I
|
NDONESIA mengalami
krisis keuangan pada 1997/1998. Krisis serupa melanda
Amerika Serikat pada 2008. Kedua krisis keuangan (mone- ter)
ini kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi. Akibat krisis yang menimpa Amerika dewasa ini tidak saja dirasakan oleh
masyarakat Ame- rika, tetapi juga berpengaruh
secara negatif terhadap masyarakat dunia. Di
Indonesia, krisis yang terjadi masih dirasakan oleh masyarakat sampai saat ini.
Krisis di Amerika
mendorong pemerintahannya untuk menggelon- torkan
sekitar US$ 350 miliar dana penyelamatan kepada lebih kurang 21 bank swasta di sana.1 2 Di Indonesia,
krisis ekonomi 1997/1998 mengaki- batkan antara
lain ditutupnya 16 bank3 oleh pemerintah, yang memaksa pemerintah mengeluarkan surat utang jangka panjang
(obligasi) senilai Rp 641 triliun,4
dengan tingkat bunga 12-14 persen.5
Obligasi ini
dikeluarkan oleh pemerintah kepada Bank Indonesia guna
mengambil alih non performing loan (NPL)
ke-16 bank yang di- tutup itu untuk ditangani
oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN),
sebuah institusi ad hoc yang dibentuk khusus
antara lain untuk tujuan itu. Obligasi tersebut
masih memberikan beban bunga sebesar Rp 35
triliun6 per tahun pada RAPBN 2009.7 Sebelum dibubarkan
pada 2002, BPPN hanya berhasil memperoleh tingkat
pemulihan (recovery) sebesar 26,8 persen atau
berjumlah Rp 172,47 triliun.8 Dengan hanya
memperoleh tingkat pemulihan sebesar itu, berarti terdapat sejumlah besar NPL yang tidak dapat ditagih, dan jumlah ini merupakan bagian yang kosong dari obligasi yang notabene tidak akan pernah terbayarkan kembali. Namun, pe- merintah tetap harus membayar keseluruhan jumlah yang tersisakan itu dalam bentuk bunga pada setiap tahun seterusnya di masa depan.
memperoleh tingkat pemulihan sebesar itu, berarti terdapat sejumlah besar NPL yang tidak dapat ditagih, dan jumlah ini merupakan bagian yang kosong dari obligasi yang notabene tidak akan pernah terbayarkan kembali. Namun, pe- merintah tetap harus membayar keseluruhan jumlah yang tersisakan itu dalam bentuk bunga pada setiap tahun seterusnya di masa depan.
Banyak pihak
menganggap, krisis yang terjadi baik di Indonesia maupun di Amerika disebab- kan terutama oleh faktor ekonomi makro dengan pertumbuhan ekonomi yang bersifat siklikal
(turun-naik). Karakteristik seperti itu cenderung
dianggap sebagai "sudah seharusnya"
(given), atau sesuatu yang bersifat alami
dan sulit untuk dihindari, serta sulit untuk di- atasi
karena seolah-olah bukan merupakan hasil kerja manusia.9
Terjadinya krisis
moneter 1997/1998 itu memang secara sepintas membawa
konsekuensi yang sangat buruk bagi sektor perbankan di Indonesia, khususnya
mendorong terciptanya NPL baru yang signifikan. Se- bagian
besar NPL baru ini merupakan akibat depresiasi tajam rupiah ter- hadap valuta asing. Hal ini terjadi karena, sebelum
krisis, banyak debitor korporasi di Indonesia
yang memanfaatkan pinjaman dalam bentuk dolar AS
sebagai akibat perilaku kelompok (herd behavior).
Lagi pula, tindakan penutupan bank itu sendiri
mendorong terciptanya NPL baru karena ti- dak
dapat mengucurkan kredit baru dari fasilitas yang telah disetujui.
Terhentinya kucuran
kredit ini membuat kebutuhan dana kredit un- tuk
proyek tidak semuanya terpenuhi, sehingga proyek berhenti sebelum mampu menghasilkan pendapatan dan mengakibatkan kredit
yang telah sebagian dikucurkan menjadi
bermasalah. Depresiasi rupiah yang tajam mendorong
kenaikan tingkat bunga bank yang sangat tinggi yang pernah terjadi; tingkat tertinggi pernah mencapai 60-70
persen per tahun. Kredit lama yang sedang
berlangsung mendadak menanggung beban bunga yang begitu
berat, sehingga pembayaran bunga bank terhenti. Pada saat yang sama, para debitor nakal mengambil kesempatan untuk
tidak membayar kewajibannya kepada bank. Menurut
Kwik Kian Gie, sejak awal memang mereka tidak
berniat untuk membayarnya.
Terjadinya krisis moneter 1997/1998
itu memang secara sepintas membawa konsekuensi yang sangat buruk bagi sektor
perbankan di Indonesia.
|
Krisis moneter di
Indonesia, yang diwakili oleh depresiasi rupiah yang
tajam, dibarengi dengan kenaikan bunga yang tinggi, tampaknya melandasi anggapan bahwa krisis perbankan ini
disebabkan oleh masalah
makro. Krisis yang terjadi di Amerika pun dianggap oleh banyak pihak di Indonesia terjadi karena masalah makroekonomi.
makro. Krisis yang terjadi di Amerika pun dianggap oleh banyak pihak di Indonesia terjadi karena masalah makroekonomi.
Tetapi, semua
kejadian ini tidak dapat memberikan gambaran me- ngenai
hubungan sebab-akibat yang sesungguhnya terjadi. Bagi keba- nyakan orang, penyebab utama yang sesungguhnya terjadi
tidak mudah terlihat tanpa diteliti lebih dalam.
Kejadian tersebut hanya menunjukkan adanya
hubungan yang searah. Dengan kata lain, krisis moneter tersebut menyebabkan timbulnya NPL yang masif itu.
Namun, jika ditelaah
lebih lanjut, tidak semua NPL pada waktu itu semata-mata
disebabkan oleh krisis moneter.10 Sebelum terjadinya kri- sis, perbankan Indonesia sesungguhnya mengandung
tingkat NPL yang tinggi, diperkirakan menurut
Kwik mencapai 50-70 persen.11 Tingkat NPL yang
tinggi sebelum terjadinya krisis itu juga dialami negara-negara lain di ASEAN. Sebelum krisis, Korea telah mengandung NPL
sebesar 20-30 persen dan Malaysia 20-30 persen.12
Bahkan, krisis moneter yang menim- pa Indonesia,
yang dikatakan sebagai penularan dari krisis keuangan di
Thailand, juga berawal dari masalah NPL yang cukup besar13
dan muncul ke permukaan dari lembaga keuangan
Finance One dan Bangkok Bank of Commerce.14
Kucuran kredit luar negeri ke Thailand mendadak berhen- ti
ketika publik mengetahui adanya skandal di belakang masalah kedua institusi keuangan ini. Tidak sedikit kreditor yang
berusaha menarik da- nanya dari Thailand karena
memang sebagian besar dana yang masuk ke negara
tersebut bersifat jangka pendek.
Laurid S. Lauridsen
dari Roskilde University, Denmark, jelas me- ngatakan
bahwa krisis keuangan di Thailand mulai terjadi pada 1996 dan disebabkan oleh kegagalan sektor swasta yang sebagian
menggambarkan masalah rekening transaksi
berjalan. Namun, Lauridsen menekankan bahwa
penyebab utama krisis di Thailand itu berasal dari masalah pin- jam-meminjam yang sembrono
yang berakibat pada akumulasi NPL yang besar di
sektor keuangan.
Pemberian pinjaman
yang sembrono dengan mengabaikan dasar- dasar pemberian kredit yang sehat juga merupakan
penyebab utama bagi krisis keuangan tahun 2008 di
Amerika. Tidak saja di negara-negara ASEAN,
menurut Paramita Mukherjee, ahli ekonomi dari India, di negara- negara transisi atau yang baru mengadopsi perekonomian
pasar, masalah NPL berperan penting terhadap
krisis perbankan. Sejalan dengan fakta ini, Verma
juga berkesimpulan bahwa tingkat NPL yang tinggi akan berakibat pada kegagalan bank dan lebih lanjut mengguncangkan
kepercayaan pub- lik serta mencoreng kredibilitas
sistem perbankan. Karena itu, George G. Kaufman,
ahli ekonomi Amerika, berpendapat bahwa krisis perbankan
mendahului permasalahan ekonomi makro atau krisis ekonomi.
Uraian singkat ini kiranya dapat
memberikan suatu kesimpulan bah- wa krisis
1997/1998 di Indonesia dan bahkan di banyak negara di dunia, termasuk Amerika pada 2008, disebabkan, atau paling
tidak dipicu, oleh adanya NPL yang besar.
Non
performing loan (NPL) bagi bank konvensional setara dengan non performing financing (NPF) bagi bank syariah.15
NPL merupakan suatu fenomena dunia karena terjadi
di banyak negara, tidak hanya di pereko- nomian
yang bersifat kapitalistis, tetapi juga bersifat transisi,16 dengan sistem keuangan yang didominasi oleh lembaga keuangan
pemberi kredit seperti bank konvensional. Bank
konvensional memberikan "pinjaman", yang
setara dengan "pembiayaan" bagi bank syariah, sebagai salah satu kegiatan pokok usahanya. NPL atau NPF akan terjadi
jika debitor tidak dapat membayar angsuran pokok
dan atau bunga kepada bank pemberi pinjaman pada
bank konvensional, atau tidak dapat membayar angsuran dari
pembayaran tunda atau tidak dapat menghasilkan keuntungan yang diharapkan bagi bank syariah.
Di Indonesia,
penyebab NPL sebelum dan sesudah krisis da- pat
dikatakan berbeda. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh lingkungan peraturan kehati-hatian (prudential regulations) dan pengawasan perbankan
oleh Bank Indonesia yang telah ber- ubah ke arah
yang jauh lebih baik di masa setelah krisis.17 Wa- laupun pengamatan ini belum berlaku sepenuhnya,
mengingat apa yang telah terjadi pada Bank
Century, di sini kelalaian dari segi pengawasan
oleh Bank Indonesia diyakini bersifat kasuistik dan
tidak berlaku umum. Di samping lingkungan prudential
yang lebih baik ini, menurut IMF,18 lingkungan lain seperti
sosi- al, etika, dan penegakan hukum yang berada
di sekeliling opera- si bank belum berubah secara
berarti, dan secara tidak langsung tetap dapat
memengaruhi timbulnya NPL.19 Namun, masalahnya adalah bank tidak dapat mengubah keadaan lingkungan
terse- but. Agar dapat mempertahankan hidupnya,
bank justru harus menghadapi keadaan lingkungan
yang ada.
Untuk mempertahankan hidupnya, bank
tetap harus mem- berikan kredit atau pembiayaan
dalam rangka memperoleh pen- dapatan; tetapi bank
harus dapat melakukan pekerjaan itu de- ngan
baik. Untuk itu, bank harus memperhatikan banyak faktor yang
pada intinya adalah harus memperhatikan unsur kehati-ha-
tian. Unsur kehati-hatian terutama mencakup suatu usaha untuk menilai kelanjutan dari kemampuan dan kemauan pihak
debitor untuk dapat membayar kewajibannya kepada
bank di masa de- pan. Karena yang dinilai adalah
sesuatu yang diharapkan terjadi di masa depan,
maka apa yang diusahakan saat ini adalah untuk membentuk
keyakinan bahwa apa yang diharapkan itu benar- benar
terjadi di masa depan. Yang diharapkan itu adalah debitor atau nasabah bank benar-benar tetap mampu membayar
kewa- jiban, dan memiliki komitmen untuk
melakukan pembayaran tersebut bagi bank
konvensional; sedangkan bagi bank syariah, nasabah
benar-benar dapat membayar angsuran pembayaran tunda
atau penciptaan keuntungan yang diharapkan dan mem- baginya
dengan pihak bank.
Banyak penelitian
mengenai NPL yang telah dilakukan, terutama di luar
negeri. Umumnya penelitian itu dilakukan untuk menyelidiki apa penyebab terjadinya NPL, sehingga menimbulkan
kegagalan bank atau bahkan krisis perbankan.
Walaupun para peneliti menggunakan pende- katan
makro atau mikro, pada umumnya mereka berpendapat, peranan faktor mikro sama pentingnya dengan peranan faktor
makro. Namun, peneliti seperti Menkhoff dan
Suwanaporn, Lauridsen, Verma, dan Shen menekankan
bahwa faktor mikro lebih penting daripada faktor makro. Pandangan
mereka ini didasarkan pada kenyataan, jika terjadi guncang- an ekonomi, bank yang lemah akan lebih dulu gagal.
Bank yang lemah atau kuat ditentukan oleh
bagaimana manajemen mengelola banknya. Karena
itu, manajemen internal berperan sentral, baik dalam kesukses- an maupun kegagalan bank. Manajemen internal
menentukan arah dan menentukan bagaimana bank
melakukan pendekatan korporasi terha-
dap pekerjaan utamanya, dalam hal ini adalah pemberian kredit atau pembiayaan.
dap pekerjaan utamanya, dalam hal ini adalah pemberian kredit atau pembiayaan.
Pada intinya, jika
suatu usulan kredit diang- gap berisiko tinggi
atau tidak sebanding dengan pendapatan yang
diperkirakan dapat diperoleh bank, manajemen bank
dapat menolak usulan tersebut. Karena itu, pada
hakikatnya, kegagalan bank ditentukan oleh
besar-kecilnya NPL atau NPF; dan besar-kecilnya
NPL atau NPF ditentu- kan pula oleh manajemen
bank. Bahkan, seperti telah disinggung di muka,
krisis perbankan (ke- gagalan sejumlah bank pada
saat yang sama) diakibatkan pula oleh ada- nya
akumulasi NPL yang besar.
Penelitian yang
dilakukan untuk menyusun buku ini memberikan penekanan
pula pada faktor mikro dan secara khusus pada faktor-fak- tor yang berasal dari manajemen internal bank, baik
bank konvensional maupun bank syariah.
Faktor-faktor inilah yang akan menentukan perja- lanan
pemberian kredit atau pembiayaan yang dilakukan oleh bank, dan memengaruhi efisiensi operasional bank karena dapat
memengaruhi atau memperkecil timbulnya NPL atau
NPF. Karena itu, faktor-faktor ini akan dapat
menjelaskan atau berhubungan dengan besar-kecilnya NPL atau NPF yang timbul, sehingga digunakan sebagai variabel
bebas (indepen- den) dalam buku ini.
Pada akhirnya, penelitian ini sangat
berguna untuk dilakukan, baik bagi masyarakat
perbankan khususnya, maupun masyarakat luas umum- nya.
Masyarakat perbankan dapat diingatkan kembali dan masyarakat umum dapat diberi pengertian baru, bahwa sesungguhnya
tingkat NPL atau NPF yang besar itu dapat
dihindari. NPL atau NPF timbul tidak semata-mata
karena faktor ekonomi makro, tetapi lebih ditentukan oleh faktor mikro, dalam hal ini manajemen internal bank.
Bank syariah berada dalam ruang
lingkup ekonomi Islam dan diatur oleh hukum Tuhan yang berdasarkan pada
Al-Quran dan hadis Nabi Saw.
|
Bank konvensional dan
bank syariah berada pada tataran yang sama, ka- rena
berada pada ruang lingkup intermediasi keuangan yang sama pula. Hanya saja, dasar filosofi pelaksanaan pekerjaan
operasionalnya berbeda. Perbedaan filosofi ini
terletak pada hukum dan ruang lingkup ekonomi yang
menaunginya. Bank syariah berada dalam ruang lingkup ekonomi
Islam dan diatur oleh
hukum Tuhan yang berdasarkan pada Al-Quran dan
hadis Nabi Saw. Di lain pihak, bank konvensional berasal dari ruang lingkup ekonomi yang bernapaskan kapitalistis, dan
diatur berdasarkan hukum positif yang dibuat oleh
manusia.
Bank syariah
melakukan pembiayaan dengan perjanjian atau akad yang
berdasarkan transaksi yang berkaitan dengan sektor riil, tidak diperbo- lehkan mengandung riba (bunga), gharal (ketidakjelasan atau risiko yang berlebihan), dan maysir
(bersifat judi atau untung-untungan). Uang benar- benar
digunakan sebagai perantara transaksi, bukan komoditas dengan harga berupa bunga. Di lain pihak, bank konvensional
menggunakan uang sebagai komoditas dengan harga
berupa tingkat bunga. Uang yang dipin- jamkan
merupakan kausa prima dari hampir setiap perjanjian yang dilaku- kannya, sehingga perjanjian itu merupakan perjanjian
peminjaman uang (kredit). Hal ini dimungkinkan
karena bank lebih banyak menggunakan uang orang
lain dalam bentuk utang atau bersandar pada konsep
leverage.
Namun, walaupun bank
syariah dijalankan berdasarkan hukum Tuhan, setiap
ketentuannya secara hakiki bersifat sangat universal. Sifat universal ini ada karena hukum Tuhan itu ditujukan
bagi umat manusia umumnya, demi mencapai
kesejahteraan mereka di dunia dan bernilai akhirati.
Sifat universal itu tidak datang dari agama Islam secara khusus atau hanya untuk yang beragama Islam, tetapi pada awal
berkembangnya agama-agama samawi,
ketentuan-ketentuan itu juga berlaku. Di samping itu,
bank syariah dapat melakukan transaksi yang diizinkan dengan se- mua ras dan agama di dunia, tanpa ada batasan dalam
hal yang berhu- bungan secara komersial ataupun
sosial.
Sebagai kegiatan
usaha yang utama, bank syariah melakukan peker- jaan
dalam bentuk pemberian pembiayaan, dan mereka tidak meminjam- kan uang secara an sich.
Bank konvensional, di lain pihak, melakukan pemberian
kredit atau pinjaman dalam bentuk uang. Dalam melakukan pekerjaan
utama ini, bank harus mengelola risiko. Menurut Greenspan (Bartholomew dan Gup, 1998), jika bank melakukan
pekerjaan ini dengan baik, dapat tercipta nilai
ekonomis dengan menarik dana dari masyara- kat.
Tetapi, jika tidak dilakukan dengan baik, akan terjadi alokasi sumber daya yang salah sehingga bank dapat mengalami
kegagalan. Dengan de- mikian, mereka berpandangan
bahwa bank memiliki kendali untuk me- nentukan
nasibnya sendiri.
Pekerjaan utama itu
dilakukan dengan menggunakan organisasi ber- sifat
korporasi yang bernama bank, dan organisasi ini menghadapi ruang lingkup eksternal yang sama. Kedua organisasi ini
memiliki manajemen internal. Pada hakikatnya,
manajemen internallah yang menentukan ke- berhasilan
atau kegagalan bank. Manajemen internallah yang menentu-
kan arah dan perjalanan pemberian pembiayaan atau pemberian kredit/ pinjaman. Karena itu, faktor-faktor manajemen internal
tersebut berlaku baik pada bank konvensional
maupun pada bank syariah.
Pada
hakikatnya, dengan adanya unsur agama dan prinsip ketauhi- dan, penerapan faktor manajemen tersebut seyogianya
lebih baik pada bank syariah, jika dibandingkan
pada bank konvensional. Dengan demi- kian, jika
faktor-faktor manajemen internal digunakan sebagai variabel bebas penelitian, dapat diduga bahwa timbulnya NPL
pada bank konven- sional dan NPF pada bank
syariah bisa diminimalkan. Dengan adanya unsur
agama tadi, penerapan yang lebih baik akan berakibat pada hasil akhir yang lebih baik pula. Dengan kata lain, tingkat
NPF pada bank sya- riah diduga akan lebih baik
atau kecil dibandingkan tingkat NPL pada bank
konvensional. Namun, bagaimana setiap faktor diterapkan dalam manajemen internal tiap kelompok bank sangat
bergantung pada manu- sia, praktik, dan
lingkungannya, sehingga hasil akhir dalam kenyataannya (secara
empiris) belum tentu sama seperti yang diduga tersebut.
Bank merupakan badan hukum seperti
layaknya korporasi. Hanya saja, bank bergerak di
lapangan keuangan. Bank atau korporasi merupakan sekumpulan
orang yang mengorganisasi dirinya sendiri untuk bekerja bersama-sama
mencapai tujuan tertentu yang sama. Organisasi ini dise-
but sebagai recht person (badan hukum)
karena dianggap sebagai orang layaknya (naturlijkperson). Anggapan ini diberikan oleh
hukum, dan ka- renanya menjadi ciptaan hukum.
Karena ditetapkan oleh hukum, organi- sasi atau
badan hukum itu memiliki hak dan kewajiban dalam melakukan kehidupannya.
Hak itu antara lain hak untuk
menjalankan operasi usaha seperti yang diizinkan
oleh undang-undang, dan hak membeli dan memiliki kekayaan atau aset. Kepemilikan korporasi atau bank atas harta
atau aset serta utang terpisah dari kepemilikan
yang dipunyai oleh pemegang saham. Menurut Hegel,
hak itu dimaksudkan untuk menjaga atau menjalankan kepenting- an atau tujuan yang telah didefinisikan secara jelas.
Kewajibannya adalah mematuhi ketentuan dan
undang-undang yang berlaku yang datang dari lingkungan
tempat badan hukum itu berusaha, termasuk ketentuan yang tidak tertulis yang mencakup etika atau moralitas.
Tujuan korporasi atau bank sebagai organisasi,
menurut Hegel, pada akhirnya adalah untuk me- ningkatkan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Jika organisasi
sebagai badan hukum itu dianggap sebagai orang layaknya, maka pertanyaannya
adalah apakah yang "diperorangkan itu" memiliki
organ tubuh dan jiwa? Jawabannya, organ-organ bagi badan hukum adalah seperangkat pengurus, yaitu dewan
komisaris dan dewan direksi yang dibantu oleh
para staf dan pegawai. Kesatuan dari para peng- urus
dan para staf senior itu membentuk "manajemen internal" badan hukum atau bank itu; dalam operasinya, manajemen
internal dipimpin oleh seorang presiden direktur
sebagai pemimpin pelaksana puncak.
Manajemen internal
ini dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang
menjamin bahwa segala sesuatunya dilakukan secara benar; dan melakukan segala sesuatu di sini adalah dalam rangka
mengelola sumber daya. Berdasarkan hukum
korporasi, presiden direktur dan direksi memi- liki
tugas amanah (fiduciary duty) dan tugas
kesetiaan (duty of loyalty) terhadap
korporasi.
Berdasarkan tugas
yang pertama, sebagai pihak yang dipercaya un- tuk
mengelola korporasi, direksi berkewajiban bertindak dengan sebaik- baiknya demi kepentingan korporasi dan pemegang
sahamnya. Tugas ini mengandung unsur integritas
dan kompetensi.20 Menurut M. Umer Chap- ra
dan Habib Ahmed, profesionalisme, kompetensi,
dan integritas merupakan faktor yang penting
bagi manajemen bank, terutama bank syariah.
Tugas kedua
menekankan bahwa para direksi memiliki sumpah ke- setiaan
terhadap korporasi, dan menempatkan kepentingan korporasi dan pemegang saham di atas kepentingan pribadi. Di
samping memiliki integritas
dan profesionalisme, seorang presiden direktur,
yang juga merupakan
chief executive officer, harus memiliki kebajikan dari kemam- puan, keahlian, sumber daya, motivasi, dan otoritas
agar dapat memim- pin dengan baik, sekaligus
membuat perubahan ke arah yang lebih baik.21 Direksi
dan manajemen internal ini mengelola modal, baik dari pemilik saham maupun dari pihak ketiga, serta keahlian dan
tenaga kerja demi manfaat yang optimal bagi
semua pihak yang terkait dan yang berkepen- tingan,
baik secara langsung maupun tidak (para
stakeholder).22
Di samping pemilik
saham, manajemen internal ini, khususnya direksi, memiliki tanggung jawab
secara fidusia (kepercayaan) terhadap para stakeholder korporasi (para pemilik dana bagi
bank). Mereka harus bertindak demi kepentingan
korporasi atau bank dan mempertahankan kehidupan
korporasi atau bank itu.
Mengenai jiwa dari badan hukum, Ira A. Jackson
dan Jane Nelson dari Amerika berpendapat bahwa
jiwa itu berupa tujuan badan hukum,23 sedangkan
keuntungan hanya merupakan alat, bukan tujuan akhir. Tujuan korporasi atau badan hukum beserta nilai-nilai dan
prinsip-prinsip yang dianut tertuang dalam
budaya korporasi (corporate culture). Namun,
tu- juan ini tidak akan dapat direalisasikan,
jika organ-organ badan hukum itu tidak melakukan
pengambilan keputusan. Keputusan ini perlu diambil dari
waktu ke waktu sebagaimana yang diperlukan untuk menjalankan roda manajemen, sehingga tujuan dapat dicapai dan
dipertahankan. Kare- na itu, akan lebih tepat
jika dikatakan, jiwa dari badan hukum itu tereflek- si
pada pengambilan keputusan sehubungan dengan aktivitas utamanya.
Hal ini didukung
pula oleh pendapat Pound bahwa inti good corporate
governance sesungguhnya terletak pada masalah ba- gaimana memperoleh keyakinan agar keputusan yang
diambil merupakan keputusan yang terbaik dan
efektif. Kebutuhan ini merupakan tuntutan dari
tugas kepedulian (duty of care) para direksi. Dalam kesehariannya, direksi bertugas untuk
mengam- bil keputusan dalam menjalankan dan
mengelola usaha korpo- rasi. Dalam menjalankan duty of care, direksi wajib mengambil keputusan yang terbaik bagi korporasi dan pemilik
saham secara hati-hati (prudent), berdasarkan informasi dan data faktual
ser- ta mutakhir yang memadai. Keputusan yang
diambil juga me- nentukan moralitas
institusinya.
Agar korporasi atau
bank bertindak sebagai agen yang bermoral,
organisasi itu harus memiliki proses pengambilan keputusan
yang bermoral dan berintegritas. Untuk itu, proses pengambilan
keputusan mengandung paling tidak dua unsur. Pertama, memiliki kapasitas untuk menggunakan
alasan-alasan yang mengandung moralitas. Kedua, memiliki kapasitas untuk mengontrol secara terbuka pelaksanaan ketentuan dalam
akta pendirian perusahaan, dan juga struktur
kebijakan dan ketentu- an lainnya yang ada.
Dalam perspektif
moralitas filsuf Jerman Immanuel Kant, pengam- bilan
keputusan harus memperhatikan kepentingan seluruh
stakeholder. Bahkan, dalam keadaan tertentu, kepentingan salah satu stakeholder harus pula lebih diperhatikan, tetapi
dengan sepengetahuan para stakeholder
lainnya. Dalam kaitan dengan pengambilan keputusan kredit atau pembiayaan, stakeholder
yang paling penting adalah masyarakat pemilik dana.24
Sebab, dana merekalah yang digunakan dalam melakukan kegiat- an utama bank. Bank mentransformasikan dana tersebut
ke dalam bentuk aset yang berisiko, seperti
pinjaman atau pembiayaan. Jika kepentingan pemilik
dana diperhatikan, secara langsung atau tidak langsung, kepen- tingan stakeholder
lainnya pun terlindungi.
Karena itu, badan hukum atau bank
harus pula memiliki strategi dan pendekatan
tertentu terhadap bagaimana melakukan pekerjaan atau kegiat- an utamanya itu dalam lingkungan yang dihadapinya,
sehingga dapat men- capai hasil yang baik, tanpa
mengorbankan kepentingan para pemilik dana.
Bank merupakan anggota
masyarakat yang bersifat sebagai institusi, dan keberadaannya
bersandar pada masyarakat. Keberadaan itu terbentuk karena
masyarakat percaya bahwa bank membawa manfaat bagi kepen- tingan masyarakat. Kehidupan bank yang panjang dapat
dicapai hanya jika seperangkat manajemennya dapat
melakukan kegiatan utamanya, dan ditentukan oleh
hasil yang dapat dicapai, dan manfaat yang diberikan kepada
masyarakat dari waktu ke waktu. Kehidupan yang layak adalah kehidupan yang dilakukan dengan memenuhi ketentuan
yang berlaku, baik secara tertulis maupun tidak,
dan dilakukan dengan penuh kewajar- an, tidak
berlebihan; dan kedua syarat ini merupakan keterbatasan.
Walaupun tugas
manajemen korporasi modern umumnya adalah me- maksimumkan
keuntungan, hasil yang dicapai, dalam hal ini keuntungan
dan arus kas, harus dalam batas kewajaran. Dalam hal memaksimumkan keuntungan, Dobson menekankan bahwa tujuan itu dapat
diterima asal- kan para pelaku bisnis tidak
menghapus akal sehat yang bermoral, de- ngan
memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral. Pertimbangan ini memerlukan ciri-ciri karakter etika dan kebajikan,
seperti kehati-hati- an (prudence), keberanian, kearifan, dan rasa kasih
terhadap orang lain. Dalam pandangan filsuf
Yunani kuno Aristoteles, jika penekanan pada pencapaian
keuntungan dilakukan secara berlebihan, mungkin saja ke-
untungan itu tidak dapat diperoleh sama sekali. Hal ini sangat jelas
ber- laku pada bank. Bagi bank, keuntungan dan
risiko selalu berdampingan. Keuntungan yang tidak
wajar dapat berarti risiko yang besar. Penekanan yang
berlebihan pada keuntungan, tanpa memperhatikan risiko, akhirnya akan menciptakan kerugian.
Dapat dikatakan
bahwa badan hukum yang dimaksud di atas identik dengan eukonomia dari Aristoteles, yakni rumah tangga
yang menjalan- kan kehidupan perekonomian bagi
anggotanya. Menurut Aristoteles, ter- dapat dua
hal yang terkait dengan rumah tangga. Pertama,
kepemilikan atau harta. Kedua, keahlian. Keahlian ini diperlukan dalam
rangka meng- hasilkan kepemilikan. Tanpa kedua
hal itu, rumah tangga tidak dapat hi- dup atau
hidup dengan baik.
Dalam kaitan ini,
masa Yunani kuno mengenal konsep eudaimonia, yang
berarti "kehidupan yang terpenuhi", yang tidak hanya berarti
"ke- bahagiaan". Menurut Norton, eudaimonia, sebagai tujuan kehidupan, tidak hanya berarti perasaan, tetapi juga suatu
kondisi, yang menunjuk- kan kehidupan berdasarkan
kebenaran pada diri sendiri, berdasarkan kemampuan
tertinggi (arete) yang ada secara ideal pada
diri (daimons),25 menemukan diri
di mana pengetahuan akan diri sendiri dimulai, kemudi- an
merealisasikan kemampuan itu. Bagi Aristoteles, kebahagiaan adalah hasil yang dicapai dari usaha dalam melakukan
realisasi tersebut.
Norton, filsuf
Amerika itu, berpendapat bahwa eudomonist
atau manajer kontemporer dari eudaimonia memiliki persyaratan yang sesuai dengan pendapat Plato.
Pertama, untuk menjadi manajer yang baik, di- perlukan
pengetahuan mengenai hal ihwal (the good)
yang menyeluruh dari organisasi yang dikelolanya. Kedua, manajer perlu mengidentifikasi "hal ihwal" diri sendiri sebagai "hal
ihwal" keseluruhan.
Norton menjelaskan
syarat kedua ini bahwa agar menjadi anggota yang
produktif dari organisasi, diperlukan paling tidak pengertian atau anggapan umum mengenai organisasi itu. Biasanya,
terdapat beberapa anggota yang memiliki kemampuan
yang kurang memadai untuk meng- uji, memperhalus,
dan mengonkretkan anggapan umum mengenai orga- nisasi
itu; karenanya, mereka perlu diberi pelatihan. Hal ihwal keselu- ruhan organisasi menjadi hal ihwal individu yang
kemudian membentuk kebajikan (virtue) dari objektivitas nilai-nilai yang akan
dicapai oleh or- ganisasi.
Organisasi yang efektif adalah
organisasi yang setiap anggotanya da- pat
membedakan mana manajemen yang baik dan mana yang buruk, dan setiap anggota memiliki komitmen yang penuh terhadap
nilai-nilai yang akan dicapai. Hal ini berkaitan
dengan apa yang disebut De George seba- gai
kultur organisasi atau corporate culture.
Telah disinggung bahwa
krisis keuangan yang melanda banyak negara di dunia
bermula dari sejumlah kegagalan bank dalam kurun waktu yang sama (disebut krisis perbankan). Baik krisis perbankan
yang bersifat ko- lektif maupun kegagalan bank
yang bersifat individualistik terjadi karena adanya
akumulasi NPL yang besar, yang membuat bank menjadi sangat tidak efisien. Hilangnya efisiensi bank disebabkan
oleh pemberian kredit atau pinjaman menjadi tidak
efektif, karena tidak menghasilkan penda- patan
atau keuntungan dan arus kas bagi bank. Pada saat yang sama, bia- ya karena adanya kredit bermasalah atau NPL cenderung
menjadi lebih besar. Cadangan piutang ragu-ragu
harus diperbesar, dan biaya penyele- saian muncul
dan cenderung bertambah karena berakumulasi, sedangkan pendapatan
dan arus kas berkurang.
Semua gejala ini
terjadi secara universal pada perbankan di mana pun di
dunia, sehingga sesungguhnya pelajaran yang berharga dapat diambil dari pengalaman-pengalaman negara-negara yang pernah
mengalami krisis, baik krisis perbankan maupun
kegagalan bank. Dengan mengam- bil pelajaran dari
pengalaman negara-negara tersebut, buku ini kemudian akan
memfokuskan diri pada perbankan nasional, di Indonesia.
Efektivitas dan
efisiensi serta keberhasilan atau kegagalan suatu bank sangat
bergantung pada manajemen internalnya. Walaupun lingkungan eksternal seperti ekonomi makro dapat memengaruhi
perjalanan suatu bank, setiap perubahan yang akan
terjadi yang dapat memengaruhi hidup- nya perlu
diantisipasi dan disikapi oleh manajemen bank. Dalam hal pemberian kredit
(pinjaman) atau pembiayaan, misalnya, manajemen internal
bank-lah yang akan menentukan kredit atau pembiayaan dari calon kon- sumen mana yang akan dapat disetujuinya atau perlu
langsung ditolak.
Berbicara mengenai
manajemen internal, tersirat secara langsung atau
tidak suatu lingkungan internal yang berintegrasi secara utuh, se- bagai suatu unit yang kompak dan bergerak secara
bersamaan ke arah yang hendak dicapai. Lingkungan
internal itu memiliki unsur-unsur yang dapat
memengaruhi keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan institusinya, dalam hal ini bank. Dalam pemberian
kredit atau pembiaya-
an, misalnya, terdapat banyak pihak yang terlibat dalam melakukan suatu pekerjaan inti melalui suatu kumpulan proses yang sama dan berulang- ulang.
an, misalnya, terdapat banyak pihak yang terlibat dalam melakukan suatu pekerjaan inti melalui suatu kumpulan proses yang sama dan berulang- ulang.
Pihak yang terlibat
atau yang melakukan pe- kerjaan tersebut
memerlukan sejumlah atribut, berupa kebijakan dan
praktik-praktik yang sera- gam untuk suatu jenis
pekerjaan yang sama, yang lebih banyak ditentukan
oleh pimpinan puncak. Kebijakan dan
praktik-praktik yang sama dan di- lakukan
berulang-ulang akan membentuk suatu kebiasaan,
dan kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian besar dari suatu kelompok orang menjadi budaya bagi kelompok tersebut.
Karena itu, diduga terdapat sejumlah faktor dari
internal manajemen yang berperan dalam
menciptakan, paling tidak memengaruhi, baik efektivitas maupun efisiensi suatu bank; efektivitas dalam kaitan dengan
pemberian kredit atau pembiayaan, dan efisiensi
dalam hal menekan timbulnya NPL pada bank
konvensional atau NPF pada bank syariah.
Dalam perbankan
nasional, seperti halnya perbankan di negara-ne- gara
lain, terdapat suatu perkembangan yang menarik. Di Indonesia, khu- susnya, sejak Bank Muamalat didirikan pada 1992,
terdapat suatu bentuk atau jenis bank yang diatur
oleh ketentuan syariat Islam. Bermula dari Bank
Muamalat, saat ini terdapat sejumlah bank yang beroperasi dengan modus operandi keislaman, yang diikuti sejumlah besar
unit usaha bank yang berpola sama. Jumlah
pembiayaan yang dilakukan oleh kelompok bank ini
masih kecil, yaitu di sekitar 3-4 persen dari jumlah aset perbank- an nasional, tetapi dengan pertumbuhan yang tidak
lebih kecil dari 15 persen per tahun.
Walaupun kelompok
bank ini beroperasi berdasarkan ketentuan sya- riat
Islam, ketentuan yang harus diikuti oleh kelompok bank ini sesung- guhnya tidak bersifat spesifik Islam atau agama Islam,
tetapi esensinya bersifat umum atau universal.
Seperti halnya bank konvensional, bank kelompok
ini, yang disebut bank syariah, juga memiliki manajemen internal dan
menimbulkan NPF dari aktivitas pemberian pembiayaan, seperti pemberian kredit atau pinjaman yang menimbulkan NPL
pada bank kon- vensional.
Di Indonesia, khususnya,
sejak Bank Muamalat didirikan pada 1992, terdapat suatu bentuk atau jenis
bank yang diatur oleh ketentuan syariat Islam.
|
Sejalan dengan
perkembangan bank syariah dalam perbankan na- sional,
penelitian untuk buku ini dilakukan terhadap dua kelompok bank
umum, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Penelitian ini sangat dirasakan perlu dilakukan karena sesungguhnya timbulnya NPL atau NPF dapat diperkecil, dan tidak semata-mata diakibatkan oleh adanya perubahan-perubahan faktor dalam ekonomi makro yang terlepas dari kadar intensitasnya. Banyak penelitian yang dilakukan terdahulu oleh para peneliti di banyak negara secara umum menunjukkan pula bahwa timbulnya NPL atau NPF dapat diminimalkan. Namun, penelitian ter- dahulu tidak sepenuhnya menggunakan faktor-faktor dari manajemen internal. Kebanyakan menggunakan pendekatan dengan rasio keuangan. Walaupun demikian, banyak dari penelitian itu, jika dianalisis lebih da- lam, paling tidak menunjukkan atau akhirnya bermuara pada manajemen internal.
umum, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Penelitian ini sangat dirasakan perlu dilakukan karena sesungguhnya timbulnya NPL atau NPF dapat diperkecil, dan tidak semata-mata diakibatkan oleh adanya perubahan-perubahan faktor dalam ekonomi makro yang terlepas dari kadar intensitasnya. Banyak penelitian yang dilakukan terdahulu oleh para peneliti di banyak negara secara umum menunjukkan pula bahwa timbulnya NPL atau NPF dapat diminimalkan. Namun, penelitian ter- dahulu tidak sepenuhnya menggunakan faktor-faktor dari manajemen internal. Kebanyakan menggunakan pendekatan dengan rasio keuangan. Walaupun demikian, banyak dari penelitian itu, jika dianalisis lebih da- lam, paling tidak menunjukkan atau akhirnya bermuara pada manajemen internal.
Seperti telah
disebutkan, manajemen internal bank-lah yang menen- tukan
arah dan perjalanan pemberian kredit atau pembiayaan. Keputusan untuk memberikan pinjaman atau pembiayaan berada
sepenuhnya dalam kewenangan manajemen internal
bank. Karena itu, dalam meneliti pe- nyebab-penyebab
NPL, digunakan model dengan pendekatan manajemen internal,
sehingga memfokuskan dan membatasi diri pada masalah-ma-
salah mikro yang berkaitan dengan manajemen internal.
Sejalan dengan pemikiran
ini, yang menjadi pertanyaan pertama dalam
penelitian adalah "Faktor-faktor apa yang perlu dimiliki dan di- terapkan oleh manajemen internal bank sehingga dapat
meminimalkan timbulnya NPL pada bank konvensional
dan NPF pada bank syariah?"
Penelitian ini
dilakukan terhadap dua kelompok bank, yaitu bank konvensional
dan bank syariah, dengan menggunakan faktor-faktor yang berasal
dari manajemen internal bank. Manajemen pada bank konvensio- nal dan bank syariah, ditinjau dari segi bentuk dan
struktur serta masa- lah yang dihadapi, pada
dasarnya tidak berbeda secara prinsipil. Bahkan, tujuan
dalam melakukan kegiatan operasional utamanya, dalam hal ini memberikan kredit (pinjaman) untuk bank konvensional
atau pembiaya- an bagi bank syariah, adalah sama.
Kegiatan ini dilakukan untuk mem- peroleh
pendapatan atau keuntungan dengan mempertimbangkan faktor risiko yang dihadapi. Bank konvensional dan bank
syariah menghadapi masalah eksternal atau
lingkungan operasional yang sama pula. Kedua bank
ini harus sama-sama mengatasi persoalan yang ditimbulkan oleh lingkungan tersebut, agar hidupnya dapat berlanjut.
Namun, karena dasar
filosofis dan hukumnya berbeda, dapat diduga bahwa
penerapan setiap faktor manajemen internal yang dimaksud dapat pula berbeda dari segi intensitas. Intensitas
penerapan faktor-faktor yang berbeda akan
menghasilkan pengaruh yang berbeda pula terhadap NPL bank
konvensional atau NPF bank syariah.
Kemungkinan adanya perbedaan
intensitas ini didasarkan pada premis bahwa, pada
bank syariah, hukum yang melandasi pelaksanaan kegiatan
pemberian pembiayaan adalah hukum Islam, yang merupakan hukum
Tuhan dan dapat ditemukan dalam Al-Quran dan hadis Nabi Saw. Hampir setiap segi dari manajemen organisasi bank
dapat pula dicarikan referensinya pada ayat-ayat Al-Quran
dan/atau hadis. Ketentuan Tuhan yang tertuang
dalam Al-Quran dan hadis juga bersifat universal, dan re- ferensi itu umumnya tidak berbeda dengan dan bahkan
mendukung prin- sip-prinsip manajemen umum atau
perkreditan yang berlaku pada bank konvensional.
Namun dalam Islam,
pemilik tertinggi atau mutlak terhadap apa yang
dimiliki oleh manusia itu adalah Tuhan Yang Maha Esa,
dan Tuhan pula yang bersaksi sekaligus mencatat serta me- nilai setiap kegiatan dan tingkah laku manusia,
termasuk dalam melakukan pekerjaan mereka. Karena
itu, sangat beralasan un- tuk menduga bahwa
penerapan faktor-faktor yang dimaksud da- lam
uraian ini lebih baik diterapkan pada bank syariah daripada bank konvensional.
Atas dasar pemikiran ini, dapatlah
diajukan pertanyaan ri- set kedua, yaitu
"Apakah penerapan setiap faktor yang berasal dari
manajemen internal bank lebih tinggi atau lebih baik pada bank syariah dibandingkan dengan bank
konvensional?"
Kemudian, jika
faktor-faktor manajemen internal ini diterapkan le- bih
baik pada bank syariah daripada pada bank konvensional, seyogianya dapat pula diharapkan bahwa tingkat NPF pada bank
syariah lebih baik (lebih rendah) daripada
tingkat NPL pada bank konvensional. Inti dari pernyataan
yang dikandung dalam kedua pertanyaan ini dijadikan sebagai hipotesis
alternatif; hipotesis pertamanya menduga bahwa penerapan
faktor-faktor manajemen itu sama baik, atau tidak terdapat perbedaan intensitas baik pada bank syariah maupun bank
konvensional. Jadi, per- tanyaan riset ketiga
adalah "Apakah tingkat NPF pada bank syariah lebih
baik (lebih rendah)
daripada tingkat NPL pada bank konvensional, seba- gai
akibat penerapan setiap faktor dari manajemen internal yang lebih baik?"
Berdasarkan
pertanyaan riset kedua dan ketiga itu, penelitian ini akan
lebih bermanfaat, jika hasilnya dapat menemukan penyebab dari perbedaan penerapan setiap faktor yang digunakan
sebagai variabel in- dependen. Setiap perbedaan
itu perlu dianalisis lebih dalam dan satu per satu,
sebelum dapat diambil kesimpulan secara menyeluruh yang ber- manfaat, baik bagi lingkungan perbankan syariah maupun
konvensional.
Karena itu, pertanyaan riset yang
keempat yang perlu dikemukakan adalah
"Mengapa terjadi perbedaan penerapan dari setiap faktor internal manajemen itu pada bank syariah dan pada bank
konvensional sehingga timbul perbedaan antara
tingkat NPL dan NPF tersebut?"
Karena krisis perbankan
terjadi secara kolektif dalam waktu yang relatif sama,
dapat menimbulkan kesan bahwa krisis itu seolah-olah merupakan akibat perubahan ekonomi makro semata. Bahkan, ekonomi
makro sering dijadikan kambing hitam penyebab
terjadinya krisis. Namun, jika diteliti lebih
dalam, baik kegagalan bank yang terjadi secara kolektif maupun secara individualistik lebih banyak terjadi karena
faktor ekonomi mikro yang menyebabkan timbulnya
NPL. Inti permasalahannya adalah NPL. Secara
khusus, faktor-faktor penyebab kegagalan bank dan timbulnya NPL tersebut berada dalam tataran manajemen internal
bank.
Karena itu, buku ini
hendak mempertegas bahwa kegagalan bank dan NPL
disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dimiliki oleh manajemen internal bank secara lebih utuh, tidak
semata-mata kare- na faktor ekonomi makro,
sehingga krisis atau kegagalan bank atau NPL yang
besar itu dapat dihindarkan.
Berdasarkan latar
belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan pe- nelitian
ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk menemukan dan menentukan faktor-faktor manajemen internal yang mana yang dapat memperkecil timbulnya
NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank
syariah di perbank- an Indonesia.
2.
Untuk menganalisis dan menemukan perbedaan,
apakah pene- rapan faktor-faktor manajemen
internal yang dimaksud lebih
baik
atau lebih tinggi pada bank syariah, dibandingkan dengan
penerapan faktor yang sama pada bank konvensional.
3.
Untuk menemukan apakah tingkat NPF pada bank
syariah lebih baik atau lebih rendah dibandingkan
dengan tingkat NPL bank konvensional.
4.
Untuk menganalisis dan menemukan mengapa
terdapat penye- bab perbedaan tingkat penerapan
setiap faktor manajemen internal yang dimaksud pada bank syariah dan bank
konvensional.
Mengacu pada latar
belakang, rumusan masalah, dan tujuan pene- litian
yang diuraikan pada bagian terdahulu, penelitian untuk penulisan buku ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
masyarakat perbankan dan otoritas moneter yang
mengawasi perbankan seperti yang disebutkan
berikut ini:
1.
Memberikan masukan kepada masyarakat perbankan
dan otoritas moneter mengenai penyebab-penyebab
NPL/NPF dan memperha- tikan serta menerapkan
faktor-faktor manajemen internal bank dengan baik
dari waktu ke waktu sehingga dapat memperkecil tim- bulnya
NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah.
2.
Berkaitan dengan faktor-faktor yang dimaksud di
atas, memberi- kan saran-saran dalam rangka
membuat kebijakan yang diperlu- kan oleh otoritas
moneter sebagai usaha untuk memperkecil ter- jadinya
NPL/NPF di sektor perbankan Indonesia di masa yang akan
datang, baik bank konvensional maupun bank syariah.
3.
Memberikan saran-saran kepada otoritas moneter
umumnya dan kepada perbankan syariah khususnya
dalam membuat ke- bijakan dalam rangka pemantapan
pelaksanaan prinsip-prinsip tauhid, dalam
pengoperasian perbankan syariah dan mewaspa- dai
agar kesalahan yang terjadi pada perbankan konvensional tidak
terulang pada perbankan syariah. Bahkan, apabila ternyata intensitas penerapan faktor-faktor manajemen internal
berbeda dengan yang dihipotesiskan pada bank
syariah, itu berarti SDM pada bank syariah perlu
dituntut untuk memperbaiki penerapan prinsip
"ketauhidan" yang lebih baik.
4.
Mengingatkan kembali masyarakat perbankan
khususnya, dan memberikan pandangan baru kepada
masyarakat luas umum- nya, bahwa NPL atau NPF
yang berakumulasi dan besar dapat dihindari,
bukan karena faktor makro semata.
Penelitian ini
dilakukan di Indonesia dan berlaku pada populasi
yang diteliti, yaitu dua kelompok bank: bank
konvensional, yang merupakan bank swasta
nasional, dan bank umum syariah, terma- suk unit
usaha syariah (UUS). Saat ini, terdapat 126 bank
konvensional dan 28 bank syariah, ter- masuk
UUS. Namun, sampel yang diambil ber- jumlah 28
bank syariah atau UUS dan 28 bank konvensional.
Sampel yang diambil ini diyakini dapat mewakili
kedua kelompok populasi yang di- maksud. Buku
ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perbankan nasional,
terutama dalam rangka memperkuat operasional bank syariah.
Sebagai dasar
pembentukan kerangka pemikiran buku ini, kajian juga
dilakukan terhadap penelitian terdahulu, yang dapat dikumpulkan dan dilakukan oleh para peneliti baik dari dalam
negeri maupun dari mancanegara, di samping
pengalaman NPL empiris negara-negara lain. Walaupun
penelitian mereka dilakukan di luar Indonesia dan pengalam- an tersebut dialami oleh negara lain, masalah yang
dihadapi bersifat universal dan berkaitan dengan
definisi dan karakteristik intermediasi keuangan
yang sama.
Penelitian mereka
terhadap timbulnya NPL umumnya menggunakan pendekatan
makro dan mikro. Namun, penelitian yang menggunakan pendekatan
makro selalu menggunakan gabungan variabel bebas yang terdiri
atas faktor makro dan mikro. Berbeda dengan penelitian terdahulu yang menggunakan pendekatan mikro, penelitian untuk
buku ini meng- gunakan pendekatan mikro dari
segi manajemen internal. Dengan kata lain, semua
faktor mikro yang digunakan berasal dari lingkungan manaje- men internal dan diperoleh dari hasil analisis dengan
menggunakan lima teori utama beserta hasil
kajian teoretis dan empiris.
Lima teori yang
digunakan sebagai pisau analisis adalah Agency Theory,
Moral Hazard Theory, Stakeholder Theory, Adverse Selection Theory, dan Bad Management Hyphothesis. Teori-teori ini
mengacu pada masalah efisiensi manajemen dalam
menangani perkreditan dan didukung oleh jumlah
SDM yang memadai, atau secara khusus bertitik tolak
pada proses pemberian kredit.
Buku ini
diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi perbankan nasional, terutama dalam rangka memperkuat operasional bank syariah.
|
Efisiensi manajemen
merupakan produk manajemen internal. Namun, untuk mencapai efisiensi tersebut,
diperlukan sejumlah unsur atau
faktor lain. Karena memiliki latar belakang intermediasi keuangan yang sama, kajian teoretis dan empiris serta pengalaman NPL negara lain dan Indonesia dapat memberikan petunjuk mengenai faktor-faktor lainnya itu. Salah satu faktor yang dimaksud adalah budaya kredit. Tanpa budaya kredit yang tepat, SDM yang jumlahnya memadai itu tidak dapat memi- liki ikatan atau pola kerja yang seragam sesuai dengan bagaimana proses pemberian kredit itu seharusnya dilakukan. Bagaimana suatu usulan pemberian pinjaman atau pembiayaan diproses merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh manajemen.
faktor lain. Karena memiliki latar belakang intermediasi keuangan yang sama, kajian teoretis dan empiris serta pengalaman NPL negara lain dan Indonesia dapat memberikan petunjuk mengenai faktor-faktor lainnya itu. Salah satu faktor yang dimaksud adalah budaya kredit. Tanpa budaya kredit yang tepat, SDM yang jumlahnya memadai itu tidak dapat memi- liki ikatan atau pola kerja yang seragam sesuai dengan bagaimana proses pemberian kredit itu seharusnya dilakukan. Bagaimana suatu usulan pemberian pinjaman atau pembiayaan diproses merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh manajemen.
Dari segi teori,
buku ini akan membuktikan bahwa variabel-variabel yang
berasal dari manajemen internal, atau yang berada pada tataran ekonomi mikro, merupakan faktor yang memainkan peran
penting dalam menekan timbulnya NPL atau NPF.
Hasil penelitian ini mendukung teori atau
pendapat peneliti terdahulu, misalnya oleh Chung Hua Shen (2004). Namun, penelitian ini menggunakan faktor-faktor mikro
yang lebih jelas dan lebih komplet, ditinjau dari
segi operasional bank dalam hal bagai- mana bank
menghadapi lingkungan operasional di sekitarnya ketika me- lakukan pekerjaan utamanya.
Penelitian ini juga
mempertegas pendapat dan hasil penelitian De- mirguc
Kunt, Enrica Detragiache, Gerald Caprio, dan Daniela Klingebiel, yang mengatakan bahwa faktor mikro dan faktor makro
berperan sama pentingnya terhadap timbulnya
kegagalan bank atau krisis perbankan. Michael
Gavin dan Ricardo Hausmann berpendapat, dalam keadaan makro
yang tidak baik, bank yang paling lemahlah yang akan mengalami kegagalan terlebih dulu. Namun, Maria Fuertes dan
Espinola mengata- kan, tidak setiap keadaan makro
yang tidak baik dapat menimbulkan NPL yang besar
dan kegagalan bank, kecuali adanya perubahan di tingkat eko- nomi makro yang besar dan drastis. Karena itu, jika
mempertimbangkan pendapat yang menyebutkan bahwa
hanya perubahan makro yang besar yang dapat
membuat timbulnya NPL yang besar, maka faktor mikro men-
jadi sangat dominan dalam menentukan timbulnya NPL.
Karena semua
variabel bebas yang digunakan berasal dari lingkung- an
manajemen internal, sedangkan variabel tersebut berpengaruh terha- dap timbulnya NPL atau NPF, maka signifikansi dari
hasil penelitian ini adalah, jika diterapkan
dengan baik dan secara utuh, semua variabel itu akan
dapat menjadi kekuatan bagi manajemen bank dalam rangka mem- perkecil kemungkinan timbulnya NPL atau NPF.
Sejauh yang dapat
diketahui oleh penulis, sampai saat ini belum ter- dapat
penelitian yang menggunakan sejumlah variabel dari lingkungan manajemen internal yang berkaitan dengan proses pemberian
kredit atau pinjaman, seperti yang digunakan dalam
penelitian ini. Dengan demiki- an, dapat pula
dikatakan bahwa penelitian ini menutup jurang (gap)
riset yang belum diisi oleh penelitian terdahulu.
Penerapan
variabel-variabel mikro yang berasal dari manajemen internal yang dimaksud di
atas merupakan kekuatan dari manajemen, yang dapat
menekan timbulnya NPL atau NPF. Selain kemudian didukung de- ngan analisis dan data empiris yang digunakan dalam
penelitian ini, pen- dapat yang dikemukakan di
sini juga didasarkan pada observasi pribadi.
Selama bekerja di
lingkungan Chase Manhattan Bank, Jakarta, penu- lis
melihat bagaimana variabel-variabel bebas tersebut diterapkan dengan baik dan secara utuh. Penerapan itu memberikan kekuatan
pada mana- jemen internal bank secara menyeluruh
di seluruh dunia di lingkungan bank yang sama,
yaitu di negara-negara tempat bank tersebut memiliki cabang
yang beroperasi secara penuh. Ketika itu, Chase di seluruh dunia memiliki tingkat NPL yang cukup rendah. Terutama selama
lima tahun terakhir penulis bekerja di sana
(1981-1985), tingkat NPL di Chase Jakarta berada di bawah 1 persen. Pada saat
yang sama, bank-bank pemerintah di Indonesia
memiliki tingkat NPL yang jauh lebih tinggi daripada tingkat NPL yang dimiliki oleh bank-bank swasta nasional
umumnya. Tingkat NPL bank-bank asing, terutama
Chase, kala itu berada di bawah tingkat NPL
rata-rata bank swasta nasional.
Dari segi perkreditan, jika Chase
Manhattan Bank dibandingkan de- ngan Citibank,
pada suatu kontinum perbandingan, dapat dikatakan bah- wa
Chase Manhattan Bank berada di ekstrem kanan, sedangkan Citibank di ekstrem kiri. Dengan kata lain, Chase bersifat jauh
lebih konservatif dalam pendekatan korporasinya
terhadap pemberian kredit, sehingga mengutamakan
kualitas kredit, daripada penekanan target pada
total assets semata dengan ukuran jumlah kredit yang diberikan. Citibank
da- pat dikatakan bersifat jauh lebih agresif
dalam hal pemberian kredit, dan mengutamakan
penciptaan jumlah aset yang dapat dicapai. Karena itu, orientasi
manajemen Chase secara menyeluruh berpusat pada pening- katan
dan mempertajam pengetahuan dan keahlian perkreditan
(credit oriented), yang berseberangan secara jelas dengan Citibank yang
lebih menekankan pada kegiatan pemasaran (marketing oriented). Pendidikan kader manajemen baru pada Citibank ditekankan terutama
pada kemam- puan untuk "menjual",
sedangkan Chase pada "kemampuan dan keahlian perkreditan".
Dari segi teori, perbedaan kultur
ini akan membuat penampilan la- poran keuangan
berbeda. Pada Chase, total aset dapat berjumlah lebih ke-
cil dibandingkan dengan total aset Citibank. Jumlah nominal keuntungan bagi Citibank juga dapat lebih besar daripada Chase.
Tetapi, persentase tingkat keuntungan lebih besar
pada Chase dibandingkan dengan yang dapat dicapai
oleh Citibank. Perbedaan ini terletak pada kualitas porto- folio pinjaman kedua bank, yakni Chase memiliki tingkat
NPL yang lebih rendah daripada Citibank, demikian
pula halnya dengan jumlah cadang- an piutang ragu-ragunya.
Perbedaan kultur ini
menggambarkan perbedaan filosofi yang di- anut
oleh pemilik kedua bank tersebut, dan hasil nyatanya dapat dilihat dengan jelas saat ini. Chase merupakan gambaran
personifikasi dari pe- ngontrolan yang dilakukan
oleh David Rockefeller, keturunan dari pe- milik,
yang mengembangkan Chase sejak diambil alih tahun 1929. David kemudian menjual sahamnya di ujung tahun 1980-an ketika
Chase men- capai puncak kejayaannya. Kebijakan ini
diikuti dengan ditutupnya Chase Jakarta pada kurun
waktu yang sama, sebelum perekonomian Indonesia mulai
menunjukkan pelemahan yang signifikan.
Ketika David Rockefeller menikmati
hasil penjualan bank- nya, John Reed, Chairman dan CEO Citibank, di lain pihak, te- rus melakukan ekspansi dan memperbesar banknya. Pada
krisis 2008, Citibank, di bawah naungan Citigroup,
merupakan salah satu bank yang diselamatkan oleh
pemerintahan Barack Obama. Citigroup menerima US$
45 miliar dana talangan ekuitas, yang berakibat
pemerintah Amerika mengambil alih sebagian besar saham
bank tersebut. Citigroup mengalami masalah yang seru- pa
dengan bank-bank lain yang diselamatkan, yakni terpuruk secara
langsung atau tidak langsung sebagai akibat pembiayaan subprime mortgage.26 Citigroup memiliki
eksposur yang men- capai triliunan dolar dalam
aset yang bermutu rendah ini. Pada April 2010,
para mantan eksekutif Citigroup dihadapkan pada Komisi
Penyelidik Krisis Finansial (FCIC), dengan sejumlah besar
pertanyaan yang berkisar pada peran Citigroup terhadap produk
derivatif, sekuritas subprime mortgage, dan
rekayasa pencatatan akuntansi yang menutupi
kerugian akibat transaksi surat berharga yang
berisiko tinggi tersebut. Salah satu eksekutif bidang
kredit kepemilikan rumah Citigroup menuduh para ek- sekutif
bank tersebut mengabaikan kebijakan manajemen risiko yang
mereka susun sendiri (Kompas, 9 April 2010).
CEO baru Citigroup,
Vikram Pandit, harus memperbaiki keadaan keuangan
Citigroup dan, selama belum berhasil mencapai perbaikan keuangan, hanya digaji
US$ 1 atas perintah Presiden Obama. Penggajian se- perti
ini merupakan anomali terhadap banyak kasus serupa terdahulu di Amerika, dan baru terjadi setelah Obama menjadi
presiden. Pada kasus Savings & Loans di
Amerika, misalnya, walaupun institusi mereka umum- nya
mengalami kerugian yang besar, para eksekutifnya tetap menikmati gaji atau kompensasi yang tinggi.
Jika keadaan ini
dibandingkan dengan konsep yang setara pada per- bankan
syariah, maka apabila eksekutif tersebut merupakan
mudharib pada akad mudharabah, mudharib
itu tidak dapat memperoleh apa-apa jika usaha yang
dijalankannya itu mengalami kerugian.
Sesungguhnya, penelitian ini mirip
dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Djohanputro dan Kountor (2007).
Bedanya, penelitian me- reka dilakukan terhadap
sejumlah Bank Perkreditan Rakyat di beberapa kota
besar di Indonesia. Variabel dependennya sama, yaitu NPL, tetapi jenis banknya umumnya memiliki jumlah aset lebih kecil
daripada jum- lah aset bank konvensional yang
diteliti untuk buku ini. Variabel bebas yang
mereka gunakan secara khusus berkaitan dengan karakteristik debitor dan
pemberian kredit pada jenis bank tersebut. Perbedaan yang lain adalah beberapa variabel bebas dari penelitian Djohanputro
dan Kountor itu dapat dicakup ke dalam satu atau
dua variabel bebas dalam penelitian untuk buku
ini.
Walaupun dilakukan
berdasarkan prosedur keilmuan yang diperlukan, dan didukung
oleh teori, pendapat para ahli, serta kejadian atau pengalaman empiris yang berkaitan, penelitian untuk buku ini pada
dasarnya merupa- kan sebagian dari pengungkapan
fenomena yang sebenarnya terjadi, dan masih banyak
faktor lain yang tidak dapat diungkapkan. Karena itu, disa- dari bahwa penelitian ini masih mengandung beberapa
keterbatasan.
Pertama,
penelitian ini memotret keadaan pada suatu saat (bersifat
cross sectional). Tentunya, hasil akan
lebih baik diperoleh jika dilakukan secara
berulang sehingga analisis dapat dilakukan dengan lebih tajam. Karena keterbatasan waktu dan biaya, hal ini belum
dapat dilakukan. Na- mun, diyakini, atas dasar
pengalaman dan rasionalitas pemikiran bahwa penerapan
variabel-variabel yang dipilih dalam penelitian ini berpenga- ruh atau berkaitan erat dengan timbulnya NPL atau NPF,
sehingga jika diterapkan secara utuh oleh
manajemen internal bank dapat memperkecil timbulnya
NPL atau NPF tersebut.
Kedua,
penelitian ini pada dasarnya berusaha mengungkapkan 11 faktor
mikro manajemen internal bank yang diduga mempunyai penga- ruh terhadap kemungkinan terjadinya NPF pada bank-bank
syariah dan NPL pada bank-bank konvensional, yang
dijadikan sebagai variabel teri- kat (dependent variable) dalam penelitian ini. Ke-11
faktor mikro itu ada- lah kemampuan dan
pengetahuan kredit/pembiayaan, integritas dan pro- fesionalisme,
kadar spiritualitas, kepemimpinan bermoral, budaya per- usahaan,
kebijakan disiplin anggaran, sistem penghargaan dan hukuman, budaya kredit/pembiayaan, pengecekan reputasi, due diligence and care, dan pengawasan
kredit/pembiayaan internal.
Padahal, selain sebelas faktor mikro
manajemen internal bank, masih banyak faktor lain
yang diduga juga dapat memengaruhi kemungkinan terjadinya
NPF pada bank-bank syariah dan NPL pada bank-bank kon- vensional,
baik yang berkenaan dengan lingkungan internal bank maupun lingkungan eksternal bank tersebut, seperti gagalnya
lembaga penjamin- an memenuhi kewajibannya pada
bank kreditor, terjadinya resesi ekonomi dan finansial global, inflasi yang
berkepanjangan, dan jatuhnya harga komoditas yang
memperoleh pembiayaan/kredit dari bank.
Akan tetapi, mengingat faktor-faktor
tersebut membutuhkan peng- amatan dan pengukuran
lebih cermat, penelitian ini dibatasi hanya mem- bahas
kesebelas faktor internal manajemen bank. Faktor-faktor lain yang tidak diungkapkan dalam penelitian ini menjadi peluang
bagi peneliti lain guna melakukan pendalaman lebih
lanjut.
Ketiga,
saat ini di Indonesia terdapat 126 bank umum konvensional
dan 28 bank umum syariah beserta unit usaha syariah. Agar setara de- ngan jumlah bank syariah ini, bank konvensional yang
diperlukan juga berjumlah 28. Karena itu,
pengambilan sampel dari kelompok bank kon- vensional
dilakukan dengan cara purposive sampling method.
Pengam- bilan sampel bank konvensional yang
berjumlah 28 ini diusahakan agar dapat mewakili
keseluruhan populasi bank umum konvensional.
Keempat, karena keterbatasan waktu dan biaya,
pengambilan data melalui kuesioner dilakukan hanya
di kantor-kantor pusat, baik bank konvensional
maupun bank atau unit syariah yang ada di Jakarta atau di
daerah. Dengan keterbatasan ini, ukuran sampel dan populasi yang dijaring sebagai objek penelitian memberikan
keterbatasan lain dari segi jumlah sampel. Dalam
penelitian ini dilakukan taksiran terhadap popu- lasi
objek dan telah dianggap cukup mewakili sebagai sampel, yaitu ma- sing-masing empat orang pejabat bagian kredit dari
tiap-tiap bank, yaitu 28 bank syariah dan atau
unit syariah, dan 28 bank konvensional, sehing- ga
sampel penelitian ini berjumlah 224 orang pejabat kredit dari 56 bank syariah/unit syariah dan bank konvensional yang
beroperasi di Indonesia.
Sampel yang hanya
berjumlah 224 orang pejabat kredit dan pem- biayaan
dari 56 bank itu tampaknya relatif sangat kecil, jika dilihat dari jumlah semua pejabat kredit bank-bank yang beroperasi
di seluruh Indonesia. Hal ini disebabkan sampel diambil hanya dari
kantor-kantor pusat dari 56 bank konvensional dan
syariah yang digunakan dalam pe- nelitian, belum
meliputi kantor-kantor cabangnya di Indonesia. Namun, pengambilan
data seperti ini diyakini dapat mewakili data atau keadaan pada tiap bank atau unit usaha. Alasan utama dari
pandangan ini adalah bahwa kantor pusat umumnya
merupakan lokasi utama dikeluarkannya, dan sentral
dari penerapan kebijakan yang dikeluarkan oleh manajemen internal
masing-masing bank; kantor cabang umumnya mengikuti kebijakan dan pola
pelaksanaan yang dilakukan oleh kantor pusat mereka.
Kelima, bank syariah masih berumur muda, jika
dibandingkan de- ngan bank konvensional. Karena
itu, pengalaman empiris NPF-nya ma- sih terbatas,
sedangkan pengalaman NPL bank konvensional telah men- dunia
dan telah pula menjadi fenomena yang umum. Secara teori, NPF yang mungkin dapat ditimbulkan bank syariah seyogianya
lebih kecil, dan penerapan variabel-variabel bebas
dari penelitian ini dianggap lebih baik pada bank
syariah, karena beberapa faktor inheren yang ada pada bank
syariah. Faktor-faktor ini adalah, antara lain, hukum dan filosofi yang mendasarinya, bentuk perekonomian yang
melandasinya, serta ka- rakteristik pembiayaan dan
akadnya; hukum yang mendasari perbankan syariah
adalah hukum Tuhan.
Bagi umat Islam, kebenaran yang datang
dari Allah adalah kebenaran mutlak. Kebenaran ini
merupakan realitas Al-Quran, yang tidak terkalah- kan
sampai kapan pun, sepanjang masa, dan berlaku sampai hari kiamat. Kebenaran itu tecermin dalam hukum-hukum yang sudah ada
dalam dan berlaku untuk setiap ciptaan-Nya, yang
meliputi alam semesta dan ma- nusia.
Hanya saja, kebenaran ini dalam
konteks ilmu pengetahuan memer- lukan dukungan
fakta empiris dan rasionalitas; unsur empiris merupakan pengalaman
yang dipadukan dengan rasionalitas. Di sisi lain, kebenaran yang dihasilkan lewat prosedur atau metode penciptaan
ilmu pengetahuan yang dikembangkan melalui proses
berpikir manusia tidak dapat mengha- silkan suatu
kebenaran yang bersifat mutlak atau dianggap mutlak. Menu- rut Asy'arie, kebenaran ilmiah ini bersifat
kontekstual, yang bergantung pada tempat dan
waktu, serta bergantung pada latar belakang historis, sosial,
ekonomis, dan politis sehingga bersifat relatif dan sementara.
Walaupun terdapat perbedaan antara
kebenaran yang datang dari Tuhan dan kebenaran
ilmiah ditinjau dari rasionalitas penerimaannya dan
prosedur pembuktiannya, filsuf Thomas Aquinas berpendapat kedua kebenaran itu tidak berseberangan. Kebenaran Tuhan
berasal dari wahyu dan kebenaran ilmiah berasal
dari akal budi; tetapi, kebenaran akal budi dapat
menjelaskan sebagian dari kebenaran agama. Menurut Ross H. McLeod, jika keduanya berlawanan, pemikiran logisnya
yang salah kare- na terdapat kesalahan dalam
memahami isi kitab suci yang terkait. Masu- dul
Alam Choudhury berusaha mendekati pengetahuan yang bersumber dari wahyu dengan bantuan metodologi ilmiah.
Berbarengan dengan hal ini, Kant27
berpendapat bahwa agama merupakan pengakuan terhadap kewajiban
sebagai perintah Ilahi dan bersifat sebagai hukum dari segala kehendak bebas. Hukum itu harus dipandang sebagai
perintah Zat Yang Mahatinggi, yang diharapkan
memberikan kebaikan tertinggi. Karena itu, kebaikan
yang tertinggi hanya dapat dicapai melalui kepatuhan terhadap hukum itu, dan memandang kewajiban terhadap
pematuhannya merupa- kan kehendak yang sempurna
dari segi moral. Bagi Kant, kebaikan yang paling
tinggi merupakan objek final dari seluruh tindakan manusia.
Dalam kaitan dengan dukungan empiris
terhadap kebenaran ihwal larangan praktik riba,
misalnya, secara kontemporer sesungguhnya sudah terdapat
bukti lapangan yang menunjukkan akibat negatif atau mudarat yang diakibatkannya. Akibat negatif yang disebabkan
oleh riba dan kredit sebagai kegiatan di mana riba
diterapkan dewasa ini dapat dilihat dari krisis ke
krisis keuangan atau perbankan dengan sangat jelas. Intinya, kemakmuran yang dihasilkan oleh riba dan kredit pada
tingkat makro cenderung bersifat semu28
dan banyak moral hazard timbul di sekeliling praktik riba.
John Lanchester
mengatakan, sebelum krisis, orang seolah-olah hi- dup
di masa keemasan jika dibandingkan dengan masa lalu. Tetapi, me- nurut dia, masa keemasan itu hanya bersifat palsu,
karena sebagian besar menggunakan kredit dan
gelembung kredit yang tidak langgeng dengan risiko
yang tidak disadari sebelumnya. Karena itu, ia tidak setuju jika per- ekonomian suatu negara didominasi oleh jasa-jasa
keuangan.
Riba dan kredit
menciptakan kekayaan, tetapi hanya beredar di seki- tar
segelintir orang, sedangkan sebagian besar masyarakat menanggung beban yang besar ketika dan setelah krisis keuangan
terjadi. Pada dasar- nya, krisis ini terjadi
karena pemberian kredit yang berlebihan atau sem- brono.
Dari segi ilmu
pengetahuan, bukti empiris itu dapat menunjukkan bahwa
riba lebih banyak menciptakan mudarat berkembang dan berja- lan dengan sendirinya. Para ilmuwan belum tergerak
hatinya untuk me- nuangkan bukti empiris ini ke
dalam penelitian yang serius dan secara khusus
terhadap riba. Di samping itu, ekonomi Islam baru dibangkitkan kembali oleh kaum revivalist
di Mesir sekitar tahun 1970, masih bersifat normatif,
dan dengan demikian belum didukung oleh penelitian empiris yang luas seperti halnya perekonomian kapitalis dengan
bank konvensio- nalnya.
Umat yang baik
tentunya juga percaya bahwa kebenaran Tuhan ber- sifat
mutlak. Tuhan telah memberikan pucuk pengetahuan yang dituang- kan dalam Al-Quran29 dan hadis Nabi Saw.
Keduanya diterima sebagai sumber pengetahuan
berdasarkan keyakinan terhadap kebenaran Tuhan. Seiring
dengan berjalannya waktu, pengkajian ilmiah duniawi dapat dilakukan
berdasarkan metode tertentu, dan bukti empiris dapat dikumpul- kan kemudian untuk mendukung pandangan bahwa Al-Quran
dan hadis merupakan sumber ilmu pengetahuan.30
Namun, sejalan dengan penda- pat McLeod di atas,
kemungkinan yang dapat menimbulkan adanya per- bedaan
adalah cara bagaimana data empiris itu dikumpulkan, bagaimana memprosesnya, dan dari segi mana melihat hasilnya.
1 Angka
ini merupakan bagian rencana dari jumlah paket dana penyelamatan yang berjumlah
US$ 700 miliar. Menurut Henry Paulson, Menteri Keuangan AS, separuh dari jumlah ini akan
digunakan untuk menyelamatkan 21 bank swasta, antara lain US Bancorp (US$ 6,6
miliar), Capital One (US$ 3,55 mi- liar), dan Sun Trust (US$ 3,5 miliar). Bank
lain yang diselamatkan adalah Citigroup (US$ 20 miliar), yang memiliki total aset US$ 2
triliun, beroperasi di
lebih dari 100 negara. Pada saat krisis terjadi, sahamnya merosot tajam sampai 70
persen. Akibat kerugian US$ 18,7 miliar yang dialami pada 2008, chairperson
Win Bischoff dicopot dari jabatannya.
2 Departemen
Keuangan AS juga menutup dua bank dan mengambil alih First Heritage Bank of
Newport Beach di California dan First National Bank of Nevada di Reno, Nevada. Kedua bank ini
akhirnya diakuisisi oleh Mutual of Omaha Bank. Krisis masih berlanjut
dengan penutupan sembilan bank pada akhir 2009, yaitu California National
Bank of Los Angeles dan delapan bank berskala kecil lainnya.
3 Enam
belas bank itu adalah Bank Andromeda, Bank Anrico, Bank Astria, Bank Citra, Bank
Dwipa, Bank Guna Internasional, Bank Harapan Sentosa, Bank In- dustri, Bank
Jakarta, Bank Kosa, Bank Majapahit, Bank Mataram, Bank Pacific, Bank
Pinaesaan, Bank Sejahtera, dan Bank South East Asia. Ini penutupan tahap pertama
dari jumlah 243 bank yang ada pada saat itu.
4 Sumber
lain menyebutkan jumlahnya mencapai Rp 640,9 triliun, yang kegu- naannya terbagi
atas program BLBI (Rp 144,5 triliun), program penjaminan (Rp 53,8 triliun),
penjaminan Bank Exim (Rp 20 triliun), dan program rekapi- talisasi bank
(Rp 422,6 triliun).
5 Menurut
sumber lain, obligasi ini berjumlah Rp 700 triliun, dengan bunga Rp 100 triliun per
tahun.
6 Jumlah
bunga yang harus dibayar oleh pembayar pajak di Indonesia ini sama seperti yang
dilaporkan oleh Jawa
Pos, yakni pada awalnya Rp 100 triliun dengan pokok berjumlah Rp
700-an triliun.
7 Pada
RAPBN 2009, porsi pembayaran utang pokok (Rp 60 triliun) dan bunga (Rp 110 triliun)
luar dan dalam negeri mencapai 15 persen, atau keseluruhan- nya mencapai Rp
170 triliun, sedangkan total anggaran untuk enam departe- men, yakni
Departemen PU (Rp 35,7 triliun), Departemen Pertahanan (Rp 35 triliun), Polri
(Rp 25 triliun), Departemen Agama (Rp 20,7 triliun), Departemen Kesehatan (Rp
19,3 triliun), dan Departemen Perhubungan (Rp 16,1 tri- liun), hanya berjumlah Rp 151,8 triliun.
Porsi pembayaran utang pokok dan bunga tersebut mencakup pembayaran atas obligasi yang
pernah dikeluarkan pemerintah
untuk penyehatan perbankan dan BLBI. Tetapi ironisnya, sampai sekarang pihak
yang menyelewengkan BLBI ini tidak semua dan sepenuhnya dihukum. Ibid.
8 Suta
dan Musa (2004: 346)
9 Hal
serupa dikatakan oleh Liaquat Ahamed (2009: 501). Menurut Ahamed, manajer
investasi dan pemenang Pulitzer dari Amerika, banyak orang berpen- dapat, bahkan
sampai sekarang, bahwa depresi besar yang melanda Amerika pada 1929-1930
disebabkan oleh "kekuatan alam" yang tidak tampak sehingga
pemerintah tidak dapat menahannya; kejadian itu bagaikan bencana alam dan merupakan
kekuasaan Tuhan. Namun, Ahamed berpendapat bahwa krisis besar itu merupakan akibat sejumlah
tindakan manusia, mulai dari sejumlah kontradiksi yang diakibatkan oleh
kapitalisme, pertimbangan yang salah oleh pembuat kebijakan ekonomi baik yang
dilakukan pada 1920 maupun ketika krisis mulai terjadi, hingga kesalahan
fatal yang dilakukan oleh sejumlah peja- bat keuangan negara.
10 Ada
dua pandangan utama mengenai penyebab krisis Asia. Pandangan perta- ma menyatakan
bahwa penyebab utama krisis adalah fundamental ekonomi yang lemah dan kebijakan yang tidak
konsisten. (Paul Krugman, 1998; Frederic S. Mishkin, 1999). Pandangan kedua
yakin bahwa akar krisis adalah pe- nularan kemiskinan dan irasionalitas
pasar (Radelet dan Sach, 1998; Furman dan Stiglitz, 1999, 2002). Krisis
finansial tidak hanya terjadi dalam keadaan fundamental yang lemah, tapi fundamental
yang lemah bisa memicu psikologi bank
run dan pada gilirannya berpengaruh buruk terhadap ekonomi riil
(Su- karela
Batunanggar, 2002).
11 Sumber
lain menyebutkan angka ini 65-75 persen (Robert E. Litan, Michael Pomerleano, dan
V. Sundararajan, 2002: 139).
12 Sumber
yang lain menyebutkan angka yang berbeda; Tan Tok Shiong (2006) menyebutkan
rasio NPL di Malaysia pada 1998 adalah 20,4 persen.
13 Lukas
Menkhoff dan Chodechai Suwapanon (2005) meneliti proses pemberi- an pinjaman di
Thailand dan Meksiko sebelum krisis 1997/1998 dan penyebab kenapa kemudian
pinjaman ini menjadi bermasalah. Kesimpulannya, antara lain, praktik di Thailand menunjukkan
bahwa variabel risiko tidak dipertim- bangkan dalam menentukan tingkat bunga,
dan bobot yang lebih tinggi dalam pengambilan keputusan kredit berada pada
pertimbangan
relationship lending. Dilihat dari kasus-kasus yang wanprestasi,
pemberian kredit dilakukan
terlalu mudah, tanpa mempertimbangkan informasi risiko yang
tersedia. Na- mun,
menurut mereka, keadaan ini sedikit lebih baik jika dibandingkan de- ngan hal yang
sama di Meksiko.
14 Apa
yang terjadi di BBC merupakan suatu skandal yang menciptakan NPL bernilai
miliaran dolar melalui suatu rekayasa keuangan yang jahat kepada perusahaan
fiktif dengan nilai jaminan yang sengaja di-marked up (Lauridsen, 1998).
15 Di
bank syariah disebut
non performing financing (NPF) karena bank syari- ah tidak
memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi melakukan pembiayaan
terhadap suatu transaksi dalam bentuk jual-beli atau berbentuk partisipasi
dalam usaha. Tetapi karena jumlah bank syariah masih terbatas di dunia, NPF belum
merupakan masalah yang fenomenal.
16 Setelah
runtuhnya perekonomian sosialis, negara-negara seperti Rusia, Rumania, dan
Cina secara perlahan mengadopsi fitur pasar bebas. Hal ini terutama dilihat dari
sisi pembiayaan bank yang diperlukan oleh produsen swasta, yang mengambil alih
sebagian aktivitas produksi yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah.
Istilah transisi ini mulai populer digunakan untuk menggambar- kan keadaan
tersebut.
17
BI terus memperkuat supervisi bank dan
regulasi-regulasi kehati-hatian sesuai dengan standar internasional. Pada 30
Januari 2006, BI memperkenalkan se- buah paket regulasi perbankan, termasuk
ketentuan mengenai
good corporate governance dan manajemen risiko yang
terkonsolidasi. Wilayah lain yang juga ditingkatkan adalah kontrol
internal, audit internal dan eksternal, garis pedoman kehati-hatian mengenai tata
kelola perusahaan, dan pelatihan bagi komisioner, direktur, dan para manajer
risiko bank demi sebuah proses serti- fikasi.
18
IMF melaporkan bahwa lingkungan yang berlaku
bagi bank-bank tetap sulit
meskipun terjadi perkembangan baru: tata kelola dan transparansi
belum mencapai
standard dan sulit bagi bank untuk mengakses kondisi finansial de- bitur yang
sebenarnya. Selain itu masih terjadi kelemahan sistem legal yang lebih luas,
proses kebangkrutan bank secara perlahan, perilaku moral hazard, korupsi, dan
penipuan (Nita Thacker, et al., IMF, 2005).
19
Ini sejalan dengan laporan Kepolisian RI mengenai
kasus-kasus kredit yang mereka
tangani (Seminar Nasional, 2006).
20
John L. Colley Jr, Jacqueline L. Doyle. George
W. Logan, dan Wallace Stettini- us (2005: 10)
21 Robert
A.G. Monks dan Nell Minow (2004: 257)
22
Stakeholder adalah semua pihak yang
memiliki kepentingan terhadap kor- porasi atau bank, atau terhadap
keberhasilannya, sedangkan pemilik saham (shareholder) adalah pihak-pihak yang
memiliki langsung saham yang dike- luarkan oleh korporasi atau bank. Semua shareholder
adalah stakeholder, tetapi
tidak semua
stakeholder adalah juga shareholder.
23
Jackson dan Nelson memberikan contoh tujuan
badan hukum berupa pernya-
taan yang dipublikasikan, seperti "Beliefs" dari
Standard Charterred Bank atau "The Soul of Deal" untuk Del Monte.
24
Hal ini sejalan dengan pengertian yang diberikan
oleh Peter Drucker bahwa tujuan
perusahaan berfokus pada pelanggan karena, jika kepentingan pe- langgan
diperhatikan, perusahaan secara strategis telah menciptakan begitu banyak manfaat
yang dapat diperolehnya, termasuk menciptakan keuntungan dan menambah
kekayaan dalam jangka panjang.
25
Daimon dari Socrates berarti kebenaran
terhadap diri sendiri, yang menjadi penuntun dalam menjalankan kehidupan
(David Lloyd Norton, 1991: 83).
26
Kejadian ini ternyata bukan yang pertama kali
buat Citibank atau Citigroup. Pada 1990-an, Citibank pernah akan bangkrut sebagai
akibat kredit macet yang
besar. Tetapi, kemudian Federal Reserve mem-bail out bank tersebut (Brewster, 2003:
170).
27
Ini adalah buku yang merupakan terjemahan dari
buku aslinya yang berjudul
Critique
of Practical Reason yang ditulis oleh Immanuel Kant, dan
diterbitkan pada
1956.
28
Charles P. Kindleberger dan Robert Aliber (2005:
275) menyimpulkan bahwa, selama
400 tahun terakhir, selalu terjadi krisis keuangan, setelah gelembung (bubble)
menciut. Gelembung ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh
pertumbuhan kredit, ketika orang meningkatkan pengeluar- annya untuk
investasi jangka pendek untuk memperoleh keuntungan jangka pendek, dan
keuntungan ini bukan berasal dari produktivitas aset yang dibeli, atau bukan
berasal dari sektor riil, tetapi berasal dari kenaikan harga aset ter- sebut ketika
aset itu dijual.
29
Dalam hal ini, dapat pula dikemukakan pandangan
seorang penulis asing nonmuslim
mengenai Al-Quran sebagai petunjuk akan pengetahuan. Beattie (2010: 155)
mengatakan bahwa dalam Al-Quran terdapat petunjuk yang ber- harga tetapi
tidak banyak mengenai ketentuan bagaimana usaha harus dija- lankan. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan Tuhan Swt. melalui ayat Al-Quran bahwa
pengetahuan yang diberikan hanya sebagian kecil dari ilmu Tuhan, dan
merupakan realitas ilmiah mengenai kejadian langit dan bumi (QS Al-Anbiya' [21]:
30, QS Al-Mu'minun [23]: 12).
30 Jujun
S. Suriasumantri (2007: 54).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar