Selasa, 16 Agustus 2016

Bab 4 Buku Selamatkan Perbankan (Bagian 1)

4
B
ANYAK pengamat melakukan penelitian yang mengaitkan NPL dan kemudian krisis perbankan dengan masalah-masalah ekonomi mak- ro.1 Banyak pula pengamat yang mengakui, perkembangan ekonomi mak- ro dapat memberikan tekanan kepada bank atau sistem perbankan.2 Me- nurut Michael Gavin dan Ricardo Hausmann, dalam keadaan seperti itu, bank yang paling lemahlah yang akan mengalami kegagalan lebih dulu; kedua-duanya—tekanan ekonomi makro dan lemahnya bank—lah yang menyebabkan kegagalan.
Krisis yang terjadi pada suatu sistem perbankan umumnya telah mengandung rasio NPL yang tinggi, dan didorong oleh adanya kejutan ekonomi makro yang besar. Bahkan, ada pula pengamat yang berpenda- pat, NPL merupakan penyebab awal suatu kejutan ekonomi makro yang menimbulkan krisis perbankan.3 Hanya saja, NPL ini tidak serta-merta dapat dilihat sebelum krisis terjadi karena adanya berbagai alasan, terma- suk kebijakan forebearance. Dalam keadaan seperti ini, penyebab krisis dengan alasan kejutan ekonomi makrolah yang paling banyak disebutkan sebagai alasan dan diterima secara politis.
Walaupun demikian, tidak semua kejutan ekonomi makro dapat me- nyebabkan krisis keuangan, kecuali yang bersifat besar dan drastis.4 Dalam kaitan ini, disebutkan bahwa kegagalan-kegagalan bank di Amerika umum- nya dipicu oleh kejutan tajam yang terjadi pada ekonomi makro regional
atau nasional, atau menciutnya gelembung harga aset, terutama pada real estat.5 Selain itu, menu- rut Kaufman, berdasarkan suatu studi mengenai kegagalan bank pada 1865-1936, dilaporkan bah- wa penyebab kegagalan bank yang paling sering disebutkan adalah tekanan keuangan (financial distress) dan manajemen yang tidak kompeten.
Sebelum depresi ekonomi 1930 terjadi di Amerika, sejumlah 1.492 bank mengalami kega­galan pada 1928/1929, diikuti sejumlah penutup- an bank lainnya sampai tahun 1933. Dari semua penutupan bank ini, Susan Eastbrook Kennedy menyimpulkan, penyebab bank-bank tersebut ditutup secara umum adalah masalah-masalah di tingkat mikro. Ia menyebutkan, masalah-masalah mikro ini mencakup pembiayaan spekulatif pada real es- tat dan saham, pinjaman pada grup sendiri, ketidakmampuan manajemen, pemberian kredit yang sembrono, manajemen yang buruk, dan kerakusan.
Dalam perkembangan berikutnya di Amerika, menurut Kitty Calvita, Henry N. Pontell, dan Robert H. Tillman, akar keruntuhan industri sa­ving & loan tahun 1980-an di Amerika berada pada pengambilan risiko yang berlebihan, tapi merupakan tingkah laku ekonomi yang rasional. Namun, dalam konteks moral hazard, penyebabnya adalah pertimbang- an bisnis yang buruk dan mismanajemen.
Sementara itu, Jerome Sgard, dalam mengkaji krisis kredit di lima negara dengan perekonomian transisi, mengatakan perlu mengkaji seca- ra seimbang penyebab krisis tersebut. Dia berpendapat, ekonomi makro umumnya menekankan pada masalah defisit anggaran yang besar dalam konteks tingkat tabungan yang rendah, dan kebijakan moneter yang ke- tat. Namun, ekonomi mikro umumnya dianggap sebagai faktor penentu, yang sering langsung dapat dilihat pada berbagai negara yang berbeda.
Penyebab kegagalan bank yang paling sering disebutkan adalah tekanan keuangan (financial distress) dan manajemen yang tidak kompeten.
Dalam kaitan dengan yang terakhir ini, menurut Sgard, keterbatasan internal bank umumnya berada pada masalah persediaan faktor produksi yang terbatas (SDM atau modal sendiri), atau masalah governance yang memainkan peranan penting, di samping keterbatasan lingkungan opera- si yang ada seperti property rights yang lemah, dan masalah asymmetric information merupakan faktor yang kritis. Sebagai contoh lain, Singa- pura, yang berada di tengah badai krisis Asia, memiliki ketahanan yang berakar, antara lain, pada sektor perbankan yang sehat dan corporate governance yang kuat.
Di lain pihak, dalam keadaan normal, risiko bank yang paling besar timbul dari masalah likuiditas. Bank setiap waktu harus menyiapkan ting- kat likuiditas tertentu, dengan perhitungan tertentu, sehubungan dengan kemungkinan para deposan meminta dananya kembali. Persiapan likuidi- tas ini harus selalu dilakukan mengingat sebagian besar dana masyarakat tersebut ditanamkan dalam bentuk pinjaman dengan jangka waktu yang lebih panjang.
Karena itu, menurut Gavin dan Hausmann, sudah merupakan fe- nomena yang umum bahwa kegagalan bank mengikuti mekanisme yang sama, yaitu ketidakmampuan bank untuk menyerahkan dana masyarakat ketika diminta kembali. Bank akan tidak mampu menyediakan likuidi- tas yang diperlukan ketika para deposan memintanya. Dengan kata lain, masalah likuiditas akan menjadi lebih berat jika bank mengalami kredit macet yang besar. Masalah likuiditas akan menjadi akut hanya disebab­kan oleh portofolio pinjaman bank yang tidak sehat, atau yang memiliki tingkat NPL tinggi.
Para ahli, terutama di tingkat internasional, melakukan penelitian menda- lam mengenai akar penyebab NPL di seluruh dunia dan Indonesia, terutama yang berkaitan dengan krisis keuangan atau perbankan. Bagian ini memba- has substansi dari penelitian tersebut, dengan menggunakan variabel ekono- mi makro dan mikro. Di bawah ini disajikan ikhtisar penelitian yang meng- gunakan pendekatan ekonomi makro di negara-negara ASEAN dan non- ASEAN, dan pada bagian berikutnya dengan pendekatan ekonomi mikro.
Janice Boucher Breuer (2006)6 mengkaji masalah NPL dari muara yang paling dalam, yaitu peranan ganda yang harus dilakukan bank sebagai perantara keuangan. Terhadap pemilik dana, bank bertindak sebagai agen, sedangkan terhadap nasabah peminjam, bank merupakan prinsipal. Peranan ganda ini sering menimbulkan benturan kepentingan yang dapat menimbulkan mismanajemen dan akhirnya menciptakan NPL.
Berdasar pada model Diamond, bank, para deposan, dan nasabah pe- minjam memiliki pembawaan dengan sifat self interest, yakni bank dike- lola oleh orang yang memiliki self interest, dan bank melayani orang yang juga memiliki self interest, maka dalam hubungan ini terdapat potensi benturan kepentingan. Benturan ini bisa menimbulkan tindakan yang bertentangan terhadap kewajiban, sehingga menimbulkan NPL.
Sifat self interest ini dimainkan dalam batasan institusi seperti per- aturan dan ketentuan perbankan, praktik pengawasan, praktik penegakan hukum secara umum, dan bahkan standar moral dan etika. Sejauh mana NPL dapat ditekan, menurut Breuer, sangat bergantung pada kualitas in- stitusi-institusi ini.
Breuer menambahkan, pengawasan dan peraturan perbankan, ter- masuk the Bassel Accord, merupakan institusi utama yang berfungsi untuk memengaruhi tingkah laku bank. Institusi ini dapat langsung me- nekan potensi munculnya benturan kepentingan antara kedua hubungan tersebut, sehingga masalah perbankan dapat dihindari. Tetapi, sejumlah institusi yang ada dan merupakan infrastruktur sosial suatu negara dapat pula memengaruhi tingkah laku bank tersebut. Institusi yang dimaksud adalah hukum, politik, sosiologi, dan ekonomi. Semuanya ini dapat pula memengaruhi tingkah laku yang dimainkan dalam hubungan prinsipal- agen dalam konteks hubungan perbankan.
Hasil penelitian Breuer mengenai korelasi NPL dengan institusi-in- stitusi itu menghasilkan beberapa penemuan yang sejalan dengan hipo­tesis yang dikemukakannya. Penelitian Breuer ini tidak secara spesifik menggunakan faktor-faktor ekonomi makro, tetapi lebih mengaitkan lingkungan operasi dan manajemen internal bank dengan NPL. Faktor- faktor lingkungan ini merupakan bagian dari suatu sistem yang lebih luas dan berada di luar jangkauan manajemen internal. Lingkungan operasi bank yang dimaksud meliputi lingkungan sosial dan penegakan hukum; sedangkan dari segi manajemen internal bank, faktor-faktor yang diguna- kan terdiri atas penerapan manajemen risiko, pengenaan sanksi terhadap pelanggaran internal, dan diversifikasi aset.
Kualitas lingkungan operasional yang harus dihadapi bank bersifat given (apa adanya). Dalam hal ini, bank tidak dapat memengaruhi atau memperbaiki keadaan lingkungan tersebut. Apa yang sesungguhnya di- perlukan oleh bank adalah bagaimana bank dapat menghadapi masalah lingkungan yang ada, sehingga tetap dapat beroperasi secara langgeng. Faktor utama yang membuat bank tetap hidup beroperasi adalah kemam- puan untuk menekan NPL seoptimal mungkin.
Karena itu, yang perlu dicari adalah faktor-faktor apa yang dapat memengaruhi timbulnya NPL, dilihat dari konteks manajemen internal bank. Dalam kaitan ini, Breuer menggunakan praktik manajemen risiko, pengenaan sanksi terhadap pelanggaran internal, dan diversifikasi aset. Semua faktor mikro ini berkorelasi secara negatif terhadap NPL. Ini artinya penerapan faktor-faktor tersebut akan dapat menurunkan tingkat NPL.
Dilihat sebagai variabel independen yang berdiri sendiri, manaje- men risiko dapat diterapkan dalam banyak cara. Salah satu dari pende- katan itu, setiap usulan kredit harus dikaji oleh pihak yang independen dari bagian yang mengusulkannya sebagai langkah check and balances, dalam hal ini bagian marketing. Kemudian, prinsip-prinsip penanganan risiko yang dituntut oleh manajemen risiko umumnya telah tertera dalam ketentuan internal bank dan ketentuan dari Bank Indonesia. Dengan de- mikian, yang diperlukan di sini adalah penerapannya oleh semua pejabat yang terkait dalam perkreditan, terutama para pemutus kredit.
Untuk memastikan bahwa penerapan ini telah dilakukan dengan baik dan konsisten oleh semua pihak terkait, yang diperlukan kemudian adalah unsur pengawasan, yang secara khusus berupa audit kredit. Se­jalan dengan unsur pengawasan itu, hal yang serupa juga berlaku terhadap perlunya sanksi terhadap pelanggaran internal yang mungkin terjadi. Adapun unsur mikro yang lain, yaitu diversifikasi risiko, memang merupakan tugas intermediasi keuangan. Tanpa melaksanakan tugas ini dengan baik, tidaklah mungkin mencapai portofolio yang sehat. Karena itu, yang diperlukan di sini adalah bagaimana dapat diyakini bahwa tugas bank dalam melakukan diversifikasi risiko benar-benar dijalankan dengan baik. Untuk dapat meyakinkan bahwa suatu tugas dijalankan dengan baik, tentu- nya perlu meninjau tingkat pengetahuan, kemampuan, dan penga- laman, serta profesionalisme pihak yang menjalankan tugas tersebut.
Ana-Maria Fuertes dan Zulma Espinola (2006) melakukan penelitian de- ngan menggunakan panel data bulanan yang berkaitan dengan 32 bank, mulai 1995 sampai 2003, di Paraguay. Tujuan penelitan ini adalah me- neliti apakah variasi dalam NPL di Paraguay dalam kurun waktu tertentu dan terhadap semua bank dapat dijelaskan oleh satu set variabel ekonomi dan keuangan.
Variabel ini dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, indikator yang menunjukkan tingkat kesehatan setiap lembaga keuangan atau yang di-
sebut microprudential indicators7 (seperti rasio modal, likuiditas, biaya-biaya, dan return on asset). Kedua, indikator ekonomi makro atau exogeneous shock yang dapat memengaruhi sta- bilitas sistem keuangan, atau disebut macropru- dential indicators.8 Latar belakang pemikirannya adalah kedua kelompok indikator ini konsisten dengan pandangan bahwa krisis keuangan ter- jadi karena lembaga keuangannya lemah ketika menghadapi guncangan ekonomi makro.
Kekuatan suatu sistem perbankan juga dapat dipengaruhi oleh fak- tor-faktor yang tidak dapat diukur, seperti infrastruktur hukum, kualitas pengawasan bank, dan ketentuan mengenai standar akunting dan standar lainnya. Termasuk fitur kualitatif lainnya seperti tango effect, dimasuk- kan ke dalam suatu kontrol melalui dummy variables dalam model yang digunakan.
Dari hasil empiris yang diperoleh, Maria Fuertes dan Espinola ber- kesimpulan, kerapuhan (fragility) setiap bank menggambarkan tingkah laku lembaga keuangan tersebut. Artinya, perlu lebih memperhatikan va- riabel microprudential. Karena itu, perbankan Paraguay perlu melakukan reengineering manajemen risiko kredit, tidak hanya dari sisi pengawasan bank, tetapi juga dari sisi institusi banknya sendiri. Untuk itu, perbankan Paraguay harus menekankan market discipline dan memperkuat kebijak- san manajemen kredit yang ada.
Dari variabel ekonomi makro, terdapat hubungan negatif antara NPL dengan sektor riil dan current account deficit (defisit perdagangan antar- negara). Karena itu, kebijakan perlu diarahkan untuk membangkitkan perekonomian dan daya saing. Pengaruh kedua variabel ini akan lang- sung dirasakan ketika terjadi resesi dengan time lag yang pendek sekitar empat bulan setelah hilangnya daya saing.
Penelitian ini menggunakan tidak hanya faktor makro, atau disebut sebagai macro prudentials, tetapi juga menggunakan faktor mikro (mi- croprudentials). Variabel mikro yang digunakan meliputi rasio-rasio yang berkaitan dengan keuangan bank yang diambil dari laporan keuangan.
Kerapuhan (fragility) setiap bank menggambarkan tingkah laku lembaga keuangan tersebut.

Dari uraian di atas, terlihat jelas Maria Fuertes dan Espinola me- ngatakan, bahwa terdapat macam kerapuhan bank yang lain, yang ber- beda dari yang apa yang dijelaskan mengenai tujuh kerawanan bank di Bab 2. Kerapuhan yang dimaksud adalah kerapuhan yang ditimbulkan
oleh tingkah laku bank sebagai lembaga keuangan, sehingga bank perlu memperhatikan masalah microprudentials dalam hal modal, likuiditas, biaya-biaya, dan return on assets. Ditilik dari rekomendasi mereka itu, dan bank harus melakukan reengineering manajemen risiko, dapat pula ditarik kesimpulan lain bahwa yang menjadi masalah di perbankan di Paraguay tetap berkisar pada NPL yang besar. Masalah NPL tentunya akan berakibat negatif terhadap seluruh microprudentials tersebut. Bank yang lemah yang tidak memperhatikan microprudentials akan mengalami krisis, jika diterpa oleh kejutan tajam yang terjadi pada tataran ekonomi makro.
Kembali, di sini, yang menjadi sebab kegagalan bank adalah keadaan bank yang lemah. Keadaan bank yang lemah terjadi karena tingkah laku bank itu sendiri, yang mengakibatkan timbulnya NPL yang besar. Karena itu, bank perlu memperhatikan disiplin pasar.
Untuk memperhatikan microprudentials dan disiplin pasar, kata Maria Fuertes dan Espinola, bank perlu menata masalah internal bank itu sendiri. Dalam hal ini, menurut mereka, bank perlu melakukan re- engineering dari manajemen risiko. Walaupun cakupan dan makna microprudentials, disiplin pasar, dan manajemen risiko berkaitan, atau overlapping satu sama lain, atau paling tidak bersinggungan, setiap fak- tor ini pada dasarnya merupakan topik yang berdiri sendiri. Karena itu, rekomendasi mereka meliputi cakupan yang lebih luas, tidak terbatas pada masalah perkreditan belaka.
Berbicara mengenai biaya-biaya dan return on assets (ROA), misal- nya, akan mencakup bagaimana organisasi bank dapat mencapai tujuan- nya secara efektif dan efisien, sehingga menciptakan biaya yang optimal. Biaya yang optimal tidak hanya diakibatkan oleh rendahnya NPL, tetapi juga sebagai akibat pengelolaan organisasi secara keseluruhan yang lebih efektif, sehingga mencapai sasaran yang dikehendaki. Jadi, secara tidak langsung, apa yang direkomendasikan di sini adalah juga menyangkut masalah budaya organisasi (corporate culture).
Syeda Zabeen Ahmed dari Independent University, Bangladesh, melaku- kan penelitian terhadap 15 bank swasta komersial, dengan menggunakan data 10 tahun. Tujuannya untuk mengindentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya NPL. Berdasarkan literatur yang digunakannya, ia membagi faktor-faktor sebagai variabel independen yang ditelitinya ke dalam tiga kelompok, yaitu:
           Faktor ekonomi makro: GDP dan ekspektasi pasar terhadap ke- adaan ekonomi.
           Indikator perbankan: tingkat bunga bank, horizon maturity (skala waktu jatuh tempo), dan nilai kolateral.
           Keadaan bank: ukuran bank, kultur kredit, pemberian kredit pada sektor prioritas.
Penelitian ini menunjukkan hasil yang mendukung hipotesis yang digunakan, yaitu setiap faktor di atas memiliki hubungan yang signifikan dengan NPL, baik secara negatif maupun positif. Faktor yang memiliki korelasi negatif adalah ukuran bank, tingkat bunga bank, kultur kredit, dan nilai kolateral. Sisanya memiliki korelasi positif. Keterbatasan pene- litian ini meliputi data yang digunakan terbatas 10 tahun, ukuran sampel tidak mewakili semua sektor bank komersial swasta, dan tidak mencakup bank pemerintah komersial yang memiliki NPL lebih tinggi. Di samping itu, Zabeen Ahmed tidak menguraikan lebih terperinci apa yang dimak- sud dengan kultur kredit.
Penelitian Zabeen Ahmed ini menggunakan pendekatan makro dan mikro. Namun, jika dikaji dari segi makro, hasil penelitian tersebut hanya menunjukkan indikasi yang umum mengenai hubungan antara GDP dan tingkat bunga terhadap NPL karena beberapa alasan.
Pertama, NPL yang timbul tentunya dari kredit yang sedang ber- jalan, dan kredit itu akan menjadi NPL karena adanya perubahan pada GDP dan tingkat bunga bank. Seyogianya, kemungkinan perubahan pada keadaan ekonomi dan tingkat bunga bank telah diperhitungkan sebelum kredit terkait disetujui. Jika ini telah dilakukan, maka jika NPL tetap ter- jadi, tentunya hal itu disebabkan oleh adanya perubahan yang mendadak dan besar pada kedua faktor makro tersebut.
Kedua, penelitian lain menyebutkan, hanya perubahan yang drastis dan besar pada faktor makro yang dapat menimbulkan NPL dan kegagal- an bank (Kunt dan Detragiache, 1997).
Ketiga, jika NPL dapat timbul karena adanya setiap perubahan, atau perubahan itu tidak besar, terutama pada tingkat bunga, maka dapat di- duga bahwa para debitor terkait telah memiliki utang yang besar.
Dalam konteks mikro, salah satu kesimpulan Zabeen Ahmed, yaitu bahwa kultur kredit memiliki korelasi yang signifikan terhadap timbulnya NPL, dapat digunakan juga sebagai salah satu variabel da- lam penelitian untuk buku ini.
Berdasarkan model pseudo-panel econometric, Hippolyte Fofack meneliti penyebab utama kenaikan tingkat NPL yang dramatis, ketika krisis eko- nomi dan perbankan melanda sebagian besar negara Sub-Sahara Afrika pada 1990-an. Penelitian ini menggunakan faktor-faktor ekonomi mikro dan makro.
Pada tingkat makro, Fofack meneliti korelasi antara NPL dan suatu subset variabel ekonomi, seperti GDP per kapita, inflasi, tingkat bunga, perubahan kurs mata uang riil, interest spread, dan broad money (M2). Pada tingkat mikro, ia meneliti hubungan antara NPL dan sejumlah va- riabel sektor perbankan, yang meliputi return on assets, return on equity, net interest margin, net income, dan interbank loans. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pertama, NPL (dalam persentase terhadap loan loss provision) dan pendapatan per kapita memiliki hubungan yang negatif. Ini berarti, jika pendapatan per kapita turun, NPL meningkat. Sejauh perubahan penda- patan per kapita merupakan proxy (wakil) terhadap perubahan pertum- buhan ekonomi, hubungannya yang negatif terhadap NPL menggambar- kan akibat dari penurunan output siklikal (naik-turun) terhadap sektor perbankan.
Kedua, korelasi NPL dengan tingkat inflasi rendah, tetapi bersifat negatif. Kenaikan inflasi yang tidak diperkirakan sebelumnya, ketika pe- nurunan pertumbuhan siklikal ekonomi terjadi, berkemungkinan akan memengaruhi secara negatif kinerja sektor perbankan dan loan recovery terhadap investor dan para pengusaha swasta. Dalam kasus yang ekstrem, hiperinflasi dapat mengikis aset dan modal bank, dan memperlemah po- sisi bank dalam jalur tingkat bunga. Karena koefisiennya relatif tinggi, hal itu dapat menggambarkan secara umum tekanan bahwa inflasi menurun dalam tahun 1990, terutama pada kelompok negara subpanel CFA (ke- lompok negara yang menggunakan rezim fixed exchange rate, dan mata uang mereka dikaitkan dengan mata uang franc Prancis, sedangkan ke­lompok negara non-CFA menganut rezim flexible exchange).
Ketiga, antara NPL dan apresiasi nilai tukar riil menunjukkan kore­lasi positif, lebih signifikan pada kelompok negara subpanel CFA.

Keempat, hubungan NPL dengan broad money multiplier (M2) ber- sifat negatif dan rendah, dan ini mengisyaratkan adanya penurunan kre- dit domestik yang diukur dengan rasio broad money (M2) terhadap GDP dalam masa krisis dalam kaitan dengan NPL.
Kelima, pada tingkat ekonomi mikro, korelasi NPL dengan sebagian besar variabel perbankan, termasuk return on asset (ROA), return on equity (ROE), total deposits, net interest margin (NIM), dan net income, bersifat negatif. Kesimpulan ini bersifat konsisten pada sebagian besar negara dari kedua kelompok negara subpanel, dan antara bank milik pe- merintah dan swasta. Dalam kaitan dengan korelasi antara NPL dan ROA, koefisien bagi bank-bank pemerintah lebih tinggi (­59 persen). Ini artinya, sekitar 60 persen variasi perubahan dalam NPL dapat dijelaskan karena adanya perubahan dalam ROA. Tetapi, hal terse- but tidak berarti adanya hubungan sebab-akibat.
H. Bartu Soral, Tian B. Iscan, dan Gregory Hebb (2006) melakukan pe- nelitian mengenai penyebab krisis perbankan di Turki pada tahun 2000. Krisis ini merupakan yang keempat di negara itu, yang berlanjut dengan krisis mata uang dan resesi ekonomi. Mereka menggunakan data trans- aksi pada tingkat mikro, yaitu laporan yang sangat terperinci dari para auditor. Penelitian dimulai dengan pertanyaan "Kenapa banyak negara berkembang dan negara industri mengalami krisis perbankan pada saat siklus bisnis tampaknya 'normal'?"
Menurut mereka, salah satu jawaban yang mungkin adalah adanya kombinasi kelemahan institusi, dan kerawanan ekonomi yang mencipta- kan suasana ideal bagi para individu oportunis untuk melakukan kegiatan penipuan (fraudulent activities) di sektor keuangan, yang akhirnya mele- mahkan fundamental ekonomi. Karena itu, mereka berargumentasi, ke- lemahan institusi merupakan penentu yang signifikan bagi masalah yang dihadapi sektor keuangan. Perampasan (looting) dan penipuan (frauds) yang menyebar luas, yang kemudian menimbulkan krisis perbankan, me- rupakan contoh kelemahan institusi. Mereka berkesimpulan, bisnis per- bankan sangat rawan terhadap tindakan perampasan bukanlah sesuatu yang baru.
Menurut Soral, Iscan, dan Hebb, untuk menuju ke arah krisis per- bankan, penipuan dan perampasan tidak terjadi sebagai perbuatan jahat

dalam isolasi, tetapi dilakukan secara berkolusi dan berkaitan dengan ba- nyak bank.
Para peneliti ini menyebutkan, bahwa teknik penipuan dan perampa- san yang dilakukan di Turki kurang lebih sama seperti yang terjadi pada skandal S&L tahun 1980 di Amerika. Berikut ini adalah ringkasannya:
an. Bank melakukan pengiriman uang secara ilegal kepada perusahaan terkait, dengan jumlah jauh melampaui batas maksimum pemberian kredit, sebelum bank dinyatakan insolven. Dalam kasus Esbank JSC,9 perampasan ini telah terjadi sebelum perekonomian Turki melemah pada akhir 1999.
Memalsukan modal ekuitas. Dengan tujuan agar dapat memperbesar pemberian kredit kepada perusahaan terkait, bank melakukan rekayasa untuk meningkatkan jumlah modal ekuitas. Berdasarkan UU, bank harus menambah modal dengan menyuntikkan dana segar dari pemegang saham. Namun, yang dilakukan adalah modus operandi berikut: bank meminjam dana dari perusahaan terkait dan untuk itu bank mengeluarkan letters of credit dengan jumlah yang sama, dan perusahaan grup membeli saham bank tetapi tidak pernah membayarnya. Dengan transaksi ini, bank menca- tat tambahan modal ekuitas.10 Kemudian, bank menambah pinjaman tunai atau nontunai secara ilegal kepada perusahaan dalam grup yang sama.
Pinjaman pada grup melalui perusahaan kertas. Cara ini dilaku- kan dengan tujuan mengaburkan eksposur bank yang sesungguhnya. Da- lam kasus Esbank JSC, Esbank AG, pemilik mayoritas Zeytinoglu Group yang didirikan di Austria, memperoleh pinjaman dari Esbank JSC. Pin- jaman ini diteruskan kepada grup pemilik Esbank JSC. Sebagai modus yang lain, Esbank JSC membuka depot account dan menempatkan dana di Esbank AG. Esbank AG dapat mendebet biaya-biaya yang dibebankan pada akun tersebut, dan dana selebihnya digunakan oleh Grup Esbank AG. Pada akhir 1999, pinjaman yang diberikan oleh Esbank JSC kepada Grup Zeytinoglu berjumlah US$ 378 juta, sedangkan ekuitasnya hanya senilai US$ 49 juta.
Back to Back Loan. Macam pinjaman ini merupakan systemic fraud, yakni bank A memberikan pinjaman kepada perusahan pemilik bank B,
sebaliknya bank B juga memberikan pinjaman dalam jumlah yang sama kepada pemilik Bank A. Dalam kasus Esbank JSC dan Esbank AG, back to back loan yang dimaksud mencapai US$ 217 juta dan 29 juta DM pada tahun 2000. Berdasar- kan penjelasan tersebut, istilah yang tepat bukan back to back loan, melainkan swap loan. Swap loan seperti ini banyak dilakukan pada kasus S&L di Amerika, dan di Indonesia masa sebelum krisis 1997/1998 dan terungkap ketika krisis terjadi.
Dalam kesimpulannya, Soral, Iscan, dan Hebb mengatakan bahwa perampasan yang dimaksud bukan penentu tunggal terhadap krisis per- bankan yang terjadi, yang kemudian disusul dengan resesi ekonomi. Me­nurut mereka, bukti dari penelitian ini mempunyai implikasi kebijakan dan teoretis. Bagi mereka, interpretasi dari bukti ini mengarah pada le- mahnya pelaksanaan UU atau peraturan yang merupakan penentu akhir krisis perbankan. Karena itu, mereka menekankan pada kualitas pene- gakan peraturan (regulatory enforcement), bukan pada kualitas rancang bangun peraturan (regulatory design), serta pada mekanisme transmisi dari kelemahan institusi menjadi krisis perbankan. Sebagai contoh, me­reka mengatakan, intervensi politik harus dijauhkan dari sistem keuangan, karena akan memengaruhi kualitas pengawasan. Mereka juga mengatakan bank yang korup dapat diatasi dengan penegakan dan pengawasan hukum yang kuat.
Intervensi politik harus dijauhkan dari sistem keuangan karena akan memengaruhi kualitas pengawasan.
Yang Li dari National University of Kaohsiung, Taiwan, melakukan peneli- tian tentang bagaimana krisis keuangan 1997 yang terjadi di Asia memeng- aruhi tingkat NPL Taiwan. Li menggunakan satu set panel data yang terdi- ri atas 40 bank komersial di Taiwan (didirikan sebelum 1996), dan untuk analisis empiris menggunakan data tahun 1996-1999. Dari penelitian ini, Li menyimpulkan: pertama, pinjaman bank dan besarnya berkorelasi po- sitif dengan tingkat NPL, tetapi dengan tingkat menurun; kedua, tingkat NPL terus meningkat dari tahun 1996 sampai 1998 berkemungkinan aki- bat adanya krisis keuangan Asia 1997; ketiga, bank yang didirikan setelah tahun Deregulasi 1991 memiliki tingkat NPL rata-rata yang lebih rendah, dibandingkan dengan bank yang didirikan sebelum deregulasi.
Berkaitan dengan kesimpulan pertama, Li memberikan penjelasan teoretis sebagai berikut: perusahaan dengan pinjaman yang besar dapat mengalami akumulasi modal yang lebih cepat, yaitu melalui learning by doing, sehingga dapat memperbaiki efektivitas dan efisiensi produk- si, serta tingkat produktivitas pegawai. Li mengatakan, bank yang besar memiliki sumber daya yang lebih banyak dalam mengevaluasi dan mem- proses pinjaman nasabahnya. Hal ini akan memperbaiki dan mengurangi tingkat NPL, walaupun akibat positif ini akan berkurang ketika bank se- makin besar.
Mengenai kesimpulan kedua, Li menjelaskan, krisis keuangan Asia memang memengaruhi industri perbankan. Krisis tersebut menurunkan jumlah ekspor Taiwan terhadap lima negara ASEAN sebesar 29 persen. Penurunan ekspor ini berakibat pada penurunan arus kas pada sektor manufaktur, yang memengaruhi kemampuan membayar kembali pinjam- an. Meski demikian, tingkat NPL Taiwan hanya berkisar 4,39 persen, 4,42 persen, 4,72 persen, dan 5,52 persen pada 1996 sampai 1999.
Untuk kesimpulan ketiga, Li menjelaskan sebagai berikut: Bank yang didirikan setelah deregulasi dimiliki oleh swasta, dan mereka memiliki kultur bisnis dan/atau strategi yang berbeda. Di pihak lain, bank yang didirikan sebelum deregulasi adalah bank milik negara, atau merupakan usaha patungan antara pemerintah dan swasta. Menurut Li, bank-bank ini dimonitor oleh lembaga administratif dan legislatif negara, yang de- ngan mudah dapat diganggu oleh kelompok kepentingan yang terkait de- ngan lobi politik.
Penjelasan terhadap dua kesimpulan penelitian Li itu dirasakan cu- kup menarik. Pada penjelasan terhadap kesimpulan pertama, disebutkan bahwa besarnya pinjaman bank berkorelasi positif terhadap NPL, karena antara lain bank besar lebih efektif dan efisien dalam beroperasi. Bank besar juga memiliki SDM yang lebih banyak, dengan kemampuan yang le- bih baik dalam menyeleksi dan menganalisis calon debitor. Tentunya, hal ini dapat dicapai, karena dibarengi dengan berbagai asumsi, di antaranya mereka benar-benar menggunakan keahlian dalam pekerjaan yang mere- ka lakukan, sekaligus memperhatikan ketentuan yang berlaku. Keahlian dan pengetahuan serta pengalaman, tanpa memiliki sikap profesional- isme dan integritas, diyakini tidak dapat mencapai tingkat NPL yang rendah, seperti halnya yang telah dilihat pada kasus di Turki.
Pada penjelasan terhadap kesimpulan kedua, Li mengatakan, bank yang didirikan setelah deregulasi memiliki tingkat NPL rata-rata yang le- bih rendah, dibandingkan dengan bank yang didirikan sebelum deregula- si. Penyebabnya, bank yang didirikan setelah deregulasi merupakan bank swasta, yang memiliki kultur dan strategi bisnis yang berbeda, dan tidak dipengaruhi oleh lobi politik, dan tidak diawasi oleh lembaga legislatif dan lembaga negara lainnya. Bank yang dimiliki oleh swasta bersifat lebih independen dan lebih mengacu pada pertimbangan bisnis.
Jika kultur dan strategi bisnis yang dimaksud diinterpretasikan lebih luas dan terperinci, kedua hal ini dapat diartikan sebagai kultur perusa- haan yang menyangkut keseluruhan organisasi, dan strategi bisnis yang tentunya berkaitan dengan perkreditan, karena menghasilkan NPL rata- rata yang rendah. Strategi bisnis perkreditan seperti ini tercakup dalam kultur kredit yang dimiliki oleh tiap bank.
Vesa Vihriala melakukan penelitian terhadap krisis perbankan di Finlan- dia yang terjadi pada 1991-1992. Penelitiannya difokuskan untuk menja- wab pertanyaan sebagai hipotesis, yakni: 1). Apakah kebijakan pemberian pinjaman bank berkontribusi terhadap pertumbuhan kredit yang pesat di masa economic boom, 2). Apakah terdapat moral hazard yang ditimbul- kan karena underpricing dari bank liabilities, sehingga mendorong per- tumbuhan kredit yang pesat. Vihriala menyimpulkan sebagai berikut:
Pertama, pertumbuhan kredit yang pesat adalah sangat riskan. Ter- dapat hubungan yang positif antara risiko yang dihadapi di masa krisis dengan ekspansi kredit selama periode boom. Dalam kasus Finlandia, bank tabungan termasuk Skopbank melakukan ekspansi kredit yang jauh lebih tinggi daripada bank besar lainnya (140 persen versus 50-95 persen tahun 1986-1990), sehingga mengalami NPL yang sangat besar (30 per- sen versus 18-20 persen dalam tahun yang sama).
Kedua, berkaitan dengan moral hazard, bank, termasuk yang ber- modal rendah, mengambil risiko kredit yang ada di pasar. Hal ini terja- di pada lending boom di Finlandia pada akhir 1980-an. Hipotesis moral hazard yang menjelaskan hal ini adalah: pertumbuhan pemberian kredit yang pesat dengan mengambil risiko kredit yang ada difasilitasi oleh biaya funding bank yang murah, atau dengan kata lain merupakan pengurang- an biaya per unit dengan melalui pertumbuhan, tetapi mengabaikan risi- ko kredit yang dihadapi. Di sini dibuktikan bahwa antara pertumbuhan kredit yang pesat berbanding terbalik dengan kualitas aset pada tingkat
bank, sekaligus menunjukkan dua hal secara umum: pertama, bank yang melakukan ekspansi tersebut merupakan bank yang lemah dalam hal mo­dal dan biaya, dan, kedua, tindakan mengambil risiko melalui ekspansi kredit seperti itu telah disadari atau disengaja dan bermula dengan apa yang disebut moral hazard.
Ketiga, ekspansi kredit yang pesat pada periode boom juga terjadi karena economic shocks sulit diramalkan. Pada saat yang sama, para pe- laku ekonomi diwabahi oleh kecenderungan harapan bisnis yang bagus (myopia) dan perilaku ikut-ikutan (herd behavior). Kedua hal ini tidak dapat membuat kenaikan harga berlanjut, dan keputusan memberikan pinjaman dan meminjam menjadi keliru ex-post.
Penelitian Vihriala tersebut pada intinya memfokuskan diri pada pem- berian kredit yang dikaitkan dengan perkembangan perekonomian. Kedua faktor ini, pemberian kredit dan perkembangan ekonomi, cenderung meng- ikuti siklus klasik, dengan urutan pola kejadian yang serupa, mengikuti yang pernah terjadi di Thailand, Korea, Malaysia, Indonesia, dan bahkan di Amerika dalam dua kasus besar, S&L dan subprime mortgage.
Dari segi perkreditan atau kegagalan bank, kejadian di Fin- landia ini dapat memberikan beberapa kesimpulan berikut, yang berkaitan dengan buku ini.
Pertama, dalam keadaan pertumbuhan perekonomian yang tinggi (economic boom) karena adanya liberalisasi sektor keuangan, pemberian kredit tidak dapat dilakukan dengan me- lupakan sikap kehati-hatian dan proses pemberian kredit yang sehat, atau tidak dapat dengan mengikuti overoptimism, herd behavior, myopia, dan irrational exurberance. Dalam setiap ke- adaan, pemberian kredit hanya dapat dilakukan atas dasar anali- sis kredit yang sehat, dengan menggunakan fakta dan informasi yang faktual, secara independen dan berdiri sendiri, serta bebas dari pengaruh-pengaruh yang bersifat exogeneous.
Kedua, pemberian kredit yang pesat, yang melebihi 20 per- sen dalam kasus Finlandia, dengan melupakan sikap kehati-hati- an, menimbulkan moral hazard yang besar, paling tidak karena mengabaikan keadaan utang yang sudah besar. Utang yang besar membuat kemungkinan akan terjadinya wanprestasi lebih besar, dan pembiayaan yang terkait berkemungkinan besar dapat be- rupa pembiayaan spekulatif, atau ponzi seperti yang dimaksud oleh Minsky.11
Ketiga, krisis perbankan dimulai dari pemberian kredit de­ngan mengambil risiko yang berlebihan (overleverage), dan ke- lanjutan hidup bank dengan risiko yang berlebihan itu tergang- gu, ketika economic shock (perubahan besar pada ekonomi mak- ro) terjadi. Dalam kasus Finlandia, economic shock yang terjadi merupakan perubahan dari pertumbuhan positif menjadi negatif 7 persen, dan dibarengi dengan devaluasi mata uang.
Kunt dan Detragiache meneliti faktor-faktor yang berkaitan dengan munculnya krisis perbankan sistemik di negara berkembang dan sedang berkembang dalam periode 1981-1994. Penelitian ini menggunakan mo­del ekonometri multivariate logit. Dengan menggunakan discrete time hazard model,12 mereka menggunakan crisis dummy sebagai variabel de- penden dengan nilai nol jika tidak ada krisis dan satu jika ada krisis, atau disebut sebagai hazard rate. Kunt dan Detragiache berhipotesis bahwa hazard rate ini adalah fungsi dari vektor n explanatory variable X (i, t).
Untuk crisis dummy, Kunt dan Detragiache menentukan secara agak arbitrer, yaitu dengan definisi bahwa krisis berat terjadi jika memenuhi salah satu kondisi berikut: NPL di perbankan melebihi 10 persen, biaya penyelamatan melebihi 2 persen dari GDP, terjadi tindakan nasionalisasi beberapa bank, atau terjadi bank run yang luas sehingga pemerintah ter- paksa melakukan langkah-langkah, seperti membekukan atau mengeluar- kan jaminan dana masyarakat (deposit guarantee).
Untuk explanatory variable, mereka memilih faktor-faktor berikut: tingkat pertumbuhan GDP riil, terms of trade, tingkat bunga jangka pen- dek, tingkat inflasi, tingkat likuiditas sektor perbankan, dan indeks untuk tingkat kualitas legal system, contract enforcement, serta birokrasi. Me- reka berpendapat, bahwa semua faktor ini dapat menimbulkan kerapuh- an sektor perbankan.
Secara umum, hasil penelitian ini dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, pertumbuhan GDP yang rendah jelas berkaitan dengan proba- bilitas yang lebih besar akan terjadinya krisis perbankan. Kejutan besar ekonomi makro merupakan salah satu sumber utama yang berakibat langsung terhadap timbulnya masalah sektor perbankan tahun 1980­1990. Sebaliknya, krisis perbankan itu sendiri dapat langsung menurun- kan tingkat pertumbuhan GDP, sebagai akibat kucuran kredit mengering. Kedua, penurunan dalam terms of trade tampaknya dapat memperburuk sektor perbankan, tetapi variabel ini hanya signifikan pada confidence le­vel 10 persen. Ketiga, kenaikan tingkat inflasi dan tingkat bunga riil yang tinggi dan mendadak merupakan variabel yang signifikan, yang sangat memengaruhi kerapuhan sektor perbankan. Keempat, berdasarkan teori, nilai indeks law and order yang tinggi, yang mengukur potensi terjadinya frauds atau kemampuan menerapkan pengawasan prudential yang efek- tif, dapat menurunkan kemungkinan terjadinya krisis. Tetapi, sulit untuk memisahkan pengaruh indeks ini dari GDP per capita, karena keduanya memiliki korelasi yang tinggi.
Sejalan dengan hasil penelitian di atas, Kunt dan Detragiache ber- pendapat, lingkungan ekonomi makro memainkan peranan kunci dalam melahirkan krisis perbankan, terutama tingkat pertumbuhan yang rendah dan berkaitan dengan bertambahnya risiko terhadap sektor perbankan. Mereka juga menyatakan, penelitian ini difokuskan pada variabel eko- nomi makro dan mengabaikan variabel mikro. Karena tidak tersedianya data, faktor-faktor seperti tingkat permodalan bank, tingkat dan struktur kompetisi pasar kredit, likuiditas pasar antarbank dan obligasi, serta kua- litas regulatory supervision, tidak dipertimbangkan dalam penelitian ini.
Penelitian Kunt dan Detragiache itu murni menggunakan pendekatan makro. Kesimpulan utama yang dapat mendukung tema buku ini adalah kejutan ekonomi makro (economic shocks) yang besarlah yang dapat langsung mengakibatkan krisis perbankan;13 pertumbuhan GDP yang rendah hanya menambah probabilitas terjadinya krisis itu. Namun, seperti halnya dengan pendapat Caprio dan Klingebiel, Kunt dan Detragiache mengatakan bahwa faktor mikro dan makro, atau keduanya, dapat pula menyebabkan krisis perbankan sistemik.
Masaaki Komatsu membahas penyebab NPL yang berkaitan dengan kri- sis 1997 di Indonesia, baik sebelum maupun sesudah Deregulasi (Pakto) 1988. Komatsu mencatat, NPL telah berakumulasi di bank pemerintah se-
belum tahun 1990-an, tetapi karena adanya for­bearance policy, masalah tersebut tidak pernah diungkap secara gamblang. Menurut Komatsu, tingkah laku manajemen bank pemerintah dalam kedua periode ini tidak berubah karena mereka ditujuk oleh pemerintah. Petunjuk dan instruksi pemerintah memengaruhi strategi manajemen, dan pengambilan keputusan perbankan dapat bertentangan dengan disiplin komersial dan keuangan.
Pengambilan keputusan perbankan ditentukan oleh faktor keingin- an atau niat pemerintah dan para politisi, bukan berdasarkan pengem- bangan fungsi intermediasi keuangan, seperti analisis kredit. Pemberian pinjaman tanpa analisis kredit yang memadai cenderung menciptakan NPL.
Sebelum deregulasi (NPL sebelum 1990), moral hazard di bank pemerintah terjadi pada dua hal berikut. Pertama, moral hazard pada pendukung dana. Dari segi deposan dan pemberi pinjaman luar negeri, terdapat suatu kepercayaan bahwa bank pemerintah aman untuk diberi pinjaman atau menyimpan uang. Pemerintah tidak akan membiarkan banknya mengalami kegagalan. Tanpa mengkaji risiko yang dihadapi, walaupun di sini terdapat information asymmetry, mereka terus membe- rikan dukungan dana, dan bank meningkatkan pemberian pinjaman. Ke- dua, moral hazard pada waktu pemberian pinjaman. Bank memberikan pinjaman tanpa analisis kredit yang memadai. Pengambilan keputusan didasarkan pada intervensi birokrat dan politis.
Setelah Pakto 1988, bank pemerintah harus berkompetisi dengan bank yang lain berdasarkan mekanisme pasar. Untuk itu, bank pemerin- tah harus menarik dana luar negeri dengan bunga dan syarat yang mena- rik, dan tetap meningkatkan pemberian pinjaman tetapi tetap tanpa ana­lisis kredit yang memadai. Komatsu mengungkapkan lebih lanjut bahwa NPL pada bank swasta tumbuh pesat pada 1990-an. Umumnya, NPL ini merupakan pinjaman yang diberikan bank kepada grup sendiri (connec­ted lending). Komatsu berargumentasi bahwa hubungan dalam kelompok usaha atau grup yang sama memiliki struktur hubungan seperti keluarga layaknya. Berbeda dengan sifat perusahaan terbatas, setiap anggota me- miliki kewajiban yang tak terbatas.
Setelah Pakto 1988, bank pemerintah harus berkompetisi dengan bank yang lain berdasarkan mekanisme pasar.
Karena itu, menurut Komatsu, wajar kalau bank tetap memberikan prioritas kepada perusahaan grup. Bank akan tetap memberikan injeksi
dana sebagai pinjaman kepada anggota grup, walaupun telah menunggak pembayaran kembali pokok atau bunga. Untuk itu, terdapat banyak cara bagi bank untuk berkelit mengatasi ketentuan prudential.
Menurut Komatsu, di sini telah terjadi adverse selection yang dise­babkan moral hazard. Grup usaha yang menjadi insolven dapat mengaki- batkan kegagalan bank. Tetapi, kerugian bank hanya terbatas pada modal yang ditanamkannya.
Apa yang dikatakan oleh Komatsu dalam penelitiannya itu mendu- kung pendapat beberapa ahli atau peneliti terdahulu, terutama yang ber- kaitan dengan krisis 1997/1998 di Indonesia, dan masalah dalam peng- ambilan keputusan kredit.
Bramantyo Djohanputro dan Ronny Kountur melakukan penelitian me- ngenai NPL pada 223 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di beberapa kota besar di Indonesia. Tujuannya untuk mengetahui faktor-faktor yang da- pat memengaruhi tingkat NPL pada BPR, sehingga dapat merekomenda- sikan kebijakan yang tepat kepada Bank Indonesia untuk menekan ting- kat NPL.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Pada metode kuantitatif, digunakan dua model. Pertama, NPL sebagai variabel dependen dengan 32 variabel independen yang mewakili keadaan inter­nal bank. Kedua, dengan varibel dependen yang sama, digunakan 12 va- riabel independen yang mewakili keadaan nasabah peminjam dan faktor eksternal lainnya. Kedua model ini menunjukkan secara signifikan bahwa tingkat NPL dipengaruhi oleh 12 variabel independen.
Untuk memperkuat hasil penelitian tersebut, penelitian ini lebih lanjut menggunakan metode wawancara yang disebut applied in-depth interview method melalui focus group discussion dengan para pengawas BPR terkait dari Bank Indonesia.
Dua belas variabel independen yang sangat memengaruhi tingkat NPL tersebut adalah sebagai berikut:
Variabel 1: Integritas para pemilik, pengurus, dan pegawai.
Variabel 2: Kompetensi pemilik dan pengurus terhadap ketentuan BI dan dalam menjalankan proses bisnis BPR.
Variabel 3: Pergantian direksi, yang menyebabkan perpindahan nasabah lancar ke BPR lain.

Variabel 4: Kompetensi pegawai BPR dalam penerapan prosedur, penerapan 5C, pengawasan dan penanganan kredit ber- masalah, dan administrasi.
Variabel 5: Sistem pembayaran pinjaman dengan pemotongan gaji dari tabungan.
Variabel 6: Sistem pembayaran pinjaman dengan menjemput dari nasabah peminjam berdampak negatif.
Variabel 7: Strategi pemasaran BPR yang lemah.
Variabel 8: Peningkatan penggunaan analisis pemberian kredit yang lebih baik dan konsisten.
Variabel 9: Pengikatan agunan yang tidak hati-hati.
Variabel 10: Kondisi nasabah peminjam tidak dipertimbangkan.
Variabel 11: Kerja sama pemberian kredit dengan pihak institusi tertentu.
Variabel 12: Sistem dan mekanisme pengawasan dan program reco­very kredit.
Berdasarkan 12 variabel di atas, peneliti merekomendasikan kepada Bank Indonesia untuk melakukan, antara lain, program sertifikasi dan pendidikan reguler bagi para pengurus dan pegawai BPR, serta pembina- an dan pengawasan terhadap kelengkapan sistem dan prosedur di BPR.
Penelitian yang dilakukan oleh Djohanputro dan Kountur itu pada dasarnya mirip dengan penelitian yang dilakukan untuk buku ini. Persa- maannya terletak pada tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui faktor- faktor yang dapat memengaruhi NPL, tetapi pada BPR sehingga dapat me- rekomendasikan kebijakan yang tepat kepada BI. Adapun penelitian untuk buku ini dilakukan guna mencari faktor-faktor yang dapat memengaruhi NPL dan NPF, tetapi pada bank konvensional dan bank syariah.

Jika ditinjau lebih jauh, kedua belas variabel yang dianggap berpenga- ruh terhadap NPL tersebut dapat dikelompokkan kembali sebagai berikut: Masalah-masalah pada variabel 1, yakni tidak jelasnya prosedur, ti- dak disiplinnya pencatatan, serta kurangnya perhatian dan pengawasan pemilik, dapat dicakup dalam variabel kultur perusahaan. Bagi bank konvensional atau syariah yang umumnya berbentuk perseroan terbatas, tindakan pengawasan yang mewakili pemilik dilakukan oleh dewan komi- saris. Tindakan pengawasan sendiri, di lain pihak, dapat diartikan sebagai pengawasan terhadap tingkah laku atau tindakan yang menyimpang oleh para pegawai, dan pengawasan terhadap kualitas kegiatan pekerjaan yang
dilakukan, dalam hal ini pekerjaan dalam kon- teks perkreditan. Dalam hal yang pertama, yang diperlukan adalah sistem penghargaan dan hukuman (reward and penalty system)
terhadap semua pegawai, termasuk pegawai yang berkaitan dengan pekerjaan perkreditan. Adapun dalam hal yang kedua, yaitu pengawasan terhadap hasil kualitas kerja, tindakan pengawasan dapat dilakukan melalui konsep dan proses. Dari segi konsep, kualitas pekerjaan dapat dilakukan melalui kultur kredit yang baik, sedangkan dari segi proses, untuk memastikan bahwa peker- jaan perkreditan telah dilakukan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku, perlu dilakukan apa yang disebut sebagai audit kredit.
Variabel 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 sesungguhnya merupakan pene- rapan dari pengetahuan dan keahlian dalam perkreditan, dan hal ini merupakan hal yang pokok mutlak harus dimiliki dan diterapkan oleh segenap jajaran dalam pekerjaan perkreditan.
Variabel yang lain, yaitu 3, 11, dan 12, juga merupakan bagian dari kultur kredit. Kultur kredit yang baik adalah konsep bagaimana suatu institusi pemberi kredit mendekati masalah-masalah kredit yang dihada- pi secara konsisten dan terpadu. Terutama bagi bank sebagai korporasi, penerapan kultur kredit yang baik juga mengajarkan kepada segenap jajaran perkreditan yang berhubungan langsung dengan nasabah, bahwa setiap individu dari pihak bank dalam hubungan tersebut merupakan wakil atau identik dengan institusi yang direpresentasikannya. Hubungan itu harus dibangun dari jasa-jasa keuangan yang dapat diberikan dengan tingkat pelayanan tertentu sebagai dasar hubungan, dan dilaksanakan se- cara khusus oleh para wakil atau pejabatnya. Unsur pribadi sebagai dasar awal yang membangun hubungan itu dapat membantu berlangsungnya hubungan, tetapi seyogianya bukan penentu dari adanya hubungan itu. Dasar hubungan pribadi itu, jika ada, perlu diusahakan perlahan-lahan untuk diganti dengan impresi yang dapat mewakili institusi. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa hubungan dengan nasabah itu akan melekat dengan institusinya, bukan dengan individunya.
inti permasalahan krisis keuangan di Asia adalah sistem keuangan yang tidak efisien.
Penelitian Lau dan Zhaohui Chen membuktikan, inti permasalahan krisis keuangan di Asia adalah sistem keuangan yang tidak efisien. Hal ini dapat
dilihat dari sistem intermediasi keuangannya, yakni terjadi banyak pem- berian pinjaman yang diarahkan oleh pemerintah, lemahnya pengawas- an, kurangnya unsur kompetisi, kurangnya transparansi sektor korporasi, dan sebagainya. Selain itu, menurut Lau dan Chen, infrastruktur sistem perbankan bekerja secara tidak efisien, dan menimbulkan capital inflow inertia14 dan capital outflow yang mendadak.
Sejalan dengan pendapat Lau dan Chen itu, Radelet dan Sachs me- nyebutkan, berdasarkan diagnosis dasar, sistem keuangan yang tidak efisien itu terjadi karena ditunggangi oleh insider dealing, korupsi, dan corporate governance yang lemah. Semua ini menyebabkan pengeluaran investasi yang tidak efektif, dan memperlemah stabilitas sistem perbank- an. Investasi yang tidak efektif itu di Asia Timur menghasilkan tingkat keuntungan yang buruk, yang inti permasalahannya berada pada tingkat korporasi yang mengabaikan praktik-praktik keuangan yang prudent.15
Krugman melihat bahwa krisis Asia dimulai dari lembaga keuangan seperti bank yang memiliki kewajiban dana masyarakat yang dianggap dijamin oleh pemerintah. Moral hazard timbul dari anggapan ini, se- hingga akhirnya bank melakukan pemberian pinjaman yang berlebihan dan berisiko tinggi. Pemberian pinjaman seperti inilah yang terus-mene- rus mendorong inflasi bukan harga-harga barang umumnya, melainkan harga aset seperti real estat atau properti yang dibiayai. Kenaikan harga aset tersebut terus terjadi, karena pemberian kredit yang serupa terus berlangsung, dan ini mendorong permintaan dan harga sehingga mem- bentuk proses sirkular.
Berbeda dengan para peneliti di atas, Stephan Haggard dan Andrew McIntyre melakukan evaluasi mengenai moral hazard yang terjadi teruta- ma di Korea, Thailand, dan Indonesia. Mereka berkesimpulan, moral ha­zard merupakan masalah sentral krisis Asia. Mengenai kasus di Indonesia, mereka juga berpendapat, moral hazard merupakan bagian penting dari kejatuhan sistem keuangan, yang berkaitan dengan kronisme Soeharto.
Para peneliti itu pada dasarnya melihat kegagalan bank atau krisis Asia dari segi proses dan pelaku pemberi kredit. Dari segi proses, mere- ka melihat, salah satu kunci penyebab adalah para pemberi kredit mela- kukan pekerjaannya tanpa sikap kehati-hatian. Absennya sikap ini pada para pejabat bank itu atau yang mewakili bank menimbulkan moral ha­zard yang tinggi, sehingga kemudian secara keseluruhan menyebabkan intermediasi keuangan menjadi tidak efisien. Intermediasi keuangan akan menjadi tidak efisien, jika tidak melakukan pekerjaannya, dalam hal ini menyalurkan dana masyarakat, secara efektif, yaitu menghasilkan keun- tungan atau arus kas pada tingkat risiko yang tidak berlebihan.
Moral hazard yang lain dari pelaku pemberian kredit dapat dilihat dari pemberian kredit yang merupakan insider's dealing, berbau kolutif, dan bersifat koruptif, serta kebijakan pemberian kredit yang dipengaruhi oleh unsur politik. Pemberian kredit yang dipengaruhi oleh faktor-faktor exogeneous terhadap proses pemberian kredit itu sendiri berarti bahwa proses itu telah menyimpang dari pengertian mengenai analisis kredit, pemutus kredit, dan keputusan kredit (lihat Bab 3).
Pembahasan ini memaparkan dengan jelas bahwa dalam pemberian kredit tidak saja diperlukan penerapan pengetahuan dan keahlian per­kreditan, tetapi juga perlu didasari dengan tingkat moralitas semua pi- hak dalam bank yang terkait. Hal ini bersifat mutlak untuk diperhatikan mengingat dana yang disalurkan untuk pemberian kredit adalah dana masyarakat, yang mewakili kepentingan untuk kelangsungan hidup me- reka di masa depan. Pemberian kredit dengan risiko yang berlebihan jelas mengabaikan kepentingan para pemilik dana tersebut, sekaligus melang- gar norma-norma moral, yang pada intinya tidak menunjukkan tanggung jawab moral yang diperlukan.
Pendekatan Mikro Caprio Jr dan Klingebiel (1996)
Kedua peneliti ini menekankan, bahwa faktor ekonomi mikro dan ma- salah insentif bersifat kunci, yang menentukan besarnya masalah per- bankan, dan bahkan dalam kasus tertentu merupakan penyebab utama. Walaupun faktor ekonomi makro memberikan pengaruh yang kuat, akibatnya terhadap subjek di dalamnya dapat berbeda. Hal inilah yang diungkapkan oleh Gerald Caprio dan Daniela Klingebiel yang berkaitan dengan Great Depression tahun 1920 dan 1930. Pada saat itu, Amerika mengalami 15 ribu kasus kegagalan bank, sedangkan Kanada hanya satu yang gagal, yaitu pada 1923.16
Berdasarkan pengamatan terhadap data yang berkaitan dengan 86 episode insolvensi di seluruh dunia, Caprio dan Klingebiel mengungkap- kan pokok-pokok yang mungkin sebagai penyebab krisis perbankan:
Pertama, pertumbuhan kredit yang berlebihan, seperti yang terjadi di Amerika Latin. Namun, kenyataannya akan berbeda jika menggunakan sampel yang lebih besar. Pertumbuhan kredit yang pesat, sejalan dengan luasnya pasar kredit, sering tidak dibarengi dengan peningkatan standar perkreditan pada setiap bank. Pertumbuhan seperti ini sulit diawasi secara ketat oleh para pengawas perbankan, karena informasi mengenai perkembangan yang terjadi baru dapat diperoleh beberapa waktu kemu- dian.
Kedua, volatilitas output, inflasi, dan terms of trade, membuat bank sulit melakukan seleksi calon debitor yang baik. Hal ini terjadi sejak ta- hun 1980 pada negara yang mengalami krisis, dan jelas merupakan pe- nyebab krisis perbankan.
Ketiga, kombinasi antara volatilitas yang lebih besar dan sempitnya pasar kredit merupakan hal yang berbahaya, karena kejutan ekonomi makro akan menimbulkan kerugian yang lebih besar dan dibebankan pada waktu yang lebih pendek.
Kendati demikian, Caprio Jr dan Klingebiel berargumentasi, kerang- ka pengaturan, beserta berbagai variabel institusional, memainkan peran- an penting dalam mendefinisikan sistem insentif bagi bank dan lingkung- an tempat bank beroperasi, dan menentukan ketahanan sistem perbank- an terhadap kejutan-kejutan makro. Mereka menyimpulkan, penyebab utama insolvensi bank adalah manajemen bank yang lemah, pengawasan dan peraturan yang salah, intervensi pemerintah, dan pinjaman pada grup sendiri atau bermotivasikan politik. Adapun faktor-faktor lain seper- ti penurunan terms of trade yang besar, dan sistem hukum yang lemah, tidak dapat dikatakan sebagai penyebab yang menonjol.
Caprio dan Klingebiel menekankan pentingnya variabel ekonomi mikro bagi ketahanan perbankan terhadap kejutan besar ekonomi mak- ro. Variabel mikro yang dimaksud meliputi keahlian dan jumlah tenaga perbankan dan pengawas perbankan yang memadai, tingkat modal bank yang cukup, insentif bagi sikap prudential dan konservatif para pejabat bank, serta standar perkreditan yang baik yang dipertahankan.
Frederic S. Mishkin menganalisis masalah sistem keuangan di Asia yang tidak efisien, dengan menggunakan pendekatan asymmetric information. Sistem keuangan yang tidak efisien berarti pasar keuangan tidak dapat menyalurkan dana secara efisien bagi kesempatan investasi yang paling produktif.
Terutama di Asia, juga di Cile (1982) dan Meksiko (1994-1995), menurut Mishkin, penye- bab asymmetric information memburuk dan ke- mudian menimbulkan krisis adalah memburuk- nya kualitas neraca (balance sheets) institusi di sektor keuangan. Kualitas neraca yang memburuk ini berkaitan dengan liberalisasi keuangan, dan lending boom yang terjadi pada negara-negara terkait.
Dari beberapa pengamat, seperti Corsetti et al., Goldstein, World Bank, dan Kamin, Mishkin berkesimpulan bahwa tingkat pemberian kredit di negara-negara ASEAN yang mengalami krisis melampaui tingkat pertumbuhan GDP mereka. Di sini, masalahnya bu- kan terciptanya lending boom, melainkan pemberian kredit yang terlalu agresif, sehingga mengambil risiko yang berlebihan dan akan berakibat pada kerugian yang besar di masa depan.
Mishkin menjelaskan, terjadinya pengambilan risiko yang berle- bihan ini disebabkan beberapa hal. Pertama, para manajer bank tidak memiliki keahlian yang memadai dalam mengelola risiko, keti­ka terbuka peluang pemberian pinjaman yang ditimbulkan oleh adanya liberalisasi keuangan. Kedua, sistem pengawasan dan pengaturan tidak memadai. Hal ini umumnya merupakan masalah yang dimiliki oleh ne- gara ASEAN yang mengalami krisis, sehingga pengawas perbankan tidak mampu mencegah moral hazard yang terjadi. Capital inflow, menurut Mishkin, hanya menambah masalah ini menjadi lebih berat.
Mishkin pun menjelaskan bagaimana masalah sektor perbankan da- pat menimbulkan krisis keuangan, terutama dalam kasus negara sedang berkembang, seperti Asia Timur. Pertama, memburuknya keadaan neraca perbankan dapat menyebabkan pembatasan pemberian kredit atau mem- buat bank menjadi insolven. Kedua, kualitas neraca yang memburuk dapat mengakibatkan krisis mata uang, karena bank sentral sulit untuk melin- dungi mata uangnya terhadap serangan-serangan spekulatif. Peningkatan tingkat suku bunga untuk menghindari depresiasi mata uang, dalam rang- ka menahan serangan spekulatif, akan memperburuk neraca perbankan karena adanya maturity mismatch dan risiko kredit yang besar.
Penyebab asymmetric information memburuk dan kemudian menimbulkan krisis adalah memburuknya kualitas neraca (balance sheets) institusi di sektor keuangan.
Karena itu, Mishkin mengambil kesimpulan, krisis keuangan di Asia Timur merupakan akibat dari keruntuhan sistemik neraca perusahaan
keuangan dan nonkeuangan, yang kemudian membuat asymmetric in­formation menjadi lebih parah.
Deregulasi keuangan memberikan dorongan pemberian kredit yang besar dan menciptakan lending boom, sehingga tingkat pemberian kredit melampaui pertumbuhan GDP. Namun, menurut Mishkin, dalam meng- hadapi kesempatan itu, bank tidak menyiapkan dirinya dengan pening- katan pengetahuan dan keahlian dalam mengelola dan menilai risiko, menyeleksi pinjaman baru sebagaimana yang seharusnya; dengan adanya pengawasan yang tidak memadai, pemberian kredit yang agresif berlang- sung dengan sekaligus menciptakan moral hazard yang besar pula.
Argumentasi Mishkin ini memperkuat hipotesis yang digunakan da- lam buku ini. Masalah-masalah mikro, terutama faktor penerapan pe- ngetahuan dan keahlian perkreditan, akan berpengaruh terhadap timbulnya NPL atau NPF, dan kemudian dapat berakibat pada kegagalan bank, atau bahkan menimbulkan krisis perbankan. Mishkin menambah- kan, masalah capital inflow hanya memperburuk keadaan neraca bank, yang memang sebelumnya telah mengandung masalah, karena adanya bagian portofolio yang tidak sehat.
Ilan Alon dan Edmund A. Kellerman melakukan riset secara eklektik (me- milih yang terbaik dari berbagai sumber) dengan menggunakan banyak faktor lingkungan untuk menjelaskan apa yang terjadi sebelum muncul- nya krisis Asia 1997, yang membuat perekonomian Asia menjadi rapuh dan mengarah pada timbulnya krisis. Sebagai latar belakang teori, Alon dan Kellerman menyatakan, pertumbuhan ekonomi adalah fungsi dari faktor ekonomi dan nonekonomi. Di samping itu, banyak riset yang me- nyatakan bahwa faktor kultural yang unik di Asia menciptakan keadaan sebelum krisis, dan keadaan inilah yang membawa Asia ke keruntuhan ekonomi.17
Karena itu, Alon dan Kellerman meneliti faktor internal di wilayah Asia yang membentuk kerangka untuk memahami pertimbangan kultural yang membuat para menteri pemerintahan, lembaga pemberi pinjaman, dan para investor, melupakan praktik-praktik keuangan yang sehat.
Analisis terhadap krisis ini menggunakan dua kerangka pendekatan, yaitu keadaan ekonomi (economic antecendents), dan keadaan kultural (cultural antecendents), yang telah ada sebelum krisis. Kedua keadaan ini berkaitan satu sama lain. Dari segi ekonomi, krisis dibahas melalui tiga pendekatan, yaitu growth model, debt problem, dan current account deficits. Dari sisi kultural, pembahasan dilakukan melalui konsep collecti­vism, authoritarianism, dan power distance.
Asian Growth Model. Alon dan Kellerman mengutip pendapat Jaman (1998) mengenai sifat model ini. Pertama, negara-negara di Asia Timur mengembangkan perekonomiannya melalui investasi yang tidak memiliki keuntungan komparatif. Banyak dari kebijakan ini memberikan peluang untuk memperkaya keluarga, perusahaan, dan tokoh berpengaruh tertentu, yang merupakan fitur dari peme- rintahan yang otoriter dan quanxi (hubungan pribadi) sebagai nilai Asia. Kedua, penekanan pada promosi ekspor sering berakibat seba- gai beban pada industri yang lain, yang menyebabkan alokasi sumber daya tidak optimal. Perluasan ekspor ini dibiayai oleh pertumbuhan portofolio investasi langsung asing, yang kemudian memerlukan pin- jaman luar negeri yang besar.18 Semua ini membuat perekonomian Asia menjadi rapuh terhadap kejutan eksternal.
Debt Problems. Salah satu faktor yang menambah kerapuhan terhadap munculnya krisis adalah melakukan pinjaman yang besar dengan risiko tinggi. Baik sektor keuangan maupun nonkeuangan melakukan pinjaman jangka pendek dalam mata uang asing atau hard currency, serta berbunga mengambang. Di sektor nonkeuang- an, kondisi perusahaan peminjam pada umumnya telah mengandung risiko yang berlebihan, seperti yang ditujukan oleh debt to equity ra­tio yang tinggi. Faktor lain adalah adanya keengganan pemerintahan otoriter di Asia untuk membuka kelemahan struktural ekonomi. Pada masa sebelum krisis, tingkat NPL di setiap negara terkena krisis su- dah tinggi.19
Current Account Deficits. Defisit pada neraca berjalan terus-me- nerus terjadi karena capital inflow dari ekspor melemah. Dengan di- gunakannya sistem fixed exchange rate, keadaan defisit itu membe- rikan tekanan pada cadangan bank sentral, dan membuat mata uang lokal rapuh terhadap serangan spekulatif.
Collectivism (keinginan mempertahankan keharmonisan kelompok). Menurut Alon dan Kellerman, salah satu cara yang membuat suatu kultur berbeda dengan lainnya adalah orientasi ma- syarakat terhadap barang kolektif dan individunya. Amerika, misal- nya, berada pada peringkat 1 dengan rating 91, cenderung menganut pandangan bahwa dunia sebagai individu menciptakan jalurnya sen- diri; sedangkan kultur Asia, Indonesia misalnya, berada pada pering- kat 47 dengan rating 14, cenderung memperlemah personalitas indi- vidu demi common good bagi grup. Sejalan dengan hal ini, menurut Alon dan Kellerman, banyak pihak yang berpendapat bahwa kolusi antara pemerintah dan para pebinislah yang mengundang adanya korupsi dan melemahkan kompetisi.
Gardels, seperti dikutip Alon dan Kellerman, menyatakan bahwa fenomena kultural seperti bentuk kolektif, familistik, dan quanxie dari kapitalisme menimbulkan penyalahgunaan yang terjadi seperti korupsi. Ditambahkan pula, keinginan untuk menciptakan harmoni kelompok antara agen ekonomi dan anggota masyarakat meningkat- kan adanya moral hazard.
Dengan latar belakang kolektivisme ini, menurut Walker, se­jalan dengan tradisi Kong Fu Chu, kultur Asia berusaha menunda insolvensi selama mungkin, karena mereka cenderung menghindari rasa malu di hadapan publik dan sebagainya, sehingga menimbulkan moral hazard yang kemudian berakibat pada krisis. Praktik-praktik korup seperti pemberian hadiah, nepotisme, dan kronisme berasal dari kolektivisme.
Authoritarianism. Perbedaan pokok antarkultur adalah world- view, filosofi, orientasi kepemimpinan, dan nilai yang dianut oleh suatu kultur. Filosofi kultur Asia menganut pada berbagai otoritas (pemerintah, sosial, familial, dan sosietal), paternalisme, kolektivis- me, dan keinginan mempertahankan harmoni kelompok. Otorita- rianisme, di lain pihak, menciptakan stabilitas dan keamanan yang semu; jika dipaksakan, akan menghasilkan pengawasan yang lemah.
Kultur otoritarian masyarakat di Asia digambarkan sebagai berikut: i). Pemerintahan di Asia tidak cukup kuat untuk dipaksa menerima koreksi pasar, atau memberikan impresi bersedia untuk berkorban. ii). Stabil di permukaan karena mereka jarang mengalami
tantangan atau kritik terhadap persepsi yang diciptakan oleh tindakannya. Sebelum krisis terjadi, ramalan atau peringatan akan munculnya bencana sering dianggap sebagai tindakan penciptaan disharmoni dan meru- pakan ancaman bagi stabilitas. iii). Bagai- kan pisau bermata dua: faham paternalistik yang percaya pada kebenaran tindakan yang berwenang membawa kecenderungan bagi mereka yang sedang berkuasa untuk mem- pertahankan persepsi tersebut, dan berusaha menghindar dari tanggung jawab di mana pun diperlukan. Tetapi, ketika perekonomian gagal, usaha menemukan kambing hitam me- rupakan tema publik yang dominan. iv). Pemerintahan otoriter cen- derung mengontrol alur informasi mengenai kondisi yang mengarah ke krisis, dan setelah krisis, masalah ini melukai usaha perbaikan. Pada akhirnya, tindakan perbaikan setelah krisis merupakan usaha pemerintah untuk menyelamatkan para konglomerat; inilah yang terjadi terutama di Korea, Thailand, dan bahkan menurut penulis juga berlaku di Indonesia.
Power Distance (pertimbangan hierarki dan status). Po­wer distance diartikan sebagai sejauh mana anggota suatu kultur menganut pada distribusi kekuasaan yang tidak merata, dan besar- kecilnya penghormatan yang diberikan pada posisi dan status dalam hierarki. Sebagai contoh, Amerika merupakan negara power distance yang rendah dan memiliki hukum yang melindungi wistleblowers. Di negara yang menganut power distance yang tinggi, hal serupa akan berakibat hilangnya pekerjaan seseorang, karena kulturnya sangat berjenjang dan bergantung pada otoritas.
Keinginan untuk
menciptakan
harmoni
kelompok antara agen ekonomi dan anggota masyarakat meningkatkan adanya moral hazard.
Manifestasi power distance ini dapat mengakibatkan hal- hal berikut: i). Power distance yang tinggi terutama di negara Asia mengakibatkan kurangnya transparansi yang signifikan selama ber- tahun-tahun, sehingga berujung pada krisis. ii). Masyarakatnya cen- derung membentuk pemerintahan otoriter dengan karakteristik masa stabilitas yang panjang, diikuti dengan masa gejolak yang singkat dan mendadak. iii). Power distance mengandung kultur yang bersi- fat nonkonfrontasi terhadap pihak yang berada pada posisi berkuasa
dan menghasilkan tingkat transparansi yang rendah, menimbulkan praktik fiskal, yang mengabaikan kepentingan masyarakat banyak, dan tidak ada dorongan kultural untuk mempertanyakan tindakan yang berkuasa, termasuk terhadap kelompok atau lingkungannya sendiri; yang terakhir inilah yang menciptakan kapitalisme kroni.
Sebagai kesimpulan, Alon dan Kellerman berpendapat, seluruh ke- adaan yang sudah terjadi sebelum krisis ditinjau dari segi ekonomi dan kultural mendorong terjadinya krisis. Manifestasi dari segi ekonomi dili- hat dari kenyataan pertumbuhan yang terlalu pesat, terlalu banyak kredit tanpa jaminan, dan terlalu banyak usaha bisnis dan kepemimpinan yang tidak bernilai. Dari segi kultural, mereka menyebutkan contoh-contoh seperti terlalu yakin pada pandangan besar pemimpin, kurangnya penye- lidikan terhadap orang dan situasi yang patut diteliti, terlalu menekankan keharmonisan kelompok, dan penekanan yang berlebihan pada segi kul­tural tersebut oleh pemimpin.
Seperti halnya Alon dan Kellerman, Gary Dean mendalami akar penyebab krisis Asia dari latar belakang kultural, dan perpendapat bahwa penyebab utamanya adalah sifat kolusif antara modal dan negara. Krisis Asia, yang akibatnya terutama dirasakan di empat negara, yaitu Thailand, Korea Selatan, Indonesia, dan Malaysia, disebabkan oleh faktor dengan kon- vergensi kultural pada collectivism relatif. Faktor collectivism inilah yang menyebabkan pemberian kredit yang berlebihan, connected lending, dan hubungan personal yang kolusif lainnya.20
Pengaruh yang dalam dari kolektivisme yang dimaksud oleh Dean di atas berarti, bahwa pengambilan keputusan dalam proses pemberian kre- dit telah mengesampingkan pertimbangan profesionalisme dengan kadar dan integritas yang diperlukan. Pertimbangan relationship lending lebih berperan di sini, dalam arti lebih memperhatikan hubungan dengan atasan, pemilik bank, lingkungan keluarga, dan secara politis tun- duk terhadap hubungan dengan birokrasi yang lebih luas. Pertimbangan ini merupakan faktor yang diutamakan dalam keputusan pemberian kre- dit yang dimaksudkan oleh Dean.
Charles Collyns dan Abdelhak Senhadji meneliti kaitan antara lending boom, asset price cycles, dan krisis keuangan Asia. Berdasarkan bukti empiris dan argumentasi teoretis, mereka membuktikan adanya hubung- an yang kuat antara pemberian pinjaman bank dengan asset price infla­tion, terutama dalam pasar real estat. Walaupun penelitian mereka tidak secara khusus dibahas di sini, rekomendasi kebijakan dari pengalaman yang terjadi di Asia dan hasil penelitian mereka sangat berkaitan dengan buku ini.
Dalam kaitan ini, Collyns dan Senhadji berpendapat, gelembung real estate dapat dihindari dengan menahan pertumbuhan kredit pada sektor tersebut melalui langkah-langkah berikut:
Pertama, memperkuat penilaian kredit dan mengurangi ketergan- tungan pada kolateral sebagai dasar pengambilan keputusan kredit. Ini artinya menekankan analisis kredit untuk meneliti sehat-tidaknya pros- pek usaha debitor dan kapasitasnya untuk membayar kembali pinjaman.
Kedua, mengurangi moral hazard dalam sistem perbankan. Dalam lingkungan di mana pengawasan pemilik saham dan penyelesaian secara hukum lemah dan tidak efektif, timbulnya moral hazard dapat ditekan melalui berbagai cara, antara lain 1) meningkatkan transparansi dari kerangka peraturan yang dapat meningkatkan disiplin pasar, 2) mene- tapkan ketentuan kecukupan modal yang ketat, sehingga menempatkan modal pemegang saham tersebut pada risiko yang sesungguhnya, 3) me- netapkan standar akuntansi yang lebih tinggi, terutama dalam hal asset valuation, untuk meningkatkan disiplin pasar bagi investor dan kreditor.
Ketiga, menerapkan pendekatan ketentuan perbankan yang kompre- hensif. Rekomendasi ini bertitik tolak dari pengalaman Thailand, yang lembaga keuangannya diizinkan untuk melakukan intermediasi keuangan tetapi tidak diatur seperti layaknya bank. Di samping itu, bank disyarat- kan untuk menerapkan sistem manajemen risiko yang lebih canggih, mi- salnya melakukan stress testing, sehingga mengurangi bank mengambil risiko pasar yang besar seperti halnya terhadap pasar properti.
Kesimpulan yang diberikan oleh Collyns dan Senhadji itu jelas mene- kankan pentingnya memperkuat analisis kredit. Untuk mengatasi moral hazard, perbankan memerlukan transparansi, penerapan manajemen ri- siko, serta pengaturan yang lebih tegas dalam rangka menegakkan disip- lin pasar. Hal yang terakhir ini berkaitan dengan kultur perusahaan dan kultur kredit.
Walaupun sebagian dari penelitian di atas menggunakan pendekatan makro, para peneliti itu umumnya masih mengaitkan perubahan eko- nomi makro dan faktor-faktor mikro tertentu terhadap kegagalan bank, yang disebabkan oleh timbulnya NPL yang besar. Lebih lanjut, kesimpul- an dari pembahasan penelitian di atas dapat menunjukkan adanya kon- vergensi ke arah masalah-masalah mikro. Hal ini dapat dikatakan demi- kian karena krisis perbankan yang terjadi di banyak negara, termasuk di Indonesia, umumnya disebabkan oleh masalah yang berkaitan langsung dengan perkreditan.
Semua kesimpulan dan pendapat di atas juga didukung oleh pendapat para ahli lain, di antaranya Ashcraft, yang mengatakan bahwa kegagalan bank sering disebabkan oleh standar seleksi (screening) yang buruk.
Karena bank merupakan suatu organisasi korporasi pemberi kredit, kemampuan melakukan seleksi kredit harus selalu ditingkatkan dan di- pertahankan dari waktu ke waktu. Para pihak yang berkepentingan terha- dap kelangsungan hidup bank harus pula membantu dan mendukung ter- ciptanya pelaksanaan kemampuan menyeleksi kredit tersebut. Beberapa kasus yang disampaikan sebelumnya menunjukkan bahwa pelaksanaan kemampuan ini terabaikan ketika terdapat pengaruh yang bersifat exo­genous terhadap proses pemberian kredit, atau ketika pihak manajemen tidak melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati dengan melakukan rekayasa yang terselubung. Pengaruh exogeneous dalam hal pengambilan keputusan pemberian kredit yang paling dekat yang dimaksud adalah dari para pemilik, direksi, atau manajer bank yang dipengaruhi oleh pemilik.
Sebagai kebalikan dari pengaruh exogeneous itu, Caprio Jr menekan- kan bahwa bank yang sehat dan aman ditentukan oleh berbagai pilar. Pi- lar yang dimaksud adalah memperkuat dorongan dan kapasitas pemilik, manajer, atau direksi, dan pasar serta para pengawas untuk mendukung terciptanya corporate governance yang hati-hati dari bank, serta perha- tian yang lebih besar terhadap faktor yang membatasi kemampuan dan keinginan bank untuk melakukan diversifikasi risiko.
Pendapat Caprio ini menunjukkan bahwa corporate governance, de- ngan kata lain pengawasan pada organisasi itu sendiri, atau built in con­trol, harus terbentuk dari sikap para pihak yang terkait, terutama pihak internal bank, yakni para pemilik dan para manajer atau para direksi. De- ngan demikian, pengambilan keputusan yang diperlukan dalam perkre- ditan yang sehat akan terbentuk dengan baik dalam suasana corporate
governance yang diperlukan. Dalam suasana cor- Kegagalan porate governance yang baik, setiap pihak dalam bank sering pengambilan keputusan kredit yang baik akan disebabkan oleh lebih mementingkan kepentingan bank sebagai standar seleksi korporasi secara keseluruhan, sehingga mereka (screening) yang tidak dapat dipengaruhi oleh pihak pemilik atau buruk. lainnya ke arah yang menguntungkan pihak yang memberikan pengaruh, tetapi merugikan bank dan masyarakat luas, se- perti yang terungkap dari kasus terjadinya NPL yang besar, sebagai awal kegagalan bank dan krisis perbankan.
Pihak internal bank secara keseluruhan perlu mendukung usaha pe- ningkatan kemampuan untuk menyeleksi kredit, atau melakukan analisis kredit, serta menciptakan pengawasan melekat (built in control) sebagai arti lain dari corporate governance. Bagaimana pentingnya meningkat- kan dan menerapkan kemampuan tersebut dapat pula dilihat dari penda- pat William Gamble berikut.
Gamble mengambil kesimpulan bahwa penyebab NPL, terutama di Asia Tenggara dan Cina, bertumpu pada tiga hal, yaitu orangnya (people), kebijakannya (policy), dan praktiknya (practice). Untuk menggambar- kan yang pertama, Gamble mengaitkan masalah ini dengan relationship lending. Di sini relationship lending berarti pinjaman diberikan kepada pihak yang disukai oleh pejabat pemerintah, pemilik atau manajemen bank sendiri atau kroninya, kelompok keiretsu (Jepang), dan berdasarkan quanxi (Cina) atau ditentukan oleh Partai Komunis. Untuk yang kedua, pemberian kredit diberikan karena kebijakan, atau policy lending, atau diarahkan oleh pemerintah atau pemilik bank. Di sini, pemberian kredit tidak didasarkan pada analisis risiko kredit, jadi praktik perbankan yang sehat dikesampingkan. Untuk yang ketiga, praktik administrasi yang mendasari transaksi perbankan sering dilupakan, misalnya pinjaman ti­dak selalu didokumentasikan, kolateral tidak diminta, pengikatan jamin- an secara hukum tidak dilakukan.
Australia selalu memiliki tingkat NPL yang paling rendah di dunia, 0,2 persen tahun 2005, dengan angka rata-rata hanya 0,44 persen pada pe- riode 2001-2005. NPL yang rendah ini dicapai karena fondasi untuk re- formasi keuangan telah dipersiapkan beberapa abad yang lalu, dan telah mengalami suatu proses yang sangat panjang.21 Pada masa sebelumnya, sektor keuangan mengandung peraturan yang ketat22 dan dikontrol oleh pemerintah dalam waktu yang sangat lama, terutama yang berkaitan de- ngan pemberian pinjaman oleh bank komersial dan tingkat bunga.
Standard & Poor's (sebuah institusi yang mengeluarkan rating menge- nai investasi) mengungkapkan, sektor perbankan Australia tetap merupa- kan sistem perbankan yang paling rendah risikonya23 dengan perekono- mian yang kuat, dibarengi oleh lingkungan industri yang sehat. Lebih lanjut dikatakan, yang mendasari ini semua adalah profil bisnis dan keuangan yang sehat dari setiap situasi keuangan, dengan profil risiko kredit, kemampuan manajemen risiko, dan kinerja operasional yang sebanding dengan standar terbaik internasional. Bank-bank besar Australia menghasilkan tingkat keuntungan tertinggi di dunia, dan faktor dominan yang mendukungnya adalah kualitas aset yang sangat baik—dan ini merupakan fungsi dari ling­kungan kredit dan underwriting standard yang kuat, serta efisiensi biaya yang tinggi dibandingkan dengan standar internasional (Bennett, Standard & Poor's, 2005). Di samping itu, Australia memiliki regulatory environment yang transparan dan terbuka, dengan tenaga kerja yang berkualitas tinggi serta infrastruktur bisnis yang maju (Axiss Australia).24
Dalam studi komparatif antara sektor perbankan Australia dan Je- pang, Piyadasa Edirisuriya dari Monash University menyimpulkan, bank- bank Jepang memiliki perbedaan yang unik dan signifikan dalam banyak hal, seperti tingginya tingkat NPL dan konsep banking relationship25 yang telah diterima secara luas. Dalam perbankan Australia, kedua hal ini tidak terlihat dan tidak umum. Edirisuriya berpendapat, praktik hubung- an patron ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap masalah NPL yang berkelanjutan di Jepang. Di lain pihak, 'personalized' banking relationships seperti itu jarang terjadi pada perbankan Australia. Edirisu- riya berpendapat, jika faktor sosial dan kultural dipertimbangkan, Jepang akan mengalami kesulitan yang luar biasa dalam melakukan reformasi praktik perbankan tradisionalnya dibandingkan dengan Australia.
Bent Vale menguraikan krisis perbankan Norwegia yang terjadi tahun 1988 sampai 1993.26 Krisis ini bermula dengan adanya deregulasi keuang- an yang dilakukan pada 1984-1987, yang membatasi tingkat bunga pin­jaman dan pagu kredit dan menghapus kontrol terhadap capital inflow. Pada saat yang sama, ketentuan permodalan bank diperlunak; perpetual subordinated debt (utang yang kekuatannya bertingkat) dapat dianggap sebagai bagian dari modal. Akibatnya, lending boom terjadi. Kredit bank meningkat di atas 20 persen per tahun pada 1984-1986, sehingga utang kepada masyarakat bertambah. Sejalan dengan pertumbuhan kredit ini, terjadi boom pada sektor real estat, baik residential maupun nonresiden- tial, dibarengi dengan kenaikan harga aset. Keadaan ini membuat per- bankan menjadi rapuh terhadap perubahan ekonomi makro yang drastis.
Tahun 1985, harga minyak turun dengan tajam. Karena sangat ber- gantung pada pendapatan dari minyak, Norwegia mengalami defisit pada current account sebesar 6,2 persen, dari sebelumnya surplus 4,8 persen dari GDP. Tekanan yang ditimbulkan membuat mata uang krone dide- valuasi pada 1986. Akibatnya, selama 1988-1990, 13 bank kecil dan me- nengah mengalami kegagalan. Setelah reunifikasi Jerman, Bundesbank menaikkan tingkat bunga; dan untuk mempertahankan nilai krone, Nor- wegia mengimbanginya dengan tingkat bunga yang tinggi dalam tahun 1990-1992, walaupun tingkat pertumbuhan ekonomi melemah. Puncak krisis terjadi pada 1991 ketika bank terbesar kedua mengalami kerugian yang besar, sehingga seluruh modalnya menjadi negatif. Pada puncak kri- sis, Norwegia mengalami NPL sebesar 9 persen, atau 2,8 persen dari GDP (Swedia 3,8 persen dan Finlandia 4,4 persen).
Vale menjelaskan latar belakang terjadinya krisis perbankan di atas. Sebelum terjadinya deregulasi, bank tidak dapat melakukan ekspansi kredit. Kredit hanya diberikan kepada debitor dengan risiko kredit yang rendah dari sejumlah besar antrean permintaan kredit. Setelah pagu kre- dit dicabut, bank beroperasi dalam lingkungan yang baru yang lebih kom- petitif. Terutama bank besar berkompetisi untuk merebut pangsa pasar yang lebih luas, dengan mengabaikan pengawasan internal dan manaje- men risiko (Sandal, 2004). Strategi ini tampak dari kompensasi pimpinan bank yang ditentukan berdasarkan pertumbuhan pemberian pinjaman.
Vale juga berpendapat, teori herd behavior dapat dilihat di sini.27 Be- berapa bank kecil dan menengah mengikuti tindakan bank besar dalam berkompetisi merebut pasar. Tindakan ini mengakibatkan pengambilan risiko yang berlebihan secara agregat, sedangkan mereka kurang ber- pengalaman dalam lingkungan yang kompetitif tersebut. Dalam keadaan seperti itu, pengawasan dan peraturan perbankan tidak memadai.
Sejalan dengan pendapat Vale ini, Jan Mattsson menyimpulkan, krisis perbankan di negara-negara Nordic terjadi antara lain kare- na kurangnya kontrol, buruknya insentif, ber- ubahnya kultur internal bank, dan kurangnya keterlibatan manajemen puncak dalam opera- sional bank sehari-hari. Semua faktor ini perlu diperhatikan dalam melakukan desentralisasi dan pelimpahan wewenang. Menurut Matts- son, perubahan kultur internal bank terletak pada proses pemberian kredit, yang ditentukan oleh bagaimana pejabat kredit bank memper- oleh informasi kualitatif, mencerna dan meng- evaluasinya.
Bulgaria, sebagai salah satu negara dalam perekonomian transisi, pernah mengalami krisis perbankan pada 1990-an. Saat itu, sepertiga dari bank yang ada, termasuk bank pemerintah yang mapan, mengalami kebang- krutan. Koford, Kenneth, dan Tschoegl meneliti masalah-masalah yang berkaitan dengan pemberian kredit bank, dengan cara melakukan wa- wancara dengan 24 bank. Ringkasan dari temuan mereka adalah sebagai berikut.
Berdasarkan survei yang dilakukan, Caprio dan Klingebiel menyim- pulkan, terdapat tiga alasan terjadinya kegagalan sistem perbankan di negara maju, berkembang, dan perekonomian transisi, yaitu adanya gun- cangan ekonomi makro yang besar seperti hiperinflasi dan depresi, per- aturan pemerintah yang salah, dan kesalahan di pihak bank. Koford, Ken­neth, dan Tschoegl berpendapat, Bulgaria memiliki ketiga kelemahan ini.
Kebanyakan perusahaan kecil dan menengah tidak dapat menyedia- kan catatan keuangan yang baik, dan umumnya tidak memiliki laporan keuangan yang telah diaudit. Karena akuntan publik "Big Six" (enam kantor akuntan besar di AS) mahal, mereka menggunakan akuntan lokal yang bersedia membuat angka-angka yang baik yang diperlukan.
Krisis perbankan di negara-negara Nordic terjadi antara lain karena kurangnya kontrol, buruknya insentif, berubahnya kultur internal bank, dan kurangnya keterlibatan manajemen puncak dalam operasional bank sehari-hari.
Seperti halnya di negara maju, Bulgaria tidak memiliki institusi yang mengeluarkan laporan kredit komersial seperti Dun and Bradstreet (per- usahaan penyedia data dan informasi bisnis yang berbasis di Amerika
Serikat), sehingga para bankir mengalami kesulitan untuk memperoleh informasi guna mengetahui apakah suatu perusahaan atau debitor mem- bayar utangnya tepat waktu atau tidak.
Bank lokal Bulgaria tidak dapat berkompetisi dengan bank asing. Bank asing cenderung hanya berhubungan dengan perusahaan terbaik Bulgaria, atau anak perusahaan dari negara asalnya. Sebaliknya, bank lo- kal umumnya memiliki nasabah yang merupakan perusahaan kecil sam- pai menengah atau baru, atau perusahaan milik pemerintah yang dalam kesulitan keuangan.
Keadaan politik dan ekonomi menambah risiko usaha dan sulit un- tuk diprediksi, misalnya ketentuan impor dan ekspor sering dibuat untuk membantu mereka yang memiliki koneksi politik, dan kurs mata uang lev sering tidak stabil.
Hampir semua bank swasta bangkrut tahun 1996-1997 terutama di- sebabkan oleh praktik pemberian kredit yang buruk, khususnya pemberi- an kredit kepada orang dalam. Penegakan hukum yang lemah, baik untuk melindungi kepentingan kreditor seperti mengeksekusi jaminan, maupun untuk mengadili kasus penipuan. Akibatnya, para bankir mengalami ke- sulitan untuk mendorong para debitor guna menghormati perjanjian kre- ditnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar