KORAN SYARIAH , EDISI 97, 29 NOVEMBER 2013.
Kamis, 28 November 2013
Jumat, 22 November 2013
Jumat, 15 November 2013
Senin, 11 November 2013
Jumat, 01 November 2013
SEKITAR PEMBIAYAAN BANK SYARIAH
SEKITAR PEMBIAYAAN BANK SYARIAH
Oleh:
Hendy Herijanto
Islamic Economics and Finance (IEF)
Universitas Trisakti, Jakarta
ABSTRAK
Berbeda dengan
bank konvensional, bank syariah diatur berdasarkan ketentuan Al Qur’an dan
Hadist Nabi Besar Muhammad Saw, di samping ketentuan Bank Indonesia. Salah satu ketentuan ini (QS, 2 : 275) menyebutkan bahwa perdagangan
dihalalkan dan riba diharamkan, serta Nabi Besar Muhammad Saw menganjurkan
untuk menjauhi utang. Ketentuan ini berimplikasi kepada dua sektor yang
berbeda. Perdagangan mengacu kepada sektor ekonomi riel. Larangan riba atau
bunga, serta anjuran tidak menggunakan utang, menunjukkan bahwa bank syariah
tidak mendasari kegiatannya pada pinjam meminjam uang. Kedua ketentuan ini
terrefleksi dalam akad-akad pembiayaannya, dan prima kausa dari akad-akad
tersebut adalah barang dan jasa serta usaha di sektor ekonomi riel.
Kata Kunci: Perdagangan, non
riba, gharar dan maysir, pembiayaan, sektor ekonomi riel.
ABSTRACT
Being different from conventional bank, bank syariah is governed by the
Holy Book Al Qur’an and Hadith The Prophet Muhammmad Puh, beside the Stipulations
by Bank Indonesia.
A Qur’anic verse (QS, 2 : 275) determines that trade is permissible, and riba
or interest is prohibited; and Prophet Muhammmad Puh discourages taking loan.
This divine rule implies to two different sectors of economy, being the first
relating to real sector and the second reflecting that money lending and
borrowing can not be commercialized. These two implications are reflected in
syariah contracts where the prime causes of the contracts are goods and
services or business in the real sector of the economy being the underlying
transactions to be financed.
Key Words: Trade, non
interest, gharar, maysir, financing, the real sector of the economy.
A. PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Bank Islam atau syariah berbeda
dengan bank konvensional. Perbedaan yang mendasar adalah bahwa bank Islam
diatur oleh ketentuan Allah Swt yang termaktub dalam Al Qur’an dan Hadist Nabi
Besar Muhammad Saw, di samping hukum positif ciptaan manusia. Ayat Al Qur’an
yang mendasarinya adalah, antara lain, Surat al Baqarah (QS, 2 : 275) dan Surat
al Maidah (QS, 5 :2). Ayat yang pertama menyebutkan bahwa perdagangan
dihalalkan dan riba diharamkan, dan yang kedua memerintahkan manusia untuk
bekerja sama atau tolong menolong dalam kebajikan. Karena riba atau bunga
diharamkam, maka berarti kegiatan pinjam-meminjam uang tidak dapat
dikomersialkan. Ini artinya kegiatan pinjam-meminjam merupakan kegiatan sosial.
Tambahan pula, Nabi Besar Saw menganjurkan umatnya untuk tidak menggunakan
utang, kecuali dalam keadaan terpaksa. Oleh karena itu, ekonomi Islam tidak
dapat bersandar kepada utang (uang), dan uang tidak berfungsi sebagai komoditas,
yang dapat diperjual-belikan dengan harga, berupa bunga. Ekonomi Islam lebih
bersandar kepada transaksi jual beli, atau perdagangan, barang dan jasa di
sektor riel. Kegiatan perdagangan merupakan pilar yang penting dalam ekonomi
Islam, karena dapat memberikan kebajikan yang lebih banyak, dibandingkan dengan
kegiatan utang piutang yang berbunga. Perdagangan yang maju dapat mendorong
tingkat produksi barang dan jasa, dan lebih lanjut dapat membuka lapangan
kerja; dan akhirnya, dapat menciptakan kesejahteraan atau kemaslahatan masyarakat
banyak.
2. Tujuan
Penulisan
Sehubungan dengan latar belakang di
atas, tulisan ini berusaha untuk menjelaskan manisfestasi dari perbedaan bank
syariah dengan bank konvensional. Pertama-tama, akan dijelaskan perbedaan arti
utang dengan pembiayaan, kemudian dijelaskan lebih rinci mengenai akad-akad
atau kontrak pembiayaan yang digunakan oleh bank syariah. Akad-akad ini akan
menunjukkan karakteristik dari pembiayaan bank syariah, dari perspektif bank
itu sendiri. Dalam kaitan ini, ditinjau pula risiko-risiko yang dihadapi oleh
bank, dan fungsi bank syariah dalam konteks intermediasi keuangan.
B. PEMBIAYAAN
SYARIAH
Kegiatan pembiayaan
yang dilakukan oleh bank syariah merupakan sub sektor dari perekonomian Islam.
Umumnya, kegiatan perbankan berkaitan erat dengan janji untuk melakukan
pembayaran sehubungan dengan utang-piutang. Untuk itu, perlu menyimak bagaimana
kedua sumber hukum yang dimaksud mengatur transaksi tersebut. Surat al Baqarah (QS,
2 : 282) juga menyebutkan, bahwa jika bermuamalah, atau bertransaksi jual-beli,
tidak secara tunai atau dengan kredit, maka
hendaklah di tuliskan dengan 2 orang saksi, agar utang itu tidak dilupakan dan
tidak dikurangi sedikitpun, serta tidak menjadi bahan perselisihan atau perdebatan
di kemudian hari. Di Abad Pertengahan, para juri enggan untuk mengakui adanya
janji lisan terhadap suatu kontrak, karena mereka menganggap janji dengan
kata-kata lisan seperti itu berupa nudum
pactum, bagaikan angin yang cepat hilang dan keberadaannya sulit untuk
dibuktikan (Muldrew, 1998 : 157). Seperti halnya dalam bank konvensional,
transaksi perbankan umumnya berkaitan dengan masalah utang-piutang, atau
mengandung unsur kewajiban dan tanggung jawab keuangan yang harus dipenuhi.
Untuk itu, setiap transaksi yang mengandung janji untuk membayar dengan waktu
tunda harus dicatat dan dipersaksikan, sehingga tidak menimbulkan masalah
pembuktian di kemudian hari.
Dalam perbankan syariah,
utang yang ditimbulkan dari pinjam-meminjam murni dibedakan dengan utang yang
ditimbulkan karena perniagaan, usaha, atau bisnis; dan yang terakhir ini
disebut sebagai “pembiayaan”. Bagian berikut menunjukkan perbedaan dari
keduanya.
1. Utang
Vs Pembiayaan.
Setiap barang, yang dapat dijual,
dapat menjadi pinjaman atau di pinjamkan; contohnya, emas dan perak, barang
dagangan, dan uang. Utang atau pinjaman dalam Islam dibagi menjadi 2 macam
berdasarkan kegunaan atau sumber keperluannya, yaitu:
Pertama: Utang atau loan atau qard. Utang umumnya muncul atas keperluan
konsumsi atau untuk keperluan sehari-hari yang mendesak, sehingga merupakan
suatu kegiatan sosial atau tabarru.
Dalam Nichomachaean Ethics, Aristoteles
mengatakan bahwa sudah merupakan tugas seseorang untuk menebus teman atau
keluarga terdekat; karena pada waktu itu utang yang dikenal di Athena umumnya
adalah untuk konsumsi atau pinjaman non produktif, termasuk melepaskan
seseorang dari perbudakan (Millet, 2002 : 59). Utang yang bersifat non
produktif ini biasanya terjadi dalam kaitan ketidak-beruntungan, atau kejadian
di luar dugaan seperti kematian atau membayar uang tebusan, serta dapat terjadi
pada semua orang dari semua golongan sosial. Di samping itu, terdapat utang non
produktif tetapi yang diperlukan dalam kaitan keperluan prestise, seperti untuk
pembelian persenjataan atau barang-barang mewah. Tetapi, utang semacam ini
hanya berkaitan dengan segelintir orang, pada tingkat sosial yang lebih tinggi.
Walaupun bersifat sosial, utang atau pinjaman ini harus dibayar kembali, karena
merupakan pemindahan hak yang dimiliki oleh seseorang kepada orang yang
meminjamnya untuk sementara waktu. Karena bersifat sosial, pembayaran kembali
hak tersebut harus dilakukan dalam jumlah yang sama, yang artinya dilarang
mengandung keuntungan atau riba (Iqbal dan Mirakhor, 2007 : 63; Nawawi, 2009 :
147). Walaupun utang seperti ini bersifat sosial, Nabi Muhammad Saw sangat
menganjurkan agar umatnya tidak mengambil atau menggunakan utang, kecuali jika
terpaksa (Saeed, 2004 : 200).
Kedua: Pembiayaan. Macam utang ini bersumber dari transaksi komersial, atau berkaitan
dengan jual-beli, atau investasi produktif. Utang di sini bukan berarti ‘loan’ dengan dasar tidak ada barang
yang dipinjamkan, tetapi menyangkut penggunaan uang sebagai perantara
transaksi. Di sini, utang berarti ‘debt’,
atau kewajiban membayar yang ditunda, sehubungan dengan telah terjadinya suatu
transaksi komersial atau jual beli. Pembayaran dalam hal ini diperjanjikan untuk dilakukan kemudian dalam waktu
yang ditentukan. Oleh karena itu, dalam terminologi bank syariah, ‘pinjaman’
atau penggunaan uang pihak lain yang terjadi dalam kaitan dengan suatu
transaksi komersial disebut sebagai “pembiayaan”.
Dalam Islam, seperti halnya dalam
perjanjian konvensional, apa yang telah diperjanjikan atau disepakati harus
ditepati atau dipenuhi (QS, 2 : 283). Tetapi, jika janji atau kewajiban tidak
ditepati, keingkaran itu akan memiliki konsekwensi duniawi dan akhirati (QS, 65
: 8, 9, 10). Salah satu Hadith Nabi Saw menyebutkan bahwa janji adalah utang, al-wa’du daynun (Azizy, 2004 : 102), dan
memiliki konsekuensi akhirati (QS, 17 : 34). Nabi Saw menyatakan bahwa, utang
harus dibayar; dan bahkan harus dilunasi sebelum seseorang meninggal dunia,
karena utang memiliki konsekuensi yang sangat berat, jika tidak dibayar [1].
2. Transaksi dan Akad.
Penyatuan sektor keuangan dengan sektor riel
terletak pada cara bagaimana sektor riel dibiayai oleh sektor keuangan. Berbeda
dengan “pinjaman” uang pada bank konvensional, bank syariah berbicara mengenai
“pembiayaan” dan bertitik tolak pada transaksi yang mendasari pembiayaan yang
diperlukan, atau disebut sebagai underlying transaction. Jadi secara
filosofis, jika calon nasabah datang kepada bankir syariah, maka pertanyaan
yang pertama kali yang diutarakannnya adalah “apa transaksinya” atau “untuk
pembiayaan apa”? Hal ini disebabkan karena perjanjian atau akad bank syariah
bertitik tolak pada underlying yang
dimaksud, yang merupakan prima kausa akad, dan bukan pada peminjanan uang. Bankir
konvensional di lain pihak, pertama kali akan menanyakan “berapa besar
pinjamannya?”, karena prima kausa dari perjanjian kredit adalah uang.
Ketentuan bermuamalah, atau dalam hubungan antar
sesama manusia, atau berdagang, adalah diijinkan sejauh tidak ada ketentuan
yang melarangnya. Transaksi yang dapat dibiayai oleh bank syariah, atau dalam
hubungan kontraktual, harus memperhatikan larangan yang ada, yaitu tidak boleh mengandung riba, gharar, dan maysir, di samping tidak dimungkinkan untuk membiayai barang atau
jasa yang diharamkan atau dilarang.
3. Unsur
Larangan
a.
Riba.
Terdapat tiga macam riba, yaitu riba fadl, riba nasi’ah dan riba jahiliah,
dan seluruhnya dilarang dalam Islam. Riba
fadl adalah pertukaran barang yang
tidak sama kualitas, kuantitas dan waktu penyerahannya. Riba nasi’ah adalah tambahan terhadap utang
ketika utang dibayar. Riba jahiliah
adalah tambahan terhadap utang ketika si pengutang tidak dapat membayar utangnya
tepat waktu. Telah merupakan kesepakatan umum di antara para ahli, termasuk Umer
Chapra, bahwa yang dimaksudkan dengan riba adalah tambahan itu atau bunga [2] dalam segala bentuk (Saeed, 2004b :
117). Bunga bank, seperti yang dipahami banyak orang, yang memberikan kepastian
terhadap perolehannya, dan berarti tanpa risiko, tidak dibenarkan dalam Islam
(Vogel dan Hayes III, 1988 : 87-93).
Di jaman Athena kuno, Aristoteles tidak menyetujui kegiatan pemberian pinjaman untuk dikenakan
bunga, karena tidak bersifat alami dan melanggar kebajikan (Green, 2009 : 68). Uang
pada dirinya sendiri tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan apa-apa, atau
tidak dapat beranak. Uang hanya berfungsi sebagai alat perantara, yang mewakili
pertukaran atau transaksi. Karena
tidak dapat menghasilkan apa-apa, maka tidak dapat memperoleh kompensasi. Bunga
atau riba adalah merupakan hasil tambahan atas uang yang dipinjamkan, umumnya
ditentukan di muka ketika uang akan dipinjamkan. Tambahan apapun terhadap
aktivitas pinjam-meminjam uang dilarang dalam Islam.
Nabi Muhammad Saw melaknat pemakan riba, karena
merupakan tindakan memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan risiko. Orang
kaya memperoleh kemudahan atas jerih payah orang miskin. Riba merusak semangat
manusia untuk bekerja [3] mencari uang, dan dapat membinasakan
perorangan dan masyarakat, dunia dan akhirat. Riba dipersamakan dengan penyakit
masyarakat lainnya, seperti prostitusi, dan jika menyebar mengakibatkan
kemurkaan Allah (Qardhawi, 1997 : 184).
b. Gharar.
Gharar
berarti sesuatu yang
tidak jelas, atau dapat bersifat tipu daya atau desepsi atau berupa hazard, atau sesuatu yang tersembunyi,
atau informasi yang tidak terungkap atau tidak diungkapkan, dengan membawa
konsekuensi yang tidak pasti, atau menimbulkan
ketidak pastian yang berlebihan (Elgari, 2003 : 17). Dalam praktik, Gharar dapat merupakan sesuatu yang
bersifat ambigu, atau ketidak jelasan yang berkaitan dengan pihak-pihak dalam suatu
transaksi seperti penjual dan pembeli,
objek atau harga objek dari transaksi itu (Rosly, 2005 : 75); atau merupakan
praktik-praktik desepsi atau misrepresentasi mengenai kualitas, harga, jenis
dan spesifikasi barang (Rahman, 2010 : 43). Keseluruhan faktor ini akan membuat
salah satu pihak berada pada posisi yang tidak seimbang, karena dihadapkan pada
unsur-unsur transaksi yang tidak jelas. Sole (2007) menyebutkannya gharar sebagai ketidakjelasan dalam
berkontrak. Untuk menghindari unsur gharar
dalam berkontrak, diperlukan keterbukaan informasi yang lengkap, dan hal ini
akan mendorong timbulnya transparansi yang lebih baik, sehingga asymmetric information dapat diperkecil
(Gait dan Worthington, 2007).
Gharar juga diartikan sebagai sesuatu yang
memiliki konsekuensi yang belum diketahui atau majhul al aqiba, atau sesuatu yang tidak ada atau habal al-habala, atau sesuatu yang tidak
dapat diberikan atau diserahkan seperti kuda yang telah lepas, atau sesuatu
yang tidak diketahui sama sekali atau majhul
mutlaq, atau sesuatu yang dapat disebut tetapi tetap tidak diketahui jenis
atau kualitasnya (Ebrahim dan Joo, 2001), seperti ikan di laut.
Dalam penerapannya, gharar juga dapat berarti melaksanakan suatu usaha tanpa memiliki
pengetahuan yang memadai (Siddiqi, 2006), atau usaha yang mengandung risiko
yang berlebihan dan tidak perlu atau bersifat spekulatif. Risiko yang dimaksud
di sini bukan risiko bisnis normal yang muncul dari keadaan pasar atau systematic risk, atau dari keadaan
keuangan atau disebut sebagai unsystemic
risk. Risiko yang pertama berkaitan
dengan harga, peraturan, tenaga kerja, sifat suatu industri, keadaan penawaran
dan permintaan dan lain sebagainya; sedangkan yang kedua berkaitan masalah
likuiditas, kredit, mata uang, ketersediaan kredit dan sebagainya. Pada
dasarnya, kedua macam risiko ini memang selalu
ada, ketika berhadapan dalam
suatu bisnis atau transaksi.
Menurut Vogel, risiko atau ketidak pastian
dalam gharar adalah risiko yang
bersifat spekulasi murni, dengan manfaat masa depan yang tidak diketahui, hasil
yang tidak jelas, dan tidak teliti atau tidak cermat (Warde, 2000 : 60). Gharar yang berlebihan berarti risiko
tidak dapat dikontrol, sehingga mengarah pada spekulasi dan judi (Abullah dan
Chee, 2010 : 54), atau tindakan yang bersifat untung-untungan. Jadi, gharar bukanlah risiko yang dimaksud
dalam ”al-ghurmu bil ghunmi”, karena
keuntungan yang diperoleh dari transaksi yang mengandung unsur yang bersifat gharar adalah tidak halal.
c. Maysir.
Unsur yang bersifat spekulatif akan membawa
kepada situasi untung-untungan atau
maysir atau judi. Judi dilarang oleh Al-Qur’an (QS, 5 : 90, 91), karena
pada intinya judi merupakan usaha untuk memperoleh harta tanpa kerja, dan menciptakan
mudharat yang lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang dapat diperoleh,
baik bagi individu maupun masyarakat secara menyeluruh. Judi, pada intinya,
menjauhkan orang pada unsur kerja dan penciptaan lapangan kerja. Segala bentuk
usaha atau bisnis yang berkaitan dengan spekulasi juga dilarang. Sejalan dengan
pengertian ini, bank dilarang untuk melakukan jual beli risiko keuangan atau financial risk, karena ini menyerupai
judi atau maysir (Cihak dan Hesse,
2008).
Sifat pembiayaan bank syariah tersebut
terlihat lebih jelas dari bentuk–bentuk perjanjian atau akad yang digunakan, hal mana yang akan
diutarakan di bawah ini. Di samping itu, unsur-unsur pembiayaan yang terkait
dengan fitur risiko dari akad pembiayaan syariah dikaji lebih rinci. Aspek
intermediasi perbankan Syariah juga diberikan secara ringkas.
d. Keuntungan Pengganti Riba
Karena riba atau unsur bunga dilarang, sebagai
penggantinya adalah ‘keuntungan’ atau ’laba’. Banyak ayat-ayat Al Qur’an
menyebutkan kata yang berarti keuntungan, dan dalam beberapa ayat menyatakan bahwa perolehan keuntungan adalah
halal. Tuhan berfirman kepada orang-orang beriman agar berjalan dan berdagang
dengan cara yang saling menguntungkan (QS, 4 : 33). Dalam perspektif itu,
keuntungan tidak dilihat dari segi uang yang dapat dihasilkan secara an sich. Aa Gym dan Kartajaya (2004) mengartikan
’keuntungan’ dalam berbisnis adalah apabila bisnis yang dilakukan itu bersifat
amal atau kebajikan, atau yang didasarkan pada kebenaran, yang dimulai dengan
niat yang benar. Dalam melakukan bisnis itu, kualitas manusianya semakin baik
atau dapat lebih dipercaya, dapat menambah ilmu dan wawasan yang lebih luas,
sehingga memperbaiki kemampuan yang ada; dan menambah silahturahmi atau
persaudaraan antara sesama. Keuntungan pada dasarnya dihasilkan dari kombinasi
usaha atau kerja, modal dan risiko; modal diartikan sebagai barang dagangan
atau faktor produksi, sedangkan uang merupakan potensi modal yang dapat
dikonversi ke dalam salah satu atau keduanya.
Laba atau keuntungan memberikan manfaat dan
implikasi yang jauh lebih baik, dibandingkan dengan riba atau bunga. Ellsworth
(2010 : 143) berpendapat bahwa
keuntungan atau laba memiliki banyak fungsi, yaitu: memberikan kemampuan
bagi perusahaaan atau usaha dalam rangka menciptakan manfaat bagi masyarakat,
merupakan ukuran dari efektivitas dan efisiensi dalam melakukan manfaat itu,
sebagai dasar bagi manajemen dalam mengambil keputusan, sebagai panduan untuk
menciptakan nilai, dan seterusnya. Namun, Ellsworth mengingatkan bahwa
keuntungan bukan merupakan tujuan akhir, tetapi sebagai alat untuk mencapai tujuan
lain seperti posisi strategis perusahaan; sehingga tidak dimaksimalkan dalam
arti yang sempit.
Pandangan sempit terhadap maksimalisasi keuntungan
karena hanya berdasarkan pertimbangan materialistik, dan bertumpu pada
kepentingan pemegang saham semata. Agaknya pandangan yang sempit ini merupakan
pendorong dari konsep maksimalisasi keuntungan yang disuarakan oleh Milton
Friedman, sehingga menjadi isu yang berkaitan dengan masalah moralitas.
Tampaknya, hal ini pula yang membuat Aristoteles berpandangan bahwa kegiatan ”commerce” itu merupakan kegiatan yang
lebih rendah sifatnya dari ”politics”
atau ”philosophy”, di samping mungkin
bahwa kedua konsep terakhir ini lebih mendasar dan dapat berimplikasi lebih
jauh.
Terhadap pertanyaan ”apakah maksimalisasi kekayaan
pemegang saham itu bersifat imoral?”, Dobson (1999) memberikan jawaban dengan
memasukan unsur moralitas ke dalam setiap pengambilan keputusan dalam berusaha.
Tujuan memaksimalkan keuntungan dalam rangka mempertahankan kesehatan keuangan
perusahaan perlu dijalankan dengan mempertimbangkan kepentingan stakeholders lainnya. Perhatian terhadap
kepentingan stakeholders lainnya
dapat mendukung kehidupan dari usaha atau perusahaan itu sendiri. Dalam
kesimpulannya, Dobson mengatakan bahwa sebagai seorang profesional, orang tidak
dapat menghapus akal sehat dan moral, karena di situ berperan karakter dan
pertimbangannya. Dalam melakukan pertimbangan, kebajikan diperlukan dan ini
meliputi sikap kehati-hatian, kearifan dan rasa belas kasih pada orang lain.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keuntungan hanyalah alat untuk mencapai
tujuan, tetapi tujuan yang sesungguhnya adalah lebih luas dari sekedar
keuntungan.
Menurut padangan Kant (Bowie, 1998), tujuan itu
mencakup pemberian pekerjaan yang berarti bagi masyarakat, memproduksi barang
atau jasa yang berkualitas, dan akhirnya menciptakan kesejahteraan bagi orang
yang lebih banyak. Dengan mencapai tujuan yang lebih luas ini, kepentingan stakeholders lainnya dapat dipenuhi dan
juga dapat melanggengkan usaha itu sendiri. Penekanan pada maksimalisasi
keuntungan dalam arti materiel semata dapat berarti adanya pengurangan terhadap
kepentingan mereka. Secara menyeluruh, keuntungan merupakan faktor penentu
dalam menggerakkan ekonomi, karena keuntungan yang akan mendorong orang untuk
berproduksi dan di dalamnya mengandung risiko.
Untuk berproduksi, diperlukan tenaga kerja,
sehingga menciptakan lapangan kerja. Keuntungan merupakan kompensasi dari hasil
kerja yang baik dan penanganan risiko yang dihadapi. Oleh karena itu, dalam
berusaha atau berproduksi, keuntungan perlu dibagi, demikian pula risiko
(Abdullah Saeed, Virginia Hooker, 2004 : 115). Pengusaha berbagi keuntungan
dengan pemilik modal sesuai dengan hasil yang secara riel diperoleh bersama.
Keuntungan yang dibagi adalah bersifat riel, tetapi tidak tetap atau
bervariabel karena tergantung dari hasil usaha yang dapat berbeda dari waktu ke
waktu, dan bukan keuntungan akunting atau keuntungan gelembung (Lewis, 2009 :
297).
Tanpa adanya bunga yang bersifat tetap, risiko
yang dapat dihadapi dalam berusaha atau berproduksi akan lebih kecil, dengan
beban biaya lebih rendah, keuntungan akan lebih besar; sehingga perekonomian
akan mendorong lebih banyak kegiatan produksi. Karena keuntungan dari usaha
atau berdagang diijinkan, maka ekonomi Islam lebih menekankan pada sektor riel.
Faktor-faktor yang terkait, seperti perbaikan dalam teknologi dan sumber daya
manusia, akan mendorong peningkatan secara bertahap dalam produksi atau
kegiatan ekonomi (Tarek El-Diwany, 2003 : 217).
Banyak ayat dalan Al-Qur’an yang menyebutkan
mengenai keuntungan. Dalam Islam, Tuhan YME mendorong manusia untuk mencari
keuntungan (QS, 2 : 198; 62 : 10), tetapi keuntungan bukanlah masalah maksimum
atau tidak, tetapi lebih merupakan masalah legitimasi dan kewajaran, serta
berkaitan dengan moralitas, kejujuran, atau diperoleh dalam jalan yang benar sehingga bermuatan
akhirati (Hasan, 1983), seperti yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an (QS, 45 : 22;
11 : 84; 17 : 35). Arief (1982), seperti yang dikutip oleh Jalil (2007),
memaksimalkan keuntungan dalam konteks persaingan yang sempurna tidaklah
bertentangan dengan ajaran Islam, karena keuntungan itu besifat keuntungan
”normal”. Tetapi, jika berkaitan dengan jenis pasar monopoli, oligopoli dan
kompetisi yang bersifat monopolistik, keuntungan yang maksimal berarti
keuntungan yang tidak normal, sehingga bertentangan dengan prinsip ekonomi
Islam.
Menurut Hassan (1992), dalam Islam, kegiatan
berusaha atau berbinis merupakan bagian dari fard al-kifayah, dan tanggung jawab sosial harus didahulukan,
dibandingkan dengan memperkaya diri sendiri. Oleh karena itu, keuntungan dalam
Islam mengandung substansi moral yang lebih kental. Pada dasarnya, keuntungan
yang hakiki adalah keuntungan yang diperoleh dan diridhoi oleh Allah Swt, dan membawa
berkah bagi dunia dan akhirat. Dalam bukunya, Cicero membahas mengenai utilitas
dalam kaitan dengan kekayaan dan kenyaman dalam hidup, yang merupakan argumen
yang paling penting dalam pembahasannya. Untuk memperoleh utilitas harus
dilakukan dengan jujur, karena jika membuat sesuatu yang menguntungkan tetapi
tidak jujur, maka akan berakibat sebagai bahaya yang besar bagi hidup manusia
(Muldrew, 1998 : 140). Keuntungan yang wajar adalah keuntungan yang tidak
mengandung riba, atau bersifat eksploitatif, dan merupakan nilai kesetaraan
atau counter value yang merupakan
kandungan inti yang berasal dari kerja atau usaha atau kasb, yang sekaligus mengandung unsur risiko atau ghurmi, dan tanggungan atau liabilitas
atau dhaman (Ascarya, 2009 : 28-29;
Al-Kasani, dikutip oleh Algaoud dan Lewis, 2001 : 64: Rosly, 2005 : 31).
Makna dari keuntungan adalah merupakan refleksi
dari jerih payah atau hasil ‘kerja’, sekaligus merupakan tanggungan, dari pihak
yang memproduksi barang dan usaha dalam menjualnya, atau merupakan nilai yang
terealisasi dari muatan tenaga kerja seperti yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun
(Karim, 2004 : 365). Karena berproduksi dan berdagang mengandung risiko, maka
keuntungan merupakan kompensasi terhadap risiko usaha yang dihadapi pihak
produsen atau penjual. Dengan demikian, keuntungan yang diijinkan adalah
keuntungan yang berkaitan dengan tanggung jawab atau liabilitas atau disebut “al-kharaj bi-al- dhaman”, atau
keuntungan dapat diperoleh karena adanya risiko ”al-ghurmu bil ghunmi”. Ekspresi ini diterjermahkan dan diartikan
oleh Vogel dan Hayes III (1998 : 113)
sebagai ”gain accompanies liabilities for
loss”. Di sini, tersirat bahwa Islam dapat menerima hipotesa bahwa
keuntungan yang lebih besar mengikuti risiko yang lebih besar pula. Namun, pada
hakikatnya, jumlah keuntungan nominal tidak dapat dipastikan ketika akan
bertransaksi.
4. Akad-akad
dan Risiko Pembiayaan
Pada bank syariah, pengkajian risiko
kredit, yang disebut sebagai risiko pembiayaan, harus dimulai dari transaksi yang
dibiayai. Pembiayaan bank syariah timbul karena adanya transaksi yang
mendasarinya, dan setiap transaksi berkaitan erat dengan akad (perjanjian)
khusus yang mengaturnya. Dalam hal ini,
akad merupakan ikatan antara pihak bank dan nasabah yang timbul dari
ijab atau “offer” dan kabul atau “acceptance” dari masing-masing pihak
tersebut, dan sekaligus merupakan komitmen atau kewajiban bagi kedua pihak
untuk memenuhinya.
Dalam Islam, pemenuhan kewajiban tersebut harus
dilakukan dengan khidmad, penuh dengan kejujuran dan ketulusan (Nawawi, 2009 :
51), karena bukan saja merupakan ketentuan hukum positif, tetapi juga merupakan
perintah Tuhan (QS, 5 : 1). Kegagalan atau kelalaian dari masing-masing pihak
untuk memenuhi kewajiban atau komitmen ini menimbulkan risiko bagi salah satu
pihak. Bagi bank, risiko yang timbul dari pihak nasabah yang tidak memenuhi
kewajiban, atau komitmen nya berdasarkan suatu akad, merupakan bentuk risiko
termasuk risiko kredit atau pembiayaan yang harus dikaji dan dihadapi. Definisi
risiko kredit yang diberikan oleh Chorafas (2000 : 1) atau Scroeck (2002 : 171),
yang menyebutkan bahwa risiko kredit adalah gagalnya salah satu pihak untuk
melakukan pembayaran, juga dapat berlaku pada risiko yang dihadapi oleh bank syariah.
Namun, Khan dan Ahmed (2001) seperti yang
dikutip oleh Ahmad dan Ahmad (2004) memberikan definisi yang lebih rinci untuk bank
Syariah. Menurut mereka, risiko kredit pada bank syariah adalah dalam bentuk risiko
penyelesaian atas penyerahan barang untuk mana pembayaran telah dilakukan,
misalnya dalam akad salam atau istishna; atau penyelesaian pembayaran
yang tertunda atas penjualan atau penyewaan barang, misalnya dalam hal akad murabaha atau ijara; atau yang muncul
ketika salah satu pihak dari transaksi bisnis harus membayar uang sebagai hasil
usaha, misalnya pada akad mudharaba, sehingga
terekspose kepada kemungkinan timbulnya kerugian apabila pembayaran atau
penyerahan barang itu tidak terlaksana. Risiko pembiayaan (kredit) ini akan
diuraikan kembali di bawah ini, tetapi hanya yang berkaitan dengan akad
kegiatan pembiayaan yang paling umum dan sering dilakukan, atau plain vanila, dan akad tersebut untuk
mencari keuntungan atau bersifat tijarah.
Selain akad yang bersifat sosial, qard hassan, atau akad pinjaman sosial
tanpa bunga, akad yang pokok terdiri dari tiga kelompok, yaitu akad jual beli, akad
sewa-menyewa, dan akad bagi hasil, dengan uraian berikut.
a. Kelompok
akad : Jual Beli.
Jenis Transaksi :
1). Murabaha
Murabaha adalah merupakan kontrak untuk jual-beli
biasa, dan harga jual terdiri dari harga pembelian ditambah dengan suatu marjin
dengan persentase, mark-up, atau cost plus tertentu, sebagai keuntungan
penjual. Harga pokok harus diketahui oleh pembeli. Akad muarabaha tidak dapat diperpanjang, tetapi waktu pembayaran dapat
ditunda sampai waktu yang disepakati, tetapi tanpa tambahan harga; pengaturan kembali
pembelian terhadap barang yang telah dijual tidak diperbolehkan (Lobo dan
Bonello, 2005).
Dalam konteks hubungan dengan perbankan, transaksi
murabaha harus pula berkaitan dengan
kegiatan jual beli, dan bank dapat membelikan barang yang diperlukan oleh
nasabahnya dengan membayar tunai kepada penjual. Kemudian, barang yang sama
dijual kembali dengan tambahan marjin sebagai keuntungan bagi bank kepada
nasabah yang memesan atau yang akan membeli; dan pembayarannya dilakukan dengan
cara mengangsur. Pembiayaan seperti ini disebut sebagai bai’ bithaman ajil; tetapi di sini, pembeli tidak harus mengetahui
harga pokok.
Dari segi pembiayaan, berdasarkan teori, bank tidak
memberikan uang kepada nasabah untuk membeli barang, tetapi bank membelikan
barangnya terlebih dahulu, dan kemudian menyerahkan barang itu kepada nasabah
dengan pembayaran ditunda. Di sini, bank menghadapi risiko kredit, karena pembeli
dengan bayar angsur atau tunda bisa saja melakukan gagal bayar. Dari segi
penggunaan dana, terlihat dengan jelas bahwa bank mengontrol penuh penggunaan
dana yang terkait, karena membayar langsung dana yang digunakan ke penjual
barang. Asalkan bank telah memiliki pembeli pasti dari suatu barang yang telah
dibeli terlebih dahulu, maka bank tidak menghadapi risiko gagal jual. Jika
terjadi gagal bayar, bagaimana transaksi ini diselesaikan cenderung bersifat self liquidating, karena sumber
penyelesaian atau pembayaran kembali berasal dari transaksi atau barang itu
sendiri; barang yang sama dapat digunakan sebagai jaminan [4].
Menurut Ebrahim dan Joo (2001), dan juga penulis
lainnya seperti Algoud dan Lewis (2001: 222), barang yang telah dijual dimiliki
oleh pembeli, tetapi karena pembayarannya tertunda dan diangsur, barang yang
sama dapat dijadikan jaminan bagi bank. Jaminan dilepas pada saat pembayaran
angsuran terakhir dilakukan. Mark up,
cost plus, atau marjin yang diperoleh
dari transaksi ini bersifat tetap, dan merupakan keuntungan yang diperoleh
sebagai kompensasi terhadap pelayanan yang diberikan dan risiko yang dihadapi
terhadap barang yang dibeli terlebih dahulu, serta risiko yang ada selama waktu
angsuran masih berjalan.
Dari segi pendapatan, karena harga jual diangsur
kepada bank, maka di sini terdapat unsur pemerataan pendapatan dalam suatu
kurun waktu tertentu, atau yang disebut sebagai payment atau income smoothing (Honohan, 2001). Namun, banyak
pihak berpendapat bahwa unsur mark up
atau marjin tersebut setara dengan unsur bunga, hanya saja dengan nomenklatur
yang berbeda. Jika ditinjau dari substansi apa yang dibiayai, kiranya pendapat itu
tidak tepat. Akad murabaha bukan akad
yang memberikan pinjaman uang, melainkan akad jual beli barang yang bersifat tangible, dan pembayarannya ditunda atau
diangsur (bai’ bithaman ajil). Jadi,
prima kausa dari transaksi ini adalah bukan uang seperti halnya dalam perjanjian
kredit bank konvensional, melainkan barang, yang merupakan hasil dari produktivitas
kegiatan ekonomi riel.
Menurut Gieraths, seperti yang dikutip oleh Kamali
(2006 : 110), mark up tidak sama
dengan bunga, karena yang pertama berkaitan dengan barang yang diperdagangkan,
sedangkan bunga merupakan produk dari transaksi keuangan. Untuk mempertegas
bahwa mark up bukanlah bunga, Akkas
(2009) memberikan berbagai alasan tambahan. Pertama, mark up atau marjin adalah merupakan hasil kesepakatan dari kedua
pihak yang terkait, sedangkan bunga di lain pihak cenderung ditetapkan secara
sepihak oleh pemberi pinjaman. Kedua, sebelum dijual oleh bank ke nasabahnya, secara
teoretis, barang yang diperdagangkan harus sudah merupakan milik bank, dan
secara phisik atau berdasarkan hukum berada di bawah pengawasan bank. Di sini,
bank tetap menghadapi risiko barang tidak terjual, yang merupakan dasar untuk
memperoleh keuntungan dalam konsep ”al-ghurmu
bil ghunmi”. Ketiga, transaksi pertama antara penjual dengan bank merupakan
transaksi yang terpisah dengan transaksi kedua, yaitu antara bank dengan
pembeli atau nasabahnya. Masing-masing transaksi berdiri sendiri.
Ditinjau dari harga yang berbeda, yaitu antara
harga jual atas pembayaran tunai dengan harga yang lebih tinggi atas pembayaran
tunda atau diangsur, perbedaan harga ini dinilai bukan bersifat bunga atau
riba, karena beberapa alasan. Pertama, harga yang lebih tinggi itu terjadi atas
jual beli suatu barang berdasarkan kesepatan kedua belah pihak, pembeli dan
penjual. Pembeli memperoleh barang yang diperlukannya tanpa langsung membayar harga
barang, sedangkan penjual melepas barangnya tanpa memperoleh pembayaran
seketika, tetapi harus menunggu beberapa waktu kemudian. Harga yang lebih
tinggi itu dianggap sebagai kompensasi terhadap kemungkinan adanya risiko yang
harus dihadapi oleh penjual. Kedua, pembeli menerima barang terlebih dahulu,
dengan membayar kemudian, merupakan suatu bentuk keuntungan atau profit opportunity. Perbedaan antara
harga tunai dan harga kredit merupakan faktor penyeimbang bagi penjual untuk
menutupi risiko yang harus ditanggung. Keuntungan ini kemudian diangsur sejalan
dengan angsuran dari harga pokok barang yang dibeli. Menurut Kahf dan Khan
(1409H), keuntungan tersebut berasal dari kegiatan pasar komersiel, dan bukan
dari tindakan kemanusiaan seperti halnya bunga pada peminjaman uang. Di samping
itu, dengan berjalannya waktu, jumlah yang harus dibayar secara angsur itu
tidak bertambah, sebagaiman yang terjadi jika jumlah awal tersebut mengandung
bunga.
Risiko Pembiayaan:
a). Penjual
atau bank menghadapi risiko antara waktu pembelian dengan waktu penjualan; pemilik
atau bank terekspose pada risiko kepemilikan dan penyimpanan barang, termasuk di
dalamnya risiko pencurian dan kebakaran.
b). Risiko lain adalah jika dengan berbagai alasan,
pembeli atau nasabah, membatalkan pembelian atas pesanannya secara sepihak;
maka penjual harus menghadapi risiko mencari pembeli pengganti.
c). Dalam hal nasabah membayar harga barang dengan
pola angsuran, kepemilikan barang masih berada pada bank, maka bank menghadapi
risiko kebakaran dan pencurian terhadap barang yang dibiayai (Honohan, 2001).
d). Ketika nasabah terlambat membayar angsuran
dan/atau gagal dalam melakukan pembayaran angsuran atau wanprestasi atau default, penalti atas keterlambatan
tidak dapat dikenakan (Usmani, 2005 : 131).
e). Nasabah membeli barang dari bank dengan
angsuran, kemudian nasabah menjual barang tersebut ke pihak lain dengan cara
pembayaran tunai; dan dana yang diperoleh nasabah itu digunakan untuk keperluan
yang tidak diketahui oleh bank (Antonio, 2001: 107); maka dalam hal ini,
berdasarkan pengalaman, bank menghadapi risiko wanprestasi dari pihak nasabah
yang lebih besar. Namun, dana yang diperoleh itu dapat digunakan sebagai
pembiayaan modal kerja bagi nasabah tersebut.
f). Marjin bersifat tetap, dan oleh karena itu, bank
perlu menyesuaikan sumber dana yang digunakan untuk pembiayaan tersebut dengan fitur
dan biaya yang setara.
2). Salam
dan Istishna:
Kedua akad ini merupakan bentuk jual beli
dengan pembayaran di muka secara penuh, atau sebagian, untuk pesanan barang sebagai
hasil produksi, sejauh kuantitas dan kualitas dapat ditentukan dengan tepat; dan
barang pesanan itu dapat tersedia dan penyerahannya dilakukan di masa depan yang
ditentukan.
Dalam transaksi salam, pembayaran dilakukan secara penuh di muka. Nabi Muhammad Saw
menetapkan dengan syarat bahwa ukuran, berat, dan tanggal penyerahan harus
jelas (Ibn-ul human, Fath-ul-Qadir v5, p 211, dikuti oleh Usmani, 2005 : 189).
Pada masa Nabi Saw, pembiayaan salam digunakan
untuk barang-barang hasil pertanian. Petani sebagai penjual dapat memperoleh
modal kerja yang bersifat mendesak, yang sebagian besar diperlukan untuk menanam
(Rosly, 2005 : 98-99; Usmani, 2005 : 186). Dengan substansi untuk membantu
petani dalam memperoleh pembiayaan modal kerja, kolateral tidak dapat
dipersyaratkan. Mengenai jangka waktu, para ahli fiqih berdebat mengenai jangka
waktu minimum pembiayaan salam (Ascarya,
2007: 93-94). Di antaranya mengatakan, jika kurang dari sebulan sampai waktu
penyerahan barang, maka salam tidak
syah. Namun, karena Nabi Muhammad SAW tidak menentukan mengenai jangka waktu
ini, kesimpulan yang diambil adalah berdasarkan asas manfaat bagi penjual,
sesuai dengan misi dan pembiayaan salam.
Keperluan, yang dipenuhi untuk menciptakan manfaat, berbeda dari tempat ke tempat
dalam waktu yang berbeda.
Karena misi dari pembiayaan ini adalah
untuk membantu pihak penjual dalam menyiapkan barang dagangannya, maka salam tidak dapat digunakan untuk
barang-barang yang harus disediakan langsung. Menurut ketentuan syariah,
pertukaran barang-barang yang tersedia langsung harus dilaksanakan dalam waktu
yang bersamaan (Ascarya, 2007 : 93). Sebagai kompensasi terhadap pembayaran
penuh di muka, pemesan atau pembeli dapat memperoleh harga yang lebih baik.
Sebagai catatan, salam dapat digunakan
tidak saja untuk produk pertanian, tetapi juga untuk barang-barang industri
(Gait dan Worhtington, 2007).
Pembiayaan istishna, serupa dengan pembiayaan salam, tetapi digunakan untuk barang-barang non pertanian, atau
barang-barang hasil proses pembuatan atau manufaktur dan konstruksi, atas
pesanan. Pembayaran tidak harus dilakukan di muka, tetapi dapat dilakukan
dengan angsuran, atau sesuai dengan progres dari pesanan atau pekerjaan, atau
bahkan dapat ditunda (Zarqa, 1997 : 68) berdasarkan kesepakatan para pihak.
Jika penjual gagal untuk menyerahkan atau mengirimkan barang yang dipesan dalam
waktu tertentu, harga dapat dikurangi sejumlah tertentu per hari sesuai dengan
yang telah disepakati (Lobo dan Bonello, 2005); atau barang yang dikirim tidak
sesuai dengan pesanan, maka pemesan dapat membatalkan akad (Iqbal dan Mirakhor,
2007 : 86) .
Bank dapat melakukan kedua pembiayaan salam atau istisna untuk melakukan pesanan barang, dan kemudian menjual barang
tersebut dengan akad murabaha kepada
yang membutuhkan; atau melakukan akad salam
kedua dengan pembeli lain.
Risiko Pembiayaan:
a). Barang tidak berhasil diproduksi sesuai dengan
pesanan, sehingga terjadi gagal serah barang. Di sini, terdapat dua pilihan,
yaitu membatalkan kontrak dan mengembalikan uang yang sudah diserahkan untuk
pesanan, atau menunggu sampai barang tersedia.
b). Tidak ada pembeli ketika barang diterima, jika
tidak ada akad berikutnya atau salam
kedua.
c). Pembeli akhir gagal bayar terhadap akad murabaha dengan cicilan, atau pada akad salam kedua.
d). Pada salam,
bank menghadapi risiko fluktuasi harga komoditas, karena bank setuju untuk
membeli komoditi pada suatu tanggal di masa depan berdasarkan pembayaran yang
telah dilakukan, sampai barang yang dipesan dijual secara tunai (Sundararajan dan
Errico, 2002: 6). Risiko akan terjadi, jika harga pembelian lebih tinggi
dari pada harga pasar ketika harga turun di bawah harga pembelian, ketika akan
dijual.
f). Akad salam yang telah disepakati tidak dapat
dibatalkan secara sepihak.
g). Pada istishna, sebelum produsen memulai
proses pembuatan barang, akad dapat dibatalkan oleh pemesan sejauh dia telah
memberikan pemberitahuan terlebih dahulu; tetapi, pembatalan tidak dapat
dilakukan setelah barang mulai diproduksi (Usmani, 2005 : 195-196).
h). Pada istishna, waktu penyerahan barang tidak
dipastikan secara kaku, tetapi pembeli dan penjual dapat menyepakati waktu
paling lama atau maksimum barang dapat diserahkan. Jika barang diserahkan di luar
waktu yang telah disepakati ini, maka pembeli tidak berkewajiban untuk menerima
barang dan membayar harga pembeliannya (S Ibn ‘Abidin, Radd-ul-Muhtar V.5,
p225, dikutip oleh Usmani, 2005: 198).
i). Pada salam, akad tidak dapat dibatalkan
sebelum atau sesudah akad berlaku efektif atau ditandatangani (Usmani, 2005 :
196).
b. Kelompok Akad: Sewa
Jenis Transaksi.
1). Ijara:
Akad
ini merupakan transaksi untuk mana bank membelikan barang yang diperlukan oleh
nasabah, kemudian menyewakan barang itu atas asas manfaat kepada nasabah
tersebut, untuk jumlah sewa dan jangka waktu tertentu. Penyewaan ini sejalan
dengan prinsip syariah, karena aset dapat menghasilkan pendapatan atau return sejauh berkaitan dengan fungsi
utilitas atau produktivitasnya (Masood Khan, 2006 : 8). Kepemilikan dari
barang, yang sekaligus merupakan jaminan bagi bank, tetap berada pada bank,
demikian pula dengan tanggung jawab kepemilikan berada pada pihak bank, karena manfaat
kepemilikan tetap berada pada pemilik. Tanggung jawab kepemilikan meliputi
biaya asuransi, pajak dan pemeliharaan serta biaya-biaya lain yang terkait, dan
tidak dapat dipindahkan kepada penyewa. Sebagai perbedaan dengan fasilitas leasing konvensional, tanggung jawab
pemeliharaan berada pada pihak penyewa atau lessee,
dan biaya-biaya lainnya sering dipindahkan pada penyewa secara langsung
atau tidak langsung.
Dengan
akad ijara, pemilik barang menanda
tangani perjanjian terpisah yang menyatakan bahwa, di akhir masa sewa, penyewa dapat membeli barang yang disewa
dengan harga ditentukan lebih dahulu, atau pemilik barang dapat menghibahkan
barang tersebut ketika penyewa telah melunasi seluruh biaya sewa. Janji ini
bersifat unilateral, dan tidak bilateral, dan hanya mengikat pemilik barang;
karena jika mengikat kedua belah pihak, maka secara efektif akad itu menjadi
akad jual-beli untuk sesuatu di masa depan (Usmani, 2002 : 161).
Risiko Pembiayaan:
a). Penggunaan barang yang melampaui batas atau kewajaran.
b). Gagal bayar sewa, atau terlambat membayar sewa. Pengenaan penalti tidak diperbolehkan (Usmani,
2005 : 172).
c). Pada akad ijara, bank tidak dapat memindahkan risiko dan kompensasi
kepemilikan kepada penyewa atau lessee,
sejauh aset yang disewakan berada pada pembukuan bank, atau selama masa sewa
(Sundararajan dan Errico, 2002 : 6; Usmani, 2005 : 160).
d). Risiko bisnis akan lebih besar
jika barang dimiliki bank, tetapi masa sewa lebih pendek dari masa hidup
ekonomis barang. Sebagai akibatnya, barang dalam pembukuan bank
berkemungkinan besar menjadi tidak produktif, terutama bagi barang bersifat
khusus, atau jika prospek adanya penyewa lain tidak terlalu besar. Menurut
Usmani (2005; 175), sesuai dengan ketentuan dasar syariah, pemilik barang atau lessor dapat mengambil barang tersebut
kembali, menyewakan atau menjualnya ke orang lain, tetapi tidak dapat memaksa
penyewa untuk membeli dan menentukannya dalam perjanjian sewa, atau memberikan
fasilitas ijara wa iqtina, atau menghibahkannya pada penyewa.
c. Kelompok Akad: Kerja Sama atau Bagi Hasil atau PLS [6].
Asas yang
mendasari konsep kerja sama dalam akad-akad di bawah ini adalah Sabda Nabi Saw
melalui sebuah Hadith dan diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah, yang berbunyi: ”Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang
bersyarikat, selama salah satunya tidak mengkhianati yang lainnya” (Rivai
dan Andria,
2008 : 46). Sabda Nabi Saw ini sejalan dengan karakteristik ekonomi Islam bahwa
nilai moral harus dimanifestasikan kedalam kegiatan ekonomi. Gabungan antara
uang sebagai potensi modal, dengan modal sebagai properti produktif, merupakan
alat sosial untuk mencapai tujua-tujuan sosial (Al-Harran, 1995 : viii). Pada saat yang sama, Islam berusaha untuk
membangun sebuah masyarakat berdasarkan kejujuran dan keadilan (QS, 2 : 239),
yang menuntut pemenuhan hak dan kewajiban dalam bermuamalah, dengan membawa
konsekuensi akhirati.
Akad PLS ini
pada dasarnya serupa dengan pembiayaan ekuitas, yang mengacu pada keuntungan, yang
diperoleh atas pengambilan risiko atau tanggung jawab yang terkait dengan
perolehan keuntungan itu. Seperti yang tersirat dalam Al-Qur’an (QS, 5 : 2),
Islam mendorong dan mempromosikan konsep kerja sama berdasarkan kepercayaan
atau amanah dengan membagi risiko yang dihadapi, atau risk sharing bagi pihak yang berpartisipasi dalam suatu bentuk
usaha.
Jenis Transaksi:
1). Mudharabah
Mudharabah, atau kemitraan pasif, adalah kontrak untuk pembiayaan dengan struktur
persekutuan atau kongsi. Pemilik modal, atau shahibul mal sebagai mitra pasif, menanamkan modalnya pada suatu
atau beberapa bentuk usaha, yang ditentukan (muqayyadah atau restricted)
atau tidak ditentukan (mutlaqah atau unrestricted), dengan pihak lain yang
merupakan pengusaha sebagai pengelola modal dan usaha, dan disebut entrepreneur atau mudharib. Terhadap harta shahibul
mal, mudharib bertindak sebagai
wakil atas dasar trust atau
kepercayaan, sedangkan ketika keuntungan diperoleh, dia berfungsi sebagai mitra
(Algoud dan Lewis, 2001 : 67).
Pengertian tersebut
menunjukkan bahwa status modal yang berbentuk dana dari shahibul mal dipersamakan dengan modal yang ada pada manusia atau human capital, dalam hal ini berupa
keahlian berbinis dari mudharib. Keahlian
berbinis ini mencakup pengetahuan, pengalaman, keahlian, ide yang kreatif, yang
semua ini tercatat dalam suatu jejak rekam yang berkaitan pada suatu jenis
usaha dalam diri mudharib. Modal
harus disetor tunai atau tidak boleh diutang oleh shahibul mal, sedangkan mudharib
memberikan kontribusinya dalam bentuk usaha dan keahlian berbinisnya, serta
sepenuhnya mengontrol perjalanan usaha tersebut. Mudharib memiliki kebebasan mutlak dalam mengelola usaha yang
dibiayai (Errico dan Farahbaksh, 1998).
Keuntungan
dibagi atas nisbi yang dinegosiasikan dan disetujui terlebih dahulu oleh para
pihak. Shahibul mal memperoleh
keuntungan karena menanggung risiko bisnis yang dihadapi oleh usaha yang
didanainya. Mudharib menanamkan waktu
dan keahlian bisnisnya ke dalam usaha tersebut.
Selama menjalankan usaha, mudharib
tidak dapat memperoleh apa-apa. Oleh karena itu, di sini terdapat suatu asumsi
tertentu akan kelayakan seseorang untuk menjadi mudharib. Dalam kaitan yang dimaksud, mudharib harus memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai
kehidupan diri dan keluarganya karena dia tidak memperoleh gaji. Pada saat yang
sama, pelaksanaan usaha yang akan dilakukan menuntut komitmen dan perhatian
penuh dari mudharib. Kerugian, di lain
pihak, yang merupakan akibat dari risiko bisnis normal, ditanggung oleh shahibul mal sebanyak modal yang
ditanamkannya; dan bagi mudharib,
kehilangan tenaga dan waktu yang telah dicurahkannya. Kerugian yang diakibatkan
oleh kelalaian atau kesalahan pihak mudharib ditanggung oleh yang bersangkutan. Oleh sebab
itu, shahibul mal dapat meminta suatu
bentuk jaminan untuk mengatasi masalah ini (Saeed, 2004b : 103), yang pada
dasarnya merupakan risiko karakter dari
mudharib. Akad mudharabah dapat
dibuat untuk jangka waktu tertentu yang pasti, dan dapat diakhiri setiap saat
oleh salah satu pihak dengan memberitahukan terlebih dahulu ke pada pihak lain.
Dengan akad mudharabah, bank dapat bertindak sebagai
mudharib dalam menjalankan usaha
(bank) dengan modal dari nasabahnya sebagai shahibul
mal; atau bank sebagai shahibul mal
menyediakan modal bagi suatu usaha dengan nasabah sebagai mudharib. Pada yang
pertama, bank dapat menggunakan akad mudharabah
ketika menerima dana dari pemilik dana atau masyarakat, seperti menerima dana
pihak ketiga atau deposito pada bank konvensional.
Sebagai esensi
yang menonjol dari pembiayaan mudharabah,
terdapat misi yang menyatukan pihak yang memiliki modal, tetapi tidak
memiliki keahlian usaha atau prospek usaha, dengan pihak yang memiliki keahlian
usaha atau prospek usaha, tetapi tidak memiliki modal. Keahlian dan prospek usaha merupakan prima kausa
dari akad ini. Kedua unsur usaha tersebut, modal dan keahlian sekaligus tenaga
kerja, disatukan ke dalam suatu kegiatan di sektor ekonomi riel. Jika penggabungan
kedua faktor tersebut berhasil, maka akan memberikan kontribusi terhadap
perkembangan ekonomi suatu masyarakat, dengan sekaligus dapat membuka lapangan
kerja baru[7] (Alam, 2009); di samping, dapat
mengembangkan tingkat kewiraswastaan dalam masyarakat.
Namun, keuntungan yang dapat diperoleh bagi shahibul mal sangat tergantung pada
keberhasilan mudharib dalam
menjalankan usaha yang dibiayai, yang dipengaruhi oleh karakter dan keahlian
dari mudharib itu sendiri. Terlebih
lagi jika ditinjau dari segi penggunaan dana, akad mudharaba secara implisit memberikan peluang bagi mudharib untuk sepenuhnya mengontrol
penggunaan dana modal yang diberikan; karena shahibul mal tidak dapat ikut campur dalam pegelolaan usaha kecuali
menerima laporan hasil usaha. Penggunaan dana modal dari shahibul mal akan dapat lebih terkontrol, jika mudharabah bersifat muqayadah,
dan pada awal sebagian modal langsung dibelikan barang dagangan atau mesin yang
digunakan untuk berproduksi. Ketika siklus bisnis berulang-ulang, maka sulit
bagi shahibul mal untuk langsung
melakukan kontrol arus kas usaha yang dihasilkan. Karena alasan ini, beberapa
literatur menyebutkan jenis pembiayaan ini sebagai ’pembiayaan atas
kepercayaan’ atau trust financing.
Di sisi lain, adalah tidak tepat jika keputusan
untuk membiayai suatu usaha, semata-mata karena kepercayaan, tanpa mengetahui
risiko yang akan dihadapi. Besar kecil keuntungan yang dapat diperoleh dengan besaran
dana yang akan ditempatkan perlu dibandingkan dengan risiko yang dihadapi.
Dalam bahasa statistik, risiko ini merupakan hasil akhir perhitungan yang
menunjukkan besar kecilnya kemungkinan perolehan keuntungan tersebut akan berdeviasi.
Shahibul mal perlu menghindari
masalah adverse selection, dengan
menutup kesenjangan informasi akibat information
asymmetric. Agar pembiayaan ini tidak menimbulkan akibat negatif, shahibul mal harus mengetahui masalah
risiko atau pengelolaan risiko; karena jika tidak, pembiayaan yang dilakukan
oleh shahibul mal itu akan bersifat risk scattering seperti yang dimaksud
oleh Nagaoka (2009), tetapi dalam bentuk yang sederhana karena hanya menyangkut
dua pihak.
Selain pengkajian masalah karakter dari mudharib, shahibul mal harus pula berhati-hati dalam memilih usaha mana yang
akan dimodali, mengingat risiko usaha lebih besar pada usaha yang bersifat
pemula atau start-ups. Terlepas
sejauh mana tingkatannya pada learning
curve, usaha dagang mengandung tingkatan risiko yang lebih rendah dibandingkan
dengan usaha industri. Setiap jenis usaha dagang dan industri mengandung jenis
dan tingkatan risiko yang berbeda. Untuk mengatasi akibat negatif dari
pembiayaan, shahibul mal atau bank
perlu meningkatkan kemampuan melakukan penyeleksian sebelum pembiayaan
dilakukan, dan pengawasan atau monitoring
setelah pembiayaan dilaksanakan (Nagaoka, 2009). Sebagai catatan akhir,
sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW, akad mudharabah ini lebih cocok untuk usaha perdagangan (Gait dan
Worthington, 2007), yang umumnya berjangka pendek.
2). Musharakah
Musharakah adalah pembiayaan ekuitas melalui kerja
sama atu joint venture yang menyerupai venture capital pada pembiayaan konvensional; dan dilakukan untuk
jangka waktu tertentu, dan dapat diperpanjang jika dikendaki oleh para pihak.
Perbedaan dengan akad mudharabah, pada
akad musharakah, setiap pihak yang
terdiri dari dua atau lebih mitra bekerja sama dengan masing-masing memberikan
kontribusi, baik dalam bentuk modal ataupun dalam aspek manajemen dan aspek
pengawasan, baik dalam porsi yang berbeda atau sama, tetapi perlu disepakati
terlebih dahulu. Pada akad ini, para mitra memiliki hak suara secara
proporsional terhadap modal yang ditanam masing-masing, dan setiap wakil dapat
duduk dalam pengelolaan usaha. Setiap mitra berkerja sama atas ”kepercayaan”
atau trust, dan oleh karena itu
setiap mitra tidak dapat meminta jaminan dari mitra lainnya (Saeed, 2004b : 110).
Dalam keadaan seperti itu,
pengambilan keputusan usaha dilakukan bersama, sesuai dengan porsi dari
kontribusi modal masing-masing pihak. Keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, tetapi kerugian selalu dibagi
bersama berdasarkan dan terbatas pada partisipasi modal masing-masing (Usmani,
2005 : 38 ; Iqbal dan Mirakhor, 2007 : 93). Menurut Gait dan Worthington
(2007), akad musharakah sangat cocok
untuk pembiayaan proyek atau project
financing.
3). Musharaka
Mutanaqisah
Akad ini merupakan pembiayaan untuk perumahan
melalui kerjasama pembiayaan berdasarkan musharakah,
antara bank atau financier dengan
nasabah pembeli rumah. Masing-masing pihak memasukan modalnya, misalkan bank sebesar
80% dan calon nasabah 20%, ke dalam pembelian rumah yang diinginkan nasabah.
Berdasarkan masuknya modal, bank dan nasabah memiliki rumah secara bersama,
tetapi dengan besar kepemilikan berdasarkan porsi masing-masing. Fitur yang
membedakan dalam akad ini adalah bahwa porsi kepemilikan bank berangsur-angsur
berkurang sejalan dengan pembayaran angsuran yang dilakukan oleh nasabah. Pembayaran
angsuran ini terdiri dari porsi angsuran yang digunakan untuk membeli bagian
kepemilikan bank, dan porsi yang digunakan sebagai biaya sewa kepada bank. Ini
berarti bahwa porsi bagian ekuitas dari nasabah terus bertambah, sementara
bagian ekuitas bank berkurang, yang pada akhirnya nasabah akan memiliki rumah
tersebut sepenuhnya.
Jika dibandingkan dengan pembiayaan perumahan
konvensional berdasarkan hak tanggungan atau mortgage, perbedaannya adalah sebagai berikut: Pertama, prima kausa
dari akad adalah rumah yang akan dibiayai yang merupakan hasil kegiatan sektor
riel, sedangkan pada pembiayaan konvensional adalah uang atau kredit yang
merupakan unsur utama dalam sektor keuangan konvensional. Kedua, rumah yang
akan dibeli merupakan jaminan atas kredit yang diberikan untuk membeli rumah
tersebut, dengan pengikatan jaminan secara hukum berupa hak tanggungan atau mortgage. Pada akad syariah, rumah yang
akan dibeli merupakan milik bersama antara bank dan nasabah, dan bukan
merupakan jaminan secara an sich,
atau berdiri sendiri terlepas dari kepemilikan bank. Ketiga, pada bank
konvensional, kepemilikan rumah dibentuk dari perolehan kredit bank dan ini
bersifat utang atau loan; sedangkan
pada bank syariah, kepemilikan rumah dibangun dari dana ekuitas secara bersama
oleh bank dan nasabah; sehingga di sini terlihat bahwa konsep pembiayaan bank syariah
bersifat equity based. Dalam waktu
yang disepakati dengan berjalannya angsuran, kepemilikan bank terhadap rumah
yang dibiayai itu terus berkurang, pada saat yang sama kepemilikan nasabah
terus bertambah sampai kepemilikannya mencapai 100%.
Risiko Pembiayaan:
a). Berbeda dengan akad musharakah,
risiko yang paling besar dalam akad mudharabah
mutlaqah adalah secara implisit shahibul
mal tidak dapat mengontrol penggunaan dana modal yang diberikan kepada mudharib secara efektif, karena shahibul mal tidak dapat ikut dalam menentukan
dan mengelola usaha yang dilakukan oleh mudharib.
Pada akad musharaka, setiap mitra
usaha ikut dalam pengelolaan usaha.
b). Terutama pada akad mudharabah, shahibul mal
menghadapi risiko moral atau karakter yang timbul dari tindak tanduk mudharib, yaitu berupa kelalaian baik
yang disengaja atau tidak, ketidakjujuran, di samping masalah ketidakmampuan
yang dapat menghambat pencapaian keuntungan yang diharapkan.
c). Moral hazard
dapat terjadi jika mudharib setelah
menerima modal dari shahibul mal
tidak melaksanakan usaha, atau melakukan sidestreaming
atau penggunaan modal di luar usaha yang diperjanjikan.
d). Pihak mudharib
dapat memiliki kesempatan atau dorongan untuk tidak transparan dalam
menyampaikan perhitungan rugi laba, atau dalam kata lain memiliki kecendrungan
untuk memperkecil jumlah keuntungan dengan mempergunakan tehnik akunting
tertentu, atau tindakan moral hazard lainnya.
Masalah ini merupakan risiko moral yang dihadapi, karena nasabah atau mudharib tidak memiliki tingkat
kejujuran dan integritas yang baik. Risiko ini, termasuk dua risiko di atas, merupakan risiko yang timbul karena karakter
dari mudharib.
e). Bank dapat mengalami adverse selection, jika tidak berhati-hati dalam memilih proyek
yang dibiayai. Bank tidak dapat semata-mata melihat besar persentase keuntungan
atau return yang dapat diperoleh dari
suatu proyek, tetapi perlu dikaitkan dengan besar- kecil risiko yang ada atau
terdapat pada setiap proyek usaha (Ascarya, 2007 : 76-68). Hal ini memerlukan
pertimbangan yang bijak dan matang.
f). Samad dan Hasan (1999) mengatakan bahwa akad bagi hasil atau equity contract lebih superior dibandingkan dengan murabahah atau debt contract, jika tidak terdapat information asymmetry. Oleh karena itu, pelaksanaan akad PLS
memerlukan keterbukaan informasi dan tranparansi yang lebih luas. Karena masalah ekternalitas ini sulit
untuk dihilangkan, maka bank harus lebih aktif dan lebih dalam melakukan
analisis atau due diligence dalam rangka melakukan pemilihan usaha yang akan
dibiayai, dan pengawasan atau monitoring
pembiayaan yang telah dilakukan; sehingga biaya informasi cenderung lebih
tinggi (Akkas, 2009).
g). Shahibul
mal atau bank berhak menerima kembali modal yang ditempatkan pada akhir
akad, hanya jika usaha memperoleh keuntungan. Tetapi, jika rugi, maka shahibul mal atau bank tidak dapat
menuntut mudharib untuk memperoleh
kembali modalnya, jika hal tersebut bukan merupakan wanprestasi, kelalaian atau
pelanggaran terhadap akad dari segi
mudharib; mudharib hanya
bertanggung jawab sejauh waktu dan usahanya (Sundararajan dan Errico, 2002)
h). Mudharib
tidak dapat memperoleh gaji atau upah, karena jika dia memperolehnya, dia bukan
lagi berfungsi sebagai mitra, melainkan sebagai pegawai yang tidak menanggung
risiko bisnis. Dengan demikian, hubungan antara shahibul mal dan mudharib
lebih banyak berdasarkan kepercayaan atau fiduciary
(Algoud dan Lewis, 2001 : 71), sehingga memerlukan kadar moralitas yang lebih
tinggi terutama pada pihak mudharib.
i). Karena mudharib
secara langsung tidak bertanggung jawab atas modal dari shahibul mal, jika usaha gagal atau merugi, hal ini dapat mendorong
mudharib untuk menjalankan usaha atau
bisnis yang memiliki kadar risiko yang lebih tinggi.
j). Dalam kedua kontrak, mudharabah dan musharaka, bank
bertindak sebagai investor dalam arti berpatisipasi dalam usaha, sehingga risiko
yang dihadapi tidak hanya risiko kredit semata, tetapi risiko bisnis secara
keseluruhan; atau dengan kata lain, menghadapi risiko investasi yang
sesungguhnya. Pada saat yang sama, antara shibul
mal dan mudharib, atau antara
para mitra, seluruh risiko ini dibagi. Oleh karena itu, bank sebagai shahibul mal akan menghadapi
masalah-masalah manajerial dan perlu untuk melakukan tindakan pengawasan yang
lebih aktif. Dalam hal pengawasan, lebih mudah dilakukan terhadap akad musharakah, dibandingkan dengan pada
akad mudharabah. Hal ini membuat bank
syariah lebih rawan terhadap risiko yang umumnya dihadapi oleh investor
ekuitas, yang berbeda dengan risiko yang dihadapi oleh pemilik piutang (Cihak
dan Hesse, 2008) dengan dasar hubungan kreditor-debitor.
k). Pada akad mudharaba,
shahibul mal berperan pasif terhadap perkembangan usaha yang dibiayai, dan mudharib memiliki kendali sepenuhnya
dalam menjalankan usaha berdasarkan pertimbangan terbaiknya (Sundararajan dan
Errico, 2002 : 5). Di sini, shahibul mal
atau bank tidak dapat ikut campur dalam manajemen proyek, kecuali dalam hal pengawasan.
Pada akad musharaka, di lain pihak,
setiap mitra berperan aktif dalam arti ikut mengawasi dan mengambil keputusan
bisnis yang diperlukan bagi perkembangan usaha yang dibiayai; kecuali salah
satu mitra memilih untuk tidak ikut berpartisipasi dalam hal tersebut (Khan,
1991). Oleh karena itu, risiko lebih tinggi pada akad yang mudharabah dibandingkan
dengan yang musharakah.
l). Karena bersifat investasi, kedua kontrak akan
memberikan hasil atau keuntungan dalam kurun waktu yang relatif lebih lama.
Namun, pada saat akad dimulai atau ex
ante, perolehan keuntungan tidak
dapat diketahui secara pasti, kecuali diperkirakan, baik dari segi jumlah
maupun waktu. Semakin lama suatu proyek direalisasikan, semakin lama keuntungan
dapat diperoleh. Risiko kerugian akan lebih besar pada awal masa investasi,
atau lebih besar untuk bisnis baru atau start
ups; sehingga di sini modal awal berpotensi akan terkikis. Keuntungan hanya
dapat diketahui ex post, yaitu ketika
keuntungan recara riel berakumulasi dari penggunaan modal secara efektif di
sektor riel yang dibiayai.
m). Karena bersifat investasi, pembiayaan yang
dilakukan bertransformasi menjadi aset produktif, atau aset komoditas, yang
kemudian bersifat modal kerja usaha dan/atau yang diwakili oleh saham; sehingga,
modal yang ditanamkan cenderung tidak liquid.
n). Karena bersifat ekuitas, investasi yang
dilakukan akan terekspos pada berbagai macam risiko usaha. Sebagai sifat dasar
dari ekuitas, pengembaliannya hanya dapat terjadi jika usaha dilikuidasi dengan
nilai perolehan sebesar nilai residu, yaitu setelah seluruh kewajiban dilunasi.
o). Return
atau keuntungan tidak dapat dinyatakan sebagai suatu persentase dari modal yang
ditanamkan (Algoud dan Lewis, 2001 : 68), tetapi dikaitkan dengan setiap hasil
yang diperoleh dalam bentuk nisbi yang akan digunakan untuk menentukan berapa
bagian yang akan diperoleh shahibul mal
dan mudharib, atau bagi sesama para
mitra pada musharaka.
p). Bagi kedua akad, keuntungan atau return akan berfluktuasi, atau bersifat
variatif, sehingga tidak ada kepastian dalam suatu jumlah minimum sekalipun.
Bahkan, mudharib mungkin saja tidak
terlalu memperhatikan return yang
sesungguhnya, karena dia berada dalam posisi untuk mengontrol dan melaporkan
perkembangan usaha sepenuhnya, sehingga dapat menutupi kepentingannya.
q). Jika usaha dalam suatu periode baru dapat
mencapai kondisi balik modal atau break
even, shahibul mal atau para
mitra tidak dapat memperoleh hasil atau return.
Jika merugi, mereka atau bank akan kehilangan seluruh atau sebagian
modalnya, tanpa memiliki pegangan hukum untuk memperolehnya kembali (How, (et.al), 2005).
r). Pada akad
musharaka, jika kerugian terjadi melebihi modal yang dimiliki suatu usaha,
maka seluruh mitra usaha harus menanggung sisa kewajiban yang tidak dapat
ditutup oleh aset usaha secara prorata oleh seluruh mitra usaha (Ascarya, 2007 :
75).
s). Berdasarkan teori, tindakan pengawasan yang
perlu dilakukan oleh mudharib akan
lebih mudah, jika tidak terdapat kesenjangan informasi atau informational gap antara mudharib dan shahibul mal, atau antar para pihak atau para mitra dalam akad musharakah. Dalam keadaan tidak adanya
kesenjangan informasi, maka dapat diasumsikan bahwa setiap pihak akan bekerja
sama karena memiliki tujuan yang sama, yaitu memperoleh keuntungan yang lebih
besar atau memperkecil kerugian.
t). Dalam akad musharakah, bank harus aktif berpartisipasi dalam menjalankan usaha
dan sekaligus melakukan kegiatan pengawasan; terlebih jika terdapat kesenjangan
informasi yang besar.
u). Baik pada mudharabah
maupun musharaka, akad dapat
dihentikan setiap saat oleh salah satu pihak, tetapi dengan syarat
memberi-tahukan terlebih dahulu kepada pihak lainnya.
v). Pada akad mudharabah,
karena tidak ada jaminan atas keberhasilan, atau kolateral terhadap kemungkinan
kerugian akibat risiko bisnis, shahibul
mal tidak memiliki pegangan agar mudharib
benar-benar melakukan pekerjaannya dengan baik. Pada akad musharaka, bank sebagai mitra harus mengontrol lebih ketat, agar
mitra yang lain bekerja secara maksimal untuk keberhasilan usaha demi
kepentingan bersama. Untuk itu, bank perlu memastikan bahwa masing-masing modal
yang ditanamkan sesuai dengan jumlah yang sesungguhnya, dan tidak mengalami
rekayasa akunting. Dengan demikian, setiap mitra dapat memperoleh keuntungan
benar-benar sesuai dengan modal yang sesungguhnya di tanam.
Berbeda dengan pembiayaan
yang bersumber dari utang atau loan, dengan
pembayaran bunga atau angsuran secara reguler dan periodik, pembiayaan yang
bersifat ekuitas seperti mudharabah
ataupun musharaka tidak memiliki
fitur seperti itu, yang dapat digunakan sebagai alat kontrol terhadap kualitas
pembiayaan dan perolehan arus kas. Pada kedua akad, pengembalian pokok
dilakukan pada akhir periode, atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran
kas yang masuk.
Hal lain yang juga perlu diwaspadai adalah mengenai
preferensi pilihan sumber pendanaan, yang dikaitkan dengan prospek dan tingkat
risiko dari suatu proyek oleh pihak sponsor, sehubungan dengan sifat pembiayaan
ekuitas, jika dibandingkan dengan utang atau loan. Pada proyek yang memiliki prospek keuntungan yang lebih baik,
tetapi dengan risiko lebih kecil, sponsor akan memilih pembiayaan yang berasal
dari utang. Di lain pihak, jika prospek proyek kurang menguntungkan dan/atau
berisiko tinggi, maka sponsor akan memilih pembiayaan ekuitas (Bacha, 2006 : 189;
Sole, 2007). Pemilihan pembiayaan oleh calon sponsor seperti ini merupakan
salah satu bentuk moral hazard. Ini
berarti bahwa bank sebagai calon financier
harus memiliki keahlian dan pengalaman yang lebih tinggi, ketika akan melakukan
seleksi dan due diligence dari suatu
prospek usaha yang dibiayai.
Secara generik,
perspektif pembiayaan akad PLS cenderung berjangka lebih panjang dan lebih berisiko,
dibandingkan dengan pembiayaan dalam kelompok lain. Salah satu faktor penyebabnya
adalah bahwa akad-akad tersebut memerlukan institusi dan kultur yang dapat
diantisipasi perkembangannya, serta dapat menumbuhkan unsur kepercayaan (Warde,
2000 : 163). Pembiayaan
jangka panjang juga memerlukan kestabilan ekonomi dan politik, serta perlu
didukung oleh penerapan hukum yang lebih pasti dan konsisten.
C. RISIKO DAN PENGGUNAAAN AKAD-AKAD
Jika dilihat berdasarkan jenis akad, maka dapat
dikatakan bahwa akad jual beli dan akad sewa mengandung risiko kredit atau risiko
pembiayaan yang lebih kecil, dibandingkan dengan risiko yang ada pada akad
kerja sama (How, (et.al), 2005;
Perwataatmadja dan Antonio, 1992 : 47; Kamali, 2006). Aggawal dan Yousef
(2000), seperti yang dikutip oleh Zaman dan Movassaghi (2001), berdasarkan
studi dan hasil kajian mereka, berkesimpulan bahwa bank Islam di banyak negara,
seperti Jordan, Malaysia, Mesir, dan lainnya, lebih mengutamakan pembiayaan
jual beli daripada pembiayaan bagi hasil.
Secara umum, menurut Shidiqi (2006), salah satu
alasan yang agak menonjol adalah bahwa di banyak negara, hukum yang ada tidak
dapat mengatasi timbulnya rekayasa pelaporan tingkat keuntungan. Bahkan, tindak
lanjut hukum terhadap tindakan yang jelas merupakan penipuan atau penggelapan
tingkat keuntungan juga lemah; di samping tidak adanya mekanisme yang tersedia
untuk menekan keterlambatan pembayaran, seperti halnya yang tersedia pada
perjanjian utang- piutang bank konvensional.
Khan dan Ahmed (2001), seperti yang dikutip oleh
Ahmad dan Ahmad (2004), melakukan riset terhadap sejumlah lembaga keuangan
Islam di 28 negara. Mereka menyimpulkan bahwa risiko kredit pada pembiayaan musharakah merupakan yang tertinggi atau
berada pada tingkat 3.69 dari angka 5, dan kemudian diikuti oleh mudharabah dengan angka 3.25. Untuk akad
jual beli, di lain pihak, risiko kredit yang paling besar berada pada
pembiayaan istishna dengan angka 3.57.
Cihak dan Hesse (2008) melakukan penelitian antar
negara terhadap sejumlah bank Islam di 21 negara termasuk Indonesia, dengan
tujuan untuk menentukan peranan bank Islam terhadap stabilitas keuangan. Dalam
kesimpulannya, mereka mengatakan bahwa bank Islam yang kecil memiliki kondisi
keuangan yang lebih kuat dibandingkan dengan bank konvensional yang kecil; bank
konvensional yang besar lebih kuat dibandingkan dengan bank Islam yang besar,
dan bank Islam yang kecil lebih kuat daripada bank Islam yang besar. Salah satu
alasan yang kuat untuk menjelaskan perbedaan ini adalah merupakan kenyataan bahwa
bank Islam yang besar melakukan transaksi bagi hasil lebih banyak, dibandingkan
dengan bank Islam yang kecil. Bank Islam yang lebih kecil lebih berkonsentrasi
pada pembiayaan jual beli.
Secara
teoretik, transaksi bagi hasil atau PLS memerlukan usaha due diligence dan care atau
monitoring risiko kredit yang lebih
kompleks dibandingkan dengan hal yang sama dan dilakukan oleh bank konvensional
(Ahmed, 2006 : 17). Hal ini dihadapi terutama oleh bank berskala besar yang
cenderung melakukan pembiayaan bagi hasil. Setiap pembiayaan bagi hasil akan
terekpos terhadap jenis usaha yang berbeda, dan
setiap jenis usaha memiliki karakteristik dan risiko yang berbeda. Oleh
karena itu, bank memerlukan keahlian dengan SDM yang mampu menganalisis
berbagai macam proyek (Kamali, 2006 : 103), dengan cara penanganan risiko yang
berbeda-beda; karena jika tidak, Cihak dan Hesse berpendapat masalah ini akan
dapat mengakibatkan adverse selection
dan bahkan moral hazard.
Sejalan dengan temuan dari penelitian Cihak dan
Hesse (2008) di atas, Samad dan Hassan (1999) melakukan penelitian mengenai
kinerja Bank Malaysia Berhad (BIMB), dengan menggunakan data laporan keuangan
selama 14 tahun, dari tahun 1984 s/d 1997. Dari penelitian ini, mereka
berkesimpulan bahwa akad mudharabah
dan musharakah tidak populer di
Malaysia. Dari segi bank, sebagian besar responden mengatakan bahwa bank tidak
memiliki pengetahuan yang cukup dalam melakukan analisis ketika menyeleksi
calon konsumen, atau menangani proyek yang menguntungkan. Selain itu, pihak
bank berpendapat bahwa masih terdapat bentuk pembiayaan lain, seperti murabahah, yang dapat memberikan keuntungan
yang lebih besar dengan risiko yang lebih rendah.
Dari segi calon konsumen, terdapat keengganan
untuk melakukan manajemen bersama dengan pihak lain; karena rahasia bisnisnya
akan diketahui oleh pihak lain itu. Oleh karena itu, Samad dan Hassan
berkesimpulan bahwa alasan-alasan tersebut membuat porsi pembiayaan mudharabah dan musharakah pada BIMB dalam kurun waktu 1984 s/d 1997 menduduki
persentase yang sangat kecil, dibandingkan dengan total pembiayaan, yaitu hanya
sekitar dibawah 1%. Pada IBBL, suatu bank Syariah di Bangladesh, pembiayaan mudharabah akhirnya sama sekali tidak
digunakan, karena gagal dalam memberikan hasil yang diharapkan; sedangkan
pembiayaan musharakah digunakan dalam
porsi yang sangat kecil (Alam, 2009).
Ibrahim (2006) mengungkapkan bahwa dalam kurun
waktu 1996 s/d2002, pada perbankan Islam di Sudan, pembiayaan murabahah menduduki porsi yang terbesar,
yaitu berkisar antara 33.7% sampai 54.3%; yang kedua, diikuti oleh pembiayaan musharakah sekitar 21.1% sampai 42.9%. Salam berada pada posisi ketiga, yaitu
sekitar 3.4% sampai 6.5%, dan mudharabah
sekitar 2% sampai 6.2%. Menurut Al Harran (1993 : 150) seperti yang dikutip
oleh Ibrahim, alasan yang melatar-belakangi pembiayaan murabahah lebih banyak digunakan adalah berkaitan dengan risiko
yang harus dihadapi. Berbeda dengan akad murabahah,
pada akad bagi hasil, perolehan hasil atau return
memerlukan waktu yang lebih lama, di samping harus mengatasi masalah-masalah
manajerial yang terkait.
Dengan demikian, bank Islam perlu memiliki
pengalaman yang memadai dalam kaitan dengan manajemen, serta melakukan tindakan
pengawasan yang lebih aktif. Risiko terkikisnya modal pada awal investasi lebih
besar pada akad bagi hasil; sedangkan pada akad murabahah dan salam, risiko
ini berada pada pihak nasabah. Lebih lanjut Ibrahim mengungkapkan, dalam tahun
1993, 74% pembiayaan diarahkan pada pertanian modern, industri, dan ekspor.
Dari segi tenor atau jangka waktu,
mayoritas atau 75.4% berjangka pendek kurang dari 1 tahun, 5.4% jangka menengah
dan 2.1% jangka panjang; sisanya 15.4% berjangka panjang khusus untuk riel
estat.
Pola pembiayaan yang lebih banyak menggunakan akad
jual beli dibandingkan dengan akad bagi hasil juga terjadi pada perbankan Islam
di Bangladesh. Dalam kurun waktu 1983-1995, pembiayaan murabahah meningkat dari 15% menjadi 53%, sedangkan pembiayaan musharakah turun dari 12% menjadi 5%;
pembiayaan mudharabah, di lain
pihak, tidak dilakukan sama sekali
(Hassan, 1999 : 73). Data tahun 2005 menunjukkan bahwa porsi pembiayaan
jual-beli tetap dominan dengan porsi sekitar 64%; sedangkan pembiayaan bagi
hasil tetap rendah, yaitu musharakah
1.35% dan mudharabah 0.03% (Sarker,
2006). Penyebab pembiayaan bagi hasil tidak populer di Bangladesh adalah karena
para pengusaha melaporkan keuntungan yang lebih kecil untuk menghindari pajak,
dan merupakan sumber bagi moral hazard. Di
samping itu, bank mengangap risiko terkait dengan pembiayaan bagi hasil cukup
tinggi.
Dalam kasus perbankan Syariah di Pakistan, tidak
saja akad bagi hasil sulit dilaksanakan, tetapi konsep syariah sendiri secara
menyeluruh tidak dilakukan secara benar dan sungguh-sunguh. Menurut Khan dan
Bhatti (2006), penyebab akad bagi hasil sulit untuk dilaksanakan disebabkan
karena alasan timbal balik. Dari segi nasabah, kebanyakan pengusaha di Pakistan
mempunyai dua set laporan keuangan, dengan tujuan memperkecil pendapatan dan
menghindari atau mengurangi jumlah pembayaran pajak. Sebagai alasan lain, para
pengusaha tidak bersedia untuk mengungkapkan informasi mengenai bisnis dan
tingkat keuntungan yang sesungguhnya kepada pihak lain atau bank. Keadaan ini
memperparah asymmetric information. Dengan
demikian, bagi pihak bank, tidak terdapat peluang untuk menawarkan, dan bahkan enggan untuk melakukan pembiayaan
berdasarkan bagi hasil (Khan dan Mirakhor, 1990). Di samping itu, secara umum,
perbankan syariah di Pakistan menunjukkan keenganan yang serius untuk tidak
menyediakan pelatihan dan bantuan tehnis yang diperlukan bagi staff bank syariah,
termasuk pengetahuan yang berkaitan dengan dokumentasi pembiayaan. Khan dan
Bhatti menambahkan, praktik perbankan syariah hanya dilakukan di permukaan demi
untuk memenuhi persyaratan syariah, tetapi sesungguhnya merupakan transaksi
keuangan dengan dokumentasi dibuat seolah-olah merupakan transaksi jual beli.
Secara umum, penggunaan akad PLS yang rendah itu,
dibandingkan dengan penggunaan akad lainnya, disebabkan karena dua hal utama.
Pertama, menurut Saeed (2004 : 128), standar moral yang berkembang pada
kebanyakan komunitas muslim tidak memadai untuk pembiayaan yang bersifat
investasi, sedangkan pembiayaan PLS menuntut adanya kejujuran, transparansi, efisiensi
dalam mengelola bisnis dan dapat menghasilkan keuntungan. Kedua, risiko yang
ada pada akad PLS lebih tinggi dan pengkajiannya lebih rumit dan memerlukan
informasi yang lebih banyak. Kebanyakan dari perbankan syariah tidak memiliki pengetahuan
dan keahlian yang diperlukan untuk menganalisis proyek yang dapat dibiayai (Kamali,
2006 103). Risiko yang terbesar adalah pada akad mudharabah, karena risiko ini ditimbulkan lebih banyak oleh masalah
agency problems (Pramanik, 2006 :
189-190). Seperti yang telah diutarakan pada bagian Risiko Pembiayaan di atas,
alasan Pramanik tersebut meliputi butir-butir berikut: Pertama, mudharib dapat berlaku tidak transparan
terhadap biaya yang ditimbulkannnya, sehingga keuntungan yang dibagi akan
menjadi lebih kecil. Kedua, apabila proyek memiliki prospek yang baik, maka mudharib tidak akan memilih akad PLS,
tetapi memilih perjanjian kredit atau utang dari bank konvensional. Ketiga, akad
mudharabah tidak memiliki fitur
pembayaran regular kepada shahibul mal,
sehingga tidak memiliki efek pengawasan terhadap manajemen arus kas yang
dilakukan oleh mudharib.
D. DALAM KAITAN DENGAN INTERMEDIASI KEUANGAN.
Walaupun bank syariah tidak melaksanakan kegiatan
pinjam - meminjam uang dan tanpa bunga, dalam konteks intermediasi keuangan,
bank syariah melakukan banyak hal seperti yang dilakukan oleh bank
konvensional. Jika dilihat dari
jenis akad-akadnya, bank syariah juga melakukan pemindahan daya beli dari waktu
ke waktu, memobilisir tabungan, mengumpulkan informasi yang diperlukan,
menyeleksi jenis-jenis usaha yang dapat dibiayai dalam sektor riel,
mengalokasikan modal ke dalam kegiatan bisnis yang menguntungkan di dalam
sektor tersebut, melakukan pengawasan atau monitoring
para manajer yang menjalankan usaha yang dibiayai. Pada intinya, bank Syariah juga melakukan transformasi risiko, tetapi
bersifat lebih terkontrol.
Dalam hal transformasi risiko, bank syariah
melakukan agregasi seluruh risiko yang ditampungnya dari penerimaan dana dari
masyarakat, baik melalui akad wadiah
ataupun mudharabah, dan
mendistribusikannya kepada yang dapat dipercaya dan menguntungkan melalui
akad-akad pembiayaan. Esensi dari
akad-akad ini, pada satu sisi, menunjukkan bahwa dana yang disalurkan bank bukan
merupakan utang bagi bank, melainkan dana investasi yang bersifat ekuitas, dan bank
bertindak sebagai manajer investasi atas kuasa atau petunjuk dari pemilik dana.
Sebagai ketentuan yang mendasar, dana tersebut
tidak dapat digunakan untuk investasi yang bersifat spekulatif, atau gharar, dan maysir, kecuali untuk berpartisipasi dalam kegiatan produksi, atau perdagangan,
yang kemudian membentuk portofolio bank Syariah. Jika dilihat dari sisi pasiva
dan sisi aktiva, atau kedua sisi ini dikaitkan antara satu dengan lainnya, maka
menurut beberapa ahli, dapat dikatakan bahwa risiko portofolio ditanggung tidak
saja oleh pemegang saham bank, tetapi juga oleh para deposan atau pemilik dana
(Algaoud dan Lewis, 2001 : 123). Oleh karena itu, secara teoretik, konsep moral hazard yang didorong oleh
kenyataan bahwa modal bank yang kecil, dibandingkan dengan dana masyarakat yang
digunakan pada bank konvensional, seperti yang kemukakan oleh Vihriala (1997),
kurang berlaku pada bank Syariah.
Pada bank konvensional, bank memiliki modal
relatif kecil dibandingkan dengan dana masyarakat yang diterimanya sebagai utang.
Dana masyarakat yang bersifat utang ini dengan bebas dapat digunakan dan
disalurkan oleh bank ke pada para debitor peminjam sebagai utang ke pada bank,
atas penilaian dan diskresi bank. Moral
hazard dapat terjadi, jika bank menggunakan dana masyarakat itu untuk
tujuan-tujuan tertentu yang dapat menguntungkan bank atau pemilik bank, tetapi
membahayakan kedudukan dan kepentingan para pemilik dana. Di sini, jika bank
rugi maka pemilik bank hanya akan kehilangan modal yang dimilikinya pada bank
yang berjumlah lebih kecil, dibandingkan dengan dana masyarakat yang berjumlah
jauh lebih besar, dan pemilik dana kehilangan keseluruhan miliknya itu.
Pada bank syariah, kemungkinan penyimpangan tersebut
dapat diperkecil, karena dana masyarakat yang disimpan oleh bank hanya
merupakan titipan melalui akad wadiah,
atau dana yang diterima itu berdasarkan akad mudharabah. Pada salah satu bentuk akad mudharabah, bank harus menanamkan dana deposan ke dalam bisnis yang
disetujui oleh pemilik (mudharabah
muqayyadah). Baik dana yang diterima berdasarkan akad ini, maupun
berdasarkan mudharaba mutlaqah, atau
dana yang bebas digunakan oleh bank tanpa persetujuan pemilik dana ke dalam
mana dana dapat investasikan, pada dasarnya menyerupai modal bank, karena
menanggung kerugian yang dapat ditimbulkan oleh investasi yang dilakukan bank [8]. Namun, secara umum, akad mudharabah membuka peluang yang lebih
besar bagi shahibul mal untuk
melakukan unsur kontrol pada bank sebagai mudharib,
karena bank harus menciptakan keuntungan sebagai kepentingan bersama atau common interest bagi keduanya.
Keuntungan ini harus dibagi dengan pemilik dana atau shahibul mal berdasarkan nisbi yang ditentukan pada saat
penandatanganan akad.
Karena para pemilik dana ini bukan pemilik saham
dari bank, sehingga tidak diwakilkan oleh dewan direksi bank, dan dana yang
ditempatkan pada bank merupakan kuasi modal dengan tanpa jaminan hasil yang
diperoleh, pembagian keuntungan bank antara pemilik saham dengan para pemilik
dana atau shaibul mal atas akad mudharabah harus ditentukan dengan jelas
dan secara terbuka [9]. Di samping itu, dalam setiap keuntungan
yang dapat diperoleh, selalu terdapat suatu tingkat risiko yang harus dihadapi;
semakin tinggi keuntungan, semakin besar pula risiko yang ada. Oleh karena itu,
manajemen bank syariah harus pula dengan hati-hati dalam menentukan ke dalam
bisnis apa dana masyarakat itu diinvestasikan. Jika pemilik dana tidak
memonitor bagaimana dananya digunakan, terdapat pula peluang bagi bank syariah
tegelincir ke dalam moral hazard,
karena memilih usaha atau proyek yang berisiko tinggi (Sole, 2007) dengan
alasan keuntungan yang lebih tinggi.
Pada bank konvensional, karena pembayaran bunga
atas dana masyarakat bersifat berkala dan pasti, pemilik dana cenderung hanya
menunggu datangnya bunga, dan sering tidak menyadari apa yang terjadi dalam
proses bank menuju ke tidak-mampuan untuk membayar bunga; mereka cenderung hanya
menyadari masalah yang dihadapi bank ketika bank benar-benar tidak dapat
membayar bunga, atau ketika bank run
terjadi. Secara teoretik, pada bank syariah, hal ini tidak terjadi, karena
pemilik dana dengan akad mudharabah
pada sisi pasiva neraca bank perlu memonitor tingkat keuntungan bank dari waktu
ke waktu. Di samping itu, akad mudharabah
pada sisi pasiva ini dapat disesuaikan dengan akad mudharaba pada sisi aktiva, yang artinya bank bertindak sebagai shahibul mal, dan nasabah sebagai mudharib. Karena dana masyarakat pada
bank berjumlah sama dengan dana yang dapat disalurkan oleh bank, bank syariah
tidak dapat menciptakan dana kredit yang lebih besar, seperti halnya yang
terjadi pada bank konvensional, melalui konsep fractional banking dan leverage-nya.
Tidak saja dari segi jumlah dapat disinkronkan, tetapi juga dari segi risiko
dan tingkat keuntungan dapat diupayakan setara. Tambahan pula, dana yang
disimpan pada bank dengan akad mudharabah
di sisi pasiva itu merupakan dana investasi yang berjangka waktu tertentu,
dan risiko usaha bank ditanggung oleh pemilik dana atau shahibul mal. Berdasarkan kedua faktor ini, bank syariah berkemungkinan lebih kecil
menghadapi bank run, dan cenderung
lebih stabil dibandingkan dengan bank konvensional.
E. PENUTUP
Perbedaan utama operasionalisasi dari bank
syariah, dibandingkan dengan bank konvensional, terletak pada penggunaan utang
atau tidak, dan konsep kerja sama dalam berbagi risiko. Pada bank syariah,
penggunaan uang hanya dapat dilakukan dengan melekatkannya pada transaksi jual
beli, sewa-menyewa atau usaha, yang keseluruhan berkaitan dengan kegiatan di
sektor riel. Pembiayaan ini bukan bersifat utang, yang berarti “loan”, tetapi lebih diartikan sebagai “debt”. Dari struktur pembiayaan bank
syariah, terlihat dengan jelas, bahwa dana masyarakat yang digunakan bank tidak
bersifat sebagai utang bagi bank, tetapi merupakan dana titipan, atau dana
investasi dan bank bertindak sebagai manajernya; risiko investasinya ditanggung
oleh para pemilik dana secara bersama.
Dengan seluruh karakteristik tersebut, bank
syariah sesungguhnya memiliki kemampuan untuk menumbuhkan perekonomian, dan
menciptakan kestabilan sektor keuangan; karena pembiayaannya melekat pada perdagangan
barang dan jasa, serta usaha dalam sektor ekonomi riel. Pembiayaan bank syariah
tidak dapat menyimpang dari pembiayaan sektor riel, dan tidak dapat digunakan
untuk usaha yang bersifat spekulatif, ribawi, gharar, dan maysir. Tiga unsur larangan ini jelas menimbulkan
ketidakstabilan sektor keuangan.
Akad mudharabah
dan musharakah merupakan ikon
pembiayaan bank syariah, yang bersifat universal. Namun, penggunaannya menuntut
kadar moralitas yang tinggi, dalam
bentuk amanah, kejujuran, memenuhi tanggung jawab, dan menepati janji. Untuk
itu, pihak yang menjalankan usaha harus memiliki keahlian dan pengalaman
bisnis, sehingga dapat menghidari kerugian, tetapi menciptakan laba. Pembiayaan
ini sangat memerlukan transparansi, atau keterbukaan informasi untuk
menciptakan information symmetry, dengan
menekan information asymmetry yang merupakan
unsur eksternalitas dalam sektor keuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Daud, Vicary, Keon Chee, 2010, Islamic Finance Why It Makes Sense, Understanding Its Principles and
Practices, Singapore:
Marshall Cavendish Business.
Ahmad,
Nor Hayati, Shahrul Nizam Ahmad, 2004, Key Factors Influencing Credit Riskof
Islamic Bank: A Malaysian Case, http://staf.uum.edu.my/shahrul/kuim, paper-30-1-04(nha)pdf.
Akkas, S. M. Ali, 2009, Issues and Problems of Islamic Banking in
Bangladesh, Akkas54@gmail.com,
www.cdss.ingeniousbd.org.
Alam, Mohammed Nurul, 2009, Islamic Banking in Bangladesh: A Case Study of IBBL, International
Journal of Islamic Financial Services Vol. 1 No. 4, http://www.docstoc.com/docs/DownloadDoc.aspx?doc_id=2383819.
Algaoud, Latifa M. Mervyn K Lewis, 2001, Perbankan Syariah, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, www.serambi.co.id, info@serambi.co.id.
Al-Harran, Saad, 1995, Leading Issues in Islamic Banking and
Finance, Petaling Jaya,
Malaysia:
Pelanduk Publications (M).
Al-Jarhi, 2008, Islamic Finance: An Efficient & Equitable Option, The Islamic
and Training Institute, The Islamic Development Bank, PO Box 9201, Jeddah,
Saudi Arabia, http//: www.wfdd.org.uk/articles-talks/mabid.fdf.
Antonio, Muhammad Syafi’I, 2001, Bank
Syariah, dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani dan Tazkia Cendekia,
http://www.gemainsani.co.id.
Arief,
Mohammed, 1988, Islamic Banking, Asian
Pacific Economic Literature, Vol. 2, No. 2, Sept 1988.
Ascarya, Desember 2009, The Lack of Profit –and –Loss Sharing
Financing in Indonesian Islamic Banks: Revisited, Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan, Bank Indonesia,
Forum Riset Perbankan Syariah.
Ascarya, 2007, Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, rajapers@indo.net.id.
http://www.rajagrafindopersada.com.
Azizy, A.Qodri, 2004, Membangun
Fondasi Ekonomi Umat, Meneropong Prospek Berkembangnya Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bacha, Obiyathullah Ismail, 2006, Conventional versus Mudaraba Financing: An Agency Cost Perpective, In
Islamic Banking, How Far Have We Gone,
Ataul Huq Paramanik (ed). International Islamic University Malaysia.
Bowie, Norman E., 1998, Business Ethics, A Kantian Perpective, Minneapolis: Blackwell
Publishers.
Chorafas, Dimitris, 2000, Managing Credit Risk, Analysing, Rating and
Pricing The Probability of Default, Nestor House, Playhouse Yard, London EC4V 5EX:
Euromoney Books.
Cihak, Martin, Heiko Hesse, 2008, Islamic Banks and Financial Stability: An
Empirical Analysis, IMF Working Paper, International Monetary Fund,
http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2008/wp018.pdf.
Dobson, John, 1999, Is Shareholder Wealth Maximation Immoral ? Financial Analysts
Journal, Sept/Oct 1999; 55, 5; ABI/INFORM Global.
Ebrahim, M. Shahid, Tan Kai Joo, 2001, Islamic Banking in Brunei Darussalam,
International Journal of Social Economics, Vol. 28, Ko 4, pp 314-337, MCM
University Press, http://www.emerald-library.com/ft.
Elgari, Mohamed Ali, 2003, Credit Risk in Islamic Banking and Finance,
Islamic Economic Studies, Vol. 10, No. 2, March 2003.
Ellsworth, Richard R., 2010, Tujuan Perusahaan, In Craig L. Pearce,
Joseph A. Marciariello, dan Hideki Yamawaki, Drucker Difference, Jakarta: Ufuk Press.
El-Diwany, Tarek, Juni 2003, The Problem with Interest,
Sistem Bunga dan Permasalahannya,
Cetakan Pertama, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, akmed@cbn.net.id
El-Gamal, Mahmoud A., 2005, Islamic Bank Corporate Governance and
Regulation: A Call fro Mutualization, Rice Unversity.
Errico, Luca, Mitra Farahbaksh, 1998, Islamic Banking: Issues in Prudential
Regulation and Supervision, IMF Working Paper, WP/98/30, leriico@imf.org, mfarahbaksh@imf.org.
Gait, A. A.C. Worthington, 2007, A Primer on Islamic Finance: Definitions,
Sources, Principles and Methods, Faculty of Commerce–Papers, University of Wollongong, http://www.scribd.com/doc/8027728/A-primer-on-Islamic-finances-sources-principles-andmethods.
Green, Stephen, 2009, Good Value, Reflection on Money, Morality,
and Uncertain World, London:
Alan Lane,
Penguin Books.
Gymnastiar, Abdullah, Hermawan Kartajaya,
2004, Berbisnis dengan Hati, Jakarta: MarkPlus &
Co.
Hasan, Zubair.
1983, Theory of Profit: TheIslamic
Viewpoint, J.Res. Islamic Econ, Vol. 1, pp. 3-14 (1403/1983).
Hassan, M.
Khabir, 1999, Islamic Banking in Theory
and Practice: The Experience of Bangladesh.
Managerial Finance, 25. 5; ABI/INFORMGlobal
Honohan, Patrick, 2001, Islamic Financial Intermediation: Economic
and Prudential Considerations, Development Reseach Group and Financial
Sector Strategy and Policy Department, The World Bank.
How, Janice C.Y., Melina Abdul Karim,
Peter Verhouven, 2005, Islamic Financing
and Bank Risks: The Case of Malaysia,
Thunderbird International Business Review, Vol. 47 (I) 75 94, January-February,
2005, ÓWiley
Periodical, Inc. www.interscience.wiley.com.
Ibrahim, Badr El Din A., 2006, The
”missing links” between Islamic development objectives and the current practice
of Islamic banking- the experience of the Sudanese Islamic banks (SIBs),
Humanomics Vo. 22 No. 2, 2006, pp. 56-66, ÓEmerald Group Publishing Limited.
www.emeraldinsight.com/0828-86666.htm.
Iqbal, Zamir, Abbas Mirakhor, 2007, An Introduction to Islamic Finance, Theory
and Practice. Singapore:
John Wiley & Sons (Asia) Pte Ltd.
Jalil, Abdullah, 2007, An Islamic
Review of the Mainstream Framework for
Project Evaluation. Proceeding of the 2nd Islamic Conference
2007 (iECON2007), Islamic Science University of Malaysia.
Kamali, Mohammad Hashim, 2006, Equity and Fairness in Islam, Kuala Lumpur: Ilmiah
Publishers, Ilmiah2@tm.net,my
Karim, Adiwarman, 2004, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan. Edisi
Kedua, Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Khan, M. Fahim, 1991, Comparative Economics of Some Islamic
Financing Techniques, Jeddah,
Saudi Arabia:
Islamic Development Bank.
Lewis, Hunter, 2009, Where Keynes
Went Wrong, And Why World Governments Keep Creating Inflation, Bubbles, and
Busts, Axios Press, Mount Jackson, VA.
Lobo, Isobel. Frank Bonello, 2005, Islamic Banking Meets “Conventional”
Banking: A Survey of Recent Developments in Banking In Pakistan, AIB-SE
(USA) 2005 Annual Meeting, Charleston, SC. www.aibse.org/Proceedings/../Islamic%20banking.doc.
Masood Khan, Waqar, 2006, Transition To A Riba Free Economy, New Delhi: Adam Publishers
& Distributors, apd@bol.net.in,
adam2@sify.com.
Millet, Paul, 2002, Lending and Borrowing in Ancient Athens,
Cambridge University
Press, Cambridge, United Kingdom.
Muldrew, Craig, 1998, The Economy of Obligation, The Culture of
Credit and Social Relations in Early Modern England, Palgrave, Houndmills,
Basingstoke, Hampshire RG21 6XS and 175 Fifth Avenue, New York, NY 10010.
Nagaoka, Shinsuke, 2009, Reconsidering Mudaraba Contracts in Islamic
Finance: What is the Economic Wisdom (Hikma) of Partnership-based Instruments?
Kyoto Working papers on Area Studies No.42 (G-COE Series 40),
http://www.humanosphere.cseas.kyoto.u.ac.jp/images/libraryimage/workingpaper/40_nagaoka.pdf.
Nawawi, Razali HJ., 2009, Islamic Law on Commercial Transaction, Kuala Lumpur: CERT
Publications.
Perwataatmadja, H. Karnaen, Muhammad
Syafi’I Antonio, 1992, Apa dan Bagaimana
Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima
Yasa.
Paramanik, Ataul Huq, 2006, Islamic
Banking: How Far Have We Gone, Malaysia: International Islamic
University.
Qardhawi, Yusuf, 1997, Norma
dan Etika Ekonomi Islam, Cetakan I, Jakarta: Gema Insani Press.
Rahman, Yahia Abdul, 2010, The Art of Islamic Banking and Finance, Tools & Tecniques for Community –
Based Banking, John Wiley & Sons, Hoboken, New Jersey.
Rivai, Veithzal, Adria Permata Veithzal,
2008, Islamic Financial Management, Teori,
Konsep, dan Aplikasi Panduan Praktis untuk Lembaga Keuangan, Nasabah, Praktisi,
dan Mahasiswa. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Rosly, Saiful Azhar, 2005, Critical
Issues on Islamic Banking and Financial Markets, Kuala Lumpur, Malaysia:
Dinamas Publishing. drsaiful99@hotmail.co.
Saeed, Abdullah, 2004b, Bank Islam
dan Bunga, Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer Tentang Riba dan Bunga,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, pustakapelajar@telkom.net.
Saeed, Abdullah, 2004, Menyoal Bank
Syariah, Kritik atas Interpretasi Bunga Bank, Kaum Neo Revivalis, Cetakan
1, Jakarta: Paramadina, penerbit paramadina@yahoo.com.
Saeed, Abdullah, 1996, Islamic Banking
and Interest, A Study of The Prohibition
of Riba and Its Contemporary Interpretation, New York:
EJ Brillm Leiden.
Samad, Abdus. M. Kabir Hassan, 1999, The Performance of Malaysian Islamic Bank
During 1984-1997: An Exploratory Study, http://www.nzibo.com/IB2/art1.pdf.
Sarker, Abdul Awwal, 2006, Islamic banking in Bangladesh: Achievements &
Challenges, http://www.ibtra.com/pdf/Islamic%20Banking%20in%20Bangladesh-%20Achievements%20&20Chalenges.pdf.
Scroeck,
Gerhard. 2002. Risk Management and Value
Creation in Financial Institution. New
Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Siddiqi, Mohammad Nejatullah, 2006, Islamic Banking and Finance Theory and
Practice: A Survey of State of the Art, Islamic Economic Studies, Vol. 13,
No. 2, February, 2006.
Sole, Juan, 2007, Introducing Islamic Banks into Conventional Banking Systems, IMF
Working Paper, WP/07/175.
http://www.scribd.com.doc/7794714/Introducing-Islamic-Bank-Into-Conventional-Bank-IMF-Working-Paper.
Sundararajan, V. Luca Errico, 2002, Islamic
Financial Institutions and Products in the Global Financial System: Key Issues
in Risk Management and Challenges Ahead, IMF Working Paper, WP/02/192, vsundararajan@imf.org, lerrico@imf.org.
Usmani, Muhammad Imran Ashraf, 2002, Meezanbank’s Guide to Islamic Banking, Darul-Ishaat,
Karachi.
Usmani, Muhammad Taqi, 2005, An Introduction to Islamic Finance,
Maktaba Ma’ariful Qur’an, Karachi,
Pakistan.
Vihriala, Vesa, 1997, Banks and the Finish Credit Cycle, 1986-1995,
Suomen Pankki, Bank of Finland, Bank of Finland Studies E : 7 1997, Helsinki.
Vogel, Frank E. Samuel L. Hayes III, 1998, Islamic Law and Finance,
Religion, Risk and Return. The sixteen volume in series, Kluwer Law
International, The Hague, London,
Boston.
Warde, Ibrahim, 2001, Islamic Finance in the Global Economy, Edinburg University
Press, Edinburg, Great Britain.
[1]
Abu Huraira menyebutkan bahwa “jika
seseorang menerima barang orang lain dengan niat untuk mengembalikannya maka
Allah akan membayarkan untuk dia. Tetapi, jika dia menerima barang itu dengan
niat untuk memboroskannya, Allah akan menghancurkan hartanya”. Suhaibul
Khair mengungkapkan ucapan Nabi SAW, “jika
seseorang meminjam suatu jumlah dari orang lain dan dia tidak berniat untuk
membayar kembali, maka dia akan bertemu dengan Allah sebagai pencuri”
(Ishaat, : 162-163).
[2] Bunga juga ditentang oleh banyak pihak,
antara lain Aristoteles, Plato, Hukum Roma (Ius
Romanum), Kitab suci Yahudi, dan Perjanjian lama Kristen (K Berten, p 51).
Pada saat penyebaran praktek bunga tidak dapat dihindarkan dalam bisnis, pihak
gereja melakukan kompromi dan menarik sikap penentangannya secara terbuka.
Tahun 1545, hukum Inggris memperbolehkan pembebanan bunga sampai tingkat
tertentu, dan jika lebih tinggi dianggap pemerasan (Tarek El-Diwany, p 31).
[3] Kerja keras dan berpartisipasi dalam
kegiatan kreatif ekonomi merupakan kewajiban setiap muslim (QS. Al-Jumu’ah 62:
10) (Warde, 2001, p 62).
[4] Berdasarkan ketentuan Pasal 9 PBI No.7/46/PBI/2005, bank dapat meminta
agunan tambahan selain barang yang dibiayai bank.
[5] Merupakan bentuk lain dari Ijarah Muntahiya bi Tamblik (IMBT), yang
merupakan rangkaian 2 akad, akad jual beli atau al bai dengan akad ijarah,
dan menunjukkan adanya 2 transaksi yaitu sewa menyewa dengan jual beli atau
hibah di akhir masa sewa (Anshori, 2002 : 56).
[6] Banyak literatur menyebutkan akad ini
sebagai “profit and loss sharing atau PLS
agreement”.
[7] Beberapa pihak mengatakan bahwa hal ini
belum didukung dengan data atau penelitian empirik. Namun, dalam penelitian
yang terbatas pada perbankan di Malaysia, Hatta, Aliyu, Mustan dan Ismail
(2007), menyimpulkan bahwa pembiayaan Syariah mempengaruhi pertumpuhan GDP
secara positif. Namun, secara sendiri-sendiri, pengaruh asuransi Syariah tidak
signifikan, karena dominasi asuransi konvensional dan sistim ganda perbankan di
Malaysia.
[8] Khan (2005) menyebutkan hanya dana atas
akad mudharaba mutlaqah yang dapat
dianggap sebagai kuasi modal bagi bank karena menanggung resiko kerugian yang
dapat ditimbulkan oleh investasi kemana dana itu ditanamkan. Tetapi, menurut
penulis hal yang sama juga berlaku pada dana atas akad mudharabah muqayyadah, yang juga mengandung resiko kerugian akibat
investasi yang juga disetujui oleh pemilik dana.
[9] Hal ini telah diatur oleh AAOIFI dalam
Ketentuan Standar Akunting No. 5, yang menetapkan dasar alokasi pembagian keuntungan
ini harus dikemukakan dalam laporan keuangan bank (El-Gamal, 2005).
Paper ini Diterbitkan pada Jurnal QUALITY (Jurnal Manajemen dan Akuntansi Untuk Meningkatkan Kualitas SDM), Vol. II, No. 12, Oktober 2013.
Langganan:
Postingan (Atom)