Selasa, 16 Agustus 2016

Bab 1 Buku Selamatkan Perbankan



1
I
NDONESIA mengalami krisis keuangan pada 1997/1998. Krisis serupa melanda Amerika Serikat pada 2008. Kedua krisis keuangan (mone- ter) ini kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi. Akibat krisis yang menimpa Amerika dewasa ini tidak saja dirasakan oleh masyarakat Ame- rika, tetapi juga berpengaruh secara negatif terhadap masyarakat dunia. Di Indonesia, krisis yang terjadi masih dirasakan oleh masyarakat sampai saat ini.
Krisis di Amerika mendorong pemerintahannya untuk menggelon- torkan sekitar US$ 350 miliar dana penyelamatan kepada lebih kurang 21 bank swasta di sana.1 2 Di Indonesia, krisis ekonomi 1997/1998 mengaki- batkan antara lain ditutupnya 16 bank3 oleh pemerintah, yang memaksa pemerintah mengeluarkan surat utang jangka panjang (obligasi) senilai Rp 641 triliun,4 dengan tingkat bunga 12-14 persen.5
Obligasi ini dikeluarkan oleh pemerintah kepada Bank Indonesia guna mengambil alih non performing loan (NPL) ke-16 bank yang di- tutup itu untuk ditangani oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebuah institusi ad hoc yang dibentuk khusus antara lain untuk tujuan itu. Obligasi tersebut masih memberikan beban bunga sebesar Rp 35 triliun6 per tahun pada RAPBN 2009.7 Sebelum dibubarkan pada 2002, BPPN hanya berhasil memperoleh tingkat pemulihan (recovery) sebesar 26,8 persen atau berjumlah Rp 172,47 triliun.8 Dengan hanya
memperoleh tingkat pemulihan sebesar itu, berarti terdapat sejumlah besar NPL yang tidak dapat ditagih, dan jumlah ini merupakan bagian yang kosong dari obligasi yang notabene tidak akan pernah terbayarkan kembali. Namun, pe- merintah tetap harus membayar keseluruhan jumlah yang tersisakan itu dalam bentuk bunga pada setiap tahun seterusnya di masa depan.
Banyak pihak menganggap, krisis yang terja­di baik di Indonesia maupun di Amerika disebab- kan terutama oleh faktor ekonomi makro dengan pertumbuhan ekonomi yang bersifat siklikal (turun-naik). Karakteristik seperti itu cenderung dianggap sebagai "sudah seharusnya" (given), atau sesuatu yang bersifat alami dan sulit untuk dihindari, serta sulit untuk di- atasi karena seolah-olah bukan merupakan hasil kerja manusia.9
Terjadinya krisis moneter 1997/1998 itu memang secara sepintas membawa konsekuensi yang sangat buruk bagi sektor perbankan di In­donesia, khususnya mendorong terciptanya NPL baru yang signifikan. Se- bagian besar NPL baru ini merupakan akibat depresiasi tajam rupiah ter- hadap valuta asing. Hal ini terjadi karena, sebelum krisis, banyak debitor korporasi di Indonesia yang memanfaatkan pinjaman dalam bentuk dolar AS sebagai akibat perilaku kelompok (herd behavior). Lagi pula, tindakan penutupan bank itu sendiri mendorong terciptanya NPL baru karena ti- dak dapat mengucurkan kredit baru dari fasilitas yang telah disetujui.
Terhentinya kucuran kredit ini membuat kebutuhan dana kredit un- tuk proyek tidak semuanya terpenuhi, sehingga proyek berhenti sebelum mampu menghasilkan pendapatan dan mengakibatkan kredit yang telah sebagian dikucurkan menjadi bermasalah. Depresiasi rupiah yang tajam mendorong kenaikan tingkat bunga bank yang sangat tinggi yang pernah terjadi; tingkat tertinggi pernah mencapai 60-70 persen per tahun. Kredit lama yang sedang berlangsung mendadak menanggung beban bunga yang begitu berat, sehingga pembayaran bunga bank terhenti. Pada saat yang sama, para debitor nakal mengambil kesempatan untuk tidak membayar kewajibannya kepada bank. Menurut Kwik Kian Gie, sejak awal memang mereka tidak berniat untuk membayarnya.
Terjadinya krisis moneter 1997/1998 itu memang secara sepintas membawa konsekuensi yang sangat buruk bagi sektor perbankan di Indonesia.
Krisis moneter di Indonesia, yang diwakili oleh depresiasi rupiah yang tajam, dibarengi dengan kenaikan bunga yang tinggi, tampaknya melandasi anggapan bahwa krisis perbankan ini disebabkan oleh masalah
makro. Krisis yang terjadi di Amerika pun dianggap oleh banyak pihak di Indonesia terjadi karena masalah makroekonomi.
Tetapi, semua kejadian ini tidak dapat memberikan gambaran me- ngenai hubungan sebab-akibat yang sesungguhnya terjadi. Bagi keba- nyakan orang, penyebab utama yang sesungguhnya terjadi tidak mudah terlihat tanpa diteliti lebih dalam. Kejadian tersebut hanya menunjukkan adanya hubungan yang searah. Dengan kata lain, krisis moneter tersebut menyebabkan timbulnya NPL yang masif itu.
Namun, jika ditelaah lebih lanjut, tidak semua NPL pada waktu itu semata-mata disebabkan oleh krisis moneter.10 Sebelum terjadinya kri- sis, perbankan Indonesia sesungguhnya mengandung tingkat NPL yang tinggi, diperkirakan menurut Kwik mencapai 50-70 persen.11 Tingkat NPL yang tinggi sebelum terjadinya krisis itu juga dialami negara-negara lain di ASEAN. Sebelum krisis, Korea telah mengandung NPL sebesar 20-30 persen dan Malaysia 20-30 persen.12 Bahkan, krisis moneter yang menim- pa Indonesia, yang dikatakan sebagai penularan dari krisis keuangan di Thailand, juga berawal dari masalah NPL yang cukup besar13 dan muncul ke permukaan dari lembaga keuangan Finance One dan Bangkok Bank of Commerce.14 Kucuran kredit luar negeri ke Thailand mendadak berhen- ti ketika publik mengetahui adanya skandal di belakang masalah kedua institusi keuangan ini. Tidak sedikit kreditor yang berusaha menarik da- nanya dari Thailand karena memang sebagian besar dana yang masuk ke negara tersebut bersifat jangka pendek.
Laurid S. Lauridsen dari Roskilde University, Denmark, jelas me- ngatakan bahwa krisis keuangan di Thailand mulai terjadi pada 1996 dan disebabkan oleh kegagalan sektor swasta yang sebagian menggambarkan masalah rekening transaksi berjalan. Namun, Lauridsen menekankan bahwa penyebab utama krisis di Thailand itu berasal dari masalah pin- jam-meminjam yang sembrono yang berakibat pada akumulasi NPL yang besar di sektor keuangan.
Pemberian pinjaman yang sembrono dengan mengabaikan dasar- dasar pemberian kredit yang sehat juga merupakan penyebab utama bagi krisis keuangan tahun 2008 di Amerika. Tidak saja di negara-negara ASEAN, menurut Paramita Mukherjee, ahli ekonomi dari India, di negara- negara transisi atau yang baru mengadopsi perekonomian pasar, masalah NPL berperan penting terhadap krisis perbankan. Sejalan dengan fakta ini, Verma juga berkesimpulan bahwa tingkat NPL yang tinggi akan berakibat pada kegagalan bank dan lebih lanjut mengguncangkan kepercayaan pub- lik serta mencoreng kredibilitas sistem perbankan. Karena itu, George G. Kaufman, ahli ekonomi Amerika, berpendapat bahwa krisis perbankan mendahului permasalahan ekonomi makro atau krisis ekonomi.
Uraian singkat ini kiranya dapat memberikan suatu kesimpulan bah- wa krisis 1997/1998 di Indonesia dan bahkan di banyak negara di dunia, termasuk Amerika pada 2008, disebabkan, atau paling tidak dipicu, oleh adanya NPL yang besar.
Non performing loan (NPL) bagi bank konvensional setara dengan non performing financing (NPF) bagi bank syariah.15 NPL merupakan suatu fenomena dunia karena terjadi di banyak negara, tidak hanya di pereko- nomian yang bersifat kapitalistis, tetapi juga bersifat transisi,16 dengan sistem keuangan yang didominasi oleh lembaga keuangan pemberi kredit seperti bank konvensional. Bank konvensional memberikan "pinjaman", yang setara dengan "pembiayaan" bagi bank syariah, sebagai salah satu kegiatan pokok usahanya. NPL atau NPF akan terjadi jika debitor tidak dapat membayar angsuran pokok dan atau bunga kepada bank pemberi pinjaman pada bank konvensional, atau tidak dapat membayar angsuran dari pembayaran tunda atau tidak dapat menghasilkan keuntungan yang diharapkan bagi bank syariah.
Di Indonesia, penyebab NPL sebelum dan sesudah krisis da- pat dikatakan berbeda. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh lingkungan peraturan kehati-hatian (prudential regulations) dan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia yang telah ber- ubah ke arah yang jauh lebih baik di masa setelah krisis.17 Wa- laupun pengamatan ini belum berlaku sepenuhnya, mengingat apa yang telah terjadi pada Bank Century, di sini kelalaian dari segi pengawasan oleh Bank Indonesia diyakini bersifat kasuistik dan tidak berlaku umum. Di samping lingkungan prudential yang lebih baik ini, menurut IMF,18 lingkungan lain seperti sosi- al, etika, dan penegakan hukum yang berada di sekeliling opera- si bank belum berubah secara berarti, dan secara tidak langsung tetap dapat memengaruhi timbulnya NPL.19 Namun, masalahnya adalah bank tidak dapat mengubah keadaan lingkungan terse- but. Agar dapat mempertahankan hidupnya, bank justru harus menghadapi keadaan lingkungan yang ada.
Untuk mempertahankan hidupnya, bank tetap harus mem- berikan kredit atau pembiayaan dalam rangka memperoleh pen- dapatan; tetapi bank harus dapat melakukan pekerjaan itu de- ngan baik. Untuk itu, bank harus memperhatikan banyak faktor yang pada intinya adalah harus memperhatikan unsur kehati-ha- tian. Unsur kehati-hatian terutama mencakup suatu usaha untuk menilai kelanjutan dari kemampuan dan kemauan pihak debitor untuk dapat membayar kewajibannya kepada bank di masa de- pan. Karena yang dinilai adalah sesuatu yang diharapkan terjadi di masa depan, maka apa yang diusahakan saat ini adalah untuk membentuk keyakinan bahwa apa yang diharapkan itu benar- benar terjadi di masa depan. Yang diharapkan itu adalah debitor atau nasabah bank benar-benar tetap mampu membayar kewa- jiban, dan memiliki komitmen untuk melakukan pembayaran tersebut bagi bank konvensional; sedangkan bagi bank syariah, nasabah benar-benar dapat membayar angsuran pembayaran tunda atau penciptaan keuntungan yang diharapkan dan mem- baginya dengan pihak bank.
Banyak penelitian mengenai NPL yang telah dilakukan, terutama di luar negeri. Umumnya penelitian itu dilakukan untuk menyelidiki apa penyebab terjadinya NPL, sehingga menimbulkan kegagalan bank atau bahkan krisis perbankan. Walaupun para peneliti menggunakan pende- katan makro atau mikro, pada umumnya mereka berpendapat, peranan faktor mikro sama pentingnya dengan peranan faktor makro. Namun, peneliti seperti Menkhoff dan Suwanaporn, Lauridsen, Verma, dan Shen menekankan bahwa faktor mikro lebih penting daripada faktor makro. Pandangan mereka ini didasarkan pada kenyataan, jika terjadi guncang- an ekonomi, bank yang lemah akan lebih dulu gagal. Bank yang lemah atau kuat ditentukan oleh bagaimana manajemen mengelola banknya. Karena itu, manajemen internal berperan sentral, baik dalam kesukses- an maupun kegagalan bank. Manajemen internal menentukan arah dan menentukan bagaimana bank melakukan pendekatan korporasi terha-
dap pekerjaan utamanya, dalam hal ini adalah pemberian kredit atau pembiayaan.
Pada intinya, jika suatu usulan kredit diang- gap berisiko tinggi atau tidak sebanding dengan pendapatan yang diperkirakan dapat diperoleh bank, manajemen bank dapat menolak usulan tersebut. Karena itu, pada hakikatnya, kegagalan bank ditentukan oleh besar-kecilnya NPL atau NPF; dan besar-kecilnya NPL atau NPF ditentu- kan pula oleh manajemen bank. Bahkan, seperti telah disinggung di muka, krisis perbankan (ke- gagalan sejumlah bank pada saat yang sama) diakibatkan pula oleh ada- nya akumulasi NPL yang besar.
Penelitian yang dilakukan untuk menyusun buku ini memberikan penekanan pula pada faktor mikro dan secara khusus pada faktor-fak- tor yang berasal dari manajemen internal bank, baik bank konvensional maupun bank syariah. Faktor-faktor inilah yang akan menentukan perja- lanan pemberian kredit atau pembiayaan yang dilakukan oleh bank, dan memengaruhi efisiensi operasional bank karena dapat memengaruhi atau memperkecil timbulnya NPL atau NPF. Karena itu, faktor-faktor ini akan dapat menjelaskan atau berhubungan dengan besar-kecilnya NPL atau NPF yang timbul, sehingga digunakan sebagai variabel bebas (indepen- den) dalam buku ini.
Pada akhirnya, penelitian ini sangat berguna untuk dilakukan, baik bagi masyarakat perbankan khususnya, maupun masyarakat luas umum- nya. Masyarakat perbankan dapat diingatkan kembali dan masyarakat umum dapat diberi pengertian baru, bahwa sesungguhnya tingkat NPL atau NPF yang besar itu dapat dihindari. NPL atau NPF timbul tidak semata-mata karena faktor ekonomi makro, tetapi lebih ditentukan oleh faktor mikro, dalam hal ini manajemen internal bank.
Bank syariah berada dalam ruang lingkup ekonomi Islam dan diatur oleh hukum Tuhan yang berdasarkan pada Al-Quran dan hadis Nabi Saw.
Bank konvensional dan bank syariah berada pada tataran yang sama, ka- rena berada pada ruang lingkup intermediasi keuangan yang sama pula. Hanya saja, dasar filosofi pelaksanaan pekerjaan operasionalnya berbeda. Perbedaan filosofi ini terletak pada hukum dan ruang lingkup ekonomi yang menaunginya. Bank syariah berada dalam ruang lingkup ekonomi
Islam dan diatur oleh hukum Tuhan yang berdasarkan pada Al-Quran dan hadis Nabi Saw. Di lain pihak, bank konvensional berasal dari ruang lingkup ekonomi yang bernapaskan kapitalistis, dan diatur berdasarkan hukum positif yang dibuat oleh manusia.
Bank syariah melakukan pembiayaan dengan perjanjian atau akad yang berdasarkan transaksi yang berkaitan dengan sektor riil, tidak diperbo- lehkan mengandung riba (bunga), gharal (ketidakjelasan atau risiko yang berlebihan), dan maysir (bersifat judi atau untung-untungan). Uang benar- benar digunakan sebagai perantara transaksi, bukan komoditas dengan harga berupa bunga. Di lain pihak, bank konvensional menggunakan uang sebagai komoditas dengan harga berupa tingkat bunga. Uang yang dipin- jamkan merupakan kausa prima dari hampir setiap perjanjian yang dilaku- kannya, sehingga perjanjian itu merupakan perjanjian peminjaman uang (kredit). Hal ini dimungkinkan karena bank lebih banyak menggunakan uang orang lain dalam bentuk utang atau bersandar pada konsep leverage.
Namun, walaupun bank syariah dijalankan berdasarkan hukum Tuhan, setiap ketentuannya secara hakiki bersifat sangat universal. Sifat universal ini ada karena hukum Tuhan itu ditujukan bagi umat manusia umumnya, demi mencapai kesejahteraan mereka di dunia dan bernilai akhirati. Sifat universal itu tidak datang dari agama Islam secara khusus atau hanya untuk yang beragama Islam, tetapi pada awal berkembangnya agama-agama samawi, ketentuan-ketentuan itu juga berlaku. Di samping itu, bank syariah dapat melakukan transaksi yang diizinkan dengan se- mua ras dan agama di dunia, tanpa ada batasan dalam hal yang berhu- bungan secara komersial ataupun sosial.
Sebagai kegiatan usaha yang utama, bank syariah melakukan peker- jaan dalam bentuk pemberian pembiayaan, dan mereka tidak meminjam- kan uang secara an sich. Bank konvensional, di lain pihak, melakukan pemberian kredit atau pinjaman dalam bentuk uang. Dalam melakukan pekerjaan utama ini, bank harus mengelola risiko. Menurut Greenspan (Bartholomew dan Gup, 1998), jika bank melakukan pekerjaan ini dengan baik, dapat tercipta nilai ekonomis dengan menarik dana dari masyara- kat. Tetapi, jika tidak dilakukan dengan baik, akan terjadi alokasi sumber daya yang salah sehingga bank dapat mengalami kegagalan. Dengan de- mikian, mereka berpandangan bahwa bank memiliki kendali untuk me- nentukan nasibnya sendiri.
Pekerjaan utama itu dilakukan dengan menggunakan organisasi ber- sifat korporasi yang bernama bank, dan organisasi ini menghadapi ruang lingkup eksternal yang sama. Kedua organisasi ini memiliki manajemen internal. Pada hakikatnya, manajemen internallah yang menentukan ke- berhasilan atau kegagalan bank. Manajemen internallah yang menentu- kan arah dan perjalanan pemberian pembiayaan atau pemberian kredit/ pinjaman. Karena itu, faktor-faktor manajemen internal tersebut berlaku baik pada bank konvensional maupun pada bank syariah.
Pada hakikatnya, dengan adanya unsur agama dan prinsip ketauhi- dan, penerapan faktor manajemen tersebut seyogianya lebih baik pada bank syariah, jika dibandingkan pada bank konvensional. Dengan demi- kian, jika faktor-faktor manajemen internal digunakan sebagai variabel bebas penelitian, dapat diduga bahwa timbulnya NPL pada bank konven- sional dan NPF pada bank syariah bisa diminimalkan. Dengan adanya unsur agama tadi, penerapan yang lebih baik akan berakibat pada hasil akhir yang lebih baik pula. Dengan kata lain, tingkat NPF pada bank sya- riah diduga akan lebih baik atau kecil dibandingkan tingkat NPL pada bank konvensional. Namun, bagaimana setiap faktor diterapkan dalam manajemen internal tiap kelompok bank sangat bergantung pada manu- sia, praktik, dan lingkungannya, sehingga hasil akhir dalam kenyataannya (secara empiris) belum tentu sama seperti yang diduga tersebut.
Bank merupakan badan hukum seperti layaknya korporasi. Hanya saja, bank bergerak di lapangan keuangan. Bank atau korporasi merupakan sekumpulan orang yang mengorganisasi dirinya sendiri untuk bekerja bersama-sama mencapai tujuan tertentu yang sama. Organisasi ini dise- but sebagai recht person (badan hukum) karena dianggap sebagai orang layaknya (naturlijkperson). Anggapan ini diberikan oleh hukum, dan ka- renanya menjadi ciptaan hukum. Karena ditetapkan oleh hukum, organi- sasi atau badan hukum itu memiliki hak dan kewajiban dalam melakukan kehidupannya.
Hak itu antara lain hak untuk menjalankan operasi usaha seperti yang diizinkan oleh undang-undang, dan hak membeli dan memiliki kekayaan atau aset. Kepemilikan korporasi atau bank atas harta atau aset serta utang terpisah dari kepemilikan yang dipunyai oleh pemegang saham. Menurut Hegel, hak itu dimaksudkan untuk menjaga atau menjalankan kepenting- an atau tujuan yang telah didefinisikan secara jelas. Kewajibannya adalah mematuhi ketentuan dan undang-undang yang berlaku yang datang dari lingkungan tempat badan hukum itu berusaha, termasuk ketentuan yang tidak tertulis yang mencakup etika atau moralitas. Tujuan korporasi atau bank sebagai organisasi, menurut Hegel, pada akhirnya adalah untuk me- ningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Jika organisasi sebagai badan hukum itu dianggap sebagai orang la­yaknya, maka pertanyaannya adalah apakah yang "diperorangkan itu" memiliki organ tubuh dan jiwa? Jawabannya, organ-organ bagi badan hukum adalah seperangkat pengurus, yaitu dewan komisaris dan dewan direksi yang dibantu oleh para staf dan pegawai. Kesatuan dari para peng- urus dan para staf senior itu membentuk "manajemen internal" badan hukum atau bank itu; dalam operasinya, manajemen internal dipimpin oleh seorang presiden direktur sebagai pemimpin pelaksana puncak.
Manajemen internal ini dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang menjamin bahwa segala sesuatunya dilakukan secara benar; dan melakukan segala sesuatu di sini adalah dalam rangka mengelola sumber daya. Berdasarkan hukum korporasi, presiden direktur dan direksi memi- liki tugas amanah (fiduciary duty) dan tugas kesetiaan (duty of loyalty) terhadap korporasi.
Berdasarkan tugas yang pertama, sebagai pihak yang dipercaya un- tuk mengelola korporasi, direksi berkewajiban bertindak dengan sebaik- baiknya demi kepentingan korporasi dan pemegang sahamnya. Tugas ini mengandung unsur integritas dan kompetensi.20 Menurut M. Umer Chap- ra dan Habib Ahmed, profesionalisme, kompetensi, dan integritas merupakan faktor yang penting bagi manajemen bank, terutama bank syariah.
Tugas kedua menekankan bahwa para direksi memiliki sumpah ke- setiaan terhadap korporasi, dan menempatkan kepentingan korporasi dan pemegang saham di atas kepentingan pribadi. Di samping memiliki integritas dan profesionalisme, seorang presiden direktur, yang juga merupakan chief executive officer, harus memiliki kebajikan dari kemam- puan, keahlian, sumber daya, motivasi, dan otoritas agar dapat memim- pin dengan baik, sekaligus membuat perubahan ke arah yang lebih baik.21 Direksi dan manajemen internal ini mengelola modal, baik dari pemilik saham maupun dari pihak ketiga, serta keahlian dan tenaga kerja demi manfaat yang optimal bagi semua pihak yang terkait dan yang berkepen- tingan, baik secara langsung maupun tidak (para stakeholder).22
Di samping pemilik saham, manajemen internal ini, khususnya di­reksi, memiliki tanggung jawab secara fidusia (kepercayaan) terhadap para stakeholder korporasi (para pemilik dana bagi bank). Mereka harus bertindak demi kepentingan korporasi atau bank dan mempertahankan kehidupan korporasi atau bank itu.
Mengenai jiwa dari badan hukum, Ira A. Jackson dan Jane Nelson dari Amerika berpendapat bahwa jiwa itu berupa tujuan badan hukum,23 sedangkan keuntungan hanya merupakan alat, bukan tujuan akhir. Tujuan korporasi atau badan hukum beserta nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dianut tertuang dalam budaya korporasi (corporate culture). Namun, tu- juan ini tidak akan dapat direalisasikan, jika organ-organ badan hukum itu tidak melakukan pengambilan keputusan. Keputusan ini perlu diambil dari waktu ke waktu sebagaimana yang diperlukan untuk menjalankan roda manajemen, sehingga tujuan dapat dicapai dan dipertahankan. Kare- na itu, akan lebih tepat jika dikatakan, jiwa dari badan hukum itu tereflek- si pada pengambilan keputusan sehubungan dengan aktivitas utamanya.
Hal ini didukung pula oleh pendapat Pound bahwa inti good corporate governance sesungguhnya terletak pada masalah ba- gaimana memperoleh keyakinan agar keputusan yang diambil merupakan keputusan yang terbaik dan efektif. Kebutuhan ini merupakan tuntutan dari tugas kepedulian (duty of care) para direksi. Dalam kesehariannya, direksi bertugas untuk mengam- bil keputusan dalam menjalankan dan mengelola usaha korpo- rasi. Dalam menjalankan duty of care, direksi wajib mengambil keputusan yang terbaik bagi korporasi dan pemilik saham secara hati-hati (prudent), berdasarkan informasi dan data faktual ser- ta mutakhir yang memadai. Keputusan yang diambil juga me- nentukan moralitas institusinya.
Agar korporasi atau bank bertindak sebagai agen yang bermoral, organisasi itu harus memiliki proses pengambilan keputusan yang bermoral dan berintegritas. Untuk itu, proses pengambilan keputusan mengandung paling tidak dua unsur. Pertama, memiliki kapasitas untuk menggunakan alasan-alasan yang mengandung moralitas. Kedua, memiliki kapasitas untuk mengontrol secara terbuka pelaksanaan ketentuan dalam akta pendirian perusahaan, dan juga struktur kebijakan dan ketentu- an lainnya yang ada.
Dalam perspektif moralitas filsuf Jerman Immanuel Kant, pengam- bilan keputusan harus memperhatikan kepentingan seluruh stakeholder. Bahkan, dalam keadaan tertentu, kepentingan salah satu stakeholder harus pula lebih diperhatikan, tetapi dengan sepengetahuan para stake­holder lainnya. Dalam kaitan dengan pengambilan keputusan kredit atau pembiayaan, stakeholder yang paling penting adalah masyarakat pemilik dana.24 Sebab, dana merekalah yang digunakan dalam melakukan kegiat- an utama bank. Bank mentransformasikan dana tersebut ke dalam bentuk aset yang berisiko, seperti pinjaman atau pembiayaan. Jika kepentingan pemilik dana diperhatikan, secara langsung atau tidak langsung, kepen- tingan stakeholder lainnya pun terlindungi.
Karena itu, badan hukum atau bank harus pula memiliki strategi dan pendekatan tertentu terhadap bagaimana melakukan pekerjaan atau kegiat- an utamanya itu dalam lingkungan yang dihadapinya, sehingga dapat men- capai hasil yang baik, tanpa mengorbankan kepentingan para pemilik dana.
Bank merupakan anggota masyarakat yang bersifat sebagai institusi, dan keberadaannya bersandar pada masyarakat. Keberadaan itu terbentuk karena masyarakat percaya bahwa bank membawa manfaat bagi kepen- tingan masyarakat. Kehidupan bank yang panjang dapat dicapai hanya jika seperangkat manajemennya dapat melakukan kegiatan utamanya, dan ditentukan oleh hasil yang dapat dicapai, dan manfaat yang diberikan kepada masyarakat dari waktu ke waktu. Kehidupan yang layak adalah kehidupan yang dilakukan dengan memenuhi ketentuan yang berlaku, baik secara tertulis maupun tidak, dan dilakukan dengan penuh kewajar- an, tidak berlebihan; dan kedua syarat ini merupakan keterbatasan.
Walaupun tugas manajemen korporasi modern umumnya adalah me- maksimumkan keuntungan, hasil yang dicapai, dalam hal ini keuntungan dan arus kas, harus dalam batas kewajaran. Dalam hal memaksimumkan keuntungan, Dobson menekankan bahwa tujuan itu dapat diterima asal- kan para pelaku bisnis tidak menghapus akal sehat yang bermoral, de- ngan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral. Pertimbangan ini memerlukan ciri-ciri karakter etika dan kebajikan, seperti kehati-hati- an (prudence), keberanian, kearifan, dan rasa kasih terhadap orang lain. Dalam pandangan filsuf Yunani kuno Aristoteles, jika penekanan pada pencapaian keuntungan dilakukan secara berlebihan, mungkin saja ke- untungan itu tidak dapat diperoleh sama sekali. Hal ini sangat jelas ber- laku pada bank. Bagi bank, keuntungan dan risiko selalu berdampingan. Keuntungan yang tidak wajar dapat berarti risiko yang besar. Penekanan yang berlebihan pada keuntungan, tanpa memperhatikan risiko, akhirnya akan menciptakan kerugian.
Dapat dikatakan bahwa badan hukum yang dimaksud di atas identik dengan eukonomia dari Aristoteles, yakni rumah tangga yang menjalan- kan kehidupan perekonomian bagi anggotanya. Menurut Aristoteles, ter- dapat dua hal yang terkait dengan rumah tangga. Pertama, kepemilikan atau harta. Kedua, keahlian. Keahlian ini diperlukan dalam rangka meng- hasilkan kepemilikan. Tanpa kedua hal itu, rumah tangga tidak dapat hi- dup atau hidup dengan baik.
Dalam kaitan ini, masa Yunani kuno mengenal konsep eudaimonia, yang berarti "kehidupan yang terpenuhi", yang tidak hanya berarti "ke- bahagiaan". Menurut Norton, eudaimonia, sebagai tujuan kehidupan, tidak hanya berarti perasaan, tetapi juga suatu kondisi, yang menunjuk- kan kehidupan berdasarkan kebenaran pada diri sendiri, berdasarkan kemampuan tertinggi (arete) yang ada secara ideal pada diri (daimons),25 menemukan diri di mana pengetahuan akan diri sendiri dimulai, kemudi- an merealisasikan kemampuan itu. Bagi Aristoteles, kebahagiaan adalah hasil yang dicapai dari usaha dalam melakukan realisasi tersebut.
Norton, filsuf Amerika itu, berpendapat bahwa eudomonist atau manajer kontemporer dari eudaimonia memiliki persyaratan yang sesuai dengan pendapat Plato. Pertama, untuk menjadi manajer yang baik, di- perlukan pengetahuan mengenai hal ihwal (the good) yang menyeluruh dari organisasi yang dikelolanya. Kedua, manajer perlu mengidentifikasi "hal ihwal" diri sendiri sebagai "hal ihwal" keseluruhan.
Norton menjelaskan syarat kedua ini bahwa agar menjadi anggota yang produktif dari organisasi, diperlukan paling tidak pengertian atau anggapan umum mengenai organisasi itu. Biasanya, terdapat beberapa anggota yang memiliki kemampuan yang kurang memadai untuk meng- uji, memperhalus, dan mengonkretkan anggapan umum mengenai orga- nisasi itu; karenanya, mereka perlu diberi pelatihan. Hal ihwal keselu- ruhan organisasi menjadi hal ihwal individu yang kemudian membentuk kebajikan (virtue) dari objektivitas nilai-nilai yang akan dicapai oleh or- ganisasi.
Organisasi yang efektif adalah organisasi yang setiap anggotanya da- pat membedakan mana manajemen yang baik dan mana yang buruk, dan setiap anggota memiliki komitmen yang penuh terhadap nilai-nilai yang akan dicapai. Hal ini berkaitan dengan apa yang disebut De George seba- gai kultur organisasi atau corporate culture.
Telah disinggung bahwa krisis keuangan yang melanda banyak negara di dunia bermula dari sejumlah kegagalan bank dalam kurun waktu yang sama (disebut krisis perbankan). Baik krisis perbankan yang bersifat ko- lektif maupun kegagalan bank yang bersifat individualistik terjadi karena adanya akumulasi NPL yang besar, yang membuat bank menjadi sangat tidak efisien. Hilangnya efisiensi bank disebabkan oleh pemberian kredit atau pinjaman menjadi tidak efektif, karena tidak menghasilkan penda- patan atau keuntungan dan arus kas bagi bank. Pada saat yang sama, bia- ya karena adanya kredit bermasalah atau NPL cenderung menjadi lebih besar. Cadangan piutang ragu-ragu harus diperbesar, dan biaya penyele- saian muncul dan cenderung bertambah karena berakumulasi, sedangkan pendapatan dan arus kas berkurang.
Semua gejala ini terjadi secara universal pada perbankan di mana pun di dunia, sehingga sesungguhnya pelajaran yang berharga dapat diambil dari pengalaman-pengalaman negara-negara yang pernah mengalami krisis, baik krisis perbankan maupun kegagalan bank. Dengan mengam- bil pelajaran dari pengalaman negara-negara tersebut, buku ini kemudian akan memfokuskan diri pada perbankan nasional, di Indonesia.
Efektivitas dan efisiensi serta keberhasilan atau kegagalan suatu bank sangat bergantung pada manajemen internalnya. Walaupun lingkungan eksternal seperti ekonomi makro dapat memengaruhi perjalanan suatu bank, setiap perubahan yang akan terjadi yang dapat memengaruhi hidup- nya perlu diantisipasi dan disikapi oleh manajemen bank. Dalam hal pem­berian kredit (pinjaman) atau pembiayaan, misalnya, manajemen internal bank-lah yang akan menentukan kredit atau pembiayaan dari calon kon- sumen mana yang akan dapat disetujuinya atau perlu langsung ditolak.
Berbicara mengenai manajemen internal, tersirat secara langsung atau tidak suatu lingkungan internal yang berintegrasi secara utuh, se- bagai suatu unit yang kompak dan bergerak secara bersamaan ke arah yang hendak dicapai. Lingkungan internal itu memiliki unsur-unsur yang dapat memengaruhi keberhasilan atau kegagalan dalam mencapai tujuan institusinya, dalam hal ini bank. Dalam pemberian kredit atau pembiaya-
an, misalnya, terdapat banyak pihak yang terlibat dalam melakukan suatu pekerjaan inti melalui suatu kumpulan proses yang sama dan berulang- ulang.
Pihak yang terlibat atau yang melakukan pe- kerjaan tersebut memerlukan sejumlah atribut, berupa kebijakan dan praktik-praktik yang sera- gam untuk suatu jenis pekerjaan yang sama, yang lebih banyak ditentukan oleh pimpinan puncak. Kebijakan dan praktik-praktik yang sama dan di- lakukan berulang-ulang akan membentuk suatu kebiasaan, dan kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian besar dari suatu kelompok orang menjadi budaya bagi kelompok tersebut. Karena itu, diduga terdapat sejumlah faktor dari internal manajemen yang berperan dalam menciptakan, paling tidak memengaruhi, baik efektivitas maupun efisiensi suatu bank; efektivitas dalam kaitan dengan pemberian kredit atau pembiayaan, dan efisiensi dalam hal menekan timbulnya NPL pada bank konvensional atau NPF pada bank syariah.
Dalam perbankan nasional, seperti halnya perbankan di negara-ne- gara lain, terdapat suatu perkembangan yang menarik. Di Indonesia, khu- susnya, sejak Bank Muamalat didirikan pada 1992, terdapat suatu bentuk atau jenis bank yang diatur oleh ketentuan syariat Islam. Bermula dari Bank Muamalat, saat ini terdapat sejumlah bank yang beroperasi dengan modus operandi keislaman, yang diikuti sejumlah besar unit usaha bank yang berpola sama. Jumlah pembiayaan yang dilakukan oleh kelompok bank ini masih kecil, yaitu di sekitar 3-4 persen dari jumlah aset perbank- an nasional, tetapi dengan pertumbuhan yang tidak lebih kecil dari 15 persen per tahun.
Walaupun kelompok bank ini beroperasi berdasarkan ketentuan sya- riat Islam, ketentuan yang harus diikuti oleh kelompok bank ini sesung- guhnya tidak bersifat spesifik Islam atau agama Islam, tetapi esensinya bersifat umum atau universal. Seperti halnya bank konvensional, bank kelompok ini, yang disebut bank syariah, juga memiliki manajemen inter­nal dan menimbulkan NPF dari aktivitas pemberian pembiayaan, seperti pemberian kredit atau pinjaman yang menimbulkan NPL pada bank kon- vensional.
Di Indonesia, khususnya, sejak Bank Muamalat didirikan pada 1992, terdapat suatu bentuk atau jenis bank yang diatur oleh ketentuan syariat Islam.
Sejalan dengan perkembangan bank syariah dalam perbankan na- sional, penelitian untuk buku ini dilakukan terhadap dua kelompok bank
umum, yaitu bank konvensional dan bank syariah. Penelitian ini sangat dirasakan perlu dilakukan karena sesungguhnya timbulnya NPL atau NPF dapat diperkecil, dan tidak semata-mata diakibatkan oleh adanya perubahan-perubahan faktor dalam ekonomi makro yang terlepas dari kadar intensitasnya. Banyak penelitian yang dilakukan terdahulu oleh para peneliti di banyak negara secara umum menunjukkan pula bahwa timbulnya NPL atau NPF dapat diminimalkan. Namun, penelitian ter- dahulu tidak sepenuhnya menggunakan faktor-faktor dari manajemen internal. Kebanyakan menggunakan pendekatan dengan rasio keuangan. Walaupun demikian, banyak dari penelitian itu, jika dianalisis lebih da- lam, paling tidak menunjukkan atau akhirnya bermuara pada manajemen internal.
Seperti telah disebutkan, manajemen internal bank-lah yang menen- tukan arah dan perjalanan pemberian kredit atau pembiayaan. Keputusan untuk memberikan pinjaman atau pembiayaan berada sepenuhnya dalam kewenangan manajemen internal bank. Karena itu, dalam meneliti pe- nyebab-penyebab NPL, digunakan model dengan pendekatan manajemen internal, sehingga memfokuskan dan membatasi diri pada masalah-ma- salah mikro yang berkaitan dengan manajemen internal.
Sejalan dengan pemikiran ini, yang menjadi pertanyaan pertama dalam penelitian adalah "Faktor-faktor apa yang perlu dimiliki dan di- terapkan oleh manajemen internal bank sehingga dapat meminimalkan timbulnya NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah?"
Penelitian ini dilakukan terhadap dua kelompok bank, yaitu bank konvensional dan bank syariah, dengan menggunakan faktor-faktor yang berasal dari manajemen internal bank. Manajemen pada bank konvensio- nal dan bank syariah, ditinjau dari segi bentuk dan struktur serta masa- lah yang dihadapi, pada dasarnya tidak berbeda secara prinsipil. Bahkan, tujuan dalam melakukan kegiatan operasional utamanya, dalam hal ini memberikan kredit (pinjaman) untuk bank konvensional atau pembiaya- an bagi bank syariah, adalah sama. Kegiatan ini dilakukan untuk mem- peroleh pendapatan atau keuntungan dengan mempertimbangkan faktor risiko yang dihadapi. Bank konvensional dan bank syariah menghadapi masalah eksternal atau lingkungan operasional yang sama pula. Kedua bank ini harus sama-sama mengatasi persoalan yang ditimbulkan oleh lingkungan tersebut, agar hidupnya dapat berlanjut.
Namun, karena dasar filosofis dan hukumnya berbeda, dapat diduga bahwa penerapan setiap faktor manajemen internal yang dimaksud dapat pula berbeda dari segi intensitas. Intensitas penerapan faktor-faktor yang berbeda akan menghasilkan pengaruh yang berbeda pula terhadap NPL bank konvensional atau NPF bank syariah.
Kemungkinan adanya perbedaan intensitas ini didasarkan pada premis bahwa, pada bank syariah, hukum yang melandasi pelaksanaan kegiatan pemberian pembiayaan adalah hukum Islam, yang merupakan hukum Tuhan dan dapat ditemukan dalam Al-Quran dan hadis Nabi Saw. Hampir setiap segi dari manajemen organisasi bank dapat pula dicarikan referensinya pada ayat-ayat Al-Quran dan/atau hadis. Ketentuan Tuhan yang tertuang dalam Al-Quran dan hadis juga bersifat universal, dan re- ferensi itu umumnya tidak berbeda dengan dan bahkan mendukung prin- sip-prinsip manajemen umum atau perkreditan yang berlaku pada bank konvensional.
Namun dalam Islam, pemilik tertinggi atau mutlak terhadap apa yang dimiliki oleh manusia itu adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan Tuhan pula yang bersaksi sekaligus mencatat serta me- nilai setiap kegiatan dan tingkah laku manusia, termasuk dalam melakukan pekerjaan mereka. Karena itu, sangat beralasan un- tuk menduga bahwa penerapan faktor-faktor yang dimaksud da- lam uraian ini lebih baik diterapkan pada bank syariah daripada bank konvensional.
Atas dasar pemikiran ini, dapatlah diajukan pertanyaan ri- set kedua, yaitu "Apakah penerapan setiap faktor yang berasal dari manajemen internal bank lebih tinggi atau lebih baik pada bank syariah dibandingkan dengan bank konvensional?"
Kemudian, jika faktor-faktor manajemen internal ini diterapkan le- bih baik pada bank syariah daripada pada bank konvensional, seyogianya dapat pula diharapkan bahwa tingkat NPF pada bank syariah lebih baik (lebih rendah) daripada tingkat NPL pada bank konvensional. Inti dari pernyataan yang dikandung dalam kedua pertanyaan ini dijadikan seba­gai hipotesis alternatif; hipotesis pertamanya menduga bahwa penerapan faktor-faktor manajemen itu sama baik, atau tidak terdapat perbedaan intensitas baik pada bank syariah maupun bank konvensional. Jadi, per- tanyaan riset ketiga adalah "Apakah tingkat NPF pada bank syariah lebih
baik (lebih rendah) daripada tingkat NPL pada bank konvensional, seba- gai akibat penerapan setiap faktor dari manajemen internal yang lebih baik?"
Berdasarkan pertanyaan riset kedua dan ketiga itu, penelitian ini akan lebih bermanfaat, jika hasilnya dapat menemukan penyebab dari perbedaan penerapan setiap faktor yang digunakan sebagai variabel in- dependen. Setiap perbedaan itu perlu dianalisis lebih dalam dan satu per satu, sebelum dapat diambil kesimpulan secara menyeluruh yang ber- manfaat, baik bagi lingkungan perbankan syariah maupun konvensional.
Karena itu, pertanyaan riset yang keempat yang perlu dikemukakan adalah "Mengapa terjadi perbedaan penerapan dari setiap faktor internal manajemen itu pada bank syariah dan pada bank konvensional sehingga timbul perbedaan antara tingkat NPL dan NPF tersebut?"
Karena krisis perbankan terjadi secara kolektif dalam waktu yang relatif sama, dapat menimbulkan kesan bahwa krisis itu seolah-olah merupakan akibat perubahan ekonomi makro semata. Bahkan, ekonomi makro sering dijadikan kambing hitam penyebab terjadinya krisis. Namun, jika diteliti lebih dalam, baik kegagalan bank yang terjadi secara kolektif maupun secara individualistik lebih banyak terjadi karena faktor ekonomi mikro yang menyebabkan timbulnya NPL. Inti permasalahannya adalah NPL. Secara khusus, faktor-faktor penyebab kegagalan bank dan timbulnya NPL tersebut berada dalam tataran manajemen internal bank.
Karena itu, buku ini hendak mempertegas bahwa kegagalan bank dan NPL disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dimiliki oleh manajemen internal bank secara lebih utuh, tidak semata-mata kare- na faktor ekonomi makro, sehingga krisis atau kegagalan bank atau NPL yang besar itu dapat dihindarkan.
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan pe- nelitian ini adalah sebagai berikut:
1.        Untuk menemukan dan menentukan faktor-faktor manajemen internal yang mana yang dapat memperkecil timbulnya NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah di perbank- an Indonesia.
2.        Untuk menganalisis dan menemukan perbedaan, apakah pene- rapan faktor-faktor manajemen internal yang dimaksud lebih
baik atau lebih tinggi pada bank syariah, dibandingkan dengan penerapan faktor yang sama pada bank konvensional.
3.       Untuk menemukan apakah tingkat NPF pada bank syariah lebih baik atau lebih rendah dibandingkan dengan tingkat NPL bank konvensional.
4.       Untuk menganalisis dan menemukan mengapa terdapat penye- bab perbedaan tingkat penerapan setiap faktor manajemen in­ternal yang dimaksud pada bank syariah dan bank konvensional.
Mengacu pada latar belakang, rumusan masalah, dan tujuan pene- litian yang diuraikan pada bagian terdahulu, penelitian untuk penulisan buku ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada masyarakat perbankan dan otoritas moneter yang mengawasi perbankan seperti yang disebutkan berikut ini:
1.        Memberikan masukan kepada masyarakat perbankan dan otoritas moneter mengenai penyebab-penyebab NPL/NPF dan memperha- tikan serta menerapkan faktor-faktor manajemen internal bank dengan baik dari waktu ke waktu sehingga dapat memperkecil tim- bulnya NPL pada bank konvensional dan NPF pada bank syariah.
2.       Berkaitan dengan faktor-faktor yang dimaksud di atas, memberi- kan saran-saran dalam rangka membuat kebijakan yang diperlu- kan oleh otoritas moneter sebagai usaha untuk memperkecil ter- jadinya NPL/NPF di sektor perbankan Indonesia di masa yang akan datang, baik bank konvensional maupun bank syariah.
3.       Memberikan saran-saran kepada otoritas moneter umumnya dan kepada perbankan syariah khususnya dalam membuat ke- bijakan dalam rangka pemantapan pelaksanaan prinsip-prinsip tauhid, dalam pengoperasian perbankan syariah dan mewaspa- dai agar kesalahan yang terjadi pada perbankan konvensional tidak terulang pada perbankan syariah. Bahkan, apabila ternyata intensitas penerapan faktor-faktor manajemen internal berbeda dengan yang dihipotesiskan pada bank syariah, itu berarti SDM pada bank syariah perlu dituntut untuk memperbaiki penerapan prinsip "ketauhidan" yang lebih baik.
4.       Mengingatkan kembali masyarakat perbankan khususnya, dan memberikan pandangan baru kepada masyarakat luas umum- nya, bahwa NPL atau NPF yang berakumulasi dan besar dapat dihindari, bukan karena faktor makro semata.
Penelitian ini dilakukan di Indonesia dan berlaku pada populasi yang diteliti, yaitu dua kelompok bank: bank konvensional, yang merupakan bank swasta nasional, dan bank umum syariah, terma- suk unit usaha syariah (UUS). Saat ini, terdapat 126 bank konvensional dan 28 bank syariah, ter- masuk UUS. Namun, sampel yang diambil ber- jumlah 28 bank syariah atau UUS dan 28 bank konvensional. Sampel yang diambil ini diyakini dapat mewakili kedua kelompok populasi yang di- maksud. Buku ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perbankan nasional, terutama dalam rangka memperkuat operasional bank syariah.
Sebagai dasar pembentukan kerangka pemikiran buku ini, kajian juga dilakukan terhadap penelitian terdahulu, yang dapat dikumpulkan dan dilakukan oleh para peneliti baik dari dalam negeri maupun dari mancanegara, di samping pengalaman NPL empiris negara-negara lain. Walaupun penelitian mereka dilakukan di luar Indonesia dan pengalam- an tersebut dialami oleh negara lain, masalah yang dihadapi bersifat universal dan berkaitan dengan definisi dan karakteristik intermediasi keuangan yang sama.
Penelitian mereka terhadap timbulnya NPL umumnya menggunakan pendekatan makro dan mikro. Namun, penelitian yang menggunakan pendekatan makro selalu menggunakan gabungan variabel bebas yang terdiri atas faktor makro dan mikro. Berbeda dengan penelitian terdahulu yang menggunakan pendekatan mikro, penelitian untuk buku ini meng- gunakan pendekatan mikro dari segi manajemen internal. Dengan kata lain, semua faktor mikro yang digunakan berasal dari lingkungan manaje- men internal dan diperoleh dari hasil analisis dengan menggunakan lima teori utama beserta hasil kajian teoretis dan empiris.
Lima teori yang digunakan sebagai pisau analisis adalah Agency Theory, Moral Hazard Theory, Stakeholder Theory, Adverse Selection Theory, dan Bad Management Hyphothesis. Teori-teori ini mengacu pada masalah efisiensi manajemen dalam menangani perkreditan dan didukung oleh jumlah SDM yang memadai, atau secara khusus bertitik tolak pada proses pemberian kredit.
Buku ini
diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perbankan nasional, terutama dalam rangka memperkuat operasional bank syariah.
Efisiensi manajemen merupakan produk manajemen internal. Na­mun, untuk mencapai efisiensi tersebut, diperlukan sejumlah unsur atau
faktor lain. Karena memiliki latar belakang intermediasi keuangan yang sama, kajian teoretis dan empiris serta pengalaman NPL negara lain dan Indonesia dapat memberikan petunjuk mengenai faktor-faktor lainnya itu. Salah satu faktor yang dimaksud adalah budaya kredit. Tanpa budaya kredit yang tepat, SDM yang jumlahnya memadai itu tidak dapat memi- liki ikatan atau pola kerja yang seragam sesuai dengan bagaimana pro­ses pemberian kredit itu seharusnya dilakukan. Bagaimana suatu usulan pemberian pinjaman atau pembiayaan diproses merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh manajemen.
Dari segi teori, buku ini akan membuktikan bahwa variabel-variabel yang berasal dari manajemen internal, atau yang berada pada tataran ekonomi mikro, merupakan faktor yang memainkan peran penting dalam menekan timbulnya NPL atau NPF. Hasil penelitian ini mendukung teori atau pendapat peneliti terdahulu, misalnya oleh Chung Hua Shen (2004). Namun, penelitian ini menggunakan faktor-faktor mikro yang lebih jelas dan lebih komplet, ditinjau dari segi operasional bank dalam hal bagai- mana bank menghadapi lingkungan operasional di sekitarnya ketika me- lakukan pekerjaan utamanya.
Penelitian ini juga mempertegas pendapat dan hasil penelitian De- mirguc Kunt, Enrica Detragiache, Gerald Caprio, dan Daniela Klingebiel, yang mengatakan bahwa faktor mikro dan faktor makro berperan sama pentingnya terhadap timbulnya kegagalan bank atau krisis perbankan. Michael Gavin dan Ricardo Hausmann berpendapat, dalam keadaan makro yang tidak baik, bank yang paling lemahlah yang akan mengalami kegagalan terlebih dulu. Namun, Maria Fuertes dan Espinola mengata- kan, tidak setiap keadaan makro yang tidak baik dapat menimbulkan NPL yang besar dan kegagalan bank, kecuali adanya perubahan di tingkat eko- nomi makro yang besar dan drastis. Karena itu, jika mempertimbangkan pendapat yang menyebutkan bahwa hanya perubahan makro yang besar yang dapat membuat timbulnya NPL yang besar, maka faktor mikro men- jadi sangat dominan dalam menentukan timbulnya NPL.
Karena semua variabel bebas yang digunakan berasal dari lingkung- an manajemen internal, sedangkan variabel tersebut berpengaruh terha- dap timbulnya NPL atau NPF, maka signifikansi dari hasil penelitian ini adalah, jika diterapkan dengan baik dan secara utuh, semua variabel itu akan dapat menjadi kekuatan bagi manajemen bank dalam rangka mem- perkecil kemungkinan timbulnya NPL atau NPF.

Sejauh yang dapat diketahui oleh penulis, sampai saat ini belum ter- dapat penelitian yang menggunakan sejumlah variabel dari lingkungan manajemen internal yang berkaitan dengan proses pemberian kredit atau pinjaman, seperti yang digunakan dalam penelitian ini. Dengan demiki- an, dapat pula dikatakan bahwa penelitian ini menutup jurang (gap) riset yang belum diisi oleh penelitian terdahulu.
Penerapan variabel-variabel mikro yang berasal dari manajemen in­ternal yang dimaksud di atas merupakan kekuatan dari manajemen, yang dapat menekan timbulnya NPL atau NPF. Selain kemudian didukung de- ngan analisis dan data empiris yang digunakan dalam penelitian ini, pen- dapat yang dikemukakan di sini juga didasarkan pada observasi pribadi.
Selama bekerja di lingkungan Chase Manhattan Bank, Jakarta, penu- lis melihat bagaimana variabel-variabel bebas tersebut diterapkan dengan baik dan secara utuh. Penerapan itu memberikan kekuatan pada mana- jemen internal bank secara menyeluruh di seluruh dunia di lingkungan bank yang sama, yaitu di negara-negara tempat bank tersebut memiliki cabang yang beroperasi secara penuh. Ketika itu, Chase di seluruh dunia memiliki tingkat NPL yang cukup rendah. Terutama selama lima tahun terakhir penulis bekerja di sana (1981-1985), tingkat NPL di Chase Jakar­ta berada di bawah 1 persen. Pada saat yang sama, bank-bank pemerintah di Indonesia memiliki tingkat NPL yang jauh lebih tinggi daripada tingkat NPL yang dimiliki oleh bank-bank swasta nasional umumnya. Tingkat NPL bank-bank asing, terutama Chase, kala itu berada di bawah tingkat NPL rata-rata bank swasta nasional.
Dari segi perkreditan, jika Chase Manhattan Bank dibandingkan de- ngan Citibank, pada suatu kontinum perbandingan, dapat dikatakan bah- wa Chase Manhattan Bank berada di ekstrem kanan, sedangkan Citibank di ekstrem kiri. Dengan kata lain, Chase bersifat jauh lebih konservatif dalam pendekatan korporasinya terhadap pemberian kredit, sehingga mengutamakan kualitas kredit, daripada penekanan target pada total assets semata dengan ukuran jumlah kredit yang diberikan. Citibank da- pat dikatakan bersifat jauh lebih agresif dalam hal pemberian kredit, dan mengutamakan penciptaan jumlah aset yang dapat dicapai. Karena itu, orientasi manajemen Chase secara menyeluruh berpusat pada pening- katan dan mempertajam pengetahuan dan keahlian perkreditan (credit oriented), yang berseberangan secara jelas dengan Citibank yang lebih menekankan pada kegiatan pemasaran (marketing oriented). Pendidikan kader manajemen baru pada Citibank ditekankan terutama pada kemam- puan untuk "menjual", sedangkan Chase pada "kemampuan dan keahlian perkreditan".
Dari segi teori, perbedaan kultur ini akan membuat penampilan la- poran keuangan berbeda. Pada Chase, total aset dapat berjumlah lebih ke- cil dibandingkan dengan total aset Citibank. Jumlah nominal keuntungan bagi Citibank juga dapat lebih besar daripada Chase. Tetapi, persentase tingkat keuntungan lebih besar pada Chase dibandingkan dengan yang dapat dicapai oleh Citibank. Perbedaan ini terletak pada kualitas porto- folio pinjaman kedua bank, yakni Chase memiliki tingkat NPL yang lebih rendah daripada Citibank, demikian pula halnya dengan jumlah cadang- an piutang ragu-ragunya.
Perbedaan kultur ini menggambarkan perbedaan filosofi yang di- anut oleh pemilik kedua bank tersebut, dan hasil nyatanya dapat dilihat dengan jelas saat ini. Chase merupakan gambaran personifikasi dari pe- ngontrolan yang dilakukan oleh David Rockefeller, keturunan dari pe- milik, yang mengembangkan Chase sejak diambil alih tahun 1929. David kemudian menjual sahamnya di ujung tahun 1980-an ketika Chase men- capai puncak kejayaannya. Kebijakan ini diikuti dengan ditutupnya Chase Jakarta pada kurun waktu yang sama, sebelum perekonomian Indonesia mulai menunjukkan pelemahan yang signifikan.
Ketika David Rockefeller menikmati hasil penjualan bank- nya, John Reed, Chairman dan CEO Citibank, di lain pihak, te- rus melakukan ekspansi dan memperbesar banknya. Pada krisis 2008, Citibank, di bawah naungan Citigroup, merupakan salah satu bank yang diselamatkan oleh pemerintahan Barack Obama. Citigroup menerima US$ 45 miliar dana talangan ekuitas, yang berakibat pemerintah Amerika mengambil alih sebagian besar saham bank tersebut. Citigroup mengalami masalah yang seru- pa dengan bank-bank lain yang diselamatkan, yakni terpuruk secara langsung atau tidak langsung sebagai akibat pembiayaan subprime mortgage.26 Citigroup memiliki eksposur yang men- capai triliunan dolar dalam aset yang bermutu rendah ini. Pada April 2010, para mantan eksekutif Citigroup dihadapkan pada Komisi Penyelidik Krisis Finansial (FCIC), dengan sejumlah besar pertanyaan yang berkisar pada peran Citigroup terhadap produk derivatif, sekuritas subprime mortgage, dan rekayasa pencatatan akuntansi yang menutupi kerugian akibat transaksi surat berharga yang berisiko tinggi tersebut. Salah satu eksekutif bidang kredit kepemilikan rumah Citigroup menuduh para ek- sekutif bank tersebut mengabaikan kebijakan manajemen risiko yang mereka susun sendiri (Kompas, 9 April 2010).
CEO baru Citigroup, Vikram Pandit, harus memperbaiki keadaan keuangan Citigroup dan, selama belum berhasil mencapai perbaikan ke­uangan, hanya digaji US$ 1 atas perintah Presiden Obama. Penggajian se- perti ini merupakan anomali terhadap banyak kasus serupa terdahulu di Amerika, dan baru terjadi setelah Obama menjadi presiden. Pada kasus Savings & Loans di Amerika, misalnya, walaupun institusi mereka umum- nya mengalami kerugian yang besar, para eksekutifnya tetap menikmati gaji atau kompensasi yang tinggi.
Jika keadaan ini dibandingkan dengan konsep yang setara pada per- bankan syariah, maka apabila eksekutif tersebut merupakan mudharib pada akad mudharabah, mudharib itu tidak dapat memperoleh apa-apa jika usaha yang dijalankannya itu mengalami kerugian.
Sesungguhnya, penelitian ini mirip dengan penelitian lain yang di­lakukan oleh Djohanputro dan Kountor (2007). Bedanya, penelitian me- reka dilakukan terhadap sejumlah Bank Perkreditan Rakyat di beberapa kota besar di Indonesia. Variabel dependennya sama, yaitu NPL, tetapi jenis banknya umumnya memiliki jumlah aset lebih kecil daripada jum- lah aset bank konvensional yang diteliti untuk buku ini. Variabel bebas yang mereka gunakan secara khusus berkaitan dengan karakteristik de­bitor dan pemberian kredit pada jenis bank tersebut. Perbedaan yang lain adalah beberapa variabel bebas dari penelitian Djohanputro dan Kountor itu dapat dicakup ke dalam satu atau dua variabel bebas dalam penelitian untuk buku ini.
Walaupun dilakukan berdasarkan prosedur keilmuan yang diperlukan, dan didukung oleh teori, pendapat para ahli, serta kejadian atau pengalaman empiris yang berkaitan, penelitian untuk buku ini pada dasarnya merupa- kan sebagian dari pengungkapan fenomena yang sebenarnya terjadi, dan masih banyak faktor lain yang tidak dapat diungkapkan. Karena itu, disa- dari bahwa penelitian ini masih mengandung beberapa keterbatasan.
Pertama, penelitian ini memotret keadaan pada suatu saat (bersifat cross sectional). Tentunya, hasil akan lebih baik diperoleh jika dilakukan secara berulang sehingga analisis dapat dilakukan dengan lebih tajam. Karena keterbatasan waktu dan biaya, hal ini belum dapat dilakukan. Na- mun, diyakini, atas dasar pengalaman dan rasionalitas pemikiran bahwa penerapan variabel-variabel yang dipilih dalam penelitian ini berpenga- ruh atau berkaitan erat dengan timbulnya NPL atau NPF, sehingga jika diterapkan secara utuh oleh manajemen internal bank dapat memperkecil timbulnya NPL atau NPF tersebut.
Kedua, penelitian ini pada dasarnya berusaha mengungkapkan 11 faktor mikro manajemen internal bank yang diduga mempunyai penga- ruh terhadap kemungkinan terjadinya NPF pada bank-bank syariah dan NPL pada bank-bank konvensional, yang dijadikan sebagai variabel teri- kat (dependent variable) dalam penelitian ini. Ke-11 faktor mikro itu ada- lah kemampuan dan pengetahuan kredit/pembiayaan, integritas dan pro- fesionalisme, kadar spiritualitas, kepemimpinan bermoral, budaya per- usahaan, kebijakan disiplin anggaran, sistem penghargaan dan hukuman, budaya kredit/pembiayaan, pengecekan reputasi, due diligence and care, dan pengawasan kredit/pembiayaan internal.
Padahal, selain sebelas faktor mikro manajemen internal bank, masih banyak faktor lain yang diduga juga dapat memengaruhi kemungkinan terjadinya NPF pada bank-bank syariah dan NPL pada bank-bank kon- vensional, baik yang berkenaan dengan lingkungan internal bank maupun lingkungan eksternal bank tersebut, seperti gagalnya lembaga penjamin- an memenuhi kewajibannya pada bank kreditor, terjadinya resesi ekono­mi dan finansial global, inflasi yang berkepanjangan, dan jatuhnya harga komoditas yang memperoleh pembiayaan/kredit dari bank.
Akan tetapi, mengingat faktor-faktor tersebut membutuhkan peng- amatan dan pengukuran lebih cermat, penelitian ini dibatasi hanya mem- bahas kesebelas faktor internal manajemen bank. Faktor-faktor lain yang tidak diungkapkan dalam penelitian ini menjadi peluang bagi peneliti lain guna melakukan pendalaman lebih lanjut.
Ketiga, saat ini di Indonesia terdapat 126 bank umum konvensional dan 28 bank umum syariah beserta unit usaha syariah. Agar setara de- ngan jumlah bank syariah ini, bank konvensional yang diperlukan juga berjumlah 28. Karena itu, pengambilan sampel dari kelompok bank kon- vensional dilakukan dengan cara purposive sampling method. Pengam- bilan sampel bank konvensional yang berjumlah 28 ini diusahakan agar dapat mewakili keseluruhan populasi bank umum konvensional.
Keempat, karena keterbatasan waktu dan biaya, pengambilan data melalui kuesioner dilakukan hanya di kantor-kantor pusat, baik bank konvensional maupun bank atau unit syariah yang ada di Jakarta atau di daerah. Dengan keterbatasan ini, ukuran sampel dan populasi yang dijaring sebagai objek penelitian memberikan keterbatasan lain dari segi jumlah sampel. Dalam penelitian ini dilakukan taksiran terhadap popu- lasi objek dan telah dianggap cukup mewakili sebagai sampel, yaitu ma- sing-masing empat orang pejabat bagian kredit dari tiap-tiap bank, yaitu 28 bank syariah dan atau unit syariah, dan 28 bank konvensional, sehing- ga sampel penelitian ini berjumlah 224 orang pejabat kredit dari 56 bank syariah/unit syariah dan bank konvensional yang beroperasi di Indonesia.
Sampel yang hanya berjumlah 224 orang pejabat kredit dan pem- biayaan dari 56 bank itu tampaknya relatif sangat kecil, jika dilihat dari jumlah semua pejabat kredit bank-bank yang beroperasi di seluruh In­donesia. Hal ini disebabkan sampel diambil hanya dari kantor-kantor pusat dari 56 bank konvensional dan syariah yang digunakan dalam pe- nelitian, belum meliputi kantor-kantor cabangnya di Indonesia. Namun, pengambilan data seperti ini diyakini dapat mewakili data atau keadaan pada tiap bank atau unit usaha. Alasan utama dari pandangan ini adalah bahwa kantor pusat umumnya merupakan lokasi utama dikeluarkannya, dan sentral dari penerapan kebijakan yang dikeluarkan oleh manajemen internal masing-masing bank; kantor cabang umumnya mengikuti kebi­jakan dan pola pelaksanaan yang dilakukan oleh kantor pusat mereka.
Kelima, bank syariah masih berumur muda, jika dibandingkan de- ngan bank konvensional. Karena itu, pengalaman empiris NPF-nya ma- sih terbatas, sedangkan pengalaman NPL bank konvensional telah men- dunia dan telah pula menjadi fenomena yang umum. Secara teori, NPF yang mungkin dapat ditimbulkan bank syariah seyogianya lebih kecil, dan penerapan variabel-variabel bebas dari penelitian ini dianggap lebih baik pada bank syariah, karena beberapa faktor inheren yang ada pada bank syariah. Faktor-faktor ini adalah, antara lain, hukum dan filosofi yang mendasarinya, bentuk perekonomian yang melandasinya, serta ka- rakteristik pembiayaan dan akadnya; hukum yang mendasari perbankan syariah adalah hukum Tuhan.
Bagi umat Islam, kebenaran yang datang dari Allah adalah kebenaran mutlak. Kebenaran ini merupakan realitas Al-Quran, yang tidak terkalah- kan sampai kapan pun, sepanjang masa, dan berlaku sampai hari kiamat. Kebenaran itu tecermin dalam hukum-hukum yang sudah ada dalam dan berlaku untuk setiap ciptaan-Nya, yang meliputi alam semesta dan ma- nusia.
Hanya saja, kebenaran ini dalam konteks ilmu pengetahuan memer- lukan dukungan fakta empiris dan rasionalitas; unsur empiris merupakan pengalaman yang dipadukan dengan rasionalitas. Di sisi lain, kebenaran yang dihasilkan lewat prosedur atau metode penciptaan ilmu pengetahuan yang dikembangkan melalui proses berpikir manusia tidak dapat mengha- silkan suatu kebenaran yang bersifat mutlak atau dianggap mutlak. Menu- rut Asy'arie, kebenaran ilmiah ini bersifat kontekstual, yang bergantung pada tempat dan waktu, serta bergantung pada latar belakang historis, sosial, ekonomis, dan politis sehingga bersifat relatif dan sementara.
Walaupun terdapat perbedaan antara kebenaran yang datang dari Tuhan dan kebenaran ilmiah ditinjau dari rasionalitas penerimaannya dan prosedur pembuktiannya, filsuf Thomas Aquinas berpendapat kedua kebenaran itu tidak berseberangan. Kebenaran Tuhan berasal dari wahyu dan kebenaran ilmiah berasal dari akal budi; tetapi, kebenaran akal budi dapat menjelaskan sebagian dari kebenaran agama. Menurut Ross H. McLeod, jika keduanya berlawanan, pemikiran logisnya yang salah kare- na terdapat kesalahan dalam memahami isi kitab suci yang terkait. Masu- dul Alam Choudhury berusaha mendekati pengetahuan yang bersumber dari wahyu dengan bantuan metodologi ilmiah. Berbarengan dengan hal ini, Kant27 berpendapat bahwa agama merupakan pengakuan terhadap kewajiban sebagai perintah Ilahi dan bersifat sebagai hukum dari segala kehendak bebas. Hukum itu harus dipandang sebagai perintah Zat Yang Mahatinggi, yang diharapkan memberikan kebaikan tertinggi. Karena itu, kebaikan yang tertinggi hanya dapat dicapai melalui kepatuhan terhadap hukum itu, dan memandang kewajiban terhadap pematuhannya merupa- kan kehendak yang sempurna dari segi moral. Bagi Kant, kebaikan yang paling tinggi merupakan objek final dari seluruh tindakan manusia.
Dalam kaitan dengan dukungan empiris terhadap kebenaran ihwal larangan praktik riba, misalnya, secara kontemporer sesungguhnya sudah terdapat bukti lapangan yang menunjukkan akibat negatif atau mudarat yang diakibatkannya. Akibat negatif yang disebabkan oleh riba dan kredit sebagai kegiatan di mana riba diterapkan dewasa ini dapat dilihat dari krisis ke krisis keuangan atau perbankan dengan sangat jelas. Intinya, kemakmuran yang dihasilkan oleh riba dan kredit pada tingkat makro cenderung bersifat semu28 dan banyak moral hazard timbul di sekeliling praktik riba.
John Lanchester mengatakan, sebelum krisis, orang seolah-olah hi- dup di masa keemasan jika dibandingkan dengan masa lalu. Tetapi, me- nurut dia, masa keemasan itu hanya bersifat palsu, karena sebagian besar menggunakan kredit dan gelembung kredit yang tidak langgeng dengan risiko yang tidak disadari sebelumnya. Karena itu, ia tidak setuju jika per- ekonomian suatu negara didominasi oleh jasa-jasa keuangan.
Riba dan kredit menciptakan kekayaan, tetapi hanya beredar di seki- tar segelintir orang, sedangkan sebagian besar masyarakat menanggung beban yang besar ketika dan setelah krisis keuangan terjadi. Pada dasar- nya, krisis ini terjadi karena pemberian kredit yang berlebihan atau sem- brono.
Dari segi ilmu pengetahuan, bukti empiris itu dapat menunjukkan bahwa riba lebih banyak menciptakan mudarat berkembang dan berja- lan dengan sendirinya. Para ilmuwan belum tergerak hatinya untuk me- nuangkan bukti empiris ini ke dalam penelitian yang serius dan secara khusus terhadap riba. Di samping itu, ekonomi Islam baru dibangkitkan kembali oleh kaum revivalist di Mesir sekitar tahun 1970, masih bersifat normatif, dan dengan demikian belum didukung oleh penelitian empiris yang luas seperti halnya perekonomian kapitalis dengan bank konvensio- nalnya.
Umat yang baik tentunya juga percaya bahwa kebenaran Tuhan ber- sifat mutlak. Tuhan telah memberikan pucuk pengetahuan yang dituang- kan dalam Al-Quran29 dan hadis Nabi Saw. Keduanya diterima sebagai sumber pengetahuan berdasarkan keyakinan terhadap kebenaran Tuhan. Seiring dengan berjalannya waktu, pengkajian ilmiah duniawi dapat dila­kukan berdasarkan metode tertentu, dan bukti empiris dapat dikumpul- kan kemudian untuk mendukung pandangan bahwa Al-Quran dan hadis merupakan sumber ilmu pengetahuan.30 Namun, sejalan dengan penda- pat McLeod di atas, kemungkinan yang dapat menimbulkan adanya per- bedaan adalah cara bagaimana data empiris itu dikumpulkan, bagaimana memprosesnya, dan dari segi mana melihat hasilnya.
1       Angka ini merupakan bagian rencana dari jumlah paket dana penyelamatan yang berjumlah US$ 700 miliar. Menurut Henry Paulson, Menteri Keuangan AS, separuh dari jumlah ini akan digunakan untuk menyelamatkan 21 bank swasta, antara lain US Bancorp (US$ 6,6 miliar), Capital One (US$ 3,55 mi- liar), dan Sun Trust (US$ 3,5 miliar). Bank lain yang diselamatkan adalah Citigroup (US$ 20 miliar), yang memiliki total aset US$ 2 triliun, beroperasi di lebih dari 100 negara. Pada saat krisis terjadi, sahamnya merosot tajam sampai 70 persen. Akibat kerugian US$ 18,7 miliar yang dialami pada 2008, chairperson Win Bischoff dicopot dari jabatannya.
2      Departemen Keuangan AS juga menutup dua bank dan mengambil alih First Heritage Bank of Newport Beach di California dan First National Bank of Nevada di Reno, Nevada. Kedua bank ini akhirnya diakuisisi oleh Mutual of Omaha Bank. Krisis masih berlanjut dengan penutupan sembilan bank pada akhir 2009, yaitu California National Bank of Los Angeles dan delapan bank berskala kecil lainnya.
3       Enam belas bank itu adalah Bank Andromeda, Bank Anrico, Bank Astria, Bank Citra, Bank Dwipa, Bank Guna Internasional, Bank Harapan Sentosa, Bank In- dustri, Bank Jakarta, Bank Kosa, Bank Majapahit, Bank Mataram, Bank Paci­fic, Bank Pinaesaan, Bank Sejahtera, dan Bank South East Asia. Ini penutupan tahap pertama dari jumlah 243 bank yang ada pada saat itu.
4       Sumber lain menyebutkan jumlahnya mencapai Rp 640,9 triliun, yang kegu- naannya terbagi atas program BLBI (Rp 144,5 triliun), program penjaminan (Rp 53,8 triliun), penjaminan Bank Exim (Rp 20 triliun), dan program rekapi- talisasi bank (Rp 422,6 triliun).
5       Menurut sumber lain, obligasi ini berjumlah Rp 700 triliun, dengan bunga Rp 100 triliun per tahun.
6      Jumlah bunga yang harus dibayar oleh pembayar pajak di Indonesia ini sama seperti yang dilaporkan oleh Jawa Pos, yakni pada awalnya Rp 100 triliun de­ngan pokok berjumlah Rp 700-an triliun.
7       Pada RAPBN 2009, porsi pembayaran utang pokok (Rp 60 triliun) dan bunga (Rp 110 triliun) luar dan dalam negeri mencapai 15 persen, atau keseluruhan- nya mencapai Rp 170 triliun, sedangkan total anggaran untuk enam departe- men, yakni Departemen PU (Rp 35,7 triliun), Departemen Pertahanan (Rp 35 triliun), Polri (Rp 25 triliun), Departemen Agama (Rp 20,7 triliun), Departe­men Kesehatan (Rp 19,3 triliun), dan Departemen Perhubungan (Rp 16,1 tri- liun), hanya berjumlah Rp 151,8 triliun. Porsi pembayaran utang pokok dan bunga tersebut mencakup pembayaran atas obligasi yang pernah dikeluarkan pemerintah untuk penyehatan perbankan dan BLBI. Tetapi ironisnya, sampai sekarang pihak yang menyelewengkan BLBI ini tidak semua dan sepenuhnya dihukum. Ibid.
8      Suta dan Musa (2004: 346)
9       Hal serupa dikatakan oleh Liaquat Ahamed (2009: 501). Menurut Ahamed, manajer investasi dan pemenang Pulitzer dari Amerika, banyak orang berpen- dapat, bahkan sampai sekarang, bahwa depresi besar yang melanda Amerika pada 1929-1930 disebabkan oleh "kekuatan alam" yang tidak tampak sehing­ga pemerintah tidak dapat menahannya; kejadian itu bagaikan bencana alam dan merupakan kekuasaan Tuhan. Namun, Ahamed berpendapat bahwa krisis besar itu merupakan akibat sejumlah tindakan manusia, mulai dari sejumlah kontradiksi yang diakibatkan oleh kapitalisme, pertimbangan yang salah oleh pembuat kebijakan ekonomi baik yang dilakukan pada 1920 maupun ketika krisis mulai terjadi, hingga kesalahan fatal yang dilakukan oleh sejumlah peja- bat keuangan negara.
10   Ada dua pandangan utama mengenai penyebab krisis Asia. Pandangan perta- ma menyatakan bahwa penyebab utama krisis adalah fundamental ekonomi yang lemah dan kebijakan yang tidak konsisten. (Paul Krugman, 1998; Fre­deric S. Mishkin, 1999). Pandangan kedua yakin bahwa akar krisis adalah pe- nularan kemiskinan dan irasionalitas pasar (Radelet dan Sach, 1998; Furman dan Stiglitz, 1999, 2002). Krisis finansial tidak hanya terjadi dalam keadaan fundamental yang lemah, tapi fundamental yang lemah bisa memicu psikologi bank run dan pada gilirannya berpengaruh buruk terhadap ekonomi riil (Su- karela Batunanggar, 2002).
11     Sumber lain menyebutkan angka ini 65-75 persen (Robert E. Litan, Michael Pomerleano, dan V. Sundararajan, 2002: 139).
12    Sumber yang lain menyebutkan angka yang berbeda; Tan Tok Shiong (2006) menyebutkan rasio NPL di Malaysia pada 1998 adalah 20,4 persen.
13    Lukas Menkhoff dan Chodechai Suwapanon (2005) meneliti proses pemberi- an pinjaman di Thailand dan Meksiko sebelum krisis 1997/1998 dan penyebab kenapa kemudian pinjaman ini menjadi bermasalah. Kesimpulannya, antara lain, praktik di Thailand menunjukkan bahwa variabel risiko tidak dipertim- bangkan dalam menentukan tingkat bunga, dan bobot yang lebih tinggi dalam pengambilan keputusan kredit berada pada pertimbangan relationship len­ding. Dilihat dari kasus-kasus yang wanprestasi, pemberian kredit dilakukan terlalu mudah, tanpa mempertimbangkan informasi risiko yang tersedia. Na- mun, menurut mereka, keadaan ini sedikit lebih baik jika dibandingkan de- ngan hal yang sama di Meksiko.
14    Apa yang terjadi di BBC merupakan suatu skandal yang menciptakan NPL bernilai miliaran dolar melalui suatu rekayasa keuangan yang jahat kepada perusahaan fiktif dengan nilai jaminan yang sengaja di-marked up (Lauridsen, 1998).
15    Di bank syariah disebut non performing financing (NPF) karena bank syari- ah tidak memberikan pinjaman dalam bentuk uang tunai, tetapi melakukan pembiayaan terhadap suatu transaksi dalam bentuk jual-beli atau berbentuk partisipasi dalam usaha. Tetapi karena jumlah bank syariah masih terbatas di dunia, NPF belum merupakan masalah yang fenomenal.
16    Setelah runtuhnya perekonomian sosialis, negara-negara seperti Rusia, Ruma­nia, dan Cina secara perlahan mengadopsi fitur pasar bebas. Hal ini terutama dilihat dari sisi pembiayaan bank yang diperlukan oleh produsen swasta, yang mengambil alih sebagian aktivitas produksi yang sebelumnya dilakukan oleh pemerintah. Istilah transisi ini mulai populer digunakan untuk menggambar- kan keadaan tersebut.
17    BI terus memperkuat supervisi bank dan regulasi-regulasi kehati-hatian sesuai dengan standar internasional. Pada 30 Januari 2006, BI memperkenalkan se- buah paket regulasi perbankan, termasuk ketentuan mengenai good corpora­te governance dan manajemen risiko yang terkonsolidasi. Wilayah lain yang juga ditingkatkan adalah kontrol internal, audit internal dan eksternal, garis pedoman kehati-hatian mengenai tata kelola perusahaan, dan pelatihan bagi komisioner, direktur, dan para manajer risiko bank demi sebuah proses serti- fikasi.
18    IMF melaporkan bahwa lingkungan yang berlaku bagi bank-bank tetap sulit meskipun terjadi perkembangan baru: tata kelola dan transparansi belum mencapai standard dan sulit bagi bank untuk mengakses kondisi finansial de- bitur yang sebenarnya. Selain itu masih terjadi kelemahan sistem legal yang lebih luas, proses kebangkrutan bank secara perlahan, perilaku moral hazard, korupsi, dan penipuan (Nita Thacker, et al., IMF, 2005).
19    Ini sejalan dengan laporan Kepolisian RI mengenai kasus-kasus kredit yang mereka tangani (Seminar Nasional, 2006).
20   John L. Colley Jr, Jacqueline L. Doyle. George W. Logan, dan Wallace Stettini- us (2005: 10)
21    Robert A.G. Monks dan Nell Minow (2004: 257)
22   Stakeholder adalah semua pihak yang memiliki kepentingan terhadap kor- porasi atau bank, atau terhadap keberhasilannya, sedangkan pemilik saham (shareholder) adalah pihak-pihak yang memiliki langsung saham yang dike- luarkan oleh korporasi atau bank. Semua shareholder adalah stakeholder, tetapi tidak semua stakeholder adalah juga shareholder.
23   Jackson dan Nelson memberikan contoh tujuan badan hukum berupa pernya- taan yang dipublikasikan, seperti "Beliefs" dari Standard Charterred Bank atau "The Soul of Deal" untuk Del Monte.
24    Hal ini sejalan dengan pengertian yang diberikan oleh Peter Drucker bahwa tujuan perusahaan berfokus pada pelanggan karena, jika kepentingan pe- langgan diperhatikan, perusahaan secara strategis telah menciptakan begitu banyak manfaat yang dapat diperolehnya, termasuk menciptakan keuntungan dan menambah kekayaan dalam jangka panjang.
25   Daimon dari Socrates berarti kebenaran terhadap diri sendiri, yang menjadi penuntun dalam menjalankan kehidupan (David Lloyd Norton, 1991: 83).
26    Kejadian ini ternyata bukan yang pertama kali buat Citibank atau Citigroup. Pada 1990-an, Citibank pernah akan bangkrut sebagai akibat kredit macet yang besar. Tetapi, kemudian Federal Reserve mem-bail out bank tersebut (Brewster, 2003: 170).
27    Ini adalah buku yang merupakan terjemahan dari buku aslinya yang berjudul Critique of Practical Reason yang ditulis oleh Immanuel Kant, dan diterbitkan pada 1956.
28   Charles P. Kindleberger dan Robert Aliber (2005: 275) menyimpulkan bahwa, selama 400 tahun terakhir, selalu terjadi krisis keuangan, setelah gelembung (bubble) menciut. Gelembung ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh pertumbuhan kredit, ketika orang meningkatkan pengeluar- annya untuk investasi jangka pendek untuk memperoleh keuntungan jangka pendek, dan keuntungan ini bukan berasal dari produktivitas aset yang dibeli, atau bukan berasal dari sektor riil, tetapi berasal dari kenaikan harga aset ter- sebut ketika aset itu dijual.
29    Dalam hal ini, dapat pula dikemukakan pandangan seorang penulis asing nonmuslim mengenai Al-Quran sebagai petunjuk akan pengetahuan. Beattie (2010: 155) mengatakan bahwa dalam Al-Quran terdapat petunjuk yang ber- harga tetapi tidak banyak mengenai ketentuan bagaimana usaha harus dija- lankan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Tuhan Swt. melalui ayat Al-Quran bahwa pengetahuan yang diberikan hanya sebagian kecil dari ilmu Tuhan, dan merupakan realitas ilmiah mengenai kejadian langit dan bumi (QS Al-Anbiya' [21]: 30, QS Al-Mu'minun [23]: 12).
30   Jujun S. Suriasumantri (2007: 54).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar