SELAMATKAN PERBANKAN!
Dr. Hendy Herijanto, SE., MBA., MH.
Hak Cipta @ Hendy Herijanto, 2013 Hak cipta
dilindungi undang-undang All
rights reserved
Editor: Hermawan Aksan Penata Letak: Dadang Kusmana Desain cover:
Rama Agustya
Penerbit
Expose (PT Mizan Publika) Anggota
IKAPI Jln.
Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta
Selatan 12620 Telp.
(021) 7888 0556; Fax (021) 7888 0563 E-mail: mail@expose.co.id Website: www.expose.co.id
Cetakan 1,
Februari 2013
ISBN:
978-602-7829-03-9
Didistribusikan oleh Mizan Media
Utama (MMU) Jln.
Cinambo (Cisaranten Wetan), No. 146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp.
022-7815500, Faks. 022-7802288 E-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id
Jakarta: Telp.: 021-7874455,
021-78891213, Fax.: 021-7864272 Surabaya: Telp.: 0318281857,
031-60050079, Faks.: 031-8289318 Pekanbaru: Telp.: 0761-20716,
0761-29811, Faks.:
0761-20716 Makassar:
Telp./Faks.: 0411-873655
Yogyakarta: Telp.: 0274-885485, Faks.: 0274-885527 Bali:
Telp./Faks: 0361-482826
Banjarmasin: Telp. 0511-3252374
Untuk Ibuku,
Djamilah Oejoen; Ayahku, Oejoen Bagindo Sulaeman; dan
Adikku, Lience Herlinda Oejoen;
serta Guruku, Prof. Dr. Sofyan Syafri Harahap,
MSAc.,
yang telah mendahului ku ke hadapan Allah Swt.
Suatu hari kelak, aku pun akan mengikutimu.
Bank
Syariah dan Tantangan Perbankan Masa Depan
(Dr. Subarjo Joyosumarto) xv
Solusi
untuk Menyehatkan Bank
(Prof. Dr. Yuswar Z. Basri, AK, MBA,) xix Bank Syariah:
Lokomotif Financial Inclusion
(Prof. Dr. Itjang D. Gunawan, Ak, MBA) xxi Global Player Keuangan Syariah
Daftar Istilah xxv
Pendahuluan
Bab 1 : Mencari Biang Keladi
Krisis Perbankan 1
Bab 2 : Bank, Sang Perantara
Keuangan 35
Bab 4 : Runtuhnya Bank di
Mana-Mana 137
Bab 5 : Bank Syariah Pun Bukan
Tanpa Masalah 215
Bab 6 : Dua Belas Faktor
Penentu Kredit Macet 285
Bab 7 : Metode: Survei Uji
Perbedaan 349
Bab 8 : Bukti Keunggulan Bank
Syariah 377
Bab 9 : Benahi Faktor Mikro
Manajemen Internal 387
Bismilldhirahmdnirrahim
T
|
iada kata lain yang
patut diucapkan pertama kali, ketika penulis akhirnya
dapat menerbitkan buku ini, selain mengucapkan
syukur alhamdulillah ke hadirat Allah Swt., Sang Pencipta langit dan
bumi serta sekalian alam; dan menyampaikan
shalawat dan salam kepada junjung- an kita, Nabi
Muhammad Saw. Berkat karunia dan hidayah-Nya, penulis dapat
menghadirkan buku ini ke hadapan para pembaca yang budiman sekalian.
Masalah perkreditan,
khususnya kredit macet atau bermasalah, yang juga
disebut sebagai Non Performing Loan atau NPL,
sudah merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan
dengan karier penulis, semenjak mulai bekerja di The Chase Manhattan Bank NA, pada 5 Januari 1981,
hingga kini sebagai pengelola sebuah perusahaan
pembiayaan non bank. Keter- tarikan pada bidang
yang sangat khusus ini merupakan panggilan pro- fesi
dalam rangka bekerja sebaik-baiknya untuk menciptakan portofolio kredit/pinjaman yang berkualitas tinggi, dengan
menekan tingkat NPL serendah mungkin.
Cita-cita untuk
mencapai keberhasilan profesional ini mendorong perhatian,
observasi, penelaahan dan pemikiran yang terus-menerus ser- ta penghayatan yang dalam, dan kemudian diterapkan
dalam pekerjaan sehari-hari, yang selalu
dihadapkan dengan segala kemungkinan yang dapat
membuat kredit yang diberikan bermasalah. Menghindar dari ke- mungkinan timbulnya NPL paling tidak merupakan
pengejawantahan tanggung jawab moral, sebagai
pengelola institusi keuangan, terhadap amanah
yang diberikan oleh para pemilik dana.
Ketertarikan pada
bidang ini bertambah ketika penulis belajar di IEF Trisakti.
Penulis mulai menyadari, terdapat institusi pembiayaan lain yang hakiki, mengikuti petunjuk Tuhan Yang Maha Esa di
dalam Al-Qu- ran, dan dipraktikkan oleh Nabi
Muhammad Saw. Penulis berkeyakinan, jika petunjuk
itu diikuti sebaik-baiknya, maka akan membawa hasil yang
jauh lebih baik, karena memang Tuhan mencipta untuk rahmatan lil 'ala- min, rahmat bagi sekalian alam.
Namun, bagaimana manusia meman- faatkan dan
menerapkan petunjuk itu, sangat tergantung pada perilaku
manusia itu sendiri. Karena itu, penulis sangat berharap, dengan adanya buku ini, masyarakat luas dapat memperoleh wawasan
baru mengenai NPL/NPF. Bagi masyarakat perbankan,
penulis mengharapkan, buku ini dapat memperluas
pengetahuan dan pemikiran mengenai NPL khusus- nya,
dan masalah perbankan umumnya.
Masalah NPL
merupakan fenomena dunia, karena terjadi di mana- mana;
umumnya, di negara dengan sektor keuangan didominasi oleh in- stitusi pemberi kredit atau bank, sejak dulu sampai
sekarang. Ternyata, kemudian, NPL ini pula yang
mengakibatkan kegagalan bank, dan bahkan krisis
keuangan atau perbankan di dunia. Semua ini menimbulkan beban biaya yang tidak kecil bagi masyarakat luas, bagi
negara yang mengalaminya.
Kajian literatur
menghasilkan kesimpulan yang sangat mengagetkan rasa
keadilan penulis, bahwa ternyata penyebab NPL, kegagalan bank, dan krisis keuangan atau perbankan adalah terutama
karena pengabai- an sikap kehati-hatian dan moral hazard yang timbul dalam lingkungan bank itu sendiri. Ironisnya, faktor yang pertama
merupakan penentu kua- lifikasi bagi seorang
bankir, dan yang kedua harus dihindarkan oleh para pemegang
amanah masyarakat itu.
Ditilik dari kedua
faktor tersebut, maka dapat ditelusuri pangkal pe- nyebabnya,
yang pada akhirnya berpokok pada bank itu sendiri, khusus- nya para pengelolanya, atau manajemen internal bank.
Untuk mencapai portofolio pinjaman/pembiayaan
yang berkualitas, atau menekan tim- bulnya
NPL/NPF serendah mungkin, manajemen internal memerlukan penerapan
sejumlah atribut, yang telah disebutkan dalam buku ini.
Penulis menyampaikan
rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya, dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Yang Terhormat, Bapak Prof. Dr. H. Yuswar Z. Basri Ak., MBA, Bapak Prof. Dr.
Itjang D. Gunawan, Ak. MBA, Bapak Dr. Subarjo
Joyosumarto, dan Bapak Drs. Herman Juwo- no, Ak.
CPA, yang telah bersedia menyampaikan sepatah dua kata sebagai pengantar dalam buku ini.
Karena buku ini
berkaitan erat dengan disertasi penulis, ucapan terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga disampaikan kepada Yang Terhormat Bapak Prof. Dr. Thoby Mutis,
sebagai Ketua Tim Penguji; Bapak Prof. Dr. Sofyan
Syafri Harahap, MSAc. (almarhum), sebagai Promotor; Bapak Prof. Dr.
Fathurrahman Djamil, MA., dan Bapak Dr. Subarjo
Joyosumarto, masing-masing sebagai Co-Promotor—yang telah
juga membimbing penulis sehingga disertasi tersebut dapat disele- saikan dengan baik, serta para anggota Dewan Penguji:
Bapak Prof. Dr. Yuswar Z. Basri Ak. MBA., Bapak
Prof. Dr. Itjang D. Gunawan, Ak. MBA., Ibu Prof.
Dr. Farida Jasfar, ME., Bapak Prof. Dr. Wahyudi Wisaksono, Bapak Prof. Dr. Zulkifli Husin, Bapak Prof. Dr. Wan
Usman, Bapak Prof. Dr. Asep Hermawan, dan Bapak
Dr. Mustafa Edwin Nasution.
Dalam kaitan dengan
penelitian yang dilakukan, penulis secara tulus perlu
mengungkapkan bahwa kontribusi yang paling mendasar berasal dari para responden, yang telah menjawab kuesioner dengan
sempurna, sehing- ga penelitian tersebut dapat
disimpulkan dengan sangat baik. Untuk itu, penulis
sangat berterima kasih kepada seluruh pihak bank yang telah mem- bantu, terutama Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri,
dan Agro Bank.
Dalam kesempatan ini
pula, penulis berkeinginan mengemukakan kenangan
yang tidak akan pernah terlupakan. Prof. Sofyan Syafri Hara- hap (almarhum), ketika berada dalam keadaan sakit yang
berat, beliau masih menyempatkan dan menguatkan
diri untuk memimpin ujian ter- buka mengenai
disertasi tersebut; dan kemudian juga, memimpin sidang terbuka
untuk Dr. Tatik Maryanti, Msi., dan Dr. Bambang Budhijana, da- lam tiga hari berturut-turut. Tidak lama setelah itu,
Prof. Sofyan dipang- gil oleh Yang Mahakuasa
untuk menghadap ke haribaan-Nya.
Penulis mohonkan kepada
Allah Swt., agar Prof. Sofyan selalu dibe- rikan
tempat yang nyaman di sisi Allah Swt.. Amin yd
rabbal dlamin. Dalam hidupnya, beliau adalah hamba Allah Swt., yang
selalu berjuang di jalan Allah Swt., dan selalu
mengembangkan kalam Allah Swt. Beliau adalah hamba Allah Swt. yang pertama mengembangkan Islamic Economics and Finance (IEF), Universitas
Trisakti.
Sebagai suatu
institusi yang didirikan khusus untuk mengembangkan Ekonomi
dan Pembiayaan Islam, IEF Trisaksi merupakan
forerunner di bidang tersebut di
Indonesia. Alhamdulilldh, penulis adalah
lulusan ke- dua dari institusi ini, setelah Dr.
Lubna Sarwath, Ph.D. dari India.
Penulis juga
menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus
kepada Prof. Dr. Masudul Alam Choudhury, yang mengenalkan dan mengajarkan kami mengenai prinsip Ketauhidan melalui TSR dan IIE Process
yang dikembangkannya. Menurut Prof. Sofyan (almarhum), Prof. Masudul adalah forerunner
di bidang metodologi TSR ini. Ilmu yang dibe- rikannya
merupakan awal dan petunjuk yang terang dari segi pendekatan ilmiah terhadap Ilmu Tuhan, yang telah mengantarkan
penulis untuk terus mempelajari ayat-ayat
Al-Quran. Untuk itu, penulis sangat berterima kasih kepada
Ustadz Sudjadi, yang membimbing kami mulai dengan membaca Al-Quran bahkan dari alif
ba ta, sampai belajar tafsirnya ayat demi ayat.
Terima kasih yang
dalam juga kami sampaikan kepada Dr. Peter Ver- hezen,
yang menyebutkan dirinya "I am a crazy
philosopher." Intinya, ia mengatakan bahwa dalam kesehariannya, untuk setiap
langkah yang akan dijalaninya, Peter, sahabat
kami yang langka dan sejati ini, selalu berpikir dengan
mempraktikkan filsafat yang dipahami dan kompas moral yang dipakainya. Dia memang seorang akademisi tulen,
sekaligus seorang mo- ralis sejati, dan
mengajarkan perbedaan antara "Gift and
Bribe" dimulai
melalui disertasinya. Perbedaan makna kedua kata ini sangat perlu untuk dimengerti oleh masyarakat, terutama di lingkungan
pemerintahan, di Indonesia, sehingga pemberian
yang benuansa suap dapat dihindarkan. Peter, yang
pertama kali, menjelaskan kepada kami filsafat dari Aristotles, Socrates, Plato, dan Kant serta lainnya. Karena Peter
belajar bahasa latin, beliau pula yang
menguraikan arti kata-kata latin, seperti
eudaimonia, oikonomia, arete, dan daimon.
Bagi kami, tanpa bantuan Peter, kata-kata tersebut
tidak mudah untuk dipahami hanya dengan membaca buku.
Last but not least, rasa terima kasih dan
penghargaan penulis sam- paikan pula kepada
istri, Fenny Herijanto, dan anak-anak: dr. Vanda El- fira,
M. Fauzan Ferdiansyah SE., dan M. Faldy Rachmadsyah UP, serta adik-adik: Sukma Jaya, SH., Sultia Mardini, SH.,
termasuk sepupu, Dewi Reni SE. AK, M.Si., atas
dukungan moral dan materialnya. Penulis pan- jatkan
pula doa kepada Allah Swt. bagi kedua orangtua dan adik kami ter- cinta yang telah mendahului kami, agar mereka selalu
mendapat tempat yang baik di sisi Allah Swt.
Adalah berkat jerih payah, pengorbanan, dan doa
mereka semasa hidup, sehingga penulis sampai ke titik pendidikan yang tinggi. Tanpa semua itu, mustahil penulis dapat
mencapainya.
Akhirul
kaldm, penulis sekali lagi sangat bersyukur dan berterima kasih setulus-tulusnya ke semua pihak, termasuk pihak
penerbit, Mizan, dan yang dapat atau tidak dapat
kami sebutkan satu per satu, atas pe- ngertian
dan dukungan moralnya, sehingga hasil karya ini dapat diterima di lingkungan akademis, dan dihadirkan ke hadapan para
pembaca yang budiman sekalian. Kami berdoa ke
hadirat Allah Swt., Penguasa sekalian alam, dan
shalawat kami sampaikan pula kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad Saw., agar semua pihak tersebut selalu diberikan hidayah dan karunia-Nya yang setimpal. Amin yd rabbal'dlamin.
Bank Syariah dan Tantangan Perbankan Masa Depan
B
|
ANK syariah awalnya
dipandang sebelah mata, bahkan dianggap sebagai impossible bank yang tidak mungkin bisa
dijalankan, yakni sebuah lembaga keuangan tanpa
bunga. Bunga, yang selama ini dianggap sebagai
penopang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa, harus dihilang- kan dalam penerapan sistem bank syariah.
Setelah melalui
serangkaian pengkajian, bank syariah secara resmi diperkenalkan
kepada masyarakat pada 1992, dengan diberlakukannya Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. UU ini memberi- kan
peluang seluas-luasnya untuk pembukaan bank-bank yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil/syariah.
Namun, perkembangan
perbankan syariah tidak langsung menggembi- rakan,
baik jaringan maupun volume usaha, dibandingkan dengan pertum- buhan bank konvensional. Hingga pertengahan 1999,
hanya ada satu bank umum syariah dan 78 bank
perkreditan syariah, sedangkan populasi bank konvensional
sejumlah 206 bank umum dan 2.231 bank perkreditan rakyat.
Karena itu,
pemerintah terus mendorong perkembangan bank syari- ah
di Indonesia. Upaya ini dilaksanakan dengan memperhatikan bahwa sebagian masyarakat Muslim Indonesia sangat menantikan
suatu sistem perbankan syariah yang sehat dan
tepercaya untuk mengakomodasi ke- butuhan mereka
terhadap layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip
syariah.
Dengan
diberlakukannya UU 10/1998, perbankan syariah mendapat kesempatan
yang lebih luas untuk menyelenggarakan kegiatan usaha- nya,
termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum konvensio-
nal untuk membuka kantor cabang yang khusus melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Pemberian kesempatan
pembukaan kantor cabang syariah ini merupakan
upaya meningkatkan jaringan perbankan syariah yang
tentunya akan dilakukan bersamaan dengan upaya pember- dayaan
perbankan syariah. Upaya tersebut diharapkan akan mendorong perluasan jaringan kantor, pengembangan pasar uang
antarbank syariah, peningkatan kualitas sumber
daya manusia, dan kinerja bank syariah, yang
intinya akan menunjang pembentukan landasan perekonomian rak- yat yang lebih kuat dan tangguh.
Pada 2007, baru 1,71
juta dari total 176,88 juta warga Muslim di Indonesia yang menggunakan bank
syariah dalam bertransaksi dan inves- tasi.
Sebagian besar masih menggunakan bank konvensional. Itu berarti hanya sekitar satu persen dari total warga Muslim di
negeri ini.
Lalu, dengan
diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, yang terbit pada 16 Juli 2008, pengembang- an industri perbankan syariah nasional makin memiliki
landasan hukum yang memadai dan akan mendorong
pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan
progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata
pertumbuhan aset lebih dari 65 persen per tahun dalam lima tahun terakhir, diharapkan peran industri perbankan
syariah dalam men- dukung perekonomian nasional
akan semakin signifikan.
Sejumlah kalangan
percaya bahwa bank syariah Indonesia akan terus tumbuh
seiring dengan kian ramahnya perekonomian Indonesia untuk
investasi. Mengutip Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, aset perbankan syariah naik 35,55 persen pada triwulan IV
2011 dengan nilai Rp 135,9 triliun. Itu berarti,
aset perbankan syariah mencapai 3,9 persen dari
total aset perbankan nasional. Sebelumnya, BI menargetkan aset per- bankan syariah Indonesia mencapai Rp 200 triliun hingga
akhir 2012.
Wakil Presiden
Boediono pun mengatakan posisi nilai aset perbank- an
syariah Indonesia per akhir tahun 2011 menduduki peringkat keempat terbesar di dunia setelah Iran, Malaysia, dan Arab
Saudi. Menurut Wa- pres, pertumbuhan perbankan
syariah di Indonesia (40 persen) juga lebih tinggi
dari rata-rata pertumbuhan bank syariah di dunia (10-15 persen).
BANK SYARIAH
DAN TANTANGAN PERBANKAN MASA DEPAN <
Berkaitan dengan
perkembangan bank syariah seperti diuraikan di atas, dan
dengan perkembangan bank secara umum, paling tidak ada lima tantangan yang perlu menjadi perhatian ekstra para
pelaku perbankan nasional pada abad ke-21 ini.
Pertama, bankir perlu ekstra hati-hati mengelola
bisnis yang penuh risiko. Bisnis bank memang
menjanjikan tingkat keuntungan tinggi, tapi profitabilitas
ini juga dibarengi dengan risiko tinggi. Kegagalan dalam mengelola aktiva, khususnya dalam menyalurkan kredit,
akan membuat bank seperti menderita sakit
kanker, kolaps secara perlahan-lahan.
Kedua, bankir perlu bekerja ekstra untuk
melaksanakan good corporate governance
(GCG). Untuk dapat menangkap peluang perubahan eksternal
yang cepat, sekaligus mengakomodasi manajemen risiko, bank butuh melaksanakan GCG. GCG didefinisikan sebagai
suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan mengenai hubungan antara
beberapa pihak
(stakeholder), yaitu pemegang saham, direksi, dan komisaris. GCG bertujuan untuk mencegah terjadinya kesalahan fatal
dan memastikan jika terjadi kesalahan dapat
diperbaiki dengan segera.
Ketiga, bankir perlu mengantisipasi pembentukan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community/AEC) 2015. AEC akan mengakibatkan
terjadinya arus bebas barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja di antara 10 negara ASEAN. Guna
mengantisipasi AEC, pela- tihan yang
komprehensif bagi SDM perbankan perlu terus-menerus dila- kukan dalam rangka menyiapkan bankir yang andal dan
kompetitif, agar nantinya dapat bersaing dengan
para bankir dari negara lain di ASEAN ketika AEC
terbentuk.
Keempat, bankir perlu menangkap peluang berbisnis
dalam dual banking system. Seperti diketahui,
perbankan Indonesia berjalan dengan dua sistem,
yaitu konvensional dan syariah. Sebagai negara dengan jum- lah penduduk Muslim terbesar di dunia, peluang
pengembangan keuang- an syariah di Tanah Air sangat
terbuka, bahkan menjadi pusat ekonomi syariah di
Asia dan Dunia. Namun, potensi besar perbankan syariah na- sional menghadapi tantangan yang tidak ringan. Sebab,
seiring dengan perkembangan pesat perbankan
syariah, dibutuhkan pasokan sumber daya insani
(SDI) yang sebanding. Hingga tahun 2015, dengan asumsi pertumbuhan
perbankan syariah 25 persen per tahun, diperkirakan kebu- tuhan SDI perbankan syariah adalah 60 ribu orang.
Kelima, bankir perlu memahami sistem pengawasan
bank. Secara umum kebijakan pengawasan bank
dapat dibagi dua, yaitu micro prudential dan macro prudential. Micro prudential merupakan
penilaian atas tingkat kesehatan dari sebuah
individu bank. Dalam hal ini, kondisi kese- hatan
individu bank menjadi tanggung jawab manajemen bank yang ber- sangkutan. Adapun macro
prudential merupakan penilaian atas tingkat kesehatan
sistem perbankan secara keseluruhan, yang dinilai berdasar- kan dampak sistemik. Dalam hal ini, kondisi kesehatan
makro perbankan
menjadi tanggung jawab Bank Indonesia.
***
Buku Selamatkan Perbankan! sangat relevan dengan uraian
di atas. Buku ini memaparkan sejumlah faktor yang
menyebabkan timbulnya non performing loan
(NPL) pada bank konvensional dan non performing financing
(NPF) pada bank syariah.
Seperti akan dibahas
dalam buku ini, prinsip kehati-hatian (prudential)
dan tata kelola yang baik (good corporate
governance) sangat me- nentukan apakah
suatu kredit atau pinjaman akan mengalami masalah atau
tidak.
Patut dicatat,
meskipun bank syariah di negeri ini baru berumur sekitar
20 tahun, faktor-faktor mikro manajemen internal bank-bank syariah lebih baik dibandingkan dengan faktor-faktor
mikro manajemen internal bank-bank konvensional,
yang berimplikasi pada kecilnya pin- jaman
bermasalah pada bank syariah dibanding kredit macet pada bank konvensional.
Kesimpulan dalam buku ini jelas
membuka peluang yang lebih luas bagi perkembangan
perbankan syariah di Indonesia, sekaligus memper- baiki
kinerja bank konvensional.[]
Jakarta,
11 Juli 2012
Direktur Utama LPPI, Komisaris Independen BTN sejak 2008, Mantan Deputi Gubernur BI 1998-2000
Solusi untuk Menyehatkan Bank
B
|
ANK konvensional, baik
bank swasta maupun bank pemerintah, baik bank
dalam negeri maupun bank luar negeri, kerap menghadapi ma- salah besar. Salah satunya adalah kredit macet atau non performing loan (NPL). Perkembangan perbankan
di dunia sudah mencatat banyaknya bank yang
kolaps karena NPL.
Salah satu contoh
bank yang kolaps adalah Bank Indover. Bank ini sudah
cukup tua karena memperoleh lisensi bank dari Belanda pada 1965. Pada pertengahan 1990-an, Indover tumbuh pesat. Namun,
ketika krisis melanda wilayah Asia, termasuk
Indonesia, pada 1997, Indover dilanda kre- dit
macet. Pada 1 Desember 2008, Bank Indover pun dinyatakan bangkrut.
Pada 2002, Bank
Indonesia melakukan pengawasan intensif terha- dap
Bank IFI karena NPL bank ini di atas lima persen. Kredit bermasalah Bank IFI melonjak dan rasio modalnya jeblok. NPL Bank
IFI melonjak menjadi 24 persen, sedangkan rasio
modalnya di bawah 8 persen. BI pun memasukkan
Bank IFI dalam pengawasan khusus. Pada 17 April 2009, BI
mengumumkan pencabutan izin Bank IFI.
Kasus kolapsnya bank
yang lebih menghebohkan menimpa Bank Pembangunan
Indonesia (Bapindo) dan Bank Summa. Bapindo mulai menjadi
berita ketika pada 1986 dikabarkan bahwa bank ini menghadapi masalah berat akibat NPL. Sebagian besar nasabahnya
tidak mampu lagi mengembalikan pinjaman. Dan
tentu saja, kasus kredit macet paling
menghebohkan terjadi ketika bank ini memberikan kredit "wah" kepada Eddy Tansil, yang sampai saat ini menghilang setelah merampok kredit triliunan rupiah itu.
menghebohkan terjadi ketika bank ini memberikan kredit "wah" kepada Eddy Tansil, yang sampai saat ini menghilang setelah merampok kredit triliunan rupiah itu.
Kasus Bank Summa
juga sempat menjadi berita utama di media mas- sa.
Bank ini bangkrut karena kredit yang diberikan kepada perusahaan satu kelompoknya macet. Meski dilakukan berbagai upaya
penyelamatan, bank ini tetap saja terpuruk dan
akhirnya dilikuidasi pemerintah pada 1992.
Bank Century lain
lagi. Bank ini kabarnya runtuh karena dirampok oleh
pemiliknya sendiri. Namun kasus yang sebenarnya, terutama yang menyangkut kucuran enam triliun lebih oleh pemerintah,
masih misteri. Meskipun semata-mata bukan karena
NPL, runtuhnya bank ini jelas ter- jadi antara
lain karena kurangnya tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Tata kelola
perusahaan yang baik sendiri hanyalah salah satu faktor yang
menentukan apakah sebuah perusahaan, dalam hal ini bank, akan tumbuh dengan sehat atau keropos dan kemudian
bangkrut. Banyak fak- tor lain yang menentukan
sehat-tidaknya bank. Dalam buku Selamatkan Perbankan!
ini, disebutkan ada sebelas faktor, termasuk di antaranya integritas, profesionalisme, kadar spiritualitas, dan
kepemimpinan ber- moral. Semuanya diuraikan
dengan paparan yang argumentatif, disertai latar
belakang teori dan pendapat para ahli.
Buku ini kemudian
membandingkan sebelas faktor itu pada bank konvensional
dan bank syariah. Dan hasilnya sangat menarik. Bank sya-
riah (dan unit-unit usaha syariah), yang didirikan dengan dasar hukum Islam, dianggap lebih sehat daripada bank
konvensional.
Prof. Dr. Yuswar Z. Basri, AK, MBA,
Wakil Rektor I Universitas Trisakti
|
Mengapa bisa begitu, buku Selamatkan Perbankan! memberikan pemaparan yang mendalam untuk pembaca, dan terutama
memberikan solusi bagi pengelola bank guna
menghindarkan masalah kredit macet, yang umumnya
menyebabkan kegagalan bank.
Jakarta, 2 Oktober 2012
D
|
I TENGAH badai krisis
global yang melanda dunia (1998, 2008, dan krisis
Eropa 2011), industri perbankan syariah di Indonesia justru mengalami perkembangan yang sangat signifikan, baik
secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini
tercermin dari pertumbuhan aset, peningkatan pembiayaan,
dan ekspansi pelayanan (jaringan kantor yang semakin me-
luas menjangkau 33 provinsi di Indonesia).
Makin meluasnya
jangkauan perbankan syariah menunjukkan peran perbankan
syariah makin besar untuk pembangunan ekonomi rakyat di negeri
ini. Kita punya obsesi, perbankan syariah akan tampil sebagai gar- da terdepan atau lokomotif terwujudnya financial inclusion. Ini pula yang menjadi misi dasar dan utama syariah, yakni
pengentasan kemiskinan dan pembangunan
kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Optimisme ini
dibangun berlandaskan beberapa faktor. Pertama, bank
syariah lebih dekat dengan sektor riil karena produk yang ditawar- kan, khususnya dalam pembiayaan, senantiasa
menggunakan underlying transaksi di sektor
riil, sehingga dampaknya lebih nyata dalam mendo- rong
pertumbuhan ekonomi. Kedua, tidak terdapat
produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar), sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari direct hit krisis keuangan global. Secara makro, perbankan syariah dapat memberikan daya dukung
terhadap ter- ciptanya stabilitas sistem keuangan
dan perekonomian nasional. Ketiga, sistem
bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi
ruh perbankan syariah akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak,
baik bagi pemilik dana selaku deposan, pengusaha
selaku debitor maupun pihak bank selaku pengelola
dana.
Semoga, terbitnya buku Selamatkan Perbankan! ini kian menambah kegairahan untuk meningkatkan kinerja perbankan
syariah, demi kema- juan dan kesejahteraan
ekonomi rakyat.
Jakarta, 7 Januari 2013
Wakil Rektor II
Universitas Trisakti
lobal Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2011
mencatat, Indonesia menduduki peringkat keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan
syariah setelah Iran, Malaysia dan Arab Saudi.
Dengan tingkat pertumbuhan yang sangat pesat
(40,2 persen dari tahun 2007-2011), bahkan lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan aset perbankan secara
keseluruhan (hanya sebesar 16,7 persen), maka
Indonesia diproyeksikan akan menduduki peringkat pertama
dalam beberapa tahun ke depan. Optimisme ini sejalan dengan laju ekspansi kelembagaan, ditambah volume penerbitan
sukuk yang terus meningkat. Itu artinya,
Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pelopor
dan kiblat pengembangan keuangan syariah.
Hingga Februari
2012, industri perbankan syariah telah mempunyai jaringan
sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 155 BPRS dengan total jaringan kantor
mencapai 2.380 kantor yang tersebar hampir di
seluruh penjuru Nusantara. Total aset perbankan syariah
mencapai Rp 149, 3 triliun (BUS dan UUS Rp 145,6 triliun dan BPRS Rp 3,7 triliun) atau tumbuh sebesar 51,1 persen
dari posisi tahun sebelumnya. Layak kalau
kemudian industri perbankan syariah dijuluki sebagai "the fastest growing industry".
Menurut Dr. Halim
Alamsyah, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Indonesia setidaknya memiliki empat
potensi untuk menjadi global player keuangan
syariah. Pertama, jumlah penduduk Muslim yang
besar. Kedua, prospek ekonomi yang cerah,
tercermin dari pertumbuhan ekonomi ysng relatif
tinggi (kisaran 6 sampai 6,5 persen) yang ditopang oleh fundamental ekonomi
yang solid. Ketiga, peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor
untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah. Keempat,
memiliki sumber daya alam yang melimpah yang
dapat dijadikan sebagai underlying transaksi
keuangan syariah.
Sejalan dengan
kemajuan yang pesat ini, maka tentunya sosialisasi atas
Pedoman Standar Akuntansi Keuangan Syariah (PSAK) perlu diting- katkan, sehingga masyarakat
stakeholder dapat memahami arti penting- nya
akuntansi syariah dibandingkan dengan akuntansi keuangan yang berlaku secara umum.
Terbitnya buku Selamatkan Perbankan! ini, tak pelak, semakin me- nyadarkan kita, betapa besarnya potensi sektor
perbankan syariah untuk dikembangkan di
Indonesia, demi pertumbuhan ekonomi masyarakat yang
sehat dan berkah. Mudah-mudahan, spirit yang dibawa buku ini turut mendorong Indonesia menjadi yang paling utama
dalam industri keuangan syariah. Amin.
Jakarta,
7 Januari 2013
Akuntan Publik/Konsultan Pajak/ Konsultan Keuangan, Lektor Kepala IV/b, Dosen Kopertis yang diperbantukan pada FE Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
AAOIFI.
Singkatan dari the Accounting and Auditing
Organization for Islamic Financial Institutions, institusi yang
mengeluarkan kebijak- an auditing dan akuntansi
bagi lembaga keuangan Islam.
Account
Officer (Financing Officer). Pejabat bank yang bertugas memproses permohonan dan memperoleh persetujuan
internal bank untuk pemberian pinjaman/pembiayaan
kepada calon nasabah dan menangani hubungan bank
dengan nasabah itu sampai pinjaman di- lunasi
atau pembiayaan selesai.
Asset
Conversion Cycle. Siklus perubahan aset, yang dimulai dari kas, utang dagang, biaya terutang, sampai pada penciptaan
piutang dan pembayarannya dan kembali pada kas,
merupakan alat bantu untuk menganalisis setiap
perubahan dalam proses produksi hingga penju- alan,
dalam arti risiko yang dapat terjadi yang membuat siklus tidak dapat kembali pada kas.
Asymmetric
Expectation. Harapan yang berbeda dari dua pihak yang berbeda dalam suatu transaksi yang sama.
Asymmetric
Information. Informasi yang berbeda yang dimiliki dua pihak yang berbeda dalam suatu kontrak atau transaksi
yang sama.
Adverse
Selection. Salah pilih. Keadaan ini timbul karena adanya asymmetric information,
yakni calon debitor yang berisiko tinggi
adalah
yang paling aktif mencari pinjaman, sehingga debitor inilah yang berkemungkinan besar disetujui.
Bubble. Gelembung. Asset
price bubble, gelembung harga aset. Suatu situasi
ketika harga suatu macam aset, misalnya real estat atau pro- perti, mengalami kenaikan yang terus-menerus pada
suatu saat, tapi kenaikan harga ini terjadi bukan
karena faktor-faktor fundamental aset, melainkan
karena tersedianya kredit untuk membiayai pembe- lian
aset tersebut.
Credit Crunch. Menurunnya tingkat penawaran pemberian
kredit bank karena sikap bank yang membatasi diri
untuk memberikan kredit walaupun calon debitor
bersedia membayar tingkat bunga yang lebih tinggi.
Credit (Financing) Culture. Budaya kredit/pembiayaan.
Nilai-nilai yang dianut sebagai filosofi dan
strategi dalam melakukan pemberian dan menangani
persoalan yang berkaitan dengan pinjaman/pembia- yaan,
untuk mencapai tujuan, khususnya dalam keseimbangan anta- ra keuntungan yang diinginkan dan risiko yang dapat
diterima.
Credit Rationing. Sikap bank dalam usaha membatasi
pemberian kre- dit dengan cara menurunkan jumlah
fasilitas kredit yang dapat dibe- rikan,
menaikkan tingkat bunga, memperberat syarat-syarat kredit, atau meminta jaminan yang lebih besar.
Duty of Loyalty. Salah satu syarat bagi direksi
korporasi dalam melakukan tugas amanah (fiduciary
duty) untuk menjalankan tugas kese- tiaan
atau loyalitas terhadap (kepentingan) korporasi.
Fiduciary Duty. Tugas amanah atau kepercayaan dalam
hubungan hukum dari dan untuk beneficiary (pihak yang mengambil manfaat), dalam hal ini korporasi, yang harus dilakukan oleh trustee (pihak yang dipercaya),
dalam hal ini direksi korporasi, untuk menjalankan usaha
atau mengelola aset/harta beneficiary
sebaik mungkin, penuh tanggung jawab dan secara adil, serta dengan itikad
baik.
Forbearance Policy. Kebijakan untuk menunda,
mengangkat, atau menangani masalah dalam suatu
bank atau lembaga keuangan atau perbankan, dengan
harapan ada keuntungan yang dapat diperoleh dalam
kurun waktu yang berjalan, dan masalah tersebut akan dapat terselesaikan.
Franchise Value (of Bank). Perkiraan aliran
keuntungan yang dapat diharapkan di masa depan
dari perbankan dan dipelihara dengan praktik-praktik
manajemen yang sehat.
Gambling for Resurrection Hypothesis. Suatu hipotesis
yang me- ngatakan bahwa masalah yang dihadapi
akan dapat terselesaikan dengan berjalannya
waktu dan diharapkan keadaan akan membaik, sehingga
membantu memecahkan masalah tersebut.
Gharal. Sesuatu yang bersifat tidak jelas, atau
tersembunyi, informasi yang tidak terungkapkan,
kabur atau ambigu, tidak pasti, misrepre- sentasi,
risiko yang berlebihan dan tidak wajar, yang mengakibatkan konsekuensi yang tidak pasti dan merugikan bagi salah
satu pihak dalam suatu transaksi.
Good Corporate Governance. Dalam bahasa Indonesia
berarti tata ke- lola perusahaan, yang pada
intinya memiliki pengertian bagaimana per- usahaan
dikendalikan dan kewenangan didistribusikan dalam perusaha- an yang disertai dengan akuntabilitas, transparansi,
dan integritas.
Hadis/Sunnah Nabi Saw. Hal-hal yang dicontohkan oleh
Nabi Muhammad Saw., baik ucapan maupun tindakan, yang pernah beliau lakukan dan dicatat oleh para sahabat atau keluarga
atau kerabat terdekat Nabi Saw.
Hard (Soft) Budget Constraint. Suatu prinsip atau
disiplin keuangan dalam ekonomi mikro bagi suatu
organisasi yang harus mengeluar- kan
pembelanjaan sesuai dengan pendapatan yang dapat dihasilkan- nya (hard); tetapi
jika pembelanjaan itu lebih besar dari pendapatan- nya,
organisasi itu akan berhenti beroperasi, kecuali kalau ada pihak lain yang membantunya
(soft).
Hard/Soft Information. Pengertian pertama adalah
informasi yang bersifat kuantitatif dan/atau
tertulis sehingga dapat dipindahtangan- kan
tanpa adanya distorsi yang serius dalam perpindahannya, se- dangkan yang kedua bersifat sebaliknya atau bersifat
kualitatif dan/ atau tidak tertulis sehingga
berkemungkinan terjadi distorsi yang tidak dapat
diperkirakan dalam perpindahannya.
Herd Behavior. Suatu sikap di mana pengambilan
keputusan dipenga- ruhi secara signifikan oleh
tindakan atau keputusan yang diambil oleh orang
atau organisasi lain.
Informationally Opaque. Informasi yang diperlukan
mengenai suatu objek tidak tersedia secara
memadai, sehingga sulit untuk mengam- bil
keputusan yang berkaitan dengan objek yang dimaksud.
Ijarah. Akad sewa-menyewa antara pemilik objek sewa
termasuk kepe- milikan terhadap hak pakai atas
objek sewa dan penyewa untuk men- dapatkan
imbalan atas objek sewa yang disewakannya.
Ijarah Muntahiya bit Tamlik. Akad sewa-menyewa antara
pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan
imbalan atas objek sewa yang disewakannya,
dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa
baik dengan jual-beli maupun pemberian atau hibah pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa.
Inside (Outside) Collateral. Pengertian pertama
merupakan jaminan atau kolateral yang sekaligus
merupakan objek yang dibiayai oleh pinjaman yang
diberikan, sedangkan yang kedua berada di luar atau bukan
bagian dari objek yang dibiayai.
Irrational Exuberance. Semangat yang tidak rasional,
sehingga per- timbangan dalam pengambilan
keputusan menjadi tidak mendasar atau salah.
Istishna. Jual-beli barang dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang dengan spesifikasi barang dan
persyaratan tertentu yang disepakati dengan
pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
Kegagalan Bank (Bank Failure). Bank tidak dapat
memenuhi ke- wajibannya. Kunt (1991) membedakan
beberapa macam insolvensi (kegagalan) bank,
yaitu 1). Insolvensi (kegagalan) de facto
terjadi ketika institusi tidak lagi dapat
memenuhi kewajiban kontraktualnya dari sumber
dayanya sendiri; dan merupakan akibat dari nilai pasar kewajiban
nonekuitas melebihi nilai pasar aset yang dimiliki, atau nilai pasar perusahaannya membuat ekuitas menjadi
negatif, 2). Insolvensi (kegagalan) de jure
terjadi ketika insolvensi nilai pasar secara resmi diakui dan institusinya
ditutup atau dilebur secara paksa, 3). Kegagalan de facto dapat didefinisikan lebih luas
dibandingkan dengan penutupan seperti
penghentian operasi yang diarahkan oleh regulator.
Krisis Keuangan (Financial Crisis). Perusakan yang
bersifat non- linier terhadap pasar keuangan di
mana masalah moral hazard dan adverse selection
terjadi lebih parah, sehingga pasar keuangan tidak dapat
secara efisien menyalurkan dana kepada pihak yang memiliki kesempatan investasi yang paling produktif.
Krisis Perbankan (Banking Crisis). Suatu periode
ketika sebagian besar atau sebagian tetapi
signifikan dari sistem perbankan menjadi tidak
likuid atau insolven (sistemik).
Krisis Mata Uang (Currency Crisis). Terjadi karena
adanya perge- rakan kurs mata uang yang mendadak
dan perubahan yang tajam dalam capital inflow. Krisis yang menengah tidak
melibatkan krisis
perbankan
atau masalah utang korporasi, tetapi krisis yang berat akan
mendorong salah satu atau keduanya.
Liberalisasi Keuangan/Perbankan. Meliputi
perubahan-perubahan yang berlaku dan ditentukan
oleh regulator atau yang berwenang, yang
memberikan dampak bagi peningkatan likuiditas pada pasar
keuangan, termasuk membuka saluran untuk
capital account. Libe- ralisasi yang
menimbulkan banyak masalah adalah apabila dilakukan tergesa-gesa
tanpa persiapan yang matang.
Lending Boom. Peningkatan yang tajam dalam pemberian
kredit, yang umumnya merupakan akibat
dilakukannya liberalisasi keuangan di negara
terkait, yang kemudian difasilitasi oleh masuknya modal dari luar negeri (capital
inflow) yang besar dan pesat.
Leverage. Rasio (perbandingan) antara utang dan modal
sendiri. Over Leverage: porsi utang jauh lebih
tinggi daripada modal sendiri, sehingga
memberikan beban bunga yang menyamai atau melebihi kemampuan
pendapatan atau arus kas yang berasal dari usaha atau operasional
utama.
PLS. Singkatan dari profit
and loss sharing, yakni kesepakatan antar para
mitra dalam berusaha bersama yang menentukan bahwa setiap keuntungan dan kerugian dibagi sesama mitra
berdasarkan kesepa- katan tertentu atau
kontribusi modal masing-masing.
Manajemen Internal. Para pengurus perusahaan atau
bank, yang ter- diri atas para direksi dan
pejabat senior yang membantu direksi dalam menjalankan kebijakan direksi dan
usaha perusahaan atau bank.
Manajemen Risiko. Manajemen risiko (risk management) merupakan
pengertian yang dimaksudkan untuk mencegah dan memperkecil ancaman terhadap perusahaan dan menciptakan lingkungan
atau ke- adaan yang dapat menghasilkan keputusan
bisnis yang terbaik, atau dengan kata lain
berusaha membuat keputusan dengan mengkaji dan menghindari
keputusan yang membawa risiko dengan kerugian paling kecil
dengan pendapatan yang lebih optimal. Jadi, manajemen risiko lebih kurang merupakan manajemen yang baik dengan akal
sehat.
Moral Hazard. Istilah ini menjadi populer sejak
terjadinya Krisis Asia 1997/1998, yang menunjuk
pada keadaan yang mendorong terjadinya pemberian
kredit yang sembrono. Sebagai suatu pengertian umum, moral hazard dapat dikatakan suatu keadaan ketika
seseorang me- maksimumkan utilitas bagi dirinya
sendiri dengan merugikan pihak lain, tanpa
menanggung biaya marginal bagi dirinya.
Market Discipline (Disiplin Pasar). Pasar keuangan
memberikan sinyal yang mengarahkan para debitor
untuk bertingkah laku sesuai dengan tingkat
solvabilitas; ini juga berarti mereka harus mengikuti kebijakan
yang dapat melanggengkan solvabilitasnya.
Maysir. Judi, atau risiko yang berlebihan dan
bersifat untung-untungan.
Mudharabah. Penanaman dana dari pemilik dana atau shahibul mal kepada pengelola dana atau mudharib untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode
bagi un- tung (profit
sharing) atau bagi pendapatan (net revenue
sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Mudharib. Salah satu pihak dalam akad mudharabah, yang berarti pengusaha
atau pihak yang menjalankan usaha yang dibiayai oleh pemodal
atau pemilik modal atau shahibul mal.
Murabahah. Jual-beli barang sebesar harga pokok
barang ditambah dengan margin keuntungan yang
disepakati.
Musyarakah. Penanaman dana dari pemilik dana atau
modal untuk mencampurkan dana atau modal mereka
pada suatu usaha tertentu dengan pembagian
keuntungan berdasarkan nisbah yang telah dise- pakati
sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana
atau modal berdasarkan bagian dana atau modal masing-ma-
sing.
Non Performing Loan (NPL). Istilah yang dipakai baik
di Indonesia maupun di perbankan internasional,
yang menunjukkan kredit telah bermasalah karena
terjadi tunggakan bunga dan atau angsuran po- kok
lebih dari 90 hari. Di Indonesia, NPL berarti seluruh kredit yang tergabung dalam tiga tingkat kolektibilitas, yaitu
kurang lancar, dira- gukan, dan macet. Pada bank
syariah, disebut non performing financing (NPF),
yang mengandung pengertian serupa.
Overoptimistic. Sikap optimisme yang berlebihan.
Pembiayaan. Istilah yang digunakan pada bank syariah,
yang identik dengan pemberian pinjaman dalam
bentuk uang pada bank konven- sional; bank
syariah tidak memberikannya langsung dalam bentuk uang,
tetapi digunakan untuk memperoleh barang atau jasa yang di- perlukan oleh nasabahnya.
Pembiayaan Mikro (Micro Finance). Kredit atau
pembiayaan yang diberikan pada usaha perseorangan
yang kurang mampu, dengan jumlah antara Rp 1
sampai Rp 50 juta.
Pengetahuan Perkreditan (Pembiayaan). Meliputi
berbagai pe- ngetahuan dalam kaitannya dengan
kegiatan pemberian kredit (atau pembiayaan) yang
sehat dan merupakan suatu kesatuan. Pengetahu- an
ini meliputi dan tidak terbatas pada hal-hal berikut: bagaimana membaca laporan keuangan, membuat proforma laporan dan
pro- yeksi keuangan, melakukan analisis keuangan,
menilai risiko, mema- hami usaha yang dijalankan
calon debitor atau konsumen, mengerti macam-macam
fasilitas kredit atau pembiayaan yang ditawarkan oleh
bank, mampu membuat usulan atau proposal kredit atau pem- biayaan, mengerti kekuatan dan kelemahan setiap macam
pengikat- an jaminan, mengerti bagaimana nasabah
sebaiknya ditangani atau dimonitor, dapat
menangani debitor atau konsumen yang mulai me- nunjukkan
indikasi masalah bagi bank, dan sebagainya.
Perkreditan. Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian
kredit atau pin- jaman/pembiayaan, yang meliputi
antara lain (tetapi tidak terbatas pada hal
berikut): analisis kredit dan jaminan, kemampuan memba- yar
kembali, jenis usaha dan risiko usaha yang dihadapi bank, jenis dan jumlah fasilitas yang dapat diberikan, masalah
hukum yang ber- kaitan dengan keabsahan calon
debitor/debitor sebagai peminjam, ketentuan dan
persyaratan pemberian pinjaman/pembiayaan yang perlu
ditetapkan, serta perjanjian kredit dan jaminan yang diperlu- kan.
Pinjaman pada Pihak Terkait (Connected Lending, Related Lending,
Self Lending, atau Insider Lending). Istilah ini se- ring muncul di lingkungan perbankan, yang berarti
pinjaman yang disetujui dan diberikan oleh
manajemen suatu bank kepada pihak terkait dengan
bank atau pengurus bank. Berdasarkan ketentuan Bank
Indonesia, pinjaman kepada pihak terkait meliputi pinjaman yang diberikan oleh bank kepada pihak pemilik bank,
pengurus bank, dan pegawai bank, atau keluarganya
sampai tingkat kedua. Istilah yang sama juga
banyak dipakai di banyak negara, yang menggam- barkan
pemberian pinjaman oleh bank kepada pihak direksi atau pe- milik bank, yang umumnya dan pada akhirnya merupakan
pinjaman yang bermasalah dan tidak dapat
terbayar.
Ponzi Finance. Suatu keadaan di mana pinjaman atau
kredit atau pem- biayaan diberikan kepada debitor
yang telah memiliki komitmen un- tuk membayar
utang dan bunga di masa depan lebih besar dari arus pendapatan
yang diharapkan. Dengan demikian, perbedaan antara komitmen
dan arus pendapatan dipenuhi dengan tambahan pinjam- an.
Kata ponzi berasal dari seorang bernama
Charles Ponzi (1920), orang Italia yang tinggal
di Amerika, yang ketika itu melakukan in- vestasi
dengan menggunakan uang orang lain (investor), tetapi inves- tasi yang lebih awal dibayar dari dana investasi
investor berikutnya.
Prudent, Prudential, Prudence. Menurut Black's Law Dictionary, prudence mencakup unsur attentiveness (tingkat perhatian) yang bersifat carefulness
(kehati-hatian, hal-hal yang berkaitan dengan masa
kini) dan precaution (berjaga-jaga, yaitu
hal-hal yang berkaitan dengan masa depan) dan good judgment (pertimbangan yang bijak) yang membentuk suatu degree
of care (tingkat kepedulian) yang di- perlukan
oleh suatu tindakan untuk mana keseluruhan unsur terse- but
diterapkan.
Principal-Agent Problems. Masalah ini terjadi jika
agen (atau yang melakukan pekerjaan) memiliki
dorongan atau insentif yang berbeda dengan orang
atau pihak yang memberikan pekerjaan (the principal atau
majikan); agen bertindak atas kepentingan pribadinya, bukan untuk kepentingan majikannya.
Qardh. Pinjam-meminjam dana tanpa imbalan dengan
kewajiban pihak peminjam untuk mengembalikan
pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan
dalam jangka waktu tertentu.
Reflexivity. Suatu teori yang menggambarkan bahwa
harga pasar tidak ditentukan oleh data/informasi
fundamental seperti pendapatan, biaya, modal, dan
sebagainya, tetapi lebih ditentukan oleh tingkah laku
pasar dari para partisipan (fungsi partisipan) karena fungsi kog- nitif pasar (merupakan informasi atau data
fundamental) tidak sama seperti fungsi partisipan
sehingga terdapat kesempatan untuk mem- peroleh
keuntungan.
Relationship Lending. Secara umum, merupakan suatu
konsep yang dipraktikkan dan menggambarkan
hubungan antara bank dan nasa- bahnya di luar
dari meja konter bank, di mana bank dapat menggu- nakannya
sebagai media untuk memperoleh lebih banyak informasi mengenai
nasabah itu sendiri dan usahanya serta kemampuan ke- uangannya;
tetapi secara khusus dapat berarti bank lebih mendasari pemberian
pinjaman/pembiayaan karena hubungan baik itu.
Risiko Sistemik. Kemungkinan terjadinya keruntuhan
kepercayaan yang biasanya mendadak, dan tidak
diperkirakan sebelumnya terha- dap sebagian yang
cukup besar dari sistem keuangan atau perbank- an,
yang berpotensi untuk memberikan akibat yang besar terhadap ekonomi riil.
Risiko Bisnis Normal. (Sejumlah) risiko yang umumnya
dapat diketa- hui atau diperkirakan terdapat pada
suatu jenis bisnis atau usaha.
Risk Averse. Sifat yang cenderung untuk menghindari
(pengambilan) risiko.
Risk Aggressive. Sifat yang lebih berani untuk
mengambil risiko.
Salam. Jual-beli barang dengan cara pemesanan dengan
syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai
terlebih dahulu secara penuh.
Shahibul Mal. Salah satu pihak yang memberikan modal
dalam usa- ha atau bisnis yang dijalankan oleh
orang lain atau pengusaha atau mudharib.
Tingkat Kolektibilitas Kredit (Bank Konvensional).
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005, yang
kemudian diubah me- lalui Peraturan Bank
Indonesia No. 8/2/PBI/2006 menetapkan lima macam
golongan kolektibilitas kredit, yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet.
Tingkat Kolektibilitas Pembiayaan (Bank Syariah).
Pada prinsip- nya, ketentuan penetapan
kolektibilitas untuk pembiayaan bank sya- riah
sama seperti ketentuan kolektibilitas untuk bank konvensional, yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar,
diragukan, dan macet.
Too big to fail. Suatu anggapan bahwa bank yang besar
tidak dapat dibiarkan untuk kolaps atau bangkrut
karena akan berakibat buruk terhadap
perekonomian, sehingga pihak pemerintah perlu untuk me- nyelamatkannya.
Universal Banking.
Bank komersial yang dapat melakukan pembiaya- an ekuitas atau membeli
saham perusahaan lain.
P
|
ERBANKAN di Indonesia
sudah melewati rentang masa hampir dua ratus
tahun. Tepatnya, bank pertama di negeri ini, yaitu De Javasche Bank, didirikan pada 24 Januari 1828 di Batavia, tentu
saja oleh peme- rintah kolonial. Setelah itu,
berdiri sejumlah bank lain, juga milik Belan- da,
sebut saja misalnya De Post Poar Bank, Hulp en Spaar Bank, De Alge- menevolks Crediet Bank, dan Nederlansche Indische
Handelsbank.
Dalam
perkembangannya, berdiri pula bank-bank milik orang Indonesia dan orang-orang
asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa, antara
lain Bank Nasional Indonesia, Bank Abuan Saudagar, NV Bank Boemi, The Chartered Bank of India, Australia and
China, The Yokohama Species Bank, dan The Bank of
China.
Di zaman
kemerdekaan, perbankan di Indonesia makin berkembang. Beberapa
bank Belanda dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Bank- bank yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain
Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 (sekarang dikenal
dengan BNI '46), Bank Rakyat Indonesia, yang
didirikan tanggal 22 Februari 1946 (berasal dari
De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko), Bank Surakarta,
Bank Indonesia, dan lain-lain.
Pada 1960-an,
sejumlah bank pemerintah juga berdiri, antara lain Bank
Pembangunan Indonesia (Bapindo), Bank Pembangunan Daerah
(BPD), dan Bank Tabungan Negara (BTN).
Bank-bank itu, dan
sederet bank swasta nasional yang tumbuh bak jamur
di musim hujan, khususnya pada era 1980-an, tentu saja sangat penting dalam pembangunan ekonomi negeri ini.
Boleh jadi, karena
berurusan dengan uang, bank adalah lembaga yang
selalu dikesankan lebih wah. Dibanding dengan bangunan-bangun- an lain di sekitarnya, gedung-gedung bank selalu
tampil lebih mewah. Lihatlah gedung Bank
Indonesia, Bank Mandiri, atau Bank Rakyat Indonesia dengan menara-menaranya
yang megah.
Para pejabat dan
karyawan perbankan pun selalu menempati strata sosial-ekonomi yang tinggi.
Para pejabat bank memperoleh gaji yang umumnya
lebih tinggi daripada kebanyakan profesional lainnya. Lebih- lebih para pemilik bank—mereka dianggap sebagai para
dewa ekonomi. Seorang dirut bank pemerintah
kabarnya berpenghasilan sekitar setengah miliar
rupiah dan memiliki kekayaan hampir seratus miliar rupiah, de- ngan rumah-rumah bak istana yang tersebar di kota-kota
besar Indonesia dan di luar negeri.
Namun, di balik
kemegahannya, dalam perjalanan sekitar 180 tahun, jagat
perbankan tidak hanya membangun, tapi juga sempat meruntuhkan perekonomian negeri ini. Keruntuhan ekonomi Indonesia
pada paruh kedua 1990-an, misalnya, tidak lepas
dari runtuhnya sejumlah bank, ter- masuk bank
besar—atau yang saat itu dianggap sebagai bank besar—baik bank pemerintah maupun swasta.
Bank Pembangunan
Indonesia (Bapindo) dan Bank Summa adalah dua
contoh yang bisa mewakili gambaran kisah gemilang bank yang ber- akhir tumbang.
Bapindo memang bukan
bank terbesar. Namun, seperti umumnya gedung-gedung
bank, gedung-gedung Bapindo adalah gedung mewah, baik
di pusat maupun cabang-cabangnya—selalu lebih megah dibanding bangunan-bangunan lain di sekitarnya. Gedung Bapindo
(dibangun pada 1952), kantor pusat bank ini,
misalnya, dinding luarnya dilapisi dengan bata
kerawang beragam hias motif geometris sehingga ruangan di dalam- nya tidak panas walaupun pada bagian dalamnya ditempatkan
jendela kaca sepanjang muka bangunan. Elemen lain
yang membuat bagian da- lam bangunan terasa sejuk
adalah adanya lubang-lubang udara di antara atap
yang bersusun dua. Bangunan yang berada paling depan merupakan bangunan satu lantai dengan atap perisai bersusun dua,
makin ke bela- kang makin banyak jumlah
lantainya. Bangunan ini menerima penghar- gaan
sertifikat sadar pemugaran 1996.
Bapindo didirikan
pada 1961, sebagai bank yang bertugas menjadi sumber
pembelanjaan yang tetap bagi usaha pembangunan. Sumber pembelanjaan
tetap itu diperlukan untuk menjamin terlaksananya usaha-
usaha pembangunan. Sekitar seperempat abad, Bapindo berperan seper- ti itu dan tidak kelihatan ada masalah. Sejak awal
1960-an, pemerintah memang melarang pengumuman
dan penerbitan angka-angka statistik moneter/perbankan.
Karena itu, apa yang terjadi di dalam lembaga bank mana
pun hampir tidak pernah diketahui publik.
Masalah yang
menggerogoti Bapindo dari dalam mulai menyembul keluar
ketika pada awal 1986, tatkala Subekti Ismaun dilantik menjadi direktur utama, muncul berita sumbang di media massa
bahwa Bapindo menghadapi kesulitan sangat berat
gara-gara sebagian besar nasabahnya tidak mampu
lagi mengembalikan pinjaman. Dari jumlah kredit sebesar Rp
1.010 miliar, per Oktober 1985, yang terpengaruh tunggakan men- capai Rp 532,4 miliar, terutama dari para debitor di
sektor maritim dan industri.
Dan pada 1994, kasus
kredit macet terbesar terjadi di Bapindo. Su- bekti
Ismaun, sang Dirut, beserta dua anggota direksi, memberikan kredit terbesar dalam sejarah perbankan di Indonesia senilai
Rp 1,3 triliun ke- pada Golden Key Group milik
Eddy Tansil. Pemberian kredit yang sangat tidak
sehat dan bersifat koruptif itu tidak pernah terselesaikan, bahkan Eddy Tansil sendiri melarikan diri dan jejaknya tidak
pernah terendus pihak berwajib. Dua pucuk
pimpinan Bapindo, Subekti Ismaun dan Towil Heryoto,
pun harus meringkuk di dalam bui.
Belakangan, bersama
Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN),
dan Bank Expor Impor Indonesia (Bank Exim), Bapindo lebur menjadi Bank Mandiri.
Di antara runtuhnya
bank-bank swasta, kasus Bank Summa adalah yang
paling parah. Kasus bank ini menjadi contoh paling baik dari sisi bu- ruknya deregulasi perbankan tahun 1988 (Pakto 1988).
Saat itu, industri perbankan menjamur, yang
dibarengi penyaluran kredit dalam hitungan "raksasa".
Banyak bank yang didirikan sengaja untuk membiayai kelom- pok usaha mereka sendiri. Puncak semua itu terjadi
pada 1992, ketika meledak kasus kredit macet Bank
Summa sejumlah Rp 1,4 triliun.
Kisahnya bermula
ketika Edward Soeryadjaya, putra sulung Williem Soeryadjaya,
pendiri Astra dan orang nomor dua terkaya di Indonesia saat
itu (1992), berniat "menyalip" kehebatan sang Ayah di dunia bisnis. Namun, bukannya melalui tahap demi tahap, Edward
menggunakan jalur cepat. Ia mulai dengan
mendirikan Summa International Bank Ltd. tahun 1979
di Port Vila, Vanuatu, dengan modal US$ 25 juta. Setahun kemudian, Edward membidik Hong Kong, dan dari sana ia melanglang
ke Jerman.
Tiga tahun kemudian,
Edward berpatungan dengan pengusaha Hong Kong
melebarkan sayapnya ke Indonesia, dengan mendirikan Summa International
Finance Co. Ltd. (kemudian menjadi Indover Summa Finance, usaha patungan
dengan anak perusahaan Bank Indonesia, Indover). Bisnis
Edward pun maju pesat. Ia memborong saham sejumlah perusahaan besar, seperti
Bank Asia, yang kemudian namanya menjadi Bank Summa.
Selain itu, ia ikut memiliki Bandung Indah Plaza, Hotel Mirama (Surabaya), Hotel Sabang (Jakarta), dan berbagai macam
bisnis properti dan keuangan. Edward juga dikenal
"murah hati" karena memodali bisnis teman-temannya.
Dari mana dana
Edward itu? Tak sulit ditebak: dari Bank Summa. Ba- nyaknya
memang tidak diketahui pasti, tapi yang jelas saat itu diketahui aset Bank Summa mencapai Rp 1,2 triliun. Diperkirakan,
karena proyek- proyek yang dibiayainya gagal,
Bank Summa merugi Rp 591 miliar. Dari Rp 1,5
triliun total kredit yang disalurkan, Rp 1 triliun di antaranya macet.
Akibatnya pasti:
bank ini kesulitan likuiditas. Tatkala pemerintah memberlakukan
kebijakan uang ketat (1990), Bank Summa makin terce- kik.
Tiga bulan kemudian dikabarkan Bank Summa benar-benar meng- alami krisis keuangan yang hanya bisa diatasi dengan
suntikan dana segar yang besar. Tapi Williem
Soeryadjaya, ayah Edward, tidak melakukannya. Dia
mengirimkan pasukan penyelamat dari Astra, perusahaan miliknya. Konon sampai tiga kali ia gonta-ganti tim penyelamat,
tapi Bank Summa tetap merana. Pada Juni 1992,
Williem mengambil alih 100 persen saham Bank
Summa.
Toh kesehatan Bank
Summa tetap memburuk. Kewajibannya ditaksir mencapai
Rp 1,7 triliun. Tak lama kemudian, Williem pun menjaminkan seratus juta lembar saham Astra Internasional senilai
Rp 500 miliar ke- pada Bapindo, Bank Exim, dan Bank
Danamon, untuk menyuntik Bank Summa. Jumlah itu
masih ditambah Rp 380 miliar dari BDN dan Bank Universal.
Kabarnya, Panin Bank juga menyuntikkan sekitar Rp 250 mili- ar, tapi pemilik Panin membantah kabar ini. Sebelum
itu, Bank Indonesia juga sudah memberikan
pinjaman discount window kepada Bank Summa sebesar Rp 200 miliar lewat Indover.
Tetap saja Bank
Summa terpuruk. Williem terpaksa meminta jasa Mu'min
Ali dari Bank Panin untuk memberikan konsultasi manajemen.
Tapi, sinyal dari
pemerintah bahwa Bank Summa akan dilikuidasi makin jelas
terdengar. Williem masih berupaya mempertahankan dengan segala cara, termasuk menghimpun dana dari aset-aset
keluarga. Williem juga meneken kontrak
penyelamatan dengan 30 pengusaha dari grup Prasetya Mulya.
Toh dana raksasa itu tetap amblas mengingat banyaknya utang yang ditinggalkan Edward.
Vonis akhirnya jatuh
pada 14 Desember 1992: Bank Summa dilikui- dasi
pemerintah berdasarkan UU Perbankan 1992.
Bersama dengan
Bapindo dan Bank Summa, pada 1990-an runtuh juga
puluhan bank lain.
Keruntuhan banyak
bank itu tentu membuat terperangah banyak orang.
Bagaimana bisa terjadi kredit macet berjumlah triliunan rupiah? Bagaimana mungkin lembaga yang tampak begitu mentereng
itu tidak lebih bangunan-bangunan keropos? Apa
yang terjadi dengan bank-bank itu? Bagaimana pula
jalan terbaik untuk menyelamatkannya?
Dan mengapa pula bank syariah (dan unit-unit usaha syariah), yang muncul
jauh lebih belakangan dibanding bank konvensional, dianggap lebih
sehat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar