2. Penyebab Kredit Macet, Kegagalan bank, dan Krisis
Keuangan
Non performing loan (NPL) terjadi
jika keyakinan bank melalui pemutus kredit, yang bersifat institusional, tidak
terealisir bahwa (calon) debitor mampu untuk membayar kembali pinjaman dan
bunga, setelah kredit/pinjaman diberikan. NPL, berdasarkan Per-aturan Bank
Indonesia No. 8/2/PBI/2006, merupakan penilaian kualitas aktiva bank, atau
disebut sebagai penggolongan kolekti-bilitas, ditentukan oleh bank terutama
berdasarkan kenyataan kelancaran pembayaran angsuran dan bunga.[1][**********]
Penggolongan kolektibilitas terdiri atas: 1). Lancar, 2). Perhatian khusus, 3). Kurang Lancar, 4). Diragukan, dan 5). Macet. NPL
mencakup kolektibilitas dengan klasifikasi 2 sampai 5, sedangkan klasifikasi 4 dan
5 sering juga disebut sebagai kredit macet.
Sebuah kredit atau pinjaman dapat berkembang menjadi
bermasalah setiap saat setelah diberikan sampai seluruhnya dibayar lunas.
Kualitas kredit/pinjaman yang akan diberikan sangat ditentukan pada tahap
pertama, yaitu bagaimana permohonan pinjaman/pembiayaan diproses dan disetujui
oleh bank. Pada tahap kedua, NPL
dapat timbul setelah pinjaman/pembiayaan diberikan sebagai akibat dari
masalah-masalah yang berada di luar proses internal bank atau yang berkaitan
dengan karakter debitor, pengaruh lingkungan operasional usaha debitor termasuk
per-ubahan ekonomi makro. Namun, pada tahap ini, kualitas pinjaman/pembiayaan
juga ditentukan oleh tindakan pengawasan atau monitoring terhadap pinjaman/pembiayaan yang telah diberikan hingga
lunas, di samping ditentukan oleh kualitas proses pada tahap pertama.
Jumlah rasio NPL yang besar dalam portofolio kredit dapat
membuat bank mengalami kerugian, bahkan kegagalan. Penu-tupan bank dilakukan
jika tidak terdapat dana penyelamat untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi,
atau keadaan bank yang terlalu parah untuk diselamatkan.[2][††††††††††] Kegagalan
sebuah bank dapat memengaruhi kegagalan bank lain, karena setiap bank
ber-hubungan dengan bank lain dalam transaksi perbankan, sehingga hubungan itu
bersifat sistemik. Hal ini terjadi, menurut Kunt, Demiraguc, Detragiache, jika
sebagian besar sistem perbankan mengalami kerugian melebihi modalnya, sehingga
kemudian dapat menimbulkan krisis keuangan atau perbankan.[3][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Chung Hua Shen berpendapat, penyebab kegagalan bank
adalah terutama karena masalah tataran mikro, seperti mana-jemen yang buruk,
dan pengawasan internal yang lemah.[4][§§§§§§§§§§] Salman Syed
Ali menambahkan sejumlah penyebab mikro, seperti: penelitian kredit yang lemah,
pemberian kredit pada pihak terkait, memberikan kredit pada bidang usaha yang
belum dimengerti, intervensi terhadap proses pemberian kredit yang bersifat
politis, kebijakan perkreditan yang liberal, dan kurangnya transparansi, dan
lain sebagainya.[5][***********]
Jika permohonan kredit/pinjaman disetujui, yang seharusnya ditolak, maka
pilihan yang buruk atau adverse selection
terjadi.
Walaupun keberhasilan usaha dapat dipengaruhi oleh faktor
eksternal, tetapi faktor itu tidak menghentikan kemampuan bayar debitor secara
mendadak, kecuali jika terjadi bencana alam yang merusak alat produksi atau
pasar debitor secara signifikan. Apabila pinjaman/pembiayaan diproses secara
wajar mengikuti prosedur yang ada, kredit/pinjaman itu masih dapat bermasalah,
tetapi umumnya tidak terjadi seketika. Menurut Jonker Sihombing, jika setiap
bankir bekerja secara profesional dengan berpegang teguh pada
ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam manual atau kebijakan perkreditan,
kredit bermasalah dapat diminimalisir.[6][†††††††††††]
Pada tahap kedua, yaitu tingkat debitor, NPL terjadi jika
debitor peminjam tidak merealisasi komitmennya untuk menghor-mati perjanjian
kredit yang telah ditandatanganinya; ia tidak berniat untuk melakukan
pembayaran bunga atau pokok sama sekali, terlepas apakah dia mampu atau tidak.
Semua itu merupakan moral hazard dari
sisi debitor.
Kemampuan debitor untuk membayar kembali kewajibannya
ditentukan pula oleh kesuksesan usaha, perusahaan atau pro-yeknya dalam
menghasilkan pendapatan dan keuntungan yang diharapkan di masa depan. Di
samping harus mengatasi segala persoalan intern usaha atau perusahaannya,
kesuksesan usaha debitor dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi makro.
Namun, hal yang serupa ini seyogianya perlu diantisipasi dan dianalisis oleh loan atau account officer, dan dipertimbangkan oleh para pemutus yang
menyetujui permohonan kredit.
Tingkat sensitivitas setiap usaha atau industri terhadap
perubahan konjungtur ekonomi sangatlah bervariasi, dan juga dipengaruhi berapa
banyak utang (bank) yang digunakan.[7][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Kerawanan
keuangan akan bertambah, jika utang bertambah,
atau jangka waktu utang terlalu pendek, sehingga memengaruhi
likuiditasnya.[8][§§§§§§§§§§§]
Karena itu, tingkat sensitivitas dan jumlah utang yang digunakan harus diwaspadai
oleh para pemutus kredit.
Penelitian dengan pendekatan makro mengenai penyebab NPL,
kegagalan bank dan krisis keuangan atau perbankan, masih mengaitkan masalah
perubahan ekonomi makro dengan faktor-faktor mikro tertentu. Penelitian Kwack
dan Wu et.al, misalnya, mengatakan
bahwa krisis dimulai dari lemahnya institusi bank, karena NPL telah
berakumulasi sebelum krisis.[9][************]
Ketika lending boom terjadi, bank tidak
mempersiapkan keahlian dan pengetahuan yang diperlukan untuk menghadapi kompetisi,
dan pengawasan yang lemah menimbulkan moral
hazard.[10][††††††††††††]
Penelitian Iscan Solar dan Hebb (2006) membuktikan
bahwa masalah NPL yang besar mendahului krisis perbankan; dan NPL itu terjadi
karena adanya tindakan perampasan atau ’looting’,
ketika pengawasan dan penegakan hukum lemah.[11][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Vesa Vihriala menyimpulkan bahwa dalam setiap keadaan
atau tingkat pertumbuhan ekonomi, pemberian kredit tetap harus memerhatikan
sikap kehati-hatian dan proses pemberian kredit yang sehat, dan tidak terpengaruh
oleh faktor eksternalitas, seperti overoptimism,
herd behavior, myopia atau irrational
exurberance. Pemberian kredit tidak dapat dilakukan dengan risiko yang
berlebihan, atau membiayai usaha yang telah memiliki utang yang besar (overleverage). Hal itu merupakan
tindakan dari sikap etika yang meragukan.[12][§§§§§§§§§§§§]
Menurut Masaaki Komatsu, krisis keuangan di Asia bermula dari NPL yang besar, karena
pemberian kredit dilakukan tanpa analisis yang memadai, dan dipengaruhi oleh birokrasi
pemerintah, para politisi, dan para pemilik bank. Selain itu, adanya sikap
tidak segera menyelesaikan kredit bermasalah, karena mengikuti ’forebearance policy’, ’gambling for resurrection’, dan
menimbulkan moral hazard dalam
pemberian kredit.[13][*************]
Menurut Roman Scott, seluruh persoalan perbankan yang
ber-akibat krisis di setiap negara, pada intinya bermula dari pem-berian kredit
yang sembrono dan untuk usaha yang tidak layak atau spekulatif. Ini artinya,
menyangkut masalah pengambilan keputusan kredit yang tidak memerhatikan unsur
kehati-hatian yang diperlukan dalam pemberian pinjaman yang sehat.[14][†††††††††††††]
Kegagalan bank dan krisis perbankan di Indonesia secara
umum juga disebabkan oleh masalah pengabaian prinsip kehati-hatian, timbulnya moral hazard, dan secara khusus akibat dari crowny banking. Para ahli dan pengamat NPL mengemukakan sejumlah
penyebab NPL di Indonesia, yang dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
a. Supramono
melihat kredit bermasalah atau macet sering disebabkan oleh pejabat bank yang
tidak menerapkan prinsip kehati-hatian sesuai dengan UU Perbankan, tidak
mengikuti prosedur bank yang berlaku, tidak menerapkan pendekatan 5C dengan
benar, dan tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh oknum dalam bank.[15][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
b. Susidarto
berpendapat bahwa masalah NPL disebabkan karena tidak mengindahkan aturan
internal bank. Hal itu merupakan penyimpangan, disengaja maupun tidak.[16][§§§§§§§§§§§§§]
c. Muhammad
berpendapat, sejak kredit diberikan telah terjadi kongkalikong antara bank
sebagai kreditor dengan peminjam sebagai debitor, sehingga menjadi macet.[17][**************]
d. Menurut
Kurniantoro, proses pemberian kredit terpengaruh oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dengan pemohon kredit.[18][††††††††††††††]
e. Menurut NHT
Siahaan, kejahatan perkreditan umumnya dilaku-kan oleh orang-orang yang sudah
mengerti tentang seluk-beluk perbankan dan operasinya, termasuk dalam kejahatan
ini adalah pemberian kredit fiktif.[19][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
f. Pada dasarnya,
kredit macet merupakan hasil kolusi antara pihak kreditor dengan pihak debitor.
Mereka berkongkalikong, bersekongkol, atau self dealing.
Praktik itu berbau kolutif dan upaya pemohon kredit dapat mengakibatkan
penilaian yang tidak jujur, tidak objektif, tidak cermat, dan tidak saksama.
Menurut NHT Siahaan, kejahatan perkreditan juga merupakan kejahatan kerah putih
(white collar crime).[20][§§§§§§§§§§§§§§]
Secara menyeluruh, uraian ini menunjukkan bahwa terjadinya
kredit macet sangat ditentukan oleh keputusan pemberiannya, apakah keputusan
itu dibuat secara benar, menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi
ketentuan yang berlaku, atau telah dipengaruhi oleh kepentingan pihak pemohon
kredit atau motivasi lain yang bersifat
koruptif.
3.
Menelaah Kredit Macet Secara Yuridis
Kredit macet dapat dilihat dari dua sisi, debitor dan kreditor.
Dari sisi debitor, kredit macet dapat disebabkan oleh banyak faktor, bersifat
internal maupun eksternal.[21][***************] Dari sisi kreditor,
peninjauan masalah kredit macet harus mengacu kepada UU
Perbankan. Dari segi pengambil keputusan, perlu pula mengkaji mengenai
kewenangan dan tanggung jawab direksi.
Menurut Gatot Supramono, kredit macet adalah salah satu
bentuk wanprestasi, karena debitor telah ingkar janji, berupa perbuatan tidak
mengembalikan utangnya kepada bank, sebagian atau
seluruhnya; sedangkan jatuh tempo utangnya telah terlewati.
Wanprestasi ini terjadi karena debitor tidak mampu membayar utangnya kepada kreditor,[22][†††††††††††††††]
atau tidak mau memenuhi kewajiban kontraktualnya kepada bank, walaupun
mungkin mampu. Hal itu diatur oleh Pasal 1238 KUH Perdata.
Karena kredit berdasarkan perjanjian dan berada dalam
ta-taran hukum perdata sebagai privaatrechtelijkheid,
dan merupakan persoalan perjanjian yang didasari perundang-undangan, dan diatur
dalam Pasal 1338 KUH Perdata, wanprestasi tidak dapat diartikan sebagai melawan
hukum dalam hukum pidana.[23][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Namun, Gatot Supramono berpendapat, bahwa persoalan kredit macet dapat menjadi
peristiwa pidana apabila terdapat perbuatan yang sifatnya jahat. Sifat jahat
debitor dapat terjadi sebelum dan
setelah perjanjian kredit dilakukan.
Sebelum kredit diperjanjikan, atau ketika permohonan kredit
diproses dalam internal bank, debitor memberikan data atau informasi yang tidak
sesuai dengan kenyataan, memberikan do-kumen palsu atau fiktif, sehingga telah
menunjukkan niat jahat atau iktikad buruk. Jika bank tidak melakukan
klarifikasi informasi atau tidak melakukan pengecekan dokumen yang diterima, malah tetap
melakukan proses kredit hingga menyetujuinya, bank telah melanggar prinsip
kehati-hatian, dan dapat pula dikatakan sebagai sebuah kejahatan.[24][§§§§§§§§§§§§§§§]
Setelah perjanjian kredit ditandatangani, niat jahat debitor dapat terlihat,
jika debitor menggunakan kredit tidak sesuai dengan kepentingan yang diusulkan
dan diperjanjikan.
Usaha debitor memperoleh kredit dengan cara yang jahat, lalu tidak
membayarnya, tidak selalu merupakan tindak pidana korupsi. Dalam menghadapi
kasus kredit macet tertentu, perlu ditentukan apakah dapat menerapkan pidana
umum, pidana perbankan, atau pidana korupsi. Apabila debitor melakukan
kejahatan dengan menggunakan surat palsu, dapat dikenakan delik umum,
berda-sarkan Pasal 263 KUHP, atau kejahatan penggelapan Pasal 372 KUHP, atau
kejahatan penipuan Pasal 378 KUHP.[25][****************]
Kemungkinan lain adalah bahwa debitor tidak menggunakan
kredit yang sesuai dengan perjanjian, sehingga terdapat penyim-pangan
penggunaan kredit, atau lazim disebut side
streaming. Kemungkinan hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan kredit
bank. Dari segi hukum, hal ini merupakan wanprestasi di pihak debitor terhadap
ketentuan dalam perjanjian kredit. Bahkan, menurut Frans Hendra Winarta, dalam
konteks bank BUMN, penyimpangan penggunaan kredit dari tujuan semula dapat
dikenakan undang-undang Tipikor.[26][††††††††††††††††]
Kasus kredit macet umumnya berkait dengan klasifikasi
yang membahayakan kelangsungan hidup bank dan merugikan banyak pihak. Ranah
hukum pidana kredit macet umumnya karena berkait dengan pengawasan bank atau
penyalahgunaan jabatan. Saya melakukan kajian dari segi kreditor, terkait
proses pengambilan keputusan sekaligus ditinjau dari UU Perbankan dan UU PT.
Menurut Krisna Wijaya,[27][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] dari segi
hukum, kredit macet dapat merupakan error
omission atau error commission.
Pada umumnya, kredit macet yang sering terjadi, bahkan terjadi hampir di
seluruh dunia, adalah karena kesengajaan untuk mengabaikan prinsip
kehati-hatian. Pelanggaran terhadap prinsip ini pada dasarnya merupakan error ommision. Menurut Frans Hendra
Winarta, juga karena rendahnya penerapan Kode Etik Bankir.[28][§§§§§§§§§§§§§§§§]
Berbeda dengan error
ommision, penyebab kredit macet error
commission tidak selalu mudah terlihat. Karena pemberian kredit dapat
direkayasa sedemikian rupa dengan argumentasi dan asumsi yang logis yang dapat
diterima pada awal pemberian kredit. Tambahan pula, pemberian kredit itu
melibatkan pertimbangan individu pejabat kredit, dan secara teknis perkreditan
tidak tampak adanya keanehan atau penyimpangan yang menonjol. Kesalahan dalam
pemberian kredit akan mulai terkuak pada saat kredit ter-sebut mulai
bermasalah. Persoalannya adalah apakah kesalahan ini dapat dikategorikan
sebagai sebuah masalah hukum atau tidak, sehingga perlu ditelaah lebih jauh.
Menurut Veithzal Rivai, jika kredit diproses secara wajar
dan mengikuti aturan yang ada, kredit itu tidak akan bermasalah seketika.[29][*****************] Jika proses
dilakukan secara wajar dengan memer-hatikan prinsip kehati-hatian, kredit macet
yang terjadi, biasanya karena sebab-sebab yang tidak dapat diperkirakan.
Penyebab ini dapat berupa perubahan yang mendadak dan
drastis yang terjadi dalam ekonomi makro, lingkungan usaha debitor atau lainnya
yang dapat memengaruhi secara negatif kelancaran usaha dan memperkecil tingkat
keuntungan bagi debitor; atau dari segi internal, timbul perpecahan organisasi
debitor. Namun, kredit macet yang langsung terjadi setelah kredit cair untuk
pertama kalinya, atau terjadi pada bulan pertama bahkan sampai keenam, menurut
pengamatan saya, debitor mulai menunggak pembayaran bunga. Dari kejadian ini
diduga dalam proses kredit hingga disetujui kemungkinan terjadi sebuah
penyimpangan yang serius.
Ketika kredit menjadi macet, bank perlu meneliti
penyebabnya. Untuk menentukan apakah kredit macet itu dapat diperbaiki, perlu
menentukan apakah usaha debitor masih memiliki prospek di masa depan. Penentuan
prospek ini dapat dicapai melalui analisis kredit yang lebih mendalam, dengan
menekankan pada komitmen dan kemampuan debitor untuk dapat keluar dari masalah
yang diha-dapi. Jika masih memiliki prospek dan debitor bersifat koperatif,
biasanya bank bersedia melakukan penjadwalan kembali atau rescheduling (penurunan jumlah angsuran dan memperpanjang jangka
waktu kredit), persyaratan kembali
atau reconditioning (perubahan dengan
meringankan persyaratan kredit), atau re-structuring (perubahan yang
menyangkut persyaratan kredit dan jumlah),[30][†††††††††††††††††] atau kombinasi
dari langkah-langkah penyelamatan ini. Apabila
sebuah kredit macet dapat diselamatkan melalui salah satu dari langkah 3R ini,
berarti bahwa kemungkinan kerugian yang ditimbulkan dapat diperkecil. Dalam
keadaan seperti itu, kecil kemungkinan para pemegang saham atau pemangku
kepentingan menggugat direksi.
Dari segi hukum, langkah penyelamatan apapun yang dipilih, bank dan debitor akan menadatangani
perjanjian baru, yang pada dasarnya
merupakan pembaruan utang, atau novasi. Secara formal perjanjian baru dapat
menutupi segala bentuk penyim-pangan yang membuat kredit terkait macet. Namun,
secara materiil, penjanjian baru itu tidak dapat menghilangkan masalah yang
ditutupi itu, karena dapat membuat kemacetan berulang. Dari segi hukum,
perjanjian baru tidak dapat menghilangkan unsur pidana yang pernah ada.
Jika kredit itu pada awalnya tidak layak diberikan,
kemudian tetap dilakukan penyelamatan dengan menggunakan langkah-langkah yang
dimaksud di atas, dapat diperkirakan dalam waktu yang tidak terlalu lama
setelah perjanjian baru ditandatangani, kredit itu akan kembali macet. Umumnya,
perbuatan untuk menutupi masalah kredit dengan melakukan novasi bersifat tidak
transparan, dan hanya dapat diketahui ex
post, yaitu setelah kredit yang sama kembali macet.
Tindakan penyelamatan kredit seperti itu merupakan
kebijakan yang bersifat menunda penyelesaian masalah (forebearance policy).
Dengan kebijakan ini, diharapkan masalah itu akan terse-lesaikan dengan
berjalannya waktu atau gambling for
resurrection. Namun, dari segi pengambilan keputusan, tindakan itu bersifat
tidak prudent dan berkemungkinan
mengandung iktikad buruk.
Kredit bermasalah atau macet berasal dari pengambilan
keputusan (kredit), dan keputusan itu diikuti dengan kenyataan kredit yang
diberikan menjadi bermasalah atau macet. Sering terjadi, bahwa keputusan kredit
yang salah itu tidak didasarkan pada analisis yang benar, tidak melalui proses
pengambilan keputusan yang sehat, atau mengabaikan prinsip kehati-hatian. Dalam
kasus E.C.W Neloe, keputusan kredit hanya dilakukan oleh Presiden Direktur
dalam waktu yang sangat singkat, tanpa analisis yang mendalam. Sedangkan 2
pemutus lainnya hanya mengikuti, asal tanda tangan (rubber stamped).
Pemutus kredit di tingkat paling tinggi berada pada
tingkat direksi. Di samping itu, direksi bertanggung jawab secara hukum
terhadap keputusan yang dibuat oleh pemutus kredit di bawahnya. Jika direksi sebagai pemutus kredit ternyata salah
mengambil keputusan dalam menyetujui sebuah usulan kredit,
dan kemudian kredit tersebut macet, pertanyaannya adalah: Apakah direksi dengan
serta-merta dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kesalahannya dalam
mengambil keputusan kredit itu, atau lebih lanjut dapat dihukum?
Menurut Himawan, sejauh kesalahan perbankan bersifat
inter-nal, pihak bank dapat mengecap bertindak indisipliner terhadap pejabat
yang bersangkutan. Apabila kredit itu menjadi kredit macet dan menimbulkan
kerugian, pemegang saham bank dapat saja mengajukan gugatan perdata kepada
direksi perseroan. Jika kesalahan
perbankan itu merugikan pihak ketiga dan mengan-dung unsur pidana, sehingga
penanganannya berpindah ke negara, yaitu melalui polisi, jaksa, dan kemudian pengadilan.[31][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Chairul Huda berpendapat, apabila sebuah kredit diberikan
dengan tidak memerhatikan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat atau prinsip
kehati-hatian, hal ini tidak saja merupakan pelang-garan hukum perbankan,
tetapi telah masuk ke domain hukum perseroan. Jika pengambilan keputusan itu
menyimpang dari ketentuan yang ada, risiko yang timbul bukan merupakan normal business risk melainkan
merupakan pelanggaran prinsip kehati-hatian.[32][§§§§§§§§§§§§§§§§§] Ahmad Fikri
Assegaf menambahkan, apabila terjadi permasalahan kredit macet yang diakibatkan
oleh kelalaian direksi atau manajemen sebuah bank, atau merupakan pelanggaran
prinsip kehati-hatian, sehingga tindakan tersebut tercakup dalam Pasal 49 Ayat
2 (b).[33][******************]
Berdasarkan Pasal 46 sampai Pasal 50 UU Perbankan,
keja-hatan sehubungan dengan pemberian kredit termasuk dalam tindak pidana
berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan, serta usaha bank.[34][††††††††††††††††††] Untuk
mengantisipasi penyalahgunaan jabatan, Pasal 49 Ayat 2 butir a dan b UU
Perbankan melarang dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank menerima suap,
imbalan, atau sejenisnya untuk pribadi atau keluarga dalam rangka pemberian
fasilitas kredit atau sejenisnya. Bagi yang tidak melaksanakan langkah-langkah
yang diperlukan untuk memastikan ketaatan terhadap ketentuan undang-undang
diancam pidana penjara dan denda.
Pasal 51 UU Perbankan menegaskan bahwa tindak pidana yang
dimaksud dalam beberapa Pasal, termasuk Pasal 49, adalah merupakan kejahatan.[35][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Pidana
kejahatan memiliki sanksi yang lebih berat dari pidana pelanggaran, dan tujuan
Pasal ini adalah mencegah tidak pidana korupsi dalam pemberian kredit.
Pelanggaran prinsip kehati-hatian tidak serta merta dapat
disimpulkan dilakukan dengan tujuan menguntungkan orang lain. Chairul Huda
lebih lanjut mengatakan, apabila prinsip kehati-hatian itu dilanggar karena
adanya suap, maka masalahnya telah masuk ke ranah hukum pidana
karena adanya unsur suap, tetapi bukan karena kreditnya macet.[36][§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Namun,
pendapat ini tidak selalu atau tidak sepenuhnya menggambarkan yang sesungguhnya
terjadi, karena unsur suap umumnya selalu berkaitan dengan kejadian kredit yang
diberikan dan cenderung kemudian menjadi macet.
Sejalan dengan pendapat seperti Supramono, Susidarto,
Munir Fuady, dan Kurniantoro, jika proses kredit dinodai
suap atau gratifikasi apapun, sehingga dapat diperkirakan bahwa pemberian
kredit tersebut tidak memenuhi asas pemberian
kredit yang sehat, karena analisis yang dilakukan tidak
berdasarkan penilaian yang jujur, objektif, cermat, dan saksama.
Jonker Sihombing berpendapat, dalam
pemberian kredit yang kemudian macet mengandung unsur tindak pidana, yang
me-libatkan bankir yang memberikan fasilitas terkait, diserahkan sepenuhnya
kepada pengadilan, dan hanya majelis hakim yang berwenang menentukannya.[37][*******************]
Namun, jika kredit bermasalah atau macet tidak berkaitan dengan sebuah tindak pidana,
atau hanya merupakan kesalahan yang bersifat intern seperti yang dikatakan oleh
Himawan, hal itu merupakan kesalahan peng-ambilan keputusan
kredit oleh direksi. Hal itu perlu dikaji
lebih lanjut. Direksi memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dalam
menjalankan roda bisnis bank, dan tentunya setiap ke-putusan mengandung risiko
(kredit). Namun, ketentuan UU Perbankan tidak mengkaitkannya dengan keputusan
yang diambil oleh direksi dan kemudian kredit yang diberikan macet.[38][†††††††††††††††††††]
Menurut Ahmad Fikri Assegaf dan Indra Safitri, untuk
mem-berikan kepastian hukum di masa depan, Prinsip Business Judgment Rule perlu diterapkan dalam menilai dan mengukur
tindakan direksi bank, dan lebih lanjut dimasukan secara tegas ke dalam hukum perbankan.[39][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Dari segi
unsur kehati-hatian, ketentuan BJR dalam hukum korporasi sejalan dengan
ketentuan UU Perbankan, tetapi dalam hukum perbankan, unsur kehati-hatian ini
bersifat lebih teknis dan substantif.
[1][**********] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Ban-dung, 1996, hlm.
553.
[2][††††††††††] Banyak penelitian yang
menyimpulkan bahwa sumber kegagalan bank terutama disebabkan oleh tingkat
kualitas portofolio pinjaman bank yang buruk. Salah satu studi yang pernah
dilakukan di Amerika oleh Spadaford (1988), meneliti 162 bank yang gagal, dan
secara umum berkesimpulan bahwa 98% dari bank yang gagal disebabkan oleh
masalah kualitas aset. Secara spesifik, studi tersebut menye-butkan pula bahwa
beberapa faktor penyebab yang semua bermuara pada buruknya kualitas portofolio
pinjaman, yaitu: kebijakan pemberian pinjaman yang tidak ditaati, sistem yamg
lemah untuk memastikan bahwa hukum dan kebijakan internal ditaati dengan baik,
dan pengawasan dan kontrol yang tidak memadai terhadap departemen atau pejabat
kunci bank. R. Boffey dan GN. Robson, “Bank Credit Risk Management“, Managerial Finance 21, 1 [1995].
[3][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Pertumbuhan ekonomi turun
secara drastis menjadi -13% pada 1998 dan 0.8% pada 1989. Tubagus Feridhanusetyawan dan Mari Pangestu,
“Indonesia in Crisis: A Macro Economic Perspective“, CSIS Economics Working Paper Series,
[4][§§§§§§§§§§] Chung-Hua Shen dan Meng-Fen Hsieh,
“Prediction of Bank Failures Using Com-bined Micro and Macro Data”,
[5][***********] Salman Syed Ali, “Financial Distress and
Bank Failure: Lesson From Closure of Ihlas Finans in Turkey”, Islamic Economic Studies, Vol. 14, No.
1& 2 (2007).
[7][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Kerapuhan keuangan (financial fragility) akan bertambah jika
debitor menambah utangnya, atau jangka waktu utang menjadi pendek, atau
likuiditasnya berkurang. Martin H. Wolfson, “A Post Keynesian Theory of Credit
Rationing“, Journal of Post Keynes
Economics 18.3, [1996], hlm. 454.
[9][************] Wen Chieh Wu (et.al), “Banking System,
Real Estate Markets, and Non Performing Loans”, International Real Estate Review Vol. 6 No. 1,
[10][††††††††††††] Demirguc Kunt dan Enrica
Detragiache, “The Determinants of Banking Crisis: Evidence from Developed and
Developing Countries”, The World Bank Re-
search Department, IMF, [1998].
[11][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] H. Bartu Solar, (et.al), “Fraud, Banking Crisis, and Regulatory Enforcement: Evidence From
Macro-Level Transaction Data”, Eur J Law
Econ 21:179-197, (2006).
[12][§§§§§§§§§§§§] Vesa Vihriala, “Banks and The
Finish Credit Cycle”, Bank of Finland
Studies E: 7, Helsinki, [1997].
[14][†††††††††††††] Roman Scott, “Credit Risk
Management for Emerging Markets: Lessons
from The Asian Crisis”, Gaeta (ed),
Frontier in Credit Risk, John Wiley & Sons (Asia), New Jersey, 2003,
hlm. 455-457.
[15][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis, Rineka
Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 83-85.
[19][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] NHT Siahaan, Pencucian Uang & Kejahatan Perbankan,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hlm. 159.
[21][***************] Faktor-faktornya dapat
dikelompokan ke dalam: internal bank, internal nasabah, dan eksternal. Contoh dari internal bank adalah lemahnya analisis kredit atau lemahnya
pengawasan kredit. Contoh dari internal nasabah adalah kelemahan karakter nasabah,
kalah bersaing, dan lain-lain. Faktor ekstenal misalnya pertumbuhan ekonomi
yang negatif, peraturan baru yang merugikan, dan lain sebagainya. As.
Mahmoedin, Melacak Kredit Bermasalah,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2004, hlm. 51-110.
[23][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Indriyanto Seno Adji,
”Overheidsbeleid-Privaatrechtelijkheid & Tindak Pidana Korupsi”, Prosiding Tindak Pidana Perbankan,
Penggunaan Undang-Undang Pem-berantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak
Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta, 2007, hlm. 73.
[26][††††††††††††††††] Frans Hendra Winarta,”Penggunaan Undang-Undang
Pemberantasan Tipikor dalam Menangani Tindak Pidana Perbankan: Perspektif
Penegakan Hukum”, Prosiding Tindak Pidana
di Bidang Perbankan, Jakarta, 2007, hlm. 153.
[29][*****************] Veithzal Rivai, (et.al), Bank and Financial Institution Management,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 480.
[32][§§§§§§§§§§§§§§§§§] Pasal 52 Ayat 1 menyebutkan,
Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi admi-nistratif kepada bank
yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam UU Perbankan. Pasal
52 Ayat 2 UU Perbankan menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi
administratif, berupa denda uang, teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan
bank, dan lainnya. Sundari Arie, op.cit., hlm. 113.
[33][******************] Ahmad Fikri Assegaf, ”Tindak
Pidana Perbankan & Penerapan Undang-Undang Korupsi dalam Kasus-Kasus
Perbankan”, Prosiding Tindak Pidana di
Bidang Perban-kan, Penggunaan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
terhadap Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta, 2007, hlm. 93.
[34][††††††††††††††††††] Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah, op. cit., hlm. 64.
[35][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Termasuk Pasal 46 (menghimpun
dana masyarakat tanpa izin Bank Indonesia), Pasal 47 (memaksa bank untuk
memberikan keterangan), Pasal 48 Ayat 1 (sengaja untuk tidak memberikan
keterangan yang wajib dipenuhi), Pasal 50 (pihak terafiliasi sengaja tidak
memastikan bank untuk melakukan ketentuan-ketentuan yang berlaku), dan Pasal 50
A (melakukan atau tidak melakukan tin-dakan yang mengakibatkan bank tidak
melaksanakan ketentuan yang berlaku).
[36][§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Nurul Huda, ”Prematur Memandang
Kredit Macet Sebagai
Korupsi”, <http://www.advokatindonesia.com/rubrik-detail.phb?id=11> [2 juni 2007].
[39][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Indra Safitri, “Tindak Pidana
Perbankan & Penerapan Undang-undang Korupsi dalam Kasus-Kasus Perbankan”, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan,
Jakarta, 2007, hlm. 191.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar