Selasa, 16 Agustus 2016

Bab 2 Buku Selamatkan Perbankan



2
P
ENELITIAN mengenai non performing loan (NPL) tidak terlepas dari pembahasan teoretis mengenai ruang lingkup NPL berasal. NPL muncul dari lembaga keuangan pemberi pinjaman atau kredit yang bersi- fat konvensional, dan berada dalam tataran intermediasi keuangan. Ka- rena itu, sebelum dilakukan kajian literatur yang berkaitan dengan teori dan pengalaman empiris mengenai timbulnya NPL dan non performing financing (NPF) serta kajian teoretis mengenai perbankan syariah, per- lu dibahas intermediasi keuangan beserta fungsi dan karakteristik serta permasalahannya, yang berlaku umum terutama bagi bank konvensional. Pembahasan mengenai intermediasi keuangan yang secara umum ini dapat digunakan sebagai dasar untuk mengkaji apa yang dilakukan oleh bank syariah dalam hal intermediasi.
Di samping itu, diuraikan pembahasan tambahan sebagai pelengkap, yaitu yang berkaitan dengan ruang lingkup operasi bank, seperti transpa- ransi dan keterbukaan, tata kelola korporasi yang baik, penegakan hukum dan moralitas, lingkungan pengawasan kehati-hatian, konsep etika dalam perbankan, serta kepercayaan dan reputasi. Pembahasan tambahan ini diperlukan untuk menelaah apa yang seharusnya dimiliki oleh bank da- lam menghadapi ruang lingkup operasional yang dihadapi.
Kajian teoretis tersebut akan dilanjutkan dengan pembahasan me- ngenai hal ihwal yang berkaitan dengan perkreditan, serta mengenai NPL dan NPF, baik secara teoretis maupun empiris, dalam konteks bank kon­vensional dan bank syariah.
Lembaga keuangan seperti bank memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian yang bersifat kapitalistis.1 2 Bank bertindak sebagai perantara dalam bidang keuangan. Sejalan dengan perkembangan per- bankan, pengertian intermediasi keuangan sendiri mengalami perubahan dengan makna yang dicakup menjadi lebih dalam.
Beberapa literatur terdahulu menyebutkan secara sederhana bahwa intermediasi keuangan adalah kegiatan yang menghubungkan pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang berkekurangan dana. Thomas Ma­yer, ahli perbankan Amerika, misalnya mengatakan, bank melakukan in- termediasi dengan memperoleh dana dari para penabung dan mencatat- nya sebagai kewajiban terhadap penabung, lalu memberikan pinjaman ke pihak lain.3 Sejalan dengan pendapat Mayer ini, Prof. Dr. Veithzal Rivai (konsultan manajemen, cendekiawan muslim, penggiat ekonomi Islam, dan pernah menjadi pengurus MUI) mendefinisikan intermediasi keuang- an sebagai proses pembelian surplus dana dari unit ekonomi, yaitu sektor usaha, lembaga pemerintah, dan individu atau rumah tangga, untuk tu- juan penyediaan dana bagi unit ekonomi lain; intinya tetap berada pada kegiatan pengalihan dana dari unit ekonomi surplus ke unit ekonomi de- fisit. Dari pengertian ini, ada kata "pembelian" dana. Dalam perbankan konvensional, dana masyarakat memang dapat dikatakan "dibeli" karena ada harga yang harus diberikan, yaitu berupa bunga.
Berbeda dengan kedua pendapat di atas, definisi lain menyebutkan bahwa intermediasi keuangan adalah kegiatan menampung surplus dana di masyarakat dan menyalurkannya kepada pihak yang memiliki kesem- patan investasi yang produktif dan menguntungkan. Definisi ini mulai menunjukkan adanya proses "pemilihan" atau "seleksi" ke mana dana akan disalurkan, dan penyalurannya ditentukan berdasarkan suatu krite- ria tertentu, dalam hal ini produktivitas dan keuntungan.
Definisi intermediasi keuangan yang lebih maju adalah yang membe- rikan tekanan pada masalah risiko, yang dikemukakan oleh Bert Schol- tens dan Dirk van Wensveen dari Belanda. Scholtens dan Wensveen me- nyebutkan bahwa intermediasi keuangan merupakan proses penciptaan nilai (value creation), dan penciptaan nilai ini didorong oleh adanya risi-
ko dan kegiatan pengelolaan risiko yang tercakup dalam risk management. Dijelaskan lebih lanjut, inti dari bisnis bank adalah menyerap risiko, de- ngan fungsi yang menjembatani fungsi penawar- an dari tabungan dan fungsi permintaan terhadap dana untuk investasi atau usaha. Penyerapan ri- siko ini merupakan hal yang diminta oleh pasar, dan dimungkinkan karena adanya asumsi bahwa bank sebagai lembaga intermediasi keuangan me- miliki skala portofolio pinjaman dengan diversifi- kasi risiko yang cukup.
Sikap kedua pihak dari masing-masing fungsi terhadap risiko berbe- da. Kelompok pemilik dana umumnya cenderung bersifat menghindari risiko (risk averse). Sebaliknya, para investor atau peminjam lebih suka mengambil risiko (risk aggresive). Di sini, bank menjadi jembatan de- ngan menyerap risiko dari para peminjam. Bank mampu melakukan hal itu karena melakukan diversifikasi risiko yang terbagi dalam kandungan portofolio pinjamannya pada skala yang memadai. Penggabungan seluruh risiko yang diambil dalam suatu portofolio memberikan risiko rata-rata yang dapat diterima. Di sini, berarti kemungkinan timbulnya suatu risiko atau kerugian dari suatu pemberian kredit dapat ditutup atau diimbangi oleh risiko yang lebih rendah atau dengan hasil keuntungan dari pembe- rian kredit yang lain.
Namun, masalah penyerapan risiko itu perlu diperjelas lebih lanjut. Penyerapan risiko tidaklah dimaksudkan bahwa bank perlu menyerap se- tiap risiko sehingga berakumulasi secara matematis mencapai suatu ting- kat yang dapat ditoleransi oleh kemampuan perolehan pendapatan, mela- lui apa yang dapat diserap oleh cadangan piutang ragu-ragu terhadap ke- rugian yang timbul dari risiko tersebut.4 Dalam konteks value creation, di mana bisnis bank berkaitan erat dengan risiko, tugas manajemen adalah berusaha meningkatkan arus kas (cash flow) saat ini dan di masa depan dengan mengeksploitasi setiap kesempatan pertumbuhan, tetapi tanpa menambah risiko yang menyeluruh bagi bank.5 6
Dalam perbankan konvensional, dana masyarakat memang dapat dikatakan "dibeli" karena ada harga yang harus diberikan, yaitu berupa bunga.
Dalam manifestasinya sehari-hari, konsep penciptaan nilai ini perlu diterapkan dalam setiap hubungan dengan nasabah peminjam. Setiap pinjaman yang diberikan oleh bank secara komersial harus memperoleh keuntungan bagi bank, yang sesuai dengan objektif portofolio secara me- nyeluruh dan target keuntungan terhadap modal bank,7 asalkan risiko
kredit tambahan dapat diterima, tetapi tidak menambah tingkat keselu- ruhan risiko yang dikandung oleh portofolio bank.
Fungsi bank yang terutama disorot adalah yang berkaitan dengan fungsi pinjam, sedangkan fungsi simpan hanya disinggung ketika diperlukan. Walaupun demikian, kedua kegiatan ini terefleksi pada kedua sisi nera- ca bank, yaitu portofolio pinjaman pada sisi aktiva dan dana masyarakat yang diterima bank dalam bentuk tabungan, simpanan giro, dan deposito pada sisi pasiva.
Berbeda dengan perusahaan industri, fitur neraca bank ini menun- jukkan sejumlah karakteristik yang bersifat rawan, dan kerawanan ter­sebut merupakan akibat kegiatan bank itu sendiri. Kerawanan itu adalah sebagai berikut:
1. Kerawanan likuiditas. Sisi pasiva merupakan kewajiban bagi bank yang setiap saat dapat ditagih oleh pemilik dana, sehingga Kauf­man menyebutnya sebagai high demand to total deposit. Setiap saat, menurut Kaufman, suatu hal dapat terjadi, yang dapat menimbulkan penarikan dana yang besar dalam jangka waktu tertentu yang relatif pendek sehingga memberikan sifat sebagai high probability of a run. Tandingan dari sisi pasiva ini adalah sisi aktiva yang merupakan aset yang berbentuk portofolio tagihan atau pinjaman dan, umumnya, cenderung memiliki jangka waktu yang lebih panjang. Dari seluruh aset ini, menurut Kaufman, hanya sebagian kecil berbentuk dana tu- nai sebagai implikasi dari fractional reserve banking (sebagian ca- dangan berada di bank sentral).
Kerawanan terhadap kemungkinan penarikan dana yang besar atau serentak oleh masyarakat pemilik dana menuntut bank agar selalu memiliki persediaan likuiditas, atau dapat mengatasi likuidi- tas dengan memperoleh likuiditas dari pasar berdasarkan aset yang dimiliki. Penggunaan aset yang dimiliki untuk memperoleh likuidi- tas, misalnya dengan cara menjual atau menggadaikan aset itu, akan membebani bank dengan biaya yang lebih besar. Dalam keadaan pasar likuiditas tidak normal, harga akan cenderung sangat tinggi. Akibatnya, bank dapat mengalami kerugian, bahkan dapat pula ber- akibat pada kegagalan bank, jika likuiditas yang diperlukan tidak
diperoleh. Penarikan yang besar atas dana masyarakat pada waktu yang berdekatan (disebut run) dapat menimbulkan kegagalan bank jika bantuan likuiditas tidak diperoleh, dan mendorong penularan pada kegagalan bank lain.
Kegiatan pinjam-meminjam bersandar pada pinsip leverage, yaitu kegiatan memberikan pinjaman (kredit) dengan menggunakan sebagian besar uang masya- rakat dalam bentuk deposito dan tabungan, yang merupakan utang bagi bank konvensional. Utang bank ini juga antara lain berupa pin- jaman antarbank semalam (overnight), atau bersifat on call karena dapat diminta kembali setiap saat.8 Makin besar pinjaman yang dibe- rikan bank, makin besar utang bank pada masyarakat, makin besar pula keuntungan bank. Namun, makin besar utang (leverage), makin besar kemungkinan bagi bank mengalami wanprestasi (default).9
Walaupun kemungkinan wanprestasi ini dapat diperkecil de- ngan adanya modal sebagai tameng seperti halnya pada perusahaan manufaktur, modal bank umumnya relatif kecil. Karena itu, Kaufman memberikan karakteristik lain kepada bank yang ia gambarkan seba- gai low capital to assets atau high leverage. Di samping itu, masalah cukup-tidaknya modal yang dimiliki bank menjadi perdebatan yang selalu terbuka dan menjadi perhatian utama Bank of International Settlements (BIS). Badan inilah yang mengeluarkan ketentuan-ke- tentuan bagi semua bank di dunia melalui Bassel Accord.
Kerawanan terhadap kepercayaan masyarakat. Butir 1 dan 2 menunjukkan bahwa bank pada dasarnya bersifat tidak likuid (illi­quid). Keadaan ini tetap berlaku sekalipun diasumsikan bahwa NPL belum terjadi pada sisi aktivanya. Karena bersifat high demand to deposit, diperlukan pengaturan khusus untuk mengatasi masalah li- kuiditas ini karena solvabilitas dan likuiditas bank berinteraksi.
Kepercayaan masyarakat yang bertambah juga dapat ditunjukkan oleh bertambahnya dana masyarakat yang disimpan pada bank.
3.
Likuiditas bank timbul karena adanya kepercayaan masyara- kat, yang memungkinkan bank melakukan ekspansi kredit sekaligus memperbaiki solvabilitas. Kepercayaan masyarakat yang bertambah juga dapat ditunjukkan oleh bertambahnya dana masyarakat yang
disimpan pada bank. Kepercayaan ini dapat terbentuk jika masyara- kat pemilik dana yakin bahwa bank dapat mengembalikan dananya setiap saat ketika diperlukan. Namun, bertambahnya kepercayaan masyarakat dengan bertambahnya dana mereka pada bank, selain akan mendorong bank untuk melakukan ekspansi kredit, juga me- mungkinkan untuk melakukan forbearance policy (kebijakan untuk menunda penyelesaian dan menutupi masalah perkreditan yang ada).
Likuiditas yang berlebihan juga akan mendorong bank untuk membiayai proyek yang tidak likuid. Jika bank terus-menerus mem- biayai sektor tertentu, atau terus-menerus melakukan ekspansi kredit dalam rangka membiayai sektor tersebut, bisa terjadi balon (bubble) di sektor tersebut.10 Namun jika likuiditas tidak dijaga dengan baik, sovabilitas bank akan menurun. Akhirnya, kepercayaan masyarakat terhadap bank menjadi sirna.
4. Kerawanan terhadap tingkat bunga. Sebagai penghimpun dana masyarakat, bank menetapkan dan memberikan suatu tingkat bunga kepada para pemilik dana, dan tingkat bunga ini cenderung berfluk- tuasi mengikuti keadaan likuiditas pasar. Pada saat yang sama, bank menetapkan suatu tingkat bunga pada pinjaman yang diberikan de- ngan risiko kredit tertentu, dan tingkat bunga ini cenderung bersifat tetap atau tidak selalu dapat dinaikkan pada pinjaman yang sedang berjalan. Dalam keadaan normal, perbedaan antara kedua tingkat bunga ini, atau disebut margin, cukup besar untuk menutup risiko kredit.
Namun, cukup-tidaknya margin tersebut sangat bergantung pula pada sejauh mana efisiensi yang dapat dicapai bank dalam menjalan- kan operasinya. Margin harus dapat menutup semua biaya operasio- nal bank, termasuk biaya bunga yang harus dibayarkan kepada para deposan secara tetap, beserta cadangan biaya piutang ragu-ragu. Besar-kecilnya piutang ragu-ragu ini sangat ditentukan oleh kualitas keseluruhan portofolio pinjaman atau pembiayaan yang diberikan bank. Jika pinjaman atau pembiayaan yang diberikan bank berma- salah, debitor peminjam tidak dapat membayar bunga kepada bank, bank tetap harus membayar bunga kepada para deposan. Keadaan ini akan mengurangi tingkat efisiensi bank.
5. Kerawanan akibat margin vs pokok pinjaman. Karakteristik di atas membuat bank menjadi rawan terhadap risiko pasar, risiko operasional, dan risiko kredit. Berdasarkan pada karakteristik 1 dan 2, pada dasarnya desain awal bank menempatkan bank sebagai mata rantai yang lemah dalam sistem pasar keuangan. Jika semua deposan meminta uangnya kembali seketika, bank belum memiliki hak atau kemampuan dengan kualitas yang sama untuk menarik kembali dana yang telah diberikan sebagai pinjaman.
Umumnya, uang masyarakat yang disimpan di bank berjangka lebih pendek dibandingkan dengan durasi pinjaman. Hal ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan di masa lalu, yakni bank hanya bertugas menyimpan barang titipan yang dimiliki nasabah, yang hanya dapat dipergunakan jika diizinkan oleh nasabah terkait. Un- tuk menjembatani kemungkinan adanya permintaan seketika oleh pemilik dana yang disimpan di bank, bank perlu menerapkan unsur kehati-hatian melalui pendekatan manajemen risiko bagi operasional secara menyeluruh pada bank, terutama risiko kredit yang dapat ber- akibat pada timbulnya NPL.
Askari, Iqbal, Krichene, dan Mirakhor (2010: 139) menyebutkan bahwa risiko kredit adalah penyebab utama kegagalan bank. Agar memperoleh keuntungan, bank mau tidak mau harus menghadapi risiko kredit. Terjadinya risiko kredit dimanifestasikan oleh NPL, se- hingga bank harus menekan tingkat NPL seoptimal mungkin.
Untuk memberikan gambaran bagaimana rawannya bank terha- dap masalah ini, tingkat kerawanan bank yang tinggi akibat adanya NPL dapat dilihat dari perhitungan berikut. Misalkan bank A dapat memperoleh margin keuntungan kotor sebesar 6 persen, yaitu perbe- daan antara bunga yang dapat diperoleh dari debitor dan bunga yang harus dibayar kepada pemilik dana. Kemudian, diumpamakan bank A memiliki pinjaman macet sebesar Rp 100 juta dan perlu dihapus- bukukan. Untuk menutupi kerugian sebesar Rp 100 juta ini, bank A harus memberikan pinjaman baru sejumlah 100 dibagi 0,06 atau Rp 1,7 miliar, dengan catatan pinjaman baru yang lebih besar itu tidak kembali bermasalah selama setahun.
Di Inggris, misalnya, menurut The Country Banker (1885), se­perti dikutip oleh Boffey dan Robson (1995), diperlukan pinjaman yang berkualitas tinggi (atau risk rating 1,11 pen.) sejumlah 25 pound- sterling, agar dapat menutup kerugian akibat penghapusan pinjaman macet atau NPL yang hanya sebesar 1 poundsterling. Menurut Shep- pard (1991), di Australia, bank harus menekan kemungkinan gagal (probability of default) di bawah 1 persen agar memperoleh keun- tungan jika net interest margin sebesar 2 persen. 12
an. Masyarakat menyimpan uangnya di bank karena adanya unsur kepercayaan atau trust (T1) terhadap perbankan. Kepercayaan ini didukung dengan adanya anggapan bahwa di belakang perbankan terdapat pemerintahan yang dianggap dapat mengawasi tingkah laku bank. Bahkan dalam banyak kejadian di dunia, pemerintah mela- kukan tindakan penyelamatan (bail out) terhadap bank yang meng- alami masalah berat. Tindakan penyelamatan seperti ini menimbul- kan anggapan dengan istilah too big to fail, yang berarti, kalau suatu institusi bank dibiarkan mengalami kebangkrutan, dikhawatirkan dapat berakibat negatif yang terlalu besar terhadap perekonomian.
Sebagai salah satu tindakan yang bersifat kompromistis, dalam kenyataannya, banyak pemerintahan di dunia, termasuk Indonesia, memberikan jaminan walaupun secara terbatas kepada para depo- san terhadap uang yang mereka simpan di bank. Uang masyarakat di bank merupakan pinjaman bagi bank konvensional, tetapi setiap saat deposan dapat menarik/mengambil kembali uangnya. Karena itu, bank harus selalu dapat menyediakan dan mengembalikan uang deposan tersebut.
Di lain pihak, untuk dapat memberikan bunga kepada deposan, bank harus memberikan pinjaman kepada nasabah peminjam agar memperoleh pendapatan bunga, tanpa melibatkan para deposan se- bagai pemilik dana. Berbeda dengan bank syariah, bank konvensio- nal menentukan sendiri bagaimana dan ke mana dana masyarakat akan disalurkan dalam bentuk pinjaman. Bank memberikan pinjam- an kepada nasabah peminjam pada dasarnya juga karena kepercaya- an atau trust (T2), bahwa nasabah mampu dan mau mengembalikan pinjamannya kepada bank ketika jatuh tempo.
Masalah yang selalu dihadapi bank adalah bagaimana meyakin- kan diri bahwa nasabah tersebut dapat dipercaya untuk mengem­balikan pinjamannya itu, ditinjau dari kemampuan dan kemauan atau karakternya di kemudian hari. Untuk itu, bank memproteksi kemungkinan risiko yang akan muncul dari masalah ini, biasanya de- ngan meminta jaminan (kolateral) tertentu. Hal itu dilakukan dalam rangka menyamakan nilai T1 dengan nilai T2 (T1 = T2) melalui analisis kredit atau pembiayaan yang mendalam, dan ditambah dengan ada- nya jaminan yang diperlukan. Namun, persamaan ini nyatanya sulit tercapai, kecuali jika debitor dapat menjaminkan uang mereka dan menyimpannya di bank untuk memperoleh pinjaman sejumlah yang sama pada bank yang sama.
7. Kerawanan terhadap penyelewengan atau moralitas. Kera­wanan ini bertitik tolak pada dua hal. Pertama, bank mengelola uang masyarakat dan merupakan utang bagi bank konvensional. Bagaima- na dan untuk apa bank konvensional menggunakan dana itu ditentu- kan oleh bank itu sendiri. Kedua, dana masyarakat yang digunakan jauh lebih besar daripada dana sendiri yang dimiliki oleh pemegang saham bank. Dengan begitu, terdapat peluang yang begitu besar un- tuk menggunakan bank atau dana bank demi kepentingan diri sendi- ri atau kelompok terkait dengan bank tertentu. Di sini, moral hazard dalam pengertian tindakan yang tersembunyi sangat mungkin dila- kukan oleh pihak yang mengelola atau pemilik bank.
Moral hazard sering terjadi pada bank sebagai suatu institusi,13 dan jarang terjadi secara serentak pada perbankan sebagai suatu industri. Sebagai bagian dari intermediasi keuangan, moral hazard yang paling ekstrem dan paling besar karena berskala nasional ter­jadi pada lembaga simpan-pinjam Savings and Loans Associations (S&L) di Amerika. Moral hazard ini terjadi tidak hanya pada satu atau beberapa institusi, tetapi secara serentak pada industri itu kare- na melibatkan sebagian besar institusi yang ada.
Untuk menunjukkan bagaimana ekstremnya penyimpangan yang dimaksud, Henry N. Pontell dari University of California me- nyebutkan bahwa lingkungan "institusi simpan-pinjam" itu sebagai lingkungan yang bersifat criminogenic (lingkungan yang dapat men- dorong terjadinya kegiatan jahat), dengan karakteristik berikut: a. Dominasi orang dalam yang komplet. Dengan kata lain, Pontell menyebutkan "cara yang terbaik untuk merampok bank adalah dengan memiliki bank (to rob a bank is to own the bank)." Dalam konteks perbankan di Indonesia, sesungguhnya pemberian kredit melewati ketentuan batas maksimum pem- berian kredit (BMPK) dan dananya digunakan oleh grup dari
pemilik bank, kemudian macet atau tidak dapat dibayar oleh debitor, pada dasarnya sejalan de­ngan pengertian Pontell ini. Kejadian ini terung- kap secara gamblang ketika sejumlah bank ditu- tup pascakrisis 1997/1998, sebagian dana yang dimaksud terkandung dalam istilah "BLBI" yang penyelesaiannya sampai hari ini belum tuntas secara keseluruhan.
b.        Jumlah likuiditas relatif lebih besar dari kewajiban yang telah jatuh tempo. Menurut Pontell, makin besar li- kuiditas, makin besar kemungkinan akan disalahgunakan, atau digunakan atas intervensi politis untuk membentengi diri dari para regulator. Kesempatan untuk menambah likuiditas ini di- mungkinkan dengan adanya peraturan baru bagi institusi S&L, yang mengizinkan untuk menarik dana nontabungan dari ma- syarakat, dengan mengeluarkan atau menjual surat utang. Pen­dapat Pontell ini sejalan dengan pendapat J.P. Niinimaki, ahli dari Finlandia, yakni adanya likuiditas dapat mendorong timbul- nya moral hazard.
c.        Kemampuan untuk berkembang lebih cepat. Pertum- buhan yang lebih cepat sering dianggap sebagai kesuksesan dan dapat menarik perhatian untuk menambah likuiditas lebih besar lagi. Dalam konteks perbankan umumnya, pertumbuhan kredit sering diartikan sebagai tolok ukur kinerja manajemen puncak. Namun, di balik itu, keberhasilan manajemen yang sesungguh- nya baru dapat diketahui beberapa waktu kemudian, yaitu ketika kredit yang diberikan itu dapat atau tidak dibayar kembali oleh para debitornya. Jadi, jika keberhasilan manajemen hanya di- tentukan oleh peningkatan aset pinjaman semata, dan kemudian mereka menerima kompensasi tambahan untuk keberhasilan itu, maka pemberian kompensasi tambahan itu merupakan hal yang tidak layak dan tidak berdasar untuk dilakukan.
Menurut Pontell, makin besar likuiditas, makin besar kemungkinan akan
disalahgunakan.
d.       Kemampuan mengubah aset korporasi menjadi keun- tungan pribadi. Menciptakan pendapatan yang semu untuk memperoleh bonus ekstra seperti stock dividends. Kejadian yang disebutkan oleh Pontell ini juga berlangsung pada bebera- pa bank, sebelum krisis 1997/1998 di Indonesia, yakni mereka memberikan bonus ekstra kepada manajemen puncak berda-
sarkan pertumbuhan kredit tertentu, tetapi beberapa waktu ke- mudian sebagian besar kredit tersebut ternyata bermasalah atau menjadi NPL.
e.        Kemampuan untuk menyembunyikan kerugian dan menciptakan pendapatan yang semu.14 Menciptakan aset yang tidak memiliki nilai pasar standar akan cenderung menca- tat aset tersebut lebih tinggi daripada nilai yang sesungguhnya, sehingga kelebihan di atas nilai pasar dapat digunakan untuk menyembunyikan kerugian. Dalam perbankan di Indonesia, con- toh yang paling sering terjadi sebelum krisis 1997/1998 adalah kredit yang semula ditentukan dengan cicilan kemudian diubah menjadi tanpa cicilan karena debitor tidak mampu mencicilnya. Sebagai contoh lain, kredit yang bermasalah diperpanjang dari waktu ke waktu, dan dikenakan bunga yang relatif lebih rendah.
f.         Kemampuan untuk menghalangi deteksi dan prosekusi kecurangan, melakukan pengaburan korban, dan membuat transaksi bisnis yang mengandung kecurangan kelihatannya se- perti bisnis normal yang biasa.
g.       Minimal ethical barriers to insider fraud, suatu etos yang menganggap kerakusan sebagai suatu kebajikan, atau yang menganggap peraturan pemerintah tidak diperlukan dan hanya memperlemah standar kepercayaan (fiduciary standard). Dalam kaitan ini, Krisna Wijaya mengatakan bahwa terdapat anggapan, jika temuan mengenai modus operandi kejahatan perbankan diungkapkan secara terbuka, pihak lain akan meniru atau mem- praktikkannya pula.
Keadaan yang dikemukakan Pontell itu juga ditemukan di banyak ling- kungan perbankan 15 umumnya secara terpisah-pisah, termasuk Indone- sia.16 Kejadian-kejadian dengan modus operandi yang diuraikan di atas pun pernah terjadi pada bank-bank yang didirikan pasca-Kebijakan Paket Oktober 1987 (Pakto 1987).
Dari semua kejadian, kecurangan, dan skandal perbankan yang ter­jadi di dunia, ahli perbankan A. Tony Prasetiantono menyimpulkan dua hal. Pertama, skandal dalam lingkungan perbankan itu bersifat univer­sal, dalam arti dapat terjadi di mana-mana, dapat terjadi pada bank yang memiliki reputasi yang tinggi di negara maju atau pada bank kecil di ne- gara berkembang, di pusat keuangan dunia atau di kota kecil di negara berkembang.17 Kedua, walaupun ada penegakan hukum yang tegas, ke- mudian para pelaku memperoleh hukuman penjara, penyimpangan atau skandal perbankan tetap terjadi dari tahun ke tahun.
Di negara yang masih berkembang, yang penegakan hu- kumnya masih lemah, dan tingkat korupsinya tinggi, tindakan penyimpangan yang berulang-ulang ini dapat secara rasional dicarikan jawabannya. Jawaban yang mungkin adalah uang hasil tindakan penyimpangan itu dapat digunakan untuk banyak hal: menghadapi proses hukum sehingga hukuman dapat diperlunak, membiayai keperluan selama menjalani hukuman, dan porsi yang relatif masih besar dapat dinikmati kemudian setelah men- jalani hukuman. Di negara maju, yang penegakan hukumnya di- laksanakan dengan tegas, hal serupa tampaknya tidak mungkin terjadi. Charles Ponzi, misalnya, harus tinggal di penjara dalam waktu yang lama dan meninggal dalam keadaan miskin.
Dalam keadaan seperti itu, alasan yang dapat dikemukakan mengenai kenapa orang tetap melakukan kecurangan di ling- kungan perbankan, walaupun mereka tahu konsekuensi hukum- nya tidak kecil jika tetap dilakukan, adalah rasa kerakusannya mengalahkan pertimbangan moral atau pengendalian diri. Ke- mungkinan lain adalah orang tersebut memang memiliki jiwa yang bersifat kriminal.
Kecurangan yang timbul dalam lingkungan seperti yang digambarkan oleh Pontell di atas disebut sebagai control fraud atau major fraud, yaitu kecurangan yang dilakukan oleh orang dalam organisasi yang memegang kendali atau kontrol organisasi. Dalam buku ini, pemegang kendali orga- nisasi perkreditan adalah komite kredit, pemutus kredit, dan yang paling tinggi presiden direktur. Presiden direktur sekaligus merupakan pemim- pin tertinggi dalam organisasi bank. Pihak-pihak ini dalam melakukan pekerjaan dan tujuannya dapat dibantu oleh staf di bawahnya, dan yang memegang peranan penting pada jajaran dasar pekerjaan adalah account atau loan officer.
Secara umum, dapat diasumsikan bahwa semua pihak yang terkait ini telah lama bekerja dan berprofesi sebagai bankir dan telah pula meng- ikuti begitu banyak pelatihan. Dengan demikian, mereka dapat dianggap memiliki suatu tingkat pengalaman atau keahlian tertentu. Namun, dalam banyak kasus perbankan, yang memegang kendali pekerjaan ini ternyata masih dapat dipengaruhi oleh para pemilik bank, dan bahkan pihak-pihak di luar bank, sehingga mereka melakukan penyimpangan dalam pekerjaannya dan melanggar tuntutan profesinya. Dari kasus-ka- sus ini, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tingkat profesionalisme atau integritas seseorang dirasakan tidak cukup kuat untuk tidak meng- ikuti kehendak para pemilik bank atau pihak luar tersebut.
Kejadian-kejadian tersebut memberikan gambaran yang bersifat negatif bahwa sejumlah kecil orang dapat memperoleh dan menguasai uang lewat pemberian atau penyaluran kredit, yang artinya menciptakan kekayaan yang bukan dari hasil kerja jerih payah dan hanya beredar pada sejumlah kecil manusia.
Ada beberapa sebab kenapa hal ini dapat terjadi. Pertama, pemilik dana yang digunakan bank tidak melakukan monitoring terhadap ba- gaimana dan untuk apa uangnya digunakan oleh bank. Kedua, dana itu bersifat utang bagi bank sehingga penggunaannya dianggap dapat diten- tukan oleh bank sendiri. Ketiga, tidak terdapat mekanisme tertentu yang memberikan peluang bagi pemilik dana untuk mengawasi bagaimana bank menggunakan dana mereka.
Karena tidak terlepas dari bentuk-bentuk kerawanan, bank harus dikelola dengan baik dan penuh kehati-hatian, dengan menaati secara penuh prinsip kehati-hatian. Prinsip ini perlu diterapkan terutama pada kegiatan yang berkaitan dengan pemberian pinjaman atau kredit.
Menurut Viotti, kultur lama yang menganut konservatisme dan ke- hati-hatian, yang seyogianya dipertahankan dalam perbankan, dewasa ini telah digantikan dengan penekanan yang berorientasikan pada kegiatan "penjualan" dalam rangka merebut pangsa pasar. Namun, akhirnya, pe- nekanan pada penjualan ini cenderung melupakan keharusan untuk me- nilai risiko, dan melakukan monitoring secara memadai.
Untuk memastikan penerapan sikap kehati-hatian itu dalam mela- kukan operasional bank, perbankan perlu diatur sedemikan rupa sehing- ga bersifat highly regulated (benar-benar diatur dengan ketat), dengan tujuan agar kepentingan masyarakat banyak dapat dipenuhi atau dilin-
dungi.18
Walaupun pentingnya masalah kehati-hatian dan pengaturan ini telah diketahui secara luas, banyak kasus perbankan di dunia menunjukkan adanya unsur pengabaian terhadap kedua hal tersebut. Walaupun di banyak negara pengaturan seperti itu telah dilakukan, kajian empiris penga- laman NPL dari sejumlah negara menunjukkan bahwa pengabaian prinsip kehati-hatian ini tetap berlangsung. Di lain pihak, kasus yang terjadi di Amerika tahun 2008 telah pula membuktikan bahwa institusi pemberi kredit hipotik (mortga­ge institutions) di sana terlepas dari perhatian pengaturan pemerintah, baik disengaja maupun tidak.
Masalah utama dalam intermediasi keuangan adalah adanya asymmetric information. Sebagai salah satu karakteristik pembiayaan,19 asymmetric information ini merupakan akibat bahwa pasar keuangan atau kredit ti- dak memiliki informasi yang sempurna. Artinya, setiap pihak yang terkait dalam suatu transaksi keuangan tidak memiliki informasi yang sama atau seimbang. Di lain pihak, bank membutuhkan banyak informasi terutama mengenai (calon) debitor selama pinjaman belum terlunasi. Bank sebagai calon kreditor, dan salah satu pihak dalam perjanjian kredit yang akan dibuat, tidak memiliki informasi yang sama seperti pihak lainnya, yaitu calon debitor atau debitor peminjam.
Berdasarkan keperluan masing-masing, bank harus lebih berhati-hati terhadap risiko, sedangkan calon debitor bersikap lebih berani dalam mengambil risiko.
Antara bank dan calon debitor terdapat persepsi dan sikap yang ber- beda terhadap risiko. Berdasarkan keperluan masing-masing, bank harus lebih berhati-hati terhadap risiko, sedangkan calon debitor bersikap lebih berani dalam mengambil risiko. Baik sebelum (ex-ante) maupun sesudah (ex-post) persetujuan kredit, calon debitor memiliki informasi yang jauh lebih baik mengenai dirinya, mengenai perkembangan usaha dan masalah yang dihadapinya. Sebelum kredit disetujui, calon debitor cenderung mem- berikan informasi yang lebih baik yang dapat menambah kemungkinan permohonannya dapat disetujui bank. Kecenderungan ini harus diimbangi oleh bank dengan mendeteksi setiap perbedaan dengan kenyataan yang se- benarnya, dan memastikan fakta yang sesungguhnya berlaku.
Dari waktu ke waktu, calon debitor atau debitor peminjam sebagai kesatuan unit usaha berinteraksi langsung dengan lingkungan di sekeli- lingnya. Lingkungan ini meliputi, antara lain, lingkungan perekonomian, hukum dan peraturan, bahan baku, pasar barang yang diproduksi, dan pasar tenaga kerja.
Lingkungan-lingkungan ini bersifat dinamis. Setiap perubahan lingkung- an ini selalu membawa "kesempatan" (opportunity) ataupun "ancaman" (threat). Bagaimana debitor, sebagai institusi menghadapi pergerakan ini dan menerjemahkan apa yang dibawanya dalam bentuk tindakan sebagai reaksi terhadap kesempatan atau ancaman, akan menentukan kelangsung- an hidup debitor sebagai institusi itu. Bagaimana debitor menghadapi per- ubahan lingkungan itu dapat memengaruhi tingkat keuntungannya. Apa yang dihadapi dan bagaimana debitor berinteraksi dengan lingkungannya itu, sesungguhnya hanya mereka yang mengetahui secara pasti.
Terkadang pihak luar, seperti kreditor, baru dapat mengetahui apa yang dihadapi oleh debitor dan bagaimana debitor berinteraksi setelah adanya hasil akhir. Pihak luar jarang dapat mengikuti proses apa yang terjadi dan dihadapi oleh debitor atau usahanya. Hasil akhir yang dimak- sud dapat berupa timbulnya kerugian dari operasi usaha debitor, atau di- tutupnya usaha debitor sama sekali.
Walaupun begitu, untuk menjamin keselamatan pinjaman yang dibe- rikan, bank harus dapat membuat proyeksi atau memperkirakan apa yang dapat terjadi terhadap usaha debitor, dan mengikuti perkembangannya dari waktu ke waktu sampai pinjaman lunas. Kegiatan untuk melakukan pengawasan terhadap perkembangan usaha debitor wajib dilakukan. Sa- lah satu sebabnya, tidak semua kejadian yang memengaruhi kekayaan, kewajiban atau utang-utang, dan hasil usaha debitor terefleksi dalam laporan keuangan debitor, baik secara sengaja maupun tidak, baik yang dicakup oleh sistem akuntansi maupun tidak.
Untuk menjembataninya, bank perlu lebih aktif menggali informasi yang diperlukan, baik secara langsung dari calon debitor atau debitor pe- minjam maupun dari lingkungannya. Jika bank tidak melakukan hal ini dengan baik dan cermat ex-ante dan bahkan ex-post, atau sengaja tidak melakukannya atau menutupinya (bank perlu lebih ahli dalam menelaah laporan keuangan atau informasi yang diperoleh), bisa terjadi apa yang disebut sebagai adverse selection, yakni calon debitor berisiko tinggi yang seyogianya ditolak, tetapi tetap disetujui. Hal ini dapat menimbulkan mo­ral hazard di pihak bank, dan juga akhirnya di pihak debitor.
Masalah berikutnya berkaitan dengan persoalan agen dan majikan (agent-principal problems). Menurut ahli ekonomi Amerika Frederic Stanley Mishkin, masalah agen-majikan terjadi jika agen memiliki do- rongan yang berbeda dengan orang tempat dia bekerja dan bertindak demi kepentingan pribadinya, bukan demi kepentingan majikannya. De- ngan kata lain, menurut Kathleen M. Eisenhardt dari Stanford University, AS, agen dan majikan memiliki keinginan dan/atau tujuan yang berbeda, sehingga menimbulkan benturan kepentingan.
Secara teori, Ricardo V. Lago, profesor ekonomi asal Meksiko, menje- laskan bahwa bank berfungsi berdasarkan kaitan antara principal-agent yang kompleks di antara para stakeholder. Setiap pihak dalam proses kegiatan dalam perbankan merupakan agen terhadap atasannya. Lago berpendapat, setiap agen akan berusaha untuk mencapai objektif bagi di- rinya paling tidak sebanyak yang diharapkan oleh atasannya, kecuali jika terdapat penegakan hukum, pengawasan, dan keterbukaan yang mema- dai. Dapat pula dikatakan bahwa masalah ini akan timbul, jika majikan tidak mampu memastikan apa yang sesungguhnya dilakukan oleh agen.
Dalam praktik, masalah keagenan yang paling mendasar dan sering terjadi adalah keputusan pemberian pinjaman atau kredit dipengaruhi oleh kecenderungan manusia. Salah satu kecenderungan ini adalah meng- ikuti apa yang dilakukan, atau diinginkan, atau dipengaruhi oleh orang atau pihak lain, yang tidak selalu sepenuhnya memperhatikan kepenting- an majikan atau institusi tempat seseorang bekerja. Bagaimana seseorang mengikuti keinginan dirinya tidak selalu tampak dengan jelas dari apa yang dilakukan, atau dari latar belakang apa yang diputuskannya.
Karena itu, Charles Collyns dan Abdelhak Senhadji, keduanya dari IMF, mengatakan bahwa masalah moral hazard seperti ini tidak dapat sepenuhnya dieliminasi dari intermediasi keuangan. Di lain pihak, menu- rut Steven Radelet dan Jeffrey Sach dari AS, jika suatu pinjaman menjadi gagal atau tidak terbayarkan oleh debitor, masalah ini biasanya mewakili suatu kesalahan perhitungan yang terjadi di kedua sisi transaksi, baik dari segi kreditor maupun debitor. Hal ini akan bersifat lebih krusial lagi jika mengingat bahwa intermediasi keuangan memiliki sejumlah kerawanan yang timbul karena karakteristiknya sendiri.
Dalam perspektif ini, masalah asymmetric information dan masalah agen dengan majikan dapat menimbulkan terjadinya banyak hal yang ti­dak baik atau moral hazard. Moral hazard dalam bentuk yang minimal adalah ketika agen tidak melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati dan secara serius sehingga tidak mencapai hasil yang terbaik. Bagi bank sebagai majikan, kesalahan atau kelemahan seperti ini perlu dihindari dalam pemrosesan suatu permohonan pinjaman, termasuk mewaspadai kemungkinan kesalahan perhitungan oleh calon debitor, dan kemudian selalu mengikuti perkembangan usaha serta kemampuan bayar debitor.
Inti tugas intermediasi keuangan adalah melakukan restrukturisasi risiko agar dapat menarik dana dari masyarakat untuk tujuan investasi dalam sektor riil; dengan kata lain, memobilisasikan dana masyarakat menjadi pinjaman atau kredit yang produktif. Undang-Undang Perbankan secara umum juga mengindikasikan tugas ini, yakni bank dituntut untuk bertin- dak sebagai agent of development, yang dapat mengarahkan penyalur- an dana ke arah produksi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan umum. Namun, banyak pelaku perbankan konvensional yang tidak me- nyadari hal ini, sehingga dana masyarakat disalurkan untuk membiayai transaksi yang bersifat spekulatif, dengan risiko yang berlebihan.
Dalam rangka penyaluran dana ini, bank harus melakukan hal-hal berikut:20
1.        Mengumpulkan informasi untuk menentukan investasi yang poten- sial, dengan risiko yang dapat diterima. Banyak ekonom sependapat bahwa fungsi ini merupakan yang paling penting bagi bank, dan ber- biaya rendah, jika dibandingkan dengan keadaan di mana setiap pe- nabung harus melakukan hal yang sama untuk menentukan proyek mana yang akan dibiayainya. Jika bank tidak bertindak sebagai agent of development, dan mengabaikan rambu-rambu dalam penyaluran dananya, likuiditas yang dimiliki dapat disalahgunakan ke arah pen- ciptaan moral hazard.
2.        Melaksanakan kontrol terhadap korporasi atau peminjam, atau mela- kukan tindakan disiplin terhadap para manajer bank, agar dana bank digunakan untuk tujuan produktif dan sesuai dengan yang diperjan- jikan. Kontrol yang dimaksud di sini memiliki pengertian yang luas, meliputi semua kegiatan yang dapat menentukan atau menjaga atau bahkan memperbaiki kualitas pinjaman, misalnya seleksi kredit yang diajukan, penelitian yang mendalam dan komprehensif terhadap proposal kredit, kunjungan ke lokasi usaha calon debitor atau debi­tor, dan rapat-rapat komite atau direksi dan sebagainya yang mem- bahas masalah calon debitor atau debitor yang sudah ada. Kegiatan pengawasan, khususnya menegakkan klausul-klausul larangan dari perjanjian kredit, yang menguraikan dan membatasi kegiatan terten- tu dari peminjam, perlu dilakukan untuk menjaga kualitas pinjaman sehingga pinjaman dapat dilunasi.
3.        Mengurangi moral hazard. Menurut Douglas W. Diamond dari Uni­versity of Chicago, bank melakukan pengawasan dengan biaya yang lebih kecil, dibandingkan jika dilakukan oleh individu. Pengawasan berbiaya rendah ini bisa terjadi antara lain karena bank dapat me- nekan debitor peminjam untuk tidak mengambil risiko yang besar, dengan cara memberikan ancaman tidak memberikan pinjaman di masa depan, dan ini akan memperbaiki tingkah laku debitor pemin- jam.
4.        Mengelola sejumlah risiko. Menurut Basel Accord II, risiko yang pada tahap pertama diperhitungakan adalah untuk menentukan jumlah modal, terutama, adalah risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional. Namun, bank menghadapi begitu banyak risiko lain, se- perti maturity risk, counterparty risk, market risk, dan sebagainya. Adapun risiko yang dibicarakan dalam buku ini difokuskan pada risi- ko kredit, sehubungan dengan pemberian pinjaman atau pembiaya- an. Risiko kredit dapat dikurangi dengan dilakukannya seleksi (scre­ening), diversifikasi, dan permintaan kolateral. Namun, risiko kredit dalam bentuk risiko wanprestasi tidak dapat dihilangkan seluruhnya, tanpa memangkas fungsi peranan bank sebagai intermediasi. Di sisi lain, jika risiko wanprestasi terjadi, bank akan dapat mengalami ke- rugian yang akan mengurangi jumlah modal yang dimiliki. Jika se- bagian besar sistem perbankan mengalami kerugian melebihi modal- nya, krisis sistemik terjadi.
Banyak literatur dan penelitian menunjukkan, intermediasi keuangan dan pasar keuangan yang berfungsi baik dapat meningkatkan pertum- buhan ekonomi. Beberapa riset yang dimaksud menyimpulkan, hukum dan mekanisme penegakan hukum kontrak dan sistem keterbukaan infor- masi (disclosure) dapat memengaruhi pertumbuhan pasar keuangan dan pertumbuhan ekonomi. Karena keterbukaan informasi berkaitan dengan good corporate governance, penerapan konsep ini dengan baik dapat pula membantu pertumbuhan intermediasi keuangan dengan lebih baik.
Ross Levine, Norman Loayza (keduanya dari Amerika), dan Thorsten Beck (Swedia) melakukan penelitian mengenai perbedaan perkembangan dalam intermediasi keuangan antar- negara ditinjau dari segi hak-hak hukum kreditor, efisiensi da- lam pelaksanaan hukum kontrak, dan sistem akuntansi. Sebagai kesimpulan, mereka berpendapat, intermediasi keuangan akan berkembang dengan baik jika negara yang bersangkutan memi- liki: a). sistem hukum yang memberikan prioritas tinggi kepa- da kreditor, di mana kreditor dapat memperoleh present value yang penuh dari tuntutannya terhadap perusahaan debitor, b). sistem hukum yang menegakkan hukum kontrak dengan kuat, termasuk kontrak dengan pemerintah, c). standar akunting yang menghasilkan kualitas yang tinggi, dalam arti bahwa laporan ke- uangan dari perusahaan-perusahaan bersifat komprehensif dan mudah untuk melakukan perbandingan.
Masalah hukum dan penegakan hukum (kontrak), keterbukaan in- formasi, dan standar akunting merupakan unsur lingkungan eksternal yang dapat memengaruhi perjalanan operasional bank. Tetapi, bank tidak dapat memengaruhi keadaan lingkungan yang dihadapinya itu. Apa yang dapat dilakukan oleh bank adalah berusaha mengatasi unsur negatif dari faktor lingkungan operasionalnya itu.
Berikut ini sejumlah faktor lingkungan yang perlu diperhatikan dan dihadapi perbankan di Indonesia.
Pertama, transparansi dan keterbukaan. Bank perlu mengumpul- kan banyak informasi mengenai calon debitor. Bank akan lebih mudah melakukan tugasnya jika calon debitor atau lingkungan usaha memiliki tingkat transparansi yang tinggi. Menurut Ann M. Florini, dosen luar bia- sa di Singapore Management University, transparansi sangat berdekatan dengan akuntabilitas, dan memiliki dimensi moral, serta dapat mengatasi masalah agen dan majikan. Dalam hal ini, bank merupakan majikan dan debitor merupakan agen. Karena tidak ada informasi yang disembunyi- kan, agen cenderung bersifat jujur. Dengan adanya transparansi, apa yang terjadi dalam diri seseorang, atau perusahaan, dengan mudah dapat terlihat dari luar sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan.
Informasi yang diperlukan oleh pihak kreditor atau investor umum- nya meliputi kondisi keuangan, termasuk jumlah utang yang dimiliki, kepemilikan perusahaan terutama yang berkaitan dengan pemegang sa- ham mayoritas, kinerja bisnis dalam arti perolehan keuntungan dan arus kas, dan hal-hal yang dapat memberikan gambaran mengenai posisi atau kekuatan bisnis perusahaan dalam lingkungan tempat perusahaan ber- operasi, serta kekuatan keuangan pemilik saham mayoritas. Umumnya, sarana utama untuk menyampaikan informasi ini secara reguler adalah penerbitan laporan keuangan perusahaan; dan yang lebih disukai adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik.
Dengan transparansi atau keterbukaan seperti itu, bank akan dapat melakukan penilaian yang lebih akurat terhadap keadaan dan kinerja ke- uangan, kegiatan usaha, dan profil risiko usaha debitor, serta kelanjutan usaha perusahaan debitor. Makin tinggi tingkat pengungkapan informasi atau keterbukaan, makin transparan calon debitor atau debitor di mata kreditor, dan makin mudah kreditor untuk memproses dan menilai kredit bagi calon debitor.
Namun, hal seperti ini hanya merupakan situasi yang ideal. Dalam kenyataan, kreditor akan menghadapi keadaan yang mengandung infor­mation asymmetry, yakni debitor cenderung tidak melakukan seluruh keterbukaan bagi semua informasi faktual yang diperlukan oleh kreditor. Terutama ketika calon debitor ingin memperoleh pinjaman atau kredit dari kreditor, calon debitor cenderung memberikan informasi yang baik dan menyembunyikan informasi yang tidak baik. Karena itu, calon kre- ditorlah yang harus menggali dan meneliti lebih banyak informasi, baik dari calon debitor sendiri maupun dari sumber lain yang ada kaitannya dengan calon debitor.
Menurut Leila Mustanoja dari Finlandia, rendahnya tingkat transpa- ransi dan keterbukaan dari informasi yang relevan memberikan peluang untuk terjadinya korupsi. Pendapat lain mengatakan, makin tinggi ting- kat korupsi, makin kecil kemungkinan informasi yang diberikan bersifat akurat. Dalam keadaan seperti itu, dapat dikatakan, akuntabilitas juga makin rendah. Menurut Bernhard Winkler (Jerman), keterbukaan men- dorong akuntabilitas, mengurangi kekaburan atas informasi yang disem- bunyikan.
Di negara seperti Indonesia, yang indeks korupsinya tinggi, dapat dikatakan bahwa tingkat keterbukaan atau transparansinya juga rendah. Banyak pinjaman korporasi yang menjadi NPL sebelum krisis 1997/1998 karena pemberiannya didasarkan pada informasi keuangan yang tidak akurat, dan bahkan tidak pernah dilakukan pengecekan sebelumnya.
Kedua, tata kelola perusahaan yang baik (good corporate go- vernance/GCG). Di Indonesia, konsep ini mulai dirasakan perlu dan ditekankan kegunaannya setelah krisis moneter 1997/1998. Krisis ini menciptakan kerugian besar bagi para pembayar pajak dan berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat. Krisis itu membuka tabir sejumlah penyimpangan dan pelanggaran terhadap kebijakan yang di- lakukan baik oleh bank maupun korporasi di Indonesia. Robert A.G. Monks dan Nell Minow dari Amerika mengungkapkan masalah-masalah itu meliputi utang yang besar, laporan keuangan tidak menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang sesungguhnya, direksi tidak pernah mengalami pelatihan yang memadai, regulator dan pengadilan kurang berwibawa, para manajer tidak bertanggung jawab, bahkan bangunan korporasi dirasuki oleh intervensi pemerintah, korupsi, dan uang pelicin.
Di masa lalu, komisaris hanya sebatas pajangan dalam akta pendiri- an perusahaan dan direksi merupakan nominee tanpa kewenangan apa pun, kecuali hanya bertindak atas perintah pemilik yang dominan. Dalam keadaan seperti itu, pengambilan keputusan ditentukan oleh keinginan pemilik saham pengendali. Pemilik saham pengendali menggunakan per- usahaan sebagai alat untuk mencapai tujuannya, dan sudah barang tentu akan lebih memperhatikan kepentingan pribadinya terlebih dahulu. Me- reka cenderung mengabaikan kepentingan perusahaan atau stakeholder lainnya. Dapat dikatakan demikian, karena terdapat sejumlah alasan ke- napa orang sebagai individu menggunakan badan hukum untuk mewakili transaksi komersial yang dilakukannya.
I Nyoman Tjager, Antonius Alijoyo, Humphrey R. Djemat, dan Bam- bang Soembodo mengemukakan sejumlah alasan yang dimaksud, yaitu, pertama, membebankan risiko dan biaya pada perusahaan sehingga pe- milik sebagai pribadi terlepas dari beban ini; kedua, kemudahan yang di- peroleh terhadap keluar-masuk modal jika dilakukan melalui perusahaan, terutama dalam bentuk utang, di mana perusahaan memiliki kehidupan yang lebih panjang terutama ketika perekonomian berkembang; ketiga, pemilik dapat berlindung di balik hukum, karena memiliki tanggung ja- wab yang terbatas terhadap perusahaan; keempat, pemilik akan dapat menarik manfaat praktis dari penentuan arah kebijakan perusahaan; dan kelima, pemilik dapat memperoleh manfaat dari bidang perpajakan, jika transaksi komersial dilakukan lewat perusahaan.
Dalam GCG, kata yang berperan adalah governance, atau governe da­lam bahasa Latin, yang berarti to steer atau "mengendalikan" dalam bahasa Indonesia. Menurut Jackson dan Nelson, governance berkenaan dengan kewenangan atau kekuasaan (power), dan mengenai bagaimana kewe- nangan didistribusikan dengan akuntabilitas, transparansi, dan integritas yang menyertainya. Esensi utama kewenangan ini adalah dalam mengam- bil keputusan tentang apa yang hendak dilakukan bagi badan hukum.
Dalam bank, pengambilan keputusan berada pada tataran presiden direktur atau direksi, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh jajaran manajemen di bawahnya. Namun, dalam penerapan keputusan ini, di- reksi masih berperan menentukan banyak hal. Direksi dapat menunjuk siapa yang dapat dipercayainya dengan kompetensi yang diperlukan, menentukan kebijakan yang harus diikuti dalam menerapkan keputusan itu, termasuk pola-pola, rambu-rambu atau ketentuan lain yang harus di- perhatikan oleh para pelaksana. Direksi mengawasi perjalanan penerapan keputusan sehingga tujuan perusahaan tercapai, sedangkan direksi sendi- ri juga diawasi oleh dewan komisaris sebagai wakil pemilik saham.
GCG pada prinsipnya merupakan pola pelaksanaan bagaimana suatu unit usaha dikelola, yaitu mengatur hubungan-hubungan antara organ- organ di dalam perusahaan, termasuk pengaturan hak dan kewajiban se- tiap pihak yang berpartisipasi dalam korporasi, dengan memperhatikan kepentingan para stakeholder, sehingga menciptakan nilai tambah bagi mereka.
Agar tujuan ini tercapai, usaha atau operasi perusahaan harus dilak- sanakan berdasarkan hukum dan moral. Pelaksanaan itu harus meme- nuhi sejumlah prinsip, yang meliputi transparansi dalam pengambilan keputusan, keterbukaan dalam memberikan informasi yang materiil dan relevan mengenai perusahaan dan akuntabilitas, yang merupakan keje- lasan dalam pelaksanaan fungsi dan tanggung jawab setiap organ dalam perusahaan, kewajaran (fairness) dalam hal memenuhi hak-hak para sta­keholder, sehingga memenuhi unsur keadilan dan kesetaraan, dan tang- gung jawab perusahaan terhadap para stakeholder.
Prinsip pertama, yaitu transparansi dan keterbukaan, merupakan unsur yang paling penting dari GCG karena merupakan faktor pendo-
rong bagi penerapan prinsip yang lainnya. Jika transparansi dan keterbukaan dipenuhi oleh perusahaan sebagai calon debitor atau debitor, bank sebagai pemberi pinjaman atau pembiayaan akan dapat mengerti secara lebih jelas kekuatan keuangan dan usaha perusahaan debitor. Penger- tian yang dapat diperoleh dari kedua prinsip GCG itu dalam hal bagaimana manajemen perusahaan mengelola dan kekuatan yang dimiliki perusaha- an akan dapat menelusuri pelaksanaan prinsip- prinsip GCG yang lain.
John Pieris dan Nizam Jim berpendapat, pelaksanaan konsep GCG memerlukan sejumlah sarana pendukung, yang meliputi perumusan visi, misi, dan tujuan per­usahaan, struktur organisasi dengan tanggung jawab masing-masing da- lam struktur, kewenangan serta mekanisme yang jelas, budaya dan etika perusahaan, serta sistem pengendalian dan pengukuran kerja. Sesung- guhnya, sebagian besar sarana yang dimaksudkan oleh Pieris dan Jim ini tercakup dalam konsep budaya organisasi, sedangkan proses penilaian kerja bermuara pada pemberian penghargaan dan hukuman (re­ward and penalty).
Menurut Surendra Arjoon dari University of the West Indies, Trini­dad, penerapan GCG yang efektif berarti perusahaan mengadopsi sejum- lah prinsip dan praktik yang terbaik, berdasarkan pada kejujuran, integri- tas, dan keadilan dalam menjalankan usahanya dan ketika berhubungan dengan pihak lain. Walaupun keuntungan perlu dicapai sebagai alat un- tuk berkembang, dengan GCG, pencapaiannya tetap dalam ikatan etika. Penerapan GCG yang baik akan dapat mengurangi risiko operasional yang dihadapi perusahaan, mengurangi penyimpangan keuangan yang mungkin terjadi, karena bagaimana perusahaan mengambil keputusan akan lebih mudah dapat dilihat dari luar.
Kepentingan bank syariah akan terpenuhi jika perusahaan debitor berhasil dalam usahanya sehingga memperoleh keuntungan, dan dibagi dengan bank sebagai pengganti bunga.
Hasil pengambilan keputusan dapat pula dilihat dari informasi yang diberikan dari waktu ke waktu, berdasarkan asas keterbukaan. Semua ini pada akhirnya akan mendorong keberhasilan perusahaan, dan dapat pula menjaga keberhasilan itu dari usaha-usaha penyelewengan keuangan. Karena itu, penerapan GCG yang baik akan memberikan perlindungan terhadap kepentingan bank atau kreditor sebagai stakeholder terhadap keberhasilan usaha perusahaan.
Hal ini sangat penting terutama bagi bank syariah, karena pada umumnya bank syariah tidak memiliki jaminan (kolateral) yang secara khusus diikat bagi setiap pembiayaan yang mungkin diberikannya. Ke- pentingan bank syariah akan terpenuhi, jika perusahaan debitor berhasil dalam usahanya sehingga memperoleh keuntungan, dan dibagi dengan bank sebagai pengganti bunga. Pembagian keuntungan ini seyogianya di­lakukan dengan wajar, adil, dan penuh kejujuran bagi kedua belah pihak, yaitu bank dan nasabah. Hal ini hanya dapat dimungkinkan karena ada- nya transparansi dan keterbukaan.
Pada bank konvensional, jika perusahaan debitor merugi, perusahaan tetap harus membayar kewajiban bunga. Pada keadaan yang paling buruk, kepentingan bank konvensional dapat ditutup dengan adanya kolateral yang secara khusus dikaitkan dengan pemberian kredit yang dilakukannya. Dengan demikian, sejauh debitor terus dapat membayar bunga, bank cen- derung kurang memperhatikan masalah penerapan GCG ini. Puncak per- masalahan hanya dapat terlihat ketika debitor berhenti membayar bunga. GCG baru dirasakan perlu ketika terjadi krisis dalam tahun 1997/1998.
Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru tahun 2007 telah menunjang penerapan GCG yang lebih baik di Indonesia. UU ini memper- tegas dan memperjelas tanggung jawab direksi dan komisaris. Tanggung jawab yang ditentukan oleh hukum ini, secara kolegial, diharapkan dapat membuat setiap anggota dewan direksi dan komisaris saling mengontrol anggota lainnya, sehingga pelaksanaan kewenangannya dapat dijalankan dengan baik. Dengan tanggung jawab yang ditentukan oleh hukum ini, para direksi diharapkan dapat lebih aktif menentukan strategi bisnis per- usahaan, dan mengelolanya dengan baik sesuai dengan tujuan perusaha- an. Di samping itu, seperangkat peraturan lain, dalam pasar modal misal- nya, telah mendorong dipenuhinya prinsip transparansi dan keterbukaan dalam hal pelaporan keuangan. Namun, dalam praktik umumnya, prinsip transparansi dan keterbukaan ini di Indonesia belum mencapai standar yang memadai, sehingga penerapan GCG masih lemah dan belum merata.
Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat sejum­lah kebijakan akuntansi yang dapat digunakan tetapi secara superfisial, dan ini dapat memberikan peluang untuk menutupi kekuatan perolehan keuntungan yang sesungguhnya. Hal ini terjadi terutama karena sebagi- an besar perusahaan di Indonesia adalah milik keluarga, dan dijalankan mengikuti kehendak pemilik pengendali. Sebab lain adalah para auditor bekerja langsung di bawah pengawasan manajemen perusahaan. Perusa- haan yang dikelola secara tertutup yang umumnya dimiliki oleh keluarga tidak menunjukkan adanya transparansi dan keterbukaan yang memadai, sehingga tidak memberikan informasi mengenai keadaan perusahaan yang sesungguhnya. Sebagai contoh, akuntan akan mengakui bahwa suatu utang yang dimiliki perusahaan adalah sah dan dapat diterima, se- jauh perusahaan dapat menunjukkan perjanjian kredit yang mendasari- nya. Terdapat adanya kemungkinan bahwa pemilik saham menciptakan utang dari dirinya sendiri, agar mendapat klaim terhadap sebagian aset yang dimiliki dan hasil yang diperoleh bersama dengan kreditor lain. Te- tapi, akuntan dapat memilih untuk tidak meneliti keabsahan perjanjian itu. Kedua, beberapa akuntan cenderung membantu atau mengikuti ke- pentingan rekanannya, jika dibandingkan dengan usaha dalam rangka mempertahankan integritas hasil audit.21 Ketiga, sistem perpajakan yang ada, implementasinya tidak mendukung dan mendorong perkembangan transparansi yang wajar dalam pelaporan keuangan. Namun, pembayar- an pajak yang benar ditentukan atau didasari atas pelaporan keuangan yang benar dan akurat. Kasus Gayus Tambunan hanya merupakan suatu titik puncak dari permasalahan yang ada, tetapi hanya menggambarkan sebagian kecil dari kenyataan serupa di khazanah perpajakan di Indone­sia. Gayus, sebagai pegawai menengah kantor pajak, memiliki kekayaan yang begitu besar, yang diperoleh sebagai gratifikasi dari pembayar pajak yang telah dibantu untuk membayar pajak lebih kecil dari yang seharus- nya. Jumlah pajak yang harus dibayar ditentukan berdasarkan negosiasi dengan aparat pajak dan didukung dengan laporan keuangan yang dibuat khusus untuk tujuan itu, yang berbeda dengan laporan keuangan yang diberikan pada pihak bank, tanpa adanya penjelasan yang disampaikan secara terbuka. Keempat, masalah penegakan hukum yang belum efektif.
Ketiga, ruang lingkup hukum dan penegakannya. Bank akan da- pat beroperasi lebih efisien, jika lingkungan tempat bank beroperasi me- miliki sistem hukum yang melindungi hak-hak kekayaan individu (pro­perty rights) dan hak kreditor. Kekuatan lingkungan hukum ini diperlu- kan bagi bank untuk memperoleh haknya, sehingga yakin bahwa debitor akan melakukan pembayaran kembali pinjaman yang diberikan secara hukum, dan melalui penegakan hukum, jika diperlukan. Di samping itu, penegakan hukum yang baik dapat mendorong penerapan GCG. Penera- pan GCG dapat menekan tindakan orang dalam yang merugikan pihak luar, seperti para investor atau kreditor pemberi kredit atau pembiayaan, atau stakeholder lainnya. Jika perusahaan memperhatikan kepentingan para stakeholder lainnya, perusahaan tidak akan menempatkan orang- orang dari keluarga pemegang saham mayoritas yang tidak kompeten. Pemberian kompensasi kepada para eksekutif dan manajer juga akan memperhatikan unsur kewajaran dan praktik, yang dilakukan dalam in- dustri yang sejenis.
Keempat, penegakan hukum (law enforcement). Menurut La Favre, sebagai suatu proses, penegakan hukum pada hakikatnya merupa- kan penerapan diskresi antara hukum dan moral dalam membuat suatu keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh undang-undang, sehingga menyangkut unsur penilaian pribadi. Keputusan itu diambil oleh penegak hukum, yang sering diartikan sebagai keputusan hakim. Indonesia, seba- gai negara hukum, tentunya perlu menjunjung tinggi kekuatan dan supre- masi hukum, yang salah satu bentuknya berada pada keputusan hakim.
Menurut pakar hukum Prof. Dr. Soerjono Soekanto, keputusan hakim ini dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang meliputi sistem hukum dan undang-undang, penegak hukum, sarana atau fasilitas yang mendu- kung penegakan hukum, masyarakat, dan kebudayaan. Dari segi sistem, terdapat perbedaan prinsipil antara dua sistem hukum (legal regime) be- sar di dunia, yaitu sistem common law dan civil law (Indonesia menganut yang kedua). Menurut Ganguin, sistem civil law bersifat lebih berpihak pada kreditor atau creditor friendly, dibandingkan dengan sistem com­mon law.
Pada sistem common law, hakim mengambil keputusan pengadilan berdasarkan keputusan yang pernah diambil oleh pengadilan terdahulu yang mengadili perkara yang sama, atau disebut yurisprudensi. Dengan berdasarkan konsep keadilan atau equity, fiduciaty duty, dan fairness, pengambilan keputusan oleh hakim lebih mendasar pada unsur-unsur yang ada secara khusus dalam setiap perkara. Karena hukum merupakan pengejawantahan dari apa yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat, yurisprudensi merupakan jawaban sebagai hukum yang diperlukan oleh masyarakat. Hakim lebih bebas menentukan hukum yang sesuai dengan dan berpatokan pada yurisprudensi yang pernah ada.
Pada sistem civil law, hakim harus lebih mengacu pada undang-un- dang yang telah ada. Hakim harus mengambil keputusan dalam konteks undang-undang tersebut, atau disebut menganut asas legal positivism, sehingga bersifat lebih kaku.
Di sini, tidak terdapat adanya patokan (benchmark) yang jelas untuk mengukur kete- patan keputusan yang diambil. Dari segi undang- undangnya, yang menjadi masalah adalah, dalam masyarakat yang dinamis, undang-undang selalu tertinggal di belakang perkembangan ekonomi dan sosial. Akibatnya, terdapat ketidakserasian antara kenyataan sosial di masyarakat dan un- dang-undang yang berlaku. Akibatnya, terdapat peluang yang lebih luas bagi hakim untuk mem- berikan interpretasi terhadap undang-undang.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem com­mon law, yakni yurisprudensi cenderung selalu mengikuti perkembangan dalam perubahan sosial dalam masyarakat, se- hingga merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat. Di samping itu, lingkungan hukum di Indonesia tidak menunjukkan adanya usaha untuk menyosialisasikan undang-undang atau peraturan yang ada; khususnya sering tidak diiringi dengan peraturan pelaksanaan yang diperlukan. Dari segi penegak hukum yang meliputi polisi, jaksa dan hakim, dan sarana penegakan hukum, pada intinya dapat dikatakan secara umum, bahwa kualitas terutama dalam hal yang berkaitan dengan moralitas dan kuan- titas dari kedua faktor ini masih belum memadai. Dari sisi struktur atau proses, hukum dianggap sebagai hal yang identik dengan aparatnya, se- hingga penegakan hukum sangat ditentukan oleh perilaku dan moralitas aparatnya. Dari segi masyarakat dan budayanya,22 pemahaman dan keta- atan terhadap hukum merupakan unsur yang menentukan juga dalam pe- negakan hukum. Nilai apa yang dianggap baik dan buruk dari pandangan terhadap hukum telah menjadi kabur, dan orang cenderung mengartikan- nya dengan konversi ke dalam nilai materiil. Penekanan terhadap nilai ma- teriil ini ditimbulkan oleh kebutuhan yang dirasakan, sehubungan dengan tidak memadainya kualitas dan kuantitas aparat hukum dan sarana yang mereka miliki. Jika masyarakat berhubungan dengan masalah hukum de- ngan pendekatan hukum secara murni, akan timbul suatu persepsi bahwa mereka tidak akan dapat memperoleh kepastian hukum yang seyogianya dapat diharapkan. Namun, penyelesaian yang diharapkan umumnya dapat dicapai dengan atau diiringi dengan pendekatan secara materiil.23
Dari sisi struktur atau proses, hukum dianggap sebagai hal yang identik dengan aparatnya, sehingga
penegakan hukum sangat ditentukan oleh perilaku dan moralitas aparatnya.
Uraian singkat di atas kiranya dapat mendukung suatu kesimpulan bahwa lingkungan penegakan hukum di Indonesia masih lemah. Hal ini
memberikan efek yang negatif pula pada kepentingan perbankan di Indo­nesia pada umumnya. Pengadilan cenderung memihak para pengutang, eksekusi jaminan masih memerlukan waktu yang lama, bahkan institusi hipotik yang seharusnya tidak memberikan keraguan dalam merealisa- sikan hak kreditor terkadang dapat dibelokkan, serta proses kepailitan yang masih lambat atau dapat dikondisikan menjadi lambat; akhirnya, kewibawaan institusi hukum menjadi makin melemah.
Kelima, lingkup sosial dan moralitas. Bank menghadapi lingkungan sosial dan moralitas yang dapat pula memengaruhi perjalanan usahanya, baik secara langsung maupun tidak. Bank akan menghadapi lingkungan ini dalam tiga hal. Pertama, ketika menghadapi debitor yang tidak meng- hormati perjanjian yang ditandatanganinya. Kedua, ketika bank akan me- nyelesaikan masalah utang-piutang debitor itu melalui jalur hukum. Dan ketiga, merupakan kebutuhan internal di mana bank harus meyakinkan diri, agar seluruh stafnya dalam melakukan pekerjaan mereka tidak ter- pengaruh oleh keadaan lingkungan sosial dan moralitas, yang lebih besar dan sedang berlangsung.
Kedua masalah pertama berkaitan dengan penegakan hukum dan budaya hukum. Salah satu penyebab penegakan hukum yang lemah ada- lah budaya hukum yang lemah. Dalam suatu pengertian, budaya hukum adalah iklim dari pemikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagai- mana hukum digunakan, dihindari, dan disalahgunakan; atau merupakan tindak-tanduk, nilai, dan pandangan yang diyakini suatu masyarakat ter- hadap suatu perundang-undangan, sistem hukum, dan berbagai bagian dari hukum. Budaya hukum yang lemah ini dapat dilihat dari dua sisi, yakni masyarakat umumnya dan para penegak hukum.
Sudah merupakan kenyataan sosial bahwa setiap terjadi hubungan de- ngan hukum, masyarakat dan atau melalui pengacaranya berusaha untuk mengalahkan hukum. Prof. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara menyebutkan, siapa yang lebih pandai menggunakan hukum akan menang dalam beper- kara. Fakta sosial lainnya yang ironis menunjukkan, terdapat sejumlah pihak yang sangat mengerti soal hukum, baik karena profesinya maupun gelar akademis yang disandangnya, menghadapi masalah hukum karena melanggar hukum dan akhirnya menjalani hukuman. Dari segi penegak hu- kum, masyarakat pencari keadilan sering mengeluhkan penanganan kasus mereka tidak membuahkan keadilan yang dapat diterima bagi banyak pihak, atau tidak dapat dipercaya sebagai keputusan yang adil dan wajar.
Hal ini tidak berarti bank dapat mengabaikan kekuatan hukum se- tiap perjanjian dan pengikatan jaminan. Setiap dokumen hukum yang dimiliki bank dalam kaitan dengan debitor harus tetap bernilai yuridis sempurna, dan sebagian besar harus dibuat secara notarial. Hanya saja, ketika berhadapan dengan institusi hukum, yaitu ketika penyelesaian masalah hukum dilakukan lewat jalur hukum, bank harus mengikuti dan menangani dinamika yang tersirat, yang pada akhirnya dan umumnya akan menimbulkan biaya yang lebih besar dan waktu penyelesaian relatif lebih lama.24
Mengenai hal ketiga, yaitu kemungkinan pengaruh lingkungan terha- dap sikap mental para staf, bank juga dikelilingi oleh ruang lingkup sosi- al yang menunjukkan tingkat moralitas 25 yang sangat memprihatinkan. Indonesia diakui dunia memiliki tingkat korupsi yang paling tinggi, dan belum menunjukkan perbaikan yang berarti. Korupsi telah berlangsung sangat lama di Indonesia, terjadi di setiap lapisan, baik di pemerintahan maupun di sektor swasta, di kota-kota besar dan di daerah terpencil, dan terjadi berulang-ulang serta terus-menerus.
Sebelum krisis 1997/1998, fungsi pengawasan Bank Indonesia khususnya lemah. Peraturan mengenai prudential masih dalam tahap pengembang- an dan belum ditaati sepenuhnya. Setelah krisis, walaupun banyak pihak belum merasa puas sepenuhnya dengan kinerja pengawasan bank sentral, dengan adanya kasus Bank Century pada 2008, peraturan kehati-hatian (prudential)26 dan lingkungan pengawasan secara umum mengalami perbaikan yang cukup berarti. Khususnya mengenai kasus Bank Centu­ry, dari uraian kronologis proses penggabungan sejumlah bank ke dalam Bank Century dan tindakan penyelamatan bank ini, banyak pihak, ter- masuk sebagian anggota DPR RI, berpendapat bahwa terdapat intervensi pejabat Bank Indonesia dan pemerintah dalam pengambilan keputusan, sehingga kedua langkah tersebut dapat terlaksana.
Setelah krisis 1997/1998, kasus intervensi politik dalam lingkung- an perbankan baru kali ini terjadi, dan tidak terjadi secara umum pada bank-bank lainnya, sehingga dapat dikatakan kasus ini bersifat kasuistik dan terlokalisasi. Jika kasus ini tidak ada, bisa dibilang lingkungan per- aturan kehati-hatian seperti peraturan BMPK, dan tindakan pengawasan bank, telah dilakukan dengan cukup ketat. Selain itu, kepemilikan bank
Menurut Judith Rogala dan Carol Osborn dari Amerika, pada masa Yu- nani kuno, istilah etika (ethics) secara umum dapat dijelaskan dengan pertanyaan "bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupan?" Pengertian yang akan dicapai dari pertanyaan ini berakar pada pandang- an Aristoteles atau Kant. Menurut Aristoteles, etika adalah tujuan hidup, yaitu hidup yang baik yang mengandung kebajikan (virtue). Tujuan ini pulalah yang menjawab pertanyaan di atas, yang merupakan arti dari eti- ka, atau sesuatu yang baik.
Bagi Kant, etika merupakan tugas setiap individu berdasarkan rasio- nalitas untuk mencapai moralitas. Moralitas berasal dari kata mores, atau tingkah laku moral. Walaupun kedua kata, etika dan moralitas, hampir se- lalu diartikan sama dalam pengertian sehari-hari, Kant membedakan arti keduanya. Bagi Kant, moralitas bersifat kewajiban dan merupakan public goods, sedangkan etika adalah tugas setiap individu untuk menghasilkan moralitas atau public goods itu sehingga sifatnya lebih tinggi dari etika.
Dengan menggunakan analogi yang sama, dalam menjalankan peker- jaan di lingkungan perbankan, khususnya dalam bidang pemberian kredit atau pembiayaan, pertanyaan yang sama dapat pula dikemukakan, "ba- gaimana seharusnya orang bekerja dalam bidang pemberian kredit atau pembiayaan di bank?"
telah dibatasi, dan sektor korporasi bukan lagi merupakan target utama perbankan, sehingga pinjaman terkait bukan lagi merupakan isu yang besar. Kecuali terjadi pada kasus Bank Century, pengaruh politik atau yang berkuasa terhadap keputusan perkreditan dapat dikatakan telah berkurang dengan cukup berarti.
Bagi Kant, etika merupakan tugas setiap individu berdasarkan rasionalitas untuk mencapai moralitas.
Terdapat perbedaan yang mendasar antara bekerja di industri perbankan dan bekerja di industri lain, walaupun menangani masalah keuangan. Pekerjaan di lingkungan perkreditan khususnya atau bank umumnya mengandung tanggung jawab moral yang lebih besar. Pada saat yang sama, pekerjaan ini menghadapi risiko kredit yang tidak kecil, dan memiliki unsur ketidakpastian. Kedua faktor ini saja menuntut para pekerjanya untuk berhati-hati dalam melakukan segala tindakan dan pengambilan keputusan. Keputusan harus diambil berdasarkan peneliti-
an yang cermat dan akurat dengan lebih banyak menggunakan akal sehat berdasarkan data-data dan informasi yang akurat, serta dibarengi dengan nurani yang bersih menerangi intuisi dan keyakinan seseorang.
Hal inilah yang hendak dicapai oleh kata "bagaimana" pada awal pertanyaan di atas. Untuk itu, dibutuhkan suatu peta perjalanan yang menunjukkan arah dan lintasan yang tepat dan benar, atau prinsip-prinsip yang akan membimbing orang dalam melakukan pekerjaan itu. Melakukan pekerjaan secara etis adalah dengan mengikuti segala peraturan, ketentuan, dan prinsip-prinsip yang mengandung nilai-nilai kebenaran; serta memenuhi tuntutan untuk menciptakan hasil pekerjaan yang baik, sehingga dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh konstituen atau stakeholder yang berkaitan dengan pekerjaan itu. Hasil ini merupakan public goods yang dimaksudkan oleh Kant, tetapi dalam bentuk yang lebih konkret; namun, pekerja sebagai individu sangat berperan dalam pencapaian hasil ini.
Apa yang diinginkan oleh konstituen bank, khususnya masyarakat pemilik dana yang disimpan di bank, adalah agar bank tetap beroperasi dengan baik sehingga dana mereka tetap aman berada di situ. Kesuksesan bank ini, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, bergantung pada kepercayaan (trust) dan keyakinan (confidence) semua pihak. Dalam kaitan ini, Okan Veli Safakli dari Turki berpendapat, nilai etika dan tingkah laku memainkan peranan sangat penting dalam menciptakan trust dan confidence yang timbal balik. Safakli juga menekankan, bank tidak dapat melupakan pentingnya etika bertingkah laku, pada saat memaksimumkan keuntungan.
Dalam konteks perbankan, etika dapat digambarkan sebagai tingkah laku yang tepat dalam rangka menciptakan manfaat yang timbal balik bagi seluruh stakeholder, seperti nasabah, para deposan, pemilik saham, dan para pegawai. Dengan demikian, dalam melaksanakan kegiatan usahanya, bank harus mengarahkan kegiatannya menuju kebaikan, kebenaran, dan mematuhi ketentuan dan peraturan hukum, dan tidak berorientasi pada keburukan, ketidakbenaran, dan tidak melawan hukum serta ketentuan yang berlaku. Etika di perbankan merupakan sifat kejujuran, tidak memi- hak, dapat dipercaya, sesuai dengan regulasi perbankan, dan transparan.
Safakli memerinci makna setiap unsur ini. Kejujuran: harus jujur ke- pada nasabah, pegawai, pemilik saham, kompetitor, dan organisasi lain- nya. Tidak memihak: harus dapat membedakan nasabah dengan nasabah, atau nasabah dengan pegawai, atau mereka dengan para stakeholder. Dapat dipercaya: bank harus melakukan kegiatannya secara tepat waktu, dengan tepat, secara bertanggung jawab, dengan akurat, dan menginfor- masikannya kepada nasabah hal-hal yang perlu diketahui kepada nasa- bah terkait. Sesuai dengan regulasi perbankan: bank harus menjalankan seluruh kegiatannya sesuai dengan ketentuan dan peraturan perbankan. Transparan: bank harus memberikan informasi yang dapat dimengerti secara jelas dan mudah yang berkaitan dengan produk, jasa, risiko dan manfaat kepada nasabahnya.
Bank akan disebut bermoral hanya jika orang-orang di dalamnya ber- moral. Namun, sering terjadi, atau ada anggapan yang cederung digene- ralisasi, jika seseorang melakukan tindakan tidak etis, dan banyak orang yang melakukannya, maka seolah-olah tindakan tidak etis itu bukan me- rupakan pelanggaran. Dalam hal perkreditan, jika suatu pelanggaran te- tap dibiarkan terjadi, pelanggaran itu umumnya akan cenderung disusul dengan pelanggaran berikutnya. Karena dari pelanggaran ke pelanggaran tetap berlangsung, akhirnya yang terjadi adalah kumpulan kredit yang bermasalah pada bank.
Dari segi perspektif manajerial, generalisasi seperti itu harus segera dipadamkan dengan melakukan ketegasan dalam reward and punish­ment kepada siapa pun pelakunya. Artinya, setiap pelanggaran harus di- tangani dengan baik. Penanganan pelanggaran yang baik tidak saja harus menyelesaikan persoalan yang ditimbulkan oleh pelanggaran itu dengan baik, tetapi lebih dari itu. Faktor-faktor penyebab timbulnya pelanggar- an itu harus diteliti dan dipelajari, serta kebijakan baru harus diciptakan agar pelanggaran itu tidak terulang.
Dalam kaitan dengan pekerja bank (bankir) ini, Mitchell A. Petersen dan Raghuram G. Rajan (University of Chicago) menyebutkan tiga macam kerusakan karakter yang terbesar pada para bankir, yaitu ketidakmam- puan (incompetence), kemalasan, dan ketidakjujuran. Ketidakmampuan dan kemalasan akan berakibat pada kehilangan dan tersia-siakannya ke- sempatan untuk memperoleh keuntungan bagi bank, dan bahkan, dapat mengakibatkan para debitor tidak melakukan pembayaran pinjaman atau utangnya kepada bank. Adapun ketidakjujuran dapat membuat yang ti- dak jujur mencuri langsung atau tidak langsung dari bank tempat dia be­kerja, atau secara tidak langsung dari debitor, sehingga di sini merugikan debitor dan bahkan bank dari segi reputasi.
Di sisi lain, kredit juga dapat menjadi bermasalah karena masalah- masalah yang berkaitan dengan debitor. Menurut Kenneth Koford dan Adrian E. Tschoegl, ada dua penyebab yang berkaitan dengan
debitor tersebut: pertama, perusahaan debitor mengalami kesulitan; kedua, debitor melakukan penyimpangan (fraud). Kedua penyebab ini dapat diketahui dengan pasti hanya jika kredit telah diberikan. Namun, jika pemberian kredit dilakukan oleh bankir yang memiliki kerusakan karakter yang dimaksud oleh Petersen dan Rajan di atas, sudah dapat diperkirakan bahwa kredit yang diberikan itu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi bermasalah di kemudian hari.
Pada hakikatnya, pemberian kredit atau pembiayaan merupakan keperca- yaan terhadap seseorang atau perusahaan yang diberi kredit atau pembia- yaan, bahwa dia akan dapat mengembalikan utang atau modal yang di- pinjamkan. Kepercayaan (trust) merupakan unsur paling penting dalam setiap pemberian kredit atau pembiayaan. Dalam pemberian pembiayaan, bank syariah percaya, nasabah dapat membayar angsuran pembayaran yang tertunda untuk suatu pembelian, atau percaya nasabah dapat me- lakukan bisnis dengan menghasilkan keuntungan, sehingga modal yang digunakan dapat dikembalikan.
Trust, dalam arti yang sederhana, identik dengan kepercayaan (con­fidence). Menurut Robert Bruce Shaw dari Amerika, trust, atau dalam bahasa Jerman trost, berarti "nyaman", dan merupakan penilaian awal terhadap kemampuan karakter seseorang, institusi, atau organisasi, yang tidak selalu dibentuk dari pengalaman, tetapi sebagian dibentuk dari ke­percayaan (faith). Definisi yang diberikan oleh Shaw adalah "suatu keper­cayaan (belief) terhadap siapa kita gantungkan harapan bahwa dia akan memenuhi harapan kita". Jadi, trust, menurut Shaw, merupakan suatu penilaian terhadap kapasitas seseorang untuk memenuhi kebutuhan kita, yang mengandung tiga unsur: pertama, trust dalam ranah bisnis meng- andung kinerja dari seseorang atau institusi dalam memenuhi kewajiban dan komitmennya; kedua, melakukan tugasnya dengan integritas atau kejujuran, yang ucapannya sesuai secara konsisten dengan tindakannya; ketiga, menunjukkan perhatian terhadap orang lain.
Kepercayaan (trust) merupakan unsur paling penting dalam setiap pemberian kredit atau pembiayaan.
Menurut Kathy Bloomgarden dari Amerika, ada empat unsur yang dapat membentuk trust, yaitu memberikan hasil yang nyata, bertindak
dalam norma-norma etika, mendengarkan apa yang harus disampaikan oleh orang lain, dan bersikap terbuka atau transparan dengan apa yang dilakukan. Craig Muldrew dari Amerika berpendapat, trust merupakan ikatan sosial yang penting yang berarti suatu reputasi yang baik yang menggambarkan kejujuran dan realibilitas dalam kaitan dengan kewa- jiban. Menurut Kieron O'Hara dari Inggris, trust dibentuk dan didukung oleh reputasi; dalam hal ini reputasi yang baik. O'Hara berpendapat, reputasi mengandung informasi yang dapat menjawab pertanyaan me- ngenai dasar reaksi dari aksi yang akan dilakukan, ketika berhadapan dengan seseorang atau institusi. Reputasi merupakan jaminan, substansi, dan fondasi dari trust, sekaligus merupakan prediktor terhadap apa yang akan terjadi. Reputasi adalah bahan dasar pembentukan trust. Seluruh pengertian atau definisi secara langsung atau tidak langsung menunjuk- kan adanya nilai moral.
Dalam hal perkreditan, kurangnya unsur trust karena reputasi yang buruk merupakan kriteria yang penting dalam penentuan pemberian kre- dit, dan membahayakan bagi pengelolaan risiko kredit. Trust dan reputa- si yang baik yang terjalin bagi kedua pihak, kreditor dan debitor, biasanya menghasilkan pembayaran yang tepat waktu, tingkat transparansi yang tinggi bagi keterbukaan data dan informasi yang diperlukan. Akuntabili- tas kedua pihak mendorong timbulnya kerja sama yang dekat dan efektif. Institusi yang memperlebar tersedianya informasi kepada kreditor dapat mengurangi risiko timbulnya gagal bayar, yang disebabkan oleh ketidak- mampuan debitor untuk membayar kembali kewajibannya, dan membe- rikan pengaruh positif terhadap jumlah pinjaman.
Di lain pihak, reputasi yang buruk dapat meliputi pembayaran kewa- jiban yang lambat atau tidak tepat waktu, atau bahkan menimbulkan ku- rangnya kerja sama dan keterbukaan antara kreditor dan debitor. Di sam- ping itu, masalah reputasi ini akan dapat tercipta dengan bantuan atau dorongan ketegasan hukum terhadap penyelesaian masalah perkreditan antara debitor dan kreditor. Penegakan hukum dapat mendorong orang untuk melaksanakan janji membayar kembali utangnya, sekaligus mem- perkuat unsur kepercayaaan yang pernah diberikan.
Walaupun pada mulanya pemberian kredit dilakukan atas dasar ke- percayaan, menurut filsuf Inggris Thomas Hobbes, banyak hal yang harus dihadapi oleh setiap individu, seperti perubahan dalam hal selera atau nafsu dan kompetisi untuk penghormatan dan penghargaan antara sesa- ma individu, sehingga keberadaan trust atau kepercayaan tidak lagi dapat diperkirakan atau diramalkan. Karena itu, sejalan dengan pendapatnya mengenai sifat manusia, Hobbes berpendapat orang seharusnya tidak memberikan kepercayaan kepada pihak lain, jika tidak ada keyakinan bahwa terdapat otoritas hukum yang dapat memaksa penepatan janji.
Dalam pengalaman di Brasil, misalnya, para kreditor menganggap bahwa mekanisme seleksi ex-ante memberikan hasil yang memuaskan, dan memberikan proteksi yang baik untuk menghindari calon debitor yang tidak baik. Calon debitor yang tidak baik akan berpikir dua kali se- belum memasuki perjanjian kredit dengan calon kreditor, mengingat pe- nyelesaian secara hukum yang efektif terhadap tanggung jawabnya akan menempatkan dirinya pada posisi yang tidak menguntungkan. Di sini, re- putasi masa depannya akan terganggu, dan sulit baginya untuk memulai hubungan dengan pihak perbankan jika reputasinya telah tercatat dengan buruk. Dalam kaitan ini, reputasi sebagai informasi kredit yang penting mengenai calon debitor yang siap tersedia, dan dapat dipercaya merupa- kan fitur yang penting dari pasar kredit di Brasil.27
Dalam hal tidak tersedianya biro kredit seperti yang diterapkan di Meksiko, bank harus melakukan usaha lain dalam rangka mencari infor- masi mengenai reputasi calon debitor. Usaha pengecekan mengenai re- putasi calon debitor harus dilakukan dari saluran informasi tertentu yang dapat dipercaya. Saluran informasi ini dapat dikembangkan dari sejarah perjalanan usaha debitor, dan dari lingkungan dengan siapa debitor ber- interaksi dalam bisnis.
Berdasarkan uraian ini, usaha pengecekan reputasi calon debitor, sebelum proses kredit dimulai, merupakan suatu kegiatan yang indepen- den, sangat penting, dan bersifat sentral dalam keputusan pemberian kre- dit, serta diyakini dapat mengurangi tingkat NPL.
1       Banyak penelitian baik teoretis maupun empiris membuktikan hal ini, antara lain disebutkan bahwa alokasi modal yang efisien dalam perekonomian akan meningkatkan pertumbuhan (Levine, 1997). Perkembangan intermediasi keuangan menunjukkan pengaruh yang kuat terhadap pertumbuhan ekono­mi baik secara ekonomis maupun secara statistik (Levine, Loayza, dan Beck, 2000: 30).
2       Bahkan Kaufman (2001) mengutip pendapat berikut: "poorly functioning banking systems can impede economic progress, exacerbate poverty, and de­stabilize economies... And well functioning banking systems accelerate long run economic growth" (Barth, Caprio, dan Levine, 2001).
3       Mayer, Duesenberry & Aliber, 1987, Money, Banking and The Economy, hal. 16
4       Namun, kemampuan bank untuk menyerap risiko ini juga ada batasnya, yang sebagian bergantung pada pendapatan yang dapat diperoleh dari pinjaman yang diberikan tetapi sehat dan menguntungkan, dan kemudian bergantung pada besar-kecilnya modal yang dimiliki. Karena itu, pengelolaaan risiko yang tepat bagi bank bersifat mutlak atau sangat penting (Boffey dan Robson, 1995)
5       Schroeck, Gerhard, 2002, Risk Management and Value Creation in Financial Institutions, hal. 14.
6      Apa yang terjadi pada long term capital management (LTCM), 1997, dapat di- kemukakan sebagai contoh dari uraian ini. LTCM merupakan investment bank yang bergerak khususnya dalam bidang perdagangan arbitrase, dengan meng- ambil keuntungan dari perbedaan harga aset keuangan. Karena keuntungan yang selalu dapat diperolehnya, paling kecil mencapai 17 persen di tahun 1997, LTCM selalu dapat memperoleh sumber dana dari berbagai investor, yang di- sebut sebagai hedge fund. Dana ini dapat digunakan untuk jual-beli berbagai aset keuangan. Karena kompetisi yang semakin ketat, LTCM tidak lagi dapat menghasilkan tingkat keuntungan yang biasanya diperoleh untuk tingkat ri- siko yang sama sehingga LTCM memutuskan untuk mengembalikan sejumlah US$ 2,7 miliar kepada para investor dalam tahun 1997. Namun, setelah modal para investor ini dikembalikan, tingkat risiko portofolio yang ada tidak meng- alami penurunan sehingga tingkat leverage-nya justru meningkat dengan ta- jam, dan hal ini memperberat pula masalah likuiditas. Akhirnya, para investor tidak dapat memperoleh kembali dananya secara utuh karena harus memberi- kan haircuts (Banks, dan Dunn, 2002: 7-10).
7       Colquitt, Joetta, 1993, Credit Risk Management, hal. 6.
8      Caprio Jr (1996: 3) menyebutnya sebagai demandable debt.
9       Schroek, Gerhard (2002: 76).
10    George Soros mengutip pendapat CEO Citibank, Chuck Prince, yang mengata- kan, "Ketika musik berhenti, dalam kaitan dengan likuiditas, segala hal akan menjadi rumit. Namun sepanjang musik berlangsung, Anda harus berdiri dan menari. Kita masih menari." Pendapat ini menggambarkan keadaan yang berkaitan dengan masalah kredit subprime di Amerika, di mana persoalan timbul ketika kredit berkontraksi yang disebabkan likuiditas dikurangi untuk tujuan yang sama (Soros, George. 2008. The New Paradigm for Financial Market s: 84).
11     Berdasarkan pengalaman penulis ketika bekerja di Chase Manhattan Bank, Ja­karta, pinjaman debitor akan dinilai memiliki RR 1 jika pinjaman itu dijamin oleh deposito si debitor dan disimpan di Chase Manhattan Bank dengan nilai yang lebih besar daripada pinjaman yang diberikan. Pada waktu itu, pinjaman dapat diberikan sebesar 90 persen dari nilai jaminan deposito.
12    Untuk kasus Indonesia, dengan net interest margin 6 persen, jika suatu pin­jaman macet senilai Rp 100 juta dan harus dihapuskan, maka untuk menutup kerugian ini, bank perlu memberikan pinjaman baru yang tak berisiko atau dengan RR 1 sejumlah Rp 100 juta dibagi dengan 0,06, atau berjumlah Rp 1,6 miliar (pen.).
13    Moral hazard yang paling ekstrem terjadi pada bank sebagai suatu institusi adalah pada Bank of Credit and Commerce International (BCCI). Bank ini murni digunakan untuk kejahatan. Didirikan pada 1972 di Luksemburg, BCCI lebih banyak beroperasi di Cayman Island, yang tidak punya banyak peratur- an pada perbankannya. BCCI mengontrol dana berjumlah US$ 20 miliar dan memiliki cabang di 70 negara. Sebagian besar dana bank ini diambil dan digu- nakan untuk kepentingan para pemilik dan pejabatnya. Bank hanya menye- diakan dana cukup untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan para deposan meminta dana mereka kembali. Ketika bank ini ditutup oleh otoritas di bebe- rapa negara pada 1991, sulit untuk menemukan kembali dana tersebut karena sebagian besar telah lenyap (De George, 1999: 456).
14    Hal yang sama dikemukakan oleh Caprio Jr (1996: 3), yaitu bank dapat menu- tupi masalah NPL-nya dengan memperbarui jangka waktu pinjaman dan/atau meningkatkan jumlah tabungan dan memperbesar neracanya.
15    Menurut penulis, hal-hal inilah yang membuat Caprio Jr (1996: 3) mengata- kan bahwa portofolio pinjaman bank bersifat samar (opacity of bank loans).
16    Nitibaskara (2001: 116-118) menyimpulkan adanya penjahat berdasi membo- bol bank dari kejadian-kejadian seperti BLBI, mark up, dan pemberian kredit pada diri sendiri yang melebihi ketentuan BMPK. Bank dijadikan sasaran pe- rampokan, pemalsuan surat, penipuan, penggelapan, dan korupsi. Semua ini merupakan kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh pemilik, direksi, dan komisaris bank yang menggunakan bank untuk memperkaya diri sendiri.
17    Kasus-kasus yang disebutkan oleh Prasetiantono antara lain kasus Leeson dari Baring Bank tahun 1995, kasus bankir Bernie Cornfeld yang membuat bank- nya bangkrut tahun 1970, kasus kebangkrutan Hersatt Bank di Jerman tahun 1874, Baring Bank terancam bangkrut karena pinjaman besar ke Argentina tahun 1890, kasus Dicky Iskandar Dinata pada Bank Duta, kasus Bank Bapin­do, kasus Edward Suriajaya pada Bank Summa, Kasus LC fiktif Bank BNI, dan kasus pembobolan BRI di Magelang.
18   Tujuan utama mengatur perbankan yang dilakukan oleh pengawas perbankan, yang umumnya dilakukan oleh bank sentral, adalah menjamin bahwa keadaan keuangan setiap bank sehat, setiap bank memiliki struktur manajemen yang baik dan memadai, dan bank melindungi kepentingan para pemilik dana (El- gari, 2003).
19    Caprio Jr (1996) menyebutkan tiga karakteristik keuangan (finance), yaitu in­formation asymmetric, intertemporal trade, dan some demandable debts.
20   Levine, Loayza, dan Beck berkesimpulan bahwa intermediasi keuangan mela- kukan pekerjaan lebih baik dalam hal mengumpulkan informasi, melaksanakan kontrol korporasi, mengelola risiko, dan memobilisasi tabungan; dan, negara dengan intermediasi yang lebih baik akan berkembang lebih cepat dibanding- kan dengan negara di mana intermediasi keuangannya kurang berkembang.
21    Skandal akuntansi terbesar di dunia abad ini adalah kasus Enron di Amerika. Kwik Kian Gie menguraikan secara lebih terperinci mengenai kasus ini dalam bukunya Pikiran yang Terkorupsi.
22   Budaya atau kultur hukum mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari aparat penegak hukum maupun dari warga masyarakat (Ali, 2005: 9).
23    Hal ini sejalan dengan pendapat Rahardjo (2006: 60-64, 173, 241) bahwa hu- kum bukan lagi merupakan ajang untuk mencari keadilan, melainkan untuk memperoleh status menang atau kalah, sehingga dijadikan sebagai suatu per- mainan seperti halnya dalam bidang bisnis. Bahkan, hukum sudah dijadikan komoditas yang diperdagangkan, dan di situlah timbul adanya mafia peradilan sehingga hukum bukan lagi merupakan institusi moral.
24    Himawan (2006: 196, 197) menyebutkan dengan sangat diplomatis bahwa keputusan pengadilan dalam waktu pengamatannya mencerminkan kontami- nasi KKN; karenanya, dia berharap etika proses berpolitik dan ketaatan pada hukum harus ditegakkan dengan penuh tanggung jawab.
25    Menurut Fisher dan Lovell (2003: 30), walaupun moralitas dan etika dapat digunakan secara bergantian, atau memiliki arti yang serupa, keduanya dapat dibedakan. Moralitas lebih banyak mengacu pada makna yang berarti "meng- hindari keburukan", menekankan pada keadilan, yaitu mengandung usaha untuk mengembalikan pada keadaan semula atau ganti rugi jika kesalahan di- lakukan, dan bersifat sebagai suatu pertimbangan. Etika lebih mengacu pada tindakan yang baik, berkaitan dengan kehidupan yang baik bagi manusia dan lebih bersifat sesuatu yang berkembang.
26   Pengaturan-pengaturan prudential akan mengurangi kemungkinan kegagalan dan krisis bank. Pengaturan-pengaturan itu berisi regulasi portofolio bank (aturan modal, aturan likuiditas, aturan diversifikasi, larangan sejumlah opera- si), kebutuhan masukan, aturan keterbukaan informasi, dan kebutuhan akun- ting (Burghof/Rudolph, 1996: 40). Karena risiko kebangkrutan bergantung pada rasio antara ekuitas, utang, dan risiko aset, regulasi struktur modal men- jadi sangat penting (Dewartripont/Tirole 1994: 5)—sebagaimana dikutip dari Neuberger (1997).
Pinheiro, Castelar, dan Cabral (1999)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar