Selasa, 16 Agustus 2016

Bab 4 Buku Selamatkan Perbankan (Bagian 2)

Martin Brownbridge menguraikan penyebab kegagalan dan ditutupnya sejumlah bank, dan lembaga finansial bukan bank (non-bank financial institution/NBFI) di negara-negara tersebut. Di Kenya, 2 bank lokal dan 10 NBFI ditutup tahun 1984-1989, dan kemudian menyusul 5 bank dan 10 NBFI pada 1993-1996. Di Nigeria, 4 bank lokal dilikuidasi dan 1 dicabut izinnya pada 1994, dan 13 lainnya diambil alih oleh pemerintah tahun 1995. Di Zambia, 3 bank lokal ditutup tahun 1995, dan lainnya tahun 1991, tetapi kemudian direstrukturisasi dan dibuka kembali. Di Uganda, 1 bank lokal ditutup tahun 1994, dan 2 diambil alih untuk direstrukturisasi tahun 1995. Bank yang mengalami kegagalan ini mewakili 11 persen dari total aset di Kenya, 8 persen di Nigeria, 23 persen Zambia, dan 6 persen Uganda.
Penyebab utama kegagalan ini adalah adanya NPL yang besar, yang terjadi karena hal-hal berikut:
Pertama, insider lending, merupakan kontributor terbesar terhadap NPL: 65 persen di Nigeria dan 50 persen di Uganda diberikan kepada direksi dan pegawai. Banyak dari pinjaman ini digunakan dalam proyek spekulatif seperti pembangunan real estat, melanggar BMPK, dan tidak menghasilkan dalam jangka pendek.
Kedua, moral hazard. Insider lending berkaitan dengan moral ha­zard yang parah, yang dipengaruhi oleh hal-hal berikut: para politisi ber- tindak sebagai pemilik dan direksi bank, dan modal bank sangat rendah. Hal-hal ini menyebabkan mereka mengorbankan kepentingan para depo- san untuk proyek mereka yang berisiko tinggi. Konsentrasi kepemilikian bank yang tinggi berada pada segelintir orang atau keluarga. Para pejabat bank tidak lepas dari pengaruh pemilik dalam membuat keputusan ope- rasional.
Ketiga, pemberian pinjaman kepada debitor berisiko tinggi. Hal ini menyangkut masalah moral hazard, baik dari segi bank maupun debitor peminjam, di samping terjadi masalah adverse selection yang seharusnya ditolak tetapi tetap diberikan kredit.
Keempat, kurangnya pengalaman dan keahlian pejabat bank dalam menyeleksi calon debitor, memonitor kinerja debitor, dan prosedur dan administrasi perkreditan serta pengawasan internal yang buruk.
Kelima, ketidakstabilan ekonomi makro. Ditunjukkan oleh inflasi yang tinggi (tahun 1990-an: 191 persen di Zambia, 46 persen di Kenya, 70 persen di Kenya, dan 230 persen di Uganda), yang mengakibatkan tingkat bunga riil berfluktuasi secara tajam dan tidak dapat diprediksi.
Keenam, pengawasan dan peraturan perbankan yang sangat lemah.
Ana-Maria Fuertes dan Zulma Espinola28 menguraikan masalah yang ber- kaitan dengan krisis perbankan di negara ini. Tahun 1989, Paraguay me- lakukan serentetan reformasi keuangan yang mencakup antara lain libe- ralisasi tingkat bunga dan deposito valuta asing, penurunan reserve requ­irement, dan penghapusan kontrol pemberian kredit selektif untuk sektor swasta. Reformasi ini tidak dibarengi dengan mekanisme pengawasan dan peraturan keuangan yang tepat, sehingga terjadilah krisis perbank- an. Sebanyak 50 persen dari lembaga perantara keuangan ditutup atau diintervensi. Biaya krisis diperkirakan mencapai 7 sampai 12 persen dari GDP. Penyebabnya, antara lain, lemahnya manajemen bank, kurangnya tenaga spesialis dalam manajemen risiko kredit, tidak lengkapnya sistem informasi, serta kurangnya transparansi dan ekonomi informal.
Deregulasi pasar keuangan dan sektor perbankan tahun 1982-199229 mendorong bertambahnya capital inflow dan ekspansi kredit yang pesat. Tetapi, sektor keuangan dengan pengalaman yang terbatas melakukan tindakan pengambilan risiko yang berlebihan. Pengambilan risiko yang berlebihan ini secara implisit dan eksplisit didorong oleh adanya asuransi deposito pemerintah, dan menimbulkan moral hazard.
Bank-bank domestik melakukan pilihan konsumen yang salah (ad­verse selection), karena konsumen yang baik mengambil pinjaman de- ngan tingkat bunga yang lebih rendah dari pasar internasional. Selain itu, insider lending sudah merajalela, yakni para direksi bank memberikan kredit kepada perusahaan mereka sendiri.30 Akibatnya, NPL meningkat menjadi 6 persen pada awal 1994 dan 8 persen di akhir 1994. Namun, ba- nyak pihak berpendapat, krisis perbankan 1994-199531 terjadi, terutama karena krisis neraca pembayaran di mana akhirnya peso didevaluasi pada 1994,32 bukan karena adanya tingkat NPL yang tinggi. Dengan kata lain, sumber ini berpendapat bahwa variabel makrolah yang menyebabkan timbulnya NPL tersebut.
Namun, pendapat lain mengatakan, terlepas dari devaluasi peso tahun 1994, pemburukan di sektor perbankan telah terjadi dan meluas.33 Hal ini- lah yang membuat sektor perbankan menjadi rapuh terhadap penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi. NPL tetap berada di tingkat yang tinggi, yaitu di atas 11 persen pada 199634 (12,3 persen pada 1995) walaupun per- tumbuhan ekonomi membaik, mencapai tingkat rata-rata 5,5 persen sela- ma 1996-1998. Masalah NPL ini berkaitan dengan apa yang disebut len­ding boom, di mana kredit domestik berekspansi secara pesat. Ekspansi kredit ini tidak didukung oleh kultur kredit yang kuat, tanpa kemampuan proses check and balance yang tepat, dalam rangka meneliti atau menolak calon konsumen berisiko tinggi, berdasarkan kriteria pemberian kredit yang mengacu pada sejarah kredit yang sehat,35 serta menghindari self len­ding kepada berbagai bagian dari struktur organisasi universal banking.36
Selain itu, terdapat sejumlah faktor terkait lainnya yang tidak kon- dusif sehingga memberikan kontribusi terhadap timbulnya masalah NPL, yaitu lemahnya peraturan perbankan (termasuk mengenai laporan akunting) yang berkaitan dengan past due loans, tidak adanya kontrol terhadap tingkah laku pemilik bank atau lingkungan pengawasan, lemah- nya peraturan pada umumnya, tidak pernah mempertimbangkan tingkat profitabilitas dan viabilitas proyek yang akan dibiayai atau sektor di mana
calon debitor berusaha. Di samping itu, tidak adanya credit reporting swasta dan lemahnya sistem internal analisis kredit memperburuk keadaan tersebut. Sebagai faktor tambahan, pro- sedur kepailitan merupakan hal yang rumit, di mana penegakan hukum HAKI (property rights) masih sulit dicapai.
Untuk meletakkan sektor perbankan pada dasar yang kuat, tahun 1996 pemerintah Mek- siko mendesak para bankir untuk menerapkan sikap prudential dengan menerapkan berbagai peraturan, sebagai berikut: menerbitkan laporan keuangan konsolidasi, termasuk semua usaha anak perusahaan; melarang memberikan pinjaman kepada pejabat atau pegawai bank, dan pemberian pinjaman tidak dianggap sebagai bagian dari kompensasi mereka; membatasi pemberian pinjaman kepada pihak terkait, berdasarkan persentase tertentu terhadap modal bersih bank; me- lakukan diversifikasi risiko melalui BMPK; menerapkan ketentuan kebu- tuhan modal minimal yang dikaitkan dengan tingkat risiko dari portofolio bank; mengizinkan kepemilikan asing pada bank dan membatasi asuransi dana masyarakat sebatas US$ 100 ribu; meminta agar catatan pembayar- an kredit para debitor diberikan melalui Biro Kredit; menerapkan standar akunting yang lebih ketat mulai Januari 1997 dan meningkatkan praktik manajemen risiko. Sebagai tambahan, UU kepailitan yang baru diun- dangkan pada tahun 2000 adalah untuk mengimbangi kekuatan posisi tawar antara kreditor dan debitor dalam kasus kredit macet.
Peraturan-peraturan tersebut diikuti secara positif dan bank-bank di Meksiko mengikuti praktik prudential perbankan dengan baik sekali. Pe- nelitian terbaru mengenai peraturan perbankan melaporkan, bahwa per- bankan juga diawasi dengan ketat dalam rangka membatasi kewenangan dan diskresi pengambilan keputusan dari setiap pejabat publik.
UU kepailitan yang baru diundangkan pada tahun 2000 adalah untuk mengimbangi kekuatan posisi tawar antara kreditor dan debitor dalam kasus kredit macet.
Krisis keuangan kedua terjadi pada 2001, tetapi banyak pihak berpendapat bahwa krisis ini terjadi bukan karena moral hazard di pihak manajemen bank.37 Krisis perbankan 2001 terjadi karena tindakan kebijakan pemerin- tah yang dilakukan setahun sebelumnya38 dalam konteks krisis ekonomi
makro yang parah, berkaitan dengan hilangnya akses terhadap pasar modal internasional. Karena itu, timbul godaan untuk menggunakan pengaruh politik di dalam menentukan alokasi kredit dari bank komersial swasta, se- hingga menimbulkan kualitas aset pinjaman yang buruk dan menghasilkan indikator efisiensi operasional yang rendah dari bank-bank publik.
Paula Canavesa berkesimpulan, NPL dapat dijadikan indikator yang tepat untuk menunjukkan perbedaan dalam tingkah laku bank-bank publik, dan bank yang telah diprivatisasikan di Argentina. Pola historis yang terbentuk menunjukkan, bank publik memiliki karakteristik yang ditandai oleh kebijakan yang sangat lemah dalam kaitan dengan kualitas portofolio pinjaman.
Sudah menjadi tradisi di negara itu kredit dialokasikan ke sektor publik, atau melalui intervensi publik untuk disalurkan ke sektor atau proyek tertentu. Aspek negatif lain di dalam sektor perbankan adalah pengawasan dan peraturan yang tidak efektif. Tindakan penyelamatan perbankan yang dipaksakan dan berulang-ulang memberikan kontribusi signifikan terhadap masalah inflasi dan fiskal di Argentina.
Terlepas dari sejarah perbankan Argentina, negara ini berhasil39 dalam menerapkan sistem peraturan perbankan yang bersandar pada disiplin pasar, yang memainkan peranan penting dalam peraturan keha- ti-hatian dengan mendorong pelaksanaan manajemen risiko yang tepat oleh bank. Untuk itu, dalam hal standar pengawasan dan peraturan, Bank Dunia menilai Argentina setara dengan Hong Kong dan di posisi kedua setelah Singapura.
Sistem keuangan Jepang41 mengalami krisis yang paling parah pada akhir 1990 (Mikiko, 2001). Sejumlah bank regional dan koperasi kredit meng- alami kegagalan pada 1995, termasuk tiga bank besar42 antara 1997 dan 1998, kemudian tujuh bank regional ditutup di antara 1999 dan 2001. Se- lama 1980-1992, harga tanah dan properti terus naik, dan banyak perusa- haan melakukan investasi ke sektor ini dengan menggunakan pinjaman bank. Bank memberikan pinjaman secara agresif, berdasarkan tanah dan bahkan saham perusahaan sebagai jaminan.
Penyebab utama kegagalan bank di Jepang adalah timbulnya NPL yang besar, karena menciutnya gelembung ekonomi pada 1991, akibat merosotnya harga saham dan harga tanah sampai tahun 2001. NPL pada 1992 berjumlah 42 triliun yen, dan jumlah yang dihapusbukukan selama 1992-2001 adalah 80 triliun yen, atau 7 persen dari GDP. Sebanyak 54 persen dari risk management loan43 diberikan kepada tiga industri, yaitu real estat, konstruksi, serta wholesale dan ritel. Sebab lain adalah adanya kompetisi antarbank yang berlebihan. Bank mengalami kesulitan untuk memperoleh return yang sesuai dengan risiko yang dihadapi, sehingga tingkat margin yang diperoleh sangat rendah.
Menurut Eisuke Sakakibara dari Keio University, NPL merupakan masalah sektor swasta, yang berkaitan dengan struktur ganda perekono- mian Jepang, terdiri atas industri ekspor yang sangat efisien dan industri domestik yang sangat tidak efisien dengan beban utang yang besar, seper- ti bisnis konstruksi dan ritel. Di samping itu, bank memberikan pinjaman kepada "zombie" (perusahaan yang merugi dan tidak efisien), dan bank enggan melaporkan kredit macet. Caballero dkk berpendapat, banyak bank besar di Jepang mempertahankan nasabah "zombie" ini dengan te- rus memperpanjang perjanjian kredit, walaupun mereka tahu pinjaman itu tidak dapat diharapkan pembayarannya kembali.
Uchida dan Nakagawa melakukan penelitian apakah perbankan Je- pang mengikuti pola herd behavior selama periode 1975 sampai 2000. Berdasarkan panel data yang digunakan, mereka menemukan bukti yang menunjukkan adanya herd behavior di perbankan Jepang. City Bank mengikuti pola herding siklikal yang rasional44 pada salah satu puncak periode bubble akhir tahun 1980. Di samping itu, terdapat juga herding yang irasional pada masa bubble. Menurut Uchida dan Nakagawa, terda- pat 5 triliun yen tambahan kredit akibat herding yang irasional ini, dan memberikan kontribusi pada besarnya NPL di Jepang.
Rasio NPL Cina menduduki tingkat tertinggi di dunia.45 46 Walaupun angka resmi yang pasti sulit diperoleh, banyak sumber mengindikasikan bahwa tingkat NPL itu setara dengan cadangan valuta asing yang berjum- lah sekitar US$ 819 miliar atau 40 persen dari GDP. Permasalahan yang mendasar dalam perekonomian Cina, seperti halnya di banyak negara di Asia, adalah bank memberikan pinjaman atas dasar pertimbangan politik dan untuk menjaga hubungan dan stabilitas sosial, bukan berdasarkan pertimbangan bisnis semata.47 Sumber utama kelemahan perbankan ada- lah patronase politik dan praktik bisnis yang buruk.48
Untuk menjaga stabilitas sosial, misalnya, pemerintah memiliki sikap yang negatif terha- dap pengurangan tenaga kerja. Salah satu kasus yang terjadi dan paling parah di Cina berkaitan dengan AgBank, yang didirikan pada 1951. Ag- Bank meminjamkan dana kepada para petani dan mendistribusikan uang negara ke pedesaan tidak berdasarkan pertimbangan komersial, tetapi atas instruksi Partai Komunis. Akibatnya, bank meng- alami kredit macet yang sangat besar, berjumlah US$ 50,9 miliar.
Partai Komunis yang berkuasa menggunakan bank-bank yang di- kontrol pemerintah sebagai alat untuk menjaga kendali perekonomian sentral. Praktik pemberian pinjaman, patronase politik, dan kelanjutan hidup negara satu partai tidak dapat dipisahkan di Cina. Untuk menjamin suatu tingkat loyalitas 70 juta anggota partai, pemerintah menggunakan kompensasi materi dan perkembangan karier di pemerintah dan di per- usahaan milik pemerintah. Karena itu, pemerintah masih mempertahan- kan kepemilikan saham sebesar 56 persen dari modal saham tetap.
Diperkirakan terdapat 170 ribu perusahaan milik pemerintah, yang didukung oleh bank, dan tidak diperkenankan untuk bangkrut. Hampir semua eksekutif bank ditunjuk oleh partai dan mereka memelihara ja- ringan organisasi yang luas di dalam sistem keuangan. Akibatnya, 60 persen dari NPL pada 2000-2001 mewakili pemberian pinjaman yang diarahkan berdasarkan kepentingan politik seperti yang dilaporkan oleh bank sentral. Dalam hal tersebut, persetujuan pemerintah diperlukan jika perusahaan-perusahaan milik pemerintah ingin meminjam uang dari bank pemerintah. Hal ini menciptakan kultur dengan sikap yang tidak bertanggung jawab dan tidak akuntabel di lingkungan perbankan di Cina. Sejalan dengan keadaan ini, suatu survei menunjukkan, lebih dari 80 persen responden percaya bahwa korupsi di cabang-cabang bank mereka bekerja sudah lazim terjadi.49
Persetujuan pemerintah diperlukan jika perusahaan- perusahaan milik pemerintah ingin meminjam uang dari bank pemerintah.
Mariko Watanabe mengaitkan munculnya NPL dengan pemeliharaan (barang) modal. Dia berpendapat, aset perusahaan dibiayai oleh modal dan utang. Untuk melindungi (barang) modal dari setiap risiko bisnis, perusahaan perlu menyediakan biaya depresiasi untuk mengimbangi penyusutan (barang) modal karena pemakaian, dan memberikan kom- pensasi kepada pemilik untuk menutupi biaya modal. Di dalam ekonomi
transisi seperti Cina, sistem dan institusi telah menyia-nyiakan pemeliha- raan (barang) modal terlalu lama. Karena itu, Watanabe berkesimpulan, masalah ini merupakan satu sebab lain timbulnya NPL.50
Taiwan merupakan salah satu negara yang dilanda krisis 1997, tetapi ti- dak parah, walaupun mata uangnya didevaluasi sebesar 24 persen. Wei- Chiao Huang dan Christina Y. Liu berpendapat hal ini terjadi karena NPL- nya berada pada tingkat yang rendah, yaitu kurang dari 3 persen selama 1997/1998. Menurut mereka, alasan yang lain adalah pada umumnya perusahaan-perusahaan Taiwan tidak dibebani dengan debt servicing ra­tio yang tinggi, Taiwan memiliki struktur neraca pembayaran yang sehat, serta ditunjang oleh industri high-tech yang kuat dan berkembang.
Krisis perbankan 2008 bukanlah yang pertama dialami oleh Amerika. Alan Greenspan menyebutkan, tsunami kredit seperti itu terjadi di Ame- rika sekali dalam seabad.51 Krisis kredit perumahan kali ini berkaitan de- ngan institusi pemberi kredit hipotik (sekarang, disebut "hak tanggung- an") yang bernama Fannie Mae, Freddie Mac, dan subprime mortgage.
Fannie Mae, kependekan dari The Federal National Mortgage Asso­ciation, didirikan pada 1938, pada masa Presiden F.D. Roosevelt, sebagai bagian dari New Deal, dan merupakan jawaban terhadap runtuhnya pa- sar perumahan nasional sejalan dengan terjadinya depresi besar. Karena saat itu para kreditor swasta enggan meletakkan uangnya pada bisnis pe- rumahan, Fannie Mae didirikan dengan tujuan menyediakan dana peme- rintahan federal yang lebih murah bagi bank-bank lokal untuk mening- katkan kepemilikan rumah melalui kredit bagi masyarakat banyak.
Operasi Fannie Mae ini menciptakan pasar yang disebut dengan se­condary mortgage, karena Fannie Mae memberikan dana kredit kepada bank atas dasar tagihan atau jaminan hipotik yang diperoleh bank. Pada awal masanya, Fannie Mae memiliki posisi monopoli pada pasar ini. Tetapi kemudian, pada 1968, karena adanya tekanan keuangan sehu- bungan dengan terjadinya Perang Vietnam, Presiden Lyndon B. Johnson memutuskan untuk melakukan swastanisasi Fannie Mae dari segi sum- ber dana, sehingga meringankan anggaran nasional. Untuk mengurangi kedudukan monopoli Fannie Mae, pada 1970, institusi kedua didirikan dengan nama The Federal Home Mortgage Corporation, atau disingkat Freddie Mac.
Kedua institusi ini dimiliki oleh swasta dan dioperasikan oleh pemilik sahamnya. Namun, selain memperoleh fasilitas kredit dari U.S. Treasury, Fannie Mae dan Freddie Mac dibebaskan dari pajak pendapatan, bahkan dibebaskan dari pantauan Securities and Exchange Commission (SEC). Karena itu, keduanya disebut sebagai government sponsored enterprise (GSE).
Menurut ketentuan SEC, kedudukan Fannie Mae dan Freddie Mac diistimewakan karena tidak diwajibkan untuk mengumumkan kepada publik jika mereka mengalami kesulitan keuangan. Dengan perkembang- annya dalam pasar secondary mortgage, kedua institusi tersebut dapat memperoleh pinjaman dari luar negeri dengan bunga lebih murah atas dukungan pemerintah Amerika, sehingga mereka dapat memberikan pin- jaman dengan bunga tetap dan uang muka yang rendah.
Dengan pengertian didukung oleh pemerintah Amerika, surat utang yang dikeluarkannya dibeli oleh para investor di seluruh dunia, termasuk perusahaan asuransi dan dana pensiun, serta beberapa bank sentral ne- gara asing. Inti dari bisnis kedua institusi ini tetap seperti sediakala, yaitu menyediakan likuiditas pada pasar perumahan dengan membeli hipotik dari bank-bank lokal. Selanjutnya, mereka melakukan repackaging pin- jaman atas dasar hipotik (kedua) itu, dan menggunakannya sebagai kola- teral atas obligasi yang mereka keluarkan, yang kemudian dibeli oleh para investor. Obligasi ini disebut sebagai mortgage backed securities (MBS) atau assets backed securities (ABS) atau collateralized debt obligation (CDO), dan kedua institusi tersebut memberikan jaminan pembayaran kepada pembeli obligasi jika terjadi wanprestasi oleh pembeli rumah.
Pada mulanya, misi kedua institusi tersebut bukan mencari keun- tungan. Tetapi, selanjutnya, misi tersebut berubah dengan adanya kei- nginan untuk memperbaiki tingkat keuntungan. Pada akhir 1990, Fannie dan Freddie juga membeli mortgage backed securities yang dikeluarkan oleh pihak lain dengan yield yang lebih tinggi. Di sini, mereka tidak lagi hanya membeli atau mengambil alih sekumpulan kredit hipotik dari bank, dan memberikan dana atau likuiditas pada bank tersebut, tetapi bank tersebut telah melakukan packaging dari kumpulan kredit hipotik itu ke dalam sekuritas, dan Fannie dan Freddie membeli sekuritas itu dan menahannya dalam portofolio.
Kadang-kadang, mereka tidak menyimpannya dalam portofolio kare- na hanya melakukan jual-beli sekuritas sejenis dengan pihak lain. Dalam kurun waktu sampai 2007, pembelian sekuritas ini mencapai nilai US$ 267 miliar, dengan kualitas rating AAA tetapi sering berbeda dengan kualitas riil yang diwakilinya. Pembelian sekuritas seperti ini merupakan awal dari masalah yang akan dihadapi oleh Fannie dan Freddie. Kedua institusi ini membeli sampai sejumlah 50 persen dari sekuritas yang ada di pasar, atau yang disebut sebagai "private label" mortgage backed se­curities dari pemberi pinjaman mortgage konvensional. Ini artinya, Fan­nie dan Freddie terekspos dengan kualitas yang lebih rendah atau disebut sebagai subprime assets, yang sesungguhnya harus dihindari.
Pada puncaknya, Fannie dan Freddie mengontrol 90 persen dari seluruh pasar secondary mortgage. Utangnya mencapai 46 persen dari seluruh utang nasional. Pada 2008, keduanya menanamkan dana dan memberikan jaminan berjumlah US$ 5,2 triliun dari US$ 12 triliun mort­gage nasional; di dalamnya termasuk subprime dan pinjaman Alt-A52 senilai US$ 1,2 triliun.53 Di samping itu, keduanya berpartisipasi sebagai mitra pada transaksi derivative senilai US$ 2,3 triliun. Namun, keduanya hanya memiliki modal sebesar US$ 83,2 miliar, dengan leverage atau ge­aring ratio sebesar 65 kali, di luar transaksi derivative yang bersifat off balance sheet itu.
Dengan turunnya harga perumahan pada 2006-2007, di samping ke- rugian dalam tahun 2007, Freddie dan Fannie mengalami kerugian US$ 14 miliar tahun 2008. Pada 2007, Freddie dan Fannie melakukan hapus buku masing-masing sebesar US$ 5 miliar dan US$ 6 miliar. Pada 2008, saham keduanya merosot mencapai 90 persen. Di samping itu, tiga orang ekseku- tifnya diberhentikan karena melakukan skandal akunting dengan mengge- lembungkan ekuitas sejumlah US$ 4,5 miliar sampai US$ 4,7 miliar.
Menurut Soupala Chomsisengphet dan Anthony Penning- ton-Cross (2006), awal pertumbuhan hipotik di bawah prima (subprime mortgage) didorong oleh adanya deregulasi tahun 1980 yang mengizinkan pembebanan bunga dan komisi yang lebih tinggi kepada para debitor oleh DIDMCA.54 Kemudian ta- hun 1982, penetapan bunga variabel dan pembayaran angsuran berbentuk balloon diperbolehkan oleh AMTPA.55 Selain itu, per- mintaan subprime mortgage makin meningkat dengan adanya keringanan pajak berdasarkan ketentuan perpajakan oleh TRA56 tahun 1986. Ketentuan ini memperbolehkan pengurangan bu- nga bagi hipotik atau mortgage rumah pertama dan tambahan satu rumah berikutnya dari pendapatan kena pajak. Ketentuan ini membuat mortgage dengan tingkat bunga yang lebih tinggi atau lebih mahal, yaitu subprime mortgage, menjadi lebih mu- rah.
Hipotik berkualitas rendah atau di bawah prima (subprime mortgage) merupakan pembiayaan kredit perumahan kepada konsumen yang memiliki sejarah perkreditan yang buruk, data- data penghasilan yang tidak memadai, yang pada mulanya tidak dapat dilayani oleh Freddie dan Fannie. Verifikasi atas data-data mengenai pekerjaan, pendapatan, dan data perkreditan lainnya tidak dapat dilakukan. Pemrosesan kredit subprime benar-be- nar mengabaikan prinsip 5C. Dengan latar belakang alasan ini, subprime mortgage juga disebut sebagai pinjaman yang bersifat low documentation atau no documentation.
Untuk memungkinkan pembeli yang tidak mampu memper- oleh kredit, uang muka bagi subprime ditentukan cukup rendah, hanya berkisar pada tingkat 6 persen, dan 12 persen untuk near prime atau Alt-A. Bahkan, terdapat pola pinjaman tertentu yang dapat digunakan oleh konsumen untuk membiayai uang muka ini, sehingga seluruh pembiayaan berasal dari pinjaman. Tingkat bunga bagi subprime mortgage paling tidak lebih mahal 100 ba­sis point dibandingkan dengan prime mortgage; tetapi struktur bunga bagi subprime lebih bervariasi, di antaranya fixed rate, variable rate, adjustable rate mortgage (ARM), atau hybrid ad­justable rate mortgage. Hybrid ARM ini artinya tingkat bunga tidak berubah selama dua tahun pertama, dan setelah itu bunga diubah setiap 6 bulan sekali sesuai dengan perkembangan ting- kat bunga yang berlaku dan ditentukan oleh the Fed.
Dengan jangka waktu sekitar 30 tahun, untuk menentukan jumlah cicilan pokok pinjaman, subprime memiliki variasi da- lam beberapa jenis fasilitas, antara lain interest only mortgage dan/atau balloon mortgage. Dalam kurun 2001-2006, porsi

subprime mortgage meningkat dari 54 persen menjadi 73 per­sen, ARM dari 73 persen menjadi 91 persen, dan interest only mortgage dari 0 persen menjadi 22 persen.
Menurut Yuliya Demyanyk dan Otto van Hemert, angka-angka ini menunjukkan adanya penurunan standar kualitas underwriting atau ana- lisis kredit, dan sesungguhnya perusahaan mortgage yang melakukan se- kuritisasi telah mengetahui hal tersebut. Penurunan kualitas subprime ini bagi pemberi kredit hipotik jelas akan lebih mendorong terjadinya NPL. Di sisi lain, dari segi jumlah utang dibandingkan dengan pendapatan, masya- rakat Amerika memiliki tingkat leverage yang telah tinggi.
Secara umum, telah diketahui bahwa pada tahun 2000 saja jumlah utang yang dimiliki oleh setiap rumah tangga di Amerika mencapai 91 persen dari disposable income mereka; 20 tahun sebelumnya, pada 1980, angkanya mencapai 65 persen. Jumlah utang yang sangat tinggi ini mem- buat keuangan setiap rumah tangga di Amerika menjadi sangat rapuh terhadap perubahan apa pun yang terjadi pada tingkat bunga umum dan keadaan perekonomian. Dalam keadaan seperti ini, masalah utama yang kemudian timbul pada subprime berasal dari hybrid ARM dan interest only mortgage tersebut. Konsumen yang menikmati fasilitas ini akan merasakan beban yang jauh lebih berat, ketika terjadi perubahan pada tingkat bunga umum, dan kemampuan bayar mereka ex-ante tidak per- nah diteliti.
Rasionalisasi pemberian pinjaman atau sekuritisasi bagi subprime mortgage ini sangat bersandar pada suatu harapan, bahwa kenaikan harga atau apresiasi nilai perumahan di Amerika akan tetap berlanjut di masa depan; padahal kenaikan harga yang terus-menerus itu merupakan gelembung. Harapan kenaikan harga ini berfungsi sebagai sumber pem- bayaran kembali dari kredit yang diberikan lebih dahulu. Tampaknya, harapan ini didasarkan pada catatan statistik mengenai pengalaman ke- naikan harga masa lalu.
Namun, tidak semua pihak sadar bahwa kenaikan harga rumah terse- but terjadi karena dua hal,57 yaitu tingkat bunga yang stabil rendah58 dan kesediaan bank untuk tetap mengucurkan kredit pada sektor perumahan. Rasionalisasi ini pulalah yang mendasari aktifnya kegiatan sekuritisa- si. Substansi transaksi sekuritas ini pada dasarnya merupakan jual-beli utang, atau jual-beli risiko, dan jelas bersifat gharal. Transaksi seperti ini dilarang dalam perspektif keuangan Islam.59
Haitham Al-Haddad dan Bashir Timol berpendapat, secara teori, per- dagangan utang itu merupakan tindakan penyebaran risiko di antara se- jumlah bank yang berbeda, sehingga mengurangi risiko bagi setiap bank yang terkait. Namun, berdasarkan definisi yang diberikan oleh Shinsuke Nagaoka, penyebaran risiko yang dimaksud oleh Al-Haddad dan Timol itu lebih cenderung berarti risk scattering, bukan risk sharing. Seperti yang dikatakan oleh Otaki, Nagaoka berpendapat bahwa suatu transaksi sekuritas akan bersifat sebagai penyebaran risiko (risk scattering) jika pemindahan risiko (risk transfer), dari bank kepada para investor atau para individu, lebih banyak berpotensi untuk menimbulkan akibat yang merugikan pada tingkat ekonomi makro, bagi semua pihak yang terkait. Akibat negatif itu timbul karena pemindahan risiko tersebut berasal dari pihak yang memiliki cukup pengetahuan dalam mengelola risiko kepada pihak yang tidak memiliki pengetahuan tentang risiko yang dihadapi, se- hingga transaksi keuangan itu menimbulkan masalah asymmetric infor­mation yang lebih besar.
Di sini, Nagaoka menekankan, penjualan CDO dari subprime mort­gage merupakan risk scattering, bukan risk sharing. Namun, masalah asymmetric information tersebut dijembatani oleh rating yang dikeluar- kan oleh para rating agency. Para investor atau para individu pembeli CDO, yang merupakan paket yang terdiri atas prime dan subprime mort- gage,60 mengambil keputusan untuk membeli sekuritas itu semata-mata berdasarkan rating tersebut. Ternyata, kemudian diketahui bahwa rating tersebut mengandung masalah, karena adanya unsur rekayasa.
Suatu rating diberikan oleh suatu agency pada suatu paket yang terdiri atas kumpulan kredit yang dijual atau perusahaan hipotik sebagai inisiator. Setiap paket mengandung unsur subprime, dengan jumlah yang sebenarnya tidak dapat diketahui, tetapi tetap memperoleh rating yang baik, karena mewakili kualitas rata-rata paket.61 Secara statistik, angka rata-rata ini juga berarti bahwa kualitas kredit yang buruk dapat ditutup dengan nilai yang lebih tinggi dari kualitas kredit yang lebih baik dalam paket.
Tetapi, dalam kenyataannya, jika unsur risiko yang terkandung da- lam subprime ini menjadi realitas, dan harapan untuk dapat dibayar kembali tidak terlaksana, angka rating rata-rata tadi tidak dapat mem- bantu terjadinya pembayaran, yang diharapkan dari kredit subprime.
Karena itu, unsur subprime yang ada di setiap paket-lah ternyata yang mendorong sekuritas menjadi NPL. Selain itu, pilar transaksi subprime ini berada pada unsur bunga atau riba, dan transaksinya sendiri bersifat spekulatif atau bahkan bersifat ponzi.
Pembayaran kembali kredit hipotik lebih banyak didasari oleh ha- rapan adanya kenaikan harga real estat dengan stabilitas tingkat bunga di masa depan, seperti yang disebutkan di atas. Dengan kata lain, proses ini disebut oleh Kregel (2008) sebagai ponzi process, yaitu permintaan terhadap perumahan dibiayai oleh pemberian kredit pada konsumen sub- prime mortgage berikutnya, atau merupakan suatu bentuk refinancing, dan kontinuitas pemberian kredit perumahan inilah yang membuat nilai atau harga rumah meningkat.
Kontinuitas pemberian kredit ini akan dapat tetap berlangsung, jika bank dan masyarakat calon konsumen pembeli rumah dengan kredit masih melihat adanya harapan terhadap kenaikan harga perumahan. Harapan ini runtuh ketika terjadi kenaikan tingkat bunga yang tinggi. Akibatnya, konsumen pun tidak mampu membayar bunga dan angsuran. Pendapat Kregel di atas sejalan dengan pandangan Niinimaki mengenai inside collateral, yang cenderung dapat menimbulkan moral hazard.
Rasionalisasi dari transaksi yang dimaksud di atas dapat dilihat dari sejarah perkembangan tingkat bunga di sektor perumahan di Amerika, yang pada 40 tahun terakhir mencapai titik paling rendah, yaitu 1 persen. Dalam kurun waktu 30 tahun pertama, yaitu tahun 1975 sampai 2005, kenaikan harga perumahan berkisar pada tingkat 6 persen per tahun (Financial Crimes Enforcement Network, 2006). Jika diukur dari tahun 1997 sampai 2006, harga riil rumah naik sampai 85 persen, dengan ke- naikan yang lebih cepat terjadi pada 2001-2005, yaitu sebesar 8,5 persen pada 2001 dan 15 persen tahun 2005 (Schumer dan Maloney, 2007). Dengan kenaikan harga per tahun sebesar ini, pembeli rumah subprime mortgage dengan sistem interest only loan (hanya membayar bunga) atau balloon payment (angsuran terakhir yang lebih dibandingkan de- ngan angsuran berkala sebelumnya) dapat mengantongi kelebihan sebe- sar 2 persen setelah membayar bunga 6 persen per tahun.
Namun, kenaikan harga yang terjadi merupakan gelembung (bubble). Di samping itu, harapan kenaikan harga aset tidak berlaku selamanya ka- rena kedua unsur tersebut ternyata berbalik arah. Runtuhnya subprime mortgage dimulai dari turunnya harga perumahan di Amerika sebesar 3,2 persen pada 2006 dan 5 persen tahun 2007, yang disebabkan oleh
adanya kenaikan tingkat suku bunga. Menurut beberapa pendapat, saat itu bubble pada sektor perumahan mulai mengempis.
Pada 2004-2005, the Fed menaikkan tingkat suku bunga tujuh belas kali, dari 1 persen menjadi 5,25 persen. Akibatnya, kedua unsur yang dimak- sud di atas berbalik arah. Para pembeli rumah subprime mortgage tidak lagi dapat memenuhi harapannya untuk memperoleh keuntungan, yang semula dimungkinkan karena dua hal: pertama, karena kenaikan harga yang selalu terjadi, dan kedua, pada saat bunga turun atau rendah tetapi tidak berubah, keuntungan ini dapat direalisasikan melalui refinancing, yaitu memperoleh kredit baru yang lebih besar untuk melunasi kredit pertama yang jumlahnya lebih kecil dengan rumah yang sama; dengan catatan, tingkat bunga kredit lama paling tidak sama dengan bunga kredit baru. Jumlah kredit baru yang lebih besar itu dimungkinkan karena harga rumah cenderung selalu naik. Sering terjadi bahwa refinancing seperti itu dapat menghasilkan dana segar bagi konsumen, karena adanya kelebihan dana yang diperoleh dari kredit yang lebih besar tersebut, atau disebut sebagai cash out refinance.
Menurut Hamid Zangeneh, refinancing hanya dimungkinkan terjadi pada perekonomian yang beralaskan pinjaman, dan jika berjalan ke arah yang diharapkan. Dalam perekonomian yang beralaskan ekuitas, seperti halnya perekonomian Islam, investasi dalam suatu usaha dibiayai oleh in­vestor sehingga refinancing tidak diperlukan. Zangeneh menambahkan, jika harapan terhadap perekonomian berbalik arah, refinancing utang lama atau pemberian utang pada proyek baru akan mengalami kesulitan. Hal itu merupakan salah satu sumber instabilitas yang akan berakibat pada perekonomian itu sendiri. Dalam keadaan itu, refinancing yang diharapkan tidak terjadi karena harapan berbalik arah, yakni tingkat bu­nga naik dan beban bunga yang harus dibayar meningkat dengan tajam. Peningkatan beban bunga dan angsuran ini mengakibatkan banyak kon- sumen mengalami gagal bayar, atau wanprestasi terhadap pembayaran cicilan kredit hipotik.
Menurut Hamid Zangeneh, refinancing hanya dimungkinkan terjadi pada perekonomian yang beralaskan pinjaman, dan jika berjalan ke arah yang diharapkan.
Terjadinya gagal bayar ini bukan sesuatu yang harus dipikirkan ke- napa, tetapi sudah seharusnya disadari sejak awal karena kemampuan keuangan mereka sudah perlu diragukan, ketika pemberian kredit hipotik
diberikan. Karena adanya gagal bayar atau terjadinya wanprestasi, bank kemudian menyita rumah-rumah debitor.
Penyitaan rumah selama semester 1/2008 mencapai 380 ribu unit, meningkat 136 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Total keseluruhan penyitaan diperkirakan mencapai 2 juta rumah pada akhir 2008. Kejadian ini mengubah arah pertumbuhan perekonomian menuju negatif, pertama kali terjadi sejak tahun 1930. Kontraksi pada sektor in- dustri konstruksi perumahan akan berdampak lebih luas bagi kehidupan masyarakat Amerika karena industri ini mengambil porsi kegiatan ekono- mi yang besar, yaitu mencapai 15 persen dari total perekonomian.
Perekonomian Amerika, secara menyeluruh mengalami penurunan menjadi 1 persen dalam tahun 2007, dan menyusut sebanyak 5,7 persen pada 2009. Tingkat pengangguran meningkat tajam menjadi 9,4 persen pada 2009, yang diperkirakan akan meningkat menjadi 10,8 persen pada 2010. Urutan berikutnya adalah kebangkrutan sekitar 25 kreditor sub- prime, dan menggoyahkan posisi keuangan karena kerugian yang besar dari sejumlah investment bankers, seperti Bear Stearn, Lehman Brothers, Golman Sach, Meryll Lynch, Morgan Stanley, dan lain-lain, baik di dalam maupun di luar Amerika.62
Keadaan ini membuat pemerintahan Amerika harus mengeluarkan dana stimulus ekonomi sebesar US$ 700 miliar, termasuk untuk bail out bagi perbankannya.63 Di samping pembiayaan perumahan berasal dari dalam Amerika sendiri, MBS atau CDO, termasuk yang dikeluarkan oleh Fannie Mae dan Freddie Mac, juga dibeli oleh bank-bank di luar Amerika. Kreditor luar negeri ini akhirnya juga mengalami NPL dan kerugian yang besar karena debitor atau konsumen kelompok subprime di Amerika itu64 gagal untuk membayar kewajibannya.
Carmen M. Reinhart dan Kenneth S. Rogoff melakukan studi menge- nai krisis subprime mortgage ini. Mereka menyimpulkan, krisis tersebut disebabkan oleh adanya liberalisasi secara de facto di Amerika, yang berbeda dengan kebanyakan krisis serupa di dunia yang diawali dengan adanya liberalisasi secara de jure. Liberalisasi de facto diartikan sebagai keadaan yang tidak memiliki regulasi, atau regulasi yang tidak memadai atau kurang mencukupi, terhadap entitas keuangan di mana mereka me- mainkan peranan yang cukup besar. Keadaan ini sangat diragukan untuk menciptakan stabilitas dalam menghadapi kemungkinan timbulnya keju- tan, tetapi sebaliknya dapat menimbulkan kerawanan terhadap kejutan.
Kitty Calavita, Henry N. Pontell, dan Robert H. Tillman menguraikan se- jarah dan perkembangan lembaga simpan-pinjam (S&L) di Amerika, ser- ta sebab-sebab keruntuhannya. Tulisan ini merupakan intisari dari yang diungkapkan oleh Calavita, Pontell dan Tillman.
Lembaga S&L pada mulanya didirikan di awal tahun 1930-an khusus untuk menopang konstruksi perumahan baru melalui The Federal Home Loan Bank Act tahun 1932. Undang-undang ini kemudian membentuk The Federal Home Loan Bank Board (FHLBB), dengan tujuan mencipta- kan sistem cadangan kredit dalam rangka menjamin kesediaan dana un- tuk membiayai hipotik perumahan dan mengawasi lembaga S&L khusus untuk sektor perumahan. Kemudian, melalui The National Housing Act tahun 1934, the Federal Savings and Loan Insurance Corporation (FSIC) didirikan dengan tujuan memberikan jaminan atau asuransi pemerintah federal terhadap simpanan yang diterima oleh lembaga simpan-pinjam.
Pada mulanya, setiap S&L beroperasi secara terbatas, yaitu hanya da- pat memberikan kredit rumah dalam radius 55 mil dari kantor pusatnya, dengan batasan tingkat bunga yang ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi, dengan alasan liberalisasi atau mengurangi campur tangan pemerintah, dan industri dianggap akan dapat bekerja lebih baik, ruang lingkup dan batasan-batasan usaha mulai diperluas dan diperlunak. Inti dari deregu- lasi ini adalah memberikan kebebasan bagi S&L untuk berkompetisi dalam menarik dana masyarakat, dan melakukan investasi yang menguntungkan.
Pada 1982, S&L dapat memberikan pinjaman di luar kredit perumah- an, dan diperbolehkan melakukan investasi di sektor properti nonperu- mahan sampai 40 persen dari total asetnya. Bahkan, S&L diizinkan untuk memberikan pembiayaan sampai senilai 100 persen dari nilai proyek, dan tanpa uang muka, atau tanpa dana ekuitas dari pemilik atau pihak spon­sor proyek. Selain itu, S&L boleh dimiliki oleh pemilik tunggal, padahal sebelumnya hanya dapat dimiliki oleh paling tidak 400 pemegang saham, dan seorang pemegang saham tidak boleh memiliki lebih dari 25 persen. Terlebih lagi, setiap investor yang mendirikan S&L tidak perlu menyedia- kan dana tunai sebagai setoran modal, tetapi diizinkan untuk mengganti- kannya dengan aset nontunai seperti tanah atau real estat.
Menurut Calavita, Pontell, dan Tillman, deregulasi itu merupakan pangkal sebab penyelewengan massal yang dilakukan oleh hampir setiap lembaga S&L, termasuk yang dimiliki oleh keluarga dua presiden Ameri- ka.65 Sebagian di antara penyelewengan ini bahkan dapat disebut sebagai
perampasan (looting). Penyimpangan, penyele- wengan, atau perampasan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap ketentuan per- bankan, dan juga merupakan moral hazard yang sangat serius, yang dilakukan oleh orang dalam.
Deregulasi yang terjadi dari waktu ke waktu memberikan kesempatan bagi pemilik dan pengurus S&L untuk memanfaatkan dana masyarakat yang ada pada S&L demi tujuan keuntungan pribadi. Di lain pihak, bagi mereka tidak terdapat risiko terhadap pengembalian dana masyarakat tersebut, karena adanya jaminan dari pemerintah federal terhadap dana masyarakat yang ditarik oleh dan berada pada S&L.
Apa yang dilakukan oleh orang dalam S&L ini disebut oleh Maurice Allais, penerima hadiah nobel dari Prancis, sebagai finance capitalist. Mereka tidak lagi mencari keuntungan dari produksi dan penjualan ba- rang dan jasa seperti industrialist capitalist layaknya, tetapi mencari keuntungan lebih banyak dari transaksi keuangan (fiddling with money), seperti pengambilalihan perusahaan, perdagangan valuta, loan swaps atau reciprocal lending, spekulasi tanah, dan future trading. Kejahatan kerah putih inilah kemudian yang membuat runtuhnya industri S&L se- cara keseluruhan.
Namun, dari segi politik, cara penanganan oleh pihak pemerintah terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi pada S&L tersebut dilakukan sedemikian rupa, sehingga masyarakat luas tidak melihat ke- jadian itu sebagai keruntuhan sektor keuangan yang mencolok. Karena itu, Calavita, Pontell, dan Tillman berpendapat bahwa apa yang terjadi bukanlah kesalahan kebijakan, melainkan kolusi politis yang sistematis.
Pada 1987, sepertiga lembaga S&L berada dalam keadaan tidak sol- vabel. Hanya dalam tahun 1989, pemerintah akhirnya menghentikan se- luruh tindakan penyelewengan S&L, dengan mengambil alih ratusan S&L yang tidak sehat. Dana talangan penyelamatan pada awalnya berjumlah US$ 50 miliar. Namun, menurut catatan pada Juli 1996, biaya keseluruh- an penyelesaian runtuhnya S&L mencapai US$ 500 miliar, dan jumlah ini ditanggung oleh pembayar pajak Amerika.
Contoh bentuk penyelewengan yang terjadi pada S&L yang dimaksud oleh Calavita, Pontell, dan Tillman itu adalah sebagai berikut:
Charles Keating merupakan bintang dan contoh tipikal penyelewengan pada S&L.
Charles Keating merupakan bintang dan contoh tipikal penyeleweng- an pada S&L. Ia membeli Lincoln Savings and Loan di Irvine, California,
dan mengubah bisnis S&L ini dari pembiayaan hipotik konvensional men- jadi konglomerat, dengan spesialisasi pada pembangunan dan konstruksi real estat komersial. Keating lalu melakukan investasi langsung seperti menanam modal di perusahaan minyak di Arab Saudi, mengakuisisi ho­tel, dan membeli junk bond. Semua transaksi ini menggunakan dana sim- panan masyarakat yang masuk ke Lincoln S&L.
Keating memberikan pinjaman kepada perusahaannya sendiri, dan melakukan apa yang disebut sebagai looting (perampasan), yaitu meng- gunakan dana S&L untuk kehidupan pribadi, termasuk untuk berbelanja barang-barang mewah. Intinya, memperkaya diri sendiri dengan meng- gunakan kendaraan S&L.
Keating melakukan swap loan, yakni memberikan pinjaman kepada San Jacinto S&L untuk membiayai proyek yang dimiliki oleh pemilik San Jacinto S&L; sebaliknya, pemilik Jacinto S&L memberikan pinjaman ke- pada Keating untuk proyeknya sendiri. Keduanya memperoleh keuntung- an bagi pribadi dari proyek masing-masing.
Kejadian pada Lincoln S&L ini merupakan contoh penyimpangan dan penyelewengan yang terjadi pada S&L umumnya. Keating keluar dari penjara setelah hukuman selama empat setengah tahun dari hukuman 12 tahun penjara, tetapi kemudian diadili kembali.
Dalam kasus yang lain, ketika S&L-nya akan bangkrut, pemilik mengambil uang sebanyak US$ 10 juta melalui pembayaran bonus dan dividen yang besar, melalui keputusan direksi dan direstui oleh auditor eksternalnya. Tindakan ini merupakan salah satu contoh lain dari looting. Orang dalam dari suatu S&L juga memiliki proyek bersifat spekulatif, dan debitor S&L diajak untuk memiliki sebagian saham dari proyek tersebut. Dana pembelian saham ini berasal dari pinjaman yang diberikan oleh S&L yang sama. Mereka memberikan laporan keuangan yang telah dire- kayasa agar pinjaman diberikan. Mereka juga melakukan land flip, yaitu transaksi jual-beli terhadap properti yang sama, dan dilakukan berkali- kali antara pihak-pihak yang bersekongkol, sehingga mencapai nilai jual- beli yang lebih tinggi seperti yang diinginkan; kemudian, properti dengan harga yang telah dimanipulasi itu digunakan untuk memperoleh pinjam- an dari salah satu S&L.
Semua penyelewengan ini merupakan hasil kerja sama semua pihak terkait, baik orang dalam seperti direksi, pejabat pelaksana, pemilik sa- ham dengan atau tanpa bantuan orang luar, maupun pihak luar dari S&L, seperti para penilai real estat, pialang, konsumen, dan lain-lain tanpa bantuan orang dalam. Menurut catatan RTC atau pihak yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan skandal S&L tersebut, dari 2.051 kasus, 63 persen merupakan penyelewengan yang dilakukan oleh orang dalam dengan atau tanpa bantuan orang luar, dan hanya 37 persen yang dilakukan oleh orang luar sendiri.
Penyelewengan yang dilakukan orang dalam meliputi, antara lain, suap dan kickback, pencurian, penggelapan atau penyalahgunaan dana, penyalahgunaan skema asuransi dana masyarakat, dengan sengaja me- rekayasa atau menyembunyikan data atau fakta yang sebenarnya, pen- catatan akunting atau keuntungan yang direkayasa, memanipulasi nilai properti, dan membantu terlaksananya transaksi yang merugikan S&L. Adapun kerja sama dengan pihak luar adalah, misalnya, dengan akuntan eksternal dalam rangka membuat laporan keuangan agar memberikan gambaran yang sehat, dan dengan para penilai real estat adalah untuk memanipulasi agar nilai properti menjadi lebih tinggi.
Susan Eastbrook Kennedy (1973) menguraikan krisis perbankan di Ame- rika, yang dimulai pada 1920 dan puncaknya terjadi pada 1933. Seperti halnya Lincoln di Irvine, California, pada sektor S&L, perbankan sekitar tahun 1930-an juga memiliki contoh yang serupa dengan modus operandi perbankan yang membuat terjadinya krisis saat itu.
Sebagai contoh adalah Bank of United States di New York, yang di- miliki oleh Bernard Marcus dan Saul Singer. Keduanya adalah pengusaha pakaian jadi dan memiliki usaha lain di bidang properti dan asuransi, di samping lembaga keuangan lainnya. Keruntuhan bank ini terjadi karena kedua pemilik menggunakan pinjaman dari bank tersebut untuk berspe- kulasi dalam real estat dan pembelian saham, baik saham bank maupun perusahaan terkait lainnya. Ketika harga real estat dan saham turun, bank mengalami kerugian besar dengan modal menjadi negatif. Seluruh por­tofolio pinjaman bank yang berjumlah US$ 37 juta menjadi bermasalah atau sebagian besar merupakan NPL, sehingga bank harus ditutup dalam tahun 1930. Ini salah satu contoh dari 8.599 bank yang bangkrut pada 1865-1929, yang diikuti runtuhnya 5.790 bank lainnya pada 1930-1933.66
Kennedy berpendapat, keruntuhan perbankan ini terjadi karena bu- ruknya manajemen dalam mengelola bank. Bahkan, mereka bersifat kri- minal, yakni menggunakan bank untuk kepentingan pencarian keuntung- an pribadi yang penuh kerakusan melalui spekulasi. Bagi Kennedy, me- nurunnya pertumbuhan ekonomi seperti yang terjadi pada depresi besar 1929-1930 itu hanya merupakan faktor penambah bencana bagi perbank- an. Pada masa itu, Amerika belum memiliki sistem pengawasan perbank- an yang efektif, karena belum adanya kesepakatan politik mengenai uni- fikasi dan pengawasan perbankan secara nasional. Pengaturan perbankan yang menyeluruh baru dicapai setelah diundangkannya The Banking Act 1933, yang merupakan kelanjutan The Glass-Steagall Act, dan akhir dari laissez-faire pada perbankan sampai batas tertentu.
Menurut sejumlah pengamat, krisis keuangan 1997/1998 yang terjadi di ASEAN67 bermula dengan adanya lending boom yang terjadi di negara- negara tersebut pada periode 1990-1996/1997. Salah satu karakteristik lending boom adalah mendorong terjadinya pemberian kredit yang berle- bihan.68 Dengan adanya capital inflow yang besar, perusahaan-perusaha- an di ASEAN sering melakukan pinjaman dalam dolar Amerika walaupun rasio debt to equity mereka sudah tinggi,69 sedangkan sumber pendapat- an utama mereka dalam bentuk mata uang lokal.
Isu sentral krisis Asia 1997-1998 terletak umumnya pada sektor ke- uangan yang lemah yang telah berlangsung sebelum krisis terjadi.70 Ba- nyak lembaga keuangan yang insolven masih tetap beroperasi bertahun- tahun lamanya, dalam lingkungan yang memiliki peraturan yang kendur, terutama dalam hal pengawasan. Sektor perbankan mengandung kualitas aset pinjaman yang buruk dalam jumlah yang besar dalam neraca mereka.
Sebelum krisis 1997 terjadi, banyak bank komersial di Thai­land, Indonesia, dan Malaysia,71 juga di Korea, dijalankan seperti rumah gadai. Kelemahan dalam praktik pemberian pinjaman di negara-negara tersebut ditunjukkan sebagai berikut. Pertama, pemberian pinjaman jarang dilakukan berdasarkan analisis kredit dan arus kas yang memadai. Kedua, kolateral merupakan faktor utama dalam pengambilan keputusan pemberian kredit, yakni pinjaman diberikan berdasarkan kekuatan kolateral tan- pa mengindahkan kemampuan calon debitor untuk membayar kembali pokok pinjaman dan bunga dari kegiatan utama bisnis- nya. Ketiga, hubungan antara bank dan debitor ditentukan oleh jumlah kredit. Keempat, fokus pengambilan keputusan teruta- ma didasarkan pada asumsi pejabat bank mengenai kredibilitas calon konsumen. Kelima, para kreditor tidak memperhatikan tujuan penggunaan dana yang diberikan, asalkan didukung oleh kolateral yang cukup untuk menutup jumlah utang pokok dan bunga. Keenam, sistem keuangan dan perbankan di negara-ne- gara itu ketika memasuki pertengahan 1997 berada dalam ber- bagai tingkat kerapuhan dan semua berpotensi menjadi korban krisis Asia.
Tahun 1990, Thailand melakukan liberalisasi sistem keuangannya yang menciptakan munculnya lembaga perantara keuangan nonbank. Dengan adanya lembaga keuangan ini, limit kredit yang ditetapkan oleh bank komersial melalui batas minimal pemberian kredit dapat disiasati. Jadi, ketika Thailand mendorong pinjaman luar negeri melalui insentif pajak pada 1990, lembaga keuangan Thailand sangat aktif memberikan pinjam- an untuk membiayai sektor properti dan real estat. Dengan mengempis- nya gelembung real estat pada 1993, sehingga NPL berakumulasi, masa- lah dalam lembaga keuangan nonbank tersebut meletus tahun 1997.
Terlepas dari adanya masalah makro dan politik di Thailand, titik pusat utama Thailand yang membawa krisis keuangan lebih besar di Asia adalah kegagalan sektor swasta, yang meminjam dana berlebihan dalam mata uang asing melalui pemberian pinjaman yang berisiko tinggi dan sembrono.72 Pinjaman kepada sektor properti berjumlah 767 miliar bath pada 1996 (264 miliar bath pada 1993). Menurut Lauridsen, moral ha­zard yang terkait menunjukkan bahwa para pemilik properti menyulap nilai tanah dan properti mereka supaya memperoleh pinjaman, dan ba- nyak transaksi seperti ini tidak didasari pada kekuatan arus kas sehing- ga menimbulkan NPL. Ketika batas waktu yang diberikan kreditor luar negeri untuk menyelesaikannya terlewati, mereka menyatakan debitor tersebut melakukan wanprestasi dan tidak solvabel. Menurut Lauridsen, hal ini saja secara psikologis sudah dapat menimbulkan efek domino di negara lain di ASEAN, yang menuju pada krisis keuangan 1997 yang se- sungguhnya.
Sistem keuangan Korea mengalami krisis yang serius karena pemberian pinjaman bank yang berlebihan kepada para konglomerat (chaebol). Ke­tika krisis terjadi tahun 1998, NPL berjumlah 118 triliun won (27 persen dari GDP).73 Karena merupakan strategi pembangunan pemerintah, para chaebol diberi perlakuan istimewa dalam memperoleh kredit, atau kredit bersubsidi, dengan perlindungan pemerintah, sehingga menimbulkan moral hazard yang cukup berat. Karena para chaebol dianggap sebagai tulang punggung ekonomi Korea, krisis yang dialami oleh Korea merupa- kan krisis para chaebol.74
Menurut Yoon Je Cho, para chaebol tidak memiliki tata kelola per- usahaan yang baik, tidak diharuskan memiliki consolidated statements, laporan keuangan mereka tidak memiliki kredibilitas dan transparansi yang wajar, para manajer atau eksekutif mereka merupakan bagian dari keluarga para pemilik, melakukan investasi yang berlebihan dan dibiayai oleh utang. Karena itu, para chaebol memiliki rasio debt-equity yang tinggi, dengan usaha yang tidak selalu menguntungkan.75
Karena pemberian kredit dipengaruhi oleh pemerintah, bank di Ko­rea tidak melakukan analisis kredit dan monitoring seperti yang seharus- nya sehingga bank tidak dikelola dengan baik, dan sulit memperoleh laba, serta memiliki kualitas aset yang buruk dan illiquid, di samping bermodal rendah berdasarkan standar internasional yang berlaku.76
Korea sangat bergantung pada pinjaman eksternal. Ketika capital inflow berbalik arah pada 1997, menurut So Young Sohn dan H.W. Shin, masalah struktural pada sektor keuangan dan korporasi tampak dengan jelas. Faktor lain yang menyebabkan sektor perbankan lemah adalah ada­nya campur tangan pemerintah, dengan sejumlah kebijakan yang mem­buat bank menjadi tidak efisien. Walaupun liberalisasi pernah terjadi di Korea, yang menghentikan kepemilikan pemerintah pada bank dalam tahun 1981, bank swasta yang besar tetap beroperasi seolah-olah merupa- kan lembaga pemerintah.77

Sebelum krisis 1997, Malaysia menghadapi masalah dalam sektor per- bankannya, yang meliputi terjadinya bank run yang sporadis dan kegagal- an sejumlah lembaga keuangan, termasuk bank berskala menengah. Pada 1995, terdapat bukti yang menunjukkan sistem perbankan Malaysia me- miliki eksposur terhadap proyek berisiko tinggi, dan masalah memuncak pada 1996 dan awal 1997. Tahun 1996, pemberian pinjaman bank untuk membiayai pembelian saham meningkat menjadi 20,1 persen (4 persen tahun 1995), dan eksposur pembiayaan pada sektor ekuitas dan properti mencapai 42,6 persen dari jumlah kredit tahun 1996.78
Pada saat keyakinan pasar terhadap ekonomi berkurang seirama de- ngan apa yang terjadi di kawasan ASEAN, capital outflow dari Malaysia bertambah, diikuti dengan turunnya nilai ekuitas secara drastis. Mata uang ringgit terdepresiasi dan krisis 1997 mulai memengaruhi sektor per- bankan secara negatif. NPL meningkat dari 6 persen pada 1997 menjadi 22 persen tahun 1998. Investasi pada perusahaan dengan beban utang yang besar berjatuhan. Pada Juni 1999, Danaharta79 didirikan untuk me- ngelola sejumlah RM 39,3 miliar NPL (13 persen dari GDP). Sebagian be- sar dari pinjaman ini merupakan kredit yang diberikan kepada dua grup besar, Sime and Bumiputra. Pada tahun 2000, jumlah NPL keseluruhan dapat ditekan menjadi 15,3 persen.80
Khususnya pada masa pemerintahan Soeharto, sistem keuangan dan perbankan81 secara politis belum sepenuhnya independen dari pemerin- tah. Salah satu sebabnya, masalah moneter dikelola oleh Dewan Mone- ter, yang terdiri atas Presiden, Gubernur Bank Indonesia, dan Menteri Keuangan. Sebab lain, penunjukan presiden direktur bank milik negara ditentukan dan/atau disetujui langsung oleh Presiden. Fungsi kontrol ter- hadap sistem sering disalahgunakan, misalnya Menteri Keuangan dapat menentukan mulai tingkat bunga sampai daftar pihak yang perlu diper- hatikan untuk diberi kredit.82

Sejak 1990, menurut Kwik Kian Gie dan Tadahiro Asami, sektor per- bankan di Indonesia83 telah mengandung praktik-praktik pemberian kre- dit yang tidak sehat.84 Karena itu, krisis 1997 bukan merupakan penyebab utama seluruh NPL yang terjadi pada saat krisis.85 Keadaan ini sejalan dengan pendapat Faisal Basri, yang mengatakan bahwa kerapuhan sek-
tor perbankan dapat dilihat jauh sebelum krisis 1997 terjadi. Sampai 1994, praktik-praktik seperti menaikkan nilai proyek (mark up), kolusi, nepo- tisme, dan tindak korupsi disebutkan sebagai pe- nyebab utama meningkatnya jumlah NPL.86
Sudah menjadi rahasia umum, terutama di lingkungan bank milik pemerintah,87 bahwa pemberian kredit juga dapat dilakukan hanya berdasarkan instruksi dari atas. Kredit seperti ini sering disebut sebagai "kredit komando", yakni persetujuan pinjaman diberikan tidak melewati proses pemberian kredit yang seharusnya. Bank juga sudah biasa memberikan fasilitas kredit untuk membayar bunga yang tertunggak bagi fasilitas utama dari debitor yang sama, atau disebut sebagai plafondering.88 Seperti halnya Masyud Ali, Basri juga berpen- dapat bahwa masalah NPL merupakan hasil kolusi antara para manajer bank dan debitor.
Walaupun masalah-masalah di atas89 terjadi di sektor perbankan, dengan mengikuti rekomendasi IMF, Indonesia melakukan deregulasi sektor tersebut pada 1988. Deregulasi ini, yang disebut sebagai Pakto 1988,90 mengizinkan pembukaan bank baru dengan hanya modal yang disetor berjumlah Rp 10 miliar. Karena itu, jumlah bank meningkat dari 64 pada 1988 menjadi 339 pada 1996.91 Pada saat yang sama, cadangan wajib pada BI diturunkan dari 15 persen menjadi 2 persen. Kedua hal ini saja sudah cukup untuk mendorong timbulnya lending boom di sektor perbankan. Pada saat itu, pengawasan bank-bank oleh BI masih sangat lemah dan peraturan prudential92 belum sepenuhnya berkembang atau secara konsisten diterapkan.
Baik bank lama maupun yang baru berdiri mengarah pada target pa- sar yang sama, yaitu pasar korporasi. Tetapi, jumlah korporasi di pasar tidaklah banyak93 94 sehingga tercipta kompetisi yang ketat antarbank. Di lain pihak, menurut Ali, sejumlah kelompok usaha korporasi dimiliki oleh keluarga Soeharto atau kroninya, atau paling tidak terdapat hubungan tertentu dengan keluarga penguasa. Sebagian besar bank yang didirikan pada masa Pakto 1988 dimiliki oleh korporasi dan para kroni itu.
Sudah menjadi rahasia umum, terutama di lingkungan bank milik pemerintah, bahwa pemberian kredit juga dapat dilakukan hanya berdasarkan instruksi dari atas.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa sektor perbankan telah berinteg- rasi dengan sektor riil melalui kepemilikan yang sama. Para pemilik bank ini melakukan perampasan dana bank melalui connected atau related
lending.
Dengan demikian, moral hazard terjadi di mana-mana, tidak saja dalam pemberian kredit, tetapi juga dalam rangka memperoleh pen- danaan dari sumber yang besar, yaitu para perusahaan milik pemerintah. Di dalam perbankan Indonesia ketika itu, menurut Basri, terdapat prak- tik-praktik bisnis yang dilakukan di bawah naungan payung dari suatu sistem politik bersifat otoritarian yang tertutup dan korup. Dalam kaitan itu, Djafar berpendapat, patronase politik merupakan satu-satunya pen- jelasan yang paling penting terhadap terjadinya NPL dalam jumlah yang sangat besar dalam perbankan Indonesia. Hal itu menjadi simbol dari pe- rampasan dan disebabkan oleh pemerintah, yang seharusnya dihentikan oleh pemerintah.
Krisis95 dimulai ketika kreditor jangka pendek96 tidak bersedia mem- perpanjang pinjamannya karena kepercayaan mereka yang mulai mele- mah, baik terhadap pemerintahan waktu itu maupun terhadap mata uang rupiah. Karena adanya tekanan pasar, serta cadangan valuta asing peme- rintah yang terbatas, pemerintah memutuskan untuk mengambangkan rupiah dari tambatan tetap (managed floating) terhadap dolar Amerika. Akibatnya, rupiah terdevaluasi dengan sangat tajam dalam waktu yang singkat. Hal ini mendorong terciptanya NPL yang lebih besar dan mem- buat perbankan terjerumus ke dalam krisis keuangan yang sangat serius.
Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk menutup pada tahap per- tama sejumlah 16 bank, dan mengorganisasi kembali sistem perbankan. Seluruh NPL yang ada diambil alih dan ditangani oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Untuk tindakan ini, pemerintah mengeluar- kan Rp 640 triliun dalam bentuk obligasi97 kepada bank sentral.
Majalah Info Bank, seperti dikutip Masyud Ali, membuat suatu daf­tar penyebab kenapa krisis perbankan terjadi: kualitas aset pinjaman yang buruk, pinjaman diberikan pada grup terkait dan melanggar keten- tuan BMPK, intervensi pemilik bank terhadap manajemen bank, mana- jemen dana dan likuiditas yang buruk, fungsi pengawasan bank yang le- mah, prosedur pemrosesan kredit yang tidak baik, pekerjaan orang dalam (kolusi antara pejabat bank dan debitor), tidak adanya rencana kerja yang baik, dan pembiayaan bisnis yang bersifat spekulatif.
Mengenai NPL, Info Bank mengungkapkan penyebab-penyebab berikut: praktik pemberian kredit yang liberal (85 persen), terlalu banyak pengecualian pada laporan keuangan debitor (79 persen), pemberian pin­jaman yang berlebihan terhadap satu debitor (73 persen), struktur jamin- an yang lemah (67 persen), keputusan pemberian kredit lebih didasarkan pada pertimbangan kolateral dan mengabaikan aspek fisibilitas proyek atau penilaian risiko atau kemampuan membayar kembali di masa depan (55 persen), pemberian kredit tanpa jaminan atau hanya berdasarkan nama (37 persen), dan pemberian kredit tidak untuk membiayai bisnis utama debitor (23 persen).
Sebagai tambahan penyebab NPL, Kwik Kian Gie berpendapat, sejak awal pemberian kredit para debitor sudah berniat untuk tidak membayar kembali kredit yang mereka terima. Jadi, ketika krisis melanda Indonesia, mereka mempunyai alasan yang kuat untuk tidak memenuhi kewajiban mereka kepada bank.
Senada dengan uraian di atas, banyak pengamat internasional berke- simpulan, Indonesia mengalami masalah yang cukup besar sebelum krisis terjadi dan berpotensi untuk menuju krisis. Mari Pangestu98 dan Charles Enoch, Barbara Baldwin, Olivier Frecaut, dan Arto Kovanen, misalnya, berpendapat bahwa pada mulanya Indonesia memiliki sektor perbankan yang lemah,99 dan masalah governance mendorong terjadinya krisis dan bahkan memperlambat penyelesaiannya.
Setelah krisis 1997/1998, Indonesia memiliki dua bank bermasalah, yang kemudian diakhiri dengan penutupan dan pengambilalihan. Bank Century, yang memiliki aset Rp 13,7 triliun, adalah bank yang diambil alih pada 21 November 2008 oleh pemerintah melalui LPS. Masalah Bank Century bermula dari kekurangan likuiditas akibat gagal bayar sekuri- tas berjumlah US$ 140 juta dari jumlah US$ 210 juta yang dimilikinya. Akibat kekurangan likuiditas ini, Century beberapa kali mengalami kalah "kliring" dan terakhir pada 13 November 2008.
Setelah diteliti, diketahui bahwa pemilik pengendali, dibantu oleh di- reksi bank, dalam hal ini presiden direktur, menggelapkan dana masyara- kat dan memindahkannya ke bank lain untuk kepentingan pribadi, dan/ atau mengucurkan kredit tanpa memenuhi prosedur yang berlaku bagi kepentingan pemilik yang dimaksud. Salah satu modus operandi yang dilakukan, pegawai Bank Century diminta oleh pemilik dan direksi untuk memasarkan produk reksadana dari perusahaan sekuritas yang dimiliki oleh pemilik dominan Bank Century, yaitu Antaboga Delta Sekuritas dan Signature. Namun, kegiatan perusahaan sekuritas ini tidak memiliki izin dan tidak terdaftar pada otoritas pasar modal (Bappepam).
Di lain pihak, dana yang diterima sebagai hasil penjualan produk rek- sadana dari para investor diselewengkan ke dalam rekening pribadi dan rekening fiktif di dalam dan di luar negeri. Robert Tantular sebagai pe-
milik saham bersama Hermanus Muslim sebagai mantan Presiden Direktur Bank Century dituntut 8 tahun penjara dengan denda Rp 50 miliar oleh Jaksa Penuntut Umum, dengan dakwaan mela- kukan tindak pidana perbankan melanggar Pasal 50 A UU No. 10/1998 tentang Perbankan jo Pasal 55 Ayat (1) kesatu KUHP.
Untuk menyelamatkan Bank Century, LPS menyuntikkan dana sebesar Rp 6,7 triliun, se- kaligus mengambil alih kepemilikan bank ini. Manajemen baru kemudian memperbaiki pro­ses pemberian kredit dengan memperkuat manajemen risiko. Sistem pengambilan keputusan bisnis atau kredit bagi nasabah korporasi diubah dengan tidak lagi seperti semula berdasarkan alur top-down, menjadi bottom up dengan melibatkan unit terkait dan divisi manajemen risiko (Bisnis Indonesia, 23 Januari 2009).
Beberapa waktu kemudian, timbul polemik mengenai pelaksanaan penyelamatan Bank Century ini. Persoalan yang dikemukakan oleh DPR dan Wakil Presiden (waktu itu) Jusuf Kalla adalah kenapa bank yang ber- masalah, karena tindak pidana yang dilakukan oleh pemilik dan direksi, perlu diselamatkan. Pemerintah menegaskan, Century perlu diselamat- kan karena berkaitan dengan ketentuan yang berlaku. Bank Indonesia menetapkan bahwa masalah Bank Century merupakan masalah sistemik, dan perlu diselamatkan karena dapat mengganggu stabilitas perbankan secara menyeluruh.
Untuk menyelamatkan Bank Century, LPS menyuntikkan dana sebesar Rp 6,7 triliun sekaligus mengambil alih kepemilikan bank ini.
Namun, seorang pengamat, Soesatyo (Suara Pembaruan, 7 Septem­ber 2009), berpendapat bahwa penyelamatan Bank Century ini memiliki latar belakang kepentingan lain. Penyelamatan dilakukan untuk kepen- tingan deposan besar, di antaranya perusahaan BUMN yang kerap mem- bantu dana politik, selama kampanye pemilihan umum yang baru selesai dilaksanakan. Deposan besar itu menempatkan dana triliunan rupiah di Bank Century untuk memperoleh tingkat bunga yang lebih tinggi daripa- da dana penjaminan LPS. Di samping itu, menurut Soesatyo, penetapan masalah Bank Century bersifat sistemik kurang tepat. Alasannya, nilai aset Bank Century hanya 0,75 persen dari total aset perbankan nasional, dan Century menggunakan dana antarbank hanya Rp 750 miliar. Dengan demikian, bank itu terlalu kecil untuk dapat memengaruhi kesehatan bank lain dalam sistem perbankan yang sama.
Bank IFI adalah bank yang ditutup oleh pemerintah karena masalah NPL yang besar, dan ketidakcukupan modal akibat tingkat NPL tersebut. Sejak dimasukkan ke dalam pengawasan khusus BI tahun 2002, bank ini akhirnya ditutup pada 17 April 2008 karena dianggap gagal melakukan tindakan penyehatan, yakni tingkat modal turun hingga di bawah keten- tuan 8 persen. Pada September 2008, Bank IFI melaporkan bahwa kecu- kupan modal berada pada tingkat CAR 27 persen, yang berarti jauh di atas ketentuan 8 persen yang berlaku. Namun, kenyataan lain menunjukkan, dalam tiga tahun dari 2005 sampai 2008 Bank IFI mencatat kerugian, yai- tu Rp 7,7 miliar tahun 2005, Rp 40,15 tahun 2006, dan Rp 54 miliar tahun 2008. Sejak 2005, tingkat NPL-nya mencapai 11,18 persen, meningkat menjadi 29,58 persen tahun 2007 dan 24,74 persen pada 2008.
Kegagalan Bank IFI ini disebabkan oleh kegagalan dalam tata kelola manajemen perusahaan, yang sesungguhnya diketahui ketika bank ini termasuk dalam daftar BPPN. Ketika itu sudah diketahui, lebih dari 20 persen aset bank merupakan pinjaman bermasalah kepada grup sendiri. Namun, bank ini tetap diberi waktu untuk mengatasi masalah yang diha- dapi tersebut. Kemudian ternyata, dalam waktu lebih dari delapan tahun, bank tersebut gagal mengatasi masalahnya.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba meneliti dan meringkas penyebab NPL dari pengalaman setiap negara. Semua penyebab NPL dikelompokkan ke dalam gabungan istilah dengan pengertian sebagai berikut: masalah prudential, kultur perkreditan, masalah keahlian dan keterampilan perkreditan, masalah manajemen internal, moral hazard, operating environment, masalah makroekonomi.
Informasi yang dapat diperoleh bagi setiap negara diinterpretasikan serta dikelompokkan ke dalam istilah di atas secara sendiri-sendiri. Wa- laupun ringkasan yang dikemukakan tidak menjelaskan secara terperinci penyebab krisis perbankan atau NPL, para peneliti menyimpulkan masa- lah utama sebagai penyebab terjadinya krisis perbankan dan NPL di ne­gara yang terkait.
Di setiap negara yang diteliti penyebab utama NPL adalah masalah prudential, diikuti dengan masalah yang berkaitan dengan atau menim- bulkan moral hazard, baik yang terjadi di pihak bank maupun di pihak debitor. Menurut Hermansyah,100 penerapan prinsip kehati-hatian dapat dilihat dari bagaimana bank dan orang-orang yang terlibat di dalamnya membuat kebijakan dan menjalankan kegiatan usahanya.
Dalam menjalankan usahanya, mereka wajib melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing secara cermat, teliti, dan profesional, se- lalu mematuhi semua peraturan perundang-undangan yang berlaku, se- cara konsisten dengan didasari dengan iktikad baik. Dengan menjalankan kegiatan usaha seperti itu, menurut Sundari Arie, diharapkan bank dapat menghindari praktik yang tidak sehat, dan meminimalkan kerugian yang mungkin dapat terjadi. Ini berarti bank melindungi kepentingan masyara- kat pemilik dana, sehingga dapat memperoleh kepercayaan masyarakat.
Namun, tampak bahwa kelompok masalah prudential dari tiap ne- gara menunjukkan sejumlah kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh perbankan masing-masing tidak memenuhi pengertian yang dimaksud Hermansyah atau Sundari Arie tersebut. Kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh perbankan negara-negara di atas dalam menjalankan usahanya justru menunjukkan kebalikan dari prinsip kehati-hatian, yang mendorong terciptanya kerugian disebabkan oleh timbulnya NPL.
Kebijakan dan tindakan yang merugikan itu meliputi praktik pem- berian pinjaman yang tidak sehat, yang dipengaruhi oleh pemilik bank, pejabat pemerintah, dan para politisi; mengabaikan manajemen risiko; mengikuti herd behavior, sikap yang terlalu optimistis, pengambilan risiko yang berlebihan, tidak mempersiapkan diri dengan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan analisis keuangan; memberikan kredit berisiko tinggi, atau bersifat spekulatif seperti kredit untuk pembiayaan atau transaksi jual-beli saham, tidak melakukan credit checking; tenaga ahli dalam bidang perkreditan kurang; tidak mampu melakukan analisis keuangan, atau analisis kredit lemah; memberikan pinjaman yang agresif pada sektor properti; zombie lending, menggunakan jumlah utang yang berlebihan; pinjaman dalam dolar AS yang berlebihan; memberikan kre- dit tidak berdasarkan analisis kemampuan keuangan atau arus kas, berti- tik tolak pada jaminan semata, plafondering, kredit komando; pelanggar- an BMPK; tidak ada pengawasan terhadap lembaga keuangan nonbank, pengawasan perbankan yang lemah.
Ketika arus pemberian kredit yang besar terjadi (lending boom), pengabaian sikap atau prinsip kehati-hatian itu akan mendorong timbul- nya moral hazard, yang dapat terjadi baik pada pihak bank maupun de­bitor. Setiap orang berusaha untuk menarik dana pinjaman dari bank de- ngan cara yang tidak memenuhi prinsip pemberian pinjaman yang sehat,
sehingga penggunaannya tidak memungkinkan untuk memperbesar kemampuan mereka dalam membayar kembali pinjaman tersebut.
Di hampir setiap negara yang dikaji, terda- pat penyebab NPL tertentu yang berlaku secara umum. Dengan kata lain, sebagian besar kasus NPL terjadi karena penyebab yang bersifat khusus bagi setiap negara. Penyebab khusus ini dapat diungkapkan secara ringkas meliputi hal-hal seba- gai berikut: sistem politik yang berpengaruh pada directed lending (Cina), moral hazard yang dise- babkan adanya credit insurance scheme (Meksiko), tindakan kebijakan pemerintah yang lemah yang mengakibatkan krisis makroekonomi yang parah (Argentina), pemberian kredit yang agresif dan bertitik tolak pada properti dan pemberian pinjaman pada perusahaan yang telah mengalami kerugian atau zombie (Jepang), strategi pembangunan pemerintah yang mengizinkan penanganan khusus kepada grup perusahaan atau para chae­bol (Korea), kurangnya penerapan prinsip-prinsip prudential dalam mem- berikan pinjaman (Malaysia), perkembangan lembaga keuangan nonbank yang tidak terkontrol dan kurangnya prinsip-prinsip prudential dalam memberikan pinjaman (Thailand).
Di samping penyebab khusus yang banyak terjadi di setiap negara, tentu terdapat penyebab lain, seperti lingkungan pengawasan dan keten- tuan prudential yang lemah, moral hazard, dan crony banking. Sebagian besar dari penyebab ini menunjukkan adanya kelemahan dari pihak ma- najemen bank, terutama dari segi perkreditan, antara lain mereka tidak bertindak secara independen, tetapi dipengaruhi oleh otoritas yang lebih tinggi, atau dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sehingga menunjukkan adanya herd behavior dan moral hazard.
Penyebab NPL di Indonesia sebelum terjadinya krisis 1997/1998 pada intinya berkisar pada masalah moral hazard dan etika atau moralitas.
Secara khusus, Indonesia berada pada posisi yang sangat berlawan- an dengan kondisi di Australia, dalam hal penyebab NPL dan lingkungan di setiap negara. Penyebab NPL di Indonesia sebelum terjadinya krisis 1997/1998 pada intinya berkisar pada masalah moral hazard dan etika atau moralitas, yang dimungkinkan karena lingkungan peraturan dan pengawasan prudential yang lemah. Dalam kasus Australia, semua pe- nyebab ini tidak terjadi, di samping didukung dengan faktor lingkungan tempat bank beroperasi yang begitu kuat dan sehat.
1       Batunanggar (2002) mengungkapkan beberapa pandangan pengamat menge- nai penyebab krisis Asia. Mishkin (1998) dan Krugman (1998) mengatakan bahwa penyebab krisis adalah fundamental ekonomi yang lemah dan kebijak- an yang tidak konsisten. Corsetti, Pesenti, dan Roubini (1998), serta Djiwan- dono (1999) berpendapat bahwa penyebabnya adalah penularan (contagion) dan fundamental ekonomi yang lemah. Menurut Batunanggar, krisis keuangan tidak terjadi karena hanya adanya fundamental ekonomi yang lemah. Tetapi fundamental yang lemah dapat memicu psikologi bank run sehingga berakibat buruk bagi ekonomi riil.
2       Penelitian berdasarkan bukti empiris menunjukkan bahwa kegagalan bank tidak memicu timbulnya penurunan dalam ekonomi makro; tetapi sebaliknya penurunan dalam ekonomi makro dan pasar saham seperti menciutnya gelem- bung harga aset menambah timbulnya kegagalan bank (Benston et al., 1986; Benston dan Kaufman, 1995; Mishkin, 1991; Calomiris dan Gorton, 1991).
3       Ketika para investor sadar bahwa suatu sistem perbankan mengandung ma- salah yang bersifat fundamental yang berkaitan dengan utang perbankan dan korporasi, keyakinan mereka akan pudar terhadap sistem tersebut dan seba- gai akibatnya mereka akan menarik uangnya kembali (Corsetti, Pesenti dan Roubini, 1998). Hal seperti inilah yang sesungguhnya terjadi paling tidak di Thailand.
4       Menurut Caprio dan Klingebiel (1996a & 1996b), ada tiga alasan timbulnya kegagalan bank yang luas dalam suatu sistem perbankan: kejutan ekonomi makro dalam skala besar, seperti hiperinflasi dan depresi; regulasi pemerintah yang buruk dan salah, terutama yang membiarkan atau mendorong pemberi- an kredit yang berisiko tinggi; dan kesalahan yang substansial dari pihak bank, terutama karena optimisme yang berlebihan (Koford dan Tschoegl, 1997).
5       Benston dan Kaufman (1995); Kaufman (1999).
6       Department of Economics, Moore School of Business, University of South Ca­rolina, Columbia, SC 29208, USA. boucher@moore.sc.edu.
7       Indikator yang dipilih berjumlah 15 berdasarkan pendekatan pengawasan sek- tor keuangan yang telah diterima di seluruh dunia, dan sejalan dengan konsep CAMELS. Konsep ini mengukur aspek-aspek: capital adequacy, asset quality, management soundness, earnings, liquidity, size and market participation (Maria Fuertes dan Espinola, 2006: 11).
8      Faktor yang dipilih berjumlah 17, yang mencakup 5 kelompok, yaitu sektor eksternal (current and capital account), sektor keuangan, sektor moneter (fiscal account), global economy dan sektor real. Contoh dari masing-masing kelompok adalah: growth rates of imports dan exports, growth rates of exter­nal and public debt, real credit growth rate in domestic money, growth rate of oil price, dan inflation rate (Maria Fuertes dan Espinola, 2006: 11, 26).
9       Esbank JSC merupakan bank komersial tertua di Turki, didirikan tahun 1927 dan dimiliki oleh Zeytinoglu Group. Pada saat ditutup tahun 2000, bank ini memiliki 91 cabang dan 1.898 pegawai (Soral, Iscan, Hebb, 2006: 183-184).
10    Dengan cara seperti ini, Esbank JSC melaporkan tambahan ekuitas sejumlah US$ 48,9 juta, tetapi tambahan yang sesungguhnya hanya berjumlah US$ 4 juta (Soral, Iscan, Hebb, 2006: 187).
11    Askari, Iqbal, Krichene, dan Mirakhor (2010: 28)
12    Menurut Chan Lau, et al. (1998), terdapat empat model teoretis krisis ke- uangan, yaitu fundamental based models, expectation based models, multiple equilibiria models, dan moral hazard models.
13    Caprio dan Klingebiel (1996a, 1996b)
14    Capital inflow inertia, menurut Chan Lau, adalah keadaan di mana setelah capital inflow yang besar terjadi, tidak diikuti dengan percepatan pertumbuh- an ekonomi, maka terjadi penumpukan inflow yang cepat dan besar.
15    Permerleano (1999)
16    Sebagai tambahan, Caprio Jr dan Klingebiel mengutip Bordo, yang menyebut- kan bahwa hal yang sama terjadi pada krisis perbankan tahun 1873, 1893, dan 1907, ketika Amerika mengalami kerugian yang besar, tetapi di Kanada tidak ada krisis sama sekali (Caprio Jr and Klingebiel, 1996: 8).
17    Alon dan Kellerman mengutip pendapat Myrdal (1968), yang menyatakan bahwa perekonomian Asia tidak dapat digambarkan hanya dengan termino- logi ekonomi; menurut Lohr (1998), kultur selalu disebutkan sebagai determi- nan kunci dari kejadian politik dan ekonomi.
18   Alan Greenspan (1998) melaporkan bahwa pertumbuhan GDP riil antara ta- hun 1986 sampai 1996 hanya mencapai 7,32 persen, tetapi pertumbuhan kredit pada periode yang sama mencapai 17 persen (Alon dan Kellerman, 1999: 6).
19    Untuk Korea, angka resmi disebutkan hanya 6,1 persen dari total kredit, se- mentara menurut Merrill Lynch tingkat NPL tersebut mencapai 15 persen (The Economist, 1998).
20   Frankel (1998)
21    Rombongan dari Eropa tiba di Australia pada 1788, dengan tujuan memben- tuk koloni hukuman. Pada 1809, Gubernur Macquarie berinisiatif melakukan reformasi pengaturan keuangan. Bank pertama, yaitu New South Wales Loan Bank, didirikan tahun 1809, tetapi baru dibuka untuk beroperasi pada 1817. Tahun 1980, deregulasi hampir selesai dilakukan (Lyell dan Crowlwy, 1997: 79-131).
22    Setelah dideregulasi pada 1980, terjadi pertumbuhan kredit yang berlebihan dan kejatuhan standar kredit. Untuk mengatasi situasi ini, dua komite diusul- kan: Campbell dan Wallis mempelajari masalah-masalah yang dihadapi dan membuat rekomendasi yang dibutuhkan. Laporan Wallis dipublikasikan pada 1997 dan banyak dari rekomendasinya telah dilaksanakan (Edirisurya). Se- buah institusi yang baru, The Australian Prudential Authority (APRA), diben- tuk pada Juli 1988, dan bertindak sebagai regulator prudensial bagi industri pelayanan finansial secara keseluruhan di Australia.
23    Namun, Australia juga pernah mengalami krisis keuangan, yaitu tahun 1842/1843 dan 1890. Krisis 1842 ini dialami ketika perekonomian menciut seja- lan dengan modal dari Inggris berkontraksi. Penurunan aktivitas perekonomian ini terjadi karena kesempatan memperoleh keuntungan di industri peternakan dan kenaikan biaya tenaga kerja dan transportasi, serta panen gandum yang sukses membuat para importir (merchant) gandum mengalami kesulitan ke- uangan. Kejadian ini juga menimbulkan kegagalan bank, dan yang paling parah adalah Bank of Australia. Bank yang melakukan pemberian kredit secara agresif pada 1830-an harus mengurangi kegiatan pemberian kredit pada 1843. (Lyell, 1997, hal. 83-84). Krisis 1890 disebabkan oleh depresi ekonomi, yang diawali dengan harga properti turun dengan tajam. Pertumbuhan industri peternakan tersendat dengan adanya keterbatasan dalam memperoleh tanah yang diperlu- kan, dan kemudian harga wol menurun. (Lyell dan Crowley, 1997: hal. 87-88).
24   Australia, Axiss, www.axiss.gov.au.
25    Konsep hubungan perbankan adalah praktik di mana hubungan antara bank melalui para pejabatnya dengan para nasabah atau korporasi berlangsung hingga transaksi kontra untuk periode waktu yang sangat lama baik secara vertikal maupun horizontal.
26    Sesungguhnya, Norwegia pernah mengalami krisis yang sama, yaitu tahun 1899-1905 dan tahun 1920. Tetapi, pada ketiga krisis ini terdapat fitur yang sama. Semua krisis didahului oleh boom period dan financial fragility yang berkembang sebelum krisis terjadi. Dalam masa boom, terjadi ekspansi pem- berian kredit, inflasi asset price, dan pertambahan utang sektor nonfinansial (Vale, 2004: 18).
27    Mattsson menyebutkan herd behavior ini sebagai mimetic strategic behavior.
28   Fuertes dan Espinola, July 2006. Towards the Early Signalling of Banking Crises: the Case of Paraguay: hal. 9-10.
29    Deregulasi ini juga menghapus kontrol suku bunga, meninggalkan 'skema kredit selektif oleh sektor ekonomi', dan mengganti cadangan minimum pada simpanan dengan sebuah kebijakan cadangan pada kredit yang berhati-hati. (Katz, 1996).
30   Praktik seperti ini sudah dilaksanakan oleh para bankir Meksiko selama lebih dari sepuluh tahun sebelum tipe peminjaman yang diatur seperti itu gagal pada 1995-98.
31    Patut dicatat bahwa sistem perbankan Meksiko tidak pernah mengalami NPL tingkat tinggi selama tahun 1980-an, tidak pernah melewati angka 2,9 persen (Morris and others, 1990, Desmet, 2000).
32    Ini kemudian disebut Krisis Tequila (Haber, 2004).
33    Pada 1993, misalnya, NPL tercatat 7,3 persen, yang naik menjadi 9 persen pada 1994, sementara pertumbuhan ekonomi melambat dari 5,1 persen pada 1990 menjadi 2 persen pada 1993.
34    NPL meningkat secara signifikan pada 1997 menjadi 30 persen, sebagai se- buah indikasi perubahan dalam regulasi laporan non performing loan (Krue- ger, 1999).
35   Alasan untuk ini bias ditelusur hingga tahun 1990-an ketika bank-bank dimiliki oleh pemerintah untuk memfasilitasi kebutuhan pembangunan, dan oleh per- seorangan tapi dengan lingkungan kompetitif yang lemah (Mcquerry, 1999).

36    Di bawah konsep mengenai struktur perbankan universal, institusi-institu- si dibolehkan untuk menjalankan fungsi layakan finansial selain bank. Pada 1995, kelompok-kelompok finansial itu dibutuhkan untuk membuka pernyata- an-pernyataan mereka mengenai hubungan-hubungan di antara mereka dan aliran uang di dalam kelompok itu (Mcquerry, 1999).
37    Dikatakan bahwa benang merah yang menghubungkan krisis tahun 1929 dan 2001 adalah interaksi sektor perbankan yang lemah, tidak disiplin, dan korup dengan keuangan kroni yang dijuluki "gaucho banking" selama lebih dari satu dekade. Gaucho banking mengacu pada istilah yang diberikan pada krisis per­bankan pada 1891 (Paolera, et al., 2003).
38   Tindakan-tindakan tersebut adalah: a). Pemerintah menukar obligasi peme- rintah yang dipegang bank-bank dengan obligasi pemerintah yang tidak likuid (prestamos garantizados), b). Pemerintah memaksakan satu kontrol terhadap tingkat bunga pada simpanan yang dipercepat proses run pada sistem per- bankan, c). Pemerintah membekukan simpanan pada sistem perbankan dan memaksakan kontrol ketat terhadap penarikan uang tunai, dan sebagainya (AEI, 2002).
39    Pada 2005, angka NPL Argentinatercatat 7,6 persen, sebuah perbaikan yang signifikan dibanding dengan setahun sebelumnya berkat ekspansi aktivitas ekonomi, pendapat yang baik oleh perusahaan-perusahaan, dan kebijakan kredit yang berhati-hati oleh bank-bank (Central Bank of Argentina, 2005).
40   Ekonomi Jepang jauh lebih bergantung pada pembiayaan bank, khususnya perusahaan-perusahaan kecil dan menengah sangat bergantung pada bank dan lembaga kredit lainnya (Barseghyan, 2005).
41    Walter (1992) menyebutkan sistem di Jepang sebagai ultra insider system. Sebelum masa Perang Dunia II, perusahaan holding keluarga memiliki perusa- haan industri dan bank (zaibatsu system), dan bank ini memberikan pinjaman kepada perusahaan-perusahaan dalam grup. Setelah masa Perang Dunia II, dikenal system kigyo shudan yang merupakan grup perusahaan yang mutually exclusive yang memiliki saham dalam satu sama lainnya dan juga pada bank, dan bank ini juga memiliki saham dalam perusahaan-perusahaan lain tersebut. Bank memberikan kredit ke perusahaan di mana bank memiliki saham, dan kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki saham pada bank itu.
42    Tiga bank besar itu adalah Hokkaido Takushoku Bank, Nippon Credit Bank , dan The Long Term Credit of Japan (Shimizu, 2005).
43    Kredit manajemen risiko terdiri atas kredit bagi peminjam dalam kebangkrut- an yang legal, tunggakan pinjaman berjangka enam bulan atau lebih, tunggak- an pinjaman antara tiga hingga enam bulan, pinjaman yang direstrukturisasi (Pemerintah Jepang, 2001).
44    Uchida dan Nakagawa (2007) memberikan pengertian rational herding de­ngan mengutip pendapat Ueda (2000) sebagai berikut: "aliran masuk pinjam- an kredit dilatar belakangi oleh ekspektasi para manajer bank bahwa tingkat kenaikan harga tanah akan terus berlangsung, nilai jaminan tanah untuk pin- jaman tidak akan turun, berdasarkan pertimbangan keadaan ekonomi yang menguntungkan selama tahun 1980-an. Walaupun bank mengikuti herd beh­avior, tetapi tindakan selalu berdasarkan pada ekspektasi ini, sehingga herd behavior itu bersifat rasional". Sedangkan untuk irrational herd behavior, dijelaskan bahwa selama bubble period pada akhir 1980, Bank memberikan kredit kepada sektor real estat yang besar semata-mata berdasarkan jaminan (tanah/properti). Tanpa melakukan upaya monitoring, pemberian kredit se- perti ini dianggap sebagai tindakan irasional dan hanya mengikuti pola her­ding.
45    Ernst and Young merilis sebuah laporan yang menyebutkan bahwa NPL bank- bank Cina total berjumlah US$ 911 miliar (40 persen dari GDP), sangat jauh dengan estimasi pemerintah yang hanya US$ 164 miliar (Liu Yong, 2006). Pemerintah Cina menolak laporan itu dan mengatakannya sebagai bodoh (George Friedman, 2006), dan Ernst and Young menarik laporan itu pada hari berikutnya. Namun sejumlah pengamat lain berpendapat bahwa besar NPL itu memang sekitar nilai tersebut (Schmitt, Fieger, 2006).
46    Walaupun tingkat NPL yang tinggi ini diperkirakan tetap berlangsung, per- ekonomian Cina terns berkembang sehingga menimbulkan suatu paradoks. Namun, hal ini dapat dijelaskan secara tidak langsung oleh Bailey, Huang dan Yang (2009), yang berpendapat bahwa hal tersebut disebabkan oleh adanya pengontrolan yang ketat dari pemerintah terhadap warga negara yang tidak dapat menempatkan dana tabungan mereka di luar negeri. Jika hal itu dilaku- kan, kemampuan keuangan pemerintah untuk mendukung perusahaan yang merugi akan berkurang.
47    Friedman (2006)
48   Pei, the Australian (2006)
49    The Australian (2000)
50   Faktor lain yang melatarbelakangi adanya NPL yang besar di Cina adalah bahwa masyarakat Cina secara keseluruhan pada umumnya tidak memiliki hubungan utang-kredit yang kuat sehingga menunjukkan ketidakmampuan untuk melakukan pembayaran kembali tepat waktu dan menepati kontrak (Chen dan Wolf, 2001).
51    Alan Greenspan adalah mantan gubernur bank sentral Amerika, dan menga- takan hal ini di hadapan Kongres AS dalam dengar pendapat pada 23 Oktober 2008. "Greenspan: Terjadi Tsunami Kredit Sekali Seabad di AS". Suara Pem- baruan. 24 Oktober 2008.
52   Alt-A, atau alternative A grade, adalah klasifikasi kualitas mortgage di atas subprime bagi konsumen yang dapat diberi kredit perumahan, tetapi tidak sepenuhnya dapat membuktikan dokumen yang berkaitan dengan pendapat- annya, dan atau tidak dapat memenuhi uang muka yang biasa diberikan oleh pasarprime mortgage (DiMartino dan Duca, 2007).
53    "Subprime, bunga dolar & kurs rupiah." Bisnis Indonesia. 24 September 2007.
54    The Depository Institutions Deregulation and Monetary Control Act.
55    The Alternative Mortgage Transaction Parity Act.
56    The Tax Reform Act tahun 1986.
57    Greenspan, mantan gubernur Bank Sentral AS, mengakui bahwa harga pro- perti yang melambung merupakan gelembung, yang dipicu oleh tingkat bu- nga yang rendah pada sektor perumahan dan berlangsung lama. Tetapi, dia menyangkal bahwa tingkat suku bunga yang rendah dan kendurnya aturan menyebabkan baik debitur maupun kreditor mengambil risiko lebih besar (Kompas, 9 April 2010). Ini suatu pernyataan yang kurang mendasar karena dua hal. Pertama, jika pemberian kredit dilakukan kepada orang yang telah diketahui ex-ante tidak akan mampu membayarnya, atau orang itu telah me- miliki utang yang banyak, tentunya kredit yang diberikan cepat atau lambat akan menjadi NPL. Kedua, adanya kenaikan harga itulah, menurut hemat pe- nulis, yang mendorong para bankir itu tetap memberikan kredit perumahan karena melihat adanya keuntungan dalam pemberian kredit disebabkan oleh kenaikan harga yang terus-menerus itu sehingga mereka mengabaikan unsur manajemen risiko.
58   Menurut Lewis (2009: 107), salah satu penyebab timbulnya gelembung yang berkaitan dengan kejatuhan saham tahun 1929, dan krisis perumahan akibat subprime mortgage, adalah tingkat bunga yang rendah dan diikuti dengan kebijakan bank sentral yang tidak konsisten.
59   Vogel dan Hayes III (1998: 235); Elgari (2003: 20)
60   al-Haddad dan Timol (2008)
61    Rahman (2010: 5).
62   Akibat krisis subprime di Amerika memukul perekonomian Inggris, perusa- haan keuangan dan perbankan di London akan mengurangi sedikitnya 6.500 pekerja pada 2008, dan menyesuaikan bonus hingga 16 persen. (Bisnis Indo­nesia, 9 Oktober 2007).
63    "Rencana Stimulus Ekonomi AS Belum Pasti", Suara Pembaruan, 18 Novem­ber 2008.
64   Antara lain dirasakan oleh Canadian Imperial Bank of Commerce, yang meng- alami kerugian sebesar US$ 3 miliar pada 2007, yang membuat bank ini me- mecat dua eksekutifnya (Bisnis Indonesia, 9 Januari 2008). Meryll Lynch & Co mengalami kerugian sebesar US$ 15 miliar pada tahun yang sama dan meme- cat CEO-nya, Stan O'Neal (Bisnis Indonesia, 12 Januari 2008). AIG, perusaha- an asuransi terbesar Amerika, mengalami kerugian hanya akibat dari subprime mortgage mencapai US$ 11,1 miliar (Bisnis Indonesia, 2 Maret 2008). Total kerugian yang dialami oleh negara-negara G-7 mencapai US$ 400 miliar (Bis- nis Indonesia, 11 Februari 2008), tetapi UBS memperkirakan kerugian yang lebih besar, yaitu US$ 600 miliar (Bisnis Indonesia, 3 Maret 2008).
65   Anak Presiden George Bush senior bernama Neil terkait dengan penyeleweng- an yang terjadi pada Silverado S&L (Calavita, Pontell, dan Tillman, 1997: 110). Keluarga Presiden Clinton terindikasi terlibat dalam penyelewengan pada usa- ha real estat atau dalam kaitan mereka dengan Madison Guaranty Saving and Loan (ibid, 1997: 169).
66   Amerika memiliki 25 ribu bank pada 1929 dan 18 ribu pada 1933 (Kennedy, 1973: 226).
67    Salah satu negara ASEAN, Filipina, tidak dibahas dalam buku ini. Sebelum krisis, NPL tahun 1997 hanya berjumlah 3 persen. Akhir tahun 1998, impai­red loans berjumlah 16 persen, dan tingkat NPL jauh di bawah yang dialami Thailand sehingga Filipina tidak mengalami krisis perbankan seperti negara lainnya di ASEAN. Hal ini juga disebabkan oleh modal bank cukup besar di- bandingkan dengan standar internasional (average capital/weighted risk ra­tio 15,5 persen) (Jiangli, Unal, Yom, 2004: 8).
68   Corsetti, Giancarlo, Pesenti, Roubini (1999)
69   Wade (1998); Claessens et al. (1998)
70   Corsetti, Giancarlo, Pesenti, Roubini membuat daftar yang panjang mengenai distorsi di sektor keuangan dan perbankan Asia sebelum krisis terjadi, yang meliputi peraturan dan pengawasan yang lemah, CAR yang rendah, deposit insurance scheme yang tidak tepat, keahlian dan keterampilan yang tidak memadai pada regulatory institutions, seleksi dan pengawasan proyek yang mengalami distorsi, alokasi kredit yang tidak berdasarkan kriteria pasar, prak- tik pemberian kredit yang korup, dan hubungan bank dan perusahaan yang bersifat semimonopolistik. Semua ini membentuk kelemahan yang dahsyat bagi sistem keuangan yang bermodal rendah sehingga akhirnya menciptakan NPL yang besar. Distorsi ini diperbesar oleh adanya liberalisasi capital ac­count dan deregulasi pasar keuangan di Asia pada 1990-an.
71    Singapura, yang terletak di tengah-tengah negara yang terkena krisis, tidak mengalami guncangan yang berarti baik terhadap perbankan maupun ter- hadap perekonomiannya secara menyeluruh. Pada Maret 1999, tingkat NPL- nya sebesar 8 persen, naik dari 6,6 persen pada September 1998, dan tingkat ini telah mencakup seluruh pinjaman yang diberikan oleh bank lokal kepa- da debitur dalam dan luar negeri. Jumlah ini relatif tidak kecil, tetapi tidak membahayakan tingkat kesehatan perbankan mereka karena sejumlah besar cadangan telah disediakan, di samping nilai jaminan yang ada melebihi nilai outstanding pinjaman yang bermasalah.
72    Lauridsen (1998).
73    Pada 2003, tingkat pemulihannya 39 persen, dan angka ini diharapkan men- capai titik akhir 56 persen dalam jangka menengah (He, 2004).
74    Lee (1998).
75   Jiangli, Unal, Yom (2004).
76    Dwor-Frecaut, Colaco, dan Hallward-Dreimer (2000).
77    Cargill (1989).
78   Corsetti, Giancarlo, Pesenti, Roubini (1999)
79    Selain Danaharta, pemerintah Malaysia juga mendirikan Danamodal, lembaga penyedia dana, yang menyuntikkan dana total 7,1 miliar ringgit (2,4 persen GDP) kepada 10 lembaga.
80   Detragiache et al. (2004)
81    Sistem perbankan khususnya mengalami disfungsi karena sebuah kombinasi bank sentral yang rusak dan intervensi langsung pemerintah dalam menyelek- si nasabah kredit bank (Nasution).
82   Gie (2000); Djafar (2006: 122)
83   Bank-bank pemerintah, khususnya, sudah lama memiliki kultur kredit yang lemah, loan loss provisioning yang tidak memadai, dan manajemen risiko yang parah. Bank-bank itu tidak menjadi subjek pemeriksaan BI. Pada masa lalu, bank-bank itu digunakan sebagai kendaraan pemerintah untuk membia- yai proyek-proyek yang keuntungan dan basis legalnya dipertanyakan (Enoch, Charles, Baldwin, Frecaunt, Kovanen, 2001).
84   Titik puncak krisis perbankan terjadi pada 1995 ketika pemerintah menyela- matkan sebuah bank milik negara, Bapindo. Bank Summa runtuh pada 1997, sejumlah besar bank masih berlisensi, dan melanggar aturan batas kredit, pinjaman yang saling terkait, dan eksposur net open position (selisih bersih antara aktiva dan pasiva) terus berlanjut (Montgomery, 1997).
85   Seperti negara-negara lain di Asia, ada sejumlah prakondisi untuk krisis 1997 (Robert Wade, 1998). Bagi Indonesia, pertama, pembukaan pasar finansial dan pengambilan keuntungan secara substantial utang-utang luar negeri (Dja- far, 2006: 133), serta deregulasi perbankan tahun 1988 yang meningkatkan jumlah bank dan menciptakan lending boom karena rendahnya cadangan mi­nimum. Kedua, aturan nilai tukar mata uang yang tetap, terhadap dolar AS, yang menciptakan persepsi kecilnya risiko memindahkan dana dari satu pasar ke pasar lainnya. Ketiga, pemerintah dan sektor swasta meminjam banyak dari luar negeri dengan angka nominal yang bahkan lebih rendah daripada jika meminjam dari sumber dalam negeri. Dua kondisi terakhir ini menyum- bang bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang rata-rata 7 persen. Menurut Kwik Kian Gie, pertumbuhan ini terus dibiayai oleh utang luar negeri. Tanpa pengawasan berapa besar pinjaman sektor swasta dari luar negeri, menjadi terlambat untuk menyadari jumlah total utang luar negeri yang sesungguhnya yang sudah mencapai US$ 150 miliar, jauh di atas perkiraan pemerintah yang US$ 60 miliar (Ali, 1999: 65).
86   Ali (1999: 12)
87   Bank pemerintah, sebelum krisis 1997/1998, menguasai aset kredit perbank- an nasional sekitar 60 persen, memiliki kultur kredit yang lemah, cadangan kredit macet tidak memadai, dan manajemen risiko buruk. Pada masa Soe- harto, bank pemerintah digunakan sebagai alat untuk membiayai proyek yang tingkat keuntungannya tidak jelas atau dasar hukumnya lemah, dan jarang sekali diperiksa oleh bank sentral, dan beberapa kali mengalami rekapitalisa- si. Dalam beberapa kasus, tingkat NPL mencapai 90 persen, dan pemberian pinjaman sering dilakukan tanpa analisis kredit yang memadai (Enoch, 2001: 112-113).
88  Ali (1999: 232).
89   Salah satu masalah adalah bahwa program-program pemberian kredit oleh pemerintah kepada pengusaha kecil dan menengah (KIK dan KMKP) telah terbukti merupakan kegagalan besar.
90   Sejumlah pengamat perbankan sangat pesimistis mengenai efektivitas deregu- lasi ini, berdasarkan sejumlah alasan. Pertama, sangat sulit mengukur meng- apa seorang investor tertarik mendirikan bank. Kedua, sumber daya manusia dengan pengalaman perbankan sangatlah terbatas sehingga sulit melakukan penempatan pegawai bagi bank-bank baru itu. Ketiga, penegakan hukum da- lam melaksanakan hak sebagai pemberi pinjaman terhadap perjanjian seku­ritas lama dan mahal, jika bukan tidak efektif. Keempat, supervisi oleh bank sentral sangat lemah.
91    Kebanyakan pemilik bank baru itu bukanlah para bankir profesional, mela- inkan para pengusaha dengan sikap mental agresif. Sementara industri pada saat itu sangat kekurangan para profesional perbankan, situasinya serupa dengan kondisi di Nigeria di mana praktik pemerintah yang memperkerjakan para manajer nonprofesional pada posisi-posisi penting dalam industri mem- perburuk standar etika yang sedang menurun dan mengurangi derajat profe- sionalisme dalam industri (Africa Leadership Forum, 1992).
92    Sejumlah peraturan prudential masih terus dikembangkan selama 1993-1997, di antaranya dalam area publisitas pernyataan-pernyataan finansial bank, ke- bijakan auditing bank, sistem informasi dan pengembangan teknologi, kontrol status kesehatan bank, CAR, dan legal lending limit.
93    Pada saat itu, hanya terdapat sekitar 300 sampai 500 grup perusahaan yang beroperasi di Indonesia. Hanya sekitar 20 persen yang dianggap memiliki prospek pasar yang baik.
94   Jumlah perusahaan yang terdaftar di publik hanya 24 pada 1988 (306 tahun 1997).
95    Devaluasi bath Thai pada Juli 1997 mempercepat sebuah gelombang krisis mata uang di tengah ketidakstabilan keuangan di Thailand, ke negara-negara lain di Asia Tenggara, ke Taiwan, Hong Kong, Korea, Filipina, Rusia, Brasil, Estonia, Australia, dan Selandia Baru (Wade, 1998). Lebih lanjut, antara bu- lan Juli sampai November 1997, terjadi capital outflow secara besar-besaran dari wilayah tersebut sebagai akibat kkrisis di Thailand, yang membuat para investor internasional meneliti ulang investasi mereka di daerah itu (Feridha- nusetyawan dan Pangestu, 2004: 2).
96    Di tengah tidak adanya kontrol utang luar negeri, pemerintah harus menyada- ri bahwa total utang luar negeri baik pemerintah maupun swasta sudah men- capai US$ 150 miliar (Ali, 1999: 65). Jumlah ini sama dengan empat kali GDP negara ini (Gie: 51), dan sebagian besar merupakan utang jangka pendek. Ba- nyak pihak swasta baik bank maupun nonbank, termasuk pemerintah, meng- gunakan pinjaman luar negeri dalam dolar Amerika (McLeod, 2002: 2), dan hal ini dilakukan karena tingkat bunga pinjaman dalam dolar lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga rupiah, sedangkan kurs rupiah ditautkan terhadap dolar Amerika berdasarkan fixed exchange rate system.
97   Jumlah ini digunakan untuk menutupi jumlah kewajiban pemegang saham bank-bank yang berasal dari biaya penutupan bank-bank dan kredit likuiditas yang diberikan bank sentral akibat krisis.
98   Pangestu menguraikannya ke dalam tiga faktor yang membuat sektor per- bankan rapuh, yaitu i). sektor perbankan yang tumbuh pesat setelah reformasi perbankan 1988, yang tidak diikuti oleh penegakan peraturan prudential dan pengawasan bank sentral yang memadai, ii). Masalah corporate governance pada bank karena konsentrasi kepemilikan. iii). Akibat economic booms dan integrasi keuangan internasional yang memperbesar kerapuhan.
99    Salah satu indikatornya adalah kualitas kredit dari portofolio pinjaman bank sudah buruk sebelum krisis terjadi. Menurut Jiangli, pada akhir 1998 tingkat NPL dari semua perbankan mencapai 57 persen (Jiangli, Unal, Yom, 2004).
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, hal. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar