B
|
ANYAK
pengamat melakukan penelitian yang mengaitkan NPL dan kemudian krisis perbankan
dengan masalah-masalah ekonomi mak- ro.1 Banyak pula pengamat yang mengakui,
perkembangan ekonomi mak- ro dapat memberikan tekanan kepada bank atau sistem perbankan.2
Me- nurut Michael
Gavin dan Ricardo Hausmann, dalam keadaan seperti itu, bank yang paling lemahlah yang
akan mengalami kegagalan lebih dulu; kedua-duanya—tekanan ekonomi makro dan lemahnya bank—lah yang menyebabkan kegagalan.
Krisis yang terjadi pada suatu sistem perbankan umumnya telah mengandung rasio NPL yang
tinggi, dan didorong oleh adanya kejutan ekonomi makro yang besar. Bahkan, ada pula pengamat yang
berpenda- pat, NPL
merupakan penyebab awal suatu kejutan ekonomi makro yang menimbulkan krisis perbankan.3
Hanya saja, NPL ini tidak serta-merta dapat dilihat sebelum krisis terjadi karena adanya berbagai
alasan, terma- suk
kebijakan forebearance. Dalam keadaan seperti ini, penyebab krisis dengan alasan kejutan ekonomi
makrolah yang paling banyak disebutkan sebagai alasan dan diterima secara politis.
Walaupun demikian, tidak semua kejutan ekonomi makro dapat me- nyebabkan krisis keuangan, kecuali
yang bersifat besar dan drastis.4 Dalam kaitan ini, disebutkan bahwa
kegagalan-kegagalan bank di Amerika umum- nya dipicu oleh kejutan tajam yang terjadi pada ekonomi makro
regional
atau nasional, atau menciutnya gelembung harga aset, terutama pada real estat.5 Selain itu, menu- rut Kaufman, berdasarkan suatu studi mengenai kegagalan bank pada 1865-1936, dilaporkan bah- wa penyebab kegagalan bank yang paling sering disebutkan adalah tekanan keuangan (financial distress) dan manajemen yang tidak kompeten.
atau nasional, atau menciutnya gelembung harga aset, terutama pada real estat.5 Selain itu, menu- rut Kaufman, berdasarkan suatu studi mengenai kegagalan bank pada 1865-1936, dilaporkan bah- wa penyebab kegagalan bank yang paling sering disebutkan adalah tekanan keuangan (financial distress) dan manajemen yang tidak kompeten.
Sebelum depresi ekonomi 1930 terjadi di Amerika, sejumlah 1.492 bank
mengalami kegagalan pada 1928/1929, diikuti sejumlah penutup- an bank lainnya sampai tahun
1933. Dari semua penutupan bank ini, Susan Eastbrook Kennedy menyimpulkan, penyebab bank-bank tersebut
ditutup secara umum
adalah masalah-masalah di tingkat mikro. Ia menyebutkan, masalah-masalah mikro ini
mencakup pembiayaan spekulatif pada real es- tat dan saham, pinjaman pada grup sendiri, ketidakmampuan
manajemen, pemberian
kredit yang sembrono, manajemen yang buruk, dan kerakusan.
Dalam perkembangan berikutnya di Amerika, menurut Kitty
Calvita, Henry N.
Pontell, dan Robert H. Tillman, akar keruntuhan industri saving & loan tahun
1980-an di Amerika berada pada pengambilan risiko
yang berlebihan, tapi merupakan tingkah laku
ekonomi yang rasional. Namun, dalam konteks moral
hazard, penyebabnya adalah pertimbang- an bisnis yang buruk dan
mismanajemen.
Sementara itu, Jerome Sgard, dalam mengkaji krisis kredit di
lima negara dengan
perekonomian transisi, mengatakan perlu mengkaji seca- ra seimbang penyebab krisis
tersebut. Dia berpendapat, ekonomi makro umumnya menekankan pada masalah defisit anggaran yang besar
dalam konteks
tingkat tabungan yang rendah, dan kebijakan moneter yang ke- tat. Namun, ekonomi mikro
umumnya dianggap sebagai faktor penentu, yang sering langsung dapat dilihat pada berbagai negara yang
berbeda.
Penyebab kegagalan bank yang
paling sering disebutkan adalah tekanan keuangan (financial distress) dan
manajemen yang tidak kompeten.
|
Dalam kaitan dengan yang terakhir ini, menurut Sgard,
keterbatasan internal
bank umumnya berada pada masalah persediaan faktor produksi yang terbatas (SDM atau modal
sendiri), atau masalah governance yang memainkan peranan penting, di samping keterbatasan lingkungan
opera- si yang ada
seperti property rights yang lemah, dan masalah
asymmetric information merupakan faktor yang
kritis. Sebagai contoh lain, Singa- pura, yang berada di tengah badai krisis Asia, memiliki
ketahanan yang berakar,
antara lain, pada sektor perbankan yang sehat dan corporate governance yang
kuat.
Di lain pihak, dalam keadaan normal, risiko bank yang paling
besar timbul dari
masalah likuiditas. Bank setiap waktu harus menyiapkan ting- kat likuiditas tertentu, dengan
perhitungan tertentu, sehubungan dengan kemungkinan para deposan meminta dananya kembali. Persiapan
likuidi- tas ini
harus selalu dilakukan mengingat sebagian besar dana masyarakat tersebut ditanamkan dalam
bentuk pinjaman dengan jangka waktu yang lebih panjang.
Karena itu, menurut Gavin
dan Hausmann, sudah merupakan fe- nomena yang umum bahwa kegagalan bank mengikuti mekanisme yang sama, yaitu ketidakmampuan bank
untuk menyerahkan dana masyarakat ketika diminta kembali. Bank akan tidak mampu menyediakan
likuidi- tas yang
diperlukan ketika para deposan memintanya. Dengan kata lain, masalah likuiditas akan menjadi
lebih berat jika bank mengalami kredit macet yang besar. Masalah likuiditas akan menjadi akut hanya
disebabkan oleh portofolio pinjaman bank yang tidak sehat, atau yang memiliki tingkat NPL tinggi.
Para ahli, terutama di
tingkat internasional, melakukan penelitian menda- lam mengenai akar penyebab NPL
di seluruh dunia dan Indonesia, terutama yang berkaitan dengan krisis keuangan atau perbankan. Bagian
ini memba- has
substansi dari penelitian tersebut, dengan menggunakan variabel ekono- mi makro dan mikro. Di bawah
ini disajikan ikhtisar penelitian yang meng- gunakan pendekatan ekonomi makro di negara-negara ASEAN dan
non- ASEAN, dan
pada bagian berikutnya dengan pendekatan ekonomi mikro.
Janice
Boucher Breuer (2006)6 mengkaji masalah NPL dari muara yang paling dalam, yaitu peranan
ganda yang harus dilakukan bank sebagai perantara keuangan. Terhadap pemilik dana, bank bertindak
sebagai agen,
sedangkan terhadap nasabah peminjam, bank merupakan prinsipal. Peranan ganda ini sering
menimbulkan benturan kepentingan yang dapat menimbulkan mismanajemen dan akhirnya menciptakan NPL.
Berdasar pada model Diamond, bank, para deposan, dan nasabah
pe- minjam memiliki
pembawaan dengan sifat self interest, yakni bank dike- lola oleh orang yang memiliki self interest, dan bank
melayani orang yang juga memiliki self interest, maka dalam hubungan ini terdapat potensi benturan kepentingan. Benturan
ini bisa menimbulkan tindakan yang bertentangan terhadap kewajiban, sehingga menimbulkan NPL.
Sifat self interest ini dimainkan dalam batasan institusi seperti per- aturan dan ketentuan perbankan,
praktik pengawasan, praktik penegakan hukum secara umum, dan bahkan standar moral dan etika. Sejauh
mana NPL dapat
ditekan, menurut Breuer, sangat bergantung pada kualitas in- stitusi-institusi ini.
Breuer menambahkan, pengawasan dan peraturan perbankan, ter- masuk the Bassel Accord,
merupakan institusi utama yang berfungsi untuk memengaruhi tingkah laku bank. Institusi ini dapat
langsung me- nekan
potensi munculnya benturan kepentingan antara kedua hubungan tersebut, sehingga masalah
perbankan dapat dihindari. Tetapi, sejumlah institusi yang ada dan merupakan infrastruktur sosial suatu
negara dapat pula
memengaruhi tingkah laku bank tersebut. Institusi yang dimaksud adalah hukum, politik,
sosiologi, dan ekonomi. Semuanya ini dapat pula memengaruhi tingkah laku yang dimainkan dalam hubungan
prinsipal- agen
dalam konteks hubungan perbankan.
Hasil penelitian Breuer mengenai korelasi NPL dengan
institusi-in- stitusi
itu menghasilkan beberapa penemuan yang sejalan dengan hipotesis yang
dikemukakannya. Penelitian Breuer ini tidak secara spesifik menggunakan faktor-faktor
ekonomi makro, tetapi lebih mengaitkan lingkungan operasi dan manajemen internal bank dengan NPL.
Faktor- faktor
lingkungan ini merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih luas dan berada di luar jangkauan
manajemen internal. Lingkungan operasi bank yang dimaksud meliputi lingkungan sosial dan penegakan
hukum; sedangkan
dari segi manajemen internal bank, faktor-faktor yang diguna- kan terdiri atas penerapan
manajemen risiko, pengenaan sanksi terhadap pelanggaran internal, dan diversifikasi aset.
Kualitas lingkungan operasional yang harus dihadapi bank
bersifat given (apa adanya). Dalam hal ini, bank tidak dapat memengaruhi
atau memperbaiki
keadaan lingkungan tersebut. Apa yang sesungguhnya di- perlukan oleh bank adalah
bagaimana bank dapat menghadapi masalah lingkungan yang ada, sehingga tetap dapat beroperasi secara
langgeng. Faktor
utama yang membuat bank tetap hidup beroperasi adalah kemam- puan untuk menekan NPL
seoptimal mungkin.
Karena itu, yang perlu dicari adalah faktor-faktor apa yang
dapat memengaruhi
timbulnya NPL, dilihat dari konteks manajemen internal bank. Dalam kaitan ini, Breuer
menggunakan praktik manajemen risiko, pengenaan
sanksi terhadap pelanggaran internal, dan diversifikasi aset. Semua faktor mikro ini berkorelasi secara negatif terhadap NPL. Ini artinya
penerapan faktor-faktor tersebut akan dapat menurunkan tingkat NPL.
Dilihat sebagai variabel independen yang berdiri sendiri,
manaje- men risiko
dapat diterapkan dalam banyak cara. Salah satu dari pende- katan itu, setiap usulan kredit
harus dikaji oleh pihak yang independen dari bagian yang mengusulkannya sebagai langkah check and balances, dalam
hal ini bagian marketing. Kemudian, prinsip-prinsip penanganan risiko yang dituntut oleh
manajemen risiko umumnya telah tertera dalam ketentuan internal bank dan ketentuan dari Bank Indonesia.
Dengan de- mikian,
yang diperlukan di sini adalah penerapannya oleh semua pejabat yang terkait dalam perkreditan,
terutama para pemutus kredit.
Untuk
memastikan bahwa penerapan ini telah dilakukan dengan baik dan konsisten oleh semua pihak
terkait, yang diperlukan kemudian adalah unsur
pengawasan, yang secara khusus berupa audit kredit. Sejalan dengan
unsur pengawasan itu, hal yang serupa juga berlaku terhadap perlunya sanksi terhadap
pelanggaran internal yang mungkin terjadi. Adapun
unsur mikro yang lain, yaitu diversifikasi risiko, memang merupakan tugas intermediasi
keuangan. Tanpa melaksanakan tugas ini dengan baik, tidaklah mungkin mencapai portofolio yang sehat.
Karena itu, yang
diperlukan di sini adalah bagaimana dapat diyakini bahwa tugas bank dalam melakukan diversifikasi
risiko benar-benar dijalankan dengan baik. Untuk dapat meyakinkan bahwa suatu tugas dijalankan dengan
baik, tentu- nya perlu meninjau tingkat pengetahuan, kemampuan, dan penga- laman,
serta profesionalisme pihak yang menjalankan
tugas tersebut.
Ana-Maria
Fuertes dan Zulma Espinola (2006) melakukan penelitian de- ngan menggunakan panel data
bulanan yang berkaitan dengan 32 bank, mulai 1995 sampai 2003, di Paraguay. Tujuan penelitan ini
adalah me- neliti
apakah variasi dalam NPL di Paraguay dalam kurun waktu tertentu dan terhadap semua bank dapat
dijelaskan oleh satu set variabel ekonomi dan keuangan.
Variabel ini dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, indikator yang menunjukkan tingkat kesehatan
setiap lembaga keuangan atau yang di-
sebut microprudential indicators7 (seperti rasio modal, likuiditas, biaya-biaya, dan return on asset). Kedua, indikator ekonomi makro atau exogeneous shock yang dapat memengaruhi sta- bilitas sistem keuangan, atau disebut macropru- dential indicators.8 Latar belakang pemikirannya adalah kedua kelompok indikator ini konsisten dengan pandangan bahwa krisis keuangan ter- jadi karena lembaga keuangannya lemah ketika menghadapi guncangan ekonomi makro.
sebut microprudential indicators7 (seperti rasio modal, likuiditas, biaya-biaya, dan return on asset). Kedua, indikator ekonomi makro atau exogeneous shock yang dapat memengaruhi sta- bilitas sistem keuangan, atau disebut macropru- dential indicators.8 Latar belakang pemikirannya adalah kedua kelompok indikator ini konsisten dengan pandangan bahwa krisis keuangan ter- jadi karena lembaga keuangannya lemah ketika menghadapi guncangan ekonomi makro.
Kekuatan
suatu sistem perbankan juga dapat dipengaruhi oleh fak- tor-faktor yang tidak dapat diukur,
seperti infrastruktur hukum, kualitas pengawasan bank, dan ketentuan mengenai standar akunting dan
standar lainnya.
Termasuk fitur kualitatif lainnya seperti
tango effect, dimasuk- kan ke dalam suatu kontrol
melalui dummy variables dalam model yang digunakan.
Dari hasil
empiris yang diperoleh, Maria Fuertes dan Espinola ber- kesimpulan, kerapuhan (fragility) setiap bank
menggambarkan tingkah laku lembaga keuangan tersebut. Artinya, perlu lebih
memperhatikan va- riabel microprudential. Karena
itu, perbankan Paraguay perlu melakukan reengineering manajemen
risiko kredit, tidak hanya dari sisi pengawasan bank, tetapi juga dari sisi institusi banknya sendiri. Untuk
itu, perbankan Paraguay
harus menekankan market discipline dan memperkuat kebijak- san manajemen kredit yang ada.
Dari variabel
ekonomi makro, terdapat hubungan negatif antara NPL dengan sektor riil dan current account deficit
(defisit perdagangan antar- negara). Karena itu, kebijakan perlu diarahkan untuk
membangkitkan perekonomian
dan daya saing. Pengaruh kedua variabel ini akan lang- sung dirasakan ketika terjadi
resesi dengan time lag yang pendek sekitar empat bulan setelah hilangnya daya saing.
Penelitian
ini menggunakan tidak hanya faktor makro, atau disebut sebagai macro prudentials, tetapi
juga menggunakan faktor mikro (mi- croprudentials). Variabel mikro yang digunakan meliputi rasio-rasio yang berkaitan dengan keuangan bank
yang diambil dari laporan keuangan.
Kerapuhan (fragility) setiap bank menggambarkan tingkah
laku lembaga keuangan tersebut.
|
Dari uraian
di atas, terlihat jelas Maria Fuertes dan Espinola me- ngatakan, bahwa terdapat macam
kerapuhan bank yang lain, yang ber- beda dari yang apa yang dijelaskan mengenai tujuh kerawanan
bank di Bab 2.
Kerapuhan yang dimaksud adalah kerapuhan yang ditimbulkan
oleh tingkah laku bank sebagai lembaga keuangan, sehingga bank perlu memperhatikan masalah microprudentials dalam hal modal, likuiditas, biaya-biaya, dan return on assets. Ditilik dari rekomendasi mereka itu, dan bank harus melakukan reengineering manajemen risiko, dapat pula ditarik kesimpulan lain bahwa yang menjadi masalah di perbankan di Paraguay tetap berkisar pada NPL yang besar. Masalah NPL tentunya akan berakibat negatif terhadap seluruh microprudentials tersebut. Bank yang lemah yang tidak memperhatikan microprudentials akan mengalami krisis, jika diterpa oleh kejutan tajam yang terjadi pada tataran ekonomi makro.
oleh tingkah laku bank sebagai lembaga keuangan, sehingga bank perlu memperhatikan masalah microprudentials dalam hal modal, likuiditas, biaya-biaya, dan return on assets. Ditilik dari rekomendasi mereka itu, dan bank harus melakukan reengineering manajemen risiko, dapat pula ditarik kesimpulan lain bahwa yang menjadi masalah di perbankan di Paraguay tetap berkisar pada NPL yang besar. Masalah NPL tentunya akan berakibat negatif terhadap seluruh microprudentials tersebut. Bank yang lemah yang tidak memperhatikan microprudentials akan mengalami krisis, jika diterpa oleh kejutan tajam yang terjadi pada tataran ekonomi makro.
Kembali, di sini, yang menjadi sebab kegagalan bank adalah
keadaan bank yang
lemah. Keadaan bank yang lemah terjadi karena tingkah laku bank itu sendiri, yang
mengakibatkan timbulnya NPL yang besar. Karena itu, bank perlu memperhatikan disiplin pasar.
Untuk memperhatikan
microprudentials dan disiplin pasar, kata Maria Fuertes dan Espinola,
bank perlu menata masalah internal bank itu sendiri. Dalam hal ini, menurut mereka, bank perlu
melakukan re- engineering dari manajemen risiko. Walaupun cakupan dan makna microprudentials, disiplin pasar, dan manajemen risiko berkaitan, atau overlapping satu sama lain, atau paling tidak bersinggungan, setiap fak- tor ini pada dasarnya merupakan
topik yang berdiri sendiri. Karena itu, rekomendasi mereka meliputi cakupan yang lebih luas, tidak
terbatas pada
masalah perkreditan belaka.
Berbicara
mengenai biaya-biaya dan return on assets (ROA), misal- nya, akan mencakup bagaimana organisasi bank dapat mencapai
tujuan- nya secara
efektif dan efisien, sehingga menciptakan biaya yang optimal. Biaya yang optimal tidak hanya
diakibatkan oleh rendahnya NPL, tetapi juga sebagai akibat pengelolaan organisasi secara keseluruhan
yang lebih efektif,
sehingga mencapai sasaran yang dikehendaki. Jadi, secara tidak langsung, apa yang
direkomendasikan di sini adalah juga menyangkut
masalah budaya organisasi (corporate culture).
Syeda
Zabeen Ahmed dari Independent University, Bangladesh, melaku- kan penelitian terhadap 15 bank
swasta komersial, dengan menggunakan data 10 tahun. Tujuannya untuk mengindentifikasi faktor-faktor
yang menyebabkan
timbulnya NPL. Berdasarkan literatur yang digunakannya, ia membagi faktor-faktor
sebagai variabel independen yang ditelitinya ke dalam tiga kelompok, yaitu:
•
Faktor ekonomi makro: GDP
dan ekspektasi pasar terhadap ke- adaan ekonomi.
•
Indikator perbankan:
tingkat bunga bank, horizon maturity (skala waktu jatuh tempo), dan nilai kolateral.
•
Keadaan bank: ukuran
bank, kultur kredit, pemberian kredit pada sektor prioritas.
Penelitian ini menunjukkan hasil yang mendukung hipotesis yang digunakan, yaitu setiap faktor
di atas memiliki hubungan yang signifikan dengan NPL, baik secara negatif maupun positif. Faktor yang
memiliki korelasi
negatif adalah ukuran bank, tingkat bunga bank, kultur kredit, dan nilai kolateral. Sisanya
memiliki korelasi positif. Keterbatasan pene- litian ini meliputi data yang digunakan terbatas 10 tahun,
ukuran sampel tidak
mewakili semua sektor bank komersial swasta, dan tidak mencakup bank pemerintah komersial yang
memiliki NPL lebih tinggi. Di samping itu, Zabeen Ahmed tidak menguraikan lebih terperinci apa yang
dimak- sud dengan
kultur kredit.
Penelitian Zabeen Ahmed ini menggunakan pendekatan makro dan mikro. Namun, jika dikaji dari
segi makro, hasil penelitian tersebut hanya menunjukkan indikasi yang umum mengenai hubungan antara GDP
dan tingkat bunga
terhadap NPL karena beberapa alasan.
Pertama, NPL yang timbul
tentunya dari kredit yang sedang ber- jalan, dan kredit itu akan menjadi NPL karena adanya perubahan
pada GDP dan
tingkat bunga bank. Seyogianya, kemungkinan perubahan pada keadaan ekonomi dan tingkat
bunga bank telah diperhitungkan sebelum kredit terkait disetujui. Jika ini telah dilakukan, maka jika
NPL tetap ter- jadi,
tentunya hal itu disebabkan oleh adanya perubahan yang mendadak dan besar pada kedua faktor
makro tersebut.
Kedua, penelitian lain
menyebutkan, hanya perubahan yang drastis dan besar pada faktor makro yang dapat menimbulkan NPL dan
kegagal- an bank
(Kunt dan Detragiache, 1997).
Ketiga, jika NPL dapat
timbul karena adanya setiap perubahan, atau perubahan itu tidak besar, terutama pada tingkat bunga, maka
dapat di- duga
bahwa para debitor terkait telah memiliki utang yang besar.
Dalam konteks
mikro, salah satu kesimpulan Zabeen Ahmed, yaitu bahwa kultur kredit memiliki
korelasi yang signifikan terhadap timbulnya NPL,
dapat digunakan juga sebagai salah satu variabel da- lam penelitian untuk buku ini.
Berdasarkan
model pseudo-panel econometric, Hippolyte Fofack meneliti penyebab utama kenaikan tingkat NPL yang dramatis, ketika
krisis eko- nomi
dan perbankan melanda sebagian besar negara Sub-Sahara Afrika pada 1990-an. Penelitian ini
menggunakan faktor-faktor ekonomi mikro dan makro.
Pada tingkat makro, Fofack meneliti korelasi antara NPL dan
suatu subset
variabel ekonomi, seperti GDP per kapita, inflasi, tingkat bunga, perubahan kurs mata uang riil, interest spread, dan broad money (M2). Pada tingkat mikro, ia meneliti
hubungan antara NPL dan sejumlah va- riabel sektor perbankan, yang meliputi return on assets, return on equity, net interest margin,
net income, dan
interbank loans. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pertama, NPL (dalam
persentase terhadap loan loss provision) dan pendapatan per kapita memiliki hubungan yang negatif. Ini
berarti, jika pendapatan
per kapita turun, NPL meningkat. Sejauh perubahan penda- patan per kapita merupakan proxy (wakil) terhadap
perubahan pertum- buhan
ekonomi, hubungannya yang negatif terhadap NPL menggambar- kan akibat dari penurunan
output siklikal (naik-turun) terhadap sektor perbankan.
Kedua, korelasi NPL dengan
tingkat inflasi rendah, tetapi bersifat negatif. Kenaikan inflasi yang tidak diperkirakan sebelumnya,
ketika pe- nurunan
pertumbuhan siklikal ekonomi terjadi, berkemungkinan akan memengaruhi secara negatif
kinerja sektor perbankan dan loan recovery terhadap investor dan para pengusaha swasta. Dalam kasus yang
ekstrem, hiperinflasi
dapat mengikis aset dan modal bank, dan memperlemah po- sisi bank dalam jalur tingkat bunga.
Karena koefisiennya relatif tinggi, hal itu dapat menggambarkan secara umum tekanan bahwa inflasi
menurun dalam tahun
1990, terutama pada kelompok negara subpanel CFA (ke- lompok negara yang menggunakan
rezim fixed exchange rate, dan mata uang mereka dikaitkan dengan mata uang franc Prancis, sedangkan kelompok
negara non-CFA menganut rezim flexible
exchange).
Ketiga, antara NPL dan
apresiasi nilai tukar riil menunjukkan korelasi positif, lebih signifikan pada
kelompok negara subpanel CFA.
Keempat, hubungan NPL dengan broad money multiplier (M2)
ber- sifat negatif
dan rendah, dan ini mengisyaratkan adanya penurunan kre- dit domestik yang diukur dengan
rasio broad money (M2) terhadap GDP dalam masa krisis dalam kaitan dengan NPL.
Kelima, pada tingkat ekonomi mikro, korelasi NPL dengan sebagian besar variabel perbankan,
termasuk return on asset (ROA), return on equity (ROE), total deposits, net
interest margin (NIM), dan net income, bersifat
negatif. Kesimpulan ini bersifat konsisten pada sebagian besar negara dari kedua kelompok
negara subpanel, dan antara bank milik pe- merintah dan swasta. Dalam
kaitan dengan korelasi antara NPL dan ROA, koefisien bagi bank-bank pemerintah
lebih tinggi (59 persen). Ini artinya, sekitar
60 persen variasi perubahan dalam NPL dapat dijelaskan karena adanya perubahan dalam ROA. Tetapi,
hal terse- but
tidak berarti adanya hubungan sebab-akibat.
H.
Bartu Soral, Tian B. Iscan, dan Gregory Hebb (2006) melakukan pe- nelitian mengenai penyebab
krisis perbankan di Turki pada tahun 2000. Krisis ini merupakan yang keempat di negara itu, yang
berlanjut dengan krisis
mata uang dan resesi ekonomi. Mereka menggunakan data trans- aksi pada tingkat mikro, yaitu
laporan yang sangat terperinci dari para auditor. Penelitian dimulai dengan pertanyaan "Kenapa
banyak negara berkembang
dan negara industri mengalami krisis perbankan pada saat siklus bisnis tampaknya
'normal'?"
Menurut mereka, salah satu jawaban yang mungkin adalah adanya kombinasi kelemahan institusi,
dan kerawanan ekonomi yang mencipta- kan suasana ideal bagi para individu oportunis untuk melakukan
kegiatan penipuan (fraudulent activities) di
sektor keuangan, yang akhirnya mele- mahkan fundamental ekonomi. Karena itu, mereka berargumentasi,
ke- lemahan
institusi merupakan penentu yang signifikan bagi masalah yang dihadapi sektor keuangan.
Perampasan (looting) dan penipuan (frauds) yang menyebar luas, yang kemudian menimbulkan krisis
perbankan, me- rupakan
contoh kelemahan institusi. Mereka berkesimpulan, bisnis per- bankan sangat rawan terhadap
tindakan perampasan bukanlah sesuatu yang baru.
Menurut Soral, Iscan, dan Hebb, untuk menuju ke arah krisis
per- bankan, penipuan
dan perampasan tidak terjadi sebagai perbuatan jahat
dalam
isolasi, tetapi dilakukan secara berkolusi dan berkaitan dengan ba- nyak bank.
Para peneliti
ini menyebutkan, bahwa teknik penipuan dan perampa- san yang dilakukan di Turki
kurang lebih sama seperti yang terjadi pada skandal S&L tahun 1980 di Amerika. Berikut ini adalah
ringkasannya:
an. Bank melakukan pengiriman uang secara ilegal kepada perusahaan terkait, dengan jumlah jauh
melampaui batas maksimum pemberian kredit, sebelum bank dinyatakan insolven. Dalam kasus Esbank
JSC,9 perampasan ini telah terjadi sebelum perekonomian Turki
melemah pada akhir
1999.
Memalsukan
modal ekuitas. Dengan tujuan agar dapat
memperbesar pemberian
kredit kepada perusahaan terkait, bank melakukan rekayasa untuk meningkatkan jumlah modal
ekuitas. Berdasarkan UU, bank harus menambah modal dengan menyuntikkan dana segar dari pemegang
saham. Namun, yang
dilakukan adalah modus operandi berikut: bank meminjam dana dari perusahaan terkait dan untuk itu bank mengeluarkan letters of credit dengan
jumlah yang sama, dan perusahaan grup membeli saham bank tetapi tidak pernah
membayarnya. Dengan transaksi ini, bank menca- tat tambahan modal ekuitas.10 Kemudian, bank
menambah pinjaman tunai atau nontunai secara ilegal kepada perusahaan dalam grup yang
sama.
Pinjaman pada
grup melalui perusahaan kertas. Cara ini dilaku- kan dengan tujuan mengaburkan
eksposur bank yang sesungguhnya. Da- lam kasus Esbank JSC, Esbank AG, pemilik mayoritas Zeytinoglu
Group yang
didirikan di Austria, memperoleh pinjaman dari Esbank JSC. Pin- jaman ini diteruskan kepada
grup pemilik Esbank JSC. Sebagai modus yang lain, Esbank JSC membuka depot account dan
menempatkan dana di
Esbank AG. Esbank AG dapat mendebet biaya-biaya yang dibebankan pada akun tersebut, dan dana
selebihnya digunakan oleh Grup Esbank AG. Pada akhir 1999, pinjaman yang diberikan oleh Esbank JSC
kepada Grup
Zeytinoglu berjumlah US$ 378 juta, sedangkan ekuitasnya hanya senilai US$ 49 juta.
Back to Back Loan. Macam pinjaman ini merupakan systemic fraud, yakni bank
A memberikan pinjaman kepada perusahan pemilik bank B,
sebaliknya
bank B juga memberikan pinjaman dalam jumlah yang sama kepada pemilik Bank A. Dalam kasus Esbank JSC dan
Esbank AG, back to back loan yang dimaksud mencapai US$ 217 juta dan 29 juta DM pada tahun 2000. Berdasar- kan penjelasan tersebut,
istilah yang tepat bukan back to back loan, melainkan swap loan. Swap loan
seperti ini banyak dilakukan pada kasus S&L di Amerika, dan di Indonesia masa sebelum krisis 1997/1998 dan terungkap
ketika krisis terjadi.
Dalam
kesimpulannya, Soral, Iscan, dan Hebb mengatakan bahwa perampasan yang dimaksud bukan
penentu tunggal terhadap krisis per- bankan yang terjadi, yang kemudian disusul dengan resesi
ekonomi. Menurut mereka, bukti dari penelitian ini mempunyai implikasi
kebijakan dan
teoretis. Bagi mereka, interpretasi dari bukti ini mengarah pada le- mahnya pelaksanaan UU atau
peraturan yang merupakan penentu akhir krisis perbankan. Karena itu, mereka menekankan pada kualitas
pene- gakan
peraturan (regulatory enforcement), bukan pada kualitas rancang bangun peraturan (regulatory
design), serta pada mekanisme transmisi dari kelemahan institusi
menjadi krisis perbankan. Sebagai contoh, mereka mengatakan, intervensi politik harus dijauhkan dari sistem keuangan, karena akan memengaruhi kualitas pengawasan. Mereka juga mengatakan bank yang korup
dapat diatasi dengan penegakan dan pengawasan hukum yang kuat.
Intervensi politik harus dijauhkan
dari sistem keuangan karena akan memengaruhi kualitas pengawasan.
|
Yang
Li dari National University of Kaohsiung, Taiwan, melakukan peneli- tian tentang bagaimana krisis
keuangan 1997 yang terjadi di Asia memeng- aruhi tingkat NPL Taiwan. Li menggunakan satu set panel data
yang terdi- ri atas
40 bank komersial di Taiwan (didirikan sebelum 1996), dan untuk analisis empiris menggunakan
data tahun 1996-1999. Dari penelitian ini, Li menyimpulkan: pertama, pinjaman bank dan besarnya berkorelasi po- sitif dengan tingkat NPL,
tetapi dengan tingkat menurun; kedua, tingkat NPL terus meningkat dari tahun 1996 sampai 1998 berkemungkinan
aki- bat adanya krisis
keuangan Asia 1997; ketiga, bank yang didirikan setelah tahun Deregulasi 1991 memiliki tingkat NPL rata-rata yang
lebih rendah, dibandingkan
dengan bank yang didirikan sebelum deregulasi.
Berkaitan dengan kesimpulan pertama, Li memberikan penjelasan teoretis sebagai berikut:
perusahaan dengan pinjaman yang besar dapat mengalami akumulasi modal yang lebih cepat, yaitu melalui learning by doing, sehingga
dapat memperbaiki efektivitas dan efisiensi produk- si, serta tingkat produktivitas
pegawai. Li mengatakan, bank yang besar memiliki sumber daya yang lebih banyak dalam mengevaluasi dan
mem- proses
pinjaman nasabahnya. Hal ini akan memperbaiki dan mengurangi tingkat NPL, walaupun akibat
positif ini akan berkurang ketika bank se- makin besar.
Mengenai kesimpulan kedua, Li menjelaskan, krisis keuangan
Asia memang
memengaruhi industri perbankan. Krisis tersebut menurunkan jumlah ekspor Taiwan terhadap
lima negara ASEAN sebesar 29 persen. Penurunan ekspor ini berakibat pada penurunan arus kas pada
sektor manufaktur,
yang memengaruhi kemampuan membayar kembali pinjam- an. Meski demikian, tingkat NPL
Taiwan hanya berkisar 4,39 persen, 4,42 persen, 4,72 persen, dan 5,52 persen pada 1996 sampai 1999.
Untuk kesimpulan ketiga, Li menjelaskan sebagai berikut: Bank
yang didirikan
setelah deregulasi dimiliki oleh swasta, dan mereka memiliki kultur bisnis dan/atau strategi
yang berbeda. Di pihak lain, bank yang didirikan sebelum deregulasi adalah bank milik negara, atau
merupakan usaha
patungan antara pemerintah dan swasta. Menurut Li, bank-bank ini dimonitor oleh lembaga
administratif dan legislatif negara, yang de- ngan mudah dapat diganggu oleh kelompok kepentingan yang
terkait de- ngan
lobi politik.
Penjelasan terhadap dua kesimpulan penelitian Li itu dirasakan
cu- kup menarik.
Pada penjelasan terhadap kesimpulan pertama, disebutkan bahwa besarnya pinjaman bank
berkorelasi positif terhadap NPL, karena antara lain bank besar lebih efektif dan efisien dalam
beroperasi. Bank besar
juga memiliki SDM yang lebih banyak, dengan kemampuan yang le- bih baik dalam menyeleksi dan
menganalisis calon debitor. Tentunya, hal ini dapat dicapai, karena dibarengi dengan berbagai asumsi, di
antaranya mereka
benar-benar menggunakan keahlian dalam pekerjaan yang mere- ka lakukan, sekaligus
memperhatikan ketentuan yang berlaku. Keahlian dan pengetahuan serta pengalaman, tanpa memiliki sikap profesional- isme dan integritas, diyakini tidak dapat mencapai tingkat NPL yang rendah, seperti halnya yang
telah dilihat pada kasus di Turki.
Pada penjelasan terhadap kesimpulan kedua, Li mengatakan, bank yang didirikan setelah
deregulasi memiliki tingkat NPL rata-rata yang le- bih rendah, dibandingkan dengan
bank yang didirikan sebelum deregula- si. Penyebabnya, bank yang didirikan setelah deregulasi
merupakan bank swasta,
yang memiliki kultur dan strategi bisnis yang berbeda, dan tidak dipengaruhi oleh lobi politik,
dan tidak diawasi oleh lembaga legislatif dan lembaga negara lainnya. Bank yang dimiliki oleh swasta
bersifat lebih independen
dan lebih mengacu pada pertimbangan bisnis.
Jika kultur
dan strategi bisnis yang dimaksud diinterpretasikan lebih luas dan terperinci, kedua hal
ini dapat diartikan sebagai kultur perusa- haan yang menyangkut keseluruhan organisasi, dan strategi bisnis
yang tentunya
berkaitan dengan perkreditan, karena menghasilkan NPL rata- rata yang rendah. Strategi
bisnis perkreditan seperti ini tercakup dalam kultur kredit yang dimiliki
oleh tiap bank.
Vesa
Vihriala melakukan penelitian terhadap krisis perbankan di Finlan- dia yang terjadi pada
1991-1992. Penelitiannya difokuskan untuk menja- wab pertanyaan sebagai hipotesis, yakni: 1). Apakah kebijakan
pemberian pinjaman
bank berkontribusi terhadap pertumbuhan kredit yang pesat di masa economic boom, 2). Apakah
terdapat moral hazard yang ditimbul- kan karena underpricing dari bank liabilities, sehingga mendorong per- tumbuhan kredit yang pesat. Vihriala menyimpulkan sebagai
berikut:
Pertama, pertumbuhan kredit
yang pesat adalah sangat riskan. Ter- dapat hubungan yang positif antara risiko yang dihadapi di
masa krisis dengan
ekspansi kredit selama periode boom. Dalam kasus Finlandia, bank tabungan termasuk Skopbank melakukan ekspansi kredit yang
jauh lebih tinggi
daripada bank besar lainnya (140 persen versus 50-95 persen tahun 1986-1990), sehingga
mengalami NPL yang sangat besar (30 per- sen versus 18-20 persen dalam tahun yang sama).
Kedua, berkaitan dengan moral hazard, bank,
termasuk yang ber- modal
rendah, mengambil risiko kredit yang ada di pasar. Hal ini terja- di pada lending boom di Finlandia
pada akhir 1980-an. Hipotesis moral hazard yang menjelaskan hal ini adalah: pertumbuhan pemberian kredit yang pesat dengan mengambil
risiko kredit yang ada difasilitasi oleh biaya funding bank yang murah,
atau dengan kata lain merupakan pengurang- an biaya per unit dengan melalui pertumbuhan, tetapi
mengabaikan risi- ko
kredit yang dihadapi. Di sini dibuktikan bahwa antara pertumbuhan kredit yang pesat berbanding
terbalik dengan kualitas aset pada tingkat
bank,
sekaligus menunjukkan dua hal secara umum:
pertama, bank yang melakukan ekspansi tersebut merupakan bank yang lemah dalam
hal modal dan biaya, dan, kedua, tindakan mengambil risiko melalui ekspansi kredit seperti itu telah
disadari atau disengaja dan bermula dengan apa yang disebut moral hazard.
Ketiga, ekspansi kredit yang
pesat pada periode boom juga terjadi karena economic shocks sulit diramalkan. Pada saat yang sama, para pe- laku ekonomi diwabahi oleh
kecenderungan harapan bisnis yang bagus (myopia) dan perilaku
ikut-ikutan (herd behavior). Kedua hal ini tidak dapat membuat kenaikan harga berlanjut, dan keputusan
memberikan pinjaman
dan meminjam menjadi keliru ex-post.
Penelitian
Vihriala tersebut pada intinya memfokuskan diri pada pem- berian kredit yang dikaitkan
dengan perkembangan perekonomian. Kedua faktor ini, pemberian kredit dan perkembangan ekonomi,
cenderung meng- ikuti
siklus klasik, dengan urutan pola kejadian yang serupa, mengikuti yang pernah terjadi di
Thailand, Korea, Malaysia, Indonesia, dan bahkan di Amerika dalam dua kasus besar,
S&L dan subprime mortgage.
Dari segi perkreditan atau kegagalan bank, kejadian di Fin- landia ini dapat memberikan
beberapa kesimpulan berikut, yang berkaitan dengan buku ini.
Pertama, dalam keadaan
pertumbuhan perekonomian yang tinggi (economic boom) karena adanya liberalisasi sektor keuangan, pemberian kredit
tidak dapat dilakukan dengan me- lupakan sikap kehati-hatian dan proses pemberian kredit yang sehat, atau tidak dapat dengan
mengikuti overoptimism, herd behavior,
myopia, dan
irrational exurberance. Dalam setiap ke- adaan, pemberian kredit hanya
dapat dilakukan atas dasar anali- sis kredit yang sehat, dengan menggunakan fakta dan informasi yang faktual, secara independen
dan berdiri sendiri, serta bebas dari pengaruh-pengaruh yang bersifat exogeneous.
Kedua, pemberian kredit yang
pesat, yang melebihi 20 per- sen dalam kasus Finlandia, dengan melupakan sikap kehati-hati- an, menimbulkan moral hazard yang besar,
paling tidak karena mengabaikan keadaan utang yang sudah besar. Utang yang besar membuat kemungkinan akan
terjadinya wanprestasi lebih besar, dan pembiayaan yang terkait berkemungkinan besar dapat be- rupa pembiayaan spekulatif,
atau ponzi
seperti yang dimaksud oleh Minsky.11
Ketiga, krisis perbankan dimulai dari pemberian kredit dengan
mengambil risiko yang berlebihan
(overleverage), dan ke- lanjutan hidup bank dengan
risiko yang berlebihan itu tergang- gu, ketika economic shock (perubahan besar pada ekonomi mak- ro) terjadi. Dalam kasus
Finlandia, economic shock yang terjadi merupakan perubahan dari pertumbuhan positif menjadi negatif 7 persen, dan dibarengi dengan
devaluasi mata uang.
Kunt
dan Detragiache meneliti faktor-faktor yang berkaitan dengan munculnya krisis perbankan
sistemik di negara berkembang dan sedang berkembang dalam periode 1981-1994. Penelitian ini menggunakan
model ekonometri multivariate logit. Dengan menggunakan discrete
time hazard model,12 mereka
menggunakan crisis dummy sebagai variabel de- penden dengan nilai nol jika tidak ada krisis dan satu jika
ada krisis, atau disebut
sebagai hazard rate. Kunt dan Detragiache berhipotesis bahwa hazard rate ini adalah fungsi dari vektor n explanatory variable X (i,
t).
Untuk crisis dummy, Kunt dan Detragiache menentukan secara agak arbitrer, yaitu dengan definisi
bahwa krisis berat terjadi jika memenuhi salah satu kondisi berikut: NPL di perbankan melebihi 10
persen, biaya penyelamatan
melebihi 2 persen dari GDP, terjadi tindakan nasionalisasi beberapa bank, atau terjadi bank run yang luas sehingga
pemerintah ter- paksa
melakukan langkah-langkah, seperti membekukan atau mengeluar- kan jaminan dana masyarakat (deposit guarantee).
Untuk explanatory variable, mereka memilih faktor-faktor berikut: tingkat pertumbuhan GDP riil, terms of trade, tingkat
bunga jangka pen- dek,
tingkat inflasi, tingkat likuiditas sektor perbankan, dan indeks untuk tingkat kualitas legal system, contract enforcement, serta birokrasi. Me- reka berpendapat, bahwa semua faktor ini dapat menimbulkan
kerapuh- an sektor
perbankan.
Secara umum, hasil penelitian ini dapat diringkas sebagai
berikut. Pertama, pertumbuhan GDP yang rendah jelas berkaitan dengan proba- bilitas yang lebih besar akan
terjadinya krisis perbankan. Kejutan besar ekonomi makro merupakan salah satu sumber utama yang berakibat langsung terhadap timbulnya
masalah sektor perbankan tahun 19801990. Sebaliknya, krisis perbankan itu
sendiri dapat langsung menurun- kan tingkat pertumbuhan GDP, sebagai akibat kucuran kredit
mengering. Kedua, penurunan dalam terms of
trade tampaknya dapat memperburuk sektor perbankan, tetapi
variabel ini hanya signifikan pada confidence
level 10 persen. Ketiga, kenaikan tingkat
inflasi dan tingkat bunga riil yang tinggi dan mendadak merupakan variabel yang signifikan, yang
sangat memengaruhi
kerapuhan sektor perbankan. Keempat, berdasarkan teori, nilai indeks law and order yang tinggi, yang mengukur potensi terjadinya frauds atau kemampuan menerapkan pengawasan prudential yang efek- tif, dapat menurunkan
kemungkinan terjadinya krisis. Tetapi, sulit untuk memisahkan pengaruh indeks ini
dari GDP per capita, karena keduanya memiliki korelasi yang tinggi.
Sejalan dengan hasil penelitian di atas, Kunt dan Detragiache
ber- pendapat,
lingkungan ekonomi makro memainkan peranan kunci dalam melahirkan krisis perbankan,
terutama tingkat pertumbuhan yang rendah dan berkaitan dengan bertambahnya risiko terhadap sektor
perbankan. Mereka
juga menyatakan, penelitian ini difokuskan pada variabel eko- nomi makro dan mengabaikan
variabel mikro. Karena tidak tersedianya data, faktor-faktor seperti tingkat permodalan bank, tingkat
dan struktur kompetisi
pasar kredit, likuiditas pasar antarbank dan obligasi, serta kua- litas regulatory supervision,
tidak dipertimbangkan dalam penelitian ini.
Penelitian
Kunt dan Detragiache itu murni menggunakan pendekatan makro. Kesimpulan utama yang
dapat mendukung tema buku ini adalah kejutan ekonomi makro (economic shocks) yang besarlah yang dapat
langsung mengakibatkan krisis perbankan;13 pertumbuhan GDP yang rendah hanya menambah probabilitas terjadinya krisis
itu. Namun, seperti
halnya dengan pendapat Caprio dan Klingebiel, Kunt dan Detragiache mengatakan bahwa
faktor mikro dan makro, atau keduanya, dapat pula menyebabkan krisis perbankan sistemik.
Masaaki
Komatsu membahas penyebab NPL yang berkaitan dengan kri- sis 1997 di Indonesia, baik
sebelum maupun sesudah Deregulasi (Pakto) 1988. Komatsu mencatat, NPL telah berakumulasi di bank
pemerintah se-
belum tahun 1990-an, tetapi karena adanya forbearance policy, masalah tersebut tidak pernah diungkap secara gamblang. Menurut Komatsu, tingkah laku manajemen bank pemerintah dalam kedua periode ini tidak berubah karena mereka ditujuk oleh pemerintah. Petunjuk dan instruksi pemerintah memengaruhi strategi manajemen, dan pengambilan keputusan perbankan dapat bertentangan dengan disiplin komersial dan keuangan.
belum tahun 1990-an, tetapi karena adanya forbearance policy, masalah tersebut tidak pernah diungkap secara gamblang. Menurut Komatsu, tingkah laku manajemen bank pemerintah dalam kedua periode ini tidak berubah karena mereka ditujuk oleh pemerintah. Petunjuk dan instruksi pemerintah memengaruhi strategi manajemen, dan pengambilan keputusan perbankan dapat bertentangan dengan disiplin komersial dan keuangan.
Pengambilan keputusan perbankan ditentukan oleh faktor
keingin- an atau
niat pemerintah dan para politisi, bukan berdasarkan pengem- bangan fungsi intermediasi
keuangan, seperti analisis kredit. Pemberian pinjaman tanpa analisis kredit yang memadai cenderung
menciptakan NPL.
Sebelum deregulasi (NPL sebelum 1990), moral hazard di bank pemerintah terjadi pada dua hal
berikut. Pertama, moral hazard pada pendukung dana. Dari segi deposan dan pemberi pinjaman luar
negeri, terdapat
suatu kepercayaan bahwa bank pemerintah aman untuk diberi pinjaman atau menyimpan uang.
Pemerintah tidak akan membiarkan banknya mengalami kegagalan. Tanpa mengkaji risiko yang
dihadapi, walaupun
di sini terdapat information asymmetry, mereka terus membe- rikan dukungan dana, dan bank meningkatkan pemberian pinjaman. Ke- dua, moral hazard pada
waktu pemberian pinjaman. Bank memberikan pinjaman tanpa analisis kredit yang memadai. Pengambilan
keputusan didasarkan
pada intervensi birokrat dan politis.
Setelah Pakto 1988, bank pemerintah harus berkompetisi dengan bank yang lain berdasarkan
mekanisme pasar. Untuk itu, bank pemerin- tah harus menarik dana luar negeri dengan bunga dan syarat
yang mena- rik, dan
tetap meningkatkan pemberian pinjaman tetapi tetap tanpa analisis kredit yang
memadai. Komatsu mengungkapkan lebih lanjut bahwa
NPL pada bank swasta tumbuh pesat pada 1990-an.
Umumnya, NPL ini merupakan
pinjaman yang diberikan bank kepada grup sendiri (connected lending).
Komatsu berargumentasi bahwa hubungan dalam kelompok usaha atau grup yang sama
memiliki struktur hubungan seperti keluarga layaknya. Berbeda dengan sifat perusahaan terbatas, setiap
anggota me- miliki
kewajiban yang tak terbatas.
Setelah Pakto 1988, bank pemerintah
harus berkompetisi dengan bank yang lain berdasarkan mekanisme pasar.
|
Karena itu, menurut Komatsu, wajar kalau bank tetap memberikan prioritas kepada perusahaan
grup. Bank akan tetap memberikan injeksi
dana sebagai pinjaman kepada anggota grup, walaupun telah menunggak pembayaran kembali pokok atau bunga. Untuk itu, terdapat banyak cara bagi bank untuk berkelit mengatasi ketentuan prudential.
dana sebagai pinjaman kepada anggota grup, walaupun telah menunggak pembayaran kembali pokok atau bunga. Untuk itu, terdapat banyak cara bagi bank untuk berkelit mengatasi ketentuan prudential.
Menurut Komatsu, di sini telah terjadi adverse selection yang disebabkan moral hazard. Grup usaha
yang menjadi insolven dapat mengaki- batkan kegagalan bank. Tetapi, kerugian bank hanya terbatas
pada modal yang
ditanamkannya.
Apa yang
dikatakan oleh Komatsu dalam penelitiannya itu mendu- kung pendapat beberapa ahli
atau peneliti terdahulu, terutama yang ber- kaitan dengan krisis 1997/1998 di Indonesia, dan masalah dalam
peng- ambilan
keputusan kredit.
Bramantyo
Djohanputro dan Ronny Kountur melakukan penelitian me- ngenai NPL pada 223 Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) di beberapa kota besar di Indonesia. Tujuannya untuk mengetahui faktor-faktor
yang da- pat
memengaruhi tingkat NPL pada BPR, sehingga dapat merekomenda- sikan kebijakan yang tepat
kepada Bank Indonesia untuk menekan ting- kat NPL.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif.
Pada metode
kuantitatif, digunakan dua model. Pertama, NPL sebagai variabel dependen dengan 32 variabel independen yang mewakili keadaan
internal bank. Kedua, dengan varibel dependen yang sama, digunakan 12 va- riabel independen yang mewakili
keadaan nasabah peminjam dan faktor eksternal lainnya. Kedua model ini menunjukkan secara
signifikan bahwa tingkat
NPL dipengaruhi oleh 12 variabel independen.
Untuk memperkuat hasil penelitian tersebut, penelitian ini
lebih lanjut
menggunakan metode wawancara yang disebut
applied in-depth interview method melalui focus group discussion
dengan para pengawas BPR terkait dari Bank Indonesia.
Dua belas variabel independen yang sangat memengaruhi tingkat NPL tersebut adalah sebagai
berikut:
Variabel 1:
Integritas para pemilik, pengurus, dan pegawai.
Variabel 2: Kompetensi pemilik dan pengurus
terhadap ketentuan BI
dan dalam menjalankan proses bisnis BPR.
Variabel 3: Pergantian direksi, yang
menyebabkan perpindahan nasabah lancar ke BPR lain.
Variabel 4: Kompetensi pegawai BPR dalam penerapan prosedur, penerapan 5C, pengawasan dan
penanganan kredit ber- masalah, dan administrasi.
Variabel 5: Sistem pembayaran pinjaman dengan pemotongan gaji dari tabungan.
Variabel 6: Sistem pembayaran pinjaman dengan menjemput dari nasabah peminjam berdampak
negatif.
Variabel 7:
Strategi pemasaran BPR yang lemah.
Variabel 8: Peningkatan penggunaan analisis pemberian kredit yang lebih baik dan konsisten.
Variabel 9:
Pengikatan agunan yang tidak hati-hati.
Variabel 10:
Kondisi nasabah peminjam tidak dipertimbangkan.
Variabel 11: Kerja sama pemberian kredit dengan pihak
institusi tertentu.
Variabel 12:
Sistem dan mekanisme pengawasan dan program
recovery kredit.
Berdasarkan 12 variabel di atas, peneliti merekomendasikan
kepada Bank
Indonesia untuk melakukan, antara lain, program sertifikasi dan pendidikan reguler bagi para
pengurus dan pegawai BPR, serta pembina- an dan pengawasan terhadap kelengkapan sistem dan prosedur di
BPR.
Penelitian yang dilakukan oleh Djohanputro dan Kountur itu
pada dasarnya mirip
dengan penelitian yang dilakukan untuk buku ini. Persa- maannya terletak pada tujuan
penelitian, yaitu untuk mengetahui faktor- faktor yang dapat memengaruhi NPL, tetapi pada BPR sehingga
dapat me- rekomendasikan
kebijakan yang tepat kepada BI. Adapun penelitian untuk buku ini dilakukan guna mencari
faktor-faktor yang dapat memengaruhi NPL dan NPF, tetapi pada bank konvensional dan bank syariah.
Jika ditinjau lebih jauh, kedua belas variabel yang dianggap
berpenga- ruh
terhadap NPL tersebut dapat dikelompokkan kembali sebagai berikut: Masalah-masalah pada variabel
1, yakni tidak jelasnya prosedur, ti- dak disiplinnya pencatatan, serta kurangnya perhatian dan
pengawasan pemilik,
dapat dicakup dalam variabel kultur perusahaan. Bagi bank konvensional atau syariah yang umumnya berbentuk perseroan
terbatas, tindakan
pengawasan yang mewakili pemilik dilakukan oleh dewan komi- saris. Tindakan pengawasan
sendiri, di lain pihak, dapat diartikan sebagai pengawasan terhadap tingkah laku atau tindakan yang menyimpang
oleh para pegawai,
dan pengawasan terhadap kualitas kegiatan pekerjaan yang
dilakukan, dalam hal ini pekerjaan dalam kon- teks perkreditan. Dalam hal yang pertama, yang diperlukan adalah sistem penghargaan dan hukuman (reward and penalty system)
dilakukan, dalam hal ini pekerjaan dalam kon- teks perkreditan. Dalam hal yang pertama, yang diperlukan adalah sistem penghargaan dan hukuman (reward and penalty system)
terhadap
semua pegawai, termasuk pegawai yang berkaitan dengan pekerjaan perkreditan. Adapun dalam hal yang kedua, yaitu
pengawasan terhadap hasil kualitas kerja, tindakan pengawasan dapat dilakukan melalui konsep dan proses.
Dari segi konsep,
kualitas pekerjaan dapat dilakukan melalui
kultur kredit yang baik, sedangkan dari segi
proses, untuk memastikan bahwa peker- jaan perkreditan telah dilakukan sesuai dengan prosedur dan
ketentuan yang
berlaku, perlu dilakukan apa yang disebut sebagai audit kredit.
Variabel 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 sesungguhnya merupakan
pene- rapan dari pengetahuan dan keahlian dalam perkreditan, dan hal ini merupakan hal yang pokok mutlak harus dimiliki dan
diterapkan oleh segenap
jajaran dalam pekerjaan perkreditan.
Variabel yang
lain, yaitu 3, 11, dan 12, juga merupakan bagian dari kultur kredit. Kultur kredit yang baik adalah konsep bagaimana suatu institusi pemberi kredit
mendekati masalah-masalah kredit yang dihada- pi secara konsisten dan terpadu. Terutama bagi bank sebagai
korporasi, penerapan kultur kredit yang baik juga
mengajarkan kepada segenap jajaran perkreditan yang berhubungan langsung dengan nasabah,
bahwa setiap
individu dari pihak bank dalam hubungan tersebut merupakan wakil atau identik dengan
institusi yang direpresentasikannya. Hubungan itu harus dibangun dari jasa-jasa keuangan yang dapat
diberikan dengan tingkat
pelayanan tertentu sebagai dasar hubungan, dan dilaksanakan se- cara khusus oleh para wakil
atau pejabatnya. Unsur pribadi sebagai dasar awal yang membangun hubungan itu dapat membantu berlangsungnya hubungan, tetapi seyogianya
bukan penentu dari adanya hubungan itu. Dasar hubungan pribadi itu, jika ada, perlu diusahakan
perlahan-lahan untuk
diganti dengan impresi yang dapat mewakili institusi. Dengan demikian, dapat diharapkan
bahwa hubungan dengan nasabah itu akan melekat dengan institusinya, bukan dengan individunya.
inti permasalahan krisis
keuangan di Asia adalah sistem keuangan yang tidak efisien.
|
Penelitian Lau dan Zhaohui Chen
membuktikan, inti permasalahan krisis keuangan di Asia adalah sistem keuangan yang tidak efisien.
Hal ini dapat
dilihat dari sistem intermediasi keuangannya, yakni terjadi banyak pem- berian pinjaman yang diarahkan oleh pemerintah, lemahnya pengawas- an, kurangnya unsur kompetisi, kurangnya transparansi sektor korporasi, dan sebagainya. Selain itu, menurut Lau dan Chen, infrastruktur sistem perbankan bekerja secara tidak efisien, dan menimbulkan capital inflow inertia14 dan capital outflow yang mendadak.
dilihat dari sistem intermediasi keuangannya, yakni terjadi banyak pem- berian pinjaman yang diarahkan oleh pemerintah, lemahnya pengawas- an, kurangnya unsur kompetisi, kurangnya transparansi sektor korporasi, dan sebagainya. Selain itu, menurut Lau dan Chen, infrastruktur sistem perbankan bekerja secara tidak efisien, dan menimbulkan capital inflow inertia14 dan capital outflow yang mendadak.
Sejalan dengan pendapat Lau dan Chen itu, Radelet dan Sachs
me- nyebutkan,
berdasarkan diagnosis dasar, sistem keuangan yang tidak efisien itu terjadi karena
ditunggangi oleh insider dealing, korupsi, dan corporate governance yang
lemah. Semua ini menyebabkan pengeluaran investasi yang tidak efektif, dan memperlemah stabilitas
sistem perbank- an.
Investasi yang tidak efektif itu di Asia Timur menghasilkan tingkat keuntungan yang buruk, yang
inti permasalahannya berada pada tingkat korporasi yang mengabaikan praktik-praktik keuangan yang prudent.15
Krugman melihat bahwa krisis Asia dimulai dari lembaga
keuangan seperti
bank yang memiliki kewajiban dana masyarakat yang dianggap dijamin oleh pemerintah. Moral hazard timbul dari
anggapan ini, se- hingga
akhirnya bank melakukan pemberian pinjaman yang berlebihan dan berisiko tinggi. Pemberian
pinjaman seperti inilah yang terus-mene- rus mendorong inflasi bukan harga-harga barang umumnya,
melainkan harga
aset seperti real estat atau properti yang dibiayai. Kenaikan harga aset tersebut terus terjadi,
karena pemberian kredit yang serupa terus berlangsung, dan ini mendorong permintaan dan harga sehingga
mem- bentuk proses
sirkular.
Berbeda dengan para peneliti di atas, Stephan Haggard dan
Andrew McIntyre
melakukan evaluasi mengenai moral hazard yang terjadi teruta- ma di Korea, Thailand, dan Indonesia. Mereka berkesimpulan, moral hazard merupakan
masalah sentral krisis Asia. Mengenai kasus di Indonesia, mereka juga berpendapat, moral hazard merupakan
bagian penting dari kejatuhan sistem keuangan, yang berkaitan dengan kronisme
Soeharto.
Para peneliti itu pada dasarnya melihat kegagalan bank atau
krisis Asia dari
segi proses dan pelaku pemberi kredit. Dari segi proses, mere- ka melihat, salah satu kunci
penyebab adalah para pemberi kredit mela- kukan pekerjaannya tanpa sikap kehati-hatian. Absennya sikap
ini pada para
pejabat bank itu atau yang mewakili bank menimbulkan moral hazard yang tinggi,
sehingga kemudian secara keseluruhan menyebabkan intermediasi keuangan menjadi tidak efisien. Intermediasi
keuangan akan menjadi
tidak efisien, jika tidak melakukan pekerjaannya, dalam hal ini menyalurkan dana masyarakat,
secara efektif, yaitu menghasilkan keun- tungan atau arus kas pada tingkat risiko yang tidak
berlebihan.
Moral hazard yang lain dari
pelaku pemberian kredit dapat dilihat dari pemberian kredit yang merupakan insider's dealing, berbau
kolutif, dan
bersifat koruptif, serta kebijakan pemberian kredit yang dipengaruhi oleh unsur politik. Pemberian
kredit yang dipengaruhi oleh faktor-faktor exogeneous terhadap proses
pemberian kredit itu sendiri berarti bahwa proses itu telah menyimpang dari pengertian mengenai analisis
kredit, pemutus
kredit, dan keputusan kredit (lihat Bab 3).
Pembahasan
ini memaparkan dengan jelas bahwa dalam pemberian
kredit tidak saja diperlukan penerapan
pengetahuan dan keahlian perkreditan, tetapi juga perlu didasari dengan
tingkat moralitas semua pi- hak dalam bank yang terkait. Hal ini bersifat mutlak untuk
diperhatikan mengingat
dana yang disalurkan untuk pemberian kredit adalah dana masyarakat, yang mewakili
kepentingan untuk kelangsungan hidup me- reka di masa depan. Pemberian kredit dengan risiko yang
berlebihan jelas mengabaikan
kepentingan para pemilik dana tersebut, sekaligus melang- gar norma-norma moral, yang pada
intinya tidak menunjukkan tanggung jawab moral yang diperlukan.
Pendekatan Mikro Caprio Jr dan
Klingebiel (1996)
Kedua
peneliti ini menekankan, bahwa faktor ekonomi mikro dan ma- salah insentif bersifat kunci,
yang menentukan besarnya masalah per- bankan, dan bahkan dalam kasus tertentu merupakan penyebab
utama. Walaupun
faktor ekonomi makro memberikan pengaruh yang kuat, akibatnya terhadap subjek di
dalamnya dapat berbeda. Hal inilah yang diungkapkan oleh Gerald Caprio dan Daniela Klingebiel yang
berkaitan dengan Great Depression tahun 1920
dan 1930. Pada saat itu, Amerika mengalami 15 ribu kasus kegagalan bank, sedangkan Kanada hanya
satu yang gagal,
yaitu pada 1923.16
Berdasarkan pengamatan terhadap data yang berkaitan dengan 86 episode insolvensi di seluruh
dunia, Caprio dan Klingebiel mengungkap- kan pokok-pokok yang mungkin sebagai penyebab krisis
perbankan:
Pertama, pertumbuhan kredit
yang berlebihan, seperti yang terjadi di Amerika Latin. Namun, kenyataannya akan berbeda jika
menggunakan sampel
yang lebih besar. Pertumbuhan kredit yang pesat, sejalan dengan luasnya pasar kredit, sering
tidak dibarengi dengan peningkatan standar perkreditan pada setiap bank. Pertumbuhan seperti ini sulit diawasi secara ketat oleh para pengawas
perbankan, karena informasi mengenai perkembangan yang terjadi baru dapat diperoleh beberapa waktu
kemu- dian.
Kedua, volatilitas output, inflasi, dan terms of trade, membuat
bank sulit
melakukan seleksi calon debitor yang baik. Hal ini terjadi sejak ta- hun 1980 pada negara yang
mengalami krisis, dan jelas merupakan pe- nyebab krisis perbankan.
Ketiga, kombinasi antara
volatilitas yang lebih besar dan sempitnya pasar kredit merupakan hal yang berbahaya, karena kejutan
ekonomi makro akan
menimbulkan kerugian yang lebih besar dan dibebankan pada waktu yang lebih pendek.
Kendati demikian, Caprio Jr dan Klingebiel berargumentasi,
kerang- ka
pengaturan, beserta berbagai variabel institusional, memainkan peran- an penting dalam mendefinisikan
sistem insentif bagi bank dan lingkung- an tempat bank beroperasi, dan menentukan ketahanan sistem
perbank- an
terhadap kejutan-kejutan makro. Mereka menyimpulkan, penyebab utama insolvensi bank adalah
manajemen bank yang lemah, pengawasan dan peraturan yang salah, intervensi pemerintah, dan pinjaman
pada grup sendiri
atau bermotivasikan politik. Adapun faktor-faktor lain seper- ti penurunan terms of trade yang besar,
dan sistem hukum yang lemah, tidak dapat dikatakan sebagai penyebab yang menonjol.
Caprio dan
Klingebiel menekankan pentingnya variabel ekonomi
mikro bagi ketahanan perbankan terhadap kejutan
besar ekonomi mak- ro.
Variabel mikro yang dimaksud meliputi keahlian dan jumlah tenaga perbankan dan pengawas
perbankan yang memadai, tingkat modal bank yang cukup, insentif bagi sikap prudential dan konservatif
para pejabat bank,
serta standar perkreditan yang baik yang dipertahankan.
Frederic
S. Mishkin menganalisis masalah sistem keuangan di Asia yang tidak efisien, dengan
menggunakan pendekatan asymmetric
information. Sistem keuangan yang tidak efisien
berarti pasar keuangan tidak dapat menyalurkan dana secara efisien bagi kesempatan investasi yang
paling produktif.
Terutama di Asia, juga di Cile (1982) dan Meksiko (1994-1995), menurut
Mishkin, penye- bab asymmetric information
memburuk dan ke- mudian
menimbulkan krisis adalah memburuk- nya kualitas neraca (balance
sheets) institusi di sektor keuangan. Kualitas
neraca yang memburuk ini berkaitan dengan liberalisasi keuangan, dan lending boom yang terjadi pada negara-negara
terkait.
Dari beberapa pengamat, seperti Corsetti et al., Goldstein, World
Bank, dan Kamin, Mishkin berkesimpulan bahwa tingkat pemberian kredit di negara-negara ASEAN yang
mengalami krisis melampaui
tingkat pertumbuhan GDP mereka. Di sini, masalahnya bu- kan terciptanya lending boom, melainkan
pemberian kredit yang terlalu agresif, sehingga mengambil risiko yang berlebihan dan akan
berakibat pada
kerugian yang besar di masa depan.
Mishkin menjelaskan, terjadinya pengambilan risiko yang berle- bihan ini disebabkan beberapa
hal. Pertama,
para manajer bank tidak memiliki keahlian yang
memadai dalam mengelola risiko, ketika terbuka
peluang pemberian pinjaman yang ditimbulkan oleh adanya liberalisasi keuangan. Kedua, sistem pengawasan
dan pengaturan tidak memadai. Hal ini umumnya merupakan masalah yang dimiliki oleh
ne- gara ASEAN yang
mengalami krisis, sehingga pengawas perbankan tidak mampu mencegah moral hazard yang terjadi. Capital inflow, menurut Mishkin, hanya menambah masalah
ini menjadi lebih berat.
Mishkin pun menjelaskan bagaimana masalah sektor perbankan da- pat menimbulkan krisis
keuangan, terutama dalam kasus negara sedang berkembang, seperti Asia Timur. Pertama, memburuknya
keadaan neraca perbankan
dapat menyebabkan pembatasan pemberian kredit atau mem- buat bank menjadi insolven. Kedua, kualitas neraca yang
memburuk dapat mengakibatkan
krisis mata uang, karena bank sentral sulit untuk melin- dungi mata uangnya terhadap
serangan-serangan spekulatif. Peningkatan tingkat suku bunga untuk menghindari depresiasi mata uang,
dalam rang- ka
menahan serangan spekulatif, akan memperburuk neraca perbankan karena adanya maturity mismatch dan
risiko kredit yang besar.
Penyebab asymmetric information
memburuk dan kemudian menimbulkan krisis adalah memburuknya kualitas neraca (balance
sheets) institusi di sektor keuangan.
|
Karena itu, Mishkin mengambil kesimpulan, krisis keuangan di
Asia Timur
merupakan akibat dari keruntuhan sistemik neraca perusahaan
keuangan dan nonkeuangan, yang kemudian membuat asymmetric information menjadi lebih parah.
keuangan dan nonkeuangan, yang kemudian membuat asymmetric information menjadi lebih parah.
Deregulasi keuangan memberikan dorongan pemberian kredit yang besar dan menciptakan lending boom, sehingga
tingkat pemberian kredit melampaui pertumbuhan GDP. Namun, menurut Mishkin, dalam meng- hadapi kesempatan itu, bank
tidak menyiapkan dirinya dengan pening- katan pengetahuan dan keahlian dalam mengelola dan menilai
risiko, menyeleksi
pinjaman baru sebagaimana yang seharusnya; dengan adanya pengawasan yang tidak memadai,
pemberian kredit yang agresif berlang- sung dengan sekaligus menciptakan moral hazard yang besar
pula.
Argumentasi
Mishkin ini memperkuat hipotesis yang digunakan da- lam buku ini. Masalah-masalah
mikro, terutama faktor penerapan pe- ngetahuan
dan keahlian perkreditan, akan berpengaruh
terhadap timbulnya
NPL atau NPF, dan kemudian dapat berakibat pada kegagalan bank, atau bahkan menimbulkan
krisis perbankan. Mishkin menambah- kan, masalah capital inflow hanya memperburuk keadaan neraca bank, yang memang sebelumnya telah
mengandung masalah, karena adanya bagian portofolio yang tidak sehat.
Ilan
Alon dan Edmund A. Kellerman melakukan riset secara eklektik (me- milih yang terbaik dari
berbagai sumber) dengan menggunakan banyak faktor lingkungan untuk menjelaskan apa yang terjadi sebelum
muncul- nya krisis
Asia 1997, yang membuat perekonomian Asia menjadi rapuh dan mengarah pada timbulnya
krisis. Sebagai latar belakang teori, Alon dan Kellerman menyatakan, pertumbuhan ekonomi adalah fungsi
dari faktor ekonomi
dan nonekonomi. Di samping itu, banyak riset yang me- nyatakan bahwa faktor kultural
yang unik di Asia menciptakan keadaan sebelum krisis, dan keadaan inilah yang membawa Asia ke
keruntuhan ekonomi.17
Karena itu, Alon dan Kellerman meneliti faktor internal di
wilayah Asia yang
membentuk kerangka untuk memahami pertimbangan kultural yang membuat para menteri
pemerintahan, lembaga pemberi pinjaman, dan para investor, melupakan praktik-praktik keuangan yang
sehat.
Analisis
terhadap krisis ini menggunakan dua kerangka pendekatan, yaitu keadaan ekonomi (economic antecendents),
dan keadaan kultural (cultural antecendents),
yang telah ada sebelum krisis. Kedua keadaan ini berkaitan satu sama lain. Dari segi ekonomi, krisis
dibahas melalui tiga
pendekatan, yaitu growth model, debt problem, dan current account deficits. Dari sisi kultural, pembahasan dilakukan melalui konsep collectivism, authoritarianism, dan power distance.
Asian Growth
Model. Alon dan Kellerman mengutip pendapat Jaman (1998) mengenai sifat
model ini. Pertama, negara-negara di Asia Timur mengembangkan perekonomiannya melalui investasi yang tidak memiliki keuntungan
komparatif. Banyak dari kebijakan ini memberikan peluang untuk memperkaya keluarga, perusahaan, dan tokoh berpengaruh tertentu,
yang merupakan fitur dari peme- rintahan yang otoriter dan
quanxi (hubungan pribadi) sebagai nilai Asia. Kedua, penekanan pada
promosi ekspor sering berakibat seba- gai beban pada industri yang lain, yang menyebabkan alokasi
sumber daya tidak
optimal. Perluasan ekspor ini dibiayai oleh pertumbuhan portofolio investasi langsung
asing, yang kemudian memerlukan pin- jaman luar negeri yang besar.18 Semua ini membuat
perekonomian Asia
menjadi rapuh terhadap kejutan eksternal.
Debt Problems. Salah satu faktor yang menambah kerapuhan terhadap munculnya krisis
adalah melakukan pinjaman yang besar dengan risiko tinggi. Baik sektor keuangan maupun nonkeuangan melakukan pinjaman jangka
pendek dalam mata uang asing atau hard currency, serta
berbunga mengambang. Di sektor nonkeuang- an, kondisi perusahaan peminjam pada umumnya telah mengandung risiko yang berlebihan, seperti
yang ditujukan oleh debt to equity ratio yang tinggi. Faktor lain adalah adanya keengganan
pemerintahan otoriter
di Asia untuk membuka kelemahan struktural ekonomi. Pada masa sebelum krisis, tingkat
NPL di setiap negara terkena krisis su- dah tinggi.19
Current Account Deficits.
Defisit pada neraca berjalan terus-me- nerus terjadi karena capital
inflow dari ekspor melemah. Dengan di- gunakannya sistem fixed exchange rate,
keadaan defisit itu membe- rikan tekanan pada cadangan bank sentral, dan membuat mata
uang lokal rapuh
terhadap serangan spekulatif.
Collectivism (keinginan mempertahankan keharmonisan kelompok). Menurut Alon dan Kellerman, salah satu cara yang membuat suatu kultur berbeda
dengan lainnya adalah orientasi ma- syarakat terhadap barang kolektif dan individunya. Amerika,
misal- nya, berada
pada peringkat 1 dengan rating 91, cenderung menganut pandangan bahwa dunia sebagai
individu menciptakan jalurnya sen- diri; sedangkan kultur Asia, Indonesia misalnya, berada pada
pering- kat 47
dengan rating 14, cenderung memperlemah personalitas indi- vidu demi common good bagi grup.
Sejalan dengan hal ini, menurut Alon dan Kellerman, banyak pihak yang berpendapat bahwa kolusi antara pemerintah dan para
pebinislah yang mengundang adanya korupsi dan melemahkan kompetisi.
Gardels, seperti dikutip Alon dan Kellerman, menyatakan bahwa fenomena kultural seperti
bentuk kolektif, familistik, dan quanxie dari kapitalisme menimbulkan penyalahgunaan yang terjadi
seperti korupsi.
Ditambahkan pula, keinginan untuk menciptakan harmoni kelompok antara agen ekonomi
dan anggota masyarakat meningkat- kan adanya moral hazard.
Dengan latar
belakang kolektivisme ini, menurut Walker, sejalan dengan tradisi Kong Fu Chu,
kultur Asia berusaha menunda insolvensi selama mungkin, karena mereka cenderung menghindari rasa malu di hadapan publik dan
sebagainya, sehingga menimbulkan moral hazard yang kemudian
berakibat pada krisis. Praktik-praktik korup seperti pemberian hadiah, nepotisme, dan kronisme
berasal dari
kolektivisme.
Authoritarianism. Perbedaan
pokok antarkultur adalah world- view, filosofi, orientasi kepemimpinan, dan nilai yang dianut oleh suatu kultur. Filosofi kultur
Asia menganut pada berbagai otoritas (pemerintah, sosial, familial, dan sosietal), paternalisme,
kolektivis- me, dan
keinginan mempertahankan harmoni kelompok. Otorita- rianisme, di lain pihak,
menciptakan stabilitas dan keamanan yang semu; jika dipaksakan, akan menghasilkan pengawasan yang lemah.
Kultur otoritarian masyarakat di Asia digambarkan sebagai berikut: i). Pemerintahan di
Asia tidak cukup kuat untuk dipaksa menerima koreksi pasar, atau memberikan impresi bersedia untuk berkorban. ii). Stabil di
permukaan karena mereka jarang mengalami
tantangan atau kritik
terhadap persepsi yang
diciptakan oleh tindakannya. Sebelum krisis terjadi, ramalan atau peringatan akan munculnya bencana sering
dianggap sebagai tindakan
penciptaan disharmoni dan meru- pakan ancaman bagi stabilitas. iii). Bagai- kan pisau bermata dua: faham
paternalistik yang
percaya pada kebenaran tindakan yang berwenang membawa kecenderungan bagi mereka yang sedang berkuasa
untuk mem- pertahankan
persepsi tersebut, dan berusaha menghindar dari tanggung jawab di mana pun diperlukan. Tetapi, ketika perekonomian gagal,
usaha menemukan kambing hitam me- rupakan tema publik yang dominan. iv). Pemerintahan otoriter
cen- derung
mengontrol alur informasi mengenai kondisi yang mengarah ke krisis, dan setelah krisis,
masalah ini melukai usaha perbaikan. Pada akhirnya, tindakan perbaikan setelah krisis merupakan
usaha pemerintah
untuk menyelamatkan para konglomerat; inilah yang
terjadi terutama di Korea, Thailand, dan bahkan
menurut penulis juga
berlaku di Indonesia.
Power Distance (pertimbangan hierarki dan status). Power distance diartikan
sebagai sejauh mana anggota suatu kultur menganut pada distribusi kekuasaan yang tidak merata, dan
besar- kecilnya
penghormatan yang diberikan pada posisi dan status dalam hierarki. Sebagai contoh, Amerika
merupakan negara power distance yang rendah dan memiliki hukum yang melindungi wistleblowers. Di negara yang menganut power distance yang tinggi,
hal serupa akan berakibat
hilangnya pekerjaan seseorang, karena kulturnya sangat berjenjang dan bergantung pada
otoritas.
Keinginan untuk
menciptakan
harmoni
kelompok antara agen ekonomi dan anggota masyarakat meningkatkan
adanya moral hazard.
|
Manifestasi power distance ini dapat mengakibatkan hal- hal berikut: i). Power
distance yang tinggi terutama di negara Asia mengakibatkan kurangnya
transparansi yang signifikan selama ber- tahun-tahun, sehingga berujung pada krisis. ii). Masyarakatnya
cen- derung
membentuk pemerintahan otoriter dengan karakteristik masa stabilitas yang panjang,
diikuti dengan masa gejolak yang singkat dan mendadak. iii). Power
distance mengandung kultur yang bersi- fat nonkonfrontasi terhadap
pihak yang berada pada posisi berkuasa
dan menghasilkan tingkat
transparansi yang rendah, menimbulkan praktik fiskal, yang mengabaikan kepentingan masyarakat
banyak, dan tidak
ada dorongan kultural untuk mempertanyakan tindakan yang berkuasa, termasuk
terhadap kelompok atau lingkungannya sendiri; yang terakhir inilah yang menciptakan kapitalisme
kroni.
Sebagai kesimpulan, Alon dan Kellerman berpendapat, seluruh
ke- adaan yang
sudah terjadi sebelum krisis ditinjau dari segi ekonomi dan kultural mendorong terjadinya
krisis. Manifestasi dari segi ekonomi dili- hat dari kenyataan pertumbuhan yang terlalu pesat, terlalu
banyak kredit tanpa
jaminan, dan terlalu banyak usaha bisnis dan kepemimpinan yang tidak bernilai. Dari segi
kultural, mereka menyebutkan contoh-contoh seperti terlalu yakin pada pandangan besar pemimpin, kurangnya
penye- lidikan
terhadap orang dan situasi yang patut diteliti, terlalu menekankan keharmonisan kelompok, dan
penekanan yang berlebihan pada segi kultural tersebut oleh pemimpin.
Seperti halnya
Alon dan Kellerman, Gary Dean mendalami akar penyebab krisis Asia dari latar belakang
kultural, dan perpendapat bahwa penyebab utamanya adalah sifat kolusif antara modal dan negara. Krisis
Asia, yang akibatnya
terutama dirasakan di empat negara, yaitu Thailand, Korea Selatan, Indonesia, dan
Malaysia, disebabkan oleh faktor dengan kon- vergensi kultural pada
collectivism relatif. Faktor collectivism inilah yang menyebabkan pemberian kredit
yang berlebihan, connected lending, dan hubungan personal yang kolusif lainnya.20
Pengaruh yang
dalam dari kolektivisme yang dimaksud oleh Dean di atas berarti, bahwa pengambilan
keputusan dalam proses pemberian kre- dit telah mengesampingkan
pertimbangan profesionalisme dengan kadar dan integritas yang diperlukan. Pertimbangan relationship lending lebih berperan di sini, dalam arti lebih memperhatikan
hubungan dengan
atasan, pemilik bank, lingkungan keluarga, dan secara politis tun- duk terhadap hubungan dengan
birokrasi yang lebih luas. Pertimbangan ini merupakan faktor yang diutamakan dalam keputusan pemberian
kre- dit yang
dimaksudkan oleh Dean.
Charles
Collyns dan Abdelhak Senhadji meneliti kaitan antara lending boom, asset price cycles, dan krisis keuangan Asia. Berdasarkan bukti empiris dan argumentasi
teoretis, mereka membuktikan adanya hubung- an yang kuat antara pemberian pinjaman bank dengan asset price inflation,
terutama dalam pasar real estat. Walaupun penelitian mereka tidak secara khusus dibahas di sini,
rekomendasi kebijakan dari pengalaman yang terjadi di Asia dan hasil penelitian mereka sangat
berkaitan dengan buku
ini.
Dalam kaitan ini, Collyns dan Senhadji berpendapat, gelembung
real estate dapat
dihindari dengan menahan pertumbuhan kredit pada sektor tersebut melalui
langkah-langkah berikut:
Pertama, memperkuat
penilaian kredit dan mengurangi ketergan- tungan pada kolateral sebagai dasar pengambilan keputusan
kredit. Ini artinya
menekankan analisis kredit untuk meneliti sehat-tidaknya pros- pek usaha debitor dan
kapasitasnya untuk membayar kembali pinjaman.
Kedua, mengurangi moral hazard dalam sistem
perbankan. Dalam lingkungan
di mana pengawasan pemilik saham dan penyelesaian secara hukum lemah dan tidak efektif,
timbulnya moral hazard dapat ditekan melalui berbagai cara, antara lain 1) meningkatkan
transparansi dari kerangka
peraturan yang dapat meningkatkan disiplin pasar, 2) mene- tapkan ketentuan kecukupan
modal yang ketat, sehingga menempatkan modal pemegang saham tersebut pada risiko yang sesungguhnya,
3) me- netapkan
standar akuntansi yang lebih tinggi, terutama dalam hal asset valuation, untuk meningkatkan
disiplin pasar bagi investor dan kreditor.
Ketiga, menerapkan
pendekatan ketentuan perbankan yang kompre- hensif. Rekomendasi ini bertitik tolak dari pengalaman
Thailand, yang lembaga
keuangannya diizinkan untuk melakukan intermediasi keuangan tetapi tidak diatur seperti
layaknya bank. Di samping itu, bank disyarat- kan untuk menerapkan sistem manajemen risiko yang lebih
canggih, mi- salnya
melakukan stress testing, sehingga mengurangi bank mengambil risiko pasar yang besar seperti
halnya terhadap pasar properti.
Kesimpulan yang diberikan oleh Collyns dan Senhadji itu jelas
mene- kankan
pentingnya memperkuat analisis kredit. Untuk mengatasi moral hazard, perbankan
memerlukan transparansi, penerapan manajemen ri- siko, serta pengaturan yang lebih tegas dalam rangka
menegakkan disip- lin
pasar. Hal yang terakhir ini berkaitan dengan
kultur perusahaan dan kultur kredit.
Walaupun
sebagian dari penelitian di atas menggunakan pendekatan makro, para peneliti itu
umumnya masih mengaitkan perubahan eko- nomi makro dan faktor-faktor mikro tertentu terhadap kegagalan
bank, yang
disebabkan oleh timbulnya NPL yang besar. Lebih lanjut, kesimpul- an dari pembahasan penelitian
di atas dapat menunjukkan adanya kon- vergensi ke arah masalah-masalah mikro. Hal ini dapat
dikatakan demi- kian
karena krisis perbankan yang terjadi di banyak negara, termasuk di Indonesia, umumnya disebabkan
oleh masalah yang berkaitan langsung dengan perkreditan.
Semua kesimpulan dan pendapat di atas juga didukung oleh
pendapat para ahli
lain, di antaranya Ashcraft, yang mengatakan bahwa kegagalan bank sering disebabkan oleh
standar seleksi (screening) yang buruk.
Karena bank merupakan suatu organisasi korporasi pemberi
kredit, kemampuan
melakukan seleksi kredit harus selalu ditingkatkan dan di- pertahankan dari waktu ke
waktu. Para pihak yang berkepentingan terha- dap kelangsungan hidup bank harus pula membantu dan mendukung
ter- ciptanya
pelaksanaan kemampuan menyeleksi kredit tersebut. Beberapa kasus yang disampaikan
sebelumnya menunjukkan bahwa pelaksanaan kemampuan ini terabaikan ketika terdapat pengaruh yang
bersifat exogenous terhadap proses pemberian kredit, atau ketika pihak manajemen tidak melakukan pekerjaannya
dengan sepenuh hati dengan melakukan rekayasa yang terselubung. Pengaruh exogeneous dalam hal
pengambilan keputusan
pemberian kredit yang paling dekat yang dimaksud adalah dari para pemilik, direksi, atau
manajer bank yang dipengaruhi oleh pemilik.
Sebagai kebalikan dari pengaruh exogeneous itu, Caprio Jr
menekan- kan bahwa
bank yang sehat dan aman ditentukan oleh berbagai pilar. Pi- lar yang dimaksud adalah
memperkuat dorongan dan kapasitas pemilik, manajer, atau direksi, dan pasar serta para pengawas untuk
mendukung terciptanya corporate governance yang
hati-hati dari bank, serta perha- tian yang lebih besar terhadap faktor yang membatasi kemampuan
dan keinginan bank
untuk melakukan diversifikasi risiko.
Pendapat Caprio ini menunjukkan bahwa corporate governance, de- ngan kata lain pengawasan pada
organisasi itu sendiri, atau built in control, harus terbentuk dari sikap para pihak yang terkait, terutama
pihak internal
bank, yakni para pemilik dan para manajer atau para direksi. De- ngan demikian, pengambilan
keputusan yang diperlukan dalam perkre- ditan yang sehat akan terbentuk dengan baik dalam suasana corporate
governance yang diperlukan.
Dalam suasana cor-porate governance yang baik,
setiap pihak dalampengambilan
keputusan kredit yang baik akanlebih
mementingkan kepentingan bank sebagaikorporasi
secara keseluruhan, sehingga merekatidak
dapat dipengaruhi oleh pihak pemilik ataulainnya ke arah yang menguntungkan pihak yang memberikan pengaruh, tetapi
merugikan bank dan masyarakat luas, se- perti yang terungkap dari kasus terjadinya NPL yang besar,
sebagai awal kegagalan
bank dan krisis perbankan.
Pihak internal bank secara keseluruhan perlu mendukung usaha
pe- ningkatan
kemampuan untuk menyeleksi kredit, atau melakukan analisis kredit, serta menciptakan
pengawasan melekat (built in control) sebagai arti lain dari corporate
governance. Bagaimana pentingnya meningkat- kan dan menerapkan kemampuan
tersebut dapat pula dilihat dari penda- pat William Gamble berikut.
Gamble
mengambil kesimpulan bahwa penyebab NPL, terutama di Asia Tenggara dan Cina,
bertumpu pada tiga hal, yaitu orangnya
(people), kebijakannya (policy), dan praktiknya (practice). Untuk
menggambar- kan
yang pertama, Gamble mengaitkan masalah ini dengan relationship lending. Di
sini relationship lending berarti pinjaman diberikan kepada pihak yang disukai oleh pejabat
pemerintah, pemilik atau manajemen bank sendiri atau kroninya, kelompok keiretsu (Jepang), dan
berdasarkan quanxi (Cina) atau ditentukan oleh Partai Komunis. Untuk yang kedua, pemberian kredit diberikan
karena kebijakan, atau policy lending, atau diarahkan oleh pemerintah atau pemilik bank. Di sini,
pemberian kredit tidak
didasarkan pada analisis risiko kredit, jadi praktik perbankan yang sehat dikesampingkan. Untuk
yang ketiga, praktik administrasi yang mendasari transaksi perbankan sering dilupakan, misalnya
pinjaman tidak selalu didokumentasikan, kolateral tidak diminta, pengikatan
jamin- an secara
hukum tidak dilakukan.
Australia selalu memiliki tingkat NPL yang paling rendah di
dunia, 0,2 persen
tahun 2005, dengan angka rata-rata hanya 0,44 persen pada pe- riode 2001-2005. NPL yang
rendah ini dicapai karena fondasi untuk re- formasi keuangan telah dipersiapkan beberapa abad yang lalu,
dan telah mengalami
suatu proses yang sangat panjang.21 Pada masa sebelumnya, sektor keuangan mengandung
peraturan yang ketat22 dan dikontrol oleh pemerintah dalam waktu yang
sangat lama, terutama yang berkaitan de- ngan pemberian pinjaman oleh bank komersial dan tingkat bunga.
Standard & Poor's (sebuah institusi yang mengeluarkan
rating menge- nai
investasi) mengungkapkan, sektor perbankan Australia tetap merupa- kan sistem perbankan yang
paling rendah risikonya23 dengan perekono- mian yang kuat, dibarengi oleh
lingkungan industri yang sehat. Lebih lanjut dikatakan, yang mendasari ini semua adalah profil bisnis dan
keuangan yang sehat
dari setiap situasi keuangan, dengan profil risiko kredit, kemampuan manajemen risiko, dan kinerja
operasional yang sebanding dengan standar terbaik internasional. Bank-bank besar Australia menghasilkan
tingkat keuntungan
tertinggi di dunia, dan faktor dominan yang mendukungnya adalah kualitas aset yang
sangat baik—dan ini merupakan fungsi dari lingkungan kredit dan underwriting standard yang
kuat, serta efisiensi biaya yang tinggi dibandingkan dengan standar internasional
(Bennett, Standard &
Poor's, 2005). Di samping itu, Australia memiliki regulatory environment yang
transparan dan terbuka, dengan tenaga kerja yang berkualitas tinggi serta infrastruktur bisnis yang
maju (Axiss Australia).24
Dalam studi
komparatif antara sektor perbankan Australia dan Je- pang, Piyadasa Edirisuriya dari
Monash University menyimpulkan, bank- bank Jepang memiliki perbedaan yang unik dan signifikan dalam
banyak hal, seperti
tingginya tingkat NPL dan konsep banking
relationship25 yang telah diterima
secara luas. Dalam perbankan Australia, kedua hal ini tidak terlihat dan tidak umum.
Edirisuriya berpendapat, praktik hubung- an patron ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
masalah NPL yang
berkelanjutan di Jepang. Di lain pihak,
'personalized' banking relationships seperti itu
jarang terjadi pada perbankan Australia. Edirisu-
riya berpendapat, jika faktor sosial dan kultural
dipertimbangkan, Jepang akan mengalami kesulitan yang luar biasa dalam melakukan
reformasi praktik
perbankan tradisionalnya dibandingkan dengan Australia.
Bent Vale menguraikan krisis
perbankan Norwegia yang terjadi tahun 1988 sampai 1993.26 Krisis ini bermula dengan
adanya deregulasi keuang- an yang dilakukan pada 1984-1987, yang membatasi tingkat bunga
pinjaman dan pagu kredit dan menghapus kontrol terhadap capital inflow. Pada saat
yang sama, ketentuan permodalan bank diperlunak; perpetual subordinated debt
(utang yang kekuatannya bertingkat) dapat dianggap sebagai bagian dari modal.
Akibatnya, lending boom terjadi. Kredit bank meningkat di atas 20 persen per tahun pada 1984-1986, sehingga
utang kepada
masyarakat bertambah. Sejalan dengan pertumbuhan kredit ini, terjadi boom pada sektor real
estat, baik residential maupun nonresiden- tial, dibarengi dengan kenaikan harga aset. Keadaan ini membuat
per- bankan menjadi
rapuh terhadap perubahan ekonomi makro yang drastis.
Tahun 1985, harga minyak turun dengan tajam. Karena sangat
ber- gantung pada
pendapatan dari minyak, Norwegia mengalami defisit pada current account sebesar 6,2 persen, dari sebelumnya surplus 4,8 persen dari GDP. Tekanan yang
ditimbulkan membuat mata uang krone dide- valuasi pada 1986. Akibatnya, selama 1988-1990, 13 bank kecil
dan me- nengah
mengalami kegagalan. Setelah reunifikasi Jerman, Bundesbank menaikkan
tingkat bunga; dan untuk mempertahankan nilai krone, Nor- wegia mengimbanginya dengan
tingkat bunga yang tinggi dalam tahun 1990-1992, walaupun tingkat pertumbuhan ekonomi melemah.
Puncak krisis
terjadi pada 1991 ketika bank terbesar kedua mengalami kerugian yang besar, sehingga seluruh
modalnya menjadi negatif. Pada puncak kri- sis, Norwegia mengalami NPL sebesar 9 persen, atau 2,8 persen
dari GDP (Swedia
3,8 persen dan Finlandia 4,4 persen).
Vale menjelaskan latar belakang terjadinya krisis perbankan di
atas. Sebelum
terjadinya deregulasi, bank tidak dapat melakukan ekspansi kredit. Kredit hanya diberikan
kepada debitor dengan risiko kredit yang rendah dari sejumlah besar antrean permintaan kredit. Setelah
pagu kre- dit
dicabut, bank beroperasi dalam lingkungan yang baru yang lebih kom- petitif. Terutama bank besar
berkompetisi untuk merebut pangsa pasar yang lebih luas, dengan mengabaikan pengawasan internal dan
manaje- men risiko
(Sandal, 2004). Strategi ini tampak dari kompensasi pimpinan bank yang ditentukan
berdasarkan pertumbuhan pemberian pinjaman.
Vale juga berpendapat, teori
herd behavior dapat dilihat di sini.27
Be- berapa bank
kecil dan menengah mengikuti tindakan bank besar dalam berkompetisi merebut pasar.
Tindakan ini mengakibatkan pengambilan risiko yang berlebihan secara agregat, sedangkan mereka kurang
ber- pengalaman
dalam lingkungan yang kompetitif tersebut. Dalam keadaan seperti itu, pengawasan dan
peraturan perbankan tidak memadai.
Sejalan
dengan pendapat Vale ini, Jan Mattsson menyimpulkan, krisis perbankan di negara-negara Nordic terjadi
antara lain kare- na
kurangnya kontrol, buruknya insentif, ber- ubahnya kultur internal bank, dan kurangnya keterlibatan manajemen puncak
dalam opera- sional
bank sehari-hari. Semua faktor ini perlu diperhatikan dalam melakukan desentralisasi dan pelimpahan wewenang.
Menurut Matts- son,
perubahan kultur internal bank terletak pada proses pemberian kredit, yang ditentukan oleh bagaimana pejabat kredit
bank memper- oleh
informasi kualitatif, mencerna dan meng- evaluasinya.
Bulgaria,
sebagai salah satu negara dalam perekonomian transisi, pernah mengalami krisis perbankan pada
1990-an. Saat itu, sepertiga dari bank yang ada, termasuk bank pemerintah yang mapan, mengalami
kebang- krutan.
Koford, Kenneth, dan Tschoegl meneliti masalah-masalah yang berkaitan dengan pemberian
kredit bank, dengan cara melakukan wa- wancara dengan 24 bank. Ringkasan dari temuan mereka adalah
sebagai berikut.
Berdasarkan survei yang dilakukan, Caprio dan Klingebiel
menyim- pulkan,
terdapat tiga alasan terjadinya kegagalan sistem perbankan di negara maju, berkembang, dan
perekonomian transisi, yaitu adanya gun- cangan ekonomi makro yang besar seperti hiperinflasi dan
depresi, per- aturan
pemerintah yang salah, dan kesalahan di pihak bank. Koford, Kenneth, dan
Tschoegl berpendapat, Bulgaria memiliki ketiga kelemahan ini.
Kebanyakan perusahaan kecil dan menengah tidak dapat menyedia- kan catatan keuangan yang baik,
dan umumnya tidak memiliki laporan keuangan yang telah diaudit. Karena akuntan publik "Big
Six" (enam kantor
akuntan besar di AS) mahal, mereka menggunakan akuntan lokal yang bersedia membuat
angka-angka yang baik yang diperlukan.
Krisis perbankan di negara-negara Nordic terjadi antara
lain karena kurangnya kontrol, buruknya insentif, berubahnya kultur internal
bank, dan kurangnya keterlibatan manajemen puncak dalam operasional bank
sehari-hari.
|
Seperti halnya di negara maju, Bulgaria tidak memiliki
institusi yang mengeluarkan
laporan kredit komersial seperti Dun and Bradstreet (per- usahaan penyedia data dan
informasi bisnis yang berbasis di Amerika
Serikat),
sehingga para bankir mengalami kesulitan untuk memperoleh informasi guna mengetahui
apakah suatu perusahaan atau debitor mem- bayar utangnya tepat waktu atau tidak.
Bank lokal Bulgaria tidak dapat berkompetisi dengan bank
asing. Bank asing
cenderung hanya berhubungan dengan perusahaan terbaik Bulgaria, atau anak perusahaan
dari negara asalnya. Sebaliknya, bank lo- kal umumnya memiliki nasabah yang merupakan perusahaan kecil
sam- pai menengah
atau baru, atau perusahaan milik pemerintah yang dalam kesulitan keuangan.
Keadaan politik dan ekonomi menambah risiko usaha dan sulit
un- tuk diprediksi,
misalnya ketentuan impor dan ekspor sering dibuat untuk membantu mereka yang memiliki
koneksi politik, dan kurs mata uang lev sering tidak stabil.
Hampir semua
bank swasta bangkrut tahun 1996-1997 terutama di-
sebabkan oleh praktik pemberian kredit yang
buruk, khususnya pemberi- an kredit kepada orang dalam. Penegakan hukum yang lemah, baik
untuk melindungi
kepentingan kreditor seperti mengeksekusi jaminan, maupun untuk mengadili kasus penipuan.
Akibatnya, para bankir mengalami ke- sulitan untuk mendorong para debitor guna menghormati
perjanjian kre- ditnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar