B
|
ANK syariah merupakan
subsektor perekonomian Islam, yang diatur dalam
Al-Quran dan hadis Nabi Saw. Karena perbankan umumnya berkaitan
erat dengan janji untuk melakukan pembayaran sehubungan dengan
utang-piutang, perlu disimak apa yang dikatakan Al-Quran dan hadis mengenai hal tersebut.
Menurut Al-Quran,
jika bermuamalah tidak secara tunai, hendaklah dituliskan
dengan dua orang saksi dari kedua pihak, agar utang itu tidak dilupakan dan tidak dikurangi sedikit pun (QS
Al-Baqarah [2]: 282), serta tidak menjadi bahan
perselisihan di kemudian hari. Transaksi perbankan umumnya
berkaitan dengan utang-piutang atau mengandung unsur ke- wajiban
dan tanggung jawab keuangan yang harus dipenuhi. Karena itu, setiap transaksi yang mengandung janji untuk membayar
dengan waktu tunda harus dicatat dan
dipersaksikan, sehingga tidak menimbulkan ma- salah
pembuktian di kemudian hari.
Dalam perbankan syariah, utang yang
ditimbulkan dari pinjam- meminjam murni dibedakan
dengan utang yang ditimbulkan karena perniagaan
atau investasi; yang terakhir ini disebut sebagai "pembiayaan".
Bagian ini akan membahas secara umum perbedaan keduanya, dan secara khusus mengenai pembiayaan, yang diperlukan
dalam menyoroti masalah NPF sebagai tema sentral.
Dari segi pendanaan, bank syariah menggunakan akad
yang sama seperti halnya pembiayaan, terutama akad mudharabah, seperti yang akan diuraikan di
belakang. Akad yang lain untuk pendanaan adalah wadiah atau titipan, tapi masalah pendanaan tidak dibahas secara terperinci.
Setiap barang yang bisa
dijual dapat menjadi pinjaman atau dipinjamkan. Contohnya
emas dan perak, serta barang dagangan, di samping uang. Berdasarkan
kegunaan atau sumber keperluannya, pinjaman dalam Islam dibagi
menjadi dua macam.
Pertama, utang. Utang (loan
atau qard) umumnya muncul untuk keperluan sehari-hari yang mendesak sehingga merupakan
suatu kegiat- an sosial
(tabarru). Utang yang bersifat nonproduktif ini biasanya terjadi dalam kaitan dengan ketidakberuntungan, atau muncul di
luar dugaan, seperti kematian atau membayar uang
tebusan, serta dapat terjadi pada semua orang dari
semua golongan sosial. Di samping itu, terdapat utang nonproduktif
tetapi yang diperlukan dalam kaitan dengan keperluan prestise,
misalnya untuk pembelian persenjataan atau barang-barang me- wah. Namun, utang macam ini hanya berkaitan dengan
segelintir orang, yang berada pada tingkat sosial
yang lebih tinggi.
Walaupun bersifat
sosial, utang harus dibayar karena merupakan pemindahan
hak yang dimiliki oleh seseorang kepada orang yang memin-
jamnya untuk sementara. Karena bersifat sosial, pembayaran kembali hak tersebut harus dilakukan dalam jumlah yang sama, yang
artinya dilarang mengandung keuntungan atau riba.
Walaupun utang seperti ini akadnya bersifat
sosial, Nabi Muhammad Saw. sangat menganjurkan agar umat-
nya tidak mengambil atau menggunakan utang, kecuali jika terpaksa.1
Kedua, pembiayaan. Pembiayaan bersumber dari
transaksi ko- mersial, atau berkaitan dengan
perdagangan, atau bahkan investasi de- ngan tujuan
produktif. Pinjaman di sini bukan berarti loan
dengan dasar tidak ada barang yang dipinjamkan,
melainkan berarti sebagai debt, atau kewajiban membayar yang ditunda sehubungan dengan telah
terjadinya suatu transaksi komersial atau
jual-beli. Pembayarannya dalam hal ini diperjanjikan
untuk dilakukan kemudian pada waktu yang ditentukan.
Karena itu, dalam
terminologi bank syariah, "pinjaman" atau peng-
gunaan uang pihak lain yang terjadi dalam kaitan dengan suatu transaksi komersial disebut sebagai "pembiayaan". Dalam
Islam, seperti halnya da- lam perjanjian
konvensional, apa yang telah diperjanjikan atau disepakati
harus ditepati (QS Al-Baqarah [2]: 283). Jika jan- ji atau kewajiban tidak ditepati, akan ada konse- kuensi duniawi dan akhirati (QS Al-Thalaq [65]: 8, 9, 10). Salah satu hadis menyebutkan bahwa janji adalah utang.
harus ditepati (QS Al-Baqarah [2]: 283). Jika jan- ji atau kewajiban tidak ditepati, akan ada konse- kuensi duniawi dan akhirati (QS Al-Thalaq [65]: 8, 9, 10). Salah satu hadis menyebutkan bahwa janji adalah utang.
Salah satu hadis
Nabi Saw. menyatakan bah- wa pada dasarnya utang
harus dibayar, bahkan harus dilunasi sebelum
seseorang meninggal dunia, karena utang memiliki
konsekuensi yang sangat berat jika tidak dibayar.2
Sahih Muslim, seperti disebutkan Qar- dhawi,
menyebutkan sabda Nabi Saw. bahwa semua dosa orang yang mati sahid akan terhapus kecuali jika orang itu masih
memiliki utang yang be- lum terbayar.
Menurut hadis
riwayat Jamaah dari Abu Hurairah, dan Amr bin Sya- rid
as-Tsaqafi, Nabi Saw. bersabda bahwa orang yang mampu atau kaya tetapi menangguhkan pembayaran utangnya patut diumumkan
atau di- permalukan dan dihukum, atau menerima
sanksi baik di dunia maupun di akhirat. Hadis yang
lain menyebutkan "orang yang memiliki utang akan
dirantai dalam kuburnya, dan rantai itu tidak akan dilepaskan sebe- lum dia melunasinya."3
Sebaliknya, Al-Quran
menginstruksikan kepada yang memberikan pinjaman
untuk memberikan kelonggaran bagi yang meminjam, sampai dia
memiliki kemampuan (QS Al-Baqarah [2]: 280). Bahkan, jika si pe- minjam sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk
membayarnya, negara dapat membantu mengatasi yang
berutang dengan membayar pinjamannya menggunakan
dana zakat (QS Al-Taubah [9]: 60).
Mengapa Al-Quran dan
hadis begitu keras memerintahkan orang untuk membayar
utangnya, dan berusaha untuk tidak menggunakan atau meng-
hindari utang (loan) seperti yang
ditunjukkan oleh ayat Al-Quran dan hadis tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat diberikan uraian sebagai
berikut.
Bank syariah merupakan subsektor
perekonomian Islam, yang diatur dalam Al-Quran dan hadis Nabi Saw.
|
Pertama, utang merupakan pemindahan hak seseorang
kepada orang lain tetapi untuk sementara. Jika hak
itu tidak dikembalikan, arti- nya orang yang
meminjamnya memakan hak orang yang meminjamkan- nya.
Al-Quran (QS Al-Nisa' [4]: 29, 30) menyebutkan bahwa memakan
hak orang lain dilarang oleh Tuhan karena me- rupakan tindakan yang tercela dengan masuk ke neraka sebagai balasannya.
hak orang lain dilarang oleh Tuhan karena me- rupakan tindakan yang tercela dengan masuk ke neraka sebagai balasannya.
Kedua, perlu juga melihat hadis lain untuk menjawabnya. Nabi Saw. menyamakan kekafiran dengan utang yang besar. Sebab, bagi orang yang memiliki utang yang besar, ada kecenderungan jika berbicara dia akan berdusta dan jika berjanji dia tidak menepati.4 Utang yang besar dalam
perbankan konvensional identik dengan over leverage. Pada banyak kasus dalam perbankan
di du- nia, utang yang berlebihan memberikan satu
bentuk kerawanan yang ber- akibat pada tidak
terbayarnya utang itu, karena adanya sedikit perubahan dalam
lingkungan berusaha.
Ketiga, harta, dalam definisi Islam, yakni segala
sesuatu yang dapat diperoleh dalam kehidupan di
dunia yang berbentuk materi dan memi- liki nilai,
mutlak milik Tuhan. Karena itu, bagaimana memperoleh dan menggunakannya
harus sesuai dengan ketentuan moral yang dikandung Al-Quran
(QS Al-Baqarah [2]: 86; QS Ali 'Imran [3]: 14; QS Ali 'Imran [3]: 117; QS Al-Humazah [104]: 1-9). Dalam Islam, harta
atau hak hanya dapat diperoleh melalui tiga cara,
yaitu pertukaran atau jual-beli, pembe- rian atau
hibah, dan hasil kerja. Dalam hal ini, Al-Quran sangat menghar- gai muatan kerja atau hasil kerja yang baik, dan bahkan
menempatkan "kerja" atau
"bekerja" pada posisi yang mulia. Hal ini dapat dilihat lebih jauh dari sisi lain, yakni utang jenis pertama dianggap
memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan
dengan hanya "memberi", sekalipun "memberi" tidak mengandung kewajiban untuk membayar kembali.
Dalam kaitan ini,
Nabi Saw. seperti dikutip oleh HR Ibnu Majah, pernah
bertanya kepada Jibril, kenapa qardh lebih
tinggi dari sadaqah, dan jawabannya terletak
kepada kejujuran; seseorang yang meminjam karena
dia tidak punya, sedangkan orang yang meminta belum tentu dia tidak punya.5 Menurut hemat penulis, jika
dikaji lebih dalam, pandangan bahwa utang lebih
baik daripada meminta memiliki latar belakang, yang sama
dengan kenapa utang memberikan beban yang berat bagi Muslim jika tidak membayarnya. Latar belakangnya adalah Tuhan
memberikan nilai yang tinggi kepada usaha manusia
di dunia dan sangat menghargai hak orang lain
Menurut Ayatullah Mahmud
Taliqani dari Iran, hasil kerja merupakan dasar dari hak kepemilikan yang sah.
|
Menurut Ayatullah
Mahmud Taliqani dari Iran, hasil kerja merupa- kan
dasar dari hak kepemilikan yang sah. Usaha yang dimaksud di sini
adalah bekerja untuk mencari nafkah yang baik; dan memang Tuhan mensyaratkan kepada umatnya untuk bekerja keras atau berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi atau berproduktivitas, dan bahkan mendorong untuk menjadi pengusaha yang baik.
adalah bekerja untuk mencari nafkah yang baik; dan memang Tuhan mensyaratkan kepada umatnya untuk bekerja keras atau berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi atau berproduktivitas, dan bahkan mendorong untuk menjadi pengusaha yang baik.
Pada dasarnya,
bekerja dan berusaha bagi seorang mukmin merupa- kan
perwujudan keimanan seseorang kepada Tuhan. Hal ini sejalan de- ngan ayat Al-Quran yang memerintahkan kepada manusia
untuk bekerja karena Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pe- kerjaan itu,
dan kemudian manusia akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha
Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu kepada manusia dikembalikan apa yang telah dikerjakannya (QS Al-Taubah
[9]: 105).
Harta atau aset yang
baik adalah harta yang merupakan hasil lebih (surplus)
dari kerja keras manusia di dunia yang tidak digunakan untuk konsumsi tapi dijadikan tabungan, atau merupakan
manifestasi hasil ker- ja yang lebih dari yang
diperlukan untuk hidup. Harta yang diperoleh se- perti
ini merupakan hak milik orang yang telah menghasilkannya sebagai khalifah harta, dan cara inilah yang terutama diridhai
oleh Tuhan (QS Al- Ma'idah [5]: 35), tetapi
merupakan titipan Tuhan.
Dalam kaitan dengan
harta dan kerja, ahli ekonomi keuangan Frederick Soddy dari Inggris
mengutarakan bahwa tenaga manusia merupakan bahan
baku untuk menciptakan harta. Tenaga manusia
(labour) yang te- lah maju atau belum
merupakan kenyataan dalam kehidupan dan sejalan dengan
hukum fisik yang mengatur produksi atau penciptaan harta, dan bahkan diperlukan untuk mempertahankan kehidupan
bangsa.
Apa yang dipinjamkan
oleh seseorang merupakan hasil lebih dari kerja
keras yang menjelma dalam bentuk harta orang tersebut, yang pada hakikatnya adalah pengalihan hak untuk sementara dari
orang tersebut ke orang lain sehingga orang yang
meminjam ini dapat menggunakan manfaatnya, tanpa
kompensasi apa pun.6 Namun, hak orang pertama tadi harus dikembalikan secara utuh dalam waktu yang telah
disepakati; jika tidak, artinya orang yang
meminjam itu memakan hak orang lain secara tidak
sah.
Peminjaman ini
merupakan tindakan dalam rangka membantu se- sama
umat, tetapi tidak mengajari umat untuk malas bekerja. Salah satu alasan kenapa riba dilarang adalah, dengan riba, orang
akan mendapat keuntungan tanpa kerja. Karena itu,
tidaklah mengherankan jika Al-Qu- ran mengandung
banyak ayat yang menganjurkan orang untuk bekerja keras
dalam mengarungi kehidupan di dunia.
Islam mengajarkan
hidup berdasarkan nafkah atau kemampuan yang dihasilkan
hari ini dan berhemat untuk persediaan hari esok. Berutang, di lain pihak, pada esensinya merupakan tindakan konsumtif
yang menggu- nakan penghasilan di masa depan yang
masih dalam bentuk harapan.
Karena masih merupakan harapan,
berarti belum ada kepastian bah- wa penghasilan
yang telah dikonsumsi itu benar-benar dapat diperoleh di kemudian
hari. Ketika menunggu harapan itu, yang berutang mengalami beban psikologis berupa kewajiban untuk membayar yang
selalu memba- yanginya.7 Jika harapan
itu tidak terealisasi, konsumsi yang telah dihabis- kan
tercatat sebagai utang yang tidak terbayar dan menjadi beban berat bagi yang berutang. Ketika menghadapi beban yang tidak
kecil itu, Nabi Saw. mengatakan, orang akan
cenderung menghindar dari kewajibannya dan bahkan
menjadi munafik atau kafir.
Menurut Bill Bonner dan
Addison Wiggin, keduanya pakar keuangan dari AS,
akibat negatif berutang tidak saja berlaku bagi orang per orang, tetapi juga bagi negara. Negara melakukan peminjaman uang
umumnya untuk penyelenggaraan negara yang sebagian
juga bersifat konsumtif. Akhir- nya, makin banyak
utang digunakan, makin besar kewajiban membayar, makin
banyak rantai yang mengikat. Bersamaan dengan meningkatnya kebiasaan dan beban yang dibawanya, makin hilang
kemampuan dan ke- inginan untuk berproduksi secara
riil sehingga makin hilang pula kesem- patan untuk
menciptakan lapangan pekerjaan.
Khan, Ahmad, dan
Mannan, seperti dikutip oleh Latifa M. Algaoud dan
Mervyn K. Lewis, serta Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, berpen- dapat bahwa meningkatnya utang, yang berakibat meningkatnya
beban bunga dan biaya produksi, juga akan
menurunkan penciptaan lapangan kerja, atau
cenderung menghalangi terjadinya lapangan kerja penuh.
Kebiasaan berutang
akan menjadi proses yang terus berlangsung, sampai
suatu saat terpaksa menghentikan praktik penambahan utang
tersebut. Kasus di Amerika membuktikan bahwa sekali utang digunakan, utang akan terus bertambah, dan utang yang bertambah
akan menurun- kan produktivitas serta mengurangi
hasrat untuk berproduksi. Pada 1901, total utang
domestik Amerika hanya US$ 1 miliar. Jumlah ini bertambah
4.000 kali dalam seabad, menjadi US$ 4 triliun pada tahun 2000; utang ini belum termasuk utang eksternal yang berjumlah US$
1,3 triliun.8 Da- lam kaitan dengan
hilangnya hasrat untuk berproduksi dan menciptakan lapangan
kerja, sejak 1980 Amerika tidak lagi memproduksi barang-barang industri seperti televisi, radio, alat dan mesin,
barang-barang baja, tekstil, dan komputer.9
Bukti empiris
lainnya mengenai kebiasaan berutang, atau mudahnya memperoleh
utang, yang berakibat jumlah utang menjadi lebih besar, dan
mendorong pihak yang berutang untuk berbohong, atau merekayasa laporan, dan akhirnya tidak dapat membayar utang
kembali adalah apa yang terjadi di Yunani.
Selama 30 tahun
terakhir, Yunani mengalami defisit anggaran. Dido- rong
oleh rating surat utang yang baik, Yunani
terlalu banyak menggu- nakan utang di masa lalu.
Dewasa ini utang Yunani mencapai 115 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB)-nya, yakni US$ 429
miliar. Agar tetap memperoleh utang dari tahun ke
tahun, Yunani melakukan rekaya- sa pelaporan
keuangan. Baru diketahui belakangan bahwa Yunani telah melewati
batas utang atau defisit anggaran mencapai 6 persen, dua kali lipat dari batas yang ditentukan oleh Uni Eropa, yaitu
3 persen dari PDB. Akibatnya, surat utang baru
tidak dapat dijual atau diserap pasar.
Mudarat yang
diciptakan oleh utang seperti yang dialami Yunani bu- kanlah
yang pertama kali terjadi di dunia. Ekonom Inggris Noreena Hertz menyimpulkan bahwa manfaat yang seharusnya dihasilkan
dari utang jika digunakan dengan bijak pada
umumnya hanya merupakan dongeng. Utang pada
akhirnya menimbulkan sejumlah kemudaratan dan membuat orang berlaku jahat, dikuasai oleh kepentingan tertentu yang
bersifat koruptif, dan terdorong menciptakan
informasi yang tidak benar dan memihak.
Di permukaan, utang
dikatakan untuk kepentingan negara, tetapi ke- pentingan
itu dikuasai oleh kepentingan pribadi atau sekelompok orang yang berkuasa. Hal ini terjadi pada Presiden Menem dari
Argentina dan Pre- siden Kuchma dari Ukraina.
Menurut Hertz, mereka mengambil utang yang berlebihan,
tetapi tidak pernah memikirkan bagaimana akan membayarnya
kembali. Mereka menggunakan utang untuk diberikan kepada semua pihak yang dapat mendukung pemilihan mereka kembali sebagai
presiden.
Dalam Islam, utang
atau piutang tidak dapat diperdagangkan seperti halnya
pada perbankan konvensional baik secara langsung maupun me- lalui sekuritisasi. Salah satu alasannya adalah, dalam
perbankan syariah, uang mengikuti alur barang atau
jasa.
Jika ditinjau dari
transaksi yang terkait dengan penjualan utang atau piutang
itu, ada dua macam transaksi yang perlu diuraikan. Pada trans-
aksi pertama, umumnya, terjadi transaksi jual- beli suatu barang dengan pembayaran ditunda sehingga menciptakan utang dan piutang bagi kedua pihak yang bertransaksi. Pada transaksi kedua, yaitu ketika piutang itu dijual, tidak ada lagi alur barang yang mengimbanginya. Dengan menggunakan pendekatan lain, menurut Siddi- qi, penjualan utang ini dapat dijelaskan sebagai suatu penukaran uang dengan jumlah uang yang berbeda di masa depan, sehingga tidak membawa manfaat yang berka- itan langsung dengan produktivitas. Dengan demikian, transaksi kedua tersebut bukan lagi transaksi yang berkaitan dengan barang, atau melekat pada sektor riil, melainkan merupakan transaksi sektor keuangan yang bergerak menjauhi sektor riil.
aksi pertama, umumnya, terjadi transaksi jual- beli suatu barang dengan pembayaran ditunda sehingga menciptakan utang dan piutang bagi kedua pihak yang bertransaksi. Pada transaksi kedua, yaitu ketika piutang itu dijual, tidak ada lagi alur barang yang mengimbanginya. Dengan menggunakan pendekatan lain, menurut Siddi- qi, penjualan utang ini dapat dijelaskan sebagai suatu penukaran uang dengan jumlah uang yang berbeda di masa depan, sehingga tidak membawa manfaat yang berka- itan langsung dengan produktivitas. Dengan demikian, transaksi kedua tersebut bukan lagi transaksi yang berkaitan dengan barang, atau melekat pada sektor riil, melainkan merupakan transaksi sektor keuangan yang bergerak menjauhi sektor riil.
Menurut banyak pendapat, inilah yang menyebabkan
dikotomi anta- ra sektor riil dan sektor keuangan,
sekaligus menimbulkan ketidakstabil- an paling
tidak pada sektor keuangan itu sendiri.10
Penyatuan sektor
keuangan dengan sektor riil terletak pada cara bagaima- na
sektor riil dibiayai oleh sektor keuangan. Berbeda dengan "pinjaman" uang pada bank konvensional, bank syariah berbicara
mengenai "pembia- yaan" dan bertitik
tolak pada transaksi yang mendasari pembiayaan yang diperlukan.
Jadi secara
filosofis, jika calon nasabah datang kepada bankir syari-
ah, pertanyaan yang pertama kali akan diajukan kepada calon nasabah adalah "apa transaksinya" atau "untuk
pembiayaan apa". Bankir konven- sional, di
lain pihak, pertama kali akan menanyakan "berapa besar pin- jamannya". Namun, transaksi yang dapat dibiayai
oleh bank syariah, atau dalam hubungan
kontraktual, memiliki beberapa persyaratan. Syaratnya, transaksi
yang mendasari itu tidak boleh mengandung riba,
gharal, dan maysir,
di samping tidak dimungkinkan untuk membiayai barang atau
jasa yang diharamkan atau dilarang.
Terdapat tiga macam riba, yaitu
riba fadl, riba nasi'ah, dan riba jahiliah. Semuanya dilarang dalam Islam.
|
Terdapat tiga macam
riba, yaitu riba fadl, riba nasi'ah, dan riba ja- hiliah.
Semuanya dilarang dalam Islam. Riba fadl
adalah pertukaran ba- rang yang tidak sama
kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahannya. Riba nasi'ah adalah tambahan terhadap utang-piutang
ketika utang dibayar.
Riba jahiliah adalah tambahan terhadap utang ketika si
pengutang tidak dapat membayar utangnya tepat
waktu.
Telah merupakan
kesepakatan umum di antara para ahli, termasuk Umar
Chapra, bahwa yang dimaksudkan riba adalah tambahan itu atau bunga11 dalam segala bentuk.12
Bunga bank, seperti yang dipahami banyak orang,
memberikan kepastian terhadap perolehannya, yang berarti tanpa risiko, dan hal ini tidak dibenarkan dalam Islam. 13
Di zaman Athena
kuno, Aristoteles tidak menyetujui kegiatan pembe- rian
pinjaman dikenakan bunga karena tidak bersifat alami dan melang- gar kebajikan.14 Uang pada dirinya sendiri
tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan
apa-apa, atau tidak dapat beranak. Uang hanya ber- fungsi
sebagai alat perantara, yang mewakili pertukaran atau transaksi. Karena tidak dapat menghasilkan apa-apa, uang tidak
dapat memperoleh kompensasi. Bunga atau riba adalah
hasil tambahan atas uang yang di- pinjamkan, yang
umumnya ditentukan di muka ketika uang akan dipin- jamkan.
Tambahan apa pun terhadap aktivitas pinjam-meminjam uang dilarang
dalam Islam.
Ayat-ayat mengenai
riba diturunkan secara bertahap. Larangan terha- dap
riba pertama kali muncul dalam Surah Al-Rum (30: 39), yang ditu- runkan di Makkah. Kemudian, tiga surah lain, yaitu
Al-Nisa' (4: 161), Ali 'Imran (3: 130-132), dan
Al-Baqarah (2: 275-281), diturunkan di Madinah. Ketika
Surah Al-Rum turun, kota Mekah dalam keadaan makmur. Selain aktif dalam bidang perdagangan, warga Mekah memberikan
pinjaman uang dengan bunga dan melakukan
transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif.
Nabi Muhammad Saw. melaknat pemakan
riba karena merupakan tindakan memakan harta orang
lain tanpa jerih payah dan risiko. Orang kaya
memperoleh kemudahan atas jerih payah orang miskin. Riba meru- sak semangat manusia untuk bekerja15 mencari
uang dan dapat membi- nasakan perseorangan dan
masyarakat, dunia dan akhirat. Riba, menurut Yusuf
Qardhawi, dipersamakan dengan penyakit masyarakat lainnya, se- perti prostitusi, dan jika menyebar mengakibatkan
kemurkaan Allah Swt.
Dalam buku ini, arti "implikasi" dan
"konsekuensi" dibedakan. "Implika- si"
berarti "suatu akibat" yang cenderung bersifat lebih abstrak dan me- rupakan akibat dari suatu kausa, dalam hal ini riba;
sedangkan "konse- kuensi" bermakna lebih
konkret dan sebagai akibat yang bersifat turunan (derivatif)
dari kausa utama.
Dasar utama Al-Quran
(Al-Baqarah, 2: 275) melarang riba adalah ayat
yang jelas mengatakan riba itu merupakan tindakan haram, sedang- kan perdagangan dihalalkan. Riba atau bunga ditetapkan
pada saat pe- minjaman dilakukan untuk membiayai
usaha, yang hasil atau keuntung- annya hanya dapat
diperkirakan, tetapi tidak dapat dipastikan ketika usa- ha
baru dimulai. Biaya bunga yang pasti, didasarkan pada hasil yang tidak pasti, menimbulkan ketimpangan antara peminjam dan yang
meminjam- kan dari segi pendapatan versus risiko
yang dihadapi kedua pihak.
Perdagangan diizinkan tetapi dengan
implikasi yang berbeda sebagai berikut:
Pertama, membawa implikasi yang berbeda. Al-Quran
mengha- lalkan perdagangan16 dan
mengharamkan riba (QS Al-Baqarah [2]: 275). Nabi
Muhammad Saw. juga menghargai para pedagang yang jujur, dan beberapa ratus tahun kemudian Benyamin Franklin
mengatakan "No nation was ever ruined by
trade."
Ketentuan Ilahi itu
tentu memiliki alasan yang kuat. Untuk menge- tahuinya,
perlu dikaji lebih dalam perbedaan antara perdagangan dan
riba. Perdagangan mengandung arti bahwa seseorang memiliki suatu ba- rang yang dapat dijual kepada pembeli pada suatu
tingkat harga tertentu. Jual-beli terjadi karena
penjual sepakat menjual barangnya, sedangkan pembeli
setuju untuk membeli barang tersebut pada suatu tingkat harga yang disetujui oleh kedua pihak (di sini terjadi ijab
dan kabul). Pada saat yang sama, si pembeli
menerima barang dari penjual, sedangkan penjual menerima
uang pembayaran barang yang dijualnya. Barang dagangan tersebut
tentunya harus dibuat atau diproduksi terlebih dulu, dan jelas di sini melibatkan orang untuk bekerja dengan memperoleh
upah.
Menurut Ibnu
Chaldun, bekerja merupakan unsur yang paling domi- nan
bagi proses produksi, dan merupakan sebuah ukuran standar dalam sebuah nilai. Seperti halnya Al-Quran,17
Nabi Muhammad Saw. mewajib- kan setiap muslim
untuk bekerja.
Orang yang menjual
suatu barang dagangan dapat mengambil keun- tungan
atas dagangannya itu, karena jerih payahnya dalam memproduksi dan atau usaha menjual, serta merupakan kompensasi
terhadap risiko usa- ha yang dihadapinya.
Keuntungan yang diambil oleh penjual merupakan jumlah
yang dikandung dalam suatu harga yang disepakati oleh pembeli.
Pembeli setuju untuk
membayar suatu harga pembelian terhadap suatu barang,
dengan pengertian bahwa baginya barang yang dibeli memberikan nilai atau manfaat yang setara dengan harga yang
dibayarkannya.18
Dari uraian ini,
dapat dikatakan bahwa jual-beli mendorong perda- gangan,
merangsang perniagaan dan industri, serta membuka lapangan kerja. Dengan terbukanya lapangan kerja, pendapatan
masyarakat akan meningkat dan industri akan lebih
berkembang. Sejalan dengan hal ini, keuntungan
yang diperoleh dari jual-beli merupakan hasil dari inisiatif, kerja keras, usaha, dan merupakan hasil penciptaan
suatu nilai yang jelas serta merupakan kompensasi
terhadap risiko usaha yang dihadapi.
Di lain pihak, riba terus
berakumulasi sejalan dengan waktu, cende- rung
bersifat tidak produktif, menambah risiko usaha dalam perdagang- an dan industri, dan berimplikasi bahwa orang
memperoleh pendapatan tanpa kerja.
Kedua, bunga menciptakan inflasi dan dapat menurunkan standar
kehidupan. Dalam sistem keuangan di dunia saat ini, uang dan bunga merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Uang yang ada di setiap negara
merupakan fiat money atau "uang atas
unjuk", dan dikeluarkan karena adanya seigniorage,19 yaitu hak eksklusif
untuk men- cetak uang yang dimiliki oleh pemerintah
pusat suatu negara. Bunga, di lain pihak,
merupakan harga komoditas berupa uang.
Ahmed Kameel Mydin
Meera dari International Islamic University Malaysia
menjelaskan bunga sebagai berikut: jika saat ini diasumsikan terdapat uang yang beredar
(money supply) dalam bentuk pinjaman se- banyak
Rp 100 miliar, dan diberikan bunga 10 persen atau Rp 10 miliar, bukan berarti bahwa jumlah Rp 10 miliar sebagai bunga
telah ada dalam sistem keuangan atau masyarakat.
Dari segi pemerintah, tambahan uang untuk bunga ini
perlu dicetak, kemudian disalurkan ke sistem.
Jika dilihat dari
debitor, ada dua hal yang mungkin terjadi. Pertama, tambahan
uang diciptakan dalam bentuk pinjaman untuk pembayaran bunga,
misalnya dalam rangka restrukturisasi pinjaman.
Kedua, bank menyita jaminan dari debitor.
Dalam hal yang terakhir ini, berarti keka- yaan
yang riil berpindah tangan dari debitor ke bank, dan akhirnya kepa- da otoritas pencetak uang.
Untuk menghindari
inflasi atau mempertahankan stabilitas harga, dengan
mengacu pada persamaan Quantity Theory of Money
dari Fisher (1911), MV = PV,20 money supply yang terus berkembang karena unsur
bunga harus terus-menerus diimbangi dengan pertumbuhan dalam output riil. Jika pertum- buhan money supply lebih cepat daripada per- tumbuhan sektor riil, maka selisihnya merupa- kan tingkat inflasi. Di sinilah letak masalahnya, apakah mungkin suatu tingkat bunga tertentu yang konstan, apalagi jika menggunakan konsep bunga berbunga, dapat diimbangi dengan tingkat pertumbuhan output riil.
bunga harus terus-menerus diimbangi dengan pertumbuhan dalam output riil. Jika pertum- buhan money supply lebih cepat daripada per- tumbuhan sektor riil, maka selisihnya merupa- kan tingkat inflasi. Di sinilah letak masalahnya, apakah mungkin suatu tingkat bunga tertentu yang konstan, apalagi jika menggunakan konsep bunga berbunga, dapat diimbangi dengan tingkat pertumbuhan output riil.
Untuk menumbuhkan
tingkat produktivitas sektor riil diperlukan
begitu banyak unsur yang harus dikelola, sedangkan
penetapan suatu ting- kat bunga tidak memerlukan
begitu banyak upa- ya. Sudah menjadi kenyataan dan
tujuan yang diakui, uang yang beredar juga
disediakan dan sebagian digunakan untuk tujuan spekulasi.
Dari banyak krisis
perbankan atau ekonomi di dunia, terlihat dengan jelas
adanya ekspansi kredit digunakan untuk spekulasi tertentu, seperti transaksi jual-beli saham dan pembelian real estat
untuk tujuan spekulasi; artinya dibeli dengan
tujuan akan dijual kembali atas dasar harapan bah- wa
kenaikan harga akan tetap berlangsung di kemudian hari. Karena itu, sudah menjadi aksioma pertama bagi Charles P.
Kindleberger dan Robert Aliber21 bahwa
inflasi bergantung pada pertumbuhan uang; dan penyebab utama
setiap krisis adalah adanya ekspansi kredit dan spekulasi. Tingkat inflasi yang tinggi (hiperinflasi)22 akan
menurunkan daya beli, memperbu- ruk standar hidup,
dan akhirnya menghancurkan masyarakat.
Karena itu, Meera mengatakan bahwa fiat money dan
seigniorage tidak dapat berfungsi sebagai
maqashid al-syariah, atau mewujudkan kemaslahatan
manusia di dunia dan di akhirat.
Meera mengatakan bahwa fiat
money dan seigniorage tidak dapat berfungsi sebagai maqashid al- syariah,
atau mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
|
Ketiga, dengan fiat money dan fraction reserve banking, akan
selalu ada utang di masyarakat. Hampir seluruh perbankan dunia menggunakan fractional
reserve banking (FRB). Sebagian deposito yang diterima
oleh bank dari masyarakat disimpan sebagai cadangan di bank sentral dan sisanya boleh digunakan untuk melakukan
pemberian pinjam- an kepada masyarakat. Jadi, jika reserve requirement (cadangan minimum) yang
ditentukan oleh bank sentral adalah 4 persen, dengan deposito sejumlah Rp 10 miliar, maka sistem perbankan secara
total dapat membe- rikan pinjaman sebesar Rp 25
miliar, yaitu Rp 10 miliar dibagi 0,04.
Dengan penciptaan
uang seperti ini, uang yang beredar dari Rp 10 miliar
(M0) bertambah dengan Rp 25 Miliar (bank money)
menjadi Rp 35 miliar (M1). Penciptaan uang ini
terlaksana ketika bank memberikan pinjaman kepada
nasabahnya, dan semata-mata karena pencatatan pada accounting entries tanpa adanya pergerakan uang
kertas secara fisik.
Dalam sistem FRB ini, pemberian
pinjaman atau utang merupakan salah satu kegiatan
operasional utama, dan bunga merupakan faktor pen- dapatan
sekaligus faktor biaya. Perbedaan dari kedua macam bunga me- rupakan keuntungan kotor bank. Dengan demikian, selama
sistem FRB ini berjalan, terdapat utang masyarakat
terhadap perbankan, atau pada akhirnya utang
kepada pihak yang memiliki seigniorage.
Keempat, menimbulkan pasar kredit perbankan untuk kaum kaya.
Dengan sistem perbankan modern saat ini, bank umumnya akan memberikan pinjaman kepada calon debitor berdasarkan
suatu seleksi, yang dilakukan melalui media
analisis kredit. Analisis kredit difokuskan untuk
membangun keyakinan, bahwa calon debitor memiliki niat dan ke- mampuan untuk membayar kembali pinjamannya. Kemampuan
seorang calon debitor ini ditilik dari
kemapanannya dalam menjalankan bisnis, sehingga
dapat diperkirakan dengan lebih pasti, bahwa dia akan mam- pu menciptakan penjualan dengan keuntungan yang
diharapkan. Untuk mendukung kemampuan calon
debitor ini, bank juga menilai apakah yang
bersangkutan memiliki modal sendiri. Karena adanya bunga yang bersifat pasti, pembiayaan usaha yang sehat adalah yang
dibiayai dengan modal atau dana sendiri, di
samping dari pinjaman bank.
Dari proses seleksi
seperti ini, yang akan dapat memperoleh pin- jaman
atau kredit bank adalah mereka yang memiliki bisnis yang dapat menghasilkan keuntungan, dan tentunya yang memiliki
agunan. Ditilik dari latar belakang pemikiran
praktik perbankan seperti ini, sesungguh- nya
tidak ada yang dapat dipersalahkan, karena memang orang yang mampu membayar bunga dan pokok kredit adalah orang yang
dapat diberi kredit. Apalagi jika ditinjau dari
kepentingan pemilik dana yang disimpan di bank,
yaitu para deposan, dan bank berkewajiban untuk me- lindungi
"keamanan" dana mereka. Jelas praktik tersebut sangat dapat diterima secara logika. Namun, kelompok yang memiliki
usaha dan modal seperti itu akan lebih berkembang usahanya, sehingga kemampuan ekonomis mereka pun semakin kuat.
Kelima, ada dorongan untuk memberikan pinjaman yang lebih besar.
Dengan terkumpulnya dana masyarakat dalam sistem perbankan konvensional modern, perbankan terdorong untuk
memberikan pinjam- an kepada para debitor.
Dorongan ini bersifat alami karena adanya bia- ya
yang pasti yang harus dibayar bank kepada para pemilik dana. Untuk menutupi biaya ini, bank harus menyalurkan dananya
sebagai pinjaman kepada para debitor, berdasarkan
bunga yang juga pasti.
Karena adanya
dorongan ini, jika bank melakukan kucuran kredit terpusat
pada suatu sektor ekonomi, yang akan terjadi adalah adanya ke- naikan permintaan terhadap barang atau jasa pada sektor
tersebut. Kena- ikan permintaan ini akan mendorong
kenaikan harga yang terus-menerus terhadap barang
atau jasa tersebut. Kenaikan harga ini, yang tidak diba- rengi
dengan penambahan penawaran yang riil, mengakibatkan adanya gelembung-gelembung ekonomi.
Ketika perekonomian melambat, atau
kucuran kredit perbankan ter- koreksi, apa yang
terjadi adalah gelembung-gelembung tadi mengempis secara
drastis. Akibatnya, harga barang atau jasa tersebut turun secara drastis pula, dan ini mengakibatkan barang-barang terkait
tidak dapat terjual. Jika perekonomian mengandung
barang yang tidak laku, perpu- tarannya pun
menjadi stagnan. Sebagai konsekuensi langsung, perbankan akan
menghadapi kredit macet dalam jumlah yang besar.23
Keenam, cenderung menciptakan transaksi (keuangan) speku- latif
dan menambah risiko kredit. Dalam sistem perbankan dengan fractional reserve banking
(FRB), pemberian pinjaman atau kredit me- rupakan
kegiatan operasional utama. Uang atau kredit ialah komoditas, dengan suatu tingkat harga berupa bunga. Karenanya,
bank akan selalu berusaha menyediakan likuiditas
berupa dana yang bisa dipinjamkan. De- ngan
tersedianya likuiditas ini, orang cenderung berusaha untuk menggu- nakannya, termasuk untuk tujuan spekulatif, dan bank
sering tergelincir ke dalam ekspansi kredit yang
kemudian baru disadari berlebihan. Hal ini menambah
risiko kredit yang dihadapi oleh bank pemberi kredit karena bank tidak selalu dapat mengontrol penggunaan dana
kredit yang diberi- kannya.
Keadaan seperti itu akan berbeda
pada bank Islam, yang mengang- gap uang bukan
komoditas. Orang harus memiliki proposal bisnis terle- bih
dulu, yang berkaitan dengan perdagangan atau produksi barang atau jasa, kemudian baru mencari pembiayaan yang diperlukan.
Keadaan ini dapat menghindari spekulasi dan
ekspansi kredit yang berlebihan, di mana setiap
pembiayaan harus ditentukan lebih dahulu dengan jelas un-
tuk membiayai bisnis tertentu dan layak. Metode pembiayaan seperti ini mengaitkan uang di satu pihak dan barang dan jasa di
lain pihak.
Ketujuh, menimbulkan transaksi derivatif. Karena uang
diper- lakukan sebagai komoditas, berkembanglah
pasar uang dan kemudian pasar derivatif (turunan
dari pasar uang). Pasar derivatif ini, menurut Nasution
dkk., menggunakan instrumen bunga sebagai harga produk- produknya
dan tidak berdasarkan motif transaksi riil sepenuhnya, tetapi mengandung unsur spekulatif. Transaksi ini merupakan
kaitan antara aktiva keuangan dan naik-turunnya
harga satu unsur keuangan (misalnya bunga, indeks
saham, dan harga komoditas tertentu) di masa depan. Jadi,
transaksi ini bersifat spekulatif, yakni mengharapkan keuntungan dari perubahan harga suatu unsur keuangan dan sama sekali
tidak berkaitan dengan sektor riil.
Kedelapan, dapat mengakibatkan
adanya transfer of wealth.
Penciptaan uang dalam bentuk pemberian
kredit semata-mata timbul karena proses akunting
pada pihak bank pemberi kredit. Untuk pembe- rian
kredit ini, bank umumnya meminta jaminan berupa aset tetap. Jika debitor mengalami wanprestasi, bank akan melakukan
eksekusi jaminan berupa aset tetap tersebut. Jika
bank berhasil memperoleh aset tetap itu, terjadilah
suatu pemindahan kekayaan (transfer of wealth)
dari debitor ke kreditor.
Dengan analogi yang sama, pemindahan
kekayaan ini bisa terjadi antardua negara. Amerika
Serikat dapat dikatakan memiliki seigniorage atas
dolarnya, yang diciptakan dengan proses yang sama, yaitu melalui proses akunting. Jika suatu bank di Amerika memberikan
pinjaman ke- pada Indonesia, mereka meminta jaminan
yang bisa mereka kuasai. Jika hal ini tidak
mungkin, kredit yang diberikan tidak berbentuk uang, tapi
berbentuk barang atau jasa yang diproduksi di negara mereka. Ini artinya Indonesia mempunyai utang terhadap Amerika (tapi hanya
berbentuk ca- tatan di pihak Amerika), dan pada
saat yang sama produksi dan nilai tam- bah
tercipta dinikmati pihak Amerika. Amerika dalam hal ini mengambil manfaat yang lebih besar, yaitu memiliki piutang
terhadap Indonesia dan produktivitas di negaranya,
sedangkan Indonesia hanya dapat manfaat dari
konsumsi barang atau jasa yang diperoleh dari kredit. Utang Indone
sia yang tercatat oleh Amerika harus dibayar dari perolehan valuta asing hasil ekspor sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Apa yang dapat terjadi di sini merupakan pemindahan kekayaan riil dari negara sedang berkembang ke negara yang memiliki seigniorage.
sia yang tercatat oleh Amerika harus dibayar dari perolehan valuta asing hasil ekspor sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Apa yang dapat terjadi di sini merupakan pemindahan kekayaan riil dari negara sedang berkembang ke negara yang memiliki seigniorage.
Hertz memberikan contoh-contoh
konkret24 mengenai manfaat yang tidak
seimbang akibat pemberian utang ke negara sedang
berkembang oleh negara maju. Banyak proyek besar
di negara berkembang yang dibiayai oleh utang dari
negara maju tidak menciptakan hasil yang diharapkan. Tetapi, utang yang
terkait untuk membiayai proyek-proyek itu tetap
harus dibayar. Sumber pembayaran utang ini berasal
dari penjualan atau ekspor sumber daya alam yang dimiliki oleh negara peminjam. Bagi penerima pinjaman, manfaat yang
sesungguhnya diperoleh harus diperhitungkan dengan
kerusakan sumber daya alam yang terjadi.
Kesembilan, menimbulkan ketidakadilan. Ada dua
kemungkin- an alasan peminjaman uang. Pertama, untuk kebutuhan pribadi yang mendesak dan umumnya orang dalam keadaan seperti ini
tidak memiliki cadangan uang atau tabungan. Di
sini, dirasakan tidak etis jika si pemin- jam
dibebani bunga. Kedua, untuk usaha atau produksi
barang atau jasa. Setiap usaha atau bisnis selalu
mengandung unsur ketidakpastian, terle- pas dari
dimensi ruang dan waktu. Walaupun dapat diperkirakan, hasil operasional suatu usaha apakah untung atau rugi tidak
dapat dipastikan pada awal usaha. Ketidakpastian
itu merupakan risiko bisnis, dan risiko ini
bertambah besar dengan adanya unsur bunga.
Di lain pihak, kreditor dijamin
memperoleh keuntungan yang pasti di awal
transaksi, terlepas apa pun yang terjadi terhadap bisnis debitor yang dibiayai itu. Dengan demikian, peminjam menanggung
seluruh risiko proyek yang dibiayai, sedangkan pemberi pinjaman tidak menang- gung risiko apa-apa, bahkan dijamin memperoleh
pendapatan yang telah dipastikan di awal
transaksi. Keadaan seperti ini, menurut Majid, tidak sesuai
dengan sistem ekonomi Islam.
Bagi penerima pinjaman, manfaat
yang sesungguhnya diperoleh harus diperhitungkan dengan kerusakan sumber daya
alam yang terjadi.
|
Kesepuluh,
membuat orang kaya bertambah kaya. Riba juga di- anggap
eksploitatif karena cenderung menguntungkan si kaya, yang me-
miliki uang lebih di atas kebutuhannya, dengan memperoleh keuntungan yang pasti, atas beban orang yang lemah yang menanggung seluruh risiko.
miliki uang lebih di atas kebutuhannya, dengan memperoleh keuntungan yang pasti, atas beban orang yang lemah yang menanggung seluruh risiko.
Karena riba atau unsur bunga
dilarang, sebagai penggantinya adalah "ke- untungan"
(laba). Banyak ayat Al-Quran menyebutkan kata yang berarti keuntungan, dan dalam satu ayat menyatakan bahwa
perolehan keun- tungan adalah halal. Tuhan
berfirman kepada orang-orang beriman agar berjalan
dan berdagang dengan cara yang saling menguntungkan (QS Al-Nisa'
[4]: 33). Dalam perspektif ini, keuntungan tidak dilihat dari segi uang yang dapat dihasilkan secara an sich semata.
Aa Gym dan Hermawan
Kartajaya mengartikan "keuntungan" dalam berbisnis
adalah jika bisnis yang dilakukan itu bersifat amal atau kebajik- an, atau yang didasarkan pada kebenaran, yang dimulai
dengan niat yang benar. Dalam melakukan bisnis
itu, kualitas manusianya semakin baik atau dapat
lebih dipercaya, ilmu dan wawasannya bertambah luas sehing- ga memperbaiki kemampuan yang ada, dan silaturahmi atau
persaudara- an antarsesama bertambah.
Keuntungan pada
dasarnya dihasilkan dari kombinasi kerja, modal, dan
risiko. Modal diartikan sebagai barang dagangan atau faktor pro- duksi, sedangkan uang merupakan potensi modal yang
dapat dikonversi menjadi dalam salah satu atau
keduanya. Pakar ekonomi Richard R. Ellsworth dari AS berpendapat bahwa
keuntungan (laba) memiliki banyak fungsi, yaitu
memberikan kemampuan bagi perusahaan dalam rangka menciptakan
manfaat bagi masyarakat, merupakan ukuran efektivitas dan
efisiensi dalam melakukan manfaat itu, sebagai dasar bagi manaje- men dalam mengambil keputusan, sebagai panduan untuk
menciptakan nilai, dan seterusnya.
Namun, Ellsworth
mengingatkan bahwa keuntungan bukan tujuan akhir,
melainkan alat untuk mencapai tujuan lain, misalnya posisi stra- tegis perusahaan, sehingga tidak dimaksimalkan dalam
arti sempit. Pan- dangan sempit terhadap maksimalisasi
keuntungan itu muncul hanya karena berdasarkan
pertimbangan materialistik, dan bertumpu pada kepentingan
pemegang saham semata. Agaknya, pandangan sempit ini merupakan
pendorong konsep maksimalisasi keuntungan yang disuara- kan
oleh Milton Friedman, sehingga menjadi isu yang berkaitan dengan moralitas.
Keuntungan merupakan
kompensasi dari hasil kerja yang baik dan penanganan
risiko yang dihadapi. Karena itu, menurut Abdullah Saeed dan
Hooker, dalam berusaha atau berproduksi, keuntungan perlu diba- gi, demikian pula risiko. Pengusaha berbagi laba dengan
pemilik modal sesuai dengan hasil yang secara riil
diperoleh bersama. Keuntungan yang dibagi bersifat
riil, tetapi tidak tetap atau bervariabel, bergantung pada hasil usaha yang dapat berbeda dari waktu ke waktu.
Tanpa adanya bunga
yang bersifat tetap, risiko yang dapat dihadapi dalam
berusaha atau berproduksi akan lebih kecil, dengan beban biaya lebih rendah, sehingga keuntungan akan lebih besar;
perekonomian pun akan mendorong lebih banyak
kegiatan produksi. Karena keuntungan dari
berdagang diizinkan, ekonomi Islam lebih menekankan pada sektor riil. Menurut El-Diwany, faktor-faktor riil yang
terkait, seperti perbaikan dalam teknologi dan
sumber daya manusia, akan mendorong peningkat- an
secara bertahap dalam produksi atau kegiatan ekonomi.
Banyak ayat Al-Quran
yang menyebut soal keuntungan. Tuhan mendorong manusia untuk mencari
keuntungan (QS Al-Baqarah [2]: 198; QS Al-Jumu'ah
[62]: 10), tetapi keuntungan bukanlah masalah maksimum atau
tidak, melainkan lebih merupakan masalah legitimasi dan kewajaran, serta berkaitan dengan moralitas atau kejujuran atau
diperoleh dalam jalan yang benar sehingga
bermuatan akhirati, seperti yang diisyaratkan oleh Al- Quran
(QS Al-Jatsiyah [45]: 22; QS Hud [11]: 84; QS Al-Isra' [17]: 35).
Makna keuntungan adalah refleksi dari jerih
payah atau hasil "keija", seka- ligus merupakan tanggungan, dari pihak yang memproduksi
barang dan usaha dalam menjualnya, atau merupakan
nilai yang terealisasi dari muatan tenaga kerja
seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun.25 Karena berproduksi dan
ber- dagang mengandung unsur risiko, keuntungan
sekaligus merupakan kompen- sasi terhadap risiko
usaha yang dihadapi pihak produsen atau penjual. Dengan demikian,
keuntungan yang diizinkan adalah keuntungan yang berkaitan de- ngan tanggung jawab atau liabilitas, atau disebut al-kharaj bi-al-dhaman, atau
keuntungan dapat diperoleh karena adanya risiko al-ghurmu bil ghurmi (risiko
perniagaan selalu diimbangi dengan perolehan keuntungan).
Menurut ahli ekonomi Islam dari King Abdul Aziz
University, Mohamed Ali Elgari, gharal berarti terdapat sesuatu yang tidak jelas,
dapat bersifat tipu daya, desepsi, berupa hazard, atau sesuatu yang tersembunyi, atau informasi yang tidak terungkap atau tidak diungkapkan,
dengan memba- wa konsekuensi yang tidak pasti,
atau menimbulkan ketidakpastian yang berlebihan.
Dalam praktik, menurut Saiful Azhar Rosly, gharal
dapat merupakan sesuatu yang bersifat ambigu, atau
tidak jelas, yang berkaitan dengan pihak-pihak
dalam suatu transaksi seperti penjual dan pembeli, objek
atau harga objek dari transaksi itu; atau, menurut Yahia Abdul Rahman,
merupakan praktik-praktik desepsi atau misrepresentasi mengenai kualitas, harga, jenis, dan spesifikasi barang.
Keseluruhan faktor ini akan membuat salah satu
pihak berada pada posisi yang tidak seimbang karena dihadapkan
pada unsur-unsur transaksi yang tidak jelas.
Juan Sole, ekonom
dari IMF, menyebut gharal sebagai ketidakje- lasan dalam berkontrak. Untuk menghindari unsur gharal dalam ber- kontrak,
menurut A. Gait dan A.C. Worthington, diperlukan keterbukaan informasi yang lengkap dan hal ini akan mendorong
timbulnya transpa- ransi yang lebih baik, sehingga asymmetric information dapat diperkecil. M. Shahid Ebrahim dan Tan Kai Joo mengartikan gharal sebagai sesuatu yang
memiliki konsekuensi yang belum diketahui (majhul
al-aqiba), se- suatu yang tidak ada (habal al-habala), sesuatu yang tidak dapat
diberi- kan atau diserahkan seperti kuda yang
lepas, sesuatu yang tidak diketahui sama sekali (majhul mutlaq), atau sesuatu yang dapat disebut
tetapi tetap tidak diketahui jenis atau
kualitasnya, seperti ikan di laut.
Dalam penerapannya,
kata Mohammad Nejatullah Siddiqi, gharal juga
dapat berarti melaksanakan suatu usaha tanpa memiliki pengetahu- an yang memadai, atau usaha yang mengandung risiko yang
berlebihan dan tidak perlu atau bersifat
spekulatif. Risiko yang dimaksud di sini bukan
risiko bisnis normal yang muncul dari keadaan pasar
(systematic risk) atau dari keadaan keuangan
(unsystemic risk). Risiko yang pertama berkaitan
dengan harga, peraturan, tenaga kerja, sifat suatu industri, keadaan penawaran
dan permintaan, dan sebagainya; sedangkan yang kedua berkaitan dengan
likuiditas, kredit, mata uang, ketersediaan kredit, dan
sebagainya. Pada dasarnya, kedua macam risiko ini memang selalu ada ketika berhadapan dalam suatu bisnis atau
transaksi.
Menurut Frank E. Vogel, ahli hukum
Islam dari Harvard Law School, risiko atau
ketidakpastian dalam gharal bersifat
spekulasi murni, dengan manfaat masa depan yang
tidak diketahui, hasil yang tidak jelas dan ti- dak
teliti atau tidak cermat. Gharal yang
berlebihan, menurut Daud Vi- cary Abullah dan Keon
Chee, berarti risiko tidak dapat dikontrol sehingga mengarah
pada spekulasi dan judi, atau tindakan yang bersifat untung- untungan. Jadi, gharal
bukanlah risiko yang dimaksud dalam al-ghurmu bil
ghurmi, karena keuntungan yang diperoleh dari transaksi yang meng- andung unsur yang bersifat
gharal adalah tidak halal.
Unsur yang bersifat
spekulatif ini akan membawa kepada situasi untung- untungan (maysir) atau judi. Judi dilarang oleh Al-Quran
(QS Al-Ma'idah [5]: 90, 91), karena pada intinya
judi merupakan usaha untuk memper- oleh harta
tanpa kerja, yang sifat mudaratnya lebih besar daripada man- faat yang dapat diperoleh, baik bagi individu maupun
masyarakat secara menyeluruh. Judi menjauhkan
orang dari unsur kerja dan penciptaan lapangan
kerja; segala bentuk usaha atau bisnis yang berkaitan dengan spekulasi juga dilarang. Sejalan dengan pengertian ini,
menurut Martin Cihak dan Heiko Hesse, bank
dilarang untuk melakukan jual-beli risiko keuangan
(financial risk), karena ini menyerupai judi
atau maysir.
Sifat pembiayaan bank syariah akan
terlihat lebih jelas dari bentuk- bentuk
perjanjian atau akad yang digunakan, yang akan dibahas di bagian berikutnya. Di samping itu, unsur-unsur perkreditan
yang terkait dengan fitur-fitur akad pembiayaan
syariah akan dikaji lebih detail, termasuk tinjauan
dari aspek intermediasi perbankan syariah. Hanya saja, dari segi literatur, tulisan ilmiah, dan pengalaman yang
berkaitan dengan NPF masih sangat terbatas. Di
Indonesia sendiri, bank syariah baru muncul ketika
Bank Muamalat didirikan pada 1992. Walaupun perkembanganya cukup pesat dan diterima di banyak negara, perbankan
syariah masih me- wakili sebagian kecil perbankan
di Indonesia dan di dunia. Jadi, jika ber- bicara
mengenai NPL, maka subjek ini lebih berkaitan dengan perbankan konvensional, yang menguasai keuangan dan perbankan
negara-negara di dunia.
Pada bank syariah,
pengkajian risiko kredit, dalam hal ini lebih tepat disebut sebagai risiko
pembiayaan, harus dimulai dari transaksi yang dibiayai. Pembiayaan bank
syariah timbul karena adanya transaksi dan setiap transaksi
menimbulkan akad khusus yang mengaturnya. Dalam hal ini, akad
merupakan ikatan antara pihak bank dan nasabah yang timbul dari ijab (offer) dan
kabul (acceptance) dari kedua pihak,
sekaligus merupa-
kan kewajiban bagi kedua pihak untuk meme- nuhinya.
kan kewajiban bagi kedua pihak untuk meme- nuhinya.
Dalam Islam,
pemenuhan kewajiban ini ha- rus dilakukan dengan
khidmat, penuh dengan kejujuran dan ketulusan
karena tidak hanya merupakan ketentuan hukum
positif, tetapi juga perintah Tuhan (QS 5: 1).
Kegagalan dari kedua pihak untuk memenuhi
kewajiban atau komitmen ini menimbulkan risiko
bagi salah satu pihak. Bagi bank, risiko dapat
timbul dari pihak nasabah yang tidak memenuhi komitmennya
berdasarkan suatu akad.
Definisi risiko
kredit menurut Chorafas atau Scroeck dapat berlaku pada
risiko pembiayaan di bank syariah. Namun, Khan dan Ahmed, se- perti dikutip oleh Nor Hayati Ahmad dan Shahrul Nizam
Ahmad, membe- rikan definisi yang lebih terperinci
untuk bank syariah. Menurut mereka, risiko
pembiayaan pada bank syariah adalah bentuk risiko penyelesaian atas penyerahan barang untuk pembayaran yang telah
dilakukan, misal- nya dalam akad salam atau istishna;
atau penyelesaian pembayaran yang tertunda atas
penjualan atau penyewaan barang, misalnya dalam hal akad murabahah atau ijara;
atau yang muncul ketika salah satu pihak dari transaksi
bisnis harus membayar uang sebagai hasil usaha, misalnya pada akad mudharabah,
sehingga terekspos kepada kemungkinan timbulnya kerugian
jika pembayaran atau penyerahan barang itu tidak terlaksana.
Risiko pembiayaan
ini akan diuraikan kembali di belakang, tetapi ha- nya
yang berkaitan dengan akad kegiatan pembiayaan yang paling umum dan sering dilakukan, dan sebagian besar akad tersebut
bersifat untuk mencari keuntungan (tijarah).
Selain akad yang bersifat sosial,
ada tiga kelompok akad yang pokok, yaitu akad
jual-beli, akad sewa-menyewa, dan akad bagi hasil, dengan
uraian sebagai berikut.
menurut Martin Cihak dan
Heiko Hesse, bank dilarang untuk melakukan jual-beli risiko keuangan (financial risk) karena ini menyerupai judi atau maysir.
|
Murabahah adalah kontrak untuk jual-beli biasa, di
mana harga jual terdiri atas harga pembelian
ditambah dengan suatu margin dengan persentase
tertentu, sebagai keuntungan penjual. Harga pokok harus diketahui
oleh pembeli. Akad murabahah tidak dapat
diperpanjang, tetapi waktu pembayaran dapat
ditunda sampai waktu yang dise-
pakati, dan tanpa tambahan harga. Menurut Isobel Lobo dan Frank Bonello, pengaturan pembelian kembali terhadap barang yang telah dijual tidak diperbolehkan.
pakati, dan tanpa tambahan harga. Menurut Isobel Lobo dan Frank Bonello, pengaturan pembelian kembali terhadap barang yang telah dijual tidak diperbolehkan.
Dalam konteks
hubungan dengan perbankan, transaksi muraba- hah
harus pula berkaitan dengan kegiatan jual-beli, yakni bank dapat membelikan barang yang diperlukan oleh nasabahnya
dengan memba- yar tunai kepada penjual. Kemudian,
barang yang sama dijual kembali dengan tambahan
margin sebagai keuntungan bagi bank kepada nasa- bah
yang memesan, yang pembayarannya kemudian dilakukan dengan cara diangsur. Pembiayaan seperti ini disebut sebagai bai bithaman ajil. Tetapi di sini, pembeli tidak
harus mengetahui harga pokok.
Dari segi
pembiayaan, bank tidak memberikan uang kepada nasabah
untuk membeli barang, tetapi bank membelikan barangnya terlebih
dulu, lalu menyerahkan barang itu kepada nasabah dengan pembayaran
ditunda. Di sini, bank menghadapi risiko kredit karena pembeli
dengan bayar angsur bisa saja melakukan gagal bayar. Dari
segi penggunaan dana, terlihat dengan jelas bahwa bank mengontrol penuh penggunaan dana terkait, karena membayar langsung
dana yang digunakan ke penjual barang. Asalkan
bank telah memiliki pembeli pasti dari suatu
barang yang telah dibeli terlebih dulu, maka bank
tidak menghadapi risiko gagal jual. Jika terjadi gagal bayar, bagaimana transaksi ini diselesaikan cenderung memiliki
sifat self liquidating, karena sumber
penyelesaian atau pembayaran kembali berasal dari
transaksi atau barang itu sendiri; barang yang sama da- pat
digunakan sebagai jaminan.26
Menurut Ebrahim dan
Joo, juga peneliti lainnya seperti Algaoud dan
Lewis, barang yang telah dijual dimiliki oleh pembeli, tetapi ka- rena pembayarannya tertunda karena diangsur, barang
yang sama dapat dijadikan jaminan bagi bank.
Jaminan akan dilepas pada saat pembayaran angsuran
terakhir dilakukan. Margin yang diperoleh dari
transaksi ini bersifat tetap, dan merupakan keuntungan yang di- peroleh sebagai kompensasi terhadap pelayanan yang
diberikan, dan risiko yang dihadapi terhadap
barang yang dibeli terlebih dulu, serta risiko
yang ada selama waktu angsuran masih dilakukan.
Dari segi
pendapatan, karena harga jual diangsur kepada bank, terdapat
unsur pemerataan pendapatan dalam suatu kurun waktu tertentu
yang disebut sebagai payment atau income smoothing. Namun, banyak pihak berpendapat
bahwa unsur margin atau markup itu setara
dengan bunga, tapi dengan nomenklatur berbeda. Jika ditinjau
dari substansi apa yang dibiayai, kiranya pendapat ini tidak tepat. Akad murabahah
bukan akad pemberian pinjaman uang, me- lainkan
akad jual-beli barang yang bersifat nyata, yang pembayaran- nya kemudian dapat diangsur.
Perbedaan harga
antara harga jual atas pembayaran tunai dan harga
yang lebih tinggi atas pembayaran tunda atau diangsur dini- lai bukan bersifat bunga atau riba karena beberapa
pertimbangan. Pertama,
perbedaan harga itu terjadi atas jual-beli suatu barang ber- dasarkan kesepatan kedua belah pihak, pembeli dan penjual,
yakni pembeli memperoleh barang yang diperlukannya
tanpa langsung membayar barang tersebut, sedangkan
penjual melepas barangnya tanpa memperoleh
pembayaran seketika, tetapi harus menunggu be- berapa
saat kemudian. Kedua, dari segi pembeli,
menerima barang terlebih dulu dengan membayar
kemudian merupakan suatu bentuk keuntungan (profit opportunity), dan perbedaan antara harga
tunai dan harga kredit merupakan faktor
penyeimbang bagi penjual untuk menutupi risiko
yang harus ditanggung oleh penjual.
Keuntungan ini
kemudian diangsur sejalan dengan angsuran dari
harga pokok barang yang dibeli, dan menurut Monzer Kahf dan Tariqullah Khan berasal dari kegiatan pasar atau
komersial, bukan dari tindakan kemanusiaan seperti
halnya bunga pada peminjaman uang. Di samping itu,
dengan berjalannya waktu, jumlah yang harus dibayar
secara angsur itu tidak bertambah, sebagaimana yang akan terjadi
jika jumlah awal tersebut mengandung bunga.
Mengenai risiko
pembiayaan, bank menghadapi risiko antara waktu
pembelian dan waktu penjualan, yakni risiko kepemilikan dan penyimpanan barang, termasuk di dalamnya risiko
pencurian dan kebakaran. Salah satu risiko yang
dimaksud adalah, jika dengan ber- bagai alasan
nasabah membatalkan pembelian atas pesanannya seca- ra
sepihak, penjual kedua (bank) harus menghadapi risiko mencari pembeli pengganti.
Menurut Muhammad
Syafi'i Antonio, jika nasabah membeli ba- rang
dari bank dengan angsuran, kemudian nasabah menjual barang tersebut ke pihak lain dengan cara pembayaran tunai,
dan dana yang diperoleh nasabah digunakan untuk
keperluan yang tidak diketahui oleh bank, maka
berdasarkan pengalaman, bank umumnya mengha- dapi
risiko wanprestasi dari pihak nasabah yang lebih besar. Namun,
dana yang diperoleh itu juga dapat digunakan oleh nasabah sebagai pembiayaan modal kerja bagi nasabah tersebut.
dana yang diperoleh itu juga dapat digunakan oleh nasabah sebagai pembiayaan modal kerja bagi nasabah tersebut.
Salam dan istishna
adalah bentuk jual- beli dengan pembayaran penuh,
atau sebagian, dilakukan di muka untuk barang yang
merupa- kan hasil produksi sesuai pesanan, sejauh
kuan- titas dan kualitas dapat ditentukan dengan
tepat; barang yang dimaksud dapat tersedia dan pe- nyerahannya dilakukan beberapa waktu kemudian pada
waktu yang ditentukan.
Dalam transaksi salam, pembayaran dilakukan secara penuh di muka. Nabi Muhammad menetapkan syarat bahwa ukuran,
berat, dan tanggal penyerahan harus jelas.27
Di masa Nabi, pembiayaan sa- lam ini
digunakan untuk barang-barang hasil pertanian, sehingga pe- tani atau pedagang kecil dapat memperoleh pembiayaan
modal kerja. Substansi yang hendak dipenuhi di
sini, menurut Rosly dan Usmani, petani sebagai
penjual dapat memperoleh modal kerja yang bersifat mendesak,
yang sebagian besar diperlukan ketika akan menanam. Dengan
substansi untuk membantu petani dalam pembiayaan modal kerja,
kolateral tidak dapat dipersyaratkan.
Para ahli fikih
berdebat mengenai jangka waktu minimum pembiayaan salam. Sebagian berpendapat, jika kurang dari
sebulan sampai waktu penyerahan barang, salam tidak sah. Tapi karena Nabi tidak menentukan jangka waktu ini, kesimpulan yang
diambil didasarkan pada asas manfaat bagi penjual, sesuai dengan misi dan pem- biayaan salam.
Manfaat yang dipenuhi berbeda untuk tempat dan waktu
yang berbeda. Selain itu, karena misi pembiayaan ini adalah membantu pihak penjual dalam menyiapkan barang
dagangannya, salam
tidak dapat digunakan untuk barang-barang yang harus dise- diakan langsung.
Pada salam, akad tidak dapat
dibatalkan sebelum atau sesudah akad berlaku efektif atau ditandatangani.
|
Menurut ketentuan
syariah, pertukaran barang-barang yang tersedia
langsung harus dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan. Sebagai
kompensasi terhadap pembayaran penuh di muka, pemesan atau
pembeli dapat memperoleh harga yang lebih baik. Sebagai ca- tatan, menurut Gait dan Worhtington, salam dapat digunakan tidak hanya
untuk produk pertanian, tetapi juga untuk barang-barang in- dustri.
Pembiayaan istishna serupa dengan pembiayaan salam, tetapi digunakan
untuk barang-barang nonpertanian atau barang-barang hasil
proses pembuatan atau manufaktur dan konstruksi atas pe- sanan.
Pembayaran tidak harus dilakukan di muka, tetapi dapat di- lakukan dengan angsuran, atau sesuai dengan progres
pesanan atau pekerjaan, atau bahkan dapat ditunda
berdasarkan kesepakatan para pihak.28
Jika penjual gagal untuk menyerahkan atau mengirimkan barang
yang dipesan dalam waktu yang disepakati, harga dapat diku- rangi sejumlah tertentu per hari sesuai dengan yang
telah disepakati. Jika barang yang dikirim tidak
sesuai dengan pesanan, pemesan da- pat membatalkan
akad.
Bank dapat melakukan
kedua pembiayaan salam atau istishna ini untuk melakukan pesanan barang, dan
kemudian menjual barang tersebut dengan akad murabahah kepada yang membutuhkan; atau melakukan akad salam
kedua dengan calon pembeli.
Mengenai risiko
pembiayaannya, mungkin saja barang tidak dapat
diproduksi sesuai dengan pesanan sehingga terjadi gagal serah barang. Di sini terdapat dua pilihan, pertama, membatalkan kontrak
dan mengembalikan uang yang sudah diserahkan untuk pesanan; ke- dua, menunggu sampai barang tersedia. Risiko
lainnya adalah tidak ada pembeli ketika barang
diterima, jika tidak ada akad berikutnya atau salam kedua; atau pembeli akhir gagal bayar
terhadap akad murabahah
dengan cicilan, atau pada akad salam kedua.
Pada salam, bank menghadapi risiko fluktuasi harga
komoditas, karena bank setuju untuk membeli
komoditas pada suatu tanggal di masa depan
berdasarkan pembayaran yang telah dilakukan, sampai barang
yang dipesan dijual secara tunai.29 Risiko akan terjadi jika harga pembelian lebih tinggi daripada harga pasar
ketika harga turun di bawah harga pembelian,
ketika akan dijual. Selain itu, akad salam yang
telah disepakati tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
Pada istishna, sebelum produsen memulai proses
pembuatan barang, akad dapat dibatalkan oleh
pemesan sejauh dia telah mem- berikan
pemberitahuan terlebih dulu, tetapi pembatalan tidak dapat dilakukan setelah barang mulai diproduksi. Selain itu,
waktu penye- rahan barang tidak dipastikan secara
kaku, tetapi pembeli dan pen- jual dapat
menyepakati waktu paling lama atau maksimum barang dapat
diserahkan. Jika barang diserahkan di luar waktu yang telah disepakati ini, pembeli tidak berkewajiban untuk
menerima barang
dan
membayar harga pembeliannya.30 Pada
salam, akad tidak dapat dibatalkan sebelum
atau sesudah akad berlaku efektif atau ditanda- tangani.
Dalam transaksi ini
bank membelikan barang yang diperlukan oleh nasabah,
kemudian menyewakan barang itu atas asas manfaat kepada nasabah tersebut,
untuk jumlah dan jangka waktu tertentu. Pe- nyewaan
ini sejalan dengan prinsip syariah, yakni aset dapat meng- hasilkan pendapatan sejauh berkaitan dengan fungsi
utilitas atau produktivitasnya. Kepemilikan
barang, yang sekaligus merupakan jaminan bagi
bank, tetap berada pada bank. Tanggung jawab kepemilikan juga berada pada bank
dengan alasan bahwa manfaat kepe- milikan tetap
berada pada pemilik.
Tanggung jawab
kepemilikan, yang meliputi biaya asuransi, pajak dan pemeliharaan, serta
biaya-biaya lain yang terkait, tidak da- pat
dipindahkan pada penyewa. Perbedaan dengan fasilitas
leasing konvensional, tanggung jawab
pemeliharaan berada pada pihak pe- nyewa, dan
biaya-biaya lainnya sering dipindahkan kepada penyewa secara
langsung atau tidak langsung.
Dengan akad ijara, pemilik barang menandatangani perjanjian terpisah yang menyatakan bahwa, di akhir masa sewa,
penyewa da- pat membeli barang yang disewa dengan
harga ditentukan lebih dulu, atau pemilik barang
dapat menghibahkan barang tersebut ketika pe- nyewa
telah melunasi seluruh biaya sewa. Janji ini bersifat unilateral, dan tidak bilateral, dan hanya mengikat pemilik barang;
karena jika mengikat kedua belah pihak secara
efektif, akad itu menjadi akad jual-beli untuk
sesuatu di masa depan.31
Risiko pembiayaannya
antara lain penggunaan barang yang me- lampaui
batas atau kewajaran dan gagal bayar sewa, atau terlambat
membayar sewa, tanpa diperbolehkan pengenaan penalti. Pada akad ijara, bank tidak
dapat memindahkan risiko dan kompensasi kepemilikan kepada penyewa, sejauh
aset yang disewakan berada dalam pembukuan bank
selama masa sewa.32
Risiko bisnis akan lebih besar jika barang
dimiliki bank, tetapi masa sewa lebih pendek
daripada masa hidup ekonomis barang. Aki- batnya,
barang dalam pembukuan bank berkemungkinan besar akan menjadi
tidak produktif, terutama bagi barang bersifat khusus, di
mana prospek akan adanya penyewa lain tidak terlalu besar. Menu- rut Usmani, sesuai dengan ketentuan dasar syariah,
pemilik barang dapat mengambil barang itu kembali,
menyewakan atau menjualnya ke orang lain, tapi
tidak dapat memaksa penyewa untuk membeli dan
menentukannya dalam perjanjian sewa, atau menghibahkannya
kepada penyewa.
Asas yang mendasari konsep kerja sama
yang dikandung dalam ke- lompok akad ini
didasarkan pada hadis Nabi Saw. yang diriwayatkan Abu
Dawud dari Abu Hurairah yang berbunyi: "Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat, selama salah
satunya tidak mengkhianati yang lainnya."34
Hadis Nabi Saw. ini sejalan dengan karakteristik
ekonomi Islam bahwa nilai moral harus dimanifestasi- kan
ke dalam kegiatan ekonomi. Gabungan, antara uang sebagai potensi modal dan
modal sebagai properti produktif, juga merupakan alat
sosial untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
Mudharabah (kemitraan pasif) adalah kontrak untuk
pembiayaan dengan struktur persekutuan atau
kongsi. Pemilik modal (shahibul mal) sebagai
mitra pasif menanamkan modalnya pada suatu atau be- berapa
bentuk usaha, yang ditentukan (muqayadah atau restricted) atau tidak ditentukan (mutlaqah atau
unrestricted), dengan pihak lain, yang
merupakan pengusaha sebagai pengelola modal atau entrepreneur
atau mudharib yang menjalankan. Terhadap
harta shahi- bul mal, mudharib bertindak
sebagai wakil atas dasar kepercayaan; sedangkan
ketika ada keuntungan, dia berfungsi sebagai mitra.
Dari pengertian ini
terlihat bahwa status modal yang berbentuk dana
dari shahibul mal dipersamakan dengan modal
yang ada pada manusia
(human capital), dalam hal ini berupa keahlian berbisnis mudharib. Modal harus
disetor tunai atau tidak boleh diutang oleh shahibul mal, sedangkan
mudharib memberikan kontribusinya da- lam
bentuk usaha dan keahlian berbinisnya, dan sepenuhnya me-
ngontrol perjalanan usaha tersebut.
Mudharib memiliki kebebasan mutlak dalam mengelola
usaha yang dibiayai. Keuntungan dibagi atas nisbi
yang dinegosiasikan dan disetujui terlebih dulu
oleh para pihak. Shahibul mal memperoleh
keuntungan karena
menerima risiko bisnis yang dihadapi oleh usa- ha
di mana dia menanamkan dananya, dan mudharib
menanamkan waktu dan keahlian bisnisnya. Selama
menjalankan usaha, mudharib tidak dapat
memperoleh apa-apa. Karena itu, di sini terdapat suatu asumsi
tertentu akan kelayakan seseorang untuk menjadi
mudharib, bahwa yang bersangkutan telah memiliki kemampuan untuk mem- biayai kehidupannya.
Kontrak atau akad mudharabah dapat dibuat untuk jangka waktu tertentu yang pasti, dan dapat diakhiri setiap
saat oleh salah satu pihak dengan memberitahukan
terlebih dahulu. Dengan akad mudharabah, bank dapat bertindak sebagai mudharib dalam men- jalankan
suatu usaha (bank), dengan modal dari nasabahnya sebagai shahibul mal. Bank juga dapat bertindak sebagai shahibul mal yang menyediakan
modal bagi suatu usaha dengan nasabah sebagai mud- harib.
Agar pembiayaan ini tidak menimbulkan akibat
negatif, shahi- bul mal harus mengetahui
risiko atau pengelolaan risiko. Jika tidak, pembiayaan
yang dilakukan oleh shahibul mal itu akan
bersifat risk scattering, meski dalam bentuk
yang sederhana karena hanya me- nyangkut dua
pihak. Selain pengkajian masalah karakter dari mud- harib,
shahibul mal harus pula berhati-hati dalam memilih usaha mana yang akan dimodali, mengingat setiap usaha
memiliki risiko yang berbeda. Di samping itu,
risiko usaha akan lebih besar pada usaha yang
bersifat pemula (start-ups).
Musyarakah pada intinya adalah pembiayaan ekuitas
melalui kerja sama (joint venture) yang
menyerupai venture capital pada pembiayaan
konvensional, yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu,
dan dapat diperpanjang jika dikendaki. Berbeda dengan akad mud- harabah, pada akad
musyarakah setiap pihak yang terdiri atas dua atau
lebih pengusaha dalam kerja sama masing-masing memberikan
kontribusi, baik dalam modal maupun dalam aspek manajemen dan aspek pengawasan, baik dalam porsi yang berbeda maupun
sama, te- tapi perlu disepakati terlebih dulu.
Karena itu, pada akad ini para mitra memiliki
hak suara secara proporsional terhadap modal yang
mereka tanam, dan setiap wakil dapat duduk dalam
pengelolaan usaha. Menurut Abdullah Saeed, setiap
mitra bekerja sama atas "kepercayaan"
(trust), dan karena itu
setiap mitra tidak dapat meminta jaminan dari mitra lainnya. Dalam keadaan seperti itu, pengambilan keputusan usaha dilakukan bersama, sesuai dengan porsi modal masing- masing. Keuntungan dibagi berdasarkan ke- sepakatan, tetapi kerugian selalu dibagi ber- sama berdasarkan partisipasi modal masing- masing.35 Menurut Gait dan Worthington, akad musyarakah sangat cocok untuk pembiayaan proyek.
setiap mitra tidak dapat meminta jaminan dari mitra lainnya. Dalam keadaan seperti itu, pengambilan keputusan usaha dilakukan bersama, sesuai dengan porsi modal masing- masing. Keuntungan dibagi berdasarkan ke- sepakatan, tetapi kerugian selalu dibagi ber- sama berdasarkan partisipasi modal masing- masing.35 Menurut Gait dan Worthington, akad musyarakah sangat cocok untuk pembiayaan proyek.
Musyarakah Mutanaqisah adalah pembiayaan untuk
perumahan melalui kerja sama pembiayaan berdasarkan
musyarakah, antara bank (financier) dan nasabah pembeli rumah.
Masing-masing me- masukkan modalnya, misalkan bank
80 persen dan calon nasabah 20 persen, ke dalam
pembelian rumah yang diinginkan nasabah. Berda- sarkan
masuknya modal tersebut, bank dan nasabah memiliki rumah secara
bersama, tetapi dengan besar kepemilikan berdasarkan porsi masing-masing.
Fitur yang
membedakan dalam akad ini adalah porsi kepemilik- an
bank berangsur-angsur berkurang, sejalan dengan pembayaran angsuran yang dilakukan oleh nasabah. Pembayaran
angsuran ini terdiri atas porsi angsuran yang
digunakan untuk membeli bagian kepemilikan bank,
dan porsi yang digunakan sebagai biaya sewa ke- pada
bank. Ini berarti bahwa porsi bagian ekuitas dari nasabah terus bertambah, sedangkan bagian ekuitas bank berkurang,
sampai nasa- bah memiliki rumah tersebut
sepenuhnya.
Menurut Gait dan Worthington,
akad musyarakah sangat cocok untuk pembiayaan proyek.
|
Perbedaan akad ini
dengan pembiayaan perumahan konvensio- nal
berdasarkan hipotik (mortgage) adalah sebagai
berikut. Pertama, kausa prima akad ini adalah
rumah yang akan dibiayai yang merupa- kan hasil
kegiatan sektor riil, sedangkan pada pembiayaan konven- sional
adalah uang atau kredit yang merupakan unsur utama sektor
keuangan. Kedua, rumah yang akan
dibeli merupakan jaminan atas kredit yang
diberikan untuk membeli rumah tersebut, dengan peng- ikatan
jaminan secara hukum yang bernama hak tanggungan (hipo- tik).
Pada pembiayaan syariah, rumah yang akan dibeli merupakan
milik bersama bank dan nasabah, bukan merupakan jaminan secara an sich atau berdiri
sendiri terlepas dari kepemilikan bank. Ketiga, pada
bank konvensional, kepemilikan rumah dibentuk dari perolehan
kredit bank dan ini bersifat utang,
sedangkan pada bank syariah kepe- milikan rumah
dibangun dari dana ekuitas secara bersama oleh bank dan
nasabah.
Mengenai risiko
pembiayaan, berbeda dengan pada akad musyarakah,
ri- siko yang paling besar dalam akad mudharabah muqayadah adalah seca- ra implisit shahibul mal
tidak dapat mengontrol penggunaan dana modal yang
diberikan kepada mudharib secara efektif,
karena shahibul mal tidak dapat ikut dalam mengelola usaha atau bisnis yang
dikelola mudharib. Pada akad musyarakah, setiap mitra usaha ikut dalam
pengelolaan usaha.
Terutama pada akad mudharabah, shahibul mal menghadapi risiko moral yang timbul dari tindak-tanduk mudharib, mulai dari kelalaian baik yang disengaja maupun tidak, ketidakjujuran, hingga
ketidakmampuan yang dapat menghambat kinerja
pencapaian keuntungan yang diharapkan. Bisa saja mudharib, setelah menerima modal dari shahibul mal, tidak me- laksanakan
usaha seperti yang diperjanjikan, menggunakan modal di luar usaha yang diperjanjikan, yang dapat menimbulkan moral hazard.
Di samping itu, mudharib dapat memiliki kesempatan atau dorongan untuk tidak transparan dalam menyampaikan perhitungan
rugi-laba, atau dengan kata lain memiliki
kecenderungan untuk memperkecil jumlah keuntungan,
dengan mempergunakan teknik akunting tertentu atau tindakan moral hazard lainnya.
Masalah ini merupakan risiko moral yang dihadapi, karena mudharib tidak memiliki tingkat kejujuran dan
integritas yang baik. Risiko ini, serta dua risiko
di atas, timbul karena karakter mudharib.
Di lain pihak, bank
dapat mengalami adverse selection jika tidak berhati-hati dalam memilih proyek yang dibiayai. Bank
tidak dapat semata-mata melihat besar persentase
keuntungan yang dapat diperoleh dari suatu proyek,
tetapi setiap persentase keuntungan harus juga dikaitkan
dengan besar-kecil risiko pada setiap proyek usaha.
Dalam kaitan ini,
Abdus Samad dan M. Kabir Hassan mengatakan bahwa
akad bagi hasil lebih superior dibandingkan dengan
murabahah (debt contract), jika tidak terdapat asymmetric information. Karena itu, pelaksanaan akad PLS memerlukan keterbukaan
informasi dan transparansi yang lebih luas. Karena
masalah eksternalitas ini sulit untuk dihilangkan,
bank harus lebih aktif dan lebih dalam ketika melakukan analisis (due diligence) dalam rangka memilih usaha mana
yang akan dibiayai, dan pengawasan terhadap
pembiayaan yang telah dilakukan, sehingga biaya
informasi cenderung lebih tinggi.
Menurut V.
Sundararajan dan Luca Errico, shahibul mal
atau bank berhak menerima kembali modal yang
ditempatkan pada akhir akad ha- nya, jika usaha
memperoleh keuntungan. Tetapi, jika rugi, shahibul
mal tidak akan dapat menuntut mudharib
untuk memperoleh kembali mo- dalnya, kalau hal
tersebut bukan merupakan wanprestasi, kelalaian, atau pelanggaran
terhadap akad dari segi mudharib, yang hanya
bertanggung jawab sejauh waktu dan usahanya.
Itulah sebabnya mudharib tidak dapat memperoleh gaji atau upah karena, jika dia memperolehnya,
dia bukan lagi berfungsi sebagai mitra, melainkan
sebagai pegawai yang tidak me- nanggung risiko
bisnis. Dengan demikian, hubungan antara shahibul
mal dan mudharib lebih banyak
berdasarkan kepercayaan sehingga memerlu- kan
kadar moralitas yang lebih tinggi, terutama pada pihak mudharib.
Berdasarkan uraian
di atas, karena mudharib secara langsung
tidak bertanggung jawab atas modal dari shahibul mal jika usaha gagal atau merugi, mudharib bisa
saja terdorong untuk menjalankan usaha atau bis- nis
yang memiliki kadar risiko yang lebih tinggi.
Dalam kedua kontrak, mudharabah dan
musyarakah, bank bertin- dak sebagai
investor yang berpartisipasi dalam usaha, sehingga yang di- hadapi bukan hanya risiko kredit, tetapi risiko bisnis
secara keseluruhan, atau dengan kata lain
menghadapi risiko investasi yang sesungguhnya. Pada
saat yang sama, seluruh risiko ini dibagi di antara
shahibul mal dan mudharib atau antara para mitra. Karena itu, bank
sebagai shahibul mal akan menghadapi
masalah-masalah manajerial, dan perlu melakukan tin- dakan
pengawasan yang lebih aktif.
Pada akad mudharabah, shahibul mal berperan pasif terhadap
per- kembangan usaha yang dibiayai, yang
dikendalikan sepenuhnya oleh mudharib berdasarkan pertimbangan terbaiknya. Di
sini, shahibul mal atau bank tidak dapat ikut
campur dalam manajemen proyek, kecuali da- lam hal monitoring. Pada akad
musyarakah, setiap mitra berperan aktif mengawasi
dan mengambil keputusan bisnis yang diperlukan bagi per- kembangan
usaha yang dibiayai, kecuali salah satu mitra memilih untuk tidak ikut berpartisipasi. Karena itu, risiko lebih
tinggi pada akad mudha- rabah dibandingkan
dengan risiko pada akad musyarakah.
Karena bersifat
investasi, kedua macam kontrak itu akan membe- rikan
hasil atau keuntungan dalam kurun waktu yang relatif lebih lama. Namun, tidak ada yang dapat menjamin masalah perolehan
keuntungan ini dan tidak dapat diketahui secara
pasti, kecuali diperkirakan, pada saat akad
dimulai (ex-ante), baik dari segi jumlah
maupun waktunya. Sema- kin lama suatu proyek
direalisasikan, semakin lama keuntungan dapat diperoleh.
Risiko kerugian akan lebih besar pada awal masa investasi, atau lebih besar untuk bisnis baru, sehingga di sini
modal awal berpotensi akan terkikis. Keuntungan
hanya dapat diketahui ex-post, yaitu ketika
ke- untungan recara riil berakumulasi dari
penggunaan modal secara efektif di sektor riil
yang dibiayai.
Berdasarkan teori,
tindakan pengawasan yang perlu dilakukan oleh mudharib akan lebih mudah, jika tidak terdapat
kesenjangan informasi (informational
gap) antara mudharib dan shahibul mal, atau antarpara
pihak dalam akad musyarakah. Dalam
keadaan itu, dapat diasumsikan bahwa setiap pihak
akan bekerja sama karena memiliki tujuan yang sama, yaitu
memperoleh keuntungan yang lebih besar atau memperkecil keru- gian. Dalam akad musyarakah,
pada dasarnya bank memang harus aktif berpartisipasi
dalam menjalankan usaha dan sekaligus melakukan kegiat- an
pengawasan, terlebih jika terdapat kesenjangan informasi yang besar.
Baik pada mudharabah maupun
musyarakah, akad dapat dihenti- kan setiap
saat oleh salah satu pihak, tetapi dengan syarat memberitahu- kan terlebih dulu kepada pihak lainnya. Bagi akad mudharabah, karena tidak
ada jaminan atas keberhasilan atau kolateral terhadap kemungkin- an kerugian akibat risiko bisnis, shahibul mal tidak memiliki pegangan agar mudharib
benar-benar melakukan pekerjaannya dengan baik. Bagi akad musyarakah, bank sebagai mitra harus mengontrol
lebih ketat, agar mitra yang lain bekerja secara
maksimal untuk keberhasilan usaha demi kepentingan
bersama. Untuk itu, bank perlu memastikan bahwa setiap modal
yang ditanamkan sesuai dengan jumlah yang sesungguhnya, dan tidak mengalami rekayasa akunting. Dengan demikian,
setiap mitra dapat memperoleh keuntungan yang
benar-benar sesuai dengan modal yang se- sungguhnya
ditanam.
Berbeda dengan
pembiayaan yang bersumber dari utang, dan adanya pembayaran
bunga atau angsuran secara reguler dan periodik, pembiayaan yang bersifat ekuitas seperti mudharabah ataupun
musyarakah tidak me- miliki fitur seperti
itu, yang dapat digunakan sebagai alat kontrol terhadap kualitas
pembiayaan dan perolehan arus kas.
Hal lain yang juga
perlu diwaspadai adalah preferensi pilihan sumber pendanaan
yang dikaitkan dengan prospek dan tingkat risiko dari suatu proyek atau usaha oleh pihak sponsor, sehubungan dengan
sifat pembiayaan
ekuitas jika dibandingkan dengan utang. Pada proyek yang memiliki prospek keuntungan yang lebih baik, tetapi dengan risiko lebih kecil, sponsor akan memilih pembiayaan yang berasal dari utang. Di lain pihak, jika prospek proyek kurang menguntungkan dan/atau berisiko yang lebih tinggi, sponsor akan memilih pembiayaan ekuitas. Pemilihan pembiayaan oleh calon sponsor seperti ini merupakan salah satu bentuk moral hazard. Ini berarti bahwa bank sebagai calon financier harus memiliki keahlian dan pengalaman yang lebih tinggi, ketika akan melakukan seleksi dan due diligence dari suatu prospek usaha yang akan dibiayai.
ekuitas jika dibandingkan dengan utang. Pada proyek yang memiliki prospek keuntungan yang lebih baik, tetapi dengan risiko lebih kecil, sponsor akan memilih pembiayaan yang berasal dari utang. Di lain pihak, jika prospek proyek kurang menguntungkan dan/atau berisiko yang lebih tinggi, sponsor akan memilih pembiayaan ekuitas. Pemilihan pembiayaan oleh calon sponsor seperti ini merupakan salah satu bentuk moral hazard. Ini berarti bahwa bank sebagai calon financier harus memiliki keahlian dan pengalaman yang lebih tinggi, ketika akan melakukan seleksi dan due diligence dari suatu prospek usaha yang akan dibiayai.
Pada kedua akad, mudharabah dan
musyarakah, pengembalian pokok dilakukan
pada akhir periode akad, atau dilakukan secara angsuran
berdasarkan aliran kas masuk.
Berdasarkan uraian di atas, secara
generik, perspektif pembiayaan cenderung berjangka
lebih panjang, dan lebih berisiko dibandingkan de- ngan
pembiayaan dalam kelompok akad yang lain. Salah satu faktor yang menyebabkan akad berjangka lebih panjang, dan
mengandung risiko lebih besar adalah bahwa akad seperti ini memerlukan
institusi dan kultur yang dapat diantisipasi
perkembangannya, serta dapat menumbuhkan unsur
kepercayaan. Pembiayaan jangka panjang juga memerlukan kesta- bilan ruang lingkup ekonomi dan politik, serta perlu
didukung oleh pene- rapan hukum yang lebih pasti
dan konsisten.
Jika dilihat
berdasarkan jenis akad, dapat dikatakan bahwa akad jual-beli dan akad sewa mengandung risiko kredit (pembiayaan)
yang lebih kecil, dibandingkan dengan risiko
kredit pada akad kerja sama.36
Pada kedua akad, mudharabah
dan musyarakah, pengembalian pokok dilakukan pada akhir periode akad, atau
dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk.
|
M. Raquibuz Zaman
dan Hormoz Movassaghi, mengutip Aggawal dan
Yousef, berkesimpulan bahwa bank Islam di banyak negara, seperti Jordania, Malaysia, dan Mesir, lebih mengutamakan
pembiayaan jual- beli daripada pembiayaan bagi
hasil. Menurut Mohammad Nejatullah Siddiqi, salah
satu alasan yang agak menonjol adalah bahwa di banyak negara,
hukum yang ada tidak dapat mengatasi timbulnya rekayasa pe- laporan tingkat keuntungan bagi yang menggunakan dana
atau arus kas.
Bahkan, tindak lanjut
hukum terhadap tindakan yang jelas merupakan penipuan
atau penggelapan tingkat keuntungan juga lemah. Di samping itu, tidak ada mekanisme yang tersedia untuk menekan
keterlambatan pembayaran, seperti halnya yang
tersedia pada perjanjian utang-piutang bank
konvensional.
Khan dan Ahmed,
seperti dikutip Nor Hayati Ahmad dan Shahrul Nizam Ahmad, melakukan riset
terhadap sejumlah lembaga keuangan Islam di 28
negara. Mereka menyimpulkan bahwa risiko kredit pada pembia- yaan musyarakah
merupakan yang tertinggi, yakni berada pada tingkat 3,69
dari angka 5, diikuti oleh mudharabah dengan
angka 3,25. Pada akad jual-beli, risiko kredit
yang paling besar berada pada pembiayaan istishna dengan angka 3,57.
Cihak dan Hesse
melakukan penelitian antarnegara terhadap sejumlah bank Islam di 21 negara,
termasuk Indonesia, dengan tujuan untuk menentukan
peranan bank Islam terhadap stabilitas keuangan. Mereka menyimpulkan
bahwa bank Islam yang kecil memiliki kondisi keuangan yang
lebih kuat dibandingkan dengan bank konvensional yang kecil, bank konvensional yang besar lebih kuat dibandingkan dengan
bank Islam yang besar, dan bank Islam yang kecil
lebih kuat daripada bank Islam yang besar. Salah
satu alasan yang kuat untuk menjelaskan perbedaan ini adalah
bahwa bank Islam yang besar melakukan transaksi bagi hasil lebih banyak, dibandingkan dengan bank Islam yang kecil. Bank
Islam yang le- bih kecil lebih berkonsentrasi pada
pembiayaan jual-beli.
Secara teoretis,
menurut Salahuddin Ahmed, transaksi bagi hasil atau profit and loss sharing (PLS), memerlukan usaha due diligence dan care atau
pengawasan risiko kredit yang lebih kompleks, dibandingkan dengan hal yang sama yang dilakukan oleh bank konvensional;
dan ini dihadapi terutama oleh bank berskala besar
yang cenderung melakukan pembia- yaan bagi hasil.
Setiap pembiayaan bagi hasil akan terekspos terhadap jenis
usaha yang berbeda, dan setiap jenis usaha memiliki karakteristik dan risiko yang berbeda. Karena itu, bank memerlukan
keahlian dengan SDM yang mampu menganalisis
berbagai macam proyek dengan cara penanganan
risiko yang berbeda-beda. Sebab, jika tidak, menurut Cihak dan Hesse, masalah ini akan dapat mengakibatkan adverse selection dan bahkan moral hazard.
Sejalan dengan
temuan dari penelitian Cihak dan Hesse, Abdus Sa- mad
dan M. Kabir Hassan melakukan penelitian mengenai kinerja Bank Malaysia Berhad (BIMB), dengan menggunakan data laporan
keuangan selama 14 tahun, pada 1984-1997. Dari
penelitian ini, Samad dan Hassan berkesimpulan,
bahwa akad mudharabah dan musyarakah tidak popu- ler
di Malaysia. Dari segi bank, sebagian besar responden mengatakan bahwa bank tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam
melakukan analisis, ketika menyeleksi calon
konsumen dan dalam menangani proyek yang dapat
menguntungkan. Selain itu, pihak bank berpendapat bahwa masih
terdapat bentuk pembiayaan lain, seperti murabahah,
yang dapat memberikan keuntungan yang lebih besar,
dengan risiko yang lebih ren- dah. Dari segi calon
konsumen, terdapat keengganan dari segi pengusaha untuk
melakukan manajemen bersama dengan pihak lain, karena rahasia bisnisnya akan diketahui oleh pihak lain.
Samad dan Hassan
berkesimpulan bahwa alasan-alasan itulah yang membuat
porsi pembiayaan mudharabah dan musyarakah pada BIMB dalam
kurun waktu 1984-1997 menduduki persentase yang sangat kecil, dibandingkan dengan total pembiayaan, yaitu di bawah 1
persen. Pada IBBL, suatu bank syariah di
Bangladesh, pembiayaan mudharabah akhir- nya sama sekali tidak digunakan karena gagal dalam
memberikan hasil yang diharapkan, sedangkan
pembiayaan musyarakah digunakan dalam porsi yang sangat kecil.
Badr El Din A.
Ibrahim mengungkapkan bahwa dalam kurun 19962002, pada perbankan Islam di
Sudan, pembiayaan murabahah mendu- duki porsi yang terbesar, yaitu 33,7-54,3 persen,
diikuti oleh pembiayaan musyarakah sekitar 21,1-42,9 persen. Salam berada pada posisi ketiga, sekitar 3,4-6,5 persen, dan
mudharabah sekitar 2-6,2 persen. Menurut Saad
Al-Harran seperti dikutip oleh Ibrahim, alasan yang melatarbela- kangi pembiayaan murabahah
lebih banyak digunakan berkaitan dengan risiko
yang harus dihadapi. Berbeda dengan akad murabahah,
pada akad bagi hasil perolehan hasil (return) memerlukan waktu yang lebih lama, di samping harus mengatasi masalah-masalah manajerial
yang terkait. Dengan demikian, bank Islam perlu
memiliki pengalaman yang memadai dalam kaitan
dengan manajemen, serta melakukan tindakan pengawas- an
dan monitoring yang lebih aktif. Risiko
terkikisnya modal pada awal investasi lebih besar
pada akad bagi hasil, sedangkan pada akad muraba- hah
dan salam, risiko ini berada pada pihak
nasabah.
Pola pembiayaan yang lebih banyak
menggunakan akad jual-beli dibandingkan dengan
akad bagi hasil juga terjadi pada perbankan Islam di
Bangladesh. Menurut Kabir Hassan, dalam kurun waktu 1983-1995, pembiayaan murabahah
meningkat dari 15 persen menjadi 53 persen, se- dangkan
pembiayaan musyarakah turun dari 12 persen
menjadi 5 persen. Pembiayaan mudharabah tidak dilakukan sama sekali. Data tahun
2005, menurut Md. Abdul Awwal Sarker, menunjukkan
bahwa porsi pembia- yaan jual-beli tetap dominan
dengan porsi sekitar 64 persen, sedangkan pembiayaan
bagi hasil tetap rendah, yaitu musyarakah 1,35
persen dan mudharabah
0,03 persen. Pembiayaan bagi hasil tidak populer di Bangladesh karena para
pengusaha melaporkan keuntungan yang lebih kecil untuk
menghindari pajak, dan merupakan sumber bagi moral
hazard. Di samping itu, bank menganggap risiko terkait dengan pembiayaan
bagi hasil cukup tinggi.
Dalam kasus
perbankan syariah di Pakistan, tidak saja akad bagi
hasil sulit dilaksanakan, tetapi konsep syariah sendiri secara menyeluruh tidak dilakukan secara benar dan
sungguh-sunguh. Menurut Mohammad Mansoor Khan dan
M. Ishaq Bhatti, akad bagi hasil sulit untuk
dilaksanakan karena alasan timbal balik. Dari sisi
nasabah, kebanyakan pengusaha di Pakistan mempu- nyai
dua set laporan keuangan, dengan tujuan memperkecil pendapatan dan mengurangi
jumlah pembayaran pajak. Alasan lain, para
pengusaha tidak bersedia untuk mengungkapkan informasi mengenai
bisnis, dan tingkat keuntungan yang sesungguhnya kepada
pihak bank. Dengan demikian, bagi pihak bank, tidak terdapat
peluang untuk menawarkan, dan bahkan enggan untuk melakukan
pembiayaan berdasarkan bagi hasil.
Secara umum,
penggunaan akad PLS yang rendah tersebut, dibandingkan
dengan penggunaan akad lainnya, disebabkan oleh
dua hal utama. Pertama, menurut Saeed,
standar moral yang berkembang pada kebanyakan
komunitas muslim tidak memadai untuk pembiayaan
yang bersifat investasi, sedangkan pembiayaan PLS
menuntut adanya kejujuran, transparansi, dan efisiensi
dalam mengelola bisnis dan dapat menghasilkan keun- tungan. Kedua, risiko pada akad PLS lebih tinggi dan
pengkaji- annya lebih rumit, yang memerlukan
informasi lebih banyak.
Walaupun bank syariah
tidak melaksanakan kegiatan pinjam-memin- jam uang
dan tanpa bunga, dalam konteks intermediasi keuangan, pada umumnya bank syariah melakukan banyak hal seperti yang
dilakukan oleh bank konvensional. Jika dilihat
dari jenis akad-akadnya, bank sya- riah juga
melakukan pemindahan daya beli dari waktu ke waktu, memo-
bilisasi tabungan, mengumpulkan informasi yang diperlukan, menyeleksi jenis-jenis usaha yang dapat dibiayai dalam sektor
riil, mengalokasikan modal ke dalam kegiatan
bisnis yang menguntungkan di dalam sektor tersebut,
dan melakukan pengawasan terhadap para manajer yang men- jalankan
usaha yang dibiayai. Dengan demikian, bank syariah juga mela- kukan transformasi risiko.
Dalam hal
transformasi risiko, bank syariah melakukan agregasi se- luruh
risiko yang ditampungnya dari penerimaan dana dari masyarakat, baik melalui akad wadiah
maupun mudharabah, dan mendistribusi- kannya kepada yang dapat dipercaya dan dapat
menguntungkan melalui akad-akad pembiayaan.
Esensi dari
akad-akad ini menunjukkan bahwa dana yang disalurkan bank
bukan merupakan utang bagi bank, melainkan dana titipan atau dana investasi yang bersifat ekuitas, dan bank
bertindak hanya sebagai manajer investasi atas
kuasa atau petunjuk dari pemilik dana. Sebagai ketentuan
yang mendasar, dana tersebut tidak dapat digunakan untuk investasi
yang bersifat spekulatif, kecuali untuk berpartisipasi dalam ke- giatan produksi dan perdagangan yang kemudian membentuk
suatu por- tofolio bagi bank syariah. Dapat
dikatakan bahwa risiko portofolio ditang- gung
tidak saja oleh pemegang saham bank, tetapi juga oleh para deposan atau pemilik dana.37
Karena itu, secara
teoretis konsep moral hazard yang didorong
oleh kenyataan bahwa modal bank yang kecil,
dibandingkan dengan dana ma- syarakat yang
digunakan pada bank konvensional, seperti yang kemuka- kan
oleh Vihriala, kurang berlaku pada bank syariah.
Moral hazard dapat terjadi jika bank
menggunakan dana masyarakat itu untuk tujuan-tuju- an
tertentu yang dapat menguntungkan bank atau pemilik bank, tetapi membahayakan kedudukan dan kepentingan pemilik dana.
Di sini, jika bank
rugi, pemilik bank hanya akan kehilangan modal yang
dimilikinya pada bank, yang berjumlah lebih kecil dibandingkan de- ngan dana masyarakat yang berjumlah jauh lebih besar,
di mana pemilik dana kehilangan keseluruhan
miliknya itu. Pada bank syariah, kemung- kinan
penyimpangan ini dapat diperkecil karena dana masyarakat yang disimpan oleh bank hanya merupakan titipan melalui akad wadiah, atau dana
yang diterima itu berdasarkan akad mudharabah.
Namun, secara umum, akad mudharabah membuka peluang yang lebih besar bagi shahibul
mal untuk melakukan unsur kontrol pada bank sebagai mudharib, karena bank harus menciptakan keuntungan
sebagai kepentingan bersama (common interest) bagi keduanya. Keuntungan ini harus dibagi dengan pemilik dana (shahibul mal), berdasarkan nisbi yang ditentukan pada saat penandatanganan akad. Karena para
pemilik dana ini bukan pemilik saham bank,
sehingga tidak diwakili oleh dewan direk- si bank,
dan dana yang ditempatkan pada bank merupakan kuasi modal
tanpa jaminan hasil yang diperoleh, pembagian keuntungan bank antara pemilik saham dan para pemilik dana atas akad mudharabah harus ditentukan dengan jelas dan
secara terbuka.38
Ditinjau dari sisi
aktiva neraca bank, sebagai hasil pelaksanaan transfor- masi
risiko dari kumpulan dana masyarakat yang diterima menjadi in- vestasi pembiayaan, bank syariah memiliki sejumlah
tagihan dan modal yang ditanamkan pada nasabah.
Jumlah ini membentuk suatu portofolio pembiayaan,
yang setara dengan portofolio kredit pada bank konvensio-
nal. Portofolio ini umumnya mewakili akad-akad bank syariah yang lebih berorientasi pada sektor produksi, bukan pada sektor
konsumsi, sehingga mengurangi tekanan yang
bersifat inflatoir terhadap perekonomian.
Perbedaan antara
portofolio bank konvensional dengan portofolio tagihan
dan investasi pembiayaan bank syariah terutama karena adanya transaksi PLS pada bank syariah, yang merupakan
pembiayaan ekuitas dan partisipasi terhadap
keuntungan masa depan.
Dari sisi pembiayaan
ini, menurut Mabid Ali Al-Jarhi asal Mesir, sejumlah
literatur menyebutkan bank syariah menyerupai
universal banking di Jerman dan Jepang, yang dapat membeli saham
perusahaan baik yang terbuka maupun yang tertutup.
Penerapan universal banking di Jerman mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi pada masa awal industrialisasi
di sana, dan dapat pula diterapkan di negara yang sedang berkembang
untuk tujuan yang sama.
Namun, Sayyid Tahir
mengungkapkan adanya perbedaan praktik universal banking pada bank konvensional dengan
citra dari sifat universal banking pada bank
syariah. Perbedaan ini kembali terletak pada transaksi
yang melandasinya, yakni bank syariah tidak meminjamkan uang
sebagai pokok suatu akad, tapi suatu usaha atau bisnis di dalam sek- tor riil yang dapat dibiayai oleh bank syariah, atau
berpartisipasi langsung dalam produksi barang dan
jasa serta dalam perdagangan.
Di samping itu, akad
PLS dapat pula berfungsi dalam mengalokasi- kan
sumber daya secara lebih efisien, karena secara langsung berkaitan dengan produktivitas dan tingkat keuntungan, jika
dibandingkan dengan sistem utang. Jadi, menurut
Abdul Rahim Abdul Rahman, penerapan yang tepat
dari akad PLS akan dapat membantu tercapainya tujuan hu- kum
Islam, tetapi juga meningkatkan faktor sosio-ekonomis masyarakat, keadilan sosial, serta kestabilan dan efisiensi
ekonomi.
Dengan karakteristik
yang sedemikian itu, bank syariah secara struk- tural
membuka diri bagi pembiayaan UKM, mikro dan kaum duafa, yang umumnya tidak memiliki kolateral yang diperlukan oleh
bank.
Dalam pembiayaan PLS, karena
aplikasi konsep bunga dilarang, yang ada adalah
aplikasi dari hubungan dua faktor produksi, yaitu antara tenaga
kerja dan modal, sebagai bentuk konversi dari uang yang merupakan potensi
modal, dalam rangka memperoleh hasil kerja. Tenaga kerja menghasilkan
upah, sedangkan modal menghasilkan kompensasi yang berbentuk
keuntungan.
Ditinjau dari
kedekatannya dengan sektor ekonomi riil, akad-akad
murabahah, salam, istishna, dan ijara
menjadikan suatu jenis barang yang telah ada atau
yang akan diproduksi sebagai kausa prima akad. Akad mudharabah dan
musyarakah terjadi karena adanya usaha atau bisnis
tertentu di dalam sektor riil, sebagai titik tolak terjadinya akad.
Pada dasarnya,
akad-akad ini tidak seperti perjanjian kredit pada bank
konvensional, yang menjadikan uang sebagai inti perjanjian. Selain itu, dalam akad bank syariah, pada umumnya penggunaan
uang lebih je- las dapat dilihat atau dikontrol,
karena mengikuti alur barang atau usaha. Kemungkinan
penyimpangan dalam penggunaan dana, atau kemungkin- an
wanprestasi akibat penyimpangan penggunaan dana dari yang telah disepakati, dapat diperkecil. Selain itu, praktik
penggunaan dana untuk tujuan spekulasi tidak
dimungkinkan, karena pembiayaan yang mengan- dung
unsur gharal atau
maysir memang dilarang dalam ekonomi Islam
atau perbankan syariah. Kecuali pada akad mud- harabah, penggunaan dana dapat terkontrol le- bih baik khususnya pada akad murabahah, ijara, dan musyarakah.
atau perbankan syariah. Kecuali pada akad mud- harabah, penggunaan dana dapat terkontrol le- bih baik khususnya pada akad murabahah, ijara, dan musyarakah.
Pada akad murabahah dan ijara,
bank menggunakan dana untuk menyediakan barang yang diperdagangkan atau yang akan disewakan, jadi bukan dana yang diberikan kepada nasabah, tetapi barang yang diperlukan. Pada akad musyarakah, setiap mitra dapat melakukan pengontrolan pengelolaan dana secara
langsung. Dengan be- gitu, kemungkinan terjadinya moral hazard dan
adverse selection dalam pemilihan usaha dan
pengelolaan dana dapat dihindarkan. Di sini, asymmetric
information dapat diperkecil.
Penggunaan dana
dapat terkontrol lebih baik pada mula akad ditan- datangani,
jika dana tersebut dibelikan barang yang akan diperdagang- kan atau barang modal yang diperlukan untuk usaha.
Namun, walaupun dengan alasan pengontrolan
penggunaan dana, hal ini tidak dapat dilaku- kan pada
akad mudharabah karena; pertama, modal yang dimaksudkan dalam akad mudharabah
haruslah berbentuk modal uang karena, jika tidak,
nilai modal awal hanya dapat diperkirakan atau akan dapat bersi- fat gharal;39
kedua, uang dapat digunakan untuk berbagai tujuan dalam rangka membentuk dan menjalankan usaha sesuai dengan
keahlian dan kemampuan
mudharib, sedangkan jika dalam berbentuk barang, ruang gerak atau fleksibilitas
mudharib dalam berusaha akan terbatas.40
Pada akad salam dan istishna,
dana diberikan kepada nasabah untuk menanam produk
pertanian atau memproduksi barang tertentu dalam sektor
riil. Pengawasan penggunanan dana lebih terkontrol pada istishna, karena pembayaran dapat tidak dilakukan
sekaligus tetapi bertahap berdasarkan progres.
Pada akad salam, pembayaran untuk pembelian barang harus dilakukan sekaligus di muka. Ditinjau dari
sifat nasabah seperti ini, kemungkinan terjadinya
penyimpangan penggunaan dana secara intuitif dirasakan
tidak besar. Umumnya, para petani hanya memiliki pengetahuan dan keahlian sebagai petani. Mereka sebagai petani
sangat berkepentingan dengan usaha tanam, dan
memperoleh panen berlanjut dari waktu ke waktu.
Pada akad musyarakah, setiap
mitra dapat melakukan pengontrolan pengelolaan dana secara langsung.
|
Dapat dikatakan
bahwa akad-akad bank syariah pada umumnya mele- kat
dengan cukup erat pada sektor ekonomi riil. Kedekatan inilah yang mem- buat sistem keuangan Islam lebih stabil karena sektor
keuangan dan sektor riil menyatu, tidak menimbulkan
dikotomi dari keduanya.
Keberhasilan usaha
sangat bergantung pada perolehan keuntungan. Namun,
sebagai bank syariah pada tataran yang lebih luas, keberhasilan usaha juga diukur secara khusus dari keberhasilannya
menerapkan prin- sisp-prinsip syariah, dan secara
umum dalam meningkatkan kemaslahat- an umat. Kedua
ukuran ini seyogianya dilakukan oleh bank syariah me- lalui
pelaksanaan fungsi intermediasi keuangannya, yang pada sifatnya menghadapi masalah
asymmetric information dan principal and
agent problem, terutama dalam akad PLS.
Walaupun terdapat
konsep kerja sama yang bersifat partisipatif an- tara
para mitra, atau antara shahibul mal dan mudharib, kedua aspek ini tetap
harus dikaji dan dikontrol sebagai sesuatu yang dinamis. Keberha- silan bank syariah akhirnya akan ditentukan oleh
bagaimana menangani kedua masalah itu dari waktu
ke waktu. Di samping itu, dalam akad PLS, terutama
pada akad musyarakah, bank syariah bertindak
sebagai mitra usaha, maka perspektif pembiayaan cenderung
berjangka yang lebih panjang. Dalam banyak
literatur, pembiayaan dengan jangka yang lebih panjang
membawa konsekuensi risiko usaha yang lebih besar. Namun,
di sinilah letak perbedaan dengan bank konvensional, yakni bank syariah membuka diri lebih luas untuk pembiayaan usaha di dalam
sektor riil.
Dalam menghadapi
masalah asymmetric information, yang kemudi- an dapat menimbulkan adverse
selection dan moral hazzard, fokus
sen- tral bank dalam melakukan due diligence adalah sekitar mudharib pada akad mudharabah, dan sekitar para mitra pada akad musyarakah sam- pai
batas tertentu. Dalam hal ini, penelitian yang cermat harus dilakukan terhadap apa yang dimiliki oleh calon mudharib atau para mitra.
Menurut Rosly,
cakupan yang harus diteliti meliputi risiko dan nilai yang
dapat diciptakan oleh mudharib dan mitra.
Risiko dan nilai ini me- rupakan modal dasar bagi
bank sebagai mitra untuk meletakkan unsur kepercayaan
kepada mereka. Untuk dapat menilai kedua hal ini, perlu dipelajari
faktor-faktor pendukung yang dapat menuju kepada kedua hal tersebut, dimulai dari visi, tujuan usaha dan niat mudharib sebagai dasar filosofinya,
produk dan teknologi yang dikuasai, rencana kerja dan strate- gi usaha, kemudian dilakukan penelitian terhadap tim
pengelola yang ada atau yang akan dibentuk.
Dasar filosofis yang
dimaksud di sini akan dapat memecahkan secara mendasar
masalah asymmetric information antara mudharib dan sha- bhibul
mal atau antara para mitra sehingga dapat mengurangi kemung- kinan timbulnya moral
hazard. Jika pembiayaan sudah berjalan, bank sebagai shahibul mal atau mitra, dalam usaha juga perlu
melakukan kegi- atan
monitoring dari usaha yang dibiayai.
Jadi, masalah governance dalam akad kerja sama ini dapat dengan mudah dipecahkan. Setiap mitra berperan aktif dalam
pengambilan ke- putusan. Walaupun bank sebagai shahibul mal berhak melakukan peng- awasan dan pembinaan, pada akad mudharabah, di lain pihak, shahibul mal hanya dapat membaca laporan yang
diberikan oleh mudharib, dan kedua kegiatan tersebut, pengawasan dan pembinaan,
hampir sepenuh- nya bersandar pada apa yang dapat
dibaca dari laporan yang diberikan.
Untuk dapat membaca
apa yang sesungguhnya terjadi dalam penge- lolaan
usaha oleh mudharib, diperlukan pengetahuan
dan pengalaman khusus yang berkaitan dengan bidang
atau macam usaha yang dibiayai. Dari sisi bank,
pihak yang dapat melakukan kegiatan seperti ini adalah pejabat
senior bank, yang biayanya relatif lebih mahal dari pejabat junior. Dalam melakukan monitoring
proyek atau usaha yang dibiayai, misalnya, bank
perlu meneliti dasar perhitungan keuntungan atau kerugian. Pada akhirnya, apa yang harus diteliti dalam suatu proses due diligence bagi pembiayaan mudharabah atau
musyarakah jauh lebih dalam dan kom- pleks,
jika dibandingkan dalam konteks yang sama bagi bank konvensio- nal dalam pemberian suatu macam kredit.
Untuk dapat
melakukan pemilihan proyek dengan baik, bank perlu memiliki
pengetahuan dan pengalaman tentang usaha atau bisnis yang
akan dibiayai, sehingga dapat mengukur perolehan pendapatan atau ke- untungan dengan tingkat dan macam risiko yang akan
dihadapi. Untuk itu, menurut Yusak Laksmana, financing officer bank syariah harus me- miliki jiwa kewiraswastaan, sehingga mampu melihat
peluang pembia- yaan yang menguntungkan dan aman,
dan tidak membiayai usaha atau proyek yang tidak
dipahami dan diyakini.
Dibandingkan dengan
bank konvensional, terutama dalam konteks akad
PLS, bank syariah memerlukan tenaga-tenaga profesional yang lebih andal dalam menilai proyek mana yang dapat dibiayai.
Jika bank tidak memahami risiko yang dihadapi, itu
berarti menanggung risiko secara buta atau
bersifat gharal, yang disebut oleh Nagaoka
sebagai risk scattering. Contoh yang
dikemukakan oleh Nagaoka mengenai risk scatering ini
berkaitan dengan kekhawatirannya terhadap sekuritisasi atau sukuk41 atas dasar akad bagi hasil,
yang dapat memberikan dampak seperti yang ditimbulkan subprime mortgage.
Kekhawatiran ini
dapat dijawab oleh G. Pavithra, yang berpendapat bahwa
sekuritisasi keuangan syariah, seperti sukuk,
justru memiliki pelin- dung terhadap kemungkinan
terjadinya krisis subprime terhadap dirinya, karena alasan berikut.
Pertama, sekuritisasi tidak dapat terlaksana tanpa
persetujuan nasabah awal. Kedua,
keuangan syariah tidak dapat dilakukan melalui kendaraan off balance sheet. Ketiga, perbankan syariah tidak dapat memberikan fasilitas kepada pihak yang telah
banyak memiliki utang atau dengan leverage yang telah tinggi. Keempat, keuangan syariah bersifat
imun terhadap perubahan volatilitas jangka pendek harga-harga aset, karena perbankan syariah berbisnis atas dasar
perdagangan dan bersandar pada potensi dan arah
pertumbuhan, bukan pada perubahan harga-harga
aset.
Alasan-alasan ini
mendukung alasan utama kenapa perdagangan atau
jual-beli utang atau piutang, baik pada pasar primer maupun sekun- der, tidak dimungkinkan untuk dilakukan dalam
pembiayaan syariah. Transaksi jual-beli yang
diizinkan adalah atas persetujuan penjual dan pembeli,
dilakukan langsung dalam arti dicatat dalam pembukuan ma-
sing-masing, dan transaksi itu tidak bersifat
gharal.
Bank syariah secara teoretis dapat
menjembatani masalah asymmetric information
yang umumnya ada dengan lebih baik. Risiko yang dihadapi
dapat pula diminimalkan karena pada dasarnya pengambilan risiko
yang dianggap berlebihan, seperti halnya pemberian kredit pada pihak yang telah memiliki utang yang besar, tidak
dimungkinkan dalam bank syariah. Pengambilan
risiko yang berlebihan dapat bersifat gharal, dan
tidak mungkin tanpa dilandasi pada atau mengikuti alur barang atau jasa.
Untuk menghindari adverse selection dan
moral hazard dalam seleksi proyek yang akan dibiayai, bank sebagai calon shahibul mal atau
mitra memerlukan lebih banyak informasi dan lebih
penting dibandingkan dengan bank konvensional.42 Ditinjau
dari segi akad, keterbukaan informasi dalam mengatasi asymmetric information terutama sangat diperlukan
untuk akad mudharabah
muqayadah. Akad ini memberikan kebebasan ke- pada mudharib ke dalam usaha mana dana shahibul mal akan digunakan.
Untuk
usaha yang belum pernah dijalankan oleh mudharib, bank
hanya dapat memperkirakan kemungkinan keberhasil- an mudharib, berdasarkan keahlian bisnis secara
pribadi dari mudharib
dalam menjalankan usaha yang baru tersebut. Dalam memperoleh
perkiraan keberhasilan ini, bank perlu mempelajari hal
ihwal usaha terutama besar-kecilnya risiko yang mungkin di- hadapi oleh mudharib,
dibandingkan dengan kemampuan teknis yang dimiliki
oleh mudharib.
Pada
umumnya, informasi yang diperlukan oleh bank untuk melakukan due diligence yang diperlukan diperoleh dari mudha- rib sendiri. Sebagai tambahan dan
pembanding, informasi juga dapat diperoleh dari
lingkungan yang lebih luas, misalnya dari industri
tempat mudharib telah atau akan berusaha.
Informasi seperti ini diperoleh dalam rangka
mengetahui atau mempe- lajari profil risiko dan
faktor-faktor risiko yang terkait, tingkat keberhasilan
dan kegagalan, serta para pelaku yang dominan di industri
yang akan dimasuki.
Bentuk moral hazard yang lain dapat timbul tidak hanya dari pihak mudharib
yang tidak memberikan seluruh informasi yang
diperlukan oleh shahibul mal, tetapi dapat
juga timbul pada bank yang bertindak sebagai shahibul mal atau mitra dari suatu usaha yang dibiayai. Pada bank syariah, bank dapat
bertindak se- bagai
shahibul mal pada usaha atau bisnis yang dijalankan oleh pengusaha (mudharib),
yang sekaligus menjadi nasabah bank. Pada akad musyarakah, bank juga dapat berperan sebagai mitra dengan nasabahnya dalam suatu bentuk usaha bisnis
tertentu.
Suatu
masalah yang bersifat moral hazard dapat
timbul jika pemilik bank ikut berperan serta dalam
pembiayaan ini, baik se- cara langsung maupun
tidak. Secara langsung, pemilik bank da- pat
menggunakan dana dan nama bank. Secara tidak langsung, tetapi
dalam bentuk formal, nama pemilik bank dapat diwakili oleh
nama bank. Terdapat perbedaan yang tipis antara bank se- bagai
institusi yang independen dengan pemilik bank, atau bank yang
dipengaruhi oleh pemilik ini atau yang merupakan wakil pemilik,
ketika bertindak sebagai shahibul mal dalam
akad mud- harabah atau sebagai mitra pada
akad musyarakah.
Namun, manifestasi perbedaan ini
akan dapat jelas dira- sakan dalam pengambilan
keputusan mengenai bisnis dan mud- harib atau
mitra mana yang akan dibiayai. Jika shahibul mal atau
mitra adalah murni bank itu sendiri, tanpa campur tangan pemilik,
pemilihan yang dilakukan bank akan jauh lebih objek- tif,
dengan melakukan pertimbangan utama yang mengimbangi antara
risiko dan pendapatan, serta mencapai diversifikasi risiko yang optimal. Jika pembiayaan yang dimaksud
dilatarbelakangi oleh adanya pengaruh pemilik bank
atau mewakili pemilik, se- leksi terhadap usaha
atau bisnis yang akan dibiayai cenderung lebih
banyak memperhatikan kepentingan pemilik.
Masalah serupa, yang
merupakan konflik kepentingan antara pemilik bank
dan bank sebagai suatu korporasi dan sekaligus merupakan moral hazard, banyak terjadi pada bank
konvensional dalam bentuk pelanggar- an batas
minimal pemberian kredit. Di sini, bank memberikan pinjaman kepada pihak terkait dengan bank, seperti pemilik bank,
yang melampaui batas yang ditentukan oleh UU
Perbankan. Pada umumnya, kredit seperti itu
cenderung kemudian menjadi NPL.
Karena itu, bank syariah menuntut
kadar etika dan moralitas yang lebih tinggi, atau
menggunakan variabel agama yang lebih baik dalam mengatasi
kemungkinan timbulnya masalah moral hazard.
Kadar mo- ralitas ini perlu didasari dengan kadar
keimanan atau ketakwaan yang memadai, sehingga
dapat membedakan mana hak bagi pemilik dan mana yang
bersifat tanggung jawab pemilik bank.
Walaupun Al-Quran tidak
melarang adanya jaminan atau kolateral, dan bahkan
menganjurkan (QS Al-Baqarah [2]: 283), pada umumnya jaminan bukan merupakan isu yang terlalu dipersoalkan. Karena
itu, terutama pada akad PLS, yang pada dasarnya
bukan merupakan kontrak utang-piutang, landasan
yang fundamental akan terlaksananya kontrak adalah setiap pi- hak menjaga dan mempertahankan kesucian atau pemenuhan
kewajiban kontraktual. Kesucian ini dimulai dengan
meminimalkan asymmetric information, melalui
keterbukaan informasi dan transparansi yang lebih baik,
sehingga unsur gharal dalam berkontrak dapat
dihilangkan. Setiap pihak dalam kontrak memiliki
karakter dan moralitas yang baik, sehingga komitmen
pemenuhan kewajiban dalam kontrak dapat dipenuhi.
Namun, dalam keadaan
tertentu, jaminan mutlak diperlukan. Imam Bukhari
meriwayatkan, Nabi Saw. akhirnya bersedia menyembahyangkan jenazah orang yang berutang setelah seseorang bernama
Abu Qatadah bersedia menjamin utang yang meninggal
itu. Beberapa hadis riwayat Bu- khari menunjukkan
bahwa Nabi Saw. sendiri pernah menjaminkan baju besi
untuk membeli makanan dari seorang Yahudi, dan pada kesempatan lain mengambil gandum dari Yahudi yang lain di Madinah.
Pada akad jual-beli, seperti murabahah, barang yang diperdagangkan dan kemudian dibiayai oleh bank melalui pembayaran
angsuran dapat di- jadikan jaminan. Jika
diperlukan, jaminan tambahan untuk pembayaran dapat
dimintakan. Pada akad bagi hasil, secara teori, transaksinya tidak semata-mata dapat bersandar pada kolateral sebagai
unsur pengurang risiko kredit. Namun, dalam akad mudharabah, kolateral untuk menu- tupi risiko yang berasal dari karakter mudharib dapat dimintakan. Dalam akad musyarakah,
secara prinsip jaminan serupa tidak dapat diperoleh, karena
semua mitra berada dalam posisi yang sama dalam menjalankan dan mengawasi kinerja manajemen. Namun, untuk
menghindari terjadi- nya penyimpangan, bank dapat
meminta jaminan sebagai tambahan.
Bank syariah berbeda
dengan bank konvensional karena adanya pembia- yaan
PLS, sedangkan pembiayaan non-PLS menyerupai transaksi per- kreditan umumnya pada bank konvensional. Hubungan PLS
ini berbeda dengan bank konvensional, yang
dibentuk berdasarkan konsep kreditor- debitor dan
di antaranya terdapat kompensasi berbentuk bunga. Dalam hubungan
kreditor-debitor, pada intinya adalah "Anda berutang pada saya, dan Anda harus membayarnya beserta bunga yang
saya tetapkan ketika utang itu jatuh tempo,
terlepas dari Anda berhasil atau tidak dalam usaha
Anda." Di sini, kedudukan kreditor memiliki jarak dengan debitor, dan hubungan keduanya diikat dengan suatu perjanjian
hukum.
Di dalam transaksi
PLS, bank bertindak sebagai investor, manajer in- vestasi,
dan mitra dalam usaha. Dalam akad mudharabah,
bank akan me- ngatakan "Ini modal dariku,
satukanlah dalam usahamu sehingga aku dan engkau
memperoleh keuntungan yang aku yakini engkau peroleh dengan keahlian dan pengalamanmu dalam menjalankan usaha
ini." Dalam akad musyarakah,
bank akan mengatakan "Mari kita sama-sama berusaha se- hingga kita memperoleh keuntungan yang dapat kita bagi
bersama pula."
Karena itu, dilihat
dari kedua akad ini, bank syariah berada dekat dengan
nasabah didasari atas kemitraan dalam menjalankan usaha, dan untuk mencapai hasil usaha secara bersama. Para mitra
pada akad musyarakah, atau antara shahibul mal dan
mudharib pada akad mudharabah, berada
pada tataran kerja sama dalam mencapai tujuan dengan kepentingan
yang sama, yaitu sama-sama ingin memproleh keuntungan, sehingga
secara bersama pula menghadapi risiko usaha.
Jadi, menurut
Masudul Alam Choudhury dan Mohammad Ziaul Hoque,
dalam ekonomi dan sistem keuangan yang berbasis kerja sama, tidak terdapat dorongan untuk menutupi keterbukaan dan
mengaburkan transparansi. Adanya mekanisme bagi
keterbukaan dan transparansi ini akan mengurangi
biaya transaksi berbisnis.
Pada pembiayaan PLS,
transaksi pembiayaan akan berjalan dan ber- hasil
jika mencapai tujuannya, dan untuk itu hubungan bank dan nasa- bah perlu dipupuk dengan baik sehingga diperlukan
hubungan yang lebih dalam dan cenderung lebih
lama. Seperti halnya bank konvensional, bank syariah
perlu memupuk hubungan baik dengan nasabah dalam hal mem-
peroleh informasi yang diperlukan.
Namun, pengkajian
informasi dan substansi hubungan yang dipero- leh
perlu dilakukan lebih dalam lagi, mengingat beberapa hal yang terkait. Pertama, pembiayaan
PLS tidak berorientasi pada kolateral, tetapi lebih bersandar
pada visibilitas dan profitabilitas proyek yang dibiayai. Jadi, seperti dikatakan Kara, persyaratan pokok bagi bank
syariah umumnya, atau akad PLS khususnya, adalah
tingkat kelayakan suatu proyek, yang berbeda
dengan bank konvensional yang mengutamakan kelayakan kre-
dit. Kedua, keberhasilan suatu proyek
juga ditentukan oleh kualitas ma- nusia yang
menjalankannya. Tidak hanya kemampuan, tetapi yang lebih penting
lagi adalah karakter, terutama kejujuran dan reliabilitas. Ketiga, sebagai mitra, bank perlu mengkaji
kelanggengan usaha dengan pihak na- sabah di masa
depan dilihat dari kecocokan pandangan dan sikap dalam menjalankan
usaha bersama. Keempat, sebagai substansi
hubungan yang lain, demi kepentingan terlaksananya
akad kerja sama atau PLS dengan baik, hubungan
perlu dipupuk terus, sehingga informasi yang faktual di- peroleh
tidak hanya dalam rangka melakukan seleksi untuk menentukan proyek dengan calon debitor mana yang akan dibiayai,
tetapi juga diper- lukan untuk mengawasi,
mengikuti, dan mengarahkan perkembangan proyek
atau investasi ke arah yang diinginkan.
Dalam kaitan ini M. Kabir Hassan berpendapat,
bahwa bank syariah perlu lebih memperhatikan
pentingnya kualitas individu, dan kapasitas calon
nasabah dalam arti yang lebih luas, sehingga keputusan pembiaya- an lebih didasarkan pada
human capital.
Pada prinsipnya,
dilihat dari segi memproses aplikasi pembiayaan hingga disetujui,
apa yang dilakukan oleh bank syariah sama seperti yang dilaku- kan oleh bank konvensional. Namun, pada tahap awal,
bank syariah ha- rus memperhatikan secara khusus
transaksi yang akan dibiayai, apakah akan
memproduksi atau menggunakan barang-barang yang dilarang atau haram. Setelah itu, baru ditentukan prinsip-prinsip
akad yang mana yang dapat diterapkan pada
transaksi yang akan dibiayai, dan kemudian dikaji risiko
yang terkait.
Pada akad jual-beli
dengan pembayaran tangguh dan akad sewa, risiko utama
yang dihadapi adalah gagal bayar dan/atau gagal serah ba-
rang yang dipesan. Bagi barang yang disewa, gagal serah di sini dapat juga berarti bahwa manfaat barang yang disewa itu tidak
selalu dapat di- nikmati selama masa sewa,
sehingga pemilik harus melakukan tanggung jawab
kepemilikan dengan mengganti atau memperbaiki barang. Analisis pembiayaan atau kredit pada kedua macam akad dapat
menggunakan pendekatan 5C,43 dengan
menekankan pada unsur capacity. Pada akad jual-beli dengan pembayaran tangguh, unsur kapasitas
yang dimaksud adalah kemampuan arus kas yang
diperlukan untuk membayar angsuran dari harga beli
atau harga sewa dari calon nasabah. Jika bank terkait de-
ngan suatu akad salam atau istishna, kapasitas yang dimaksud juga men- cakup kemampuan nasabah untuk memproduksi barang sesuai
dengan pesanan.
Bank syariah tidak
saja perlu mengkaji secara spesifik kelayakan kredit seperti halnya pada bank
konvensional, tetapi lebih dari itu. Dalam hal ini, shahibul mal, para mitra, atau bank perlu mengkaji
dan memastikan suatu bentuk usaha yang akan
dibiayai memang layak dibiayai, dengan mudharib atau mitra yang memang dapat dipercaya. Di
sini, terdapat tiga unsur yang perlu diperhatikan,
yaitu kelayakan proyek itu sendiri, kua- litas mudharib atau mitranya, serta bagaimana melakukan
pelaksanaan
operasionalnya (bagi akad musyarakah) dan ba- gaimana mengawasi pelaksanaannya (bagi mud- harabah).
operasionalnya (bagi akad musyarakah) dan ba- gaimana mengawasi pelaksanaannya (bagi mud- harabah).
Dalam melakukan due diligence terhadap mudharib atau calon mitra, Irawan Febianto dan Rahmatina A. Kasri menyebutkan beberapa at- ribut yang perlu diteliti, yakni catatan masa lalu mengenai tim manajemen, kualitas rencana bis- nis, dan kualitas SDM yang terkait dalam proyek. Ihwal penelitian mengenai kelayakan proyeknya, Febianto dan Kasri menyebutkan sejumlah fak- tor yang perlu dikaji, antara lain ruang lingkup hukum dan peraturan yang terkait dengan pro- yek. Di sini, yang tidak kalah pentingnya adalah kemungkinan perubahan kebijakan pemerintah yang dapat memengaruhi kelangsungan dan kela- yakan proyek.
Dalam mengkaji
faktor-faktor yang perlu di- teliti bagi kedua
unsur pertama di atas, yaitu yang berkaitan dengan
proyek dan yang berkaitan de- ngan mudharib, Muhammad Adnan dan Akhyar Muhammad
melakukan penelitian, khususnya untuk memastikan
atribut yang mana dari kedua unsur ini yang
terpenting untuk lebih diperhatikan. Penelitian dilakukan
terhadap 84 dari 89 bank pedesaaan syariah di Indonesia. Adnan dan Muhammad mengemukakan sejumlah atribut masing-masing
untuk pro- yek dan
mudharib.
Terdapat tiga unsur yang
perlu diperhatikan, yaitu kelayakan proyek itu sendiri, kualitas mudharib atau mitranya, serta bagaimana
melakukan pelaksanaan operasionalnya (bagi akad musyarakah) dan bagaimana mengawasi pelaksanaannya
(bagi
mudharabah).
|
Atribut proyek yang
dikemukakan adalah risiko bisnis minimum, sis- tem
informasi akunting, kepastian perolehan keuntungan, tinggi-rendah- nya biaya monitoring,
estimasi rate of return proyek, kelayakan
proyek, jaminan (kolateral), arus kas proyek,
jangka waktu kontrak, horizon pro- yek, prospek,
masalah going concern proyek (seolah-olah
akan hidup te- rus), dan kondisi proyek. Atribut
untuk mudharib meliputi keahlian dan bisnis terkait, tingkat pengenalan pasar, kemampuan
untuk mengatasi risiko bisnis, perolehan kolateral, latar belakang usaha
keluarga, komitmen bisnis, kemampuan untuk
memahami dan menggunakan bahasa bisnis, kebiasaan
bisnis, memiliki usaha sendiri, hubungan sejarah kaitan bisnis dengan shahibul mal,
kemampuan menangkap kesempatan bisnis, kelas sosial,
kemampuan untuk mengantisipasi risiko bisnis, dan rekam jejak.
Hasil penelitian
mereka menyimpulkan, dari sejumlah atribut ter- sebut
yang terpenting yang berkaitan dengan mudharib
adalah keahlian bisnis, reputasi bisnis, dan
komitmen bisnis, kemudian laporan keuangan proyek
dan jangka waktu proyek.
Mengenai pelaksanaan
dan pengawasan proyek, bank atau mitra da- lam
akad musyarakah memiliki kemudahan dalam
mengontrol perjalan- an dan arah proyek, karena
secara setara ikut serta dalam pengelolaan. Namun
pada akad mudharabah, bank sebagai shabibul mal mengalami kesulitan
untuk menerapkan hard budget constraint pada
proyek yang sepenuhnya dikontrol oleh mudharib. Masalah lain,
shahibul mal sebagai mitra pasif tidak dapat melakukan intervensi ketika
usaha yang dijalankan
mudharib bermasalah, karena risiko bisnis yang dihadapi, se- perti halnya dalam perjanjian kredit. Di samping itu,
pengalaman bank Islam menunjukkan, bahwa
kepercayaan terhadap mudharib tidak dapat sepenuhnya didasarkan atas dasar asumsi yang tampaknya
wajar. Asumsi yang dimaksud adalah bahwa, sebagai
orang Islam, mudharib dapat di- percaya, sehingga dapat menjalankan suatu usaha yang
berarti dapat pula menghasilkan keuntungan. Asumsi
seperti ini membawa akibat fatal bagi bank
Al-Baraka Cabang London, sehingga ditutup sebagai akibat gagalnya akad PLS yang besar.44
Pada bank
konvensional, penerapan hard budget constraint
dan tin- dakan pengawasan lebih mudah dilakukan
karena didukung oleh infra- struktur perkreditan.
Di sini, kreditor pada modal ventura yang identik dengan
akad PLS dapat menyita aset yang terkait dengan modal ventura itu, atau memailitkan debitor yang mengalami
wanprestasi. Dalam per- bankan syariah, karena
hubungan dibangun tidak berdasarkan kreditor dan
debitor, kerugian usaha ditanggung bersama sebagai mitra usaha, tidak dengan menguasai jaminan yang berupa aset yang
ada pada usaha.
Karena itu, bank syariah dalam
melakukan keputusan pembiayaan perlu lebih prudent, dan lebih dalam serta luas ketika
mengkaji usulan pembiayaan. Pertimbangan perlu
dilakukan dalam perspektif cakupan yang lebih luas
dan perspektif waktu yang lebih panjang.
Pada bank syariah,
keahlian dan pengetahuan yang lebih luas dalam menganalisis,
mempertimbangkan, mengambil keputusan, melakukan negosiasi,
dan menangani nasabah sangat diperlukan, terutama dalam pembiayaan mudharabah dan
musyarakah. Bahkan, untuk menangani partisipasi
bank dalam akad musyarakah, bank memerlukan
pejabat yang berpengalaman sebagai manajer, atau
paling tidak memiliki penge- tahuan di bidang
usaha yang sama.
Pemutus kredit tidak
hanya harus memiliki pengetahuan dan peng- alaman
yang lebih luas baik dari segi perkreditan maupun pembiayaan, tetapi juga perlu mengetahui paling tidak berbagai
bentuk usaha. Posisi setiap usaha pada setiap
waktu harus pula disimak, karena mungkin saja suatu
usaha telah mengalami kejenuhan pasar, sehingga margin yang diharapkan tidak lagi dapat terlalu menjanjikan. Para
kompetitor yang dominan harus pula diwaspadai,
terutama jika skala usaha yang akan dibiayai dari calon debitor atau nasabah
relatif masih kecil.
Pengetahuan dan
pengalaman ini diperlukan ketika membaca proposal pembiayaan, sehingga
pertimbangan yang tepat dapat dilakukan sebelum
mengambil keputusan kredit, dalam rangka menentukan apakah proposal dapat disetujui atau tidak.
Masalah lain yang
perlu diperhatikan adalah independensi, impar- sialitas
atau netralitas, dan moralitas yang perlu dimiliki oleh para pe- mutus pembiayaan. Pengambilan keputusan pembiayaan
harus bersifat independen, sehingga tidak
terpengaruh oleh pihak-pihak yang berkepen- tingan
secara langsung atau tidak langsung pada keputusan yang akan diambil. Demikian pula halnya dengan netralitas.
Pengambil keputusan yang tidak netral atau tidak
bersifat imparsial, dan tidak independen, umumnya
dipengaruhi oleh pihak luar yang berkepentingan, bahkan oleh para pemilik bank.
Pada bank syariah, persoalan
netralitas tersebut sekaligus memer- lukan
moralitas yang lebih tinggi dengan memegang teguh etika. Konsep amanah berlaku pada dua sisi dari pihak yang berbeda,
yaitu mudharib harus bersifat amanah, dan
bank juga harus menegakkan amanah yang diberikan
oleh para deposan atau pemilik dana, ketika bank menyalurkan pembiayaan kepada debitor atau nasabah bank.
Berbeda dengan
pemberian kredit bank konvensional, dengan pola pembiayaan
yang diizinkan, bank syariah dapat bertindak sebagai peme- gang ekuitas pada usaha atau untuk membiayai usaha baru
yang akan dijalankan dengan nasabahnya. Pada jenis
usaha yang menjanjikan keun- tungan yang baik,
bank atau pemilik bank umumnya akan tertarik untuk berpartisipasi
pada dana ekuitas usaha yang diperlukan. Posisi sebagai pe- milik bank syariah dapat dirasakan sangat tipis, dan
sulit untuk dibedakan
dengan posisi bank, sebagai pemegang ekuitas pada suatu usaha yang dibiayai oleh bank.
dengan posisi bank, sebagai pemegang ekuitas pada suatu usaha yang dibiayai oleh bank.
Pada
pembiayaan musyarakah, misalnya, pemilik bank yang mengetahui atau telah meng- geluti suatu bisnis tertentu akan cenderung ber- sikap sangat terbuka untuk berpartisipasi mela- lui pembiayaan musyarakah
melalui banknya, pada suatu usaha yang sama.
Pemilik bank dapat menunjuk agen yang merupakan
nomineenya se- bagai mitra pada joint venture tersebut. Bahkan, pemilik bank akan lebih merasa aman ketika pembiayaan harus dilakukan melalui pola mud- harabah dengan
mudharib yang telah dikenal- nya. Perasaan
aman itu akan terwujud jika mudharib yang
menjalankan usaha yang telah dikenalnya itu
merupakan pihak yang ditunjuk oleh pemilik bank,
terlebih jika mereka telah menggeluti bisnis atau usaha itu secara bersama. Mudharib,
dalam hal ini, dapat dikontrol langsung oleh pemilik
bank.
Di bank syariah, keputusan pembiayaan
harus dilakukan oleh pemutus pembiayaan, yang
memiliki pengalaman luas dan moralitas tinggi dengan berpegang
teguh pada etika, sehingga tidak terpengaruh oleh tekanan di luar kepentingan profesi.
Berbeda dengan keputusan kredit pada
bank konvensional, kepu- tusan pada bank syariah
diambil tidak saja dalam koridor pembiayaan syariah,
tetapi juga memerlukan pemahaman dan pemikiran yang lebih
cermat. Pemikiran ini diperlukan untuk membentuk keyakinan dalam memperoleh perkiraan keuntungan yang dapat dihasilkan
oleh usaha atau proyek yang dipilih untuk
dibiayai, karena setiap jenis usaha atau proyek
memiliki karakteristik yang berbeda.
Di bank syariah, keputusan pembiayaan
harus dilakukan oleh pemutus pembiayaan yang memiliki pengalaman luas dan
moralitas tinggi dengan berpegang teguh pada etika.
|
Perkiraan untuk memperoleh
keuntungan bersifat lebih luas, dalam, dan rumit,
jika dibandingkan dengan perkiraan kemampuan membayar bunga
dan angsuran pokok pada bank konvensional. Dalam hal yang
terakhir ini, masih terdapat jalan keluar kedua, yaitu dengan menjual
ja- minan. Perkiraan keuntungan yang dapat
diperoleh juga ditentukan oleh kualitas mudharib atau mitra sebagai individu pada
pembiayaan yang
akan dilakukan. Dua unsur penting ini, perkiraan tingkat keuntungan dan kualitas mudharib, dalam keputusan pembiayaan bank syariah membuat perbedaan dalam hal penekanan pada perkreditan bank konvensional, yang bermuara pada kelayakan kredit, dan pada batas tertentu bersandar dengan lebih tegas pada unsur jaminan.
akan dilakukan. Dua unsur penting ini, perkiraan tingkat keuntungan dan kualitas mudharib, dalam keputusan pembiayaan bank syariah membuat perbedaan dalam hal penekanan pada perkreditan bank konvensional, yang bermuara pada kelayakan kredit, dan pada batas tertentu bersandar dengan lebih tegas pada unsur jaminan.
Seperti
halnya pada bank konvensional, keputusan yang diambil ha- rus berdiri sendiri atas dasar
kepentingan profesi, tetapi lebih didukung oleh kedua pemahaman ini, yaitu keyakinan terhadap perolehan
keun- tungan dan
kualitas mudharib tersebut.
Tulisan ilmiah
dan pengalaman yang berkaitan dengan NPF masih sangat terbatas. Di Indonesia sendiri,
bank syariah baru muncul ketika Bank Muamalat didirikan pada 1992 dan saat ini masih mewakili
sebagian kecil perbankan
di Indonesia dan di dunia. Berikut ini uraian ringkas menge- nai NPF yang dapat dikumpulkan.
Bank
Islam Malaysia (BIM) Berhad, yang didirikan tahun 1983 dan dimiliki oleh
pemerintah, pada 2005 mengalami kerugian RM 456 juta karena NPF senilai RM 2,2 miliar.
Menurut Tan Tok Shiong, sebagian besar NPF ini berasal dari pinjaman yang diberikan kepada anak
perusahaan yang beroperasi
di Labuan, pusat keuangan offshore, dan sebagian besar dari pinjaman ini membiayai perusahaan-perusahaan di Sarajevo dan
Afrika Selatan,
yang pada umumnya sudah tidak ada lagi.
Dapat disimpulkan bahwa NPF tersebut berasal dari pinjaman
yang diberikan
kepada grup sendiri di Labuan. Jadi, merupakan insider's atau connected lending (dalam konteks perbankan di Indonesia, pinjaman seperti itu merupakan
pelanggaran BMPK). Kemudian, dana yang dipinjamkan kepada anak perusahaan
tersebut dipinjamkan lagi kepada perusahaan di luar negeri, dengan dasar pemberian yang sangat
kabur. Chandra
Setiawan mengungkapkan bahwa menurut laporan keuangan tahun 2006, BIM memiliki NPF
yang bersumber pada sektor konstruksi (21,65 persen), pembelian properti dengan tanah (20,11
persen), manu- faktur
(16,93 persen), pembelian sekuritas (12,78 persen), perdagangan ritel dan besar, serta hotel
dan restoran (10,47 persen).
Rosly berpendapat,
seperti dikutip oleh Setiawan, bahwa NPF yang tinggi tersebut terjadi karena adverse selection. Namun,
menurut analisis Setiawan, kejadian NPF yang tinggi itu terjadi karena adanya
penyelewengan di Malaysia, yang bertitik tolak pada masalah principal-agent. Penyelewengan
umumnya terjadi pada bank yang dimiliki pemerintah, yang unsur pengawasan dan
insentifnya dirasakan kurang. Di sini, para eksekutif yang merupakan
agent bertindak seolah-olah tidak memiliki principal.
Dubai Islamic Bank (DIB)
mengalami skandal yang dilakukan oleh tujuh pejabatnya. Mereka dituduh tersangkut dengan menerima suap
dalam tindak pidana
penipuan terhadap bank sejumlah US$ 500 juta pada
2009. Salah satu pejabat ini terlibat dalam
pemberian pembiayaan kepa- da pembangunan real estat, yang merupakan sektor utama yang
menim- bulkan NPL
sebesar 2-3 persen. Kejadian ini bukan yang pertama kali dialami bank tersebut.
Sebelumnya, terjadi pemberian pembiayaan tanpa otorisasi dari yang berwenang. Hal ini juga terjadi pada
cabang Miami, Florida,
kepada pengusaha Afrika, yang mengakibatkan kerugian US$ 242 juta. Menurut Ibrahim Warde
dari Tufts University (Medford, Massachusetts), kejadian itu menunjukkan
adanya kelemahan pengawasan internal bank, sehingga merupakan pemberian pembiayaan yang
me- nyimpang dari
kebijakan bank. Agar masalah ini tidak terulang lagi, DIB menunjuk seorang pejabat
kepatuhan yang berpengalaman untuk meng- awasi dan melaporkan penyimpangan kepada direksi.
Perbankan
di Sudan dijalankan sepenuhnya berdasarkan ketentuan syari- ah, yang terdiri atas 21 bank
nasional. Selama tahun 2000 sampai 2002, rasio NPF menunjukkan angka yang menurun dari 17 persen
menjadi 12,7 persen.
Menurut Badr El Din A. Ibrahim, NPF ini disebabkan oleh kinerja perkreditan yang buruk dan
terjadinya wanprestasi nasabah besar. Berda- sarkan informasi yang terbatas ini, dapat diduga kejadian itu
merupakan adverse
selection, yang umumnya disebabkan oleh penilaian
pemberian pembiayaan
yang lemah, dan tidak menerapkan tugas diversifikasi risiko yang layaknya dilakukan oleh
bank.
Penilaian
pembiayaan yang lemah itu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena tidak memiliki keahlian
dan pengalaman yang
memadai; atau memiliki kedua faktor ini tetapi para pihak terkait tidak menerapkan prinsip profesionalime dan integritas
yang diperlukan, sehingga
menimbulkan adverse selection dan kemudian menimbulkan moral
hazard.
Pada 2006, rasio NPF bank Islam berada pada tingkat 5 persen,sedangkan
kelompok bank konvensional pada tingkat 3 persen.
|
Bank Islam di Bangladesh,
Masalah Integritas Moral
Bangladesh
memiliki lima bank yang beroperasi sebagai bank syariah. Berdasarkan data sepuluh tahun
sampai 1997, secara umum kelima bank ini mengalami NPF yang besar. Sarker menyebutkan beberapa
penyebab timbulnya
NPF ini, yakni masalah integritas moral para pengusaha, in- tervensi politik dalam
pemilihan calon debitor, guncangan instabilitas keuangan, dan lemahnya penegakan hukum, yang juga berakibat
pada pelaksanaan
proyek yang buruk. Dalam banyak kasus, bank-bank terse- but tidak mampu melakukan
pengawasan terhadap proyek yang dibiayai, sehingga debitor menggunakan dana pembiayaan untuk tujuan
lain.
Sarker juga melaporkan bahwa tingkat NPF tersebut menunjukkan arah perbaikan, sehubungan
dengan kualitas aset yang lebih baik. Na- mun, berdasarkan data empiris dan komparasi dengan bank
konvensional, Mamunur Rashid dan Ainun Nishat mengungkapkan, kinerja bank Islam di Bangladesh berada pada
tingkatan yang lebih tinggi dalam ukur- an rasio NPF terhadap Total Pembiayaan. Pada 2006, rasio NPF
bank Islam berada
pada tingkat 5 persen, sedangkan kelompok bank konven- sional pada tingkat 3 persen.
Dalam rangka memperbaiki kondisi bank Islam tersebut, Rashid dan Nishat merekomendasikan agar bank
Islam menciptakan
dan menerapkan quality credit culture, serta membangun corporate governance culture
yang efektif, berbarengan dengan penera- pan prinsip-prinsip syariah.
Walaupun
hanya berdasarkan jumlah kasus dan dalam kurun wak- tu yang terbatas, pengalaman
bank syariah di atas menunjukkan de- ngan jelas, bahwa masalah NPF tersebut bukan berkaitan dengan
atau disebabkan
oleh sifat bank syariah. Masalah NPF tersebut semata-mata timbul karena penyimpangan yang
dilakukan oleh pejabat bank dan atau ketidakmampuan mereka. Di sini dapat disimpulkan, bahwa
penyebab utamanya
adalah faktor manusianya. Terhadap kegagalan sejumlah bank syariah yang pernah terjadi di
Turki, Mesir, dan Afrika Selatan, Askari, Iqbal, Krichene, dan Mirakhor mengatakan bahwa penyebab
utamanya adalah
manajemen yang buruk, sebagai akibat tata kelola yang buruk, ke- alpaan (negligence), perilaku
buruk, dan misrepresentasi.
Dubai
World adalah konglomerat yang dimiliki oleh pemerintah dan memiliki proyek-proyek besar di
Dubai, Uni Emirat Arab. Proyek atau bisnis tersebut meliputi jasa pelabuhan terbesar ketiga di
dunia, proyek perumahan
dan marina, dok kering, jasa perkapalan, jasa kapal pesiar, dan taman hiburan. Salah satu
anak perusahaannya, Nakheel, merupakan proyek pengembangan perumahan elite yang disebut palm island. Pada akhir 2009, Dubai World
memiliki utang US$ 80 miliar dan Nakheel US$ 3,5 miliar dalam bentuk
sukuk. Pada saat yang sama, mereka meminta penundaan pembayaran utang yang
jatuh tempo pada akhir 2009, karena kemampuan keuangan menurun. Penyebabnya, antara lain,
menurunnya harga-harga
properti, kerugian dalam beberapa kegiatan investasi, dan yang paling penting adalah
bahwa kredit baru sulit diperoleh.
Penurunan harga properti itu dipengaruhi oleh masalah keuangan akibat subprime mortgage di
Amerika, yang sekaligus memberikan dam- pak negatif kepada sektor keuangan sejumlah negara dunia.
Ketika sukuk dikeluarkan
pada 2006, aset yang mendasari sukuk itu bernilai US$ 4,22 miliar. Dengan menurunnya harga
properti sebesar 50 persen, aset itu hanya bernilai US$ 2 miliar.
Berdasarkan informasi ini, dapat dikatakan bahwa inti
permasalah- an
Nakheel ini terletak pada penilaian awal proyek dan kemampuan arus kas yang diperkirakan dapat
diperoleh. Penilaian suatu proyek real estat mewah memerlukan keahlian yang sangat khusus karena tidak saja
me- nilai proyek
yang akan dibangun, tetapi juga memperkirakan kestabilan kemampuan dan niat beli dari
pasar calon pembeli yang dituju.
Penilaian suatu proyek yang akan dibangun tidak dapat
didasarkan pada
harga-harga properti pada titik puncak. Harga yang tinggi itu harus ditelaah secara mendalam,
apakah mengandung unsur-unsur yang fundamental yang mendasarinya; sebab, jika
tidak, harga tinggi itu merupakan sebagian dari proses bubble. Analisis terhadap kemampuan dan niat beli dari calon pembeli yang dituju
juga tidak mudah, apalagi jika perumahan itu bukan sebagai pembelian rumah pertama. Pada hakikatnya,
analisis ini harus
menemukan faktor fundamental yang logis kenapa calon pem- beli yang dituju akan
merealisasikan niat untuk membelinya. Daya tank apa
yang ada, atau yang akan dibangun di sekeliling permukiman itu, me- rupakan faktor penentu yang
cukup dominan untuk setiap niat beli yang serius. Yang menjadi masalah adalah apabila faktor penentu
yang dimak- sud
merupakan harapan kenaikan harga yang mungkin terjadi setelah pembelian dilakukan; ini
berarti terdapat unsur spekulasi di belakang niat beli tersebut sehingga niat itu bersifat semu.
Di samping
itu, ada kemungkinan terjadi moral hazard pada para kreditor atau mitra, karena Dubai World atau Nakheel adalah
konglome- rat yang
dimiliki oleh pemerintah Arab Emirat, dan negara ini umumnya dianggap sebagai negara kaya.
Jadi mereka mungkin menganggap, jika Dubai World atau Nakheel mengalami kesulitan, pemerintahnya
pasti akan
membantu. Inilah penyebab adanya kemungkinan mereka tidak melakukan analisis pembiayaan
yang penuh atau memadai. Pada kenya- taannya, pemerintah Uni Emirat Arab menyatakan bahwa mereka
tidak bertanggung
jawab terhadap masalah yang dihadapi Dubai World atau Nakheel. Mereka bahkan
mengatakan, bahwa para kreditor harus ikut bertanggung jawab terhadap keputusan yang mereka ambil, ketika
kredit atau
pembiayaan diberikan (Media Indonesia, 2/12/09).
Salman
Syed Ali meneliti kegagalan bank di Turki yang terjadi pada krisis tahun 2000/2001, terutama dalam
kaitannya dengan bank atau lembaga keuangan syariah di sana. Menurut dia, secara umum perbankan
di Tur- ki memiliki
akumulasi NPL yang besar. Penyebabnya, adanya pengaruh politik terhadap pemberian kredit
dan pemberian kredit kepada pihak terkait, serta mewabahnya korupsi di semua lapisan. Di samping
itu, perbankan pada
umumnya melakukan ekspansi kredit yang berlebihan. Sejumlah bank, terutama bank
pemerintah, harus mengalami restrukturi- sasi, tetapi hanya Ihlas Finans, satu dari enam lembaga
keuangan syariah, yang
mengalami kegagalan.
Lembaga ini melakukan pembiayaan terutama melalui akad muraba- hah dan PLS, dan
pemupukan dana melalui akad wadiah dan PLS. Dari penelitian Ali, dapat disimpulkan sejumlah faktor penyebab
kegagalan bank
syariah ini.
Pertama, secara umum,
lembaga keuangan syariah di Turki meng- hadapi kompetisi yang berat dengan bank konvensional. Total
dana ma- syarakat
yang dapat dihimpun berjumlah 3,1 persen, dari segi pemberian pembiayaan mencapai 4,7 persen
dari jumlah total perbankan nasional. Kepemilikan lembaga itu cenderung bersifat tertutup, dan
dimiliki oleh sejumlah
kecil pemegang saham. Hal ini mengurangi kadar pengambilan keputusan yang profesional,
yang dapat tersekspos kepada risiko karena tata kelola yang kurang bekerja dengan baik.
Kedua, dilihat dari
perbandingan keadaan keuangan dengan lembaga syariah yang lain, pada tahun 2000, Ihlas memiliki aset
terbesar diban- ding
dengan yang lainnya, tetapi dengan modal paling kecil, yaitu dengan CAR 5,39 persen, sedangkan yang
lain mencapai 7 persen. Keuntungan yang diperoleh diukur dengan rasio pendapatan kotor terhadap
total aset hanya 18
persen, sedangkan yang lain mencapai 20,6 persen. Dana ma- syarakat yang dihimpun
didominasi oleh akad mudharabah sebesar 96 persen, sisanya akad wadiah. Rasio likuiditas yang diukur dengan dana tunai yang dimiliki secara
menyeluruh terhadap total aset hanya 0,53 persen, sedangkan yang lain lebih dari 10 persen.
Ketiga, secara khusus, Ihlas
Finans pada intinya dikontrol oleh pemilik individu, yang menguasai sebagian besar saham pada induk
perusahaan pe- milik
pengendali Ihlas. Berbeda dengan lembaga keuangan syariah lainnya, keputusan cenderung
disentralisasi pada individu pemilik saham pengen- dali tersebut, dengan dewan
direksi menjadi pasif. Bahkan, senior
executive Ihlas berasal dari bank yang sebelumnya
gagal. Ihlas memiliki staf yang kurang berpengalaman di bidangnya, dan tidak
melalui pelatihan yang cukup. Pemberian pembiayaan dilakukan tanpa due diligence yang
diperlukan.
Sebagai
kesimpulan, Ali berpendapat bahwa manajemen internal yang dimiliki Ihlas lemah, dan
kurang berhati-hati dalam memberikan pem- biayaan.
Dari seluruh
uraian mengenai bank syariah yang telah dikemukakan da- lam buku ini, dapat disebutkan
karakteristik dan operasionalisasinya da- lam perbandingan dengan bank konvensional, sebagai berikut:
Hukum atau Ketentuan. Bank syariah diatur oleh ketentuan dalam Al-Quran dan telah dipraktikkan
oleh Nabi Saw. Bagi umat Islam, Allah
Swt.
adalah Maha Pencipta Langit dan Bumi serta Sekalian Alam. Seluruh pengetahuan bersumber dari
Ke-Esaan-Nya, yang dapat dipelajari mela- lui ciptaan-Nya dan merupakan manifestasi sebagai suatu sistem
terten- tu.
Sebagaimana sistem yang diciptakan oleh Tuhan, bank dan pembia- yaan syariah mengikuti
ketentuan yang telah digariskan dalam Al-Quran dan hadis Nabi Saw.
Dengan
demikian, pada hakikatnya semua ciptaan-Nya, termasuk sistem perbankan syariah, tidak
dapat ditandingi oleh manusia mana pun juga. Ciptaan-Nya itu memiliki kualitas yang paling tinggi,
sistem yang komplit,
dan berdaya guna tinggi bagi kemaslahatan umat. Hanya saja, manfaat yang dapat diperoleh
sangat bergantung pada sejauh mana umat mempelajarinya dan bagaimana menerapkannya, apakah sesuai
dengan kadar yang
dikehendaki oleh Pencipta-Nya.
Filosofi. Perbankan syariah dibangun dengan fondasi yang me- nyeimbangkan kepentingan
duniawi dan akhirati, kepentingan individu dan masyarakat banyak, keuntungan komersial dan tanggung jawab serta keadilan
sosial, jangka pendek dan jangka panjang, serta menempatkan segala sesuatunya secara wajar dan pada tempat yang sebagaimana
mestinya. Dengan karakteristik yang terakhir ini, uang juga ditempatkan untuk difungsikan dan digunakan sesuai dengan
fungsinya itu.
Fungsi Uang dan Bunga. Dalam
perbankan syariah, uang adalah alat tukar atau perantara transaksi pertukaran antara
jual dan beli
barang dan jasa. Uang bukanlah modal yang bersifat produktif, yang menghasilkan
barang atau jasa karena hanya bersifat sebagai modal potensial. Agar produktif, uang
terlebih dulu
digunakan melalui tranformasi ke dalam alat-alat serta ke- perluan lain untuk berproduksi,
sehingga tidak memiliki anak se- bagai hasil produksi dari dirinya sendiri. Uang bukan barang
da- gangan yang
dapat diperdagangkan, sehingga tidak pula memiliki harga, atau bunga. Seperti
telah diuraikan, bunga menjadi topik sentral dari perbankan konvensional dan perekonomian kapi- talistis. Dari waktu ke waktu,
unsur bunga dalam perekonomian
dan perbankan telah mendorong
timbulnya banyak masalah bagi masyarakat umumnya, dan menambah risiko bisnis dan risiko kredit khususnya.
Penciptaan Kredit. Pada bank
konvensional, dana masyarakat pada posisi pasiva dari neraca bank bersifat utang. Seperti
sudah dikemukakan,
dengan konsep reserve requirement yang berlaku di setiap perbankan di dunia, jumlah kredit yang tercipta
lebih besar dari
akumulasi riil deposit yang dapat dikumpulkan bank. Penciptaan jumlah kredit yang
besar ini, yang tanpa disadari ter- bentuk karena penggunaan utang yang besar, cenderung mendo- rong penyaluran kredit untuk
pembiayaan yang berlebihan pada suatu industri, di luar sektor riil, dan bersifat spekulatif.
Pada perbankan syariah, hal
tersebut tidak mudah terjadi kare- na beberapa hal. Pertama, sebagian besar dana masyarakat pada bank syariah menggunakan akad mudharabah, yang secara
hukum bukan
merupakan utang bagi bank, tetapi bersifat kuasi modal. Kedua, sebelum menempatkan dananya pada bank, secara teori, calon deposan harus meneliti
terlebih dulu apakah bank itu dapat menghasilkan keuntungan atau tidak. Ketiga, pemilik dana berda- sarkan akad mudharabah memiliki wadah
untuk mengontrol ke mana dananya itu akan diinvestasikan oleh bank, dan mendorong mereka untuk ikut mengontrol
perkembangan bank dari waktu ke waktu. Keempat, berdasarkan sifat akad-akad pembiayaan bank syariah, pembiayaan yang dapat
dilakukan oleh bank cenderung dibatasi pada sektor riil yang produktif dan sama sekali tidak
spe- kulatif. Kelima, dilarangnya sifat gahral dan maysir akan mendo- rong transparansi dan
keterbukaan informasi yang lebih baik, serta memperkecil unsur asymmetric
informatian dan
moral hazard.
Pendanaan. Tidak seperti pada
bank konvensional, dana yang dihimpun pada bank syariah bersifat sebagai titipan melalui akad wadiah atau dapat digunakan
sebagai dana investasi me- lalui akad mudharabah, tetapi dengan atau tanpa persetujuan pemilik dana. Di sini, pemilik
dana dapat ikut menentukan ke dalam bisnis apa dana tersebut dapat diinvestasikan. Dana ini
tidak bersifat
utang bagi bank, dan tidak mengandung beban yang tetap, seperti halnya pada bank konvensional yang harus memberikan bunga kepada para
deposan. Sebagai penggantinya, bank syariah memberikan perkiraan suatu tingkat keuntung- an dengan suatu nisbi pembagian
keuntungan yang pasti, yang besaran nominal pembagiannya ditentukan secara pasti ketika keuntungan itu telah diperoleh.
Kegiatan Utama Bank. Bank
konvensional lebih banyak melakukan kegiatan dalam bentuk pemberian pinjaman, sedangkan bank
syariah melakukan
pembiayaan. Perbedaan ini menghasilkan jenis risiko yang berbeda. Pada bank
konvensional, risiko yang dihadapi bank terutama berasal dari kredit yang diberikan, atau risiko kredit yang
merupakan kemungkinan
debitor tidak dapat mememenuhi kewajiban pembayaran. Bank syariah, di lain pihak,
selain menghadapi risiko kredit juga mengha- dapi risiko investasi. Risiko kredit berasal dari akad murabahah dengan pembayaran tunda, atau akad ijarah terhadap janji
pembayaran sewa, atau
dari akad salam
atau istishna
di mana pembayaran di muka telah dilakukan tetapi barang pesanan belum diperoleh dalam bentuk
dan wak- tu yang
telah disepakati. Risiko investasi berasal dari akad mudharabah dan musyarakah, yaitu adanya
kemungkinan investasi yang dilakukan tidak membuahkan hasil yang diharapkan, ditinjau dari
keuntungan yang diperkirakan
dalam jangka waktu yang telah diperhitungkan.
Sektor Keuangan Vs Sektor Riil. Karena uang hanya ber- fungsi sebagai alat pertukaran dan kemudian mewakili suatu nilai, perbankan syariah tidak
memberikan pinjaman uang dan uang bukan sebagai kausa prima akad-akadnya. Kausa prima pada perjanjian bank syariah
adalah barang yang bersifat nyata atau usaha yang bersifat produktif. Kedua kausa prima ini ten- tunya berada di ranah sektor
riil. Dengan demikian, uang yang digunakan dalam pembiayaan suatu pembelian atau ditransfor- masikan ke dalam penggunaan
suatu barang atau untuk menjalankan suatu usaha melekat secara langsung pada
sektor riil.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan
karakteristik perbankan syariah ke dalam dua bagian utama.
Pertama, dilihat dari konteks yang bersifat makro atau ditinjau sebagai
suatu sistem. Kedua, ditinjau dari segi mikro atau dari segi penerapan konsep perbankan syariah itu sendiri.
Tinjauan dari segi makro. Dari
perbandingan antara bank konvensional dan bank syariah seperti dikemukakan di
atas, dapat disimpulkan bahwa secara logika kegiatan bank syariah sebagai
suatu sistem ditinjau dari segi makro dapat menciptakan perbankan yang lebih stabil.
Alasannya:
Pertama, kegiatan perbankan
syariah berakar pada perdagangan. Sebagai suatu sistem, pembiayaan bank syariah melekat pada
kegiatan perdagangan,
dan segala usaha yang dapat mengembangkan kegiatan pro- duktif, dengan tujuan
memperoleh keuntungan sebagai kompensasi terha- dap usaha yang dilakukan, dan pembagian risiko bagi pihak yang
terkait dalam usaha
tersebut. Konsep keadilan berangkat dari tataran ini, sama- sama memperoleh keuntungan atas
risiko yang ditanggung bersama.
Kedua, perbankan syariah
lebih mengutamakan penggunaan kerja sama yang mengacu pada bagi hasil atau PLS, bukan berdasarkan
utang dan bukan
atas dasar hubungan kreditor-debitor, seperti pada perbank- an konvensional. Dari segi
pasiva neraca bank, dana masyarakat yang dihimpun bukan bersifat "utang", melainkan lebih
bersifat kuasi modal atau ekuitas. Dari segi aktiva, penyaluran dana masyarakat
juga dapat menggunakan
akad PLS walaupun sampai saat ini penggunaannya masih relatif kecil. Dalam kaitan
ini, Siddiqi berpendapat bahwa intermediasi keuangan yang bersandar pada bagi hasil akan memberikan
kontribusi yang
lebih besar terhadap stabilitas perekonomian umumnya, dan sektor keuangan khususnya, sehingga
memiliki daya tahan yang lebih besar ke- tika menghadapi kejutan perubahan ekonomi.
Ketiga, penyaluran dana
masyarakat, yang dihimpun dan tertera da- lam bagian pasiva dari neraca bank, membentuk portofolio bank
syariah yang
merupakan manifestasi penggunaan akad-akad yang dapat diguna- kan oleh bank syariah. Walaupun
sebagian akad menyerupai perjanjian kredit, kecuali akad qard
hassan dan PLS, kausa prima dari seluruh akad adalah barang atau usaha.
Dilihat dari hakikat pembiayaannya, karena sektor keuangan melekat dengan sektor riil, menyatunya kedua
sektor ini dengan sendirinya
mendorong timbulnya keseimbangan yang diharapkan pada persamaan Irving Fisher, yaitu jumlah nilai produksi
barang dan jasa
sama dengan jumlah nilai uang yang beredar; tanpa adanya jumlah kredit yang terbentuk dalam
perbankan konvensional, yang akan menam- bah jumlah uang yang beredar. Lebih lanjut, pembiayaan yang
dapat di- lakukan
tersebut tidak dapat bersifat spekulatif, atau mengandung unsur gharal dan maysir, serta tidak berkaitan dengan produksi barang dan jasa yang dilarang. Pemberian
kredit yang tidak digunakan pada kegiat- an produktif dalam sektor riil akan membuka peluang yang lebih
besar pada kegiatan
yang bersifat spekulatif, karena spekulasi selalu cenderung mengarah pada instabilitas.
Menurut Siddiqi, menjauhnya sektor ke- uangan dari sektor riil ini merupakan kelemahan dari sistem
perbankan konvensional,
dan menyebabkan timbulnya banyak krisis keuangan dan perbankan di dunia.
Keempat, berbeda dengan bank
konvensional yang bertitik tolak dari peminjaman uang atau kredit dengan kompensasi bunga,
kompensasi bagi
pembiayaan bank syariah mengacu pada perolehan keuntungan yang dihasilkan dari usaha yang
dibiayai, atau keuntungan dari kegiatan jual- beli yang realisasinya dibayar secara tunai atau diangsur
sejalan dengan angsuran
harga pokok, atau sewa dari barang produktif yang disewa. Kompensasi bunga pada bank
konvensional bersifat tetap, sedangkan bagian keuntungan yang dapat diperoleh pada akad PLS bersifat
variabel atau
fluktuatif, bergantung pada perolehan keuntungan riil dari usaha yang dibiayai. Adanya beban
bunga pada usaha yang dibiayai oleh pinjaman jelas memberikan risiko yang jauh
lebih tinggi, dibandingkan jika usaha dibiayai melalui akad PLS. Hal ini terjadi karena dana
PLS menye- rupai
kuasi ekuitas, dan kompensasinya berupa keuntungan yang dibagi bergantung pada perolehan
keuntungan yang sesungguhnya.
Kelima, pada bank syariah,
terdapat wadah untuk melakukan sinkro- nisasi dari segi dan keuntungan antara akad PLS pada sisi
pasiva neraca bank
dengan PLS pada sisi aktiva. Di samping itu, PLS pada sisi pasiva dengan dana yang digunakan bank
bersifat kuasi ekuitas, risiko yang di- hadapi bank juga dibagi dengan pemilik dana. Karena itu, kedua
faktor ini dapat
menambah ketahanan bank terhadap kejutan perubahan ekonomi.
Keenam, sistem perbankan
syariah menuntut adanya integritas dari sektor keuangan agar bersatu dengan sektor riil, dibarengi
dengan komit- men
kerja sama dalam jangka yang lebih panjang dalam rangka pencapai- an nilai-nilai komersial tanpa
melupakan nilai-nilai moralitas, sehingga dapat mencapai keadilan dan kemakmuran berkelanjutan secara
bersama.
Tinjauan dari segi mikro.
Sejauh yang berkaitan dengan buku ini, be- berapa karakteristik dari segi mikro yang dimaksud dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, pelaksanaan bank
syariah dan pembiayaannya memer- lukan unsur pengetahuan dan keahlian yang lebih dalam dan
lebih luas. Pengetahuan
ini mencakup hal ihwal mengenai bermacam bentuk usaha atau bisnis dengan segala
karakteristiknya sebelum bank dapat menilai suatu bentuk investasi untuk dibiayai, dan bagaimana investasi
itu dapat diawasi
dengan baik. Khususnya pada pembiyaan PLS, posisi bank seta- ra dengan sponsor proyek atau mudharib atau para mitra
lainnya, yang berbeda
jika posisi itu merupakan hubungan debitor-kreditor. Dalam pembiayaan ini, keberhasilan
proyek sangat bergantung pada keyakinan bahwa usaha dan mudharib atau mitra yang dibiayai dapat menghasilkan keuntungan. Jika rugi, semua
pihak menanggungnya.
Kedua, pelaksanaan bank
syariah dan pembiayaannya menuntut adanya kejujuran dan sifat amanah serta komitmen dari semua
pihak ter- kait,
baik dari sisi bank maupun dari sisi nasabah bank. Keyakinan bank terhadap adanya unsur-unsur ini
di pihak nasabah, di samping keyakinan bank akan kemampuan nasabah dalam menciptakan keuntungan, me- rupakan landasan yang paling
mendasar pada bank syariah. Masalah ini sangat penting untuk diperhatikan karena pembiayaan syariah
tidak me- miliki
mekanisme kontrol, seperti pembayaran bunga secara reguler dan pengikatan kolateral, yang
umumnya lebih jelas pada bank konvensional.
Ketiga, berdasarkan pada dua
butir di atas, pelaksanaan sistem per- bankan syariah lebih bersandar pada kebajikan kolektif seperti
keterbu- kaan
informasi atau transparansi yang lebih baik, tata kelola unit usaha yang baik, kesetiaan terhadap
kesepakatan yang timbal balik, hubungan kontraktual yang setara dalam berusaha, kepatuhan terhadap
ketentuan dan
norma-norma yang berlaku termasuk disiplin pasar, dan adanya upa- ya untuk tidak menimbulkan
kerugian bagi pihak lain dalam hubungan kontraktual di luar yang telah disepakati. Karena itu,
transaksi perbankan syariah menuntut lebih banyak unsur moralitas dari semua pihak
yang terkait, baik
pihak bank maupun pihak nasabah, dibandingkan dengan keperluan untuk bersandar pada
kerangka hukum positif seperti halnya pada perbankan konvensional.
Keempat, seperti halnya
perbankan konvensional, bank syariah juga menghadapi masalah
asymmetric information dan agency problem. Dari segi struktur sistem, transaksi
pada bank syariah dapat mendorong keter- bukaan informasi yang lebih baik dan menekan masalah agency problem. Namun,
masalah kedua ini sangat bergantung pada manusianya, dalam hal ini sejauh mana mereka
memenuhi unsur-unsur moralitas yang di- perlukan. Jika mereka berpegang teguh pada konsep ketauhidan,
dengan keimanan dan
ketakwaan yang baik, seyogianya masalah kemanusiaan ini dapat pula diminimalkan.
Kelima, masalah agency problem yang paling berkemungkinan dapat terjadi adalah pemilik bank
bertindak sebagai shahibul mal dalam usaha yang dijalankan oleh
mudharib atau mitra sebagai nasabah bank. Jika hal ini terjadi, objektivitas
dalam penilaian dan pengawasan pembiayaan dapat menjadi tidak efektif, dan yang paling buruk dapat
menimbulkan adverse
selection.
1 Saeed
(2004: 200).
2 Abu Hurairah
mengatakan, " Jika seseorang menerima barang orang lain dengan
niat untuk mengembalikannya maka Allah akan membayarkan untuk dia. Tetapi,
jika dia menerima barang itu dengan niat untuk memboroskan- nya, Allah akan
menghancurkan hartanya." Suhaibul Khair menyampaikan ucapan Nabi Saw.,
"Jika seseorang meminjam suatu jumlah dari orang lain dan dia tidak
berniat untuk membayar kembali, maka dia akan bertemu de- ngan Allah
sebagaipencuri" (Ishaat: 162-163).
3 Affandi
(2002: 97).
4 Taufik
(2004: 145).
5 Antonio
(2001: 132).
6 Al-Sharakhs/Hanafi,
Al-Khatib Al-Shirbini/Shafii, dikutip oleh Al-Zuhayli (2002: 605)
7 Jajak
pendapat yang dilakukan Associated Press dengan Gesellschaft fur Konsumforschung
(GfK) pada Juni 2010 menunjukkan, 46 persen responden mengaku mengalami stres yang cukup berat
karena utang mereka menjadi
momok dengan kekhawatiran tidak dapat membayarnya saat
perekonomian Amerika
belum menunjukkan ke arah perbaikan (Kompas, 1 Juni 2010).
8 Ahmad
(2000).
9 Morriss
(2008: 5-6).
10 Al-Jarhi
(2008: 10).
11 Bunga
juga ditentang oleh banyak pihak, antara lain Aristoteles, Plato, Hu- kum Roma (Ius Romanum),
kitab suci Yahudi, dan Perjanjian Lama Kristen (K Berten, hal. 51). Pada saat
penyebaran praktik bunga tidak dapat dihindar- kan dalam bisnis, pihak gereja melakukan
kompromi dan menarik sikap pe- nentangannya secara terbuka. Tahun 1545, hukum Inggris
memperbolehkan pembebanan
bunga sampai tingkat tertentu, dan jika lebih tinggi dianggap pemerasan (Tarek
El-Diwany, hal. 31).
12 Abdullah
Saeed, diedit oleh Virginia Hooker (117).
13 Vogel
dan Hayes.
14 Green
(2009: 68)
15 Kerja
keras dan berpartisipasi dalam kegiatan kreatif ekonomi merupakan ke- wajiban setiap
muslim (QS Al-Jumu'ah 62: 10) (Warde, 2001: 62).
16 Selain di Surah
Al-Baqarah, Surah Al-Nisa' (4: 33) juga menyebutkan: "Hai orang-orang yang
beriman biarlah di antara kamu berjalan dan berdagang dengan cara yang saling
menguntungkan." Di samping itu, Nabi Saw. ber- sabda, "Sesungguhnya
pedagang yang jujur akan bersama Rasul dan orang beriman, dan syuhada di hari
Kiamat"
(Tirmidzi 12: 4; Harahap, 2004: 210), dan "Kamu harus
melaksanakan kegiatan bisnis karena 99 persen dari reze- ki Allah ada di
dalamnya"
(Mansor, 1984: 11; Harahap, 2004: 210).
17 Surah
Al-Mulk [67]: 15) dan Al-Jumu'ah [62]: 10).
18 (1997:
323-326).
19 Seigniorage
berasal dari bahasa Prancis, seigneur, yang berarti "tuan
tanah". Di
abad pertengahan, tuan tanah memiliki hak eksklusif untuk mencetak uang (Mankiw, 2003:
185).
20 M
= money supply,
V = velocity of
money, P = tingkat harga, dan Y = the real output of goods and services.
Sebelah kiri persamaan mewakili sektor ke- uangan dan sebelah kanan mewakili sektor
riil. Jika money
supply meningkat tanpa dibarengi dengan kenaikan produksi barang dan jasa,
dengan asumsi V konstan,
maka tingkat harga akan naik atau dapat terjadi inflasi.
21 Aksioma
keduanya adalah bahwa gelembung harga aset ditentukan oleh per- tumbuhan kredit.
22 Hiperinflasi
terjadi karena pertumbuhan uang yang beredar yang berlebihan, dan ini dapat
disebabkan oleh defisit belanja negara yang tidak dapat ditutup dari penghasilan
pajak dan perolehan utang, maka pemerintah terpaksa men- cetak uang, atau
membiayai perang dengan mencetak uang (Mankiw, 2006: 85, 101).
23 Lou, Jianbo,
China's
Troubled Bank Loans, hal. 31.
24 Salah
satu contoh yang cukup menonjol adalah kasus Meksiko, yang utangnya meningkat dari
US$ 80 miliar pada 1980 menjadi US$ 112 miliar pada 1988. Karena Meksiko
tidak mampu membayarnya, dibuat Brady Plan, yaitu utang dipotong menjadi
80 persen, dan sisa utang ini dijamin oleh World Bank dan IMF dan
dikonversi menjadi
Brady Bonds, sebagian dijamin oleh US Treasury. Brady Bonds
diperdagangkan di
secondary markets, dan nilainya mencapai US$ 170 miliar. Sebagai kompensasi atas
jaminan IMF dan World Bank, Mek- siko harus mengikuti keinginan kreditor terhadap kontrol
kebijakan ekonomi, perpajakan,
anggaran, dan kepemilikan industri (Hertz, 2004, hal. 72-73).
25 Karim
(2004: 365).
26 Berdasarkan
ketentuan Pasal 9 PBI No.7/46/PBI/2005, bank dapat meminta
agunan tambahan selain barang yang dibiayai bank.
27 Ibn-ul
human, Fath-ul-Qadir
v5, p. 211, dikuti oleh Usmani (2005: 189)
28 Zarqa
(1997: 68)
29 Sundararajan
dan Errico (2002: 6)
30
S. Ibn 'Abidin, Radd-ul-Muhtar V. 5, hal. 225, dikutip
oleh Usmani (2005: 198).
31 Usmani
(2002: 161).
32 Sundararajan
dan Errico (2002: 6); Usmani (2005: 160).
33
Banyak literatur menyebutkan akad ini sebagai profit and loss sharing
(PLS) agreement.
34 Rivai
dan Andria (2008: 46).
35 Usmani
(2005: 38); Iqbal dan Mirakhor (2007: 93).
36
How, Karim, dan Verhoeven (2005); Perwataatmadja
dan Antonio (1992: 47); Kamali
(2006).
37 Algaoud
dan Lewis (2001: 123).
38
Hal ini telah diatur oleh AAOIFI dalam Ketentuan
Standar Akunting No. 5, yang
menetapkan dasar alokasi pembagian keuntungan ini harus dikemuka- kan dalam
laporan keuangan bank (El-Gamal, 2005).
39 Al-Zuhayli's
(2003: 493-494).
40 Al-Zuhayli's,
(2003: 495).
41
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
mendefinisikan sukuk
seba- gai
surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluar- kan emiten
kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten mem- bayar pendapatan
kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin atau fee, serta
membayar kembali dana obligasi saat jatuh tempo.
42 Errico
dan Farakhbaksh (1998); Vernardos (2006: 109).
43
Rivai dan Andria (2008: 352) menambahkan satu C
sehingga menjadi 6C. Tambahan
itu adalah
constraints, yaitu batasan yang tidak memungkinkan suatu bisnis
dilaksanakan pada suatu tempat tertentu. Tentunya ini lebih re- levan bagi
bisnis yang baru akan dijalankan. Akan tetapi, karena bisnis baru mengandung
risiko yang lebih tinggi, bank umumnya memilih untuk membia- yai bisnis yang
telah memiliki track
record yang jelas, atau yang sudah berja- lan lama.
Warde (2000: 155).
Halo semuanya, Nama saya Siska wibowo saya tinggal di Surabaya di Indonesia, saya seorang mahasiswa, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman untuk sangat berhati-hati karena ada banyak perusahaan pinjaman penipuan dan kejahatan di sini di internet , Sampai saya melihat posting Bapak Suryanto tentang Nyonya Esther Patrick dan saya menghubunginya melalui email: (estherpatrick83@gmail.com)
BalasHapusBeberapa bulan yang lalu, saya putus asa untuk membantu biaya sekolah dan proyek saya tetapi tidak ada yang membantu dan ayah saya hanya dapat memperbaiki beberapa hal yang bahkan tidak cukup, jadi saya mencari pinjaman online tetapi scammed.
Saya hampir tidak menyerah sampai saya mencari saran dari teman saya Pak Suryanto memanggil saya pemberi pinjaman yang sangat andal yang meminjamkan dengan pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp200.000.000 dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau tekanan dengan tingkat bunga rendah 2 %. Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa rekening bank saya dan menemukan bahwa nomor saya diterapkan langsung ditransfer ke rekening bank saya tanpa penundaan atau kekecewaan, segera saya menghubungi ibu melalui (estherpatrick83@gmail.com)
Dan juga saya diberi pilihan apakah saya ingin cek kertas dikirim kepada saya melalui jasa kurir, tetapi saya mengatakan kepada mereka untuk mentransfer uang ke rekening bank saya, karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres atau penundaan.
Yakin dan yakin bahwa ini asli karena saya memiliki semua bukti pemrosesan pinjaman ini termasuk kartu ID, dokumen perjanjian pinjaman, dan semua dokumen. Saya sangat mempercayai Madam ESTHER PATRICK dengan penghargaan dan kepercayaan perusahaan yang sepenuh hati karena dia benar-benar telah membantu hidup saya membayar proyek saya. Anda sangat beruntung memiliki kesempatan untuk membaca kesaksian ini hari ini. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman, silakan hubungi Madam melalui email: (estherpatrick83@gmail.com)
Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (siskawibowo71@gmail.com) jika Anda merasa kesulitan atau menginginkan prosedur untuk mendapatkan pinjaman
Sekarang, yang saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman bulanan yang saya kirim langsung ke rekening bulanan Nyonya seperti yang diarahkan. Tuhan akan memberkati Nyonya ESTHER PATRICK untuk Segalanya. Saya bersyukur