak ada benturan kepentingan, secara langsung atau tidak, menunjukkan bahwa direksi menempatkan kepentingan perseroan di atas kepentingan pribadinya, sehingga merupakan pemenuhan duty of loyalty-nya kepada perseroan. Duty of loyalty ini diperkuat dengan usaha yang dilakukan direksi untuk mencegah timbul dan berlanjutnya kerugian yang dapat dialami oleh perseroan.
Pasal 97 Ayat 5 huruf c UU PT, yang menyebutkan anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian, sebagaimana maksud pada Pasal 97 Ayat 3 UU PT, apabila dapat membuktikan bahwa direksi tidak punya benturan kepentingan baik secara baik langsung maupun tidak langsung atas kerugian yang terjadi. Dengan tidak adanya benturan kepentingan, self dealing atau corporate opportunity atau hal-hal lain yang setara dengan yang dimaksud, direksi telah menjalankan duty of loyalty. Ini artinya direksi harus menempatkan kepentingan perseroan di atas kepentingan pribadinya.
Duty of candor, sebagai tugas fidusia direksi untuk mem-beberkan semua fakta-fakta materiil secara jujur, dengan jelas diatur dalam UU PT. Pasal 69 Ayat 3 UU PT menyebutkan bahwa apabila laporan keuangan yang disediakan direksi ternyata tidak benar, atau menyesatkan, anggota direksi dan anggota komisaris secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan. Informasi keuangan bersifat sentral terhadap keber-hasilan usaha direksi dalam memajukan perseroan, yang juga merupakan penentu terhadap kelanggengan usaha perseroan. Dalam kata lain, informasi keuangan berfungsi sebagai indikator utama bagi kekuatan perseroan dalam melanjutkan kehidupan usahanya. Ini artinya bahwa direksi dituntut agar melaporkan atau membeberkan informasi atau keadaan keuangan yang sebenarnya, tidak saja kepada pemegang saham atau pihak terkait lain, tetapi terlebih kepada pihak yang memerlukan informasi itu.
pabila pihak yang memerlukan informasi itu, seperti pihak yang akan melakukan transaksi atau perjanjian dengan pihak perusahaan, mengalami kerugian sebagai akibat tidak mengetahui keadaan keuangan perusahaan yang sebenarnya, direksi dan komisaris secara keseluruhan bertanggung jawab secara renteng. Ini artinya seluruh pihak tersebut menanggung kerugian secara pribadi. Namun, berdasarkan Pasal 69 Ayat 4 UU PT, apabila anggota direksi atau komisaris dapat membuktikan bahwa ke-adaan tersebut bukan karena kesalahannya, sehingga dibebaskan dari tanggung jawab ganti kerugian itu.
Pasal 69 UU PT Ayat 3 dan Ayat 4 UU PT ini tampaknya me-rupakan pengganti dari Pasal 47 KUHD. Pasal KUHD ini mene-kankan kewajiban pengurus untuk mengumumkan dalam sebuah register yang diselenggarakan untuk itu, dan dalam surat kabar, mengenai keadaan keuangan yang telah mengalami kerugian lima puluh persen dari modalnya. Jika pengumuman ini tidak dilakukan, pengurus harus bertanggung jawab secara pribadi terhadap kemungkinan kerugian yang dialami oleh pihak ketiga, yang melakukan perjanjian dengan perseroan, sebagai akibat tidak diketahuinya keadaan keuangan perseroan yang sebenarnya.
Namun, Pasal 47 KUHD itu tidak menjelaskan bahwa pengurus dapat dibebaskan dari tanggung jawab ganti kerugian, jika hal itu bukan karena kesalahannya. Pembebasan dari tanggung jawab tersebut dapat mengacu kepada kalimat pertama Pasal 45 KUHD. Pasal ini menyebutkan bahwa para pengurus tidak dapat bertang-gung jawab lebih daripada untuk menunaikan sebaik-baiknya tugas yang diberikan kepada mereka, sejauh tidak melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh anggaran dasar perseroan. Ini artinya para pengurus tidak boleh melakukan kesalahan dalam pekerjaannya; dan tentunya pekerjaan itu harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.
Moral dari Pasal 47 KUHD adalah direksi wajib melakukan pekerjaan sebaik-baiknya. Jika tugas dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, diharapkan bahwa pekerjaan itu tidak membawa kesa-lahan atau kelalaian dari pihak yang melakukannya.
Sekalipun ada kesalahan atau kelalaian, upaya bekerja sebaik-baiknya telah menunjukkan adanya iktikad baik untuk tidak membuat kesalahan atau tidak adanya kelalaian yang belebihan. Kalaupun terjadi, sudah merupakan kesalahan atau kelalaian yang tidak dapat dikontrol oleh manusia normal umumnya. Iktikad baik dan kesalahan atau kelalaian yang tidak disengaja, sejalan dengan sifat manusia normal umumnya, akan merupakan bagian dari per-timbangan hakim: apakah tetap menuntut direksi yang salah atau lalai untuk bertanggung jawab mengganti kerugian secara pribadi. Namun, untuk melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya memerlukan tingkat keahlian, kemampuan, dan sikap hati-hati.
UU PT tidak secara jelas mendefinisikan atau tidak memberi-kan standar ukuran, unsur iktikad baik. Namun, secara keselu-ruhan, unsur iktikad baik dapat diartikan dan disimpulkan dari berbagai ayat yang dikandung dalam UU PT yang dapat dikatakan berkait dengan iktikad baik. Pertama, iktikad baik dapat diartikan sebagai pelaksanaan pengurusan perseroan oleh direksi untuk kepentingan perseroan dan sesuai maksud dan tujuan perseroan (Pasal 92 Ayat 1 UU PT). Kedua, iktikad baik dapat pula diartikan sebagai pemenuhan tanggung jawab direksi dalam melaksanakan tugasnya (Pasal 97 Ayat 2 UU PT). Ketiga, iktikad baik dapat pula diartikan sebagai keadaan yang tidak mengandung benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak (Pasal 97 Ayat 5 huruf c dan Pasal 104 Ayat 4 huruf c). Keempat, iktikad baik juga dapat diartikan sebagai tindakan yang telah diambil direksi dalam mencegah terjadinya atau berlanjutnya kerugian atau kepailitan (Pasal 97 Ayat 5 huruf d, dan Pasal 104 Ayat 4 huruf d).
4.   Diskresi Pengambilan Keputusan Bisnis dalam UU PT
Keputusan bisnis tersirat dari frasa “kebijakan yang dianggap tepat” dalam Pasal 92 Ayat 2 UU PT. Frasa ini memberikan nuansa yang secara khusus berkait dengan kepastian hukum. Berdasarkan pasal ini, Munir Fuady berpendapat bahwa prinsip keputusan bisnis atau BJR secara lebih tegas diakui dalam UU PT. Menurut Munir Fuady, pernyataan yang berbunyi bahwa direksi berwenang menjalankan pengurusan sesuai kebijakan yang dipandang tepat adalah sesuai keahlian yang dimiliki, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia bisnis.[28][††††††††††††††††††]
Frasa tersebut menunjukkan bahwa dalam menjalankan usaha perseroan, direksi memiliki diskresi yang diperlukan dalam membuat keputusan sejauh masih dalam koridor hukum dan sesuai ketentuan anggaran dasar, yang antara lain sesuai maksud dan tujuan perseroan. Ini artinya unsur pertama BJR, yaitu keputusan bisnis, dipenuhi dalam UU PT.
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Munir Fuady adalah bahwa sebuah putusan direksi tidak boleh diganggu-gugat oleh siapa pun, walaupun putusannya kemudian ternyata salah dan menimbulkan kerugian perseroan, asalkan memenuhi sejumlah persyaratan, yang antara lain: putusan sesuai hukum dan memiliki dasar yang rasional, dilakukan dengan iktikad baik dan untuk tujuan yang benar serta hati-hati, dan yang terakhir putusan dapat dipercaya sebagai yang terbaik bagi perseroan.[29][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dalam kaitan dengan teori menengah (middle range theory), masalah kepastian hukum berkaitan erat dengan tanggung jawab pribadi direksi untuk melakukan ganti kerugian terhadap kesalahan atau kelalaiannya. UU PT tidak menjelaskan jenis atau tingkat kelalaian (negligence) tertentu yang dapat menyebabkan direksi bertanggung jawab secara pribadi. Dalam konsep BJR di negara asal, negligence yang bersifat gross yang dapat menghilangkan proteksi BJR terhadap kelalaian direksi. Di samping itu, UU PT tidak menyebutkan secara jelas bahwa dalam membuat kebijakan yang dianggap tepat, direksi harus melandasi keputusan itu dengan informasi yang tersedia dan memadai. Namun, jika ditinjau dari redaksi Pasal 97 Ayat 5 huruf a, dan Pasal 104 Ayat 4 huruf a dan d, UU PT dinilai justru memiliki ketentuan yang lebih jelas mengenai unsur kelalaian, dan dapat dianggap lebih pasti.
Pada Pasal pertama, Pasal 97 Ayat 5 huruf a UU PT, menyebutkan bahwa direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana maksud Ayat 3, apabila dapat membuktikan, bahwa kerugian tersebut bukan kesalahan atau kelalaiannya. Apa pun tingkat kelalaiannya itu, sejauh ada gugatan dari pihak penggugat karena merugi, atau dari pihak yang dirugikan, sudah cukup bagi direksi untuk membuktikannya di pengadilan, bahwa kerugian itu bukan akibat karena adanya kelalaian atau kesalahan direksi.
Jadi, kerugian dan gugatan pihak yang dirugikan dapat dijadikan ukuran bagi direksi untuk membuktikan bahwa kelalaian atau kesalahan itu bukan milik mereka, apa pun tingkat kelalaian yang dilakukan. Secara psikologis, ketentuan ini dapat mendorong di-reksi dalam membuat keputusan atau melakukan tindakan dengan menerapkan sikap hati-hati, sehingga tidak menimbulkan kelalaian atau kesalahan.
Pada pasal kedua, Pasal 104 Ayat 4 huruf a dan d UU PT, menyebutkan bahwa direksi tidak bertanggung jawab atas ke-pailitan, sebagaimana maksud Ayat 2, apabila dapat membuktikan kepailitan itu bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, dan   telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan. Ukuran kedua untuk menentukan kelalaian atau kesalahan direksi adalah keadaan pailit, sebagai patokan atas; apa pun tingkat kela-laian atau kesalahan harus dibuktikan oleh direksi di pengadilan. Di sini, besar kecil kelalaian atau kesalahan itu tampaknya ditentukan oleh pengadilan, tetapi yang pasti telah ada sebuah keadaan untuk membuktikan apakah itu kesalahan atau kelalaian direksi.
Kalau kepailitan disebabkan kelalaian atau kesalahan direksi, sejauh direksi telah bertindak mencegah terjadinya kepailitan itu, berdasarkan redaksi pasal tersebut, kemungkinan direksi tidak dapat dipersalahkan. Sebuah keputusan direksi bisa saja secara substantif membawa konsekuensi kerugian perusahaan yang mengarah kepada kepailitan. Akan tetapi, sejauh direksi telah menunjukkan langkah-langkah konkret untuk menghindarinya, pengadilan dapat membebaskan direksi dari beban tanggung jawab mengganti kerugian yang ditimbulkan. Secara keseluruhan, uraian mengenai kedua pasal tersebut jelas menunjukkan adanya perlindungan hukum bagi direksi.
Mengenai apakah direksi telah menggunakan informasi yang cukup dalam membuat keputusan, sehingga dapat memenuhi duty of care, kiranya dapat ditinjau dari Pasal 92 Ayat 2, dan Pasal 97 Ayat 5 huruf b. Pasal yang pertama menyebutkan bahwa direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana maksud Ayat 1 sesuai ‘kebijakan yang dianggap tepat’, dan seterusnya. Menurut Nindyo Pramono, kebijakan itu secara yuridis berarti tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, iktikad baik, kepatutan, kebiasaan atau undang-undang dan tidak melanggar hukum; dan yang dapat mendatangkan keuntungan atau berguna bagi perseroan.[30][§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Dalam membuat kebijakan yang dianggap tepat, direksi mau-tak-mau harus terlebih dahulu mempelajari keadaan yang dihadapi dan mengkaji berbagai alternatif. Untuk mem-pelajarinya, direksi harus memiliki informasi yang diperlukan, termasuk mempelajari ketentuan perundang-undangan yang ter-kait, sehingga dapat membuat kebijakan yang tepat.
Kebijakan pada dasarnya juga merupakan keputusan, tetapi kebijakan mengandung makna yang lebih luas dan dalam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akar kata bijak berarti selalu menggunakan akal budi, pandai atau mahir. Kebijakan berarti kepandaian, kemahiran, atau kebijaksanaan. Arti lainnya adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, atau sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam upaya mencapai sasaran. Jadi, membuat sebuah kebijakan memerlukan kajian dan pemikiran, memerlukan upaya yang sunguh-sunguh; tentunya menuntut adanya kajian terhadap informasi yang diperlukan. Betapa banyak informasi yang diperlukan bersifat sangat kontekstual, bergantung kepada keadaan yang dihadapi dengan kompleksitas yang ber-beda. Namun, kebijaksanaan yang dianggap tepat akan mendikte jumlah dan kualitas informasi yang dibutuhkan, dan menentukan tingkat memadai yang harus dipenuhi.
Menurut PW Pamungkas, Pasal 97 Ayat 5 UU PT tersebut menunjukkan adanya perbedaan dengan konsep BJR di negara asalnya. Pasal itu menyebutkan bahwa beban pembuktian berada pada pihak direksi, karena direksi harus membuktikan bahwa kerugian yang terjadi bukan akibat kesalahan atau kelalaiannya.[31][*******************] Ini, artinya bahwa sejak semula ketika seseorang ditunjuk sebagai anggota direksi, yang bersangkutan langsung memiliki tanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan. Meskipun demikian, Pasal ini jelas menunjukkan adanya perlindungan hukum bagi direksi, jika kerugian atau kepailitan yang terjadi bukan karena kesalahan atau kelalaianya, bahkan telah berusaha untuk menghindarinya.
Di sini, titik tolaknya adalah adanya gugatan terhadap direksi sehubungan dengan kerugian atau kepailitan yang tidak dapat diterima oleh pemegang saham atau pihak ketiga lainnya. Hanya saja, direksi diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa mereka tidak bersalah dan tidak lalai dalam melakukan pekerjaan.
Dalam sistem aslinya, beban pembuktian berada pada pihak pemegang saham atau pihak ketiga yang menganggap bahwa direksi telah melakukan kesalahan atau kelalaian, sehingga menimbulkan kerugian bagi perseroan. Pembuktian yang seperti ini karena pada BJR berlaku anggapan awal bahwa direksi menjalankan tugasnya dengan memenuhi tiga serangkai dari fiduciary duty termasuk iktikad baik, sedangkan keuntungan dan kerugian adalah akibat wajar dalam menjalankan roda bisnis.     Ini artinya bahwa pemegang saham atau pihak ketiga harus memiliki pikiran positif terhadap direksi, bahwa direksi selalu mengambil keputusan demi memajukan kesejahteraan perseroan. Dalam UU PT, anggapan awal BJR tidak dikenal. Oleh karena itu, berbeda dengan UU PT, dalam BJR, pihak pemegang saham atau pihak ketiga lainnya itu yang harus membuktikan bahwa direksi tidak memenuhi salah satu unsur dari fiduciary duty, sehingga menimbulkan kerugian yang tidak dapat diterima oleh pihak pemegang saham atau pihak ketiga lainnya itu. Namun, titik tolaknya tetap merupakan kerugian yang tidak dapat diterima oleh pihak tersebut, sebagaimana halnya yang juga merupakan unsur dalam UU PT.
Uraian ini menunjukkan bahwa UU PT juga memberikan dis-kresi untuk membuat keputusan bisnis, dan mengandung unsur-unsur yang diperlukan dalam BJR, yaitu fiduciary duty, yang terdiri dari duty of loyalty, duty of due care, dan good faith (iktikad baik), di samping ketentuan bahwa direksi bertanggung jawab secara pribadi jika melakukan kelalaian atau kesalahan. Dalam men-jalankan usaha perseroan, direksi dapat membuat kebijakan yang dianggap tepat, dan itu meliputi pengambilan keputusan yang diperlukan dalam menjalankan usaha perseroan.
Adanya frasa “kebijakan yang dipandang tepat“ dan unsur-unsur BJR dalam UU PT dapat memberikan kepastian hukum bagi para direksi, karena hal tersebut menunjukkan sejumlah kewajiban hukum yang jelas harus dipenuhi oleh direksi. Ukuran yang pasti bagi kepastian hukum ini adalah adanya gugatan dari pihak terkait terhadap kerugian yang ditimbulkan karena keputusan direksi. Untuk itu, pengadilan akan memeriksa apakah direksi telah melakukan kewajiban atau tugas hukumnya dengan baik.
5.   Hukum yang Melindungi Direksi
Terkait dengan identifikasi masalah pertama, masalah lain yang perlu dianalisis adalah apakah UU PT dan UU Perbankan mengatur perlindungan hukum bagi direksi (bank). Untuk itu, bagian berikut membahas hal-hal yang berkait dengan per-lindungan hukum dalam rangka menyimpulkan apakah UU PT dan UU Perbankan telah mengaturnya.
Menurut Bernhard Nainggolan, perlindungan hukum menun-jukkan fungsi hukum sebagai sarana perlindungan kepentingan manusia, dan tujuan hukum untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan.[32][†††††††††††††††††††] Seyogianya, perlindungan itu dapat diberikan, jika orang dalam melakukan tindakannya tidak merugikan pihak lain, sesuai norma yang berkembang di masyarakat, dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku, sehingga mencapai ketertiban dan keseimbangan di antara pihak yang terkait. Keseimbangan tidak hanya antara dua pihak yang melakukan perjanjian, tetapi juga antara majikan dan pekerja, antara agen dan prinsipal; dan antara dua pihak yang terkait dalam hubungan fidusia, atau bagi yang memiliki fiduciary duty dengan pihak yang menerima manfaat dari tugas fidusia, dalam hal ini antara direksi dengan perseroan.
Patokan dengan berpegang pada norma dan ketentuan yang berlaku di masyarakat adalah setara dengan sikap ketelitian atau hati-hati atau zorgvuldigheid terhadap kepentingan orang lain.[33][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Istilah zorgvuldigheid juga merupakan asas kepatutan, dan berarti perbuatan yang tidak bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap kehati-hatian yang harus dimiliki oleh seseorang dalam pergaulannya dengan sesama warga masyarakat, atau terhadap benda orang lain.[34][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Orang dianggap melakukan tindakan yang tidak sah dari kacamata hukum atau melanggar hukum jika tidak dengan hati-hati mempertimbangkan atau memerhatikan kepen-tingan atau hak-hak orang lain yang dianggap wajar atau secara umum diterima.[35][********************] Dalam dunia profesional, ukurannya adalah standar profesi tertentu.[36][††††††††††††††††††††]
Dalam perspektif Adam Smith, orang yang menerapkan prinsip kehati-hatian (zorgvuldigheid) adalah orang yang memiliki kebajikan moral dan intelektual, serta kebijakan dengan kebajikan yang paling sempurna. Prudent man yang dimaksud oleh Adam Smith adalah orang yang selalu mempelajari secara serius dan sungguh-sungguh apa yang harus dipahaminya dari segi profesi, dan hanya mengatakan yang benar. Orang itu selalu hati-hati dalam tindakannya, menggunakan diskresi dalam batas yang wajar, dan selalu melakukan transaksi berdasarkan kemantapan pengetahuan dan kemampuannya.[37][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Pandangan Adam Smith itu sejalan dengan pengertian profesional, yakni selalu berpegang teguh pada code of conduct dan code of ethics dalam menjalankan profesi, sebagai standar profesi yang umum dari profesi yang dianutnya. Standar ini bukan merupakan hukum positif formal, namun diyakini sebagai norma yang diakui oleh masyarakat (living law), tetapi berlaku bagi profesi yang sama. Bekerja di bank dengan spesialisasi di bagian kredit adalah salah satu profesi yang dimaksud.
Perbuatan melanggar hukum berarti tidak saja melanggar undang-undang atau melanggar hak orang lain, tetapi juga berarti tidak cukup menunjukkan sikap hati-hati dan tenggang rasa terhadap kepentingan orang lain. Melanggar hukum adalah juga jika sebuah kontrak tidak berdasarkan kausa yang sah alias acceptable cause (geoorloofde oorzak), unreasonable cause (onredelijke oorzaak), atau tidak berlandasan hukum (ontbreken van een rechtvaardigingsgrond).[38][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Semenjak putusan Hoge Raad pada tahun 1919, pengertian onwetmatige daad telah diperluas menjadi onrechtmatige daad.[39][*********************]
Perkembangan yang sama juga diikuti dalam yurisprudensi Indonesia. Unsurnya adalah perbuatan kelalaian, melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan atau sikap kehati-hati yang diperlukan dalam pergaulan di masyarakat, dalam hal kepentingan lahiriah maupun milik orang lain. Semua itu tidak bersifat kumulatif.[40][†††††††††††††††††††††]
Oleh karena itu, perlindungan hukum dapat diberikan, jika orang mengikuti norma dan ketentuan yang berlaku di masya-rakat, menerapkan sikap ketelitian atau hati-hati (zorgvuldigheid) dan sikap tenggang rasa terhadap kepentingan orang lain, tidak bertentangan dengan kesusilaan, berdasarkan kausa yang sah alias acceptable cause (geoorloofde oorzak) atau unreasonable cause (onredelijke oorzaak), dan memiliki landasan hukum (ontbreken van een rechtvaardigingsgrond).
Perlindungan hukum tersebut adalah bahwa pengurus dibebaskan dari tanggung jawab ganti kerugian secara pribadi terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, jika kerugian itu bukan akibat dari kesalahan pengurus. Dalam arti lain, sekalipun ternyata memang pihak ketiga itu mengalami kerugian akibat melakukan transaksi atau perjanjian dengan perseroan, apabila kerugian itu bukan disebabkan kesalahan pengurus, kerugian itu merupakan tanggung jawab perseroan.
Masalah tanggung jawab atas kerugian pihak ketiga kemudian diperjelas dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata. Kedua Pasal ini menunjukkan bahwa kesalahan, kelalaian, atau ketakhati-hatian merupakan perbuatan melanggar hukum. Jika salah satu dari ketiga hal itu dilakukan, orang yang melakukannya harus dimintakan pertanggungjawaban, dan dalam hal ini untuk melakukan ganti kerugian. Hanya saja, redaksi kedua pasal itu menunjukkan yang lebih jelas ke arah perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan; dan berlaku umum bagi siapa pun yang dirugikan oleh siapa pun, tidak ditujukkan hanya bagi direksi saja.
Dalam konteks badan hukum, hal yang sama seperti maksud Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata tersebut juga diatur dalam Pasal 114 Ayat 3 UU PT. Pasal ini menyebutkan bahwa setiap anggota komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan, apabila yang bersangkutan salah atau lalai menjalankan tugasnya. Tugas yang dimaksud adalah dalam hal pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi, sebagaimana maksud Pasal 108 Ayat 1 UU PT. Dalam kaitan dengan peng-ambilan keputusan bisnis, Ayat 1 Pasal tersebut menyebutkan bahwa komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengu-rusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada direksi. Seperti yang telah diuraikan, kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar, dan dasar rencana dalam pelaksanaan pekerjaan. Dari pengertian kebijakan ini dapat pula disimpulkan adanya keputusan, sedangkan sebuah pekerjaan dalam perusahan adalah menjalankan roda bisnis perseroan. Jadi, apabila komisaris melakukan pengawasan kebijakan direksi, komisaris harus meng-kaji keputusan-keputusan bisnis apa yang telah dibuat direksi.
Berbeda dengan nuansa Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata, UU PT menyebutkan pasal-pasal yang berkait dengan perlindungan hukum bagi direksi, yaitu Pasal 97 Ayat 5 UU PT dan Pasal 104 Ayat 4 UU PT. Pasal-pasal ini menentukan bahwa direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian (Pasal 97 Ayat 5 UU PT) atau kepailitan (Pasal 104 Ayat 4) UU PT), apabila dapat membuktikan bahwa kerugian atau kepailitan itu bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan; tidak punya benturan kepentingan secara langsung atau taklangsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian atau kepailitan itu; dan telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian atau kepailitan tersebut. Unsur yang disebutkan yaitu iktikad baik, kehati-hatian, dan tidak adanya benturan kepentingan, merupakan manifestasi dari duty of loyalty. Kesemuanya ini merupakan kewajiban hukum yang harus dipenuhi direksi, dan merupakan ketentuan yang diperlukan dalam BJR, agar dapat memberikan perlindungan hukum bagi direksi.
Moral dari Pasal 45 KUHD dapat digunakan sebagai acuan tambahan dalam menentukan apa yang dimaksud dengan kesalahan (yang disengaja) atau kelalaian (yang tidak disengaja). Ukurannya adalah ‘menunaikan sebaik-baiknya tugas yang di-berikan kepada mereka, dan tidak menyimpang dari ketentuan yang ada dalam anggaran dasar atau perubahannya’. Setara dengan pengertian ini, kesalahan atau kelalaian dalam UU PT dapat pula diartikan sebagai tidak dilakukannya tugas pengurusan perseroan dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab, seperti yang diindikasikan oleh Pasal 97 Ayat 2 UU PT, dan menyimpang dari ketentuan dalam anggaran dasar serta merupakan tindakan dalam klasifikasi ultra vires. 
Sejauh direksi memenuhi persyaratan atau kewajiban hukum yang dimaksud oleh dua pasal dalam UU PT tersebut, direksi tidak dapat dipersalahkan. Dengan demikian, direksi dapat diberikan haknya, yaitu berupa perlindungan hukum untuk tidak bertang-gung jawab atau melakukan ganti kerugian secara renteng dan pribadi atas kerugian atau kepailitan perseroan. Sejauh direksi dapat membuktikan bahwa kerugian atau kepailitan bukan karena kelalaian atau kesalahannya, sehingga direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban ganti kerugian secara pribadi. Dengan kata lain, direksi diberi perlindungan hukum.
Perlindungan hukum memerlukan pemenuhan hak dan kewa-jiban. Dalam kaitan dengan pemenuhan kewajiban agar memper-oleh hak perlindungan hukum, BJR menentukan bahwa, keputusan direksi harus memenuhi anggapan bahwa keputusan itu dibuat untuk tujuan bisnis yang rasional dengan memenuhi fiduciary duty. Seluruh unsur dalam ketiga tugas fidusia ini merupakan kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh direksi. Karena     unsur-unsur BJR tersebut juga diatur dalam UU PT, dapat disimpulkan bahwa UU PT mengatur tentang perlindungan hukum bagi direksi sehubungan dengan keputusan yang dibuatnya. Perlindungan hukum ini secara jelas dapat dilihat pada Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104 Ayat 4 UU PT.
Selanjutnya, yang perlu dipastikan adalah apakah UU Perbankan mengatur perlindungan hukum bagi direksi bank. Sebelum menganalisis mengenai perlindungan hukum dalam UU Perbankan, perlu dipastikan apakah prinsip keputusan bisnis (BJR) dipraktikan dalam perbankan Indonesia, dan bagaimana penga-dilan memutuskan mengenai “prinsip keputusan bisnis” dalam perkara kredit macet di Indonesia, yang diuraikan dalam bagian berikut.
B.   KEPUTUSAN BISNIS DALAM PRAKTIK PEMBERIAN KREDIT DAN PUTUSAN PENGADILAN
Sehubungan dengan identifikasi masalah kedua, yaitu bagai-mana keputusan bisnis diterapkan dalam praktik pemberian   kredit di Indonesia, sehingga dapat memenuhi seluruh “prinsip keputusan bisnis”, bagian ini menganalisis dan berusaha men-jawabnya.
1.    Praktik Pemberian Kredit
Dengan mengacu pada Pasal 2 dan 8 UU Perbankan, hasil wawancara menyimpulkan pengertian dan pelaksanaan prinsip ke-hati-hatian berikut.
Prinsip kehati-hatian mewajibkan bank untuk selalu menjaga tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset, tingkat likuiditas, ketahanan manajemen, dan aspek lainnya terkait usaha bank; sehubungan dengan tanggung jawab bank yang besar terhadap dana nasabah yang dikelolanya.[41][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Prinsip ini merupakan kepatuhan bank terhadap ketentuan atau aturan-aturan per-kreditan, atau perundang-undangan secara benar, konsekuen, dan dapat dipertanggungjawabkan; serta diikuti oleh seluruh pihak yang terkait dengan pemberian kredit. Tambahan pula, masalah kehati-hatian menyangkut masalah lebih luas, yaitu berkait dengan masalah moral, ketika berhadapan dengan sesuatu yang belum di atur; atau melakukan pembiayaan yang dapat merusak komunitas perbankan, sehingga berakibat pada risiko reputasional.[42][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Penerapan prinsip ini sesungguhnya telah dimulai ketika seseorang akan ditunjuk sebagai direktur sebuah bank. Untuk itu, yang bersangkutan harus lulus uji kemampuan dan kepatutan, tanpa adanya pengecualian. Setelah diangkat sebagai direktur, baru yang bersangkutan dapat berkecimpung di bidang perkreditan. Dalam pemberian kredit, direksi harus melakukan analisis yang mendalam atas kelayakan dan prospek usaha debitor, faktor-faktor yang dapat memengaruhi usaha debitor (misalnya faktor makro ekonomi), serta mengantisipasi dan menganalisis risiko yang mungkin timbul dan meminimalkan risiko tersebut,[43][**********************] dengan menerapkan persyaratan-persyaratan yang wajib dipenuhi oleh calon debitor.[44][††††††††††††††††††††††] Untuk dapat melakukan analisis dengan baik, direksi harus mempunyai pengetahuan dan keahlian serta pengalaman yang baik yang diperlukan. Di samping itu, pemberian kredit yang berisiko tinggi memerlukan keputusan dari pemutus kredit yang lebih tinggi. Risiko akan bersifat tinggi, jika tidak dapat mengontrol dan tidak dapat memitigasinya.[45][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Penerapan prinsip kehati-hatian terus dilaksanakan setelah pencairan kredit, sampai pada pengawasan kredit, hingga kredit dilunasi oleh debitor. Hal ini berkait dengan tata kelola perusahaan yang menyangkut dua hal, yaitu: Pertama, tata kelola yang berkait dengan operasi bank, khususnya dalam mengelola risiko kredit; dan kedua, mengkaji apakah perusahaan debitor melak-sanakan tata kelola perusahaan yang baik. Pada yang pertama, bank harus memerhatikan dan mengawasi perkembangan kredit yang diberikan, dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya risiko kredit. Hal ini dapat dilakukan dengan terus-menerus berko-munikasi dengan pihak debitor, melalui kunjungan ke tempat perusahaan beroperasi, dan secara reguler menerima paling tidak laporan keuangan dari pihak debitor. Secara internal, bank harus selalu memerhatikan dan mengkaji kelengkapan dokumen kredit dan jaminan, serta mengikuti perkembangan pemenuhan keten-tuan atau kausul-klausul perjanjian kredit. Pada yang kedua, bank harus mengkaji bagaimana tata kelola perusahaan dilakukan oleh perusahaan debitor yang dibiayai atau yang diberikan kredit.     Hal ini tidak saja dilakukan ketika kredit akan diberikan, tetapi juga selama kredit belum dilunasi. Seperti yang telah disebutkan di muka, tata kelola yang baik memberikan jaminan bahwa kepen-tingan kreditor kepada perusahaan debitor diperhatikan.
Pelanggaran prinsip kehati-hatian adalah apabila pemberian kredit dilakukan untuk tujuan spekulasi atau membiayai sektor usaha yang dilarang oleh Bank Indonesia, termasuk kredit untuk proyek atau usaha yang secara nyata membahayakan ling-kungan.[46][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Secara umum dan dalam pengertian yang lebih luas, prinsip kehati-hatian ini juga merupakan langkah pemenuhan tanggung jawab sosial bank terhadap para pemangku kepentingan atau lingkungan yang lebih luas, baik fisik maupun sosial.
Pemberian kredit yang digunakan untuk usaha yang berpotensi merusak kedua lingkungan jelas melanggar prinsip kehati-hatian, di samping yang membahayakan kepentingan para pemilik dana. Pelanggaran ini berkait dengan pengertian iktikad baik.
Pengertian iktikad baik dapat mengacu pada apa yang tersirat dari Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu setiap pihak dalam perjanjian tidak berniat merugikan pihak yang lain dan kepentingan umum, dan sejalan dengan kepatutan dan keadilan. Kepentingan umum dapat berarti pihak yang langsung atau tidak langsung berkait dengan kontrak. Dalam perkreditan, niat untuk tidak merugikan pihak kreditor dan melaksanakan kredit secara patut dan adil harus diteliti lebih dini sebelum kredit diberikan. Unsur iktikad baik itu terefleksi dari karakter calon atau debitor itu sendiri. Karakter itu meliputi reputasi debitor, terutama dalam hal pembayaran kewajibannya terhadap kreditor atau pihak lain, dan transparansi data dan informasi yang diberikan kepada pihak bank.[47][***********************]
Penilaian kemampuan didasarkan pada analisis yang men-dalam untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi utangnya. Analisis ini harus dilakukan untuk mengetahui berapa banyak usaha debitor dapat menghasilkan arus kas dari kegiatan penjualan dengan memproleh laba bersih tertentu sebagai sumber utama untuk melakukan pembayaran kembali utang beserta bunga. Bank perlu memastikan besar jumlah kredit yang diperlukan dan dikaitkan dengan untuk apa kredit akan digunakan, dan analisis seberapa jauh jumlah kredit yang diperlukan tersebut akan dapat meningkatkan pendapatan, laba, dan arus kas dari usaha debitor. Bank perlu menelaah pengalaman, keahlian, dan komitmen debitor, sebagai perusahaan atau individu, agar dapat berhasil di bidang usahanya. Kemampuan calon debitor sangat ditentukan dari tingkat pendidikan, pengalaman mengelola usaha, dan sejarah perusahaan yang pernah dikelola, apakah pernah mengalami masa sulit, dan bagaimana mengatasinya.[48][†††††††††††††††††††††††]
Kesanggupan calon debitor dapat dinilai dari gabungan unsur kemampuan dengan unsur iktikad baik.[49][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Tidak saja dilihat dari kinerja keuangan dan likuiditas dari calon debitor[50][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] di luar yang dibutuhkannya,[51][************************] tetapi juga diyakini dari jejak rekam keberhasilan usaha, reputasi keuangan, dan komitmen calon debitor untuk menyediakan dana sendiri (self financing).[52][††††††††††††††††††††††††]
Penilaian yang dilakukan oleh bank harus bersifat objektif dan independen. Ini artinya bahwa penilaian merupakan kesimpulan dari analisis yang dilakukan mengenai character, capacity, capital, collateral dan condition of economy, serta jumlah dan kegunaan kredit akan menentukan apakah kredit dapat diberikan atau tidak; didasarkan informasi, data dan fakta yang relevan, benar, dan cukup. Di samping itu, penilaian juga tidak dipengaruhi oleh pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit, tingkat emosional dan sikap optimistik yang berlebihan, atau faktor antusiasme yang tidak rasional (irrational exurbearance),[53][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] atau mengikuti kepu-tusan yang dilakukan oleh pihak lain (herd behavior), atau telah dinodai dengan unsur moral hazard.
Dari uraian terdahulu mengenai unsur-unsur BJR (dalam UU PT) dan unsur-unsur yang diperlukan khususnya dalam Pasal 2 dan 8 UU Perbankan, dapat dibuat perbandingan sebagai berikut:









Tabel V.2:
Perbandingan Unsur-unsur BJR (dalam UU PT)
dengan Unsur-unsur yang Diperlukan dalam Pasal 2
dan 8 UU Perbankan

BJR
PASAL 2 DAN PASAL 8 UU PERBANKAN
Undang-undang yang melandasi.
Dasar kewenangan ber-tindak/mengambil keputusan.


UU PT

Berdasarkan ang-garan dasar perse-roan, dan pemba-gian tugas direksi.

UU Perbankan

Berdasarkan anggaran dasar bank sebagai badan hukum, dan penunjukan direksi sebagai pemutus kredit dan anggota komite kredit.
Aplikasi

Wadah pengambilan keputusan.
Keputusan bisnis direksi.
Umumnya dalam rapat direksi.
Keputusan kredit direksi/pemu-tus kredit.
Umumnya dalam rapat komite kredit bank.
Proses pengambilan ke-putusan.






Bervariasi bergan-tung kebutuhan, namun cenderung bersifat umum.



Keputusan dibuat berdasarkan hasil analisis kredit; merupakan proses investigasi yang terstru-tur dan terperinci, dan gabung-an data kualitatif dan kuan-titatif, serta intuisi pemutus kredit. Cenderung bersifat baku.
Informasi yang diper-lukan dalam membuat keputusan (dalam kaitan dengan duty of care).





Dalam BJR: Infor-masi yang relevan, tersedia secara wa-jar dan memadai; tetapi bersifat relatif bergantung kom-pleksitas masalah yang dihadapi.
UU PT tidak men-jelaskan   mengenai
Informasi yang diperlukan harus dicari dan digali dari ber-bagai sumber, secara menye-luruh, untuk analisis dalam koteks 5C, termasuk laporan keuangan debitor, dan infor-masi yang diperlukan lainnya, seperti informasi mengenai reputasi calon debitor, dan catatan  pembayaran  terhadap
dilanjutkan...
lanjutan . . .









informasi yang di-perlukan; hanya da-pat diimplikasikan dari wewenang di-reksi untuk mem-buat kebijakan yang dianggap tepat.  Banyaknya infor-masi ditentukan oleh kebijakan yang akan dibuat.
kreditor lain yang (pernah) ada, dalam rangka membuat analisis keuangan dan kredit, yang dapat menghasilkan keyakinan yang ditetapkan dalam Pasal 8 UU Perbankan, sebagai dasar untuk membuat rekomendasi apakah pinjaman dapat diberikan atau tidak, dan untuk diputuskan oleh pemutus kredit.
Kemampuan dan pe-ngetahuan yang diper-lukan dalam membuat keputusan (dalam kaitan dengan duty of care).












Dalam BJR: terca-kup dalam penger-tian pemenuhan duty of care.
UU PT: menyebut-kan yang dapat di-pilih sebagai direksi adalah yang cakap dari segi hukum. Kemampuan dan pe-ngetahuan yang di-perlukan diimplikasi-kan dari kenyataan tidak ada gugatan karena kerugian dan
kepailitan akibat kela- laian atau kesalahan (bersifat ex post).
Sama, tetapi kemampuan dan pengetahuan mengenai perkre-ditan harus dimiliki ketika di-tunjuk sebagai pemutus kredit. Bagi direksi dan pemutus kredit, kadarnya harus lebih tinggi  (bersifat ex ante).






Dasar pemberian per-lindungan hukum.














Memenuhi 3 serang-kai fiduciary duty: iktikad baik, duty of care, duty of loyalty; dan keputusan di-buat hanya untuk kepentingan perseroan.







Tidak secara jelas disebutkan; tetapi pada dasarnya, harus memenuhi prinsip kehati-hatian, dan analisis yang mendalam untuk memperoleh keyakinan mengenai iktikad baik, kemam-puan, dan kesanggupan debitor untuk membayar utangnya. Pasal 49 Ayat 2 UU Perbankan menyebutkan bahwa komisaris, direksi, dan pegawai bank wajib melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memasti-kan ketaatan bank terhadap ketentuan UU Perbankan dan lainnya.
dilanjutkan...
lanjutan . . .






Ruang lingkup peme-riksaan pengadilan.








Faktor yang meniada-kan perlindungan hu-kum secara khusus.













Tidak memeriksa kualitas keputusan; tetapi mengkaitkan rasionalitas hubung-an antara proses dan keputusan yang di-buat, sejauh tidak dinodai dengan pe-langgaran hukum.

Melanggar tiga se-rangkai fiduciary duty: iktikad baik, duty of care (kela-laian, tetapi bukan gross negligence), dan duty of loyalty (tidak ada benturan kepentingan); dan keputusan yang tidak rasional, serta membuat kesalahan atau kelalaian.
Pasal 49 Ayat 2 UU Perbankan menyebutkan bahwa komisaris, direksi, dan pegawai bank wajib melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memasti-kan ketaatan bank terhadap ketentuan UU Perbankan dan lainnya.
Cenderung sama, dilihat dari kosep marginale toetsing.








Tidak secara jelas dinyatakan dalam UU terkait; tetapi dalam praktik pengadilan, perlin-dungan hukum tidak diberikan ketika melanggar prinsip kehati-hatian, ketentuan perkreditan internal bank, dan ketentuan Bank Indonesia.

Faktor yang meniada-kan perlindungan hu-kum secara umum.
Self dealing, peni-puan, melanggar hukum positif, dan ketentuan anggaran dasar, ultra vires, pemborosan, korup-si dan suap, berten-tangan dengan yuris-prudensi Indonesia mengenai pengertian melanggar hukum yang telah diperluas.
Cenderung sama dalam kaitan dengan melanggar hukum.
Sumber:  Block, Dennis J (et.al), The Business Judgment Rule, Fiduciaries Duties of Corporate Directors, New Jersey: Prentice Hall Law & Business, 1989, UU PT, UU Perbankan, dan Penelitian Penulis 2013.



[1][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]     Pasal I Ayat 5 UU PT.
[2][§§§§§§§§§§§]     Uraian sebagai hasil analisis bab II; ketentuan hukumnya akan dianalisis dalam  UU PT pada uraian berikutnya di bab ini.
[3][************]   Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 204-205.
[4][††††††††††††]   Ditentukan antara lain oleh ketentuan Pasal 1 Ayat 5 UU PT.
[5][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]   Selain disiratkan oleh ketentuan Pasal 1 Ayat 5 UU PT, juga dapat diartikan dari ketentuan Pasal 118 Ayat 1 UU PT karena penunjukkan komisaris sebagai pengganti direksi hanya untuk sementara waktu dan karena alasan tertentu.
[6][§§§§§§§§§§§§]   Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah. Penerbit Alumni, Bandung, 2009, hlm. 29.
[7][*************]                 Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung,  2004, hlm. 71.
[8][†††††††††††††]                 Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 38.
[9][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]                 Pasal ini menyebutkan bahwa setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan yang wajar sebagai akibat keputusan RUPS, direksi dan/atau dewan komisaris.
[10][§§§§§§§§§§§§§]               Pasal ini menyebutkan bahwa anggota direksi tidak dapat dipertanggung-jawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud Ayat 3 apabila dapat membuktikan bahwa kerugian itu bukan karena kelalaiannya, dan telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik untuk kepentingan dan sesuai maksud dan tujuan perseroan, dst. 
[11][**************]             Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paragdima Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung,  2002, hlm. 4-5.
[12][††††††††††††††]             Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, Penerbit     PT. Alumni, Bandung, 2004, hlm. 177.
[13][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]             Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, op. cit., hlm. 68-69.
[14][§§§§§§§§§§§§§§]             Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2002, op. cit., hlm. 69.
[15][***************]           Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law, 2002, op. cit.,         hlm. 68-69.
[16][†††††††††††††††]           Gunawan Widjaja, op. cit., hlm. 24-25.
[17][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]           Derek French, Company Law, Oxford University Press, New York, 2009, hlm. 471.
[18][§§§§§§§§§§§§§§§]           Mike Ottley, Company Law 2007-2008, Routledge-Cavendish, Neer York, 2007, hlm. 94.
[19][****************]         Mike Ottley, Ibid, hlm. 94.
[20][††††††††††††††††]         Mike Ottley, Ibid. hlm. 94
[21][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]         Mike Ottley, Ibid, hlm. 95.
[22][§§§§§§§§§§§§§§§§]         Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2002, op. cit., hlm. 63.
[23][*****************]       Pasal ini menyebutkan bahwa pengurusan wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab.
[24][†††††††††††††††††]       Pasal ini menyebutkan bahwa anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan sebagaimana maksud pada Ayat 2 apabila dapat membukti-kan bahwa kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, dan seterusnya.
[25][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]       Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal Aktual Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti Bakti, Bandung, 2004, hlm. 11.
[26][§§§§§§§§§§§§§§§§§]       Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, op. cit., hlm. 75.
[27][******************]     Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, op. cit., hlm. 38.
[28][††††††††††††††††††]     Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 193.
[29][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]     Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law, 2002, hlm. 197-198.
[30][§§§§§§§§§§§§§§§§§§]     Neni Sri Imaniyati, op. cit., hlm. 206.
[31][*******************]   Pamungkas, PW, “Berlakukah Business Judgment Rule di Indonesia”, <http://pwpamungkas.wordpress,com/2010/09/11/business-judgement-rule> [20/10/2011].
[32][†††††††††††††††††††]   Bernard Nainggolan, Perlindungan Hukum Seimbang Debitor, Kreditor dan Pihak-pihak Berkepentingan dalam Kepailitan, Penerbit PT Alumni, Bandung, 2011,    hlm. 26.
[33][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]   Sunaryati Hartono, op. cit., hlm. 129-130.
[34][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]   Indriyanto Seno Adji, op. cit., hlm. 51.
[35][********************]                 Sunaryati Hartono, loc. cit.
[36][††††††††††††††††††††]                 Setiawan, op. cit., hlm. 285-286.
[37][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]                 Adam Smith, op. cit., hlm. 311-316.
[38][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]                 Sunaryati Hartono, op. cit., hlm. 130.
[39][*********************]               Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara & Hukum Pidana, op. cit., hlm. 77.
[40][†††††††††††††††††††††]               Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, op. cit., hlm. 128-129.
[41][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]               Wawancara dengan Roy Arfandi, loc. cit.
[42][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]               Wawancara dengan Anika Faisal, loc. cit.
[43][**********************]             Wawancara dengan Roy Arfandi, loc. cit.
[44][††††††††††††††††††††††]             Wawancara dengan Roy Arfandi, loc. cit.
[45][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]             Wawancara dengan Sentot A. Sentausa, loc. cit.
[46][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]             Wawancara dengan Sentot A. Sentausa, loc. cit.
[47][***********************]           Wawancara dengan Roy Arfandi, loc. cit.
[48][†††††††††††††††††††††††]           Wawancara dengan Muhammad Ali, loc. cit.
[49][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]           Wawancara dengan Lista Irna, loc. cit.
[50][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]           Wawancara dengan Roy Arfandi, loc. cit.
[51][************************]         Wawancara dengan Anika Faisal, loc. cit.
[52][††††††††††††††††††††††††]         Wawancara dengan Sentot A. Sentausa, loc. cit.
[53][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]         Diterjemahkan secara bebas sebagai sikap entusiasme yang tidak rasional, yang dapat membuat pertimbangan menjadi salah. Robert J. Shiller mengutip istilah ini, yang pertama kali diucapkan oleh Alan Greenspan, dan dapat diartikan sebagai sikap optimistik dari para investor pasar modal terhadap perkembangan pasar dari satu jenis aset, seperti saham, yang tidak didasarkan pada informasi yang berkait dengan unsur-unsur fundamental dari aset itu. Shiller, Robert J., Irrational Exurbearance, Broadway Books, New York, 2005, hlm. xi-xii.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar