Selasa, 16 Agustus 2016

Bab 5 Buku Selamatkan Perbankan



5
B
ANK syariah merupakan subsektor perekonomian Islam, yang diatur dalam Al-Quran dan hadis Nabi Saw. Karena perbankan umumnya berkaitan erat dengan janji untuk melakukan pembayaran sehubungan dengan utang-piutang, perlu disimak apa yang dikatakan Al-Quran dan hadis mengenai hal tersebut.
Menurut Al-Quran, jika bermuamalah tidak secara tunai, hendaklah dituliskan dengan dua orang saksi dari kedua pihak, agar utang itu tidak dilupakan dan tidak dikurangi sedikit pun (QS Al-Baqarah [2]: 282), serta tidak menjadi bahan perselisihan di kemudian hari. Transaksi perbankan umumnya berkaitan dengan utang-piutang atau mengandung unsur ke- wajiban dan tanggung jawab keuangan yang harus dipenuhi. Karena itu, setiap transaksi yang mengandung janji untuk membayar dengan waktu tunda harus dicatat dan dipersaksikan, sehingga tidak menimbulkan ma- salah pembuktian di kemudian hari.
Dalam perbankan syariah, utang yang ditimbulkan dari pinjam- meminjam murni dibedakan dengan utang yang ditimbulkan karena perniagaan atau investasi; yang terakhir ini disebut sebagai "pembiaya­an". Bagian ini akan membahas secara umum perbedaan keduanya, dan secara khusus mengenai pembiayaan, yang diperlukan dalam menyoroti masalah NPF sebagai tema sentral. Dari segi pendanaan, bank syariah menggunakan akad yang sama seperti halnya pembiayaan, terutama akad mudharabah, seperti yang akan diuraikan di belakang. Akad yang lain untuk pendanaan adalah wadiah atau titipan, tapi masalah pendanaan tidak dibahas secara terperinci.
Setiap barang yang bisa dijual dapat menjadi pinjaman atau dipinjamkan. Contohnya emas dan perak, serta barang dagangan, di samping uang. Berdasarkan kegunaan atau sumber keperluannya, pinjaman dalam Islam dibagi menjadi dua macam.
Pertama, utang. Utang (loan atau qard) umumnya muncul untuk keperluan sehari-hari yang mendesak sehingga merupakan suatu kegiat- an sosial (tabarru). Utang yang bersifat nonproduktif ini biasanya terjadi dalam kaitan dengan ketidakberuntungan, atau muncul di luar dugaan, seperti kematian atau membayar uang tebusan, serta dapat terjadi pada semua orang dari semua golongan sosial. Di samping itu, terdapat utang nonproduktif tetapi yang diperlukan dalam kaitan dengan keperluan prestise, misalnya untuk pembelian persenjataan atau barang-barang me- wah. Namun, utang macam ini hanya berkaitan dengan segelintir orang, yang berada pada tingkat sosial yang lebih tinggi.
Walaupun bersifat sosial, utang harus dibayar karena merupakan pemindahan hak yang dimiliki oleh seseorang kepada orang yang memin- jamnya untuk sementara. Karena bersifat sosial, pembayaran kembali hak tersebut harus dilakukan dalam jumlah yang sama, yang artinya dilarang mengandung keuntungan atau riba. Walaupun utang seperti ini akadnya bersifat sosial, Nabi Muhammad Saw. sangat menganjurkan agar umat- nya tidak mengambil atau menggunakan utang, kecuali jika terpaksa.1
Kedua, pembiayaan. Pembiayaan bersumber dari transaksi ko- mersial, atau berkaitan dengan perdagangan, atau bahkan investasi de- ngan tujuan produktif. Pinjaman di sini bukan berarti loan dengan dasar tidak ada barang yang dipinjamkan, melainkan berarti sebagai debt, atau kewajiban membayar yang ditunda sehubungan dengan telah terjadinya suatu transaksi komersial atau jual-beli. Pembayarannya dalam hal ini diperjanjikan untuk dilakukan kemudian pada waktu yang ditentukan.
Karena itu, dalam terminologi bank syariah, "pinjaman" atau peng- gunaan uang pihak lain yang terjadi dalam kaitan dengan suatu transaksi komersial disebut sebagai "pembiayaan". Dalam Islam, seperti halnya da- lam perjanjian konvensional, apa yang telah diperjanjikan atau disepakati
harus ditepati (QS Al-Baqarah [2]: 283). Jika jan- ji atau kewajiban tidak ditepati, akan ada konse- kuensi duniawi dan akhirati (QS Al-Thalaq [65]: 8, 9, 10). Salah satu hadis menyebutkan bahwa janji adalah utang.
Salah satu hadis Nabi Saw. menyatakan bah- wa pada dasarnya utang harus dibayar, bahkan harus dilunasi sebelum seseorang meninggal dunia, karena utang memiliki konsekuensi yang sangat berat jika tidak dibayar.2 Sahih Muslim, seperti disebutkan Qar- dhawi, menyebutkan sabda Nabi Saw. bahwa semua dosa orang yang mati sahid akan terhapus kecuali jika orang itu masih memiliki utang yang be- lum terbayar.
Menurut hadis riwayat Jamaah dari Abu Hurairah, dan Amr bin Sya- rid as-Tsaqafi, Nabi Saw. bersabda bahwa orang yang mampu atau kaya tetapi menangguhkan pembayaran utangnya patut diumumkan atau di- permalukan dan dihukum, atau menerima sanksi baik di dunia maupun di akhirat. Hadis yang lain menyebutkan "orang yang memiliki utang akan dirantai dalam kuburnya, dan rantai itu tidak akan dilepaskan sebe- lum dia melunasinya."3
Sebaliknya, Al-Quran menginstruksikan kepada yang memberikan pinjaman untuk memberikan kelonggaran bagi yang meminjam, sampai dia memiliki kemampuan (QS Al-Baqarah [2]: 280). Bahkan, jika si pe- minjam sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk membayarnya, negara dapat membantu mengatasi yang berutang dengan membayar pinjamannya menggunakan dana zakat (QS Al-Taubah [9]: 60).
Mengapa Al-Quran dan hadis begitu keras memerintahkan orang untuk membayar utangnya, dan berusaha untuk tidak menggunakan atau meng- hindari utang (loan) seperti yang ditunjukkan oleh ayat Al-Quran dan hadis tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, dapat diberikan uraian sebagai berikut.
Bank syariah merupakan subsektor perekonomian Islam, yang diatur dalam Al-Quran dan hadis Nabi Saw.
Pertama, utang merupakan pemindahan hak seseorang kepada orang lain tetapi untuk sementara. Jika hak itu tidak dikembalikan, arti- nya orang yang meminjamnya memakan hak orang yang meminjamkan- nya. Al-Quran (QS Al-Nisa' [4]: 29, 30) menyebutkan bahwa memakan
hak orang lain dilarang oleh Tuhan karena me- rupakan tindakan yang tercela dengan masuk ke neraka sebagai balasannya.
Kedua, perlu juga melihat hadis lain untuk menjawabnya. Nabi Saw. menyamakan kekafiran dengan utang yang besar. Sebab, bagi orang yang memiliki utang yang besar, ada kecenderungan jika berbicara dia akan berdusta dan jika berjanji dia tidak menepati.4 Utang yang besar dalam perbankan konvensional identik dengan over leverage. Pada banyak kasus dalam perbankan di du- nia, utang yang berlebihan memberikan satu bentuk kerawanan yang ber- akibat pada tidak terbayarnya utang itu, karena adanya sedikit perubahan dalam lingkungan berusaha.
Ketiga, harta, dalam definisi Islam, yakni segala sesuatu yang dapat diperoleh dalam kehidupan di dunia yang berbentuk materi dan memi- liki nilai, mutlak milik Tuhan. Karena itu, bagaimana memperoleh dan menggunakannya harus sesuai dengan ketentuan moral yang dikandung Al-Quran (QS Al-Baqarah [2]: 86; QS Ali 'Imran [3]: 14; QS Ali 'Imran [3]: 117; QS Al-Humazah [104]: 1-9). Dalam Islam, harta atau hak hanya dapat diperoleh melalui tiga cara, yaitu pertukaran atau jual-beli, pembe- rian atau hibah, dan hasil kerja. Dalam hal ini, Al-Quran sangat menghar- gai muatan kerja atau hasil kerja yang baik, dan bahkan menempatkan "kerja" atau "bekerja" pada posisi yang mulia. Hal ini dapat dilihat lebih jauh dari sisi lain, yakni utang jenis pertama dianggap memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan hanya "memberi", sekalipun "memberi" tidak mengandung kewajiban untuk membayar kembali.
Dalam kaitan ini, Nabi Saw. seperti dikutip oleh HR Ibnu Majah, pernah bertanya kepada Jibril, kenapa qardh lebih tinggi dari sadaqah, dan jawabannya terletak kepada kejujuran; seseorang yang meminjam karena dia tidak punya, sedangkan orang yang meminta belum tentu dia tidak punya.5 Menurut hemat penulis, jika dikaji lebih dalam, pandangan bahwa utang lebih baik daripada meminta memiliki latar belakang, yang sama dengan kenapa utang memberikan beban yang berat bagi Muslim jika tidak membayarnya. Latar belakangnya adalah Tuhan memberikan nilai yang tinggi kepada usaha manusia di dunia dan sangat menghargai hak orang lain
Menurut Ayatullah Mahmud Taliqani dari Iran, hasil kerja merupakan dasar dari hak kepemilikan yang sah.
Menurut Ayatullah Mahmud Taliqani dari Iran, hasil kerja merupa- kan dasar dari hak kepemilikan yang sah. Usaha yang dimaksud di sini
adalah bekerja untuk mencari nafkah yang baik; dan memang Tuhan mensyaratkan kepada umatnya untuk bekerja keras atau berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi atau berproduktivitas, dan bahkan mendorong untuk menjadi pengusaha yang baik.
Pada dasarnya, bekerja dan berusaha bagi seorang mukmin merupa- kan perwujudan keimanan seseorang kepada Tuhan. Hal ini sejalan de- ngan ayat Al-Quran yang memerintahkan kepada manusia untuk bekerja karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pe- kerjaan itu, dan kemudian manusia akan dikembalikan kepada Allah Yang Maha Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu kepada manusia dikembalikan apa yang telah dikerjakannya (QS Al-Taubah [9]: 105).
Harta atau aset yang baik adalah harta yang merupakan hasil lebih (surplus) dari kerja keras manusia di dunia yang tidak digunakan untuk konsumsi tapi dijadikan tabungan, atau merupakan manifestasi hasil ker- ja yang lebih dari yang diperlukan untuk hidup. Harta yang diperoleh se- perti ini merupakan hak milik orang yang telah menghasilkannya sebagai khalifah harta, dan cara inilah yang terutama diridhai oleh Tuhan (QS Al- Ma'idah [5]: 35), tetapi merupakan titipan Tuhan.
Dalam kaitan dengan harta dan kerja, ahli ekonomi keuangan Frede­rick Soddy dari Inggris mengutarakan bahwa tenaga manusia merupakan bahan baku untuk menciptakan harta. Tenaga manusia (labour) yang te- lah maju atau belum merupakan kenyataan dalam kehidupan dan sejalan dengan hukum fisik yang mengatur produksi atau penciptaan harta, dan bahkan diperlukan untuk mempertahankan kehidupan bangsa.
Apa yang dipinjamkan oleh seseorang merupakan hasil lebih dari kerja keras yang menjelma dalam bentuk harta orang tersebut, yang pada hakikatnya adalah pengalihan hak untuk sementara dari orang tersebut ke orang lain sehingga orang yang meminjam ini dapat menggunakan manfaatnya, tanpa kompensasi apa pun.6 Namun, hak orang pertama tadi harus dikembalikan secara utuh dalam waktu yang telah disepakati; jika tidak, artinya orang yang meminjam itu memakan hak orang lain secara tidak sah.
Peminjaman ini merupakan tindakan dalam rangka membantu se- sama umat, tetapi tidak mengajari umat untuk malas bekerja. Salah satu alasan kenapa riba dilarang adalah, dengan riba, orang akan mendapat keuntungan tanpa kerja. Karena itu, tidaklah mengherankan jika Al-Qu- ran mengandung banyak ayat yang menganjurkan orang untuk bekerja keras dalam mengarungi kehidupan di dunia.
Islam mengajarkan hidup berdasarkan nafkah atau kemampuan yang dihasilkan hari ini dan berhemat untuk persediaan hari esok. Berutang, di lain pihak, pada esensinya merupakan tindakan konsumtif yang menggu- nakan penghasilan di masa depan yang masih dalam bentuk harapan.
Karena masih merupakan harapan, berarti belum ada kepastian bah- wa penghasilan yang telah dikonsumsi itu benar-benar dapat diperoleh di kemudian hari. Ketika menunggu harapan itu, yang berutang mengalami beban psikologis berupa kewajiban untuk membayar yang selalu memba- yanginya.7 Jika harapan itu tidak terealisasi, konsumsi yang telah dihabis- kan tercatat sebagai utang yang tidak terbayar dan menjadi beban berat bagi yang berutang. Ketika menghadapi beban yang tidak kecil itu, Nabi Saw. mengatakan, orang akan cenderung menghindar dari kewajibannya dan bahkan menjadi munafik atau kafir.
Menurut Bill Bonner dan Addison Wiggin, keduanya pakar keuangan dari AS, akibat negatif berutang tidak saja berlaku bagi orang per orang, tetapi juga bagi negara. Negara melakukan peminjaman uang umumnya untuk penyelenggaraan negara yang sebagian juga bersifat konsumtif. Akhir- nya, makin banyak utang digunakan, makin besar kewajiban membayar, makin banyak rantai yang mengikat. Bersamaan dengan meningkatnya kebiasaan dan beban yang dibawanya, makin hilang kemampuan dan ke- inginan untuk berproduksi secara riil sehingga makin hilang pula kesem- patan untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
Khan, Ahmad, dan Mannan, seperti dikutip oleh Latifa M. Algaoud dan Mervyn K. Lewis, serta Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, berpen- dapat bahwa meningkatnya utang, yang berakibat meningkatnya beban bunga dan biaya produksi, juga akan menurunkan penciptaan lapangan kerja, atau cenderung menghalangi terjadinya lapangan kerja penuh.
Kebiasaan berutang akan menjadi proses yang terus berlangsung, sampai suatu saat terpaksa menghentikan praktik penambahan utang tersebut. Kasus di Amerika membuktikan bahwa sekali utang digunakan, utang akan terus bertambah, dan utang yang bertambah akan menurun- kan produktivitas serta mengurangi hasrat untuk berproduksi. Pada 1901, total utang domestik Amerika hanya US$ 1 miliar. Jumlah ini bertambah 4.000 kali dalam seabad, menjadi US$ 4 triliun pada tahun 2000; utang ini belum termasuk utang eksternal yang berjumlah US$ 1,3 triliun.8 Da- lam kaitan dengan hilangnya hasrat untuk berproduksi dan menciptakan lapangan kerja, sejak 1980 Amerika tidak lagi memproduksi barang-barang industri seperti televisi, radio, alat dan mesin, barang-barang baja, tekstil, dan komputer.9
Bukti empiris lainnya mengenai kebiasaan berutang, atau mudahnya memperoleh utang, yang berakibat jumlah utang menjadi lebih besar, dan mendorong pihak yang berutang untuk berbohong, atau merekayasa laporan, dan akhirnya tidak dapat membayar utang kembali adalah apa yang terjadi di Yunani.
Selama 30 tahun terakhir, Yunani mengalami defisit anggaran. Dido- rong oleh rating surat utang yang baik, Yunani terlalu banyak menggu- nakan utang di masa lalu. Dewasa ini utang Yunani mencapai 115 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB)-nya, yakni US$ 429 miliar. Agar tetap memperoleh utang dari tahun ke tahun, Yunani melakukan rekaya- sa pelaporan keuangan. Baru diketahui belakangan bahwa Yunani telah melewati batas utang atau defisit anggaran mencapai 6 persen, dua kali lipat dari batas yang ditentukan oleh Uni Eropa, yaitu 3 persen dari PDB. Akibatnya, surat utang baru tidak dapat dijual atau diserap pasar.
Mudarat yang diciptakan oleh utang seperti yang dialami Yunani bu- kanlah yang pertama kali terjadi di dunia. Ekonom Inggris Noreena Hertz menyimpulkan bahwa manfaat yang seharusnya dihasilkan dari utang jika digunakan dengan bijak pada umumnya hanya merupakan dongeng. Utang pada akhirnya menimbulkan sejumlah kemudaratan dan membuat orang berlaku jahat, dikuasai oleh kepentingan tertentu yang bersifat koruptif, dan terdorong menciptakan informasi yang tidak benar dan memihak.
Di permukaan, utang dikatakan untuk kepentingan negara, tetapi ke- pentingan itu dikuasai oleh kepentingan pribadi atau sekelompok orang yang berkuasa. Hal ini terjadi pada Presiden Menem dari Argentina dan Pre- siden Kuchma dari Ukraina. Menurut Hertz, mereka mengambil utang yang berlebihan, tetapi tidak pernah memikirkan bagaimana akan membayarnya kembali. Mereka menggunakan utang untuk diberikan kepada semua pihak yang dapat mendukung pemilihan mereka kembali sebagai presiden.
Dalam Islam, utang atau piutang tidak dapat diperdagangkan seperti halnya pada perbankan konvensional baik secara langsung maupun me- lalui sekuritisasi. Salah satu alasannya adalah, dalam perbankan syariah, uang mengikuti alur barang atau jasa.
Jika ditinjau dari transaksi yang terkait dengan penjualan utang atau piutang itu, ada dua macam transaksi yang perlu diuraikan. Pada trans-
aksi pertama, umumnya, terjadi transaksi jual- beli suatu barang dengan pembayaran ditunda sehingga menciptakan utang dan piutang bagi kedua pihak yang bertransaksi. Pada transaksi kedua, yaitu ketika piutang itu dijual, tidak ada lagi alur barang yang mengimbanginya. Dengan menggunakan pendekatan lain, menurut Siddi- qi, penjualan utang ini dapat dijelaskan sebagai suatu penukaran uang dengan jumlah uang yang berbeda di masa depan, sehingga tidak membawa manfaat yang berka- itan langsung dengan produktivitas. Dengan demikian, transaksi kedua tersebut bukan lagi transaksi yang berkaitan dengan barang, atau melekat pada sektor riil, melainkan merupakan transaksi sektor keuangan yang bergerak menjauhi sektor riil.
Menurut banyak pendapat, inilah yang menyebabkan dikotomi anta- ra sektor riil dan sektor keuangan, sekaligus menimbulkan ketidakstabil- an paling tidak pada sektor keuangan itu sendiri.10
Penyatuan sektor keuangan dengan sektor riil terletak pada cara bagaima- na sektor riil dibiayai oleh sektor keuangan. Berbeda dengan "pinjaman" uang pada bank konvensional, bank syariah berbicara mengenai "pembia- yaan" dan bertitik tolak pada transaksi yang mendasari pembiayaan yang diperlukan.
Jadi secara filosofis, jika calon nasabah datang kepada bankir syari- ah, pertanyaan yang pertama kali akan diajukan kepada calon nasabah adalah "apa transaksinya" atau "untuk pembiayaan apa". Bankir konven- sional, di lain pihak, pertama kali akan menanyakan "berapa besar pin- jamannya". Namun, transaksi yang dapat dibiayai oleh bank syariah, atau dalam hubungan kontraktual, memiliki beberapa persyaratan. Syaratnya, transaksi yang mendasari itu tidak boleh mengandung riba, gharal, dan maysir, di samping tidak dimungkinkan untuk membiayai barang atau jasa yang diharamkan atau dilarang.
Terdapat tiga macam riba, yaitu riba fadl, riba nasi'ah, dan riba jahiliah. Semuanya dilarang dalam Islam.
Terdapat tiga macam riba, yaitu riba fadl, riba nasi'ah, dan riba ja- hiliah. Semuanya dilarang dalam Islam. Riba fadl adalah pertukaran ba- rang yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahannya. Riba nasi'ah adalah tambahan terhadap utang-piutang ketika utang dibayar.
Riba jahiliah adalah tambahan terhadap utang ketika si pengutang tidak dapat membayar utangnya tepat waktu.
Telah merupakan kesepakatan umum di antara para ahli, termasuk Umar Chapra, bahwa yang dimaksudkan riba adalah tambahan itu atau bunga11 dalam segala bentuk.12 Bunga bank, seperti yang dipahami banyak orang, memberikan kepastian terhadap perolehannya, yang berarti tanpa risiko, dan hal ini tidak dibenarkan dalam Islam. 13
Di zaman Athena kuno, Aristoteles tidak menyetujui kegiatan pembe- rian pinjaman dikenakan bunga karena tidak bersifat alami dan melang- gar kebajikan.14 Uang pada dirinya sendiri tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan apa-apa, atau tidak dapat beranak. Uang hanya ber- fungsi sebagai alat perantara, yang mewakili pertukaran atau transaksi. Karena tidak dapat menghasilkan apa-apa, uang tidak dapat memperoleh kompensasi. Bunga atau riba adalah hasil tambahan atas uang yang di- pinjamkan, yang umumnya ditentukan di muka ketika uang akan dipin- jamkan. Tambahan apa pun terhadap aktivitas pinjam-meminjam uang dilarang dalam Islam.
Ayat-ayat mengenai riba diturunkan secara bertahap. Larangan terha- dap riba pertama kali muncul dalam Surah Al-Rum (30: 39), yang ditu- runkan di Makkah. Kemudian, tiga surah lain, yaitu Al-Nisa' (4: 161), Ali 'Imran (3: 130-132), dan Al-Baqarah (2: 275-281), diturunkan di Madinah. Ketika Surah Al-Rum turun, kota Mekah dalam keadaan makmur. Selain aktif dalam bidang perdagangan, warga Mekah memberikan pinjaman uang dengan bunga dan melakukan transaksi-transaksi yang bersifat spekulatif.
Nabi Muhammad Saw. melaknat pemakan riba karena merupakan tindakan memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan risiko. Orang kaya memperoleh kemudahan atas jerih payah orang miskin. Riba meru- sak semangat manusia untuk bekerja15 mencari uang dan dapat membi- nasakan perseorangan dan masyarakat, dunia dan akhirat. Riba, menurut Yusuf Qardhawi, dipersamakan dengan penyakit masyarakat lainnya, se- perti prostitusi, dan jika menyebar mengakibatkan kemurkaan Allah Swt.
Dalam buku ini, arti "implikasi" dan "konsekuensi" dibedakan. "Implika- si" berarti "suatu akibat" yang cenderung bersifat lebih abstrak dan me- rupakan akibat dari suatu kausa, dalam hal ini riba; sedangkan "konse- kuensi" bermakna lebih konkret dan sebagai akibat yang bersifat turunan (derivatif) dari kausa utama.
Dasar utama Al-Quran (Al-Baqarah, 2: 275) melarang riba adalah ayat yang jelas mengatakan riba itu merupakan tindakan haram, sedang- kan perdagangan dihalalkan. Riba atau bunga ditetapkan pada saat pe- minjaman dilakukan untuk membiayai usaha, yang hasil atau keuntung- annya hanya dapat diperkirakan, tetapi tidak dapat dipastikan ketika usa- ha baru dimulai. Biaya bunga yang pasti, didasarkan pada hasil yang tidak pasti, menimbulkan ketimpangan antara peminjam dan yang meminjam- kan dari segi pendapatan versus risiko yang dihadapi kedua pihak.
Perdagangan diizinkan tetapi dengan implikasi yang berbeda sebagai berikut:
Pertama, membawa implikasi yang berbeda. Al-Quran mengha- lalkan perdagangan16 dan mengharamkan riba (QS Al-Baqarah [2]: 275). Nabi Muhammad Saw. juga menghargai para pedagang yang jujur, dan beberapa ratus tahun kemudian Benyamin Franklin mengatakan "No na­tion was ever ruined by trade."
Ketentuan Ilahi itu tentu memiliki alasan yang kuat. Untuk menge- tahuinya, perlu dikaji lebih dalam perbedaan antara perdagangan dan riba. Perdagangan mengandung arti bahwa seseorang memiliki suatu ba- rang yang dapat dijual kepada pembeli pada suatu tingkat harga tertentu. Jual-beli terjadi karena penjual sepakat menjual barangnya, sedangkan pembeli setuju untuk membeli barang tersebut pada suatu tingkat harga yang disetujui oleh kedua pihak (di sini terjadi ijab dan kabul). Pada saat yang sama, si pembeli menerima barang dari penjual, sedangkan penjual menerima uang pembayaran barang yang dijualnya. Barang dagangan tersebut tentunya harus dibuat atau diproduksi terlebih dulu, dan jelas di sini melibatkan orang untuk bekerja dengan memperoleh upah.
Menurut Ibnu Chaldun, bekerja merupakan unsur yang paling domi- nan bagi proses produksi, dan merupakan sebuah ukuran standar dalam sebuah nilai. Seperti halnya Al-Quran,17 Nabi Muhammad Saw. mewajib- kan setiap muslim untuk bekerja.
Orang yang menjual suatu barang dagangan dapat mengambil keun- tungan atas dagangannya itu, karena jerih payahnya dalam memproduksi dan atau usaha menjual, serta merupakan kompensasi terhadap risiko usa- ha yang dihadapinya. Keuntungan yang diambil oleh penjual merupakan jumlah yang dikandung dalam suatu harga yang disepakati oleh pembeli.
Pembeli setuju untuk membayar suatu harga pembelian terhadap suatu barang, dengan pengertian bahwa baginya barang yang dibeli memberikan nilai atau manfaat yang setara dengan harga yang dibayarkannya.18
Dari uraian ini, dapat dikatakan bahwa jual-beli mendorong perda- gangan, merangsang perniagaan dan industri, serta membuka lapangan kerja. Dengan terbukanya lapangan kerja, pendapatan masyarakat akan meningkat dan industri akan lebih berkembang. Sejalan dengan hal ini, keuntungan yang diperoleh dari jual-beli merupakan hasil dari inisiatif, kerja keras, usaha, dan merupakan hasil penciptaan suatu nilai yang jelas serta merupakan kompensasi terhadap risiko usaha yang dihadapi.
Di lain pihak, riba terus berakumulasi sejalan dengan waktu, cende- rung bersifat tidak produktif, menambah risiko usaha dalam perdagang- an dan industri, dan berimplikasi bahwa orang memperoleh pendapatan tanpa kerja.
Kedua, bunga menciptakan inflasi dan dapat menurunkan standar kehidupan. Dalam sistem keuangan di dunia saat ini, uang dan bunga merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Uang yang ada di setiap negara merupakan fiat money atau "uang atas unjuk", dan dikeluarkan karena adanya seigniorage,19 yaitu hak eksklusif untuk men- cetak uang yang dimiliki oleh pemerintah pusat suatu negara. Bunga, di lain pihak, merupakan harga komoditas berupa uang.
Ahmed Kameel Mydin Meera dari International Islamic University Malaysia menjelaskan bunga sebagai berikut: jika saat ini diasumsikan terdapat uang yang beredar (money supply) dalam bentuk pinjaman se- banyak Rp 100 miliar, dan diberikan bunga 10 persen atau Rp 10 miliar, bukan berarti bahwa jumlah Rp 10 miliar sebagai bunga telah ada dalam sistem keuangan atau masyarakat. Dari segi pemerintah, tambahan uang untuk bunga ini perlu dicetak, kemudian disalurkan ke sistem.
Jika dilihat dari debitor, ada dua hal yang mungkin terjadi. Pertama, tambahan uang diciptakan dalam bentuk pinjaman untuk pembayaran bunga, misalnya dalam rangka restrukturisasi pinjaman. Kedua, bank menyita jaminan dari debitor. Dalam hal yang terakhir ini, berarti keka- yaan yang riil berpindah tangan dari debitor ke bank, dan akhirnya kepa- da otoritas pencetak uang.
Untuk menghindari inflasi atau mempertahankan stabilitas harga, dengan mengacu pada persamaan Quantity Theory of Money dari Fisher (1911), MV = PV,20 money supply yang terus berkembang karena unsur
bunga harus terus-menerus diimbangi dengan pertumbuhan dalam output riil. Jika pertum- buhan money supply lebih cepat daripada per- tumbuhan sektor riil, maka selisihnya merupa- kan tingkat inflasi. Di sinilah letak masalahnya, apakah mungkin suatu tingkat bunga tertentu yang konstan, apalagi jika menggunakan konsep bunga berbunga, dapat diimbangi dengan tingkat pertumbuhan output riil.
Untuk menumbuhkan tingkat produktivitas sektor riil diperlukan begitu banyak unsur yang harus dikelola, sedangkan penetapan suatu ting- kat bunga tidak memerlukan begitu banyak upa- ya. Sudah menjadi kenyataan dan tujuan yang diakui, uang yang beredar juga disediakan dan sebagian digunakan untuk tujuan spekulasi.
Dari banyak krisis perbankan atau ekonomi di dunia, terlihat dengan jelas adanya ekspansi kredit digunakan untuk spekulasi tertentu, seperti transaksi jual-beli saham dan pembelian real estat untuk tujuan spekulasi; artinya dibeli dengan tujuan akan dijual kembali atas dasar harapan bah- wa kenaikan harga akan tetap berlangsung di kemudian hari. Karena itu, sudah menjadi aksioma pertama bagi Charles P. Kindleberger dan Robert Aliber21 bahwa inflasi bergantung pada pertumbuhan uang; dan penyebab utama setiap krisis adalah adanya ekspansi kredit dan spekulasi. Tingkat inflasi yang tinggi (hiperinflasi)22 akan menurunkan daya beli, memperbu- ruk standar hidup, dan akhirnya menghancurkan masyarakat.
Karena itu, Meera mengatakan bahwa fiat money dan seigniorage tidak dapat berfungsi sebagai maqashid al-syariah, atau mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Meera mengatakan bahwa fiat money dan seigniorage tidak dapat berfungsi sebagai maqashid al- syariah, atau mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
Ketiga, dengan fiat money dan fraction reserve banking, akan selalu ada utang di masyarakat. Hampir seluruh perbankan dunia menggunakan fractional reserve banking (FRB). Sebagian deposito yang diterima oleh bank dari masyarakat disimpan sebagai cadangan di bank sentral dan sisanya boleh digunakan untuk melakukan pemberian pinjam- an kepada masyarakat. Jadi, jika reserve requirement (cadangan mini­mum) yang ditentukan oleh bank sentral adalah 4 persen, dengan deposito sejumlah Rp 10 miliar, maka sistem perbankan secara total dapat membe- rikan pinjaman sebesar Rp 25 miliar, yaitu Rp 10 miliar dibagi 0,04.
Dengan penciptaan uang seperti ini, uang yang beredar dari Rp 10 miliar (M0) bertambah dengan Rp 25 Miliar (bank money) menjadi Rp 35 miliar (M1). Penciptaan uang ini terlaksana ketika bank memberikan pinjaman kepada nasabahnya, dan semata-mata karena pencatatan pada accounting entries tanpa adanya pergerakan uang kertas secara fisik.
Dalam sistem FRB ini, pemberian pinjaman atau utang merupakan salah satu kegiatan operasional utama, dan bunga merupakan faktor pen- dapatan sekaligus faktor biaya. Perbedaan dari kedua macam bunga me- rupakan keuntungan kotor bank. Dengan demikian, selama sistem FRB ini berjalan, terdapat utang masyarakat terhadap perbankan, atau pada akhirnya utang kepada pihak yang memiliki seigniorage.
Keempat, menimbulkan pasar kredit perbankan untuk kaum kaya. Dengan sistem perbankan modern saat ini, bank umumnya akan memberikan pinjaman kepada calon debitor berdasarkan suatu seleksi, yang dilakukan melalui media analisis kredit. Analisis kredit difokuskan untuk membangun keyakinan, bahwa calon debitor memiliki niat dan ke- mampuan untuk membayar kembali pinjamannya. Kemampuan seorang calon debitor ini ditilik dari kemapanannya dalam menjalankan bisnis, sehingga dapat diperkirakan dengan lebih pasti, bahwa dia akan mam- pu menciptakan penjualan dengan keuntungan yang diharapkan. Untuk mendukung kemampuan calon debitor ini, bank juga menilai apakah yang bersangkutan memiliki modal sendiri. Karena adanya bunga yang bersifat pasti, pembiayaan usaha yang sehat adalah yang dibiayai dengan modal atau dana sendiri, di samping dari pinjaman bank.
Dari proses seleksi seperti ini, yang akan dapat memperoleh pin- jaman atau kredit bank adalah mereka yang memiliki bisnis yang dapat menghasilkan keuntungan, dan tentunya yang memiliki agunan. Ditilik dari latar belakang pemikiran praktik perbankan seperti ini, sesungguh- nya tidak ada yang dapat dipersalahkan, karena memang orang yang mampu membayar bunga dan pokok kredit adalah orang yang dapat diberi kredit. Apalagi jika ditinjau dari kepentingan pemilik dana yang disimpan di bank, yaitu para deposan, dan bank berkewajiban untuk me- lindungi "keamanan" dana mereka. Jelas praktik tersebut sangat dapat diterima secara logika. Namun, kelompok yang memiliki usaha dan mo­dal seperti itu akan lebih berkembang usahanya, sehingga kemampuan ekonomis mereka pun semakin kuat.
Kelima, ada dorongan untuk memberikan pinjaman yang lebih besar. Dengan terkumpulnya dana masyarakat dalam sistem perbankan konvensional modern, perbankan terdorong untuk memberikan pinjam- an kepada para debitor. Dorongan ini bersifat alami karena adanya bia- ya yang pasti yang harus dibayar bank kepada para pemilik dana. Untuk menutupi biaya ini, bank harus menyalurkan dananya sebagai pinjaman kepada para debitor, berdasarkan bunga yang juga pasti.
Karena adanya dorongan ini, jika bank melakukan kucuran kredit terpusat pada suatu sektor ekonomi, yang akan terjadi adalah adanya ke- naikan permintaan terhadap barang atau jasa pada sektor tersebut. Kena- ikan permintaan ini akan mendorong kenaikan harga yang terus-menerus terhadap barang atau jasa tersebut. Kenaikan harga ini, yang tidak diba- rengi dengan penambahan penawaran yang riil, mengakibatkan adanya gelembung-gelembung ekonomi.
Ketika perekonomian melambat, atau kucuran kredit perbankan ter- koreksi, apa yang terjadi adalah gelembung-gelembung tadi mengempis secara drastis. Akibatnya, harga barang atau jasa tersebut turun secara drastis pula, dan ini mengakibatkan barang-barang terkait tidak dapat terjual. Jika perekonomian mengandung barang yang tidak laku, perpu- tarannya pun menjadi stagnan. Sebagai konsekuensi langsung, perbankan akan menghadapi kredit macet dalam jumlah yang besar.23
Keenam, cenderung menciptakan transaksi (keuangan) speku- latif dan menambah risiko kredit. Dalam sistem perbankan dengan fractional reserve banking (FRB), pemberian pinjaman atau kredit me- rupakan kegiatan operasional utama. Uang atau kredit ialah komoditas, dengan suatu tingkat harga berupa bunga. Karenanya, bank akan selalu berusaha menyediakan likuiditas berupa dana yang bisa dipinjamkan. De- ngan tersedianya likuiditas ini, orang cenderung berusaha untuk menggu- nakannya, termasuk untuk tujuan spekulatif, dan bank sering tergelincir ke dalam ekspansi kredit yang kemudian baru disadari berlebihan. Hal ini menambah risiko kredit yang dihadapi oleh bank pemberi kredit karena bank tidak selalu dapat mengontrol penggunaan dana kredit yang diberi- kannya.
Keadaan seperti itu akan berbeda pada bank Islam, yang mengang- gap uang bukan komoditas. Orang harus memiliki proposal bisnis terle- bih dulu, yang berkaitan dengan perdagangan atau produksi barang atau jasa, kemudian baru mencari pembiayaan yang diperlukan. Keadaan ini dapat menghindari spekulasi dan ekspansi kredit yang berlebihan, di mana setiap pembiayaan harus ditentukan lebih dahulu dengan jelas un- tuk membiayai bisnis tertentu dan layak. Metode pembiayaan seperti ini mengaitkan uang di satu pihak dan barang dan jasa di lain pihak.
Ketujuh, menimbulkan transaksi derivatif. Karena uang diper- lakukan sebagai komoditas, berkembanglah pasar uang dan kemudian pasar derivatif (turunan dari pasar uang). Pasar derivatif ini, menurut Nasution dkk., menggunakan instrumen bunga sebagai harga produk- produknya dan tidak berdasarkan motif transaksi riil sepenuhnya, tetapi mengandung unsur spekulatif. Transaksi ini merupakan kaitan antara aktiva keuangan dan naik-turunnya harga satu unsur keuangan (misalnya bunga, indeks saham, dan harga komoditas tertentu) di masa depan. Jadi, transaksi ini bersifat spekulatif, yakni mengharapkan keuntungan dari perubahan harga suatu unsur keuangan dan sama sekali tidak berkaitan dengan sektor riil.
Penciptaan uang dalam bentuk pemberian kredit semata-mata timbul karena proses akunting pada pihak bank pemberi kredit. Untuk pembe- rian kredit ini, bank umumnya meminta jaminan berupa aset tetap. Jika debitor mengalami wanprestasi, bank akan melakukan eksekusi jaminan berupa aset tetap tersebut. Jika bank berhasil memperoleh aset tetap itu, terjadilah suatu pemindahan kekayaan (transfer of wealth) dari debitor ke kreditor.
Dengan analogi yang sama, pemindahan kekayaan ini bisa terjadi antardua negara. Amerika Serikat dapat dikatakan memiliki seigniorage atas dolarnya, yang diciptakan dengan proses yang sama, yaitu melalui proses akunting. Jika suatu bank di Amerika memberikan pinjaman ke- pada Indonesia, mereka meminta jaminan yang bisa mereka kuasai. Jika hal ini tidak mungkin, kredit yang diberikan tidak berbentuk uang, tapi berbentuk barang atau jasa yang diproduksi di negara mereka. Ini artinya Indonesia mempunyai utang terhadap Amerika (tapi hanya berbentuk ca- tatan di pihak Amerika), dan pada saat yang sama produksi dan nilai tam- bah tercipta dinikmati pihak Amerika. Amerika dalam hal ini mengambil manfaat yang lebih besar, yaitu memiliki piutang terhadap Indonesia dan produktivitas di negaranya, sedangkan Indonesia hanya dapat manfaat dari konsumsi barang atau jasa yang diperoleh dari kredit. Utang Indone­
sia yang tercatat oleh Amerika harus dibayar dari perolehan valuta asing hasil ekspor sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Apa yang dapat terjadi di sini merupakan pemindahan kekayaan riil dari negara sedang berkembang ke negara yang memiliki seigniorage.
Hertz memberikan contoh-contoh konkret24 mengenai manfaat yang tidak seimbang akibat pemberian utang ke negara sedang berkembang oleh negara maju. Banyak proyek besar di negara berkembang yang dibiayai oleh utang dari negara maju tidak mencipta­kan hasil yang diharapkan. Tetapi, utang yang terkait untuk membiayai proyek-proyek itu tetap harus dibayar. Sumber pembayaran utang ini berasal dari penjualan atau ekspor sumber daya alam yang dimiliki oleh negara peminjam. Bagi penerima pinjaman, manfaat yang sesungguhnya diperoleh harus diperhitungkan dengan kerusakan sumber daya alam yang terjadi.
Kesembilan, menimbulkan ketidakadilan. Ada dua kemungkin- an alasan peminjaman uang. Pertama, untuk kebutuhan pribadi yang mendesak dan umumnya orang dalam keadaan seperti ini tidak memiliki cadangan uang atau tabungan. Di sini, dirasakan tidak etis jika si pemin- jam dibebani bunga. Kedua, untuk usaha atau produksi barang atau jasa. Setiap usaha atau bisnis selalu mengandung unsur ketidakpastian, terle- pas dari dimensi ruang dan waktu. Walaupun dapat diperkirakan, hasil operasional suatu usaha apakah untung atau rugi tidak dapat dipastikan pada awal usaha. Ketidakpastian itu merupakan risiko bisnis, dan risiko ini bertambah besar dengan adanya unsur bunga.
Di lain pihak, kreditor dijamin memperoleh keuntungan yang pasti di awal transaksi, terlepas apa pun yang terjadi terhadap bisnis debitor yang dibiayai itu. Dengan demikian, peminjam menanggung seluruh ri­siko proyek yang dibiayai, sedangkan pemberi pinjaman tidak menang- gung risiko apa-apa, bahkan dijamin memperoleh pendapatan yang telah dipastikan di awal transaksi. Keadaan seperti ini, menurut Majid, tidak sesuai dengan sistem ekonomi Islam.
Bagi penerima pinjaman, manfaat yang sesungguhnya diperoleh harus diperhitungkan dengan kerusakan sumber daya alam yang terjadi.
Kesepuluh, membuat orang kaya bertambah kaya. Riba juga di- anggap eksploitatif karena cenderung menguntungkan si kaya, yang me-
miliki uang lebih di atas kebutuhannya, dengan memperoleh keuntungan yang pasti, atas beban orang yang lemah yang menanggung seluruh risiko.
Karena riba atau unsur bunga dilarang, sebagai penggantinya adalah "ke- untungan" (laba). Banyak ayat Al-Quran menyebutkan kata yang berarti keuntungan, dan dalam satu ayat menyatakan bahwa perolehan keun- tungan adalah halal. Tuhan berfirman kepada orang-orang beriman agar berjalan dan berdagang dengan cara yang saling menguntungkan (QS Al-Nisa' [4]: 33). Dalam perspektif ini, keuntungan tidak dilihat dari segi uang yang dapat dihasilkan secara an sich semata.
Aa Gym dan Hermawan Kartajaya mengartikan "keuntungan" dalam berbisnis adalah jika bisnis yang dilakukan itu bersifat amal atau kebajik- an, atau yang didasarkan pada kebenaran, yang dimulai dengan niat yang benar. Dalam melakukan bisnis itu, kualitas manusianya semakin baik atau dapat lebih dipercaya, ilmu dan wawasannya bertambah luas sehing- ga memperbaiki kemampuan yang ada, dan silaturahmi atau persaudara- an antarsesama bertambah.
Keuntungan pada dasarnya dihasilkan dari kombinasi kerja, modal, dan risiko. Modal diartikan sebagai barang dagangan atau faktor pro- duksi, sedangkan uang merupakan potensi modal yang dapat dikonversi menjadi dalam salah satu atau keduanya. Pakar ekonomi Richard R. Ell­sworth dari AS berpendapat bahwa keuntungan (laba) memiliki banyak fungsi, yaitu memberikan kemampuan bagi perusahaan dalam rangka menciptakan manfaat bagi masyarakat, merupakan ukuran efektivitas dan efisiensi dalam melakukan manfaat itu, sebagai dasar bagi manaje- men dalam mengambil keputusan, sebagai panduan untuk menciptakan nilai, dan seterusnya.
Namun, Ellsworth mengingatkan bahwa keuntungan bukan tujuan akhir, melainkan alat untuk mencapai tujuan lain, misalnya posisi stra- tegis perusahaan, sehingga tidak dimaksimalkan dalam arti sempit. Pan- dangan sempit terhadap maksimalisasi keuntungan itu muncul hanya karena berdasarkan pertimbangan materialistik, dan bertumpu pada kepentingan pemegang saham semata. Agaknya, pandangan sempit ini merupakan pendorong konsep maksimalisasi keuntungan yang disuara- kan oleh Milton Friedman, sehingga menjadi isu yang berkaitan dengan moralitas.
Keuntungan merupakan kompensasi dari hasil kerja yang baik dan penanganan risiko yang dihadapi. Karena itu, menurut Abdullah Saeed dan Hooker, dalam berusaha atau berproduksi, keuntungan perlu diba- gi, demikian pula risiko. Pengusaha berbagi laba dengan pemilik modal sesuai dengan hasil yang secara riil diperoleh bersama. Keuntungan yang dibagi bersifat riil, tetapi tidak tetap atau bervariabel, bergantung pada hasil usaha yang dapat berbeda dari waktu ke waktu.
Tanpa adanya bunga yang bersifat tetap, risiko yang dapat dihadapi dalam berusaha atau berproduksi akan lebih kecil, dengan beban biaya lebih rendah, sehingga keuntungan akan lebih besar; perekonomian pun akan mendorong lebih banyak kegiatan produksi. Karena keuntungan dari berdagang diizinkan, ekonomi Islam lebih menekankan pada sektor riil. Menurut El-Diwany, faktor-faktor riil yang terkait, seperti perbaikan dalam teknologi dan sumber daya manusia, akan mendorong peningkat- an secara bertahap dalam produksi atau kegiatan ekonomi.
Banyak ayat Al-Quran yang menyebut soal keuntungan. Tuhan men­dorong manusia untuk mencari keuntungan (QS Al-Baqarah [2]: 198; QS Al-Jumu'ah [62]: 10), tetapi keuntungan bukanlah masalah maksimum atau tidak, melainkan lebih merupakan masalah legitimasi dan kewajaran, serta berkaitan dengan moralitas atau kejujuran atau diperoleh dalam jalan yang benar sehingga bermuatan akhirati, seperti yang diisyaratkan oleh Al- Quran (QS Al-Jatsiyah [45]: 22; QS Hud [11]: 84; QS Al-Isra' [17]: 35).
Makna keuntungan adalah refleksi dari jerih payah atau hasil "keija", seka- ligus merupakan tanggungan, dari pihak yang memproduksi barang dan usaha dalam menjualnya, atau merupakan nilai yang terealisasi dari muatan tenaga kerja seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun.25 Karena berproduksi dan ber- dagang mengandung unsur risiko, keuntungan sekaligus merupakan kompen- sasi terhadap risiko usaha yang dihadapi pihak produsen atau penjual. Dengan demikian, keuntungan yang diizinkan adalah keuntungan yang berkaitan de- ngan tanggung jawab atau liabilitas, atau disebut al-kharaj bi-al-dhaman, atau keuntungan dapat diperoleh karena adanya risiko al-ghurmu bil ghurmi (risiko perniagaan selalu diimbangi dengan perolehan keuntungan).
Menurut ahli ekonomi Islam dari King Abdul Aziz University, Mohamed Ali Elgari, gharal berarti terdapat sesuatu yang tidak jelas, dapat bersifat tipu daya, desepsi, berupa hazard, atau sesuatu yang tersembunyi, atau informasi yang tidak terungkap atau tidak diungkapkan, dengan memba- wa konsekuensi yang tidak pasti, atau menimbulkan ketidakpastian yang berlebihan. Dalam praktik, menurut Saiful Azhar Rosly, gharal dapat merupakan sesuatu yang bersifat ambigu, atau tidak jelas, yang berkaitan dengan pihak-pihak dalam suatu transaksi seperti penjual dan pembeli, objek atau harga objek dari transaksi itu; atau, menurut Yahia Abdul Rah­man, merupakan praktik-praktik desepsi atau misrepresentasi mengenai kualitas, harga, jenis, dan spesifikasi barang. Keseluruhan faktor ini akan membuat salah satu pihak berada pada posisi yang tidak seimbang karena dihadapkan pada unsur-unsur transaksi yang tidak jelas.
Juan Sole, ekonom dari IMF, menyebut gharal sebagai ketidakje- lasan dalam berkontrak. Untuk menghindari unsur gharal dalam ber- kontrak, menurut A. Gait dan A.C. Worthington, diperlukan keterbukaan informasi yang lengkap dan hal ini akan mendorong timbulnya transpa- ransi yang lebih baik, sehingga asymmetric information dapat diperkecil. M. Shahid Ebrahim dan Tan Kai Joo mengartikan gharal sebagai sesuatu yang memiliki konsekuensi yang belum diketahui (majhul al-aqiba), se- suatu yang tidak ada (habal al-habala), sesuatu yang tidak dapat diberi- kan atau diserahkan seperti kuda yang lepas, sesuatu yang tidak diketahui sama sekali (majhul mutlaq), atau sesuatu yang dapat disebut tetapi tetap tidak diketahui jenis atau kualitasnya, seperti ikan di laut.
Dalam penerapannya, kata Mohammad Nejatullah Siddiqi, gharal juga dapat berarti melaksanakan suatu usaha tanpa memiliki pengetahu- an yang memadai, atau usaha yang mengandung risiko yang berlebihan dan tidak perlu atau bersifat spekulatif. Risiko yang dimaksud di sini bukan risiko bisnis normal yang muncul dari keadaan pasar (systematic risk) atau dari keadaan keuangan (unsystemic risk). Risiko yang pertama berkaitan dengan harga, peraturan, tenaga kerja, sifat suatu industri, ke­adaan penawaran dan permintaan, dan sebagainya; sedangkan yang ke­dua berkaitan dengan likuiditas, kredit, mata uang, ketersediaan kredit, dan sebagainya. Pada dasarnya, kedua macam risiko ini memang selalu ada ketika berhadapan dalam suatu bisnis atau transaksi.
Menurut Frank E. Vogel, ahli hukum Islam dari Harvard Law School, risiko atau ketidakpastian dalam gharal bersifat spekulasi murni, dengan manfaat masa depan yang tidak diketahui, hasil yang tidak jelas dan ti- dak teliti atau tidak cermat. Gharal yang berlebihan, menurut Daud Vi- cary Abullah dan Keon Chee, berarti risiko tidak dapat dikontrol sehingga mengarah pada spekulasi dan judi, atau tindakan yang bersifat untung- untungan. Jadi, gharal bukanlah risiko yang dimaksud dalam al-ghurmu bil ghurmi, karena keuntungan yang diperoleh dari transaksi yang meng- andung unsur yang bersifat gharal adalah tidak halal.
Unsur yang bersifat spekulatif ini akan membawa kepada situasi untung- untungan (maysir) atau judi. Judi dilarang oleh Al-Quran (QS Al-Ma'idah [5]: 90, 91), karena pada intinya judi merupakan usaha untuk memper- oleh harta tanpa kerja, yang sifat mudaratnya lebih besar daripada man- faat yang dapat diperoleh, baik bagi individu maupun masyarakat secara menyeluruh. Judi menjauhkan orang dari unsur kerja dan penciptaan lapangan kerja; segala bentuk usaha atau bisnis yang berkaitan dengan spekulasi juga dilarang. Sejalan dengan pengertian ini, menurut Martin Cihak dan Heiko Hesse, bank dilarang untuk melakukan jual-beli risiko keuangan (financial risk), karena ini menyerupai judi atau maysir.
Sifat pembiayaan bank syariah akan terlihat lebih jelas dari bentuk- bentuk perjanjian atau akad yang digunakan, yang akan dibahas di bagian berikutnya. Di samping itu, unsur-unsur perkreditan yang terkait dengan fitur-fitur akad pembiayaan syariah akan dikaji lebih detail, termasuk tinjauan dari aspek intermediasi perbankan syariah. Hanya saja, dari segi literatur, tulisan ilmiah, dan pengalaman yang berkaitan dengan NPF masih sangat terbatas. Di Indonesia sendiri, bank syariah baru muncul ketika Bank Muamalat didirikan pada 1992. Walaupun perkembanganya cukup pesat dan diterima di banyak negara, perbankan syariah masih me- wakili sebagian kecil perbankan di Indonesia dan di dunia. Jadi, jika ber- bicara mengenai NPL, maka subjek ini lebih berkaitan dengan perbankan konvensional, yang menguasai keuangan dan perbankan negara-negara di dunia.
Pada bank syariah, pengkajian risiko kredit, dalam hal ini lebih tepat di­sebut sebagai risiko pembiayaan, harus dimulai dari transaksi yang dibia­yai. Pembiayaan bank syariah timbul karena adanya transaksi dan setiap transaksi menimbulkan akad khusus yang mengaturnya. Dalam hal ini, akad merupakan ikatan antara pihak bank dan nasabah yang timbul dari ijab (offer) dan kabul (acceptance) dari kedua pihak, sekaligus merupa-
kan kewajiban bagi kedua pihak untuk meme- nuhinya.
Dalam Islam, pemenuhan kewajiban ini ha- rus dilakukan dengan khidmat, penuh dengan kejujuran dan ketulusan karena tidak hanya merupakan ketentuan hukum positif, tetapi juga perintah Tuhan (QS 5: 1). Kegagalan dari kedua pihak untuk memenuhi kewajiban atau komitmen ini menimbulkan risiko bagi salah satu pihak. Bagi bank, risiko dapat timbul dari pihak nasabah yang tidak memenuhi komitmennya berdasarkan suatu akad.
Definisi risiko kredit menurut Chorafas atau Scroeck dapat berlaku pada risiko pembiayaan di bank syariah. Namun, Khan dan Ahmed, se- perti dikutip oleh Nor Hayati Ahmad dan Shahrul Nizam Ahmad, membe- rikan definisi yang lebih terperinci untuk bank syariah. Menurut mereka, risiko pembiayaan pada bank syariah adalah bentuk risiko penyelesaian atas penyerahan barang untuk pembayaran yang telah dilakukan, misal- nya dalam akad salam atau istishna; atau penyelesaian pembayaran yang tertunda atas penjualan atau penyewaan barang, misalnya dalam hal akad murabahah atau ijara; atau yang muncul ketika salah satu pihak dari transaksi bisnis harus membayar uang sebagai hasil usaha, misalnya pada akad mudharabah, sehingga terekspos kepada kemungkinan timbulnya kerugian jika pembayaran atau penyerahan barang itu tidak terlaksana.
Risiko pembiayaan ini akan diuraikan kembali di belakang, tetapi ha- nya yang berkaitan dengan akad kegiatan pembiayaan yang paling umum dan sering dilakukan, dan sebagian besar akad tersebut bersifat untuk mencari keuntungan (tijarah).
Selain akad yang bersifat sosial, ada tiga kelompok akad yang pokok, yaitu akad jual-beli, akad sewa-menyewa, dan akad bagi hasil, dengan uraian sebagai berikut.
menurut Martin Cihak dan Heiko Hesse, bank dilarang untuk melakukan jual-beli risiko keuangan (financial risk) karena ini menyerupai judi atau maysir.
Murabahah adalah kontrak untuk jual-beli biasa, di mana harga jual terdiri atas harga pembelian ditambah dengan suatu margin dengan persentase tertentu, sebagai keuntungan penjual. Harga pokok harus diketahui oleh pembeli. Akad murabahah tidak dapat diperpanjang, tetapi waktu pembayaran dapat ditunda sampai waktu yang dise-
pakati, dan tanpa tambahan harga. Menurut Isobel Lobo dan Frank Bonello, pengaturan pembelian kembali terhadap barang yang telah dijual tidak diperbolehkan.
Dalam konteks hubungan dengan perbankan, transaksi muraba- hah harus pula berkaitan dengan kegiatan jual-beli, yakni bank dapat membelikan barang yang diperlukan oleh nasabahnya dengan memba- yar tunai kepada penjual. Kemudian, barang yang sama dijual kembali dengan tambahan margin sebagai keuntungan bagi bank kepada nasa- bah yang memesan, yang pembayarannya kemudian dilakukan dengan cara diangsur. Pembiayaan seperti ini disebut sebagai bai bithaman ajil. Tetapi di sini, pembeli tidak harus mengetahui harga pokok.
Dari segi pembiayaan, bank tidak memberikan uang kepada nasabah untuk membeli barang, tetapi bank membelikan barangnya terlebih dulu, lalu menyerahkan barang itu kepada nasabah dengan pembayaran ditunda. Di sini, bank menghadapi risiko kredit karena pembeli dengan bayar angsur bisa saja melakukan gagal bayar. Dari segi penggunaan dana, terlihat dengan jelas bahwa bank mengontrol penuh penggunaan dana terkait, karena membayar langsung dana yang digunakan ke penjual barang. Asalkan bank telah memiliki pembeli pasti dari suatu barang yang telah dibeli terlebih dulu, maka bank tidak menghadapi risiko gagal jual. Jika terjadi gagal bayar, bagaimana transaksi ini diselesaikan cenderung memiliki sifat self liquidating, karena sumber penyelesaian atau pembayaran kembali berasal dari transaksi atau barang itu sendiri; barang yang sama da- pat digunakan sebagai jaminan.26
Menurut Ebrahim dan Joo, juga peneliti lainnya seperti Algaoud dan Lewis, barang yang telah dijual dimiliki oleh pembeli, tetapi ka- rena pembayarannya tertunda karena diangsur, barang yang sama dapat dijadikan jaminan bagi bank. Jaminan akan dilepas pada saat pembayaran angsuran terakhir dilakukan. Margin yang diperoleh dari transaksi ini bersifat tetap, dan merupakan keuntungan yang di- peroleh sebagai kompensasi terhadap pelayanan yang diberikan, dan risiko yang dihadapi terhadap barang yang dibeli terlebih dulu, serta risiko yang ada selama waktu angsuran masih dilakukan.
Dari segi pendapatan, karena harga jual diangsur kepada bank, terdapat unsur pemerataan pendapatan dalam suatu kurun waktu tertentu yang disebut sebagai payment atau income smoothing. Namun, banyak pihak berpendapat bahwa unsur margin atau mark­up itu setara dengan bunga, tapi dengan nomenklatur berbeda. Jika ditinjau dari substansi apa yang dibiayai, kiranya pendapat ini tidak tepat. Akad murabahah bukan akad pemberian pinjaman uang, me- lainkan akad jual-beli barang yang bersifat nyata, yang pembayaran- nya kemudian dapat diangsur.
Perbedaan harga antara harga jual atas pembayaran tunai dan harga yang lebih tinggi atas pembayaran tunda atau diangsur dini- lai bukan bersifat bunga atau riba karena beberapa pertimbangan. Pertama, perbedaan harga itu terjadi atas jual-beli suatu barang ber- dasarkan kesepatan kedua belah pihak, pembeli dan penjual, yakni pembeli memperoleh barang yang diperlukannya tanpa langsung membayar barang tersebut, sedangkan penjual melepas barangnya tanpa memperoleh pembayaran seketika, tetapi harus menunggu be- berapa saat kemudian. Kedua, dari segi pembeli, menerima barang terlebih dulu dengan membayar kemudian merupakan suatu bentuk keuntungan (profit opportunity), dan perbedaan antara harga tunai dan harga kredit merupakan faktor penyeimbang bagi penjual untuk menutupi risiko yang harus ditanggung oleh penjual.
Keuntungan ini kemudian diangsur sejalan dengan angsuran dari harga pokok barang yang dibeli, dan menurut Monzer Kahf dan Tariqullah Khan berasal dari kegiatan pasar atau komersial, bukan dari tindakan kemanusiaan seperti halnya bunga pada peminjaman uang. Di samping itu, dengan berjalannya waktu, jumlah yang harus dibayar secara angsur itu tidak bertambah, sebagaimana yang akan terjadi jika jumlah awal tersebut mengandung bunga.
Mengenai risiko pembiayaan, bank menghadapi risiko antara waktu pembelian dan waktu penjualan, yakni risiko kepemilikan dan penyimpanan barang, termasuk di dalamnya risiko pencurian dan kebakaran. Salah satu risiko yang dimaksud adalah, jika dengan ber- bagai alasan nasabah membatalkan pembelian atas pesanannya seca- ra sepihak, penjual kedua (bank) harus menghadapi risiko mencari pembeli pengganti.
Menurut Muhammad Syafi'i Antonio, jika nasabah membeli ba- rang dari bank dengan angsuran, kemudian nasabah menjual barang tersebut ke pihak lain dengan cara pembayaran tunai, dan dana yang diperoleh nasabah digunakan untuk keperluan yang tidak diketahui oleh bank, maka berdasarkan pengalaman, bank umumnya mengha- dapi risiko wanprestasi dari pihak nasabah yang lebih besar. Namun,
dana yang diperoleh itu juga dapat digunakan oleh nasabah sebagai pembiayaan modal kerja bagi nasabah tersebut.
Salam dan istishna adalah bentuk jual- beli dengan pembayaran penuh, atau sebagian, dilakukan di muka untuk barang yang merupa- kan hasil produksi sesuai pesanan, sejauh kuan- titas dan kualitas dapat ditentukan dengan tepat; barang yang dimaksud dapat tersedia dan pe- nyerahannya dilakukan beberapa waktu kemudian pada waktu yang ditentukan.
Dalam transaksi salam, pembayaran dilakukan secara penuh di muka. Nabi Muhammad menetapkan syarat bahwa ukuran, berat, dan tanggal penyerahan harus jelas.27 Di masa Nabi, pembiayaan sa- lam ini digunakan untuk barang-barang hasil pertanian, sehingga pe- tani atau pedagang kecil dapat memperoleh pembiayaan modal kerja. Substansi yang hendak dipenuhi di sini, menurut Rosly dan Usmani, petani sebagai penjual dapat memperoleh modal kerja yang bersifat mendesak, yang sebagian besar diperlukan ketika akan menanam. Dengan substansi untuk membantu petani dalam pembiayaan modal kerja, kolateral tidak dapat dipersyaratkan.
Para ahli fikih berdebat mengenai jangka waktu minimum pembiayaan salam. Sebagian berpendapat, jika kurang dari sebulan sampai waktu penyerahan barang, salam tidak sah. Tapi karena Nabi tidak menentukan jangka waktu ini, kesimpulan yang diambil dida­sarkan pada asas manfaat bagi penjual, sesuai dengan misi dan pem- biayaan salam. Manfaat yang dipenuhi berbeda untuk tempat dan waktu yang berbeda. Selain itu, karena misi pembiayaan ini adalah membantu pihak penjual dalam menyiapkan barang dagangannya, salam tidak dapat digunakan untuk barang-barang yang harus dise- diakan langsung.
Pada salam, akad tidak dapat dibatalkan sebelum atau sesudah akad berlaku efektif atau ditandatangani.
Menurut ketentuan syariah, pertukaran barang-barang yang tersedia langsung harus dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan. Sebagai kompensasi terhadap pembayaran penuh di muka, pemesan atau pembeli dapat memperoleh harga yang lebih baik. Sebagai ca- tatan, menurut Gait dan Worhtington, salam dapat digunakan tidak hanya untuk produk pertanian, tetapi juga untuk barang-barang in- dustri.
Pembiayaan istishna serupa dengan pembiayaan salam, tetapi digunakan untuk barang-barang nonpertanian atau barang-barang hasil proses pembuatan atau manufaktur dan konstruksi atas pe- sanan. Pembayaran tidak harus dilakukan di muka, tetapi dapat di- lakukan dengan angsuran, atau sesuai dengan progres pesanan atau pekerjaan, atau bahkan dapat ditunda berdasarkan kesepakatan para pihak.28 Jika penjual gagal untuk menyerahkan atau mengirimkan barang yang dipesan dalam waktu yang disepakati, harga dapat diku- rangi sejumlah tertentu per hari sesuai dengan yang telah disepakati. Jika barang yang dikirim tidak sesuai dengan pesanan, pemesan da- pat membatalkan akad.
Bank dapat melakukan kedua pembiayaan salam atau istishna ini untuk melakukan pesanan barang, dan kemudian menjual barang tersebut dengan akad murabahah kepada yang membutuhkan; atau melakukan akad salam kedua dengan calon pembeli.
Mengenai risiko pembiayaannya, mungkin saja barang tidak dapat diproduksi sesuai dengan pesanan sehingga terjadi gagal serah barang. Di sini terdapat dua pilihan, pertama, membatalkan kontrak dan mengembalikan uang yang sudah diserahkan untuk pesanan; ke- dua, menunggu sampai barang tersedia. Risiko lainnya adalah tidak ada pembeli ketika barang diterima, jika tidak ada akad berikutnya atau salam kedua; atau pembeli akhir gagal bayar terhadap akad murabahah dengan cicilan, atau pada akad salam kedua.
Pada salam, bank menghadapi risiko fluktuasi harga komoditas, karena bank setuju untuk membeli komoditas pada suatu tanggal di masa depan berdasarkan pembayaran yang telah dilakukan, sampai barang yang dipesan dijual secara tunai.29 Risiko akan terjadi jika harga pembelian lebih tinggi daripada harga pasar ketika harga turun di bawah harga pembelian, ketika akan dijual. Selain itu, akad salam yang telah disepakati tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
Pada istishna, sebelum produsen memulai proses pembuatan barang, akad dapat dibatalkan oleh pemesan sejauh dia telah mem- berikan pemberitahuan terlebih dulu, tetapi pembatalan tidak dapat dilakukan setelah barang mulai diproduksi. Selain itu, waktu penye- rahan barang tidak dipastikan secara kaku, tetapi pembeli dan pen- jual dapat menyepakati waktu paling lama atau maksimum barang dapat diserahkan. Jika barang diserahkan di luar waktu yang telah disepakati ini, pembeli tidak berkewajiban untuk menerima barang
dan membayar harga pembeliannya.30 Pada salam, akad tidak dapat dibatalkan sebelum atau sesudah akad berlaku efektif atau ditanda- tangani.
Dalam transaksi ini bank membelikan barang yang diperlukan oleh nasabah, kemudian menyewakan barang itu atas asas manfaat kepa­da nasabah tersebut, untuk jumlah dan jangka waktu tertentu. Pe- nyewaan ini sejalan dengan prinsip syariah, yakni aset dapat meng- hasilkan pendapatan sejauh berkaitan dengan fungsi utilitas atau produktivitasnya. Kepemilikan barang, yang sekaligus merupakan jaminan bagi bank, tetap berada pada bank. Tanggung jawab kepe­milikan juga berada pada bank dengan alasan bahwa manfaat kepe- milikan tetap berada pada pemilik.
Tanggung jawab kepemilikan, yang meliputi biaya asuransi, pa­jak dan pemeliharaan, serta biaya-biaya lain yang terkait, tidak da- pat dipindahkan pada penyewa. Perbedaan dengan fasilitas leasing konvensional, tanggung jawab pemeliharaan berada pada pihak pe- nyewa, dan biaya-biaya lainnya sering dipindahkan kepada penyewa secara langsung atau tidak langsung.
Dengan akad ijara, pemilik barang menandatangani perjanjian terpisah yang menyatakan bahwa, di akhir masa sewa, penyewa da- pat membeli barang yang disewa dengan harga ditentukan lebih dulu, atau pemilik barang dapat menghibahkan barang tersebut ketika pe- nyewa telah melunasi seluruh biaya sewa. Janji ini bersifat unilateral, dan tidak bilateral, dan hanya mengikat pemilik barang; karena jika mengikat kedua belah pihak secara efektif, akad itu menjadi akad jual-beli untuk sesuatu di masa depan.31
Risiko pembiayaannya antara lain penggunaan barang yang me- lampaui batas atau kewajaran dan gagal bayar sewa, atau terlambat membayar sewa, tanpa diperbolehkan pengenaan penalti. Pada akad ijara, bank tidak dapat memindahkan risiko dan kompensasi kepe­milikan kepada penyewa, sejauh aset yang disewakan berada dalam pembukuan bank selama masa sewa.32
Risiko bisnis akan lebih besar jika barang dimiliki bank, tetapi masa sewa lebih pendek daripada masa hidup ekonomis barang. Aki- batnya, barang dalam pembukuan bank berkemungkinan besar akan menjadi tidak produktif, terutama bagi barang bersifat khusus, di mana prospek akan adanya penyewa lain tidak terlalu besar. Menu- rut Usmani, sesuai dengan ketentuan dasar syariah, pemilik barang dapat mengambil barang itu kembali, menyewakan atau menjualnya ke orang lain, tapi tidak dapat memaksa penyewa untuk membeli dan menentukannya dalam perjanjian sewa, atau menghibahkannya kepada penyewa.
Asas yang mendasari konsep kerja sama yang dikandung dalam ke- lompok akad ini didasarkan pada hadis Nabi Saw. yang diriwayatkan Abu Dawud dari Abu Hurairah yang berbunyi: "Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat, selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya."34 Hadis Nabi Saw. ini sejalan dengan karakteristik ekonomi Islam bahwa nilai moral harus dimanifestasi- kan ke dalam kegiatan ekonomi. Gabungan, antara uang sebagai po­tensi modal dan modal sebagai properti produktif, juga merupakan alat sosial untuk mencapai tujuan-tujuan sosial.
Mudharabah (kemitraan pasif) adalah kontrak untuk pembiayaan dengan struktur persekutuan atau kongsi. Pemilik modal (shahibul mal) sebagai mitra pasif menanamkan modalnya pada suatu atau be- berapa bentuk usaha, yang ditentukan (muqayadah atau restricted) atau tidak ditentukan (mutlaqah atau unrestricted), dengan pihak lain, yang merupakan pengusaha sebagai pengelola modal atau en­trepreneur atau mudharib yang menjalankan. Terhadap harta shahi- bul mal, mudharib bertindak sebagai wakil atas dasar kepercayaan; sedangkan ketika ada keuntungan, dia berfungsi sebagai mitra.
Dari pengertian ini terlihat bahwa status modal yang berbentuk dana dari shahibul mal dipersamakan dengan modal yang ada pada manusia (human capital), dalam hal ini berupa keahlian berbisnis mudharib. Modal harus disetor tunai atau tidak boleh diutang oleh shahibul mal, sedangkan mudharib memberikan kontribusinya da- lam bentuk usaha dan keahlian berbinisnya, dan sepenuhnya me- ngontrol perjalanan usaha tersebut.
Mudharib memiliki kebebasan mutlak dalam mengelola usaha yang dibiayai. Keuntungan dibagi atas nisbi yang dinegosiasikan dan disetujui terlebih dulu oleh para pihak. Shahibul mal memperoleh
keuntungan karena menerima risiko bisnis yang dihadapi oleh usa- ha di mana dia menanamkan dananya, dan mudharib menanamkan waktu dan keahlian bisnisnya. Selama menjalankan usaha, mudharib tidak dapat memperoleh apa-apa. Karena itu, di sini terdapat suatu asumsi tertentu akan kelayakan seseorang untuk menjadi mudharib, bahwa yang bersangkutan telah memiliki kemampuan untuk mem- biayai kehidupannya.
Kontrak atau akad mudharabah dapat dibuat untuk jangka waktu tertentu yang pasti, dan dapat diakhiri setiap saat oleh salah satu pihak dengan memberitahukan terlebih dahulu. Dengan akad mudharabah, bank dapat bertindak sebagai mudharib dalam men- jalankan suatu usaha (bank), dengan modal dari nasabahnya sebagai shahibul mal. Bank juga dapat bertindak sebagai shahibul mal yang menyediakan modal bagi suatu usaha dengan nasabah sebagai mud- harib.
Agar pembiayaan ini tidak menimbulkan akibat negatif, shahi- bul mal harus mengetahui risiko atau pengelolaan risiko. Jika tidak, pembiayaan yang dilakukan oleh shahibul mal itu akan bersifat risk scattering, meski dalam bentuk yang sederhana karena hanya me- nyangkut dua pihak. Selain pengkajian masalah karakter dari mud- harib, shahibul mal harus pula berhati-hati dalam memilih usaha mana yang akan dimodali, mengingat setiap usaha memiliki risiko yang berbeda. Di samping itu, risiko usaha akan lebih besar pada usaha yang bersifat pemula (start-ups).
Musyarakah pada intinya adalah pembiayaan ekuitas melalui ker­ja sama (joint venture) yang menyerupai venture capital pada pem­biayaan konvensional, yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu, dan dapat diperpanjang jika dikendaki. Berbeda dengan akad mud- harabah, pada akad musyarakah setiap pihak yang terdiri atas dua atau lebih pengusaha dalam kerja sama masing-masing memberikan kontribusi, baik dalam modal maupun dalam aspek manajemen dan aspek pengawasan, baik dalam porsi yang berbeda maupun sama, te- tapi perlu disepakati terlebih dulu.
Karena itu, pada akad ini para mitra memiliki hak suara secara proporsional terhadap modal yang mereka tanam, dan setiap wakil dapat duduk dalam pengelolaan usaha. Menurut Abdullah Saeed, setiap mitra bekerja sama atas "kepercayaan" (trust), dan karena itu
setiap mitra tidak dapat meminta jaminan dari mitra lainnya. Dalam keadaan seperti itu, pengambilan keputusan usaha dilakukan bersama, sesuai dengan porsi modal masing- masing. Keuntungan dibagi berdasarkan ke- sepakatan, tetapi kerugian selalu dibagi ber- sama berdasarkan partisipasi modal masing- masing.35 Menurut Gait dan Worthington, akad musyarakah sangat cocok untuk pembiayaan proyek.
Musyarakah Mutanaqisah adalah pembiayaan untuk perumah­an melalui kerja sama pembiayaan berdasarkan musyarakah, antara bank (financier) dan nasabah pembeli rumah. Masing-masing me- masukkan modalnya, misalkan bank 80 persen dan calon nasabah 20 persen, ke dalam pembelian rumah yang diinginkan nasabah. Berda- sarkan masuknya modal tersebut, bank dan nasabah memiliki rumah secara bersama, tetapi dengan besar kepemilikan berdasarkan porsi masing-masing.
Fitur yang membedakan dalam akad ini adalah porsi kepemilik- an bank berangsur-angsur berkurang, sejalan dengan pembayaran angsuran yang dilakukan oleh nasabah. Pembayaran angsuran ini terdiri atas porsi angsuran yang digunakan untuk membeli bagian kepemilikan bank, dan porsi yang digunakan sebagai biaya sewa ke- pada bank. Ini berarti bahwa porsi bagian ekuitas dari nasabah terus bertambah, sedangkan bagian ekuitas bank berkurang, sampai nasa- bah memiliki rumah tersebut sepenuhnya.
Menurut Gait dan Worthington, akad musyarakah sangat cocok untuk pembiayaan proyek.
Perbedaan akad ini dengan pembiayaan perumahan konvensio- nal berdasarkan hipotik (mortgage) adalah sebagai berikut. Pertama, kausa prima akad ini adalah rumah yang akan dibiayai yang merupa- kan hasil kegiatan sektor riil, sedangkan pada pembiayaan konven- sional adalah uang atau kredit yang merupakan unsur utama sektor keuangan. Kedua, rumah yang akan dibeli merupakan jaminan atas kredit yang diberikan untuk membeli rumah tersebut, dengan peng- ikatan jaminan secara hukum yang bernama hak tanggungan (hipo- tik). Pada pembiayaan syariah, rumah yang akan dibeli merupakan milik bersama bank dan nasabah, bukan merupakan jaminan secara an sich atau berdiri sendiri terlepas dari kepemilikan bank. Ketiga, pada bank konvensional, kepemilikan rumah dibentuk dari perolehan
kredit bank dan ini bersifat utang, sedangkan pada bank syariah kepe- milikan rumah dibangun dari dana ekuitas secara bersama oleh bank dan nasabah.
Mengenai risiko pembiayaan, berbeda dengan pada akad musyarakah, ri- siko yang paling besar dalam akad mudharabah muqayadah adalah seca- ra implisit shahibul mal tidak dapat mengontrol penggunaan dana modal yang diberikan kepada mudharib secara efektif, karena shahibul mal tidak dapat ikut dalam mengelola usaha atau bisnis yang dikelola mudharib. Pada akad musyarakah, setiap mitra usaha ikut dalam pengelolaan usaha.
Terutama pada akad mudharabah, shahibul mal menghadapi risiko moral yang timbul dari tindak-tanduk mudharib, mulai dari kelalaian baik yang disengaja maupun tidak, ketidakjujuran, hingga ketidakmampuan yang dapat menghambat kinerja pencapaian keuntungan yang diharapkan. Bisa saja mudharib, setelah menerima modal dari shahibul mal, tidak me- laksanakan usaha seperti yang diperjanjikan, menggunakan modal di luar usaha yang diperjanjikan, yang dapat menimbulkan moral hazard.
Di samping itu, mudharib dapat memiliki kesempatan atau dorongan untuk tidak transparan dalam menyampaikan perhitungan rugi-laba, atau dengan kata lain memiliki kecenderungan untuk memperkecil jumlah keuntungan, dengan mempergunakan teknik akunting tertentu atau tindakan moral hazard lainnya. Masalah ini merupakan risiko moral yang dihadapi, karena mudharib tidak memiliki tingkat kejujuran dan integritas yang baik. Risiko ini, serta dua risiko di atas, timbul karena karakter mudharib.
Di lain pihak, bank dapat mengalami adverse selection jika tidak berhati-hati dalam memilih proyek yang dibiayai. Bank tidak dapat semata-mata melihat besar persentase keuntungan yang dapat diperoleh dari suatu proyek, tetapi setiap persentase keuntungan harus juga dikaitkan dengan besar-kecil risiko pada setiap proyek usaha.
Dalam kaitan ini, Abdus Samad dan M. Kabir Hassan mengatakan bahwa akad bagi hasil lebih superior dibandingkan dengan murabahah (debt contract), jika tidak terdapat asymmetric information. Karena itu, pelaksanaan akad PLS memerlukan keterbukaan informasi dan transparansi yang lebih luas. Karena masalah eksternalitas ini sulit untuk dihilangkan, bank harus lebih aktif dan lebih dalam ketika melakukan analisis (due diligence) dalam rangka memilih usaha mana yang akan dibiayai, dan pengawasan terhadap pembiayaan yang telah dilakukan, sehingga biaya informasi cenderung lebih tinggi.
Menurut V. Sundararajan dan Luca Errico, shahibul mal atau bank berhak menerima kembali modal yang ditempatkan pada akhir akad ha- nya, jika usaha memperoleh keuntungan. Tetapi, jika rugi, shahibul mal tidak akan dapat menuntut mudharib untuk memperoleh kembali mo- dalnya, kalau hal tersebut bukan merupakan wanprestasi, kelalaian, atau pelanggaran terhadap akad dari segi mudharib, yang hanya bertanggung jawab sejauh waktu dan usahanya. Itulah sebabnya mudharib tidak dapat memperoleh gaji atau upah karena, jika dia memperolehnya, dia bukan lagi berfungsi sebagai mitra, melainkan sebagai pegawai yang tidak me- nanggung risiko bisnis. Dengan demikian, hubungan antara shahibul mal dan mudharib lebih banyak berdasarkan kepercayaan sehingga memerlu- kan kadar moralitas yang lebih tinggi, terutama pada pihak mudharib.
Berdasarkan uraian di atas, karena mudharib secara langsung tidak bertanggung jawab atas modal dari shahibul mal jika usaha gagal atau merugi, mudharib bisa saja terdorong untuk menjalankan usaha atau bis- nis yang memiliki kadar risiko yang lebih tinggi.
Dalam kedua kontrak, mudharabah dan musyarakah, bank bertin- dak sebagai investor yang berpartisipasi dalam usaha, sehingga yang di- hadapi bukan hanya risiko kredit, tetapi risiko bisnis secara keseluruhan, atau dengan kata lain menghadapi risiko investasi yang sesungguhnya. Pada saat yang sama, seluruh risiko ini dibagi di antara shahibul mal dan mudharib atau antara para mitra. Karena itu, bank sebagai shahibul mal akan menghadapi masalah-masalah manajerial, dan perlu melakukan tin- dakan pengawasan yang lebih aktif.
Pada akad mudharabah, shahibul mal berperan pasif terhadap per- kembangan usaha yang dibiayai, yang dikendalikan sepenuhnya oleh mudharib berdasarkan pertimbangan terbaiknya. Di sini, shahibul mal atau bank tidak dapat ikut campur dalam manajemen proyek, kecuali da- lam hal monitoring. Pada akad musyarakah, setiap mitra berperan aktif mengawasi dan mengambil keputusan bisnis yang diperlukan bagi per- kembangan usaha yang dibiayai, kecuali salah satu mitra memilih untuk tidak ikut berpartisipasi. Karena itu, risiko lebih tinggi pada akad mudha- rabah dibandingkan dengan risiko pada akad musyarakah.
Karena bersifat investasi, kedua macam kontrak itu akan membe- rikan hasil atau keuntungan dalam kurun waktu yang relatif lebih lama. Namun, tidak ada yang dapat menjamin masalah perolehan keuntungan ini dan tidak dapat diketahui secara pasti, kecuali diperkirakan, pada saat akad dimulai (ex-ante), baik dari segi jumlah maupun waktunya. Sema- kin lama suatu proyek direalisasikan, semakin lama keuntungan dapat diperoleh. Risiko kerugian akan lebih besar pada awal masa investasi, atau lebih besar untuk bisnis baru, sehingga di sini modal awal berpotensi akan terkikis. Keuntungan hanya dapat diketahui ex-post, yaitu ketika ke- untungan recara riil berakumulasi dari penggunaan modal secara efektif di sektor riil yang dibiayai.
Berdasarkan teori, tindakan pengawasan yang perlu dilakukan oleh mudharib akan lebih mudah, jika tidak terdapat kesenjangan informasi (informational gap) antara mudharib dan shahibul mal, atau antarpara pihak dalam akad musyarakah. Dalam keadaan itu, dapat diasumsikan bahwa setiap pihak akan bekerja sama karena memiliki tujuan yang sama, yaitu memperoleh keuntungan yang lebih besar atau memperkecil keru- gian. Dalam akad musyarakah, pada dasarnya bank memang harus aktif berpartisipasi dalam menjalankan usaha dan sekaligus melakukan kegiat- an pengawasan, terlebih jika terdapat kesenjangan informasi yang besar.
Baik pada mudharabah maupun musyarakah, akad dapat dihenti- kan setiap saat oleh salah satu pihak, tetapi dengan syarat memberitahu- kan terlebih dulu kepada pihak lainnya. Bagi akad mudharabah, karena tidak ada jaminan atas keberhasilan atau kolateral terhadap kemungkin- an kerugian akibat risiko bisnis, shahibul mal tidak memiliki pegangan agar mudharib benar-benar melakukan pekerjaannya dengan baik. Bagi akad musyarakah, bank sebagai mitra harus mengontrol lebih ketat, agar mitra yang lain bekerja secara maksimal untuk keberhasilan usaha demi kepentingan bersama. Untuk itu, bank perlu memastikan bahwa setiap modal yang ditanamkan sesuai dengan jumlah yang sesungguhnya, dan tidak mengalami rekayasa akunting. Dengan demikian, setiap mitra dapat memperoleh keuntungan yang benar-benar sesuai dengan modal yang se- sungguhnya ditanam.
Berbeda dengan pembiayaan yang bersumber dari utang, dan adanya pembayaran bunga atau angsuran secara reguler dan periodik, pembiayaan yang bersifat ekuitas seperti mudharabah ataupun musyarakah tidak me- miliki fitur seperti itu, yang dapat digunakan sebagai alat kontrol terhadap kualitas pembiayaan dan perolehan arus kas.
Hal lain yang juga perlu diwaspadai adalah preferensi pilihan sumber pendanaan yang dikaitkan dengan prospek dan tingkat risiko dari suatu proyek atau usaha oleh pihak sponsor, sehubungan dengan sifat pembiayaan
ekuitas jika dibandingkan dengan utang. Pada proyek yang memiliki prospek keuntungan yang lebih baik, tetapi dengan risiko lebih kecil, sponsor akan memilih pembiayaan yang berasal dari utang. Di lain pihak, jika prospek proyek kurang menguntungkan dan/atau berisiko yang lebih tinggi, sponsor akan memilih pembiayaan ekuitas. Pemilihan pembiayaan oleh calon sponsor seperti ini merupakan salah satu bentuk moral hazard. Ini berarti bahwa bank sebagai calon financier harus memiliki keahlian dan pengalaman yang lebih tinggi, ketika akan melakukan seleksi dan due diligence dari suatu prospek usaha yang akan dibiayai.
Pada kedua akad, mudharabah dan musyarakah, pengembalian pokok dilakukan pada akhir periode akad, atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk.
Berdasarkan uraian di atas, secara generik, perspektif pembiayaan cenderung berjangka lebih panjang, dan lebih berisiko dibandingkan de- ngan pembiayaan dalam kelompok akad yang lain. Salah satu faktor yang menyebabkan akad berjangka lebih panjang, dan mengandung risiko le­bih besar adalah bahwa akad seperti ini memerlukan institusi dan kultur yang dapat diantisipasi perkembangannya, serta dapat menumbuhkan unsur kepercayaan. Pembiayaan jangka panjang juga memerlukan kesta- bilan ruang lingkup ekonomi dan politik, serta perlu didukung oleh pene- rapan hukum yang lebih pasti dan konsisten.
Jika dilihat berdasarkan jenis akad, dapat dikatakan bahwa akad jual-beli dan akad sewa mengandung risiko kredit (pembiayaan) yang lebih kecil, dibandingkan dengan risiko kredit pada akad kerja sama.36
Pada kedua akad, mudharabah dan musyarakah, pengembalian pokok dilakukan pada akhir periode akad, atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk.
M. Raquibuz Zaman dan Hormoz Movassaghi, mengutip Aggawal dan Yousef, berkesimpulan bahwa bank Islam di banyak negara, seperti Jordania, Malaysia, dan Mesir, lebih mengutamakan pembiayaan jual- beli daripada pembiayaan bagi hasil. Menurut Mohammad Nejatullah Siddiqi, salah satu alasan yang agak menonjol adalah bahwa di banyak negara, hukum yang ada tidak dapat mengatasi timbulnya rekayasa pe- laporan tingkat keuntungan bagi yang menggunakan dana atau arus kas.
Bahkan, tindak lanjut hukum terhadap tindakan yang jelas merupakan penipuan atau penggelapan tingkat keuntungan juga lemah. Di samping itu, tidak ada mekanisme yang tersedia untuk menekan keterlambatan pembayaran, seperti halnya yang tersedia pada perjanjian utang-piutang bank konvensional.
Khan dan Ahmed, seperti dikutip Nor Hayati Ahmad dan Shahrul Ni­zam Ahmad, melakukan riset terhadap sejumlah lembaga keuangan Islam di 28 negara. Mereka menyimpulkan bahwa risiko kredit pada pembia- yaan musyarakah merupakan yang tertinggi, yakni berada pada tingkat 3,69 dari angka 5, diikuti oleh mudharabah dengan angka 3,25. Pada akad jual-beli, risiko kredit yang paling besar berada pada pembiayaan istishna dengan angka 3,57.
Cihak dan Hesse melakukan penelitian antarnegara terhadap sejum­lah bank Islam di 21 negara, termasuk Indonesia, dengan tujuan untuk menentukan peranan bank Islam terhadap stabilitas keuangan. Mereka menyimpulkan bahwa bank Islam yang kecil memiliki kondisi keuangan yang lebih kuat dibandingkan dengan bank konvensional yang kecil, bank konvensional yang besar lebih kuat dibandingkan dengan bank Islam yang besar, dan bank Islam yang kecil lebih kuat daripada bank Islam yang besar. Salah satu alasan yang kuat untuk menjelaskan perbedaan ini adalah bahwa bank Islam yang besar melakukan transaksi bagi hasil lebih banyak, dibandingkan dengan bank Islam yang kecil. Bank Islam yang le- bih kecil lebih berkonsentrasi pada pembiayaan jual-beli.
Secara teoretis, menurut Salahuddin Ahmed, transaksi bagi hasil atau profit and loss sharing (PLS), memerlukan usaha due diligence dan care atau pengawasan risiko kredit yang lebih kompleks, dibandingkan dengan hal yang sama yang dilakukan oleh bank konvensional; dan ini dihadapi terutama oleh bank berskala besar yang cenderung melakukan pembia- yaan bagi hasil. Setiap pembiayaan bagi hasil akan terekspos terhadap jenis usaha yang berbeda, dan setiap jenis usaha memiliki karakteristik dan risiko yang berbeda. Karena itu, bank memerlukan keahlian dengan SDM yang mampu menganalisis berbagai macam proyek dengan cara penanganan risiko yang berbeda-beda. Sebab, jika tidak, menurut Cihak dan Hesse, masalah ini akan dapat mengakibatkan adverse selection dan bahkan moral hazard.
Sejalan dengan temuan dari penelitian Cihak dan Hesse, Abdus Sa- mad dan M. Kabir Hassan melakukan penelitian mengenai kinerja Bank Malaysia Berhad (BIMB), dengan menggunakan data laporan keuangan selama 14 tahun, pada 1984-1997. Dari penelitian ini, Samad dan Hassan berkesimpulan, bahwa akad mudharabah dan musyarakah tidak popu- ler di Malaysia. Dari segi bank, sebagian besar responden mengatakan bahwa bank tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam melakukan analisis, ketika menyeleksi calon konsumen dan dalam menangani proyek yang dapat menguntungkan. Selain itu, pihak bank berpendapat bahwa masih terdapat bentuk pembiayaan lain, seperti murabahah, yang dapat memberikan keuntungan yang lebih besar, dengan risiko yang lebih ren- dah. Dari segi calon konsumen, terdapat keengganan dari segi pengusaha untuk melakukan manajemen bersama dengan pihak lain, karena rahasia bisnisnya akan diketahui oleh pihak lain.
Samad dan Hassan berkesimpulan bahwa alasan-alasan itulah yang membuat porsi pembiayaan mudharabah dan musyarakah pada BIMB dalam kurun waktu 1984-1997 menduduki persentase yang sangat kecil, dibandingkan dengan total pembiayaan, yaitu di bawah 1 persen. Pada IBBL, suatu bank syariah di Bangladesh, pembiayaan mudharabah akhir- nya sama sekali tidak digunakan karena gagal dalam memberikan hasil yang diharapkan, sedangkan pembiayaan musyarakah digunakan dalam porsi yang sangat kecil.
Badr El Din A. Ibrahim mengungkapkan bahwa dalam kurun 1996­2002, pada perbankan Islam di Sudan, pembiayaan murabahah mendu- duki porsi yang terbesar, yaitu 33,7-54,3 persen, diikuti oleh pembiayaan musyarakah sekitar 21,1-42,9 persen. Salam berada pada posisi ketiga, sekitar 3,4-6,5 persen, dan mudharabah sekitar 2-6,2 persen. Menurut Saad Al-Harran seperti dikutip oleh Ibrahim, alasan yang melatarbela- kangi pembiayaan murabahah lebih banyak digunakan berkaitan dengan risiko yang harus dihadapi. Berbeda dengan akad murabahah, pada akad bagi hasil perolehan hasil (return) memerlukan waktu yang lebih lama, di samping harus mengatasi masalah-masalah manajerial yang terkait. Dengan demikian, bank Islam perlu memiliki pengalaman yang memadai dalam kaitan dengan manajemen, serta melakukan tindakan pengawas- an dan monitoring yang lebih aktif. Risiko terkikisnya modal pada awal investasi lebih besar pada akad bagi hasil, sedangkan pada akad muraba- hah dan salam, risiko ini berada pada pihak nasabah.
Pola pembiayaan yang lebih banyak menggunakan akad jual-beli dibandingkan dengan akad bagi hasil juga terjadi pada perbankan Islam di Bangladesh. Menurut Kabir Hassan, dalam kurun waktu 1983-1995, pembiayaan murabahah meningkat dari 15 persen menjadi 53 persen, se- dangkan pembiayaan musyarakah turun dari 12 persen menjadi 5 persen. Pembiayaan mudharabah tidak dilakukan sama sekali. Data tahun 2005, menurut Md. Abdul Awwal Sarker, menunjukkan bahwa porsi pembia- yaan jual-beli tetap dominan dengan porsi sekitar 64 persen, sedangkan pembiayaan bagi hasil tetap rendah, yaitu musyarakah 1,35 persen dan mudharabah 0,03 persen. Pembiayaan bagi hasil tidak populer di Bang­ladesh karena para pengusaha melaporkan keuntungan yang lebih kecil untuk menghindari pajak, dan merupakan sumber bagi moral hazard. Di samping itu, bank menganggap risiko terkait dengan pembiayaan bagi hasil cukup tinggi.
Dalam kasus perbankan syariah di Pakistan, tidak saja akad bagi hasil sulit dilaksanakan, tetapi konsep syariah sendiri secara menyeluruh tidak dilakukan secara benar dan sungguh-sunguh. Menurut Mohammad Mansoor Khan dan M. Ishaq Bhatti, akad bagi hasil sulit untuk dilaksanakan karena alasan timbal balik. Dari sisi nasabah, kebanyakan pengusaha di Pakistan mempu- nyai dua set laporan keuangan, dengan tujuan memperkecil pen­dapatan dan mengurangi jumlah pembayaran pajak. Alasan lain, para pengusaha tidak bersedia untuk mengungkapkan informasi mengenai bisnis, dan tingkat keuntungan yang sesungguhnya kepada pihak bank. Dengan demikian, bagi pihak bank, tidak terdapat peluang untuk menawarkan, dan bahkan enggan untuk melakukan pembiayaan berdasarkan bagi hasil.
Secara umum, penggunaan akad PLS yang rendah tersebut, dibandingkan dengan penggunaan akad lainnya, disebabkan oleh dua hal utama. Pertama, menurut Saeed, standar moral yang berkembang pada kebanyakan komunitas muslim tidak memadai untuk pembiayaan yang bersifat investasi, sedangkan pembiayaan PLS menuntut adanya kejujuran, transparansi, dan efisiensi dalam mengelola bisnis dan dapat menghasilkan keun- tungan. Kedua, risiko pada akad PLS lebih tinggi dan pengkaji- annya lebih rumit, yang memerlukan informasi lebih banyak.
Walaupun bank syariah tidak melaksanakan kegiatan pinjam-memin- jam uang dan tanpa bunga, dalam konteks intermediasi keuangan, pada umumnya bank syariah melakukan banyak hal seperti yang dilakukan oleh bank konvensional. Jika dilihat dari jenis akad-akadnya, bank sya- riah juga melakukan pemindahan daya beli dari waktu ke waktu, memo- bilisasi tabungan, mengumpulkan informasi yang diperlukan, menyeleksi jenis-jenis usaha yang dapat dibiayai dalam sektor riil, mengalokasikan modal ke dalam kegiatan bisnis yang menguntungkan di dalam sektor tersebut, dan melakukan pengawasan terhadap para manajer yang men- jalankan usaha yang dibiayai. Dengan demikian, bank syariah juga mela- kukan transformasi risiko.
Dalam hal transformasi risiko, bank syariah melakukan agregasi se- luruh risiko yang ditampungnya dari penerimaan dana dari masyarakat, baik melalui akad wadiah maupun mudharabah, dan mendistribusi- kannya kepada yang dapat dipercaya dan dapat menguntungkan melalui akad-akad pembiayaan.
Esensi dari akad-akad ini menunjukkan bahwa dana yang disalurkan bank bukan merupakan utang bagi bank, melainkan dana titipan atau dana investasi yang bersifat ekuitas, dan bank bertindak hanya sebagai manajer investasi atas kuasa atau petunjuk dari pemilik dana. Sebagai ketentuan yang mendasar, dana tersebut tidak dapat digunakan untuk investasi yang bersifat spekulatif, kecuali untuk berpartisipasi dalam ke- giatan produksi dan perdagangan yang kemudian membentuk suatu por- tofolio bagi bank syariah. Dapat dikatakan bahwa risiko portofolio ditang- gung tidak saja oleh pemegang saham bank, tetapi juga oleh para deposan atau pemilik dana.37
Karena itu, secara teoretis konsep moral hazard yang didorong oleh kenyataan bahwa modal bank yang kecil, dibandingkan dengan dana ma- syarakat yang digunakan pada bank konvensional, seperti yang kemuka- kan oleh Vihriala, kurang berlaku pada bank syariah. Moral hazard dapat terjadi jika bank menggunakan dana masyarakat itu untuk tujuan-tuju- an tertentu yang dapat menguntungkan bank atau pemilik bank, tetapi membahayakan kedudukan dan kepentingan pemilik dana.
Di sini, jika bank rugi, pemilik bank hanya akan kehilangan modal yang dimilikinya pada bank, yang berjumlah lebih kecil dibandingkan de- ngan dana masyarakat yang berjumlah jauh lebih besar, di mana pemilik dana kehilangan keseluruhan miliknya itu. Pada bank syariah, kemung- kinan penyimpangan ini dapat diperkecil karena dana masyarakat yang disimpan oleh bank hanya merupakan titipan melalui akad wadiah, atau dana yang diterima itu berdasarkan akad mudharabah.
Namun, secara umum, akad mudharabah membuka peluang yang lebih besar bagi shahibul mal untuk melakukan unsur kontrol pada bank sebagai mudharib, karena bank harus menciptakan keuntungan sebagai kepentingan bersama (common interest) bagi keduanya. Keuntungan ini harus dibagi dengan pemilik dana (shahibul mal), berdasarkan nisbi yang ditentukan pada saat penandatanganan akad. Karena para pemilik dana ini bukan pemilik saham bank, sehingga tidak diwakili oleh dewan direk- si bank, dan dana yang ditempatkan pada bank merupakan kuasi modal tanpa jaminan hasil yang diperoleh, pembagian keuntungan bank antara pemilik saham dan para pemilik dana atas akad mudharabah harus di­tentukan dengan jelas dan secara terbuka.38
Ditinjau dari sisi aktiva neraca bank, sebagai hasil pelaksanaan transfor- masi risiko dari kumpulan dana masyarakat yang diterima menjadi in- vestasi pembiayaan, bank syariah memiliki sejumlah tagihan dan modal yang ditanamkan pada nasabah. Jumlah ini membentuk suatu portofolio pembiayaan, yang setara dengan portofolio kredit pada bank konvensio- nal. Portofolio ini umumnya mewakili akad-akad bank syariah yang lebih berorientasi pada sektor produksi, bukan pada sektor konsumsi, sehingga mengurangi tekanan yang bersifat inflatoir terhadap perekonomian.
Perbedaan antara portofolio bank konvensional dengan portofolio tagihan dan investasi pembiayaan bank syariah terutama karena adanya transaksi PLS pada bank syariah, yang merupakan pembiayaan ekuitas dan partisipasi terhadap keuntungan masa depan.
Dari sisi pembiayaan ini, menurut Mabid Ali Al-Jarhi asal Mesir, sejumlah literatur menyebutkan bank syariah menyerupai universal banking di Jerman dan Jepang, yang dapat membeli saham perusahaan baik yang terbuka maupun yang tertutup. Penerapan universal banking di Jerman mampu mendorong pertumbuhan ekonomi pada masa awal industrialisasi di sana, dan dapat pula diterapkan di negara yang sedang berkembang untuk tujuan yang sama.
Namun, Sayyid Tahir mengungkapkan adanya perbedaan praktik universal banking pada bank konvensional dengan citra dari sifat uni­versal banking pada bank syariah. Perbedaan ini kembali terletak pada transaksi yang melandasinya, yakni bank syariah tidak meminjamkan uang sebagai pokok suatu akad, tapi suatu usaha atau bisnis di dalam sek- tor riil yang dapat dibiayai oleh bank syariah, atau berpartisipasi langsung dalam produksi barang dan jasa serta dalam perdagangan.
Di samping itu, akad PLS dapat pula berfungsi dalam mengalokasi- kan sumber daya secara lebih efisien, karena secara langsung berkaitan dengan produktivitas dan tingkat keuntungan, jika dibandingkan dengan sistem utang. Jadi, menurut Abdul Rahim Abdul Rahman, penerapan yang tepat dari akad PLS akan dapat membantu tercapainya tujuan hu- kum Islam, tetapi juga meningkatkan faktor sosio-ekonomis masyarakat, keadilan sosial, serta kestabilan dan efisiensi ekonomi.
Dengan karakteristik yang sedemikian itu, bank syariah secara struk- tural membuka diri bagi pembiayaan UKM, mikro dan kaum duafa, yang umumnya tidak memiliki kolateral yang diperlukan oleh bank.
Dalam pembiayaan PLS, karena aplikasi konsep bunga dilarang, yang ada adalah aplikasi dari hubungan dua faktor produksi, yaitu antara tenaga kerja dan modal, sebagai bentuk konversi dari uang yang merupa­kan potensi modal, dalam rangka memperoleh hasil kerja. Tenaga kerja menghasilkan upah, sedangkan modal menghasilkan kompensasi yang berbentuk keuntungan.
Ditinjau dari kedekatannya dengan sektor ekonomi riil, akad-akad mu­rabahah, salam, istishna, dan ijara menjadikan suatu jenis barang yang telah ada atau yang akan diproduksi sebagai kausa prima akad. Akad mudharabah dan musyarakah terjadi karena adanya usaha atau bisnis tertentu di dalam sektor riil, sebagai titik tolak terjadinya akad.
Pada dasarnya, akad-akad ini tidak seperti perjanjian kredit pada bank konvensional, yang menjadikan uang sebagai inti perjanjian. Selain itu, dalam akad bank syariah, pada umumnya penggunaan uang lebih je- las dapat dilihat atau dikontrol, karena mengikuti alur barang atau usaha. Kemungkinan penyimpangan dalam penggunaan dana, atau kemungkin- an wanprestasi akibat penyimpangan penggunaan dana dari yang telah disepakati, dapat diperkecil. Selain itu, praktik penggunaan dana untuk tujuan spekulasi tidak dimungkinkan, karena pembiayaan yang mengan- dung unsur gharal atau maysir memang dilarang dalam ekonomi Islam
atau perbankan syariah. Kecuali pada akad mud- harabah, penggunaan dana dapat terkontrol le- bih baik khususnya pada akad murabahah, ijara, dan musyarakah.
Pada akad murabahah dan ijara, bank menggunakan dana untuk menyediakan barang yang diperdagangkan atau yang akan disewakan, jadi bukan dana yang diberikan kepada nasabah, tetapi barang yang diperlukan. Pada akad musyarakah, setiap mitra dapat melakukan pengontrolan pengelolaan dana secara langsung. Dengan be- gitu, kemungkinan terjadinya moral hazard dan adverse selection dalam pemilihan usaha dan pengelolaan dana dapat dihindarkan. Di sini, asym­metric information dapat diperkecil.
Penggunaan dana dapat terkontrol lebih baik pada mula akad ditan- datangani, jika dana tersebut dibelikan barang yang akan diperdagang- kan atau barang modal yang diperlukan untuk usaha. Namun, walaupun dengan alasan pengontrolan penggunaan dana, hal ini tidak dapat dilaku- kan pada akad mudharabah karena; pertama, modal yang dimaksudkan dalam akad mudharabah haruslah berbentuk modal uang karena, jika tidak, nilai modal awal hanya dapat diperkirakan atau akan dapat bersi- fat gharal;39 kedua, uang dapat digunakan untuk berbagai tujuan dalam rangka membentuk dan menjalankan usaha sesuai dengan keahlian dan kemampuan mudharib, sedangkan jika dalam berbentuk barang, ruang gerak atau fleksibilitas mudharib dalam berusaha akan terbatas.40
Pada akad salam dan istishna, dana diberikan kepada nasabah untuk menanam produk pertanian atau memproduksi barang tertentu dalam sektor riil. Pengawasan penggunanan dana lebih terkontrol pada istishna, karena pembayaran dapat tidak dilakukan sekaligus tetapi bertahap berdasarkan progres. Pada akad salam, pembayaran untuk pembelian barang harus dilakukan sekaligus di muka. Ditinjau dari sifat nasabah seperti ini, kemungkinan terjadinya penyimpangan penggunaan dana secara intuitif dirasakan tidak besar. Umumnya, para petani hanya memiliki pengetahuan dan keahlian sebagai petani. Mereka sebagai petani sangat berkepentingan dengan usaha tanam, dan memperoleh panen berlanjut dari waktu ke waktu.
Pada akad musyarakah, setiap mitra dapat melakukan pengontrolan pengelolaan dana secara langsung.
Dapat dikatakan bahwa akad-akad bank syariah pada umumnya mele- kat dengan cukup erat pada sektor ekonomi riil. Kedekatan inilah yang mem- buat sistem keuangan Islam lebih stabil karena sektor keuangan dan sektor riil menyatu, tidak menimbulkan dikotomi dari keduanya.
Keberhasilan usaha sangat bergantung pada perolehan keuntungan. Namun, sebagai bank syariah pada tataran yang lebih luas, keberhasilan usaha juga diukur secara khusus dari keberhasilannya menerapkan prin- sisp-prinsip syariah, dan secara umum dalam meningkatkan kemaslahat- an umat. Kedua ukuran ini seyogianya dilakukan oleh bank syariah me- lalui pelaksanaan fungsi intermediasi keuangannya, yang pada sifatnya menghadapi masalah asymmetric information dan principal and agent problem, terutama dalam akad PLS.
Walaupun terdapat konsep kerja sama yang bersifat partisipatif an- tara para mitra, atau antara shahibul mal dan mudharib, kedua aspek ini tetap harus dikaji dan dikontrol sebagai sesuatu yang dinamis. Keberha- silan bank syariah akhirnya akan ditentukan oleh bagaimana menangani kedua masalah itu dari waktu ke waktu. Di samping itu, dalam akad PLS, terutama pada akad musyarakah, bank syariah bertindak sebagai mitra usaha, maka perspektif pembiayaan cenderung berjangka yang lebih panjang. Dalam banyak literatur, pembiayaan dengan jangka yang lebih panjang membawa konsekuensi risiko usaha yang lebih besar. Namun, di sinilah letak perbedaan dengan bank konvensional, yakni bank syariah membuka diri lebih luas untuk pembiayaan usaha di dalam sektor riil.
Dalam menghadapi masalah asymmetric information, yang kemudi- an dapat menimbulkan adverse selection dan moral hazzard, fokus sen- tral bank dalam melakukan due diligence adalah sekitar mudharib pada akad mudharabah, dan sekitar para mitra pada akad musyarakah sam- pai batas tertentu. Dalam hal ini, penelitian yang cermat harus dilakukan terhadap apa yang dimiliki oleh calon mudharib atau para mitra.
Menurut Rosly, cakupan yang harus diteliti meliputi risiko dan nilai yang dapat diciptakan oleh mudharib dan mitra. Risiko dan nilai ini me- rupakan modal dasar bagi bank sebagai mitra untuk meletakkan unsur kepercayaan kepada mereka. Untuk dapat menilai kedua hal ini, perlu dipelajari faktor-faktor pendukung yang dapat menuju kepada kedua hal tersebut, dimulai dari visi, tujuan usaha dan niat mudharib sebagai dasar filosofinya, produk dan teknologi yang dikuasai, rencana kerja dan strate- gi usaha, kemudian dilakukan penelitian terhadap tim pengelola yang ada atau yang akan dibentuk.
Dasar filosofis yang dimaksud di sini akan dapat memecahkan secara mendasar masalah asymmetric information antara mudharib dan sha- bhibul mal atau antara para mitra sehingga dapat mengurangi kemung- kinan timbulnya moral hazard. Jika pembiayaan sudah berjalan, bank sebagai shahibul mal atau mitra, dalam usaha juga perlu melakukan kegi- atan monitoring dari usaha yang dibiayai.
Jadi, masalah governance dalam akad kerja sama ini dapat dengan mudah dipecahkan. Setiap mitra berperan aktif dalam pengambilan ke- putusan. Walaupun bank sebagai shahibul mal berhak melakukan peng- awasan dan pembinaan, pada akad mudharabah, di lain pihak, shahibul mal hanya dapat membaca laporan yang diberikan oleh mudharib, dan kedua kegiatan tersebut, pengawasan dan pembinaan, hampir sepenuh- nya bersandar pada apa yang dapat dibaca dari laporan yang diberikan.
Untuk dapat membaca apa yang sesungguhnya terjadi dalam penge- lolaan usaha oleh mudharib, diperlukan pengetahuan dan pengalaman khusus yang berkaitan dengan bidang atau macam usaha yang dibiayai. Dari sisi bank, pihak yang dapat melakukan kegiatan seperti ini adalah pejabat senior bank, yang biayanya relatif lebih mahal dari pejabat junior. Dalam melakukan monitoring proyek atau usaha yang dibiayai, misalnya, bank perlu meneliti dasar perhitungan keuntungan atau kerugian. Pada akhirnya, apa yang harus diteliti dalam suatu proses due diligence bagi pembiayaan mudharabah atau musyarakah jauh lebih dalam dan kom- pleks, jika dibandingkan dalam konteks yang sama bagi bank konvensio- nal dalam pemberian suatu macam kredit.
Untuk dapat melakukan pemilihan proyek dengan baik, bank perlu memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang usaha atau bisnis yang akan dibiayai, sehingga dapat mengukur perolehan pendapatan atau ke- untungan dengan tingkat dan macam risiko yang akan dihadapi. Untuk itu, menurut Yusak Laksmana, financing officer bank syariah harus me- miliki jiwa kewiraswastaan, sehingga mampu melihat peluang pembia- yaan yang menguntungkan dan aman, dan tidak membiayai usaha atau proyek yang tidak dipahami dan diyakini.
Dibandingkan dengan bank konvensional, terutama dalam konteks akad PLS, bank syariah memerlukan tenaga-tenaga profesional yang lebih andal dalam menilai proyek mana yang dapat dibiayai. Jika bank tidak memahami risiko yang dihadapi, itu berarti menanggung risiko secara buta atau bersifat gharal, yang disebut oleh Nagaoka sebagai risk scat­tering. Contoh yang dikemukakan oleh Nagaoka mengenai risk scatering ini berkaitan dengan kekhawatirannya terhadap sekuritisasi atau sukuk41 atas dasar akad bagi hasil, yang dapat memberikan dampak seperti yang ditimbulkan subprime mortgage.
Kekhawatiran ini dapat dijawab oleh G. Pavithra, yang berpendapat bahwa sekuritisasi keuangan syariah, seperti sukuk, justru memiliki pelin- dung terhadap kemungkinan terjadinya krisis subprime terhadap dirinya, karena alasan berikut. Pertama, sekuritisasi tidak dapat terlaksana tanpa persetujuan nasabah awal. Kedua, keuangan syariah tidak dapat dilaku­kan melalui kendaraan off balance sheet. Ketiga, perbankan syariah tidak dapat memberikan fasilitas kepada pihak yang telah banyak memiliki utang atau dengan leverage yang telah tinggi. Keempat, keuangan syariah bersifat imun terhadap perubahan volatilitas jangka pendek harga-harga aset, karena perbankan syariah berbisnis atas dasar perdagangan dan bersandar pada potensi dan arah pertumbuhan, bukan pada perubahan harga-harga aset.
Alasan-alasan ini mendukung alasan utama kenapa perdagangan atau jual-beli utang atau piutang, baik pada pasar primer maupun sekun- der, tidak dimungkinkan untuk dilakukan dalam pembiayaan syariah. Transaksi jual-beli yang diizinkan adalah atas persetujuan penjual dan pembeli, dilakukan langsung dalam arti dicatat dalam pembukuan ma- sing-masing, dan transaksi itu tidak bersifat gharal.
Bank syariah secara teoretis dapat menjembatani masalah asym­metric information yang umumnya ada dengan lebih baik. Risiko yang dihadapi dapat pula diminimalkan karena pada dasarnya pengambilan risiko yang dianggap berlebihan, seperti halnya pemberian kredit pada pihak yang telah memiliki utang yang besar, tidak dimungkinkan dalam bank syariah. Pengambilan risiko yang berlebihan dapat bersifat gharal, dan tidak mungkin tanpa dilandasi pada atau mengikuti alur barang atau jasa.
Untuk menghindari adverse selection dan moral hazard dalam seleksi proyek yang akan dibiayai, bank sebagai calon shahibul mal atau mitra memerlukan lebih banyak informasi dan lebih penting dibandingkan dengan bank konvensional.42 Ditinjau dari segi akad, keterbukaan informasi dalam mengatasi asymmetric information terutama sangat diperlukan untuk akad mudharabah muqayadah. Akad ini memberikan kebebasan ke- pada mudharib ke dalam usaha mana dana shahibul mal akan digunakan.
Untuk usaha yang belum pernah dijalankan oleh mudharib, bank hanya dapat memperkirakan kemungkinan keberhasil- an mudharib, berdasarkan keahlian bisnis secara pribadi dari mudharib dalam menjalankan usaha yang baru tersebut. Dalam memperoleh perkiraan keberhasilan ini, bank perlu mempelajari hal ihwal usaha terutama besar-kecilnya risiko yang mungkin di- hadapi oleh mudharib, dibandingkan dengan kemampuan teknis yang dimiliki oleh mudharib.
Pada umumnya, informasi yang diperlukan oleh bank untuk melakukan due diligence yang diperlukan diperoleh dari mudha- rib sendiri. Sebagai tambahan dan pembanding, informasi juga dapat diperoleh dari lingkungan yang lebih luas, misalnya dari industri tempat mudharib telah atau akan berusaha. Informasi seperti ini diperoleh dalam rangka mengetahui atau mempe- lajari profil risiko dan faktor-faktor risiko yang terkait, tingkat keberhasilan dan kegagalan, serta para pelaku yang dominan di industri yang akan dimasuki.
Bentuk moral hazard yang lain dapat timbul tidak hanya dari pihak mudharib yang tidak memberikan seluruh informasi yang diperlukan oleh shahibul mal, tetapi dapat juga timbul pada bank yang bertindak sebagai shahibul mal atau mitra dari suatu usaha yang dibiayai. Pada bank syariah, bank dapat bertindak se- bagai shahibul mal pada usaha atau bisnis yang dijalankan oleh pengusaha (mudharib), yang sekaligus menjadi nasabah bank. Pada akad musyarakah, bank juga dapat berperan sebagai mitra dengan nasabahnya dalam suatu bentuk usaha bisnis tertentu.
Suatu masalah yang bersifat moral hazard dapat timbul jika pemilik bank ikut berperan serta dalam pembiayaan ini, baik se- cara langsung maupun tidak. Secara langsung, pemilik bank da- pat menggunakan dana dan nama bank. Secara tidak langsung, tetapi dalam bentuk formal, nama pemilik bank dapat diwakili oleh nama bank. Terdapat perbedaan yang tipis antara bank se- bagai institusi yang independen dengan pemilik bank, atau bank yang dipengaruhi oleh pemilik ini atau yang merupakan wakil pemilik, ketika bertindak sebagai shahibul mal dalam akad mud- harabah atau sebagai mitra pada akad musyarakah.

Namun, manifestasi perbedaan ini akan dapat jelas dira- sakan dalam pengambilan keputusan mengenai bisnis dan mud- harib atau mitra mana yang akan dibiayai. Jika shahibul mal atau mitra adalah murni bank itu sendiri, tanpa campur tangan pemilik, pemilihan yang dilakukan bank akan jauh lebih objek- tif, dengan melakukan pertimbangan utama yang mengimbangi antara risiko dan pendapatan, serta mencapai diversifikasi risiko yang optimal. Jika pembiayaan yang dimaksud dilatarbelakangi oleh adanya pengaruh pemilik bank atau mewakili pemilik, se- leksi terhadap usaha atau bisnis yang akan dibiayai cenderung lebih banyak memperhatikan kepentingan pemilik.
Masalah serupa, yang merupakan konflik kepentingan antara pemilik bank dan bank sebagai suatu korporasi dan sekaligus merupakan moral hazard, banyak terjadi pada bank konvensional dalam bentuk pelanggar- an batas minimal pemberian kredit. Di sini, bank memberikan pinjaman kepada pihak terkait dengan bank, seperti pemilik bank, yang melampaui batas yang ditentukan oleh UU Perbankan. Pada umumnya, kredit seperti itu cenderung kemudian menjadi NPL.
Karena itu, bank syariah menuntut kadar etika dan moralitas yang lebih tinggi, atau menggunakan variabel agama yang lebih baik dalam mengatasi kemungkinan timbulnya masalah moral hazard. Kadar mo- ralitas ini perlu didasari dengan kadar keimanan atau ketakwaan yang memadai, sehingga dapat membedakan mana hak bagi pemilik dan mana yang bersifat tanggung jawab pemilik bank.
Walaupun Al-Quran tidak melarang adanya jaminan atau kolateral, dan bahkan menganjurkan (QS Al-Baqarah [2]: 283), pada umumnya jaminan bukan merupakan isu yang terlalu dipersoalkan. Karena itu, terutama pada akad PLS, yang pada dasarnya bukan merupakan kontrak utang-piutang, landasan yang fundamental akan terlaksananya kontrak adalah setiap pi- hak menjaga dan mempertahankan kesucian atau pemenuhan kewajiban kontraktual. Kesucian ini dimulai dengan meminimalkan asymmetric information, melalui keterbukaan informasi dan transparansi yang lebih baik, sehingga unsur gharal dalam berkontrak dapat dihilangkan. Setiap pihak dalam kontrak memiliki karakter dan moralitas yang baik, sehingga komitmen pemenuhan kewajiban dalam kontrak dapat dipenuhi.
Namun, dalam keadaan tertentu, jaminan mutlak diperlukan. Imam Bukhari meriwayatkan, Nabi Saw. akhirnya bersedia menyembahyangkan jenazah orang yang berutang setelah seseorang bernama Abu Qatadah bersedia menjamin utang yang meninggal itu. Beberapa hadis riwayat Bu- khari menunjukkan bahwa Nabi Saw. sendiri pernah menjaminkan baju besi untuk membeli makanan dari seorang Yahudi, dan pada kesempatan lain mengambil gandum dari Yahudi yang lain di Madinah.
Pada akad jual-beli, seperti murabahah, barang yang diperdagangkan dan kemudian dibiayai oleh bank melalui pembayaran angsuran dapat di- jadikan jaminan. Jika diperlukan, jaminan tambahan untuk pembayaran dapat dimintakan. Pada akad bagi hasil, secara teori, transaksinya tidak semata-mata dapat bersandar pada kolateral sebagai unsur pengurang risiko kredit. Namun, dalam akad mudharabah, kolateral untuk menu- tupi risiko yang berasal dari karakter mudharib dapat dimintakan. Dalam akad musyarakah, secara prinsip jaminan serupa tidak dapat diperoleh, karena semua mitra berada dalam posisi yang sama dalam menjalankan dan mengawasi kinerja manajemen. Namun, untuk menghindari terjadi- nya penyimpangan, bank dapat meminta jaminan sebagai tambahan.
Bank syariah berbeda dengan bank konvensional karena adanya pembia- yaan PLS, sedangkan pembiayaan non-PLS menyerupai transaksi per- kreditan umumnya pada bank konvensional. Hubungan PLS ini berbeda dengan bank konvensional, yang dibentuk berdasarkan konsep kreditor- debitor dan di antaranya terdapat kompensasi berbentuk bunga. Dalam hubungan kreditor-debitor, pada intinya adalah "Anda berutang pada saya, dan Anda harus membayarnya beserta bunga yang saya tetapkan ketika utang itu jatuh tempo, terlepas dari Anda berhasil atau tidak dalam usaha Anda." Di sini, kedudukan kreditor memiliki jarak dengan debitor, dan hubungan keduanya diikat dengan suatu perjanjian hukum.
Di dalam transaksi PLS, bank bertindak sebagai investor, manajer in- vestasi, dan mitra dalam usaha. Dalam akad mudharabah, bank akan me- ngatakan "Ini modal dariku, satukanlah dalam usahamu sehingga aku dan engkau memperoleh keuntungan yang aku yakini engkau peroleh dengan keahlian dan pengalamanmu dalam menjalankan usaha ini." Dalam akad musyarakah, bank akan mengatakan "Mari kita sama-sama berusaha se- hingga kita memperoleh keuntungan yang dapat kita bagi bersama pula."
Karena itu, dilihat dari kedua akad ini, bank syariah berada dekat dengan nasabah didasari atas kemitraan dalam menjalankan usaha, dan untuk mencapai hasil usaha secara bersama. Para mitra pada akad mu­syarakah, atau antara shahibul mal dan mudharib pada akad mudha­rabah, berada pada tataran kerja sama dalam mencapai tujuan dengan kepentingan yang sama, yaitu sama-sama ingin memproleh keuntungan, sehingga secara bersama pula menghadapi risiko usaha.
Jadi, menurut Masudul Alam Choudhury dan Mohammad Ziaul Hoque, dalam ekonomi dan sistem keuangan yang berbasis kerja sama, tidak terdapat dorongan untuk menutupi keterbukaan dan mengaburkan transparansi. Adanya mekanisme bagi keterbukaan dan transparansi ini akan mengurangi biaya transaksi berbisnis.
Pada pembiayaan PLS, transaksi pembiayaan akan berjalan dan ber- hasil jika mencapai tujuannya, dan untuk itu hubungan bank dan nasa- bah perlu dipupuk dengan baik sehingga diperlukan hubungan yang lebih dalam dan cenderung lebih lama. Seperti halnya bank konvensional, bank syariah perlu memupuk hubungan baik dengan nasabah dalam hal mem- peroleh informasi yang diperlukan.
Namun, pengkajian informasi dan substansi hubungan yang dipero- leh perlu dilakukan lebih dalam lagi, mengingat beberapa hal yang terkait. Pertama, pembiayaan PLS tidak berorientasi pada kolateral, tetapi lebih bersandar pada visibilitas dan profitabilitas proyek yang dibiayai. Jadi, seperti dikatakan Kara, persyaratan pokok bagi bank syariah umumnya, atau akad PLS khususnya, adalah tingkat kelayakan suatu proyek, yang berbeda dengan bank konvensional yang mengutamakan kelayakan kre- dit. Kedua, keberhasilan suatu proyek juga ditentukan oleh kualitas ma- nusia yang menjalankannya. Tidak hanya kemampuan, tetapi yang lebih penting lagi adalah karakter, terutama kejujuran dan reliabilitas. Ketiga, sebagai mitra, bank perlu mengkaji kelanggengan usaha dengan pihak na- sabah di masa depan dilihat dari kecocokan pandangan dan sikap dalam menjalankan usaha bersama. Keempat, sebagai substansi hubungan yang lain, demi kepentingan terlaksananya akad kerja sama atau PLS dengan baik, hubungan perlu dipupuk terus, sehingga informasi yang faktual di- peroleh tidak hanya dalam rangka melakukan seleksi untuk menentukan proyek dengan calon debitor mana yang akan dibiayai, tetapi juga diper- lukan untuk mengawasi, mengikuti, dan mengarahkan perkembangan proyek atau investasi ke arah yang diinginkan.
Dalam kaitan ini M. Kabir Hassan berpendapat, bahwa bank syariah perlu lebih memperhatikan pentingnya kualitas individu, dan kapasitas calon nasabah dalam arti yang lebih luas, sehingga keputusan pembiaya- an lebih didasarkan pada human capital.
Pada prinsipnya, dilihat dari segi memproses aplikasi pembiayaan hingga disetujui, apa yang dilakukan oleh bank syariah sama seperti yang dilaku- kan oleh bank konvensional. Namun, pada tahap awal, bank syariah ha- rus memperhatikan secara khusus transaksi yang akan dibiayai, apakah akan memproduksi atau menggunakan barang-barang yang dilarang atau haram. Setelah itu, baru ditentukan prinsip-prinsip akad yang mana yang dapat diterapkan pada transaksi yang akan dibiayai, dan kemudian dikaji risiko yang terkait.
Pada akad jual-beli dengan pembayaran tangguh dan akad sewa, risiko utama yang dihadapi adalah gagal bayar dan/atau gagal serah ba- rang yang dipesan. Bagi barang yang disewa, gagal serah di sini dapat juga berarti bahwa manfaat barang yang disewa itu tidak selalu dapat di- nikmati selama masa sewa, sehingga pemilik harus melakukan tanggung jawab kepemilikan dengan mengganti atau memperbaiki barang. Analisis pembiayaan atau kredit pada kedua macam akad dapat menggunakan pendekatan 5C,43 dengan menekankan pada unsur capacity. Pada akad jual-beli dengan pembayaran tangguh, unsur kapasitas yang dimaksud adalah kemampuan arus kas yang diperlukan untuk membayar angsuran dari harga beli atau harga sewa dari calon nasabah. Jika bank terkait de- ngan suatu akad salam atau istishna, kapasitas yang dimaksud juga men- cakup kemampuan nasabah untuk memproduksi barang sesuai dengan pesanan.
Bank syariah tidak saja perlu mengkaji secara spesifik kelayakan kre­dit seperti halnya pada bank konvensional, tetapi lebih dari itu. Dalam hal ini, shahibul mal, para mitra, atau bank perlu mengkaji dan memastikan suatu bentuk usaha yang akan dibiayai memang layak dibiayai, dengan mudharib atau mitra yang memang dapat dipercaya. Di sini, terdapat tiga unsur yang perlu diperhatikan, yaitu kelayakan proyek itu sendiri, kua- litas mudharib atau mitranya, serta bagaimana melakukan pelaksanaan
operasionalnya (bagi akad musyarakah) dan ba- gaimana mengawasi pelaksanaannya (bagi mud- harabah).
Dalam melakukan due diligence terhadap mudharib atau calon mitra, Irawan Febianto dan Rahmatina A. Kasri menyebutkan beberapa at- ribut yang perlu diteliti, yakni catatan masa lalu mengenai tim manajemen, kualitas rencana bis- nis, dan kualitas SDM yang terkait dalam proyek. Ihwal penelitian mengenai kelayakan proyeknya, Febianto dan Kasri menyebutkan sejumlah fak- tor yang perlu dikaji, antara lain ruang lingkup hukum dan peraturan yang terkait dengan pro- yek. Di sini, yang tidak kalah pentingnya adalah kemungkinan perubahan kebijakan pemerintah yang dapat memengaruhi kelangsungan dan kela- yakan proyek.
Dalam mengkaji faktor-faktor yang perlu di- teliti bagi kedua unsur pertama di atas, yaitu yang berkaitan dengan proyek dan yang berkaitan de- ngan mudharib, Muhammad Adnan dan Akhyar Muhammad melakukan penelitian, khususnya untuk memastikan atribut yang mana dari kedua unsur ini yang terpenting untuk lebih diperhatikan. Penelitian dilakukan terhadap 84 dari 89 bank pedesaaan syariah di Indonesia. Adnan dan Muhammad mengemukakan sejumlah atribut masing-masing untuk pro- yek dan mudharib.
Terdapat tiga unsur yang perlu diperhatikan, yaitu kelayakan proyek itu sendiri, kualitas mudharib atau mitranya, serta bagaimana melakukan pelaksanaan operasionalnya (bagi akad musyarakah) dan bagaimana mengawasi pelaksanaannya (bagi
mudharabah).
Atribut proyek yang dikemukakan adalah risiko bisnis minimum, sis- tem informasi akunting, kepastian perolehan keuntungan, tinggi-rendah- nya biaya monitoring, estimasi rate of return proyek, kelayakan proyek, jaminan (kolateral), arus kas proyek, jangka waktu kontrak, horizon pro- yek, prospek, masalah going concern proyek (seolah-olah akan hidup te- rus), dan kondisi proyek. Atribut untuk mudharib meliputi keahlian dan bisnis terkait, tingkat pengenalan pasar, kemampuan untuk mengatasi ri­siko bisnis, perolehan kolateral, latar belakang usaha keluarga, komitmen bisnis, kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa bisnis, kebiasaan bisnis, memiliki usaha sendiri, hubungan sejarah kaitan bisnis dengan shahibul mal, kemampuan menangkap kesempatan bisnis, kelas sosial, kemampuan untuk mengantisipasi risiko bisnis, dan rekam jejak.
Hasil penelitian mereka menyimpulkan, dari sejumlah atribut ter- sebut yang terpenting yang berkaitan dengan mudharib adalah keahlian bisnis, reputasi bisnis, dan komitmen bisnis, kemudian laporan keuangan proyek dan jangka waktu proyek.
Mengenai pelaksanaan dan pengawasan proyek, bank atau mitra da- lam akad musyarakah memiliki kemudahan dalam mengontrol perjalan- an dan arah proyek, karena secara setara ikut serta dalam pengelolaan. Namun pada akad mudharabah, bank sebagai shabibul mal mengalami kesulitan untuk menerapkan hard budget constraint pada proyek yang sepenuhnya dikontrol oleh mudharib. Masalah lain, shahibul mal sebagai mitra pasif tidak dapat melakukan intervensi ketika usaha yang dijalankan mudharib bermasalah, karena risiko bisnis yang dihadapi, se- perti halnya dalam perjanjian kredit. Di samping itu, pengalaman bank Islam menunjukkan, bahwa kepercayaan terhadap mudharib tidak dapat sepenuhnya didasarkan atas dasar asumsi yang tampaknya wajar. Asumsi yang dimaksud adalah bahwa, sebagai orang Islam, mudharib dapat di- percaya, sehingga dapat menjalankan suatu usaha yang berarti dapat pula menghasilkan keuntungan. Asumsi seperti ini membawa akibat fatal bagi bank Al-Baraka Cabang London, sehingga ditutup sebagai akibat gagalnya akad PLS yang besar.44
Pada bank konvensional, penerapan hard budget constraint dan tin- dakan pengawasan lebih mudah dilakukan karena didukung oleh infra- struktur perkreditan. Di sini, kreditor pada modal ventura yang identik dengan akad PLS dapat menyita aset yang terkait dengan modal ventura itu, atau memailitkan debitor yang mengalami wanprestasi. Dalam per- bankan syariah, karena hubungan dibangun tidak berdasarkan kreditor dan debitor, kerugian usaha ditanggung bersama sebagai mitra usaha, tidak dengan menguasai jaminan yang berupa aset yang ada pada usaha.
Karena itu, bank syariah dalam melakukan keputusan pembiayaan perlu lebih prudent, dan lebih dalam serta luas ketika mengkaji usulan pembiayaan. Pertimbangan perlu dilakukan dalam perspektif cakupan yang lebih luas dan perspektif waktu yang lebih panjang.
Pada bank syariah, keahlian dan pengetahuan yang lebih luas dalam menganalisis, mempertimbangkan, mengambil keputusan, melakukan negosiasi, dan menangani nasabah sangat diperlukan, terutama dalam pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Bahkan, untuk menangani partisipasi bank dalam akad musyarakah, bank memerlukan pejabat yang berpengalaman sebagai manajer, atau paling tidak memiliki penge- tahuan di bidang usaha yang sama.
Pemutus kredit tidak hanya harus memiliki pengetahuan dan peng- alaman yang lebih luas baik dari segi perkreditan maupun pembiayaan, tetapi juga perlu mengetahui paling tidak berbagai bentuk usaha. Posisi setiap usaha pada setiap waktu harus pula disimak, karena mungkin saja suatu usaha telah mengalami kejenuhan pasar, sehingga margin yang diharapkan tidak lagi dapat terlalu menjanjikan. Para kompetitor yang dominan harus pula diwaspadai, terutama jika skala usaha yang akan di­biayai dari calon debitor atau nasabah relatif masih kecil.
Pengetahuan dan pengalaman ini diperlukan ketika membaca pro­posal pembiayaan, sehingga pertimbangan yang tepat dapat dilakukan sebelum mengambil keputusan kredit, dalam rangka menentukan apakah proposal dapat disetujui atau tidak.
Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah independensi, impar- sialitas atau netralitas, dan moralitas yang perlu dimiliki oleh para pe- mutus pembiayaan. Pengambilan keputusan pembiayaan harus bersifat independen, sehingga tidak terpengaruh oleh pihak-pihak yang berkepen- tingan secara langsung atau tidak langsung pada keputusan yang akan diambil. Demikian pula halnya dengan netralitas. Pengambil keputusan yang tidak netral atau tidak bersifat imparsial, dan tidak independen, umumnya dipengaruhi oleh pihak luar yang berkepentingan, bahkan oleh para pemilik bank.
Pada bank syariah, persoalan netralitas tersebut sekaligus memer- lukan moralitas yang lebih tinggi dengan memegang teguh etika. Konsep amanah berlaku pada dua sisi dari pihak yang berbeda, yaitu mudharib harus bersifat amanah, dan bank juga harus menegakkan amanah yang diberikan oleh para deposan atau pemilik dana, ketika bank menyalurkan pembiayaan kepada debitor atau nasabah bank.
Berbeda dengan pemberian kredit bank konvensional, dengan pola pembiayaan yang diizinkan, bank syariah dapat bertindak sebagai peme- gang ekuitas pada usaha atau untuk membiayai usaha baru yang akan dijalankan dengan nasabahnya. Pada jenis usaha yang menjanjikan keun- tungan yang baik, bank atau pemilik bank umumnya akan tertarik untuk berpartisipasi pada dana ekuitas usaha yang diperlukan. Posisi sebagai pe- milik bank syariah dapat dirasakan sangat tipis, dan sulit untuk dibedakan
dengan posisi bank, sebagai pemegang ekuitas pada suatu usaha yang dibiayai oleh bank.
Pada pembiayaan musyarakah, misalnya, pemilik bank yang mengetahui atau telah meng- geluti suatu bisnis tertentu akan cenderung ber- sikap sangat terbuka untuk berpartisipasi mela- lui pembiayaan musyarakah melalui banknya, pada suatu usaha yang sama. Pemilik bank dapat menunjuk agen yang merupakan nomineenya se- bagai mitra pada joint venture tersebut. Bahkan, pemilik bank akan lebih merasa aman ketika pembiayaan harus dilakukan melalui pola mud- harabah dengan mudharib yang telah dikenal- nya. Perasaan aman itu akan terwujud jika mudharib yang menjalankan usaha yang telah dikenalnya itu merupakan pihak yang ditunjuk oleh pemilik bank, terlebih jika mereka telah menggeluti bisnis atau usaha itu secara bersama. Mudharib, dalam hal ini, dapat dikontrol langsung oleh pemilik bank.
Di bank syariah, keputusan pembiayaan harus dilakukan oleh pemutus pembiayaan, yang memiliki pengalaman luas dan moralitas tinggi dengan berpegang teguh pada etika, sehingga tidak terpengaruh oleh tekanan di luar kepentingan profesi.
Berbeda dengan keputusan kredit pada bank konvensional, kepu- tusan pada bank syariah diambil tidak saja dalam koridor pembiayaan syariah, tetapi juga memerlukan pemahaman dan pemikiran yang lebih cermat. Pemikiran ini diperlukan untuk membentuk keyakinan dalam memperoleh perkiraan keuntungan yang dapat dihasilkan oleh usaha atau proyek yang dipilih untuk dibiayai, karena setiap jenis usaha atau proyek memiliki karakteristik yang berbeda.
Di bank syariah, keputusan pembiayaan harus dilakukan oleh pemutus pembiayaan yang memiliki pengalaman luas dan moralitas tinggi dengan berpegang teguh pada etika.

Perkiraan untuk memperoleh keuntungan bersifat lebih luas, dalam, dan rumit, jika dibandingkan dengan perkiraan kemampuan membayar bunga dan angsuran pokok pada bank konvensional. Dalam hal yang terakhir ini, masih terdapat jalan keluar kedua, yaitu dengan menjual ja- minan. Perkiraan keuntungan yang dapat diperoleh juga ditentukan oleh kualitas mudharib atau mitra sebagai individu pada pembiayaan yang
akan dilakukan. Dua unsur penting ini, perkiraan tingkat keuntungan dan kualitas mudharib, dalam keputusan pembiayaan bank syariah membuat perbedaan dalam hal penekanan pada perkreditan bank konvensional, yang bermuara pada kelayakan kredit, dan pada batas tertentu bersandar dengan lebih tegas pada unsur jaminan.
Seperti halnya pada bank konvensional, keputusan yang diambil ha- rus berdiri sendiri atas dasar kepentingan profesi, tetapi lebih didukung oleh kedua pemahaman ini, yaitu keyakinan terhadap perolehan keun- tungan dan kualitas mudharib tersebut.
Tulisan ilmiah dan pengalaman yang berkaitan dengan NPF masih sangat terbatas. Di Indonesia sendiri, bank syariah baru muncul ketika Bank Muamalat didirikan pada 1992 dan saat ini masih mewakili sebagian kecil perbankan di Indonesia dan di dunia. Berikut ini uraian ringkas menge- nai NPF yang dapat dikumpulkan.
Bank Islam Malaysia (BIM) Berhad, yang didirikan tahun 1983 dan dimi­liki oleh pemerintah, pada 2005 mengalami kerugian RM 456 juta karena NPF senilai RM 2,2 miliar. Menurut Tan Tok Shiong, sebagian besar NPF ini berasal dari pinjaman yang diberikan kepada anak perusahaan yang beroperasi di Labuan, pusat keuangan offshore, dan sebagian besar dari pinjaman ini membiayai perusahaan-perusahaan di Sarajevo dan Afrika Selatan, yang pada umumnya sudah tidak ada lagi.
Dapat disimpulkan bahwa NPF tersebut berasal dari pinjaman yang diberikan kepada grup sendiri di Labuan. Jadi, merupakan insider's atau connected lending (dalam konteks perbankan di Indonesia, pinjaman seperti itu merupakan pelanggaran BMPK). Kemudian, dana yang di­pinjamkan kepada anak perusahaan tersebut dipinjamkan lagi kepada perusahaan di luar negeri, dengan dasar pemberian yang sangat kabur. Chandra Setiawan mengungkapkan bahwa menurut laporan keuangan tahun 2006, BIM memiliki NPF yang bersumber pada sektor konstruksi (21,65 persen), pembelian properti dengan tanah (20,11 persen), manu- faktur (16,93 persen), pembelian sekuritas (12,78 persen), perdagangan ritel dan besar, serta hotel dan restoran (10,47 persen).
Rosly berpendapat, seperti dikutip oleh Setiawan, bahwa NPF yang tinggi tersebut terjadi karena adverse selection. Namun, menurut anali­sis Setiawan, kejadian NPF yang tinggi itu terjadi karena adanya penye­lewengan di Malaysia, yang bertitik tolak pada masalah principal-agent. Penyelewengan umumnya terjadi pada bank yang dimiliki pemerintah, yang unsur pengawasan dan insentifnya dirasakan kurang. Di sini, para eksekutif yang merupakan agent bertindak seolah-olah tidak memiliki principal.
Dubai Islamic Bank (DIB) mengalami skandal yang dilakukan oleh tujuh pejabatnya. Mereka dituduh tersangkut dengan menerima suap dalam tindak pidana penipuan terhadap bank sejumlah US$ 500 juta pada 2009. Salah satu pejabat ini terlibat dalam pemberian pembiayaan kepa- da pembangunan real estat, yang merupakan sektor utama yang menim- bulkan NPL sebesar 2-3 persen. Kejadian ini bukan yang pertama kali dialami bank tersebut. Sebelumnya, terjadi pemberian pembiayaan tanpa otorisasi dari yang berwenang. Hal ini juga terjadi pada cabang Miami, Florida, kepada pengusaha Afrika, yang mengakibatkan kerugian US$ 242 juta. Menurut Ibrahim Warde dari Tufts University (Medford, Mas­sachusetts), kejadian itu menunjukkan adanya kelemahan pengawasan internal bank, sehingga merupakan pemberian pembiayaan yang me- nyimpang dari kebijakan bank. Agar masalah ini tidak terulang lagi, DIB menunjuk seorang pejabat kepatuhan yang berpengalaman untuk meng- awasi dan melaporkan penyimpangan kepada direksi.
Perbankan di Sudan dijalankan sepenuhnya berdasarkan ketentuan syari- ah, yang terdiri atas 21 bank nasional. Selama tahun 2000 sampai 2002, rasio NPF menunjukkan angka yang menurun dari 17 persen menjadi 12,7 persen. Menurut Badr El Din A. Ibrahim, NPF ini disebabkan oleh kinerja perkreditan yang buruk dan terjadinya wanprestasi nasabah besar. Berda- sarkan informasi yang terbatas ini, dapat diduga kejadian itu merupakan adverse selection, yang umumnya disebabkan oleh penilaian pemberian pembiayaan yang lemah, dan tidak menerapkan tugas diversifikasi risiko yang layaknya dilakukan oleh bank.

Penilaian pembiayaan yang lemah itu dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain karena tidak memiliki keahlian dan pengalaman yang memadai; atau memiliki kedua faktor ini tetapi para pihak terkait tidak menerapkan prinsip profesionalime dan integritas yang diperlukan, sehingga menimbulkan adverse selection dan kemudian menimbulkan moral hazard.
Pada 2006, rasio NPF bank Islam berada pada tingkat 5 persen,sedangkan kelompok bank konvensional pada tingkat 3 persen.





Bank Islam di Bangladesh, Masalah Integritas Moral
Bangladesh memiliki lima bank yang beroperasi sebagai bank syariah. Berdasarkan data sepuluh tahun sampai 1997, secara umum kelima bank ini mengalami NPF yang besar. Sarker menyebutkan beberapa penyebab timbulnya NPF ini, yakni masalah integritas moral para pengusaha, in- tervensi politik dalam pemilihan calon debitor, guncangan instabilitas keuangan, dan lemahnya penegakan hukum, yang juga berakibat pada pelaksanaan proyek yang buruk. Dalam banyak kasus, bank-bank terse- but tidak mampu melakukan pengawasan terhadap proyek yang dibiayai, sehingga debitor menggunakan dana pembiayaan untuk tujuan lain.
Sarker juga melaporkan bahwa tingkat NPF tersebut menunjukkan arah perbaikan, sehubungan dengan kualitas aset yang lebih baik. Na- mun, berdasarkan data empiris dan komparasi dengan bank konvensio­nal, Mamunur Rashid dan Ainun Nishat mengungkapkan, kinerja bank Islam di Bangladesh berada pada tingkatan yang lebih tinggi dalam ukur- an rasio NPF terhadap Total Pembiayaan. Pada 2006, rasio NPF bank Islam berada pada tingkat 5 persen, sedangkan kelompok bank konven- sional pada tingkat 3 persen. Dalam rangka memperbaiki kondisi bank Islam tersebut, Rashid dan Nishat merekomendasikan agar bank Islam menciptakan dan menerapkan quality credit culture, serta membangun corporate governance culture yang efektif, berbarengan dengan penera- pan prinsip-prinsip syariah.
Walaupun hanya berdasarkan jumlah kasus dan dalam kurun wak- tu yang terbatas, pengalaman bank syariah di atas menunjukkan de- ngan jelas, bahwa masalah NPF tersebut bukan berkaitan dengan atau disebabkan oleh sifat bank syariah. Masalah NPF tersebut semata-mata timbul karena penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat bank dan atau ketidakmampuan mereka. Di sini dapat disimpulkan, bahwa penyebab utamanya adalah faktor manusianya. Terhadap kegagalan sejumlah bank syariah yang pernah terjadi di Turki, Mesir, dan Afrika Selatan, Askari, Iqbal, Krichene, dan Mirakhor mengatakan bahwa penyebab utamanya adalah manajemen yang buruk, sebagai akibat tata kelola yang buruk, ke- alpaan (negligence), perilaku buruk, dan misrepresentasi.
Dubai World adalah konglomerat yang dimiliki oleh pemerintah dan memiliki proyek-proyek besar di Dubai, Uni Emirat Arab. Proyek atau bisnis tersebut meliputi jasa pelabuhan terbesar ketiga di dunia, proyek perumahan dan marina, dok kering, jasa perkapalan, jasa kapal pesiar, dan taman hiburan. Salah satu anak perusahaannya, Nakheel, merupakan proyek pengembangan perumahan elite yang disebut palm island. Pada akhir 2009, Dubai World memiliki utang US$ 80 miliar dan Nakheel US$ 3,5 miliar dalam bentuk sukuk. Pada saat yang sama, mereka meminta penundaan pembayaran utang yang jatuh tempo pada akhir 2009, karena kemampuan keuangan menurun. Penyebabnya, antara lain, menurunnya harga-harga properti, kerugian dalam beberapa kegiatan investasi, dan yang paling penting adalah bahwa kredit baru sulit diperoleh.
Penurunan harga properti itu dipengaruhi oleh masalah keuangan akibat subprime mortgage di Amerika, yang sekaligus memberikan dam- pak negatif kepada sektor keuangan sejumlah negara dunia. Ketika sukuk dikeluarkan pada 2006, aset yang mendasari sukuk itu bernilai US$ 4,22 miliar. Dengan menurunnya harga properti sebesar 50 persen, aset itu hanya bernilai US$ 2 miliar.
Berdasarkan informasi ini, dapat dikatakan bahwa inti permasalah- an Nakheel ini terletak pada penilaian awal proyek dan kemampuan arus kas yang diperkirakan dapat diperoleh. Penilaian suatu proyek real estat mewah memerlukan keahlian yang sangat khusus karena tidak saja me- nilai proyek yang akan dibangun, tetapi juga memperkirakan kestabilan kemampuan dan niat beli dari pasar calon pembeli yang dituju.
Penilaian suatu proyek yang akan dibangun tidak dapat didasarkan pada harga-harga properti pada titik puncak. Harga yang tinggi itu harus ditelaah secara mendalam, apakah mengandung unsur-unsur yang funda­mental yang mendasarinya; sebab, jika tidak, harga tinggi itu merupakan sebagian dari proses bubble. Analisis terhadap kemampuan dan niat beli dari calon pembeli yang dituju juga tidak mudah, apalagi jika perumahan itu bukan sebagai pembelian rumah pertama. Pada hakikatnya, analisis ini harus menemukan faktor fundamental yang logis kenapa calon pem- beli yang dituju akan merealisasikan niat untuk membelinya. Daya tank apa yang ada, atau yang akan dibangun di sekeliling permukiman itu, me- rupakan faktor penentu yang cukup dominan untuk setiap niat beli yang serius. Yang menjadi masalah adalah apabila faktor penentu yang dimak- sud merupakan harapan kenaikan harga yang mungkin terjadi setelah pembelian dilakukan; ini berarti terdapat unsur spekulasi di belakang niat beli tersebut sehingga niat itu bersifat semu.
Di samping itu, ada kemungkinan terjadi moral hazard pada para kreditor atau mitra, karena Dubai World atau Nakheel adalah konglome- rat yang dimiliki oleh pemerintah Arab Emirat, dan negara ini umumnya dianggap sebagai negara kaya. Jadi mereka mungkin menganggap, jika Dubai World atau Nakheel mengalami kesulitan, pemerintahnya pasti akan membantu. Inilah penyebab adanya kemungkinan mereka tidak melakukan analisis pembiayaan yang penuh atau memadai. Pada kenya- taannya, pemerintah Uni Emirat Arab menyatakan bahwa mereka tidak bertanggung jawab terhadap masalah yang dihadapi Dubai World atau Nakheel. Mereka bahkan mengatakan, bahwa para kreditor harus ikut bertanggung jawab terhadap keputusan yang mereka ambil, ketika kredit atau pembiayaan diberikan (Media Indonesia, 2/12/09).
Salman Syed Ali meneliti kegagalan bank di Turki yang terjadi pada krisis tahun 2000/2001, terutama dalam kaitannya dengan bank atau lembaga keuangan syariah di sana. Menurut dia, secara umum perbankan di Tur- ki memiliki akumulasi NPL yang besar. Penyebabnya, adanya pengaruh politik terhadap pemberian kredit dan pemberian kredit kepada pihak terkait, serta mewabahnya korupsi di semua lapisan. Di samping itu, perbankan pada umumnya melakukan ekspansi kredit yang berlebihan. Sejumlah bank, terutama bank pemerintah, harus mengalami restrukturi- sasi, tetapi hanya Ihlas Finans, satu dari enam lembaga keuangan syariah, yang mengalami kegagalan.
Lembaga ini melakukan pembiayaan terutama melalui akad muraba- hah dan PLS, dan pemupukan dana melalui akad wadiah dan PLS. Dari penelitian Ali, dapat disimpulkan sejumlah faktor penyebab kegagalan bank syariah ini.
Pertama, secara umum, lembaga keuangan syariah di Turki meng- hadapi kompetisi yang berat dengan bank konvensional. Total dana ma- syarakat yang dapat dihimpun berjumlah 3,1 persen, dari segi pemberian pembiayaan mencapai 4,7 persen dari jumlah total perbankan nasional. Kepemilikan lembaga itu cenderung bersifat tertutup, dan dimiliki oleh sejumlah kecil pemegang saham. Hal ini mengurangi kadar pengambilan keputusan yang profesional, yang dapat tersekspos kepada risiko karena tata kelola yang kurang bekerja dengan baik.
Kedua, dilihat dari perbandingan keadaan keuangan dengan lembaga syariah yang lain, pada tahun 2000, Ihlas memiliki aset terbesar diban- ding dengan yang lainnya, tetapi dengan modal paling kecil, yaitu dengan CAR 5,39 persen, sedangkan yang lain mencapai 7 persen. Keuntungan yang diperoleh diukur dengan rasio pendapatan kotor terhadap total aset hanya 18 persen, sedangkan yang lain mencapai 20,6 persen. Dana ma- syarakat yang dihimpun didominasi oleh akad mudharabah sebesar 96 persen, sisanya akad wadiah. Rasio likuiditas yang diukur dengan dana tunai yang dimiliki secara menyeluruh terhadap total aset hanya 0,53 persen, sedangkan yang lain lebih dari 10 persen.
Ketiga, secara khusus, Ihlas Finans pada intinya dikontrol oleh pemilik individu, yang menguasai sebagian besar saham pada induk perusahaan pe- milik pengendali Ihlas. Berbeda dengan lembaga keuangan syariah lainnya, keputusan cenderung disentralisasi pada individu pemilik saham pengen- dali tersebut, dengan dewan direksi menjadi pasif. Bahkan, senior executive Ihlas berasal dari bank yang sebelumnya gagal. Ihlas memiliki staf yang ku­rang berpengalaman di bidangnya, dan tidak melalui pelatihan yang cukup. Pemberian pembiayaan dilakukan tanpa due diligence yang diperlukan.
Sebagai kesimpulan, Ali berpendapat bahwa manajemen internal yang dimiliki Ihlas lemah, dan kurang berhati-hati dalam memberikan pem- biayaan.
Dari seluruh uraian mengenai bank syariah yang telah dikemukakan da- lam buku ini, dapat disebutkan karakteristik dan operasionalisasinya da- lam perbandingan dengan bank konvensional, sebagai berikut:
Hukum atau Ketentuan. Bank syariah diatur oleh ketentuan dalam Al-Quran dan telah dipraktikkan oleh Nabi Saw. Bagi umat Islam, Allah
Swt. adalah Maha Pencipta Langit dan Bumi serta Sekalian Alam. Seluruh pengetahuan bersumber dari Ke-Esaan-Nya, yang dapat dipelajari mela- lui ciptaan-Nya dan merupakan manifestasi sebagai suatu sistem terten- tu. Sebagaimana sistem yang diciptakan oleh Tuhan, bank dan pembia- yaan syariah mengikuti ketentuan yang telah digariskan dalam Al-Quran dan hadis Nabi Saw.
Dengan demikian, pada hakikatnya semua ciptaan-Nya, termasuk sistem perbankan syariah, tidak dapat ditandingi oleh manusia mana pun juga. Ciptaan-Nya itu memiliki kualitas yang paling tinggi, sistem yang komplit, dan berdaya guna tinggi bagi kemaslahatan umat. Hanya saja, manfaat yang dapat diperoleh sangat bergantung pada sejauh mana umat mempelajarinya dan bagaimana menerapkannya, apakah sesuai dengan kadar yang dikehendaki oleh Pencipta-Nya.
Filosofi. Perbankan syariah dibangun dengan fondasi yang me- nyeimbangkan kepentingan duniawi dan akhirati, kepentingan individu dan masyarakat banyak, keuntungan komersial dan tanggung jawab serta keadilan sosial, jangka pendek dan jangka panjang, serta menempatkan segala sesuatunya secara wajar dan pada tempat yang sebagaimana mestinya. Dengan karakteristik yang terakhir ini, uang juga ditempatkan untuk difungsikan dan digunakan sesuai dengan fungsinya itu.
Fungsi Uang dan Bunga. Dalam perbankan syariah, uang adalah alat tukar atau perantara transaksi pertukaran antara jual dan beli barang dan jasa. Uang bukanlah modal yang bersifat produktif, yang menghasilkan barang atau jasa karena hanya bersifat sebagai modal potensial. Agar produktif, uang terlebih dulu digunakan melalui tranformasi ke dalam alat-alat serta ke- perluan lain untuk berproduksi, sehingga tidak memiliki anak se- bagai hasil produksi dari dirinya sendiri. Uang bukan barang da- gangan yang dapat diperdagangkan, sehingga tidak pula memiliki harga, atau bunga. Seperti telah diuraikan, bunga menjadi topik sentral dari perbankan konvensional dan perekonomian kapi- talistis. Dari waktu ke waktu, unsur bunga dalam perekonomian
dan perbankan telah mendorong timbulnya banyak masalah bagi masyarakat umumnya, dan menambah risiko bisnis dan risiko kredit khususnya.
Penciptaan Kredit. Pada bank konvensional, dana masyarakat pada posisi pasiva dari neraca bank bersifat utang. Seperti sudah dikemukakan, dengan konsep reserve requirement yang berlaku di setiap perbankan di dunia, jumlah kredit yang tercipta lebih besar dari akumulasi riil deposit yang dapat dikumpulkan bank. Penciptaan jumlah kredit yang besar ini, yang tanpa disadari ter- bentuk karena penggunaan utang yang besar, cenderung mendo- rong penyaluran kredit untuk pembiayaan yang berlebihan pada suatu industri, di luar sektor riil, dan bersifat spekulatif.
Pada perbankan syariah, hal tersebut tidak mudah terjadi kare- na beberapa hal. Pertama, sebagian besar dana masyarakat pada bank syariah menggunakan akad mudharabah, yang secara hukum bukan merupakan utang bagi bank, tetapi bersifat kuasi modal. Kedua, sebelum menempatkan dananya pada bank, secara teori, calon deposan harus meneliti terlebih dulu apakah bank itu dapat menghasilkan keuntungan atau tidak. Ketiga, pemilik dana berda- sarkan akad mudharabah memiliki wadah untuk mengontrol ke mana dananya itu akan diinvestasikan oleh bank, dan mendorong mereka untuk ikut mengontrol perkembangan bank dari waktu ke waktu. Keempat, berdasarkan sifat akad-akad pembiayaan bank syariah, pembiayaan yang dapat dilakukan oleh bank cenderung dibatasi pada sektor riil yang produktif dan sama sekali tidak spe- kulatif. Kelima, dilarangnya sifat gahral dan maysir akan mendo- rong transparansi dan keterbukaan informasi yang lebih baik, serta memperkecil unsur asymmetric informatian dan moral hazard.
Pendanaan. Tidak seperti pada bank konvensional, dana yang dihimpun pada bank syariah bersifat sebagai titipan melalui akad wadiah atau dapat digunakan sebagai dana investasi me- lalui akad mudharabah, tetapi dengan atau tanpa persetujuan pemilik dana. Di sini, pemilik dana dapat ikut menentukan ke dalam bisnis apa dana tersebut dapat diinvestasikan. Dana ini

tidak bersifat utang bagi bank, dan tidak mengandung beban yang tetap, seperti halnya pada bank konvensional yang harus memberikan bunga kepada para deposan. Sebagai penggantinya, bank syariah memberikan perkiraan suatu tingkat keuntung- an dengan suatu nisbi pembagian keuntungan yang pasti, yang besaran nominal pembagiannya ditentukan secara pasti ketika keuntungan itu telah diperoleh.
Kegiatan Utama Bank. Bank konvensional lebih banyak melakukan kegiatan dalam bentuk pemberian pinjaman, sedangkan bank syariah melakukan pembiayaan. Perbedaan ini menghasilkan jenis risiko yang berbeda. Pada bank konvensional, risiko yang dihadapi bank terutama berasal dari kredit yang diberikan, atau risiko kredit yang merupakan kemungkinan debitor tidak dapat mememenuhi kewajiban pembayaran. Bank syariah, di lain pihak, selain menghadapi risiko kredit juga mengha- dapi risiko investasi. Risiko kredit berasal dari akad murabahah dengan pembayaran tunda, atau akad ijarah terhadap janji pembayaran sewa, atau dari akad salam atau istishna di mana pembayaran di muka telah dilakukan tetapi barang pesanan belum diperoleh dalam bentuk dan wak- tu yang telah disepakati. Risiko investasi berasal dari akad mudharabah dan musyarakah, yaitu adanya kemungkinan investasi yang dilakukan tidak membuahkan hasil yang diharapkan, ditinjau dari keuntungan yang diperkirakan dalam jangka waktu yang telah diperhitungkan.
Sektor Keuangan Vs Sektor Riil. Karena uang hanya ber- fungsi sebagai alat pertukaran dan kemudian mewakili suatu nilai, perbankan syariah tidak memberikan pinjaman uang dan uang bukan sebagai kausa prima akad-akadnya. Kausa prima pada perjanjian bank syariah adalah barang yang bersifat nyata atau usaha yang bersifat produktif. Kedua kausa prima ini ten- tunya berada di ranah sektor riil. Dengan demikian, uang yang digunakan dalam pembiayaan suatu pembelian atau ditransfor- masikan ke dalam penggunaan suatu barang atau untuk menja­lankan suatu usaha melekat secara langsung pada sektor riil.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan karakteristik perbankan syariah ke dalam dua bagian utama. Pertama, dilihat dari konteks yang bersifat makro atau ditinjau sebagai suatu sistem. Kedua, ditinjau dari segi mikro atau dari segi penerapan konsep perbankan syariah itu sendiri.
Tinjauan dari segi makro. Dari perbandingan antara bank konvensio­nal dan bank syariah seperti dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bah­wa secara logika kegiatan bank syariah sebagai suatu sistem ditinjau dari segi makro dapat menciptakan perbankan yang lebih stabil. Alasannya:
Pertama, kegiatan perbankan syariah berakar pada perdagangan. Sebagai suatu sistem, pembiayaan bank syariah melekat pada kegiatan perdagangan, dan segala usaha yang dapat mengembangkan kegiatan pro- duktif, dengan tujuan memperoleh keuntungan sebagai kompensasi terha- dap usaha yang dilakukan, dan pembagian risiko bagi pihak yang terkait dalam usaha tersebut. Konsep keadilan berangkat dari tataran ini, sama- sama memperoleh keuntungan atas risiko yang ditanggung bersama.
Kedua, perbankan syariah lebih mengutamakan penggunaan kerja sama yang mengacu pada bagi hasil atau PLS, bukan berdasarkan utang dan bukan atas dasar hubungan kreditor-debitor, seperti pada perbank- an konvensional. Dari segi pasiva neraca bank, dana masyarakat yang dihimpun bukan bersifat "utang", melainkan lebih bersifat kuasi modal atau ekuitas. Dari segi aktiva, penyaluran dana masyarakat juga dapat menggunakan akad PLS walaupun sampai saat ini penggunaannya masih relatif kecil. Dalam kaitan ini, Siddiqi berpendapat bahwa intermediasi keuangan yang bersandar pada bagi hasil akan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap stabilitas perekonomian umumnya, dan sektor keuangan khususnya, sehingga memiliki daya tahan yang lebih besar ke- tika menghadapi kejutan perubahan ekonomi.
Ketiga, penyaluran dana masyarakat, yang dihimpun dan tertera da- lam bagian pasiva dari neraca bank, membentuk portofolio bank syariah yang merupakan manifestasi penggunaan akad-akad yang dapat diguna- kan oleh bank syariah. Walaupun sebagian akad menyerupai perjanjian kredit, kecuali akad qard hassan dan PLS, kausa prima dari seluruh akad adalah barang atau usaha. Dilihat dari hakikat pembiayaannya, karena sektor keuangan melekat dengan sektor riil, menyatunya kedua sektor ini dengan sendirinya mendorong timbulnya keseimbangan yang diharapkan pada persamaan Irving Fisher, yaitu jumlah nilai produksi barang dan jasa sama dengan jumlah nilai uang yang beredar; tanpa adanya jumlah kredit yang terbentuk dalam perbankan konvensional, yang akan menam- bah jumlah uang yang beredar. Lebih lanjut, pembiayaan yang dapat di- lakukan tersebut tidak dapat bersifat spekulatif, atau mengandung unsur gharal dan maysir, serta tidak berkaitan dengan produksi barang dan jasa yang dilarang. Pemberian kredit yang tidak digunakan pada kegiat- an produktif dalam sektor riil akan membuka peluang yang lebih besar pada kegiatan yang bersifat spekulatif, karena spekulasi selalu cenderung mengarah pada instabilitas. Menurut Siddiqi, menjauhnya sektor ke- uangan dari sektor riil ini merupakan kelemahan dari sistem perbankan konvensional, dan menyebabkan timbulnya banyak krisis keuangan dan perbankan di dunia.
Keempat, berbeda dengan bank konvensional yang bertitik tolak dari peminjaman uang atau kredit dengan kompensasi bunga, kompensasi bagi pembiayaan bank syariah mengacu pada perolehan keuntungan yang dihasilkan dari usaha yang dibiayai, atau keuntungan dari kegiatan jual- beli yang realisasinya dibayar secara tunai atau diangsur sejalan dengan angsuran harga pokok, atau sewa dari barang produktif yang disewa. Kompensasi bunga pada bank konvensional bersifat tetap, sedangkan bagian keuntungan yang dapat diperoleh pada akad PLS bersifat variabel atau fluktuatif, bergantung pada perolehan keuntungan riil dari usaha yang dibiayai. Adanya beban bunga pada usaha yang dibiayai oleh pin­jaman jelas memberikan risiko yang jauh lebih tinggi, dibandingkan jika usaha dibiayai melalui akad PLS. Hal ini terjadi karena dana PLS menye- rupai kuasi ekuitas, dan kompensasinya berupa keuntungan yang dibagi bergantung pada perolehan keuntungan yang sesungguhnya.
Kelima, pada bank syariah, terdapat wadah untuk melakukan sinkro- nisasi dari segi dan keuntungan antara akad PLS pada sisi pasiva neraca bank dengan PLS pada sisi aktiva. Di samping itu, PLS pada sisi pasiva dengan dana yang digunakan bank bersifat kuasi ekuitas, risiko yang di- hadapi bank juga dibagi dengan pemilik dana. Karena itu, kedua faktor ini dapat menambah ketahanan bank terhadap kejutan perubahan ekonomi.
Keenam, sistem perbankan syariah menuntut adanya integritas dari sektor keuangan agar bersatu dengan sektor riil, dibarengi dengan komit- men kerja sama dalam jangka yang lebih panjang dalam rangka pencapai- an nilai-nilai komersial tanpa melupakan nilai-nilai moralitas, sehingga dapat mencapai keadilan dan kemakmuran berkelanjutan secara bersama.
Tinjauan dari segi mikro. Sejauh yang berkaitan dengan buku ini, be- berapa karakteristik dari segi mikro yang dimaksud dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, pelaksanaan bank syariah dan pembiayaannya memer- lukan unsur pengetahuan dan keahlian yang lebih dalam dan lebih luas. Pengetahuan ini mencakup hal ihwal mengenai bermacam bentuk usaha atau bisnis dengan segala karakteristiknya sebelum bank dapat menilai suatu bentuk investasi untuk dibiayai, dan bagaimana investasi itu dapat diawasi dengan baik. Khususnya pada pembiyaan PLS, posisi bank seta- ra dengan sponsor proyek atau mudharib atau para mitra lainnya, yang berbeda jika posisi itu merupakan hubungan debitor-kreditor. Dalam pembiayaan ini, keberhasilan proyek sangat bergantung pada keyakinan bahwa usaha dan mudharib atau mitra yang dibiayai dapat menghasilkan keuntungan. Jika rugi, semua pihak menanggungnya.
Kedua, pelaksanaan bank syariah dan pembiayaannya menuntut adanya kejujuran dan sifat amanah serta komitmen dari semua pihak ter- kait, baik dari sisi bank maupun dari sisi nasabah bank. Keyakinan bank terhadap adanya unsur-unsur ini di pihak nasabah, di samping keyakinan bank akan kemampuan nasabah dalam menciptakan keuntungan, me- rupakan landasan yang paling mendasar pada bank syariah. Masalah ini sangat penting untuk diperhatikan karena pembiayaan syariah tidak me- miliki mekanisme kontrol, seperti pembayaran bunga secara reguler dan pengikatan kolateral, yang umumnya lebih jelas pada bank konvensional.
Ketiga, berdasarkan pada dua butir di atas, pelaksanaan sistem per- bankan syariah lebih bersandar pada kebajikan kolektif seperti keterbu- kaan informasi atau transparansi yang lebih baik, tata kelola unit usaha yang baik, kesetiaan terhadap kesepakatan yang timbal balik, hubungan kontraktual yang setara dalam berusaha, kepatuhan terhadap ketentuan dan norma-norma yang berlaku termasuk disiplin pasar, dan adanya upa- ya untuk tidak menimbulkan kerugian bagi pihak lain dalam hubungan kontraktual di luar yang telah disepakati. Karena itu, transaksi perbankan syariah menuntut lebih banyak unsur moralitas dari semua pihak yang terkait, baik pihak bank maupun pihak nasabah, dibandingkan dengan keperluan untuk bersandar pada kerangka hukum positif seperti halnya pada perbankan konvensional.
Keempat, seperti halnya perbankan konvensional, bank syariah juga menghadapi masalah asymmetric information dan agency problem. Dari segi struktur sistem, transaksi pada bank syariah dapat mendorong keter- bukaan informasi yang lebih baik dan menekan masalah agency problem. Namun, masalah kedua ini sangat bergantung pada manusianya, dalam hal ini sejauh mana mereka memenuhi unsur-unsur moralitas yang di- perlukan. Jika mereka berpegang teguh pada konsep ketauhidan, dengan keimanan dan ketakwaan yang baik, seyogianya masalah kemanusiaan ini dapat pula diminimalkan.
Kelima, masalah agency problem yang paling berkemungkinan dapat terjadi adalah pemilik bank bertindak sebagai shahibul mal dalam usaha yang dijalankan oleh mudharib atau mitra sebagai nasabah bank. Jika hal ini terjadi, objektivitas dalam penilaian dan pengawasan pembiayaan dapat menjadi tidak efektif, dan yang paling buruk dapat menimbulkan adverse selection.
1       Saeed (2004: 200).
2      Abu Hurairah mengatakan, " Jika seseorang menerima barang orang lain de­ngan niat untuk mengembalikannya maka Allah akan membayarkan untuk dia. Tetapi, jika dia menerima barang itu dengan niat untuk memboroskan- nya, Allah akan menghancurkan hartanya." Suhaibul Khair menyampaikan ucapan Nabi Saw., "Jika seseorang meminjam suatu jumlah dari orang lain dan dia tidak berniat untuk membayar kembali, maka dia akan bertemu de- ngan Allah sebagaipencuri" (Ishaat: 162-163).
3       Affandi (2002: 97).
4       Taufik (2004: 145).
5       Antonio (2001: 132).
6      Al-Sharakhs/Hanafi, Al-Khatib Al-Shirbini/Shafii, dikutip oleh Al-Zuhayli (2002: 605)
7       Jajak pendapat yang dilakukan Associated Press dengan Gesellschaft fur Konsumforschung (GfK) pada Juni 2010 menunjukkan, 46 persen responden mengaku mengalami stres yang cukup berat karena utang mereka menjadi momok dengan kekhawatiran tidak dapat membayarnya saat perekonomian Amerika belum menunjukkan ke arah perbaikan (Kompas, 1 Juni 2010).
8      Ahmad (2000).
9       Morriss (2008: 5-6).
10   Al-Jarhi (2008: 10).
11     Bunga juga ditentang oleh banyak pihak, antara lain Aristoteles, Plato, Hu- kum Roma (Ius Romanum), kitab suci Yahudi, dan Perjanjian Lama Kristen (K Berten, hal. 51). Pada saat penyebaran praktik bunga tidak dapat dihindar- kan dalam bisnis, pihak gereja melakukan kompromi dan menarik sikap pe- nentangannya secara terbuka. Tahun 1545, hukum Inggris memperbolehkan pembebanan bunga sampai tingkat tertentu, dan jika lebih tinggi dianggap pemerasan (Tarek El-Diwany, hal. 31).
12    Abdullah Saeed, diedit oleh Virginia Hooker (117).
13    Vogel dan Hayes.
14    Green (2009: 68)
15    Kerja keras dan berpartisipasi dalam kegiatan kreatif ekonomi merupakan ke- wajiban setiap muslim (QS Al-Jumu'ah 62: 10) (Warde, 2001: 62).
16    Selain di Surah Al-Baqarah, Surah Al-Nisa' (4: 33) juga menyebutkan: "Hai orang-orang yang beriman biarlah di antara kamu berjalan dan berdagang dengan cara yang saling menguntungkan." Di samping itu, Nabi Saw. ber- sabda, "Sesungguhnya pedagang yang jujur akan bersama Rasul dan orang beriman, dan syuhada di hari Kiamat" (Tirmidzi 12: 4; Harahap, 2004: 210), dan "Kamu harus melaksanakan kegiatan bisnis karena 99 persen dari reze- ki Allah ada di dalamnya" (Mansor, 1984: 11; Harahap, 2004: 210).
17    Surah Al-Mulk [67]: 15) dan Al-Jumu'ah [62]: 10).
18    (1997: 323-326).
19    Seigniorage berasal dari bahasa Prancis, seigneur, yang berarti "tuan tanah". Di abad pertengahan, tuan tanah memiliki hak eksklusif untuk mencetak uang (Mankiw, 2003: 185).
20   M = money supply, V = velocity of money, P = tingkat harga, dan Y = the real output of goods and services. Sebelah kiri persamaan mewakili sektor ke- uangan dan sebelah kanan mewakili sektor riil. Jika money supply meningkat tanpa dibarengi dengan kenaikan produksi barang dan jasa, dengan asumsi V konstan, maka tingkat harga akan naik atau dapat terjadi inflasi.
21    Aksioma keduanya adalah bahwa gelembung harga aset ditentukan oleh per- tumbuhan kredit.
22    Hiperinflasi terjadi karena pertumbuhan uang yang beredar yang berlebihan, dan ini dapat disebabkan oleh defisit belanja negara yang tidak dapat ditutup dari penghasilan pajak dan perolehan utang, maka pemerintah terpaksa men- cetak uang, atau membiayai perang dengan mencetak uang (Mankiw, 2006: 85, 101).
23    Lou, Jianbo, China's Troubled Bank Loans, hal. 31.
24    Salah satu contoh yang cukup menonjol adalah kasus Meksiko, yang utangnya meningkat dari US$ 80 miliar pada 1980 menjadi US$ 112 miliar pada 1988. Karena Meksiko tidak mampu membayarnya, dibuat Brady Plan, yaitu utang dipotong menjadi 80 persen, dan sisa utang ini dijamin oleh World Bank dan IMF dan dikonversi menjadi Brady Bonds, sebagian dijamin oleh US Treasury. Brady Bonds diperdagangkan di secondary markets, dan nilainya mencapai US$ 170 miliar. Sebagai kompensasi atas jaminan IMF dan World Bank, Mek- siko harus mengikuti keinginan kreditor terhadap kontrol kebijakan ekonomi, perpajakan, anggaran, dan kepemilikan industri (Hertz, 2004, hal. 72-73).
25    Karim (2004: 365).
26    Berdasarkan ketentuan Pasal 9 PBI No.7/46/PBI/2005, bank dapat meminta
agunan tambahan selain barang yang dibiayai bank.
27    Ibn-ul human, Fath-ul-Qadir v5, p. 211, dikuti oleh Usmani (2005: 189)
28   Zarqa (1997: 68)
29    Sundararajan dan Errico (2002: 6)
30   S. Ibn 'Abidin, Radd-ul-Muhtar V. 5, hal. 225, dikutip oleh Usmani (2005: 198).
31    Usmani (2002: 161).
32    Sundararajan dan Errico (2002: 6); Usmani (2005: 160).
33    Banyak literatur menyebutkan akad ini sebagai profit and loss sharing (PLS) agreement.
34    Rivai dan Andria (2008: 46).
35    Usmani (2005: 38); Iqbal dan Mirakhor (2007: 93).
36    How, Karim, dan Verhoeven (2005); Perwataatmadja dan Antonio (1992: 47); Kamali (2006).
37   Algaoud dan Lewis (2001: 123).
38   Hal ini telah diatur oleh AAOIFI dalam Ketentuan Standar Akunting No. 5, yang menetapkan dasar alokasi pembagian keuntungan ini harus dikemuka- kan dalam laporan keuangan bank (El-Gamal, 2005).
39   Al-Zuhayli's (2003: 493-494).
40   Al-Zuhayli's, (2003: 495).
41    Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia mendefinisikan sukuk seba- gai surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluar- kan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten mem- bayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin atau fee, serta membayar kembali dana obligasi saat jatuh tempo.
42    Errico dan Farakhbaksh (1998); Vernardos (2006: 109).
43    Rivai dan Andria (2008: 352) menambahkan satu C sehingga menjadi 6C. Tambahan itu adalah constraints, yaitu batasan yang tidak memungkinkan suatu bisnis dilaksanakan pada suatu tempat tertentu. Tentunya ini lebih re- levan bagi bisnis yang baru akan dijalankan. Akan tetapi, karena bisnis baru mengandung risiko yang lebih tinggi, bank umumnya memilih untuk membia- yai bisnis yang telah memiliki track record yang jelas, atau yang sudah berja- lan lama.
Warde (2000: 155).

1 komentar:

  1. Halo semuanya, Nama saya Siska wibowo saya tinggal di Surabaya di Indonesia, saya seorang mahasiswa, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mengingatkan semua pencari pinjaman untuk sangat berhati-hati karena ada banyak perusahaan pinjaman penipuan dan kejahatan di sini di internet , Sampai saya melihat posting Bapak Suryanto tentang Nyonya Esther Patrick dan saya menghubunginya melalui email: (estherpatrick83@gmail.com)

    Beberapa bulan yang lalu, saya putus asa untuk membantu biaya sekolah dan proyek saya tetapi tidak ada yang membantu dan ayah saya hanya dapat memperbaiki beberapa hal yang bahkan tidak cukup, jadi saya mencari pinjaman online tetapi scammed.

    Saya hampir tidak menyerah sampai saya mencari saran dari teman saya Pak Suryanto memanggil saya pemberi pinjaman yang sangat andal yang meminjamkan dengan pinjaman tanpa jaminan sebesar Rp200.000.000 dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa tekanan atau tekanan dengan tingkat bunga rendah 2 %. Saya sangat terkejut ketika saya memeriksa rekening bank saya dan menemukan bahwa nomor saya diterapkan langsung ditransfer ke rekening bank saya tanpa penundaan atau kekecewaan, segera saya menghubungi ibu melalui (estherpatrick83@gmail.com)

    Dan juga saya diberi pilihan apakah saya ingin cek kertas dikirim kepada saya melalui jasa kurir, tetapi saya mengatakan kepada mereka untuk mentransfer uang ke rekening bank saya, karena saya berjanji bahwa saya akan membagikan kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres atau penundaan.

    Yakin dan yakin bahwa ini asli karena saya memiliki semua bukti pemrosesan pinjaman ini termasuk kartu ID, dokumen perjanjian pinjaman, dan semua dokumen. Saya sangat mempercayai Madam ESTHER PATRICK dengan penghargaan dan kepercayaan perusahaan yang sepenuh hati karena dia benar-benar telah membantu hidup saya membayar proyek saya. Anda sangat beruntung memiliki kesempatan untuk membaca kesaksian ini hari ini. Jadi, jika Anda membutuhkan pinjaman, silakan hubungi Madam melalui email: (estherpatrick83@gmail.com)

    Anda juga dapat menghubungi saya melalui email saya di (siskawibowo71@gmail.com) jika Anda merasa kesulitan atau menginginkan prosedur untuk mendapatkan pinjaman

    Sekarang, yang saya lakukan adalah mencoba untuk memenuhi pembayaran pinjaman bulanan yang saya kirim langsung ke rekening bulanan Nyonya seperti yang diarahkan. Tuhan akan memberkati Nyonya ESTHER PATRICK untuk Segalanya. Saya bersyukur

    BalasHapus