TAWARRUG DALAM
PERSPEKTIF
SURAT AL BAQARAH
(QS, 2: 275)[1]
oleh:
Hendy Herijanto, STES
Islamic Village
hendyherijanto@gmail.com
ABSTRACT
This
paper studies to determine wheather the financing concept of tawarrug allowable
or prohibited in view of the Qur’anic Verse,
Al Baqarah (QS, 2 : 27), and certain Hadiths of The Prophet Muhammad puh. This
verse stipulates that “trade is allowable, and riba or interest is prohibited”,
and The Hadith discouraged people from borrowing money. Having elaborated the
meaning of the said Verse in the context of contemporary economics, coupled
with the Prophet’s suggestion, this paper concludes that tawarrug is deemed to
be prohibited, as they do not induce real market to grow, but the debt market, which
makes the financial sector of the economy could depart from the real sector.
Key words: Al Baqarah (Qs, 2
: 275), debt, trade, and real sector of the economy.
A. PENDAHULUAN
Makalah ini menelaah konsep pembiayaan tawarrug. Hukum yang mengatur mengenai pembiayaan
mengacu pada petunjuk yang diwahyukan oleh Allah Swt, dan dituliskan ke dalam
ayat-ayat Al Qur’an, serta dijelaskan oleh Sunnah Rasul. Petunjuk itu, atau
disebut sebagai syariat, berisikan ketentuan-ketentuan hukum dasar yang
bersifat global, kekal, universal, dan berlaku bagi seluruh hamba-Nya[1].
Dalam perkembangan masyarakat, hukum
yang diperlukan tidak selalu dapat diketemukan dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul. Untuk itu, dari waktu ke waktu,
para ulama dan fukaha mengkaji ulang
dan mengembangkan ketetapan Tuhan itu melalui ijtihad.
Pada awalnya, perdebatan apakah tawarrug diperbolehkan atau dilarang
cukup panjang. Namun, kemudian Fiqh
Academy di Jeddah memutuskan bahwa pembiayaan ini dilarang. Sejalan dengan
keputusan tersebut, makalah ini bertujuan untuk memperjelas kenapa tawarrug dilarang, ditinjau dari ayat Al
Qur’an, Surat Al Baqarah (QS, 2:
275). Untuk itu, penulis berusaha memaknai ayat utama ini, dan membandingkan
dengan substansi akad-akad yang diijinkan dalam pembiayaan Islam.
Pendekatan metodologis penulisan ini bersifat
kualitatif dan kepustakaan, dengan mengambil substansi yang terkait dari ayat
Al Qur’an, khususnya Surat Al Baqarah (QS,
2: 275), Hadis Nabi Saw, dan akad-akad Islami. Kajian ini juga dilengkapi
dengan pendapat para fukaha dari
mazhab yang ada, dan pendapat para ahli kontemporer masa kini.
B. EKONOMI DAN PEMBIAYAAN DALAM HUKUM
ISLAM
1. Substansi dari Hukum Islam
Secara epistemologi, hukum Islam atau syariat
berasal dari wahyu Allah Swt dalam ayat-ayat Al Qur’an. Pada tataran aplikasi,
hukum itu diperjelas dan dipraktikkan oleh Nabi Saw dalam bentuk sunah dan
hadis. Kedua sumber ini merupakan dalil utama dari Hukum Allah [2].
Syariat ini merupakan pewujudan kehendak Tuhan. Ketaatan manusia kepada syariat
merupakan bukti ketaatannya kepada Allah Swt[3].
Selain Al Qur’an dan Sunnah Rasul, menurut Abd al
Majid Muhammad al Khalafi, sebagai sumber atau dalil fikih yang disepakati,
adalah ijma dan qiyas [4],
seperti yang termaktub dalam Surat an Nisa (QS, 4 : 59). Fiqih sendiri
diartikan sebagai pemahaman mendalam para ulama tentang hukum syara yang digali
dari dalil-dalil yang terperinci. Fiqih, syariat, atau hukum adalah
ketentuan-ketentuan yang menjadi peraturan hidup bagi masyarakat yang bersifat
mengendalikan, mencegah, mengikat, dan memaksa [5].
Hukum Islam disepakati bersifat relijius [6],
yang mengajarkan baik dan buruk berdasarkan ajaran Allah dan Sunnah Rasul,
sesuai dengan fitrah manusia dan akal pikiran yang lurus dan benar [7].
Menurut Muhammad Khalid Masud, para pakar hukum Islam berpendapat bahwa hukum
Islam merupakan sistem ketentuan etika atau moral [8].
Etika yang dimaksud menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan, dan kemandirian [9].
Fathurrahman Djamil mengutip pendapat dari Hazairin, M. Muslehuddin, Immanuel
Kant, dan Friedman, yang menyimpulkan bahwa hukum dan moral itu bersatu, dan
tidak dapat dipisahkan [10].
Al Qur’an mengandung petunjuk bagi manusia dalam
menjalankan kehidupan di dunia agar bernilai akhirati. Bernilai akhirati
diartikan sebagai kebaikan atau kebajikan menuju penilaian positif oleh Allah
Swt, sehingga bernilai surgawi. Salah
satu ajaran pokok Al Qur’an berkaitan dengan perbuatan mukalaf sebagai hukum amaliyah, dan merupakan perkembangannya
ilmu fiqih. Hukum amaliyah ini
terdiri dari dua, yaitu hukum ibadah dan hukum muamalat. Hukum yang pertama
mengatur hubungan antar manusia dengan Allah dan bersifat taabud; yang kedua, mengatur hubungan manusia dengan manusia dengan
melihat pada nilai dan hikmah[11].
Hukum muamalat termasuk mengatur masalah perekonomian seperti jual beli, utang
piutang, dan perjanjian. Namun, hukum muamalat dalam Al Qur’an tidak dijelaskan
secara rinci, tetapi hanya memberikan prinsip-prinsip dasar [12].
Perkembangan masyarakat menimbulkan kompleksitas
hubungan antar manusia dan kepentingan yang lebih luas. Namun, dua sumber utama hukum Islam tidak berubah, karena bersifat
kekal. Untuk mengimbangi perkembangan masyarakat, sejumlah kaidah yang ada
dapat diikuti untuk menentukan hukum yang diperlukan. Sebagai Kaidah
bermuamalah, segala sesuatu yang bersifat duniawi diperbolehkan, sepanjang
tidak ada dalil yang melarangnya, al-asl
fi al-asya-i al - ibahah hatta yaquma al- dalilu a’la al-buthlani au a’la
at-tahrim [13].
Untuk menemukan hukum yang diperlukan, hukum tanpa
nash atau text Al Qur’an atau hadis Nabi memerlukan penafsiran atau
penakwilan [14]
melalui lembaga ijtihad [15].
Ini adalah tugas dari para ulama mujtahid,
yang memiliki kompetensi yang diperlukan[16],
untuk menghasilkan suatu konsensus hukum berupa ijma atau qiyas[17].
Dalam kaitan dengan qiyas, terdapat
metode yang disebut sebagai al-maslahah
al- mursalah.
Pembahasan metode al-maslahah al- mursalah menitikberatkan pada kasus-kasus hukum
tanpa nash Al Qur’an atau Hadis yang
jelas. Metode ini digunakan untuk menjawab masalah-masalah hukum yang
berkembang dalam masyarakat. Unsur yang menentukan hukum adalah apakah secara
rasional dapat mencapai kebaikan atau maslahah,
atau dapat menghindari keburukan atau kemudharatan. Kedua unsur ini menentukan
apakah suatu hukum dapat diterima atau ditolak. Penemuan maslahah dan menghindari kemudharatan merupakan tujuan dari hukum
Islam[18],
maqasid al syariah [19].
Menurut Al Ghazali, maqasid al syariah yang hendak dicapai dari manusia terdiri dari 5,
yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Maslahah adalah setiap tujuan dari hukum
yang memperhatikan kelima unsur tersebut [20].
Maslahah ini bersifat universal,
sejati, duniawi dan akhirati, lahir dan bathin, material dan spiritual,
individual dan kolektif, untuk hari ini dan masa depan [21].
Maslahah bertujuan untuk memelihara syara’, ketika
tidak ada dalil tertentu yang menunjukkan, dan tidak berlawanan dengan Al
Qur’an, sunnah, atau ijma [22],
namun perlu disepakati dalam fiqih para
ulama jumhur.
2. Ketentuan Dasar dalam Al Qur’an
dan Hadis Nabi Saw
Petunjuk utama tentang perekonomian Islam,
khususnya pembiayaan Islam, adalah Surat Al Baqarah (QS, 2 : 275) berikut, dan
Hadis Nabi Saw yang dikemukakan kemudian dalam bagian ini.
Surat Al Baqarah (QS, 2 : 275) berbunyi sebagai
berikut:
“Alladziina ya/kuluuna alrribaa laa
yaquumuuna illaa kamaa yaquumu alladzii yatakhabbathuhu
alsysyaythaanu mina almassi dzaalika bi-annahum qaaluu
innamaa albay'u mitslu alrribaa wa-ahalla allaahu
albay'a waharrama alrribaa faman jaa-ahu maw'izhatun
min rabbihi faintahaa falahu maa salafa wa-amruhu ilaa allaahi
waman 'aada faulaa-ika ash-haabu alnnaari
hum fiihaa khaaliduuna”
Artinya : [2:275] “Orang-orang
yang makan (mengambil) riba174 tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila175.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu176
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;
mereka kekal di dalamnya.”
a). Pentingnya
perdagangan.
Kajian ini bertitik tolak pada kalimat “jual beli dihalalkan, dan riba diharamkan”.
Jual beli atau perdagangan adalah kegiatan komersial tertua manusia. Sejak zaman primitif, manusia telah melakukan
jual beli melalui kegiatan barter. Barter merupakan kegiatan berdagang, ketika
uang belum dikenal, dan dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan barang yang
telah berkembang [23].
Menurut Yusuf Al Qaradhawi, ketika Nabi Besar Muhammad Saw ditunjuk sebagai
Rasulullah, jazirah Arab telah menjalankan sistem tukar menukar barang dan jual
beli. Ketika Islam datang, Nabi Saw tidak melarangnya. Allah Swt memang
menciptakan manusia dalam keadaan saling membutuhkan. Setiap orang tidak dapat
memenuhi kebutuhannya sendiri, dan tidak semua yang dimiliki adalah yang
diperlukan. Keadaan ini mendorong timbulnya transaksi jual beli. Kegiatan jual
beli atau perdagangan menggerakkan mesin
kehidupan masyarakat dan meningkatkan produktivitas yang lebih baik [24].
Perdagangan cenderung tidak bersifat
kontekstual, karena pada dasarnya mengandung makna yang sama, dan dapat dilakukan di mana saja, tanpa harus
dengan modal besar. Sejauh manusia hidup bermasyarakat, perdagangan terjadi di
setiap waktu, dalam lingkungan yang kecil sekalipun, seperti di pedesaan. Dalam
lingkungan yang lebih luas, perdagangan telah berkembang sampai ke tingkat
global antar negara di dunia. Pada intinya, kegiatan perdagangan tidak pernah
pupus dari kehidupan manusia. Kegiatan perdagangan atau perniagaan akan selalu
eksis dari masa ke masa [25].
Perdagangan merupakan kegiatan awal dan
akhir kegiatan produksi. Ketika kebutuhan barang dan jasa meningkat, barang
dagangan tidak hanya merupakan hasil kegiatan primer. Perdagangan mendorong masyarakat
mulai memikirkan dan memproduksi barang atau jasa lain yang diperlukan. Barang
dagangan harus diproduksi terlebih dahulu, dan melibatkan tenaga kerja dengan
memperoleh upah. Jadi, jual-beli mendorong perdagangan, merangsang perniagaan
dan industri, dan membuka lapangan kerja. Perdagangan menciptakan sejumlah kebajikan[26].
Pentingnya kerja dan pembukaan lapangan kerja sangat
diutamakan dalam Islam, karena meningkatkan keahlian, ketrampilan, dan pendapatan
masyarakat. Menurut Nik Mohamed Affandi Bin Nik Yusoff, perdagangan dapat
berkontribusi langsung untuk meningkatkan standar hidup, meningkatkan kekayaan
bagi individu dan masyarakat; dan bagi yang kurang berpendidikan, dapat
berpartisipasi, karena Islam menghendaki
setiap orang memiliki sumber penghidupan masing-masing[27].
Menurut Ibnu Chaldun, bekerja merupakan unsur yang paling dominan bagi proses
produksi, dan merupakan sebuah ukuran stándar dalam sebuah nilai.
Bekerja
adalah kekuatan penggerak utama kegiatan ekonomi Islam (QS, Al-Baqarah 4 : 29)[28].
Nabi Saw seperti yang dikutip oleh HR Ibnu Majah pernah bertanya kepada Jibril,
kenapa qard lebih tinggi dari sadaqah, dan jawabannya terletak kepada kejujuran. Seseorang yang
meminjam karena dia tidak punya, sedangkan orang yang meminta belum tentu dia
tidak punya[29]. Utang lebih baik dari pada meminta [30] sama pentingnya dengan membayar utang. Alasanya adalah bahwa Tuhan YME memberikan
nilai yang tinggi kepada usaha manusia di dunia dan sangat menghargai hak orang
lain; sedangkan hasil kerja atau kerja atau ’labour’ merupakan dasar dari hak kepemilikan yang sah[31]. Usaha di sini berarti bekerja untuk
mencari nafkah yang baik (QS. 17 : 66;
QS. 2 : 267; QS. 84 : 6). Tuhan YME menyaratkan umatnya untuk bekerja keras,
atau berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi atau berproduktivitas (QS. 62 : 10;
QS. 37 : 61), dan bahkan mendorong, untuk menjadi pengusaha yang baik.
Ibnu Chaldun mengatakan bahwa kekayaan suatu
bangsa tidak ditentukan oleh jumlah uang yang dimiliki bangsa itu, tetapi
ditentukan oleh produksi barang dan jasa, serta neraca perdagangan yang sehat[32].
Sebagai konsekuensi tingkat produksi yang tinggi, Mankiw mengatakan hal yang
senada dengan Ibnu Chaldun mengenai pentingnya produksi barang dan jasa oleh
suatu bangsa. Menurut Mankiw, kemampuan berproduksi akan menentukan standar
hidup suatu bangsa [33].
Menurut Ibnu Khaldun, berdagang bertujuan untuk
meningkatkan pendapatan, dengan cara membeli barang dengan harga murah dan
menjualnya dengan harga tinggi. Beliau mengatakan bahwa kejujuran hanya sedikit
terdapat dalam masyarakat, sehingga menjurus pada penipuan, pengurangan takaran
dan timbangan, atau pembeli tidak mengakui utangnya. Pedagang cenderung
melakukan trik dan rekayasa atau mukayasah,
dan menarik perhatian konsumen, yang menjauhkan sifatnya dari keperwiraan dan
kejujuran seperti para penguasa dan pejabat layaknya. Pedagang dengan sifat itu
telah jarang ada, dan hampir dapat dikatakan tidak ada [34].
Oleh karena itu, Islam sangat menekankan pada etika jual beli dan mutlak
diperlukan dalam perdagangan.
Oleh karena itu, sebelum masa Ibnu Khaldun, Nabi
Saw telah menetapkan sejumlah ketentuan jual beli. Hadis-hadis Nabi menekankan
etika Islami yang kental. Antara lain, Hadis itu menyebutkan bahwa setiap
perbuatan termasuk melakukan bisnis atau jual beli harus dimulai dengan niat
yang baik (Bukhari dan Muslim) [35].
Nabi Saw melarang transaksi jual beli barang-barang yang diharamkan (muttafag ‘alaihi), yang mengandung
ketidak jelasan baik harga maupun jenis barang atau gharar (HR Bukhari), adanya
eksploitasi dan penipuan (HR Bukhari), dan adanya pengurangan takaran dan
timbangan (Al-An’aam: 152, Al Israa: 35) [36].
Barang yang dijual harus jelas keberadaan, dan kepemilikannya. Nabi melarang
menjual barang yang belum diterima (diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas ra), tidak
boleh menjual barang untuk kedua kalinya, dan jika belum diterima secara
sempurna sebagai hasil pembelian sebelumnya (diriwayatkan oleh Ibn Umar ra) [37].
Dari segi formil, Nabi Saw melarang dua kali akad dalam satu barang (HR
al-Tirmidzi)[38].
Islam menghendaki pedagang yang jujur; untuk itu
dihargai setara dengan para nabi dan para syuhada (HR at Tirmidzi dan Ibn
Majah)[39],
tidak menyembunyikan cacat barang (diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam ra) [40].
Seluruh etika ini dipraktikan oleh Nabi Saw. Nabi sangat berhasil dalam
usahanya, dan tidak pernah mengalami kerugian, ketika berdagang dengan mengunakan modal dari para shahibul mal. Nabi, pada intinya, bukan
menjual barang atau jasa, tetapi ‘menjual’ kejujuran, keadilan dan menjaga
hubungan baik[41].
Islam menghargai kekuatan pasar yang alami dan
wajar. Harga yang wajar bukan hasil rekayasa (HR Muslim), bukan intervensi para
tengkulak, atau intervensi artifisial dalam pasar untuk menetapkan harga yang
tinggi (HR Muslim, dan HR Ahmad), bukan dengan cara menimbun barang (HR Ahmad dan Ibnu Majah) [42],
atau karena kekuatan monopoli yang dilaknat oleh Allah (HR Ahmad, Hakim, Ibnu
Abi Syaibah, dan Al Bazaar), atau karena adanya rekayasa atau permainan harga
(HR Ahmad, Abu Daud, dan at Tirmidzi), atau dengan cara mencegat pedagang masuk
pasar (Abu Hurairah ra)[43]
.
Pada dasarnya, Nabi Saw meletakkan tataran hukum
untuk menjamin perkembangan sektor riel, dan menciptakan kemaslahatn masyarakat
melalui perdagangan yang baik dan jujur. Perdagangan adalah inti dan dasar dari
ekonomi Islam, dan mengacu pada produksi barang dan jasa, atau disebut sebagai real sector of the economy, atau real based economy[44].
b). Perdagangan Vs
Riba.
Substansi
moral, yang membedakan antara perdagangan dengan riba, adalah: pada
perdagangan, manfaat yang diperoleh oleh pembeli dan penjual harus seimbang,
dan keseimbangan ini dinyatakakan pada kesepakatan atau keridaan mereka untuk
melakukan transaksi jual beli. Kesepakatan yang dicapai menunjukkan keadaan
suka sama suka antara penjual dan pembeli, dan dimanifestasikan ke dalam ijab dan qabul sebagai rukun pokoknya [45].
Dalam
barter, manfaat yang diperoleh dari barang yang diinginkan harus setara dengan
manfaat dari barang yang ditukarkan. Kesetaraan manfaat ini harus dianggap
seimbang oleh kedua pihak yang melakukan barter. Ketika uang sudah dikenal,
maka nilai uang yang dikorbankan untuk memperoleh manfaat dari barang atau jasa
yang dibeli haruslah dianggap setara oleh pembeli. Dalam kata lain, manfaat
dari barang atau jasa itu dianggap memiliki ‘counter value’ yang sama dengan uang yang dikorbankannya. Bagi
penjual, sebaliknya, uang yang diterima sebagai harga dari barang atau jasa yang
dijualnya haruslah dapat dianggap setara dengan jerih payah dalam menyediakan
barang atau jasa yang dijualnya itu.
Riba, di
lain pihak, tidak mengandung kesetaraan manfaat [46],
dan bahkan tidak menimbulkan risiko yang seimbang bagi kedua belah pihak yang
bertransaksi, baik bagi debitor ataupun kreditor. Tampaknya, hal ini dapat
digunakan sebagai penjelasan, dan sekaligus sebagai sanggahan terhadap kalimat, “Sesungguhnya
jual beli itu sama dengan riba”. Sesungguhnya, jual beli atau
perdagangan tidak sama, dilihat dari
substansi manfaat dan risiko bagi kedua belah.
c). Esensil dari Riba.
Riba adalah
tambahan terhadap nilai pokok pinjaman. Dalam perekonomian modern, pinjam
meminjam berkaitan dengan uang, dengan tambahan berupa bunga. Aristóteles
berpendapat, bahwa riba merupakan hasil yang tidak wajar, karena diperoleh dari
jerih payah orang lain. Uang tidak bisa melahirkan uang, pecunia pecuniam non parit,
karena uang sepatutnya dihasilkan dari kerja dan usaha[47]. Di zaman jahiliah, tambahan itu juga
dikenakan kepada debitor yang tidak mampu membayar utangnya tepat waktu. Jadi,
tambahan itu sekaligus bersifat penalti. Pinjam meminjam uang dengan bunga menjadi
pilar utama sektor keuangan konvensional. Namun, konsep pemberian kredit
konvensional tidak selalu melekat pada sektor riel;dan jika berlebihan, sektor
keuangan telah terbukti menciptakan kerusakan, seperti halnya krisis keuangan
yang berulang terjadi di dunia.
d). Masalah Utang.
Karena riba dilarang, maka itu berarti kegiatan
utang piutang tidak dapat dikomersialkan. Nabi Saw menyarankan agar manusia
menjauhi utang, kecuali dalam keadaan terdesak. Nabi Saw bersabda [48]:
“Berhati-hatilah dalam berutang.
Sesungguhnya, berutang itu suatu kesedihan pada malam hari dan kerendahan diri
(kehinaan) di siang hari” (HR Ibnu dan Al Baihaqi).
Menurut Quraish Shihab, Surat Al Baqarah (QS, 2 :
282) mengisyaratkan bahwa ketika berutang harus ditentukan kapan melakukan
pelunasannya. Ini ditilik dari kalimat berikut, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan transaksi tidak
secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya” (QS,
2 : 282). Anak kalimat, “untuk waktu yang
ditentukan”, menunjukkan bahwa utang harus dibayar dalam waktu yang
disepakati. Orang harus berhati-hati ketika akan mengambil utang, dan sudah harus tahu bagaimana dapat
membayarnya dan kapan [49].
Untuk membayar utang, orang harus bekerja dua kali
lebih banyak, yaitu untuk memperoleh pendapatan normal untuk menutupi kebutuhan
sehari-hari, dan sekaligus untuk memperoleh tambahan pendapatan untuk membayar
utang. Di sisi lain, utang memberikan konsekuensi yang sangat berat, jika tidak
dibayar. Nabi Saw bersabda, “Diampuni
bagi syahid semua dosanya, kecuali utang” (HR Muslim dari Amr bin Ash); dan
Nabi enggan menyembahyangi mayat yang berutang tanpa ada yang menjamin utangnya
(HR Abu Dawud dan Al Nasa’i)[50].
Nabi Saw bersabda, “Jika orang berutang,
ia tidak segan-segan berbohong, dan mengingkari janji” (HR Muslim dan
Abdullah bin Umar).
Oleh karena itu, Nabi Saw menyarankan untuk tidak
membiasakan diri mengambil utang, karena beliau menyamakan lilitan utang dengan
kekafiran [51]. Berabad-abad kemudian, Graeber
berpendapat, bahwa pada akhirnya tidak semua orang benar-benar dapat membayar
utangya. Beliau menyimpulkan bahwa utang adalah pembalikan atau kemuradatan dari
suatu janji [52].
3. Substansi Pembiayaan Islami
Uraian di atas menunjukkan dua hal utama. Pertama,
bahwa ekonomi Islam, identik dengan produksi barang dan jasa. Yan Orgianus
berpendapat, bahwa salah satu (tambahan dari pen) tujuan ekonomi Islam adalah
terpenuhinya kebutuhan yang bersangkut paut dengan penciptaan barang dan jasa,
sehingga kelaparan, ketakutan dan perbudakan dapat dihilangkan di muka bumi[53].
Ekonomi sendiri diartikan sebagai kegiatan langsung berkaitan dengan usaha
memenuhi kebutuhan dasar hidup manusia, dalam kaitan dengan kebutuhan pokok
sehari-hari [54].
Kedua, ekonomi Islam tidak dapat bersandar kepada utang (uang). Di sini, uang
tidak berfungsi sebagai komoditi, yang dapat diperjual-belikan dengan harga,
berupa bunga. Uang berfungsi sebagai alat perantara bertransaksi.
Perekonomian Islam tidak bersandar pada sektor
keuangan ribawi. Sektor keuangan menjadi pelengkap yang mempermudah kegiatan perdagangan atau usaha sektor
ekonomi riel. Substansi ini dapat dilihat
pada akad-akad pembiayaan bank Islam. Sebagai karakteristik utamanya, prima
kausa akad adalah barang yang bersifat tangible
atau usaha yang bersifat produktif. Prima kausa ini merupakan ”underlying” atau sebagai dasar dari
transaksi masing-masing akad.
Akad muarabaha,
salam, ishtisna, dan ijara,
berkaitan dengan suatu jenis barang yang telah ada, atau yang akan diproduksi.
Transaksi jual beli dapat dilakukan dengan akad murabaha, pemesanan barang dengan akad salam atau ishtisna,
penyewaan barang dengan akad ijarah,
dan kerja sama dalam melakukan suatu usaha dengan akad mudharabah atau musyarakah.
Jadi, prima kausa dari masing-masing akad adalah barang atau jasa dalam sektor
riel. Unsur pembiayaannya, atau penggunaan uang, melekat pada transaksi yang melibatkan
barang dan jasa itu. Pada akad murabaha,
misalnya, jual beli dilakukan dengan pembayaran tunda (muarabaha/biathaman bin ajil). Pada akad salam atau ishtisna, bank
dapat membiayai barang yang dipesan setelah uang muka dibayar. Pada akad ijarah, bank dapat membiayai barang yang
akan disewa. Pada akad mudharabah,
bank dapat bertindak sebagai shahibul mal;
atau sebagai mitra pada akad musharakah.
Dengan demikian, pembiayaan bank Islam
melekat pada sektor riel, atau tidak dapat menjauhi sektor produksi, sehingga
tidak menimbulkan dikotomi antara sektor ekonomi riel dengan sektor keuangan.
Penyatuan kedua sektor ini memberikan manfaat, yaitu mendorong pengembangan
usaha, yang bermuara kembali pada peningkatan perdagangan, dan pembukaan
lapangan kerja. Ditinjau dari konsep maqasid
al syariah, penekananan perekonomian pada sektor riel menciptakan atau
menambah kemaslahatan bagi masyarakat banyak.
C. TAWARRUG
1. Transaksi dan Jenisnya.
Tawarrug turun dari kata warig, yang berarti perak; seseorang
membeli barang dengan tujuan mendapatkan uang tunai dari penjualan barang yang
sama kepada pihak lain [55].
Tawarrug terjadi setelah seseorang
membeli suatu barang dengan pembayaran secara angsuran, kemudian barang yang
sama dijualnya kembali ke pihak ketiga lainnya dengan harga tunai. Harga
terakhir lebih rendah dari harga beli
semula [56].
Perbedaan kedua harga tersebut dapat diartikan sebagai riba, dengan sejumlah
utang yang masih harus dibayar. Pada bai
inah, penjualannya kembali dilakukan kepada penjual yang sama, sedangkan
pada tawarrug kepada pihak
ketiga.
Terdapat dua macam tawarrug: Pertama, organized
tawarrug atau tawarrug munazzam.
Bank syariah membeli komoditi di pasar internasional dengan pembayaran tunai,
dan menjual ke nasabahnya dengan akad murabahah
dengan harga yang lebih tinggi; lalu bank atas nama nasabahnya menjual kembali
komoditi itu ke pihak ketiga dengan harga yang lebih tinggi dan diangsur sesuai
dengan perjanjian di muka. Proses ini biasanya melibatkan pihak ke empat, yaitu
broker yang memperoleh fee.
Tawarrug muanazzam, diperbolehkan oleh
sejumlah ulama, dengan pertimbangan, bahwa: (a). Bank membeli komoditi dari
pasar komoditi dan secara konstruktif memiliki komoditi tersebut, berdasarkan
suatu perjanjian jual beli dengan nasabah, (b). Bank menjual komoditi itu
dengan prinsip murabaha dan hak
kepemilikan pindah kepada nasabah, (c). Nasabah menunjuk bank sebagai wakil
untuk menjual kembali komoditi tersebut, (4). Bank kemudian menjual kembali
komoditi tersebut kepada pihak ketiga, (d). Bank memberikan dana hasil
penjualan kepada nasabah [57].
Kedua, real tawarrug,
yaitu tanpa pengaturan terlebih dahulu, dan pembeli memiliki dua opsi, yaitu
menyimpan barang yang telah dibeli, atau menjualnya kembali. Karena barang iru
sudah berada di tangannya, maka dia dapat melakukan apa saja terhadap barangnya
itu[58].
Menurut Umar Azka, karakteristik dari real
tawarrug adalah: dilakukan oleh 3 pihak, tidak ada perjanjian untuk
membeli, hanya ada 2 dasar jual beli, tidak ada MoU, nasabah menjual sendiri
komoditinya, dan adanya pemindahan komoditi secara phisik setiap kali
terjadinya akad jual beli [59].
Tawarrug pada dasarnya menyangkut dua akad. Akad
pertama adalah akad untuk pembelian dengan pembayaran secara tangguh. Akad
kedua merupakan penjualan kepada pihak lain dengan pembayaran tunai tetapi
dengan harga lebih rendah[60]. Transaksi tawarrug itu memberi peluang
untuk meminjam uang dengan menggunakan akad yang diijinkan. Menurut Zamir Iqbal
dan Abbas Mirakhor, dalam konteks keuangan, mekanisme transaksinya dapat
diartikan sebagai pemberian pinjaman dengan zero
coupon, dan tingkat bunga pinjaman disamakan dengan tingkat bunga seperti
yang ditentukan oleh penjual awal untuk pembayaran tangguh [61].
2. Perdebatan Antara Yang Melarang
dan Mengijinkan
Menurut Adiwarman Karim, hampir semua kitab fiqih
mengijinkan transaksi tawarrug, dan
yang melarangnya hanya Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim dari mazhab Hanbali [62].
Ulama yang mengijinkan dan pihak yang menolak transaki tawarrug ini, adalah sebagai berikut [63]:
a). Yang Mengijinkan.
Kebanyakan ulama
mengijinkannya [64].
Di antaranya adalah Muhammad bin Utsmain
dari Hanbali tetapi dengan syarat
tertentu [65],
Iyas bin Mu’awiyah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, diperkuat oleh
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’dy dan Syaik Abdul Aziz bin Baz dalam
Taudhihul Ahkam, dan seterusnya. Pendapat mereka berdasarkan kaidah umum bahwa
jual beli adalah halal dan bersandar pada Surat Al Baqarah (QS, 2 : 275),
didukung dengan surat Al Maidah (QS, 5 :
1), Al Baqarah (QS, 2 : 280).
Nabi Saw membolehkannya seperti yang diriwayatkan
oleh al Bukhari dan Muslim. Intinya adalah bahwa Nabi Saw melarang seorang
petani untuk menukar kurma yang baik dari Khaybar sebanyak satu kilo dengan
kualitas yang lebih rendah sebanyak 3 kilo. Sebaliknya, Nabi Saw menyarankan
untuk menjual kurma kualitas rendah terlebih dahulu untuk mendapatkan uang
tunai, dan menggunakan uang tersebut untuk membeli kurma yang berkualitas lebih
bagus. Mengacu pada hadis ini, para ulama berpendapat bahwa media tawarrug dapat digunakan untuk
memperoleh likuiditas yang diperlukan [66].
Syaikh Ibnu Utsaimin menambahkan syarat, yaitu: orang itu kebutuhan yang tidak
dapat diperolehnya melalui al Qard, as Salam atau lainnya, dan barangnya
telah dipegang dan dikuasai oleh penjual. Sebelum barang itu dijual kembali, ia
sudah menerima barang itu secara legal [67].
b). Yang Melarangnya.
Mereka yang melarangnya adalah dari mazab Hanbali,
Abu Hanifah, Asy Syafi’i [68],
dan Maliki [69],
Umar bin Abdul Aziz dan didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari mazab
Hanbali, Ibn Qoyim, dan fatwa Al Lajnah Ad-Da-imah Saudi Arabia. Abdullah bin
Abdul Wahab dari Hanbali berpendapat bahwa tawarrug
hukumnya makruh, jika target pembeli adalah uang tunai atau dirham melalui
pembelian dengan harga seratus dengan kredit, kemudian menjualnya tujuh puluh
secara tunai.
An Nasafi
dalam Thalabah Ath Thalabah
menyatakan bahwa tawarrug termasuk
kategori bai al inah, karena
mengalihkan praktik utang ke penjualan barang. Ibnu Hajar Al Haitami dalam Tuffatul Muhtaj dari Asy Syafi’i
mengatakan bahwa kadang-kadang praktik jual beli bersifat makruh, seperti bai ’al inah, dan semua bentuk jual beli
dengan kehalalan yang masih diperselisihkan karena sama seperti menghindari
praktik riba [70].
Ulama Maliki memberikan alasan bahwa tawarrug dapat dipersamakan dengan bai al inah, karena perbedaannya hanya
pada keadaan barang yang kembali pada bai
al inah, dan tidak kembali pada tawarrug
[71].
Menurut Ibn Qoyim, gurunya, Ibn Taymiyya, tidak
pernah mengijinkan tawarrug, karena
substansi ekonomis berupa riba terselubung dalam akad tersebut. Illah yang ditemukan dalam tawarrug adalah bertambahnya biaya
menjual dan membeli suatu komoditas, dan kerugian yang terjadi dalam penjualan.
Hukum syara tidak mengijinkan kerugian yang kecil, ketika pada saat yang sama
mengijinkan kerugian yang lebih besar [72].
Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa tawarrug adalah bagian dari riba. Tawarrug munazam memberikan indikasi
bahwa tujuannya untuk memperoleh dana segar dari utang dengan pembayaran
diangsur, dan merupakan hilah atau
rekayasa untuk melakukan apa yang dilarang [73].
Dari segi hadis, menurut HR Abu Daud, tawarrug
tidak jauh berbeda dengan inah [74]. Sebagian mazab Hanafi juga berpendapat
demikian[75]. Perbedaannya sedikit sekali. Pada bai al inah, barang dijual kepada penjual pertama, sedangkan pada tawarrug kepada pihak ketiga.
Wahbah Al Zuhaili menegaskan karakteristik dari tawarrug. Tujuannya bukan untuk
memperoleh komoditi, tetapi digunakan untuk menutupi niat memperoleh
likuiditas. Tawarrug dan inah pada dasarnya sama sebagai praktik
ribawi. Para ulama sepakat untuk melarang transaksi itu, jika terlihat
tanda-tanda bahwa mereka berniat untuk melakukan riba. Namun, mereka berbeda
pendapat, jika tidak ada tanda-tanda yang bermaksud untuk tujuan riba [76].
3. Kajian dan Penjelasan Fiqih
Kontemporer
Stella Cox berpendapat bahwa perkembangan produk
keuangan berbasis tawarrug merupakan
pergerakan yang kuat. Pada umumnya, bank syariah mengalokasikan likuiditas
jangka pendek untuk membiayai transaksi jangka pendek melalui murabaha. Untuk mengimbanginya,
diperlukan kebalikan dari pembiayaan murabaha
dari mitra atau counterparties di
pasar internasional. Namun, Cox mengatakan bahwa struktur yang tepat perlu
dirancang untuk menangkap kebutuhan di tingkat global, sehubungan dengan berkembangnya
jumlah bank Islam dengan pesat[77].
Pada saat yang sama, penggunaan akad tawarrug
telah berlangsung secara aktif di negara-negara GCC (Gulf Cooperation Council)[78].
Fiqh Academy OIC di Jedah telah mengkaji
struktur dan prosedur secara penuh, dan telah pula menetapkan bahwa struktur
dan prosedur dalam menjalankan kontrak yang diperlukan harus secara jelas
menyebutkan adanya pelaku riel, tidak hanya sebagai agen, sehingga terdapat
pengawasan langsung terhadap aset dan arus kas. Prosedur administratif dan
operasional terus diperbaiki, tetapi standardisasi masih menunggu persetujuan Fiqh Academy [79].
Secara tehnis, dari segi syariah, transaksi
tersebut sah untuk dilakukan. Menurut Yusuf Al Subaily, Dosen Pasca Sarjana
Universitas Islam Imam Muhammad Saud Riyadh, berdasarkan pendapat banyak ulama,
hukum tawarrug adalah mubah, karena tidak ada dalil yang
mengharamkam. Transaksi tawarrug
berbeda dengan inah, karena barang
tidak dijual kepada penjual pertama [80].
Namun, banyak juga pendapat yang menentangnya. Alasan utama yang tidak
menyetujui tawarrug adalah bahwa
transaksi ini membuka pintu untuk meminjam uang dengan nuansa riba, dan tidak
menciptakan kegiatan ekonomi riel, karena barang atau komoditi yang sama dijual
kepada peminjam; dan peminjam uang ini menjual kembali barangnya ke pihak ketiga [81].
Iraj Toutouchian tidak menyetujui tawarrug. Beliau menjelaskan bahwa
transaksi tawarrug pada dasarnya
merupakan transaksi uang atau M kembali ke uang atau M, tetapi dengan
menggunakan komoditi atau C secara dibuat-buat atau tidak riel. Oleh karena
itu, motivasi yang sesungguhnya di belakang transaksi ini dengan mudah dapat
dilihat. Niatnya bukan untuk membeli dan menjual barang, melainkan memperoleh
uang melalui barang. Iraj Toutouchian menekankan bahwa seluruh transaksi jual
beli oleh pembeli dan penjual yang bukan merupakan pihak yang meminta dan
memerlukan barang itu bersifat spekulatif. Transaksi serupa itu sebaiknya
ditinggalkan karena merupakan alat yang menyesatkan, dan menganggapnya sebagai
pengaturan alamiah yang wajar; di sinilah letaknya kegagalan ekonomi kapitalis
yang telah gagal mengukur permintaan barang dan jasa suatu bangsa [82].
Nyazee dan Siddiqui, seperti yang dikutip oleh
Umar F.Moghul. Nyazee mengkaitkan pembahasannya dengan tujuan hukum Islam. Nyazee
mengatakan bahwa memenuhi tujuan manusia dan prinsip utilitas sebagai alasan
manusiawi bukanlah yang dimaksud oleh maslahah.
Tujuan yang ditentukan oleh syariah oleh pencipta undang-undang dapat atau
tidak dapat sejalan dengan nilai-nilai yang ditentukan oleh alasan manusiawi.
Penalaran berdasarkan prinsip utilitas atau analisis ekonomi dapat
kadang-kadang sesuai dengan prinsip syariah, tetapi dapat juga bertentangan dan
ditolak dari waktu-ke waktu, ketika terdapat pertentangan nilai [83].
Pendapat Nyazee diperjelas oleh Siddiqui, yang
mengkaitkan konsekuensi ekonomi dengan hal-hal khusus dalam kaitan dengan
hukum. Siddiqui menyimpulkan apakah dan kenapa pelaksanaan sesuatu yang khusus
dapat menimbulkan kegagalan dalam menghasilkan sesuatu yang bersifat universal.
Nyazee menunjukkan bahwa penggunaan tawarruq
secara reguler akan menciptakan pasar utang. Beliau mengingatkan bahwa pasar
utang tidak berkaitan dengan penciptaan kewajiban yang sederhana. Hal ini
disebabkan karena dalam menciptakan tambahan atau kekayaan baru, penciptaan
utang adalah tidak efisien dan tidak seimbang, karena ditentukan kepada siapa
yang dapat dipercaya, bukan kepada proyek yang lebih menjanjikan untuk
meciptakan kekayaan baru. Hal tersebut juga bersifat tidak seimbang, karena penciptaan
utang itu mendistribusikan kekayaan bagi penyedia modal atau pembiayaan,
terlepas dari masalah produktivitas riel dari penggunaan pembiayaan yang
diberikan [84].
Oleh karena itu, Umar F. Moghul berpendapat, bahwa
tawarrug menciptakan pasar berbasis utang,
dan menyuburkan utang serta memperluas cakupan untuk berspekulasi. Tawarrug dapat juga digunakan untuk
melakukan hedging untuk mengatasi
fluktuasi kurs mata uang[85].
Pembiayaan yang difasilitasi oleh tawarrug,
seperti yang terjadi pada kredit bank konvensional, adalah bebas dari dan
tidak selalu melekat pada sektor ekonomi riel [86].
Sami Alo-Suwailem dan M.Kabir Hassan juga
menentang tawarrug. Mereka
membandingkan dengan konsep murabahah.
Tujuan dari akad ini adalah untuk menyediakan barang bagi konsumen, tetapi
kemudian dengan cara pembayaran tangguh. Karena tujuannya adalah menjual
barang, maka transaki itu sah adanya. Tujuan dari tawarrug, di lain pihak, adalah untuk memperoleh likuiditas, dan
konsumen pada akhirnya memperoleh uang tunai sebagai pengganti utang yang
jumlahnya lebih besar. Dengan demikian, menurut mereka, baik tawarrug, maupun bai al innah, mengandung tujuan yang sama seperti riba [87].
Pada
akhirnya, Organisasi Konferensi Islam dan Fiqh
Academy di Jeddah menyatakan
bahwa tawarrug tidak sejalan dengan
konsep syariah[88].
Pertimbangannya adalah sebagai berikut: Pertama, menyerupai bai al inah, karena penjual berkewajiban
untuk bertindak sebagai agen pembeli untuk menjualkan barang ke pembeli yang
lain, terlepas apakah kewajiban itu diuraikan dalam akad secara eksplisit atau
ditentukan oleh praktik kebiasaan. Kedua, dalam banyak kasus, transaksi serupa
tidak berakhir dengan kondisi penerimaan
(barang-pen) yang memuaskan seperti yang diperlukan untuk sahnya transaksi.
Ketiga, transaksi tersebut dalam kenyataannya merupakan pemberian pembiayaan
kepada pihak yang dikarakteristikkan sebagai konsumen tawarrug, sedangkan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh bank
hanyalah merupakan alat penampilan di permukaan, namun dalam kenyataan adalah
untuk menyediakan tambahan kompensasi bagi bank sehubungan pembiayaan yang
diberikannya [89].
Sebelumnya, Fiqih
Academy ke 15 di Makkah mengeluarkan pendapat bahwa akad tawarrug diijinkan, dengan syarat
konsumen tidak menjual komoditi ke penjual awal. Namun, Fiqh Academy Jeddah ke 17 dalam bulan Desember 2003, melarang tawarrug. Alasannya adalah bahwa bank
secara rutin menjual komoditi di pasar global secara kredit kepada konsumen,
dan di dalamnya bank terikat dengan suatu kontrak atau konvensi-untuk menjual
komoditi itu kepada pembeli lain secara tunai, dan bank menyerahkan barang itu
ke konsumen [90].
DSN-MUI juga melarang transaksi tawarrug. Alasannya adalah: Pertama,
transaksi tawarrug munazzam bukan
transaksi jual beli riel dan hanya merupakan rekayasa untuk memperoleh uang
tunai. Kedua, transaksi itu tidak bersifat transparan, dan mengandung unsur
penipuan atau syubhat. Ketiga,
manfaatnya lebih kecil dari pada mafsadahnya bagi masyarakat banyak [91].
D.
PEMBAHASAN
Tampaknya, pihak yang mengijijnkan tawarrug [92],
seperti Muhammad bin Utsmain dan lainnya
[93],
menggunakan pendekatan hukum secara
tersurat berdasarkan kaidah umum jual beli. Namun, dalam jual beli, Nabi
Saw telah menetapkan sejumlah ketentuan moral untuk mendorong kepastian hukum,
keseimbangan dan keadilan. Untuk kepastian hukum, penjualan yang sah adalah
apabila penjual benar-benar telah memiliki dan menguasai barang yang akan
dijual secara phisik.
Dalam kasus penukaran kurma yang kurang baik
dengan yang lebih baik, Nabi Saw memberikan jalan keluar untuk menjual dulu
kurma yang ada. Kemudian, menggunakan hasil penjualan itu untuk membeli kurma
yang berlainan jenis. Setiap jual beli terdapat proses ijab dan kabul, yang di
dalamnya terdapat proses menilai dan menemukan keseimbangan bagi setiap pihak.
Pembeli dapat mengukur manfaat yang diperoleh dari barang yang dibeli, dengan
pengorbanan atau uang yang harus dibayar; demikian sebaliknya bagi penjual.
Apabila penjual dan pembeli telah sepakat dalam suatu jual beli, maka dapat
dikatakan bahwa mereka telah menemukan keseimbangan manfaat yang diperoleh
dengan pengorbanan yang diberikan, yang kemudian ditutup dengan kesepakatan.
Proses
tersebut dapat menghilangkan ketidak-adilan, atau sifat ribawi, yang disebabkan sulitnya mengukur berapa
kurma yang kurang baik dapat ditukarkan dengan yang lebih baik secara adil -
suatu pengukuran yang sangat relatif sifatnya dan tidak ada ukuran yang pasti,
dan tergantung pada persepsi atau selera orang ke orang. Untuk itu, diperlukan
kesepakatan ke dua belah pihak. Di samping itu, para ulama lain, yang
mengijinkan tawarrug untuk memperoleh
likuiditas yang diperlukan dalam keadaan
tidak adanya pilihan lain, hanya melihat dari segi maslahah secara sempit. Walaupun syaratnya memenuhi ketentuan jual
beli yang ditetapkan, tetapi peluang memperoleh likuiditas dengan tambahan
biaya, atau sifat ribawi-nya, masih
melekat.
Pihak yang melarang melihat lebih ke dalam
substansinya. Salah satu alasannya adalah tawarrug
membuka kesempatan untuk meminjam uang yang ribawi, dan tidak menciptakan
kegiatan ekonomi riel. Barang atau komoditi yang sama dijual lebih dari sekali
yang esensilnya peminjaman uang [94].
Iraj
Toutouchian [95],
Sami Alo-Suwailem, dan M.Kabir Hassan [96]
mengemukakan alasan lain, yaitu niat di belakang transaksi tawarrug bukan untuk membeli dan menjual barang, melainkan
memperoleh uang melalui barang; dan ini identik dengan karakteristik ekonomi
kapitalis yang tidak menekankan pada transaksi barang. Oleh karena itu, Nyazee
mengatakan, bahwa tawarruq, jika
sering digunakan, akan menciptakan pasar utang.
Umar F. Moghul menambahkan, tawarrug dapat juga digunakan untuk
melakukan hedging dalam transaksi
jual beli mata uang yang bersifat spekulatif[97].
Fiqh Academy Jeddah ke 17 dan DSN-MUI
juga melarang transaksi tawarrug,
karena bukan transaksi jual beli riel, dan mafsadahnya yang lebih besar [98].
Unsur-unsur penolakan tersebut dapat dijelaskan
dengan makna dari Surat Al Baqarah
(QS, 2: 275) dan substansi akad-akad Islami yang diuraikan di atas dalam
konteks ekonomi kontemporer, yaitu:
Pertama, sejalan dengan maqasid al syariah, semangat dari Surat Al Baqarah (QS, 2:275)
adalah mendorong perdagangan yang dapat menciptakan sejumlah kebajikan, termasuk
meningkatkan produktivitas masyarakat.
Dalam hal tawarrug, barang yang sama
diperjual-belikan dua kali, sehingga perhitungan produktivitas menjadi semu.
Kedua, tujuan pembelian dalam perdagangan adalah memperoleh
komoditas untuk konsumsi, atau memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, yang tidak
dapat diproduksi nya sendiri. Ini artinya kebutuhan akan barang atau jasa itu
membuka peluang bagi orang lain untuk bekerja menghasilkan yang diperlukan oleh
masyarakat dari sektor riel. Kebajikan ini tidak dapat sepenuhnya dicapai oleh tawarrug.
Ketiga, mengharamkan riba berarti kegiatan pinjam-meminjam
tidak dapat dikomersialisasikan; tetapi hanya dapat dilakukan untuk tujuan
sosial melalui qard hassan, yaitu membantu
sesama yang mengalami kesulitan tanpa ditambah bebannya. Namun, Nabi Saw
menyarankan untuk menjauhi utang. Anjuran ini dapat diartikan agar orang
memusatkan perhatiannya untuk bekerja, sehingga dapat memenuhi kebutuhannya
tanpa pinjaman atau meminta-minta. Jika seseorang bekerja, itu artinya akan
menambah tingkat produktivitas masyarakat, sedangkan kegiatan pinjam-meminjam
atau meminta-minta tidak demikian. Di lain pihak, tawarrug membuka kesempatan dan dapat mendorong berkembangnya pasar
utang, yang tidak membumi pada sektor riel. Pasar utang yang berkembang
cenderung menjauhi sektor riel, dan sering tergelincir ke dalam ranah
spekulasi, sehingga membuat sektor keuangan menjadi rapuh dan cenderung
menciptakan kemudharatan bagi masyarakat banyak.
Keempat, ditinjau dari subtansi akad-akad Islami,
karakteristik dari tawarrug menjual
barang yang sama dua kali, dengan tujuan bukan untuk konsumsi, tetapi untuk
memperoleh likuiditas melalui penciptaan utang. Jadi, tawarrug dapat dikatakan merupakan akad untuk memperoleh utang;
tetapi, secara subtantif sangat berbeda dengan sukuk. Akad-akad Islami, di
lain pihak, memiliki prima kausa atau underlying
berupa penjualan, pemesanan dan penyewaan barang, atau pembiayaan usaha secara
bersama. Pembiayaan Islami melekat pada transaksi yang berkaitan erat dengan
barang atau usaha di sektor riel itu. Itulah sebabnya dalam perekonomian Islam,
uang mengikuti alur barang dan jasa. Sukuk
bukanlah surat utang, tetapi merupakan sertifikat kepemilikan (bersama) suatu
aset properti atau usaha produktif yang menghasilkan dalam sektor riel. Tawarrug, di lain pihak, tidak menujukkan
kepemilikan yang produktif apapun.
Kelima, pada real
tawarrug, seseorang A membeli barang dengan pembayaran angsuran; dan untuk
memperoleh likuiditas, barang yang sama
dijual kembali dengan harga tunai tetapi lebih murah kepada orang lain B.
Walaupun A berhak melakukan apa saja dengan barang yang telah dimilikinya itu,
tetapi jika hal itu dilakukannya berulang-ulang, maka dia akan mengalami kerugian
besar, atau memiliki utang yang bertambah dengan beban pembayaran yang lebih
besar kepada pembeli kedua B. Jadi, ini bukanlah perdagangan yang dimaksud oleh
Surat Al Baqarah (QS, 2:275), karena tidak ada kaitannya dengan produktivitas
dan lapangan kerja baru, dan hanya menciptakan beban utang yang lebih besar
bagi A kepada B1, 2 dan seterusnya.
F. PENUTUP
Tawarrug tidak bertujuan mendapatkan barang atau
jasa untuk konsumsi pembeli, sehingga perdagangan tidak berkembang dan
produktivitas masyarakat tidak meningkat. Motifnya adalah memperoleh likuiditas
melalui mekanisme jual beli dengan utang. Ini bertentangan dengan semangat Surat
Al Baqarah (QS, 2 : 275) dalam
menciptakan kebajikan melalui perdagangan; dan berlawanan dengan anjuran Hadis
Nabi Saw untuk menghindari utang. Sebagai
konsekwensinya, jika tawarrug dilakukan
berulang-ulang, perdagangan riel
tidak berkembang, dan sektor keuangan akan menjauh dari sektor riel, sehingga menimbulkan
dikotomi dari keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Shomad. 2010. Hukum Islam,
Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Abu Muawiah. “Masalah At -Tawarrug”. [http://al-atsariyyah-com/masalah-at-tawarrug-html]
<15>.15>
Adiwarman Karim. 2004. Bank Islam,
Analisis Fikih dan Keuangan. Edisi Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Affandi,
Nik Mohamed bin Nik Yusoff. 2002. Islam
& Business. Selangor, Malaysia: Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd.
Ahmad Al Raysuni, dan Muhammad Jamal Barut. 2002. Ijtihad, antara teks, realitas, dan kemaslahatan sosial. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Ahmad Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”.
[http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html]
<02>. 02>
Ahmad Munir Suratman, 2002. Filsafat
Hukum Islam Al Ghazali. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Akmad Munif Suratmaputra. 2013. Filsafat
Hukum Islam, Al Ghazali. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Amir Syarifuddin. 2010. Garis-Garis
Besar Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Angie Cyntia. ”Konsep Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.10>
Bello, Petrus C.K.L. 2012. Hukum
& Moralitas, Tinjauan Filsafat Hukum. Jakarta: Erlangga.
Cholis Nafis, M. 2011. Teori Hukum
Ekonomi Islam.Jakarta: UI Press.
Cox, Stella. 2007. “The Role of Capital Markets in Ensuring Islamic
Financial Liquidity”. Dalam Simon Archer
dan Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds). Islamic
Finance, The Regulatory Challenge.
Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Dedi Ismatullah. 2011. Sejarah Sosial
Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Duscik Ceolah. “Hukum Tawarrug Berdasarkan Kajian Fiqih Terpadu”.
[http://duscikceolah.wordpress.com/2009/08/03/hukum.tawarruq-berdasarkan-kajian-fiqih-terpadu/]
<03>03>
Eko Suprayitno. 2005. Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Hak Cipta @ 2005 pada
Penulis, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Fathurrahman Djamil. 1997. Filsafat
Hukum Islam.. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Gunawan Setiarja, A. 1990. Dialektika
Hukum dan Moral, Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta:
Kanisius.
Graeber, David. 2011. Debt., The
First 5000 Years. New York: Melville House.
Hamka. 1983. Tafsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panji Mas.
Hendy Herijanto. 2013. “Perdagangan
(Jual Beli) Vs Riba: Implikasinya TerhadapPerekonomian dan Kemaslahatan
Masyarakat”. Quality, Jurnal Manjemen dan
Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM, Vol.II No. 11, Juli 2013.
Ibnu Khaldun. 2001. Mukadimah.
Beirut: Dar-Al Kitab Al’Arabi.
Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor. 2007. An
Introduction to Islamic Finance, Theory and Practice. Singapore : John
Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Karim Adiwarman. “Raja Henry VIII dan Tawarrug”.
Kautsar Azhari Noer. 1995. Ibn Al
Arabi, Wahdat al- Wujud dalam Perdebtan. Jakarta: Paramadina.
Mankiw, N. Gregory. 2003.
Harvard University, Teori Makroekonomi, Edisi Kelima, Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Mahmoud
A. El-Gamal. 2009. Islamic Finance, Law, Economics and Practice.
New York: Cambridge University
Press.
Moghul, Umar F. 2013. “Stepping Forward, Backward, or
Just Standing Still? A Case Study in Shifting Islamic Financial Structures
Offshore”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary
Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley
& Sons, Inc.
Muhammad Abduh Tuasikal. “Menjual Barang yang Masih Utangan”.
[http://pengusahamuslim.com/menjual-barang-yang-masih-utangan] <26>.26>
Muhammad Al Amine, Muhammad
Al Bashir. 2013. “Risk and Derivatives in Islamic Finance”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary
Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley
& Sons, Inc.
Muhammad Faiz Almath. 1991. 1100
Hadits Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad. Jakarta: Gema Insani.
Muhammad Khalid Masud. 1996. Filsafat
Hukum Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.
Muhammad Khalid Masud. 2005. Shatibi’s
Philoshophy of Islamic Law. Kuala Lumpur: Islamic Research Institute.
Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. 2008. Problematika Investasi Pada Bank Islam, Solusi Ekonomi Islam.
Jakarta: Migunani.
Musa Asy’arie. 2002. Filsafat Islam,
Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI.
Quraish Shihab. 2013. Secercah Cahaya
Al Qur’an. Bandung: Mizan Pustaka.
Salam Izhar. “Tawarrug in Islamic Banking System”
[http:salamizhar.blogspot.com/2011/01/tawarrug-in-islamic-banking-system;html]
<12 .01="">12>
Satria Effendi, dan M. Zein. 2005. Ushul
Fiqh. Jakarta: Prenada Media Grup.
Sofyan
S. Harahap. 2004. Akuntansi Islam.
Cetakan Keempat. Jakarta: Bumi Aksara.
Suwailem, Sami Alo, dan M. Kabir
Hassan. 2011. “An Islamic Perspective of Financial Engineering”. Dalam M. Kabir
Hassan dan Michael Mahlknecht (Eds), Islamic
Capital Markets, Products and Strategies. Chichester, West Sussex : John
Wiley & Sons Ltd.
Suyanto, M. 2008. Muhammad Business
Strategy and Ethics. Yogyakarta: Andi.
Toutounchian,
Iraj. 2009. Islamic Money & Banking,
Integrating Money in Capital Theory. Singapore:
John Wiley & Sons (Asia) Pte.Ltd.
Taliqani, Ayatullah Mahmud. 1982. The Characteristics of Islamic Banking.
http://www.financeinislam.com/article/1_35/1/338.
Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”.
[http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html]
<14>.14>
Ustadz Rich, dan Laode. 2011. Rasulullah
Business School. Jakarta: Ihwah.
Wahbah Al-Zuhaili. “Tawarrug,
Its Essence and Its Types: Mainstream Tawarrug and Organized Tawarrug”.
[www.kantakji.com/fiqh/Files/Markets/a(65).pdf] .
Widiyastini. 2008. Filsafat Islam.
Yogyakarta: Kepel Press.
Yan Orgianus. 2012. Moralitas Islam
Dalam Ekonomi dan Bisnis. Bandung: Marja.
Yusuf Al Qaradhawi. 2005. Halal dan
Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Yusuf Al Subaily. “Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan
Aplikasinya Dalam Perekonomian Modern”.
[istyn.staff.uns.ac.id/files/2012/09/copy-of-fqh-muamalah-kontemporer]
<09>.09>
Yusuf Al Qaradhawi. 2005. Halal dan
Haram dalam Islam. Jakarta: Akbar Media Eka Sarana.
Yusuf Qardhawi. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Cetakan I, Jakarta: Gema Insani Press.
Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri. 2008. Ringkasan Shahih Muslim. Bandung: Mizan Media Utama.
ENDNOTES
[1] Tulisan ini merupakan
revisi dari tulisan yang sebelumnya berjudul “Bai Al
Innah Dan Tawarrug Dalam Perspektive Hukum
Islam”, tetapi lebih menekankan pada makna Ayat (QS. 2: 275).
[1] Dedi Ismatullah. 2011. Sejarah Sosial Hukum Islam. Bandung:
Pustaka Setia., hlm. 35-36.
[2] Satria Effendi, dan M.Zein. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media Grup,
hlm. 77.
[3] Kautsar Azhari Noer. 1995. Ibn Al Arabi, Wahdat al- Wujud dalam Perdebatan.
Jakarta: Paramadina, hlm. 140.
[4] Satria Effendi, dan M. Zein. Ibid, hlm. 78.
[7] Widiyastini. 2008. Filsafat Islam. Yogyakarta: Kepel Press, hlm. 19.
[8] Muhammad Khalid Masud. 2005.Shatibi’s Philoshophy of Islamic Law.
Kuala Lumpur: Islamic Research Institute, hlm. 7.
[9] Musa Asy’arie. 2002. Filsafat Islam, Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI, hlm.
85.
[10] Gunawan Setiarja, A. 1990. Dialektika Hukum dan Moral, Dalam
Pembangunan Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 101.
[11] Fathurrahman Djamil. 1997. Filsafat Hukum Islam. Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, hlm. 41.
[13] Dedi Ismatullah. Op.Cit, hlm. 41.
[14] Ahmad Munir Suratman, 2002. Filsafat
Hukum Islam Al Ghazali. Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 20.
[15] Akmad Munif Suratmaputra. 2013. Filsafat Hukum Islam, Al Ghazali,
Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 17.
[16] Dedi
Ismatullah. Op.Cit, hlm. 36-37.
[17] Ahmad Al Raysuni, dan Muhammad Jamal
Barut. 2002. Ijtihad, antara teks,
realitas, dan kemaslahatan sosial. Jakarta: Penerbit Erlangga, hlm. 3.
[18] Menurut Wahbah Zuhaili, ulama yang
menolak maslahah al mursalah adalah Zahiriyah, Syi’ah, mayoritas Syafi’iyah,
dan Ibn al-Najib dari Malikiyah; dan yang menerima adalah Malikiyah, Hanabilah,
dan hanafiyah. Ahmad Munif Suratmaputra. Ibd,
hlm. 76.
[20] Ahmad Munif Suratmaputra. Ibid, hlm. 28.
[21] Ahmad Munir Suratman. Op.Cit, hlm. 59.
[23] Hendy Herijanto. 2013. “Perdagangan (Jual Beli) Vs Riba:
Implikasinya TerhadapPerekonomian dan Kemaslahatan Masyarakat”. Quality, Jurnal Manajemen dan Akutansi
untuk Meningkatkan Kualitas SDM, Vo. II No. 11, Juli 2013.
[24] Yusuf Al Qaradhawi. 2005. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta:
Akbar Media Eka Sarana, hlm. 318.
[25] Hendy Herijanto. 2013. ”Prinsip dan
Unsur-Unsur Pokok Ekonomi Islam”. Quality,
Jurnal Manajemen dan Akutansi untuk Meningkatkan Kualitas SDM, Vo. II No. 11,
Juli 2013.
[26] Hendy Herijanto. Idem.
[27] Affandi, Nik Mohamed bin
Nik Yusoff. 2002. Islam & Business.
Selangor, Malaysia: Pelanduk Publication (M) Sdn Bhd, hlm. 3.
[28] Eko Suprayitno. 2005. Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi
Makro Islam dan Konvensional, Hak Cipta @ 2005 pada
Penulis, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu. hlm. 3.
[29] Antonio, 2001 : 132.
[30] Dalam kaitan dengan pendapat ini,
terdapat hadist Nabi SAW, yang berkata sebagai berikut:” Aku melihat pada waktu
malam di-‘isra’-kan, pada pintu surga tertulis: sedekah dibalas sepuluh kali
lipat dan qard delapan belas kali.
Wahai Jibril, mengapa qard lebih
utama dari sedekah?. Ia menjawab, ‘Karena peminta-minta sesuatu dan ia punya,
sedangkan yang meminjam tidak akan meminjam kecuali karena keperluan” (HR Ibnu
Majah No. 2422, kitab al-Ahkam, dan Baihaqi, dikutip oleh Antonio, 2001 : 132).
Makna dari hadist ini cukup dalam, dimana jika orang meminta-minta, ada
kemungkinan dia telah memiliki sesuatu yang masih dia mintakan keorang lain,
yang berarti dia ingin menambah apa yang
dimilikinya atau dalam kata lain menambah ‘hartanya’ dengan mudah, yaitu
melalui pemberian tanpa kerja, dan dia akan cenderung menutupi apa yang sudah dimilikinya atau
terdapat unsur ‘kebohongan’. Meminjam, dilain pihak, orang akan melakukan
peminjaman karena adanya dorongan kebutuhan, dan dia tahu bahwa kalau
‘meminjam’, dia harus ‘mengembalikannya’ secara utuh. Tetapi, jika tidak dikembalikan, maka itu artinya
dia memakan hak orang lain secara bathil atau tidak sah. Menurut hukum Islam,
hal tersebut akan membawa konsekuensi yang cukup berat.
[31] Taliqani, Ayatullah Mahmud. 1982. The Characteristics of Islamic Banking.
http://www.financeinislam.com/article/1_35/1/338.
[32] Adiwarman Karim. 2004. Bank Islam, Analisis Fikih dan Keuangan. Edisi
Kedua. Jakarta: RajaGrafindo Persada. hlm. 365.
[33] Mankiw, N. Gregory.
2003. Harvard University, Teori Makroekonomi, Edisi Kelima, Jakarta:
Penerbit Erlangga, hlm. 56.
[34] Ibnu Khaldun. 2001. Mukadimah. Beirut: Dar-Al Kitab Al’Arabi, hlm. 712- 719.
[35] Suyanto, M. 2008. Muhammad Business Strategy and Ethics. Yogyakarta: Andi, hlm. 184.
[37] Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri.
2008. Ringkasan Shahih Muslim.
Bandung: Mizan Media Utama, hlm. 497, 498.
[38] Cholil Nafis. 2011. Teori Hukum Syariah. Jakarta: UII Press, hlm. 175.
[39] Muhammad Faiz Almath. 1991. 1100 Hadits terpilih, Sinar Ajaran Muhammad.
Jakarta: Gema Insani, hlm. 194.
[40] Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri. Op.Cit, hlm. 509.
[41] Ustadz Rich, dan Laode. 2011. Rasulullah Business School. Jakarta:
Ihwah, hlm. 195.
[43] Zaki Al-Din ‘Abd Al-Azhim Al Mundziri. Op.Cit., hlm. 509.
[44] Sofyan S. Harahap. 2004. Akuntansi Islam. Cetakan Keempat.
Jakarta: Bumi Aksara. hlm. 19.
[45] Amir Syarifuddin. 2010. Garis-Garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hlm. 195.
[46] Abd. Shomad. 2010. Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm. 165.
[47] Qardhawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Cetakan I, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 184.
[48] Muhammad Faiz Almath. 1991. 1100 Hadits Terpilih, Sinar Ajaran Muhammad.
Jakarta: Gema Insani, hlm. 197.
[49] Quraish Shihab. 2013. Secercah Cahaya Al Qur’an. Bandung:
Mizan Pustaka, hlm. 237.
[51] Apa yang disampaikan Nabi SAW ini,
beberapa ratus tahun kemudian juga diutarakan melalui ungkapan “if you loan a man too much money, you turn a
good man into a bad man” (Warde, 2000 : 163).
[52] Graeber, David. 2011. Debt., The First 5000 Years. New York:
Melville House, hlm. 391.
[53] Yan Orgianus. 2012. Moralitas Islam Dalam Ekonomi dan Bisnis. Bandung: Marja, hlm.
186.
[54] Musa Asy’arie. Op.Cit, hlm.103.
[55] Yusuf Al Subaily. “Fiqh Perbankan
Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan Aplikasinya Dalam Perekonomian Modern”.
[istyn.staff.uns.ac.id/files/2012/09/copy-of-fqh-muamalah-kontemporer]
<09>. hlm. 45.09>
[57] Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.
10>
[58] Salam Izhar. “Tawarrug
in Islamic Banking System” [http:salamizhar.blogspot.com/2011/01/tawarrug-in-islamic-banking-system;html]
<12 .01="">12>
[59] Umar Azka. “Apa
Itu Akad Tawarrug”. [http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html]
<14>.14>
[60] Ahmad Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof.
“Akad Dalam Bursa Komoditi”.
[http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html]
<02>02>
[61] Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor.
2007. An Introduction to Islamic Finance, Theory and Practice. Singapore :
John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd., hlm.
91.
[62] Karim Adiwarman. “Raja Henry VIII dan
Tawarrug”.
[63] Abu Muawiah. “Masalah At -Tawarrug”. [http://al-atsariyyah-com/masalah-at-tawarrug-html]
<15>.15>
[64] Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>10>
[65] Ahmad
Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”. [http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html]
<02>02>
[66] Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>10>
[67]
Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”. [http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html]
<14>14>
[68] Ahmad Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”.
[http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html]
<02>02>
[69] Angie
Cyntia.”Konsep Tawarrug”. [http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html]
<10>10>
[70] Ahmad Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”.
[http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html]
<02>02>
[71] Muhammad Shalah Muhammad Ash Shawi. Op.Cit, hlm. 456.
[72] Wahbah Al-Zuhaili. “Tawarrug, Its Essence and Its Types: Mainstream
Tawarrug and Organized Tawarrug”. [www.kantakji.com/fiqh/Files/Markets/a(65).pdf].
[73] Umar Azka. “Apa Itu Akad Tawarrug”. [http://umarazka.blogspot.com/2012/apa-itu-akad-tawarrug.html]
<14>. 14>
[74] Angie
Cyntia. ”Konsep Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.10>
[75] Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.
10>
[77] Cox, Stella. 2007. “The Role of Capital Markets in Ensuring Islamic
Financial Liquidity”. Dalam Simon Archer
dan Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds). Islamic
Finance, The Regulatory Challenge.
Singapore : John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd, hlm. 278-279.
[79] Cox, Stella. 2007. “The Role of Capital Markets in Ensuring Islamic
Financial Liquidity”. Dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim (Eds). Islamic Finance, The Regulatory Challenge. Singapore : John Wiley &
Sons (Asia) Pte Ltd, hlm. 278-279.
[80]
Yusuf Al Subaily. “Fiqh Perbankan Syariah: Pengantar Fiqh Muamalat dan
Aplikasinya Dalam Perekonomian Modern”. [istyn.staff.uns.ac.id/files/2012/09/copy-of-fqh-muamalah-kontemporer]
<09>. hlm. 46.09>
[81] Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor. 2007. An Introduction to Islamic Finance, Theory
and Practice. Singapore : John Wiley & Sons
(Asia) Pte Ltd, hlm. 91.
[82] Toutounchian, Iraj. 2009. Islamic
Money & Banking, Integrating Money in Capital Theory. Singapore: John Wiley & Sons (Asia) Pte.Ltd. hlm. 292.
[84] Moghul, Umar F. 2013. Op.Cit..,
hlm. 276-277.
[85] Muhammad
Al Amine, Muhammad Al Bashir. 2013. “Risk and Derivatives in Islamic Finance”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary
Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley
& Sons, Inc., hlm. 347.
[86] Moghul,
Umar F. Op.Cit., hlm 277.
[87] Suwailem, Sami Alo, dan M.Kabir Hassan. 2011. “An Islamic Perspective of
Financial Engineering”. Dalam M. Kabir Hassan dan Michael Mahlknecht (Eds), Islamic Capital Markets, Products and
Strategies. Chichester, West Sussex : John Wiley & Sons Ltd., hlm. 394.
[89] Mahmoud A. El-Gamal. 2009. Islamic Finance, Law,
Economics, and Practice. New York: Cambridge University Press,
hlm. 72.
[90] Mahmoud A. El-Gamal. Idem.
[92] Angie Cyntia.”Konsep Tawarrug”.
[http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/konsep-tawarrug.html] <10>.10>
[93] Ahmad
Hafids, dan Muhammad Najib Asyrof. “Akad Dalam Bursa Komoditi”.
[http://najibelajar.blogspot.com/2013/02/akaddalam-bursa-komoditi-ahmad-hafidz.html]
<02>.02>
[94] Iqbal, Zamir, dan Abbas Mirakhor. 2007. An Introduction to Islamic Finance, Theory
and Practice. Singapore : John Wiley & Sons
(Asia) Pte Ltd, hlm. 91.
[95] Toutounchian, Iraj. 2009. Islamic
Money & Banking, Integrating Money in Capital Theory. Singapore: John Wiley & Sons (Asia) Pte.Ltd. hlm. 292.
[96] Suwailem, Sami Alo, dan M.Kabir Hassan. 2011. “An
Islamic Perspective of Financial Engineering”. Dalam M. Kabir Hassan dan
Michael Mahlknecht (Eds), Islamic Capital
Markets, Products and Strategies. Chichester, West Sussex : John Wiley
& Sons Ltd., hlm. 394.
[97] Muhammad
Al Amine, Muhammad Al Bashir. 2013. “Risk and Derivatives in Islamic Finance”. Dalam Kren Hunt-Ahmed (Ed), Contemporary
Islamic Finance, Innovations, Applications, and Best Practices. New Jersey: John Wiley
& Sons, Inc., hlm. 347.
Paper ini Diterbitkan pada Jurnal QUALITY (Jurnal Manajemen dan Akuntansi Untuk Meningkatkan Kualitas SDM), Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Vol. V, No. 18, April 2015.