P
|
ERBEDAAN antara bank
konvensional dan bank syariah terletak pada
filosofi atau ajaran yang mendasarinya. Bank konvensional di- bangun dari praktik ekonomi kapitalisme yang menganut
faham liberal- isme, yang berpatokan pada
perhitungan utilitas sehingga manusianya lebih
cenderung menjadi homo economicus. Sistem
ekonomi menurut faham ini, kata K. Bertens,
memiliki unsur-unsur seperti lembaga kepe- milikan
pribadi, pencarian keuntungan yang sebesar-besarnya, dan kom- petisi dalam sistem pasar bebas. Dalam sistem ekonomi
ini akumulasi modal menjadi motor penggeraknya dan
unsur agama dikesampingkan.
Dalam kaitannya dengan
agama, sejak zaman renaisans, unsur gereja dipisahkan
dari negara dan akal manusia tidak lagi terikat pada agama, terlepas dari akal ketuhanan.1 Segala
pengaturan bersumber pada akal manusia, termasuk
kegiatan ekonomi, dibuat berdasarkan hukum yang dirancang
oleh manusia, dan tidak lagi berkaitan dengan agama atau ketu- hanan. Pada akhir abad ke-13, ketika pengaruh gereja
ortodoks berkurang, penerapan bunga terhadap
pinjaman mulai diterima, dan uang kemudian dianggap
sebagai modal. Modal uang dimanfaatkan untuk mencari keun- tungan yang sebesar-besarnya, dan diinvestasikan
kembali dalam usaha yang produktif untuk
menghasilkan kekayaan yang lebih besar.
Akumulasi modal
melahirkan kelompok pemilik modal yang kemu- dian
berkembang menjadi pasar uang dan modal. Dalam pasar uang dan
modal, uang merupakan komoditas yang diper- dagangkan dengan harga diwakili oleh suatu tingkat bunga.2 Berbarengan dengan itu, pereko- nomian kapitalis dibangun melalui perdagangan uang sebagai komoditas, yang disebut sebagai "kredit" atau utang. Pertumbuhan suatu ekonomi selalu dikaitkan berapa banyak kredit yang disa- lurkan. Sejalan dengan pandangan dari Keynes (berdasarkan pemikiran ekonom John Maynard Keynes dari Inggris), pemerintah dapat mencetak uang dan memberikan kredit atau pinjaman untuk menciptakan kemakmuran.
modal, uang merupakan komoditas yang diper- dagangkan dengan harga diwakili oleh suatu tingkat bunga.2 Berbarengan dengan itu, pereko- nomian kapitalis dibangun melalui perdagangan uang sebagai komoditas, yang disebut sebagai "kredit" atau utang. Pertumbuhan suatu ekonomi selalu dikaitkan berapa banyak kredit yang disa- lurkan. Sejalan dengan pandangan dari Keynes (berdasarkan pemikiran ekonom John Maynard Keynes dari Inggris), pemerintah dapat mencetak uang dan memberikan kredit atau pinjaman untuk menciptakan kemakmuran.
Menurut ekonom Dr.
A. Prasetyantoko, tiap tindakan yang dilakukan saat
ini oleh agen ekonominya berorientasi pada masa depan sehingga menggambarkan harapannya di masa depan. Lingkungan
keuangan seperti ini tidak terlepas dari penerapan
konsep leverage atau gearing, suatu ukuran penggunaan utang dengan
tujuan memperbesar tingkat ke- untungan. Hal ini
sangat jelas dapat dilihat pada perbankan konvensio- nal,
di mana dana masyarakat yang digunakan untuk pemberian kredit bersifat utang bagi bank. Namun, di belakang penggunaan leverage ini, terdapat
risiko yang besar dan serius, jika terjadi sesuatu yang salah.
Bank syariah, di
pihak lain, adalah lembaga yang menjadi bagian ekonomi
Islam, yang bertujuan mencapai kesuksesan di dunia dan akhi- rat, tidak semata-mata menciptakan keuntungan yang
sebesar-besarnya. Kata "syariah" sendiri
berarti "jalan menuju air", yang mendukung dan mengatur
pengertian ekonomi Islam berdasarkan prinsip-prinsip Tauhid (mengesakan Tuhan), sehingga perekonomian Islam dan
bank syariah di- jalankan berdasarkan hukum-hukum
Tuhan.
Syariah tidak hanya
merupakan pengaturan mengenai ekonomi, te- tapi
lebih dari itu merupakan manifestasi penerapan pengesaan Tuhan ke dalam kegiatan kehidupan sehari-hari. Prinsip
ketauhidan ini menekan- kan bahwa hubungan
antarmanusia, yang bersifat horizontal, sama pen- tingnya
dengan hubungan dengan Allah yang bersifat vertikal.
Akumulasi modal melahirkan kelompok
pemilik modal yang kemudian berkembang menjadi pasar uang dan modal.
|
Dalam kaitan dengan
kedua hubungan ini, semua ketentuan yang harus
diikuti mengacu pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan dan tertera pada Al-Quran, serta diajarkan
melalui hadis Nabi Muhammad Saw. Ketentuan-ketentuan ini merupakan jalan yang
ditunjukkan oleh Tuhan, di dalam hubungan vertikal
dalam rangka mencapai keridha- an Allah Swt. dan
dalam hubungan horizontal dengan tujuan agar menjadi
rahmat bagi sekalian alam. Karena itu, syariah mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, dalam hal ini dalam konteks ibadah, dan hubungan antara manusia dan manusia dalam konteks bermuamalah.
rahmat bagi sekalian alam. Karena itu, syariah mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan, dalam hal ini dalam konteks ibadah, dan hubungan antara manusia dan manusia dalam konteks bermuamalah.
Ahli ekonomi Islam
Dr. Mustafa Edwin Nasution memberikan be- berapa
karakteristik ekonomi Islam, antara lain: pemilik mutlak harta adalah Allah dan manusia merupakan khalifah atas harta
(QS Al-Baqa- rah [2]: 284, QS Al-Ma'idah [5]: 17,
QS Al-Hadid [57]: 7); terikat pada akidah,
syariat, dan moral (QS Al-Taubah [9]: 34); menciptakan keseim- bangan antara kerohanian dan kebendaan (QS Al-Baqarah
[2]: 201); dan menciptakan keseimbangan antara
kepentingan individu dan publik (QS Al-Hasyr [59]:
7, QS Al-Ma'arij [70]: 24-25). Struktur kepemilikan harta
yang seperti itu dimaksudkan agar manusia sebagai pihak yang dipercaya dapat didorong untuk bertanggung jawab terhadap
pengelolaan dan pe- rawatan harta tersebut, serta
menggunakannya sehingga dapat mencipta- kan
manfaat bagi orang lain.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa perekonomian Islam memiliki
sifat yang unik, yaitu baik dalam tataran konsep maupun pelak- sanaannya mengandung prinsip-prinsip moralitas, yang
harus dipenu- hi oleh setiap unit ekonomi.
Sesungguhnya, substansi ini tercakup pula dalam
bentuk pembiayaan bank syariah. Dalam perbankan syariah, dana masyarakat hanya dapat digunakan dalam sektor riil,
karena sektor riil- lah yang dapat memberikan
keuntungan yang lebih stabil kepada sektor perbankan,
dan memberikan lapangan kerja yang lebih luas.
Secara horizontal,
ketentuan syariah juga mengatur hubungan manu- sia
dalam bermuamalah (melakukan transaksi dagang atau berusaha se- sama manusia, termasuk kegiatan dalam bidang keuangan
atau perbank- an). Karena mengacu pada ketentuan
dalam Al-Quran dan hadis, semua kegiatan muamalah
ini mengandung kepentingan duniawi dan akhirati. Segala
sesuatu yang bersifat duniawi dapat bebas dilakukan, hanya jika tidak dilarang oleh Al-Quran dan hadis, serta tidak
bertentangan dengan ketentuan akhlak, atau
pembawaan tingkah laku moral individu.3
Dalam ekonomi Islam
dan perbankan syariah, terdapat empat pokok prinsip
sebagai hukum untuk bermuamalah. Pertama,
larangan terhadap riba atau praktik bunga, tetapi
menghalalkan perdagangan (QS Al-Baqa- rah [2]:
275). Kedua, kutukan terhadap judi atau maysir (QS Al-Ma'idah [5]:
90) atau transaksi yang bersifat spekulatif (mengandung unsur judi), yang secara harfiah berarti memperoleh sesuatu dengan
mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan
tanpa kerja atau risiko. Ketiga, la-
rangan untuk melakukan transaksi yang bersifat gharar atau yang mengandung risiko berlebihan atau ketidakpastian mengenai objek atau kondisi dari suatu kontrak pada awal bertransaksi. Ke- empat, larangan untuk melakukan transaksi atau pembiayaan yang berkaitan dengan barang-ba- rang atau usaha yang diharamkan, misalnya babi, alkohol, perjudian atau kasino, rumah prostitusi, dan sebagainya.
rangan untuk melakukan transaksi yang bersifat gharar atau yang mengandung risiko berlebihan atau ketidakpastian mengenai objek atau kondisi dari suatu kontrak pada awal bertransaksi. Ke- empat, larangan untuk melakukan transaksi atau pembiayaan yang berkaitan dengan barang-ba- rang atau usaha yang diharamkan, misalnya babi, alkohol, perjudian atau kasino, rumah prostitusi, dan sebagainya.
Mengenai larangan
pertama, karena riba berkaitan dengan uang, perlu
ditinjau fungsi uang dalam Islam. Menurut Tarek El-Diwany asal Inggris, dalam perekonomian Islam, uang berfungsi
sebagai medium of exchange, hanya merupakan
sarana untuk mencapai suatu tujuan tetapi bukan
tujuan itu sendiri. Uang juga tidak langsung berarti modal. Uang hanya berpotensi menjadi modal karena dalam Islam, kata
Joseph A. Di- Vanna (Inggris), modal dikenal
sebagai salah satu aspek produksi. Supaya menjadi
modal, uang dikonversi terlebih dulu menjadi alat produksi, agar produktif sehingga menghasilkan pendapatan atau
keuntungan. Uang sendiri tidak memiliki
produktivitas sehingga tidak dapat beranak.
Perbankan syariah
tidak mengenal pinjam-meminjam uang dalam transaksi
komersial (tijarah)-nya. Dalam Islam,
pinjam-meminjam uang merupakan transaksi yang
bersifat sosial (tawa'un). Untuk itu,
disedia- kan suatu konsep yang bernama qardu hasan (pinjaman tanpa bunga). Menurut El-Diwany, perekonomian Islam menekankan
pentingnya per- dagangan dan produksi barang dan
jasa, atau disebut sebagai sektor riil dalam
perekonomian modern.
Karena tidak
mengenal pinjam-meminjam uang untuk tujuan komersial, bank syariah hanya
mengenal "pembiayaan" sektor riil ini, bukan "pinjaman".
Pembiayaan ini selalu harus berkaitan dengan aset riil, atau
bersifat ekuitas, ketika akan membiayai suatu jenis usaha. Karena itu, dalam ekonomi Islam, sektor keuangan dan sektor
riil menyatu; kon- sep
leverage yang tersirat dalam beberapa akad tidak digunakan secara murni atau berdiri sendiri, sehingga tidak menimbulkan
dikotomi antara keduanya seperti yang terjadi pada
perekonomian kapitalistis.
Perekonomian Islam dan perbankan
syariah bersandar pada unsur ekuitas, bukan kredit, sehingga bersifat equity based.
|
Sebagai kesimpulan,
ekonomi kapitalis modern dibangun berdasar- kan monetary based economy, dan terpisah dari unsur
agama. Sebalik- nya, perekonomian Islam dan
perbankan syariah bersandar pada unsur ekuitas,
bukan kredit, sehingga bersifat equity based.
Hal ini dapat pula
dilihat pada perbankan syariah, yakni
dana masyarakat yang dikelola bank tidak bersifat
sebagai utang, tetapi lebih bersifat ekuitas dari pemilik
dana yang diusahakan oleh bank atas seizin pemilik. Karena pembiayaan bank syariah melekat pada sektor riil, pembiayaannya
berorientasi pada aset yang berada pada sektor
riil, sehingga bersifat asset based.
Pada masa Athena kuno,
kata yang maknanya berdekatan dengan kredit adalah pistis. Arti yang dikandungnya meliputi
kepercayaan (trust) dan
belief, keyakinan (faith), confidence
dan assurance, kejujuran (honesty), bukti
(proof), dan jaminan (pledge).4
Dalam arti yang sempit, pistis ada- lah kelayakan kredit
(creditworthiness), yang bermakna seseorang yang dikenal
oleh seorang bankir dapat memperoleh pistis
yang lebih besar dari harta miliknya.
Pada abad ke-17,
muncul kata Latin credo atau credere, yang berarti memercayai
atau kepercayaan, sehingga pengertian kredit berkembang menjadi
"seseorang bersedia memercayai orang lain bahwa orang itu dapat mem- bayar kembali apa yang dipinjamnya". Kemudian,
kata creditworthiness berkembang dan memiliki
arti dengan referensi pada reputasi yang dimiliki seseorang,
yang merupakan suatu estimasi bahwa orang itu akan dapat mempertahankan
karakter dan reputasinya, sehingga dapat dipercaya.5
Proses pemberian
kredit di suatu bank pada hakikatnya meneliti dan
memastikan, bahwa terdapat unsur-unsur yang dikandung oleh kata pistis, credo, dan creditworthiness itu. Proses itu dimulai dari
datangnya permohonan kredit dari seorang calon
debitor kepada bagian marketing bank. Umumnya,
pihak yang langsung menangani itu disebut sebagai account
atau loan officer (di bank syariah disebut
sebagai financing officer). Untuk memproses
suatu permohonan kredit, account officer
mengum- pulkan informasi dan data mengenai calon
debitor, meliputi laporan ke- uangan perusahaan, jenis
usaha, latar belakang usaha dan pemilik, rekam jejak
perusahaan dan pemilik, tujuan pinjaman, jaminan yang dapat diberikan, dan
seterusnya.6
Pada dasarnya, account officer harus melakukan analisis atau
peni- laian dengan menggunakan pendekatan 5C,7
serta meneliti kegunaan kre- dit yang
dimintakannya.8 Sebelum masuk ke proses yang lebih terperinci, biasanya account officer
terlebih dulu mengecek reputasi dan karakter si calon
debitor melalui lingkungan usaha calon debitor. Jika seluruh data dan hasil pengecekan mendukung secara positif, account officer akan membuat
memo usulan persetujuan berdasarkan analisis kredit atau pembiayaan
yang dibuatnya untuk disetujui oleh atasan yang berwenang.
Sejak terjadinya
krisis moneter tahun 1997-1998, bank di Indonesia diwajibkan
memiliki bagian yang disebut manajemen risiko (risk
management).9 Dari segi perkreditan, bagian ini secara
independen bertugas sebagai filter dan melakukan check and balance terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh bagian marketing. Ini merupakan bentuk
pemisahan tugas dalam rangka menghindari timbulnya
benturan kepentingan, tapi ber- tanggung jawab
terhadap fungsi tugas pekerjaan masing-masing.
Memo usulan
persetujuan kredit yang dibuat oleh bagian marketing dikaji
ulang oleh bagian manajemen risiko, dengan tujuan untuk memas- tikan bahwa usulan tersebut layak diteruskan, memenuhi
kriteria standar perkreditan internal bank, dan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan per- bankan yang
berlaku. Jika hasil kajian ulang manajemen risiko membu- ahkan
hasil yang positif, usulan tersebut dapat diteruskan kepada pihak pemutus kredit sesuai dengan tingkat kewenangannya.
Pemutus kredit, atau pihak yang dapat memberikan
persetujuan kredit, berdasarkan ke- tentuan
Kebijakan Perkreditan Bank (KPB) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, merupakan bagian dari suatu komite kredit
(KK).10
Untuk jumlah kredit
yang besar tertentu, KK memiliki anggota dan ketua
yang terdiri atas para direksi. Sering terjadi di dalam komite kredit terdapat seorang anggota yang tidak menyetujui suatu
pemberian kredit yang sedang diusulkan; untuk itu,
yang bersangkutan perlu menjelaskan secara
tertulis alasan kenapa tidak setuju. Pihak pemutus kredit, atau yang memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak suatu
usulan kre- dit, biasanya direksi, akan
mempertimbangkan catatan ini. Namun, jika menurut
direksi alasan itu tidak begitu kuat, maka berdasarkan pertim- bangannya, persetujuan dapat terus diberikan. Setelah
komite kredit yang terdiri atas direksi ini
setuju, dan jika jumlah tertentu memerlukan perse- tujuan
komisaris bank, langkah terakhir harus pula diperoleh persetujuan komisaris. Setelah itu, persetujuan kredit beserta
syarat-syarat dan keten- tuan kredit yang telah
diperoleh disampaikan secara resmi kepada debitor. Jika
debitor menerima syarat-syarat kredit yang disetujui bank, bagian hukum bank akan mempersiapkan penandatanganan
perjanjian kredit be- serta perjanjian jaminan
lainnya. Jika seluruh dokumentasi yang diperlu- kan
telah dipenuhi, bagian operasional bank akan mengizinkan pencairan kredit sesuai dengan yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak.
Berdasarkan UU
Perbankan Indonesia No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ("UU Perbankan
1992/1998"), pemberian kredit harus melalui proses analisis kredit
yang saksama, teliti dan cermat, bersifat
independen bagi setiap pihak yang terlibat dan
tidak dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Keputusan
itu dibuat secara transparan, dan tertulis, berdasarkan fakta dan data serta dokumen yang aktual dan akurat, termasuk
pendapat atau masukan yang jujur dan objektif
berdasarkan keahlian dan pengalaman masing-masing
dari pejabat terkait. Semuanya itu harus dapat
dipertanggungjawabkan secara profesi dan jabatan masing-masing. Karena itu, setiap pemberian kredit seyogianya memenuhi
ketentuan perbankan, dan sesuai dengan asas
perkreditan yang sehat.11
Unsur tanggung jawab profesi dan
jabatan serta pertimbangan yang jujur dan
objektif, yang disebutkan oleh ketentuan UU ini, menunjukkan kandungan etika,
profesionalisme, dan moralitas yang
kental, dan yang harus dianut oleh semua pihak
yang terkait dalam proses pemberian kredit seperti
yang diuraikan di atas; yang umumnya bergerak dari bawah menuju
atas (bottom up).
Analisis kredit adalah
cara utama untuk mengatasi asymmetric information
dan menghindari adverse selection, dan
merupakan unsur utama dalam proses seleksi (screening). Dalam lingkungan operasional bank tertentu, makna analisis kredit perlu ditingkatkan,
sehingga berarti pene- litian yang mendalam dan
terperinci terhadap suatu permohonan kredit. Analisis
kredit yang harus dilakukan ditingkatkan menjadi due
diligence (uji tuntas), seperti halnya ketika seorang calon investor
ingin melakukan akuisisi terhadap bisnis atau
perusahaan.
Brian Coyle dalam
bukunya Corporate Credit Analysis mengatakan, analisis kredit merupakan suatu proses investigasi dan
penilaian yang ter- struktur mengenai risiko
potensial dari seorang calon debitor peminjam, yang
dilakukan oleh seorang analis kredit untuk pengambilan keputusan pemberian pinjaman. Alexander Bathory berpendapat,
analisis kredit ada- lah usaha penilaian mengenai
kemampuan dan kemauan untuk memenuhi kewajiban
pembayaran yang tertunda. Risiko potensial yang dimaksudkan oleh Coyle adalah kemungkinan calon debitor tidak mampu
atau tidak mau membayar kewajibannya, ketika jatuh
tempo di masa depan.
Jika seseorang mampu membayar kewajibannya
tetapi tidak mau melakukannya, masih dapat
diupayakan untuk mendorong orang atau debitor
tersebut untuk memenuhinya dengan menggunakan perangkat hukum,
misalnya dengan melakukan eksekusi jaminan jika ada. Tetapi jika tidak mampu, terlebih jika usaha debitor tidak
lagi prospektif atau ti- dak mungkin lagi
berkembang, tetapi debitor masih menunjukkan iktikad untuk
membayar, berkemungkinan kreditor akan mengalami kerugian, biasanya terjadi jika bank tidak menguasai jaminan yang
cukup berharga. Dalam keadaan seperti itu, apa
yang dapat dilakukan oleh kreditor ada- lah
melakukan restrukturisasi jumlah kredit, dengan berbagai konsesi. Konsesi dapat berupa waktu yang lebih panjang untuk
mengangsur, dan sering dengan bunga yang berjalan
lebih rendah dari tingkat bunga pasar. Jika
alternatif lain dilakukan, misalnya melalui jalur hukum kepailitan dengan memailitkan debitor sekalipun, belum tentu dapat
memperkecil risiko kerugian kreditor.
Hal yang mendasar
dalam analisis kredit adalah meneliti prospek
usaha dan kemampuan keuangan calon debitor di masa depan.
Analisis prospek usaha dan kemampuan keuangan di masa
depan ini memerlukan, pertama, penelitian
terhadap sifat usaha atau bisnis si calon debitor
dalam konteks industri tempat dia berusaha atau
beroperasi, dan, kedua, analisis kemampuan arus kas yang dihasilkan oleh usaha atau bisnisnya itu
dari waktu ke waktu. Kedua hal ini mengarah
langsung kepada kemampuan bayar calon debitor,
atau mengidentifikasi sumber pembayaran kembali,
dan mengkaji apa yang membuat sumber tersebut dapat
terealisasi. Kemungkinan sumber pembayaran itu dapat terealisasi
juga ditentukan oleh besar-kecilnya risiko yang harus dihadapi
oleh calon debitor, ketika menjalankan usahanya.
Dalam kaitan ini, David F. Babbel
dari University of Pennsylvania berpendapat, dari
segi kemampuan terdapat dua macam risiko yang
berkaitan dengan risiko kredit: pertama, risiko
kredit yang independen, yaitu risiko di mana debitor tidak mampu membayar utangnya seperti yang telah
diperjanjikan, disebabkan oleh hal-hal yang
bersifat unik terhadap debitor atau usahanya; kedua, risiko kredit sistemik, yaitu risiko yang
dapat berakibat pada tidak terbayarnya pinjaman,
misalnya perubahan perekonomian
yang bersifat drastis. Risiko yang unik adalah risiko yang terdapat dalam bagaimana debitor melakukan proses produksi, mulai dari memperoleh
bahan baku sampai dengan melakukan penjualan dan akhirnya pencairan piutang (account receivables).
Dari
segi tujuan, di samping meneliti kemampuan keuangan calon debitor di masa
depan, analisis kredit juga digunakan untuk mengukur besar- kecilnya risiko kredit. Risiko
kredit adalah perkiraan terhadap besar-ke- cilnya kemungkinan (probabilitas) calon debitor tidak dapat
membayar kembali
pinjamannya sesuai dengan apa yang diperjanjikan, berdasarkan perkiraan kemampuan dan
tendensi dari karakternya. Terlepas dari defi- nisi yang digunakan, besar-kecil risiko kredit yang dihadapi
dapat diukur dengan
metode statistik, dengan menggunakan data-data kuantitatif his- toris. Namun, kemampuan
membayar kembali tidak menjamin bahwa debitor akan benar-benar membayar kembali pinjamannya.
Di lain pihak, kreditor selalu ingin agar pinjaman yang
diberikan di- bayar
oleh debitor tepat waktu, tanpa diperlukan adanya proses hukum apa pun untuk membuat debitor
memenuhi kewajibannya. Dalam ke- adaan yang umum, perangkat hukum memang dapat mendorong orang membayar kewajiban atau
utangnya. Tetapi, kekuatan sistem hukum yang ada (civil atau common law) dalam konteks perlindungan terhadap kreditor, dan pelaksanaan
lapangan dalam penegakannya, dapat berbeda. Perbedaan ini dapat menunda pembayaran kembali utang debitor,
yang dapat
menimbulkan biaya bagi kreditor baik dari segi waktu maupun bia- ya. Karena itu, keadaan yang
ideal adalah debitor mengetahui bahwa dia dapat mengatasi risiko bisnis yang dihadapi sehingga mampu dan
mau membayar
utangnya.
Keyakinan
akan kemampuan dan kemauan ini seyogianya bersifat endogenous (faktor-faktor dalam diri seseorang) dalam diri debitor, dan tugas kreditor dalam kaitan ini
adalah untuk memastikan adanya unsur endogenous ini. Calon
kreditor harus meyakinkan diri bahwa unsur ini memang berada dalam diri calon debitor, sehingga diharapkan
unsur ini dapat
mendorong debitor tersebut untuk menggunakannya ketika
bisnisnya berkembang ke arah yang tidak baik. Untuk memastikan unsur kemampuan dan kemauan tersebut, kreditor perlu untuk melakukan analisis kredit.
bisnisnya berkembang ke arah yang tidak baik. Untuk memastikan unsur kemampuan dan kemauan tersebut, kreditor perlu untuk melakukan analisis kredit.
Milind Sathye dari University of Canberra, Australia, menggunakan
pendekatan analisis kredit yang bersifat holistik, yaitu pendekatan 5C, seperti yang telah disinggung,
atau pendekatan serupa
yang disebut CAMPARI ICE.12 Pendekatan
ini tetap bermanfaat digunakan karena bersifat universal,13 yang
mencakup penilaian dari kelima unsur C yang telah disinggung di depan. Untuk analisis kredit
yang dilakukan baik
secara tradisional, yaitu melalui judgemental
method, maupun modern seperti menggunakan scoring system, pendekatan
ini tetap
bermanfaat digunakan.
C.F. Green meninjau masalah analisis kredit ini dari segi
etika. Dia mengatakan,
masyarakat "meminjamkan" uangnya kepada bank karena mereka memiliki keyakinan (confidence) dan
kepercayaan (trust) kepada bank. Menurut Deborah K. Dilley, bankir memiliki beban etika
yang tidak kecil
karena masa depan masyarakat pemilik dana, masa pensiun, pen- didikan anak-anak mereka, dan
kualitas hidup mereka bergantung pada tindakan para bankir tersebut dalam hal melakukan analisis
kredit.
Seyogianya, bank memiliki kewajiban untuk melindungi
kepentingan mereka
dengan melakukan pekerjaan yang diperlukan secara hati-hati dan bertanggung jawab.
Pakar manajemen risiko Dimitris Chorafas menambahkan,
penilaian masalah
kelayakan kredit tetap dilakukan dari waktu ke waktu sampai kontrak selesai atau pinjaman
dilunasi. Di sini, tampak bahwa Chorafas juga menekankan masalah kontrol atau pengawasan kredit,
termasuk menentukan
dan mencantumkan serta mengontrol pelaksanaan akad (covenant) yang diperlukan
dalam kontrak atau perjanjian kredit.
Untuk menganalisis suatu
kredit, kreditor memerlukan banyak informasi, baik yang berkaitan dengan keuangan
maupun nonkeuangan.
|
Meski demikian, menurut Coyle, pada dasarnya analisis kredit
bu- kanlah ilmu
yang pasti. Untuk menganalisis suatu kredit, kreditor memer- lukan banyak informasi, baik
yang berkaitan dengan keuangan maupun nonkeuangan, baik yang diperoleh dari debitor sendiri maupun
dari ber- bagai
pihak lainnya. Sejak adanya perdagangan di dunia dengan pola kre- dit, informasi mengenai
pengetahuan dan jaringan hubungan seseorang merupakan bagian penting dalam pengumpulan dan penyampaian
data.
Untuk memperoleh informasi yang diperlukan, kreditor perlu me- lakukan riset mengenai calon
debitor.14 Riset ini akan mudah dilakukan jika, baik debitor maupun
kreditor, memiliki pengetahuan dan jaringan untuk memperoleh informasi sehingga verifikasi informasi
sekaligus da- pat
dilakukan.
Beberapa literatur menunjukkan, terdapat dua macam informasi. Pertama, hard information, yakni informasi yang bersifat kuantitatif dan dapat ditransfer ke pihak lain. Kedua, soft information,
yang bersifat kua- litatif
dan tidak dapat ditansfer ke pihak lain, dan umumnya dapat dipe- roleh setelah memiliki hubungan
dengan debitor,15 misalnya kemampuan berbisnis atau tingkat kelayakan kredit seseorang. Baik
informasi yang pertama
maupun terlebih yang kedua memerlukan suatu kegiatan verifi- kasi (atau to substantiate) untuk
memastikan informasi tersebut akurat dan faktual.
Makna hard information dan soft information harus berhubungan secara sinkron. Maksudnya, antara keduanya terdapat hubungan
makna secara logis
serta dapat membangun pengertian yang utuh. Pengertian yang utuh ini merupakan
kesimpulan yang dapat dicapai, tetapi harus dapat memenuhi kebutuhan akal sehat. Upaya ini perlu dilakukan
agar terhindar dari
informasi yang bias.
Sejalan dengan pendekatan analisis kredit di atas, menurut
Michael K. Ong dari
Amerika, kualitas kredit sangat ditentukan oleh tingkat kela- yakan kredit debitor, yang
selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor se- perti keadaan ekonomi umumnya, arah perkembangan industri di
mana calon debitor
beroperasi, dan hal-hal khusus yang berkaitan dengan calon debitor, antara lain keadaan
keuangan, jumlah utang (tingkat leverage), struktur permodalan, serta hal-hal yang bersifat tidak dapat
diukur (intangible) seperti reputasi atau integritas dan keahlian manajerial. Na- mun, dari semua pendekatan
tersebut, yang lebih sulit adalah memper- oleh soft information seperti karakter yang meliputi integritas, reputasi dan kepercayaan (trust), kejujuran, yang
bermuara pada sikap terhadap kewajiban keuangan yang harus dibayar baik di masa lalu maupun
di masa depan, yang
perlu diperkirakan berdasarkan keterangan masa lalu. Informasi ini terutama hanya
dapat diperoleh dari pengalaman pihak yang pernah berhubungan dengan calon debitor, atau dengan
melakukan pengecekan
rekam jejak.
Namun, beberapa dari faktor yang diutarakan oleh Ong di atas
bersi- fat soft information, yang
dapat dibaca atau diperkirakan dari hard
information yang diperoleh, dengan menggunakan
kemampuan analitis. Me- nurut Sathye, integritas atau reputasi dapat pula dibaca dari
rekam jejak debitor,
terutama dari catatan pembayaran kewajibannya terhadap kre- ditor atau bank lain. Sebagai
contoh lain, leverage atau debt equity ratio yang tinggi dapat menunjukkan tingkat agresivitas terhadap
risiko bagi seseorang,
dan bahkan dapat pula dikaitkan dengan unsur moralitas.16
Dalam kaitan ini, Antoine de Satins menyatakan bahwa debitor
me- miliki dua
syarat. Syarat pertama berkaitan dengan tanggung jawab, ya- itu seseorang seharusnya mengambil
dan menerima pinjaman sebanyak yang dia ketahui, bahwa dia akan mampu membayarnya. Syarat
kedua berkaitan
dengan efisiensi atau tujuan akhir dilakukannya pinjaman. Pe- minjaman yang baik dan ideal
dapat dilakukan jika pinjaman itu membuat seseorang dapat melakukan usahanya dengan lebih besar dan
lebih cepat. Perkembangan
ini seyogianya akan membantu perkembangan dirinya, melalui keberhasilan proyek
atau bisnis yang diusahakan dan ditekuninya.
Dari kedua syarat ini disimpulkan bahwa debitor harus yakin
da- pat mencapai
tujuannya itu, sehingga dia pun dapat membayar kembali utangnya. Jika debitor dapat
berkembang secara pribadi, misalnya me- lalui keberhasilan proyeknya, masyarakat luas dapat pula
memperoleh manfaat
dari keberhasilan proyek itu. Di lain pihak, pengambilan pinjam- an atau utang akan menambah
risiko usaha bagi debitor dan risiko kredit bagi kreditor.17
Menurut Chorafas, orang yang menggunakan pinjaman atau utang yang berlebihan (overgearing)18
menunjukkan bahwa orang tersebut me- lakukan praktik etika yang meragukan. Dalam kaitan ini, yang
diperlukan adalah
hubungan mengenai berapa banyak utang yang dapat digunakan, dengan kemampuan dalam jangka
panjang untuk membayar kembali. Utang yang berlebihan, menurut Mudrew, dapat pula diartikan
sebagai pemberian
kepercayaan yang dilakukan secara buta dan terburu-buru. Utang yang berlebihan untuk
ukuran industri tertentu akan membuat usa- ha menjadi sangat rawan terhadap perubahan lingkungan usaha,
sekaligus merupakan
penyebab utama kenapa usaha mengalami kebangkrutan.19
Dalam perbankan konvensional, pada setiap utang komersial melekat suatu kewajiban
periodik yang bersifat pasti, yaitu kewajiban membayar bunga, yang telah diketahui serta dipastikan di awal saat utang akan diperjanjikan.
Sebagai sebab utama suatu kebangkrutan, debitor memiliki beban utang yang meliputi kewajiban membayar bunga dan angsuran pokok
melebihi kemampuan untuk merealisasikan
keuntungan di masa depan. Beban bunga itu tetap dan pasti harus dibayar dari sumber pendapatan dan keuntungan di masa depan yang masih berupa harapan, dan cenderung berfluktuasi.
keuntungan di masa depan. Beban bunga itu tetap dan pasti harus dibayar dari sumber pendapatan dan keuntungan di masa depan yang masih berupa harapan, dan cenderung berfluktuasi.
Di sini terjadi ketidakseimbangan pada bank konvensional. Karena itu, jika
calon debitor tidak menyadari berapa banyak pinjaman yang dapat dibayarnya kemudian, atau
berapa besar risiko yang dihadapinya, bank sebagai calon kreditor perlu melakukan fungsi kontrol
untuk mengatasi situasi
calon debitor seperti ini.
Namun, apa yang disebutkan ini hanya merupakan asumsi atau harapan karena banyak kreditor
sesungguhnya sadar akan kemampuan bayar seorang debitor, tetapi tetap menambah pemberian kredit.
Sumber pembayaran
kredit yang diberikan sering bukan berasal dari kemampu- an debitor dalam menghasilkan
pendapatan dan keuntungan dari usaha yang dijalankan.
Dalam kaitan ini, ekonom Amerika Hyman Philip Minsky melakukan pengelompokan jenis pembiayaan
berdasarkan kemampuan keuangan debitor untuk membayar bunga dan pokok dari sumber arus kas
sendi- ri. Tiga
jenis pembiayaan itu adalah pembiayaan hedge, spekulatif, dan ponzi. Suatu pembiayaan
disebut hedge
jika debitor mampu membayar seluruh kewajiban kontraktualnya, termasuk bunga dan angsuran
pokok, dari arus
kas yang dihasilkan usahanya. Pembiayaan disebut spekulatif jika debitor hanya mampu
membayar porsi bunga, tetapi tidak sanggup membayar angsuran pokok utang, sehingga dia memerlukan utang
baru untuk melunasi
utang lama jika telah jatuh tempo. Dan pembiayaan di- sebut ponzi jika debitor tidak
mampu memenuhi kewajiban membayar bunga dan angsuran pokok yang telah diperjanjikan, kecuali
dengan me- narik
utang baru atau mengeluarkan atau menjual surat utang baru.
Pembiayaan disebut ponzi jika debitor tidak mampu memenuhi
kewajiban membayar bunga dan angsuran pokok yang telah diperjanjikan.
|
Mengingat peranan bank dalam masyarakat, bank memiliki
tanggung jawab
moral yang besar untuk bertindak secara hati-hati, dan wajib memastikan dan meyakinkan diri
bahwa calon debitor memenuhi dua syarat yang disebutkan De Satins. Pertama, bank mengetahui
dengan jelas, bahwa
calon debitor mengambil dan menerima pinjaman sebanyak yang dia ketahui dia akan mampu
membayarnya. Kedua, pengambilan pinjaman itu digunakan secara efektif untuk pengembangan usahanya.
Kedua hal ini
dikaji dan dipastikan dengan menggunakan analisis kredit untuk mengambil keputusan yang tepat dalam pemberian pinjaman. Jika kemudian kreditor dan debitor tidak dapat mencapai titik temu dalam kedua hal tersebut, menurut Chorafas, kreditor seharusnya tidak melakukan hubungan bisnis dengan debitor seperti itu. Dengan kata lain, permohonan kreditnya tidak dapat disetujui. Sebagai alternatif jalan tengah, bank dapat memutuskan untuk melakukan credit rationing (pengetatan kredit), dengan memperkecil jumlah pinjaman, memperketat syarat pinjaman, meminta tambahan kolateral, dan memperbesar tingkat bunga, atau kombinasi dari keputusan ini.
dikaji dan dipastikan dengan menggunakan analisis kredit untuk mengambil keputusan yang tepat dalam pemberian pinjaman. Jika kemudian kreditor dan debitor tidak dapat mencapai titik temu dalam kedua hal tersebut, menurut Chorafas, kreditor seharusnya tidak melakukan hubungan bisnis dengan debitor seperti itu. Dengan kata lain, permohonan kreditnya tidak dapat disetujui. Sebagai alternatif jalan tengah, bank dapat memutuskan untuk melakukan credit rationing (pengetatan kredit), dengan memperkecil jumlah pinjaman, memperketat syarat pinjaman, meminta tambahan kolateral, dan memperbesar tingkat bunga, atau kombinasi dari keputusan ini.
Jelas bahwa
analisis kredit merupakan hal yang sangat penting
dilakukan, dan menentukan perjalanan kreditor
dengan setiap debitor yang dipilihnya, dalam mempertahankan pinjaman yang diberikan
dalam portofolio
pinjaman bank. Analisis kredit seyogianya dapat membedakan kredit atau debitor yang baik
dengan yang buruk, sehingga merupakan bagian utama dari masalah perkreditan. Menurut John Coleshaw
dari Inggris, keahlian dalam pelaksanaan perkreditan merupakan isu sentral terhadap reputasi dan tingkat keuntungan bank.
Bahkan, menurut
ekonom Adam B. Ashcraft dari Amerika, tidak sedikit bank mengalami kegagalan semata-mata
karena standar analisis kredit atau yang disebut sebagai
underwriting standards mereka buruk.20
Salah
satu tujuan utama melakukan analisis kredit adalah memperkira- kan berapa besar risiko kredit
yang akan dihadapi, jika suatu kredit dibe- rikan kepada calon debitor tertentu. Setiap pemberian kredit,
baik yang melibatkan
pengeluaran dana segar kepada debitor maupun penjual atas nama debitor, selalu mengandung
suatu bentuk risiko. Menurut Chora- fas, risiko kredit, dalam bentuk yang murni, adalah risiko di
mana pihak lain
dalam suatu transaksi, yang menyangkut suatu instrumen keuangan, akan gagal memenuhi
kewajibannya sesuai dengan kondisi dan syarat- syarat kontrak yang disepakati, yang disebabkan oleh
masalah-masalah kebangkrutan,
keadaan yang tidak likuid, dan alasan-alasan lainnya.
Gerhard Schroeck berpendapat bahwa risiko kredit adalah risiko yang timbul dari tidak
dibayarnya, atau dijadwalkannya kembali setiap pembayaran yang telah diperjanjikan, atau adanya keadaan
wanpres- tasi, atau
perubahan kualitas kredit, yang dapat menimbulkan kerugian ekonomis bagi kreditor atau
bank. Joetta Colquitt menambahkan bahwa risiko kredit tidak dapat terlepas dari kegiatan bisnis yang
dilakukan dan terkait
dengan hampir setiap produk dan jasa yang disediakan kreditor; dan bersumber pada masalah
keuangan, bisnis, industri, dan manajemen.
Untuk mengukur besar-kecilnya risiko kredit yang dihadapi,
banyak metode yang
dapat digunakan secara lebih objektif. Kebanyakan meto- de yang ada didasarkan pada
penggunaan angka-angka pada laporan keuangan, atau sejarah keuangan yang dapat dicatat atau
dikuantifikasi oleh
calon kreditor. Walaupun berasal dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik
sekalipun, angka-angka tersebut perlu diteliti ulang untuk memastikan pengertian serta kebenaran yang
dikandung- nya.21
Penelitian ini tidak terlepas dari perlunya menggunakan persepsi, intuisi, dan pertimbangan
individu.
Dalam melakukan rating atau scoring misalnya, bobot yang da- pat diberikan untuk setiap faktor adalah hasil pertimbangan
seseorang dengan
menggunakan akal sehat; jadi tidak ada model mana pun yang dapat menggantikan pertimbangan
manusia. Sebaliknya, mengukur ke- mauan debitor untuk membayar kewajibannya di masa depan jauh
lebih sulit, dan
akan lebih banyak menggunakan persepsi dan intuisi terhadap karakter dan reputasi yang
dimiliki debitor, sampai saat ketika pemberian kredit sedang dipertimbangkan. Persepsi dan intuisi para
pemberi kredit, khususnya
para pemutus kredit, akan melandasi harapan kreditor bahwa debitor akan membayar kewajiban
tersebut di masa depan.
Karena itu, risiko kredit tidak selalu dapat diukur secara
matematis, dan
pengambilan keputusan tidak selalu berdasarkan informasi yang ber- sifat faktual, tapi terkadang
hanya bersifat perkiraan, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Hanya saja, sebagian besar
perkiraaan ter- hadap
masa depan ini harus diupayakan agar merupakan ekstrapolasi dari analisis, yang menggunakan
lebih banyak data kuantitatif yang akurat dan mutakhir, dan dikombinasikan dengan informasi yang bersifat
kualitatif.
Pada akhirnya, seperti halnya dalam suatu bisnis, orang yang
ber- pengalaman
juga menggunakan nalurinya dalam memahami besar-ke- cilnya suatu risiko bisnis yang
sedang dihadapinya. Kalaupun informasi yang diperlukan dapat diperoleh secara lengkap, informasi
tersebut perlu dicerna,
sebelum dikeluarkan suatu sikap atau keputusan yang diperlu- kan. Walaupun seluruh ketentuan
dan prosedur pengambilan keputusan telah diikuti, tidak ada jaminan bahwa keputusan bisnis yang
diambil akan selalu
membuahkan hasil yang positif. Keputusan bisnis yang diambil dapat juga
menimbulkan kerugian. Hal ini disebut sebagai risiko yang normal dalam bisnis, atau Sundari
Arie menyebutnya sebagai normal business
risk.22 Karena
itu, risiko seperti ini tidak dapat sama sekali dihi- langkan, tetapi hanya dapat
diminimalkan.
Untuk memperkecil risiko kredit, Colquitt mengatakan bahwa
risiko kredit perlu
dikelola dengan menggunakan pendekatan bottom
up semen- jak perolehan awal dari suatu transaksi baru. Untuk itu,
sangat penting bagi
para pemroses kredit, atau para spesialis yang membidangi kredit
memiliki
pengetahuan dan pengalaman dalam proses seleksi kredit ex-ante. Mereka juga perlu memiliki pengalaman dalam memo- nitor perkembangan kualitas
kredit ex-post,
yaitu setelah kredit disetujui hingga dilunasi. Selain memiliki pengetahuan dan pengalaman
yang me- madai,
mereka juga perlu memiliki integritas dan
moralitas yang tinggi, karena sebagian dari proses ini tergantung pula pada
intuisi atau pertimbangan
yang dimiliki oleh semua pihak yang terkait secara individu.
Jaminan
tidak dapat dipisahkan dari pemberian kredit dan umumnya menempati posisi penting dalam
kegiatan tersebut. Namun, kedudukan jaminan bukan segalanya, dalam arti bahwa hal itu penting
tetapi tidak mencukupi
bagi pemberian kredit yang sehat.
Dari penelitiannya mengenai jaminan, Alberto Franco Pozzolo
dari Italia menyimpulkan
bahwa dalam keadaan normal bank akan mensya- ratkan suatu bentuk jaminan, yang umumnya disebut kolateral,
jika debitor dianggap berisiko bagi kreditor. Syarat jaminan ini terutama
dite- kankan kepada
pinjaman yang berjumlah besar atau perusahaan berskala kecil, atau bermodal rendah,
atau memiliki hubungan pinjaman dengan banyak bank.
Mengenai yang terakhir ini, Ralf Elsas dan Jan Pieter Krahnen, keduanya dari Jerman, dalam
suatu studi empiris menyimpulkan bahwa relationship lender umumnya memiliki probabilitas yang lebih tinggi untuk memperoleh
kolateral pada tingkat yang lebih senior, dibandingkan dengan bank lain untuk debitor yang sama. Karena
itu, kolateral
merupakan instrumen strategis yang dimaksudkan untuk memengaruhi posisi tawar bank,
terutama ketika melakukan negosiasi dengan debitor, jika keadaan keuangan debitor tidak
menggembirakan atau
tertekan. Namun, Pozzolo mengingatkan bahwa dengan adanya kolateral tidak berarti seluruh
risiko kredit dapat dimitigasi.
Di lain pihak, menurut Mishkin, salah saru cara yang penting untuk
mengatasi asymmetric information adalah menggunakan kolateral. Kolateral mengurangi konsekuensi dari masalah adverse selection atau moral hazard, karena kreditor dapat mengurangi kerugiannya jika debitor mengalami wanprestasi.
Jika kolateral cukup
bernilai ketika debitor wanprestasi, dengan menggunakan kerangka hukum yang dimilikinya, kreditor dapat
menjual kolateral tersebut. Kolateral dan ekuitas (net worth) berlaku sama dalam mengurangi moral hazard, karena jika
kolateral dan net worth memiliki nilai yang tinggi, dibandingkan dengan nilai kewajiban utangnya, debitor akan
berusaha menyelamatkan
kolateral atau perusahaannya yang masih memiliki modal yang besar dengan membayar kewajibannya kepada kreditor.
Menurut Eike Houben dan Peter Nippel dari Jerman, kolateral
juga dapat
digunakan dalam rangka melakukan pengetatan kredit (credit rationing), sama
seperti yang dikatakan Mishkin. Namun, debitor tidak dapat dihalangi untuk mengambil
sebagian risiko exogenous, yaitu risi- ko di luar pengetahuan kreditor yang berada di luar bisnis
yang dibiayai. Karena
itu, menurut mereka, hanya dengan credit
rationing, dalam arti jumlah kredit yang disetujui
diperkecil, dikombinasikan dengan kolateral merupakan jawaban terhadap generalisasi masalah moral hazard.
Dalam discussion paper-nya, Niinimaki menyajikan model yang menunjukkan nilai kolateral
yang berfluktuasi akan mendorong timbul- nya moral hazard. Sebab, jika nilai suatu jaminan bersifat pasti, adanya jaminan akan mengurangi
volatilitas pendapatan bank, sehingga bank berada di posisi yang aman dan dapat mengatasi moral hazard. Di lain pihak, Niinimaki menyimpulkan
bahwa efek negatif kolateral menjadi lebih dalam, jika nilai kolateral
berkorelasi kuat dengan probabilitas sukses dari proyek yang dibiayai, terlebih jika kolateral itu adalah
yang dibiayai oleh
kreditor, yang disebut sebagai inside
collateral. Menurut Niinimaki, seluruh kondisi ini terdapat
dalam krisis subprime mortgage23 di Ameri- ka, dan hal itu yang mendorong timbulnya moral hazard.
Salah saru cara yang penting
untuk mengatasi asymmetric information adalah
menggunakan kolateral.
|
Penilaian dan penguasaan
inside collateral merupakan masalah yang tidak sederhana. Inside collateral dapat
pula diartikan sebagai kolateral yang digunakan langsung dalam berproduksi atau beraktivitas
dalam menjalankan
usaha debitor. Walaupun tidak secara langsung, pembiaya-
an jenis kolateral ini sesungguhnya juga dilakukan oleh bank, seperti ter- sirat dalam hubungan antara aktiva dan pasiva dalam neraca perusahaan.
an jenis kolateral ini sesungguhnya juga dilakukan oleh bank, seperti ter- sirat dalam hubungan antara aktiva dan pasiva dalam neraca perusahaan.
Dalam banyak situasi pemberian pinjaman, terutama pada debitor korporasi, jaminan yang
diberikan debitor dapat berupa properti pabrik, yang terdiri atas tanah, bangunan pabrik beserta permesinannya,
serta bangunan
gudang. Seluruh properti ini digunakan untuk berusaha atau berproduksi dalam rangka
menghasilkan pendapatan dan keuntungan usaha. Jaminan yang lain dapat pula berupa aset perusahaan
seperti ba- rang
persediaan dan piutang dagang, tetapi langsung digunakan dalam operasi perusahaan, yang tidak
mudah bagi kreditor untuk mengontrol dan menguasainya. Dalam aset barang persediaan, terdapat porsi
perse- diaan barang
dalam bentuk barang belum jadi (work in
process), yang cenderung bernilai relatif besar secara akunting untuk bentuk
usaha produksi
tertentu dengan asset conversion cycle yang lebih panjang. Ja- minan seperti ini merupakan bagian fungsional terhadap bisnis
debitor. Sebagai
akibatnya, nilai jaminan yang diberikan seperti ini berfluktuasi dengan turun-naiknya bisnis
perusahaan secara menyeluruh.
Keadaan yang paling ironis adalah ketika debitor gagal bayar
atau wanprestasi,
yang umumnya terjadi ketika usaha debitor mengalami pe- nurunan yang tajam. Dalam
keadaan sulit seperti itu, terlebih jika publik mengetahui bahwa kreditor berusaha menguasai kolateral untuk
menju- alnya, nilai
jaminan tersebut akan cenderung turun di bawah penilaian ketika kredit pertama
diberikan. Bahkan, jaminan tersebut berkemung- kinan hampir tidak mempunyai nilai sama sekali, antara lain
karena ba- rang
persediaan telah terjual oleh debitor.
Ketika usaha dalam keadaan sulit, jumlah persediaan barang
jadi ataupun bahan
baku sulit untuk dilengkapi ulang
(replenished), dan biasanya terkikis dengan kerugian yang dialami perusahaan.
Dalam keadaan seperti itu, barang setengah jadi bisa tidak memiliki nilai jual
yang berarti, di
samping bergantung pada jenis barang apa yang diproduksi. Kerugian yang tercipta tidak
dapat mengembalikan persediaan barang yang diperlukan untuk melakukan penjualan berikutnya. Demikian
pula halnya dengan
jaminan yang berupa harta tetap, yang umumnya terdiri atas tanah, bangunan pabrik,
serta permesinan.
Pada keadaan perusahaan merugi, dan industri di mana
perusahaan berpoduksi
dan beroperasi tidak lagi prospektif dan menjanjikan keuntungan, nilai harta
tetap itu akan cenderung turun secara drastis. Dari se- luruh aset yang ada,
berkemungkinan besar hanya tanah yang dapat ber- tahan sesuai dengan penilaian yang dilakukan sebelumnya, yaitu
ketika kredit akan
diberikan. Tetapi, karena luas fisiknya biasanya relatif besar, masalah peruntukan akan
menghambat pihak ketiga dalam mempertim- bangkan untuk membelinya.
Keadaan ini akan lebih diperburuk, jika dokumentasi hukum
kepemi- likan tanah
dan penjaminan tidak bersifat yuridis sempurna. Di samping itu, realisasi nilai yang dapat
diperoleh dari hasil penjualan kolateral oleh kreditor juga ditentukan oleh efektivitas sistem dan penegakan
hukum, yang
berkaitan dengan propriety rights (perlindungan hak-hak kreditor)
di suatu negara. Hakim tidak selalu serta-merta
memberikan fiat (kepu- tusan) eksekusi jaminan, dan terkadang harus melalui
persidangan yang berulang
dan panjang, sehingga memperpanjang proses eksekusi. Proses eksekusi yang panjang akan
menimbulkan biaya proses pengadilan yang lebih besar. Dalam banyak pengalaman, proses dan biaya
pengadilan ini cenderung
menurunkan nilai jaminan, kalaupun berhasil dieksekusi dan dilelang.
Tatkala usaha debitor bersifat bullish (menunjukkan gejala
mening- kat),
jaminan akan mencapai nilai optimal, dan pada saat itu bayangan kesulitan usaha jauh dari
pikiran, baik pikiran kreditor maupun debitor. Pada perusahaan dan industri yang dianggap baik, kreditor
cenderung bersifat
agresif dalam menentukan jumlah pinjaman yang akan diberi- kan; terlebih jika beberapa
bank berkompetisi untuk merebut debitor yang sama. Pada situasi seperti ini, pertimbangan perolehan
bisnis lebih mengemuka,
dan masalah kolateral cenderung bukan lagi merupakan un- sur yang dominan dalam
pemberian kredit. Bahkan, nilai pinjaman akan lebih tinggi diberikan dibandingkan dengan nilai jaminan, apa
pun jenis jaminan
yang dapat diperoleh.
Namun, ketika keadaan
bullish berubah menjadi bearish, saat debitor terus-menerus merugi dan
industri tidak lagi menjanjikan seperti sediaka- la, persoalan yang sama sehubungan dengan kolateral yang
dimiliki seper- ti
yang diutarakan di atas akan muncul untuk dihadapi oleh kreditor.
Meski demikian, keadaan yang ironis sering muncul ke permukaan ketika kredit bermasalah,
sejauh yang berkaitan dengan jaminan atau kolateral. David de Meza, misalnya, mengutip pendapat beberapa
penemuan empiris,
mengatakan bahwa pinjaman yang didukung sepenuhnya oleh kolateral berkemungkinan besar
menjadi NPL. Nilai kolateral yang di- marked up, dan pemberian
kredit yang bersifat pribadi, disembunyikan di belakang kecukupan kolateral. Ini masalah yang besar dan
terjadi bahkan
pada krisis perbankan 1990-1992 di Swedia,24 juga di Asia, termasuk Indonesia.
pada krisis perbankan 1990-1992 di Swedia,24 juga di Asia, termasuk Indonesia.
Penelitian empiris lainnya membuktikan bahwa kolateral dapat
memperlemah proses seleksi
debitor yang memadai25, sekalipun seleksi debitor merupakan tugas
intrinsik bank yang sangat penting. Walaupun demikian, menurut Gabriel Jimenez, sebagian dari
penelitian ini mendukung
pandangan teoretis bahwa kolateral merupakan mekanisme untuk mengontrol dorongan debitor guna melakukan moral hazard, tetapi
jaminan itu harus dalam bentuk dan nilai yang pasti, serta secara mutlak didukung oleh
dokumen hukum yang yuridis sempurna.
Sebagai
kesimpulan bagian ini, kolateral bukan faktor yang menen- tukan dalam pembayaran kembali
pinjaman, dan bukan pengganti unsur karakter dalam pemberian kredit. Dalam situasi pemberian
kredit, me- nurut
A.D. Jankowicz dan R.D. Hisrich, kolateral merupakan syarat yang cukup penting untuk dipenuhi,
dan mutlak harus diperhatikan dan diper- timbangkan, tetapi berada pada prioritas yang secara
komparatif lebih rendah
kedudukannya dalam menentukan kelayakan suatu kredit. Sum- ber utama pembayaran kembali
suatu pinjaman berasal dari keberhasilan usaha debitor yang tecermin dalam arus kas yang dapat
direalisasikan, atau
feasibilitas usaha yang dapat bertahan sampai utang debitor lunas terbayar, bukan dari penekanan
penjualan kolateral.
Dalam
buku ini, pasar kredit bagi bank dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu pasar kredit
korporasi dan nonkorporasi. Pasar nonkorporasi mewakili perusahaan menengah ke bawah (small medium enterprises/ SME),
nasabah perseorangan, kartu kredit, dan nasabah kredit kecil atau kredit mikro. Pembedaan kedua
kelompok pasar ini terutama ditandai dengan perbedaan dalam ketersediaan dan transparansi informasi
yang diperlukan
oleh calon kreditor. Pasar korporasi pada umumnya memiliki ketersediaan informasi mengenai
dirinya sendiri lebih baik, dan lebih transparan daripada pasar nonkorporasi.
Kolateral bukan faktor yang menentukan
dalam pembayaran kembali pinjaman, dan bukan pengganti unsur karakter dalam pemberian
kredit.
|
Calon debitor yang bersifat korporasi memiliki laporan
keuangan yang lebih
terorganisasi, dan cenderung mengikuti standar akunting yang
berlaku. Tersedianya laporan keuangan ini juga menggambarkan adanya pembagian kerja fungsional di dalam organisasi dalam mencapai tujuan korporasi, dan membentuk kesatuan unit kerja yang lebih besar sehingga bernama korporasi. Umumnya, dalam menjalankan usaha korporasi, pemilik dibantu oleh beberapa manajer, yang menangani tiap fungsi pe- kerjaan yang diperlukan. Dalam interaksi antarfungsi-fungsi itu, pihak yang menangani fungsi cenderung akan melakukan komunikasi baik lisan maupun tertulis dalam lingkungan organisasi.
berlaku. Tersedianya laporan keuangan ini juga menggambarkan adanya pembagian kerja fungsional di dalam organisasi dalam mencapai tujuan korporasi, dan membentuk kesatuan unit kerja yang lebih besar sehingga bernama korporasi. Umumnya, dalam menjalankan usaha korporasi, pemilik dibantu oleh beberapa manajer, yang menangani tiap fungsi pe- kerjaan yang diperlukan. Dalam interaksi antarfungsi-fungsi itu, pihak yang menangani fungsi cenderung akan melakukan komunikasi baik lisan maupun tertulis dalam lingkungan organisasi.
Seluruh komunikasi internal yang terjadi dalam bentuk tertulis
akan membentuk
suatu macam laporan bagi pemilik atau pengurus puncak, yang digunakan terutama dalam
lingkungan internal untuk mengikuti perkem- bangan usaha yang dijalankan korporasi, dan untuk menentukan
arah stra- tegis
usaha korporasi. Informasi tertulis yang dibuat secara internal yang berkaitan dengan arah
perkembangan korporasi sering dituangkan dalam brosur perusahaaan, dan dapat diperoleh pihak luar seperti
calon kreditor.
Berbeda dengan pasar korporasi, masalah utama yang berkaitan
de- ngan pasar
kredit nonkorporasi masih berkisar pada
asymmetric information, tetapi lebih akut karena
tidak memiliki mekanisme yang dapat dipercaya untuk menyampaikan informasi yang bersifat pribadi
kepada pemberi
pinjaman.26 Pasar nonkorporasi tidak memiliki kesediaan informasi
yang cukup. Itulah sebabnya, pasar kredit nonkorporasi ini disebut- kan sebagai informationally opaque.
Sebagai karakteristik lainnya, seba- gian besar informasi yang dimiliki bersifat soft information, yang
tidak mudah untuk
dikuantifikasi walaupun mungkin dapat dilakukan. Karena itu, tidaklah mudah bagi calon
kreditor untuk memperoleh informasi dan pengetahuan yang akurat tentang calon debitor di pasar ini.
Dari segi kepemilikan, perusahaan nonkorporasi merupakan
bisnis keluarga
atau manajemen yang dikelola sendiri, dan dikontrol langsung oleh pemilik (key person) yang pada
umumnya memberikan kontribusi terbanyak untuk membentuk modal operasi. Mereka pada umumnya
ti- dak memiliki
rencana kerja dan feasibilitas usaha, tidak memiliki penge- tahuan bagaimana membuat
proposal investasi keuangan yang sehat, dan tidak memiliki aset yang dapat digunakan sebagai kolateral.
Umumnya, perusahaan
keluarga ini merupakan bisnis pemula, dan belum memiliki rekam jejak yang berarti.
Sebagai bagian dari pasar kredit nonkorporasi, pasar kartu
kredit dan kredit
konsumen serta kredit mikro27 merupakan pasar kredit indi- vidu, dengan tujuan penggunaan
kredit yang berbeda. Tujuan kredit dari kartu kredit dan kredit konsumen lebih banyak untuk konsumsi,
sedang- kan
pembiayaan mikro dapat diarahkan untuk mendukung usaha perse- orangan, dan pemberiannya
diutamakan untuk kelompok yang kurang beruntung atau miskin.
Berbeda dengan pembiayaan mikro, analisis risiko kredit pada
kar- tu kredit
difokuskan pada individu calon pemakai kartu, dan informasi yang diperlukan adalah sekitar
penghasilan dan pengeluaran bulanan yang bersangkutan. Jika calon pemakai kartu kredit memiliki
pekerjaan dengan gaji
tetap dari institusi yang jelas, persoalan yang harus dikaji dan informasi yang diperlukan untuk
diminta adalah pengeluaran si calon itu. Risiko terhadap pemberian kartu kredit akan lebih besar, jika
si calon ti- dak
memiliki sumber pendapatan yang tetap, atau pekerjaannya bersifat wiraswasta atau usaha
kecil-kecilan, sehingga permasalahan yang diha- dapi dari segi ketersediaan informasi yang diperlukan sama
seperti pada pasar
kredit nonkorporasi.
Pada kredit mikro, informasi untuk analisis kredit lebih
ditekankan pada
kemampuan peminjam individu untuk memproduksi barang, dan/ atau sekaligus kemampuannya
untuk menjual barang tersebut dengan memperoleh keuntungan.28 Kemampuan memproduksi dan
menjual dengan
suatu tingkat keuntungan seyogianya tercatat dalam rekam jejak calon debitor. Menurut
Jankowicz dan Hisrich, rekam jejak ini merupa- kan kriteria utama bagi bank untuk memutuskan pemberian kredit
pada usaha kecil.29
Sebagian besar informasi yang diperlukan ini dapat dikum- pulkan dari lingkungan sosial
calon debitor tersebut.
Bendi Linggau dan Hamidah menyebutkan bahwa lingkungan sosial yang dimaksud meliputi ketua
pasar, ketua paguyuban atau kelompok pedagang, ketua arisan pasar, dan lain-lain. Bahkan, lebih
dari sekadar memperoleh
informasi, Grameen Bank, misalnya, memberikan pinjaman individu dari kelompok yang
sama secara fisik. Menurut Kathleen Pickering dan David W. Mushinski, pinjaman
kelompok ini dilakukan berda- sarkan anggapan bahwa insentif ekonomi yang diciptakan oleh
grup akan berpengaruh
lebih kuat bagi setiap anggota individu. Ini artinya kualitas kredit kepada anggota kelompok
juga ditentukan oleh adanya insentif ekonomi ini, yang berlaku di lingkungan tersebut. Salah satu
insentif eko- nomi
yang dimaksud adalah, jika salah satu anggota tidak dapat memba- yar utangnya, semua anggota
kelompok terkait tidak lagi diberi pinjaman. Karena adanya insentif ini, akhirnya anggota lain itu akan
membantu anggota
yang mengalami kesulitan dalam pembayaran utangnya.
Perbedaan karakteristik antara korporasi dan nonkorporasi akan
me- nyebabkan
adanya perbedaan tentang bagaimana informasi mengenai ca- lon debitor dapat diperoleh,
dan bagaimana informasi tersebut seharusnya diolah. Bagi calon kreditor korporasi, informasi dapat diperoleh
sebagian besar dari
korporasi itu sendiri. Untuk melengkapi kebutuhan analisis, in- formasi tambahan dapat
diperoleh dari lingkungan yang berhubungan de- ngan korporasi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Substansiasi (penguatan)
informasi yang diperoleh dapat dilakukan dengan berbagai sumber yang berbeda, yaitu
dengan melakukan pengecekan silang. Hasil substansiasi itu dibandingkan dengan manifestasi penampilan
angka- angka dalam
laporan keuangan. Sejauh hasil yang diperoleh menunjukkan hubungan yang logis, kesimpulan
analisis umumnya dapat diterima.
Berbeda dengan pasar korporasi ini, pada pasar nonkorporasi,
di samping harus
melakukan substansiasi yang lebih dalam terhadap infor- masi yang dapat diperoleh,
calon kreditor harus melakukan usaha lebih banyak dalam mengumpulkan informasi yang diperlukan. Salah
satu cara untuk
mengumpulkan informasi adalah berhubungan langsung dengan calon debitor. Beberapa
literatur menyebutkan hubungan ini sebagai relationship
lending.
Dalam konteks perkreditan,
relationship lending dapat diartikan sebagai kegiatan
pinjam-meminjam yang didasarkan atas hubungan baik antara kreditor atau calon
kreditor dengan debitor atau calon debitor yang telah dipupuk sebelumnya, yaitu sebelum kegiatan
pinjam-memin- jam
itu dilakukan. Dari hubungan yang telah dibentuk, kedua pihak telah saling mengenal dan saling
menunjukkan iktikad atau maksud, yang ma- sing-masing menganggap bermanfaat bagi pihaknya. Tetapi,
pemberian kredit
tidak dapat dilakukan hanya karena asas telah mengenal dengan baik saja, dan tidak dapat
karena adanya kekaguman atau kesenangan yang timbal balik semata.
Dalam konteks relationship
lending, kekaguman yang dimaksud ini tidak didasarkan pada sifat
atau karakter pribadi semata. Faktor yang perlu dilihat adalah yang bersifat pribadi, antara lain berupa
keuletan, kejujuran,
dan pengalaman bisnis yang telah dipupuk. Jika calon debitor atau debitor bersifat badan
hukum, faktor yang identik dengan yang dimaksud itu yang ada pada institusi harus pula dikaji. Baik
pribadi maupun
badan hukum, pengalaman dalam menjalankan bisnis dalam periode yang cukup panjang,
misalnya, akan memberikan penguasaan teknis dan pengetahuan yang luas terhadap bisnis yang telah
digeluti.
Untuk menjalin hubungan pinjam- meminjam, yang menjadi hal penting bagi calon kreditor adalah unsur
keberhasilan atau kepiawaian
dalam berbisnis, integritas atau sikap jujur, keterbukaan atau transparansi, dan komitmen terhadap bisnis itu
sendiri oleh calon debitor
atau pengurus dan pemilik pengendali dari badan hukum tersebut.
Pertanyaan yang harus selalu diajukan kepada diri calon kreditor atau
kreditor, yang diwakili
oleh account officer, adalah faktor apa yang membuat sang pengusaha berhasil dalam bisnisnya. Informasi mengenai
calon debitor seperti ini dan hal ihwal mengenai usahanya harus dicari dan dikumpulkan dari waktu ke
waktu, serta
dipelajari. Informasi ini diperlukan untuk menentukan kualitas calon debitor dalam rangka
membuat perjanjian kredit.
Hubungan itu memang harus menimbulkan asas manfaat yang timbal balik, dan dibentuk berdasarkan
keinginan yang baik. Calon debitor atau debitor harus didatangi, untuk mengenal lebih baik. Jika telah
mengenal lebih
baik, alur informasi antarkedua pihak dapat berjalan lebih mudah.
Relationship lending
memiliki risiko tertentu bagi bank atau kredi- tor. Dari sisi pemberi pinjaman, relationship lending
merupakan suatu kebutuhan
untuk melakukan delegasi kewenangan memutus kredit kepa- da tingkat yang jauh ke bawah,
di mana jumlah yang perlu disetujui memang relatif kecil. Di lain pihak, dasar
pengambilan keputusan bagi yang diberi kewenangan memutus sebagian besar merupakan soft information, dan
hubungan antara debitor dan bank yang diwakili oleh account officer cenderung
bersifat pribadi (personalized). Karena itu, hubungan seperti ini sangat bergantung pada tingkat integritas dan profesionalisme account officer yang
menanganinya. Account officer harus memperta- hankan hubungan baik dengan debitor secara intim, dan pada
saat yang sama
harus selalu bertindak untuk kepentingan bank tempat ia bekerja. Apa yang telah terjadi dan apa
yang telah dibicarakan antara debitor dan account officer hanya
diketahui account officer yang bersangkutan; kon- trol manajemen yang dapat dilakukan tidak seluruhnya dapat
mencapai ruang
lingkup ini.
Calon debitor atau debitor harus
didatangi, untuk mengenal lebih baik. Jika telah mengenal lebih baik, alur
informasi antarkedua pihak dapat berjalan lebih mudah.
|
Dalam situasi seperti
itu, banyak kemungkinan muncul penyeleweng- an. Account officer dengan mudah tergelincir pada sikap yang membuah-
kan pandangan serta keputusan yang lebih mementingkan pendekatan hubungan (relationship based approach), dan melupakan pendekatan yang berdasarkan ketentuan yang berlaku (rules based approach). Di si- tulah, unsur integritas dan profesionalisme, bahkan keimanan, mema- inkan peranan yang bersifat sentral dan sangat penting.
kan pandangan serta keputusan yang lebih mementingkan pendekatan hubungan (relationship based approach), dan melupakan pendekatan yang berdasarkan ketentuan yang berlaku (rules based approach). Di si- tulah, unsur integritas dan profesionalisme, bahkan keimanan, mema- inkan peranan yang bersifat sentral dan sangat penting.
Dalam
perbankan di Indonesia, otoritas yang paling tinggi di suatu komi- te kredit berada pada pemutus
kredit, yaitu pihak yang memiliki kewe- nangan untuk mengambil keputusan kredit, yakni menyetujui atau
meno- lak suatu
permohonan kredit. Pemutus kredit dengan kewenangan yang lebih tinggi, yaitu untuk
menyetujui suatu usulan kredit dengan jumlah yang lebih tinggi, adalah direksi. Kewenangan untuk menyetujui
jumlah tertinggi
berada pada presiden direktur, beserta atau tanpa persetujuan komisaris. Di atas direksi,
kewenangan pemutus kredit berada pada ting- kat komisaris, tetapi biasanya hanya untuk kredit-kredit yang
bersifat khusus,
antara lain kredit yang telah dikategorikan sebagai "dalam perha- tian khusus" atau
bermasalah.
Pemeringkatan kewenangan memutus ini sangat berkaitan dengan kepangkatan seseorang dalam
struktur organisasi perkreditan bank, dan didasarkan pada tingkat pengalaman, keahlian, dan pengetahuan
perkre- ditan,
terutama mengenai risiko kredit, serta tingkat
profesionalisme yang bersangkutan.
Pemutus kredit merupakan tahap terakhir suatu proses pemberian kredit yang cukup panjang. Pada
tahap ini, pemutus kredit dengan per- timbangan profesionalnya akan memberikan persetujuan kredit
atau menolaknya. Di
sini, seluruh ketentuan yang berlaku dalam pemberian kredit dipastikan telah
dipatuhi. Untuk itu, seperti yang diminta UU Per-
bankan, yang bersangkutan harus yakin bahwa
kredit yang akan disetu- juinya akan dapat dibayar kembali oleh debitor.
Jika ada salah satu anggota komite kredit yang tidak setuju
atas usulan suatu
pemberian kredit, pemutus kredit yang lebih senior, biasa- nya direksi, harus mengambil
sikap dan memutuskan apakah menyetujui atau tidak usulan kredit yang dihadapi. Dengan pertimbangannya
sendi- ri,
berdasarkan kewenangan, pengalaman, keahlian, dan keyakinannya, direksi dapat memutuskan lain.
Karena itu, menurut Munir Fuady, di- reksi sesuai dengan kedudukannya adalah yang paling berwenang
dan paling
profesional untuk memutuskan apa yang terbaik dilakukan untuk perseroan.
Pemutus kredit beserta anggota komite kredit lainnya adalah
pihak yang paling
bertanggung jawab dalam menentukan kualitas kredit. Dari segi moral, pemutus kredit
memiliki tanggung jawab yang paling besar dalam urutan proses pemberian kredit. Proses tersebut berhenti
pada pemutus kredit
karena di situ keputusan diberikan apakah langsung di- setujui, dikaji ulang untuk
memastikan hal-hal baru yang muncul dalam proses atau yang belum terlalu jelas, atau sama sekali
ditolak.
Keputusan yang diambil oleh pemutus kredit itu didasarkan pada masukan dan analisis yang
dilakukan oleh account officer, dan telah dikaji ulang secara saksama oleh bagian manajemen
risiko. Keputusan itu akan menentukan perjalanan kehidupan bank di masa depan, dan
meng- andung tanggung
jawab yang besar terhadap para stakeholder, terutama masyarakat pemilik dana yang menitipkan uangnya pada bank.
Secara moral, bank
dan pemutus kredit harus memastikan bahwa uang orang yang akan dipinjamkan pada
calon debitor itu mutlak harus dapat dikem- balikan dengan utuh, beserta bunga yang dijanjikan.
Harapan
masyarakat sebagai pemilik dana mengenai kelanjutan kehidupan mereka di masa depan,
dengan suatu tingkat kesejahteraan tertentu, berada pada titik proses pengambilan keputusan oleh
pemutus kredit itu.
Secara menyeluruh, masyarakat luas juga berharap bahwa pe- ngelolaan bank dilakukan secara
efektif, sehingga dapat menunjang per- tumbuhan ekonomi, dan akhirnya menciptakan kesejahteraan
masyara- kat secara
lebih luas.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Per- ubahannya, ada beberapa pasal yang berkaitan dengan pemutus kredit.
Pertama, Pasal 1 angka 1 UU
Perbankan, menyebutkan bahwa usaha bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan
menyalurkannya kepada masyara- kat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Ini artinya, pemberian kredit yang
harus diputuskan oleh pemutus kredit adalah untuk membiayai kegiatan-kegiatan produktif,
yang
dapat menunjang pertumbuhan ekonomi dan memberikan lapangan kerja bagi orang yang
lebih banyak.
Kedua, Pasal 2, menyebutkan
bahwa bank dalam melaku- kan usahanya harus berdasarkan demokrasi ekonomi, dengan menggunakan prinsip
kehati-hatian (prudential principles). Prinsip ini mutlak harus dihayati, dijalankan, dan dipenuhi
oleh pemutus
kredit, mengingat bahwa bank memiliki karakteristik yang sangat rawan terhadap
risiko kredit. Karena itu, pemutus kredit perlu benar-benar memahami makna kata prudential atau prudence ini.
Ketiga, Pasal 4, menyebutkan
bahwa perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan
pemerataan, pertumbuhan ekono- mi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Pada dasarnya,
pasal ini menunjukkan bahwa para bankir atau pemutus kredit, selain bertanggung jawab terhadap
profesi dan pekerjaannya, juga harus bertanggung jawab terhadap ruang lingkup yang
lebih luas, yaitu pada para stakeholder.
Jika kita lihat kasus penutupan bank yang pernah terjadi di Indonesia, Pasal ini
tampaknya tidak selalu diingat oleh pi- hak perbankan. Setiap penutupan bank selalu diakibatkan oleh sejumlah kredit macet yang
besar. Jika kredit macet itu diteliti, tidaklah terlalu sulit untuk menentukan penyebab kemacetan itu. Secara khusus dilihat dari
penutupan bank pada krisis mo- neter di Indonesia tahun 1997/1998, sebagian besar pinjaman yang macet itu diakibatkan oleh
pinjaman yang melampaui ba- tas yang wajar bagi setiap debitor. Pinjaman yang terlalu
besar (over
leverage) itu tidak seimbang dengan tingkat
pendapatan dan
keuntungan yang dapat dihasilkan oleh setiap debitor. Ma- salah utama yang lain adalah,
kredit hanya diberikan kepada pihak terkait, sehingga melanggar Pasal 11 mengenai ketentuan batas maksimum pemberian kredit
(BMPK).
Sesungguhnya, dua penyebab utama ini sepintas tidak ada hubungannya dengan ketentuan
Pasal 4 yang dimaksud di atas. Namun, diabaikannya prinsip pemberian kredit yang sehat dapat menimbulkan NPL yang
besar, sehingga bank harus di- tutup. Penutupan bank itu sendiri berpengaruh secara negatif terhadap proses pembangunan
ekonomi nasional. Beban akibat pembayaran bunga terhadap obligasi pemerintah pasca-krisis moneter 1997/1998 masih
berlangsung, dan tetap ditanggung oleh APBN sampai saat ini. Beban ini dapat secara langsung
atau tidak
dirasakan oleh masyarakat, tetapi yang jelas mengurangi tingkat kesejahteraan
masyarakat.
Masalah yang disebutkan ini berkaitan dengan persetujuan kredit ex-post. Namun, ketentuan
Pasal 4 ini dapat dilaksanakan ex-ante dengan memperhatikan
pemberian kredit yang sehat. Salah satu prinsip pemberian kredit yang sehat adalah yang dapat menunjang pengembangan
usaha calon debitor. Jika usa- ha debitor berkembang dengan baik, pembayaran utang pokok beserta bunga akan menjadi
lebih pasti. Pembayaran yang lebih pasti kepada bank akan mengurangi tingkat risiko yang harus dihadapi, sekaligus
meningkatkan tingkat solvabilitas bank. De- ngan berkembangnya usaha debitor, terbuka kesempatan yang lebih luas untuk mempekerjakan
tambahan tenaga kerja oleh usaha debitor. Karena itu, dengan memperhatikan prinsip pem- berian kredit yang sehat itu
saja, sudah dapat menunjang peme- nuhan tujuan ketentuan Pasal 4 tersebut.
Keempat, Pasal 8 menyiratkan
bahwa pemutus kredit harus melakukan verifikasi atas kebenaran semua informasi, fakta dan data yang berkaitan dengan
calon debitor, sehingga dapat mem- buat analisis yang mendalam dan saksama. Bardasarkan analisis ini, pemutus kredit berusaha
memperoleh keyakinan bahwa ca- lon debitor memiliki itikad baik dan kemampuan serta kesang- gupan untuk melunasi utangnya.
Dengan demikian, pemutus kredit yakin bahwa kredit yang akan disetujuinya tersebut
tidak akan
bermasalah.
Tersirat dalam ketentuan ini bahwa pemutus kredit se- kaligus merupakan pihak yang
bertanggung jawab terhadap kualitas akhir dari informasi, data dan fakta, serta analisis
kre- dit, yang disajikan
oleh pihak yang terkait lainnya dalam proses persetujuan kredit tersebut. Ini artinya, pemutus kredit juga bertanggung jawab atas kualitas
pekerjaan yang dilakukan oleh account officer.
Kelima, Pasal 29 Ayat (3) UU
Perbankan menyebutkan bahwa dalam menjalankan usaha, bank wajib menempuh
cara-cara yang
tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah, yang me- mercayakan dananya kepada bank.
Ini artinya, dalam menjalan- kan usaha, yang termasuk pengambilan keputusan kredit, bank dalam hal ini pemutus kredit
harus memastikan bahwa tidak ada peraturan perundangan atau ketentuan internal bank yang dilanggar. Selain itu, pemutus
kredit juga harus memperhatikan cara-cara yang tidak berimplikasi negatif terhadap kepentingan bank dan nasabah pemilik dana.
Kamus Besar Bahasa Indonesia menerjemahkan 'cara' sebagai usaha atau ikhtiar,
sedangkan 'cara-cara'
dapat berarti adanya berbagai cara yang dapat ditem- puh. Karena itu, 'cara'
cenderung lebih bersifat terperinci atau lebih spesifik, dan merupakan bagian yang lebih terperinci
dari proses. Frasa
'cara-cara' memberikan implikasi adanya proses pemilihan cara yang akan dipakai, dan cara ini harus tidak me- rugikan kepentingan bank atau
para pemilik dana.
Keenam, Pasal 29 Ayat (2)
menyebutkan bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan sesuai dengan
ketentuan ke- cukupan
modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan
aspek lain yang berhubungan de- ngan usaha bank, dan wajib melakukan usaha itu sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Secara
menyeluruh, Ayat ini menekan- kan kembali, bahwa dalam menjalankan usahanya, bank wajib menaati prinsip kehati-hatian,
yang harus diterapkan terhadap seluruh aspek pelaksanaan usaha itu, sehingga bank dapat me- melihara tingkat kesehatannya.
Ketujuh, Pasal 49 UU
Perbankan, terutama Ayat 2 (a), me- nyebutkan bahwa seluruh anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank tidak dapat
meminta, menerima, mengizinkan, atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, dan
seterusnya, dalam rangka memberi-
kan persetujuan
pemberian fasilitas kredit, atau untuk menarik dana yang melebihi batas kredit yang disetujui. Pemberian im- balan seperti ini dapat terjadi
ketika mengajukan permohonan kredit dengan tujuan kreditnya segera diproses, atau selama
proses agar dicarikan jalan keluar dalam rangka memastikan untuk memperoleh persetujuan kredit,
atau setelah kredit cair sebagai gratifikasi. Pemutus kredit tercakup sebagai pihak dalam Pasal ini. Karena itu, pemutus kredit
tidak boleh mengambil manfaat keuangan dari keputusan yang diambilnya. Secara batiniah, ke- tentuan ini dapat mendorong
independensi pemutus kredit da- lam melakukan pekerjaannya.
Pengambilan
keputusan kredit di dalam organisasi pemberi pinjaman se- perti bank merupakan pekerjaan
sehari-hari yang harus dilakukan pemu- tus kredit. Pada hakikatnya, keputusan kredit adalah keputusan
moral. Menurut
Preston, keputusan dikatakan diambil secara etis, jika didasar- kan pada alasan-alasan moral.
Pengambilan keputusan seperti ini harus didahului oleh pendekatan yang bersifat komprehensif dan
responsif, di mana
konsultasi dan pembahasan secara kolaboratif mengenai etika dan semua faktor yang terkait lebih
dimungkinkan.
Dari semua
keputusan yang mungkin ada pada bank, keputusan kredit mengandung unsur moral yang paling besar, karena
menyangkut begitu
banyak kepentingan orang lain. Menurut Velasques, yang dikutip Johanna Kujala dari Tampere
University, Finlandia, keputusan yang ber- moral ini dapat didekati dengan menggunakan konsep
utilitarianisme. Menurut
konsep ini, suatu tindakan atau keputusan adalah benar dari segi etika jika dan hanya jika
keputusan itu dapat menghasilkan sejumlah utilitas yang lebih besar, dibandingkan dengan tindakan atau
keputusan lain yang
dapat menggantikannya.
Menurut Jonah
Lehrer dari Amerika, keputusan moral adalah kepu-
tusan unik, karena harus mempertimbangkan
kepentingan orang lain, mulai dari masyarakat pemilik dana yang disimpan di bank, debitor
dan calon debitor
yang mewakili kepentingan pertumbuhan usaha dan para pekerja di belakangnya, para stakeholder di belakang
usaha yang dibiayai, sampai pada para pemilik dan para stakeholder yang berkaitan
dengan bank itu
sendiri; di samping para pegawai dan keluarganya. Jika kepu- tusan kredit yang diambil tidak
tepat, akan timbul kredit bermasalah dan NPL atau NPF, yang seterusnya akan berakibat pula pada
kegagalan bank dan
kemudian pada krisis perbankan. Jika hal ini terjadi, semua pihak tadi akan merasakan akibat
negatifnya.
Seperti telah disinggung, pihak yang terlibat dalam proses
pengam- bilan
keputusan kredit meliputi account officer, wakil dari manajemen risiko, komite kredit, dan pemutus kredit. Pemutus kredit yang
paling tinggi dalam
struktur perkreditan bank adalah presiden direktur. Jadi, pihak pemutus kredit atau
presiden direktur adalah pihak terakhir yang benar-benar mengambil keputusan untuk menolak atau menyetujui
suatu usulan
kredit. Pengambilan keputusan kredit ini sangat penting artinya tidak saja bagi kualitas
portofolio pinjaman bank bagi institusi pemberi pinjaman, tetapi juga bagi kelanjutan usaha bank.
Keputusan kredit merupakan pilihan yang diambil dalam memasti- kan, bahwa suatu risiko kredit
dapat diterima atau tidak, sekaligus me- nyelaraskan keseimbangan antara risiko dan perolehan laba (risk and return) dari
suatu transaksi perkreditan. Secara teoretis, semakin besar risiko bisnis, dalam hal ini
risiko kredit sejauh yang dapat diterima oleh bank, semakin besar perolehan laba yang diperlukan untuk
menerima dan
memikul risiko tersebut.
Sejumlah literatur menunjukkan bahwa krisis perbankan sistemik yang di dalamnya merupakan
generalisasi dari insolvensi bank selalu di- dahului oleh beberapa faktor yang sederhana, yaitu keputusan
pemberian kredit
yang buruk, pengambilan risiko yang berlebihan, dan materialisasi dari risiko kredit.30
Tetapi, walaupun tidak semua risiko kredit dapat di- mitigasi, risiko kredit yang
terjadi dapat juga merupakan hasil pengam- bilan keputusan yang kurang tepat.
Menurut filsuf James Rachels dari Amerika, keputusan moral me- nuntut adanya dukungan
penalaran atau alasan-alasan, yang sejalan de- ngan teori yang dikemukakan Waymond Rodgers (Amerika) dan
Susana Gago
(Spanyol). Menurut mereka, pengambilan keputusan yang bermoral mengikuti suatu proses yang
dimulai dari Informasi (I), Persepsi (P), Per- timbangan (J), dan kemudian Keputusan (D).
Persepsi mewakili suatu kerangka ruang lingkup berpikir berdasar- kan informasi angka-angka
keuangan, serta sumber informasi internal dan eksternal yang dapat memengaruhi tanggung jawab dari
keputusan yang
diambil. Informasi merupakan proses mengolah informasi keuang- an dalam bentuk hitungan dari
angka-angka yang diperoleh, dikaitkan dengan konteks atau lingkungan situasi dan waktu, serta ruang
lingkup tempat
perusahaan beroperasi. Pertimbangan merupakan proses dari pengolahan seluruh informasi
yang terkait, dan berinteraksi secara ber- samaan meliputi unsur keuangan, ekonomi, dan manjemen.
Terakhir, ke- putusan
merupakan pemilihan keputusan yang terbaik, dikaitkan dengan arahan yang harus diikuti.
Dalam konteks organisasi bank, arahan ini merupakan ketentuan perkreditan yang harus diikuti dan
ditaati.
Dengan demikian, apakah keputusan kredit itu benar atau tidak, disetujui atau ditolak, harus
didukung dengan alasan-alasan yang benar, yang muncul dari hasil analisis dengan menggunakan fakta dan
informasi yang
relevan dan mutakhir. Putusan moral tidak berdasarkan suka atau tidak suka, tidak ditentukan
oleh emosi atau selera, tetapi lebih memerlu- kan penalaran tertentu.
Para pemutus kredit harus mengambil keputusan kredit
berdasarkan pertimbangan
kredit yang sehat, melalui analisis kredit yang dalam dan memadai, sebagaimana dituntut
oleh UU Perbankan. Pertimbangan kre- dit yang sehat berarti menghindarkan diri dari pengambilan
keputusan yang
dihadapkan kepada pengambilan risiko yang berlebihan, atau tanpa adanya batasan yang patut.
Walaupun tidak selalu melanggar ketentuan undang-undang,
tindak- an
pengambilan risiko yang berlebihan sering didorong oleh pertimbang- an, karena adanya kemungkinan
memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Di lain pihak, kesediaan konsumen membayar margin yang
lebih tinggi dapat
terjadi, karena sulit untuk memperoleh pembiayaan atau kredit dari bank lainnya, atau
bersifat tidak bankable atau berisiko tinggi.
Contoh lain pengambilan risiko yang berlebihan adalah
pemberian kredit
kepada calon debitor yang memiliki utang besar, atau memiliki debt to equity ratio tinggi atau di atas tingkat rata-rata industri yang sehat. Debitor dalam kedaaan
seperti ini sering bersedia membayar tingkat bunga yang lebih tinggi, dari tingkat bunga pasar yang
berlaku bagi
debitor umumnya. Pemberian kredit yang tidak sehat lainnya sering dilakukan, walaupun debitor
telah melewati ketentuan BMPK dengan cara yang diatur oleh bank; biasanya melalui debitor atau
perusahaan nominee. Pemberian kredit ke konsumen yang memiliki utang besar akan menambah kemungkinan debitor
itu mengalami wanprestasi.
Menurut
William R. Keeton dan Charles S. Morris, Clair, dan Patrick
Honohan,
seperti dikutip oleh Christophe J. Godlewski dari University of Strasbourg, Prancis, pengambilan risiko kredit yang
berlebihan akan terlihat
dari berbagai gejala, antara lain, kualitas portofolio pinjaman yang rendah atau rasio NPL yang tinggi, konsentrasi
pinjaman yang tinggi pada debitor, atau industri, atau lokasi geografis atau macam pinjaman tertentu, sikap
optimistis yang
berlebihan terhadap debitor tertentu, pertumbuhan kredit atau pinjaman yang besar, dan pengambilan risiko di luar
kemampuan teknis
bank.
Secara umum, kata Godlewski, penyebab utama timbulnya tindakan pengambilan risiko kredit yang
berlebihan adalah karena pejabat yang mengambil keputusan tersebut tidak ikut menanggung biaya yang
terkait dengan
pengambilan keputusannya itu. Mengenai pengambilan keputus- an yang berlebihan dalam kaitan
dengan BMPK, Pontell menyebutkan bahwa sesungguhnya pengambilan risiko yang berlebihan seperti
ini se- jalan
dengan pengertian hipotesis yang berdasarkan secara eksplisit pada argumen kecurangan atau
penggelapan atau penipuan yang minimal, dan dipengaruhi oleh moral
hazard, mismanajemen, dan merupakan model penipuan yang bersifat
materiil.
Inti pengambilan keputusan adalah membentuk keyakinan dalam menentukan kemampuan arus kas
calon debitor untuk membayar utang dan bunga di masa depan, dan komitmen debitor untuk
melakukannya. Untuk
itu, kreditor harus mengestimasikan sesuatu yang belum pasti. Martin H. Wolfson dari
University of Notre Dame, Prancis, mengung- kapkan pandangan Keynes31, bahwa untuk mengambil
keputusan dalam ketidakpastian
itu, orang akan melakukan tindakannya berdasarkan ke- sepakatan (convension), yang
digunakan seiring dengan berbagai tingkat keyakinan (confidence).
Pengambilan risiko kredit yang
berlebihan akan terlihat dari berbagai gejala, antara lain kualitas
portofolio pinjaman yang rendah atau rasio NPL yang tinggi.
|
Wolfson mengutip penjelasan Keynes mengenai convension dan confidence dalam implikasi dari pandangan Keynes itu untuk mengana- lisis keputusan kredit oleh
bank. Pertama,
walaupun terdapat unsur ke- tidakpastian, bankir tetap membentuk pendapat mengenai
kemungkinan pembayaran
pinjaman dan bunga di masa depan, dan pendapat ini diten- tukan oleh berbagai convension yang mendasari
keputusan kredit. Kedua, convension pemberian pinjaman bergantung pada asumsi awal, bahwa
keadaan akan berlanjut di masa depan; misalnya, jika debitor mempunyai catatan yang baik dalam pembayaran kewajibannya dan memiliki keadaan keuangan yang kuat, debitor seperti itu lebih disukai. Ketiga, convension pemberian pinjaman digunakan dengan berbagai tingkat confidence; hal ini lebih relevan pada keadaan terhadap lingkungan keuangan makro. Jika keadaan ini berubah, bank akan mengubah pendapatnya mengenai tingkat risiko dari pinjaman yang akan diberikan, yaitu bahwa masa depan kelihat- annya akan sama seperti yang lalu, dan akan berlanjut hanya jika terdapat alasan bahwa hal itu tidak akan berubah. Jika keyakinan lemah, pendapat mengenai pembayaran pinjaman dan bunga tersebut akan berubah.
keadaan akan berlanjut di masa depan; misalnya, jika debitor mempunyai catatan yang baik dalam pembayaran kewajibannya dan memiliki keadaan keuangan yang kuat, debitor seperti itu lebih disukai. Ketiga, convension pemberian pinjaman digunakan dengan berbagai tingkat confidence; hal ini lebih relevan pada keadaan terhadap lingkungan keuangan makro. Jika keadaan ini berubah, bank akan mengubah pendapatnya mengenai tingkat risiko dari pinjaman yang akan diberikan, yaitu bahwa masa depan kelihat- annya akan sama seperti yang lalu, dan akan berlanjut hanya jika terdapat alasan bahwa hal itu tidak akan berubah. Jika keyakinan lemah, pendapat mengenai pembayaran pinjaman dan bunga tersebut akan berubah.
Dalam pengambilan keputusan kredit, pemutus kredit harus pula memperhatikan lingkungan yang
dihadapi yang dapat memengaruhi proses pengambilan keputusan, sehingga tidak terpengaruh oleh
hal-hal yang dapat
mengurangi objektivitas pengambilan keputusan. Pengambil- an keputusan kredit bersifat
sangat objektif dan rasional. Kalaupun harus meramalkan atau memperkirakan suatu keyakinan di masa depan
yang mengandung
tingkat ketidakpastian, perkiraan itu seyogianya merupakan ekstrapolasi konklusi dari data
dan informasi yang faktual dan relevan yang telah dipelajari.
Hal inilah yang sesungguhnya harus diperhatikan dengan konsen- trasi penuh, tanpa dapat
dipengaruhi oleh suasana lingkungan yang ada. Suasana yang dihadapi ketika melakukan pengambilan keputusan
dapat memengaruhi
konsentrasi, dan cenderung menjauhkan perhatian penuh dari masalah-masalah perkreditan
yang harus dikaji secara objektif. Kon- sentrasi atau perhatian penuh ini dapat pula dipengaruhi oleh
sensitivitas emosi
pengambil keputusan.
Data-data
empiris menunjukkan bahwa kegagalan dan atau krisis perbankan bermula pada
pengambilan keputusan (kredit), yang lebih banyak dipengaruhi faktor-faktor di luar (exogenous) dan diperlukan
da- lam pengambilan
keputusan yang objektif dan independen. Faktor-faktor yang dimaksud di sini dapat
berupa pengaruh psikologis atau emosi, se- perti sikap optimistis yang berlebihan (overoptismistic) pemutus
kredit atau calon
kreditor, atau sikap yang dipengaruhi unsur
asymmetric expectation, reflexivity, gambling for resurrection hyphothesis,
irrational exuberance, herd behaviour, the sixth C, dan moral hazard, dalam peng- ambilan keputusan kredit seperti yang akan dijelaskan di bawah
ini.
Asymmetric expectation. Kreditor dan debitor memiliki perbedaan dalam melakukan evaluasi
terhadap masa depan, yang berkaitan dengan proyek yang akan dibiayai. Di samping itu, masa depan pada
dasarnya bersifat tidak pasti, sehingga kreditor dan debitor tidak selalu
setuju menge- nai
tingkat risiko dari proyek yang dibiayai, karena hasil yang pasti dari proyek itu masih harus ditunggu
di masa depan. Karena itu, kreditor dan debitor akan memiliki ekspektasi yang berbeda (asymmetric expectation).
Sikap yang
berbeda ini terjadi terutama karena uang masyarakat yang dikontrol oleh kreditorlah
yang akan dipinjamkan, sehingga peng- ambilan keputusan kredit seyogianya lebih memperhatikan
pertimbang- an
kreditor. Dari studi yang dilakukan oleh Wolfson, disimpulkan bahwa kreditorlah yang harus
memastikan apakah suatu usulan kredit memiliki risiko yang dapat diterima atau tidak. Jika risiko dapat diterima,
kreditor dapat
memberikan pinjaman; tetapi jika tidak, kreditor melakukan pe- ngetatan kredit.
Overoptimistic. Optimisme yang berlebihan
(overoptimistic) dibedak- an menjadi dua. Pertama, optimisme yang
berlebihan terhadap kejadian yang tidak dapat dikontrol oleh seseorang. Kedua, optimisme yang berlebihan
terhadap kejadian yang dapat dilakukan seseorang. Bukti empiris menunjukkan
optimisme berlebihan jenis kedualah yang lebih sering berdasarkan harapan yang lebih
tidak realistis. Overoptimistic atau overconfident, atau dalam bahasa perbankan dapat diartikan sebagai sifat agresif yang berlebihan, adalah
salah satu decision trap (jebakan dalam mengambil keputusan),32 yang harus dihindari oleh
pemutus kredit. Se- baliknya, jika debitor menunjukkan sifat seperti ini, pemutus
kredit harus lebih
berhati-hati dalam membuat keputusan kredit, dan bahkan perlu lebih jauh meneliti setiap
detail.
Reflexivity. Mengenai teori reflexivity (yang
dikembangkan oleh George Soros), Joseph Calandro Jr. dari University of Connecticut
menjelaskan bahwa
proses pasar bukan fenomena satu arah, yaitu tidak bergerak dari informasi ke harga pasar,
melainkan bergerak dengan berinteraksi melalui keluk umpan balik dua arah antara informasi dan penentuan
harga pasar.
Penjelasannya, menurut Calandro, adalah bahwa tingkah laku pasar tidak terbatas hanya pada discounting data
fundamental, tetapi juga penentu nilai; yang artinya keputusan investasi marginal
dari para partisipan
pasar memengaruhi keputusan fundamental perusahaan, seperti pendapatan, biaya, dan
modal, dan akhirnya memengaruhi,
kinerja masa depan. Sejauh interaksi umpan balik reflexivity bersifat konstan, maka tingkah laku pasar akan menggambarkan fundamental. Tetapi, ada kalanya keluk umpan balik reflexivity tertutup, sehingga jarak antara harga pasar dan fundamental melebar. Jika berlanjut, kondisi seperti ini akan mempertajam turun-naiknya tingkah laku pasar, yang akan menimbulkan perbedaan harga yang besar, dan ini menjadi perhatian utama dari para paritisipan pasar, karena adanya kesempatan untuk memperoleh keuntungan.
kinerja masa depan. Sejauh interaksi umpan balik reflexivity bersifat konstan, maka tingkah laku pasar akan menggambarkan fundamental. Tetapi, ada kalanya keluk umpan balik reflexivity tertutup, sehingga jarak antara harga pasar dan fundamental melebar. Jika berlanjut, kondisi seperti ini akan mempertajam turun-naiknya tingkah laku pasar, yang akan menimbulkan perbedaan harga yang besar, dan ini menjadi perhatian utama dari para paritisipan pasar, karena adanya kesempatan untuk memperoleh keuntungan.
Masalah reflexivity ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemutus dalam melakukan
keputusan kredit, karena akan memengaruhi pengambilan keputusan ke arah yang salah. Pertumbuhan suatu
industri yang
terjadi bukan karena kekuatan penawaran dan permintaan, yang didasarkan pada kebutuhan yang
hakiki; karenanya, keputusan kredit yang akan diambil tidak berdasarkan hal-hal yang bersifat
fundamental. Pertumbuhan
suatu industri dapat disebabkan oleh faktor lain, tetapi bukan yang bersifat
fundamental, dan berada di luar industri itu sendiri. Faktor yang bukan fundamental
dan berada di luar industri itu sendiri adalah, misalnya, sikap perbankan yang terus mengucurkan kredit
pada industri
tersebut, atau masyarakat melakukan pembelian yang aktif karena didorong adanya tingkat bunga
yang rendah.
Pertumbuhan yang tidak didasarkan pada faktor fundamental
cende- rung
menciptakan bubble pada harga aset di sektor industri tersebut, dan bubble seperti ini berkali-kali terjadi di dunia, misalnya bubble kembang tulip di Belanda tahun 1636, bubble pada real estat dan
saham di Jepang tahun
1985-1989, dan bubble pada pasar saham OTC di Amerika tahun 1995-2000.
Di Indonesia, pembiayaan
aset keuangan seperti saham jarang di- lakukan oleh bank karena memang dilarang. Sektor perekonomian
yang paling terkait
dengan masalah reflexivity ini adalah sektor properti atau
saham. Yang menjadi masalah terhadap pengambilan
keputusan saat terjadinya reflexivity adalah jika bank tidak menyadari apa yang sesungguh- nya terjadi, dan bank mengambil
keputusan kredit pada saat bubble akan mengempis, maka bank akan mengalami kerugian besar.
Sektor perekonomian yang
paling terkait dengan masalah reflexivity ini adalah sektor properti atau saham.
|
Gambling for resurrection hypothesis. Pontell menggambar-
kan hipotesis ini dengan apa yang terjadi di Amerika tahun 1986, yang berkaitan dengan institusi simpan-pinjam (saving & loan institution). Ia mengatakan, sebagian besar kerugian yang terjadi pada krisis S&L, disebabkan oleh investasi yang berpotensi memberikan hasil yang ting- gi, tetapi merupakan aset yang sangat berisiko tinggi dengan tingkat ke- mungkinan wanprestasi yang tinggi. Pemilik institusi tersebut bertindak sebagai aktor ekonomi yang rasional, berusaha mencari keuntungan yang lebih tinggi, untuk menutupi kerugian yang terjadi pada institusinya. Jika berhasil, walaupun kegiatan ini bersifat seperti "berjudi" karena berisiko tinggi, usahanya itu akan menyelamatkan institusinya dari kebangkrutan. Tetapi jika gagal, yang rugi tetap institusi terkait, bukan pemilik; dan hal ini akan mempercepat proses kebangkrutan.
kan hipotesis ini dengan apa yang terjadi di Amerika tahun 1986, yang berkaitan dengan institusi simpan-pinjam (saving & loan institution). Ia mengatakan, sebagian besar kerugian yang terjadi pada krisis S&L, disebabkan oleh investasi yang berpotensi memberikan hasil yang ting- gi, tetapi merupakan aset yang sangat berisiko tinggi dengan tingkat ke- mungkinan wanprestasi yang tinggi. Pemilik institusi tersebut bertindak sebagai aktor ekonomi yang rasional, berusaha mencari keuntungan yang lebih tinggi, untuk menutupi kerugian yang terjadi pada institusinya. Jika berhasil, walaupun kegiatan ini bersifat seperti "berjudi" karena berisiko tinggi, usahanya itu akan menyelamatkan institusinya dari kebangkrutan. Tetapi jika gagal, yang rugi tetap institusi terkait, bukan pemilik; dan hal ini akan mempercepat proses kebangkrutan.
Sikap seperti
ini terjadi tidak hanya pada institusi S&L tersebut, tapi juga pada perbankan di sejumlah
negara di dunia. Tindakan seperti ini berpotensi untuk dilakukan di perbankan di Indonesia, jika
pemutus kredit
berusaha menutupi kesalahan dalam mengambil keputusan kredit, yang telah merugikan
institusinya. Untuk menutupi kerugian yang terjadi dan umumnya berasal dari NPL,
diperlukan keuntungan yang tinggi, atau lebih besar dari keuntungan normal, atau margin yang diberikan
kon- sumen lebih
besar daripada pasar normal. Biasanya, tingkat bunga atau keuntungan yang tinggi seperti
itu hanya dapat diperoleh dari pemberian pinjaman yang berisiko tinggi, atau dari debitor yang tidak
layak dari segi perkreditan.
Pengambilan keputusan kredit yang berdasarkan pertim- bangan seperti itu harus
dihindari oleh para pemutus kredit perbankan.
Irrational exuberance. Dapat
diartikan sebagai semangat yang tidak rasional, yang membuat pertimbangan menjadi salah. Menurut
ekonom Robert J.
Shiller dari Amerika, ungkapan irrational
exuberance dipakai pertama kali oleh ekonom Alan Greenspan, yang dapat diartikan
sebagai sikap
optimistis para investor pasar modal terhadap perkembangan harga satu jenis aset, yang tidak
didasarkan pada informasi yang berkaitan dengan unsur-unsur fundamental aset itu. Sikap optimistis ini dipicu
oleh perkem- bangan
yang berkaitan dengan pasar, seperti kemajuan teknologi, menja- murnya perusahaan dotcom, turunnya tingkat
inflasi, rendahnya tingkat bunga, dan meningkatnya kadar materialisme masyarakat. Faktor
pemicu awal ini
akan membuat harga aset naik, dan kenaikan harga ini akan me- micu kenaikan harga berikutnya,
yang pada saat yang sama menimbulkan bubble. Ketika harga aset
terus meningkat, kadar exuberance bertambah.
Irrational exuberance
terjadi berulang-ulang di dunia dan berakibat pada kenaikan harga aset yang tidak pantas, jika dikaitkan
dengan faktor fundamental
dan berpotensi untuk mengalami kontraksi yang menda- dak dan lama.33
Sebagai contoh, krisis yang terjadi di beberapa negara menggambarkan adanya kesalahan
pertimbangan (misjudgements) dan irrational exuberance, yang
menyebabkan para investor dan bank tidak mempertimbangkan dengan cermat berbagai risiko pada emerging market. Mereka
pun cenderung bereaksi berlebihan ketika sentimen pasar mulai berubah.
Exuberance dapat terjadi di perbankan di Indonesia ketika pemerintah mendorong perbankan
untuk membiayai proyek infrastruktur di Indonesia; dorongan ini dapat diartikan sebagai persetujuan
awal terutama bagi
bank pemerintah. Exuberance itu akan menjadi
irrational, jika bank pemerintah tersebut tidak
melakukan analisis yang memadai, ketika mereka menentukan akan membiayai proyek infrastruktur
yang dimaksud,
karena alasan faktor pemerintah semata.
Herd behavior. Salah satu sebab kegagalan bank adalah keputusan kredit yang tidak baik, dan
sebagian dari keputusan kredit ini terjadi karena mengikuti keputusan yang dilakukan oleh kreditor lain,
bukan berdasarkan
analisis kredit yang dilakukan sendiri. Raghuram G. Rajan membentuk model di mana bankir
terlalu masygul terhadap reputasi dirinya, menganggap reputasinya akan berkurang jika dia tidak
berhasil meningkatkan
aset pinjamannya, ketika bankir yang lain berhasil melakukan ekspansi kredit.
Pandangan ini dapat mendorong para bankir menurunkan standar analisis kreditnya, karena adanya
dorongan kompetisi
di antara para bank. Sikap yang tidak pada tempatnya ini disebut sebagai penyakit mental
ikut-ikutan.
The sixth C, Commitment.
Richard G. Brody dari University of South Florida menjelaskan suatu fenomena yang disebut sebagai escalation of commitment
atau throwing good money after bad sebagai suatu keingin- an untuk menambah jumlah pinjaman, pada saat kualitas kredit
menu- run. Joel
Brockner dari Columbia University menyebut tingkah laku ini sebagai commitment behavior, yang
menggambarkan kecenderungan orang untuk mempertahankan, atau memperkuat sikap yang diambil sebelumnya, walaupun terdapat
bukti yang mendasarinya telah berubah atau lebih buruk.
Karena adanya kaitan secara pribadi, menurut Joel Brockner dan Jeffrey Z. Rubin, pengambil
keputusan mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan commitment ke suatu jumlah yang lebih besar dari jumlah yang dapat dijustifikasi secara
objektif, atau berdasarkan fakta objektif. Menurut Brody, pada umumnya para pengambil keputusan
berkemung- kinan
besar melakukan eskalasi komitmen, jika 1) evaluasi atau keputus- an untuk melakukan suatu
tindakan dilakukan berulang-ulang, 2) peng- ambil keputusan memiliki tanggung jawab pribadi terhadap
keputusan yang
diambil sebelumnya, dan 3) keputusan sebelumnya dianggap tidak dapat ditarik kembali.
Brody mengungkap temuan Ruchala dkk, bahwa pemutus kredit yang membuat keputusan pertama
untuk menyetujui suatu pinjaman berkemungkinan besar akan melakukan kesalahan untuk menyetujui
pin- jaman kedua
dari debitor yang sama, dibandingkan jika dia tidak terkait dengan pengambilan keputusan
pertama. Di samping itu, Ruchala dkk menemukan, bahwa penggunaan
loan committee akan meningkatkan commitment behavior sebagai akibat tanggung jawab yang terbagi.
Faktor yang dapat menyebabkan hal ini adalah 1). struktur
kompen- sasi account officer berdasarkan
tingkat kolektibilitas; maka jika pinjam- an pertama bermasalah,
account officer tersebut cenderung berani meng- ambil risiko, dan memberikan
pinjaman kedua untuk mempertahankan reputasinya, dan menutup kerugian dengan harapan turnaround dapat terjadi, 2). jika kreditor,
dalam hal ini account officer atau pejabat per- kreditan terkait lainnya, dan debitor memiliki hubungan sosial
di luar hu- bungan
formal sebagai kreditor dan debitor (kelompok sosial, organisasi keagamaan, dan lainnya), ketika
pinjaman bermasalah, kreditor sebagai institusi mengalami kesulitan untuk menangani debitor secara
objektif sebagai
debitor; sulit juga bagi mereka untuk mengabaikan hubungan yang bersifat pribadi yang
pernah ada.
Brody
berkesimpulan bahwa memperbaiki proses pemberian pin- jaman sampai tahap pengambilan
keputusan akan mengurangi banyak pinjaman menjadi bermasalah, walaupun tidak mungkin untuk
menghi- langkan
masalah itu sama sekali.
Moral Hazard. Pemutus kredit
berada di posisi yang sangat strategis dalam mengambil keputusan kredit, karena menggunakan
pertimbangan yang
bersifat individu, dan tentunya merupakan pertimbangan perkreditan dan teknis ekonomis, serta
menyangkut seni dan feeling serta nuraninya.
Pengambilan keputusan kredit yang baik dan benar memerlukan penalaran intelektualitas yang
mengacu pada kebenaran. Namun, untuk menentukan kebenaran berdasarkan penilaian siapa, diperlukan
penjelas- an lebih
lanjut. Menurut Kant, ketentuan umum mengenai pertimbangan moral adalah jika kita dapat
melakukannya berdasarkan maksim yang dimiliki, tetapi maksim itu bersifat universal.34
Maksim merupakan suatu prinsip yang mendasari kita bertindak, dan prinsip itu
bersifat universal jika
orang lain umumnya dapat menerima prinsip itu. Di sinilah letaknya moral hazard, yakni orang bertindak berdasarkan prinsipnya sendiri, yang tidak dapat diterima oleh
orang lain umumnya.
Moral hazard merupakan
pelembagaan dari kurangnya batasan sampai sejauh mana orang dapat memanfaatkan
suatu keadaan atau ketentu- an. Kelemahan ini umumnya dapat ditimbulkan oleh adanya
ketidakse- imbangan
informasi. Suatu ketentuan atau keadaan dilaksanakan, tetapi untuk keuntungan pribadi atau
kelompok tertentu; umumnya dilakukan oleh individu atau pejabat yang kompeten, atas beban pihak
lain atau institusi
yang terkait. Moral hazard, seperti umumnya terjadi, meman-
faatkan peluang ketentuan atau keadaan untuk
mengambil keuntungan bukan buat institusi tempat seseorang bekerja, dan merupakan
penyim- pangan atau
kejahatan kerah putih35. Penyimpangan seperti yang ini jelas merupakan pelanggaran terhadap
tugas tanggung jawab (fiduciary duty) dalam konteks agen dan majikan.
Dalam hal
pemberian kredit, keputusan dapat direkayasa sedemikian rupa, dengan argumentasi dan
asumsi yang logis dan dapat diterima se- jak awal pemberian kredit, dan melibatkan pertimbangan
individu para pejabat
kredit yang terkait. Dengan begitu, secara teknis perkreditan tidak tampak adanya keanehan yang
menonjol. Karena nurani pemutus kredit hanya diketahui oleh dirinya sendiri, maka pertanyaannya:
siapa yang dapat mengontrol nurani pemutus kredit tersebut?
Intuisi. Menurut Jankowicz dan
Hisrich, keputusan kredit komersial diambil sebagian berdasarkan intuisi, baik untuk pinjaman
korporasi maupun
nonkorporasi. Namun, keputusan kredit yang baik hanya dapat diambil berdasarkan data dan
informasi yang memadai, dan telah pula diverifikasi dengan baik. Data dan informasi ini dicerna dan
dikaitkan satu sama
lain dalam rangka menghasilkan pengertian terhadap kemampuan dan sikap calon
debitor di masa depan, yang diperlukan dalam rangka melakukan pembayaran kewajibannya pada bank.
Intuisi digunakan
setelah pemutus kredit memahami dan mencerna seluruh data dan informasi tersebut dengan baik,
dan merupakan hasil
resultan upaya ini, dibarengi dengan pengalaman dalam menghadapi hal serupa sebagai pengontrol hasil upaya
ini, yang sebagian digunakan
untuk menutupi unsur ketidakpastian yang umumnya ada terhadap sesuatu di masa depan. Jadi, intuisi merupakan
unsur pelengkap dalam
rangka menambah keyakinan pemutus kredit terhadap kelayakan suatu kredit, bukan unsur pengganti analisis
kredit yang komprehensif.
Intuisi merupakan unsur pelengkap dalam rangka menambah
keyakinan pemutus kredit terhadap kelayakan suatu kredit, bukan unsur pengganti
analisis kredit yang komprehensif.
Pentingnya unsur agama. Robert
E. Gunther, sebagai pakar dalam pengambilan keputusan asal Amerika, menyebutkan suatu
pandangan, yang
berasal dari Darwin, bahwa dalam meningkatkan karier, seseorang akan melakukan perjuangan
bagaikan "anjing memakan anjing", seolah- olah berjuang untuk
mempertahankan hidup (survival), tetapi dalam rangka memaksimumkan kekayaan. Pandangan ini, menurut Gunther, bertentangan dengan pandangan
yang memaksimumkan kontribusi dari karier seseorang bagi organisasi tempat dia bekerja, dan bagi
dunia yang lebih
luas. Gunther berpendapat bahwa pandangan semacam ini akan membimbing seseorang menuju
pengambilan keputusan yang berbeda mengenai karier dan dalam karier seseorang. Gunther
selanjutnya berpendapat,
bahwa keputusan yang diambil seseorang bergantung pada kompas moral, dari mana ia
mulai.
Menurut
Gunther, sebagian keputusan penting tidak dapat ditim- bang hanya dari kepala, tetapi
juga perlu dari hati. Apakah keputusan itu merupakan hal yang benar dilakukan? Apakah keputusan itu sudah
kon- sisten dengan
kepercayaan orang itu, atau bertentangan dengan keperca- yaannya yang paling dalam?
Gunther menyarankan, dalam mengambil keputusan penting, seseorang perlu melihat ke dalam hatinya,
dan berta- nya pada
dirinya unsur penting mana dalam agama yang dianutnya, yang melandasi pengambilan keputusan itu.
Dari uraian-uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
keputusan kredit harus
dilakukan secara independen, berdasarkan data-data dan informasi yang telah diverikasi dan
dianalisis secara mendalam, diekstrapolasi ke depan, ditambah dengan keyakinan yang
telah terbentuk berdasarkan analisis, pengamatan yang saksama diiringi oleh intuisi, yang
menghasilkan keyakinan orang per orang terhadap kelangsungan usaha dan arus kas
debitor di masa depan.
Kekuatan arus kas yang dibarengi dengan usahanya yang prospektif akan mendorong calon debitor
untuk membayar kewajibannya kepada bank.
Keputusan kredit harus diupayakan merupakan self evident, dan tertulis dengan baik, serta
berdiri sendiri, dengan hanya pertimbangan komersial tanpa dipengaruhi oleh apa pun, kecuali oleh
informasi yang diperlukan
untuk mengambil keputusan kredit. Keputusan kredit harus dibuat secara independen untuk
setiap usulan kredit dan untuk setiap calon debitor yang berbeda, atau untuk debitor yang sama
tetapi untuk proyek
atau jaminan yang berbeda, atau untuk risiko kredit yang berbeda.
Keputusan
kredit juga merupakan keputusan manajemen, tidak hanya meliputi aplikasi prosedur operasi standar, tetapi juga
mencakup informasi,
kepercayaan, kebijaksanaan, dan nilai yang dianut, yang kese- luruhannya dikombinasikan dalam
menghasilkan informed judgement, melalui proses yang juga bersifat subjektif pada kadar
tertentu. Bersifat subjektif
karena mengandung intuisi, pertimbangan, serta keyakinan individualistis dari para
pemutus kredit. Walaupun secara umum intuisi merupakan gerak hati yang paling dalam, bersifat spiritual dan
personal, dan tanpa
sentuhan indra serta olahan akal, intuisi dalam pemberian kre- dit harus mengacu pada
pengalaman sebelumnya yang dapat dijelaskan secara logis, dan berdasarkan olahan rasional dari data-data
yang perlu dikumpulkan.
NPL
berasal dari kegiatan peminjaman uang pada bank konvensional, se- dangkan NPF dari kegiatan
pemberian pembiayaan pada transaksi perda- gangan, pemesanan barang atau sewa, atau pembiayaan usaha
kerja sama pada
bank syariah.
Bagi bank konvensional, pinjaman ini kemudian membentuk portofolio
pinjaman atau pembiayaan yang biasanya mewakili bagian terbesar total aktiva bank. Portofolio
pinjaman atau pembiayaan ini menghasilkan pendapatan bunga dan keuntungan bersih bagi bank, yaitu
setelah diku- rangi
biaya dana yang umumnya berupa beban bunga atas perolehan dan penggunaan dana masyarakat yang
dihimpun, serta biaya operasional lain- nya. Bagi bank syariah, pendapatan bunga ini diganti dengan
keuntungan, baik
bagi segi pasiva maupun aktiva dari neraca bank. Dari segi pasiva atau dana masyarakat yang dikelola
oleh bank, bunga diganti dengan keun- tungan yang diperoleh bank dari usaha operasionalnya, dan
dibagi dengan pemilik
dana. Dari segi aktiva atau pembiayaan yang diberikan bank, bank memperoleh sebagian keuntungan
dari transaksi perdagangan yang dilaku- kan dengan konsumen, atau dari usaha konsumen yang dibiayai
bank.
Bank akan terus dapat mengakui dan mencatat pendapatan bunga yang dimaksud, sejauh debitor
peminjam tetap melakukan pembayaran secara konsisten atau diyakini akan dapat membayarnya, yaitu
bunga atas pinjaman
dan angsuran pokok yang telah diperjanjikan. Bagi bank syari- ah, karena tidak ada bunga,
pembayaran ini merupakan angsuran harga yang mengandung unsur keuntungan dari suatu transaksi
perdagangan yang
telah disepakati, dan/atau bagian keuntungan yang telah direncana- kan dari usaha dengan nasabah
yang dibiayai bank.
Dilihat dari segi aktivitas pembiayaan murni, idealnya,
pinjaman dari bank
itu digunakan untuk membiayai usaha debitor peminjam yang akan atau sedang berkembang.
Pertumbuhan usaha debitor tersebut diharap- kan dapat menghasilkan pertambahan pendapatan yang sebagian
akan di- gunakan
untuk membayar angsuran pinjaman dan bunga bagi bank kon- vensional, atau bagi hasil atau
pembagian keuntungan untuk bank syariah.
Jika debitor peminjam dengan berbagai alasan tidak dapat
membayar bunga atau
angsuran yang telah diperjanjikan, dan dijadwalkan berturut- turut selama tiga bulan, bank
mulai memiliki NPL berdasarkan ketentuan perbankan yang berlaku. Hal yang serupa dapat pula terjadi
pada bank syariah.
NPF akan tercipta, jika nasabahnya tidak melakukan pembayar- an angsuran terhadap harga dari
suatu pembelian yang telah disepakati, atau tidak berhasil menciptakan keuntungan seperti yang
direncanakan dalam
kurun waktu yang berjalan. Ini lebih lanjut berarti, bahwa bank tidak lagi dapat mengakui, dan
mencatat adanya perolehan pendapatan bunga atau bagian keuntungan dari debitor (peminjam) tersebut.
Tidak dicatatnya perolehan pendapatan ini akan membuat laporan rugi-laba menjadi timpang,
karena bank tetap harus membayar biaya bunga terhadap dana masyarakat yang digunakan untuk memberikan pinjaman itu, dan biaya
operasional bank lainnya. Dalam keadaan yang timpang ini, bank akan cenderung mengalami kerugian. Karena
itu, bank harus
meneliti kemampuan seorang calon debitor dalam memperoleh pendapatan dan keuntungan dari
usahanya ex-ante (sebelum kredit atau
pembiayaan diberikan). Penelitian mengenai kemampuan setiap calon debitor ex-ante, yang juga mencakup penelitian terhadap karakter si calon debitor dalam memperkirakan sikap atau kemauan untuk membayar kembali pinjamannya di masa depan, merupakan hal yang sangat penting.
pembiayaan diberikan). Penelitian mengenai kemampuan setiap calon debitor ex-ante, yang juga mencakup penelitian terhadap karakter si calon debitor dalam memperkirakan sikap atau kemauan untuk membayar kembali pinjamannya di masa depan, merupakan hal yang sangat penting.
Jumlah yang dipinjamkan harus sesuai dengan kemampuan membayar
kembali, setelah memperhitungkan
berbagai alasan yang mungkin dapat menghambat kemampuan itu terealisasi. Di bank syariah, bank perlu
meyakinkan diri bahwa calon konsumen akan dapat menghasilkan keuntungan dari usaha yang dibiayai,
memproduksi barang
yang dipesan, membayar sewa atau mengangsur pembayaran yang tertunda. Dalam hal ini, bank
harus meneliti hal ihwal usaha, kemampuan dalam memperoleh keuntungan, komitmen untuk berhasil dalam berusaha, dan membayar
kewajibannya setelah keputusan pemberian pembiayaan dibuat.
Hasil penelitian inilah yang pada hakikatnya merupakan suatu
per- timbangan
berdasarkan data dan informasi yang relevan, diekstrapolasi- kan ke depan, dalam rangka
memperoleh suatu tingkat keyakinan bahwa kemampuan konsumen itu akan tetap berlangsung di masa depan.
Di samping meneliti
kemampuan ini agar dapat berlangsung di masa depan, penilaian terhadap karakter
calon konsumen perlu dilakukan pula dan di- yakini, bahwa calon konsumen atau debitor itu akan tetap
mempertahan- kan
komitmennya untuk memenuhi kewajibannya pada bank.
Di bank syariah, bank perlu meyakinkan
diri bahwa calon konsumen akan dapat menghasilkan keuntungan dari usaha yang dibiayai.
|
Jadi, pada dasarnya NPL atau NPF akan terjadi, jika keyakinan
bank terhadap
kemampuan calon konsumen dan/atau terhadap komitmennya tidak dapat terealisasi. Tidak
terealisasinya keyakinan bank terhadap ko- mitmen nasabah bank itu dapat terjadi, karena berbagai alasan
dari pihak pemberi
kredit atau pembiayaan, dalam hal ini bank sebagai institusi itu sendiri. Alasannya antara lain
dapat berupa analisis yang tidak cermat ka- rena kurangnya pengetahuan atau keahlian, keyakinan yang
dibentuk tidak memiliki
dasar-dasar yang kuat, pihak pemroses dalam bank tidak bertin- dak secara profesional,
integritas mereka perlu dipertanyakan, pimpinan bank kurang cakap dalam memimpin sehingga tidak menciptakan
kultur yang
diperlukan, reputasi calon konsumen tidak pernah diteliti, pengawas- an bank lemah, dan sebagainya.
Namun, jika alasan-alasan itu dikelompok-
kan secara logis, dapat dikatakan bahwa alasan-alasan itu berada di sekitar individu, institusi, dan prosesnya. Karena bank merupakan suatu institusi yang memiliki manajemen yang menjalankan usaha bank, ketiga kelompok alasan ini merupakan produk atau bagian dari manajemen internal bank.
kan secara logis, dapat dikatakan bahwa alasan-alasan itu berada di sekitar individu, institusi, dan prosesnya. Karena bank merupakan suatu institusi yang memiliki manajemen yang menjalankan usaha bank, ketiga kelompok alasan ini merupakan produk atau bagian dari manajemen internal bank.
Dari segi waktu, suatu pinjaman dapat berkembang menjadi ber- masalah setiap saat setelah
diberikan sampai seluruhnya dibayar lunas. Seperti telah dikemukakan, pada hakikatnya pinjaman/pembiayaan bermasalah (NPL/NPF) terjadi
karena keyakinan yang tidak terealisasi mengenai kemampuan dan kemauan debitor untuk memenuhi kewajib- annya, atau dalam menciptakan
keuntungan dari usaha yang dibiayai oleh bank.
Dari segi penyebabnya, keyakinan yang tidak terealisasi
tersebut, sehingga
pinjaman/pembiayaan dapat menjadi bermasalah, disebabkan sesuatu yang terjadi pada dua
tahap yang berbeda. Tahap pertama, pada tingkat pemrosesan awal permohonan kredit oleh bank sampai
permo- honan itu
disetujui. Dan tahap kedua, setelah permohonan kredit disetu- jui dan sampai seluruhnya
dilunasi.
Kemungkinan terhadap kesuksesan atau kegagalan ini seyogianya
dikaji secara mendalam dan saksama sebelum kredit diberikan, tetapi risiko bahwa hal ini dapat muncul dan
menghalangi kesuksesan tadi dapat saja terjadi karena risiko di masa depan tidak sepenuhnya dapat
diperkirakan.
Pada bank konvensional, terlepas dari apakah usahanya berhasil
atau gagal, debitor
tetap harus membayar bunga pinjaman di samping pokok pinjaman itu sendiri; karena
memang beban bunga yang harus dibayar kemudian tetapi telah dipastikan, ketika perjanjian
ditandatangani. Pada bank syariah, apa yang ditentukan di depan adalah nisbi
pembagian ke- untungan,
dan jumlah nominal yang dapat dibagi akan diketahui pada waktu yang berjalan. Karena
itu, bank umumnya memerlukan suatu ja- minan atau kolateral yang dapat digunakan untuk menutupi
risiko kega- galan
yang dimaksud.
Dalam
meneliti penyebab kegagalan bank, Shen menggunakan pendekatan mikro, yaitu dengan
definisi bagaimana bank menjalankan usahanya di dalam bank. Shen berpendapat bahwa kegagalan bank
bisa terjadi
terutama karena masalah yang berada pada tataran mikro ini, antara lain praktik akunting dan
auditing yang tidak memadai, manajemen yang buruk, dan pengawasan internal yang lemah. Salman Syed Ali
dari Pakistan menyebutkan
sejumlah faktor mikro sebagai penyebab timbulnya NPL, yaitu strategi bank yang tidak tepat,
infrastruktur internal yang tidak memadai, penelitian kredit yang lemah, pemberian kredit yang
terkonsentrasi, pemberian
kredit pada pihak terkait, memberikan kredit pada bidang usaha yang belum dimengerti,
penyelewengan dan korupsi, moral hazard karena adanya penjaminan dana masyarakat, intervensi terhadap proses
pemberian kredit
yang bersifat politis, masalah pengawasan yang lemah, kebijakan perkreditan yang liberal, dan
kurangnya transparansi.
Hipotesis
umum dalam buku ini dibuat berdasarkan anggapan bahwa NPL lebih banyak disebabkan
oleh faktor-faktor ekonomi mikro. Argu- men ini diperkuat dengan dasar pemikiran, bahwa jika analisis
kredit dengan
memperhatikan risiko-risiko yang mungkin terjadi di masa depan telah diperhitungkan dengan
baik, dan rekam jejak calon debitor memberikan keyakinan yang kuat, ditambah
dengan adanya jaminan atau kola- teral yang memadai untuk menutup risiko yang tidak dapat
diperkirakan dengan
pasti, kerugian yang mungkin timbul akibat kreditnya bermasalah seyogianya dapat diperkecil.
Namun, di lain pihak, jika argumentasi ini dirasakan tidak
cukup meyakinkan,
dan jika melihat besarnya risiko kredit yang mungkin harus dihadapi, bank dapat saja
secara sepihak menentukan lain. Jika bank tidak yakin terhadap karakter, kemampuan, dan niat bayar seorang
calon debitor, atau tidak memiliki informasi yang cukup untuk mengambil
keputusan persetujuan
kredit, atau menyadari besarnya risiko kredit yang akan diha- dapi atau keberhasilan usaha
memiliki kerentanan yang tinggi terhadap tu- run-naiknya konjungtur ekonomi, maka bank dapat menolak
permohonan kredit
tersebut. Keputusan pemberian kredit pada dasarnya merupakan suatu pilihan, tetapi pilihan
ini tidak dapat dipaksa untuk dilakukan.
Pada tahap kedua di atas (di tingkat konsumen), kredit juga
bisa menjadi
bermasalah karena faktor-faktor yang berada pada tingkat ekonomi makro, misalnya pengaruh
lonjakan tajam tingkat bunga dan penurunan mendadak tingkat laju ekonomi. Namun, hal seperti ini
seyogianya perlu diantisipasi
dan dianalisis oleh loan officer, dan dipertimbangkan oleh para pemutus yang menyetujui suatu permohonan kredit.
Dalam proses pemberian kredit, pengetahuan, pengalaman,
keahlian, dan
keyakinan pemutus atau pengambil keputusan kredit, memainkan peranan yang menentukan
terhadap kualitas portofolio pinjaman bank, di mana NPL merupakan indikator utamanya. Walaupun proses
analisis
didasarkan pada data kuantitatif dan informasi kualitatif, pengambilan keputusan kredit memerlukan pertimbangan dan keyakinan pihak yang melakukan analisis dan memberikan keputusan persetujuan kredit, terutama dalam melihat kemungkinan kegagalan atau keberhasilan usaha calon debitor. Pertimbangan dan keyakinan ini dapat bersifat subjektif atau individualistis, yang berbeda orang per orang.
didasarkan pada data kuantitatif dan informasi kualitatif, pengambilan keputusan kredit memerlukan pertimbangan dan keyakinan pihak yang melakukan analisis dan memberikan keputusan persetujuan kredit, terutama dalam melihat kemungkinan kegagalan atau keberhasilan usaha calon debitor. Pertimbangan dan keyakinan ini dapat bersifat subjektif atau individualistis, yang berbeda orang per orang.
Di lain pihak, jika ditinjau dalam konteks yang lebih luas,
tanggung jawab
sosial dan moral si pemutus kredit tidaklah kecil karena dua hal. Pertama, dana yang digunakan untuk dijadikan pinjaman merupakan dana milik masyarakat banyak, dan
dana ini akan diminta sewaktu-waktu oleh pemiliknya. Kedua, Pasal 4 UU Perbankan 1992/1998 menetapkan bank sebagai agent of development, yang
secara substantif menuntut agar dana masyarakat disalurkan melalui kredit untuk tujuan-tujuan
produktif yang dapat
membantu peningkatan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan
kesejahteraan masyarakat luas.
Karena itu, pengambil keputusan kredit
harus memiliki profesionalisme dan integritas yang tinggi, tetapi perlu disertai kadar spiritualitas yang kuat, seperti yang digambarkan oleh kutipan berikut.
"Rahasia
perbankan yang sukses terletak hampir seluruhnya pada kejujuran dan kepercayaan yang baik dari manajemen dan kemampuannya untuk membedakan
kredit dan investasi yang baik dan yang buruk. Pinjaman atau investasi yang baik biasanya
akan selalu
bernilai, meskipun dalam saat yang buruk. Saat yang buruk hanya memberikan penekanan
kepada perbedaan antara yang baik dan yang buruk, yang biasanya tersembunyi pada saat yang
baik."36
Kegagalan suatu bank dapat memengaruhi
kegagalan bank lain.
|
Jika bank memiliki jumlah NPL yang relatif besar dalam
portofolio pinjaman
yang diberikannya, atau rasio NPL-nya tinggi, bank akan mengalami kerugian dan
berkemungkinan besar mengalami risiko tinggi dalam mempertahankan solvabilitasnya. Dalam banyak kasus,
terutama pada
perbankan konvensional, posisi bank yang berisiko tinggi itu dapat berakibat pada kegagalan yang
kemudian cenderung diikuti penutupan bank tersebut. Penutupan ini dilakukan, jika tidak terdapat
dana penyelamat untuk
mengatasi kesulitan yang dihadapi, atau keadaan bank yang terlalu parah untuk diselamatkan.
Kegagalan suatu bank dapat memengaruhi kegagalan bank lain, karena pada dasarnya setiap
bank berhubungan dengan bank lain dalam transaksi perbankan. Transaksi yang dimaksud, antara lain,
setiap dana yang
diberikan sebagai pinjaman kepada para debitor, pada akhirnya akan masuk kembali pada bank
lain. Debitor menggunakan dana pinjaman tersebut sebagai pembayaran pada pihak lain, dan
sebagian dilakukan
dengan menggunakan media cek. Cek itu diserahkan kepada bank yang digunakan oleh
konsumen dari debitor, dan seterusnya. Setiap pembayaran melalui bank akan berhubungan dengan bank lain.
Setiap bank juga
melakukan pinjaman antarbank, atau pinjaman diperoleh dari bank lainnya.
Jika bank pertama dalam suatu transaksi tidak dapat melakukan pembayaran kepada pihak atau
bank lain, maka bank yang seharusnya menerima pembayaran dari bank pertama akan menjadi bermasalah
dan seterusnya.
Karena itu, jika bank pertama harus ditutup, dapat dipastikan bahwa bank itu masih memiliki
kewajiban keuangan kepada pihak lain, termasuk bank-bank lain yang berhubungan dengan bank tersebut
dalam transaksi
keuangan. Dengan demikian, hubungan satu bank dengan bank lainnya bersifat sistemik.
Jika secara industri sejumlah bank mengandung NPL yang besar, tanpa langkah penyelamatan yang
berarti, akan timbul krisis perbankan, yakni banyak bank yang perlu ditutup. Jika sebagian besar
sistem per- bankan
mengalami kerugian melebihi modalnya, terjadilah krisis siste- mik.37
Tentunya,
krisis ini akan menimbulkan ketidakpercayaan masyara- kat kepada sistem perbankan.
Ketidakpercayaan ini akan merambat pula pada sistem perekonomian dan pemerintahan, sehingga akan
menggun- cangkan
perekonomian yang berakibat pada penurunan laju perekono- mian secara drastis, dan
menimbulkan tingkat pengangguran yang tinggi, yang akhirnya akan menyengsarakan rakyat banyak. Dalam keadaan
se- perti itu,
terlepas dari apakah akan dilakukan langkah penyelamatan atau tidak, semua ini akan bermuara
pada tanggung jawab dan kerugian fiskal yang luar biasa, baik bagi pemerintah38, maupun
bagi masyarakat secara keseluruhan.39
Kredit dapat berkembang
menjadi bermasalah karena banyak faktor, baik
yang
bersifat internal maupun eksternal;40 dan dari segi hukum, dapat merupakan error omission atau error commission.41 Semua kemungkin- an penyebabnya dapat
dikelompokkan ke dalam dua tingkat di mana pe- nyebab tersebut terjadi, yaitu tingkat ekonomi mikro dan
tingkat ekonomi makro.
Pada umumnya, jika kredit diproses secara wajar dan mengikuti aturan yang ada, kredit itu tidak
akan bermasalah seketika.42 Artinya, jika segera setelah kredit cair,
pada bulan pertama (bahkan sampai keenam, menurut pengamatan penulis dan banyak pihak yang berkecimpung
di perkreditan)
debitor mulai menunggak pembayaran bunga, dapat diam- bil kesimpulan bahwa dalam
pemrosesan kredit sampai disetujui berke- mungkinan telah terjadi suatu penyimpangan yang serius.
Salah satu kasus yang paling ekstrem pernah terjadi sebelum
krisis 1997/1998.
Setelah krisis baru terungkap bahwa ternyata bisnis, alamat kantor, data, informasi, serta
laporan keuangan debitor, bersifat fiktif. Para pengurusnya pun terdiri atas nama-nama yang tidak ada
hubungan- nya sama
sekali dengan perusahaan debitor. Mereka adalah, antara lain, satpam, penjaga kebun, sopir,
dan pembantu rumah tangga dari peng- urus yang paling dominan bank tersebut. Pembayaran bunga oleh
debitor awal, sejak
bulan pertama setelah kredit cair, dibayarkan dari pemberian kredit atas nama orang lain (plafondering). Praktik plafondering ini terus dilakukan, sampai bank pemberi
kredit ditutup oleh pemerintah.
Kejadian itu melibatkan sejumlah orang dalam yang ikut
menandata- ngani
seolah-olah proses persetujuan kredit dilakukan secara riil dan normal, dan
mereka lakukan di bawah satu komando, yaitu presiden direktur bank tersebut.
Kasus seperti ini merupakan salah satu contoh adanya unsur self dealing, yaitu adanya self interest yang luar
biasa dari pejabat pemberi kredit terhadap permohonan kredit yang tidak layak, dan atas
dasar per- timbangan
kredit yang sama sekali tidak sehat kepada nasabah fiktif.43 Dana kredit
disalurkan untuk kepentingan pihak tertentu, dalam hal ini pihak orang dalam bank yang
bersangkutan. Dalam kasus ekstrem yang disebutkan di sini, dana tersebut terbukti diambil oleh
presiden direktur bank
yang dimaksud.44
Sering terjadi kredit bermasalah timbul karena pengambilan ke- putusan (kredit) yang salah.
Pemutus kredit tingkat paling tinggi dalam organisasi bank adalah para direksi. Jika direksi sebagai
pemutus kredit ternyata
salah mengambil keputusan dalam menyetujui suatu usulan kre- dit, dan kemudian kredit
tersebut berkembang menjadi bermasalah atau macet, apakah direksi dengan serta-merta dapat dimintakan
pertang- gungjawaban
atas kesalahannya, atau lebih lanjut dapat dihukum? Dalam kaitan ini, sejauh kesalahan
perbankan masih bersifat intern, pihak bank dapat mengenakan tindakan disipliner terhadap pejabat yang
bersang- kutan.45
Tetapi, jika kesalahan perbankan itu merugikan pihak ketiga dan mengandung unsur pidana,
penanganannya berpindah pada negara, yaitu melalui polisi, jaksa, dan kemudian pengadilan.
Pendapat Charles Himawan ini secara khusus belum dapat
menjawab sepenuhnya
pertanyaan di atas, karena yang dihadapi adalah direksi yang memiliki kewenangan dalam menjalankan
roda bisnis perusahaan.
Menurut salah satu doktrin yang ada dalam hukum korporasi,
yaitu doktrin business judgement rule
(BJR), sejauh kerugian yang ditimbul- kan akibat pengambilan keputusan (bisnis) itu tidak terdapat
di dalamnya atau
tidak mengandung unsur-unsur seperti benturan kepentingan, insider's dealing, atau
tidak mengambil keuntungan pribadi, tidak melanggar peraturan UU dan ketentuan yang
berlaku, dan dilakukan atas dasar ke- yakinan yang terbaik bagi korporasi, maka direksi yang mengambil
kepu- tusan itu
dapat dilindungi oleh hukum.
Ini artinya direksi tidak dapat dimintakan
pertanggungjawabannya di pengadilan atas kerugian yang terjadi, sejauh pengambilan
keputusan itu tidak
mengandung unsur-unsur yang dimaksud tadi. Sebaliknya, jika terdapat unsur-unsur tersebut,
direksi dapat dimintakan pertanggungja- wabannya, dan dapat dituntut untuk mengganti kerugian. Namun,
dalam buku ini,
doktrin tersebut hanya digunakan untuk menambah wawasan pemikiran, bukan bagian dalam
pembahasan yang diperlukan.
Jika kredit diproses secara wajar mengikuti alur sesuai dengan
buku pedoman
perkreditan suatu bank, maka walaupun kredit itu mulai tersen- dat, umumnya tidak akan macet
seketika. Besar kemungkinan, perkem- bangan kemacetan terjadi secara gradual dan memang dapat
dipengaruhi oleh
faktor eksternal, tetapi tidak terjadi seketika, kecuali ada bencana alam. Karena itu, kredit
sebelum macet biasanya akan menunjukkan ge- jala-gejala awal lebih dulu.
Sebelum gejala yang lebih riil terjadi, sering gejala tersebut
didahului oleh
sinyal-sinyal yang menunjukkan potensi masalah pada pihak debitor, baik dari
segi pengurus kunci maupun institusi perusahaannya. Si- nyal-sinyal ini dapat berupa
menurunnya arus kas debitor, meningkatnya
penjualan kredit
yang sebelumnya lebih banyak penjualan tunai, terjadi- nya keretakan antara nasabah
dan mitranya, menurunnya siklus bisnis, dan sebagainya.
Gejala yang lebih riil dan langsung dirasakan oleh pihak bank,
antara lain, sering
terjadi cerukan (overdraft) pada rekening debitor, cek debitor sering ditolak bank karena
tidak tersedia dana yang cukup, bank tidak memperoleh laporan keuangan dalam kurun waktu yang wajar,
pengurus aktif
sering tidak di tempat jika dihubungi dan mulai menghindari kontak langsung dengan pihak bank, dan
seterusnya.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai hal yang berkaitan dengan
kredit macet atau NPL tetapi berawal dari proses pemberiannya yang tidak cermat atau tidak wajar,46 di bawah ini
dikumpulkan sejumlah pendapat dari para ahli dan para pengamat kredit macet atau perkreditan, yang dapat diikh- tisarkan sebagai berikut:
a.
Kredit bermasalah lebih
banyak disebabkan oleh masalah dalam manajemen internal bank. Penyebab tersebut antara lain pejabat bank tidak
menerapkan prinsip kehati-hatian seperti yang dituntut oleh UU Perbankan, tidak mengikuti prosedur bank yang berlaku,
tidak menerapkan pendekatan 5C dengan benar, pengaruh negatif dari konflik yang terja- di dalam/atau antarpengurus
atau dengan pemilik bank, dan tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh oknum dalam bank. Dari segi eksternal
bank, penyebab utamanya adalah penyimpangan penggunaan kredit oleh debitor yang tidak sesuai dengan apa yang
telah diperjanjikan.47
b.
Kredit macet merupakan
akibat kurang bekerjanya proses distribusi kredit secara benar, disebabkan oleh tidak diin- dahkannya aturan internal bank
yang berlaku, dan meru- pakan penyimpangan baik disengaja maupun tidak dise- ngaja.48
c.
Kredit macet timbul
akibat sikap kurang hati-hati atau berbau kolutif.49 Fakta menunjukkan lebih dari 90
persen kejahatan
bank dilaksanakan atas kerja sama antara orang dalam dan orang luar.50
d.
Kredit diberikan karena
adanya instruksi (kredit komando) dari atas51 atau surat sakti (katebelece), atau
dipandang se- bagai
akibat suatu persekongkolan.52
e.
Sejak semula kredit
diberikan, telah terjadi kongkalikong antara bank sebagai kreditor dan si
peminjam sebagai debitor.53
f.
Pemutus kredit tidak
memastikan bahwa pemberian kredit telah didasarkan pada penilaian yang jujur, objektif, cermat, dan saksama.54
g.
Pelanggaran terhadap
prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit, atau rekayasa kredit telah menjadi hal yang bersifat sistemik, karena dilakukan
dengan canggih dan orang awam sulit untuk mengerti dan mengetahui adanya sesuatu yang kurang tepat atau tidak baik.
Pemutus kredit mengambil keputusan kredit dengan menggunakan pertimbangan sendiri, merupakan pertimbangan teknis
ekonomis, serta seni dan feeling, sehingga di sini
terbuka peluang untuk melakukan penyimpangan kejahatan kerah putih.55
h.
Proses pemberian kredit
terpengaruh oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan pemohon kredit.56
i.
Untuk mengetahui penyebab
utama suatu kredit macet, per- lu diketahui terlebih dulu apakah pemberian kredit dilaku- kan dengan pertimbangan hukum
atau nonhukum. Pertim- bangan nonhukum, misalnya kredit diberikan atas
"anjuran" pejabat pemerintah atau badan tertentu, hanya berdasarkan spekulasi belaka, atau
dimaksudkan untuk menolong per- usahaan-perusahaan yang berada dalam suatu grup, atau karena kepercayaan semata, atau
tanpa studi kelayakan yang saksama. Dunia bisnis memerlukan fleksibilitas untuk manuver bisnis yang diperlukan,
sehingga pertimbangan nonhukum sampai batas tertentu dapat diberikan. Namun, pertimbangan nonhukum ini harus
dibarengi dengan agun- an yang cukup. Dalam bidang pemberian kredit, agunan atau jaminan atau kolateral
merupakan salah satu syarat utama yang diwajibkan oleh hukum yang sesungguhnya (substan- tif). Pertimbangan nonhukum
masih dapat dibenarkan asal- kan diikuti dengan pertimbangan hukum.57
j. Kejahatan perkreditan umumnya dilakukan oleh orang- orang yang sudah memahami
seluk-beluk perbankan dan operasinya, termasuk dalam kejahatan ini adalah kredit fiktif.58 Kredit
fiktif yang bersifat ekstrem telah diuraikan di atas, dan pada dasarnya kredit diberikan kepada perusaha- an yang tidak beroperasi sama
sekali; jika dicek kemudian, alamat yang diketahui ternyata juga tidak benar.
k.
Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia, menyatakan, "Tidak ada
masalah kalau dalam menyalur- kan kredit bankir mengikuti empat patokan, yaitu proses menyalurkan taat pada standar
prosedur operasional yang disepakati, melakukan penilaian secara profesional, tidak melanggar kebijakan Bank
Indonesia dan kebijakan publik, serta memiliki aturan internal bank yang baik."59
Kredit macet yang disebabkan oleh adanya kongkalikong atau
per- sekongkolan
atau self dealing atau yang berbau kolutif, dan terpengaruh oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dengan pemohon kredit, sehing- ga dapat mengakibatkan penilaian yang tidak jujur, tidak
objektif, tidak cermat,
dan tidak saksama, pada dasarnya merupakan hasil kolusi antara pihak kreditor dan pihak
debitor.
Sehubungan dengan pendapat Siahaan di atas, uraiannya mengenai kejahatan perkreditan juga
merupakan unsur yang dikandung dalam de- finisi kejahatan kerah putih (white collar crime).60 Dalam hal ini, Siaha- an juga berpendapat, pelaku kejahatan perbankan tidak saja
melibatkan orang
luar, tetapi juga orang dalam bank itu sendiri, dan karena itu keja- hatan perkreditan juga
merupakan kejahatan kerah putih.61
Sebagai tambahan, Mohammad Shafiqul Islam dari Arab Saudi me- ngumpulkan berbagai riset yang
menyimpulkan berbagai penyebab timbulnya NPL, antara lain sebagai berikut:
a.
Kurangnya perhatian
terhadap debitor. Jika selalu diperhatikan dan diikuti kinerjanya, debitor cenderung akan memperhatikan kewajibannya. Ungkapan lain
yang setara adalah utang harus di- tagih, baru akan ada pembayaran; sebab, jika tidak, utang akan menjadi hibah.
b.
Moving along the risk
curve. Intinya adalah pada saat risiko yang rendah telah jenuh,
tingkat risiko akan bertambah, karena selalu ada unsur risiko yang tidak dapat diketahui. Salah satu
se- bab timbulnya
NPL adalah risiko yang diambil lebih besar, dan di dalamnya terdapat bagian risiko yang lebih besar pula yang tidak dapat diperkirakan.
c.
Menambah jumlah pinjaman
akan menambah risiko yang diha- dapi.
d.
Kreditor tidak mempunyai
langkah-langkah untuk menangani risiko. Dalam beberapa situasi kredit, Islam mengemukakan bahwa program kredit yang
didanai oleh pemerintah donor bia- sanya dirancang tanpa perhatian khusus terhadap risiko. Islam menambahkan, hal yang serupa
terjadi pada penyaluran pem- biayaan mikro, karena banyak literatur mengutarakan bahwa ke- giatan ini hanya diukur dari
dua hal, yaitu berapa banyak debitor mikro yang telah dibiayai, dan berapa biaya administrasinya. Industri ini belum memperhatikan
dengan jelas masalah risiko yang dihadapi dan memonitor kinerja para debitor.
e.
Pemberian kredit yang
mengandung korupsi.
f.
Tindakan follow up atau monitoring yang lemah.
1 Rasjidi
dan Rasjidi (2007: 25)
2 Vogel
dan Hayes III (1998: 2)
3 Iqbal
dan Mirakhor (2007: 13)
4 Lewis
(2002: 7)
5 Muldrew
(1998: 3)
6 Secara
terperinci, uraian dari pemrosesan suatu usulan kredit mencakup se- jumlah aspek
yang perlu dianalisis yang dilakukan oleh bagian marketing, dan hasil pemrosesan
harus pula melibatkan bagian lain yang terkait seperti yang ditunjukkan
dalam kurung, sebagai berikut: 1. Pengecekan daftar hitam atau kredit macet,
apakah calon debitur termasuk di dalamnya. 2. Aspek yuridis, dari legalitas
badan hukum dan legalitas usaha. 3. Mengenai usaha debitur, ditinjau dari
aspek marketing, aspek keuangan, aspek teknik/produksi, aspek manajemen, 4.
Aspek jaminan kredit dan pengikatan barang-barang jaminan (bagian hukum),
5. Penolakan permohonan atau persetujuan permohonan fa- silitas kredit (manajemen risiko), 6.
Cara pengikatan kredit (bag. hukum), 7. Penandatanganan surat perjanjian kredit
(bagian hukum dan bagian operasio- nal). (Fuady, Munir. Hukum Perkreditan
Kontemporer, hal. 107)
7 Secara
ringkas dapat diintisarikan sebagai berikut. Character berarti jumlah kumulatif total
kualitas manusia yang terdiri atas kejujuran, integritas, mo- ralitas; dan
apakah si calon debitur cenderung bersifat prudent atau speku- latif, hati-hati
atau agresif, memiliki keahlian atau tidak dalam melaksanakan usahanya,
termasuk sifat dan kebiasaan yang selalu membayar utangnya, terbuka dan
kooperatif dalam memberikan informasi yang diperlukan, dan sebagainya. Capacity
berarti kemampuan untuk membayar utangnya kembali beserta bunga pada waktu
yang telah diperjanjikan. Capital berarti modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur
untuk membiayai usaha atau proyek atau investasi, di samping pembiayaan
atau pinjaman yang sedang diusulkan. Collateral merupakan sumber kedua untuk
pembayaran kembali kewajiban atau utang debitur. Untuk mencapai tujuan ini, kolateral
harus bernilai, dan nilai
ini didukung oleh berbagai faktor, antara lain harganya harus stabil, da- pat dijual
karena memiliki pasar yang cukup, dan memiliki kekuatan hukum bagi kreditor
jika harus menjualnya.
Conditions berarti keadaan yang dihada- pi atau akan dihadapi baik yang bersifat
internal maupun eksternal (misalnya ketentuan perundang-undangan yang
terkait dengan pinjaman yang akan diberikan, faktor ekonomi, dan faktor
khusus industri) terhadap usaha calon debitur, yang dapat memengaruhi
keberhasilan usaha tersebut dalam meng- hasilkan pendapatan yang diperlukan
sebagai sumber pembayaran utang de- bitur. (Sathye, Bartle, Vincent dan
Boffel, 2003.
8 Tujuan
proses atau prosedur pemberian kredit adalah untuk memastikan ke- layakan suatu
permohonan kredit, apakah akan diterima atau ditolak. Kasmir juga mengatakan
bahwa prosedur dan penilaian kredit oleh dunia perbankan secara umum
antara bank yang satu dengan bank yang lain tidak jauh berbe- da. Yang berbeda
adalah persyaratan dan ukuran penilaian yang diterapkan oleh bank dengan pertimbangan
masing-masing. (Kasmir. Manajemen Per- bankan, hal. 95)
9 Hal
ini diperkuat dengan Peraturan Bank Indonesia No. 5/8/PBI/2003 dan No. 8/9/PBI/2006
serta Surat Edaran No. 5/21/DPNP.
10 Komite
kredit memiliki dua peringkat, yakni peringkat pertama komite kredit tingkat manajer,
dan yang kedua tingkat dewan direksi, dan umumnya dibe- dakan berdasarkan jumlah kredit yang
ditangani—pen. Tugas komite kredit antara lain mempelajari usulan kredit
yang diajukan oleh tim staf bagian kre- dit, serta mengajukan pendapat dan saran
tentang usulan kredit baru, perpan- jangan kredit lama atau tambahan pada
kredit yang sudah ada kepada pemu- tus kredit atau kepada direksi atau yang
lebih tinggi, meneliti seberapa jauh kredit yang telah diberikan telah
memenuhi berbagai ketentuan yang telah digariskan dalam kebijakan perkreditan
bank dan peraturan pemerintah, dan memantau seberapa jauh para debitur
telah mendapat layanan yang memuas- kan dari para staf yang bersangkutan
(Sutojo, Siswanto.
The Management of Commercial Bank, hal. 81).
11 Usman, Rachmadi,
Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, hal. 255.
12 haracter:
kejujuran dan integritas dari usaha atau proyek yang akan dibiayai dan manjemennya.bility:
kesanggupan calon debitur untuk menandatanga- ni kontrak perjanjian kredit.eans:
kemampuan keuangan, teknikal, dan ma- najerial calon debitur.urpose:
tujuan pembiayaan atau kegunaan pinjaman harus jelas dan dapat diterima oleh
kreditor.lanned growth:
perkembangan usaha
debitur merupakan tujuan yang dapat diterima dan tidak berlebihan. mount:
jumlah pinjaman atau kredit harus konsisten dengan tujuan dan cukup.epayment:
kemampuan debitur untuk membayar kembali utangnya dengan melihat sumber pembayaran
kembali.nsurance:
merupakan safety net
bagi bank jika ternyata debitur tidak dapat membayar kembali utangnya. nterest:
margin atau keuntungan bank harus sesuai dengan risiko yang di- hadapi.ommission:
meliputi komisi (fee)
yang dapat dikenakan oleh bank dalam rangka penyediaan fasilitas kredit atau pinjaman
yang akan diberikan. xtras:
biaya-biaya lain yang harus diperhitungkan oleh bank, misalnya legal fees
(Coyle. 2000: 3-4).
13 Bersifat
universal, karena pendekatan ini dapat dipakai untuk berbagai ma- cam pinjaman
untuk berbagai bentuk debitur.
14 Mattson
(1993) menyebutkan bahwa salah satu faktor utama yang menyebab- kan krisis
perbankan di Swedia tahun 1990-an adalah bank umumnya tidak melakukan riset
semacam ini mengenai calon debiturnya, dan pertimbangan kredit lebih banyak ditentukan
berdasarkan "personalisasi" calon debitur serta soft information
yang bersifat verbal.
15 Uchida,
Udell, dan Watanabe (2006)
16 Dalam
kaitan dengan moralitas, Chorafas berpendapat bahwa negara yang memiliki utang
lebih dari 100 persen dari GDP tahunannya berarti memberi- kan beban bagi
generasi berikutnya di negara tersebut; yang dapat berakibat buruk bagi
generasi tersebut (Chorafas, 2000: 66).
17 Semakin
tinggi tingkat
leverage atau semakin rendah tingkat modal dari suatu entitas, semakin
sedikit adverse
shock yang diperlukan bagi entitas itu untuk mengalami economic insolvency;
dan ini berlaku baik bagi bank maupun non- bank (Kaufman, 2001).
18 Dari
sisi lain, menurut Michael Jensen (1989), keadaan overgearing tidak akan berakibat
pada kebangkrutan karena kreditor akan berada dalam posisi yang lebih baik
jika berusaha untuk melakukan renegosiasi. Namun, pendapat ini dibantah
oleh Nakamura (1991: 19), dengan alasan bahwa perusahaan de- ngan leverage
yang berlebihan umumnya memiliki margin yang sangat tipis dan tidak
memiliki kolateral tambahan, sebagai dasar untuk bernegosiasi.
19 Ganguin
(2005: 268) menyebutkan beberapa alasan kenapa usaha mengalami default:
antara lain hanya karena terlalu banyak utang, yang lain karena model bisnis
yang salah atau bisnis yang sulit, dan beberapa yang lain disebabkan kombinasi dari
kedua alasan tersebut; hanya sedikit di antaranya disebabkan oleh adanya internal
atau external
shocks.
20 Sebagai
contoh, Peterson mengajak untuk meninjau kembali apa yang terjadi pada krisis
tahun 1990, pada perbankan di Italia dan Swedia. Menurut Peter, perbankan
tersebut menderita disebabkan oleh instrumen analisis kredit yang inferior dan
pelaksanaan due
diligence yang sembrono. Para bankir di Italia melakukan
pemberian kredit berdasarkan hubungan yang mereka disebut sebagai relationship bankers.
Bukan hal yang aneh bagi mereka jika kredit di- berikan hanya berdasarkan pertemanan.
Peterson mengamati bahwa di sana pemberian pinjaman dilakukan tanpa melakukan investigasi
apa pun (Peterson dan Wadman, 2004).
21 Olegario
(2006) menyebutkan bahwa informasi keuangan yang akurat sulit diperoleh.
Bahkan, banyak perusahaan credit reporting bersikap skeptif ter- hadap nilai dari
laporan keuangan, dan untuk itu diperlukan usaha untuk melakukan verifikasi
dan subtansiasi dengan memperoleh tambahan informasi yang diperlukan. Menurut mereka, sering
terjadi bahwa informasi yang dipe- roleh dari pedagang sejenis lebih dapat
dipercaya daripada laporan keuangan.
22 CFISEL.
Tindak Pidana di Bidang Perbankan, hal. 13.
23 Nilai
kolateral yang diberikan berfluktuasi dengan kuat, berkaitan dengan tingkat
probabilitas sukses proyek dalam memperoleh pendapatan, sebagian besar merupakan inside collateral
yang dibiayai oleh bank. Tambahan pula, debiturnya merupakan debitur berisiko
tinggi yang bersedia membayar tingkat bunga pinjaman yang tinggi. Sebagian
dari bank pemberi kredit mengan- dalkan kenaikan harga real estat tanpa melakukan analisis
kredit (Niinimaki, 2007:
25).
24 Mattsons
(1993) menyebutkan kerugian yang diderita oleh sektor perbankan Swedia, yang
disebut sebagai
credit losses, berjumlah SEK 100 miliar (Affars- variden, 1992).
25 Manove
(1999) dan Padilla (2001).
26 Leland
dan Pylem (1977); Mallick dan Chakraborty (2002).
27 Menurut
Bank Indonesia, kredit mikro berjumlah dari Rp 1 juta sampai Rp 50 juta. Ciri-ciri
usaha mikro meliputi hubungan lebih didasarkan secara emosio- nal, hampir
semua angka bersifat perkiraan, perputaran usaha bersifat harian di mana dana
yang diperoleh langsung kembali dibelikan barang, tidak terfo- kus pada satu
macam barang atau usaha, tidak ada pembukuan yang berarti, dan keberhasilan
usaha sepenuhnya di tangan pemilik usaha. Namun bagi bank, bisnis ini bersifat berisiko
tinggi, tetapi dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi (Linggau dan Hamidah,
2010: 19, 20).
28 Grameen
Bank memberikan pinjaman kepada kaum miskin, yang digunakan antara lain
untuk memproduksi barang seperti kursi bambu anyaman, atau untuk berdagang.
Kriteria pemberian pinjaman di sini adalah kemampuan memproduksi dan menjual barang, yang
ditandai dengan keberhasilan pen- jualan barang tersebut dengan
menghasilkan suatu tingkat keuntungan, yang sebagian dapat digunakan untuk membayar
bunga dan angsuran pinjaman
secara harian (Yunus, 1997: 41-49).
29 Kriteria
lainnya meliputi cakupan daerah pemasaran yang lebih luas, jenis produk yang
lebih beragam, usulan kredit yang mencakup adanya bukti me- ngenai manajemen
yang profesional dan adanya perencanaan strategi terten- tu, serta
rencana pemasaran yang jelas, di samping jumlah kredit yang diminta
konsisten dan masuk akal jika dibandingkan dengan keahlian keuangan
yang dimiliki
(Jankowicz dan Hisrich, 1987).
30
IPES (2005: 29), unlocking credit, the
quest for deep and stable bank landing, dalam http://www.iqab.org/res/ipes/2005/
31
Wolfson mengatakan bahwa pengambilan keputusan
kredit sama halnya mengambil
keputusan dalam keadaan tidak pasti, seperti yang diutarakan oleh Keynes, dalam analysis of decision
making under uncertainty. Seperti yang dikutip oleh Wolfson dari Keynes (1933),
investasi lebih banyak ditentukan oleh tingkat keyakinan, yang sebaliknya
bergantung pada pandangan debitur mengenai tingkat hasil dari suatu proyek
dan keadaan kredit; yang semua ini menurut Keynes, bersifat mudah berubah
atau volatile.
32 Gunther
(2008: 44).
33 Lagunoff
dan Schreft (1998).
34 Paton
(1948: 32).
35
"Penyaluran Kredit, Antara Seni dan Peluang
Permainan",
Kompas, 12 Okto- ber 2005.
36 Thomas, "Bank
Failures", dikutip dari Esbitt (1986).
37 Kunt,
Demiraguc, Detragiache (1997).
38
Mengutip keterangan ADB (2000), biaya
restrukturisasi akibat krisis menca- pai 58 persen dari GDP di Indonesia, 16
persen di Korea, 10 persen di Malaysia, dan 32 persen di Thailand (Haley, 2000).
39
Pertumbuhan ekonomi turun secara drastis menjadi
-13 persen pada 1998 dan 0,8
persen pada 1989 (Feridhanusetyawan dan Pangestu, 2004).
40
Faktor-faktornya dapat dikelompokkan ke dalam
internal bank dan nasabah,
dan eksternal. Contoh dari internal bank adalah lemahnya analisis
kredit, atau lemahnya
pengawasan kredit. Contoh dari internal nasabah adalah kelemah- an karakter
nasabah, kalah bersaing, dan lain-lain. Faktor eksternal misalnya pertumbuhan
ekonomi yang negatif, peraturan baru yang merugikan dan se- bagainya.
Mahmoedin, H. As.
Melacak Kredit Bermasalah, hal. 51-110.
41
Error omission adalah kredit macet yang
timbul karena adanya unsur kese- ngajaan manusianya untuk melanggar kebijakan dan prosedur
yang telah ditetapkan. Error commission
adalah kredit macet yang timbul karena me- manfaatkan lemahnya peraturan atau
ketentuan yang memang belum ada atau sudah ada, tetapi tidak jelas. Wijaya, Krisna.
"Penanganan Kredit Macet". Kompas, Jumat, 27 Mei 2005.
42 Rivai, Veithzal,
et al., Bank and Financial Institution Management, hal. 480.
43 Ibid., hal.
581.
44
Kasus ini merupakan kasus kredit fiktif yang
diberikan kepada lebih dari 100 nasabah fiktif yang terjadi pada Bank Surya. Bank ini
kemudian ditutup peme- rintah
pada 1997-1998. Data-data yang dikemukakan bersumber dari doku- men kejaksaan,
tetapi hanya dapat dibaca langsung dan tidak diizinkan untuk membuat fotokopi
(pen).
45 Himawan,
Charles, Hukum
sebagai Panglima, hal. 18.
46 Persoalan
kredit macet merupakan masalah yang sistemik, di mana untuk mengetahui apa
yang salah dan siapa dalangnya adalah tidak mudah. Setiap orang dalam
proses pemberiannya memiliki peran masing-masing sehingga berakumulasi
"sebab-akibat" terhadap timbulnya kredit macet. Susidarto. "Benang
Kusut Kredit Macet". Kompas, 25 Juli 1997.
47 Supramono
(2009: 83-85).
48 Marsuki.
Analisis Perekonomian Indonesia Kontemporer, hal. 35.
49 "Para
Bankir Kembali Dihimpit Trauma Kredit Macet". InfoBankNews.com. 5 Juni 2005.
50 Fuady, Munir.
Bisnis Kotor, Anatomi Kejahatan Kerah Putih, 2004, hal. 78.
51 Dari
"atas" maksudnya dari pihak yang memiliki kekuasaan atau kewenangan yang lebih
tinggi dan berpengaruh terhadap pejabat bank pemberi kredit, mi- salnya dari
pihak pemilik, dari pihak atasan presiden direktur seperti menteri atau yang lebih
tinggi atau pihak kaum politisi yang dapat memengaruhi ke- dudukan si
penjabat pemberi kredit.
52 "Era
Baru Bank BUMN",
InfoBankNews.com, 5 Juni 2005.
53 Muhammad,
Mar'ie, "Kredit Macet Sama Dengan Kejahatan?", Bisnis Indonesia.
30 Mei 2005.
54 "Jaksa:
Neloe Cs Tidak Hati-hati Memberi Kredit", Jakarta: TEMPO Interak- tif.
10 Oktober 2005.
55 "Penyaluran
Kredit, Antara Seni dan Peluang Permainan", Kompas, 12 Okto- ber 2005.
56 Kurniantoro,
YC, "Neloe Cs Mulai Diadili", Pembaruan, 10 Oktober 2005.
57 Himawan,
Charles, Hukum
sebagai Panglima, 2006, hal. 77.
58 Siahaan, N.H.T.,
Pencucian Uang
& Kejahatan Perbankan, hal. 159.
59 "Para
Bankir Kembali Dihimpit Trauma Kredit Macet", InfoBankNews.com, 5 Juni 2005, hal.
5.
60 Kwik
Kian Gie berpendapat, kredit macet yang terjadi sebelum tahun 1970-an lebih banyak
disebabkan oleh faktor-faktor salah urus, kurang pengalaman atau keahlian, tetapi
dewasa ini disebabkan oleh kejahatan kerah putih, kesengajaan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan, kolusi antara penguasa dan pengusaha. Gie, Kwik Kian,
"Kredit Macet Sebuah Persoalan", Kompas, 4 Mei 1993.
Siahaan,
N.H.T., Pencucian Uang & Kejahatan Perbankan, hal 144..
How do I get into a casino? | POGO Millions
BalasHapusFor those who like slots 유니벳 and live casino games, POGO 크롬 번역기 has one of the most reputable gaming 텍사스 홀덤 룰 casinos around. 먹튀 신고 They 오피주소 have an extremely