KETENTUAN ‘PASAR’ DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh:
Hendy Herijanto
Sekolah Tinggi Ekonomi Syariah (STES) Islamic Village
E-Mail: hendyherijanto@gmail.com
Abstrak
Pengertian pasar, ’yang mulanya menunjukkan lokasi
phisik’, berkembang menjadi ’pertukaran
antara penjual dan pembeli pada suatu tingkat harga bagi barang atau jasa’. Sehubungan
dengan kenyataan bahwa, pasar telah dinodai dengan egoisme dan ketidakjujuran
para penjual, tulisan ini berusaha menemukan alasan teoretis bagi timbulnya
egoisme dan bagaimana Islam menentukan pasar, dan membandingkan pendapat para
pemikir Islam, dengan pemikiran Adam Smith, yang bertitik tolak pada kepentingan
pribadi dan egoisme. Secara menyeluruh, tulisan ini membahas, menganalisis, dan
menyimpulkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al Qur’an dan hadis Nabi Saw yang
berkaitan dengan pasar.
Kesimpulannya adalah, antara lain: Pasar harus
dijalankan dengan mempertimbangkan moral dan etika, dengan kejujuran,
tranparansi, kebenaran dan keadilan, pembeli dan penjual bergerak bebas
menentukan penawaran dan permintaan, serta membentuk harga keseimbangan, tanpa
adanya monopoli, gharar, ekspoitasi,
penipuan, paksaan, dan Talaqqi ar Rukban.
Pengawasan pasar diperlukan untuk menjamin penerapan ketentuan ini. Intervensi
pemerintah diperlukan jika jika terjadi distorsi di pasar.
Kata Kunci: Pasar, Ayat Al Qur’an, Hadis Nabi Saw,
dan moralitas.
Abstract
The definition of market has evolved from reflecting physical locations to
exchanges between buyers and sellers at agreed prices for goods and services. In
view of the fact that markets have been embeded with the egoism and dishonesty
on the part of the sellers, this paper tries to find out the theoritical reasons
for both the egoism in market and how Islam governs the market, and comparing the
opinions of the previous Islamic thinkers concerning market, to the thinking of
Adam Smith that based on self love or egoism. All in all, this paper discusses,
analyses, and concludes the stipulations that exist in the Al Qur’an and the
Propetic Hadiths.
The conclusions to include among
others that: Market implementation must consider morality and ethics, such as honesty,
transparency, truth and justice, free movements
of the sellers and buyers, as well as supply and demand to decide an equillibrium price, with no monopoly, gharar,
exploitation, frauds, coercion, and Talaqqi Ar Rukban. Market needs supervision
to ensure good ethics. A government intervention is needed, if market
distortion occurs.
Key Words: Market, Qur’anic verses, Prophetic hadiths, and morality.
A.
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Sebelum Islam datang di jazirah Arab, masyarakat di sana telah mengenal pasar, dan telah menjadi
bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Ketika Islam datang,
keberadaan institusi pasar direstui Islam, karena pasar mendukung nash atau ketentuan yang jelas dalam Al
Qur’an, yaitu berbunyi”perdagangan
dihalalkan, dan riba diharamkan” (QS, 2: 275). Pasar memfasilitasi
berlangsungnya perdagangan, dengan menyalurkan hasil produksi masyarakat.
Perdagangan dapat menghasilkan rezki, sebagaimana yang diperintahkan dalam Al
Qur’an. Sejumlah ayat dan hadis Nabi Saw yang menyebutkan bahwa rezki yang
halal berasal dari perniagaan, atau perdagangan, berdasarkan ’suka sama suka’ antara penjual
dan pembeli (QS, 4: 29; QS, 62: 10; QS, 35: 29). Nabi Besar Muhammad Saw
memberikan contoh bagaimana berdagang seharusnya.
Pasar merupakan wadah untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pertukaran
yang seimbang. Ini berarti pula, bahwa manusia harus berusaha berdiri sendiri
dalam menjalankan kehidupan dan memenuhi kebutuhan, atau tidak menggantungkan
hidupnya pada orang lain. Secara tidak langsung, pasar mendorong manusia untuk bekerja
dalam memperoleh rezki, dan rezki yang diperoleh dibelanjakan di pasar dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, ketika Nabi Saw memasuki pasar,
beliau berdoa dan memohon kepada Allah Swt agar memberikan kebaikan pasar dan
apa yang dikandung di dalamnya, dan berlindung kepada Allah Swt dari kejahatan
yang ada di dalam pasar, dan tidak terlibat dalam sumpah palsu dan transaksi
yang merugikan (HR Ibnu Sinna, Al Hakim)[1]. Doa
Nabi Saw ini merefleksi harapan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan bagi
masyarakat di dalam pasar.
Ketentuan mengenai pasar dapat dicari di dalam Al Qur’an dan hadis Nabi
Saw sebagai sumber hukum. Yusuf al Khardhawi,
seperti yang dikutip Kadir, mengatakan, bahwa Al Qur’an merupakan undang-undang
yang membuat prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah dasar Islam, yang mencakup
muamalat; dan dijelaskan oleh As Sunnah [2].
Ketentuan tersebut merupakan petunjuk antara
baik dan buruk, atau merupakan hukum moral, tetapi dipertanggung-jawabkan
langsung kepada Tuhan[3].
Karena berasal dari wahyu, ketentuan tersebut menempati kedudukan yang lebih
tinggi dari hukum positif.
2. Tujuan Penulisan
Dewasa
ini, pasar memiliki kecenderungan negatif, yang menujukkan egoisme dan ketidakjujuran
para penjual. Barang dagangan mereka mencakup barang yang dilarang, atau
mengandung bahan yang berbahaya bagi kesehatan atau kehidupan manusia.
Perhatian mereka berfokus hanya pada keuntungan yang dapat diperolehnya, tanpa
memikirkan kepentingan orang lain. Oleh karena itu, makalah ini berusaha
mencari dasar teori yang dapat menjelaskan perkembangan yang negatif tersebut.
Umumnya, pasar yang berlangsung dewasa ini
merupakan bagian dari konsep ekonomi kapitalistik. Secara teoretis, pemikiran awalnya
diletakkan oleh Adam Smith (1723- 1790) [4],
dan kemudian dibandingkan dengan hasil pemikiran para tokoh Islam terdahulu yang
berbasis Al Qur’an dan Hadis Nabi Saw. Oleh karena itu, secara keseluruhan,
penulisan bertujuan untuk menggali ketentuan yang ada dalam kedua sumber utama
hukum Islam tersebut, sekaligus menunjukkan perbedaan pemikiran yang dimaksud.
Bersifat kepustakaan, dengan analisis bersifat
kualitatif, materi penulisan ini berasal dari pemikiran para tokoh otoritatif
yang dikenal di masanya, termasuk Buya Hamka dengan Tafsir Al Azhar-nya (2001).
Kesimpulan pembahasan diharapkan dapat
merefleksi ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pasar, sebagaimana yang
dikehendaki Islam. .
B. Pembahasan Mengenai Pasar
1. Pengertian dan Fungsinya
Pasar di masa Islam klasik menunjukkan suatu
tempat di mana penjual dan pembeli biasa bertemu untuk melakukan transaksi jual
beli. Umumnya, tempat tersebut dapat dengan mudah dicapai, atau sering dilewati
oleh orang yang berlalu lalang. Nabi
Saw, misalnya, datang dari Mekkah ke Syam membawa barang dagangannya, dan
bertemu dengan para pembeli dan penjual dari seluruh jazirah Arab[5]. Begitulah pasar dalam pengertian
sehari-hari [6]. Menurut Moffatt, ’pasar’ adalah setiap tempat di mana penjual dari barang
atau jasa tertentu dapat bertemu pembeli dari barang dan jasa itu di mana
berpotensi untuk terjadinya transaksi jual beli [7]. Definisi lain menyebutkan, pasar adalah
pertukaran yang dilakukan oleh para aktor untuk barang dan jasa[8].
Menurut Robinson, ‘pasar’ sebagai suatu cara dengan mana pertukaran
barang dan jasa dapat terjadi sebagai akibat pembeli dan penjual berhubungan
satu dengan lainnya, baik secara langsung atau melalui agen atau institusi
perantara [9]. Wikipedia
memperjelas arti ‘suatu cara’ dalam definisi terakhir ini, yaitu berbagai ragam
dari sistem, institusi, prosedur, hubungan sosial dan infrastruktur dengan mana
para pihak dapat melakukan pertukaran [10].
Pengertian yang berkembang tidak lagi menunjukkan secara khusus pada
‘tempat’ dalam pengertian phisik di mana transaksi terjadi, tetapi lebih menekankan
pada hubungan yang bebas antara penjual dan pembeli yang membuat harga dari
barang yang sama cenderung menjadi sama dengan mudah dan cepat. Pasar semakin
sempurna, jika kecendrungan semakin kuat untuk terjadinya harga yang sama untuk
barang atau jasa yang sama pada waktu yang kurang lebih bersamaan[11]; bebas
dari intervensi eksogen, atau tanpa peran pemerintah.
Jadi, unsur yang dominan dari pengertian pasar adalah kesetaraan harga
bagi suatu barang yang sama dan dapat terjadi dengan cepat dan mudah, pada
waktu yang bersamaan. Karakteristik
lain adalah terjadinya transaksi pertukaran dengan bebas, antara kekuatan
permintaan dan penawaran yang kemudian menentukan harga yang sama untuk barang
yang sama. Pengertian pasar terus berkembang, tetapi karakteristiknya kurang
lebih sama [12]. Namun, terjadinya
transaksi pertukaran tetap memerlukan tempat berkumpul bagi jaringan pembeli
dan penjual, walaupun kemajuan tehnologi telah mempermudah transportasi dan
komunikasi, yang membuat para pelaku tidak selalu harus bertatap muka [13].
Jenis pasar ditentukan pula oleh jenis barang atau jasa yang dipertukarkan,
seperti pasar komoditi, pasar mobil, pasar keuangan dan seterusnya. Dalam tulisan
ini, pasar yang dimaksud hanya berkaitan dengan barang dan jasa serta yang
merupakan transaksi dalam sektor riel, sesuai dengan ketentuan syariah[14].
John Cassidy berpendapat bahwa
pasar merupakan konstruksi sosial, dan berperan atas insentif, kompetisi dan
harga. Sistem pasar, yang telah bertahan lama, memungkinkan individu,
perusahaan dan negara, untuk berspesialisasi di bidang yang mereka kuasai, dan
mengembangkan kapasitas produksi perekonomian. Pasar menyediakan insentif bagi
investasi dan inovasi, dengan memfasilitasi peningkatan produktivitas dan upah,
yang telah terjadi berabad-abad dan memperbaiki standar hidup [15].
Cassidy juga mengatakan bahwa sifat kompetisi dari zaman enlightment hingga sekarang tetap tidak berubah; tetapi, dalam
kaitan dengan sistem kapitalis, kompetisi menimbulkan turbulance, dan pasang surut dalam pasar [16].
Karena salah satu fungsinya membentuk harga [17],
sistem pasar mendorong efisiensi, karena sumber daya diarahkan ke tempat di
mana lebih diperlukan, dan harga-harga dikaitkan dengan biaya[18];
kemudian menentukan keuntungan. Menurut Lewis, harga dan keuntungan yang jujur
dapat membentuk ekonomi yang stabil; dan dengan ekonomi yang stabil, yang
memelihara lingkungan hidup dan sektor keuangan, disertai dengan unsur kerja
yang berkembang, diiringi dengan keteguhan dalam berusaha, akhirnya dapat
menurunkan tingkat kemiskinan manusia[19].
Rangkaian uraian tersebut merupakan kebajikan utama dari pasar, yang pada
akhirnya dapat menurunkan tingkat kemiskinan, tetapi harus dijalankan dengan sejumlah
syarat. Syarat yang dikemukakan oleh Lewis adalah pemenuhan nilai-nilai moral
dan etika, termasuk keteguhan dalam berusaha dan etos kerja yang baik.
Namun, setiap kegiatan manusia dalam ekonomi,
termasuk di dalam pasar, tidak terlepas
dari kepentingan pribadi atau self interest.
Kegagalan pasar dapat terjadi jika alokasi barang dan jasa tidak efisien, atau
masalah self interest itu, sebagai
salah satu sebab utama. Paul Krugman berpendapat, bahwa self interest manusia dapat menghasilkan konsekuensi yang buruk bagi
masyarakat secara menyeluruh [20].
Tentunya, yang dimaksud di sini adalah self
interest yang berlebihan, dan itu artinya mengabaikan kepentingan orang
lain.
Dalam kaitan dengan fungsi pasar, Ayman Reda mengutip
J Lie dan WM Dugger. J Lie berpendapat bahwa, bagi
peneliti ilmu sosial, pasar dapat menjelaskan kehidupan ekonomi dan sosial. Menurut
WM Dugger, ”Pasar bukan fenomena alam,
dan ekonomi pasar adalah ekonomi diskresi, yang merupakan produk dari kehendak
manusia”. Reda menyimpulkan
bahwa pasar merupakan manifestasi dari lingkungan sosial, dan ketika lingkungan
itu memiliki sifat agama yang jelas, maka struktur dan substansi dari pasar itu
juga akan mengikuti ketentuan agama [21].
2. Pasar Menurut Pemikiran Islam
a. Pasar Menurut Al Ghazali
(450-505H/1058-111 M)
Al Ghazali menyadari
pentingnya transaksi pertukaran dalam ekonomi. Aktivitas perdagangan dapat memberikan nilai
tambah terhadap barang-barang, karena aktivitas ini membuat barang-barang dapat
sampai pada tempat dan dalam waktu yang tepat. Perdagangan terjadi karena adanya
dorongan kepentingan pribadi, atau self
interest, yaitu khususnya mencari laba. Penciptaan nilai tambah tersebut memerlukan pasar
untuk tempat para pelaku ekonomi berkumpul. Menurut Al Gazali, barang yang
diperjual belikan adalah barang berupa phisik dan telah ada, atau yang dapat
memberikan manfaat [22].
Al Ghazali bependapat bahwa
timbulnya pasar disebabkan adanya ”keteraturan alami”, dan demikian pula dengan
harga yang tercipta, bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran [23].
Pasar berevolusi sebagai bagian dari ”hukum alam”, atau sebagai suatu ekspresi
berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan
ekonomi [24].
Istilah ”keteraturan alami” ini dapat disetarakan dengan istilah ’invicible hands” dari Adam Smith. ”Keteraturan alami ini” merefleksikan
evolusi pasar dan terciptanya harga di pasar [25].
Timbulnya pasar ditentukan
oleh kekuatan penawaran dan permintaan dalam menentukan harga dan laba[26].
Kurva penawaran ’beranjak naik dari kiri bawah ke kanan atas’; sedangkan kurva
permintaan ’turun dari kiri atas ke kanan bawah’ [27],
seperti halnya yang disebutkan dalam banyak literatur dewasa ini. Dalam hal
penawaran, beliau memberikan contoh, jika petani tidak menemukan pembeli, maka
ia akan menjual dengan harga yang lebih murah. Penurunan harga dapat
dicapai dengan cara menambah jumlah
barang di pasar. Permintaan memiliki elastisitas. Di sisi lain, harga
menentukan keuntungan; dan untuk itu,
dalam menjual diperlukan harga yang lebih tinggi. Perbedaan harga ini,
atau disebut sebagai keuntungan, secara wajar diperlukan untuk menutup sejumlah
risiko yang dihadapi pedagang, seperti risiko
keamanan di perjalanan, dan risiko bisnis lainnya.
Adanya keuntungan membuat
pasar dapat berkembang, dan pedagang selalu berusaha untuk memperbesarnya dari
setiap transaksi. Namun, al Ghazali menekankan perlunya memperhatikan etika [28].
Untuk mencari keuntungan yang besar, al Ghazali menyarankan untuk tidak
diperoleh dari perdagangan bahan pokok, atau bukan bersifat darruriyah, atau salah satu dari tiga
macam kebutuhan: yaitu kebutuhan primer atau darruriyyah, sekunder atau hajiat,
dan kebutuhan mewah atau takhsiniyyah
[29].
Bahkan, al Ghazali menyarankan
agar memberikan harga yang lebih tinggi bagi penjual yang miskin; tetapi
sebaliknya, jika diberikan pada penjual yang kaya, perbuatan itu menjadi tidak
terpuji [30]. Itulah sebabnya al Ghazali mengatakan bahwa keuntungan yang sesungguhnya
adalah keuntungan di akhirat kelak [31].
Keuntungan yang wajar adalah yang dapat membawa manfaat bagi lebih banyak
pihak, sehingga menjadi pahala yang dapat diperhitungkan bagi pedagang di
akhirat kelak. Keuntungan itu harus diperoleh melalui cara yang sah, tidak
mengikuti nafsu pribadi ke arah keserakahan, dan tidak melanggar ketentuan
agama [32].
Sebagai kesimpulan dari pendapat al Ghazali, praktik di pasar harus selalu
dikaitkan dengan moral dan etika.
b. Pasar Menurut Ibn Khaldun (732-808 H/1332-1406
M)
Menurut Ibn Khaldun, kegiatan
di pasar itu berarti usaha untuk membuat keuntungan untuk menumbuhkan modal,
membeli barang dengan harga murah, dan menjualnya dengan harga tinggi, dan
jumlah nilai yang tumbuh itu disebut sebagai laba [33]. Keuntungan adalah akibat dari adanya
keahlian, ketrampilan dan perdagangan [34], dan merupakan nilai yang timbul dari
kerja manusia [35]; sama dengan rezki, karena rezki atau
penghidupan[36] harus diperoleh dari usaha dan kerja [37]. Orang yang tidak mampu bekerja maka dia
tidak mampu memperoleh keuntungan [38].
Perdagangan merupakan jalan
penghidupan yang wajar, dan sebagian besar cara yang digunakan merupakan
muslihat untuk mendapatkan laba dengan mencari perbedaan antara harga pembelian
dengan penjualan, dan dengan menyimpan kelebihannya. Cara ini disebutnya
sebagai mukayasah[39]. Syariat melegalisir penggunaan
kecerdikan, atau mukayasah, dalam
jual beli, dan melarang memakan harta orang lain dengan cara tidak sah. Mukayasah diartikan sebagai kecerdikan
yang dipraktikkan dalam tawar menawar, dan usaha yang dilakukan oleh
masing-masing penjual dan pembeli untuk sampai pada harga yang cocok dan
berarti [40].
Harga di sini merupakan nilai barang dan bersifat subjektif, yaitu suatu jumlah
yang ditawarkan oleh penjual, dan diterima serta dibayar oleh pembeli [41].
Walapun mukayasah termasuk judi,
tetapi mukayasah tidak mengambil
sesuatu dari tangan orang lain dengan tidak mengembalikan apa-apa sebagai
gantinya. Apa yang diambil dan diberikan pada waktu yang sama menjadi
pertukaran yang sah [42].
Apa yang diambil tanpa ada
yang diberikan menjadi persoalan kehinaan. Jika orang mengambil uang tanpa
sesuatu usaha, atau secara cuma-cuma, maka orang itu menjadi sangat hina,
karena dalam dirinya terdapat kecintaan yang besar terhadap uang; di samping adanya unsur paksaan, dalam arti
uang diberikan sebagai keharusan tanpa keberhasilan usaha. Ibnu Khaldun
berpendapat bahwa berkemungkinan alasan ini yang dimaksudkan oleh Nabi Muhammad
Saw sebagai mengambil harta orang secara bathil [43].
Namun, Ibnu Khaldun mengatakan
bahwa menerapkan mukayasah, atau
dalam arti lain merupakan ’pembujukkan’, adalah sikap yang jauh dari sifat
keperwiraan dan kejujuran yang umumnya merupakan watak dari para raja dan kaum
bangsawan. Tingkah laku ini menjadi hina, jika menimbulkan kebiasaan memberikan
jawaban yang tidak sebenarnya, kelicikan dan tipu daya, serta melakukan tawar
menawar mengenai harga dengan janji-janji yang bohong. Sifat-sifat ini umumnya
dimiliki oleh pedagang tingkat bawahan [44].
Hal ini disebabkan karena tidak meratanya sifat kejujuran dalam masyarakat.
Ketidakjujuran dapat menjurus pada penipuan dan pemalsuan barang dagangan,
mengakibatkan pembayaran menjadi terlambat sehingga menghentikan modal untuk
berputar, atau pembeli mengingkari utangnya sehingga merugikan penjual [45].
c. Pasar Menurut Ibnu Taimiyah (1263-1328M)
Ibnu Taimiyah memiliki
pemikiran yang khusus mengenai mekanisme pasar, harga yang adil, konsep laba
yang adil, dan regulasi harga. Mengenai mekanisme pasar, seperti pendahulunya,
Ibnu Taimiyah berpendapat sama bahwa dalam suatu pasar bebas, harga ditentukan
oleh mekanisme pasar, yaitu kekuatan penawaran dan permintaan, yang menuju pada
harga keseimbangan atau equlibrium price.
Namun, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa naik dan turunnya harga tidak selalu
disebabkan karena kezaliman orang-orang
tertentu. Dalam kaitan dengan penawaran, penyebabnya dapat berupa penurunan produksi atau impor, yang
menyebabkan barang yang masuk pasar lebih sedikit [46].
Jika permintaan turun, walaupun barang dalam jumlah persediaan di pasar banyak,
harga cenderung turun [47].
Namun, di balik itu, kenaikan harga dapat juga diakibatkan oleh ketidakadilan (zulm).
Para penjual melakukan manipulasi, yang dapat medorong pasar ke arah ketidaksempurnaan[48].
Ibnu Taimiyah menyebutkan
sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi permintaan dan harga, yaitu: Perubahan
keinginan masyarakat terhadap berbagai jenis barang, jumlah masyarakat yang
berminat menentukan tingkat harga, tingkat kebutuhan terhadap suatu barang,
kualitas pembeli yang diukur dengan kemampuan bayar, jenis uang yang digunakan
apakah yang umum atau tidak, apakah barang sudah tersedia di pasar atau belum,
jumlah biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual, dan regulasi
harga [49].
Mengenai harga yang adil, Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa esensi dari harga yang adil adalah harga yang
diberikan oleh penjual setara dengan nilai manfaat dari barang bagi pembeli.
Sebagai ukurannya, harga tersebut terjadi kurang lebih sama bagi barang yang
sejenis pada waktu dan tempat tertentu yang sama[50]. Ini artinya harga tersebut merupakan
harga rata-rata yang terjadi di pasar yang sama. Dalam kaitan dengan harga yang
adil, terdapat dua konsep:
Pertama, yang disebutnya Iwadh al-Mistl, atau ’pengganti seperti
contohnya’, yaitu penggantian yang
sama dan merupakan nilai harga sepadan dari sebuah benda menurut adat
kebiasaan, dan diukur dan ditaksir berdasarkan hal-hal yang setara tanpa
tambahan atau pengurangan [51]. Artinya, harga ini dinilai dari segi pertukaran, yaitu nilai yang
dibayarkan sama dengan manfaat barang bagi si pembeli, atau manfaat barang ini
merupakan counter value dari
pengorbanan yang diberikan dan berbentuk uang oleh penjual. Jadi, terhadap
ungkapan di atas, dapat ditambahkan bahwa harga rata-rata di pasar sudah menjadi
ukuran kebiasaan yang berlaku di pasar yang sama, dan pengukurannya telah diketahui secara umum berdasarkan unsur-unsur
yang kurang lebih sama pula yang ada pada sifat atau karakteristik barang.
Kedua, yang disebutnya sebagai Tsaman Al Mistl, atau ’harga sama seperti contohnya’, yaitu nilai
harga dengan mana orang-orang menjual barangnya dapat diterima secara umum sebagai
hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu, ataupun barang-barang yang
sejenis lainnya, di tempat dan waktu tertentu [52]. Pengertian dari konsep ini kurang lebih
sama seperti yang pertama. Tetapi, perbedaannya adalah pada yang pertama
dilihat dari segi pertukaran; dan yang kedua lebih menekankan pada pendapat
umum mengenai harga yang berlaku, dan pendapat umum itu menunjukkan adanya
kesepadanan antara nilai atau manfaat barang dengan harga yang berlaku tersebut.
Kedua konsep ini benar-benar menuju ke suatu tingkat keadilan dalam harga di
pasar, dengan berpatokan kepada yang umum berlaku di dalam masyarakat.
Menurut Ibnu Taimiyah,
motivasi para pedagang yang bersifat alami adalah untuk mencari keuntungan. Namun,
keuntungan yang adil dapat dicapai dengan cara-cara yang umum berlaku dan dapat diterima oleh masyarakat
luas. Artinya tidak merugikan orang lain, tidak bersifat eksploitatif, tidak
bersifat monopolistik, tidak pula memanfaatkan ketidaktahuan pembeli terhadap
barang atau keadaan pasar yang ada [53].
Dalam kaitan dengan regulasi
harga, berdasarkan Hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra,
Nabi Saw menolak melakukan intervensi harga, ketika terjadi kenaikan harga yang
berlaku di pasar, dan dikatakan bahwa harga di pasar itu ditetapkan oleh Allah
Swt. Sejalan dengan Hadis ini, Ibnu Taimiyah menentang penetapan harga, karena akan
mendorongnya menjadi lebih mahal, adanya kebijakan pengawasan harga membuat
pedagang tidak bersedia menjual, atau menyembunyikan barang dagangannya, dan
membuat konsumen tidak merasa puas sebagai akibatnya[54].
Hadis Nabi Saw di atas dapat
diartikan bahwa kenaikan harga yang terjadi bukan karena ketidak adilan yang
dimaksud oleh Ibnu Taimiyah. Dugaan ini
dibenarkan oleh Ibnu Taimiyah, karena beliau berpendapat bahwa regulasi
terhadap harga hanya dapat dilakukan ketika kenaikan harga terjadi karena
adanya distorsi terhadap harga yang wajar, dan disebabkan karena unsur
kezaliman, ketidakadilan, manipulasi atau paksaan, adanya dorongan ke arah
monopoli, yang membuat pasar menjadi tidak sempurna. Untuk itu, Ibnu Taimiyah
berpendapat ketika itulah, pemerintah disarankan untuk melakukan intervensi
pasar, secara persuasif, dengan menyelenggarakan
musyawarah dengan para tokoh perwakilan dan pasar[55].
3. Pengaruh Pandangan Adam Smith (1723- 1790) terhadap Pasar.
Sebagai esensi dari pasar,
yang berkaitan dengan pelakunya, Adam Smith, yang dianggap melahirkan sistem
ekonomi kapitalis, yang didasarkan pada kepentingan pribadi atau self love, sehingga bernuansa
individualistik [56]. Menurut Adam Smith, dalam terjemahan
bebasnya, apa yang dapat dinikmati dari para produsen bukanlah berasal dari
kebajikan mereka, melainkan karena kepentingan mereka sendiri, yang merupakan
kecintaan terhadap apa yang mereka lakukan, yaitu memproduksi barang yang
disukainya. Mereka melakukannya untuk memperoleh keuntungan. Dengan
demikan, timbulnya pasar adalah karena didorong oleh adanya self love dari para produsen untuk
berproduksi barang tertentu. Jadi, apa yang tersirat dari ungkapan ini, adalah
bahwa alasan untuk berproduksi merupakan dorongan dari kecintaan pribadi
terhadap kegiatan tersebut, dan dilakukan untuk kepentingan pribadi, bukan
karena masalah kemanusiaan atau sosial lainnya, dan bukan pula untuk memenuhi
kebutuhan sesama atau kepentingan publik.
Lebih lanjut, dalam terjemahan
bebasnya, Smith mengatakan bahwa pemilihan apakah seorang produsen
berpartisipasi dalam produksi lokal atau di luar negeri adalah karena untuk
kesejahteraannya sendiri, dan kegiatannya diarahkan untuk menciptakan ‘nilai
yang terbesar’, yang diniatkan untuk keuntungannya sendiri, dan digerakkan oleh
tangan yang tidak terlihat atau invicible
hands. Tetapi, ini tidak berlaku untuk memproduksi public goods, yang memang merupakan suatu kebajikan, tetapi jarang
dilakukan oleh para saudagar, dan diperlukan nasehat bagi mereka untuk
melakukan yang jarang itu [57].
Invicible hands yang dimaksud
adalah pengaturan yang datang dengan sendirinya mengenai apa yang akan
diproduksi; dan ini terletak pada tujuan yang akan dicapai, yaitu nilai yang
terbesar sebagai hasil dari kegiatan itu. Jika hasil itu dapat tercapai bagi
individu yang terkait, maka itu juga berarti dapat pula menghasilkan sesuatu
yang positif untuk masyarakat, bahkan dengan hasil yang lebih baik. Hasil bagi
masyarakat itu bersifat tidak sengaja, atau merupakan side effect. Kepentingannya
sendiri atau self interest merupakan
minat atau alasan untuk berproduksi dalam rangka menciptakan nilai yang
terbesar, atau keuntungan yang maksimal. Jadi, dasar utama untuk kegiatan berproduksi
adalah kepentingan pribadi dan menciptakan keuntungan yang maksimal, yang
semata-mata diukur dengan ukuran materi.
Pandangan Adam Smith tersebut dianggap sebagai pendorong terhadap keegoisan yang tidak
terkontrol. Kemudian, frasa “menciptakan nilai terbesar” jelas menjadi tujuan
di dalam kegiatan ekonomi. Kedua unsur ini mendorong setiap kegiatan ekonomi
berkisar pada perhitungan angka-angka saja; sehingga menjadi bebas nilai, atau value free[58], yang
berarti tidak ada kaitannya dengan moral dan etika. Keadaan ‘bebas nilai’ ini menciptakan
konsep homo economicus, yaitu manusia
yang mengejar kepentingannya sendiri guna memperoleh manfaat atau kenikmatan
yang bersifat materiel dan sebesar-besarnya dari apa yang dimilikinya, yang
cenderung mengabaikan kepentingan sosial [59].
Unsur self love memang penting
bagi kehidupan manusia, seperti yang dikatakan Cassidy, yaitu human selfishness, atau sifat egois
manusia, yang merupakan bahan bakar bagi mekanismenya tetap berjalan [60];
bahkan, secara empirik terbukti mampu menciptakan keberhasilan bagi Jepang di
bidang industri [61]. Namun,
masalah negatif atau penyimpangan yang terjadi di pasar dewasa ini secara umum
tampaknya disebabkan oleh konsep self
love, atau self interest yang
berlebihan; dan oleh Cassidy diterjemahkan sebagai ‘keserakahan’; sedangkan
Mortazavi menterjemahkannya sebagai ‘kepuasan’[62].
Menurut Cassidy, lebih lanjut, keserakahan ini merupakan bagian dari paham
sekuler[63].
Timbulnya paham sekuler tersebut dapat dimengerti, karena masa Adam Smith
merupakan kelanjutan masa enlightment.
Di dalam masa itu, pengaruh gereja dipisahkan dari kegiatan negara dan ekonomi,
serta menekankan pada liberalisasi kekuatan pasar[64]. Dalam
bagian lain, Adam Smith, yang diterjemahkan secara bebas, mengatakan bahwa
‘keserakahan’ individu tidak bertentangan dengan kepentingan umum, karena
‘keserakahan’ ini mendorong orang untuk bekerja mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya [65].
Amartya Sen berpendapat, bahwa rasionalitas dari self interest, inte alia, mengandung suatu penolakan yang pasti
terhadap pandangan motivasi yang berkaitan dengan etika. Usaha untuk melakukan yang terbaik bagi seseorang
merupakan bagian dari rasionalitas orang itu, dan ini juga mencakup penerapan
tujuan-tujuan yang bersifat altruistik atau non
self interest, atau bukan untuk kepentingan pribadi semata, dan ini
merupakan nilai yang ingin dicapai. Sen mengatakan lebih lanjut, bahwa setiap
pergerakan yang menjauhi maksimalisasi self
interest sebagai suatu bukti bahwa sesuatu yang tidak rasional juga
mencakup arti suatu penolakan terhadap peranan etika dalam pengambilan
keputusan[66].
Pandangan Amartya Sen terhadap teori self
love dari Adam Smith di atas menimbulkan masalah etika, karena memang dalam
konsep self interest tersirat adanya
kemungkinan timbulnya deviasi terhadap nilai etika[67]. Dalam
kaitan ini, John Bogle berpendapat bahwa self
interest telah bergerak terlalu jauh. Persoalannya terletak pada kenyataan
bahwa ‘keberhasilan’ selalu diukur dengan anga-angka, alias uang. Pergerakan pasar
yang tidak terkontrol telah mengalahkan standar tradisional tindakan
profesional yang telah berkembang berbad-abad yang lalu. Hasilnya adalah suatu
perpindahan dari moral absolutism menjadi moral relativism, yaitu
masalah moral menjadi sesuatu yang bersifat relatif, tidak lagi bersifat
mutlak. Di masa lalu, sesuatu yang tidak dapat dilakukan dalam masyarakat
merupakan norma yang jelas dianut; tetapi dewasa ini, menjadi suatu pengertian,
“Jika seseorang dapat melakukannya, maka kita atau orang lain juga melakukan
yang sama”[68].
Manisfestasi lanjutan dari pandangan Adam
Smith tersebut menimbulkan paham neo liberalisme, yang meliputi [69]: Pertama, membiarkan
pasar berjalan tanpa campur tangan pemerintah, dan perusahaan swasta bebas berusaha di dalam
nya. Umumnya, perusahan itu berusaha mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya,
sehingga cenderung mengabaikan dampak sosial negatif yang ditimbulkannya. Padahal,
peranan pemerintah masih diperlukan terutama jika terjadi distorsi di pasar,
seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah.
Kedua,
cenderung mengurangi subsidi terhadap pelayanan masyarakat, seperti kesehatan
dan pendidikan, serta jaminan sosial lainnya. Common goods seperti ini
didorong untuk ditangani oleh pihak swasta dengan menggunakan mekanisme pasar.
Ini artinya semua orang termasuk dalam kategori ‘berpendapatan rendah’
sekalipun dihadapkan pada pasar yang sama, dan harus membayar harga pasar yang
berlaku. Dalam kaitan dengan common goods, kebijakan ini dapat mendorong
melebarnya jarak antara yang kaya dan yang miskin, dan membuat keadilan sosial
makin menjauh dari masyarakat. Ini juga bertentangan dengan pendapat al Ghazali
di atas. Beliau menyarankan untuk tidak membayar harga yang lebih tinggi kepada
penjual yang kaya, yang sebaiknya dilakukan kepada penjual yang miskin. Pandangan
al Ghazali ini dapat diartikan sebagai cara untuk mempersempit perbedaan
kesejahteraan antara yang mampu dengan yang tidak, suatu tujuan sosial yang
mulia.
Ketiga,
mengurangi regulasi pemerintah, karena dianggap sebagai pembatas terhadap
kebebasan berusaha dan dapat mengurangi perolehan keuntungan. Sebagai
akibatnya, biaya-biaya sosial yang berdampak dari kegiatan usaha perusahaan
tidak diperhitungkan. Di sinilah, peran dari konsep harga dan keuntungan yang
adil dari Ibnu Taimiyah, yaitu ‘tidak merugikan orang lain’ seperti yang telah
diuraikan di atas, dan diperlukan dalam menciptakan keadilan sosial. Sikap
‘tidak merugikan orang lain’ merupakan manifestasi untuk tidak mementingkan
diri sendiri; dan karena itu, juga tidak merugikan lingkungan.
Keempat,
mendorong privatisasi atau swastanisasi usaha milik negara, termasuk yang
berkaitan dengan hajat orang banyak. Karena jumlah pemilik modal yang besar itu
terbatas, maka privatisasi mendorong timbulnya pasar yang dikuasai oleh hanya
satu pihak, atau segelintir pihak saja, atau masuknya pemodal besar dari luar
negeri, sehingga menciptakan pasar monopoli atau oligopoli. Pihak yang terbatas
itu secara sepihak dapat menentukan harga yang berlaku, yang menafikan teori
invisible hands, dan membuat harta beredar di segelintir orang kaya (QS,
59: 7).
Kelima,
sebagai akibat tidak langsung, konsep kapitalistik atau neo liberalisme
cenderung mendorong tanggung jawab individu menggantikan social cohesiveness,
atau assabiyah dalam istilah Ibnu Khaldun. Konsep ini dapat dianggap
setara dengan konsep gotong royong yang merupakan budaya lama masyarakat Indonesia.
Sebagai akibatnya, tidak semua kebutuhan akan common goods dapat
ditangani dengan tanggung jawab pribadi. Kebutuhan akan pendidikan bagi orang
yang tidak mampu, misalnya, tidak dapat diserahkan kepada pasar semata, yang
akan menentukan harga tertentu bagi bagi jasa itu. Akibatnya, kaum miskin menghadapi
kesulitan yang lebih besar dalam berusaha untuk keluar dari
ketidak-beruntungannya.
Dari
segi etika, pasar bebas yang dimaksud di atas telah pula mengembangkan konsep
materialisme, tetapi mengikuti konsep Machiaveli [70], yaitu menghalalkan cara
yang buruk untuk mencapai tujuan[71]; dan ini seiring dengan
konsep ‘the survival of the fittest’. Konsep maksimalisasi keuntungan, yang
tampaknya tanpa batasan, kecuali mengikuti ketentuan hukum positif yang
berlaku, yang disampaikan oleh Milton Freidman (1962)[72], menimbulkan banyak
tindakan negatif atau penyimpangan moral dan etika, dan akhirnya menyimpangi
hukum positif yang berlaku, di dalam pasar. Namun, di balik kebebasan tersebut,
Sen mengatakan bahwa kesejahteraan ekonomi dapat diperkaya secara substansial
dengan lebih banyak memberikan perhatian kepada etika. Kajian
etika dapat memperoleh manfaat dari hubungan yang lebih dekat dengan ekonomi [73].
4. Pengawas
Pasar, Hisbah oleh Muhtasib
Karena keadaan pasar dapat dipengaruhi oleh sifat atau kecendrungan para
pedagang seperti yang dikatakan oleh Ibnu Kaldun, bahwa mereka cenderung tidak
bersifat perwira, maka pasar perlu diawasi. Institusi yang mengawasi pasar
disebut hisbah, dengan pejabatnya disebut
muhtasib [74].
Pada dasarnya, tugas muhtasib adalah menerapkan ’amar makruf nahi munkar’, yang merupakan
kewajiban untuk mengurusi persoalan kaum muslim, yaitu segala persoalan yang
tidak dapat diselesaikan oleh hakim karena begitu umum dan sederhana; misalnya,
melarang para kuli mengangkat barang yang terlalu berat, perlakuan curang dalam
timbangan atau ukuran, dan menunda-nunda pembayaran utang; termasuk melakukan
sumpah palsu, menjual barang-barang haram, menahan barang masuk pasar, menimbun
barang, atau manipulasi harga [75].
Intinya, muhtasib mencari
kemungkaran, dan mengaplikasikan hukum yang tepat dengan melakukan tindakan
korektif [76];
atau meluruskan etika dan mencegah penyimpangan[77].
Pengawasan pasar seperti itu pada dasarnya harus dilakukan. Hal ini disebabkan karena selain manusia
harus melakukan pengawasan diri dari dalam atau muhasabah, atau instropeksi diri; tetapi untuk melengkapinya, juga
diperlukan pengawasan dari luar, yang berupa hisbah tersebut [78].
Di dalam pasar, tugas muhtasib,
antara lain, adalah mengawasi pelaksanaan perdagangan agar tidak terjadi
penipuan, atau melanggar ketentuan syari lainnya [79],
seperti yang telah disebutkan di atas. Walaupun demikian, pada dasarnya setiap
orang harus memiliki pengawasan terhadap dirinya sendiri [80],
yang juga berlaku bagi pedagang dan pembeli sehingga tidak menimbulkan
kezaliman, ketidak adilan, dan ketidakjujuran.
5. Pasar Menurut Al Qur’an dan Hadis Nabi Saw
Kehidupan manusia tidak dapat
dipisahkan dari pasar. Keluar
masuk pasar merupakan salah satu ciri manusia yang disebutkan dalam Al Quran[81]. Semua Rasul-Rasul yang dikirim Tuhan ke bumi adalah manusia, yang makan dan
minum serta masuk pasar, sebagaimana manusia lainnya (QS, 20: 25). Pasar
memfasilitasi perdagangan, dan pentingnya perdagangan disebutkan dalam Surat Al
Baqarah (QS, 2: 275). Ayat ini merupakan ketentuan pokok dalam perekonomian
Islam.
Ayat tersebut juga menyebutkan
bahwa mereka, pemakan riba, menganggap bahwa
riba dan perdagangan adalah sama, karena di dalamnya sama-sama terdapat
unsur keuntungan. Keuntungan dari perdagangan tidak sama seperti keuntungan
sebagai riba, karena merupakan hasil dari transaksi pertukaran barang dan uang[82], dengan memberikan manfaat bagi pembeli dengan
memenuhi kebutuhan terhadap barang yang dibeli. Riba, yang merupakan pertukaran
uang saat ini dengan uang dengan tambahan di masa depan; tidak berkaitan dengan
barang atau unsur produktivitas. Karena riba dilarang, maka kegiatan pinjam
meminjam uang secara an sich tidak
dapat dikomersialkan, dan utang piutang tidak dapat diperdagangkan. Pasar dalam
Islam bukan untuk jual-beli utang piutang.
Makna perdagangan juga
diungkapkan dalam Surat Fathir (QS, 35 : 29), yang menyebutkan perniagaan
dengan Allah Swt. Membaca Kitab Allah, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian
rezki bagi orang lain, merupakan perniagaan yang tidak pernah menimbulkan
kerugian, kecuali pahala yang melimpah dari Allah Swt. Surat as Shaff (QS, 61-
10) mengingatkan kembali mengenai perniagaan yang tidak merugi tersebut. Dari
Ayat ini, Al Ghazali menyimpulkan bahwa perdagangan harus dilakukan dengan cara
yang terhormat[83]. Cara ini disetarakan dengan ‘mengingat
Allah’, yang dicapai melalui membaca dan memahami Al Qur’an dengan sungguh-sungguh,
sehingga dapat mempelajari sifat-sifat Allah dan beriman serta bertawakal
kepada Tuhan; mendirikan shalat, yang berarti memperkuat hubungan dengan Allah,
serta membayar zakat untuk menjaga hubungan dengan masyarakat[84].
Nabi Saw memerintahkan dengan
tegas bahwa pasar haruslah tempat yang bebas untuk semua orang keluar masuk,
seperti sunah yang sama dengan mesjid, yaitu ketika datang dapat ditempati,
ketika pulang, tempat itu bebas kembali ditempati oleh orang lain (Al Hindi,
Kanz al-Ummal, V, 488, no.2688) [85]. Ketentuan
Nabi Saw ini dapat diartikan sebagai usaha untuk mendukung terjadinya harga
secara bebas, yang ditentukan oleh penjual dan pembeli yang keluar masuk pasar.
Kahlifah Umar bin Khatab menerapkan ketentuan
ini dengana saksama, dan dalam hal pengawasan terhadap harga[86].
Pasar juga merupakan sadaqah dan tanpa sewa (As Samhudi, Wafa
al Wafa, 749), dan tanpa pajak (Ibn Shaba, K. Tarikhal Madinah al Munawarah,
304) [87]. Ketentuan ini dapat diartikan bahwa pasar
adalah tempat yang dapat digunakan oleh penjual secara bebas, tanpa kepemilikan
pribadi. Dengan tidak adanya sewa atau pajak berarti harga yang terjadi murni
merefleksi nilai barang, tanpa mengandung beban tambahan yang berasal dari sewa
atau pajak. Beban ini ditanggung oleh ulil
Amri atau pemerintah, yang menyediakan tempat sebagai common goods, untuk mendukungan tumbuhnya perdagangan, dan
menciptakan sejumlah kemaslahatan bagi masyarakat yang bernilai jauh lebih
besar dari sekedar pembayaran total sewa dan pajak.
Kesepakatan harus
dicapai di pasar oleh penjual dengan menerima harga dari pembeli, dan pembeli
menerima kuantitas dan kualitas barang. Antara harga dengan manfaat barang itu harus
seimbang (QS, 4: 29). Surat Al Baqarah (QS, 2: 188) memperjelas mengenai
keseimbangan dalam jual beli, yaitu tidak saling memakan harta secara bathil,
kecuali dengan jalan perniagaan berdasarkan suka sama suka. Jalan yang bathil
diartikan jalan yang salah, atau tidak sewajarnya, atau melalui
ketidak-jujuran. Menurut Hamka, jalan yang bathil termasuk mempromosikan
barang secara berlebihan, kualitas barang tidak sesuai dengan janji, mengambil
keuntungan tanpa tanggung jawab, mengurangi mutu pekerjaan, menekan upah, dan
seterusnya[88].
Jika dilakukan secara jujur
dan wajar, serta suka sama suka, maka keadaan ini menjadi pengecualian atau merupakan
toleransi terhadap kepiawaian pedagang dalam menetapkan harga yang lebih tinggi
sebagai kompensasi terhadap risiko yang ditanggungnya, dan membuat barangnya
menarik bagi pembeli [89];
atau Ibnu Khaldun, menyebutnya mukayasah.
Lanjutan Ayat pertama (QS, 4
:29) berbunyi, “Dan janganlah membunuh
dirimu”. Harta
dicari pada dasarnya berguna untuk melanjutkan kehidupan untuk memperoleh
kemakmuran, termasuk memakmurkan jiwa. Memakan harta orang, atau mengambil
keuntungan, dengan cara yang bathil, juga berarti sebagai tindakan membunuh
jiwa, atau tidak menentramkan jiwa orang itu. Surat At Taubah (QS, 9: 105)
memerintahkan manusia untuk berkerja, atau berproduksi, dengan mempertahankan
jiwa yang bersih, berdasarkan kemampuan atau bakatnya. Oleh karena itu, pasar
harus dijalankan dengan penuh kejujuran, atau menciptakan keuntungan secara
jujur, bukan dengan cara penipuan, atau mengurangi kualitas atau kuantitas dan
kecepatan kerja, serta menekan upah[90].
Allah Swt mengijinkan
manusia untuk mencari karunia-Nya, yang diartikan sebagai rizki dari
perniagaan, bahkan ketika melakukan ibadah haji sekalipun (QS, 2 : 198). Hanya saja tujuan mencari rizki itu
merupakan tujuan kedua, bukan yang pertama. Tujuan pertama adalah untuk melakukan ibadah haji,
dan bukan sebab karena ingin berdagang[91].
Allah Swt harus tetap diingat (QS, 24: 37). Demikian pula, pentingnya
mendahulukan sembahyang, khususnya sembahyang Jumat, ditekankan dalam Surat Al
Jumuah (QS, 62: 9) dan Surat An Nur (QS, 24: 37). Intinya jual beli atau
perniagaan tidak melalaikan sembahyang dan pembayaran zakat, tetapi justru
sebaliknya, melakukan perniagaan dengan mengingat Allah Swt, sehingga pekerjaan
jual beli juga merupakan ibadah atau zikir
kepada Allah Swt[92].
Dalam kaitan ini Al Gazali, dalam Kitabnya Ihya
Ulum Al-Din, mengatakan bahwa, pasar dalam kehidupan dunia tidak dapat
mengenyampingkan pasar bagi akhirat. Pasar yang terakhir ini adalah mesjid,
bersembahyang dan membayar zakat [93].
Ini dapat diartikan bahwa barang yang diperdagangkan di dalam pasar haruslah
bermanfaat bagi kelanjutan kehidupan, bukan barang yang dilarang atau yang membahayakan
kesehatan manusia.
Ironisnya, dewasa ini,
perkembangan pasar telah menunjukkan arah yang sangat mengkhawatirkan. Bahan makanan, seperti ikan, diberikan
bahan pengawet formalin, beras diberikan zat kimia pemutih, sehingga dapat
bertahan lama dan tetap menarik, demi menghasilkan keuntungan bagi penjual. Namun,
perbuatan tersebut sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Penjualnya tidak
mengingat Allah Swt, karena jalan yang diambil bukan menuju kebaikan diri dan
masyarakat. Keuntungan yang diperoleh tidak langgeng, karena cepat atau lambat
orang akan menghindar dari penjual seperti itu. Tindakan ini sangat
bertentangan dengan perintah untuk menunaikan amanat dan berlaku adil (QS, 4: 58).
Hamka berpendapat, ’amanat’
juga berarti ’aman’, yang setara dengan ’iman’; iman adalah kepercayaan,
sedangkan amanat malancarkan iman; sehingga, menunaikan amanat juga memenuhi
perintah Tuhan[94]. Dengan demikian, keadaan
tersebut membuat pasar menjadi tidak ’aman’. Pedagangnya menjadi khianat dengan
melakukan penipuan, sehingga tidak amanah kepada Penciptanya.
Hadis Nabi Saw yang berkaitan
dengan masalah kualitas adalah seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
Nabi Saw melihat seseorang sedang menjual barang dagangannya dalam suatu
tumpukan. Kemudian, Nabi Saw memasukkan tangannya ke dalam tumpukkan itu, dan
tangan beliau menjadi basah ketika mengenai makanan yang basah di bawah
tumpukan. Nabi Saw meminta agar makanan yang basah itu diletakkan di bagian
atas supaya dapat dilihat oleh orang yang akan membeli. Nabi berkata bahwa, ”Orang yang menipu dalam berdagang, bukan
dari golonganku”[95].
Ini artinya di dalam pasar, pedagang harus menjelaskan kualitas barang dari apa
yang diketahuinya, bukan sebatas apa yang bisa dilihat pembeli, atau yang
didengarnya dari penjual. Penjual menyajikan transparansi yang optimal,
sehingga ketidak-seimbangan informasi, atau
information asymmetric, dapat
diminimalkan.
Dalam hukum dagang Islam,
terdapat kosep Khiyar al-Aib. Artinya
penjual diwajibkan untuk memberi hak kepada pembeli untuk memeriksa kualitas
barang yang akan dijual, baik sebelum atau sesudah tercapai kesepakatan. Khiyar al-Aib merupakan opsi untuk
melanjutkan pembelian atau membatalkannya, jika terdapat kerusakan pada barang,
tanpa melihat kapan diketahuinya kerusakan itu, baik sebelum atau sesudah kesepakatan
tercapai. Konsep ini setara dengan caveat
emptor dalam Hukum Barat; tetapi bedanya, pembeli menanggung risiko
sendiri, jika dia mengetahui adanya kerusakkan setelah perjanjian jual beli
dilakukan [96]. Ini artinya, Islam lebih
melindungi pembeli dalam hal kualitas barang, sebagai pengimbang terhadap aspirasi
dan motivasi penjual yang cenderung kuat untuk memperoleh keuntungan, sehingga keadilan
dalam praktik di pasar dapat dicapai.
Dalam kaitan dengan kuantitas,
barang seperti beras atau gandum, dan daging, hanya dapat diukur dengan
menggunakan alat tertentu, seperti wadah takaran atau timbangan. Sering terjadi
ketika membeli, wadah dan timbangan digunakan seperti apa adanya; tetapi ketika
menjual, wadah diganjal dengan sesuatu di bagian dasar, atau timbangan
diberikan pemberat, yang tidak terlihat,
sehingga jumlah yang dijual lebih sedikit dibandingkan ketika membeli, demi keuntungan
yang lebih (QS, 83: 2-3). Ini merupakan kecenderungan manusia untuk mementingkan
diri sendiri, tetapi merugikan orang lain. Tuhan memperingatkan untuk menimbang
atau menakar dengan adil, sesuai dengan adat kebiasaan atau urf dalam masyarakat[97].
Karena jika tidak, Allah Swt melaknat orang-orang yang curang itu (QS, 83: 1),
yang bertindak dengan hati yang kasar, dan mereka membuat neraka di dunia
dengan merusak pasar. Mereka harus mempertanggungjawabkan kecurangannya itu,
ketika dibangkitkan kembali dari alam kubur menghadap Tuhannya (QS, 83: 4-5).
Ketentuan memenuhi pengukuran
kuntitas dengan adil dalam Surat Al An’am (QS, 6 : 152) ditambah dengan’Sesuai dengan kesanggupan manusia’. Ini
merupakan batasan yang diperlukan mengingat dalam kenyataan manusia tidak luput
dari kesalahan yang tidak disengaja. Dalam timbangan, misalnya, masih bisa terjadi kekurangan yang sedikit,
tetapi tidak disengaja. Begitu pula, misalnya, karena barang di gudang masih
menunggu pembeli, harga beranjak naik di luar kontrol si penjual, sehingga
meningkat keuntungan secara tiba-tiba bagi penjual. Dalam Al Qur’an, keuntungan
juga disebut sebagai ’rezki’, dan
bersifat halal, karena kenaikan harga bukan direkayasa dengan sengaja, dan
tidak mengakibatkan kerugian bagi orang lain [98].
Islam melarang terciptanya
harga dengan tidak wajar. Namun, Al Ghazali mengungkapkan bahwa dalam al Qur’an
tidak terdapat nash yang menentukan
tingkat keuntungan yang diijinkan dalam perdagangan. Beliau menjelaskan bahwa
besarnya keuntungan sangat ditentukan bagaimana harga itu diciptakan.
Keuntungan yang diijinkan adalah jika harga tidak ditetapkan berdasarkan upaya
rekayasa yang disengaja, seperti yang dijelaskan oleh sejumlah hadis. Nabi Saw
melarang orang mencegat kafilah pemilik barang di jalan sebelum masuk pasar (HR
Bukhari), dengan maksud membeli barangnya dengan harga yang lebih rendah dari
harga pasar yang berlaku (Talaqqi Ar
Rukban) [99]. Nabi Saw melarang orang
untuk membeli suatu barang yang sedang
ditawar oleh orang lain, karena ini dapat menimbulkan persaingan dalam
pembelian yang mendorong harga ke arah yang tidak wajar[100].
Nabi Saw melarang penimbunan barang dagangan untuk menaikkan harga[101].
Keuntungan yang merugikan orang lain, karena kenaikan harga yang tidak alami, layaknya
terjadi dalam melakukan kegiatan spekulasi atau Ikhtikaar, atau dalam pasar yang bersifat monopoli, dimurkai Allah
Swt [102].
Rekayasa tersebut dapat dikategorikan sebagai
tindakan kriminal yang bertentangan dengan moral dan sosial, atau merupakan
kejahatan terhadap kepentingan masyarakat atau publik. Menurut Al Ghazali, ini
semua merupakan jalan pintas untuk memakan harta orang lain secara bathil[103].
Selain konsep gharar, dan tadlis atau
salah satu pihak tidak mengetahui informasi mengenai kualitas, kuantitas
barang, harga atau tempat penyerahan barang,
konsep lain yang dilarang adalah apa yang disebut sebagai Bay al-Hadir li al Ba’di, yaitu praktik
makelar yang dilakukan oleh orang kota terhadap pedagang yang datang dari desa,
dengan tujuan bertindak sebagai perantara untuk mendapatkan keuntungan yang
besar dari kenaikan harga untuk dirinya sendiri; kejadian ini biasanya terjadi
di musim paceklik[104].
Konsep Bay’al Najash juga dilarang, yaitu menggunakan pihak ketiga untuk
memuji barang dengan tujuan membuat orang lain untuk membeli barang itu;
sehingga menciptakan false demand [105],
yang bukan berbasis pada kebutuhan. Intinya, Nabi Saw melarang adanya kontrol
terhadap harga, atau merekayasa penjualan secara negatif. Harga yang wajar dan adil seyogianya
ditentukan oleh pasar, melalui kekuatan
supply dan demand, atau kegiatan
jual beli yang diakhiri dengan kesepakatan para pihak.
Khalifah Umar bin Khathab
menerapkan hadis tersebut dengan saksama Beliau menekankan bahwa pelaku pasar
bisa masuk pasar, hanya jika memahami hukum syariahnya[106].
Intinya, beliau mengajarkan umat untuk menegakkan akidah, menimba ilmu,
sehingga dapat beramal dengan menghasilkan barang berkualitas untuk dikirim ke
pasar [107]. Beliau menghendaki adanya persaingan yang
sehat dalam pasar, dan membiarkan kekuatan pasar berinteraksi dalam menentukan
harga dalam mencapai titik keseimbangan. Pada saat yang sama, beliau memerangi
terjadinya cara-cara yang ilegal dalam pasar. Usaha ini adalah untuk menjamin
terciptanya kemaslahatan bagi kaum muslimin melalui perdagangan dan pasar, yang
merupakan ukuran penting bagi kegiatan ekonomi [108].
C. Kesimpulan
Berbeda dengan pandangan tiga
tokoh Islam, Ibnu Khaldun, Al Ghazali, dan Ibnu Taimiyah, pandangan Adam Smith secara
fundamental terletak pada ’kepentingan pribadi’ atau self love, dan “menciptakan nilai terbesar”. Kedua unsur ini
merupakan alasan utama yang mendorong kegiatan di bidang ekonomi umumnya, dalam
bidang produksi dan kegiatan pasar
khususnya; tetapi, menimbulkan kecendrungan, yang menjauhkannya dari ikatan
moral dan etika, dan hanya berkonsentrasi pada perhitungan materi, sehingga
menimbulkan banyak masalah sosial dalam kehidupan manusia dewasa ini.
Dalam Islam, pasar merupakan
tempat, wadah, atau media yang penting bagi berlangsungnya perdagangan atau jual
beli, dalam rangka pemenuhan kebutuhan sebagai bagian dari fitrah manusia, dan memperoleh
rezki atau keuntungan. Semua kegiatan di pasar dilakukan demi kepentingan
orang-perorang dan masyarakat, berdasarkan ketentuan dalam Al Qu’ran dan hadis
Nabi Saw, yaitu:
Setiap kegiatan di pasar harus
memperhatikan moral dan etika, dan dilakukan dengan penuh kejujuran, kebenaran dan keadilan,
demi kepentingan bersama. Barang dan jasa yang diperjual belikan harus bermanfaat
bagi kehidupan manusia, bukan utang piutang. Penjual harus menyeimbangkan
kepentingan pribadi sebagai penjual dengan kepentingan masyarakat luas.
Mekanisme pasar berjalan secara wajar dan alami, dan menciptakan harga
keseimbangan. Kualitas disajukan dengan transparansi penuh mengenai kualitas,
dengan pengukuran kuantitas yang benar dan adil. Pasar bebas dari keserakahan
penjual, monopoli atau oligopoli, gharar,
kecurangan, eksploitatif, paksaan, manipulasi, rekayasa yang disengaja, seperti
menghambat masuknya penjual ke pasar atau Talaqqi
Ar Rukban, Bay al-Hadir li al Ba’di atau praktik makelar untuk kepentingan
makelar sendiri, Tadlis atau salah
satu pihak tidak mengetahui informasi yang diperlukan, dan Bay’al Najash atau menggunakan pihak ketiga untuk memuji barang untuk
mendorong penjualan dengan tidak wajar. Diusahakan penyelengaraan pasar tidak
berbiaya tinggi, karena adanya sewa dan pajak tempat. Intervensi pemerintah
diperlukan, ketika terjadinya distorsi di dalam pasar. Pengawasan pasar atau hisbah diperlukan untuk menjamin terlaksananya pasar dengan moralitas
dan etika.
***********
DAFTAR PUSTAKA
Agustianto. “Mekanisme Pasar Dalam
Perspektif Ekonomi Islam”. Dalam https://shariaeconomics.wordpress.com/tag/mekanisme-pasar-dalam-perspektif-ekonomi-islam/.
26/02/2011
Afarizi. “Pemikiran Ekonomi Ibnu
Taimiyah”. Dalam http://artikelmahasiswa.blogspot.com/2013/03/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah.html.
Ahmad, Jumal. “Pemikiran Ekonomi Ibnu
Taimiyah”. Dalam https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2013/12/22/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah/.
22/12/2013.
Akbar, M Raden Andi Ali. “Sejarah
Pemikiran Ekonomi Islam”. Dalam http://www.facebook.com/sukorejoi/posts/550664251680168.
29/10/2013.
Al Ghazali. Al Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman. Tanggerang: Lentera Hati, 2011.
_________. Ihya, Ulum Al-Din. Diterjemahkan oleh Abd el Salam Haroun. Cairo:
Islamic Inc, 1997.
Al
Mudziri, Zaki Al Din Abd Al Azhim. Bandung: Mizan, 2008.
Al Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al Khatab.
Jakarta: Khalifa, 2003.
Amalia, Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Gramata Publishing, 2010.
Anggraini, Dian. “Pemikiran Ekonomi
Menurut Al Ghazali”. Dalam http://didiaananggraini.blogspot.com/2013/12/pemikiran-ekonomi-ekonomi-menurut-al-ghazali.html.
01/11/2013.
At Tuwaijiri, Syaikh Muhammad bin
Ibrahim bin Abdullah. Ensiklopedi Islam
Kaffah, Surabaya: Pustaka Yassir, 2013.
Az Zabidi, Imam. Ringkasan Shahih Bukhari. Bandung: Penerbit Jabal, 2012.
Az-Zuhaili, Wahbah. Ensiklopedia Akhlak Muslim. Jakarta: Noura Books. 2014.
Berg, Chris. “Islam and Free Market”.
Dalam https://www.ipa.org.au/publications/857/islam-and-the-free-market/pg/2.
(Tidak Bertanggal).
Billah, Mohd Ma’sum. Penerapan Hukum Dagang dan Keuangan Islam.
Jakarta: Singapore: Sweet & Maxwell Asia, 2007.
Bogl, John. Founder of Vanguard. Wall
Street Journal, April 21, 2009.
Cassidy, John. How Markets Fail. London: Penguin Books. 2009.
Dede Abdul Fatah. Pasar & Keadilan, Perspektif Ekonomi Islam. Jakarta: GP Press, 2011.
Dinarfirst. “Perdagangan Adalah Dasar
Kemakmuran Dalam Islam”. Dalam http://dinarfirst.org/perdagangan-adalah-dasar-kemamuran-dalam-islam.
20/02/2013.
Djatmiko, Budi. “Konsep Ekonomi Syariah
Di antara Konsep Ekonomi Sosialis dan Liberalis”. Dalam http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/konsep-ekonomi-syariah-diantara-konsep-ekonomi-sosialis-dan-liberalis.
13/03/2012.
Elianggra. “Kerapuhan Sistem
Kapitalistik”. Dalam http://elianggra.worpress.com/2013/06/03/kerapuhan-sistem-kapitalis-tugas-individu-ke-1-perekonomian-indonesia.
03/01/2013.
Hamka. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001.
Hasbi H Hasan. Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam
Kontemporer. Depok: Gramata Publishing. 2011.
http://www.ipa.org.au/publications/857/islam-and-the-free-market/pg/2
Islamics Studies of Economics Group
(ISEG). “Pasar Dalam Islam”. Dalam http://ukmsciemics.blogspot.com/2011/11/pasa-dalam-islam.html.
2011.
Johnson, Paul M. Kamus Ekonomi Politik. Jakarta: Penerbit Teraju, 2003.
Kadir, A. Hukum Bisnis Syariah Dalam Al Qur’an. Jakarta: Amzah, 2010.
Kasyani, Faidh. Etika Islam, Menuju Evolusi Diri. Jakarta: Sadra, 2014.
Khaldun, Ibnu. Muqaddimah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011
Lewis, Hunter. Where Keynes Went Wrong, and Why World Governments Keep Creating
Inflation, Bubbles, and Busts. Mount
Jackson, VA: Axios Press, 2009.
Moffatt, Mike. Dalam http://economics.about.com/cs/economicaglossary/g/market.htm.
(Tdk Bertanggal).
Mortazavi, Saeed. “Islamic Economics: A
Solution for Environmental Protection”. Dalam http://www.google,co.id/url?sa=t&rct, dstnya. 8-13/08/2004.
“Perbedaan Pasar Islam dan Pasar
Konvensional”. Dalam http://blogmuamalah.wordpress.com/2012/06/11/perbedaan-pasar-islam-dan-pasar-konvensional/.
11/06/2012.
Popos, Ahdi. “Pemikiran Ekonomi Islam Ibnu Taimiyah”. Dalam http://ahdi-popos.blogspot.com/2013/12/pemikiran-ekonomi-islam-ibnu-taimiyah.html1#.
26/12/2013.
Reda, Ayman. “Islam and Markets”. Review
of Social Economy, Vol.71,No.20-43. Dalam http://dx.doi.org/10.1080/00346764.2012.761752. 2013.
Rinsa. “Liberalisme Perdagangan dan Neo
Liberalisme”. Dalam http://rinsaunijaya.blogspot.com/2011/04/liberalisasi-perdagangan-dan-neo.html.
19/04/2011.
Robinson, Joan Violet. “Market”.
Dalam http://www.britannica.com/EBchecked/topic/365647/market.
4/7/2014.
Rohman, Abdur. “Menelusuri Konsep
Ekonomi Islam dalam Ihya’Ulum al Din”. Dalam http://inpasanline.com/new/menelusuri-konsep-ekonomi-islam-dalam-ihya-ulum-al-din/.
23/07/2011.
Sen, Amartya. On Ethics & Economics. Victoria, Australia: Blackwell
Publishing, 2007.
Shihab, M Quraish. Wawasan Al Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung:
Mizan Pustaka, 2013.
Smith, Adam. An Inquiry into the Nature and cause of the Wealth of Nations. Chicago:
teh University of Chicago Press, 1976.
Sorman, Guy. “Is Islam Compatible with Capitalism?”. Dalam http://www.city-journal.org/2011/21_3_muslim-economy.html.
2011.
“State Directed Economy Vs Free Market Policy: What does
Islam support?”. Dalam http://eng.dar-alifta.org/foreign/ViewArticle.aspx?ID=545&CategoryID=5.
(Tidak Bertanggal).
Sweet, Marr. “Pandangan Al Ghazali Terhadap
Ekonomi”. Dalam http://mnidaislami21.blogspot.com/2013/03/pandangan-al-ghazali-terhadap-ekonomi_9713.html.
08/03/2013.
Tidak Bernama. “Bapak Ekonomi Islam:
Imam Al Ghzali”. Dalam http://ophiiciiduduth.blogspot.com/2013/04/bapak-eknomi-islam-imam-al-ghazali.html.
14/04/2013.
Tidak Bernama. “Pasal Dalam Islam”.
Dalam http://kmplnmakalah.blogspot.com/2013/03/pasar-dalam-islam.html.
2013.
Tidak Bernama. “Perdagangan”. Dalam http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=130
(Tidak Bertanggal).
Wikipedia. The Free Encyclopedia.
25/09/2014.
Wikipedia. “Criticism of Capitalism”.
Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Criticism_of_capitalism.
(Tidak Bertanggal).
Wikipedia. “Niccolo Machiavelli”. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Niccol%C3%B2_Machiavelli.
29/10/2014.
[2] Ibid., hal. 6.
[3] Ibid., hal. 44.
[4] Adam Smith menerbitkan dua buku, yaitu: The Theory of Moral Sentiments dalam
tahun 1759, dan The Wealth of
Nations dalam tahun 1776.
[5]
Islamics Studies of Economics Group (ISEG), “Pasar Dalam Islam”, Dalam http://ukmsciemics.blogspot.com/2011/11/pasa-dalam-islam.html.,
(2011)
[6] John Cassidy, How Markets Fail, (London:
Penguin Books, 2009), hal. 25.
[7] Mike Moffatt, Dalam http://economics.about.com/cs/economicaglossary/g/market.htm,
(Tdk Bertanggal)
[8] Ayman Reda, “Islam and Markets”, Dalam Review of Social Economy, Vol. 71, No. 20-43., Dalam http://dx.doi.org/10.1080/00346764.2012.761752.,
(2013).
[9] Joan Violet Robinson., “Market”, Dalam http://www.britannica.com/EBchecked/topic/365647/market, (4/7/2014).
[10] Wikipedia, The Free Encyclopedia.
(25/09/2014)
[11] Joan Violet Robinson, “Market”, Dalam http://www.britannica.com/EBchecked/topic/365647/market,
(4/7/2014).
[12] Paul M. Johnson, Kamus Ekonomi Politik. (Jakarta: Penerbit Teraju, 2003), hal.
169-170.
[13] Ibid., hal. 170.
[14] Ketentuan syariah melarang pasar
keuangan yang berbasis utang dan riba, pasar derivatives, dan pasar komoditas
dengan futures-nya.
[15]
John Cassidy, How Markets Fail, (London: Penguin Books,
2009), hal. 26.
[16] Ibid., hal. 27.
[17] Fungsi yang lain adalah sebagai
sarana distribusi, dan sarana promosi. Tidak Bernama, “Pasal
Dalam Islam”, http://kmplnmakalah.blogspot.com/2013/03/pasar-dalam-islam.html.
(2013)
[18] John
Cassidy, How Markets Fail, hal. 38.
[19]
Hunter Lewis, Where Keynes Went Wrong,
and Why World Governments Keep Creating Inflation, Bubbles, and Busts, (Mount Jackson, VA:
Axios Press, 2009), hal. 305.
[20] Wikipedia, “Criticism of Capitalism”,
Dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Criticism_of_capitalism,
(Tidak Bertanggal)
[21] Ayman Reda, “Islam and Markets”. Review of Social Economy, Vol.71, No. 1,20-43.
Dalam http://dx.doi.org/10.1080/00346764.2012.761752, (2013).
[22] Al Gazali, Ihya, Ulum Al-Din.
Diterjemahkan oleh Abd el Salam Haroun. (Cairo: Islamic Inc., 1997), hal. 239.
[23] Marr Sweet, “Pandangan Al Ghazali
terhadap Eknomi”, Dalam http://mnidaislami21.blogspot.com/2013/03/pandangan-al-ghazali-terhadap-ekonomi_9713.html,
(08/03/2013).
[24] Dian Anggraini, “Pemikiran Ekonomi
Menurut Al Ghazali”, http://didiaananggraini.blogspot.com/2013/12/pemikiran-ekonomi-ekonomi-menurut-al-ghazali.html.
(01/11/2013).
[25] Marr Sweet, Pandangan Al Ghazali
terhadap Ekonomi.
[26] Dian Anggraini, Pemikiran Ekonomi
Menurut Al Ghazali.
[27] Abdur Rohman, “Menelusuri Konsep
Ekonomi Islam dalam Ihya’Ulum al Din”. http://inpasanline.com/new/menelusuri-konsep-ekonomi-islam-dalam-ihya-ulum-al-din/,
(23/07/2011).
[28] Marr Sweet, Pandangan Al Ghazali
terhadap Ekonomi.
[29] Marr Sweet, Pandangan Al Ghazali
terhadap Ekonomi.
[30] Tidak Bernama, “Bapak Ekonomi Islam: Imam
Al Ghzali”. Dalam http://ophiiciiduduth.blogspot.com/2013/04/bapak-eknomi-islam-imam-al-ghazali.html,
(14/04/2013).
[31] Marr Sweet, Pandangan Al Ghazali
terhadap Ekonomi.
[32] Dian Anggraini, Pemikiran Ekonomi Menurut
Al Ghazali.
[33] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), hal. 468.
[34] Ibid., hal. 472.
[35] Ibid., hal. 447.
[36] Ibid., hal. 451.
[37] Ibid., hal. 448.
[38] Ibid., hal. 460.
[39] Ibid., hal. 452.
[40] Ibid., hal. 366.
[41]
Berg, Chis. (Tdk Bertanggal).
http://www.ipa.org.au/publications/857/islam-and-the-free-market/pg/2
[42] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 452.
[43] Ibid., hal. 472.
[44] Ibid., hal. 470.
[45] Ibid., hal. 468.
[46] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: Gramata Publishing,
2010), hal. 207.
[47] Afarizi, “Pemikiran Ekonomi Ibnu
Taimiyah”, Dalam http://artikelmahasiswa.blogspot.com/2013/03/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah.html,
(2013).
[48] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal. 208.
[49] Jumal Ahmad, “Pemikiran Ekonomi
Ibnu Taimiyah”, Dalam https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2013/12/22/pemikiran-ekonomi-ibnu-taimiyah/,
(22/12/2013).
[50] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal .210.
[51] Ibid., hal. 210.
[52] Ibid., hal. 210
[53]
Ahdi Popos, “Pemikiran Ekonomi Islam Ibnu Taimiyah”, Dalam http://ahdi-popos.blogspot.com/2013/12/pemikiran-ekonomi-islam-ibnu-taimiyah.html1#,
(26/12/2013).
[54] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, hal. 214.
[55] Ibid., hal. 216.
[56] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and cause of the Wealth of Nations, (Chicago:
The University of Chicago Press, 1976), hal. 23-24.
[58] Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah, di
Dunia Islam Kontemporer, (Depok: Gramata Publisihing, 2011), hal.27.
[59] Dede Abdul Fatah, Pasar & Keadilan, Perspektif Ekonomi Islam, (Jakarta: GP Press, 2011), hal. 14-15.
[60]
John Cassidy, How Markets Fail, (London: Penguin Books,
2009). hal.32.
[61] Amartya Sen, On Ethics & Economics, (Victoria, Australia: Blackwell
Publishing, 2007), hal. 18.
[62]
Saeed Mortazavi, “Islamic Economics: A Solution for Environmental Protection”, Dalam http://www.google,co.id/url?sa=t&rct,
dstnya, (8-13/08/2004)
[63]
John Cassidy, How Markets Fail, hal. 38.
[64]
Guy Sorman, “Is Islam Compatible with Capitalism?”, Dalam http://www.city-journal.org/2011/21_3_muslim-economy.html, (2011).
[65] Elianggra, “Kerapuhan Sistem Kapitalistik”, Dalam http://elianggra.worpress.com/2013/06/03/kerapuhan-sistem-kapitalis-tugas-individu-ke-1-perekonomian-indonesia,
(03/01/2013)
[66] Amartya Sen, On Ethics & Economics, hal. 15.
[68] John Bogl, “Founder of Vanguard”, Dalam Wall Street Journal, (21April 2009)
[69]
Rinsa, “Liberalisme Perdagangan dan Neo Liberalisme”, Dalam http://rinsaunijaya.blogspot.com/2011/04/liberalisasi-perdagangan-dan-neo.html.
(19/04/2011)
[70] “State directed economy vs free market
policy:What does Islam support?”, http://eng.dar-alifta.org/foreign/ViewArticle.aspx?ID=545&CategoryID=5.
(Tidak Bertanggal).
[71] Wikipedia, “Niccolo Machiavelli”, Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Niccol%C3%B2_Machiavelli,
(29/10/2014).
[73] Amartya Sen, On Ethics & Economics, hal. 89.
[74] Budi Djatmiko, “Konsep Ekonomi Syariah Di
antara Konsep Ekonomi Sosialis dan Liberalis”, Dalam http://nonkshe.wordpress.com/2012/03/13/konsep-ekonomi-syariah-diantara-konsep-ekonomi-sosialis-dan-liberalis,
(13/03/2012).
[75] “Perbedaan Pasar Islam dan Pasar Konvensional”.
Dalam http://blogmuamalah.wordpress.com/2012/06/11/perbedaan-pasar-islam-dan-pasar-konvensional/,
(11/06/2012)
[76] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hal. 213-214.
[77] Jaribah bin Ahmad Al Haritsi, Fikih
Ekonomi Umar bin Al Khatab, (Jakarta: Khalifa, 2003), hal. 587.
[78] Ibid., hal. 587-618.
[79] Budi Djatmiko, “Konsep Ekonomi Syariah
Di antara Konsep Ekonomi Sosialis dan Liberalis”.
[80] Faidh Kasyani, Etika Islam, Menuju Evolusi Diri, (Jakarta: Sadra, 2014), hal. 402-404.
[81] M Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, Tafsir Tematik Atas
Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung:
Mizan Pustaka, 2013), hal. 537.
[82] Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001), hal. 150.
[83] Al Ghazali, Al Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman. (Tanggerang: Lentera Hati,
2011), hal. 498.
[84] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal. 248.
[86] M Raden Andi Ali Akbar, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Dalam http://www.facebook.com/sukorejoi/posts/550664251680168,
(29/10/2013).
[88] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal.25-27.
[90] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal.25-27.
[93] Al Gazali, Ihya, Ulum Al-Din, Diterjemahkan oleh Abd el Salam Haroun, (Cairo:
Islamic Inc., 1997), hal. 248.
[94] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal.124
[95] Al
Mudziri, Zaki Al Din Abd Al Azhim. (2008). Bandung: Mizan, hal. 512.
[96] Mohd Ma’sum Billah, Penerapan Hukum Dagang dan Keuangan Islam, (Jakarta: Singapore:
Sweet & Maxwell Asia, 2007), hal. 23-25.
[97] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal. 105-106.
[98] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal. 126-127.
[99] Tidak Bernama, “Perdagangan”, http://www.fiqihkehidupan.com/bab.php?id=130,
(Tidak Bertanggal)
[100] Imam Az Zabidi, Ringkasan Shahih Bukhari, (Bandung: Penerbit Jabal, 2012), hal. 310.
[101] Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At
Tuwaijiri, Ensiklopedi Islam Kaffah, (Surabaya:
Pustaka Yassir, 2013), hal. 411.
[102] Hamka, Tafsir Al Azhar, hal.126-127.
[103] Al Ghazali, Al Ghazali Menjawab 100 Soal Keislaman, hal. 501.
[104] Dede Abdul Fatah, Pasar & Keadilan, Perspektif Ekonomi
Islam, (Jakarta: GP Press, 2011), hal. 70-71.
[105] Ibid., hal. 73.
[106] Jaribah bin Ahmad Al Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al Khatab,
(Jakarta: Khalifa, 2003), hal. 66.
[107] Ibid., hal. 66.
[108] Ibid., hal. 117- 119.
Tulisan ini sudah diterbitkan pada Jurnal Quality (Jurnal Manajemen dan akuntansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM), Vol. V, No. 20, Oktober 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar