ALHAMDULILAH, MASIH ADA KEBAJIKAN NASIONAL DI MASYARAKAT KITA
Walaupun proses Pileg yang baru lalu bernuansa negatif, tetapi dengan
terpilih nya hanya dua bakal calon presiden dan wakil presiden, terlihat
dengan jelas dasar-dasar kenapa masyarakat Indonesia umumnya memilih
mereka. Tentunya, itu berdasarkan kelebihan faktor positif di atas
faktor negatif yang mereka miliki. Faktor-faktor positif itu adalah
kebajikan; dan masyarakatlah yang harus pula mengontrol faktor negatif
itu - agar tidak menjelma menjadi realita. Manusia tidak ada yang
sempurna. Kesempurnaan hanya miliki Allah Swt.
Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto
Kamis, 29 Mei 2014
Minggu, 04 Mei 2014
ZERO SUM GAMES
ZERO SUM GAMES
Ini adalah salah satu konsep dalam perekonomian kapitalistik. Artinya ada yang menang-ada yang kalah, ada yang untung-ada yang rugi, atau yang "menggaruk"-ada yang "digaruk".
Pada Masa Orde Baru, untuk mempertahankan kekuasaan, "yang digaruk" adalah para konglomerat, dan mereka kemudian "menggaruk" perbankan. Hasil akhirnya adalah Obligasi Pemerintah yang sebagian besar belum terbayar sampai sekarang, yang dulu digunakan untuk penyelamat perbankan.
Pada Masa Reformasi sampai saat ini, "yang digaruk" (baca: dikorupsi) adalah Negara, yang "menggaruk" adalah para oknum pemerintahan atau yang tertarik pada kekuasaan publik. Gunanya adalah untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan tadi, yang secara implisit untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Tampaknya, demikian pula dalam kasus Century, jika ditilik dari kesaksian Sri Mulyani di Pengadilan kemarin.
BOTTOM LINE: "yang tergaruk" adalah rakyat.
Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto
Ini adalah salah satu konsep dalam perekonomian kapitalistik. Artinya ada yang menang-ada yang kalah, ada yang untung-ada yang rugi, atau yang "menggaruk"-ada yang "digaruk".
Pada Masa Orde Baru, untuk mempertahankan kekuasaan, "yang digaruk" adalah para konglomerat, dan mereka kemudian "menggaruk" perbankan. Hasil akhirnya adalah Obligasi Pemerintah yang sebagian besar belum terbayar sampai sekarang, yang dulu digunakan untuk penyelamat perbankan.
Pada Masa Reformasi sampai saat ini, "yang digaruk" (baca: dikorupsi) adalah Negara, yang "menggaruk" adalah para oknum pemerintahan atau yang tertarik pada kekuasaan publik. Gunanya adalah untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan tadi, yang secara implisit untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Tampaknya, demikian pula dalam kasus Century, jika ditilik dari kesaksian Sri Mulyani di Pengadilan kemarin.
BOTTOM LINE: "yang tergaruk" adalah rakyat.
Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto
Kamis, 01 Mei 2014
KE-ISLAM-AN Vs KENYATAAN
KE-ISLAM-AN Vs KENYATAAN
Seorang Ulama Besar Islam berkata:
"Ra'aitu al-Muslimin wa lam ara al Muslimmin", artinya "aku melihat orang Islam di sini, tetapi aku tidak melihat Islam diamalkan di sini".
Kenyataan:
Indonesia memiliki penduduk mayoritas Islam, tetapi tetap memiliki indeks korupsi tertinggi di dunia sampai sekarang.
Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto
Seorang Ulama Besar Islam berkata:
"Ra'aitu al-Muslimin wa lam ara al Muslimmin", artinya "aku melihat orang Islam di sini, tetapi aku tidak melihat Islam diamalkan di sini".
Kenyataan:
Indonesia memiliki penduduk mayoritas Islam, tetapi tetap memiliki indeks korupsi tertinggi di dunia sampai sekarang.
Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto
WHAT A CULTURE CAN TELL YOU
WHAT A CULTURE CAN TELL YOU
Di Korea, ketika sebuah fery tenggelam menewaskan lebih dari 200 orang, Presidennya dengan tersendu, dan menundukkan kepala, meminta maaf kepada rakyatnya, karena beliau belum dapat menjamin keselamatan rakyatnya di laut.
Di Indonesia, ketika Tampomas tenggelam di perairan Masalembo dan menewaskan lebih dari 200 orang; dan kemudian, banyak kapal-kapal lebih kecil tenggelam di bagian timur Indonesia sampai sekarang, menghanyutkan banyak manusia Indonesia, karena kelebihan muatan, Presiden tampaknya tidak sempat mendengar berita ini.
OH, INDONESIA KU NAN MALANG.......
Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto
Di Korea, ketika sebuah fery tenggelam menewaskan lebih dari 200 orang, Presidennya dengan tersendu, dan menundukkan kepala, meminta maaf kepada rakyatnya, karena beliau belum dapat menjamin keselamatan rakyatnya di laut.
Di Indonesia, ketika Tampomas tenggelam di perairan Masalembo dan menewaskan lebih dari 200 orang; dan kemudian, banyak kapal-kapal lebih kecil tenggelam di bagian timur Indonesia sampai sekarang, menghanyutkan banyak manusia Indonesia, karena kelebihan muatan, Presiden tampaknya tidak sempat mendengar berita ini.
OH, INDONESIA KU NAN MALANG.......
Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto
Rabu, 30 April 2014
RINGKASAN BUKU “STUDI ISLAM KOMPREHENSIF” (Oleh Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.)
RINGKASAN BUKU
“STUDI ISLAM KOMPREHENSIF”
Oleh Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.
Diringkas oleh: Hendy Herijanto
Buku ini menunjukkan, antara
lain, relasi Islam dengan berbagai aspek kehidupan manusia, menjelaskan pesan
moral yang dikandung dalam berbagai cabang studi Islam, dan merespons dinamika
kehidupan manusia dengan dasar ajaran Islam. Metode yang digunakan bersifat
deskriptif analitik, dan normatif teologis, di samping filosofis, historis, dan
kultural, dengan merujuk pada Al Qur’an, Al Sunnah, para filsuf, ulama, dan
para peneliti keIslaman di Timur dan di Barat.
Islam
sebagai agama yang sempurna diturunkan Allah Swt melalui Nabi Besar Muhammad
Saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan
manusia dengan alam; serta menyangkut berbagai aspek kehidupan menuju
kesejahteraan lahir dan bathin.
Sumber ajaran Islam adalah Al
Qur’an, dan Al Sunah, di samping al rayu,
dan fakta sejarah sebagai pelengkap sejauh tidak bertentangan dengan dua
pertama. Al rayu dapat berbentuk qiyas, urf, al maslahat al mursalah,
istishan, qaul al sahabat, ijma al ulama, dan syar’un man qablana. Fakta sejarah merupakan peninggalan masa lalu,
yang berbentuk bangunan phisik, lukisan, photo, dan sebagainya.
Prinsip ajaran Islam meliputi:
a). sesuai dengan fitrah manusia (muthabaqah
li al-fitrah al-nas), b). keseimbangan (al
tawazun), c). sesuai dengan keadaan zaman dan tempat (shalihun li kulli zaman wa makan), d). Tidak menyusahkan manusia (la tu’shshir al-naas), e).sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi (muth-abaqah li ilm wa technologiya), f). berbasis pada penelitian (muwaqqaf
li hashil al tabayyun), g). berorientasi pada masa depan (muwajjihun li al-zaman al-atiyah), h).
kesederajatan (al musawwa), i).
keadilan (al-adl), j). musyawarah,
k). persaudaraan (al ukhuwah), dan
l). keterbukaan (ifatiyah).Inti dari
seluruh prinsip ini adalah akhlak mulia dalam arti yang seluas-luasnya.
Tujuan
ajaran Islam adalah untuk mencapai kemaslahatan umat, menjadi rahmat bagi sekalian
alam, melalui pemeliharaan agama, akal, jiwa, harta, dan keturunan manusia.
Karakteristik
ajaran Islam meliputi komprehensif (al
Syumuliah), kritis, humanis, militansi moderat, dinamis, toleran,
responsif, progresif dan inovatif, serta rasional. Karakteristik, di sini,
diartikan sebagai sifat atau watak yang khusus, yang berbeda dengan yang lain.
Pokok
ajaran Islam adalah tentang iman atau teologis, ibadah, dan Ihsan. Unsur-unsur
ini merupakan tiga serangkai yang berkaitan satu sama lain, yaitu dengan
keimanan atau percaya kepada Tuhan, manusia akan mengikuti seluruh perintahNya,
sehingga selalu berbuat baik.
Ilmu-ilmu
Al Qur’an adalah ilmu yang berkaitan dengan pembahasan tentang hal ikhwal Al
Qur’an, atau disebut juga sebagai ulum Al
Quran yang sejajar dengan ulum al-tafsir.
Mengenai Al Qur’an sendiri yang dibahas meliputi sebab turunnya Al Qur’an, nasikh mansukh, muhkam mutasyabih, mutlak muqayyad, i’jaz Al Qur’an, qira’at, al gharib dan seterusnya.
Metode tafsir meliputi tahlily, maudhuiy,
komparasi, dan analisis.
Ilmu
hadis membahas mengenai hal yang berkaitan dengan hadis. Secara garis besar
terdiri dari Ilmu Hadis Riwayah, dan
Ilmu Hadis Dirayah, yang dari
keduanya melahirkan cabang-cabang Ilmu Hadis, seperti Ilmu Rijal al Hadis, dan Ilmu
Jarh wa al Ta’dil. Ilmu ini membedakan antara hadis mutawatir dengan hadis ahad,
serta hadis dhaif.
Ilmu
pendidikan Islam membahas berbagai aspek pendidikan yang berlandaskan pada
nilai-nilai ajaran Islam, dengan corak normatif perenialis, filosofis, historis
dan aplikatif. Islam memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
pendidikan.
Ilmu
dakwah Islam adalah kegiatan ajakan terhadap ajaran agama Islam, atau
pendidikan agama yang bersifat non formal. Prinsipnya terdiri dari: a).
sukarela tanpa paksaan, b). bijaksana, lemah lembut, dan beradab, c). sesuai
dengan tingkatan masyarakat, d). memberikan kemudahan, e). mengembirakan, f).
saling, menghargai dan toleransi.
Fikih
adalah ilmu yang membahas tentang hukum syariat yang berhubungan dengan mukalaf
yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Fikih lahir dari ilmu fikih dan ushul fikih yang mengandung
kaidah-kaidah untuk menetapkan hukum. Dalil yang digunakan berasal dari Al
Qur’an, Al Sunah, Ijma, Qiyas, Maslahah
Mursalah, Istihsan, urf dan seterusnya.
Ilmu
kalam bertitik tolak dari keyakinan yang kuat terhadap Tuhan, dan meyakini
hal-hal yang pokok dalam agama. Ilmu ini dimulai dengan argumentasi yang
rasional, sehingga mencapai landasan yang kuat; kemudian, baru mengkaji atau
dibandingkan dengan dalil yang setara dalam Al Qur’an. Terdapat beberapa aliran
dalam Islam, seperti Jabariah atau Qadariyah; namun, apa yang diperdebatkan
hanyalah bersifat cabang atau furu’iyah.
Filsafat
Islam adalah sebuah upaya berpikir secara sistematis, mendalam, radikal, dan
universal tentang segala sesuatu dalam batas yang diijinkan oleh Islam. Berbeda
dengan filsafat barat yang liberal, filsafat Islam bertujuan untuk memperkuat
akidah, ibadah, dan akhlak. Berfilsafat sangat di anjurkan dalam Islam karena
berkaitan dengan perintah Tuhan dan Sunah Nabi Saw agar manusia menggunakan
akalnya.
Paham
tasawuf dan tarekat berkembang karena adanya motivasi yang kuat untuk dekat
dengan Tuhan dalam rangka mengimbangi kecenderungan manusia terhadap
keduniawian, seperti materialistik, hedonistik, pragmatis, dan kapitalis.
Sejarah
Islam berupaya untuk mengkonstruksi dan menceritakan kembali kejadian masa
lalu, untuk dijadikan pelajaran, bahan renungan, dan peringatan dalam menatap
ke masa depan. Dengan mengamalkan
ajarannya, Islam mengalami kemajuan yang pesat sebelum diambil alih oleh Eropa
dan Barat; mengalami kemunduran karena tidak lagi berpegang pada ajaran Al
Qur’an dan Al Sunah.
Kedokteran
Islam, pada dasarnya, sama dengan kedokteran umum, dan perbedaannya terletak
pada nilai-nilai moral dan akhlak dalam mengembangkan dan menggunakan ilmu
tersebut, sesuai dengan tuntutan ajaran Islam.
Ekonomi
Islam dikembangkan sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam untuk mencapai
‘rahmat bagi sekalian alam’, dan mensejahterahkan masyarakat secara seimbang;
bersifat antroposentris dan teosentris, karena memadukan usaha dan kreativitas
manusia berdasarkan nilai-nilai Islam.
Sosial
dan politik dalam Islam berkaitan dengan istilah ummat, qaum, syu’ub, dan qabail
untuk yang pertama; untuk yang kedua, uli
al amr, muluk, khalifah, wali, dan ra’in. Islam tidak menentukan bentuk dan
sistem politik, tetapi lebih mementingkan moral, etika, dan aspek spiritual
dari sosial dan politik Prinsipnya, antara lain, egaliter, keadilan,
saling,menghormati, dan manusiawi.
Psikologi
Islam didasarkan pada ajaran Islam terutama tentang manusia sebagai makluk yang
utuh, ditentukan dari dalam dan luar dirinya dengan berbagai potensi kejiwaaan;
dan diperlukan untuk mewujudkan kehidupan yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Objek kajiannya meliputi al nafs, al qalb, al ruh, dan
seterusnya.
Islam yang dipraktikkan di bumi tampil dengan
berbagai ragam dengan dampak positif dan negatifnya; dan dalam tataran empirik
terdiri dari 31 macam, yang antara lain, adalah Islam normatif, politik,
formalistik, dogmatik, fundamentalis, dan lainnya. Keberagaman ini perlu
dihargai sebagai hasil ijtihad, dan
dianggap sebagai suatu kekuatan setelah dikurangi kelemahannya, agar dapat
menuju ‘rahmat bagi sekalian alam’.
Perbedaan
pendapat dalam Islam disebabkan adanya ayat Al Qur’an yang bersifat dzanni, Hadis Ahad, dan penyebab lainnya, yang harus dipelajari dengan
memandangnya sebagai suatu keniscayaan, dan perlu dikelola dengan arif
bijaksana, dan secara dewasa.
Terlepas
dari tujuan Barat mempelajari Islam,
belajar ke Barat dapat dilakukan sehubungan dengan kaidah jalbu al-mashalih wa dar’u al-mafasid.
Sebagai
simpulan, Islam komprehensif didasarkan pandangan yang utuh, sesuai dengan
ayat-ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi Saw,
yufassiru ba’dhuhu ba’dhan, memiliki visi, misi dan tujuan yang saling
berkaitan, berdimensi teologis, ritualistik, moralitas, humanis theocentris, tidak mengenal dikotomi antara Tuhan dan ilmu
pengetahuan, akal dan wahyu, dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, individu
dan masyarakat dan seterusnya, tidak memberikan tempat bagi yang bersifat
radikal, dan menuju ‘rahmat sekalian alam’.
DAFTAR PUSTAKA
Nata,
Abuddin. (2011). Studi Islam Komprehensif.
Jakarta: Kencana Pranada Media Grup.
Senin, 21 April 2014
RESUME CHAPTER 11: PROBLEMS OF ISLAMIC RESEARCH IN POLITICAL SCIENCE
RESUME
CHAPTER 11: PROBLEMS OF ISLAMIC RESEARCH IN POLITICAL
SCIENCE
BY MUHAMMAD NEJATULLAH SIDDIQI[1]
Diresume oleh:
Hendy Herijanto
Untuk melakukan riset Islam
secara serius dan sistematis dalam ilmu politik, kita perlu mempertimbangkan
berbagai aspek dari kehidupan, dan menemukan persoalan utama yang memerlukan
perhatian. Sehubungan dengan alasan-alasan historis, kita perlu untuk memulainya
dengan persoalan yang sangat mendasar, sehingga dapat meformulasikan konsepsi
yang jelas mengenai pendekatan Islam terhadap berbagai aspek dari kehidupan
politik manusia. Sudah menjadi suatu kebiasaan untuk memberikan perhatian
khusus pada “sistem politik Islam” atau “sistem ekonomi Islam”, tetapi kita
tidak dapat mengerti hal ini kecuali jika kita pertama kali berusaha untuk
mengerti pendekatan atau filosopi Islam yang berkaitan dengan aspek kehidupan
manusia ini.
Pembahasan teoritis yang rinci
mengenai pendekatan fundamental Islam terhadap kehidupan politik, misalnya,
diperlukan sebelum mengerti sistem politik Islam seperti halnya dalam situasi
kontemporer. Sebagai suatu kenyataan, prinsip yang mendasar telah diberikan
Islam agar sistem itu dapat diformulasikan dalam konteks ruang dan waktu.
Dengan demikian adanya, periset Islam haruslah memberikan prioritas utama pada
masalah-masalah filosofis dan teoretis mengenai kehidupan politik atau ekonomi.
Untuk memulainya, kami
mengusulkan untuk membahas aspek politik
terlebih dahulu. Kita perlu mengenal persoalan-persoalan penting dalam kaitan
dengan teori politik Islam. Telah dikatakan bahwa ilmu politik dimulai dan
berakhir pada Negara. Dari segi pandangan Islam, persoalan kita adalah mengenai
teori negara.
Sumber-sumber Islam sangat
jelas dalam hal perlunya organisasi politik dan sifatnya. Pada saat yang sama
terdapat ruangan yang cukup untuk berspekulasi dan melakukan riset murni
mengenai asal-usul historis dari organisasi politik dalam masyarakat manusia. Pentingnya
masalah ini bagi manusia modern tidaklah perlu diperdebatkan lagi. Justifikasi
rasional adanya negara terletak pada tujuan dan fungsinya, dan ke arah ini pula
perhatian kita harus ditujukan. Hal
kedua yang penting adalah sifat negara yang dipikirkan oleh Islam. Pada
dasarnya, fungsi negara adalah tidak lain dan tidak bukan merupakan refleksi
dari tujuan negara dalam kaitan dengan kondisi kehidupan tertentu. Dapatlah
dikatakan bahwa sifat dan tujuan negara adalah yang perlu ditentukan terlebih
dahulu oleh pandangan Islam.
Pembahasan mengenai sifat dari
negara menimbulkan pertanyaan mengenai kedaulatan ke permukaan. Dari pandangan
Islam, hal tersebut menjadi topik yang sangat kritis dari teori politik. Tidak
ada hal lain yang menimbulkan divergensi yang esensil antara pendekatan Islam
dengan pendekatan yang lain terhadap masalah politik selain masalah kedaulatan.
Islam meletakkan kedaulatan
absolut pada Allah Swt. Ini menimbulkan sejumlah pertanyaan yang harus dijawab
secara jelas arti dari pernyataan ini dan implikasinya. Sesungguhnya, kehendak
Allah adalah yang paling utama, final, dan tidak terbagi, komprehensif, dan
absolut. Kenabian yang datang kemudian, hukum syariah, yang tercakup dalam Al Qur’an dan Sunnah Nabi
Saw – merupakan sumber yang utama dan tidak ada yang lain untuk mengetahui
Kehendak dari yang Berdaulat. Di luar sumber ini, tidak ada lagi sumber lain
dalam abad apapun yang akan datang. Jelaslah, bahwa kenyataan ini memiliki
implikasi yang penting terhadap ruang lingkup dan sifat dari kedaulatan ini.
Dilihat dari sudut pandang teori ilmu politik, isu ini bersifat unik di samping
rumit bagi konsepsi kedaulatan dan memerlukan pintu masuk yang terus menerus,
sehingga kehendak itu dapat bekerja menurut keperluan dari keadaan yang ada. Jika
kita berbicara mengenai “Kedaulatan” Allah Swt, kita harus mendefinisikan
kembali “Kedaulatan” dalam kaitan dengan sifat dan ruang lingkupnya.
Dalam kata lain, Kedaulatan
Allah, yang berimplikasi tidak lain tidak bukan, adalah kedaulatan hukum Syariah
- hukum Islam. Hal ini, pada tingkat yang langsung, menimbulkan persoalan
interpretasi. Untuk menangani persoalan negara, hukum syariah memerlukan
interpretasi dan inferen. Siapa yang berhak untuk melakukan hal tersebut? Dan
interpretasi siapa yang dapat digunakan, untuk kepentingan praktis, yang sesuai
dengan kehendak Yang Berdaulat? Jawaban terhadap pertanyaan ini akan
memperjelas sejauh mana Islam sama atau
berbeda dari “teokrasi” seperti yang telah kita ketahui. Dari pandangan
praktis, rakyat dapat dianggap sebagai otoritas akhir untuk menerima atau
menolak interpretasi khusus apapun dari syariah. Rakyat dapat menyetujui atau
menolak penunjukkan ulama untuk tugas itu. Jelaslah, akan terdapat perbedaan
pendapat mengenai dua dari tiga alternatif yang disebutkan di atas. Pilihan
dalam kaitan ini akan memberikan implikasi yang jauh sehubungan dengan sifat
dari negara dan bentuk pemerintahan yang muncul.
Apakah melalui aplikasi
langsung atau melalui interpretasi atau inferens, hukum syariah tidak mencakup
seluruh persoalan dari negara modern. Seperti yang kita ketahui pula, tidak
pernah dimaksudkan demikian. Hukum syariah sendiri memberikan ruang yang cukup untuk
pembentukkan hukum manusia dalam semangat yang sama, seperti halnya dalam hukum
syariah. Negara Islam modern memerlukan legislasi syariah tambahan untuk
mengatur persoalan-persoalan manusia dan untuk memastikan tujuannya. Kembali,
di sini, kita dihadapkan dengan pertanyaan, siapa yang dianggap dapat bertindak
sebagai otoritas akhir untuk tugas itu. Jika hal ini ditangani oleh rakyat,
seperti biasanya, bagaimana prosedurnya untuk membuat keputusan? Haruskah
dengan metode demokratis atau ditentukan oleh Amir, kepala negara Islam – yang
menikmati kewenangan khusus untuk bertindak sebagai legislator?
Pada umumnya, negara Islam
dianggap menyukai metode demokratis., tetapi kemudian, sejauh mana demokrasi
ini diterapkan haruslah didefinisikan. Karena itu akan memberikan bobot yang
signifikan pada bentuk pemerintahan, haruslah dibicarakan bentuk demokrasi yang
bagaimana dari sejumlah bentuk organisasi demokrasi politik yang ada, dan yang
sesuai dengan pandangan syura dari
Islam.
Orang dapat berargumentasi
bahwa rakyat, yang menggunakan metode demokrasi, dapat membuat undang-undang
mengenai hal-hal yang tidak diputuskan oleh syariah, dan juga dapat bertindak
sebagai otoritas akhir untuk menerima atau menolak setiap interpretasi khusus
dari syariah. Pandangan ini membawa kita kembali pada pertanyaan pertama
mengenai kedaulatan dalam Islam. Apakah itu berarti bahwa, dalam ikatan yang
ditentukan oleh syariah, adalah rakyat yang sesungguhnya berdaulat dalam negara
Islam? Karena, hal itu dapat
diperdebatkan, bahwa idea dari Kedaulatan utamanya adalah mengeluarkan
kepatuhan kepada kehendak manusia. Bahwa rakyat, dengan menggunakan kehendak
bebasnya, telah memutuskan untuk tunduk pada hukum syariah, dan membatasi diri
mereka pada bingkai, yang selanjutnya, ditentukan oleh hal itu, yang sama
sekali tidak mempengaruhi posisi mereka sebagai yang berdaulat.
Tugas untuk menentukan posisi
Islam mengenai kedaulatan, oleh karenanya, menjadi sangat rumit dan kompleks.
Di sisi lain, kita harus menyadari setiap keterangan dari posisi ini dapat melemahkan
tempat yang sebenarnya dari hukum syariah
dalam kaitan dengan negara Islam. Di pihak lain, kita harus bersikap
cukup realistik untuk mengerti posisi itu tanpa harus bersifat sentimentil atau
merasa gelap.
Pada tahap ini, kita cukup
puas dengan pertanyaan yang mendasar mengenai sifat dari negara Islam. Masih
harus ditambahkan bahwa justifikasi rasional dari teori yang khusus ini juga
merupakan tugas yang harus dicakup oleh periset Islam. Kepentingan kita adalah
mengerti pendekatan Islam dan menempatkannya pada posisi yang meyakinkan.
Masih terdapat sejumlah
pertanyaan mengenai sifat dari negara Islam. Dalam teori kedaulatan Islam,
orang dapat berargumentasi bahwa negara Islam merupakan institusi berdasarkan
prinsip-prinsip perintah Tuhan dan tradisi Kenabian yang ditentukan oleh
perintah Tuhan. Dapatkah kita mengatakan bahwa terdapat unsur Tuhan dan
kesuciannya dilekatkan pada negara Islam? Apakah perintahnya memiliki karakter
Tuhan karena hal itu? Atau apakah kita dapat beranggapan bahwa hanya hukum
Islam seperti yang dikandung dalam Al Qur’an yang bersifat wahyu, dan negara
sendiri tidak mengandung unsur itu? Dalam hal ini, penemuan kita akan
menentukan sifat dari pemerintahan, karakteristik dari perintahnya, dan juga
terhadap kewenangan dari negara Islam.
Dalam kaitan dengan tujuan
dari negara Islam, orang dapat kembali berargumentasi bahwa adalah suatu perangkat
dan agen yang mempertahankan keseimbangan dalam berbagai kepentingan, untuk
menetapkan keadilan dalam masyarakat, dan memastikan bahwa berbagai keperluan
dari kemanusiaan dipenuhi dalam cara yang seimbang dan harmonis. Kepada sistem
itu pula dipercayakan tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual
dan material dari masyarakat. Tujuan ini dan tujuan yang lain dari negara dalam
Islam memerlukan penjelasan dan eksposisi dalam kaitan dengan konteks
kontemporer. Perhatian khusus harus diberikan pada aspek dari tujuan-tujuan ini
yang berkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Apa yang dimaksud
dengan kesejahteraan komprehensif dari
Islam? Sejauh apa perbaikan ekonomi dan kesejahteraan materi membentuk bagian
dari tujuan Islam? Tujuan-tujuan ini
memerlukan penelitian analitis menuju pada penilaian fungsi ekonomi dan
kesejahteraan yang realistik dari negara Islam dalam keadaan kontemporer. Dalam
hal ini, kita harus membedakan antara fungsi yang langsung mengalir dari idea mengenai tujuan-tujuan itu seperti
yang dinyatakan dalam hukum syariah dan fungsi-fungsi yang dapat atau tidak
dapat dilaksanakan oleh negara yang sesuai dengan kehendak rakyat.
Pada umumnya, terdapat anggapan
bahwa Islam menempatkan individu dan masyarakat pada tempat yang lebih penting,
dan negara tunduk pada kepentingan mereka. Jika kita menerima pandangan ini, dan
memandang negara Islam sebagai alat menuju jaminan dan perkembangan individu,
maka kita harus mengikuti implikasi dari pandangan ini terhadap hak-hak
individu dan statusnya dalam kaitan dengan negara. Dalam melakukannya, kita
harus mendefinisikan jiwa dari “individualisme” Islam dan batasannya yang
jelas.
Setelah kita membahas secara
saksama sifat, tujuan, dan kewenangan dari negara Islam, berdasarkan
justifikasi rasional dan analisis sosiologis dari kesimpulan yang diperoleh,
maka kita telah sampai pada jarak yang dekat dengan garis besar dari teori
negara Islam. Seperti yang telah dikemukakan di awal tulisan, teori inilah yang
memberikan justifikasi dan perlunya negara Islam.
Di samping teori negara Islam,
terdapat sejumlah besar masalah yang dihadapi oleh periset Islam dalam ilmu
politik misalnya bentuk pemerintahan, berbagai organ dari negara dan fungsinya.
Terdapat juga pertanyaan mengenai cabang pemerintahan dan sifat dari pemilihan
umum dan persoalan partai politik. Kemudian sifat ideologis dari negara Islam
melekatkan signifikasi yang khusus pada pertanyaan mengenai minoritas, hak-hak mereka
dan status mereka dalam kaitan dengan negara dan pemerintahan. Hak-hak dan
status perempuan juga memerlukan pertimbangan politis. Ini dan persoalan yang
lain dari teori politik memberikan ide yang jelas mengenai tugas dari periset
islam. Tetapi, karena kurangnya ruang untuk bergerak, kita membatasi diri hanya
pada teori negara.
Penelitian terhadap persoalan dari teori
negara Islam di atas memerlukan perhatian dari kolega yang tertarik pada topik
ini. Pertama-tama, kita akan memaklumi jika ada hal-hal yang mungkin terlewati dalam
membahas topik yang telah dikemukakan. Kedua, agaknya lebih tepat untuk
mengkonsentrasikan perhatian pada metodologi riset Islam mengenai topik yang
sedang dibicarakan. Ketiga, agaknya bukan tidak tepat jika beberapa pembaca menawarkan
sejumlah daftar pustaka dari karya-karya yang komprehensif yang harus diketahui
oleh periset Islam selama melakukan penelitian mengenai topik yang dimaksud.
Daftar pustaka ini seyogianya mencakup keduanya penulis modern dan Islam dari
masa lalu dan dewasa ini. Dengan keinginan ini, dapat menghasilkan pembahasan
yang berguna dan dapat kami tawarkan kepada para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Siddiqi, Muhammad
Nejatullah. 1995. “Problems of Islamic Research in Political Science”, dalam Conceptual and Methodological Issues in
Islamic Research: A Few Milestones. Muhammad Mumtaz Ali (ed). Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
[1] Siddiqi, Muhammad
Nejatullah. 1995. “Problems of Islamic Research in Political Science”, dalam Conceptual and Methodological Issues in
Islamic Research: A Few Milestones.
Muhammad Mumtaz Ali (ed). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Hal.
177-182.
Rabu, 16 April 2014
TIDAK MEMBERIKANNYA KEPADA YANG MEMINTA
TIDAK MEMBERIKANNYA KEPADA YANG MEMINTA
Nabi Besar Muhammad Saw, yang juga diikuti oleh Khalifah Umar Bin Khatab, tidak memberikan pekerjaan publik kepada yang meminta; bahkan, berdasarkan tafsir dari Surat Al Qashas (QS, 28:26) oleh Buya Hamka, dan Hadis Nabi Saw, menyebutkan bahwa ketika terdapat orang yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan, tetapi orang itu tidak dipilih, maka tindakan itu disamakan sebagai suatu tindakan yang mengkhianati Allah Swt dan RasulNya (Hamka, 2008:121).
Lantas, bagaimana dengan keadaan sekarang, jabatan publik yang tidak terlepas dari money politics?
Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto?ref=tn_tnmn
Nabi Besar Muhammad Saw, yang juga diikuti oleh Khalifah Umar Bin Khatab, tidak memberikan pekerjaan publik kepada yang meminta; bahkan, berdasarkan tafsir dari Surat Al Qashas (QS, 28:26) oleh Buya Hamka, dan Hadis Nabi Saw, menyebutkan bahwa ketika terdapat orang yang lebih baik untuk melakukan pekerjaan, tetapi orang itu tidak dipilih, maka tindakan itu disamakan sebagai suatu tindakan yang mengkhianati Allah Swt dan RasulNya (Hamka, 2008:121).
Lantas, bagaimana dengan keadaan sekarang, jabatan publik yang tidak terlepas dari money politics?
Sumber:
https://www.facebook.com/hendy.herijanto?ref=tn_tnmn
Langganan:
Postingan (Atom)