BAB 5
Keputusan Pemberian Kredit
yang Memberikan
Perlindungan Hukum
5
P
|
ada bab ini, saya
akan menganalisis
sejumlah ma- salah, berdasarkan data yang telah terpapar pada
bab sebelum ini, dengan
perincian sebagai berikut:
Tabel V.1.
Materi
Penelitian dan Sumber Data
No.
|
Materi Penelitian (Ketentuan dan Pengertian)
|
Sumber Data
|
1.
|
Fiduciary duty
|
Pasal 1,
Pasal 92 Ayat 1 dan Ayat 2 UU PT, Pasal 98 Ayat 1 UU PT. Pasal 118 Ayat 2 UU PT
|
2.
|
Iktikad
baik
|
Pasal
1338 Ayat 3 KUH Perdata,
Pasal 97 Ayat 2 UU PT. Pasal 1 angka 5 UU PT. Pasal 97 Ayat 5 huruf b. Pasal 92 Ayat 1 UU PT. Pasal 97
Ayat 2 UU PT. Pasal 97 Ayat 5 huruf c. Pasal 104 Ayat 4 huruf c. Pasal 97
Ayat 5 huruf d
|
3.
|
Duty of (skill and) care
|
Pasal 93
Ayat 1 UU PT, Pasal 97 Ayat 5 UU PT huruf b. Pasal 104 Ayat 4 UU PT
|
4.
|
Duty of loyalty
|
Pasal 97 Ayat
5 UU PT huruf c. Pasal 97 Ayat 3 UU PT.
|
5.
|
Duty of candor
|
Pasal 47
KUHD. Pasal 69 Ayat 3 UU PT
|
6.
|
Keputusan
Bisnis
Informasi
yang dianggap cukup
|
Pasal 92 Ayat
2 UU PT.
Pasal 92 Ayat
2, Pasal 97 Ayat 5 huruf b.
|
7.
|
Perlindungan
hukum bagi direksi
|
Pasal 1365
dan 1366 KUH Perdata. Pasal 45 KUHD. Pasal 97 Ayat
5 UU PT. Pasal 104 Ayat 4 UU PT.
|
dilanjutkan . . .
lanjutan…
8.
|
Pengertian
kelalaian dan kesalahan
|
Pasal 35
KUHD. Pasal 97 Ayat 3 UU PT. Pasal 97 Ayat 5UU PT huruf a. Pasal 104
Ayat 4 huruf a dan d.
|
9.
|
Pengertian
prinsip kehati-hatian
|
Pasal 2
dan Pasal 8 UU Perbankan. SK Dir No. 27/KEP/DIR dan SEBI No. 27/7 UPPB 31
Maret 1995 mengenai KPB. SK Dir BI No. 31/177/KEP/Dir tgl 31 Des 1998
mengenai BMPK. SK Dir BI No. 27/16/KEP/Dir dan SEBI No. 27/17/UPPB tanggal 31
Maret 1995 dalam PPKPB mengenai larangan pemberian kredit untuk spekulasi,
tanpa informasi dan keahlian yang cukup dan kepada debitor yang bermasalah.
PBI No. 7/2/PBI/2005 tentang Kualitas Aktiva Bank Umum.
|
10.
|
Keyakinan,
kemampuan, dan kesanggupan (calon) debitor.
|
Pasal 8
UU Perbankan. Pasal 29 Ayat 4 UU Perbankan.
|
11.
|
Analisis
yang mendalam, Risiko yang berlebihan.
|
Pasal 8 UU
Perbankan. Putusan MARI No. 1144 K/Pid/2006. SK Dir No. 27/KEP/DIR dan SEBI
No. 27/7 UPPB 31 Maret 1995 mengenai KPB.
|
12.
|
Melanggar
hukum
|
Pasal
1365 dan Pasal 1366 KUH Per-data. Putusan MARI No. 1855 K/Pdt/ 2010,
Cohen-Lindebaum Arrest tgl. 31/01/1919/Yurisprudensi Indonesia. Putusan MARI
No. 1144 K/Pid/2006.
|
13.
|
Keputusan
bisnis dalam dalam praktik pemberian kredit
|
Pasal 1,
Pasal 2, Pasal 4, Pasal 8 Pasal 29
Ayat 3, Pasal 49 UU Perbankan
|
14.
|
Keputusan bisnis dalam pertimbangan
dan putusan pengadilan.
|
Putusan MARI
No. 572 K/Pid.2003. Putusan MARI No. 1660 K/Pid.Sus/ 2010. Putusan MARI
Regno. 275K/ Pid/1983. Putusan MARI. Putusan MARI No. 1916K/Pdt/1991. No.
1144/ Pid/2006. Putusan MARI No. 373 K/Pid.Sus/2011.
|
Sumber: Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHD), Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUH Perdata), dan Keputusan Mahkamah
Agung RI.
|
A. KEPUTUSAN BISNIS DALAM UU PT
Sebuah pertanyaan pokok akan kita telaah: bagaimana UU PT
memenuhi prinsip keputusan bisnis dalam rangka melindungi direksi perusahaan.
Bagian ini menganalisis dan memastikan bahwa UU PT mengatur tugas fidusia (fiduciary duty), tugas kesetiaan (duty of loyalty), dan tugas
kehati-hatian (duty of care), dan iktikad baik. Bagian ini juga
mengulas apakah UU PT mengatur prinsip keputusan bisnis (business judgment rule [BJR]) dan memberikan perlindungan hukum.
Sebelum melakukan analisis, terlebih dahulu saya akan
membahas kaitan antara fiduciary duty dengan
teori besar (grand theory)
dan teori menengah
(middle range
theory). Hal ini dirasa perlu, karena pada
intinya pemenuhan fiduciary duty
mendukung kesejahteraan sosial. Saya yakin, secara das sollen, upaya memperbaiki materi hukum yang lebih sesuai dan
diperlukan dalam pengambilan keputusan pemberian kredit, memberikan kepastian
hukum yang lebih baik.
Upaya memperbaiki hukum perlu dilakukan agar para bankir
memiliki panduan dasar hukum dalam mengambil keputusan pemberian kredit.
Panduan yang dibarengi perlindungan hukum membuat bankir bekerja lebih baik.
Inilah alasan utama masalah kepastian dan perlindungan hukum di lingkup
pengambilan keputusan bidang perkreditan menjadi kajian utama buku ini.
1. Fiduciary Duty dan Dua Teori
Sesungguhnya, fiduciary
duty berkaitan dengan ruang lingkup yang lebih luas, atau bersifat makro.
Sebagai teori yang pertama, hal ini dapat didekati melalui peranan badan hukum
terhadap kepentingan para pemangku kepentingan dalam negara kesejah-teraan.
Dalam konteks ini, hukum dikerucutkan ke penyelengaraan kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh badan hukum seperti perseroan terbatas. Badan hukum ini
menggerakkan kegiatan ekonomi secara terorganisasi, dengan komando yang jelas yang
berdampak besar terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar. Perseroan yang
berhasil secara ekonomi akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan pemangku
kepentingan. Di sisi lain, perseroan harus memerhatikan tanggung jawab sosial
terhadap lingkungan hidup. Direksi harus berupaya memperkecil kerusakan
lingkungan akibat kegiatan usahanya, sesuai ketentuan Pasal 33 UUD 1945 Ayat 4
dan Perubahannya. Ayat 4 Pasal 33 UUD 1945 dan Perubahannya menyebutkan,
perekonomian nasional harus berwawasan lingkungan. Salah satu cara untuk
menjamin tujuan itu tercapai, terutama oleh perseroan terbatas, direksi mesti
menerapkan good corporate governance.
Pada tataran berikutnya, dari segi mikro sebagai teori
kedua, pergerakkan kegiatan ekonomi itu dikomandoi oleh direksi, karena memang
direksi diberi wewenang sebagai alter ego
perusahaan.[1][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Sebagai tugas fidusia, direksi menggerakkan kegiatan ekonomi dengan mengambil
keputusan bisnis yang diperlukan. Kegiatan ini mengandung risiko bisnis yang
dapat terjadi tanpa kelalaian atau kesalahan direksi. Batasan yang menentukan
kelalaian atau kesalahan direksi merupakan ketentuan yang tercakup dalam
kewajiban hukum yang harus dilakukan direksi. Kewajiban hukum tersebut tercakup
dalam pengertian tugas fidusia (fiduciary
duty), dengan tiga
serangkainya, yaitu iktikad baik, tugas kesetiaan, dan tugas kehati-hatian.[2][§§§§§§§§§§§]
Apa yang dapat
terjadi pada tataran yang lebih luas ditentukan oleh apa yang terjadi pada
tataran mikro. Dalam hal ini, jika direksi senantiasa mengambil keputusan,
kegiatan bisnis perseroan berarti berjalan dan perekonomian pun tumbuh. Dalam
konteks yang lebih luas, jika perekonomian tumbuh, menghadirkan kesejahteraan
masyarakat luas dan kebaikan bagi para pemangku kepentingan. Untuk itu, jika
seluruh tugas fidusia dijalankan dengan baik, direksi memerlukan kepastian
hukum yang lebih jelas, sehingga memperoleh perlindungan hukum. Perlindungan
diperlukan karena setiap keputusan bisnis mengandung risiko. Jika risiko terjadi, perseroan mengalami
kerugian. Pembentukan hukum yang memayungi pengambilan keputusan bisnis menjadi
petunjuk untuk memenuhi tugas fidusia.
Bagian berikutnya menganalisis apakah tugas fidusia ini
diatur dalam UU PT. Apakah juga UU PT memberikan perlindungan hukum bagi
direksi dalam melakukan tugasnya, mengambil keputusan bisnis dalam rangka
mencapai tujuan perseroan.
2. Fiduciary
Duty dalam UU PT
Seluruh ketentuan terkait direksi dan perseroan di
Pasal-pasal UU PT menunjukkan kebergantungan perseroan terhadap direksi. Badan hukum
PT dalam melakukan perbuatan hukum selalu melalui direksi.[3][************]
Badan hukum tidak berfungsi tanpa keputusan dan tindakan direksi dalam rangka
mencapai tujuan perseroan; sehingga perseroan sangat bergantung pada direksi.
Antara direksi dan perseroan seperti lepat dan daun, hubungannya sangat erat,
karena tanpa direksi maksud dan tujuan serta usaha perseroan tidak akan
tercapai. Sebaliknya, tanpa perseroan, direksi tidak akan ada.[4][††††††††††††]
Direksi sepenuhnya mewakili perseroan, di luar dan di dalam pengadilan, untuk kepentingan dan
tujuan perseroan. Di sini terlihat,
direksi adalah identik dengan perseroan, dan keduanya tidak dapat dipisahkan.[5][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Sejalan dengan teori badan hukum, perseroan
memper-cayakan pengelolaan sumber daya dan usahanya kepada direksi agar
berkembang dan demi kemajuan perseroan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa
perseroan menyatu dengan direksinya. Karena direksi mengontrol dan bertanggung
jawab terhadap perseroan, antara perseroan dan direksi terbentuk hubungan.
Perseroan mempercayakan sumber daya dan hidupnya kepada direksi, yang membentuk
hubungan atas kepercayaan. Oleh karena itu, di sini terbentuk hubungan fidusia
(fiduciary relationship).
Setiap hubungan fidusia melahirkan tugas atau kewajiban
hukum yang harus dilakukan oleh salah satu pihak, untuk kepentingan atau
manfaat pihak lain. Direksi diberikan wewenang penuh untuk mengelola sumber
daya demi kepentingan perseroan, sesuai maksud dan tujuan perseroan. Berarti
direksi wajib melakukan tugas-tugas kepercayaan tersebut, dengan wewenang yang
diberikan perseroan melalui anggaran dasar. Berdasarkan definisi Kamus Black’s Law dan Mike Ottley, tugas
kepercayaan berarti, pihak yang mempercayakan yakin terhadap kemampuan pihak
yang dipercaya; percaya terhadap kejujuran pihak yang diberi kepercayaan untuk
menjaga kepentingannya.
Tugas fidusia mengharuskan direksi untuk mengurus
perseroan yang dipercayakan kepadanya dengan baik, jujur, dan bertanggung
jawab.[6][§§§§§§§§§§§§]
Direksi harus melakukan pengelolaan sumber daya dan usaha perseroan untuk
mencapai tujuan perseroan. Untuk itu, direksi harus memiliki kemampuan yang
diperlukan dan menggunakannya. Ketika perseroan mengangkat seorang direktur,
secara tidak langsung pihak perseroan sampai batas tertentu meyakini diri,
bahwa pihak yang ditunjuk sebagai direksi memiliki kemampuan dan keahlian yang
diperlukan. Agar mencapai tujuan, tugas itu tidak dapat dilakoni dengan
sembrono, tetapi harus memenuhi prinsip kehati-hatian dengan kualitas kepedulian
yang cukup (duty skill and care).[7][*************]
Jika sebuah tugas dijalani tanpa pengetahuan atau kecakapan yang memadai, atau
dilakukan secara ceroboh, sulit mencapai tujuan.
Dengan fiduciary
duty, direksi dapat bertindak atau berbuat yang hakikatnya memberikan
perlindungan bagi kepentingan pemegang saham, para pemangku kepentingan, dan
perseroan. Para pihak tersebut tidak dapat melindungi kepentingannya sendiri
tanpa keputusan dan tindakan direksi, yang sesuai dan telah digariskan oleh
maksud dan tujuan perseroan, khususnya dalam memajukan perseroan, memperoleh
keuntungan yang dikehen-daki, dan meningkatkan nilai pemegang saham. Semua itu
akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan bagi lingkungan perseroan yang
lebih luas, yang sesuai dengan negara kesejah-teraan sebagai teori besar (grand theory).
Secara langsung, tugas yang harus dilakukan oleh direksi
untuk kepentingan perseroan, mengandung tingkat kepercayaan yang tinggi dan
diberikan oleh perseroan, serta secara tidak langsung oleh para pemangku
kepentingan. Untuk itu, direksi juga harus memerhatikan kewajiban hukumnya
terhadap perseroan. Ketika mengambil keputusan, direksi harus bertindak secara
hati-hati, dengan mengikuti prosedur disertai pertimbangan yang rasional;[8][†††††††††††††]
serta menghindari diri dari perbuatan melanggar hukum, atau tidak mengikat
perusahaan dalam perikatan yang tidak seimbang atau tidak adil, atau dengan
kausa yang membatalkan perjanjian.
Pasal 61 Ayat 1 UU PT[9][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
memberikan peluang bagi pemegang saham untuk mengajukan gugatan terhadap
perseroan karena keputusan direksi yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan
yang wajar. Direksi tidak dapat melakukan kesalahan atau kelalaian sehingga
merugikan perseroan seperti yang disebutkan dalam Pasal 97 Ayat 5 UU PT,[10][§§§§§§§§§§§§§]
atau diartikan sebagai keadaan salah urus (mismanagement). Untuk itu, direksi dituntut untuk
memiliki tingkat integritas, loyalitas, kejujuran, dan kemampuan
profesio-nalisme di bidangnya, sehingga direksi merupakan pihak yang bonafide
bagi perseroan.
Menurut Munir Fuady, direksi hanya bertindak sebagai
agen, yang wajib mengabdi sepenuhnya dan sebaik-baiknya kepada perseroan.[11][**************]
Menurut Rachmadi Usman, menurut konsep trust
dalam common law system, direksi
bertindak menurut standar tertentu sebagai trustee,
seolah-olah direksi sebagai pemilik perusahaan. Sebaliknya, dalam civil law system, direksi bertindak
mengikuti atau menuruti aturan dan ketentuan yang ditetapkan dalam anggaran dasar,
karena dirinya hanya bertindak sebagai penerima kuasa dari perseroan.[12][††††††††††††††]
Dalam kaitan dengan konsep trust, Munir Fuady mengatakan bahwa UU PT belum sepenuhnya
mengandung fiduciary duty, baru
sebagai semi fiduciary duty, dalam
arti bahwa direksi belum bertindak sebagai trustee,
dengan tanggung jawab yang tinggi.[13][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Pendapat beliau
ini didasarkan pada Pasal 85 UU PT lama (Pasal 97 Ayat 1 dan 2 UU PT) yang
menunjukkan bahwa direksi wajib dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan.[14][§§§§§§§§§§§§§§]
Lebih lanjut Munir Fuady mengatakan, Pasal 85 UU PT
(lama) menunjukkan adanya fiduciary duty,
tetapi baru semi fiduciary duty,
karena belum menempatkan direksi di posisi “trustee”
yaitu dengan tanggung jawab yang tinggi. Di lain pihak, Munir Fuady
berpendapat, bahwa Pasal 85 UU PT lama menunjukkan bahwa tanggung jawab direksi
lebih dari sekadar “tugas kepedulian biasa (duty
of care)”.[15][***************]
Di lain pihak, Gunawan Wijaya juga berpendapat bahwa direksi adalah ‘trustee’ bagi perseroan yang harus
memiliki duty of loyalty dan good faith, dan merupakan agen bagi
perseroan dalam mencapai tujuan dan kepentingannya, sehingga perlu memiliki duty of care and skill.[16][†††††††††††††††] Meskipun demikian, antara hukum trust dan hukum fidusia terdapat
perbedaan.
Perbedaannya terletak pada hukum trust, dan trustee tidak mengambil risiko. Tetapi,
dalam fiduciary yang berlaku di
perusahaan atau bank, direksi mengambil risiko bisnis, atau risiko kredit
ketika memutuskan pemberian kredit bagi para debitor. Derek French et.al menekankan bahwa masalah
pengambilan risiko merupakan isu sentral dalam hukum trust (karena tidak mengambil risiko, pen), tetapi bukan pada hukum
fiduciary. Dalam hukum fidusia, yang penting bagi
pelaksana fidusia adalah menghindari diri dari penggunaan wewenang atau
diskresi yang merugikan untuk siapa dia bekerja, dan dari penyalahgunaan kepercayaan dan keyakinan yang diberikan
kepadanya.[17][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Menengahi beberapa pendapat yang berbeda tentang trustee, Mike Ottley mengungkapkan, dari
perkara Regal (Hastings) Ltd vs.
Gulliver (1942), bahwa
“Direksi, diyakini, bukan merupakan trustees,
tetapi direksi menduduki posisi fidusia terhadap perusa-haan dan keberadaan
mereka untuk kepentingan perusahaan. Sebagai seorang fidusia, direktur secara
individu tunduk kepada tugas yang sama, tugas-tugas fidusia, yang menuntutnya
meng-gunakan wewenang yang berkait dengan kepentingan pemberi tugas dan tidak
menyalahgunakan kepercayaan dan pengaruhnya dalam perusahaan.[18][§§§§§§§§§§§§§§§]
Mike Ottley menyimpulkan, bahwa tugas fidusia yang umum
terdiri dari kewajiban untuk bertindak secara bonafide, jujur, dan bertindak
wajar dalam menjalankan perusahaan. Hal itu berarti dia tidak melanggar
tugasnya dan kewenangannya digunakan untuk tujuan yang baik bagi perusahaan.
Karena direktur harus membuat keputusan berdasarkan keyakinan yang jujur untuk
kebaikan perusahaan, sehingga merupakan pelanggaran terhadap kewa-jiban atau
tugasnya jika ia tidak menggunakan wewenangnya.[19][****************]
Ketentuan lain ialah, seorang direktur harus menggunakan
kewenangannya tidak saja secara jujur, tetapi juga sesuai tujuan pemberian
kewenangannya itu.[20][††††††††††††††††]
Di samping kewajiban yang umum tersebut, seorang direktur harus pula tunduk
terhadap ketentuan bahwa yang bersangkutan harus menempatkan kepen-tingan
perusahaan di atas kepentingan pribadinya.[21][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Ini artinya, bahwa untuk memenuhi tugas fidusia, direksi harus menempatkan
dirinya tidak di posisi yang menimbulkan benturan kepentingan dengan
kepentingan perseroan.
Manifestasi dari ketentuan untuk menempatkan kepentingan
perusahaan di atas kepentingan pribadi direksi terlihat jelas dari kemungkinan
timbulnya kesempatan untuk melakukan transaksi bisnis dengan pihak ketiga, corporate opportunity alias kesem-patan bisnis bagi
korporasi. Ketika kesempatan muncul untuk melakukan bisnis dengan pihak ketiga,
dan dalam keadaan seperti itu, direksi harus mengutamakan perseroan bukan diri
pribadinya untuk mengambil kesempatan bisnis tersebut. Direksi dapat mengambil
kesempatan itu, tetapi harus meyakini diri bahwa hal itu dilakukan demi
kepentingan dan manfaatnya diberikan sepenuhnya kepada perusahaan. Ini artinya
direksi tidak muncul dalam sisi manapun dalam transaksi terkait dari segi
manfaat yang diperoleh dari transaksi itu, sehingga menempatkan kepentingan
perseroan di atas kepentingan pribadi. Menurut Munir Fuady, tidak saja
kesempatan seperti itu merupakan milik perseroan, tetapi juga setiap hak dan
pengharapan yang berkait dengan perseroan adalah juga merupakan kepunyaan
perseroan.[22][§§§§§§§§§§§§§§§§]
|
Chatamarrasjid Ais berpendapat bahwa UU PT mengatur
tentang fiduciary duty, dengan
mengacu pada Pasal 85 Ayat 1 UU PT lama (Pasal 97 Ayat 2 UU PT)[23][*****************],
dan Pasal 90 UU PT lama (Pasal 104 Ayat 4 UU PT)[24][†††††††††††††††††].
Pasal 85 Ayat 1 UU PT lama menyebutkan bahwa setiap anggota direksi wajib
dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan dan usaha perseroan. Pasal 90 Ayat 2 UU PT lama (Pasal 104 Ayat 4
UU PT) menyebutkan bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau
kelalaian direksi, dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian
akibat kepailitan tersebut, setiap anggota direksi secara tanggung renteng
bertanggung jawab atas kerugian itu. Dari pasal-pasal ini, ia menyimpulkan, UU
PT mengandung asas fiduciary duty
yang bertolak pada asas duty of skills
and care.[25][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Menurut Rai Widjaya, fiduciary
duty adalah tugas yang dijalankan oleh direktur dengan penuh tanggung jawab
untuk kepentingan perseroan.[26][§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Try Widiyono berpendapat bahwa fiduciary
duty menyangkut seluruh tugas direksi, dan untuk itu direksi harus memiliki
duty of care and skill, iktikad baik,
kejujuran, dan loyalitas kepada perseroan.[27][******************]
Keberadaan fiduciary duty lebih
diperjelas oleh Pasal 118 Ayat 2 UU PT. Ayat ini menyebutkan bahwa pengurusan
perseroan hanya dilakukan oleh direksi. Kedudukan direksi tidak dapat diganti
atau diisi oleh siapa pun. Hanya dalam keadaan tertentu, dan direksi tidak ada,
undang-undang memberikan wewenang kepada komisaris untuk meng-gantikannya,
tetapi hanya untuk jangka waktu tertentu.
|
3. Unsur-unsur
Pokok BJR dalam UUPT
Pasal 97 ayat 2 UU PT menyebutkan dengan jelas bahwa
dalam melakukan tugas pengurusan perseroan, direksi wajib melakukannya dengan
iktikad baik dan penuh tanggung jawab.
Di sini terlihat bahwa UU PT mengatur unsur iktikad baik, yang
diwajibkan pada direksi dalam menjalankan tugasnya untuk meng-urus usaha
perseroan. Prinsip iktikad baik dan penuh tanggung jawab menunjukkan prinsip yang
mengacu pada kemampuan dan tindakan kehati-hatian direksi (duties of skill and care).
Duties of skill and care tercakup
dengan jelas dalam Pasal 93 Ayat 1 UU PT. Ayat ini menyebutkan bahwa yang dapat
diangkat menjadi anggota direksi adalah orang yang dianggap cakap melakukan
perbuatan hukum, dengan pengecualian tertentu. Dalam kaitan dengan perbankan,
direksi dapat diangkat oleh pemegang saham adalah apabila telah lulus uji
kelayakan dan kepatutan atau fit and
proper test yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Oleh karena itu, agar tetap
dapat diangkat sebagai anggota direksi, setiap orang ketika menjabat sebagai
anggota direksi harus melakukan pekerjaannya dengan tingkat keahlian atau
kemampuan dan bertindak secara hati-hati, sehingga tidak membuat perseroan yang
dikelolanya mengalami kesulitan keuangan yang kemudian berakhir pada
kepalilitan. Tampaknya, ditinjau dari ketentuan UU PT ini, tingkat keahlian
atau kemampuan dan sikap hati-hati yang diperlukan di sini bersifat umum, dan
batas maksimumnya adalah tidak sampai membuat perseroan menjadi pailit. Hal ini
dapat dimengerti, karena UU PT berlaku untuk segala jenis usaha, dan untuk
berbagai bentuk kepemilikan, seperti perusahaan terbuka, tertutup, atau
dimiliki oleh badan hukum lainnya. Namun, bagi calon direksi bank, uji
kepantasan dan kepatutan oleh Bank Indonesia pada dasarnya merupakan seleksi
atas kemampuan dan keahlian calon dalam kaitan dengan bidang perbankan.
Mengacu Pasal 97 Ayat 5 UU PT, agar tidak dapat dihukum
karena kesalahan dan kelalaian, direksi harus memiliki tingkat kemampuan dan
sikap rajin dan peduli (diligent and care) yang diperlukan dalam mengelola
perseroan, yang dilakukan dengan iktikad baik dan menerapkan sikap
kehati-hatian, penuh tanggung jawab demi kepentingan perseroan (Pasal 1 angka 5
UU PT). Unsur iktikad baik yang disertai dengan tidak ada benturan kepentingan,
secara langsung atau tidak, menunjukkan bahwa direksi menempatkan kepentingan
perseroan di atas kepentingan pribadinya, sehingga merupakan pemenuhan duty of loyalty-nya kepada perseroan. Duty of loyalty ini diperkuat dengan
usaha yang dilakukan direksi untuk mencegah timbul dan berlanjutnya kerugian
yang dapat dialami oleh perseroan.
Pasal 97 Ayat 5 huruf c UU PT, yang menyebutkan anggota
direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian, sebagaimana maksud
pada Pasal 97 Ayat 3 UU PT, apabila dapat membuktikan bahwa direksi tidak punya
benturan kepentingan baik secara baik langsung maupun tidak langsung atas
kerugian yang terjadi. Dengan tidak adanya benturan kepentingan, self dealing atau corporate opportunity atau hal-hal lain yang setara dengan yang
dimaksud, direksi telah menjalankan duty
of loyalty. Ini artinya direksi harus menempatkan kepentingan perseroan di
atas kepentingan pribadinya.
Duty of candor, sebagai tugas
fidusia direksi untuk mem-beberkan semua fakta-fakta materiil secara jujur,
dengan jelas diatur dalam UU PT. Pasal 69 Ayat 3 UU PT menyebutkan bahwa
apabila laporan keuangan yang disediakan direksi ternyata tidak benar, atau
menyesatkan, anggota direksi dan anggota komisaris secara tanggung renteng
bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan. Informasi keuangan bersifat
sentral terhadap keber-hasilan usaha direksi dalam memajukan perseroan, yang
juga merupakan penentu terhadap kelanggengan usaha perseroan. Dalam kata lain,
informasi keuangan berfungsi sebagai indikator utama bagi kekuatan perseroan
dalam melanjutkan kehidupan usahanya. Ini artinya bahwa direksi dituntut agar
melaporkan atau membeberkan informasi atau keadaan keuangan yang sebenarnya,
tidak saja kepada pemegang saham atau pihak terkait lain, tetapi terlebih
kepada pihak yang memerlukan informasi itu.
pabila pihak yang memerlukan informasi itu, seperti pihak
yang akan melakukan transaksi atau perjanjian dengan pihak perusahaan, mengalami
kerugian sebagai akibat tidak mengetahui keadaan keuangan perusahaan yang
sebenarnya, direksi dan komisaris secara keseluruhan bertanggung jawab secara
renteng. Ini artinya seluruh pihak tersebut menanggung kerugian secara pribadi.
Namun, berdasarkan Pasal 69 Ayat 4 UU PT, apabila anggota direksi atau
komisaris dapat membuktikan bahwa ke-adaan tersebut bukan karena kesalahannya,
sehingga dibebaskan dari tanggung jawab ganti kerugian itu.
Pasal 69 UU PT Ayat 3 dan Ayat 4 UU PT ini tampaknya
me-rupakan pengganti dari Pasal 47 KUHD. Pasal KUHD ini mene-kankan kewajiban
pengurus untuk mengumumkan dalam sebuah register yang diselenggarakan untuk
itu, dan dalam surat kabar, mengenai keadaan keuangan yang telah mengalami
kerugian lima puluh persen dari modalnya. Jika pengumuman ini tidak dilakukan,
pengurus harus bertanggung jawab secara pribadi terhadap kemungkinan kerugian
yang dialami oleh pihak ketiga, yang melakukan perjanjian dengan perseroan,
sebagai akibat tidak diketahuinya keadaan keuangan perseroan yang sebenarnya.
Namun, Pasal 47 KUHD itu tidak menjelaskan bahwa pengurus
dapat dibebaskan dari tanggung jawab ganti kerugian, jika hal itu bukan karena
kesalahannya. Pembebasan dari tanggung jawab tersebut dapat mengacu kepada
kalimat pertama Pasal 45 KUHD. Pasal ini menyebutkan bahwa para pengurus tidak
dapat bertang-gung jawab lebih daripada untuk menunaikan sebaik-baiknya tugas
yang diberikan kepada mereka, sejauh tidak melanggar ketentuan yang ditetapkan
oleh anggaran dasar perseroan. Ini artinya para pengurus tidak boleh melakukan
kesalahan dalam pekerjaannya; dan tentunya pekerjaan itu harus dilakukan dengan
sebaik-baiknya.
Moral dari Pasal 47 KUHD adalah direksi wajib melakukan
pekerjaan sebaik-baiknya. Jika tugas dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,
diharapkan bahwa pekerjaan itu tidak membawa kesa-lahan atau kelalaian dari
pihak yang melakukannya.
Sekalipun ada
kesalahan atau kelalaian, upaya bekerja sebaik-baiknya telah menunjukkan adanya
iktikad baik untuk tidak membuat kesalahan atau tidak adanya kelalaian yang
belebihan. Kalaupun terjadi, sudah merupakan kesalahan atau kelalaian yang
tidak dapat dikontrol oleh manusia normal umumnya. Iktikad baik dan kesalahan
atau kelalaian yang tidak disengaja, sejalan dengan sifat manusia normal
umumnya, akan merupakan bagian dari per-timbangan hakim: apakah tetap menuntut
direksi yang salah atau lalai untuk bertanggung jawab mengganti kerugian secara
pribadi. Namun, untuk melaksanakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya memerlukan
tingkat keahlian, kemampuan, dan sikap hati-hati.
UU PT tidak secara jelas mendefinisikan atau tidak
memberi-kan standar ukuran, unsur iktikad baik. Namun, secara
keselu-ruhan, unsur iktikad baik dapat diartikan dan disimpulkan dari berbagai
ayat yang dikandung dalam UU PT yang dapat dikatakan berkait dengan iktikad
baik. Pertama, iktikad baik dapat diartikan sebagai pelaksanaan
pengurusan perseroan oleh direksi untuk kepentingan perseroan dan sesuai maksud
dan tujuan perseroan (Pasal 92 Ayat 1 UU PT). Kedua, iktikad baik dapat
pula diartikan sebagai pemenuhan tanggung jawab direksi dalam melaksanakan
tugasnya (Pasal 97 Ayat 2 UU PT). Ketiga, iktikad baik dapat pula
diartikan sebagai keadaan yang tidak mengandung benturan kepentingan baik
secara langsung maupun tidak (Pasal 97 Ayat 5 huruf c dan Pasal 104 Ayat 4
huruf c). Keempat, iktikad baik juga
dapat diartikan sebagai tindakan yang telah diambil direksi dalam mencegah
terjadinya atau berlanjutnya kerugian atau kepailitan (Pasal 97 Ayat 5 huruf d,
dan Pasal 104 Ayat 4 huruf d).
4. Diskresi Pengambilan Keputusan Bisnis dalam UU PT
Keputusan bisnis tersirat dari frasa “kebijakan yang
dianggap tepat” dalam Pasal 92 Ayat 2 UU PT. Frasa ini memberikan nuansa yang
secara khusus berkait dengan kepastian hukum. Berdasarkan pasal ini, Munir
Fuady berpendapat bahwa prinsip keputusan bisnis atau BJR secara lebih tegas
diakui dalam UU PT. Menurut Munir Fuady, pernyataan yang berbunyi bahwa direksi
berwenang menjalankan pengurusan sesuai kebijakan yang dipandang tepat adalah
sesuai keahlian yang dimiliki, peluang yang tersedia, dan kelaziman dalam dunia
bisnis.[28][††††††††††††††††††]
Frasa tersebut
menunjukkan bahwa dalam menjalankan usaha perseroan, direksi memiliki diskresi
yang diperlukan dalam membuat keputusan sejauh masih dalam koridor hukum dan
sesuai ketentuan anggaran dasar, yang antara lain sesuai maksud dan tujuan
perseroan. Ini artinya unsur pertama BJR, yaitu keputusan bisnis, dipenuhi
dalam UU PT.
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Munir Fuady adalah
bahwa sebuah putusan direksi tidak boleh diganggu-gugat oleh siapa pun,
walaupun putusannya kemudian ternyata salah dan menimbulkan kerugian perseroan,
asalkan memenuhi sejumlah persyaratan, yang antara lain: putusan sesuai hukum
dan memiliki dasar yang rasional, dilakukan dengan iktikad baik dan untuk
tujuan yang benar serta hati-hati, dan yang terakhir putusan dapat dipercaya
sebagai yang terbaik bagi perseroan.[29][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Dalam kaitan dengan
teori menengah (middle range theory), masalah kepastian hukum berkaitan
erat dengan tanggung jawab pribadi direksi untuk melakukan ganti kerugian
terhadap kesalahan atau kelalaiannya. UU PT tidak menjelaskan jenis atau
tingkat kelalaian (negligence)
tertentu yang dapat menyebabkan direksi bertanggung jawab secara pribadi.
Dalam konsep BJR di negara asal,
negligence yang bersifat gross
yang dapat menghilangkan proteksi BJR terhadap kelalaian direksi. Di samping
itu, UU PT tidak menyebutkan secara jelas bahwa dalam membuat kebijakan yang
dianggap tepat, direksi harus melandasi keputusan itu dengan informasi yang
tersedia dan memadai. Namun, jika ditinjau dari redaksi Pasal 97 Ayat 5 huruf
a, dan Pasal 104 Ayat 4 huruf a dan d, UU PT dinilai justru memiliki ketentuan
yang lebih jelas mengenai unsur kelalaian, dan dapat dianggap lebih pasti.
Pada Pasal pertama, Pasal 97 Ayat 5 huruf a UU PT,
menyebutkan bahwa direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian
sebagaimana maksud Ayat 3, apabila dapat membuktikan, bahwa kerugian tersebut
bukan kesalahan atau kelalaiannya. Apa pun tingkat kelalaiannya itu, sejauh ada
gugatan dari pihak penggugat karena merugi, atau dari pihak yang dirugikan,
sudah cukup bagi direksi untuk membuktikannya di pengadilan, bahwa kerugian itu
bukan akibat karena adanya kelalaian atau kesalahan direksi.
Jadi, kerugian
dan gugatan pihak yang dirugikan dapat dijadikan ukuran bagi direksi untuk
membuktikan bahwa kelalaian atau kesalahan itu bukan milik mereka, apa pun
tingkat kelalaian yang dilakukan. Secara psikologis, ketentuan ini dapat
mendorong di-reksi dalam membuat keputusan atau melakukan tindakan dengan
menerapkan sikap hati-hati, sehingga tidak menimbulkan kelalaian atau
kesalahan.
Pada pasal kedua, Pasal 104 Ayat 4 huruf a dan d UU PT,
menyebutkan bahwa direksi tidak bertanggung jawab atas ke-pailitan, sebagaimana
maksud Ayat 2, apabila dapat membuktikan kepailitan itu bukan karena kesalahan
atau kelalaiannya, dan telah mengambil
tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan. Ukuran kedua untuk menentukan
kelalaian atau kesalahan direksi adalah keadaan pailit, sebagai patokan atas;
apa pun tingkat kela-laian atau kesalahan harus dibuktikan oleh direksi di
pengadilan. Di sini, besar kecil kelalaian atau kesalahan itu tampaknya
ditentukan oleh pengadilan, tetapi yang pasti telah ada sebuah keadaan untuk
membuktikan apakah itu kesalahan atau kelalaian direksi.
Kalau kepailitan disebabkan kelalaian atau kesalahan
direksi, sejauh direksi telah bertindak mencegah terjadinya kepailitan itu,
berdasarkan redaksi pasal tersebut, kemungkinan direksi tidak dapat
dipersalahkan. Sebuah keputusan direksi bisa saja secara substantif membawa
konsekuensi kerugian perusahaan yang mengarah kepada kepailitan. Akan tetapi,
sejauh direksi telah menunjukkan langkah-langkah konkret untuk menghindarinya,
pengadilan dapat membebaskan direksi dari beban tanggung jawab mengganti
kerugian yang ditimbulkan. Secara keseluruhan, uraian mengenai kedua pasal
tersebut jelas menunjukkan adanya perlindungan hukum bagi direksi.
Mengenai apakah direksi telah menggunakan informasi yang
cukup dalam membuat keputusan, sehingga dapat memenuhi duty of care, kiranya dapat ditinjau dari Pasal 92 Ayat 2, dan
Pasal 97 Ayat 5 huruf b. Pasal yang pertama menyebutkan bahwa direksi berwenang
menjalankan pengurusan sebagaimana maksud Ayat 1 sesuai ‘kebijakan yang dianggap
tepat’, dan seterusnya. Menurut Nindyo Pramono, kebijakan itu secara yuridis
berarti tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, iktikad baik,
kepatutan, kebiasaan atau undang-undang dan tidak melanggar hukum; dan yang
dapat mendatangkan keuntungan atau berguna bagi perseroan.[30][§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Dalam membuat kebijakan yang dianggap tepat, direksi mau-tak-mau harus terlebih
dahulu mempelajari keadaan yang dihadapi dan mengkaji berbagai alternatif.
Untuk mem-pelajarinya, direksi harus memiliki informasi yang diperlukan,
termasuk mempelajari ketentuan perundang-undangan yang ter-kait, sehingga dapat
membuat kebijakan yang tepat.
Kebijakan pada dasarnya juga merupakan keputusan, tetapi
kebijakan mengandung makna yang lebih luas dan dalam. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, akar kata bijak berarti selalu menggunakan akal budi, pandai
atau mahir. Kebijakan berarti kepandaian, kemahiran, atau kebijaksanaan. Arti
lainnya adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan pekerjaan, atau sebagai garis pedoman untuk manajemen
dalam upaya mencapai sasaran. Jadi, membuat sebuah kebijakan memerlukan kajian
dan pemikiran, memerlukan upaya yang sunguh-sunguh; tentunya menuntut adanya
kajian terhadap informasi yang diperlukan. Betapa banyak informasi yang
diperlukan bersifat sangat kontekstual, bergantung kepada keadaan yang
dihadapi dengan kompleksitas yang ber-beda. Namun, kebijaksanaan yang
dianggap tepat akan mendikte jumlah dan kualitas informasi yang dibutuhkan, dan
menentukan tingkat memadai yang harus dipenuhi.
Menurut PW Pamungkas, Pasal 97 Ayat 5 UU PT tersebut
menunjukkan adanya perbedaan dengan konsep BJR di negara asalnya. Pasal itu
menyebutkan bahwa beban pembuktian berada pada pihak direksi, karena direksi
harus membuktikan bahwa kerugian yang terjadi bukan akibat kesalahan atau
kelalaiannya.[31][*******************]
Ini, artinya bahwa sejak semula ketika seseorang ditunjuk sebagai anggota
direksi, yang bersangkutan langsung memiliki tanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan. Meskipun demikian, Pasal ini jelas menunjukkan adanya
perlindungan hukum bagi direksi, jika kerugian atau kepailitan yang terjadi
bukan karena kesalahan atau kelalaianya, bahkan telah berusaha untuk
menghindarinya.
Di sini, titik
tolaknya adalah adanya gugatan terhadap direksi sehubungan dengan kerugian atau
kepailitan yang tidak dapat diterima oleh pemegang saham atau pihak ketiga
lainnya. Hanya saja, direksi diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa
mereka tidak bersalah dan tidak lalai dalam melakukan pekerjaan.
Dalam sistem aslinya, beban pembuktian berada pada pihak
pemegang saham atau pihak ketiga yang menganggap bahwa direksi telah melakukan
kesalahan atau kelalaian, sehingga menimbulkan kerugian bagi perseroan.
Pembuktian yang seperti ini karena pada BJR berlaku anggapan awal bahwa direksi
menjalankan tugasnya dengan memenuhi tiga serangkai dari fiduciary duty termasuk iktikad baik, sedangkan keuntungan dan
kerugian adalah akibat wajar dalam menjalankan roda bisnis. Ini artinya bahwa pemegang saham atau
pihak ketiga harus memiliki pikiran positif terhadap direksi, bahwa direksi
selalu mengambil keputusan demi memajukan kesejahteraan perseroan. Dalam UU PT,
anggapan awal BJR tidak dikenal. Oleh karena itu, berbeda dengan UU PT, dalam
BJR, pihak pemegang saham atau pihak ketiga lainnya itu yang harus membuktikan
bahwa direksi tidak memenuhi salah satu unsur dari fiduciary duty, sehingga menimbulkan kerugian yang tidak dapat
diterima oleh pihak pemegang saham atau pihak ketiga lainnya itu. Namun, titik
tolaknya tetap merupakan kerugian yang tidak dapat diterima oleh pihak
tersebut, sebagaimana halnya yang juga merupakan unsur dalam UU PT.
Uraian ini menunjukkan bahwa UU PT juga memberikan
dis-kresi untuk membuat keputusan bisnis, dan mengandung unsur-unsur yang
diperlukan dalam BJR, yaitu fiduciary
duty, yang terdiri dari duty of
loyalty, duty of due care, dan good
faith (iktikad baik), di
samping ketentuan bahwa direksi bertanggung jawab secara pribadi jika melakukan
kelalaian atau kesalahan. Dalam men-jalankan usaha perseroan, direksi dapat
membuat kebijakan yang dianggap tepat, dan itu meliputi pengambilan keputusan
yang diperlukan dalam menjalankan usaha perseroan.
Adanya frasa “kebijakan yang dipandang tepat“ dan
unsur-unsur BJR dalam UU PT dapat memberikan kepastian hukum bagi para direksi,
karena hal tersebut menunjukkan sejumlah kewajiban hukum yang jelas harus
dipenuhi oleh direksi. Ukuran yang pasti bagi kepastian hukum ini adalah adanya
gugatan dari pihak terkait terhadap kerugian yang ditimbulkan karena keputusan
direksi. Untuk itu, pengadilan akan memeriksa apakah direksi telah melakukan
kewajiban atau tugas hukumnya dengan baik.
5. Hukum yang Melindungi Direksi
Terkait dengan identifikasi masalah pertama, masalah lain
yang perlu dianalisis adalah apakah UU PT dan UU Perbankan mengatur
perlindungan hukum bagi direksi (bank). Untuk itu, bagian berikut membahas
hal-hal yang berkait dengan per-lindungan hukum dalam rangka menyimpulkan
apakah UU PT dan UU Perbankan telah mengaturnya.
Menurut Bernhard Nainggolan, perlindungan hukum
menun-jukkan fungsi hukum sebagai sarana perlindungan kepentingan manusia, dan
tujuan hukum untuk menciptakan ketertiban dan keseimbangan.[32][†††††††††††††††††††] Seyogianya, perlindungan itu dapat diberikan, jika orang dalam
melakukan tindakannya tidak merugikan pihak lain, sesuai norma yang berkembang
di masyarakat, dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku, sehingga mencapai
ketertiban dan keseimbangan di antara pihak yang terkait. Keseimbangan tidak
hanya antara dua pihak yang melakukan perjanjian, tetapi juga antara majikan
dan pekerja, antara agen dan prinsipal; dan antara dua pihak yang terkait dalam
hubungan fidusia, atau bagi yang memiliki fiduciary
duty dengan pihak yang menerima manfaat dari tugas fidusia, dalam hal ini
antara direksi dengan perseroan.
Patokan dengan berpegang pada norma dan ketentuan yang
berlaku di masyarakat adalah setara dengan sikap ketelitian atau hati-hati atau
zorgvuldigheid terhadap kepentingan
orang lain.[33][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Istilah zorgvuldigheid juga merupakan
asas kepatutan, dan berarti perbuatan yang tidak bertentangan dengan kepatutan,
ketelitian dan sikap kehati-hatian yang harus dimiliki oleh seseorang dalam
pergaulannya dengan sesama warga masyarakat, atau terhadap benda orang lain.[34][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Orang dianggap melakukan tindakan yang tidak sah dari kacamata hukum atau
melanggar hukum jika tidak dengan hati-hati mempertimbangkan atau memerhatikan
kepen-tingan atau hak-hak orang lain yang dianggap wajar atau secara umum
diterima.[35][********************]
Dalam dunia profesional, ukurannya adalah standar profesi tertentu.[36][††††††††††††††††††††]
Dalam perspektif Adam Smith, orang yang menerapkan prinsip
kehati-hatian (zorgvuldigheid) adalah orang yang memiliki
kebajikan moral dan intelektual, serta kebijakan dengan kebajikan yang paling
sempurna. Prudent man yang dimaksud
oleh Adam Smith adalah orang yang selalu mempelajari secara serius dan sungguh-sungguh
apa yang harus dipahaminya dari segi profesi, dan hanya mengatakan yang benar.
Orang itu selalu hati-hati dalam tindakannya, menggunakan diskresi dalam batas
yang wajar, dan selalu melakukan
transaksi berdasarkan kemantapan pengetahuan dan kemampuannya.[37][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Pandangan Adam Smith itu sejalan dengan pengertian
profesional, yakni selalu berpegang teguh pada code of conduct dan code of
ethics dalam menjalankan profesi, sebagai standar profesi yang umum dari
profesi yang dianutnya. Standar ini bukan merupakan hukum positif formal, namun
diyakini sebagai norma yang diakui oleh masyarakat (living law), tetapi
berlaku bagi profesi yang sama. Bekerja di bank dengan spesialisasi di bagian
kredit adalah salah satu profesi yang dimaksud.
Perbuatan melanggar hukum berarti tidak saja melanggar
undang-undang atau melanggar hak orang lain, tetapi juga berarti tidak cukup
menunjukkan sikap hati-hati dan tenggang rasa terhadap kepentingan orang lain.
Melanggar hukum adalah juga jika sebuah kontrak tidak berdasarkan kausa yang
sah alias acceptable cause (geoorloofde
oorzak), unreasonable cause (onredelijke oorzaak), atau tidak berlandasan
hukum (ontbreken van een
rechtvaardigingsgrond).[38][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Semenjak putusan Hoge Raad pada tahun 1919, pengertian
onwetmatige daad telah diperluas
menjadi onrechtmatige daad.[39][*********************]
Perkembangan
yang sama juga diikuti dalam yurisprudensi Indonesia. Unsurnya adalah perbuatan
kelalaian, melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum
pelaku, bertentangan dengan kesusilaan atau sikap kehati-hati yang diperlukan
dalam pergaulan di masyarakat, dalam hal kepentingan lahiriah maupun milik
orang lain. Semua itu tidak bersifat kumulatif.[40][†††††††††††††††††††††]
Oleh karena itu, perlindungan hukum dapat diberikan, jika
orang mengikuti norma dan ketentuan yang berlaku di masya-rakat, menerapkan
sikap ketelitian atau hati-hati (zorgvuldigheid)
dan sikap tenggang rasa terhadap kepentingan orang lain, tidak bertentangan
dengan kesusilaan, berdasarkan kausa yang sah alias acceptable cause (geoorloofde
oorzak) atau unreasonable cause
(onredelijke oorzaak), dan memiliki landasan hukum (ontbreken van een rechtvaardigingsgrond).
Perlindungan hukum tersebut
adalah bahwa pengurus dibebaskan dari tanggung jawab ganti kerugian secara
pribadi terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga, jika kerugian itu
bukan akibat dari kesalahan pengurus. Dalam arti lain, sekalipun ternyata memang
pihak ketiga itu mengalami kerugian akibat melakukan transaksi atau perjanjian
dengan perseroan, apabila kerugian itu bukan disebabkan kesalahan pengurus,
kerugian itu merupakan tanggung jawab perseroan.
Masalah tanggung jawab atas
kerugian pihak ketiga kemudian diperjelas dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUH
Perdata. Kedua Pasal ini menunjukkan bahwa kesalahan, kelalaian, atau
ketakhati-hatian merupakan perbuatan melanggar hukum. Jika salah satu dari
ketiga hal itu dilakukan, orang yang melakukannya harus dimintakan
pertanggungjawaban, dan dalam hal ini untuk melakukan ganti kerugian. Hanya
saja, redaksi kedua pasal itu menunjukkan yang lebih jelas ke arah perlindungan
hukum bagi pihak yang dirugikan; dan berlaku umum bagi siapa pun yang dirugikan
oleh siapa pun, tidak ditujukkan hanya bagi direksi saja.
Dalam konteks badan hukum, hal
yang sama seperti maksud Pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata tersebut juga diatur
dalam Pasal 114 Ayat 3 UU PT. Pasal ini menyebutkan bahwa setiap anggota
komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian perseroan,
apabila yang bersangkutan salah atau lalai menjalankan tugasnya. Tugas yang
dimaksud adalah dalam hal pengawasan dan pemberian nasihat kepada direksi,
sebagaimana maksud Pasal 108 Ayat 1 UU PT. Dalam kaitan dengan
peng-ambilan keputusan bisnis, Ayat 1 Pasal
tersebut menyebutkan bahwa komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan
pengu-rusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun
usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada direksi. Seperti yang
telah diuraikan, kebijakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar, dan dasar rencana dalam
pelaksanaan pekerjaan. Dari pengertian kebijakan ini dapat pula disimpulkan
adanya keputusan, sedangkan sebuah pekerjaan dalam perusahan adalah menjalankan
roda bisnis perseroan. Jadi, apabila komisaris melakukan pengawasan kebijakan
direksi, komisaris harus meng-kaji keputusan-keputusan bisnis apa yang telah
dibuat direksi.
Berbeda dengan nuansa Pasal
1365 dan Pasal 1366 KUH Perdata, UU PT menyebutkan pasal-pasal yang
berkait dengan perlindungan hukum bagi direksi, yaitu Pasal 97 Ayat 5 UU PT dan
Pasal 104 Ayat 4 UU PT. Pasal-pasal ini menentukan bahwa direksi tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian (Pasal 97 Ayat 5 UU PT) atau kepailitan
(Pasal 104 Ayat 4) UU PT), apabila dapat membuktikan bahwa kerugian atau
kepailitan itu bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, melakukan pengurusan
dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan; tidak punya
benturan kepentingan secara langsung atau taklangsung atas tindakan pengurusan
yang mengakibatkan kerugian atau kepailitan itu; dan telah mengambil tindakan
untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian atau kepailitan tersebut.
Unsur yang disebutkan yaitu iktikad baik, kehati-hatian, dan tidak adanya
benturan kepentingan, merupakan manifestasi dari duty of loyalty. Kesemuanya ini merupakan kewajiban hukum yang
harus dipenuhi direksi, dan merupakan ketentuan yang diperlukan dalam BJR, agar
dapat memberikan perlindungan hukum bagi direksi.
Moral dari Pasal 45
KUHD dapat digunakan sebagai acuan tambahan dalam menentukan apa yang dimaksud
dengan kesalahan (yang disengaja) atau kelalaian (yang tidak disengaja).
Ukurannya adalah ‘menunaikan sebaik-baiknya tugas yang di-berikan kepada
mereka, dan tidak menyimpang dari ketentuan yang ada dalam anggaran dasar atau
perubahannya’. Setara dengan pengertian ini, kesalahan atau kelalaian dalam UU
PT dapat pula diartikan sebagai tidak dilakukannya tugas pengurusan perseroan
dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab, seperti yang diindikasikan oleh
Pasal 97 Ayat 2 UU PT, dan menyimpang dari ketentuan dalam anggaran dasar serta
merupakan tindakan dalam klasifikasi ultra
vires.
Sejauh direksi memenuhi persyaratan atau kewajiban hukum
yang dimaksud oleh dua pasal dalam UU PT tersebut, direksi tidak dapat
dipersalahkan. Dengan demikian, direksi dapat diberikan haknya, yaitu berupa
perlindungan hukum untuk tidak bertang-gung jawab atau melakukan ganti kerugian
secara renteng dan pribadi atas kerugian atau kepailitan perseroan. Sejauh
direksi dapat membuktikan bahwa kerugian atau kepailitan bukan karena kelalaian
atau kesalahannya, sehingga direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban
ganti kerugian secara pribadi. Dengan kata lain, direksi diberi perlindungan
hukum.
Perlindungan hukum memerlukan pemenuhan hak dan kewa-jiban. Dalam
kaitan dengan pemenuhan kewajiban agar memper-oleh hak perlindungan hukum, BJR menentukan
bahwa, keputusan direksi harus memenuhi anggapan bahwa keputusan itu dibuat
untuk tujuan bisnis yang rasional dengan memenuhi fiduciary duty. Seluruh unsur dalam ketiga tugas fidusia ini
merupakan kewajiban hukum yang harus dipenuhi oleh direksi. Karena unsur-unsur BJR tersebut juga diatur dalam
UU PT, dapat disimpulkan bahwa UU PT mengatur tentang perlindungan hukum bagi
direksi sehubungan dengan keputusan yang dibuatnya. Perlindungan hukum ini
secara jelas dapat dilihat pada Pasal 97 Ayat 5 dan Pasal 104 Ayat 4 UU PT.
Selanjutnya, yang perlu dipastikan adalah apakah UU
Perbankan mengatur perlindungan hukum bagi direksi bank. Sebelum menganalisis
mengenai perlindungan hukum dalam UU Perbankan, perlu dipastikan apakah prinsip
keputusan bisnis (BJR) dipraktikan dalam perbankan Indonesia, dan bagaimana
penga-dilan memutuskan mengenai “prinsip keputusan bisnis” dalam perkara kredit
macet di Indonesia, yang diuraikan dalam bagian berikut.
B. KEPUTUSAN
BISNIS DALAM PRAKTIK PEMBERIAN KREDIT DAN PUTUSAN PENGADILAN
Sehubungan dengan identifikasi masalah kedua, yaitu
bagai-mana keputusan bisnis diterapkan dalam praktik pemberian kredit di Indonesia, sehingga dapat memenuhi
seluruh “prinsip keputusan bisnis”, bagian ini menganalisis dan berusaha
men-jawabnya.
1. Praktik Pemberian Kredit
Dengan mengacu pada Pasal 2 dan 8 UU Perbankan, hasil
wawancara menyimpulkan pengertian dan pelaksanaan prinsip ke-hati-hatian
berikut.
Prinsip kehati-hatian mewajibkan bank untuk selalu
menjaga tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset, tingkat
likuiditas, ketahanan manajemen, dan aspek lainnya terkait usaha bank;
sehubungan dengan tanggung jawab bank yang besar terhadap dana nasabah yang
dikelolanya.[41][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Prinsip ini merupakan kepatuhan bank terhadap ketentuan atau aturan-aturan
per-kreditan, atau perundang-undangan secara benar, konsekuen, dan dapat
dipertanggungjawabkan; serta diikuti oleh seluruh pihak yang terkait dengan
pemberian kredit. Tambahan pula, masalah kehati-hatian menyangkut masalah lebih
luas, yaitu berkait dengan masalah moral, ketika berhadapan dengan sesuatu yang
belum di atur; atau melakukan pembiayaan yang dapat merusak komunitas
perbankan, sehingga berakibat pada risiko reputasional.[42][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Penerapan prinsip ini sesungguhnya telah dimulai ketika
seseorang akan ditunjuk sebagai direktur sebuah bank. Untuk itu, yang
bersangkutan harus lulus uji kemampuan dan kepatutan, tanpa adanya
pengecualian. Setelah diangkat sebagai direktur, baru yang bersangkutan dapat
berkecimpung di bidang perkreditan. Dalam pemberian kredit, direksi harus
melakukan analisis yang mendalam atas kelayakan dan prospek usaha debitor,
faktor-faktor yang dapat memengaruhi usaha debitor (misalnya faktor makro
ekonomi), serta mengantisipasi dan menganalisis risiko yang mungkin timbul dan
meminimalkan risiko tersebut,[43][**********************]
dengan menerapkan persyaratan-persyaratan yang wajib dipenuhi oleh calon
debitor.[44][††††††††††††††††††††††]
Untuk dapat melakukan analisis dengan baik, direksi harus mempunyai pengetahuan
dan keahlian serta pengalaman yang baik yang diperlukan. Di samping itu,
pemberian kredit yang berisiko tinggi memerlukan keputusan dari pemutus kredit
yang lebih tinggi. Risiko akan bersifat tinggi, jika tidak dapat mengontrol dan
tidak dapat memitigasinya.[45][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Penerapan prinsip kehati-hatian terus dilaksanakan
setelah pencairan kredit, sampai pada pengawasan kredit, hingga kredit dilunasi
oleh debitor. Hal ini berkait dengan tata kelola perusahaan yang menyangkut dua
hal, yaitu: Pertama, tata kelola yang berkait dengan operasi bank,
khususnya dalam mengelola risiko kredit; dan kedua, mengkaji apakah
perusahaan debitor melak-sanakan tata kelola perusahaan yang baik. Pada yang
pertama, bank harus memerhatikan dan mengawasi perkembangan kredit yang
diberikan, dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya risiko kredit. Hal ini
dapat dilakukan dengan terus-menerus berko-munikasi dengan pihak debitor,
melalui kunjungan ke tempat perusahaan beroperasi, dan secara reguler menerima
paling tidak laporan keuangan dari pihak debitor. Secara internal, bank harus
selalu memerhatikan dan mengkaji kelengkapan dokumen kredit dan jaminan, serta
mengikuti perkembangan pemenuhan keten-tuan atau kausul-klausul perjanjian
kredit. Pada yang kedua, bank harus mengkaji bagaimana tata kelola perusahaan
dilakukan oleh perusahaan debitor yang dibiayai atau yang diberikan
kredit. Hal ini tidak saja dilakukan
ketika kredit akan diberikan, tetapi juga selama kredit belum dilunasi. Seperti
yang telah disebutkan di muka, tata kelola yang baik memberikan jaminan bahwa
kepen-tingan kreditor kepada perusahaan debitor diperhatikan.
Pelanggaran prinsip kehati-hatian adalah apabila
pemberian kredit dilakukan untuk tujuan spekulasi atau membiayai sektor usaha
yang dilarang oleh Bank Indonesia, termasuk kredit untuk proyek atau usaha yang
secara nyata membahayakan ling-kungan.[46][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
Secara umum dan dalam pengertian yang lebih luas, prinsip kehati-hatian ini
juga merupakan langkah pemenuhan tanggung jawab sosial bank terhadap para
pemangku kepentingan atau lingkungan yang lebih luas, baik fisik maupun sosial.
Pemberian
kredit yang digunakan untuk usaha yang berpotensi merusak kedua lingkungan
jelas melanggar prinsip kehati-hatian, di samping yang membahayakan kepentingan
para pemilik dana. Pelanggaran ini berkait dengan pengertian iktikad baik.
Pengertian iktikad baik dapat mengacu pada apa yang tersirat
dari Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu setiap pihak dalam perjanjian tidak berniat
merugikan pihak yang lain dan kepentingan umum, dan sejalan dengan kepatutan
dan keadilan. Kepentingan umum dapat berarti pihak yang langsung atau tidak
langsung berkait dengan kontrak. Dalam perkreditan, niat untuk tidak merugikan
pihak kreditor dan melaksanakan kredit secara patut dan adil harus diteliti
lebih dini sebelum kredit diberikan. Unsur iktikad baik itu terefleksi dari
karakter calon atau debitor itu sendiri. Karakter itu meliputi reputasi
debitor, terutama dalam hal pembayaran kewajibannya terhadap kreditor atau
pihak lain, dan transparansi data dan informasi yang diberikan kepada pihak
bank.[47][***********************]
Penilaian kemampuan didasarkan pada analisis yang
men-dalam untuk memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah
debitor untuk melunasi utangnya. Analisis ini harus dilakukan untuk mengetahui
berapa banyak usaha debitor dapat menghasilkan arus kas dari kegiatan penjualan
dengan memproleh laba bersih tertentu sebagai sumber utama untuk melakukan
pembayaran kembali utang beserta bunga. Bank perlu memastikan besar jumlah
kredit yang diperlukan dan dikaitkan dengan untuk apa kredit akan digunakan, dan
analisis seberapa jauh jumlah kredit yang diperlukan tersebut akan dapat
meningkatkan pendapatan, laba, dan arus kas dari usaha debitor. Bank perlu
menelaah pengalaman, keahlian, dan komitmen debitor, sebagai perusahaan atau
individu, agar dapat berhasil di bidang usahanya. Kemampuan calon debitor
sangat ditentukan dari tingkat pendidikan, pengalaman mengelola usaha, dan sejarah perusahaan yang pernah
dikelola, apakah pernah mengalami masa sulit, dan bagaimana mengatasinya.[48][†††††††††††††††††††††††]
Kesanggupan calon debitor dapat dinilai dari gabungan
unsur kemampuan dengan unsur iktikad baik.[49][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Tidak saja
dilihat dari kinerja keuangan dan likuiditas dari calon debitor[50][§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§]
di luar yang dibutuhkannya,[51][************************]
tetapi juga diyakini dari jejak rekam keberhasilan usaha, reputasi keuangan,
dan komitmen calon debitor untuk menyediakan dana sendiri (self financing).[52][††††††††††††††††††††††††]
Penilaian yang dilakukan oleh bank harus bersifat objektif
dan independen. Ini artinya bahwa penilaian merupakan kesimpulan dari analisis
yang dilakukan mengenai character, capacity, capital, collateral dan condition of economy, serta jumlah dan
kegunaan kredit akan menentukan apakah kredit dapat diberikan atau tidak;
didasarkan informasi, data dan fakta yang relevan, benar, dan cukup. Di samping
itu, penilaian juga tidak dipengaruhi oleh pihak yang berkepentingan dengan
pemohon kredit, tingkat emosional dan sikap optimistik yang berlebihan, atau
faktor antusiasme yang tidak rasional (irrational
exurbearance),[53][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
atau mengikuti kepu-tusan yang dilakukan oleh pihak lain (herd behavior), atau telah dinodai dengan unsur moral hazard.
Dari uraian terdahulu mengenai unsur-unsur BJR (dalam UU PT)
dan unsur-unsur yang diperlukan khususnya dalam Pasal 2 dan 8 UU Perbankan,
dapat dibuat perbandingan sebagai berikut:
Tabel V.2:
Perbandingan Unsur-unsur BJR (dalam UU PT)
dengan Unsur-unsur yang Diperlukan dalam Pasal 2
dan 8 UU Perbankan
|
BJR
|
PASAL 2 DAN
PASAL 8 UU PERBANKAN
|
Undang-undang yang melandasi.
Dasar kewenangan ber-tindak/mengambil keputusan.
|
UU PT
Berdasarkan ang-garan dasar perse-roan, dan pemba-gian tugas direksi.
|
UU Perbankan
Berdasarkan anggaran dasar bank sebagai badan hukum,
dan penunjukan direksi sebagai pemutus kredit dan anggota komite kredit.
|
Aplikasi
Wadah pengambilan keputusan.
|
Keputusan bisnis direksi.
Umumnya dalam rapat direksi.
|
Keputusan kredit direksi/pemu-tus kredit.
Umumnya dalam rapat komite kredit bank.
|
Proses
pengambilan ke-putusan.
|
Bervariasi bergan-tung
kebutuhan, namun cenderung bersifat umum.
|
Keputusan dibuat berdasarkan hasil analisis kredit;
merupakan proses investigasi yang terstru-tur dan terperinci, dan gabung-an data kualitatif dan kuan-titatif,
serta intuisi pemutus kredit. Cenderung bersifat baku.
|
Informasi
yang diper-lukan dalam
membuat keputusan (dalam kaitan dengan
duty of care).
|
Dalam BJR:
Infor-masi yang
relevan, tersedia secara wa-jar dan
memadai; tetapi bersifat relatif bergantung kom-pleksitas masalah yang dihadapi.
UU PT tidak men-jelaskan mengenai
|
Informasi yang diperlukan harus dicari dan digali dari
ber-bagai sumber, secara menye-luruh, untuk
analisis dalam koteks 5C, termasuk laporan keuangan debitor, dan infor-masi yang
diperlukan lainnya, seperti informasi mengenai reputasi calon debitor, dan
catatan pembayaran terhadap
|
dilanjutkan...
lanjutan . . .
|
informasi yang di-perlukan; hanya da-pat diimplikasikan
dari wewenang di-reksi untuk mem-buat kebijakan yang dianggap tepat. Banyaknya infor-masi
ditentukan oleh kebijakan yang akan dibuat.
|
kreditor lain yang (pernah) ada, dalam rangka membuat
analisis keuangan dan kredit, yang dapat menghasilkan keyakinan yang
ditetapkan dalam Pasal 8 UU Perbankan, sebagai dasar untuk membuat
rekomendasi apakah pinjaman dapat diberikan atau tidak, dan untuk diputuskan
oleh pemutus kredit.
|
Kemampuan dan
pe-ngetahuan
yang diper-lukan dalam
membuat keputusan (dalam kaitan dengan duty
of care).
|
Dalam BJR:
terca-kup dalam
penger-tian
pemenuhan duty of care.
UU PT:
menyebut-kan yang dapat di-pilih sebagai direksi adalah yang cakap dari segi
hukum. Kemampuan dan pe-ngetahuan yang di-perlukan diimplikasi-kan dari
kenyataan tidak ada gugatan karena kerugian dan
kepailitan akibat kela- laian atau
kesalahan (bersifat ex post).
|
Sama, tetapi
kemampuan dan pengetahuan mengenai perkre-ditan harus dimiliki ketika di-tunjuk
sebagai pemutus kredit. Bagi direksi dan pemutus kredit, kadarnya harus lebih
tinggi (bersifat ex ante).
|
Dasar
pemberian per-lindungan
hukum.
|
Memenuhi 3
serang-kai fiduciary duty: iktikad baik, duty of care, duty of loyalty; dan
keputusan di-buat hanya
untuk kepentingan perseroan.
|
Tidak secara jelas disebutkan; tetapi pada dasarnya,
harus memenuhi prinsip kehati-hatian, dan analisis yang mendalam untuk
memperoleh keyakinan mengenai iktikad baik, kemam-puan, dan kesanggupan debitor untuk
membayar utangnya. Pasal 49 Ayat 2 UU Perbankan menyebutkan bahwa komisaris,
direksi, dan pegawai bank wajib melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan
untuk memasti-kan ketaatan bank terhadap ketentuan UU Perbankan dan lainnya.
|
dilanjutkan...
lanjutan . . .
Ruang lingkup
peme-riksaan pengadilan.
Faktor yang meniada-kan
perlindungan hu-kum secara khusus.
|
Tidak
memeriksa kualitas keputusan; tetapi mengkaitkan rasionalitas hubung-an antara
proses dan keputusan yang di-buat, sejauh
tidak dinodai dengan pe-langgaran
hukum.
Melanggar tiga se-rangkai fiduciary duty: iktikad baik, duty
of care (kela-laian, tetapi bukan gross
negligence), dan duty of loyalty (tidak
ada benturan kepentingan); dan keputusan
yang tidak rasional, serta membuat kesalahan atau kelalaian.
|
Pasal 49 Ayat
2 UU Perbankan menyebutkan bahwa komisaris, direksi, dan pegawai bank wajib
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memasti-kan ketaatan bank
terhadap ketentuan UU Perbankan dan lainnya.
Cenderung
sama, dilihat dari kosep marginale
toetsing.
Tidak secara
jelas dinyatakan dalam UU terkait; tetapi dalam praktik pengadilan,
perlin-dungan hukum tidak diberikan ketika melanggar prinsip kehati-hatian,
ketentuan perkreditan internal bank, dan ketentuan Bank Indonesia.
|
Faktor yang
meniada-kan perlindungan hu-kum secara
umum.
|
Self dealing, peni-puan,
melanggar hukum positif, dan ketentuan anggaran dasar, ultra vires, pemborosan, korup-si dan suap, berten-tangan dengan
yuris-prudensi Indonesia mengenai pengertian melanggar hukum yang telah
diperluas.
|
Cenderung
sama dalam kaitan dengan melanggar hukum.
|
Sumber: Block, Dennis J (et.al), The Business Judgment Rule, Fiduciaries
Duties of Corporate Directors, New Jersey: Prentice Hall Law & Business,
1989, UU PT, UU Perbankan, dan Penelitian Penulis 2013.
|
[2][§§§§§§§§§§§] Uraian sebagai hasil analisis bab
II; ketentuan hukumnya akan dianalisis dalam
UU PT pada uraian berikutnya di bab ini.
[3][************] Ridwan Khairandy, Perseroan Terbatas, Doktrin, Peraturan Perundang-undangan
dan Yurisprudensi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2009, hlm. 204-205.
[5][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Selain disiratkan oleh ketentuan
Pasal 1 Ayat 5 UU PT, juga dapat diartikan dari ketentuan Pasal 118 Ayat 1 UU
PT karena penunjukkan komisaris sebagai pengganti direksi hanya untuk sementara
waktu dan karena alasan tertentu.
[6][§§§§§§§§§§§§] Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah. Penerbit Alumni,
Bandung, 2009, hlm. 29.
[7][*************] Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal
Aktual Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 71.
[8][†††††††††††††] Try Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 38.
[9][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Pasal ini menyebutkan bahwa
setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan ke
pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan perseroan yang dianggap
tidak adil dan tanpa alasan yang wajar sebagai akibat keputusan RUPS, direksi
dan/atau dewan komisaris.
[10][§§§§§§§§§§§§§] Pasal ini menyebutkan bahwa
anggota direksi tidak dapat dipertanggung-jawabkan atas kerugian sebagaimana
dimaksud Ayat 3 apabila dapat membuktikan bahwa kerugian itu bukan karena
kelalaiannya, dan telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik untuk
kepentingan dan sesuai maksud dan tujuan perseroan, dst.
[11][**************] Munir Fuady, Hukum Perusahaan dalam Paragdima Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2002, hlm. 4-5.
[12][††††††††††††††] Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas,
Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2004,
hlm. 177.
[13][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, op. cit., hlm. 68-69.
[14][§§§§§§§§§§§§§§] Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law, Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2002, op. cit., hlm. 69.
[15][***************] Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law, 2002, op. cit., hlm. 68-69.
[18][§§§§§§§§§§§§§§§] Mike Ottley, Company Law 2007-2008, Routledge-Cavendish,
Neer York, 2007, hlm. 94.
[22][§§§§§§§§§§§§§§§§] Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law,
Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, 2002,
op. cit., hlm. 63.
[23][*****************] Pasal ini menyebutkan bahwa
pengurusan wajib dilaksanakan setiap anggota direksi dengan iktikad baik dan
penuh tanggung jawab.
[24][†††††††††††††††††] Pasal ini menyebutkan bahwa
anggota direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan perseroan sebagaimana
maksud pada Ayat 2 apabila dapat membukti-kan bahwa kepailitan
tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, dan seterusnya.
[25][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal
Aktual Hukum Perusahaan, Citra Aditya Bakti Bakti, Bandung, 2004, hlm. 11.
[28][††††††††††††††††††] Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam
Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 193.
[29][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law, 2002, hlm. 197-198.
[31][*******************] Pamungkas, PW, “Berlakukah Business Judgment Rule di Indonesia”,
<http://pwpamungkas.wordpress,com/2010/09/11/business-judgement-rule> [20/10/2011].
[32][†††††††††††††††††††] Bernard Nainggolan, Perlindungan Hukum Seimbang Debitor, Kreditor
dan Pihak-pihak Berkepentingan dalam Kepailitan, Penerbit PT Alumni,
Bandung, 2011, hlm. 26.
[39][*********************] Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara &
Hukum Pidana, op. cit., hlm. 77.
[40][†††††††††††††††††††††] Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, op. cit., hlm. 128-129.
[53][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Diterjemahkan secara bebas sebagai sikap
entusiasme yang tidak rasional, yang dapat membuat pertimbangan menjadi salah.
Robert J. Shiller mengutip istilah ini, yang pertama kali diucapkan oleh Alan
Greenspan, dan dapat diartikan sebagai sikap optimistik dari para investor
pasar modal terhadap perkembangan pasar dari satu jenis aset, seperti saham,
yang tidak didasarkan pada informasi yang berkait dengan unsur-unsur
fundamental dari aset itu. Shiller, Robert J., Irrational Exurbearance, Broadway Books, New York, 2005, hlm. xi-xii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar