Selasa, 16 Agustus 2016

Bab 6 Buku Selamatkan Perbankan



6
P
ADA penelitian untuk buku ini digunakan lima teori sebagai dasar untuk mendekati masalah yang akan diteliti, yaitu faktor-faktor mik- ro penyebab timbulnya NPL/NPF. Dalam rangka memperoleh variabel dependen yang akan dipilih, teori-teori tersebut dikembangkan lebih jauh dengan bantuan kajian literatur yang bersifat teoretis, kajian penelitian empiris terdahulu, dan pengalaman NPL beberapa negara sehingga va- riabel penting yang ditemukan di masa lalu tidak terlewatkan, serta yang diindikasikan oleh pengalaman NPL tercakupi.
Kelima teori itu adalah Agency Theory, Moral Hazard Theory, Sta­keholder Theory, Adverse Selection Theory, dan Bad Management Hy- phothesis.
Dalam agency theory (teori keagenan), terdapat dua pihak yang berbe- da, yakni majikan dan agen. Teori ini mendekati masalah dengan meng- analisis interaksi antara dua individu ketika kewenangan, tindakan, dan kegiatan majikan didelegasikan kepada agen karena kompetensinya yang spesifik. Majikan selalu ingin agar agen melakukan pekerjaan sesuai de- ngan yang diinginkannya. Namun, antara majikan dan agen cenderung terdapat perbedaan karena alasan berikut. Pertama, agen memiliki infor- masi yang tersembunyi dan hanya dia yang mengetahuinya. Kedua, agen dan majikan memiliki keinginan dan/atau tujuan yang berbeda sehingga timbul benturan kepentingan. Ketiga, agen dan majikan sering memiliki sikap yang berbeda terhadap risiko.
Sejauh majikan dapat mengontrol tindak-tanduk agen, atau tindakan pengawasan yang dilakukan majikan itu menimbulkan biaya yang lebih rendah daripada manfaat yang dapat diperoleh oleh majikan dari hasil kerja agen, masalah konflik kepentingan sedikit banyak dapat diatasi walaupun tidak seluruhnya. Di samping hubungan majikan-agen ini di- tuangkan ke dalam suatu bentuk kontrak, salah satu pendorong agar agen melakukan pekerjaannya sesuai dengan yang diinginkan oleh majikan adalah jika ada penegakan hukum yang pasti, unsur pengawasan, dan keterbukaaan informasi.1 Masalah tidak semua hasil kerja agen dapat di- kontrol oleh majikan terjadi karena pengambilan keputusan yang bersifat sangat teknis.
Pengambilan keputusan kredit pada batas tertentu bersifat intuitif sehingga sulit dipastikan apakah keputusan itu benar dan dibuat dengan benar. Karena bersifat antarwaktu, keputusan yang dibuat ex-post hanya dapat dibuktikan ketika kredit berjalan lancar atau tidak di kemudian hari (ex-ante). Tidak hanya itu, setiap pengambilan keputusan kredit me- nunjukkan sikap agen dalam mengambil risiko. Tingkat keberanian tiap orang dalam mengambil risiko berbeda. Namun, tingkat keberanian agen dalam mengambil tingkat risiko yang berlebihan akan bermuara kepada kualitas portofolio bank, yang akhirnya jika mengalami kerugian akan menghapus sebagian modal milik majikan.
Karena itu, setiap badan hukum harus berusaha menghilangkan konflik antara majikan dan agen yang mungkin timbul. Pandangan posi- tivis dari teori keagenan mengatakan bahwa konflik bisa diatasi dengan menciptakan mekanisme tata kelola yang baik, terutama dalam hal untuk membuat pembatas bagi sikap oportunis agen. Eseinhardt berpendapat bahwa batasan itu akan terbentuk dengan adanya beberapa kondisi, anta- ra lain, pertama, kontrak antara majikan dan agen itu berlandaskan hasil yang dapat dicapai dan digariskan dengan jelas; kedua, majikan memiliki segala informasi yang diperlukan untuk memverifikasi tingkah laku agen. Di lain pihak, Harrison Cheng, ahli dari University of Southern California, berpendapat bahwa majikan dapat memiliki sejumlah tindakan tertentu dalam rangka memotivasi atau mengawasi tindak-tanduk agen. Tidakan itu berbentuk insentif dan ukuran kinerja.
Secara teori, Ricardo V. Lago menjelaskan bahwa bank berfungsi berdasarkan kaitan princi­pal-agent yang kompleks di antara para stakehol­der; setiap pihak dalam proses kegiatan perbank- an merupakan agen terhadap atasan (principal)- nya. Dalam konteks pinjam-meminjam uang, kreditor berada pada tataran yang lebih tinggi daripada debitor sehingga dapat dikatakan bahwa kreditor adalah atasan debitor. Menurut Lago, setiap agen akan berusaha mencapai objektif bagi dirinya paling tidak sebanyak yang diharapkan oleh atasannya, kecuali jika terdapat penega­kan hukum, pengawasan, dan keterbukaan yang memadai.
Dalam praktik, masalah keagenan yang paling mendasar dan sering menjadi kenyataan adalah bahwa keputusan pemberian kredit/pinjaman dipengaruhi oleh kecenderungan manusia. Salah satu kecenderungan ini adalah mengikuti apa yang diinginkan pihak lain yang bersifat exegeneous, yang tidak selalu sepenuhnya memperhatikan kepentingan majikan atau institusinya. Dalam institusi korporasi modern, majikan adalah institusi korporasi itu sendiri, bukan pemilik saham institusi tersebut. Bagaimana seseorang mengikuti keinginan dirinya tidak selalu tampak dengan jelas dari apa yang dilakukan, atau dari latar belakang apa yang diputuskannya.
Karena itu, Charles Collyns dan Abdelhak Senhadji mengatakan bah- wa moral hazard seperti ini tidak dapat sepenuhnya dihilangkan dari in- termediasi keuangan. Menurut Steven Radelet dan Jeffrey Sach, jika sua- tu pinjaman menjadi gagal atau tidak terbayarkan oleh debitor, masalah ini biasanya mewakili suatu kesalahan perhitungan yang terjadi di kedua sisi transaksi, baik dari kreditor maupun debitor. Akan lebih krusial lagi jika mengingat bahwa intermediasi keuangan memiliki sejumlah kera- wanan yang timbul karena karakteristiknya sendiri. Dalam perspektif ini, asymmetric information dan masalah agen-majikan dapat menimbulkan terjadinya moral hazard.
Secara teori, Ricardo V. Lago menjelaskan bahwa bank berfungsi berdasarkan kaitan principal- agent yang kompleks di antara para stakeholder.
Dalam konteks badan hukum seperti bank, yang memiliki begitu banyak hubungan agen dan majikan, masalah governance harus pula dilakukan terhadap begitu banyak individu dengan berlainan fungsi da- lam organisasi perkreditan bank, dan tidak hanya terhadap dua individu. Untuk itu, diperlukan suatu sistem yang dapat menciptakan governance yang dimaksud dengan berpokok kepada pengambilan keputusan kredit
yang baik bagi institusi bank itu sendiri. Pengambilan keputusan yang baik bagi bank adalah dalam rangka memupuk kemampuan bank yang optimal, agar dapat bertahan untuk hidup, yang menyeimbangkan pen- dapatan dan risiko.
Kathleen M. Eisenhardt mengatakan, untuk menghindari benturan kepentingan, governance harus pula diperhatikan. Faktor yang paling menentukan demi tegaknya setiap aturan main atau governance adalah adanya peran pimpinan tertinggi. Bagi lingkungan pemberian pinjam- an/pembiayaan, yang mengandung banyak risiko dan kerawanan, yang diperlukan adalah kepemimpinan yang bermoral. Kepemimpinan yang bermoral juga berfungsi untuk menciptakan kultur korporasi yang diper- lukan. Di samping itu, menurut Cheng, majikan harus memiliki sejumlah tindakan tertentu untuk memotivasi dan mengawasi tindak-tanduk agen.
Karena itu, selain reward yang tepat, insentif berupa hukuman yang sesuai dengan kesalahan atau penyimpangan tingkah laku harus pula di- kenakan sehingga tindak-tanduk agen dapat diselaraskan menurut kehen- dak majikan, dalam hal ini korporasi dengan berbagai stakehoder-nya.
Dalam pengambilan keputusan pemberian pinjaman/pembiayaan, governance yang dimaksudkan meliputi nilai-nilai yang ada pada kul- tur kredit bank, yang harus diikuti oleh semua anggota organisasi bank yang terkait dalam pemberian pinjaman/pembiayaan. Di samping itu, bagaimana pekerjaan harus dilakukan harus pula ditentukan dengan pasti sehingga merupakan kontrak (sosial) seperti yang dimaksud oleh Lago di atas, dan harus diikuti dalam memproses pekerjaan pengambilan keputusan pemberian pinjaman/pembiayaan, termasuk pelaksanaan dan pengawasannya.
Istilah moral hazard menjadi populer semenjak terjadinya krisis Asia 1997/1998, yang menunjuk pada keadaan yang mendorong terjadinya pemberian kredit yang terlalu agresif dan sembrono, dan gagal menerap- kan analisis kredit dan pengawasan yang memadai.
Moral hazard terjadi ketika seseorang mengambil risiko yang ber- lebihan, di mana terdapat orang lain yang menanggung risiko itu tanpa dapat membebankan tanggung jawabnya kepada yang mengambil risiko, atau tidak dapat menghalangi pengambilan risiko yang besar itu.2 Keja- dian ini dapat pula terjadi pada bank, yakni jika modal bank terlalu kecil untuk lingkungan risiko di tempat bank beroperasi dibandingkan dengan dana masyarakat yang digunakan. Dalam keadaan seperti itu, pemilik bank memiliki insentif untuk memberikan pinjaman dengan risiko yang tinggi; jika sukses, memperoleh untung yang besar, tetapi jika rugi, beban akan ditanggung oleh para deposan atau pemerintah.
Gambaran inilah yang sesungguhnya terjadi di Indonesia setelah adanya Pakto 1988, tatkala bank baru dapat didirikan dengan modal ha- nya Rp 10 miliar. Sepuluh tahun kemudian, terbukti banyak bank harus ditutup karena pemiliknya melakukan pemberian pinjaman kepada diri sendiri atau kelompok usahanya, yang kemudian ternyata sebagian besar macet. Dari hasil penelitannya, James R. Barth dan Michael G. Bradley menyimpulkan bahwa banyak institusi simpan-pinjam (S&L) di Amerika yang tidak solvabel karena terlalu banyak memberikan pinjaman yang be­risiko tinggi, seperti pada macam pinjaman tertentu dari mortgage loan. Secara empiris, Linda M. Hooks dan Kenneth J. Robinson membuktikan teori moral hazard.
Hal yang sama, menurut Ibrahim Warde, moral hazard dapat terjadi jika pemerintah mengeluarkan kebijakan atau ketentuan, tetapi kemudi- an menimbulkan tingkah laku yang tidak baik dan berlebihan. Sebagai contoh, jika pemerintah memberikan deposit guarantee kepada perbank- an untuk kepentingan masyarakat pemilik dana, adanya guarantee ini cenderung mendorong timbulnya moral hazard; bank akan mengambil risiko dan melakukan investasi yang berlebihan karena manajemen me- rasa mereka dilindungi oleh guarantee tersebut. Hal ini banyak terjadi di bank-bank besar, karena adanya anggapan bagi mereka too big to fail.
Moral hazard dapat pula terjadi pada sisi bank sebelum kredit dibe- rikan, yaitu ketika kredit sedang diusulkan dan diproses untuk disetujui atau ditolak di dalam internal bank. Hal ini dapat terjadi karena adanya asymmetric information antara calon debitor dan calon kreditor. Umum- nya, moral hazard seperti ini berbentuk penyajian informasi yang tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya oleh calon debitor. Masalah yang timbul dari sisi calon debitor biasanya dapat diatasi dengan mela- kukan pengecekan reputasi dan uji tuntas (due diligence) dengan saksa- ma terhadap usulan kredit dari calon debitor; kecuali memang dengan sengaja tidak dilakukan oleh pegawai yang bertanggung jawab. Jika uji tuntas tidak dilakukan dengan saksama, atau direkayasa seolah-olah telah dilakukan dengan saksama, terdapat beberapa kemungkinan yang terjadi, yaitu pengolahan informasi atau data yang diberikan debitor di-
rekayasa menjadi lebih baik, atau jika informasi atau data itu bersifat negatif, sama sekali tidak diungkapkan oleh pemroses atau pejabat kredit yang terkait, atau ditutupi dengan penjelasan yang tampaknya logis agar suatu usulan kredit dapat disetujui.
Dalam keadaan seperti itu, presiden direktur bertanggung jawab untuk mengontrol sehingga pengambilan risiko yang berlebihan dan tidak se- imbang tidak terjadi. Pemimpin tertinggi dalam bank itu harus pula berusaha menciptakan kultur korporasi dan kultur kredit yang sehat sehingga proses pemberian kredit dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian. Pemimpin itu harus memberikan keteladanan dalam moralitas sehingga dapat diilhami dan diikuti oleh semua bawahannya.
Moral hazard pada pasar keuangan terjadi ketika kreditor dihadap- kan pada hazard, dan debitor memiliki dorongan untuk melakukan tin- dakan yang tidak diinginkan dari segi pandangan kreditor. Moral hazard terjadi jika debitor tidak memiliki dorongan yang cukup untuk mengelola sumber daya modal sebaik mungkin demi tujuan tertentu, atau meng- ubah tujuan penggunaan pinjaman, atau menggunakan pinjaman untuk investasi berisiko tinggi, atau melakukan misalokasi dana untuk keperlu- an pribadi.
Sejalan dengan agency theory, Douglas W. Diamond berpendapat bahwa kegiatan pengawasan dari majikan dapat memperbaiki pelaksa- naan kontrak. Tugas bank-lah untuk melakukan pengawasan sebagai pihak yang telah didelegasikan untuk melakukan kegiatan ini. Diamond menyimpulkan bahwa jika bank dapat melakukan kegiatan pengawasan dengan baik, bank dapat menghindari tindakan melikuidasi bisnis debitor ketika debitor wanprestasi.
Moral hazard terjadi jika debitor tidak memiliki dorongan yang cukup untuk mengelola sumber daya modal sebaik mungkin demi tujuan tertentu.
Untuk mengatasi moral hazard yang mungkin terjadi pada tingkat (calon) debitor, bank harus melakukan langkah-langkah prinsip kehati- hatian sejak suatu permohonan kredit akan diproses. Langkah yang pa­ling awal adalah melakukan pengecekan reputasi calon debitor melalui jalur-jalur yang mungkin dapat digunakan. Langkah berikutnya adalah melakukan uji tuntas secara saksama, dalam rangka memperoleh keya­kinan bahwa pemilihan calon debitor untuk menjadi debitor memang telah merupakan pilihan yang tepat. Setelah kredit diberikan, bank harus
melakukan pengawasan atau kepedulian (due care), dengan tujuan agar pinjaman yang diberikan tidak berkembang menjadi bermasalah (NPL).
Untuk meyakinkan diri lebih lanjut bahwa langkah-langkah dari prinsip kehati-hatian telah dijalankan sebagaimana mestinya, dari waktu ke waktu bank harus melakukan pengawasan kredit dalam bentuk audit kredit terhadap pinjaman yang telah diberikan dari waktu ke waktu. Pihak yag terkait akan memahami secara jelas, bahwa mereka tidak dapat me- lakukan kesalahan dalam bekerja, karena mereka tahu bahwa hasil kerja mereka akan diperiksa secara objektif dan independen. Jika telah terjadi penyimpangan pada pelaksanaan pemberian kredit, harus dilakukan tin- dak lanjut, dengan menerapkan reward and penalty system yang tepat.
Tom L. Beauchamp dan Norman E. Bowie dari Amerika mendefinisikan stakehoder sebagai individu atau kelompok individu yang dapat memeng­aruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian objektif sebuah organisasi. Dari pengertian ini, stakeholder yang dimaksud adalah pihak yang bersifat vital terhadap kelanjutan hidup dan kesuksesan organisasi. Dalam kasus bank, stakeholder yang paling penting adalah para deposan atau para pe- milik dana masyarakat, yang disimpan dan digunakan bank untuk menja- lankan usaha perbankannya itu.
Secara umum, manajemen bank, terutama pimpinan puncaknya, memiliki tugas menjaga tingkat kesehatan organisasi yang dikelolanya. Di samping itu, manajemen harus pula memperhatikan kepentingan seluruh stakeholder yang terkait. Secara etika, manajemen harus menyeimbang- kan semua kepentingan mereka, tanpa ada yang didahulukan kepenting- annya, terutama ketika mengambil setiap keputusan. Namun, bagi bank inti permasalahannya adalah bagaimana mengambil keputusan kredit yang baik. Dengan mengambil keputusan kredit yang tepat, kemungkinan pemberian pinjaman akan menjadi NPL akan lebih kecil, sehingga kepen- tingan stakeholder yang paling vital akan terlindungi. Jika hal ini dapat dicapai oleh bank, kepentingan stakeholder lainnya pun dapat terlindungi.
Dasar adverse selection theory (teori "salah pilih") ini terletak pada dua asumsi. Pertama, kreditor tidak dapat membedakan debitor dengan berbagai tingkat risiko yang berbeda. Kedua, perjanjian pinjaman hanya mencakup tanggung jawab yang terbatas; misalnya hasil suatu proyek kurang dari kewajiban utang yang harus dibayar, debitor tidak bertang- gung jawab terhadap biaya-biaya di luar yang diperhitungkan. Teori ini membatasi diri pada kasus wanprestasi yang bukan atas kehendak sendiri (involuntary default), sehingga berarti debitor akan membayar pinjam- an kalau memiliki kemampuan dan kemampuan ini harus telah diperhi- tungkan oleh kreditor. Dengan demikian, untuk memperoleh pinjaman kembali, bank harus memiliki kemampuan untuk mengukur kekuatan de­bitor guna membayar utangnya, dengan mempertimbangkan risiko yang berbeda. Penelitian ini menekankan pentingnya bank untuk memiliki pe- ngetahuan dan keahlian perkreditan bagi seluruh staf yang terkait dalam pemberian kredit.
Teori ini sering mendapat kritikan, karena asumsinya adalah kreditor tidak mengetahui karakter debitor. Namun, di sinilah letak masalahnya. Kreditor harus mengetahui karakter debitornya, sehingga dapat mem- perkirakan apakah pinjaman akan dapat dibayar atau tidak. Karena itu, agar tidak terjadi salah pilih terhadap calon debitor, bank harus meneliti, karakter, kemampuan, dan kesanggupan calon debitor untuk membayar kembali pinjamannya. Untuk itu, bank sebagai institusi harus memiliki seperangkat atribut dan perlengkapan yang diperlukan dalam mengambil keputusan dan pelaksanaan serta pengawasan pemberian pinjaman/pem- biayaan kepada calon debitornya.
Allen N. Berger dan Robert DeYoung melakukan penelitian dan membuk- tikan hipotesis bahwa terdapat hubungan antara NPL dan efisiensi biaya terukur. Hipotesis ini menggunakan variabel "manajemen yang buruk", yang artinya manajemen itu tidak melakukan analisis, tidak mengawasi pinjaman secara memadai, atau tidak menghasilkan efisiensi. Dengan kata lain, sebagai manajer yang tidak baik, mereka tidak memiliki ke- ahlian dalam melakukan credit scoring sehingga lebih banyak memilih pinjaman dengan NPV yang rendah atau negatif, tidak kompeten dalam menilai kolateral sebagai jaminan untuk pinjaman, dan tidak mengaloka- sikan sumber daya dengan cukup, sehingga mengalami kesukaran dalam melakukan pengawasan pinjaman sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan setelah pinjaman diberikan.
Dalam hipotesis ini terdapat dua faktor utama, yaitu tingkah laku atau keahlian dalam mengevaluasi usulan pinjaman yang memadai dan sumber daya yang cukup untuk melakukan pengawasan pinjaman.
Beberapa peneliti telah membuktikan secara empiris kekuatan hi­potesis tersebut. J. William, misalnya, membuktikannya dari penelitian terhadap sejumlah sampel besar bank tabungan dari tahun 1990 sampai 1998 di Eropa. Pembuktian serupa dicapai oleh Rossi, Schwaiger, dan Winkler, dari penelitian mereka pada sampel 278 bank di 9 negara transi- si pada 1995 sampai 2002. Jiri Podpiera dan Laurent Weill memperkuat kesimpulan peneliti terdahulu melalui penelitian terhadap 21 bank yang gagal sampai tahun 2003 dari 54 bank di Republik Czech, salah satu ne- gara dalam transisi. Inti pembuktian hipotesis ini adalah, karena manaje- men tidak memiliki kompetensi, mereka menghasilkan banyak NPL yang mengakibatkan bank yang mereka kelola tidak efisien.
Kompetensi yang dimaksudkan adalah pengetahuan mengenai perkreditan, kemampuan atau keahlian bagaimana melakukan analisis kredit, menilai jaminan, dan melakukan pengawasan terhadap pinjaman yang telah diberikan. Semua ini tercakup da- lam pengertian pengetahuan kredit dan keahlian kredit. Kesim- pulan mereka menunjukkan bahwa kegagalan bank terjadi karena ma­najemen yang buruk, bukan karena kejadian-kejadian eksternal seperti ekonomi makro yang berdasarkan Hipotesis Nasib Buruk (Bad Luck Hy­pothesis).
Timbulnya NPL atau NPF terletak pada kemampuan dan sikap ma- najemen internal dalam mengambil keputusan kredit, dan kegiatan meng- awasi serta menjaga kualitas kredit atau pembiayaan yang telah diberikan hingga lunas atau selesai. Namun, kedua faktor ini, kemampuan dan si- kap manajemen internal yang dapat memengaruhi timbulnya NPL atau NPF tersebut, perlu dikembangkan dan diperinci lebih lanjut.
Hal ini dapat dicapai melalui kajian teoretis dan berdasarkan bukti- bukti dari penelitian yang telah dilakukan para ahli serta pengalaman NPL beberapa negara yang bersifat empiris, sebagai berikut.
Kajian Teoretis. Menurut Bert Scholtens dan Dirk van Wensveen, sub- stansi mengenai apa yang harus dilakukan oleh intermediasi keuangan adalah menciptakan arus kas saat ini dan di masa depan tanpa menam- bah risiko portofolio secara keseluruhan. Pekerjaan ini harus dilakukan dengan menghadapi, sekaligus mengatasi, sejumlah kerawanan sebagai
sifat bank itu sendiri, yang meliputi kerawanan likuditas, leverage, risiko wanprestasi, keperca- yaan yang tidak seimbang, dan kerawanan mora- litas.3
Pada bank konvensional, konsep leverage harus diterapkan dengan penuh kebijaksanaan dan hati-hati karena memiliki sifat bermata dua. Di satu sisi, untuk meningkatkan kegiatan bank dan menambah jumlah pemberian kredit dalam rangka memperoleh keuntungan, bank harus menambah utangnya dalam bentuk pemupukan dana masyarakat melalui tabungan dan deposito. Di sisi lain, untuk me- nambah keuntungan ini dengan menambah utang, risiko bank bertambah sehingga kemungkinan melakukan wanprestasi juga bertambah.
Kemungkinan wanprestasi ini ditentukan oleh bagaimana bank mengambil keputusan dan menjaga kualitas pemberian kreditnya. Dalam mengambil keputusan yang tepat, bank harus mengatasi masalah asym­metric information dengan menjembatani ketidakseimbangan informasi yang dapat diperoleh bank, dibandingkan dengan calon nasabah, sehing- ga kemungkinan terjadinya adverse selection dapat dihindari.4
Menurut Mishkin, kemungkinan keputusan yang diambil tidak tepat bagi bank sebagai institusi dapat terjadi karena masalah prinsipal dan agen sehingga bisa timbul moral hazard. Bahkan, menurut Calavita, Pon- tell, dan Tillman, penyimpangan dalam bentuk penyelewengan, penipuan, penggelapan dan perampasan (looting) dapat pula terjadi, sehingga bank tidak dapat lepas dari masalah etika dan moralitas.
Tugas intermediasi keuangan adalah mengumpulkan informasi untuk menentukan investasi mana yang baik;5 melakukan penerapan tindakan disiplin terhadap corporate manager;6 dan mengatasi moral hazard yang mungkin timbul dari pihak debitor.7 Tugas-tugas ini memer- lukan sejumlah kegiatan yang harus dilakukan oleh bank dan pihak bank yang melakukannya harus memiliki sejumlah atribut yang diperlukan.
Pada bank konvensional, konsep leverage harus diterapkan dengan penuh kebijaksanaan dan hati-hati karena memiliki sifat bermata dua.
Dalam konteks yang lebih sempit, bank harus melakukan uji tuntas. Berdasarkan sejumlah definisi dan pengertian yang diberikan oleh sejum- lah ahli,8 kegiatan ini pada hakikatnya merupakan pertimbangan indivi- du atau bersifat judgemental, walaupun harus lebih banyak berdasarkan fakta dan data serta informasi yang telah diverikasi kebenarannya yang diekstrapolasikan ke masa depan.
Terutama dalam menghadapi calon debitor nonkorporasi, yang ber- sifat informationally opaque, bank memerlukan usaha yang lebih banyak dalam mengumpulkan informasi dan dalam melakukan verikasi atau subtansiasi informasi yang dapat diperoleh. Pertimbangan dalam mem- berikan keputusan kredit yang bersifat judgemental dengan sendirinya memerlukan pengetahuan dan keahlian serta pengalaman dalam hal per- kreditan atau pembiayaan.
Masalah lain yang terkait adalah dalam menentukan besar-kecilnya risiko kredit yang akan dihadapi juga bersifat judgemental, demikian pula halnya dalam menentukan dan menerima kolateral yang diperlukan, yang pada hakikatnya juga bersifat judgemental.
Dirangkum dari pendapat para ahli, dalam mengambil keputusan kredit yang bersifat judgemental serta berdasarkan convensions dan confidence, bank harus menghindari pengaruh-pengaruh atau keadaan seperti over confidence, asymmetric expectation, overoptimistic, refle­xivity, gambling for resurrection, irrational exuberance, herd behavior, dan the sixth C, Commitment. Sebaliknya, pemutus kredit harus menggu­nakan intuisi yang baik, dengan berpatokan pada kompas agama dalam rangka menentukan apakah keputusan yang diambil itu benar atau tidak.
Kegagalan bank pada umumnya terjadi karena pengambilan kepu- tusan kredit yang buruk, dan karena pengambilan risiko yang berlebihan. Keputusan pemberian kredit tetap dilakukan kepada debitor yang telah memiliki utang banyak, sehingga timbul sejumlah moral hazard. Walau- pun kredit macet merupakan representasi kesalahan perhitungan baik oleh kreditor maupun debitor, keasalahan ini lebih banyak ditentukan oleh penyebab di tingkat ekonomi mikro.
Kajian teoretis ini menunjukkan bahwa para pemutus kredit harus memiliki common sense, skills, experience, integritas, dan etika profe- sional, dengan kadar moralitas yang diwakili oleh keimanan yang kuat. Lingkungan manajemen internal bank harus mendukung dan mendorong penerapan unsur-unsur ini dalam organisasi bank, sehingga dapat mene- kan timbulnya NPL atau NPF sekecil mungkin.
Kajian Empiris. Penelitian empiris yang telah dibahas pada umumnya mengkaji hubungan faktor ekonomi makro atau ekonomi mik- ro, atau gabungan keduanya, terhadap timbulnya NPL. Kesimpulan yang diambil oleh tiap penelitian dapat memberikan indikasi faktor ekonomi mikro mana yang dapat diterapkan sehingga dapat menekan timbulnya NPL atau NPF.
Dari penelitian Breuer, bisa disimpulkan bahwa intermediasi ke- uangan dapat memainkan peranan ganda, sehingga menimbulkan ben- turan kepentingan. Setiap pihak memiliki kepentingan masing-masing dan menimbulkan masalah agen-prinsipal. Untuk menekan timbulnya benturan kepentingan, bank perlu menerapkan manajemen risiko yang efektif. Untuk itu, manajemen internal perlu memiliki pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman serta komitmen dalam bidang perkreditan. Untuk menjamin pelaksanaan manajemen risiko yang baik, bank juga perlu melakukan audit kredit internal; dan menerap- kan sistem penghargaan dan hukuman yang tepat.
Fuertes dan Espinola menekankan pentingnya microprudenti- al indicators seperti return on assets (ROA). Jika keadaan bank lemah, krisis pada bank akan terjadi ketika menghadapi kejutan ekonomi makro. ROA berkaitan dengan modal, memengaruhi likuiditas, dan memerlukan penekanan biaya-biaya, termasuk biaya yang diakibatkan oleh NPL seba- gai sumber biaya yang terbesar. Dengan demikian, untuk mencapai ROA yang baik, bank memerlukan corporate culture yang kuat.
Menurut Zabeen Ahmed, setiap faktor yang digunakan (makro ekonomi seperti GDP, indikator perbankan seperti tingkat bunga bank dan nilai kolateral, dan keadaan bank seperti besarnya bank dan credit culture) memiliki hubungan yang signifikan baik secara positif maupun negatif dengan NPL.
Penelitian Fofack juga menggunakan variabel makro dan mikro. NPL berkorelasi negatif dengan pendapatan per kapita, inflasi, broad mo­ney, dan sebagian besar variabel perbankan. Hal ini merupakan hubung- an sebab-akibat yang wajar, karena penelitian dilakukan ketika krisis eko­nomi dan perbankan terjadi sehingga bank dalam keadaan merugi akibat timbulnya NPL. Namun, Fofack menyatakan bahwa NPL pada bank pe- merintah lebih tinggi, jika dibandingkan dengan bank nonpemerintah. Perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan dalam corporate culture.
Dari penelitiannya, Bartu Soral berkesimpulan bahwa kelemahan institusi dan kerawanan ekonomi menciptakan kesempatan bagi para oportunis melakukan tindak penyelewengan dan penipuan di sektor ke­uangan. Di sini, yang diperlukan adalah penegakan hukum dan pening- katan kadar moralitas bagi para pejabat bank. Penegakan hukum di lingkungan bank dapat dicapai melalui pemberian reward dan penal­ty yang jelas dan tegas, serta pengontrolan terhadap hasil kerja berupa audit kredit secara berkala.
Yang Li menyimpulkan bahwa bank besar lebih mampu memproses kredit; dan bank pemerintah memiliki tingkat NPL yang lebih tinggi kare- na kultur yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh corporate dan credit culture yang berbeda.
Dalam penelitiannya, Vihriala mengaitkan pemberian kredit dengan keadaan ekonomi, yakni ekspansi kredit yang tinggi dilakukan pada saat ekonomi mengalami pertumbuhan, dan liberalisasi keuangan menimbul- kan lending boom dan moral hazard. Ekspansi kredit dilakukan dengan adanya pengaruh seperti herd behavior dan myopia, dan berlangsung ka- rena tidak mengetahui kapan kejutan ekonomi akan terjadi. Untuk meng- atasi hal ini, diperlukan pengetahuan dan keahlian perkreditan atau pembiayaan, yang disertai dengan tingkat profesionalisme, integritas, dan moralitas yang tinggi.
Kunt dan Detragiache berkesimpulan bahwa kejutan ekonomi makro merupakan penyebab utama krisis perbankan, di samping kena- ikan tingkat inflasi dan bunga yang mendadak. Di lain pihak, indeks law and order yang tinggi dapat menurunkan kemungkinan terjadinya kri­sis. Mereka juga berpendapat bahwa faktor makro dan mikro sama pen- tingnya terhadap terjadinya krisis. Unsur law and order yang dimaksud adalah pengawasan terhadap penerapan prinsip prudential yang efektif, dan mencegah terjadinya penyimpangan. Pada tingkat mikro, kedua hal ini dapat diartikan sebagai audit kredit dan pemberian reward ada penalty.
Menurut Komatsu, krisis 1997/1998 di Indonesia terjadi karena adanya moral hazard dari dua sisi. Pertama, kreditor luar negeri mem­berikan pinjaman kepada bank dalam negeri, karena anggapan adanya dukungan pemerintah. Kedua, bank memberikan pinjaman kepada pihak terkait. Pengambil keputusan tidak menerapkan pengetahuan dan keahlian dalam perkreditan, serta konsep profesionalisme dan integritas yang memadai. Untuk mengatasi forebearance policy, perlu diterapkan hard budget constraint.
Dalam penelitiannya, Djohanputro dan Kountur berkesimpulan bahwa tingkat NPL di BPR di Indonesia dipengaruhi oleh integritas dan kompetensi pemilik dan pengurus serta pegawai, kurang menerap- kan analisis kredit dan agunan yang baik dan konsisten, serta kurang memperhatikan keadaan nasabah. Untuk menghindari masalah ini, bank perlu memiliki pengetahuan dan keahlian perkreditan, mengem- bangkan profesionalisme dan integritas serta credit culture yang
sesuai, dibarengi dengan pengawasan kredit dan penerapan sistem reward dan penalty.
Menurut Chan Lau dan Chen, Krugman, Caprio, Haggard dan McIntyre, krisis Asia 1997/1998 disebabkan oleh sistem keuangan yang tidak efisien dan ditunggangi oleh moral hazard (insider dealing, korupsi, corpo­rate governance yang lemah) sehingga pemberi- an pinjaman tidak efektif. Sektor korporasi mengabaikan praktik keuangan yang pru­dent, transparansi yang rendah, over le­veraged. Pengambilan keputusan tidak melalui proses pengecekan reputasi calon debitor, dan tidak dilakukan proses uji tuntas. Tampak juga adanya masalah profesionalisme, integ­ritas, dan moralitas.
Caprio Jr dan Klingebiel berkesimpulan bahwa faktor mikro ekonomi dan insentif merupakan penyebab kunci masalah perbankan. Faktor ekonomi makro hanya memberikan pengaruh yang kuat terhadap perbankan dengan akibat yang berbeda. Bank wajib memiliki manajemen yang kuat dan konservatif, wajib memiliki keahlian dan jumlah SDM yang cukup untuk pekerjaan perkreditan dan pengawasan, dan perlu mempertahankan sikap kehati-hatian atau credit culture yang baik.
Menurut Alon dan Kellerman, krisis di Asia disebabkan oleh peng- gunaan utang yang berlebihan, dan faktor kultural yang memengaruhi faktor kepemimpinan dan keputusan pemberian kredit yang tidak in- dependen dan sehat, sehingga membawa Asia pada keruntuhan ekonomi.
Menurut Mishkin, krisis Asia disebabkan oleh lending boom, yang merupakan pemberian pinjaman dan pengambilan risiko yang berlebihan karena kurangnya keahlian dalam pengelolaan risiko dan kemam- puan manajerial, di samping pengawasan dan peraturan yang tidak me- madai. Dean berpendapat bahwa krisis Asia dilatarbelakangi oleh faktor kul- tural, dengan penyebab utama adalah unsur kolusi antara modal dan nega- ra, sehingga pemberian kredit lebih didasarkan pada relationship lending, yang mengesampingkan pertimbangan profesionalisme dan integritas.
Krisis Asia 1997/1998 disebabkan oleh sistem keuangan yang tidak efisien dan ditunggangi oleh moral hazard (insider dealing, korupsi, corporate governance yang lemah) sehingga pemberian pinjaman tidak efektif.
Di Indonesia sendiri, penyebab terjadinya NPL yang besar yang mengakibatkan kegagalan bank, dan kemudian menciptakan krisis per- bankan, tidak jauh berbeda dengan penyebab-penyebab yang terjadi di
negara-negara lain. Krisis di Indonesia secara umum disebabkan oleh diabaikannya prinsip kehati-hatian, timbulnya moral hazard, dan secara khusus akibat crowny banking. Ditinjau dari sisi makro, semua hal ini timbul karena pengawasan pihak regulator yang lemah.
Faktor-faktor yang disebutkan terdahulu digunakan sebagai variabel un- tuk menjelaskan penyebab timbulnya NPL dan dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu 2 kelompok subjek dan 1 kelompok sebagai proses serta pengawasan yang diduga dapat memengaruhi tinggi-rendahnya NPL.
Pengelompokan ini mirip dengan yang dilakukan oleh William Gam­ble, yakni dibagi ke dalam orangnya, kebijakannya, dan praktiknya. Be- danya, apa yang dilakukan Gamble merupakan gambaran keadaan ketika NPL terjadi, dan dia meneliti secara retrospektif ke belakang dalam rang- ka mencari penyebabnya.
Dalam penelitian untuk buku ini, yang dicari adalah apa yang diper- lukan dalam proses pemberian kredit, sehingga kemungkinan timbulnya NPL atau NPF dapat diperkecil. Jadi, tidak hanya pengalaman masa lalu yang digunakan, tetapi dibarengi dengan teori dalam ruang lingkup per- masalahan, yang secara keseluruhan dapat digunakan untuk melihat ke depan secara lebih baik.
Tinjauan teoretis dan pengalaman NPL empiris pada bagian terda- hulu menunjukkan sejumlah faktor yang dimaksud, yang dikelompokkan sebagai berikut. Pertama, tingkat individu, yang meliputi semua pejabat mulai pejabat kredit, komite kredit, manajer risiko, hingga pemutus kre- dit, yang oleh Gamble dikelompokkan ke dalam orangnya. Di sini, yang perlu dimiliki tiap individu itu adalah kualifikasi dalam melakukan proses dan persetujuan pemberian kredit serta pengawasan kredit. Kualifikasi ini meliputi pengetahuan dan keahlian kredit, integritas dan profesional- isme, dan kadar spiritualitas.
Kedua, pada tingkat institusi, yang dapat memengaruhi tindakan di tingkat individu adalah lingkungan tempat mereka bekerja, atau disebut institutional environments. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi ba­gaimana dan kualitas orang itu bekerja di dalam bank dalam kaitannya dengan kemungkinan timbulnya NPL atau NPF adalah kepemimpinan bermoral, kultur organisasi/perusahaan, kebijakan disiplin anggaran, dan sistem penghargaan dan hukuman.
Ketiga, di tingkat proses dan pengawasan, yang dalam pengelompok- an Gamble disebut sebagai praktiknya. Hal-hal pokok yang dapat men- dukung pelaksanaan atau praktik pemberian kredit yang sehat adalah faktor-faktor seperti kultur kredit, pengecekan reputasi, uji tuntas dan kepedulian, dan pengawasan kredit internal.
Di samping pada bank konvensional, variabel-variabel ini juga berlaku pada bank syariah, karena bank syariah juga berfungsi sebagai lembaga intermediasi keuangan. Bank syariah dan bank konvensional masing-masing memiliki manajemen internal, dan menghadapi lingkungan operasional yang sama. Hanya saja, pelaksanaan fungsi intermediasi yang dilakukan oleh bank syariah harus mengacu pada ketentuan dalam Al-Quran dan hadis, yang bersifat universal dan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia baik yang bersifat etika, sosial, maupun perkara pidana dan perdata, termasuk dalam hal bermuamalah perbankan dalam Islam.
Ditilik dari tugas intermediasi keuangan, bank harus memilih dan me- mastikan pemberian pinjaman atau investasi, yang akan dilakukan memi- liki risiko yang dapat diterima dengan keuntungan yang memadai untuk mencapai value creation yang diharapkan.
Itu berarti bank bertindak benar-benar sebagai penyeleksi investasi dan pemikir (sebagai think tank), sekaligus operator investasi bagi para deposan, dan bahkan sebagai pihak yang mengontrol tingkah laku debi­tor peminjam. Agar bank dapat menjalankan tugas ini dengan baik, para pejabat yang berkaitan dengan perkreditan atau pembiayaan harus me- miliki pengetahuan dan keahlian di bidang yang sama. Pengetahuan per- kreditan didapat melalui pelatihan yang merupakan proses pembentukan intelektual yang lebih baik, sedangkan keahlian adalah pengorganisasian pengetahuan yang muncul dari praktik penerapannya.
Menurut Mishkin, Djohanputro, dan Kountur, unsur keahlian da- lam pengelolaan risiko dan kemampuan manajerial merupakan hal yang sangat krusial dalam perbankan, dan untuk itu diperlukan pengetahuan perkreditan yang dalam. Menurut Coleshaw, penerapan keahlian atau pe- ngetahuan perkreditan bersifat sentral terhadap reputasi dan keuntungan bank, dan tentunya dapat memengaruhi tingkat NPL.
Pengetahuan dan keahlian dalam bidang perkreditan atau pembia- yaan sangat menentukan kemampuan bank untuk menyeleksi calon de­bitor, sekaligus membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, di­tinjau dari segi keuntungan yang dapat diharapkan dan risiko yang harus dihadapi bank. Ketidakmampuan akan hal ini akan dapat berakibat pada timbulnya NPL yang besar. NPL yang besar akan menyebabkan kegagalan bank dan bahkan krisis keuangan.
Francisco Gil Diaz berpendapat bahwa salah satu penyebab uta­ma terjadinya krisis keuangan di Meksiko pada 1994 adalah perbankan umumnya memiliki kemampuan yang buruk dalam menyeleksi calon debitor, di samping ekspansi kredit yang berlebihan. Kemampuan yang diperlukan tidak dipersiapkan sehingga ketika lending boom muncul akibat liberalisasi keuangan, perbankan begitu mudah dan agresif dalam ekspansi kredit. Lemahnya pengetahuan mengenai bagaimana melaku- kan analisis kredit dan manajemen risiko juga dialami oleh Korea sebelun tahun 1980. Baru mulai awal tahun 1980, Korea belajar bagaimana mela- kukan analisis kredit.
Dari penelitian mengenai bank-bank lokal di Afrika yang mengalami kegagalan, Martin Brownbridge menyimpulkan bahwa kegagalan dan NPL itu terjadi karena bank-bank tersebut tidak memiliki keahlian yang memadai dalam bidang perkreditan. Bahkan, di samping para pejabat kredit, para manajer dan direksi juga tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup di bidang perkreditan.
Berdasarkan penelitian FMI,9 salah satu penyebab utama perbankan di Jordania tidak berkembang adalah para pejabat bank (loan officer)- nya tidak memiliki keahlian dasar yang diperlukan untuk melakukan ana- lisis, atau penilaian usulan kredit atau pinjaman berdasarkan data-data keuangan dan kemampuan arus kas. Di sana, pemberian pinjaman hanya dilakukan atas dasar hubungan pribadi dan kolateral.
Untuk mengatasi asymmetric information, yang terjadi ketika calon debitor mengetahui secara persis bidang usaha atau bisnisnya, dan keada- an industri di lingkungan usahanya berada, tetapi tingkat pengetahuan kre- ditor mengenai kedua hal itu tidak sebanyak debitor, menurut Koford dan Tschoegel, pejabat kredit harus berusaha sungguh-sungguh menggali in­formasi yang diperlukan dan mempelajarinya secara mendalam. Dalam hal ini, pengetahuan dan keahlian perkreditan sangat diperlukan dalam meng- ajukan pertanyaan yang tepat untuk menggali informasi dan menganalisis, atau melakukan penalaran terhadap kebenaran informasi yang diperoleh.
Mengenai masalah perkreditan dengan tingkat NPL yang tinggi tahun 1980-an di Amerika, John McGovern berpendapat bahwa para bankir se-
yogianya kembali kepada hal-hal yang mendasar (back to basic), yaitu kembali untuk memprioritas- kan, memperkuat, dan menerapkan keahlian-ke- ahlian kredit dalam fungsi pemberian kredit per- bankan, tidak semata-mata pada keahlian menjual.
Kemampuan perkreditan mutlak dimiliki oleh setiap pejabat yang berkaitan dengan perkreditan. Pejabat kredit, terutama, harus mampu mengumpulkan informasi yang diperlukan, melakukan uji tuntas, memastikan seluruh informasi yang telah dikumpulkan adalah benar dan akurat, melakukan analisis keuangan dan analisis kredit, dan seterusnya.
Jika seluruh proses telah dilalui dengan cermat, data yang diperlukan untuk pemrosesan kredit telah diperoleh dan telah dianalisis dengan me- lakukan uji tuntas, pejabat kredit telah bertemu dengan calon debitor dan telah berkunjung ke lokasi usaha calon debitor, serta telah melakukan pengecekan reputasi, berdasarkan pengalaman, pada saat itulah pejabat kredit biasanya telah memiliki suatu perasaan kredit (credit feeling). Pe- rasaan kredit ini dapat menunjukkan apakah calon debitor tersebut layak kredit atau tidak. Keahlian yang disertai dengan perasaan kredit ini tidak saja diperlukan untuk melakukan analisis kredit, tetapi juga untuk mela- kukan pengawasan terhadap pinjaman yang diberikan.
Salah satu bentuk kegiatan yang baik di dunia adalah memperoleh pengetahuan dan menjalankan keadilan sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku. Tujuan manusia di dunia adalah mencapai kebahagiaan melalui aktivitas-aktivitas rasional demi kebahagian di akhirat. Dalam konteks perbankan syariah, untuk memproses pembiayaan diperlukan pengetahuan dan keahlian yang lebih dalam dan luas.
Bank Indonesia menyebutkan bank syariah sebagai knowledge inten­sive, karena kunci keberhasilan bank syariah terletak pada dua unsur ini, yaitu keahlian dan keterampilan para stafnya. Pengetahuan dan keahlian ini mencakup aspek ekonomi, keuangan, manajemen, hukum, teknis, dan wawasan yang luas mengenai prinsip-prinsip pembiayaan syariah. Terle- bih lagi, untuk menganalisis usaha yang akan dibiayai dengan akad PLS diperlukan pengetahuan dan pemahaman jenis usaha yang akan dibiayai dan filosofi usaha dari calon mudharib atau mitra.
Tujuan manusia di dunia adalah mencapai kebahagiaan melalui aktivitas- aktivitas rasional demi kebahagian di akhirat.
Setelah pembiayaan diberikan, bank perlu pula memiliki pengetahu- an dan keahlian dalam rangka memonitor tingkah laku nasabah, khusus-
nya mudharib dan mitra dalam akad mudharabah dan musyarakah. Tin- dakan ini diperlukan untuk menekan timbulnya kerugian akibat tindakan mereka yang tidak jujur.
Hipotesis Variabel Pertama: Makin tinggi penerapan dan kadar penge­tahuan dan keahlian kredit pejabat yang terkait dengan perkreditan, makin kecil timbulnya NPL pada bank konvensional. Makin tinggi penerapan dan kadar pengetahuan dan keahlian pembiayaan dari pejabat yang terkait de­ngan pembiayaan, makin kecil timbulnya NPF pada bank syariah. Penera- pan atau kadar pengetahuan dan keahlian pembiayaan (perkreditan) dari pejabat yang terkait dengan pembiayaan (perkreditan) lebih tinggi pada bank syariah dibandingkan dengan pada bank konvensional.
Baik secara teoretis maupun empiris, intermediasi keuangan oleh bank konvensional memiliki sejumlah karakteristik yang rawan, termasuk terhadap terjadinya moral hazard. Pada bank konvensional, salah satu penyebab timbulnya moral hazard adalah modal bank yang rendah di- bandingkan dengan dana masyarakat yang digunakan bank yang bersifat sebagai utang bagi bank. Pada bank syariah, dana masyarakat pada bank merupakan dana titipan yang dipercayakan untuk dikelola oleh bank atas seizin pemilik dana; dana ini bukan merupakan utang bagi bank.
Pemilik bank konvensional sering mendorong eksekutifnya untuk mengambil risiko yang berlebihan demi mencapai keuntungan yang lebih besar, karena mereka tahu bahwa modal yang mereka pertaruhkan lebih kecil daripada uang orang lain. Pada bank syariah, secara teori, hal serupa sulit untuk terjadi karena pemilik dana mengikuti, bahkan dapat menen- tukan ke dalam usaha apa dana mereka ditanamkan.
Dalam kaitan dengan modal versus utang ini, hipotesis moral hazard merupakan masalah klasik yang sering terjadi karena pengambilan risiko yang berlebihan, ketika seseorang menanggung sebagian dari risiko ini te- tapi tidak dapat menghindarinya. Dalam hal ini, bank menanggung beban risiko yang diambil oleh pejabatnya. Moral hazard ini juga berarti bahwa terdapat "orang dalam", seperti para pejabat dan pemilik, bertingkah laku yang tidak memaksimalkan nilai perusahaan.
Krisis yang terjadi di Asia, termasuk Indonedia tahun 1997/1998, terjadi karena kadar integritas dan profesionalisme yang luntur, sehingga mengabaikan sikap dan tindakan prudential yang diperlukan.10 Pengabai- an terhadap sikap kehati-hatian ini juga terjadi di banyak negara, dan me- rupakan penyebab timbulnya NPL yang besar di negara-negara tersebut.
Moneim, seperti dikutip Krisna Wijaya, berpendapat bahwa ada dua bentuk kesalahan yang dapat dilakukan oleh seorang bankir profesional, yaitu pelanggaran dalam bentuk error omission dan error commission, yang bermuara pada masalah integritas dan profesionalisme. Tanpa me- miliki kadar integritas dan profesionalisme yang memadai, orang akan cenderung mencari pembenaran melalui tindakan yang dapat menghin- dari hukum, ketika hukum tidak secara jelas melarang apa yang tidak bo- leh dilakukan. Dalam keadaan yang lebih ekstrem, hukum dibelokkan ke arah yang dapat membenarkan tindakan yang hendak dilakukan.
Masalah omission dan commission ini dapat lebih dijelaskan melalui kasus yang terjadi pada Enron. Kegagalan Enron merupakan kegagalan direksinya; mereka tahu semua yang terjadi, perkongsian rahasia, ben- turan kepentingan, dan rekayasa catatan keuangan, dan ini semua meru- pakan kesalahan commission. Hal ini bukan saja merupakan penerapan integritas yang lemah, melainkan sudah merupakan pelanggaran hukum yang berat. Dari segi kesalahan omission, mereka bertindak tidak pada tempatnya, atau bersifat tidak tanggap, atau sama sekali tidak mengerti peranannya sebagai anggota direksi. Dengan kata lain, mereka tidak ber- tindak sebagai profesional layaknya.
Mengenai masalah perbankan di Pakistan, Ishrat Husain mengatakan kepada para bankir di sana agar mereka tidak mempermainkan integritas pribadi, dan jangan merusaknya dengan melakukan praktik-praktik yang bertentangan dengan standar etika dasar profesi. Husain menambahkan, tindakan yang tidak bertanggung jawab dari segelintir bankir akan me- nimbulkan kerusakan dan membawa nama buruk bagi keseluruhan pro- fesi bankir.
Dari uraian ini tersirat adanya dua kata yang bersifat kunci, dan ber- peran dalam melaksanakan tugas pemberian kredit bagi bank. Dua kata yang dimaksud adalah integritas dan profesionalisme.
Integritas berarti kesatuan yang utuh atau komplit. Kata ini meng­andung banyak makna, merupakan kumpulan sejumlah kebajikan11 atau prinsip moral, meliputi kejujuran, loyalitas, peradaban, rasa hormat, ke- beranian, dan kerendahan hati. Semua prinsip moral itu membentuk sua- tu kesatuan dalam jangka panjang; kuncinya, menurut Anna Bernasek, terletak pada tiga unsur: keterbukaan, norma-norma, dan akuntabilitas.
Menurut Joseph Migga Kizza, integritas bersifat tidak koruptif, me- miliki pandangan, kecintaan, dan komitmen terhadap apa yang harus dilakukan. Dalam integritas, kata Stephen R. Covey, tidak terdapat perbe- daan antara niat dan tingkah laku, dan selalu meninggalkan impresi yang benar. Menurut David L. Norton, integritas merupakan identifikasi sese- orang dengan nilai-nilai tertentu, merupakan komitmen orang itu untuk mengaktualisasikan, melanggengkan, dan mempertahankan nilai-nilai tersebut, yang antara lain yang telah disebutkan di atas.
Bagi Socrates, kesetiaan yang utuh dan tidak tergoyahkan terhadap nilai-nilai merupakan panglima, atau Tuhannya; dan kesetiaan itu me- miliki kedudukan yang lebih tinggi atau merupakan pribadi yang benar. Selain itu, integritas merupakan kepatuhan kepada kode etik dan satu set nilai-nilai, dan bagaimana tindakan sesuai dengan kepercayaan yang dianut; dan merupakan ukuran keterpautan dan konsistensi dalam mem- bentuk dan mempertahankan kepercayaan atau trust. Integritas, bagi Covey, juga merupakan nilai keberanian dalam bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan kepercayaan yang dianut. Tetapi, integritas dapat rusak seketika, karena tindakan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai moral tersebut.
Menurut Bernasek, integritas mengandung dua komponen. Pertama, suatu tingkat kepercayaan, karena seseorang mengikuti aturan yang ada, mengatakan yang benar, dan bertindak hati-hati dalam bekerja. Kedua, kepercayaan itu sendiri, bahwa percaya terhadap suatu tingkat kepercayaan kepada penjual atau pihak dengan siapa seseorang berhubungan atau bertransaksi. Percaya dan tingkat kepercayaan membentuk hubungan berdasarkan kepercayaan dan integritas. Konsep integritas membawa konsekuensi tanggung jawab, yang didukung dengan konsistensi dan prediktabilitas. Konsistensi berkaitan dengan tindakan, sedangkan prediktabilitas dengan hasil dari tindakan itu.
Integritas melandasi banyak hubungan manusia dalam bertransaksi atau melakukan kegiatan ekonomi, dan yang memungkinkan transaksi atau kegiatan itu tetap berlangsung. Salah satu sisi dari kegiatan ekonomi adalah memproduksi atau menjual barang dan jasa. Jika kegiatan ini dilakukan dengan konsep integritas, kegiatan itu akan tetap berlangsung karena
memiliki nilai yang mendukung. Pekerjaan memproduksi atau menjual itu perlu dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan tentang itu, dan dilakukan dengan baik dan penuh tanggung jawab demi kepuasan pihak yang dilayani. Pengertian ini disebut sebagai profesionalisme, yang mementingkan keutuhan profesinya dengan menerapkan konsep integritas. Jadi, integritas dan profesionalisme merupakan dua konsep yang berdekatan dan bersinggungan.
Menurut Kizza, integritas merupakan salah satu pilar profesionalisme. Integritas lebih menyangkut pada keutuhan bagaimana bertindak dengan memperhatikan prinsip-prinsip, nilai-nilai atau kepercayaan yang dianut sehingga berorientasi ke dalam, sedangkan profesionalisme lebih mengacu pada pelaksanaan suatu tindakan berdasarkan kaidah-kaidah yang ditentukan oleh suatu jenis pekerjaan atau profesi, untuk keutuhan nilai inti profesi itu dalam kaitan dengan pihak yang dilayani, jadi mengandung orientasi ke luar.
Karena itu, profesionalime, yang mendasari profesi atau bidang pe- kerjaan yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu, memerlukan pe- ngembangan keahlian dan pengetahuan dalam ruang lingkup tersebut. Seorang profesional memiliki otonomi untuk bertindak dalam ruang ling- kup ini guna melayani pihak yang memerlukan jasa atau produknya.
Dalam kaitan dengan krisis keuangan atau kegagalan bank, pembe- rian kredit yang berlebihan pada dasarnya menyangkut hubungan antara agen dan prinsipal. Menurut Santiago Fernandez de Lis, Jorge Martinez Pages, dan Jesus Saurina, masalah agen dan prinsipal ini dapat mendo- rong terjadinya ekspansi kredit yang berlebihan. Para manajer ingin men­dorong peningkatan laba jangka pendek sehingga mengambil risiko yang lebih tinggi.
Jika para manajer itu bertindak secara profesional dengan menggu- nakan keahlian yang dimiliki, mereka akan mempertimbangkan keun- tungan yang mungkin diperoleh dengan risiko yang dihadapi. Demi ke- pentingan kelanjutan usaha dari institusi tempat mereka melakukan pro- fesinya, mereka juga wajib menyeimbangkan kepentingan jangka pendek dengan kepentingan jangka panjang. Lis, Pages dan, Saurina berpendapat bahwa pemberian kredit atau ekspansi kredit yang berlebihan ini meru- pakan salah satu penyebab penting timbulnya NPL.
Bagi suatu perekonomian di tingkat makro, beberapa ahli menyebut- kan bahwa ekspansi kredit yang berlebihan terjadi jika pertumbuhan kre- dit melebihi pertumbuhan pendapatan nasional bruto. Penentuan jumlah yang tepat dengan risiko yang dapat diterima, serta memperhatikan ke­pentingan jangka pendek dan panjang, dalam konteks agen atau bawahan bertitik tolak pada tingkat profesionalisme dan integritas seseorang.
Pemberian kredit melalui cara-cara yang tidak sehat merupakan tin- dakan yang bertentangan dengan prinsip profesionalime yang baik. Teta- pi, jika pemberian kredit itu dilakukan demi kepentingan pihak tertentu, masalah itu merupakan gangguan yang serius terhadap etika dan integ- ritas, dan dapat berakibat pada pelanggaran hukum atau ketentuan yang berlaku. Bagi Djohanputro dan Kountur, masalah integritas dan kompe- tensi yang berkaitan dengan profesionalisme merupakan faktor yang da- pat memengaruhi tinggi rendahnya NPL.
Scott J. Vitell, Troy A. Festervand, dan David L Strutton melakukan penelitian mengenai masalah etika dalam lingkungan perbankan. Ma- salah etika di sini dapat berarti bahwa pelaksana tidak memiliki kadar integritas yang memadai. Mereka mengelompokkan sumber-sumber konflik etika di semua lapisan administrasi bank ke dalam tiga kategori. Pertama, transaksi orang dalam. Aktivitas ini pada dasarnya berkaitan dengan situasi adanya tekanan dari direksi atau pimpinan puncak ke- pada bawahan untuk menggunakan jasa-jasa yang dimiliki dan dikon- trol oleh pihak tersebut, atau melakukan pemberian pinjaman kepada keluarga atau teman. Kedua, situasi yang berkaitan dengan hubungan antara bank dan bankir, seperti menerima imbalan karena pinjaman nasabah disetujui dan direalisasikan oleh bank, atau menerima hadiah jika bank membeli barang dari penyuplai. Ketiga, dalam mencari dana masyarakat, bank dapat terekspos pada masalah etika atau bahkan me- lakukan tindakan melanggar etika. Hal ini juga terjadi pada perbankan di Indonesia, di mana bank pemerintah (daerah) harus mengeluarkan dana tambahan di bawah meja untuk memperoleh dana dari perusahaan pemerintah lainnya.
Hasil penelitian Vitell, Festervand, dan Strutton menyimpulkan, an- tara lain, benturan antara kepentingan organisasi dan etika pribadi meru- pakan sumber konflik yang paling sering terjadi, dan keperluan keuangan pribadi adalah faktor yang paling mungkin dapat memengaruhi seorang eksekutif untuk melakukan keputusan yang tidak etis. Tindakan yang ti- dak etis ini menunjukkan lemahnya kadar integritas dari pihak bank.
Jika kita berbicara dalam konteks kelompok atau institusi seperti bank, integritas dimulai dari tingkat direksi atau bahkan pada tingkat pimpinan yang lebih tinggi. Peter Verhezen menekankan hubungan an- tara relevansi integritas pribadi dengan integritas sebagai seorang profe- sional, dan antara strategi untuk menerapkan kepatuhan terhadap penge- lolaan risiko dengan mempertahankan reputasi korporasi atau institusi. Direksi perlu memiliki integritas yang pada dasarnya menekankan pene- rapan komitmen moral. Dengan komitmen moral ini, direksi akan dapat mematuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku, dan nilai-nilai yang ditun- tut oleh profesi sehingga dapat mengelola atau bahkan mengurangi risiko yang dihadapi. Dalam lingkungan perbankan, pengelolaan risiko merupa- kan pekerjaan yang bersifat krusial bagi direksi, dan menentukan perja- lanan kehidupan bagi bank itu sendiri. Jika dilakukan secara profesional, pengelolaan risiko itu akan dapat menyelamatkan bank dari guncangan ekonomi makro dan akhirnya akan dapat menciptakan dan meningkatkan reputasi direksi dan bank sebagai institusi.
Untuk mengatasi kasus-kasus penyelewengan atau penyimpangan di perbankan, banyak pihak menyarankan agar peraturan diperketat, sanksi pidana diperberat, dan kepatuhan terhadap penerapan corporate governance lebih ketat diawasi. Namun, hal ini saja tidak menjamin pe- nyelewengan itu tidak terulang. Menurut Komite Cadbury dari Inggris, hal yang dapat menjamin agar penyelewengan tersebut tidak terulang kembali adalah kualitas manusia, kejujuran, integritas, dan sikap hati- hatinya.12 Dalam menghadapi persoalan yang sama di industri perbankan Nigeria, para pejabat perbankan sependapat untuk meningkatkan kadar etika dan profesionalisme di lingkungan perbankan sebagai agenda yang harus dilakukan. Dalam hal integritas, mereka juga berpendapat bahwa perbankan harus memiliki kesempurnaan tanpa kompromi.13
Dalam agama Islam, profesionalisme berarti mengambil kekuatan melalui Tuhan, yaitu mencintai apa yang dilakukan, memperbaiki kuali- tas diri, menambah pengalaman, membuat janji yang benar-benar dapat dilakukan, dan melakukan sesuatu lebih baik dari apa yang telah dijanji- kan kepada orang lain.14
Menurut Aa Gym dan Hermawan Kartajaya, seorang muslim dapat dianggap sebagai profesional, jika dia memenuhi dua hal. Pertama, menjaga nilai-nilai, antara lain kejujuran, tepat janji, dan etos kerja.
Kedua, nama baiknya terbentuk ketika sedang mencari nafkah atau menjemput rezeki. Di samping itu, profesionalisme juga berarti adanya kebanggaan akan pelaksanaan pekerjaan yang telah dipahami dengan baik, dan mengetahui apa yang tidak diketahui, dan niat untuk terus belajar.
Dengan demikian, dalam bank syariah, profesionalisme berarti percaya terhadap nilai- nilai Islami, dan membawa nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dan pekerjaan. Keberhasilan bank syariah dalam menjalankan usahanya tidak saja karena tututan tugas profesionalisme para eksekutifnya, tapi juga merupakan tanggung jawab terhadap Tuhan.
Untuk menunjukkan pentingnya integritas, dikatakan bahwa orang yang paling baik dipilih untuk bekerja adalah orang yang kuat dan dapat dipercaya (QS Al-Qashash [28]: 26). Untuk menggambarkan pentingnya profesionalisme, dikatakan bahwa dalam melakukan pekerjaan, lakukan- lah takaran yang benar dan sempurna ketika menakar, dan gunakanlah timbangan yang benar (QS Al-Isra' [17]: 35). Dalam melakukan pekerjaan secara berkelompok dan untuk kelompok, Al-Quran mengatakan kepada orang-orang yang beriman, agar bertakwa bersama orang-orang yang benar (QS Al-Taubah [9]: 119). Ayat ini menganjurkan agar profesionalisme dan integritas harus dijaga secara bersama dan untuk kepentingan bersama.
Imam Thabrani mengungkapkan beberapa sabda Nabi Saw. yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi sebagai amanah. Nabi Saw. ber- sabda bahwa Allah sesungguhnya tidak memandang bentuk kamu, dan ti- dak pula kepada kebangsawanan kamu, dan tidak pula pada harta kamu, melainkan hati kamu dan perbuatan kamu; Allah menyukai orang yang bekerja, apabila dia bekerja dengan baik. Hadis riwayat Baihaki menye­butkan bahwa sesungguhnya Allah senang, jika salah seorang di antara kamu mengerjakan suatu pekerjaan yang dilakukan secara profesional.15 Untuk itu, pihak yang terkait dengan perkreditan harus bersifat amanah dan shiddiq serta profesional atau fathanah.
Pihak yang terkait dengan perkreditan harus bersifat amanah dan shiddiq serta profesional atau fathanah.
Hipotesis Variabel Kedua: Integritas dan profesionalisme semua pejabat yang terkait dengan perkreditan dapat memperkecil timbulnya NPL pada bank konvensional. Integritas dan profesionalisme semua pe- jabat yang terkait dengan pembiayaan dapat memperkecil timbulnya NPF pada bank syariah. Integritas dan profesionalisme semua pejabat terkait
dengan pembiayaan pada bank syariah lebih tinggi dibandingkan dengan pejabat terkait dengan perkreditan di bank konvensional.
Kajian terdahulu mengenai pengalaman NPL di beberapa negara me- nunjukkan, bahwa terjadinya NPL juga disebabkan oleh penyelewengan internal yang disengaja di dalam bank. Nik Mohamed bin Nik Yusoff Af- fandi menggambarkan bahwa pelakunya adalah eksekutif yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi, berpendidikan, berpengalaman, dan profesional, yang merencanakan dan melakukan penyimpangan-penyim- pangan di tempat mereka bekerja. Menangkap dan memproses mereka melalui pengadilan tidak mudah karena, menurut Banks McDowell, tin- dakan tidak etis sering tersembunyi, tidak mudah terlihat. Hal ini terjadi karena penyimpangan-penyimpangan itu dilakukan dalam ruang lingkup pekerjaan dengan unsur teknis yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut. Hanya orang yang mengerti teknis pekerjaan yang samalah yang akan da- pat melihat adanya penyimpangan yang dilakukan.
Kajian literatur menunjukkan bahwa banyak penyelewengan yang terjadi dipengaruhi oleh lingkungan eksternal yang merasuki dunia kor- porasi dan perbankan, antara lain gelombang komersialisasi dan mate- rialisme yang berlebihan. Beberapa ahli menjelaskan penyelewengan di lingkungan korporasi akibat pengaruh eksternal ini sebagai berikut.
Pertama, institusi ekonomi bergantung pada keyakinan timbal balik dalam hal kejujuran dan transaksi yang adil bagi banyak pihak. Namun, kekuatan pasar tidak menyediakan perlindungan yang cukup dari free riders, orang-orang yang mencari keuntungan dari norma integritas yang umum, tetapi tanpa memenuhi norma-norma tersebut secara pribadi. Ja­mes Q. Wilson menjelaskan bahwa "penumpang gelap" ini adalah orang yang memperoleh tumpangan dan menikmatinya, tanpa berkontribusi terhadap biaya yang diperlukan; dia tidak merasa bersalah secara moral karena tidak ada yang secara langsung dirugikan.
Kedua, di dalam budaya di mana uang dapat membeli tidak saja barang dan jasa tetapi juga kekuasaan dan status, menurut Deborah L. Rhode, kompensasi ekonomis dapat memiringkan proses pengambilan keputusan dalam cara yang dapat diperkirakan.
Ketiga, menurut Rhode, mengutamakan kepentingan pribadi dapat pula memiringkan pembuatan keputusan yang bersifat etis.
Keempat, menurut Vitell, Fastervand, dan Strutton, kepentingan keuangan pribadi seseorang merupakan faktor yang paling mungkin me- mengaruhi eksekutif untuk mengambil keputusan yang tidak etis.
Kelima, menurut Lago, bank bersifat rawan terhadap penyakit yang menyimpang dan, jika ada, sulit untuk dideteksi atau digagalkan sebelum terjadi.
Penyelewengan terjadi tidak hanya di negara maju, tetapi juga di lingkungan perbankan di Indonesia. Menurut Rafik Beekun, berbagai penyelewengan itu menunjukkan kelemahan sistem kapitalisme. Untuk mengatasinya, sistem homo islamicus yang dituntun oleh hukum atau petunjuk dari Allah Swt. harus dipilih sehingga orang dapat bertindak secara etis.
Dalam banyak kasus penyelewengan di perbankan, keterlibatan manajemen puncak atau eksekutif kunci merupakan gejala yang umum. Penyebab terjadinya penyelewengan seperti ini, menurut Muhammad Abdul Ghani, adalah manajemen yang tidak amanah, sedangkan menurut Janani Harish adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab dari para eksekutif.
Tampaknya, rasa tanggung jawab saja tidak cukup untuk membuat orang bertindak etis. Karena itu, rasa tanggung jawab dari para eksekutif ini perlu dipertegas dan diperluas, yaitu tidak hanya terbatas pada para pemilik saham dan para deposan, tapi juga mencakup para stakeholder yang lain. Bahkan, menurut Ghani, ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu yang bersifat transendental.
Dalam menentukan stakeholder yang lebih tinggi pada akhirnya kita perlu mengaitkan segala kegiatan manusia di dunia dengan apa yang di- perintahkan oleh Sang Pencipta. Dalam konteks agama, terutama Islam, satu-satunya pemilik kepentingan atau stakeholder, bahkan shareholder yang paling tinggi adalah Tuhan Yang Maha Esa karena Tuhanlah pemilik mutlak apa yang ada di dunia. Dalam Surah Al-Qiyamah (75: 36) dika- takan manusia akan diminta pertanggungjawabannya atas segala yang diperbuatnya di dunia.
Pekerjaan dalam bidang perkreditan, terutama dalam pengambilan keputusan, bersifat sangat teknis. Namun, pengambilan keputusan kredit mengandung pertimbangan individu, intuisi, dan keyakinan pengambil keputusan berdasarkan nurani. Karena menyangkut nurani, kebenaran pengambilan keputusan hanya dapat diketahui oleh orang yang mengam- bil keputusan. Nurani seseorang hanya dapat dikontrol dengan adanya hubungan dengan Tuhan. Makin dekat hubungan ini, makin terkontrol nurani seseorang, dan makin besar kaidah moral agama16 diterapkan da- lam pengambil keputusan. Besar-kecilnya hubungan seseorang dengan Tuhan, atau acuan moralitas agama yang digunakan, diukur dengan kadar spiritualitas. Makin tinggi kadar spiritualitas dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan perkreditan, makin jauh kemungkinan pe- nyelewengan yang dapat terjadi. Secara teoretis, kadar spritualitas, yang dimanifestasikan ke dalam iman dan takwa, seyogianya lebih tinggi pada bank syariah, dibandingkan pada bank konvensional karena bank syariah lebih dekat dengan prinsip-prinsip tauhid.
Pengambilan keputusan yang baik, menurut Robert E. Gunther, harus mengacu pada arah yang benar, yang perlu dituntun oleh kompas agama. Penggunaan kompas agama dirasakan lebih krusial dalam peng- ambilan keputusan kredit mengingat di belakangnya terdapat kepenting- an masyarakat luas atau umat. Mengenai pengambilan keputusan ini, termasuk dalam pengambilan keputusan kredit, Franz Magnis Suseno menjelaskan dalam kaitannya dengan Tuhan. Menurut Suseno, setelah melalui proses pengambilan keputusan yang umum dan memadai, orang akan mengikuti suara hatinya sebagai suatu kewajiban mutlak untuk diikuti, karena merupakan hal yang jujur dan sungguh-sungguh dengan penuh kesadaran, dan keputusan itu dibuat seolah-olah di hadapan Allah sebagai saksi.
Namun, jika ditilik lebih dalam, penjelasan Suseno ini dirasakan per- lu lebih dilengkapi. Pengambilan keputusan yang mengikuti hati nurani seseorang merupakan tingkatan rasa kedua yang lebih tinggi setelah rasa biasa yang dimiliki manusia normal; menurut Saefullah, tingkatan rasa yang paling tinggi adalah jika orang mendekati pada Sang Pencipta. Ka- rena itu, dalam pengambilan keputusan, orang tidak hanya perlu mem- perhatikan atau mengikuti nuraninya, tetapi juga perlu mengindahkan petunjuk-petunjuk yang ditetapkan oleh agama.
Bidang kehidupan yang berkaitan dengan buku ini telah diatur dalam Al-Quran, yaitu dalam ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum syariah yang meliputi larangan terhadap riba (QS Al-Baqarah [2]: 275; QS Al-Nisa' [4]: 29) dan kerangka pembiayaan yang diizinkan dan telah disediakan seperti transaksi jual-beli (murabahah), konsep usaha kerja sama bagi hasil (mudharabah), dan lainnya. Namun, ketentuan ini hanya diterapkan pada bank syariah, yang berbeda dengan bank konvensional dengan sistem riba dan akad yang berbeda.
Menurut penulis, sebagai penganut agama Islam, penyimpangan dan penyelewengan yang terjadi pada bank konvensional selama ini dan terjadinya krisis perbankan dari waktu ke waktu merupakan alasan kenapa riba dilarang oleh Allah Swt. Walaupun secara empiris telah ditunjukkan oleh fakta-fakta kejadian, dan logika dapat menerimanya, masalah ini tidak menjadi ruang lingkup buku ini. Khusus yang berkaitan dengan variabel kadar spiritualitas, buku ini mengkaji bagaimana orang tidak menyimpang dari tanggung jawab sosialnya terhadap para pemilik dana yang merupakan masyarakat luas.
Ditinjau dari kegagalan-kegagalan bank di dunia dan penyelewengan-penyelewengan yang terjadi, inti masalahnya berkisar pada pengambilan keputusan dan pekerjaan yang tidak memenuhi unsur-unsur seperti kepentingan profesi, dengan menerapkan seluruh pengetahuan yang diperlukan dalam koridor integritas dan profesionalisme yang tinggi. Namun, banyak aspek dalam pemrosesan dan persetujuan kredit memerlukan pertimbangan, akal sehat, keyakinan, dan yang lebih dalam lagi bersandar pada hati nurani seseorang, mengenai apa yang dianggap benar dalam konteks kelayakan kredit yang menyangkut kemampuan dan kemauan bayar calon debitor di masa depan. Dalam hal ini, hati nurani seseorang merupakan kontrol terakhir dalam mengambil keputusan dan bekerja, dan menurut pendapat Suseno di atas, di situ Tuhan bersaksi. Orang akan melakukan apa yang baik untuk profesi dan lingkungan tanggung jawabnya, jika memegang teguh kepada komitmen terhadap agama dan Tuhannya.
Gary R. Weaver dan Bradley R. Agle berkesimpulan dari penelitian- nya bahwa cukup beralasan jika unsur keagamaan memengaruhi tingkah laku etika dalam organisasi. Hanya saja, mereka berpendapat bahwa ri- set yang bersifat interdisiplin yang kreatif diperlukan untuk menentukan bentuk hubungannya.
Penyimpangan dan
penyelewengan yang terjadi pada bank konvensional selama ini dan terjadinya krisis perbankan dari waktu ke waktu merupakan alasan kenapa riba dilarang oleh Allah Swt.
Menurut Md. Zabid Rashid dan Saidatul Ibrahim, agama dan ke- budayaan memengaruhi persepsi etika bisnis. Bagi K.F. Weibe dan J.R. Fleck, orang yang menganut suatu agama sebagai fokus sentral dari ke­hidupan intrinsiknya cenderung lebih peduli terhadap standar moral, di- siplin, dan tanggung jawab yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang
yang tidak beragama. Di mata E.J. Kennedy dan L. Lawton, agama men- dorong atau menolak tingkah laku sosial, dan merupakan institusi yang mengontrol kepercayaan dan tingkah laku. Adapun Donald M. Broom berpendapat, baik dalam agama Kristen, Yahudi, maupun Islam, keper- cayaan bahwa Tuhan Mahatahu merupakan dorongan yang sangat kuat agar manusia bertingkah laku dengan baik dan tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Broom menambahkan bahwa akibat keperca- yaan bahwa Tuhan Mahatahu, tindakan individu yang merugikan orang lain berkurang secara signifikan.
Sebagai kesimpulan dari bagian ini, dalam mengambil keputusan yang baik, orang akan menggunakan seluruh informasi yang dapat dipe- roleh dan telah pula diverifikasi, dan menerapkan pengetahuan dan ke- ahliannya, dalam mengekstrapolasikan informasi dan pengetahuan itu ke depan, disertai dengan keyakinan dan nuraninya. Ketika dia mengguna­kan pertimbangan nuraninya, di situ dia merasakan untuk menggunakan kompas agama. Dengan kesaksian Tuhan, orang akan dapat mengambil keputusan yang terbaik bagi profesinya. Dengan demikian, tatkala pemu- tus kredit menggunakan pendekatan seperti ini dalam pengambilan kepu- tusannya, dapat diperkirakan bahwa keputusan itu merupakan keputusan yang terbaik bagi profesi dan kepentingan bank serta masyarakat luas, sehingga bank dapat memperkecil kemungkinan timbulnya NPL/NPF.
Hipotesis Variabel Ketiga: Makin tinggi kadar spiritualitas pejabat perkreditan terkait dalam pemrosesan dan pengambilan keputusan kre- dit, makin kecil timbulnya NPL pada bank konvensional. Makin tinggi kadar spiritualitas pejabat pembiayaan terkait dalam pemrosesan dan pengambilan keputusan pembiayaan, makin kecil timbulnya NPF pada bank syariah. Kadar spiritual pejabat perkreditan atau pembiayaan terkait dalam pemrosesan dan pengambilan keputusan kredit atau pembiayaan lebih tinggi pada bank syariah dibandingkan bank konvensional.
Pengertian mengenai kepemimpinan bermoral (moral leadership) dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, kepemimpinan adalah keinginan (will) atau tekad untuk mengontrol kegiatan atau peristiwa, pengertian akan pemetaan arah perjalanan, dan kekuatan untuk melaksanakan pe- kerjaan dengan baik, dengan menggunakan keahlian dan keterampilan orang lain yang dipimpinnya.17 Kepemimpinan juga berarti bahwa seo- rang pemimpin memahami sifat khusus kontrak moral dan sosial dengan para konstituennya, dan dapat mengatasi masalah dalam dirinya.
Dalam mencapai visi yang diembannya sebagai tujuan bersama, ke- pemimpinan merupakan kapasitas atau kompetensi untuk dapat mem- bawa dari suatu keadaan ke keadaan lain sebagai visi yang diinginkan, dengan bekerja sama dengan orang yang dipimpinnya, dan mengarahkan mereka ke arah visi itu. Kepemimpinan merupakan komitmen yang utuh untuk bersama-sama mencapai visi bersama itu, berdasarkan aspirasinya. Kepemimpinan juga merupakan tanggung jawab yang tidak bisa dilepas- kan dan selalu melekat pada dirinya. Untuk itu, dalam pengarahannya, pemimpin harus dapat memberikan motivasi kepada para bawahannya, sekaligus dapat melakukan tindakan pengawasan dan disiplin yang diper- lukan sehingga visi itu dapat dicapai.
Dalam perbankan, konsituen yang dimaksud oleh Donald G. Krause adalah para pemilik dana dan para stakeholder lainnya. Makna yang dikan- dung oleh pengertian kepemimpinan ini dijelaskan oleh John Kotter dari Harvard Business School secara singkat, dengan mengungkapkan apa yang sesungguhnya perlu dilakukan oleh seorang pemimpin. Menurut Kotter, tugas-tugas seorang pemimpin meliputi, pertama, menentukan arah de- ngan membangun visi masa depan melalui strategi dan upaya yang diper- lukan sehingga visi itu dapat terealisasi; kedua, memadukan orang melalui komunikasi dan perbuatan sehingga orang yang dipimpinnya memahami dan dapat melaksanakan dalam kesatuan kerja sama untuk mencapai visi yang diinginkan; ketiga, memotivasi dan memberi inspirasi orang yang di­pimpinnya agar dapat mengatasi segala hambatan, dan tetap bersemangat dan memberikan perhatian yang penuh terhadap pencapaian visi.
Kedua, bermoral artinya seseorang selalu menggunakan kesadaran dan kompas moralnya serta nilai-nilai etika sebagai alat pembimbing dia dalam melakukan setiap tindakan. Menurut Herd Baum, tindakan sese- orang yang bermoral selalu memperhatikan nilai-nilai etika yang utama, meliputi nilai kejujuran dengan mengutamakan kebenaran melalui keter- bukaan atau transparansi.
Atribut moral ini juga digunakan oleh seorang pemimpin untuk mem- berikan inspirasi bagi bawahannya dalam bertingkah laku dan dalam me- lakukan pencapaian visi. Pencapaian visi ini merupakan tujuan kelompok, organisasi, atau masyarakat, bukan tujuan pribadi sang pemimpin. Me- nurut Rhode, kepemimpinan bermoral menyangkut tindakan bermoral
yang dilakukan pemimpin, sekaligus merupakan kapasitas yang dapat mengilhami tindakan seperti itu kepada pengikutnya. Kepemimpinan ini, kata Burns, memimpin bukan dengan kekuasaan semata, melainkan berdasarkan keperluan yang timbal balik, aspirasi, dan nilai-nilai.
Kepemimpinan dengan atribut moral dan nilai-nilai etika dalam melaksanakan tugas untuk merealisasikan visi merupakan faktor yang sangat krusial dalam perkreditan. Kegiatan sentral dari pekerjaan dalam perkreditan adalah ketika seseorang harus melakukan keputusan kredit. Pengambil keputusan kredit tertinggi adalah presiden direktur, yang merupakan pimpinan tertinggi suatu bank sekaligus merupakan pimpinan komite kredit bank tersebut. Karena itu, menurut David J. Fritzsche, kepemimpinan bermoral akan selalu mengambil keputusan dengan menggunakan kompas moral, yang diikuti oleh bawahannya. Keputusan ini harus diambil berdasarkan data dan informasi faktual yang memadai, memperhatikan kepentingan semua pihak yang terkait dengan keputusannya itu, serta menggunakan pertimbangan secara sadar dan dapat dipertanggungjawabkan. Kepemimpinan yang bermoral akan mendorong terciptanya kultur organisasional yang bermoral pula.
Sebagai pemimpin yang bermoral, kata Jo Ann S. Barefoot, ekseku- tif harus memilih tanpa menyimpang dari jalur etika walaupun kurang menguntungkan; dia harus menghukum kesalahan yang menyimpang dari etika walaupun menyangkut hal atau orang yang disenanginya. Tan- pa moralitas, hukum pun menjadi kurang berguna.
Self interest merupakan kekuatan pendorong utama dalam ekonomi pasar bebas dan merupakan penyebab utama tingkah laku yang tidak etis di dalamnya.
Menurut Nitibaskara, orang yang bijak adalah orang yang hidup sesuai dengan ketentuan-ketentuan moral, dalam batasan apa yang di­anggap baik dan benar oleh masyarakat. Kebijakan moral ini, di mata Curtis C. Verschoor, menjadi perangkat lunak dalam suatu organisasi, dan merupakan unsur yang paling penting dalam menjamin bahwa orga- nisasi dapat mencapai hal-hal berikut: 1). Kepatuhan terhadap peraturan hukum dan masyarakat. 2). Ketentuan dari manfaat umum terhadap ma­syarakat dengan peningkatan kepentingan stakeholder baik dalam jangka panjang maupun pendek. 3). Kepuasan dengan norma-norma bisnis yang umumnya diterima, ketentuan etika, dan harapan sosial dari masyarakat. 4). Tanggung jawab yang tulus terhadap pemilik dan seluruh stakeholder.
Self interest merupakan kekuatan pendorong utama dalam ekonomi pasar bebas dan merupakan penyebab utama tingkah laku yang tidak etis di dalamnya. Hal ini terjadi karena self interest berarti perhatian kepa- da kepentingan diri sendiri. Jika penekanannya berlebihan, kata Patricia Aburdene, self interest menjadi faktor kerakusan. Tapi sejauh dapat di- tempatkan secara wajar, self interest tidak dapat dihilangkan karena me- rupakan penggerak semangat bagi manusia untuk menjalani kehidupan. Namun dalam menerapkannya, orang cenderung melupakan unsur mora- litas itu, dengan mencapainya tanpa batasan apa pun sehingga cenderung menghalalkan cara-cara yang dapat merugikan orang lain.
Sebelum krisis 1997/1998, Bank Summa dan Bank Pacific terpaksa ditutup oleh pemerintah karena NPL yang besar. NPL ini, sebagai akibat dari pemberian kredit yang sembrono dan untuk kepentingan diri atau grup sendiri, merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab oleh pimpinan yang paling berpengaruh dan menentukan pada kedua bank itu. Contoh-contoh serupa dapat disebutkan di sini, antara lain Enron, Maddoff, Bank Century, Bank Duta, dan Bank Mandiri qq E.C.W Neloe, dan sebelumnya Subekti Ismaun, serta Richard Severin Fuld Jr dari Leh­man Brothers. Para presiden direktur dari perusahaan atau bank terse- but secara gamblang melakukan bisnis yang melewati kewajaran. Risiko yang diambil terlalu besar, dan di antaranya bahkan melakukan rekayasa yang substansinya merupakan tindakan yang menyimpang dari segi hu- kum.
Di Bank Century, presiden direktur dan pemilik mayoritas bank menggelapkan dana investasi nasabah yang dikelola oleh dua perusahaan sekuritas yang dimiliki oleh pemilik bank tersebut. Ternyata, kedua per- usahaan sekuritas itu tidak memiliki izin dari otoritas yang berwenang. Pada Bank Duta, yang akhirnya ditutup, wakil presiden direktur yang berkaitan dengan salah satu anak dari puncak kekuasaan melakukan per- dagangan valuta dengan margin (margin trading).
E.C.W. Neloe, ketika menjabat sebagai presiden direktur Bank Man­diri, memutuskan sendiri pemberian kredit berjumlah US$ 18,5 juta pada 2002-2003. Justifikasi pemberian kredit sangat lemah sehingga bernuan- sa kolutif dan koruptif, yakni keputusan dilakukan dengan sangat instan tanpa menunggu analisis yang diperlukan. Sebelumnya, pada 1994, kasus kredit macet terbesar terjadi di Bapindo (sekarang melebur dengan Bank Mandiri). Subekti Ismaun, Presiden Direktur Bank Bapindo ketika itu, beserta dua anggota direksi, memberikan kredit terbesar dalam sejarah perbankan di Indonesia senilai Rp 1,3 triliun kepada Golden Key Group milik Eddy Tansil. Pemberian kredit yang sangat tidak sehat dan bersifat koruptif itu sampai saat ini tidak terselesaikan, bahkan Eddy Tansil sen- diri telah lama melarikan diri.
Semua kejadian itu akan dapat dihindari jika para pemimpin atau para presiden direktur dapat mengalahkan kepentingan pribadi atau ke- lompoknya dengan rasa tanggung jawab yang lebih besar, sehingga me- reka memenuhi tuntutan moralitas sebagai pemimpin badan usahanya. Dalam konteks perbankan, lingkungan kerja di bidang perkreditan ber- sifat sangat rapuh dan berpeluang digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Agar perjalanan kegiatan pemberian kredit tetap berada pada rel yang benar, diperlukan pemimpin dengan tingkat moralitas yang lebih tinggi, dan dari segi kepemimpinan diperlukan kepemimpinan yang bermoral.
Dalam perekonomian Islam, khususnya perbankan syariah, dikotomi antara kegiatan ekonomi dan moralitas harus diusahakan tidak terjadi. Keduanya harus berjalan seiring dan menyatu sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini telah pula dijalankan oleh kepemim- pinan Nabi Muhammad Saw., yang menjalankan pekerjaannya sebagai gembala yang profesional dan dapat dipercaya, yang membawa beliau ke tingkat yang lebih tinggi, baik dari segi tanggung jawab pekerjaan mau- pun dari kepemilikan materi. Dalam hal kepemimpinan, Nabi pun mem- berikan contoh kandungan moralitas yang tinggi.
Kepemimpinan dalam Islam bertitik tolak pada kepercayaan dan kepatuhan kepada Allah, mematuhi semua petunjuknya. Karena itu, pe- mimpin dalam Islam harus memiliki iman dan bertawakal kepada Allah dengan akidah yang kuat (QS Al-An'am [6]: 162-163; QS Al-Qashash [28]: 77), dan berinteraksi dengan Al-Quran dan hadis (QS Ali 'Imran [3]: 31) serta syariah. Salah satu hadis Nabi Saw. menyebutkan bahwa menjadi pemimpin itu amanah; jika tidak dijalankan dengan menunaikan hak dan melaksanakan tanggung jawabnya, kepemimpinanya itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat.18
Hipotesis Variabel Keempat: Kepemimpinan bermoral puncak pim- pinan suatu organisasi perkreditan dapat memperkecil timbulnya NPL pada bank konvensional. Kepemimpinan bermoral puncak pimpinan suatu organisasi pembiayaan dapat memperkecil timbulnya NPF pada bank syariah. Kepemimpinan bermoral puncak pimpinan suatu organi- sasi pembiayaan pada bank syariah lebih tinggi dibandingkan pada bank konvensional.
Menurut David J. Fritzsche, kultur organisasi adalah suatu kumpulan umum asumsi, kepercayaan, dan nilai-nilai yang telah dikembangkan dalam organisasi, yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah-masa- lah yang timbul baik dari lingkungan internal maupun eksternal. Kultur bersifat umum dalam organisasi karena diikuti dan penerapannya dilaku- kan oleh sebagian besar anggota organisasi. Kultur bertahan dan diikuti secara estafet oleh pendatang baru ke dalam organisasi. Kultur berfungsi sebagai identitas bagi segenap anggota organisasi, meningkatkan komit- men yang lebih tinggi terhadap organisasi, memberikan unsur yang dapat membangun stabilitas sistem sosial organisasi, dan memberikan rasiona- lisasi dan arah bagi tingkah laku bagi segenap anggotanya.
Kultur mengatur lingkungan internal, dan dengan pengaturan itu da- pat menghadapi masalah-masalah yang timbul dari lingkungan eksternal organisasi.
Bank merupakan suatu bentuk organisasi yang memerlukan kultur untuk mendorong tercapai tujuannya, di samping untuk mengatasi sifat bank yang rapuh terhadap penyelewengan. Menurut Surendra Arjoon, kultur organisasi dapat dikembangkan untuk menciptakan komitmen terhadap kepatuhan hukum, dan dapat pula memengaruhi pengambilan keputusan, dan melakukan tindakan yang benar. Untuk itu, kultur yang tepat perlu dikembangkan bagi bank dan harus dipusatkan pada nilai etika yang kental. Dalam hal ini, kata Steven H. Appelbaum, manajemen puncak bertanggung jawab menyebarkan norma dan nilai etika tersebut sampai ke bagian terbawah dari organisasi.
Menurut Ishrat Husain, untuk mengatasi masalah perbankan di Pakistan, reputasi jangka panjang bank harus dipertahankan. Transparansi, keterbukaan penuh, dan sikap kooperatif yang tepat terhadap nasabah bank merupakan bagian yang penting dari kultur organisasi yang harus diterapkan. Dalam mengkaji kasus yang terjadi pada Barings Bank, Drennan berpendapat bahwa runtuhnya bank ini tidak semata-mata disebabkan kegagalan individu, yakni tindakan Nick Leeson pada 1991 sampai 1995, yang berada di luar batas-batas etika dan tanpa tanggung jawab sosial sama sekali. Namun, hal itu juga merupakan kegagalan kultur korporasi dan sistem organisasi manajemen, yang membiarkan terjadinya tingkah laku tersebut, karena tidak adanya unsur pengawasan langsung atau tidak langsung bagi transaksi yang dilakukannya.
Kultur korporasi di Barings tidak dapat mengantisipasi kemungkinan timbulnya kerugian akibat risiko operasional, yang memerlukan proses pengawasan yang kuat. Walaupun telah diperingatkan oleh beberapa profesional yang mengetahui risiko yang mungkin dihadapi Barings, dewan direksi tidak mengambil tindakan yang diperlukan. Karena itu, dewan direksi dianggap tidak menggunakan pertimbangan korporasinya untuk menghentikan kerugian yang ditimbulkan oleh Leeson, atau bahkan mereka dapat dianggap tidak mengerti peran atau tanggung jawabnya sebagai direksi sehingga akhirnya Barings Bank, yang didirikan sebelum tahun 1900, hancur dan ditutup tahun 1995.
Pada 1990, Bank Duta mengalami kerugian US$ 332 juta akibat spekulasi perdagangan valuta asing oleh wakil presiden direkturnya. Seperti halnya Barings, Bank Duta tidak memiliki tata kelola korporasi yang baik, yakni wakil presiden direktur bekerja sendiri tanpa kontrol terhadap transaksi yang berisiko tinggi. Tata kelola korporasi yang baik perlu didukung oleh kultur organisasi yang baik pula.
Alessandro Carretta, Vincenzo Farina, Fiordelisi Franco, dan Paola Schwizer melakukan penelitian secara empiris mengenai hubungan antara kultur korporasi dan kinerja bank terhadap 35 bank komersial publik di Eropa tahun 2001-2003. Mereka membedakan tiga macam pendekatan untuk mencapai efektivitas kultur korporasi.
Pertama, orientasi yang menekankan hasil (result oriented culture), yaitu menggambarkan relevansi yang dikaitkan oleh organisasi pada pencapaian tujuan. Dalam pendekatan ini, orientasi pada hasil akhir diasumsikan memiliki hubungan positif terhadap keuntungan bank, walaupun tidak berhubungan dengan nilai pemilik saham; karena pendekatan ini dapat berakibat pada peningkatan pendapatan terlepas dari pertimbangan risiko yang harus ditanggung dalam kegiatan bisnis bank.
Kedua, pengembangan kekuatan sendiri (own power oriented culture), yaitu pandangan organisasi dalam hal
kecenderungan untuk bekerja sama atau berbagi, atau dalam hal pentingnya hierarki dan sesuai dengan kriteria orang per orang atau individualistik.
Ketiga, aspek manusia (human oriented culture), yaitu pandangan yang menekankan arti sumber daya manusia sebagai bagian yang penting dari bangunan kultur organisasi. Menurut A. Pettigrew, faktor manusia bersifat sentral dalam mencapai kinerja yang tinggi, dan karena itu sumber daya manusia memainkan peranan yang penting dalam pencapaian tujuan bank; dan diasumsikan memiliki hubungan positif terhadap keuntungan bank dan khususnya penciptaan nilai pemegang saham. Kinerja bank diukur dengan tingkat keuntungan bank dan nilai pemegang saham.
Dari penelitian tersebut, kesimpulan yang penting untuk buku ini adalah sebagai berikut. Pertama, adanya hubungan antara kultur dan ni- lai pemegang saham, dan orientasi kultur tidak meningkatkan keuntung- an bank dalam jangka pendek. Namun, kultur korporasi merupakan pen- dorong nilai yang harus dikontrol oleh bank agar mencapai perubahan strategis. Kedua, dalam hal hasil yang dicapai, kultur bank yang "lama", yang menggunakan model organisasi mekanis dan birokratik, merupakan penghambat perubahan. Kultur "lama" harus diganti dengan kultur yang berdasarkan kerja sama dan memfokuskan diri pada sumber daya manu­sia. Di lain pihak, kultur korporasi yang berorientasi pada hasil berpenga- ruh secara negatif terhadap nilai pemegang saham. Hal ini menunjukkan tekanan pada kinerja jangka pendek dan dapat berakibat pada pengam- bilan risiko yang lebih tinggi, dan pada akhirnya akan merusak nilai pe- megang saham.
Daniel R. Denison dan Aneil K. Mishra meneliti hubungan antara kultur organisasi dan efektivitas, berdasarkan studi kasus terhadap tiga organisasi, termasuk Texas Commerce Bancshare (TCB). TCB merupakan suatu contoh keberhasilan sebuah bank di Amerika dengan menekankan pada masalah kultur. Sebagai salah satu kelompok bank pasar menengah, TCB merupakan salah satu dari perbankan di Texas yang berhasil mele- wati pasang-surut perekonomian di Amerika, yang kinerjanya melebihi bank pusat keuangan yang lebih besar. Pada 1986, untuk mengambil manfaat dari perubahan UU Perbankan Antarnegara di Amerika, TCB melebur ke dalam Chemical Bank dari New York.
Dari segi kultur korporasi, Denison dan Mishra menyimpulkan ka- rakter TCB sebagai berikut: kepemimpinan bersifat top-down dan respek bagi otoritas tinggi, serta menerapkan praktik-praktik yang seragam dan pengawasan keuangan yang ketat. Organisasi TCB melebar, seperti yang ditunjukkan oleh jumlah orang yang terkait dalam suatu persetujuan pin- jaman dalam rapat komite kredit di atas. Rapat komite kredit digunakan sebagai media untuk sosialisasi terhadap anggota baru, komunikasi kul- tur organisasi, dan menyebarluaskan praktik-praktik yang terbaik.
Dari penelitiannya, Denison dan Mishra berpendapat bahwa kultur memengaruhi efektivitas, dan keempat ciri kultural (partisipasi atau ke- terkaitan, konsistensi atau integrasi normatif, adaptabilitas atau kapasitas untuk melakukan perubahan internal terhadap perubahan eksternal, dan rasa memiliki misi atau visi jangka panjang yang sama) memiliki hubung­an yang signifikan dengan ukuran subjektif dan objektif dari efektivitas organisasi. Partisipasi dan keterkaitan tingkat tinggi menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab; makin tinggi tingkat partisipasi, maka ma- kin tinggi efektivitas.
Penelitian Denison dan Mishra serta Carretta, Farina, Fiordelisi, dan Schwizer tersebut tidak berkaitan langsung dengan tingkat NPL, tetapi berkaitan dengan efektivitas, keuntungan, atau nilai pemegang saham yang tinggi, yang menunjukkan tingkat NPL yang rendah.
Dalam Islam, Al-Quran menyebutkan bahwa Allah Swt. menyukai orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur. Maksud- nya adalah orang-orang yang bekerja dalam kebenaran atau berjuang di jalan Allah Saw. dianjurkan untuk melakukannya dalam barisan yang ter- atur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh, karena sesungguhnya Allah Swt. menyukainya (QS Al-Shaff [61]: 4). Agar kum- pulan orang bekerja dalam kebaikan, diperlukan kesatuan bahasa dan pola tindakan yang sama dalam melakukan suatu pekerjaan yang serupa.
Dalam manajemen modern, kumpulan orang yang berada di jalan untuk mencapai suatu tujuan kebaikan itu disebut organisasi atau korpo- rasi, yang dipersatukan dengan suatu kultur yang disebut kultur organi- sasi atau kultur korporasi. Dalam bank Islam, budaya yang perlu dikem- bangkan seyogianya adalah budaya yang merefleksikan nilai-nilai Islam, yang diterapkan dalam setiap hubungan dan perilaku, mulai hubungan internal, dengan nasabah, kebijakan dan prosedur, praktik bisnis, dalam menjalankan pekerjaan, sampai masalah pakaian dan tutur kata, sehing- ga merupakan jalan hidup yang lengkap di jalan Allah Swt.
Dalam kumpulan itu, manusia dianjurkan untuk bekerja sama dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, bukan tolong-menolong dalam berbuat dosa atau pelanggaran (QS Al-Ma'idah [5]: 2). Menurut Muhammad Sya- fi'i Antonio, bank syariah harus mampu bekerja berdasarkan team work dengan distribusi informasi merata di seluruh fungsional organisasi (ber- sifat tabligh). Di samping itu, bank Islam memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan bank konvensional. Di satu sisi, seluruh penerimaan dana masyarakat dan pembiayaan harus dilakukan sesuai de- ngan ketentuan syariah, dan bank syariah harus dapat memastikan bahwa pelaksanaan tersebut tercapai secara syariah. Di sisi lain, dengan mengacu pada pelaksanaan pengelolaan dana dan pemberian pembiayaan yang ber- dasarkan ketentuan syariah, bank dan para pegawai serta staf harus men- jalankan usaha atau operasi bank berdasarkan nilai-nilai Islami.
Hipotesis Variabel Kelima: Kultur organisasi/kultur korporasi19 dapat memperkecil timbulnya NPL pada bank konvensional. Kultur organisasi/ kultur korporasi dapat memperkecil timbulnya NPF pada bank syariah. Kultur organisasi/kultur korporasi pada bank syariah lebih baik diban- dingkan pada bank konvensional.
Jika organisasi mengeluarkan pembelanjaan yang melebihi pendapat- annya, menurut Kornai, organisasi itu akan berhenti beroperasi. Untuk menerapkan "pengetatan" anggaran ini, kata Janos Kornai, diperlukan ketentuan yang dapat mendorong disiplin keuangan yang meliputi, anta- ra lain, ketentuan akuntansi dan peraturan operasi bank sentral dan per- bankan umumnya, serta sistem dan penegakan hukum yang mendukung.
Menurut Lago, hard budget constraint yang dimaksud oleh Kornai mengandung empat prinsip. Pertama, pembeli harus membayar barang yang dibelinya. Kedua, debitor membayar kembali utangnya. Ketiga, warga negara membayar pajak. Dan keempat, perusahaan membayar seluruh biayanya dari pendapatan yang diperoleh. Lago mengatakan bahwa sistem keuangan atau bank yang sehat bergantung pada penerapan hard budget constraints ini.
Konsep yang sama dapat diaplikasikan dalam buku ini, berdasarkan kebutuhan pasar, tanpa menunggu perbaikan dalam lingkungan peraturan dan pengawasan, atau lingkungan operasi lainya. Sebaliknya, bank harus dapat mengatasi lingkungan operasi yang dihadapi, sehingga dapat mencapai tujuannya sebagai institusi yang berorientasi pada keuntungan secara independen dan dikelola secara profesional. Secara independen artinya tidak mengharapkan bantuan dari pihak mana pun, terutama pemerintah, kecuali dalam hubungan yang normal dengan pihak pemegang saham. Untuk itu, bank harus beroperasi secara prudent, mengingat tanggung jawab moral yang besar terhadap masyarakat pemilik dana.
Dalam hal perkreditan, bank perlu mengambil keputusan pemberian pinjaman secara prudent, berdasarkan pertimbangan kredit semata, tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar perkreditan. Dalam kebijakan perkreditannya, bank harus mengusahakan peningkatan arus kas dengan mengontrol risiko kredit portofolio secara cermat, ekspansi kredit dilakukan secara wajar dengan menekankan kualitas, bukan kuantitas, kepedulian (due care) sepenuhnya dilakukan dalam mengelola portofolio pinjaman, setiap indikasi masalah dengan debitor serta-merta ditindaklanjuti, dan pencatatan kolektibilitas dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Demi tercapainya tujuan kebijakan disiplin anggaran (hard budget policy) ini, semua prinsip itu dilaksanakan dengan penuh disiplin dan bertanggung jawab.
Pada bank, kebijakan disiplin anggaran dapat pula diartikan sebagai kekuatan penilaian suatu transaksi kredit, yang berdasarkan kemampu- an transaksi itu dalam menghasilkan arus kas yang diharapkan untuk membayar angsuran pokok dan bunga. Hal ini sangat penting diterapkan mengingat kebijakan akuntansi melalui accrual concept-nya20 mengizin- kan pengakuan pendapatan berjalan dalam laporan rugi-laba, tapi belum terbayar.
Dalam hal perkreditan, bank perlu mengambil keputusan pemberian pinjaman secara prudent, berdasarkan pertimbangan kredit semata, tanpa dipengaruhi oleh faktor- faktor di luar perkreditan.
Bagi perbankan, yang berbeda dengan sektor perdagangan atau in- dustri, output dan proses produksi tidak terlalu transparan. Hal ini, me- nurut Caprio Jr dan Klingebiel, disebabkan oleh dua hal. Pertama, sifat bisnis perbankan mengandung informasi yang sangat intensif. Kedua,
hampir semua produk atau jasa perbankan memiliki sifat berkualitas antarwaktu, yaitu berdasarkan janji untuk membayar. Pengakuan terha- dap pendapatan yang berjalan tersebut akan dapat diterima berdasarkan penilaian dan keyakinan manajemen terhadap kualitas kredit atau janji tersebut.
Berkaitan dengan pengakuan pendapatan ini, dalam penetapan jumlah cadangan piutang ragu-ragu misalnya, Podpiera dan Weill me- ngatakan bahwa penetapan estimasi ini bersifat endogeneous karena dipengaruhi oleh sikap manajemen bank. Sikap yang dimaksud ini ber- kaitan dengan pandangan manajemen terhadap risiko yang dapat diteri- ma. Manajemen yang bersifat agresif terhadap risiko, dengan beralasan untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, cenderung lebih berani memberikan kredit kepada pihak yang berpotensi untuk menimbulkan wanprestasi yang lebih tinggi.
Untuk menghadapi risiko yang lebih besar dalam keadaan seperti ini, seyogianya manajemen membentuk cadangan piutang ragu-ragu lebih ba- nyak sehingga mengurangi tingkat keuntungan bank. Namun, walaupun penentuan cadangan itu dapat ditentukan berdasarkan kriteria yang ber- sifat lebih konkret, manajemen bank dapat menentukan lain dengan dalih "estimasi", tetapi dilatarbelakangi kepentingan tertentu. Dalam keadaan pendapatan tertekan, jumlah cadangan piutang ragu-ragu cenderung di- perkecil, sehingga dapat memberikan gambaran mengenai keuntungan yang masih baik. Tetapi, tindakan ini tidak dapat dikatakan prudent. Se- lain itu, penilaian yang kurang berdasar sering dikaburkan, dengan cara menutupi kredit bermasalah atau berpotensi bermasalah dengan mem- perpanjang jangka waktu pinjaman terkait. Bahkan, jika terdapat adanya tunggakan bunga, bank memberikan fasilitas baru khusus untuk memba- yar bunga yang tertunggak.
Tindakan yang lebih ekstrem adalah menciptakan pinjaman baru dengan membuat perjanjian baru, tetapi pinjaman baru digunakan untuk membayar pinjaman lama. Tindakan ini dapat pula dilakukan sebagai no- vasi utang lama kepada debitor baru, yang pada dasarnya tidak ada per- baikan dalam kualitas kredit itu sendiri. Dengan cara ini, klasifikasi pin­jaman lama menjadi lebih baik karena digantikan dengan klasifikasi baru, di mana pinjaman lama yang bermasalah seolah-olah telah terselesaikan. Tindakan ini merupakan bagian dari forbearance policy dan dimungkin- kan karena dibiayai oleh peningkatan perolehan dana masyarakat dengan memperbesar neraca bank tersebut. Dalam mengatasi masalah NPL yang besar di India, misalnya, Narasimham Committee menyatakan bahwa awal permasalahannya terletak pada kurangnya norma prudential yang berkaitan dengan pengakuan pendapatan, klasifikasi pinjaman, dan pe- nyediaan cadangan piutang ragu-ragu.
Semua tindakan yang tidak tepat itu melahirkan forbearance policy, yang pada dasarnya merupakan penundaan untuk mengakui adanya ke- rugian atau kekurangan modal akibat NPL, dengan memberikan waktu bagi bank dengan harapan dapat menutup kerugian tersebut dari pen- dapatan yang sedang berjalan akan lebih baik. Hal ini dapat dilakukan karena bank dapat menutupi masalah yang dihadapinya dengan tetap memperpanjang NPL yang terjadi dengan perolehan dana masyarakat dan memperbesar neraca.
Dalam keadaan ekstrem pada perbankan, kebijakan ini dapat me­nimbulkan moral hazard, yakni kredit yang sangat berpotensi bermasa­lah masih tetap diklasifikasikan sebagai "lancar", sehingga pendapatan bunganya masih dapat diakui. Menurut sejumlah peneliti, krisis per- bankan di banyak negara, termasuk Indonesia, mengungkapkan adanya penerapan forbearance policy yang berlebihan ini. Berdasarkan laporan keuangan yang telah diaudit dan dipublikasikan di koran untuk tahun 1996 dan 1997, banyak bank memperoleh opini audit dengan kriteria un­qualified. Namun, kemudian bank tersebut ditutup dalam tahun 1997 dan 1998, karena NPL yang dikandungnya tinggi dan ternyata telah berlang- sung lama. Bank-bank itu adalah Bank Andromeda, Bank Harapan Sento- sa, Bank Industri, Bank Kredit Asia, Bank Modern, dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan disiplin anggaran akan mendorong sikap yang lebih prudent bagi pejabat perkreditan, dan akhirnya akan memengaruhi tinggi rendahnya NPL pada bank tersebut. Substansi kebijakan disiplin anggaran ini menyangkut masalah disiplin keuangan dan kejujuran pelaporan keuangan berdasarkan realitas yang ada. Dalam kaitannya dengan anggaran, Al-Quran menyebutkan bahwa Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebihan atau pemborosan (QS Al-An'am [6]: 141; QS Al-Isra' [17]: 26) karena pemborosan itu adalah saudara setan yang ingkar pada Tuhannya (QS Al-Isra' [17]: 27), dan keseimbangan dalam membelanjakan harta (QS Al-Furqan [25]: 67).
Hipotesis Variabel Keenam: Penerapan kebijakan disiplin anggaran berpengaruh terhadap NPL pada bank konvensional. Penerapan kebijak- an disiplin anggaran berpengaruh terhadap NPL pada bank syariah. Pe- nerapan kebijakan disiplin anggaran pada bank syariah lebih baik daripa- da pada bank konvensional.
Menurut Adam Smith (1723-1790), apa pun yang tampaknya dapat men­jadi objek sebagai dasar untuk berterima kasih, merupakan hal yang wa- jar untuk memperoleh penghargaan (reward). Sebaliknya, dengan cara yang sama, apa pun yang tampaknya dapat menjadi objek yang wajar un­tuk menimbulkan rasa kebencian maka merupakan hal yang wajar untuk menerima hukuman (punishment). Smith menjelaskan bahwa pemberian penghargaan dan pengenaan hukuman harus dilakukan dengan segera.
Di dalam manajemen umum, termasuk perbankan, penghargaan dan hukuman merupakan unsur manajemen yang penting. Di dalam masalah perkreditan umumnya, terdapat sedikit perbedaan dalam mengukur tingkat keberhasilan seorang pejabat kredit atau komite kredit atau presiden direktur sebuah bank. Kualitas kredit yang baik akan memerlukan waktu untuk membuktikan kolektibilitasnya tetap lancar dan akhirnya dapat dilunasi dengan baik. Sistem ini bersifat krusial dalam perbankan. Perbedaan utama antara institusi pemberi pinjaman/ kredit dan perusahaan perdagangan/industri terletak pada bagaimana mengukur keberhasilan dalam tingkat produktivitas.
Pada perusahaan perdagangan/industri, pengukuran lebih mudah dan dapat dikaitkan dengan periode kapan produksi dilakukan. Misalnya, seorang pegawai pabrik hari ini dapat membuat sepatu 30 pasang dengan kualitas standar yang dapat diterima. Karena hasil kerja yang dicapai da- pat segera dinilai baik dari segi kualitas maupun kuantitas, penghargaan- nya dapat diberikan seketika pada saat itu.
Tapi di perbankan, jika seorang pejabat kredit pada tahun ini dapat memperoleh persetujuan kredit dan melakukan pembukuan pinjaman sebesar Rp x miliar kepada debitor baru dan/atau lama, pengukuran produktivitas dan kualitas pekerjaannya tidak dapat diperlakukan sama seperti pekerja sepatu tersebut. Hal ini terjadi karena kualitas pekerjaan pejabat kredit tersebut masih harus dibuktikan dalam beberapa waktu ke depan, yaitu apakah pinjaman atau kredit yang dibukukannya itu bermasalah atau tidak. Jika kredit yang diprosesnya itu bermasalah, perlu diteliti apa yang menyebabkan kredit itu menjadi bermasalah: apakah informasi yang digunakan tidak benar atau kurang akurat atau tidak cukup, atau analisisnya kurang cermat, atau
terdapat unsur-unsur lain di luar proses perkreditan normal.
Mencari penyebab suatu kredit bermasalah memerlukan penelitian yang dalam, paling tidak proses penelitian untuk mencari penyebab masalah perlu dilakukan seperti halnya bagaimana kredit tersebut diproses dan disetujui pertama kali. Karena persetujuan kredit menyangkut beberapa pihak, pemeriksaan harus pula melibatkan pihak terkait tersebut. Penelitian penyebab kenapa kredit bermasalah tidak mudah dilakukan, tetapi usaha ini mutlak dilaksanakan karena dengan demikian unsur sanksi yang tepat perlu dikenakan. Pengenaan sanksi yang tepat harus berdasarkan penelitian yang cermat mengenai penyebab terjadinya kesalahan.
Dalam lingkungan perbankan, umumnya masalah pelatihan telah dilakukan dengan baik, dan pejabat kredit sebelum bertugas cenderung selalu diberi pelatihan yang diperlukan. Setiap usulan pemberian kredit atau pembiayaan, di samping pejabat kredit, terdapat pihak lain yang melakukan kajian terhadap usulan tersebut. Karena itu, kemungkinan kesalahan teknis lebih kecil, terjadi dibandingkan dengan kesalahan dise­babkan oleh pelanggaran etika.
Dalam ruang lingkup budaya hukum dan moralitas yang mempri- hatinkan, di mana bank terekspos terhadap lingkungan itu, pelanggaran etika yang terkait dengan keputusan pemberian kredit atau pembiayaan merupakan penyebab yang logis dapat terjadi. Di samping itu, tidak se- mua dari kasus-kasus pelanggaran atau pengabaian prinsip kehati-hatian yang terjadi merupakan faktor ketidaksengajaan. Kalaupun dapat dikata- kan sebagai faktor ketidaksengajaan, hal itu lebih tepat dikatakan seba- gai faktor pembiaraan secara kolektif. Hal ini cenderung memiliki motif tertentu di belakangnya, dan dapat diperkirakan umumnya merupakan pelanggaran etika.
Agar unsur sanksi yang dikenakan menjadi efektif, terutama bagi kesalahan yang bersifat kesengajaan atau gross negligent atau pelanggaran etika, sanksi yang tepat perlu menciptakan efek jera.

Agar unsur sanksi yang dikenakan menjadi efektif, terutama bagi kesalahan yang bersifat kesengajaan atau gross negligent atau pelanggar- an etika, sanksi yang tepat perlu menciptakan efek jera. Sebaliknya, bagi yang berprestasi, penghargaan yang tepat perlu diberikan. Namun, dalam hal ini perlu dicatat bahwa, menurut Raghuram G. Rajan, terdapat asumsi
bahwa para manajer bank menilai keuntungan jangka pendek lebih pen- ting, dan akibatnya mengorbankan maksimalisasi nilai dan kepentingan jangka panjang.
Hal ini secara empiris terjadi pada perbankan di Malaysia. Hasanud- deen, seperti dikutip Tan Tok Shiong, menyatakan bahwa horizon para manajer di sana berjangka pendek karena gratuitas mereka tidak pernah dikaitkan dengan kinerja bank dalam kurun waktu yang lebih panjang. Dorongan ini akan makin kuat jika bank lain memperoleh keuntungan yang lebih tinggi pada periode yang sama.
Kajian kinerja reguler para pihak dalam perkreditan yang mengait- kan unsur kualitas kredit yang telah dibukukan tampaknya jarang dilaku- kan oleh bank di Indonesia. Hal ini dapat disimpulkan dari pengamatan para pakar mengenai kualitas kredit atau kredit macet yang ditimbulkan oleh adanya penyimpangan terhadap prosedur dan analisis kredit. Krisna Wijaya misalnya menyatakan, bahwa terdapat semacam anggapan bahwa pembahasan dan pengungkapan penyimpangan dalam perkreditan me- rupakan hal yang tabu, dan dikhawatirkan akan menyebarluaskan modus operandinya, sehingga akan dapat ditiru dan dipraktikkan oleh pihak lain. Wijaya juga menyatakan bahwa ada kecenderungan manajemen bank untuk menganakemaskan bagian di jajaran bisnis, atau perkreditan, se- hingga mereka sering tergoda untuk berbuat kejahatan. Tetapi, kemudian Wijaya berpandangan bahwa untuk menekan penyimpangan dalam pro- sedur pemberian kredit diperlukan penerapan kode etik bagi para bankir, dibarengi dengan penegakan hukum.
Dalam konteks internasional, Caprio Jr dan Klingebiel meneliti ke­gagalan bank karena NPL yang besar, yang berlangsung sejak 1970 di se- luruh dunia. Di akhir penelitiannya, Caprio dan Klingebiel memberikan beberapa saran. Salah satu di antaranya adalah, untuk mencapai keadaan perbankan yang lebih baik, perbankan memerlukan penggunaan carrot, yakni kesempatan memperoleh keuntungan bagi bank, dan stick, yaitu segera mengganti para pejabat yang tidak baik atau bahkan pengganti pe­milik bank jika terjadi kerugian yang besar.
Pendapat serupa disampaikan oleh Salman Ali Shaikh sehubungan dengan pengamatannya yang menunjukkan terdapat kecenderungan bahwa lingkungan peraturan perundangan di Pakistan mempertahankan manajemen yang ada, pada saat bank memiliki aset pinjaman yang ber- masalah. Ia berpendapat bahwa kenyataannya, pada banyak kasus, ma- najemen yang ada itulah yang menyebabkan timbulnya aset bermasalah.
Pada kasus seperti itu, menurut Shaikh, penggantian manajemen dengan tim yang baru merupakan cara terbaik untuk memperbaiki keadaan NPL bank dan sekaligus memaksimalkan nilai. Untuk mengatasi masalah per- bankan di Pakistan itu, Husain berpendapat bahwa semua pihak di per- bankan harus memiliki zero tolerance bagi mereka yang kurang memiliki integritas, dan siapa saja yang ditemukan bersalah harus segera diganti dari jabatannya, bahkan dituntut secara pidana jika diketahui melakukan penggelapan dan pemalsuan.
K.H. Spencer Pickett dan Jennifer M. Pickett menyebutkan bahwa untuk mengontrol tidak timbulnya penyelewengan integritas, organisasi harus menerapkan zero tolerance bagi yang menyimpang, yaitu penera- pan sanksi yang segera terhadap penyimpangan peraturan yang jelas. Se- bagai contoh lain, menurut Caprio Jr,untuk memberikan dorongan guna meningkatkan disiplin pasar, pemerintahan Selandia Baru menetapkan sebagai suatu tindakan pidana dan menjadi tanggung jawab yang tidak terbatas, jika terdapat pelanggaran terhadap ungkapan pernyataan (dis­closure statement) yang menyatakan tidak terdapat informasi yang tidak benar atau menyesatkan. Shaikh berpendapat bahwa mekanisme seperti ini diperlukan agar mendorong para pejabat bank mengambil risiko seca- ra prudent.
Untuk mencapai tingkat portofolio yang sehat, suatu institusi pem- beri pinjaman seperti bank harus menegakkan sistem penghargaan dan hukuman yang tegas. Terutama untuk penyimpangan yang dilakukan dalam memproses suatu kredit, UU Perbankan Pasal 49 telah menetap- kan sanksi yang sangat jelas. Di masa lalu, institusi bank tidak tegas dan belum secara terbuka menerapkan ketentuan UU ini dengan berbagai alasan sehingga mendorong terjadinya tindakan yang tidak prudent atau penyelewengan.
Al-Quran mengingatkan bahwa balasan yang baik tanpa penunda- an sangat penting untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, pengenaan ma- cam sanksi terhadap suatu kesalahan perlu disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran yang telah dilakukan. Secara umum Al-Quran mengisyaratkan bahwa siapa yang melakukan amal saleh dan siapa yang melakukan perbuatan jahat sekecil apa pun akan menerima pahala atau dosa atau balasannya (QS Fushshilat [41]: 46; QS Al-Zalzalah [99]: 7-8). Al-Quran juga menyatakan bahwa orang akan mendapat bagian dari apa yang telah dikerjakannya, karena Tuhan begitu cepat dalam melakukan perhitungan dari apa yang telah dilakukan itu (QS Al-Baqarah [2]: 202).
Nabi Saw. bersabda agar para pekerja segera menerima upahnya sebe- lum keringatnya kering. Al-Quran juga mengisyaratkan bahwa kesalahan orang perlu diteliti terlebih dahulu sebelum diberikan sanksi yang sesuai; dalam hal ini disebutkan bahwa Tuhan tidak akan akan mengazab sebe- lum mengutus seorang rasul (QS Al-Isra' [17]: 15).
Hipotesis Variabel Ketujuh: Penerapan sistem penghargaan dan hu­kuman secara tegas dan konsisten dapat mengurangi timbulnya NPL/pada bank konvensional. Penerapan sistem penghargaan dan hukuman secara tegas dan konsisten dapat mengurangi timbulnya NPF pada bank syariah. Penerapan sistem penghargaan dan hukuman secara tegas dan konsisten lebih baik pada bank syariah dibandingkan pada bank konvensional.
Menurut John E. McKinley, bank yang memiliki sistem nilai yang kuat akan membuat kultur kredit yang kuat, yang menyeimbangkan faktor kualitas kredit dengan perolehan pendapatan; manajemen pun berko- mitmen untuk mempertahankan nilai-nilai prekreditan yang kuat dalam organisasi. Joetta Colquitt menambahkan bahwa praktik perkreditan dan kultur kredit harus dimulai dari dewan direksi dan CEO (di Indonesia CEO berarti presiden direktur), kemudian dikomunikasikan ke segenap jajaran organisasi bank oleh manajemen senior. Raymond Boffey dan G.N. Robson menekankan bahwa bank dengan sistem nilai yang kuat akan menghasilkan tingkat NPL yang rendah.
Dalam penelitiannya di perbankan Bangladesh, Zabeen Ahmed me- nyimpulkan bahwa kultur kredit memiliki hubungan yang kuat secara ne- gatif dengan tingkat NPL. Jesica Petersson dan Isac Wadman mengung- kapkan bahwa peningkatan drastis pada NPL perbankan di Italia menca- pai nilai 50 miliar poundsterling terjadi pada 1980, ketika para spekulan berinvestasi pada properti perumahan dan komersial saat perekonomian berada dalam keadaan yang baik. Menurut Petersson dan Wadman, NPL yang besar ini disebabkan oleh adanya kultur kredit dan pengawasan per- kreditan yang lemah pada perbankan di Italia.
Hal yang sama dialami oleh Swedia pada awal 1990, dengan meng- alami kerugian akibat adanya NPL yang sangat besar. Namun, ada satu bank di Swedia, bernama Handelsbanken, yang memiliki tingkat NPL yang rendah sejak tahun 1990, yaitu ketika krisis terjadi dan tetap rendah sampai tahun 2003 (NPL 0,06 persen). Berdasarkan analisis Petersson dan Wadman, NPL yang rendah pada Handelsbanken dan perbaikan yang signifikan pada tingkat NPL di Swedia dibandingkan dengan Italia disebabkan oleh salah satu faktor yang penting, yaitu penerapan kultur kredit yang lebih kuat.
Menurut John McGovern, salah satu sebab utama timbulnya tingkat NPL yang tinggi di sektor keuangan Amerika sekitar tahun 1980 berka- itan dengan kebijakan perkreditan yang lemah, yang merupakan bagian dari kultur kredit. Sebagai tambahan, ADB memberikan nasihat kepada pemerintahan Lao di Sungai Mekong dalam rangka memperbaiki dua bank milik negara. Perbaikan kinerja ini sangat diperlukan dalam meng- hadap transisi ekonomi yang murni komunis ke arah perekonomian yang lebih terbuka berdasarkan pasar bebas. Dalam kesimpulannya, ADB me- nyarankan agar penasihat internasional membantu kedua bank itu untuk membangun kultur kredit yang diperlukan.
Di Indonesia, bank-bank pemerintah seperti Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, dan Bapindo sebelum krisis 1997/1998 mengandung tingkat NPL yang tinggi, yang terjadi terutama karena kultur kredit yang lemah. Bank-bank tersebut digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk membiayai proyek-proyek yang memiliki tingkat keuntungan yang tidak jelas dan dasar hukum yang dapat dipertanyakan.21
Kultur kredit merupakan subkultur dari kultur organisasi. Menurut Denison dan Mishra, subkultur terdapat di setiap organisasi, dan kultur organisasi dapat berupa suatu kumpulan asumsi, kepercayaan, dan prak- tik-praktik yang berkaitan dengan keterpaduan dari semua bagian men- jadi satu. Dalam pandangan Denison dan Mishra, subkultur dengan yang lainnya harus bersifat konsisten dan berintegrasi, dan keterpaduan ini merupakan salah satu ciri kultur organisasi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Stephen P Robbins, bahwa dalam budaya organisasi yang kuat nilai-nilai organisasi ini dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas oleh semua anggota organisasi.
Proses kredit melibatkan banyak pihak dalam setiap organisasi perkreditan. Setiap pihak yang terlibat melakukan interaksi satu dengan lainnya, baik dalam pembahasan terbuka dalam suatu rapat komite maupun berhubungan melalui media memo kredit. Agar interaksi ini bernilai tinggi dan menghasilkan sinergi dalam mencapai keputusan yang sehat sesuai dengan peraturan perbankan umumnya dan ketentuan internal khususnya, diperlukan suatu bentuk kultur kredit. Kultur ini dapat
mengikat semua pihak yang terkait dan bekerja dengan dasar atau pola dan tujuan perkreditan yang sama. Menurut hemat penulis, bagi bank yang memiliki banyak cabang, atau hierarki organisasi perkreditannya panjang ke bawah, kultur kredit merupakan lem pengikat agar semua pihak yang terkait dengan perkreditan mengacu pada pola pikir, atau pendekatan atau filosofi yang sama dalam melakukan pekerjaan perkreditan, terutama dalam menganalisis dan menerima atau menolak suatu risiko kredit. Kultur kredit yang dianut akan memberikan patokan bagaimana pekerjaan seperti ini dapat dilakukan sesuai dengan yang ditentukan dan diterima oleh bank.
Menurut McKinley, organisasi yang memiliki sistem nilai membuat adanya kultur kredit yang kuat, dan sistem nilai ini harus didasarkan pada unsur-unsur integritas, kejujuran, dan keadilan. Organisasi yang memiliki kultur kredit yang kuat memiliki pengecualian kebijakan yang tidak banyak. Terdapat keseimbangan antarkualitas kredit dan perolehan pendapatan, dan manajemen berkomitmen untuk mempertahankan nilai-nilai perkreditan yang kuat dalam organisasi.
Pada akhirnya, keberhasilan manajemen bank akan bergantung pada perkembangan dan pemupukan kultur kredit yang kuat, yang dapat dipa- hami dan diterapkan secara seragam dan konsisten ke semua lapisan or- ganisasi bank, mulai dewan direksi sampai pejabat kredit yang mengelola portofolio pinjaman. Bank dengan sistem nilai yang kuat akan menghasil- kan tingkat NPL yang rendah.22
Menurut M. Umer Chapra dan Habib Ahmed, bank syariah meng- hadapi risiko pembiayaan yang lebih besar, yang perlu dikelola dengan bijaksana. Pengelolaan risiko yang bijaksana ini dilakukan melalui buda- ya manajemen risiko yang efektif, dan secara khusus merupakan kultur pembiayaan yang tepat. Secara hakiki, penerapan kultur pembiayaan me- rupakan pengejawantahan tanggung jawab pengelolaan dana masyarakat pada bank.
Keberhasilan manajemen bank akan bergantung pada perkembangan dan pemupukan kultur kredit yang kuat yang dapat dipahami dan diterapkan secara seragam dan konsisten ke semua lapisan organisasi bank.
Algaoud dan Lewis mengaitkan tanggung jawab ini dengan konsep umat yang merupakan solidaritas di kalangan muslim, yang berkaitan dengan konsep amanah dalam pengelolaan harta. Algaoud dan Lewis berpendapat bahwa konsep amanah yang sama juga menuntut agar
bank, sebagai wakil investor atau pemilik dana, mengelola dana tersebut dengan penuh tanggung jawab serta memenuhi segala kewajiban mere- ka terhadap pemilik dana. Dalam Al-Quran, hal amanah terhadap yang berhak atau yang berpiutang sangat ditekankan untuk diperhatikan oleh para pelaksana (QS Al-Nisa' [4]: 58; dan QS Al-Baqarah [2]: 283). Nabi Saw. bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim, setiap hamba adalah pemelihara harta tuannya sehingga dia bertanggung jawab penuh atas harta yang dikelolanya; sebaliknya, pengurus-pengurus atau para manajer perlu berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya karena pengurus yang buruk akan disiksa.23
Hipotesis Variabel Kedelapan: Kultur kredit dari organisasi perkre- ditan dapat memperkecil timbulnya NPL pada bank konvensional. Kultur pembiayaan dari organisasi pembiayaan dapat memperkecil timbulnya NPF pada bank syariah. Kultur kredit atau kultur pembiayaan dari orga- nisasi pembiayaan atau perkreditan lebih baik pada bank syariah daripa- da bank konvensional.
Gordian Gaeta berpendapat bahwa masalah pencarian data, reliabilitas data, dan komparabilitas data semuanya cukup jelas, dan pentingnya dalam komunitas reputasi tradisional, jaringan sosial, dan faktor-faktor kultural lainnya jauh lebih penting daripada neraca atau laporan arus kas.
Karena itu, sebelum suatu kredit diproses, yang pertama kali harus dilakukan adalah mengumpulkan informasi dan fakta-fakta mengenai ca- lon debitor. Di antara data-data yang diperlukan itu, informasi mengenai reputasi calon debitor sangat penting dan akan menentukan kedalaman analisis kredit. Reputasi merupakan substansi yang penting dalam jeja- ring sosial dan faktor-faktor kultural. Reputasi berada di dalam kedua ruang lingkup ini, dan bahkan reputasi dan faktor kultural dapat saling memengaruhi.
Menurut Daniel F. Oriesek, reputasi seorang individu adalah suatu catatan baik-buruk atau derajat seseorang dalam hal hal bertingkah laku atau berinteraksi di lingkungan sosialnya.
Reputasi menentukan derajat dari korporasi atau unit usaha ter­hadap sejarah aktivitas atau interaksi dan keberadaannya dalam ruang lingkup bisnis atau usaha di mana unit itu beroperasi. Reputasi adalah penilaian yang diberikan oleh lingkungan di mana seseorang berada, atau di mana korporasi atau unit usaha melakukan kegiatan usahanya. Karena orang atau unit usaha berinteraksi dengan lingkungannya, seperti masyarakat di sekelilingnya, atau para pemasok barang atau konsumen bagi unit usaha, persinggungan dengan lingkungan itu akan memberikan catatan bagaimana orang atau unit usaha itu berinteraksi atau bertingkah laku. Catatan yang baik itu merupakan reputasi yang baik, dan merupa- kan dasar yang berharga bagi hubungan pergaulan individu dan kelang- sungan usaha bagi unit usaha yang bersangkutan di masa depan.
Pengecekan reputasi, kata Koford dan Tschoegl, perlu dilakukan karena hal ini merupakan langkah awal suatu kebijakan prudential. Pe- ngecekan reputasi ini akan lebih baik dilakukan sebelum kredit diproses, sehingga jika calon debitor tidak memiliki reputasi yang baik, bank tidak perlu membuang waktu untuk memproses kredit yang dimaksud.
Pengecekan reputasi ini berperan sentral dalam bisnis pemberian kredit, terutama di negara yang tingkat social trust-nya24 rendah seperti Indonesia.25 Pola kepercayaan yang rendah ini tidak saja merupakan ka- rakteristik kelompok politik dan sosial, tetapi sudah merupakan karak- teristik masyarakat Indonesia.26 Ketidakpercayaan di masyarakat telah mencapai tingkat yang membahayakan, yang situasinya digambarkan oleh Jousairi Hasbullah sebagai lupus est homo homin, yakni kelompok elite yang kuat menekan kelompok yang lemah di masyarakat.
Informasi mengenai sikap calon debitor terhadap kewajibannya da- pat diperoleh dari pengalaman kreditor atau bank lain yang pernah ber- hubungan dengan calon debitor tersebut. Artuto Galindo dan Fabio Schi- antarelli serta Jose L. Negrin mengatakan, bahwa mekanisme pengaturan membagi informasi kredit bagi sesama bank merupakan salah satu cara untuk mengatasi asymmetric information pada pasar kredit, dan mengu- rangi kemungkinan adanya moral hazard di pihak debitor. Dalam pe- nelitiannya terhadap perbankan di Meksiko, Ipes menyimpulkan bahwa informasi mengenai tingkah laku masa lalu seorang calon debitor penting dalam menentukan pemberian pinjaman baru bagi dirinya. Negrin ber- kesimpulan, bahwa jika calon debitor memiliki catatan pernah wanpres- tasi atau pernah tidak membayar kewajibannya di masa lalu, probabilitas debitor itu akan melakukan wanprestasi terhadap pinjaman yang sedang berjalan secara dramatis akan lebih tinggi. Dalam kaitan ini, Sharma mengatakan bahwa tidak tersedianya informasi kredit yang dapat dibagi antarbank merupakan salah satu faktor penyebab NPL.

Reputasi pribadi Nabi Muhammad Saw. merupakan contoh reputa- si yang hakiki yang dimaksud dalam bagian ini. Dengan kualitas pribadi yang dimilikinya, antara lain bertanggung jawab, jujur, profesional, teliti, berempati, transparan, hasil kerja yang memuaskan, dan lain-lain, Nabi Saw. dapat menempatkan dirinya sebagai money maker dan money ma­gnet.27 Nabi Saw. merupakan mudharib yang diincar oleh semua pemi- lik modal di Jazirah Arab pada waktu itu. Hampir semua pemilik modal ingin menitipkan barangnya untuk diperdagangkan oleh Nabi Saw.28 Sebagai debitor, Nabi Saw. tidak pernah melakukan wanprestasi bayar terhadap kreditornya, bahkan sering membayar kewajibannya sebelum jatuh tempo.29
Hipotesis Variabel Kesembilan: Pengecekan reputasi terhadap calon debitor dapat memperkecil timbulnya NPL pada bank konvensional. Pe- ngecekan reputasi terhadap calon debitor dapat memperkecil timbulnya NPF pada bank syariah. Pengecekan reputasi terhadap calon debitor lebih baik pada bank syariah daripada bank konvensional.
Colquitt menyebutkan satu istilah due diligence (uji tuntas). Pada mu- lanya, konsep uji tuntas digunakan berkenaan dengan diberlakukannya undang-undang sekuritas di Amerika pada 1933. Konsep ini menjadi ke- wajiban hukum bagi calon pembeli atau investor untuk meneliti kebenar- an substantif tentang apa, yang disebutkan dalam prospektus mengenai kebaikan suatu sekuritas yang akan dijual. Konsep ini juga merupakan suatu perlindungan hukum bagi pihak penjual, termasuk para pialang, terhadap kemungkinan tuduhan keterbukaan yang tidak memadai.
Intinya, uji tuntas berarti suatu tindakan yang bertujuan meneliti secara mendalam dan luas mengenai suatu bisnis atau perusahaan, serta menilainya, sebelum melakukan suatu tindakan yang berkaitan dengan usaha, bisnis, atau perusahaan itu. Hasil penelitian yang dalam dan luas itu pada hakikatnya adalah untuk memastikan bahwa tindakan yang akan dilakukan terhadap usaha, bisnis, perusahaan itu cukup bernilai, dan akan membawa manfaat yang lebih besar bagi yang melakukan tindakan itu. Tindakan yang membawa manfaat berarti pula bahwa tindakan itu secara substantif bernilai ekonomis, dan tidak akan menimbulkan masalah hukum dan sosial di kemudian hari.

Di dalam perkreditan atau pembiayaan, kegiatan uji tuntas lebih dalam dan luas maknanya daripada pengertian analisis kredit atau keuangan. Sebab, terdapat sejumlah informasi atau data yang harus dicari dan digali. Verifikasi atas kebenaran data dan informasi tersebut harus pula dilakukan untuk memastikan apakah sesuai dengan kenyataan faktual yang mutakhir. Informasi dalam brosur perusahaan dan setiap akun dalam laporan keuangan, serta yang bersifat off balance sheet, perlu diteliti dengan cara yang sama untuk menangkap makna yang dikandungnya. Setiap makna yang diperoleh dicerna dengan saksama, lalu dikaitkan dengan makna yang lain, dalam rangka menyimpulkan manifestasi terhadap substansi yang diinginkan untuk diperoleh. Dengan kata lain, setiap dan seluruh data dan informasi yang telah diverifikasi dikaitkan satu sama lain, yang bersifat kuantitatif dikaitkan dengan yang bersifat kualitatif, dengan menggunakan penalaran intelektual dan rasionalitas secara independen; dan tidak terpengaruh dengan hal-hal lain di luar proses dan yang diperlukan oleh kegiatan uji tuntas itu sendiri.
Di samping pengertian uji tuntas itu, Colquitt menyimpulkan bahwa masalah dapat timbul kemudian dari indikasi-indikasi yang ada pada rasio keuangan, yang berasal dari uji tuntas yang setengah hati. Apa yang dikatakan oleh Colquitt itu menunjukkan bahwa pemberian kredit sering tidak didasari oleh penelitian atau analisis yang saksama. Setelah kredit diberikan, dan tindakan pengawasan dilakukan, baru tampak timbulnya masalah-masalah yang tidak terlihat dari indikator-indikator keuangan, yang diperoleh ketika analisis awal dilakukan. Terkadang dalam kenyataan sehari- hari, pelaksanaan pengumpulan infomasi dan analisis kredit yang diperlukan untuk proses pengambilan keputusan tidak sepenuhnya dilakukan, atau bahkan tidak dilakukan sama sekali, sehingga persetujuan kredit dengan mudah diberikan atau merupakan semata-mata sesuatu yang bersifat rutin yang terlalu disederhanakan, atau proses yang diperlukan sengaja direduksi.
Di dalam
perkreditan atau pembiayaan, kegiatan uji tuntas lebih dalam dan luas maknanya daripada pengertian analisis kredit atau keuangan.
Dalam kasus perbankan di Pakistan pada 1980-1990, analisis kredit yang seadanya sebagai pemenuhan formalitas belaka, atau yang disebut sebagai cosmetic due diligence, merupakan salah satu karakteristik timbulnya NPL. Di antara kasus-kasus yang terjadi, menurut Shaikh, pemrosesan kredit seperti ini tampaknya disadari penuh oleh pejabat
terkait karena di ujungnya terdapat pemberian gratifikasi yang berupa kick-backs.
Terkadang pelaksanaan uji tuntas dan check and balances dilewat- kan dalam proses persetujuan kredit, karena adanya intervensi pemilik atau pihak-pihak lain yang berkepentingan. Kajian empiris terdahulu telah pula menunjukkan pengaruh kronisme atau bentuk patronase ter- tentu sering merupakan alasan utama untuk tidak dilakukannya prosedur persetujuan kredit atau uji tuntas. Uji tuntas penting dilakukan terutama terhadap laporan keuangan dan laporan penilaian kolateral calon debitor. Banyak faktor di sekitar laporan ini yang dapat menyebabkan pengambil- an keputusan kredit menjadi salah, terutama kelayakan kredit dan nilai kolateral sesungguhnya. Kelalaian serupa ini juga terlihat dari kegagalan dalam menyiapkan seluruh dokumen kredit dan jaminan, menagih pin- jaman pada waktunya, menindaklanjuti proses di pengadilan, memper- tahankan hak kreditor berdasarkan kontrak, dan lain-lain. Ketika peng- awasan peraturan lemah, dan unsur moralitas pelaksana lemah, tidak ter- dapat halangan bagi berjalannya sistem patronase itu, dan kelalaian yang dimaksud akan dapat berlanjut.
Keadaan operating environment di Asia Timur, juga Indonesia, me­nunjukkan adanya kelemahan dalam infrastruktur hukum dan rendah- nya tingkat keterbukaan. Menurut Tarek Ibrahim Eldomiaty dan Chong Ju Choi, sering terjadi pelanggaran terhadap ketentuan keterbukaan dan prinsip-prinsip akunting yang sehat. Berkaitan dengan masalah akuntan- si, menurut Eldomiaty dan Choi, laporan keuangan sering tidak mengung- kapkan off balance sheet items dan transaksi dengan pemilik saham, dan penilaian aset cenderung tinggi. Baker menyatakan secara khusus me- ngenai masalah rekayasa akuntansi dengan mengaburkan makna laporan keuangan yang paling menonjol dan paling besar di dunia. Kasus Enron merupakan skandal akunting yang dimaksud dan pelanggaran akunting yang dilakukan oleh auditor Enron, Arthur Andersen, menurut Joseph E. Stiglitz merupakan akal-akalan akuntansi. Akal-akalan itu, antara lain, pengiriman gas atau listrik di masa depan dicatat sebagai penjualan hari ini. Enron juga mencatat penjualan fiktif kepada suatu shell company bernama Raptor, berdasarkan komitmen untuk membeli kembali. Tapi, Enron tidak mencatat kewajiban apa pun atas komitmen ini, dan tidak pula mencatat biaya sebagai harga pokok penjualannya. Akibatnya, Mike Brewster secara umum mengungkapkan bahwa kepercayaan dan integri- tas profesi akuntan banyak dipertanyakan publik.
Sesungguhnya dalam keadaan normal, penelitian ulang terhadap la- poran keuangan yang telah diaudit sekalipun perlu ditelaah lebih lanjut. Di samping alasan rekayasa yang bersifat pelanggaran itu, salah satu alas- an lain untuk meneliti ulang laporan keuangan yang telah diaudit adalah bahwa laporan akuntansi itu sendiri memiliki sejumlah keterbatasan pada dirinya. Apa yang digambarkan oleh laporan keuangan bersifat his- toris, yang berkaitan dengan masa lalu, tetapi gambaran itu hanya meru- pakan suatu potret mengenai apa yang terjadi dalam bentuk angka-angka pada suatu hari tertentu. Angka-angka ini mewakili sejumlah banyak hari lainnya dalam kurun waktu yang diusahakan untuk diwakili itu. Laporan akuntansi menyangkut sejumlah penilaian yang tidak terlepas dari unsur subjektivisme, atau pengaruh dari pihak yang menyusun laporan dan pi- hak yang berkepentingan dengan dibuatnya laporan.
Teknik dan metode akuntansi yang digunakan sehingga menyajikan laporan keuangan harus pula dimengerti, karena teknik dan metode yang berbeda akan menghasilkan satu set angka-angka yang berbeda pula. Terkadang perubahan dari satu metode pencatatan sengaja diubah dengan menggunakan metode yang lain, dalam rangka menimbulkan angka keuntungan yang berbeda. Perubahan pencatatan barang dagangan dari metode lifo ke fifo sering dilakukan agar tahun berjalan memberikan angka keuntungan yang lebih besar, terutama pada tahun ketika terdapat kenaikan signifikan harga barang persediaan. Biasanya, perubahan seperti ini dilakukan pada tahun ketika perolehan keuntungan kecil atau bahkan saat mengalami kerugian.
Demikian pula halnya dengan opini akuntan yang tertuang sebagai surat keterangan dari akuntan pemeriksa, yang menghasilkan laporan keuangan yang disajikan. Setiap jenis kualifikasi opini yang diberikan, seperti unqualified, qualified, adverse, atau tanpa opini sama sekali, perlu dimengerti apa yang dicakupnya dalam kaitan dengan kualitas ang- ka-angka yang disajikan. Untuk opini qualified misalnya, alasan kenapa opini kelas dua dari kualitas laporan ini diberikan perlu ditelaah lebih lanjut. Dengan demikian, laporan keuangan itu perlu dikaji ulang secara menyeluruh dan dimengerti secara substantif, sebelum digunakan untuk mengambil keputusan dalam rangka mengambil kesimpulan mengenai kondisi keuangan institusi yang diwakili oleh laporan itu.
Masalah-masalah yang berkaitan dengan teknis akunting dalam la- poran keuangan ini lebih banyak harus dihadapi bank ketika akan mem- proses kredit dari perusahaan yang lebih besar. Terhadap perusahaan kecil menengah, masalah yang dihadapi bank berbeda. Informasi ke- uangan yang diberikan oleh perusahaan yang lebih kecil umumnya belum memenuhi standar yang baku, karena antara lain mereka belum memiliki pengetahuan dan sistem yang memadai. Karena itu, pejabat kredit harus melakukan analisis kredit dan keuangan dengan cermat, baik bagi debitor yang merupakan institusi yang lebih besar maupun yang lebih kecil.
Terutama pada lingkungan operasional bank dengan transparansi dan disklosur yang rendah, bank perlu melakukan pekerjaan yang lebih dari sekadar mengumpulkan informasi dan melakukan analisis kredit. Uji tuntas, dalam pengertian yang sesungguhnya, harus dilakukan ketika sua- tu usulan pinjaman diproses dan sebelum disetujui. McGovern menya- rankan kegiatan kepedulian (due care) atau monitoring atau loan review harus tetap dilakukan terus-menerus selama pinjaman masih berjalan, sampai seluruhnya dilunasi.
Uji tuntas dan kepedulian secara implisit juga berarti bahwa suatu pinjaman harus diproses, disetujui, dan dimonitor sesuai dengan petun- juk prosedural internal bank, untuk memenuhi ketentuan dan hukum lainnya serta peraturan prudential yang ditetapkan oleh Bank Indone-
Penjelasan Pasal 8 Ayat i UU Perbankan 1992/1998 menyebutkan bahwa penilaian terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha nasabah debitor harus dilakukan dengan saksama sehingga diperoleh keyakinan mengenai kemampuan dan kesanggupannya. Uji tuntas sudah mulai dilakukan pada awal pekerjaan pemrosesan suatu usulan kredit, yang dimulai dengan pengumpulan data atau informasi yang diperlukan. Dengan adanya eksternalitas dalam hal keterbukaan dan transparansi, tindakan mengumpulkan dan menganalisis data atau informasi harus dibarengi dengan pengecekan ulang (check and balance) baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan dasar yang memadai dan wajar untuk memastikan kebenarannya.
Seluruh informasi yang relevan perlu dikumpulkan dan ditelaah se- cara cermat dan mendalam, seperti halnya yang diminta oleh undang-un- dang, sehingga dapat diyakini kualitasnya sebagai angka dan fakta yang mutakhir, benar, dan faktual. Fakta dan data yang benar dan tepat diper- lukan dalam rangka melakukan analisis keuangan dan kredit, serta dalam memberikan rekomendasi pengambilan keputusan kredit yang cermat. Setiap pejabat kredit yang setara memiliki tugas dan tanggung jawab un- tuk melakukan due diligence secara terperinci dan cermat.
Lis, Pages, dan Saurina berpendapat bahwa bank yang tidak efisien adalah bank yang tidak melakukan screening atau uji tuntas dan monito­ring atau due care para debitornya dengan baik sehingga akan memiliki portofolio yang berkualitas lebih rendah; ini artinya dapat menimbul­kan NPL. Menurut Lahiri, NPL di India terjadi karena lemahnya proses uji tuntas yang dilakukan oleh bank sebagai sesuatu yang rutin. Dalam mengkaji perbedaan kinerja antara bank di Italia dan di Swedia, Peters- son dan Wadman mengemukakan bahwa Handelsbanken, sebuah bank Swedia, selalu melakukan uji tuntas sebagai cara untuk meyakinkan agar bank tidak memberikan pinjaman kepada calon debitor yang tidak solid.
Pada bank syariah, menurut Ahmed, proses uji tuntas lebih diperlukan dibandingkan pada bank konvensional. Alasannya, pertama, pembiayaan harus dikaitkan dengan usaha atau perdagangan yang murni dan tidak berkaitan dengan spekulasi, derivative, atau rekayasa keuangan yang tidak produktif; kedua, sebagai calon mitra usaha, bank syariah harus meneliti dengan saksama kejujuran dan realibilitas calon nasabah karena unsur ini merupakan jaminan utama; ketiga, pada akad PLS, bank ikut berpartisipasi dalam risiko dan ikut menanggung kerugian yang mungkin terjadi. Dalam keadaan yang terus merugi, bank tidak dapat mengambil jalur pailit atau menyita jaminan dari usaha yang dibiayai, seperti halnya dalam bank konvensional.
Dalam pengalaman praktis, Warde menyebutkan bahwa kegagalan Al-Baraka cabang London terjadi karena bankirnya tidak mampu melakukan kegiatan uji tuntas yang memadai. Ka- rena terlalu mengandalkan asumsi bahwa semua orang memiliki kebajikan yang sama sebagai muslim, uji tuntas yang dilakukan gagal untuk memilih nasabah yang dapat dipercaya.
Imam Muslim mencatat sabda Nabi Saw. yang menyatakan bahwa Allah akan sangat senang jika umatnya melakukan pekerjaannya dengan tekun dan bersungguh-sungguh. Sebelum suatu pekerjaan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, orang perlu menyelidiki dan mempelajari hal ihwal pekerjaan itu terlebih dahulu. Al-Quran (QS Al-Isra' [17]: 36; QS Al- Hujurat [49]: 6) memerintahkan kepada kaum muslim untuk melakukan
penyelidikan dan verifikasi (tabayyun) terhadap semua pernyataan dan informasi yang dapat diperoleh, sebelum melakukan tindakan atau kepu- tusan. Sebelum membeli barang juga perlu dilakukan investigasi terlebih dahulu (QS Al-Kahfi [i8]:19).
Perbankan syariah harus pula melakukan kegiatan due care dari waktu ke waktu selama kerja sama masih berjalan. Di sini, hubungan bank dengan konsumen tidak dibentuk dari hubungan antara kreditor dan debitor, tetapi merupakan hubungan antarmitra atau antara shahi- bul mal dan mudharib. Hubungan itu tidak semata-mata bersifat trans- aksional, tetapi lebih pada relasional dengan waktu yang cenderung lebih panjang. Dengan demikian, kegiatan due care tidak terbatas hanya pada pengawasan pembayaran angsuran dan perolehan keuntungan agar tepat waktu, atau kepatuhan terhadap ketentuan pembatasan dari perjanjian atau akad. Dalam perspektif due care, bank syariah tidak hanya mela- kukan hal-hal tersebut, tetapi lebih jauh sebagai mitra dan shahibul mal perlu mengawasi dalam arti membimbing atau mengarahkan mitra lain atau mudharib dalam batas yang dimungkinkan, agar usaha yang dibiayai benar-benar dapat menghasilkan keuntungan.
Hipotesis Variabel Kesepuluh: Kegiatan uji tuntas dan kepedulian yang dilakukan oleh pejabat kredit dan pihak yang terkait dalam perkre- ditan dapat memperkecil timbulnya NPL pada bank konvensional. Kegiat- an uji tuntas dan kepedulian yang dilakukan oleh pejabat dan pihak yang terkait dalam pembiayaan dapat memperkecil timbulnya NPF pada bank syariah. Kegiatan uji tuntas dan kepedulian yang dilakukan oleh pejabat kredit dan pihak yang terkait dalam pembiayaan lebih baik pada bank syariah daripada pada bank konvensional.
Kehidupan yang tidak pernah diperiksa atau dipikirkan kembali, menurut Socrates, bukanlah kehidupan yang bernilai untuk dijalani.30 Ungkapan ini bermakna, bahwa orang perlu memiliki pengetahuan terhadap diri dan refleksi dirinya sendiri, sehingga dapat melakukan penelaahan dan introspeksi sebagai jalan menuju kehidupan yang bernilai.
Makna seperti itu dapat pula diberlakukan pada korporasi atau bank sebagai badan hukum. Badan hukum merupakan personafikasi dari or- ganisasi yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kesatuan tujuan.
Badan hukum dianggap seperti orang layaknya karena hukum mengakui dan memberikan hak untuk itu. Agar kehidupan badan hukum itu ber- nilai, sehingga dapat mempertahankan kehidupan operasionalnya dari waktu ke waktu, kehidupan yang telah dijalani itu harus diperiksa kem­bali. Terhadap keputusan-keputusan kredit atau pembiayaan yang telah diambil perlu dilakukan pengecekan ulang. Tujuannya, antara lain, me- mastikan bahwa prinsip perkreditan yang dianut benar-benar telah dija- lankan. Kredit atau pembiayaan yang telah diberikan diperiksa kembali, apakah telah berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kalau ada indikasi perkembangan yang kurang baik, bank dapat melakukan tindakan-tin- dakan pencegahan sedini mungkin.
Pengawasan internal merupakan unsur kegiatan organisasi yang juga harus diterapkan pada bank syariah. Pengawasan pembiayaan yang lemah pada Dubai Islamic Bank merupakan penyebab utama terjadinya skandal yang dilakukan oleh pegawainya.
Variabel pengawasan kredit/pembiayaan internal ini identik dengan unsur pengawasan pembiayaan yang dikemukakan Veithzal Rivai dan Adria Permata Veithzal, yang mengacu pada Al-Quran (QS Al-Anbiya' [21]: 61; dan QS Al-Hujurat [49]: 6). Cakupan pengawasan ini meliputi, antara lain, apakah pembiayaan telah dilaksanakan sesuai dengan kebi- jakan, prosedur dan ketentuan yang berlaku, perkembangan kegiatan usaha debitor, penilaian kualitas pembiayaan, pelaksanaan administrasi dokumen pembiayaan, dan pemantauan kecukupan penyisihan pengha- pusan pembiayaan. Pengawasan internal ini, menurut Chapra dan Ah­med, juga berfungsi sebagai media untuk meyakini adanya pengawasan terhadap pekerjaan manajemen keseluruhan dan meningkatkan budaya pembiayaan yang sehat.
Semua cakupan kegiatan ini dimaksudkan untuk menghasilkan la- poran yang perlu ditindaklanjuti oleh manajemen internal sebagai per- ingatan dini, dalam rangka mencegah agar pembiayaan tidak berkem- bang ke arah yang buruk. Indentik dengan fungsi pengawasan internal ini adalah institusi publik hisbah di masa Nabi Muhammad Saw., dengan personel yang melaksanakannya disebut muhtasib. Makna yang tercakup dalam kata hisbah ini meliputi penghitungan ulang, pengawasan, penge- cekan kualitas barang dan takaran.
Dalam arti yang paling dalam, muhtasib sebagai pemeran utama ke- giatan hisbah harus memiliki kompetensi dalam melakukan pekerjaannya untuk mendorong yang bersifat makruf, dan mencegah yang mungkar sehingga secara keseluruhan beriman kepada Allah Swt. Menurut Tarmi- yah, tugas muhtasib adalah mencegah terjadinya penyimpangan-penyim- pangan dalam perdagangan, seperti sifat benci, bohong, dan menipu, ser- ta mengecek apakah terdapat kecurangan bisnis, termasuk mengurangi timbangan, mengaudit kontrak-kontrak yang tidak benar, dan praktik kecurangan dalam industri, dagang, dan masalah agama dan lainnya.
Hipotesis Variabel Kesebelas: Pengawasan kredit internal yang dilakukan secara reguler dan ditindaklanjuti secara konsisten dapat memperkecil timbulnya NPL pada bank konvensional. Pengawasan pembiayaan internal yang dilakukan secara reguler dan ditindaklanjuti secara konsisten berpengaruh dan dapat memperkecil timbulnya NPF pada bank syariah. Pengawasan pembiayaan atau kredit internal yang dilakukan secara reguler dan ditindaklanjuti secara konsisten lebih baik pada bank syariah daripada bank konvensional.
Variabel kedua belas adalah gabungan dari semua variabel bebas, mulai variabel pertama hingga variabel kesebelas. Jadi, variabel kedua belas adalah gabungan dari variabel pengetahuan dan keahlian kredit, integ- ritas dan profesionalisme, kadar spiritualitas, kepemimpinan bermoral, kultur organisasi, kebijakan disiplin anggaran, sistem penghargaan dan hukuman, kultur kredit, pengecekan reputasi, uji tuntas dan kepedulian, dan pengawasan kredit internal.
Hipotesis Variabel Kedua Belas: Terdapat pengaruh pengetahuan dan keahlian kredit, integritas dan profesionalisme, kadar spiritualitas, kepemimpinan bermoral, kultur organisasi, kebijakan disiplin anggaran, sistem penghargaan dan hukuman, kultur kredit, pengecekan reputasi, uji tuntas dan kepedulian, dan pengawasan kredit internal, secara bersama- sama terhadap NPF pada bank syariah. Terdapat pengaruh pengetahuan dan keahlian kredit, integritas dan profesionalisme, kadar spiritualitas, kepemimpinan bermoral, kultur organisasi, kebijakan disiplin anggaran, sistem penghargaan dan hukuman, kultur kredit, pengecekan reputasi, uji tuntas dan kepedulian, dan pengawasan kredit internal, secara bersama- sama terhadap NPL pada bank konvensional. Terdapat perbedaan antara pengaruh semua variabel bebas secara bersama-sama terhadap NPL pada bank konvensional dengan pengaruh semua variabel bebas secara bersa- ma-sama terhadap NPF pada bank syariah.
1       Lago (2002).
2       Berger dan DeYoung (1997); Collyns dan Senhadji (2002).
3       Kaufman (2001); Radelet & Sach (1998); Myers & Rajan, Ashcraft (2005).
4       Caprio Jr (1996).
5       Elgari (2003).
6       Grosfeld (1994); Chan Lau (1998).
7       Diamond (1984); Stiglitz & Weiss (1983).
8      Coyle (2000); Bathory (1987), Babbel (1989); Hale (1983); Sathye et al. (2003); De Lucia & Peter (1993); Chorafas (2000); Uchida et al. (2006); Ong (1999); Ed Emmer, Canguin (2005).
9       Dikutip dari "Access to Finance in Jordan", diunduh pada 14 Juli 2008, dari situs The Ministry of Planning, and International Cooperation. http://www. mop.gov.jo/uploads/access.
10    Haggard dan McIntyre (1999); Mishkin (1998); Vale (2004); Mattson (1993).
11     Calhoun (1995).
12    Drennan (2004).
13    Africa Leadership Forum (1992).
14    Rahman (2010: 149).
15    Muhammad (2005: 29).
16    Seminar di Nigeria menyimpulkan bahwa agama dan persuasi moral tidak cukup untuk menghadapi kejahatan dan kecurangan dalam perbankan, tan­pa sanksi-sanksi hukum yang tegas terhadap para penjahat dan penadahnya (Africa Leadership Forum, 1992). Ini berarti forum mengakui pentingnya agama dan unsur moral dalam perbankan, tapi agama dan moral akan lebih efektif jika para pelaku pejahatan dikenai sanksi hukum.
17    Krause (1997: 3).
18    HR Muslim, dikutip oleh Arifin (2005: 199).
19    Menurut Susanto, et al., (2008: ix), kedua istilah ini umumnya memiliki makna yang sama, atau tidak memiliki perbedaan dalam arti yang signifikan, dan sering digunakan secara bergantian. Namun, dalam literatur manajemen, istilah kultur organisasi lebih sering digunakan karena maknanya lebih luas, sedangkan istilah kultur korporasi lebih populer dalam konteks yang lebih umum.
20   Konsep akunting fundamental yang mengakui kelambatan waktu antara pen- jualan dan pembelian di satu sisi dan antara pengumpulan dan pembayaran tunai di sisi lain.
21    Enoch, Charles, Baldwin, Frecaut, Kovanen (2001: 112).

22    Boffey & Robson (1995).
23   Arifin (2005: 90).
24    Trust adalah harapan yang muncul di dalam komunitas perilaku reguler, ju- jur, dan kooperatif, berdasarkan norma-norma bersama, sebagai bagian dari anggota-anggota lain dalam komunitas itu (Francis Fukuyama: 26).
25    Sebuah laporan mengindikasikan bahwa level modal sosial di lingkungan kota tertentu di Asia, misalnya New Delhi atau Jakarta, boleh jadi sangat rendah (Woolcock, 1998; Isham dan Kakhonen, 2001; Jeffery P Carpenter, Amrita G. Daniere, dan Lois M. Takahashi, 2003). Modal sosial adalah sebuah sumber dalam diri individual yang muncul dalam interaksi kelompok karena keperca- yaan, hal timbal-balik, dan kooperasi. Pengembangan dari modal sosial posi- tif, khususnya bagi komunitas dengan sumber data ekonomi dan politik yang rendah, menghasilkan peningkatan performans ekonomi dan politik serta me- ningkatkan kualitas hidup (Jeffrey P. Carpenter, Amrita G. Daniere, dan Lois M. Takahashi, 2003).
26    Hampir setiap hari kita bisa melihat konflik fisik tidak hanya di antara kelom- pok sosial, kelompok etnis, tetangga, dan pelajar, tapi juga antara kelompok sosial dan kepolisian atau personel/lembaga penegakan hukum lainnya.
27    Kamaluddin (2007: 16).
28   Antonio (2007: 66, 81-82).
29    Kamaluddin (2007: 33-34).
Preston (2007: 7).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar