Minggu, 16 Maret 2014

APAKAH MUNGKIN TANPA POLITIK UANG?

APAKAH MUNGKIN TANPA POLITIK UANG?

Jawaban nya sulit. Kenapa?

Pertama, ajang politik digunakan untuk mencari nafkah, bukan untuk menciptakan kebajikan. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa mayoritas kepala daerah dan sejumlah anggota DPR tersangkut masalah korupsi. Kalaupun tidak, tampak dengan jelas sebagian besar anggota DPR mangkir, ketika rapat berlangsung.

Kedua, proses pemilihan langsung membutuhkan biaya yang besar bagi individu yang mencalonkan diri, dengan mengggunakan biaya dari kantong sendiri, bahkan ada yang berutang untuk tujuan itu. Jadi, motivasi utama adalah mengembalikan biaya-biaya yang telah dikeluarkan, ketika menjabat.

Ketiga, pengangguran di Indonesia lebih dari 9%, demikian pula tingkat kemiskinan yang cukup besar; sehingga tingkat pendapatan riel sebagian besar penduduk -rendah. Pada saat yang sama, masyarakat banyak sangat merasakan bahwa para pemimpin publik tidak membawa manfaat atau menciptakan kebajikan bagi mereka, selain menyuburkan korupsi bagi pejabat dan yang terkait dengan mereka. Walhasil, rakyat kebanyakan itu berfikir pendek, dengan meminta uang dari para caleg atau calon kepala daerah, untuk janji memberikan suaranya (Tidakkah kita melihat ketika ada pembagian uang hanya sejumlah Rp 50 ribu, orang berbondong-bondong untuk berebut mendapatkannya). Ini saya alami sendiri dalam tahun 2009, dan saat ini. Beberapa daerah yang saya kunjungi, para tokoh masyarakat langsung mengatakan bahwa mereka memerlukan Rp 50 ribu per suara.

Keempat, berdasarkan butir 4 di atas, masyarakat kebanyakan tidak memiliki komitmen untuk menggunakan hak pilihnya dalam memilih calon pemimpin publik yang baik dan tepat.

Kelima, penegakkan hukum kita sangat lemah, dan sifat masyarakat kita sangat permisif, dan cepat lupa. Walhasil, pelanggaran pilkada atau pemilu tidak memperlihatkan sanksi yang jelas bagi pelanggarnya, kecuali penyelesaian damai 86, alias tahu sama tahu.

Bagaimana negara dan masyarakat akan lebih sejahtera, jika pemilihan pemimpinnya dilakukan dengan berdasarkan atas suatu jumlah uang, bukan berdasarkan sifat amanah, kompetensi, dan intelektualitas?

MASIHKAH KITA TIDAK SADAR AKAN NASIB BANGSA INI DI MASA DEPAN, YANG TIDAK TERLALU LAMA DARI SEKARANG?



Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto?ref=tn_tnmn

Rabu, 12 Maret 2014

RAJO HITAM, YANG MEMBELA KEPENTINGAN RAKYAT DAN DISINGKIRKAN

RAJO HITAM, YANG MEMBELA KEPENTINGAN RAKYAT DAN DISINGKIRKAN.

Ini adalah sejarah dari Rajo Hitam, nenek moyang saya. Sebagian data pendukung, saya peroleh dari Arsip Nasional Pusat, Jakarta. Salah satu dokumen berbahasa Belanda kuno, yang ditulis oleh Comptroler Belanda yang bertugas di Air Haji, Kecamatan Linggo Sari Baganti, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Rajo Hitam, bersama 59 pengikutnya, "mandaruko" di daerah ini.

Menurut dokumen yang saya baca, yang diterjemahkan oleh teman saya, Dr.Peter Verhezen, dari Belgia, menyebutkan bahwa pada suatu hari, Gubernur Belanda yang berkedudukan di Kota Padang memangil seluruh raja yang ada di daerahnya itu, untuk menandatangani perjanjian dengan Belanda.

Isi perjanjian berbunyi bahwa seluruh hasil bumi harus "diserahkan" ke Belanda, dengan harga yang dianggap wajar oleh Belanda. Rajo Hitam, nenek moyang saya itu, tidak mau datang ke Padang, dan tidak bersedia untuk menanda tangani perjanjian tersebut; karena jelas merugikan rakyat.

Tampaknya Belanda menyingkirkan Rajo Hitam, karena kemudian, Belanda memanggil Rajo Adat, bawahan Rajo Hitam; kemudian, Rajo Adat itu menanda tangani perjanjian tersebut. Itu adalah Rajo Hitam terakhir, dan sejak itu tidak pernah lagi terdengar namanya oleh masyarakat sekitar.

Ini sekelumit kejadian yang pernah terjadi di tanah air, yang maknanya dapat pula terjadi saat ini.

Innalilahi wa inalilahi rojiun.

Hendy Herijanto Dt. Rajo Hitam



Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto
Kelemahan dari konsep demokrasi adalah berkaitan dengan arti hakiki kata 'demokrasi' itu sendiri. Demokrasi berarti "approved by many, legitimated by few". Jadi, jika 'the few' tidk kuat secara nilai dan prinsip, maka para pelobi dapat melobinya untuk tujuan kelompok tertentu, agar 'the few' membuat kebijakan yang menguntungkan pelobi. Kebijakan 'the few' mengatasnamakan 'the many, tetapi 'the many' tidak selalu dapat mengetahui dengan saksama dasar pertimbangan dan proses penentuan kebijakan yang diambil oleh 'the few'. Di dunia dengan nuansa kapitalis, unsur yang digunakan dalam melakukan lobi adalah cenderung tanpa nilai, dan bersifat materialistik. Oleh karena itu, demokrasi tidak dapat diterapkan tanpa batas, alias 'kebablasan' seperti sekarang ini. Mari kita pikirkan kembali dan menetapkan sesuatu yang lebih tepat sesuai dengan keadaan kita.


Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto?ref=tn_tnmn
Tampaknya, pertumbuhan kota-kota besar di Indonesia tidak berdasarkan planologi, atau perencanaan kota. Pembangunan pusat perumahan tidak memikirkan bagaimana masyarakat dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain, dan yang paling penting ke tempat mereka mencari nafkah. Ketika penduduk bertambah, perumahan meningkat, transportasi masa tidak memadai, maka apa yang terjadi adalah kemacetan di mana-mana. Apalagi jalan tidak pernah ditambah secara berarti. Tanpa adanya transportasi masa yang memadai, kemacetan akan bertambah parah.

Kemacetan tersebut jelas menambah beban permerintah, dan memperbesar impor minyak. Konsumsi bahan bakar kendaraan dalam kemacetan merupakan biaya yang sia-sia. Biaya masyarakat bertambah, tetapi tanpa menghasilkan produktivitas.

Aristotle mengatakan "unexamined life is not worth living". Ini dapat pula diartikan bahwa hidup tanpa perencanaan dapat membuat hidup menjadi sulit.



Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto?ref=tn_tnmn
Sebenarnya, jika dipikir lebih dalam, korupsi lebih banyak terjadi di lingkungan pemerintah. Kenapa demikian? Salah satu sebabnya adalah untuk memperoleh jabatan atau pekerjaan di lingkungan itu, sudah merupakan rahasia umum, harus mengeluarkan biaya pribadi yang tidak sedikit, seperti halnya membayar uang gedung ketika masuk sekolah. Bagi seorang calon legislatif, misalnya, dia harus mengeluarkan dana pribadi yang tidak sedikit, agar dapat terpilih menjadi anggota dewan. Demikian pula halnya, bagi kepala daerah, mulai dari bupati sampai ke gubernur. Di lain pihak, gaji resmi yang dapat diperoleh tidak sebanding dengan apa yang telah dikeluarkannya itu. Walhasil, apa yang terjadi? Mencari pendapatan sampingan. Dengan cara apa? Yang jelas, dengan apa yang dimiliki, dan yang utama adalah kewenangan.

Oleh karena itu, Klitgaard memberikan definisi, yang kurang lebih, berbunyi, korupsi adalah karena adanya monopoli kewenangan, dan memperoleh pendapatan atas kewenangan itu, dan tidak dipertanggung jawabkan. Ini terjadi karena adanya dorongan yang berasal dari biaya pribadi yang dikeluarkan untuk memperoleh kewenangan tadi.

Jadi, untuk mengatasi hal tersebut, rubahlah sistem pemilihan pejabat publik, yang tidak membebankan biaya pribadi, tetapi menekankan unsur profesionalisme dan moral.

Salah satu contoh yang telah dilakukan di lingkungan pemerintah adalah, misalnya, lelang jabatan, atau apa yang telah dilakukan oleh OJK; walaupun pada akhirnya, yang dipilih kebanyakan orang dalam, tetapi jelas tidak berbiaya bagi mereka.



Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto?ref=tn_tnmn
Ada suatu masalah yang tampaknya jarang dipikirkan orang, yaitu masalah sistem harga yang sangat timpang. Harga dari suatu barang yang sama sangat bervariatif, dan berbeda di tempat yang berbeda, walaupun dalam suatu kota di mana perbedaan utilitas tempat yang tidak besar. Untuk barang itu, orang harus melakukan tawar menawar. Berbeda di negara maju, misalnya, satu makanan yang sama akan berbeda harganya sebanyak perbedaan biaya sewa tempat di mana makanan itu dijual . Hal ini tidak terjadi di Indonesia.

Masalah harga lainnya dapat juga dilihat dari besar kecilnya upah atau gaji. Tenaga kerja manusia tidak dihargai sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Namun, orang akan mengatakan hal itu masih wajar, karena memang jumlah tenaga kerja kita melimpah, alias jumlah pengangguran yang tinggi. Tetapi, bagaimana dengan yang berpendidikan tinggi, atau yang memiliki keahlian yang berbiaya tinggi. Seorang dokter yang telah dua tahun lulus, dan bekerja di rumah sakit pemerintah, misalnya, hanya memperoleh gaji Rp 800 ribu per bulan. Pendapatan tukang parkir, di lain pihak, dapat mencapai lebih dari itu.

Jadi, apa yang membuat ketimpangan harga itu terjadi?

Jawabannya berada pada tataran administrasi bisnis di Indonesia yang belum tertata dengan baik. Pembayaran pajak belum merata, dan masih dapat ditawar. Biaya bisnis yang tak terduga begitu banyak, sehingga sulit untuk dapat memprediksinya. Biaya siluman terjadi di mana-mana, kutipan-kutipan liar, dan uang pelicin, berlangsung dengan aman.

Semua biaya itu, jika ditinjau dari esensi transaksi yang wajar, merupakan tindakan koruptif, dan membuat biaya bisnis menjadi besar, tetapi tidak ada kaitannya dengan produktivitas, dan membuat risiko bisnis menjadi besar, dan keuntungan bisnis menjadi kecil. Biaya penyelesaian sengketa bisnis di jalur hukum begitu mahal, tidak peduli apakah setiap pihak yang bersengketa memang salah atau benar;tetapi, tetap harus bayar. Akibatnya, biaya yang bisa dikontrol ditekan semaksimal mungkin, termasuk biaya tenaga kerja.

Dari mana harus memperbaikinya? Jawabannya, harus di mulai dari pemerintahan yang bersih, dan untuk menjadi bagian dari aparat seharusnya tidak bayar.



Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto?ref=tn_tnmn
Masalah korupsi dan penegakkan hukum merupakan masalah temporer, dan dapat dikatakan berjangka pendek. Masalah ini dapat diatasi dengan kepemimpinan yang kuat, dan sistem politik yang berubah. Tetapi, masalah yang paling berat adalah yang berkaitan dengan pendidikan, tidak saja pendidikan keahlian, tetapi yang paling penting adalah juga pendidikan moral dan etika. Hasil kerja yang baik dalam pendidikan saat ini akan memberikan dampak dalam jangka panjang, atau satu generasi ke depan.

Masalah yang berkaitan dengan pendidikan yang harus dapat diatasi sekarang, antara lain, adalah:

- Keinginan lulus secara instan, dengan kerja yang minimal.
- Plagiarisme pada segala tingkat pendidikan.
-Ijazah sebagai tujuan akhir
- Ekspor tenaga kerja yang minim keahlian
- Berbahasa Indonesia di ruang publik di bawah standar yang baik.
-Tingkat produktivitas yang harus dapat ditingkatkan secara terus menerus.
- dan seterusnya.

Untuk mengatasinya, setiap pribadi harus meningkatkan kualitas masing-masing dari hari ke hari. Islam mengajarkan bhw hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan besok harus lebih baik dari hari ini. Tidak saja dalam lingkungan sekolah, tetapi kualitas kita dapat menjadi lebih baik dari lingkungan yang baik.



Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto?ref=tn_tnmn