BAI AL INNAH DAN TAWARRUG DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
ABSTRACT
This
paper tries to elaborate the meaning of bai al inah and tawarrug in the domain
of Islamic economic and finance in the perpective of Islamic law and ethics. There
has been a lot of opinions from Islamic jurists as discussed in this paper,
representing them either as advocates or opponents in the existing literature,
based on which it appeared that bai al inah had not been allowed since the earlier
time of Islamic history by the classical jurists. For tawarrug, on the other
hand, it posed itself to remain in a debate with regard to be allowed or prohibited, as seen it being used in the
international, global, market.
Nonetheless, the Fiqh Academy in Jeddah finally agreed to prohibit tawarrug in
2003.
Besides
using the arguments made by the classical jurists and contemporary experts, this
paper also approaches the issue by using the Qur’anic Verse, ie, Al Baqarah
(QS, 2 : 275), stipulating that “trade is allowable, and riba or interest is
prohibited”, and several Hadiths of The Prophet Muhammad puh suggesting to
discourage the use of debt. Based on these two main sources of law, this paper
concludes that both contracts are deemed to be abandoned, or otherwise allowing
debt market to grow and the financial sector of the economy would depart from the real sector.
Key words: trade, interest,
debt, real sector of the economy, Al Qur’an and Hadith.
A. PENDAHULUAN
Makalah ini berkaitan dengan kegiatan pembiayaan
Islam, yang merupakan sub sektor dari
perekonomian Islam. Hukum untuk pembiayaan Islam berasal dari petunjuk yang
diwahyukan oleh Allah Swt melalui Nabi Besar Muhammad Saw, dan dituliskan ke
dalam ayat-ayat Al Qur’an, serta dijelaskan oleh Sunnah Rasul. Dalam pembiayaan
Islam, petunjuk dan atau ketetapan Tuhan ini dikembangkan oleh para ulama atau
fukaha dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan sosiologis dan ekonomis masyarakat
dari waktu ke waktu. Jenis-jenis pembiayaan yang diijinkan dalam Islam adalah
yang telah dikaji dan dikembangkan oleh para ulama atau fukaha. Hasil dari pengkajian ini dimanifestaikan ke dalam
akad-akad pembiayaan Islami. Bai al inah
dan tawarruq adalah dua jenis
pembiayaan yang terdapat dalam ranah ekonomi Islam. Namun, tawarruq tampaknya
masih dalam perdebatan apakah diperbolehkan atau dilarang, sedangkan bai al inah dilarang karena adanya nash hadis yang dengan jelas melarangnya.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memperjelas pembahasan dari para ulama jumhur dalam menentukan apakah bai al innah dan tawarrug tersebut diijinkan untuk diterapkan dalam pembiayaan Islam,
yang tentunya harus bersandar pada ketentuan Hukum Islam. Untuk mencapai tujuan
ini, penulis berusaha memaknai ayat utama yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi
atau pembiayaan yang ditetapkan dalam Al Qur’an dan disunahkan oleh Nabi Besar
Saw. Untuk tujuan perbandingan, penulis juga berusaha untuk menyimpulkan
substansi dari akad-akad yang telah diijinkan dalam pembiayaan Islam, dan
mengunakan substansinya dalam mengkaji apakah bai al innah dan tawarrug
memiliki dasar yang sama untuk diterapkan dalam rangka mencapai kemaslahatan
bagi umat, atau masyarakat, dalam perekonomian Islam. Pengkajian ini berusaha untuk
mengungkapkan dengan lebih jelas pendapat para ulama dari berbagai mazab yang
telah ada, ditambah dengan pendapat kontemporer yang terdapat dalam berbagai
literatur.
Sejalan dengan latar belakang di atas, pendekatan
metodologis penulisan makalah ini bersifat kualitatif, dengan mengambil
substansi yang terkait dari ayat Al Qur’an, hadis Nabi Saw, pendapat para fukaha dari sejumlah mazhab, pendapat
para ahli masa kini, dan substansi dari akad pembiayaan Islami. Penelitian ini dilakukan
murni bersifat kepustakaan, dan bahan yang digunakan hampir seluruhnya
merupakan kutipan dari penulis yang telah ada dalam ranah ekonomi dan
pembiayaan Islam, ushul figih, fiqih
klasik dan kotemporer beserta pendapat para pakar terkait.
B. EKONOMI DAN PEMBIAYAAN DALAM HUKUM
ISLAM
1. Pendekatan Hukum Islam
Secara epistemologi, hukum Islam atau syariat berasal
dari wahyu Allah Swt yang diwujudkan ke dalam ayat-ayat Al Qur’an, dan
diperjelas serta dipraktikkan oleh Nabi Saw dalam bentuk sunah dan hadis. Kedua
sumber merupakan petunjuk atau dalil utama dari Hukum Allah [1].
Syariat itu sendiri merupakan ketetapan Allah dan Rasulnya berisikan
ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat global, kekal, dan universal,
yang berlaku bagi seluruh hamba-Nya [2].
Syariat adalah pewujudan kehendak Tuhan, sehingga ketaatan manusia kepada
syariat merupakan bukti ketaatannya kepada Allah Swt[3].
Menurut ahli Hukum Islam dari Mesir, Abd al Majid Muhammad al Khalafi, sebagai
sumber atau dalil fikih yang disepakati, selain Al Qur’an dan Sunnah Rasul,
adalah ijma dan qiyas [4], seperti yang termaktub
dalam Surat an Nisa (QS, 4 : 59). Fiqih sendiri diartikan sebagai pemahaman
mendalam para ulama tentang hukum syara yang digali dari dalil-dalil yang
terperinci. Fiqih, syariat, atau hukum adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi
peraturan hidup bagi masyarakat yang bersifat mengendalikan, mencegah,
mengikat, dan memaksa [5].
Karena hukum Islam berasal dari wahyu, maka hukum
Islam itu disepakati bersifat relijius [6],
yang mengajarkan baik dan buruk berdasarkan ajaran Allah dan Sunnah Rasul,
sesuai dengan fitrah manusia dan akal pikiran yang lurus dan benar [7].
Bahkan, menurut Muhammad Khalid Masud, para pakar hukum Islam sepakat dalam
berpendapat bahwa hukum Islam merupakan sistem ketentuan etika atau moral [8].
Etika, di sini, dimaksudkan bukanlah etika pragmatis, tetapi merupakan etika
pembebasan manusia, yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan
kemandirian [9].
Pada
tataran teori, pendapat tersebut tampaknya memperoleh dukungan dari H.A.R.
Gibb, seperti yang dikutip oleh Muhammad Khalid Masud, dan mengatakan bahwa
hukum Islam adalah sebuah sistem etika, dan berbeda dengan sistem hukum
(positif-pen), berdasarkan argumen berikut: pertama, klasifikasi dan kategori
tindakan dalam hukum Islam bersifat moral dan etis, bukan yuridis, dilihat dari
kategori hukum, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram; kedua, hukum
Islam berbicara mengenai ‘kewajiban’ bukan ‘hak’, karena hak terdiri dari dua,
hak Allah, dan hak manusia; ketiga, hukum Islam bersifat relijius dan
moral, karena penekanan pada akhirnya
yang berhak menentukan hukuman adalah Allah [10].
Namun, pendapat Gibb di atas memberikan impresi
bahwa seolah-olah hukum Islam hanya merupakan sistem moral dan etika belaka. Hukum
dan moral tidak dapat dipisahkan, bahkan dalam praktik begitulah adanya. Dalam
keadaan minimum, ketika hakim menghadapi perkara yang sulit, tugas hakim adalah
satu, yaitu membuat putusan moral terbaik atas isu-isu moral yang harus
dihadapi nya[11]. Terlebih di Indonesia,
hakim tidak dapat menolak untuk mengadili suatu perkara, dengan dalih tidak ada
UU yang mengaturnya. Hakim dapat menggunakan doktrin freier ermessen, atau menggunakan diskresinya untuk memutus perkara seperti itu, berdasarkan
penilaian terbatas atau marginale
toetsing, sejauh tidak melakukan penyalahgunaan wewenang atau abuse of power, dan kesewenang-wenangan
atau willekeur. Ketiga konsep
terakhir ini berkaitan erat dengan
masalah moralitas.
Dalam kaitan dengan pendapat Gibb di atas,
Fathurrahman Djamil mengutip pendapat dari Hazairin, M. Muslehuddin, Immanuel
Kant, dan Friedman, yang menyimpulkan secara umum bahwa hukum dan moral itu
bersatu, dan tidak dapat dipisahkan. Menurut Hazairin, hukum tanpa moral adalah
kezaliman. Menurut M. Muslehudin, hukum tanpa keadilan dan moralitas bukanlah
hukum yang dapat bertahan lama. Menurut Kant, hukum moral adalah hukum yang
sebenarnya, dan yang terakhir Friedman mengatakan, bahwa tidak ada dan tidak
pernah ada pemisahan total hukum dari moralitas[12].
Seluruh pendapat ini tampaknya dapat diperjelas oleh pendapat Rabruch. Beliau
berpendapat bahwa hukum yang valid adalah yang sejalan dengan moralitas;
sebaliknya, yang tidak sejalan dengan moralitas tidak dapat disebut sebagai
hukum [13].
Bahkan, jika ditilik lebih dalam, moralitas atau etika bersifat lebih tinggi
dari hukum (positif), karena hukum positif bersifat tidak universal, tetapi
lokal, dan nasional [14].
Menurut Gunawan Setiarja, moral adalah pengaturan
perbuatan manusia sebagai manusia ditinjau dari segi baik-buruknya, dan
dipandang dari hubungannya dengan tujuan akhir hidup manusia berdasarkan hukum
kodrati [15]; sehingga moral berbeda
dengan hukum. Sebagai perbedaannya dengan hukum yang bersifat memaksa, moral
tidak dapat dipaksakan, tetapi menuntut kepatuhan dan ketaatan secara mutlak.
Hukum mengabaikan sikap bathin manusia, tetapi moral menuntut keduanya,
perbuatan lahir dan sikap bathin
manusia. Hukum bersifat heteronom, karena manusia terikat pada norma-norma
hukum yang berlaku dalam masyarakat; tetapi, moral manusia bersifat teonom,
yaitu mengacu pada hukum yang abadi, karena tunduk pada kehendak Illahi, yang
mengarahkan segala ciptaan-Nya ke arah tujuan mereka sebagai landasan terdalam
dari segala hukum dan peraturan. Dari segi sanksi, hukum memiliki sanksi
lahiriah, tetapi sanksi moral bersifat bathiniah. Dari segi tujuan, hukum
bertujuan untuk mencapai ketertiban, dan mengatur struktur kehidupan sosial
masyarakat tertentu; sedangkan tujuan moral adalah untuk mengatur hidup manusia
sebagai manusia, tanpa pandang bulu atau perbedaan suku, agama, dan keadaan sosial
[16].
Pada dasarnya, Al Qur’an mengandung petunjuk bagi
manusia dalam menjalankan kehidupan di dunia agar bernilai akhirati. Al Qur’an
mengandung tiga ajaran pokok, yaitu[17]:
pertama, berkaitan dengan akidah atau keimanan dan wajib diyakini, seperti
masalah ketauhidan dan kenabian. Kedua, berkaitan dengan akhlak sebagai
perhiasan diri agar mendekatkan diri kepada sifat keutamaan dengan sekaligus
menjauhi sifat kehinaan. Ketiga berkaitan dengan perbuatan mukalaf sebagai
hukum amaliyah, dan merupakan
perkembangannya ilmu fiqih. Hukum amaliyah
ini terdiri dari dua, yaitu hukum ibadah dan hukum muamalat. Hukum yang pertama
mengatur hubungan antar manusia dengan Allah dan bersifat taabud dengan tidak melihat pada nilai dan hikmah; dan yang kedua
mengatur hubungan manusia dengan manusia dengan melihat pada nilai dan hikmah[18].
Masalah
perekonomian seperti jual beli, utang piutang, hukum perjanjian diatur dalam
yang kedua, yaitu hukum muamalat. Namun, hukum muamalat dalam Al Qur’an tidak
dijelaskan secara rinci, karena hanya memberikan prinsip-prinsip dasar [19].
Contohnya adalah Surat An Nisa (QS, 3
: 29), yang melarang manusia untuk memakan harta sesama secara bathil, kecuali berdasarkan
perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara sesama; di sini, apa yang
dimaksud dengan memakan harta sesama secara bathil memerlukan penjelasan lebih
lanjut. Apakah ‘secara bathil’ berarti mengambil keuntungan dari perniagaan
atau jual beli yang bukan didasarkan pada keadaan suka sama suka? Seperti
halnya dengan ajaran Islam secara menyeluruh, ayat ini mengandung kadar etika
yang sangat kental.
Hamka menjelaskan bahwa kata bathil diartikan
sebagai jalan yang salah, atau tidak sewajarnya. Perniagaan sendiri berarti
sangat luas, yang termasuk kegiatan upah mengupah dan berkaitan dengan
peredaran harta benda. Menurut Hamka lebih lanjut, pokok utama agar tidak
bersifat bathil adalah keridaan kedua pihak yang terkait dalam suatu transaksi
(niaga) [20]; yang satu rida dalam menerima
kualitas dan kuantitas prestasi dari salah satu pihak dengan melakukan kontra
prestasi terhadap dan diridai oleh pihak lain yang melakukan prestasi tersebut.
Keridaan di sini diartikan bahwa prestasi dan kontra prestasi berada dalam
keadaan seimbang, karena telah diterima atau diridai oleh masing-masing pihak.
Sebagai sifatnya yang alami secara sosiologis, masyarakat
selalu berkembang dan perkembangan ini menimbulkan kompleksitas hubungan antar
sesama manusia dan kepentingan yang lebih luas. Namun, dari sisi lain, sumber
utama hukum Islam tidak berubah, karena bersifat kekal. Dalam rangka megimbangi
perkembangan masyarakat, terdapat sejumlah kaidah yang dapat diikuti dalam
menentukan hukum yang diperlukan. Dalam kaitan dengan ibadah, kaidah utama yang
dapat digunakan adalah yang menyebutkan bahwa segala urusan ibadah bersifat
terlarang atau haram dilakukan, apabila ada dalil yang melarangnya atau al- asl fi al-ibadah buthlanun hatta yaquma
dalil ‘ala al-amr. Bagi kegiatan muamalat, kaidahnya adalah segala sesuatu
yang bersifat duniawi diperbolehkan, sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya
atau al-asl fi al-asya-i al - ibahah
hatta yaquma al- dalilu a’la al-buthlani au a’la at-tahrim [21].
Untuk lebih lanjut menemukan hukum yang
diperlukan, sumber hukum itu perlu dikaji dengan mengeluarkan makna, dan maksud
serta hukum yang ada dalam Al Qur’an dan Hadis Nabi Saw. Hukum yang tidak
ditegaskan secara langsung oleh nash
atau text dalam Al Qur’an atau hadis
Nabi, atau mengandung penafsiran atau penakwilan [22],
diperjelas melalui lembaga ijtihad [23].
Para ulama yang kompeten atau mujtahid
melakukan ijtihad tertentu[24],
dengan menghasilkan suatu konsensus hukum berupa ijma atau qiyas atau
analogi [25]. Dalam kaitan dengan qiyas, terdapat metode yang disebut
sebagai al-maslahah al- mursalah.
Metode ini menitik beratkan pembahasannya terhadap kasus-kasus hukum yang belum
jelas terdapat teks atau nash dalam
Al Qur’an atau Hadis, dan digunakan untuk menjawab masalah-masalah hukum yang
berkembang dalam masyarakat. Unsur yang diperhatikan dalam menentukan hukum
adalah apakah secara rasional dapat mencapai kebaikan atau maslahah, atau menghindari keburukan atau kemudharatan. Kedua unsur
ini menentukan apakah suatu hukum dapat diterima atau ditolak. Bagi yang
menerima metode ini [26],
mereka berpendapat bahwa penemuan maslahah
dan menghindari kemudharatan merupakan tujuan dari hukum Islam, atau maqasid al syariah [27].
Menurut Al Ghazali, Maqasid al syariah yang ingin dicapai dari manusia terdiri dari 5,
yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta; sedangkan maslahah adalah setiap tujuan dari hukum
yang mengandung kelima unsur tersebut [28].
Maslahah ini bersifat universal, sejati,
duniawi dan akhirati, lahir dan bathin, material dan spiritual, individual dan
kolektif, untuk hari ini dan masa depan [29];
sejauh bertujuan untuk memelihara syara’ atau hukum Islam, tidak ada dalil
tertentu yang menunjukkan, dan tidak berlawanan dengan Al Qur’an, sunnah, atau ijma [30].
Untuk mencapai kesejahteraan yang bersifat duniawi, masyarakat perlu
menjalankan segala segi dari kehidupannya secara tertib. Agar bernilai
akhirati, kesejahteraan itu harus mengikuti hukum Allah Swt atau syariat Islam,
atau yang disepakati dalam fiqih para ulama jumhur.
2. Ketentuan Dasar dalam Al Qur’an
dan Hadis Nabi Saw
Petunjuk utama tentang perekonomian Islam,
khususnya pembiayaan Islam, adalah Surat Al Baqarah (QS, 2 : 275) berikut, dan
Hadis Nabi Saw yang dikemukakan kemudian dalam bagian ini.
Surat Al Baqarah (QS, 2 : 275) berbunyi sebagai
berikut:
“Alladziina ya/kuluuna alrribaa laa yaquumuuna illaa
kamaa yaquumu alladzii yatakhabbathuhu alsysyaythaanu
mina almassi dzaalika bi-annahum qaaluu innamaa albay'u
mitslu alrribaa wa-ahalla allaahu albay'a waharrama
alrribaa faman jaa-ahu maw'izhatun min rabbihi faintahaa
falahu maa salafa wa-amruhu ilaa allaahi waman 'aada
faulaa-ika ash-haabu alnnaari hum fiihaa khaaliduuna”
Artinya : [2:275] “Orang-orang yang makan (mengambil) riba174 tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila175. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu176 (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Frasa yang digarisbawahi di sini adalah “jual beli dihalalkan, dan riba diharamkan”.
Sebagai suatu unsur etika, substansi yang membedakan antara perdagangan dengan
riba, adalah: pada perdagangan, manfaat yang diperoleh oleh pembeli dan penjual
harus seimbang, dan keseimbangan ini dinyatakakan pada kesepakatan atau
keridaan mereka untuk melakukan transaksi jual beli itu, seperti yang telah
dikemukakan oleh Hamka di atas. Kesepakatan yang dicapai untuk melakukan
jual-beli menunjukkan keadaan suka sama suka antara penjual dan pembeli, dan
dimanifestasikan ke dalam ijab dan qabul sebagai rukun pokoknya [31].
Dalam barter, manfaat yang diperoleh dari apa yang diinginkan harus setara
dengan manfaat dari barang yang ditukarkan atau dikorbankan; bahkan, kesetaraan
manfaat ini harus dianggap seimbang bagi kedua pihak yang melakukan barter.
Ketika uang sudah dikenal, maka nilai uang yang
dikorbankan untuk memperoleh manfaat dari barang atau jasa yang dibeli haruslah
dianggap setara oleh pembeli; atau manfaat dari barang atau jasa itu dianggap
memiliki ‘counter value’ yang sama
dengan uang yang dikorbankannya. Bagi penjual, sebaliknya, uang yang diterima
sebagai harga dari barang atau jasa yang dijualnya haruslah dapat dianggap
setara dengan jerih payah dalam menyediakan barang atau jasa yang dijualnya
itu. Riba, di lain pihak, tidak mengandung kesetaraan manfaat [32],
dan bahkan tidak menimbulkan risiko yang seimbang bagi kedua belah pihak yang
bertransaksi, atau bagi debitor dan kreditor. Tampaknya, hal ini dapat
digunakan sebagai penjelasan dan sekaligus sebagai sanggahan terhadap frasa “Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba”, yang sesunguhnya tidak sama, tetapi
berbeda dilihat dari substansi manfaat dan risiko yang dimaksud.
Lebih lanjut, perdagangan adalah kegiatan
komersial tertua manusia, sejak zaman primitif, masa modern saat ini, hingga ke
masa depan. Pada masyarakat yang masih sederhana, barang dihasilkan dari hasil
penangkapan, perburuan atau penggalian. Kelebihan barang yang diperoleh
melebihi kebutuhan cenderung ditukarkan dengan barang yang diinginkan, tetapi
tidak dimiliki. Layaknya digambarkan oleh cerita Robinson Crusoe, ketika jumlah
orang bertambah, setelah kehadiran Friday, kelompok kecil itu mulai melakukan
kegiatan barter antar sesama mereka. Barter merupakan kegiatan berdagang,
ketika uang belum dikenal, dan dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan barang
yang telah berkembang [33].
Perdagangan cenderung tidak bersifat
kontekstual, karena pada dasarnya mengandung makna yang sama, dan dapat dilakukan di mana saja, tanpa harus
dengan modal besar. Sejauh manusia hidup bermasyarakat, perdagangan terjadi di
setiap waktu, dalam lingkungan yang kecil sekalipun, seperti di pedesaan. Dalam
lingkungan yang lebih luas, perdagangan telah berkembang sampai ke tingkat
global antar negara di dunia. Secara gamblang dapat pula dikatakan, bahwa
kegiatan perdagangan tidak akan pernah pupus dari kehidupan manusia. Kegiatan
perniagaan atau perdagangan akan selalu eksis dari masa ke masa [34].
Perdagangan merupakan kegiatan awal dan
akhir kegiatan produksi. Ketika kebutuhan barang dan jasa telah berkembang,
barang dagangan tidak hanya merupakan hasil kegiatan primer tersebut. Masyarakat
mulai memikirkan dan memproduksi barang atau jasa lain yang diperlukan. Barang
dagangan sudah harus diproduksi terlebih dahulu, yang jelas melibatkan orang
untuk bekerja dengan memperoleh upah. Jadi, jual-beli mendorong perdagangan,
dan merangsang perniagaan dan industri. Selain memenuhi kebutuhan akan barang
dan jasa, produksi yang berkembang mendorong pembukaan lapangan kerja baru,
yang merupakan kebajikan dari kegiatan perdagangan[35].
Pentingnya kerja dan pembukaan lapangan kerja
sangat diutamakan dalam Islam. Dengan
terbukanya lapangan kerja, pendapatan masyarakat akan meningkat dan industri
akan lebih berkembang. Menurut Nik Mohamed Affandi Bin Nik Yusoff, perdagangan
dapat berkontribusi langsung untuk meningkatkan standar hidup, meningkatkan
kekayaan bagi individu dan masyarakat; dan bagi yang kurang berpendidikan,
dapat berpartisipasi, karena Islam
menghendaki setiap orang memiliki sumber penghidupan masing-masing[36].
Menurut Ibnu Chaldun, bekerja merupakan unsur yang paling dominan bagi proses
produksi, dan merupakan sebuah ukuran stándar dalam sebuah nilai. Bekerja
adalah kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi Islam (QS, Al-Baqarah 4 : 29)[37]. Perdagangan merupakan faktor penentu
dalam menggerakkan ekonomi. Perekonomian suatu masyarakat terbentuk karena
adanya kegiatan perdagangan dan produksi. Kata berdagang mengandung unsur
kebajikan yang berupa kegiatan utama dan diperlukan bagi manusia dalam
berkelompok, berbangsa dan bahkan bernegara. Perdagangan jelas berada di sektor
riel.
Ibnu Chaldun mengatakan bahwa kekayaan suatu
bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki bangsa itu, tetapi
ditentukan oleh produksi barang dan jasa, serta neraca perdagangan yang sehat[38].
Sebagai konsekuensi tingkat produksi yang tinggi, Mankiw mengatakan hal yang
senada dengan Ibnu Chaldun mengenai pentingnya produksi barang dan jasa oleh
suatu bangsa. Menurut Mankiw, kemampuan berproduksi akan menentukan standar
hidup suatu bangsa [39].
Oleh karena itu, perdagangan adalah inti dan dasar dari ekonomi Islam, dan
mengacu pada produksi barang dan jasa, atau disebut sebagai real sector of the economy, atau real based economy[40]. Dengan
perdagangan, kemaslahatan masyarakat dapat dicapai lebih baik, dan sekaligus
dapat menekan kerusakan.
Riba, di lain pihak, adalah tambahan terhadap nilai pokok pinjaman
yang diberikan oleh peminjam atau debitor ke pemberi pinjaman atau kreditor.
Dalam perekonomian modern, pinjam meminjam ini berkaitan dengan uang, dan
tambahan berupa bunga. Filsuf Anthena kuno, Aristóteles, berpendapat bahwa riba
merupakan hasil yang tidak wajar, karena diperoleh dari jerih payah orang lain.
Beliau beranggapan, bahwa uang tidak bisa melahirkan uang, atau pecunia pecuniam non parit, karena uang sepatutnya dapat
dihasilkan dari kerja dan usaha[41]. Di zaman jahiliah, tambahan itu
dikenakan kepada debitor yang tidak mampu membayar utangnya tepat waktu. Jadi,
tambahan itu sekaligus bersifat penalti. Riba berkaitan dengan pinjam meminjam
uang, atau merupakan pilar utama dari sektor keuangan konvensional. Penekanan
pada sektor keuangan yang berlebihan, dengan mengabaikan sektor riel, terbukti
telah menciptakan kerusakan dari waktu ke waktu; dan dapat dilihat dari
berulangnya krisis keuangan yang terjadi di dunia.
Karena riba dilarang, maka itu berarti bahwa
kegiatan utang piutang tidak dapat dikomersialkan, karena riba juga diartikan
sebagai keuntungan atau tambahan pembayaran terhadap pokok utang. Dalam kaitan
ini, terdapat sejumlah hadis yang jelas menunjukkan bahwa Nabi Saw sangat
menyarankan agar manusia tidak berutang, kecuali dalam keadaan terdesak. Salah
satu Hadis Nabi menyebutkan sebagai berikut
[42]:
“Berhati-hatilah
dalam berutang. Sesungguhnya, berutang itu suatu kesedihan pada malam hari dan
kerendahan diri (kehinaan) di siang hari” (HR Ibnu dan Al Baihaqi).
Menurut Quraish Shihab, Surat Al Baqarah (QS, 2 :
282) mengisyaratkan bahwa ketika berutang harus ditentukan kapan melakukan
pelunasannya. Hal ini dapat dipahami dari frasa “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan transaksi tidak
secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya” (QS,
2 : 282). Pengertian yang dapat dipahami dari frasa, “untuk waktu yang ditentukan”, tampaknya sejalan dengan Hadis di
atas, yang menyebutkan agar manusia berhati-hati ketika akan mengambil
utang, karena utang merupakan beban
tambahan dan mutlak harus dibayar. Ketika berutang, orang yang akan berutang
sudah harus tahu bagaimana dapat membayarnya [43].
Untuk membayar utang, orang harus bekerja dua kali lebih banyak, yaitu untuk
memperoleh pendapatan normal untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, dan
sekaligus untuk memperoleh tambahan pendapatan untuk membayar utang. Di sisi
lain, utang memberikan konsekuensi yang sangat berat, jika tidak dibayar. Dalam
kaitan ini Nabi Saw bersabda, “Diampuni bagi
syahid semua dosanya, kecuali utang” (HR Muslim dari Amr bin Ash); dan Nabi
enggan untuk menyembahyangi mayat yang berutang tanpa ada yang menjamin utangnya
(HR Abu Dawud dan Al Nasa’i)[44].
Karena beratnya beban utang, maka Nabi Muhammad
Saw pernah berdoa: “Ya, Allah, jauhkanlah
saya dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan, kebodohan dan
kebathilan, keberatan utang, serta tekanan dan paksaan orang” (HR Muttafaqun
Alaihi dari Anas)[45]. Doa ini menunjukkan bahwa keberatan
utang disetarakan dengan kesedihan dan kelemahan, yang dapat menimbulkan
tekanan atau paksaan agar utang dibayar. Di lain pihak, Sabda Nabi Saw
menyebutkan bahwa “Jika orang berutang,
ia tidak segan-segan berbohong, dan mengingkari janji” (HR Muslim dan
Abdullah bin Umar). Nabi Saw menyarankan untuk tidak membiasakan diri mengambil
utang, sehingga menjadi besar, karena beliau menyamakan kekafiran dengan lilitan
utang. Jika demikian halnya, ada kecendrungan jika berbicara dia akan berdusta,
dan jika berjanji dia tidak menepati [46]. Sabda Nabi ini didukung oleh pendapat
masa kini. Graeber, misalnya, mengatakan sebagai kesimpulan dari uraiannya yang
panjang mengenai “utang”, yaitu pada akhirnya tidak semua orang benar-benar
dapat membayar utangya; sehingga, beliau menyimpulkan bahwa utang adalah
pembalikan atau kemurdatan dari suatu janji [47].
3. Substansi dari Pembiayaan Syariah
Uraian di atas menunjukkan dua hal utama. Pertama,
bahwa ekonomi Islam, identik dengan produksi barang dan jasa; hal ini sejalan
dengan pendapat Yan Orgianus, bahwa salah satu (tambahan dari pen) tujuan
ekonomi Islam adalah terpenuhinya kebutuhan yang bersangkut paut dengan
penciptaan barang dan jasa, sehingga kelaparan, ketakutan dan perbudakan dapat
dihilangkan di muka bumi[48].
Ekonomi sendiri diartikan sebagai kegiatan langsung berkaitan dengan usaha
memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia, dalam kaitan dengan kebutuhan pokok
sehari-hari [49]. Kedua, ekonomi Islam
tidak dapat bersandar kepada utang (uang). Di sini, uang tidak berfungsi
sebagai komoditi, yang dapat diperjual-belikan dengan harga, berupa bunga.
Dalam konteks makro, perekonomian Islam tidak
dapat bersandar pada industri keuangan yang bersifat ribawi, dan jika tidak ada
kaitannya dengan kegiatan perdagangan atau usaha di dalam sektor ekonomi riel. Ekonomi
Islam lebih bersandar kepada transaksi jual beli, atau perdagangan, barang dan
jasa di sektor riel. Kegiatan perdagangan merupakan pilar yang penting dalam
ekonomi Islam, karena dapat memberikan kebajikan yang lebih banyak,
dibandingkan dengan kegiatan utang piutang yang berbunga.
Manisfestasi dari pembiayaan Islami dapat
dilihat dari substansi akad-akad atau
kontrak pembiayaan yang digunakan oleh bank syariah. Akad-akad ini menunjukkan
karakteristik dari pembiayaan bank syariah, dilihat dari perspektif bank itu
sendiri. Prima kausa akad adalah barang yang bersifat tangible atau usaha yang bersifat produktif, dan merupakan ”underlying” atau sebagai dasar dari
transaksi yang berkaitan dengan masing-masing akad. Barang jasa atau usaha tersebut jelas berada di
sektor riel.
Akad muarabaha,
salam, istisna, dan ijara,
menjadikan suatu jenis barang yang telah ada, atau yang akan diproduksi,
sebagai prima kausa akad. Transaksi yang dapat dilakukan hanya berkaitan dengan
jual beli dengan akad murabaha,
pemesanan barang dengan akad salam
atau ishtisna, penyewaan barang
dengan akad ijarah, dan kerja sama
dalam melakukan suatu usaha dengan akad mudharabah
atau musyarakah. Prima kausa dari
masing-masing akad adalah barang yang dijualbelikan tetapi dapat dengan
pembayaran tunda (muarabaha/biathaman bin
ajil), barang yang dipesan dengan uang muka penuh atau sebagian (salam/ishtihna), penyewaan barang dengan
pembayaran sewa secara berkala (ijarah),
atau usaha/bisnis yang diharapkan dapat menghasilkan keuntungan yang dibiayai
oleh pemilik modal atau shahibul mal
dengan pengusaha atau mudharib (mudharabah), atau sesama mitra (musharaka).
Walaupun murabaha dapat dilakukan dengan pembayaran tangguh, tetapi pada
intinya, transaksi itu dilakukan dengan latar belakang bahwa pembeli
membutuhkan barang umumnya untuk konsumsi, tetapi tidak memiliki uang tunai[50],
sehingga diperkenankan untuk mengangsur atau membayarnya kemudian. Untuk
membiayai bisnis dengan tujuan komersial, Islam menyediakan fasilitas
pembiayaan dengan akad mudharabah
atau musyarakah. Akad Mudharaba dan musharaka terjadi karena adanya usaha atau bisnis tertentu di dalam
sektor riel sebagai titik tolak terjadinya akad. Akad ini merupakan bentuk kerja sama dalam berusaha, yaitu yang pertama
antara pemilik modal atau shahibul mal
dengan pengusaha atau mudharib; dan
kedua antara sesama mitra, yang sama-sama memasukan modal ke dalam suatu usaha,
dan dikelola secara bersama. Dalam kedua akad, dana yang digunakan bukan
merupakan utang, tetapi lebih bersifat modal investasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pembiayaan bank syariah melekat pada sektor riel, atau tidak dapat menjauh dari
sektor produksi barang dan jasa, sehingga tidak menimbulkan dikotomi antara
sektor ekonomi riel dengan sektor keuangan. Penyatuan kedua sektor ini memberikan
manfaat berupa pengembangan usaha, yang bermuara pada peningkatan perdagangan,
dan pembukaan lapangan kerja; sehingga kemaslahatan umat atau masyarakat dapat
meningkat dari waktu ke waktu.
4. Etika Islam dalam Jual
beli/Perdagangan
Menurut Yusuf Al Qaradhawi, ketika Nabi Besar
Muhammad Saw ditunjuk sebagai Rasulullah, jazirah Arab telah menjalankan sistem
tukar menukar barang dan jual beli. Nabi Saw tidak melarang transaksi seperti
itu, sejauh tidak bertentangan dengan syariat Islam. Hal ini disebabkan karena
Allah memang menciptakan manusia dalam keadaan saling membutuhkan. Setiap orang
tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, dan tidak semua yang dimiliki adalah
yang diperlukannya. Keadaan ini mendorong orang untuk melakukan jual beli,
sehingga kehidupan mereka dapat berjalan sebagaimana mestinya. Secara
menyeluruh, kegiatan jual beli mendorong
mesin kehidupan masyarakat dapat bergerak dan sekaligus meningkatkan produktivitas
masyarakat yang lebih baik [51].
Namun, Nabi Saw menetapkan sejumlah ketentuan jual
beli yang sesuai dengan syariat Islam. Jika diteliti lebih dalam, hadis-hadis
Nabi yang berkaitan dengan jual beli mengandung etika Islam yang sangat kental.
Pada intinya, hadis-hadis tersebut, antara lain, menyebutkan bahwa setiap
perbuatan termasuk dalam melakukan bisnis atau jual beli harus dimulai dengan
niat yang baik (Bukhari dan Muslim) [52].
Nabi Saw melarang transaksi jual beli barang-barang yang diharamkan (muttafag ‘alaihi), yang mengandung
ketidak jelasan baik harga maupun jenis barang atau gharar (HR Bukhari), adanya
eksploitasi dan penipuan (HR Bukhari), dan adanya pengurangan takaran dan timbangan
(Al-An’aam: 152, Al Israa: 35) [53].
Barang yang dijual harus jelas keberadaan, dan kepemilikannya. Nabi melarang
menjual barang yang belum diterima (diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas ra), tidak
boleh menjual barang untuk kedua kalinya, jika belum diterima secara sempurna
sebagai hasil pembelian sebelumnya (diriwayatkan oleh Ibn Umar ra) [54].
Dari segi formil, Nabi Saw melarang dua kali akad dalam satu barang (HR
al-Tirmidzi)[55].
Islam menghendaki pedagang yang jujur; untuk itu dihargai
setara dengan para nabi dan para syuhada (HR at Tirmidzi dan Ibn Majah)[56],
tidak menyembunyikan cacat barang (diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam ra) [57].
Etika ini telah dipraktikan oleh Nabi Saw. Nabi sangat berhasil dalam usahanya,
dan tidak pernah mengalami kerugian ketika
berdagang dengan mengunakan modal dari para shahibul mal. Nabi, pada intinya, bukan menjual barang atau jasa,
tetapi ‘menjual’ kejujuran, keadilan dan menjaga hubungan baik[58].
Islam menghargai kekuatan pasar yang alami dan
wajar. Harga yang wajar ditetapkan secara alami, bukan hasil rekayasa (HR
Muslim), intervensi para tengkulak, atau intervensi
artifisial dalam pasar untuk menetapkan harga yang tinggi (HR Muslim, dan HR
Ahmad), bukan dengan cara menimbun barang (HR Ahmad dan Ibnu Majah) [59],
atau karena kekuatan monopoli yang dilaknat oleh Allah (HR Ahmad, Hakim, Ibnu
Abi Syaibah, dan Al Bazaar), atau karena adanya rekayasa atau permainan harga
(HR Ahmad, Abu Daud, dan at Tirmidzi), atau dengan cara mencegat pedagang masuk
pasar (Abu Hurairah ra)[60]
.
Etika yang sangat kental tersebut di atas mutlak diperlukan
dalam perdagangan. Menurut Ibnu Khaldun, berdagang adalah usaha manusia untuk
meningkatkan pendapatan dengan mengembangkan properti yang dimilikinya, dengan
cara membeli barang dengan harga yang murah dan menjualnya dengan harga yang
tinggi. Banyak cara untuk dapat menjual dengan harga tinggi, antara lain,
menyimpan barang dan menunggu kondisi pasar membaik, atau melakukan praktik
monopoli, menjual ke tempat lain yang sangat membutuhkan atau memanfaatkan
perbedaan utilitas tempat, menjual dengan kredit, melakukan tawar menawar dalam
hal menentukan harga, dan seterusnya. Beliau mengatakan bahwa kejujuran hanya
sedikit terdapat dalam masyarakat, sehingga menjurus pada penipuan, pengurangan
takaran dan timbangan, atau pembeli tidak mengakui utang yang harus dibayarnya.
Hal ini semua menuntut pedagang untuk melakukan trik dan rekayasa atau mukayasah, atau menarik perhatian
konsumen, yang menyebabkan para saudagar memiliki sifat yang jauh dari sifat keperwiraan
dan kejujuran, yang seyogianya harus dimiliki oleh para penguasa dan pejabat.
Ibnu Khaldun menyimpulkan, bahwa pedagang dengan kedua sifat itu telah jarang
ada, dan hampir dapat dikatakan tidak ada [61].
C. BAI AL INAH DAN HADIS YANG MELARANGNYA
1. Pengertian Bai al Inah
Wahbah Al-Zuhaiyli menjelaskan mekanisme dari bai al inah, yaitu seseorang atau A
menjual suatu barang kepada B dengan harga tangguh, misalnya Rp 100, dan
kemudian membelinya kembali dengan harga tunai yang lebih rendah atau senilai
Rp 80 dari B. A memperoleh barangnya kembali dari B, dan B menerima uang tunai
senilai Rp 80, tetapi B masih memiliki utang yang harus dibayarkan di masa
depan sebesar Rp 100 (ilustrasi A dan B, serta nilai uang tambahan dari pen). Menurut beliau, disebut sebagai inah adalah karena pembeli (kedua) menerima
suatu objek berbentuk ayn yang
merupakan uang, dan bukan barang. Perbedaan antara harga pertama dengan yang
kedua merupakan bunga terselubung atau bersifat riba bagi pemilik barang yang
diperjual belikan. Oleh karena itu, beliau menyimpulkan bahwa transaksi ini
merupakan rekayasa atau hilah untuk
meminjam uang yang mengandung riba [62].
2. Hadis Yang Melarangnya
Sebagian besar ulama melarang bai al inah ini, berdasarkan dalil berikut[63]:
Pertama, Hadis Nabi Saw melarang dengan mengancam
para pelakunya, Ibnu Umar berkata: Aku mendengar Rasullulah Saw bersabda: “Jika kamu sudah melakukan jual beli secara
inah, lalu kamu hanya sibuk mengurus sapi-sapi, kamu puas dengan hasil
pertanian, lalu kamu meninggalkan kewajiban jihad, maka Allah Swt akan
melimpahkan kehinaan kepada kalian sampai kalian kembali ke agama kalian” (HR Abu Daud).
Kedua, ketika Ummu Ghulam Zaid bin Arqam
melaporkan pada Aisyah ra, dengan berkata ’Aku telah menjual seorang budak pada Zaid bin Arqam dengan harga 800
dirham sampai penyerahan, lalu aku kembali membelinya dari Zaid seharga 600
dirham”, Aisyah ra menjawab: “Sungguh
buruk apa yang kamu beli, sungguh buruk pembelianmu sampaikan pada Zaid bin
Arqam bahwa akad ini berarti ia telah menghapus pahala jihadnya bersama Rasullulah
Saw, kecuali jika ia bertobat” (HR ad-Daruquthni).
3. Pandangan Yang Melarangnya
Menurut kalangan Malikiyah dan Hanabilah, bai al inah dilarang karena lebih banyak
dilihat dari akibat suatu perbuatan, tidak hanya dilihat dari bentuk formalnya.
Jual beli seperti itu menimbulkan kecurigaan bahwa tujuan yang tidak jelas atau
disembunyikan, dan dapat berarti menghindari riba secara formal. Demikian pula,
menurut kalangan Hanafiah, jual beli seperti itu bersifat fasid atau merusak hukum; dengan dasar, bahwa transaksi yang
dilakukan oleh pihak penjual untuk
membeli kembali barang yang telah dijualnya sebelum pembeli melunasi harganya
bersifat tidak sah [64].
Pendapat lain mengatakan bahwa “setiap utang yang
mendatangkan keuntungan adalah riba” [65].
Pada dasarnya, transaksi inah
mengunakan atau rekayasa atau hilah akad-akad
sah untuk melakukan riba, dengan tujuan mengekploitasi kelemahan orang lain.
Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi berpendapat bahwa perbuatan seperti yang
dimaksud merupakan usaha penipuan dan mempermainkan tujuan-tujuan atau spirit
syariat; dan tidak diragukan lagi tentang keharamannya karena jalannya menuju
keharaman, dan perbuatan manusia diukur sesuai dengan niatnya [66].
4. Pandangan Yang Mengijinkannya
Wabah Al-Zuhayli mengungkapkan pandangan kalangan
Syafi’iyah, bahwa bai al inah adalah
sah, tetapi tidak disukai[67].
Pertimbanganya adalah sahnya suatu akad ditentukan oleh rukunnya. Sejauh rukun
akad dipenuhi, maka akad sah adanya,
terlepas dari tujuan yang tersembunyi di balik lahiriah dari kedua belah pihak
yang tidak dapat dipastikan, sehingga tidak berpengaruh terhadap syahnya suatu
akad [68].
Jadi, status dari suatu kontrak ditentukan oleh karakteristiknya yang tampak,
sementara niat yang buruk Tuhan yang akan menentukan[69].
Namun, tampaknya pendapat ini bertentangan dengan Hadis Nabi Saw di muka, yang
menyebutkan bahwa perbuatan ditentukan oleh niatnya.
Dalam transaksi bai al inah, pihak ketiga
dapat berperan sebagai perantara setelah seseorang, yang ingin meminjam
uang, membeli suatu barang dengan harga
tangguh, dan barang yang sama dijual ke perantara dengan harga tunai; kemudian
perantara itu menjualnya kembali ke penjual pertama dengan harga yang sama. Di
sini, Wabah Al-Zuhayli mengungkapkan pandangan Abu Hanifa, yaitu jika tidak
terdapat perantara dalam transaksi tersebut, maka akad tidak sah. Namun, Wabah Al-Zuhayli mengangap bahwa
pandangan ini menyimpang dari Hadis yang berkaitan dengan Zaid ibn Arqam di
atas. Pertimbanganya adalah bahwa sejauh harga tangguh belum dilunasi oleh
pembeli, maka jual-beli terkait itu belum selesai. Karena penjualan kedua terjadi
dari yang pertama, penjual pertama tidaklah dapat membeli barang dari seseorang
yang belum memiliki barang itu karena dia belum membayar harga tangguh tadi,
sehingga penjualan kedua tidak sah [70].
D. TAWARRUG
1. Pengertian Tawarrug
Transaksi tawarrug
dimulai jika seseorang membeli suatu barang atau komoditas dari penjual (pertama)
berdasarkan pembayaran tangguh atau tidak tunai, dengan pengertian bahwa pembeli
tersebut akan membayar harga yang telah disepakati secara angsuran, atau dibayar secara penuh sekaligus di masa
depan. Tawarrug terjadi, ketika
barang itu telah dibeli, dan pembeli itu langsung menjualnya kembali ke pihak
ketiga tetapi bukan penjual pertama dengan harga tunai, yang lebih rendah dari
harga beli semula [71].
Tawarrug turun dari kata warig, yang berarti perak; sesorang
membeli barang dengan tujuan mendapatkan uang tunai dari penjualan tersebut
kepada pihak lain [72].Tawarrug mirip dengan bai al inah, tetapi berbeda. Pada bai inah, penjualannya kembali dilakukan
kepada penjual yang sama, sedangkan pada tawarrug
kepada pihak ketiga.
Terdapat dua macam tawarrug: Pertama, organized
tawarrug atau tawarrug munazzam, dengan
menunjuk pihak ketiga sebagai agen; pembeli tidak menerima barang dagangannya
dan tidak terkait dengan kegiatan penjualannya kembali, karena dilakukan oleh
seorang agen dan pembayaran diberikan kepada pembeli awal. Umar Azka merinci
karakteristik dari tawarrug ini: dilakukan
oleh 4 pihak, ada perjanjian di muka untuk membeli suatu komoditi, tidak ada
perjanjian untuk membeli dari nasabah (mutawarriq),
melibatkan perjanjian bersama atu MoU yang harus sesuai prosedur, adanya
penunjukkan bank sebagai wakil dari nasabah untuk menjual komoditi kepada pihak
lainnya, dan tidak terjadi pemindahan fisik dari komoditi yang diperdagangkan
dan hanya sebatas penandatanganan akad jual beli [73].
Tawarrug
munazam berlaku di pasar
internasional. Bank syariah membeli komoditi di pasar internasional dengan
pembayaran tunai, dan menjual ke nasabahnya dengan akad murabahah dengan harga yang lebih tinggi; lalu bank atas nama
nasabahnya menjual kembali komoditi itu ke pihak ketiga dengan harga yang lebih
tinggi dan diangsur sesuai dengan perjanjian di muka. Proses ini biasanya
melibatkan pihak ke empat, yaitu sebagai broker
dengan memperoleh fee, di pasar
komoditi internasional. Menurut ulama yang membolehkan tawarrug ini, alasannya adalah seluruh transaksi berdasarkan
prinsip syariah, yaitu: (a). bank membeli komoditi dari pasar komoditi dan
secara konstruktif memiliki komoditi tersebut, melalui beberapa klausul dalam
dokumen transaksi atas dasar janji untuk membeli dari nasabah, (b). bank
menjual komoditi itu dengan prinsip murabaha
dan hak kepemilikan pindah kepada nasabah, (c). nasabah menunjuk bank sebagai
wakil untuk menjual kembali komoditi tersebut, (4). Bank kemudian menjual
kembali komoditi tersebut kepada pihak ketiga, (d). Bank memberikan dana hasil
penjualan kepada nasabah [74].
Kedua,
dalam real tawarrug, yaitu tapa pengaturan terlebih dahulu, dan pembeli
memiliki dua opsi, yaitu menyimpan barang yang telah dibeli, atau menjualnya
kembali, dan karena barang iru sudah berada di tangannya, maka dia dapat
melakukan apa saja terhadap barangnya itu[75].
Menurut Umar Azka, karakteristik dari real
tawarrug adalah: dilakukan oleh 3 pihak, tidak ada perjanjian untuk
membeli, hanya ada 2 dasar jual beli, tidak ada MoU, nasabah menjual sendiri
komoditinya, dan adanya pemindahan komoditi secara phisik setiap kali
terjadinya akad jual beli [76].
Tawarrug pada dasarnya menyangkut dua akad. Akad
pertama adalah akad untuk pembelian dengan pembayaran secara tunda. Akad kedua
merupakan penjualan kepada pihak lain dengan pembayaran tunai tetapi dengan
harga lebih rendah[77]. Transaksi tawarrug itu memberi peluang
atau berimplikasi terhadap kesempatan untuk meminjam uang dengan menggunakan
akad syariah yang diijinkan. Menurut Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor, dalam
konteks keuangan, mekanisme yang terjadi dapat diartikan sebagai pemberian pinjaman
dengan zero coupon, dan tingkat bunga
pinjaman disamakan dengan tingkat bunga seperti yang ditentukan oleh penjual
awal untuk pembayaran tangguh [78].
Wahbah Al Zuhaili menegaskan karakteristik dari tawarrug, yaitu: tujuannya bukan untuk
memperoleh komoditi tetapi digunakan untuk menutupi niat memperoleh likuiditas,
tawarrug dan inah pada dasarnya sama sebagai praktik riba. Wahbah az-Zuhaili mengatakan
bahwa para ulama sepakat untuk melarang transaksi itu, jika terlihat
tanda-tanda bahwa mereka berniat untuk melakukan riba; namun, mereka berbeda
pendapat, jika tidak ada tanda-tanda yang bermaksud untuk tujuan riba [79].
Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa illah
yang ditemukan dalam tawarrug adalah
bertambahnya biaya menjual dan membeli suatu komoditas, dan kerugian yang
terjadi dalam penjualan. Menurut beliau lebih lanjut, hukum syara tidak mengijinkan
kerugian yang kecil, ketika pada saat yang sama menginjinkan kerugian yang
lebih besar [80].
2. Pandangan Klasik Terhadap Tawarrug.
Menurut Adiwarman Karim, hampir semua kitab fiqih
mengijinkan transaksi tawarrug, dan
yang melarangnya hanya Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim dari mazhab Hanbali [81].
Ulama yang mengijinkan dan pihak yang menolak transaki tawarrug ini, yaitu [82]:
a. Kebanyakan ulama mengijinkan [83]
dan di antaranya adalah Muhammad bin
Utsmain dari Hanbali tetapi dengan
syarat tertentu [84], dan Iyas bin Mu’awiyah
dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, diperkuat oleh Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As-Sa’dy dan Syaik Abdul Aziz bin Baz dalam Taudhihul Ahkam, dan
seterusnya. Pendapat ini berdasarkan kaidah umum bahwa jual beli adalah halal
yang bersandar pada Surat Al Baqarah (QS, 2 : 275), dan didukung dengan surat Al Maidah (QS, 5 : 1), Al Baqarah (QS, 2 :
280). Hadist Nabi Saw yang membolehkannya adalah seperti yang diriwayatkan oleh
al Bukhari dan Muslim. Intinya adalah bahwa Nabi Saw melarang seorang petani
untuk menukar kurma yang baik dari Khaybar sebanyak satu kilo dengan kualitas
yang lebih rendah sebanyak 3 kilo. Sebaliknya, Nabi Saw menyarankan untuk
menjual kurma kualitas rendah terlebih dahulu untuk mendapatkan uang tunai, dan
menggunakan uang tersebut untuk membeli kurma yang berkualitas lebih bagus. Berdasarkan
hadis ini, para ulama tersebut berpendapat bahwa media tawarrug dapat digunakan untuk memperoleh likuiditas yang
diperlukan [85]. Syaikh Ibnu Utsaimin
menambahkan syarat, yaitu: bahwa orang yang melakukan transaksi itu memiliki kebutuhan
yang jelas, dia tidak dapat memperoleh kebutuhannya melalui Al Qard, as Salam atau
lainnya, dan barang yang terkait telah dipegang dan dikuasai oleh penjual.
Sebelum barang itu dijual kembali, ia sudah menerima barang itu secara legal [86].
b. Pendapat yang melarangnya adalah dari mazab Hanbali, Abu
Hanifah, Asy Syafi’i [87],
dan Maliki [88],
Umar bin Abdul Aziz dan didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari mazab
Hanbali, Ibn Qoyim, dan fatwa Al Lajnah Ad-Da-imah Saudi Arabia. Abdullah bin
Abdul Wahab dari Hanbali berpendapat bahwa tawarrug
hukumnya makruh, jika target pembeli adalah uang tunai atau dirham melalui
pembelian dengan harga seratus dengan kredit, kemudian menjualnya tujuh puluh
secara tunai. An Nasafi dalam Thalabah
Ath Thalabah menyatakan bahwa tawarrug
termasuk kategori bai al inah, karena
mengalihkan praktik utang ke penjualan barang. Ibnu Hajar Al Haitami dalam Tuffatul Muhtaj dari Asy Syafi’i
mengatakan bahwa kadang-kadang praktik jual beli bersifat makruh, yaitu seperti
pada bai ’al inah, dan semua bentuk
jual beli dengan kehalalan yang masih diperselisihkan karena sama seperti untuk
menghindari praktik riba [89].
Ulama Maliki melarangnya, dengan alasan bahwa tawarrug dapat dipersamakan dengan bai al inah, karena perbedaannya hanya pada keadaan barang yang kembali
pada bai al inah, dan tidak kembali
pada tawarrug [90]. Ibn Qoyim, murid dari Ibn Taymiyya,
mengatakan bahwa gurunya tidak pernah mengijinkan tawarrug, karena substansi ekonomis yang pasti berupa riba
dikandung oleh akad tersebut, dan biaya transaksi bertambah ketika dibeli dan dijual
dengan kerugian; syariah tidak melarang kerugian kecil dan mengijinkan kerugian
besar [91].
Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa tawarrug adalah bagian dari riba. Tawarrug munazam memberikan indikasi
bahwa tujuannya adalah untuk memperoleh dana segar dari utang yang dibayar
secara mengangsur, dan mengandung hilah
atau rekayasa untuk melakukan apa yang dilarang [92].
Hadist yang digunakan sebagai dasar untuk melarangnya adalah sama seperti di
atas, yaitu dari HR Abu Daud, karena Tawarrug
tidak jauh berbeda dengan inah [93]. Sebagian mazab Hanafi juga
menyamakankan dengan bai al inah [94]. Perbedaanya sedikit sekali, yaitu
terletak kepada siapa penjualan kembali barang dilakukan. Pada bai al inah, barang dijual kepada penjual pertama, sedangkan pada tawarrug kepada pihak ketiga.
3. Penjelasan dan Kajian Fiqih
Kontemporer
Stella Cox berpendapat bahwa perkembangan produk
keuangan berbasis tawarrug merupakan
pergerakan yang kuat. Pada umumnya, bank syariah mengalokasikan likuiditas
jangka pendek untuk membiayai transaksi jangka pendek melalui murabaha. Untuk mengimbanginya,
diperlukan kebalikan dari pembiayaan murabaha
dari mitra atau counterparties di
pasar internasional. Namun, Cox mengatakan bahwa struktur yang tepat perlu
dirancang untuk menangkap kebutuhan di tingkat global, sehubungan dengan
berkembangnya jumlah bank Islam dengan pesat[95].
Pada saat yang sama, penggunaan akad tawarrug
telah berlangsung secara aktif di negara-negara GCC (Gulf Cooperation Council)[96].
Dalam
kaitan ini, Fiqh Academy OIC di Jedah
telah mengkaji struktur dan prosedur secara penuh, dan telah pula menetapkan
bahwa struktur dan prosedur dalam menjalankan kontrak yang diperlukan harus
secara jelas menyebutkan adanya pelaku riel, tidak hanya sebagai agen, sehingga
terdapat pengawasan langsung terhadap aset dan arus kas. Prosedur
administrative dan operasional terus diperbaiki, tetapi standardisasi masih
menunggu persetujuan Fiqh Academy [97].
Secara tehnis, dari segi pandangan syariah,
transaksi tersebut sah untuk dilakukan. Menurut Yusuf Al Subaily, Dosen Pasca
Sarjana Universitas Islam Imam Muhammad Saud Riyadh, berdasarkan pendapat
banyak ulama, hukum tawarrug adalah mubah, karena tidak ada dalil yang
mengharamkam. Transaksi tawarrug
berbeda dengan inah, karena barang
tidak dijual kepada penjual pertama [98].
Namun, banyak juga pendapat yang menentangnya. Alasan utama yang tidak
menyetujui tawarrug adalah bahwa
transaksi ini membuka pintu untuk meminjam uang dengan riba, dan tidak
menciptakan kegiatan ekonomi riel, karena barang atau komoditi yang sama dijual
kepada peminjam; dan peminjam uang ini menjual kembali barangnya ke pihak ketiga [99].
Pendapat lain yang tidak menyetujui tawarrug adalah berasal dari Iraj
Toutouchian. Beliau menjelaskan bahwa transaksi tawarrug pada dasarnya merupakan transaksi uang atau M kembali ke
uang atau M, tetapi dengan menggunakan komoditi atau C secara dibuat-buat atau
tidak riel. Oleh karena itu, motivasi atau niat yang sesungguhnya di belakang
transaksi ini dengan mudah dapat dilihat. Niatnya bukan untuk membeli dan
menjual barang atau komoditi yang dimaksud, melainkan memperoleh uang melalui barang. Iraj Toutouchian menekankan
bahwa seluruh transaksi jual beli oleh pembeli dan penjual yang bukan merupakan
pihak yang meminta dan memerlukan barang itu adalah bersifat spekulatif.
Menurut beliau lebih lanjut, transaksi serupa itu sebaiknya ditinggalkan karena
merupakan alat yang menyesatkan, dan menganggapnya sebagai pengaturan alamiah
yang wajar; di sinilah letaknya kegagalan ekonomi kapitalis yang telah gagal
mengukur permintaan barang dan jasa suatu bangsa [100].
Pendapat yang lebih mendasar terhadap penolakan
penggunaan tawarrug berasal dari
Nyazee dan Siddiqui, seperti yang dikutip oleh Umar F.Moghul. Nyazee
mengkaitkan pembahasan mengenai masalah tawarrug
dengan tujuan dari hukum Islam. Nyazee mengatakan bahwa memenuhi tujuan manusia
dan prinsip utilitas sebagai alasan manusiawi bukanlah yang dimaksud oleh maslahah; dan tujuan yang ditentukan
oleh syariah oleh pencipta undang-undang dapat atau tidak dapat sejalan dengan
nilai-nilai yang ditentukan oleh alasan manusiawi. Dengan demikian, penalaran
berdasarkan prinsip utilitas atau analisis ekonomi dapat kadang-kadang sesuai
dengan prinsip syariah, tetapi dapat juga bertentangan dan ditolak dari
waktu-ke waktu, ketika terdapat pertentangan nilai [101].
Penjelasan dari Nyazee di atas tampaknya dapat
diperjelas oleh pendapat dan analisis oleh Siddiqui, yang mengkaitkan konsekuensi
ekonomi dengan hal-hal khusus yang berkaitan dengan hukum. Beliau menyimpulkan
apakah dan kenapa pelaksanaan sesuatu yang khusus dapat menimbulkan kegagalan
dalam menghasilkan sesuatu yang bersifat universal. Beliau menunjukkan bahwa
penggunaan tawarruq secara reguler
akan menciptakan pasar utang. Di sini, beliau mengingatkan bahwa pasar utang
tidak berkaitan dengan penciptaan kewajiban yang sederhana. Hal ini disebabkan
karena dalam menciptakan tambahan atau kekayaan baru, penciptaan utang adalah
tidak efisien dan tidak seimbang, karena ditentukan kepada siapa yang dapat
dipercaya, bukan kepada proyek yang lebih menjanjikan untuk meciptakan kekayaan
baru. Hal tersebut juga bersifat tidak seimbang, karena penciptaan utang itu
mendistribusikan kekayaan bagi penyedia modal atau pembiayaan, terlepas dari
masalah produktivitas riel dari penggunaan pembiayaan yang diberikan [102].
Berdasarkan uraian dari Nyazee dan Siddiqui
tersebut, Umar F. Moghul berpendapat, bahwa tawarrug
menciptakan pasar berbasis utang, dan menyuburkan utang serta memperluas
cakupan untuk berspekulasi. Tawarrug
dapat juga digunakan untuk melakukan hedging
untuk mengatasi fluktuasi kurs mata uang[103].
Pembiayaan yang difasilitasi oleh tawarrug,
seperti yang terjadi pada kredit bank konvensional, adalah bebas dari dan
tidak selalu melekat pada sektor ekonomi riel [104].
Pendapat lain yang menentang tawarrug adalah dari Sami Alo-Suwailem dan M.Kabir Hassan. Mereka
membandingkan dengan konsep murabahah.
Tujuan dari akad ini adalah untuk menyediakan barang bagi konsumen, tetapi
kemudian dengan cara pembayaran tangguh. Karena tujuannya adalah menjual
barang, maka transaki itu sah adanya. Tujuan dari tawarrug, di lain pihak, adalah untuk memperoleh likuiditas, dan
konsumen pada akhirnya memperoleh uang tunai sebagai pengganti utang yang
jumlahnya lebih besar. Dengan demikian, menurut mereka, baik tawarrug, maupun bai al innah, mengandung tujuan yang sama seperti riba [105].
Oleh karena
itu, Organisasi Konferensi Islam dan Fiqh
Academy di Jeddah yang terkemuka
di dunia menyatakan bahwa tawarrug
tidak sejalan dengan konsep syariah[106].
Pertimbangannya adalah sebagai berikut: pertama, menyerupai bai al inah, karena penjual berkewajiban
untuk bertindak sebagai agen pembeli untuk menjualkan barang ke pembeli yang
lain, terlepas apakah kewajiban itu diuraikan dalam akad secara eksplisit atau
ditentukan oleh praktik kebiasaan; kedua, dalam banyak kasus, transaksi serupa
tidak berakhir dengan kondisi penerimaan
(barang-pen) yang memuaskan seperti yang diperlukan untuk sahnya
transaksi; ketiga, transaksi tersebut dalam kenyataannya merupakan pemberian
pembiayaan kepada pihak yang dikarakteristikkan sebagai konsumen tawarrug, sedangkan kegiatan jual beli
yang dilakukan oleh bank hanyalah merupakan alat penampilan di permukaan, namun
dalam kenyataan adalah untuk menyediakan tambahan kompensasi bagi bank
sehubungan pembiayaan yang diberikannya [107].
Sebelumnya, Fiqih
Academy ke 15 di Makkah mengeluarkan pendapat bahwa akad tawarrug diijinkan, dengan syarat
konsumen tidak menjual komoditi ke penjual awal. Namun, Fiqh Academy Jeddah ke 17 dalam bulan Desember 2003, menyatakan
bahwa tawarrug dilarang, dengan
alasan bahwa bank secara rutin menjual komoditi di pasar global secara kredit
kepada konsumen, dan di dalamnya bank terikat dengan suatu kontrak atau
konvensi- untuk menjual komoditi itu kepada pembeli lain secara tunai, dan bank
menyerahkan barang itu ke konsumen [108].
Sejalan Fiqh
Academy Jeddah ke 17 di atas, DSN-MUI juga melarang transaksi tawarrug. Alasannya adalah: pertama, transaksi
tawarrug munazzam bukan transaksi
jual beli riel dan hanya merupakan rekayasa untuk memperoleh uang tunai; kedua,
transaksi itu tidak bersifat transparan, dan mengandung unsur penipuan atau syubhat; ketiga, manfaatnya lebih kecil
dari pada mafsadahnya bagi masyarakat banyak [109].
E. KESIMPULAN
Baik bai al
inah maupun tawarrug tidak
bertujuan untuk mendapatkan barang atau jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan
konsumsi pembeli, atau tidak juga untuk mengembangkan perdagangan lebih lanjut
dengan menggunakan perbedaan utilitas tempat. Namun, dengan jelas dapat dilihat
di belakang transaksi terkait adanya motive atau niat tertentu yang berbeda
dari yang umumnya terjadi. Motive yang dimaksud adalah untuk mendapatkan dana
tunai melalui mekanisme jual beli dan utang. Motive ini bertentangan dengan
surat Al Baqarah (QS, 2 : 275) yang menekankan pada perdagangan, dan Hadis Nabi
Saw yang menganjurkan umatnya untuk tidak menggunakan utang. Sebagai akibatnya, jika dilaksanakan, perdagangan riel tidak berkembang, dan
sektor keuangan akan menjauh dari sektor riel, atau dapat menimbulkan dikotomi
dari keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Shomad. 2010. Hukum Islam,
Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Abu Muawiah. “Masalah At -Tawarrug”.
[http://al-atsariyyah-com/masalah-at-tawarrug-html] <15>. 15>
Adiwarman Karim. 2004. Bank Islam,
Analisis Fikih dan Keuangan. Edisi Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Affandi,
Nik Mohamed bin Nik Yusoff. 2002. Islam
& Business. Selangor, Malaysia: Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd.
Ahmad Al Raysuni, dan Muhammad Jamal Barut. 2002. Ijtihad, antara teks, realitas, dan kemaslahatan sosial. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Ahmad Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”.
[http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html]
<02>. 02>
Ahmad Munir Suratman, 2002. Filsafat
Hukum Islam Al Ghazali. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Akmad Munif Suratmaputra. 2013. Filsafat
Hukum Islam, Al Ghazali, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Amir Syarifuddin. 2010. Garis-Garis
Besar Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Angie Cyntia. ”Konsep Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.10>
Bello, Petrus C.K.L. 2012. Hukum
& Moralitas, Tinjauan Filsafat Hukum. Jakarta: Erlangga.
Cholis Nafis, M. 2011. Teori Hukum
Ekonomi Islam.Jakarta: UI Press.
Cox, Stella. 2007. “The Role of Capital Markets in Ensuring Islamic
Financial Liquidity”. Dalam Simon Archer
dan Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds). Islamic
Finance, The Regulatory Challenge.
Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Dedi Ismatullah. 2011. Sejarah Sosial
Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Duscik Ceolah. “Hukum Tawarrug Berdasarkan Kajian Fiqih Terpadu”.
[http://duscikceolah.wordpress.com/2009/08/03/hukum.tawarruq-berdasarkan-kajian-fiqih-terpadu/]
<03>.03>
Eko Suprayitno. 2005. Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro
Islam dan Konvensional, Hak
Cipta @ 2005 pada Penulis, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Fathurrahman Djamil. 1997. Filsafat
Hukum Islam.. Ciputat: Logos Wacana Ilmu
Gunawan Setiarja, A. 1990. Dialektika
Hukum dan Moral, Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. . Yogyakarta:
Kanisius.
Graeber, David. 2011. Debt., The
First 5000 Years. New York: Melville House.
Hamka.1983. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas.
Hendy Herijanto.2013. “Perdagangan
(Jual Beli) Vs Riba: Implikasinya
TerhadapPerekonomian dan Kemaslahatan
Masyarakat”. Quality,
Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk
Meningkatkan Kualitas SDM,
Vol.II No. 11, Juli 2013.
Hendy Herijanto. 2013.”Prinsip
dan Unsur-Unsur Pokok Ekonomi Islam”.
Quality,
Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas
SDM, Vol. II No. 11, Juli 2013.
Ibnu Khaldun. 2001. Mukadimah.
Beirut: Dar-Al Kitab Al’Arabi.
Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor. 2007.
An Introduction to Islamic
Finance, Theory and Practice. Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte
Ltd.
Karim Adiwarman. “Raja Henry VIII dan Tawarrug”.
Kautsar Azhari Noer. 1995. Ibn Al
Arabi, Wahdat al- Wujud dalam Perdebtan. Jakarta: Paramadina.
Mankiw, N. Gregory. 2003.
Harvard University, Teori Makroekonomi, Edisi Kelima, Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Mahmoud
A. El-Gamal. 2009. Islamic Finance, Law, Economics and Practice.
New York: Cambridge University
Press.
Moghul, Umar F. 2013. “Stepping Forward, Backward, or
Just Standing Still? A Case Study in Shifting Islamic Financial Structures
Offshore”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary
Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley
& Sons, Inc.
Muhammad Abduh Tuasikal. “Menjual Barang yang Masih Utangan”.
[http://pengusahamuslim.com/menjual-barang-yang masih-utangan] <
26/12/2010>.
Muhammad Al Amine, Muhammad
Al Bashir. 2013. “Risk and Derivatives in Islamic Finance”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary
Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley
& Sons, Inc.
Muhammad Faiz Almath. 1991. 1100
Hadits Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad. Jakarta: Gema Insani.
Muhammad Khalid Masud. 1996. Filsafat
Hukum Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.
Muhammad Khalid Masud. 2005.Shatibi’s
Philoshophy of Islamic Law. Kuala Lumpur: Islamic Research Institute.
Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. 2008. Problematika Investasi Pada Bank Islam, Solusi Ekonomi Islam.
Jakarta: Migunani.
Musa Asy’arie. 2002. Filsafat Islam,
Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI.
Quraish Shihab. 2013. Secercah Cahaya
Al Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka.
Salam Izhar. “Tawarrug in Islamic Banking System”
[http:salamizhar.blogspot.com/2011/01/tawarrug-in-islamic-banking-system;html]
<12 .01="">12>
Satria Effendi, dan M. Zein. 2005. Ushul
Fiqh. Jakarta: Prenada Media Grup.
Sofyan
S. Harahap. 2004. Akuntansi Islam.
Cetakan Keempat. Jakarta: Bumi Aksara.
Suwailem, Sami Alo, dan
M.Kabir Hassan. 2011. “An Islamic Perspective of Financial Engineering”. Dalam
M. Kabir Hassan dan Michael Mahlknecht (Eds), Islamic Capital Markets, Products and Strategies. Chichester, West
Sussex : John Wiley & Sons Ltd.
Suyanto, M. 2008. Muhammad Business
Strategy and Ethics. Yogyakarta: Andi.
Toutounchian,
Iraj. 2009. Islamic Money & Banking,
Integrating Money in Capital Theory. Singapore:
John Wiley & Sons (Asia) Pte.Ltd.
Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”.
[http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html]
<14>. 14>
Ustadz Rich, dan Laode. 2011. Rasulullah
Business School. Jakarta: Ihwah.
Wahbah Al-Zuhaili. “Tawarrug,
Its Essence and Its Types: Mainstream Tawarrug and Organized Tawarrug”.
[www.kantakji.com/fiqh/Files/Markets/a(65).pdf] .
Widiyastini. 2008. Filsafat Islam.
Yogyakarta: Kepel Press.
Yan Orgianus. 2012. Moralitas Islam
Dalam Ekonomi dan Bisnis.Bandung: Marja.
Yusuf Al Qaradhawi. 2005.Halal dan
Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Yusuf Al Subaily. “Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan
Aplikasinya Dalam Perekonomian Modern”.
[istyn.staff.uns.ac.id/files/2012/09/copy-of-fqh-muamalah-kontemporer]
<09>.09>
Yusuf Al Qaradhawi. 2005. Halal dan
Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Yusuf Qardhawi. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Cetakan I, Jakarta: Gema Insani Press.
Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri. 2008. Ringkasan Shahih Muslim. Bandung: Mizan Media Utama.
[1] Satria Effendi, dan M.Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Grup,
hlm. 77.
[2] Dedi Ismatullah. 2011. Sejarah Sosial Hukum Islam. Bandung:
Pustaka Setia., hlm. 35-36.
[3] Kautsar Azhari Noer. 1995. Ibn Al Arabi, Wahdat al- Wujud dalam Perdebatan.
Jakarta: Paramadina, hlm. 140.
[4] Satria Effendi, dan M. Zein. Ibid, hlm. 78.
[7] Widiyastini. 2008. Filsafat Islam. Yogyakarta: Kepel Press, hlm. 19.
[8] Muhammad
Khalid Masud. 2005.Shatibi’s Philoshophy
of Islamic Law. Kuala Lumpur: Islamic Research Institute, hlm. 7.
[9] Musa Asy’arie. 2002. Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI, hlm.
85.
[10] Muhammad Khalid Masud. Op.Cit, hlm. 10-11.
[12] Fathurrahman Djamil. 1997. Filsafat Hukum Islam. Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, hlm. 151.
[13] Bello, Petrus C.K.L. Op.Cit., hlm. 53.
[14] Gunawan Setiarja, A. 1990. Dialektika Hukum dan Moral, Dalam
Pembangunan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 101.
[15]
Menurut L.A. Hart, hukum kodrat minimum adalah tujuan manusia untuk
bertahan hidup. Hukum kodrat klasik, di lain pihak, bersandar pada asumsi teologis mengenai alam,
yang memahami bahwa semua yang ada di alam raya, baik makhluk hidup maupun
benda mati, bergerak menuju keadaan optimum tertentu, atau telos, yang sesuai dengan makhluk tersebut. Bello, Petrus C.K.L. Op.Cit, hlm. 44
[16] Gunawan Setiarja, A. Ibid, hlm. 113-115.
[20] Hamka. 1983. Tafsir Al Azhar. Jakarta:
Pustaka Panji Mas, hlm. 25-26.
[21] Dedi Ismatullah. Op.Cit, hlm. 41.
[22] Ahmad Munir Suratman, 2002. Filsafat
Hukum Islam Al Ghazali. Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 20.
[23] Akmad Munif Suratmaputra. 2013. Filsafat Hukum Islam, Al Ghazali,
Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 17.
[24] Dedi
Ismatullah. Op.Cit, hlm. 36-37.
[25] Ahmad Al Raysuni, dan Muhammad Jamal
Barut. 2002. Ijtihad, antara teks,
realitas, dan kemaslahatan sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm. 3.
[26] Menurut Wahbah Zuhaili, ulama yang
menolak maslahah al mursalah adalah Zahiriyah, Syi’ah, mayoritas Syafi’iyah,
dan Ibn al-Najib dari Malikiyah; dan yang menerima adalah Malikiyah, Hanabilah,
dan hanafiyah. Ahmad Munif Suratmaputra. Ibd,
hlm. 76.
[28] Ahmad Munif Suratmaputra. Ibid, hlm. 28.
[29] Ahmad Munir Suratman. Op.Cit, hlm. 59.
[31]Amir Syarifuddin. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hlm.195.
[32] Abd. Shomad. 2010. Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm. 165.
[33] Hendy Herijanto.2013. “Perdagangan (Jual Beli) Vs Riba: Implikasinya
TerhadapPerekonomian dan Kemaslahatan Masyarakat”. Quality, Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM,
Vo.IINo. 11, Juli 2013.
[34] Hendy Herijanto. 2013.”Prinsip dan
Unsur-Unsur Pokok Ekonomi Islam”. Quality,
Jurnal Manjemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM, Vo.IINo. 11,
Juli 2013.
[35] Hendy Herijanto. Idem.
[36] Affandi, Nik Mohamed bin
Nik Yusoff. 2002. Islam & Business.
Selangor, Malaysia: Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd, hlm. 3.
[37] Eko Suprayitno. 2005. Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi
Makro Islam dan Konvensional, Hak Cipta @ 2005 pada
Penulis, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu. hlm. 3.
[38] Adiwarman Karim. 2004. Bank Islam, Analisis Fikih dan Keuangan. Edisi
Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada. hlm. 365.
[39] Mankiw, N. Gregory.
2003. Harvard University, Teori Makroekonomi, Edisi Kelima, Jakarta:
Penerbit Erlangga, hlm. 56.
[40] Sofyan S. Harahap. 2004. Akuntansi Islam. Cetakan Keempat.
Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 19.
[41] Qardhawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Cetakan I, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 184.
[42] Muhammad Faiz Almath. 1991. 1100 Hadits Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad.
Jakarta: Gema Insani, hlm. 197.
[43] Quraish Shihab. 2013. Secercah Cahaya Al Qur’an. Bandung:
Mizan Pustaka, hlm. 237.
[46] Apa yang disampaikan Nabi SAW ini,
beberapa ratus tahun kemudian juga diutarakan melalui ungkapan “if you loan a man too much money, you turn a
good man into a bad man” (Warde, 2000 : 163).
[47] Graeber, David. 2011. Debt., The First 5000 Years. New York:
Melville House, hlm. 391.
[48] Yan Orgianus. 2012. Moralitas Islam Dalam Ekonomi dan Bisnis. Bandung: Marja, hlm.
186.
[49] Musa Asy’arie. Op.Cit, hlm.103.
[50] Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. 2008.
Problematika Investasi Pada Bank Islam,
Solusi Ekonomi Islam. Jakarta: Migunani, hlm. 456.
[51] Yusuf Al Qaradhawi. 2005. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, hlm. 318.
[52] Suyanto, M. 2008. Muhammad Business Strategy and Ethics. Yogyakarta: Andi, hlm. 184.
[54] Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri.
2008. Ringkasan Shahih Muslim.
Bandung: Mizan Media Utama, hlm. 497, 498.
[55] Cholil Nafis. 2011. Teori Hukum Syariah. Jakarta: UII Press, hlm. 175.
[56] Muhammad Faiz Almath. 1991. 1100 Hadits terpilih, Sinar Ajaran Muhammad.
Jakarta: Gema Insani, hlm. 194.
[57] Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri. Op.Cit, hlm. 509.
[58] Ustadz Rich, dan Laode. 2011. Rasulullah Business School. Jakarta:
Ihwah, hlm. 195.
[60] Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri. Op.Cit., hlm. 509.
[61] Ibnu Khaldun. 2001. Mukadimah. Beirut: Dar-Al Kitab Al’Arabi, hlm. 712- 719.
[62] Wahbah Al-Zuhayli. 2003. Financial
Transactions in Islamic Jurisprudence, Vol. 1. Dasmascus; Dar al – Fikr, hlm.
115.
[63] Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. 2008.
Problematika Investasi Pada Bank Islam,
Solusi Ekonomi Islam. Jakarta: Migunani,
hlm. 278.
[65] Muhammad Abduh Tuasikal. “Menjual Barang
yang Masih Utangan”. [http://pengusahamuslim.com/menjual-barang-yang
masih-utangan] <26> 26>
[69] Wahbah Al-Zuhayli. Op.Cit, hlm.115.
[72] Yusuf Al Subaily. “Fiqh Perbankan
Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya Dalam Perekonomian Modern”.
[istyn.staff.uns.ac.id/files/2012/09/copy-of-fqh-muamalah-kontemporer]
<09>. hlm. 45.09>
[73] Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”.
[http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html] <14>.14>
[74] Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”. [http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html]
<10>. 10>
[75] Salam Izhar. “Tawarrug
in Islamic Banking System” [http:salamizhar.blogspot.com/2011/01/tawarrug-in-islamic-banking-system;html]
<12 .01="">12>
[76] Umar Azka. “Apa
Itu Akad Tawarrug”. [http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html]
<14>. 14>
[77] Ahmad Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof.
“Akad Dalam Bursa Komoditi”.
[http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html]
<02>. 02>
[78] Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor.
2007. An Introduction to Islamic Finance, Theory and Practice. Singapore :
John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd , hlm.
91.
[80] Wahbah Al-Zuhaili. “Tawarrug, Its Essence and Its Types: Mainstream
Tawarrug and Organized Tawarrug”. [www.kantakji.com/fiqh/Files/Markets/a(65).pdf].
[81] Karim Adiwarman. “Raja Henry VIII dan
Tawarrug”.
[82] Abu Muawiah. “Masalah At -Tawarrug”.
[http://al-atsariyyah-com/masalah-at-tawarrug-html] <15>. 15>
[83] Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.10>
[84] Ahmad
Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”.
[http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html]
<02>. 02>
[85] Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.10>
[86]
Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”. [http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html]
<14>. 14>
[87] Ahmad Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”.
[http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html]
<02>. 02>
[88] Angie
Cyntia.”Konsep Tawarrug”. [http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html]
<10>.10>
[89] Ahmad Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”.
[http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html]
<02>. 02>
[90] Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. Op.Cit, hlm. 456.
[91] Mahmoud A.
El-Gamal. 2009. Islamic
Finance, Law, Economics and Practice. New York:
Cambridge
University Press, hlm. 71.
[92] Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”.
[http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html] <14>. 14>
[93] Angie
Cyntia. ”Konsep Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.10>
[94] Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.
10>
[95] Cox, Stella. 2007. “The Role of Capital Markets in Ensuring Islamic
Financial Liquidity”. Dalam Simon Archer
dan Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds). Islamic
Finance, The Regulatory Challenge.
Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd, hlm. 278-279.
[97] Cox, Stella. 2007. “The Role of Capital Markets in Ensuring Islamic
Financial Liquidity”. Dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds). Islamic Finance, The Regulatory Challenge. Singapore : John Wiley &
Sons (Asia) Pte Ltd, hlm. 278-279.
[98]
Yusuf Al Subaily. “Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan
Aplikasinya Dalam Perekonomian Modern”.
[istyn.staff.uns.ac.id/files/2012/09/copy-of-fqh-muamalah-kontemporer]
<09>. hlm. 46.09>
[99] Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor. 2007. An Introduction to Islamic Finance, Theory
and Practice. Singapore : John Wiley & Sons
(Asia) Pte Ltd, hlm. 91.
[100] Toutounchian, Iraj. 2009. Islamic
Money & Banking, Integrating Money in Capital Theory. Singapore: John Wiley & Sons (Asia) Pte.Ltd. hlm. 292.
[102] Moghul, Umar F. 2013. Op.Cit..,
hlm. 276-277.
[103] Muhammad
Al Amine, Muhammad Al Bashir. 2013. “Risk and Derivatives in Islamic Finance”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary
Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley
& Sons, Inc., hlm. 347.
[104] Moghul,
Umar F. Op.Cit., hlm 277.
[105] Suwailem, Sami Alo, dan M.Kabir Hassan. 2011. “An Islamic Perspective of
Financial Engineering”. Dalam M. Kabir Hassan dan Michael Mahlknecht (Eds), Islamic Capital Markets, Products and
Strategies. Chichester, West Sussex : John Wiley & Sons Ltd., hlm. 394.
[107] Mahmoud A. El-Gamal. 2009. Islamic
Finance, Law, Economics, and Practice. New York:
Cambridge
University Press, hlm. 72.
[108] Mahmoud A. El-Gamal. Idem.
Paper ini Diterbitkan pada Jurnal QUALITY (Jurnal Manajemen dan Akuntansi Untuk Meningkatkan Kualitas SDM), Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Vol. III, No. 13, Januari 2014.