Selasa, 16 Agustus 2016

Bab 7 Buku Selamatkan Perbankan



7
D
I DUNIA perbankan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, se­ring terjadi kredit atau pinjaman yang diberikan oleh bank ternyata kemudian bermasalah, dalam arti terjadi penundaan pembayaran (angsur- an), baik pokok pinjaman maupun bunga, oleh para debitor melebihi 90 hari. Di Indonesia, suatu kredit dinyatakan bermasalah, atau non perfor­ming loan (NPL) untuk bank konvensional atau non performing financing (NPF) untuk bank syariah jika seluruh kredit tergabung dalam tiga tingkat kolektibilitas, yaitu (1) kurang lancar, (2) diragukan, dan (3) macet.1
Banyak sekali faktor yang dapat berpengaruh terhadap terjadinya NPL atau NPF, baik ditinjau dari lingkungan eksternal, khususnya yang dapat memengaruhi para debitor, maupun dari lingkungan internal bank sendiri. Namun, penelitian untuk buku ini tidak melakukan analisis ter- hadap faktor lingkungan eksternal. Penelitian dalam buku ini hanya difo- kuskan pada lingkungan internal bank pemberi kredit.
Ditinjau dari lingkungan internal bank, faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya NPL dapat dimasukkan ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) Kualifikasi individu ejabat perkreditan terkait, yang terdiri atas (a) kemampuan dan pengetahuan kredit, (b) integritas dan profesionalisme, (c) kadar spiritualitas; (2) Lingkungan institusi, yang terdiri atas (a) kepemimpinan bermoral, (b) kultur perusahaan, (c) kebi- jakan disiplin anggaran, (d) sistem penghargaan dan hukuman; dan (3)
Proses dan pengawasan, yang terdiri atas (a) kul­tur kredit, (b) pengecekan reputasi, (c) uji tuntas dan kepedulian, dan (d) pengawasan kredit in­ternal.
Mengingat buku ini berusaha untuk mene- mukan suatu model pengaruh beberapa variabel di lingkungan manajemen internal pada lembaga perbankan terhadap terjadinya NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah, me- tode yang paling tepat untuk memenuhi maksud tersebut adalah metode survei. Metode ini ber- usaha menemukan pengaruh dan model penga- ruh beberapa hipotesis yang diajukan.
Berdasarkan konsep, teori, dan berbagai pandangan para ahli menge- nai semua variabel dependen dan independen tersebut, dibangun suatu konstruk dan indikator. Kemudian indikator-indikator tersebut disusun menjadi butir-butir sebagai instrumen penelitian, yang selanjutnya di- rumuskan dalam bentuk kuesioner. Pertanyaan yang diajukan dirancang sedemikian rupa dengan menekankan substansi yang penting dari setiap variabel, yang sekaligus mengurangi sensitivitas pertanyaan itu sendiri bagi responden, tetapi dapat mencapai jawaban yang diperlukan bagi setiap substansi. Jawaban yang diterima akan dimuat dalam skala. Skala ini digunakan karena akan mengukur kelembagaan, pengetahuan, ke- mampuan, proses kegiatan, dan sejenis lainnya.2 Di samping itu, menurut Suharsimi Arikunto, skala ini cukup memberikan informasi tertentu me- ngenai program atau orang, terutama di dalam menjalankan tugas.
Semua kuesioner, baik untuk variabel bebas maupun variabel terikat, dalam hal ini NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah, menggunakan data skala bertingkat (score rating scale) dengan skala Likert, dengan skor 5 untuk jawaban sangat setuju/sangat sering/sangat positif, skor 4 untuk jawaban setuju/sering/positif, skor 3 untuk jawaban ragu-ragu/kadang-kadang/netral, skor 2 untuk jawaban kurang setuju/ hampir tidak pernah/negatif, dan skor 1 untuk jawaban tidak setuju/tidak pernah/sangat negatif.
Di dunia perbankan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sering terjadi kredit atau pinjaman yang diberikan oleh bank ternyata kemudian bermasalah.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa penelitian ini meng- gunakan pendekatan kuantitatif dan bersifat hipotesis. Adapun metode yang digunakan adalah metode survei melalui uji perbedaan. Penelitian ini juga dilakukan guna mengetahui derajat perbedaan antara pengaruh
tiap variabel bebas, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, terhadap NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah.
Berdasarkan aspek tingkat intervensi peneliti, penelitian ini dilakukan dalam lingkungan alami organisasi dengan intervensi minimum dari pene- liti dalam arus kerja yang normal. Dilihat dari aspek situasi studi, peneliti­an ini termasuk dalam riset lapangan (field research), karena studi dilaku- kan dengan menggunakan lingkungan alami, yang pekerjaannya berproses secara normal. Unit analisis penelitian bersifat individual, yaitu pejabat kredit dari bagian marketing, manajemen risiko, dan bagian remedial, serta pejabat senior yang dapat memberikan jawaban terhadap pertanya- an yang berkaitan dengan variabel yang tidak langsung berkaitan dengan perkreditan. Pejabat senior tersebut dapat pula diharapkan memberikan informasi mengenai NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah, dan yang diteliti di sini adalah impresi mengenai kedua hal ini. Penelitian ini termasuk studi cross-sectional (one shot) karena data hanya sekali dikumpulkan, yaitu dalam bentuk kuesioner mengenai persepsi para pejabat kredit tersebut sehubungan dengan variabel yang diteliti.
Tujuan yang hendak dicapai secara khusus adalah ingin mengetahui perbedaan pengaruh setiap variabel bebas—kemampuan dan pengetahu- an kredit petugas analis kredit; integritas dan profesionalisme petugas analis kredit; kadar spiritual petugas analis kredit; kepemimpinan bermo­ral; kultur perusahaan; kebijakan disiplin anggaran; sistem penghargaan dan hukuman; kultur kredit; pengecekan reputasi; uji tuntas dan kepedu- lian; dan pengawasan kredit internal—serta sebelas variabel bebas itu se- cara bersama-sama, terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tujuan penelitian untuk buku ini merupakan kajian tentang pengaruh beberapa faktor dalam manajemen internal perbankan terhadap NPL pada lembaga perbankan konvensional dan terhadap NPF pada perbankan syariah.
Instrumen utama penelitian adalah kuesioner, dan bersifat langsung. Kuesioner dikirim terutama kepada pihak yang berkaitan erat dengan masalah perkreditan murni, yaitu ke bagian kredit, marketing, remedial, dan para pejabat senior perkreditan atau pembiayaan dari bank masing- masing.
Seperti telah diuraikan, jika prosedur pemberian kredit yang sehat dite- rapkan dengan saksama, dan kredit tidak diberikan kepada pihak yang telah memiliki utang yang besar, NPL atau NPF tidak akan terjadi segera setelah pemberian kredit dilakukan. Kalaupun hal tersebut terjadi, dapat diperkirakan bahwa penyebabnya adalah debitor mengalami musibah, atau ada risiko yang sebelumnya luput dari perhatian debitor atau bahkan perhatian bank. Kalau NPL atau NPF yang besar, atau berulang-ulang terjadi, tidak lama setelah kredit diberikan, dapat dikatakan dan diduga bahwa proses pemberian kreditnya tidak dilakukan secara saksama, atau terdapat ketentuan yang dilanggar, atau prosedur pemberian kredit yang sehat diabaikan karena adanya pengaruh atau motivasi lain.
Biasanya, jika hal tersebut terjadi, administrasi perkreditan juga tidak ditata dengan baik, dokumentasi kredit dan jaminan lemah, para pejabat kredit tidak mengikuti perkembangan usaha dan pembayaran debitor dengan baik, account officer atau pihak bank hampir tidak per- nah mengunjungi atau menemui debitor setelah kredit diberikan di luar kunjungan untuk melakukan tindakan penagihan, pengawasan perkredit- an lemah, dan seterusnya. Jika bank memiliki NPL atau NPF yang besar, dapat diduga bahwa efisiensi manajemen bank rendah, biaya operasional bank meningkat karena biaya penyelesaian kredit tinggi, dan tingkat ke- untungan bank menjadi tidak optimal.
Definisi Konseptual. NPL atau NPF adalah istilah yang dipakai baik di Indonesia maupun di mancanegara untuk menunjukkan kredit telah ber- masalah karena terjadi tunggakan bunga dan/atau angsuran pokok lebih dari 90 hari. Khusus di Indonesia, NPL berarti semua kredit yang tergabung dalam tiga tingkat kolektibilitas, yaitu kurang lancar, diragukan, dan macet.
Definisi Operasional. Berdasarkan definisi konsepsional tersebut, dapat disusun definisi operasional sebagai berikut: NPL atau NPF adalah istilah yang biasa digunakan oleh lembaga perbankan bagi kredit yang pembayarannya kembali baik bunga maupun pokok pinjamannya kurang lancar, atau diragukan, atau macet.
NPL atau NPF diukur dengan membandingkan jumlah kredit yang memiliki tingkat kolektibilitas 3, 4, dan 5 dengan jumlah seluruh portofo- lio kredit yang dimiliki oleh masing-masing pada setiap akhir tahun sela- ma periode penelitian.
Instrumen variabel NPF pada bank syariah dan NPL pada bank kon- vensional sebelum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan dengan kisi-kisi sebagai berikut: 1. Proses pemberian kredit memenuhi ketentuan dan ke­bijakan bank yang berlaku. 2. Administrasi perkreditan dilakukan dengan saksama dan rapi. 3. Perhitungan cadangan dan penilaian kolektibilitas setiap debitor dilakukan secara objektif. 4. Keuntungan bank sudah diraih secara optimal. 5. Pengawas bank merasa puas terhadap kinerja perkre- ditan bank yang diawasi.
Setelah dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter­sebut, terdapat 18 butir pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya tidak valid dan harus didrop. Terhadap ke- 18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a sebesar 0,911, lebih tinggi daripada a sebelum uji realibilitas se- besar 0,844. Dengan demikian, kedua puluh butir pertanyaan tersebut di samping valid juga reliabel, sehingga dapat dijadikan sebagai instrumen penelitian.
Yang dimaksud dengan variabel ini adalah pemahaman tentang pengeta- huan perkreditan dan keahlian dalam melakukan proses pemilihan atau analisis kredit, yang dapat disetujui berdasarkan pertimbangan perolehan keuntungan dan risiko yang dapat diterima bagi bank dan sesuai dengan ketentuan perkreditan yang ada, kemampuan untuk menetapkan struktur kredit yang sesuai dengan sifat pembiayaan, dan melakukan pengikatan kredit dan jaminan yang yuridis sempurna, mampu mengawasi penggu- naan kredit sesuai dengan tujuan yang telah disetujui, dan melakukan pengawasan kredit yang telah diberikan serta melakukan tindak lanjut yang diperlukan agar kredit tidak berkembang menjadi lebih buruk.
Definisi Konseptual. Kemampuan dan pengetahuan kredit meru- pakan pemahaman tentang pengetahuan perkreditan dan keahlian dalam melakukan proses pemilihan dan analisis kredit yang dapat disetujui ber- dasarkan pertimbangan perolehan keuntungan dan risiko bagi bank se- suai dengan ketentuan yang ada, kemampuan untuk menetapkan struktur kredit yang sesuai dan melakukan pengikatan kredit dan jaminan yang yuridis sempurna, serta mampu melakukan pengawasan kredit yang telah diberikan serta melakukan tindak lanjut yang diperlukan agar kredit tidak berkembang menjadi lebih buruk.
Definisi Operasional. Berdasarkan definisi konseptual itu, dapat disusun definisi operasional bahwa kemampuan dan pengetahuan kredit
adalah keahlian yang dimiliki oleh pejabat analis kredit dan pemutus kredit untuk menentukan apakah suatu permohonan kredit layak atau tidak untuk dikabulkan, dan mengawasi kredit yang di­berikan sehingga dapat dilunasi. Instrumen pene- litian variabel kemampuan dan pengetahuan kre- dit sebelum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan, dengan indikator-indikator (1) tingkat pendidik- an, (2) tingkat pelatihan di bidang perkreditan, (3) pengalaman pada bagian kredit, (4) tingkat penalaran atau inteligensia, dan (5) kecocokan terhadap bidang pekerjaan perkreditan.
Setelah dilakukan uji coba, ternyata ada 18 butir pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan harus didrop. Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan ha­sil hasil a sebesar 0,903, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebe­sar 0,863. Dengan demikian, kedelapan belas butir pertanyaan tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan sebagai instrumen penelitian.
Menurut pendapat beberapa ahli, integritas berarti kepatuhan yang kuat terhadap kode etik suatu bisnis, profesi, dan perusahaan dalam bekerja dengan kejujuran serta bertanggung jawab secara konsisten dan komprehensif. Etika moral bagi suatu profesi umumnya telah digariskan secara formal oleh institusi atau asosiasi profesi, dan juga dapat dalam bentuk yang tidak tertulis tapi telah dipraktikkan oleh profesi yang sama.
Integritas berarti kepatuhan yang kuat terhadap kode etik suatu bisnis, profesi, dan perusahaan dalam bekerja dengan kejujuran serta bertanggung jawab secara konsisten dan komprehensif.
Menurut Edratna, untuk mengetahui tinggi-rendahnya kadar integ- ritas, unsur-unsur yang perlu diteliti adalah 1. Pelaksanaan kode etik. 2. Bagaimana mengatasi jika terjadi benturan kepentingan dan keterlibatan dalam kasus yang berkaitan dengan etika atau kode etik yang berlaku. 3. Penggunaan wewenang yang dimiliki. 4. Tanggung jawab terhadap kepu­tusan yang diambil. 5. Komitmen untuk mengembangkan bawahan demi kemajuan organisasi. 6. Kadar kedisiplinan atau ketaatan pada peraturan perusahaan dan kode etik perusahaan atau profesi, dan kesediaan bekerja sama untuk memenuhi tuntutan organisasi.
Profesionalisme, menurut Robin Middlehurst dan Tom Kennie, me­nunjukkan ciri-ciri antara lain: 1. Memiliki tingkat penguasaan suatu di- siplin, keahlian, atau kejuruan dari suatu bidang profesi dengan senan- tiasa mengembangkannya, serta memerlukan kemampuan kepemimpin- an dan keahlian manajemen; 2. Menunjukkan tingkat pendidikan lebih tinggi yang telah dilewati, serta menunjukkan kemampuan untuk mem- pelajari dan mengumpulkan pengetahuan yang berkaitan dengan profesi, dan selalu menambah pengetahuan dari pengalaman praktik sehubungan dengan perkembangan lingkungan yang berubah dengan cepat; 3. Memi- liki tingkat intelektualitas yang tinggi, dengan menunjukkan kemampuan untuk memahami suatu kejadian yang baru dan dapat meresponsnya de- ngan cepat dan efektif. 4. Mematuhi standar tertentu dan etika profesio- nal, yang selalu dikaji ulang dan dimonitor dalam hal adanya perubahan dalam harapan terhadap tingkah laku profesional dan hubungan dengan klien atau nasabah. 5. Memiliki sikap tertentu terhadap "pekerjaan", na- sabah, dan sesama profesional, yang melibatkan pengabdian, unsur dapat dipercaya, fleksibilitas, dan kreativitas dalam kaitan dengan "hal-hal yang baru dan belum diketahui".
Secara konseptual, kejujuran/integritas dan profesionalisme adalah kepatuhan yang kuat terhadap kode etik suatu bisnis, profesi, dan perusa- haan sehingga menimbulkan suatu disiplin yang dapat membantu meng- analisis, menangani, dan mencegah konflik dalam konteks profesi dengan menggunakan dimensi moral, dibarengi dengan komitmen profesi untuk menerapkan keahlian dan pengetahuan perkreditan supaya tetap bersifat amanah dalam menjalankan tanggung jawab profesi yang diemban ter- hadap bank sebagai majikan atau pihak yang dilayani, dalam mencapai tujuan pekerjaan di bidang perkreditan secara objektif bagi bank.
Berdasarkan definisi konseptual di atas, dapat disusun definisi opera- sional bahwa kejujuran/integritas dan profesionalisme adalah suatu peri- laku seorang pejabat yang mengutamakan sikap jujur dan setia terhadap bidang tugasnya sehingga mampu menjauhkan dirinya dari konflik ke- pentingan dalam melaksanakan tugasnya, dan menerapkan keahlian dan pengetahuan dalam perkreditan secara objektif demi kepentingan profesi di bidang perkreditan.

Instrumen penelitian variabel kejujuran/integritas dan profesio- nalisme sebelum uji coba terdiri atas sejumlah pertanyaan dengan indi- kator-indikator sebagai berikut: Indikator Pengukuran Integritas: Frekuensi pelanggaran atau potensi pelanggaran etika profesi yang ditun- jukkan oleh tanda-tanda akan runtuhnya etika yang diuraikan ke dalam tingkat kepuasan dan impresi pihak pengawas dari Bank Indonesia ter- hadap para eksekutif atau pejabat perkreditan, ditinjau dari unsur-unsur berikut: (1) taat pada ketentuan-ketentuan perkreditan yang ditentukan oleh bank dan Bank Indonesia, dan taat pada kode etik profesi bankir Indonesia; (2) mendahulukan kepentingan pekerjaan atau profesi di atas kepentingan pribadi; (3) tidak terdapat adanya konflik kepentingan; ke- mudian Indikator Pengukuran Profesionalisme: Tingkat kepuasan dan impresi pihak pengawas dari Bank Indonesia terhadap para eksekutif atau pejabat perkreditan, ditinjau dari penguasaan dan pelaksanaan pe- kerjaan, sikap mental, dan komunikasi dengan pihak pengawas; diurai- kan ke dalam unsur-unsur berikut: (4) penilaian terhadap keahlian, pe­ngetahuan, dan kinerja teknis para pejabat kredit, serta penilaian terha- dap cara dan hasil penyelesaian yang dihadapi; (5) memperhatikan unsur risiko yang dihadapi dalam setiap transaksi perkreditan secara memadai, dan memperhatikan kepentingan bank baik jangka pendek maupun jang- ka panjang.
Setelah dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan, terdapat 18 butir yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya, 12 butir, tidak valid dan harus didrop. Terhadap ke-18 butir per- tanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil hasil a sebesar 0,878, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,804. Dengan demikian, kedelapan belas butir pertanyaan tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan sebagai instrumen penelitian.
Berdasarkan kajian para ahli seperti As-Syaikh Abdulrrazzaq Al Abbad, Immanuel Kant, dan A. Qodri Azyzy, dapat disusun definisi konseptual bahwa kadar spiritual atau keimanan merupakan suatu tingkat keyakin- an yang dibenarkan oleh hati, diucapkan dengan lidah, dan dibuktikan dengan amalan atau perbuatan; iman mempunyai implikasi keyakinan bahwa segala kerja akan bernilai ibadah dan menjadi amal akhirat jika dilakukan dengan niat dan proses yang benar sesuai dengan yang ditun- jukkan oleh agama.

Unsur keyakinan terhadap Tuhan ini akan membuat pekerjaan per- kreditan yang terkait dalam buku ini merupakan ibadah, yang harus di- lakukan dengan niat yang baik atau secara profesional dengan mengikuti prosedurnya menurut ketentuan yang berlaku dan diperlukan oleh tun- tutan profesi yang sejalan dengan hukum-hukum Tuhan. Dalam Islam, itu berarti pekerjaan tersebut memperhatikan keadilan, keseimbangan, kepercayaan atau amanah, dan menciptakan manfaat bagi orang banyak. Semua faktor ini bersifat universal, yang juga dikenal dalam kehidupan sehari-hari.
Atas dasar definisi konseptual tersebut, dapat disusun definisi opera- sional bahwa kadar spiritual merupakan suatu tindakan atau tingkah laku seseorang yang selalu berusaha untuk sesuai dengan tuntunan agama yang dianutnya, dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku, sehingga dalam melakukan pekerjaan dapat menghindari perbuatan-per- buatan yang menyimpang dan merugikan pekerjaan itu sendiri, institusi tempat bekerja, dan masyarakat pada umumnya.
Instrumen penelitian variabel kadar spiritual sebelum uji coba terdiri atas sejumlah indikator, yakni (1) niat yang benar, (2) rasa takut terhadap hukuman Tuhan, (3) berpegang teguh pada hati nurani, (4) merasa ba- hagia pada setiap pengambilan keputusan karena yakin telah melakukan yang benar, dan (5) berani menolak permintaan atasan atau pihak luar yang bertentangan dengan hati nurani.
Setelah dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- dapat 18 butir pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, se- dangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan harus didrop. Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a sebesar 0,886, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,853. Dengan demikian, kedelapan belas butir pertanyaan tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Kepemimpinan bermoral, menurut Deborah L. Rhode, memiliki unsur tindakan bermoral dari seorang pemimpin, termasuk memiliki kapasitas untuk menginspirasikan tindakan seperti itu kepada yang dipimpinnya. Seorang pemimpin disebut bermoral jika yang bersangkutan menunjuk- kan komitmen untuk melakukan tindakan yang benar, yang tidak saja meliputi kepatuhan terhadap hukum dan ketentuan yang berlaku, tetapi juga patuh terhadap prinsip-prinsip yang diterima secara umum, yaitu kejujuran, fair dealing, tanggung jawab sosial, dan sebagainya. Menurut Joshua Margolis dan Andrew Molinsky, kepemimpinan bermoral dapat
menghasilkan tindakan yang dapat digunakan sebagai contoh dalam melayani hak-hak, keper- luan, dan tuntutan pihak lain, walaupun tindak- an tersebut tidak menyenangkan dan menimbul- kan biaya baginya.
Berdasarkan analisis para ahli, dapat disusun definisi konseptual bahwa kepemimpinan yang ber- moral merupakan suatu tindakan dari seorang pe- mimpin yang selalu menggunakan standar ukuran moral, termasuk rasa keadilan (fair dealing), dan menunjukkan kadar keteladanan dalam melaksana­kan tugasnya dan dalam memimpin anak buahnya.
Atas dasar definisi konseptual tersebut, dapat disusun definisi ope- rasional bahwa kepemimpinan bermoral berarti segala tindakan yang di- lakukan oleh seorang pemimpin dalam memimpin anak buahnya selalu menggunakan standar moral sebagai acuannya.
Instrumen penelitian variabel kepemimpinan bermoral sebelum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan, dengan indikator-indikator antara lain: Seorang presiden direktur akan menunjukkan sifat-sifat (1) memberikan contoh kedisiplinan yang kuat, (2) menciptakan kultur keteladanan yang tepat bagi lingkungan pekerjaan, (3) dipandang sebagai orang yang men- jalani hidup yang tidak berlebihan, (4) selalu mengatakan yang benar dan menepati janji, dan (5) memberikan perlindungan kepada bawahan yang benar dan berprestasi.
Setelah dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan harus di- drop. Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a sebesar 0,897, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,847. Dengan demikian, kedelapan belas butir per­tanyaan tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Kepemimpinan bermoral berarti segala tindakan yang dilakukan oleh seorang pemimpin dalam memimpin anak buahnya selalu menggunakan standar moral sebagai acuannya.
Kultur organisasi/perusahaan adalah pola dari nilai dan kepercayaan yang dianut secara bersama dari waktu ke waktu yang menghasilkan norma tingkah laku yang dipakai dalam memecahkan suatu persoalan.3 Schein
berpendapat bahwa budaya perusahaan adalah suatu bentuk pemecahan persoalan, yang telah berlaku secara konsisten dan diajarkan kepada ang- gota baru sebagai suatu cara yang benar untuk memperoleh gambaran, memikirkan, dan merasakan persoalan tersebut. Kultur dimanifestasikan ke dalam kepercayaan dasar, asumsi, nilai, sikap, dan tingkah laku dari semua anggota organisasi, yang membentuk prosedur organisasi yang menyatukan kemampuan organisasi, menyediakan pemecahan yang di- hadapi organisasi, serta membantu atau menghambat pencapaian tujuan organisasi.4 Menurut Stephen P. Robbins, budaya organisasi merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan dalam organisasi, yang dijadikan filosofi kerja karyawan dan menjadi panduan bagi kebijakan organisasi dalam mengelola karyawan dan konsumen. Budaya organisasi yang kuat tumbuh, jika nilai-nilai dominan itu dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas oleh segenap anggota organisasi.
Berdasarkan kajian para ahli, dapat disusun suatu definisi konseptual bahwa budaya perusahaan adalah suatu susunan nilai dan kepercayaan, yang dianut secara bersama-sama dan dari waktu ke waktu dalam suatu perusahaan, sehingga menghasilkan norma tingkah laku yang dipakai oleh segenap anggota dalam melakukan interaksi di antara mereka, de- ngan menekankan pentingnya unsur SDM dengan keuntungan serta pe- ningkatan nilai pemegang saham.
Berdasarkan definisi konseptual di atas, dapat disusun definisi ope- rasional bahwa budaya perusahaan merupakan suatu nilai yang dianggap benar, dan dianut oleh suatu perusahaan dalam mengembangkan inter- aksi di antara sesama anggota perusahaan, yang menekankan pada unsur SDM dalam rangka memperoleh keuntungan dan meningkatkan nilai pe- megang saham.
Instrumen penelitian variabel budaya perusahaan sebelum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan, dengan indikator-indikator (1) memiliki tatan- an budaya yang diterjemahkan ke dalam visi dan misi organisasi yang je- las, (2) budaya tersebut dirasakan dan telah dianut oleh segenap pegawai yang ada, (3) budaya tersebut menjadi acuan interaksi karyawan dengan atasan, antara manajemen dan konsumen, dan dalam menyelesaikan konflik antarpegawai, (4) budaya tersebut berorientasi pada keuntungan jangka pendek dan panjang, dan (5) pengembangan SDM yang berkuali- tas merupakan perhatian sentral dari manajemen.
Setelah dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan tersebut, terdapat 18 butir pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan harus didrop. Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a sebesar 0,825, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,772. Dengan demikian, kedelapan belas butir pertanyaan tersebut di sam­ping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Kebijakan disiplin anggaran (hard budget constraints atau policy) dapat didefinisikan sama seperti menerapkan disiplin keuangan5, sehingga da- pat mendorong sikap yang lebih prudent bagi pejabat perkreditan. Sikap prudential ini antara lain: memberikan keputusan pemberian kredit ber- dasarkan penilaian objektif atas dasar kemampuan transaksi itu dalam menghasilkan arus kas, yang diharapkan untuk membayar angsuran po- kok dan bunga; pengakuan terhadap pendapatan yang berjalan dilakukan berdasarkan penilaian dan keyakinan penuh manajemen terhadap kuali- tas kredit atau janji pembayaran yang memiliki dasar kuat bahwa debi­tor benar-benar dapat membayarnya; cadangan piutang ragu-ragu (loan loss provisions) ditetapkan secara objektif, sehingga benar-benar dapat menutupi kerugian yang mungkin terjadi; penilaian kredit bermasalah atau berpotensi bermasalah dilakukan sesuai dengan fakta yang ada, dan segera ditindaklanjuti dengan tujuan memperkecil risiko kerugian yang mungkin terjadi, tanpa menambah eksposur kredit bank yang tidak per- lu, dengan tujuan perolehan arus kas yang optimal; penetapan klasifikasi kualitas kredit dilakukan dengan cermat, berdasarkan kajian perolehan arus kas dan kemampuan bayar debitor.
Berdasarkan atas analisis para ahli, dapat dikemukakan bahwa kebi- jakan disiplin anggaran merupakan suatu bentuk disiplin dalam bidang keuangan, yang dilakukan oleh pejabat perkreditan dalam memutuskan permohonan kredit atas dasar penilaian objektif, yang bersandar pada perolehan arus kas dengan menyeimbangkan unsur risiko yang dihadapi, penanganan kredit bermasalah yang aktif dan segera, pencatatan pen- dapatan dan tingkat kolektibiltas secara objektif, serta menyediakan ca­dangan piutang ragu-ragu secara memadai.
Atas dasar definisi konseptual tersebut di atas, dapat disusun de- finisi operasional bahwa kebijakan disiplin anggaran merupakan suatu keputusan yang diambil oleh pejabat perkreditan dalam meloloskan atau menolak permohonan kredit yang diajukan oleh calon debitor atas dasar
perolehan arus kas, penanganan kredit bermasa- lah yang optimal dan tidak ditunda, pencatatan pendapatan dan kolektibiltas dilakukan secara benar dan objektif, serta menyediakan cadangan piutang ragu-ragu yang memadai.
Instrumen penelitian variabel kebijakan di­siplin anggaran sebelum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan, yang memiliki indikator-indikator (1) jumlah cadangan ragu-ragu lebih besar dari ke- mungkinan penghapusan piutang atau kredit atau pembiayaan bermasalah, atau penghapusan kre- dit di masa lalu paling tidak sebagian besar selalu dapat ditutup oleh cadangan yang telah disedia- kan, (2) pencatatan pendapatan dan kolektibilitas selalu dilakukan secara benar dan objektif, (3) setiap kredit yang diberikan selalu diyakini mem- punyai potensi untuk dikembalikan berikut bunganya, dengan mengkaji perolehan keuntungan dan mempertimbangkan risiko yang dihadapi, (4) kredit atau pembiayaan bermasalah selalu diselesaikan dalam waktu yang lebih cepat, dengan mengacu pada perolehan arus kas dan memperkecil kerugian yang mungkin terjadi, dan (5) perolehan jaminan selalu mem- perhatikan kebutuhan terhadap penutupan risiko yang dihadapi, dan ber- nilai jual seperti yang diharapkan.
Setelah dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan harus di- drop. Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a sebesar 0,905, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,827. Dengan demikian, kedelapan belas butir per- tanyaan tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Penghargaan yang bersifat positif diberikan untuk tindakan atau tingkah laku di masa lalu dan dapat membuat orang itu mengulangi tindakan atau tingkah laku tersebut.
Mengenai penghargaan (reward), Buhler, mengacu pada hukum akibat dari Thorndike6. Hukum ini mengatakan bahwa penghargaan yang ber- sifat positif diberikan untuk tindakan atau tingkah laku di masa lalu, dan dapat membuat orang itu mengulangi tindakan atau tingkah laku terse- but. Penghargaan dapat berupa finansial atau nonfinansial, tetapi yang
dapat dihargai oleh orang yang menerimanya. Agar menjadi efektif, pem­berian penghargaan diadministrasikan secara random. Tingkah laku yang dihargai adalah tingkah laku yang positif yang dapat mendukung kultur organisasi, dan pencapaian target organisasi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang; dan diharapkan dapat ditiru oleh eksekutif atau pegawai yang lain.
Hukuman (penalty), menurut Buhler, dapat diberikan bagi pelang- garan disiplin terhadap ketentuan dan peraturan organisasi, tetapi harus dilakukan secara konsisten dan sesuai dengan apa yang dilanggar. Bagi ke­jahatan kerah putih, Ivancevich et al. merekomendasikan kepada manaje- men untuk melakukan tindakan proaktif, dan mempertimbangkan secara adil dan tepat dalam memberikan sanksi hukum yang jelas dan tegas.
Berdasarkan hasil kajian para ahli, dapat disusun definisi konseptual bahwa reward adalah suatu bentuk penghargaan, yang diberikan perusa- haan baik berupa uang maupun bukan, kepada seorang karyawan yang telah berjasa kepada perusahaan. Sebaliknya, penalty merupakan suatu bentuk hukuman yang diberikan kepada karyawan, yang dianggap telah melanggar suatu aturan.
Atas dasar definisi konseptual tersebut di atas, dapat disusun definisi operasional bahwa sistem penghargaan dan hukuman (reward and pe­nalty system) merupakan suatu bentuk penghargaan atau hukuman yang diberikan kepada karyawan, sebagai akibat jasa atau kesalahan yang telah dilakukan karyawan yang bersangkutan terhadap perusahaan.
Instrumen penelitian variabel sistem penghargaan dan hukuman sebelum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan dan memiliki sejumlah indi­kator, yaitu indikator pengukuran penghargaan: (1) penilaian ki­nerja berkala, (2) jalur promosi dengan kenaikan kompensasi yang jelas dan pemberian hadiah pada waktu-waktu tertentu berdasarkan kriteria tertentu, dan indikator pengukuran hukuman: (3) terdapat sistem pengenaan hukuman yang bertingkat terhadap pelanggaran ketentuan perusahaan atau hukum positif yang berlaku, (4) pengenaan hukuman dengan melaporkan ke pihak berwajib terhadap penyelewengan kerah pu- tih, (5) pelaksanaan pengenaan sanksi yang konsisten terhadap substansi kesalahan yang sama dari waktu ke waktu.
Setelah dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan harus di- drop. Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a sebesar 0,884, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,853. Dengan demikian, kedelapan belas butir per- tanyaan tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Menurut McKinley, kultur kredit adalah kombinasi dari berbagai faktor yang membentuk lingkungan perkreditan yang mendorong tingkah laku perkreditan tertentu, yang terdiri atas komunikasi manajemen tentang nilai-nilai dan skala prioritas, indoktrinasi selama training bagi pejabat kredit, serta kebijakan dan filosofi pemberian pinjaman yang dianut bank. Kultur kredit adalah kombinasi yang unik dari kebijakan, praktik, peng- alaman, dan sikap manajemen yang membentuk pengertian terhadap ling- kungan perkreditan, dan menentukan tingkah laku pemberian kredit yang diterima oleh bank. Secara umum, budaya kredit berarti suatu sistem yang meliputi tingkah laku, kepercayaan, filosofi, pemikiran, gaya, dan ekspresi yang berkaitan dari fungsi perkreditan yang dianut manajemen.
Menurut John Caouette, Edward Altman, dan Paul Narayanan, kul- tur kredit merupakan kumpulan prinsip, tindakan atau kegiatan, ram- bu-rambu, dan insentif dalam organisasi pemberi pinjaman. Banc One, misalnya, bekerja di sekitar prinsip-prinsip berikut: 1. Berorientasi pada nasabah. 2. Lebih menyukai eksposur yang lebih kecil. 3. Mengerti me- ngenai bisnis calon debitor. 4. Mengerti mengenai toleransi risiko dan tu- juan keuntungan ketika melakukan analisis kredit. 5. Mengerti bagaimana menghindari pinjaman bermasalah bukan selalu berarti merupakan suatu indikasi kinerja yang baik. 6. Komunikasi yang terbuka dan langsung de- ngan para pegawai.
Berdasarkan hasil kajian para ahli, dapat disusun definisi konseptu- al bahwa kultur kredit merupakan suatu kombinasi dari berbagai faktor yang membentuk lingkungan perkreditan, dan mendorong tingkah laku perkreditan tertentu, yang terdiri atas komunikasi manajemen tentang nilai-nilai dan skala prioritas, indoktrinasi dan pelatihan bagi pejabat kre­dit, dan kebijakan serta filosofi pemberian pinjaman yang dianut bank.
Atas dasar definisi konseptual tersebut di atas, dapat disusun definisi operasional bahwa kultur kredit atau pembiayaan adalah suatu kebijakan tata cara dan tata kelola bagi pemberian kredit atau pembiayaan dalam suatu lembaga perbankan.
Instrumen penelitian variabel budaya kredit atau pembiayaan sebe- lum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan, dengan indikator-indikator (1) memiliki kebijakan perkreditan atau pembiayaan yang jelas, terutama kriteria-kriteria kredit mana dengan dasar-dasar apa yang dapat diper- timbangkan; (2) kebijakan perkreditan atau pembiayaan tersebut telah dipahami dan diterapkan secara konsisten oleh semua pejabat perkreditan atau pembiayaan dari tingkat direksi sampai tingkat pelaksana; (3) kebi­jakan perkreditan atau pembiayaan tersebut telah mempertimbangkan unsur pendapatan terhadap risiko yang dihadapi, baik dalam jangka pen­dek maupun dalam jangka panjang; (4) penyimpangan terhadap kebijakan perkreditan atau pembiayaan yang ada merupakan sesuatu yang bersifat langka untuk terjadi; (5) selalu melakukan kajian ulang secara menyelu- ruh, jika terjadi suatu kredit atau pembiayaan menjadi bermasalah.
Setelah dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan harus di- drop. Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a sebesar 0,931, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,836. Dengan demikian, kedelapan belas butir per- tanyaan tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Dari tulisan Koford and Tshoegl, disebutkan bahwa pengecekan reputasi dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengetahui reputasi seorang ca- lon debitor, baik individu maupun perusahaan, terutama mengenai seja- rah pembayaran kewajibannya terhadap bank atau pihak lain, termasuk sikap kerja sama dan keterbukaannya terhadap kreditor. Reputasi yang buruk dari seseorang atau perusahaan berarti bahwa pihak yang dimak- sud tersebut memiliki catatan pembayaran yang lambat, atau kurang me- miliki sikap kerja sama atau keterbukaan.
Berdasar atas kajian para ahli, dapat disusun definisi konseptual bahwa pengecekan reputasi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui reputasi seorang calon debitor, baik individu maupun perusahaannya, mengenai sejarah pembayaran kewajibannya pada bank atau pihak lain, termasuk sikap mau bekerja sama dan keterbukaannya terhadap kreditor.
Atas dasar definisi konseptual tersebut di atas, dapat disusun definisi operasional bahwa pengecekan reputasi merupakan segala upaya yang dilakukan pihak bank kepada calon debitornya, yang berkaitan dengan pengumpulan informasi tentang sejarah pembayaran kembali kewajiban-kewajibannya baik kepada bank maupun kepada kreditor lainnya, termasuk sikap mau bekerja sama dan terbuka terhadap semua informasi yang diinginkan kreditor.
Instrumen penelitian variabel pengecekan reputasi sebelum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan, dengan indikator- indikator (1) usaha pengecekan reputasi mengenai setiap calon debitor kepada kreditor lain, pemasok bahan baku secara kredit, kompetitor di industri yang sama, atau lainnya, (2) pengecekan catatan kolektibilitas calon debitor pada Bank Indonesia, (3) pengecekan reputasi diukur dengan pembayaran kewajiban yang tepat waktu, dan impresi mengenai sikap keterbukaan dan kerja sama ketika bank mulai berhubungan dengan calon debitor, (4) pengkajian informasi yang diperoleh, dibandingkan dengan impresi ketika berhubungan dengan calon debitor pada tingkat awal, (5) keputusan untuk melanjutkan atau tidak hubungan dengan calon konsumen.
Setelah dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan harus di- drop. Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a sebesar 0,955, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,892. Dengan demikian, kedelapan belas butir per­tanyaan tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Pada umumnya, uji tuntas dipakai ketika suatu pihak akan membeli perusahaan lain atau untuk transaksi bisnis lainnya seperti transaksi di pasar modal.
Uji tuntas (due diligence) adalah istilah yang digunakan untuk penyelidik- an guna menilai kinerja perusahaan atau seseorang, ataupun kinerja suatu kegiatan guna memenuhi standar baku yang ditetapkan.7 Pada umumnya, uji tuntas dipakai ketika suatu pihak akan membeli perusahaan lain, atau untuk transaksi bisnis lainnya seperti transaksi di pasar modal. Menurut
Puranam, Powell, dan Singh, uji tuntas berarti kegiatan melakukan ana- lisis secara terperinci mengenai kondisi perusahaan yang akan diakuisisi, melakukan verifikasi mengenai catatan keuangan, meneliti masalah yang berkaitan dengan hukum, dan melakukan penyelidikan terhadap kemung- kinan adanya potensi masalah hukum. Hasil uji tuntas yang baik akan di- gunakan sebagai dasar untuk penutupan suatu transaksi.
Dalam hal pemberian kredit, menurut Wu (2002), uji tuntas yang harus dilakukan bank adalah meneliti kemampuan debitor untuk mem- bayar utangnya kembali, dengan memahami secara mendalam bisnis atau usaha calon debitor dan risiko yang terkait. Pendapat ini didukung oleh McGovern, yakni penekanan kegiatan uji tuntas diarahkan pada analisis arus kas. Melalui alat ini, diteliti sejarah dan proyeksi kemampuan arus kas calon debitor dalam rangka membayar kembali utang-utangnya.
Adapun pengertian kepedulian (due care), diambil dari doktrin hukum korporasi yang berbunyi "para direksi melakukan pekerjaannya dengan tingkat kepedulian (due care), sebagaimana seorang awam yang umum melakukan pekerjaan yang sama dengan tingkat kehati-hatian dan kearifan atau sikap prudent, yang diperlukan dalam posisi yang sama dalam situasi yang sama".8 Tercakup dalam pengertian ini adalah tugas para direksi untuk melakukan monitoring dan tugas bertanya, serta tugas untuk membuat keputusan yang tepat sehubungan dengan apa yang harus dilakukan. Kepedulian meliputi kegiatan untuk melakukan kajian ulang secara reguler terhadap pinjaman yang telah diberikan, yaitu mengkaji apakah terdapat penyimpangan dari kebijakan atau prinsip- prinsip pinjaman yang sehat, atau adanya kecenderungan yang tidak baik pada debitor atau usahanya.
Berdasar analisis para ahli, dapat disusun definisi konseptual bahwa uji tuntas (due diligence) dan kepedulian (due care) merupakan tindak- an penelitian yang mendalam dan secara menyeluruh, serta memonitor secara terus-menerus, terhadap kemampuan debitor untuk membayar kembali utangnya sampai lunas, dengan memahami secara mendalam bisnis atau usaha calon debitor dan risiko yang terkait.
Atas dasar definisi konseptual tersebut di atas, dapat disusun defini- si operasional bahwa uji tuntas dan kepedulian merupakan suatu upaya pihak bank untuk mengetahui secara meyakinkan, apakah kredit yang di- pinjam oleh debitor dapat dibayar kembali berikut bunganya dari usaha atau bisnis yang dijalankan oleh calon debitor, atau pembiayaan yang akan dilakukan bank kepada calon nasabah dapat menghasilkan keuntungan.
Instrumen penelitian variabel uji tuntas dan kepedulian sebelum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan, dengan indikator-indikator pengukur­an uji tuntas: (1) melakukan investigasi terhadap sejarah reputasi, ke- uangan, dan proyeksi arus kas debitor, (2) melakukan analisis kualitatif mengenai perkembangan usaha serta kekuatan dan kelemahan posisi pasar barang/jasa perusahaan, dan industri di mana debitor beroperasi, serta mempelajari pengaruh kemungkinan perubahan ekonomi terhadap perolehan keuntungan dan kelanjutan usaha debitor, (3) meneliti per- mintaan kredit atau pembiayaan yang diperlukan dan dokumen-doku- men perusahaan dan jaminan, dan indikator pengukuran kepedulian: (4) memperoleh dan mengkaji laporan berkala mengenai perkembangan usaha dan pinjaman atau pembiayaan debitor, laporan hasil audit kredit atau pembiayaan setiap debitor yang berpotensi bermasalah, serta meng- kaji kekuatan dan kelengkapan dokumen kredit dan jaminan atau pem- biayaan, dan menindak lanjutinya, (5) melakukan kunjungan berkala ke tempat usaha debitor dan mengikuti perkembangan ruang lingkup usaha debitor, serta melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Setelah dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan harus di- drop. Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas dengan hasil a sebesar 0,917, lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,846. Dengan demikian, kedelapan belas butir per- tanyaan tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Pengawasan kredit (pembiayaan) internal, menurut McGovern, adalah kegiatan untuk melakukan kajian ulang secara reguler terhadap pinjaman atau pembiayaan yang telah diberikan, yaitu mengkaji apakah terdapat pe- nyimpangan dari kebijakan atau prinsip-prinsip pinjaman atau pembiaya- an yang sehat, atau mengkaji apakah terdapat kecenderungan yang tidak baik pada debitor atau usahanya; dilakukan oleh pihak yang independen yang tidak terkait dengan pihak yang memproses kredit atau pembiayaan. Hasil pengawasan ini harus ditindaklanjuti agar keadaan kredit atau pem- biayaan tidak akan berkembang menjadi lebih buruk, sehingga kemung- kinan timbulnya kerugian dapat diminimalkan.
Berdasarkan analisis McGovern dan lain-lain dapat dikemukakan de- finisi konseptual, bahwa pengawasan internal merupakan suatu kegiatan melakukan kajian ulang secara reguler terhadap pinjaman atau pembiaya- an yang telah diberikan, untuk mengetahui apakah telah terjadi penyim- pangan dari kebijakan atau prinsip-prinsip pinjaman atau pembiayaan yang sehat, atau adanya kecenderungan yang tidak baik pada debitor atau usahanya.
Berdasar atas definisi konseptual tersebut di atas, dapat disusun de- finisi operasional bahwa pengawasan kredit (pembiayaan) internal meru- pakan suatu kegiatan menganalisis kembali pinjaman atau pembiayaan yang telah diberikan, apakah terdapat penyimpangan dari ketentuan dan kebijakan yang berlaku atau tidak oleh pihak independen dan pelaksana­an tindak lanjut dari hasil audit.
Instrumen penelitian variabel pengawasan internal sebelum uji coba terdiri atas 30 pertanyaan, dengan indikator-indikator audit kredit regu- ler, seperti: (1) mengkaji ulang dasar pemberian kredit atau pembiayaan, (2) mengkaji ulang ketentuan-ketentuan perkreditan atau pembiayaan yang berlaku dan berkaitan dengan kredit atau pembiayaan yang sedang diaudit, termasuk kewenangan pemberian kredit atau pembiayaan, (3) mengkaji ulang tingkat perolehan keuntungan dibandingkan dengan risi- ko yang dihadapi, (4) mengkaji ulang perkembangan kualitas kredit atau pembiayaan dan risiko yang dihadapi, (5) mengikuti tindak lanjut hasil laporan kredit audit atau audit pembiayaan dari waktu ke waktu.
Setelah dilakukan uji coba, ternyata dari ke-30 butir pertanyaan ter- sebut, terdapat 18 butir pertanyaan yang valid dengan r kriteria sebesar 0,3000, sedangkan sisanya sebanyak 12 butir tidak valid dan harus di- drop. Terhadap ke-18 butir pertanyaan tersebut kemudian dilakukan uji realibilitas, dengan hasil a sebesar 0,934 lebih tinggi dari a sebelum uji realibilitas sebesar 0,884. Dengan demikian, kedelapan belas butir per- tanyaan tersebut di samping valid juga reliabel sehingga dapat dijadikan instrumen penelitian.
Uji coba instrumen penelitian dilaksanakan pada Semester Ganjil Ta­hun Akademik 2009/2010, di kantor Bank Agro Plaza GRI, Jalan H.R. Rasuna Said Blok X-2, No. 1, Jakarta, dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang karyawan bagian kredit dan bagian lain yang ada kaitannya
dengan masalah perkreditan untuk bank konven- sional; dan di kantor Bank Muamalat, Arthaloka Building, Jalan Jend. Sudirman No. 2, Jakarta, dengan jumlah sampel sebanyak 30 orang karya- wan bagian kredit dan bagian lain yang ada ka- itannya dengan masalah perkreditan untuk bank syariah, serta masing-masing satu orang peng- awas atau pejabat senior dari bank-bank yang bersangkutan.
Setelah data hasil uji coba instrumen tiap- tiap variabel penelitian dikumpulkan, dilakukan pengujian validitas dan realibilitas, guna menge- tahui apakah butir pertanyaan dalam instrumen uji coba variabel-variabel penelitian tersebut sudah valid dan reliabel ataukah belum.
Uji validitas digunakan guna menguji apakah semua butir pertanya­an yang diajukan dalam instrumen uji coba tiap-tiap variabel penelitian itu valid (sahih) atau tidak dengan menggunakan r kriteria sebesar 0,30 Kerlinger. Untuk butir-butir pertanyaan yang valid atau sahih, dapat di- lakukan pengujian selanjutnya. Sebaliknya, butir-butir pertanyaan yang tidak valid atau sahih harus didrop atau dibuang.
Dalam penelitian ini, validitas data diuji dengan menggunakan uji Alpha Bronsteed, yakni jika:
-           Nilai alpha if item deleted < 0,3000, maka populasi dinyatakan tidak valid
-           Nilai alpha if item deleted > 0,3000, maka populasi dinyatakan valid
Metode pengumpulan data dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada para pejabat perbankan dan pengawas atau pejabat senior bank terkait.
Adapun uji reliabilitas bertujuan untuk mengukur konsistensi ja­waban responden terhadap butir-butir pertanyaan yang diajukan dalam instrumen uji coba tiap-tiap variabel penelitian. Pengujiannya dilaku- kan dengan cara membuang butir-butir pertanyaan yang dinyatakan ti- dak valid, sehingga akan diperoleh nilai alpha setelah Uji Reliabilitas > dari nilai alpha 0,6 sebelum Uji Reliabilitas. Hal tersebut menunjukkan bahwa butir-butir pertanyaan yang ada valid dan reliabel atau sahih dan konsisten.
Penelitian ini menggunakan data primer, yaitu data langsung dari res- ponden yang merupakan pejabat di bagian marketing, manajemen risiko, dan remedial, di samping para pengawas internal bank atau pejabat seni­or. Metode pengumpulan data dilakukan dengan membagikan kuesioner kepada para pejabat perbankan dan pengawas atau pejabat senior bank terkait.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Varian (Anova). Setelah dikumpulkan, data yang diperlukan dalam pene- litian ini diolah dan secara bertahap dibahas untuk tiap kelompok, mulai dari (1) perbedaan pengaruh kemampuan dan pengetahuan kredit atau pembiayaan petugas analis kredit atau pembiayaan terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah; (2) perbedaan pengaruh integritas dan profesionalisme petugas analis kredit atau pem- biayaan terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah; dan seterusnya hingga (11) perbedaan pengaruh pengawas- an kredit (pembiayaan) internal terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah; dan (12) perbedaan pengaruh se- mua variabel bebas secara bersama-sama terhadap NPL pada bank kon- vensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
Pembahasan data hasil penelitian survei ini dilakukan dengan urutan sebagai berikut: Pertama, mengolah data mentah hasil penelitian meng- gunakan statistik deskriptif. Kemudian berdasarkan pengolahan data tersebut disajikan berbagai ukuran, yang meliputi (1) kecenderungan me- musat (central tendency), seperti mean, median, dan modus; (2) ukuran keragaman (dispersi), yang mencakup nilai maksimum dan minimum, simpangan baku (standard deviation), dan varian; (3) ukuran desil atau persentil; (4) distribusi frekuensi; (5) grafik berupa histogram dan poli- gon; dan (6) kemiringan (skewness) dan keruncingan (kurtosis).
Kedua, melakukan pengujian persyaratan analisis. Pengujian ini di- mulai dengan uji normalitas, dengan parameter One Sample Kolmogorov Smirnov Test, terhadap variabel-variabel NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah, kemampuan dan pengetahuan kredit petu- gas analis kredit atau pembiayaan, integritas dan profesionalisme petugas analis atau pejabat kredit/pembiayaan, kadar spiritual petugas analis atau pejabat kredit/pembiayaan, kepemimpinan bermoral, kultur perusahaan, kebijakan disiplin anggaran, sistem penghargaan dan hukuman, kultur kredit/pembiayaan, pengecekan reputasi, uji tuntas dan kepedulian, dan pengawasan kredit/pembiayaan internal, dengan cara membandingkan hasil pengujiannya, yakni jika Asymp.Sig. (2-tailed) > 0,05, maka sebaran data berdistribusi normal, dan bisa dilakukan pengujian persyaratan ana- lisis lebih lanjut. Sebaliknya, jika hasil pengujian menunjukkan Asymp. Sig. (2-tailed) < 0,05, maka sebaran data dinyatakan berdistribusi tidak normal, dan tidak bisa dilakukan pengujian persyaratan analisis lebih lanjut. Setelah uji normalitas, dilakukan uji homogenitas dengan meng­gunakan Leven Test Statistic.
Ketiga, melakukan pengujian hipotesis, menggunakan statistika in- ferensial. Analisis ini dimaksudkan untuk menguji apakah terdapat per- bedaan antara (1) pengaruh kemampuan dan pengetahuan kredit atau pembiayaan petugas analis atau pejabat kredit atau pembiayaan terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah; (2) pengaruh integritas dan profesionalisme petugas analis atau pejabat kre- dit atau pembiayaan terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah; dan seterusnya hingga (11) pengaruh pengawas- an kredit (pembiayaan) internal terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah; dan (12) pengaruh semua variabel bebas secara bersama-sama terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
Adapun langkah-langkah pengujian hipotesis ini dimulai dengan me- nyusun hipotesis uji perbedaan dengan menggunakan Tabel Anova. Tabel Anova tersebut kemudian diuji signifikansinya, dengan menggunakan Uji-F. Uji perbedaan tersebut adalah signifikan jika Fhitung lebih besar da- ripada Ftabel dengan Program Statistical Product and Services Solutions (SPSS) versi 12.0.
Keempat, pengambilan keputusan atas hipotesis yang diajukan, dite- rima ataupun ditolak, berdasarkan analisis data tersebut di atas. Adapun hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut:
1.        Diduga terdapat perbedaan penerapan kemampuan dan penge- tahuan kredit atau pembiayaan oleh petugas analis atau pejabat kredit yang lebih baik terhadap NPF pada bank syariah daripada terhadap NPL pada bank konvensional.
2.        Diduga terdapat perbedaan yang lebih baik antara integritas dan profesionalisme petugas analis atau pejabat kredit atau pembia- yaan terhadap NPF pada bank syariah daripada terhadap NPL pada bank konvensional.
3.        Diduga terdapat perbedaan yang lebih baik antara kadar sipiri- tual petugas analis atau pejabat kredit atau pembiayaan terha- dap NPF pada bank syariah daripada terhadap NPL pada bank konvensional.
4.        Diduga terdapat perbedaan antara moral kepemimpinan terha- dap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
5.        Diduga terdapat perbedaan antara kultur perusahaan terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank sya- riah.
6.        Diduga terdapat perbedaan antara kebijakan disiplin anggaran terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
7.        Diduga terdapat perbedaan antara penghargaan dan hukuman terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
8.       Diduga terdapat perbedaan antara kultur kredit terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
9.        Diduga terdapat perbedaan antara pengecekan reputasi terha- dap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
10.    Diduga terdapat perbedaan antara uji tuntas dan kepedulian terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
11.     Diduga terdapat perbedaan antara pengawasan kredit (pembia- yaan) internal atau audit kredit atau pembiayaan terhadap NPL pada bank konvensional dan terhadap NPF pada bank syariah.
12.     Diduga terdapat perbedaan antara kemampuan dan pengetahu- an kredit, integritas dan profesionalisme, kadar spiritual, moral kepemimpinan, kultur organisasi, kebijakan disiplin anggaran, penghargaan dan hukuman, budaya kredit (pembiayaan), penge- cekan reputasi, uji tuntas dan kepedulian, dan pengawasan kre- dit (pembiayaan) internal, secara bersama-sama terhadap NPL pada bank konvensional, dan terhadap NPF pada bank syariah.
1       Ketentuan Kolektibilitas Bank Indonesia.
2       Sugiyono (2007: 113).
3       Hanna (2003: 10); Owen (1987); Schein (1990).
4       Deal dan Kennedy (1982), Jarnagin G Slocum (2007); Day (1994); Schein (1984), Denison (1990).
5       Lago (2002); Kornai (2001).
6       Hukum akibat yang dimaksud di sini adalah bahwa pengulangan tingkah laku yang membuat hadiah diberikan hanya akan berulang karena tingkah laku itu merupakan tindakan logis menurut akal yang sehat, dapat dirasakan dan di- lihat hasilnya, bukan karena akibat pemberian hadiah semata-mata (Wallach dan Henle, 1940).
7       Wikipedia.
Bradson (2002).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar