Martin
Brownbridge menguraikan penyebab kegagalan dan ditutupnya sejumlah bank, dan lembaga
finansial bukan bank (non-bank financial institution/NBFI) di negara-negara tersebut. Di Kenya, 2 bank
lokal dan 10 NBFI
ditutup tahun 1984-1989, dan kemudian menyusul 5 bank dan 10 NBFI pada 1993-1996. Di
Nigeria, 4 bank lokal dilikuidasi dan 1 dicabut izinnya pada 1994, dan 13 lainnya diambil alih oleh pemerintah
tahun 1995. Di
Zambia, 3 bank lokal ditutup tahun 1995, dan lainnya tahun 1991, tetapi kemudian direstrukturisasi dan
dibuka kembali. Di Uganda, 1 bank lokal ditutup tahun 1994, dan 2 diambil alih untuk direstrukturisasi
tahun 1995. Bank
yang mengalami kegagalan ini mewakili 11 persen dari total aset di Kenya, 8 persen di Nigeria, 23
persen Zambia, dan 6 persen Uganda.
Penyebab utama kegagalan ini adalah adanya NPL yang besar,
yang terjadi karena
hal-hal berikut:
Pertama, insider lending,
merupakan kontributor terbesar terhadap NPL: 65 persen di Nigeria dan 50 persen di Uganda diberikan
kepada direksi dan
pegawai. Banyak dari pinjaman ini digunakan dalam proyek spekulatif seperti pembangunan
real estat, melanggar BMPK, dan tidak menghasilkan dalam jangka pendek.
Kedua, moral hazard. Insider lending berkaitan dengan moral hazard yang parah, yang dipengaruhi oleh hal-hal berikut: para
politisi ber- tindak
sebagai pemilik dan direksi bank, dan modal bank sangat rendah. Hal-hal ini menyebabkan mereka
mengorbankan kepentingan para depo- san untuk proyek mereka yang berisiko tinggi. Konsentrasi
kepemilikian bank
yang tinggi berada pada segelintir orang atau keluarga. Para pejabat bank tidak lepas dari pengaruh
pemilik dalam membuat keputusan ope- rasional.
Ketiga, pemberian pinjaman
kepada debitor berisiko tinggi. Hal ini menyangkut masalah moral
hazard, baik dari segi bank maupun debitor peminjam, di samping terjadi
masalah adverse selection yang seharusnya ditolak tetapi tetap diberikan kredit.
Keempat, kurangnya
pengalaman dan keahlian pejabat bank dalam menyeleksi calon debitor, memonitor kinerja debitor, dan
prosedur dan administrasi
perkreditan serta pengawasan internal yang buruk.
Kelima, ketidakstabilan
ekonomi makro. Ditunjukkan oleh inflasi yang tinggi (tahun 1990-an: 191 persen di Zambia, 46 persen di
Kenya, 70 persen di
Kenya, dan 230 persen di Uganda), yang mengakibatkan tingkat bunga riil berfluktuasi secara
tajam dan tidak dapat diprediksi.
Keenam, pengawasan dan peraturan perbankan yang sangat lemah.
Ana-Maria
Fuertes dan Zulma Espinola28 menguraikan masalah yang ber- kaitan dengan krisis perbankan
di negara ini. Tahun 1989, Paraguay me- lakukan serentetan reformasi keuangan yang mencakup antara
lain libe- ralisasi
tingkat bunga dan deposito valuta asing, penurunan reserve requirement, dan
penghapusan kontrol pemberian kredit selektif untuk sektor swasta. Reformasi ini tidak
dibarengi dengan mekanisme pengawasan dan peraturan keuangan yang tepat, sehingga terjadilah krisis
perbank- an.
Sebanyak 50 persen dari lembaga perantara keuangan ditutup atau diintervensi. Biaya krisis
diperkirakan mencapai 7 sampai 12 persen dari GDP. Penyebabnya, antara lain, lemahnya manajemen bank,
kurangnya tenaga
spesialis dalam manajemen risiko kredit, tidak lengkapnya sistem informasi, serta kurangnya
transparansi dan ekonomi informal.
Deregulasi
pasar keuangan dan sektor perbankan tahun 1982-199229 mendorong
bertambahnya capital inflow dan ekspansi kredit yang pesat.
Tetapi, sektor keuangan dengan pengalaman yang
terbatas melakukan tindakan
pengambilan risiko yang berlebihan. Pengambilan risiko yang berlebihan ini secara implisit
dan eksplisit didorong oleh adanya asuransi deposito pemerintah, dan menimbulkan moral hazard.
Bank-bank domestik melakukan pilihan konsumen yang salah (adverse selection),
karena konsumen yang baik mengambil pinjaman de- ngan tingkat bunga yang lebih rendah dari pasar internasional.
Selain itu, insider
lending sudah merajalela, yakni para direksi bank
memberikan kredit
kepada perusahaan mereka sendiri.30 Akibatnya, NPL meningkat menjadi 6 persen pada awal 1994
dan 8 persen di akhir 1994. Namun, ba- nyak pihak berpendapat, krisis perbankan 1994-199531
terjadi, terutama karena
krisis neraca pembayaran di mana akhirnya peso didevaluasi pada 1994,32 bukan karena
adanya tingkat NPL yang tinggi. Dengan kata lain,
sumber ini berpendapat bahwa variabel makrolah
yang menyebabkan timbulnya
NPL tersebut.
Namun, pendapat lain mengatakan, terlepas dari devaluasi peso
tahun 1994,
pemburukan di sektor perbankan telah terjadi dan meluas.33 Hal ini- lah yang membuat sektor
perbankan menjadi rapuh terhadap penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi. NPL tetap berada di tingkat yang
tinggi, yaitu di
atas 11 persen pada 199634 (12,3 persen pada 1995) walaupun per- tumbuhan ekonomi membaik,
mencapai tingkat rata-rata 5,5 persen sela- ma 1996-1998. Masalah NPL ini berkaitan dengan apa yang
disebut lending boom, di mana kredit domestik berekspansi secara pesat. Ekspansi kredit ini tidak didukung oleh
kultur kredit yang kuat, tanpa kemampuan proses check and balance yang tepat, dalam rangka meneliti atau menolak calon konsumen berisiko tinggi,
berdasarkan kriteria pemberian kredit yang mengacu pada sejarah kredit yang sehat,35
serta menghindari self lending kepada berbagai bagian dari struktur organisasi universal banking.36
Selain itu, terdapat sejumlah faktor terkait lainnya yang
tidak kon- dusif
sehingga memberikan kontribusi terhadap timbulnya masalah NPL, yaitu lemahnya peraturan
perbankan (termasuk mengenai laporan akunting) yang berkaitan dengan past due loans, tidak
adanya kontrol terhadap
tingkah laku pemilik bank atau lingkungan pengawasan, lemah- nya peraturan pada umumnya,
tidak pernah mempertimbangkan tingkat profitabilitas dan viabilitas proyek yang akan dibiayai atau
sektor di mana
calon debitor berusaha. Di samping itu, tidak adanya credit reporting swasta dan lemahnya sistem internal analisis kredit memperburuk keadaan tersebut. Sebagai faktor tambahan, pro- sedur kepailitan merupakan hal yang rumit, di mana penegakan hukum HAKI (property rights) masih sulit dicapai.
calon debitor berusaha. Di samping itu, tidak adanya credit reporting swasta dan lemahnya sistem internal analisis kredit memperburuk keadaan tersebut. Sebagai faktor tambahan, pro- sedur kepailitan merupakan hal yang rumit, di mana penegakan hukum HAKI (property rights) masih sulit dicapai.
Untuk meletakkan sektor perbankan pada dasar yang kuat, tahun 1996
pemerintah Mek- siko
mendesak para bankir untuk menerapkan sikap prudential dengan menerapkan berbagai peraturan, sebagai berikut: menerbitkan laporan keuangan konsolidasi, termasuk
semua usaha anak
perusahaan; melarang memberikan pinjaman kepada pejabat atau pegawai bank, dan pemberian
pinjaman tidak dianggap sebagai bagian dari kompensasi mereka; membatasi pemberian pinjaman kepada
pihak terkait,
berdasarkan persentase tertentu terhadap modal bersih bank; me- lakukan diversifikasi risiko
melalui BMPK; menerapkan ketentuan kebu- tuhan modal minimal yang dikaitkan dengan tingkat risiko dari
portofolio bank;
mengizinkan kepemilikan asing pada bank dan membatasi asuransi dana masyarakat sebatas US$ 100
ribu; meminta agar catatan pembayar- an kredit para debitor diberikan melalui Biro Kredit;
menerapkan standar akunting
yang lebih ketat mulai Januari 1997 dan meningkatkan praktik manajemen risiko. Sebagai
tambahan, UU kepailitan yang baru diun- dangkan pada tahun 2000 adalah untuk mengimbangi kekuatan
posisi tawar antara
kreditor dan debitor dalam kasus kredit macet.
Peraturan-peraturan
tersebut diikuti secara positif dan bank-bank di Meksiko mengikuti praktik
prudential perbankan dengan baik sekali. Pe- nelitian terbaru mengenai
peraturan perbankan melaporkan, bahwa per- bankan juga diawasi dengan ketat dalam rangka membatasi
kewenangan dan
diskresi pengambilan keputusan dari setiap pejabat publik.
UU kepailitan yang baru diundangkan
pada tahun 2000 adalah untuk mengimbangi kekuatan posisi tawar antara kreditor
dan debitor dalam kasus kredit macet.
|
Krisis
keuangan kedua terjadi pada 2001, tetapi banyak pihak berpendapat bahwa krisis ini terjadi bukan
karena moral hazard di pihak manajemen bank.37 Krisis perbankan 2001 terjadi karena
tindakan kebijakan pemerin- tah yang dilakukan setahun sebelumnya38 dalam
konteks krisis ekonomi
makro yang parah, berkaitan dengan hilangnya akses terhadap pasar modal internasional. Karena itu, timbul godaan untuk menggunakan pengaruh politik di dalam menentukan alokasi kredit dari bank komersial swasta, se- hingga menimbulkan kualitas aset pinjaman yang buruk dan menghasilkan indikator efisiensi operasional yang rendah dari bank-bank publik.
makro yang parah, berkaitan dengan hilangnya akses terhadap pasar modal internasional. Karena itu, timbul godaan untuk menggunakan pengaruh politik di dalam menentukan alokasi kredit dari bank komersial swasta, se- hingga menimbulkan kualitas aset pinjaman yang buruk dan menghasilkan indikator efisiensi operasional yang rendah dari bank-bank publik.
Paula Canavesa berkesimpulan, NPL dapat dijadikan indikator
yang tepat untuk
menunjukkan perbedaan dalam tingkah laku bank-bank publik, dan bank yang telah
diprivatisasikan di Argentina. Pola historis yang terbentuk menunjukkan, bank publik memiliki karakteristik
yang ditandai oleh
kebijakan yang sangat lemah dalam kaitan dengan kualitas portofolio pinjaman.
Sudah menjadi tradisi di negara itu kredit dialokasikan ke
sektor publik, atau
melalui intervensi publik untuk disalurkan ke sektor atau proyek tertentu. Aspek negatif
lain di dalam sektor perbankan adalah pengawasan dan peraturan yang tidak efektif. Tindakan
penyelamatan perbankan
yang dipaksakan dan berulang-ulang memberikan kontribusi signifikan terhadap masalah
inflasi dan fiskal di Argentina.
Terlepas dari
sejarah perbankan Argentina, negara ini berhasil39 dalam menerapkan
sistem peraturan perbankan yang bersandar pada disiplin pasar, yang memainkan peranan penting dalam peraturan
keha- ti-hatian
dengan mendorong pelaksanaan manajemen risiko yang tepat oleh bank. Untuk itu, dalam hal
standar pengawasan dan peraturan, Bank Dunia menilai Argentina setara dengan Hong Kong dan di posisi
kedua setelah
Singapura.
Sistem
keuangan Jepang41 mengalami krisis yang paling parah pada akhir 1990 (Mikiko, 2001). Sejumlah
bank regional dan koperasi kredit meng- alami kegagalan pada 1995, termasuk tiga bank besar42
antara 1997 dan 1998,
kemudian tujuh bank regional ditutup di antara 1999 dan 2001. Se- lama 1980-1992, harga tanah dan
properti terus naik, dan banyak perusa- haan melakukan investasi ke sektor ini dengan menggunakan
pinjaman bank. Bank
memberikan pinjaman secara agresif, berdasarkan tanah dan bahkan saham perusahaan sebagai
jaminan.
Penyebab utama kegagalan bank di Jepang adalah timbulnya NPL yang besar, karena menciutnya
gelembung ekonomi pada 1991, akibat merosotnya harga saham dan harga tanah sampai tahun 2001. NPL
pada 1992 berjumlah
42 triliun yen, dan jumlah yang dihapusbukukan selama 1992-2001 adalah 80 triliun
yen, atau 7 persen dari GDP. Sebanyak 54 persen dari risk management
loan43 diberikan kepada tiga industri,
yaitu real estat,
konstruksi, serta wholesale dan ritel. Sebab lain adalah adanya kompetisi antarbank yang
berlebihan. Bank mengalami kesulitan untuk memperoleh return yang sesuai dengan risiko yang dihadapi, sehingga tingkat margin yang diperoleh
sangat rendah.
Menurut Eisuke Sakakibara dari Keio University, NPL merupakan masalah sektor swasta, yang
berkaitan dengan struktur ganda perekono- mian Jepang, terdiri atas industri ekspor yang sangat efisien
dan industri domestik
yang sangat tidak efisien dengan beban utang yang besar, seper- ti bisnis konstruksi dan ritel.
Di samping itu, bank memberikan pinjaman kepada "zombie" (perusahaan yang merugi dan tidak
efisien), dan bank enggan
melaporkan kredit macet. Caballero dkk berpendapat, banyak bank besar di Jepang
mempertahankan nasabah "zombie" ini dengan te- rus memperpanjang perjanjian
kredit, walaupun mereka tahu pinjaman itu tidak dapat diharapkan pembayarannya kembali.
Uchida dan
Nakagawa melakukan penelitian apakah perbankan Je- pang mengikuti pola herd behavior selama
periode 1975 sampai 2000. Berdasarkan panel data yang digunakan, mereka menemukan bukti
yang menunjukkan
adanya herd behavior di perbankan Jepang. City Bank mengikuti pola herding siklikal yang rasional44 pada salah satu puncak periode bubble akhir tahun 1980. Di
samping itu, terdapat juga herding yang irasional pada masa
bubble. Menurut Uchida dan Nakagawa, terda- pat 5 triliun yen tambahan
kredit akibat herding yang irasional ini, dan memberikan kontribusi pada besarnya NPL di Jepang.
Rasio
NPL Cina menduduki tingkat tertinggi di dunia.45 46 Walaupun angka resmi yang pasti sulit
diperoleh, banyak sumber mengindikasikan bahwa tingkat NPL itu setara dengan cadangan valuta asing yang
berjum- lah sekitar
US$ 819 miliar atau 40 persen dari GDP. Permasalahan yang mendasar dalam perekonomian
Cina, seperti halnya di banyak negara di Asia, adalah bank memberikan pinjaman atas dasar pertimbangan
politik dan untuk
menjaga hubungan dan stabilitas sosial, bukan berdasarkan pertimbangan bisnis semata.47
Sumber utama kelemahan perbankan ada- lah patronase politik dan praktik bisnis yang buruk.48
Untuk menjaga stabilitas sosial, misalnya, pemerintah memiliki sikap yang
negatif terha- dap
pengurangan tenaga kerja. Salah satu kasus yang terjadi dan paling parah di Cina berkaitan dengan AgBank, yang didirikan
pada 1951. Ag- Bank
meminjamkan dana kepada para petani dan mendistribusikan uang negara ke pedesaan tidak berdasarkan pertimbangan
komersial, tetapi atas instruksi Partai Komunis. Akibatnya, bank meng- alami kredit macet yang sangat
besar, berjumlah US$
50,9 miliar.
Partai Komunis yang berkuasa menggunakan bank-bank yang di- kontrol pemerintah sebagai alat
untuk menjaga kendali perekonomian sentral. Praktik pemberian pinjaman, patronase politik, dan
kelanjutan hidup
negara satu partai tidak dapat dipisahkan di Cina. Untuk menjamin suatu tingkat loyalitas 70 juta
anggota partai, pemerintah menggunakan kompensasi materi dan perkembangan karier di pemerintah dan di
per- usahaan milik
pemerintah. Karena itu, pemerintah masih mempertahan- kan kepemilikan saham sebesar
56 persen dari modal saham tetap.
Diperkirakan terdapat 170 ribu perusahaan milik pemerintah,
yang didukung oleh
bank, dan tidak diperkenankan untuk bangkrut. Hampir semua eksekutif bank ditunjuk
oleh partai dan mereka memelihara ja- ringan organisasi yang luas di dalam sistem keuangan.
Akibatnya, 60 persen
dari NPL pada 2000-2001 mewakili pemberian pinjaman yang diarahkan berdasarkan
kepentingan politik seperti yang dilaporkan oleh bank sentral. Dalam hal tersebut, persetujuan pemerintah
diperlukan jika
perusahaan-perusahaan milik pemerintah ingin meminjam uang dari bank pemerintah. Hal ini
menciptakan kultur dengan sikap yang tidak bertanggung jawab dan tidak akuntabel di lingkungan perbankan
di Cina. Sejalan
dengan keadaan ini, suatu survei menunjukkan, lebih dari 80 persen responden percaya bahwa
korupsi di cabang-cabang bank mereka bekerja sudah lazim terjadi.49
Persetujuan pemerintah diperlukan
jika perusahaan- perusahaan milik pemerintah ingin meminjam uang dari bank pemerintah.
|
Mariko
Watanabe mengaitkan munculnya NPL dengan pemeliharaan (barang) modal. Dia
berpendapat, aset perusahaan dibiayai oleh modal dan utang. Untuk melindungi (barang) modal dari setiap risiko
bisnis, perusahaan
perlu menyediakan biaya depresiasi untuk mengimbangi penyusutan (barang) modal
karena pemakaian, dan memberikan kom- pensasi kepada pemilik untuk menutupi biaya modal. Di dalam
ekonomi
transisi seperti Cina, sistem dan institusi telah menyia-nyiakan pemeliha- raan (barang) modal terlalu lama. Karena itu, Watanabe berkesimpulan, masalah ini merupakan satu sebab lain timbulnya NPL.50
transisi seperti Cina, sistem dan institusi telah menyia-nyiakan pemeliha- raan (barang) modal terlalu lama. Karena itu, Watanabe berkesimpulan, masalah ini merupakan satu sebab lain timbulnya NPL.50
Taiwan merupakan salah satu
negara yang dilanda krisis 1997, tetapi ti- dak parah, walaupun mata uangnya didevaluasi sebesar 24
persen. Wei- Chiao
Huang dan Christina Y. Liu berpendapat hal ini terjadi karena NPL- nya berada pada tingkat yang
rendah, yaitu kurang dari 3 persen selama 1997/1998. Menurut mereka, alasan yang lain adalah pada
umumnya perusahaan-perusahaan
Taiwan tidak dibebani dengan debt servicing
ratio yang tinggi, Taiwan memiliki struktur
neraca pembayaran yang sehat, serta ditunjang oleh industri high-tech yang kuat dan
berkembang.
Krisis
perbankan 2008 bukanlah yang pertama dialami oleh Amerika. Alan Greenspan menyebutkan,
tsunami kredit seperti itu terjadi di Ame- rika sekali dalam seabad.51 Krisis kredit perumahan
kali ini berkaitan de- ngan institusi pemberi kredit hipotik (sekarang, disebut
"hak tanggung- an") yang bernama Fannie Mae, Freddie Mac, dan subprime mortgage.
Fannie Mae, kependekan dari The Federal National Mortgage Association,
didirikan pada 1938, pada masa Presiden F.D. Roosevelt, sebagai bagian dari New Deal, dan merupakan
jawaban terhadap runtuhnya pa- sar perumahan nasional sejalan dengan terjadinya depresi
besar. Karena saat
itu para kreditor swasta enggan meletakkan uangnya pada bisnis pe- rumahan, Fannie Mae didirikan
dengan tujuan menyediakan dana peme- rintahan federal yang lebih murah bagi bank-bank lokal untuk
mening- katkan
kepemilikan rumah melalui kredit bagi masyarakat banyak.
Operasi Fannie Mae ini menciptakan pasar yang disebut dengan secondary mortgage, karena
Fannie Mae memberikan dana kredit kepada bank atas dasar tagihan atau jaminan hipotik yang diperoleh
bank. Pada awal
masanya, Fannie Mae memiliki posisi monopoli pada pasar ini. Tetapi kemudian, pada 1968,
karena adanya tekanan keuangan sehu- bungan dengan terjadinya Perang Vietnam, Presiden Lyndon B.
Johnson memutuskan
untuk melakukan swastanisasi Fannie Mae dari segi sum- ber dana, sehingga meringankan
anggaran nasional. Untuk mengurangi kedudukan monopoli Fannie Mae, pada 1970, institusi kedua
didirikan dengan
nama The Federal Home Mortgage Corporation, atau disingkat Freddie Mac.
Kedua institusi ini dimiliki oleh swasta dan dioperasikan oleh
pemilik sahamnya.
Namun, selain memperoleh fasilitas kredit dari U.S. Treasury, Fannie Mae dan Freddie Mac
dibebaskan dari pajak pendapatan, bahkan dibebaskan dari pantauan Securities and Exchange Commission
(SEC). Karena itu,
keduanya disebut sebagai government sponsored
enterprise (GSE).
Menurut ketentuan SEC, kedudukan Fannie Mae dan Freddie Mac diistimewakan karena tidak
diwajibkan untuk mengumumkan kepada publik jika mereka mengalami kesulitan keuangan. Dengan
perkembang- annya
dalam pasar secondary mortgage, kedua institusi tersebut dapat memperoleh pinjaman dari luar negeri dengan bunga lebih murah
atas dukungan
pemerintah Amerika, sehingga mereka dapat memberikan pin- jaman dengan bunga tetap dan
uang muka yang rendah.
Dengan pengertian didukung oleh pemerintah Amerika, surat
utang yang
dikeluarkannya dibeli oleh para investor di seluruh dunia, termasuk perusahaan asuransi dan dana
pensiun, serta beberapa bank sentral ne- gara asing. Inti dari bisnis kedua institusi ini tetap seperti
sediakala, yaitu menyediakan
likuiditas pada pasar perumahan dengan membeli hipotik dari bank-bank lokal.
Selanjutnya, mereka melakukan repackaging pin- jaman atas dasar hipotik (kedua) itu, dan menggunakannya
sebagai kola- teral
atas obligasi yang mereka keluarkan, yang kemudian dibeli oleh para investor. Obligasi ini disebut
sebagai mortgage backed securities (MBS) atau assets backed
securities (ABS) atau collateralized debt obligation (CDO), dan kedua institusi tersebut memberikan jaminan
pembayaran kepada
pembeli obligasi jika terjadi wanprestasi oleh pembeli rumah.
Pada mulanya, misi kedua institusi tersebut bukan mencari
keun- tungan.
Tetapi, selanjutnya, misi tersebut berubah dengan adanya kei- nginan untuk memperbaiki
tingkat keuntungan. Pada akhir 1990, Fannie dan Freddie juga membeli
mortgage backed securities yang dikeluarkan oleh pihak lain dengan yield yang lebih tinggi. Di
sini, mereka tidak lagi hanya membeli atau mengambil alih sekumpulan kredit hipotik
dari bank, dan
memberikan dana atau likuiditas pada bank tersebut, tetapi bank tersebut telah melakukan packaging dari kumpulan
kredit hipotik itu
ke dalam sekuritas, dan Fannie dan Freddie membeli sekuritas itu dan menahannya dalam portofolio.
Kadang-kadang, mereka tidak menyimpannya dalam portofolio
kare- na hanya
melakukan jual-beli sekuritas sejenis dengan pihak lain. Dalam kurun waktu sampai 2007,
pembelian sekuritas ini mencapai nilai US$ 267 miliar, dengan kualitas rating AAA tetapi sering berbeda
dengan kualitas
riil yang diwakilinya. Pembelian sekuritas seperti ini merupakan awal dari masalah yang akan
dihadapi oleh Fannie dan Freddie. Kedua institusi ini membeli sampai sejumlah 50 persen dari sekuritas
yang ada di pasar,
atau yang disebut sebagai "private
label" mortgage backed securities dari
pemberi pinjaman mortgage konvensional. Ini artinya, Fannie dan Freddie terekspos
dengan kualitas yang lebih rendah atau disebut sebagai subprime assets, yang sesungguhnya harus dihindari.
Pada puncaknya, Fannie dan Freddie mengontrol 90 persen dari seluruh pasar secondary mortgage.
Utangnya mencapai 46 persen dari seluruh utang nasional. Pada 2008, keduanya menanamkan dana
dan memberikan
jaminan berjumlah US$ 5,2 triliun dari US$ 12 triliun mortgage nasional; di
dalamnya termasuk subprime dan pinjaman Alt-A52
senilai US$ 1,2 triliun.53 Di
samping itu, keduanya berpartisipasi sebagai mitra pada transaksi
derivative senilai US$ 2,3 triliun. Namun, keduanya hanya memiliki modal sebesar
US$ 83,2 miliar, dengan leverage atau gearing ratio sebesar 65 kali, di luar transaksi derivative yang bersifat off balance sheet itu.
Dengan
turunnya harga perumahan pada 2006-2007, di samping ke- rugian dalam tahun 2007,
Freddie dan Fannie mengalami kerugian US$ 14 miliar tahun 2008. Pada 2007, Freddie dan Fannie melakukan
hapus buku masing-masing
sebesar US$ 5 miliar dan US$ 6 miliar. Pada 2008, saham keduanya merosot mencapai 90
persen. Di samping itu, tiga orang ekseku- tifnya diberhentikan karena melakukan skandal akunting dengan
mengge- lembungkan
ekuitas sejumlah US$ 4,5 miliar sampai US$ 4,7 miliar.
Menurut Soupala Chomsisengphet dan Anthony Penning- ton-Cross (2006), awal
pertumbuhan hipotik di bawah prima (subprime mortgage) didorong
oleh adanya deregulasi tahun 1980 yang mengizinkan pembebanan bunga dan komisi yang lebih tinggi kepada para
debitor oleh DIDMCA.54 Kemudian ta- hun 1982, penetapan bunga variabel dan pembayaran angsuran berbentuk balloon diperbolehkan oleh
AMTPA.55 Selain itu, per- mintaan subprime mortgage makin meningkat dengan adanya keringanan pajak berdasarkan ketentuan perpajakan oleh TRA56 tahun 1986.
Ketentuan ini memperbolehkan pengurangan bu- nga bagi hipotik atau mortgage rumah pertama dan tambahan satu rumah berikutnya dari pendapatan kena pajak. Ketentuan ini membuat mortgage dengan tingkat
bunga yang lebih tinggi atau lebih mahal, yaitu
subprime mortgage, menjadi lebih mu- rah.
Hipotik berkualitas rendah atau di bawah prima (subprime mortgage)
merupakan pembiayaan kredit perumahan kepada konsumen yang memiliki sejarah perkreditan yang buruk, data- data penghasilan yang tidak
memadai, yang pada mulanya tidak dapat dilayani oleh Freddie dan Fannie. Verifikasi atas data-data mengenai pekerjaan, pendapatan,
dan data perkreditan lainnya tidak dapat dilakukan. Pemrosesan kredit subprime benar-be- nar mengabaikan prinsip 5C.
Dengan latar belakang alasan ini, subprime mortgage juga
disebut sebagai pinjaman yang bersifat low documentation atau no documentation.
Untuk memungkinkan pembeli yang tidak mampu memper- oleh kredit, uang muka bagi subprime ditentukan cukup
rendah, hanya
berkisar pada tingkat 6 persen, dan 12 persen untuk near prime atau Alt-A.
Bahkan, terdapat pola pinjaman tertentu yang dapat digunakan oleh konsumen untuk membiayai uang muka ini, sehingga seluruh
pembiayaan berasal dari pinjaman. Tingkat bunga bagi subprime mortgage paling tidak lebih mahal 100 basis point dibandingkan
dengan prime mortgage; tetapi struktur bunga bagi subprime lebih bervariasi, di antaranya fixed rate, variable rate, adjustable rate mortgage (ARM), atau hybrid adjustable
rate mortgage. Hybrid ARM ini artinya tingkat
bunga tidak berubah
selama dua tahun pertama, dan setelah itu bunga diubah setiap 6 bulan sekali sesuai dengan perkembangan ting- kat bunga yang berlaku dan
ditentukan oleh the Fed.
Dengan jangka waktu sekitar 30 tahun, untuk menentukan jumlah cicilan pokok pinjaman, subprime memiliki variasi
da- lam beberapa
jenis fasilitas, antara lain interest only
mortgage dan/atau balloon mortgage. Dalam
kurun 2001-2006, porsi
subprime
mortgage meningkat dari 54 persen menjadi 73 persen,
ARM dari 73 persen menjadi 91 persen, dan
interest only mortgage dari 0 persen menjadi 22
persen.
Menurut Yuliya Demyanyk dan Otto van Hemert, angka-angka ini menunjukkan adanya penurunan
standar kualitas underwriting atau ana- lisis kredit, dan sesungguhnya perusahaan mortgage yang melakukan se- kuritisasi telah mengetahui hal
tersebut. Penurunan kualitas subprime ini bagi pemberi kredit hipotik jelas akan lebih mendorong
terjadinya NPL. Di sisi
lain, dari segi jumlah utang dibandingkan dengan pendapatan, masya- rakat Amerika memiliki tingkat leverage yang telah tinggi.
Secara umum, telah diketahui bahwa pada tahun 2000 saja jumlah utang yang dimiliki oleh setiap
rumah tangga di Amerika mencapai 91 persen dari disposable
income mereka; 20 tahun sebelumnya, pada 1980, angkanya mencapai 65 persen.
Jumlah utang yang sangat tinggi ini mem- buat keuangan setiap rumah tangga di Amerika menjadi sangat
rapuh terhadap
perubahan apa pun yang terjadi pada tingkat bunga umum dan keadaan perekonomian. Dalam
keadaan seperti ini, masalah utama yang kemudian timbul pada
subprime berasal dari hybrid ARM dan interest only mortgage
tersebut. Konsumen yang menikmati fasilitas ini akan merasakan beban yang jauh lebih
berat, ketika terjadi perubahan pada tingkat bunga umum, dan kemampuan bayar mereka ex-ante tidak per- nah diteliti.
Rasionalisasi pemberian pinjaman atau sekuritisasi bagi subprime mortgage ini
sangat bersandar pada suatu harapan, bahwa kenaikan harga atau apresiasi nilai
perumahan di Amerika akan tetap berlanjut di masa depan; padahal kenaikan harga yang terus-menerus itu
merupakan gelembung.
Harapan kenaikan harga ini berfungsi sebagai sumber pem- bayaran kembali dari kredit
yang diberikan lebih dahulu. Tampaknya, harapan ini didasarkan pada catatan statistik mengenai
pengalaman ke- naikan
harga masa lalu.
Namun, tidak semua pihak sadar bahwa kenaikan harga rumah
terse- but terjadi
karena dua hal,57 yaitu tingkat bunga yang stabil rendah58
dan kesediaan bank
untuk tetap mengucurkan kredit pada sektor perumahan. Rasionalisasi ini pulalah yang
mendasari aktifnya kegiatan sekuritisa- si. Substansi transaksi sekuritas ini pada dasarnya merupakan
jual-beli utang,
atau jual-beli risiko, dan jelas bersifat
gharal. Transaksi seperti ini dilarang dalam perspektif
keuangan Islam.59
Haitham Al-Haddad dan Bashir Timol berpendapat, secara teori,
per- dagangan utang
itu merupakan tindakan penyebaran risiko di antara se- jumlah bank yang berbeda,
sehingga mengurangi risiko bagi setiap bank yang terkait. Namun, berdasarkan definisi yang diberikan oleh
Shinsuke Nagaoka,
penyebaran risiko yang dimaksud oleh Al-Haddad dan Timol itu lebih cenderung berarti risk scattering, bukan risk sharing. Seperti yang dikatakan oleh Otaki,
Nagaoka berpendapat bahwa suatu transaksi sekuritas akan bersifat sebagai penyebaran risiko (risk scattering) jika pemindahan risiko (risk transfer), dari bank
kepada para investor atau para individu, lebih banyak berpotensi untuk menimbulkan
akibat yang merugikan
pada tingkat ekonomi makro, bagi semua pihak yang terkait. Akibat negatif itu timbul
karena pemindahan risiko tersebut berasal dari pihak yang memiliki cukup pengetahuan dalam mengelola risiko
kepada pihak yang
tidak memiliki pengetahuan tentang risiko yang dihadapi, se- hingga transaksi keuangan itu
menimbulkan masalah asymmetric information yang lebih besar.
Di sini, Nagaoka menekankan, penjualan CDO dari subprime mortgage
merupakan risk scattering, bukan risk sharing. Namun, masalah asymmetric information
tersebut dijembatani oleh rating yang dikeluar- kan oleh para rating agency. Para investor atau para individu pembeli CDO, yang merupakan paket yang
terdiri atas prime dan subprime mort- gage,60 mengambil keputusan untuk membeli sekuritas itu semata-mata berdasarkan rating tersebut. Ternyata,
kemudian diketahui bahwa rating tersebut mengandung masalah, karena adanya unsur rekayasa.
Suatu rating diberikan oleh suatu agency pada suatu paket yang terdiri atas kumpulan kredit yang dijual atau perusahaan
hipotik sebagai inisiator.
Setiap paket mengandung unsur subprime, dengan jumlah yang sebenarnya tidak dapat diketahui, tetapi tetap memperoleh rating yang baik, karena mewakili kualitas
rata-rata paket.61 Secara statistik, angka rata-rata ini juga berarti
bahwa kualitas kredit yang buruk dapat ditutup dengan nilai yang lebih tinggi dari kualitas kredit yang lebih
baik dalam paket.
Tetapi, dalam kenyataannya, jika unsur risiko yang terkandung
da- lam subprime ini menjadi
realitas, dan harapan untuk dapat dibayar kembali tidak terlaksana, angka rating rata-rata tadi tidak
dapat mem- bantu
terjadinya pembayaran, yang diharapkan dari kredit subprime.
Karena
itu, unsur subprime yang ada di setiap paket-lah ternyata yang mendorong sekuritas menjadi
NPL. Selain itu, pilar transaksi subprime ini berada pada unsur bunga atau riba, dan transaksinya
sendiri bersifat spekulatif
atau bahkan bersifat ponzi.
Pembayaran kembali kredit hipotik lebih banyak didasari oleh
ha- rapan adanya
kenaikan harga real estat dengan stabilitas tingkat bunga di masa depan, seperti yang
disebutkan di atas. Dengan kata lain, proses ini disebut oleh Kregel (2008) sebagai ponzi process, yaitu
permintaan terhadap
perumahan dibiayai oleh pemberian kredit pada konsumen sub- prime mortgage
berikutnya, atau merupakan suatu bentuk
refinancing, dan kontinuitas pemberian kredit
perumahan inilah yang membuat nilai atau harga rumah meningkat.
Kontinuitas pemberian kredit ini akan dapat tetap berlangsung,
jika bank dan
masyarakat calon konsumen pembeli rumah dengan kredit masih melihat adanya harapan
terhadap kenaikan harga perumahan. Harapan ini runtuh ketika terjadi kenaikan tingkat bunga yang
tinggi. Akibatnya,
konsumen pun tidak mampu membayar bunga dan angsuran. Pendapat Kregel di atas sejalan
dengan pandangan Niinimaki mengenai inside collateral, yang
cenderung dapat menimbulkan moral hazard.
Rasionalisasi dari transaksi yang dimaksud di atas dapat
dilihat dari sejarah
perkembangan tingkat bunga di sektor perumahan di Amerika, yang pada 40 tahun terakhir
mencapai titik paling rendah, yaitu 1 persen. Dalam kurun waktu 30 tahun pertama, yaitu tahun 1975 sampai
2005, kenaikan
harga perumahan berkisar pada tingkat 6 persen per tahun (Financial Crimes
Enforcement Network, 2006). Jika diukur dari
tahun 1997 sampai
2006, harga riil rumah naik sampai 85 persen, dengan ke- naikan yang lebih cepat terjadi
pada 2001-2005, yaitu sebesar 8,5 persen pada 2001 dan 15 persen tahun 2005 (Schumer dan Maloney,
2007). Dengan
kenaikan harga per tahun sebesar ini, pembeli rumah subprime mortgage dengan
sistem interest only loan (hanya membayar bunga) atau balloon payment (angsuran terakhir yang lebih dibandingkan de- ngan angsuran berkala
sebelumnya) dapat mengantongi kelebihan sebe- sar 2 persen setelah membayar bunga 6 persen per tahun.
Namun, kenaikan harga yang terjadi merupakan gelembung (bubble). Di samping itu,
harapan kenaikan harga aset tidak berlaku selamanya ka- rena kedua unsur tersebut
ternyata berbalik arah. Runtuhnya subprime mortgage dimulai dari turunnya harga perumahan di Amerika sebesar 3,2 persen pada 2006 dan 5
persen tahun 2007, yang disebabkan oleh
adanya kenaikan tingkat suku bunga. Menurut beberapa pendapat, saat itu bubble pada sektor perumahan mulai mengempis.
adanya kenaikan tingkat suku bunga. Menurut beberapa pendapat, saat itu bubble pada sektor perumahan mulai mengempis.
Pada 2004-2005, the Fed menaikkan tingkat suku bunga tujuh belas kali, dari 1 persen menjadi 5,25 persen. Akibatnya, kedua
unsur yang dimak- sud
di atas berbalik arah. Para pembeli rumah subprime mortgage tidak lagi
dapat memenuhi harapannya
untuk memperoleh keuntungan, yang semula dimungkinkan karena dua hal: pertama, karena kenaikan
harga yang selalu terjadi, dan kedua, pada saat bunga turun
atau rendah tetapi tidak
berubah, keuntungan ini dapat direalisasikan melalui refinancing, yaitu
memperoleh kredit baru yang lebih besar untuk melunasi kredit pertama yang jumlahnya lebih
kecil dengan rumah yang sama; dengan catatan, tingkat bunga kredit lama paling tidak sama dengan
bunga kredit baru.
Jumlah kredit baru yang lebih besar itu dimungkinkan karena harga rumah cenderung selalu naik.
Sering terjadi bahwa refinancing seperti itu dapat menghasilkan dana segar bagi konsumen, karena adanya
kelebihan dana yang
diperoleh dari kredit yang lebih besar tersebut, atau disebut sebagai cash out refinance.
Menurut Hamid Zangeneh,
refinancing hanya dimungkinkan terjadi pada perekonomian yang
beralaskan pinjaman, dan jika berjalan ke arah yang diharapkan. Dalam perekonomian yang beralaskan ekuitas,
seperti halnya
perekonomian Islam, investasi dalam suatu usaha dibiayai oleh investor
sehingga refinancing tidak diperlukan. Zangeneh menambahkan, jika harapan terhadap
perekonomian berbalik arah, refinancing utang lama atau pemberian utang pada proyek baru akan mengalami
kesulitan. Hal itu
merupakan salah satu sumber instabilitas yang akan berakibat pada perekonomian itu sendiri.
Dalam keadaan itu, refinancing yang diharapkan tidak terjadi karena harapan berbalik arah, yakni
tingkat bunga naik dan beban bunga yang harus dibayar meningkat dengan tajam. Peningkatan beban bunga dan
angsuran ini mengakibatkan banyak kon- sumen mengalami gagal bayar, atau wanprestasi terhadap
pembayaran cicilan
kredit hipotik.
Menurut Hamid Zangeneh, refinancing
hanya dimungkinkan terjadi pada perekonomian yang beralaskan pinjaman, dan jika
berjalan ke arah yang diharapkan.
|
Terjadinya gagal bayar ini bukan sesuatu yang harus dipikirkan
ke- napa, tetapi
sudah seharusnya disadari sejak awal karena kemampuan keuangan mereka sudah perlu
diragukan, ketika pemberian kredit hipotik
diberikan. Karena adanya gagal bayar atau terjadinya wanprestasi, bank kemudian menyita rumah-rumah debitor.
diberikan. Karena adanya gagal bayar atau terjadinya wanprestasi, bank kemudian menyita rumah-rumah debitor.
Penyitaan rumah selama semester 1/2008 mencapai 380 ribu unit, meningkat 136 persen dari
periode yang sama tahun sebelumnya. Total keseluruhan penyitaan diperkirakan mencapai 2 juta rumah pada
akhir 2008.
Kejadian ini mengubah arah pertumbuhan perekonomian menuju negatif, pertama kali terjadi
sejak tahun 1930. Kontraksi pada sektor in- dustri konstruksi perumahan akan berdampak lebih luas bagi
kehidupan masyarakat
Amerika karena industri ini mengambil porsi kegiatan ekono- mi yang besar, yaitu mencapai
15 persen dari total perekonomian.
Perekonomian Amerika, secara menyeluruh mengalami penurunan menjadi 1 persen dalam tahun
2007, dan menyusut sebanyak 5,7 persen pada 2009. Tingkat pengangguran meningkat tajam menjadi 9,4
persen pada 2009,
yang diperkirakan akan meningkat menjadi 10,8 persen pada 2010. Urutan berikutnya adalah
kebangkrutan sekitar 25 kreditor sub- prime, dan menggoyahkan posisi keuangan karena kerugian yang besar dari sejumlah investment bankers, seperti
Bear Stearn, Lehman Brothers, Golman Sach, Meryll Lynch, Morgan Stanley, dan lain-lain, baik
di dalam maupun di
luar Amerika.62
Keadaan ini membuat pemerintahan Amerika harus mengeluarkan dana stimulus ekonomi sebesar
US$ 700 miliar, termasuk untuk bail out bagi perbankannya.63 Di samping pembiayaan
perumahan berasal dari dalam Amerika sendiri, MBS atau CDO, termasuk yang dikeluarkan
oleh Fannie Mae dan
Freddie Mac, juga dibeli oleh bank-bank di luar Amerika. Kreditor luar negeri ini
akhirnya juga mengalami NPL dan kerugian yang besar karena debitor atau konsumen kelompok subprime di Amerika itu64 gagal untuk membayar
kewajibannya.
Carmen M. Reinhart dan Kenneth S. Rogoff melakukan studi menge- nai krisis subprime mortgage ini.
Mereka menyimpulkan, krisis tersebut disebabkan oleh adanya liberalisasi secara de facto di Amerika, yang berbeda dengan kebanyakan
krisis serupa di dunia yang diawali dengan adanya liberalisasi secara
de jure. Liberalisasi de facto diartikan sebagai keadaan yang tidak memiliki
regulasi, atau regulasi yang tidak memadai atau kurang mencukupi, terhadap entitas keuangan di mana
mereka me- mainkan
peranan yang cukup besar. Keadaan ini sangat diragukan untuk menciptakan stabilitas dalam
menghadapi kemungkinan timbulnya keju- tan, tetapi sebaliknya dapat menimbulkan kerawanan terhadap
kejutan.
Kitty
Calavita, Henry N. Pontell, dan Robert H. Tillman menguraikan se- jarah dan perkembangan lembaga
simpan-pinjam (S&L) di Amerika, ser- ta sebab-sebab keruntuhannya. Tulisan ini merupakan intisari
dari yang diungkapkan
oleh Calavita, Pontell dan Tillman.
Lembaga S&L pada mulanya didirikan di awal tahun 1930-an
khusus untuk
menopang konstruksi perumahan baru melalui The Federal Home Loan Bank Act tahun 1932.
Undang-undang ini kemudian membentuk The Federal Home Loan Bank Board (FHLBB), dengan tujuan
mencipta- kan
sistem cadangan kredit dalam rangka menjamin kesediaan dana un- tuk membiayai hipotik perumahan
dan mengawasi lembaga S&L khusus untuk sektor perumahan. Kemudian, melalui The National Housing
Act tahun 1934, the
Federal Savings and Loan Insurance Corporation (FSIC) didirikan dengan tujuan
memberikan jaminan atau asuransi pemerintah federal terhadap simpanan yang diterima oleh lembaga
simpan-pinjam.
Pada mulanya, setiap S&L beroperasi secara terbatas, yaitu
hanya da- pat
memberikan kredit rumah dalam radius 55 mil dari kantor pusatnya, dengan batasan tingkat bunga
yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi, dengan alasan liberalisasi atau mengurangi campur tangan
pemerintah, dan
industri dianggap akan dapat bekerja lebih baik, ruang lingkup dan batasan-batasan usaha mulai
diperluas dan diperlunak. Inti dari deregu- lasi ini adalah memberikan kebebasan bagi S&L untuk
berkompetisi dalam menarik
dana masyarakat, dan melakukan investasi yang menguntungkan.
Pada 1982, S&L dapat memberikan pinjaman di luar kredit
perumah- an, dan
diperbolehkan melakukan investasi di sektor properti nonperu- mahan sampai 40 persen dari
total asetnya. Bahkan, S&L diizinkan untuk memberikan pembiayaan sampai senilai 100 persen dari nilai
proyek, dan tanpa
uang muka, atau tanpa dana ekuitas dari pemilik atau pihak sponsor proyek.
Selain itu, S&L boleh dimiliki oleh pemilik tunggal, padahal sebelumnya hanya dapat dimiliki
oleh paling tidak 400 pemegang saham, dan seorang pemegang saham tidak boleh memiliki lebih dari 25
persen. Terlebih
lagi, setiap investor yang mendirikan S&L tidak perlu menyedia- kan dana tunai sebagai setoran
modal, tetapi diizinkan untuk mengganti- kannya dengan aset nontunai seperti tanah atau real estat.
Menurut Calavita, Pontell, dan Tillman, deregulasi itu
merupakan pangkal
sebab penyelewengan massal yang dilakukan oleh hampir setiap lembaga S&L, termasuk yang
dimiliki oleh keluarga dua presiden Ameri- ka.65 Sebagian di antara penyelewengan ini bahkan
dapat disebut sebagai
perampasan (looting). Penyimpangan, penyele- wengan, atau perampasan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan per- bankan, dan juga merupakan moral hazard yang sangat serius, yang dilakukan oleh orang dalam.
perampasan (looting). Penyimpangan, penyele- wengan, atau perampasan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan per- bankan, dan juga merupakan moral hazard yang sangat serius, yang dilakukan oleh orang dalam.
Deregulasi yang terjadi dari waktu ke waktu memberikan kesempatan bagi
pemilik dan pengurus
S&L untuk memanfaatkan dana masyarakat yang ada pada S&L demi tujuan keuntungan
pribadi. Di lain pihak, bagi mereka tidak terdapat risiko terhadap pengembalian dana masyarakat
tersebut, karena adanya
jaminan dari pemerintah federal terhadap dana masyarakat yang ditarik oleh dan berada pada
S&L.
Apa yang dilakukan oleh orang dalam S&L ini disebut oleh
Maurice Allais,
penerima hadiah nobel dari Prancis, sebagai
finance capitalist. Mereka tidak lagi mencari
keuntungan dari produksi dan penjualan ba- rang dan jasa seperti
industrialist capitalist layaknya, tetapi mencari keuntungan lebih banyak dari
transaksi keuangan (fiddling with money), seperti pengambilalihan perusahaan, perdagangan valuta, loan swaps atau reciprocal lending,
spekulasi tanah, dan future trading. Kejahatan kerah putih inilah kemudian yang membuat runtuhnya industri
S&L se- cara
keseluruhan.
Namun, dari segi politik, cara penanganan oleh pihak
pemerintah terhadap
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi pada S&L tersebut dilakukan sedemikian rupa,
sehingga masyarakat luas tidak melihat ke- jadian itu sebagai keruntuhan sektor keuangan yang mencolok.
Karena itu,
Calavita, Pontell, dan Tillman berpendapat bahwa apa yang terjadi bukanlah kesalahan kebijakan,
melainkan kolusi politis yang sistematis.
Pada 1987, sepertiga lembaga S&L berada dalam keadaan
tidak sol- vabel.
Hanya dalam tahun 1989, pemerintah akhirnya menghentikan se- luruh tindakan penyelewengan
S&L, dengan mengambil alih ratusan S&L yang tidak sehat. Dana talangan penyelamatan pada awalnya
berjumlah US$ 50
miliar. Namun, menurut catatan pada Juli 1996, biaya keseluruh- an penyelesaian runtuhnya
S&L mencapai US$ 500 miliar, dan jumlah ini ditanggung oleh pembayar pajak Amerika.
Contoh bentuk penyelewengan yang terjadi pada S&L yang
dimaksud oleh
Calavita, Pontell, dan Tillman itu adalah sebagai berikut:
Charles Keating merupakan bintang
dan contoh tipikal penyelewengan pada S&L.
|
Charles Keating merupakan bintang dan contoh tipikal
penyeleweng- an
pada S&L. Ia membeli Lincoln Savings and Loan di Irvine, California,
dan mengubah bisnis S&L ini dari pembiayaan hipotik konvensional men- jadi konglomerat, dengan spesialisasi pada pembangunan dan konstruksi real estat komersial. Keating lalu melakukan investasi langsung seperti menanam modal di perusahaan minyak di Arab Saudi, mengakuisisi hotel, dan membeli junk bond. Semua transaksi ini menggunakan dana sim- panan masyarakat yang masuk ke Lincoln S&L.
dan mengubah bisnis S&L ini dari pembiayaan hipotik konvensional men- jadi konglomerat, dengan spesialisasi pada pembangunan dan konstruksi real estat komersial. Keating lalu melakukan investasi langsung seperti menanam modal di perusahaan minyak di Arab Saudi, mengakuisisi hotel, dan membeli junk bond. Semua transaksi ini menggunakan dana sim- panan masyarakat yang masuk ke Lincoln S&L.
Keating memberikan pinjaman kepada perusahaannya sendiri, dan melakukan apa yang disebut
sebagai looting
(perampasan), yaitu meng- gunakan dana S&L untuk kehidupan pribadi, termasuk untuk
berbelanja barang-barang
mewah. Intinya, memperkaya diri sendiri dengan meng- gunakan kendaraan S&L.
Keating melakukan swap loan, yakni memberikan pinjaman kepada San Jacinto S&L untuk membiayai
proyek yang dimiliki oleh pemilik San Jacinto S&L; sebaliknya, pemilik Jacinto S&L
memberikan pinjaman ke- pada Keating untuk proyeknya sendiri. Keduanya memperoleh
keuntung- an bagi
pribadi dari proyek masing-masing.
Kejadian pada Lincoln S&L ini merupakan contoh
penyimpangan dan
penyelewengan yang terjadi pada S&L umumnya. Keating keluar dari penjara setelah hukuman selama
empat setengah tahun dari hukuman 12 tahun penjara, tetapi kemudian diadili kembali.
Dalam kasus yang lain, ketika S&L-nya akan bangkrut,
pemilik mengambil
uang sebanyak US$ 10 juta melalui pembayaran bonus dan dividen yang besar, melalui
keputusan direksi dan direstui oleh auditor eksternalnya. Tindakan ini merupakan salah satu contoh lain
dari looting. Orang
dalam dari suatu S&L juga memiliki proyek bersifat spekulatif, dan debitor S&L diajak untuk
memiliki sebagian saham dari proyek tersebut. Dana pembelian saham ini berasal dari pinjaman yang diberikan
oleh S&L yang
sama. Mereka memberikan laporan keuangan yang telah dire- kayasa agar pinjaman diberikan.
Mereka juga melakukan land flip, yaitu transaksi jual-beli terhadap properti yang sama, dan dilakukan
berkali- kali
antara pihak-pihak yang bersekongkol, sehingga mencapai nilai jual- beli yang lebih tinggi seperti
yang diinginkan; kemudian, properti dengan harga yang telah dimanipulasi itu digunakan untuk memperoleh
pinjam- an dari
salah satu S&L.
Semua penyelewengan ini merupakan hasil kerja sama semua pihak terkait, baik orang dalam
seperti direksi, pejabat pelaksana, pemilik sa- ham dengan atau tanpa bantuan orang luar, maupun pihak luar
dari S&L, seperti
para penilai real estat, pialang, konsumen, dan lain-lain tanpa bantuan orang dalam. Menurut
catatan RTC atau pihak yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan skandal S&L tersebut,
dari 2.051 kasus,
63 persen merupakan penyelewengan yang dilakukan oleh orang dalam dengan atau tanpa bantuan
orang luar, dan hanya 37 persen yang dilakukan oleh orang luar sendiri.
Penyelewengan
yang dilakukan orang dalam meliputi, antara lain,
suap dan
kickback, pencurian, penggelapan atau
penyalahgunaan dana, penyalahgunaan skema asuransi dana masyarakat, dengan sengaja
me- rekayasa atau
menyembunyikan data atau fakta yang sebenarnya, pen- catatan akunting atau
keuntungan yang direkayasa, memanipulasi nilai properti, dan membantu terlaksananya transaksi yang merugikan
S&L. Adapun
kerja sama dengan pihak luar adalah, misalnya, dengan akuntan eksternal dalam rangka membuat
laporan keuangan agar memberikan gambaran yang sehat, dan dengan para penilai real estat adalah
untuk memanipulasi
agar nilai properti menjadi lebih tinggi.
Susan
Eastbrook Kennedy (1973) menguraikan krisis perbankan di Ame- rika, yang dimulai pada 1920
dan puncaknya terjadi pada 1933. Seperti halnya Lincoln di Irvine, California, pada sektor S&L,
perbankan sekitar tahun
1930-an juga memiliki contoh yang serupa dengan modus operandi perbankan yang membuat
terjadinya krisis saat itu.
Sebagai contoh adalah Bank of United States di New York, yang
di- miliki oleh
Bernard Marcus dan Saul Singer. Keduanya adalah pengusaha pakaian jadi dan memiliki usaha
lain di bidang properti dan asuransi, di samping lembaga keuangan lainnya. Keruntuhan bank ini terjadi
karena kedua
pemilik menggunakan pinjaman dari bank tersebut untuk berspe- kulasi dalam real estat dan
pembelian saham, baik saham bank maupun perusahaan terkait lainnya. Ketika harga real estat dan saham
turun, bank mengalami
kerugian besar dengan modal menjadi negatif. Seluruh portofolio pinjaman bank
yang berjumlah US$ 37 juta menjadi bermasalah atau sebagian besar merupakan NPL, sehingga bank harus ditutup
dalam tahun 1930.
Ini salah satu contoh dari 8.599 bank yang bangkrut pada 1865-1929, yang diikuti
runtuhnya 5.790 bank lainnya pada 1930-1933.66
Kennedy
berpendapat, keruntuhan perbankan ini terjadi karena bu- ruknya manajemen dalam
mengelola bank. Bahkan, mereka bersifat kri- minal, yakni menggunakan bank untuk kepentingan pencarian
keuntung- an
pribadi yang penuh kerakusan melalui spekulasi. Bagi Kennedy, me- nurunnya pertumbuhan ekonomi
seperti yang terjadi pada depresi besar 1929-1930 itu hanya merupakan faktor penambah bencana bagi
perbank- an. Pada
masa itu, Amerika belum memiliki sistem pengawasan perbank- an yang efektif, karena belum
adanya kesepakatan politik mengenai uni- fikasi dan pengawasan perbankan secara nasional. Pengaturan
perbankan yang
menyeluruh baru dicapai setelah diundangkannya The Banking Act 1933, yang merupakan kelanjutan
The Glass-Steagall Act, dan akhir dari laissez-faire pada perbankan
sampai batas tertentu.
Menurut sejumlah pengamat,
krisis keuangan 1997/1998 yang terjadi di ASEAN67 bermula dengan adanya lending boom yang terjadi
di negara- negara
tersebut pada periode 1990-1996/1997. Salah satu karakteristik lending boom adalah mendorong terjadinya pemberian kredit yang berle- bihan.68 Dengan
adanya capital inflow yang besar, perusahaan-perusaha- an di ASEAN sering melakukan
pinjaman dalam dolar Amerika walaupun rasio debt to equity mereka sudah tinggi,69 sedangkan sumber pendapat- an utama mereka dalam bentuk
mata uang lokal.
Isu sentral
krisis Asia 1997-1998 terletak umumnya pada sektor ke- uangan yang lemah yang telah
berlangsung sebelum krisis terjadi.70 Ba- nyak lembaga keuangan yang
insolven masih tetap beroperasi bertahun- tahun lamanya, dalam lingkungan yang memiliki peraturan yang
kendur, terutama
dalam hal pengawasan. Sektor perbankan mengandung kualitas aset pinjaman yang buruk dalam
jumlah yang besar dalam neraca mereka.
Sebelum
krisis 1997 terjadi, banyak bank komersial di Thailand, Indonesia, dan
Malaysia,71 juga di Korea, dijalankan seperti rumah gadai. Kelemahan dalam
praktik pemberian pinjaman di negara-negara tersebut ditunjukkan sebagai berikut. Pertama, pemberian pinjaman
jarang dilakukan berdasarkan analisis kredit dan arus kas yang memadai. Kedua, kolateral merupakan faktor utama dalam pengambilan
keputusan pemberian kredit, yakni pinjaman diberikan berdasarkan kekuatan kolateral tan- pa mengindahkan kemampuan calon
debitor untuk membayar kembali pokok pinjaman dan bunga dari kegiatan utama bisnis- nya. Ketiga, hubungan antara
bank dan debitor ditentukan oleh jumlah kredit. Keempat, fokus pengambilan keputusan teruta- ma didasarkan pada asumsi
pejabat bank mengenai kredibilitas calon konsumen. Kelima, para kreditor tidak memperhatikan tujuan penggunaan dana yang
diberikan, asalkan didukung oleh kolateral yang cukup untuk menutup jumlah utang pokok dan bunga. Keenam, sistem keuangan dan
perbankan di negara-ne- gara itu ketika memasuki pertengahan 1997 berada dalam ber- bagai tingkat kerapuhan dan
semua berpotensi menjadi korban krisis Asia.
Tahun
1990, Thailand melakukan liberalisasi sistem keuangannya yang menciptakan munculnya lembaga
perantara keuangan nonbank. Dengan adanya lembaga keuangan ini, limit kredit yang ditetapkan oleh
bank komersial
melalui batas minimal pemberian kredit dapat disiasati. Jadi, ketika Thailand mendorong
pinjaman luar negeri melalui insentif pajak pada 1990, lembaga keuangan Thailand sangat aktif memberikan
pinjam- an untuk
membiayai sektor properti dan real estat. Dengan mengempis- nya gelembung real estat pada
1993, sehingga NPL berakumulasi, masa- lah dalam lembaga keuangan nonbank tersebut meletus tahun
1997.
Terlepas dari
adanya masalah makro dan politik di Thailand, titik pusat utama Thailand yang
membawa krisis keuangan lebih besar di Asia adalah kegagalan sektor swasta, yang meminjam dana berlebihan
dalam mata uang
asing melalui pemberian pinjaman yang berisiko tinggi dan sembrono.72 Pinjaman
kepada sektor properti berjumlah 767 miliar bath pada 1996 (264 miliar bath pada 1993). Menurut Lauridsen, moral hazard yang terkait
menunjukkan bahwa para pemilik properti menyulap nilai tanah dan properti mereka supaya memperoleh pinjaman,
dan ba- nyak
transaksi seperti ini tidak didasari pada kekuatan arus kas sehing- ga menimbulkan NPL. Ketika batas
waktu yang diberikan kreditor luar negeri untuk menyelesaikannya terlewati, mereka menyatakan
debitor tersebut
melakukan wanprestasi dan tidak solvabel. Menurut Lauridsen, hal ini saja secara psikologis
sudah dapat menimbulkan efek domino di negara lain di ASEAN, yang menuju pada krisis keuangan 1997
yang se- sungguhnya.
Sistem
keuangan Korea mengalami krisis yang serius karena pemberian pinjaman bank yang berlebihan
kepada para konglomerat (chaebol). Ketika krisis terjadi tahun 1998, NPL berjumlah 118 triliun
won (27 persen dari
GDP).73 Karena merupakan strategi pembangunan pemerintah, para chaebol diberi perlakuan istimewa dalam memperoleh kredit, atau
kredit bersubsidi,
dengan perlindungan pemerintah, sehingga menimbulkan moral hazard yang cukup berat. Karena para chaebol dianggap sebagai tulang punggung ekonomi Korea,
krisis yang dialami oleh Korea merupa- kan krisis para chaebol.74
Menurut Yoon Je Cho, para
chaebol tidak memiliki tata kelola per- usahaan yang baik, tidak
diharuskan memiliki consolidated statements, laporan keuangan mereka tidak memiliki kredibilitas dan
transparansi yang
wajar, para manajer atau eksekutif mereka merupakan bagian dari keluarga para pemilik,
melakukan investasi yang berlebihan dan dibiayai oleh utang. Karena itu, para
chaebol memiliki rasio debt-equity yang tinggi, dengan usaha yang tidak
selalu menguntungkan.75
Karena pemberian kredit dipengaruhi oleh pemerintah, bank di
Korea tidak melakukan analisis kredit dan
monitoring seperti yang seharus- nya sehingga bank tidak
dikelola dengan baik, dan sulit memperoleh laba, serta memiliki kualitas aset yang buruk dan illiquid, di samping
bermodal rendah
berdasarkan standar internasional yang berlaku.76
Korea sangat bergantung pada pinjaman eksternal. Ketika capital inflow berbalik
arah pada 1997, menurut So Young Sohn dan H.W. Shin, masalah struktural pada sektor
keuangan dan korporasi tampak dengan jelas. Faktor lain yang menyebabkan sektor perbankan lemah
adalah adanya campur tangan pemerintah, dengan sejumlah kebijakan yang membuat
bank menjadi tidak efisien. Walaupun liberalisasi pernah terjadi di Korea, yang menghentikan
kepemilikan pemerintah pada bank dalam tahun 1981, bank swasta yang besar tetap beroperasi
seolah-olah merupa- kan lembaga pemerintah.77
Sebelum
krisis 1997, Malaysia menghadapi masalah dalam sektor per- bankannya, yang meliputi
terjadinya bank run yang sporadis dan kegagal- an sejumlah lembaga keuangan, termasuk bank berskala menengah.
Pada 1995, terdapat
bukti yang menunjukkan sistem perbankan Malaysia me- miliki eksposur terhadap proyek
berisiko tinggi, dan masalah memuncak pada 1996 dan awal 1997. Tahun 1996, pemberian pinjaman bank
untuk membiayai
pembelian saham meningkat menjadi 20,1 persen (4 persen tahun 1995), dan eksposur
pembiayaan pada sektor ekuitas dan properti mencapai 42,6 persen dari jumlah kredit tahun 1996.78
Pada saat
keyakinan pasar terhadap ekonomi berkurang seirama de- ngan apa yang terjadi di
kawasan ASEAN, capital outflow dari Malaysia bertambah, diikuti dengan turunnya nilai ekuitas secara
drastis. Mata uang
ringgit terdepresiasi dan krisis 1997 mulai memengaruhi sektor per- bankan secara negatif. NPL
meningkat dari 6 persen pada 1997 menjadi 22 persen tahun 1998. Investasi pada perusahaan dengan beban
utang yang besar
berjatuhan. Pada Juni 1999, Danaharta79 didirikan untuk me- ngelola sejumlah RM 39,3 miliar
NPL (13 persen dari GDP). Sebagian be- sar dari pinjaman ini merupakan kredit yang diberikan kepada
dua grup besar,
Sime and Bumiputra. Pada tahun 2000, jumlah NPL keseluruhan dapat ditekan menjadi 15,3
persen.80
Khususnya
pada masa pemerintahan Soeharto, sistem keuangan dan perbankan81 secara
politis belum sepenuhnya independen dari pemerin-
tah. Salah satu sebabnya, masalah moneter
dikelola oleh Dewan Mone- ter, yang terdiri atas Presiden, Gubernur Bank Indonesia, dan
Menteri Keuangan.
Sebab lain, penunjukan presiden direktur bank milik negara ditentukan dan/atau disetujui
langsung oleh Presiden. Fungsi kontrol ter- hadap sistem sering disalahgunakan, misalnya Menteri Keuangan
dapat menentukan
mulai tingkat bunga sampai daftar pihak yang perlu diper- hatikan untuk diberi kredit.82
Sejak 1990, menurut Kwik Kian Gie dan Tadahiro Asami, sektor
per- bankan di
Indonesia83 telah mengandung praktik-praktik pemberian kre- dit yang tidak sehat.84
Karena itu, krisis 1997 bukan merupakan penyebab utama seluruh NPL yang terjadi pada saat krisis.85
Keadaan ini sejalan dengan pendapat Faisal Basri, yang mengatakan bahwa kerapuhan
sek-
tor perbankan dapat dilihat jauh sebelum krisis 1997 terjadi. Sampai 1994, praktik-praktik seperti menaikkan nilai proyek (mark up), kolusi, nepo- tisme, dan tindak korupsi disebutkan sebagai pe- nyebab utama meningkatnya jumlah NPL.86
tor perbankan dapat dilihat jauh sebelum krisis 1997 terjadi. Sampai 1994, praktik-praktik seperti menaikkan nilai proyek (mark up), kolusi, nepo- tisme, dan tindak korupsi disebutkan sebagai pe- nyebab utama meningkatnya jumlah NPL.86
Sudah menjadi rahasia umum, terutama di lingkungan bank milik
pemerintah,87 bahwa pemberian kredit juga dapat dilakukan hanya berdasarkan instruksi dari
atas. Kredit seperti ini sering disebut sebagai "kredit komando", yakni persetujuan pinjaman diberikan
tidak melewati proses
pemberian kredit yang seharusnya. Bank juga sudah biasa memberikan fasilitas kredit untuk membayar
bunga yang
tertunggak bagi fasilitas utama dari debitor yang sama, atau disebut sebagai plafondering.88
Seperti halnya Masyud Ali, Basri juga berpen- dapat bahwa masalah NPL merupakan hasil kolusi antara para
manajer bank dan
debitor.
Walaupun masalah-masalah di atas89 terjadi di
sektor perbankan, dengan
mengikuti rekomendasi IMF, Indonesia melakukan deregulasi sektor tersebut pada 1988.
Deregulasi ini, yang disebut sebagai Pakto 1988,90 mengizinkan pembukaan bank baru dengan
hanya modal yang disetor
berjumlah Rp 10 miliar. Karena itu, jumlah bank meningkat dari 64 pada 1988 menjadi 339 pada
1996.91 Pada saat yang sama, cadangan wajib pada BI diturunkan dari 15 persen menjadi 2 persen.
Kedua hal ini saja
sudah cukup untuk mendorong timbulnya lending
boom di sektor perbankan. Pada saat itu, pengawasan bank-bank oleh BI masih
sangat lemah dan
peraturan prudential92 belum sepenuhnya berkembang atau secara konsisten diterapkan.
Baik bank lama maupun yang baru berdiri mengarah pada target
pa- sar yang sama,
yaitu pasar korporasi. Tetapi, jumlah korporasi di pasar tidaklah banyak93 94
sehingga tercipta kompetisi yang ketat antarbank. Di lain pihak, menurut Ali,
sejumlah kelompok usaha korporasi dimiliki oleh keluarga Soeharto atau kroninya, atau paling tidak terdapat
hubungan tertentu
dengan keluarga penguasa. Sebagian besar bank yang didirikan pada masa Pakto 1988 dimiliki
oleh korporasi dan para kroni itu.
Sudah menjadi rahasia umum, terutama
di lingkungan bank milik pemerintah, bahwa pemberian kredit juga dapat dilakukan
hanya berdasarkan instruksi dari atas.
|
Karena itu, dapat dikatakan bahwa sektor perbankan telah
berinteg- rasi
dengan sektor riil melalui kepemilikan yang sama. Para pemilik bank ini melakukan perampasan dana
bank melalui connected atau related
lending. Dengan demikian, moral hazard terjadi di mana-mana, tidak saja dalam pemberian kredit, tetapi juga dalam rangka memperoleh pen- danaan dari sumber yang besar, yaitu para perusahaan milik pemerintah. Di dalam perbankan Indonesia ketika itu, menurut Basri, terdapat prak- tik-praktik bisnis yang dilakukan di bawah naungan payung dari suatu sistem politik bersifat otoritarian yang tertutup dan korup. Dalam kaitan itu, Djafar berpendapat, patronase politik merupakan satu-satunya pen- jelasan yang paling penting terhadap terjadinya NPL dalam jumlah yang sangat besar dalam perbankan Indonesia. Hal itu menjadi simbol dari pe- rampasan dan disebabkan oleh pemerintah, yang seharusnya dihentikan oleh pemerintah.
lending. Dengan demikian, moral hazard terjadi di mana-mana, tidak saja dalam pemberian kredit, tetapi juga dalam rangka memperoleh pen- danaan dari sumber yang besar, yaitu para perusahaan milik pemerintah. Di dalam perbankan Indonesia ketika itu, menurut Basri, terdapat prak- tik-praktik bisnis yang dilakukan di bawah naungan payung dari suatu sistem politik bersifat otoritarian yang tertutup dan korup. Dalam kaitan itu, Djafar berpendapat, patronase politik merupakan satu-satunya pen- jelasan yang paling penting terhadap terjadinya NPL dalam jumlah yang sangat besar dalam perbankan Indonesia. Hal itu menjadi simbol dari pe- rampasan dan disebabkan oleh pemerintah, yang seharusnya dihentikan oleh pemerintah.
Krisis95 dimulai ketika kreditor jangka pendek96
tidak bersedia mem- perpanjang pinjamannya karena kepercayaan mereka yang mulai
mele- mah, baik
terhadap pemerintahan waktu itu maupun terhadap mata uang rupiah. Karena adanya tekanan
pasar, serta cadangan valuta asing peme- rintah yang terbatas, pemerintah memutuskan untuk
mengambangkan rupiah
dari tambatan tetap (managed floating) terhadap dolar Amerika. Akibatnya, rupiah terdevaluasi dengan sangat tajam dalam waktu
yang singkat. Hal
ini mendorong terciptanya NPL yang lebih besar dan mem- buat perbankan terjerumus ke
dalam krisis keuangan yang sangat serius.
Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk menutup pada tahap per- tama sejumlah 16 bank, dan
mengorganisasi kembali sistem perbankan. Seluruh NPL yang ada diambil alih dan ditangani oleh Badan
Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN). Untuk tindakan ini, pemerintah mengeluar- kan Rp 640 triliun dalam bentuk
obligasi97 kepada bank sentral.
Majalah Info Bank, seperti dikutip Masyud Ali, membuat suatu daftar penyebab
kenapa krisis perbankan terjadi: kualitas aset pinjaman yang buruk, pinjaman diberikan
pada grup terkait dan melanggar keten- tuan BMPK, intervensi pemilik bank terhadap manajemen bank,
mana- jemen dana
dan likuiditas yang buruk, fungsi pengawasan bank yang le- mah, prosedur pemrosesan kredit
yang tidak baik, pekerjaan orang dalam (kolusi antara pejabat bank dan debitor), tidak adanya rencana
kerja yang baik,
dan pembiayaan bisnis yang bersifat spekulatif.
Mengenai NPL, Info Bank mengungkapkan penyebab-penyebab
berikut: praktik pemberian kredit yang liberal
(85 persen), terlalu banyak pengecualian pada laporan keuangan debitor (79 persen),
pemberian pinjaman yang berlebihan terhadap satu debitor (73 persen), struktur
jamin- an yang
lemah (67 persen), keputusan pemberian kredit lebih didasarkan pada pertimbangan kolateral dan
mengabaikan aspek fisibilitas proyek atau penilaian risiko atau kemampuan membayar kembali di masa
depan (55 persen),
pemberian kredit tanpa jaminan atau hanya berdasarkan nama (37 persen), dan pemberian
kredit tidak untuk membiayai bisnis utama debitor (23 persen).
Sebagai tambahan penyebab NPL, Kwik Kian Gie berpendapat,
sejak awal
pemberian kredit para debitor sudah berniat untuk tidak membayar kembali kredit yang mereka
terima. Jadi, ketika krisis melanda Indonesia, mereka mempunyai alasan yang kuat untuk tidak memenuhi
kewajiban mereka
kepada bank.
Senada dengan uraian di atas, banyak pengamat internasional
berke- simpulan,
Indonesia mengalami masalah yang cukup besar sebelum krisis terjadi dan berpotensi untuk
menuju krisis. Mari Pangestu98 dan Charles Enoch, Barbara Baldwin, Olivier
Frecaut, dan Arto Kovanen, misalnya, berpendapat bahwa pada mulanya Indonesia memiliki sektor
perbankan yang
lemah,99 dan masalah governance mendorong terjadinya krisis dan
bahkan memperlambat penyelesaiannya.
Setelah krisis 1997/1998, Indonesia memiliki dua bank
bermasalah, yang
kemudian diakhiri dengan penutupan dan pengambilalihan. Bank Century, yang memiliki aset Rp
13,7 triliun, adalah bank yang diambil alih pada 21 November 2008 oleh pemerintah melalui LPS.
Masalah Bank Century
bermula dari kekurangan likuiditas akibat gagal bayar sekuri- tas berjumlah US$ 140 juta dari
jumlah US$ 210 juta yang dimilikinya. Akibat kekurangan likuiditas ini, Century beberapa kali
mengalami kalah "kliring"
dan terakhir pada 13 November 2008.
Setelah diteliti, diketahui bahwa pemilik pengendali, dibantu
oleh di- reksi
bank, dalam hal ini presiden direktur, menggelapkan dana masyara- kat dan memindahkannya ke bank
lain untuk kepentingan pribadi, dan/ atau mengucurkan kredit tanpa memenuhi prosedur yang berlaku
bagi kepentingan
pemilik yang dimaksud. Salah satu modus operandi yang dilakukan, pegawai Bank Century
diminta oleh pemilik dan direksi untuk memasarkan produk reksadana dari perusahaan sekuritas yang
dimiliki oleh
pemilik dominan Bank Century, yaitu Antaboga Delta Sekuritas dan Signature. Namun, kegiatan perusahaan
sekuritas ini tidak memiliki izin dan tidak terdaftar pada otoritas pasar modal (Bappepam).
Di lain pihak, dana yang diterima sebagai hasil penjualan
produk rek- sadana
dari para investor diselewengkan ke dalam rekening pribadi dan rekening fiktif di dalam dan di
luar negeri. Robert Tantular sebagai pe-
milik saham bersama Hermanus Muslim sebagai mantan Presiden Direktur Bank Century dituntut 8 tahun penjara dengan denda Rp 50 miliar oleh Jaksa Penuntut Umum, dengan dakwaan mela- kukan tindak pidana perbankan melanggar Pasal 50 A UU No. 10/1998 tentang Perbankan jo Pasal 55 Ayat (1) kesatu KUHP.
milik saham bersama Hermanus Muslim sebagai mantan Presiden Direktur Bank Century dituntut 8 tahun penjara dengan denda Rp 50 miliar oleh Jaksa Penuntut Umum, dengan dakwaan mela- kukan tindak pidana perbankan melanggar Pasal 50 A UU No. 10/1998 tentang Perbankan jo Pasal 55 Ayat (1) kesatu KUHP.
Untuk menyelamatkan Bank Century, LPS menyuntikkan dana sebesar Rp
6,7 triliun, se- kaligus
mengambil alih kepemilikan bank ini. Manajemen baru kemudian memperbaiki proses pemberian kredit
dengan memperkuat manajemen risiko. Sistem pengambilan keputusan bisnis atau kredit bagi nasabah
korporasi diubah dengan
tidak lagi seperti semula berdasarkan alur
top-down, menjadi bottom up dengan melibatkan
unit terkait dan divisi manajemen risiko (Bisnis Indonesia, 23
Januari 2009).
Beberapa waktu kemudian, timbul polemik mengenai pelaksanaan penyelamatan Bank Century ini.
Persoalan yang dikemukakan oleh DPR dan Wakil Presiden (waktu itu) Jusuf Kalla adalah kenapa bank
yang ber- masalah,
karena tindak pidana yang dilakukan oleh pemilik dan direksi, perlu diselamatkan. Pemerintah
menegaskan, Century perlu diselamat- kan karena berkaitan dengan ketentuan yang berlaku. Bank
Indonesia menetapkan
bahwa masalah Bank Century merupakan masalah sistemik, dan perlu diselamatkan karena
dapat mengganggu stabilitas perbankan secara menyeluruh.
Untuk menyelamatkan Bank
Century, LPS menyuntikkan dana sebesar Rp 6,7 triliun sekaligus mengambil
alih kepemilikan bank ini.
|
Namun, seorang pengamat, Soesatyo (Suara Pembaruan, 7 September
2009), berpendapat bahwa penyelamatan Bank Century ini memiliki latar belakang kepentingan
lain. Penyelamatan dilakukan untuk kepen- tingan deposan besar, di antaranya perusahaan BUMN yang kerap
mem- bantu dana
politik, selama kampanye pemilihan umum yang baru selesai dilaksanakan. Deposan besar itu
menempatkan dana triliunan rupiah di Bank Century untuk memperoleh tingkat bunga yang lebih tinggi
daripa- da dana
penjaminan LPS. Di samping itu, menurut Soesatyo, penetapan masalah Bank Century bersifat
sistemik kurang tepat. Alasannya, nilai aset Bank Century hanya 0,75 persen dari total aset perbankan
nasional, dan
Century menggunakan dana antarbank hanya Rp 750 miliar. Dengan demikian, bank itu terlalu
kecil untuk dapat memengaruhi kesehatan bank lain dalam sistem perbankan yang sama.
Bank IFI adalah bank yang ditutup oleh pemerintah karena
masalah NPL yang
besar, dan ketidakcukupan modal akibat tingkat NPL tersebut. Sejak dimasukkan ke dalam
pengawasan khusus BI tahun 2002, bank ini akhirnya ditutup pada 17 April 2008 karena dianggap gagal
melakukan tindakan
penyehatan, yakni tingkat modal turun hingga di bawah keten- tuan 8 persen. Pada September
2008, Bank IFI melaporkan bahwa kecu- kupan modal berada pada tingkat CAR 27 persen, yang berarti
jauh di atas ketentuan
8 persen yang berlaku. Namun, kenyataan lain menunjukkan, dalam tiga tahun dari 2005
sampai 2008 Bank IFI mencatat kerugian, yai- tu Rp 7,7 miliar tahun 2005, Rp 40,15 tahun 2006, dan Rp 54
miliar tahun 2008.
Sejak 2005, tingkat NPL-nya mencapai 11,18 persen, meningkat menjadi 29,58 persen tahun 2007 dan 24,74 persen pada 2008.
Kegagalan
Bank IFI ini disebabkan oleh kegagalan dalam tata kelola manajemen perusahaan, yang
sesungguhnya diketahui ketika bank ini termasuk dalam daftar BPPN. Ketika itu sudah diketahui, lebih
dari 20 persen aset
bank merupakan pinjaman bermasalah kepada grup sendiri. Namun, bank ini tetap diberi
waktu untuk mengatasi masalah yang diha- dapi tersebut. Kemudian ternyata, dalam waktu lebih dari
delapan tahun, bank
tersebut gagal mengatasi masalahnya.
Berdasarkan
uraian di atas, penulis mencoba meneliti dan meringkas penyebab NPL dari pengalaman
setiap negara. Semua penyebab NPL dikelompokkan ke dalam gabungan istilah dengan pengertian
sebagai berikut:
masalah prudential, kultur perkreditan, masalah keahlian dan keterampilan perkreditan,
masalah manajemen internal, moral hazard, operating
environment, masalah makroekonomi.
Informasi yang dapat diperoleh bagi setiap negara
diinterpretasikan serta
dikelompokkan ke dalam istilah di atas secara sendiri-sendiri. Wa- laupun ringkasan yang
dikemukakan tidak menjelaskan secara terperinci penyebab krisis perbankan atau NPL, para peneliti menyimpulkan
masa- lah utama
sebagai penyebab terjadinya krisis perbankan dan NPL di negara yang terkait.
Di setiap negara yang diteliti penyebab utama NPL adalah
masalah prudential, diikuti dengan masalah yang berkaitan dengan atau menim- bulkan moral hazard, baik yang
terjadi di pihak bank maupun di pihak debitor. Menurut Hermansyah,100 penerapan prinsip
kehati-hatian dapat dilihat dari bagaimana bank dan orang-orang yang terlibat di
dalamnya membuat
kebijakan dan menjalankan kegiatan usahanya.
Dalam menjalankan usahanya, mereka wajib melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing
secara cermat, teliti, dan profesional, se- lalu mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku,
se- cara konsisten
dengan didasari dengan iktikad baik. Dengan menjalankan kegiatan usaha seperti itu,
menurut Sundari Arie, diharapkan bank dapat menghindari praktik yang tidak sehat, dan meminimalkan
kerugian yang mungkin
dapat terjadi. Ini berarti bank melindungi kepentingan masyara- kat pemilik dana, sehingga
dapat memperoleh kepercayaan masyarakat.
Namun, tampak bahwa kelompok masalah prudential dari tiap ne- gara menunjukkan sejumlah
kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh perbankan masing-masing tidak memenuhi pengertian yang
dimaksud Hermansyah
atau Sundari Arie tersebut. Kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh perbankan
negara-negara di atas dalam menjalankan usahanya justru menunjukkan kebalikan dari prinsip
kehati-hatian, yang mendorong terciptanya kerugian disebabkan oleh timbulnya NPL.
Kebijakan dan tindakan yang merugikan itu meliputi praktik
pem- berian
pinjaman yang tidak sehat, yang dipengaruhi oleh pemilik bank, pejabat pemerintah, dan para
politisi; mengabaikan manajemen risiko; mengikuti herd behavior, sikap yang terlalu optimistis, pengambilan risiko yang berlebihan, tidak
mempersiapkan diri dengan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan analisis keuangan; memberikan
kredit berisiko
tinggi, atau bersifat spekulatif seperti kredit untuk pembiayaan atau transaksi jual-beli saham,
tidak melakukan credit checking; tenaga ahli dalam bidang perkreditan kurang; tidak mampu melakukan
analisis keuangan,
atau analisis kredit lemah; memberikan pinjaman yang agresif pada sektor properti; zombie lending, menggunakan
jumlah utang yang berlebihan;
pinjaman dalam dolar AS yang berlebihan; memberikan kre- dit tidak berdasarkan analisis
kemampuan keuangan atau arus kas, berti- tik tolak pada jaminan semata, plafondering, kredit komando;
pelanggar- an BMPK;
tidak ada pengawasan terhadap lembaga keuangan nonbank, pengawasan perbankan yang
lemah.
Ketika arus pemberian kredit yang besar terjadi (lending boom), pengabaian
sikap atau prinsip kehati-hatian itu akan mendorong timbul- nya moral hazard, yang dapat
terjadi baik pada pihak bank maupun debitor. Setiap orang berusaha untuk
menarik dana pinjaman dari bank de- ngan cara yang tidak memenuhi prinsip pemberian pinjaman yang
sehat,
sehingga penggunaannya tidak memungkinkan untuk memperbesar kemampuan mereka dalam membayar kembali pinjaman tersebut.
sehingga penggunaannya tidak memungkinkan untuk memperbesar kemampuan mereka dalam membayar kembali pinjaman tersebut.
Di hampir setiap negara yang dikaji, terda- pat penyebab NPL tertentu yang
berlaku secara umum.
Dengan kata lain, sebagian besar kasus NPL terjadi karena penyebab yang bersifat khusus bagi setiap negara. Penyebab
khusus ini dapat diungkapkan
secara ringkas meliputi hal-hal seba- gai berikut: sistem politik yang berpengaruh pada directed lending (Cina), moral hazard yang dise- babkan adanya credit
insurance scheme (Meksiko), tindakan kebijakan pemerintah yang lemah yang
mengakibatkan krisis makroekonomi yang parah (Argentina), pemberian kredit yang agresif dan bertitik
tolak pada properti
dan pemberian pinjaman pada perusahaan yang telah mengalami kerugian atau zombie (Jepang), strategi
pembangunan pemerintah yang mengizinkan penanganan khusus kepada grup perusahaan atau para chaebol (Korea), kurangnya
penerapan prinsip-prinsip prudential dalam mem- berikan pinjaman (Malaysia), perkembangan lembaga keuangan
nonbank yang tidak
terkontrol dan kurangnya prinsip-prinsip
prudential dalam memberikan pinjaman (Thailand).
Di samping penyebab khusus yang banyak terjadi di setiap
negara, tentu
terdapat penyebab lain, seperti lingkungan pengawasan dan keten- tuan prudential yang lemah, moral hazard, dan crony banking. Sebagian besar dari penyebab ini
menunjukkan adanya kelemahan dari pihak ma- najemen bank, terutama dari segi perkreditan, antara lain
mereka tidak bertindak
secara independen, tetapi dipengaruhi oleh otoritas yang lebih tinggi, atau dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan sehingga menunjukkan adanya herd behavior dan moral hazard.
Penyebab NPL di Indonesia sebelum
terjadinya krisis 1997/1998 pada intinya berkisar pada masalah moral hazard dan etika atau moralitas.
|
Secara khusus, Indonesia berada pada posisi yang sangat
berlawan- an dengan
kondisi di Australia, dalam hal penyebab NPL dan lingkungan di setiap negara. Penyebab NPL
di Indonesia sebelum terjadinya krisis 1997/1998 pada intinya berkisar pada masalah moral hazard dan etika atau moralitas, yang
dimungkinkan karena lingkungan peraturan dan pengawasan prudential yang lemah. Dalam kasus Australia, semua pe- nyebab ini tidak terjadi, di
samping didukung dengan faktor lingkungan tempat bank beroperasi yang begitu kuat dan sehat.
1 Batunanggar
(2002) mengungkapkan beberapa pandangan pengamat menge- nai penyebab krisis Asia. Mishkin (1998)
dan Krugman (1998) mengatakan bahwa penyebab krisis adalah fundamental ekonomi yang
lemah dan kebijak- an
yang tidak konsisten. Corsetti, Pesenti, dan Roubini (1998), serta Djiwan- dono (1999)
berpendapat bahwa penyebabnya adalah penularan (contagion) dan fundamental ekonomi yang
lemah. Menurut Batunanggar, krisis keuangan tidak terjadi karena hanya adanya
fundamental ekonomi yang lemah. Tetapi fundamental yang lemah dapat memicu
psikologi bank run
sehingga berakibat buruk
bagi ekonomi riil.
2 Penelitian
berdasarkan bukti empiris menunjukkan bahwa kegagalan bank tidak memicu
timbulnya penurunan dalam ekonomi makro; tetapi sebaliknya penurunan dalam
ekonomi makro dan pasar saham seperti menciutnya gelem- bung harga aset menambah timbulnya
kegagalan bank (Benston et al., 1986; Benston dan Kaufman, 1995; Mishkin,
1991; Calomiris dan Gorton, 1991).
3 Ketika
para investor sadar bahwa suatu sistem perbankan mengandung ma- salah yang
bersifat fundamental yang berkaitan dengan utang perbankan dan korporasi,
keyakinan mereka akan pudar terhadap sistem tersebut dan seba- gai akibatnya
mereka akan menarik uangnya kembali (Corsetti, Pesenti dan Roubini, 1998).
Hal seperti inilah yang sesungguhnya terjadi paling tidak di Thailand.
4 Menurut
Caprio dan Klingebiel (1996a & 1996b), ada tiga alasan timbulnya kegagalan bank
yang luas dalam suatu sistem perbankan: kejutan ekonomi makro dalam skala besar, seperti
hiperinflasi dan depresi; regulasi pemerintah yang buruk dan salah, terutama yang
membiarkan atau mendorong pemberi- an kredit yang berisiko tinggi; dan
kesalahan yang substansial dari pihak bank, terutama karena optimisme yang
berlebihan (Koford dan Tschoegl, 1997).
5 Benston
dan Kaufman (1995); Kaufman (1999).
6 Department
of Economics, Moore School of Business, University of South Carolina,
Columbia, SC 29208, USA. boucher@moore.sc.edu.
7 Indikator
yang dipilih berjumlah 15 berdasarkan pendekatan pengawasan sek- tor keuangan
yang telah diterima di seluruh dunia, dan sejalan dengan konsep CAMELS. Konsep
ini mengukur aspek-aspek: capital adequacy, asset quality, management soundness, earnings,
liquidity, size and market participation (Maria Fuertes dan
Espinola, 2006: 11).
8 Faktor
yang dipilih berjumlah 17, yang mencakup 5 kelompok, yaitu sektor eksternal (current and capital
account), sektor keuangan, sektor moneter (fiscal account), global economy dan
sektor real. Contoh dari masing-masing kelompok adalah: growth rates of imports
dan exports, growth
rates of external and public debt, real credit growth rate in domestic money,
growth rate of oil price, dan inflation rate (Maria Fuertes dan
Espinola, 2006: 11, 26).
9 Esbank
JSC merupakan bank komersial tertua di Turki, didirikan tahun 1927 dan dimiliki
oleh Zeytinoglu Group. Pada saat ditutup tahun 2000, bank ini memiliki 91
cabang dan 1.898 pegawai (Soral, Iscan, Hebb, 2006: 183-184).
10
Dengan cara seperti ini, Esbank JSC melaporkan
tambahan ekuitas sejumlah
US$ 48,9 juta, tetapi tambahan yang sesungguhnya hanya berjumlah
US$ 4 juta
(Soral, Iscan, Hebb, 2006: 187).
11 Askari,
Iqbal, Krichene, dan Mirakhor (2010: 28)
12
Menurut Chan Lau, et al. (1998), terdapat empat model teoretis krisis ke- uangan,
yaitu
fundamental based models, expectation based models, multiple equilibiria
models, dan
moral hazard models.
13 Caprio
dan Klingebiel (1996a, 1996b)
14
Capital inflow inertia, menurut Chan Lau,
adalah keadaan di mana setelah capital
inflow yang besar terjadi, tidak diikuti dengan percepatan
pertumbuh- an
ekonomi, maka terjadi penumpukan inflow yang cepat dan besar.
15 Permerleano
(1999)
16
Sebagai tambahan, Caprio Jr dan Klingebiel mengutip
Bordo, yang menyebut- kan
bahwa hal yang sama terjadi pada krisis perbankan tahun 1873, 1893, dan 1907, ketika
Amerika mengalami kerugian yang besar, tetapi di Kanada tidak ada krisis sama
sekali (Caprio Jr and Klingebiel, 1996: 8).
17
Alon dan Kellerman mengutip pendapat Myrdal
(1968), yang menyatakan bahwa
perekonomian Asia tidak dapat digambarkan hanya dengan termino- logi ekonomi;
menurut Lohr (1998), kultur selalu disebutkan sebagai determi- nan kunci dari
kejadian politik dan ekonomi.
18
Alan Greenspan (1998) melaporkan bahwa
pertumbuhan GDP riil antara ta- hun 1986 sampai 1996 hanya mencapai 7,32 persen, tetapi
pertumbuhan kredit pada
periode yang sama mencapai 17 persen (Alon dan Kellerman, 1999: 6).
19
Untuk Korea, angka resmi disebutkan hanya 6,1 persen
dari total kredit, se- mentara
menurut Merrill Lynch tingkat NPL tersebut mencapai 15 persen (The Economist,
1998).
20 Frankel
(1998)
21
Rombongan dari Eropa tiba di Australia pada
1788, dengan tujuan memben-
tuk koloni hukuman. Pada 1809, Gubernur Macquarie berinisiatif
melakukan reformasi
pengaturan keuangan. Bank pertama, yaitu New South Wales Loan Bank, didirikan
tahun 1809, tetapi baru dibuka untuk beroperasi pada 1817. Tahun 1980,
deregulasi hampir selesai dilakukan (Lyell dan Crowlwy, 1997: 79-131).
22
Setelah dideregulasi pada 1980, terjadi
pertumbuhan kredit yang berlebihan dan kejatuhan standar kredit. Untuk
mengatasi situasi ini, dua komite diusul- kan: Campbell dan Wallis mempelajari
masalah-masalah yang dihadapi dan membuat rekomendasi yang dibutuhkan.
Laporan Wallis dipublikasikan pada 1997 dan banyak dari rekomendasinya
telah dilaksanakan (Edirisurya). Se- buah institusi yang baru, The Australian
Prudential Authority (APRA), diben- tuk pada Juli 1988, dan bertindak
sebagai regulator prudensial bagi industri pelayanan finansial secara keseluruhan
di Australia.
23
Namun, Australia juga pernah mengalami krisis
keuangan, yaitu tahun 1842/1843
dan 1890. Krisis 1842 ini dialami ketika perekonomian menciut seja- lan dengan modal
dari Inggris berkontraksi. Penurunan aktivitas perekonomian ini terjadi
karena kesempatan memperoleh keuntungan di industri peternakan dan kenaikan
biaya tenaga kerja dan transportasi, serta panen gandum yang sukses membuat
para importir (merchant)
gandum mengalami kesulitan ke- uangan. Kejadian ini juga menimbulkan kegagalan bank, dan
yang paling parah adalah
Bank of Australia. Bank yang melakukan pemberian kredit secara agresif pada 1830-an
harus mengurangi kegiatan pemberian kredit pada 1843. (Lyell, 1997, hal.
83-84). Krisis 1890 disebabkan oleh depresi ekonomi, yang diawali dengan harga
properti turun dengan tajam. Pertumbuhan industri peternakan tersendat dengan
adanya keterbatasan dalam memperoleh tanah yang diperlu- kan, dan
kemudian harga wol menurun. (Lyell dan Crowley, 1997: hal. 87-88).
24 Australia,
Axiss, www.axiss.gov.au.
25 Konsep
hubungan perbankan adalah praktik di mana hubungan antara bank melalui para
pejabatnya dengan para nasabah atau korporasi berlangsung hingga transaksi
kontra untuk periode waktu yang sangat lama baik secara vertikal maupun horizontal.
26 Sesungguhnya,
Norwegia pernah mengalami krisis yang sama, yaitu tahun 1899-1905 dan tahun 1920. Tetapi, pada
ketiga krisis ini terdapat fitur yang sama. Semua krisis didahului oleh boom period
dan financial
fragility yang berkembang sebelum krisis terjadi. Dalam masa boom,
terjadi ekspansi pem- berian
kredit, inflasi
asset price, dan pertambahan utang sektor nonfinansial (Vale, 2004:
18).
27 Mattsson menyebutkan herd behavior ini sebagai mimetic strategic behavior.
28 Fuertes dan Espinola,
July 2006.
Towards the Early Signalling of Banking Crises: the Case of Paraguay: hal. 9-10.
29 Deregulasi
ini juga menghapus kontrol suku bunga, meninggalkan 'skema kredit selektif
oleh sektor ekonomi', dan mengganti cadangan minimum pada simpanan dengan
sebuah kebijakan cadangan pada kredit yang berhati-hati. (Katz, 1996).
30 Praktik
seperti ini sudah dilaksanakan oleh para bankir Meksiko selama lebih dari sepuluh
tahun sebelum tipe peminjaman yang diatur seperti itu gagal pada 1995-98.
31 Patut
dicatat bahwa sistem perbankan Meksiko tidak pernah mengalami NPL tingkat tinggi
selama tahun 1980-an, tidak pernah melewati angka 2,9 persen (Morris and
others, 1990, Desmet, 2000).
32 Ini
kemudian disebut Krisis Tequila (Haber, 2004).
33 Pada
1993, misalnya, NPL tercatat 7,3 persen, yang naik menjadi 9 persen pada 1994,
sementara pertumbuhan ekonomi melambat dari 5,1 persen pada 1990 menjadi 2
persen pada 1993.
34 NPL
meningkat secara signifikan pada 1997 menjadi 30 persen, sebagai se- buah indikasi
perubahan dalam regulasi laporan non performing loan (Krue- ger, 1999).
35 Alasan
untuk ini bias ditelusur hingga tahun 1990-an ketika bank-bank dimiliki oleh pemerintah
untuk memfasilitasi kebutuhan pembangunan, dan oleh per- seorangan tapi
dengan lingkungan kompetitif yang lemah (Mcquerry, 1999).
36 Di
bawah konsep mengenai struktur perbankan universal, institusi-institu- si dibolehkan
untuk menjalankan fungsi layakan finansial selain bank. Pada 1995,
kelompok-kelompok finansial itu dibutuhkan untuk membuka pernyata- an-pernyataan
mereka mengenai hubungan-hubungan di antara mereka dan aliran uang di dalam kelompok itu
(Mcquerry, 1999).
37 Dikatakan
bahwa benang merah yang menghubungkan krisis tahun 1929 dan 2001 adalah
interaksi sektor perbankan yang lemah, tidak disiplin, dan korup dengan keuangan
kroni yang dijuluki "gaucho banking" selama lebih dari satu dekade. Gaucho
banking mengacu pada istilah yang diberikan pada krisis perbankan pada 1891
(Paolera, et al.,
2003).
38 Tindakan-tindakan
tersebut adalah: a). Pemerintah menukar obligasi peme- rintah yang dipegang bank-bank dengan
obligasi pemerintah yang tidak likuid (prestamos garantizados), b). Pemerintah
memaksakan satu kontrol terhadap tingkat bunga pada simpanan yang dipercepat proses run
pada sistem per- bankan,
c). Pemerintah membekukan simpanan pada sistem perbankan dan memaksakan
kontrol ketat terhadap penarikan uang tunai, dan sebagainya (AEI, 2002).
39 Pada
2005, angka NPL Argentinatercatat 7,6 persen, sebuah perbaikan yang signifikan
dibanding dengan setahun sebelumnya berkat ekspansi aktivitas ekonomi,
pendapat yang baik oleh perusahaan-perusahaan, dan kebijakan kredit yang
berhati-hati oleh bank-bank (Central Bank of Argentina, 2005).
40 Ekonomi
Jepang jauh lebih bergantung pada pembiayaan bank, khususnya perusahaan-perusahaan
kecil dan menengah sangat bergantung pada bank dan lembaga kredit lainnya (Barseghyan,
2005).
41 Walter
(1992) menyebutkan sistem di Jepang sebagai ultra insider system. Sebelum masa
Perang Dunia II, perusahaan holding keluarga memiliki perusa- haan industri
dan bank (zaibatsu
system), dan bank ini memberikan pinjaman kepada perusahaan-perusahaan dalam grup.
Setelah masa Perang Dunia II, dikenal system kigyo shudan yang merupakan grup
perusahaan yang
mutually exclusive yang memiliki saham dalam satu sama lainnya
dan juga pada bank, dan
bank ini juga memiliki saham dalam perusahaan-perusahaan lain tersebut. Bank memberikan
kredit ke perusahaan di mana bank memiliki saham, dan kepada perusahaan-perusahaan yang
memiliki saham pada bank itu.
42 Tiga
bank besar itu adalah Hokkaido Takushoku Bank, Nippon Credit Bank , dan The Long
Term Credit of Japan (Shimizu, 2005).
43 Kredit
manajemen risiko terdiri atas kredit bagi peminjam dalam kebangkrut- an yang legal,
tunggakan pinjaman berjangka enam bulan atau lebih, tunggak- an pinjaman
antara tiga hingga enam bulan, pinjaman yang direstrukturisasi (Pemerintah
Jepang, 2001).
44 Uchida
dan Nakagawa (2007) memberikan pengertian rational herding dengan mengutip
pendapat Ueda (2000) sebagai berikut: "aliran masuk pinjam- an kredit
dilatar belakangi oleh ekspektasi para manajer bank bahwa tingkat kenaikan harga
tanah akan terus berlangsung, nilai jaminan tanah untuk pin- jaman tidak akan
turun, berdasarkan pertimbangan keadaan ekonomi yang menguntungkan selama tahun 1980-an.
Walaupun bank mengikuti herd behavior, tetapi tindakan selalu berdasarkan pada
ekspektasi ini, sehingga herd behavior itu bersifat rasional". Sedangkan
untuk irrational herd
behavior, dijelaskan bahwa selama bubble period pada akhir 1980, Bank
memberikan kredit
kepada sektor real
estat yang besar semata-mata berdasarkan jaminan (tanah/properti).
Tanpa melakukan upaya
monitoring, pemberian kredit se- perti ini dianggap sebagai tindakan
irasional dan hanya mengikuti pola herding.
45
Ernst and Young merilis sebuah laporan yang
menyebutkan bahwa NPL bank-
bank Cina total berjumlah US$ 911 miliar (40 persen dari GDP),
sangat jauh dengan
estimasi pemerintah yang hanya US$ 164 miliar (Liu Yong, 2006). Pemerintah Cina
menolak laporan itu dan mengatakannya sebagai bodoh (George Friedman, 2006), dan Ernst and
Young menarik laporan itu pada hari berikutnya. Namun sejumlah pengamat lain
berpendapat bahwa besar NPL itu memang sekitar nilai tersebut (Schmitt, Fieger, 2006).
46
Walaupun tingkat NPL yang tinggi ini
diperkirakan tetap berlangsung, per- ekonomian Cina terns berkembang sehingga
menimbulkan suatu paradoks.
Namun, hal ini dapat dijelaskan secara tidak langsung oleh
Bailey, Huang dan Yang
(2009), yang berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan oleh adanya pengontrolan
yang ketat dari pemerintah terhadap warga negara yang tidak dapat
menempatkan dana tabungan mereka di luar negeri. Jika hal itu dilaku- kan, kemampuan
keuangan pemerintah untuk mendukung perusahaan yang merugi akan berkurang.
47 Friedman
(2006)
48 Pei,
the Australian (2006)
49 The Australian (2000)
50
Faktor lain yang melatarbelakangi adanya NPL
yang besar di Cina adalah
bahwa masyarakat Cina secara keseluruhan pada umumnya tidak
memiliki hubungan
utang-kredit yang kuat sehingga menunjukkan ketidakmampuan untuk melakukan
pembayaran kembali tepat waktu dan menepati kontrak (Chen dan Wolf, 2001).
51
Alan Greenspan adalah mantan gubernur bank
sentral Amerika, dan menga-
takan hal ini di hadapan Kongres AS dalam dengar pendapat pada 23
Oktober 2008.
"Greenspan: Terjadi Tsunami Kredit Sekali Seabad di AS". Suara Pem- baruan.
24 Oktober 2008.
52
Alt-A, atau alternative A grade, adalah klasifikasi
kualitas mortgage
di atas subprime
bagi konsumen yang dapat diberi kredit perumahan, tetapi tidak sepenuhnya dapat
membuktikan dokumen yang berkaitan dengan pendapat- annya, dan atau tidak dapat memenuhi
uang muka yang biasa diberikan oleh pasarprime mortgage (DiMartino dan Duca,
2007).
53 "Subprime,
bunga dolar & kurs rupiah." Bisnis Indonesia. 24 September 2007.
54 The
Depository Institutions Deregulation and Monetary Control Act.
55 The
Alternative Mortgage Transaction Parity Act.
56 The
Tax Reform Act tahun 1986.
57 Greenspan,
mantan gubernur Bank Sentral AS, mengakui bahwa harga pro- perti yang
melambung merupakan gelembung, yang dipicu oleh tingkat bu- nga yang rendah
pada sektor perumahan dan berlangsung lama. Tetapi, dia menyangkal bahwa tingkat suku bunga yang
rendah dan kendurnya aturan
menyebabkan baik debitur maupun kreditor mengambil risiko lebih
besar (Kompas, 9
April 2010). Ini suatu pernyataan yang kurang mendasar karena dua hal.
Pertama, jika pemberian kredit dilakukan kepada orang yang telah diketahui ex-ante
tidak akan mampu membayarnya, atau orang itu telah me- miliki utang yang banyak, tentunya
kredit yang diberikan cepat atau lambat akan menjadi NPL. Kedua, adanya kenaikan
harga itulah, menurut hemat pe- nulis, yang mendorong para bankir itu tetap memberikan
kredit perumahan karena
melihat adanya keuntungan dalam pemberian kredit disebabkan oleh kenaikan harga
yang terus-menerus itu sehingga mereka mengabaikan unsur manajemen
risiko.
58 Menurut
Lewis (2009: 107), salah satu penyebab timbulnya gelembung yang berkaitan dengan
kejatuhan saham tahun 1929, dan krisis perumahan akibat subprime mortgage, adalah tingkat bunga
yang rendah dan diikuti dengan kebijakan bank sentral yang tidak konsisten.
59 Vogel
dan Hayes III (1998: 235); Elgari (2003: 20)
60 al-Haddad
dan Timol (2008)
61 Rahman
(2010: 5).
62 Akibat
krisis subprime
di Amerika memukul perekonomian Inggris, perusa- haan keuangan dan perbankan di London
akan mengurangi sedikitnya 6.500 pekerja pada 2008, dan menyesuaikan bonus hingga 16
persen. (Bisnis Indonesia,
9 Oktober 2007).
63 "Rencana
Stimulus Ekonomi AS Belum Pasti", Suara Pembaruan, 18 November 2008.
64 Antara
lain dirasakan oleh Canadian Imperial Bank of Commerce, yang meng- alami kerugian
sebesar US$ 3 miliar pada 2007, yang membuat bank ini me- mecat dua
eksekutifnya (Bisnis
Indonesia, 9 Januari 2008). Meryll Lynch & Co mengalami
kerugian sebesar US$ 15 miliar pada tahun yang sama dan meme- cat CEO-nya,
Stan O'Neal (Bisnis
Indonesia, 12 Januari 2008). AIG, perusaha- an asuransi
terbesar Amerika, mengalami kerugian hanya akibat dari subprime mortgage
mencapai US$ 11,1 miliar (Bisnis Indonesia, 2 Maret 2008). Total kerugian yang
dialami oleh negara-negara G-7 mencapai US$ 400 miliar (Bis- nis Indonesia,
11 Februari 2008), tetapi UBS memperkirakan kerugian yang lebih besar,
yaitu US$ 600 miliar
(Bisnis Indonesia, 3 Maret 2008).
65 Anak
Presiden George Bush senior bernama Neil terkait dengan penyeleweng- an yang terjadi
pada Silverado S&L (Calavita, Pontell, dan Tillman, 1997: 110). Keluarga
Presiden Clinton terindikasi terlibat dalam penyelewengan pada usa- ha real estat
atau dalam kaitan mereka dengan Madison Guaranty Saving and Loan (ibid,
1997: 169).
66 Amerika
memiliki 25 ribu bank pada 1929 dan 18 ribu pada 1933 (Kennedy, 1973: 226).
67 Salah
satu negara ASEAN, Filipina, tidak dibahas dalam buku ini. Sebelum krisis, NPL
tahun 1997 hanya berjumlah 3 persen. Akhir tahun 1998, impaired loans
berjumlah 16 persen, dan tingkat NPL jauh di bawah yang dialami Thailand
sehingga Filipina tidak mengalami krisis perbankan seperti negara lainnya di
ASEAN. Hal ini juga disebabkan oleh modal bank cukup besar di- bandingkan
dengan standar internasional (average capital/weighted risk ratio
15,5 persen) (Jiangli, Unal, Yom, 2004: 8).
68 Corsetti,
Giancarlo, Pesenti, Roubini (1999)
69 Wade
(1998); Claessens et
al. (1998)
70 Corsetti,
Giancarlo, Pesenti, Roubini membuat daftar yang panjang mengenai distorsi di
sektor keuangan dan perbankan Asia sebelum krisis terjadi, yang meliputi
peraturan dan pengawasan yang lemah, CAR yang rendah, deposit insurance scheme
yang tidak tepat, keahlian dan keterampilan yang tidak memadai pada regulatory institutions,
seleksi dan pengawasan proyek yang mengalami distorsi, alokasi kredit yang tidak
berdasarkan kriteria pasar, prak- tik pemberian kredit yang korup, dan
hubungan bank dan perusahaan yang bersifat semimonopolistik. Semua ini
membentuk kelemahan yang dahsyat bagi sistem keuangan yang bermodal rendah sehingga
akhirnya menciptakan NPL
yang besar. Distorsi ini diperbesar oleh adanya liberalisasi capital account
dan deregulasi pasar keuangan di Asia pada 1990-an.
71 Singapura,
yang terletak di tengah-tengah negara yang terkena krisis, tidak mengalami
guncangan yang berarti baik terhadap perbankan maupun ter- hadap
perekonomiannya secara menyeluruh. Pada Maret 1999, tingkat NPL- nya sebesar 8
persen, naik dari 6,6 persen pada September 1998, dan tingkat ini telah
mencakup seluruh pinjaman yang diberikan oleh bank lokal kepa- da debitur dalam
dan luar negeri. Jumlah ini relatif tidak kecil, tetapi tidak membahayakan
tingkat kesehatan perbankan mereka karena sejumlah besar cadangan telah
disediakan, di samping nilai jaminan yang ada melebihi nilai outstanding
pinjaman yang bermasalah.
72 Lauridsen
(1998).
73 Pada
2003, tingkat pemulihannya 39 persen, dan angka ini diharapkan men- capai titik
akhir 56 persen dalam jangka menengah (He, 2004).
74 Lee
(1998).
75 Jiangli,
Unal, Yom (2004).
76 Dwor-Frecaut,
Colaco, dan Hallward-Dreimer (2000).
77 Cargill
(1989).
78 Corsetti,
Giancarlo, Pesenti, Roubini (1999)
79 Selain
Danaharta, pemerintah Malaysia juga mendirikan Danamodal, lembaga penyedia dana,
yang menyuntikkan dana total 7,1 miliar ringgit (2,4 persen GDP) kepada 10
lembaga.
80 Detragiache et al.
(2004)
81 Sistem
perbankan khususnya mengalami disfungsi karena sebuah kombinasi bank sentral
yang rusak dan intervensi langsung pemerintah dalam menyelek- si nasabah
kredit bank (Nasution).
82 Gie
(2000); Djafar (2006: 122)
83 Bank-bank
pemerintah, khususnya, sudah lama memiliki kultur kredit yang lemah, loan loss provisioning
yang tidak memadai, dan manajemen risiko yang parah. Bank-bank itu tidak menjadi
subjek pemeriksaan BI. Pada masa lalu, bank-bank itu digunakan sebagai kendaraan
pemerintah untuk membia- yai
proyek-proyek yang keuntungan dan basis legalnya dipertanyakan (Enoch, Charles,
Baldwin, Frecaunt, Kovanen, 2001).
84 Titik
puncak krisis perbankan terjadi pada 1995 ketika pemerintah menyela- matkan sebuah
bank milik negara, Bapindo. Bank Summa runtuh pada 1997, sejumlah besar
bank masih berlisensi, dan melanggar aturan batas kredit, pinjaman yang
saling terkait, dan eksposur net open position (selisih bersih antara aktiva
dan pasiva) terus berlanjut (Montgomery, 1997).
85 Seperti
negara-negara lain di Asia, ada sejumlah prakondisi untuk krisis 1997 (Robert Wade,
1998). Bagi Indonesia, pertama, pembukaan pasar finansial dan pengambilan
keuntungan secara substantial utang-utang luar negeri (Dja- far, 2006: 133),
serta deregulasi perbankan tahun 1988 yang meningkatkan jumlah bank dan menciptakan lending boom
karena rendahnya cadangan minimum. Kedua, aturan nilai tukar mata uang yang
tetap, terhadap dolar AS,
yang menciptakan persepsi kecilnya risiko memindahkan dana dari
satu pasar ke
pasar lainnya. Ketiga, pemerintah dan sektor swasta meminjam banyak dari luar negeri
dengan angka nominal yang bahkan lebih rendah daripada jika meminjam dari sumber dalam negeri.
Dua kondisi terakhir ini menyum- bang bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang rata-rata
7 persen. Menurut Kwik
Kian Gie, pertumbuhan ini terus dibiayai oleh utang luar negeri. Tanpa pengawasan
berapa besar pinjaman sektor swasta dari luar negeri, menjadi terlambat untuk
menyadari jumlah total utang luar negeri yang sesungguhnya yang sudah
mencapai US$ 150 miliar, jauh di atas perkiraan pemerintah yang US$ 60 miliar
(Ali, 1999: 65).
86 Ali
(1999: 12)
87 Bank
pemerintah, sebelum krisis 1997/1998, menguasai aset kredit perbank- an nasional
sekitar 60 persen, memiliki kultur kredit yang lemah, cadangan kredit macet
tidak memadai, dan manajemen risiko buruk. Pada masa Soe- harto, bank
pemerintah digunakan sebagai alat untuk membiayai proyek yang tingkat
keuntungannya tidak jelas atau dasar hukumnya lemah, dan jarang sekali diperiksa
oleh bank sentral, dan beberapa kali mengalami rekapitalisa- si. Dalam
beberapa kasus, tingkat NPL mencapai 90 persen, dan pemberian pinjaman sering
dilakukan tanpa analisis kredit yang memadai (Enoch, 2001: 112-113).
88 Ali
(1999: 232).
89 Salah
satu masalah adalah bahwa program-program pemberian kredit oleh pemerintah
kepada pengusaha kecil dan menengah (KIK dan KMKP) telah terbukti
merupakan kegagalan besar.
90 Sejumlah
pengamat perbankan sangat pesimistis mengenai efektivitas deregu- lasi ini,
berdasarkan sejumlah alasan. Pertama, sangat sulit mengukur meng- apa seorang
investor tertarik mendirikan bank. Kedua, sumber daya manusia dengan
pengalaman perbankan sangatlah terbatas sehingga sulit melakukan penempatan
pegawai bagi bank-bank baru itu. Ketiga, penegakan hukum da- lam melaksanakan
hak sebagai pemberi pinjaman terhadap perjanjian sekuritas lama dan mahal,
jika bukan tidak efektif. Keempat, supervisi oleh bank sentral sangat lemah.
91 Kebanyakan
pemilik bank baru itu bukanlah para bankir profesional, mela- inkan para
pengusaha dengan sikap mental agresif. Sementara industri pada saat itu sangat
kekurangan para profesional perbankan, situasinya serupa dengan kondisi
di Nigeria di mana praktik pemerintah yang memperkerjakan para manajer
nonprofesional pada posisi-posisi penting dalam industri mem- perburuk standar
etika yang sedang menurun dan mengurangi derajat profe- sionalisme dalam industri (Africa
Leadership Forum, 1992).
92 Sejumlah
peraturan prudential
masih terus dikembangkan selama 1993-1997, di antaranya dalam area publisitas
pernyataan-pernyataan finansial bank, ke- bijakan auditing bank, sistem informasi
dan pengembangan teknologi, kontrol status kesehatan bank, CAR, dan legal lending limit.
93 Pada
saat itu, hanya terdapat sekitar 300 sampai 500 grup perusahaan yang beroperasi di
Indonesia. Hanya sekitar 20 persen yang dianggap memiliki prospek pasar
yang baik.
94
Jumlah perusahaan yang terdaftar di publik hanya
24 pada 1988 (306 tahun 1997).
95 Devaluasi
bath Thai pada Juli 1997 mempercepat sebuah gelombang krisis mata uang di
tengah ketidakstabilan keuangan di Thailand, ke negara-negara lain di Asia
Tenggara, ke Taiwan, Hong Kong, Korea, Filipina, Rusia, Brasil, Estonia,
Australia, dan Selandia Baru (Wade, 1998). Lebih lanjut, antara bu- lan Juli sampai
November 1997, terjadi
capital outflow secara besar-besaran dari wilayah tersebut sebagai akibat
kkrisis di Thailand, yang membuat para investor internasional meneliti ulang
investasi mereka di daerah itu (Feridha- nusetyawan dan Pangestu, 2004: 2).
96 Di
tengah tidak adanya kontrol utang luar negeri, pemerintah harus menyada- ri bahwa total
utang luar negeri baik pemerintah maupun swasta sudah men- capai US$ 150
miliar (Ali, 1999: 65). Jumlah ini sama dengan empat kali GDP negara ini (Gie:
51), dan sebagian besar merupakan utang jangka pendek. Ba- nyak pihak
swasta baik bank maupun nonbank, termasuk pemerintah, meng- gunakan pinjaman
luar negeri dalam dolar Amerika (McLeod, 2002: 2), dan hal ini dilakukan karena tingkat bunga
pinjaman dalam dolar lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga
rupiah, sedangkan kurs rupiah ditautkan terhadap dolar Amerika berdasarkan fixed exchange rate
system.
97 Jumlah
ini digunakan untuk menutupi jumlah kewajiban pemegang saham bank-bank yang
berasal dari biaya penutupan bank-bank dan kredit likuiditas yang diberikan
bank sentral akibat krisis.
98 Pangestu
menguraikannya ke dalam tiga faktor yang membuat sektor per- bankan rapuh,
yaitu i). sektor perbankan yang tumbuh pesat setelah reformasi perbankan 1988,
yang tidak diikuti oleh penegakan peraturan prudential dan pengawasan bank sentral yang memadai,
ii). Masalah
corporate governance pada bank karena konsentrasi kepemilikan.
iii). Akibat
economic booms dan integrasi keuangan internasional yang memperbesar
kerapuhan.
99 Salah
satu indikatornya adalah kualitas kredit dari portofolio pinjaman bank sudah buruk
sebelum krisis terjadi. Menurut Jiangli, pada akhir 1998 tingkat NPL dari semua
perbankan mencapai 57 persen (Jiangli, Unal, Yom, 2004).
Hermansyah, Hukum Perbankan
Nasional Indonesia, hal. 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar