Kamis, 25 Februari 2016

PENGERTIAN ‘AMANAH’ DALAM HUKUM ISLAM DAN KONSEP TRUST DAN FIDUCIARY DUTY DALAM HUKUM KONTEMPORER: SUATU PERBANDINGAN



PERBANDINGAN PENGERTIAN ‘AMANAH’ DALAM HUKUM ISLAM DENGAN ‘TRUST’ DAN ‘FIDUCIARY DUTY’ DALAM HUKUM  KONTEMPORER

Oleh:
Hendy Herijanto
Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah (STES) Islamic Village


Abstrak
           
Berdasarkan tafsir al Qur’an dan Hadis Nabi Saw, pengertian ‘amanah’ lebih luas dan dalam, dan harus dilakukan dengan taqwa, disiplin, itikad baik sepenuh hati dan bersunguh-sungguh, memenuhi prinsip kehati-hatian bagi diri sendiri dan orang lain, atau amar makruf nahi munkar, secara jujur, atau tanpa khianat, bagi pemberi amanat. Untuk itu, pihak yang diberikan amanat harus memiliki kemampuan, kesanggupan, dan keahlian, dan dapat dipercaya, berdasarkan reputasinya,dan berorientasi pada hasil yang lebih baik. Sikap amanah harus dimiliki oleh pemimpin, dan bahkan oleh setiap orang, dengan memenuhi ciri-ciri shiddig, fathanah, dan tabligh. Pemenuhan amanat atau menepati janji disetarakan dengan penegakkan nilai-nilai moral. Pada dasarnya, pengetian trust mendukung pengertian amanah, tetapi yang terakhir, lebih khusus, dan lebih dalam, serta lebih mengikat secara moral. Namun, jika pengertian trust dikaitkan dengan konsep fiduciary relationship ketika dua pihak berhubungan dan salah satu bersandar pada pihak lain untuk suatu prestasi, yang melahirkan fiduciary duty dengan tiga serangkai tugasnya, yaitu duty of good faith, duty of care and skills, dan duty of lotalty, bagi yang melakukan tugas, maka secara menyeluruh konsep trust menjadi lebih setara dengan pengertian amanah, karena ketiga tugas ini juga dikandung oleh pengertian amanah. Hal ini disebabkan karena hukum Tuhan adalah hukum moral, yang secara hakiki bersifat fundamental bagi manusia dalam bertingkah laku atau melakukan kegiatan di dunia. Jika nilai-nilai moral yang terkait ditegakkan, atas dasar ketaqwaan kepada Allah Swt, maka pengenaan sanksi hukum dari segi hukum positf dapat dihindarkan;dan bahkan, manusia diberikan kompensasi akhirati dalam bentuk surga firdausi oleh Allah Swt.

Kata Kunci   : Amanah, Reputasi, Fiduciary Relationship/Duty, Nilai Moral, Hukum Moral, Respect and Fear of God.

Abstract

Basically the meaning of the word ‘amanah’ has a certain depth and width, which must be implemented with respect to and fear of God, discipline, and good faith, full heartedly, earnestly, with  prudence for oneself and for other people, or essentialy creating benevolence and keeping away vices as suggested by amar makruf nahi munkar, honestly, without deceit. The trustee must have  capability, willingness, skills, and trust, based on his reputation and for better results. Any type of leadership, even every individual,  must obtain these traits, Sshiddig or honesty, fathanah or intelegence, and tablig or communicative. Fulfilling amanat and promises is regarded equivalent to the enforcement of moral values. Basically, the meaning of trust support the meaning of amanat, but the latter offers Sa deeper and wider horizon, eas well as encompasing moral values more tighly. Nevertheless, if the concept of trust is linked to the concept of fiduciary relationship, as created upon any two parties that cooperate with each other for a task to be done by any of them for the other, then the relationship creates a set of duties to be performed by one of them as the doer, i.e. duty of good faith, duty of care and skills, and duty of loyalty, then as a whole, the concept of trust becomes identical with the meaning of amanah. This is due the reason that the laws of God represents moral laws, serving as the fundamental basis for human behavior and their worldly activities. If these moral values are enforced and practised  with respect to and fear of God, or taqwa, then no sactions from positive law could be imposed to men, even they would be compensated with a firdausi heaven in the hereinafter by God, Allah Swt.

Key words :  Amanah/Trust, Reputation, Fiduciary Relationship/Duty, Moral Values, Moral Law, Respect and Fear of God.


A.. Pendahuluan
1... Latar Belakang
Kata ‘amanah’[1] atau ‘amanat’[2] dalam bahasa Arab berarti ‘kepercayaan’ atau ‘kejujuran’. Namun, karena kata ini disebut dalam beberapa ayat dalam al Qur’an, dan dilihat dari sejumlah tafsir, serta Asbabun Nuzul-nya, kata amanah atau amanat berarti lebih luas dan dalam. Allah Swt berfirman, “...Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan kamu khianati pula amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu....”, yang berarti suatu perintah bagi umat manusia dan berfungsi sebagai hukum yang harus ditaati. Untuk Itu, perlu dikaji lebih dalam makna amanat yang sesungguhnya.
Kata amanat setara dengan kata trust atau kepercayaan. Kata trust juga memiliki pengertian yang lebih luas. Bahkan, trust memiliki konotasi dan nuansa hukum, khususnya dalam kaitan dengan fiduciary relationship dan fiduciary duty dalam  sistem common law. Kedua konsep hukum ini juga berlaku di Indonesia, khususnya dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT).

2... Tujuan Penulisan 
Makalah ini bertujuan: pertama, menguraikan arti dari kata amanat dalam konteks tafsir al Qur’an dan hadis Nabi Saw oleh ulama klasik dan kontemporer; kedua, mengkaji  konsep dan makna trust yang ada dalam literatur konvensional, dan hukum yang terkait; ketiga, mengkaji pula fiduciary relationship dan fiduciary duty dalam hukum kontemporer; keempat, membandingkan dan menyimpulkan  kesamaan makna, dan perbedaan nuansa, anatara makna kata “amanat” dan “trust” dalam ranah hukum yang berbeda.

F.   Kedudukan Hukum Islam dan Tafsir Pengertian Amanah
1.   Kedudukan Hukum Islam[3]
Secara epistemologi, hukum Islam atau syariat berasal dari wahyu Allah Swt yang diwujudkan ke dalam ayat-ayat Al Qur’an, dan Sunnah Nabi Saw, yang merupakan petunjuk atau dalil utama dari Hukum Allah [4]. Dengan demikian, hukum Islam itu disepakati bersifat relijius [5], karena pada akhirnya yang berhak menentukan hukuman adalah Allah [6].
Sejumlah pakar berpendapat bahwa hukum Islam merupakan sistem ketentuan etika atau moral [7], yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan kemandirian [8]. Hukum dan moral tidak dapat dipisahkan [9]. Menurut Kant, hukum moral adalah hukum yang sebenarnya. Friedman mengatakan, bahwa tidak ada dan tidak pernah ada pemisahan total hukum dari moralitas[10]. Menurut Rabruch, hukum yang valid adalah yang sejalan dengan moralitas; sebaliknya, yang tidak sejalan dengan moralitas tidak dapat disebut sebagai hukum [11]. Moralitas atau etika bersifat lebih tinggi dari hukum (positif), karena hukum positif bersifat tidak universal, tetapi lokal, dan nasional [12].
Namun, moral berbeda dengan hukum. Hukum bersifat memaksa, moral tidak dapat dipaksakan, tetapi menuntut kepatuhan dan ketaatan secara mutlak. Hukum mengabaikan sikap bathin manusia, tetapi moral menuntut keduanya, perbuatan lahir dan sikap bathin manusia. Hukum bersifat heteronom, karena manusia terikat pada norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat; tetapi, moral manusia bersifat teonom, yaitu mengacu pada hukum yang abadi, karena tunduk pada kehendak Illahi, yang mengarahkan segala ciptaan-Nya ke arah tujuan mereka sebagai landasan terdalam dari segala hukum dan peraturan. Dari segi sanksi, hukum memiliki sanksi lahiriah, tetapi sanksi moral bersifat bathiniah. Dari segi tujuan, hukum bertujuan untuk mencapai ketertiban, dan mengatur struktur kehidupan sosial masyarakat tertentu; sedangkan tujuan moral adalah untuk mengatur hidup manusia sebagai manusia, tanpa pandang bulu atau perbedaan suku, agama, dan keadaan sosial [13].

2.   Amanah Menurut Al Qur’an dan Hadis Nabi Saw    
Makna kata amanat atau amanah berperan sentral dalam konsep syariah, khususnya dalam bermuamalah, yaitu hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat [14]. Untuk mengkaji makna yang dikandung perlu memahami tafsir oleh para ulama mainstream otoritatif, yang dikemukakan berikut ini.

a.   Amanat Berarti Tanggung Jawab Atas Prestasi dan Hukum
Dalam Islam, amanat berarti mengikuti petunjuk Allah Swt dan Sunnah Nabi Besar Muhammad Saw [15]. Berdasarkan Surat Al Ahzab (QS, 33: 72), Hamka menyebutkan bahwa pada mulanya Allah Swt menunjuk gunung-gunung, bumi dan langit sebagai pemangku amanat. Namun, semuanya itu tidak bersedia untuk melakukannya, karena tanggung jawab begitu berat. Hamka berpendapat bunyi Ayat ini merupakan perumpamaan, dan menunjukkan bahwa amanat itu penting dan mulia. Tempatnya berada diketinggian seperti langit, dan pada wadah yang kuat seperti gunung. Kemudian, manusia ditetapkan untuk mengembangkannya karena kemampuan yang dimilikinya. Tetapi, di antaranya, terdapat manusia yang tidak amanah, dan berbuat dzalim dan berlaku bodoh, sehingga menyia-nyiakan amanat itu [16].
Amanah yang dimaksud adalah taklif, tanggung jawab dan hukum. Artinya, kehidupan manusia harus dibangun atas dasar tugas dan tanggung jawabnya atas suatu prestasi. Ini yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Sebab, seluruh aktivitas makhluk, selain manusia, berlangsung tanpa menanggung beban tanggung jawab berdasarkan sesuatu yang telah ditetapkan atas mereka. Hanya pada kehidupan manusia saja hukum diberlakukan. Kemudian, diberitahukan kepada manusia bahwa dihadapannya terbentang dua jalan, jalan kebahagian dan jalan kesengsaraan. Manusia tinggal memilih, dan inilah disebut dengan taklif atau kewajiban [17].
Berdasarkan tafsir dari Mawlana Muhammad, seperti dikutip oleh Rahardjo (2002: 195), yang dimaksud dengan amanat itu adalah hukum yang berlaku dalam alam semesta. Beliau lebih lanjut berpendapat bahwa, walaupun manusia tidak setia pada hukum itu, sementara alam semesta mematuhinya, pada hakikatnya, manusia akan berbahagia jika mematuhi dan melaksanakan undang-undang itu [18].
Malik Ghulam Farid mengartikan bahwa amanat itu adalah Hukum Tuhan, yang intinya berkesesuaian dengan Surat Al Nahl (QS, 16 : 49-50). Manusia dituntut untuk memperhatikan hukum Tuhan; karena jika tidak, akan menimbulkan kerusakan, yang merupakan kezaliman atau kebodohan manusia. Pada saat yang sama, manusia bertindak sebagai khalifah Allah di bumi untuk mengemban amanah, yaitu mengelola sumber-sumber kehidupan di bumi [19], yang merupakan suatu prestasi dan harus dilakukan secara umum dengan penuh tanggung jawab.
Surat Al Imran (QS, 3: 75) menyimpulkan bahwa orang yang dapat dipercayai adalah orang yang dinilai mampu menjaga amanah; yaitu ketika dia dipercayakan untuk menangani harta yang bernilai besar, dengan kejujuran, dia akan bersifat amanah; jika tetap dapat mengembalikan secara utuh kepada pemiliknya, sekalipun orang yang menitipkan itu merupakan orang yang bodoh atau berpendidikan rendah, sehingga dengan mudah dapat ditipu; tetapi, orang yang amanah itu tidak melakukannya [20].
Di sini, amanah berarti berhasil melakukan suatu prestasi dengn kejujuran, yaitu mengembalikan harta seutuhnya kepada pemilik, walaupun pemilik tidak mengetahuinya. Secara keseluruhan, intinya adalah bertanggung jawab untuk melakukan suatu prestasi dengan kejujuran, dan mentaati hukum yang berlaku. Sidi Gazalba berpendapat bahwa prinsip amanah merupakan salah satu kaidah dasar dalam tata kehidupan masyarakat [21].

b.   Menunaikan Amanat Bertanggung Jawab Pada Tuhan
Nabi Saw bersabda, bahwa manusia akan kaya, walaupun tidak dapat melihat banyak kemegahan dunia, jika memelihara amanat, berkata yang jujur, perangai yang baik, dan mengendalikan selera dari kerakusan makan [22]. Sebaliknya, Allah Swt berfirman, agar orang-orang yang beriman tidak mengkhianati Allah dan RasulNya, dan tidak pula mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada mereka, karena mereka mengetahuinya (QS, 8: 27). Surat ini menunjukkan dengan jelas bahwa mengkhianati amanat yang diberikan kepada seseorang disamakan seperti mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.
Pada dasarnya, amanah merupakan prinsip fundamental etika Islam. Esensinya adalah setiap orang bertanggung jawab atas tindakannya, termasuk dalam melakukan bisnis. Tanggung jawab bisnis tidak terbatas pada para pelaku bisnis, tetapi juga merupakan tanggung jawab pada masyarakat dan Allah Swt [23].

c.   Kewajiban Menunaikan Amanat atau Janji dengan Taqwa, Disiplin, Itikad Baik dan Tanpa Khianat
Surat Al Baqarah (QS. 2: 283) menyebutkan bahwa jika seseorang mempercayai orang yang lain, maka orang yang dipercayai itu memegang amanat dengan teguh dan memenuhi amanat itu dengan seutuhya. Amanat di sini berarti melakukan suatu tugas atau prestasi yang diharapkan oleh pihak yang memberikan amanat. Untuk itu, orang yang dipercayai itu harus pula bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga hati orang itu tidak dirasuki oleh setan atau niat buruk. Jadi, ketaqwaan terhadap Allah Swt merupakan cara untuk menghindari pengaruh setan, atau hal-hal yang bersifat buruk sehingga amanat itu terhalangi untuk ditunaikan oleh pihak yang dipercayai. Namun, kedua pihak harus pula bertaqwa, tidak saya orang yang dipercayai [24].
Untuk ketaqwaan itu, menurut Wangsawidjaja [25], masing-masing pihak dalam akad harus beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Ini merupakan suatu asas yang harus dipenuhi dan berlandaskan pada itikad baik.
Surat Al Mukminun (QS, 23 : 8) menyebutkan “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji-janjinya”. Hamka menjelaskan bahwa amanat yang dimaksud terbagi dua, yaitu amanat yang bersifat raya atau umum, dan amanat yang bersifat pribadi. Amanat yang pertama, seperti yang telah dikemukakan di atas, akhirnya amanat itu diberikan kepada manusia sebagai khafilatullah fil-ardi, karena hati seorang mukmin lebih luas dari langit dan bumi, dan lebih tinggi dari gunung. Amanat pribadi merupakan tugas manusia masing-masing, yang berdasarkan kesanggupan diri, bakat dan nasib; sedangkan tugas hidup adalah pembagian pekerjaan, dan bukan merupakan kehinaan atau kemuliaaan. Kemuliaan hanya datang dari ketaqwaan seseorang kepada Allah Swt. Ini artinya setiap orang memiliki tugas dalam kehidupan, yang merupakan profesi atau pekerjaan sehari-harinya. Tugas itu, termasuk janji-janji yang terkait,  harus dipenuhi dengan disiplin [26].
Surat Al Anfal (QS, 8 : 27) menyebutkan: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan kamu khianati pula  amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. Hamka berpendapat bahwa pemenuhan amanat bersifat sangat sakral. Seseorang yang menunaikan semua perintah Tuhan dalam beribadah, seperti sembahyang, berpuasa, taat beribadah lainnya, belumlah memberikan kepastian mengenai kebersihan orang itu. Kepastian itu hanya dapat diperoleh, jika orang yang taat beribadah itu, memenuhi amanatnya. Oleh karena itu, Hamka menyimpulkan bahwa kekuatan ibadat itu harus dibarengi dengan kesetiaan dan keteguhan untuk memegang disiplin dalam menunaikan amanatnya [27].
Kata ‘pengkhianatan’ dalam Ayat terakhir di atas dapat juga ditafsirkan sebagai tindakan untuk mengkomersialisasikan tugas atau jabatan utuk kepentingan pihak tertentu saja. Pemanfaatan jabatan atau kekuasaan untuk memupuk materi bagi diri sendiri, atau keluarga, juga merupakan tindakan pengkianatan terhadap tugas atau kekuasaan itu [28].

d.   Berkemampuan, Berkesanggupan, Berkeahlian, dan Dipercaya Untuk Melaksanakan Tugas Yang Diberikan.
Surat Al Nisa (QS, 4 : 58) juga menentukan untuk bersikap amanah, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat ke pada yang berhak menerimanya (kepada ahlinya)......”. Ditilik dari asbabun nuzul-nya, menurut Hamka, ayat ini diturunkan dengan latar belakang ketika Nabi Saw harus menentukan kepada siapa tanggung jawab pemeliharaan Ka’bah dapat diberikan. Pada waktu itu, banyak pihak meminta agar kekuasaan itu diberikan kepada mereka, yang antara lain adalah Ali bin Abu Thalib. Namun, Nabi Saw berkata “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu supaya menunaikan amanat kepada ahlinya”. Secara historis, pemeliharaan Ka’bah meliputi 5 unsur, yaitu memegang bendera ketika terjadi perang antar suku atau Al Liwaa, menyediakan tempat bermusyarawah bagi seluruh kepala suku atau Darun Nadwah, menjadi juru kunci Kabah atau Hijabah, memberi minum kepada orang yang berhaji atau Siqayah, dan memberikan jaminan-jaminan lainnya selama orang berhaji atau Rifadah.
Dalam Hadis tersebut, yang dimaksud dengan “kepada ahlinya” adalah para pendatang yang melaksanakan ibadah haji, atau khususnya umat Islam yang berkunjung ke Ka’bah, atau para stakeholders yang berkepentingan terhadap Ka’bah. Dengan kalimat seperti itu, jelaslah bahwa perintah itu merupakan perintah yang langsung, dan sungguh-sungguh,  diberikan oleh Allah Swt kepada umat manusia melalui Nabi Besar Saw. Perintah itu bersifat sangat sakral, dan sangat penting artinya bagi kehidupan manusia, dan oleh karenanya, dari segi hukum, wajib diikuti, dan dipenuhi [29].
Sejarah menunjukkan bahwa sejak semula kekuasaan pemeliharaan Ka’bah berada di tangan keturunan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Namun, dalam perjalanannya, kekuasaan itu telah berpindah-pindah. Setelah Nabi dapat menaklukan Ka’bah, Nabi Saw memutuskan untuk memberikan tanggung jawab itu kepada Usman bin Thalhah. Beliau adalah keturunan dari pemegang amanat Ka’bah, dan juga dapat dipercaya untuk amanat itu. Usman bin Thalhah adalah seorang Muhajirin yang meninggalkan Ka’bah bersama Rasul Saw dan Khalid bin Walid serta Amr bin al Ash;  dan beliau merupakan salah satu sahabat yang terkemuka [30].
Tafsir lain yang dikutip oleh Hamka berasal dari Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam, dan Syahr bin Hausyab. Beliau berpendapat bahwa ayat itu diturunkan bagi amir-amir yang memegang kekuasaan di antara manusia, dan dimaksudkan agar orang itu memerintah dengan baik, dan tidak sewenang-wenang [31]. Imam Malik berpendapat, jika seorang musafir yang negerinya telah diperangi, dan datang melindungi diri ke negeri Islam dan menitipkan hartanya, lalu dia mati hilang di tempat lain, maka wajiblah harta bendanya itu dikirim kepada ahli warisnya [32].
Hamka menyimpulkan bahwa Ayat tersebut merupakan ajaran Islam yang wajib dipatuhi oleh penguasa-penguasa, dan memberikan amanat kepada yang berhak. Penguasa-penguasa di sini dapat berarti sebagai para pemegang kuasa, atau yang memiliki keahlian atau bakat tertentu, yang terdiri dari:  amir-amir, wakil di kota-kota, pejabat, qadhi-qadhi, panglima, perwira tinggi, pemegang kuasa kekayaan negara, amirul haj, bendaharawan, pembawa pos, pemimpin khabilah, tetua pasar, buruh, petani, guru, ulama, ibu bapak, suami istri,  dan seterusnya. Untuk itu, yang diberi tugas  haruslah memiliki kecakapan, kesanggupan, kejujuran, dan dapat dipercaya untuk amanat itu, serta sesuai dengan bakat dan keahliannya masing-masing; bukan berarti semata-mata karena “orang yang baik” dan saleh beribadah. Mereka dipilih bukan semata-mata karena pilih kasih atau adanya hubungan keluarga; karena jika demikian, Khalifah Umar bin Khatab mengatakan, bahwa hal itu merupakan tindakan berkhianat kepada Allah, Rasul dan kaum muslimin [33].
Rahardjo [34] mengutip pendapat Mawlana Muhammad Ali, ‘amanat’ dalam ayat di atas dikaitkan dengan salah satu hadis Nabi Saw, yang menyebutkan bahwa amanat itu harus diserahkan kepada ahlinya; karena, jika tidak, maka akan terjadi kehancuran. Nabi Saw bersabda: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi”. Ada seorang sahabat bertanya: Bagaimana maksud amanat disia-siakan? Nabi Saw menjawab: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” (IBI, 2014: 341).
Dari uraian tersebut di atas terlihat, bahwa esensi dari amanat adalah tanggung jawab untuk meyerahkan suatu pekerjaan kepada orang yang dipercaya karena keahlian atau kemampuannya, sehingga tidak menimbulkan kehancuran sebagai akibat pelaksanaan dasar tugas yang diamanatkan. Artinya, tugas itu harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang diharapkan pada diri pengemban tugas, dan menciptakan hasil yang diharapkan, atau bersifat result oriented.


e.   Amanah Sebagai Prinsip Kepemimpinan
Menurut Rahardjo (2002: 205), amanah adalah salah satu prinsip kepemimpinan, yang disimpulkan dari Hadis Nabi Saw dan diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Pemimpin yang memimpin orang banyak adalah pengembala yang dimintakan pertanggung jawabannya terhadap gembalaannya, seperti suami terhadap istri sebagai gembalanya, orang tua terhadap anaknya atau gembalanya, dan seterusnya, dan setiap orang adalah pemimpin.
Nabi Besar Muhammad Saw menerapkan empat ciri kepemimpinan, yaitu: shiddiq atau jujur, fathanah atau cerdas dan berpengetahuan, amanah atau dapat dipercaya atau diandalkan, dan tabligh atau berkomunikasi dan komunikatif. Dalam manajemen modern, kata ‘benar’ atau ash shiddiq diartikan oleh Peter Drucker sebagai efisiensi atau melakukan sesuatu secara benar atau do the right things, dan efektivitas atau melakukan sesuatu yang benar atau do the things right [35].

f.    Amanat Sebagai Itikad Baik, Menjaga  Hak Orang , dan Mengembalikan Hak Kepada Pemilik
Amanah juga dapat diartikan untuk tidak mengambil hak orang lain, mengembalikan seluruh hak kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya, dan tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga atau upah; kecuali diperoleh melalui jalan perniagaan berdasarkan suka sama suka (An Nissa, QS, 4 : 29), dengan menetapkan hukum secara adil (An Nissa, QS, 4 : 58). Asas amanah bagi masing-masing pihak haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lain dan tidak dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidak tahuan mitranya [36].
Kisah yang menggambarkan makna amanat di atas dicontohkan oleh Ali bn Abu Thalib ra. Pada pemerintahan Ali, terdapat sebuah kalung mutiara yang disimpan di Baitul Mal. Mengetahui hal itu, putri Ali mengirim seseorang ke Baitul Mal untuk meminjam kalung itu. Ketika Ali melihat putrinya  memakai kalung, yang diketahui hanya ada di Baitul Mal; maka Ali bertanya pada putrinya itu, dari mana kalung yang dipakainya itu diperoleh. Dia mengatakan dipinjam dari Baitul Mal, dan berjanji akan mengembalikannya. Kemudian, Ali memanggil penjaga Baitul Mal, dan mengatakan bahwa dia tidak dapat melakukan hal itu tanpa seijin Amirul Mukminin. Ali dengan geram mengatakan pada putrinya, “Wahai putri Ali bin Abu Thalib, janganlah engkau memalingkan dirimu dari kebenaran. Apakah engkau melihat perempuan Muhajirin dan Anshar memakai perhiasan itu pada hari raya? Ibnu Rafi, penjaga Baitul Mal itu, mengambil kembali dan membawa ke tempatnya di Baitul Mal [37].
Moral dari kisah tersebut berkaitan dengan itikad baik dan hak. Penjaga Baitul Mal, yang bernama Ibnu Rafi jelas melakukan kesalahan, yaitu mengeluarkan dan meminjamkan kalung itu tanpa seijin Amirul Mukimin, walaupun dipinjamkan kepada anaknya. Penjaga itu tidak berhak untuk melakukan tindakan tersebut, dan tidak beritikad baik untuk menjaga kepercayaan yang diberikan padanya; demikian pula, putri Ali tidak berhak memakai kalung itu, yang bukan miliknya, dan tidak berhak untuk memerintahkan penjaga itu meminjamkannya pada dirinya, walaupun dia adalah putri Ali. Dalam hal ini, penjaga Baitul Mal tidak menjaga kepercayaan yang diberikan oleh Amirul Mukminin; dan oleh karenanya, bersifat tidak amanah

g.   Amanah Bekerja Sepenuh Hati dan Penuh Tanggung Jawab
Dalam satu kisah, Umar bin Khathab ra masih menangani dua ekor unta untuk dibagikan kepada kaum fakir miskin, tetapi belum sempat dilakukannya. Dalam cuaca yang sangat panas, Umar mengembala kedua onta itu di padang rumput. Ketika ditanya oleh Utsman, kenapa beliau melakukan hal itu. Umar ra menjawab, karena khawatir kedua onta itu akan hilang. Pada kesempatan lain, Umar ra menunggangi kuda untuk mengejar seekor unta sedekah yang kabur. Ketika ditanya kenapa hal itu dilakukannya, sehubungan tindakan itu dapat merendahkan posisinya sebagai amirul mukminin, beliau menjawab “ Janganlah mengecam aku karena jika tidak akau lakukan, maka aku akan dihukum di hari kiamat karena hilangnya kambing sekalipun” [38].
Pada kisah Abu Ubaidah bin Jarrah ra, diriwayatkan Abu Ubaidah ra mencabut besi yang menebus pipi Nabi Besar Muhammad Saw sebagai akibat musibah yang dialami beliau dalam Perang Uhud. Agar Nabi Saw tidak menderika sakit ketika besi itu dicabut, Abu Ubaidah ra mencabutnya dengan mulutnya bukan dengan tangannya,  sehingga dua gigi serinya terlepas.
Uraian ini jelas menunjukkan bahwa amanah juga berarti melakukan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab dan bersunguh-sunguh,  sehingga hasil yang diharapkan dapat dicapai, dengan cara yang tidak biasa dilakukan orang lain, dan  yang lebih baik,  menjamin tujuan yang diharapkan sepenuhnya tercapai.

h.   Amanah Menepati Janji dan Penegakkan Nilai-Nilai Moral
Orang-orang yang beriman dan bertaqwa, antara lain,  adalah orang-orang yang menciptakan kebajikan, termasuk memberikan harta kepada kerabat, memberikan makan anak yatim, mendirikan shalat, dan menepati janji (Surat Al Baqarah, QS, 2:177). Surat Al Maidah (QS, 5 : 1) lebih lanjut memerintahkan orang yang beriman untuk memenuhi akad-akad. Aqad di sini berarti janji prasetia hamba kepada Allah Swt, dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya. Inti dari perjanjian adalah kesepakatan para pihak. Dari segi makna kata, akad, bentuk kata singular, berarti ‘ikatan’ atau ‘perikatan’; dan uqud berarti bentuk jamak, atau akad-akad,  mencakup seluruh bentuk janji, baik lisan maupun tertulis; yang termasuk janji pada Allah, pada dirinya sendiri, dan dengan sesama manusia, melalui kegiatan  sumpah, perkongsian, jual beli, nikah kawin, dan pembebasan budak. Kalimat awal memerintahkan agar orang yang beriman kepada Allah Swt, haruslah memenuhi janji, perikatan, atau kesepakatan yang telah dibuatnya. Karena jika tidak, maka orang itu tidak termasuk orang yang tidak beriman [39].
Janji pada Tuhan dipenuhi dengan melakukan ibadat. Dalam hal perkawinan, dipenuhi dengan kesetiaan suami istri. Dalam hal kemiliteran, janji prajurit dipenuhi dengan kedisiplinan. Dalam hal utang piutang, para pihak harus memenuhi amanat, bagi pengutang harus membayar utangnya, dan bagi yang berpiutang harus menerima piutangnya. Kecuali janji menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal, seluruh janji, perikatan,dan kesepakatan harus di penuhi dalam Islam [40].
Ayat lain berisikan perintah Allah kepada manusia untuk menepati janji, karena dan jika tidak, janji itu akan menimpa dirinya; dan  jika menepati, akan diberikan pahala (al Fath, QS, 48 : 10). Bagi orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janji-janjinya adalah yang mewarisi surga firdaus, dan kekal di dalamnya serta dimuliakan (Al Muminun QS, 23 : 8-11). Di lain pihak, Tuhan telah pula menetapkan bahwa ”...Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabnya” (Al Isra, QS, 17 : 34).
Umer Chapra berpendapat bahwa untuk terjadinya pemenuhan janji atau akad khususnya atau disiplin pasar umumnya, diperlukan dua unsur, yaitu adanya dorongan yang kuat dan kesadaran pribadi untuk menerapkan nilai-nilai moral yang diperlukan, dan adanya sistem yang memberikan insentif dan pencegahan. Nilai-nilai moral yang dimaksud adalah disiplin pribadi, keadilan, kejujuran, kebaikan, semangat kebersamaan, peduli pada masalah manusia, dan etika dalam berusaha. Dalam Islam, penerapan nilai-nilai moral ini terbentuk dengan adanya kepercayaan pada Tuhan dan hari akhir, karena di situ yang memenuhinya akan masuk surga; dan yang tidak, akan masuk neraka karena berdosa. Nilai moral ini lebih tinggi karena lebih penting sifatnya, jika dibandingkan dengan hukum positif walaupun adanya sanksi di dunia [41]. Kenyataannya adalah hukum positif manusia sering dilanggar, walaupun adanya sanksi yang jelas. Namun, sanksi itu tidak ditegakkan secara konsisten, karena budaya hukum dan penegakkan hukum yang lemah. 
  
i.    Amanah: Kehati-Hatian Buat Diri Sendiri dan Orang lain
   Untuk memenuhi amanah, orang yang diberikan amanah perlu melakukan  pekerjaaannya dengan hati-hati, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. Hadis Nabi Saw (HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al Khudri): “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain”. Frasa ‘tidak membahayakan’ setara dengan ‘bertindak secara hati-hati’ mengandung makna bertindak dengan memperhitungkan segala kemungkinan bahaya atau risiko yang mungkin timbul sebagai akibat tindakan atau perbuatan yang akan dilakukan. Dalam kaitan ini, Umar bin Al-Khathab ra tidak memperbolehkan hal-hal yang mendatangkan mudharat terhadap siapapun. Sikap ini menciptakan kaidah ushul fikih “Kemudharatan harus dihilangkan” [42].
Bertindak secara hati-hati sesungguhnya sejalan dengan perintah Allah Swt. Surat Ali Imran (QS, 3:104) pada dasarnya menyerukan sekelompok orang yang ada untuk mengajak umat manusia mengerjakan kebajikan, atau yang bersifat ma’ruf, dan mencegah yang mungkar (amar makruf nahi munkar), sehingga menjadi orang-orang yang  beruntung.  Agar dapat mencapai hal yang diserukan itu, orang harus berpikir sebelum bertindak, dan mempertimbangkan untung ruginya, atau manfaat dan mudharatnya, baik untuk diri sendiri dan terlebih untuk orang lain, sehingga mencapai suatu tingkat keuntungan yang diharapkan. Keuntungan dalam Islam tidak semat-mata diukur dari segi kuantitas atau angka-angka belaka, tetapi lebih jauh dari itu. Keuntungan yang diperoleh haruslah merupakan kewajaran, tidak berlebihan, dan diperoleh dengan cara-cara yang halal,  atau tidak menyimpang dari ketentuan moral dan hukum.

j.    Hadis Nabi Saw: Mencintai Pekerjaan
Agar berhasil dalam memenuhi amanat, orang harus bekerja secara sungguh-sungguh; dan untuk mencapainya, maka orang harus pula mencintai pekerjaaannya. Dalam sebuah Hadis riwayat Imam Ahmad, Rasulullah Saw bersabda:”Allah Swt mencintai hambaNya yang mukmin dan mencintai pekerjaannya”. Bekerja dalam Islam adalah ibadah; dan, kerja memerlukan keridhoan, yaitu dengan niat yang tulus untuk mencapai hasil kerja yang diharapkan. Dari proses hingga penyelesaiannya menjadi benar, bermanfaat, dan sesuai, atau disebut juga sebagai’saleh”. Nabi Saw dalam hadis yang lain bersabda, agar umatnya berbuat sepenuh kemampuan, dan bagi mereka yang melakukan pekerjaan sebaiknya akan memperoleh sesuatu yang baik dari dunia ini. Bekerja dengan menggunakan kemampuan sepenuhnya berarti berusaha untuk melakukan yang terbaik, sehingga memperoleh hasil yang lebih baik.
Menurut Shihab [43], kerja dan budaya kerja merupakan keniscayaan. Hal ini disebabkan karena Tuhan telah memberikan manusia empat daya, yaitu: daya phisik yang menghasilkan kegiatan phisik dan ketrrampilan, daya pikir yang menghasilkan ilmu pengetahuan, daya kalbu yang mengekspresikan keindahan dan mampu berkhayal, dan daya hidup yang menghasilkan daya juang. Pada hakikatnya,  berkeja adalah mengunakan salah satu dari daya ini. Kerja yang dituntut dalam Islam bukan asal kerja, tetapi kerja yang sungguh-sungguh, dan untuk itu umat Islam harus mencintai pekerjaannya.

C.. Trust atau Kepercayaan dalam Perspektif Hukum Kontemporer
Kata trust atau kepercayaan menyangkut paling tidak dua pihak; yang pertama, orang yang memberikan kepercayaan atau trustor, dan orang yang dipercayai atau trustee. Hubungan terbentuk antara kedua pihak tersebut, karena adanya reputasi di pihak trustee. Dalam kaitan dengan hukum, ketika terdapat dua pihak yang berhubungan, dan salah satu menggantungkan harapannya atas prestasi pihak lain, maka terbentuk hubungan fidusia atau fiduciary relationship; dan pihak yang dipercayai memiliki fiduciary duty atau tugas fidusia terhadap yang mempercayainya.

1... Teori Trust atau Kepercayaan, dan Reputasi[44]
a.   Trust atau Kepercayaan
Dalam kaitan dua pihak,  trustor dan trustee, Josang [45] berpendapat, bahwa trust adalah probalita subjektif dengan mana seseorang atau trustor mengharapkan orang lain atau trustee untuk melakukan suatu tindakan, dan mengantungkan kesejahteraannya pada tindakan itu.  Intinya adalah bahwa kepercayaan merupakan realibilitas terhadap trustee bahwa dia dapat memenuhi harapan itu; atau trustee dapat diharapkan menepati janji-janjinya, seperti yang dilakukannya di masa lampau [46]. Trustor adalah entitas yang berfikir, atau secara khusus dikatakan, adalah pihak yang memiliki kemampuan untuk membuat penilaian dan keputusan berdasarkan informasi yang diterima atau pengalaman masa lalu. Trustee, di lain pihak, dapat merupakan perorangan, perusahaan, atau anggapan yang abstrak seperti informasi. Dalam hubungan antara trustor dan trustee, terdapat suatu ruang lingkup, yaitu berupa tujuan tertentu atau berupa tindakan dalam suatu tataran tertentu [47].  
Dalam arti yang sederhana dan berdiri sendiri, trust identik dengan keyakinan atau confidence [48]. Menurut Shaw [49], trost dalam bahasa Jerman, atau trust dalam bahasa Inggris, berarti ’nyaman’. Itu merupakan suatu penilaian awal terhadap kemampuan dan karakter seseorang atau suatu institusi atau organisasi, yang tidak selalu dibentuk dari pengalaman; tetapi sebagian dibentuk atas kepercayaan atau faith. Definisi yang diberikan oleh Shaw adalah ’suatu kepercayaan atau belief terhadap siapa kita gantungkan harapan bahwa dia akan memenuhi harapan kita’.
Tampaknya, konten ‘nyaman’ diperoleh dari keyakinan bahwa orang yang dipercayai itu dapat memenuhi harapan pihak yang memberikan kepercayaan; dan ini merupakan suatu keyakinan, yang tidak sepenuhnya berdasarkan pengalaman, dan mungkin berdasarkan suatu pemikiran, atau bahkan hasil dari perolehan impresi positif dari orang yang dipercayai itu. Singkatnya, menurut Cabral [50], trust adalah situasi ketika agen mengharapkan agen tertentu yang lain untuk melakukan sesuatu, berdasarkan mekanisme repetisi, atau ‘menghukum’ ketika tindakan agen itu keluar dari equilibrium atau keseimbangan.
Jadi, berdasarkan uraian dari Shaw, trust merupakan suatu penilaian terhadap kapasitas seseorang untuk memenuhi kebutuhan orang yang mempercayainya itu, yang intinya mengandung tiga pengertian:
Pertama, trust dalam ranah bisnis mengandung kinerja dari seseorang atau dari suatu institusi dalam memenuhi kewajiban dan komitmennya. Kinerja di sini dapat diartikan sebagai manifestasi keahlian atau expertise,  yang berasal dari keduanya yaitu  dari teori dan terlebih dari praktik [51].
 Kedua, melakukan tugasnya dengan integritas atau kejujuran, dan ucapan  dalam kata-kata sesuai secara konsisten dengan tindakan. Menurut Bernasek [52], integritas atau integrity merupakan kepatuhan pada prinsip-prinsip moral, kejujuran, dan kehormatan, serta berkaitan dengan kepercayaan atau trust. Unsur-unsurnya adalah keterbukaan, norma-norma, dan akuntabilitas atau tanggung jawab [53]. Tambahan pula, menurut Covey [54], integritas diartikan tidak saja sebagai kejujuran, tetapi lebih dari itu. Bertindak dengan integritas berarti selaras dengan apa yang tampak dengan apa yang dilakukan sesungguhnya, kata-kata sesuai dengan tindakan, niat dan tingkah laku, berkata dengan kejujuran dan kerendahan hati serta meninggalkan impresi yang benar, berani bertindak dengan benar sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang dianut walaupun sulit untuk dilakukan, sehingga menciptakan kredibilitas dan trust 
Ketiga, menunjukkan perhatian terhadap orang lain. Sebagai kesimpulan, Shaw mengatakan, bahwa trust adalah seseorang atau suatu institusi yang selalu menunjukkan hasil, bertindak dengan integritas, serta menunjukkan perhatian terhadap orang lain.
Menurut Bloomgarden [55], terdapat empat unsur yang dapat membentuk trust, yaitu memberikan hasil yang nyata, bertindak dalam norma-norma etika, mendengarkan apa yang harus disampaikan oleh orang lain, atau konsumen, dan bersikap terbuka atau transparan dalam apa yang dilakukan. Sebaliknya, kepercayaan dapat rusak karena kerakusan, terlalu menguasai, bertindak tidak etis, mengambil jalan pintas untuk mendapat keuntungan sepihak, tidak memperhatikan kepentingan pihak lain, dan penipuan [56].
Dalam konteks lingkungan yang lebih luas, Fukuyama [57] berpendapat, bahwa trust atau kepercayaan merupakan suatu harapan yang muncul dalam masyarakat dari tingkah laku yang biasa jujur, dan dapat bekerja sama berdasarkan norma yang biasa dianut oleh sebagian dari masyarakat. Norma yang dimaksud dapat berasal dari nilai agama atau ketuhanan yang dalam, tapi juga dapat berasal dari standar tingkah laku tertentu yang berlaku untuk kelompok tertentu, seperti misalnya kode etik perbankan Indonesia. Bagi Fukuyama, trust membangun kerjasama yang saling mempercayai dalam koridor etika yang umum, sehingga membentuk modal sosial di dalam masyarakat. Modal sosial ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi industrial dan inovasi pada tingkat organisasi yang lebih baik, dan sekaligus membentuk banyak hubungan sosial dan menurunkan biaya dalam bertransaksi [58].
Menurut Immanuel Kant (1724- 1804),  trust atau kepercayaan merupakan ikatan sosial, dan menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang sangat bermoral, yang memiliki pandangan yang kuat terhadap ide adanya tugas yang menyangga pengertian trust. Bagi Kant, manusia mampu untuk diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan moral, dan ketentuan itu harus bersifat universal, yang artinya bahwa ketentuan itu harus berlaku pada setiap orang secara merata, sehingga wajar dan tepat secara moral [59].
Namun, Thomas Hobbes (1588-1676) memiliki pandangan yang berbeda. Menurut Hobbes, manusia itu bersifat ambisius dan hanya tertarik pada dirinya sendiri; orang pada dasarnya dimotivasi oleh berbagai perasaan yang menyenangkan, pertemanan, dan rasa simpati terhadap orang lain. Trust atau kepercayaan dapat diciptakan oleh motivator-motivator yang disebutkan itu. Walaupun pada mulanya pemberian kredit/pembiayaan dilakukan atas kepercayaan, tetapi menurut Thomas Hobbes banyak hal yang harus dihadapi oleh setiap individu, seperti perubahan dalam hal selera atau nafsu dan kompetisi untuk penghormatan dan penghargaan antara sesama individu, sehingga membuat keberadaan trust atau kepercayaan tidak lagi dapat diperkirakan atau diramalkan [60]. Oleh karena itu, sejalan dengan pendapatnya mengenai sifat manusia, Hobbes berpendapat orang seharusnya tidak memberikan kepercayaan kepada pihak lain, apabila tidak ada keyakinan bahwa terdapat adanya otoritas hukum yang dapat memaksa penepatan janji. Paling tidak, menurut Hobbes, bagi yang mengkhianati kepercayaan, terdapat sanksi sosial, seperti mengucilkannya [61].

b.   Reputasi              
Menurut Muldrew [62], trust atau kepercayaan merupakan ikatan sosial yang penting, dan berarti suatu reputasi yang baik yang menggambarkan kejujuran dan realibilitas dalam kaitan dengan pelaksanaan kewajiban. Menurut O’ Hara (2004 : 71), trust atau kepercayaan dibentuk dan didukung oleh reputasi; dalam hal ini reputasi yang baik, karena reputasi juga dapat bersifat negatif. O’Hara lebih lanjut berpendapat, bahwa reputasi mengandung informasi yang dapat menjawab pertanyaan mengenai dasar reaksi dari aksi yang dilakukan, ketika berhadapan atau berhubungan dengan seseorang atau institusi, dan sekaligus merupakan prediktor terhadap apa yang terjadi. Reputasi merupakan jaminan, substansi, dan fondasi dari trust atau kepercayaan. Aspek yang penting dari reputasi adalah keahlian atau expertise, dan merupakan sumber dari reputasi, yang dapat meningkatkan atau menjatuhkan reputasi [63]. Reputasi adalah bahan dasar atas pembentukan trust [64].
Menurut Eisenegger [65], reputasi pada intinya mengandung tiga komponen: Pertama, agen harus memiliki kompetensi dan kesuksesan yang melekat dengan kompetensinya, yang terus menerus diterapkannya, atau disebut sebagai reputasi fungsional. Kedua, agen harus patuh terhadap norma dan nilai sosial yang berlaku dalam cara yang bertanggung jawab, atau disebut sebagai reputasi sosial. Ketiga, agen harus memiliki perbedaan emosional yang membuat dia lebih menarik daripada kompetitornya, atau disebut sebagai reputasi ekspresif. Menurut Eisenegger lebih jauh, di dunia modern dewasa ini, reputasi sosial jauh lebih penting, karena perhatian terhadap masalah reputasi lebih banyak ditimbulkan karena tingkah laku sosial yang buruk, dan tidak menghormati tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial. Dalam kaitan ini, komitmen sosial yang dapat dipercaya adalah yang dibentuk dari tindakan, bukan dari kata-kata.    
Dalam kaitan dengan reputasi, Eisenegger (2009) mengatakan bahwa trust terbentuk dari pengalaman bahwa seorang agen telah memenuhi harapan agen lain di masa lalu; dan trust membentuk keyakinan atau confidence bahwa agen itu juga dapat memenuhi harapan agen yang lain itu di masa depan. Ini artinya trust memperkuat hubungan yang ada saat ini dan pada saat yang sama bertindak sebagai magnit untuk hubungan masa depan. Namun, trust yang berdasarkan pengalaman langsung bersifat langka, dan tidak selalu dapat diperoleh. Ketika seorang agen tidak memiliki pengalaman dalam berhubungan dengan agen tertentu yang lain, maka agen yang pertama akan mencari dan menggunakan rekomendasi atau pertimbangan pihak lain  mengenai agen yang kedua. Ini yang disebut oleh Eisenegger [66] sebagai reputation judgments.
Sabater dan Siera menjelaskan mengenai kaitan trust dan reputasi. Dari pendekatan cognitive, trust dan reputasi terbentuk karena adanya kepercayaan yang mendasarinya, dan merupakan fungsi dari kepercayaan tersebut. Dalam pendekatan ini, bagian yang penting adalah bahwa kepercayaan merupakan keadaan mental yang mengarah untuk mempercayai agen atau melekatkan suatu tingkat reputasi, dan konsekuensi mental dari suatu keputusan dan tindakan untuk mengandalkan agen. Dalam pendekatan teoretis, trust dan reputasi dianggap sebagai suatu probabilita subjektif bahwa seorang individu A mengharapkan individu yang lain B untuk melakukan sutu tindakan tertentu dengan mana individu A menggantungkan kesejahteraannya. Pendekatan ini  bukan merupakan pendekatan cognitive, tetapi lebih berdasarkan perhitungan yang pragmatis mengenai fungsi utilitas, dan agregasi numerik dari interaksi masa lalu [67].
Untuk mempertimbangkan atau menghitung suatu tingkat trust dan reputasi, Sabater dan Siera [68] mengemukakan berbagai sumber informasi yang dapat digunakan. Sumber pertama adalah pengalaman langsung, yaitu yang berasal dari interaksi langsung, atau yang merupakan observasi hasil interaksi dengan anggota lain dari kelompok masyarakat. Sumber kedua adalah informasi dari saksi, atau disebut juga informasi dari mulut ke mulut, atau informasi tidak langsung, yang merupakan informasi berasal dari anggota masyarakat. Informasi tersebut dapat berasal dari pengalaman langsung,  atau yang dikumpulkan dari orang lain. Sumber ketiga adalah informasi sosiologis, yang dasarnya adalah merupakan pengetahuan yang berasal dari hubungan sosial antara agen dan peranan yang dimainkan oleh agen ini dalam masyarakat[69].
 Trust dan reputasi yang baik meminimalkan kontrol sosial; dan nama yang baik megenyampingkan perlunya untuk terus menerus memonitor tindakan dari agen yang memiliki reputasi yang baik [70]. Kepercayaan, menurut Fombrun, terbentuk dalam kaitan antara kreditor dan debitor, adalah ketika kedua-belah pihak tidak saja mematuhi atau menghormati perjanjian secara eksplisit, tetapi juga secara implisit [71].

2. . Fiduciary relationship, Fiduciary Duty, dan Tiga serangkai Fiduciary Duty[72]
a.   Fiduciary Relationship
Dalam kaitan dengan trust atau kepercayaan yang diuraikan di muka, terdapat dua pihak, yang menciptakan suatu ikatan hubungan fidusia, atau fiduciary relationship. Menurut Black’s Law Dictionary [73], hubungan fidusia adalah ketika seseorang memiliki kewajiban untuk bertindak demi kepentingan pihak lain dalam hal-hal yang berkaitan dengan ruang lingkup hubungan itu; dan dapat muncul dari salah satu keadaan berikut: Pertama, ketika seseorang meletakkan kepercayaan berdasarkan integritas yang tulus dari orang lain, yang sebagai akibatnya memiliki kelebihan atau pengaruh terhadap yang pertama, ketika seseorang menjalankan pengawasan dan tanggung jawab terhadap orang lain; ketiga, ketika seseorang memiliki kewajiban untuk memberikan nasehat kepada yang lain dalam kaitan dengan hubungan itu; atau apabila adanya hubungan yang khusus secara tradisional atau kebiasaan menyangkut adanya fiduciary duties.
Kata fiduciary sendiri berasal dari kata latin “fiduciarus” yang berasal dari kata fides atau faith[74]  berarti kepercayaan [75], dan mengandung 2 konotasi, yaitu kepercayaan dan keyakinan [76]. Kepercayaan atau trust diartikan sebagai suatu harapan bahwa pihak lain akan bertindak sesuai yang diharapkan oleh seseorang [77].  Dikaitkan dengan definisi di atas, ketika seseorang meletakkan kepercayaannya terhadap seseorang yang lain maka di situ telah terbentuk suatu hubungan fidusia atau fiduciary, atau yang sering disebut sebagai hubungan kepercayaan. Seorang fidusia adalah seseorang yang bertindak untuk manfaat yang diusahakannya bagi orang lain. Orang itu berada di posisi yang dipercaya oleh orang lain, karena dia dipercaya dapat memberikan manfaat bagi orang yang mempercayainya. 
Ketika seorang yang sedang sakit datang ke seorang dokter, maka pasien itu percaya bahwa dokter yang didatanginya itu mampu memberikan obat untuk menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Demikian pula dengan seorang guru, muridnya percaya bahwa sang guru dapat memberikannya ilmu yang bermanfaat dan  tidak dimilikinya. Apabila dokter tidak dapat meyembuhkan penyakit pasiennya, atau guru tidak dapat memberikan ilmu yang bermanfaat bagi muridnya, maka cepat atau lambat kepercayaan pasien atau murid pada dokter atau guru itu akan berkurang atau hilang sama sekali.

b.   Fiduciary Duty
Konsep fiduciary relationship berlaku umumnya dalam kaitan suatu hubungan antara satu orang dengan orang lain. Dalam sistem hukum asalnya, common law, hubungan fidusia menimbulkan serangkaian tugas hukum yang harus dilakukan oleh seseorang yang dipercaya dalam hubungan itu. Menurut Black’s Law Dictionary [78], tugas fidusia adalah suatu tugas dengan itikad baik yang tulus, kepercayaan, keyakinan, dan kejujuran yang harus dipenuhi oleh seorang fidusia (seperti pengacara atau pejabat korporasi) terhadap penerima manfaat (seperti klien atau pemegang saham); suatu tugas untuk bertindak dengan kadar kejujuran dan loyalitas yang tinggi terhadap orang lain dan demi kepentingan terbaik dari orang lain itu, seperti tugas yang harus dilakukan oleh seorang mitra usaha terhadap mitra yang lain.

c.   Tiga Serangkai Fiduciary Duty
          Untuk memenuhi fiduciary duty, seorang yang dipercaya dalam hubungan fidusia harus pula memenuhi prinsip tiga serangkai: yaitu Duties of Skill & Care, Loyalty, dan good faith atau  itikad baik. Black’s Law Dictionary memberikan definisi duty of care atau tugas kehati-hatian, yaitu hukum kelalaian mewajibkan seseorang untuk bertindak dalam keadaan tertentu, untuk memperhatikan segala kemungkinan yang ada seperti bahaya, kesalahan, dan perangkap, sehingga dapat meminimalkan risiko yang mungkin dihadapi. Orang yang mempercayai itu  memiliki harapan bahwa orang yang dipercaya itu dapat memenuhi harapannya terhadap suatu prestasi  yang harus dilakukannya  sejalan dengan keahlian atau skill, kualifikasi, dan pengalaman dari orang yang dipercayai itu[79].
Duty of loyalty, atau tugas kesetiaan, merupakan bagian yang penting dari fiduciary duty, dan lebih penting dari duty of care [80]. Duty of loyalty mengharuskan seorang fidusia untuk selalu menyesuaikan tingkah lakunya secara terus menerus untuk menghindari tingkah laku yang mementingkan diri sendiri, yang merupakan tindakan yang salah terhadap beneficiary atau penerima manfaat, atau pihak yang mempercayainya[81] .
Duty of loyalty adalah kewajiban seseorang dalam kedudukannya sebagai seorang fidusia untuk tidak terlibat dalam kegiatan yang merupakan self dealing, atau menggunakan kedudukannya untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan untuk siapa dia bekerja. Intinya, duty of loyalty melarang adanya unsur ketidaksetiaan atau faithlessness, dan self dealing [82]. Duty ini mengandung dimensi tanpa pengkhianatan dan aspek pengabdian yang positif, yang bukan hanya menjaga untuk tidak membahayakan perseroan, atau pihak yang mempercayainya, tetapi menuntut fidusia untuk memajukan perusahaan.
Ini juga berarti duty of loyalty menjauhkan tindakan yang salah atau wrongdoing, benturan kepentingan, dan ketidakjujuran yang disengaja [83]. Duty of loyalty juga berarti menghindar dari tindakan dengan tujuan yang ilegal, yang memerlukan direksi atau fidusia berusaha dengan itikad baik untuk mengawasi jalannya usaha atau perusahaan sesuai dengan hukum.
Itikat buruk, atau lawan dari itikad baik, yaitu [84]: perbuatan fidusia yang dilatarbelakangi dengan niat yang sesungguhnya untuk membahayakan atau menimbulkan kerugian, untuk siapa dia bekerja atau pihak yang mempercayainya; atau menyangkut kurangnya sikap hati-hati atau duty of care,  suatu tindakan fiduciary yang dilakukan semata-mata karena sangat ceroboh tanpa adanya niat jahat. Itikad buruk juga diartikan sebagai penelantaran kewajiban yang disengaja, atau mengabaikan kewajiban secara sadar. Pelanggaran terhadap itikad baik, atau itikad buruk terjadi, jika seorang fiduciary menyadari bahwa dia tidak bertindak demi kepentingan terbaik perusahaan atau pihak yang memperkerjakannya atau yang mempercayainya, atau tidak konsisten dengan tanggungjawabnya[85]:

d.   Itikad baik dan Fiduciary Duty dalam Hukum Indonesia
 Itikad baik merupakan unsur yang sangat penting dalam bertransaksi, baik dalam membuat perjanjian atau akad, maupun dalam menjalankan tugas sebagai seorang fidusia, seperti halnya seorang anggota direksi dalam menjalankan usaha perseroan untuk kepentingan perseroan.
Khususnya dalam kaitan dengan perjanjian, ketentuan-ketentuan yang ada ditetapkan dalam KUHPerdata. Pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan tiga hal dalam 3 ayat, yaitu: segala persetujuan yang dibuat secara sah “berlaku sebagai undang-undang” bagi mereka yang membuatnya[86], persetujuan tidak dapat ditarik kembali kecuali disepakati oleh kedua belah pihak, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Subekti menjelaskan bahwa Ayat 3 dari Pasal yang dimaksud berarti cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan[87], atau pelaksanaannya telah berjalan di atas rel yang benar.
Menurut Kartini Mulyadi, dengan rumusan itikad baik, jauh sebelum suatu perjanjian dibuat dan kemudian ditutup, sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitor maupun kreditor, atau pihak-pihak dalam perjanjian, bahkan pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian [88]. Sutan Remy Syadeini menuliskan[89], bahwa itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum. Niat merupakan bersifat abstrak dan intangible, yang berada dalam bathin seseorang, seperti yang dikutip oleh Sutan Remy dari Black’s Law Dictionary. Sutan Remy menambahkan, karena setiap orang selalu harus bertanggung jawab pula kepada masyarakat, maka niat yang dimaksud juga merupakan niat untuk tidak merugikan masyarakat banyak dan kepentingan umum.
Di dalam konteks hukum korporasi, prinsip itikad baik dan penuh tanggung jawab berperan dalam menentukan apakah seorang fidusia, dalam hal ini anggota direksi, bersalah atau lalai dalam melakukan tugas kewajibannya dalam menjalankan usaha perseroan demi kepentingan perseroan. Prinsip itikad baik dan penuh tanggung jawab menunjukkan suatu  prinsip yang mengacu pada kemampuan dan tindakan kehati-hatian direksi atau duties of care and  skills. Unsur itikad baik yang disertai dengan tidak adanya benturan kepentingan, secara langsung atau tidak langsung, menunjukkan bahwa direksi menempatkan kepentingan perseroan di atas kepentingan pribadinya, sehingga merupakan pemenuhan duty of loyalty-nya kepada perseroan. Duty of loyalty ini diperkuat dengan usaha yang dilakukan direksi untuk mencegah timbul dan berlanjutnya kerugian yang dapat dialami oleh perseroan.
Secara keseluruhan, konsep fiduciary relationship dan fiduciary duty telah diadopsi dalam UUPT di Indonesia, dan konsep itikad baik telah dikenal dalam ketentuan perundang-undangan Indonesia, khususnya dalam kaitan dengan perjanjian dan UUPT.

C.    Kesimpulan
Pengertian amanah mencakup, antara lain, a). bertanggung jawab untuk melakukan suatu prestasi atau janji dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran, serta memenuhi ketentuan hukum (ini artinya memenuhi duty of care and skills),b). menjaga dan mengembalikan hak (yang juga dapat diartikan sebagai kepentingan atau harta) orang lain secara utuh. Pelaksanaan amanat itu dilakukan dengan taqwa, disiplin, itikad baik (duty of good faith), sepenuh hati dan bersunguh-sungguh, memenuhi prinsip kehati-hatian bagi diri sendiri dan orang lain (duty of care and skills) atau amar makruf nahi munkar, sehingga menjamin hasil pelaksanaan secara jujur, atau tanpa khianat, bagi pemberi amanat, walaupun pemberi amanat itu kurang memahami hasil yang dapat dicapai (ini artinya mengandung duty of loyalty).
Agar dapat melaksanakan tugas atau amanat dengan baik, pihak yang diberikan amanat harus memiliki kemampuan, kesanggupan, dan keahlian yang diperlukan (atau duty of care and skills), dapat dipercaya berdasarkan reputasinya (duty of loyalty),dan berorientasi pada hasil yang lebih baik. Sikap amanah, dan pelaksanaan tugas atau amanat yang memenuhui harapan pemberi amanat, harus dimiliki oleh setiap orang yang berada di posisi memimpin, dan bahkan oleh setiap orang, dengan memenuhi ciri-ciri shiddig, fathanah, dan tabligh. Pemenuhuhan amanat atau menepati janji disetarakan dengan penegakkan nilai-nilai moral, yaitu disiplin pribadi, keadilan, kejujuran, kebaikan, semangat kebersamaan, kepedulian terhadap orang lain, dan etika bekerja atau berusaha.
Trust bearti suatu tingkat harapan bahwa trustee dapat diharapkan untuk melakukan suatu prestasi dan memenuhi janji, kewajiban, dan komitmen, dengan integrirtas, kejujuran, dan kesamaan antara kata dengan perbuatan, berdasarkan pengalaman masa lalu, atau informasi dari saksi atau masyarakat atas kemampuan dan karakter trustee, yang disebut sebagai reputasi yang baik, atau hanya keyakinan untuk itu sebagai suatu perkiraan. Tingkatan trust yang lebih tinggi dan merata dalam suatu masyarakat dapat menjadi modal sosial bagi masyarakat itu.
Pada dasarnya, pengetian trust mendukung pengertian amanah, tetapi yang terakhir, lebih khusus, dan lebih dalam,  serta lebih mengikat secara moral. Namun, jika pengertian trust dikaitkan dengan konsep fiduciary relationship ketika dua pihak berhubungan dan salah satunya bersandar pada pihak lain atas terlaksananya suatu pekerjaan atau tugas, yang melahirkan fiduciary duty bagi yang melakukan tugas, maka secara menyeluruh konsep trust menjadi setara dengan pengertian yang dikandung amanah. Hal ini disebabkan karena hukum Tuhan adalah hukum moral, yang secara hakiki merupakan dasar yang bersifat  fundamental bagi manusia dalam bertingkat laku atau melakukan kegiatan di dunia.
Jika nilai-nilai moral yang terkait ditegakkan, atas dasar ketaqwaan kepada Allah Swt, maka pengenaan sanksi hukum dari segi hukum positf dapat dihindarkan;dan bahkan, manusia diberikan kompensasi akhirati dalam bentuk surga firdausi oleh Allah Swt.














































DAFTAR PUSTAKA

Abu Sinn, Ahmad Ibrahim. (2008). Manajemen Shariah, Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Adhim, Abdulah. (2008). Studi Komparatif Akad Mudharabah dan Murabahah Bank Islam Dengan Pembiayaan Sistem Bunga Bank Konvensional Dalam Perspektif Keadilan. Disertasi. UIN, Jakarta.
Adnan, Muhammad Akhyar, dan Muhamad. (2007). “Agency Problems in Mudhrabah Financing: In Case of Sharia (Rural) Banks, Indonesia”. IIUM  Journal of Economics and Management 15, no. 2(2007): 219-243 @ 2007 by The International Islamic University  Malaysia [http://www.iium.edu.my/enmjournal/152art4.pdf].
Ahmed (a), Habib. (2001). “Incentive-Compatible Profit-Sharing Contracts: A Theoritical Treatment”. In Munawar Iqbal, and David T.Llewellyn (eds), Islamic Banking and Finance, New Perspectives on Profit Sharing and Risk. Northampton, USA: Edward Elgar [http://www.iefpedia.com/english/wp-content/uploads/2013/06/international_Conferences_on_Islamic_Economics_andBookkos.org_pdf].
Al Alwani, Taha Jabir. (2005). Bisnis Islam.Yogyakarta : Aka Group.
Algoud, Latifa M., Mervyn K.Lewis. (2005). Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik, dean Prospek. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. (2006). Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa.
Al Jarhi, Mabid Ali. (2008). Islamic Finance: An Efficient & Equitable Option. The Islamic Research and Training Institute. http://www.wfdd.org.uk/aerticles_talks/mabid.pdf.
Al Jarhi, Mabid Ali. (2 dan 6/2005). The Case For Universal Bank As A Component of Islamic Banking. Islamic Economic Studies, Vol.12, No.2 & Vol 3 No.1.
Al-Misri, Mahmud. (2009). Ensiklopedia Akhlak Muhammad  Saw. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Ash-Shawi, Muhammad Shalah Muhammad. (2008). Problematika Investasi Pada Bank Islam, Solusi Ekonomi Islami. Jakarta: Migunani.
Az-Zuhaili, Wahbah. (2014). Ensiklopedia Akhlak Muslim, Berakhlak Terhadap Sesama & Alam Semesta. Jakarta:Noura Books.
Bernasek, Anna. (2010). The Economics of Integrity. New York: Harperstudio.
Baum, Herb. (2004). The Transparent Leadership. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Bloomgarden, Kathy. (2007). Trust, The Secret Weapon of Effective Business Leaders. New York: St. Martin’s Press.
Cabral, Luis M B. (2005). The Economics of Trust and Reputation: A Primer. Pdges.Stren.nyu.edu/lcabral/reputation/reputation_June05.pdf.
Chapra, M. Umer. Habib Ahmed. (2008). Coporate Governance, Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta : Bumi Aksara.
Chammas, Ghassan. (2006). Islamic Finance Industry in Libanon: Horizons, Enhancements and Projections. Thesis, presented to the Ecole Superieure des Affaires, ESA-Beirut. nghassan@yahoo.com.
Covey, Stephen M. R. (2006). The Speed of Trust. London: Free Press.
Diamond, Douglas W. (1984). Financial Intermediation and Delegated Monitors. The Review of Economic Studies, Vo. 51, Issue 3 (Jul 1984), 393-414.www1.fee.uva.nl/fm/course/Arping PhD course/diamond-1984.pdf.
Dwipratama, Handika. (2012). Pencatatan Musyarakah dan Mudharabah. http://handikadwipratama.blogspot.com/2012/11/perekonomian-indonesia.html.
Eisenegger, Mark. (2009). Trust and Reputation in the age of globalisation. In J.Klewes, R.Wreschniok (eds), Reputational Capital, © Springer-Verlag Hieldelberg.
Errico, Luca. Mitra Farahbaksh. (1998). Islamic Banking: Issues in Prudential Regulations and supervision. IMF Working Paper WP/98/30. lerrico@imf.org, mrahbaksh@imf.org.
Febianto, Irawan, dan A.Ksari, Rahmatina. (2007). “Why do Islamic Banks Tend To Avoid Profit And Loss Sharing Arrangements? “. [http://ssm.com/abstract=1672127[2007].
Fombrun, Charles J. (1996). Reputation, Realizing Value from the Corporate Image. Boston: Harvard Business School Press.
Fukuyama, Francis. (1996). Trust. New York : Simon & Schuster.
Hafidhuddin, Didin. Henry Tanjung. (2006). Shariah Principles on Management in Practice. Jakarta : Gema Insani.
Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Hassan, Zubair. (1992). Profit Maximation: Secular versus Islamic. In Sayyid Tahir, Aidit Gazali & Syed Omar Syed Agil (Ed). Reading in Microeconomics: An Islamic Perspective (pp 239-255). Kuala Lumpur: Longman.
Iqbal, Munawar, dan David T.Llewellyn. (2001). “Introduction”. In Munawar Iqbal, and David T.Llewellyn (eds), Islamic Banking and Finance, New Perspectives on Profit Sharing and Risk. Northampton, USA: Edward Elgar [http://www.iefpedia.com/english/wp-content/uploads/2013/06/international_Conferences_on_Islamic_Economics_andBookkos.org_pdf].
Iqbal, Zamir. (6/1997). Islamic Financial System. Finance & Development.http://www.imf.org/external/pubs/ft/fandd/1997/06/pdf/iqbal.pdf.
Ikatan Bankir Indonesia. (2014). Memahami Bisnis Bank Syariah. Jakarta: Kompas Gramedia.
Jalil, Abdullah. (2007). An Islamic Review of The Mainstream Framework for Project Evaluation. Proceeding of the2nd Islamic Conference2007(iECONS2007) organized by University of Malaysia.
Josang, Audun. (2007). Trust and Reputation Systems. In A. Aldini and R. Gorrieri (Eds), Foundation of security Analysis and Design IV. Springer LNC 4677. Bertinoro, Italy. Home.ifi.uio.no/josang/papers/jos2007-FOSAD.pdf.
Kabir, M Kabir. (1999). Islamic Banking in Theory and Practice: The Experience of Bangladesh. Managerial Finance, 1999, 25, 5; ABI/INFORMGlobal
Kahf, Monzer. Tariqullah Khan. (1409H). Principles of Islamic Financing: A Survey. Islamic Research and training Institute, Islamic Development Bank.
Khalil, Abdel – Fattah A.A., Colin Rickwood, and Victor Murinde. (2001). “Evidence on agency-contractual problems in mudharabah financing operations by Islamic banks”. In Munawar Iqbal, and David T.Llewellyn (eds), Islamic Banking and Finance, New Perspectives on Profit Sharing and Risk. Northampton, USA: Edward Elgar [http://www.iefpedia.com/english/wp-content/uploads/2013/06/international_Conferences_on_Islamic_Economics_andBookkos.org_pdf].
Kamaluddin, Laode. (2007). Rahasia Bisnis Rasulullah. Cimahi: Wisata Ruhani.
Karwowski, Ewa. (2009). Financial Stability:The Significance and Distributiveness of Islamic Banking in Malaysia. Working Paper No.555. the Levy Economics Institute of Bond College. http;//www.levy.org.

Lathif, Ah. Azharuddin. (Tidak Bertanggal). Jaminan dalam Pembiayaan Mudharabah. http://fsh-uinjkt.net/index.php?option=com_content&view=article&id=177:jaminan-dalam-p..

Lewis, Mervyn K. Latifah M. Algaoud. (2007). Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik, dan Prospek. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.
Macey, Jonathan R. (2008). Corporate Governance, Promises Kept, Promises Broken. New Jersey : Princeton University Press.
Mubarok, Jaih. (2013). Akad Mudharabah. Bandung : Fokusmedia.
Muldrew, Craig. (1998). The Economy of Obligation. The Culture of Credit and Social Relations in Early Modern England. Palgrave, Houndmills, Basingstoke, Hampshire RG21 6XS and 175 Fifth Avenue, New York, NY 10010.
Muhammad. (2005). Manajemen Pembiayaan Bank Syariah.Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Muliadi, Arief. (2012). Mudharabah, Musyarakah dan Wadi’ah. http://ariefmuliadi30.blogspot.com/2012/09/mudharabah-musyarakah-wadiah.html.
Muthahhari, Ayatullah Murtadha, (2011). Islam & Tantangan Zaman.  Jakarta: Sadra International Institute.
Mulyadi, Kartini, dan Gunawan Widjaja. (2006). Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Nasaruddin Umar. Rakyat Merdeka. 30/04/2014.
O’Hara, Kieron. (2004). Trust, From Socrates to Spin.  Cambridge: Iconbooks.
Rahman, Abdul Rahim Abdul. (2007). Islamic Bank and Finance: Between Ideals and Realities. IIUM Journal of Economics and Management 15, no.2. http://www.iiu.edu.my/enmjournal/152.arto.pdf.
Rahardjo, Dawam. (2002). Ensiklopedi Al Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina.
Rich, Ustadz. Laode Kamaluddin. (2011). Rasulullah’s Business School. Jakarta: Ihwah.
Rizki, Muhammad. (2012). Merekovery Cityra Kekuasaan Kehakiman. Varia Peradilan Nomor 325 Desember 2012. Hal.104.
Sabater, Jordi. Charles Siera. (2005). Review on Computational Trust and Reputation Model. Kluwer Academic Publisher.www.iiia.csis.es/siera/articles/2005/sabatersiera.pdf.
Sadr, Kazem,dan Zamir Iqbal. (2001). “Choice between debt and equity contracts and asymmetrical information: some empirical evidence”. In Munawar Iqbal, and David T.Llewellyn (eds), Islamic Banking and Finance, New Perspectives on Profit Sharing and Risk. Northampton, USA: Edward Elgar [http://www.iefpedia.com/english/wp-content/uploads/2013/06/international_Conferences_on_Islamic_Economics_andBookkos.org_pdf].
Sang, Heng-Kang. (1995). Project Evaluation: Techniques and Practices for Developing Countries. Aldershot: Avebury.
Shaw, Robert Bruce. (1997). Trust in Balance, Building Successful Organizations on Results, Intergrity and Concern. Jossey Bass Inc, San Fransisco, California.
Shihab, M. Quraish. (2007). Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Soon Chong, Beng. Ming Hua Liu. (2/2007). Islamic Banking: Interest-Free or Interest-Based? http://www.docstoc.com/docs/Down;oadDoc.aspx?doc_id=3867212.
Suyanto, M. (2008). Muhammad, Business Strategy & Ethics. Yogyakarta: Penerbit Adi.
Sjahdeini, Sutan Remi. (1993). Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
Tahir, Sayyid. (2007). Islamic Banking Theory and Practice: A Survey and Bibliography of The 1995-2005 Literature. Journal of Economic Cooperation, 28,1. http://www.sesrtcic.org/files/article/8.pdf.
Uslaner, Eric M. (2002). The Moral Foundations of Trust. Cambridge: Cambridge University Press.
Wangsawidjaja, A. (2012).  Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta :Kompas Gramedia.
Warde, Ibrahim. (2011). The Revitalization of Islamic Profit-and Loss-Sharing. Proceeding of the Third Havard University Forum on Islamic Finance:Local Challenges, Global Opportunities, Cambridge, Massachusetts, Harvard Ubiversity, pp 199-211. http://ifp.law.harvard.edu/login/view_pdf/?file=The%20Revitalization%20of%20Islamic%20Profit-and-loss%20Sharing.pdf&type=Project_Publication.
Wiroso, (2005). Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah. Jakarta: Grasindo.
Zaher, Tarek Z. M.Kabir Hassan. (2001). A Comparative Literature Survey of Islamic Finance and Banking.Oxford, UK: Blackwell Publishers.






[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan  arti sebagai sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan kepada orang lain.
[2] Kamus Besar Indonesia memberikan arti sebagai pesan, perintah (dari atas).
[3] Sebagian besar dari bagian ini merupakan hasil edit atau revisi dari tulisan penulis sebelumnya.
[4] Satria Effendi, dan M.Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Grup, hlm. 77.
[5] Muhammad Khalid Masud.1996. Filsafat Hukum Islam. Bandung: Penerbit Pustaka, hlm. 14.
[6] Muhammad Khalid Masud. Op.Cit, hlm. 10-11.
[7]  Muhammad Khalid Masud. 2005.Shatibi’s Philoshophy of Islamic Law. Kuala Lumpur: Islamic Research Institute, hlm. 7.
[8] Musa Asy’arie. 2002. Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI, hlm. 85.
[9] Bello, Petrus C.K.L. 2012. Jakarta: Erlangga, hlm.69.
[10] Fathurrahman Djamil. 1997. Filsafat Hukum Islam. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, hlm. 151.
[11] Bello, Petrus C.K.L. Op.Cit., hlm. 53.
[12] Gunawan Setiarja, A. 1990. Dialektika Hukum dan Moral, Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 101.
[13] Gunawan Setiarja, A. Ibid, hlm. 113-115.
[14] Rahardjo, Dawam. 2002. Ensiklopedi Al Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, hlm. 190.
[15] Hafidhuddin, Didin. Henry Tanjung. 2006. Shariah Principles on Management in Practice. Jakarta : Gema Insani, hlm. 117-118.
[16] Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 111-112
[17] Muthahhari, Ayatullah Murtadha, Islam & Tantangan Zaman.  Jakarta: Sadra International Institute. 2011, hlm.17.
[18] Rahardjo, Dawam. (2002). Ensiklopedi Al Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, hlm. 195
[19] Rahardjo, Dawam. (2002). Ensiklopedi Al Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, hlm. 196
[20] Rahardjo, Dawam. (2002). Ensiklopedi Al Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, hlm. 203
[21] Rahardjo, Dawam. (2002). Ensiklopedi Al Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, hlm. 204
[22] Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 113.
[23] Al Alwani, Taha Jabir. (2005). Bisnis Islam.Yogyakarta : Aka Group, hlm. 37.
[24] Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 85
[25] Wangsawidjaja, A. (2012).  Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta :Kompas Gramedia, hlm. 151.
[26] Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 14.
[27] Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 292.
[28] Abu Sinn, Ahmad Ibrahim. (2008). Manajemen Shariah, Sebuah Kajian Historis dan Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm. 74.
[29] Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 116-119.
[30] Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 120.
[31] Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 120.
[32] Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 120.
[33] Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 120-121.
[34] Rahardjo, Dawam. (2002). Ensiklopedi Al Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Paramadina, hlm. 381.
[35] Kamaluddin, Laode. (2007). Rahasia Bisnis Rasulullah. Cimahi: Wisata Ruhani, hlm. 37.
[36] Wangsawidjaja, A. (2012).  Pembiayaan Bank Syariah. Jakarta :Kompas Gramedia, hlm. 131.
[37] Al-Misri, Mahmud. (2009). Ensiklopedia Akhlak Muhammad  Saw. Jakarta: Pena Pundi Aksara, Hlm. 543
[38] Al-Misri, Mahmud. (2009). Ensiklopedia Akhlak Muhammad  Saw. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 538-542.
[39] Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 103-104
[40] Hamka. (1983). Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, hlm. 105-106
[41] Chapra, M. Umer. Habib Ahmed. (2008). Coporate Governance, Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta : Bumi Aksara, hlm. 32-34.
[42] Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. (2006). Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa, hlm. 163
[43] Shihab, M. Quraish. (2007). Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama Al-Qur’an. Bandung: Mizan, hlm. 304-305
[44] Dikutip sebagaian besar dari Disertasi penulis tahun 2011.
[45] Josang, Audun. (2007). Trust and Reputation Systems. In A. Aldini and R. Gorrieri (Eds), Foundation of security Analysis and Design IV. Springer LNC 4677. Bertinoro, Italy. Home.ifi.uio.no/josang/papers/jos2007-FOSAD.pdf.
[46] Uslaner, Eric M. (2002). The Moral Foundations of Trust. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 2.
[47] Josang, Audun. (2007). Trust and Reputation Systems. In A. Aldini and R. Gorrieri (Eds), Foundation of security Analysis and Design IV. Springer LNC 4677. Bertinoro, Italy. Home.ifi.uio.no/josang/papers/jos2007-FOSAD.pdf.
[48] Covey, Stephen M. R. (2006). The Speed of Trust. London: Free Press, hlm. 5.
[49] Shaw, Robert Bruce. (1997). Trust in Balance, Building Successful Organizations on Results, Intergrity and Concern. Jossey Bass Inc, San Fransisco, California, hlm. 21.
[50] Cabral, Luis M B. (2005). The Economics of Trust and Reputation: A Primer. Pdges.Stren.nyu.edu/lcabral/reputation/reputation_June05.pdf., hlm.
[51] O’Hara, Kieron. (2004). Trust, From Socrates to Spin.  Cambridge: Iconbooks, hlm. 157.
[52] Bernasek, Anna. (2010). The Economics of Integrity. New York: Harperstudio, hlm. 11.
[53] Bernasek, Anna. (2010). The Economics of Integrity. New York: Harperstudio, hlm. 147.
[54] Covey, Stephen M. R. (2006). The Speed of Trust. London: Free Press, hlm. 54-62.
[55] Bloomgarden, Kathy. (2007). Trust, The Secret Weapon of Effective Business Leaders. New York: St. Martin’s Press, hlm. 12.
[56] Bloomgarden, Kathy. (2007). Trust, The Secret Weapon of Effective Business Leaders. New York: St. Martin’s Press, hlm. 5.
[57] Fukuyama, Francis. (1996). Trust. New York : Simon & Schuster, hlm. 26.
[58] Baum, Herb. (2004). The Transparent Leadership. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm. 231.
[59] O’Hara, Kieron. (2004). Trust, From Socrates to Spin.  Cambridge: Iconbooks, hlm. 48
[60] Muldrew, Craig. (1998). The Economy of Obligation. The Culture of Credit and Social Relations in Early Modern England. Palgrave, Houndmills, Basingstoke, Hampshire RG21 6XS and 175 Fifth Avenue, New York, NY 10010, hlm. 125.
[61] O’Hara, Kieron. (2004). Trust, From Socrates to Spin. Cambridge: Iconbooks, hlm. 44-45.
[62] Muldrew, Craig. (1998). The Economy of Obligation. The Culture of Credit and Social Relations in Early Modern England. Palgrave, Houndmills, Basingstoke, Hampshire RG21 6XS and 175 Fifth Avenue, New York, NY 10010, hlm. 148.
[63] O’Hara, Kieron. (2004). Trust, From Socrates to Spin. Cambridge: Iconbooks, hlm. 72.
[64] Cabral, Luis M B. (2005). The Economics of Trust and Reputation: A Primer. Pdges.Stren.nyu.edu/lcabral/reputation/reputation_June05.pdf.
[65] Eisenegger, Mark. (2009). Trust and Reputation in the age of globalisation. In J.Klewes, R.Wreschniok (eds), Reputational Capital, © Springer-Verlag Hieldelberg.
[66] Eisenegger, Mark. (2009). Trust and Reputation in the age of globalisation. In J.Klewes, R.Wreschniok (eds), Reputational Capital, © Springer-Verlag Hieldelberg.
[67] Sabater, Jordi. Charles Siera. (2005). Review on Computational Trust and Reputation Model. Kluwer Academic Publisher.www.iiia.csis.es/siera/articles/2005/sabatersiera.pdf.
[68] Sabater, Jordi. Charles Siera. (2005). Review on Computational Trust and Reputation Model. Kluwer Academic Publisher.www.iiia.csis.es/siera/articles/2005/sabatersiera.pdf.
[69] Sabater, Jordi. Charles Siera. (2005). Review on Computational Trust and Reputation Model. Kluwer Academic Publisher.www.iiia.csis.es/siera/articles/2005/sabatersiera.pdf.
[70] Eisenegger, Mark. (2009). Trust and Reputation in the age of globalisation. In J.Klewes, R.Wreschniok (eds), Reputational Capital, © Springer-Verlag Hieldelberg.
[71] Fombrun, Charles J. (1996). Reputation, Realizing Value from the Corporate Image. Boston: Harvard Business School Press, hlm. 67.
[72] Dikutip sebagian besar dari Disertasi penulis tahun 2013.
[73] Garner, Bryan A., Op.Cit., hlm. 1315.
[74] Wikipedia, The Free Encyclopedia, <http://en.wikipedia.org/wiki/Fiduciary>.
[75] Butcher, Bruce S., Directors’ Duties, A New Millennium, A New Approach?, London: Kluwer Law International, 2000, hlm. 18.. 
[76] French, Derek (et.al), Company Law, New York: Oxford University Press, 2009, hlm. 469.
[77] Seipp, David J., “Trust and Fiduciary Duty in the Early Common Law”, Boston University Law Review Vol. 91:1011, [1012], hlm. 1011.
[78] Garner, Bryan A., Op.Cit., hlm. 543.
[79] “Professional Briefing – Law Case Review- Director in Breach of Fiduciary Duty”. Journal of Accountancy. Vol. 128, Oct 1 (2001).
[80] Cunningham, Lawrence A., dan Yablon, Charles M., “Delaware Fiduciary Duty Law after QVC and Technicolor, A Unified Standard (and the End of Revlon Duties?)”, Boston College Law School, Research Paper 1994-03, <http://ssrn.com/abstract=917120> [01/01/1994].
[81] Block, Dennis J., (et.al), Op.Cit., hlm. 1.
[82] Block, Dennis J., (et.al), Ibid.
[83] Johnson, Lyman P. Q., dan Millon, David, “Recalling Why Corporate Officers are Fiduciaries”, Washington & Lee Public Law and Legal Theory, Working Paper No. 04-13, <http://ssrn.com/abstract=557926> [06/2004].
[84] Sprague, Robert, “Directors Behaving Badly: 21st Century Corporate Governance Standards”, <http://www.alsb.org/Proceedings%20Files/2007/Sprague.pdf> [2007].
[85] The Business Judgment Rule amid the Recent Corporate Scandals, <http://www.loranoslaw,com/CMArticles/Articles7.asp> [Tidak bertanggal].
[86]     Perjanjian yang telah dibuat secara sah, yang mana harus mengikuti Pasal 1320 KUHPerdata atau menurut hukum, mempunyai kekuatan atau mengikat (pacta sunt servanda) para pihak-pihak sebagai undang-undang; dan ini merupakan asas kepastian hukum. Sehingga, perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak. Badrulzaman, Mariam Darus. KUH Perdata Buku III, hal.107-108.
[87] Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, hal. 139.
[88] Mulyadi, Kartini, et al. Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, hal. 80.
[89] Syahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, hal 121-122.


Tulisan ini sudah dipublikasikan pada Jurnal Quality, Tahun Ke-6, No. 21, Oktober 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar