D
|
I
DUNIA perbankan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sering terjadi
kredit atau pinjaman yang diberikan oleh bank ternyata kemudian bermasalah, dalam arti
terjadi penundaan pembayaran (angsur- an), baik pokok pinjaman maupun bunga, oleh para debitor
melebihi 90 hari.
Di Indonesia, suatu kredit dinyatakan bermasalah, atau non performing loan (NPL)
untuk bank konvensional atau non performing
financing (NPF) untuk bank syariah jika seluruh
kredit tergabung dalam tiga tingkat kolektibilitas, yaitu (1) kurang lancar, (2) diragukan, dan
(3) macet.1
Banyak sekali faktor yang dapat berpengaruh terhadap
terjadinya NPL atau
NPF, baik ditinjau dari lingkungan eksternal, khususnya yang dapat memengaruhi para debitor,
maupun dari lingkungan internal bank sendiri. Namun, penelitian untuk buku ini tidak melakukan
analisis ter- hadap
faktor lingkungan eksternal. Penelitian dalam buku ini hanya difo- kuskan pada lingkungan internal
bank pemberi kredit.
Ditinjau dari lingkungan internal bank, faktor-faktor yang
diduga berpengaruh
terhadap terjadinya NPL dapat dimasukkan ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) Kualifikasi
individu ejabat perkreditan terkait, yang terdiri atas (a) kemampuan dan pengetahuan kredit, (b)
integritas dan profesionalisme,
(c) kadar spiritualitas; (2) Lingkungan institusi, yang terdiri atas (a) kepemimpinan
bermoral, (b) kultur perusahaan, (c) kebi- jakan disiplin anggaran, (d) sistem penghargaan dan hukuman;
dan (3)
Proses
dan pengawasan, yang terdiri atas (a) kultur kredit, (b) pengecekan reputasi,
(c) uji tuntas dan
kepedulian, dan (d) pengawasan kredit internal.
Mengingat buku ini berusaha untuk mene- mukan suatu model pengaruh
beberapa variabel di
lingkungan manajemen internal pada lembaga perbankan terhadap terjadinya NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank
syariah, me- tode
yang paling tepat untuk memenuhi maksud tersebut adalah metode survei. Metode ini ber- usaha menemukan pengaruh dan
model penga- ruh
beberapa hipotesis yang diajukan.
Berdasarkan konsep, teori, dan berbagai pandangan para ahli
menge- nai semua
variabel dependen dan independen tersebut, dibangun suatu konstruk dan indikator.
Kemudian indikator-indikator tersebut disusun menjadi butir-butir sebagai instrumen penelitian, yang
selanjutnya di- rumuskan
dalam bentuk kuesioner. Pertanyaan yang diajukan dirancang sedemikian rupa dengan
menekankan substansi yang penting dari setiap variabel, yang sekaligus mengurangi sensitivitas pertanyaan
itu sendiri bagi
responden, tetapi dapat mencapai jawaban yang diperlukan bagi setiap substansi. Jawaban yang
diterima akan dimuat dalam skala. Skala ini digunakan karena akan mengukur kelembagaan, pengetahuan,
ke- mampuan, proses
kegiatan, dan sejenis lainnya.2 Di samping itu, menurut Suharsimi Arikunto, skala ini
cukup memberikan informasi tertentu me- ngenai program atau orang, terutama di dalam menjalankan
tugas.
Semua kuesioner, baik untuk variabel bebas maupun variabel
terikat, dalam hal
ini NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah, menggunakan data skala
bertingkat (score rating scale) dengan skala Likert, dengan skor 5 untuk jawaban sangat setuju/sangat
sering/sangat positif,
skor 4 untuk jawaban setuju/sering/positif, skor 3 untuk jawaban ragu-ragu/kadang-kadang/netral,
skor 2 untuk jawaban kurang setuju/ hampir tidak pernah/negatif, dan skor 1 untuk jawaban tidak
setuju/tidak pernah/sangat
negatif.
Di dunia perbankan, baik di
dalam negeri maupun di luar negeri, sering terjadi kredit atau pinjaman yang diberikan
oleh bank ternyata kemudian bermasalah.
|
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa penelitian ini meng- gunakan pendekatan kuantitatif
dan bersifat hipotesis. Adapun metode yang digunakan adalah metode survei melalui uji perbedaan.
Penelitian ini juga
dilakukan guna mengetahui derajat perbedaan antara pengaruh
tiap variabel bebas, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, terhadap NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah.
tiap variabel bebas, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, terhadap NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah.
Berdasarkan aspek tingkat intervensi peneliti, penelitian ini
dilakukan dalam
lingkungan alami organisasi dengan intervensi minimum dari pene- liti dalam arus kerja yang
normal. Dilihat dari aspek situasi studi, penelitian ini termasuk dalam riset
lapangan (field research), karena studi dilaku- kan dengan menggunakan lingkungan alami, yang pekerjaannya
berproses secara
normal. Unit analisis penelitian bersifat individual, yaitu pejabat kredit dari bagian marketing,
manajemen risiko, dan bagian remedial, serta pejabat senior yang dapat memberikan jawaban terhadap
pertanya- an yang
berkaitan dengan variabel yang tidak langsung berkaitan dengan perkreditan. Pejabat senior
tersebut dapat pula diharapkan memberikan informasi mengenai NPL pada bank konvensional dan NPF pada
bank syariah, dan
yang diteliti di sini adalah impresi mengenai kedua hal ini. Penelitian ini termasuk studi cross-sectional (one shot)
karena data hanya sekali
dikumpulkan, yaitu dalam bentuk kuesioner mengenai persepsi para pejabat kredit tersebut
sehubungan dengan variabel yang diteliti.
Tujuan yang hendak dicapai secara khusus adalah ingin mengetahui perbedaan pengaruh setiap
variabel bebas—kemampuan dan pengetahu- an kredit petugas analis kredit; integritas dan
profesionalisme petugas analis kredit; kadar spiritual petugas analis kredit;
kepemimpinan bermoral; kultur perusahaan; kebijakan disiplin anggaran; sistem
penghargaan dan
hukuman; kultur kredit; pengecekan reputasi; uji tuntas dan kepedu- lian; dan pengawasan kredit
internal—serta sebelas variabel bebas itu se- cara bersama-sama, terhadap NPL pada bank konvensional dan
terhadap NPF pada
bank syariah.
Dengan
demikian, dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tujuan penelitian untuk buku ini
merupakan kajian tentang pengaruh beberapa faktor dalam manajemen internal perbankan terhadap NPL pada
lembaga perbankan
konvensional dan terhadap NPF pada perbankan syariah.
Instrumen
utama penelitian adalah kuesioner, dan bersifat langsung. Kuesioner dikirim terutama
kepada pihak yang berkaitan erat dengan masalah perkreditan murni, yaitu ke bagian kredit, marketing,
remedial, dan para
pejabat senior perkreditan atau pembiayaan dari bank masing- masing.
Seperti
telah diuraikan, jika prosedur pemberian kredit yang sehat dite- rapkan dengan saksama, dan
kredit tidak diberikan kepada pihak yang telah memiliki utang yang besar, NPL atau NPF tidak akan
terjadi segera setelah
pemberian kredit dilakukan. Kalaupun hal tersebut terjadi, dapat diperkirakan bahwa penyebabnya
adalah debitor mengalami musibah, atau ada risiko yang sebelumnya luput dari perhatian debitor
atau bahkan perhatian
bank. Kalau NPL atau NPF yang besar, atau berulang-ulang terjadi, tidak lama setelah
kredit diberikan, dapat dikatakan dan diduga bahwa proses pemberian kreditnya tidak dilakukan secara
saksama, atau terdapat
ketentuan yang dilanggar, atau prosedur pemberian kredit yang sehat diabaikan karena adanya
pengaruh atau motivasi lain.
Biasanya, jika hal tersebut terjadi, administrasi perkreditan
juga tidak ditata
dengan baik, dokumentasi kredit dan jaminan lemah, para pejabat kredit tidak mengikuti
perkembangan usaha dan pembayaran debitor dengan baik, account
officer atau pihak bank hampir tidak per- nah mengunjungi atau menemui
debitor setelah kredit diberikan di luar kunjungan untuk melakukan tindakan penagihan, pengawasan
perkredit- an
lemah, dan seterusnya. Jika bank memiliki NPL atau NPF yang besar, dapat diduga bahwa efisiensi
manajemen bank rendah, biaya operasional bank meningkat karena biaya penyelesaian kredit tinggi, dan
tingkat ke- untungan
bank menjadi tidak optimal.
Definisi Konseptual. NPL atau
NPF adalah istilah yang dipakai baik di Indonesia maupun di mancanegara untuk menunjukkan kredit
telah ber- masalah
karena terjadi tunggakan bunga dan/atau angsuran pokok lebih dari 90 hari. Khusus di Indonesia,
NPL berarti semua kredit yang tergabung dalam tiga tingkat kolektibilitas, yaitu kurang lancar,
diragukan, dan macet.
Definisi Operasional.
Berdasarkan definisi konsepsional tersebut, dapat disusun definisi operasional sebagai berikut: NPL atau NPF
adalah istilah yang
biasa digunakan oleh lembaga perbankan bagi kredit yang pembayarannya kembali baik
bunga maupun pokok pinjamannya kurang lancar, atau diragukan, atau macet.
NPL atau NPF diukur dengan membandingkan jumlah kredit yang memiliki tingkat kolektibilitas
3, 4, dan 5 dengan jumlah seluruh portofo- lio kredit yang dimiliki oleh masing-masing pada setiap akhir
tahun sela- ma
periode penelitian.
Instrumen variabel NPF pada bank syariah dan NPL pada bank
kon- vensional
sebelum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan dengan kisi-kisi sebagai berikut: 1. Proses
pemberian kredit memenuhi ketentuan dan kebijakan bank yang berlaku. 2.
Administrasi perkreditan dilakukan dengan saksama dan rapi. 3. Perhitungan cadangan dan penilaian
kolektibilitas setiap
debitor dilakukan secara objektif. 4. Keuntungan bank sudah diraih secara optimal. 5. Pengawas
bank merasa puas terhadap kinerja perkre- ditan bank yang diawasi.
Setelah
dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan tersebut, terdapat 18
butir pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya tidak
valid dan harus didrop. Terhadap ke- 18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji
realibilitas dengan hasil a sebesar 0,911, lebih tinggi daripada a sebelum uji
realibilitas se- besar
0,844. Dengan demikian, kedua puluh butir pertanyaan tersebut di samping valid juga reliabel,
sehingga dapat dijadikan sebagai instrumen penelitian.
Yang
dimaksud dengan variabel ini adalah pemahaman tentang pengeta- huan perkreditan dan keahlian
dalam melakukan proses pemilihan atau analisis kredit, yang dapat disetujui berdasarkan pertimbangan
perolehan keuntungan
dan risiko yang dapat diterima bagi bank dan sesuai dengan ketentuan perkreditan yang ada,
kemampuan untuk menetapkan struktur kredit yang sesuai dengan sifat pembiayaan, dan melakukan
pengikatan kredit
dan jaminan yang yuridis sempurna, mampu mengawasi penggu- naan kredit sesuai dengan
tujuan yang telah disetujui, dan melakukan pengawasan kredit yang telah diberikan serta melakukan tindak
lanjut yang
diperlukan agar kredit tidak berkembang menjadi lebih buruk.
Definisi Konseptual. Kemampuan
dan pengetahuan kredit meru- pakan pemahaman tentang pengetahuan perkreditan dan keahlian
dalam melakukan
proses pemilihan dan analisis kredit yang dapat disetujui ber- dasarkan pertimbangan perolehan
keuntungan dan risiko bagi bank se- suai dengan ketentuan yang ada, kemampuan untuk menetapkan
struktur kredit
yang sesuai dan melakukan pengikatan kredit dan jaminan yang yuridis sempurna, serta mampu
melakukan pengawasan kredit yang telah diberikan serta melakukan tindak lanjut yang diperlukan agar
kredit tidak berkembang
menjadi lebih buruk.
Definisi Operasional.
Berdasarkan definisi konseptual itu, dapat disusun definisi operasional bahwa kemampuan dan pengetahuan
kredit
adalah keahlian yang dimiliki oleh pejabat analis kredit dan pemutus kredit untuk menentukan apakah suatu permohonan kredit layak atau tidak untuk dikabulkan, dan mengawasi kredit yang diberikan sehingga dapat dilunasi. Instrumen pene- litian variabel kemampuan dan pengetahuan kre- dit sebelum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan, dengan indikator-indikator (1) tingkat pendidik- an, (2) tingkat pelatihan di bidang perkreditan, (3) pengalaman pada bagian kredit, (4) tingkat penalaran atau inteligensia, dan (5) kecocokan terhadap bidang pekerjaan perkreditan.
adalah keahlian yang dimiliki oleh pejabat analis kredit dan pemutus kredit untuk menentukan apakah suatu permohonan kredit layak atau tidak untuk dikabulkan, dan mengawasi kredit yang diberikan sehingga dapat dilunasi. Instrumen pene- litian variabel kemampuan dan pengetahuan kre- dit sebelum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan, dengan indikator-indikator (1) tingkat pendidik- an, (2) tingkat pelatihan di bidang perkreditan, (3) pengalaman pada bagian kredit, (4) tingkat penalaran atau inteligensia, dan (5) kecocokan terhadap bidang pekerjaan perkreditan.
Setelah
dilakukan uji coba, ternyata ada 18 butir pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000,
sedangkan sisanya
sebanyak 12 butir tidak valid dan harus didrop. Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut
kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil hasil a sebesar 0,903, lebih
tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,863. Dengan demikian,
kedelapan belas butir pertanyaan tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan
sebagai instrumen penelitian.
Menurut
pendapat beberapa ahli, integritas berarti kepatuhan yang kuat terhadap kode etik suatu bisnis, profesi, dan perusahaan
dalam bekerja
dengan kejujuran serta bertanggung jawab secara konsisten dan komprehensif. Etika moral bagi
suatu profesi umumnya telah digariskan secara formal oleh institusi atau asosiasi profesi, dan juga
dapat dalam bentuk
yang tidak tertulis tapi telah dipraktikkan oleh profesi yang sama.
Integritas berarti kepatuhan
yang kuat terhadap kode etik suatu bisnis, profesi, dan perusahaan dalam
bekerja dengan kejujuran serta bertanggung jawab secara konsisten dan komprehensif.
|
Menurut Edratna, untuk mengetahui tinggi-rendahnya kadar
integ- ritas,
unsur-unsur yang perlu diteliti adalah 1. Pelaksanaan kode etik. 2. Bagaimana mengatasi jika
terjadi benturan kepentingan dan keterlibatan dalam kasus yang berkaitan dengan etika atau kode etik yang
berlaku. 3. Penggunaan
wewenang yang dimiliki. 4. Tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil. 5.
Komitmen untuk mengembangkan bawahan demi kemajuan organisasi. 6. Kadar kedisiplinan atau ketaatan pada
peraturan perusahaan
dan kode etik perusahaan atau profesi, dan kesediaan bekerja sama untuk memenuhi tuntutan
organisasi.
Profesionalisme, menurut Robin
Middlehurst dan Tom Kennie, menunjukkan ciri-ciri antara lain: 1. Memiliki
tingkat penguasaan suatu di- siplin, keahlian, atau kejuruan dari suatu bidang profesi
dengan senan- tiasa
mengembangkannya, serta memerlukan kemampuan kepemimpin- an dan keahlian manajemen; 2.
Menunjukkan tingkat pendidikan lebih tinggi yang telah dilewati, serta menunjukkan kemampuan untuk
mem- pelajari dan
mengumpulkan pengetahuan yang berkaitan dengan profesi, dan selalu menambah pengetahuan
dari pengalaman praktik sehubungan dengan perkembangan lingkungan yang berubah dengan cepat; 3.
Memi- liki tingkat
intelektualitas yang tinggi, dengan menunjukkan kemampuan untuk memahami suatu kejadian
yang baru dan dapat meresponsnya de- ngan cepat dan efektif. 4. Mematuhi standar tertentu dan etika
profesio- nal, yang
selalu dikaji ulang dan dimonitor dalam hal adanya perubahan dalam harapan terhadap tingkah
laku profesional dan hubungan dengan klien atau nasabah. 5. Memiliki sikap tertentu terhadap
"pekerjaan", na- sabah, dan sesama profesional, yang melibatkan pengabdian,
unsur dapat dipercaya,
fleksibilitas, dan kreativitas dalam kaitan dengan "hal-hal yang baru dan belum diketahui".
Secara konseptual, kejujuran/integritas dan profesionalisme
adalah kepatuhan
yang kuat terhadap kode etik suatu bisnis, profesi, dan perusa- haan sehingga menimbulkan suatu
disiplin yang dapat membantu meng- analisis, menangani, dan mencegah konflik dalam konteks
profesi dengan menggunakan
dimensi moral, dibarengi dengan komitmen profesi untuk menerapkan keahlian dan
pengetahuan perkreditan supaya tetap bersifat amanah dalam menjalankan tanggung jawab profesi yang diemban
ter- hadap bank
sebagai majikan atau pihak yang dilayani, dalam mencapai tujuan pekerjaan di bidang
perkreditan secara objektif bagi bank.
Berdasarkan definisi konseptual di atas, dapat disusun
definisi opera- sional
bahwa kejujuran/integritas dan profesionalisme adalah suatu peri- laku seorang pejabat yang
mengutamakan sikap jujur dan setia terhadap bidang tugasnya sehingga mampu menjauhkan dirinya dari konflik
ke- pentingan dalam
melaksanakan tugasnya, dan menerapkan keahlian dan pengetahuan dalam perkreditan
secara objektif demi kepentingan profesi di bidang perkreditan.
Instrumen penelitian variabel kejujuran/integritas dan
profesio- nalisme
sebelum uji coba terdiri atas sejumlah pertanyaan dengan indi- kator-indikator sebagai
berikut: Indikator Pengukuran Integritas: Frekuensi pelanggaran atau potensi pelanggaran etika profesi
yang ditun- jukkan
oleh tanda-tanda akan runtuhnya etika yang diuraikan ke dalam tingkat kepuasan dan impresi
pihak pengawas dari Bank Indonesia ter- hadap para eksekutif atau pejabat perkreditan, ditinjau dari
unsur-unsur berikut:
(1) taat pada ketentuan-ketentuan perkreditan yang ditentukan oleh bank dan Bank Indonesia,
dan taat pada kode etik profesi bankir Indonesia; (2) mendahulukan kepentingan pekerjaan atau profesi
di atas kepentingan
pribadi; (3) tidak terdapat adanya konflik kepentingan; ke- mudian Indikator Pengukuran Profesionalisme: Tingkat kepuasan dan impresi pihak pengawas dari Bank Indonesia terhadap para
eksekutif atau
pejabat perkreditan, ditinjau dari penguasaan dan pelaksanaan pe- kerjaan, sikap mental, dan
komunikasi dengan pihak pengawas; diurai- kan ke dalam unsur-unsur berikut: (4) penilaian terhadap
keahlian, pengetahuan, dan kinerja teknis para pejabat kredit, serta penilaian
terha- dap cara dan
hasil penyelesaian yang dihadapi; (5) memperhatikan unsur risiko yang dihadapi dalam
setiap transaksi perkreditan secara memadai, dan memperhatikan kepentingan bank baik jangka pendek maupun
jang- ka panjang.
Setelah
dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan, terdapat 18 butir yang valid
dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya, 12 butir, tidak valid dan harus didrop. Terhadap
ke-18 butir per- tanyaan
tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil hasil a sebesar 0,878, lebih tinggi
dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,804. Dengan demikian, kedelapan belas butir pertanyaan tersebut di
samping valid juga
reliabel sehingga dapat dijadikan sebagai instrumen penelitian.
Berdasarkan
kajian para ahli seperti As-Syaikh Abdulrrazzaq Al Abbad, Immanuel Kant, dan A. Qodri
Azyzy, dapat disusun definisi konseptual bahwa kadar spiritual atau keimanan merupakan suatu tingkat
keyakin- an yang
dibenarkan oleh hati, diucapkan dengan lidah, dan dibuktikan dengan amalan atau perbuatan;
iman mempunyai implikasi keyakinan bahwa segala kerja akan bernilai ibadah dan menjadi amal
akhirat jika dilakukan
dengan niat dan proses yang benar sesuai dengan yang ditun- jukkan oleh agama.
Unsur keyakinan terhadap Tuhan ini akan membuat pekerjaan per- kreditan yang terkait dalam
buku ini merupakan ibadah, yang harus di- lakukan dengan niat yang baik atau secara profesional dengan
mengikuti prosedurnya
menurut ketentuan yang berlaku dan diperlukan oleh tun- tutan profesi yang sejalan
dengan hukum-hukum Tuhan. Dalam Islam, itu berarti pekerjaan tersebut memperhatikan keadilan,
keseimbangan, kepercayaan
atau amanah, dan menciptakan manfaat bagi orang banyak. Semua faktor ini bersifat
universal, yang juga dikenal dalam kehidupan sehari-hari.
Atas dasar definisi konseptual tersebut, dapat disusun
definisi opera- sional
bahwa kadar spiritual merupakan suatu tindakan atau tingkah laku seseorang yang selalu berusaha
untuk sesuai dengan tuntunan agama yang dianutnya, dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang
berlaku, sehingga
dalam melakukan pekerjaan dapat menghindari perbuatan-per- buatan yang menyimpang dan
merugikan pekerjaan itu sendiri, institusi tempat bekerja, dan masyarakat pada umumnya.
Instrumen penelitian variabel kadar spiritual sebelum uji coba
terdiri atas
sejumlah indikator, yakni (1) niat yang benar, (2) rasa takut terhadap hukuman Tuhan, (3) berpegang
teguh pada hati nurani, (4) merasa ba- hagia pada setiap pengambilan keputusan karena yakin telah
melakukan yang
benar, dan (5) berani menolak permintaan atasan atau pihak luar yang bertentangan dengan hati
nurani.
Setelah
dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- dapat 18 butir pertanyaan yang
valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, se- dangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan harus
didrop. Terhadap ke-18
butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a sebesar 0,886, lebih
tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,853. Dengan demikian, kedelapan belas butir pertanyaan
tersebut di samping
valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Kepemimpinan
bermoral, menurut Deborah L. Rhode, memiliki unsur tindakan bermoral dari seorang
pemimpin, termasuk memiliki kapasitas untuk menginspirasikan tindakan seperti itu kepada yang
dipimpinnya. Seorang
pemimpin disebut bermoral jika yang bersangkutan menunjuk- kan komitmen untuk melakukan
tindakan yang benar, yang tidak saja meliputi kepatuhan terhadap hukum dan ketentuan yang berlaku,
tetapi juga patuh
terhadap prinsip-prinsip yang diterima secara umum, yaitu kejujuran, fair dealing, tanggung
jawab sosial, dan sebagainya. Menurut Joshua Margolis dan Andrew Molinsky, kepemimpinan bermoral
dapat
menghasilkan tindakan yang dapat digunakan sebagai contoh dalam melayani hak-hak, keper- luan, dan tuntutan pihak lain, walaupun tindak- an tersebut tidak menyenangkan dan menimbul- kan biaya baginya.
menghasilkan tindakan yang dapat digunakan sebagai contoh dalam melayani hak-hak, keper- luan, dan tuntutan pihak lain, walaupun tindak- an tersebut tidak menyenangkan dan menimbul- kan biaya baginya.
Berdasarkan analisis para ahli, dapat disusun definisi konseptual bahwa
kepemimpinan yang ber- moral merupakan suatu tindakan dari seorang pe- mimpin yang selalu menggunakan
standar ukuran moral,
termasuk rasa keadilan (fair dealing), dan menunjukkan kadar keteladanan dalam melaksanakan tugasnya dan
dalam memimpin anak buahnya.
Atas dasar definisi konseptual tersebut, dapat disusun
definisi ope- rasional
bahwa kepemimpinan bermoral berarti segala tindakan yang di- lakukan oleh seorang pemimpin
dalam memimpin anak buahnya selalu menggunakan standar moral sebagai acuannya.
Instrumen penelitian variabel kepemimpinan bermoral sebelum
uji coba terdiri
atas 30 pertanyaan, dengan indikator-indikator antara lain: Seorang presiden direktur akan
menunjukkan sifat-sifat (1) memberikan contoh kedisiplinan yang kuat, (2) menciptakan kultur keteladanan
yang tepat bagi
lingkungan pekerjaan, (3) dipandang sebagai orang yang men- jalani hidup yang tidak
berlebihan, (4) selalu mengatakan yang benar dan menepati janji, dan (5) memberikan perlindungan kepada bawahan
yang benar dan
berprestasi.
Setelah dilakukan uji
coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir pertanyaan yang valid dengan r
kriteria sebesar 0,3000,
sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan harus di- drop. Terhadap ke-18 butir
pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a sebesar 0,897, lebih tinggi dari a
sebelum uji realibilitas
sebesar 0,847. Dengan demikian, kedelapan belas butir pertanyaan tersebut di
samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Kepemimpinan bermoral
berarti segala tindakan yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam memimpin
anak buahnya selalu menggunakan standar moral sebagai acuannya.
|
Kultur
organisasi/perusahaan adalah pola dari nilai dan kepercayaan yang dianut secara bersama dari
waktu ke waktu yang menghasilkan norma tingkah laku yang dipakai dalam memecahkan suatu persoalan.3
Schein
berpendapat bahwa budaya perusahaan adalah suatu bentuk pemecahan persoalan, yang telah berlaku secara konsisten dan diajarkan kepada ang- gota baru sebagai suatu cara yang benar untuk memperoleh gambaran, memikirkan, dan merasakan persoalan tersebut. Kultur dimanifestasikan ke dalam kepercayaan dasar, asumsi, nilai, sikap, dan tingkah laku dari semua anggota organisasi, yang membentuk prosedur organisasi yang menyatukan kemampuan organisasi, menyediakan pemecahan yang di- hadapi organisasi, serta membantu atau menghambat pencapaian tujuan organisasi.4 Menurut Stephen P. Robbins, budaya organisasi merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan dalam organisasi, yang dijadikan filosofi kerja karyawan dan menjadi panduan bagi kebijakan organisasi dalam mengelola karyawan dan konsumen. Budaya organisasi yang kuat tumbuh, jika nilai-nilai dominan itu dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas oleh segenap anggota organisasi.
berpendapat bahwa budaya perusahaan adalah suatu bentuk pemecahan persoalan, yang telah berlaku secara konsisten dan diajarkan kepada ang- gota baru sebagai suatu cara yang benar untuk memperoleh gambaran, memikirkan, dan merasakan persoalan tersebut. Kultur dimanifestasikan ke dalam kepercayaan dasar, asumsi, nilai, sikap, dan tingkah laku dari semua anggota organisasi, yang membentuk prosedur organisasi yang menyatukan kemampuan organisasi, menyediakan pemecahan yang di- hadapi organisasi, serta membantu atau menghambat pencapaian tujuan organisasi.4 Menurut Stephen P. Robbins, budaya organisasi merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan dalam organisasi, yang dijadikan filosofi kerja karyawan dan menjadi panduan bagi kebijakan organisasi dalam mengelola karyawan dan konsumen. Budaya organisasi yang kuat tumbuh, jika nilai-nilai dominan itu dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas oleh segenap anggota organisasi.
Berdasarkan kajian para ahli, dapat disusun suatu definisi
konseptual bahwa
budaya perusahaan adalah suatu susunan nilai dan kepercayaan, yang dianut secara bersama-sama
dan dari waktu ke waktu dalam suatu perusahaan, sehingga menghasilkan norma tingkah laku yang
dipakai oleh
segenap anggota dalam melakukan interaksi di antara mereka, de- ngan menekankan pentingnya
unsur SDM dengan keuntungan serta pe- ningkatan nilai pemegang saham.
Berdasarkan definisi konseptual di atas, dapat disusun
definisi ope- rasional
bahwa budaya perusahaan merupakan suatu nilai yang dianggap benar, dan dianut oleh suatu
perusahaan dalam mengembangkan inter- aksi di antara sesama anggota perusahaan, yang menekankan pada
unsur SDM dalam
rangka memperoleh keuntungan dan meningkatkan nilai pe- megang saham.
Instrumen penelitian variabel budaya perusahaan sebelum uji
coba terdiri atas
30 pertanyaan, dengan indikator-indikator (1) memiliki tatan- an budaya yang diterjemahkan ke
dalam visi dan misi organisasi yang je- las, (2) budaya tersebut dirasakan dan telah dianut oleh
segenap pegawai yang
ada, (3) budaya tersebut menjadi acuan interaksi karyawan dengan atasan, antara manajemen dan
konsumen, dan dalam menyelesaikan konflik antarpegawai, (4) budaya tersebut berorientasi pada
keuntungan jangka
pendek dan panjang, dan (5) pengembangan SDM yang berkuali- tas merupakan perhatian sentral
dari manajemen.
Setelah
dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan tersebut, terdapat 18 butir pertanyaan
yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan harus
didrop. Terhadap ke-18
butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a sebesar 0,825, lebih
tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,772. Dengan demikian, kedelapan belas butir pertanyaan
tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen
penelitian.
Kebijakan
disiplin anggaran (hard budget constraints atau policy) dapat didefinisikan sama seperti menerapkan disiplin keuangan5,
sehingga da- pat
mendorong sikap yang lebih prudent bagi pejabat perkreditan. Sikap
prudential ini
antara lain: memberikan keputusan pemberian kredit ber- dasarkan penilaian objektif
atas dasar kemampuan transaksi itu dalam menghasilkan arus kas, yang diharapkan untuk membayar angsuran
po- kok dan bunga;
pengakuan terhadap pendapatan yang berjalan dilakukan berdasarkan penilaian dan
keyakinan penuh manajemen terhadap kuali- tas kredit atau janji pembayaran yang memiliki dasar kuat
bahwa debitor benar-benar dapat membayarnya; cadangan piutang ragu-ragu (loan loss provisions)
ditetapkan secara objektif, sehingga benar-benar dapat menutupi kerugian yang mungkin
terjadi; penilaian kredit bermasalah atau berpotensi bermasalah dilakukan sesuai dengan fakta yang
ada, dan segera
ditindaklanjuti dengan tujuan memperkecil risiko kerugian yang mungkin terjadi, tanpa menambah
eksposur kredit bank yang tidak per- lu, dengan tujuan perolehan arus kas yang optimal; penetapan
klasifikasi kualitas
kredit dilakukan dengan cermat, berdasarkan kajian perolehan arus kas dan kemampuan bayar
debitor.
Berdasarkan atas analisis para ahli, dapat dikemukakan bahwa
kebi- jakan
disiplin anggaran merupakan suatu bentuk disiplin dalam bidang keuangan, yang dilakukan oleh
pejabat perkreditan dalam memutuskan permohonan kredit atas dasar penilaian objektif, yang
bersandar pada perolehan
arus kas dengan menyeimbangkan unsur risiko yang dihadapi, penanganan kredit bermasalah
yang aktif dan segera, pencatatan pen- dapatan dan tingkat kolektibiltas secara objektif, serta
menyediakan cadangan piutang ragu-ragu secara memadai.
Atas dasar definisi konseptual tersebut di atas, dapat disusun
de- finisi
operasional bahwa kebijakan disiplin anggaran merupakan suatu keputusan yang diambil oleh
pejabat perkreditan dalam meloloskan atau menolak permohonan kredit yang diajukan oleh calon debitor
atas dasar
perolehan arus kas, penanganan kredit bermasa- lah yang optimal dan tidak ditunda, pencatatan pendapatan dan kolektibiltas dilakukan secara benar dan objektif, serta menyediakan cadangan piutang ragu-ragu yang memadai.
perolehan arus kas, penanganan kredit bermasa- lah yang optimal dan tidak ditunda, pencatatan pendapatan dan kolektibiltas dilakukan secara benar dan objektif, serta menyediakan cadangan piutang ragu-ragu yang memadai.
Instrumen penelitian variabel kebijakan disiplin anggaran
sebelum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan, yang memiliki indikator-indikator (1) jumlah cadangan ragu-ragu lebih
besar dari ke- mungkinan
penghapusan piutang atau kredit atau pembiayaan bermasalah, atau penghapusan kre- dit di masa lalu paling tidak
sebagian besar selalu dapat ditutup oleh cadangan yang telah disedia- kan, (2) pencatatan pendapatan
dan kolektibilitas selalu dilakukan secara benar dan objektif, (3) setiap kredit yang diberikan selalu
diyakini mem- punyai
potensi untuk dikembalikan berikut bunganya, dengan mengkaji perolehan keuntungan dan
mempertimbangkan risiko yang dihadapi, (4) kredit atau pembiayaan bermasalah selalu diselesaikan dalam
waktu yang lebih
cepat, dengan mengacu pada perolehan arus kas dan memperkecil kerugian yang mungkin terjadi,
dan (5) perolehan jaminan selalu mem- perhatikan kebutuhan terhadap penutupan risiko yang dihadapi,
dan ber- nilai jual
seperti yang diharapkan.
Setelah
dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir
pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan
harus di- drop.
Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a
sebesar 0,905, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,827. Dengan demikian, kedelapan belas
butir per- tanyaan
tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Penghargaan yang bersifat positif
diberikan untuk tindakan atau tingkah laku di masa lalu dan dapat membuat
orang itu mengulangi tindakan atau tingkah laku tersebut.
|
Mengenai
penghargaan (reward), Buhler, mengacu pada hukum akibat dari Thorndike6.
Hukum ini mengatakan bahwa penghargaan yang ber- sifat positif diberikan untuk tindakan atau tingkah laku di
masa lalu, dan dapat
membuat orang itu mengulangi tindakan atau tingkah laku terse- but. Penghargaan dapat berupa
finansial atau nonfinansial, tetapi yang
dapat dihargai oleh orang yang menerimanya. Agar menjadi efektif, pemberian penghargaan diadministrasikan secara random. Tingkah laku yang dihargai adalah tingkah laku yang positif yang dapat mendukung kultur organisasi, dan pencapaian target organisasi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang; dan diharapkan dapat ditiru oleh eksekutif atau pegawai yang lain.
dapat dihargai oleh orang yang menerimanya. Agar menjadi efektif, pemberian penghargaan diadministrasikan secara random. Tingkah laku yang dihargai adalah tingkah laku yang positif yang dapat mendukung kultur organisasi, dan pencapaian target organisasi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang; dan diharapkan dapat ditiru oleh eksekutif atau pegawai yang lain.
Hukuman (penalty), menurut Buhler, dapat diberikan bagi pelang- garan disiplin terhadap
ketentuan dan peraturan organisasi, tetapi harus dilakukan secara konsisten dan sesuai dengan apa yang
dilanggar. Bagi kejahatan kerah putih, Ivancevich et al. merekomendasikan
kepada manaje- men
untuk melakukan tindakan proaktif, dan mempertimbangkan secara adil dan tepat dalam memberikan
sanksi hukum yang jelas dan tegas.
Berdasarkan hasil kajian para ahli, dapat disusun definisi
konseptual bahwa reward adalah suatu bentuk
penghargaan, yang diberikan perusa- haan baik berupa uang maupun bukan, kepada seorang karyawan
yang telah berjasa
kepada perusahaan. Sebaliknya, penalty merupakan suatu bentuk hukuman yang diberikan kepada karyawan, yang dianggap
telah melanggar
suatu aturan.
Atas dasar definisi konseptual tersebut di atas, dapat disusun
definisi operasional
bahwa sistem penghargaan dan hukuman (reward
and penalty system) merupakan suatu bentuk
penghargaan atau hukuman yang diberikan kepada karyawan, sebagai akibat jasa atau kesalahan
yang telah dilakukan
karyawan yang bersangkutan terhadap perusahaan.
Instrumen penelitian variabel sistem penghargaan dan hukuman sebelum uji coba terdiri atas
30 pertanyaan dan memiliki sejumlah indikator, yaitu indikator pengukuran penghargaan: (1) penilaian kinerja berkala, (2) jalur promosi dengan
kenaikan kompensasi yang jelas dan pemberian hadiah pada waktu-waktu tertentu berdasarkan
kriteria tertentu,
dan indikator pengukuran hukuman: (3) terdapat sistem pengenaan hukuman yang bertingkat terhadap pelanggaran
ketentuan perusahaan
atau hukum positif yang berlaku, (4) pengenaan hukuman dengan melaporkan ke pihak
berwajib terhadap penyelewengan kerah pu- tih, (5) pelaksanaan pengenaan sanksi yang konsisten terhadap
substansi kesalahan
yang sama dari waktu ke waktu.
Setelah
dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir
pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan
harus di- drop.
Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a
sebesar 0,884, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,853. Dengan demikian, kedelapan belas
butir per- tanyaan
tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Menurut
McKinley, kultur kredit adalah kombinasi dari berbagai faktor yang membentuk lingkungan
perkreditan yang mendorong tingkah laku perkreditan tertentu, yang terdiri atas komunikasi manajemen
tentang nilai-nilai
dan skala prioritas, indoktrinasi selama training bagi pejabat kredit, serta kebijakan dan
filosofi pemberian pinjaman yang dianut bank. Kultur kredit adalah kombinasi yang unik dari kebijakan,
praktik, peng- alaman,
dan sikap manajemen yang membentuk pengertian terhadap ling- kungan perkreditan, dan
menentukan tingkah laku pemberian kredit yang diterima oleh bank. Secara umum, budaya kredit berarti suatu
sistem yang meliputi
tingkah laku, kepercayaan, filosofi, pemikiran, gaya, dan ekspresi yang berkaitan dari fungsi
perkreditan yang dianut manajemen.
Menurut John Caouette, Edward Altman, dan Paul Narayanan, kul- tur kredit merupakan kumpulan
prinsip, tindakan atau kegiatan, ram- bu-rambu, dan insentif dalam organisasi pemberi pinjaman. Banc
One, misalnya,
bekerja di sekitar prinsip-prinsip berikut: 1. Berorientasi pada nasabah. 2. Lebih menyukai
eksposur yang lebih kecil. 3. Mengerti me- ngenai bisnis calon debitor. 4. Mengerti mengenai toleransi
risiko dan tu- juan
keuntungan ketika melakukan analisis kredit. 5. Mengerti bagaimana menghindari pinjaman bermasalah
bukan selalu berarti merupakan suatu indikasi kinerja yang baik. 6. Komunikasi yang terbuka dan
langsung de- ngan
para pegawai.
Berdasarkan hasil kajian para ahli, dapat disusun definisi
konseptu- al bahwa
kultur kredit merupakan suatu kombinasi dari berbagai faktor yang membentuk lingkungan
perkreditan, dan mendorong tingkah laku perkreditan tertentu, yang terdiri atas komunikasi manajemen
tentang nilai-nilai
dan skala prioritas, indoktrinasi dan pelatihan bagi pejabat kredit, dan
kebijakan serta filosofi pemberian pinjaman yang dianut bank.
Atas dasar definisi konseptual tersebut di atas, dapat disusun
definisi operasional
bahwa kultur kredit atau pembiayaan adalah suatu kebijakan tata cara dan tata kelola bagi
pemberian kredit atau pembiayaan dalam suatu lembaga perbankan.
Instrumen penelitian variabel budaya kredit atau pembiayaan
sebe- lum uji coba
terdiri atas 30 pertanyaan, dengan indikator-indikator (1) memiliki kebijakan perkreditan
atau pembiayaan yang jelas, terutama kriteria-kriteria kredit mana dengan dasar-dasar apa yang
dapat diper- timbangkan;
(2) kebijakan perkreditan atau pembiayaan tersebut telah dipahami dan diterapkan secara
konsisten oleh semua pejabat perkreditan atau pembiayaan dari tingkat direksi sampai tingkat pelaksana;
(3) kebijakan perkreditan atau pembiayaan tersebut telah mempertimbangkan unsur pendapatan terhadap
risiko yang dihadapi, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang;
(4) penyimpangan terhadap kebijakan perkreditan atau pembiayaan yang ada merupakan sesuatu yang
bersifat langka
untuk terjadi; (5) selalu melakukan kajian ulang secara menyelu- ruh, jika terjadi suatu kredit
atau pembiayaan menjadi bermasalah.
Setelah
dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir
pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan
harus di- drop.
Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a
sebesar 0,931, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,836. Dengan demikian, kedelapan belas
butir per- tanyaan
tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Dari
tulisan Koford and Tshoegl, disebutkan bahwa pengecekan reputasi dapat diartikan sebagai
kegiatan untuk mengetahui reputasi seorang ca- lon debitor, baik individu maupun perusahaan, terutama
mengenai seja- rah
pembayaran kewajibannya terhadap bank atau pihak lain, termasuk sikap kerja sama dan
keterbukaannya terhadap kreditor. Reputasi yang buruk dari seseorang atau perusahaan berarti bahwa pihak yang
dimak- sud tersebut
memiliki catatan pembayaran yang lambat, atau kurang me- miliki sikap kerja sama atau
keterbukaan.
Berdasar atas kajian para ahli, dapat disusun definisi
konseptual bahwa
pengecekan reputasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui reputasi
seorang calon debitor, baik individu maupun perusahaannya, mengenai sejarah pembayaran kewajibannya pada
bank atau pihak
lain, termasuk sikap mau bekerja sama dan keterbukaannya terhadap kreditor.
Atas dasar definisi konseptual tersebut di atas, dapat disusun definisi
operasional bahwa
pengecekan reputasi merupakan segala upaya yang dilakukan pihak bank kepada calon debitornya, yang berkaitan
dengan pengumpulan informasi
tentang sejarah pembayaran kembali kewajiban-kewajibannya baik kepada bank maupun kepada kreditor lainnya,
termasuk sikap mau
bekerja sama dan terbuka terhadap semua informasi yang diinginkan kreditor.
Instrumen penelitian variabel pengecekan reputasi sebelum uji coba
terdiri atas 30 pertanyaan, dengan indikator- indikator (1) usaha pengecekan reputasi mengenai setiap calon
debitor kepada
kreditor lain, pemasok bahan baku secara kredit, kompetitor di industri yang sama, atau
lainnya, (2) pengecekan catatan kolektibilitas calon debitor pada Bank Indonesia, (3) pengecekan reputasi
diukur dengan
pembayaran kewajiban yang tepat waktu, dan impresi mengenai sikap keterbukaan dan kerja
sama ketika bank mulai berhubungan dengan calon debitor, (4) pengkajian informasi yang diperoleh, dibandingkan dengan impresi
ketika berhubungan dengan calon debitor pada tingkat awal, (5) keputusan untuk melanjutkan atau tidak
hubungan dengan
calon konsumen.
Setelah
dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir
pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan
harus di- drop.
Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a
sebesar 0,955, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,892. Dengan demikian, kedelapan belas
butir pertanyaan tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat
dijadikan instrumen
penelitian.
Pada umumnya, uji tuntas
dipakai ketika suatu pihak akan membeli perusahaan lain atau untuk transaksi
bisnis lainnya seperti transaksi di pasar modal.
|
Uji
tuntas (due diligence) adalah istilah yang digunakan untuk penyelidik- an guna menilai kinerja
perusahaan atau seseorang, ataupun kinerja suatu kegiatan guna memenuhi standar baku yang ditetapkan.7
Pada umumnya, uji
tuntas dipakai ketika suatu pihak akan membeli perusahaan lain, atau untuk transaksi bisnis lainnya
seperti transaksi di pasar modal. Menurut
Puranam,
Powell, dan Singh, uji tuntas berarti kegiatan melakukan ana- lisis secara terperinci
mengenai kondisi perusahaan yang akan diakuisisi,
melakukan verifikasi mengenai catatan keuangan,
meneliti masalah yang berkaitan dengan hukum, dan melakukan penyelidikan terhadap
kemung- kinan
adanya potensi masalah hukum. Hasil uji tuntas yang baik akan di- gunakan sebagai dasar untuk
penutupan suatu transaksi.
Dalam hal pemberian kredit, menurut Wu (2002), uji tuntas yang harus dilakukan bank adalah
meneliti kemampuan debitor untuk mem- bayar utangnya kembali, dengan memahami secara mendalam bisnis
atau usaha calon
debitor dan risiko yang terkait. Pendapat ini didukung oleh McGovern, yakni penekanan
kegiatan uji tuntas diarahkan pada analisis arus kas. Melalui alat ini, diteliti sejarah dan proyeksi
kemampuan arus kas
calon debitor dalam rangka membayar kembali utang-utangnya.
Adapun pengertian kepedulian
(due care), diambil dari doktrin hukum korporasi yang berbunyi
"para direksi melakukan pekerjaannya dengan tingkat kepedulian
(due care), sebagaimana seorang awam yang umum melakukan pekerjaan yang
sama dengan tingkat kehati-hatian dan kearifan atau sikap
prudent, yang diperlukan dalam posisi yang sama dalam situasi yang
sama".8 Tercakup dalam pengertian ini adalah tugas para direksi untuk
melakukan monitoring dan tugas bertanya, serta tugas untuk membuat keputusan yang tepat sehubungan dengan apa yang harus dilakukan.
Kepedulian meliputi kegiatan untuk melakukan kajian ulang secara reguler terhadap pinjaman yang telah
diberikan, yaitu mengkaji
apakah terdapat penyimpangan dari kebijakan atau prinsip- prinsip pinjaman yang sehat,
atau adanya kecenderungan yang tidak baik pada debitor atau usahanya.
Berdasar analisis para ahli, dapat disusun definisi konseptual
bahwa uji tuntas (due diligence) dan
kepedulian (due care) merupakan tindak- an penelitian yang mendalam dan secara menyeluruh, serta
memonitor secara
terus-menerus, terhadap kemampuan debitor untuk membayar kembali utangnya sampai lunas,
dengan memahami secara mendalam bisnis atau usaha calon debitor dan risiko yang terkait.
Atas dasar definisi konseptual tersebut di atas, dapat disusun
defini- si
operasional bahwa uji tuntas dan kepedulian merupakan suatu upaya pihak bank untuk mengetahui
secara meyakinkan, apakah kredit yang di- pinjam oleh debitor dapat dibayar kembali berikut bunganya
dari usaha atau
bisnis yang dijalankan oleh calon debitor, atau pembiayaan yang akan dilakukan bank kepada calon
nasabah dapat menghasilkan keuntungan.
Instrumen penelitian variabel uji tuntas dan kepedulian
sebelum uji coba
terdiri atas 30 pertanyaan, dengan indikator-indikator pengukuran uji tuntas: (1)
melakukan investigasi terhadap sejarah reputasi, ke- uangan, dan proyeksi arus kas
debitor, (2) melakukan analisis kualitatif mengenai perkembangan usaha serta kekuatan dan kelemahan
posisi pasar
barang/jasa perusahaan, dan industri di mana debitor beroperasi, serta mempelajari pengaruh
kemungkinan perubahan ekonomi terhadap perolehan keuntungan dan kelanjutan usaha debitor, (3) meneliti
per- mintaan kredit
atau pembiayaan yang diperlukan dan dokumen-doku-
men perusahaan dan jaminan, dan indikator pengukuran kepedulian: (4)
memperoleh dan mengkaji laporan berkala mengenai perkembangan usaha dan pinjaman atau
pembiayaan debitor, laporan hasil audit kredit atau pembiayaan setiap debitor yang berpotensi bermasalah,
serta meng- kaji
kekuatan dan kelengkapan dokumen kredit dan jaminan atau pem- biayaan, dan menindak
lanjutinya, (5) melakukan kunjungan berkala ke tempat usaha debitor dan mengikuti perkembangan ruang lingkup
usaha debitor,
serta melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Setelah
dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir
pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan
harus di- drop.
Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a
sebesar 0,917, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,846. Dengan demikian, kedelapan belas
butir per- tanyaan
tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Pengawasan
kredit (pembiayaan) internal, menurut McGovern, adalah kegiatan untuk melakukan kajian
ulang secara reguler terhadap pinjaman atau pembiayaan yang telah diberikan, yaitu mengkaji apakah
terdapat pe- nyimpangan
dari kebijakan atau prinsip-prinsip pinjaman atau pembiaya- an yang sehat, atau mengkaji
apakah terdapat kecenderungan yang tidak baik pada debitor atau usahanya; dilakukan oleh pihak yang
independen yang
tidak terkait dengan pihak yang memproses kredit atau pembiayaan. Hasil pengawasan ini harus
ditindaklanjuti agar keadaan kredit atau pem- biayaan tidak akan berkembang menjadi lebih buruk, sehingga
kemung- kinan
timbulnya kerugian dapat diminimalkan.
Berdasarkan analisis McGovern dan lain-lain dapat dikemukakan
de- finisi
konseptual, bahwa pengawasan internal merupakan suatu kegiatan melakukan kajian ulang secara
reguler terhadap pinjaman atau pembiaya- an yang telah diberikan, untuk mengetahui apakah telah terjadi
penyim- pangan dari
kebijakan atau prinsip-prinsip pinjaman atau pembiayaan yang sehat, atau adanya
kecenderungan yang tidak baik pada debitor atau usahanya.
Berdasar atas definisi konseptual tersebut di atas, dapat
disusun de- finisi
operasional bahwa pengawasan kredit (pembiayaan) internal meru- pakan suatu kegiatan
menganalisis kembali pinjaman atau pembiayaan yang telah diberikan, apakah terdapat penyimpangan dari
ketentuan dan kebijakan
yang berlaku atau tidak oleh pihak independen dan pelaksanaan tindak lanjut
dari hasil audit.
Instrumen penelitian variabel pengawasan internal sebelum uji
coba terdiri atas
30 pertanyaan, dengan indikator-indikator audit kredit regu- ler, seperti: (1) mengkaji
ulang dasar pemberian kredit atau pembiayaan, (2) mengkaji ulang ketentuan-ketentuan perkreditan atau
pembiayaan yang
berlaku dan berkaitan dengan kredit atau pembiayaan yang sedang diaudit, termasuk kewenangan
pemberian kredit atau pembiayaan, (3) mengkaji ulang tingkat perolehan keuntungan dibandingkan
dengan risi- ko
yang dihadapi, (4) mengkaji ulang perkembangan kualitas kredit atau pembiayaan dan risiko yang
dihadapi, (5) mengikuti tindak lanjut hasil laporan kredit audit atau audit pembiayaan dari waktu ke
waktu.
Setelah
dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir
pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan
harus di- drop.
Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas, dengan hasil a
sebesar 0,934 lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,884. Dengan demikian, kedelapan belas
butir per- tanyaan
tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Uji
coba instrumen penelitian dilaksanakan pada Semester Ganjil Tahun Akademik
2009/2010, di kantor Bank Agro Plaza GRI, Jalan H.R. Rasuna Said Blok X-2, No. 1,
Jakarta, dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang karyawan bagian kredit dan bagian lain yang ada
kaitannya
dengan masalah perkreditan untuk bank konven- sional; dan di kantor Bank Muamalat, Arthaloka Building, Jalan Jend. Sudirman No. 2, Jakarta, dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang karya- wan bagian kredit dan bagian lain yang ada ka- itannya dengan masalah perkreditan untuk bank syariah, serta masing-masing satu orang peng- awas atau pejabat senior dari bank-bank yang bersangkutan.
dengan masalah perkreditan untuk bank konven- sional; dan di kantor Bank Muamalat, Arthaloka Building, Jalan Jend. Sudirman No. 2, Jakarta, dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang karya- wan bagian kredit dan bagian lain yang ada ka- itannya dengan masalah perkreditan untuk bank syariah, serta masing-masing satu orang peng- awas atau pejabat senior dari bank-bank yang bersangkutan.
Setelah data hasil uji coba instrumen tiap- tiap variabel penelitian
dikumpulkan, dilakukan pengujian validitas dan realibilitas, guna menge- tahui apakah butir pertanyaan
dalam instrumen uji coba variabel-variabel penelitian tersebut sudah valid dan reliabel ataukah belum.
Uji validitas digunakan guna menguji apakah semua butir
pertanyaan yang diajukan dalam instrumen uji coba tiap-tiap variabel
penelitian itu
valid (sahih) atau tidak dengan menggunakan r kriteria sebesar 0,30 Kerlinger. Untuk butir-butir
pertanyaan yang valid atau sahih, dapat di- lakukan pengujian selanjutnya. Sebaliknya, butir-butir
pertanyaan yang tidak
valid atau sahih harus didrop atau dibuang.
Dalam penelitian ini, validitas data diuji dengan menggunakan
uji Alpha
Bronsteed, yakni jika:
-
Nilai alpha if item deleted <
0,3000, maka populasi dinyatakan tidak valid
-
Nilai alpha if item deleted >
0,3000, maka populasi dinyatakan valid
Metode pengumpulan data
dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada para pejabat perbankan dan pengawas
atau pejabat senior bank terkait.
|
Adapun uji reliabilitas bertujuan untuk mengukur konsistensi
jawaban responden terhadap butir-butir pertanyaan yang diajukan dalam instrumen uji coba tiap-tiap
variabel penelitian. Pengujiannya dilaku- kan dengan cara membuang butir-butir pertanyaan yang
dinyatakan ti- dak
valid, sehingga akan diperoleh nilai alpha setelah Uji Reliabilitas > dari nilai alpha 0,6 sebelum Uji Reliabilitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa butir-butir pertanyaan
yang ada valid dan reliabel atau sahih dan konsisten.
Penelitian ini
menggunakan data primer, yaitu data langsung dari res- ponden yang merupakan pejabat
di bagian marketing, manajemen risiko, dan remedial, di samping para pengawas internal bank atau
pejabat senior. Metode pengumpulan data dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada para pejabat perbankan
dan pengawas atau pejabat senior bank terkait.
Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Varian (Anova). Setelah
dikumpulkan, data yang diperlukan dalam pene- litian ini diolah dan secara bertahap dibahas untuk tiap
kelompok, mulai dari
(1) perbedaan pengaruh kemampuan dan pengetahuan kredit atau pembiayaan petugas analis
kredit atau pembiayaan terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah; (2)
perbedaan pengaruh
integritas dan profesionalisme petugas analis kredit atau pem- biayaan terhadap NPL pada bank
konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah; dan seterusnya hingga (11) perbedaan pengaruh
pengawas- an kredit
(pembiayaan) internal terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank
syariah; dan (12) perbedaan pengaruh se- mua variabel bebas secara bersama-sama terhadap NPL pada bank
kon- vensional dan
terhadap NPF pada bank syariah.
Pembahasan data hasil penelitian survei ini dilakukan dengan
urutan sebagai
berikut: Pertama, mengolah data mentah hasil penelitian meng- gunakan statistik deskriptif.
Kemudian berdasarkan pengolahan data tersebut disajikan berbagai ukuran, yang meliputi (1)
kecenderungan me- musat (central tendency), seperti mean, median, dan modus; (2) ukuran keragaman (dispersi), yang mencakup
nilai maksimum dan minimum, simpangan baku (standard
deviation), dan varian; (3) ukuran desil atau persentil; (4) distribusi
frekuensi; (5) grafik berupa histogram dan poli- gon; dan (6) kemiringan
(skewness) dan keruncingan (kurtosis).
Kedua, melakukan pengujian
persyaratan analisis. Pengujian ini di- mulai dengan uji normalitas, dengan parameter One Sample Kolmogorov Smirnov Test, terhadap variabel-variabel NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah,
kemampuan dan pengetahuan kredit petu- gas analis kredit atau pembiayaan, integritas dan
profesionalisme petugas analis atau pejabat kredit/pembiayaan, kadar spiritual petugas
analis atau pejabat
kredit/pembiayaan, kepemimpinan bermoral, kultur perusahaan, kebijakan disiplin anggaran, sistem
penghargaan dan hukuman, kultur kredit/pembiayaan, pengecekan reputasi, uji tuntas dan
kepedulian, dan pengawasan
kredit/pembiayaan internal, dengan cara membandingkan hasil pengujiannya, yakni jika Asymp.Sig. (2-tailed) >
0,05, maka sebaran data
berdistribusi normal, dan bisa dilakukan pengujian persyaratan ana- lisis lebih lanjut. Sebaliknya,
jika hasil pengujian menunjukkan Asymp. Sig.
(2-tailed) < 0,05, maka sebaran data
dinyatakan berdistribusi tidak normal, dan tidak bisa dilakukan pengujian persyaratan
analisis lebih lanjut.
Setelah uji normalitas, dilakukan uji homogenitas dengan menggunakan Leven Test Statistic.
Ketiga, melakukan pengujian
hipotesis, menggunakan statistika in- ferensial. Analisis ini dimaksudkan untuk menguji apakah
terdapat per- bedaan
antara (1) pengaruh kemampuan dan pengetahuan kredit atau pembiayaan petugas analis atau
pejabat kredit atau pembiayaan terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah;
(2) pengaruh
integritas dan profesionalisme petugas analis atau pejabat kre- dit atau pembiayaan terhadap
NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah; dan seterusnya hingga (11) pengaruh
pengawas- an kredit
(pembiayaan) internal terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank
syariah; dan (12) pengaruh semua variabel bebas secara bersama-sama terhadap NPL pada bank konvensional
dan terhadap NPF
pada bank syariah.
Adapun langkah-langkah pengujian hipotesis ini dimulai dengan
me- nyusun
hipotesis uji perbedaan dengan menggunakan Tabel Anova. Tabel Anova tersebut kemudian diuji
signifikansinya, dengan menggunakan Uji-F. Uji perbedaan tersebut adalah signifikan jika Fhitung lebih
besar da- ripada Ftabel dengan
Program Statistical Product and Services
Solutions (SPSS) versi 12.0.
Keempat, pengambilan
keputusan atas hipotesis yang diajukan, dite- rima ataupun ditolak, berdasarkan analisis data tersebut di
atas. Adapun hipotesis
yang diajukan adalah sebagai berikut:
1.
Diduga terdapat perbedaan
penerapan kemampuan dan penge- tahuan kredit atau pembiayaan oleh petugas analis atau pejabat kredit yang lebih baik terhadap
NPF pada bank syariah daripada terhadap NPL pada bank konvensional.
2.
Diduga terdapat perbedaan
yang lebih baik antara integritas dan profesionalisme petugas analis atau pejabat kredit atau
pembia- yaan
terhadap NPF pada bank syariah daripada terhadap NPL pada bank konvensional.
3.
Diduga terdapat perbedaan
yang lebih baik antara kadar sipiri- tual petugas analis atau pejabat kredit atau pembiayaan terha- dap NPF pada bank syariah
daripada terhadap NPL pada bank konvensional.
4.
Diduga terdapat perbedaan
antara moral kepemimpinan terha- dap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
5.
Diduga terdapat perbedaan
antara kultur perusahaan terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank sya- riah.
6.
Diduga terdapat perbedaan
antara kebijakan disiplin anggaran terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
7.
Diduga terdapat perbedaan
antara penghargaan dan hukuman terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
8.
Diduga terdapat perbedaan
antara kultur kredit terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
9.
Diduga terdapat perbedaan
antara pengecekan reputasi terha- dap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
10.
Diduga terdapat perbedaan
antara uji tuntas dan kepedulian terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
11.
Diduga terdapat perbedaan
antara pengawasan kredit (pembia- yaan) internal atau audit kredit atau pembiayaan terhadap NPL pada bank konvensional dan
terhadap NPF pada bank syariah.
12.
Diduga terdapat perbedaan
antara kemampuan dan pengetahu- an kredit, integritas dan profesionalisme, kadar spiritual,
moral kepemimpinan,
kultur organisasi, kebijakan disiplin anggaran, penghargaan dan hukuman, budaya kredit (pembiayaan), penge- cekan reputasi, uji tuntas dan
kepedulian, dan pengawasan kre- dit (pembiayaan) internal, secara bersama-sama terhadap NPL pada bank konvensional, dan
terhadap NPF pada bank syariah.
1 Ketentuan Kolektibilitas Bank
Indonesia.
2 Sugiyono (2007: 113).
3 Hanna (2003: 10); Owen (1987);
Schein (1990).
4 Deal dan Kennedy (1982),
Jarnagin G Slocum (2007); Day (1994); Schein (1984), Denison (1990).
5 Lago (2002); Kornai (2001).
6 Hukum akibat yang dimaksud di
sini adalah bahwa pengulangan tingkah laku yang membuat hadiah diberikan hanya
akan berulang karena tingkah laku itu merupakan tindakan logis menurut akal
yang sehat, dapat dirasakan dan di- lihat hasilnya, bukan karena akibat
pemberian hadiah semata-mata (Wallach dan Henle, 1940).
7 Wikipedia.
Bradson (2002).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar