P
|
ENELITIAN mengenai non performing loan (NPL) tidak terlepas dari pembahasan teoretis mengenai ruang lingkup NPL
berasal. NPL muncul dari lembaga keuangan pemberi
pinjaman atau kredit yang bersi- fat konvensional,
dan berada dalam tataran intermediasi keuangan. Ka- rena
itu, sebelum dilakukan kajian literatur yang berkaitan dengan teori dan pengalaman empiris mengenai timbulnya NPL dan non performing financing (NPF) serta kajian
teoretis mengenai perbankan syariah, per- lu
dibahas intermediasi keuangan beserta fungsi dan karakteristik serta permasalahannya, yang berlaku umum terutama bagi bank
konvensional. Pembahasan mengenai intermediasi
keuangan yang secara umum ini dapat digunakan
sebagai dasar untuk mengkaji apa yang dilakukan oleh bank
syariah dalam hal intermediasi.
Di samping itu,
diuraikan pembahasan tambahan sebagai pelengkap, yaitu
yang berkaitan dengan ruang lingkup operasi bank, seperti transpa- ransi dan keterbukaan, tata kelola korporasi yang baik,
penegakan hukum dan moralitas, lingkungan
pengawasan kehati-hatian, konsep etika dalam perbankan,
serta kepercayaan dan reputasi. Pembahasan tambahan ini diperlukan
untuk menelaah apa yang seharusnya dimiliki oleh bank da-
lam menghadapi ruang lingkup operasional yang dihadapi.
Kajian teoretis tersebut akan dilanjutkan dengan
pembahasan me- ngenai hal ihwal yang berkaitan
dengan perkreditan, serta mengenai NPL dan NPF,
baik secara teoretis maupun empiris, dalam konteks bank konvensional dan bank
syariah.
Lembaga keuangan
seperti bank memiliki peran yang sangat penting dalam
perekonomian yang bersifat kapitalistis.1 2 Bank bertindak sebagai perantara dalam bidang keuangan. Sejalan dengan
perkembangan per- bankan, pengertian intermediasi
keuangan sendiri mengalami perubahan dengan makna
yang dicakup menjadi lebih dalam.
Beberapa literatur
terdahulu menyebutkan secara sederhana bahwa intermediasi
keuangan adalah kegiatan yang menghubungkan pihak yang berkelebihan
dana dengan pihak yang berkekurangan dana. Thomas Mayer, ahli perbankan
Amerika, misalnya mengatakan, bank melakukan in- termediasi
dengan memperoleh dana dari para penabung dan mencatat- nya
sebagai kewajiban terhadap penabung, lalu memberikan pinjaman ke pihak lain.3 Sejalan dengan pendapat Mayer
ini, Prof. Dr. Veithzal Rivai (konsultan
manajemen, cendekiawan muslim, penggiat ekonomi Islam, dan
pernah menjadi pengurus MUI) mendefinisikan intermediasi keuang- an sebagai proses pembelian surplus dana dari unit
ekonomi, yaitu sektor usaha, lembaga pemerintah,
dan individu atau rumah tangga, untuk tu- juan
penyediaan dana bagi unit ekonomi lain; intinya tetap berada pada kegiatan pengalihan dana dari unit ekonomi surplus ke
unit ekonomi de- fisit. Dari pengertian ini, ada
kata "pembelian" dana. Dalam perbankan konvensional,
dana masyarakat memang dapat dikatakan "dibeli" karena ada harga yang harus diberikan, yaitu berupa bunga.
Berbeda dengan kedua
pendapat di atas, definisi lain menyebutkan bahwa
intermediasi keuangan adalah kegiatan menampung surplus dana di masyarakat dan menyalurkannya kepada pihak yang
memiliki kesem- patan investasi yang produktif dan
menguntungkan. Definisi ini mulai menunjukkan
adanya proses "pemilihan" atau "seleksi" ke mana dana akan disalurkan, dan penyalurannya ditentukan
berdasarkan suatu krite- ria tertentu, dalam hal
ini produktivitas dan keuntungan.
Definisi
intermediasi keuangan yang lebih maju adalah yang membe- rikan
tekanan pada masalah risiko, yang dikemukakan oleh Bert Schol- tens dan Dirk van Wensveen dari Belanda. Scholtens dan
Wensveen me- nyebutkan bahwa intermediasi keuangan
merupakan proses penciptaan nilai (value creation), dan penciptaan nilai ini
didorong oleh adanya risi-
ko dan kegiatan pengelolaan risiko yang tercakup dalam risk management. Dijelaskan lebih lanjut, inti dari bisnis bank adalah menyerap risiko, de- ngan fungsi yang menjembatani fungsi penawar- an dari tabungan dan fungsi permintaan terhadap dana untuk investasi atau usaha. Penyerapan ri- siko ini merupakan hal yang diminta oleh pasar, dan dimungkinkan karena adanya asumsi bahwa bank sebagai lembaga intermediasi keuangan me- miliki skala portofolio pinjaman dengan diversifi- kasi risiko yang cukup.
ko dan kegiatan pengelolaan risiko yang tercakup dalam risk management. Dijelaskan lebih lanjut, inti dari bisnis bank adalah menyerap risiko, de- ngan fungsi yang menjembatani fungsi penawar- an dari tabungan dan fungsi permintaan terhadap dana untuk investasi atau usaha. Penyerapan ri- siko ini merupakan hal yang diminta oleh pasar, dan dimungkinkan karena adanya asumsi bahwa bank sebagai lembaga intermediasi keuangan me- miliki skala portofolio pinjaman dengan diversifi- kasi risiko yang cukup.
Sikap kedua pihak
dari masing-masing fungsi terhadap risiko berbe- da.
Kelompok pemilik dana umumnya cenderung bersifat menghindari risiko (risk averse).
Sebaliknya, para investor atau peminjam lebih suka mengambil
risiko (risk aggresive). Di sini, bank menjadi
jembatan de- ngan menyerap risiko dari para
peminjam. Bank mampu melakukan hal itu karena
melakukan diversifikasi risiko yang terbagi dalam kandungan portofolio pinjamannya pada skala yang memadai.
Penggabungan seluruh risiko yang diambil dalam
suatu portofolio memberikan risiko rata-rata yang
dapat diterima. Di sini, berarti kemungkinan timbulnya suatu risiko atau kerugian dari suatu pemberian kredit dapat ditutup
atau diimbangi oleh risiko yang lebih rendah atau
dengan hasil keuntungan dari pembe- rian kredit
yang lain.
Namun, masalah
penyerapan risiko itu perlu diperjelas lebih lanjut. Penyerapan
risiko tidaklah dimaksudkan bahwa bank perlu menyerap se-
tiap risiko sehingga berakumulasi secara matematis mencapai suatu ting- kat yang dapat ditoleransi oleh kemampuan perolehan
pendapatan, mela- lui apa yang dapat diserap oleh
cadangan piutang ragu-ragu terhadap ke- rugian
yang timbul dari risiko tersebut.4 Dalam konteks value creation, di mana
bisnis bank berkaitan erat dengan risiko, tugas manajemen adalah berusaha meningkatkan arus kas (cash flow) saat ini dan di masa depan dengan mengeksploitasi setiap kesempatan pertumbuhan,
tetapi tanpa menambah risiko yang menyeluruh bagi
bank.5 6
Dalam perbankan konvensional,
dana masyarakat memang dapat dikatakan "dibeli" karena ada harga
yang harus diberikan, yaitu berupa bunga.
|
Dalam manifestasinya sehari-hari,
konsep penciptaan nilai ini perlu diterapkan dalam
setiap hubungan dengan nasabah peminjam. Setiap pinjaman
yang diberikan oleh bank secara komersial harus memperoleh keuntungan bagi bank, yang sesuai dengan objektif
portofolio secara me- nyeluruh dan target
keuntungan terhadap modal bank,7 asalkan risiko
kredit tambahan dapat diterima, tetapi tidak menambah tingkat keselu- ruhan risiko yang dikandung oleh portofolio bank.
kredit tambahan dapat diterima, tetapi tidak menambah tingkat keselu- ruhan risiko yang dikandung oleh portofolio bank.
Fungsi bank yang
terutama disorot adalah yang berkaitan dengan fungsi pinjam,
sedangkan fungsi simpan hanya disinggung ketika diperlukan. Walaupun demikian, kedua kegiatan ini terefleksi pada
kedua sisi nera- ca bank, yaitu portofolio
pinjaman pada sisi aktiva dan dana masyarakat yang
diterima bank dalam bentuk tabungan, simpanan giro, dan deposito pada sisi pasiva.
Berbeda dengan perusahaan industri,
fitur neraca bank ini menun- jukkan sejumlah
karakteristik yang bersifat rawan, dan kerawanan tersebut merupakan akibat
kegiatan bank itu sendiri. Kerawanan itu adalah sebagai
berikut:
1. Kerawanan likuiditas. Sisi pasiva merupakan
kewajiban bagi bank yang setiap saat dapat ditagih
oleh pemilik dana, sehingga Kaufman menyebutnya sebagai high demand to total deposit. Setiap saat, menurut Kaufman, suatu hal dapat terjadi, yang dapat
menimbulkan penarikan dana yang besar dalam jangka
waktu tertentu yang relatif pendek sehingga
memberikan sifat sebagai high probability of a run. Tandingan
dari sisi pasiva ini adalah sisi aktiva yang merupakan aset yang berbentuk portofolio tagihan atau pinjaman dan,
umumnya, cenderung memiliki jangka waktu yang
lebih panjang. Dari seluruh aset ini, menurut
Kaufman, hanya sebagian kecil berbentuk dana tu- nai
sebagai implikasi dari fractional reserve banking
(sebagian ca- dangan berada di bank sentral).
Kerawanan terhadap kemungkinan
penarikan dana yang besar atau serentak oleh
masyarakat pemilik dana menuntut bank agar selalu
memiliki persediaan likuiditas, atau dapat mengatasi likuidi- tas dengan memperoleh likuiditas dari pasar berdasarkan
aset yang dimiliki. Penggunaan aset yang dimiliki
untuk memperoleh likuidi- tas, misalnya dengan
cara menjual atau menggadaikan aset itu, akan membebani
bank dengan biaya yang lebih besar. Dalam keadaan pasar
likuiditas tidak normal, harga akan cenderung sangat tinggi. Akibatnya, bank dapat mengalami kerugian, bahkan dapat
pula ber- akibat pada kegagalan bank, jika
likuiditas yang diperlukan tidak
diperoleh. Penarikan yang besar atas dana masyarakat pada waktu yang berdekatan (disebut run) dapat menimbulkan kegagalan bank jika bantuan likuiditas tidak diperoleh, dan mendorong penularan pada kegagalan bank lain.
diperoleh. Penarikan yang besar atas dana masyarakat pada waktu yang berdekatan (disebut run) dapat menimbulkan kegagalan bank jika bantuan likuiditas tidak diperoleh, dan mendorong penularan pada kegagalan bank lain.
2. Kerawanan akibat konsep leverage.
Kegiatan
pinjam-meminjam bersandar pada pinsip leverage, yaitu kegiatan memberikan pinjaman (kredit) dengan menggunakan sebagian besar
uang masya- rakat dalam bentuk deposito dan
tabungan, yang merupakan utang bagi bank
konvensional. Utang bank ini juga antara lain berupa pin-
jaman antarbank semalam (overnight),
atau bersifat on call karena dapat diminta kembali setiap saat.8 Makin
besar pinjaman yang dibe- rikan bank, makin besar
utang bank pada masyarakat, makin besar pula
keuntungan bank. Namun, makin besar utang
(leverage), makin besar kemungkinan bagi
bank mengalami wanprestasi (default).9
Walaupun kemungkinan wanprestasi ini dapat
diperkecil de- ngan adanya modal sebagai tameng
seperti halnya pada perusahaan manufaktur, modal
bank umumnya relatif kecil. Karena itu, Kaufman memberikan
karakteristik lain kepada bank yang ia gambarkan seba- gai low capital to assets atau high leverage. Di samping itu, masalah cukup-tidaknya modal yang dimiliki bank menjadi
perdebatan yang selalu terbuka dan menjadi
perhatian utama Bank of International Settlements
(BIS). Badan inilah yang mengeluarkan ketentuan-ke- tentuan
bagi semua bank di dunia melalui Bassel Accord.
Kerawanan
terhadap kepercayaan masyarakat. Butir 1 dan 2 menunjukkan
bahwa bank pada dasarnya bersifat tidak likuid (illiquid).
Keadaan ini tetap berlaku sekalipun diasumsikan bahwa NPL
belum terjadi pada sisi aktivanya. Karena bersifat high demand to deposit, diperlukan pengaturan
khusus untuk mengatasi masalah li- kuiditas ini
karena solvabilitas dan likuiditas bank berinteraksi.
Kepercayaan masyarakat yang
bertambah juga dapat ditunjukkan oleh bertambahnya dana masyarakat yang
disimpan pada bank.
|
3.
|
Likuiditas bank
timbul karena adanya kepercayaan masyara- kat,
yang memungkinkan bank melakukan ekspansi kredit sekaligus memperbaiki solvabilitas. Kepercayaan masyarakat yang
bertambah juga dapat ditunjukkan oleh bertambahnya
dana masyarakat yang
disimpan pada bank. Kepercayaan ini dapat terbentuk jika masyara- kat pemilik dana yakin bahwa bank dapat mengembalikan dananya setiap saat ketika diperlukan. Namun, bertambahnya kepercayaan masyarakat dengan bertambahnya dana mereka pada bank, selain akan mendorong bank untuk melakukan ekspansi kredit, juga me- mungkinkan untuk melakukan forbearance policy (kebijakan untuk menunda penyelesaian dan menutupi masalah perkreditan yang ada).
disimpan pada bank. Kepercayaan ini dapat terbentuk jika masyara- kat pemilik dana yakin bahwa bank dapat mengembalikan dananya setiap saat ketika diperlukan. Namun, bertambahnya kepercayaan masyarakat dengan bertambahnya dana mereka pada bank, selain akan mendorong bank untuk melakukan ekspansi kredit, juga me- mungkinkan untuk melakukan forbearance policy (kebijakan untuk menunda penyelesaian dan menutupi masalah perkreditan yang ada).
Likuiditas yang berlebihan juga akan
mendorong bank untuk membiayai proyek yang tidak
likuid. Jika bank terus-menerus mem- biayai sektor
tertentu, atau terus-menerus melakukan ekspansi kredit dalam
rangka membiayai sektor tersebut, bisa terjadi balon
(bubble) di sektor tersebut.10 Namun jika likuiditas tidak
dijaga dengan baik, sovabilitas bank akan menurun.
Akhirnya, kepercayaan masyarakat terhadap bank
menjadi sirna.
4. Kerawanan terhadap tingkat bunga. Sebagai
penghimpun dana masyarakat, bank menetapkan dan
memberikan suatu tingkat bunga kepada para pemilik
dana, dan tingkat bunga ini cenderung berfluk- tuasi
mengikuti keadaan likuiditas pasar. Pada saat yang sama, bank menetapkan suatu tingkat bunga pada pinjaman yang
diberikan de- ngan risiko kredit tertentu, dan
tingkat bunga ini cenderung bersifat tetap atau
tidak selalu dapat dinaikkan pada pinjaman yang sedang berjalan.
Dalam keadaan normal, perbedaan antara kedua tingkat bunga
ini, atau disebut margin, cukup besar untuk menutup risiko kredit.
Namun,
cukup-tidaknya margin tersebut sangat bergantung pula pada
sejauh mana efisiensi yang dapat dicapai bank dalam menjalan- kan operasinya. Margin harus dapat menutup semua biaya
operasio- nal bank, termasuk biaya bunga yang
harus dibayarkan kepada para deposan secara tetap,
beserta cadangan biaya piutang ragu-ragu. Besar-kecilnya
piutang ragu-ragu ini sangat ditentukan oleh kualitas keseluruhan
portofolio pinjaman atau pembiayaan yang diberikan bank.
Jika pinjaman atau pembiayaan yang diberikan bank berma- salah,
debitor peminjam tidak dapat membayar bunga kepada bank, bank
tetap harus membayar bunga kepada para deposan. Keadaan ini
akan mengurangi tingkat efisiensi bank.
5. Kerawanan akibat margin vs pokok pinjaman.
Karakteristik di atas membuat bank menjadi rawan
terhadap risiko pasar, risiko operasional, dan
risiko kredit. Berdasarkan pada karakteristik 1 dan 2,
pada dasarnya desain awal bank menempatkan bank sebagai mata rantai yang lemah dalam sistem pasar keuangan. Jika
semua deposan meminta uangnya kembali seketika,
bank belum memiliki hak atau kemampuan dengan
kualitas yang sama untuk menarik kembali dana yang
telah diberikan sebagai pinjaman.
Umumnya, uang
masyarakat yang disimpan di bank berjangka lebih
pendek dibandingkan dengan durasi pinjaman. Hal ini jauh berbeda
jika dibandingkan dengan di masa lalu, yakni bank hanya bertugas
menyimpan barang titipan yang dimiliki nasabah, yang hanya
dapat dipergunakan jika diizinkan oleh nasabah terkait. Un- tuk menjembatani kemungkinan adanya permintaan seketika
oleh pemilik dana yang disimpan di bank, bank
perlu menerapkan unsur kehati-hatian melalui
pendekatan manajemen risiko bagi operasional secara
menyeluruh pada bank, terutama risiko kredit yang dapat ber- akibat pada timbulnya NPL.
Askari, Iqbal,
Krichene, dan Mirakhor (2010: 139) menyebutkan bahwa
risiko kredit adalah penyebab utama kegagalan bank. Agar memperoleh
keuntungan, bank mau tidak mau harus menghadapi risiko
kredit. Terjadinya risiko kredit dimanifestasikan oleh NPL, se- hingga bank harus menekan tingkat NPL seoptimal
mungkin.
Untuk memberikan
gambaran bagaimana rawannya bank terha- dap
masalah ini, tingkat kerawanan bank yang tinggi akibat adanya NPL dapat dilihat dari perhitungan berikut. Misalkan
bank A dapat memperoleh margin keuntungan kotor
sebesar 6 persen, yaitu perbe- daan antara bunga
yang dapat diperoleh dari debitor dan bunga yang harus
dibayar kepada pemilik dana. Kemudian, diumpamakan bank A
memiliki pinjaman macet sebesar Rp 100 juta dan perlu dihapus- bukukan. Untuk menutupi kerugian sebesar Rp 100 juta
ini, bank A harus memberikan pinjaman baru
sejumlah 100 dibagi 0,06 atau Rp 1,7 miliar,
dengan catatan pinjaman baru yang lebih besar itu tidak kembali
bermasalah selama setahun.
Di Inggris, misalnya, menurut The Country Banker (1885), seperti dikutip oleh
Boffey dan Robson (1995), diperlukan pinjaman yang
berkualitas tinggi (atau risk rating 1,11
pen.) sejumlah 25 pound- sterling, agar dapat
menutup kerugian akibat penghapusan pinjaman macet
atau NPL yang hanya sebesar 1 poundsterling. Menurut Shep- pard (1991), di Australia, bank harus menekan
kemungkinan gagal (probability
of default) di bawah 1 persen agar memperoleh keun- tungan jika net interest
margin sebesar 2 persen. 12
an. Masyarakat menyimpan uangnya di bank karena
adanya unsur kepercayaan atau trust (T1) terhadap perbankan.
Kepercayaan ini didukung dengan adanya anggapan
bahwa di belakang perbankan terdapat pemerintahan
yang dianggap dapat mengawasi tingkah laku bank.
Bahkan dalam banyak kejadian di dunia, pemerintah mela- kukan
tindakan penyelamatan (bail out) terhadap
bank yang meng- alami masalah berat. Tindakan
penyelamatan seperti ini menimbul- kan anggapan
dengan istilah too big to fail, yang berarti,
kalau suatu institusi bank dibiarkan mengalami
kebangkrutan, dikhawatirkan dapat berakibat
negatif yang terlalu besar terhadap perekonomian.
Sebagai salah satu
tindakan yang bersifat kompromistis, dalam kenyataannya,
banyak pemerintahan di dunia, termasuk Indonesia, memberikan
jaminan walaupun secara terbatas kepada para depo- san
terhadap uang yang mereka simpan di bank. Uang masyarakat
di bank merupakan pinjaman bagi bank konvensional, tetapi setiap saat deposan dapat menarik/mengambil kembali uangnya.
Karena itu, bank harus selalu dapat menyediakan
dan mengembalikan uang deposan tersebut.
Di lain pihak, untuk
dapat memberikan bunga kepada deposan, bank harus
memberikan pinjaman kepada nasabah peminjam agar memperoleh
pendapatan bunga, tanpa melibatkan para deposan se- bagai
pemilik dana. Berbeda dengan bank syariah, bank konvensio- nal menentukan sendiri bagaimana dan ke mana dana
masyarakat akan disalurkan dalam bentuk pinjaman.
Bank memberikan pinjam- an kepada nasabah peminjam
pada dasarnya juga karena kepercaya- an atau trust (T2), bahwa nasabah mampu dan mau
mengembalikan pinjamannya kepada bank ketika jatuh
tempo.
Masalah yang selalu dihadapi bank adalah
bagaimana meyakin- kan diri bahwa nasabah tersebut
dapat dipercaya untuk mengembalikan pinjamannya itu, ditinjau dari kemampuan
dan kemauan atau karakternya di kemudian hari.
Untuk itu, bank memproteksi kemungkinan risiko
yang akan muncul dari masalah ini, biasanya de- ngan
meminta jaminan (kolateral) tertentu. Hal itu dilakukan dalam rangka menyamakan nilai T1 dengan nilai T2
(T1 = T2) melalui analisis kredit
atau pembiayaan yang mendalam, dan ditambah dengan ada- nya
jaminan yang diperlukan. Namun, persamaan ini nyatanya sulit tercapai, kecuali jika debitor dapat menjaminkan uang
mereka dan menyimpannya di bank untuk memperoleh
pinjaman sejumlah yang sama pada bank yang sama.
7. Kerawanan terhadap penyelewengan atau moralitas.
Kerawanan ini bertitik tolak pada dua hal. Pertama,
bank mengelola uang masyarakat dan merupakan utang
bagi bank konvensional. Bagaima- na dan untuk apa
bank konvensional menggunakan dana itu ditentu- kan
oleh bank itu sendiri. Kedua, dana masyarakat
yang digunakan jauh lebih besar daripada dana
sendiri yang dimiliki oleh pemegang saham bank.
Dengan begitu, terdapat peluang yang begitu besar un- tuk
menggunakan bank atau dana bank demi kepentingan diri sendi- ri atau kelompok terkait dengan bank tertentu. Di sini, moral hazard dalam pengertian tindakan yang
tersembunyi sangat mungkin dila- kukan oleh pihak
yang mengelola atau pemilik bank.
Moral hazard sering terjadi pada bank sebagai suatu
institusi,13 dan jarang terjadi secara
serentak pada perbankan sebagai suatu industri.
Sebagai bagian dari intermediasi keuangan, moral
hazard yang paling ekstrem dan paling besar karena berskala nasional terjadi
pada lembaga simpan-pinjam Savings and Loans
Associations (S&L) di Amerika. Moral
hazard ini terjadi tidak hanya pada satu atau
beberapa institusi, tetapi secara serentak pada industri itu kare- na melibatkan sebagian besar institusi yang ada.
Untuk menunjukkan bagaimana ekstremnya
penyimpangan yang dimaksud, Henry N. Pontell dari
University of California me- nyebutkan bahwa
lingkungan "institusi simpan-pinjam" itu sebagai lingkungan yang bersifat
criminogenic (lingkungan yang dapat men- dorong
terjadinya kegiatan jahat), dengan karakteristik berikut:
a. Dominasi orang dalam yang komplet.
Dengan kata lain, Pontell menyebutkan "cara
yang terbaik untuk merampok bank adalah dengan
memiliki bank (to rob a bank is to own the bank)."
Dalam konteks perbankan di Indonesia, sesungguhnya pemberian
kredit melewati ketentuan batas maksimum pem- berian
kredit (BMPK) dan dananya digunakan oleh grup dari
pemilik bank, kemudian
macet atau tidak dapat dibayar oleh debitor, pada
dasarnya sejalan dengan pengertian Pontell ini. Kejadian ini terung- kap secara gamblang ketika sejumlah bank ditu- tup pascakrisis 1997/1998, sebagian dana yang dimaksud terkandung dalam istilah "BLBI" yang penyelesaiannya sampai hari ini belum tuntas secara keseluruhan.
b.
Jumlah likuiditas
relatif lebih besar dari kewajiban yang telah jatuh tempo. Menurut
Pontell, makin besar li- kuiditas, makin besar
kemungkinan akan disalahgunakan, atau digunakan
atas intervensi politis untuk membentengi diri dari para
regulator. Kesempatan untuk menambah likuiditas ini di- mungkinkan
dengan adanya peraturan baru bagi institusi S&L, yang
mengizinkan untuk menarik dana nontabungan dari ma- syarakat,
dengan mengeluarkan atau menjual surat utang. Pendapat Pontell ini sejalan
dengan pendapat J.P. Niinimaki, ahli dari
Finlandia, yakni adanya likuiditas dapat mendorong timbul- nya moral hazard.
c.
Kemampuan untuk
berkembang lebih cepat. Pertum- buhan yang
lebih cepat sering dianggap sebagai kesuksesan dan dapat
menarik perhatian untuk menambah likuiditas lebih besar lagi.
Dalam konteks perbankan umumnya, pertumbuhan kredit sering
diartikan sebagai tolok ukur kinerja manajemen puncak. Namun,
di balik itu, keberhasilan manajemen yang sesungguh- nya
baru dapat diketahui beberapa waktu kemudian, yaitu ketika kredit yang diberikan itu dapat atau tidak dibayar
kembali oleh para debitornya. Jadi, jika
keberhasilan manajemen hanya di- tentukan oleh
peningkatan aset pinjaman semata, dan kemudian mereka
menerima kompensasi tambahan untuk keberhasilan itu,
maka pemberian kompensasi tambahan itu merupakan hal yang
tidak layak dan tidak berdasar untuk dilakukan.
Menurut Pontell, makin besar
likuiditas, makin besar kemungkinan akan
disalahgunakan.
|
d.
Kemampuan mengubah
aset korporasi menjadi keun- tungan pribadi. Menciptakan pendapatan yang
semu untuk memperoleh bonus ekstra seperti stock dividends. Kejadian yang
disebutkan oleh Pontell ini juga berlangsung pada bebera-
pa bank, sebelum krisis 1997/1998 di Indonesia, yakni mereka memberikan bonus ekstra kepada manajemen puncak berda-
sarkan pertumbuhan kredit tertentu, tetapi beberapa waktu ke- mudian sebagian besar kredit tersebut ternyata bermasalah atau menjadi NPL.
sarkan pertumbuhan kredit tertentu, tetapi beberapa waktu ke- mudian sebagian besar kredit tersebut ternyata bermasalah atau menjadi NPL.
e.
Kemampuan untuk
menyembunyikan kerugian dan menciptakan pendapatan yang semu.14
Menciptakan aset yang tidak memiliki nilai pasar
standar akan cenderung menca- tat aset tersebut
lebih tinggi daripada nilai yang sesungguhnya, sehingga
kelebihan di atas nilai pasar dapat digunakan untuk menyembunyikan
kerugian. Dalam perbankan di Indonesia, con- toh
yang paling sering terjadi sebelum krisis 1997/1998 adalah kredit yang semula ditentukan dengan cicilan kemudian
diubah menjadi tanpa cicilan karena debitor tidak
mampu mencicilnya. Sebagai contoh lain, kredit
yang bermasalah diperpanjang dari waktu ke waktu, dan
dikenakan bunga yang relatif lebih rendah.
f.
Kemampuan untuk
menghalangi deteksi dan prosekusi kecurangan, melakukan pengaburan
korban, dan membuat transaksi bisnis yang
mengandung kecurangan kelihatannya se- perti
bisnis normal yang biasa.
g.
Minimal ethical
barriers to insider fraud, suatu etos yang
menganggap kerakusan sebagai suatu kebajikan, atau yang menganggap
peraturan pemerintah tidak diperlukan dan hanya memperlemah
standar kepercayaan (fiduciary standard).
Dalam kaitan ini, Krisna Wijaya mengatakan bahwa
terdapat anggapan, jika temuan mengenai modus operandi kejahatan perbankan diungkapkan secara terbuka, pihak lain akan meniru atau
mem- praktikkannya pula.
Keadaan yang
dikemukakan Pontell itu juga ditemukan di banyak ling- kungan
perbankan 15 umumnya secara terpisah-pisah, termasuk Indone- sia.16 Kejadian-kejadian dengan modus
operandi yang diuraikan di atas pun pernah terjadi
pada bank-bank yang didirikan pasca-Kebijakan Paket Oktober
1987 (Pakto 1987).
Dari semua kejadian, kecurangan, dan
skandal perbankan yang terjadi di dunia, ahli perbankan A. Tony Prasetiantono
menyimpulkan dua hal.
Pertama, skandal dalam lingkungan perbankan itu bersifat universal,
dalam arti dapat terjadi di mana-mana, dapat terjadi pada bank yang memiliki reputasi yang tinggi di negara maju atau pada
bank kecil di ne- gara berkembang, di pusat
keuangan dunia atau di kota kecil di negara berkembang.17 Kedua, walaupun ada penegakan hukum yang tegas,
ke- mudian para pelaku memperoleh hukuman penjara,
penyimpangan atau skandal perbankan tetap terjadi
dari tahun ke tahun.
Di negara yang masih
berkembang, yang penegakan hu- kumnya masih lemah,
dan tingkat korupsinya tinggi, tindakan penyimpangan
yang berulang-ulang ini dapat secara rasional dicarikan
jawabannya. Jawaban yang mungkin adalah uang hasil tindakan
penyimpangan itu dapat digunakan untuk banyak hal: menghadapi
proses hukum sehingga hukuman dapat diperlunak, membiayai
keperluan selama menjalani hukuman, dan porsi yang
relatif masih besar dapat dinikmati kemudian setelah men-
jalani hukuman. Di negara maju, yang penegakan hukumnya di- laksanakan dengan tegas, hal serupa tampaknya tidak
mungkin terjadi. Charles Ponzi, misalnya, harus
tinggal di penjara dalam waktu yang lama dan
meninggal dalam keadaan miskin.
Dalam keadaan seperti itu, alasan
yang dapat dikemukakan mengenai kenapa orang tetap
melakukan kecurangan di ling- kungan perbankan,
walaupun mereka tahu konsekuensi hukum- nya tidak
kecil jika tetap dilakukan, adalah rasa kerakusannya mengalahkan
pertimbangan moral atau pengendalian diri. Ke- mungkinan
lain adalah orang tersebut memang memiliki jiwa yang
bersifat kriminal.
Kecurangan yang
timbul dalam lingkungan seperti yang digambarkan oleh
Pontell di atas disebut sebagai control fraud
atau major fraud, yaitu
kecurangan yang dilakukan oleh orang dalam organisasi yang memegang kendali atau kontrol organisasi. Dalam buku ini,
pemegang kendali orga- nisasi perkreditan adalah
komite kredit, pemutus kredit, dan yang paling tinggi
presiden direktur. Presiden direktur sekaligus merupakan pemim- pin tertinggi dalam organisasi bank. Pihak-pihak ini
dalam melakukan pekerjaan dan tujuannya dapat
dibantu oleh staf di bawahnya, dan yang memegang
peranan penting pada jajaran dasar pekerjaan adalah
account atau loan officer.
Secara umum, dapat
diasumsikan bahwa semua pihak yang terkait ini
telah lama bekerja dan berprofesi sebagai bankir dan telah pula meng- ikuti begitu banyak pelatihan. Dengan demikian, mereka
dapat dianggap memiliki suatu tingkat pengalaman atau keahlian
tertentu. Namun, dalam banyak kasus perbankan,
yang memegang kendali pekerjaan ini ternyata masih
dapat dipengaruhi oleh para pemilik bank, dan bahkan pihak-pihak
di luar bank, sehingga mereka melakukan penyimpangan dalam
pekerjaannya dan melanggar tuntutan profesinya. Dari kasus-ka- sus ini, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tingkat profesionalisme atau
integritas seseorang dirasakan tidak cukup kuat untuk tidak meng- ikuti kehendak para pemilik bank atau pihak luar
tersebut.
Kejadian-kejadian
tersebut memberikan gambaran yang bersifat negatif
bahwa sejumlah kecil orang dapat memperoleh dan menguasai
uang lewat pemberian atau penyaluran kredit, yang artinya menciptakan kekayaan yang bukan dari hasil kerja jerih payah dan
hanya beredar pada sejumlah kecil manusia.
Ada beberapa sebab
kenapa hal ini dapat terjadi. Pertama,
pemilik dana yang digunakan bank tidak melakukan monitoring terhadap ba- gaimana
dan untuk apa uangnya digunakan oleh bank. Kedua,
dana itu bersifat utang bagi bank sehingga penggunaannya
dianggap dapat diten- tukan oleh bank sendiri. Ketiga, tidak terdapat mekanisme tertentu yang memberikan peluang bagi pemilik dana untuk mengawasi
bagaimana bank menggunakan dana mereka.
Karena tidak
terlepas dari bentuk-bentuk kerawanan, bank harus dikelola
dengan baik dan penuh kehati-hatian, dengan menaati secara penuh prinsip kehati-hatian. Prinsip ini perlu
diterapkan terutama pada kegiatan yang berkaitan
dengan pemberian pinjaman atau kredit.
Menurut Viotti,
kultur lama yang menganut konservatisme dan ke- hati-hatian,
yang seyogianya dipertahankan dalam perbankan, dewasa ini
telah digantikan dengan penekanan yang berorientasikan pada kegiatan "penjualan" dalam rangka merebut pangsa
pasar. Namun, akhirnya, pe- nekanan pada penjualan
ini cenderung melupakan keharusan untuk me- nilai
risiko, dan melakukan monitoring secara
memadai.
Untuk memastikan
penerapan sikap kehati-hatian itu dalam mela- kukan
operasional bank, perbankan perlu diatur sedemikan rupa sehing- ga bersifat highly regulated
(benar-benar diatur dengan ketat), dengan tujuan
agar kepentingan masyarakat banyak dapat dipenuhi atau dilin-
dungi.18
Walaupun pentingnya masalah kehati-hatian dan pengaturan ini telah diketahui secara luas, banyak kasus perbankan di dunia menunjukkan adanya unsur pengabaian terhadap kedua hal tersebut. Walaupun di banyak negara pengaturan seperti itu telah dilakukan, kajian empiris penga- laman NPL dari sejumlah negara menunjukkan bahwa pengabaian prinsip kehati-hatian ini tetap berlangsung. Di lain pihak, kasus yang terjadi di Amerika tahun 2008 telah pula membuktikan bahwa institusi pemberi kredit hipotik (mortgage institutions) di sana terlepas dari
perhatian pengaturan pemerintah, baik disengaja
maupun tidak.
Masalah utama dalam
intermediasi keuangan adalah adanya asymmetric information.
Sebagai salah satu karakteristik pembiayaan,19 asymmetric information ini merupakan akibat bahwa
pasar keuangan atau kredit ti- dak memiliki
informasi yang sempurna. Artinya, setiap pihak yang terkait dalam suatu transaksi keuangan tidak memiliki informasi
yang sama atau seimbang. Di lain pihak, bank
membutuhkan banyak informasi terutama mengenai
(calon) debitor selama pinjaman belum terlunasi. Bank sebagai calon kreditor, dan salah satu pihak dalam perjanjian
kredit yang akan dibuat, tidak memiliki informasi
yang sama seperti pihak lainnya, yaitu calon
debitor atau debitor peminjam.
Berdasarkan keperluan masing-masing,
bank harus lebih berhati-hati terhadap risiko, sedangkan calon debitor bersikap
lebih berani dalam mengambil risiko.
|
Antara bank dan
calon debitor terdapat persepsi dan sikap yang ber- beda
terhadap risiko. Berdasarkan keperluan masing-masing, bank harus lebih berhati-hati terhadap risiko, sedangkan calon
debitor bersikap lebih berani dalam mengambil
risiko. Baik sebelum (ex-ante) maupun sesudah (ex-post) persetujuan
kredit, calon debitor memiliki informasi yang jauh lebih
baik mengenai dirinya, mengenai perkembangan usaha dan masalah yang dihadapinya. Sebelum kredit disetujui, calon
debitor cenderung mem- berikan informasi yang
lebih baik yang dapat menambah kemungkinan permohonannya
dapat disetujui bank. Kecenderungan ini harus diimbangi oleh
bank dengan mendeteksi setiap perbedaan dengan kenyataan yang se- benarnya, dan memastikan fakta yang sesungguhnya
berlaku.
Dari waktu ke waktu,
calon debitor atau debitor peminjam sebagai kesatuan
unit usaha berinteraksi langsung dengan lingkungan di sekeli- lingnya. Lingkungan ini meliputi, antara lain,
lingkungan perekonomian, hukum dan peraturan,
bahan baku, pasar barang yang diproduksi, dan pasar
tenaga kerja.
Lingkungan-lingkungan
ini bersifat dinamis. Setiap perubahan lingkung- an
ini selalu membawa "kesempatan"
(opportunity) ataupun "ancaman" (threat). Bagaimana debitor, sebagai institusi
menghadapi pergerakan ini dan menerjemahkan apa
yang dibawanya dalam bentuk tindakan sebagai reaksi
terhadap kesempatan atau ancaman, akan menentukan kelangsung- an hidup debitor sebagai institusi itu. Bagaimana
debitor menghadapi per- ubahan lingkungan itu
dapat memengaruhi tingkat keuntungannya. Apa yang
dihadapi dan bagaimana debitor berinteraksi dengan lingkungannya itu, sesungguhnya hanya mereka yang mengetahui secara
pasti.
Terkadang pihak
luar, seperti kreditor, baru dapat mengetahui apa yang
dihadapi oleh debitor dan bagaimana debitor berinteraksi setelah adanya hasil akhir. Pihak luar jarang dapat mengikuti
proses apa yang terjadi dan dihadapi oleh debitor
atau usahanya. Hasil akhir yang dimak- sud dapat
berupa timbulnya kerugian dari operasi usaha debitor, atau di- tutupnya usaha debitor sama sekali.
Walaupun begitu,
untuk menjamin keselamatan pinjaman yang dibe- rikan,
bank harus dapat membuat proyeksi atau memperkirakan apa yang dapat terjadi terhadap usaha debitor, dan mengikuti
perkembangannya dari waktu ke waktu sampai
pinjaman lunas. Kegiatan untuk melakukan pengawasan
terhadap perkembangan usaha debitor wajib dilakukan. Sa- lah
satu sebabnya, tidak semua kejadian yang memengaruhi kekayaan, kewajiban atau utang-utang, dan hasil usaha debitor
terefleksi dalam laporan keuangan debitor, baik
secara sengaja maupun tidak, baik yang dicakup
oleh sistem akuntansi maupun tidak.
Untuk
menjembataninya, bank perlu lebih aktif menggali informasi yang diperlukan, baik secara langsung dari calon
debitor atau debitor pe- minjam maupun dari
lingkungannya. Jika bank tidak melakukan hal ini dengan
baik dan cermat ex-ante dan bahkan ex-post, atau sengaja tidak melakukannya
atau menutupinya (bank perlu lebih ahli dalam menelaah laporan
keuangan atau informasi yang diperoleh), bisa terjadi apa yang disebut sebagai adverse
selection, yakni calon debitor berisiko tinggi yang seyogianya ditolak, tetapi tetap disetujui. Hal ini
dapat menimbulkan moral hazard di pihak
bank, dan juga akhirnya di pihak debitor.
Masalah berikutnya
berkaitan dengan persoalan agen dan majikan (agent-principal problems). Menurut ahli ekonomi
Amerika Frederic Stanley Mishkin, masalah
agen-majikan terjadi jika agen memiliki do- rongan
yang berbeda dengan orang tempat dia bekerja dan bertindak demi kepentingan pribadinya, bukan demi kepentingan
majikannya. De- ngan kata lain, menurut Kathleen
M. Eisenhardt dari Stanford University, AS, agen
dan majikan memiliki keinginan dan/atau tujuan yang berbeda, sehingga menimbulkan benturan kepentingan.
Secara teori,
Ricardo V. Lago, profesor ekonomi asal Meksiko, menje- laskan
bahwa bank berfungsi berdasarkan kaitan antara principal-agent
yang kompleks di antara para stakeholder.
Setiap pihak dalam proses kegiatan dalam perbankan
merupakan agen terhadap atasannya. Lago berpendapat,
setiap agen akan berusaha untuk mencapai objektif bagi di- rinya paling tidak sebanyak yang diharapkan oleh
atasannya, kecuali jika terdapat penegakan hukum,
pengawasan, dan keterbukaan yang mema- dai. Dapat
pula dikatakan bahwa masalah ini akan timbul, jika majikan tidak mampu memastikan apa yang sesungguhnya dilakukan
oleh agen.
Dalam praktik, masalah
keagenan yang paling mendasar dan sering terjadi
adalah keputusan pemberian pinjaman atau kredit dipengaruhi oleh kecenderungan manusia. Salah satu kecenderungan
ini adalah meng- ikuti apa yang dilakukan, atau
diinginkan, atau dipengaruhi oleh orang atau pihak
lain, yang tidak selalu sepenuhnya memperhatikan kepenting- an majikan atau institusi tempat seseorang bekerja.
Bagaimana seseorang mengikuti keinginan dirinya
tidak selalu tampak dengan jelas dari apa yang
dilakukan, atau dari latar belakang apa yang diputuskannya.
Karena itu, Charles
Collyns dan Abdelhak Senhadji, keduanya dari IMF,
mengatakan bahwa masalah moral hazard seperti
ini tidak dapat sepenuhnya dieliminasi dari
intermediasi keuangan. Di lain pihak, menu- rut
Steven Radelet dan Jeffrey Sach dari AS, jika suatu pinjaman menjadi gagal atau tidak terbayarkan oleh debitor, masalah ini
biasanya mewakili suatu kesalahan perhitungan yang
terjadi di kedua sisi transaksi, baik dari segi
kreditor maupun debitor. Hal ini akan bersifat lebih krusial lagi jika mengingat bahwa intermediasi keuangan memiliki sejumlah
kerawanan yang timbul karena karakteristiknya
sendiri.
Dalam perspektif ini, masalah asymmetric information dan masalah agen dengan majikan dapat menimbulkan terjadinya banyak
hal yang tidak baik atau moral hazard. Moral hazard
dalam bentuk yang minimal adalah ketika agen tidak
melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati dan
secara serius sehingga tidak mencapai hasil yang terbaik. Bagi bank sebagai majikan, kesalahan atau kelemahan seperti ini
perlu dihindari dalam pemrosesan suatu permohonan
pinjaman, termasuk mewaspadai kemungkinan
kesalahan perhitungan oleh calon debitor, dan kemudian selalu
mengikuti perkembangan usaha serta kemampuan bayar debitor.
Inti tugas intermediasi
keuangan adalah melakukan restrukturisasi risiko agar
dapat menarik dana dari masyarakat untuk tujuan investasi dalam sektor riil; dengan kata lain, memobilisasikan dana
masyarakat menjadi pinjaman atau kredit yang
produktif. Undang-Undang Perbankan secara umum
juga mengindikasikan tugas ini, yakni bank dituntut untuk bertin- dak sebagai agent of
development, yang dapat mengarahkan penyalur- an
dana ke arah produksi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan umum. Namun, banyak pelaku perbankan konvensional yang
tidak me- nyadari hal ini, sehingga dana
masyarakat disalurkan untuk membiayai transaksi
yang bersifat spekulatif, dengan risiko yang berlebihan.
Dalam rangka
penyaluran dana ini, bank harus melakukan hal-hal berikut:20
1.
Mengumpulkan informasi untuk menentukan
investasi yang poten- sial, dengan risiko yang
dapat diterima. Banyak ekonom sependapat bahwa
fungsi ini merupakan yang paling penting bagi bank, dan ber- biaya rendah, jika dibandingkan dengan keadaan di mana
setiap pe- nabung harus melakukan hal yang sama
untuk menentukan proyek mana yang akan
dibiayainya. Jika bank tidak bertindak sebagai agent
of development, dan mengabaikan rambu-rambu dalam penyaluran dananya, likuiditas yang dimiliki dapat disalahgunakan
ke arah pen- ciptaan
moral hazard.
2.
Melaksanakan kontrol terhadap korporasi atau
peminjam, atau mela- kukan tindakan disiplin
terhadap para manajer bank, agar dana bank digunakan
untuk tujuan produktif dan sesuai dengan yang diperjan- jikan.
Kontrol yang dimaksud di sini memiliki pengertian yang luas, meliputi semua kegiatan yang dapat menentukan atau
menjaga atau bahkan memperbaiki kualitas pinjaman,
misalnya seleksi kredit yang diajukan, penelitian
yang mendalam dan komprehensif terhadap proposal
kredit, kunjungan ke lokasi usaha calon debitor atau debitor, dan rapat-rapat
komite atau direksi dan sebagainya yang mem- bahas
masalah calon debitor atau debitor yang sudah ada. Kegiatan pengawasan, khususnya menegakkan klausul-klausul
larangan dari perjanjian kredit, yang menguraikan
dan membatasi kegiatan terten- tu dari peminjam,
perlu dilakukan untuk menjaga kualitas pinjaman sehingga
pinjaman dapat dilunasi.
3.
Mengurangi moral
hazard. Menurut Douglas W. Diamond dari University of Chicago, bank
melakukan pengawasan dengan biaya yang lebih
kecil, dibandingkan jika dilakukan oleh individu. Pengawasan berbiaya rendah ini bisa terjadi antara lain karena
bank dapat me- nekan debitor peminjam untuk tidak
mengambil risiko yang besar, dengan cara
memberikan ancaman tidak memberikan pinjaman di masa
depan, dan ini akan memperbaiki tingkah laku debitor pemin- jam.
4.
Mengelola sejumlah risiko. Menurut Basel Accord
II, risiko yang pada tahap pertama diperhitungakan
adalah untuk menentukan jumlah modal, terutama,
adalah risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional.
Namun, bank menghadapi begitu banyak risiko lain, se- perti maturity risk, counterparty risk, market risk, dan
sebagainya. Adapun risiko yang dibicarakan dalam
buku ini difokuskan pada risi- ko kredit,
sehubungan dengan pemberian pinjaman atau pembiaya- an.
Risiko kredit dapat dikurangi dengan dilakukannya seleksi (screening), diversifikasi, dan permintaan
kolateral. Namun, risiko kredit dalam bentuk
risiko wanprestasi tidak dapat dihilangkan seluruhnya, tanpa
memangkas fungsi peranan bank sebagai intermediasi. Di sisi lain, jika risiko wanprestasi terjadi, bank akan dapat
mengalami ke- rugian yang akan mengurangi jumlah
modal yang dimiliki. Jika se- bagian besar sistem
perbankan mengalami kerugian melebihi modal- nya,
krisis sistemik terjadi.
Banyak literatur dan penelitian menunjukkan,
intermediasi keuangan dan pasar keuangan yang
berfungsi baik dapat meningkatkan pertum- buhan
ekonomi. Beberapa riset yang dimaksud menyimpulkan, hukum
dan mekanisme penegakan hukum kontrak dan sistem keterbukaan infor- masi (disclosure)
dapat memengaruhi pertumbuhan pasar keuangan dan pertumbuhan
ekonomi. Karena keterbukaan informasi berkaitan dengan good corporate governance, penerapan konsep ini
dengan baik dapat pula membantu pertumbuhan
intermediasi keuangan dengan lebih baik.
Ross Levine, Norman Loayza (keduanya
dari Amerika), dan Thorsten Beck (Swedia) melakukan
penelitian mengenai perbedaan perkembangan dalam
intermediasi keuangan antar- negara ditinjau dari
segi hak-hak hukum kreditor, efisiensi da- lam
pelaksanaan hukum kontrak, dan sistem akuntansi. Sebagai kesimpulan,
mereka berpendapat, intermediasi keuangan akan berkembang
dengan baik jika negara yang bersangkutan memi- liki:
a). sistem hukum yang memberikan prioritas tinggi kepa- da
kreditor, di mana kreditor dapat memperoleh present
value yang penuh dari tuntutannya terhadap perusahaan debitor, b). sistem hukum yang menegakkan hukum kontrak dengan kuat, termasuk kontrak dengan pemerintah, c). standar
akunting yang menghasilkan kualitas yang tinggi,
dalam arti bahwa laporan ke- uangan dari
perusahaan-perusahaan bersifat komprehensif dan mudah
untuk melakukan perbandingan.
Masalah hukum dan penegakan hukum
(kontrak), keterbukaan in- formasi, dan standar
akunting merupakan unsur lingkungan eksternal yang
dapat memengaruhi perjalanan operasional bank. Tetapi, bank tidak dapat memengaruhi keadaan lingkungan yang dihadapinya
itu. Apa yang dapat dilakukan oleh bank adalah
berusaha mengatasi unsur negatif dari faktor
lingkungan operasionalnya itu.
Berikut ini sejumlah
faktor lingkungan yang perlu diperhatikan dan dihadapi
perbankan di Indonesia.
Pertama,
transparansi dan keterbukaan. Bank perlu mengumpul- kan banyak informasi mengenai calon debitor. Bank akan
lebih mudah melakukan tugasnya jika calon debitor
atau lingkungan usaha memiliki tingkat
transparansi yang tinggi. Menurut Ann M. Florini, dosen luar bia- sa di Singapore Management University, transparansi
sangat berdekatan dengan akuntabilitas, dan
memiliki dimensi moral, serta dapat mengatasi masalah
agen dan majikan. Dalam hal ini, bank merupakan majikan dan debitor merupakan agen. Karena tidak ada informasi yang
disembunyi- kan, agen cenderung bersifat jujur.
Dengan adanya transparansi, apa yang terjadi dalam
diri seseorang, atau perusahaan, dengan mudah dapat terlihat
dari luar sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan.
Informasi yang
diperlukan oleh pihak kreditor atau investor umum- nya
meliputi kondisi keuangan, termasuk jumlah utang yang dimiliki, kepemilikan perusahaan terutama yang berkaitan dengan
pemegang sa- ham mayoritas, kinerja bisnis dalam
arti perolehan keuntungan dan arus kas, dan
hal-hal yang dapat memberikan gambaran mengenai posisi atau kekuatan bisnis perusahaan dalam lingkungan tempat
perusahaan ber- operasi, serta kekuatan keuangan
pemilik saham mayoritas. Umumnya, sarana utama
untuk menyampaikan informasi ini secara reguler adalah penerbitan
laporan keuangan perusahaan; dan yang lebih disukai adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan
publik.
Dengan transparansi
atau keterbukaan seperti itu, bank akan dapat melakukan
penilaian yang lebih akurat terhadap keadaan dan kinerja ke- uangan, kegiatan usaha, dan profil risiko usaha
debitor, serta kelanjutan usaha perusahaan
debitor. Makin tinggi tingkat pengungkapan informasi atau
keterbukaan, makin transparan calon debitor atau debitor di mata kreditor, dan makin mudah kreditor untuk memproses dan
menilai kredit bagi calon debitor.
Namun, hal seperti
ini hanya merupakan situasi yang ideal. Dalam kenyataan,
kreditor akan menghadapi keadaan yang mengandung
information asymmetry, yakni debitor cenderung tidak melakukan seluruh keterbukaan bagi semua informasi faktual yang
diperlukan oleh kreditor. Terutama ketika calon
debitor ingin memperoleh pinjaman atau kredit dari
kreditor, calon debitor cenderung memberikan informasi yang baik dan menyembunyikan informasi yang tidak baik. Karena
itu, calon kre- ditorlah yang harus menggali dan
meneliti lebih banyak informasi, baik dari calon
debitor sendiri maupun dari sumber lain yang ada kaitannya dengan calon debitor.
Menurut Leila
Mustanoja dari Finlandia, rendahnya tingkat transpa- ransi
dan keterbukaan dari informasi yang relevan memberikan peluang untuk terjadinya korupsi. Pendapat lain mengatakan,
makin tinggi ting- kat korupsi, makin kecil
kemungkinan informasi yang diberikan bersifat akurat.
Dalam keadaan seperti itu, dapat dikatakan, akuntabilitas juga makin rendah. Menurut Bernhard Winkler (Jerman),
keterbukaan men- dorong akuntabilitas, mengurangi
kekaburan atas informasi yang disem- bunyikan.
Di negara seperti Indonesia, yang
indeks korupsinya tinggi, dapat dikatakan bahwa
tingkat keterbukaan atau transparansinya juga rendah. Banyak
pinjaman korporasi yang menjadi NPL sebelum krisis 1997/1998 karena pemberiannya didasarkan pada informasi keuangan
yang tidak akurat, dan bahkan tidak pernah
dilakukan pengecekan sebelumnya.
Kedua, tata kelola perusahaan yang baik (good corporate go- vernance/GCG).
Di Indonesia, konsep ini mulai dirasakan perlu dan ditekankan
kegunaannya setelah krisis moneter 1997/1998. Krisis ini menciptakan
kerugian besar bagi para pembayar pajak dan berdampak negatif
terhadap kesejahteraan masyarakat. Krisis itu membuka tabir sejumlah penyimpangan dan pelanggaran terhadap
kebijakan yang di- lakukan baik oleh bank maupun
korporasi di Indonesia. Robert A.G. Monks dan Nell
Minow dari Amerika mengungkapkan masalah-masalah itu
meliputi utang yang besar, laporan keuangan tidak menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang sesungguhnya, direksi
tidak pernah mengalami pelatihan yang memadai,
regulator dan pengadilan kurang berwibawa, para
manajer tidak bertanggung jawab, bahkan bangunan korporasi dirasuki oleh intervensi pemerintah, korupsi, dan
uang pelicin.
Di masa lalu,
komisaris hanya sebatas pajangan dalam akta pendiri- an
perusahaan dan direksi merupakan nominee
tanpa kewenangan apa pun, kecuali hanya bertindak
atas perintah pemilik yang dominan. Dalam keadaan
seperti itu, pengambilan keputusan ditentukan oleh keinginan pemilik saham pengendali. Pemilik saham pengendali
menggunakan per- usahaan sebagai alat untuk
mencapai tujuannya, dan sudah barang tentu akan
lebih memperhatikan kepentingan pribadinya terlebih dahulu. Me- reka cenderung mengabaikan kepentingan perusahaan atau stakeholder lainnya. Dapat dikatakan demikian,
karena terdapat sejumlah alasan ke- napa orang
sebagai individu menggunakan badan hukum untuk mewakili transaksi
komersial yang dilakukannya.
I Nyoman Tjager,
Antonius Alijoyo, Humphrey R. Djemat, dan Bam- bang
Soembodo mengemukakan sejumlah alasan yang dimaksud, yaitu, pertama, membebankan
risiko dan biaya pada perusahaan sehingga pe- milik
sebagai pribadi terlepas dari beban ini; kedua,
kemudahan yang di- peroleh terhadap keluar-masuk
modal jika dilakukan melalui perusahaan, terutama
dalam bentuk utang, di mana perusahaan memiliki kehidupan
yang lebih panjang terutama ketika perekonomian berkembang; ketiga, pemilik dapat berlindung di balik hukum,
karena memiliki tanggung ja- wab yang terbatas
terhadap perusahaan; keempat, pemilik akan
dapat menarik manfaat praktis dari penentuan arah
kebijakan perusahaan; dan kelima, pemilik dapat memperoleh manfaat dari
bidang perpajakan, jika transaksi komersial
dilakukan lewat perusahaan.
Dalam GCG, kata yang
berperan adalah governance, atau governe dalam bahasa Latin, yang berarti to steer atau "mengendalikan" dalam
bahasa Indonesia. Menurut Jackson dan Nelson, governance berkenaan dengan kewenangan
atau kekuasaan (power), dan mengenai
bagaimana kewe- nangan didistribusikan dengan
akuntabilitas, transparansi, dan integritas yang
menyertainya. Esensi utama kewenangan ini adalah dalam mengam- bil keputusan tentang apa yang hendak dilakukan bagi
badan hukum.
Dalam bank,
pengambilan keputusan berada pada tataran presiden direktur
atau direksi, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh jajaran manajemen di bawahnya. Namun, dalam penerapan keputusan
ini, di- reksi masih berperan menentukan banyak
hal. Direksi dapat menunjuk siapa yang dapat
dipercayainya dengan kompetensi yang diperlukan, menentukan
kebijakan yang harus diikuti dalam menerapkan keputusan itu,
termasuk pola-pola, rambu-rambu atau ketentuan lain yang harus di- perhatikan oleh para pelaksana. Direksi mengawasi
perjalanan penerapan keputusan sehingga tujuan
perusahaan tercapai, sedangkan direksi sendi- ri
juga diawasi oleh dewan komisaris sebagai wakil pemilik saham.
GCG pada prinsipnya
merupakan pola pelaksanaan bagaimana suatu unit
usaha dikelola, yaitu mengatur hubungan-hubungan antara organ- organ di dalam perusahaan, termasuk pengaturan hak dan
kewajiban se- tiap pihak yang berpartisipasi dalam
korporasi, dengan memperhatikan kepentingan para stakeholder, sehingga menciptakan nilai tambah
bagi mereka.
Agar tujuan ini
tercapai, usaha atau operasi perusahaan harus dilak- sanakan
berdasarkan hukum dan moral. Pelaksanaan itu harus meme- nuhi
sejumlah prinsip, yang meliputi transparansi dalam pengambilan keputusan, keterbukaan dalam memberikan informasi yang
materiil dan relevan mengenai perusahaan dan
akuntabilitas, yang merupakan keje- lasan dalam
pelaksanaan fungsi dan tanggung jawab setiap organ dalam perusahaan,
kewajaran (fairness) dalam hal memenuhi
hak-hak para stakeholder, sehingga memenuhi
unsur keadilan dan kesetaraan, dan tang- gung
jawab perusahaan terhadap para stakeholder.
Prinsip pertama,
yaitu transparansi dan keterbukaan, merupakan unsur
yang paling penting dari GCG karena merupakan faktor pendo-
rong bagi penerapan prinsip yang lainnya. Jika transparansi dan keterbukaan dipenuhi oleh perusahaan sebagai calon debitor atau debitor, bank sebagai pemberi pinjaman atau pembiayaan akan dapat mengerti secara lebih jelas kekuatan keuangan dan usaha perusahaan debitor. Penger- tian yang dapat diperoleh dari kedua prinsip GCG itu dalam hal bagaimana manajemen perusahaan mengelola dan kekuatan yang dimiliki perusaha- an akan dapat menelusuri pelaksanaan prinsip- prinsip GCG yang lain.
rong bagi penerapan prinsip yang lainnya. Jika transparansi dan keterbukaan dipenuhi oleh perusahaan sebagai calon debitor atau debitor, bank sebagai pemberi pinjaman atau pembiayaan akan dapat mengerti secara lebih jelas kekuatan keuangan dan usaha perusahaan debitor. Penger- tian yang dapat diperoleh dari kedua prinsip GCG itu dalam hal bagaimana manajemen perusahaan mengelola dan kekuatan yang dimiliki perusaha- an akan dapat menelusuri pelaksanaan prinsip- prinsip GCG yang lain.
John Pieris dan Nizam Jim
berpendapat, pelaksanaan konsep GCG memerlukan
sejumlah sarana pendukung, yang meliputi perumusan
visi, misi, dan tujuan perusahaan, struktur organisasi dengan tanggung jawab
masing-masing da- lam struktur, kewenangan serta
mekanisme yang jelas, budaya dan etika perusahaan,
serta sistem pengendalian dan pengukuran kerja. Sesung- guhnya,
sebagian besar sarana yang dimaksudkan oleh Pieris dan Jim ini tercakup dalam konsep budaya
organisasi, sedangkan proses penilaian kerja
bermuara pada pemberian penghargaan dan hukuman (reward
and penalty).
Menurut Surendra Arjoon dari
University of the West Indies, Trinidad, penerapan GCG yang efektif berarti
perusahaan mengadopsi sejum- lah prinsip dan
praktik yang terbaik, berdasarkan pada kejujuran, integri- tas, dan keadilan dalam menjalankan usahanya dan ketika
berhubungan dengan pihak lain. Walaupun keuntungan
perlu dicapai sebagai alat un- tuk berkembang,
dengan GCG, pencapaiannya tetap dalam ikatan etika. Penerapan
GCG yang baik akan dapat mengurangi risiko operasional yang
dihadapi perusahaan, mengurangi penyimpangan keuangan yang mungkin terjadi, karena bagaimana perusahaan mengambil
keputusan akan lebih mudah dapat dilihat dari
luar.
Kepentingan bank syariah akan
terpenuhi jika perusahaan debitor berhasil dalam usahanya sehingga memperoleh
keuntungan, dan dibagi dengan bank sebagai pengganti bunga.
|
Hasil pengambilan keputusan dapat
pula dilihat dari informasi yang diberikan dari
waktu ke waktu, berdasarkan asas keterbukaan. Semua ini pada
akhirnya akan mendorong keberhasilan perusahaan, dan dapat pula menjaga keberhasilan itu dari usaha-usaha penyelewengan
keuangan. Karena itu, penerapan GCG yang baik akan
memberikan perlindungan terhadap kepentingan bank
atau kreditor sebagai stakeholder terhadap keberhasilan usaha perusahaan.
Hal ini sangat
penting terutama bagi bank syariah, karena pada umumnya
bank syariah tidak memiliki jaminan (kolateral) yang secara khusus diikat bagi setiap pembiayaan yang mungkin
diberikannya. Ke- pentingan bank syariah akan
terpenuhi, jika perusahaan debitor berhasil dalam
usahanya sehingga memperoleh keuntungan, dan dibagi dengan bank sebagai pengganti bunga. Pembagian keuntungan ini
seyogianya dilakukan dengan wajar, adil, dan penuh kejujuran bagi kedua belah
pihak, yaitu bank dan nasabah. Hal ini hanya dapat
dimungkinkan karena ada- nya transparansi dan
keterbukaan.
Pada bank
konvensional, jika perusahaan debitor merugi, perusahaan tetap
harus membayar kewajiban bunga. Pada keadaan yang paling buruk, kepentingan bank konvensional dapat ditutup dengan
adanya kolateral yang secara khusus dikaitkan
dengan pemberian kredit yang dilakukannya. Dengan
demikian, sejauh debitor terus dapat membayar bunga, bank cen- derung kurang memperhatikan masalah penerapan GCG ini.
Puncak per- masalahan hanya dapat terlihat ketika
debitor berhenti membayar bunga. GCG baru
dirasakan perlu ketika terjadi krisis dalam tahun 1997/1998.
Undang-Undang
Perseroan Terbatas yang baru tahun 2007 telah menunjang
penerapan GCG yang lebih baik di Indonesia. UU ini memper- tegas dan memperjelas tanggung jawab direksi dan
komisaris. Tanggung jawab yang ditentukan oleh
hukum ini, secara kolegial, diharapkan dapat membuat
setiap anggota dewan direksi dan komisaris saling mengontrol anggota lainnya, sehingga pelaksanaan kewenangannya
dapat dijalankan dengan baik. Dengan tanggung
jawab yang ditentukan oleh hukum ini, para direksi
diharapkan dapat lebih aktif menentukan strategi bisnis per- usahaan, dan mengelolanya dengan baik sesuai dengan
tujuan perusaha- an. Di samping itu, seperangkat
peraturan lain, dalam pasar modal misal- nya,
telah mendorong dipenuhinya prinsip transparansi dan keterbukaan dalam hal pelaporan keuangan. Namun, dalam praktik
umumnya, prinsip transparansi dan keterbukaan ini
di Indonesia belum mencapai standar yang memadai,
sehingga penerapan GCG masih lemah dan belum merata.
Hal ini disebabkan oleh beberapa
alasan. Pertama, terdapat sejumlah kebijakan
akuntansi yang dapat digunakan tetapi secara superfisial,
dan ini dapat memberikan peluang untuk menutupi kekuatan perolehan keuntungan yang sesungguhnya. Hal ini terjadi terutama
karena sebagi- an besar perusahaan di Indonesia
adalah milik keluarga, dan dijalankan mengikuti
kehendak pemilik pengendali. Sebab lain adalah para auditor bekerja langsung di bawah pengawasan manajemen
perusahaan. Perusa- haan yang dikelola secara
tertutup yang umumnya dimiliki oleh keluarga tidak
menunjukkan adanya transparansi dan keterbukaan yang memadai, sehingga tidak memberikan informasi mengenai keadaan
perusahaan yang sesungguhnya. Sebagai contoh,
akuntan akan mengakui bahwa suatu utang yang
dimiliki perusahaan adalah sah dan dapat diterima, se- jauh
perusahaan dapat menunjukkan perjanjian kredit yang mendasari- nya. Terdapat adanya kemungkinan bahwa pemilik saham
menciptakan utang dari dirinya sendiri, agar
mendapat klaim terhadap sebagian aset yang
dimiliki dan hasil yang diperoleh bersama dengan kreditor lain. Te- tapi, akuntan dapat memilih untuk tidak meneliti
keabsahan perjanjian itu. Kedua, beberapa akuntan cenderung membantu atau
mengikuti ke- pentingan rekanannya, jika
dibandingkan dengan usaha dalam rangka mempertahankan
integritas hasil audit.21 Ketiga,
sistem perpajakan yang ada, implementasinya tidak
mendukung dan mendorong perkembangan transparansi
yang wajar dalam pelaporan keuangan. Namun, pembayar- an
pajak yang benar ditentukan atau didasari atas pelaporan keuangan yang benar dan akurat. Kasus Gayus Tambunan hanya
merupakan suatu titik puncak dari permasalahan
yang ada, tetapi hanya menggambarkan sebagian
kecil dari kenyataan serupa di khazanah perpajakan di Indonesia. Gayus,
sebagai pegawai menengah kantor pajak, memiliki kekayaan yang
begitu besar, yang diperoleh sebagai gratifikasi dari pembayar pajak yang telah dibantu untuk membayar pajak lebih kecil
dari yang seharus- nya. Jumlah pajak yang harus
dibayar ditentukan berdasarkan negosiasi dengan
aparat pajak dan didukung dengan laporan keuangan yang dibuat khusus untuk tujuan itu, yang berbeda dengan laporan
keuangan yang diberikan pada pihak bank, tanpa
adanya penjelasan yang disampaikan secara terbuka. Keempat, masalah penegakan hukum yang belum
efektif.
Ketiga, ruang
lingkup hukum dan penegakannya. Bank akan da- pat
beroperasi lebih efisien, jika lingkungan tempat bank beroperasi me- miliki sistem hukum yang melindungi hak-hak kekayaan
individu (property rights) dan hak kreditor.
Kekuatan lingkungan hukum ini diperlu- kan bagi
bank untuk memperoleh haknya, sehingga yakin bahwa debitor akan melakukan pembayaran kembali pinjaman yang
diberikan secara hukum, dan melalui penegakan
hukum, jika diperlukan. Di samping itu, penegakan
hukum yang baik dapat mendorong penerapan GCG. Penera- pan
GCG dapat menekan tindakan orang dalam yang merugikan pihak luar, seperti para investor atau kreditor pemberi
kredit atau pembiayaan, atau stakeholder lainnya. Jika perusahaan memperhatikan
kepentingan para
stakeholder lainnya, perusahaan tidak akan menempatkan orang- orang dari keluarga pemegang saham mayoritas yang tidak
kompeten. Pemberian kompensasi kepada para
eksekutif dan manajer juga akan memperhatikan
unsur kewajaran dan praktik, yang dilakukan dalam in- dustri
yang sejenis.
Keempat, penegakan hukum (law enforcement). Menurut
La Favre, sebagai suatu proses, penegakan hukum
pada hakikatnya merupa- kan penerapan diskresi
antara hukum dan moral dalam membuat suatu keputusan
yang tidak secara ketat diatur oleh undang-undang, sehingga menyangkut unsur penilaian pribadi. Keputusan itu
diambil oleh penegak hukum, yang sering diartikan
sebagai keputusan hakim. Indonesia, seba- gai
negara hukum, tentunya perlu menjunjung tinggi kekuatan dan supre- masi hukum, yang salah satu bentuknya berada pada
keputusan hakim.
Menurut pakar hukum
Prof. Dr. Soerjono Soekanto, keputusan hakim ini
dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang meliputi sistem hukum dan undang-undang, penegak hukum, sarana atau fasilitas
yang mendu- kung penegakan hukum, masyarakat, dan
kebudayaan. Dari segi sistem, terdapat perbedaan
prinsipil antara dua sistem hukum (legal regime)
be- sar di dunia, yaitu sistem common law dan civil law
(Indonesia menganut yang kedua). Menurut Ganguin,
sistem civil law bersifat lebih berpihak pada kreditor atau creditor
friendly, dibandingkan dengan sistem common
law.
Pada sistem common law, hakim mengambil keputusan pengadilan berdasarkan keputusan yang pernah diambil oleh
pengadilan terdahulu yang mengadili perkara yang
sama, atau disebut yurisprudensi. Dengan berdasarkan
konsep keadilan atau equity, fiduciaty duty,
dan fairness, pengambilan keputusan oleh
hakim lebih mendasar pada unsur-unsur yang ada
secara khusus dalam setiap perkara. Karena hukum merupakan pengejawantahan dari apa yang terjadi di lingkungan
sosial masyarakat, yurisprudensi merupakan jawaban
sebagai hukum yang diperlukan oleh masyarakat.
Hakim lebih bebas menentukan hukum yang sesuai dengan dan
berpatokan pada yurisprudensi yang pernah ada.
Pada sistem civil law, hakim harus lebih mengacu pada
undang-un- dang yang telah ada. Hakim harus
mengambil keputusan dalam konteks undang-undang
tersebut, atau disebut menganut asas legal positivism,
sehingga bersifat lebih kaku.
Di sini, tidak
terdapat adanya patokan (benchmark) yang jelas untuk mengukur kete- patan keputusan yang diambil. Dari segi undang- undangnya, yang menjadi masalah adalah, dalam masyarakat yang dinamis, undang-undang selalu tertinggal di belakang perkembangan ekonomi dan sosial. Akibatnya, terdapat ketidakserasian antara kenyataan sosial di masyarakat dan un- dang-undang yang berlaku. Akibatnya, terdapat peluang yang lebih luas bagi hakim untuk mem- berikan interpretasi terhadap undang-undang.
Hal ini sangat
berbeda dengan sistem common law, yakni
yurisprudensi cenderung selalu mengikuti
perkembangan dalam perubahan sosial dalam masyarakat, se-
hingga merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat. Di samping itu, lingkungan hukum di Indonesia tidak menunjukkan adanya
usaha untuk menyosialisasikan undang-undang atau
peraturan yang ada; khususnya sering tidak
diiringi dengan peraturan pelaksanaan yang diperlukan. Dari segi penegak hukum yang meliputi polisi, jaksa dan
hakim, dan sarana penegakan hukum, pada intinya
dapat dikatakan secara umum, bahwa kualitas
terutama dalam hal yang berkaitan dengan moralitas dan kuan- titas dari kedua faktor ini masih belum memadai. Dari
sisi struktur atau proses, hukum dianggap sebagai
hal yang identik dengan aparatnya, se- hingga
penegakan hukum sangat ditentukan oleh perilaku dan moralitas aparatnya. Dari segi masyarakat dan budayanya,22
pemahaman dan keta- atan terhadap hukum merupakan
unsur yang menentukan juga dalam pe- negakan
hukum. Nilai apa yang dianggap baik dan buruk dari pandangan terhadap hukum telah menjadi kabur, dan orang cenderung
mengartikan- nya dengan konversi ke dalam nilai
materiil. Penekanan terhadap nilai ma- teriil ini
ditimbulkan oleh kebutuhan yang dirasakan, sehubungan dengan tidak memadainya kualitas dan kuantitas aparat hukum
dan sarana yang mereka miliki. Jika masyarakat
berhubungan dengan masalah hukum de- ngan
pendekatan hukum secara murni, akan timbul suatu persepsi bahwa mereka tidak akan dapat memperoleh kepastian hukum yang
seyogianya dapat diharapkan. Namun, penyelesaian
yang diharapkan umumnya dapat dicapai dengan atau
diiringi dengan pendekatan secara materiil.23
Dari sisi struktur atau
proses, hukum dianggap sebagai hal yang identik dengan aparatnya, sehingga
penegakan hukum sangat
ditentukan oleh perilaku dan moralitas aparatnya.
|
Uraian singkat di atas kiranya dapat
mendukung suatu kesimpulan bahwa lingkungan
penegakan hukum di Indonesia masih lemah. Hal ini
memberikan efek yang negatif pula pada kepentingan perbankan di Indonesia pada umumnya. Pengadilan cenderung memihak para pengutang, eksekusi jaminan masih memerlukan waktu yang lama, bahkan institusi hipotik yang seharusnya tidak memberikan keraguan dalam merealisa- sikan hak kreditor terkadang dapat dibelokkan, serta proses kepailitan yang masih lambat atau dapat dikondisikan menjadi lambat; akhirnya, kewibawaan institusi hukum menjadi makin melemah.
memberikan efek yang negatif pula pada kepentingan perbankan di Indonesia pada umumnya. Pengadilan cenderung memihak para pengutang, eksekusi jaminan masih memerlukan waktu yang lama, bahkan institusi hipotik yang seharusnya tidak memberikan keraguan dalam merealisa- sikan hak kreditor terkadang dapat dibelokkan, serta proses kepailitan yang masih lambat atau dapat dikondisikan menjadi lambat; akhirnya, kewibawaan institusi hukum menjadi makin melemah.
Kelima, lingkup sosial dan moralitas. Bank menghadapi
lingkungan sosial dan moralitas yang dapat pula
memengaruhi perjalanan usahanya, baik secara
langsung maupun tidak. Bank akan menghadapi lingkungan ini
dalam tiga hal. Pertama, ketika menghadapi
debitor yang tidak meng- hormati perjanjian yang
ditandatanganinya. Kedua, ketika bank akan
me- nyelesaikan masalah utang-piutang debitor itu
melalui jalur hukum. Dan ketiga, merupakan kebutuhan internal di mana bank
harus meyakinkan diri, agar seluruh stafnya dalam
melakukan pekerjaan mereka tidak ter- pengaruh oleh
keadaan lingkungan sosial dan moralitas, yang lebih besar
dan sedang berlangsung.
Kedua masalah
pertama berkaitan dengan penegakan hukum dan budaya
hukum. Salah satu penyebab penegakan hukum yang lemah ada- lah budaya hukum yang lemah. Dalam suatu pengertian,
budaya hukum adalah iklim dari pemikiran dan
kekuatan sosial yang menentukan bagai- mana hukum
digunakan, dihindari, dan disalahgunakan; atau merupakan tindak-tanduk,
nilai, dan pandangan yang diyakini suatu masyarakat ter- hadap
suatu perundang-undangan, sistem hukum, dan berbagai bagian dari hukum. Budaya hukum yang lemah ini dapat dilihat
dari dua sisi, yakni masyarakat umumnya dan para
penegak hukum.
Sudah merupakan
kenyataan sosial bahwa setiap terjadi hubungan de- ngan
hukum, masyarakat dan atau melalui pengacaranya berusaha untuk mengalahkan hukum. Prof. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara
menyebutkan, siapa yang lebih pandai menggunakan
hukum akan menang dalam beper- kara. Fakta sosial
lainnya yang ironis menunjukkan, terdapat sejumlah pihak
yang sangat mengerti soal hukum, baik karena profesinya maupun gelar akademis yang disandangnya, menghadapi masalah
hukum karena melanggar hukum dan akhirnya
menjalani hukuman. Dari segi penegak hu- kum,
masyarakat pencari keadilan sering mengeluhkan penanganan kasus mereka tidak membuahkan keadilan yang dapat diterima
bagi banyak pihak, atau tidak dapat dipercaya
sebagai keputusan yang adil dan wajar.
Hal ini tidak
berarti bank dapat mengabaikan kekuatan hukum se- tiap
perjanjian dan pengikatan jaminan. Setiap dokumen hukum yang dimiliki bank dalam kaitan dengan debitor harus tetap
bernilai yuridis sempurna, dan sebagian besar
harus dibuat secara notarial. Hanya saja, ketika
berhadapan dengan institusi hukum, yaitu ketika penyelesaian masalah hukum dilakukan lewat jalur hukum, bank harus
mengikuti dan menangani dinamika yang tersirat,
yang pada akhirnya dan umumnya akan menimbulkan
biaya yang lebih besar dan waktu penyelesaian relatif lebih
lama.24
Mengenai hal ketiga, yaitu
kemungkinan pengaruh lingkungan terha- dap sikap
mental para staf, bank juga dikelilingi oleh ruang lingkup sosi- al yang menunjukkan tingkat moralitas 25
yang sangat memprihatinkan. Indonesia diakui dunia
memiliki tingkat korupsi yang paling tinggi, dan belum
menunjukkan perbaikan yang berarti. Korupsi telah berlangsung sangat lama di Indonesia, terjadi di setiap lapisan,
baik di pemerintahan maupun di sektor swasta, di
kota-kota besar dan di daerah terpencil, dan terjadi
berulang-ulang serta terus-menerus.
Sebelum krisis
1997/1998, fungsi pengawasan Bank Indonesia khususnya lemah.
Peraturan mengenai prudential masih dalam tahap pengembang- an dan belum ditaati sepenuhnya. Setelah krisis,
walaupun banyak pihak belum merasa puas sepenuhnya
dengan kinerja pengawasan bank sentral, dengan
adanya kasus Bank Century pada 2008, peraturan kehati-hatian (prudential)26 dan lingkungan pengawasan
secara umum mengalami perbaikan yang cukup
berarti. Khususnya mengenai kasus Bank Century, dari uraian kronologis proses
penggabungan sejumlah bank ke dalam Bank Century
dan tindakan penyelamatan bank ini, banyak pihak, ter- masuk
sebagian anggota DPR RI, berpendapat bahwa terdapat intervensi pejabat Bank Indonesia dan pemerintah dalam pengambilan
keputusan, sehingga kedua langkah tersebut dapat
terlaksana.
Setelah krisis
1997/1998, kasus intervensi politik dalam lingkung- an
perbankan baru kali ini terjadi, dan tidak terjadi secara umum pada bank-bank lainnya, sehingga dapat dikatakan kasus ini
bersifat kasuistik dan terlokalisasi. Jika kasus
ini tidak ada, bisa dibilang lingkungan per- aturan
kehati-hatian seperti peraturan BMPK, dan tindakan pengawasan bank, telah dilakukan dengan cukup ketat. Selain itu,
kepemilikan bank
Menurut Judith Rogala
dan Carol Osborn dari Amerika, pada masa Yu- nani
kuno, istilah etika (ethics) secara umum
dapat dijelaskan dengan pertanyaan "bagaimana
manusia seharusnya menjalankan kehidupan?" Pengertian
yang akan dicapai dari pertanyaan ini berakar pada pandang- an Aristoteles atau Kant. Menurut Aristoteles, etika
adalah tujuan hidup, yaitu hidup yang baik yang
mengandung kebajikan (virtue). Tujuan ini pulalah yang menjawab pertanyaan di atas, yang
merupakan arti dari eti- ka, atau sesuatu yang
baik.
Bagi Kant, etika
merupakan tugas setiap individu berdasarkan rasio- nalitas
untuk mencapai moralitas. Moralitas berasal dari kata mores, atau tingkah
laku moral. Walaupun kedua kata, etika dan moralitas, hampir se- lalu diartikan sama dalam pengertian sehari-hari, Kant
membedakan arti keduanya. Bagi Kant, moralitas
bersifat kewajiban dan merupakan public goods,
sedangkan etika adalah tugas setiap individu untuk menghasilkan moralitas atau public goods
itu sehingga sifatnya lebih tinggi dari etika.
Dengan menggunakan
analogi yang sama, dalam menjalankan peker- jaan
di lingkungan perbankan, khususnya dalam bidang pemberian kredit atau pembiayaan, pertanyaan yang sama dapat pula
dikemukakan, "ba- gaimana seharusnya orang
bekerja dalam bidang pemberian kredit atau pembiayaan
di bank?"
telah dibatasi, dan
sektor korporasi bukan lagi merupakan target
utama perbankan, sehingga pinjaman terkait bukan
lagi merupakan isu yang besar. Kecuali terjadi
pada kasus Bank Century, pengaruh politik atau
yang berkuasa terhadap keputusan perkreditan
dapat dikatakan telah berkurang dengan cukup
berarti.
|
Bagi Kant, etika merupakan
tugas setiap individu berdasarkan rasionalitas untuk mencapai moralitas.
|
Terdapat perbedaan
yang mendasar antara bekerja di industri perbankan
dan bekerja di industri lain, walaupun menangani masalah keuangan.
Pekerjaan di lingkungan perkreditan khususnya atau bank umumnya
mengandung tanggung jawab moral yang lebih besar. Pada saat
yang sama, pekerjaan ini menghadapi risiko kredit yang tidak kecil, dan memiliki unsur ketidakpastian. Kedua faktor ini
saja menuntut para pekerjanya untuk berhati-hati
dalam melakukan segala tindakan dan pengambilan
keputusan. Keputusan harus diambil berdasarkan peneliti-
an yang cermat dan akurat dengan lebih banyak menggunakan akal sehat berdasarkan data-data dan informasi yang akurat, serta dibarengi dengan nurani yang bersih menerangi intuisi dan keyakinan seseorang.
an yang cermat dan akurat dengan lebih banyak menggunakan akal sehat berdasarkan data-data dan informasi yang akurat, serta dibarengi dengan nurani yang bersih menerangi intuisi dan keyakinan seseorang.
Hal inilah yang
hendak dicapai oleh kata "bagaimana" pada awal pertanyaan
di atas. Untuk itu, dibutuhkan suatu peta perjalanan yang
menunjukkan arah dan lintasan yang tepat dan benar, atau prinsip-prinsip yang akan membimbing orang dalam melakukan pekerjaan
itu. Melakukan pekerjaan secara etis adalah dengan
mengikuti segala peraturan, ketentuan, dan
prinsip-prinsip yang mengandung nilai-nilai kebenaran; serta memenuhi tuntutan untuk menciptakan hasil pekerjaan
yang baik, sehingga dapat memenuhi apa yang
diharapkan oleh konstituen atau stakeholder yang
berkaitan dengan pekerjaan itu. Hasil ini merupakan
public goods yang dimaksudkan oleh Kant,
tetapi dalam bentuk yang lebih konkret; namun, pekerja
sebagai individu sangat berperan dalam pencapaian hasil ini.
Apa yang diinginkan
oleh konstituen bank, khususnya masyarakat pemilik
dana yang disimpan di bank, adalah agar bank tetap beroperasi dengan baik sehingga dana mereka tetap aman berada di
situ. Kesuksesan bank ini, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang, bergantung pada
kepercayaan (trust) dan keyakinan (confidence) semua pihak.
Dalam kaitan ini, Okan Veli Safakli dari Turki berpendapat, nilai etika dan tingkah laku memainkan peranan sangat
penting dalam menciptakan trust dan confidence
yang timbal balik. Safakli juga menekankan, bank
tidak dapat melupakan pentingnya etika bertingkah laku,
pada saat memaksimumkan keuntungan.
Dalam konteks
perbankan, etika dapat digambarkan sebagai tingkah laku
yang tepat dalam rangka menciptakan manfaat yang timbal balik bagi seluruh stakeholder,
seperti nasabah, para deposan, pemilik saham, dan para
pegawai. Dengan demikian, dalam melaksanakan kegiatan usahanya, bank harus mengarahkan kegiatannya menuju kebaikan,
kebenaran, dan mematuhi ketentuan dan peraturan
hukum, dan tidak berorientasi pada keburukan,
ketidakbenaran, dan tidak melawan hukum serta ketentuan yang
berlaku. Etika di perbankan merupakan sifat kejujuran, tidak memi- hak, dapat dipercaya, sesuai dengan regulasi perbankan,
dan transparan.
Safakli memerinci
makna setiap unsur ini. Kejujuran: harus jujur ke- pada
nasabah, pegawai, pemilik saham, kompetitor, dan organisasi lain- nya. Tidak memihak: harus dapat membedakan nasabah
dengan nasabah, atau nasabah dengan pegawai, atau
mereka dengan para stakeholder. Dapat
dipercaya: bank harus melakukan kegiatannya secara tepat waktu, dengan tepat, secara bertanggung jawab, dengan akurat,
dan menginfor- masikannya kepada nasabah hal-hal
yang perlu diketahui kepada nasa- bah terkait.
Sesuai dengan regulasi perbankan: bank harus menjalankan seluruh
kegiatannya sesuai dengan ketentuan dan peraturan perbankan. Transparan: bank harus memberikan informasi yang dapat
dimengerti secara jelas dan mudah yang berkaitan
dengan produk, jasa, risiko dan manfaat kepada
nasabahnya.
Bank akan disebut bermoral hanya
jika orang-orang di dalamnya ber- moral. Namun,
sering terjadi, atau ada anggapan yang cederung digene- ralisasi,
jika seseorang melakukan tindakan tidak etis, dan banyak orang yang melakukannya, maka seolah-olah tindakan tidak etis
itu bukan me- rupakan pelanggaran. Dalam hal
perkreditan, jika suatu pelanggaran te- tap
dibiarkan terjadi, pelanggaran itu umumnya akan cenderung disusul dengan pelanggaran berikutnya. Karena dari pelanggaran
ke pelanggaran tetap berlangsung, akhirnya yang
terjadi adalah kumpulan kredit yang bermasalah
pada bank.
Dari segi perspektif manajerial,
generalisasi seperti itu harus segera dipadamkan
dengan melakukan ketegasan dalam reward and punishment
kepada siapa pun pelakunya. Artinya, setiap pelanggaran harus di- tangani dengan baik. Penanganan pelanggaran yang baik
tidak saja harus menyelesaikan persoalan yang
ditimbulkan oleh pelanggaran itu dengan baik,
tetapi lebih dari itu. Faktor-faktor penyebab timbulnya pelanggar- an itu harus diteliti dan dipelajari, serta kebijakan
baru harus diciptakan agar pelanggaran itu tidak
terulang.
Dalam kaitan dengan pekerja bank
(bankir) ini, Mitchell A. Petersen dan Raghuram G.
Rajan (University of Chicago) menyebutkan tiga macam kerusakan
karakter yang terbesar pada para bankir, yaitu ketidakmam- puan (incompetence),
kemalasan, dan ketidakjujuran. Ketidakmampuan dan
kemalasan akan berakibat pada kehilangan dan tersia-siakannya ke- sempatan untuk memperoleh keuntungan bagi bank, dan
bahkan, dapat mengakibatkan para debitor tidak melakukan
pembayaran pinjaman atau utangnya kepada bank.
Adapun ketidakjujuran dapat membuat yang ti- dak
jujur mencuri langsung atau tidak langsung dari bank tempat dia bekerja, atau
secara tidak langsung dari debitor, sehingga di sini merugikan debitor dan bahkan bank dari segi reputasi.
Di sisi
lain, kredit juga dapat menjadi bermasalah karena masalah- masalah yang berkaitan dengan debitor. Menurut Kenneth
Koford dan Adrian E. Tschoegl, ada dua penyebab
yang berkaitan dengan
debitor tersebut: pertama, perusahaan debitor mengalami kesulitan; kedua, debitor melakukan penyimpangan (fraud). Kedua penyebab ini dapat diketahui dengan pasti hanya jika kredit telah diberikan. Namun, jika pemberian kredit dilakukan oleh bankir yang memiliki kerusakan karakter yang dimaksud oleh Petersen dan Rajan di atas, sudah dapat diperkirakan bahwa kredit yang diberikan itu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi bermasalah di kemudian hari.
debitor tersebut: pertama, perusahaan debitor mengalami kesulitan; kedua, debitor melakukan penyimpangan (fraud). Kedua penyebab ini dapat diketahui dengan pasti hanya jika kredit telah diberikan. Namun, jika pemberian kredit dilakukan oleh bankir yang memiliki kerusakan karakter yang dimaksud oleh Petersen dan Rajan di atas, sudah dapat diperkirakan bahwa kredit yang diberikan itu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi bermasalah di kemudian hari.
Pada hakikatnya,
pemberian kredit atau pembiayaan merupakan keperca- yaan
terhadap seseorang atau perusahaan yang diberi kredit atau pembia- yaan, bahwa dia akan dapat mengembalikan utang atau
modal yang di- pinjamkan. Kepercayaan (trust) merupakan unsur paling penting dalam setiap pemberian kredit atau pembiayaan. Dalam
pemberian pembiayaan, bank syariah percaya,
nasabah dapat membayar angsuran pembayaran yang
tertunda untuk suatu pembelian, atau percaya nasabah dapat me- lakukan bisnis dengan menghasilkan keuntungan, sehingga
modal yang digunakan dapat dikembalikan.
Trust, dalam arti yang sederhana, identik dengan
kepercayaan (confidence). Menurut Robert
Bruce Shaw dari Amerika, trust, atau dalam bahasa Jerman trost,
berarti "nyaman", dan merupakan penilaian awal terhadap
kemampuan karakter seseorang, institusi, atau organisasi, yang tidak selalu dibentuk dari pengalaman, tetapi sebagian
dibentuk dari kepercayaan (faith). Definisi
yang diberikan oleh Shaw adalah "suatu kepercayaan (belief) terhadap siapa kita gantungkan harapan
bahwa dia akan memenuhi harapan kita". Jadi, trust, menurut Shaw, merupakan suatu penilaian terhadap kapasitas seseorang untuk memenuhi
kebutuhan kita, yang mengandung tiga unsur: pertama, trust dalam ranah bisnis meng- andung kinerja dari seseorang atau institusi dalam
memenuhi kewajiban dan komitmennya; kedua, melakukan tugasnya dengan integritas atau kejujuran, yang ucapannya sesuai secara konsisten
dengan tindakannya; ketiga,
menunjukkan perhatian terhadap orang lain.
Kepercayaan (trust)
merupakan unsur paling penting dalam setiap pemberian kredit atau pembiayaan.
|
Menurut Kathy
Bloomgarden dari Amerika, ada empat unsur yang dapat
membentuk trust, yaitu memberikan hasil yang
nyata, bertindak
dalam norma-norma etika, mendengarkan apa yang harus disampaikan oleh orang lain, dan bersikap terbuka atau transparan dengan apa yang dilakukan. Craig Muldrew dari Amerika berpendapat, trust merupakan ikatan sosial yang penting yang berarti suatu reputasi yang baik yang menggambarkan kejujuran dan realibilitas dalam kaitan dengan kewa- jiban. Menurut Kieron O'Hara dari Inggris, trust dibentuk dan didukung oleh reputasi; dalam hal ini reputasi yang baik. O'Hara berpendapat, reputasi mengandung informasi yang dapat menjawab pertanyaan me- ngenai dasar reaksi dari aksi yang akan dilakukan, ketika berhadapan dengan seseorang atau institusi. Reputasi merupakan jaminan, substansi, dan fondasi dari trust, sekaligus merupakan prediktor terhadap apa yang akan terjadi. Reputasi adalah bahan dasar pembentukan trust. Seluruh pengertian atau definisi secara langsung atau tidak langsung menunjuk- kan adanya nilai moral.
dalam norma-norma etika, mendengarkan apa yang harus disampaikan oleh orang lain, dan bersikap terbuka atau transparan dengan apa yang dilakukan. Craig Muldrew dari Amerika berpendapat, trust merupakan ikatan sosial yang penting yang berarti suatu reputasi yang baik yang menggambarkan kejujuran dan realibilitas dalam kaitan dengan kewa- jiban. Menurut Kieron O'Hara dari Inggris, trust dibentuk dan didukung oleh reputasi; dalam hal ini reputasi yang baik. O'Hara berpendapat, reputasi mengandung informasi yang dapat menjawab pertanyaan me- ngenai dasar reaksi dari aksi yang akan dilakukan, ketika berhadapan dengan seseorang atau institusi. Reputasi merupakan jaminan, substansi, dan fondasi dari trust, sekaligus merupakan prediktor terhadap apa yang akan terjadi. Reputasi adalah bahan dasar pembentukan trust. Seluruh pengertian atau definisi secara langsung atau tidak langsung menunjuk- kan adanya nilai moral.
Dalam hal
perkreditan, kurangnya unsur trust karena
reputasi yang buruk merupakan kriteria yang
penting dalam penentuan pemberian kre- dit, dan
membahayakan bagi pengelolaan risiko kredit. Trust
dan reputa- si yang baik yang terjalin bagi kedua
pihak, kreditor dan debitor, biasanya menghasilkan
pembayaran yang tepat waktu, tingkat transparansi yang tinggi
bagi keterbukaan data dan informasi yang diperlukan. Akuntabili- tas kedua pihak mendorong timbulnya kerja sama yang
dekat dan efektif. Institusi yang memperlebar
tersedianya informasi kepada kreditor dapat mengurangi
risiko timbulnya gagal bayar, yang disebabkan oleh ketidak- mampuan debitor untuk membayar kembali kewajibannya,
dan membe- rikan pengaruh positif terhadap jumlah
pinjaman.
Di lain pihak,
reputasi yang buruk dapat meliputi pembayaran kewa- jiban
yang lambat atau tidak tepat waktu, atau bahkan menimbulkan ku- rangnya kerja sama dan keterbukaan antara kreditor dan
debitor. Di sam- ping itu, masalah reputasi ini
akan dapat tercipta dengan bantuan atau dorongan
ketegasan hukum terhadap penyelesaian masalah perkreditan
antara debitor dan kreditor. Penegakan hukum dapat mendorong orang untuk melaksanakan janji membayar kembali utangnya,
sekaligus mem- perkuat unsur kepercayaaan yang
pernah diberikan.
Walaupun pada
mulanya pemberian kredit dilakukan atas dasar ke- percayaan,
menurut filsuf Inggris Thomas Hobbes, banyak hal yang harus dihadapi oleh setiap individu, seperti perubahan dalam
hal selera atau nafsu dan kompetisi untuk
penghormatan dan penghargaan antara sesa- ma
individu, sehingga keberadaan trust atau kepercayaan
tidak lagi dapat diperkirakan atau diramalkan.
Karena itu, sejalan dengan pendapatnya mengenai
sifat manusia, Hobbes berpendapat orang seharusnya tidak memberikan
kepercayaan kepada pihak lain, jika tidak ada keyakinan bahwa
terdapat otoritas hukum yang dapat memaksa penepatan janji.
Dalam pengalaman di
Brasil, misalnya, para kreditor menganggap bahwa
mekanisme seleksi ex-ante memberikan hasil
yang memuaskan, dan memberikan proteksi yang baik
untuk menghindari calon debitor yang tidak baik.
Calon debitor yang tidak baik akan berpikir dua kali se- belum
memasuki perjanjian kredit dengan calon kreditor, mengingat pe- nyelesaian secara hukum yang efektif terhadap tanggung
jawabnya akan menempatkan dirinya pada posisi yang
tidak menguntungkan. Di sini, re- putasi masa
depannya akan terganggu, dan sulit baginya untuk memulai hubungan
dengan pihak perbankan jika reputasinya telah tercatat dengan buruk. Dalam kaitan ini, reputasi sebagai informasi
kredit yang penting mengenai calon debitor yang
siap tersedia, dan dapat dipercaya merupa- kan
fitur yang penting dari pasar kredit di Brasil.27
Dalam hal tidak
tersedianya biro kredit seperti yang diterapkan di Meksiko,
bank harus melakukan usaha lain dalam rangka mencari infor- masi mengenai reputasi calon debitor. Usaha pengecekan
mengenai re- putasi calon debitor harus dilakukan
dari saluran informasi tertentu yang dapat
dipercaya. Saluran informasi ini dapat dikembangkan dari sejarah perjalanan usaha debitor, dan dari lingkungan dengan
siapa debitor ber- interaksi dalam bisnis.
Berdasarkan uraian ini, usaha
pengecekan reputasi calon debitor, sebelum proses
kredit dimulai, merupakan suatu kegiatan yang indepen- den,
sangat penting, dan bersifat sentral dalam keputusan pemberian kre- dit, serta diyakini dapat mengurangi tingkat NPL.
1 Banyak
penelitian baik teoretis maupun empiris membuktikan hal ini, antara lain disebutkan
bahwa alokasi modal yang efisien dalam perekonomian akan meningkatkan
pertumbuhan (Levine, 1997). Perkembangan intermediasi keuangan menunjukkan pengaruh yang kuat
terhadap pertumbuhan ekonomi baik secara ekonomis maupun secara statistik
(Levine, Loayza, dan Beck,
2000: 30).
2 Bahkan Kaufman (2001)
mengutip pendapat berikut: "poorly functioning banking systems
can impede economic progress, exacerbate poverty, and destabilize economies... And well
functioning banking systems accelerate long run economic growth" (Barth, Caprio, dan
Levine, 2001).
3 Mayer,
Duesenberry & Aliber, 1987, Money, Banking and The Economy, hal. 16
4 Namun,
kemampuan bank untuk menyerap risiko ini juga ada batasnya, yang sebagian
bergantung pada pendapatan yang dapat diperoleh dari pinjaman yang diberikan
tetapi sehat dan menguntungkan, dan kemudian bergantung pada besar-kecilnya modal yang dimiliki.
Karena itu, pengelolaaan risiko yang tepat bagi bank bersifat mutlak atau
sangat penting (Boffey dan Robson, 1995)
5 Schroeck, Gerhard,
2002, Risk Management and Value Creation in Financial Institutions, hal. 14.
6 Apa
yang terjadi pada
long term capital management (LTCM), 1997, dapat di- kemukakan
sebagai contoh dari uraian ini. LTCM merupakan investment bank yang bergerak khususnya
dalam bidang perdagangan arbitrase, dengan meng- ambil keuntungan dari perbedaan harga
aset keuangan. Karena keuntungan yang selalu dapat diperolehnya, paling kecil mencapai 17
persen di tahun 1997, LTCM
selalu dapat memperoleh sumber dana dari berbagai investor, yang di- sebut sebagai hedge fund.
Dana ini dapat digunakan untuk jual-beli berbagai aset keuangan. Karena kompetisi yang
semakin ketat, LTCM tidak lagi dapat menghasilkan tingkat keuntungan yang
biasanya diperoleh untuk tingkat ri- siko yang sama sehingga LTCM memutuskan
untuk mengembalikan sejumlah US$ 2,7 miliar kepada para investor dalam tahun 1997.
Namun, setelah modal para
investor ini dikembalikan, tingkat risiko portofolio yang ada tidak meng- alami penurunan
sehingga tingkat
leverage-nya justru meningkat dengan ta- jam, dan hal ini memperberat pula
masalah likuiditas. Akhirnya, para investor tidak dapat memperoleh kembali dananya
secara utuh karena harus memberi- kan haircuts (Banks, dan Dunn, 2002: 7-10).
7 Colquitt,
Joetta, 1993, Credit
Risk Management, hal. 6.
8 Caprio
Jr (1996: 3) menyebutnya sebagai demandable debt.
9 Schroek,
Gerhard (2002: 76).
10 George
Soros mengutip pendapat CEO Citibank, Chuck Prince, yang mengata- kan, "Ketika musik
berhenti, dalam kaitan dengan likuiditas, segala hal akan menjadi rumit. Namun
sepanjang musik berlangsung, Anda harus berdiri dan menari. Kita masih
menari." Pendapat ini menggambarkan keadaan yang berkaitan dengan
masalah kredit
subprime di Amerika, di mana persoalan timbul ketika kredit berkontraksi yang
disebabkan likuiditas dikurangi untuk tujuan yang sama (Soros, George. 2008. The New Paradigm for
Financial Market s: 84).
11 Berdasarkan
pengalaman penulis ketika bekerja di Chase Manhattan Bank, Jakarta, pinjaman
debitor akan dinilai memiliki RR 1 jika pinjaman itu dijamin oleh deposito si
debitor dan disimpan di Chase Manhattan Bank dengan nilai yang lebih besar
daripada pinjaman yang diberikan. Pada waktu itu, pinjaman dapat diberikan
sebesar 90 persen dari nilai jaminan deposito.
12 Untuk
kasus Indonesia, dengan net interest margin 6 persen, jika suatu pinjaman macet
senilai Rp 100 juta dan harus dihapuskan, maka untuk menutup kerugian ini,
bank perlu memberikan pinjaman baru yang tak berisiko atau dengan RR 1
sejumlah Rp 100 juta dibagi dengan 0,06, atau berjumlah Rp 1,6 miliar (pen.).
13 Moral hazard
yang paling ekstrem terjadi pada bank sebagai suatu institusi adalah pada Bank
of Credit and Commerce International (BCCI). Bank ini murni digunakan untuk kejahatan.
Didirikan pada 1972 di Luksemburg, BCCI lebih banyak beroperasi di Cayman
Island, yang tidak punya banyak peratur- an pada perbankannya. BCCI mengontrol
dana berjumlah US$ 20 miliar dan memiliki cabang di 70 negara. Sebagian besar dana bank
ini diambil dan digu- nakan
untuk kepentingan para pemilik dan pejabatnya. Bank hanya menye- diakan dana
cukup untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan para deposan meminta dana
mereka kembali. Ketika bank ini ditutup oleh otoritas di bebe- rapa negara pada
1991, sulit untuk menemukan kembali dana tersebut karena sebagian besar
telah lenyap (De George, 1999: 456).
14 Hal
yang sama dikemukakan oleh Caprio Jr (1996: 3), yaitu bank dapat menu- tupi masalah
NPL-nya dengan memperbarui jangka waktu pinjaman dan/atau meningkatkan
jumlah tabungan dan memperbesar neracanya.
15 Menurut
penulis, hal-hal inilah yang membuat Caprio Jr (1996: 3) mengata- kan bahwa
portofolio pinjaman bank bersifat samar (opacity of bank loans).
16 Nitibaskara
(2001: 116-118) menyimpulkan adanya penjahat berdasi membo- bol bank dari
kejadian-kejadian seperti BLBI, mark up, dan pemberian kredit pada diri
sendiri yang melebihi ketentuan BMPK. Bank dijadikan sasaran pe- rampokan, pemalsuan
surat, penipuan, penggelapan, dan korupsi. Semua ini merupakan kejahatan kerah putih yang
dilakukan oleh pemilik, direksi, dan komisaris bank yang menggunakan bank
untuk memperkaya diri sendiri.
17 Kasus-kasus
yang disebutkan oleh Prasetiantono antara lain kasus Leeson dari Baring Bank
tahun 1995, kasus bankir Bernie Cornfeld yang membuat bank- nya bangkrut
tahun 1970, kasus kebangkrutan Hersatt Bank di Jerman tahun 1874, Baring
Bank terancam bangkrut karena pinjaman besar ke Argentina tahun 1890,
kasus Dicky Iskandar Dinata pada Bank Duta, kasus Bank Bapindo, kasus Edward
Suriajaya pada Bank Summa, Kasus LC fiktif Bank BNI, dan kasus pembobolan
BRI di Magelang.
18 Tujuan
utama mengatur perbankan yang dilakukan oleh pengawas perbankan, yang umumnya
dilakukan oleh bank sentral, adalah menjamin bahwa keadaan keuangan setiap
bank sehat, setiap bank memiliki struktur manajemen yang baik dan
memadai, dan bank melindungi kepentingan para pemilik dana (El- gari, 2003).
19 Caprio Jr (1996)
menyebutkan tiga karakteristik keuangan (finance), yaitu
information asymmetric, intertemporal trade, dan some demandable debts.
20 Levine,
Loayza, dan Beck berkesimpulan bahwa intermediasi keuangan mela- kukan pekerjaan
lebih baik dalam hal mengumpulkan informasi, melaksanakan kontrol
korporasi, mengelola risiko, dan memobilisasi tabungan; dan, negara dengan
intermediasi yang lebih baik akan berkembang lebih cepat dibanding- kan dengan
negara di mana intermediasi keuangannya kurang berkembang.
21 Skandal
akuntansi terbesar di dunia abad ini adalah kasus Enron di Amerika. Kwik Kian Gie
menguraikan secara lebih terperinci mengenai kasus ini dalam bukunya Pikiran yang Terkorupsi.
22 Budaya
atau kultur hukum mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan
cara bertindak, baik dari aparat penegak hukum maupun dari warga masyarakat
(Ali, 2005: 9).
23 Hal
ini sejalan dengan pendapat Rahardjo (2006: 60-64, 173, 241) bahwa hu- kum bukan lagi
merupakan ajang untuk mencari keadilan, melainkan untuk memperoleh status menang atau kalah,
sehingga dijadikan sebagai suatu per- mainan seperti halnya dalam bidang
bisnis. Bahkan, hukum sudah dijadikan komoditas yang diperdagangkan, dan di
situlah timbul adanya mafia peradilan sehingga hukum bukan lagi merupakan
institusi moral.
24 Himawan
(2006: 196, 197) menyebutkan dengan sangat diplomatis bahwa keputusan
pengadilan dalam waktu pengamatannya mencerminkan kontami- nasi KKN;
karenanya, dia berharap etika proses berpolitik dan ketaatan pada hukum harus
ditegakkan dengan penuh tanggung jawab.
25 Menurut
Fisher dan Lovell (2003: 30), walaupun moralitas dan etika dapat digunakan secara
bergantian, atau memiliki arti yang serupa, keduanya dapat dibedakan.
Moralitas lebih banyak mengacu pada makna yang berarti "meng- hindari
keburukan", menekankan pada keadilan, yaitu mengandung usaha untuk
mengembalikan pada keadaan semula atau ganti rugi jika kesalahan di- lakukan, dan
bersifat sebagai suatu pertimbangan. Etika lebih mengacu pada tindakan yang
baik, berkaitan dengan kehidupan yang baik bagi manusia dan lebih bersifat
sesuatu yang berkembang.
26 Pengaturan-pengaturan
prudential akan mengurangi kemungkinan kegagalan dan krisis bank. Pengaturan-pengaturan
itu berisi regulasi portofolio bank (aturan modal, aturan likuiditas, aturan
diversifikasi, larangan sejumlah opera- si), kebutuhan masukan, aturan
keterbukaan informasi, dan kebutuhan akun- ting (Burghof/Rudolph, 1996: 40). Karena
risiko kebangkrutan bergantung pada rasio antara ekuitas, utang, dan risiko aset,
regulasi struktur modal men- jadi sangat penting (Dewartripont/Tirole 1994:
5)—sebagaimana dikutip dari
Neuberger (1997).
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar