Selasa, 16 Agustus 2016

Cover Buku Selamatkan Perbankan



Dr. Hendy Herijanto, SE., MBA., MH.


SELAMATKAN PERBANKAN!
Dr. Hendy Herijanto, SE., MBA., MH.
Hak Cipta @ Hendy Herijanto, 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang All rights reserved
Editor: Hermawan Aksan Penata Letak: Dadang Kusmana Desain cover: Rama Agustya
Penerbit Expose (PT Mizan Publika) Anggota IKAPI Jln. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan 12620 Telp. (021) 7888 0556; Fax (021) 7888 0563 E-mail: mail@expose.co.id Website: www.expose.co.id
Cetakan 1, Februari 2013
ISBN: 978-602-7829-03-9
Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU) Jln. Cinambo (Cisaranten Wetan), No. 146 Ujungberung, Bandung 40294 Telp. 022-7815500, Faks. 022-7802288 E-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id
Jakarta: Telp.: 021-7874455, 021-78891213, Fax.: 021-7864272 Surabaya: Telp.: 031­8281857, 031-60050079, Faks.: 031-8289318 Pekanbaru: Telp.: 0761-20716, 0761-29811, Faks.: 0761-20716 Makassar: Telp./Faks.: 0411-873655 Yogyakarta: Telp.: 0274-885485, Faks.: 0274-885527 Bali: Telp./Faks: 0361-482826 Banjarmasin: Telp. 0511-3252374









Untuk Ibuku, Djamilah Oejoen; Ayahku, Oejoen Bagindo Sulaeman; dan
Adikku, Lience Herlinda Oejoen;
serta Guruku, Prof. Dr. Sofyan Syafri Harahap, MSAc.,
yang telah mendahului ku ke hadapan Allah Swt.
Suatu hari kelak, aku pun akan mengikutimu.



Bank Syariah dan Tantangan Perbankan Masa Depan
(Dr. Subarjo Joyosumarto)                                                                        xv
Solusi untuk Menyehatkan Bank
(Prof. Dr. Yuswar Z. Basri, AK, MBA,) xix Bank Syariah: Lokomotif Financial Inclusion
(Prof. Dr. Itjang D. Gunawan, Ak, MBA) xxi Global Player Keuangan Syariah
Daftar Istilah                                                                                  xxv Pendahuluan
Bab 1 : Mencari Biang Keladi Krisis Perbankan                                                  1
Bab 2 : Bank, Sang Perantara Keuangan                                                             35
Bab 4 : Runtuhnya Bank di Mana-Mana                                                           137
Bab 5 : Bank Syariah Pun Bukan Tanpa Masalah                                          215
Bab 6 : Dua Belas Faktor Penentu Kredit Macet                                           285
Bab 7 : Metode: Survei Uji Perbedaan                                                               349
Bab 8 : Bukti Keunggulan Bank Syariah                                                           377
Bab 9 : Benahi Faktor Mikro Manajemen Internal                                       387


Bismilldhirahmdnirrahim
T
iada kata lain yang patut diucapkan pertama kali, ketika penulis akhirnya dapat menerbitkan buku ini, selain mengucapkan syukur alhamdulillah ke hadirat Allah Swt., Sang Pencipta langit dan bumi serta sekalian alam; dan menyampaikan shalawat dan salam kepada junjung- an kita, Nabi Muhammad Saw. Berkat karunia dan hidayah-Nya, penulis dapat menghadirkan buku ini ke hadapan para pembaca yang budiman sekalian.
Masalah perkreditan, khususnya kredit macet atau bermasalah, yang juga disebut sebagai Non Performing Loan atau NPL, sudah merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dengan karier penulis, semenjak mulai bekerja di The Chase Manhattan Bank NA, pada 5 Januari 1981, hingga kini sebagai pengelola sebuah perusahaan pembiayaan non bank. Keter- tarikan pada bidang yang sangat khusus ini merupakan panggilan pro- fesi dalam rangka bekerja sebaik-baiknya untuk menciptakan portofolio kredit/pinjaman yang berkualitas tinggi, dengan menekan tingkat NPL serendah mungkin.
Cita-cita untuk mencapai keberhasilan profesional ini mendorong perhatian, observasi, penelaahan dan pemikiran yang terus-menerus ser- ta penghayatan yang dalam, dan kemudian diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari, yang selalu dihadapkan dengan segala kemungkinan yang dapat membuat kredit yang diberikan bermasalah. Menghindar dari ke- mungkinan timbulnya NPL paling tidak merupakan pengejawantahan tanggung jawab moral, sebagai pengelola institusi keuangan, terhadap amanah yang diberikan oleh para pemilik dana.
Ketertarikan pada bidang ini bertambah ketika penulis belajar di IEF Trisakti. Penulis mulai menyadari, terdapat institusi pembiayaan lain yang hakiki, mengikuti petunjuk Tuhan Yang Maha Esa di dalam Al-Qu- ran, dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw. Penulis berkeyakinan, jika petunjuk itu diikuti sebaik-baiknya, maka akan membawa hasil yang jauh lebih baik, karena memang Tuhan mencipta untuk rahmatan lil 'ala- min, rahmat bagi sekalian alam. Namun, bagaimana manusia meman- faatkan dan menerapkan petunjuk itu, sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri. Karena itu, penulis sangat berharap, dengan adanya buku ini, masyarakat luas dapat memperoleh wawasan baru mengenai NPL/NPF. Bagi masyarakat perbankan, penulis mengharapkan, buku ini dapat memperluas pengetahuan dan pemikiran mengenai NPL khusus- nya, dan masalah perbankan umumnya.
Masalah NPL merupakan fenomena dunia, karena terjadi di mana- mana; umumnya, di negara dengan sektor keuangan didominasi oleh in- stitusi pemberi kredit atau bank, sejak dulu sampai sekarang. Ternyata, kemudian, NPL ini pula yang mengakibatkan kegagalan bank, dan bahkan krisis keuangan atau perbankan di dunia. Semua ini menimbulkan beban biaya yang tidak kecil bagi masyarakat luas, bagi negara yang mengalaminya.
Kajian literatur menghasilkan kesimpulan yang sangat mengagetkan rasa keadilan penulis, bahwa ternyata penyebab NPL, kegagalan bank, dan krisis keuangan atau perbankan adalah terutama karena pengabai- an sikap kehati-hatian dan moral hazard yang timbul dalam lingkungan bank itu sendiri. Ironisnya, faktor yang pertama merupakan penentu kua- lifikasi bagi seorang bankir, dan yang kedua harus dihindarkan oleh para pemegang amanah masyarakat itu.
Ditilik dari kedua faktor tersebut, maka dapat ditelusuri pangkal pe- nyebabnya, yang pada akhirnya berpokok pada bank itu sendiri, khusus- nya para pengelolanya, atau manajemen internal bank. Untuk mencapai portofolio pinjaman/pembiayaan yang berkualitas, atau menekan tim- bulnya NPL/NPF serendah mungkin, manajemen internal memerlukan penerapan sejumlah atribut, yang telah disebutkan dalam buku ini.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya, dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Yang Terhormat, Bapak Prof. Dr. H. Yuswar Z. Basri Ak., MBA, Bapak Prof. Dr. Itjang D. Gunawan, Ak. MBA, Bapak Dr. Subarjo Joyosumarto, dan Bapak Drs. Herman Juwo- no, Ak. CPA, yang telah bersedia menyampaikan sepatah dua kata sebagai pengantar dalam buku ini.
Karena buku ini berkaitan erat dengan disertasi penulis, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga disampaikan kepada Yang Terhormat Bapak Prof. Dr. Thoby Mutis, sebagai Ketua Tim Penguji; Bapak Prof. Dr. Sofyan Syafri Harahap, MSAc. (almarhum), se­bagai Promotor; Bapak Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA., dan Bapak Dr. Subarjo Joyosumarto, masing-masing sebagai Co-Promotor—yang telah juga membimbing penulis sehingga disertasi tersebut dapat disele- saikan dengan baik, serta para anggota Dewan Penguji: Bapak Prof. Dr. Yuswar Z. Basri Ak. MBA., Bapak Prof. Dr. Itjang D. Gunawan, Ak. MBA., Ibu Prof. Dr. Farida Jasfar, ME., Bapak Prof. Dr. Wahyudi Wisaksono, Bapak Prof. Dr. Zulkifli Husin, Bapak Prof. Dr. Wan Usman, Bapak Prof. Dr. Asep Hermawan, dan Bapak Dr. Mustafa Edwin Nasution.
Dalam kaitan dengan penelitian yang dilakukan, penulis secara tulus perlu mengungkapkan bahwa kontribusi yang paling mendasar berasal dari para responden, yang telah menjawab kuesioner dengan sempurna, sehing- ga penelitian tersebut dapat disimpulkan dengan sangat baik. Untuk itu, penulis sangat berterima kasih kepada seluruh pihak bank yang telah mem- bantu, terutama Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, dan Agro Bank.
Dalam kesempatan ini pula, penulis berkeinginan mengemukakan kenangan yang tidak akan pernah terlupakan. Prof. Sofyan Syafri Hara- hap (almarhum), ketika berada dalam keadaan sakit yang berat, beliau masih menyempatkan dan menguatkan diri untuk memimpin ujian ter- buka mengenai disertasi tersebut; dan kemudian juga, memimpin sidang terbuka untuk Dr. Tatik Maryanti, Msi., dan Dr. Bambang Budhijana, da- lam tiga hari berturut-turut. Tidak lama setelah itu, Prof. Sofyan dipang- gil oleh Yang Mahakuasa untuk menghadap ke haribaan-Nya.
Penulis mohonkan kepada Allah Swt., agar Prof. Sofyan selalu dibe- rikan tempat yang nyaman di sisi Allah Swt.. Amin yd rabbal dlamin. Dalam hidupnya, beliau adalah hamba Allah Swt., yang selalu berjuang di jalan Allah Swt., dan selalu mengembangkan kalam Allah Swt. Beliau adalah hamba Allah Swt. yang pertama mengembangkan Islamic Econo­mics and Finance (IEF), Universitas Trisakti.
Sebagai suatu institusi yang didirikan khusus untuk mengembangkan Ekonomi dan Pembiayaan Islam, IEF Trisaksi merupakan forerunner di bidang tersebut di Indonesia. Alhamdulilldh, penulis adalah lulusan ke- dua dari institusi ini, setelah Dr. Lubna Sarwath, Ph.D. dari India.
Penulis juga menghaturkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Prof. Dr. Masudul Alam Choudhury, yang mengenalkan dan mengajarkan kami mengenai prinsip Ketauhidan melalui TSR dan IIE Process yang dikembangkannya. Menurut Prof. Sofyan (almarhum), Prof. Masudul adalah forerunner di bidang metodologi TSR ini. Ilmu yang dibe- rikannya merupakan awal dan petunjuk yang terang dari segi pendekatan ilmiah terhadap Ilmu Tuhan, yang telah mengantarkan penulis untuk terus mempelajari ayat-ayat Al-Quran. Untuk itu, penulis sangat berterima kasih kepada Ustadz Sudjadi, yang membimbing kami mulai dengan membaca Al-Quran bahkan dari alif ba ta, sampai belajar tafsirnya ayat demi ayat.
Terima kasih yang dalam juga kami sampaikan kepada Dr. Peter Ver- hezen, yang menyebutkan dirinya "I am a crazy philosopher." Intinya, ia mengatakan bahwa dalam kesehariannya, untuk setiap langkah yang akan dijalaninya, Peter, sahabat kami yang langka dan sejati ini, selalu berpikir dengan mempraktikkan filsafat yang dipahami dan kompas moral yang dipakainya. Dia memang seorang akademisi tulen, sekaligus seorang mo- ralis sejati, dan mengajarkan perbedaan antara "Gift and Bribe" dimulai melalui disertasinya. Perbedaan makna kedua kata ini sangat perlu untuk dimengerti oleh masyarakat, terutama di lingkungan pemerintahan, di Indonesia, sehingga pemberian yang benuansa suap dapat dihindarkan. Peter, yang pertama kali, menjelaskan kepada kami filsafat dari Aristotles, Socrates, Plato, dan Kant serta lainnya. Karena Peter belajar bahasa latin, beliau pula yang menguraikan arti kata-kata latin, seperti eudaimonia, oikonomia, arete, dan daimon. Bagi kami, tanpa bantuan Peter, kata-kata tersebut tidak mudah untuk dipahami hanya dengan membaca buku.
Last but not least, rasa terima kasih dan penghargaan penulis sam- paikan pula kepada istri, Fenny Herijanto, dan anak-anak: dr. Vanda El- fira, M. Fauzan Ferdiansyah SE., dan M. Faldy Rachmadsyah UP, serta adik-adik: Sukma Jaya, SH., Sultia Mardini, SH., termasuk sepupu, Dewi Reni SE. AK, M.Si., atas dukungan moral dan materialnya. Penulis pan- jatkan pula doa kepada Allah Swt. bagi kedua orangtua dan adik kami ter- cinta yang telah mendahului kami, agar mereka selalu mendapat tempat yang baik di sisi Allah Swt. Adalah berkat jerih payah, pengorbanan, dan doa mereka semasa hidup, sehingga penulis sampai ke titik pendidikan yang tinggi. Tanpa semua itu, mustahil penulis dapat mencapainya.
Akhirul kaldm, penulis sekali lagi sangat bersyukur dan berterima kasih setulus-tulusnya ke semua pihak, termasuk pihak penerbit, Mizan, dan yang dapat atau tidak dapat kami sebutkan satu per satu, atas pe- ngertian dan dukungan moralnya, sehingga hasil karya ini dapat diterima di lingkungan akademis, dan dihadirkan ke hadapan para pembaca yang budiman sekalian. Kami berdoa ke hadirat Allah Swt., Penguasa sekalian alam, dan shalawat kami sampaikan pula kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Saw., agar semua pihak tersebut selalu diberikan hidayah dan karunia-Nya yang setimpal. Amin yd rabbal'dlamin.






Bank Syariah dan Tantangan Perbankan Masa Depan
B
ANK syariah awalnya dipandang sebelah mata, bahkan dianggap sebagai impossible bank yang tidak mungkin bisa dijalankan, yakni sebuah lembaga keuangan tanpa bunga. Bunga, yang selama ini dianggap sebagai penopang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa, harus dihilang- kan dalam penerapan sistem bank syariah.
Setelah melalui serangkaian pengkajian, bank syariah secara resmi diperkenalkan kepada masyarakat pada 1992, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. UU ini memberi- kan peluang seluas-luasnya untuk pembukaan bank-bank yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil/syariah.
Namun, perkembangan perbankan syariah tidak langsung menggembi- rakan, baik jaringan maupun volume usaha, dibandingkan dengan pertum- buhan bank konvensional. Hingga pertengahan 1999, hanya ada satu bank umum syariah dan 78 bank perkreditan syariah, sedangkan populasi bank konvensional sejumlah 206 bank umum dan 2.231 bank perkreditan rakyat.
Karena itu, pemerintah terus mendorong perkembangan bank syari- ah di Indonesia. Upaya ini dilaksanakan dengan memperhatikan bahwa sebagian masyarakat Muslim Indonesia sangat menantikan suatu sistem perbankan syariah yang sehat dan tepercaya untuk mengakomodasi ke- butuhan mereka terhadap layanan jasa perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah.
Dengan diberlakukannya UU 10/1998, perbankan syariah mendapat kesempatan yang lebih luas untuk menyelenggarakan kegiatan usaha- nya, termasuk pemberian kesempatan kepada bank umum konvensio- nal untuk membuka kantor cabang yang khusus melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Pemberian kesempatan pembukaan kantor cabang syariah ini merupakan upaya meningkatkan jaringan perbankan syariah yang tentunya akan dilakukan bersamaan dengan upaya pember- dayaan perbankan syariah. Upaya tersebut diharapkan akan mendorong perluasan jaringan kantor, pengembangan pasar uang antarbank syariah, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan kinerja bank syariah, yang intinya akan menunjang pembentukan landasan perekonomian rak- yat yang lebih kuat dan tangguh.
Pada 2007, baru 1,71 juta dari total 176,88 juta warga Muslim di In­donesia yang menggunakan bank syariah dalam bertransaksi dan inves- tasi. Sebagian besar masih menggunakan bank konvensional. Itu berarti hanya sekitar satu persen dari total warga Muslim di negeri ini.
Lalu, dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang terbit pada 16 Juli 2008, pengembang- an industri perbankan syariah nasional makin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65 persen per tahun dalam lima tahun terakhir, diharapkan peran industri perbankan syariah dalam men- dukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.
Sejumlah kalangan percaya bahwa bank syariah Indonesia akan terus tumbuh seiring dengan kian ramahnya perekonomian Indonesia untuk investasi. Mengutip Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, aset perbankan syariah naik 35,55 persen pada triwulan IV 2011 dengan nilai Rp 135,9 triliun. Itu berarti, aset perbankan syariah mencapai 3,9 persen dari total aset perbankan nasional. Sebelumnya, BI menargetkan aset per- bankan syariah Indonesia mencapai Rp 200 triliun hingga akhir 2012.
Wakil Presiden Boediono pun mengatakan posisi nilai aset perbank- an syariah Indonesia per akhir tahun 2011 menduduki peringkat keempat terbesar di dunia setelah Iran, Malaysia, dan Arab Saudi. Menurut Wa- pres, pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia (40 persen) juga lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan bank syariah di dunia (10-15 persen).
BANK SYARIAH DAN TANTANGAN PERBANKAN MASA DEPAN < xvii
Berkaitan dengan perkembangan bank syariah seperti diuraikan di atas, dan dengan perkembangan bank secara umum, paling tidak ada lima tantangan yang perlu menjadi perhatian ekstra para pelaku perbankan nasional pada abad ke-21 ini.
Pertama, bankir perlu ekstra hati-hati mengelola bisnis yang penuh risiko. Bisnis bank memang menjanjikan tingkat keuntungan tinggi, tapi profitabilitas ini juga dibarengi dengan risiko tinggi. Kegagalan dalam mengelola aktiva, khususnya dalam menyalurkan kredit, akan membuat bank seperti menderita sakit kanker, kolaps secara perlahan-lahan.
Kedua, bankir perlu bekerja ekstra untuk melaksanakan good cor­porate governance (GCG). Untuk dapat menangkap peluang perubahan eksternal yang cepat, sekaligus mengakomodasi manajemen risiko, bank butuh melaksanakan GCG. GCG didefinisikan sebagai suatu sistem, pro­ses, dan seperangkat peraturan mengenai hubungan antara beberapa pihak (stakeholder), yaitu pemegang saham, direksi, dan komisaris. GCG bertujuan untuk mencegah terjadinya kesalahan fatal dan memastikan jika terjadi kesalahan dapat diperbaiki dengan segera.
Ketiga, bankir perlu mengantisipasi pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC) 2015. AEC akan mengakibatkan terjadinya arus bebas barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja di antara 10 negara ASEAN. Guna mengantisipasi AEC, pela- tihan yang komprehensif bagi SDM perbankan perlu terus-menerus dila- kukan dalam rangka menyiapkan bankir yang andal dan kompetitif, agar nantinya dapat bersaing dengan para bankir dari negara lain di ASEAN ketika AEC terbentuk.
Keempat, bankir perlu menangkap peluang berbisnis dalam dual banking system. Seperti diketahui, perbankan Indonesia berjalan dengan dua sistem, yaitu konvensional dan syariah. Sebagai negara dengan jum- lah penduduk Muslim terbesar di dunia, peluang pengembangan keuang- an syariah di Tanah Air sangat terbuka, bahkan menjadi pusat ekonomi syariah di Asia dan Dunia. Namun, potensi besar perbankan syariah na- sional menghadapi tantangan yang tidak ringan. Sebab, seiring dengan perkembangan pesat perbankan syariah, dibutuhkan pasokan sumber daya insani (SDI) yang sebanding. Hingga tahun 2015, dengan asumsi pertumbuhan perbankan syariah 25 persen per tahun, diperkirakan kebu- tuhan SDI perbankan syariah adalah 60 ribu orang.


Kelima, bankir perlu memahami sistem pengawasan bank. Secara umum kebijakan pengawasan bank dapat dibagi dua, yaitu micro pruden­tial dan macro prudential. Micro prudential merupakan penilaian atas tingkat kesehatan dari sebuah individu bank. Dalam hal ini, kondisi kese- hatan individu bank menjadi tanggung jawab manajemen bank yang ber- sangkutan. Adapun macro prudential merupakan penilaian atas tingkat kesehatan sistem perbankan secara keseluruhan, yang dinilai berdasar- kan dampak sistemik. Dalam hal ini, kondisi kesehatan makro perbankan
menjadi tanggung jawab Bank Indonesia.
***
Buku Selamatkan Perbankan! sangat relevan dengan uraian di atas. Buku ini memaparkan sejumlah faktor yang menyebabkan timbulnya non performing loan (NPL) pada bank konvensional dan non performing fi­nancing (NPF) pada bank syariah.
Seperti akan dibahas dalam buku ini, prinsip kehati-hatian (pruden­tial) dan tata kelola yang baik (good corporate governance) sangat me- nentukan apakah suatu kredit atau pinjaman akan mengalami masalah atau tidak.
Patut dicatat, meskipun bank syariah di negeri ini baru berumur sekitar 20 tahun, faktor-faktor mikro manajemen internal bank-bank syariah lebih baik dibandingkan dengan faktor-faktor mikro manajemen internal bank-bank konvensional, yang berimplikasi pada kecilnya pin- jaman bermasalah pada bank syariah dibanding kredit macet pada bank konvensional.
Kesimpulan dalam buku ini jelas membuka peluang yang lebih luas bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia, sekaligus memper- baiki kinerja bank konvensional.[]
Jakarta, 11 Juli 2012
Direktur Utama LPPI, Komisaris Independen BTN sejak 2008, Mantan Deputi Gubernur BI 1998-2000




Solusi untuk Menyehatkan Bank
B
ANK konvensional, baik bank swasta maupun bank pemerintah, baik bank dalam negeri maupun bank luar negeri, kerap menghadapi ma- salah besar. Salah satunya adalah kredit macet atau non performing loan (NPL). Perkembangan perbankan di dunia sudah mencatat banyaknya bank yang kolaps karena NPL.
Salah satu contoh bank yang kolaps adalah Bank Indover. Bank ini sudah cukup tua karena memperoleh lisensi bank dari Belanda pada 1965. Pada pertengahan 1990-an, Indover tumbuh pesat. Namun, ketika krisis melanda wilayah Asia, termasuk Indonesia, pada 1997, Indover dilanda kre- dit macet. Pada 1 Desember 2008, Bank Indover pun dinyatakan bangkrut.
Pada 2002, Bank Indonesia melakukan pengawasan intensif terha- dap Bank IFI karena NPL bank ini di atas lima persen. Kredit bermasalah Bank IFI melonjak dan rasio modalnya jeblok. NPL Bank IFI melonjak menjadi 24 persen, sedangkan rasio modalnya di bawah 8 persen. BI pun memasukkan Bank IFI dalam pengawasan khusus. Pada 17 April 2009, BI mengumumkan pencabutan izin Bank IFI.
Kasus kolapsnya bank yang lebih menghebohkan menimpa Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Summa. Bapindo mulai menjadi berita ketika pada 1986 dikabarkan bahwa bank ini menghadapi masalah berat akibat NPL. Sebagian besar nasabahnya tidak mampu lagi mengembalikan pinjaman. Dan tentu saja, kasus kredit macet paling
menghebohkan terjadi ketika bank ini memberikan kredit "wah" kepada Eddy Tansil, yang sampai saat ini menghilang setelah merampok kredit triliunan rupiah itu.
Kasus Bank Summa juga sempat menjadi berita utama di media mas- sa. Bank ini bangkrut karena kredit yang diberikan kepada perusahaan satu kelompoknya macet. Meski dilakukan berbagai upaya penyelamatan, bank ini tetap saja terpuruk dan akhirnya dilikuidasi pemerintah pada 1992.
Bank Century lain lagi. Bank ini kabarnya runtuh karena dirampok oleh pemiliknya sendiri. Namun kasus yang sebenarnya, terutama yang menyangkut kucuran enam triliun lebih oleh pemerintah, masih misteri. Meskipun semata-mata bukan karena NPL, runtuhnya bank ini jelas ter- jadi antara lain karena kurangnya tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Tata kelola perusahaan yang baik sendiri hanyalah salah satu faktor yang menentukan apakah sebuah perusahaan, dalam hal ini bank, akan tumbuh dengan sehat atau keropos dan kemudian bangkrut. Banyak fak- tor lain yang menentukan sehat-tidaknya bank. Dalam buku Selamatkan Perbankan! ini, disebutkan ada sebelas faktor, termasuk di antaranya integritas, profesionalisme, kadar spiritualitas, dan kepemimpinan ber- moral. Semuanya diuraikan dengan paparan yang argumentatif, disertai latar belakang teori dan pendapat para ahli.
Buku ini kemudian membandingkan sebelas faktor itu pada bank konvensional dan bank syariah. Dan hasilnya sangat menarik. Bank sya- riah (dan unit-unit usaha syariah), yang didirikan dengan dasar hukum Islam, dianggap lebih sehat daripada bank konvensional.
Prof. Dr. Yuswar Z. Basri, AK, MBA,
Wakil Rektor I Universitas Trisakti
Mengapa bisa begitu, buku Selamatkan Perbankan! memberikan pemaparan yang mendalam untuk pembaca, dan terutama memberikan solusi bagi pengelola bank guna menghindarkan masalah kredit macet, yang umumnya menyebabkan kegagalan bank.
Jakarta, 2 Oktober 2012







Bank Syariah: Lokomotif Financial Inclusion
D
I TENGAH badai krisis global yang melanda dunia (1998, 2008, dan krisis Eropa 2011), industri perbankan syariah di Indonesia justru mengalami perkembangan yang sangat signifikan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini tercermin dari pertumbuhan aset, peningkatan pembiayaan, dan ekspansi pelayanan (jaringan kantor yang semakin me- luas menjangkau 33 provinsi di Indonesia).
Makin meluasnya jangkauan perbankan syariah menunjukkan peran perbankan syariah makin besar untuk pembangunan ekonomi rakyat di negeri ini. Kita punya obsesi, perbankan syariah akan tampil sebagai gar- da terdepan atau lokomotif terwujudnya financial inclusion. Ini pula yang menjadi misi dasar dan utama syariah, yakni pengentasan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Optimisme ini dibangun berlandaskan beberapa faktor. Pertama, bank syariah lebih dekat dengan sektor riil karena produk yang ditawar- kan, khususnya dalam pembiayaan, senantiasa menggunakan underlying transaksi di sektor riil, sehingga dampaknya lebih nyata dalam mendo- rong pertumbuhan ekonomi. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar), sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari direct hit krisis keuangan global. Secara makro, perbankan syariah dapat memberikan daya dukung terhadap ter- ciptanya stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan sya­riah akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak, baik bagi pemilik dana selaku deposan, pengusaha selaku debitor maupun pihak bank selaku pengelola dana.
Semoga, terbitnya buku Selamatkan Perbankan! ini kian menambah kegairahan untuk meningkatkan kinerja perbankan syariah, demi kema- juan dan kesejahteraan ekonomi rakyat.
Jakarta, 7 Januari 2013
Wakil Rektor II Universitas Trisakti





G
lobal Islamic Financial Report (GIFR) tahun 2011 mencatat, Indo­nesia menduduki peringkat keempat negara yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah setelah Iran, Malaysia dan Arab Saudi. Dengan tingkat pertumbuhan yang sangat pesat (40,2 persen dari tahun 2007-2011), bahkan lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan aset perbankan secara keseluruhan (hanya sebesar 16,7 persen), maka Indonesia diproyeksikan akan menduduki peringkat pertama dalam beberapa tahun ke depan. Optimisme ini sejalan dengan laju ekspansi kelembagaan, ditambah volume penerbitan sukuk yang terus meningkat. Itu artinya, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah.
Hingga Februari 2012, industri perbankan syariah telah mempunyai jaringan sebanyak 11 Bank Umum Syariah (BUS), 24 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 155 BPRS dengan total jaringan kantor mencapai 2.380 kantor yang tersebar hampir di seluruh penjuru Nusantara. Total aset perbankan syariah mencapai Rp 149, 3 triliun (BUS dan UUS Rp 145,6 triliun dan BPRS Rp 3,7 triliun) atau tumbuh sebesar 51,1 persen dari posisi tahun sebelumnya. Layak kalau kemudian industri perbankan syariah dijuluki sebagai "the fastest growing industry".
Menurut Dr. Halim Alamsyah, Deputi Gubernur Bank Indonesia, In­donesia setidaknya memiliki empat potensi untuk menjadi global player keuangan syariah. Pertama, jumlah penduduk Muslim yang besar. Kedua, prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi ysng relatif tinggi (kisaran 6 sampai 6,5 persen) yang ditopang oleh funda­mental ekonomi yang solid. Ketiga, peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat in­vestor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah. Keempat, memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi keuangan syariah.
Sejalan dengan kemajuan yang pesat ini, maka tentunya sosialisasi atas Pedoman Standar Akuntansi Keuangan Syariah (PSAK) perlu diting- katkan, sehingga masyarakat stakeholder dapat memahami arti penting- nya akuntansi syariah dibandingkan dengan akuntansi keuangan yang berlaku secara umum.
Terbitnya buku Selamatkan Perbankan! ini, tak pelak, semakin me- nyadarkan kita, betapa besarnya potensi sektor perbankan syariah untuk dikembangkan di Indonesia, demi pertumbuhan ekonomi masyarakat yang sehat dan berkah. Mudah-mudahan, spirit yang dibawa buku ini turut mendorong Indonesia menjadi yang paling utama dalam industri keuangan syariah. Amin.
Jakarta, 7 Januari 2013
Akuntan Publik/Konsultan Pajak/ Konsultan Keuangan, Lektor Kepala IV/b, Dosen Kopertis yang diperbantukan pada FE Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)




AAOIFI. Singkatan dari the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions, institusi yang mengeluarkan kebijak- an auditing dan akuntansi bagi lembaga keuangan Islam.
Account Officer (Financing Officer). Pejabat bank yang bertugas memproses permohonan dan memperoleh persetujuan internal bank untuk pemberian pinjaman/pembiayaan kepada calon nasabah dan menangani hubungan bank dengan nasabah itu sampai pinjaman di- lunasi atau pembiayaan selesai.
Asset Conversion Cycle. Siklus perubahan aset, yang dimulai dari kas, utang dagang, biaya terutang, sampai pada penciptaan piutang dan pembayarannya dan kembali pada kas, merupakan alat bantu untuk menganalisis setiap perubahan dalam proses produksi hingga penju- alan, dalam arti risiko yang dapat terjadi yang membuat siklus tidak dapat kembali pada kas.
Asymmetric Expectation. Harapan yang berbeda dari dua pihak yang berbeda dalam suatu transaksi yang sama.
Asymmetric Information. Informasi yang berbeda yang dimiliki dua pihak yang berbeda dalam suatu kontrak atau transaksi yang sama.
Adverse Selection. Salah pilih. Keadaan ini timbul karena adanya asymmetric information, yakni calon debitor yang berisiko tinggi


adalah yang paling aktif mencari pinjaman, sehingga debitor inilah yang berkemungkinan besar disetujui.
Bubble. Gelembung. Asset price bubble, gelembung harga aset. Suatu situasi ketika harga suatu macam aset, misalnya real estat atau pro- perti, mengalami kenaikan yang terus-menerus pada suatu saat, tapi kenaikan harga ini terjadi bukan karena faktor-faktor fundamental aset, melainkan karena tersedianya kredit untuk membiayai pembe- lian aset tersebut.
Credit Crunch. Menurunnya tingkat penawaran pemberian kredit bank karena sikap bank yang membatasi diri untuk memberikan kredit walaupun calon debitor bersedia membayar tingkat bunga yang lebih tinggi.
Credit (Financing) Culture. Budaya kredit/pembiayaan. Nilai-nilai yang dianut sebagai filosofi dan strategi dalam melakukan pemberian dan menangani persoalan yang berkaitan dengan pinjaman/pembia- yaan, untuk mencapai tujuan, khususnya dalam keseimbangan anta- ra keuntungan yang diinginkan dan risiko yang dapat diterima.
Credit Rationing. Sikap bank dalam usaha membatasi pemberian kre- dit dengan cara menurunkan jumlah fasilitas kredit yang dapat dibe- rikan, menaikkan tingkat bunga, memperberat syarat-syarat kredit, atau meminta jaminan yang lebih besar.
Duty of Loyalty. Salah satu syarat bagi direksi korporasi dalam mela­kukan tugas amanah (fiduciary duty) untuk menjalankan tugas kese- tiaan atau loyalitas terhadap (kepentingan) korporasi.
Fiduciary Duty. Tugas amanah atau kepercayaan dalam hubungan hukum dari dan untuk beneficiary (pihak yang mengambil manfaat), dalam hal ini korporasi, yang harus dilakukan oleh trustee (pihak yang dipercaya), dalam hal ini direksi korporasi, untuk menjalankan usaha atau mengelola aset/harta beneficiary sebaik mungkin, penuh tang­gung jawab dan secara adil, serta dengan itikad baik.
Forbearance Policy. Kebijakan untuk menunda, mengangkat, atau menangani masalah dalam suatu bank atau lembaga keuangan atau perbankan, dengan harapan ada keuntungan yang dapat diperoleh dalam kurun waktu yang berjalan, dan masalah tersebut akan dapat terselesaikan.
Franchise Value (of Bank). Perkiraan aliran keuntungan yang dapat diharapkan di masa depan dari perbankan dan dipelihara dengan praktik-praktik manajemen yang sehat.
Gambling for Resurrection Hypothesis. Suatu hipotesis yang me- ngatakan bahwa masalah yang dihadapi akan dapat terselesaikan dengan berjalannya waktu dan diharapkan keadaan akan membaik, sehingga membantu memecahkan masalah tersebut.
Gharal. Sesuatu yang bersifat tidak jelas, atau tersembunyi, informasi yang tidak terungkapkan, kabur atau ambigu, tidak pasti, misrepre- sentasi, risiko yang berlebihan dan tidak wajar, yang mengakibatkan konsekuensi yang tidak pasti dan merugikan bagi salah satu pihak dalam suatu transaksi.
Good Corporate Governance. Dalam bahasa Indonesia berarti tata ke- lola perusahaan, yang pada intinya memiliki pengertian bagaimana per- usahaan dikendalikan dan kewenangan didistribusikan dalam perusaha- an yang disertai dengan akuntabilitas, transparansi, dan integritas.
Hadis/Sunnah Nabi Saw. Hal-hal yang dicontohkan oleh Nabi Mu­hammad Saw., baik ucapan maupun tindakan, yang pernah beliau lakukan dan dicatat oleh para sahabat atau keluarga atau kerabat terdekat Nabi Saw.
Hard (Soft) Budget Constraint. Suatu prinsip atau disiplin keuangan dalam ekonomi mikro bagi suatu organisasi yang harus mengeluar- kan pembelanjaan sesuai dengan pendapatan yang dapat dihasilkan- nya (hard); tetapi jika pembelanjaan itu lebih besar dari pendapatan- nya, organisasi itu akan berhenti beroperasi, kecuali kalau ada pihak lain yang membantunya (soft).
Hard/Soft Information. Pengertian pertama adalah informasi yang bersifat kuantitatif dan/atau tertulis sehingga dapat dipindahtangan- kan tanpa adanya distorsi yang serius dalam perpindahannya, se- dangkan yang kedua bersifat sebaliknya atau bersifat kualitatif dan/ atau tidak tertulis sehingga berkemungkinan terjadi distorsi yang tidak dapat diperkirakan dalam perpindahannya.
Herd Behavior. Suatu sikap di mana pengambilan keputusan dipenga- ruhi secara signifikan oleh tindakan atau keputusan yang diambil oleh orang atau organisasi lain.
Informationally Opaque. Informasi yang diperlukan mengenai suatu objek tidak tersedia secara memadai, sehingga sulit untuk mengam- bil keputusan yang berkaitan dengan objek yang dimaksud.
Ijarah. Akad sewa-menyewa antara pemilik objek sewa termasuk kepe- milikan terhadap hak pakai atas objek sewa dan penyewa untuk men- dapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya.
Ijarah Muntahiya bit Tamlik. Akad sewa-menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakannya, dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa baik dengan jual-beli maupun pemberian atau hibah pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa.
Inside (Outside) Collateral. Pengertian pertama merupakan jaminan atau kolateral yang sekaligus merupakan objek yang dibiayai oleh pinjaman yang diberikan, sedangkan yang kedua berada di luar atau bukan bagian dari objek yang dibiayai.
Irrational Exuberance. Semangat yang tidak rasional, sehingga per- timbangan dalam pengambilan keputusan menjadi tidak mendasar atau salah.
Istishna. Jual-beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan spesifikasi barang dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
Kegagalan Bank (Bank Failure). Bank tidak dapat memenuhi ke- wajibannya. Kunt (1991) membedakan beberapa macam insolvensi (kegagalan) bank, yaitu 1). Insolvensi (kegagalan) de facto terjadi ketika institusi tidak lagi dapat memenuhi kewajiban kontraktualnya dari sumber dayanya sendiri; dan merupakan akibat dari nilai pasar kewajiban nonekuitas melebihi nilai pasar aset yang dimiliki, atau nilai pasar perusahaannya membuat ekuitas menjadi negatif, 2). In­solvensi (kegagalan) de jure terjadi ketika insolvensi nilai pasar se­cara resmi diakui dan institusinya ditutup atau dilebur secara paksa, 3). Kegagalan de facto dapat didefinisikan lebih luas dibandingkan dengan penutupan seperti penghentian operasi yang diarahkan oleh regulator.
Krisis Keuangan (Financial Crisis). Perusakan yang bersifat non- linier terhadap pasar keuangan di mana masalah moral hazard dan adverse selection terjadi lebih parah, sehingga pasar keuangan tidak dapat secara efisien menyalurkan dana kepada pihak yang memiliki kesempatan investasi yang paling produktif.
Krisis Perbankan (Banking Crisis). Suatu periode ketika sebagian besar atau sebagian tetapi signifikan dari sistem perbankan menjadi tidak likuid atau insolven (sistemik).
Krisis Mata Uang (Currency Crisis). Terjadi karena adanya perge- rakan kurs mata uang yang mendadak dan perubahan yang tajam dalam capital inflow. Krisis yang menengah tidak melibatkan krisis
perbankan atau masalah utang korporasi, tetapi krisis yang berat akan mendorong salah satu atau keduanya.
Liberalisasi Keuangan/Perbankan. Meliputi perubahan-perubahan yang berlaku dan ditentukan oleh regulator atau yang berwenang, yang memberikan dampak bagi peningkatan likuiditas pada pasar keuangan, termasuk membuka saluran untuk capital account. Libe- ralisasi yang menimbulkan banyak masalah adalah apabila dilakukan tergesa-gesa tanpa persiapan yang matang.
Lending Boom. Peningkatan yang tajam dalam pemberian kredit, yang umumnya merupakan akibat dilakukannya liberalisasi keuangan di negara terkait, yang kemudian difasilitasi oleh masuknya modal dari luar negeri (capital inflow) yang besar dan pesat.
Leverage. Rasio (perbandingan) antara utang dan modal sendiri. Over Leverage: porsi utang jauh lebih tinggi daripada modal sendiri, sehingga memberikan beban bunga yang menyamai atau melebihi kemampuan pendapatan atau arus kas yang berasal dari usaha atau operasional utama.
PLS. Singkatan dari profit and loss sharing, yakni kesepakatan antar para mitra dalam berusaha bersama yang menentukan bahwa setiap keuntungan dan kerugian dibagi sesama mitra berdasarkan kesepa- katan tertentu atau kontribusi modal masing-masing.
Manajemen Internal. Para pengurus perusahaan atau bank, yang ter- diri atas para direksi dan pejabat senior yang membantu direksi da­lam menjalankan kebijakan direksi dan usaha perusahaan atau bank.
Manajemen Risiko. Manajemen risiko (risk management) merupakan pengertian yang dimaksudkan untuk mencegah dan memperkecil ancaman terhadap perusahaan dan menciptakan lingkungan atau ke- adaan yang dapat menghasilkan keputusan bisnis yang terbaik, atau dengan kata lain berusaha membuat keputusan dengan mengkaji dan menghindari keputusan yang membawa risiko dengan kerugian paling kecil dengan pendapatan yang lebih optimal. Jadi, manajemen risiko lebih kurang merupakan manajemen yang baik dengan akal sehat.
Moral Hazard. Istilah ini menjadi populer sejak terjadinya Krisis Asia 1997/1998, yang menunjuk pada keadaan yang mendorong terjadinya pemberian kredit yang sembrono. Sebagai suatu pengertian umum, moral hazard dapat dikatakan suatu keadaan ketika seseorang me- maksimumkan utilitas bagi dirinya sendiri dengan merugikan pihak lain, tanpa menanggung biaya marginal bagi dirinya.
Market Discipline (Disiplin Pasar). Pasar keuangan memberikan sinyal yang mengarahkan para debitor untuk bertingkah laku sesuai dengan tingkat solvabilitas; ini juga berarti mereka harus mengikuti kebijakan yang dapat melanggengkan solvabilitasnya.
Maysir. Judi, atau risiko yang berlebihan dan bersifat untung-untungan.
Mudharabah. Penanaman dana dari pemilik dana atau shahibul mal kepada pengelola dana atau mudharib untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi un- tung (profit sharing) atau bagi pendapatan (net revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah ditetapkan sebelumnya.
Mudharib. Salah satu pihak dalam akad mudharabah, yang berarti pengusaha atau pihak yang menjalankan usaha yang dibiayai oleh pemodal atau pemilik modal atau shahibul mal.
Murabahah. Jual-beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.
Musyarakah. Penanaman dana dari pemilik dana atau modal untuk mencampurkan dana atau modal mereka pada suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang telah dise- pakati sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana atau modal berdasarkan bagian dana atau modal masing-ma- sing.
Non Performing Loan (NPL). Istilah yang dipakai baik di Indonesia maupun di perbankan internasional, yang menunjukkan kredit telah bermasalah karena terjadi tunggakan bunga dan atau angsuran po- kok lebih dari 90 hari. Di Indonesia, NPL berarti seluruh kredit yang tergabung dalam tiga tingkat kolektibilitas, yaitu kurang lancar, dira- gukan, dan macet. Pada bank syariah, disebut non performing finan­cing (NPF), yang mengandung pengertian serupa.
Overoptimistic. Sikap optimisme yang berlebihan.
Pembiayaan. Istilah yang digunakan pada bank syariah, yang identik dengan pemberian pinjaman dalam bentuk uang pada bank konven- sional; bank syariah tidak memberikannya langsung dalam bentuk uang, tetapi digunakan untuk memperoleh barang atau jasa yang di- perlukan oleh nasabahnya.
Pembiayaan Mikro (Micro Finance). Kredit atau pembiayaan yang diberikan pada usaha perseorangan yang kurang mampu, dengan jumlah antara Rp 1 sampai Rp 50 juta.
Pengetahuan Perkreditan (Pembiayaan). Meliputi berbagai pe- ngetahuan dalam kaitannya dengan kegiatan pemberian kredit (atau pembiayaan) yang sehat dan merupakan suatu kesatuan. Pengetahu- an ini meliputi dan tidak terbatas pada hal-hal berikut: bagaimana membaca laporan keuangan, membuat proforma laporan dan pro- yeksi keuangan, melakukan analisis keuangan, menilai risiko, mema- hami usaha yang dijalankan calon debitor atau konsumen, mengerti macam-macam fasilitas kredit atau pembiayaan yang ditawarkan oleh bank, mampu membuat usulan atau proposal kredit atau pem- biayaan, mengerti kekuatan dan kelemahan setiap macam pengikat- an jaminan, mengerti bagaimana nasabah sebaiknya ditangani atau dimonitor, dapat menangani debitor atau konsumen yang mulai me- nunjukkan indikasi masalah bagi bank, dan sebagainya.
Perkreditan. Hal-hal yang berkaitan dengan pemberian kredit atau pin- jaman/pembiayaan, yang meliputi antara lain (tetapi tidak terbatas pada hal berikut): analisis kredit dan jaminan, kemampuan memba- yar kembali, jenis usaha dan risiko usaha yang dihadapi bank, jenis dan jumlah fasilitas yang dapat diberikan, masalah hukum yang ber- kaitan dengan keabsahan calon debitor/debitor sebagai peminjam, ketentuan dan persyaratan pemberian pinjaman/pembiayaan yang perlu ditetapkan, serta perjanjian kredit dan jaminan yang diperlu- kan.
Pinjaman pada Pihak Terkait (Connected Lending, Related Lending, Self Lending, atau Insider Lending). Istilah ini se- ring muncul di lingkungan perbankan, yang berarti pinjaman yang disetujui dan diberikan oleh manajemen suatu bank kepada pihak terkait dengan bank atau pengurus bank. Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia, pinjaman kepada pihak terkait meliputi pinjaman yang diberikan oleh bank kepada pihak pemilik bank, pengurus bank, dan pegawai bank, atau keluarganya sampai tingkat kedua. Istilah yang sama juga banyak dipakai di banyak negara, yang menggam- barkan pemberian pinjaman oleh bank kepada pihak direksi atau pe- milik bank, yang umumnya dan pada akhirnya merupakan pinjaman yang bermasalah dan tidak dapat terbayar.
Ponzi Finance. Suatu keadaan di mana pinjaman atau kredit atau pem- biayaan diberikan kepada debitor yang telah memiliki komitmen un- tuk membayar utang dan bunga di masa depan lebih besar dari arus pendapatan yang diharapkan. Dengan demikian, perbedaan antara komitmen dan arus pendapatan dipenuhi dengan tambahan pinjam- an. Kata ponzi berasal dari seorang bernama Charles Ponzi (1920), orang Italia yang tinggal di Amerika, yang ketika itu melakukan in- vestasi dengan menggunakan uang orang lain (investor), tetapi inves- tasi yang lebih awal dibayar dari dana investasi investor berikutnya.
Prudent, Prudential, Prudence. Menurut Black's Law Dictionary, prudence mencakup unsur attentiveness (tingkat perhatian) yang bersifat carefulness (kehati-hatian, hal-hal yang berkaitan dengan masa kini) dan precaution (berjaga-jaga, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan masa depan) dan good judgment (pertimbangan yang bijak) yang membentuk suatu degree of care (tingkat kepedulian) yang di- perlukan oleh suatu tindakan untuk mana keseluruhan unsur terse- but diterapkan.
Principal-Agent Problems. Masalah ini terjadi jika agen (atau yang melakukan pekerjaan) memiliki dorongan atau insentif yang berbeda dengan orang atau pihak yang memberikan pekerjaan (the principal atau majikan); agen bertindak atas kepentingan pribadinya, bukan untuk kepentingan majikannya.
Qardh. Pinjam-meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam untuk mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
Reflexivity. Suatu teori yang menggambarkan bahwa harga pasar tidak ditentukan oleh data/informasi fundamental seperti pendapatan, biaya, modal, dan sebagainya, tetapi lebih ditentukan oleh tingkah laku pasar dari para partisipan (fungsi partisipan) karena fungsi kog- nitif pasar (merupakan informasi atau data fundamental) tidak sama seperti fungsi partisipan sehingga terdapat kesempatan untuk mem- peroleh keuntungan.
Relationship Lending. Secara umum, merupakan suatu konsep yang dipraktikkan dan menggambarkan hubungan antara bank dan nasa- bahnya di luar dari meja konter bank, di mana bank dapat menggu- nakannya sebagai media untuk memperoleh lebih banyak informasi mengenai nasabah itu sendiri dan usahanya serta kemampuan ke- uangannya; tetapi secara khusus dapat berarti bank lebih mendasari pemberian pinjaman/pembiayaan karena hubungan baik itu.
Risiko Sistemik. Kemungkinan terjadinya keruntuhan kepercayaan yang biasanya mendadak, dan tidak diperkirakan sebelumnya terha- dap sebagian yang cukup besar dari sistem keuangan atau perbank- an, yang berpotensi untuk memberikan akibat yang besar terhadap ekonomi riil.
Risiko Bisnis Normal. (Sejumlah) risiko yang umumnya dapat diketa- hui atau diperkirakan terdapat pada suatu jenis bisnis atau usaha.
Risk Averse. Sifat yang cenderung untuk menghindari (pengambilan) risiko.
Risk Aggressive. Sifat yang lebih berani untuk mengambil risiko.
Salam. Jual-beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
Shahibul Mal. Salah satu pihak yang memberikan modal dalam usa- ha atau bisnis yang dijalankan oleh orang lain atau pengusaha atau mudharib.
Tingkat Kolektibilitas Kredit (Bank Konvensional). Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005, yang kemudian diubah me- lalui Peraturan Bank Indonesia No. 8/2/PBI/2006 menetapkan lima macam golongan kolektibilitas kredit, yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet.
Tingkat Kolektibilitas Pembiayaan (Bank Syariah). Pada prinsip- nya, ketentuan penetapan kolektibilitas untuk pembiayaan bank sya- riah sama seperti ketentuan kolektibilitas untuk bank konvensional, yaitu lancar, dalam perhatian khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet.
Too big to fail. Suatu anggapan bahwa bank yang besar tidak dapat dibiarkan untuk kolaps atau bangkrut karena akan berakibat buruk terhadap perekonomian, sehingga pihak pemerintah perlu untuk me- nyelamatkannya.
Universal Banking. Bank komersial yang dapat melakukan pembiaya- an ekuitas atau membeli saham perusahaan lain.






P
ERBANKAN di Indonesia sudah melewati rentang masa hampir dua ratus tahun. Tepatnya, bank pertama di negeri ini, yaitu De Javasche Bank, didirikan pada 24 Januari 1828 di Batavia, tentu saja oleh peme- rintah kolonial. Setelah itu, berdiri sejumlah bank lain, juga milik Belan- da, sebut saja misalnya De Post Poar Bank, Hulp en Spaar Bank, De Alge- menevolks Crediet Bank, dan Nederlansche Indische Handelsbank.
Dalam perkembangannya, berdiri pula bank-bank milik orang Indo­nesia dan orang-orang asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa, antara lain Bank Nasional Indonesia, Bank Abuan Saudagar, NV Bank Boemi, The Chartered Bank of India, Australia and China, The Yokohama Species Bank, dan The Bank of China.
Di zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia makin berkembang. Beberapa bank Belanda dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Bank- bank yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain Bank Negara In­donesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 (sekarang dikenal dengan BNI '46), Bank Rakyat Indonesia, yang didirikan tanggal 22 Februari 1946 (berasal dari De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko), Bank Surakarta, Bank Indonesia, dan lain-lain.
Pada 1960-an, sejumlah bank pemerintah juga berdiri, antara lain Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), Bank Pembangunan Daerah (BPD), dan Bank Tabungan Negara (BTN).
Bank-bank itu, dan sederet bank swasta nasional yang tumbuh bak jamur di musim hujan, khususnya pada era 1980-an, tentu saja sangat penting dalam pembangunan ekonomi negeri ini.
Boleh jadi, karena berurusan dengan uang, bank adalah lembaga yang selalu dikesankan lebih wah. Dibanding dengan bangunan-bangun- an lain di sekitarnya, gedung-gedung bank selalu tampil lebih mewah. Lihatlah gedung Bank Indonesia, Bank Mandiri, atau Bank Rakyat Indo­nesia dengan menara-menaranya yang megah.
Para pejabat dan karyawan perbankan pun selalu menempati stra­ta sosial-ekonomi yang tinggi. Para pejabat bank memperoleh gaji yang umumnya lebih tinggi daripada kebanyakan profesional lainnya. Lebih- lebih para pemilik bank—mereka dianggap sebagai para dewa ekonomi. Seorang dirut bank pemerintah kabarnya berpenghasilan sekitar setengah miliar rupiah dan memiliki kekayaan hampir seratus miliar rupiah, de- ngan rumah-rumah bak istana yang tersebar di kota-kota besar Indonesia dan di luar negeri.
Namun, di balik kemegahannya, dalam perjalanan sekitar 180 tahun, jagat perbankan tidak hanya membangun, tapi juga sempat meruntuhkan perekonomian negeri ini. Keruntuhan ekonomi Indonesia pada paruh kedua 1990-an, misalnya, tidak lepas dari runtuhnya sejumlah bank, ter- masuk bank besar—atau yang saat itu dianggap sebagai bank besar—baik bank pemerintah maupun swasta.
Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Summa adalah dua contoh yang bisa mewakili gambaran kisah gemilang bank yang ber- akhir tumbang.
Bapindo memang bukan bank terbesar. Namun, seperti umumnya gedung-gedung bank, gedung-gedung Bapindo adalah gedung mewah, baik di pusat maupun cabang-cabangnya—selalu lebih megah dibanding bangunan-bangunan lain di sekitarnya. Gedung Bapindo (dibangun pada 1952), kantor pusat bank ini, misalnya, dinding luarnya dilapisi dengan bata kerawang beragam hias motif geometris sehingga ruangan di dalam- nya tidak panas walaupun pada bagian dalamnya ditempatkan jendela kaca sepanjang muka bangunan. Elemen lain yang membuat bagian da- lam bangunan terasa sejuk adalah adanya lubang-lubang udara di antara atap yang bersusun dua. Bangunan yang berada paling depan merupakan bangunan satu lantai dengan atap perisai bersusun dua, makin ke bela- kang makin banyak jumlah lantainya. Bangunan ini menerima penghar- gaan sertifikat sadar pemugaran 1996.
Bapindo didirikan pada 1961, sebagai bank yang bertugas menjadi sumber pembelanjaan yang tetap bagi usaha pembangunan. Sumber pembelanjaan tetap itu diperlukan untuk menjamin terlaksananya usaha- usaha pembangunan. Sekitar seperempat abad, Bapindo berperan seper- ti itu dan tidak kelihatan ada masalah. Sejak awal 1960-an, pemerintah memang melarang pengumuman dan penerbitan angka-angka statistik moneter/perbankan. Karena itu, apa yang terjadi di dalam lembaga bank mana pun hampir tidak pernah diketahui publik.
Masalah yang menggerogoti Bapindo dari dalam mulai menyembul keluar ketika pada awal 1986, tatkala Subekti Ismaun dilantik menjadi direktur utama, muncul berita sumbang di media massa bahwa Bapindo menghadapi kesulitan sangat berat gara-gara sebagian besar nasabahnya tidak mampu lagi mengembalikan pinjaman. Dari jumlah kredit sebesar Rp 1.010 miliar, per Oktober 1985, yang terpengaruh tunggakan men- capai Rp 532,4 miliar, terutama dari para debitor di sektor maritim dan industri.
Dan pada 1994, kasus kredit macet terbesar terjadi di Bapindo. Su- bekti Ismaun, sang Dirut, beserta dua anggota direksi, memberikan kredit terbesar dalam sejarah perbankan di Indonesia senilai Rp 1,3 triliun ke- pada Golden Key Group milik Eddy Tansil. Pemberian kredit yang sangat tidak sehat dan bersifat koruptif itu tidak pernah terselesaikan, bahkan Eddy Tansil sendiri melarikan diri dan jejaknya tidak pernah terendus pihak berwajib. Dua pucuk pimpinan Bapindo, Subekti Ismaun dan Towil Heryoto, pun harus meringkuk di dalam bui.
Belakangan, bersama Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), dan Bank Expor Impor Indonesia (Bank Exim), Bapindo lebur menjadi Bank Mandiri.
Di antara runtuhnya bank-bank swasta, kasus Bank Summa adalah yang paling parah. Kasus bank ini menjadi contoh paling baik dari sisi bu- ruknya deregulasi perbankan tahun 1988 (Pakto 1988). Saat itu, industri perbankan menjamur, yang dibarengi penyaluran kredit dalam hitungan "raksasa". Banyak bank yang didirikan sengaja untuk membiayai kelom- pok usaha mereka sendiri. Puncak semua itu terjadi pada 1992, ketika meledak kasus kredit macet Bank Summa sejumlah Rp 1,4 triliun.
Kisahnya bermula ketika Edward Soeryadjaya, putra sulung Williem Soeryadjaya, pendiri Astra dan orang nomor dua terkaya di Indonesia saat itu (1992), berniat "menyalip" kehebatan sang Ayah di dunia bisnis. Namun, bukannya melalui tahap demi tahap, Edward menggunakan jalur cepat. Ia mulai dengan mendirikan Summa International Bank Ltd. tahun 1979 di Port Vila, Vanuatu, dengan modal US$ 25 juta. Setahun kemudian, Edward membidik Hong Kong, dan dari sana ia melanglang ke Jerman.
Tiga tahun kemudian, Edward berpatungan dengan pengusaha Hong Kong melebarkan sayapnya ke Indonesia, dengan mendirikan Summa In­ternational Finance Co. Ltd. (kemudian menjadi Indover Summa Finan­ce, usaha patungan dengan anak perusahaan Bank Indonesia, Indover). Bisnis Edward pun maju pesat. Ia memborong saham sejumlah perusa­haan besar, seperti Bank Asia, yang kemudian namanya menjadi Bank Summa. Selain itu, ia ikut memiliki Bandung Indah Plaza, Hotel Mirama (Surabaya), Hotel Sabang (Jakarta), dan berbagai macam bisnis properti dan keuangan. Edward juga dikenal "murah hati" karena memodali bisnis teman-temannya.
Dari mana dana Edward itu? Tak sulit ditebak: dari Bank Summa. Ba- nyaknya memang tidak diketahui pasti, tapi yang jelas saat itu diketahui aset Bank Summa mencapai Rp 1,2 triliun. Diperkirakan, karena proyek- proyek yang dibiayainya gagal, Bank Summa merugi Rp 591 miliar. Dari Rp 1,5 triliun total kredit yang disalurkan, Rp 1 triliun di antaranya macet.
Akibatnya pasti: bank ini kesulitan likuiditas. Tatkala pemerintah memberlakukan kebijakan uang ketat (1990), Bank Summa makin terce- kik. Tiga bulan kemudian dikabarkan Bank Summa benar-benar meng- alami krisis keuangan yang hanya bisa diatasi dengan suntikan dana segar yang besar. Tapi Williem Soeryadjaya, ayah Edward, tidak melakukannya. Dia mengirimkan pasukan penyelamat dari Astra, perusahaan miliknya. Konon sampai tiga kali ia gonta-ganti tim penyelamat, tapi Bank Summa tetap merana. Pada Juni 1992, Williem mengambil alih 100 persen saham Bank Summa.
Toh kesehatan Bank Summa tetap memburuk. Kewajibannya ditaksir mencapai Rp 1,7 triliun. Tak lama kemudian, Williem pun menjaminkan seratus juta lembar saham Astra Internasional senilai Rp 500 miliar ke- pada Bapindo, Bank Exim, dan Bank Danamon, untuk menyuntik Bank Summa. Jumlah itu masih ditambah Rp 380 miliar dari BDN dan Bank Universal. Kabarnya, Panin Bank juga menyuntikkan sekitar Rp 250 mili- ar, tapi pemilik Panin membantah kabar ini. Sebelum itu, Bank Indonesia juga sudah memberikan pinjaman discount window kepada Bank Summa sebesar Rp 200 miliar lewat Indover.
Tetap saja Bank Summa terpuruk. Williem terpaksa meminta jasa Mu'min Ali dari Bank Panin untuk memberikan konsultasi manajemen.
Tapi, sinyal dari pemerintah bahwa Bank Summa akan dilikuidasi makin jelas terdengar. Williem masih berupaya mempertahankan dengan segala cara, termasuk menghimpun dana dari aset-aset keluarga. Williem juga meneken kontrak penyelamatan dengan 30 pengusaha dari grup Prasetya Mulya. Toh dana raksasa itu tetap amblas mengingat banyaknya utang yang ditinggalkan Edward.
Vonis akhirnya jatuh pada 14 Desember 1992: Bank Summa dilikui- dasi pemerintah berdasarkan UU Perbankan 1992.
Bersama dengan Bapindo dan Bank Summa, pada 1990-an runtuh juga puluhan bank lain.
Keruntuhan banyak bank itu tentu membuat terperangah banyak orang. Bagaimana bisa terjadi kredit macet berjumlah triliunan rupiah? Bagaimana mungkin lembaga yang tampak begitu mentereng itu tidak lebih bangunan-bangunan keropos? Apa yang terjadi dengan bank-bank itu? Bagaimana pula jalan terbaik untuk menyelamatkannya?
Dan mengapa pula bank syariah (dan unit-unit usaha syariah), yang muncul jauh lebih belakangan dibanding bank konvensional, dianggap lebih sehat? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar