Selasa, 16 Agustus 2016

Bab 3 Buku Selamatkan Perbankan



3
P
ERBEDAAN antara bank konvensional dan bank syariah terletak pada filosofi atau ajaran yang mendasarinya. Bank konvensional di- bangun dari praktik ekonomi kapitalisme yang menganut faham liberal- isme, yang berpatokan pada perhitungan utilitas sehingga manusianya lebih cenderung menjadi homo economicus. Sistem ekonomi menurut faham ini, kata K. Bertens, memiliki unsur-unsur seperti lembaga kepe- milikan pribadi, pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya, dan kom- petisi dalam sistem pasar bebas. Dalam sistem ekonomi ini akumulasi modal menjadi motor penggeraknya dan unsur agama dikesampingkan.
Dalam kaitannya dengan agama, sejak zaman renaisans, unsur gereja dipisahkan dari negara dan akal manusia tidak lagi terikat pada agama, terlepas dari akal ketuhanan.1 Segala pengaturan bersumber pada akal manusia, termasuk kegiatan ekonomi, dibuat berdasarkan hukum yang dirancang oleh manusia, dan tidak lagi berkaitan dengan agama atau ketu- hanan. Pada akhir abad ke-13, ketika pengaruh gereja ortodoks berkurang, penerapan bunga terhadap pinjaman mulai diterima, dan uang kemudian dianggap sebagai modal. Modal uang dimanfaatkan untuk mencari keun- tungan yang sebesar-besarnya, dan diinvestasikan kembali dalam usaha yang produktif untuk menghasilkan kekayaan yang lebih besar.
Akumulasi modal melahirkan kelompok pemilik modal yang kemu- dian berkembang menjadi pasar uang dan modal. Dalam pasar uang dan
modal, uang merupakan komoditas yang diper- dagangkan dengan harga diwakili oleh suatu tingkat bunga.2 Berbarengan dengan itu, pereko- nomian kapitalis dibangun melalui perdagangan uang sebagai komoditas, yang disebut sebagai "kredit" atau utang. Pertumbuhan suatu ekonomi selalu dikaitkan berapa banyak kredit yang disa- lurkan. Sejalan dengan pandangan dari Keynes (berdasarkan pemikiran ekonom John Maynard Keynes dari Inggris), pemerintah dapat mencetak uang dan memberikan kredit atau pinjaman untuk menciptakan kemakmuran.
Menurut ekonom Dr. A. Prasetyantoko, tiap tindakan yang dilakukan saat ini oleh agen ekonominya berorientasi pada masa depan sehingga menggambarkan harapannya di masa depan. Lingkungan keuangan seperti ini tidak terlepas dari penerapan konsep leverage atau gearing, suatu ukuran penggunaan utang dengan tujuan memperbesar tingkat ke- untungan. Hal ini sangat jelas dapat dilihat pada perbankan konvensio- nal, di mana dana masyarakat yang digunakan untuk pemberian kredit bersifat utang bagi bank. Namun, di belakang penggunaan leverage ini, terdapat risiko yang besar dan serius, jika terjadi sesuatu yang salah.
Bank syariah, di pihak lain, adalah lembaga yang menjadi bagian ekonomi Islam, yang bertujuan mencapai kesuksesan di dunia dan akhi- rat, tidak semata-mata menciptakan keuntungan yang sebesar-besarnya. Kata "syariah" sendiri berarti "jalan menuju air", yang mendukung dan mengatur pengertian ekonomi Islam berdasarkan prinsip-prinsip Tauhid (mengesakan Tuhan), sehingga perekonomian Islam dan bank syariah di- jalankan berdasarkan hukum-hukum Tuhan.
Syariah tidak hanya merupakan pengaturan mengenai ekonomi, te- tapi lebih dari itu merupakan manifestasi penerapan pengesaan Tuhan ke dalam kegiatan kehidupan sehari-hari. Prinsip ketauhidan ini menekan- kan bahwa hubungan antarmanusia, yang bersifat horizontal, sama pen- tingnya dengan hubungan dengan Allah yang bersifat vertikal.
Akumulasi modal melahirkan kelompok pemilik modal yang kemudian berkembang menjadi pasar uang dan modal.
Dalam kaitan dengan kedua hubungan ini, semua ketentuan yang harus diikuti mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan dan tertera pada Al-Quran, serta diajarkan melalui hadis Nabi Mu­hammad Saw. Ketentuan-ketentuan ini merupakan jalan yang ditunjukkan oleh Tuhan, di dalam hubungan vertikal dalam rangka mencapai keridha- an Allah Swt. dan dalam hubungan horizontal dengan tujuan agar menjadi
rahmat bagi sekalian alam. Karena itu, syariah mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, dalam hal ini dalam konteks ibadah, dan hubungan antara manusia dan manusia dalam konteks bermuamalah.
Ahli ekonomi Islam Dr. Mustafa Edwin Nasution memberikan be- berapa karakteristik ekonomi Islam, antara lain: pemilik mutlak harta adalah Allah dan manusia merupakan khalifah atas harta (QS Al-Baqa- rah [2]: 284, QS Al-Ma'idah [5]: 17, QS Al-Hadid [57]: 7); terikat pada akidah, syariat, dan moral (QS Al-Taubah [9]: 34); menciptakan keseim- bangan antara kerohanian dan kebendaan (QS Al-Baqarah [2]: 201); dan menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dan publik (QS Al-Hasyr [59]: 7, QS Al-Ma'arij [70]: 24-25). Struktur kepemilikan harta yang seperti itu dimaksudkan agar manusia sebagai pihak yang dipercaya dapat didorong untuk bertanggung jawab terhadap pengelolaan dan pe- rawatan harta tersebut, serta menggunakannya sehingga dapat mencipta- kan manfaat bagi orang lain.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perekonomian Islam memiliki sifat yang unik, yaitu baik dalam tataran konsep maupun pelak- sanaannya mengandung prinsip-prinsip moralitas, yang harus dipenu- hi oleh setiap unit ekonomi. Sesungguhnya, substansi ini tercakup pula dalam bentuk pembiayaan bank syariah. Dalam perbankan syariah, dana masyarakat hanya dapat digunakan dalam sektor riil, karena sektor riil- lah yang dapat memberikan keuntungan yang lebih stabil kepada sektor perbankan, dan memberikan lapangan kerja yang lebih luas.
Secara horizontal, ketentuan syariah juga mengatur hubungan manu- sia dalam bermuamalah (melakukan transaksi dagang atau berusaha se- sama manusia, termasuk kegiatan dalam bidang keuangan atau perbank- an). Karena mengacu pada ketentuan dalam Al-Quran dan hadis, semua kegiatan muamalah ini mengandung kepentingan duniawi dan akhirati. Segala sesuatu yang bersifat duniawi dapat bebas dilakukan, hanya jika tidak dilarang oleh Al-Quran dan hadis, serta tidak bertentangan dengan ketentuan akhlak, atau pembawaan tingkah laku moral individu.3
Dalam ekonomi Islam dan perbankan syariah, terdapat empat pokok prinsip sebagai hukum untuk bermuamalah. Pertama, larangan terhadap riba atau praktik bunga, tetapi menghalalkan perdagangan (QS Al-Baqa- rah [2]: 275). Kedua, kutukan terhadap judi atau maysir (QS Al-Ma'idah [5]: 90) atau transaksi yang bersifat spekulatif (mengandung unsur judi), yang secara harfiah berarti memperoleh sesuatu dengan mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa kerja atau risiko. Ketiga, la-
rangan untuk melakukan transaksi yang bersifat gharar atau yang mengandung risiko berlebihan atau ketidakpastian mengenai objek atau kondisi dari suatu kontrak pada awal bertransaksi. Ke- empat, larangan untuk melakukan transaksi atau pembiayaan yang berkaitan dengan barang-ba- rang atau usaha yang diharamkan, misalnya babi, alkohol, perjudian atau kasino, rumah prostitusi, dan sebagainya.
Mengenai larangan pertama, karena riba berkaitan dengan uang, perlu ditinjau fungsi uang dalam Islam. Menurut Tarek El-Diwany asal Inggris, dalam perekonomian Islam, uang berfungsi sebagai medium of exchange, hanya merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan tetapi bukan tujuan itu sendiri. Uang juga tidak langsung berarti modal. Uang hanya berpotensi menjadi modal karena dalam Islam, kata Joseph A. Di- Vanna (Inggris), modal dikenal sebagai salah satu aspek produksi. Supaya menjadi modal, uang dikonversi terlebih dulu menjadi alat produksi, agar produktif sehingga menghasilkan pendapatan atau keuntungan. Uang sendiri tidak memiliki produktivitas sehingga tidak dapat beranak.
Perbankan syariah tidak mengenal pinjam-meminjam uang dalam transaksi komersial (tijarah)-nya. Dalam Islam, pinjam-meminjam uang merupakan transaksi yang bersifat sosial (tawa'un). Untuk itu, disedia- kan suatu konsep yang bernama qardu hasan (pinjaman tanpa bunga). Menurut El-Diwany, perekonomian Islam menekankan pentingnya per- dagangan dan produksi barang dan jasa, atau disebut sebagai sektor riil dalam perekonomian modern.
Karena tidak mengenal pinjam-meminjam uang untuk tujuan ko­mersial, bank syariah hanya mengenal "pembiayaan" sektor riil ini, bu­kan "pinjaman". Pembiayaan ini selalu harus berkaitan dengan aset riil, atau bersifat ekuitas, ketika akan membiayai suatu jenis usaha. Karena itu, dalam ekonomi Islam, sektor keuangan dan sektor riil menyatu; kon- sep leverage yang tersirat dalam beberapa akad tidak digunakan secara murni atau berdiri sendiri, sehingga tidak menimbulkan dikotomi antara keduanya seperti yang terjadi pada perekonomian kapitalistis.
Perekonomian Islam dan perbankan syariah bersandar pada unsur ekuitas, bukan kredit, sehingga bersifat equity based.
Sebagai kesimpulan, ekonomi kapitalis modern dibangun berdasar- kan monetary based economy, dan terpisah dari unsur agama. Sebalik- nya, perekonomian Islam dan perbankan syariah bersandar pada unsur ekuitas, bukan kredit, sehingga bersifat equity based. Hal ini dapat pula
dilihat pada perbankan syariah, yakni dana masyarakat yang dikelola bank tidak bersifat sebagai utang, tetapi lebih bersifat ekuitas dari pemilik dana yang diusahakan oleh bank atas seizin pemilik. Karena pembiayaan bank syariah melekat pada sektor riil, pembiayaannya berorientasi pada aset yang berada pada sektor riil, sehingga bersifat asset based.
Pada masa Athena kuno, kata yang maknanya berdekatan dengan kredit adalah pistis. Arti yang dikandungnya meliputi kepercayaan (trust) dan belief, keyakinan (faith), confidence dan assurance, kejujuran (honesty), bukti (proof), dan jaminan (pledge).4 Dalam arti yang sempit, pistis ada- lah kelayakan kredit (creditworthiness), yang bermakna seseorang yang dikenal oleh seorang bankir dapat memperoleh pistis yang lebih besar dari harta miliknya.
Pada abad ke-17, muncul kata Latin credo atau credere, yang berarti memercayai atau kepercayaan, sehingga pengertian kredit berkembang men­jadi "seseorang bersedia memercayai orang lain bahwa orang itu dapat mem- bayar kembali apa yang dipinjamnya". Kemudian, kata creditworthiness berkembang dan memiliki arti dengan referensi pada reputasi yang dimiliki seseorang, yang merupakan suatu estimasi bahwa orang itu akan dapat mempertahankan karakter dan reputasinya, sehingga dapat dipercaya.5
Proses pemberian kredit di suatu bank pada hakikatnya meneliti dan memastikan, bahwa terdapat unsur-unsur yang dikandung oleh kata pistis, credo, dan creditworthiness itu. Proses itu dimulai dari datangnya permohonan kredit dari seorang calon debitor kepada bagian marketing bank. Umumnya, pihak yang langsung menangani itu disebut sebagai ac­count atau loan officer (di bank syariah disebut sebagai financing officer). Untuk memproses suatu permohonan kredit, account officer mengum- pulkan informasi dan data mengenai calon debitor, meliputi laporan ke- uangan perusahaan, jenis usaha, latar belakang usaha dan pemilik, rekam jejak perusahaan dan pemilik, tujuan pinjaman, jaminan yang dapat di­berikan, dan seterusnya.6
Pada dasarnya, account officer harus melakukan analisis atau peni- laian dengan menggunakan pendekatan 5C,7 serta meneliti kegunaan kre- dit yang dimintakannya.8 Sebelum masuk ke proses yang lebih terperinci, biasanya account officer terlebih dulu mengecek reputasi dan karakter si calon debitor melalui lingkungan usaha calon debitor. Jika seluruh data dan hasil pengecekan mendukung secara positif, account officer akan membuat memo usulan persetujuan berdasarkan analisis kredit atau pembiayaan yang dibuatnya untuk disetujui oleh atasan yang berwenang.
Sejak terjadinya krisis moneter tahun 1997-1998, bank di Indonesia diwajibkan memiliki bagian yang disebut manajemen risiko (risk mana­gement).9 Dari segi perkreditan, bagian ini secara independen bertugas sebagai filter dan melakukan check and balance terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh bagian marketing. Ini merupakan bentuk pemisahan tugas dalam rangka menghindari timbulnya benturan kepentingan, tapi ber- tanggung jawab terhadap fungsi tugas pekerjaan masing-masing.
Memo usulan persetujuan kredit yang dibuat oleh bagian marketing dikaji ulang oleh bagian manajemen risiko, dengan tujuan untuk memas- tikan bahwa usulan tersebut layak diteruskan, memenuhi kriteria standar perkreditan internal bank, dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan per- bankan yang berlaku. Jika hasil kajian ulang manajemen risiko membu- ahkan hasil yang positif, usulan tersebut dapat diteruskan kepada pihak pemutus kredit sesuai dengan tingkat kewenangannya. Pemutus kredit, atau pihak yang dapat memberikan persetujuan kredit, berdasarkan ke- tentuan Kebijakan Perkreditan Bank (KPB) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, merupakan bagian dari suatu komite kredit (KK).10
Untuk jumlah kredit yang besar tertentu, KK memiliki anggota dan ketua yang terdiri atas para direksi. Sering terjadi di dalam komite kredit terdapat seorang anggota yang tidak menyetujui suatu pemberian kredit yang sedang diusulkan; untuk itu, yang bersangkutan perlu menjelaskan secara tertulis alasan kenapa tidak setuju. Pihak pemutus kredit, atau yang memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak suatu usulan kre- dit, biasanya direksi, akan mempertimbangkan catatan ini. Namun, jika menurut direksi alasan itu tidak begitu kuat, maka berdasarkan pertim- bangannya, persetujuan dapat terus diberikan. Setelah komite kredit yang terdiri atas direksi ini setuju, dan jika jumlah tertentu memerlukan perse- tujuan komisaris bank, langkah terakhir harus pula diperoleh persetujuan komisaris. Setelah itu, persetujuan kredit beserta syarat-syarat dan keten- tuan kredit yang telah diperoleh disampaikan secara resmi kepada debitor. Jika debitor menerima syarat-syarat kredit yang disetujui bank, bagian hukum bank akan mempersiapkan penandatanganan perjanjian kredit be- serta perjanjian jaminan lainnya. Jika seluruh dokumentasi yang diperlu- kan telah dipenuhi, bagian operasional bank akan mengizinkan pencairan kredit sesuai dengan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
Berdasarkan UU Perbankan Indonesia No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ("UU Perbankan 1992/1998"), pemberian kredit harus melalui proses analisis kredit yang saksama, teliti dan cermat, bersifat independen bagi setiap pihak yang terlibat dan tidak dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Keputusan itu dibuat secara transparan, dan tertulis, berdasarkan fakta dan data serta dokumen yang aktual dan akurat, termasuk pendapat atau masukan yang jujur dan objektif berdasarkan keahlian dan pengalaman masing-masing dari pejabat terkait. Semuanya itu harus dapat dipertanggungjawabkan secara profesi dan jabatan masing-masing. Karena itu, setiap pemberian kredit seyogianya memenuhi ketentuan perbankan, dan sesuai dengan asas perkreditan yang sehat.11
Unsur tanggung jawab profesi dan jabatan serta pertimbangan yang jujur dan objektif, yang disebutkan oleh ketentuan UU ini, menunjukkan kandungan etika, profesionalisme, dan moralitas yang kental, dan yang harus dianut oleh semua pihak yang terkait dalam proses pemberian kredit seperti yang diuraikan di atas; yang umumnya bergerak dari bawah menuju atas (bottom up).
Analisis kredit adalah cara utama untuk mengatasi asymmetric informa­tion dan menghindari adverse selection, dan merupakan unsur utama dalam proses seleksi (screening). Dalam lingkungan operasional bank tertentu, makna analisis kredit perlu ditingkatkan, sehingga berarti pene- litian yang mendalam dan terperinci terhadap suatu permohonan kredit. Analisis kredit yang harus dilakukan ditingkatkan menjadi due diligence (uji tuntas), seperti halnya ketika seorang calon investor ingin melakukan akuisisi terhadap bisnis atau perusahaan.
Brian Coyle dalam bukunya Corporate Credit Analysis mengatakan, analisis kredit merupakan suatu proses investigasi dan penilaian yang ter- struktur mengenai risiko potensial dari seorang calon debitor peminjam, yang dilakukan oleh seorang analis kredit untuk pengambilan keputusan pemberian pinjaman. Alexander Bathory berpendapat, analisis kredit ada- lah usaha penilaian mengenai kemampuan dan kemauan untuk memenuhi kewajiban pembayaran yang tertunda. Risiko potensial yang dimaksudkan oleh Coyle adalah kemungkinan calon debitor tidak mampu atau tidak mau membayar kewajibannya, ketika jatuh tempo di masa depan.
Jika seseorang mampu membayar kewajibannya tetapi tidak mau melakukannya, masih dapat diupayakan untuk mendorong orang atau debitor tersebut untuk memenuhinya dengan menggunakan perangkat hukum, misalnya dengan melakukan eksekusi jaminan jika ada. Tetapi jika tidak mampu, terlebih jika usaha debitor tidak lagi prospektif atau ti- dak mungkin lagi berkembang, tetapi debitor masih menunjukkan iktikad untuk membayar, berkemungkinan kreditor akan mengalami kerugian, biasanya terjadi jika bank tidak menguasai jaminan yang cukup berharga. Dalam keadaan seperti itu, apa yang dapat dilakukan oleh kreditor ada- lah melakukan restrukturisasi jumlah kredit, dengan berbagai konsesi. Konsesi dapat berupa waktu yang lebih panjang untuk mengangsur, dan sering dengan bunga yang berjalan lebih rendah dari tingkat bunga pasar. Jika alternatif lain dilakukan, misalnya melalui jalur hukum kepailitan dengan memailitkan debitor sekalipun, belum tentu dapat memperkecil risiko kerugian kreditor.
Hal yang mendasar dalam analisis kredit adalah meneliti prospek usaha dan kemampuan keuangan calon debitor di masa depan. Analisis prospek usaha dan kemampuan keuangan di masa depan ini memerlukan, pertama, penelitian terhadap sifat usaha atau bisnis si calon debitor dalam konteks industri tempat dia berusaha atau beroperasi, dan, kedua, analisis kemampuan arus kas yang dihasilkan oleh usaha atau bisnisnya itu dari waktu ke waktu. Kedua hal ini mengarah langsung kepada kemampuan bayar calon debitor, atau mengidentifikasi sumber pembayaran kembali, dan mengkaji apa yang membuat sumber tersebut dapat terealisasi. Kemungkinan sumber pembayaran itu dapat terealisasi juga ditentukan oleh besar-kecilnya risiko yang harus dihadapi oleh calon debitor, ketika menjalankan usahanya.


Dalam kaitan ini, David F. Babbel dari University of Pennsylvania berpendapat, dari segi kemampuan terdapat dua macam risiko yang berkaitan dengan risiko kredit: pertama, risiko kredit yang independen, yaitu risiko di mana debitor tidak mampu membayar utangnya seperti yang telah diperjanjikan, disebabkan oleh hal-hal yang bersifat unik terhadap debitor atau usahanya; kedua, risiko kredit sistemik, yaitu risiko yang dapat berakibat pada tidak terbayarnya pinjaman, misalnya perubahan perekonomian yang bersifat drastis. Risiko yang unik adalah risiko yang terdapat dalam bagaimana debitor melakukan proses produksi, mulai dari memperoleh bahan baku sampai dengan melakukan penjualan dan akhirnya pencairan piutang (account receivables).
Dari segi tujuan, di samping meneliti kemampuan keuangan calon debi­tor di masa depan, analisis kredit juga digunakan untuk mengukur besar- kecilnya risiko kredit. Risiko kredit adalah perkiraan terhadap besar-ke- cilnya kemungkinan (probabilitas) calon debitor tidak dapat membayar kembali pinjamannya sesuai dengan apa yang diperjanjikan, berdasarkan perkiraan kemampuan dan tendensi dari karakternya. Terlepas dari defi- nisi yang digunakan, besar-kecil risiko kredit yang dihadapi dapat diukur dengan metode statistik, dengan menggunakan data-data kuantitatif his- toris. Namun, kemampuan membayar kembali tidak menjamin bahwa debitor akan benar-benar membayar kembali pinjamannya.
Di lain pihak, kreditor selalu ingin agar pinjaman yang diberikan di- bayar oleh debitor tepat waktu, tanpa diperlukan adanya proses hukum apa pun untuk membuat debitor memenuhi kewajibannya. Dalam ke- adaan yang umum, perangkat hukum memang dapat mendorong orang membayar kewajiban atau utangnya. Tetapi, kekuatan sistem hukum yang ada (civil atau common law) dalam konteks perlindungan terhadap kreditor, dan pelaksanaan lapangan dalam penegakannya, dapat berbeda. Perbedaan ini dapat menunda pembayaran kembali utang debitor, yang dapat menimbulkan biaya bagi kreditor baik dari segi waktu maupun bia- ya. Karena itu, keadaan yang ideal adalah debitor mengetahui bahwa dia dapat mengatasi risiko bisnis yang dihadapi sehingga mampu dan mau membayar utangnya.
Keyakinan akan kemampuan dan kemauan ini seyogianya bersifat endogenous (faktor-faktor dalam diri seseorang) dalam diri debitor, dan tugas kreditor dalam kaitan ini adalah untuk memastikan adanya unsur endogenous ini. Calon kreditor harus meyakinkan diri bahwa unsur ini memang berada dalam diri calon debitor, sehingga diharapkan unsur ini dapat mendorong debitor tersebut untuk menggunakannya ketika
bisnisnya berkembang ke arah yang tidak baik. Untuk memastikan unsur kemampuan dan kemauan tersebut, kreditor perlu untuk melakukan analisis kredit.
Milind Sathye dari University of Canberra, Australia, menggunakan pendekatan analisis kredit yang bersifat holistik, yaitu pendekatan 5C, seperti yang telah disinggung, atau pendekatan serupa yang disebut CAMPARI ICE.12 Pendekatan ini tetap bermanfaat digunakan karena bersifat universal,13 yang mencakup penilaian dari kelima unsur C yang telah disinggung di depan. Untuk analisis kredit yang dilakukan baik secara tradisional, yaitu melalui judgemental method, maupun modern seperti menggunakan scoring system, pendekatan ini tetap bermanfaat digunakan.
C.F. Green meninjau masalah analisis kredit ini dari segi etika. Dia mengatakan, masyarakat "meminjamkan" uangnya kepada bank karena mereka memiliki keyakinan (confidence) dan kepercayaan (trust) kepada bank. Menurut Deborah K. Dilley, bankir memiliki beban etika yang tidak kecil karena masa depan masyarakat pemilik dana, masa pensiun, pen- didikan anak-anak mereka, dan kualitas hidup mereka bergantung pada tindakan para bankir tersebut dalam hal melakukan analisis kredit.
Seyogianya, bank memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan mereka dengan melakukan pekerjaan yang diperlukan secara hati-hati dan bertanggung jawab.
Pakar manajemen risiko Dimitris Chorafas menambahkan, penilaian masalah kelayakan kredit tetap dilakukan dari waktu ke waktu sampai kontrak selesai atau pinjaman dilunasi. Di sini, tampak bahwa Chorafas juga menekankan masalah kontrol atau pengawasan kredit, termasuk menentukan dan mencantumkan serta mengontrol pelaksanaan akad (co­venant) yang diperlukan dalam kontrak atau perjanjian kredit.
Untuk menganalisis suatu kredit, kreditor memerlukan banyak informasi, baik yang berkaitan dengan keuangan maupun nonkeuangan.
Meski demikian, menurut Coyle, pada dasarnya analisis kredit bu- kanlah ilmu yang pasti. Untuk menganalisis suatu kredit, kreditor memer- lukan banyak informasi, baik yang berkaitan dengan keuangan maupun nonkeuangan, baik yang diperoleh dari debitor sendiri maupun dari ber- bagai pihak lainnya. Sejak adanya perdagangan di dunia dengan pola kre- dit, informasi mengenai pengetahuan dan jaringan hubungan seseorang merupakan bagian penting dalam pengumpulan dan penyampaian data.
Untuk memperoleh informasi yang diperlukan, kreditor perlu me- lakukan riset mengenai calon debitor.14 Riset ini akan mudah dilakukan jika, baik debitor maupun kreditor, memiliki pengetahuan dan jaringan untuk memperoleh informasi sehingga verifikasi informasi sekaligus da- pat dilakukan.
Beberapa literatur menunjukkan, terdapat dua macam informasi. Pertama, hard information, yakni informasi yang bersifat kuantitatif dan dapat ditransfer ke pihak lain. Kedua, soft information, yang bersifat kua- litatif dan tidak dapat ditansfer ke pihak lain, dan umumnya dapat dipe- roleh setelah memiliki hubungan dengan debitor,15 misalnya kemampuan berbisnis atau tingkat kelayakan kredit seseorang. Baik informasi yang pertama maupun terlebih yang kedua memerlukan suatu kegiatan verifi- kasi (atau to substantiate) untuk memastikan informasi tersebut akurat dan faktual.
Makna hard information dan soft information harus berhubungan secara sinkron. Maksudnya, antara keduanya terdapat hubungan makna secara logis serta dapat membangun pengertian yang utuh. Pengertian yang utuh ini merupakan kesimpulan yang dapat dicapai, tetapi harus dapat memenuhi kebutuhan akal sehat. Upaya ini perlu dilakukan agar terhindar dari informasi yang bias.
Sejalan dengan pendekatan analisis kredit di atas, menurut Michael K. Ong dari Amerika, kualitas kredit sangat ditentukan oleh tingkat kela- yakan kredit debitor, yang selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor se- perti keadaan ekonomi umumnya, arah perkembangan industri di mana calon debitor beroperasi, dan hal-hal khusus yang berkaitan dengan calon debitor, antara lain keadaan keuangan, jumlah utang (tingkat leverage), struktur permodalan, serta hal-hal yang bersifat tidak dapat diukur (in­tangible) seperti reputasi atau integritas dan keahlian manajerial. Na- mun, dari semua pendekatan tersebut, yang lebih sulit adalah memper- oleh soft information seperti karakter yang meliputi integritas, reputasi dan kepercayaan (trust), kejujuran, yang bermuara pada sikap terhadap kewajiban keuangan yang harus dibayar baik di masa lalu maupun di masa depan, yang perlu diperkirakan berdasarkan keterangan masa lalu. Informasi ini terutama hanya dapat diperoleh dari pengalaman pihak yang pernah berhubungan dengan calon debitor, atau dengan melakukan pengecekan rekam jejak.
Namun, beberapa dari faktor yang diutarakan oleh Ong di atas bersi- fat soft information, yang dapat dibaca atau diperkirakan dari hard infor­mation yang diperoleh, dengan menggunakan kemampuan analitis. Me- nurut Sathye, integritas atau reputasi dapat pula dibaca dari rekam jejak debitor, terutama dari catatan pembayaran kewajibannya terhadap kre- ditor atau bank lain. Sebagai contoh lain, leverage atau debt equity ratio yang tinggi dapat menunjukkan tingkat agresivitas terhadap risiko bagi seseorang, dan bahkan dapat pula dikaitkan dengan unsur moralitas.16
Dalam kaitan ini, Antoine de Satins menyatakan bahwa debitor me- miliki dua syarat. Syarat pertama berkaitan dengan tanggung jawab, ya- itu seseorang seharusnya mengambil dan menerima pinjaman sebanyak yang dia ketahui, bahwa dia akan mampu membayarnya. Syarat kedua berkaitan dengan efisiensi atau tujuan akhir dilakukannya pinjaman. Pe- minjaman yang baik dan ideal dapat dilakukan jika pinjaman itu membuat seseorang dapat melakukan usahanya dengan lebih besar dan lebih cepat. Perkembangan ini seyogianya akan membantu perkembangan dirinya, melalui keberhasilan proyek atau bisnis yang diusahakan dan ditekuninya.
Dari kedua syarat ini disimpulkan bahwa debitor harus yakin da- pat mencapai tujuannya itu, sehingga dia pun dapat membayar kembali utangnya. Jika debitor dapat berkembang secara pribadi, misalnya me- lalui keberhasilan proyeknya, masyarakat luas dapat pula memperoleh manfaat dari keberhasilan proyek itu. Di lain pihak, pengambilan pinjam- an atau utang akan menambah risiko usaha bagi debitor dan risiko kredit bagi kreditor.17
Menurut Chorafas, orang yang menggunakan pinjaman atau utang yang berlebihan (overgearing)18 menunjukkan bahwa orang tersebut me- lakukan praktik etika yang meragukan. Dalam kaitan ini, yang diperlukan adalah hubungan mengenai berapa banyak utang yang dapat digunakan, dengan kemampuan dalam jangka panjang untuk membayar kembali. Utang yang berlebihan, menurut Mudrew, dapat pula diartikan sebagai pemberian kepercayaan yang dilakukan secara buta dan terburu-buru. Utang yang berlebihan untuk ukuran industri tertentu akan membuat usa- ha menjadi sangat rawan terhadap perubahan lingkungan usaha, sekaligus merupakan penyebab utama kenapa usaha mengalami kebangkrutan.19
Dalam perbankan konvensional, pada setiap utang komersial melekat suatu kewajiban periodik yang bersifat pasti, yaitu kewajiban membayar bunga, yang telah diketahui serta dipastikan di awal saat utang akan diperjanjikan. Sebagai sebab utama suatu kebangkrutan, debitor memiliki beban utang yang meliputi kewajiban membayar bunga dan angsuran pokok melebihi kemampuan untuk merealisasikan
keuntungan di masa depan. Beban bunga itu tetap dan pasti harus dibayar dari sumber pendapatan dan keuntungan di masa depan yang masih berupa harapan, dan cenderung berfluktuasi.
Di sini terjadi ketidakseimbangan pada bank konvensional. Karena itu, jika calon debitor tidak menyadari berapa banyak pinjaman yang dapat dibayarnya kemudian, atau berapa besar risiko yang dihadapinya, bank sebagai calon kreditor perlu melakukan fungsi kontrol untuk mengatasi situasi calon debitor seperti ini.
Namun, apa yang disebutkan ini hanya merupakan asumsi atau harapan karena banyak kreditor sesungguhnya sadar akan kemampuan bayar seorang debitor, tetapi tetap menambah pemberian kredit. Sumber pembayaran kredit yang diberikan sering bukan berasal dari kemampu- an debitor dalam menghasilkan pendapatan dan keuntungan dari usaha yang dijalankan.
Dalam kaitan ini, ekonom Amerika Hyman Philip Minsky melakukan pengelompokan jenis pembiayaan berdasarkan kemampuan keuangan debitor untuk membayar bunga dan pokok dari sumber arus kas sendi- ri. Tiga jenis pembiayaan itu adalah pembiayaan hedge, spekulatif, dan ponzi. Suatu pembiayaan disebut hedge jika debitor mampu membayar seluruh kewajiban kontraktualnya, termasuk bunga dan angsuran pokok, dari arus kas yang dihasilkan usahanya. Pembiayaan disebut spekulatif jika debitor hanya mampu membayar porsi bunga, tetapi tidak sanggup membayar angsuran pokok utang, sehingga dia memerlukan utang baru untuk melunasi utang lama jika telah jatuh tempo. Dan pembiayaan di- sebut ponzi jika debitor tidak mampu memenuhi kewajiban membayar bunga dan angsuran pokok yang telah diperjanjikan, kecuali dengan me- narik utang baru atau mengeluarkan atau menjual surat utang baru.
Pembiayaan disebut ponzi jika debitor tidak mampu memenuhi kewajiban membayar bunga dan angsuran pokok yang telah diperjanjikan.
Mengingat peranan bank dalam masyarakat, bank memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk bertindak secara hati-hati, dan wajib memastikan dan meyakinkan diri bahwa calon debitor memenuhi dua syarat yang disebutkan De Satins. Pertama, bank mengetahui dengan jelas, bahwa calon debitor mengambil dan menerima pinjaman sebanyak yang dia ketahui dia akan mampu membayarnya. Kedua, pengambilan pinjaman itu digunakan secara efektif untuk pengembangan usahanya. Kedua hal ini
dikaji dan dipastikan dengan menggunakan analisis kredit untuk mengambil keputusan yang tepat dalam pemberian pinjaman. Jika kemudian kreditor dan debitor tidak dapat mencapai titik temu dalam kedua hal tersebut, menurut Chorafas, kreditor seharusnya tidak melakukan hubungan bisnis dengan debitor seperti itu. Dengan kata lain, permohonan kreditnya tidak dapat disetujui. Sebagai alternatif jalan tengah, bank dapat memutuskan untuk melakukan credit rationing (pengetatan kredit), dengan memperkecil jumlah pinjaman, memperketat syarat pinjaman, meminta tambahan kolateral, dan memperbesar tingkat bunga, atau kombinasi dari keputusan ini.
Jelas bahwa analisis kredit merupakan hal yang sangat penting dilakukan, dan menentukan perjalanan kreditor dengan setiap debitor yang dipilihnya, dalam mempertahankan pinjaman yang diberikan dalam portofolio pinjaman bank. Analisis kredit seyogianya dapat membedakan kredit atau debitor yang baik dengan yang buruk, sehingga merupakan bagian utama dari masalah perkreditan. Menurut John Coleshaw dari Inggris, keahlian dalam pelaksanaan perkreditan merupakan isu sentral terhadap reputasi dan tingkat keuntungan bank. Bahkan, menurut ekonom Adam B. Ashcraft dari Amerika, tidak sedikit bank mengalami kegagalan semata-mata karena standar analisis kredit atau yang disebut sebagai underwriting standards mereka buruk.20
Salah satu tujuan utama melakukan analisis kredit adalah memperkira- kan berapa besar risiko kredit yang akan dihadapi, jika suatu kredit dibe- rikan kepada calon debitor tertentu. Setiap pemberian kredit, baik yang melibatkan pengeluaran dana segar kepada debitor maupun penjual atas nama debitor, selalu mengandung suatu bentuk risiko. Menurut Chora- fas, risiko kredit, dalam bentuk yang murni, adalah risiko di mana pihak lain dalam suatu transaksi, yang menyangkut suatu instrumen keuangan, akan gagal memenuhi kewajibannya sesuai dengan kondisi dan syarat- syarat kontrak yang disepakati, yang disebabkan oleh masalah-masalah kebangkrutan, keadaan yang tidak likuid, dan alasan-alasan lainnya.
Gerhard Schroeck berpendapat bahwa risiko kredit adalah risiko yang timbul dari tidak dibayarnya, atau dijadwalkannya kembali setiap pembayaran yang telah diperjanjikan, atau adanya keadaan wanpres- tasi, atau perubahan kualitas kredit, yang dapat menimbulkan kerugian ekonomis bagi kreditor atau bank. Joetta Colquitt menambahkan bahwa risiko kredit tidak dapat terlepas dari kegiatan bisnis yang dilakukan dan terkait dengan hampir setiap produk dan jasa yang disediakan kreditor; dan bersumber pada masalah keuangan, bisnis, industri, dan manajemen.
Untuk mengukur besar-kecilnya risiko kredit yang dihadapi, banyak metode yang dapat digunakan secara lebih objektif. Kebanyakan meto- de yang ada didasarkan pada penggunaan angka-angka pada laporan keuangan, atau sejarah keuangan yang dapat dicatat atau dikuantifikasi oleh calon kreditor. Walaupun berasal dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik sekalipun, angka-angka tersebut perlu diteliti ulang untuk memastikan pengertian serta kebenaran yang dikandung- nya.21 Penelitian ini tidak terlepas dari perlunya menggunakan persepsi, intuisi, dan pertimbangan individu.
Dalam melakukan rating atau scoring misalnya, bobot yang da- pat diberikan untuk setiap faktor adalah hasil pertimbangan seseorang dengan menggunakan akal sehat; jadi tidak ada model mana pun yang dapat menggantikan pertimbangan manusia. Sebaliknya, mengukur ke- mauan debitor untuk membayar kewajibannya di masa depan jauh lebih sulit, dan akan lebih banyak menggunakan persepsi dan intuisi terhadap karakter dan reputasi yang dimiliki debitor, sampai saat ketika pemberian kredit sedang dipertimbangkan. Persepsi dan intuisi para pemberi kredit, khususnya para pemutus kredit, akan melandasi harapan kreditor bahwa debitor akan membayar kewajiban tersebut di masa depan.
Karena itu, risiko kredit tidak selalu dapat diukur secara matematis, dan pengambilan keputusan tidak selalu berdasarkan informasi yang ber- sifat faktual, tapi terkadang hanya bersifat perkiraan, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Hanya saja, sebagian besar perkiraaan ter- hadap masa depan ini harus diupayakan agar merupakan ekstrapolasi dari analisis, yang menggunakan lebih banyak data kuantitatif yang akurat dan mutakhir, dan dikombinasikan dengan informasi yang bersifat kualitatif.
Pada akhirnya, seperti halnya dalam suatu bisnis, orang yang ber- pengalaman juga menggunakan nalurinya dalam memahami besar-ke- cilnya suatu risiko bisnis yang sedang dihadapinya. Kalaupun informasi yang diperlukan dapat diperoleh secara lengkap, informasi tersebut perlu dicerna, sebelum dikeluarkan suatu sikap atau keputusan yang diperlu- kan. Walaupun seluruh ketentuan dan prosedur pengambilan keputusan telah diikuti, tidak ada jaminan bahwa keputusan bisnis yang diambil akan selalu membuahkan hasil yang positif. Keputusan bisnis yang diam­bil dapat juga menimbulkan kerugian. Hal ini disebut sebagai risiko yang normal dalam bisnis, atau Sundari Arie menyebutnya sebagai normal business risk.22 Karena itu, risiko seperti ini tidak dapat sama sekali dihi- langkan, tetapi hanya dapat diminimalkan.
Untuk memperkecil risiko kredit, Colquitt mengatakan bahwa risiko kredit perlu dikelola dengan menggunakan pendekatan bottom up semen- jak perolehan awal dari suatu transaksi baru. Untuk itu, sangat penting bagi para pemroses kredit, atau para spesialis yang membidangi kredit
memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam proses seleksi kredit ex-ante. Mereka juga perlu memiliki pengalaman dalam memo- nitor perkembangan kualitas kredit ex-post, yaitu setelah kredit disetujui hingga dilunasi. Selain memiliki pengetahuan dan pengalaman yang me- madai, mereka juga perlu memiliki integritas dan moralitas yang tinggi, karena sebagian dari proses ini tergantung pula pada intuisi atau pertimbangan yang dimiliki oleh semua pihak yang terkait secara individu.
Jaminan tidak dapat dipisahkan dari pemberian kredit dan umumnya menempati posisi penting dalam kegiatan tersebut. Namun, kedudukan jaminan bukan segalanya, dalam arti bahwa hal itu penting tetapi tidak mencukupi bagi pemberian kredit yang sehat.
Dari penelitiannya mengenai jaminan, Alberto Franco Pozzolo dari Italia menyimpulkan bahwa dalam keadaan normal bank akan mensya- ratkan suatu bentuk jaminan, yang umumnya disebut kolateral, jika de­bitor dianggap berisiko bagi kreditor. Syarat jaminan ini terutama dite- kankan kepada pinjaman yang berjumlah besar atau perusahaan berskala kecil, atau bermodal rendah, atau memiliki hubungan pinjaman dengan banyak bank.
Mengenai yang terakhir ini, Ralf Elsas dan Jan Pieter Krahnen, keduanya dari Jerman, dalam suatu studi empiris menyimpulkan bahwa relationship lender umumnya memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk memperoleh kolateral pada tingkat yang lebih senior, dibandingkan dengan bank lain untuk debitor yang sama. Karena itu, kolateral merupakan instrumen strategis yang dimaksudkan untuk memengaruhi posisi tawar bank, terutama ketika melakukan negosiasi dengan debitor, jika keadaan keuangan debitor tidak menggembirakan atau tertekan. Namun, Pozzolo mengingatkan bahwa dengan adanya kolateral tidak berarti seluruh risiko kredit dapat dimitigasi.
Di lain pihak, menurut Mishkin, salah saru cara yang penting untuk mengatasi asymmetric information adalah menggunakan kolateral. Kolateral mengurangi konsekuensi dari masalah adverse selection atau moral hazard, karena kreditor dapat mengurangi kerugiannya jika debitor mengalami wanprestasi. Jika kolateral cukup bernilai ketika debitor wanprestasi, dengan menggunakan kerangka hukum yang dimilikinya, kreditor dapat menjual kolateral tersebut. Kolateral dan ekuitas (net worth) berlaku sama dalam mengurangi moral hazard, karena jika kolateral dan net worth memiliki nilai yang tinggi, dibandingkan dengan nilai kewajiban utangnya, debitor akan berusaha menyelamatkan kolateral atau perusahaannya yang masih memiliki modal yang besar dengan membayar kewajibannya kepada kreditor.
Menurut Eike Houben dan Peter Nippel dari Jerman, kolateral juga dapat digunakan dalam rangka melakukan pengetatan kredit (credit rationing), sama seperti yang dikatakan Mishkin. Namun, debitor tidak dapat dihalangi untuk mengambil sebagian risiko exogenous, yaitu risi- ko di luar pengetahuan kreditor yang berada di luar bisnis yang dibiayai. Karena itu, menurut mereka, hanya dengan credit rationing, dalam arti jumlah kredit yang disetujui diperkecil, dikombinasikan dengan kolateral merupakan jawaban terhadap generalisasi masalah moral hazard.
Dalam discussion paper-nya, Niinimaki menyajikan model yang menunjukkan nilai kolateral yang berfluktuasi akan mendorong timbul- nya moral hazard. Sebab, jika nilai suatu jaminan bersifat pasti, adanya jaminan akan mengurangi volatilitas pendapatan bank, sehingga bank berada di posisi yang aman dan dapat mengatasi moral hazard. Di lain pihak, Niinimaki menyimpulkan bahwa efek negatif kolateral menjadi le­bih dalam, jika nilai kolateral berkorelasi kuat dengan probabilitas sukses dari proyek yang dibiayai, terlebih jika kolateral itu adalah yang dibiayai oleh kreditor, yang disebut sebagai inside collateral. Menurut Niinimaki, seluruh kondisi ini terdapat dalam krisis subprime mortgage23 di Ameri- ka, dan hal itu yang mendorong timbulnya moral hazard.
Salah saru cara yang penting untuk mengatasi asymmetric information adalah
menggunakan kolateral.
Penilaian dan penguasaan inside collateral merupakan masalah yang tidak sederhana. Inside collateral dapat pula diartikan sebagai kolateral yang digunakan langsung dalam berproduksi atau beraktivitas dalam menjalankan usaha debitor. Walaupun tidak secara langsung, pembiaya-
an jenis kolateral ini sesungguhnya juga dilakukan oleh bank, seperti ter- sirat dalam hubungan antara aktiva dan pasiva dalam neraca perusahaan.
Dalam banyak situasi pemberian pinjaman, terutama pada debitor korporasi, jaminan yang diberikan debitor dapat berupa properti pabrik, yang terdiri atas tanah, bangunan pabrik beserta permesinannya, serta bangunan gudang. Seluruh properti ini digunakan untuk berusaha atau berproduksi dalam rangka menghasilkan pendapatan dan keuntungan usaha. Jaminan yang lain dapat pula berupa aset perusahaan seperti ba- rang persediaan dan piutang dagang, tetapi langsung digunakan dalam operasi perusahaan, yang tidak mudah bagi kreditor untuk mengontrol dan menguasainya. Dalam aset barang persediaan, terdapat porsi perse- diaan barang dalam bentuk barang belum jadi (work in process), yang cenderung bernilai relatif besar secara akunting untuk bentuk usaha produksi tertentu dengan asset conversion cycle yang lebih panjang. Ja- minan seperti ini merupakan bagian fungsional terhadap bisnis debitor. Sebagai akibatnya, nilai jaminan yang diberikan seperti ini berfluktuasi dengan turun-naiknya bisnis perusahaan secara menyeluruh.
Keadaan yang paling ironis adalah ketika debitor gagal bayar atau wanprestasi, yang umumnya terjadi ketika usaha debitor mengalami pe- nurunan yang tajam. Dalam keadaan sulit seperti itu, terlebih jika publik mengetahui bahwa kreditor berusaha menguasai kolateral untuk menju- alnya, nilai jaminan tersebut akan cenderung turun di bawah penilaian ketika kredit pertama diberikan. Bahkan, jaminan tersebut berkemung- kinan hampir tidak mempunyai nilai sama sekali, antara lain karena ba- rang persediaan telah terjual oleh debitor.
Ketika usaha dalam keadaan sulit, jumlah persediaan barang jadi ataupun bahan baku sulit untuk dilengkapi ulang (replenished), dan biasanya terkikis dengan kerugian yang dialami perusahaan. Dalam ke­adaan seperti itu, barang setengah jadi bisa tidak memiliki nilai jual yang berarti, di samping bergantung pada jenis barang apa yang diproduksi. Kerugian yang tercipta tidak dapat mengembalikan persediaan barang yang diperlukan untuk melakukan penjualan berikutnya. Demikian pula halnya dengan jaminan yang berupa harta tetap, yang umumnya terdiri atas tanah, bangunan pabrik, serta permesinan.
Pada keadaan perusahaan merugi, dan industri di mana perusahaan berpoduksi dan beroperasi tidak lagi prospektif dan menjanjikan keun­tungan, nilai harta tetap itu akan cenderung turun secara drastis. Dari se- luruh aset yang ada, berkemungkinan besar hanya tanah yang dapat ber- tahan sesuai dengan penilaian yang dilakukan sebelumnya, yaitu ketika kredit akan diberikan. Tetapi, karena luas fisiknya biasanya relatif besar, masalah peruntukan akan menghambat pihak ketiga dalam mempertim- bangkan untuk membelinya.
Keadaan ini akan lebih diperburuk, jika dokumentasi hukum kepemi- likan tanah dan penjaminan tidak bersifat yuridis sempurna. Di samping itu, realisasi nilai yang dapat diperoleh dari hasil penjualan kolateral oleh kreditor juga ditentukan oleh efektivitas sistem dan penegakan hukum, yang berkaitan dengan propriety rights (perlindungan hak-hak kreditor) di suatu negara. Hakim tidak selalu serta-merta memberikan fiat (kepu- tusan) eksekusi jaminan, dan terkadang harus melalui persidangan yang berulang dan panjang, sehingga memperpanjang proses eksekusi. Proses eksekusi yang panjang akan menimbulkan biaya proses pengadilan yang lebih besar. Dalam banyak pengalaman, proses dan biaya pengadilan ini cenderung menurunkan nilai jaminan, kalaupun berhasil dieksekusi dan dilelang.
Tatkala usaha debitor bersifat bullish (menunjukkan gejala mening- kat), jaminan akan mencapai nilai optimal, dan pada saat itu bayangan kesulitan usaha jauh dari pikiran, baik pikiran kreditor maupun debitor. Pada perusahaan dan industri yang dianggap baik, kreditor cenderung bersifat agresif dalam menentukan jumlah pinjaman yang akan diberi- kan; terlebih jika beberapa bank berkompetisi untuk merebut debitor yang sama. Pada situasi seperti ini, pertimbangan perolehan bisnis lebih mengemuka, dan masalah kolateral cenderung bukan lagi merupakan un- sur yang dominan dalam pemberian kredit. Bahkan, nilai pinjaman akan lebih tinggi diberikan dibandingkan dengan nilai jaminan, apa pun jenis jaminan yang dapat diperoleh.
Namun, ketika keadaan bullish berubah menjadi bearish, saat debitor terus-menerus merugi dan industri tidak lagi menjanjikan seperti sediaka- la, persoalan yang sama sehubungan dengan kolateral yang dimiliki seper- ti yang diutarakan di atas akan muncul untuk dihadapi oleh kreditor.
Meski demikian, keadaan yang ironis sering muncul ke permukaan ketika kredit bermasalah, sejauh yang berkaitan dengan jaminan atau kolateral. David de Meza, misalnya, mengutip pendapat beberapa penemuan empiris, mengatakan bahwa pinjaman yang didukung sepenuhnya oleh kolateral berkemungkinan besar menjadi NPL. Nilai kolateral yang di- marked up, dan pemberian kredit yang bersifat pribadi, disembunyikan di belakang kecukupan kolateral. Ini masalah yang besar dan terjadi bahkan
pada krisis perbankan 1990-1992 di Swedia,24 juga di Asia, termasuk Indonesia.
Penelitian empiris lainnya membuktikan bahwa kolateral dapat memperlemah proses seleksi debitor yang memadai25, sekalipun seleksi debitor merupakan tugas intrinsik bank yang sangat penting. Walaupun demikian, menurut Gabriel Jimenez, sebagian dari penelitian ini mendukung pandangan teoretis bahwa kolateral merupakan mekanisme untuk mengontrol dorongan debitor guna melakukan moral hazard, tetapi jaminan itu harus dalam bentuk dan nilai yang pasti, serta secara mutlak didukung oleh dokumen hukum yang yuridis sempurna.
Sebagai kesimpulan bagian ini, kolateral bukan faktor yang menen- tukan dalam pembayaran kembali pinjaman, dan bukan pengganti unsur karakter dalam pemberian kredit. Dalam situasi pemberian kredit, me- nurut A.D. Jankowicz dan R.D. Hisrich, kolateral merupakan syarat yang cukup penting untuk dipenuhi, dan mutlak harus diperhatikan dan diper- timbangkan, tetapi berada pada prioritas yang secara komparatif lebih rendah kedudukannya dalam menentukan kelayakan suatu kredit. Sum- ber utama pembayaran kembali suatu pinjaman berasal dari keberhasilan usaha debitor yang tecermin dalam arus kas yang dapat direalisasikan, atau feasibilitas usaha yang dapat bertahan sampai utang debitor lunas terbayar, bukan dari penekanan penjualan kolateral.
Dalam buku ini, pasar kredit bagi bank dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu pasar kredit korporasi dan nonkorporasi. Pasar nonkorporasi mewakili perusahaan menengah ke bawah (small medium enterprises/ SME), nasabah perseorangan, kartu kredit, dan nasabah kredit kecil atau kredit mikro. Pembedaan kedua kelompok pasar ini terutama ditandai dengan perbedaan dalam ketersediaan dan transparansi informasi yang diperlukan oleh calon kreditor. Pasar korporasi pada umumnya memiliki ketersediaan informasi mengenai dirinya sendiri lebih baik, dan lebih transparan daripada pasar nonkorporasi.
Kolateral bukan faktor yang menentukan dalam pembayaran kembali pinjaman, dan bukan pengganti unsur karakter dalam pemberian kredit.
Calon debitor yang bersifat korporasi memiliki laporan keuangan yang lebih terorganisasi, dan cenderung mengikuti standar akunting yang
berlaku. Tersedianya laporan keuangan ini juga menggambarkan adanya pembagian kerja fungsional di dalam organisasi dalam mencapai tujuan korporasi, dan membentuk kesatuan unit kerja yang lebih besar sehing­ga bernama korporasi. Umumnya, dalam menjalankan usaha korporasi, pemilik dibantu oleh beberapa manajer, yang menangani tiap fungsi pe- kerjaan yang diperlukan. Dalam interaksi antarfungsi-fungsi itu, pihak yang menangani fungsi cenderung akan melakukan komunikasi baik lisan maupun tertulis dalam lingkungan organisasi.
Seluruh komunikasi internal yang terjadi dalam bentuk tertulis akan membentuk suatu macam laporan bagi pemilik atau pengurus puncak, yang digunakan terutama dalam lingkungan internal untuk mengikuti perkem- bangan usaha yang dijalankan korporasi, dan untuk menentukan arah stra- tegis usaha korporasi. Informasi tertulis yang dibuat secara internal yang berkaitan dengan arah perkembangan korporasi sering dituangkan dalam brosur perusahaaan, dan dapat diperoleh pihak luar seperti calon kreditor.
Berbeda dengan pasar korporasi, masalah utama yang berkaitan de- ngan pasar kredit nonkorporasi masih berkisar pada asymmetric infor­mation, tetapi lebih akut karena tidak memiliki mekanisme yang dapat dipercaya untuk menyampaikan informasi yang bersifat pribadi kepada pemberi pinjaman.26 Pasar nonkorporasi tidak memiliki kesediaan infor­masi yang cukup. Itulah sebabnya, pasar kredit nonkorporasi ini disebut- kan sebagai informationally opaque. Sebagai karakteristik lainnya, seba- gian besar informasi yang dimiliki bersifat soft information, yang tidak mudah untuk dikuantifikasi walaupun mungkin dapat dilakukan. Karena itu, tidaklah mudah bagi calon kreditor untuk memperoleh informasi dan pengetahuan yang akurat tentang calon debitor di pasar ini.
Dari segi kepemilikan, perusahaan nonkorporasi merupakan bisnis keluarga atau manajemen yang dikelola sendiri, dan dikontrol langsung oleh pemilik (key person) yang pada umumnya memberikan kontribusi terbanyak untuk membentuk modal operasi. Mereka pada umumnya ti- dak memiliki rencana kerja dan feasibilitas usaha, tidak memiliki penge- tahuan bagaimana membuat proposal investasi keuangan yang sehat, dan tidak memiliki aset yang dapat digunakan sebagai kolateral. Umumnya, perusahaan keluarga ini merupakan bisnis pemula, dan belum memiliki rekam jejak yang berarti.
Sebagai bagian dari pasar kredit nonkorporasi, pasar kartu kredit dan kredit konsumen serta kredit mikro27 merupakan pasar kredit indi- vidu, dengan tujuan penggunaan kredit yang berbeda. Tujuan kredit dari kartu kredit dan kredit konsumen lebih banyak untuk konsumsi, sedang- kan pembiayaan mikro dapat diarahkan untuk mendukung usaha perse- orangan, dan pemberiannya diutamakan untuk kelompok yang kurang beruntung atau miskin.
Berbeda dengan pembiayaan mikro, analisis risiko kredit pada kar- tu kredit difokuskan pada individu calon pemakai kartu, dan informasi yang diperlukan adalah sekitar penghasilan dan pengeluaran bulanan yang bersangkutan. Jika calon pemakai kartu kredit memiliki pekerjaan dengan gaji tetap dari institusi yang jelas, persoalan yang harus dikaji dan informasi yang diperlukan untuk diminta adalah pengeluaran si calon itu. Risiko terhadap pemberian kartu kredit akan lebih besar, jika si calon ti- dak memiliki sumber pendapatan yang tetap, atau pekerjaannya bersifat wiraswasta atau usaha kecil-kecilan, sehingga permasalahan yang diha- dapi dari segi ketersediaan informasi yang diperlukan sama seperti pada pasar kredit nonkorporasi.
Pada kredit mikro, informasi untuk analisis kredit lebih ditekankan pada kemampuan peminjam individu untuk memproduksi barang, dan/ atau sekaligus kemampuannya untuk menjual barang tersebut dengan memperoleh keuntungan.28 Kemampuan memproduksi dan menjual dengan suatu tingkat keuntungan seyogianya tercatat dalam rekam jejak calon debitor. Menurut Jankowicz dan Hisrich, rekam jejak ini merupa- kan kriteria utama bagi bank untuk memutuskan pemberian kredit pada usaha kecil.29 Sebagian besar informasi yang diperlukan ini dapat dikum- pulkan dari lingkungan sosial calon debitor tersebut.
Bendi Linggau dan Hamidah menyebutkan bahwa lingkungan sosial yang dimaksud meliputi ketua pasar, ketua paguyuban atau kelompok pedagang, ketua arisan pasar, dan lain-lain. Bahkan, lebih dari sekadar memperoleh informasi, Grameen Bank, misalnya, memberikan pinjaman individu dari kelompok yang sama secara fisik. Menurut Kathleen Picke­ring dan David W. Mushinski, pinjaman kelompok ini dilakukan berda- sarkan anggapan bahwa insentif ekonomi yang diciptakan oleh grup akan berpengaruh lebih kuat bagi setiap anggota individu. Ini artinya kualitas kredit kepada anggota kelompok juga ditentukan oleh adanya insentif ekonomi ini, yang berlaku di lingkungan tersebut. Salah satu insentif eko- nomi yang dimaksud adalah, jika salah satu anggota tidak dapat memba- yar utangnya, semua anggota kelompok terkait tidak lagi diberi pinjaman. Karena adanya insentif ini, akhirnya anggota lain itu akan membantu anggota yang mengalami kesulitan dalam pembayaran utangnya.
Perbedaan karakteristik antara korporasi dan nonkorporasi akan me- nyebabkan adanya perbedaan tentang bagaimana informasi mengenai ca- lon debitor dapat diperoleh, dan bagaimana informasi tersebut seharusnya diolah. Bagi calon kreditor korporasi, informasi dapat diperoleh sebagian besar dari korporasi itu sendiri. Untuk melengkapi kebutuhan analisis, in- formasi tambahan dapat diperoleh dari lingkungan yang berhubungan de- ngan korporasi baik secara langsung maupun tidak langsung. Substansiasi (penguatan) informasi yang diperoleh dapat dilakukan dengan berbagai sumber yang berbeda, yaitu dengan melakukan pengecekan silang. Hasil substansiasi itu dibandingkan dengan manifestasi penampilan angka- angka dalam laporan keuangan. Sejauh hasil yang diperoleh menunjukkan hubungan yang logis, kesimpulan analisis umumnya dapat diterima.
Berbeda dengan pasar korporasi ini, pada pasar nonkorporasi, di samping harus melakukan substansiasi yang lebih dalam terhadap infor- masi yang dapat diperoleh, calon kreditor harus melakukan usaha lebih banyak dalam mengumpulkan informasi yang diperlukan. Salah satu cara untuk mengumpulkan informasi adalah berhubungan langsung dengan calon debitor. Beberapa literatur menyebutkan hubungan ini sebagai re­lationship lending.
Dalam konteks perkreditan, relationship lending dapat diartikan sebagai kegiatan pinjam-meminjam yang didasarkan atas hubungan baik antara kreditor atau calon kreditor dengan debitor atau calon debitor yang telah dipupuk sebelumnya, yaitu sebelum kegiatan pinjam-memin- jam itu dilakukan. Dari hubungan yang telah dibentuk, kedua pihak telah saling mengenal dan saling menunjukkan iktikad atau maksud, yang ma- sing-masing menganggap bermanfaat bagi pihaknya. Tetapi, pemberian kredit tidak dapat dilakukan hanya karena asas telah mengenal dengan baik saja, dan tidak dapat karena adanya kekaguman atau kesenangan yang timbal balik semata.
Dalam konteks relationship lending, kekaguman yang dimaksud ini tidak didasarkan pada sifat atau karakter pribadi semata. Faktor yang perlu dilihat adalah yang bersifat pribadi, antara lain berupa keuletan, kejujuran, dan pengalaman bisnis yang telah dipupuk. Jika calon debitor atau debitor bersifat badan hukum, faktor yang identik dengan yang dimaksud itu yang ada pada institusi harus pula dikaji. Baik pribadi maupun badan hukum, pengalaman dalam menjalankan bisnis dalam periode yang cukup panjang, misalnya, akan memberikan penguasaan teknis dan pengetahuan yang luas terhadap bisnis yang telah digeluti.
Untuk menjalin hubungan pinjam- meminjam, yang menjadi hal penting bagi calon kreditor adalah unsur keberhasilan atau kepiawaian dalam berbisnis, integritas atau sikap jujur, keterbukaan atau transparansi, dan komitmen terhadap bisnis itu sendiri oleh calon debitor atau pengurus dan pemilik pengendali dari badan hukum tersebut.
Pertanyaan yang harus selalu diajukan kepada diri calon kreditor atau kreditor, yang diwakili oleh account officer, adalah faktor apa yang membuat sang pengusaha berhasil dalam bisnisnya. Informasi mengenai calon debitor seperti ini dan hal ihwal mengenai usahanya harus dicari dan dikumpulkan dari waktu ke waktu, serta dipelajari. Informasi ini diperlukan untuk menentukan kualitas calon debitor dalam rangka membuat perjanjian kredit.
Hubungan itu memang harus menimbulkan asas manfaat yang timbal balik, dan dibentuk berdasarkan keinginan yang baik. Calon debitor atau debitor harus didatangi, untuk mengenal lebih baik. Jika telah mengenal lebih baik, alur informasi antarkedua pihak dapat berjalan lebih mudah.
Relationship lending memiliki risiko tertentu bagi bank atau kredi- tor. Dari sisi pemberi pinjaman, relationship lending merupakan suatu kebutuhan untuk melakukan delegasi kewenangan memutus kredit kepa- da tingkat yang jauh ke bawah, di mana jumlah yang perlu disetujui me­mang relatif kecil. Di lain pihak, dasar pengambilan keputusan bagi yang diberi kewenangan memutus sebagian besar merupakan soft information, dan hubungan antara debitor dan bank yang diwakili oleh account officer cenderung bersifat pribadi (personalized). Karena itu, hubungan seperti ini sangat bergantung pada tingkat integritas dan profesionalisme account officer yang menanganinya. Account officer harus memperta- hankan hubungan baik dengan debitor secara intim, dan pada saat yang sama harus selalu bertindak untuk kepentingan bank tempat ia bekerja. Apa yang telah terjadi dan apa yang telah dibicarakan antara debitor dan account officer hanya diketahui account officer yang bersangkutan; kon- trol manajemen yang dapat dilakukan tidak seluruhnya dapat mencapai ruang lingkup ini.
Calon debitor atau debitor harus didatangi, untuk mengenal lebih baik. Jika telah mengenal lebih baik, alur informasi antarkedua pihak dapat berjalan lebih mudah.
Dalam situasi seperti itu, banyak kemungkinan muncul penyeleweng- an. Account officer dengan mudah tergelincir pada sikap yang membuah-
kan pandangan serta keputusan yang lebih mementingkan pendekatan hubungan (relationship based approach), dan melupakan pendekatan yang berdasarkan ketentuan yang berlaku (rules based approach). Di si- tulah, unsur integritas dan profesionalisme, bahkan keimanan, mema- inkan peranan yang bersifat sentral dan sangat penting.
Dalam perbankan di Indonesia, otoritas yang paling tinggi di suatu komi- te kredit berada pada pemutus kredit, yaitu pihak yang memiliki kewe- nangan untuk mengambil keputusan kredit, yakni menyetujui atau meno- lak suatu permohonan kredit. Pemutus kredit dengan kewenangan yang lebih tinggi, yaitu untuk menyetujui suatu usulan kredit dengan jumlah yang lebih tinggi, adalah direksi. Kewenangan untuk menyetujui jumlah tertinggi berada pada presiden direktur, beserta atau tanpa persetujuan komisaris. Di atas direksi, kewenangan pemutus kredit berada pada ting- kat komisaris, tetapi biasanya hanya untuk kredit-kredit yang bersifat khusus, antara lain kredit yang telah dikategorikan sebagai "dalam perha- tian khusus" atau bermasalah.
Pemeringkatan kewenangan memutus ini sangat berkaitan dengan kepangkatan seseorang dalam struktur organisasi perkreditan bank, dan didasarkan pada tingkat pengalaman, keahlian, dan pengetahuan perkre- ditan, terutama mengenai risiko kredit, serta tingkat profesionalisme yang bersangkutan.
Pemutus kredit merupakan tahap terakhir suatu proses pemberian kredit yang cukup panjang. Pada tahap ini, pemutus kredit dengan per- timbangan profesionalnya akan memberikan persetujuan kredit atau menolaknya. Di sini, seluruh ketentuan yang berlaku dalam pemberian kredit dipastikan telah dipatuhi. Untuk itu, seperti yang diminta UU Per- bankan, yang bersangkutan harus yakin bahwa kredit yang akan disetu- juinya akan dapat dibayar kembali oleh debitor.
Jika ada salah satu anggota komite kredit yang tidak setuju atas usulan suatu pemberian kredit, pemutus kredit yang lebih senior, biasa- nya direksi, harus mengambil sikap dan memutuskan apakah menyetujui atau tidak usulan kredit yang dihadapi. Dengan pertimbangannya sendi- ri, berdasarkan kewenangan, pengalaman, keahlian, dan keyakinannya, direksi dapat memutuskan lain. Karena itu, menurut Munir Fuady, di- reksi sesuai dengan kedudukannya adalah yang paling berwenang dan paling profesional untuk memutuskan apa yang terbaik dilakukan untuk perseroan.
Pemutus kredit beserta anggota komite kredit lainnya adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam menentukan kualitas kredit. Dari segi moral, pemutus kredit memiliki tanggung jawab yang paling besar dalam urutan proses pemberian kredit. Proses tersebut berhenti pada pemutus kredit karena di situ keputusan diberikan apakah langsung di- setujui, dikaji ulang untuk memastikan hal-hal baru yang muncul dalam proses atau yang belum terlalu jelas, atau sama sekali ditolak.
Keputusan yang diambil oleh pemutus kredit itu didasarkan pada masukan dan analisis yang dilakukan oleh account officer, dan telah di­kaji ulang secara saksama oleh bagian manajemen risiko. Keputusan itu akan menentukan perjalanan kehidupan bank di masa depan, dan meng- andung tanggung jawab yang besar terhadap para stakeholder, terutama masyarakat pemilik dana yang menitipkan uangnya pada bank. Secara moral, bank dan pemutus kredit harus memastikan bahwa uang orang yang akan dipinjamkan pada calon debitor itu mutlak harus dapat dikem- balikan dengan utuh, beserta bunga yang dijanjikan.
Harapan masyarakat sebagai pemilik dana mengenai kelanjutan kehidupan mereka di masa depan, dengan suatu tingkat kesejahteraan tertentu, berada pada titik proses pengambilan keputusan oleh pemutus kredit itu. Secara menyeluruh, masyarakat luas juga berharap bahwa pe- ngelolaan bank dilakukan secara efektif, sehingga dapat menunjang per- tumbuhan ekonomi, dan akhirnya menciptakan kesejahteraan masyara- kat secara lebih luas.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Nomor 10 Tahun 1998 tentang Per- ubahannya, ada beberapa pasal yang berkaitan dengan pemutus kredit.
Pertama, Pasal 1 angka 1 UU Perbankan, menyebutkan bahwa usaha bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyara- kat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Ini artinya, pemberian kredit yang harus diputuskan oleh pemutus kredit adalah untuk membiayai kegiatan-kegiatan produktif,
yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi dan memberikan lapangan kerja bagi orang yang lebih banyak.
Kedua, Pasal 2, menyebutkan bahwa bank dalam melaku- kan usahanya harus berdasarkan demokrasi ekonomi, dengan menggunakan prinsip kehati-hatian (prudential principles). Prinsip ini mutlak harus dihayati, dijalankan, dan dipenuhi oleh pemutus kredit, mengingat bahwa bank memiliki karakteristik yang sangat rawan terhadap risiko kredit. Karena itu, pemutus kredit perlu benar-benar memahami makna kata prudential atau prudence ini.
Ketiga, Pasal 4, menyebutkan bahwa perbankan Indone­sia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekono- mi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Pada dasarnya, pasal ini menunjukkan bahwa para bankir atau pemutus kredit, selain bertanggung jawab ter­hadap profesi dan pekerjaannya, juga harus bertanggung jawab terhadap ruang lingkup yang lebih luas, yaitu pada para stake­holder.
Jika kita lihat kasus penutupan bank yang pernah terjadi di Indonesia, Pasal ini tampaknya tidak selalu diingat oleh pi- hak perbankan. Setiap penutupan bank selalu diakibatkan oleh sejumlah kredit macet yang besar. Jika kredit macet itu diteliti, tidaklah terlalu sulit untuk menentukan penyebab kemacetan itu. Secara khusus dilihat dari penutupan bank pada krisis mo- neter di Indonesia tahun 1997/1998, sebagian besar pinjaman yang macet itu diakibatkan oleh pinjaman yang melampaui ba- tas yang wajar bagi setiap debitor. Pinjaman yang terlalu besar (over leverage) itu tidak seimbang dengan tingkat pendapatan dan keuntungan yang dapat dihasilkan oleh setiap debitor. Ma- salah utama yang lain adalah, kredit hanya diberikan kepada pihak terkait, sehingga melanggar Pasal 11 mengenai ketentuan batas maksimum pemberian kredit (BMPK).
Sesungguhnya, dua penyebab utama ini sepintas tidak ada hubungannya dengan ketentuan Pasal 4 yang dimaksud di atas. Namun, diabaikannya prinsip pemberian kredit yang sehat dapat menimbulkan NPL yang besar, sehingga bank harus di- tutup. Penutupan bank itu sendiri berpengaruh secara negatif terhadap proses pembangunan ekonomi nasional. Beban akibat pembayaran bunga terhadap obligasi pemerintah pasca-krisis moneter 1997/1998 masih berlangsung, dan tetap ditanggung oleh APBN sampai saat ini. Beban ini dapat secara langsung atau tidak dirasakan oleh masyarakat, tetapi yang jelas mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat.
Masalah yang disebutkan ini berkaitan dengan persetujuan kredit ex-post. Namun, ketentuan Pasal 4 ini dapat dilaksanakan ex-ante dengan memperhatikan pemberian kredit yang sehat. Salah satu prinsip pemberian kredit yang sehat adalah yang dapat menunjang pengembangan usaha calon debitor. Jika usa- ha debitor berkembang dengan baik, pembayaran utang pokok beserta bunga akan menjadi lebih pasti. Pembayaran yang lebih pasti kepada bank akan mengurangi tingkat risiko yang harus dihadapi, sekaligus meningkatkan tingkat solvabilitas bank. De- ngan berkembangnya usaha debitor, terbuka kesempatan yang lebih luas untuk mempekerjakan tambahan tenaga kerja oleh usaha debitor. Karena itu, dengan memperhatikan prinsip pem- berian kredit yang sehat itu saja, sudah dapat menunjang peme- nuhan tujuan ketentuan Pasal 4 tersebut.
Keempat, Pasal 8 menyiratkan bahwa pemutus kredit harus melakukan verifikasi atas kebenaran semua informasi, fakta dan data yang berkaitan dengan calon debitor, sehingga dapat mem- buat analisis yang mendalam dan saksama. Bardasarkan analisis ini, pemutus kredit berusaha memperoleh keyakinan bahwa ca- lon debitor memiliki itikad baik dan kemampuan serta kesang- gupan untuk melunasi utangnya. Dengan demikian, pemutus kredit yakin bahwa kredit yang akan disetujuinya tersebut tidak akan bermasalah.
Tersirat dalam ketentuan ini bahwa pemutus kredit se- kaligus merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap kualitas akhir dari informasi, data dan fakta, serta analisis kre- dit, yang disajikan oleh pihak yang terkait lainnya dalam proses persetujuan kredit tersebut. Ini artinya, pemutus kredit juga bertanggung jawab atas kualitas pekerjaan yang dilakukan oleh account officer.
Kelima, Pasal 29 Ayat (3) UU Perbankan menyebutkan bah­wa dalam menjalankan usaha, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, yang me- mercayakan dananya kepada bank. Ini artinya, dalam menjalan- kan usaha, yang termasuk pengambilan keputusan kredit, bank dalam hal ini pemutus kredit harus memastikan bahwa tidak ada peraturan perundangan atau ketentuan internal bank yang dilanggar. Selain itu, pemutus kredit juga harus memperhatikan cara-cara yang tidak berimplikasi negatif terhadap kepentingan bank dan nasabah pemilik dana. Kamus Besar Bahasa Indone­sia menerjemahkan 'cara' sebagai usaha atau ikhtiar, sedangkan 'cara-cara' dapat berarti adanya berbagai cara yang dapat ditem- puh. Karena itu, 'cara' cenderung lebih bersifat terperinci atau lebih spesifik, dan merupakan bagian yang lebih terperinci dari proses. Frasa 'cara-cara' memberikan implikasi adanya proses pemilihan cara yang akan dipakai, dan cara ini harus tidak me- rugikan kepentingan bank atau para pemilik dana.
Keenam, Pasal 29 Ayat (2) menyebutkan bahwa bank wa­jib memelihara tingkat kesehatan sesuai dengan ketentuan ke- cukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan de- ngan usaha bank, dan wajib melakukan usaha itu sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Secara menyeluruh, Ayat ini menekan- kan kembali, bahwa dalam menjalankan usahanya, bank wajib menaati prinsip kehati-hatian, yang harus diterapkan terhadap seluruh aspek pelaksanaan usaha itu, sehingga bank dapat me- melihara tingkat kesehatannya.
Ketujuh, Pasal 49 UU Perbankan, terutama Ayat 2 (a), me- nyebutkan bahwa seluruh anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank tidak dapat meminta, menerima, mengizinkan, atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, dan seterusnya, dalam rangka memberi-


kan persetujuan pemberian fasilitas kredit, atau untuk menarik dana yang melebihi batas kredit yang disetujui. Pemberian im- balan seperti ini dapat terjadi ketika mengajukan permohonan kredit dengan tujuan kreditnya segera diproses, atau selama pro­ses agar dicarikan jalan keluar dalam rangka memastikan untuk memperoleh persetujuan kredit, atau setelah kredit cair sebagai gratifikasi. Pemutus kredit tercakup sebagai pihak dalam Pasal ini. Karena itu, pemutus kredit tidak boleh mengambil manfaat keuangan dari keputusan yang diambilnya. Secara batiniah, ke- tentuan ini dapat mendorong independensi pemutus kredit da- lam melakukan pekerjaannya.
Pengambilan keputusan kredit di dalam organisasi pemberi pinjaman se- perti bank merupakan pekerjaan sehari-hari yang harus dilakukan pemu- tus kredit. Pada hakikatnya, keputusan kredit adalah keputusan moral. Menurut Preston, keputusan dikatakan diambil secara etis, jika didasar- kan pada alasan-alasan moral. Pengambilan keputusan seperti ini harus didahului oleh pendekatan yang bersifat komprehensif dan responsif, di mana konsultasi dan pembahasan secara kolaboratif mengenai etika dan semua faktor yang terkait lebih dimungkinkan.
Dari semua keputusan yang mungkin ada pada bank, keputusan kredit mengandung unsur moral yang paling besar, karena menyangkut begitu banyak kepentingan orang lain. Menurut Velasques, yang dikutip Johanna Kujala dari Tampere University, Finlandia, keputusan yang ber- moral ini dapat didekati dengan menggunakan konsep utilitarianisme. Menurut konsep ini, suatu tindakan atau keputusan adalah benar dari segi etika jika dan hanya jika keputusan itu dapat menghasilkan sejumlah utilitas yang lebih besar, dibandingkan dengan tindakan atau keputusan lain yang dapat menggantikannya.
Menurut Jonah Lehrer dari Amerika, keputusan moral adalah kepu- tusan unik, karena harus mempertimbangkan kepentingan orang lain, mulai dari masyarakat pemilik dana yang disimpan di bank, debitor dan calon debitor yang mewakili kepentingan pertumbuhan usaha dan para pekerja di belakangnya, para stakeholder di belakang usaha yang dibiayai, sampai pada para pemilik dan para stakeholder yang berkaitan dengan bank itu sendiri; di samping para pegawai dan keluarganya. Jika kepu- tusan kredit yang diambil tidak tepat, akan timbul kredit bermasalah dan NPL atau NPF, yang seterusnya akan berakibat pula pada kegagalan bank dan kemudian pada krisis perbankan. Jika hal ini terjadi, semua pihak tadi akan merasakan akibat negatifnya.
Seperti telah disinggung, pihak yang terlibat dalam proses pengam- bilan keputusan kredit meliputi account officer, wakil dari manajemen risiko, komite kredit, dan pemutus kredit. Pemutus kredit yang paling tinggi dalam struktur perkreditan bank adalah presiden direktur. Jadi, pihak pemutus kredit atau presiden direktur adalah pihak terakhir yang benar-benar mengambil keputusan untuk menolak atau menyetujui suatu usulan kredit. Pengambilan keputusan kredit ini sangat penting artinya tidak saja bagi kualitas portofolio pinjaman bank bagi institusi pemberi pinjaman, tetapi juga bagi kelanjutan usaha bank.
Keputusan kredit merupakan pilihan yang diambil dalam memasti- kan, bahwa suatu risiko kredit dapat diterima atau tidak, sekaligus me- nyelaraskan keseimbangan antara risiko dan perolehan laba (risk and return) dari suatu transaksi perkreditan. Secara teoretis, semakin besar risiko bisnis, dalam hal ini risiko kredit sejauh yang dapat diterima oleh bank, semakin besar perolehan laba yang diperlukan untuk menerima dan memikul risiko tersebut.
Sejumlah literatur menunjukkan bahwa krisis perbankan sistemik yang di dalamnya merupakan generalisasi dari insolvensi bank selalu di- dahului oleh beberapa faktor yang sederhana, yaitu keputusan pemberian kredit yang buruk, pengambilan risiko yang berlebihan, dan materialisasi dari risiko kredit.30 Tetapi, walaupun tidak semua risiko kredit dapat di- mitigasi, risiko kredit yang terjadi dapat juga merupakan hasil pengam- bilan keputusan yang kurang tepat.
Menurut filsuf James Rachels dari Amerika, keputusan moral me- nuntut adanya dukungan penalaran atau alasan-alasan, yang sejalan de- ngan teori yang dikemukakan Waymond Rodgers (Amerika) dan Susana Gago (Spanyol). Menurut mereka, pengambilan keputusan yang bermoral mengikuti suatu proses yang dimulai dari Informasi (I), Persepsi (P), Per- timbangan (J), dan kemudian Keputusan (D).
Persepsi mewakili suatu kerangka ruang lingkup berpikir berdasar- kan informasi angka-angka keuangan, serta sumber informasi internal dan eksternal yang dapat memengaruhi tanggung jawab dari keputusan yang diambil. Informasi merupakan proses mengolah informasi keuang- an dalam bentuk hitungan dari angka-angka yang diperoleh, dikaitkan dengan konteks atau lingkungan situasi dan waktu, serta ruang lingkup tempat perusahaan beroperasi. Pertimbangan merupakan proses dari pengolahan seluruh informasi yang terkait, dan berinteraksi secara ber- samaan meliputi unsur keuangan, ekonomi, dan manjemen. Terakhir, ke- putusan merupakan pemilihan keputusan yang terbaik, dikaitkan dengan arahan yang harus diikuti. Dalam konteks organisasi bank, arahan ini merupakan ketentuan perkreditan yang harus diikuti dan ditaati.
Dengan demikian, apakah keputusan kredit itu benar atau tidak, disetujui atau ditolak, harus didukung dengan alasan-alasan yang benar, yang muncul dari hasil analisis dengan menggunakan fakta dan informasi yang relevan dan mutakhir. Putusan moral tidak berdasarkan suka atau tidak suka, tidak ditentukan oleh emosi atau selera, tetapi lebih memerlu- kan penalaran tertentu.
Para pemutus kredit harus mengambil keputusan kredit berdasarkan pertimbangan kredit yang sehat, melalui analisis kredit yang dalam dan memadai, sebagaimana dituntut oleh UU Perbankan. Pertimbangan kre- dit yang sehat berarti menghindarkan diri dari pengambilan keputusan yang dihadapkan kepada pengambilan risiko yang berlebihan, atau tanpa adanya batasan yang patut.
Walaupun tidak selalu melanggar ketentuan undang-undang, tindak- an pengambilan risiko yang berlebihan sering didorong oleh pertimbang- an, karena adanya kemungkinan memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Di lain pihak, kesediaan konsumen membayar margin yang lebih tinggi dapat terjadi, karena sulit untuk memperoleh pembiayaan atau kredit dari bank lainnya, atau bersifat tidak bankable atau berisiko tinggi.
Contoh lain pengambilan risiko yang berlebihan adalah pemberian kredit kepada calon debitor yang memiliki utang besar, atau memiliki debt to equity ratio tinggi atau di atas tingkat rata-rata industri yang sehat. Debitor dalam kedaaan seperti ini sering bersedia membayar tingkat bunga yang lebih tinggi, dari tingkat bunga pasar yang berlaku bagi debitor umumnya. Pemberian kredit yang tidak sehat lainnya sering dilakukan, walaupun debitor telah melewati ketentuan BMPK dengan cara yang diatur oleh bank; biasanya melalui debitor atau perusahaan nominee. Pemberian kredit ke konsumen yang memiliki utang besar akan menambah kemungkinan debitor itu mengalami wanprestasi.
Menurut William R. Keeton dan Charles S. Morris, Clair, dan Patrick
Honohan, seperti dikutip oleh Christophe J. Godlewski dari University of Strasbourg, Prancis, pengambilan risiko kredit yang berlebihan akan terlihat dari berbagai gejala, antara lain, kualitas portofolio pinjaman yang rendah atau rasio NPL yang tinggi, konsentrasi pinjaman yang tinggi pada debitor, atau industri, atau lokasi geografis atau macam pinjaman tertentu, sikap optimistis yang berlebihan terhadap debitor tertentu, pertumbuhan kredit atau pinjaman yang besar, dan pengambilan risiko di luar kemampuan teknis bank.
Secara umum, kata Godlewski, penyebab utama timbulnya tindakan pengambilan risiko kredit yang berlebihan adalah karena pejabat yang mengambil keputusan tersebut tidak ikut menanggung biaya yang terkait dengan pengambilan keputusannya itu. Mengenai pengambilan keputus- an yang berlebihan dalam kaitan dengan BMPK, Pontell menyebutkan bahwa sesungguhnya pengambilan risiko yang berlebihan seperti ini se- jalan dengan pengertian hipotesis yang berdasarkan secara eksplisit pada argumen kecurangan atau penggelapan atau penipuan yang minimal, dan dipengaruhi oleh moral hazard, mismanajemen, dan merupakan model penipuan yang bersifat materiil.
Inti pengambilan keputusan adalah membentuk keyakinan dalam menentukan kemampuan arus kas calon debitor untuk membayar utang dan bunga di masa depan, dan komitmen debitor untuk melakukannya. Untuk itu, kreditor harus mengestimasikan sesuatu yang belum pasti. Martin H. Wolfson dari University of Notre Dame, Prancis, mengung- kapkan pandangan Keynes31, bahwa untuk mengambil keputusan dalam ketidakpastian itu, orang akan melakukan tindakannya berdasarkan ke- sepakatan (convension), yang digunakan seiring dengan berbagai tingkat keyakinan (confidence).
Pengambilan risiko kredit yang berlebihan akan terlihat dari berbagai gejala, antara lain kualitas portofolio pinjaman yang rendah atau rasio NPL yang tinggi.
Wolfson mengutip penjelasan Keynes mengenai convension dan confidence dalam implikasi dari pandangan Keynes itu untuk mengana- lisis keputusan kredit oleh bank. Pertama, walaupun terdapat unsur ke- tidakpastian, bankir tetap membentuk pendapat mengenai kemungkinan pembayaran pinjaman dan bunga di masa depan, dan pendapat ini diten- tukan oleh berbagai convension yang mendasari keputusan kredit. Kedua, convension pemberian pinjaman bergantung pada asumsi awal, bahwa
keadaan akan berlanjut di masa depan; misalnya, jika debitor mempunyai catatan yang baik dalam pembayaran kewajibannya dan memiliki keadaan keuangan yang kuat, debitor seperti itu lebih disukai. Ketiga, convension pemberian pinjaman digunakan dengan berbagai tingkat confidence; hal ini lebih relevan pada keadaan terhadap lingkungan keuangan makro. Jika keadaan ini berubah, bank akan mengubah pendapatnya mengenai tingkat risiko dari pinjaman yang akan diberikan, yaitu bahwa masa depan kelihat- annya akan sama seperti yang lalu, dan akan berlanjut hanya jika terdapat alasan bahwa hal itu tidak akan berubah. Jika keyakinan lemah, pendapat mengenai pembayaran pinjaman dan bunga tersebut akan berubah.
Dalam pengambilan keputusan kredit, pemutus kredit harus pula memperhatikan lingkungan yang dihadapi yang dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan, sehingga tidak terpengaruh oleh hal-hal yang dapat mengurangi objektivitas pengambilan keputusan. Pengambil- an keputusan kredit bersifat sangat objektif dan rasional. Kalaupun harus meramalkan atau memperkirakan suatu keyakinan di masa depan yang mengandung tingkat ketidakpastian, perkiraan itu seyogianya merupakan ekstrapolasi konklusi dari data dan informasi yang faktual dan relevan yang telah dipelajari.
Hal inilah yang sesungguhnya harus diperhatikan dengan konsen- trasi penuh, tanpa dapat dipengaruhi oleh suasana lingkungan yang ada. Suasana yang dihadapi ketika melakukan pengambilan keputusan dapat memengaruhi konsentrasi, dan cenderung menjauhkan perhatian penuh dari masalah-masalah perkreditan yang harus dikaji secara objektif. Kon- sentrasi atau perhatian penuh ini dapat pula dipengaruhi oleh sensitivitas emosi pengambil keputusan.
Data-data empiris menunjukkan bahwa kegagalan dan atau krisis perbankan bermula pada pengambilan keputusan (kredit), yang lebih banyak dipengaruhi faktor-faktor di luar (exogenous) dan diperlukan da- lam pengambilan keputusan yang objektif dan independen. Faktor-faktor yang dimaksud di sini dapat berupa pengaruh psikologis atau emosi, se- perti sikap optimistis yang berlebihan (overoptismistic) pemutus kredit atau calon kreditor, atau sikap yang dipengaruhi unsur asymmetric ex­pectation, reflexivity, gambling for resurrection hyphothesis, irrational exuberance, herd behaviour, the sixth C, dan moral hazard, dalam peng- ambilan keputusan kredit seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.
Asymmetric expectation. Kreditor dan debitor memiliki perbedaan dalam melakukan evaluasi terhadap masa depan, yang berkaitan dengan proyek yang akan dibiayai. Di samping itu, masa depan pada dasarnya ber­sifat tidak pasti, sehingga kreditor dan debitor tidak selalu setuju menge- nai tingkat risiko dari proyek yang dibiayai, karena hasil yang pasti dari proyek itu masih harus ditunggu di masa depan. Karena itu, kreditor dan debitor akan memiliki ekspektasi yang berbeda (asymmetric expectation).
Sikap yang berbeda ini terjadi terutama karena uang masyarakat yang dikontrol oleh kreditorlah yang akan dipinjamkan, sehingga peng- ambilan keputusan kredit seyogianya lebih memperhatikan pertimbang- an kreditor. Dari studi yang dilakukan oleh Wolfson, disimpulkan bahwa kreditorlah yang harus memastikan apakah suatu usulan kredit memiliki risiko yang dapat diterima atau tidak. Jika risiko dapat diterima, kreditor dapat memberikan pinjaman; tetapi jika tidak, kreditor melakukan pe- ngetatan kredit.
Overoptimistic. Optimisme yang berlebihan (overoptimistic) dibedak- an menjadi dua. Pertama, optimisme yang berlebihan terhadap kejadian yang tidak dapat dikontrol oleh seseorang. Kedua, optimisme yang ber­lebihan terhadap kejadian yang dapat dilakukan seseorang. Bukti empi­ris menunjukkan optimisme berlebihan jenis kedualah yang lebih sering berdasarkan harapan yang lebih tidak realistis. Overoptimistic atau over­confident, atau dalam bahasa perbankan dapat diartikan sebagai sifat agresif yang berlebihan, adalah salah satu decision trap (jebakan dalam mengambil keputusan),32 yang harus dihindari oleh pemutus kredit. Se- baliknya, jika debitor menunjukkan sifat seperti ini, pemutus kredit harus lebih berhati-hati dalam membuat keputusan kredit, dan bahkan perlu lebih jauh meneliti setiap detail.
Reflexivity. Mengenai teori reflexivity (yang dikembangkan oleh George Soros), Joseph Calandro Jr. dari University of Connecticut menjelaskan bahwa proses pasar bukan fenomena satu arah, yaitu tidak bergerak dari informasi ke harga pasar, melainkan bergerak dengan berinteraksi melalui keluk umpan balik dua arah antara informasi dan penentuan harga pasar.
Penjelasannya, menurut Calandro, adalah bahwa tingkah laku pasar tidak terbatas hanya pada discounting data fundamental, tetapi juga penentu nilai; yang artinya keputusan investasi marginal dari para partisipan pasar memengaruhi keputusan fundamental perusahaan, seperti pendapatan, biaya, dan modal, dan akhirnya memengaruhi,
kinerja masa depan. Sejauh interaksi umpan balik reflexivity bersifat konstan, maka tingkah laku pasar akan menggambarkan fundamental. Tetapi, ada kalanya keluk umpan balik reflexivity tertutup, sehingga jarak antara harga pasar dan fundamental melebar. Jika berlanjut, kondisi seperti ini akan mempertajam turun-naiknya tingkah laku pasar, yang akan menimbulkan perbedaan harga yang besar, dan ini menjadi perhatian utama dari para paritisipan pasar, karena adanya kesempatan untuk memperoleh keuntungan.
Masalah reflexivity ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemutus dalam melakukan keputusan kredit, karena akan memengaruhi pengambilan keputusan ke arah yang salah. Pertumbuhan suatu industri yang terjadi bukan karena kekuatan penawaran dan permintaan, yang didasarkan pada kebutuhan yang hakiki; karenanya, keputusan kredit yang akan diambil tidak berdasarkan hal-hal yang bersifat fundamental. Pertumbuhan suatu industri dapat disebabkan oleh faktor lain, tetapi bukan yang bersifat fundamental, dan berada di luar industri itu sendiri. Faktor yang bukan fundamental dan berada di luar industri itu sendiri adalah, misalnya, sikap perbankan yang terus mengucurkan kredit pada industri tersebut, atau masyarakat melakukan pembelian yang aktif karena didorong adanya tingkat bunga yang rendah.
Pertumbuhan yang tidak didasarkan pada faktor fundamental cende- rung menciptakan bubble pada harga aset di sektor industri tersebut, dan bubble seperti ini berkali-kali terjadi di dunia, misalnya bubble kembang tulip di Belanda tahun 1636, bubble pada real estat dan saham di Jepang tahun 1985-1989, dan bubble pada pasar saham OTC di Amerika tahun 1995-2000.
Di Indonesia, pembiayaan aset keuangan seperti saham jarang di- lakukan oleh bank karena memang dilarang. Sektor perekonomian yang paling terkait dengan masalah reflexivity ini adalah sektor properti atau saham. Yang menjadi masalah terhadap pengambilan keputusan saat ter­jadinya reflexivity adalah jika bank tidak menyadari apa yang sesungguh- nya terjadi, dan bank mengambil keputusan kredit pada saat bubble akan mengempis, maka bank akan mengalami kerugian besar.
Sektor perekonomian yang paling terkait dengan masalah reflexivity ini adalah sektor properti atau saham.
Gambling for resurrection hypothesis. Pontell menggambar-
kan hipotesis ini dengan apa yang terjadi di Amerika tahun 1986, yang berkaitan dengan institusi simpan-pinjam (saving & loan institution). Ia mengatakan, sebagian besar kerugian yang terjadi pada krisis S&L, disebabkan oleh investasi yang berpotensi memberikan hasil yang ting- gi, tetapi merupakan aset yang sangat berisiko tinggi dengan tingkat ke- mungkinan wanprestasi yang tinggi. Pemilik institusi tersebut bertindak sebagai aktor ekonomi yang rasional, berusaha mencari keuntungan yang lebih tinggi, untuk menutupi kerugian yang terjadi pada institusinya. Jika berhasil, walaupun kegiatan ini bersifat seperti "berjudi" karena berisiko tinggi, usahanya itu akan menyelamatkan institusinya dari kebangkrutan. Tetapi jika gagal, yang rugi tetap institusi terkait, bukan pemilik; dan hal ini akan mempercepat proses kebangkrutan.
Sikap seperti ini terjadi tidak hanya pada institusi S&L tersebut, tapi juga pada perbankan di sejumlah negara di dunia. Tindakan seperti ini berpotensi untuk dilakukan di perbankan di Indonesia, jika pemutus kredit berusaha menutupi kesalahan dalam mengambil keputusan kredit, yang telah merugikan institusinya. Untuk menutupi kerugian yang terjadi dan umumnya berasal dari NPL, diperlukan keuntungan yang tinggi, atau lebih besar dari keuntungan normal, atau margin yang diberikan kon- sumen lebih besar daripada pasar normal. Biasanya, tingkat bunga atau keuntungan yang tinggi seperti itu hanya dapat diperoleh dari pemberian pinjaman yang berisiko tinggi, atau dari debitor yang tidak layak dari segi perkreditan. Pengambilan keputusan kredit yang berdasarkan pertim- bangan seperti itu harus dihindari oleh para pemutus kredit perbankan.
Irrational exuberance. Dapat diartikan sebagai semangat yang tidak rasional, yang membuat pertimbangan menjadi salah. Menurut ekonom Robert J. Shiller dari Amerika, ungkapan irrational exuberance dipakai pertama kali oleh ekonom Alan Greenspan, yang dapat diartikan sebagai sikap optimistis para investor pasar modal terhadap perkembangan harga satu jenis aset, yang tidak didasarkan pada informasi yang berkaitan dengan unsur-unsur fundamental aset itu. Sikap optimistis ini dipicu oleh perkem- bangan yang berkaitan dengan pasar, seperti kemajuan teknologi, menja- murnya perusahaan dotcom, turunnya tingkat inflasi, rendahnya tingkat bunga, dan meningkatnya kadar materialisme masyarakat. Faktor pemicu awal ini akan membuat harga aset naik, dan kenaikan harga ini akan me- micu kenaikan harga berikutnya, yang pada saat yang sama menimbulkan bubble. Ketika harga aset terus meningkat, kadar exuberance bertambah.
Irrational exuberance terjadi berulang-ulang di dunia dan berakibat pada kenaikan harga aset yang tidak pantas, jika dikaitkan dengan faktor fundamental dan berpotensi untuk mengalami kontraksi yang menda- dak dan lama.33 Sebagai contoh, krisis yang terjadi di beberapa negara menggambarkan adanya kesalahan pertimbangan (misjudgements) dan irrational exuberance, yang menyebabkan para investor dan bank tidak mempertimbangkan dengan cermat berbagai risiko pada emerging mar­ket. Mereka pun cenderung bereaksi berlebihan ketika sentimen pasar mulai berubah.
Exuberance dapat terjadi di perbankan di Indonesia ketika pemerintah mendorong perbankan untuk membiayai proyek infrastruktur di Indonesia; dorongan ini dapat diartikan sebagai persetujuan awal terutama bagi bank pemerintah. Exuberance itu akan menjadi irrational, jika bank pemerintah tersebut tidak melakukan analisis yang memadai, ketika mereka menentukan akan membiayai proyek infrastruktur yang dimaksud, karena alasan faktor pemerintah semata.
Herd behavior. Salah satu sebab kegagalan bank adalah keputusan kredit yang tidak baik, dan sebagian dari keputusan kredit ini terjadi karena mengikuti keputusan yang dilakukan oleh kreditor lain, bukan berdasarkan analisis kredit yang dilakukan sendiri. Raghuram G. Rajan membentuk model di mana bankir terlalu masygul terhadap reputasi dirinya, menganggap reputasinya akan berkurang jika dia tidak berhasil meningkatkan aset pinjamannya, ketika bankir yang lain berhasil melakukan ekspansi kredit. Pandangan ini dapat mendorong para bankir menurunkan standar analisis kreditnya, karena adanya dorongan kompetisi di antara para bank. Sikap yang tidak pada tempatnya ini disebut sebagai penyakit mental ikut-ikutan.
The sixth C, Commitment. Richard G. Brody dari University of South Florida menjelaskan suatu fenomena yang disebut sebagai escalation of commitment atau throwing good money after bad sebagai suatu keingin- an untuk menambah jumlah pinjaman, pada saat kualitas kredit menu- run. Joel Brockner dari Columbia University menyebut tingkah laku ini sebagai commitment behavior, yang menggambarkan kecenderungan orang untuk mempertahankan, atau memperkuat sikap yang diambil sebelumnya, walaupun terdapat bukti yang mendasarinya telah berubah atau lebih buruk.
Karena adanya kaitan secara pribadi, menurut Joel Brockner dan Jeffrey Z. Rubin, pengambil keputusan mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan commitment ke suatu jumlah yang lebih besar dari jumlah yang dapat dijustifikasi secara objektif, atau berdasarkan fakta objektif. Menurut Brody, pada umumnya para pengambil keputusan berkemung- kinan besar melakukan eskalasi komitmen, jika 1) evaluasi atau keputus- an untuk melakukan suatu tindakan dilakukan berulang-ulang, 2) peng- ambil keputusan memiliki tanggung jawab pribadi terhadap keputusan yang diambil sebelumnya, dan 3) keputusan sebelumnya dianggap tidak dapat ditarik kembali.
Brody mengungkap temuan Ruchala dkk, bahwa pemutus kredit yang membuat keputusan pertama untuk menyetujui suatu pinjaman berkemungkinan besar akan melakukan kesalahan untuk menyetujui pin- jaman kedua dari debitor yang sama, dibandingkan jika dia tidak terkait dengan pengambilan keputusan pertama. Di samping itu, Ruchala dkk menemukan, bahwa penggunaan loan committee akan meningkatkan commitment behavior sebagai akibat tanggung jawab yang terbagi.
Faktor yang dapat menyebabkan hal ini adalah 1). struktur kompen- sasi account officer berdasarkan tingkat kolektibilitas; maka jika pinjam- an pertama bermasalah, account officer tersebut cenderung berani meng- ambil risiko, dan memberikan pinjaman kedua untuk mempertahankan reputasinya, dan menutup kerugian dengan harapan turnaround dapat terjadi, 2). jika kreditor, dalam hal ini account officer atau pejabat per- kreditan terkait lainnya, dan debitor memiliki hubungan sosial di luar hu- bungan formal sebagai kreditor dan debitor (kelompok sosial, organisasi keagamaan, dan lainnya), ketika pinjaman bermasalah, kreditor sebagai institusi mengalami kesulitan untuk menangani debitor secara objektif sebagai debitor; sulit juga bagi mereka untuk mengabaikan hubungan yang bersifat pribadi yang pernah ada.
Brody berkesimpulan bahwa memperbaiki proses pemberian pin- jaman sampai tahap pengambilan keputusan akan mengurangi banyak pinjaman menjadi bermasalah, walaupun tidak mungkin untuk menghi- langkan masalah itu sama sekali.
Moral Hazard. Pemutus kredit berada di posisi yang sangat strategis dalam mengambil keputusan kredit, karena menggunakan pertimbangan yang bersifat individu, dan tentunya merupakan pertimbangan perkreditan dan teknis ekonomis, serta menyangkut seni dan feeling serta nuraninya.
Pengambilan keputusan kredit yang baik dan benar memerlukan penalaran intelektualitas yang mengacu pada kebenaran. Namun, untuk menentukan kebenaran berdasarkan penilaian siapa, diperlukan penjelas- an lebih lanjut. Menurut Kant, ketentuan umum mengenai pertimbangan moral adalah jika kita dapat melakukannya berdasarkan maksim yang dimiliki, tetapi maksim itu bersifat universal.34 Maksim merupakan suatu prinsip yang mendasari kita bertindak, dan prinsip itu bersifat universal jika orang lain umumnya dapat menerima prinsip itu. Di sinilah letaknya moral hazard, yakni orang bertindak berdasarkan prinsipnya sendiri, yang tidak dapat diterima oleh orang lain umumnya.
Moral hazard merupakan pelembagaan dari kurangnya batasan sam­pai sejauh mana orang dapat memanfaatkan suatu keadaan atau ketentu- an. Kelemahan ini umumnya dapat ditimbulkan oleh adanya ketidakse- imbangan informasi. Suatu ketentuan atau keadaan dilaksanakan, tetapi untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu; umumnya dilakukan oleh individu atau pejabat yang kompeten, atas beban pihak lain atau institusi yang terkait. Moral hazard, seperti umumnya terjadi, meman- faatkan peluang ketentuan atau keadaan untuk mengambil keuntungan bukan buat institusi tempat seseorang bekerja, dan merupakan penyim- pangan atau kejahatan kerah putih35. Penyimpangan seperti yang ini jelas merupakan pelanggaran terhadap tugas tanggung jawab (fiduciary duty) dalam konteks agen dan majikan.
Dalam hal pemberian kredit, keputusan dapat direkayasa sedemikian rupa, dengan argumentasi dan asumsi yang logis dan dapat diterima se- jak awal pemberian kredit, dan melibatkan pertimbangan individu para pejabat kredit yang terkait. Dengan begitu, secara teknis perkreditan tidak tampak adanya keanehan yang menonjol. Karena nurani pemutus kredit hanya diketahui oleh dirinya sendiri, maka pertanyaannya: siapa yang da­pat mengontrol nurani pemutus kredit tersebut?
Intuisi. Menurut Jankowicz dan Hisrich, keputusan kredit komersial diambil sebagian berdasarkan intuisi, baik untuk pinjaman korporasi maupun nonkorporasi. Namun, keputusan kredit yang baik hanya dapat diambil berdasarkan data dan informasi yang memadai, dan telah pula diverifikasi dengan baik. Data dan informasi ini dicerna dan dikaitkan satu sama lain dalam rangka menghasilkan pengertian terhadap kemampuan dan sikap calon debitor di masa depan, yang diperlukan dalam rangka melakukan pembayaran kewajibannya pada bank.


Intuisi digunakan setelah pemutus kredit memahami dan mencerna seluruh data dan informasi tersebut dengan baik, dan merupakan hasil resultan upaya ini, dibarengi dengan pengalaman dalam menghadapi hal serupa sebagai pengontrol hasil upaya ini, yang sebagian digunakan untuk menutupi unsur ketidakpastian yang umumnya ada terhadap sesuatu di masa depan. Jadi, intuisi merupakan unsur pelengkap dalam rangka menambah keyakinan pemutus kredit terhadap kelayakan suatu kredit, bukan unsur pengganti analisis kredit yang komprehensif.
Intuisi merupakan unsur pelengkap dalam rangka menambah keyakinan pemutus kredit terhadap kelayakan suatu kredit, bukan unsur pengganti analisis kredit yang komprehensif.







Pentingnya unsur agama. Robert E. Gunther, sebagai pakar dalam pengambilan keputusan asal Amerika, menyebutkan suatu pandangan, yang berasal dari Darwin, bahwa dalam meningkatkan karier, seseorang akan melakukan perjuangan bagaikan "anjing memakan anjing", seolah- olah berjuang untuk mempertahankan hidup (survival), tetapi dalam rangka memaksimumkan kekayaan. Pandangan ini, menurut Gunther, bertentangan dengan pandangan yang memaksimumkan kontribusi dari karier seseorang bagi organisasi tempat dia bekerja, dan bagi dunia yang lebih luas. Gunther berpendapat bahwa pandangan semacam ini akan membimbing seseorang menuju pengambilan keputusan yang berbeda mengenai karier dan dalam karier seseorang. Gunther selanjutnya berpendapat, bahwa keputusan yang diambil seseorang bergantung pada kompas moral, dari mana ia mulai.
Menurut Gunther, sebagian keputusan penting tidak dapat ditim- bang hanya dari kepala, tetapi juga perlu dari hati. Apakah keputusan itu merupakan hal yang benar dilakukan? Apakah keputusan itu sudah kon- sisten dengan kepercayaan orang itu, atau bertentangan dengan keperca- yaannya yang paling dalam? Gunther menyarankan, dalam mengambil keputusan penting, seseorang perlu melihat ke dalam hatinya, dan berta- nya pada dirinya unsur penting mana dalam agama yang dianutnya, yang melandasi pengambilan keputusan itu.
Dari uraian-uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa keputusan kredit harus dilakukan secara independen, berdasarkan data-data dan informasi yang telah diverikasi dan dianalisis secara mendalam, diekstrapolasi ke depan, ditambah dengan keyakinan yang telah terbentuk berdasarkan analisis, pengamatan yang saksama diiringi oleh intuisi, yang menghasilkan keyakinan orang per orang terhadap kelangsungan usaha dan arus kas debitor di masa depan. Kekuatan arus kas yang dibarengi dengan usahanya yang prospektif akan mendorong calon debitor untuk membayar kewajibannya kepada bank.
Keputusan kredit harus diupayakan merupakan self evident, dan tertulis dengan baik, serta berdiri sendiri, dengan hanya pertimbangan komersial tanpa dipengaruhi oleh apa pun, kecuali oleh informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan kredit. Keputusan kredit harus dibuat secara independen untuk setiap usulan kredit dan untuk setiap calon debitor yang berbeda, atau untuk debitor yang sama tetapi untuk proyek atau jaminan yang berbeda, atau untuk risiko kredit yang berbeda.
Keputusan kredit juga merupakan keputusan manajemen, tidak hanya meliputi aplikasi prosedur operasi standar, tetapi juga mencakup informasi, kepercayaan, kebijaksanaan, dan nilai yang dianut, yang kese- luruhannya dikombinasikan dalam menghasilkan informed judgement, melalui proses yang juga bersifat subjektif pada kadar tertentu. Bersifat subjektif karena mengandung intuisi, pertimbangan, serta keyakinan individualistis dari para pemutus kredit. Walaupun secara umum intuisi merupakan gerak hati yang paling dalam, bersifat spiritual dan personal, dan tanpa sentuhan indra serta olahan akal, intuisi dalam pemberian kre- dit harus mengacu pada pengalaman sebelumnya yang dapat dijelaskan secara logis, dan berdasarkan olahan rasional dari data-data yang perlu dikumpulkan.
NPL berasal dari kegiatan peminjaman uang pada bank konvensional, se- dangkan NPF dari kegiatan pemberian pembiayaan pada transaksi perda- gangan, pemesanan barang atau sewa, atau pembiayaan usaha kerja sama pada bank syariah.
Bagi bank konvensional, pinjaman ini kemudian membentuk porto­folio pinjaman atau pembiayaan yang biasanya mewakili bagian terbesar total aktiva bank. Portofolio pinjaman atau pembiayaan ini menghasilkan pendapatan bunga dan keuntungan bersih bagi bank, yaitu setelah diku- rangi biaya dana yang umumnya berupa beban bunga atas perolehan dan penggunaan dana masyarakat yang dihimpun, serta biaya operasional lain- nya. Bagi bank syariah, pendapatan bunga ini diganti dengan keuntungan, baik bagi segi pasiva maupun aktiva dari neraca bank. Dari segi pasiva atau dana masyarakat yang dikelola oleh bank, bunga diganti dengan keun- tungan yang diperoleh bank dari usaha operasionalnya, dan dibagi dengan pemilik dana. Dari segi aktiva atau pembiayaan yang diberikan bank, bank memperoleh sebagian keuntungan dari transaksi perdagangan yang dilaku- kan dengan konsumen, atau dari usaha konsumen yang dibiayai bank.
Bank akan terus dapat mengakui dan mencatat pendapatan bunga yang dimaksud, sejauh debitor peminjam tetap melakukan pembayaran secara konsisten atau diyakini akan dapat membayarnya, yaitu bunga atas pinjaman dan angsuran pokok yang telah diperjanjikan. Bagi bank syari- ah, karena tidak ada bunga, pembayaran ini merupakan angsuran harga yang mengandung unsur keuntungan dari suatu transaksi perdagangan yang telah disepakati, dan/atau bagian keuntungan yang telah direncana- kan dari usaha dengan nasabah yang dibiayai bank.
Dilihat dari segi aktivitas pembiayaan murni, idealnya, pinjaman dari bank itu digunakan untuk membiayai usaha debitor peminjam yang akan atau sedang berkembang. Pertumbuhan usaha debitor tersebut diharap- kan dapat menghasilkan pertambahan pendapatan yang sebagian akan di- gunakan untuk membayar angsuran pinjaman dan bunga bagi bank kon- vensional, atau bagi hasil atau pembagian keuntungan untuk bank syariah.
Jika debitor peminjam dengan berbagai alasan tidak dapat membayar bunga atau angsuran yang telah diperjanjikan, dan dijadwalkan berturut- turut selama tiga bulan, bank mulai memiliki NPL berdasarkan ketentuan perbankan yang berlaku. Hal yang serupa dapat pula terjadi pada bank syariah. NPF akan tercipta, jika nasabahnya tidak melakukan pembayar- an angsuran terhadap harga dari suatu pembelian yang telah disepakati, atau tidak berhasil menciptakan keuntungan seperti yang direncanakan dalam kurun waktu yang berjalan. Ini lebih lanjut berarti, bahwa bank tidak lagi dapat mengakui, dan mencatat adanya perolehan pendapatan bunga atau bagian keuntungan dari debitor (peminjam) tersebut.
Tidak dicatatnya perolehan pendapatan ini akan membuat laporan rugi-laba menjadi timpang, karena bank tetap harus membayar biaya bunga terhadap dana masyarakat yang digunakan untuk memberikan pinjaman itu, dan biaya operasional bank lainnya. Dalam keadaan yang timpang ini, bank akan cenderung mengalami kerugian. Karena itu, bank harus meneliti kemampuan seorang calon debitor dalam memperoleh pendapatan dan keuntungan dari usahanya ex-ante (sebelum kredit atau
pembiayaan diberikan). Penelitian mengenai kemampuan setiap calon debitor ex-ante, yang juga mencakup penelitian terhadap karakter si calon debitor dalam memperkirakan sikap atau kemauan untuk membayar kembali pinjamannya di masa depan, merupakan hal yang sangat penting.
Jumlah yang dipinjamkan harus sesuai dengan kemampuan membayar kembali, setelah memperhitungkan berbagai alasan yang mungkin dapat menghambat kemampuan itu terealisasi. Di bank syariah, bank perlu meyakinkan diri bahwa calon konsumen akan dapat menghasilkan keuntungan dari usaha yang dibiayai, memproduksi barang yang dipesan, membayar sewa atau mengangsur pembayaran yang tertunda. Dalam hal ini, bank harus meneliti hal ihwal usaha, kemampuan dalam memperoleh keuntungan, komitmen untuk berhasil dalam berusaha, dan membayar kewajibannya setelah keputusan pemberian pembiayaan dibuat.
Hasil penelitian inilah yang pada hakikatnya merupakan suatu per- timbangan berdasarkan data dan informasi yang relevan, diekstrapolasi- kan ke depan, dalam rangka memperoleh suatu tingkat keyakinan bahwa kemampuan konsumen itu akan tetap berlangsung di masa depan. Di samping meneliti kemampuan ini agar dapat berlangsung di masa depan, penilaian terhadap karakter calon konsumen perlu dilakukan pula dan di- yakini, bahwa calon konsumen atau debitor itu akan tetap mempertahan- kan komitmennya untuk memenuhi kewajibannya pada bank.
Di bank syariah, bank perlu meyakinkan diri bahwa calon konsumen akan dapat menghasilkan keuntungan dari usaha yang dibiayai.
Jadi, pada dasarnya NPL atau NPF akan terjadi, jika keyakinan bank terhadap kemampuan calon konsumen dan/atau terhadap komitmennya tidak dapat terealisasi. Tidak terealisasinya keyakinan bank terhadap ko- mitmen nasabah bank itu dapat terjadi, karena berbagai alasan dari pihak pemberi kredit atau pembiayaan, dalam hal ini bank sebagai institusi itu sendiri. Alasannya antara lain dapat berupa analisis yang tidak cermat ka- rena kurangnya pengetahuan atau keahlian, keyakinan yang dibentuk tidak memiliki dasar-dasar yang kuat, pihak pemroses dalam bank tidak bertin- dak secara profesional, integritas mereka perlu dipertanyakan, pimpinan bank kurang cakap dalam memimpin sehingga tidak menciptakan kultur yang diperlukan, reputasi calon konsumen tidak pernah diteliti, pengawas- an bank lemah, dan sebagainya. Namun, jika alasan-alasan itu dikelompok-
kan secara logis, dapat dikatakan bahwa alasan-alasan itu berada di sekitar individu, institusi, dan prosesnya. Karena bank merupakan suatu institusi yang memiliki manajemen yang menjalankan usaha bank, ketiga kelompok alasan ini merupakan produk atau bagian dari manajemen internal bank.
Dari segi waktu, suatu pinjaman dapat berkembang menjadi ber- masalah setiap saat setelah diberikan sampai seluruhnya dibayar lunas. Seperti telah dikemukakan, pada hakikatnya pinjaman/pembiayaan bermasalah (NPL/NPF) terjadi karena keyakinan yang tidak terealisasi mengenai kemampuan dan kemauan debitor untuk memenuhi kewajib- annya, atau dalam menciptakan keuntungan dari usaha yang dibiayai oleh bank.
Dari segi penyebabnya, keyakinan yang tidak terealisasi tersebut, sehingga pinjaman/pembiayaan dapat menjadi bermasalah, disebabkan sesuatu yang terjadi pada dua tahap yang berbeda. Tahap pertama, pada tingkat pemrosesan awal permohonan kredit oleh bank sampai permo- honan itu disetujui. Dan tahap kedua, setelah permohonan kredit disetu- jui dan sampai seluruhnya dilunasi.
Kemungkinan terhadap kesuksesan atau kegagalan ini seyogianya di­kaji secara mendalam dan saksama sebelum kredit diberikan, tetapi risiko bahwa hal ini dapat muncul dan menghalangi kesuksesan tadi dapat saja terjadi karena risiko di masa depan tidak sepenuhnya dapat diperkirakan.
Pada bank konvensional, terlepas dari apakah usahanya berhasil atau gagal, debitor tetap harus membayar bunga pinjaman di samping pokok pinjaman itu sendiri; karena memang beban bunga yang harus dibayar kemudian tetapi telah dipastikan, ketika perjanjian ditandatangani. Pada bank syariah, apa yang ditentukan di depan adalah nisbi pembagian ke- untungan, dan jumlah nominal yang dapat dibagi akan diketahui pada waktu yang berjalan. Karena itu, bank umumnya memerlukan suatu ja- minan atau kolateral yang dapat digunakan untuk menutupi risiko kega- galan yang dimaksud.
Dalam meneliti penyebab kegagalan bank, Shen menggunakan pendekatan mikro, yaitu dengan definisi bagaimana bank menjalankan usahanya di dalam bank. Shen berpendapat bahwa kegagalan bank bisa terjadi terutama karena masalah yang berada pada tataran mikro ini, antara lain praktik akunting dan auditing yang tidak memadai, manajemen yang buruk, dan pengawasan internal yang lemah. Salman Syed Ali dari Pakistan menyebutkan sejumlah faktor mikro sebagai penyebab timbulnya NPL, yaitu strategi bank yang tidak tepat, infrastruktur internal yang tidak memadai, penelitian kredit yang lemah, pemberian kredit yang terkonsentrasi, pemberian kredit pada pihak terkait, memberikan kredit pada bidang usaha yang belum dimengerti, penyelewengan dan korupsi, moral hazard karena adanya penjaminan dana masyarakat, intervensi terhadap proses pemberian kredit yang bersifat politis, masalah pengawasan yang lemah, kebijakan perkreditan yang liberal, dan kurangnya transparansi.
Hipotesis umum dalam buku ini dibuat berdasarkan anggapan bahwa NPL lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi mikro. Argu- men ini diperkuat dengan dasar pemikiran, bahwa jika analisis kredit dengan memperhatikan risiko-risiko yang mungkin terjadi di masa depan telah diperhitungkan dengan baik, dan rekam jejak calon debitor membe­rikan keyakinan yang kuat, ditambah dengan adanya jaminan atau kola- teral yang memadai untuk menutup risiko yang tidak dapat diperkirakan dengan pasti, kerugian yang mungkin timbul akibat kreditnya bermasalah seyogianya dapat diperkecil.
Namun, di lain pihak, jika argumentasi ini dirasakan tidak cukup meyakinkan, dan jika melihat besarnya risiko kredit yang mungkin harus dihadapi, bank dapat saja secara sepihak menentukan lain. Jika bank tidak yakin terhadap karakter, kemampuan, dan niat bayar seorang calon debi­tor, atau tidak memiliki informasi yang cukup untuk mengambil keputusan persetujuan kredit, atau menyadari besarnya risiko kredit yang akan diha- dapi atau keberhasilan usaha memiliki kerentanan yang tinggi terhadap tu- run-naiknya konjungtur ekonomi, maka bank dapat menolak permohonan kredit tersebut. Keputusan pemberian kredit pada dasarnya merupakan suatu pilihan, tetapi pilihan ini tidak dapat dipaksa untuk dilakukan.
Pada tahap kedua di atas (di tingkat konsumen), kredit juga bisa menjadi bermasalah karena faktor-faktor yang berada pada tingkat ekonomi makro, misalnya pengaruh lonjakan tajam tingkat bunga dan penurunan mendadak tingkat laju ekonomi. Namun, hal seperti ini seyogianya perlu diantisipasi dan dianalisis oleh loan officer, dan dipertimbangkan oleh para pemutus yang menyetujui suatu permohonan kredit.
Dalam proses pemberian kredit, pengetahuan, pengalaman, keahlian, dan keyakinan pemutus atau pengambil keputusan kredit, memainkan peranan yang menentukan terhadap kualitas portofolio pinjaman bank, di mana NPL merupakan indikator utamanya. Walaupun proses analisis
didasarkan pada data kuantitatif dan informasi kualitatif, pengambilan keputusan kredit memerlukan pertimbangan dan keyakinan pihak yang melakukan analisis dan memberikan keputusan persetujuan kredit, terutama dalam melihat kemungkinan kegagalan atau keberhasilan usaha calon debitor. Pertimbangan dan keyakinan ini dapat bersifat subjektif atau individualistis, yang berbeda orang per orang.
Di lain pihak, jika ditinjau dalam konteks yang lebih luas, tanggung jawab sosial dan moral si pemutus kredit tidaklah kecil karena dua hal. Pertama, dana yang digunakan untuk dijadikan pinjaman merupakan dana milik masyarakat banyak, dan dana ini akan diminta sewaktu-waktu oleh pemiliknya. Kedua, Pasal 4 UU Perbankan 1992/1998 menetapkan bank sebagai agent of development, yang secara substantif menuntut agar dana masyarakat disalurkan melalui kredit untuk tujuan-tujuan produktif yang dapat membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat luas.
Karena itu, pengambil keputusan kredit harus memiliki profesionalisme dan integritas yang tinggi, tetapi perlu disertai kadar spiritualitas yang kuat, seperti yang digambarkan oleh kutipan berikut.
"Rahasia perbankan yang sukses terletak hampir seluruhnya pada kejujuran dan kepercayaan yang baik dari manajemen dan kemampuannya untuk membedakan kredit dan investasi yang baik dan yang buruk. Pinjaman atau investasi yang baik biasanya akan selalu bernilai, meskipun dalam saat yang buruk. Saat yang buruk hanya memberikan penekanan kepada perbedaan antara yang baik dan yang buruk, yang biasanya tersembunyi pada saat yang baik."36
Kegagalan suatu bank dapat memengaruhi kegagalan bank lain.
Jika bank memiliki jumlah NPL yang relatif besar dalam portofolio pinjaman yang diberikannya, atau rasio NPL-nya tinggi, bank akan mengalami kerugian dan berkemungkinan besar mengalami risiko tinggi dalam mempertahankan solvabilitasnya. Dalam banyak kasus, terutama pada perbankan konvensional, posisi bank yang berisiko tinggi itu dapat berakibat pada kegagalan yang kemudian cenderung diikuti penutupan bank tersebut. Penutupan ini dilakukan, jika tidak terdapat dana penyelamat untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi, atau keadaan bank yang terlalu parah untuk diselamatkan.
Kegagalan suatu bank dapat memengaruhi kegagalan bank lain, karena pada dasarnya setiap bank berhubungan dengan bank lain dalam transaksi perbankan. Transaksi yang dimaksud, antara lain, setiap dana yang diberikan sebagai pinjaman kepada para debitor, pada akhirnya akan masuk kembali pada bank lain. Debitor menggunakan dana pinjaman tersebut sebagai pembayaran pada pihak lain, dan sebagian dilakukan dengan menggunakan media cek. Cek itu diserahkan kepada bank yang digunakan oleh konsumen dari debitor, dan seterusnya. Setiap pembayaran melalui bank akan berhubungan dengan bank lain. Setiap bank juga melakukan pinjaman antarbank, atau pinjaman diperoleh dari bank lainnya.
Jika bank pertama dalam suatu transaksi tidak dapat melakukan pembayaran kepada pihak atau bank lain, maka bank yang seharusnya menerima pembayaran dari bank pertama akan menjadi bermasalah dan seterusnya. Karena itu, jika bank pertama harus ditutup, dapat dipastikan bahwa bank itu masih memiliki kewajiban keuangan kepada pihak lain, termasuk bank-bank lain yang berhubungan dengan bank tersebut dalam transaksi keuangan. Dengan demikian, hubungan satu bank dengan bank lainnya bersifat sistemik.
Jika secara industri sejumlah bank mengandung NPL yang besar, tanpa langkah penyelamatan yang berarti, akan timbul krisis perbankan, yakni banyak bank yang perlu ditutup. Jika sebagian besar sistem per- bankan mengalami kerugian melebihi modalnya, terjadilah krisis siste- mik.37
Tentunya, krisis ini akan menimbulkan ketidakpercayaan masyara- kat kepada sistem perbankan. Ketidakpercayaan ini akan merambat pula pada sistem perekonomian dan pemerintahan, sehingga akan menggun- cangkan perekonomian yang berakibat pada penurunan laju perekono- mian secara drastis, dan menimbulkan tingkat pengangguran yang tinggi, yang akhirnya akan menyengsarakan rakyat banyak. Dalam keadaan se- perti itu, terlepas dari apakah akan dilakukan langkah penyelamatan atau tidak, semua ini akan bermuara pada tanggung jawab dan kerugian fiskal yang luar biasa, baik bagi pemerintah38, maupun bagi masyarakat secara keseluruhan.39
Kredit dapat berkembang menjadi bermasalah karena banyak faktor, baik
yang bersifat internal maupun eksternal;40 dan dari segi hukum, dapat merupakan error omission atau error commission.41 Semua kemungkin- an penyebabnya dapat dikelompokkan ke dalam dua tingkat di mana pe- nyebab tersebut terjadi, yaitu tingkat ekonomi mikro dan tingkat ekonomi makro.
Pada umumnya, jika kredit diproses secara wajar dan mengikuti aturan yang ada, kredit itu tidak akan bermasalah seketika.42 Artinya, jika segera setelah kredit cair, pada bulan pertama (bahkan sampai keenam, menurut pengamatan penulis dan banyak pihak yang berkecimpung di perkreditan) debitor mulai menunggak pembayaran bunga, dapat diam- bil kesimpulan bahwa dalam pemrosesan kredit sampai disetujui berke- mungkinan telah terjadi suatu penyimpangan yang serius.
Salah satu kasus yang paling ekstrem pernah terjadi sebelum krisis 1997/1998. Setelah krisis baru terungkap bahwa ternyata bisnis, alamat kantor, data, informasi, serta laporan keuangan debitor, bersifat fiktif. Para pengurusnya pun terdiri atas nama-nama yang tidak ada hubungan- nya sama sekali dengan perusahaan debitor. Mereka adalah, antara lain, satpam, penjaga kebun, sopir, dan pembantu rumah tangga dari peng- urus yang paling dominan bank tersebut. Pembayaran bunga oleh debitor awal, sejak bulan pertama setelah kredit cair, dibayarkan dari pemberian kredit atas nama orang lain (plafondering). Praktik plafondering ini terus dilakukan, sampai bank pemberi kredit ditutup oleh pemerintah.
Kejadian itu melibatkan sejumlah orang dalam yang ikut menandata- ngani seolah-olah proses persetujuan kredit dilakukan secara riil dan nor­mal, dan mereka lakukan di bawah satu komando, yaitu presiden direktur bank tersebut.
Kasus seperti ini merupakan salah satu contoh adanya unsur self dealing, yaitu adanya self interest yang luar biasa dari pejabat pemberi kredit terhadap permohonan kredit yang tidak layak, dan atas dasar per- timbangan kredit yang sama sekali tidak sehat kepada nasabah fiktif.43 Dana kredit disalurkan untuk kepentingan pihak tertentu, dalam hal ini pihak orang dalam bank yang bersangkutan. Dalam kasus ekstrem yang disebutkan di sini, dana tersebut terbukti diambil oleh presiden direktur bank yang dimaksud.44
Sering terjadi kredit bermasalah timbul karena pengambilan ke- putusan (kredit) yang salah. Pemutus kredit tingkat paling tinggi dalam organisasi bank adalah para direksi. Jika direksi sebagai pemutus kredit ternyata salah mengambil keputusan dalam menyetujui suatu usulan kre- dit, dan kemudian kredit tersebut berkembang menjadi bermasalah atau macet, apakah direksi dengan serta-merta dapat dimintakan pertang- gungjawaban atas kesalahannya, atau lebih lanjut dapat dihukum? Dalam kaitan ini, sejauh kesalahan perbankan masih bersifat intern, pihak bank dapat mengenakan tindakan disipliner terhadap pejabat yang bersang- kutan.45 Tetapi, jika kesalahan perbankan itu merugikan pihak ketiga dan mengandung unsur pidana, penanganannya berpindah pada negara, yaitu melalui polisi, jaksa, dan kemudian pengadilan.
Pendapat Charles Himawan ini secara khusus belum dapat menjawab sepenuhnya pertanyaan di atas, karena yang dihadapi adalah direksi yang memiliki kewenangan dalam menjalankan roda bisnis perusahaan.
Menurut salah satu doktrin yang ada dalam hukum korporasi, yaitu doktrin business judgement rule (BJR), sejauh kerugian yang ditimbul- kan akibat pengambilan keputusan (bisnis) itu tidak terdapat di dalamnya atau tidak mengandung unsur-unsur seperti benturan kepentingan, insi­der's dealing, atau tidak mengambil keuntungan pribadi, tidak melanggar peraturan UU dan ketentuan yang berlaku, dan dilakukan atas dasar ke- yakinan yang terbaik bagi korporasi, maka direksi yang mengambil kepu- tusan itu dapat dilindungi oleh hukum.
Ini artinya direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya di pengadilan atas kerugian yang terjadi, sejauh pengambilan keputusan itu tidak mengandung unsur-unsur yang dimaksud tadi. Sebaliknya, jika terdapat unsur-unsur tersebut, direksi dapat dimintakan pertanggungja- wabannya, dan dapat dituntut untuk mengganti kerugian. Namun, dalam buku ini, doktrin tersebut hanya digunakan untuk menambah wawasan pemikiran, bukan bagian dalam pembahasan yang diperlukan.
Jika kredit diproses secara wajar mengikuti alur sesuai dengan buku pedoman perkreditan suatu bank, maka walaupun kredit itu mulai tersen- dat, umumnya tidak akan macet seketika. Besar kemungkinan, perkem- bangan kemacetan terjadi secara gradual dan memang dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal, tetapi tidak terjadi seketika, kecuali ada bencana alam. Karena itu, kredit sebelum macet biasanya akan menunjukkan ge- jala-gejala awal lebih dulu.
Sebelum gejala yang lebih riil terjadi, sering gejala tersebut didahului oleh sinyal-sinyal yang menunjukkan potensi masalah pada pihak debi­tor, baik dari segi pengurus kunci maupun institusi perusahaannya. Si- nyal-sinyal ini dapat berupa menurunnya arus kas debitor, meningkatnya
penjualan kredit yang sebelumnya lebih banyak penjualan tunai, terjadi- nya keretakan antara nasabah dan mitranya, menurunnya siklus bisnis, dan sebagainya.
Gejala yang lebih riil dan langsung dirasakan oleh pihak bank, antara lain, sering terjadi cerukan (overdraft) pada rekening debitor, cek debitor sering ditolak bank karena tidak tersedia dana yang cukup, bank tidak memperoleh laporan keuangan dalam kurun waktu yang wajar, pengurus aktif sering tidak di tempat jika dihubungi dan mulai menghindari kontak langsung dengan pihak bank, dan seterusnya.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai hal yang berkaitan dengan kredit macet atau NPL tetapi berawal dari proses pemberiannya yang tidak cermat atau tidak wajar,46 di bawah ini dikumpulkan sejumlah pendapat dari para ahli dan para pengamat kredit macet atau perkreditan, yang dapat diikh- tisarkan sebagai berikut:
a.        Kredit bermasalah lebih banyak disebabkan oleh masalah dalam manajemen internal bank. Penyebab tersebut antara lain pejabat bank tidak menerapkan prinsip kehati-hatian seperti yang dituntut oleh UU Perbankan, tidak mengikuti prosedur bank yang berlaku, tidak menerapkan pendekatan 5C dengan benar, pengaruh negatif dari konflik yang terja- di dalam/atau antarpengurus atau dengan pemilik bank, dan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh oknum dalam bank. Dari segi eksternal bank, penyebab utamanya adalah penyimpangan penggunaan kredit oleh debitor yang tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan.47
b.       Kredit macet merupakan akibat kurang bekerjanya proses distribusi kredit secara benar, disebabkan oleh tidak diin- dahkannya aturan internal bank yang berlaku, dan meru- pakan penyimpangan baik disengaja maupun tidak dise- ngaja.48
c.        Kredit macet timbul akibat sikap kurang hati-hati atau berbau kolutif.49 Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kejahatan bank dilaksanakan atas kerja sama antara orang dalam dan orang luar.50
d.        Kredit diberikan karena adanya instruksi (kredit komando) dari atas51 atau surat sakti (katebelece), atau dipandang se- bagai akibat suatu persekongkolan.52
e.        Sejak semula kredit diberikan, telah terjadi kongkalikong an­tara bank sebagai kreditor dan si peminjam sebagai debitor.53
f.          Pemutus kredit tidak memastikan bahwa pemberian kredit telah didasarkan pada penilaian yang jujur, objektif, cermat, dan saksama.54
g.        Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, atau rekayasa kredit telah menjadi hal yang bersifat sistemik, karena dilakukan dengan canggih dan orang awam sulit untuk mengerti dan mengetahui adanya sesuatu yang kurang tepat atau tidak baik. Pemutus kredit mengambil keputusan kredit dengan menggunakan pertimbangan sendiri, merupakan pertimbangan teknis ekonomis, serta seni dan feeling, sehingga di sini terbuka peluang untuk melakukan penyimpangan kejahatan kerah putih.55
h.        Proses pemberian kredit terpengaruh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit.56
i.          Untuk mengetahui penyebab utama suatu kredit macet, per- lu diketahui terlebih dulu apakah pemberian kredit dilaku- kan dengan pertimbangan hukum atau nonhukum. Pertim- bangan nonhukum, misalnya kredit diberikan atas "anjuran" pejabat pemerintah atau badan tertentu, hanya berdasarkan spekulasi belaka, atau dimaksudkan untuk menolong per- usahaan-perusahaan yang berada dalam suatu grup, atau karena kepercayaan semata, atau tanpa studi kelayakan yang saksama. Dunia bisnis memerlukan fleksibilitas untuk manuver bisnis yang diperlukan, sehingga pertimbangan nonhukum sampai batas tertentu dapat diberikan. Namun, pertimbangan nonhukum ini harus dibarengi dengan agun- an yang cukup. Dalam bidang pemberian kredit, agunan atau jaminan atau kolateral merupakan salah satu syarat utama yang diwajibkan oleh hukum yang sesungguhnya (substan- tif). Pertimbangan nonhukum masih dapat dibenarkan asal- kan diikuti dengan pertimbangan hukum.57


j. Kejahatan perkreditan umumnya dilakukan oleh orang- orang yang sudah memahami seluk-beluk perbankan dan operasinya, termasuk dalam kejahatan ini adalah kredit fiktif.58 Kredit fiktif yang bersifat ekstrem telah diuraikan di atas, dan pada dasarnya kredit diberikan kepada perusaha- an yang tidak beroperasi sama sekali; jika dicek kemudian, alamat yang diketahui ternyata juga tidak benar.
k. Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia, menyatakan, "Tidak ada masalah kalau dalam menyalur- kan kredit bankir mengikuti empat patokan, yaitu proses menyalurkan taat pada standar prosedur operasional yang disepakati, melakukan penilaian secara profesional, tidak melanggar kebijakan Bank Indonesia dan kebijakan publik, serta memiliki aturan internal bank yang baik."59
Kredit macet yang disebabkan oleh adanya kongkalikong atau per- sekongkolan atau self dealing atau yang berbau kolutif, dan terpengaruh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit, sehing- ga dapat mengakibatkan penilaian yang tidak jujur, tidak objektif, tidak cermat, dan tidak saksama, pada dasarnya merupakan hasil kolusi antara pihak kreditor dan pihak debitor.
Sehubungan dengan pendapat Siahaan di atas, uraiannya mengenai kejahatan perkreditan juga merupakan unsur yang dikandung dalam de- finisi kejahatan kerah putih (white collar crime).60 Dalam hal ini, Siaha- an juga berpendapat, pelaku kejahatan perbankan tidak saja melibatkan orang luar, tetapi juga orang dalam bank itu sendiri, dan karena itu keja- hatan perkreditan juga merupakan kejahatan kerah putih.61
Sebagai tambahan, Mohammad Shafiqul Islam dari Arab Saudi me- ngumpulkan berbagai riset yang menyimpulkan berbagai penyebab tim­bulnya NPL, antara lain sebagai berikut:
a.        Kurangnya perhatian terhadap debitor. Jika selalu diperhatikan dan diikuti kinerjanya, debitor cenderung akan memperhatikan kewajibannya. Ungkapan lain yang setara adalah utang harus di- tagih, baru akan ada pembayaran; sebab, jika tidak, utang akan menjadi hibah.
b.       Moving along the risk curve. Intinya adalah pada saat risiko yang rendah telah jenuh, tingkat risiko akan bertambah, karena selalu ada unsur risiko yang tidak dapat diketahui. Salah satu se- bab timbulnya NPL adalah risiko yang diambil lebih besar, dan di dalamnya terdapat bagian risiko yang lebih besar pula yang tidak dapat diperkirakan.
c.         Menambah jumlah pinjaman akan menambah risiko yang diha- dapi.
d.        Kreditor tidak mempunyai langkah-langkah untuk menangani risiko. Dalam beberapa situasi kredit, Islam mengemukakan bahwa program kredit yang didanai oleh pemerintah donor bia- sanya dirancang tanpa perhatian khusus terhadap risiko. Islam menambahkan, hal yang serupa terjadi pada penyaluran pem- biayaan mikro, karena banyak literatur mengutarakan bahwa ke- giatan ini hanya diukur dari dua hal, yaitu berapa banyak debitor mikro yang telah dibiayai, dan berapa biaya administrasinya. Industri ini belum memperhatikan dengan jelas masalah risiko yang dihadapi dan memonitor kinerja para debitor.
e.        Pemberian kredit yang mengandung korupsi.
f.          Tindakan follow up atau monitoring yang lemah.
1       Rasjidi dan Rasjidi (2007: 25)
2      Vogel dan Hayes III (1998: 2)
3       Iqbal dan Mirakhor (2007: 13)
4       Lewis (2002: 7)
5       Muldrew (1998: 3)
6       Secara terperinci, uraian dari pemrosesan suatu usulan kredit mencakup se- jumlah aspek yang perlu dianalisis yang dilakukan oleh bagian marketing, dan hasil pemrosesan harus pula melibatkan bagian lain yang terkait seperti yang ditunjukkan dalam kurung, sebagai berikut: 1. Pengecekan daftar hitam atau kredit macet, apakah calon debitur termasuk di dalamnya. 2. Aspek yuridis, dari legalitas badan hukum dan legalitas usaha. 3. Mengenai usaha debitur, ditinjau dari aspek marketing, aspek keuangan, aspek teknik/produksi, aspek manajemen, 4. Aspek jaminan kredit dan pengikatan barang-barang jaminan (bagian hukum), 5. Penolakan permohonan atau persetujuan permohonan fa- silitas kredit (manajemen risiko), 6. Cara pengikatan kredit (bag. hukum), 7. Penandatanganan surat perjanjian kredit (bagian hukum dan bagian operasio- nal). (Fuady, Munir. Hukum Perkreditan Kontemporer, hal. 107)
7       Secara ringkas dapat diintisarikan sebagai berikut. Character berarti jumlah kumulatif total kualitas manusia yang terdiri atas kejujuran, integritas, mo- ralitas; dan apakah si calon debitur cenderung bersifat prudent atau speku- latif, hati-hati atau agresif, memiliki keahlian atau tidak dalam melaksanakan usahanya, termasuk sifat dan kebiasaan yang selalu membayar utangnya, terbuka dan kooperatif dalam memberikan informasi yang diperlukan, dan sebagainya. Capacity berarti kemampuan untuk membayar utangnya kemba­li beserta bunga pada waktu yang telah diperjanjikan. Capital berarti modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur untuk membiayai usaha atau proyek atau investasi, di samping pembiayaan atau pinjaman yang sedang diusulkan. Collateral merupakan sumber kedua untuk pembayaran kembali kewajiban atau utang debitur. Untuk mencapai tujuan ini, kolateral harus bernilai, dan nilai ini didukung oleh berbagai faktor, antara lain harganya harus stabil, da- pat dijual karena memiliki pasar yang cukup, dan memiliki kekuatan hukum bagi kreditor jika harus menjualnya. Conditions berarti keadaan yang dihada- pi atau akan dihadapi baik yang bersifat internal maupun eksternal (misalnya ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan pinjaman yang akan diberikan, faktor ekonomi, dan faktor khusus industri) terhadap usaha calon debitur, yang dapat memengaruhi keberhasilan usaha tersebut dalam meng- hasilkan pendapatan yang diperlukan sebagai sumber pembayaran utang de- bitur. (Sathye, Bartle, Vincent dan Boffel, 2003.
8      Tujuan proses atau prosedur pemberian kredit adalah untuk memastikan ke- layakan suatu permohonan kredit, apakah akan diterima atau ditolak. Kasmir juga mengatakan bahwa prosedur dan penilaian kredit oleh dunia perbankan secara umum antara bank yang satu dengan bank yang lain tidak jauh berbe- da. Yang berbeda adalah persyaratan dan ukuran penilaian yang diterapkan oleh bank dengan pertimbangan masing-masing. (Kasmir. Manajemen Per- bankan, hal. 95)
9       Hal ini diperkuat dengan Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 dan No. 8/9/PBI/2006 serta Surat Edaran No. 5/21/DPNP.
10    Komite kredit memiliki dua peringkat, yakni peringkat pertama komite kredit tingkat manajer, dan yang kedua tingkat dewan direksi, dan umumnya dibe- dakan berdasarkan jumlah kredit yang ditangani—pen. Tugas komite kredit antara lain mempelajari usulan kredit yang diajukan oleh tim staf bagian kre- dit, serta mengajukan pendapat dan saran tentang usulan kredit baru, perpan- jangan kredit lama atau tambahan pada kredit yang sudah ada kepada pemu- tus kredit atau kepada direksi atau yang lebih tinggi, meneliti seberapa jauh kredit yang telah diberikan telah memenuhi berbagai ketentuan yang telah digariskan dalam kebijakan perkreditan bank dan peraturan pemerintah, dan memantau seberapa jauh para debitur telah mendapat layanan yang memuas- kan dari para staf yang bersangkutan (Sutojo, Siswanto. The Management of Commercial Bank, hal. 81).
11     Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, hal. 255.
12    Character: kejujuran dan integritas dari usaha atau proyek yang akan dibiayai dan manjemennya. Ability: kesanggupan calon debitur untuk menandatanga- ni kontrak perjanjian kredit. Means: kemampuan keuangan, teknikal, dan ma- najerial calon debitur. Purpose: tujuan pembiayaan atau kegunaan pinjaman harus jelas dan dapat diterima oleh kreditor. Planned growth: perkembangan usaha debitur merupakan tujuan yang dapat diterima dan tidak berlebihan. Amount: jumlah pinjaman atau kredit harus konsisten dengan tujuan dan cukup. Repayment: kemampuan debitur untuk membayar kembali utangnya dengan melihat sumber pembayaran kembali. Insurance: merupakan safety net bagi bank jika ternyata debitur tidak dapat membayar kembali utangnya. Interest: margin atau keuntungan bank harus sesuai dengan risiko yang di- hadapi. Commission: meliputi komisi (fee) yang dapat dikenakan oleh bank dalam rangka penyediaan fasilitas kredit atau pinjaman yang akan diberikan. Extras: biaya-biaya lain yang harus diperhitungkan oleh bank, misalnya legal fees (Coyle. 2000: 3-4).
13    Bersifat universal, karena pendekatan ini dapat dipakai untuk berbagai ma- cam pinjaman untuk berbagai bentuk debitur.
14    Mattson (1993) menyebutkan bahwa salah satu faktor utama yang menyebab- kan krisis perbankan di Swedia tahun 1990-an adalah bank umumnya tidak melakukan riset semacam ini mengenai calon debiturnya, dan pertimbangan kredit lebih banyak ditentukan berdasarkan "personalisasi" calon debitur serta soft information yang bersifat verbal.
15    Uchida, Udell, dan Watanabe (2006)
16    Dalam kaitan dengan moralitas, Chorafas berpendapat bahwa negara yang memiliki utang lebih dari 100 persen dari GDP tahunannya berarti memberi- kan beban bagi generasi berikutnya di negara tersebut; yang dapat berakibat buruk bagi generasi tersebut (Chorafas, 2000: 66).
17    Semakin tinggi tingkat leverage atau semakin rendah tingkat modal dari suatu entitas, semakin sedikit adverse shock yang diperlukan bagi entitas itu untuk mengalami economic insolvency; dan ini berlaku baik bagi bank maupun non- bank (Kaufman, 2001).
18    Dari sisi lain, menurut Michael Jensen (1989), keadaan overgearing tidak akan berakibat pada kebangkrutan karena kreditor akan berada dalam posisi yang lebih baik jika berusaha untuk melakukan renegosiasi. Namun, pendapat ini dibantah oleh Nakamura (1991: 19), dengan alasan bahwa perusahaan de- ngan leverage yang berlebihan umumnya memiliki margin yang sangat tipis dan tidak memiliki kolateral tambahan, sebagai dasar untuk bernegosiasi.
19    Ganguin (2005: 268) menyebutkan beberapa alasan kenapa usaha mengalami default: antara lain hanya karena terlalu banyak utang, yang lain karena mo­del bisnis yang salah atau bisnis yang sulit, dan beberapa yang lain disebabkan kombinasi dari kedua alasan tersebut; hanya sedikit di antaranya disebabkan oleh adanya internal atau external shocks.
20   Sebagai contoh, Peterson mengajak untuk meninjau kembali apa yang terjadi pada krisis tahun 1990, pada perbankan di Italia dan Swedia. Menurut Peter, perbankan tersebut menderita disebabkan oleh instrumen analisis kredit yang inferior dan pelaksanaan due diligence yang sembrono. Para bankir di Italia melakukan pemberian kredit berdasarkan hubungan yang mereka disebut sebagai relationship bankers. Bukan hal yang aneh bagi mereka jika kredit di- berikan hanya berdasarkan pertemanan. Peterson mengamati bahwa di sana pemberian pinjaman dilakukan tanpa melakukan investigasi apa pun (Peter­son dan Wadman, 2004).
21    Olegario (2006) menyebutkan bahwa informasi keuangan yang akurat sulit diperoleh. Bahkan, banyak perusahaan credit reporting bersikap skeptif ter- hadap nilai dari laporan keuangan, dan untuk itu diperlukan usaha untuk me­lakukan verifikasi dan subtansiasi dengan memperoleh tambahan informasi yang diperlukan. Menurut mereka, sering terjadi bahwa informasi yang dipe- roleh dari pedagang sejenis lebih dapat dipercaya daripada laporan keuangan.
22    CFISEL. Tindak Pidana di Bidang Perbankan, hal. 13.
23    Nilai kolateral yang diberikan berfluktuasi dengan kuat, berkaitan dengan tingkat probabilitas sukses proyek dalam memperoleh pendapatan, sebagian besar merupakan inside collateral yang dibiayai oleh bank. Tambahan pula, debiturnya merupakan debitur berisiko tinggi yang bersedia membayar ting­kat bunga pinjaman yang tinggi. Sebagian dari bank pemberi kredit mengan- dalkan kenaikan harga real estat tanpa melakukan analisis kredit (Niinimaki, 2007: 25).
24    Mattsons (1993) menyebutkan kerugian yang diderita oleh sektor perbankan Swedia, yang disebut sebagai credit losses, berjumlah SEK 100 miliar (Affars- variden, 1992).
25    Manove (1999) dan Padilla (2001).
26    Leland dan Pylem (1977); Mallick dan Chakraborty (2002).
27    Menurut Bank Indonesia, kredit mikro berjumlah dari Rp 1 juta sampai Rp 50 juta. Ciri-ciri usaha mikro meliputi hubungan lebih didasarkan secara emosio- nal, hampir semua angka bersifat perkiraan, perputaran usaha bersifat harian di mana dana yang diperoleh langsung kembali dibelikan barang, tidak terfo- kus pada satu macam barang atau usaha, tidak ada pembukuan yang berarti, dan keberhasilan usaha sepenuhnya di tangan pemilik usaha. Namun bagi bank, bisnis ini bersifat berisiko tinggi, tetapi dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi (Linggau dan Hamidah, 2010: 19, 20).
28   Grameen Bank memberikan pinjaman kepada kaum miskin, yang digunakan antara lain untuk memproduksi barang seperti kursi bambu anyaman, atau untuk berdagang. Kriteria pemberian pinjaman di sini adalah kemampuan memproduksi dan menjual barang, yang ditandai dengan keberhasilan pen- jualan barang tersebut dengan menghasilkan suatu tingkat keuntungan, yang sebagian dapat digunakan untuk membayar bunga dan angsuran pinjaman secara harian (Yunus, 1997: 41-49).
29    Kriteria lainnya meliputi cakupan daerah pemasaran yang lebih luas, jenis produk yang lebih beragam, usulan kredit yang mencakup adanya bukti me- ngenai manajemen yang profesional dan adanya perencanaan strategi terten- tu, serta rencana pemasaran yang jelas, di samping jumlah kredit yang diminta
konsisten dan masuk akal jika dibandingkan dengan keahlian keuangan yang dimiliki (Jankowicz dan Hisrich, 1987).
30   IPES (2005: 29), unlocking credit, the quest for deep and stable bank landing, dalam http://www.iqab.org/res/ipes/2005/
31    Wolfson mengatakan bahwa pengambilan keputusan kredit sama halnya mengambil keputusan dalam keadaan tidak pasti, seperti yang diutarakan oleh Keynes, dalam analysis of decision making under uncertainty. Seperti yang dikutip oleh Wolfson dari Keynes (1933), investasi lebih banyak ditentukan oleh tingkat keyakinan, yang sebaliknya bergantung pada pandangan debitur mengenai tingkat hasil dari suatu proyek dan keadaan kredit; yang semua ini menurut Keynes, bersifat mudah berubah atau volatile.
32    Gunther (2008: 44).
33    Lagunoff dan Schreft (1998).
34    Paton (1948: 32).
35    "Penyaluran Kredit, Antara Seni dan Peluang Permainan", Kompas, 12 Okto- ber 2005.
36    Thomas, "Bank Failures", dikutip dari Esbitt (1986).
37    Kunt, Demiraguc, Detragiache (1997).
38   Mengutip keterangan ADB (2000), biaya restrukturisasi akibat krisis menca- pai 58 persen dari GDP di Indonesia, 16 persen di Korea, 10 persen di Malay­sia, dan 32 persen di Thailand (Haley, 2000).
39    Pertumbuhan ekonomi turun secara drastis menjadi -13 persen pada 1998 dan 0,8 persen pada 1989 (Feridhanusetyawan dan Pangestu, 2004).
40   Faktor-faktornya dapat dikelompokkan ke dalam internal bank dan nasabah, dan eksternal. Contoh dari internal bank adalah lemahnya analisis kredit, atau lemahnya pengawasan kredit. Contoh dari internal nasabah adalah kelemah- an karakter nasabah, kalah bersaing, dan lain-lain. Faktor eksternal misalnya pertumbuhan ekonomi yang negatif, peraturan baru yang merugikan dan se- bagainya. Mahmoedin, H. As. Melacak Kredit Bermasalah, hal. 51-110.
41    Error omission adalah kredit macet yang timbul karena adanya unsur kese- ngajaan manusianya untuk melanggar kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan. Error commission adalah kredit macet yang timbul karena me- manfaatkan lemahnya peraturan atau ketentuan yang memang belum ada atau sudah ada, tetapi tidak jelas. Wijaya, Krisna. "Penanganan Kredit Macet". Kompas, Jumat, 27 Mei 2005.
42    Rivai, Veithzal, et al., Bank and Financial Institution Management, hal. 480.
43   Ibid., hal. 581.
44    Kasus ini merupakan kasus kredit fiktif yang diberikan kepada lebih dari 100 nasabah fiktif yang terjadi pada Bank Surya. Bank ini kemudian ditutup peme- rintah pada 1997-1998. Data-data yang dikemukakan bersumber dari doku- men kejaksaan, tetapi hanya dapat dibaca langsung dan tidak diizinkan untuk membuat fotokopi (pen).
45    Himawan, Charles, Hukum sebagai Panglima, hal. 18.
46    Persoalan kredit macet merupakan masalah yang sistemik, di mana untuk mengetahui apa yang salah dan siapa dalangnya adalah tidak mudah. Setiap orang dalam proses pemberiannya memiliki peran masing-masing sehingga berakumulasi "sebab-akibat" terhadap timbulnya kredit macet. Susidarto. "Benang Kusut Kredit Macet". Kompas, 25 Juli 1997.
47    Supramono (2009: 83-85).
48   Marsuki. Analisis Perekonomian Indonesia Kontemporer, hal. 35.
49    "Para Bankir Kembali Dihimpit Trauma Kredit Macet". InfoBankNews.com. 5 Juni 2005.
50   Fuady, Munir. Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, 2004, hal. 78.
51    Dari "atas" maksudnya dari pihak yang memiliki kekuasaan atau kewenangan yang lebih tinggi dan berpengaruh terhadap pejabat bank pemberi kredit, mi- salnya dari pihak pemilik, dari pihak atasan presiden direktur seperti menteri atau yang lebih tinggi atau pihak kaum politisi yang dapat memengaruhi ke- dudukan si penjabat pemberi kredit.
52    "Era Baru Bank BUMN", InfoBankNews.com, 5 Juni 2005.
53    Muhammad, Mar'ie, "Kredit Macet Sama Dengan Kejahatan?", Bisnis Indone­sia. 30 Mei 2005.
54    "Jaksa: Neloe Cs Tidak Hati-hati Memberi Kredit", Jakarta: TEMPO Interak- tif. 10 Oktober 2005.
55    "Penyaluran Kredit, Antara Seni dan Peluang Permainan", Kompas, 12 Okto- ber 2005.
56    Kurniantoro, YC, "Neloe Cs Mulai Diadili", Pembaruan, 10 Oktober 2005.
57    Himawan, Charles, Hukum sebagai Panglima, 2006, hal. 77.
58   Siahaan, N.H.T., Pencucian Uang & Kejahatan Perbankan, hal. 159.
59    "Para Bankir Kembali Dihimpit Trauma Kredit Macet", InfoBankNews.com, 5 Juni 2005, hal. 5.
60   Kwik Kian Gie berpendapat, kredit macet yang terjadi sebelum tahun 1970-an lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor salah urus, kurang pengalaman atau keahlian, tetapi dewasa ini disebabkan oleh kejahatan kerah putih, kesengajaan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, kolusi antara penguasa dan pengusaha. Gie, Kwik Kian, "Kredit Macet Sebuah Persoalan", Kompas, 4 Mei 1993.
Siahaan, N.H.T., Pencucian Uang & Kejahatan Perbankan, hal 144..

1 komentar:

  1. How do I get into a casino? | POGO Millions
    For those who like slots 유니벳 and live casino games, POGO 크롬 번역기 has one of the most reputable gaming 텍사스 홀덤 룰 casinos around. 먹튀 신고 They 오피주소 have an extremely

    BalasHapus