PERBANDINGAN PENGERTIAN ‘AMANAH’
DALAM HUKUM ISLAM DENGAN ‘TRUST’ DAN ‘FIDUCIARY DUTY’ DALAM HUKUM KONTEMPORER
Oleh:
Hendy Herijanto
Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah
(STES) Islamic Village
Abstrak
Berdasarkan tafsir al Qur’an dan Hadis Nabi
Saw, pengertian ‘amanah’ lebih luas dan dalam, dan harus dilakukan dengan
taqwa, disiplin, itikad baik sepenuh hati dan bersunguh-sungguh, memenuhi
prinsip kehati-hatian bagi diri sendiri dan orang lain, atau amar makruf nahi munkar, secara jujur,
atau tanpa khianat, bagi pemberi amanat. Untuk itu, pihak yang diberikan amanat
harus memiliki kemampuan, kesanggupan, dan keahlian, dan dapat dipercaya,
berdasarkan reputasinya,dan
berorientasi pada hasil yang lebih baik. Sikap amanah harus dimiliki oleh pemimpin,
dan bahkan oleh setiap orang, dengan memenuhi ciri-ciri shiddig, fathanah, dan tabligh.
Pemenuhan amanat atau menepati janji disetarakan dengan penegakkan nilai-nilai
moral. Pada dasarnya, pengetian trust
mendukung pengertian amanah, tetapi yang terakhir, lebih khusus, dan lebih
dalam, serta lebih mengikat secara moral. Namun, jika pengertian trust dikaitkan dengan konsep fiduciary relationship ketika dua pihak
berhubungan dan salah satu bersandar pada pihak lain untuk suatu prestasi, yang
melahirkan fiduciary duty dengan tiga
serangkai tugasnya, yaitu duty of good
faith, duty of care and skills, dan duty
of lotalty, bagi yang melakukan tugas, maka secara menyeluruh konsep trust menjadi lebih setara dengan
pengertian amanah, karena ketiga tugas ini juga dikandung oleh pengertian
amanah. Hal ini disebabkan karena hukum Tuhan adalah hukum moral, yang secara
hakiki bersifat fundamental bagi manusia dalam bertingkah laku atau melakukan
kegiatan di dunia. Jika nilai-nilai moral yang terkait ditegakkan, atas dasar
ketaqwaan kepada Allah Swt, maka pengenaan sanksi hukum dari segi hukum positf
dapat dihindarkan;dan bahkan, manusia diberikan kompensasi akhirati dalam
bentuk surga firdausi oleh Allah Swt.
Kata
Kunci : Amanah, Reputasi, Fiduciary
Relationship/Duty, Nilai Moral, Hukum Moral, Respect and Fear of God.
Abstract
Basically
the meaning of the word ‘amanah’ has a certain depth and width, which must be
implemented with respect to and fear of God, discipline, and good faith, full
heartedly, earnestly, with prudence for oneself
and for other people, or essentialy creating benevolence and keeping away vices
as suggested by amar makruf nahi munkar, honestly, without deceit. The trustee
must have capability, willingness,
skills, and trust, based on his reputation and for better results. Any type of leadership,
even every individual, must obtain these
traits, Sshiddig or honesty, fathanah or intelegence, and tablig or
communicative. Fulfilling amanat and promises is regarded equivalent to the
enforcement of moral values. Basically, the meaning of trust support the
meaning of amanat, but the latter offers Sa deeper and wider horizon, eas well
as encompasing moral values more tighly. Nevertheless, if the concept of trust
is linked to the concept of fiduciary relationship, as created upon any two
parties that cooperate with each other for a task to be done by any of them for
the other, then the relationship creates a set of duties to be performed by one
of them as the doer, i.e. duty of good faith, duty of care and skills, and duty
of loyalty, then as a whole, the concept of trust becomes identical with the
meaning of amanah. This is due the reason that the laws of God represents moral
laws, serving as the fundamental basis for human behavior and their worldly
activities. If these moral values are enforced and practised with respect to and fear of God, or taqwa,
then no sactions from positive law could be imposed to men, even they would be
compensated with a firdausi heaven in the hereinafter by God, Allah Swt.
Key words : Amanah/Trust, Reputation, Fiduciary
Relationship/Duty, Moral Values, Moral Law, Respect and Fear of God.
A.. Pendahuluan
1... Latar
Belakang
Kata ‘amanah’[1] atau ‘amanat’[2] dalam bahasa Arab berarti
‘kepercayaan’ atau ‘kejujuran’. Namun, karena kata ini disebut dalam beberapa
ayat dalam al Qur’an, dan dilihat dari sejumlah tafsir, serta Asbabun Nuzul-nya, kata amanah atau
amanat berarti lebih luas dan dalam. Allah Swt berfirman, “...Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan kamu khianati pula
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu....”, yang berarti suatu perintah
bagi umat manusia dan berfungsi sebagai hukum yang harus ditaati. Untuk Itu,
perlu dikaji lebih dalam makna amanat yang sesungguhnya.
Kata amanat setara dengan kata trust atau kepercayaan. Kata trust juga memiliki pengertian yang
lebih luas. Bahkan, trust memiliki
konotasi dan nuansa hukum, khususnya dalam kaitan dengan fiduciary relationship dan
fiduciary duty dalam sistem common law. Kedua konsep hukum ini juga
berlaku di Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT).
2... Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan: pertama, menguraikan arti
dari kata amanat dalam konteks tafsir al Qur’an dan hadis Nabi Saw oleh ulama
klasik dan kontemporer; kedua, mengkaji
konsep dan makna trust yang
ada dalam literatur konvensional, dan hukum yang terkait; ketiga, mengkaji pula
fiduciary relationship dan fiduciary duty dalam hukum kontemporer;
keempat, membandingkan dan menyimpulkan kesamaan makna, dan perbedaan nuansa, anatara makna
kata “amanat” dan “trust” dalam ranah
hukum yang berbeda.
F. Kedudukan Hukum Islam dan Tafsir
Pengertian Amanah
1. Kedudukan Hukum Islam[3]
Secara epistemologi, hukum Islam atau
syariat berasal dari wahyu Allah Swt yang diwujudkan ke dalam ayat-ayat Al
Qur’an, dan Sunnah Nabi Saw, yang merupakan petunjuk atau dalil utama dari
Hukum Allah [4]. Dengan demikian, hukum
Islam itu disepakati bersifat relijius [5],
karena pada akhirnya yang berhak menentukan hukuman adalah Allah [6].
Sejumlah pakar berpendapat bahwa hukum Islam
merupakan sistem ketentuan etika atau moral [7],
yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan kemandirian [8].
Hukum dan moral tidak dapat dipisahkan [9].
Menurut Kant, hukum moral adalah hukum yang sebenarnya. Friedman mengatakan,
bahwa tidak ada dan tidak pernah ada pemisahan total hukum dari moralitas[10].
Menurut Rabruch, hukum yang valid adalah yang sejalan dengan moralitas;
sebaliknya, yang tidak sejalan dengan moralitas tidak dapat disebut sebagai
hukum [11].
Moralitas atau etika bersifat lebih tinggi dari hukum (positif), karena hukum
positif bersifat tidak universal, tetapi lokal, dan nasional [12].
Namun, moral berbeda dengan hukum. Hukum bersifat
memaksa, moral tidak dapat dipaksakan, tetapi menuntut kepatuhan dan ketaatan
secara mutlak. Hukum mengabaikan sikap bathin manusia, tetapi moral menuntut
keduanya, perbuatan lahir dan sikap bathin manusia. Hukum bersifat heteronom,
karena manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat;
tetapi, moral manusia bersifat teonom, yaitu mengacu pada hukum yang abadi,
karena tunduk pada kehendak Illahi, yang mengarahkan segala ciptaan-Nya ke arah
tujuan mereka sebagai landasan terdalam dari segala hukum dan peraturan. Dari
segi sanksi, hukum memiliki sanksi lahiriah, tetapi sanksi moral bersifat bathiniah.
Dari segi tujuan, hukum bertujuan untuk mencapai ketertiban, dan mengatur
struktur kehidupan sosial masyarakat tertentu; sedangkan tujuan moral adalah
untuk mengatur hidup manusia sebagai manusia, tanpa pandang bulu atau perbedaan
suku, agama, dan keadaan sosial [13].
2. Amanah Menurut Al Qur’an dan
Hadis Nabi Saw
Makna kata amanat atau amanah berperan
sentral dalam konsep syariah, khususnya dalam bermuamalah, yaitu hubungan
manusia dengan manusia dalam masyarakat [14].
Untuk mengkaji makna yang dikandung perlu memahami tafsir oleh para ulama mainstream otoritatif, yang dikemukakan
berikut ini.
a. Amanat
Berarti Tanggung Jawab Atas Prestasi dan Hukum
Dalam Islam, amanat berarti mengikuti
petunjuk Allah Swt dan Sunnah Nabi Besar Muhammad Saw [15].
Berdasarkan Surat Al Ahzab (QS, 33: 72), Hamka menyebutkan bahwa pada mulanya
Allah Swt menunjuk gunung-gunung, bumi dan langit sebagai pemangku amanat.
Namun, semuanya itu tidak bersedia untuk melakukannya, karena tanggung jawab
begitu berat. Hamka berpendapat bunyi Ayat ini merupakan perumpamaan, dan
menunjukkan bahwa amanat itu penting dan mulia. Tempatnya berada diketinggian
seperti langit, dan pada wadah yang kuat seperti gunung. Kemudian, manusia
ditetapkan untuk mengembangkannya karena kemampuan yang dimilikinya. Tetapi, di
antaranya, terdapat manusia yang tidak amanah, dan berbuat dzalim dan berlaku
bodoh, sehingga menyia-nyiakan amanat itu [16].
Amanah yang dimaksud adalah taklif, tanggung jawab dan hukum.
Artinya, kehidupan manusia harus dibangun atas dasar tugas dan tanggung
jawabnya atas suatu prestasi. Ini yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.
Sebab, seluruh aktivitas makhluk, selain manusia, berlangsung tanpa menanggung
beban tanggung jawab berdasarkan sesuatu yang telah ditetapkan atas mereka. Hanya
pada kehidupan manusia saja hukum diberlakukan. Kemudian, diberitahukan kepada
manusia bahwa dihadapannya terbentang dua jalan, jalan kebahagian dan jalan
kesengsaraan. Manusia tinggal memilih, dan inilah disebut dengan taklif atau kewajiban [17].
Berdasarkan tafsir dari Mawlana Muhammad, seperti
dikutip oleh Rahardjo (2002: 195), yang dimaksud dengan amanat itu adalah hukum
yang berlaku dalam alam semesta. Beliau lebih lanjut berpendapat bahwa,
walaupun manusia tidak setia pada hukum itu, sementara alam semesta
mematuhinya, pada hakikatnya, manusia akan berbahagia jika mematuhi dan
melaksanakan undang-undang itu [18].
Malik Ghulam Farid mengartikan bahwa amanat itu
adalah Hukum Tuhan, yang intinya berkesesuaian dengan Surat Al Nahl (QS, 16 :
49-50). Manusia dituntut untuk memperhatikan hukum Tuhan; karena jika tidak,
akan menimbulkan kerusakan, yang merupakan kezaliman atau kebodohan manusia.
Pada saat yang sama, manusia bertindak sebagai khalifah Allah di bumi untuk
mengemban amanah, yaitu mengelola sumber-sumber kehidupan di bumi [19],
yang merupakan suatu prestasi dan harus dilakukan secara umum dengan penuh
tanggung jawab.
Surat Al Imran (QS, 3: 75) menyimpulkan bahwa
orang yang dapat dipercayai adalah orang yang dinilai mampu menjaga amanah;
yaitu ketika dia dipercayakan untuk menangani harta yang bernilai besar, dengan
kejujuran, dia akan bersifat amanah; jika tetap dapat mengembalikan secara utuh
kepada pemiliknya, sekalipun orang yang menitipkan itu merupakan orang yang
bodoh atau berpendidikan rendah, sehingga dengan mudah dapat ditipu; tetapi,
orang yang amanah itu tidak melakukannya [20].
Di sini, amanah berarti berhasil melakukan suatu
prestasi dengn kejujuran, yaitu mengembalikan harta seutuhnya kepada pemilik,
walaupun pemilik tidak mengetahuinya. Secara keseluruhan, intinya adalah
bertanggung jawab untuk melakukan suatu prestasi dengan kejujuran, dan mentaati
hukum yang berlaku. Sidi Gazalba berpendapat bahwa prinsip amanah merupakan
salah satu kaidah dasar dalam tata kehidupan masyarakat [21].
b. Menunaikan Amanat Bertanggung
Jawab Pada Tuhan
Nabi Saw bersabda, bahwa manusia akan kaya,
walaupun tidak dapat melihat banyak kemegahan dunia, jika memelihara amanat,
berkata yang jujur, perangai yang baik, dan mengendalikan selera dari kerakusan
makan [22].
Sebaliknya, Allah Swt berfirman, agar orang-orang yang beriman tidak
mengkhianati Allah dan RasulNya, dan tidak pula mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepada mereka, karena mereka mengetahuinya (QS, 8: 27). Surat ini
menunjukkan dengan jelas bahwa mengkhianati amanat yang diberikan kepada
seseorang disamakan seperti mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.
Pada dasarnya, amanah merupakan prinsip
fundamental etika Islam. Esensinya adalah setiap orang bertanggung jawab atas
tindakannya, termasuk dalam melakukan bisnis. Tanggung jawab bisnis tidak terbatas pada para
pelaku bisnis, tetapi juga merupakan tanggung jawab pada masyarakat dan Allah
Swt [23].
c. Kewajiban Menunaikan Amanat atau
Janji dengan Taqwa, Disiplin, Itikad Baik dan Tanpa Khianat
Surat Al Baqarah (QS. 2: 283) menyebutkan
bahwa jika seseorang mempercayai orang yang lain, maka orang yang dipercayai
itu memegang amanat dengan teguh dan memenuhi amanat itu dengan seutuhya.
Amanat di sini berarti melakukan suatu tugas atau prestasi yang diharapkan oleh
pihak yang memberikan amanat. Untuk itu, orang yang dipercayai itu harus pula
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga hati orang itu tidak dirasuki
oleh setan atau niat buruk. Jadi, ketaqwaan terhadap Allah Swt merupakan cara
untuk menghindari pengaruh setan, atau hal-hal yang bersifat buruk sehingga
amanat itu terhalangi untuk ditunaikan oleh pihak yang dipercayai. Namun, kedua
pihak harus pula bertaqwa, tidak saya orang yang dipercayai [24].
Untuk ketaqwaan itu, menurut Wangsawidjaja [25],
masing-masing pihak dalam akad harus beritikad baik dalam bertransaksi dengan
pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi
ketidaktahuan mitranya. Ini merupakan suatu asas yang harus dipenuhi dan
berlandaskan pada itikad baik.
Surat Al Mukminun (QS, 23 : 8) menyebutkan
“Dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji-janjinya”. Hamka menjelaskan
bahwa amanat yang dimaksud terbagi dua, yaitu amanat yang bersifat raya atau
umum, dan amanat yang bersifat pribadi. Amanat yang pertama, seperti yang telah
dikemukakan di atas, akhirnya amanat itu diberikan kepada manusia sebagai khafilatullah fil-ardi, karena hati
seorang mukmin lebih luas dari langit dan bumi, dan lebih tinggi dari gunung.
Amanat pribadi merupakan tugas manusia masing-masing, yang berdasarkan
kesanggupan diri, bakat dan nasib; sedangkan tugas hidup adalah pembagian
pekerjaan, dan bukan merupakan kehinaan atau kemuliaaan. Kemuliaan hanya datang
dari ketaqwaan seseorang kepada Allah Swt. Ini artinya setiap orang memiliki
tugas dalam kehidupan, yang merupakan profesi atau pekerjaan sehari-harinya.
Tugas itu, termasuk janji-janji yang terkait,
harus dipenuhi dengan disiplin [26].
Surat Al Anfal (QS, 8 : 27) menyebutkan: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan kamu khianati pula amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui”. Hamka berpendapat bahwa pemenuhan amanat bersifat
sangat sakral. Seseorang yang menunaikan semua perintah Tuhan dalam beribadah,
seperti sembahyang, berpuasa, taat beribadah lainnya, belumlah memberikan
kepastian mengenai kebersihan orang itu. Kepastian itu hanya dapat diperoleh,
jika orang yang taat beribadah itu, memenuhi amanatnya. Oleh karena itu, Hamka
menyimpulkan bahwa kekuatan ibadat itu harus dibarengi dengan kesetiaan dan
keteguhan untuk memegang disiplin dalam menunaikan amanatnya [27].
Kata ‘pengkhianatan’ dalam Ayat terakhir di atas
dapat juga ditafsirkan sebagai tindakan untuk mengkomersialisasikan tugas atau
jabatan utuk kepentingan pihak tertentu saja. Pemanfaatan jabatan atau
kekuasaan untuk memupuk materi bagi diri sendiri, atau keluarga, juga merupakan
tindakan pengkianatan terhadap tugas atau kekuasaan itu [28].
d. Berkemampuan, Berkesanggupan, Berkeahlian,
dan Dipercaya Untuk Melaksanakan Tugas Yang Diberikan.
Surat Al Nisa (QS, 4 : 58) juga menentukan untuk
bersikap amanah, “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat ke pada yang berhak menerimanya (kepada
ahlinya)......”. Ditilik dari asbabun
nuzul-nya, menurut Hamka, ayat ini diturunkan dengan latar belakang ketika
Nabi Saw harus menentukan kepada siapa tanggung jawab pemeliharaan Ka’bah dapat
diberikan. Pada waktu itu, banyak pihak meminta agar kekuasaan itu diberikan
kepada mereka, yang antara lain adalah Ali bin Abu Thalib. Namun, Nabi Saw
berkata “Sesungguhnya Allah memerintahkan
kepada kamu supaya menunaikan amanat kepada ahlinya”. Secara historis,
pemeliharaan Ka’bah meliputi 5 unsur, yaitu memegang bendera ketika terjadi
perang antar suku atau Al Liwaa,
menyediakan tempat bermusyarawah bagi seluruh kepala suku atau Darun Nadwah, menjadi juru kunci Kabah
atau Hijabah, memberi minum kepada
orang yang berhaji atau Siqayah, dan
memberikan jaminan-jaminan lainnya selama orang berhaji atau Rifadah.
Dalam Hadis tersebut, yang dimaksud dengan
“kepada ahlinya” adalah para
pendatang yang melaksanakan ibadah haji, atau khususnya umat Islam yang
berkunjung ke Ka’bah, atau para stakeholders
yang berkepentingan terhadap Ka’bah. Dengan kalimat seperti itu, jelaslah bahwa
perintah itu merupakan perintah yang langsung, dan sungguh-sungguh, diberikan oleh Allah Swt kepada umat manusia
melalui Nabi Besar Saw. Perintah itu bersifat sangat sakral, dan sangat penting
artinya bagi kehidupan manusia, dan oleh karenanya, dari segi hukum, wajib
diikuti, dan dipenuhi [29].
Sejarah menunjukkan bahwa sejak semula
kekuasaan pemeliharaan Ka’bah berada di tangan keturunan Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail. Namun, dalam perjalanannya, kekuasaan itu telah berpindah-pindah.
Setelah Nabi dapat menaklukan Ka’bah, Nabi Saw memutuskan untuk memberikan
tanggung jawab itu kepada Usman bin Thalhah. Beliau adalah keturunan dari
pemegang amanat Ka’bah, dan juga dapat dipercaya untuk amanat itu. Usman bin
Thalhah adalah seorang Muhajirin yang meninggalkan Ka’bah bersama Rasul Saw dan
Khalid bin Walid serta Amr bin al Ash;
dan beliau merupakan salah satu sahabat yang terkemuka [30].
Tafsir lain yang dikutip oleh Hamka
berasal dari Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, dan Syahr bin Hausyab. Beliau
berpendapat bahwa ayat itu diturunkan bagi amir-amir yang memegang kekuasaan di
antara manusia, dan dimaksudkan agar orang itu memerintah dengan baik, dan
tidak sewenang-wenang [31]. Imam Malik berpendapat, jika seorang
musafir yang negerinya telah diperangi, dan datang melindungi diri ke negeri
Islam dan menitipkan hartanya, lalu dia mati hilang di tempat lain, maka
wajiblah harta bendanya itu dikirim kepada ahli warisnya [32].
Hamka menyimpulkan bahwa Ayat tersebut
merupakan ajaran Islam yang wajib dipatuhi oleh penguasa-penguasa, dan
memberikan amanat kepada yang berhak. Penguasa-penguasa di sini dapat berarti
sebagai para pemegang kuasa, atau yang memiliki keahlian atau bakat tertentu,
yang terdiri dari: amir-amir, wakil di
kota-kota, pejabat, qadhi-qadhi,
panglima, perwira tinggi, pemegang kuasa kekayaan negara, amirul haj, bendaharawan, pembawa pos, pemimpin khabilah, tetua pasar, buruh, petani,
guru, ulama, ibu bapak, suami istri, dan
seterusnya. Untuk itu, yang diberi tugas
haruslah memiliki kecakapan, kesanggupan, kejujuran, dan dapat dipercaya
untuk amanat itu, serta sesuai dengan bakat dan keahliannya masing-masing;
bukan berarti semata-mata karena “orang yang baik” dan saleh beribadah. Mereka
dipilih bukan semata-mata karena pilih kasih atau adanya hubungan keluarga;
karena jika demikian, Khalifah Umar bin Khatab mengatakan, bahwa hal itu
merupakan tindakan berkhianat kepada Allah, Rasul dan kaum muslimin [33].
Rahardjo [34]
mengutip pendapat Mawlana Muhammad Ali, ‘amanat’ dalam ayat di atas dikaitkan
dengan salah satu hadis Nabi Saw, yang menyebutkan bahwa amanat itu harus
diserahkan kepada ahlinya; karena, jika tidak, maka akan terjadi kehancuran.
Nabi Saw bersabda: “Jika amanat telah
disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi”. Ada seorang sahabat
bertanya: Bagaimana maksud amanat
disia-siakan? Nabi Saw menjawab: “Jika
urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu”
(IBI, 2014: 341).
Dari uraian tersebut di atas terlihat,
bahwa esensi dari amanat adalah tanggung jawab untuk meyerahkan suatu pekerjaan
kepada orang yang dipercaya karena keahlian atau kemampuannya, sehingga tidak
menimbulkan kehancuran sebagai akibat pelaksanaan dasar tugas yang diamanatkan.
Artinya, tugas itu harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang diharapkan pada
diri pengemban tugas, dan menciptakan hasil yang diharapkan, atau bersifat result oriented.
e. Amanah Sebagai Prinsip
Kepemimpinan
Menurut Rahardjo (2002: 205), amanah
adalah salah satu prinsip kepemimpinan, yang disimpulkan dari Hadis Nabi Saw
dan diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Pemimpin yang memimpin orang banyak
adalah pengembala yang dimintakan pertanggung jawabannya terhadap gembalaannya,
seperti suami terhadap istri sebagai gembalanya, orang tua terhadap anaknya
atau gembalanya, dan seterusnya, dan setiap orang adalah pemimpin.
Nabi Besar Muhammad Saw menerapkan empat
ciri kepemimpinan, yaitu: shiddiq
atau jujur, fathanah atau cerdas dan
berpengetahuan, amanah atau dapat dipercaya atau diandalkan, dan tabligh atau berkomunikasi dan
komunikatif. Dalam manajemen modern, kata ‘benar’ atau ash shiddiq diartikan oleh Peter Drucker sebagai efisiensi atau
melakukan sesuatu secara benar atau do
the right things, dan efektivitas atau melakukan sesuatu yang benar atau do the things right [35].
f. Amanat Sebagai Itikad Baik,
Menjaga Hak Orang , dan Mengembalikan Hak
Kepada Pemilik
Amanah juga dapat diartikan untuk tidak mengambil
hak orang lain, mengembalikan
seluruh hak kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya, dan
tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga atau upah; kecuali diperoleh
melalui jalan perniagaan berdasarkan suka sama suka (An Nissa, QS, 4 : 29), dengan menetapkan hukum
secara adil (An Nissa, QS, 4 : 58). Asas amanah bagi masing-masing pihak
haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lain dan tidak
dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidak tahuan mitranya [36].
Kisah yang menggambarkan makna amanat di atas
dicontohkan oleh Ali bn Abu Thalib ra. Pada pemerintahan Ali, terdapat sebuah
kalung mutiara yang disimpan di Baitul Mal. Mengetahui hal itu, putri Ali
mengirim seseorang ke Baitul Mal untuk meminjam kalung itu. Ketika Ali melihat
putrinya memakai kalung, yang diketahui
hanya ada di Baitul Mal; maka Ali bertanya pada putrinya itu, dari mana kalung
yang dipakainya itu diperoleh. Dia mengatakan dipinjam dari Baitul Mal, dan
berjanji akan mengembalikannya. Kemudian, Ali memanggil penjaga Baitul Mal, dan
mengatakan bahwa dia tidak dapat melakukan hal itu tanpa seijin Amirul
Mukminin. Ali dengan geram mengatakan pada putrinya, “Wahai putri Ali bin Abu
Thalib, janganlah engkau memalingkan dirimu dari kebenaran. Apakah engkau
melihat perempuan Muhajirin dan Anshar memakai perhiasan itu pada hari raya?
Ibnu Rafi, penjaga Baitul Mal itu, mengambil kembali dan membawa ke tempatnya di
Baitul Mal [37].
Moral dari kisah tersebut berkaitan dengan itikad
baik dan hak. Penjaga Baitul Mal, yang bernama Ibnu Rafi jelas melakukan
kesalahan, yaitu mengeluarkan dan meminjamkan kalung itu tanpa seijin Amirul
Mukimin, walaupun dipinjamkan kepada anaknya. Penjaga itu tidak berhak untuk
melakukan tindakan tersebut, dan tidak beritikad baik untuk menjaga kepercayaan
yang diberikan padanya; demikian pula, putri Ali tidak berhak memakai kalung
itu, yang bukan miliknya, dan tidak berhak untuk memerintahkan penjaga itu
meminjamkannya pada dirinya, walaupun dia adalah putri Ali. Dalam hal ini,
penjaga Baitul Mal tidak menjaga kepercayaan yang diberikan oleh Amirul
Mukminin; dan oleh karenanya, bersifat tidak amanah
g. Amanah Bekerja Sepenuh Hati dan
Penuh Tanggung Jawab
Dalam satu kisah, Umar bin Khathab ra masih
menangani dua ekor unta untuk dibagikan kepada kaum fakir miskin, tetapi belum
sempat dilakukannya. Dalam cuaca yang sangat panas, Umar mengembala kedua onta
itu di padang rumput. Ketika ditanya oleh Utsman, kenapa beliau melakukan hal
itu. Umar ra menjawab, karena khawatir kedua onta itu akan hilang. Pada
kesempatan lain, Umar ra menunggangi kuda untuk mengejar seekor unta sedekah
yang kabur. Ketika ditanya kenapa hal itu dilakukannya, sehubungan tindakan itu
dapat merendahkan posisinya sebagai amirul
mukminin, beliau menjawab “ Janganlah mengecam aku karena jika tidak akau
lakukan, maka aku akan dihukum di hari kiamat karena hilangnya kambing
sekalipun” [38].
Pada kisah Abu Ubaidah bin Jarrah ra, diriwayatkan
Abu Ubaidah ra mencabut besi yang menebus pipi Nabi Besar Muhammad Saw sebagai
akibat musibah yang dialami beliau dalam Perang Uhud. Agar Nabi Saw tidak
menderika sakit ketika besi itu dicabut, Abu Ubaidah ra mencabutnya dengan
mulutnya bukan dengan tangannya,
sehingga dua gigi serinya terlepas.
Uraian ini jelas menunjukkan bahwa amanah juga
berarti melakukan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab dan
bersunguh-sunguh, sehingga hasil yang
diharapkan dapat dicapai, dengan cara yang tidak biasa dilakukan orang lain,
dan yang lebih baik, menjamin tujuan yang diharapkan sepenuhnya
tercapai.
h. Amanah
Menepati Janji dan Penegakkan Nilai-Nilai Moral
Orang-orang yang beriman dan bertaqwa, antara
lain, adalah orang-orang yang
menciptakan kebajikan, termasuk memberikan harta kepada kerabat, memberikan
makan anak yatim, mendirikan shalat, dan menepati janji (Surat Al Baqarah, QS,
2:177). Surat Al Maidah (QS, 5 : 1) lebih lanjut memerintahkan orang yang
beriman untuk memenuhi akad-akad. Aqad di
sini berarti janji prasetia hamba kepada Allah Swt, dan perjanjian yang dibuat
oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Inti dari perjanjian adalah kesepakatan
para pihak. Dari segi makna kata, akad, bentuk kata singular, berarti ‘ikatan’ atau ‘perikatan’; dan uqud berarti bentuk jamak, atau
akad-akad, mencakup seluruh bentuk
janji, baik lisan maupun tertulis; yang termasuk janji pada Allah, pada dirinya
sendiri, dan dengan sesama manusia, melalui kegiatan sumpah, perkongsian, jual beli, nikah kawin,
dan pembebasan budak. Kalimat awal memerintahkan agar orang yang beriman kepada
Allah Swt, haruslah memenuhi janji, perikatan, atau kesepakatan yang telah
dibuatnya. Karena jika tidak, maka orang itu tidak termasuk orang yang tidak
beriman [39].
Janji pada Tuhan dipenuhi dengan melakukan ibadat.
Dalam hal perkawinan, dipenuhi dengan kesetiaan suami istri. Dalam hal
kemiliteran, janji prajurit dipenuhi dengan kedisiplinan. Dalam hal utang
piutang, para pihak harus memenuhi amanat, bagi pengutang harus membayar
utangnya, dan bagi yang berpiutang harus menerima piutangnya. Kecuali janji
menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal, seluruh janji,
perikatan,dan kesepakatan harus di penuhi dalam Islam [40].
Ayat lain berisikan perintah Allah kepada manusia
untuk menepati janji, karena dan jika tidak, janji itu akan menimpa dirinya;
dan jika menepati, akan diberikan pahala
(al Fath, QS, 48 : 10). Bagi orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan
janji-janjinya adalah yang mewarisi surga firdaus, dan kekal di dalamnya serta
dimuliakan (Al Muminun QS, 23 : 8-11). Di
lain pihak, Tuhan telah pula
menetapkan bahwa ”...Sesungguhnya janji
itu pasti diminta pertanggung jawabnya” (Al Isra, QS, 17 : 34).
Umer Chapra berpendapat bahwa untuk terjadinya
pemenuhan janji atau akad khususnya atau disiplin pasar umumnya, diperlukan dua
unsur, yaitu adanya dorongan yang kuat dan kesadaran pribadi untuk menerapkan
nilai-nilai moral yang diperlukan, dan adanya sistem yang memberikan insentif
dan pencegahan. Nilai-nilai moral yang dimaksud adalah disiplin pribadi,
keadilan, kejujuran, kebaikan, semangat kebersamaan, peduli pada masalah
manusia, dan etika dalam berusaha. Dalam Islam, penerapan nilai-nilai moral ini
terbentuk dengan adanya kepercayaan pada Tuhan dan hari akhir, karena di situ
yang memenuhinya akan masuk surga; dan yang tidak, akan masuk neraka karena
berdosa. Nilai moral ini lebih tinggi karena lebih penting sifatnya, jika
dibandingkan dengan hukum positif walaupun adanya sanksi di dunia [41].
Kenyataannya adalah hukum positif manusia sering dilanggar, walaupun adanya
sanksi yang jelas. Namun, sanksi itu tidak ditegakkan secara konsisten, karena
budaya hukum dan penegakkan hukum yang lemah.
i. Amanah:
Kehati-Hatian Buat Diri Sendiri dan Orang lain
Untuk
memenuhi amanah, orang yang diberikan amanah perlu melakukan pekerjaaannya dengan hati-hati, baik untuk
dirinya sendiri atau untuk orang lain. Hadis Nabi Saw (HR, Ibnu Majah,
Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al Khudri): “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain”. Frasa
‘tidak membahayakan’ setara dengan ‘bertindak secara hati-hati’ mengandung
makna bertindak dengan memperhitungkan segala kemungkinan bahaya atau risiko
yang mungkin timbul sebagai akibat tindakan atau perbuatan yang akan dilakukan.
Dalam kaitan ini, Umar bin Al-Khathab ra tidak memperbolehkan hal-hal yang
mendatangkan mudharat terhadap
siapapun. Sikap ini menciptakan kaidah ushul fikih “Kemudharatan harus
dihilangkan” [42].
Bertindak secara hati-hati sesungguhnya sejalan
dengan perintah Allah Swt. Surat Ali Imran (QS, 3:104) pada dasarnya menyerukan
sekelompok orang yang ada untuk mengajak umat manusia mengerjakan kebajikan,
atau yang bersifat ma’ruf, dan mencegah yang mungkar (amar makruf nahi munkar), sehingga menjadi orang-orang yang beruntung.
Agar dapat mencapai hal yang diserukan itu, orang harus berpikir sebelum
bertindak, dan mempertimbangkan untung ruginya, atau manfaat dan mudharatnya,
baik untuk diri sendiri dan terlebih untuk orang lain, sehingga mencapai suatu
tingkat keuntungan yang diharapkan. Keuntungan dalam Islam tidak semat-mata
diukur dari segi kuantitas atau angka-angka belaka, tetapi lebih jauh dari itu.
Keuntungan yang diperoleh haruslah merupakan kewajaran, tidak berlebihan, dan
diperoleh dengan cara-cara yang halal,
atau tidak menyimpang dari ketentuan moral dan hukum.
j. Hadis Nabi Saw: Mencintai
Pekerjaan
Agar berhasil dalam memenuhi amanat, orang harus
bekerja secara sungguh-sungguh; dan untuk mencapainya, maka orang harus pula
mencintai pekerjaaannya. Dalam sebuah Hadis riwayat Imam Ahmad, Rasulullah Saw
bersabda:”Allah Swt mencintai hambaNya
yang mukmin dan mencintai pekerjaannya”. Bekerja dalam Islam adalah ibadah;
dan, kerja memerlukan keridhoan, yaitu dengan niat yang tulus untuk mencapai
hasil kerja yang diharapkan. Dari proses hingga penyelesaiannya menjadi benar,
bermanfaat, dan sesuai, atau disebut juga sebagai’saleh”. Nabi Saw dalam hadis
yang lain bersabda, agar umatnya berbuat sepenuh kemampuan, dan bagi mereka
yang melakukan pekerjaan sebaiknya akan memperoleh sesuatu yang baik dari dunia
ini. Bekerja dengan menggunakan kemampuan sepenuhnya berarti berusaha untuk
melakukan yang terbaik, sehingga memperoleh hasil yang lebih baik.
Menurut Shihab [43],
kerja dan budaya kerja merupakan keniscayaan. Hal ini disebabkan karena Tuhan
telah memberikan manusia empat daya, yaitu: daya phisik yang menghasilkan
kegiatan phisik dan ketrrampilan, daya pikir yang menghasilkan ilmu
pengetahuan, daya kalbu yang mengekspresikan keindahan dan mampu berkhayal, dan
daya hidup yang menghasilkan daya juang. Pada hakikatnya, berkeja adalah mengunakan salah satu dari
daya ini. Kerja yang dituntut dalam Islam bukan asal kerja, tetapi kerja yang
sungguh-sungguh, dan untuk itu umat Islam harus mencintai pekerjaannya.
C.. Trust atau
Kepercayaan dalam Perspektif Hukum Kontemporer
Kata trust
atau kepercayaan menyangkut paling tidak dua pihak; yang pertama, orang yang
memberikan kepercayaan atau trustor,
dan orang yang dipercayai atau trustee.
Hubungan terbentuk antara kedua pihak tersebut, karena adanya reputasi di pihak
trustee. Dalam kaitan dengan hukum,
ketika terdapat dua pihak yang berhubungan, dan salah satu menggantungkan
harapannya atas prestasi pihak lain, maka terbentuk hubungan fidusia atau fiduciary relationship; dan pihak yang
dipercayai memiliki fiduciary duty atau
tugas fidusia terhadap yang mempercayainya.
1... Teori Trust atau
Kepercayaan, dan Reputasi[44]
a. Trust atau
Kepercayaan
Dalam kaitan dua pihak, trustor
dan trustee, Josang [45]
berpendapat, bahwa trust adalah
probalita subjektif dengan mana seseorang atau trustor mengharapkan orang lain atau trustee untuk melakukan suatu tindakan, dan mengantungkan
kesejahteraannya pada tindakan itu.
Intinya adalah bahwa kepercayaan merupakan realibilitas terhadap trustee bahwa dia dapat memenuhi
harapan itu; atau trustee dapat
diharapkan menepati janji-janjinya, seperti yang dilakukannya di masa lampau [46].
Trustor adalah entitas yang berfikir,
atau secara khusus dikatakan, adalah pihak yang memiliki kemampuan untuk
membuat penilaian dan keputusan berdasarkan informasi yang diterima atau
pengalaman masa lalu. Trustee, di
lain pihak, dapat merupakan perorangan, perusahaan, atau anggapan yang abstrak
seperti informasi. Dalam hubungan antara trustor
dan trustee, terdapat suatu ruang
lingkup, yaitu berupa tujuan tertentu atau berupa tindakan dalam suatu tataran
tertentu [47].
Dalam arti yang sederhana dan berdiri sendiri, trust identik dengan keyakinan atau confidence [48].
Menurut Shaw [49], trost dalam bahasa Jerman, atau
trust dalam bahasa Inggris, berarti ’nyaman’. Itu merupakan suatu penilaian
awal terhadap kemampuan dan karakter seseorang atau suatu institusi atau
organisasi, yang tidak selalu dibentuk dari pengalaman; tetapi sebagian
dibentuk atas kepercayaan atau faith.
Definisi yang diberikan oleh Shaw adalah ’suatu kepercayaan atau belief terhadap siapa kita gantungkan
harapan bahwa dia akan memenuhi harapan kita’.
Tampaknya, konten ‘nyaman’ diperoleh dari
keyakinan bahwa orang yang dipercayai itu dapat memenuhi harapan pihak yang
memberikan kepercayaan; dan ini merupakan suatu keyakinan, yang tidak
sepenuhnya berdasarkan pengalaman, dan mungkin berdasarkan suatu pemikiran,
atau bahkan hasil dari perolehan impresi positif dari orang yang dipercayai
itu. Singkatnya, menurut Cabral [50],
trust adalah situasi ketika agen
mengharapkan agen tertentu yang lain untuk melakukan sesuatu, berdasarkan
mekanisme repetisi, atau ‘menghukum’ ketika tindakan agen itu keluar dari equilibrium atau keseimbangan.
Jadi, berdasarkan uraian dari Shaw, trust merupakan suatu penilaian terhadap
kapasitas seseorang untuk memenuhi kebutuhan orang yang mempercayainya itu,
yang intinya mengandung tiga pengertian:
Pertama, trust dalam ranah bisnis mengandung
kinerja dari seseorang atau dari suatu institusi dalam memenuhi kewajiban dan komitmennya.
Kinerja di sini dapat diartikan sebagai manifestasi keahlian atau expertise, yang berasal dari keduanya yaitu dari teori dan terlebih dari praktik [51].
Kedua,
melakukan tugasnya dengan integritas atau kejujuran, dan ucapan dalam kata-kata sesuai secara konsisten
dengan tindakan. Menurut Bernasek [52],
integritas atau integrity merupakan
kepatuhan pada prinsip-prinsip moral, kejujuran, dan kehormatan, serta
berkaitan dengan kepercayaan atau trust.
Unsur-unsurnya adalah keterbukaan, norma-norma, dan akuntabilitas atau tanggung
jawab [53].
Tambahan pula, menurut Covey [54],
integritas diartikan tidak saja sebagai kejujuran, tetapi lebih dari itu.
Bertindak dengan integritas berarti selaras dengan apa yang tampak dengan apa
yang dilakukan sesungguhnya, kata-kata sesuai dengan tindakan, niat dan tingkah
laku, berkata dengan kejujuran dan kerendahan hati serta meninggalkan impresi
yang benar, berani bertindak dengan benar sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang dianut walaupun sulit untuk dilakukan, sehingga menciptakan
kredibilitas dan trust
Ketiga, menunjukkan perhatian terhadap orang lain.
Sebagai kesimpulan, Shaw mengatakan, bahwa trust
adalah seseorang atau suatu institusi yang selalu menunjukkan hasil, bertindak
dengan integritas, serta menunjukkan perhatian terhadap orang lain.
Menurut Bloomgarden [55],
terdapat empat unsur yang dapat membentuk trust,
yaitu memberikan hasil yang nyata, bertindak dalam norma-norma etika,
mendengarkan apa yang harus disampaikan oleh orang lain, atau konsumen, dan bersikap
terbuka atau transparan dalam apa yang dilakukan. Sebaliknya, kepercayaan dapat
rusak karena kerakusan, terlalu menguasai, bertindak tidak etis, mengambil
jalan pintas untuk mendapat keuntungan sepihak, tidak memperhatikan kepentingan
pihak lain, dan penipuan [56].
Dalam konteks lingkungan yang lebih luas, Fukuyama
[57]
berpendapat, bahwa trust atau
kepercayaan merupakan suatu harapan yang muncul dalam masyarakat dari tingkah
laku yang biasa jujur, dan dapat bekerja sama berdasarkan norma yang biasa
dianut oleh sebagian dari masyarakat. Norma yang dimaksud dapat berasal dari
nilai agama atau ketuhanan yang dalam, tapi juga dapat berasal dari standar
tingkah laku tertentu yang berlaku untuk kelompok tertentu, seperti misalnya
kode etik perbankan Indonesia. Bagi Fukuyama, trust membangun kerjasama yang saling mempercayai dalam koridor
etika yang umum, sehingga membentuk modal sosial di dalam masyarakat. Modal
sosial ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi industrial dan inovasi pada
tingkat organisasi yang lebih baik, dan sekaligus membentuk banyak hubungan
sosial dan menurunkan biaya dalam bertransaksi [58].
Menurut Immanuel Kant (1724- 1804), trust
atau kepercayaan merupakan ikatan sosial, dan menekankan bahwa manusia adalah
makhluk yang sangat bermoral, yang memiliki pandangan yang kuat terhadap ide
adanya tugas yang menyangga pengertian trust.
Bagi Kant, manusia mampu untuk diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan moral,
dan ketentuan itu harus bersifat universal, yang artinya bahwa ketentuan itu
harus berlaku pada setiap orang secara merata, sehingga wajar dan tepat secara
moral [59].
Namun, Thomas Hobbes (1588-1676) memiliki
pandangan yang berbeda. Menurut Hobbes, manusia itu bersifat ambisius dan hanya
tertarik pada dirinya sendiri; orang pada dasarnya dimotivasi oleh berbagai
perasaan yang menyenangkan, pertemanan, dan rasa simpati terhadap orang lain. Trust atau kepercayaan dapat diciptakan
oleh motivator-motivator yang disebutkan itu. Walaupun pada mulanya pemberian
kredit/pembiayaan dilakukan atas kepercayaan, tetapi menurut Thomas Hobbes
banyak hal yang harus dihadapi oleh setiap individu, seperti perubahan dalam
hal selera atau nafsu dan kompetisi untuk penghormatan dan penghargaan antara
sesama individu, sehingga membuat keberadaan trust atau kepercayaan tidak lagi dapat diperkirakan atau
diramalkan [60]. Oleh karena itu, sejalan
dengan pendapatnya mengenai sifat manusia, Hobbes berpendapat orang seharusnya
tidak memberikan kepercayaan kepada pihak lain, apabila tidak ada keyakinan
bahwa terdapat adanya otoritas hukum yang dapat memaksa penepatan janji. Paling
tidak, menurut Hobbes, bagi yang mengkhianati kepercayaan, terdapat sanksi
sosial, seperti mengucilkannya [61].
b. Reputasi
Menurut Muldrew [62],
trust atau kepercayaan merupakan
ikatan sosial yang penting, dan berarti suatu reputasi yang baik yang
menggambarkan kejujuran dan realibilitas dalam kaitan dengan pelaksanaan kewajiban.
Menurut O’ Hara (2004 : 71), trust
atau kepercayaan dibentuk dan didukung oleh reputasi; dalam hal ini reputasi
yang baik, karena reputasi juga dapat bersifat negatif. O’Hara lebih lanjut
berpendapat, bahwa reputasi mengandung informasi yang dapat menjawab pertanyaan
mengenai dasar reaksi dari aksi yang dilakukan, ketika berhadapan atau
berhubungan dengan seseorang atau institusi, dan sekaligus merupakan prediktor
terhadap apa yang terjadi. Reputasi merupakan jaminan, substansi, dan fondasi
dari trust atau kepercayaan. Aspek
yang penting dari reputasi adalah keahlian atau expertise, dan merupakan sumber dari reputasi, yang dapat meningkatkan
atau menjatuhkan reputasi [63].
Reputasi adalah bahan dasar atas pembentukan trust [64].
Menurut Eisenegger [65],
reputasi pada intinya mengandung tiga komponen: Pertama, agen harus memiliki
kompetensi dan kesuksesan yang melekat dengan kompetensinya, yang terus menerus
diterapkannya, atau disebut sebagai reputasi fungsional. Kedua, agen harus
patuh terhadap norma dan nilai sosial yang berlaku dalam cara yang bertanggung
jawab, atau disebut sebagai reputasi sosial. Ketiga, agen harus memiliki
perbedaan emosional yang membuat dia lebih menarik daripada kompetitornya, atau
disebut sebagai reputasi ekspresif. Menurut Eisenegger lebih jauh, di dunia
modern dewasa ini, reputasi sosial jauh lebih penting, karena perhatian
terhadap masalah reputasi lebih banyak ditimbulkan karena tingkah laku sosial
yang buruk, dan tidak menghormati tingkah laku yang bertanggung jawab secara
sosial. Dalam kaitan ini,
komitmen sosial yang dapat dipercaya adalah yang dibentuk dari tindakan, bukan
dari kata-kata.
Dalam kaitan dengan reputasi, Eisenegger (2009)
mengatakan bahwa trust terbentuk dari
pengalaman bahwa seorang agen telah memenuhi harapan agen lain di masa lalu;
dan trust membentuk keyakinan atau confidence bahwa agen itu juga dapat
memenuhi harapan agen yang lain itu di masa depan. Ini artinya trust memperkuat hubungan yang ada saat
ini dan pada saat yang sama bertindak sebagai magnit untuk hubungan masa depan.
Namun, trust yang berdasarkan
pengalaman langsung bersifat langka, dan tidak selalu dapat diperoleh. Ketika
seorang agen tidak memiliki pengalaman dalam berhubungan dengan agen tertentu
yang lain, maka agen yang pertama akan mencari dan menggunakan rekomendasi atau
pertimbangan pihak lain mengenai agen
yang kedua. Ini yang disebut oleh Eisenegger [66]
sebagai reputation judgments.
Sabater dan Siera menjelaskan mengenai kaitan trust dan reputasi. Dari pendekatan cognitive, trust dan reputasi terbentuk
karena adanya kepercayaan yang mendasarinya, dan merupakan fungsi dari
kepercayaan tersebut. Dalam pendekatan ini, bagian yang penting adalah bahwa
kepercayaan merupakan keadaan mental yang mengarah untuk mempercayai agen atau
melekatkan suatu tingkat reputasi, dan konsekuensi mental dari suatu keputusan
dan tindakan untuk mengandalkan agen. Dalam pendekatan teoretis, trust dan reputasi dianggap sebagai
suatu probabilita subjektif bahwa seorang individu A mengharapkan individu yang
lain B untuk melakukan sutu tindakan tertentu dengan mana individu A
menggantungkan kesejahteraannya. Pendekatan ini
bukan merupakan pendekatan cognitive,
tetapi lebih berdasarkan perhitungan yang pragmatis mengenai fungsi utilitas,
dan agregasi numerik dari interaksi masa lalu [67].
Untuk mempertimbangkan atau menghitung suatu
tingkat trust dan reputasi, Sabater
dan Siera [68] mengemukakan berbagai
sumber informasi yang dapat digunakan. Sumber pertama adalah pengalaman
langsung, yaitu yang berasal dari interaksi langsung, atau yang merupakan
observasi hasil interaksi dengan anggota lain dari kelompok masyarakat. Sumber
kedua adalah informasi dari saksi, atau disebut juga informasi dari mulut ke
mulut, atau informasi tidak langsung, yang merupakan informasi berasal dari
anggota masyarakat. Informasi tersebut dapat berasal dari pengalaman langsung, atau yang dikumpulkan dari orang lain. Sumber
ketiga adalah informasi sosiologis, yang dasarnya adalah merupakan pengetahuan
yang berasal dari hubungan sosial antara agen dan peranan yang dimainkan oleh
agen ini dalam masyarakat[69].
Trust dan reputasi yang baik
meminimalkan kontrol sosial; dan nama yang baik megenyampingkan perlunya untuk
terus menerus memonitor tindakan dari agen yang memiliki reputasi yang baik [70].
Kepercayaan, menurut Fombrun, terbentuk dalam kaitan antara kreditor dan
debitor, adalah ketika kedua-belah pihak tidak saja mematuhi atau menghormati perjanjian
secara eksplisit, tetapi juga secara implisit [71].
2. . Fiduciary
relationship, Fiduciary Duty, dan Tiga serangkai Fiduciary Duty[72]
a. Fiduciary Relationship
Dalam kaitan dengan trust atau kepercayaan yang diuraikan di
muka, terdapat dua pihak, yang menciptakan suatu ikatan hubungan fidusia, atau fiduciary relationship. Menurut Black’s Law Dictionary [73],
hubungan fidusia adalah ketika seseorang memiliki kewajiban untuk bertindak
demi kepentingan pihak lain dalam hal-hal yang berkaitan dengan ruang lingkup
hubungan itu; dan dapat muncul dari salah satu keadaan berikut: Pertama, ketika
seseorang meletakkan kepercayaan berdasarkan integritas yang tulus dari orang
lain, yang sebagai akibatnya memiliki kelebihan atau pengaruh terhadap yang
pertama, ketika seseorang menjalankan pengawasan dan tanggung jawab terhadap
orang lain; ketiga, ketika seseorang memiliki kewajiban untuk memberikan
nasehat kepada yang lain dalam kaitan dengan hubungan itu; atau apabila adanya
hubungan yang khusus secara tradisional atau kebiasaan menyangkut adanya fiduciary duties.
Kata fiduciary
sendiri berasal dari kata latin “fiduciarus”
yang berasal dari kata fides atau faith[74] berarti
kepercayaan [75], dan mengandung 2
konotasi, yaitu kepercayaan dan keyakinan [76].
Kepercayaan atau trust diartikan
sebagai suatu harapan bahwa pihak lain akan bertindak sesuai yang diharapkan
oleh seseorang [77]. Dikaitkan dengan definisi di atas, ketika
seseorang meletakkan kepercayaannya terhadap seseorang yang lain maka di situ
telah terbentuk suatu hubungan fidusia atau fiduciary,
atau yang sering disebut sebagai hubungan kepercayaan. Seorang fidusia adalah
seseorang yang bertindak untuk manfaat yang diusahakannya bagi orang lain.
Orang itu berada di posisi yang dipercaya oleh orang lain, karena dia dipercaya
dapat memberikan manfaat bagi orang yang mempercayainya.
Ketika seorang yang sedang sakit datang ke seorang
dokter, maka pasien itu percaya bahwa dokter yang didatanginya itu mampu
memberikan obat untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Demikian pula
dengan seorang guru, muridnya percaya bahwa sang guru dapat memberikannya ilmu
yang bermanfaat dan tidak dimilikinya.
Apabila dokter tidak dapat meyembuhkan penyakit pasiennya, atau guru tidak
dapat memberikan ilmu yang bermanfaat bagi muridnya, maka cepat atau lambat
kepercayaan pasien atau murid pada dokter atau guru itu akan berkurang atau
hilang sama sekali.
b. Fiduciary Duty
Konsep fiduciary
relationship berlaku umumnya dalam kaitan suatu hubungan antara satu orang
dengan orang lain. Dalam sistem hukum asalnya, common law, hubungan fidusia menimbulkan serangkaian tugas hukum
yang harus dilakukan oleh seseorang yang dipercaya dalam hubungan itu. Menurut Black’s Law Dictionary [78],
tugas fidusia adalah suatu tugas dengan itikad baik yang tulus, kepercayaan,
keyakinan, dan kejujuran yang harus dipenuhi oleh seorang fidusia (seperti
pengacara atau pejabat korporasi) terhadap penerima manfaat (seperti klien atau
pemegang saham); suatu tugas untuk bertindak dengan kadar kejujuran dan
loyalitas yang tinggi terhadap orang lain dan demi kepentingan terbaik dari
orang lain itu, seperti tugas yang harus dilakukan oleh seorang mitra usaha
terhadap mitra yang lain.
c. Tiga Serangkai Fiduciary Duty
Untuk
memenuhi fiduciary duty, seorang yang
dipercaya dalam hubungan fidusia harus pula memenuhi prinsip tiga serangkai:
yaitu Duties of Skill & Care,
Loyalty, dan good faith atau itikad baik.
Black’s Law Dictionary memberikan definisi duty of care atau tugas kehati-hatian, yaitu hukum kelalaian mewajibkan seseorang untuk bertindak dalam
keadaan tertentu, untuk memperhatikan segala kemungkinan yang ada seperti
bahaya, kesalahan, dan perangkap, sehingga dapat meminimalkan risiko yang
mungkin dihadapi. Orang yang mempercayai itu
memiliki harapan bahwa orang yang dipercaya itu dapat memenuhi harapannya
terhadap suatu prestasi yang harus
dilakukannya sejalan dengan keahlian
atau skill, kualifikasi, dan
pengalaman dari orang yang dipercayai itu[79].
Duty of loyalty, atau tugas kesetiaan, merupakan bagian yang penting dari fiduciary duty, dan lebih penting dari duty of care [80]. Duty of loyalty mengharuskan
seorang fidusia untuk selalu menyesuaikan tingkah lakunya secara terus menerus
untuk menghindari tingkah laku yang mementingkan diri sendiri, yang merupakan
tindakan yang salah terhadap beneficiary
atau penerima manfaat, atau pihak yang mempercayainya[81] .
Duty of loyalty adalah kewajiban seseorang dalam kedudukannya sebagai seorang fidusia
untuk tidak terlibat dalam kegiatan yang merupakan self dealing, atau menggunakan kedudukannya untuk kepentingan
pribadi, bukan untuk kepentingan untuk siapa dia bekerja. Intinya, duty of loyalty melarang adanya unsur
ketidaksetiaan atau faithlessness, dan
self dealing [82]. Duty ini
mengandung dimensi tanpa pengkhianatan dan aspek pengabdian yang positif, yang
bukan hanya menjaga untuk tidak membahayakan perseroan, atau pihak yang
mempercayainya, tetapi menuntut fidusia untuk memajukan perusahaan.
Ini juga berarti duty
of loyalty menjauhkan tindakan yang salah atau wrongdoing, benturan kepentingan, dan ketidakjujuran yang disengaja
[83]. Duty of loyalty juga berarti menghindar
dari tindakan dengan tujuan yang ilegal, yang memerlukan direksi atau fidusia
berusaha dengan itikad baik untuk mengawasi jalannya usaha atau perusahaan
sesuai dengan hukum.
Itikat buruk, atau lawan dari itikad baik, yaitu [84]: perbuatan fidusia yang dilatarbelakangi dengan niat yang sesungguhnya untuk membahayakan
atau menimbulkan kerugian, untuk siapa dia bekerja atau pihak yang
mempercayainya; atau menyangkut kurangnya sikap hati-hati atau duty of care, suatu tindakan fiduciary yang dilakukan semata-mata karena sangat ceroboh tanpa
adanya niat jahat. Itikad buruk juga diartikan sebagai penelantaran kewajiban
yang disengaja, atau mengabaikan kewajiban secara sadar. Pelanggaran terhadap
itikad baik, atau itikad buruk terjadi, jika seorang fiduciary menyadari bahwa dia tidak bertindak demi kepentingan
terbaik perusahaan atau pihak yang memperkerjakannya atau yang mempercayainya,
atau tidak konsisten dengan tanggungjawabnya[85]:
d. Itikad baik dan Fiduciary Duty dalam Hukum Indonesia
Itikad baik merupakan unsur yang sangat penting
dalam bertransaksi, baik dalam membuat perjanjian atau akad, maupun dalam
menjalankan tugas sebagai seorang fidusia, seperti halnya seorang anggota
direksi dalam menjalankan usaha perseroan untuk kepentingan perseroan.
Khususnya dalam kaitan dengan perjanjian,
ketentuan-ketentuan yang ada ditetapkan dalam KUHPerdata. Pasal 1338 KUHPerdata
menyebutkan tiga hal dalam 3 ayat, yaitu: segala persetujuan yang dibuat secara
sah “berlaku sebagai undang-undang” bagi mereka yang membuatnya[86], persetujuan tidak dapat ditarik kembali
kecuali disepakati oleh kedua belah pihak, dan harus dilaksanakan dengan itikad
baik. Subekti menjelaskan bahwa Ayat 3 dari Pasal yang dimaksud berarti cara
menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan
keadilan[87], atau pelaksanaannya telah berjalan di
atas rel yang benar.
Menurut Kartini Mulyadi, dengan rumusan itikad
baik, jauh sebelum suatu perjanjian dibuat dan kemudian ditutup, sama sekali
tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitor maupun kreditor, atau
pihak-pihak dalam perjanjian, bahkan pihak lain atau pihak ketiga lainnya di
luar perjanjian [88]. Sutan Remy Syadeini menuliskan[89], bahwa itikad baik adalah niat dari pihak
yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun
tidak merugikan kepentingan umum. Niat merupakan bersifat abstrak dan intangible, yang berada dalam bathin
seseorang, seperti yang dikutip oleh Sutan Remy dari Black’s Law Dictionary.
Sutan Remy menambahkan, karena setiap orang selalu harus bertanggung jawab pula
kepada masyarakat, maka niat yang dimaksud juga merupakan niat untuk tidak
merugikan masyarakat banyak dan kepentingan umum.
Di dalam konteks hukum korporasi, prinsip itikad
baik dan penuh tanggung jawab berperan dalam menentukan apakah seorang fidusia,
dalam hal ini anggota direksi, bersalah atau lalai dalam melakukan tugas
kewajibannya dalam menjalankan usaha perseroan demi kepentingan perseroan. Prinsip
itikad baik dan penuh tanggung jawab menunjukkan suatu prinsip yang mengacu pada kemampuan dan
tindakan kehati-hatian direksi atau duties
of care and skills. Unsur itikad
baik yang disertai dengan tidak adanya benturan kepentingan, secara langsung
atau tidak langsung, menunjukkan bahwa direksi menempatkan kepentingan
perseroan di atas kepentingan pribadinya, sehingga merupakan pemenuhan duty of loyalty-nya kepada perseroan. Duty of loyalty ini diperkuat dengan
usaha yang dilakukan direksi untuk mencegah timbul dan berlanjutnya kerugian
yang dapat dialami oleh perseroan.
Secara keseluruhan, konsep fiduciary relationship dan fiduciary
duty telah diadopsi dalam UUPT di Indonesia, dan konsep itikad baik telah
dikenal dalam ketentuan perundang-undangan Indonesia, khususnya dalam kaitan
dengan perjanjian dan UUPT.
C. Kesimpulan
Pengertian amanah mencakup, antara lain,
a). bertanggung jawab untuk melakukan suatu prestasi atau janji dengan penuh
tanggung jawab dan kejujuran, serta memenuhi ketentuan hukum (ini artinya
memenuhi duty of care and skills),b).
menjaga dan mengembalikan hak (yang juga dapat diartikan sebagai kepentingan
atau harta) orang lain secara utuh. Pelaksanaan amanat itu dilakukan dengan
taqwa, disiplin, itikad baik (duty of good
faith), sepenuh hati dan bersunguh-sungguh, memenuhi prinsip kehati-hatian
bagi diri sendiri dan orang lain (duty of
care and skills) atau amar makruf
nahi munkar, sehingga menjamin hasil pelaksanaan secara jujur, atau tanpa
khianat, bagi pemberi amanat, walaupun pemberi amanat itu kurang memahami hasil
yang dapat dicapai (ini artinya mengandung duty
of loyalty).
Agar dapat melaksanakan tugas atau amanat
dengan baik, pihak yang diberikan amanat harus memiliki kemampuan, kesanggupan,
dan keahlian yang diperlukan (atau duty
of care and skills), dapat dipercaya berdasarkan reputasinya (duty of loyalty),dan berorientasi pada
hasil yang lebih baik. Sikap amanah, dan pelaksanaan tugas atau amanat yang
memenuhui harapan pemberi amanat, harus dimiliki oleh setiap orang yang berada
di posisi memimpin, dan bahkan oleh setiap orang, dengan memenuhi ciri-ciri shiddig, fathanah, dan tabligh. Pemenuhuhan amanat atau menepati
janji disetarakan dengan penegakkan nilai-nilai moral, yaitu disiplin pribadi,
keadilan, kejujuran, kebaikan, semangat kebersamaan, kepedulian terhadap orang
lain, dan etika bekerja atau berusaha.
Trust bearti suatu tingkat harapan bahwa trustee dapat diharapkan untuk melakukan
suatu prestasi dan memenuhi janji, kewajiban, dan komitmen, dengan integrirtas,
kejujuran, dan kesamaan antara kata dengan perbuatan, berdasarkan pengalaman
masa lalu, atau informasi dari saksi atau masyarakat atas kemampuan dan
karakter trustee, yang disebut
sebagai reputasi yang baik, atau hanya keyakinan untuk itu sebagai suatu perkiraan.
Tingkatan trust yang lebih tinggi dan
merata dalam suatu masyarakat dapat menjadi modal sosial bagi masyarakat itu.
Pada dasarnya, pengetian trust mendukung pengertian amanah,
tetapi yang terakhir, lebih khusus, dan lebih dalam, serta lebih mengikat secara moral. Namun,
jika pengertian trust dikaitkan
dengan konsep fiduciary relationship ketika
dua pihak berhubungan dan salah satunya bersandar pada pihak lain atas terlaksananya
suatu pekerjaan atau tugas, yang melahirkan fiduciary
duty bagi yang melakukan tugas, maka secara menyeluruh konsep trust menjadi setara dengan pengertian
yang dikandung amanah. Hal ini disebabkan karena hukum Tuhan adalah hukum
moral, yang secara hakiki merupakan dasar yang bersifat fundamental bagi manusia dalam bertingkat laku
atau melakukan kegiatan di dunia.
Jika nilai-nilai moral yang terkait
ditegakkan, atas dasar ketaqwaan kepada Allah Swt, maka pengenaan sanksi hukum
dari segi hukum positf dapat dihindarkan;dan bahkan, manusia diberikan
kompensasi akhirati dalam bentuk surga firdausi oleh Allah Swt.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sinn, Ahmad Ibrahim. (2008). Manajemen Shariah, Sebuah Kajian Historis
dan Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Adhim, Abdulah. (2008). Studi Komparatif Akad Mudharabah dan Murabahah Bank Islam Dengan
Pembiayaan Sistem Bunga Bank Konvensional Dalam Perspektif Keadilan.
Disertasi. UIN, Jakarta.
Adnan, Muhammad Akhyar, dan Muhamad. (2007). “Agency
Problems in Mudhrabah Financing: In Case of Sharia (Rural) Banks, Indonesia”.
IIUM Journal
of Economics and Management 15, no. 2(2007): 219-243 @ 2007 by The
International Islamic University
Malaysia [http://www.iium.edu.my/enmjournal/152art4.pdf].
Ahmed (a), Habib. (2001). “Incentive-Compatible
Profit-Sharing Contracts: A Theoritical Treatment”. In Munawar Iqbal, and David
T.Llewellyn (eds), Islamic Banking and
Finance, New Perspectives on Profit Sharing and Risk. Northampton, USA:
Edward Elgar [http://www.iefpedia.com/english/wp-content/uploads/2013/06/international_Conferences_on_Islamic_Economics_andBookkos.org_pdf].
Al Alwani, Taha Jabir. (2005). Bisnis Islam.Yogyakarta : Aka Group.
Algoud, Latifa M., Mervyn K.Lewis. (2005). Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik, dean
Prospek. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. (2006). Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab.
Jakarta: Khalifa.
Al Jarhi, Mabid Ali. (2008). Islamic Finance: An Efficient & Equitable Option. The Islamic
Research and Training Institute. http://www.wfdd.org.uk/aerticles_talks/mabid.pdf.
Al Jarhi, Mabid Ali. (2 dan 6/2005). The Case For
Universal Bank As A Component of Islamic Banking. Islamic Economic Studies, Vol.12, No.2 & Vol 3 No.1.
Al-Misri, Mahmud. (2009). Ensiklopedia Akhlak Muhammad Saw. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad. (2008). Problematika Investasi Pada Bank Islam,
Solusi Ekonomi Islami. Jakarta: Migunani.
Az-Zuhaili, Wahbah.
(2014). Ensiklopedia Akhlak Muslim, Berakhlak
Terhadap Sesama & Alam Semesta. Jakarta:Noura Books.
Bernasek, Anna. (2010). The Economics of Integrity. New York:
Harperstudio.
Baum, Herb. (2004). The Transparent Leadership. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Bloomgarden, Kathy.
(2007). Trust, The Secret Weapon of
Effective Business Leaders. New York: St. Martin’s Press.
Cabral, Luis M B. (2005).
The Economics of Trust and Reputation: A Primer. Pdges.Stren.nyu.edu/lcabral/reputation/reputation_June05.pdf.
Chapra, M. Umer. Habib
Ahmed. (2008). Coporate Governance, Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta : Bumi
Aksara.
Chammas, Ghassan. (2006). Islamic Finance Industry in Libanon:
Horizons, Enhancements and Projections. Thesis, presented to the Ecole
Superieure des Affaires, ESA-Beirut. nghassan@yahoo.com.
Covey, Stephen M. R.
(2006). The Speed of Trust. London:
Free Press.
Diamond, Douglas W.
(1984). Financial Intermediation and Delegated Monitors. The Review of Economic Studies, Vo. 51, Issue 3 (Jul 1984),
393-414.www1.fee.uva.nl/fm/course/Arping PhD course/diamond-1984.pdf.
Dwipratama, Handika.
(2012). Pencatatan Musyarakah dan
Mudharabah. http://handikadwipratama.blogspot.com/2012/11/perekonomian-indonesia.html.
Eisenegger, Mark. (2009).
Trust and Reputation in the age of globalisation. In J.Klewes, R.Wreschniok
(eds), Reputational Capital, ©
Springer-Verlag Hieldelberg.
Errico, Luca. Mitra Farahbaksh. (1998). Islamic
Banking: Issues in Prudential Regulations and supervision. IMF Working Paper WP/98/30. lerrico@imf.org,
mrahbaksh@imf.org.
Febianto, Irawan, dan A.Ksari, Rahmatina. (2007).
“Why do Islamic Banks Tend To Avoid Profit And Loss Sharing Arrangements? “. [http://ssm.com/abstract=1672127[2007].
Fombrun, Charles J. (1996). Reputation, Realizing Value from the Corporate Image. Boston:
Harvard Business School Press.
Fukuyama, Francis. (1996). Trust. New York : Simon & Schuster.
Hafidhuddin, Didin. Henry Tanjung. (2006). Shariah Principles on Management in Practice.
Jakarta : Gema Insani.
Hamka. (1983). Tafsir
Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hassan, Zubair. (1992). Profit Maximation: Secular
versus Islamic. In Sayyid Tahir, Aidit Gazali & Syed Omar Syed Agil (Ed). Reading in Microeconomics: An Islamic
Perspective (pp 239-255). Kuala Lumpur: Longman.
Iqbal, Munawar, dan David T.Llewellyn. (2001).
“Introduction”. In Munawar Iqbal, and David T.Llewellyn (eds), Islamic Banking and Finance, New
Perspectives on Profit Sharing and Risk. Northampton, USA: Edward Elgar
[http://www.iefpedia.com/english/wp-content/uploads/2013/06/international_Conferences_on_Islamic_Economics_andBookkos.org_pdf].
Iqbal, Zamir. (6/1997). Islamic Financial System. Finance & Development.http://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/1997/06/pdf/iqbal.pdf.
Ikatan Bankir Indonesia. (2014). Memahami Bisnis Bank Syariah. Jakarta:
Kompas Gramedia.
Jalil, Abdullah. (2007). An Islamic Review of The
Mainstream Framework for Project Evaluation. Proceeding of the2nd Islamic
Conference2007(iECONS2007) organized by University of Malaysia.
Josang, Audun. (2007). Trust and Reputation Systems.
In A. Aldini and R. Gorrieri (Eds), Foundation of security Analysis and Design
IV. Springer LNC 4677. Bertinoro,
Italy. Home.ifi.uio.no/josang/papers/jos2007-FOSAD.pdf.
Kabir, M Kabir. (1999). Islamic Banking in Theory
and Practice: The Experience of Bangladesh. Managerial
Finance, 1999, 25, 5; ABI/INFORMGlobal
Kahf, Monzer. Tariqullah Khan. (1409H). Principles of Islamic Financing: A Survey. Islamic
Research and training Institute, Islamic Development Bank.
Khalil, Abdel – Fattah A.A., Colin Rickwood, and
Victor Murinde. (2001). “Evidence on agency-contractual problems in mudharabah
financing operations by Islamic banks”. In Munawar Iqbal, and David T.Llewellyn
(eds), Islamic Banking and Finance, New
Perspectives on Profit Sharing and Risk. Northampton, USA: Edward Elgar
[http://www.iefpedia.com/english/wp-content/uploads/2013/06/international_Conferences_on_Islamic_Economics_andBookkos.org_pdf].
Kamaluddin, Laode. (2007). Rahasia Bisnis Rasulullah. Cimahi: Wisata Ruhani.
Karwowski, Ewa. (2009). Financial Stability:The
Significance and Distributiveness of Islamic Banking in Malaysia. Working Paper
No.555. the Levy Economics Institute of Bond College. http;//www.levy.org.
Lathif, Ah. Azharuddin. (Tidak Bertanggal). Jaminan dalam Pembiayaan Mudharabah. http://fsh-uinjkt.net/index.php?option=com_content&view=article&id=177:jaminan-dalam-p..
Lewis, Mervyn K. Latifah M. Algaoud. (2007). Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik, dan
Prospek. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Macey, Jonathan R. (2008). Corporate Governance, Promises Kept, Promises Broken. New Jersey :
Princeton University Press.
Mubarok, Jaih. (2013). Akad Mudharabah. Bandung : Fokusmedia.
Muldrew, Craig. (1998). The Economy of Obligation. The Culture of
Credit and Social Relations in Early Modern England. Palgrave, Houndmills,
Basingstoke, Hampshire RG21 6XS and 175 Fifth Avenue, New York, NY 10010.
Muhammad. (2005). Manajemen Pembiayaan Bank Syariah.Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Muliadi, Arief. (2012). Mudharabah, Musyarakah dan Wadi’ah.
http://ariefmuliadi30.blogspot.com/2012/09/mudharabah-musyarakah-wadiah.html.
Muthahhari, Ayatullah
Murtadha, (2011). Islam & Tantangan
Zaman. Jakarta: Sadra International
Institute.
Mulyadi, Kartini, dan
Gunawan Widjaja. (2006). Perikatan yang
Lahir dari Perjanjian. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Nasaruddin Umar. Rakyat
Merdeka. 30/04/2014.
O’Hara, Kieron. (2004). Trust, From Socrates to Spin.
Cambridge: Iconbooks.
Rahman, Abdul Rahim Abdul. (2007). Islamic Bank and
Finance: Between Ideals and Realities. IIUM
Journal of Economics and Management 15, no.2.
http://www.iiu.edu.my/enmjournal/152.arto.pdf.
Rahardjo, Dawam. (2002). Ensiklopedi Al Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci.
Jakarta: Paramadina.
Rich, Ustadz. Laode Kamaluddin. (2011). Rasulullah’s Business School. Jakarta:
Ihwah.
Rizki, Muhammad. (2012). Merekovery Cityra Kekuasaan
Kehakiman. Varia Peradilan Nomor 325
Desember 2012. Hal.104.
Sabater, Jordi. Charles Siera. (2005). Review on
Computational Trust and Reputation Model. Kluwer
Academic Publisher.www.iiia.csis.es/siera/articles/2005/sabatersiera.pdf.
Sadr, Kazem,dan Zamir Iqbal. (2001). “Choice between
debt and equity contracts and asymmetrical information: some empirical
evidence”. In Munawar Iqbal, and David T.Llewellyn (eds), Islamic Banking and Finance, New Perspectives on Profit Sharing and
Risk. Northampton, USA: Edward Elgar
[http://www.iefpedia.com/english/wp-content/uploads/2013/06/international_Conferences_on_Islamic_Economics_andBookkos.org_pdf].
Sang, Heng-Kang. (1995). Project Evaluation: Techniques and Practices for Developing Countries.
Aldershot: Avebury.
Shaw, Robert Bruce. (1997). Trust in Balance, Building Successful
Organizations on Results, Intergrity and Concern. Jossey Bass Inc, San Fransisco, California.
Shihab, M. Quraish. (2007). Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Soon Chong, Beng. Ming Hua Liu. (2/2007). Islamic
Banking: Interest-Free or Interest-Based? http://www.docstoc.com/docs/Down;oadDoc.aspx?doc_id=3867212.
Suyanto, M. (2008). Muhammad, Business Strategy & Ethics. Yogyakarta: Penerbit Adi.
Sjahdeini, Sutan Remi. (1993). Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak
Dalam perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir
Indonesia.
Tahir, Sayyid. (2007). Islamic Banking Theory and Practice: A Survey and Bibliography of The
1995-2005 Literature. Journal of Economic Cooperation, 28,1. http://www.sesrtcic.org/files/article/8.pdf.
Uslaner, Eric M. (2002). The Moral Foundations of Trust. Cambridge: Cambridge University
Press.
Wangsawidjaja, A. (2012). Pembiayaan
Bank Syariah. Jakarta :Kompas Gramedia.
Warde, Ibrahim. (2011). The Revitalization of Islamic Profit-and Loss-Sharing. Proceeding
of the Third Havard University Forum on Islamic Finance:Local Challenges,
Global Opportunities, Cambridge, Massachusetts, Harvard Ubiversity, pp 199-211.
http://ifp.law.harvard.edu/login/view_pdf/?file=The%20Revitalization%20of%20Islamic%20Profit-and-loss%20Sharing.pdf&type=Project_Publication.
Wiroso, (2005). Penghimpunan
Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah. Jakarta: Grasindo.
Zaher, Tarek Z. M.Kabir Hassan. (2001). A Comparative Literature Survey of Islamic
Finance and Banking.Oxford, UK: Blackwell Publishers.
[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia
memberikan arti sebagai sesuatu yang
dipercayakan atau dititipkan kepada orang lain.
[2] Kamus Besar Indonesia memberikan arti
sebagai pesan, perintah (dari atas).
[3] Sebagian besar dari bagian ini merupakan hasil edit atau revisi dari
tulisan penulis sebelumnya.
[4] Satria Effendi, dan M.Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Grup,
hlm. 77.
[5] Muhammad Khalid Masud.1996. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Penerbit
Pustaka, hlm. 14.
[6] Muhammad Khalid Masud. Op.Cit, hlm. 10-11.
[7]
Muhammad Khalid Masud. 2005.Shatibi’s
Philoshophy of Islamic Law. Kuala Lumpur: Islamic Research Institute, hlm.
7.
[8] Musa Asy’arie. 2002. Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI, hlm.
85.
[9] Bello, Petrus C.K.L. 2012. Jakarta:
Erlangga, hlm.69.
[10] Fathurrahman Djamil. 1997. Filsafat Hukum Islam. Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, hlm. 151.
[11] Bello, Petrus C.K.L. Op.Cit., hlm. 53.
[12] Gunawan Setiarja, A. 1990. Dialektika Hukum dan Moral, Dalam
Pembangunan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 101.
[13] Gunawan Setiarja, A. Ibid, hlm. 113-115.
[14] Rahardjo,
Dawam. 2002. Ensiklopedi Al Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci. Jakarta: Paramadina, hlm. 190.
[15] Hafidhuddin, Didin.
Henry Tanjung. 2006. Shariah Principles
on Management in Practice. Jakarta : Gema Insani, hlm. 117-118.
[17] Muthahhari, Ayatullah Murtadha, Islam
& Tantangan Zaman. Jakarta:
Sadra International Institute. 2011, hlm.17.
[18] Rahardjo,
Dawam. (2002). Ensiklopedi Al Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci. Jakarta: Paramadina, hlm. 195
[19] Rahardjo, Dawam. (2002). Ensiklopedi Al Qur’an,
Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, hlm. 196
[20] Rahardjo, Dawam. (2002). Ensiklopedi Al Qur’an,
Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, hlm. 203
[21] Rahardjo, Dawam. (2002). Ensiklopedi Al Qur’an,
Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, hlm. 204
[28] Abu
Sinn, Ahmad Ibrahim. (2008). Manajemen
Shariah, Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, hlm. 74.
[34] Rahardjo, Dawam. (2002). Ensiklopedi Al Qur’an,
Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, hlm. 381.
[37] Al-Misri,
Mahmud. (2009). Ensiklopedia Akhlak
Muhammad Saw. Jakarta: Pena Pundi
Aksara, Hlm.
543
[38] Al-Misri,
Mahmud. (2009). Ensiklopedia Akhlak
Muhammad Saw. Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 538-542.
[41] Chapra, M. Umer. Habib
Ahmed. (2008). Coporate Governance, Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta : Bumi
Aksara, hlm. 32-34.
[42] Al-Haritsi,
Jaribah bin Ahmad. (2006). Fikih Ekonomi
Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa, hlm. 163
[43] Shihab,
M. Quraish. (2007). Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al-Qur’an. Bandung:
Mizan, hlm. 304-305
[44] Dikutip sebagaian besar dari Disertasi
penulis tahun 2011.
[45] Josang,
Audun. (2007). Trust and Reputation Systems. In A. Aldini and R. Gorrieri
(Eds), Foundation of security Analysis and Design IV. Springer LNC 4677. Bertinoro, Italy. Home.ifi.uio.no/josang/papers/jos2007-FOSAD.pdf.
[46] Uslaner,
Eric M. (2002). The Moral Foundations of
Trust. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 2.
[47] Josang,
Audun. (2007). Trust and Reputation Systems. In A. Aldini and R. Gorrieri
(Eds), Foundation of security Analysis and Design IV. Springer LNC 4677. Bertinoro, Italy.
Home.ifi.uio.no/josang/papers/jos2007-FOSAD.pdf.
[48] Covey, Stephen M. R.
(2006). The Speed of Trust. London:
Free Press, hlm. 5.
[49] Shaw, Robert Bruce. (1997). Trust in
Balance, Building Successful Organizations on Results, Intergrity and Concern.
Jossey Bass Inc, San Fransisco,
California, hlm. 21.
[50] Cabral, Luis M B. (2005). The Economics of Trust
and Reputation: A Primer.
Pdges.Stren.nyu.edu/lcabral/reputation/reputation_June05.pdf., hlm.
[52] Bernasek, Anna. (2010). The Economics of Integrity. New York:
Harperstudio, hlm. 11.
[53] Bernasek, Anna. (2010). The Economics of Integrity. New York:
Harperstudio, hlm. 147.
[54] Covey, Stephen M. R. (2006). The Speed of Trust. London: Free Press,
hlm. 54-62.
[55] Bloomgarden, Kathy. (2007). Trust, The Secret Weapon of Effective Business Leaders. New York:
St. Martin’s Press, hlm. 12.
[56] Bloomgarden, Kathy.
(2007). Trust, The Secret Weapon of
Effective Business Leaders. New York: St. Martin’s Press, hlm. 5.
[60] Muldrew, Craig. (1998). The Economy of Obligation. The Culture of
Credit and Social Relations in Early Modern England. Palgrave, Houndmills, Basingstoke, Hampshire RG21 6XS and 175 Fifth Avenue, New York,
NY 10010,
hlm. 125.
[62] Muldrew, Craig. (1998). The Economy of Obligation. The Culture of
Credit and Social Relations in Early Modern England. Palgrave, Houndmills, Basingstoke, Hampshire RG21 6XS and 175 Fifth Avenue, New York,
NY 10010,
hlm. 148.
[64] Cabral, Luis M B.
(2005). The Economics of Trust and Reputation: A Primer.
Pdges.Stren.nyu.edu/lcabral/reputation/reputation_June05.pdf.
[65] Eisenegger, Mark.
(2009). Trust and Reputation in the age of globalisation. In J.Klewes,
R.Wreschniok (eds), Reputational Capital,
© Springer-Verlag Hieldelberg.
[66] Eisenegger, Mark. (2009). Trust and Reputation in
the age of globalisation. In J.Klewes, R.Wreschniok (eds), Reputational Capital, © Springer-Verlag Hieldelberg.
[67] Sabater,
Jordi. Charles Siera. (2005). Review on Computational Trust and Reputation
Model. Kluwer Academic Publisher.www.iiia.csis.es/siera/articles/2005/sabatersiera.pdf.
[68] Sabater, Jordi. Charles
Siera. (2005). Review on Computational Trust and Reputation Model. Kluwer Academic Publisher.www.iiia.csis.es/siera/articles/2005/sabatersiera.pdf.
[69] Sabater, Jordi. Charles
Siera. (2005). Review on Computational Trust and Reputation Model. Kluwer Academic Publisher.www.iiia.csis.es/siera/articles/2005/sabatersiera.pdf.
[70] Eisenegger, Mark. (2009). Trust and Reputation in
the age of globalisation. In J.Klewes, R.Wreschniok (eds), Reputational Capital, © Springer-Verlag Hieldelberg.
[71] Fombrun,
Charles J. (1996). Reputation, Realizing
Value from the Corporate Image. Boston: Harvard Business School Press, hlm.
67.
[72] Dikutip sebagian besar dari Disertasi
penulis tahun 2013.
[73] Garner, Bryan A., Op.Cit., hlm. 1315.
[74] Wikipedia, The Free Encyclopedia, <http://en.wikipedia.org/wiki/Fiduciary>.
[75] Butcher, Bruce S., Directors’
Duties, A New Millennium, A New Approach?, London: Kluwer Law International, 2000, hlm.
18..
[76] French, Derek (et.al), Company Law, New York: Oxford University Press, 2009,
hlm. 469.
[77] Seipp, David J., “Trust and Fiduciary Duty in the Early Common
Law”, Boston University Law Review Vol. 91:1011, [1012], hlm. 1011.
[78] Garner, Bryan A., Op.Cit., hlm. 543.
[79] “Professional Briefing – Law Case Review- Director in Breach of
Fiduciary Duty”. Journal of Accountancy.
Vol. 128, Oct 1 (2001).
[80] Cunningham, Lawrence A., dan Yablon, Charles M., “Delaware
Fiduciary Duty Law after QVC and Technicolor, A Unified Standard (and the End
of Revlon Duties?)”, Boston
College Law
School, Research Paper
1994-03, <http://ssrn.com/abstract=917120>
[01/01/1994].
[81] Block, Dennis J., (et.al), Op.Cit., hlm. 1.
[82] Block, Dennis J., (et.al), Ibid.
[83] Johnson, Lyman P. Q., dan Millon, David, “Recalling Why Corporate
Officers are Fiduciaries”, Washington
& Lee Public Law and Legal Theory, Working Paper No. 04-13, <http://ssrn.com/abstract=557926>
[06/2004].
[84] Sprague, Robert, “Directors Behaving Badly: 21st Century
Corporate Governance Standards”, <http://www.alsb.org/Proceedings%20Files/2007/Sprague.pdf>
[2007].
[85] The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp>
[Tidak bertanggal].
[86]
Perjanjian yang telah dibuat secara sah, yang mana harus mengikuti Pasal 1320
KUHPerdata atau menurut hukum, mempunyai kekuatan atau mengikat (pacta sunt servanda) para
pihak-pihak sebagai undang-undang; dan ini merupakan asas kepastian hukum.
Sehingga, perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali, kecuali
atas persetujuan kedua belah pihak. Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata Buku III, hal.107-108.
[89] Syahdeini, Sutan Remy. Kebebasan
Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian
Kredit Bank di Indonesia, hal 121-122.
Tulisan ini sudah dipublikasikan pada Jurnal Quality, Tahun Ke-6, No. 21, Oktober 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar