Kamis, 25 Februari 2016

KETENTUAN ‘PASAR’ DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM




                KETENTUAN ‘PASAR’ DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh:
Hendy Herijanto
Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah (STES) Islamic Village
E-Mail: hendyherijanto@gmail.com
   
                                                             Abstrak
Pengertian pasar, ’yang mulanya menunjukkan lokasi phisik’, berkembang  menjadi ’pertukaran antara penjual dan pembeli pada suatu tingkat harga bagi barang atau jasa’. Sehubungan dengan kenyataan bahwa, pasar telah dinodai dengan egoisme dan ketidakjujuran para penjual, tulisan ini berusaha menemukan alasan teoretis bagi timbulnya egoisme dan bagaimana Islam menentukan pasar, dan membandingkan pendapat para pemikir Islam, dengan pemikiran Adam Smith, yang bertitik tolak pada kepentingan pribadi dan egoisme. Secara menyeluruh, tulisan ini membahas, menganalisis, dan menyimpulkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al Qur’an dan hadis Nabi Saw yang berkaitan dengan pasar.
Kesimpulannya adalah, antara lain: Pasar harus dijalankan dengan mempertimbangkan moral dan etika, dengan kejujuran, tranparansi, kebenaran dan keadilan, pembeli dan penjual bergerak bebas menentukan penawaran dan permintaan, serta membentuk harga keseimbangan, tanpa adanya monopoli, gharar, ekspoitasi, penipuan, paksaan, dan Talaqqi ar Rukban. Pengawasan pasar diperlukan untuk menjamin penerapan ketentuan ini. Intervensi pemerintah diperlukan jika jika terjadi distorsi di pasar.
Kata Kunci: Pasar, Ayat Al Qur’an, Hadis Nabi Saw, dan moralitas.
                                                             
                                                     Abstract
The definition of market has evolved from reflecting physical locations to exchanges between buyers and sellers at agreed prices for goods and services. In view of the fact that markets have been embeded with the egoism and dishonesty on the part of the sellers, this paper tries to find out the theoritical reasons for both the egoism in market and how Islam governs the market, and comparing the opinions of the previous Islamic thinkers concerning market, to the thinking of Adam Smith that based on self love or egoism. All in all, this paper discusses, analyses, and concludes the stipulations that exist in the Al Qur’an and the Propetic Hadiths.
 The conclusions to include among others that: Market implementation must consider morality and ethics, such as honesty, transparency,  truth and justice, free movements of the sellers and buyers, as well as supply and demand to decide an  equillibrium price, with no monopoly, gharar, exploitation, frauds, coercion, and Talaqqi Ar Rukban. Market needs supervision to ensure good ethics. A government intervention is needed, if market distortion occurs.  
Key Words: Market, Qur’anic verses, Prophetic hadiths, and morality.

A.    Pendahuluan
1.      Latar Belakang
Sebelum Islam datang di jazirah Arab, masyarakat di sana telah mengenal pasar, dan telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Ketika Islam datang, keberadaan institusi pasar direstui Islam, karena pasar mendukung nash atau ketentuan yang jelas dalam Al Qur’an, yaitu berbunyi”perdagangan dihalalkan, dan riba diharamkan” (QS, 2: 275). Pasar memfasilitasi berlangsungnya perdagangan, dengan menyalurkan hasil produksi masyarakat. Perdagangan dapat menghasilkan rezki, sebagaimana yang diperintahkan dalam Al Qur’an. Sejumlah ayat dan hadis Nabi Saw yang menyebutkan bahwa rezki yang halal berasal dari perniagaan, atau perdagangan,  berdasarkan ’suka sama suka’ antara penjual dan pembeli (QS, 4: 29; QS, 62: 10; QS, 35: 29). Nabi Besar Muhammad Saw memberikan contoh bagaimana berdagang seharusnya.  
Pasar merupakan wadah untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pertukaran yang seimbang. Ini berarti pula, bahwa manusia harus berusaha berdiri sendiri dalam menjalankan kehidupan dan memenuhi kebutuhan, atau tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain. Secara tidak langsung, pasar mendorong manusia untuk bekerja dalam memperoleh rezki, dan rezki yang diperoleh dibelanjakan di pasar dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, ketika Nabi Saw memasuki pasar, beliau berdoa dan memohon kepada Allah Swt agar memberikan kebaikan pasar dan apa yang dikandung di dalamnya, dan berlindung kepada Allah Swt dari kejahatan yang ada di dalam pasar, dan tidak terlibat dalam sumpah palsu dan transaksi yang merugikan (HR Ibnu Sinna, Al Hakim)[1]. Doa Nabi Saw ini merefleksi harapan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan bagi masyarakat di dalam pasar.   
Ketentuan mengenai pasar dapat dicari di dalam Al Qur’an dan hadis Nabi Saw sebagai sumber hukum.  Yusuf al Khardhawi, seperti yang dikutip Kadir, mengatakan, bahwa Al Qur’an merupakan undang-undang yang membuat prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah dasar Islam, yang mencakup muamalat; dan dijelaskan oleh As Sunnah [2]. Ketentuan tersebut merupakan petunjuk antara baik dan buruk, atau merupakan hukum moral, tetapi dipertanggung-jawabkan langsung kepada Tuhan[3]. Karena berasal dari wahyu, ketentuan tersebut menempati kedudukan yang lebih tinggi dari hukum positif.


2.      Tujuan Penulisan
      Dewasa ini, pasar memiliki kecenderungan negatif, yang menujukkan egoisme dan ketidakjujuran para penjual. Barang dagangan mereka mencakup barang yang dilarang, atau mengandung bahan yang berbahaya bagi kesehatan atau kehidupan manusia. Perhatian mereka berfokus hanya pada keuntungan yang dapat diperolehnya, tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Oleh karena itu, makalah ini berusaha mencari dasar teori yang dapat menjelaskan perkembangan yang negatif tersebut.
Umumnya, pasar yang berlangsung dewasa ini merupakan bagian dari konsep ekonomi kapitalistik. Secara teoretis, pemikiran awalnya diletakkan oleh Adam Smith (1723- 1790) [4], dan kemudian dibandingkan dengan hasil pemikiran para tokoh Islam terdahulu yang berbasis Al Qur’an dan Hadis Nabi Saw. Oleh karena itu, secara keseluruhan, penulisan bertujuan untuk menggali ketentuan yang ada dalam kedua sumber utama hukum Islam tersebut, sekaligus menunjukkan perbedaan pemikiran yang dimaksud.
Bersifat kepustakaan, dengan analisis bersifat kualitatif, materi penulisan ini berasal dari pemikiran para tokoh otoritatif yang dikenal di masanya, termasuk Buya Hamka dengan Tafsir Al Azhar-nya (2001). Kesimpulan pembahasan diharapkan dapat  merefleksi ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pasar, sebagaimana yang dikehendaki Islam.     .
B.  Pembahasan Mengenai Pasar
1. Pengertian dan Fungsinya
  Pasar di masa Islam klasik menunjukkan suatu tempat di mana penjual dan pembeli biasa bertemu untuk melakukan transaksi jual beli. Umumnya, tempat tersebut dapat dengan mudah dicapai, atau sering dilewati oleh  orang yang berlalu lalang. Nabi Saw, misalnya, datang dari Mekkah ke Syam membawa barang dagangannya, dan bertemu dengan para pembeli dan penjual dari seluruh jazirah Arab[5]. Begitulah pasar dalam pengertian sehari-hari [6]. Menurut Moffatt, ’pasar’ adalah setiap tempat di mana penjual dari barang atau jasa tertentu dapat bertemu pembeli dari barang dan jasa itu di mana berpotensi untuk terjadinya transaksi jual beli [7]. Definisi lain menyebutkan, pasar adalah pertukaran yang dilakukan oleh para aktor untuk barang dan jasa[8]. Menurut Robinson, ‘pasar’ sebagai suatu cara dengan mana pertukaran barang dan jasa dapat terjadi sebagai akibat pembeli dan penjual berhubungan satu dengan lainnya, baik secara langsung atau melalui agen atau institusi perantara [9]. Wikipedia memperjelas arti ‘suatu cara’ dalam definisi terakhir ini, yaitu berbagai ragam dari sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial dan infrastruktur dengan mana para pihak dapat melakukan pertukaran [10].
Pengertian yang berkembang tidak lagi menunjukkan secara khusus pada ‘tempat’ dalam pengertian phisik di mana transaksi terjadi, tetapi lebih menekankan pada hubungan yang bebas antara penjual dan pembeli yang membuat harga dari barang yang sama cenderung menjadi sama dengan mudah dan cepat. Pasar semakin sempurna, jika kecendrungan semakin kuat untuk terjadinya harga yang sama untuk barang atau jasa yang sama pada waktu yang kurang lebih bersamaan[11]; bebas dari intervensi eksogen, atau tanpa peran pemerintah.
Jadi, unsur yang dominan dari pengertian pasar adalah kesetaraan harga bagi suatu barang yang sama dan dapat terjadi dengan cepat dan mudah, pada waktu yang bersamaan. Karakteristik lain adalah terjadinya transaksi pertukaran dengan bebas, antara kekuatan permintaan dan penawaran yang kemudian menentukan harga yang sama untuk barang yang sama. Pengertian pasar terus berkembang, tetapi karakteristiknya kurang lebih sama [12]. Namun, terjadinya transaksi pertukaran tetap memerlukan tempat berkumpul bagi jaringan pembeli dan penjual, walaupun kemajuan tehnologi telah mempermudah transportasi dan komunikasi, yang membuat para pelaku tidak selalu harus bertatap muka [13]. Jenis pasar ditentukan pula oleh jenis barang atau jasa yang dipertukarkan, seperti pasar komoditi, pasar mobil, pasar keuangan dan seterusnya. Dalam tulisan ini, pasar yang dimaksud hanya berkaitan dengan barang dan jasa serta yang merupakan transaksi dalam sektor riel, sesuai dengan ketentuan syariah[14].
John Cassidy berpendapat bahwa pasar merupakan konstruksi sosial, dan berperan atas insentif, kompetisi dan harga. Sistem pasar, yang telah bertahan lama, memungkinkan individu, perusahaan dan negara, untuk berspesialisasi di bidang yang mereka kuasai, dan mengembangkan kapasitas produksi perekonomian. Pasar menyediakan insentif bagi investasi dan inovasi, dengan memfasilitasi peningkatan produktivitas dan upah, yang telah terjadi berabad-abad dan memperbaiki standar hidup [15]. Cassidy juga mengatakan bahwa sifat kompetisi dari zaman enlightment hingga sekarang tetap tidak berubah; tetapi, dalam kaitan dengan sistem kapitalis, kompetisi menimbulkan turbulance, dan pasang surut dalam pasar [16].
Karena salah satu fungsinya membentuk harga [17], sistem pasar mendorong efisiensi, karena sumber daya diarahkan ke tempat di mana lebih diperlukan, dan harga-harga dikaitkan dengan biaya[18]; kemudian menentukan keuntungan. Menurut Lewis, harga dan keuntungan yang jujur dapat membentuk ekonomi yang stabil; dan dengan ekonomi yang stabil, yang memelihara lingkungan hidup dan sektor keuangan, disertai dengan unsur kerja yang berkembang, diiringi dengan keteguhan dalam berusaha, akhirnya dapat menurunkan tingkat kemiskinan manusia[19]. Rangkaian uraian tersebut merupakan kebajikan utama dari pasar, yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat kemiskinan, tetapi harus dijalankan dengan sejumlah syarat. Syarat yang dikemukakan oleh Lewis adalah pemenuhan nilai-nilai moral dan etika, termasuk keteguhan dalam berusaha dan etos kerja yang baik.
Namun, setiap kegiatan manusia dalam ekonomi, termasuk di dalam pasar,  tidak terlepas dari kepentingan pribadi atau self interest. Kegagalan pasar dapat terjadi jika alokasi barang dan jasa tidak efisien, atau masalah self interest itu, sebagai salah satu sebab utama. Paul Krugman berpendapat, bahwa self interest manusia dapat menghasilkan konsekuensi yang buruk bagi masyarakat secara menyeluruh [20]. Tentunya, yang dimaksud di sini adalah self interest yang berlebihan, dan itu artinya mengabaikan kepentingan orang lain.
Dalam kaitan dengan fungsi pasar, Ayman Reda mengutip J Lie dan WM Dugger.  J Lie berpendapat bahwa, bagi peneliti ilmu sosial, pasar dapat menjelaskan kehidupan ekonomi dan sosial. Menurut WM Dugger, ”Pasar bukan fenomena alam, dan ekonomi pasar adalah ekonomi diskresi, yang merupakan produk dari kehendak manusia”. Reda menyimpulkan bahwa pasar merupakan manifestasi dari lingkungan sosial, dan ketika lingkungan itu memiliki sifat agama yang jelas, maka struktur dan substansi dari pasar itu juga akan mengikuti ketentuan agama [21]. 
2. Pasar Menurut Pemikiran Islam
a. Pasar Menurut Al Ghazali (450-505H/1058-111 M)
Al Ghazali menyadari pentingnya transaksi pertukaran dalam ekonomi. Aktivitas perdagangan dapat memberikan nilai tambah terhadap barang-barang, karena aktivitas ini membuat barang-barang dapat sampai pada tempat dan dalam waktu yang tepat. Perdagangan terjadi karena adanya dorongan kepentingan pribadi, atau self interest, yaitu khususnya mencari laba. Penciptaan nilai tambah tersebut memerlukan pasar untuk tempat para pelaku ekonomi berkumpul. Menurut Al Gazali, barang yang diperjual belikan adalah barang berupa phisik dan telah ada, atau yang dapat memberikan manfaat [22].
Al Ghazali bependapat bahwa timbulnya pasar disebabkan adanya ”keteraturan alami”, dan demikian pula dengan harga yang tercipta, bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran [23]. Pasar berevolusi sebagai bagian dari ”hukum alam”, atau sebagai suatu ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi [24]. Istilah ”keteraturan alami” ini dapat disetarakan dengan istilah ’invicible hands” dari Adam Smith. ”Keteraturan alami ini” merefleksikan evolusi pasar dan terciptanya harga di pasar [25].
Timbulnya pasar ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan dalam menentukan harga dan laba[26]. Kurva penawaran ’beranjak naik dari kiri bawah ke kanan atas’; sedangkan kurva permintaan ’turun dari kiri atas ke kanan bawah’ [27], seperti halnya yang disebutkan dalam banyak literatur dewasa ini. Dalam hal penawaran, beliau memberikan contoh, jika petani tidak menemukan pembeli, maka ia akan menjual dengan harga yang lebih murah. Penurunan harga dapat dicapai  dengan cara menambah jumlah barang di pasar. Permintaan memiliki elastisitas. Di sisi lain, harga menentukan keuntungan; dan untuk itu,  dalam menjual diperlukan harga yang lebih tinggi. Perbedaan harga ini, atau disebut sebagai keuntungan, secara wajar diperlukan untuk menutup sejumlah  risiko yang dihadapi pedagang, seperti risiko keamanan di perjalanan, dan risiko bisnis lainnya.
Adanya keuntungan membuat pasar dapat berkembang, dan pedagang selalu berusaha untuk memperbesarnya dari setiap transaksi. Namun, al Ghazali menekankan perlunya memperhatikan etika [28]. Untuk mencari keuntungan yang besar, al Ghazali menyarankan untuk tidak diperoleh dari perdagangan bahan pokok, atau bukan bersifat darruriyah, atau salah satu dari tiga macam kebutuhan: yaitu kebutuhan primer atau darruriyyah, sekunder atau hajiat, dan kebutuhan mewah atau takhsiniyyah [29].
Bahkan, al Ghazali menyarankan agar memberikan harga yang lebih tinggi bagi penjual yang miskin; tetapi sebaliknya, jika diberikan pada penjual yang kaya, perbuatan itu menjadi tidak terpuji [30]. Itulah sebabnya al Ghazali mengatakan bahwa keuntungan yang sesungguhnya adalah keuntungan di akhirat kelak [31]. Keuntungan yang wajar adalah yang dapat membawa manfaat bagi lebih banyak pihak, sehingga menjadi pahala yang dapat diperhitungkan bagi pedagang di akhirat kelak. Keuntungan itu harus diperoleh melalui cara yang sah, tidak mengikuti nafsu pribadi ke arah keserakahan, dan tidak melanggar ketentuan agama [32]. Sebagai kesimpulan dari pendapat al Ghazali, praktik di pasar harus selalu dikaitkan dengan moral dan etika.
b. Pasar Menurut Ibn Khaldun (732-808 H/1332-1406 M)
Menurut Ibn Khaldun, kegiatan di pasar itu berarti usaha untuk membuat keuntungan untuk menumbuhkan modal, membeli barang dengan harga murah, dan menjualnya dengan harga tinggi, dan jumlah nilai yang tumbuh itu disebut sebagai laba [33]. Keuntungan adalah akibat dari adanya keahlian, ketrampilan dan perdagangan [34], dan merupakan nilai yang timbul dari kerja manusia [35]; sama dengan rezki, karena rezki atau penghidupan[36] harus diperoleh dari usaha dan kerja [37]. Orang yang tidak mampu bekerja maka dia tidak mampu memperoleh keuntungan [38].
Perdagangan merupakan jalan penghidupan yang wajar, dan sebagian besar cara yang digunakan merupakan muslihat untuk mendapatkan laba dengan mencari perbedaan antara harga pembelian dengan penjualan, dan dengan menyimpan kelebihannya. Cara ini disebutnya sebagai mukayasah[39]. Syariat melegalisir penggunaan kecerdikan, atau mukayasah, dalam jual beli, dan melarang memakan harta orang lain dengan cara tidak sah. Mukayasah diartikan sebagai kecerdikan yang dipraktikkan dalam tawar menawar, dan usaha yang dilakukan oleh masing-masing penjual dan pembeli untuk sampai pada harga yang cocok dan berarti [40]. Harga di sini merupakan nilai barang dan bersifat subjektif, yaitu suatu jumlah yang ditawarkan oleh penjual, dan diterima serta dibayar oleh pembeli [41]. Walapun mukayasah termasuk judi, tetapi mukayasah tidak mengambil sesuatu dari tangan orang lain dengan tidak mengembalikan apa-apa sebagai gantinya. Apa yang diambil dan diberikan pada waktu yang sama menjadi pertukaran yang sah [42].
Apa yang diambil tanpa ada yang diberikan menjadi persoalan kehinaan. Jika orang mengambil uang tanpa sesuatu usaha, atau secara cuma-cuma, maka orang itu menjadi sangat hina, karena dalam dirinya terdapat kecintaan yang besar terhadap uang;  di samping adanya unsur paksaan, dalam arti uang diberikan sebagai keharusan tanpa keberhasilan usaha. Ibnu Khaldun berpendapat bahwa berkemungkinan alasan ini yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai mengambil harta orang secara bathil [43].
Namun, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa menerapkan mukayasah, atau dalam arti lain merupakan ’pembujukkan’, adalah sikap yang jauh dari sifat keperwiraan dan kejujuran yang umumnya merupakan watak dari para raja dan kaum bangsawan. Tingkah laku ini menjadi hina, jika menimbulkan kebiasaan memberikan jawaban yang tidak sebenarnya, kelicikan dan tipu daya, serta melakukan tawar menawar mengenai harga dengan janji-janji yang bohong. Sifat-sifat ini umumnya dimiliki oleh pedagang tingkat bawahan [44]. Hal ini disebabkan karena tidak meratanya sifat kejujuran dalam masyarakat. Ketidakjujuran dapat menjurus pada penipuan dan pemalsuan barang dagangan, mengakibatkan pembayaran menjadi terlambat sehingga menghentikan modal untuk berputar, atau pembeli mengingkari utangnya sehingga merugikan penjual [45].
c. Pasar Menurut Ibnu Taimiyah (1263-1328M)
Ibnu Taimiyah memiliki pemikiran yang khusus mengenai mekanisme pasar, harga yang adil, konsep laba yang adil, dan regulasi harga. Mengenai mekanisme pasar, seperti pendahulunya, Ibnu Taimiyah berpendapat sama bahwa dalam suatu pasar bebas, harga ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu kekuatan penawaran dan permintaan, yang menuju pada harga keseimbangan atau equlibrium price. Namun, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa naik dan turunnya harga tidak selalu disebabkan karena kezaliman orang-orang  tertentu. Dalam kaitan dengan penawaran, penyebabnya  dapat berupa penurunan produksi atau impor, yang menyebabkan barang yang masuk pasar lebih sedikit [46]. Jika permintaan turun, walaupun barang dalam jumlah persediaan di pasar banyak, harga cenderung turun [47]. Namun, di balik itu, kenaikan harga dapat juga diakibatkan oleh ketidakadilan (zulm). Para penjual melakukan manipulasi, yang dapat medorong pasar ke arah ketidaksempurnaan[48].
Ibnu Taimiyah menyebutkan sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi permintaan dan harga, yaitu: Perubahan keinginan masyarakat terhadap berbagai jenis barang, jumlah masyarakat yang berminat menentukan tingkat harga, tingkat kebutuhan terhadap suatu barang, kualitas pembeli yang diukur dengan kemampuan bayar, jenis uang yang digunakan apakah yang umum atau tidak, apakah barang sudah tersedia di pasar atau belum, jumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual, dan regulasi harga [49].
Mengenai harga yang adil, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa esensi dari harga yang adil adalah harga yang diberikan oleh penjual setara dengan nilai manfaat dari barang bagi pembeli. Sebagai ukurannya, harga tersebut terjadi kurang lebih sama bagi barang yang sejenis pada waktu dan tempat tertentu yang sama[50]. Ini artinya harga tersebut merupakan harga rata-rata yang terjadi di pasar yang sama. Dalam kaitan dengan harga yang adil, terdapat dua konsep:
Pertama, yang disebutnya Iwadh al-Mistl, atau ’pengganti seperti contohnya’, yaitu penggantian yang sama dan merupakan nilai harga sepadan dari sebuah benda menurut adat kebiasaan, dan diukur dan ditaksir berdasarkan hal-hal yang setara tanpa tambahan atau pengurangan [51]. Artinya, harga ini dinilai dari segi pertukaran, yaitu nilai yang dibayarkan sama dengan manfaat barang bagi si pembeli, atau manfaat barang ini merupakan counter value dari pengorbanan yang diberikan dan berbentuk uang oleh penjual. Jadi, terhadap ungkapan di atas, dapat ditambahkan bahwa harga rata-rata di pasar sudah menjadi ukuran kebiasaan yang berlaku di pasar yang sama, dan pengukurannya telah  diketahui secara umum berdasarkan unsur-unsur yang kurang lebih sama pula yang ada pada sifat atau karakteristik barang.
Kedua, yang  disebutnya sebagai Tsaman Al Mistl, atau ’harga sama seperti contohnya’, yaitu nilai harga dengan mana orang-orang menjual barangnya dapat diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu, ataupun barang-barang yang sejenis lainnya, di tempat dan waktu tertentu [52]. Pengertian dari konsep ini kurang lebih sama seperti yang pertama. Tetapi, perbedaannya adalah pada yang pertama dilihat dari segi pertukaran; dan yang kedua lebih menekankan pada pendapat umum mengenai harga yang berlaku, dan pendapat umum itu menunjukkan adanya kesepadanan antara nilai atau manfaat barang dengan harga yang berlaku tersebut. Kedua konsep ini benar-benar menuju ke suatu tingkat keadilan dalam harga di pasar, dengan berpatokan kepada yang umum berlaku di dalam masyarakat.
Menurut Ibnu Taimiyah, motivasi para pedagang yang bersifat alami adalah untuk mencari keuntungan. Namun, keuntungan yang adil dapat dicapai dengan cara-cara yang umum  berlaku dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Artinya tidak merugikan orang lain, tidak bersifat eksploitatif, tidak bersifat monopolistik, tidak pula memanfaatkan ketidaktahuan pembeli terhadap barang atau keadaan pasar yang ada [53].
Dalam kaitan dengan regulasi harga, berdasarkan Hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra, Nabi Saw menolak melakukan intervensi harga, ketika terjadi kenaikan harga yang berlaku di pasar, dan dikatakan bahwa harga di pasar itu ditetapkan oleh Allah Swt. Sejalan dengan Hadis ini, Ibnu Taimiyah menentang penetapan harga, karena  akan mendorongnya menjadi lebih mahal, adanya kebijakan pengawasan harga membuat pedagang tidak bersedia menjual, atau menyembunyikan barang dagangannya, dan membuat konsumen tidak merasa puas sebagai akibatnya[54].
Hadis Nabi Saw di atas dapat diartikan bahwa kenaikan harga yang terjadi bukan karena ketidak adilan yang dimaksud oleh Ibnu Taimiyah.  Dugaan ini dibenarkan oleh Ibnu Taimiyah, karena beliau berpendapat bahwa regulasi terhadap harga hanya dapat dilakukan ketika kenaikan harga terjadi karena adanya distorsi terhadap harga yang wajar, dan disebabkan karena unsur kezaliman, ketidakadilan, manipulasi atau paksaan, adanya dorongan ke arah monopoli, yang membuat pasar menjadi tidak sempurna. Untuk itu, Ibnu Taimiyah berpendapat ketika itulah, pemerintah disarankan untuk melakukan intervensi pasar, secara persuasif, dengan menyelenggarakan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dan pasar[55].
3. Pengaruh Pandangan Adam Smith (1723- 1790) terhadap Pasar.
Sebagai esensi dari pasar, yang berkaitan dengan pelakunya, Adam Smith, yang dianggap melahirkan sistem ekonomi kapitalis, yang didasarkan pada kepentingan pribadi atau self love, sehingga bernuansa individualistik [56]. Menurut Adam Smith, dalam terjemahan bebasnya, apa yang dapat dinikmati dari para produsen bukanlah berasal dari kebajikan mereka, melainkan karena kepentingan mereka sendiri, yang merupakan kecintaan terhadap apa yang mereka lakukan, yaitu memproduksi barang yang disukainya. Mereka melakukannya untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikan, timbulnya pasar adalah karena didorong oleh adanya self love dari para produsen untuk berproduksi barang tertentu. Jadi, apa yang tersirat dari ungkapan ini, adalah bahwa alasan untuk berproduksi merupakan dorongan dari kecintaan pribadi terhadap kegiatan tersebut, dan dilakukan untuk kepentingan pribadi, bukan karena masalah kemanusiaan atau sosial lainnya, dan bukan pula untuk memenuhi kebutuhan sesama atau kepentingan publik.
Lebih lanjut, dalam terjemahan bebasnya, Smith mengatakan bahwa pemilihan apakah seorang produsen berpartisipasi dalam produksi lokal atau di luar negeri adalah karena untuk kesejahteraannya sendiri, dan kegiatannya diarahkan untuk menciptakan ‘nilai yang terbesar’, yang diniatkan untuk keuntungannya sendiri, dan digerakkan oleh tangan yang tidak terlihat atau invicible hands. Tetapi, ini tidak berlaku untuk memproduksi public goods, yang memang merupakan suatu kebajikan, tetapi jarang dilakukan oleh para saudagar, dan diperlukan nasehat bagi mereka untuk melakukan yang jarang itu [57].
Invicible hands yang dimaksud adalah pengaturan yang datang dengan sendirinya mengenai apa yang akan diproduksi; dan ini terletak pada tujuan yang akan dicapai, yaitu nilai yang terbesar sebagai hasil dari kegiatan itu. Jika hasil itu dapat tercapai bagi individu yang terkait, maka itu juga berarti dapat pula menghasilkan sesuatu yang positif untuk masyarakat, bahkan dengan hasil yang lebih baik. Hasil bagi masyarakat itu bersifat tidak sengaja, atau merupakan side effect.  Kepentingannya sendiri atau self interest merupakan minat atau alasan untuk berproduksi dalam rangka menciptakan nilai yang terbesar, atau keuntungan yang maksimal. Jadi, dasar utama untuk kegiatan berproduksi adalah kepentingan pribadi dan menciptakan keuntungan yang maksimal, yang semata-mata diukur dengan ukuran materi.
Pandangan Adam Smith tersebut dianggap sebagai pendorong terhadap keegoisan yang tidak terkontrol. Kemudian, frasa “menciptakan nilai terbesar” jelas menjadi tujuan di dalam kegiatan ekonomi. Kedua unsur ini mendorong setiap kegiatan ekonomi berkisar pada perhitungan angka-angka saja; sehingga menjadi bebas nilai, atau value free[58], yang berarti tidak ada kaitannya dengan moral dan etika. Keadaan ‘bebas nilai’ ini menciptakan konsep homo economicus, yaitu manusia yang mengejar kepentingannya sendiri guna memperoleh manfaat atau kenikmatan yang bersifat materiel dan sebesar-besarnya dari apa yang dimilikinya, yang cenderung mengabaikan kepentingan sosial [59].
Unsur self love memang penting bagi kehidupan manusia, seperti yang dikatakan Cassidy, yaitu human selfishness, atau sifat egois manusia, yang merupakan bahan bakar bagi mekanismenya tetap berjalan [60]; bahkan, secara empirik terbukti mampu menciptakan keberhasilan bagi Jepang di bidang industri [61]. Namun, masalah negatif atau penyimpangan yang terjadi di pasar dewasa ini secara umum tampaknya disebabkan oleh konsep self love, atau self interest yang berlebihan; dan oleh Cassidy diterjemahkan sebagai ‘keserakahan’; sedangkan Mortazavi menterjemahkannya sebagai ‘kepuasan’[62]. Menurut Cassidy, lebih lanjut, keserakahan ini merupakan bagian dari paham sekuler[63].
Timbulnya paham sekuler tersebut dapat dimengerti, karena masa Adam Smith merupakan kelanjutan masa enlightment. Di dalam masa itu, pengaruh gereja dipisahkan dari kegiatan negara dan ekonomi, serta menekankan pada liberalisasi kekuatan pasar[64]. Dalam bagian lain, Adam Smith, yang diterjemahkan secara bebas, mengatakan bahwa ‘keserakahan’ individu tidak bertentangan dengan kepentingan umum, karena ‘keserakahan’ ini mendorong orang untuk bekerja mencari keuntungan yang sebesar-besarnya [65].
Amartya Sen berpendapat, bahwa rasionalitas dari self interest, inte alia, mengandung suatu penolakan yang pasti terhadap pandangan motivasi yang berkaitan dengan etika. Usaha  untuk melakukan yang terbaik bagi seseorang merupakan bagian dari rasionalitas orang itu, dan ini juga mencakup penerapan tujuan-tujuan yang bersifat altruistik atau non self interest, atau bukan untuk kepentingan pribadi semata, dan ini merupakan nilai yang ingin dicapai. Sen mengatakan lebih lanjut, bahwa setiap pergerakan yang menjauhi maksimalisasi self interest sebagai suatu bukti bahwa sesuatu yang tidak rasional juga mencakup arti suatu penolakan terhadap peranan etika dalam pengambilan keputusan[66].
Pandangan Amartya Sen terhadap teori self love dari Adam Smith di atas menimbulkan masalah etika, karena memang dalam konsep self interest tersirat adanya kemungkinan timbulnya deviasi terhadap nilai etika[67]. Dalam kaitan ini, John Bogle berpendapat bahwa self interest telah bergerak terlalu jauh. Persoalannya terletak pada kenyataan bahwa ‘keberhasilan’ selalu diukur dengan anga-angka, alias uang. Pergerakan pasar yang tidak terkontrol telah mengalahkan standar tradisional tindakan profesional yang telah berkembang berbad-abad yang lalu. Hasilnya adalah suatu perpindahan dari moral absolutism menjadi moral relativism, yaitu masalah moral menjadi sesuatu yang bersifat relatif, tidak lagi bersifat mutlak. Di masa lalu, sesuatu yang tidak dapat dilakukan dalam masyarakat merupakan norma yang jelas dianut; tetapi dewasa ini, menjadi suatu pengertian, “Jika seseorang dapat melakukannya, maka kita atau orang lain juga melakukan yang sama”[68].
Manisfestasi lanjutan dari pandangan Adam Smith tersebut menimbulkan paham neo liberalisme, yang meliputi [69]: Pertama, membiarkan pasar berjalan tanpa campur tangan pemerintah, dan  perusahaan swasta bebas berusaha di dalam nya. Umumnya, perusahan itu berusaha mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya, sehingga cenderung mengabaikan dampak sosial negatif yang ditimbulkannya. Padahal, peranan pemerintah masih diperlukan terutama jika terjadi distorsi di pasar, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah.
Kedua, cenderung mengurangi subsidi terhadap pelayanan masyarakat, seperti kesehatan dan pendidikan, serta jaminan sosial lainnya. Common goods seperti ini didorong untuk ditangani oleh pihak swasta dengan menggunakan mekanisme pasar. Ini artinya semua orang termasuk dalam kategori ‘berpendapatan rendah’ sekalipun dihadapkan pada pasar yang sama, dan harus membayar harga pasar yang berlaku. Dalam kaitan dengan common goods, kebijakan ini dapat mendorong melebarnya jarak antara yang kaya dan yang miskin, dan membuat keadilan sosial makin menjauh dari masyarakat. Ini juga bertentangan dengan pendapat al Ghazali di atas. Beliau menyarankan untuk tidak membayar harga yang lebih tinggi kepada penjual yang kaya, yang sebaiknya dilakukan kepada penjual yang miskin. Pandangan al Ghazali ini dapat diartikan sebagai cara untuk mempersempit perbedaan kesejahteraan antara yang mampu dengan yang tidak, suatu tujuan sosial yang mulia.
Ketiga, mengurangi regulasi pemerintah, karena dianggap sebagai pembatas terhadap kebebasan berusaha dan dapat mengurangi perolehan keuntungan. Sebagai akibatnya, biaya-biaya sosial yang berdampak dari kegiatan usaha perusahaan tidak diperhitungkan. Di sinilah, peran dari konsep harga dan keuntungan yang adil dari Ibnu Taimiyah, yaitu ‘tidak merugikan orang lain’ seperti yang telah diuraikan di atas, dan diperlukan dalam menciptakan keadilan sosial. Sikap ‘tidak merugikan orang lain’ merupakan manifestasi untuk tidak mementingkan diri sendiri; dan karena itu, juga tidak merugikan lingkungan.
Keempat, mendorong privatisasi atau swastanisasi usaha milik negara, termasuk yang berkaitan dengan hajat orang banyak. Karena jumlah pemilik modal yang besar itu terbatas, maka privatisasi mendorong timbulnya pasar yang dikuasai oleh hanya satu pihak, atau segelintir pihak saja, atau masuknya pemodal besar dari luar negeri, sehingga menciptakan pasar monopoli atau oligopoli. Pihak yang terbatas itu secara sepihak dapat menentukan harga yang berlaku, yang menafikan teori invisible hands, dan membuat harta beredar di segelintir orang kaya (QS, 59: 7). 
Kelima, sebagai akibat tidak langsung, konsep kapitalistik atau neo liberalisme cenderung mendorong tanggung jawab individu menggantikan social cohesiveness, atau assabiyah dalam istilah Ibnu Khaldun. Konsep ini dapat dianggap setara dengan konsep gotong royong yang merupakan budaya lama masyarakat Indonesia. Sebagai akibatnya, tidak semua kebutuhan akan common goods dapat ditangani dengan tanggung jawab pribadi. Kebutuhan akan pendidikan bagi orang yang tidak mampu, misalnya, tidak dapat diserahkan kepada pasar semata, yang akan menentukan harga tertentu bagi bagi jasa itu. Akibatnya, kaum miskin menghadapi kesulitan yang lebih besar dalam berusaha untuk keluar dari ketidak-beruntungannya.
Dari segi etika, pasar bebas yang dimaksud di atas telah pula mengembangkan konsep materialisme, tetapi mengikuti konsep Machiaveli [70], yaitu menghalalkan cara yang buruk untuk mencapai tujuan[71]; dan ini seiring dengan konsep ‘the survival of the fittest’. Konsep maksimalisasi keuntungan, yang tampaknya tanpa batasan, kecuali mengikuti ketentuan hukum positif yang berlaku, yang disampaikan oleh Milton Freidman (1962)[72], menimbulkan banyak tindakan negatif atau penyimpangan moral dan etika, dan akhirnya menyimpangi hukum positif yang berlaku, di dalam pasar. Namun, di balik kebebasan tersebut, Sen mengatakan bahwa kesejahteraan ekonomi dapat diperkaya secara substansial dengan lebih banyak memberikan perhatian kepada etika. Kajian etika dapat memperoleh manfaat dari hubungan yang lebih dekat dengan ekonomi [73].
4. Pengawas Pasar, Hisbah oleh Muhtasib
Karena keadaan pasar dapat dipengaruhi oleh sifat atau kecendrungan para pedagang seperti yang dikatakan oleh Ibnu Kaldun, bahwa mereka cenderung tidak bersifat perwira, maka pasar perlu diawasi. Institusi yang mengawasi pasar disebut hisbah, dengan pejabatnya disebut muhtasib [74].
 Pada dasarnya, tugas muhtasib adalah menerapkan ’amar makruf nahi munkar’, yang merupakan kewajiban untuk mengurusi persoalan kaum muslim, yaitu segala persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh hakim karena begitu umum dan sederhana; misalnya, melarang para kuli mengangkat barang yang terlalu berat, perlakuan curang dalam timbangan atau ukuran, dan menunda-nunda pembayaran utang; termasuk melakukan sumpah palsu, menjual barang-barang haram, menahan barang masuk pasar, menimbun barang, atau manipulasi harga [75]. Intinya, muhtasib mencari kemungkaran, dan mengaplikasikan hukum yang tepat dengan melakukan tindakan korektif [76]; atau meluruskan etika dan mencegah penyimpangan[77].
Pengawasan pasar seperti itu pada dasarnya harus dilakukan. Hal ini disebabkan karena selain manusia harus melakukan pengawasan diri dari dalam atau muhasabah, atau instropeksi diri; tetapi untuk melengkapinya, juga diperlukan pengawasan dari luar, yang berupa hisbah tersebut [78]. Di dalam pasar, tugas muhtasib, antara lain, adalah mengawasi pelaksanaan perdagangan agar tidak terjadi penipuan, atau melanggar ketentuan syari lainnya [79], seperti yang telah disebutkan di atas. Walaupun demikian, pada dasarnya setiap orang harus memiliki pengawasan terhadap dirinya sendiri [80], yang juga berlaku bagi pedagang dan pembeli sehingga tidak menimbulkan kezaliman, ketidak adilan, dan ketidakjujuran. 
5. Pasar Menurut Al Qur’an dan Hadis Nabi Saw
Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari pasar. Keluar masuk pasar merupakan salah satu ciri manusia yang disebutkan dalam Al Quran[81]. Semua Rasul-Rasul yang dikirim Tuhan ke bumi adalah manusia, yang makan dan minum serta masuk pasar, sebagaimana manusia lainnya (QS, 20: 25). Pasar memfasilitasi perdagangan, dan pentingnya perdagangan disebutkan dalam Surat Al Baqarah (QS, 2: 275). Ayat ini merupakan ketentuan pokok dalam perekonomian Islam.
Ayat tersebut juga menyebutkan bahwa mereka, pemakan riba, menganggap bahwa  riba dan perdagangan adalah sama, karena di dalamnya sama-sama terdapat unsur keuntungan. Keuntungan dari perdagangan tidak sama seperti keuntungan sebagai riba, karena merupakan hasil dari transaksi pertukaran barang dan uang[82], dengan memberikan manfaat bagi pembeli dengan memenuhi kebutuhan terhadap barang yang dibeli. Riba, yang merupakan pertukaran uang saat ini dengan uang dengan tambahan di masa depan; tidak berkaitan dengan barang atau unsur produktivitas. Karena riba dilarang, maka kegiatan pinjam meminjam uang secara an sich tidak dapat dikomersialkan, dan utang piutang tidak dapat diperdagangkan. Pasar dalam Islam bukan untuk jual-beli utang piutang.
Makna perdagangan juga diungkapkan dalam Surat Fathir (QS, 35 : 29), yang menyebutkan perniagaan dengan Allah Swt. Membaca Kitab Allah, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rezki bagi orang lain, merupakan perniagaan yang tidak pernah menimbulkan kerugian, kecuali pahala yang melimpah dari Allah Swt. Surat as Shaff (QS, 61- 10) mengingatkan kembali mengenai perniagaan yang tidak merugi tersebut. Dari Ayat ini, Al Ghazali menyimpulkan bahwa perdagangan harus dilakukan dengan cara yang terhormat[83]. Cara ini disetarakan dengan ‘mengingat Allah’, yang dicapai melalui membaca dan memahami Al Qur’an dengan sungguh-sungguh, sehingga dapat mempelajari sifat-sifat Allah dan beriman serta bertawakal kepada Tuhan; mendirikan shalat, yang berarti memperkuat hubungan dengan Allah, serta membayar zakat untuk menjaga hubungan dengan masyarakat[84].
Nabi Saw memerintahkan dengan tegas bahwa pasar haruslah tempat yang bebas untuk semua orang keluar masuk, seperti sunah yang sama dengan mesjid, yaitu ketika datang dapat ditempati, ketika pulang, tempat itu bebas kembali ditempati oleh orang lain (Al Hindi, Kanz al-Ummal, V, 488, no.2688) [85].  Ketentuan Nabi Saw ini dapat diartikan sebagai usaha untuk mendukung terjadinya harga secara bebas, yang ditentukan oleh penjual dan pembeli yang keluar masuk pasar. Kahlifah Umar bin Khatab  menerapkan ketentuan ini dengana saksama, dan dalam hal pengawasan terhadap harga[86].
Pasar juga merupakan sadaqah dan tanpa sewa (As Samhudi, Wafa al Wafa, 749), dan tanpa pajak (Ibn Shaba, K. Tarikhal Madinah al Munawarah, 304) [87]. Ketentuan ini dapat diartikan bahwa pasar adalah tempat yang dapat digunakan oleh penjual secara bebas, tanpa kepemilikan pribadi. Dengan tidak adanya sewa atau pajak berarti harga yang terjadi murni merefleksi nilai barang, tanpa mengandung beban tambahan yang berasal dari sewa atau pajak. Beban ini ditanggung oleh ulil Amri atau pemerintah, yang menyediakan tempat sebagai common goods, untuk mendukungan tumbuhnya perdagangan, dan menciptakan sejumlah kemaslahatan bagi masyarakat yang bernilai jauh lebih besar dari sekedar pembayaran total sewa dan pajak.
Kesepakatan harus dicapai di pasar oleh penjual dengan menerima harga dari pembeli, dan pembeli menerima kuantitas dan kualitas barang. Antara harga dengan manfaat barang itu harus seimbang (QS, 4: 29). Surat Al Baqarah (QS, 2: 188) memperjelas mengenai keseimbangan dalam jual beli, yaitu tidak saling memakan harta secara bathil, kecuali dengan jalan perniagaan berdasarkan suka sama suka. Jalan yang bathil diartikan jalan yang salah, atau tidak sewajarnya, atau melalui ketidak-jujuran. Menurut Hamka, jalan yang bathil termasuk mempromosikan barang secara berlebihan, kualitas barang tidak sesuai dengan janji, mengambil keuntungan tanpa tanggung jawab, mengurangi mutu pekerjaan, menekan upah, dan seterusnya[88]. Jika dilakukan secara jujur dan wajar, serta suka sama suka, maka keadaan ini menjadi pengecualian atau merupakan toleransi terhadap kepiawaian pedagang dalam menetapkan harga yang lebih tinggi sebagai kompensasi terhadap risiko yang ditanggungnya, dan membuat barangnya menarik bagi pembeli [89]; atau Ibnu Khaldun, menyebutnya mukayasah.
Lanjutan Ayat pertama (QS, 4 :29) berbunyi, “Dan janganlah membunuh dirimu”. Harta dicari pada dasarnya berguna untuk melanjutkan kehidupan untuk memperoleh kemakmuran, termasuk memakmurkan jiwa. Memakan harta orang, atau mengambil keuntungan, dengan cara yang bathil, juga berarti sebagai tindakan membunuh jiwa, atau tidak menentramkan jiwa orang itu. Surat At Taubah (QS, 9: 105) memerintahkan manusia untuk berkerja, atau berproduksi, dengan mempertahankan jiwa yang bersih, berdasarkan kemampuan atau bakatnya. Oleh karena itu, pasar harus dijalankan dengan penuh kejujuran, atau menciptakan keuntungan secara jujur, bukan dengan cara penipuan, atau mengurangi kualitas atau kuantitas dan kecepatan kerja, serta menekan upah[90].
Allah Swt mengijinkan manusia untuk mencari karunia-Nya, yang diartikan sebagai rizki dari perniagaan, bahkan ketika melakukan ibadah haji sekalipun (QS, 2 : 198). Hanya saja tujuan mencari rizki itu merupakan tujuan kedua, bukan yang pertama. Tujuan pertama adalah untuk melakukan ibadah haji, dan bukan sebab karena ingin berdagang[91]. Allah Swt harus tetap diingat (QS, 24: 37). Demikian pula, pentingnya mendahulukan sembahyang, khususnya sembahyang Jumat, ditekankan dalam Surat Al Jumuah (QS, 62: 9) dan Surat An Nur (QS, 24: 37). Intinya jual beli atau perniagaan tidak melalaikan sembahyang dan pembayaran zakat, tetapi justru sebaliknya, melakukan perniagaan dengan mengingat Allah Swt, sehingga pekerjaan jual beli juga merupakan ibadah atau zikir  kepada Allah Swt[92]. Dalam kaitan ini Al Gazali, dalam Kitabnya Ihya Ulum Al-Din, mengatakan bahwa, pasar dalam kehidupan dunia tidak dapat mengenyampingkan pasar bagi akhirat. Pasar yang terakhir ini adalah mesjid, bersembahyang dan membayar zakat [93]. Ini dapat diartikan bahwa barang yang diperdagangkan di dalam pasar haruslah bermanfaat bagi kelanjutan kehidupan, bukan barang yang dilarang atau yang membahayakan kesehatan manusia.
Ironisnya, dewasa ini, perkembangan pasar telah menunjukkan arah yang sangat mengkhawatirkan. Bahan makanan, seperti ikan, diberikan bahan pengawet formalin, beras diberikan zat kimia pemutih, sehingga dapat bertahan lama dan tetap menarik, demi menghasilkan keuntungan bagi penjual. Namun, perbuatan tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Penjualnya tidak mengingat Allah Swt, karena jalan yang diambil bukan menuju kebaikan diri dan masyarakat. Keuntungan yang diperoleh tidak langgeng, karena cepat atau lambat orang akan menghindar dari penjual seperti itu. Tindakan ini sangat bertentangan dengan perintah untuk menunaikan amanat dan berlaku adil (QS, 4: 58). Hamka berpendapat, ’amanat’ juga berarti ’aman’, yang setara dengan ’iman’; iman adalah kepercayaan, sedangkan amanat malancarkan iman; sehingga, menunaikan amanat juga memenuhi perintah Tuhan[94]. Dengan demikian, keadaan tersebut membuat pasar menjadi tidak ’aman’. Pedagangnya menjadi khianat dengan melakukan penipuan, sehingga tidak amanah kepada Penciptanya.
Hadis Nabi Saw yang berkaitan dengan masalah kualitas adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: Nabi Saw melihat seseorang sedang menjual barang dagangannya dalam suatu tumpukan. Kemudian, Nabi Saw memasukkan tangannya ke dalam tumpukkan itu, dan tangan beliau menjadi basah ketika mengenai makanan yang basah di bawah tumpukan. Nabi Saw meminta agar makanan yang basah itu diletakkan di bagian atas supaya dapat dilihat oleh orang yang akan membeli. Nabi berkata bahwa, ”Orang yang menipu dalam berdagang, bukan dari golonganku[95]. Ini artinya di dalam pasar, pedagang harus menjelaskan kualitas barang dari apa yang diketahuinya, bukan sebatas apa yang bisa dilihat pembeli, atau yang didengarnya dari penjual. Penjual menyajikan transparansi yang optimal, sehingga ketidak-seimbangan informasi, atau  information asymmetric, dapat diminimalkan.
Dalam hukum dagang Islam, terdapat kosep Khiyar al-Aib. Artinya penjual diwajibkan untuk memberi hak kepada pembeli untuk memeriksa kualitas barang yang akan dijual, baik sebelum atau sesudah tercapai kesepakatan. Khiyar al-Aib merupakan opsi untuk melanjutkan pembelian atau membatalkannya, jika terdapat kerusakan pada barang, tanpa melihat kapan diketahuinya kerusakan itu, baik sebelum atau sesudah kesepakatan tercapai. Konsep ini setara dengan caveat emptor dalam Hukum Barat; tetapi bedanya, pembeli menanggung risiko sendiri, jika dia mengetahui adanya kerusakkan setelah perjanjian jual beli dilakukan [96]. Ini artinya, Islam lebih melindungi pembeli dalam hal kualitas barang, sebagai pengimbang terhadap aspirasi dan motivasi penjual yang cenderung kuat untuk memperoleh keuntungan, sehingga keadilan dalam praktik di pasar dapat dicapai.
Dalam kaitan dengan kuantitas, barang seperti beras atau gandum, dan daging, hanya dapat diukur dengan menggunakan alat tertentu, seperti wadah takaran atau timbangan. Sering terjadi ketika membeli, wadah dan timbangan digunakan seperti apa adanya; tetapi ketika menjual, wadah diganjal dengan sesuatu di bagian dasar, atau timbangan diberikan pemberat,  yang tidak terlihat, sehingga jumlah yang dijual lebih sedikit dibandingkan ketika membeli, demi keuntungan yang lebih (QS, 83: 2-3). Ini merupakan kecenderungan manusia untuk mementingkan diri sendiri, tetapi merugikan orang lain. Tuhan memperingatkan untuk menimbang atau menakar dengan adil, sesuai dengan adat kebiasaan atau urf dalam masyarakat[97]. Karena jika tidak, Allah Swt melaknat orang-orang yang curang itu (QS, 83: 1), yang bertindak dengan hati yang kasar, dan mereka membuat neraka di dunia dengan merusak pasar. Mereka harus mempertanggungjawabkan kecurangannya itu, ketika dibangkitkan kembali dari alam kubur menghadap Tuhannya (QS, 83: 4-5).
Ketentuan memenuhi pengukuran kuntitas dengan adil dalam Surat Al An’am (QS, 6 : 152) ditambah dengan’Sesuai dengan kesanggupan manusia’. Ini merupakan batasan yang diperlukan mengingat dalam kenyataan manusia tidak luput dari kesalahan yang tidak disengaja. Dalam timbangan, misalnya,  masih bisa terjadi kekurangan yang sedikit, tetapi tidak disengaja. Begitu pula, misalnya, karena barang di gudang masih menunggu pembeli, harga beranjak naik di luar kontrol si penjual, sehingga meningkat keuntungan secara tiba-tiba bagi penjual. Dalam Al Qur’an, keuntungan juga disebut sebagai ’rezki’, dan bersifat halal, karena kenaikan harga bukan direkayasa dengan sengaja, dan tidak mengakibatkan kerugian bagi orang lain [98].
Islam melarang terciptanya harga dengan tidak wajar. Namun, Al Ghazali mengungkapkan bahwa dalam al Qur’an tidak terdapat nash yang menentukan tingkat keuntungan yang diijinkan dalam perdagangan. Beliau menjelaskan bahwa besarnya keuntungan sangat ditentukan bagaimana harga itu diciptakan. Keuntungan yang diijinkan adalah jika harga tidak ditetapkan berdasarkan upaya rekayasa yang disengaja, seperti yang dijelaskan oleh sejumlah hadis. Nabi Saw melarang orang mencegat kafilah pemilik barang di jalan sebelum masuk pasar (HR Bukhari), dengan maksud membeli barangnya dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar yang berlaku (Talaqqi Ar Rukban) [99]. Nabi Saw melarang orang untuk  membeli suatu barang yang sedang ditawar oleh orang lain, karena ini dapat menimbulkan persaingan dalam pembelian yang mendorong harga ke arah yang tidak wajar[100]. Nabi Saw melarang penimbunan barang dagangan untuk menaikkan harga[101]. Keuntungan yang merugikan orang lain, karena kenaikan harga yang tidak alami, layaknya terjadi dalam melakukan kegiatan spekulasi atau Ikhtikaar, atau dalam pasar yang bersifat monopoli, dimurkai Allah Swt [102].
 Rekayasa tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan kriminal yang bertentangan dengan moral dan sosial, atau merupakan kejahatan terhadap kepentingan masyarakat atau publik. Menurut Al Ghazali, ini semua merupakan jalan pintas untuk memakan harta orang lain secara bathil[103].
 Selain konsep gharar, dan tadlis atau salah satu pihak tidak mengetahui informasi mengenai kualitas, kuantitas barang, harga atau tempat penyerahan barang,  konsep lain yang dilarang adalah apa yang disebut sebagai Bay al-Hadir li al Ba’di, yaitu praktik makelar yang dilakukan oleh orang kota terhadap pedagang yang datang dari desa, dengan tujuan bertindak sebagai perantara untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari kenaikan harga untuk dirinya sendiri; kejadian ini biasanya terjadi di musim paceklik[104].
Konsep Bay’al Najash juga dilarang, yaitu menggunakan pihak ketiga untuk memuji barang dengan tujuan membuat orang lain untuk membeli barang itu; sehingga menciptakan false demand [105], yang bukan berbasis pada kebutuhan. Intinya, Nabi Saw melarang adanya kontrol terhadap harga, atau merekayasa penjualan secara negatif.  Harga yang wajar dan adil seyogianya ditentukan oleh pasar, melalui kekuatan supply dan demand, atau kegiatan jual beli yang diakhiri dengan kesepakatan para pihak.
Khalifah Umar bin Khathab menerapkan hadis tersebut dengan saksama Beliau menekankan bahwa pelaku pasar bisa masuk pasar, hanya jika memahami hukum syariahnya[106]. Intinya, beliau mengajarkan umat untuk menegakkan akidah, menimba ilmu, sehingga dapat beramal dengan menghasilkan barang berkualitas untuk dikirim ke pasar [107].  Beliau menghendaki adanya persaingan yang sehat dalam pasar, dan membiarkan kekuatan pasar berinteraksi dalam menentukan harga dalam mencapai titik keseimbangan. Pada saat yang sama, beliau memerangi terjadinya cara-cara yang ilegal dalam pasar. Usaha ini adalah untuk menjamin terciptanya kemaslahatan bagi kaum muslimin melalui perdagangan dan pasar, yang merupakan ukuran penting bagi kegiatan ekonomi [108].
C. Kesimpulan  
Berbeda dengan pandangan tiga tokoh Islam, Ibnu Khaldun, Al Ghazali, dan Ibnu Taimiyah, pandangan Adam Smith secara fundamental terletak pada ’kepentingan pribadi’ atau self love, dan “menciptakan nilai terbesar”. Kedua unsur ini merupakan alasan utama yang mendorong kegiatan di bidang ekonomi umumnya, dalam bidang  produksi dan kegiatan pasar khususnya; tetapi, menimbulkan kecendrungan, yang menjauhkannya dari ikatan moral dan etika, dan hanya berkonsentrasi pada perhitungan materi, sehingga menimbulkan banyak masalah sosial dalam kehidupan manusia dewasa ini.
Dalam Islam, pasar merupakan tempat, wadah, atau media yang penting bagi berlangsungnya perdagangan atau jual beli, dalam rangka pemenuhan kebutuhan sebagai bagian dari fitrah manusia, dan memperoleh rezki atau keuntungan. Semua kegiatan di pasar dilakukan demi kepentingan orang-perorang dan masyarakat, berdasarkan ketentuan dalam Al Qu’ran dan hadis Nabi Saw, yaitu:
Setiap kegiatan di pasar harus memperhatikan moral dan etika, dan dilakukan  dengan penuh kejujuran, kebenaran dan keadilan, demi kepentingan bersama. Barang dan jasa yang diperjual belikan harus bermanfaat bagi kehidupan manusia, bukan utang piutang. Penjual harus menyeimbangkan kepentingan pribadi sebagai penjual dengan kepentingan masyarakat luas. Mekanisme pasar berjalan secara wajar dan alami, dan menciptakan harga keseimbangan. Kualitas disajukan dengan transparansi penuh mengenai kualitas, dengan pengukuran kuantitas yang benar dan adil. Pasar bebas dari keserakahan penjual, monopoli atau oligopoli, gharar, kecurangan, eksploitatif, paksaan, manipulasi, rekayasa yang disengaja, seperti menghambat masuknya penjual ke pasar atau Talaqqi Ar Rukban, Bay al-Hadir li al Ba’di atau praktik makelar untuk kepentingan makelar sendiri, Tadlis atau salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diperlukan, dan Bay’al Najash atau menggunakan pihak ketiga untuk memuji barang untuk mendorong penjualan dengan tidak wajar. Diusahakan penyelengaraan pasar tidak berbiaya tinggi, karena adanya sewa dan pajak tempat. Intervensi pemerintah diperlukan, ketika terjadinya distorsi di dalam pasar.  Pengawasan pasar atau hisbah diperlukan untuk menjamin terlaksananya pasar dengan moralitas dan etika.
                                                             ***********



DAFTAR PUSTAKA


Agustianto. “Mekanisme Pasar Dalam Perspektif Ekonomi Islam”. Dalam https://shariaeconomics.wordpress.com/tag/mekanisme-pasar-dalam-perspektif-ekonomi-islam/. 26/02/2011
Afarizi. “Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah”. Dalam http://artikelmahasiswa.blogspot.com/2013/03/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah.html.
Ahmad, Jumal. “Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah”. Dalam https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2013/12/22/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah/. 22/12/2013.
Akbar, M Raden Andi Ali. “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”. Dalam http://www.facebook.com/sukorejoi/posts/550664251680168. 29/10/2013.
Al Ghazali. Al Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman. Tanggerang: Lentera Hati, 2011.
_________. Ihya, Ulum Al-Din. Diterjemahkan oleh Abd el Salam Haroun. Cairo: Islamic Inc, 1997.
Al Mudziri, Zaki Al Din Abd Al Azhim. Bandung: Mizan, 2008.
Al Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al Khatab. Jakarta: Khalifa, 2003. 
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Gramata Publishing, 2010.
Anggraini, Dian. “Pemikiran Ekonomi Menurut Al Ghazali”. Dalam http://didiaananggraini.blogspot.com/2013/12/pemikiran-ekonomi-ekonomi-menurut-al-ghazali.html. 01/11/2013.
At Tuwaijiri, Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah. Ensiklopedi Islam Kaffah, Surabaya: Pustaka Yassir, 2013.
Az Zabidi, Imam. Ringkasan Shahih Bukhari. Bandung: Penerbit Jabal, 2012.
Az-Zuhaili, Wahbah. Ensiklopedia Akhlak Muslim. Jakarta: Noura Books. 2014.
Berg, Chris. “Islam and Free Market”. Dalam https://www.ipa.org.au/publications/857/islam-and-the-free-market/pg/2. (Tidak Bertanggal).
Billah, Mohd Ma’sum. Penerapan Hukum Dagang dan Keuangan Islam. Jakarta: Singapore: Sweet & Maxwell Asia, 2007.
Bogl, John.  Founder of Vanguard. Wall Street Journal, April 21, 2009.
Cassidy, John. How Markets Fail. London: Penguin Books. 2009.
Dede Abdul Fatah. Pasar & Keadilan, Perspektif Ekonomi Islam. Jakarta: GP Press, 2011.
Dinarfirst. “Perdagangan Adalah Dasar Kemakmuran Dalam Islam”. Dalam http://dinarfirst.org/perdagangan-adalah-dasar-kemamuran-dalam-islam. 20/02/2013.
Djatmiko, Budi. “Konsep Ekonomi Syariah Di antara Konsep Ekonomi Sosialis dan Liberalis”. Dalam http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/konsep-ekonomi-syariah-diantara-konsep-ekonomi-sosialis-dan-liberalis. 13/03/2012.
Elianggra. “Kerapuhan Sistem Kapitalistik”. Dalam http://elianggra.worpress.com/2013/06/03/kerapuhan-sistem-kapitalis-tugas-individu-ke-1-perekonomian-indonesia. 03/01/2013.
Hamka. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001.
Hasbi H Hasan. Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer. Depok: Gramata Publishing. 2011.
http://www.ipa.org.au/publications/857/islam-and-the-free-market/pg/2
Islamics Studies of Economics Group (ISEG). Pasar Dalam Islam”. Dalam http://ukmsciemics.blogspot.com/2011/11/pasa-dalam-islam.html. 2011.
Johnson, Paul M. Kamus Ekonomi Politik. Jakarta: Penerbit Teraju, 2003.
Kadir, A. Hukum Bisnis Syariah Dalam Al Qur’an. Jakarta: Amzah, 2010.
Kasyani, Faidh. Etika Islam, Menuju Evolusi Diri. Jakarta: Sadra, 2014.
Khaldun, Ibnu. Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011
Lewis, Hunter. Where Keynes Went Wrong, and Why World Governments Keep Creating Inflation, Bubbles, and Busts. Mount Jackson, VA: Axios Press, 2009.
Moffatt, Mike. Dalam http://economics.about.com/cs/economicaglossary/g/market.htm. (Tdk Bertanggal).
Mortazavi, Saeed. “Islamic Economics: A Solution for Environmental Protection”. Dalam http://www.google,co.id/url?sa=t&rct, dstnya. 8-13/08/2004.
“Perbedaan Pasar Islam dan Pasar Konvensional”. Dalam http://blogmuamalah.wordpress.com/2012/06/11/perbedaan-pasar-islam-dan-pasar-konvensional/. 11/06/2012.
Popos, Ahdi. “Pemikiran Ekonomi  Islam Ibnu Taimiyah”. Dalam http://ahdi-popos.blogspot.com/2013/12/pemikiran-ekonomi-islam-ibnu-taimiyah.html1#. 26/12/2013.
Reda, Ayman. “Islam and Markets”. Review of Social Economy, Vol.71,No.20-43. Dalam http://dx.doi.org/10.1080/00346764.2012.761752. 2013.
Rinsa. “Liberalisme Perdagangan dan Neo Liberalisme”. Dalam http://rinsaunijaya.blogspot.com/2011/04/liberalisasi-perdagangan-dan-neo.html. 19/04/2011.
Robinson, Joan Violet.  “Market”. Dalam http://www.britannica.com/EBchecked/topic/365647/market. 4/7/2014.
Rohman, Abdur. “Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya’Ulum al Din”. Dalam http://inpasanline.com/new/menelusuri-konsep-ekonomi-islam-dalam-ihya-ulum-al-din/. 23/07/2011.
Sen, Amartya. On Ethics & Economics. Victoria, Australia: Blackwell Publishing, 2007.
Shihab, M Quraish. Wawasan Al Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan Pustaka, 2013.
Smith, Adam. An Inquiry into the Nature and cause of the Wealth of Nations. Chicago: teh University of Chicago Press, 1976.
Sorman, Guy. “Is Islam Compatible with Capitalism?”. Dalam http://www.city-journal.org/2011/21_3_muslim-economy.html. 2011.
State Directed Economy Vs Free Market Policy: What does Islam support?”. Dalam http://eng.dar-alifta.org/foreign/ViewArticle.aspx?ID=545&CategoryID=5. (Tidak Bertanggal).
Sweet, Marr. “Pandangan Al Ghazali Terhadap Ekonomi”. Dalam http://mnidaislami21.blogspot.com/2013/03/pandangan-al-ghazali-terhadap-ekonomi_9713.html. 08/03/2013.
Tidak Bernama. “Bapak Ekonomi Islam: Imam Al Ghzali”. Dalam http://ophiiciiduduth.blogspot.com/2013/04/bapak-eknomi-islam-imam-al-ghazali.html. 14/04/2013.
Tidak Bernama. “Pasal Dalam Islam”. Dalam http://kmplnmakalah.blogspot.com/2013/03/pasar-dalam-islam.html. 2013.
Tidak Bernama. “Perdagangan”. Dalam http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=130 (Tidak Bertanggal).
Wikipedia. The  Free Encyclopedia. 25/09/2014.
Wikipedia. “Criticism of Capitalism”. Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Criticism_of_capitalism. (Tidak Bertanggal).
Wikipedia. “Niccolo Machiavelli”. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Niccol%C3%B2_Machiavelli. 29/10/2014.




[1] A. Kadir, Hukum Bisnis Syariah Dalam Al Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 26.
[2] Ibid., hal. 6.
[3] Ibid., hal. 44.
[4] Adam Smith menerbitkan dua buku, yaitu: The Theory of Moral Sentiments dalam tahun 1759, dan  The Wealth of  Nations dalam tahun 1776.
[5] Islamics Studies of Economics Group (ISEG), “Pasar Dalam Islam”, Dalam http://ukmsciemics.blogspot.com/2011/11/pasa-dalam-islam.html., (2011)
[6] John Cassidy, How Markets Fail, (London: Penguin Books, 2009), hal. 25.
[7] Mike Moffatt, Dalam http://economics.about.com/cs/economicaglossary/g/market.htm, (Tdk Bertanggal)
[8] Ayman Reda, “Islam and Markets”, Dalam Review of Social Economy, Vol. 71, No. 20-43., Dalam http://dx.doi.org/10.1080/00346764.2012.761752., (2013).
[9] Joan Violet Robinson., “Market”, Dalam http://www.britannica.com/EBchecked/topic/365647/market, (4/7/2014).
[10] Wikipedia, The Free Encyclopedia. (25/09/2014)
[11] Joan Violet Robinson, “Market”, Dalam http://www.britannica.com/EBchecked/topic/365647/market, (4/7/2014).
[12] Paul M. Johnson, Kamus Ekonomi Politik. (Jakarta: Penerbit Teraju, 2003), hal. 169-170.
[13] Ibid., hal. 170.
[14] Ketentuan syariah melarang pasar keuangan yang berbasis utang dan riba, pasar derivatives, dan pasar komoditas dengan futures-nya.
[15] John Cassidy, How Markets Fail, (London: Penguin Books, 2009), hal. 26.
[16] Ibid., hal. 27.
[17] Fungsi yang lain adalah sebagai sarana distribusi, dan sarana promosi. Tidak Bernama, “Pasal Dalam Islam”, http://kmplnmakalah.blogspot.com/2013/03/pasar-dalam-islam.html. (2013)
[18] John Cassidy, How Markets Fail, hal. 38.
[19] Hunter Lewis, Where Keynes Went Wrong, and Why World Governments Keep Creating Inflation, Bubbles, and Busts, (Mount Jackson, VA: Axios Press, 2009), hal. 305.
[20] Wikipedia, “Criticism of Capitalism”, Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Criticism_of_capitalism, (Tidak Bertanggal)
[21] Ayman Reda, “Islam and Markets”. Review of Social Economy, Vol.71, No. 1,20-43. Dalam http://dx.doi.org/10.1080/00346764.2012.761752, (2013).
[22] Al Gazali, Ihya, Ulum Al-Din. Diterjemahkan oleh Abd el Salam Haroun. (Cairo: Islamic Inc., 1997), hal. 239.
[23] Marr Sweet, “Pandangan Al Ghazali terhadap Eknomi”,  Dalam http://mnidaislami21.blogspot.com/2013/03/pandangan-al-ghazali-terhadap-ekonomi_9713.html, (08/03/2013).   
[24] Dian Anggraini, “Pemikiran Ekonomi Menurut Al Ghazali”, http://didiaananggraini.blogspot.com/2013/12/pemikiran-ekonomi-ekonomi-menurut-al-ghazali.html. (01/11/2013).
[25] Marr Sweet, Pandangan Al Ghazali terhadap Ekonomi.
[26] Dian Anggraini, Pemikiran Ekonomi Menurut Al Ghazali.
[27] Abdur Rohman, “Menelusuri Konsep Ekonomi Islam dalam Ihya’Ulum al Din”. http://inpasanline.com/new/menelusuri-konsep-ekonomi-islam-dalam-ihya-ulum-al-din/, (23/07/2011).
[28] Marr Sweet, Pandangan Al Ghazali terhadap Ekonomi.
[29] Marr Sweet, Pandangan Al Ghazali terhadap Ekonomi.
[30] Tidak Bernama, “Bapak Ekonomi Islam: Imam Al Ghzali”. Dalam http://ophiiciiduduth.blogspot.com/2013/04/bapak-eknomi-islam-imam-al-ghazali.html, (14/04/2013).
[31] Marr Sweet, Pandangan Al Ghazali terhadap Ekonomi.
[32] Dian Anggraini, Pemikiran Ekonomi Menurut Al Ghazali.
[33] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), hal. 468.
[34] Ibid., hal. 472.
[35] Ibid., hal. 447.
[36] Ibid., hal. 451.
[37] Ibid., hal. 448.
[38] Ibid., hal. 460.
[39] Ibid., hal. 452.
[40] Ibid., hal. 366.
[41] Berg, Chis. (Tdk Bertanggal). http://www.ipa.org.au/publications/857/islam-and-the-free-market/pg/2
[42] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 452.
[43] Ibid., hal. 472.
[44] Ibid., hal. 470.
[45] Ibid., hal. 468.
[46] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Gramata Publishing, 2010), hal. 207. 
[47] Afarizi, “Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah”, Dalam http://artikelmahasiswa.blogspot.com/2013/03/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah.html, (2013).
[48] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal. 208.
[49] Jumal Ahmad, “Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah”,  Dalam https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2013/12/22/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah/, (22/12/2013).
[50] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal .210.
[51] Ibid., hal. 210.
[52] Ibid., hal. 210
[53] Ahdi Popos, “Pemikiran Ekonomi Islam Ibnu Taimiyah”, Dalam http://ahdi-popos.blogspot.com/2013/12/pemikiran-ekonomi-islam-ibnu-taimiyah.html1#, (26/12/2013).
[54] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal. 214.
[55] Ibid., hal. 216.  
[56] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and cause of the Wealth of Nations, (Chicago: The University of Chicago Press, 1976), hal. 23-24.
[57] Ibid., hal. 572.
[58] Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah,  di  Dunia Islam Kontemporer, (Depok: Gramata Publisihing, 2011), hal.27.
[59] Dede Abdul Fatah, Pasar & Keadilan, Perspektif Ekonomi Islam, (Jakarta: GP Press, 2011), hal. 14-15.
[60] John Cassidy, How Markets Fail, (London: Penguin Books, 2009). hal.32.
[61] Amartya Sen, On Ethics & Economics, (Victoria, Australia: Blackwell Publishing, 2007), hal. 18.
[62] Saeed Mortazavi, “Islamic Economics: A Solution for Environmental Protection”, Dalam http://www.google,co.id/url?sa=t&rct, dstnya, (8-13/08/2004)
[63] John Cassidy, How Markets Fail, hal. 38.
[64] Guy Sorman, “Is Islam Compatible with Capitalism?”, Dalam http://www.city-journal.org/2011/21_3_muslim-economy.html, (2011).
[65] Elianggra, “Kerapuhan Sistem Kapitalistik”, Dalam http://elianggra.worpress.com/2013/06/03/kerapuhan-sistem-kapitalis-tugas-individu-ke-1-perekonomian-indonesia, (03/01/2013)
[66] Amartya Sen, On Ethics & Economics, hal. 15.
           [67] Ibid., hal. 15.
[68] John Bogl, “Founder of Vanguard”, Dalam Wall Street Journal, (21April 2009)
[69] Rinsa, “Liberalisme Perdagangan dan Neo Liberalisme”, Dalam http://rinsaunijaya.blogspot.com/2011/04/liberalisasi-perdagangan-dan-neo.html. (19/04/2011)
[70] “State directed economy vs free market policy:What does Islam support?”, http://eng.dar-alifta.org/foreign/ViewArticle.aspx?ID=545&CategoryID=5. (Tidak Bertanggal).
[71] Wikipedia,  “Niccolo Machiavelli”, Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Niccol%C3%B2_Machiavelli, (29/10/2014).
[72] Sofyan Syafri Harahap, Akuntasi Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hal. 171
[73] Amartya Sen, On Ethics & Economics, hal. 89.
[74] Budi Djatmiko, “Konsep Ekonomi Syariah Di antara Konsep Ekonomi Sosialis dan Liberalis”, Dalam http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/konsep-ekonomi-syariah-diantara-konsep-ekonomi-sosialis-dan-liberalis, (13/03/2012).
[75] Perbedaan Pasar Islam dan Pasar Konvensional”. Dalam http://blogmuamalah.wordpress.com/2012/06/11/perbedaan-pasar-islam-dan-pasar-konvensional/, (11/06/2012)
[76] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 213-214.
[77] Jaribah bin Ahmad Al Haritsi,  Fikih Ekonomi Umar bin Al Khatab, (Jakarta: Khalifa, 2003), hal. 587.  
[78] Ibid., hal. 587-618.
[79] Budi Djatmiko, “Konsep Ekonomi Syariah Di antara Konsep Ekonomi Sosialis dan Liberalis”.
[80] Faidh Kasyani, Etika Islam, Menuju Evolusi Diri, (Jakarta: Sadra,  2014), hal. 402-404.
[81] M Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan Pustaka, 2013), hal. 537.
[82] Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), hal. 150.
[83] Al Ghazali, Al Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman. (Tanggerang: Lentera Hati, 2011), hal. 498.  
[84] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal. 248.
           [85] Dinarfirst, “Perdagangan Adalah Dasar Kemakmuran Dalam Islam”, Dalam http://dinarfirst.org/perdagangan-adalah-dasar-kemamuran-dalam-islam. (20/02/2013).
[86] M Raden Andi Ali Akbar, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”,  Dalam http://www.facebook.com/sukorejoi/posts/550664251680168, (29/10/2013).
           [87] Dinarfirst, “Perdagangan Adalah Dasar Kemakmuran Dalam Islam”.
[88] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal.25-27.
           [89] Al Ghazali, Al Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman, (Tanggerang: Lentera Hati, 2011), hal. 499.
[90] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal.25-27.
[91] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal. 137-138.
[92] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal. 199.
[93] Al Gazali, Ihya, Ulum Al-Din, Diterjemahkan oleh Abd el Salam Haroun, (Cairo: Islamic Inc., 1997), hal. 248.
[94] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal.124
[95] Al Mudziri, Zaki Al Din Abd Al Azhim. (2008). Bandung: Mizan, hal. 512.
[96] Mohd Ma’sum Billah, Penerapan Hukum Dagang dan Keuangan Islam, (Jakarta: Singapore: Sweet & Maxwell Asia, 2007), hal. 23-25.
[97] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal. 105-106.
[98] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal. 126-127.
[99] Tidak Bernama, “Perdagangan”, http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=130, (Tidak Bertanggal)
[100] Imam Az Zabidi, Ringkasan Shahih Bukhari, (Bandung: Penerbit Jabal, 2012), hal. 310.
[101] Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Kaffah, (Surabaya: Pustaka Yassir, 2013), hal. 411.
[102] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal.126-127.
[103] Al Ghazali, Al Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman, hal. 501.
[104] Dede Abdul Fatah, Pasar & Keadilan, Perspektif Ekonomi Islam, (Jakarta: GP Press, 2011), hal. 70-71.  
[105] Ibid., hal. 73.  
[106] Jaribah bin Ahmad Al Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al Khatab, (Jakarta: Khalifa, 2003), hal. 66.
[107] Ibid., hal. 66.
[108] Ibid., hal. 117- 119.



Tulisan ini sudah diterbitkan pada Jurnal Quality (Jurnal Manajemen dan akuntansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM), Vol. V, No. 20, Oktober 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar