Selasa, 16 Agustus 2016

Bab 9 Buku Selamatkan Perbankan



9
B
ERDASARKAN hasil pembahasan dalam bab terdahulu, dapat disim- pulkan bahwa faktor-faktor manajemen internal yang dimaksud telah diterapkan lebih baik atau lebih tinggi pada bank syariah, dibandingkan pada bank konvensional. Kesimpulan ini merupakan jawaban terhadap tujuan kedua dari penelitian ini, dengan perincian sebagai berikut:
1.        Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara pengaruh ke- mampuan dan pengetahuan kredit/pembiayaan terhadap NPF pada bank syariah, dibandingkan dengan pengaruh kemampuan dan pengetahuan kredit/pembiayaan terhadap NPL pada bank konvensional. Selain itu, penelitian ini juga berhasil mengung- kapkan bahwa pengaruh kemampuan dan pengetahuan kredit/ pembiayaan terhadap NPF pada bank syariah lebih besar, diban- dingkan dengan kemampuan dan pengetahuan kredit/pembia- yaan terhadap NPL pada bank konvensional. Dengan demikian, dapat dikatakan di sini bahwa kemampuan dan pengetahuan kredit/pembiayaan pejabat kredit bank syariah lebih tinggi, di- bandingkan dengan kemampuan dan pengetahuan kredit/pem- biayaan pejabat kredit bank konvensional.
2.       Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara pengaruh in- tegritas dan profesionalisme terhadap NPF pada bank syariah, dibandingkan dengan pengaruh integritas dan profesionalisme
terhadap NPL pada bank konvensional. Selain itu, penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa pengaruh integritas dan profesionalisme terhadap NPF pada bank syariah lebih besar, dibandingkan dengan pengaruh integritas dan profesionalisme terhadap NPL pada bank konvensional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa integritas dan profesionalisme pejabat kredit bank syariah lebih tinggi, dibandingkan dengan integritas dan profesionalisme pejabat kredit bank konvensional.
3.        Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara pengaruh ka- dar spiritualitas terhadap NPF pada bank syariah, dibandingkan dengan pengaruh kadar spiritualitas terhadap NPL pada bank konvensional. Penelitian ini juga berhasil mengungkapkan bah- wa pengaruh kadar spiritualitas terhadap NPF pada bank syariah lebih besar, dibandingkan dengan pengaruh kadar spiritualitas terhadap NPL pada bank konvensional. Jadi, dapat dikatakan di sini bahwa kadar spiritualitas pejabat kredit bank-bank syariah lebih tinggi, dibandingkan dengan kadar spiritualitas pejabat kredit bank-bank konvensional.
4.        Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara pengaruh kepe- mimpinan bermoral terhadap NPF pada bank syariah, dibanding- kan dengan pengaruh kepemimpinan bermoral terhadap NPL pa- da bank konvensional. Selain itu, penelitian ini berhasil mengung- kapkan bahwa pengaruh kepemimpinan bermoral terhadap NPF pada bank syariah lebih besar dibandingkan, dengan pengaruh ke­pemimpinan bermoral terhadap NPL pada bank konvensional. De- ngan demikian, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan bermoral pejabat kredit bank-bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan kepemimpinan bermoral pejabat kredit bank-bank konvensional.
5.        Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara pengaruh kul- tur perusahaan terhadap NPF pada bank syariah, dibandingkan dengan pengaruh kultur perusahaan terhadap NPL pada bank konvensional. Selain itu, penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa pengaruh budaya perusahaan terhadap NPF pada bank syariah lebih besar, dibandingkan dengan pengaruh budaya per- usahaan terhadap NPL pada bank konvensional. Dengan demi- kian, dapat dikatakan bahwa budaya perusahaan pejabat kredit bank-bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan budaya per- usahaan pejabat kredit bank-bank konvensional.
6.        Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara pengaruh kebijakan disiplin anggaran terhadap NPF pada bank syariah, dibandingkan dengan pengaruh kebijakan disiplin anggaran terhadap NPL pada bank konvensional. Selain itu, penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa pengaruh kebijakan disiplin anggaran terhadap NPF pada bank syariah lebih besar, diban- dingkan dengan pengaruh kebijakan disiplin anggaran terhadap NPL pada bank konvensional. Jadi, dapat dikatakan di sini bah- wa kebijakan disiplin anggaran dari pejabat kredit bank-bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan kebijakan disiplin ang­garan dari pejabat kredit bank-bank konvensional.
7.        Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara pengaruh sistem penghargaan dan hukuman terhadap NPF pada bank syariah, dibandingkan dengan pengaruh sistem penghargaan dan hukuman terhadap NPL pada bank konvensional. Selain itu, penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa pengaruh sistem penghargaan dan hukuman terhadap NPF pada bank syariah le- bih besar, dibandingkan dengan pengaruh sistem penghargaan dan hukuman terhadap NPL pada bank konvensional. Dengan demikian, dapat dikatakan di sini bahwa sistem penghargaan dan hukuman dari pejabat kredit bank-bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan sistem penghargaan dan hukuman dari pejabat kredit bank-bank konvensional.
8.       Terdapat perbedaan yang sangat signifikan, antara pengaruh kul- tur kredit/pembiayaan terhadap NPF pada bank syariah, diban- dingkan dengan pengaruh kultur kredit/pembiayaan terhadap NPL pada bank konvensional. Selain itu, penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa pengaruh kultur kredit/pembiayaan ter- hadap NPF pada bank syariah lebih besar, dibandingkan dengan pengaruh kultur kredit/pembiayaan terhadap NPL pada bank konvensional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kultur kredit/pembiayaan pejabat kredit bank-bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan kultur kredit/pembiayaan pejabat kredit bank-bank konvensional.
9.        Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara pengaruh pe- ngecekan reputasi terhadap NPF pada bank syariah, dibanding- kan dengan pengaruh pengecekan reputasi terhadap NPL pada bank konvensional. Penelitian ini juga berhasil mengungkapkan bahwa pengaruh pengecekan reputasi terhadap NPF pada bank syariah lebih besar, dibandingkan dengan pengaruh pengecekan reputasi terhadap NPL pada bank konvensional. Jadi, dapat di­katakan di sini bahwa pengecekan reputasi pejabat kredit bank- bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan pengecekan repu- tasi pejabat kredit bank-bank konvensional.
10.    Terdapat perbedaan yang sangat signifikan, antara pengaruh uji tuntas dan kepedulian terhadap NPF pada bank syariah, di­bandingkan dengan pengaruh uji tuntas dan kepedulian terha­dap NPL pada bank konvensional. Penelitian ini juga berhasil mengungkapkan bahwa pengaruh uji tuntas dan kepedulian ter- hadap NPF pada bank syariah lebih besar, dibandingkan dengan pengaruh uji tuntas dan kepedulian terhadap NPL pada bank konvensional. Dengan demikian, dapat dikatakan di sini bahwa uji tuntas dan kepedulian dari pejabat kredit bank-bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan uji tuntas dan kepedulian dari pejabat kredit bank-bank konvensional.
11.     Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara pengaruh pengawasan kredit/pembiayaan internal terhadap NPF pada bank syariah, dibandingkan dengan pengaruh pengawasan kredit/ pembiayaan internal terhadap NPL pada bank konvensional. Se- lain itu, penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa pengaruh pengawasan kredit/pembiayaan internal terhadap NPF pada bank syariah lebih besar, dibandingkan dengan pengaruh pengawasan kredit/pembiayaan internal terhadap NPL pada bank konvensio- nal. Dengan demikian, dapat dikatakan di sini bahwa pengawasan kredit/pembiayaan internal dari pejabat kredit bank-bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan pengawasan kredit/pembiayaan internal dari pejabat kredit bank-bank konvensional.
12.    Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara pengaruh ga- bungan semua variabel x terhadap NPF pada bank syariah, diban­dingkan dengan pengaruh gabungan semua variabel x terhadap NPL pada bank konvensional. Selain itu, penelitian ini berhasil mengungkapkan bahwa pengaruh gabungan semua variabel x ter- hadap NPF pada bank syariah lebih besar, dibandingkan dengan pengaruh gabungan semua variabel x terhadap NPL pada bank konvensional. Dengan demikian dapat dikatakan di sini bahwa se- mua faktor mikro (mulai x1 hingga xn) manajemen internal bank-

bank syariah lebih baik, dibandingkan de- Bank syariah ngan semua faktor mikro (mulai x1 hingga pertama yang xu) manajemen internal bank-bank kon- beroperasi di vensional.    Indonesia adalah
13. Sehubungan dengan kedua belas faktor Bank Muamalat, manajemen internal yang dimaksud dite- mulai 1992.
rapkan lebih baik pada bank syariah, di- ------------------------------
bandingkan pada bank konvensional, hasilnya menunjukkan bah- wa tingkat NPF pada bank syariah lebih rendah atau lebih baik, di- bandingkan tingkat NPL pada bank konvensional. Hal ini telah di- tunjukkan melalui pembuktian hipotesis di atas, bahwa pengaruh seluruh variabel terhadap NPF lebih besar, dibandingkan dengan pengaruh variabel yang sama terhadap NPL. Karena itu, dapat di- simpulkan dari model syariah tersebut, jika seluruh variabel bebas tetap atau tidak ada perubahan, maka NPF atau Y1 adalah sebesar 55,469. Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan model bank kon­vensional dengan nilai Y2 sebesar 74,745. Ini artinya, tingkat NPF rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan tingkat NPL. Dengan demikian, tujuan ketiga dari penelitian dapat dijawab dengan baik.
Sehubungan dengan tujuan keempat dari penelitian, yaitu meng- analisis dan menemukan penyebab perbedaan tingkat penerapan setiap faktor manajemen internal yang dimaksud pada bank syariah dan bank konvensional, uraiannya adalah sebagai berikut:
Secara sepintas, kesimpulan di atas tampaknya kurang logis jika dikaitkan dengan lamanya bank syariah beroperasi di perbankan Indonesia. Bank syariah pertama yang beroperasi di Indonesia adalah Bank Muamalat, mulai 1992. Kurun waktu yang relatif pendek itu mungkin saja dirasakan kurang untuk memupuk pengetahuan dan keahlian yang lebih tinggi. Na- mun, seperti halnya pada Bank Muamalat, kebutuhan SDM bank syariah umumnya bersumber dari tenaga yang telah bekerja pada bank konven­sional.
Dari segi kemampuan dan pengetahuan kredit/pembiayaan, pelatih- an yang diberikan pada bank syariah pada dasarnya merupakan penye- suaian materi sejalan dengan konsep syariah. Dari segi pengetahuan me- ngenai syariahnya sendiri, semua tenaga SDM yang diperlukan pada ba- gian yang berkaitan dengan pembiayaan diberi pelatihan melalui magang oleh pejabat yang lebih senior atau berpengalaman. Hal ini dilakukan berbarengan dengan pemberian pelatihan dalam ruangan kelas secara berkala dan terus-menerus oleh para senior.
Kebutuhan akan pengetahuan dan keahlian perkreditan atau pem- biayaan pada bank syariah lebih luas dan lebih dalam, jika dibandingkan dengan kebutuhan yang sama pada bank konvensional. Karena itu, urai- an ini dapat menunjukkan bahwa keterlibatan para senior atau yang lebih berpengalaman dalam proses analisis, dan persetujuan usulan pembia- yaan lebih terintegrasi dengan pekerjaan yang dilakukan oleh para peja- bat pembiayaan. Di samping itu, adanya keterlibatan para senior dalam proses analisis dan persetujuan membuat setiap pihak yang terkait lebih berhati-hati, dan hal ini didorong oleh adanya kata "syariah". Adanya la­bel "syariah" membawa konsekuensi rasa malu, jika ternyata para pejabat membuat kesalahan dalam melakukan pekerjaannya; dan tidak sejalan dengan impresi "syariah", sehingga mereka bersikap lebih hati-hati dalam melakukan pekerjaan tersebut.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa penerapan faktor profesional- isme dan integritas lebih baik pada bank syariah, dibandingan dengan penerapan faktor yang sama pada bank konvensional. Di samping itu, di- simpulkan bahwa kadar profesionalisme dan integritas pada bank syariah lebih tinggi daripada kadar kedua faktor tersebut pada bank konvensio- nal. Apa sebabnya?
Pertama, dengan adanya kata "syariah", semua pihak yang terkait dalam proses analisis dan persetujuan kredit/pembiayaan mengetahui, bahwa ketentuan syariah bersumber dari ketetapan Tuhan dan hadis Nabi Saw. Setiap calon pegawai juga menyadari hal ini dan menjadikan- nya sebagai suatu bentuk idealisme, yang dikaitkan dengan makna kata ini ketika bergabung dengan bank syariah. Dengan adanya pengetahuan dan idealisme ini, mereka berusaha lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya, karena adanya rasa takut salah dan malu kalau menyim- pang dari yang telah ditentukan.

Kedua, dalam melakukan pekerjaan secara berkelompok dan untuk kelompok, secara khusus dan jelas Al-Quran mengatakan kepada orang- orang yang beriman, agar bertakwa bersama orang-orang yang benar (QS Al-Taubah [9]: 119). Ayat ini menganjurkan agar profesionalisme dan integritas harus dijaga secara bersama dan untuk kepentingan bersama. Dengan demikian, profesionalisme dan integritas dalam lingkungan pe- kerjaan merupakan perhatian dan kepentingan kelompok.
Ketiga, keberhasilan bank syariah dalam menjalankan usahanya di- capai tidak saja karena tuntutan tugas profesionalisme para eksekutifnya, tapi juga merupakan tanggung jawab terhadap Tuhan.
Keempat, Nabi Saw. berkata melalui salah satu hadisnya yang intinya menyetarakan pelaksanaan profesi sebagai amanah karena Allah Swt, ha- nya memandang hati dan perbuatan manusia, serta menyukai orang yang bekerja dengan baik dan memenuhi kewajiban jika diberi kepercayaan. Dengan alasan-alasan ini, orang akan mempertahankan tingkat profesio- nalisme dan integritasnya, karena berkaitan erat dengan tanggung jawab untuk menjalankan prinsip syariah dengan baik di dalam lingkungan bank syariah.
Kelima, jumlah bank syariah masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan jumlah bank konvensional. Jumlah aset dan SDM-nya juga jauh lebih kecil dibandingkan dengan aset dan jumlah tenaga kerja pada bank konvensional. Kenyataan ini membuat para pejabat pada bank syariah harus bekerja lebih hati-hati, karena kesalahan dapat dengan lebih jelas dan lebih cepat diketahui. Di samping itu, banyak pihak baik dari inter­nal bank maupun pihak eksternal bank, seperti para nasabah atau calon nasabah, selalu ingin mengetahui dan mengikuti kinerja pejabat perkre- ditan atau pembiayaan bank syariah dan bank syariahnya sendiri sebagai institusi.
Keenam, adanya perasaan malu jika membuat kesalahan dalam peker- jaan, atau lebih khusus melakukan tindakan yang menyimpang dari norma di lingkungan yang bernuansa syariah. Di Bank Muamalat, yang melaku- kan tindakan menyimpang dari norma yang dianut atau yang dianggap dianut dalam lingkungan tersebut cepat atau lambat akan mengundurkan diri secara sukarela. Sebab, di samping rasa malu, mereka merasa terkucil- kan dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan pekerjaaan. Secara khusus, budaya malu memang dikembangkan di lingkungan Bank Muamalat.
Ketujuh, pertumbuhan bank syariah yang pesat merupakan turunan dari pasar yang masih terbuka luas, sehingga peluang ini memerlukan le- bih banyak tenaga yang berpengalaman dan memiliki keahlian di bidang pembiayaan syariah. Ini berarti kesempatan pertumbuhan bank-bank

Kepemimpinan bermoral berpengaruh terhadap timbulnya NPF pada bank syariah dan NPL pada bank konvensional dan pengaruh yang lebih baik terjadi pada bank syariah dibandingkan pada bank konvensional.
syariah masih terbuka luas pula, sehingga tenaga senior juga lebih banyak dibutuhkan saat ini dan di masa mendatang. Kesempatan pertumbuhan ini juga diamati dan diketahui oleh banyak pihak, terutama pihak internal bank. Karena itu, mere- ka menyadari bahwa baik peluang promosi dari dalam (promotion from within) maupun dari luar, yaitu memperoleh posisi yang lebih tinggi di bank syariah lain termasuk yang baru beroperasi (promotion from without), masih terbuka lebar. Dengan alasan ini, mereka berusaha memper- tahankan integritas dan sikap profesionalisme yang lebih baik, dan menjaga kedua faktor yang bersifat krusial bagi karier seseorang ini agar ti- dak menjadi cacat.





Faktor spiritual disimpulkan dapat memengaruhi timbulnya NPF pada bank syariah, dan NPL pada bank konvensional. Penelitian ini juga me- nyimpulkan bahwa kadar spiritualitas pejabat kredit bank syariah lebih tinggi, dibandingkan dengan kadar spiritualitas pejabat kredit bank kon- vensional. Ini konsekuensi yang sangat logis mengingat semua pihak yang terkait dengan perkreditan/pembiayaan mengetahui bahwa ketentuan perbankan syariah harus mengikuti ketentuan pada ayat-ayat Al-Quran dan hadis. Karena itu, wajar jika penerapan dan kadar spiritualitas pada bank syariah lebih tinggi daripada pada bank konvensional.
Pada wawancara terhadap responden terungkap bahwa unsur spi- ritualitas ini diperkuat dengan ketentuan-ketentuan dan pelatihan atau pencerahan keagamaan di lingkungan bank masing-masing. Ketentuannya antara lain setiap pegawai harus melakukan shalat lima waktu, berpuasa, dan menunaikan rukun Islam lainnya. Di Bank Muamalat, setiap tahun program khusus dibuat untuk mengirim para pegawai guna menunaikan ibadah haji, berdasarkan kriteria tertentu.
Keimanan dan ketakwaan sangat diperlukan dalam lingkungan perbankan umumnya, dalam pemberian kredit/pembiayaan khususnya, karena merupakan daerah yang sangat rawan terhadap penyimpangan. Kasus demi kasus penyimpangan di lingkungan perbankan yang menim- bulkan NPL di banyak negara, termasuk Indonesia, selalu terjadi dari waktu ke waktu.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kepemimpinan bermoral berpenga- ruh terhadap timbulnya NPF pada bank syariah dan NPL pada bank kon- vensional, dan pengaruh yang lebih baik terjadi pada bank syariah diban- dingkan pada bank konvensional. Karena pengaruh kepemimpinan ber- moral terhadap NPF pada bank syariah lebih besar, dibandingkan dengan faktor yang sama terhadap NPL pada bank konvensional, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan bermoral pimpinan tertinggi bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan kepemimpinan bermoral pimpinan tertinggi bank konvensional.
Dengan makna syariah yang digunakan sebagai suatu bentuk idealis- me, dan bersumber dari Al-Quran dan hadis Nabi Saw., pimpinan terting­gi bank akan menjadi sorotan dari banyak pihak, baik internal maupun eksternal, yang akan mempertanyakan apakah tingkah lakunya sudah "syariah" atau belum. Di internal bank, pimpinan tertinggi mau tidak mau menjadi panutan bagi para staf dan pegawainya. Dengan dikembang- kannya budaya malu, tingkah laku pribadi dan pola hidup juga menjadi perhatian terhadap dirinya, karena merasa akan dinilai paling tidak oleh para stafnya dari segi yang berkaitan dengan syariah. Dengan demikian, label "syariah" yang digunakan harus diikuti tidak hanya dengan pola pembiayaan syariah yang benar, karena selalu diawasi oleh Dewan Syari- ah Nasional, tetapi juga harus dibarengi dengan tingkah laku yang sesuai dari semua staf dan pegawai bank, yang harus dimulai dan dicontohkan oleh pimpinan tertinggi bank yang terkait.
Jika pemimpin tertinggi bank syariah menunjukkan tingkah laku pri- badi dan kepemimpinannya yang menyimpang dengan apa yang diharap- kan oleh lingkungan, yang berbeda dengan impresi "syariah", maka secara langsung atau tidak penyimpangan dalam tindak-tanduk atau kepemim- pinannya itu akan terlihat "berbeda" dengan jelas. Jika dalam bank syariah dikembangkan budaya malu, dengan sendirinya pemimpin tertinggi yang tidak "syariah" itu tidak akan dapat memimpin banknya secara efektif, dan dia akan merasa malu terhadap lingkungan yang dipimpinnya.
Pada bank yang telah diwawancarai, budaya malu ini sedang dikem- bangkan dan terus dibudayakan.

Dari hasil penelitian, yang menunjukkan bahwa pengaruh kultur perusa- haan terhadap NPF pada bank syariah lebih besar, dapat pula dikatakan bahwa kultur perusahaan bank syariah lebih baik dibandingkan dengan kultur perusahaan bank konvensional. Hal yang membuat perbedaan dalam kultur perusahaan pada bank syariah adalah bahwa kultur ini di- gunakan sebagai acuan etika, di samping digunakan sebagai acuan lain- nya seperti pencapaian hasil terbaik; dan dibarengi dengan budaya malu. Kultur perusahaan itu bersumber atau mengacu pula pada Al-Quran dan hadis Nabi Saw. Acuan etika itu menentukan untuk bersifat tertentu, atau tidak bersifat tertentu, baik dalam lingkungan pekerjaan sehari-hari mau- pun lingkungan di luar jam kantor.
Perbedaan mendasar penerapan kultur pada bank syariah dan bank konvensional terletak pada makna kultur yang dikembangkan. Pada bank konvensional, kultur yang dikembangkan berorientasi pada pencapaian tujuan dan hasil akhir berupa peningkatan pendapatan atau keuntung- an. Selain sebagai identitas terhadap makna "syariah" dan menciptakan komitmen terhadap organisasi), kultur organisasi bagi bank syariah yang diwawancarai lebih dari mencapai tujuan hasil akhir yang dimaksud.
Kultur organisasi pada bank syariah merupakan doktrin etika yang mengharuskan setiap staf bersifat tertentu dan tidak bersifat tertentu, sehingga dapat mendorong berkembangnya nilai etika yang lebih kental. Terciptanya etika yang lebih kental dapat menciptakan komitmen terha- dap kepatuhan hukum, memengaruhi pengambilan keputusan, dan mela- kukan tindakan yang benar.
Pada bank syariah, kultur organisasi dapat dilihat dari aktivitas se- hari-hari, yang mengacu pada Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Al-Quran menganjurkan manusia untuk bekerja sama dalam mengerjakan keba- jikan dan takwa, dan bukan tolong-menolong dalam berbuat dosa atau pelanggaran. Karena perhatian diarahkan pada kedua acuan ini, kultur perusahaan ke arah yang lebih komplet dikembangkan secara bertahap.
Namun, secara umum kultur yang dikembangkan pada bank syariah telah dapat menekan frekuensi penyimpangan yang terjadi dalam bank, yaitu dengan contoh berikut: Panin Syariah o persen, Muamalat di bawah 1 persen, dan BSM lebih kecil dari 1 persen; pada bank konvensional, di lain pihak, bisa mencapai 2o persen. Bank syariah mencatat angka yang lebih baik karena kultur perusahaan yang lebih baik, yang didorong oleh adanya budaya malu dan takut salah.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa penerapan kebijakan disiplin anggar- an dapat memengaruhi timbulnya NPF pada bank syariah dan NPL pada bank konvensional, dan kebijakan disiplin anggaran pada bank syariah lebih baik daripada kebijakan disiplin anggaran pada bank konvensional. Ini artinya disiplin keuangan bank syariah lebih baik dibandingkan de- ngan bank konvensional.
Hal ini jelas berkaitan dengan teori dan praktik yang diterapkan pada bank syariah, yakni: realisasi pendapatan atau arus kas harus selalu dibandingkan dengan ekspektasi, atau proyeksi karena pembiayaan bank syariah yang mengacu pada perolehan keuntungan riil dalam arti cash ba­sis. Terutama dalam hal pencatatan yang berkaitan dengan realisasi arus kas, serta dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah, disiplin keuangan ini dijalankan dengan sangat ketat dengan penjelasan berikut:
Pertama, sebagai dasar filosofi penerapannya, Al-Quran menye- butkan bahwa Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebihan atau pem- borosan, karena pemborosan itu adalah saudara setan yang ingkar pada Tuhannya dan keseimbangan dalam membelanjakan harta.
Kedua, semua transaksi dari berbagai macam akad bank syariah mengacu pada perolehan keuntungan riil, atau arus kas yang sesungguh- nya atau bersandar pada cash basis.
Ketiga, secara reguler realisasi pendapatan selalu harus dibanding- kan dengan ekspektasi, atau pengontrolan ini selalu dilakukan walaupun kolektibilitas pembiayaan masih dalam keadaan kategori lancar.
Keempat, hasil wawancara dengan bank syariah tertentu menun- jukkan bahwa sistem penagihan dilakukan lebih tegas dengan keputusan lebih jelas, yang mengacu pada perolehan kas yang lebih cepat dan/atau keberanian dalam mengambil sikap "cut loss". Pada bank tersebut, kegi- atan remedial dibagi menjadi dua bagian: pertama, tidak ada jaminan, dan, kedua, ada jaminan. Jika tidak ada jaminan, tindakannya adalah "cut loss". Tetapi, jika jaminan cukup kuat, apa yang dilakukan adalah meng- usahakan menjual jaminan dengan mencari calon pembeli.
Hal yang menarik untuk dicatat adalah bahwa, menurut salah satu bank yang diwawancarai, pembiayaan yang tidak memiliki jaminan lebih sedikit mengalami penghapusan (write off). Ini artinya proses seleksi atau analisis dan persetujuan pembiayaan dilakukan dengan sangat baik, efisien, dan efektif.
Faktor sistem penghargaan dan hukuman disim- pulkan dapat memengaruhi timbulnya NPF pada bank syariah dan NPL pada bank konvensional, dan penerapan atau sistem pemberian hadiah dan hukuman pada bank syariah lebih baik, di- bandingkan penerapan sistem yang sama pada bank konvensional.
Hal ini tidak lepas dari isyarat yang ada pada Al-Quran bahwa siapa yang melakukan amal yang saleh, dan siapa yang melakukan perbuatan jahat sekecil apa pun, maka ia sendiri yang akan menerima pahala atau dosa atau balasannya. Al-Quran juga menyatakan bahwa orang akan mendapat bagian dari apa yang telah dikerjakannya, karena Tuhan begitu cepat dalam melakukan perhitungan dari apa yang telah dilakukan itu. Namun, Al-Quran juga mengisyaratkan, bahwa kesa­lahan orang perlu diteliti terlebih dulu dengan melakukan tabayyun se­belum diberikan sanksi yang sesuai, karena Tuhan tidak akan mengazab sebelum mengutus seorang Rasul. Dalam praktiknya, penerapan sistem ini dilaksanakan lebih dengan jelas dan pasti pada bank syariah.
Hasil wawancara dengan bank syariah menunjukkan bahwa setiap tindakan yang menunjukkan integritas yang tinggi diberi hadiah. Sebalik- nya, jika ada kesalahan, akan dikenakan sanksi berupa pemberian SP 1, SP 2 dan SP 3 secara konsisten atau dikucilkan; dan jika melakukan tidak- an yang menyimpang, langsung diberhentikan. Bahkan pada salah satu bank yang diwawancarai, disebutkan bahwa setiap unit memiliki ukuran sendiri, yang disebut key performance indicator (KPI), yakni setiap unit harus mencari poin yang lebih tinggi agar mendapat reward, dan setiap tindakan yang menunjukkan integritas yang tinggi diberi penghargaan. Sebaliknya, jika menyimpang, dikenakan sanksi sampai pemberhentian.
Tuhan adalah pemilik mutlak, dan manusia hanya pengelolanya, sehingga harta harus digunakan sesuai dengan tujuan-tujuan yang bernapaskan Islami.
Penerapan yang lebih tegas dan jelas ini juga dilatarbelakangi oleh idealisme "syariah", dan adanya kultur malu. Karena adanya rasa malu, orang yang melakukan kesalahan atau menyimpang dari pengertian "syariah" atau staf yang cacat profesionalisme dan integritasnya, pada akhirnya akan mengundurkan diri dengan sendirinya. Mengenai sistem pemberian penghargaan dan sanksi ini, mereka juga berpendapat bahwa bank konvensional umumnya belum serinci dan selengkap pada BSM atau Bank Muamalat.
Penelitian menyimpulkan bahwa faktor kultur kredit atau pembiayaan dapat memengaruhi timbulnya NPF pada bank syariah dan NPL pada bank konvensional, dan kultur pembiayaan pada bank syariah lebih baik dibandingkan dengan kultur kredit pada bank konvensional. Mengapa demikian?
Pertama, secara teoretis, menurut Chapra dan Ahmed, bank syariah menghadapi risiko pembiayaan yang lebih besar sehingga pengelolaan- nya harus lebih bijaksana dan diperlukan kultur, manajemen risiko serta kultur kredit/pembiayaan yang efektif. Secara hakiki, penerapan kultur tersebut merupakan pengejewantahan tanggung jawab pengelolaan dana masyarakat pada bank. Algaoud dan Lewis mengaitkan masalah tanggung jawab ini dengan konsep umat yang merupakan solidaritas di kalangan muslim, yang berkaitan dengan konsep amanah dalam pengelolaan harta. Tuhan adalah pemilik mutlak, dan manusia hanya pengelolanya, sehingga harta harus digunakan sesuai dengan tujuan-tujuan yang bernapaskan Is- lami. Algaoud dan Lewis berpendapat bahwa konsep amanah yang sama juga menuntut agar bank, sebagai wakil investor atau pemilik dana, ber- tindak dalam melakukan pengelolaan dana tersebut dengan penuh tang- gung jawab, serta memenuhi segala kewajiban mereka terhadap pemilik dana.
Kedua, dari segi praktik, salah satu bank yang diwawancarai me- nyebutkan bahwa setiap pejabat harus memahami "kultur dari produk" terlebih dulu sebelum memahami kultur yang lebih luas. Jika demikian halnya, itu berarti bahwa mereka harus benar-benar memahami seluruh seluk-beluk mengenai semua produk itu, termasuk risiko yang terkait dan yang mungkin harus dihadapi, beserta kajian mengenai besar-kecilnya kemungkinan keuntungan yang diharapkan dapat terealisasikan. Dengan demikian, setiap produk dapat diaplikasikan kepada situasi atau transak- si yang sesuai. Ini artinya pendekatan yang digunakan lebih spesifik dan fokus, dibandingkan dengan pendekatan yang digunakan oleh bank kon- vensional.
Ketiga, terdapat perbedaan pendekatan kultur dalam proses pembe- rian kredit, antara bank konvensional dan bank syariah. Pada bank sya- riah, semua calon nasabah dianggap baik, baru kemudian diteliti apakah calon nasabah itu memiliki karakteristik yang tidak baik. Jika ada, ma- salah kenapa tidak baik itu kemudian diteliti lebih lanjut. Jika hasilnya jelas tidak ada yang harus dikhawatirkan, baru analisis pembiayaan yang diperlukan dilanjutkan. Hal ini dapat dimengerti karena hubungan nasa- bah dengan bank yang akan dibentuk pada bank syariah adalah hubung- an yang berdasarkan kemitraan, terlepas dari adanya unsur kedekatan dengan pribadi yang ada di bank atau tidak. Pada bank konvensional, hubungan yang akan dibentuk itu merupakan hubungan kreditor-debitor. Dengan demikian, pendekatan yang dilakukan pada tahap awal ini adalah untuk memastikan apakah calon debitor itu dapat dipercaya atau tidak, atau dengan kata lain, apakah layak kredit atau tidak. Jadi, pendekatan awal tersebut cenderung dimulai dengan kecurigaan terhadap calon de­bitor.
Uraian ini menunjukkan bahwa pendekatan awal yang dilakukan oleh bank syariah lebih luas, tapi terarah, kemudian terkonsentrasi pada hal yang lebih khusus. Pada bank konvensional, pedekatan awal yang dimaksud lebih bersifat umum, dan juga menggunakan unsur kedekatan antarpribadi yang ada di bank dengan calon debitor sebagai sumber in- formasi apakah calon debitor dapat dipercaya atau tidak.
Faktor pengecekan reputasi dapat memengaruhi timbulnya NPF pada bank syariah dan NPL pada bank konvensional, dan pengecekan reputasi pada bank syariah dilakukan lebih baik daripada pada bank konvensional. Dari segi teori, alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, keperluan untuk melakukan pengecekan masalah reputa- si yang lebih dalam atau luas terhadap calon nasabah dapat dilihat dari substansi yang diperlukan untuk membentuk hubungan dengan calon "mitra" bagi bank syariah. Sebagai calon mitra, bank syariah memerlukan unsur human capital calon nasabah yang dapat mendukung penciptaan keuntungan bagi kedua belah pihak, yaitu pihak bank dan nasabah. Ini artinya yang diperlukan tidak saja unsur keahlian berbisnis atau menja­lankan suatu usaha yang akan dibiayai, tetapi juga sifat "orangnya" dan sifat "lingkungan" yang dapat memengaruhi orang tersebut. Hal ini dila- kukan secara independen, tidak dimulai karena adanya unsur "kedekat- an" seperti pada umumnya pada bank konvensional.
Kedua, secara hakiki pribadi Nabi Muhammad Saw. merupakan contoh reputasi. Dengan kualitas pribadi yang dimilikinya dan hasil ker- ja yang memuaskan, Nabi Saw. merupakan mudharib yang berhasil dan dikenal baik di Jazirah Arab pada zamannya; dan sebagai debitor, Nabi
Saw. selalu mementingkan pembayaran kewajib- annya paling tidak tepat waktu. Hal inilah yang mengilhami materi kegiatan pengecekan reputasi yang dilakukan pada bank syariah.
Karena itu, pada praktiknya, seperti diung- kapkan dari wawancara yang dilakukan dengan sejumlah pejabat bank syariah, alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, cakupan pengecekan reputasi yang dilakukan oleh bank syariah lebih luas diban- dingkan dengan apa yang dilakukan oleh bank konvensional. Seperti halnya yang dilakukan oleh bank konvensional, bank syariah juga melakukan pengecekan apakah ca- lon nasabah termasuk dalam daftar nasabah dengan tingkat kolektibilitas tidak lancar pada Bank Indonesia. Namun, cakupan pengecekan reputa- si calon debitor juga mencakup pengecekan reputasi dari keluarga yang berkaitan dengan calon debitor dan di sekitar bisnis calon debitor. Jika calon nasabah merupakan badan usaha, pengecekan dilakukan berkaitan dengan reputasi semua personel pengurus badan usaha tersebut.
Kedua, karena nasabah merupakan calon mitra bank syariah, materi pengecekan reputasi lebih luas daripada pengecekan yang dilakukan oleh bank konvensional yang hanya menekankan pada masalah bisa diperca- ya atau tidak dan kemampuan bayar di masa depan. Materi pengecekan yang dilakukan oleh bank syariah meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan keahlian bisnis, karakter, terkait masalah hukum atau tidak, sam- pai pada apakah bisa bekerja sama atau tidak.
Dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa faktor uji tuntas dan ke­pedulian pada bank syariah lebih besar, dan dapat dikatakan bahwa uji tuntas dan kepedulian yang dilakukan oleh bank syariah lebih baik di­bandingkan dengan uji tuntas dan kepedulian yang dilakukan oleh bank konvensional. Alasannya:
Bank syariah harus meneliti lebih ketat dan terperinci karena setiap pembiayaan harus diketahui secara pasti peruntukannya, bisnisnya, dan debitornya.
Pertama, adanya sabda Nabi Saw. yang menyatakan bahwa Allah akan sangat senang jika umatnya melakukan pekerjaannya dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Sebelum suatu pekerjaan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, orang perlu menyelidiki dan mempelajari hal ihwal
pekerjaan itu terlebih dulu. Al-Quran pun memerintahkan kepada kaum muslim untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi (tabayyun) terha- dap semua pernyataan dan informasi yang dapat diperoleh, sebelum me- lakukan tindakan atau keputusan.
Kedua, bank syariah harus meneliti lebih ketat dan terperinci karena setiap pembiayaan harus diketahui secara pasti peruntukannya, bisnis- nya, dan debitornya. Ini artinya awal analisis lebih fokus dan jalannya lebih terarah. Bank syariah harus memastikan bahwa pembiayaan tidak berkaitan dengan spekulasi, derivatif, atau rekayasa keuangan yang ti- dak produktif; harus meneliti dengan saksama kejujuran dan realibilitas calon nasabah sebagai calon mitra, karena keberhasilan usaha sangat di- tentukan oleh kejujuran dan realibilitas mitra dan kemampuannya untuk memperoleh keuntungan. Hal ini sangat penting untuk ditelaah secara dalam karena pada akad PLS, bank ikut berpartisipasi dalam risiko dan ikut menanggung kerugian yang mungkin terjadi.
Dalam keadaan yang terus merugi, bank tidak dapat mengambil jalur pailit atau menyita jaminan dari usaha yang dibiayai, seperti halnya da- lam bank konvensional. Alasan ini akan mendorong bank untuk meneliti komitmen calon nasabah untuk bekerja sama dengan waktu yang lebih panjang, dan kedua belah pihak bertanggung jawab terhadap keberhasil- an usaha. Di sini, hubungan bank dengan konsumen tidak dibentuk dari hubungan antara kreditor dan debitor, tetapi merupakan hubungan an- tarmitra atau antara shahibul mal dan mudharib.
Hubungan itu tidak semata-mata bersifat transaksional, tetapi lebih relasional dengan waktu yang cenderung lebih panjang. Dengan demiki­an, kegiatan uji tuntas tidak terbatas hanya pada pengawasan pembayar- an angsuran dan bunga agar tepat waktu, atau kepatuhan terhadap keten- tuan pembatasan atau covenants dari perjanjian atau akad saja. Dalam perspektif uji tuntas, bank syariah tidak hanya melakukan hal-hal terse­but, tetapi lebih jauh dari semua kegiatan itu. Bank syariah sebagai mitra dan shahibul mal perlu mengawasi dalam arti membimbing atau meng- arahkan mitra lain, atau mudharib dalam batas yang dimungkinkan, agar usaha yang dibiayai benar-benar dapat menghasilkan keuntungan.
Hasil wawancara juga mengungkapkan bahwa masalah uji tuntas ini sangat diperhatikan karena adanya kekhawatiran akan takut salah. Jika salah, akan dikucilkan, dan dibuat menjadi pesakitan, sehingga hal ini berkaitan dengan mempertahankan profesionalisme dan integritas yang lebih tinggi, dan didorong oleh perasaan "takut salah dan malu". Karena adanya budaya malu, orang juga akan merasa takut jika melakukan ke- salahan dalam melakukan pekerjaannya, yang akan terlihat jika pembia- yaan kemudian menjadi bermasalah. Karena itu, kegiatan uji tuntas dan kepedulian dilakukan lebih ketat dan lebih berhati-hati oleh bank syariah.
Dari penelitian disimpulkan bahwa faktor pengawasan kredit/pembiaya- an dapat memengaruhi timbulnya NPF pada bank syariah dan NPL pada bank konvensional, dan pengawasan kredit/pembiayaan yang dilakukan pada bank syariah lebih baik dibandingkan pada bank konvensional. Mengapa pengawasan kredit internal—yang identik dengan institusi his- bah dalam zaman Nabi Saw., yang dilaksanakan oleh muhtasib—pada bank syariah lebih baik dibandingkan pada bank konvensional?
Pertama, terdapat acuan dalam ayat Al-Quran, yang pada dasarnya mengindikasikan bahwa temuan atau berita baru harus diteliti terlebih dulu kebenarannya. Jika benar, baru ditindaklanjuti.
Kedua, ada kebutuhan yang lebih terperinci atau lebih pasti karena harus meneliti ulang underlying transaction yang telah dibiayai. Dalam hal pembiayaan mesin, misalnya, pemeriksaan dilakukan langsung ke la- pangan untuk meneliti spesifikasi mesin.
Ketiga, audit atau pengawasan kredit atau pinjaman/pembiayaan dilakukan dua kali, yaitu dari segi bisnis dan dari segi syariah. Kedua macam audit pada dasarnya melihat objek yang sama, tetapi dengan per- spektif yang berbeda. Walaupun secara bisnis bagus, dari pandangan sya- riah belum tentu sehingga kedua macam ketentuan harus dipenuhi. Kare- na adanya dua macam audit pada objek yang sama, petugas atau pejabat yang terkait akan melakukan pekerjaannya lebih hati-hati karena mereka tahu bahwa hasil kerja mereka akan diperiksa berulang-ulang. Di sam­ping itu, di salah satu bank yang menjadi objek wawancara, pihak yang melakukan penilaian kembali ini memiliki KPI sendiri untuk memastikan kualitas hasil pengawasan yang dilakukan.
Di samping perbedaan yang sangat signifikan, penelitian ini juga berhasil mengungkapkan bahwa pengaruh semua faktor manajemen internal NPF pada bank syariah lebih besar, dibandingkan dengan pengaruh semua faktor manajemen internal terhadap NPL pada bank konvensional. De- ngan demikian, dapat dikatakan bahwa penerapan semua faktor manaje- men internal secara simultan pada bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan penerapan faktor-faktor yang sama pada bank konvensional.
Penjelasan yang paling logis mengenai pengaruh yang lebih baik ter- sebut adalah bahwa, di bank syariah, makna syariah menyeimbangkan penerapan semua faktor tersebut secara bersamaan. Pada tataran indivi- du, masalah spiritual atau keimanan berlaku tidak saja terhadap hubung- an vertikal, yaitu terhadap Tuhan, tetapi juga secara horizontal, yaitu an- tarsesama manusia dan antara manusia dan perilakunya. Dalam hal yang terakhir ini, keahlian dan pengalaman dalam melakukan pekerjaan selalu dibarengi dengan pertimbangan untuk bertingkah laku sebagai pribadi yang wajar secara "syariah", baik di dalam maupun di luar lingkungan pekerjaan. Jika kadar moralitas seorang pemimpin tertinggi lebih kental, tingkat keimanannya dapat dipastikan lebih tinggi, baik secara pribadi maupun sebagai seorang eksekutif. Dalam hal seperti itu, dapat diha- rapkan pemimpin yang bersangkutan dapat dijadikan sebagai panutan bagi semua staf dan pegawainya, baik dari segi profesionalisme maupun sebagai pribadi dilihat dari tindak tanduk sehari-hari. Dengan demikian, pemimpin yang tertinggi itu akan memperkuat kultur malu yang berlang- sung dilingkungan kerja pada bank.
Pada tataran perusahaan, pengaruh gabungan yang lebih besar yang terjadi pada bank syariah itu dapat pula disebabkan oleh adanya keseim- bangan penerapan antara ketiga kelompok faktor yang digunakan dalam penelitian ini. Kualifikasi personel yang ada, diimbangi dengan kualifikasi institusi yang dapat memengaruhi tingkah laku dalam bekerja, atau da- lam hal ini dalam pengambilan keputusan kredit atau pemberian pinjam- an/pembiayaan. Penerapan kedua kelompok faktor ini dapat dipastikan terlaksana dalam proses yang dilakukan, yaitu ketika pengecekan reputasi dari calon debitor atau nasabah, yang kemudian dimanifestasikan ke da- lam uji tuntas yang dilakukan ketika akan menyetujui suatu usulan kredit atau pinjaman/pembiayaan, dan monitoring yang sungguh-sungguh ter- hadap pinjaman/pembiayaan yang telah diberikan.
Kontrol yang lebih konkret dari seluruh proses ini dapat lebih di- pastikan ketika audit kredit dilakukan, diikuti dengan penerapan sistem penghargaan kepada mereka yang memberikan kontribusi terhadap pen- capaian target keuntungan dan pembentukan integritas yang lebih baik, serta pengenaan sanksi yang lebih jelas dan pasti terhadap penyimpangan
dalam pelaksanaan pekerjaan dan tingkah laku. Keseluruhan proses ini, yang diimbangi dengan kualifikasi personel atau SDM tersebut, dan didu- kung dengan lingkungan institusi yang kondusif terhadap pengambilan keputusan kredit atau pembiayaan yang mendukung, pada akhirnya akan bermuara pada disiplin keuangan yang lebih baik, dan kemudian pada perolehan pendapatan atau arus kas yang lebih baik pula.
Perolehan pendapatan atau keuntungan se- cara arus kas riil merupakan tema sentral pem- biayaan yang dilakukan oleh bank syariah, yang pengaruhnya lebih luas dibandingkan hanya membayar bunga pada bank konvensional. Perolehan keuntungan memerlukan seperangkat konsep, pemikiran, infrastruktur atau peralatan, tenaga pelaksana yang memadai, lingkungan yang mendukung, serta pelaksanaan pekerjaan yang lebih se- rius, daripada hanya sekadar kemampuan membayar bunga, yang sering- kali bukan berasal dari hasil perolehan usaha.
Guna mencegah atau memperkecil terjadinya NPF dan NPL, cara yang dapat dilakukan adalah berusaha meningkatkan faktor-faktor mikro manajemen internal bank.
Tampaknya, keseimbangan antara ketiga kelompok faktor tersebut, yaitu kelompok kualifikasi personel, kelompok kualifikasi lingkungan institusi, dan kelompok proses, sering dapat dipertanyakan pada bank konvensional. Pada bank-bank konvensional yang namanya telah dikenal baik oleh masyarakat luas, misalnya, sering diberitakan adanya penyimpangan tingkah laku yang terjadi pada pimpinan tertinggi atau direksinya, atau terjadinya tindak pidana korupsi di lingkungan bank. Kasus L/C fiktif besar yang pernah terjadi merupakan masalah dalam proses, di mana uji tuntas dan kepedulian tidak dilakukan, dan pengawasan kredit tidak berfungsi sebagaimana mestinya, serta sanksi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sebelumnya tidak ditindaklanjuti dengan jelas dan pasti, sehingga orang lebih berani untuk melakukan penyimpangan yang lebih besar. Pelaku adalah staf yang berpengalaman. Karena keahliannya, dia dapat disebut sebagai tenaga profesional, tapi kadar keimanan yang lemah membawa unsur integritas menjadi suatu keraguan dalam dirinya. Dalam perbankan syariah, berita sumbang yang serupa belum pernah terdengar sampai saat ini, paling tidak secara nasional.
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, terbukti bahwa NPF dan NPL dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor mikro manajemen internal bank. Hal tersebut menunjukkan bahwa, guna mencegah atau memperkecil terjadinya NPF dan NPL, cara yang dapat dilakukan adalah berusaha meningkatkan kualitas faktor-faktor mikro manajemen internal bank. Implikasi dari kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.        Kemampuan dan pengetahuan kredit/pembiayaan dari pejabat kredit bank syariah lebih tinggi, dibandingkan dengan kemam­puan dan pengetahuan kredit/pembiayaan dari pejabat kredit bank konvensional. Hal tersebut membawa implikasi bahwa guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank- bank konvensional, perlu adanya upaya-upaya meningkatkan kemampuan dan pengetahuan kredit/pembiayaan dari pejabat kredit bank konvensional.
2.       Integritas dan profesionalisme pejabat kredit bank syariah lebih tinggi, dibandingkan dengan integritas dan profesionalisme pe- jabat kredit bank konvensional. Hal tersebut membawa implika­si bahwa guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu adanya upaya-upaya meningkat- kan integritas dan profesionalisme pejabat kredit bank konven­sional.
3.       Kadar spiritualitas pejabat kredit bank-bank syariah lebih tinggi, dibandingkan dengan kadar spiritualitas pejabat kredit bank- bank konvensional. Hal tersebut membawa implikasi bahwa guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank- bank konvensional, perlu adanya upaya-upaya meningkatkan kadar spiritualitas pejabat kredit bank konvensional.
4.       Kepemimpinan bermoral pejabat kredit bank-bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan kepemimpinan bermoral pejabat kredit bank-bank konvensional. Hal tersebut membawa implika- si bahwa guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu adanya upaya-upaya meningkat- kan kepemimpinan bermoral pejabat kredit bank konvensional.
5.       Kultur perusahaan pejabat kredit bank-bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan budaya perusahaan pejabat kredit bank- bank konvensional. Hal tersebut membawa implikasi bahwa
guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada ban- bank konvensional, perlu adanya upaya-upaya meningkatkan kultur perusahaan pejabat kredit bank-bank konvensional.
6.        Kebijakan disiplin anggaran pejabat kredit (pembiayaan) bank- bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan kebijakan disiplin anggaran pejabat kredit bank-bank konvensional. Hal tersebut membawa implikasi bahwa guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu adanya upaya-upaya meningkatkan kebijakan disiplin anggaran pejabat kredit bank konvensional.
7.        Sistem penghargaan dan hukuman pejabat kredit bank-bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan sistem penghargaan dan hukuman pejabat kredit bank-bank konvensional. Hal terse- but membawa implikasi bahwa guna memperkecil atau mence- gah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu adanya upaya-upaya meningkatkan sistem penghargaan dan hukuman pejabat kredit bank konvensional.
8.       Kultur kredit / pembiayaan pej abat kredit bank-bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan kultur kredit/pembiayaan pejabat kredit bank-bank konvensional. Hal tersebut membawa implikasi bahwa guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu adanya upaya-upaya meningkat- kan kultur kredit/pembiayaan pejabat kredit bank konvensional.
9.        Pengecekan reputasi pejabat kredit bank-bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan pengecekan reputasi pejabat kredit bank-bank konvensional. Hal tersebut membawa implikasi bah- wa guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank- bank konvensional, perlu adanya upaya-upaya meningkatkan pengecekan reputasi pejabat kredit bank konvensional.
10.    Uji tuntas dan kepedulian dari pejabat kredit bank-bank syariah lebih baik, dibandingkan dengan uji tuntas dan kepedulian dari pejabat kredit bank-bank konvensional. Hal tersebut membawa implikasi bahwa guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu adanya upaya-upaya meningkatkan uji tuntas dan kepedulian dari pejabat kredit bank konvensional.
11.     Pengawasan kredit internal dari pejabat kredit (pembiayaan) bank syariah lebih tinggi, dibandingkan dengan pengawasan
kredit internal pejabat kredit bank konvensional. Hal tersebut membawa implikasi bahwa guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu adanya upaya-upaya meningkatkan pengawasan kredit (pembiayaan) internal dari pejabat kredit bank konvensional.
12. Semua faktor mikro manajemen internal bank-bank syariah le- bih baik, dibandingkan dengan semua faktor mikro manajemen internal bank-bank konvensional. Hal tersebut membawa im- plikasi bahwa guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu adanya upaya-upaya me- ningkatkan semua faktor mikro manajemen internal bank-bank konvensional.
Berkenaan dengan hasil-hasil penelitian ini, maka kepada para pejabat kredit, baik dari bank-bank syariah/unit syariah maupun bank-bank kon- vensional, guna mencegah terjadinya NPF dan NPL, diberikan saran-sa- ran yang mungkin bermanfaat sebagai berikut:
1.        Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF pada bank- bank syariah/unit syariah, hendaknya minimal tetap memper- tahankan, dan kalau mungkin berusaha untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan kredit (pembiayaan) dari para pejabat kredit (pembiayaan)-nya. Untuk memperkecil atau men- cegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu sege- ra dilakukan upaya peningkatan kemampuan dan pengetahuan kredit bagi para pejabat kreditnya.
2.       Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF pada bank- bank syariah/unit syariah, hendaknya minimal tetap memper- tahankan, dan kalau mungkin berusaha untuk meningkatkan integritas dan profesionalisme para pejabat kreditnya. Untuk memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu segera dilakukan upaya peningkatan integri- tas dan profesionalisme bagi para pejabat kreditnya.
3.       Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF pada bank- bank syariah/unit syariah, hendaknya minimal tetap memper- tahankan, dan kalau mungkin berusaha untuk meningkatkan kadar spiritualitas para pejabat kreditnya. Untuk memperkecil
atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu segera dilakukan upaya peningkatan kadar spiritualitas bagi para pejabat kreditnya.
4.        Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF pada bank- bank syariah/unit syariah, hendaknya minimal tetap memperta- hankan, dan kalau mungkin berusaha untuk meningkatkan ke- pemimpinan bermoral para pejabat kreditnya. Untuk memper- kecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensio- nal, perlu segera dilakukan upaya peningkatan kepemimpinan bermoral para pejabat kreditnya.
5.        Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF pada bank- bank syariah/unit syariah, hendaknya minimal tetap memperta- hankan, dan kalau mungkin berusaha untuk meningkatkan kul­tur perusahaan para pejabat kreditnya. Untuk memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu segera dilakukan upaya peningkatan kultur perusahaan para pe- jabat kreditnya.
6.        Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF pada bank- bank syariah/unit syariah, hendaknya minimal tetap memper- tahankan, dan kalau mungkin berusaha untuk meningkatkan kebijakan disiplin anggaran dari para pejabat kreditnya. Untuk memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu segera dilakukan upaya peningkatan kebi- jakan disiplin anggaran bagi para pejabat kreditnya.
7.        Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF pada bank- bank syariah/unit syariah, hendaknya minimal tetap memper- tahankan, dan kalau mungkin berusaha untuk meningkatkan sistem penghargaan dan hukuman dari para pejabat kreditnya. Untuk memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank- bank konvensional, perlu segera dilakukan upaya peningkatan sistem penghargaan dan hukuman bagi para pejabat kreditnya.
8.        Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF pada bank- bank syariah/unit syariah, hendaknya minimal tetap memper- tahankan, dan kalau mungkin berusaha untuk meningkatkan kultur kredit (pembiayaan) para pejabat kreditnya. Untuk mem- perkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konven- sional, perlu segera dilakukan upaya peningkatan kultur kredit (pembiayaan) bagi para pejabat kreditnya.
9.        Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF pada bank- bank syariah/unit syariah, hendaknya minimal tetap memper- tahankan, dan kalau mungkin berusaha untuk meningkatkan pengecekan reputasi terhadap para calon konsumennya. Untuk memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu segera dilakukan upaya peningkatan penge- cekan reputasi terhadap calon konsumennya.
10.    Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF pada bank- bank syariah/unit syariah, hendaknya minimal tetap memper- tahankan, dan kalau mungkin berusaha untuk meningkatkan uji tuntas dan kepedulian dari para pejabat kreditnya. Untuk mem­perkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konven­sional, perlu segera dilakukan upaya peningkatan uji tuntas dan kepedulian bagi para pejabat kreditnya.
11.     Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF pada bank- bank syariah/unit syariah, hendaknya minimal tetap memperta- hankan, dan kalau mungkin berusaha untuk meningkatkan peng- awasan kredit (pembiayaan) internal para pejabat kreditnya. Un- tuk memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu segera dilakukan upaya peningkatan peng­awasan (pembiayaan) kredit internal bagi para pejabat kreditnya.
12.     Guna memperkecil atau mencegah terjadinya NPF pada bank- bank syariah/unit syariah, hendaknya minimal tetap memper- tahankan, dan kalau mungkin berusaha untuk meningkatkan semua faktor mikro manajemen internal dari para pejabat kre- ditnya. Untuk memperkecil atau mencegah terjadinya NPL pada bank-bank konvensional, perlu segera dilakukan upaya pening- katan semua faktor mikro manajemen internal bagi para pejabat kreditnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar