P
|
ADA
penelitian untuk buku ini digunakan lima teori sebagai dasar untuk mendekati masalah yang
akan diteliti, yaitu faktor-faktor mik- ro penyebab timbulnya NPL/NPF. Dalam rangka memperoleh
variabel dependen
yang akan dipilih, teori-teori tersebut dikembangkan lebih jauh dengan bantuan kajian literatur
yang bersifat teoretis, kajian penelitian empiris terdahulu, dan pengalaman NPL beberapa negara sehingga
va- riabel penting
yang ditemukan di masa lalu tidak terlewatkan, serta yang diindikasikan oleh pengalaman
NPL tercakupi.
Kelima teori itu adalah Agency Theory, Moral Hazard
Theory, Stakeholder Theory, Adverse Selection Theory, dan Bad Management Hy- phothesis.
Dalam agency theory (teori
keagenan), terdapat dua pihak yang berbe- da, yakni majikan dan agen. Teori ini mendekati masalah dengan
meng- analisis
interaksi antara dua individu ketika kewenangan, tindakan, dan kegiatan majikan didelegasikan
kepada agen karena kompetensinya yang spesifik. Majikan selalu ingin agar agen melakukan pekerjaan
sesuai de- ngan
yang diinginkannya. Namun, antara majikan dan agen cenderung terdapat perbedaan karena
alasan berikut. Pertama, agen memiliki infor- masi yang tersembunyi dan hanya dia yang mengetahuinya. Kedua, agen dan majikan memiliki keinginan
dan/atau tujuan yang berbeda sehingga timbul benturan kepentingan.
Ketiga, agen dan majikan sering memiliki sikap yang berbeda terhadap
risiko.
Sejauh majikan dapat mengontrol tindak-tanduk agen, atau tindakan pengawasan yang dilakukan
majikan itu menimbulkan biaya yang lebih rendah daripada manfaat yang dapat diperoleh oleh majikan dari
hasil kerja agen,
masalah konflik kepentingan sedikit banyak dapat diatasi walaupun tidak seluruhnya. Di
samping hubungan majikan-agen ini di- tuangkan ke dalam suatu bentuk kontrak, salah satu pendorong
agar agen melakukan
pekerjaannya sesuai dengan yang diinginkan oleh majikan adalah jika ada penegakan hukum
yang pasti, unsur pengawasan, dan keterbukaaan informasi.1 Masalah tidak semua hasil
kerja agen dapat di- kontrol oleh majikan terjadi karena pengambilan keputusan yang
bersifat sangat
teknis.
Pengambilan keputusan kredit pada batas tertentu bersifat
intuitif sehingga
sulit dipastikan apakah keputusan itu benar dan dibuat dengan benar. Karena bersifat
antarwaktu, keputusan yang dibuat ex-post hanya dapat dibuktikan ketika kredit berjalan lancar atau tidak di
kemudian hari (ex-ante). Tidak hanya itu,
setiap pengambilan keputusan kredit me- nunjukkan sikap agen dalam mengambil risiko. Tingkat
keberanian tiap orang
dalam mengambil risiko berbeda. Namun, tingkat keberanian agen dalam mengambil tingkat risiko
yang berlebihan akan bermuara kepada kualitas portofolio bank, yang akhirnya jika mengalami
kerugian akan menghapus
sebagian modal milik majikan.
Karena itu, setiap badan hukum harus berusaha menghilangkan konflik antara majikan dan agen
yang mungkin timbul. Pandangan posi- tivis dari teori keagenan mengatakan bahwa konflik bisa
diatasi dengan menciptakan
mekanisme tata kelola yang baik, terutama dalam hal untuk membuat pembatas bagi sikap
oportunis agen. Eseinhardt berpendapat bahwa batasan itu akan terbentuk dengan adanya beberapa
kondisi, anta- ra
lain, pertama,
kontrak antara majikan dan agen itu berlandaskan hasil yang dapat dicapai dan
digariskan dengan jelas; kedua, majikan memiliki segala informasi yang diperlukan untuk memverifikasi tingkah
laku agen. Di lain
pihak, Harrison Cheng, ahli dari University of Southern California, berpendapat bahwa majikan dapat
memiliki sejumlah tindakan tertentu dalam rangka memotivasi atau mengawasi tindak-tanduk agen.
Tidakan itu
berbentuk insentif dan ukuran kinerja.
Secara teori, Ricardo V. Lago menjelaskan bahwa bank berfungsi
berdasarkan kaitan principal-agent yang kompleks di antara para stakeholder; setiap pihak
dalam proses kegiatan perbank- an merupakan agen terhadap atasan (principal)- nya. Dalam
konteks pinjam-meminjam uang, kreditor berada pada tataran yang lebih tinggi daripada debitor sehingga dapat
dikatakan bahwa kreditor
adalah atasan debitor. Menurut Lago, setiap agen akan berusaha mencapai objektif bagi dirinya paling tidak sebanyak
yang diharapkan oleh
atasannya, kecuali jika terdapat penegakan
hukum, pengawasan, dan keterbukaan yang memadai.
Dalam praktik, masalah keagenan yang paling mendasar dan
sering menjadi
kenyataan adalah bahwa keputusan pemberian kredit/pinjaman dipengaruhi oleh kecenderungan
manusia. Salah satu kecenderungan ini adalah mengikuti apa yang diinginkan pihak lain yang bersifat exegeneous, yang tidak
selalu sepenuhnya memperhatikan kepentingan majikan atau institusinya. Dalam institusi
korporasi modern, majikan adalah institusi korporasi itu sendiri, bukan pemilik saham institusi tersebut.
Bagaimana seseorang
mengikuti keinginan dirinya tidak selalu tampak dengan jelas dari apa yang dilakukan, atau
dari latar belakang apa yang diputuskannya.
Karena itu, Charles Collyns dan Abdelhak Senhadji mengatakan
bah- wa moral hazard seperti ini
tidak dapat sepenuhnya dihilangkan dari in- termediasi keuangan. Menurut Steven Radelet dan Jeffrey Sach,
jika sua- tu
pinjaman menjadi gagal atau tidak terbayarkan oleh debitor, masalah ini biasanya mewakili suatu
kesalahan perhitungan yang terjadi di kedua sisi transaksi, baik dari kreditor maupun debitor. Akan lebih
krusial lagi jika
mengingat bahwa intermediasi keuangan memiliki sejumlah kera- wanan yang timbul karena
karakteristiknya sendiri. Dalam perspektif ini, asymmetric information dan
masalah agen-majikan dapat menimbulkan terjadinya moral hazard.
Secara teori, Ricardo V.
Lago menjelaskan bahwa bank berfungsi berdasarkan kaitan principal- agent yang kompleks di antara
para stakeholder.
|
Dalam konteks badan hukum seperti bank, yang memiliki begitu banyak hubungan agen dan
majikan, masalah governance harus pula dilakukan terhadap begitu banyak individu dengan berlainan
fungsi da- lam
organisasi perkreditan bank, dan tidak hanya terhadap dua individu. Untuk itu, diperlukan suatu
sistem yang dapat menciptakan governance yang dimaksud dengan berpokok kepada pengambilan keputusan
kredit
yang baik bagi institusi bank itu sendiri. Pengambilan keputusan yang baik bagi bank adalah dalam rangka memupuk kemampuan bank yang optimal, agar dapat bertahan untuk hidup, yang menyeimbangkan pen- dapatan dan risiko.
yang baik bagi institusi bank itu sendiri. Pengambilan keputusan yang baik bagi bank adalah dalam rangka memupuk kemampuan bank yang optimal, agar dapat bertahan untuk hidup, yang menyeimbangkan pen- dapatan dan risiko.
Kathleen M. Eisenhardt mengatakan, untuk menghindari benturan kepentingan, governance harus pula
diperhatikan. Faktor yang paling menentukan demi tegaknya setiap aturan main atau governance adalah adanya peran pimpinan
tertinggi. Bagi lingkungan pemberian pinjam- an/pembiayaan, yang mengandung banyak risiko dan kerawanan,
yang diperlukan
adalah kepemimpinan yang bermoral. Kepemimpinan yang bermoral juga berfungsi untuk
menciptakan kultur korporasi yang diper- lukan. Di samping itu, menurut Cheng, majikan harus memiliki
sejumlah tindakan
tertentu untuk memotivasi dan mengawasi tindak-tanduk agen.
Karena itu, selain reward yang tepat, insentif berupa hukuman yang sesuai dengan kesalahan atau
penyimpangan tingkah laku harus pula di- kenakan sehingga tindak-tanduk agen dapat diselaraskan menurut
kehen- dak majikan,
dalam hal ini korporasi dengan berbagai
stakehoder-nya.
Dalam
pengambilan keputusan pemberian pinjaman/pembiayaan, governance yang dimaksudkan meliputi nilai-nilai yang ada pada kul- tur kredit bank, yang harus
diikuti oleh semua anggota organisasi bank yang terkait dalam pemberian pinjaman/pembiayaan. Di samping
itu, bagaimana
pekerjaan harus dilakukan harus pula ditentukan dengan pasti sehingga merupakan
kontrak (sosial) seperti yang dimaksud oleh Lago di atas, dan harus diikuti dalam memproses pekerjaan
pengambilan keputusan
pemberian pinjaman/pembiayaan, termasuk pelaksanaan dan pengawasannya.
Istilah moral hazard menjadi
populer semenjak terjadinya krisis Asia 1997/1998, yang menunjuk pada keadaan yang mendorong
terjadinya pemberian
kredit yang terlalu agresif dan sembrono, dan gagal menerap- kan analisis kredit dan
pengawasan yang memadai.
Moral hazard terjadi ketika
seseorang mengambil risiko yang ber- lebihan, di mana terdapat orang lain yang menanggung risiko
itu tanpa dapat
membebankan tanggung jawabnya kepada yang mengambil risiko, atau tidak dapat menghalangi
pengambilan risiko yang besar itu.2 Keja- dian ini dapat pula terjadi
pada bank, yakni jika modal bank terlalu kecil untuk lingkungan risiko di tempat bank beroperasi dibandingkan
dengan dana
masyarakat yang digunakan. Dalam keadaan seperti itu, pemilik bank memiliki insentif untuk
memberikan pinjaman dengan risiko yang tinggi; jika sukses, memperoleh untung yang besar, tetapi jika
rugi, beban akan
ditanggung oleh para deposan atau pemerintah.
Gambaran inilah yang sesungguhnya terjadi di Indonesia setelah adanya Pakto 1988, tatkala bank
baru dapat didirikan dengan modal ha- nya Rp 10 miliar. Sepuluh tahun kemudian, terbukti banyak bank
harus ditutup
karena pemiliknya melakukan pemberian pinjaman kepada diri sendiri atau kelompok usahanya,
yang kemudian ternyata sebagian besar macet. Dari hasil penelitannya, James R. Barth dan Michael G.
Bradley menyimpulkan
bahwa banyak institusi simpan-pinjam (S&L) di Amerika yang tidak solvabel karena
terlalu banyak memberikan pinjaman yang berisiko tinggi, seperti pada macam
pinjaman tertentu dari mortgage loan. Secara empiris, Linda M. Hooks dan Kenneth J. Robinson
membuktikan teori moral hazard.
Hal yang sama, menurut Ibrahim Warde, moral hazard dapat terjadi jika pemerintah mengeluarkan
kebijakan atau ketentuan, tetapi kemudi- an menimbulkan tingkah laku yang tidak baik dan berlebihan.
Sebagai contoh,
jika pemerintah memberikan deposit guarantee kepada perbank- an untuk kepentingan masyarakat pemilik dana, adanya guarantee ini cenderung mendorong timbulnya moral hazard; bank akan
mengambil risiko
dan melakukan investasi yang berlebihan karena manajemen me- rasa mereka dilindungi oleh guarantee tersebut. Hal ini
banyak terjadi di bank-bank
besar, karena adanya anggapan bagi mereka too
big to fail.
Moral hazard dapat pula
terjadi pada sisi bank sebelum kredit dibe- rikan, yaitu ketika kredit sedang diusulkan dan diproses untuk
disetujui atau
ditolak di dalam internal bank. Hal ini dapat terjadi karena adanya asymmetric information antara calon debitor dan calon kreditor. Umum- nya, moral hazard seperti ini
berbentuk penyajian informasi yang tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya oleh calon debitor.
Masalah yang timbul
dari sisi calon debitor biasanya dapat diatasi dengan mela- kukan pengecekan reputasi dan
uji tuntas (due diligence) dengan saksa- ma terhadap usulan kredit dari calon debitor; kecuali memang
dengan sengaja
tidak dilakukan oleh pegawai yang bertanggung jawab. Jika uji tuntas tidak dilakukan dengan
saksama, atau direkayasa seolah-olah telah dilakukan dengan saksama, terdapat beberapa kemungkinan
yang terjadi, yaitu
pengolahan informasi atau data yang diberikan debitor di-
rekayasa menjadi lebih baik, atau jika informasi atau data itu bersifat negatif, sama sekali tidak diungkapkan oleh pemroses atau pejabat kredit yang terkait, atau ditutupi dengan penjelasan yang tampaknya logis agar suatu usulan kredit dapat disetujui.
rekayasa menjadi lebih baik, atau jika informasi atau data itu bersifat negatif, sama sekali tidak diungkapkan oleh pemroses atau pejabat kredit yang terkait, atau ditutupi dengan penjelasan yang tampaknya logis agar suatu usulan kredit dapat disetujui.
Dalam keadaan seperti itu, presiden direktur bertanggung jawab untuk
mengontrol sehingga pengambilan risiko yang berlebihan dan tidak se- imbang tidak terjadi. Pemimpin
tertinggi dalam bank
itu harus pula berusaha menciptakan kultur korporasi dan kultur kredit yang sehat sehingga proses
pemberian kredit dilakukan
dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian. Pemimpin itu harus memberikan keteladanan
dalam moralitas sehingga dapat diilhami dan diikuti oleh semua bawahannya.
Moral hazard pada pasar
keuangan terjadi ketika kreditor dihadap- kan pada hazard, dan debitor memiliki dorongan untuk melakukan tin- dakan yang tidak diinginkan
dari segi pandangan kreditor. Moral hazard terjadi jika debitor tidak memiliki dorongan yang cukup untuk
mengelola sumber
daya modal sebaik mungkin demi tujuan tertentu, atau meng- ubah tujuan penggunaan
pinjaman, atau menggunakan pinjaman untuk investasi berisiko tinggi, atau melakukan misalokasi dana
untuk keperlu- an
pribadi.
Sejalan dengan agency
theory, Douglas W. Diamond berpendapat bahwa kegiatan pengawasan dari
majikan dapat memperbaiki pelaksa- naan kontrak. Tugas bank-lah untuk melakukan pengawasan
sebagai pihak yang
telah didelegasikan untuk melakukan kegiatan ini. Diamond menyimpulkan bahwa jika bank
dapat melakukan kegiatan pengawasan dengan baik, bank dapat menghindari tindakan melikuidasi
bisnis debitor ketika
debitor wanprestasi.
Moral hazard terjadi jika debitor tidak memiliki
dorongan yang cukup untuk mengelola sumber daya modal sebaik mungkin demi tujuan
tertentu.
|
Untuk mengatasi moral hazard yang mungkin terjadi pada tingkat (calon) debitor, bank harus
melakukan langkah-langkah prinsip kehati- hatian sejak suatu permohonan kredit akan diproses. Langkah
yang paling awal adalah melakukan pengecekan reputasi calon debitor melalui jalur-jalur yang mungkin dapat
digunakan. Langkah berikutnya adalah melakukan uji tuntas secara saksama, dalam rangka memperoleh
keyakinan bahwa pemilihan calon debitor untuk menjadi debitor memang telah merupakan pilihan yang
tepat. Setelah kredit diberikan, bank harus
melakukan pengawasan atau kepedulian (due care), dengan tujuan agar pinjaman yang diberikan tidak berkembang menjadi bermasalah (NPL).
melakukan pengawasan atau kepedulian (due care), dengan tujuan agar pinjaman yang diberikan tidak berkembang menjadi bermasalah (NPL).
Untuk
meyakinkan diri lebih lanjut bahwa langkah-langkah dari prinsip kehati-hatian telah
dijalankan sebagaimana mestinya, dari waktu ke waktu bank harus melakukan pengawasan kredit dalam bentuk
audit kredit
terhadap pinjaman yang telah diberikan dari waktu ke waktu. Pihak yag terkait akan memahami
secara jelas, bahwa mereka tidak dapat me- lakukan kesalahan dalam bekerja, karena mereka tahu bahwa
hasil kerja mereka
akan diperiksa secara objektif dan independen. Jika telah terjadi penyimpangan pada pelaksanaan
pemberian kredit, harus dilakukan tin- dak lanjut, dengan menerapkan reward and penalty system
yang tepat.
Tom
L. Beauchamp dan Norman E. Bowie dari Amerika mendefinisikan stakehoder sebagai individu atau kelompok individu yang dapat memengaruhi
atau dipengaruhi oleh pencapaian objektif sebuah organisasi. Dari pengertian ini, stakeholder yang dimaksud
adalah pihak yang bersifat vital terhadap kelanjutan hidup dan kesuksesan organisasi.
Dalam kasus bank, stakeholder yang paling
penting adalah para deposan atau para pe- milik dana masyarakat, yang disimpan dan digunakan bank untuk
menja- lankan usaha
perbankannya itu.
Secara umum,
manajemen bank, terutama pimpinan puncaknya, memiliki tugas menjaga tingkat kesehatan organisasi yang
dikelolanya. Di samping
itu, manajemen harus pula memperhatikan kepentingan seluruh stakeholder yang terkait. Secara etika, manajemen harus menyeimbang- kan semua kepentingan mereka,
tanpa ada yang didahulukan kepenting- annya, terutama ketika mengambil setiap keputusan. Namun, bagi
bank inti
permasalahannya adalah bagaimana mengambil keputusan kredit yang baik. Dengan mengambil
keputusan kredit yang tepat, kemungkinan pemberian pinjaman akan menjadi NPL akan lebih kecil, sehingga
kepen- tingan stakeholder yang paling
vital akan terlindungi. Jika hal ini dapat dicapai oleh bank, kepentingan stakeholder lainnya pun
dapat terlindungi.
Dasar adverse selection theory
(teori "salah pilih") ini terletak pada dua asumsi. Pertama, kreditor tidak
dapat membedakan debitor dengan berbagai tingkat risiko yang berbeda. Kedua, perjanjian pinjaman
hanya mencakup
tanggung jawab yang terbatas; misalnya hasil suatu proyek kurang dari kewajiban utang
yang harus dibayar, debitor tidak bertang- gung jawab terhadap biaya-biaya di luar yang diperhitungkan.
Teori ini membatasi
diri pada kasus wanprestasi yang bukan atas kehendak sendiri (involuntary default), sehingga berarti debitor akan membayar pinjam- an kalau memiliki kemampuan dan
kemampuan ini harus telah diperhi- tungkan oleh kreditor. Dengan demikian, untuk memperoleh
pinjaman kembali,
bank harus memiliki kemampuan untuk mengukur kekuatan debitor guna membayar
utangnya, dengan mempertimbangkan risiko yang berbeda. Penelitian ini menekankan pentingnya bank untuk
memiliki pe- ngetahuan
dan keahlian perkreditan bagi seluruh staf yang terkait dalam pemberian kredit.
Teori ini
sering mendapat kritikan, karena asumsinya adalah kreditor tidak mengetahui karakter
debitor. Namun, di sinilah letak masalahnya. Kreditor harus mengetahui karakter debitornya, sehingga dapat
mem- perkirakan apakah
pinjaman akan dapat dibayar atau tidak. Karena itu, agar tidak terjadi salah pilih
terhadap calon debitor, bank harus meneliti, karakter, kemampuan, dan kesanggupan calon debitor untuk
membayar kembali
pinjamannya. Untuk itu, bank sebagai institusi harus memiliki seperangkat atribut dan
perlengkapan yang diperlukan dalam mengambil keputusan dan pelaksanaan serta pengawasan pemberian
pinjaman/pem- biayaan
kepada calon debitornya.
Allen
N. Berger dan Robert DeYoung melakukan penelitian dan membuk- tikan hipotesis bahwa terdapat
hubungan antara NPL dan efisiensi biaya terukur. Hipotesis ini menggunakan variabel "manajemen
yang buruk", yang
artinya manajemen itu tidak melakukan analisis, tidak mengawasi pinjaman secara memadai, atau
tidak menghasilkan efisiensi. Dengan kata lain, sebagai manajer yang tidak baik, mereka tidak
memiliki ke- ahlian
dalam melakukan credit scoring sehingga lebih banyak memilih pinjaman dengan NPV yang rendah atau negatif, tidak kompeten
dalam menilai
kolateral sebagai jaminan untuk pinjaman, dan tidak mengaloka- sikan sumber daya dengan cukup,
sehingga mengalami kesukaran dalam melakukan pengawasan pinjaman sesuai dengan perjanjian yang
telah ditentukan
setelah pinjaman diberikan.
Dalam hipotesis ini terdapat dua faktor utama, yaitu tingkah
laku atau keahlian
dalam mengevaluasi usulan pinjaman yang memadai dan sumber daya yang cukup untuk
melakukan pengawasan pinjaman.
Beberapa peneliti telah membuktikan secara empiris kekuatan hipotesis
tersebut. J. William, misalnya, membuktikannya dari penelitian terhadap sejumlah sampel besar
bank tabungan dari tahun 1990 sampai 1998 di Eropa. Pembuktian serupa dicapai oleh Rossi,
Schwaiger, dan Winkler,
dari penelitian mereka pada sampel 278 bank di 9 negara transi- si pada 1995 sampai 2002. Jiri
Podpiera dan Laurent Weill memperkuat kesimpulan peneliti terdahulu melalui penelitian terhadap 21
bank yang gagal
sampai tahun 2003 dari 54 bank di Republik Czech, salah satu ne- gara dalam transisi. Inti
pembuktian hipotesis ini adalah, karena manaje- men tidak memiliki kompetensi, mereka menghasilkan banyak NPL
yang mengakibatkan
bank yang mereka kelola tidak efisien.
Kompetensi yang dimaksudkan adalah pengetahuan mengenai perkreditan, kemampuan atau keahlian
bagaimana melakukan analisis kredit, menilai jaminan, dan melakukan pengawasan terhadap
pinjaman yang telah diberikan. Semua ini tercakup
da- lam pengertian pengetahuan kredit dan keahlian kredit. Kesim- pulan mereka menunjukkan bahwa
kegagalan bank terjadi karena manajemen yang buruk, bukan karena
kejadian-kejadian eksternal seperti ekonomi makro yang berdasarkan Hipotesis Nasib Buruk (Bad Luck Hypothesis).
Timbulnya NPL atau NPF terletak pada kemampuan dan sikap ma- najemen internal dalam
mengambil keputusan kredit, dan kegiatan meng- awasi serta menjaga kualitas kredit atau pembiayaan yang telah
diberikan hingga
lunas atau selesai. Namun, kedua faktor ini, kemampuan dan si- kap manajemen internal yang dapat
memengaruhi timbulnya NPL atau NPF tersebut, perlu dikembangkan dan diperinci lebih lanjut.
Hal ini dapat
dicapai melalui kajian teoretis dan berdasarkan bukti- bukti dari penelitian yang
telah dilakukan para ahli serta pengalaman NPL beberapa negara yang bersifat empiris, sebagai berikut.
Kajian Teoretis. Menurut Bert
Scholtens dan Dirk van Wensveen, sub- stansi mengenai apa yang harus dilakukan oleh intermediasi
keuangan adalah
menciptakan arus kas saat ini dan di masa depan tanpa menam- bah risiko portofolio secara
keseluruhan. Pekerjaan ini harus dilakukan dengan menghadapi, sekaligus mengatasi, sejumlah kerawanan
sebagai
sifat bank itu sendiri, yang meliputi kerawanan likuditas, leverage, risiko wanprestasi, keperca- yaan yang tidak seimbang, dan kerawanan mora- litas.3
sifat bank itu sendiri, yang meliputi kerawanan likuditas, leverage, risiko wanprestasi, keperca- yaan yang tidak seimbang, dan kerawanan mora- litas.3
Pada bank konvensional, konsep leverage harus diterapkan
dengan penuh kebijaksanaan dan hati-hati karena memiliki sifat bermata dua. Di satu sisi, untuk
meningkatkan kegiatan bank dan menambah jumlah pemberian kredit dalam rangka memperoleh keuntungan,
bank harus menambah
utangnya dalam bentuk pemupukan dana masyarakat melalui tabungan dan deposito. Di sisi lain,
untuk me- nambah
keuntungan ini dengan menambah utang, risiko bank bertambah sehingga kemungkinan melakukan
wanprestasi juga bertambah.
Kemungkinan wanprestasi ini ditentukan oleh bagaimana bank mengambil keputusan dan menjaga
kualitas pemberian kreditnya. Dalam mengambil keputusan yang tepat, bank harus mengatasi masalah asymmetric information
dengan menjembatani ketidakseimbangan informasi yang dapat diperoleh bank, dibandingkan dengan calon nasabah,
sehing- ga
kemungkinan terjadinya adverse selection dapat dihindari.4
Menurut Mishkin, kemungkinan keputusan yang diambil tidak
tepat bagi bank
sebagai institusi dapat terjadi karena masalah prinsipal dan agen sehingga bisa timbul moral hazard. Bahkan,
menurut Calavita, Pon- tell, dan Tillman, penyimpangan dalam bentuk penyelewengan,
penipuan, penggelapan
dan perampasan (looting) dapat pula terjadi, sehingga bank tidak dapat lepas dari masalah
etika dan moralitas.
Tugas intermediasi keuangan adalah mengumpulkan informasi untuk menentukan investasi mana
yang baik;5 melakukan penerapan tindakan disiplin terhadap
corporate manager;6 dan mengatasi moral hazard yang mungkin
timbul dari pihak debitor.7 Tugas-tugas ini memer- lukan sejumlah kegiatan yang
harus dilakukan oleh bank dan pihak bank yang melakukannya harus memiliki sejumlah atribut yang
diperlukan.
Pada bank konvensional, konsep leverage harus diterapkan dengan
penuh kebijaksanaan dan hati-hati karena memiliki sifat bermata dua.
|
Dalam konteks yang lebih sempit, bank harus melakukan uji
tuntas. Berdasarkan
sejumlah definisi dan pengertian yang diberikan oleh sejum- lah ahli,8 kegiatan
ini pada hakikatnya merupakan pertimbangan indivi- du atau bersifat judgemental, walaupun harus
lebih banyak berdasarkan fakta dan data serta informasi yang telah diverikasi
kebenarannya yang diekstrapolasikan
ke masa depan.
Terutama dalam menghadapi calon debitor nonkorporasi, yang
ber- sifat informationally opaque,
bank memerlukan usaha yang lebih banyak dalam mengumpulkan informasi dan dalam melakukan verikasi atau subtansiasi informasi yang
dapat diperoleh. Pertimbangan dalam mem- berikan keputusan kredit yang bersifat judgemental dengan
sendirinya memerlukan
pengetahuan dan keahlian serta pengalaman dalam hal per- kreditan atau pembiayaan.
Masalah lain yang terkait adalah dalam menentukan
besar-kecilnya risiko
kredit yang akan dihadapi juga bersifat
judgemental, demikian pula halnya dalam menentukan dan
menerima kolateral yang diperlukan, yang pada hakikatnya juga bersifat judgemental.
Dirangkum dari pendapat para ahli, dalam mengambil keputusan kredit yang bersifat judgemental serta
berdasarkan convensions dan confidence, bank harus
menghindari pengaruh-pengaruh atau keadaan seperti over confidence,
asymmetric expectation, overoptimistic, reflexivity, gambling for
resurrection, irrational exuberance, herd behavior, dan the sixth C, Commitment. Sebaliknya, pemutus kredit harus menggunakan intuisi yang
baik, dengan berpatokan pada kompas agama dalam rangka menentukan apakah keputusan yang diambil itu benar atau
tidak.
Kegagalan bank pada umumnya terjadi karena pengambilan kepu- tusan kredit yang buruk, dan
karena pengambilan risiko yang berlebihan. Keputusan pemberian kredit tetap dilakukan kepada debitor yang
telah memiliki
utang banyak, sehingga timbul sejumlah moral
hazard. Walau- pun kredit macet merupakan representasi kesalahan perhitungan
baik oleh kreditor
maupun debitor, keasalahan ini lebih banyak ditentukan oleh penyebab di tingkat
ekonomi mikro.
Kajian teoretis ini menunjukkan bahwa para pemutus kredit
harus memiliki common sense, skills, experience, integritas, dan etika profe- sional, dengan kadar moralitas yang diwakili oleh keimanan
yang kuat. Lingkungan
manajemen internal bank harus mendukung dan mendorong penerapan unsur-unsur ini dalam
organisasi bank, sehingga dapat mene- kan timbulnya NPL atau NPF sekecil mungkin.
Kajian Empiris. Penelitian
empiris yang telah dibahas pada umumnya mengkaji hubungan faktor ekonomi makro atau ekonomi
mik- ro, atau
gabungan keduanya, terhadap timbulnya NPL. Kesimpulan yang diambil oleh tiap penelitian
dapat memberikan indikasi faktor ekonomi mikro mana yang dapat diterapkan sehingga dapat menekan
timbulnya NPL atau
NPF.
Dari penelitian Breuer, bisa disimpulkan bahwa intermediasi ke- uangan dapat memainkan peranan
ganda, sehingga menimbulkan ben- turan kepentingan. Setiap pihak memiliki kepentingan
masing-masing dan
menimbulkan masalah agen-prinsipal. Untuk menekan timbulnya benturan kepentingan, bank
perlu menerapkan manajemen risiko yang efektif. Untuk itu, manajemen internal perlu memiliki pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman serta komitmen dalam
bidang perkreditan. Untuk menjamin pelaksanaan
manajemen risiko yang baik, bank juga perlu melakukan audit kredit internal; dan
menerap- kan sistem penghargaan dan hukuman yang tepat.
Fuertes dan Espinola menekankan
pentingnya microprudenti- al indicators seperti return on assets (ROA). Jika keadaan bank lemah,
krisis pada bank akan terjadi ketika menghadapi
kejutan ekonomi makro. ROA berkaitan dengan modal, memengaruhi likuiditas, dan
memerlukan penekanan
biaya-biaya, termasuk biaya yang diakibatkan oleh NPL seba- gai sumber biaya yang terbesar.
Dengan demikian, untuk mencapai ROA yang baik, bank memerlukan
corporate culture yang kuat.
Menurut Zabeen Ahmed, setiap faktor yang digunakan (makro ekonomi seperti GDP, indikator
perbankan seperti tingkat bunga bank dan nilai kolateral, dan keadaan bank seperti besarnya bank
dan credit culture) memiliki hubungan yang signifikan baik secara positif maupun negatif dengan NPL.
Penelitian Fofack juga menggunakan variabel makro dan mikro. NPL berkorelasi negatif dengan
pendapatan per kapita, inflasi, broad money, dan sebagian besar variabel perbankan. Hal ini merupakan
hubung- an
sebab-akibat yang wajar, karena penelitian dilakukan ketika krisis ekonomi dan
perbankan terjadi sehingga bank dalam keadaan merugi akibat timbulnya NPL. Namun, Fofack
menyatakan bahwa NPL pada bank pe- merintah lebih tinggi, jika dibandingkan dengan bank
nonpemerintah. Perbedaan
ini diduga karena adanya perbedaan dalam
corporate culture.
Dari penelitiannya, Bartu
Soral berkesimpulan bahwa kelemahan institusi dan kerawanan ekonomi
menciptakan kesempatan bagi para oportunis melakukan tindak penyelewengan dan penipuan di
sektor keuangan. Di sini, yang diperlukan adalah penegakan hukum dan pening- katan kadar moralitas
bagi para pejabat bank. Penegakan hukum di lingkungan bank dapat dicapai melalui pemberian reward dan penalty yang
jelas dan tegas, serta pengontrolan terhadap hasil kerja berupa audit kredit secara berkala.
Yang Li menyimpulkan bahwa
bank besar lebih mampu memproses kredit; dan bank pemerintah memiliki tingkat NPL yang lebih
tinggi kare- na
kultur yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh
corporate dan
credit culture yang berbeda.
Dalam penelitiannya, Vihriala mengaitkan pemberian kredit dengan keadaan ekonomi, yakni ekspansi
kredit yang tinggi dilakukan pada saat ekonomi mengalami pertumbuhan, dan liberalisasi keuangan
menimbul- kan lending boom dan moral hazard. Ekspansi
kredit dilakukan dengan adanya pengaruh seperti herd
behavior dan
myopia, dan berlangsung ka- rena tidak mengetahui kapan
kejutan ekonomi akan terjadi. Untuk meng- atasi hal ini, diperlukan
pengetahuan dan keahlian perkreditan atau pembiayaan, yang disertai dengan tingkat
profesionalisme, integritas, dan moralitas yang
tinggi.
Kunt dan Detragiache
berkesimpulan bahwa kejutan ekonomi makro merupakan penyebab utama krisis perbankan, di samping
kena- ikan tingkat
inflasi dan bunga yang mendadak. Di lain pihak, indeks law and order yang tinggi
dapat menurunkan kemungkinan terjadinya krisis. Mereka juga berpendapat bahwa
faktor makro dan mikro sama pen- tingnya terhadap terjadinya krisis. Unsur law and order yang dimaksud adalah pengawasan terhadap
penerapan prinsip prudential yang efektif, dan mencegah terjadinya penyimpangan. Pada tingkat mikro,
kedua hal ini dapat
diartikan sebagai audit kredit dan pemberian reward ada penalty.
Menurut Komatsu, krisis 1997/1998 di Indonesia terjadi karena adanya moral hazard dari dua sisi. Pertama, kreditor luar
negeri memberikan pinjaman kepada bank dalam negeri, karena anggapan adanya dukungan pemerintah. Kedua, bank memberikan
pinjaman kepada pihak terkait. Pengambil keputusan tidak menerapkan pengetahuan dan keahlian dalam perkreditan, serta konsep profesionalisme dan integritas yang memadai. Untuk
mengatasi forebearance policy, perlu diterapkan hard budget
constraint.
Dalam penelitiannya,
Djohanputro dan Kountur berkesimpulan bahwa tingkat NPL di BPR di
Indonesia dipengaruhi oleh integritas dan kompetensi pemilik dan pengurus serta pegawai, kurang menerap- kan analisis kredit dan agunan yang baik dan konsisten, serta kurang memperhatikan keadaan nasabah.
Untuk menghindari masalah ini, bank perlu memiliki pengetahuan dan
keahlian perkreditan, mengem- bangkan profesionalisme dan integritas serta credit culture yang
sesuai, dibarengi dengan pengawasan kredit dan penerapan sistem reward dan penalty.
sesuai, dibarengi dengan pengawasan kredit dan penerapan sistem reward dan penalty.
Menurut
Chan Lau dan
Chen, Krugman, Caprio,
Haggard dan
McIntyre, krisis
Asia 1997/1998 disebabkan oleh sistem keuangan yang tidak
efisien dan ditunggangi oleh moral
hazard
(insider dealing, korupsi, corporate governance yang lemah) sehingga pemberi- an
pinjaman tidak efektif. Sektor korporasi mengabaikan praktik keuangan yang prudent,
transparansi yang rendah, over leveraged. Pengambilan keputusan tidak melalui proses
pengecekan reputasi calon debitor, dan tidak dilakukan proses uji tuntas. Tampak juga adanya
masalah profesionalisme, integritas, dan moralitas.
Caprio Jr dan Klingebiel
berkesimpulan bahwa faktor mikro ekonomi dan insentif merupakan penyebab kunci masalah
perbankan. Faktor
ekonomi makro hanya memberikan pengaruh yang kuat terhadap perbankan dengan akibat yang
berbeda. Bank wajib memiliki manajemen yang kuat dan konservatif, wajib memiliki keahlian dan jumlah SDM yang cukup untuk pekerjaan
perkreditan dan pengawasan, dan perlu mempertahankan sikap kehati-hatian atau credit culture yang baik.
Menurut Alon dan Kellerman, krisis di Asia disebabkan oleh peng- gunaan utang yang berlebihan,
dan faktor kultural yang memengaruhi faktor kepemimpinan dan
keputusan pemberian kredit yang tidak in- dependen dan sehat, sehingga membawa Asia pada keruntuhan
ekonomi.
Menurut Mishkin, krisis Asia disebabkan oleh
lending boom, yang merupakan pemberian pinjaman dan pengambilan risiko yang
berlebihan karena kurangnya keahlian dalam pengelolaan risiko dan kemam- puan
manajerial, di samping pengawasan dan peraturan
yang tidak me- madai.
Dean berpendapat bahwa krisis Asia dilatarbelakangi oleh faktor kul- tural, dengan penyebab utama
adalah unsur kolusi antara modal dan nega- ra, sehingga pemberian kredit lebih didasarkan pada relationship lending, yang
mengesampingkan pertimbangan profesionalisme
dan integritas.
Krisis Asia 1997/1998 disebabkan
oleh sistem keuangan yang tidak efisien dan ditunggangi oleh moral hazard (insider dealing, korupsi, corporate governance yang lemah) sehingga pemberian
pinjaman tidak efektif.
|
Di Indonesia
sendiri, penyebab terjadinya NPL yang besar yang mengakibatkan kegagalan bank, dan kemudian menciptakan krisis
per- bankan, tidak
jauh berbeda dengan penyebab-penyebab yang terjadi di
negara-negara lain. Krisis di Indonesia secara umum disebabkan oleh diabaikannya prinsip kehati-hatian, timbulnya moral hazard, dan secara khusus akibat crowny banking. Ditinjau dari sisi makro, semua hal ini timbul karena pengawasan pihak regulator yang lemah.
negara-negara lain. Krisis di Indonesia secara umum disebabkan oleh diabaikannya prinsip kehati-hatian, timbulnya moral hazard, dan secara khusus akibat crowny banking. Ditinjau dari sisi makro, semua hal ini timbul karena pengawasan pihak regulator yang lemah.
Faktor-faktor
yang disebutkan terdahulu digunakan sebagai variabel un- tuk menjelaskan penyebab
timbulnya NPL dan dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu 2 kelompok subjek dan 1 kelompok sebagai
proses serta pengawasan
yang diduga dapat memengaruhi tinggi-rendahnya NPL.
Pengelompokan ini mirip dengan yang dilakukan oleh William Gamble,
yakni dibagi ke dalam orangnya, kebijakannya, dan praktiknya. Be- danya, apa yang dilakukan
Gamble merupakan gambaran keadaan ketika NPL terjadi, dan dia meneliti secara retrospektif ke belakang
dalam rang- ka
mencari penyebabnya.
Dalam penelitian untuk buku ini, yang dicari adalah apa yang
diper- lukan dalam
proses pemberian kredit, sehingga kemungkinan timbulnya NPL atau NPF dapat diperkecil.
Jadi, tidak hanya pengalaman masa lalu yang digunakan, tetapi dibarengi dengan teori dalam ruang
lingkup per- masalahan,
yang secara keseluruhan dapat digunakan untuk melihat ke depan secara lebih baik.
Tinjauan teoretis dan pengalaman NPL empiris pada bagian
terda- hulu
menunjukkan sejumlah faktor yang dimaksud, yang dikelompokkan sebagai berikut. Pertama, tingkat individu,
yang meliputi semua pejabat mulai pejabat kredit, komite kredit, manajer risiko, hingga
pemutus kre- dit,
yang oleh Gamble dikelompokkan ke dalam orangnya. Di sini, yang perlu dimiliki tiap individu
itu adalah kualifikasi dalam melakukan proses dan persetujuan pemberian kredit serta pengawasan kredit.
Kualifikasi ini
meliputi pengetahuan dan keahlian kredit, integritas dan profesional- isme, dan kadar spiritualitas.
Kedua, pada tingkat
institusi, yang dapat memengaruhi tindakan di tingkat individu adalah lingkungan tempat mereka bekerja, atau
disebut institutional
environments. Faktor-faktor yang dapat
memengaruhi bagaimana dan kualitas orang itu bekerja di dalam bank dalam
kaitannya dengan
kemungkinan timbulnya NPL atau NPF adalah kepemimpinan bermoral, kultur
organisasi/perusahaan, kebijakan disiplin anggaran, dan sistem penghargaan dan hukuman.
Ketiga, di tingkat proses
dan pengawasan, yang dalam pengelompok- an Gamble disebut sebagai praktiknya. Hal-hal pokok yang dapat
men- dukung
pelaksanaan atau praktik pemberian kredit yang sehat adalah faktor-faktor seperti kultur
kredit, pengecekan reputasi, uji tuntas dan kepedulian, dan pengawasan kredit internal.
Di samping
pada bank konvensional, variabel-variabel ini juga berlaku pada bank syariah, karena bank
syariah juga berfungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan. Bank syariah dan bank konvensional
masing-masing memiliki
manajemen internal, dan menghadapi lingkungan operasional yang sama. Hanya saja,
pelaksanaan fungsi intermediasi yang dilakukan oleh bank syariah harus mengacu pada ketentuan dalam Al-Quran
dan hadis, yang
bersifat universal dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia baik yang
bersifat etika, sosial, maupun perkara pidana dan
perdata, termasuk dalam hal bermuamalah perbankan
dalam Islam.
Ditilik
dari tugas intermediasi keuangan, bank harus memilih dan me- mastikan pemberian pinjaman
atau investasi, yang akan dilakukan memi- liki risiko yang dapat diterima dengan keuntungan yang memadai
untuk mencapai value creation yang
diharapkan.
Itu berarti bank bertindak benar-benar sebagai penyeleksi
investasi dan
pemikir (sebagai think tank), sekaligus operator investasi bagi para deposan, dan bahkan sebagai
pihak yang mengontrol tingkah laku debitor peminjam. Agar bank dapat
menjalankan tugas ini dengan baik, para pejabat yang berkaitan dengan perkreditan atau pembiayaan
harus me- miliki
pengetahuan dan keahlian di bidang yang sama. Pengetahuan per- kreditan didapat melalui
pelatihan yang merupakan proses pembentukan intelektual yang lebih baik, sedangkan keahlian adalah
pengorganisasian pengetahuan
yang muncul dari praktik penerapannya.
Menurut Mishkin, Djohanputro, dan Kountur, unsur keahlian da- lam pengelolaan risiko dan
kemampuan manajerial merupakan hal yang sangat krusial dalam perbankan, dan untuk itu diperlukan
pengetahuan perkreditan
yang dalam. Menurut Coleshaw, penerapan keahlian atau pe- ngetahuan perkreditan bersifat
sentral terhadap reputasi dan keuntungan bank, dan tentunya dapat memengaruhi tingkat NPL.
Pengetahuan dan keahlian dalam bidang perkreditan atau pembia- yaan sangat menentukan
kemampuan bank untuk menyeleksi calon debitor, sekaligus membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk, ditinjau dari segi keuntungan yang dapat diharapkan
dan risiko yang harus dihadapi bank. Ketidakmampuan akan hal ini akan dapat
berakibat pada timbulnya
NPL yang besar. NPL yang besar akan menyebabkan kegagalan bank dan bahkan krisis
keuangan.
Francisco Gil
Diaz berpendapat bahwa salah satu penyebab utama terjadinya krisis keuangan di
Meksiko pada 1994 adalah perbankan umumnya memiliki kemampuan yang buruk dalam menyeleksi calon debitor, di samping ekspansi
kredit yang berlebihan. Kemampuan yang diperlukan tidak dipersiapkan sehingga ketika lending boom muncul akibat liberalisasi keuangan,
perbankan begitu mudah dan agresif dalam ekspansi kredit. Lemahnya pengetahuan mengenai bagaimana
melaku- kan
analisis kredit dan manajemen risiko juga dialami oleh Korea sebelun tahun 1980. Baru mulai awal
tahun 1980, Korea belajar bagaimana mela- kukan analisis kredit.
Dari
penelitian mengenai bank-bank lokal di Afrika yang mengalami kegagalan, Martin Brownbridge
menyimpulkan bahwa kegagalan dan NPL itu terjadi karena bank-bank tersebut tidak memiliki
keahlian yang memadai
dalam bidang perkreditan. Bahkan, di samping para pejabat kredit, para manajer dan
direksi juga tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup di bidang perkreditan.
Berdasarkan
penelitian FMI,9 salah satu penyebab utama perbankan di Jordania tidak berkembang
adalah para pejabat bank (loan officer)- nya tidak memiliki keahlian dasar yang diperlukan untuk
melakukan ana- lisis,
atau penilaian usulan kredit atau pinjaman berdasarkan data-data keuangan dan kemampuan arus
kas. Di sana, pemberian pinjaman hanya dilakukan atas dasar hubungan pribadi dan kolateral.
Untuk
mengatasi asymmetric information, yang terjadi ketika calon debitor mengetahui secara persis bidang usaha atau bisnisnya,
dan keada- an
industri di lingkungan usahanya berada, tetapi tingkat pengetahuan kre- ditor mengenai kedua hal itu
tidak sebanyak debitor, menurut Koford dan Tschoegel, pejabat kredit harus berusaha sungguh-sungguh
menggali informasi yang diperlukan dan mempelajarinya secara mendalam. Dalam
hal ini,
pengetahuan dan keahlian perkreditan sangat diperlukan dalam meng- ajukan pertanyaan yang tepat
untuk menggali informasi dan menganalisis, atau melakukan penalaran terhadap kebenaran informasi yang
diperoleh.
Mengenai
masalah perkreditan dengan tingkat NPL yang tinggi tahun 1980-an di Amerika, John
McGovern berpendapat bahwa para bankir se-
yogianya kembali kepada hal-hal yang mendasar (back to basic), yaitu kembali untuk memprioritas- kan, memperkuat, dan menerapkan keahlian-ke- ahlian kredit dalam fungsi pemberian kredit per- bankan, tidak semata-mata pada keahlian menjual.
yogianya kembali kepada hal-hal yang mendasar (back to basic), yaitu kembali untuk memprioritas- kan, memperkuat, dan menerapkan keahlian-ke- ahlian kredit dalam fungsi pemberian kredit per- bankan, tidak semata-mata pada keahlian menjual.
Kemampuan perkreditan mutlak dimiliki oleh setiap pejabat yang
berkaitan dengan perkreditan.
Pejabat kredit, terutama, harus mampu mengumpulkan informasi yang diperlukan, melakukan uji
tuntas, memastikan seluruh informasi yang telah dikumpulkan adalah benar dan akurat, melakukan
analisis keuangan
dan analisis kredit, dan seterusnya.
Jika seluruh proses telah dilalui dengan cermat, data yang
diperlukan untuk
pemrosesan kredit telah diperoleh dan telah dianalisis dengan me- lakukan uji tuntas, pejabat
kredit telah bertemu dengan calon debitor dan telah berkunjung ke lokasi usaha calon debitor, serta telah
melakukan pengecekan
reputasi, berdasarkan pengalaman, pada saat itulah pejabat kredit biasanya telah memiliki
suatu perasaan kredit (credit feeling). Pe- rasaan kredit ini dapat menunjukkan apakah calon debitor
tersebut layak kredit
atau tidak. Keahlian yang disertai dengan perasaan kredit ini tidak saja diperlukan untuk melakukan
analisis kredit, tetapi juga untuk mela- kukan pengawasan terhadap pinjaman yang diberikan.
Salah satu bentuk kegiatan yang baik di dunia adalah
memperoleh pengetahuan
dan menjalankan keadilan sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku. Tujuan manusia di
dunia adalah mencapai kebahagiaan melalui aktivitas-aktivitas rasional demi kebahagian di
akhirat. Dalam konteks
perbankan syariah, untuk memproses pembiayaan diperlukan pengetahuan dan keahlian yang
lebih dalam dan luas.
Bank Indonesia menyebutkan bank syariah sebagai knowledge intensive,
karena kunci keberhasilan bank syariah terletak pada dua unsur ini, yaitu keahlian dan keterampilan
para stafnya. Pengetahuan dan keahlian ini mencakup aspek ekonomi, keuangan, manajemen, hukum,
teknis, dan wawasan
yang luas mengenai prinsip-prinsip pembiayaan syariah. Terle- bih lagi, untuk menganalisis
usaha yang akan dibiayai dengan akad PLS diperlukan pengetahuan dan pemahaman jenis usaha yang akan
dibiayai dan
filosofi usaha dari calon mudharib atau mitra.
Tujuan manusia di dunia
adalah mencapai kebahagiaan melalui aktivitas- aktivitas rasional demi
kebahagian di akhirat.
|
Setelah
pembiayaan diberikan, bank perlu pula memiliki pengetahu- an dan keahlian dalam rangka
memonitor tingkah laku nasabah, khusus-
nya mudharib dan mitra dalam akad mudharabah dan musyarakah. Tin- dakan ini diperlukan untuk menekan timbulnya kerugian akibat tindakan mereka yang tidak jujur.
nya mudharib dan mitra dalam akad mudharabah dan musyarakah. Tin- dakan ini diperlukan untuk menekan timbulnya kerugian akibat tindakan mereka yang tidak jujur.
Hipotesis
Variabel Pertama: Makin tinggi penerapan dan
kadar pengetahuan dan keahlian kredit pejabat yang terkait dengan perkreditan,
makin kecil
timbulnya NPL pada bank konvensional. Makin tinggi penerapan dan kadar pengetahuan dan keahlian
pembiayaan dari pejabat yang terkait dengan pembiayaan, makin kecil timbulnya
NPF pada bank syariah. Penera- pan atau kadar pengetahuan dan keahlian pembiayaan
(perkreditan) dari pejabat
yang terkait dengan pembiayaan (perkreditan) lebih tinggi pada bank syariah dibandingkan
dengan pada bank konvensional.
Baik
secara teoretis maupun empiris, intermediasi keuangan oleh bank konvensional memiliki sejumlah
karakteristik yang rawan, termasuk terhadap terjadinya moral
hazard. Pada bank konvensional, salah satu penyebab timbulnya moral hazard adalah modal
bank yang rendah di- bandingkan dengan dana masyarakat yang digunakan bank yang
bersifat sebagai
utang bagi bank. Pada bank syariah, dana masyarakat pada bank merupakan dana titipan yang
dipercayakan untuk dikelola oleh bank atas seizin pemilik dana; dana ini bukan merupakan utang bagi bank.
Pemilik bank konvensional sering mendorong eksekutifnya untuk mengambil risiko yang
berlebihan demi mencapai keuntungan yang lebih besar, karena mereka tahu bahwa modal yang mereka pertaruhkan
lebih kecil
daripada uang orang lain. Pada bank syariah, secara teori, hal serupa sulit untuk terjadi karena
pemilik dana mengikuti, bahkan dapat menen- tukan ke dalam usaha apa dana mereka ditanamkan.
Dalam kaitan dengan modal versus utang ini, hipotesis moral hazard merupakan
masalah klasik yang sering terjadi karena pengambilan risiko yang berlebihan, ketika
seseorang menanggung sebagian dari risiko ini te-
tapi tidak dapat menghindarinya. Dalam hal ini,
bank menanggung beban risiko yang diambil oleh pejabatnya. Moral hazard ini juga
berarti bahwa terdapat
"orang dalam", seperti para pejabat dan pemilik, bertingkah laku yang tidak memaksimalkan nilai
perusahaan.
Krisis yang terjadi di Asia, termasuk Indonedia tahun
1997/1998, terjadi
karena kadar integritas dan profesionalisme yang luntur, sehingga mengabaikan sikap dan tindakan prudential yang diperlukan.10
Pengabai- an
terhadap sikap kehati-hatian ini juga terjadi di banyak negara, dan me- rupakan penyebab timbulnya NPL
yang besar di negara-negara tersebut.
Moneim,
seperti dikutip Krisna Wijaya, berpendapat bahwa ada dua bentuk kesalahan yang dapat
dilakukan oleh seorang bankir profesional, yaitu pelanggaran dalam bentuk error omission dan error commission, yang
bermuara pada masalah integritas dan profesionalisme. Tanpa me- miliki kadar integritas dan
profesionalisme yang memadai, orang akan cenderung mencari pembenaran melalui tindakan yang dapat
menghin- dari
hukum, ketika hukum tidak secara jelas melarang apa yang tidak bo- leh dilakukan. Dalam keadaan
yang lebih ekstrem, hukum dibelokkan ke arah yang dapat membenarkan tindakan yang hendak dilakukan.
Masalah omission dan commission ini dapat lebih
dijelaskan melalui kasus
yang terjadi pada Enron. Kegagalan Enron merupakan kegagalan direksinya; mereka tahu semua
yang terjadi, perkongsian rahasia, ben- turan kepentingan, dan rekayasa catatan keuangan, dan ini
semua meru- pakan
kesalahan commission. Hal ini bukan saja merupakan penerapan integritas yang lemah,
melainkan sudah merupakan pelanggaran hukum yang berat. Dari segi kesalahan omission, mereka bertindak
tidak pada tempatnya,
atau bersifat tidak tanggap, atau sama sekali tidak mengerti peranannya sebagai anggota
direksi. Dengan kata lain, mereka tidak ber- tindak sebagai profesional layaknya.
Mengenai
masalah perbankan di Pakistan, Ishrat Husain mengatakan kepada para bankir di sana agar
mereka tidak mempermainkan integritas pribadi, dan jangan merusaknya dengan melakukan
praktik-praktik yang bertentangan dengan standar etika dasar profesi. Husain
menambahkan, tindakan
yang tidak bertanggung jawab dari segelintir bankir akan me- nimbulkan kerusakan dan membawa
nama buruk bagi keseluruhan pro- fesi bankir.
Dari uraian
ini tersirat adanya dua kata yang bersifat kunci, dan ber- peran dalam melaksanakan tugas
pemberian kredit bagi bank. Dua kata yang dimaksud adalah
integritas dan
profesionalisme.
Integritas berarti kesatuan yang utuh atau komplit. Kata ini mengandung
banyak makna, merupakan kumpulan sejumlah kebajikan11 atau prinsip moral, meliputi
kejujuran, loyalitas, peradaban, rasa hormat, ke-
beranian, dan kerendahan hati. Semua prinsip
moral itu membentuk sua- tu kesatuan dalam jangka panjang; kuncinya, menurut Anna
Bernasek, terletak
pada tiga unsur: keterbukaan, norma-norma, dan akuntabilitas.
Menurut Joseph Migga Kizza, integritas bersifat tidak
koruptif, me- miliki
pandangan, kecintaan, dan komitmen terhadap apa yang harus dilakukan. Dalam integritas,
kata Stephen R. Covey, tidak terdapat perbe- daan antara niat dan tingkah laku, dan selalu meninggalkan
impresi yang benar.
Menurut David L. Norton, integritas merupakan identifikasi sese- orang dengan nilai-nilai
tertentu, merupakan komitmen orang itu untuk mengaktualisasikan, melanggengkan, dan mempertahankan
nilai-nilai tersebut,
yang antara lain yang telah disebutkan di atas.
Bagi
Socrates, kesetiaan yang utuh dan tidak tergoyahkan terhadap nilai-nilai merupakan panglima,
atau Tuhannya; dan kesetiaan itu me- miliki kedudukan yang lebih tinggi atau merupakan pribadi yang
benar. Selain itu,
integritas merupakan kepatuhan kepada kode etik dan satu set nilai-nilai, dan bagaimana
tindakan sesuai dengan kepercayaan yang dianut; dan merupakan ukuran keterpautan dan konsistensi dalam
mem- bentuk dan
mempertahankan kepercayaan atau trust. Integritas, bagi Covey, juga merupakan nilai keberanian dalam bertindak sesuai
dengan nilai-nilai
dan kepercayaan yang dianut. Tetapi, integritas dapat rusak seketika, karena tindakan yang
berlawanan dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral tersebut.
Menurut Bernasek, integritas mengandung dua komponen. Pertama, suatu tingkat kepercayaan, karena seseorang mengikuti aturan yang ada, mengatakan
yang benar, dan bertindak hati-hati dalam bekerja. Kedua, kepercayaan itu sendiri, bahwa percaya terhadap suatu tingkat
kepercayaan kepada penjual atau pihak dengan siapa seseorang berhubungan atau bertransaksi. Percaya dan tingkat kepercayaan membentuk
hubungan berdasarkan kepercayaan dan integritas. Konsep integritas membawa konsekuensi tanggung jawab,
yang didukung dengan konsistensi dan prediktabilitas. Konsistensi berkaitan dengan tindakan, sedangkan prediktabilitas
dengan hasil dari tindakan itu.
Integritas melandasi banyak hubungan manusia dalam bertransaksi atau melakukan
kegiatan ekonomi, dan yang memungkinkan transaksi atau kegiatan itu tetap berlangsung. Salah satu sisi dari kegiatan
ekonomi adalah memproduksi atau menjual barang dan jasa. Jika kegiatan ini dilakukan dengan konsep integritas, kegiatan itu
akan tetap berlangsung karena
memiliki
nilai yang mendukung. Pekerjaan memproduksi atau menjual itu perlu dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan tentang itu, dan
dilakukan dengan baik dan penuh tanggung jawab demi kepuasan pihak yang dilayani. Pengertian ini disebut sebagai profesionalisme, yang
mementingkan keutuhan
profesinya dengan menerapkan konsep integritas. Jadi, integritas dan profesionalisme merupakan dua konsep yang berdekatan dan bersinggungan.
Menurut
Kizza, integritas merupakan salah satu pilar profesionalisme. Integritas lebih menyangkut pada keutuhan bagaimana bertindak dengan
memperhatikan prinsip-prinsip, nilai-nilai atau kepercayaan yang dianut sehingga berorientasi ke dalam, sedangkan
profesionalisme lebih mengacu pada pelaksanaan suatu tindakan berdasarkan kaidah-kaidah yang ditentukan oleh suatu jenis
pekerjaan atau profesi, untuk keutuhan nilai inti profesi itu dalam kaitan dengan pihak yang
dilayani, jadi mengandung
orientasi ke luar.
Karena itu, profesionalime, yang mendasari profesi atau bidang
pe- kerjaan yang
berkaitan dengan pengetahuan tertentu, memerlukan pe- ngembangan keahlian dan
pengetahuan dalam ruang lingkup tersebut. Seorang profesional memiliki otonomi untuk bertindak dalam
ruang ling- kup ini
guna melayani pihak yang memerlukan jasa atau produknya.
Dalam kaitan dengan krisis keuangan atau kegagalan bank,
pembe- rian kredit
yang berlebihan pada dasarnya menyangkut hubungan antara agen dan prinsipal. Menurut
Santiago Fernandez de Lis, Jorge Martinez Pages, dan Jesus Saurina, masalah agen dan prinsipal ini dapat
mendo- rong
terjadinya ekspansi kredit yang berlebihan. Para manajer ingin mendorong
peningkatan laba jangka pendek sehingga mengambil risiko yang lebih tinggi.
Jika para manajer itu bertindak secara profesional dengan
menggu- nakan
keahlian yang dimiliki, mereka akan mempertimbangkan keun- tungan yang mungkin diperoleh
dengan risiko yang dihadapi. Demi ke- pentingan kelanjutan usaha dari institusi tempat mereka
melakukan pro- fesinya,
mereka juga wajib menyeimbangkan kepentingan jangka pendek dengan kepentingan jangka
panjang. Lis, Pages dan, Saurina berpendapat bahwa pemberian kredit atau ekspansi kredit yang berlebihan
ini meru- pakan
salah satu penyebab penting timbulnya NPL.
Bagi suatu perekonomian di tingkat makro, beberapa ahli
menyebut- kan bahwa
ekspansi kredit yang berlebihan terjadi jika pertumbuhan kre- dit melebihi pertumbuhan
pendapatan nasional bruto. Penentuan jumlah yang tepat dengan risiko yang dapat diterima, serta
memperhatikan kepentingan jangka pendek dan panjang, dalam konteks agen atau
bawahan bertitik
tolak pada tingkat profesionalisme dan integritas seseorang.
Pemberian kredit melalui cara-cara yang tidak sehat merupakan
tin- dakan yang
bertentangan dengan prinsip profesionalime yang baik. Teta- pi, jika pemberian kredit itu
dilakukan demi kepentingan pihak tertentu, masalah itu merupakan gangguan yang serius terhadap etika dan
integ- ritas, dan
dapat berakibat pada pelanggaran hukum atau ketentuan yang berlaku. Bagi Djohanputro dan
Kountur, masalah integritas dan kompe- tensi yang berkaitan dengan profesionalisme merupakan faktor
yang da- pat
memengaruhi tinggi rendahnya NPL.
Scott J. Vitell, Troy A. Festervand, dan David L Strutton
melakukan penelitian
mengenai masalah etika dalam lingkungan perbankan. Ma- salah etika di sini dapat
berarti bahwa pelaksana tidak memiliki kadar integritas yang memadai. Mereka mengelompokkan sumber-sumber konflik etika di semua lapisan
administrasi bank ke dalam tiga kategori. Pertama, transaksi orang
dalam. Aktivitas ini pada dasarnya berkaitan dengan situasi adanya tekanan dari direksi atau pimpinan
puncak ke- pada
bawahan untuk menggunakan jasa-jasa yang dimiliki dan dikon- trol oleh pihak tersebut, atau
melakukan pemberian pinjaman kepada keluarga atau teman. Kedua, situasi yang berkaitan dengan hubungan antara bank dan bankir, seperti
menerima imbalan karena pinjaman nasabah disetujui dan direalisasikan oleh bank, atau menerima
hadiah jika bank
membeli barang dari penyuplai. Ketiga, dalam mencari dana masyarakat, bank dapat terekspos pada masalah etika atau
bahkan me- lakukan
tindakan melanggar etika. Hal ini juga terjadi pada perbankan di Indonesia, di mana bank
pemerintah (daerah) harus mengeluarkan dana tambahan di bawah meja untuk memperoleh dana dari
perusahaan pemerintah
lainnya.
Hasil penelitian Vitell, Festervand, dan Strutton
menyimpulkan, an- tara
lain, benturan antara kepentingan organisasi dan etika pribadi meru- pakan sumber konflik yang
paling sering terjadi, dan keperluan keuangan pribadi adalah faktor yang paling mungkin dapat memengaruhi
seorang eksekutif
untuk melakukan keputusan yang tidak etis. Tindakan yang ti- dak etis ini menunjukkan
lemahnya kadar integritas dari pihak bank.
Jika kita
berbicara dalam konteks kelompok atau institusi seperti bank, integritas dimulai dari
tingkat direksi atau bahkan pada tingkat pimpinan yang lebih tinggi. Peter Verhezen menekankan hubungan
an- tara relevansi
integritas pribadi dengan integritas sebagai seorang profe- sional, dan antara strategi
untuk menerapkan kepatuhan terhadap penge- lolaan risiko dengan mempertahankan reputasi korporasi atau
institusi. Direksi
perlu memiliki integritas yang pada dasarnya menekankan pene- rapan komitmen moral. Dengan
komitmen moral ini, direksi akan dapat mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku, dan nilai-nilai
yang ditun- tut
oleh profesi sehingga dapat mengelola atau bahkan mengurangi risiko yang dihadapi. Dalam lingkungan
perbankan, pengelolaan risiko merupa- kan pekerjaan yang bersifat krusial bagi direksi, dan
menentukan perja- lanan
kehidupan bagi bank itu sendiri. Jika dilakukan secara profesional, pengelolaan risiko itu akan
dapat menyelamatkan bank dari guncangan ekonomi makro dan akhirnya akan dapat menciptakan dan
meningkatkan reputasi
direksi dan bank sebagai institusi.
Untuk
mengatasi kasus-kasus penyelewengan atau penyimpangan di perbankan, banyak pihak
menyarankan agar peraturan diperketat, sanksi pidana diperberat, dan kepatuhan terhadap penerapan corporate governance lebih
ketat diawasi. Namun, hal ini saja tidak menjamin pe- nyelewengan itu tidak terulang.
Menurut Komite Cadbury dari Inggris, hal yang dapat menjamin agar penyelewengan tersebut tidak
terulang kembali
adalah kualitas manusia, kejujuran, integritas, dan sikap hati- hatinya.12 Dalam
menghadapi persoalan yang sama di industri perbankan Nigeria, para pejabat perbankan
sependapat untuk meningkatkan kadar etika dan profesionalisme di lingkungan perbankan sebagai
agenda yang harus
dilakukan. Dalam hal integritas, mereka juga berpendapat bahwa perbankan harus memiliki
kesempurnaan tanpa kompromi.13
Dalam agama
Islam, profesionalisme berarti mengambil kekuatan
melalui Tuhan, yaitu mencintai apa yang
dilakukan, memperbaiki kuali- tas diri, menambah pengalaman, membuat janji yang benar-benar
dapat dilakukan,
dan melakukan sesuatu lebih baik dari apa yang telah dijanji- kan kepada orang lain.14
Menurut Aa
Gym dan Hermawan Kartajaya, seorang muslim dapat dianggap sebagai profesional, jika dia memenuhi dua hal. Pertama, menjaga
nilai-nilai, antara lain kejujuran, tepat janji, dan etos kerja.
Kedua, nama baiknya
terbentuk ketika sedang mencari nafkah atau menjemput rezeki. Di samping itu, profesionalisme
juga berarti adanya kebanggaan akan pelaksanaan pekerjaan yang telah dipahami dengan baik, dan
mengetahui apa yang
tidak diketahui, dan niat untuk terus belajar.
Dengan demikian, dalam bank syariah, profesionalisme berarti percaya
terhadap nilai- nilai
Islami, dan membawa nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dan pekerjaan. Keberhasilan bank
syariah dalam menjalankan usahanya tidak saja karena tututan tugas profesionalisme para eksekutifnya,
tapi juga merupakan
tanggung jawab terhadap Tuhan.
Untuk menunjukkan pentingnya integritas, dikatakan bahwa orang yang paling baik dipilih untuk
bekerja adalah orang yang kuat dan dapat dipercaya (QS Al-Qashash [28]: 26). Untuk menggambarkan
pentingnya profesionalisme,
dikatakan bahwa dalam melakukan pekerjaan, lakukan- lah takaran yang benar dan
sempurna ketika menakar, dan gunakanlah timbangan yang benar (QS Al-Isra' [17]: 35). Dalam melakukan
pekerjaan secara
berkelompok dan untuk kelompok, Al-Quran mengatakan kepada orang-orang yang beriman, agar
bertakwa bersama orang-orang yang benar (QS Al-Taubah [9]: 119). Ayat ini menganjurkan agar
profesionalisme dan integritas harus dijaga secara bersama dan untuk kepentingan
bersama.
Imam Thabrani
mengungkapkan beberapa sabda Nabi Saw. yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi sebagai amanah. Nabi Saw.
ber- sabda bahwa
Allah sesungguhnya tidak memandang bentuk kamu, dan ti- dak pula kepada kebangsawanan
kamu, dan tidak pula pada harta kamu, melainkan hati kamu dan perbuatan kamu; Allah menyukai orang
yang bekerja,
apabila dia bekerja dengan baik. Hadis riwayat Baihaki menyebutkan bahwa
sesungguhnya Allah senang, jika salah seorang di antara kamu mengerjakan suatu
pekerjaan yang dilakukan secara profesional.15 Untuk itu, pihak
yang terkait dengan perkreditan harus bersifat amanah dan shiddiq serta profesional
atau fathanah.
Pihak yang terkait dengan perkreditan
harus bersifat amanah dan shiddiq serta profesional atau fathanah.
|
Hipotesis
Variabel Kedua: Integritas dan profesionalisme
semua pejabat yang
terkait dengan perkreditan dapat memperkecil timbulnya NPL pada bank konvensional.
Integritas dan profesionalisme semua pe- jabat yang terkait dengan pembiayaan dapat memperkecil timbulnya
NPF pada bank
syariah. Integritas dan profesionalisme semua pejabat terkait
dengan pembiayaan pada bank syariah lebih tinggi dibandingkan dengan pejabat terkait dengan perkreditan di bank konvensional.
dengan pembiayaan pada bank syariah lebih tinggi dibandingkan dengan pejabat terkait dengan perkreditan di bank konvensional.
Kajian
terdahulu mengenai pengalaman NPL di beberapa negara me- nunjukkan, bahwa terjadinya NPL
juga disebabkan oleh penyelewengan internal yang disengaja di dalam bank. Nik Mohamed bin Nik
Yusoff Af- fandi
menggambarkan bahwa pelakunya adalah eksekutif yang memiliki kapasitas intelektual yang
tinggi, berpendidikan, berpengalaman, dan profesional, yang merencanakan dan melakukan
penyimpangan-penyim- pangan di tempat mereka bekerja. Menangkap dan memproses
mereka melalui
pengadilan tidak mudah karena, menurut Banks McDowell, tin- dakan tidak etis sering
tersembunyi, tidak mudah terlihat. Hal ini terjadi karena
penyimpangan-penyimpangan itu dilakukan dalam ruang lingkup pekerjaan dengan unsur teknis
yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut. Hanya orang yang mengerti teknis pekerjaan yang samalah yang
akan da- pat
melihat adanya penyimpangan yang dilakukan.
Kajian literatur menunjukkan bahwa banyak penyelewengan yang terjadi dipengaruhi oleh
lingkungan eksternal yang merasuki dunia kor- porasi dan perbankan, antara lain gelombang komersialisasi dan
mate- rialisme yang
berlebihan. Beberapa ahli menjelaskan penyelewengan di lingkungan korporasi akibat
pengaruh eksternal ini sebagai berikut.
Pertama, institusi ekonomi
bergantung pada keyakinan timbal balik dalam hal kejujuran dan transaksi yang adil bagi banyak pihak.
Namun, kekuatan
pasar tidak menyediakan perlindungan yang cukup dari free riders, orang-orang
yang mencari keuntungan dari norma integritas yang umum, tetapi tanpa memenuhi
norma-norma tersebut secara pribadi. James Q. Wilson menjelaskan bahwa
"penumpang gelap" ini adalah orang yang memperoleh tumpangan dan menikmatinya, tanpa
berkontribusi terhadap
biaya yang diperlukan; dia tidak merasa bersalah secara moral karena tidak ada yang secara
langsung dirugikan.
Kedua, di dalam budaya di
mana uang dapat membeli tidak saja barang dan jasa tetapi juga kekuasaan dan status, menurut
Deborah L. Rhode,
kompensasi ekonomis dapat memiringkan proses pengambilan keputusan dalam cara yang dapat
diperkirakan.
Ketiga, menurut Rhode,
mengutamakan kepentingan pribadi dapat pula memiringkan pembuatan keputusan yang bersifat etis.
Keempat, menurut Vitell,
Fastervand, dan Strutton, kepentingan keuangan pribadi seseorang merupakan faktor yang paling
mungkin me- mengaruhi
eksekutif untuk mengambil keputusan yang tidak etis.
Kelima, menurut Lago, bank
bersifat rawan terhadap penyakit yang menyimpang dan, jika ada, sulit untuk dideteksi atau
digagalkan sebelum terjadi.
Penyelewengan terjadi tidak hanya di negara maju, tetapi juga
di lingkungan
perbankan di Indonesia. Menurut Rafik Beekun, berbagai penyelewengan itu menunjukkan
kelemahan sistem kapitalisme. Untuk mengatasinya, sistem homo
islamicus yang dituntun oleh hukum atau petunjuk dari Allah Swt. harus
dipilih sehingga orang dapat bertindak secara etis.
Dalam banyak kasus penyelewengan di perbankan, keterlibatan manajemen puncak atau eksekutif
kunci merupakan gejala yang umum. Penyebab terjadinya penyelewengan seperti ini, menurut
Muhammad Abdul
Ghani, adalah manajemen yang tidak amanah, sedangkan menurut Janani Harish adalah tindakan
yang tidak bertanggung jawab dari para eksekutif.
Tampaknya, rasa tanggung jawab saja tidak cukup untuk membuat orang bertindak etis. Karena
itu, rasa tanggung jawab dari para eksekutif ini perlu dipertegas dan diperluas, yaitu tidak hanya terbatas
pada para pemilik
saham dan para deposan, tapi juga mencakup para stakeholder yang lain.
Bahkan, menurut Ghani, ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu yang bersifat transendental.
Dalam menentukan stakeholder yang lebih tinggi pada akhirnya kita perlu mengaitkan segala
kegiatan manusia di dunia dengan apa yang di- perintahkan oleh Sang Pencipta. Dalam konteks agama, terutama
Islam, satu-satunya
pemilik kepentingan atau stakeholder, bahkan shareholder yang paling tinggi adalah Tuhan Yang Maha Esa karena Tuhanlah
pemilik mutlak apa
yang ada di dunia. Dalam Surah Al-Qiyamah (75: 36) dika- takan manusia akan diminta
pertanggungjawabannya atas segala yang diperbuatnya di dunia.
Pekerjaan dalam bidang perkreditan, terutama dalam pengambilan keputusan, bersifat sangat
teknis. Namun, pengambilan keputusan kredit mengandung pertimbangan individu, intuisi, dan keyakinan
pengambil keputusan
berdasarkan nurani. Karena menyangkut nurani, kebenaran pengambilan keputusan hanya
dapat diketahui oleh orang yang mengam- bil keputusan. Nurani seseorang hanya dapat dikontrol dengan
adanya hubungan
dengan Tuhan. Makin dekat hubungan ini, makin terkontrol nurani seseorang, dan makin
besar kaidah moral agama16 diterapkan da- lam pengambil keputusan.
Besar-kecilnya hubungan seseorang dengan Tuhan, atau acuan moralitas agama yang digunakan, diukur
dengan kadar
spiritualitas. Makin tinggi kadar spiritualitas dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan
perkreditan, makin jauh kemungkinan pe- nyelewengan yang dapat terjadi. Secara teoretis, kadar
spritualitas, yang dimanifestasikan
ke dalam iman dan takwa, seyogianya lebih tinggi pada bank syariah, dibandingkan pada
bank konvensional karena bank syariah lebih dekat dengan prinsip-prinsip tauhid.
Pengambilan keputusan yang baik, menurut Robert E. Gunther, harus mengacu pada arah yang
benar, yang perlu dituntun oleh kompas agama. Penggunaan kompas agama dirasakan lebih krusial dalam
peng- ambilan
keputusan kredit mengingat di belakangnya terdapat kepenting- an masyarakat luas atau umat.
Mengenai pengambilan keputusan ini, termasuk dalam pengambilan keputusan kredit, Franz Magnis
Suseno menjelaskan
dalam kaitannya dengan Tuhan. Menurut Suseno, setelah melalui proses pengambilan
keputusan yang umum dan memadai, orang akan mengikuti suara hatinya sebagai suatu kewajiban mutlak
untuk diikuti,
karena merupakan hal yang jujur dan sungguh-sungguh dengan penuh kesadaran, dan keputusan
itu dibuat seolah-olah di hadapan Allah sebagai saksi.
Namun, jika ditilik lebih dalam, penjelasan Suseno ini
dirasakan per- lu
lebih dilengkapi. Pengambilan keputusan yang mengikuti hati nurani seseorang merupakan tingkatan
rasa kedua yang lebih tinggi setelah rasa biasa yang dimiliki manusia normal; menurut Saefullah,
tingkatan rasa yang
paling tinggi adalah jika orang mendekati pada Sang Pencipta. Ka- rena itu, dalam pengambilan
keputusan, orang tidak hanya perlu mem- perhatikan atau mengikuti nuraninya, tetapi juga perlu
mengindahkan petunjuk-petunjuk
yang ditetapkan oleh agama.
Bidang kehidupan yang berkaitan dengan buku ini telah diatur dalam Al-Quran, yaitu dalam
ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum syariah yang meliputi larangan terhadap riba (QS Al-Baqarah
[2]: 275; QS
Al-Nisa' [4]: 29) dan kerangka pembiayaan yang diizinkan dan telah disediakan seperti transaksi
jual-beli (murabahah), konsep usaha kerja sama bagi hasil
(mudharabah), dan lainnya. Namun, ketentuan ini
hanya diterapkan
pada bank syariah, yang berbeda dengan bank konvensional dengan sistem riba dan akad
yang berbeda.
Menurut penulis, sebagai penganut agama Islam, penyimpangan dan
penyelewengan yang terjadi
pada bank konvensional selama ini dan terjadinya krisis perbankan dari waktu ke waktu merupakan alasan kenapa
riba dilarang oleh
Allah Swt. Walaupun secara empiris telah ditunjukkan oleh fakta-fakta kejadian, dan logika dapat menerimanya, masalah ini
tidak menjadi ruang
lingkup buku ini. Khusus yang berkaitan dengan variabel kadar spiritualitas, buku ini mengkaji bagaimana orang tidak
menyimpang dari
tanggung jawab sosialnya terhadap para pemilik dana yang merupakan masyarakat luas.
Ditinjau dari kegagalan-kegagalan bank di dunia dan
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi, inti masalahnya berkisar pada pengambilan
keputusan dan pekerjaan
yang tidak memenuhi unsur-unsur seperti kepentingan profesi, dengan menerapkan seluruh
pengetahuan yang diperlukan dalam koridor integritas dan profesionalisme yang tinggi. Namun, banyak
aspek dalam pemrosesan
dan persetujuan kredit memerlukan pertimbangan, akal sehat, keyakinan, dan yang
lebih dalam lagi bersandar pada hati nurani seseorang, mengenai apa yang dianggap benar dalam konteks
kelayakan kredit
yang menyangkut kemampuan dan kemauan bayar calon debitor di masa depan. Dalam hal ini,
hati nurani seseorang merupakan kontrol terakhir dalam mengambil keputusan dan bekerja, dan menurut pendapat Suseno di atas, di
situ Tuhan bersaksi. Orang akan melakukan apa yang baik untuk profesi dan lingkungan tanggung jawabnya,
jika memegang teguh
kepada komitmen terhadap agama dan Tuhannya.
Gary R. Weaver dan Bradley R. Agle berkesimpulan dari
penelitian- nya
bahwa cukup beralasan jika unsur keagamaan memengaruhi tingkah laku etika dalam organisasi.
Hanya saja, mereka berpendapat bahwa ri- set yang bersifat interdisiplin yang kreatif diperlukan untuk
menentukan bentuk
hubungannya.
Penyimpangan dan
penyelewengan yang terjadi pada
bank konvensional selama ini dan terjadinya krisis perbankan dari waktu ke
waktu merupakan alasan kenapa riba dilarang oleh Allah Swt.
|
Menurut Md. Zabid Rashid dan Saidatul Ibrahim, agama dan ke- budayaan memengaruhi persepsi
etika bisnis. Bagi K.F. Weibe dan J.R. Fleck, orang yang menganut suatu agama sebagai fokus sentral
dari kehidupan intrinsiknya cenderung lebih peduli terhadap standar moral, di- siplin, dan tanggung jawab yang
lebih tinggi dibandingkan dengan orang
yang tidak beragama. Di mata E.J. Kennedy dan L. Lawton, agama men- dorong atau menolak tingkah laku sosial, dan merupakan institusi yang mengontrol kepercayaan dan tingkah laku. Adapun Donald M. Broom berpendapat, baik dalam agama Kristen, Yahudi, maupun Islam, keper- cayaan bahwa Tuhan Mahatahu merupakan dorongan yang sangat kuat agar manusia bertingkah laku dengan baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Broom menambahkan bahwa akibat keperca- yaan bahwa Tuhan Mahatahu, tindakan individu yang merugikan orang lain berkurang secara signifikan.
yang tidak beragama. Di mata E.J. Kennedy dan L. Lawton, agama men- dorong atau menolak tingkah laku sosial, dan merupakan institusi yang mengontrol kepercayaan dan tingkah laku. Adapun Donald M. Broom berpendapat, baik dalam agama Kristen, Yahudi, maupun Islam, keper- cayaan bahwa Tuhan Mahatahu merupakan dorongan yang sangat kuat agar manusia bertingkah laku dengan baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Broom menambahkan bahwa akibat keperca- yaan bahwa Tuhan Mahatahu, tindakan individu yang merugikan orang lain berkurang secara signifikan.
Sebagai kesimpulan dari bagian ini, dalam mengambil keputusan yang baik, orang akan
menggunakan seluruh informasi yang dapat dipe- roleh dan telah pula diverifikasi, dan menerapkan pengetahuan
dan ke- ahliannya,
dalam mengekstrapolasikan informasi dan pengetahuan itu ke depan, disertai dengan
keyakinan dan nuraninya. Ketika dia menggunakan pertimbangan nuraninya, di
situ dia merasakan untuk menggunakan kompas agama. Dengan kesaksian Tuhan, orang akan dapat
mengambil keputusan
yang terbaik bagi profesinya. Dengan demikian, tatkala pemu- tus kredit menggunakan
pendekatan seperti ini dalam pengambilan kepu- tusannya, dapat diperkirakan bahwa keputusan itu merupakan
keputusan yang
terbaik bagi profesi dan kepentingan bank serta masyarakat luas, sehingga bank dapat memperkecil
kemungkinan timbulnya NPL/NPF.
Hipotesis Variabel Ketiga:
Makin tinggi kadar spiritualitas pejabat perkreditan terkait dalam pemrosesan dan pengambilan keputusan
kre- dit, makin
kecil timbulnya NPL pada bank konvensional. Makin tinggi kadar spiritualitas pejabat
pembiayaan terkait dalam pemrosesan dan pengambilan keputusan pembiayaan, makin kecil timbulnya NPF
pada bank syariah.
Kadar spiritual pejabat perkreditan atau pembiayaan terkait dalam pemrosesan dan
pengambilan keputusan kredit atau pembiayaan lebih tinggi pada bank syariah dibandingkan bank konvensional.
Pengertian
mengenai kepemimpinan bermoral (moral
leadership) dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, kepemimpinan adalah keinginan (will) atau tekad untuk mengontrol kegiatan atau peristiwa,
pengertian akan
pemetaan arah perjalanan, dan kekuatan untuk melaksanakan pe- kerjaan dengan baik, dengan
menggunakan keahlian dan keterampilan orang lain yang dipimpinnya.17 Kepemimpinan juga
berarti bahwa seo- rang
pemimpin memahami sifat khusus kontrak moral dan sosial dengan para konstituennya, dan dapat
mengatasi masalah dalam dirinya.
Dalam
mencapai visi yang diembannya sebagai tujuan bersama, ke- pemimpinan merupakan kapasitas
atau kompetensi untuk dapat mem- bawa dari suatu keadaan ke keadaan lain sebagai visi yang diinginkan, dengan bekerja sama dengan
orang yang dipimpinnya, dan mengarahkan mereka ke arah visi itu. Kepemimpinan merupakan komitmen yang
utuh untuk
bersama-sama mencapai visi bersama itu, berdasarkan aspirasinya. Kepemimpinan juga merupakan
tanggung jawab yang tidak bisa dilepas- kan dan selalu melekat pada dirinya. Untuk itu, dalam
pengarahannya, pemimpin
harus dapat memberikan motivasi kepada para bawahannya, sekaligus dapat melakukan
tindakan pengawasan dan disiplin yang diper- lukan sehingga visi itu dapat dicapai.
Dalam
perbankan, konsituen yang dimaksud oleh Donald G. Krause adalah para pemilik dana dan
para stakeholder lainnya. Makna yang dikan- dung oleh pengertian kepemimpinan ini dijelaskan oleh John
Kotter dari Harvard
Business School secara singkat, dengan mengungkapkan apa yang sesungguhnya perlu dilakukan
oleh seorang pemimpin. Menurut Kotter, tugas-tugas seorang pemimpin meliputi, pertama, menentukan arah
de- ngan membangun
visi masa depan melalui strategi dan upaya yang diper- lukan sehingga visi itu dapat
terealisasi; kedua, memadukan orang melalui komunikasi dan perbuatan sehingga orang yang dipimpinnya
memahami dan dapat
melaksanakan dalam kesatuan kerja sama untuk mencapai visi yang diinginkan; ketiga, memotivasi dan
memberi inspirasi orang yang dipimpinnya agar dapat mengatasi segala hambatan,
dan tetap bersemangat dan memberikan perhatian yang penuh terhadap pencapaian visi.
Kedua, bermoral artinya seseorang selalu menggunakan kesadaran dan kompas moralnya serta
nilai-nilai etika sebagai alat pembimbing dia dalam melakukan setiap tindakan. Menurut Herd Baum, tindakan
sese- orang yang
bermoral selalu memperhatikan nilai-nilai etika yang utama, meliputi nilai kejujuran dengan
mengutamakan kebenaran melalui keter- bukaan atau transparansi.
Atribut moral
ini juga digunakan oleh seorang pemimpin untuk mem- berikan inspirasi bagi
bawahannya dalam bertingkah laku dan dalam me- lakukan pencapaian visi. Pencapaian visi ini merupakan tujuan
kelompok, organisasi,
atau masyarakat, bukan tujuan pribadi sang pemimpin. Me- nurut Rhode, kepemimpinan
bermoral menyangkut tindakan bermoral
yang dilakukan pemimpin, sekaligus merupakan kapasitas yang dapat mengilhami tindakan seperti itu kepada pengikutnya. Kepemimpinan ini, kata Burns, memimpin bukan dengan kekuasaan semata, melainkan berdasarkan keperluan yang timbal balik, aspirasi, dan nilai-nilai.
yang dilakukan pemimpin, sekaligus merupakan kapasitas yang dapat mengilhami tindakan seperti itu kepada pengikutnya. Kepemimpinan ini, kata Burns, memimpin bukan dengan kekuasaan semata, melainkan berdasarkan keperluan yang timbal balik, aspirasi, dan nilai-nilai.
Kepemimpinan
dengan atribut moral dan nilai-nilai etika dalam melaksanakan tugas untuk merealisasikan visi
merupakan faktor yang
sangat krusial dalam perkreditan. Kegiatan sentral dari pekerjaan dalam perkreditan adalah ketika seseorang harus
melakukan keputusan kredit. Pengambil keputusan kredit tertinggi adalah presiden
direktur, yang
merupakan pimpinan tertinggi suatu bank sekaligus merupakan pimpinan komite kredit bank
tersebut. Karena itu, menurut David J. Fritzsche, kepemimpinan bermoral akan selalu mengambil
keputusan dengan
menggunakan kompas moral, yang diikuti oleh bawahannya. Keputusan ini harus diambil
berdasarkan data dan informasi faktual yang memadai, memperhatikan kepentingan semua pihak yang
terkait dengan
keputusannya itu, serta menggunakan pertimbangan secara sadar dan dapat
dipertanggungjawabkan. Kepemimpinan yang bermoral akan mendorong terciptanya kultur
organisasional yang bermoral pula.
Sebagai
pemimpin yang bermoral, kata Jo Ann S. Barefoot, ekseku- tif harus memilih tanpa
menyimpang dari jalur etika walaupun kurang menguntungkan; dia harus menghukum kesalahan yang menyimpang dari etika walaupun menyangkut
hal atau orang yang disenanginya. Tan- pa moralitas, hukum pun menjadi kurang berguna.
Self interest merupakan kekuatan pendorong
utama dalam ekonomi pasar bebas dan merupakan penyebab utama tingkah laku yang
tidak etis di dalamnya.
|
Menurut
Nitibaskara, orang yang bijak adalah orang yang hidup sesuai dengan
ketentuan-ketentuan moral, dalam batasan apa yang dianggap baik dan benar oleh
masyarakat. Kebijakan moral ini, di mata Curtis C. Verschoor, menjadi perangkat lunak dalam suatu
organisasi, dan
merupakan unsur yang paling penting dalam menjamin bahwa orga- nisasi dapat mencapai hal-hal
berikut: 1). Kepatuhan terhadap peraturan hukum dan masyarakat. 2). Ketentuan dari manfaat umum terhadap
masyarakat dengan peningkatan kepentingan
stakeholder baik dalam jangka panjang maupun pendek. 3).
Kepuasan dengan norma-norma bisnis yang umumnya diterima, ketentuan etika, dan harapan sosial dari
masyarakat. 4).
Tanggung jawab yang tulus terhadap pemilik dan seluruh stakeholder.
Self interest merupakan
kekuatan pendorong utama dalam ekonomi pasar bebas dan merupakan penyebab utama tingkah laku yang
tidak etis di
dalamnya. Hal ini terjadi karena self
interest berarti perhatian kepa- da kepentingan diri sendiri.
Jika penekanannya berlebihan, kata Patricia Aburdene, self interest menjadi faktor kerakusan. Tapi sejauh dapat di- tempatkan secara wajar, self interest tidak dapat
dihilangkan karena me- rupakan penggerak semangat bagi manusia untuk menjalani
kehidupan. Namun
dalam menerapkannya, orang cenderung melupakan unsur mora- litas itu, dengan mencapainya
tanpa batasan apa pun sehingga cenderung menghalalkan cara-cara yang dapat merugikan orang lain.
Sebelum krisis 1997/1998, Bank Summa dan Bank Pacific terpaksa ditutup oleh pemerintah karena
NPL yang besar. NPL ini, sebagai akibat dari pemberian kredit yang sembrono dan untuk kepentingan diri
atau grup sendiri,
merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab oleh pimpinan yang paling
berpengaruh dan menentukan pada kedua bank itu. Contoh-contoh serupa dapat disebutkan di sini, antara
lain Enron, Maddoff,
Bank Century, Bank Duta, dan Bank Mandiri qq E.C.W Neloe, dan sebelumnya Subekti Ismaun,
serta Richard Severin Fuld Jr dari Lehman Brothers. Para presiden direktur
dari perusahaan atau bank terse- but secara gamblang melakukan bisnis yang melewati kewajaran.
Risiko yang diambil
terlalu besar, dan di antaranya bahkan melakukan rekayasa yang substansinya merupakan
tindakan yang menyimpang dari segi hu- kum.
Di Bank Century, presiden direktur dan pemilik mayoritas bank menggelapkan dana investasi
nasabah yang dikelola oleh dua perusahaan sekuritas yang dimiliki oleh pemilik bank tersebut. Ternyata,
kedua per- usahaan
sekuritas itu tidak memiliki izin dari otoritas yang berwenang. Pada Bank Duta, yang akhirnya
ditutup, wakil presiden direktur yang berkaitan dengan salah satu anak dari puncak kekuasaan
melakukan per- dagangan
valuta dengan margin (margin trading).
E.C.W. Neloe, ketika menjabat sebagai presiden direktur Bank
Mandiri, memutuskan sendiri pemberian kredit berjumlah US$ 18,5 juta pada 2002-2003. Justifikasi
pemberian kredit sangat lemah sehingga bernuan- sa kolutif dan koruptif, yakni keputusan dilakukan dengan
sangat instan tanpa
menunggu analisis yang diperlukan. Sebelumnya, pada 1994, kasus kredit macet terbesar terjadi
di Bapindo (sekarang melebur dengan Bank Mandiri). Subekti Ismaun, Presiden Direktur Bank Bapindo
ketika itu, beserta
dua anggota direksi, memberikan kredit terbesar dalam sejarah perbankan di Indonesia senilai
Rp 1,3 triliun kepada Golden Key Group milik Eddy Tansil. Pemberian kredit yang sangat tidak sehat
dan bersifat koruptif
itu sampai saat ini tidak terselesaikan, bahkan Eddy Tansil sen- diri telah lama melarikan diri.
Semua kejadian
itu akan dapat dihindari jika para pemimpin atau para presiden direktur dapat mengalahkan kepentingan pribadi
atau ke- lompoknya
dengan rasa tanggung jawab yang lebih besar, sehingga me- reka memenuhi tuntutan
moralitas sebagai pemimpin badan usahanya. Dalam konteks perbankan, lingkungan kerja di bidang
perkreditan ber- sifat
sangat rapuh dan berpeluang digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Agar perjalanan
kegiatan pemberian kredit tetap berada pada rel yang benar, diperlukan pemimpin dengan tingkat
moralitas yang lebih
tinggi, dan dari segi kepemimpinan diperlukan kepemimpinan yang bermoral.
Dalam
perekonomian Islam, khususnya perbankan syariah, dikotomi antara kegiatan ekonomi dan
moralitas harus diusahakan tidak terjadi. Keduanya harus berjalan seiring dan menyatu sebagai suatu
kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Hal ini telah pula dijalankan oleh kepemim- pinan Nabi Muhammad Saw., yang
menjalankan pekerjaannya sebagai gembala yang profesional dan dapat dipercaya, yang membawa
beliau ke tingkat
yang lebih tinggi, baik dari segi tanggung jawab pekerjaan mau- pun dari kepemilikan materi.
Dalam hal kepemimpinan, Nabi pun mem- berikan contoh kandungan moralitas yang tinggi.
Kepemimpinan dalam Islam bertitik tolak pada kepercayaan dan kepatuhan kepada Allah,
mematuhi semua petunjuknya. Karena itu, pe- mimpin dalam Islam harus memiliki iman dan bertawakal kepada
Allah dengan akidah
yang kuat (QS Al-An'am [6]: 162-163; QS Al-Qashash [28]: 77), dan berinteraksi dengan
Al-Quran dan hadis (QS Ali 'Imran [3]: 31) serta syariah. Salah satu hadis Nabi Saw. menyebutkan bahwa
menjadi pemimpin
itu amanah; jika tidak dijalankan dengan menunaikan hak dan melaksanakan tanggung jawabnya,
kepemimpinanya itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat.18
Hipotesis Variabel Keempat:
Kepemimpinan bermoral puncak pim- pinan suatu organisasi perkreditan dapat memperkecil timbulnya
NPL pada bank
konvensional. Kepemimpinan bermoral puncak pimpinan suatu organisasi pembiayaan
dapat memperkecil timbulnya NPF pada bank syariah. Kepemimpinan bermoral puncak pimpinan suatu
organi- sasi
pembiayaan pada bank syariah lebih tinggi dibandingkan pada bank konvensional.
Menurut
David J. Fritzsche, kultur organisasi adalah suatu kumpulan umum asumsi, kepercayaan, dan
nilai-nilai yang telah dikembangkan dalam organisasi, yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah-masa- lah
yang timbul baik dari lingkungan internal maupun eksternal. Kultur bersifat umum dalam organisasi
karena diikuti dan penerapannya dilaku- kan oleh sebagian besar anggota organisasi. Kultur bertahan
dan diikuti secara
estafet oleh pendatang baru ke dalam organisasi. Kultur berfungsi sebagai identitas bagi segenap
anggota organisasi, meningkatkan komit- men yang lebih tinggi terhadap organisasi, memberikan unsur
yang dapat membangun
stabilitas sistem sosial organisasi, dan memberikan rasiona- lisasi dan arah bagi tingkah
laku bagi segenap anggotanya.
Kultur mengatur lingkungan internal, dan dengan pengaturan itu
da- pat menghadapi
masalah-masalah yang timbul dari lingkungan eksternal organisasi.
Bank merupakan suatu bentuk organisasi yang memerlukan kultur untuk mendorong tercapai
tujuannya, di samping untuk mengatasi sifat bank yang rapuh terhadap penyelewengan. Menurut Surendra
Arjoon, kultur
organisasi dapat dikembangkan untuk menciptakan komitmen terhadap kepatuhan hukum, dan
dapat pula memengaruhi pengambilan keputusan, dan melakukan tindakan yang benar. Untuk itu,
kultur yang tepat
perlu dikembangkan bagi bank dan harus dipusatkan pada nilai etika yang kental. Dalam hal
ini, kata Steven H. Appelbaum, manajemen puncak bertanggung jawab menyebarkan norma dan nilai etika
tersebut sampai ke
bagian terbawah dari organisasi.
Menurut Ishrat Husain, untuk mengatasi masalah perbankan di Pakistan, reputasi jangka
panjang bank harus dipertahankan. Transparansi, keterbukaan penuh, dan sikap kooperatif yang tepat terhadap
nasabah bank merupakan
bagian yang penting dari kultur organisasi yang harus diterapkan. Dalam mengkaji
kasus yang terjadi pada Barings Bank, Drennan berpendapat bahwa runtuhnya bank ini tidak semata-mata
disebabkan kegagalan
individu, yakni tindakan Nick Leeson pada 1991 sampai 1995, yang berada di luar batas-batas
etika dan tanpa tanggung jawab sosial sama sekali. Namun, hal itu juga merupakan kegagalan kultur
korporasi dan
sistem organisasi manajemen, yang membiarkan terjadinya tingkah laku tersebut, karena tidak
adanya unsur pengawasan langsung atau tidak langsung bagi transaksi yang dilakukannya.
Kultur korporasi di Barings tidak dapat mengantisipasi
kemungkinan timbulnya
kerugian akibat risiko operasional, yang memerlukan proses pengawasan yang kuat. Walaupun
telah diperingatkan oleh beberapa profesional yang mengetahui risiko yang mungkin dihadapi
Barings, dewan
direksi tidak mengambil tindakan yang diperlukan. Karena itu, dewan direksi dianggap tidak
menggunakan pertimbangan korporasinya untuk menghentikan kerugian yang ditimbulkan oleh Leeson, atau
bahkan mereka dapat
dianggap tidak mengerti peran atau tanggung jawabnya sebagai direksi sehingga
akhirnya Barings Bank, yang didirikan sebelum tahun 1900, hancur dan ditutup tahun 1995.
Pada 1990,
Bank Duta mengalami kerugian US$ 332 juta akibat spekulasi perdagangan valuta asing oleh wakil presiden
direkturnya. Seperti
halnya Barings, Bank Duta tidak memiliki tata kelola korporasi yang baik, yakni wakil presiden
direktur bekerja sendiri tanpa kontrol terhadap transaksi yang berisiko tinggi. Tata kelola korporasi
yang baik perlu
didukung oleh kultur organisasi yang baik pula.
Alessandro Carretta, Vincenzo Farina, Fiordelisi Franco, dan Paola Schwizer melakukan
penelitian secara empiris mengenai hubungan antara kultur korporasi dan kinerja bank terhadap 35 bank komersial publik di
Eropa tahun 2001-2003. Mereka membedakan tiga macam pendekatan untuk mencapai efektivitas kultur korporasi.
Pertama, orientasi yang
menekankan hasil (result oriented culture), yaitu menggambarkan relevansi yang dikaitkan oleh organisasi pada pencapaian
tujuan. Dalam pendekatan ini, orientasi pada hasil akhir diasumsikan memiliki hubungan
positif terhadap
keuntungan bank, walaupun tidak berhubungan dengan nilai pemilik saham; karena
pendekatan ini dapat berakibat pada peningkatan pendapatan terlepas dari pertimbangan risiko yang harus ditanggung dalam kegiatan
bisnis bank.
Kedua, pengembangan kekuatan
sendiri (own power oriented culture), yaitu pandangan organisasi dalam hal
kecenderungan
untuk bekerja sama atau berbagi, atau dalam hal pentingnya hierarki dan sesuai dengan kriteria orang per orang atau individualistik.
Ketiga, aspek manusia (human
oriented culture), yaitu pandangan yang menekankan arti
sumber daya manusia sebagai bagian yang penting dari bangunan kultur organisasi. Menurut
A. Pettigrew,
faktor manusia bersifat sentral dalam mencapai kinerja yang tinggi, dan karena itu
sumber daya manusia memainkan peranan yang penting dalam pencapaian tujuan bank; dan diasumsikan memiliki hubungan
positif terhadap keuntungan bank dan khususnya penciptaan nilai pemegang saham. Kinerja bank diukur dengan tingkat
keuntungan bank dan nilai pemegang saham.
Dari
penelitian tersebut, kesimpulan yang penting untuk buku ini adalah sebagai berikut. Pertama, adanya hubungan
antara kultur dan ni- lai pemegang saham, dan orientasi kultur tidak meningkatkan
keuntung- an bank
dalam jangka pendek. Namun, kultur korporasi merupakan pen- dorong nilai yang harus
dikontrol oleh bank agar mencapai perubahan strategis. Kedua, dalam hal hasil yang dicapai, kultur bank yang
"lama", yang
menggunakan model organisasi mekanis dan birokratik, merupakan penghambat perubahan. Kultur
"lama" harus diganti dengan kultur yang
berdasarkan kerja sama dan memfokuskan diri pada
sumber daya manusia. Di lain pihak, kultur korporasi yang berorientasi pada
hasil berpenga- ruh
secara negatif terhadap nilai pemegang saham. Hal ini menunjukkan tekanan pada kinerja jangka
pendek dan dapat berakibat pada pengam- bilan risiko yang lebih tinggi, dan pada akhirnya akan merusak
nilai pe- megang
saham.
Daniel R.
Denison dan Aneil K. Mishra meneliti hubungan antara kultur organisasi dan
efektivitas, berdasarkan studi kasus terhadap tiga organisasi, termasuk Texas
Commerce Bancshare (TCB). TCB merupakan suatu contoh keberhasilan sebuah bank di Amerika dengan
menekankan pada
masalah kultur. Sebagai salah satu kelompok bank pasar menengah, TCB merupakan salah satu dari
perbankan di Texas yang berhasil mele- wati pasang-surut perekonomian di Amerika, yang kinerjanya
melebihi bank pusat
keuangan yang lebih besar. Pada 1986, untuk mengambil manfaat dari perubahan UU
Perbankan Antarnegara di Amerika, TCB melebur ke dalam Chemical Bank dari New York.
Dari segi kultur korporasi, Denison dan Mishra menyimpulkan
ka- rakter TCB
sebagai berikut: kepemimpinan bersifat
top-down dan respek
bagi otoritas tinggi, serta menerapkan
praktik-praktik yang seragam dan pengawasan keuangan yang ketat. Organisasi TCB melebar,
seperti yang ditunjukkan
oleh jumlah orang yang terkait dalam suatu persetujuan pin- jaman dalam rapat komite kredit
di atas. Rapat komite kredit digunakan sebagai media untuk sosialisasi terhadap anggota baru,
komunikasi kul- tur
organisasi, dan menyebarluaskan praktik-praktik yang terbaik.
Dari penelitiannya, Denison dan Mishra berpendapat bahwa
kultur memengaruhi
efektivitas, dan keempat ciri kultural (partisipasi atau ke- terkaitan, konsistensi atau
integrasi normatif, adaptabilitas atau kapasitas untuk melakukan perubahan internal terhadap perubahan
eksternal, dan rasa
memiliki misi atau visi jangka panjang yang sama) memiliki hubungan yang
signifikan dengan ukuran subjektif dan objektif dari efektivitas organisasi. Partisipasi dan
keterkaitan tingkat tinggi menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab; makin tinggi tingkat partisipasi,
maka ma- kin tinggi
efektivitas.
Penelitian Denison dan Mishra serta Carretta, Farina,
Fiordelisi, dan Schwizer
tersebut tidak berkaitan langsung dengan tingkat NPL, tetapi berkaitan dengan efektivitas,
keuntungan, atau nilai pemegang saham yang tinggi, yang menunjukkan tingkat NPL yang rendah.
Dalam Islam, Al-Quran menyebutkan bahwa Allah Swt. menyukai orang yang berperang di
jalan-Nya dalam barisan yang teratur. Maksud- nya adalah orang-orang yang bekerja dalam kebenaran atau
berjuang di jalan
Allah Saw. dianjurkan untuk melakukannya dalam barisan yang ter- atur seakan-akan mereka seperti
bangunan yang tersusun kokoh, karena sesungguhnya Allah Swt. menyukainya (QS Al-Shaff [61]: 4).
Agar kum- pulan
orang bekerja dalam kebaikan, diperlukan kesatuan bahasa dan pola tindakan yang sama dalam
melakukan suatu pekerjaan yang serupa.
Dalam manajemen modern, kumpulan orang yang berada di jalan untuk mencapai suatu tujuan
kebaikan itu disebut organisasi atau korpo- rasi, yang dipersatukan dengan suatu kultur yang disebut
kultur organi- sasi
atau kultur korporasi. Dalam bank Islam, budaya yang perlu dikem- bangkan seyogianya adalah
budaya yang merefleksikan nilai-nilai Islam, yang diterapkan dalam setiap hubungan dan perilaku, mulai
hubungan internal,
dengan nasabah, kebijakan dan prosedur, praktik bisnis, dalam menjalankan pekerjaan, sampai
masalah pakaian dan tutur kata, sehing- ga merupakan jalan hidup yang lengkap di jalan Allah Swt.
Dalam
kumpulan itu, manusia dianjurkan untuk bekerja sama dalam mengerjakan kebajikan dan
takwa, bukan tolong-menolong dalam berbuat dosa atau pelanggaran (QS Al-Ma'idah [5]: 2). Menurut Muhammad
Sya- fi'i Antonio,
bank syariah harus mampu bekerja berdasarkan
team work dengan distribusi informasi merata di
seluruh fungsional organisasi (ber- sifat tabligh). Di samping itu, bank Islam memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan
bank konvensional. Di satu sisi, seluruh penerimaan dana masyarakat dan pembiayaan harus dilakukan
sesuai de- ngan
ketentuan syariah, dan bank syariah harus dapat memastikan bahwa pelaksanaan tersebut tercapai
secara syariah. Di sisi lain, dengan mengacu pada pelaksanaan pengelolaan dana dan pemberian pembiayaan
yang ber- dasarkan
ketentuan syariah, bank dan para pegawai serta staf harus men- jalankan usaha atau operasi
bank berdasarkan nilai-nilai Islami.
Hipotesis
Variabel Kelima: Kultur organisasi/kultur
korporasi19 dapat memperkecil timbulnya NPL pada bank konvensional. Kultur
organisasi/ kultur
korporasi dapat memperkecil timbulnya NPF pada bank syariah. Kultur organisasi/kultur
korporasi pada bank syariah lebih baik diban- dingkan pada bank konvensional.
Jika
organisasi mengeluarkan pembelanjaan yang melebihi pendapat- annya, menurut Kornai,
organisasi itu akan berhenti beroperasi. Untuk menerapkan "pengetatan" anggaran ini, kata Janos
Kornai, diperlukan ketentuan
yang dapat mendorong disiplin keuangan yang meliputi, anta- ra lain, ketentuan akuntansi
dan peraturan operasi bank sentral dan per- bankan umumnya, serta sistem dan penegakan hukum yang
mendukung.
Menurut Lago, hard budget
constraint yang dimaksud oleh Kornai mengandung empat prinsip. Pertama, pembeli harus
membayar barang yang
dibelinya. Kedua, debitor membayar kembali utangnya. Ketiga, warga negara
membayar pajak. Dan keempat, perusahaan membayar seluruh biayanya dari pendapatan yang diperoleh. Lago
mengatakan bahwa
sistem keuangan atau bank yang sehat bergantung pada penerapan hard budget constraints
ini.
Konsep yang sama dapat diaplikasikan dalam buku ini, berdasarkan kebutuhan
pasar, tanpa menunggu
perbaikan dalam lingkungan peraturan dan pengawasan, atau lingkungan operasi lainya. Sebaliknya, bank harus
dapat mengatasi lingkungan
operasi yang dihadapi, sehingga dapat mencapai tujuannya sebagai institusi yang berorientasi pada keuntungan
secara independen dan
dikelola secara profesional. Secara independen artinya tidak mengharapkan bantuan dari pihak mana pun, terutama pemerintah,
kecuali dalam hubungan
yang normal dengan pihak pemegang saham. Untuk itu, bank harus beroperasi secara prudent, mengingat tanggung jawab moral yang besar terhadap masyarakat
pemilik dana.
Dalam hal perkreditan, bank perlu mengambil keputusan
pemberian pinjaman
secara prudent,
berdasarkan pertimbangan kredit semata, tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar perkreditan.
Dalam kebijakan
perkreditannya, bank harus mengusahakan peningkatan arus kas dengan mengontrol risiko
kredit portofolio secara cermat, ekspansi kredit dilakukan secara wajar dengan menekankan kualitas,
bukan kuantitas,
kepedulian (due care) sepenuhnya dilakukan dalam mengelola portofolio pinjaman, setiap
indikasi masalah dengan debitor serta-merta ditindaklanjuti, dan pencatatan kolektibilitas dilakukan
sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Demi tercapainya tujuan kebijakan disiplin anggaran (hard budget policy) ini,
semua prinsip itu dilaksanakan dengan penuh disiplin dan bertanggung jawab.
Pada bank, kebijakan disiplin anggaran dapat pula diartikan
sebagai kekuatan
penilaian suatu transaksi kredit, yang berdasarkan kemampu- an transaksi itu dalam
menghasilkan arus kas yang diharapkan untuk membayar angsuran pokok dan bunga. Hal ini sangat penting
diterapkan mengingat
kebijakan akuntansi melalui accrual concept-nya20 mengizin- kan pengakuan pendapatan
berjalan dalam laporan rugi-laba, tapi belum terbayar.
Dalam hal perkreditan, bank perlu
mengambil keputusan pemberian pinjaman secara prudent, berdasarkan pertimbangan kredit
semata, tanpa dipengaruhi oleh faktor- faktor di luar perkreditan.
|
Bagi perbankan, yang berbeda dengan sektor perdagangan atau
in- dustri, output dan proses produksi
tidak terlalu transparan. Hal ini, me- nurut Caprio Jr dan Klingebiel, disebabkan oleh dua hal. Pertama, sifat bisnis perbankan mengandung
informasi yang sangat intensif. Kedua,
hampir semua produk atau jasa perbankan memiliki sifat berkualitas antarwaktu, yaitu berdasarkan janji untuk membayar. Pengakuan terha- dap pendapatan yang berjalan tersebut akan dapat diterima berdasarkan penilaian dan keyakinan manajemen terhadap kualitas kredit atau janji tersebut.
hampir semua produk atau jasa perbankan memiliki sifat berkualitas antarwaktu, yaitu berdasarkan janji untuk membayar. Pengakuan terha- dap pendapatan yang berjalan tersebut akan dapat diterima berdasarkan penilaian dan keyakinan manajemen terhadap kualitas kredit atau janji tersebut.
Berkaitan dengan pengakuan pendapatan ini, dalam penetapan jumlah cadangan piutang
ragu-ragu misalnya, Podpiera dan Weill me- ngatakan bahwa penetapan estimasi ini bersifat endogeneous karena dipengaruhi oleh sikap
manajemen bank. Sikap yang dimaksud ini ber- kaitan dengan pandangan manajemen terhadap risiko yang dapat
diteri- ma.
Manajemen yang bersifat agresif terhadap risiko, dengan beralasan untuk memperoleh keuntungan
yang lebih besar, cenderung lebih berani memberikan kredit kepada pihak yang berpotensi untuk
menimbulkan wanprestasi
yang lebih tinggi.
Untuk menghadapi risiko yang lebih besar dalam keadaan seperti
ini, seyogianya
manajemen membentuk cadangan piutang ragu-ragu lebih ba- nyak sehingga mengurangi
tingkat keuntungan bank. Namun, walaupun penentuan cadangan itu dapat ditentukan berdasarkan kriteria
yang ber- sifat
lebih konkret, manajemen bank dapat menentukan lain dengan dalih "estimasi", tetapi
dilatarbelakangi kepentingan tertentu. Dalam keadaan pendapatan tertekan, jumlah
cadangan piutang ragu-ragu cenderung di- perkecil, sehingga dapat memberikan gambaran mengenai
keuntungan yang
masih baik. Tetapi, tindakan ini tidak dapat dikatakan prudent. Se- lain itu, penilaian yang kurang
berdasar sering dikaburkan, dengan cara menutupi kredit bermasalah atau berpotensi bermasalah dengan
mem- perpanjang
jangka waktu pinjaman terkait. Bahkan, jika terdapat adanya tunggakan bunga, bank
memberikan fasilitas baru khusus untuk memba- yar bunga yang tertunggak.
Tindakan yang lebih ekstrem adalah menciptakan pinjaman baru dengan membuat perjanjian baru,
tetapi pinjaman baru digunakan untuk membayar pinjaman lama. Tindakan ini dapat pula dilakukan
sebagai no- vasi
utang lama kepada debitor baru, yang pada dasarnya tidak ada per- baikan dalam kualitas kredit
itu sendiri. Dengan cara ini, klasifikasi pinjaman lama menjadi lebih baik
karena digantikan dengan klasifikasi baru, di mana pinjaman lama yang bermasalah seolah-olah telah
terselesaikan. Tindakan
ini merupakan bagian dari forbearance policy dan dimungkin- kan karena dibiayai oleh peningkatan perolehan dana masyarakat
dengan memperbesar
neraca bank tersebut. Dalam mengatasi masalah NPL yang besar di India, misalnya,
Narasimham Committee menyatakan bahwa awal permasalahannya terletak pada kurangnya norma prudential yang berkaitan dengan pengakuan
pendapatan, klasifikasi pinjaman, dan pe- nyediaan cadangan piutang ragu-ragu.
Semua
tindakan yang tidak tepat itu melahirkan
forbearance policy, yang pada dasarnya merupakan
penundaan untuk mengakui adanya ke- rugian atau kekurangan modal akibat NPL, dengan memberikan
waktu bagi bank
dengan harapan dapat menutup kerugian tersebut dari pen- dapatan yang sedang berjalan
akan lebih baik. Hal ini dapat dilakukan karena bank dapat menutupi masalah yang dihadapinya dengan
tetap memperpanjang
NPL yang terjadi dengan perolehan dana masyarakat
dan memperbesar neraca.
Dalam keadaan
ekstrem pada perbankan, kebijakan ini dapat menimbulkan moral hazard, yakni kredit
yang sangat berpotensi bermasalah masih tetap diklasifikasikan sebagai
"lancar", sehingga pendapatan bunganya masih dapat diakui. Menurut sejumlah peneliti, krisis
per- bankan di
banyak negara, termasuk Indonesia, mengungkapkan adanya penerapan forbearance policy yang
berlebihan ini. Berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit dan dipublikasikan di koran untuk
tahun 1996 dan
1997, banyak bank memperoleh opini audit dengan kriteria unqualified. Namun,
kemudian bank tersebut ditutup dalam tahun 1997 dan 1998, karena NPL yang
dikandungnya tinggi dan ternyata telah berlang- sung lama. Bank-bank itu adalah Bank Andromeda, Bank Harapan
Sento- sa, Bank
Industri, Bank Kredit Asia, Bank Modern, dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan disiplin anggaran akan
mendorong sikap yang lebih prudent bagi pejabat perkreditan, dan akhirnya akan memengaruhi tinggi rendahnya
NPL pada bank
tersebut. Substansi kebijakan disiplin anggaran ini menyangkut masalah disiplin keuangan dan
kejujuran pelaporan keuangan berdasarkan realitas yang ada. Dalam kaitannya dengan anggaran, Al-Quran menyebutkan bahwa Allah tidak
menyukai sesuatu yang berlebihan atau pemborosan (QS Al-An'am [6]: 141; QS Al-Isra' [17]: 26) karena pemborosan itu adalah saudara setan yang
ingkar pada Tuhannya (QS Al-Isra' [17]: 27), dan keseimbangan dalam membelanjakan harta (QS Al-Furqan [25]:
67).
Hipotesis Variabel Keenam:
Penerapan kebijakan disiplin anggaran berpengaruh terhadap NPL pada bank konvensional. Penerapan
kebijak- an
disiplin anggaran berpengaruh terhadap NPL pada bank syariah. Pe- nerapan kebijakan disiplin
anggaran pada bank syariah lebih baik daripa- da pada bank konvensional.
Menurut
Adam Smith (1723-1790), apa pun yang tampaknya dapat menjadi objek sebagai
dasar untuk berterima kasih, merupakan hal yang wa- jar untuk memperoleh
penghargaan (reward). Sebaliknya, dengan cara yang sama, apa pun yang tampaknya dapat menjadi objek yang
wajar untuk menimbulkan rasa kebencian maka merupakan hal yang wajar untuk menerima hukuman (punishment). Smith
menjelaskan bahwa pemberian penghargaan dan pengenaan hukuman harus dilakukan dengan
segera.
Di dalam manajemen umum, termasuk perbankan, penghargaan dan hukuman merupakan unsur
manajemen yang penting. Di dalam masalah perkreditan umumnya, terdapat sedikit perbedaan dalam mengukur tingkat keberhasilan
seorang pejabat kredit atau komite kredit atau presiden direktur sebuah bank. Kualitas kredit yang baik
akan memerlukan
waktu untuk membuktikan kolektibilitasnya tetap lancar dan akhirnya dapat dilunasi
dengan baik. Sistem ini bersifat krusial dalam perbankan. Perbedaan utama antara institusi pemberi
pinjaman/ kredit
dan perusahaan perdagangan/industri terletak pada bagaimana mengukur keberhasilan dalam
tingkat produktivitas.
Pada perusahaan perdagangan/industri, pengukuran lebih mudah dan dapat dikaitkan dengan
periode kapan produksi dilakukan. Misalnya, seorang pegawai pabrik hari ini dapat membuat sepatu 30 pasang
dengan kualitas
standar yang dapat diterima. Karena hasil kerja yang dicapai da- pat segera dinilai baik dari
segi kualitas maupun kuantitas, penghargaan- nya dapat diberikan seketika pada saat itu.
Tapi di perbankan, jika seorang pejabat kredit pada tahun ini
dapat memperoleh
persetujuan kredit dan melakukan pembukuan pinjaman sebesar Rp x miliar kepada debitor baru
dan/atau lama, pengukuran produktivitas dan kualitas pekerjaannya tidak dapat diperlakukan sama seperti
pekerja sepatu tersebut.
Hal ini terjadi karena kualitas pekerjaan pejabat kredit tersebut masih harus dibuktikan dalam
beberapa waktu ke depan, yaitu apakah pinjaman atau kredit yang dibukukannya itu bermasalah atau
tidak. Jika kredit
yang diprosesnya itu bermasalah, perlu diteliti apa yang menyebabkan kredit itu menjadi bermasalah:
apakah informasi yang digunakan tidak benar atau kurang akurat atau tidak cukup, atau analisisnya kurang
cermat, atau
terdapat unsur-unsur lain di luar proses perkreditan normal.
terdapat unsur-unsur lain di luar proses perkreditan normal.
Mencari penyebab suatu kredit bermasalah memerlukan penelitian yang
dalam, paling tidak
proses penelitian untuk mencari penyebab masalah perlu dilakukan seperti halnya bagaimana kredit
tersebut diproses dan disetujui pertama kali. Karena persetujuan kredit menyangkut beberapa pihak,
pemeriksaan harus
pula melibatkan pihak terkait tersebut. Penelitian penyebab kenapa kredit bermasalah tidak mudah dilakukan, tetapi
usaha ini mutlak dilaksanakan
karena dengan demikian unsur sanksi yang tepat perlu dikenakan. Pengenaan sanksi yang tepat harus
berdasarkan penelitian yang cermat mengenai penyebab terjadinya kesalahan.
Dalam lingkungan perbankan, umumnya masalah pelatihan telah dilakukan dengan baik, dan
pejabat kredit sebelum bertugas cenderung selalu diberi pelatihan yang diperlukan. Setiap usulan
pemberian kredit atau
pembiayaan, di samping pejabat kredit, terdapat pihak lain yang melakukan kajian terhadap
usulan tersebut. Karena itu, kemungkinan kesalahan teknis lebih kecil, terjadi dibandingkan dengan
kesalahan disebabkan oleh pelanggaran etika.
Dalam ruang lingkup budaya hukum dan moralitas yang mempri- hatinkan, di mana bank
terekspos terhadap lingkungan itu, pelanggaran etika yang terkait dengan keputusan pemberian kredit atau
pembiayaan merupakan
penyebab yang logis dapat terjadi. Di samping itu, tidak se- mua dari kasus-kasus
pelanggaran atau pengabaian prinsip kehati-hatian
yang terjadi merupakan faktor ketidaksengajaan.
Kalaupun dapat dikata- kan sebagai faktor ketidaksengajaan, hal itu lebih tepat
dikatakan seba- gai
faktor pembiaraan secara kolektif. Hal ini cenderung memiliki motif tertentu di belakangnya, dan
dapat diperkirakan umumnya merupakan pelanggaran etika.
Agar unsur sanksi yang
dikenakan menjadi efektif, terutama bagi kesalahan yang bersifat kesengajaan
atau gross
negligent atau
pelanggaran etika, sanksi yang tepat perlu menciptakan efek jera.
|
Agar unsur sanksi yang dikenakan menjadi efektif, terutama
bagi kesalahan yang
bersifat kesengajaan atau gross negligent atau pelanggar- an etika, sanksi yang tepat perlu menciptakan efek jera.
Sebaliknya, bagi yang
berprestasi, penghargaan yang tepat perlu diberikan. Namun, dalam hal ini perlu dicatat bahwa,
menurut Raghuram G. Rajan, terdapat asumsi
bahwa para manajer bank menilai keuntungan jangka pendek lebih pen- ting, dan akibatnya mengorbankan maksimalisasi nilai dan kepentingan jangka panjang.
bahwa para manajer bank menilai keuntungan jangka pendek lebih pen- ting, dan akibatnya mengorbankan maksimalisasi nilai dan kepentingan jangka panjang.
Hal ini secara empiris terjadi pada perbankan di Malaysia.
Hasanud- deen,
seperti dikutip Tan Tok Shiong, menyatakan bahwa horizon para manajer di sana berjangka
pendek karena gratuitas mereka tidak pernah dikaitkan dengan kinerja bank dalam kurun waktu yang lebih
panjang. Dorongan
ini akan makin kuat jika bank lain memperoleh keuntungan yang lebih tinggi pada periode
yang sama.
Kajian kinerja reguler para pihak dalam perkreditan yang
mengait- kan unsur
kualitas kredit yang telah dibukukan tampaknya jarang dilaku- kan oleh bank di Indonesia. Hal
ini dapat disimpulkan dari pengamatan para pakar mengenai kualitas kredit atau kredit macet yang
ditimbulkan oleh
adanya penyimpangan terhadap prosedur dan analisis kredit. Krisna Wijaya misalnya menyatakan,
bahwa terdapat semacam anggapan bahwa pembahasan dan pengungkapan penyimpangan dalam perkreditan me- rupakan hal yang tabu, dan
dikhawatirkan akan menyebarluaskan modus operandinya, sehingga akan dapat ditiru dan dipraktikkan oleh
pihak lain. Wijaya
juga menyatakan bahwa ada kecenderungan manajemen bank untuk menganakemaskan bagian di
jajaran bisnis, atau perkreditan, se- hingga mereka sering tergoda untuk berbuat kejahatan. Tetapi,
kemudian Wijaya
berpandangan bahwa untuk menekan penyimpangan dalam pro- sedur pemberian kredit
diperlukan penerapan kode etik bagi para bankir, dibarengi dengan penegakan hukum.
Dalam konteks internasional, Caprio Jr dan Klingebiel meneliti
kegagalan bank karena NPL yang besar, yang berlangsung sejak 1970 di se- luruh dunia. Di akhir
penelitiannya, Caprio dan Klingebiel memberikan beberapa saran. Salah satu di antaranya adalah, untuk mencapai
keadaan perbankan
yang lebih baik, perbankan memerlukan penggunaan carrot, yakni kesempatan
memperoleh keuntungan bagi bank, dan stick, yaitu segera mengganti para pejabat yang tidak baik atau bahkan
pengganti pemilik bank jika terjadi kerugian yang besar.
Pendapat serupa disampaikan oleh Salman Ali Shaikh sehubungan dengan pengamatannya yang
menunjukkan terdapat kecenderungan bahwa lingkungan peraturan perundangan di Pakistan
mempertahankan manajemen
yang ada, pada saat bank memiliki aset pinjaman yang ber- masalah. Ia berpendapat bahwa
kenyataannya, pada banyak kasus, ma- najemen yang ada itulah yang menyebabkan timbulnya aset
bermasalah.
Pada
kasus seperti itu, menurut Shaikh, penggantian manajemen dengan tim yang baru merupakan cara
terbaik untuk memperbaiki keadaan NPL bank dan sekaligus memaksimalkan nilai. Untuk mengatasi
masalah per- bankan
di Pakistan itu, Husain berpendapat bahwa semua pihak di per- bankan harus memiliki zero tolerance bagi mereka
yang kurang memiliki integritas, dan siapa saja yang ditemukan bersalah harus
segera diganti dari
jabatannya, bahkan dituntut secara pidana jika diketahui melakukan penggelapan dan pemalsuan.
K.H. Spencer Pickett dan Jennifer M. Pickett menyebutkan bahwa untuk mengontrol tidak
timbulnya penyelewengan integritas, organisasi harus menerapkan zero tolerance bagi yang menyimpang, yaitu penera- pan sanksi yang segera terhadap
penyimpangan peraturan yang jelas. Se- bagai contoh lain, menurut Caprio Jr,untuk memberikan dorongan
guna meningkatkan
disiplin pasar, pemerintahan Selandia Baru menetapkan sebagai suatu tindakan pidana
dan menjadi tanggung jawab yang tidak terbatas, jika terdapat pelanggaran terhadap ungkapan
pernyataan (disclosure statement) yang menyatakan tidak terdapat informasi yang tidak benar atau menyesatkan. Shaikh
berpendapat bahwa mekanisme seperti ini diperlukan agar mendorong para pejabat bank mengambil
risiko seca- ra prudent.
Untuk mencapai tingkat portofolio yang sehat, suatu institusi
pem- beri pinjaman
seperti bank harus menegakkan sistem penghargaan dan hukuman yang tegas. Terutama
untuk penyimpangan yang dilakukan dalam memproses suatu kredit, UU Perbankan Pasal 49 telah
menetap- kan sanksi
yang sangat jelas. Di masa lalu, institusi bank tidak tegas dan belum secara terbuka menerapkan
ketentuan UU ini dengan berbagai alasan sehingga mendorong terjadinya tindakan yang tidak prudent atau penyelewengan.
Al-Quran mengingatkan bahwa balasan yang baik tanpa penunda- an sangat penting untuk
mencapai tujuan. Sebaliknya, pengenaan ma- cam sanksi terhadap suatu kesalahan perlu disesuaikan dengan
berat ringannya
pelanggaran yang telah dilakukan. Secara umum Al-Quran mengisyaratkan bahwa siapa yang
melakukan amal saleh dan siapa yang melakukan perbuatan jahat sekecil apa pun akan menerima pahala
atau dosa atau
balasannya (QS Fushshilat [41]: 46; QS Al-Zalzalah [99]: 7-8). Al-Quran juga menyatakan bahwa
orang akan mendapat bagian dari apa yang telah dikerjakannya, karena Tuhan begitu cepat dalam
melakukan perhitungan
dari apa yang telah dilakukan itu (QS Al-Baqarah [2]: 202).
Nabi Saw.
bersabda agar para pekerja segera menerima upahnya sebe- lum keringatnya kering.
Al-Quran juga mengisyaratkan bahwa kesalahan orang perlu diteliti terlebih dahulu sebelum diberikan sanksi
yang sesuai; dalam
hal ini disebutkan bahwa Tuhan tidak akan akan mengazab sebe- lum mengutus seorang rasul (QS
Al-Isra' [17]: 15).
Hipotesis
Variabel Ketujuh: Penerapan sistem penghargaan
dan hukuman secara tegas dan konsisten dapat mengurangi timbulnya NPL/pada bank konvensional. Penerapan
sistem penghargaan dan hukuman secara tegas dan konsisten dapat mengurangi timbulnya NPF pada bank
syariah. Penerapan
sistem penghargaan dan hukuman secara tegas dan konsisten lebih baik pada bank syariah
dibandingkan pada bank konvensional.
Menurut
John E. McKinley, bank yang memiliki sistem nilai yang kuat akan membuat kultur kredit yang
kuat, yang menyeimbangkan faktor kualitas kredit dengan perolehan pendapatan; manajemen pun
berko- mitmen untuk
mempertahankan nilai-nilai prekreditan yang kuat dalam organisasi. Joetta Colquitt
menambahkan bahwa praktik perkreditan dan kultur kredit harus dimulai dari dewan direksi dan CEO (di
Indonesia CEO
berarti presiden direktur), kemudian dikomunikasikan ke segenap jajaran organisasi bank oleh
manajemen senior. Raymond Boffey dan G.N. Robson menekankan bahwa bank dengan sistem nilai yang
kuat akan
menghasilkan tingkat NPL yang rendah.
Dalam penelitiannya di perbankan Bangladesh, Zabeen Ahmed me- nyimpulkan bahwa kultur kredit
memiliki hubungan yang kuat secara ne- gatif dengan tingkat NPL. Jesica Petersson dan Isac Wadman
mengung- kapkan
bahwa peningkatan drastis pada NPL perbankan di Italia menca- pai nilai 50 miliar
poundsterling terjadi pada 1980, ketika para spekulan berinvestasi pada properti
perumahan dan komersial saat perekonomian berada dalam keadaan yang baik. Menurut Petersson dan Wadman,
NPL yang besar ini
disebabkan oleh adanya kultur kredit dan pengawasan per- kreditan yang lemah pada
perbankan di Italia.
Hal yang sama dialami oleh Swedia pada awal 1990, dengan meng- alami kerugian akibat adanya
NPL yang sangat besar. Namun, ada satu bank di Swedia, bernama Handelsbanken, yang memiliki tingkat
NPL yang rendah
sejak tahun 1990, yaitu ketika krisis terjadi dan tetap rendah sampai tahun 2003 (NPL 0,06
persen). Berdasarkan analisis Petersson dan Wadman, NPL yang rendah pada Handelsbanken dan perbaikan yang signifikan pada tingkat
NPL di Swedia dibandingkan dengan Italia disebabkan oleh salah satu faktor yang penting, yaitu
penerapan kultur kredit
yang lebih kuat.
Menurut John McGovern, salah satu sebab utama timbulnya
tingkat NPL yang
tinggi di sektor keuangan Amerika sekitar tahun 1980 berka- itan dengan kebijakan
perkreditan yang lemah, yang merupakan bagian dari kultur kredit. Sebagai tambahan, ADB memberikan nasihat
kepada pemerintahan
Lao di Sungai Mekong dalam rangka memperbaiki dua
bank milik negara. Perbaikan kinerja ini sangat
diperlukan dalam meng- hadap transisi ekonomi yang murni komunis ke arah perekonomian
yang lebih terbuka
berdasarkan pasar bebas. Dalam kesimpulannya, ADB me- nyarankan agar penasihat
internasional membantu kedua bank itu untuk membangun kultur kredit yang diperlukan.
Di Indonesia, bank-bank pemerintah seperti Bank Bumi Daya,
Bank Dagang Negara,
dan Bapindo sebelum krisis 1997/1998 mengandung tingkat NPL yang tinggi, yang terjadi terutama karena kultur
kredit yang lemah.
Bank-bank tersebut digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk membiayai proyek-proyek yang
memiliki tingkat keuntungan yang tidak jelas dan dasar hukum yang dapat dipertanyakan.21
Kultur kredit merupakan subkultur dari kultur organisasi.
Menurut Denison dan
Mishra, subkultur terdapat di setiap organisasi, dan kultur organisasi dapat berupa suatu
kumpulan asumsi, kepercayaan, dan prak- tik-praktik yang berkaitan dengan keterpaduan dari semua
bagian men- jadi
satu. Dalam pandangan Denison dan Mishra, subkultur dengan yang lainnya harus bersifat
konsisten dan berintegrasi, dan keterpaduan ini merupakan salah satu ciri kultur organisasi. Hal ini sejalan
dengan apa yang
dikatakan oleh Stephen P Robbins, bahwa dalam budaya organisasi yang kuat nilai-nilai
organisasi ini dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas oleh
semua anggota organisasi.
Proses kredit melibatkan banyak pihak dalam setiap organisasi perkreditan. Setiap pihak yang
terlibat melakukan interaksi satu dengan lainnya, baik dalam pembahasan terbuka dalam suatu rapat
komite maupun
berhubungan melalui media memo kredit. Agar interaksi ini bernilai tinggi dan menghasilkan
sinergi dalam mencapai keputusan yang sehat sesuai dengan peraturan perbankan umumnya dan
ketentuan internal
khususnya, diperlukan suatu bentuk kultur kredit. Kultur ini dapat
mengikat semua pihak yang terkait dan bekerja dengan dasar atau pola dan tujuan perkreditan yang sama. Menurut hemat penulis, bagi bank yang memiliki banyak cabang, atau hierarki organisasi perkreditannya panjang ke bawah, kultur kredit merupakan lem pengikat agar semua pihak yang terkait dengan perkreditan mengacu pada pola pikir, atau pendekatan atau filosofi yang sama dalam melakukan pekerjaan perkreditan, terutama dalam menganalisis dan menerima atau menolak suatu risiko kredit. Kultur kredit yang dianut akan memberikan patokan bagaimana pekerjaan seperti ini dapat dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dan diterima oleh bank.
mengikat semua pihak yang terkait dan bekerja dengan dasar atau pola dan tujuan perkreditan yang sama. Menurut hemat penulis, bagi bank yang memiliki banyak cabang, atau hierarki organisasi perkreditannya panjang ke bawah, kultur kredit merupakan lem pengikat agar semua pihak yang terkait dengan perkreditan mengacu pada pola pikir, atau pendekatan atau filosofi yang sama dalam melakukan pekerjaan perkreditan, terutama dalam menganalisis dan menerima atau menolak suatu risiko kredit. Kultur kredit yang dianut akan memberikan patokan bagaimana pekerjaan seperti ini dapat dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dan diterima oleh bank.
Menurut McKinley, organisasi yang memiliki sistem nilai membuat adanya
kultur kredit yang kuat, dan sistem nilai ini harus didasarkan pada unsur-unsur integritas, kejujuran, dan
keadilan. Organisasi
yang memiliki kultur kredit yang kuat memiliki pengecualian kebijakan yang tidak banyak.
Terdapat keseimbangan antarkualitas kredit dan perolehan pendapatan, dan manajemen berkomitmen
untuk mempertahankan
nilai-nilai perkreditan yang kuat dalam organisasi.
Pada akhirnya, keberhasilan manajemen bank akan bergantung
pada perkembangan
dan pemupukan kultur kredit yang kuat, yang dapat dipa- hami dan diterapkan secara
seragam dan konsisten ke semua lapisan or- ganisasi bank, mulai dewan direksi sampai pejabat kredit yang
mengelola portofolio
pinjaman. Bank dengan sistem nilai yang kuat akan menghasil- kan tingkat NPL yang rendah.22
Menurut M. Umer Chapra dan Habib Ahmed, bank syariah meng- hadapi risiko pembiayaan yang
lebih besar, yang perlu dikelola dengan bijaksana. Pengelolaan risiko yang bijaksana ini dilakukan
melalui buda- ya
manajemen risiko yang efektif, dan secara khusus merupakan kultur pembiayaan yang tepat. Secara
hakiki, penerapan kultur pembiayaan me- rupakan pengejawantahan tanggung jawab pengelolaan dana
masyarakat pada
bank.
Keberhasilan manajemen bank
akan bergantung pada perkembangan dan pemupukan kultur kredit yang kuat yang dapat
dipahami dan diterapkan secara seragam dan konsisten ke semua lapisan organisasi
bank.
|
Algaoud dan
Lewis mengaitkan tanggung jawab ini dengan konsep
umat yang merupakan solidaritas di kalangan
muslim, yang berkaitan dengan konsep amanah dalam pengelolaan harta. Algaoud dan
Lewis berpendapat
bahwa konsep amanah yang sama juga menuntut agar
bank, sebagai wakil investor atau pemilik dana, mengelola dana tersebut dengan penuh tanggung jawab serta memenuhi segala kewajiban mere- ka terhadap pemilik dana. Dalam Al-Quran, hal amanah terhadap yang berhak atau yang berpiutang sangat ditekankan untuk diperhatikan oleh para pelaksana (QS Al-Nisa' [4]: 58; dan QS Al-Baqarah [2]: 283). Nabi Saw. bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, setiap hamba adalah pemelihara harta tuannya sehingga dia bertanggung jawab penuh atas harta yang dikelolanya; sebaliknya, pengurus-pengurus atau para manajer perlu berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya karena pengurus yang buruk akan disiksa.23
bank, sebagai wakil investor atau pemilik dana, mengelola dana tersebut dengan penuh tanggung jawab serta memenuhi segala kewajiban mere- ka terhadap pemilik dana. Dalam Al-Quran, hal amanah terhadap yang berhak atau yang berpiutang sangat ditekankan untuk diperhatikan oleh para pelaksana (QS Al-Nisa' [4]: 58; dan QS Al-Baqarah [2]: 283). Nabi Saw. bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, setiap hamba adalah pemelihara harta tuannya sehingga dia bertanggung jawab penuh atas harta yang dikelolanya; sebaliknya, pengurus-pengurus atau para manajer perlu berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya karena pengurus yang buruk akan disiksa.23
Hipotesis Variabel Kedelapan:
Kultur kredit dari organisasi perkre- ditan dapat memperkecil timbulnya NPL pada bank konvensional.
Kultur pembiayaan
dari organisasi pembiayaan dapat memperkecil timbulnya NPF pada bank syariah. Kultur
kredit atau kultur pembiayaan dari orga- nisasi pembiayaan atau perkreditan lebih baik pada bank
syariah daripa- da
bank konvensional.
Gordian Gaeta
berpendapat bahwa masalah pencarian data, reliabilitas data, dan komparabilitas data
semuanya cukup jelas, dan pentingnya dalam komunitas reputasi tradisional, jaringan sosial, dan
faktor-faktor kultural
lainnya jauh lebih penting daripada neraca atau laporan arus kas.
Karena itu,
sebelum suatu kredit diproses, yang pertama kali harus dilakukan adalah mengumpulkan
informasi dan fakta-fakta mengenai ca- lon debitor. Di antara data-data yang diperlukan itu, informasi
mengenai reputasi
calon debitor sangat penting dan akan menentukan kedalaman analisis kredit. Reputasi
merupakan substansi yang penting dalam jeja- ring sosial dan faktor-faktor kultural. Reputasi berada di
dalam kedua ruang
lingkup ini, dan bahkan reputasi dan faktor kultural dapat saling memengaruhi.
Menurut
Daniel F. Oriesek, reputasi seorang individu adalah suatu catatan baik-buruk atau derajat
seseorang dalam hal hal bertingkah laku atau berinteraksi di lingkungan sosialnya.
Reputasi
menentukan derajat dari korporasi atau unit usaha terhadap sejarah aktivitas
atau interaksi dan keberadaannya dalam ruang lingkup bisnis atau usaha di mana unit itu beroperasi.
Reputasi adalah penilaian
yang diberikan oleh lingkungan di mana seseorang berada, atau di mana korporasi atau
unit usaha melakukan kegiatan usahanya. Karena orang atau unit usaha berinteraksi dengan
lingkungannya, seperti masyarakat di sekelilingnya, atau para pemasok barang atau
konsumen bagi unit
usaha, persinggungan dengan lingkungan itu akan memberikan catatan bagaimana orang atau
unit usaha itu berinteraksi atau bertingkah laku. Catatan yang baik itu merupakan reputasi yang baik, dan
merupa- kan dasar
yang berharga bagi hubungan pergaulan individu dan kelang- sungan usaha bagi unit usaha
yang bersangkutan di masa depan.
Pengecekan reputasi, kata Koford dan Tschoegl, perlu dilakukan karena hal ini merupakan
langkah awal suatu kebijakan prudential. Pe- ngecekan reputasi ini akan lebih baik dilakukan sebelum kredit
diproses, sehingga
jika calon debitor tidak memiliki reputasi yang baik, bank tidak perlu membuang waktu untuk
memproses kredit yang dimaksud.
Pengecekan reputasi ini berperan sentral dalam bisnis
pemberian kredit,
terutama di negara yang tingkat social trust-nya24 rendah seperti Indonesia.25 Pola
kepercayaan yang rendah ini tidak saja merupakan ka- rakteristik kelompok politik
dan sosial, tetapi sudah merupakan karak- teristik masyarakat Indonesia.26 Ketidakpercayaan
di masyarakat telah mencapai tingkat yang membahayakan, yang situasinya
digambarkan oleh
Jousairi Hasbullah sebagai lupus est homo
homin, yakni kelompok elite yang kuat menekan
kelompok yang lemah di masyarakat.
Informasi mengenai sikap calon debitor terhadap kewajibannya
da- pat diperoleh
dari pengalaman kreditor atau bank lain yang pernah ber- hubungan dengan calon debitor
tersebut. Artuto Galindo dan Fabio Schi- antarelli serta Jose L. Negrin mengatakan, bahwa mekanisme
pengaturan membagi
informasi kredit bagi sesama bank merupakan salah satu cara untuk mengatasi asymmetric information pada
pasar kredit, dan mengu- rangi kemungkinan adanya
moral hazard di pihak debitor. Dalam pe- nelitiannya terhadap perbankan
di Meksiko, Ipes menyimpulkan bahwa informasi mengenai tingkah laku masa lalu seorang calon
debitor penting dalam
menentukan pemberian pinjaman baru bagi dirinya. Negrin ber- kesimpulan, bahwa jika calon
debitor memiliki catatan pernah wanpres- tasi atau pernah tidak membayar kewajibannya di masa lalu,
probabilitas debitor
itu akan melakukan wanprestasi terhadap pinjaman yang sedang berjalan secara dramatis akan
lebih tinggi. Dalam kaitan ini, Sharma mengatakan bahwa tidak tersedianya informasi kredit yang dapat
dibagi antarbank
merupakan salah satu faktor penyebab NPL.
Reputasi pribadi Nabi
Muhammad Saw. merupakan contoh reputa- si yang hakiki yang dimaksud dalam bagian ini. Dengan kualitas
pribadi yang
dimilikinya, antara lain bertanggung jawab, jujur, profesional, teliti, berempati, transparan, hasil
kerja yang memuaskan, dan lain-lain, Nabi Saw. dapat menempatkan dirinya sebagai money maker dan money magnet.27
Nabi Saw. merupakan mudharib yang diincar oleh semua pemi- lik modal di Jazirah Arab pada waktu itu. Hampir semua pemilik
modal ingin
menitipkan barangnya untuk diperdagangkan oleh Nabi Saw.28 Sebagai debitor,
Nabi Saw. tidak pernah melakukan wanprestasi bayar terhadap kreditornya, bahkan
sering membayar kewajibannya sebelum jatuh tempo.29
Hipotesis Variabel
Kesembilan: Pengecekan reputasi terhadap calon debitor dapat memperkecil
timbulnya NPL pada bank konvensional. Pe- ngecekan reputasi terhadap calon debitor dapat memperkecil
timbulnya NPF pada
bank syariah. Pengecekan reputasi terhadap calon debitor lebih baik pada bank syariah daripada
bank konvensional.
Colquitt
menyebutkan satu istilah due diligence (uji tuntas). Pada mu- lanya, konsep uji tuntas digunakan berkenaan dengan
diberlakukannya undang-undang
sekuritas di Amerika pada 1933. Konsep ini menjadi ke- wajiban hukum bagi calon
pembeli atau investor untuk meneliti kebenar- an substantif tentang apa, yang disebutkan dalam prospektus
mengenai kebaikan
suatu sekuritas yang akan dijual. Konsep ini juga merupakan suatu perlindungan hukum bagi
pihak penjual, termasuk para pialang, terhadap kemungkinan tuduhan keterbukaan yang tidak memadai.
Intinya, uji tuntas berarti suatu tindakan yang bertujuan
meneliti secara
mendalam dan luas mengenai suatu bisnis atau perusahaan, serta menilainya, sebelum melakukan
suatu tindakan yang berkaitan dengan usaha, bisnis, atau perusahaan itu. Hasil penelitian yang
dalam dan luas itu
pada hakikatnya adalah untuk memastikan bahwa tindakan yang akan dilakukan terhadap usaha,
bisnis, perusahaan itu cukup bernilai, dan akan membawa manfaat yang lebih besar bagi yang melakukan
tindakan itu.
Tindakan yang membawa manfaat berarti pula bahwa tindakan itu secara substantif bernilai
ekonomis, dan tidak akan menimbulkan masalah hukum dan sosial di kemudian hari.
Di dalam perkreditan atau pembiayaan, kegiatan uji tuntas lebih dalam
dan luas maknanya daripada
pengertian analisis kredit atau keuangan. Sebab, terdapat sejumlah informasi atau data yang harus dicari dan digali.
Verifikasi atas kebenaran
data dan informasi tersebut harus pula dilakukan untuk memastikan apakah sesuai dengan kenyataan faktual yang
mutakhir. Informasi dalam brosur perusahaan dan setiap akun dalam laporan keuangan, serta yang
bersifat off balance sheet, perlu diteliti dengan cara yang sama untuk menangkap makna yang
dikandungnya. Setiap makna yang diperoleh dicerna dengan saksama, lalu dikaitkan
dengan makna yang
lain, dalam rangka menyimpulkan manifestasi terhadap substansi yang diinginkan untuk
diperoleh. Dengan kata lain, setiap dan seluruh data dan informasi yang telah diverifikasi dikaitkan
satu sama lain, yang
bersifat kuantitatif dikaitkan dengan yang bersifat kualitatif, dengan menggunakan penalaran intelektual
dan rasionalitas secara independen; dan tidak terpengaruh dengan hal-hal lain di luar proses dan yang
diperlukan oleh
kegiatan uji tuntas itu sendiri.
Di samping pengertian uji tuntas itu, Colquitt menyimpulkan
bahwa masalah dapat
timbul kemudian dari indikasi-indikasi yang ada pada rasio keuangan, yang berasal
dari uji tuntas yang setengah hati. Apa yang dikatakan oleh Colquitt itu menunjukkan bahwa pemberian kredit
sering tidak
didasari oleh penelitian atau analisis yang saksama. Setelah kredit diberikan, dan tindakan
pengawasan dilakukan, baru tampak timbulnya masalah-masalah yang tidak terlihat dari indikator-indikator
keuangan, yang diperoleh
ketika analisis awal dilakukan. Terkadang dalam kenyataan sehari- hari, pelaksanaan pengumpulan
infomasi dan analisis kredit yang diperlukan untuk proses pengambilan keputusan tidak sepenuhnya dilakukan,
atau bahkan tidak
dilakukan sama sekali, sehingga persetujuan kredit dengan mudah diberikan atau merupakan
semata-mata sesuatu yang bersifat rutin yang terlalu disederhanakan, atau proses yang diperlukan
sengaja direduksi.
Di dalam
perkreditan atau pembiayaan,
kegiatan uji tuntas lebih dalam dan luas maknanya daripada pengertian analisis
kredit atau keuangan.
|
Dalam kasus perbankan di Pakistan pada 1980-1990, analisis
kredit yang
seadanya sebagai pemenuhan formalitas belaka, atau yang disebut sebagai cosmetic due diligence,
merupakan salah satu karakteristik timbulnya NPL. Di antara kasus-kasus yang terjadi, menurut
Shaikh, pemrosesan
kredit seperti ini tampaknya disadari penuh oleh pejabat
terkait karena di ujungnya terdapat pemberian gratifikasi yang berupa kick-backs.
terkait karena di ujungnya terdapat pemberian gratifikasi yang berupa kick-backs.
Terkadang pelaksanaan uji tuntas dan check and balances dilewat- kan dalam proses persetujuan
kredit, karena adanya intervensi pemilik atau pihak-pihak lain yang berkepentingan. Kajian empiris
terdahulu telah
pula menunjukkan pengaruh kronisme atau bentuk patronase ter- tentu sering merupakan alasan
utama untuk tidak dilakukannya prosedur persetujuan kredit atau uji tuntas. Uji tuntas penting
dilakukan terutama terhadap
laporan keuangan dan laporan penilaian kolateral calon debitor. Banyak faktor di sekitar
laporan ini yang dapat menyebabkan pengambil- an keputusan kredit menjadi salah, terutama kelayakan kredit
dan nilai kolateral
sesungguhnya. Kelalaian serupa ini juga terlihat dari kegagalan dalam menyiapkan seluruh
dokumen kredit dan jaminan, menagih pin- jaman pada waktunya, menindaklanjuti proses di pengadilan,
memper- tahankan
hak kreditor berdasarkan kontrak, dan lain-lain. Ketika peng- awasan peraturan lemah, dan
unsur moralitas pelaksana lemah, tidak ter- dapat halangan bagi berjalannya sistem patronase itu, dan
kelalaian yang dimaksud
akan dapat berlanjut.
Keadaan operating environment di Asia Timur, juga Indonesia, menunjukkan adanya kelemahan
dalam infrastruktur hukum dan rendah- nya tingkat keterbukaan. Menurut Tarek Ibrahim Eldomiaty dan
Chong Ju Choi,
sering terjadi pelanggaran terhadap ketentuan keterbukaan dan prinsip-prinsip akunting yang
sehat. Berkaitan dengan masalah akuntan- si, menurut Eldomiaty dan Choi, laporan keuangan sering tidak
mengung- kapkan off balance sheet items dan
transaksi dengan pemilik saham, dan penilaian aset cenderung tinggi. Baker menyatakan secara khusus
me- ngenai masalah
rekayasa akuntansi dengan mengaburkan makna laporan keuangan yang paling menonjol
dan paling besar di dunia. Kasus Enron merupakan skandal akunting yang dimaksud dan pelanggaran
akunting yang
dilakukan oleh auditor Enron, Arthur Andersen, menurut Joseph E. Stiglitz merupakan akal-akalan
akuntansi. Akal-akalan itu, antara lain, pengiriman gas atau listrik di masa depan dicatat sebagai
penjualan hari ini.
Enron juga mencatat penjualan fiktif kepada suatu shell company bernama
Raptor, berdasarkan komitmen untuk membeli kembali. Tapi, Enron tidak mencatat kewajiban
apa pun atas komitmen ini, dan tidak pula mencatat biaya sebagai harga pokok penjualannya.
Akibatnya, Mike Brewster
secara umum mengungkapkan bahwa kepercayaan dan integri- tas profesi akuntan banyak
dipertanyakan publik.
Sesungguhnya dalam keadaan normal, penelitian ulang terhadap
la- poran keuangan
yang telah diaudit sekalipun perlu ditelaah lebih lanjut. Di samping alasan rekayasa yang
bersifat pelanggaran itu, salah satu alas- an lain untuk meneliti ulang laporan keuangan yang telah
diaudit adalah bahwa
laporan akuntansi itu sendiri memiliki sejumlah keterbatasan pada dirinya. Apa yang
digambarkan oleh laporan keuangan bersifat his- toris, yang berkaitan dengan masa lalu, tetapi gambaran itu
hanya meru- pakan
suatu potret mengenai apa yang terjadi dalam bentuk angka-angka pada suatu hari tertentu.
Angka-angka ini mewakili sejumlah banyak hari lainnya dalam kurun waktu yang diusahakan untuk diwakili itu.
Laporan akuntansi
menyangkut sejumlah penilaian yang tidak terlepas dari unsur subjektivisme, atau pengaruh
dari pihak yang menyusun laporan dan pi- hak yang berkepentingan dengan dibuatnya laporan.
Teknik dan metode akuntansi yang digunakan sehingga menyajikan laporan keuangan harus pula
dimengerti, karena teknik dan metode yang berbeda akan menghasilkan satu set angka-angka yang
berbeda pula.
Terkadang perubahan dari satu metode pencatatan sengaja diubah dengan menggunakan metode yang
lain, dalam rangka menimbulkan angka keuntungan yang berbeda. Perubahan pencatatan barang
dagangan dari
metode lifo ke fifo sering dilakukan agar
tahun berjalan memberikan angka keuntungan yang lebih besar, terutama pada tahun ketika
terdapat kenaikan
signifikan harga barang persediaan. Biasanya, perubahan seperti ini dilakukan pada tahun ketika
perolehan keuntungan kecil atau bahkan saat mengalami kerugian.
Demikian pula halnya dengan opini akuntan yang tertuang
sebagai surat
keterangan dari akuntan pemeriksa, yang menghasilkan laporan keuangan yang disajikan. Setiap
jenis kualifikasi opini yang diberikan, seperti unqualified,
qualified, adverse, atau tanpa opini sama sekali, perlu dimengerti apa yang
dicakupnya dalam kaitan dengan kualitas ang- ka-angka yang disajikan. Untuk opini qualified misalnya, alasan
kenapa opini kelas
dua dari kualitas laporan ini diberikan perlu ditelaah lebih lanjut. Dengan demikian,
laporan keuangan itu perlu dikaji ulang secara menyeluruh dan dimengerti secara substantif, sebelum digunakan
untuk mengambil
keputusan dalam rangka mengambil kesimpulan mengenai kondisi keuangan institusi yang
diwakili oleh laporan itu.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan teknis akunting dalam
la- poran keuangan
ini lebih banyak harus dihadapi bank ketika akan mem- proses kredit dari perusahaan
yang lebih besar. Terhadap perusahaan kecil menengah, masalah yang dihadapi bank berbeda. Informasi
ke- uangan yang
diberikan oleh perusahaan yang lebih kecil umumnya belum memenuhi standar yang baku,
karena antara lain mereka belum memiliki pengetahuan dan sistem yang memadai. Karena itu, pejabat
kredit harus melakukan
analisis kredit dan keuangan dengan cermat, baik bagi debitor yang merupakan institusi yang
lebih besar maupun yang lebih kecil.
Terutama pada lingkungan operasional bank dengan transparansi dan disklosur yang rendah, bank
perlu melakukan pekerjaan yang lebih dari sekadar mengumpulkan informasi dan melakukan analisis
kredit. Uji tuntas,
dalam pengertian yang sesungguhnya, harus dilakukan ketika sua- tu usulan pinjaman diproses dan
sebelum disetujui. McGovern menya- rankan kegiatan kepedulian
(due care) atau
monitoring atau
loan review harus tetap dilakukan terus-menerus
selama pinjaman masih berjalan, sampai seluruhnya dilunasi.
Uji tuntas dan kepedulian
secara implisit juga berarti bahwa suatu pinjaman harus diproses, disetujui, dan dimonitor sesuai
dengan petun- juk
prosedural internal bank, untuk memenuhi ketentuan dan hukum lainnya serta peraturan prudential yang ditetapkan
oleh Bank Indone-
Penjelasan Pasal 8 Ayat i UU Perbankan 1992/1998 menyebutkan bahwa penilaian terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha nasabah debitor harus dilakukan dengan saksama sehingga diperoleh
keyakinan mengenai kemampuan dan kesanggupannya. Uji tuntas sudah mulai dilakukan pada awal
pekerjaan pemrosesan
suatu usulan kredit, yang dimulai dengan pengumpulan data atau informasi yang
diperlukan. Dengan adanya eksternalitas dalam hal keterbukaan dan transparansi, tindakan mengumpulkan
dan menganalisis
data atau informasi harus dibarengi dengan pengecekan ulang (check and balance) baik
secara langsung maupun tidak langsung, dengan dasar yang memadai dan wajar untuk memastikan
kebenarannya.
Seluruh informasi yang relevan perlu dikumpulkan dan ditelaah
se- cara cermat dan
mendalam, seperti halnya yang diminta oleh undang-un- dang, sehingga dapat diyakini
kualitasnya sebagai angka dan fakta yang mutakhir, benar, dan faktual. Fakta dan data yang benar dan
tepat diper- lukan
dalam rangka melakukan analisis keuangan dan kredit, serta dalam memberikan rekomendasi
pengambilan keputusan kredit yang cermat. Setiap pejabat kredit yang setara memiliki tugas dan tanggung
jawab un- tuk
melakukan due diligence secara terperinci dan cermat.
Lis, Pages,
dan Saurina berpendapat bahwa bank yang tidak efisien adalah bank yang tidak
melakukan screening atau uji tuntas dan monitoring atau due care para debitornya dengan baik sehingga akan memiliki portofolio yang berkualitas
lebih rendah; ini artinya dapat menimbulkan NPL. Menurut Lahiri, NPL di India
terjadi karena lemahnya proses uji tuntas yang dilakukan oleh bank sebagai sesuatu yang
rutin. Dalam mengkaji
perbedaan kinerja antara bank di Italia dan di Swedia, Peters- son dan Wadman mengemukakan
bahwa Handelsbanken, sebuah bank Swedia, selalu melakukan uji tuntas sebagai cara untuk
meyakinkan agar bank
tidak memberikan pinjaman kepada calon debitor yang tidak solid.
Pada bank syariah, menurut Ahmed, proses uji tuntas lebih diperlukan dibandingkan pada
bank konvensional. Alasannya, pertama, pembiayaan harus
dikaitkan dengan usaha atau perdagangan yang murni dan tidak berkaitan dengan spekulasi, derivative, atau rekayasa keuangan yang tidak produktif; kedua, sebagai calon mitra
usaha, bank syariah harus meneliti dengan saksama kejujuran dan realibilitas calon nasabah karena unsur ini merupakan jaminan utama; ketiga, pada akad PLS, bank
ikut berpartisipasi
dalam risiko dan ikut menanggung kerugian yang mungkin terjadi. Dalam keadaan yang terus merugi, bank tidak dapat mengambil jalur pailit
atau menyita jaminan dari usaha yang dibiayai, seperti halnya dalam bank konvensional.
Dalam
pengalaman praktis, Warde menyebutkan bahwa kegagalan Al-Baraka cabang London terjadi karena bankirnya tidak mampu melakukan kegiatan
uji tuntas yang memadai. Ka- rena terlalu mengandalkan asumsi bahwa semua orang memiliki kebajikan yang sama sebagai
muslim, uji tuntas yang dilakukan gagal untuk memilih nasabah yang dapat dipercaya.
Imam Muslim mencatat sabda Nabi Saw. yang menyatakan bahwa Allah akan sangat senang jika
umatnya melakukan pekerjaannya dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Sebelum suatu pekerjaan
dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh, orang perlu menyelidiki dan mempelajari hal ihwal pekerjaan itu terlebih
dahulu. Al-Quran (QS Al-Isra' [17]: 36; QS Al- Hujurat [49]: 6) memerintahkan kepada kaum muslim untuk
melakukan
penyelidikan
dan verifikasi (tabayyun) terhadap semua pernyataan dan informasi yang dapat diperoleh, sebelum melakukan tindakan
atau kepu- tusan.
Sebelum membeli barang juga perlu dilakukan investigasi terlebih dahulu (QS Al-Kahfi [i8]:19).
Perbankan
syariah harus pula melakukan kegiatan due
care dari waktu ke waktu selama kerja sama masih berjalan. Di sini,
hubungan bank
dengan konsumen tidak dibentuk dari hubungan antara kreditor dan debitor, tetapi merupakan
hubungan antarmitra atau antara shahi- bul
mal dan
mudharib. Hubungan itu tidak semata-mata bersifat
trans- aksional,
tetapi lebih pada relasional dengan waktu yang cenderung lebih panjang. Dengan demikian,
kegiatan due care tidak terbatas hanya pada pengawasan pembayaran angsuran dan perolehan keuntungan agar
tepat waktu, atau
kepatuhan terhadap ketentuan pembatasan dari perjanjian atau akad. Dalam perspektif due care, bank syariah
tidak hanya mela- kukan
hal-hal tersebut, tetapi lebih jauh sebagai mitra dan shahibul mal perlu
mengawasi dalam arti membimbing atau mengarahkan mitra lain atau mudharib dalam batas yang
dimungkinkan, agar usaha yang dibiayai benar-benar dapat menghasilkan keuntungan.
Hipotesis
Variabel Kesepuluh: Kegiatan uji tuntas dan
kepedulian yang
dilakukan oleh pejabat kredit dan pihak yang terkait dalam perkre- ditan dapat memperkecil
timbulnya NPL pada bank konvensional. Kegiat- an uji tuntas dan kepedulian yang dilakukan oleh pejabat dan
pihak yang terkait
dalam pembiayaan dapat memperkecil timbulnya NPF pada bank syariah. Kegiatan uji tuntas
dan kepedulian yang dilakukan oleh pejabat kredit dan pihak yang terkait dalam pembiayaan lebih baik pada
bank syariah
daripada pada bank konvensional.
Kehidupan
yang tidak pernah diperiksa atau dipikirkan kembali, menurut Socrates, bukanlah kehidupan yang
bernilai untuk dijalani.30 Ungkapan ini bermakna, bahwa orang perlu memiliki pengetahuan terhadap
diri dan refleksi
dirinya sendiri, sehingga dapat melakukan penelaahan dan introspeksi sebagai jalan
menuju kehidupan yang bernilai.
Makna seperti itu dapat pula diberlakukan pada korporasi atau
bank sebagai badan
hukum. Badan hukum merupakan personafikasi dari or- ganisasi yang terdiri atas
orang-orang yang memiliki kesatuan tujuan.
Badan
hukum dianggap seperti orang layaknya karena hukum mengakui dan memberikan hak untuk itu.
Agar kehidupan badan hukum itu ber- nilai, sehingga dapat mempertahankan kehidupan operasionalnya
dari waktu ke
waktu, kehidupan yang telah dijalani itu harus diperiksa kembali. Terhadap
keputusan-keputusan kredit atau pembiayaan yang telah diambil perlu dilakukan
pengecekan ulang. Tujuannya, antara lain, me- mastikan bahwa prinsip perkreditan yang dianut benar-benar
telah dija- lankan.
Kredit atau pembiayaan yang telah diberikan diperiksa kembali, apakah telah berjalan sesuai
dengan yang diharapkan. Kalau ada indikasi perkembangan yang kurang baik, bank dapat melakukan
tindakan-tin- dakan
pencegahan sedini mungkin.
Pengawasan internal merupakan unsur kegiatan organisasi yang juga harus diterapkan pada bank
syariah. Pengawasan pembiayaan yang lemah pada Dubai Islamic Bank merupakan penyebab utama
terjadinya skandal
yang dilakukan oleh pegawainya.
Variabel pengawasan kredit/pembiayaan internal ini identik
dengan unsur
pengawasan pembiayaan yang dikemukakan Veithzal Rivai dan Adria Permata Veithzal, yang
mengacu pada Al-Quran (QS Al-Anbiya' [21]: 61; dan QS Al-Hujurat [49]: 6). Cakupan pengawasan ini
meliputi, antara
lain, apakah pembiayaan telah dilaksanakan sesuai dengan kebi- jakan, prosedur dan ketentuan
yang berlaku, perkembangan kegiatan usaha debitor, penilaian kualitas pembiayaan, pelaksanaan
administrasi dokumen
pembiayaan, dan pemantauan kecukupan penyisihan pengha- pusan pembiayaan. Pengawasan
internal ini, menurut Chapra dan Ahmed, juga berfungsi sebagai media untuk
meyakini adanya pengawasan terhadap pekerjaan manajemen keseluruhan dan meningkatkan
budaya pembiayaan
yang sehat.
Semua cakupan kegiatan ini dimaksudkan untuk menghasilkan la- poran yang perlu
ditindaklanjuti oleh manajemen internal sebagai per- ingatan dini, dalam rangka
mencegah agar pembiayaan tidak berkem- bang ke arah yang buruk. Indentik dengan fungsi pengawasan
internal ini adalah
institusi publik hisbah di masa Nabi Muhammad Saw., dengan personel yang melaksanakannya
disebut muhtasib. Makna yang tercakup dalam kata hisbah ini meliputi penghitungan ulang, pengawasan, penge- cekan kualitas barang dan
takaran.
Dalam arti
yang paling dalam, muhtasib sebagai pemeran utama ke- giatan hisbah harus memiliki kompetensi dalam melakukan pekerjaannya untuk mendorong yang bersifat
makruf, dan mencegah yang mungkar sehingga secara keseluruhan beriman kepada Allah Swt. Menurut
Tarmi- yah, tugas muhtasib adalah mencegah
terjadinya penyimpangan-penyim- pangan dalam perdagangan, seperti sifat benci, bohong, dan
menipu, ser- ta
mengecek apakah terdapat kecurangan bisnis, termasuk mengurangi timbangan, mengaudit
kontrak-kontrak yang tidak benar, dan praktik kecurangan dalam industri, dagang, dan masalah agama dan
lainnya.
Hipotesis
Variabel Kesebelas: Pengawasan kredit internal
yang dilakukan
secara reguler dan ditindaklanjuti secara konsisten dapat memperkecil timbulnya NPL pada
bank konvensional. Pengawasan pembiayaan internal yang dilakukan secara reguler dan
ditindaklanjuti secara
konsisten berpengaruh dan dapat memperkecil timbulnya NPF pada bank syariah. Pengawasan
pembiayaan atau kredit internal yang dilakukan secara reguler dan ditindaklanjuti secara konsisten
lebih baik pada
bank syariah daripada bank konvensional.
Variabel kedua
belas adalah gabungan dari semua variabel bebas, mulai variabel pertama hingga
variabel kesebelas. Jadi, variabel kedua belas adalah gabungan dari variabel pengetahuan dan keahlian kredit,
integ- ritas dan
profesionalisme, kadar spiritualitas, kepemimpinan bermoral, kultur organisasi, kebijakan
disiplin anggaran, sistem penghargaan dan hukuman, kultur kredit, pengecekan reputasi, uji tuntas dan
kepedulian, dan
pengawasan kredit internal.
Hipotesis
Variabel Kedua Belas: Terdapat pengaruh
pengetahuan dan
keahlian kredit, integritas dan profesionalisme, kadar spiritualitas, kepemimpinan bermoral, kultur
organisasi, kebijakan disiplin anggaran, sistem penghargaan dan hukuman, kultur kredit, pengecekan
reputasi, uji tuntas
dan kepedulian, dan pengawasan kredit internal, secara bersama- sama terhadap NPF pada bank
syariah. Terdapat pengaruh pengetahuan dan keahlian kredit, integritas dan profesionalisme, kadar
spiritualitas, kepemimpinan
bermoral, kultur organisasi, kebijakan disiplin anggaran, sistem penghargaan dan hukuman,
kultur kredit, pengecekan reputasi, uji tuntas dan kepedulian, dan pengawasan kredit internal, secara
bersama- sama
terhadap NPL pada bank konvensional. Terdapat perbedaan antara pengaruh semua variabel bebas
secara bersama-sama terhadap NPL pada bank konvensional dengan pengaruh semua variabel bebas secara
bersa- ma-sama
terhadap NPF pada bank syariah.
1 Lago (2002).
2 Berger dan DeYoung (1997);
Collyns dan Senhadji (2002).
3 Kaufman (2001); Radelet &
Sach (1998); Myers & Rajan, Ashcraft (2005).
4 Caprio Jr (1996).
5 Elgari (2003).
6 Grosfeld (1994); Chan Lau
(1998).
7 Diamond (1984); Stiglitz &
Weiss (1983).
8
Coyle (2000); Bathory (1987), Babbel (1989); Hale (1983); Sathye et al. (2003); De Lucia & Peter
(1993); Chorafas (2000); Uchida et al. (2006); Ong (1999); Ed Emmer, Canguin (2005).
9
Dikutip dari "Access to Finance in Jordan", diunduh pada 14 Juli 2008,
dari situs The Ministry of Planning, and International Cooperation. http://www. mop.gov.jo/uploads/access.
10 Haggard dan McIntyre (1999);
Mishkin (1998); Vale (2004); Mattson (1993).
11 Calhoun (1995).
12 Drennan (2004).
13 Africa Leadership Forum (1992).
14 Rahman (2010: 149).
15 Muhammad (2005: 29).
16
Seminar di Nigeria menyimpulkan bahwa agama dan persuasi moral tidak cukup
untuk menghadapi kejahatan dan kecurangan dalam perbankan, tanpa sanksi-sanksi
hukum yang tegas terhadap para penjahat dan penadahnya (Africa Leadership
Forum, 1992). Ini berarti forum mengakui pentingnya agama dan unsur moral dalam
perbankan, tapi agama dan moral akan lebih efektif jika para pelaku pejahatan
dikenai sanksi hukum.
17 Krause (1997: 3).
18 HR Muslim, dikutip oleh Arifin
(2005: 199).
19
Menurut Susanto, et al., (2008: ix), kedua istilah ini umumnya memiliki makna
yang sama, atau tidak memiliki perbedaan dalam arti yang signifikan, dan sering
digunakan secara bergantian. Namun, dalam literatur manajemen, istilah kultur
organisasi lebih sering digunakan karena maknanya lebih luas, sedangkan istilah
kultur korporasi lebih populer dalam konteks yang lebih umum.
20
Konsep akunting fundamental yang mengakui kelambatan waktu antara pen- jualan
dan pembelian di satu sisi dan antara pengumpulan dan pembayaran tunai di sisi
lain.
21 Enoch, Charles, Baldwin,
Frecaut, Kovanen (2001: 112).
22 Boffey & Robson (1995).
23 Arifin (2005: 90).
24 Trust adalah harapan yang muncul di
dalam komunitas perilaku reguler, ju- jur, dan kooperatif, berdasarkan
norma-norma bersama, sebagai bagian dari anggota-anggota lain dalam komunitas
itu (Francis Fukuyama: 26).
25 Sebuah laporan mengindikasikan
bahwa level modal sosial di lingkungan kota tertentu di Asia, misalnya New Delhi
atau Jakarta, boleh jadi sangat rendah (Woolcock, 1998; Isham dan Kakhonen,
2001; Jeffery P Carpenter, Amrita G. Daniere, dan Lois M. Takahashi, 2003).
Modal sosial adalah sebuah sumber dalam diri individual yang muncul dalam
interaksi kelompok karena keperca- yaan, hal timbal-balik, dan kooperasi.
Pengembangan dari modal sosial posi- tif, khususnya bagi komunitas dengan
sumber data ekonomi dan politik yang rendah, menghasilkan peningkatan
performans ekonomi dan politik serta me- ningkatkan kualitas hidup (Jeffrey P.
Carpenter, Amrita G. Daniere, dan Lois M. Takahashi, 2003).
26 Hampir setiap hari kita bisa
melihat konflik fisik tidak hanya di antara kelom- pok sosial, kelompok etnis,
tetangga, dan pelajar, tapi juga antara kelompok sosial dan kepolisian atau
personel/lembaga penegakan hukum lainnya.
27 Kamaluddin (2007: 16).
28 Antonio (2007: 66, 81-82).
29 Kamaluddin (2007: 33-34).
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar