Jumat, 29 Juli 2016

PRINSIP KEPUTUSAN BISNIS: Pemberian Kredit Perbankan Dalam Hubungan Perlindungan Hukum (Bab 2 - Bagian 3)

2.   Penyebab Kredit Macet, Kegagalan bank, dan Krisis Keuangan
Non performing loan (NPL) terjadi jika keyakinan bank melalui pemutus kredit, yang bersifat institusional, tidak terealisir bahwa (calon) debitor mampu untuk membayar kembali pinjaman dan bunga, setelah kredit/pinjaman diberikan. NPL, berdasarkan Per-aturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006, merupakan penilaian kualitas aktiva bank, atau disebut sebagai penggolongan kolekti-bilitas, ditentukan oleh bank terutama berdasarkan kenyataan kelancaran pembayaran angsuran dan bunga.[1][**********] Penggolongan kolektibilitas terdiri atas: 1). Lancar, 2). Perhatian khusus,          3). Kurang Lancar, 4). Diragukan, dan 5). Macet. NPL mencakup kolektibilitas dengan klasifikasi 2 sampai 5, sedangkan klasifikasi 4 dan 5 sering juga disebut sebagai kredit macet.
Sebuah kredit atau pinjaman dapat berkembang menjadi bermasalah setiap saat setelah diberikan sampai seluruhnya dibayar lunas. Kualitas kredit/pinjaman yang akan diberikan sangat ditentukan pada tahap pertama, yaitu bagaimana permohonan pinjaman/pembiayaan diproses dan disetujui oleh bank. Pada tahap kedua, NPL dapat timbul setelah pinjaman/pembiayaan diberikan sebagai akibat dari masalah-masalah yang berada di luar proses internal bank atau yang berkaitan dengan karakter debitor, pengaruh lingkungan operasional usaha debitor termasuk per-ubahan ekonomi makro. Namun, pada tahap ini, kualitas pinjaman/pembiayaan juga ditentukan oleh tindakan pengawasan atau monitoring terhadap pinjaman/pembiayaan yang telah diberikan hingga lunas, di samping ditentukan oleh kualitas proses pada tahap pertama.
Jumlah rasio NPL yang besar dalam portofolio kredit dapat membuat bank mengalami kerugian, bahkan kegagalan. Penu-tupan bank dilakukan jika tidak terdapat dana penyelamat untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi, atau keadaan bank yang terlalu parah untuk diselamatkan.[2][††††††††††] Kegagalan sebuah bank dapat memengaruhi kegagalan bank lain, karena setiap bank ber-hubungan dengan bank lain dalam transaksi perbankan, sehingga hubungan itu bersifat sistemik. Hal ini terjadi, menurut Kunt, Demiraguc, Detragiache, jika sebagian besar sistem perbankan mengalami kerugian melebihi modalnya, sehingga kemudian dapat menimbulkan krisis keuangan atau perbankan.[3][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Chung Hua Shen berpendapat, penyebab kegagalan bank adalah terutama karena masalah tataran mikro, seperti mana-jemen yang buruk, dan pengawasan internal yang lemah.[4][§§§§§§§§§§] Salman Syed Ali menambahkan sejumlah penyebab mikro, seperti: penelitian kredit yang lemah, pemberian kredit pada pihak terkait, memberikan kredit pada bidang usaha yang belum dimengerti, intervensi terhadap proses pemberian kredit yang bersifat politis, kebijakan perkreditan yang liberal, dan kurangnya transparansi, dan lain sebagainya.[5][***********] Jika permohonan kredit/pinjaman disetujui, yang seharusnya ditolak, maka pilihan yang buruk atau adverse selection terjadi.
Walaupun keberhasilan usaha dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal, tetapi faktor itu tidak menghentikan kemampuan bayar debitor secara mendadak, kecuali jika terjadi bencana alam yang merusak alat produksi atau pasar debitor secara signifikan. Apabila pinjaman/pembiayaan diproses secara wajar mengikuti prosedur yang ada, kredit/pinjaman itu masih dapat bermasalah, tetapi umumnya tidak terjadi seketika. Menurut Jonker Sihombing, jika setiap bankir bekerja secara profesional dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang digariskan dalam manual atau kebijakan perkreditan, kredit bermasalah dapat diminimalisir.[6][†††††††††††]
Pada tahap kedua, yaitu tingkat debitor, NPL terjadi jika debitor peminjam tidak merealisasi komitmennya untuk menghor-mati perjanjian kredit yang telah ditandatanganinya; ia tidak berniat untuk melakukan pembayaran bunga atau pokok sama sekali, terlepas apakah dia mampu atau tidak. Semua itu merupakan moral hazard dari sisi debitor.
Kemampuan debitor untuk membayar kembali kewajibannya ditentukan pula oleh kesuksesan usaha, perusahaan atau pro-yeknya dalam menghasilkan pendapatan dan keuntungan yang diharapkan di masa depan. Di samping harus mengatasi segala persoalan intern usaha atau perusahaannya, kesuksesan usaha debitor dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi makro. Namun, hal yang serupa ini seyogianya perlu diantisipasi dan dianalisis oleh loan atau account officer, dan dipertimbangkan oleh para pemutus yang menyetujui permohonan kredit.
Tingkat sensitivitas setiap usaha atau industri terhadap perubahan konjungtur ekonomi sangatlah bervariasi, dan juga dipengaruhi berapa banyak utang (bank) yang digunakan.[7][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Kerawanan keuangan akan bertambah, jika utang bertambah,  atau jangka waktu utang terlalu pendek, sehingga memengaruhi likuiditasnya.[8][§§§§§§§§§§§] Karena itu, tingkat sensitivitas dan jumlah utang yang digunakan harus diwaspadai oleh para pemutus kredit.
Penelitian dengan pendekatan makro mengenai penyebab NPL, kegagalan bank dan krisis keuangan atau perbankan, masih mengaitkan masalah perubahan ekonomi makro dengan faktor-faktor mikro tertentu. Penelitian Kwack dan Wu et.al, misalnya, mengatakan bahwa krisis dimulai dari lemahnya institusi bank, karena NPL telah berakumulasi sebelum krisis.[9][************]
Ketika lending boom terjadi, bank tidak mempersiapkan keahlian dan pengetahuan yang diperlukan untuk menghadapi kompetisi, dan pengawasan yang lemah menimbulkan moral hazard.[10][††††††††††††] Penelitian Iscan Solar dan Hebb (2006) membuktikan bahwa masalah NPL yang besar mendahului krisis perbankan; dan NPL itu terjadi karena adanya tindakan perampasan atau ’looting’, ketika pengawasan dan penegakan hukum lemah.[11][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Vesa Vihriala menyimpulkan bahwa dalam setiap keadaan atau tingkat pertumbuhan ekonomi, pemberian kredit tetap harus memerhatikan sikap kehati-hatian dan proses pemberian kredit yang sehat, dan tidak terpengaruh oleh faktor eksternalitas, seperti overoptimism, herd behavior, myopia atau irrational exurberance. Pemberian kredit tidak dapat dilakukan dengan risiko yang berlebihan, atau membiayai usaha yang telah memiliki utang yang besar (overleverage). Hal itu merupakan tindakan dari sikap etika yang meragukan.[12][§§§§§§§§§§§§]
Menurut Masaaki Komatsu, krisis keuangan di Asia bermula dari NPL yang besar, karena pemberian kredit dilakukan tanpa analisis yang memadai, dan dipengaruhi oleh birokrasi pemerintah, para politisi, dan para pemilik bank. Selain itu, adanya sikap tidak segera menyelesaikan kredit bermasalah, karena mengikuti ’forebearance policy’, ’gambling for resurrection’, dan menimbulkan moral hazard dalam pemberian kredit.[13][*************]
Menurut Roman Scott, seluruh persoalan perbankan yang ber-akibat krisis di setiap negara, pada intinya bermula dari pem-berian kredit yang sembrono dan untuk usaha yang tidak layak atau spekulatif. Ini artinya, menyangkut masalah pengambilan keputusan kredit yang tidak memerhatikan unsur kehati-hatian yang diperlukan dalam pemberian pinjaman yang sehat.[14][†††††††††††††]
Kegagalan bank dan krisis perbankan di Indonesia secara umum juga disebabkan oleh masalah pengabaian prinsip kehati-hatian, timbulnya moral hazard, dan secara khusus akibat dari crowny banking. Para ahli dan pengamat NPL mengemukakan sejumlah penyebab NPL di Indonesia, yang dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
a.     Supramono melihat kredit bermasalah atau macet sering disebabkan oleh pejabat bank yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian sesuai dengan UU Perbankan, tidak mengikuti prosedur bank yang berlaku, tidak menerapkan pendekatan 5C dengan benar, dan tindakan melanggar hukum yang dilakukan oleh oknum dalam bank.[15][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] 
b.    Susidarto berpendapat bahwa masalah NPL disebabkan karena tidak mengindahkan aturan internal bank. Hal itu merupakan penyimpangan, disengaja maupun tidak.[16][§§§§§§§§§§§§§]
c.     Muhammad berpendapat, sejak kredit diberikan telah terjadi kongkalikong antara bank sebagai kreditor dengan peminjam sebagai debitor, sehingga menjadi macet.[17][**************]
d.    Menurut Kurniantoro, proses pemberian kredit terpengaruh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit.[18][††††††††††††††]
e.     Menurut NHT Siahaan, kejahatan perkreditan umumnya dilaku-kan oleh orang-orang yang sudah mengerti tentang seluk-beluk perbankan dan operasinya, termasuk dalam kejahatan ini adalah pemberian kredit fiktif.[19][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
f.      Pada dasarnya, kredit macet merupakan hasil kolusi antara pihak kreditor dengan pihak debitor. Mereka berkongkalikong, bersekongkol, atau self dealing. Praktik itu berbau kolutif dan upaya pemohon kredit dapat mengakibatkan penilaian yang tidak jujur, tidak objektif, tidak cermat, dan tidak saksama. Menurut NHT Siahaan, kejahatan perkreditan juga merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime).[20][§§§§§§§§§§§§§§]
Secara menyeluruh, uraian ini menunjukkan bahwa terjadinya kredit macet sangat ditentukan oleh keputusan pemberiannya, apakah keputusan itu dibuat secara benar, menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi ketentuan yang berlaku, atau telah dipengaruhi oleh kepentingan pihak pemohon kredit atau  motivasi lain yang bersifat koruptif.
3.   Menelaah Kredit Macet Secara Yuridis
Kredit macet dapat dilihat dari dua sisi, debitor dan kreditor. Dari sisi debitor, kredit macet dapat disebabkan oleh banyak faktor, bersifat internal maupun eksternal.[21][***************] Dari sisi kreditor, peninjauan masalah kredit macet harus mengacu kepada UU Perbankan. Dari segi pengambil keputusan, perlu pula mengkaji mengenai kewenangan dan tanggung jawab direksi.
Menurut Gatot Supramono, kredit macet adalah salah satu bentuk wanprestasi, karena debitor telah ingkar janji, berupa perbuatan tidak mengembalikan utangnya kepada bank, sebagian atau seluruhnya; sedangkan jatuh tempo utangnya telah terlewati. Wanprestasi ini terjadi karena debitor tidak mampu membayar utangnya kepada kreditor,[22][†††††††††††††††] atau tidak mau memenuhi kewajiban kontraktualnya kepada bank, walaupun mungkin mampu. Hal itu diatur oleh Pasal 1238 KUH Perdata.
Karena kredit berdasarkan perjanjian dan berada dalam ta-taran hukum perdata sebagai privaatrechtelijkheid, dan merupakan persoalan perjanjian yang didasari perundang-undangan, dan diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata, wanprestasi tidak dapat diartikan sebagai melawan hukum dalam hukum pidana.[23][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Namun, Gatot Supramono berpendapat, bahwa persoalan kredit macet dapat menjadi peristiwa pidana apabila terdapat perbuatan yang sifatnya jahat. Sifat jahat debitor dapat terjadi sebelum    dan setelah perjanjian kredit dilakukan.
Sebelum kredit diperjanjikan, atau ketika permohonan kredit diproses dalam internal bank, debitor memberikan data atau informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan, memberikan do-kumen palsu atau fiktif, sehingga telah menunjukkan niat jahat atau iktikad buruk. Jika bank tidak melakukan klarifikasi informasi atau tidak melakukan pengecekan dokumen yang diterima, malah tetap melakukan proses kredit hingga menyetujuinya, bank telah melanggar prinsip kehati-hatian, dan dapat pula dikatakan sebagai sebuah kejahatan.[24][§§§§§§§§§§§§§§§] Setelah perjanjian kredit ditandatangani, niat jahat debitor dapat terlihat, jika debitor menggunakan kredit tidak sesuai dengan kepentingan yang diusulkan dan diperjanjikan.
Usaha debitor memperoleh kredit dengan cara yang jahat, lalu tidak membayarnya, tidak selalu merupakan tindak pidana korupsi. Dalam menghadapi kasus kredit macet tertentu, perlu ditentukan apakah dapat menerapkan pidana umum, pidana perbankan, atau pidana korupsi. Apabila debitor melakukan kejahatan dengan menggunakan surat palsu, dapat dikenakan delik umum, berda-sarkan Pasal 263 KUHP, atau kejahatan penggelapan Pasal 372 KUHP, atau kejahatan penipuan Pasal 378 KUHP.[25][****************]
Kemungkinan lain adalah bahwa debitor tidak menggunakan kredit yang sesuai dengan perjanjian, sehingga terdapat penyim-pangan penggunaan kredit, atau lazim disebut side streaming. Kemungkinan hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan kredit bank. Dari segi hukum, hal ini merupakan wanprestasi di pihak debitor terhadap ketentuan dalam perjanjian kredit. Bahkan, menurut Frans Hendra Winarta, dalam konteks bank BUMN, penyimpangan penggunaan kredit dari tujuan semula dapat dikenakan undang-undang Tipikor.[26][††††††††††††††††]
Kasus kredit macet umumnya berkait dengan klasifikasi yang membahayakan kelangsungan hidup bank dan merugikan banyak pihak. Ranah hukum pidana kredit macet umumnya karena berkait dengan pengawasan bank atau penyalahgunaan jabatan. Saya melakukan kajian dari segi kreditor, terkait proses pengambilan keputusan sekaligus ditinjau dari UU Perbankan dan UU PT.
Menurut Krisna Wijaya,[27][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] dari segi hukum, kredit macet dapat merupakan error omission atau error commission. Pada umumnya, kredit macet yang sering terjadi, bahkan terjadi hampir di seluruh dunia, adalah karena kesengajaan untuk mengabaikan prinsip kehati-hatian. Pelanggaran terhadap prinsip ini pada dasarnya merupakan error ommision. Menurut Frans Hendra Winarta, juga karena rendahnya penerapan Kode Etik Bankir.[28][§§§§§§§§§§§§§§§§]
Berbeda dengan error ommision, penyebab kredit macet error commission tidak selalu mudah terlihat. Karena pemberian kredit dapat direkayasa sedemikian rupa dengan argumentasi dan asumsi yang logis yang dapat diterima pada awal pemberian kredit. Tambahan pula, pemberian kredit itu melibatkan pertimbangan individu pejabat kredit, dan secara teknis perkreditan tidak tampak adanya keanehan atau penyimpangan yang menonjol. Kesalahan dalam pemberian kredit akan mulai terkuak pada saat kredit ter-sebut mulai bermasalah. Persoalannya adalah apakah kesalahan ini dapat dikategorikan sebagai sebuah masalah hukum atau tidak, sehingga perlu ditelaah lebih jauh.
Menurut Veithzal Rivai, jika kredit diproses secara wajar dan mengikuti aturan yang ada, kredit itu tidak akan bermasalah seketika.[29][*****************] Jika proses dilakukan secara wajar dengan memer-hatikan prinsip kehati-hatian, kredit macet yang terjadi, biasanya karena sebab-sebab yang tidak dapat diperkirakan.
Penyebab ini dapat berupa perubahan yang mendadak dan drastis yang terjadi dalam ekonomi makro, lingkungan usaha debitor atau lainnya yang dapat memengaruhi secara negatif kelancaran usaha dan memperkecil tingkat keuntungan bagi debitor; atau dari segi internal, timbul perpecahan organisasi debitor. Namun, kredit macet yang langsung terjadi setelah kredit cair untuk pertama kalinya, atau terjadi pada bulan pertama bahkan sampai keenam, menurut pengamatan saya, debitor mulai menunggak pembayaran bunga. Dari kejadian ini diduga dalam proses kredit hingga disetujui kemungkinan terjadi sebuah penyimpangan yang serius.
Ketika kredit menjadi macet, bank perlu meneliti penyebabnya. Untuk menentukan apakah kredit macet itu dapat diperbaiki, perlu menentukan apakah usaha debitor masih memiliki prospek di masa depan. Penentuan prospek ini dapat dicapai melalui analisis kredit yang lebih mendalam, dengan menekankan pada komitmen dan kemampuan debitor untuk dapat keluar dari masalah yang diha-dapi. Jika masih memiliki prospek dan debitor bersifat koperatif, biasanya bank bersedia melakukan penjadwalan kembali atau rescheduling (penurunan jumlah angsuran dan memperpanjang jangka waktu kredit), persyaratan kembali atau reconditioning (perubahan dengan meringankan persyaratan kredit), atau re-structuring (perubahan yang menyangkut persyaratan kredit dan jumlah),[30][†††††††††††††††††] atau kombinasi dari langkah-langkah penyelamatan ini. Apabila sebuah kredit macet dapat diselamatkan melalui salah satu dari langkah 3R ini, berarti bahwa kemungkinan kerugian yang ditimbulkan dapat diperkecil. Dalam keadaan seperti itu, kecil kemungkinan para pemegang saham atau pemangku kepentingan menggugat direksi.   
Dari segi hukum, langkah penyelamatan apapun yang dipilih, bank dan debitor akan menadatangani perjanjian baru, yang   pada dasarnya merupakan pembaruan utang, atau novasi. Secara formal perjanjian baru dapat menutupi segala bentuk penyim-pangan yang membuat kredit terkait macet. Namun, secara materiil, penjanjian baru itu tidak dapat menghilangkan masalah yang ditutupi itu, karena dapat membuat kemacetan berulang. Dari segi hukum, perjanjian baru tidak dapat menghilangkan unsur pidana yang pernah ada.
Jika kredit itu pada awalnya tidak layak diberikan, kemudian tetap dilakukan penyelamatan dengan menggunakan langkah-langkah yang dimaksud di atas, dapat diperkirakan dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah perjanjian baru ditandatangani, kredit itu akan kembali macet. Umumnya, perbuatan untuk menutupi masalah kredit dengan melakukan novasi bersifat tidak transparan, dan hanya dapat diketahui ex post, yaitu setelah kredit yang sama kembali macet.
Tindakan penyelamatan kredit seperti itu merupakan kebijakan yang bersifat menunda penyelesaian masalah (forebearance policy). Dengan kebijakan ini, diharapkan masalah itu akan terse-lesaikan dengan berjalannya waktu atau gambling for resurrection. Namun, dari segi pengambilan keputusan, tindakan itu bersifat tidak prudent dan berkemungkinan mengandung iktikad buruk.
Kredit bermasalah atau macet berasal dari pengambilan keputusan (kredit), dan keputusan itu diikuti dengan kenyataan kredit yang diberikan menjadi bermasalah atau macet. Sering terjadi, bahwa keputusan kredit yang salah itu tidak didasarkan pada analisis yang benar, tidak melalui proses pengambilan keputusan yang sehat, atau mengabaikan prinsip kehati-hatian. Dalam kasus E.C.W Neloe, keputusan kredit hanya dilakukan oleh Presiden Direktur dalam waktu yang sangat singkat, tanpa analisis yang mendalam. Sedangkan 2 pemutus lainnya hanya mengikuti, asal tanda tangan (rubber stamped).
Pemutus kredit di tingkat paling tinggi berada pada tingkat direksi. Di samping itu, direksi bertanggung jawab secara hukum terhadap keputusan yang dibuat oleh pemutus kredit di bawahnya.  Jika direksi sebagai pemutus kredit ternyata salah mengambil keputusan dalam menyetujui sebuah usulan kredit, dan kemudian kredit tersebut macet, pertanyaannya adalah: Apakah direksi dengan serta-merta dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kesalahannya dalam mengambil keputusan kredit itu, atau lebih lanjut dapat dihukum?
Menurut Himawan, sejauh kesalahan perbankan bersifat inter-nal, pihak bank dapat mengecap bertindak indisipliner terhadap pejabat yang bersangkutan. Apabila kredit itu menjadi kredit macet dan menimbulkan kerugian, pemegang saham bank dapat saja mengajukan gugatan perdata kepada direksi perseroan.     Jika kesalahan perbankan itu merugikan pihak ketiga dan mengan-dung unsur pidana, sehingga penanganannya berpindah ke negara, yaitu melalui polisi, jaksa, dan kemudian pengadilan.[31][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]
Chairul Huda berpendapat, apabila sebuah kredit diberikan dengan tidak memerhatikan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat atau prinsip kehati-hatian, hal ini tidak saja merupakan pelang-garan hukum perbankan, tetapi telah masuk ke domain hukum perseroan. Jika pengambilan keputusan itu menyimpang dari ketentuan yang ada, risiko yang timbul bukan merupakan normal business risk melainkan merupakan pelanggaran prinsip kehati-hatian.[32][§§§§§§§§§§§§§§§§§] Ahmad Fikri Assegaf menambahkan, apabila terjadi permasalahan kredit macet yang diakibatkan oleh kelalaian direksi atau manajemen sebuah bank, atau merupakan pelanggaran prinsip kehati-hatian, sehingga tindakan tersebut tercakup dalam Pasal 49 Ayat 2 (b).[33][******************]
Berdasarkan Pasal 46 sampai Pasal 50 UU Perbankan, keja-hatan sehubungan dengan pemberian kredit termasuk dalam tindak pidana berkaitan dengan pengawasan dan pembinaan, serta usaha bank.[34][††††††††††††††††††] Untuk mengantisipasi penyalahgunaan jabatan, Pasal 49 Ayat 2 butir a dan b UU Perbankan melarang dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank menerima suap, imbalan, atau sejenisnya untuk pribadi atau keluarga dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau sejenisnya. Bagi yang tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan terhadap ketentuan undang-undang diancam pidana penjara dan denda.
Pasal 51 UU Perbankan menegaskan bahwa tindak pidana yang dimaksud dalam beberapa Pasal, termasuk Pasal 49, adalah merupakan kejahatan.[35][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Pidana kejahatan memiliki sanksi yang lebih berat dari pidana pelanggaran, dan tujuan Pasal ini adalah mencegah tidak pidana korupsi dalam pemberian kredit.
Pelanggaran prinsip kehati-hatian tidak serta merta dapat disimpulkan dilakukan dengan tujuan menguntungkan orang lain. Chairul Huda lebih lanjut mengatakan, apabila prinsip kehati-hatian itu dilanggar karena adanya suap, maka masalahnya telah masuk ke ranah hukum pidana karena adanya unsur suap, tetapi bukan karena kreditnya macet.[36][§§§§§§§§§§§§§§§§§§] Namun, pendapat ini tidak selalu atau tidak sepenuhnya menggambarkan yang sesungguhnya terjadi, karena unsur suap umumnya selalu berkaitan dengan kejadian kredit yang diberikan dan cenderung kemudian menjadi macet.
Sejalan dengan pendapat seperti Supramono, Susidarto, Munir Fuady, dan Kurniantoro, jika proses kredit dinodai suap atau gratifikasi apapun, sehingga dapat diperkirakan bahwa pemberian kredit tersebut tidak memenuhi asas pemberian kredit yang sehat, karena analisis yang dilakukan tidak berdasarkan penilaian yang jujur, objektif, cermat, dan saksama.
Jonker Sihombing berpendapat, dalam pemberian kredit yang kemudian macet mengandung unsur tindak pidana, yang me-libatkan bankir yang memberikan fasilitas terkait, diserahkan sepenuhnya kepada pengadilan, dan hanya majelis hakim yang berwenang menentukannya.[37][*******************] Namun, jika kredit bermasalah atau macet tidak berkaitan dengan sebuah tindak pidana, atau hanya merupakan kesalahan yang bersifat intern seperti yang dikatakan oleh Himawan, hal itu merupakan kesalahan peng-ambilan keputusan kredit oleh direksi. Hal itu perlu dikaji lebih lanjut. Direksi memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dalam menjalankan roda bisnis bank, dan tentunya setiap ke-putusan mengandung risiko (kredit). Namun, ketentuan UU Perbankan tidak mengkaitkannya dengan keputusan yang diambil oleh direksi dan kemudian kredit yang diberikan macet.[38][†††††††††††††††††††]
Menurut Ahmad Fikri Assegaf dan Indra Safitri, untuk mem-berikan kepastian hukum di masa depan, Prinsip Business Judgment Rule perlu diterapkan dalam menilai dan mengukur tindakan direksi bank, dan lebih lanjut dimasukan secara tegas    ke dalam hukum perbankan.[39][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡] Dari segi unsur kehati-hatian, ketentuan BJR dalam hukum korporasi sejalan dengan ketentuan UU Perbankan, tetapi dalam hukum perbankan, unsur kehati-hatian ini bersifat lebih teknis dan substantif.


[1][**********]       Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Ban-dung, 1996, hlm. 553.
[2][††††††††††]       Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa sumber kegagalan bank terutama disebabkan oleh tingkat kualitas portofolio pinjaman bank yang buruk. Salah satu studi yang pernah dilakukan di Amerika oleh Spadaford (1988), meneliti 162 bank yang gagal, dan secara umum berkesimpulan bahwa 98% dari bank yang gagal disebabkan oleh masalah kualitas aset. Secara spesifik, studi tersebut menye-butkan pula bahwa beberapa faktor penyebab yang semua bermuara pada buruknya kualitas portofolio pinjaman, yaitu: kebijakan pemberian pinjaman yang tidak ditaati, sistem yamg lemah untuk memastikan bahwa hukum dan kebijakan internal ditaati dengan baik, dan pengawasan dan kontrol yang tidak memadai terhadap departemen atau pejabat kunci bank. R. Boffey dan GN. Robson, “Bank Credit Risk Management“, Managerial Finance 21, 1 [1995].
[3][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]       Pertumbuhan ekonomi turun secara drastis menjadi -13% pada 1998 dan 0.8% pada 1989.  Tubagus Feridhanusetyawan dan Mari Pangestu, “Indonesia in Crisis: A Macro Economic Perspective“, CSIS Economics Working Paper Series,
[4][§§§§§§§§§§]       Chung-Hua Shen dan Meng-Fen Hsieh, “Prediction of Bank Failures Using Com-bined Micro and Macro Data”,
[5][***********]     Salman Syed Ali, “Financial Distress and Bank Failure: Lesson From Closure of Ihlas Finans in Turkey”, Islamic Economic Studies, Vol. 14, No. 1& 2 (2007).
[6][†††††††††††]     Jonker Sihombing, op. cit., hlm. 5-6.
[7][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]     Kerapuhan keuangan (financial fragility) akan bertambah jika debitor menambah utangnya, atau jangka waktu utang menjadi pendek, atau likuiditasnya berkurang. Martin H. Wolfson, “A Post Keynesian Theory of Credit Rationing“, Journal of Post Keynes Economics  18.3, [1996], hlm. 454.
[8][§§§§§§§§§§§]     Idem.
[9][************]   Wen Chieh Wu (et.al), “Banking System, Real Estate Markets, and Non Performing Loans”, International Real Estate Review Vol. 6 No. 1,
[2003].
[10][††††††††††††]                 Demirguc Kunt dan Enrica Detragiache, “The Determinants of Banking Crisis: Evidence from Developed and Developing Countries”, The World Bank Re-    search Department, IMF, [1998].
[11][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]                 H. Bartu Solar, (et.al), “Fraud, Banking Crisis, and Regulatory Enforcement: Evidence From Macro-Level Transaction Data”, Eur J Law Econ 21:179-197, (2006).
[12][§§§§§§§§§§§§]                 Vesa Vihriala, “Banks and The Finish Credit Cycle”, Bank of Finland Studies    E: 7, Helsinki, [1997].
[13][*************]               Masaaki Komatsu, “Asian Financial Crisis and Its Lesson-Indonesia”,
[2007].
[14][†††††††††††††]               Roman Scott, “Credit Risk Management  for Emerging Markets: Lessons from The Asian Crisis”, Gaeta (ed), Frontier in Credit Risk, John Wiley & Sons (Asia), New Jersey, 2003, hlm. 455-457.
[15][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]               Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan di Bidang Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hlm. 83-85.
[16][§§§§§§§§§§§§§]               Susidarto, “Benang Kusut Kredit Macet”, Kompas, 25 Juli 1997.
[17][**************]             Jaksa: “ Jakarta: TEMPO Interaktif, 10 Oktober 2005.
[18][††††††††††††††]             YC Kurniantoro, “Neloe Cs Mulai Diadili”, Jakarta: Pembaruan, 10 Oktober 2005.
[19][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]             NHT Siahaan, Pencucian Uang & Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, hlm. 159.
[20][§§§§§§§§§§§§§§]             Ibid., hlm. 144.
[21][***************]           Faktor-faktornya dapat dikelompokan ke dalam: internal bank, internal nasabah, dan eksternal. Contoh dari internal bank adalah lemahnya analisis kredit atau lemahnya pengawasan kredit. Contoh dari internal nasabah adalah kelemahan karakter nasabah, kalah bersaing, dan lain-lain. Faktor ekstenal misalnya pertumbuhan ekonomi yang negatif, peraturan baru yang merugikan, dan lain sebagainya. As. Mahmoedin, Melacak Kredit Bermasalah, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2004, hlm. 51-110. 
[22][†††††††††††††††]           Gatot Suprapmono, op. cit., hlm. 6.
[23][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]           Indriyanto Seno Adji, ”Overheidsbeleid-Privaatrechtelijkheid & Tindak Pidana Korupsi”, Prosiding Tindak Pidana Perbankan, Penggunaan Undang-Undang Pem-berantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta, 2007, hlm. 73. 
[24][§§§§§§§§§§§§§§§]           Gatot Supramono, op. cit., hlm. 6, 7.
[25][****************]         Ibid., hlm. 8.
[26][††††††††††††††††]         Frans Hendra Winarta,”Penggunaan Undang-Undang Pemberantasan Tipikor dalam Menangani Tindak Pidana Perbankan: Perspektif Penegakan Hukum”, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta, 2007, hlm. 153.
[27][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]         Krisna Wijaya, “Penanganan Kredit Macet”, Kompas, Jumat, 27 Mei 2005.
[28][§§§§§§§§§§§§§§§§]         Frans Hendra Winarta, op. cit., hlm. 151.
[29][*****************]       Veithzal Rivai, (et.al), Bank and Financial Institution Management, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 480.
[30][†††††††††††††††††]       Rachmadi Usman, op. cit., hlm. 293-294.
[31][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]       Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima, Kompas, Jakarta, 2006, hlm. 18.
[32][§§§§§§§§§§§§§§§§§]       Pasal 52 Ayat 1 menyebutkan, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi admi-nistratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam UU Perbankan. Pasal 52 Ayat 2 UU Perbankan menyebutkan bahwa Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif, berupa denda uang, teguran tertulis, penurunan tingkat kesehatan bank, dan lainnya. Sundari Arie, op.cit., hlm. 113.
[33][******************]     Ahmad Fikri Assegaf, ”Tindak Pidana Perbankan & Penerapan Undang-Undang Korupsi dalam Kasus-Kasus Perbankan”, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perban-kan, Penggunaan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta, 2007, hlm. 93.
[34][††††††††††††††††††]     Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah,      op. cit., hlm. 64.
[35][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]     Termasuk Pasal 46 (menghimpun dana masyarakat tanpa izin Bank Indonesia), Pasal 47 (memaksa bank untuk memberikan keterangan), Pasal 48 Ayat 1 (sengaja untuk tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi), Pasal 50 (pihak terafiliasi sengaja tidak memastikan bank untuk melakukan ketentuan-ketentuan yang berlaku), dan Pasal 50 A (melakukan atau tidak melakukan tin-dakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan ketentuan yang berlaku).
[36][§§§§§§§§§§§§§§§§§§]     Nurul  Huda, ”Prematur  Memandang  Kredit  Macet  Sebagai  Korupsi”, <http://www.advokatindonesia.com/rubrik-detail.phb?id=11> [2 juni 2007].
[37][*******************]   Jonker Sihombing, op.cit., hlm. 66.
[38][†††††††††††††††††††]   Ibid., hlm. 64.
[39][‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡]   Indra Safitri, “Tindak Pidana Perbankan & Penerapan Undang-undang Korupsi dalam Kasus-Kasus Perbankan”, Prosiding Tindak Pidana di Bidang Perbankan, Jakarta, 2007, hlm. 191.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar